BAB IPENDAHULUAN
Penyakit Alzheimer merupakan penyebab tersering timbulnya
demensia dan menyebabkan gangguan kognitif pada populasi usia
lanjut. Demensia pada penyakit Alzheimer memiliki onset yang
gradual dan adanya penurunan kognitif secara berkelanjutan termasuk
gangguan memori dan adanya satu atau lebih aphasia (gangguan
bahasa), apraxia (gangguan fumgsi motorik), agnosia (gangguan
fungsi sensoris), dan gangguan fungsi eksekutif seperti
ketidakmampuan perencanaan, pengorganisasian, serta melakukan
aktivitas normal.1Insiden penyakit Alzheimer dibagi menjadi 2
kelompok yaitu kelompok yang menderita pada usia 65 tahun kebawah
(onset dini) dan kelompok yang menderita pada usia 65 tahun keatas
(onset lanjut).3 Insiden terjadinya penyakit Alzheimer meningkat
sesuai umur antara 0,3% - 0,6% terjadi pada usia 65 69 tahun dan
5,3% - 7,5% terjadi pada usia 85 90 tahun.1Di Amerika Serikat,
penyakit Alzheimer menyerang hampir 50% penduduk berusia 85 tahun
atau lebih. Diprediksikan penyakit Alzheimer ini akan meningkat
tiga kali lipat dalam 40 tahun ke depan. Secara umum di dunia
dikatakan penyakit Alzheimer akan menyerang 100 juta orang pada
tahun 2050.2Penyakit alzheimer ditemukan pertama kali pada tahun
1907 oleh seorang ahli Psikiatri dan neuropatologi yang bernama
Alois Alzheimer. Ia mengobservasi seorang wanita berumur 51 tahun,
yang mengalami gangguan intelektual dan memori serta tidak
mengetahui kembali ketempat tinggalnya, sedangkan wanita itu tidak
mengalami gangguan anggota gerak, koordinasi dan reflek. Pada
autopsi tampak bagian otak mengalami atropi yang difus dan simetri,
dan secara mikroskopik tampak bagian kortikal otak mengalami
neuritis plaque dan degenerasi neurofibrillary.3Pada saat ini belum
terdapat terapi yang efektif untuk mengobati penyakit Alzheimer
ini, oleh karena itu penelitian ditujukan lebih mengarah ke arah
pencegahan. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa pola makan yang
baik dan olahraga teratur dapat menurunkan risiko sebesar 50%.
Meskipun belum ada penelitian yang sangat kuat untuk menentukan
pola makan yang benar untuk pencegahan Alzheimer ini, beberapa
hipotesis menyebutkan pola makan yang baik terhadap jantung juga
menguntungkan otak, sehingga dapat menurunkan risiko penyakit
Alzheimer ini.2BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1.DefinisiDemensia Alzheimer adalah suatu sindroma penurunan
kemampuan intelektual progresif yang menyebabkan deteriorasi
kognisi dan fungsional, sehingga mengakibatkan gangguan fungsi
sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari.4
2.2.Etiologi Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa
alternatif penyebab yang telah dihipotesa adalah intoksikasi logam,
gangguan fungsi imunitas, infeksi virus, polusi udara/industri,
trauma, neurotransmiter, defisit formasi sel-sel filament,
presdiposisi heriditer. Dasar kelainan patologi penyakit alzheimer
terdiri dari degenerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan
otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kognitif dengan penurunan
daya ingat secara progresif.3Adanya defisiensi faktor pertumbuhan
atau asam amino dapat berperan dalam kematian selektif neuron.
Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang diakibatkan
oleh adanya peningkatan calsium intraseluler, kegagalan metabolisme
energi, adanya formasi radikal bebas atau terdapatnya produksi
protein abnormal yang non spesifik.3Penyakit alzheimer adalah
penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan
bahwa peran faktor genetika, tetapi beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa peran faktor non-genetika (lingkungan) juga ikut
terlibat, dimana faktor lingkungan hanya sebagai pencetus faktor
genetika.3
2.3.PatogenesaSejumlah patogenesa penyakit alzheimer yaitu: 1.
