Top Banner
Jl. Kramat Raya 57 Jakarta Pusat Telp. 021 390 5455, Fax. 021 390 5455 PO BOX 2685 email : [email protected] Vol-III/No-01/April/2010 JURNAL YUDISIAL
104

cover jurnal April 2010.cdr

Dec 31, 2016

Download

Documents

tranhanh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: cover jurnal April 2010.cdr

PENERAPAN FILSAFAT PEMIDANAAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Kajian Putusan Nomor 19/PID.B.TPK/2008/PN.JKT.PSTLuh Rina Apriani, Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta

TINDAK PIDANA KORUPSIDALAM PENYUSUNAN APBD

Kajian Putusan Nomor 76/PID.B/2008/PN.PWTSaryono Hanadi, M.I. Wiwik Yuni Hastuti, Alef Musyahadah Rahmah

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

PENAFSIRAN UNSUR "BERTENTANGAN DENGAN KEWAJIBAN" DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Kajian Putusan Nomor 402/PID.B/2008/PN.PDGSaldi Isra & Charles Simabura

Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

KORUPSI DALAM RANAH KEHUTANAN Kajian Pustaka Nomor 138/Pid.B/2009/PN.BJM

Helmi, Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

PERBUATAN MELAWAN HUKUM LINGKUNGAN:PENAFSIRAN EKSTENSIF DAN DOKTRIN INJURIA SINE DAMNO

Kajian Putusan Nomor 548/Pdt.G/2007/PN.JAK.SELShidarta, Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta

PENAFSIRAN UNSUR "MEMPERKAYA DIRI" DAN "KERUGIAN NEGARA”

Kajian Putusan Nomor 63/PID/2006/PT.PTKIbrahim Sagio, Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Pontianak

JY VOL - III/NO-01/APRIL/2010 HLM. 1-92 JAKARTA ISSN 1978-6506 I I I I

Jl. Kramat Raya 57 Jakarta PusatTelp. 021 390 5455, Fax. 021 390 5455 PO BOX 2685

email : [email protected]

Vol-III/N

o-01/A

pril/2010

JU

RN

AL

YU

DI

SI

AL

KORUPSI DAN LEGISLASI

Page 2: cover jurnal April 2010.cdr

PENERAPAN FILSAFAT PEMIDANAAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Kajian Putusan Nomor 19/PID.B.TPK/2008/PN.JKT.PSTLuh Rina Apriani, Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta

TINDAK PIDANA KORUPSIDALAM PENYUSUNAN APBD

Kajian Putusan Nomor 76/PID.B/2008/PN.PWTSaryono Hanadi, M.I. Wiwik Yuni Hastuti, Alef Musyahadah Rahmah

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

PENAFSIRAN UNSUR "BERTENTANGAN DENGAN KEWAJIBAN" DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Kajian Putusan Nomor 402/PID.B/2008/PN.PDGSaldi Isra & Charles Simabura

Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

KORUPSI DALAM RANAH KEHUTANAN Kajian Pustaka Nomor 138/Pid.B/2009/PN.BJM

Helmi, Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

PERBUATAN MELAWAN HUKUM LINGKUNGAN:PENAFSIRAN EKSTENSIF DAN DOKTRIN INJURIA SINE DAMNO

Kajian Putusan Nomor 548/Pdt.G/2007/PN.JAK.SELShidarta, Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta

PENAFSIRAN UNSUR "MEMPERKAYA DIRI" DAN "KERUGIAN NEGARA”

Kajian Putusan Nomor 63/PID/2006/PT.PTKIbrahim Sagio, Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Pontianak

JY VOL - III/NO-01/APRIL/2010 HLM. 1-92 JAKARTA ISSN 1978-6506 I I I I

Jl. Kramat Raya 57 Jakarta PusatTelp. 021 390 5455, Fax. 021 390 5455 PO BOX 2685

email : [email protected]

Vol-III/N

o-01/A

pril/2010

JU

RN

AL

YU

DI

SI

AL

KORUPSI DAN LEGISLASI

Page 3: cover jurnal April 2010.cdr

VOL-I/NO-01/APRIL/2010

JURNAL april.indd 1 5/16/2012 4:43:08 PM

Page 4: cover jurnal April 2010.cdr

II

Jurnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal ini beredar pada setiap awal April, Agustus, dan Desember, memuat hasil kajian/riset atas putusan-

putusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Penerbitan jurnal ini bertujuan untuk memberi ruang kontribusi bagi komunitas hukum Indonesia dalam mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil, yang pada gilirannya ikut membantu tugas dan wewenang Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam menjaga dan menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan pandangan independen masing-masing penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Komisi Yudisial Republik Indonesia. Sebagai ajang diskursus ilmiah, setiap hasil kajian/riset putusan yang dipublikasikan dalam jurnal ini tidak pula dimaksudkan sebagai intervensi atas kemandirian lembaga peradilan, sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat pada halaman akhir jurnal.

Alamat Redaksi:Gedung Komisi Yudisial Lantai 3

Jalan Kramat Raya Nomor 57 Jakarta Pusat

Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906215

Email: [email protected]

DIS

CLA

IME

R

JURNAL april.indd 2 5/16/2012 4:43:08 PM

Page 5: cover jurnal April 2010.cdr

III

DA

FTA

R IS

I PENERAPAN FILSAFAT PEMIDANAAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI ................................................ 1Kajian Putusan Nomor 19/PID.B.TPK/2008/PN.JKT.PSTLuh Rina Apriani, Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta

TINDAK PIDANA KORUPSIDALAM PENYUSUNAN APBD ............................................................ 15Kajian Putusan Nomor 76/PID.B/2008/PN.PWTSaryono Hanadi, M.I. Wiwik Yuni Hastuti, Alef Musyahadah RahmahFakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

PENAFSIRAN UNSUR “BERTENTANGAN DENGAN KEWAJIBAN” DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI ................................................................ 31Kajian Putusan Nomor 402/PID.B/2008/PN.PDGSaldi Isra & Charles SimaburaFakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

KORUPSI DALAM RANAH KEHUTANAN ...................................... 42Kajian Pustaka Nomor 138/Pid.B/2009/PN.BJMHelmi, Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

PERBUATAN MELAWAN HUKUM LINGKUNGAN:PENAFSIRAN EKSTENSIF DAN DOKTRIN INJURIA SINE DAMNO .................................................... 60Kajian Putusan Nomor 548/Pdt.G/2007/PN.JAK.SELShidarta, Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta

PENAFSIRAN UNSUR ”MEMPERKAYA DIRI” DAN ”KERUGIAN NEGARA” ............................................................. 78Kajian Putusan Nomor 63/PID/2006/PT.PTKIbrahim Sagio, Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Pontianak

JURNAL april.indd 3 5/16/2012 4:43:08 PM

Page 6: cover jurnal April 2010.cdr

IV

PE

NG

AN

TAR KORUPSI DAN LEGISLASI

Lahir Kembali untuk selamanya semangat itu yang kami usung untuk menerbitkan Jurnal Yudisial Vol-III/No-01/April/2010 yang kini hadir dihadapan Anda. Jurnal Yudisial mengalami stagnasi di tahun lalu dan dengan dukungan dari ketua KY

dan Sekretaris Jenderal KY serta bantuan dari Pak Sidharta, Pak Amir Syarifudin, dan Pak Hermansyah jurnal ini mulai dirancang kembali terbit di tahun ini. Kami berharap Jurnal Yudisial Vol-III/No-01/April/2010 sebagai pertanda kebangkitan penerbitan jurnal secara berkala pada masa mendatang.

Jurnal Yudisial merupakan representasi dari naskah akademis yang bersifat ilmiah. Sesuai tujuannya maka jurnal ini diharapkan akan memberikan kontribusi yang signifikan dalam dunia penegakan hukum.

Sesuai kesepakatan dalam rapat bersama antara redaksi dan “Mitra Bestari” bahwa Jurnal Yudisial khusus mengangkat kajian putusan pengadilan. Langkah ini memberikan kajian ilmiah terhadap putusan pengadilan yang memang bagian dari milik publik. Meski demikian hasil kajian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang dinilai kompeten bukan bermaksud menghakimi putusan dengan melahirkan kesimpulan “salah” dan “benar”. Namun kajian ini lebih membawa putusan pengadilan ke ranah wacana ilmiah semata sehingga membawa manfaat bagi semua pihak.

Ada perubahan signifikan Jurnal Yudisial Vol-III/No-01/April/2010 dengan jurnal yang terbit sebelumnya. Titik utama perubahan itu terletak di isi jurnal yang terdiri sistematika dan penulisan. Konsep itu menyesuaikan standar jurnal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Dengan harapan suatu ketika Jurnal Yudisial mendapatkan akreditasi dan diakui keberadaannya di tanah air.

Selain itu, perubahan lain bertumpu pada lay out dan tematik. Perubahan itu dilakukan agar jurnal tidak hanya untuk referensi atau menambah wawasan saja namun lebih memikat. Edisi perdana 2010 ini kami mengusung tema “Korupsi dan Legislasi” yang menyiratkan beragam korupsi dalam proses penyusunan ketentuan perundangan ataupun peraturan daerah.

Rapat Redaksi awal Juni 2010 telah memutuskan meluluskan enam naskah jurnal dari 15 naskah untuk diteruskan percetakan sekaligus penerbitannya. Adapun naskah yang lain masih harus dilakukan perbaikan oleh penulis untuk memenuhi standar Jurnal Yudisial.

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu proses penyusunan hingga penerbitan Jurnal Yudisial Vol-III/No-01/April/2010.

Tertanda

Pemimpin Redaksi

JURNAL april.indd 4 5/16/2012 4:43:08 PM

Page 7: cover jurnal April 2010.cdr

V

PE

DO

MA

N P

EN

ULI

SA

N Jurnal Yudisial menerima naskah hasil penelitian atas putusan pengadilan (court decision) suatu kasus konkret yang memiliki kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri.

FORMAT NASKAHI.

Naskah dituangkan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

Naskah diketik di atas kertas ukuran kwarto (A-4) sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata), dengan jarak antar-spasi 1,5. Ketikan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran 12 poin.

Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah.

SISTEMATIKA NASKAH II.

Judul naskah

Judul utama ditulis di awal naskah dengan menggunakan huruf Times New Roman 14 poin, diketik dengan huruf kapital seluruhnya, ditebalkan (bold), dan diletakkan di tengah margin (center text). Tiap huruf awal anak judul ditulis dengan huruf kapital, ditebalkan, dengan menggunakan huruf Times New Roman 12 poin. Contoh:

PERSELISIHAN HUKUM MODERN DAN HUKUM ADAT

DALAM KASUS PENCURIAN SISA PANEN RANDU

Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.BTG

Nama dan identitas penulis

Nama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis dibolehkan maksimal dua orang. Setelah nama penulis, lengkapi dengan keterangan identitas penulis, yakni nama dan alamat lembaga tempat penulis bekerja, serta akun email yang bisa dihubungi! Nama penulis dicetak tebal (bold), tetapi identitas tidak perlu dicetak tebal. Semua keterangan ini diketik dengan huruf Times New Roman 12 poin, diletakkan di tengah margin. Contoh:

Mohammad Tarigan

Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jalan S. Parman No. 1 Jakarta 11440,

email [email protected].

JURNAL april.indd 5 5/16/2012 4:43:08 PM

Page 8: cover jurnal April 2010.cdr

VI

Abstrak

Abstrak ditulis dalam dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Panjang abstrak dari masing-masing bahasa sekitar 200 kata, disertai dengan kata-kata kunci (keywords) sebanyak 3 s.d. 5 terma (legal terms). Jarak antar-spasi 1,0 dan dituangkan dalam satu paragraf.

PENDAHULUAN III.

Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan jalannya peristiwa hukum (posisi kasus) yang menjadi inti permasalahan dalam putusan tersebut.

RUMUSAN MASALAH IV.

Subbab ini memuat formulasi permasalahan yang menjadi fokus utama yang akan dijawab nanti melalui studi pustaka dan analisis. Rumusan masalah sebaiknya diformulasikan dalam bentuk pertanyaan. Setiap rumusan masalah harus diberi latar belakang yang memadai dalam subbab sebelumnya.

STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS V.

Subbab ini diawali dengan studi pustaka, yakni tinjauan data/informasi yang diperoleh melalui bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga hasil-hasil penelitian, buku, dan artikel yang relevan dan mutakhir. Paparan dalam studi pustaka tersebut harus menjadi kerangka analisis terhadap rumusan masalah yang ingin dijawab. Bagian berikutnya adalah analisis permasalahan. Analisis harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian analisis ini harus menyita porsi terbesar dari keseluruhan substansi naskah.

KESIMPULANVI.

Subbab terakhir ini memuat jawaban secara lengkap dan singkat atas semua rumusan masalah.

PENGUTIPAN DAN DAFTAR PUSTAKA

Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan sistem catatan perut (body note atau side note) dengan urutan nama penulis/lembaga, tahun terbit, dan halaman yang dikutip. Tata cara pengutipannya adalah sebagai berikut:

Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), ...

Dua penulis: (Abelson dan Friquegnon, 2010: 50-52);

Lebih dari dua penulis: (Hotstede. Et.al., 1990: 23);

Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10).

Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar pustaka (bibliografi) pada akhir naskah. Tata

JURNAL april.indd 6 5/16/2012 4:43:08 PM

Page 9: cover jurnal April 2010.cdr

VII

cara penulisan daftar pustaka dilakukan secara alfabetis, dengan contoh sebagai berikut:

Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 2010. Ethics for Modern Life. New York: St. Martin’s Press.

Grassian, Victor. 2009. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral Problems. New Jersey: Prentice-Hall.

Cornell University Library. 2009. “Introduction to Research.” Akses 20 Januari 2010. <http://www.library.cornell.edu/resrch/intro>.

PENILAIAN

Semua naskah yang masuk akan dinilai dari segi format penulisannya oleh tim penyunting. Naskah yang memenuhi format selanjutnya diserahkan kepada mitra bestari untuk diberikan catatan terkait kualitas substansinya. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.

CARA PENGIRIMAN NASKAH

Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail:

[email protected]

dengan tembusan ke:

[email protected] dan [email protected].

Personalia yang dapat dihubungi (contact persons):

Nur Agus Susanto (085286793322);

Dinal Fedrian (085220562292); atau

Arnis (08121368480).

Alamat redaksi:

Pusat Data dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906215.

JURNAL april.indd 7 5/16/2012 4:43:08 PM

Page 10: cover jurnal April 2010.cdr

VIII

Penanggung Jawab : Muzayyin Mahbub.

Pemimpin Redaksi : Patmoko

Penyunting/Editor : 1. Hermansyah

2. Onni Roeslani

3. Heru Purnomo

4. Imron

5. Asep Rahmad Fajar

6. Suwantoro

Redaktur Pelaksana : Dinal Fedrian

Arnis Duwita

Sekretariat : 1. Sri Djuwati

2. Yuni Yulianita

3. Romlah Pelupessy.

4. Ahmad Baihaki

5. Arif Budiman.

6. Adi Sukandar

7. Aran Panji Jaya

8. Nur Agus Susanto

Desain Grafis & Fotografer : Widya Eka Putra

TIM

PE

NY

US

UN

JURNAL april.indd 8 5/16/2012 4:43:08 PM

Page 11: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 1

PENERAPAN FILSAFAT PEMIDANAAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Luh Rina AprianiFakultas Hukum Universitas Pancasila, Jalan Srengseng Sawah Jakarta Selatan, 12640

email:[email protected]

Kajian Putusan Nomor 19/PID.B.TPK/2008/PN.JKT.PST

ABSTRACTWhen the judges tried to understand a certain text, he was influenced by an existing perperception associated with the text. The philosophy of punishment applied by the judges in this court decision could be viewed from this context. With this background, the author believed that even though the judge have tried to accommodate the value and merit of legal certainty in the decision, but the value of justice that they tried to bring forth was still not ideal yet, mainly in consideration of the fact that corruption has been categorized a serious crime in this country.

Keywords: philosophy of punishment, corruption, serious crime

ABSTRAKApabila hakim senantiasa terpaku untuk memahami teks yang sudah pasti (aturan hukum), maka dapat dipastikan pandangannya akan terpengaruh oleh teks tersebut. Hakim dalam memutuskan perkara juga didasarkan pada falsafah pemidanaannya. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis percaya bahwa hakim dalam putusan ini mencoba mengakomodir nilai dan manfaat kepastian hukum dalam memutuskan perkara, sementara nilai keadilan masih belum mendapatkan porsi yang tepat. Padahal, nilai keadilan masih menjadi tataran ideal terutama dalam mempertimbangkan fakta kasus korupsi yang dikategorikan kejahatan serius di negara ini justru terbaikan.

Kata kunci: filosofi hukuman, korupsi, kejahatan berat

JURNAL april.indd 1 5/16/2012 4:43:08 PM

Page 12: cover jurnal April 2010.cdr

2 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

PENDAHULUANI.

Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan “pintu masuk” bagi tindak korupsi. Inilah hakikat pernyataan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad 19 dengan adagiumnya yang terkenal: Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely (kekuasaan itu cenderung disalahgunakan, dan kekuasaan yang absolut sudah pasti disalahgunakan).

Pernyataan di atas dialami oleh A seorang anggota DPR yang menjadi terdakwa dalam perkara Nomor 19/PID.B/TPK/2008/PN.JKT.PST karena tuduhan melakukan korupsi berkaitan dengan usulan pelepasan hutan lindung Tanjung Pantai Air Telang untuk pembangunan Samudera Tanjung Api-Api di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan serta usulan pelepasan kawasan hutan lindung Pulau Bintan Kabupaten Bintan. Selain itu, A juga didakwa terlibat pemerasan dalam proyek pengadaan GPS geodetik, GPS handled, dan total station pada Departemen Kehutanan.

Kendati kajian dalam tulisan ini lebih terfokus pada filsafat pemidanaan dari suatu putusan hakim, duduk perkara dari kasus yang melatarbelakangi putusan hakim tersebut tentu perlu dibentangkan terlebih dulu.

Peristiwa hukum dalam putusan ini diawali dengan adanya pertemuan anggota DPR bulan September 2006, di mana terdakwa sebagai anggota Dewan ikut serta berkunjung ke Provinsi Sumatera Selatan untuk membicarakan usulan tentang pelepasan kawasan hutan lindung Tanjung Pantai Air Telang. Pada kesempatan itu S selaku Ketua Badan Pengelola dan Pengembangan Kawasan Pelabuhan Tanjung Api-Api (BPTAA) meminta agar Dewan dapat segera memproses dan menyetujui usulan pelepasan kawasan hutan lindung Tanjung Pantai Air Telang untuk pembangunan Samudera Tanjung Api-Api dan menjanjikan akan memberikan dana.

Untuk menindaklanjuti keinginan tersebut, S menemui C selaku calon investor proyek bersama Sekretaris Kabupaten Bintan untuk melakukan proses pendekatan kepada anggota Dewan guna mempercepat proses pelepasan kawasan hutan lindung Tanjung Pantai Air Telang. Dalam kurun waktu bulan Oktober 2006 sampai dengan Desember 2007, proses pendekatan dilakukan kepada anggota Dewan dengan difasilitasi oleh terdakwa dengan komitmen bahwa akan diberikan sejumlah uang kepada anggota Dewan melalui terdakwa jika pelaksanaan proyek sesuai dengan yang dikehendaki oleh pihak investor dan Pemerintah Daerah Bintan.

Tercatat paling tidak terdapat pemberian yang dilakukan pada tanggal 12 Oktober 2007 di ruang kerja ST, Gedung Dewan di Jakarta, C memberikan MTC dalam amplop yang berisi uang dengan nilai Rp. 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah). Amplop tersebut diberikan kepada terdakwa yang selanjutnya oleh terdakwa dibagi-bagikan kepada anggota Dewan yang lain, sedangkan terdakwa memperoleh tiga MTC masing-masing MTC bernilai Rp. 25.000.000,-

JURNAL april.indd 2 5/16/2012 4:43:08 PM

Page 13: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 3

(dua puluh lima juta rupiah) sehingga total yang diterima oleh terdakwa adalah uang sejumlah Rp. 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah).

Selain itu terdakwa juga menerima dana yang diminta sebagai dana untuk Pimpinan dan Tim Lobby Dewan menjadi Rp. 2.100.000.000,- (dua milyar seratus juta rupiah) ditambah dengan dana untuk kunjungan empat orang anggota Dewan RI ke India sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), dan dana kunjungan anggota Dewan ke Pulau Bintan sebesar Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah). Dana itu untuk proses persetujuan Dewan.

