BAB IPENDAHULUAN
Tinea korporis merupakan istilah untuk menunjukkan adanya
infeksi jamur golongan dermatofita pada badan, tungkai dan lengan,
tetapi tidak termasuk lipat paha, tangan dan kaki. Sedangkan
istilah tinea kruris digunakan untuk infeksi jamur dermatofita pada
daerah kulit lipat paha, daerah pubis, perineum dan perianal serta
gluteus.1,2,3 Tinea korporis dan tinea kruris dapat digolongkan
menjadi tinea glabrosa karena keduanya terdapat pada kulit yang
tidak berambut. Walaupun secara klinis terdapat murni tinea kruris
atau korporis, namun bisa ditemukan tinea kruris et korporis
bersamaan.3Insidensi dermatomikosis di Indonesia masih cukup
tinggi. Dari data beberapa rumah sakit di Indonesia pada tahun 1998
didapatkan persentase dermatomikosis terhadap seluruh kasus
dermatosis bervariasi dari 2,93% (Semarang) sampai 27,6% (Padang).4
Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2008 terdapat 274
(7,02%) kasus baru dermatomikosis superfisialis, 58 kasus (21,16%)
diantaranya adalah tinea korporis dan 61 kasus (22,26%) adalah
tinea kruris.Berikut dilaporkan suatu kasus tinea korporis et
kruris yang kronis terjadi pada seorang perempuan berusia 55 tahun
sudah menikah dan bekerja sebagai ibu rumah tangga, tinggal di
Tanjung Pauh Talang Palipa Dusun Mekar Jaya, Mestong.
BAB IILAPORAN KASUS
Autoanamnesis pada tanggal 12 Februari 2015
Seorang perempuan berusia 55 tahun sudah menikah dan bekerja
sebagai ibu rumah tangga, tinggal di Tanjung Pauh Talang Palipa
Dusun Mekar Jaya, Mestong, datang dengan keluhan ada penebalan
kemerahan dan terasa gatal di pantat, tungkai bawah kiri dan kanan
sejak 2 tahun SMRS. Ketika perjalanan penyakitnya ditelusuri,
didapatkan sejak 2 tahun SMRS, os mengeluh timbul bercak kemerahan
berbentuk lingkaran kecil sebesar koin Rp. 25,- mula-mula di
tungkai bawah kanan. Bercak tersebut terasa gatal sehingga os
menggaruk bercak tersebut. Ketika digaruk, bercak tersebut semakin
melebar dan menimbulkan bercak-bercak baru yang tidak beraturan.
Gatal pada bercak tersebut dirasakan hilang timbul. Ketika os
merasakan gatal, os menggaruk bercaknya, gatal hilang sebentar
kemudian timbul kembali. Gatal akan semakin terasa jika os mencuci
pakaian, setelah mandi, dan di malam hari. Sebaliknya, os merasa
gatalnya berkurang jika di sekitar bercak dalam keadaan kering.
Selain itu, tidak ada keluhan lain yang dirasakan pada bercak
merahnya, seperti panas (-), nyeri (-), kebas (-). Os juga tidak
mengeluhkan demam (-). Sebelumnya, Os sudah pernah berobat dengan
keluhan yang sama di RS ini (ini merupakan berobat yang ketiga
kalinya), namun pada saat itu daerah yang sakitnya bukan di kaki
kiri.
SMRS os mengeluh timbul bercak kemerahan berbentuk lingkaran
kecil sebesar koin Rp. 25,- di kaki kirinya. Bercak tersebut terasa
gatal sehingga os menggaruk bercak tersebut. Ketika digaruk, bercak
tersebut semakin melebar dan menimbulkan bercak-bercak baru yang
tidak beraturan. Gatal pada bercak tersebut dirasakan hilang
timbul. Ketika os merasakan gatal, os menggaruk bercaknya, gatal
hilang sebentar kemudian timbul kembali. Gatal akan semakin terasa
jika os mencuci pakaian, setelah mandi, dan di malam hari.
Sebaliknya, os merasa gatalnya berkurang jika di sekitar bercak
dalam keadaan kering. Selain itu, tidak ada keluhan lain yang
dirasakan pada bercak merahnya, seperti panas (-), nyeri (-), kebas
(-). Os juga tidak mengeluhkan demam (-). Sebelumnya, Os sudah
pernah berobat dengan keluhan yang sama di RS ini (ini merupakan
berobat yang ketiga kalinya), namun pada saat itu daerah yang
sakitnya bukan di kaki kiri. Dari riwayat perjalanan penyakit
diketahui bahwa sejak 2 tahun SMRS, os mengeluh keluhan yang sama
dengan yang ia rasakan sekarang, namun keluhan terjadi di tungkai
bawah kaki kanannya. 1,5 tahun SMRS, os baru berobat ke RS.
