BAB IPENDAHULUAN
Impetigo adalah penyakit kulit superfisial yang disebabkan
infeksi piogenik oleh bakteri Gram positif. Impetigo lebih sering
terjadi pada usia anak-anak walaupun pada orang dewasa dapat
terjadi. Penularan impetigo tergolong tinggi, terutama melalui
kontak langsung. Individu yang terinfeksi dapat menginfeksi dirinya
sendiri atau orang lain setelah menggaruk lesi. Infeksi seringkali
menyebar dengan cepat di sekolah, tempat penitipan anak atau pada
tempat dengan hygiene buruk atau juga tempat tinggal yang padat
penduduk1-4Insiden impetigo ini terjadi hampir di seluruh dunia.
Paling sering mengenai usia 2-5 tahun, umumnya mengenai anak yang
belum sekolah, namun tidak menutup kemungkinan untuk semua umur
dimana frekuensi laki-laki dan wanita sama. Di Indonesia penyakit
kulit menempati urutan ke-3 setelah infeksi saluran napas dan
diare. Walaupun dapat mengenai semua orang, beberapa kelompok
tertentu yang memiliki faktor predisposisi akan rentan terhadap
penyakit infeksi kulit. Penyebaran penyakit ini dipengaruhi oleh
berbagai faktor, antara lain status imun pejamu, kuman penyebab,
penyakit kulit lain yang menyertai, dan higiene. Data jumlah
kunjungan pasien ke poliklinik Divisi Dermatologi Anak Departemen
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia / RS dr Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM) selama
tahun 2001 menunjukkan pasien pioderma anak sebesar 362 kasus
(18,53%) dari 2190 kunjungan baru. Penyakit ini menempati urutan
ke-2 setelah dermatitis atopik. Sedangkan pada tahun 2002 terdapat
328 kasus (16,72%) dari 1962 kunjungan baru dengan kasus impetigo
krustosa (15,0%). 5 Kebanyakan kasus ditemukan di daerah tropis
atau beriklim panas serta pada negara-negara yang berkembang dengan
tingkat ekonomi masyarakatnya masih tergolong lemah atau
miskin.3Tempat predileksi tersering pada wajah terutama sekitar
mulut dan hidung, pada ketiak, dada serta punggung. Gambar an
klinisnya berupa vesikel, bula atau pustul yang apabila pecah
membentuk krusta tebal kekuningan seperti madu atau berupa koleret
di pinggirnya.3Terapi umumnya berupa medikamentosa dan non
medikamentosa dengan prinsip tetap menjaga higiene tubuh penderita
agar tidak mudah terinfeksi penyakit kulit. Prognosis umumnya baik.
Impetigo umumnya sembuh tanpa penyulit dalam 2 minggu apabila
diobati secara teratur. Dalam case report session ini diketahui
seorang anak berusia 2 tahun delapan bulan yang menderita penyakit
impetigo krustosa. Diharapkan makalah ini dapat membantu dokter
umum dalam menegakkan diagnosis, mengobati penyakit ini dengan baik
dan mengedukasi pasien dengan benar sehingga penyakit ini tidak
menyebabkan komplikasi lain yang serius.
BAB IILAPORAN KASUS
Alloanamnesis dengan ibu kandung pasien pada tanggal 19 Februari
2015 pukul 10.30 WIB di poliklinik kulit dan kelamin RSUD Raden
Mattaher Jambi.
Seorang An. H laki-laki usia 2 tahun delapan bulan, Alamat di
Kenali Asam Bawah Kota Jambi, dibawa oleh ibunya dengan keluhan
timbul berupa koreng dan terasa gatal dibagian sekitar hidung,
ujung bibir bagian kiri, dan dagu bagian kanan atas sejak 7 hari
SMRS. Ketika ditelusuri perjalanan penyakitnya didapatkan sejak 7
hari SMRS, pada kulit hidung timbul koreng yang mengering berwarna
kekuningan yang mula-mulanya timbul disekitar area lubang hidung.
Ibu pasien juga mengat akan bahwa pasien sering menggaruk-garuk
kulitnya karena gatal. Koreng yang terbentuk ada yang mengering dan
sebagian ada yang berisi cairan. Ibu pasien tidak mengeluhkan
adanya demam pada pasien. Semenjak koreng ini muncul, pasien
menjadi lebih rewel dari biasanya, dan sulit tidur. 5 hari SMRS,
ibu pasien mengatakan koreng ini semakin bertambah banyak di
sekitar ujung sudut bibir kiri dan kebagian dagu kanan atas.