Faktor genetikBeberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus
alzheimer ini diturunkan melalui gen autosomal dominant. Individu
keturunan garis pertama pada keluarga penderita alzheimer mempunyai
resiko menderita demensia 6 kali lebih besar dibandingkan kelompok
kontrol normal.Pemeriksaan genetika DNA pada penderita alzheimer
dengan familial early onset terdapat kelainan lokus pada kromosom
21 diregio proximal log arm, sedangkan pada familial late onset
didapatkan kelainan lokus pada kromosom 19. Begitu pula pada
penderita down syndrome mempunyai kelainan gen kromosom 21, setelah
berumur 40 tahun terdapat neurofibrillary tangles (NFT), senile
plaque dan penurunan Marker kolinergik pada jaringan otaknya yang
menggambarkan kelainan histopatologi pada penderita alzheimer.Hasil
penelitian penyakit alzheimer terhadap anak kembar menunjukkan
40-50% adalah monozygote dan 50% adalah dizygote. Keadaan ini
mendukung bahwa faktor genetik berperan dalam penyaki alzheimer.
Pada sporadik non familial (50-70%), beberapa penderitanya
ditemukan kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini menunjukkan bahwa
kemungkinan faktor lingkungan menentukan ekspresi genetika pada
alzheimer.
2. Faktor InfeksiAda hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus
pada keluarga penderita alzheimer yang dilakukan secara immuno blot
analisis, ternyata ditemukan adanya antibodi reaktif. Infeksi virus
tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat yang bersifat
lambat, kronik dan remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti
Creutzfeldt-Jacob disease dan kuru, diduga berhubungan dengan
penyakit alzheimer. Hipotesa tersebut mempunyai beberapa persamaan
antara lain:a. manifestasi klinik yang sama b. Tidak adanya respon
imun yang spesifik c. Adanya plak amyloid pada susunan saraf
pusatd. Timbulnya gejala mioklonuse. Adanya gambaran
spongioform.
3. Faktor lingkunganEkmann (1988), mengatakan bahwa faktor
lingkungan juga dapat berperan dalam patogenesa penyakit alzheimer.
Faktor lingkungan antar alain, aluminium, silicon, mercury, zinc.
Aluminium merupakan neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat
yang ditemukan neurofibrillary tangles (NFT) dan senile plaque
(SPINALIS). Hal tersebut diatas belum dapat dijelaskan secara
pasti, apakah keberadaan aluminum adalah penyebab degenerasi
neurosal primer atau sesuatu hal yang tumpang tindih. Pada
penderita alzheimer, juga ditemukan keadan ketidak seimbangan
merkuri, nitrogen, fosfor, sodium, dengan patogenesa yang belum
jelas.Ada dugaan bahwa asam amino glutamat akan menyebabkan
depolarisasi melalui reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium
akan masuk ke intraseluler (Cairan-influks) danmenyebabkan
kerusakan metabolisma energi seluler dengan akibat kerusakan dan
kematian neuron.
4. Faktor imunologisBehan dan Felman (1970) melaporkan 60%
pasien yang menderita alzheimer didapatkan kelainan serum protein
seperti penurunan albumin dan peningkatan alpha protein, anti
trypsin alphamarcoglobuli dan haptoglobuli.Heyman (1984),
melaporkan terdapat hubungan bermakna dan meningkat dari penderita
alzheimer dengan penderita tiroid. Tiroid Hashimoto merupakan
penyakit inflamasi kronik yang sering didapatkan pada wanita muda
karena peranan faktor immunitas.
5. Faktor traumaBeberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan
penyakit alzheimer dengan trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan
petinju yang menderita demensia pugilistik, dimana pada otopsinya
ditemukan banyak neurofibrillary tangles.
6. Faktor neurotransmiterPerubahan neurotransmitter pada
jaringan otak penderita alzheimer mempunyai peranan yang sangat
penting seperti: a. AsetilkolinBarties et al (1982) mengadakan
penelitian terhadap aktivitas spesifik neurotransmiter dgncara
biopsi sterotaktik dan otopsi jaringan otak pada penderita
alzheimer didapatkan penurunan aktivitas kolinasetil transferase,
asetikolinesterase dan transport kolin serta penurunan biosintesa
asetilkolin. Adanya defisit presinaptik dan post synaptik
kolinergik ini bersifat simetris pada korteks frontalis,
temporallis superior, nukleus basalis, hipokampus.Kelainan
neurottansmiter asetilkoline merupakan kelainan yang selalu ada
dibandingkan jenis neurottansmiter lainnya pada penyakit alzheimer,
dimana pada jaringan otak/biopsinya selalu didapatkan kehilangan
cholinergik Marker. Pada penelitian dengan pemberian scopolamin
pada orang normal, akan menyebabkan berkurang atau hilangnya daya
ingat. Hal ini sangat mendukung hipotesa kolinergik sebagai
patogenesa penyakit Alzheimer.