Mattaher untuk berobat yang pertama kalinya. Os diberikan obat oleh
dokter yang sama dengan yang mengobatinya sekarang, os diberikan
obat pil minum dan salep. Setelah minum obat biasanya keluhan
hilang, namun beberapa bulan kemudian timbul lagi. Lalu, os berobat
lagi untuk yang kedua kalinya dengan keluhan yang sama dan
diberikan obat lagi. Keluhan yang os rasakan hilang lagi, namun 3
bulan yang lalu, keluhan timbul lagi dan menjalar ke kaki kiri
hingga sekarang. Oleh karena itu, os berobat ke RS Mattaher
lagi.Berdasarkan riwayat penyakit dahulu, selain keluhan penyakit
ini, os tidak pernah mengalami keluhan kulit lainnya. Os mengatakan
bahwa ia pernah berobat ke RS ini dan diduga memiliki sakit gula.
Selain itu, os tidak pernah mengalami sakit lainnya seperti alergi
(-), hipertensi (-), gangguan ginjal (-). Berdasarkan riwayat
penyakit keluarga, tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan
yang sama seperti os. Keluhan kulit lainnya juga tidak ada. Pada
pemeriksaan fisik status generalis didapatkan keadaan umum os
tampak sakit ringan, kesadaran kompos mentis, vital sign yang
didapatkan dari pemeriksaan yaitu tekanan darah 120/70 mmHg, nadi
82 x/menit, respirasi 22 x/menit dan suhu 36,5C. Pada pemeriksaan
fisik kepala : bentuk normocephal dan tidak terdapat efloresensi
pada kepala, pada mata tidak terdapat konjungtiva anemis maupun
sklera ikterik, pupil anisokor kanan-kiri, dan tidak terdapat
efloresensi pada palpebra. THT dalam batas normal dan tidak
terdapat adanya efloresensi. Pada pemeriksaan leher tidak terdapat
pembesaran KGB, namun terdapat ruam. Pada pemeriksaan thorak
anterior maupun posterior tidak tampak efloresensi. Pemeriksaan
inspeksi pulmo : tidak terdapat pelebaran sela iga kanan-kiri,
tidak terdapat retraksi ; palpasi : stemfremitus sama kiri-kanan ;
perkusi : sonor kiri-kanan ; auskultasi nafas vesikuler, tidak
terdapat ronkhi maupun wheezing. Pemeriksaan inspeksi jantung :
iktus kordis tidak terlihat, palpasi iktus kordis teraba di ICS V
linea midclavicularis sinistra, perkusi batas-batas jantung dalam
batas normal dan auskultasi bunyi jantung I/II reguler, tidak
terdapat murmur ataupun gallop. Pada pemeriksaan abdomen; Inspeksi
: abdomen datar, tidak terdapat efloresensi, palpasi teraba supel,
tidak terdapat pembesaran hepar maupun lien, perkusi terdengar
timpani dan auskultasi terdengar bising usus normal. Pada
pemeriksaan ekstremitas superior kiri dan kanan akral teraba
hangat, edema (-), dan terdapat ruam pada ekstremitas inferior
dekstra-sinistra. Pemeriksaan status dermatologis :Pada regio
cruris inferior medial sinistra terdapat papul eritematosa, 0,5 cm
1 cm, anular, sirkumskrip, diskret, tepi aktif berupa skuama
pitiriasiformis warna putih konfluens.
Regio cruris inferior lateral sinistra terdapat makula
eritematosa, 0,3-0,5 cm, aular, sirkumskrip, diskret.
Regio cruris dekstra terdapat makula eritematosa, 0,5 - 1 cm,
anular, sirkumsrip, diskret.
Pada regio inguinalis bilateral meluas ke perineum, sekitar
anus, intergluteus sampai ke gluteus terdapat plak eritema sebagian
hitam, polisiklik, sirkumskrip, ukuran 18 x 10 x 0,1 cm - 18 x 12 x
0,1 cm, tepi aktif berupa papul eritema sebagian kehitaman,
konfluens ditutupi skuama kutikular, warna putih.
Regio femoris posterior dekstra terdapat makula eritematosa,
polisiklik, sirkumskrip, ukuran 8 x 7 cm, tepi aktif ditutupi
skuama pitiriasiformis.