Permintaan tersebut dipenuhi oleh secara bertahap, yaitu: pertama, tanggal 2 Desember 2007, melalui staf pribadinya, diserahkan uang sejumlah Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) kepada terdakwa di rumah terdakwa di komplek anggota Dewan. Kedua, tanggal 11 Desember 2007, terdakwa menerima uang sejumlah Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dari AZ saat terdakwa berkunjung ke Kabupaten Bintan. Uang tersebut sebagai uang sangu Tim Hutan Lindung anggota Dewan. Ketiga, tanggal 8 April 2008, terdakwa menerima lagi sejumlah uang dari AZ sebanyak Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) ditambah SDG 30.000,- (tiga puluh ribu dollar Singapura). Uang tersebut diserahterimakan AZ kepada terdakwa di salah satu hotel bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. AZ juga membayarkan biaya pertemuan tersebut sebesar Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah). Pada saat pertemuan di Pub Mistere Hotel Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta Selatan itulah terdakwa diamankan oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi.

Selain terindikasi menerima sejumlah uang dalam rangka proses pelepasan kawasan hutan lindung Tanjung Pantai Air Telang untuk pembangunan Samudera Tanjung Api-Api di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan, terdakwa juga melakukan kegiatan konspirasi yang berkaitan dengan proyek pengadaan barang berupa Geographical Position System (GPS) Geodetik, Total Station dan GPS Handeld. Kegiatan itu dilakukan pada bulan Agustus 2007 dengan modus menghubungi Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Tahun 2007, yaitu EW lalu menanyakan perusahaan yang telah masuk daftar sebagai peserta lelang dan berapa persenkah bagian yang akan didapat terdakwa apabila terdakwa dapat memback up salah satu perusahaan (PT. AM) sebagai pemenang lelang.

Tindakan selanjutnya terjadi berupa pertemuan antara terdakwa, EW serta pihak PT. AM yaitu A. Saat itu pihak PT. AM menawarkan kepada terdakwa bagian sebesar 15% dari nilai pembayaran, namun terdakwa meminta sebesar 20%. Setelah tawar-menawar, didapat kesepakatan bahwa bagian untuk terdakwa sebesar 17,5%. Pada bulan Agustus 2007 itu pula terdakwa menghubungi AAD, salah satu pejabat Badan Planalogi sekaligus merangkap Kuasa Pengguna Anggaran dan Pejabat Pembuat Komitmen.

Dalam pembicaraan tersebut, terdakwa meminta kepada AAD untuk memenangkan salah satu peserta lelang proyek, yaitu PT. AM, dan mengancam apabila hal ini tidak dilakukan maka posisi pejabat di Badan Planalogi akan digeser pada posisi lain yang kurang strategis. Permintaan

JURNAL april.indd 3 5/16/2012 4:43:08 PM

Page 14: cover jurnal April 2010.cdr

4 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

perusahaan tidak dipenuhi oleh AAD, dan pada saat pengumuman lelang dilakukan pada tanggal 12 November 2007 oleh panitia lelang, dinyatakan bahwa pemenang untuk proyek tersebut adalah PT. DS.

Setelah mengatahui hasil lelang yang ternyata memenangkan PT. DS, terdakwa menanyakan kepada AW alasan perusahaan itu bisa menang sedangkan PT. AM kalah. EW mengatakan bahwa proses lelang dilakukan dengan murni dan hanya PT. DS yang memenuhi persyaratan. Terdakwa kemudian menanyakan produk dari PT. DS dan akhirnya mengetahui bahwa PT. AM menyediakan GPS untuk PT. DS.

Terdakwa kemudian meminta agar komitmen awal 17,5% bagiannya direalisasikan, karena walaupun PT. AM bukanlah pemenang lelang namun di dalam PT. DS terdapat produk PT. AM sehingga terdakwa merasa bahwa komitmen yang telah dibicarakan tetap berlaku. Terdakwa menambahkan menginginkan fee sebesar 5,5% dari PT. DS walaupun di awal tidak pernah ada komitmen.

Dalam kesempatan itu pula terdakwa menggarisbawahi akan meminta AAD untuk tidak menandatangani kontrak apabila keinginannya tidak dipenuhi. Merasa terancam oleh pernyataan terdakwa, maka baik PT. DS maupun PT. AM menyerahkan uang sebagai berikut: (1) PT. DS menyerahkan uang melalui BDH sebesar Rp. 186.000.000,- (seratus delapan puluh enam juta rupiah); (2) PT. AM memberikan uang melalui BDH sebanyak dua kali yang seluruhnya berjumlah Rp1.200.000.000,- (satu milyar dua ratus juta rupiah), lalu diserahkan kembali kepada AAD sebesar Rp. 550.000.000,- (lima ratus lima puluh juta rupiah), sehingga sisa yang diterima terdakwa adalah sebesar Rp. 650.000.000,- (enam ratus lima puluh juta rupiah).

Berdasarkan temuan awal di lapangan mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan, maka penuntut umum dalam Surat Dakwaan Nomor Dak-19/24/VIII/2008 tanggal 21 Agustus 2008 mendakwa terdakwa dengan dakwaan kombinasi, yaitu dakwaan kumulatif yang mengandung subsidiaritas sebagai berikut:

1. Dakwaan kesatu primair: terdakwa didakwa melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2. Dakwaan kesatu subsidair: terdakwa didakwa melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

3. Dakwaan kedua: terdakwa didakwa melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur

JURNAL april.indd 4 5/16/2012 4:43:08 PM

Page 15: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 5

dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Berdasar dakwaan kombinasi tersebut di atas, Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan serta mengembalikan uang yang dinikmati sebesar Rp. 2.957.000.000,- (dua milyar sembilan ratus lima puluh tujuh juta rupiah).

Setelah mempertimbangkan fakta hukum dan memperhatikan keberadaan alat bukti di persidangan, majelis hakim dalam pertimbangan hukum yang diuraikan berkeyakinan bahwa kedua tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa masing-masing diancam dengan hukuman yang sejenis, yaitu hukuman penjara, maka majelis hakim akan memutuskan secara proporsional sesuai dengan asas keadilan, kepastian hukum dan asas manfaat. Sebelum menetapkan putusannya, majelis hakim juga mempertimbangkan nota pembelaan, baik yang disampaikan sendiri oleh terdakwa maupun tim penasihat hukumnya, dimana majelis hakim tidak sependapat dengan pembelaan tersebut.

Setelah mempertimbangkan berbagai fakta yang ada termasuk mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa, maka majelis hakim pada akhirnya memutuskan sebagai berikut:

Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam 1. dakwaan ke satu primair;

Terdakwa terbukti melakukan gabungan tindak pidana korupsi sebagaimana 2. didakwakan dalam dakwaan ke satu subsidair dan dakwaan ke dua;

3. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama delapan tahun dipotong lamanya terdakwa dalam tahanan sementara dan denda sebesar Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) subsidair enam bulan kurungan;

4. Memerintahkan terdakwa tetap dalam tahanan;

5. Memerintahkan barang bukti dirampas untuk negara;

6. Menghukum terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).

RUMUSAN MASALAHII.

Pada dasarnya aspek pemidanaan merupakan kristalisasi dari sistem peradilan pidana sebagaimana dijatuhkan dalam putusan hakim. Secara teoretik kepustakaan baik menurut ruang

JURNAL april.indd 5 5/16/2012 4:43:08 PM

Page 16: cover jurnal April 2010.cdr

6 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

lingkup sistem Anglo-Saxon maupun Eropa Kontinental terminologi peradilan pidana sebagai sebuah sistem relatif masih diperdebatkan (Park, 1987: 25). Pada sistem peradilan pidana tersebut yang berpuncak adanya putusan atau vonis hakim, jika dikaji dari perspektif teoretik dan praktik peradilan, acapkali menimbulkan disparitas dalam hal pemidanaan (sentencing of disparity). Hal ini juga berkorelasi dengan kebijakan pidana dimana kebijakan formulatif merupakan kebijakan strategis dan menentukan bagi kebijakan aplikatif.

Pada sisi lain, seorang hakim yang hendak merumuskan putusan, selain dipengaruhi faktor normatif yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan, juga dipengaruhi oleh faktor prapemahaman (voorverstandnis) yang berasal dari variabel sosiologis, psikologis, antropologis, moral, etika, dan religius. Semua memberi pengaruh yang signifikan dalam pembuatan putusan yang tak mungkin dipahami dengan sekadar kajian normatif. Sesuai dengan teori pendekatan hermeneutikal, diketahui bahwa pemahaman (verstehen) setiap orang tanpa terkecuali dipengaruhi oleh faktor prapemahaman mereka (Ali, 2009: 2).

Pada tataran ini hakim dituntut untuk dapat mempergunakan landasan filsafat pemidanaan yang tepat sebagai bentuk pijakan dasar dan aktualisasi nilai keadilan. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan diuraikan mengenai tingkat kesesuaian filsafat pemidanaan yang dianut hakim dalam mengakomodasi nilai keadilan dalam putusannya. Pertanyaan kajian berikut ini adalah apakah landasan filosofis pemidanaan yang digunakan oleh hakim dalam putusan perkara korupsi ini telah mengakomodasi nilai keadilan di masyarakat?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS III.

Clarkson (1998: 214) menyatakan, hukum sebagai suatu instrumen kehidupan manusia mempunyai fungsi simbolik atau fungsi ekspresif. Meskipun demikian, dalam perkembangannya, hukum kemudian menjadi aturan untuk menentang berbagai bentuk diskriminasi seksual dan rasial. Tujuannya tidak saja secara murni menyediakan satu penyelesaian (remedy) bagi para korban diskriminasi, tapi juga untuk menyampaikan dan menggarisbawahi pesan penting bahwa diskriminasi seperti itu adalah salah. Mengekspresikan pesan melalui hukum pidana berarti menolak total suatu perbuatan atau membuat pesan menjadi lebih kuat.

Pemberian hukuman memberikan ekspresi yang pasti dan suatu pengesahan yang sungguh-sungguh atas kebencian yang muncul akibat sebuah tindak pidana, serta ketidakbenaran moralitas yang mendasarinya. Jadi hukum pidana meneruskan prinsip-prinsip bahwa adalah benar secara moral membenci penjahat, dan hukum pidana menegaskan dan membenarkan perasaan itu dengan memberikan terhadap penjahat, hukuman yang mengekspresikannya.

Ekspresi yang dimunculkan oleh masyarakat ini dibangun dengan tujuan bahwa hukum akan dapat menjadi efektif hanya jika pelanggaran-pelanggaran dihukum. Hal ini sekaligus menempatkan suatu kewajiban moral atas masyarakat untuk menghukum kejahatan sebagaimana

JURNAL april.indd 6 5/16/2012 4:43:08 PM

Page 17: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 7

masyarakat menempatkan suatu kewajiban moral atas anggotanya untuk menahan diri agar tidak melanggar hukum. Penjatuhan hukuman menandakan ketidaksetujuan masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan jahat dan menegaskan kembali nilai-nilai hukum pidana yang dirancang untuk ditegakkan. Hal ini merefleksikan pandangan yang lebih modern tentang tempat yang lebih tepat bagi retribusi dalam sistem peradilan pidana (Allen, 1999: 3-4).

Dalam kajian perspektif sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia dikenal adanya lima institusi yang merupakan subsistem peradilan pidana. Kelima institusi tersebut dikenal sebagai pancawangsa penegak hukum, yang terdiri dari lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan dan advokat.

Pada sistem peradilan pidana tersebut yang berpuncak adanya putusan atau vonis, hakim hakikatnya dikaji baik dari perspektif teoritik maupun praktik peradilan yang acapkali menimbulkan disparitas dalam hal pemidanaan (sentencing of disparity) dan juga berkorelasi dengan kebijakan pidana. Kebijakan pidana pada satu sisi berfungsi sebagai kebijakan formulatif yang merupakan kebijakan strategis dan menentukan bagi kebijakan aplikatif.

Pada dasarnya, konteks kebijakan dalam hukum pidana berasal dari terminologi policy (Inggris) atau politiek (Belanda). Terminologi itu dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk penegak hukum) untuk mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan mengalokasikan hukum/peraturan dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).

Pada asasnya, dapat dikatakan bahwa kebijakan hukum pidana sering dipertukarkan dengan istilah politik hukum pidana. Lazimnya, istilah politik hukum pidana, juga disebut dengan istilah penal policy, criminal law atau strafrechtpolitiek. Berdasarkan dimensi di atas, kebijakan hukum pidana hakikatnya merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana agar sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang (ius constituendum). Konsekuensi logis yang kemudian timbul adalah kebijakan hukum pidana identik dengan penal reform dalam arti sempit. Sebab, sebagaimana suatu sistem, hukum pidana pun mengandung komponen budaya (culture), struktur (structure), dan substansi (substance).

Dalam rangka membumikan suatu kebijakan hukum pidana di lingkungan yudikatif, seorang hakim dituntut untuk dapat memperhatikan suatu filsafat pemidanaan yang dinilai layak untuk dapat diterapkan dalam sebuah putusan. Pada dasarnya, pengertian secara filsafati, filsafat pemidanaan di sini diartikan mempunyai dimensi dan orientasi pada anasir pidana, sistem pemidanaan dan teori pemidanaan khususnya bagaimana penjatuhan pidana oleh hakim dan proses peradilannya di Indonesia.

JURNAL april.indd 7 5/16/2012 4:43:08 PM

Page 18: cover jurnal April 2010.cdr

8 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

Menurut M. Sholehuddin (2003: 81-82), filsafat pemidanaan hakikatnya mempunyai dua fungsi utama. Pertama, fungsi fundamental, yaitu sebagai landasan dan asas normatif atau kaidah yang memberikan pedoman, kriteria atau paradigma terhadap masalah pidana dan pemidanaan. Fungsi ini secara formal dan intrinsik bersifat primer dan terkandung di dalam setiap ajaran sistem filsafat. Maksudnya, setiap asas yang ditetapkan sebagai prinsip maupun kaidah itulah yang diakui sebagai kebenaran atau norma yang wajib ditegakkan, dikembangkan dan diaplikasikan. Kedua, fungsi teori: dalam hal ini sebagai meta-teori. Maksudnya, filsafat pemidanaan berfungsi sebagai teori yang mendasari dan melatarbelakangi setiap teori-teori pemidanaan.

Dari tolok ukur demikian maka dapat dilihat bahwa filsafat pemidanaan juga berorientasi kepada model keadilan yang ingin dicapai dalam suatu sistem peradilan pidana. Dalam ranah hukum in-conreto, bagaimana hakim sebagai pengendali kebijakan aplikatif dalam hal menjatuhkan putusan juga berorientasi kepada dimensi secara teoritik serta pula harus mengacu kepada nilai-nilai keadilan yang ingin dicapai oleh semua pihak. Lebih jauh anasir ini dikatakan Sue Titus Reid (1987: 352) sebagai berikut: “Model Keadilan merupakan justifikasi modern untuk pemidanaan.

Model ini disebut pendekatan keadilan atau model Just desert (ganjalan setimpal) yang didasarkan atas dua teori (tujuan) pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention) dan retribusi (retribution). Dasar retribusi menganggap bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya. Juga dianggap bahwa sanksi yang tepat akan mencegah prakriminal itu melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagi dan juga mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan.”

Pidana sebagai suatu pranata sosial yang dapat mencerminkan nilai dan struktur masyarakat sehingga merupakan kesepakatan yang dibuat sebagai rekasi atas pelanggaran hati nurani bersama. Oleh karena itu, hukum pidana yang merupakan sarana kontrol sosial dan sebagai suatu produk politik sepantasnya merupakan sublimasi dari semua nilai masyarakat yang dirangkum dan dirumuskan oleh para legislator serta diterapkan oleh aparat dalam sistem peradilan pidana.

Pedoman pemidanaan memberikan dan berfungsi sebagai katalisator guna menjadi katup pengaman bagi hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa, agar hakim dapat menjatuhkan putusan secara lebih adil, arif, manusiawi dan relatif memadai terhadap kesalahan yang telah dilakukan terdakwa. Oleh karena itu, dengan adanya pedoman pemidanaan tersebut, maka diharapkan di samping ditemukan keadilan yang dapat diterima semua pihak juga tercermin adanya nilai kepastian hukum yang dijatuhkan hakim dalam putusannya.

Diskursus mengenai tujuan pemidanaan telah menjadi isu sentral dalam hukum pidana, karena pidana atau hukuman selalu berkenaan dengan tindakan-tindakan yang apabila tidak dilakukan oleh negara berlandaskan hukum maka akan menjadi tindakan yang bertentangan dengan moral. Oleh karena itulah, filsafat pemidanaan berusaha mencari pembenaran atas tindakan tersebut. Tujuan pemidanaan sendiri memiliki beberapa teori, yaitu:

JURNAL april.indd 8 5/16/2012 4:43:08 PM

Page 19: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 9

1. Teori retributif yang melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan moral dan susila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan penjatuhan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga tujuan pemidanaan hanyalah sebagai pembalasan. Dalam konteks ajaran ini, pidana merupakan rea absoluta ab affectu futuro (suatu keniscayaan yang terlepas dari dampaknya di masa depan). Dilakukannya kejahatan berkonsekuensi dijatuhkannya pemidanaan. Menurut Romli Atmasasmita (2005: 83-84), penjatuhan pidana bagi pelaku kejahatan dalam teori ini memiliki alasan-alasan pembenar sebagai berikut:

a. Dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasaan balas dendam bagi si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, keluarga maupun kawan-kawan korban. Perasaan ini tidak dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan sebagai tidak menghargai hukum. Tipe aliran retributif ini disebut vindicative;

b. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan bagi pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lain bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain atau mendatangkan keuntungan dari orang lain secara tidak wajar maka akan mendapat ganjarannya. Tipe ini disebut fairness;

c. Pemidanaan dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe ini disebut proportionality.

2. Teori relatif memandang bahwa pemidanaan memiliki tujuan yang lebih berarti daripada sekadar pembalasan, yaitu perlindungan masyarakat dan pencegahan kejahatan, baik pada tataran prevensi umum (sarana komunikasi yang merupakan pesan dari negara sebagai pemegang otoritas untuk menjatuhkan pemidanaan kepada masyarakat) maupun prevensi khusus (Mathiesen, 1995: 221). Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan.

Prevensi umum ini memiliki tiga fungsi, yaitu menegakkan wibawa pemerintah, menegakkan norma, dan membentuk norma. Prevensi khusus dimaksudkan bahwa dengan pemidanaan yang dijatuhkan, diberikan deterrence effect kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali. Di sisi lain, fungsi perlindungan kepada masyarakat memungkinkan bahwa dengan pidana pencabutan kebebasan selama beberapa waktu maka masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang mungkin dilakukan si pelaku. Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai aliran reduktif (reductivism) karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam aliran ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan (”…the justification of penalizing offences is that this reduces their frequency”) (Mulyadi, 2006: 9).

3. Teori gabungan berusaha meretas jalan dan menemukan benang merah antara kedua teori

JURNAL april.indd 9 5/16/2012 4:43:08 PM

Page 20: cover jurnal April 2010.cdr

10 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

di atas. Teori gabungan mengakui bahwa pembalasan merupakan dasar dijatuhkannya pemidanaan, namun seharusnya perlu diperhatikan bahwa pemidanaan ini dapat bermanfaat untuk tujuan lain, misalnya kesejahteraan masyarakat. Tokoh teori gabungan ini adalah Pallegrino Rossi, yang dalam bukunya Traite de Droit Penal menyatakan bahwa pembenaran pidana terletak pada pembalasan dan hanya orang yang bersalah yang dapat dipidana. Pidana yang dijatuhkan harus sesuai dengan kejahatan yang dilakukan sehingga beratnya pidana harus sesuai dengan beratnya kejahatan yang dilakukan.

Majelis hakim dalam perkara Nomor 19/PID.B/TPK/2008/PN.JKT.PST ini telah berusaha untuk menjatuhkan pemidanaan kepada terdakwa secara proporsional sesuai dengan asas keadilan, kepastian hukum dan asas manfaat. Dalam argumentasi yang diutarakan oleh majelis hakim diuraikan bahwa kiranya patut disimak pemikiran Gustav Radbruch yang secara luas telah banyak diketahui oleh mereka yang belajar ilmu hukum.

Radbruch berbicara tentang cita hukum (idee des Rechts) yang berfungsi membimbing manusia dalam kehidupan berhukum. Cita hukum ini menurut Radbruch ditopang oleh tiga pilar, yang disebutnya sebagai nilai-nilai dasar dari hukum (grundwerten), yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Sekalipun secara ideal ketiga nilai dasar tersebut harus tercermin sebagai isi hukum, namun dalam kenyataannya ketiganya justru berada dalam keadaan yang tidak selalu selaras satu dengan yang lain.

