Top Banner
BAB I PENDAHULUAN Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di negara berkembang. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah (Widodo, 2006). Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Seperti penyakit menular lainnya, tifoid banyak ditemukan di negara berkembang, dimana higien pribadi dan sanitasi lingkungannya kurang baik. Prevalensi kasus bervariasi tergantung lokasi, kondisi lingkungan setempat, dan perilaku masyarakat (Widodo, 2006).
33

cr dr. awal(1)lll

Dec 22, 2015

Download

Documents

kjlk
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: cr dr. awal(1)lll

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di negara

berkembang. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang

disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara

berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga

merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya

berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber

air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang

masih rendah (Widodo, 2006).

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan

karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat

luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat

sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus

kematian tiap tahun. Seperti penyakit menular lainnya, tifoid banyak ditemukan di

negara berkembang, dimana higien pribadi dan sanitasi lingkungannya kurang baik.

Prevalensi kasus bervariasi tergantung lokasi, kondisi lingkungan setempat, dan

perilaku masyarakat (Widodo, 2006).

Indonesia merupakan salah satu negara endemis tifoid. Diperkiranakan

terdapat 800 penderita per 100.000 penduduk setiap tahun yang ditemukan sepanjang

tahun.Di Indonesia penyakit ini tersebar di seluruh secara merata di seluruh propinsi

dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah

perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per

tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada

91% kasus (Widodo, 2006).

Page 2: cr dr. awal(1)lll

BAB II

LAPORAN KASUS

A. Status Pasien

1. Anamnesis

Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Senin, 01 Desember

2014 pukul 07.00 WIB di ruang Nuri RSAM.

a. Identitas Pasien

Nama : Tn.S

Umur : 50 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Kedondong, Pesawaran, Lampung Selatan

Pekerjaan : Petani

Pendidikanterakhir : SMA

Status Kawin : Menikah

Suku : Lampung

Agama : Islam

Masuk Rumah Sakit : Minggu, 31 November 2014

b. Anamnesis : Autoanamnesis

Keluhan utama : Demam

Keluhan tambahan :Mual, muntah, sakit kepala, nyeri ulu hati,

batuk, susah BAB

Page 3: cr dr. awal(1)lll

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan demam sejak ± 10 hari SMRS. Demam

dirasakan meningkat saat sore sampai malam hari, dan turun saat pagi

hari. Demam disertai dengan pusing, mual, dan muntah, serta terdapat

penurunan nafsu makan. Selain itu, pasien juga merasa nyeri di ulu

hati, batuk yang tidak berdahak dan jarang. Buang air kecil tidak ada

keluhan, BAB cair disangkal oleh pasien. Terakhir BAB 3 hari SMRS.

Pasien sebelumnya sudah mengkonsumsi obat yang dibeli diapotek

untuk mengurangi demam (paracetamol), tetapi demam kembali

muncul jika obat dihentikan.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada yang menderita keluhan yang sama.

Riwayat Gaya Hidup/Kebiasaan

Pasien memiliki kebiasaan merokok.

Riwayat Makanan

Pasien mengatakan bahwa dirinya sering makan tidak teratur dan

makan makanan yang dijual di pinggir jalan.

2. Pemeriksaan Fisik

Status Present

KU : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

TekananDarah : 130/80 mmHg

Nadi : 60x/menit, reguler, isi cukup, tegangan cukup

RR : 20 x/menit

T : 36,00C

Page 4: cr dr. awal(1)lll

Status gizi

Tinggi badan : 170 cm

Berat badan : 72 kg

Gizi : Gizi cukup

Status Generalis

Kepala dan leher

Kulit : Sianosis (-)

Kepala : Normocephalic, wajah edema (-), rambut hitam tidak mudah

dicabut

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor,

palpebra edema(-/-)

Telinga : Simetris, sekret (-/-), liang telinga lapang

Hidung : Polip (-), sekret (-), deviasi septum (-)

Mulut : Karies (-), sianosis (-), papil atrofi (-)

Leher : Trakea di tengah, simetris, pembesaran KGB (-), JVP 5-1

cmH2O

Thorax

Paru

Inspeksi : Statis : Simetris

Dinamis : Gerak pernapasan simetris antara kanan dan kiri

Palpasi : Fremitus taktil simetris kanan sama dengan kiri

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : ictus cordis tidak teraba

Perkusi : batas atas: sela iga II parasternal sinistra

batas kanan: sela iga IV parasternal dextra

Page 5: cr dr. awal(1)lll

batas kiri: sela iga V midclavicularis sinistra

kesan: ukuran jantung normal

Auskultasi: Bunyi Jantung 1-2 regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : Datar, sikatriks (-), massa (-)

Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-), hepar teraba 2 jari dibawah arcus

costae, lien tidak teraba

Perkusi : Timpani, shifting dullnes (-)

Auskultasi: Bising usus (+) normal (8x/menit)

Ekstremitas

Eks. Superior : normotonus (+), gerakan aktif (+), akral hangat.