7. NoradrenalinKadar metabolisma norepinefrin dan dopimin
didapatkan menurun pada jaringan otak penderita alzheimer.
Hilangnya neuron bagian dorsal lokus seruleus yang merupakan tempat
yang utama noradrenalin pada korteks serebri, berkorelasi dengan
defisit kortikal noradrenergik.Bowen et al(1988), melaporkan hasil
biopsi dan otopsi jaringan otak penderita alzheimer menunjukkan
adanya defisit noradrenalin pada presinaptik neokorteks. Palmer et
al(1987), Reinikanen (1988), melaporkan konsentrasi noradrenalin
menurun baik pada post dan ante-mortem penderita alzheimer.
8. DopaminSparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap
aktivitas neurottansmiter regio hipothalamus, dimana tidak adanya
gangguan perubahan aktivitas dopamin pada penderita alzheimer.
Hasil ini masih kontroversial, kemungkinan disebabkan karena
potongan histopatologi regio hipothalamus setia penelitian
berbeda-beda.
9. SerotoninDidapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil
metabolisme 5 hidroxi-indolacetil acid pada biopsi korteks serebri
penderita alzheimer. Penurunan juga didapatkan pada nukleus basalis
dari meynert. Penurunan serotonin pada subregio hipotalamus sangat
bervariasi, pengurangan maksimal pada anterior hipotalamus
sedangkan pada posterior peraventrikuler hipotalamus berkurang
sangat minimal. Perubahan kortikal serotonergik ini berhubungan
dengan hilangnya neuron-neuron dan diisi oleh formasi NFT pada
nukleus rephe dorsalis.
10. MAO (Monoamine Oksidase)Enzim mitokondria MAO akan
mengoksidasi transmitter mono amine. Aktivitas normal MAO terbagi 2
kelompok yaitu MAO A untuk deaminasi serotonin, norepineprin dan
sebagian kecil dopamin, sedangkan MAO B untuk deaminasi terutama
dopamin. Pada penderita alzheimer, didapatkan peningkatan MAO A
pada hipothalamus dan frontais sedangkan MAO B meningkat pada
daerah temporal danmenurun pada nukleus basalis dari meynert.
2.4.Kriteria Diagnosis Demensia AlzheimerDiagnosis ditegakkan
menurut kelengkapan informasi klinis, patologi dan kemiripan
sindroma demensia. Diagnosis Alzheimer dibagi atas diagnosis pasti,
probable dan possible (NINCDS-ADRDA).4
a. Diagnosa Pasti Demensia AlzheimerBila penyandang memenuhi
kriteria probable demensia Alzheimer ketika masih hidup dan
konfirmasi pemeriksaan histopatologis pada biopsi atau otopsi saat
meninggal.4
b. Probable Demensia Alzheimer Demensia yang ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan klinik, terdokumentasi dengan pemeriksaan
Mini Mental, Blessed Dementia Scale, atau pemeriksaan lain yang
setara dan dikonfirmasi dengan tes neuropsikologi. Defisit meliputi
dua atau lebih area kognisi Perburukan memori dan fungsi kognisi
lain yang progresif Tidak terdapat gangguan kesadaran Awitan
(onset) antara usia 40-90 tahun, sering setelah usia 65 tahun Tidak
ditemukan gangguan memori dan fungsi kognisi yang progresif
tersebut.4
Keadaan yang menyokong diagnosis probable demensia Alzheimer
meliputi perburukan progresif fungsi/kognisi spesifikk seperti
bahasa (afasia), keterampilan motorik (apraksia), dan persepsi
(agnosia); gangguan aktivitas hidup sehari-hari dan perubahan
perilaku penderita; riwayat keluarga dengan penyakit serupa
(terutama yang telah dikonfirmasi dengan pemeriksaan
neuropatologi); pemeriksaan laboratorium yang meliputi pemeriksaan
cairan otak yang normal pada pemeriksaan rutin; gambaran EEG yang
normal atau aspesifik seperti penambahan aktivitas gelombang
lambat; gambaran atrofi serebri pada CT Scan kepala dengan
progresivitas yang dibuktikan pada pemeriksaan serial.4Gambaran
klinis yang konsisten dengan diagnosis probable demensia Alzheimer,
setelah disingkirkan penyebab demensia lain, yaitu awitan (onset)
perjalanan penyakit dimulai insidious (perlahan-lahan), gejala
muncul bertahap seperti kurva datar (plateau); gejala penyerta lain
berupa keluhan depresi, insomnia, inkontinensia, delusi, ilusi,
halusinasi, pembicaraan katastrofik, gejolak emosional atau