Kemudian Ibu pasien membawa pasien berobat ke Puskesmas dan
diberikan obat antibiotik ampicilin dan salep asiklovir serta obat
racikan (Ibu pasien tidak tahu isi racikan obatnya). Setelah
menggunakan obat tersebut ibu pasien mengatakan koreng yang timbul
semakin meluas disekitar lubang hidung hingga ke bagian pipi, serta
jumlahnya bertambah banyak. Ukurannya pun ada yang menjadi lebih
besar. Ibu pasien juga mengatakan keluhan pasien tidak berkurang
juga, koreng disekitar sudut bibir kiri ukurannya semakin menjadi
lebih besar dan dibagian dagu kulitnya terkelupas, sehingga Ibu
pasien membawa pasien ke Puskesmas kembali untuk kontrol, dan
dirujuk ke poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Raden Mattaher
Jambi.Berdasarkan riwayat penyakit dahulunya, menurut orang tua
pasien keluhan ini merupakan keluhan pertama yang dialami oleh
pasien namun pasien 2 minggu yang lalu ada riwayat campak. Riwayat
gigitan serangga disangkal, riwayat memiliki hewan peliharaan
disangkal.Berdasarkan riwayat penyakit keluarga, tidak terdapat
anggota keluarga yang juga menderita keluhan yang sama seperti
pasien. Penderita adalah anak kedua di keluarganya, belum
bersekolah, disekitar lingkungan rumah tidak ada temannya yang
mengalami keluhan seperti pasien. Riwayat kebiasaan pasien biasanya
mandi teratur 2x sehari, pagi dan sore hari dengan menggunakan
sabun mandi. Namun sejak sebelumnya pasien mengalami campak
ditambah lagi setelah keluhan ini muncul pasien lebih jarang
dimandikan, hanya diseka dengan kain lap basah 1x sehari. Pasien
juga mengganti pakaiannya 2x sehari setelah mandi dan menggunakan
handuk sendiri. Selain itu juga pasien jarang mencuci tangannya,
setelah bermain dengan teman-temannya. Pada pemeriksaan fisik
status generalis dijumpai keadaan umum pasien baik, tampak sakit
ringan, kesadaran komposmentis, tekanan darah tidak dilakukan ,
nadi 105x/menit, suhu 37,10 C, respirasi tidak dapat dievaluasi
(pasien tidak kooperatif), berat badan 12,5 kg, tinggi badan 79 cm,
status gizi normal. Pada pemeriksaan fisik, dimulai dari kepala
diperoleh bentuknya normocephal, penyebaran rambut merata, pada
mata konjungtiva tidak anemis kanan-kiri, sklera tidak ikterik
kanan-kiri, pupil isokor-kanan kiri. Pada pemeriksaan bagian THT,
Hidung : septum deviasi tidak ada, sekret sulit dinilai, tampak UKK
(ujud kelainan kulit) pada permukaan kulit disekitar lubang hidung.
Mulut : bibir kering tidak ada, karies dentis tidak ada, faring
hiperemis tidak ada, tampak UKK pada daerah sekitar ujung bibir
kiri dan dagu kanan atas. Telinga : tanda radang tidak ada, sekret
tidak ada, leher deviasi tidak ada, pembesaran tiroid tidak ada,
pembesaran kelenjar getah bening tidak ada. Pada pemeriksaan
thorak, pemeriksaan inspeksi: bentuk normal, gerak nafas simetris,
palpasi : diperoleh stem femitus simetis kanan kiri, perkusi :
tidak di lakukan (tidak kooperatif, kemudian diauskultasi terdapat
suara vesikuler normal dan tidak ditemukan bunyi suara tambahan.