Dalam kenyataannya, ketiganya saling berhadapan, bertentangan, dan bertegangan. Kemanfaatan bisa bertabrakan dengan keadilan, keadilan bisa bertabrakan dengan kepastian, kepastian bisa bertabrakan dengan kemanfaatan, dan seterusnya. Dalam khasanah hukum modern, suasana bertegangan di antara ketiga nilai dasar tersebut memiliki potensi yang lebih besar. Dibandingkan dengan di dalam hukum tradisional, maka ketegangan antara (kepastian) hukum dengan keadilan nyaris tidak terjadi, mengingat hukum yang ada tumbuh secara alami sejalan dengan tumbuhnya perasaan keadilan di masyarakat. Namun sejak hukum itu dibuat (dipositifkan) dan menjadi bersifat publik melalui organisasi yang disebut negara, maka persoalan kepastian hukum menjadi lebih mengedepan, dan berkecenderungan meniadakan nilai-nilai dasar yang lain.

Untuk hal itu, Satjipto Rahardjo mengatakan “kepastian hukum menyangkut masalah “law being written down”, bukan tentang keadilan dan kemanfaatan. Kepastian hukum itu tidak ada hubungannya dengan “die Sicherkeit durch das Recht” seperti memastikan bahwa pencurian, pembunuhan, menurut hukum merupakan kejahatan. Kepastian hukum adalah “Sicherkeit des Rechts Selbst” (kepastian tentang hukum itu sendiri)” (Rahardjo, 2006: 136).

Berkaitan dengan tujuan pemidanaan, yang teori-teorinya telah dibahas di atas, nampak bahwa majelis hakim pada perkara Nomor 19/PID.B/TPK/2008/PN.JKT.PST lebih condong untuk mempergunakan teori pemidanaan relatif yang tujuannya tidak hanya sekedar pembalasan, tetapi

JURNAL april.indd 10 5/16/2012 4:43:09 PM

Page 21: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 11

lebih kepada perlindungan masyarakat dan pencegahan kejahatan. Prinsip special deterrence dikedepankan karena majelis hakim menilai masih ada harapan bagi terdakwa untuk memperbaiki diri. Oleh karena itu, hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa juga menjadi bagian pertimbangan majelis hakim, walaupun tidak diuraikan secara terperinci satu persatu.

Prinsip special deterrence yang dianut oleh majelis hakim secara implisit mengakomodiasi nilai keadilan dalam sudut subyektivitas yang mengabsorpsi nilai keadilan individual. Karakteristik dari perkara ini yang memposisikan A sebagai terdakwa yang notabene sebagai seorang anggota Dewan yang memiliki kedudukan sebagai perwakilan dari suara rakyat dan merupakan anggota dari lembaga terhormat yang mempunyai fungsi legislasi. Majelis hakim dalam kasus ini seharusnya lebih tanggap terhadap nilai-nilai keadilan yang tidak hanya ada di dalam ruang pengadilan, namun juga dapat mempertimbangkan nilai keadilan yang ada di masyarakat.

Frans Magnis-Suseno (1991: 131-134) mengklasifikasi keadilan dalam dua tipe keadilan yaitu keadilan individual yang merujuk pada bentuk keadilan yang bergantung dari kehendak baik dan buruk masing-masing individu dan keadilan sosial sebagai bentuk keadilan yang pelaksanaannya bergantung pada struktur proses-proses ekonomis, sosial, budaya, dan ideologis dalam masyarakat. Dalam putusan ini terkesan majelis hakim tidak tanggap dengan indikator keadilan sosial dan hanya memperhatikan posisi terdakwa dalam perannya A sebagai pribadi semata namun mengenyampingkan keberadaan terdakwa sebagai anggota Dewan.

Keterlibatan anggota Dewan dalam tindak pidana korupsi sebagaimana yang terjadi dalam kasus ini tentu saja hanya merupakan fenomena gunung es dari praktek korupsi di dalam lingkup anggota legislatif. Tindak pidana korupsi yang hadir sebagai suatu bentuk kejahatan lahir bukan hanya dalam dimensi kejahatan yang mengakibatkan kerugian negara semata, melainkan telah memberikan dampak yang sangat luas di bidang ekonomi, sosial, keamanan, politik, dan budaya sehingga dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas suatu bangsa (Atmasasmita, 2002: 1).

Kondisi tindak pidana korupsi yang demikian beserta multiplier effect yang timbul seharusnya dapat memberikan suatu konstruksi integralistik dalam memahami suatu tindak pidana yang salah satunya dapat dilakukan dengan pendekatan hermeneutika hukum. Di bidang hukum, hermeneutika hukum hadir sebagai seni untuk menerapkan asas-asas hukum, norma-norma hukum dan aturan-aturan hukum, khususnya yang tertulis, ke suatu kasus hukum yang konkret, di mana di dalamnya mencakup: (a) dalam hal aturan hukumnya sudah ada menggunakan berbagai jenis metode interpretasi dan jenis-jenis metode penalaran lainnya; (b) sedangkan dalam hal aturan hukum belum ada, maka menggunakan berbagai jenis konstruksi, dengan menggunakan penalaran hukum yang logis, yang tentu saja bersifat kasuistis.

Dalam proses hermeneutikal itu berlangsung pembentukan pemahaman (verstehen) dari si penafsir, yang sangat dipengaruhi oleh prapemahaman, prapengetahuan, atau praduga

JURNAL april.indd 11 5/16/2012 4:43:09 PM

Page 22: cover jurnal April 2010.cdr

12 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

(voorverstandnis) dari si penafsir itu. Jadi dalam memahami suatu teks, entah itu teks undang-undang, teks Al-Quran, atau kitab suci lain, teks buku, dan sebagainya, maka pembentukan atau lahirnya pemahaman selalu dimulai dari prapemahaman dari si pembaca teks. Hermeneutika hukum adalah mencakupi metode penemuan hukum (rechtsvinding), penciptaan hukum (rechtscheppend) dan penerapan aturan umum ke kasus konkret (rechtstoepassing) yang alatnya terdiri dari berbagai jenis metode interpretasi, berbagai jenis metode penalaran dan berbagai jenis konstruksi.

Menurut J.A. Pontier (2008: 101), proses penemuan hukum oleh hakim, bersifat perspektivistis, dalam makna bahwa proses itu senantiasa terikat pada hal-hal yang sifatnya subjektif pribadi, yaitu sudut pandang atau perspektif pribadi masing-masing hakim. Pendekatan hermeneutikal memang selalu menekankan bahwa manusia mustahil pernah mampu mengenal dan memahami suatu objek ataupun teks secara terlepas dari pandangan pribadi si penafsir objek atau teks tersebut. Pemahaman hanya dapat terjadi dengan selalu mengacu pada sudut pandang tertentu (yang tentu saja mustahil terbebas dari subjektivitas); suatu harapan tertentu yang muncul dari seperangkat pengetahuan yang telah ada sebelumnya, jadi merupakan prapengetahuan bagi hakim.

Hakim dengan segala keleluasaan yang dimiliki seharusnya dapat melakukan elaborasi mendalam terhadap karakteristik dari suatu tindak pidana yang diperiksa di pengadilan. Hakim tidak lagi hanya berfungsi sebagai corong undang-undang, namun dapat menangkap isyarat non normatif dari suatu tindak pidana dan dampak yang dihasilkan dari tindak pidana tersebut. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh anggota Dewan tentu mempunyai konstruksi moral yang berbeda dengan tindak pidana korupsi di sektor swasta, sebagai anggota dari lembaga terhormat.

Putusan hendaknya mempunyai konsep prapemahaman secara utuh dan holistik untuk dapat mengadopsi nilai keadilan secara keseluruhan seperti halnya yang dikatakan Aristoteles dalam De Anima yang pernah menuliskan: ”Nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu,” yang artinya: ”Tidak ada satupun dalam pikiran kita, yang sebelumnya tidak lebih dahulu berada dalam diri kita.”

SIMPULAN IV.

Gambaran buram tentang kekuasaan kerap muncul karena kita sering merujuk praktik kekuasaan yang digenggam oleh politisi busuk. Akan tetapi, adagium “kekuasaan itu cenderung korup” sebenarnya bisa ditepis ketika hadir kekuasaan yang amanah, adil dan demokratis serta memiliki visi dan komitmen yang jelas tentang clean and good governance.

Keberadaan wadah pengadilan tidak hanya sebagai penentu salah atau tidaknya seseorang yang diposisikan sebagai terdakwa, namun dalam konteks makro peradilan seringkali dijadikan sebuah tolok ukur nilai keadilan dan sebuah perilaku hukum dalam arti yang paling umum.

JURNAL april.indd 12 5/16/2012 4:43:09 PM

Page 23: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 13

Keberadaan filsafat pemidanaan sebagai suatu landasan pikir dalam menentukan layak atau tidaknya serta tujuan dari pemidanaan mempunyai arti penting dalam suatu pengambilan putusan. Sebagaimana keberadaan suatu filsafat tentu nilai keadilan wajib untuk diakomodasi oleh majelis hakim sebagai tujuan hukum pada umumnya. Keadilan tidak hanya dimaknai dalam dimensi pada ruang peradilan dengan memperhatikan kepentingan terdakwa semata namun juga keadilan yang berada di masyarakat.

Konsep special deterrence dikedepankan oleh majelis hakim dalam perkara Nomor 19/PID.B/TPK/2008/PN.JKT.PST, namun di lain pihak konsep ini terasa kurang memperhatikan rasa keadilan di dalam masyarakat dan kurang menimbulkan efek jera, baik bagi si pelaku maupun bagi masyarakat. Seharusnya teori pemidanaan retributif lebih cocok untuk menghilangkan kesan putusan ini menodai kepercayaan masyarakat, sehingga dapat dijatuhkan pidana seberat-beratnya mengingat tindak pidana korupsi sudah dinilai sebagai kejahatan ”berat”.

Putusan ini seharusnya dapat melihat karakteristik suatu kasus mulai dari terdakwa dengan segala atribut yang melekat hingga lingkup terjadinya tindak pidana yang didakwakan. Memperhatikan seluruh faktor-faktor tersebut yang ada. Dengan demikian putusan sebuah putusan yang tidak hanya mempunyai rasionalitas namun juga sebagai bentuk akomodasi keberpihakan hukum kepada masyarakat.

Akhirnya, tulisan ini akan diakhiri dengan mengutip pernyataan Socrates, seorang filsuf Yunani, di muka pengadilan: “Tuan-tuan, kekuasaan tuan-tuan dapat membuat hukum semau-maunya. Tetapi kekuasaan tuan-tuan pada akhirnya akan dapat dikalahkan perasaan keadilan dari rakyat yang tidak dapat dimatikan atau ditindas. Lama setelah saya mati nanti, tuan-tuan sebagai hakim akan dikenal sebagai contoh di mana hukum tidak sama dengan keadilan. Hukum datang dari otak manusia, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat....”

DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Bandung: Mandar Maju.

Magnis-Suseno, Franz. 1991. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.

Mathiesen, T. 1995, “General Prevention as Communication.” Dalam R.A. Duff & David Garland. A Reader on Punishment. New York: Oxford University Press.

Mulyadi, Mahmud. 2006, Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemidanaan dalam Penegakan Hukum Pidana di Indonesia. Medan: USU Repository.

JURNAL april.indd 13 5/16/2012 4:43:09 PM

Page 24: cover jurnal April 2010.cdr

14 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

Pecker, Herbert L. 1968. The Model in Operation: from Arrest to Charge. California: Stanford University Press.

Pontier, J.A. 2009. Penemuan Hukum. Terjemahan B. Arief Sidharta. Bandung: Jendela Masa Pustaka.

Rahardjo, Satjipto. 2006. Hukum dalam Jagat Ketertiban. Jakarta: UKI Press

Reid, Sue Titus. 1987. Criminal Justice, Procedures and Issues. New York: West Publishing Company.

Sianturi, S.R. 1984. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Alumni.

Soemodipradja, Achmad S. 1984. Pokok-Pokok Hukum Acara Pidana Indonesia. Bandung: Alumni.

Sholehuddin, M. 2003. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Wilardjo, Liek. 1990. Realita dan Desiderata. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

JURNAL april.indd 14 5/16/2012 4:43:09 PM

Page 25: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 15

TINDAK PIDANA KORUPSIDALAM PENYUSUNAN APBD

Saryono Hanadi, M.I. Wiwik Yuni Hastuti, Alef Musyahadah RahmahFakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Jalan Prof. HR Bunyamin 993 Purwokerto, 53122

email : [email protected]

Kajian Putusan Nomor 76/PID.B/2008/PN.PWT

ABSTRACT This article elaborates the Court Verdict Number 76/Pid./B/2008/PN.Pwt concerning on the case of corruption in APBD of Banyumas in 2003, which was conducted by its member of the DPRD . In this case, the prosecutors accused the defendants jointly conducting an on going act of corruption. The judges decided that the defendants were not accountable for their unlawful activity. Considering the defendants were just as the proposer of the budget in this matter, the court thus released them from all the prosecutions (van onslag of alle rechtsvervolging). There is a particular relationship between the board members regarding the budget proposal which was assumed to be deviated from the budget approved by the head of the region. It resulted in the release of these regulations. We cannot well thought-out where the fault is until we can find the connection with each other, which is the conducts of the participants that appear in the link as a unity.

Keywords: corruption of APBD, medeplegen, onslag van alle rechtsvervolging, criminal act.

ABSTRAK Artikel ini mengelaborasi Putusan Pengadilan Nomor 76/Pid./B/2008/PN.Pwt terkait dengan kasus korupsi APBD Banyumas tahun 2003, yang dilakukan oleh Anggota DPRD. Dalam kasus ini, jaksa menuntut terdakwa bersama-sama melakukan korupsi. Hakim memutuskan bahwa terdakwa menjalankan anggaran yang menyimpang. Pertimbangan terdakwa hanya mengajukan anggaran sehingga meminta pengadilan untuk melepaskan dari semua dakwaan, van onslag of alle rechtsvervolging. Dalam kasus ini terdapat keterkaitan anggota DPRD untuk melakukan pengawasan dan mensetujui anggaran yang diajukan oleh pemerintah sehingga keduanya bersama-sama melahirkan peraturan daerah. Oleh sebab itu, kita tidak bisa mengambil kesimpulan dimana letak kesalahannya hingga mendapatkan keterkaitan satu dengan yang lain karena merupakan satu kesatuan jaringan.

Kata kunci: korupsi APBD, turut serta, membebaskan para terdakwa dari segala tuntutan hukum, UU kejahatan.

JURNAL april.indd 15 5/16/2012 4:43:09 PM

Page 26: cover jurnal April 2010.cdr

16 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

PENDAHULUANI.

Kasus ini berkaitan dengan korupsi yang dilakukan oleh S, MB, K, DR, HS, W, AD, A yang merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Banyumas periode 1999-2004 yang disahkan berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 171/120/1999 tanggal 14 Agustus 1999. Para terdakwa juga sebagai Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT) DPRD Kabupaten Banyumas berdasarkan Surat Keputusan DPRD Kabupaten Banyumas Nomor 171/28/2002 tanggal 30 Desember 2002.

Mereka baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan terdakwa A, dan TWB, AR, HSY, dkk (yang perkaranya sudah inkracht) serta YN dan CS, pada waktu-waktu yang sudah tidak dapat diingat lagi antara bulan April 2003 sampai dengan bulan Desember 2003 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam tahun 2003 bertempat di Kantor DPRD Kabupaten Banyumas atau setidak-tidaknya pada tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto, dianggap telah melakukan atau turut serta melakukan, beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yang dilakukan mereka terdakwa dengan cara-cara antara lain sebagai berikut:

Bermula dari adanya penyusunan rancangan perubahan APBD tahun 2003 sesuai Surat • Bupati Banyumas No. 903/1933/2003 tanggal 12 April 2003 perihal Rencana Perubahan APBD tahun 2003 yang ditujukan kepada seluruh unit-unit kerja di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas termasuk pula Sekretariat DPRD maupun DPRD Kabupaten Banyumas.

Proses pengajuan perubahan anggaran dimulai dari unit-unit kerja lingkungan Pemerintah • Daerah Kabupaten Banyumas mengajukan usulan dan ditampung oleh tim penyusun rencana anggaran, tim penyusun membuat buku rencana perubahan APBD, diajukan kepada Bupati, Bupati membuat nota perubahan APBD dan selanjutnya bersama-sama diserahkan kepada DPRD untuk disidangkan dalam sidang pleno DPRD.

Dalam membahas anggaran DPRD untuk rencana perubahan APBD Tahun 2003 harus • berpedoman pada ketentuan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas No. 11 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Banyumas yang dalam Pasal 61 s.d. Pasal 72 yang mengatur mengenai ketentuan penghasilan-penghasilan sah dan biaya kegiatan bagi pimpinan dan anggota DPRD Kabupaten Banyumas.

Para terdakwa bersama-sama dengan AR, YN, CS, HSY, dalam rapat PURT yang membahas • anggaran DPRD untuk rencana perubahan APBD tahun 2003, tidak mengindahkan ketentuan

JURNAL april.indd 16 5/16/2012 4:43:09 PM

Page 27: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 17

Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas No. 11 Tahun 2002 tersebut di atas maupun ketentuan lainnya yang berlaku. Dengan maksud untuk meningkatkan penghasilan anggota DPRD Kabupaten Banyumas maka para terdakwa telah menyepakati menganggarkan beberapa jenis anggaran untuk kepentingan penghasilan anggota DPRD yang menyimpang dengan ketentuan yang berlaku.

Hasil keputusan rapat PURT tersebut setelah dilaporkan kepada TWB selaku Ketua DPRD • kemudian diserahkan kepada Sekretariat DPRD Kabupaten Banyumas untuk dibuatkan Konsep Draft Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) DPRD dimana untuk anggaran belanja penunjang kegiatan, anggaran bantuan perumahan dan bantuan fraksi dimasukkan dalam draft RASK DPRD, sedang anggaran untuk Perjalanan Dinas Tetap dimasukkan pada draft RASK Sekretariat Dewan.

Selanjutnya setelah konsep draft RASK DPRD dan Sekretariat DPRD disetujui PURT • maupun Ketua DPRD lalu RASK DPRD dan Sekretariat DPRD diserahkan kepada BPKD Kabupaten Banyumas untuk seterusnya dimasukkan dalam Konsep Rancangan Perubahan APBD tahun 2003 dan digabungkan dengan konsep rancangan perubahan anggaran dari unit kerja lainnya.

Bupati Banyumas menyampaikan Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Perubahan • APBD tahun 2003 beserta lampirannya kepada DPRD Kabupaten Banyumas untuk dimintakan persetujuan dimana dihadiri para terdakwa, dan kemudian Bupati memberikan jawaban atas pandangan umum anggota DPRD tersebut. Selanjutnya dilakukan pembahasan di komisi-komisi dengan anggota di antaranya para terdakwa, setelah itu TWB sebagai Ketua DPRD menyampaikan Rencana Perubahan APBD tahun 2003 tersebut untuk dilakukan pembahasan di panitia anggaran.

Dalam rangkaian proses pembahasan rancangan Perubahan APBD tahun 2003 Kabupaten • Banyumas di panitia anggaran, khususnya mengenai rencana anggaran DPRD yang diusulkan PURT tersebut tidak dilakukan pembahasan sebagaimana mestinya dan tidak dilakukan koreksi. Bahkan akhirnya panitia anggaran menyetujui rencana anggaran DPRD yang termuat dalam rancangan perubahan APBD tahun 2003 tersebut, sehingga tiga jenis anggaran DPRD yang dianggarkan PURT tersebut di atas menjadi teranggarkan dalam perubahan APBD tahun 2003.

Dalam Rapat Paripurna, panitia anggaran mengusulkan agar Rancangan Perubahan APBD • tahun 2003 dapat ditetapkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) tentang Perubahan APBD tahun 2003.

Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Banyumas yang dihadiri pula para terdakwa menyetujui • Rancangan Perubahan APBD tahun 2003 dengan Surat Keputusan DPRD Kabupaten

JURNAL april.indd 17 5/16/2012 4:43:09 PM

Page 28: cover jurnal April 2010.cdr

18 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

Banyumas No. 170/17/2003 tanggal 30 Juni 2003.

Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas menyetujui usulan perubahan anggaran DPRD • yang diajukan oleh DPRD, meskipun telah melewati batas maksimal yang ditentukan dalam Pasal 72 ayat (2) huruf e Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas No. 11 Tahun 2002; dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2003 tanggal 30 Juni 2003 tentang Perubahan APBD 2003.