Hasil Pemeriksaan Penunjang kerokan kulit dengan KOH 10% pada
regio gluteus ditemukan hifa (+), jamur (+). Diagnosis banding pada
kasus ini adalah eritrasma, kandidiasis, psoriasis, pitiriasis
rosea, neurodermatitits sirkumskripta. Diagnosis kerja pada kasus
ini adalah tinea corporis et cruris. Penatalaksanaan umum adalah
memberikan edukasi pada os yaitu meningkatkan kebersihan badan
seperti mandi pakai sabun, ganti pakaian setiap hari, ganti sprei,
ganti handuk dan cuci dengan teratur. Selain itu, hindari pakaian
yang tidak menyerap keringat, hindari menggunakan pakaian dan alat
mandi yang sama dengan anggota keluarga yang lain dan hindari
garukan. Penatalaksanaan secara khusus yaitu sistemik dan topikal.
Obat sistemik diberikan obat oral ketokonazol 200 mg/hari, 1 x 1,
selama 10 hari, pada pagi hari setelah makan. Untuk mengurangi rasa
gatalnya diberikan antihistamin cetirizin 10 mg, 1 x 1, selama 10
hari. salep yang terbuat dari antimikotik ketokonazol 2% dalam pot
dicampur mikonazol 2%, ditambah asam salisilat 3% dioleskan 3 kali
sehari di tempat yang sakit.Jika ditatalaksana dengan baik,
prognosis pada kasus ini quo ad vitam, fungisonam, sanationam
adalah dubia ad bonam.
BAB IIIPEMBAHASAN
Diagnosis tinea korporis dan kruris pada kasus ini didapat dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, dermatologis dan pemeriksaan
penunjang. Berdasarkan tinjauan pustaka untuk menegakkan diagnosis
tinea corporis dan cruris sebagai berikut : Tinea korporis :
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan
:8Gejala subjektif : Keluhan gatal, terutama jika berkeringat.
Gejala objektif : Makula hiperpigmentasi dengan tepi yang lebih
aktif. Oleh karena gatal dan digaruk, lesi akan meluas, terutama
pada daerah kulit yang lembap. Lokalisasi: Wajah, anggota gerak
atas dan bawah, dada, punggung. Efloresensi: 9 1. Kelainan yang
dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong berbatas
tegas terdiri atas eritema, skuama kadang - kadang dengan vesikel
dan papul ditepi. Daerah tengahnya lebih tenang. Kadang - kadang
terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi lesi pada umumnya
merupakan bercak bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan
kulit dapat pula terlihat sebagai lesi dengan pinggir pinggir yang
polisiklik karena beberapa lesi kulit menjadi satu. Bentuk dengan
tanda radang yang lebih nyata lebih sering terlihat pada anak anak
daripada orang dewasa karena umumnya mereka mendapat infeksi baru
pertama kali. 92. Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang
mendadak biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi
pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada sela
paha. Dalam hal ini disebut tinea corporis et cruris atau
sebaliknya tinea cruris et corporis. Bentuk menahun yang disebabkan
oleh trichophyton rubrum biasanya dilihat bersama-sama dengan tinea
unguium (EMMONS dkk.,1970). 93. Bentuk khas tinea korporis yang
disebabkan oleh trichophyton concentricum disebut tinea imbrikata.
Penyakit ini terdapat di berbagai daerah tertentu di indonesia
misalnya, di Kalimantan, Sulawesi, Irian Barat, Kepulauan Aru dan
Kei dan Sulawesi Tengah, juga di Pulau Jawa. BUDI MULJA dkk.,(1970)
telah melaporkan tentang 97 kasus yang ditemukanya pada peninjauan
ke daerah Tangerang, Jawa Barat. Di poliklinik kota-kota besar
penyakit ini jarang dijumpai (HUTAPEA dkk.,1970). Tinea imbrikata
mulai dengan bentuk papul berwarna coklat, yang perlahan-lahan
menjadi besar. Stratum korneum bagian tengah ini terlepas dari
dasarnya dan meleber. Proses ini, setelah beberapa waktu mulai lagi
dari bagian tengah, sehingga terbentuk lingkaran-lingkaran skuama
yang konsentris. Bila dengan jari tangan kita meraba dari bagian
tengah, sehingga terbentuk lingkaran-linkaran skuama yang
konsentris. Bila dengan jari kita merambah dari bagian tengah
kearah luar, akan terasa jelas skuama yang meghadap kedalam
lingkaran-lingkaran skuama konsentris bila menjadi besar dapat
bertemu dengan linkaran-lingkaran disebelahnya sehingga membentuk
pinggir yang polisiklik. Pada permulaan infeksi penderita dapat
merasa sangat gatal akan tetapi kelainan yang menahun tidak
menimbulkan keluhan pada penderita. Pada kasus menahun lesi kulit
kadang-kadang dapat menyerupai iktiosis. Kulit kepala penderita
dapat terserang akan tetapi rambut biasanya jarang. Tinea unguium
juga sering menyertai penyakit ini (CONANT dkk., 1971;BEARE
dkk.,1972 dan CASTELANI 1913) 94. Bentuk lain tinea korporis yang
disertai kelainan pada rambut adalah tinea favosa atau favus.
