Top Banner
BAB I PENDAHULUAN Penyakit Alzheimer merupakan penyebab tersering timbulnya demensia dan menyebabkan gangguan kognitif pada populasi usia lanjut. Demensia pada penyakit Alzheimer memiliki onset yang gradual dan adanya penurunan kognitif secara berkelanjutan termasuk gangguan memori dan adanya satu atau lebih aphasia (gangguan bahasa), apraxia (gangguan fumgsi motorik), agnosia (gangguan fungsi sensoris), dan gangguan fungsi eksekutif seperti ketidakmampuan perencanaan, pengorganisasian, serta melakukan aktivitas normal. 1 Insiden penyakit Alzheimer dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok yang menderita pada usia 65 tahun kebawah (onset dini) dan kelompok yang menderita pada usia 65 tahun keatas (onset lanjut).3 Insiden terjadinya penyakit Alzheimer meningkat sesuai umur antara 0,3% - 0,6% terjadi pada usia 65 – 69 tahun dan 5,3% - 7,5% terjadi pada usia 85 – 90 tahun. 1 Di Amerika Serikat, penyakit Alzheimer menyerang hampir 50% penduduk berusia 85 tahun atau lebih. Diprediksikan penyakit Alzheimer ini akan meningkat tiga kali lipat dalam 40 tahun ke depan. Secara umum di dunia dikatakan penyakit Alzheimer akan menyerang 100 juta orang pada tahun 2050. 2 Penyakit alzheimer ditemukan pertama kali pada tahun 1907 oleh seorang ahli Psikiatri dan neuropatologi yang bernama Alois Alzheimer. Ia mengobservasi seorang wanita berumur 51 tahun, yang mengalami gangguan intelektual dan memori serta tidak mengetahui kembali ketempat tinggalnya, sedangkan wanita 1
39

CSS - Alzheimer.docx

Oct 01, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB IPENDAHULUAN

Penyakit Alzheimer merupakan penyebab tersering timbulnya demensia dan menyebabkan gangguan kognitif pada populasi usia lanjut. Demensia pada penyakit Alzheimer memiliki onset yang gradual dan adanya penurunan kognitif secara berkelanjutan termasuk gangguan memori dan adanya satu atau lebih aphasia (gangguan bahasa), apraxia (gangguan fumgsi motorik), agnosia (gangguan fungsi sensoris), dan gangguan fungsi eksekutif seperti ketidakmampuan perencanaan, pengorganisasian, serta melakukan aktivitas normal.1Insiden penyakit Alzheimer dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok yang menderita pada usia 65 tahun kebawah (onset dini) dan kelompok yang menderita pada usia 65 tahun keatas (onset lanjut).3 Insiden terjadinya penyakit Alzheimer meningkat sesuai umur antara 0,3% - 0,6% terjadi pada usia 65 69 tahun dan 5,3% - 7,5% terjadi pada usia 85 90 tahun.1Di Amerika Serikat, penyakit Alzheimer menyerang hampir 50% penduduk berusia 85 tahun atau lebih. Diprediksikan penyakit Alzheimer ini akan meningkat tiga kali lipat dalam 40 tahun ke depan. Secara umum di dunia dikatakan penyakit Alzheimer akan menyerang 100 juta orang pada tahun 2050.2Penyakit alzheimer ditemukan pertama kali pada tahun 1907 oleh seorang ahli Psikiatri dan neuropatologi yang bernama Alois Alzheimer. Ia mengobservasi seorang wanita berumur 51 tahun, yang mengalami gangguan intelektual dan memori serta tidak mengetahui kembali ketempat tinggalnya, sedangkan wanita itu tidak mengalami gangguan anggota gerak, koordinasi dan reflek. Pada autopsi tampak bagian otak mengalami atropi yang difus dan simetri, dan secara mikroskopik tampak bagian kortikal otak mengalami neuritis plaque dan degenerasi neurofibrillary.3Pada saat ini belum terdapat terapi yang efektif untuk mengobati penyakit Alzheimer ini, oleh karena itu penelitian ditujukan lebih mengarah ke arah pencegahan. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa pola makan yang baik dan olahraga teratur dapat menurunkan risiko sebesar 50%. Meskipun belum ada penelitian yang sangat kuat untuk menentukan pola makan yang benar untuk pencegahan Alzheimer ini, beberapa hipotesis menyebutkan pola makan yang baik terhadap jantung juga menguntungkan otak, sehingga dapat menurunkan risiko penyakit Alzheimer ini.2BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1.DefinisiDemensia Alzheimer adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari.4