Sedangkan pada jantung, inspeksi iktus kordis tidak terlihat dan
thrill tidak teraba, aukultasi bunyi jantungnya I-II reguler, tidak
ditemukan suara tambahan. Tidak didapatkan efloresensi pada dinding
dada. Pada pemeriksaan abdomennya diperoleh datar, soepel, BU (+)
normal, tidak ditemukan nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba,
perkusi didapatkan timpani dan tidak terdapat efluoresensi. Pada
pemeriksaan ekstremitas superior dan inferior akralnya hangat,
edema tidak ada, dan kekuatan motorik normal. Pada pemeriksaan
genitalia tidak dilakukan. Pemeriksaan status dermatologis pada
regio hip (puncak hidung) terdapat krusta kuning kecoklatan, ukuran
numular, bentuk tidak teratur, berbatas tidak tegas, dan penyebaran
diskret sebagian konfluen, diameter 2x1 cm, sebagian kering dan
sebagian basah. Regio columella nasi : terdapat erosi, ukuran
lenticular, berbentuk anular, sirkumskrip, berkonfluens dengan lesi
yang lain, serta pada bagian atas lesi terdapat krusta tipis
berwarna kekuningan. Regio pipi central kanan terdapat krusta
eritem simetrik, ukuran lentikuler, bentuk tidak teratur,
sirkumskrip, dan penyebaran irisformis, diameter 2x1 cm. Regio pipi
central kiri terdapat krusta eritem, ukuran lentikuler, bentuk
tidak teratur, berbatas tidak tegas, dan penyebaran konfluen,
diameter 1x1 cm. Regio sudut bibir kiri terdapat erosi unilateral,
ukuran numular, bentuk teratur, sirkumskrip, dan penyebaran
konfluen, diameter 0,5x 0,5 cm. Regio dagu kanan atas terdapat
krusta eritem unilateral, ukuran miliar, bentuk tidak teratur,
berbatas tidak tegas, dan penyebaran diskret, diameter 0,3x1 cm.
Pada bagian pinggir erosi terdapat skuama pitiariformis berwarna
putih.
Dokumentasi pemeriksaan
Diagnosis banding pada kasus ini impetigo krustosa, ektima,
dermatitis seboroik dengan infeksi sekunder dan pemfigus vulgaris.
Diagnosis kerja pada kasus ini adalah impetigo krustosa.
Penatalaksanaan secara umum kasus ini adalah edukasi pada pasien
dengan cara mandikan anak dengan bersih menggunakan sabun dan pada
air mengalir, cegah anak untuk menggaruk daerah lecet (tutup daerah
yang lecet dengan perban tahan air dan memotong kuku anak), kompres
dengan menggunakan larutan NaCl 0,9% dan selalu menjaga kebersihan.
Berikan terapi medikamentosa berupa antibiotic topical Mupirocin
tiga kali sehari dan dikarenakan krusta yang timbul banyak,
dicurigai infeksi meluas maka diberikan juga terapi sistemik berupa
Amoksisillin dengan dosis anak: 7,5-25 mg/Kg/dosis 3 x sehari.
Terapi tersebut untuk mengobati infeksi, mencegah penularan,
menghilangkan rasa tidak nyaman dan mencegah terjadinya kekambuhan.
Pemberian mupirocin di indikasikan pada infeksi kulit primer akut
seperti impetigo, selain itu penggunaan mupirocin topikal jauh
lebih unggul dalam mempercepat penyembuhan pasien impetigo dan
mupirocin topikal memiliki sedikit kegagalan.13 Sementara pemberian
amoksisilin merupakan pilihan pertama (Golongan Lactam) yang
termasuk golongan penicilin (bakterisid) yang memiliki sifat
absorbsi pada saluran cerna lebih baik dari golongan penicilin
lainnya.14Prognosa pada kasus ini Quo ad vitam, fungsionam, dan
sanationam adalah dubia ad bonam.
BAB IIIPEMBAHASAN
Seorang An. H laki-laki usia 2 tahun delapan bulan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan dermatologis menderita penyakit
impetigo krustosa, ektima, dermatitis seboroik dengan infeksi
sekunder dan pemfigus vulgaris, kemungkinan menderita penyakit
gangguan kulit dan lebih cenderung mengalami penyakit impetigo
krustosa. Impetigo merupakan penyakit infeksi menular pada kulit
yang sering dijumpai di bagian Penyakit Kulit dan Kelamin. Dapat
mengenai semua umur, namun umumnya menyerang anak-anak usia 2-5
tahun.1,2 Penyakit ini bukanlah penyakit yang serius dan umunya
sembuh tanpa penyulit dalam 2 minggu apabila diobati secara
teratur.3Diagnosis impetigo krustosa pada kasus ini didapat dari
anamnesis bahwa keluhan timbul berupa koreng dan terasa gatal
dibagian sekitar lubang hidung, ujung bibir bagian kiri, dan dagu
bagian kanan atas sejak 7 hari SMRS. Ketika ditelusuri perjalanan
penyakitnya didapatkan sejak 7 hari SMRS, pada kulit hidung timbul
koreng yang mengering berwarna kekuningan yang mula-mulanya timbul
disekitar area lubang hidung. Ibu pasien juga mengatakan bahwa
pasien sering menggaruk-garuk kulitnya karena gatal. Koreng yang
terbentuk ada yang mengering dan sebagian ada yang berisi cairan.