Penyakit ini biasanya dimulai di kepala sebagai titik kecil di
bawah kulit yang bewarna merah kuning dan berkembang menjadi krusta
berbentuk cawan (skutula) dengan berbagai ukuran. Krusta tersebut
biasanya ditembus oleh satu atau dua rambut dan bila krusta
diangkat terlihat dasar yang cekung merah dan membasah. Rambut
kemudian tidak berkilat lagi dan akhirnya terlepas. Bila tidak
diobati, penyakit ini meluas ke seluruh kepala dan meninggalkan
parut dan botak. Berlainan dengan tinea korporis, yang disebabkan
oleh jamur lain, favus tidak mneyembuh pada usia akil baligh .
biasanya dapat tercium bau tikus ( mousy odor ) pada penderita
pavus. Kadang kadang penyakit ini dapat menyerupai dermatitis
seboroika ( EMMONS dkk 1970 : CONANT dkk 1971 : LEWIS dkk 1958 ).
Tinea favosa pada kulit dapat dilihat sebagai kelainan kulit
papulovesikel dan papuloskuamosa disertai kelainan kulit berbentuk
cawan yang khas yang kemudian menjadi jaringan parut. Favus pada
kuku tidak dapat dibedakan dengan tinea unguium pada umumnya, yang
disebabkan oleh spesies dermatofita yang lain (CONANT dkk 1971).
Tiga spesies dermatofita dapat menyebabkan favus, yaitu trichopyton
schoenlaini, trichopyton violaceum, dan microsporum gypseum.
Beratringan bentuk klinis yang tanpak tidak bergantung pada spesies
jamur penyebab, akan tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh tingkat
kebersihan, umur, dan ketahahnan penderita sendiri (EMMONS dkk 1970
; CONANT dkk 1971 ). Penyakit ini di indonesia jarang sekali
terlihat. Beberapa kali pernah dilaporkan kasus yang berasal dari
luar negeri (SUTOMO,1924 dan DEVRIEZE 1924) 9 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dengan kerokan kulit dengan KOH 10-20%
sangatlah dianjurkan bila positif memperlihatkan elemen jamur
berupa hifa panjang dan artrospora. Sediaan basah dibuat dengan
meletakkan bahan diatas bahan alas (objek glass), kemudian ditambah
1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH untuk sediaan rambut
adalah 10% dan untuk kulit dan kuku 20%. Setelah sediaan dicampur
dengan larutan KOH, ditunggu 15-20 menit hal ini diperlukan untuk
melarutkan jaringan. Untuk mempercepat proses pelarutan dapat
dilakukan pemanasan sediaan basah diatas api kecil. Pada saat mulai
keluar uap dari sediaan tersebut, pemanasan dihentikan. Bila
terjadi penguapan, maka akan terbentuk kristal KOH, sehingga tujuan
yang diinginkan tidak tercapai. Untuk melihat elemen jamur lebih
nyata dapat ditambahkan zat warna pada sediaan KOH, misalnya tinta
Parker superchroom blue black. Perlunya pemeriksaan ini juga untuk
menentukan kapan dihentikannya terapi, yaitu bila saat pemeriksaan
kerokan KOH dilakukan sudah negatif. Pemeriksaan dengan pembiakan
diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah dan
untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
menanamkan bahan klinis pada media buatan yaitu medium agar
dekstrosa sabouraud.
Gambar hifa panjang pada pemeriksaan mikroskopis dari bagian
tepi lesi dalam KOH 10%.
Kasus: Keluhan utama pasien datang sesuai dengan teori yaitu :
keluhan ada bercak kemerahan dan terasa gatal di kaki kiri sejak 3
bulan SMRS. Ketika perjalanan penyakitnya ditelusuri juga sesuai
dengan teori, didapatkan 3 bulan SMRS os mengeluh timbul bercak
kemerahan berbentuk lingkaran kecil sebesar koin Rp. 25,- di kaki
kirinya. Bercak tersebut terasa gatal sehingga os menggaruk bercak
tersebut. Ketika digaruk, bercak tersebut semakin melebar dan
menimbulkan bercak-bercak baru yang tidak beraturan. Gatal akan
semakin terasa jika os keringatan, mencuci pakaian, setelah mandi,
dan di malam hari. Sebaliknya, os merasa gatalnya berkurang jika di
sekitar bercak dalam keadaan kering.Pemeriksaan fisik dan
dermatologi didapatkan efloresensi yang sesuai dengan teori : Regio
cruris inferior medial sinistra terdapat papul eritematosa, 0,5 cm
1 cm, anular, sirkumskrip, diskret, tepi aktif berupa skuama
pitiriasiformis warna putih konfluens.Regio cruris inferior lateral
sinistra terdapat makula eritematosa, 0,3-0,5 cm, anular,
sirkumskrip, diskret. Regio cruris dekstra terdapat makula
eritematosa, 0,5- 1 cm, anular, sirkumsrip, diskret. Pemeriksaan
penunjang didapatkan jamur (+), hifa (+). Oleh karena itu, dapat
disimpulkan, os dalam kasus ini menderita tinea corporis.