Berdasarkan perubahan APBD yang baru tersebut para terdakwa telah menerima uang • masing-masing Rp. 15.630.000,- untuk bulan Juli sampai Desember 2003; yang diterimakan sekaligus.

Atas perbuatan para terdakwa, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan dakwaan berlapis, yaitu:

Dakwaan primair: Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana 1. telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Dakwaan subsidair: Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah 2. diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Dalam tuntutannya Jaksa Penuntut Umum meminta supaya majelis hakim pada Pengadilan Negeri Purwokerto yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan:

1. Menyatakan enam terdakwa bersalah melakukan tindak pidana ”bersama-sama melakukan korupsi secara berlanjut” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ke-1 KUHP;

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara masing-masing selama 2 (dua) tahun dengan perintah agar para terdakwa ditahan di Rutan;

3. Menjatuhkan pidana denda masing-masing sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) subsidair masing-masing selama 3 (tiga) bulan kurungan;

4. Menyatakan terhadap terdakwa dituntut membayar uang pengganti masing-masing sebesar Rp. 15.900.000,- (lima belas juta sembilan ratus ribu rupiah);

5. Menyatakan barang bukti berupa berkas-berkas dikembalikan kepada masing-masing pihak, sedangkan uang tunai sebesar Rp. 15.900.000,- (lima belas juta sembilan ratus rupiah) dari saudara K, uang tunai Rp. 15.945.000,- (lima belas juta sembilan ratus rupiah) dari saudara MB dan uang tunai Rp. 15.900.000,- (lima belas juta sembilan

JURNAL april.indd 18 5/16/2012 4:43:09 PM

Page 29: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 19

ratus rupiah) dari saudara W dirampas untuk negara cq Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas;

6. Menetapkan supaya para terdakwa dibebani membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah).

Dalam amarnya, Majelis Hakim menjatuhkan putusan pada pokoknya sebagai berikut:

1. Menyatakan terdakwa S, MB, K, DR, HS, W, AD dan A tersebut di atas terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan subsidair Jaksa Penuntut Umum, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.

2. Melepaskan terdakwa-terdakwa oleh karena itu dari tuntutan pidana (onslag van alle rechtsvervolging).

3. Memulihkan hak terdakwa-terdakwa, dalam kemampuan kedudukan harkat dan martabatnya seperti sedia kala.

4. Menetapkan barang bukti surat angka 1 sampai dengan angka 31 tetap di dalam berkas.

5. Membebankan biaya perkara kepada negara.

RUMUSAN MASALAHII.

Dugaan tindak pidana korupsi ini bermula dari usulan anggaran yang diajukan oleh para terdakwa terkait Rencana Perubahan APBD Kabupaten Banyumas tahun 2003. Dalam usulan yang diajukan oleh anggota DPRD tersebut terdapat penyimpangan dalam hal penggelembungan dana anggaran, duplikasi jenis anggaran, dan pengadaaan jenis anggaran yang tidak sesuai dengan ketentuan.

Para terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum diduga telah melakukan tindak pidana ”bersama-sama melakukan korupsi secara berlanjut”. Dalam putusannya majelis hakim menyatakan bahwa para terdakwa tidak dapat dipertanggungjawabkan sebab dalam perkara ini para terdakwa hanya sebatas pengusul anggaran saja, sedang pengesahan usulan tersebut menjadi tanggung jawab kepala daerah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif yang berwenang mengelola keuangan daerah. Oleh karena itu para terdakwa tidak dapat dipersalahkan dan dilepaskan dari tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging).

Berdasarkan persoalan di atas, identifikasi masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: apakah tepat dalam putusan ini hakim melepaskan terdakwa dalam melakukan penyertaan tindak pidana?

JURNAL april.indd 19 5/16/2012 4:43:09 PM

Page 30: cover jurnal April 2010.cdr

20 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

A. Landasan Teori

Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) dari Januari hingga Desember 2004 perbuatan korupsi yang melibatkan anggota DPRD merupakan jumlah terbanyak, yakni 102 kasus dari total 239 kasus korupsi yang muncul pada sebagian besar wilayah di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa aktor korupsi yang menempati urutan terbesar adalah anggota Dewan.

Data ini pararel dengan hasil survey Transparansi Internasional Indonesia (TII) Tahun 2004 yang menempatkan partai politik sebagai lembaga yang dianggap paling korup. Dengan demikian, terdapat korelasi yang masuk akal antara kondisi partai politik yang buruk dengan perilaku anggota Dewan yang korup (Adnan, Modus Korupsi Anggota Dewan, http://www.penghuni langit, diunduh pada Senin, 10 Mei 2010, jam 14.00 WIB). Ketika kasus tersebut diproses di pengadilan, sebagian besar putusan yang dijatuhkan oleh hakim belum memenuhi rasa keadilan hukum sebab banyak anggota Dewan yang dilepaskan dari tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging).

Bertolak dari fenomena tersebut tampak kondisi penegakan hukum di tanah air belum mencapai hal yang menggembirakan, terjadi keretakan antara praktik (das sein) dengan teori (das solen) dalam penerapan hukum Indonesia saat ini. Pada tataran praktis (das sein) penegakan hukum konsisten pada jalur yang lambat, hal ini sinergi terhadap arus problematika sosial yang menyertainya.

Hukum kita tengah memasuki titik terendah dari apa yang disebut hilangnya ruhani hukum, sebagaimana dikatakan oleh Kunto Wibisono, “telah terjadi kerancuan visi dan misi hukum kita yang mengarah pada kehancuran supremasi hukum” atau Julia Kristeva menyebutnya kondisi abjek, yaitu suatu peristiwa kehidupan yang kacau tidak menentu dan tidak ada harapan. Abjek hukum berarti suatu kondisi atau keadaan di mana setiap orang tengah bermain-main dan terlibat permainan untuk mempermainkan hukum (Salman dan Susanto, 2009: 149).

Dalam hal ini hakim sebagai salah satu aparat penegak hukum sangat berperan dalam menjatuhkan pemidanaan. Peran dan tugas hakim bukan hanya sebagai pembaca deretan huruf dalam undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif. Tetapi dalam putusannya memikul tanggung jawab menjadi suara akal sehat dan mengartikulasikan sukma keadilan dalam kompleksitas dan dinamika kehidupan masyarakat. Hakim progresif akan mempergunakan hukum yang terbaik dalam keadaan yang paling buruk (Rahardjo, 2006: 56).

Sebagai figur sentral penegak hukum, para hakim memiliki kewajiban moral dan tanggung jawab profesional untuk menguasai knowledge, memiliki skill berupa legal technical capacity dan kapasitas moral yang standar. Dengan demikian dalam praktek penerapan hukum akan terlihat produk putusan dari masing-masing hakim baik kuantitas dan kualitasnya (Alkostar, 2010).

JURNAL april.indd 20 5/16/2012 4:43:09 PM

Page 31: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 21

Berkaitan dengan pemeriksaan kasus korupsi, tindak pidana ini bersifat istimewa mengingat sifat kekhususan baik dari faktor pelaku yang dapat digolongkan dalam white collar crime maupun kekhususan yang menyangkut modus operandinya. Akibat dari tindak pidana ini dapat menimbulkan kerugian yang luas dan merusak sendi-sendi kehidupan bernegara yang berupa kerugian keuangan atau perekonomian negara, ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, rusaknya lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai etika dan keadilan, mencederai pembangunan berkelanjutan dan tegaknya hukum (Muladi, 2010).

Pada korupsi anggaran APBD, menurut Garamfalvi (1997), korupsi dapat terjadi pada semua level dalam penganggaran, sejak perencanaan sampai pada pembayaran dana-dana publik. Korupsi secara politis (political corruption) terjadi pada fase penyusunan anggaran di saat mana keputusan politik sangat dominan, dengan cara mengalihkan alokasi sumber daya publik. Sementara korupsi yang terjadi dalam pelaksanaan anggaran disebut korupsi administratif (administrative corruption) karena keputusan administrasi lebih dominan. Pada akhirnya korupsi politik akan menyebabkan korupsi administratif (Syukriy A., “Perilaku Oportunistik Legislatif Dalam Penganggaran Daerah Bukti Empiris Atas Aplikasi Agency Teori di Sektor Publik”, http://Swadaya MANDIRI. html, diunduh pada Senin, 10 Mei 2010, jam 14.00 WIB ).

Meskipun para pelaku korupsi khususnya anggota Dewan telah terbukti melakukan tindak pidana tersebut, namun mereka sulit dijerat hukuman. Salah satunya adalah konstruksi hukum yang dibuat oleh hakim yang mengesampingkan “unsur turut serta” terhadap keterlibatan anggota Dewan tersebut dalam penyusunan anggaran APBD.

Dalam pengetahuan ilmu hukum pidana dikenal suatu istilah pengambilan bagian/penyertaan (deelneming) yaitu suatu peristiwa yang dapat dilakukan oleh beberapa orang, maka pengambilan bagian oleh beberapa orang yang turut serta dalam peristiwa tersebut mempunyai berbagai sifat. Ajaran ini dalam KUHP diatur dalam Titel ke-5 Buku I KUHP Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan 56 dengan judul Penyertaan dalam Tindak Pidana, yang berbunyi:

Pasal 55 ayat (1) ke-1:

1. “Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

2. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;

Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.”

Pasal 56:

“Dipidana sebagai pembantu kejahatan:

JURNAL april.indd 21 5/16/2012 4:43:09 PM

Page 32: cover jurnal April 2010.cdr

22 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;

2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.”

Dari ketentuan di atas, mengenai bentuk penyertaan (deelneming) meliputi:

1. Pelaku (plegen)

2. Menyuruh melakukan (doenplegen)

3. Turut melakukan (medeplegen)

4. Penganjur (uitloker)

5. Pembantuan (medeplichtigheid)

KUHP itu sendiri tidak memberikan pengertian mengenai bentuk-bentuk penyertaan tersebut. Khusus mengenai kriteria turut melakukan (medeplegen) M.v.T hanya memberikan penjelasan bahwa bila peserta-peserta itu langsung ikut serta dalam pelaksanaan perbuatan pidana (rechtstreeksdeelnemen aan de uitvoering van het heit). Untuk itu kita tinjau pendapat para pakar pidana, yaitu (Moeljatno, 1983: 111-112):

1. Van Hamel

“Perbuatan orang yang medeplegen itu harus merupakan daderschap yang lengkap dan melakukan seluruh perbuatan pelaksanaan.”

2. Simons

“Hanya mereka yang melakukan perbuatan yang dapat digolongkan dalam perbuatan-perbuatan pelaksanaan strafbaar feit itu, mungkin menjadi mededader.”

3. Van Hattum

“Turut serta hanya mungkin pada perbuatan yang merupakan delik. Yang merupakan delicts handeling jika mengenai delik material ialah tingkah laku yang adekuat kausal dengan akibat, lagipula mencocoki tipe delik baik sebagai tingkah laku yang dalam konkretonya tidak mungkin dipidanakan.”

4. Pompe

“Medeplegen berarti mede (bersama) dengan seorang atau lebih melaksanakan strafbaar feit tersebut.”

5. Langemeyer

JURNAL april.indd 22 5/16/2012 4:43:09 PM

Page 33: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 23

“Jika beberapa perbuatan merupakan elemen delik maka mungkin perbuatan-perbuatan itu dilakukan oleh lain-lain peserta, dan mungkin pula bahwa peserta yang satu melakukan perbuatan yang menurut rumusan adalah perbuatan pelaksanaan sedangkan peserta yang lain melakukan perbuatan yang tidak termasuk rumusan, tapi untuk pelaksanaan perbuatan tadi adalah penting sekali. Misalnya melakukan penjagaan di waktu mencuri.”

6. Noyon (diikuti Jonkers)

“Harus melakukan perbuatan pelaksanaan seluruhnya.”

B. Analisis Putusan

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa para terdakwa didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi berupa telah melakukan atau turut serta melakukan telah melakukan tindak pidana ”bersama-sama melakukan korupsi secara berlanjut”, unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 telah terbukti.

Meskipun demikian, majelis hakim masih mempertimbangkan lebih lanjut apakah terdakwa-terdakwa dapat dipidana atau tidak. Dalam hal ini hakim menggunakan dasar hukum antara lain:

1). Peraturan Daerah No. 11 Tahun 2002 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Banyumas, dimana Bab VIII mengatur Kedudukan Keuangan DPRD, bagian pertama sampai dengan bagian kelima, Pasal 61 sampai dengan Pasal 73;

2). Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2003 tentang Penetapan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Banyumas Tahun Anggaran 2003;

3). Surat Bupati No. 903/1933/2003 tanggal 12 April 2003 perihal perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Banyumas yang ditujukan kepada seluruh unit kerja di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas termasuk Sekretariat DPRD dan DPRD Kabupaten Banyumas.

Berlandaskan dasar hukum tersebut di atas, hakim memutuskan bahwa para terdakwa sebagai anggota DPRD hanya sebagai pengusul dan tidak dapat dipersalahkan sebab ditetapkannya Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2003 sebagai Perda Perubahan APBD Banyumas tanggal 30 Juni 2003 bukan oleh DPRD sebagai legislatif tetapi oleh Bupati Kepala Daerah Banyumas sebagai Kepala Daerah (eksekutif) sebagai dasar pengurusan keuangan daerah Kabupaten Banyumas.

Oleh karena itu hakim berpendapat bahwa para terdakwa tidak dapat dipidana meskipun perbuatan sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum terbukti dan terdakwa harus dilepas dari tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging).

JURNAL april.indd 23 5/16/2012 4:43:09 PM

Page 34: cover jurnal April 2010.cdr

24 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

Bertolak dari dasar hukum yang digunakan oleh hakim tersebut, penulis akan mengkaji siapakah pihak yang membuat APBD? APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan Perda dan Perda merupakan produk hukum daerah yang ditetapkan kepala daerah atas persetujuan DPRD dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, artinya antara kepala daerah mempunyai kontribusi yang sama besarnya dengan DPRD.

Proses penyusunan anggaran dimulai dari satuan kerja di Pemda melalui dokumen usulan anggaran yang disebut Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RK SKPD). RK SKPD kemudian diteliti oleh tim anggaran eksekutif untuk dinilai kelayakannya (berdasarkan urgensi dan ketersediaan dana) diakomodasi dalam RAPBD yang akan disampaikan kepada legislatif. RAPBD kemudian dipelajari oleh panitia anggaran legislatif dan direspon oleh semua komisi dan fraksi dalam pembahasan anggaran.

Dalam pembahasan anggaran, eksekutif dan legislatif membuat kesepakatan-kesepakatan yang dicapai melalui bargaining (dengan acuan KUA dan SP) sebelum anggaran ditetapkan sebagai suatu peraturan daerah. Anggaran yang telah ditetapkan menjadi dasar bagi eksekutif untuk melaksanakan aktivitasnya dalam pemberian pelayanan publik dan acuan bagi legislatif untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan penilaian kinerja eksekutif dalam hal pertanggungjawaban kepala daerah.

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa peristiwa tersebut tidak bisa lain harus dipandang sebagai satu kesatuan rangkaian peristiwa atau proses dari pengusulan sampai pengesahan Perda yang kemudian melahirkan Perda dimana sejak awal DPRD terlibat dalam kegiatan tersebut. Dalam hal ini terdapat dua pihak yaitu pihak legislatif/pengusul (anggota Dewan) dan pihak eksekutif/pengesah (kepala daerah) sehingga antara kepala daerah dan DPRD mempunyai kualitas yang sama sebagai subjek. Jika kemudian Perda yang ditetapkan oleh kepala daerah dan DPRD telah menyimpangi ketentuan, maka keduanya dapat dipersalahkan dengan kualitas yang sama. Apabila dikaitkan dengan ajaran dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, maka terdapat penyertaan (deelneming) dalam penetapan Perda tersebut.

Kepala daerah sebagai pihak yang mengesahkan Perda berkualitas sebagai pelaku (plegen) dari tindak pidana korupsi sedangkan anggota Dewan sebagai pihak pengusul berkualitas sebagai turut serta (medeplegen) dalam tindak pidana korupsi. Menurut Prof. Moeljatno, yang disebut dengan plegen adalah seseorang yang mempunyai kewajiban untuk mengakhiri keadaan yang dilarang (Moeljatno, 1983: 107).

Dalam hal ini kepala daerah sebagai eksekutif mempunyai kewajiban untuk mengakhiri usulan APBD yang menyimpang dari ketentuan dengan tidak mengesahkan usulan APBD tersebut. Sedangkan anggota Dewan sebagai pengusul telah memenuhi syarat untuk dapat dikatakan ”turut serta” melakukan tindak pidana pada peristiwa tersebut, yaitu:

JURNAL april.indd 24 5/16/2012 4:43:09 PM

Page 35: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 25

a. bahwa ada kerja sama yang erat antara mereka atau kerjasama yang diinsyafi;

b. bahwa perbuatan peserta tidak dilihat berdiri sendiri yang terlepas hubungannya dengan peserta lainnya, melainkan perbuatan masing-masing peserta dilihat dalam hubungannya dan sebagai kesatuan dengan peserta lainnya.

Jika syarat di atas dimasukkan ke dalam fakta hukum perkara ini dapat digambarkan bahwa ketika anggota Dewan bersepakat bersama-sama mengusulkan anggaran yang menyimpang dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan kemudian Bupati Banyumas menyampaikan Nota Keuangan sampai proses dilakukan pembahasan di komisi-komisi bahkan akhirnya panitia anggaran menyetujui rencana anggaran DPRD terakhir pada Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Banyumas yang dihadiri pula para terdakwa menyetujui Rancangan Perubahan APBD Tahun 2003 dengan Surat Keputusan DPRD Kabupaten Banyumas No. 170/17/2003 tanggal 30 Juni 2003.

Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas menyetujui usulan perubahan anggaran DPRD yang diajukan oleh DPRD, meskipun telah melewati batas maksimal yang ditentukan dalam Pasal 72 ayat (2) huruf e Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas No. 11 Tahun 2002; dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2003 tanggal 30 Juni 2003 Tentang Perubahan APBD 2003.

Dengan demikian jika hakim dalam putusannya mendasarkan Peraturan Daerah dan Surat Bupati di atas justru para terdakwa dapat dipersalahkan melakukan turut serta dalam tindak pidana korupsi, apalagi dalam Bab II Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dinyatakan bahwa pengelolaan keuangan harus dilaksanakan secara tertib, transparan dan bertanggungjawab berdasarkan keadilan dan kepatutan. Juga dalam Peraturan Pemerintah No. 110 Tahun 2000 dinyatakan bahwa anggota Dewan seharusnya menjalankan fungsi kontrol atas eksekutif untuk mencegah penyelewengan.

Dari analisis penulis saksi ahli yang mempengaruhi pertimbangan hakim sehingga akhirnya hakim memutuskan para terdakwa lepas dari tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) adalah pendapat yang dikemukakan oleh Kuat Puji Prayitno, yang menyatakan:

“Bahwa sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi ada 2 yaitu secara formal dan materiil, namun sifat melawan hukum secara materiil telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga hanya sifat melawan hukum secara formal yang kita anut, jadi untuk menjadikan segala sesuatunya yang terkait dengan tindak pidana korupsi harus jelas dasar-dasar formalnya, siapa yang secara formal bertanggungjawab dalam penyusunan Perda, siapa yang secara formal ditunjuk untuk mengoreksi sebelum lahirnya Perda, adakah rumusan formula yang menyatakan bahwa terhadap kekeliruan Perda sepenuhnya tanggungjawab pengusul/penggagas; Bahwa turut serta

JURNAL april.indd 25 5/16/2012 4:43:09 PM

Page 36: cover jurnal April 2010.cdr

26 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

sebagai pelaku/pemain menurut saksi persoalan pokok ada dalam prosesnya, ketika prosesnya salah dan kemudian dilaksanakan, maka apakah mereka dapat dikatakan sebagai peserta”.

Mencermati pendapat Kuat Puji Prayitno tersebut, penulis berpendapat bahwa dalam perkara a quo terdapat hubungan adequate antara usulan anggota Dewan perihal penganggaran yang menyimpang dengan pengesahan anggaran tersebut oleh kepala daerah yang mengakibatkan keluarnya Perda yang menyimpang dari ketentuan. Jadi terdapat suatu kesatuan rangkaian peristiwa yang saling berhubungan sehingga melahirkan delik.