fisikal, gangguan seksual, dan penurunan berat badan. Kelainan
neurologis lain pada beberapa penderita terutama yang penyakitnya
berderajat lanjut akan melibatkan gangguan motorik seperti
hipertonus, mioklonus, gangguan lenggang jalan (gait), atau
bangkitan (seizure). Gambaran CT Scan kepala yang normal sesuai
umurnya.4Gambaran klinis lain yang tidak menyokong diagnosis
probable demensia Alzheimer antara lain awitan (onset) penyakit
yang mendadak; ditemukan defisit neurologis fokal seperti
hemiparese, gangguan sensorik, gangguan lapang pandang dan adanya
inkoordinasi pada fase awal perjalanan penyakit; kejang atau
gangguan lenggang jalan (gait) pada fase awal penyakit.4
c. Possible Demensia Alzheimer Penyandang dengan sindroma
demensia tanpa gangguan neurologis, psikiatri dan gangguan sistemik
lain yang dapat menyebabkan demensia dan awitan (onset), presentasi
atau perjalanan penyakit yang bervariasi dibanding demensia
Alzheimer klasik Dapat ditegakkan pada pasien dengan gangguan
sistemik atau gangguan otak sekundeer yang dapat menyebabkan
demensia tetapi dipertimbangkan bukan sebagai penyebab demensia
Dapat dipergunakan untuk keperluan penelitian bila terdapat suatu
defisit kognisi berat, progresif bertahap tanpa penyebab lain yang
teridentifikasi.4
2.5.Perbedaan Demensia Alzheimer dengan Demensia
VaskulerBerdasarkan kriteria NINCDS-ADRDA diatas, diagnosis
demensia Alzheimer dapat ditegakkan, namun demikian apabila
terdapat keraguan, Skor iskemik Hachinski di bawah ini dapat
digunakan untuk membedakan demensia Alzheimer dengan demensia
vaskuler.4
Tabel. 2.1. Skor iskemik HachinskiRiwayat dan GejalaYaTidak
1. Awitan (onset) mendadak2. Deteriorasi bertahap3. Perjalanan
klinis berfluktuasi4. Kebingungan malam hari5. Kepribadian relatif
tidak terganggu6. Depresi7. Keluhan somatik8. Emosi tidak stabil9.
Riwayat hipertensi10. Riwayat penyakit serebrovaskuler11.
Arteriosklerosis penyerta12. Keluhan neurologi fokal13. Gejala
neurologi fokal21211111121220000000000000
Diagnosis demensia dipertimbangkan dari skor total iskemik
Hachinski: Demensia degeneratif bila jumlah skor kurang dari 5
Demensia vaskuler bila jumlah skor lebih dari 6
2.6.Pemeriksaan ObjektifPemeriksaan untuk deteksi demensia harus
meliputi pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis,
pemeriksaan neuropsikologis, pemeriksaan status fungsional dan
pemeriksaan psikiatri.a. Pemeriksaan Fisik UmumPemeriksaan fisik
meliputi obsevasi penampilan, tanda-tanda vital, arteriosklerosis,
resiko vaskuler seperti funduskopi, bising (bruit) karotis,
hipertensi, penyakit jantung. Viseromegali, pembesaran kelenjar
limpa dan tanda-tanda gangguan endokrin dengan penampilan sakit
keras tidak sesuai demensia Alzheimer.4
b. Pemeriksaan NeurologisPemeriksaan ini diperlukan untuk
mengetahui apakah penyandang mengalami peninggian tekanan
intrakranial, defisit fokal seperti gangguan berjalan, gangguan
motorik, sensorik atau lapangan visual. Adakah gangguan tonus
motorik, gangguan kontrol gerak. Kecuali gangguan memori, semua
defisit neurologik fokal tidak sesuai dengan gambaran demensia
Alzheimer. Suatu disfasia progresif, dispraksia atau sindroma
frontal harus dicurigai suatu tumor otak, atau keadaan degeneratif
lain seperti Picks disease atau penyakit degenerasi
kortikobasal.4
c. Pemeriksaan NeuropsikologisPemeriksaan kognisi status mental
meliputi memori, orientasi, bahasa, fungsi kortikal terkait seperti
berhitung, menulis, praksis, gnosis, visuospasial, dan
visuopersepsi seperti menggambar jam dinding, kubus atau gambaran
geometrik yang saling bertindih; evaluasi pembuatan keputusan dan
tingkah laku.4Sebagai suatu esesmen awal Pemeriksaan Status Mental
Mini Folstein (MMSE: Mini Mental State Examination) adalah tes yang
paling sering dipakai saat ini. Pemeriksaan dengan nilai maksimal
30 cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data
dasar dan memantau penurunan kognisi dalam kurun waktu tertentu.