Ibu pasien tidak mengeluhkan adanya demam pada pasien. Semenjak
koreng ini muncul, pasien menjadi lebih rewel dari biasanya, dan
sulit tidur. Kemudian 5 hari SMRS, ibu pasien mengatakan koreng ini
semakin bertambah banyak di sekitar ujung sudut bibir kiri,
kebagian dagu kanan atas dan pipi.Hal ini sesuai dengan tinjauan
pustaka bahwa gejala klinis impetigo krustosa terdapat tempat
predileksi tersering yaitu di wajah, terutama sekitar lubang hidung
dan mulut, karena dianggap sumber infeksi dari daerah tersebut.
Tempat lain yang mungkin terkena, yaitu anggota gerak (kecuali
telapak tangan dan kaki), dan badan, tetapi umumnya terbatas,
walaupun penyebaran luas dapat terjadi. Kelainan kulit didahului
oleh makula eritematus kecil, sekitar 1-2 mm. Kemudian segera
terbentuk vesikel atau pustule yang mudah pecah dan meninggalkan
erosi. Cairan serosa dan purulen akan membentuk krusta tebal
berwarna kekuningan yang memberi gambaran karakteristik seperti
madu (honey colour). Lesi dapat meluas lebih dari 2 cm, biasanya
berkelompok dan sering konfluen meluas secara irreguler. Pada kulit
dengan banyak pigmen, lesi dapat disertai hipopigmentasi atau
hiperpigmentasi. Krusta pada akhirnya mengering dan lepas dari
dasar yang eritema tanpa pembentukan jaringan scar.1,4,5,8Selain
itu berdasarkan riwayat penyakit dahulunya, menurut orang tua
pasien keluhan ini merupakan keluhan pertama yang dialami oleh
pasien namun pasien 2 minggu yang lalu ada riwayat campak. Riwayat
gigitan serangga disangkal, dan riwayat memiliki hewan peliharaan
disangkal.Berdasarkan riwayat penyakit keluarga, tidak terdapat
anggota keluarga yang juga menderita keluhan yang sama seperti
pasien. Penderita adalah anak kedua di keluarganya, belum
bersekolah, disekitar lingkungan rumah tidak ada temannya yang
mengalami keluhan seperti pasien. Riwayat kebiasaan pasien biasanya
mandi teratur 2x sehari, pagi dan sore hari dengan menggunakan
sabun mandi. Namun sejak sebelumnya pasien mengalami campak
ditambah lagi setelah keluhan ini muncul pasien lebih jarang
dimandikan, hanya diseka dengan kain lap basah 1x sehari. Pasien
juga mengganti pakaiannya 2x sehari setelah mandi dan menggunakan
handuk sendiri. Selain itu juga pasien jarang mencuci tangannya,
setelah bermain dengan teman-temannya. Hal ini sesuai dengan
tinjauan pustaka bahwa Impetigo krustosa banyak terjadi pada musim
panas dan daerah lembab. Anak-anak prasekolah dan sekolah paling
sering terinfeksi. Pada usia dewasa, laki-laki lebih banyak
dibanding perempuan.2 Disamping itu, ada beberapa faktor yang dapat
mendukung terjadinya impetigo krustosa seperti : hunian padat,
higiene buruk, hewan peliharaan, keadaan yang mengganggu integritas
epidermis kulit seperti gigitan serangga, herpes simpleks,
varisela, abrasi, atau luka bakar.1,4,5 Namun, pada kasus ini
factor penyebab yang menimbulkan gejala pada pasien kemungkinan
besar karena higiene yang buruk akibat pasien jarang mandi dan
jarang mencuci tangan sehabis bermain, selain itu karena perubahan
cuaca juga dapat mempengaruhi timbulnya gejala yang dialami pada
pasien tersebut.Pada pemeriksaan fisik dan dermatologi pada kasus
ini didapatkan bahwa regio hip (puncak hidung) terdapat krusta
kuning kecoklatan, ukuran numular, bentuk tidak teratur, berbatas
tidak tegas, dan penyebaran diskret sebagian konfluen, diameter 2x1
cm, sebagian kering dan sebagian basah. Regio columella nasi :
terdapat erosi, ukuran lenticular, berbentuk anular, sirkumskrip,
berkonfluens dengan lesi yang lain, serta pada bagian atas lesi
terdapat krusta tipis berwarna kekuningan. Regio pipi central kanan
terdapat krusta eritem simetrik, ukuran lentikuler, bentuk tidak
teratur, sirkumskrip, dan penyebaran irisformis, diameter 2x1 cm.