Eks. Inferior : normotonus (+), gerakan aktif (+), akral hangat.

3. Pemeriksaan Penunjang

Hematologi ( 30 Desember 2014) :

Hb: 10,5 g/dL

LED: 41 mm/jam

Leukosit: 4.300/uL

Hitung jenis:

Basofil: 0 %

Eosinofil: 0 %

Batang: 0 %

Segmen: 27 %

Limfosit: 44 %

Monosit: 29 %

Malaria: Tidak ditemukan

Kimia darah ( 30 Desember 2014) :

Page 6: cr dr. awal(1)lll

SGOT: 36 U/L

SGPT: 34 U/

Imunologi dan serologi ( 30 Desember 2014) :

Tes widal:

Typhi H antigen (+) titer 1/80

Typhi O antigen (+) titer 1/320

Paratyphi A-O Antigen (+) titer 1/320

Paratyphi B-O Antigen (+) titer 1/160

4. Resume

Pasien lelaki 50 tahun datang dengan keluhan demam sejak ± 10 hari

SMRS. Demam dirasakan meningkat saat sore sampai malam hari, dan

turun saat pagi hari. Demam disertai dengan pusing, mual, dan muntah,

serta terdapat penurunan nafsu makan. Selain itu, pasien juga merasa nyeri

di ulu hati, sulit BAB, dan batuk yang tidak berdahak.

Dari pemeriksaan fisik, tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 60x/menit,

pernapasan 20x/menit, suhu 36,0 oC. Hepar teraba 2 jari dibawah arcus

costa. Pada pemeriksaan Lab didapatkan Hb: 10,5 gr/dl, LED: 41 mg/dl,

Leukosit: 4.300 mm3, malaria (-). SGOT: 36 U/L, SGPT : 34 U/L. Tes

widal: Typhi H antigen (+) titer 1/80, Typhi O antigen (+) titer 1/320,

Paratyphi A-O Antigen (+) titer 1/320, Paratyphi B-O Antigen (+) titer

1/160.

5. Diagnosa Kerja:

Demam typhoid

6. Pemeriksaan anjuran

Page 7: cr dr. awal(1)lll

Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

7. RencanaPenatalaksanaan :

Non medikamentosa:

1. Tirah baring

2. Makan makanan lunak rendah serat

3. Minum obat secara teratur

Medikamentosa:

1. IVFD RL xxx tpm

2. Kloramfenikol 4x500 mg tab sampai 7 hari bebas demam

3. Dextromethorpan syrup 3x1 C

4. Ranitidin 2x150 mg tab

5. Paracetamol 3x500 mg bila demam

Prognosa:

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam

Page 8: cr dr. awal(1)lll

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Demam tifoid disebut juga dengan thypus abdominalis merupakan penyakit

infeksi akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi dan ditandai dengan gejala

demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan

dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Soegijanto, 2002).

B. ETIOLOGI DAN PREDISPOSISI

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella

paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip,

tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak

dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam

bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan

pemanasan (suhu 600°C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan

khlorinisasi. Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu (Rampengan,

2008) :

a. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman.

Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga

endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan

terhadap formaldehid.

b. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari

kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap

formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.

c. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat

melindungi kuman terhadap fagositosis.

Page 9: cr dr. awal(1)lll

Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan

menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin

(Rampengan, 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya demam tifoid yaitu

diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Faktor Host

Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya

penularan Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang

tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya

keluar bersama dengan tinja atau urine. Dapat juga terjadi trasmisi

transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada

bayinya (Soedarno, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Heru Laksono (2009)

menunjukkan bahwa kebiasaan jajan di luar mempunyai resiko terkena penyakit

demam tifoid pada anak 3,6 kali lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan

tidak jajan diluar dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan

sebelum makan beresiko terkena penyakit demam tifoid 2,7 lebih besar

dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan.

b. Faktor Agent

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang

dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 – 109 kuman yang tertelan

melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah

Salmonella thypi yang tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit

demam tifoid (Syahrurahman, 1994).

c. Faktor Environment

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah

tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai

dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang

mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan

Page 10: cr dr. awal(1)lll

penduduk, sumber air minum dan standart hygiene industri pengolahan

makanan yang masih rendah. Berdasarkan hasil penelitian Lubis, R. di RSUD.