2.2.Etiologi Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternatif penyebab yang telah dihipotesa adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi virus, polusi udara/industri, trauma, neurotransmiter, defisit formasi sel-sel filament, presdiposisi heriditer. Dasar kelainan patologi penyakit alzheimer terdiri dari degenerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kognitif dengan penurunan daya ingat secara progresif.3Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang diakibatkan oleh adanya peningkatan calsium intraseluler, kegagalan metabolisme energi, adanya formasi radikal bebas atau terdapatnya produksi protein abnormal yang non spesifik.3Penyakit alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor non-genetika (lingkungan) juga ikut terlibat, dimana faktor lingkungan hanya sebagai pencetus faktor genetika.3

2.3.PatogenesaSejumlah patogenesa penyakit alzheimer yaitu: 1. Faktor genetikBeberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus alzheimer ini diturunkan melalui gen autosomal dominant. Individu keturunan garis pertama pada keluarga penderita alzheimer mempunyai resiko menderita demensia 6 kali lebih besar dibandingkan kelompok kontrol normal.Pemeriksaan genetika DNA pada penderita alzheimer dengan familial early onset terdapat kelainan lokus pada kromosom 21 diregio proximal log arm, sedangkan pada familial late onset didapatkan kelainan lokus pada kromosom 19. Begitu pula pada penderita down syndrome mempunyai kelainan gen kromosom 21, setelah berumur 40 tahun terdapat neurofibrillary tangles (NFT), senile plaque dan penurunan Marker kolinergik pada jaringan otaknya yang menggambarkan kelainan histopatologi pada penderita alzheimer.Hasil penelitian penyakit alzheimer terhadap anak kembar menunjukkan 40-50% adalah monozygote dan 50% adalah dizygote. Keadaan ini mendukung bahwa faktor genetik berperan dalam penyaki alzheimer. Pada sporadik non familial (50-70%), beberapa penderitanya ditemukan kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini menunjukkan bahwa kemungkinan faktor lingkungan menentukan ekspresi genetika pada alzheimer.

2. Faktor InfeksiAda hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluarga penderita alzheimer yang dilakukan secara immuno blot analisis, ternyata ditemukan adanya antibodi reaktif. Infeksi virus tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat yang bersifat lambat, kronik dan remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti Creutzfeldt-Jacob disease dan kuru, diduga berhubungan dengan penyakit alzheimer. Hipotesa tersebut mempunyai beberapa persamaan antara lain:a. manifestasi klinik yang sama b. Tidak adanya respon imun yang spesifik c. Adanya plak amyloid pada susunan saraf pusatd. Timbulnya gejala mioklonuse. Adanya gambaran spongioform.

3. Faktor lingkunganEkmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat berperan dalam patogenesa penyakit alzheimer. Faktor lingkungan antar alain, aluminium, silicon, mercury, zinc. Aluminium merupakan neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat yang ditemukan neurofibrillary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS). Hal tersebut diatas belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaan aluminum adalah penyebab degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang tumpang tindih. Pada penderita alzheimer, juga ditemukan keadan ketidak seimbangan merkuri, nitrogen, fosfor, sodium, dengan patogenesa yang belum jelas.Ada dugaan bahwa asam amino glutamat akan menyebabkan depolarisasi melalui reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium akan masuk ke intraseluler (Cairan-influks) danmenyebabkan kerusakan metabolisma energi seluler dengan akibat kerusakan dan kematian neuron.

4. Faktor imunologisBehan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderita alzheimer didapatkan kelainan serum protein seperti penurunan albumin dan peningkatan alpha protein, anti trypsin alphamarcoglobuli dan haptoglobuli.Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan bermakna dan meningkat dari penderita alzheimer dengan penderita tiroid. Tiroid Hashimoto merupakan penyakit inflamasi kronik yang sering didapatkan pada wanita muda karena peranan faktor immunitas.

5. Faktor traumaBeberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit alzheimer dengan trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju yang menderita demensia pugilistik, dimana pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles.