Regio pipi central kiri terdapat krusta eritem, ukuran lentikuler,
bentuk tidak teratur, berbatas tidak tegas, dan penyebaran
konfluen, diameter 1x1 cm. Regio sudut bibir kiri terdapat erosi
unilateral, ukuran numular, bentuk teratur, sirkumskrip, dan
penyebaran konfluen, diameter 0,5x 0,5 cm. Regio dagu kanan atas
terdapat krusta eritem unilateral, ukuran miliar, bentuk tidak
teratur, berbatas tidak tegas, dan penyebaran diskret, diameter
0,3x1 cm. Pada bagian pinggir erosi terdapat skuama pitiariformis
berwarna putih.Hal ini sesuai dengan tinjauan pustaka bahwa
pemeriksan fisik dan dermatologi pada impetigo krustosa ditemukan
kelainan kulit berupa lesi awal yang dapat di lihat berupa eritema
dan vesikel, pustul dan meninggalkan erosi yang semakin cepat
berkembang menjadi plak krusta berwarna seperti madu yang di mana
ukuran nya bisa membesar > 2cm, pada daerah sekelilingnya bisa
di sertai dengan eritema. Setelah beberapa minggu kemudian hal
tersebut juga perlahan-lahan dapat menyebabkan area baru pada kulit
yang lainnya 1,2 Tempat predileksi tersering pada impetigo krustosa
adalah di wajah, terutama sekitar lubang hidung dan mulut, karena
dianggap sumber infeksi dari daerah tersebut. Tempat lain yang
mungkin terkena, yaitu anggota gerak (kecuali telapak tangan dan
kaki), dan badan, tetapi umumnya terbatas, walaupun penyebaran luas
dapat terjadi.4,6Berdasarkan kasus, pemeriksaan penunjang tidak
dilakukan karena keterbatasan alat dan kultur dilakukan bila
terdapat kegagalan pengobatan dengan terapi standar, dan biopsi
jarang dilakukan..Pada tinjauan pustaka, kultur dilakukan bila
terdapat kegagalan pengobatan dengan terapi standar. Biasanya
diagnosa dari impetigo dapat dilakukan tanpa adanya tes
laboratorium. Namun demikian, apabila diagnosis tersebut masih
dipertanyakan, tes mikrobiologi pasti akan sangat menolong.2,3
Dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pewarnaan Gram untuk
melihat adanya bakteri kokus Gram positif (Staphylococcus atau
Streptococcus). Adapun untuk menegakkan diagnosis lebih pasti pada
kasus impetigo dengan biakan atau kultur dari eksudat yang diambil
di bagian bawah krusta dan cairan yang berasal dari bula. Hasil
kultur bisa memperlihatkan S. aureus, S. Pyogenes atau keduanya.
Tes sensitivitas antibiotik dilakukan untuk mengisolasi metisilin
resistan S. aureus (MRSA) serta membantu dalam pemberian antibiotik
yang sesuai. 4,7Pada kasus ini, untuk diagnosis bandingnya dengan :
ektima, dermatitis seboroik dengan infeksi sekunder, dan pemfigus
vulgaris. Adapun untuk membedakan dari kasus impetigo krustosa,
maka ditemukan antara lain adalah :1. Ektima penyebabnya sama
dengan impetigo krustosa, namun gambaran klinisnya (apabila bula
sudah pecah) juga mirip yaitu berupa krusta tebal berwarna kuning.