Perlu dikemukakan pendapat Prof. Moeljatno bahwa dalam menghadapi medeplegen jangan memandang perbuatan masing-masing peserta secara satu persatu berdiri sendiri tetapi dalam hubungan peserta lainnya. Dengan demikian tidak mungkin untuk menentukan terlebih dahulu macam perbuatan yang dilakukan oleh medeplegen, sebab secara konkreto yang dilakukannya tergantung daripada macam-macam keadaan yang tidak selalu sama meskipun dalam delik yang sama (Moeljatno, 1983: 114). Jonkers juga menyatakan bahwa apabila si pembuat tidak mempunyai sifat perseorangan atau ia tidak mengambil bagian dalam menyelesaikan delik, tetapi jika selanjutnya ada kerjasama yang erat, maka dianggap sebagai pembuat dengan pengertian bahwa orang itu diberi sifat sebagai penyerta (Moeljatno, 1983: 105). Demikian pula apa yang dikemukakan Langemeyer bahwa ”jika beberapa perbuatan merupakan elemen delik maka mungkin perbuatan-perbuatan itu dilakukan oleh lain-lain peserta, dan mungkin pula bahwa peserta yang satu melakukan perbuatan yang menurut rumusan adalah perbuatan pelaksanaan sedangkan peserta yang lain melakukan perbuatan yang tidak termasuk rumusan, tapi untuk pelaksanaan perbuatan tadi adalah penting sekali” (Moeljatno, 1983: 112).

Berdasarkan hal tersebut, anggota Dewan sebagai pengusul anggaran APBD dan ikut juga menyetujui menjadi Perda berkualitas sebagai turut serta (medeplegen) dalam tindak pidana korupsi. Menurut Garamfalvi (1997) pada korupsi anggaran APBD, korupsi dapat terjadi pada semua level dalam penganggaran, sejak perencanaan sampai pada pembayaran dana-dana publik.

Korupsi secara politis (political corruption) terjadi pada fase penyusunan anggaran di saat mana keputusan politik sangat dominan, dengan cara mengalihkan alokasi sumber daya publik. Sementara korupsi yang terjadi dalam pelaksanaan anggaran disebut korupsi administratif (administrative corruption) karena keputusan administrasi lebih dominan. Pada akhirnya korupsi politik akan menyebabkan korupsi administratif (Syukriy A., “Perilaku Oportunistik Legislatif Dalam Penganggaran Daerah Bukti Empiris Atas Aplikasi Agency Teori di Sektor Publik”, http://swadaya MANDIRI. html, diunduh pada Senin, 10 Mei 2010, jam 14.00 WIB).

Dalam hal pertanggungjawaban, unsur penyertaan pada dasarnya tidak membedakan pertanggungjawaban antara pelaku dengan yang turut melakukan suatu perbuatan, sepanjang perbuatan itu dilakukan dengan suatu kerja sama yang diinsyafi (bewuste samen werking). Dengan

JURNAL april.indd 26 5/16/2012 4:43:09 PM

Page 37: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 27

kata lain bahwa pelaku dengan yang turut serta memiliki tujuan yang sama dalam perbuatan itu. Khusus sanksi dalam tindak pidana korupsi diatur bahwa pihak yang memberi peluang atau celah terjadinya korupsi bisa dikelompokkan sebagai pelaku dari tindak pidana itu sendiri.

Pada perkara a quo putusan hakim yang melepaskan para terdakwa dari tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) tentu saja dapat menimbulkan disparitas sanksi pidana antara yang tercantum dalam requisitoir dan putusan. Sementara dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum para terdakwa dituntut pidana penjara masing-masing selama 2 (dua) tahun dengan perintah para terdakwa ditahan Rutan dan pidana denda masing-masing sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) subsidair masing-masing selama 3 (tiga) bulan kurungan.

Disparitas pidana yang terjadi dapat berakibat buruk bagi terpidana maupun bagi masyarakat dan menimbulkan bahaya. Bahaya tersebut sangat mungkin terjadi dalam perkara korupsi mengingat sifat kekhususan baik dari faktor pelaku yang dapat digolongkan dalam white collar crime maupun kekhususan yang menyangkut modus operandinya. Terpidana akan menjadi orang yang tidak lagi menghargai hukum oleh karena tiadanya persamaan hak di muka hukum yang sekaligus akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana. Seperti dijelaskan Muladi dan Barda Nawawi Arief yang disitir Gregorius Aryadi bahwa:

”terpidana yang setelah memperbandingkan pidana kemudian merasa menjadi korban terhadap judicial carpprice akan menjadi terpidana dan tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum merupakan salah satu target di dalam tujuan pemidanaan. Dari sini akan tampak suatu persoalan serius sebab akan merupakan suatu indikator dan manifestasi dari kegagalan suatu sistem untuk mencapai persamaan keadilan di dalam negara hukum dan sekaligus akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana, sesuatu yang tidak diharapkan terjadi bilamana disparitas pidana tersebut tidak dapat diatasi, yakni timbulnya demoralisasi dan sikap anti rehabilitisasi di kalangan terpidana yang lebih berat daripada yang lain di dalam kasus yang sebanding” (Aryadi, 1994: 33).

Dalam memutus perkara ini hakim sebaiknya menggunakan sumber hukum lain berupa “hukum” tidak tertulis, seperti nilai kepatutan dan kewajaran. Tindakan anggota Dewan yang mengusulkan penggelembungan anggaran sehingga menyimpang dari ketentuan jelas menyalahi nilai kepatutan sebab sebagai anggota DPRD seharusnya menjalankan tugas dan kewajiban dalam otonomi daerah secara baik dan benar yaitu antara lain meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mewujudkan pemerataan. Penggelembungan anggaran yang melebihi ketentuan yang sudah digariskan tentu saja menghasilkan anggaran yang tidak wajar sehingga melanggar nilai kewajaran. Seharusnya putusan ini dapat mempertimbangkan hal-hal tersebut dan menyadari bahwa Peraturan Daerah yang disahkan tersebut hanya merupakan instrumen untuk melakukan korupsi.

JURNAL april.indd 27 5/16/2012 4:43:09 PM

Page 38: cover jurnal April 2010.cdr

28 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

Penulis berpandangan bahwa putusan ini belum melakukan proses berpikir silogistis yang runtut terutama konklusi yang dihasilkan. Unsur tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam proses pemeriksaan pengadilan telah terbukti secara sah sehingga fakta hukum sudah terungkap, namun putusan ini masih mempertimbangkan unsur kesalahan yang ada pada diri terdakwa. Dalam pertimbangan hukumnya, memandang bahwa para terdakwa hanya sebagai pengusul anggaran dan yang bersalah adalah pihak eksekutif sebagai pihak yang mengesahkan peraturan daerah tersebut.

Menurut penulis meskipun peraturan daerah tersebut yang mengesahkan pihak eksekutif tetapi dalam proses pengesahan anggaran tersebut juga dihadiri oleh para terdakwa dan memang sudah ada itikad jelek/sikap batin jahat para terdakwa untuk membuat anggaran yang tidak sesuai dengan ketentuan untuk kepentingan diri sendiri serta anggaran tersebut juga sudah dinikmati para terdakwa.

Hal ini seharusnya dapat dipertimbangkan, sehingga sebenarnya semua pihak yang terlibat dalam proses penganggaran yang menyimpang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, hanya kedudukannya tentu berbeda-beda dimana pihak yang terlibat langsung dalam proses penganggaran dapat dikatakan sebagai pelaku, sedang pihak yang lain dapat dikatakan sebagai turut serta.

Di samping itu pengesahan penerimaan oleh pihak yang berwenang tidak menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan korupsi. Dalam putusannya justru menyatakan para terdakwa tidak bersalah dan membebaskan para terdakwa dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging). Dengan demikian ada penalaran yang mengarah pada kesimpulan yang melompat (jumping conclusion) dan kesimpulan yang agak dipaksakan.

SIMPULAN IV.

Penulis menilai putusan ini kurang mempertimbangkan penerapan ajaran penyertaan (deelneming). Dalam putusan dikatakan bahwa para terdakwa tidak dapat dipersalahkan dan dipertanggungjawabkan dalam pembuatan anggaran daerah karena hanya sebatas pengusul anggaran saja. Menurut penulis dalam perkara a quo para terdakwa telah memenuhi kriteria/syarat sebagai turut serta (medeplegen).

Hal ini dapat dijelaskan bahwa terdapat hubungan adequate antara usulan anggota Dewan perihal penganggaran yang menyimpang dengan pengesahan anggaran tersebut oleh kepala daerah yang mengakibatkan keluarnya Perda yang menyimpang dari ketentuan. Dalam rangkaian peristiwa tersebut terdapat dua pihak yang terlibat yaitu pihak legislatif sebagai pengusul dan pihak eksekutif sebagai pengesah anggaran dimana masing-masing perbuatan tersebut tidak bisa dipandang berdiri sendiri yang terlepas hubungannya satu dengan lainnya, melainkan perbuatan peserta dilihat dalam hubungan dan sebagai kesatuan dengan peserta

JURNAL april.indd 28 5/16/2012 4:43:09 PM

Page 39: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 29

lainnya. Jadi terdapat suatu kesatuan rangkaian peristiwa yang saling berhubungan sehingga melahirkan delik.

Putusan ini belum melakukan proses berpikir silogistis yang runtut terutama konklusi yang dihasilkan. Dalam pertimbangan hukumnya memandang bahwa para terdakwa hanya sebagai pengusul anggaran dan yang bersalah adalah pihak eksekutif sebagai pihak yang mengesahkan peraturan daerah tersebut.

Menurut penulis meskipun peraturan daerah tersebut yang mengesahkan pihak eksekutif tetapi dalam proses pengesahan anggaran tersebut juga dihadiri oleh para terdakwa dan memang sudah ada itikad jelek/sikap batin jahat para terdakwa untuk membuat anggaran yang tidak sesuai dengan ketentuan untuk kepentingan diri sendiri serta anggaran tersebut juga sudah dinikmati para terdakwa.

Hal ini seharusnya dapat dilihat oleh penganggaran yang menyimpang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, hanya kedudukannya tentu berbeda-beda dimana pihak yang terlibat langsung dalam proses penganggaran dapat dikatakan sebagai pelaku, sedang pihak yang lain dapat dikatakan sebagai turut serta. Di samping itu pengesahan penerimaan oleh pihak yang berwenang tidak menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

Aryadi, Gregorius. 1994. Putusan Hakim Dalam Perkara Pidana (Studi Kasus Tentang Pencurian dan Korupsi di Daerah Istimewa Yogyakarta). Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.

Moeljatno. 1983. Delik-Delik Percobaan – Delik-Delik Penyertaan. Jakarta: Bina Aksara.

Rahardjo, Satjipto. 2006. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas.

Salman, Otje & Anton F. Susanto. 2009. Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali). Bandung: Refika Aditama.

Alkostar, Artidjo. 2010. “Peranan Mahkamah Agung Dalam Pembuatan Yurisprudensi Kasus-Kasus Mafia Peradilan.” Makalah Seminar Nasional “Suap, Mafia Peradilan, Penegakan Hukum, dan Pembaharuan Hukum Pidana” di FH UNDIP Semarang.

Muladi. “Tindak Pidana Suap Sebagai Core Crime Mafia Peradilan dan Penanggulangannya”. Makalah Seminar Nasional “Suap, Mafia Peradilan, Penegakan Hukum, dan Pembaharuan Hukum Pidana” di FH UNDIP Semarang.

Adnan. Modus Korupsi Anggota Dewan. http://www.penghuni langit, diunduh pada Senin, 10 Mei 2010, jam 14.00 WIB.

JURNAL april.indd 29 5/16/2012 4:43:09 PM

Page 40: cover jurnal April 2010.cdr

30 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

Syukriy A. “Perilaku Oportunistik Legislatif Dalam Penganggaran Daerah Bukti Empiris Atas Aplikasi Agency Teori di Sektor Publik.” http://Swadaya MANDIRI. html. diunduh pada Senin, 10 Mei 2010, jam 14.00 WIB.

Undang-undang dan Peraturan

Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

JURNAL april.indd 30 5/16/2012 4:43:09 PM

Page 41: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 31

PENAFSIRAN UNSUR “BERTENTANGAN DENGAN KEWAJIBAN” DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Saldi Isra & Charles SimaburaFakultas Hukum Universitas Andalas, Limau Manis, Padamg Sumatera Barat

email: saldiisra@yahoo,com

Kajian Putusan Naomor 402/PID.B/2008/PN.PDG

ABSTRACT According to the Corruption Act, any conducts of the civil servants or public officials who accept gifts from others. The civil servants also certain intention with regard to the recipient do something or not take action on the contrary to their duty, and thus the receipt can be categorized as an element of corruption. The Court Decision scrutinized in this article liberate a regent accused of accepting money from a third party as the costs over the project of natural disaster prevention. This interpretation of the conduct as “on the contrary to their duty” has apparently been barely construed by the judge without considering the officer’s real intentions and his other greater liabilities as a regional leader, to be precise, his obligation to obey the law and regulations.

Keywords; corruption, gratification, regional leader

ABSTRAK Terkait dengan Undang-Undang Anti Korupsi, terdapat berbagai kasus yang melibatkan pegawai negeri sipil atau pegawai pemerintah menerima hadiah dari pihak lain. Mereka juga dipastikan terkait dengan pihak ketika untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan yang bertentangan dengan kewajibannya sebagai hubungan timbal balik untuk memperoleh pekerjaan termasuk korupsi. Putusan pengadilan yang menjadi kajian ini melepaskan terdakwa dalam perkara Proyek Penanggulangan Bencana Alam dengan pertimbangan tidak dapat dipersalahkan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya. Penafsiran terhadap ketentuan bertentangan dengan kewajibannya, “on the contrary to their duty” dalam tindak pidana korupsi belum dimaknai secara tepat oleh hakim karena kedudukan terdakwa sebagai kepala daerah tidak sebatas hanya terkait dengan upaya meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat, melainkan wajib menegakkan peraturan perundang-undangan. Pejabat negara tidak dapat menggunakan alasan kesejahteraan tersebut dengan melakukan pelanggaran hukum.

Kata kunci; korupsi, gratifikasi, kepala daerah

JURNAL april.indd 31 5/16/2012 4:43:10 PM

Page 42: cover jurnal April 2010.cdr

32 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

PENDAHULUANI.

Terdakwa Z selaku pejabat sementara bupati di salah satu daerah di Sumatera Barat telah dipersalahkan melakukan tindak pidana korupsi karena menerima uang dari seseorang. Jaksa penuntut umum telah menyakini bahwa pemberian itu dimaksudkan agar pejabat ini berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.

Kasusnya sendiri bermula dari keinginan Z selaku pejabat sementara Bupati mencari peluang mendapatkan Proyek Bantuan Penanggulangan Bencana Alam ke Pemerintah Pusat. Untuk itu terdakwa pergi ke Departemen Pertanian dan Kimpraswil di Jakarta dengan tujuan untuk mencari peluang proyek-proyek yang dapat diluncurkan di daerah pemerintahannya. Dari sejumlah orang yang ditemuinya di Jakarta, Z diberitahukan tentang adanya peluang untuk mendapatkan bantuan penanggulangan bencana alam tahun 2004, namun untuk keperluan ini perlu disediakan biaya konsultan.

Kemudian terdakwa meminta seseorang bernama MP untuk membuat permohonan dan untuk biaya konsultan. MP meminta bantuan kepada EB untuk mencarikan orang yang dapat membantu biaya konsultan. Muncullah seseorang bernama HS, seorang pimpinan perusahaan swasta yang bergerak bidang kontraktor, leveransir, dan bahan bangunan. HS bersedia membantu biaya konsultan yang diminta MP, yakni sebesar Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta juta). HS dijanjikan akan mendapat prioritas ikut serta dalam proyek bantuan bencana alam tersebut. Apabila tidak jadi, maka uang tersebut akan dikembalikan. Selanjutnya HS mentransfer uang sebanyak Rp. 150. 000.000,- (seratus lima puluh juta juta) itu dalam dua kali transfer, yaitu sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta). Uang yang ditransfer tersebut diserahkan terdakwa kepada sejumlah pihak yang akan membantu proyek ini, yaitu kepada EM sebesar Rp. 65. 000.000,- (enam puluh lima juta rupiah) dengan dua buah tanda terima yaitu Rp. 40. 000.000,- (empat puluh juta rupiah) dan Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta). Kemudian atas perintah terdakwa uang tersebut diberikan kepada H sebesar Rp. 75. 000.000,- (tujuh puluh lima rupiah) dan sisanya Rp. 10. 000.000,- (sepuluh juta) dipakai sendiri oleh MP.

Ketika kemudian kasus ini dibawa ke pengadilan, Jaksa Penuntut Umum menggunakan dasar hukum berupa UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk menjerat terdakwa. Tepatnya, dasar hukum yang digunakan dalam perkara ini ada dua. Pertama, Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan ini berbunyi:

“Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)

JURNAL april.indd 32 5/16/2012 4:43:10 PM

Page 43: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 33

tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.”

Kedua, Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi:

“Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)” dan jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yaitu “...orang yang melakukan dan menyuruh melakukan atau yang turut melakukan perbuatan itu.”

Hakim dalam putusan ini memberi penafsiran yang menarik yaitu bahwa terdakwa tidak dapat dipersalahkan karena ia tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya.

RUMUSAN MASALAHII.

Merujuk pada kasus posisi di atas, diidentifikasikan rumusan masalah sebagai berikut: apakah unsur bertentangan dengan kewajiban dalam tindak pidana korupsi telah diberi pemaknaan yang tepat oleh hakim?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

Modus perbuatan yang dikemukakan dalam perkara ini merupakan fenomena dalam era pemekaran daerah. Pejabat penyelenggara negara memiliki modus meminta bantuan sosial bagi daerah dengan melakukan kolusi dengan pihak kontraktor.

Semua syarat formal sebagaimana tersebut dalam KUHAP telah terpenuhi dalam putusan ini. Terkait dengan pembuktian, hakim telah mempertimbangkan lebih dari dua alat bukti, yang meliputi:

JURNAL april.indd 33 5/16/2012 4:43:10 PM

Page 44: cover jurnal April 2010.cdr

34 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

1. Keterangan saksi

Dalam hal ini penuntut umum mengajukan beberapa orang saksi yang disampaikan oleh EB, HS, H, JM, KA. Berdasarkan Pasal 185 KUHAP saksi-saksi telah menyatakan keterangannya di dalam persidangan, saksi yang dihadirkan lebih dari satu orang. Setiap keterangan saksi berdiri sendiri dan memiliki hubungan sedemikian rupa antara satu dan yang lainnya (R. Soenarto Soerodibroto, 2006: 436). Selain itu pihak penasihat hukum terdakwa juga telah menghadirkan saksi yang meringankan terdakwa (a de charge), yaitu SM. Seluruh saksi memberikan keterangan di bawah sumpah.

2. Keterangan ahli dalam hal ini disampaikan oleh CH yang merupakan dosen fakultas hukum di salah satu universitas swasta di Jakarta. Dalam hal ini ahli memiliki keahlian khusus dalam bidang ilmu hukum.

3. Surat, dalam persidangan dikemukakan sebanyak 16 buah bukti surat dan dinyatakan sebagai bagian terlampir dari putusan ini.

4. Petunjuk, dari keterangan saksi hakim telah memperoleh petunjuk sebagai pertimbangan dalam membuktikan unsur. Untuk itu berdasarkan Pasal 188 ayat (1) dikatakan petunjuk adanya persesuaian kejadian, keadaan atau perbuatan maupun persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri. Petunjuk ini digunakan hakim dalam membuktikan dengan maksud supaya PNS atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya pada dakwaan alternatif pertama. Kemudian dalam unsur diketahui atau patut diduga pada dakwaan alternatif kedua. Petunjuk tersebut diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa (Harahap, 2002: 313).

5. Keterangan terdakwa, disampaikan langsung oleh kedua terdakwa pada persidangan yang bersangkutan. Di dalam memperoleh alat bukti jaksa menggunakan cara-cara yang legal, baik diperoleh dari saksi maupun dari terdakwa. Dalam pembuktiannya hakim menggunakan sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel). Sistem pembuktian ini merupakan teori antara sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Menurut Harahap (2002: 279), untuk itu terdapat dua komponen yang menjadi dasar pertimbangan hakim yaitu:

a. pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang; dan

b. keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat bukti yang sah menurut undang-undang.

JURNAL april.indd 34 5/16/2012 4:43:10 PM

Page 45: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 35

Hakim dalam pertimbangan berkeyakinan bahwa maksud dan tujuan dari tindakan yang dilakukan oleh terdakwa telah sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagai Pj Bupati dan Kepala Bappeda. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, yakni kepala daerah berkewajiban memajukan dan menyejahterakan rakyatnya. Atas dasar itulah terdakwa meminta bantuan kepada pihak ketiga untuk meminjamkan uang sebesar Rp150 juta yang digunakan untuk biaya konsultan. Uang tersebut telah diberikan terdakwa kepada EM dan tidak dinikmati oleh para terdakwa.