6. Faktor neurotransmiterPerubahan neurotransmitter pada jaringan otak penderita alzheimer mempunyai peranan yang sangat penting seperti: a. AsetilkolinBarties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik neurotransmiter dgncara biopsi sterotaktik dan otopsi jaringan otak pada penderita alzheimer didapatkan penurunan aktivitas kolinasetil transferase, asetikolinesterase dan transport kolin serta penurunan biosintesa asetilkolin. Adanya defisit presinaptik dan post synaptik kolinergik ini bersifat simetris pada korteks frontalis, temporallis superior, nukleus basalis, hipokampus.Kelainan neurottansmiter asetilkoline merupakan kelainan yang selalu ada dibandingkan jenis neurottansmiter lainnya pada penyakit alzheimer, dimana pada jaringan otak/biopsinya selalu didapatkan kehilangan cholinergik Marker. Pada penelitian dengan pemberian scopolamin pada orang normal, akan menyebabkan berkurang atau hilangnya daya ingat. Hal ini sangat mendukung hipotesa kolinergik sebagai patogenesa penyakit Alzheimer.

7. NoradrenalinKadar metabolisma norepinefrin dan dopimin didapatkan menurun pada jaringan otak penderita alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal lokus seruleus yang merupakan tempat yang utama noradrenalin pada korteks serebri, berkorelasi dengan defisit kortikal noradrenergik.Bowen et al(1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan otak penderita alzheimer menunjukkan adanya defisit noradrenalin pada presinaptik neokorteks. Palmer et al(1987), Reinikanen (1988), melaporkan konsentrasi noradrenalin menurun baik pada post dan ante-mortem penderita alzheimer.

8. DopaminSparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas neurottansmiter regio hipothalamus, dimana tidak adanya gangguan perubahan aktivitas dopamin pada penderita alzheimer. Hasil ini masih kontroversial, kemungkinan disebabkan karena potongan histopatologi regio hipothalamus setia penelitian berbeda-beda.

9. SerotoninDidapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5 hidroxi-indolacetil acid pada biopsi korteks serebri penderita alzheimer. Penurunan juga didapatkan pada nukleus basalis dari meynert. Penurunan serotonin pada subregio hipotalamus sangat bervariasi, pengurangan maksimal pada anterior hipotalamus sedangkan pada posterior peraventrikuler hipotalamus berkurang sangat minimal. Perubahan kortikal serotonergik ini berhubungan dengan hilangnya neuron-neuron dan diisi oleh formasi NFT pada nukleus rephe dorsalis.

10. MAO (Monoamine Oksidase)Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter mono amine. Aktivitas normal MAO terbagi 2 kelompok yaitu MAO A untuk deaminasi serotonin, norepineprin dan sebagian kecil dopamin, sedangkan MAO B untuk deaminasi terutama dopamin. Pada penderita alzheimer, didapatkan peningkatan MAO A pada hipothalamus dan frontais sedangkan MAO B meningkat pada daerah temporal danmenurun pada nukleus basalis dari meynert.

2.4.Kriteria Diagnosis Demensia AlzheimerDiagnosis ditegakkan menurut kelengkapan informasi klinis, patologi dan kemiripan sindroma demensia. Diagnosis Alzheimer dibagi atas diagnosis pasti, probable dan possible (NINCDS-ADRDA).4

a. Diagnosa Pasti Demensia AlzheimerBila penyandang memenuhi kriteria probable demensia Alzheimer ketika masih hidup dan konfirmasi pemeriksaan histopatologis pada biopsi atau otopsi saat meninggal.4

b. Probable Demensia Alzheimer Demensia yang ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinik, terdokumentasi dengan pemeriksaan Mini Mental, Blessed Dementia Scale, atau pemeriksaan lain yang setara dan dikonfirmasi dengan tes neuropsikologi. Defisit meliputi dua atau lebih area kognisi Perburukan memori dan fungsi kognisi lain yang progresif Tidak terdapat gangguan kesadaran Awitan (onset) antara usia 40-90 tahun, sering setelah usia 65 tahun Tidak ditemukan gangguan memori dan fungsi kognisi yang progresif tersebut.4