Tinea kruris Manifestasi klinis tinea kruris adalah rasa gatal
pada daerah lipat paha, genital, sekitar anus dan daerah perineum.
Ruam kulit berbatas tegas, eritematosa dan bersisik, semakin hebat
jika banyak berkeringat.8,9Pada pemeriksaan kulit lokalisasi
meliputi regio inguinal bilateral, simetris. Meluas ke perineum,
sekitar anus, intergluteal smpai ke gluteus. Dapat pula meluas ke
suprapubis dan abdomen bagian bawah. Sedangkan untuk efloresensinya
terdiri atas macam-macam bentuk yang primer dan sekunder
(polimorfik) meliputi makula eritematosa numular, berbatas tegas
dengan tepi lebih aktif terdiri dari papula atau pustul. Bila
kronik makula menjadi hiperpigmentasi dengan skuama
diatasnya.8,9Bagian tengah menyembuh berupa daerah coklat kehitaman
bersisik. Lesi aktif, polisiklik, ditutupi skuama dan kadang-kadang
disertai dengan banyak vesikel kecil-kecil. Biasanya disertai rasa
gatal dan kadang-kadang rasa panas. Garukan terus-menerus dapat
menimbulkan gambaran penebalan kulit. Apabila kelainan menjadi
menahun maka efloresensi yang nampak hanya macula yang
hiperpigmentasi disertai skuamasi dan likenifikasi.8,9
Kasus : Dua bulan setelah keluhan tersebut muncul, os mengatakan
bahwa bercak kemerahannya juga timbul di pantat. Os lupa bercak
timbul terlebih dahulu di bagian pantat sebelah mana. Os mengatakan
kalau bercak kemerahan di pantat awalnya kecil, lebih merah dari
yang sekarang dan terasa gatal. Karena bercak tersebut gatal, os
sering menggaruk-garuknya sehingga bercak semakin melebar dan
semakin gatal. Gatal akan semakin terasa jika os keringatan,
mencuci pakaian, setelah mandi, dan di malam hari. Sebaliknya, os
merasa gatalnya berkurang jika di sekitar bercak dalam keadaan
kering.Pemeriksaan status dermatologis pada regio inguinalis
bilateral meluas ke perineum, sekitar anus, intergluteus sampai ke
gluteus terdapat plak eritema sebagian hitam, polisiklik,
sirkumskrip, ukuran 18 x 10 x 0,1 cm - 18 x 12 x 0,1 cm, tepi aktif
berupa papul eritema sebagian kehitaman, konfluens ditutupi skuama
kutikular, warna putih. Regio femoris posterior dekstra terdapat
makula eritematosa, polisiklik, sirkumskrip, ukuran 8 x 7 cm, tepi
aktif ditutupi skuama pitiriasiformis. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan diagnosis pada kasus ini adalah tine korporis et
kruris. Pada kasus ini, diagnosis bandingnya adalah : eritrasma,
kandidiasis, psoriasis, pitiriasis rosea, neurodermatitits
sirkumskripta. Untuk membedakannya dengan tinea korporis dan kruris
terlihat sebagai berikut : 1. Eritrasma : batas lesi tegas, jarang
disertai infeksi, fluoresensi merah bata yang khas disinari dengan
sinar wood. 2. Kandidiasis: lesi relatif lebih basah, berbatas
jelas disertai lesi-lesi satelit. 3. Psoriasis: skuama lebih tebal
dan berlapis-lapis.4. Pitiriasis rosea: gambaran makula eritematosa
dengan tepi sedikit meninggi, ada papula, skuama. Diameter panjang
lesi menuruti garis kulit. 5. Neurodermatitis sirkumsripta: makula
eritematosa berbatas tegas terutama pada daertah tengkuk, lipat
lutut, dan lipat siku.
Penatalaksanaan berdasarkan teori :Secara umum, pengobatan tinea
korporis ataupun kruris adalah sama. Penatalaksanaan umum :
Meningkatkan kebersihan badan. Menghindari pakaian yang tidak
menyerap keringat. Penatalaksanaan khusus : A.