Namun diagnosa banding ektima dapat disingkirkan karena lesi ektima
dapat mengenai anak dan dewasa, tempat predileksi di tungkai bawah,
dan dasarnya adalah ulkus. 2. Dermatitis seboroik dengan infeksi
sekunder, karena memiliki beberapa kesamaan antara lain keluhan
gatal, dengan gambaran lesi eritema dan krusta yang tebal. Namun
pada dermatitis seboroik ditemukan gambaran klinis yang khas yaitu
skuama yang berminyak dan kekuningan serta berlokasi di
tempat-tempat seboroik, sedangkan pada pasien ini tidak ditemukan
skuama berminyak dan kekuningan, sehingga dermatitis seboroik
sebagai diagnosis banding dapat disingkirkan.5 3. Pemfigus
vulgaris, karena memiliki kesamaan bentuk lesi yaitu berupa bula
yang mudah pecah diikuti dengan pembentukan krusta. Penyakit ini
merupakan kasus yang jarang terjadi pada anak-anak dan merupakan
penyakit autoimun, umumnya keadaan umumnya buruk, tidak gatal, bula
berdinding kendur dan generalisata, lesi awal dimulai dari kulit
kepala yang berambut atau rongga mulut, dapat menyerang semua
selaput lendir dengan epitel skuamosa dan terdapat tanda Nikolski
positif. Sedangkan pada pasien ini ditemukan keadaan umumnya cukup
baik, lesinya terasa sangat gatal dan umumnya regional, disebabkan
oleh stafilokokus aureus atau streptokokus, dan tidak terdapat
tanda Nikolski sehingga pemfigus vulgaris sebagai diagnosis banding
dapat disingkirkan. Pada penatalaksanaan secara umum kasus ini
adalah edukasi pada pasien dengan cara mandikan anak dengan bersih
menggunakan sabun dan pada air mengalir, cegah anak untuk menggaruk
daerah lecet (tutup daerah yang lecet dengan perban tahan air dan
memotong kuku anak), kompres dengan menggunakan larutan NaCl 0,9%
dan selalu menjaga kebersihan. Hal ini diharapkan dapat membantu
pasien dalam proses terapi dan usaha preventif secara
individu.Tujuan dari pengobatan antara lain meredakan rasa nyeri
dan memperbaiki penampilan kosmetik dari lesi, mencegah penyebaran
infeksi lebih lanjut dalam diri pasien dan orang lain, dan mencegah
kekambuhan. Sasaran terapinya yaitu infeksi bakteri streptokokus
atau stafilokokus.9 Perawatan idealnya harus efektif, tidak mahal,
dan memiliki efek samping terbatas. Antibiotik topikal memiliki
kelebihan yaitu hanya diberikan jika dibutuhkan, yang mana
meminimalisir efek samping sistemik. Akan tetapi, beberapa
antibiotik topikal bisa menyebabkan sensitisasi kulit pada
orang-orang yang rentan.7Penatalaksanaan pada kasus impetigo dapat
dilakukan baik secara medikamentosa maupun non-medikamentosa
sebagai berikut:2,31. Terapi non medikamentosaA. Umum Menjaga
kebersihan agar tetap sehat dan terhindar dari infeksi kulit.9
Menindaklanjuti luka akibat gigitan serangga dengan mencuci area
kulit yang terkena untuk mencegah infeksi. 9 Mengurangi kontak
dekat dengan penderita 9 Bila diantara anggota keluarga ada yang
mengalami impetigo diharapkan dapat melakukan beberapa tindakan
pencegahan berupa: 9 Mencuci bersih area lesi (membersihkan krusta)
dengan sabun dan air mengalir serta membalut lesi. Mencuci pakaian,
kain, atau handuk penderita setiap hari dan tidak menggunakan
peralatan harian bersama-sama. Menggunakan sarung tangan ketika
mengolesi obat topikal dan setelah itu mencuci tangan sampai
bersih. Memotong kuku untuk menghindari penggarukan yang
memperberat lesi. Memotivasi penderita untuk sering mencuci
tangan.B. KhususPada prinsipnya, pengobatan impetigo krustosa
bertujuan untuk memberikan kenyamanan dan perbaikan pada lesi serta
mencegah penularan infeksi dan kekambuhan.3
Pada kasus, diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotic
topical Mupirocin tiga kali sehari, dan dikarenakan krusta yang
timbul banyak, dicurigai infeksi meluas maka diberikan juga terapi
sistemik berupa Amoksisillin dengan dosis anak: 7,5-25 mg/Kg/dosis
3 x sehari. Hal ini sesuai dengan tinjauan pustaka bahwa terapi
tersebut diberikan untuk mengobati infeksi, mencegah penularan,
menghilangkan rasa tidak nyaman dan mencegah terjadinya kekambuhan.