Walaupun unsur-unsur lain terbukti, hakim berbeda pendapat dengan penuntut umum dalam hal membuktikan unsur yang bertentangan dengan kewajibannya. Menurut hakim, tindakan terdakwa telah sesuai dengan kewajibannya. Kemanfaatan yang lebih besar atas tindakan terdakwa menjadi dasar hakim dalam pertimbangan tersebut. Karena terdakwa didakwa dengan ancaman lebih dari lima tahun, maka kepada terdakwa diberi kesempatan untuk didampingi oleh penasihat hukum. Putusan perkara tersebut diucapkan pada hari dan tanggal yang berbeda dengan tanggal dilaksanakannya rapat permusyawaratan hakim. Putusan diucapkan pada tanggal 3 Desember 2008 sedangkan rapat permusyawaratan hakim dilaksanakan pada tanggal 24 November 2008.

Dalam membuat putusan, hakim menunjukkan konsistensinya, dengan menyesuaikan antara dakwaan dengan requisitor. Namun demikian, pemilihan dasar hukum yang digunakan oleh hakim belum cukup memadai. Dalam membuktikan unsur pegawai negeri atau penyelenggara negara, hakim telah mempertimbangkan pengertian mengenai pegawai negeri dan penyelenggara negara sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 28 Tahun 1999.

Dalam menilai unsur bertentangan dengan kewajibannya, hakim menilai bahwa tindakan terdakwa tidak bertentangan dengan kewajibannya dalam kedudukan sebagai kepala daerah dan kepala Bappeda. Namun hakim tidak mempertimbangkan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang larangan bagi kepala daerah yaitu:

1. turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara/daerah, atau dalam yayasan bidang apapun juga;

2. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi dirinya, anggota keluarganya, kroninya, golongan tertentu, atau kelompok yang secara nyata merugikan kepentingan umum atau mendiskriminasikan warga dan golongan masyarakat lain;

3. melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan daerah yang bersangkutan;

4. menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang patut dapat diduga akan mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; dan

JURNAL april.indd 35 5/16/2012 4:43:10 PM

Page 46: cover jurnal April 2010.cdr

36 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

5. menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan, selain yang dimaksud dalam Pasal 47.

Pada butir 4 jelas dinyatakan larangan bagi kepala daerah untuk menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang patut dapat diduga akan mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya. Atas dasar tersebut pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa bertindak tidak bertentangan dengan kewajibannya jelas kurang tepat.

Dalam kedudukan sebagai kepala daerah maka ia memiliki kewajiban sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 43 huruf d yaitu menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan. Jika dikaitkan dengan huruf e sebagaimana pertimbangan hakim maka dalam meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat, kepala daerah wajib menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan.

Dengan menerima pemberian dari pihak ketiga, jelas hal ini merupakan tindakan yang salah sebagaimana terbukti dalam pertimbangan hakim. Untuk itu terhadap unsur bertentangan dengan kewajibannya, semestinya unsur ini juga terpenuhi. Hal ini karena kepala daerah bersangkutan telah melanggar kewajibannya untuk taat kepada perundang-undangan.

Walaupun tidak disinggung dalam pertimbangan hakim, patut kiranya hakim juga menimbang kekuasaan “discretion power” yang dimiliki oleh seorang penyelenggara negara. Tindakan terdakwa tersebut dianggap sebagai bagian dari kewajibannya karena diperlukan tindakan seketika akibat kondisi yang mendesak.

Tindakan di atas dapat dikategorikan sebagai discretionary power/vrijbestuur, freies ermessen. Untuk melaksanakan kebijakannya (beleid) dalam mengatasi segera dan secepatnya dengan menetapkan suatu perbuatan bagi kepentingan tugas pemerintahan yang tidak sekadar kekuasaan pemerintahan yang menjalankan undang-undang. Kendati demikian, tindakan discretionary power maupun wijsheid harus tetap selaras dengan maksud ditetapkannya kewenangan atau sesuai dengan tujuan ditetapkannya kewenangan itu.

Tindakan diskresi (discretion) dapat saja menyimpang dari produk perundang-undangan yang ada, tetapi alasan penyimpangan ini pada akhirnya harus sesuai dan dengan diarahkan pada doelgerichte atau tujuan ditetapkannya wewenang tersebut (Adjie, 2005). Tindakan menerima hadiah dari pihak ketiga jelas bukan merupakan tindakan diskresi yang melahirkan sebuah kebijakan tindakan tersebut hanyalah inisiatif pribadi sehingga terdakwa tidak boleh melakukan hal yang menyimpang dari perundang-undangan. Atas dasar itu pula maka sudah selayaknya tindakan terdakwa dinyatakan memenuhi unsur bertentangan dengan kewajibannya.

Begitu pula saat hakim mempertimbangkan makna kata hadiah. Untuk itu, hakim mengutip putusan Hogeraad tanggal 25 April 1916. Mengenai unsur patut diduga pada Pasal 12 sebaiknya hakim mempertimbangkan putusan Hogeraad tanggal 9 April 1946 yang menyatakan:

JURNAL april.indd 36 5/16/2012 4:43:10 PM

Page 47: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 37

“Maksud batin si pemberi janji atau hadiah yang tidak diucapkan terhadap si penerima janji/hadiah, tidak menjadi persoalan untuk pertanyaan apa yang diketahui oleh si penerima janji/hadiah ketika ia menerima janji/hadiah itu” (Soenarto, 2006: 277).

Dengan demikian, walaupun dalam keterangan saksi dikatakan bahwa terdakwa tidak memberikan janji, berdasarkan yurisprudensi tersebut terdakwa telah memenuhi unsur di atas. Selain itu perlu juga kiranya hakim mempertimbangkan putusan Hogeraad tanggal 4 Februari tahun 1947 yang menyatakan:

“Untuk adanya pengetahuan mengenai yang disebut dalam ke-1 adalah cukup bahwa pejabat yang menerima janji/hadiah telah menyadari bahwa pemberian itu dimaksud untuk mendorong ia melakukan sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan tugas jabatannya, terlepas apakah pemberian mempunyai maksud bahwa perbuatan itu akan terjadi.”

Yurisprudensi ini seharusnya menjadi penguat bagi hakim dalam pertimbangannya untuk membuktikan unsur tersebut.

Dalam pertimbangannya hakim menyatakan tindakan terdakwa yang menghubungi pihak ketiga jelas bukan merupakan bagian dari kewajibannya. Dengan demikian tindakan tersebut patut diduga dalam rangka untuk mendapatkan keuntungan pribadi jika proyek bantuan bencana tersebut dicairkan.

Argumentasi ini sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh ahli yang mengatakan bahwa pegawai negeri yang menerima uang bantuan dari orang lain itu adalah merupakan suap walaupun dengan alasan bahwa kabupaten tersebut belum ada dana. Hakim tidak mempertimbangkan pendapat ahli padahal terbukti terdakwa tidak menerima uang namun meminta uang tersebut pada ujang restu.

Dari apek doktrin realisme hukum, putusan ini dapat dinilai dengan memperhatikan aspek-aspek (Prasetyo dan Halim, 2007: 144):

1. Suatu investigasi ke dalam unsur-unsur khas yang terdapat dalam kasus-kasus hukum suatu kesadaran tentang faktor-faktor irrasional dan tidak logis di dalam proses lahirnya putusan pengadilan.

Dalam pertimbangannya hakim telah menguraikan unsur-unsur yang terdapat di dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 12 huruf a Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dengan sangat rasional. Sekalipun demikian hakim keliru ketika memberikan pertimbangan mengenai unsur bertentangan dengan kewajibannya.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas maka putusan hakim yang membebaskan terdakwa sangat tidak logis dan jauh dari faktor rasional. Unsur-unsur dalam pasal telah

JURNAL april.indd 37 5/16/2012 4:43:10 PM

Page 48: cover jurnal April 2010.cdr

38 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

diuraikan dengan mengkombinasikan ketentuan perundang-undangan, pendapat ahli dan yurisprudensi terkait. Secara rasional hakim hendaknya mempertanyakan tindakan terdakwa yang menghubungi pihak ketiga untuk mendapatkan proyek bantuan. Meskipun dalam argumentasi terdakwa menyatakan hal tersebut dilakukan untuk membantu masyarakat yang berada dalam kondisi bencana semestinya tidak dilakukan dengan cara yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan.

Dalam pertimbangannya hakim menyatakan tindakan terdakwa yang menghubungi pihak ketiga jelas tidak bertentangan dengan kewajibannya. Padahal, tindakan tersebut patut diduga adalah dalam rangka untuk mendapatkan keuntungan pribadi (jika proyek bantuan bencana tersebut berhasil dicairkan).

2. Suatu penilaian terhadap aturan-aturan hukum melalui evaluasi terhadap konsekuensi-konsekuensi penerapan aturan hukum itu.

Penerapan Undang-Undang Pemerintahan Daerah sebagai tolok ukur dalam membuktikan apakah terdakwa melakukan kewajiban atau sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban melahirkan kesimpulan bahwa sebagai Kepala Daerah dan Kepala Bappeda sudah menjadi kewajiban terdakwa untuk memikirkan bagaimana peningkatan kesejahteraan rakyatnya. Para terdakwa menerima hadiah atau janji dalam rangka untuk memberikan bantuan kepada masyarakat, walaupun bantuan tidak jadi direalisasikan, uang yang diterima terdakwa juga tidak dinikmati oleh terdakwa.

3. Memperlihatkan hukum dalam kaitannya dengan politik, ekonomi, dan faktor lain nonhukum.

Jelas faktor non hukum menjadi pertimbangan hakim dalam menilai perbuatan terdakwa. Daerah Pasaman Barat yang merupakan kabupaten baru sangat membutuhkan bantuan, apalagi daerah tersebut sedang dilanda bencana sehingga membutuhkan tindakan cepat untuk menanggulanginya. Atas niat terdakwa untuk memperoleh bantuan tersebut hakim juga menilai sebagai faktor yang dijadikan dasar apakah terdakwa menyalahi kewajiban atau tidak.

Dalam menilai disparitas antara putusan dan requisitor dapat dilihat dari besarnya ancaman pidana, tuntutan dan putusan yang diberikan. Dalam tuntutannya jaksa meminta majelis hakim untuk menjatuhkan pidana penjara selama 2 tahun dan 6 bulan dikurangi masa tahanan dan membayar denda masing-masing terdakwa sebesar Rp. 75. 000.000,- subsidair 2 (dua) bulan kurungan.

Tuntutan jaksa tersebut jelas lebih rendah dari ancaman pidana maksimal pada dakwaan pertama yaitu 5 tahun penjara, namun tuntutan ini jauh lebih rendah dari ancaman maksimal dakwaan kedua yaitu seumur hidup. Bahkan tuntutan tersebut lebih rendah dari ancaman

JURNAL april.indd 38 5/16/2012 4:43:10 PM

Page 49: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 39

minimal (4 tahun) dalam dakwaan kedua. Dengan demikian jika dilihat dari putusan hakim yang membebaskan terdakwa, maka secara kuantitas sangat mencolok perbedaan (disparitas) tersebut.

Di dalam pembuktian unsur telah didukung oleh fakta hukum yang kuat sehingga hanya salah satu unsur saja yang menurut hakim tidak terpenuhi. Dengan demikian terdakwa akhirnya dibebaskan padahal jelas hal tersebut keliru. Fakta hukum telah membuktikan bahwa secara nyata terdakwa telah menerima uang dengan bukti kuitansi yang terlampir dalam putusan. Keinginan untuk menghubungi pihak ketiga datang dari terdakwa Z sebagaimana terungkap dalam pemeriksaan di pengadilan.

Dalam analisis terhadap makna setiap ketentuan dasar hukum yang digunakan, hakim telah menganalisis secara tuntas. Hanya saja pada unsur yang terakhir hakim menyatakan tidak terbukti dengan berpedoman pada satu pasal saja yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yakni Pasal 43.

Terdapat perbedaan pemahaman antara hakim dan penuntut umum, walaupun penuntut umum menyatakan kedudukan terdakwa sebagai pegawai negeri sipil tidak boleh menerima hadiah karena dianggap bertentangan dengan kewajibannya namun hakim mendasarkan pada kewajiban sebagai kepala daerah. Hakim tidak membaca ketentuan Pasal 48. Hakim memberikan penafsiran baru yang mengatakan bahwa tindakan menerima hadiah tersebut tidaklah bertentangan dengan kedudukan terdakwa sebagai kepala daerah dan kepala Bappeda.

Larangan untuk menerima hadiah/janji di dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 pada mulanya merupakan ketentuan Pasal 209 dan 419 KUHP tentang tindak pidana suap. Menurut Adjie (2007: 307), hadiah atau janji yang diberikan itu dapat saja diberikan “sebelum” pelaku melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya atupun “selama” adanya kekuasaan/kewenangan yang melekat pada jabatannya tersebut.

Di sisi lain, terhadap unsur Pasal 12 huruf a, maka tidak diperlukan pemberian janji atau hadiah itu selalu diikuti perbuatan pelaku untuk menggerakkan berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, tetapi cukup pemberian janji atau hadiah itu karena adanya kekuasaan/kewenangan yang melekat pada jabatan dari pejabat yang bersangkutan, karenanya penerimaan hadiah atau janji itupun berlangsung hanya selama adanya kekuasaan/kewenangan yang melekat pada jabatannya tersebut.

Hakim telah keliru memaknai bertentangan dengan kewajibannya karena jelas perbuatan terdakwa dilakukan pada saat ia masih menjabat baik selaku kepala daerah maupun kepala Bappeda. Telah terjadi penalaran yang mengarah kepada kesimpulan yang melompat (jumping conclusion). Hakim melupakan kewajiban lain dari kepala daerah yaitu menegakkan hukum dan peraturan perundang-undangan.

JURNAL april.indd 39 5/16/2012 4:43:10 PM

Page 50: cover jurnal April 2010.cdr

40 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

Dalam metode penalaran silogistik deduktif maka alur pemikiran akan berawal dari premis mayor lalu mengarah pada premis minor (Pointer, 2008: 78). Ketika hakim menimbang unsur yang ada dalam perkara ini jelas hakim lari dari metode ini. Hakim memutus keterkaitan antar unsur yang ada pada saat memaknai kata bertentangan dengan kewajibannya. Sebagaimana telah dinyatakan di atas, apabila seorang selama menjabat menerima hadiah/janji, maka jelas itu bertentangan dengan jabatannya, apapun alasannya.

Terhadap unsur lain hakim telah menafsirkan secara logis dan sistematis. Penafsiran logis dan sistematis menghendaki sebuah metode penafsiran peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum lain atau dengan keseluruhan sistem hukum. Sehingga hukum dilihat sebagai satu kesatuan. Tidak dapat satu perundang-undangan ditafsirkan seakan-akan ia berdiri sendiri (Pointer, 2008: 78). Hakim telah memperbandingkan pengertian pegawai negeri dan penyelenggara negara dengan memperbandingkan antara Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 1999.

SIMPULANIV.

Penafsiran unsur bertentangan dengan kewajiban dalam tindak pidana korupsi belum dimaknai secara tepat oleh hakim karena kedudukan terdakwa sebagai kepala daerah tidak sebatas hanya terkait dengan upaya meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat, melainkan wajib menegakkan peraturan perundang-undangan. Pejabat negara tidak dapat menggunakan alasan kesejahteraan tersebut dengan melakukan pelanggaran hukum.

Praktik korupsi di daerah pemekaran sangat rawan terjadi pada saat masa transisi. Sebelum adanya institusi yang permanen di daerah pemekaran, peluang ini dapat saja dimanfaatkan untuk mencari keuntungan oleh pihak tertentu. Praktik korupsi yang terungkap dalam perkara ini menjadi contoh nyata akan hal tersebut. Untuk mencegah terjadinya hal serupa di masa datang maka diharapkan untuk lebih memberdayakan masyarakat di daerah.

Walaupun sudah ada standar dan indikator yang jelas dalam pemekaran daerah, namun jika tanpa konsistensi dalam pelaksanaannya maka kebijakan tersebut malah akan bertolak belakang dari tujuannya bahkan kerugian yang ditimbulkannya akan cukup besar terutama bagi masyarakat. Pemekaran daerah harus melibatkan partisipasi masyarakat secara lebih luas. Harus ada pengaturan yang jelas tentang mekanisme penyampaian aspirasi dan partisipasi masyarakat. Partisipasi sangat penting dan merupakan hal prinsip dalam melihat keinginan pemekaran daerah. Jangan sampai pemekaran daerah hanya akan menjadikan kelompok elit tertentu menjadi “raja” baru di daerah tersebut disebabkan akses kekuasaan yang mereka miliki.

JURNAL april.indd 40 5/16/2012 4:43:10 PM

Page 51: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 41

DAFTAR PUSTAKA

Harahap, M. Yahya. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika.

Huda, Ni’matul. 2009. Otonomi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangan, dan Problematika. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

__________. 2009, Hukum Pemerintahan Daerah. Bandung: Nusamedia.

Klitgaard, Robert. 2001. Membasmi Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Mahfud M.D. 2009. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Majid, Abdul. 2008. Dampak Positif dan Negatif Otonomi Daerah terhadap Kemajuan Bangsa Indonesia. Data bersumber dari The Habibie Center.

Manan, Bagir. 2004. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta: PSH FH-UII.

Nasution, M. Arief. 2000. Demokrasi dan Problem Otonomi Daerah. Bandung: Mandar Maju.

Nugroho, Rint. 2000. Desentralisasi Tanpa Revolusi, Kajian dan Kritik Atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Pointer, J.A. 2008. Penemuan Hukum. Terjemahan B. Arief Sidharta. Bandung: Jendela Mas Pustaka.

Prasetyo, Teguh & Abdul Halim B. 2007. Ilmu Hukum dan filsafat Hukum, Studi Ahli Pemikiran Hukum Sepanjang Zaman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pratikno, 2006. Politik Kebijakan Pemekaran Daerah dalam Blue Print Otonomi Daerah di Indonesia. Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa.

Sabarno, Hari. 2007. Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa. Jakarta: Sinar Grafika.

Sarundajang. 2000. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

___________. 2005. “Overheidsbeleid” Dalam Prespektif Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.” Makalah. Disampaikan pada Program pendampingan bekerja sama Pusat Kajian Hukum wilayah Barat Universitas Andalas dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia, tanggal 23 Agustus 2005 di Padang.

Adjie Seno, Indriarto. 2007. Korupsi Kebijakan Aparatur Negara. Jakarta: Diadit Media.

Soerodibroto, R. Soenarto. 2006. KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hogeraad. Jakarta: Rajawali Pers.

Sutiyoso, Bambang. 2006. Metode Penemuan Hukum. Yogyakarta: UII Press.

JURNAL april.indd 41 5/16/2012 4:43:10 PM

Page 52: cover jurnal April 2010.cdr

42 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

ABSTRACT This verdict analysis research on a delict in the field of forestry violence as regulated in Act Number 41 of 1999. The verdict certified that the accused was guilty to commit a delict as stipulated in primary indictment. The findings of this research from the verdict are the verdict did not apply the provisions of the procedural law. The verdict also was correct in determining the material legal ground to prove and declare the accused guilty, but it did not prove the element of “by intention” as a form of guilt as pointed. Instead, this verdict applied syllogism reasoning in which the judges have conducted a construction based on the rule of law, and the verdict deployed the value of justice in its legal ground since the verdict was based on legal fact and also in its punishment. The verdict also accommodated the value of utility with the aim of speciale preventie (special prevention), generale preventie (general prevention) and the philosophy of retributive punishment.

Keywords: crime on forestry, instruments of evidence, philosophy of punishment,

KORUPSI DALAM RANAH KEHUTANAN

Kajian Putusan Nomor 138/Pid.B/2009/PN.BJM

HelmiFakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Jalan Brigjen H. Hasan Basri, Banjarmasin

email: [email protected]

ABSTRAK Penelitian putusan hakim ini dalam perkara tindak pidana bidang kehutanan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 41 Tahun 1999. Putusan telah menyatakan bahwa terdakwa bersalah melakukan kesalahan sebagaimana dituduhkan dalam dakwaan premair. Dalam penelitian ini ditemukan beberapa hal seperti putusan tidak memenuhi beberapa syarat sebagaimana yang ditentukan dalam hukum acara. Penulis menilai bahwa putusan ini sudah tepat menentukan dasar hukum materiil untuk membuktikan kesalahan, akan tetapi majelis hakim salah dalam menyebutkan unsur delik dalam analisis pembuktian unsur delik dengan tidak mencantumkan unsur dengan sengaja sehingga tidak dibuktikan di persidangan. Selain itu, putusan hakim ini sudah melakukan penalaran hukum yang logis berdasarkan fakta hukum dan hukuman, mengakomodir nilai keadilan baik dasar dalam dasar hukumnya maupun dari segi pidananya yang memuat nilai kemanfaatan dari perspektif specile preventie dan generale preventie, serta menerapkan falsafat pemidanaan yang retributif.