Sistemik10Antimikotik a. Griseofulvin Griseofulvin bersifat
fungistik dan bekerja hanya terhadap dermatofit. Dosis 0,5-1 gram
untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 gram untuk anak-anak sehari atau
10-25 mg/kgBB, dosis tunggal atau terbagi dan absorbsi meningkat
bila diberikan bersama makanan berlemak. Griseovulfin lebih bagus
diberikan untuk infeksi dermatofitosis kulit, kulit kepala, rambut
dan kuku, bila terapi topikal gagal. Selain itu, efektif dalam
mengatasi infeksi dermatofit yang meluas dan sulit diobati, namun
penggunaannya telah banyak digantikan oleh anti jamur yang lebih
baru, terutama pada infeksi kuku. Obat ini merupakan pilihan utama
pada infeksitrichophytonpada anak. Lama terapi tergantung pada
tempat infeksi dan dapat berlangsung selama berbulan-bulan.
b. Golongan azolKetokonazol efektif untuk dermatofitosis dan
diabsorbsi lebih baik dibanding imidazol lainnya. Pada kasus-kasus
yang resisten terhadap griseovulfin, obat tersebut dapat diberikan
200 mg per hari selama 10 hari - 2 minggu pada pagi hari setelah
makan. Kontraindikasi untuk gangguan hati.Itrakonazol merupakan
derivat tiazol yang berspektrum aktivitas in vitro luas dan
bersifat fungistatik. Dosis 100 mg per hari selama 2 minggu.
Sebagai pengganti ketokonazol yang mempunyai sifat hepatotoksik
terutama bila diberikan lebih dari sepuluh hari.
c. Derivat alilaminTerbinafin digunakan per oral, efektif untuk
dermatofitosis, dan bersifat fungisidal tetapi tidak efektif untuk
kandida. Dosis dewasa umumnya 250 mg/hari. Terbinafin merupakan
obat pilihan untuk infeksi jamur pada kuku dan juga untuk mengatasi
kurap.
Kasus Obat sistemik yang diberikan pada kasus ini adalah obat
oral ketokonazol 200 mg/hari, 1 x 1, selama 10 hari, pada pagi hari
setelah makan. Obat ini diberikan sesuai dengan tinjauan pustaka
yaitu efektif untuk dermatofitosis dan lebih mudah diabsorbsi
dibanding imidazol lainnya. Selain itu, jika dibandingkan dengan
griseofulvin obat ini efeknya lebih baik dan lebih terbaru.
Diberikan cukup 10 hari karena diharapkan efek terapi telah terjadi
dalam 10 hari dan mencegah terjadinya efek samping hepatotoksik
jika diberikan lebih dari 10 - 14 hari.
Antihistamin11 Untuk mengurangi rasa gatalnya diberikan
antihistamin antagonis H1 generasi kedua yaitu cetirizin 10 mg, 1 x
1, selama 10 hari. Berdasarkan teori, untuk mengurangi rasa gatal
pemberian antihistamin sangat diperlukan. Pemberian antihistamin
yang digunakan adalah antihistamin golongan antagonis H1. Antagonis
H1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitifitas atau keadaan
lain yang disertai pelepasan histamin endogen berlebihan. Antagonis
H1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Efek samping yang
kadang-kadang terlihat biasanya ialah insomnia, gelisah dan
eksitasi. Selain itu, antagonis H1 berguna untuk mengobati alergi
tipe eksudatif akut misalnya pada urtikaria. Efeknya bersifat
paliatif, membatasi dan menghambat efek hisatamin yang dilepaskan
sewaktu reaksi antigen-antibodi terjadi. Antihistamin H1 generasi
pertama pada ummnya menimbulkan efek samping sedasi dan mempunyai
efek seperti senyawa kolinergik dan adrenergik yang tidak
diinginkan. Contoh anthistamin antagonis h1 generasi pertama adalah
klofeniramin maleat. Oleh karena itu, dikembangkan antagonis h1
generasi kedua, seperti cetirizin HCl dan loratadi. Antihistamin h1
yang ideal adalah bila memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Senyawa
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor h1.2. Tidak
menimbulkan efek sedasi. 3. Afinistas rendah terhadap reseptor
kolinergik dan adrenergik.
Generasi pertama seperti golongan kloreniramin maleat biasanya
menimbulkan rasa kantuk yang hebat serta memiliki dampak kurang
nyaman pada pasien seperti jantung berdebar-debar. Berbeda dengan
antihistamin generasi pertama, anthistamin generasi terbaru umumnya
bersifat mengurangi efek sedasi dan sebagian lagi bersifat
antiinflamasi ringan. Antihistamin generasi kedua seperti Cetirizin
HCL dan loratadin lebih sedikit menimbulkan efek sedasi pada pasien
dibandingkan generasi pertama. Selain itu, antihistamin generasi
kedua ini tidak menimbulkan rasa berdebar-debar dan penggunaannya
cukup sekali sehari. Cetirizin relatif lebih aman diberikan jangka
panjang, mengingat obat antihistamin diberikan jika diperlukan
saja. Cetirizin menurunkan gejala urtikaria berupa bentol-bentol
kemerahan lebih besar dibandingkan dengan Loratadin. Pengurangan
bentol-bentol dengan Cetirizin mencapai 95% dibandingkan 70% dengan
Loratadin. Sedangkan kemerahan berkurang 90% dengan pemberian
Cetirizin dibandingkan dengan 62% pemberian Loratadin. Oleh karena
itu, berdasarkan kasus, pemberian Cetirizin untuk mengurangi rasa
gatal sudah sesuai dengan tinjauan kepustakaan di atas.