Keadaan yang menyokong diagnosis probable demensia Alzheimer meliputi perburukan progresif fungsi/kognisi spesifikk seperti bahasa (afasia), keterampilan motorik (apraksia), dan persepsi (agnosia); gangguan aktivitas hidup sehari-hari dan perubahan perilaku penderita; riwayat keluarga dengan penyakit serupa (terutama yang telah dikonfirmasi dengan pemeriksaan neuropatologi); pemeriksaan laboratorium yang meliputi pemeriksaan cairan otak yang normal pada pemeriksaan rutin; gambaran EEG yang normal atau aspesifik seperti penambahan aktivitas gelombang lambat; gambaran atrofi serebri pada CT Scan kepala dengan progresivitas yang dibuktikan pada pemeriksaan serial.4Gambaran klinis yang konsisten dengan diagnosis probable demensia Alzheimer, setelah disingkirkan penyebab demensia lain, yaitu awitan (onset) perjalanan penyakit dimulai insidious (perlahan-lahan), gejala muncul bertahap seperti kurva datar (plateau); gejala penyerta lain berupa keluhan depresi, insomnia, inkontinensia, delusi, ilusi, halusinasi, pembicaraan katastrofik, gejolak emosional atau fisikal, gangguan seksual, dan penurunan berat badan. Kelainan neurologis lain pada beberapa penderita terutama yang penyakitnya berderajat lanjut akan melibatkan gangguan motorik seperti hipertonus, mioklonus, gangguan lenggang jalan (gait), atau bangkitan (seizure). Gambaran CT Scan kepala yang normal sesuai umurnya.4Gambaran klinis lain yang tidak menyokong diagnosis probable demensia Alzheimer antara lain awitan (onset) penyakit yang mendadak; ditemukan defisit neurologis fokal seperti hemiparese, gangguan sensorik, gangguan lapang pandang dan adanya inkoordinasi pada fase awal perjalanan penyakit; kejang atau gangguan lenggang jalan (gait) pada fase awal penyakit.4

c. Possible Demensia Alzheimer Penyandang dengan sindroma demensia tanpa gangguan neurologis, psikiatri dan gangguan sistemik lain yang dapat menyebabkan demensia dan awitan (onset), presentasi atau perjalanan penyakit yang bervariasi dibanding demensia Alzheimer klasik Dapat ditegakkan pada pasien dengan gangguan sistemik atau gangguan otak sekundeer yang dapat menyebabkan demensia tetapi dipertimbangkan bukan sebagai penyebab demensia Dapat dipergunakan untuk keperluan penelitian bila terdapat suatu defisit kognisi berat, progresif bertahap tanpa penyebab lain yang teridentifikasi.4

2.5.Perbedaan Demensia Alzheimer dengan Demensia VaskulerBerdasarkan kriteria NINCDS-ADRDA diatas, diagnosis demensia Alzheimer dapat ditegakkan, namun demikian apabila terdapat keraguan, Skor iskemik Hachinski di bawah ini dapat digunakan untuk membedakan demensia Alzheimer dengan demensia vaskuler.4

Tabel. 2.1. Skor iskemik HachinskiRiwayat dan GejalaYaTidak

1. Awitan (onset) mendadak2. Deteriorasi bertahap3. Perjalanan klinis berfluktuasi4. Kebingungan malam hari5. Kepribadian relatif tidak terganggu6. Depresi7. Keluhan somatik8. Emosi tidak stabil9. Riwayat hipertensi10. Riwayat penyakit serebrovaskuler11. Arteriosklerosis penyerta12. Keluhan neurologi fokal13. Gejala neurologi fokal21211111121220000000000000

Diagnosis demensia dipertimbangkan dari skor total iskemik Hachinski: Demensia degeneratif bila jumlah skor kurang dari 5 Demensia vaskuler bila jumlah skor lebih dari 6

2.6.Pemeriksaan ObjektifPemeriksaan untuk deteksi demensia harus meliputi pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan neuropsikologis, pemeriksaan status fungsional dan pemeriksaan psikiatri.a. Pemeriksaan Fisik UmumPemeriksaan fisik meliputi obsevasi penampilan, tanda-tanda vital, arteriosklerosis, resiko vaskuler seperti funduskopi, bising (bruit) karotis, hipertensi, penyakit jantung. Viseromegali, pembesaran kelenjar limpa dan tanda-tanda gangguan endokrin dengan penampilan sakit keras tidak sesuai demensia Alzheimer.4

b. Pemeriksaan NeurologisPemeriksaan ini diperlukan untuk mengetahui apakah penyandang mengalami peninggian tekanan intrakranial, defisit fokal seperti gangguan berjalan, gangguan motorik, sensorik atau lapangan visual. Adakah gangguan tonus motorik, gangguan kontrol gerak. Kecuali gangguan memori, semua defisit neurologik fokal tidak sesuai dengan gambaran demensia Alzheimer. Suatu disfasia progresif, dispraksia atau sindroma frontal harus dicurigai suatu tumor otak, atau keadaan degeneratif lain seperti Picks disease atau penyakit degenerasi kortikobasal.4