Pemberian mupirocin di indikasikan pada infeksi kulit primer akut
seperti impetigo, selain itu penggunaan mupirocin topikal jauh
lebih unggul dalam mempercepat penyembuhan pasien impetigo dan
mupirocin topikal memiliki sedikit kegagalan.13 Sementara pemberian
amoksisilin merupakan pilihan pertama (Golongan Lactam) yang
termasuk golongan penicilin (bakterisid) yang memiliki sifat
absorbsi pada saluran cerna lebih baik dari golongan penicilin
lainnya.14
2. Terapi medikamentosaa. Terapi topikalPengobatan topikal
sebelum memberikan salep antibiotik sebaiknya krusta sedikit
dilepaskan baru kemudian diberi salep antibiotik.
MupirocinMupirocin topikal merupakan salah satu antibiotik yang
sudah mulai digunakan sejak tahun 1980an. Mupirocin ini bekerja
dengan menghambat sintesis RNA dan protein dari bakteri. Fusidic
AcidTahun 2001 telah dilakukan penelitia n terhadap fusidic acid
yang dibandingkan dengan plasebo (dikombinasi dengan sampo
iodine-povidone) pada praktek dokter umum yang diberikan pada
pasien impetigo dan didapatkan hasil bahwa penggunaan fusidic asid
jauh lebih baik dibandingkan dengan menggunakan plasebo.8
RatapamulinPada tanggal 17 April 2007 ratapamulin telah disetujui
olehFood and Drug Administration(FDA) untuk digunakan sebagai
pengobatan impetigo. Namun bukan untuk yang disebabkan oleh
metisilin resisten ataupun vankomisin resisten. Ratapamulin
berikatan dengan subunit 50S ribosom pada protein L3 dekat dengan
peptidil transferase yang pada akhirnya akan menghambat protein
sintesis dari bakteri.Pada salah satu penelitian yang telah
dilakukan pada 210 pasien impetigo yang berusia diantara 9 sampai
73 tahun dengan luas lesi tidak lebih dari 100 cm2 atau >2% luas
dari total luas badan. Kultur yang telah dilakukan pada pasien
tersebut didapatkan 82% dengan infeksiStaphylococcus aureus. Pada
pasien-pasien tersebut diberi ratapamulin sebanyak 2 kali sehari
selama 5 hari terapi. Evaluasi dilakukan mulai hari ke dua setelah
hari terakhir terapi, dan didapatkan luas lesi berkurang, lesi
telah mengering, dan lesi benar-benar telah membaik tanpa
penggunaan terapi tambahan. Pada 85,6% pasien dengan menggunakan
ratapamulin didapatkan perbaikan klinis dan hanya hanya 52,1%
pasien mengalami perbaikan klinis yang menggunakan plasebo.4
DicloxacillinPenggunaan dicloxacillin merupakanfirstlineuntuk
pengobatan impetigo, namun akhir-akhir ini penggunaan dicloxacillin
mulai tergeser oleh penggunaan ratapamulin topikal karena diketahui
ratapamulin memiliki lebih sedikit efek samping bila dibandingkan
dengan dicloxacillin.