2. Topikal10a. Bahan keratolitikYaitu bahan yang meningkatkan
eksfoliasi stratum korneum. Misalnya salep Whitefield mengandung
asam salisilat 3 %, asam benzoat 6 % dalam petrolatum, dikatakan
efektif bagi tinea pedis, cruris, dan corporis dan asam undesilenat
krim dan bedak 3 %. Asam salisilat pada konsentrasi rendah (1 2 %)
berefek keratoplastik, konsentrasi tinggi (3 20 %) berefek
keratolitik dan dipakai pada keadaan dermatosis yang hiperkeratotik
dan pada konsentrasi sangat tinggi (40 %) dipakai untuk kelainan -
kelainan yang dalam. Asam salisilat berkhasiat fungisid terhadap
banyak fungi pada konsentrasi 3 6 % dalam salep, selain itu
berkhasiat bakteriostasis lemah. Asam salisilat tidak dapat
dikombinasikan dengan seng oksida karena akan terbentuk garam seng
salisilat yang tidak aktif. Asam benzoat mempunyai sifat antiseptik
terutama fungisidal. Salep Whitefield dapat juga berguna untuk
pengobatan topikal pada tinea kruris, tinea unguium dan tinea
korporis. Asam undesilenat dalam bentuk cairan dapat digunakan pada
tinea unguium.b. Golongan imidazolUmumnya senyawa imidazol ini
berkhasiat fungistatis dan pada dosis tinggi bekerja fungisid
terhadap fungi tertentu. Imidazol memiliki efektivitas klinis yang
tinggi dengan angka kesembuhan berkisar 70 100 %. Mekanisme
kerjanya dengan menghambat sintesis ergosterol, suatu unsur penting
untuk integritas membran sel. Golongan imidazol meliputi :
a) MikonazolDerivat mikonazol ini berkhasiat fungisid kuat
dengan spektrum kerja lebar sekali. Lebih aktif dan efektif
terhadap dermatofit biasa dan kandida daripada fungistatika
lainnya. Zat juga bekerja bakterisid pada dosis terapi terhadap
sejumlah kuman Gram positif kecuali basil-basil Doderlein yang
terdapat dalam vagina. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak
diberikan sebanyak 2 kali sehari selama 4 minggu dalam bentuk krim
2 %, bedak kocok ataupun bedak. Penderita tinea pedis dewasa dan
anak-anak diberikan sebanyak 2 kali sehari selama 2 6 minggu dalam
bentuk krim 2 % atau bedak kocok. Jika menggunakan bedak, maka
cukup ditaburkan 2 kali sehari selama 2 4 minggu MIMS tahun 2005
menyebutkan contoh nama merk dagang obat mikonazol yaitu micoskin,
mexoderm dan daktarin.
b) KlotrimazolDerivat imidazol ini memiliki spektrum fungistatis
yang relatif lebih sempit daripada mikonazol. Pada konsentrasi
tinggi, zat ini juga berdaya bakteriostatis terhadap kuman Gram
positif. Penderita tinea pedis dan tinea korporis dewasa diberikan
sebanyak 2 kali sehari selama 2 6 minggu dalam bentuk krim 1 % atau
solusio, sedangkan pada anak-anak tidak tersedia. Penderita tinea
kruris dewasa dan anak-anak diberikan sebanyak 2 kali sehari selama
4 minggu dalam bentuk krim 1 %, solusio ataupun bedak kocok. MIMS
tahun 2005 menyebutkan contoh nama merk dagang obat klotrimazol
yaitu canesten, lotremin dan fungiderm c). KetokonazolKetokonazol
adalah fungistatikum imidazol pertama yang digunakan per oral
(1981). Spektrum kerjanya mirip dengan mikonazol dan meliputi
banyak fungi patogen. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak
dioleskan sebanyak 2 kali atau 4 kali sehari selama 2 4 minggu
dalam bentuk krim 1 %. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak
dioleskan sebanyak 2 kali atau 4 kali sehari selama 2 4 minggu
dalam bentuk krim 2 %. Penderita tinea korporis dewasa dan
anak-anak dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2 minggu dalam
bentuk krim 2 % MIMS tahun 2005 menyebutkan contoh nama merk dagang
obat ketokonazol yaitu formyco, nizoral dan mycozid.