Dr. Soetomo (2000) menunjukkan bahwa higiene perorangan yang kurang,

mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid 20,8 kali lebih besar

dibandingkan dengan yang higiene perorangan yang baik dan kualitas air

minum yang tercemar berat coliform beresiko 6,4 kali lebih besar terkena

penyakit demam tifoid dibandingkan dengan yang kualitas air minumnya tidak

tercemar berat coliform.

Page 11: cr dr. awal(1)lll

S. typhi masuk melalui GIT

Sebagian mati di lambung karena adanya HCL

Sebagian lolos masuk ke usus

Respon imun humoral mukosa (IgA) buruk

Bakteri menembus epitel lamina propria

Difagosit oleh makrofag

Dibawa ke plak peyeri ileum distal

KGB Mesenterika

Masuk ke sirkulasi darah melalui ductus thoracicus

Bakterimia primer(Asimptomatik)

Masuk ke organ retikuloendotelial terutama hepar dan lien

Bakteri meninggalkan sel fagosit, berkembang biak di ruang sinusoid

Masuk ke sirkulasi darah

Dari hepar bakteri masuk ke empedu

Berkembang biak

Diekskresikan secara intermitten ke usus

Keluar bersama fesesMasuk lagi ke sirkulasi darah menembus usus

Bakterimia sekunder

Demam Tifoid

C. PATOFISIOLOGI

Page 12: cr dr. awal(1)lll

D. PENEGAKAN DIAGNOSIS

1. Anamnesa

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis

besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan (Rampengan, 2008) :

a. Demam satu minggu atau lebih.

b. Gangguan saluran pencernaan

c. Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi

akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah,

diare, konstipasi. Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal

seperti pada orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa

stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta

dapat pula bersifat ireguler (Rampengan, 2008).

2. Pemeriksaan Fisik

a. Minggu pertama

Pada pemeriksaan fisik minggu pertama didapatkan sebagai berikut (Chen,

2006):

1) Suhu tubuh naik, menurun saat pagi, meningkat pada sore/malam (39-40°

C)

2) Nadi 80x-100x/menit, denyut lemah

3) Nafas cepat

4) Lidah tifoid yaitu lidah kotor di tengah tepi dan ujung merah serta tremor

5) Bercak ros/rosela 3-5 hari. Roseola ini merupakan emboli kuman yang

didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di

daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian fleksor

lengan atas.

6) Hepatomegali dan atau splenomegali, serta distensi abdomen.

Splenomegali pada demam tifoid bersifat tidak progresif dan

konsistensinya lebih lunak.

Page 13: cr dr. awal(1)lll

7) Diare pada akhir minggu pertama

b. Minggu kedua

Pada pemeriksaan fisik minggu kedua didapatkan sebagai berikut (Chen,

2006):

1) Demam terus meninggi, turun pada pagi hari namun tidak signifikan

2) Bradikardi relatif

3) Toksemia delirium

4) Gangguan pendengaran

5) Diare terus – menerus kadang melena

6) Hepatosplenomegali

7) Bising usus meningkat

c. Minggu ketiga

Pada pemeriksaan fisik minggu ketiga didapatkan sebagai berikut (Chen,

2006):

1) Suhu tubuh berangsur turun bahkan normal

2) Saat terjadi perdarahan / komplikasi

3) Jika toksemia memberat bisa menjadikan delirium atau stupor, otot yang

treus bergerak

4) Meteorismus / timpani

5) Peningkatan tekanan abdomen

d. Minggu keempat

Stadium penyembuhan atau bisa terjadi relaps (Chen, 2006)

Namun, tanda dan gejala tersebut bergantung pada :

1) Sudah diberikan obat anti – mikroba atau belum

2) Lama konsumsi obat

3) Kecepatan penanganan

4) Kondisi host

5) Paparan sebelumnya

6) Umur

7) Strain bakteri

Page 14: cr dr. awal(1)lll

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis

demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :

a. Pemeriksaan darah tepi

Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit

normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia

dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin

didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit

serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan

nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara

penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan

limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid

(Rampengan, 2008).

b. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman (Gold

Stadar)

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan

bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan

duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit,

maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang

pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses (Rampengan, 2008).

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil

negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada

beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi

(Rampengan, 2008):

1) jumlah darah yang diambil

2) perbandingan volume darah dari media empedu

3) waktu pengambilan darah.