c. Pemeriksaan NeuropsikologisPemeriksaan kognisi status mental meliputi memori, orientasi, bahasa, fungsi kortikal terkait seperti berhitung, menulis, praksis, gnosis, visuospasial, dan visuopersepsi seperti menggambar jam dinding, kubus atau gambaran geometrik yang saling bertindih; evaluasi pembuatan keputusan dan tingkah laku.4Sebagai suatu esesmen awal Pemeriksaan Status Mental Mini Folstein (MMSE: Mini Mental State Examination) adalah tes yang paling sering dipakai saat ini. Pemeriksaan dengan nilai maksimal 30 cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognisi dalam kurun waktu tertentu. Nilai dibawah 27 dianggap abnormal dan mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan pada penderita berpendidikan tinggi. Karena penyandang dengan latarbelakang pendidikan tinggi yang telah memperlihatkan gangguan kepribadian, fungsi sosial dan gangguan aktivitas hidup sehari-hari yang khas demensia namun nilai MMSE masih dalam batasan normal. Penyandang yang berpendidikan rendah dengan nilai MMSE paling rendah 24 masih dapat dianggap normal, namun nilai yang rendah ini mengidentifikasi resiko untuk demensia. Oleh sebab itu tes ini tidak dapat dipakai sebagai alat tunggal untuk diagnosis demensia tetapi harus diikuti riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan aktivitas fungsional sehari-hari.4

d. Pemeriksaan Status FungsionalPemeriksaan status fungsional adalah pemeriksaan perfoma nyata penyandang dalam aktivitas kehidupan sehari-hari saat pramorbid atau saat ini. Informasi harus diperoleh baik dari lansia maupun keluarga/pengasuh. The Agency for Health Care Policy and Research USA merekomendasikan The Functional Activities Questionnaire (FAQ) sebagai pilihan dalam pemeriksaan status fungsional pada lansia yang diduga demensia.4Pemeriksaan aktivitas fungsional sehari-hari lain yang dapat dipakai meliputi pemeriksaan ADL (Activity of Daily Living) dan IADL (Instrumental Activity of Daily Living), DAD (Disability Assessment for Dementia).4Dalam melakukan esesmen diatas perlu diperhitungkan faktor-faktor yang mempengaruhi status mental dan fungsional seperti gangguan sensoris (gangguan penglihatan, pendengeran) dan fisik (penyakit neuromuskuler, artritis yang berat) disamping faktor usia, tingkat pendidikan dan pengaruh budaya.4

e. Pemeriksaan PsikiatriPemeriksaan ini untuk menentukan kondisi mental penyandang demensia; apakah ia menderita gangguan depresi, delirium, cemas atau mengalami gejala psikotik (delusi, halusinasi), mempunyai perilaku menyimpang (abnormal behaviour) atau adanya perubahan kepribadian.4

2.7.Pemeriksaan Penunjanga. Pemeriksaan Laboratorium RutinPemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis demensia ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi demensia khususnya pada demensia yang reversibel. Walaupun 50% penyandang demensia adalah demensia Alzheimer dengan hasil laboratorium normal, pemeriksaan laboratorium rutin sebaiknya dilakukan, bahkan America Academy of Neurology merekomendasikan pemeriksaan EKG dan foto thorak untuk mendeteksi sumber gangguan kognisi dari jantung dan paru. Laboratorium rutin yang dikerjakan berupa: Pemeriksaan darah lengkap untuk mendeteksi kelainan sistemik dan blood dyscrasia Urinalisis untuk infeksi saluran kemih dan diabetes Elektrolit serum untuk mendeteksi gangguan elektrolit/metabolik Kalsium darah untuk mendeteksi hiperkalsemia, hipokalsemia BUN untuk mendeteksi uremia Fungsi hati untuk mendeteksi ensefalopati hepatik Hormon tiroid untuk mendeteksi hipo/hipertiroidism Kadar asam folat dan vitamin B12 serum untuk mendeteksi defisiensi Absorpsi antibodi treponemal fluresen untuk mendeteksi neurosifilis dan pemeriksaan HIV pada pasien resiko tinggi hanya atas indikasi.4