Kata kunci: kejahatan bidang kehutanan, instrumen pembuktian, falsafah pemidanaan

JURNAL april.indd 42 5/16/2012 4:43:10 PM

Page 53: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 43

PENDAHULUANI.

A. Posisi Kasus

Terdakwa AHN selaku direktur utama salah satu perusahaan di Kabupaten Kotabaru. Terdakwa pada bulan Juni 2005 sampai dengan September 2008 telah melakukan eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri yang terkait sebagaimana yang ditentukan oleh peraturan yang ada.

Peristiwa ini bermula sejak terdakwa pada tanggal 4 September 1998 mengajukan permohonan kuasa pertambangan kepada Direktur Jenderal Pertambangan Umum dengan surat tertanggal 4 September 1998. Atas permohonan tersebut, Direktur Jenderal Pertambangan Umum mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 216K/23.01/DJP/2000 tanggal 31 Mei 2000 tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksplorasi (KW.98OTP147) seluas 7.630 Ha kepada PT. BC dengan penjelasan antara lain untuk mengadakan eksplorasi bahan galian batubara dengan memenuhi kewajiban-kewajiban serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya, pada tanggal 3 Februari 2003 terdakwa mengajukan permohonan kuasa pertambangan kepada Bupati Kotabaru, atas permohonan terdakwa tersebut, Bupati Kotabaru mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 216K/23.01/DJP/2003 tanggal 31 Mei 2003 tentang Pemberian Perpanjangan Pertama Kuasa Pertambangan Eksplorasi (KW.98OTP147) seluas 7.430 Ha.

Pada tanggal 2 Februari 2004 terdakwa mengajukan permohonan perpanjangan eksplorasi dalam rangka pembangunan fasilitas sarana dan prasarana pertambangan, atas permohonan terdakwa tersebut, Bupati Kotabaru mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 216 K/23.01/DJP/2005 tanggal 31 Januari 2005 tentang Pemberian Perpanjangan Eksplorasi dalam rangka pembangunan fasilitas sarana dan prasarana pertambangan (KW.98OTP147) seluas 7.430 Ha.

Pada tanggal 7 Juni 2005 terdakwa mengajukan permohonan Relokasi Kuasa Pertambangan Eksplorasi PT. BCMP, atas permohonan terdakwa tersebut Bupati Kotabaru mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 545/62.I/KP/D.PE tanggal 27 Juni 2005 tentang Relokasi Kuasa Pertambangan Eksploitasi PT. BCMP (KW.KTB.0212KP0001) seluas 199 Ha.

Berdasarkan permohonan terdakwa tertanggal 2 Agustus 2006, maka Bupati Kotabaru mengeluarkan:

1. Surat Keputusan Nomor: 545/79.I./KP/D.PE tanggal 01 Februari 2007 tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksploitasi (KTB.0701KP0003) seluas 300 Ha,

2. Surat Keputusan Nomor: 545/79.I.a/KP/D.PE tanggal 1 Februari 2007 tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksploitasi (KTB.0705KP0018) seluas 300 Ha,

JURNAL april.indd 43 5/16/2012 4:43:10 PM

Page 54: cover jurnal April 2010.cdr

44 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

3. Surat Keputusan Nomor: 545/79.I.b/KP/D.PE tanggal 1 Februari 2007 tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksploitasi (KTB.0705KP0018) seluas 288,8 Ha,

4. Surat Keputusan Nomor: 545/79.A./KP/D.PE tanggal 1 Februari 2007 tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Pengangkutan dan Penjualan (KTB.0701KP0003),

5. Surat Keputusan Nomor: 545/79.A.a/KP/D.PE tanggal 1 Februari 2007 tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Pengangkutan dan Penjualan (KTB.0702KP0004),

6. Surat Keputusan Nomor: 545/79.A.a/KP/D.PE tanggal 1 Februari 2007 tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Pengangkutan dan Penjualan (KTB.0705KP0018).

Di dalam 6 (enam) Surat Keputusan Bupati Kotabaru mengenai eksplorasi dan eksploitasi pada lampiran II tercantum kewajiban-kewajiban pemegang kuasa pertambangan eksplorasi maupun eksploitasi antara lain sebelum melakukan usaha pertambangan dalam daerah cagar alam, hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi harus mendapat izin penggunaan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Surat Keputusan Kuasa Pertambangan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pertambangan Umum, maupun yang dikeluarkan oleh Bupati Kotabaru tersebut di atas, terdapat Kuasa Pertambangan PT. BC yang masuk atau terletak pada kawasan hutan sesuai Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 453/Kpts-II/1999 tanggal 17 Juni 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan seluas 1.839.494 (satu juta delapan ratus tiga puluh sembilan ribu empat ratus sembilan puluh empat) Hektar.

Terdakwa mengetahui areal sebagaimana yang tercantum dalam 4 (empat) Kuasa Pertambangan eksploitasi yang dikeluarkan Bupati Kotabaru seluas 1.076,6 Ha merupakan areal kawasan hutan tanaman industri PT. KT, maka terdakwa pada tanggal 2 Juni 2004 mengirim surat kepada PT. KT perihal Persetujuan Penggunaan Lahan dalam Kawasan HPHTI PT. KT. Namun permohonan tersebut tidak disetujui oleh PT. KT.

Pada tanggal 17 Januari 2005, terdakwa mengirim surat kepada PT. KT perihal Persetujuan Penggunaan Lahan dalam Kawasan HPHTI PT. KT. Atas surat terdakwa tersebut PT. KT memberikan jawaban yang isinya menyetujui sepanjang memenuhi ketentuan dan peraturan yang berlaku.

Pada tanggal 9 September 2007, terdakwa mengirim surat kepada Menteri Kehutanan perihal Pinjam Pakai Lahan, yang isinya memohon kepada Menteri Kehutanan memberikan izin pinjam pakai lahan yang terletak di atas kawasan hutan produksi tetap (HPT) di Kalimantan Selatan Kabupaten Kotabaru seluas 204,16 Ha, dan terdakwa menyatakan bersedia memenuhi persyaratan

JURNAL april.indd 44 5/16/2012 4:43:10 PM

Page 55: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 45

pinjam pakai lahan tersebut. Tetapi terdakwa tidak pernah memenuhi kekurangan persyaratan yang disampaikan oleh Kepala Pusat Wilayah Pengelolaan Kawasan Hutan Departemen Kehutanan Badan Planologi Kehutanan tersebut.

Terdakwa tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan, terus melakukan kegiatan eksploitasi atau melakukan penambangan batubara di areal HPHTI PT. KT dengan menyerahkan pekerjaan penambangan kepada beberapa perusahaan lain.

Areal kawasan hutan tanaman industri dalam pengusahaan PT. KT yang dilakukan penambangan oleh terdakwa tanpa izin Menteri Kehutanan seluruhnya seluas 482,278 Ha, mendapatkan batubara sebanyak 1.145.600 MT (satu juta seratus empat puluh lima ribu enam ratus metrik ton), dijual oleh terdakwa sebanyak 992.000 MT (sembilan ratus sembilan puluh dua ribu metrik ton), memperoleh uang Rp. 34.265.000.000,- (tiga puluh empat milyar dua ratus enam puluh lima juta rupiah).

B. Dasar Hukum yang Digunakan

Dalam perkara ini dasar hukum yang dipergunakan sebagai berikut:

Dalam Surat Dakwaan:

Primair: Pasal 78 ayat (6) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, subsidair: Pasal 78 ayat (2) jo Pasal 50 ayat (3) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999.

Dalam Surat Tuntutan:

Pasal 78 ayat (6) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo Pasal 193 ayat (1) KUHAP.

Dalam Putusan:

Pasal 78 ayat (6) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo Pasal 193 ayat (1) KUHAP.

RUMUSAN MASALAHII.

Dalam penelitian ini pertanyaan–pertanyaan yang hendak dijawab sebagai berikut:

1. Apakah putusan hakim telah mengikuti prosedur hukum acara pidana (khususnya sebagaimana diatur dalam Pasal 197 jo Pasal 199 KUHAP)?

2. Apakah putusan hakim telah dapat membuktikan unsur tindak pidana dan kesalahan secara lengkap?

JURNAL april.indd 45 5/16/2012 4:43:10 PM

Page 56: cover jurnal April 2010.cdr

46 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

3. Apakah putusan hakim telah mencerminkan penalaran hukum yang logis (runtut dan sistematis)?

4. Apakah putusan hakim telah mengakomodasi nilai keadilan dan kemanfaatan yang berpihak kepada penguatan masyarakat madani?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

A. Studi Pustaka

Hutan merupakan salah satu sumber daya alam (SDA) sebagai karunia dan amanah Allah SWT kepada bangsa Indonesia yang tidak ternilai harganya, karena itu harus disyukuri dengan mengelolanya secara benar. Pengelolaan itu sendiri sebenarnya juga amanah dari Allah kepada bangsa Indonesia, sebagai khalifatullah di muka bumi ini. Hutan dengan fungsinya, sangat penting untuk dikelola dalam arti dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup manusia dan melestarikannya agar hutan tetap eksis sampai waktu yang terhingga.

Bagi bangsa Indonesia, hutan merupakan modal pembangunan nasional yang banyak memiliki manfaat bagi kehidupan dan penghidupan, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi dalam proporsi yang berimbang. Oleh karena itu perlu regulasi di bidang kehutanan dengan mengeluarkan undang-undang kehutanan dalam rangka mengimplementasikan ketentuan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

Regulasi dalam bentuk undang-undang, sebenarnya sudah dimulai sejak dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan, akan tetapi undang-undang tersebut dinilai sudah tidak sesuai kebutuhan hukum bangsa Indonesia, maka ditetapkanlah UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mulai berlaku sejak 30 September 1999.

Tujuan ditetapkannya UU No. 41 Tahun 1999 adalah sebagai berikut: (a) menjadi keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; (b) mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari; (c) meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; (d) meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal, dan (e) menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

UU No. 41 Tahun 1999 para prinsipnya termasuk ruang lingkup hukum administrasi, namun di dalamnya terdapat pula aspek hukum keperdataan yakni hak mengusahakan dan aspek hukum pidana yang diatur alam Pasal 78 ayat (1) s.d. ayat (14). Sehubungan dengan Surat dakwaan yang oleh Penuntut Umum dalam perkara ini, maka terkait dengan beberapa tindak pidana dalam UU No. 41 Tahun 1999 sebagai berikut:

JURNAL april.indd 46 5/16/2012 4:43:10 PM

Page 57: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 47

Pasal 78 ayat (6) UU No. 41 Tahun 1999 menyatakan:

“Barangsiapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3) huruf g, diancam pidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah)”.

Pasal 50 ayat (3) huruf g menyatakan:

“Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau ekploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri”.

Pasal 78 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 menyatakan:

“Barangsiapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah)”.

Pasal 50 ayat (2) huruf d menyatakan:

“Setiap orang yang diberi izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan”.

Dalam penerapan hukum atau penegakkan hukum, tugas hakim seringkali bukan sekedar menerapkan undang-undang tapi juga menemukan hukum dibalik ketidak-lengkapan atau ketidak-jelasan undang-undang.

Menurut Van Eikema Hommes, penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Ini merupakan proses konkritisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit (Mertokusumo, 193: 4).

Peradilan tidak lain hanyalah merupakan bentuk silogisme. Undang-undang merupakan premis mayor, peristiwa yang konkrit merupakan premis minor, sedangkan putusan hakim merupakan konklusi atau kesimpulan. Suatu kesimpulan logis tidak lebih dari apa yang terdapat dalam premis-premis tersebut. Demikian pula suatu putusan hakim tidak akan berisi atau meliputi lebih dari apa yang terdapat dalam undang-undang yang berhubungan dengan peristiwa konkrit (Mertokusumo, 193: 6).

Menurut Gustav Radbruch, hukum memuat 3 (tiga) nilai, yaitu: keadilan (gerechtigkeit), kegunaan (zweckmassigkeit), dan kepastian hukum (rechtssicherheit) (Raharjo, 2000: 1). Dalam rangka penerapan atau penegakan hukum, masyarakat tidak hanya ingin melihat diciptakannya

JURNAL april.indd 47 5/16/2012 4:43:10 PM

Page 58: cover jurnal April 2010.cdr

48 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

ketertiban dan kepentingan-kepentingannya dilayani peraturan yang menjamin kepastian hukum dalam mereka satu sama lain.

Menurut Satjipto Raharjo, sekalipun ketiga-tiganya merupakan nilai dasar hukum, namun antara ketiganya terdapat suatu ketegangan (spannungsverhalnis) satu dengan yang lain. Hubungan keadaan yang demikian dapat dimengerti karena ketiga-tiganya berisi tuntutan yang berlainan satu sama lainnya yang mengandung potensi bertentangan. Apabila diambil contoh kepastian hukum, maka sebagai nilai ia menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan ke samping, karena bagi kepastian hukum yang utama adalah peraturan itu sendiri. Apakah peraturan itu adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya adalah sesuatu di luar pengutamaan kepastian hukum (Raharjo, 2000: 1).

Dalam Pasal 1 butir 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum RI. Jadi peradilan tidak semata-mata menegakan hukum yaitu kepastian hukum, tapi juga menegakan keadilan.

Secara konseptual ada beberapa hal yang perlu dipahami dalam konteks penelitian ini. Kerangka yang dimaksud dapat diilustrasikan dalam ragaan di bawah. Dalam ragaan itu terlihat bagaimana suatu putusan hakim itu dapat ditelaah (Sidharta, 2008: 198, bandingkan Mertokusumo, 1991: 159). Ragaan tersebut dapat dibaca sebagai berikut:

1. Putusan hakim, yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah dokumen hukum yang berawal dari kasus-kasus konkrit. Di mata para hakim, kasus demikian diawali dari materi yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Oleh karena hakim harus mendengar kasus ini dari kedua belah pihak, maka di samping kasus posisi yang disampaikan oleh JPU, hakim juga harus mendengar kasus posisi versi terdakwa/penasihat hukumnya. Atas dasar itulah lalu hakim berusaha mengkonstatasi fakta. Tentu saja fakta hasil konstatasi ini—yakni suatu struktur kasus masih dapat berkembang selama proses persidangan bergantung pada hasil pembuktian dan keyakinan hakim.

2. Dalam perkara pidana, setiap surat dakwaan JPU wajib dicantumkan dasar hukum yang digunakan untuk menuntut pertanggungjawaban terdakwa. JPU akan berusaha membuktikan unsur-unsur dakwaan ini, sebaliknya terdakwa/penasihat hukumnya akan berusaha menolak argumentasi dari JPU. Dalam putusan hakim, kedua argumentasi ini wajib untuk diberi tempat dan pertimbangan-pertimbangan yang proporsional (audi et alteram partem).

3. Dasar hukum (lazimnya berupa undang-undang) tersebut membutuhkan penafsiran. Bentuk penafsiran hakim sangat bergantung pada kompleksitas perkara (Aleksander Percznik: 1989: 19) dan kejelasan dasar hukum yang mengaturnya. Penafsiran yang paling sederhana

JURNAL april.indd 48 5/16/2012 4:43:10 PM

Page 59: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 49

adalah penafsiran gramatikal dan otentik. Pada tahap ini hakim mencocokkan struktur aturan dengan struktur kasusnya. Mekanisme pencocokan ini lazimnya dikenal dengan menggunakan pola sillogisme. Premis mayor diderivasi dari struktur aturan, sedangkan premis minor diangkat dari struktur kasus. Sintesis dari kedua premis ini adalah konklusi (conclussio). Dalam kasus pidana, sillogisme biasanya dilakukan dengan mereduksi suatu rumusan pasal sehingga menjadi unsur-unsur tindak pidana. Unsur-unsur ini diasumsikan sebagai syarat-syarat yang mencukupi (sufficient conditions) untuk terpenuhinya suatu kualifikasi tindak pidana. Dengan demikian, sillogisme dapat terdiri dari beberapa buah sekaligus, bergantung dari banyak unsur-unsur yang harus dicari konklusinya.

4. Mengingat pola sillogisme sangat tergantung pada rumusan premis mayor, maka “keberaniaan” hakim untuk menemukan hukum dapat berbuah pada hasil-hasil konklusi yang berbeda dengan “kesimpulan” dari JPU atau terdakwa/penasihat hukumnya. Bahkan, di antara para hakim sendiri pun dapat terjadi perbedaan. Jika ada anggota majelis yang berbeda pendapat saat bermusyawarah dilakukan, maka dapat saja anggota ini lalu membuat pendapat yang berbeda. Di sinilah terlihat kemungkinan-kemungkinan alternatif yang dimunculkan. Peragaan penalaran hakim justru terjadi pada tahap ini, yakni pada saat mereka membuat pertimbangan-pertimbangan. Kualitas kognitif suatu putusan terutama terletak pada aspek pertimbangan-pertimbangan ini.

5. Pada akhirnya, sebanyak apapun alternatif konklusi yang dapat dihasilkan, majelis hakim harus mengambil sikap. Pada tahap ini hakim harus memperhatikan secara komprehensif semua hal yang melingkupi perkara yang tengah ditanganinya. Ada nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan yang juga wajib diakomodasi, tidak semata-mata nilai kepastian hukum. Di luar itu, hakim juga harus melihat kondisi terdakwa, sehingga terkuak faktor-faktor apa saja yang dapat memberatkan dan meringankan hukuman. Semua ini merupakan bekal bagi majelis hakim untuk menentukan falsafah pemidanaan seperti apa yang paling tepat untuk kasus tersebut. Mengingat pengabaian terhadap formalitas ini dapat berbuah pada putusan yang batal demi hukum.

6. Setelah sikap diambil, maka putusan pun kemudian diformulasikan ke dalam putusan akhir dengan mengikuti format yang telah ditentukan di dalam KUHAP. Jika diamati secara kronologis, formulasi demikian sesungguhnya adalah tahap terakhir yang dilakukan oleh majelis hakim, tetapi bagi peneliti, aspek yang paling kasat mata untuk ditelaah terlebih dahulu justru adalah segi-segi formalitas-formalitas tersebut, mengingat pengabaian terhadap formalitas ini dapat berbuah pada putusan yang batal demi hukum.

Melalui penjelasan jalinan kerangka konseptual di atas dapat ditarik paling tidak empat konsep besar yang memang saling terkait dalam penelitian ini. Keempat konsep itu adalah tentang: (1) Formalitas putusan (tercermin dari ketaatan majelis memformulasikan secara tertulis putusan

JURNAL april.indd 49 5/16/2012 4:43:10 PM

Page 60: cover jurnal April 2010.cdr

50 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

akhirnya dengan mengikuti ketentuan KUHAP), (2) Material putusan (tercermin dari kelengkapan unsur-unsur pembuktian tindak pidana dan kesalahan yang dijadikan pertimbangan), (3) Penalaran hukum yang logis (runtut dan sistematis), dan (4) Pertimbangan unsur keadilan dan kemanfaatan dalam putusan hakim (dimensi aksilogis, termasuk falsafah pemidanaan di dalamnya). Keempat konsep besar ini tidak lain adalah rumusan-rumusan permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini.

B. Analisis

1. Penerapan Aturan Hukum Formal

Putusan hakim yang berisi pemidanaan harus memuat hal-hal tertentu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981, yang berisi:

a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi: ‘DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;

b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan;

c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;

e. tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;

f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;

g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah mejelis hakim kecuali perkara yang diperiksa oleh hakim tunggal;

h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlah yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

j. keterangan bahwa seluruh surat dinyatakan palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;

k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;

JURNAL april.indd 50 5/16/2012 4:43:10 PM

Page 61: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 51

l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.

Mencermati isi putusan tersebut, yang menjadi objek penelitian ini, ternyata tidak mencantumkan secara keseluruhan butir-butir yang tercantum dalam Pasal 197 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981. Butir-butir yang tidak dicantumkan tersebut adalah ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf d yakni pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.

Menurut penjelasan Pasal 197 ayat (1) d, yang dimaksud dengan dengan “fakta dan keadaan” adalah apa yang ada dan apa yang diketemukan di sidang oleh pihak dalam proses persidangan, antara lain penuntut umum, saksi, ahli, terdakwa, penasihat hukum, dan saksi korban.

Seharusnya hakim menguraikan secara ringkas mengenai temuan fakta di pemeriksaan sidang pengadilan. Fakta tersebut dapat diungkap berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yaitu Pasal 184 KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, maupun terdakwa sendiri.