Nilai dibawah 27 dianggap abnormal dan mengindikasikan gangguan
kognisi yang signifikan pada penderita berpendidikan tinggi. Karena
penyandang dengan latarbelakang pendidikan tinggi yang telah
memperlihatkan gangguan kepribadian, fungsi sosial dan gangguan
aktivitas hidup sehari-hari yang khas demensia namun nilai MMSE
masih dalam batasan normal. Penyandang yang berpendidikan rendah
dengan nilai MMSE paling rendah 24 masih dapat dianggap normal,
namun nilai yang rendah ini mengidentifikasi resiko untuk demensia.
Oleh sebab itu tes ini tidak dapat dipakai sebagai alat tunggal
untuk diagnosis demensia tetapi harus diikuti riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik dan aktivitas fungsional sehari-hari.4
d. Pemeriksaan Status FungsionalPemeriksaan status fungsional
adalah pemeriksaan perfoma nyata penyandang dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari saat pramorbid atau saat ini. Informasi harus
diperoleh baik dari lansia maupun keluarga/pengasuh. The Agency for
Health Care Policy and Research USA merekomendasikan The Functional
Activities Questionnaire (FAQ) sebagai pilihan dalam pemeriksaan
status fungsional pada lansia yang diduga demensia.4Pemeriksaan
aktivitas fungsional sehari-hari lain yang dapat dipakai meliputi
pemeriksaan ADL (Activity of Daily Living) dan IADL (Instrumental
Activity of Daily Living), DAD (Disability Assessment for
Dementia).4Dalam melakukan esesmen diatas perlu diperhitungkan
faktor-faktor yang mempengaruhi status mental dan fungsional
seperti gangguan sensoris (gangguan penglihatan, pendengeran) dan
fisik (penyakit neuromuskuler, artritis yang berat) disamping
faktor usia, tingkat pendidikan dan pengaruh budaya.4
e. Pemeriksaan PsikiatriPemeriksaan ini untuk menentukan kondisi
mental penyandang demensia; apakah ia menderita gangguan depresi,
delirium, cemas atau mengalami gejala psikotik (delusi,
halusinasi), mempunyai perilaku menyimpang (abnormal behaviour)
atau adanya perubahan kepribadian.4
2.7.Pemeriksaan Penunjanga. Pemeriksaan Laboratorium
RutinPemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis
klinis demensia ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi
demensia khususnya pada demensia yang reversibel. Walaupun 50%
penyandang demensia adalah demensia Alzheimer dengan hasil
laboratorium normal, pemeriksaan laboratorium rutin sebaiknya
dilakukan, bahkan America Academy of Neurology merekomendasikan
pemeriksaan EKG dan foto thorak untuk mendeteksi sumber gangguan
kognisi dari jantung dan paru. Laboratorium rutin yang dikerjakan
berupa: Pemeriksaan darah lengkap untuk mendeteksi kelainan
sistemik dan blood dyscrasia Urinalisis untuk infeksi saluran kemih
dan diabetes Elektrolit serum untuk mendeteksi gangguan
elektrolit/metabolik Kalsium darah untuk mendeteksi hiperkalsemia,
hipokalsemia BUN untuk mendeteksi uremia Fungsi hati untuk
mendeteksi ensefalopati hepatik Hormon tiroid untuk mendeteksi
hipo/hipertiroidism Kadar asam folat dan vitamin B12 serum untuk
mendeteksi defisiensi Absorpsi antibodi treponemal fluresen untuk
mendeteksi neurosifilis dan pemeriksaan HIV pada pasien resiko
tinggi hanya atas indikasi.4
b. Diagnostik Pencitraan (Imaging)CT (computed tomography) scan
dan MRI (magnetic resonance imaging) telah menjadi pemeriksaan
rutin dalam pemeriksaan demensia walaupun hasilnya masih
dipertanyakan.4Pemeriksaan CT scan dan MRI tidak dapat menggantikan
posisi pemeriksaan klinis (anamnesis dan pemeriksaan fisik) karena
bisa saja perjalanan klinis sesuai demensia Alzheimer tetapi CT
scan/MRI masih dalam batas normal.CT scan/MRI sangat membantu dan