C. Golongan alliaminAlliamin bekerja menghambat allosterik dan
enzim jamur skualen 2, 3 epoksidase sehingga skualen menumpuk pada
proses pembentukan ergosterol membran jamur yaitu aftifine 1 %,
butenafine 1 %, terbinafine 1 % (fungisidal) yang mampu bertahan
hingga 7 hari sesudah pemakaian selama 7 hari berturut turut.
Kasus Berdasarkan teori di atas, obat topikal yang diberikan
adalah salep yang terbuat dari antimikotik ketokonazol 2% dalam pot
dicampur mikonazol 2%, ditambah asam salisilat 3% dioleskan 3 kali
sehari di tempat yang sakit. Alasan diberikan salep ini adalah
ketokonazol kerjanya mirip dengan mikonazol dan meliputi banyak
fungi patogen berkhasiat fungisid kuat dengan spektrum kerja lebar
sekali. Selain itu, obat ini lebih aktif dan efektif terhadap
dermatofit biasa dan kandida daripada fungistatika lainnya. Zat
juga bekerja bakterisid pada dosis terapi terhadap sejumlah kuman
Gram positif kecuali basil-basil Doderlein yang terdapat dalam
vagina. Oleh karena itu, jika dikombinasi diharapkan dapat
mengatasi keluhan os yang sudah kronik dan berulang. Dalam salep
ini juga ditambahkan asam salisilat yang berfungsi sebagai
keratolitik dan juga berkhasiat sebagai fungisid terhadap banyak
fungi pada konsentrasi 3 6 % dalam salep, selain itu berkhasiat
bakteriostasis lemah.
Pada kasus ini tidak diberikan antibiotik. Hal ini dikarenakan,
dari tinjauan pustaka diketahui bahwa antibiotik hanya diberikan
jika ada tanda-tanda infeksi sekunder. Pada kulit jika timbul
infeksi sekunder, maka ruam pada kulit akan menjadi polimorf
(pustul, eskoriasi, dan lain-lain) dan disertai demam ataupun
pembesaran kelenjar getah bening. Antibiotik bisa diberikan topikal
ataupun oral. Umumnya diberikan golongan penisilin dan turunannya.
Oleh karena itu, pada kasus ini tidak diberikan antibiotik sudah
sesuai dengan tinjauan pustaka.
Prognosis tinea korporis dan kruris berdasarkan teori adalah
Jika ditatalaksana dengan baik, prognosis pada kasus ini quo ad
vitam, fungisonam, sanationam adalah dubia ad bonam. Pada kasus ini
juga berlaku hal yang sama, jika pasiennya melakukan edukasi yang
dianjurkan dan menggunakan obat dengan tepat prognosis pada kasus
ini quo ad vitam, fungisonam, sanationam adalah dubia ad bonam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Goedadi M, Suwito PS. Tinea Korporis dan Tinea Kruris. In :
Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P,
editors. Dermatomikosis Superfisialis, 2nd Ed. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2004, p : 31-35 2. Adiguna MS. Epidemiologi
Dermatomikosis di Indonesia. In : Budimulja U, Kuswadji, Bramono K,
Menaldi SL, Dwihastuti P, editors. Dermatomikosis Superfisialis,
2nd Ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2004, p : 1-6 3. Register
Pasien Poliklinik Kulit dan Kelamin Divisi Mikologi RS Sanglah
Denpasar 2008 4. Kuswadji, Budimulja U. Penatalaksanaan
Dermatofitosis di Indonesia. MDVI 1997;24(1):36-39 5. Hainer BL.
Dermatophyte Infections. Am Fam Physician 2003;67(1):101-108 6.
Nugroho SA, Siregar RS. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Mikosis
Superfisialis. In : Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL,
Dwihastuti P, editors. Dermatomikosis Superfisialis, 2nd Ed.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2004, p: 99-107 7. Frey D, Oldfield
RJ, Bridger RC. Trichophyton tonsurans. In : A Colour Atlas of
Pathogenic Fungi, 2nd Ed. Holland : Smeets-Weert, 1981, p : 64-65
8. Djuanda A dkk.:Hamzah M dkk, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2009. hal. 95-99.9. Siregar R. S Atlas Berwarna Saripati
Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2004. hal. 13-15.10.
Nafrialdi, Setawati A. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI;
200711. Jauregui I Ferrer M, Montoro J, Davila I, Batra J, Del C A,
et al. Antihistamin in the treatment of chronic urticaria. J
investig Allergolclin Immunol. 2007; 17 Suppl 2:41-52.2