b. Terapi sistemika. Pilihan Pertama (Golongan Lactam)Golongan
Penicilin (bakterisid) dan turunannya1,4 Penicillin G procaine
injeksiDosis: 0,6-1,2 juta IU im 1-2 x sehariAnak: 25.000-50.000 IU
im 1-2 x sehari AmpicillinDosis: 250-500 mg per dosis 4 x
sehariAnak: 7,5-25 mg/Kg/dosis4x sehari ac AmoksicillinDosis:
250-500 mg / dosis 3 x sehariAnak: 7,5-25 mg/Kg/dosis 3 x sehari ac
Oxacillin (untukStaphylococcusyang kebal penicillin)Dosis: 250-500
mg/ dosis, 4 x sehari acAnak: 10-25 mg/Kg/dosis 4 x sehari ac
Phenoxymethyl penicillin (penicillin V)Dosis: 250-500 mg/dosis, 4 x
sehari acAnak: 7,5-12,5 mg/Kg/dosis, 4 x sehari acGolongan
Sefalosporin generasi-ke1 (bakterisid) SefaleksinDosis 4x 250-500
mg/hari (40-50 mg/kgBB/hari) selama 10 hari.3 KloksasilinDosis 4x
250-500 mg/hari selama 10 hari.3b. Pilihan KeduaGolongan Makrolida
(bakteriostatik) 4,14 EritromisinDosis: 250-500 mg/dosis, 4 x
sehari pcAnak: 12,5-50 mg/Kg/dosis, 4 x sehari pc AzitromisinDosis
500 mg/hari untuk hari ke-1 dan dosis 250 mg/hari untuk hari ke-2
sampai hari ke-4. Klindamisin (alergi penisilin dan menderita
saluran cerna) Dosis: 150-300 mg/dosis, 3-4 x sehariAnak > 1
bulan 8-20 mg/Kg/hari, 3-4 x sehari
DAFTAR PUSTAKA
1. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, Siti Aisah. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-4. Jakarta : FKUI. 2006.2. Hay
R.J, B.M Adriaans. Bacterial Infection. In: Burns T, Brethnach S,
Cox N, Griffiths C (eds). Rooks Text Book of Dermatology. 7th ed.
Turin: Blackwell. 2004. p.27.13-15.3. Heyman W.R, Halpern V.
Bacterial Infection. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP (eds).
Dermatology. 2nd ed. Spain: Mosby Elsevier. 2008. p.1075-77.4. Cole
C, Gazewood J.Diagnosis and Treatment of Impetigo. American Academy
of Family Physician. Vol.75. No.6. 2007. p.859-864. Diunduh dari:
http://www.sepeap.org/archivos/pdf/10524.pdf5. Heragandhi, Novrina.
Kuman penyebab pioderma superfisialis pada anak, dan kepekaannya
terhadap beberapa antibiotik. 18 februari 2015. Diakses di
http://www.lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-110336.pdf 6. Arthur
Rook, D.S. Wilkinson, F.J.G Ebling. Impetigo. Textbook of
Dermatology. Edisi ke-3, Vol 2, Hal 338-341. 1979.7. Freedberg ,
Irwin M. (Editor), Arthur Z. Eisen (Editor), Klauss Wolff (Editor),
K. Frank Austen (Editor), Lowell A. Goldsmith (Editor), Stephen
Katz (Editor). Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine (Two
Vol. Set). 6th edition (May 23, 2003): By McGraw-Hill
Professional.8. Diagnosa dan Pengobatan Impetigo. Available at :
http://www.topreference.co.tv/2015/16/diagnosa-dan-pengobatan-impetigo.html9.
Sander Koning, Lisette W.A. van suijlekom-Smit, Jan L Nouwen, Cees
M Verduin, Roos M.D Bernsen, Arnold P Oranie, Siep Thomas, and
Johannes C van der Wouden. Fusidic acid cream in the treatment of
impetigo in general practice: double blind randomised placebo
controlled trial. Available at :
http://www.bmj.com/content/324/7331/203.full10. Penatalaksanaan
Terapi PenyakitImpetigo. Available at :
http://yosefw.wordpress.com/2015/02/16/penatalaksanaan-terapi-penyakit-impetigo/11.
Buck, 2007, Ratapamulin: A New Option of Impetigo, Virginia USA:
University of Virginia12. Childrens Hospital. Cole, 2007, Diagnosis
and Treatment of Impetigo, Virginia:University of Virginia School
of Medicine. 13. Goldfarb,Randomized Clinical Trial of Topical
Mupirocin Versus Oral Eyitromycin for Impetigo, Ohio: University
School of Medicine. Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin 14.
Gunawan, G. Sulistia. Farmakologi dan Terapi. Ed. 5. Jakarta :
Departemen farmakologi dan terapeutik fakultas kedokteran
universtitas Indonesia. 2007. Hal 668-724.1