harus dilakukan bila perjalanan klinis demensia atipikal, awitan
(onset) demensia dibawah 60 tahun, ada kecurigaan meningitis,
hidrosefalus, riwayat tumor/kanker, riwayat pemakaian obat
antikoagulan/blood discrasia, stroke, lesi fokal, riwayat
inkontinensia urine, ganguan gait pada awal demensia atau curiga
hematom (trauma kapitis) sebagai penyebab demensia.4,5,6,7PET
(positron emission tomography) dan SPECT (single photon emission
computed tomography) dapat memperlihatkan kelainan metabolik pasien
Alzheimer di kedua kortek temporoparietal namun pemeriksaan ini
tidak spesifik dan tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin
demensia.4
c. Pemeriksaan EEGEEG tidak memberikan gambaran spesifik pada
demensia Alzheimer, sebagian besar EEG masih dalam batas normal
pada stadium dini, pada stadium lanjut ditemukan gambaran
perlambatan difus dan kompleks periodik.4,5,6,7
d. Pemeriksaan Cairan OtakPungsi lumbal diindikasikan bila
klinis dijumpai awitan (onset) demensia akut (250 mg/dL pada usia
sekitar 40-50an berrisiko penyakit Alzheimer pada 3 dekade ke depan
50% lebih besar, jika dibandingkan dengan individu dengan kadar
kolesterol 85 tahun) akan tetapi pengembangan formula nutrisi
khusus sebagai tambahan untuk pasien Alzheimers dapat
dipertimbangkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pattni, KAM. Jurnal Beta-Amyloid sebagai Patogenesis pada
Penyakit Alzheimer. Denpasar: Bagian Psikiatri Rumah Sakit Umum
Pusat Sanglah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; 2013. hal.
2.2. CDK. Guidelines Pola Makan Baik untuk Mencegah Penyakit
Alzheimer. Vol. 41. Jakarta: CDK; 2014. hal. 858-9.3. Japardi,
Iskandar. Jurnal: Penyakit Alzheimer. Medan: Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara; 2002. hal. 1.4. Dikot, Yustiani.
Konsensus Nasional: Pengenalan dan Penatalaksanaan Demensia
Alzheimer dan Demensia Lainnya. Asosiasi Alzheimer Indonesia
(AazI); 2003. hal. 4-7, 13-7, 20, 23-5, 32-8.5. Bouchard, RW.,
Rossor, MN. Typical clinical features. In: Gauthier S (ed).
Clinical diagnosis and management of Alzheimers disease. London:
Martin-Dunitz Ltd; 2001: 35-50.6. Lovestone, S., Gauthier, S.
Management of dementia. London: Martin-Dunitz Ltd; 2001:1-22. pg.
152-54.7. Steffen, DC., Morgenlander, J.C. Initial evaluation of
suspected dementia. In: Morgenlander J.C.A for articles symposium.
Postgraduate Medicine. Vol 106/No. 5/October 15, 1999. The
Mcgraw-Hill Companies. Citation.8. Burke J.R., Morgenlander, J.C.
Update on Alzheimer disease. Promising advances in detection and
treatment. In: Morgenlander J.C.A for articles symposium.
Postgraduate Medicine. Vol 106/No. 5/October 15, 1999. The
Mcgraw-Hill Companies. Citation.9. Saunders, A.M., Strittmater,
W.J., et all. Association of apolipoprotein E allele epsilon 2 with
late-onset familial and sporadic Alzheimers disease. Neurology
1993;43(8). pg. 1467-72.10. Post, S.G., Whitehouse, P.J., et all.
The clinical introduction of genetic testing for Alzheimer disease:
an ethical perspective. JAMA 1997;277(10). pg. 823-6.11. Shadle,
M.F., Larson, E.B. Whats new in Alzheimers disease treatment:
reasons for optimism about future pharmalogic option. Postgran Med
1999:105(1). pg. 131-40.12. Roger, S.L., Doody, R.S., et all.
Donepezil Study Group. Donepezil improves cognition and global
function in Alzheimers disease: a-15 week, double-blind,
placebo-controlled study. Arch Intern Med 1998;158(9). pg.
1021-31.13. Rosler, M., Anand, R., et all. Efficacy and safety of
rivastigmine in patient with Alzheimers disease: International
randomised controlled trial. BMJ 1999;318(6). pg. 633-40.26