Page 15: cr dr. awal(1)lll

Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah

media empedu (GALL) dari sapi (Rampengan, 2008).

c. Uji Serologis

Uji Widal merupakan metode serologis baku. Prinsip uji Widal

adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita

yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik

(O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga

terjadi aglutinasi (Rampengan, 2008).

Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H

yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya,

semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid.

Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang

yang dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin

empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.

Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut (Handojo, 2004):

1) Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut

2) Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau

pernah menderita infeksi

3) Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.

Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor

antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita

seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi

pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat

(daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang

digunakan (Rampengan, 2008).

Page 16: cr dr. awal(1)lll

E. PENATALAKSANAAN

1. Medikamentosa

Pada demam tifoid diberikan antibiotik dengan tujuan menghentikan dan

mencegah penyebaran kuman. Antibiotik yang dapat digunakan antara lain adalah

sebagai berikut (Rampengan, 2008) :

a. Kloramfenikol

Meskipun telah dilaporkan adanya resistensi kuman Salmonella

terhadap Kloramfenikol di berbagai daerah, Kloramfenikol tetap digunakan

sebagai obat pilihan pada kasus demam tifoid. Sejak ditemukannya obat ini

oleh Burkoder sampai saat ini belum ada obat antimikroba lain yang dapat

menurunkan demam lebih cepat disamping harganya murah dan terjangkau

oleh penderita. Kekurangan kloramfenikol antara lain ialah reaksi

hipersensitifitas, reaksi toksik, grey syndrome, kolaps, dan tidak bermanfaat

untuk pengobatan karier (Rampengan, 2008).

Dalam pemberian kloramfenikol tidak terdapat keseragaman dosis.

Dosis yang dianjurkan ialah 50 – 100 mg/kgBB/hari, selama 10 – 14 hari.

Untuk neonatus, penggunaan obat ini sebaiknya dihindari, dan bila terpaksa,

dosis tidak boleh melebihi 25 mg/kgBB/hari, selama 10 hari (Rampengan,

2008).

b. Tiamfenikol

Tiamfenikol mempunyai efek yang sama dengan Kloramfenikol

karena susunan kimianya hampir sama dan hanya berbeda pada gugusan R-

nya. Dengan pemberian Tiamfenikol, demam turun setelah 5 – 6 hari.

Komplikasi hematologi pada penggunaan Tiamfenikol jarang dilaporkan.

Dosis oral dianjurkan 50 – 100 mg/kgBB/hsri, selama 10 – 14 hari

(Rampengan, 2008).

c. Kotrimoksazol

Pendapat mengenai efektifitas kotrimksazol terhadap demam tifoid

masih kontroversial. Kelebihan kotrimoksasol antara lain dapat digunakan

untuk kasus yang resisten terhadap kloamfenikol, penyerapan di usus cukup

Page 17: cr dr. awal(1)lll

baik, dan kemungkinan timbulnya kakambuhan pengobatan pengobatan

lebih kecil dibandingkan kloramfenikol. Kelemahannya ialah dapat terjadi

skin rash (1 – 15%), sindrom Steven Johnson, agranulositosis,

trombositopenia, anemia megaloblastik, hemolisis eritrosit. Dosis oral yang

dianjurkan adalah 30 – 40 mg/kgBB/hari. Sulfametoksazol dan 6 – 8

mg/kgBB/hari untuk Trimetoprim, diberikan dalam 2 kali pemberian, selama

10 – 14 hari (Rampengan, 2008).

d. Ampisilin dan Amoksisilin

Merupakan derivat Penisilin yang digunakan pada pengobatan demam

tifoid, terutama pada kasus yang resisten terhadap Kloramfenikol. Pernah

dilaporkan adanya Salmonella yang resisten terhadap Ampisilin di Thailand.

Ampisilin umumnya lebih lambat menurunkan demam bila dibandingkan

dengan Kloramfenikol, tetapi lebih efektif untuk mengobati karier serta

kurang toksik. Kelemahannya dapat terjadi skin rash (3 – 18%), dan diare

(11%). Ampisilin mempunyai daya antibakteri yang sama dengan Ampisilin,

terapi penyerapan peroral lebih baik sehingga kadar obat yang tercapai 2 kali

lebih tinggi, dan lebih sedikit timbulnya kekambuhan (2 – 5%) dan karier (0

– 5%). Dosis yang dianjurkan adalah (Rampengan, 2008) :

Ampisilin 100 – 200 mg/kgBB/hari, selama 10 – 14 hari.

Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari, selama 10 – 14 hari.

e. Sefalosporin Generasi 1

Cefotaxim, ceftriaxon, dan cefoperazon telah digunakan untuk

mengobati demam tifoid, dengan pemberian selama 3 hari memberikan efek

terapi sama dengan regimen obat yang diberikan 10-14 hari. Respon yang

baik juga dilaporkan dengan pemberian ceftriaxon selama 5-7 hari, tetapi

laporan angka kekambuhan ditemukan tidak lengkap. Obat-obat ini

sebaiknya diberikan untuk kasus resisten quinolon. Direkomendasikan

diberikan untuk 10-14 hari (Rampengan, 2008).

Page 18: cr dr. awal(1)lll

f. Antibiotik lainnya

Beberapa studi kecil telah melaporkan kesuksesan pengobatan demam

tifoid dengan aztreonam, antibiotik monobaktam. Antibiotik ini menunjukan

lebih efektif daripada kloramfenikol dalam membasmi organisme dalam

darah. Penelitian prospektif di Malaysia terhenti akibat tingginya kegagalan

dengan aztreonam. Azitromycin, antibiotik makrolida baru diberikan dengan

dosis 1 gr sekali sehari selama 5 hari juga bermanfaat untuk pengobatan

demam tifoid. Keuntungan lainnya penggunaan aztreonam dan azitromycin

adalah kedua obat ini dapat digunakan pada anak-anak, ibu hamil dan

menyusui (Rampengan, 2008).

2. Nonmedikamentosa

a. Makanan dengan energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan aktivitas

b. Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total Lemak sedang, yaitu

10-25% dari kebutuhan energi total

c. Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total

d. Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga asupan serat

maksimal 8 gr/hari. Pembatasan ini disesuaikan dengan toleransi perorangan

Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat) sesuai dengan

toleransi perorangan.

e. Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis, terlalu asam dan

berbumbu tajam.

f. Makanan sering diberikan dalam porsi kecil

g. Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan khusus, diet

perlu disertai suplemen vitamin dan mineral, makanan formula, atau

makanan parenteral.

h. Menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya cuci tangan

yang benar dengan memakai sabun (Depkes RI, 2005).

i. Peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara

yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak

Page 19: cr dr. awal(1)lll

awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan

perbaikan sanitasi lingkungan (Depkes RI, 2005).

F. PROGNOSIS

Sebanyak 5% penderita demam tifoid akan menjadi karier sementara dan 2%

yang lain akan menjadi karier menahun. 10 % pasien demam tifoid yng tidak di

obati akan mengakibatkan relaps. Hal ini tergantung oleh umur, keadaan umum,

gizi, daya tahan tubuh dan cepat atau lambatnya pengobatan yang di terima serta

komplikasi yang ada (Maldonado, 2002).

G. KOMPLIKASI

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :

a. Komplikasi Intestinal (Widodo, 2006) :

1) Perdarahan usus

Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor

yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi

hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat

bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.

2) Perforasi usus

Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada

minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita

demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di

daerah kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut.

Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan

sampai syok.

b. Komplikasi Ekstraintestinal (Widodo, 2006):

1) Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis),

miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.

2) Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi

intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.

Page 20: cr dr. awal(1)lll

3) Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis

4) Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis

5) Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis

6) Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan arthritis

7) Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis

perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.

Page 21: cr dr. awal(1)lll

BAB III

KESIMPULAN

1. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh Salmonella

typhi dan ditandai dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan

pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.

2. Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi

dari Genus Salmonella.

3. Faktor yang mempengaruhi demam tifoid diantaranya faktor host, agent dan

environment.

4. Penegakkan diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan dengan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

5. Pemeriksaan penunjang yang menjadi gold standar dalam penegakan diagnosis

demam tifoid adalah dengan kultur.

6. Terapi medikamentosa pada penderita demam tifoid adalah pemberian antibiotik

dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.

7. Prognosis dari demam tifoid tergantung oleh umur, keadaan umum, gizi, daya

tahan tubuh dan cepat atau lambatnya pengobatan yang di terima serta komplikasi

yang ada.

8. Komplikasi yang dapat timbul akibat demam tifoid berupa komplikasi intestinal

dan komplikasi ekstraintestinal.

Page 22: cr dr. awal(1)lll

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2005. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid Bagi Tenaga Kesehatan.

Jakarta.

Lubis, R. 2001. Faktor Resiko Kejadian Demam Tifoid Penderita Yang Dirawat di

RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas

Airlangga Surabaya.

Rampengan, T. H. 2008. Penyakit Infeksi Tropis. Jakarta: EGC.

Syahrurahman, Agus. 1994. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi.

Jakarta: Penerbit Binarupa Aksara.

Widodo, Djoko. 2006. Demam Tifoid : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.

Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.