b. Diagnostik Pencitraan (Imaging)CT (computed tomography) scan dan MRI (magnetic resonance imaging) telah menjadi pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan demensia walaupun hasilnya masih dipertanyakan.4Pemeriksaan CT scan dan MRI tidak dapat menggantikan posisi pemeriksaan klinis (anamnesis dan pemeriksaan fisik) karena bisa saja perjalanan klinis sesuai demensia Alzheimer tetapi CT scan/MRI masih dalam batas normal.CT scan/MRI sangat membantu dan harus dilakukan bila perjalanan klinis demensia atipikal, awitan (onset) demensia dibawah 60 tahun, ada kecurigaan meningitis, hidrosefalus, riwayat tumor/kanker, riwayat pemakaian obat antikoagulan/blood discrasia, stroke, lesi fokal, riwayat inkontinensia urine, ganguan gait pada awal demensia atau curiga hematom (trauma kapitis) sebagai penyebab demensia.4,5,6,7PET (positron emission tomography) dan SPECT (single photon emission computed tomography) dapat memperlihatkan kelainan metabolik pasien Alzheimer di kedua kortek temporoparietal namun pemeriksaan ini tidak spesifik dan tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin demensia.4

c. Pemeriksaan EEGEEG tidak memberikan gambaran spesifik pada demensia Alzheimer, sebagian besar EEG masih dalam batas normal pada stadium dini, pada stadium lanjut ditemukan gambaran perlambatan difus dan kompleks periodik.4,5,6,7

d. Pemeriksaan Cairan OtakPungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai awitan (onset) demensia akut (250 mg/dL pada usia sekitar 40-50an berrisiko penyakit Alzheimer pada 3 dekade ke depan 50% lebih besar, jika dibandingkan dengan individu dengan kadar kolesterol 85 tahun) akan tetapi pengembangan formula nutrisi khusus sebagai tambahan untuk pasien Alzheimers dapat dipertimbangkan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pattni, KAM. Jurnal Beta-Amyloid sebagai Patogenesis pada Penyakit Alzheimer. Denpasar: Bagian Psikiatri Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; 2013. hal. 2.2. CDK. Guidelines Pola Makan Baik untuk Mencegah Penyakit Alzheimer. Vol. 41. Jakarta: CDK; 2014. hal. 858-9.3. Japardi, Iskandar. Jurnal: Penyakit Alzheimer. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2002. hal. 1.4. Dikot, Yustiani. Konsensus Nasional: Pengenalan dan Penatalaksanaan Demensia Alzheimer dan Demensia Lainnya. Asosiasi Alzheimer Indonesia (AazI); 2003. hal. 4-7, 13-7, 20, 23-5, 32-8.5. Bouchard, RW., Rossor, MN. Typical clinical features. In: Gauthier S (ed). Clinical diagnosis and management of Alzheimers disease. London: Martin-Dunitz Ltd; 2001: 35-50.6. Lovestone, S., Gauthier, S. Management of dementia. London: Martin-Dunitz Ltd; 2001:1-22. pg. 152-54.7. Steffen, DC., Morgenlander, J.C. Initial evaluation of suspected dementia. In: Morgenlander J.C.A for articles symposium. Postgraduate Medicine. Vol 106/No. 5/October 15, 1999. The Mcgraw-Hill Companies. Citation.8. Burke J.R., Morgenlander, J.C. Update on Alzheimer disease. Promising advances in detection and treatment. In: Morgenlander J.C.A for articles symposium. Postgraduate Medicine. Vol 106/No. 5/October 15, 1999. The Mcgraw-Hill Companies. Citation.9. Saunders, A.M., Strittmater, W.J., et all. Association of apolipoprotein E allele epsilon 2 with late-onset familial and sporadic Alzheimers disease. Neurology 1993;43(8). pg. 1467-72.10. Post, S.G., Whitehouse, P.J., et all. The clinical introduction of genetic testing for Alzheimer disease: an ethical perspective. JAMA 1997;277(10). pg. 823-6.11. Shadle, M.F., Larson, E.B. Whats new in Alzheimers disease treatment: reasons for optimism about future pharmalogic option. Postgran Med 1999:105(1). pg. 131-40.12. Roger, S.L., Doody, R.S., et all. Donepezil Study Group. Donepezil improves cognition and global function in Alzheimers disease: a-15 week, double-blind, placebo-controlled study. Arch Intern Med 1998;158(9). pg. 1021-31.13. Rosler, M., Anand, R., et all. Efficacy and safety of rivastigmine in patient with Alzheimers disease: International randomised controlled trial. BMJ 1999;318(6). pg. 633-40.26