Dalam putusan ini Majelis Hakim tidak mencantumkan fakta hukum. Fakta hukum merupakan bagian dari fakta yang diperoleh dipersidangan yang berkaitan dengan aturan hukum, yang dalam perkara pidana fakta hukum ini merupakan fakta yang berkaitan dengan unsur delik yang didakwakan.

Dalam penalaran hukum deduksi silogisme, fakta hukum merupakan premis minor yang kemudian dihubungkan dengan ketentuan undang-undang yang merupakan premis mayor (dalam hukum pidana berupa unsur-unsur delik), selanjutnya dibuat kesimpulan (konklusi). Apabila fakta hukum yang terungkap memenuhi semua unsur delik yang didakwakan, barulah terdakwa dinyatakan terbukti melakukan suatu delik.

Menurut Suhadibroto, fakta hukum itu dalam sistem hukum kita dikualifisir sebagai alat bukti. Apakah fakta hukum atau alat bukti itu cukup sebagai dasar bagi hakim mengambil putusan, sepenuhnya itu menjadi hak hakim. Dengan kata lain, apakah fakta hukum telah memenuhi unsur delik yang dirumuskan dalam undang-undang, sepenuhnya tergantung dari penilaian hakim.

Di sini tugas hakim adalah mengkonkritkan unsur-unsur yang abstrak tersebut dengan fakta hukum atau sebaliknya mengabstraksikan fakta yang konkrit ke dalam unsur-unsur yang dirumuskan dalam undang-undang. Hukum positif kita memberikan kewenangan kepada hakim untuk menilai fakta hukum sesuai dengan keyakinannya yang bersifat subjektif (Suhadibroto, 2008: 4).

Di samping fakta hukum tersebut, dalam putusan ini tidak disebutkan mengenai alat-alat bukti yang digunakan oleh majelis hakim untuk menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan

JURNAL april.indd 51 5/16/2012 4:43:10 PM

Page 62: cover jurnal April 2010.cdr

52 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Penyebutan alat bukti seperti keterangan saksi dan keterangan ahli hanya terdapat dibagian analisis unsur tindak pidana, sehingga sifatnya parsial. Misalnya analisis pembuktian unsur tanpa izin Menteri, dalam pertimbangan hukum antara lain disebutkan: “bahwa menurut keterangan Ahli Djoko Edy Djaja, S.H., M.H., Ahli Prof. Dr. H. M. Hadin Muhjat, S.H., M.H., Ahli Prof. Dr. Zudan Arief Fachrulloh, S.H., M.H., dan Ahli Ir. Yesaya Arung Bulo berpendapat: ...... padahal alat bukti ini sangat vital untuk memenuhi persyaratan untuk mempidana” sebagaimana disebut dalam Pasal 183 UU No. 8 Tahun 1981.

Menurut Pasal 183 UU No. 8 Tahun 1981: “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Dalam teori hukum acara pidana, sistem pembuktian ini disebut dengan sistem pembuktian negatif menurut undang-undang.

Yahya Harahap menyatakan bahwa: “sistem pembuktian negatif menurut undang-undang ini merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan (conviction in time).” Sistem pembuktian negatif menurut undang-undang merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem, yang menggabungkan ke dalam dirinya secara terpadu antara sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Rumusan sistem pembuktian negatif menurut undang-undang berbunyi: “salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang” (Harahap, 2008: 278-279).

Tidak disebutnya tentang alat-alat bukti yang diperoleh di persidangan sebagai dasar menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, maka tidak dapat pula diketahui tentang sistem pembuktian apa yang dipergunakan oleh majelis hakim dalam membuat diktum (amar) putusan yang antara lain menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah.

Menurut Pasal 197 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 “tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k, dan l pasal ini mengakibatkan batal demi hukum”. Berdasarkan ketentuan ini, maka seharusnya putusannya batal demi hukum.

Yahya Harahap menyatakan bahwa: suatu putusan pengadilan harus memuat pernyataan-pernyataan yang ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1). Apabila tidak memuat pernyataan yang ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) jo Pasal 197 ayat (2), bisa mengibatkan putusan “batal demi hukum”. Suatu putusan yang batal demi hukum, mengembalikan semua hal dan keadaan kepada keadaan semula seolah-olah terdakwa tidak pernah diperiksa dan didakwa melakukan tindak pidana. Kedudukan terdakwa pulih dalam keadaan semula sebelum ia diperiksa dan didakwa. Demikian fatalnya akibat yang akan dialami putusan yang tidak mengindahkan ketentuan yang

JURNAL april.indd 52 5/16/2012 4:43:11 PM

Page 63: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 53

digariskan Pasal 197 ayat (1). Putusan yang dijatuhkan tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan hukum, serta tidak mempunyai kekuatan daya eksekusi. Putusan yang batal demi hukum tidak dapat dieksekusi oleh penuntut umum, karena putusan itu sendiri tidak mempunyai akibat hukum (Harahap, 2008: 30).

2. Penerapan Aturan Hukum Materiil

Dalam diktum (amar) putusan terdakwa AHN dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “melakukan kegiatan ekploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri” sebagaimana dalam dakwaan primair, yaitu Pasal 78 ayat (6) jo Pasal 50 ayat (2) huruf g UU No. 41 Tahun 1999.

Sehubungan dengan putusan hakim ini dapat diidentifikasi beberapa isu hukum sebagai berikut:

a. Dasar hukum yang digunakan oleh majelis hakim tersebut sesuai dengan dakwaan dan tuntutan Penuntut Umum, sehingga terdapat konsistensi (kesesuaian) antara dasar hukum dalam surat dakwaan, surat tuntutan dan putusan.

b. Secara substantif, dasar hukum materiil yang digunakan oleh majelis hakim ini yaitu Pasal 78 ayat (6) jo Pasal 50 ayat (2) huruf g juga sudah tepat.

Berdasarkan konstruksi delik Pasal 78 ayat (6) jo Pasal 50 ayat (2) huruf g, menurut peneliti unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: (a) dengan sengaja, (b) melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau ekploitasi bahan tambang, (c) di dalam kawasan hutan, dan (d) tanpa izin Menteri. Sedangkan menurut majelis hakim unsur-unsurnya terdiri dari: (a) setiap orang, (b) dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau ekploitasi bahan tambang, (c) di dalam kawasan hutan, dan (d) tanpa izin Menteri.

Bertitik tolak dari uraian di atas, nampaknya ada perbedaan sebagai berikut pertama, unsur yang disebut majelis hakim tidak menyebut unsur dengan sengaja, padahal konstruksi delik Pasal 78 ayat (6) tersebut sangat jelas menyebut dengan sengaja. Unsur dengan sengaja ini dalam Pasal 78 ayat (6) merupakan unsur kesalahan yang termasuk besstandelen van het delict (besstandel), karena itu konsekuensinya harus dicantumkan dalam surat dakwaan dan surat tuntutan, serta harus dibuktikan oleh Penuntut Umum. Kedua, pada unsur kedua yang disebut oleh majelis hakim dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau ekploitasi bahan tambang. Unsur ini oleh majelis hakim diambil secara tekstual dari Pasal 50 ayat (2) huruf g yang menyatakan: “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau ekploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri.” Rumusan Pasal 50 ayat (2) huruf g ini merupakan norma hukum administrasi sehingga ada disebut dilarang, seharusnya apabila ditinjau dari

JURNAL april.indd 53 5/16/2012 4:43:11 PM

Page 64: cover jurnal April 2010.cdr

54 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

aturan hukum pidana materiil frase dilarang ini dihilangkan, karena dalam konstruksi delik yang tercantum dalam aturan hukum pidana materiil frase dilarang ini tidak pernah ditulis.

Sekalipun tidak ditulis dalam konstruksi delik, namun tetap dapat dipahami bahwa dibalik rumusan delik itu terdapat norma yang isinya melarang orang untuk berbuat. Kekeliruan majelis hakim dalam menyebutkan unsur delik ini, menjadikan kerancuan dalam pembuktian, bagaimanakah majelis hakim dapat membuktikan larangan ini? Padahal yang dibuktikan oleh majelis hakim bukan unsur dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau ekploitasi bahan tambang, melainkan unsur melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau ekploitasi bahan tambang.

c. Terdapat disparitas pidana antara pidana dalam surat tuntutan penuntut umum dengan pidana yang dijatuhkan oleh hakim. Dalam surat tuntutan penuntut umum, terdakwa dituntut 5 (lima) tahun pidana penjara dan denda sebesar Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah), sedangkan dalam vonis dijatuhi pidana penjara 4 (empat) tahun dan denda Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah). Sehingga terdapat disparitas pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan perbedaan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Perbedaan pidana penjara nampaknya relatif tidak besar (mencolok), namun terdapat perbedaan relatif besar dalam pidana denda yaitu 50%.

d. Pembuktian unsur tindak pidana telah didukung oleh fakta hukum walaupun fakta hukum ini sifatnya secara parsial. Sebagaimana telah dikemukan, dalam putusan ini tidak disebutkan tentang fakta hukum yang terungkap di persidangan. Lazimnya fakta hukum disebut dalam putusan urutannya setelah uraian fakta yang diperoleh dari alat-alat bukti seperti saksi, keterangan ahli dan seterusnya. Dalam pembuktian unsur delik, setiap unsur delik selalu dihubungkan dengan fakta hukum yang ditarik secara parsial yaitu fakta hukum yang terkait dengan unsur delik, seperti yang telah dicontohkan terdahulu.

e. Tidak nampaknya pembuktian unsur kesalahan yaitu unsur dengan sengaja. Sebagaimana telah dikemukakan pada butir 2 terdahulu bahwa majelis hakim tidak menyatakan dengan sengaja sebagai unsur delik, padahal dalam konstruksi Pasal 78 ayat (6) UU No. 41 Tahun 1999 sangat jelas mencantumkan dengan sengaja. Oleh karena majelis hakim tidak menyatakannya sebagai unsur delik, maka tidak ada pembuktian tentang unsur dengan sengaja ini.

Tidak adanya pembuktian unsur dengan sengaja ini, menurut peneliti tidak dapat dianggap majelis hakim menerapkan teori monisme, karena pada bagian kesimpulan analisis pembuktian unsur dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau ekploitasi bahan tambang, tidak termasuk disimpulkan terbuktinya unsur dengan sengaja ini.

JURNAL april.indd 54 5/16/2012 4:43:11 PM

Page 65: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 55

Sehubungan dengan hal ini, menurut peneliti pemidanaan terhadap terdakwa bertentangan dengan asas culpabilitas yang menyatakan “geen straf zonder schuld” atau asas “actus non facit reum nisi mens sit rea”. Berdasarkan asas ini dapat dikatakan pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan. Sehingga apabila tidak dibuktikan (tidak dapat dibuktikan) unsur kesalahan, maka pelaku tidak dapat dipidana.

f. Usaha majelis hakim untuk memahami unsur delik dilakukan melalui penafsiran autentik yang ada dalam UU No. 41 Tahun 1999 sendiri dan pendapat (keterangan) ahli yang diajukan oleh penuntut umum. Digunakannya keterangan ahli terutama ahli di bidang hukum kehutanan, hukum administrasi, hukum tata negara dan ahli dalam bidang kehutanan dalam pemeriksaan perkara ini merupakan suatu hal yang sewajarnya (sepatutnya), karena perkara yang diperiksa dan diputus oleh hakim ini bukanlah termasuk perkara yang konvensional.

3. Penerapan Penalaran Hukum

Peradilan tidak lain hanyalah merupakan bentuk silogisme. Undang-undang merupakan premis mayor, peristiwa yang konkrit merupakan premis minor, sedangkan putusan hakim merupakan konklusi atau kesimpulan. Suatu kesimpulan logis tidak lebih dari apa yang terdapat dalam premis-premis tersebut. Demikian pula suatu putusan hakim tidak akan berisi atau meliputi lebih dari apa yang terdapat dalam undang-undang yang berhubungan dengan peristiwa konkrit (Mertokusumo, 1993: 6).

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam putusan ini diperoleh hal-hal sebagai berikut:

a. Majelis Hakim telah memberikan analisis terhadap makna ketentuan dasar hukum yang digunakan, dalam arti semua unsur delik dari Pasal 78 ayat (6) UU No. 41 Tahun 1999 telah dianalisis. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, analisis unsur terutama sekali menggunakan penafsiran autentik berdasarkan ketentuan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Namun dari analisis unsur delik tersebut tidak nampak adanya penafsiran baru yang dibuat oleh majelis hakim.

b. Majelis Hakim telah melakukan konstruksi dengan berangkat dari dasar hukum yang digunakan Pasal 78 ayat (6) UU No. 41 Tahun 1999. Hal ini dilakukan majelis hakim pada setiap analisis pembuktian unsur delik dengan menghubungkan antara aturan hukum (unsur delik) dengan fakta hukum terkait dengan unsur delik tersebut, fakta hukum mana diperoleh dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat maupun keterangn terdakwa sendiri.

c. Majelis Hakim juga telah melakukan proses berpikir silogistis yang runtut sehingga semua unsur-unsur yang dituduhkan terhubung dengan fakta dan konklusinya. Sehingga konklusi yang tertuang dalam diktum (amar) putusan telah didukung kesesuaian antara unsur-unsur

JURNAL april.indd 55 5/16/2012 4:43:11 PM

Page 66: cover jurnal April 2010.cdr

56 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

delik pasal 78 ayat (6) UU No. 1999 dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan.

4. Nilai Keadilan dan Kemanfaatan

Sebagaimana telah dikemukakan, penerapan hukum materiil bahwa penerapan aturan hukum pidana materiil Pasal 78 ayat (6) UU No. 41 Tahun 1999 dalam perkara ini secara substansial sudah tepat. Hal ini sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan. Hanya saja dalam putusan ini majelis hakim tidak membuktikan unsur dengan sengaja sebagai bentuk kesalahan yang dirumuskan dalam Pasal 78 ayat (6) UU No. 41 Tahun 1999 tersebut. Dalam pemidanaan, majelis hakim menjatuhkan pidana penjara 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah).

Sehubungan dengan hal tersebut dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:

a. Putusan ini telah mengakomodir nilai keadilan dan nilai kemanfaatan. Nilai keadilan di sini baik dilihat dari dasar hukum yang digunakan yaitu Pasal 78 ayat (6) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU No. 41 Tahun 1999, karena sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan, maupun dari pemidanaan yang dijatuhkan terhadap terdakwa yang menjatuhkan pidana penjara dan denda masing-masing 40% dari sanksi yang tertulis dalam pasal tersebut. Nilai kemanfaatan ditinjau dari tujuan pemidanaan yaitu prevensi khusus (speciale preventie) dan prevensi umum (generalae preventie).

b. Untuk mendukung penetapan lamanya pidana (sentencing/straftoemeting), majelis hakim telah mempertimbangkan faktor non yuridis yaitu faktor sosial ekonomis yang dalam pertimbangan putusan disebutkan hal-hal yang meringankan antara lain: terdakwa di era krisis global sekarang ini telah menampung atau mempekerjakan kurang lebih 4.000 orang karyawan yang terlibat di dalamnya adalah suatu prestasi, dan terdakwa mempunyai tanggungan keluarga dan telah ditunggu oleh karyawan-karyawan yang bekerja padanya.

Pertimbangan ini mungkin ada relevansinya dengan “dukungan” oleh massa yang diduga sebagai karyawan dari perusahaan terdakwa. Pengamatan peneliti di media massa cetak lokal maupun langsung pada sidang Pengadilan Negeri Banjarmasin terutama saat pembacaan tuntutan dan pembacaan putusan, memang terlihat dihadiri massa yang diduga karyawan perusahaan terdakwa. Bahkan “pendukung” terdakwa tersebut membawa poster yang berisi tuntutan agar hakim membebaskan terdakwa.

Menurut peneliti pertimbangan ini tidak tepat sebagai alasan yang meringankan terdakwa. Secara moral, tidak etis terdakwa mempekerjakan orang pada pekerjaan yang sifatnya bertentangan dengan hukum. Seolah-olah terdakwa sebagai sosok “Robinhood” si pencuri yang dermawan, yang membagi-bagikan uang hasil perbuatan melawan hukum.

JURNAL april.indd 56 5/16/2012 4:43:11 PM

Page 67: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 57

Secara psikologis, “massa” yang diduga karyawan terdakwa dapat melakukan atau digerakkan melakukan perbuatan anarkhi yang menimbulkan masalah baru. Lagi pula tuntutan pidana dan pemidanaan ini ditujukan terhadap pribadi terdakwa (natuurlijk persoon), bukan kepada korporasi perusahaan terdakwa (rechtpersoon). Sehingga tidak mungkin sanksinya berupa penutupan perusahaan yaitu PT. BCMP, sanksi mana memang terkait dengan sosial ekonomi karyawan perusahaan terdakwa.

c. Falsafah pemidanaan yang diterapkan oleh hakim adalah retributif, hal ini terlihat dari bagian pertimbangan hukumnya sebelum menyebutkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan, dinyatakan: ”bahwa untuk menjatuhkan yang setimpal dengan kesalahan terdakwa, Majelis mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut.” Dengan demikian dapat dikatakan pemidanaan selama 4 (empat) tahun penjara dan denda sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah) yang dijatuhkan, menurut majelis hakim merupakan pidana yang setimbal (sebanding) dengan kesalahan terdakwa.

Secara teoritis, berat ringannya pidana sangat relatif dan penilaiannya bersifat subjektif, karena pemidanaan bukanlah sesuatu yang dapat dihitung secara matematis. Penilaian peneliti, pidana yang dijatuhkan tersebut “belum” setimpal (sebanding) dengan kesalahan terdakwa, misalnya dilihat dari rentang waktu lamanya perbuatan pidana dilakukan kurang lebih 3 (tiga) tahun dan besarnya keuntungan yang sudah diperoleh terdakwa serta orang-orang yang menerima pekerjaan melakukan penambangan atas dasar Surat Perintah Kerja yang dibuat oleh terdakwa.

Falsafah retributif sebenarnya tepat diterapkan dalam perkara ini, mengingat dampak kerusakan alam bukan saja rusaknya permukaan tanah tapi juga rusaknya ekosistem yang terpengaruh terhadap perubahan iklim global. Demikian juga dilihat dari perspektif nilai kemanfaatan dari pemidanaan baik bagi terpidana maupun masyarakat.

SIMPULANIV.

Berdasarkan analisis yang telah dikemukakan, dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf d tidak dipenuhi karena dalam putusan ini tidak menyebutkan fakta hukum yang terungkap di persidangan serta tidak disebutkan alat bukti yang ditemukan di persidangan, sehingga sesuai Pasal 197 ayat (2) putusan ini konsekuensinya batal demi hukum.

2. Majelis Hakim sudah tepat menentukan dasar hukum materiil yaitu Pasal 78 ayat (6) UU No. 41 Tahun 1999. Akan tetapi majelis hakim salah dalam menyebutkan unsur delik dalam analisis pembuktian unsur delik dengan tidak mencantumkan unsur dengan sengaja,

JURNAL april.indd 57 5/16/2012 4:43:11 PM

Page 68: cover jurnal April 2010.cdr

58 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

sehingga unsur ini tidak dibuktikan di persidangan. Juga terdapat disparitas pidana antara yang tercantum dalam surat tuntutan dan putusan hakim

3. Dalam putusan hakim ini sudah melakukan penalaran hukum yang logis sehingga terlihat hubungan diantara 3 (tiga) bagian yakni premis mayor yaitu aturan yang digunakan sebagai dasar hukum, premis minor yaitu fakta hukum yang ditemukan dalam persidangan dan konklusi yang menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana disebut dalam Pasal 78 ayat (6) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g.

4. Dalam putusan ini telah mengakomodir nilai keadilan baik dasar dalam dasar hukumnya maupun dari segi pidananya. Juga tetapi memuat nilai kemanfaatan dari perspektif specile preventie dan generale preventie. Dalam putusan ini hakim menerapkan falsafat pemidanaan yang retributif. Hakim juga mempertimbangan faktor non yuridis dalam pemidanaan yaitu tentang “jasa” terdakwa dalam mempekerjakan ribuan karyawan di perusahaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Bambang, Sunggono. 2003. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Hararap, M. Yahya. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.

_______________. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Bagian Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika.

Hamzah, Andi. 2004. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika.

Moeljatno. 1982. Azas-Azas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Mertokusumo, Sudikno. 1993. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Nusantara, Abdul Hakim Garuda dkk. 1992. KUHAP dan Peraturan-Peraturan Pelaksana. Cet ke-2. Jakarta: Djambatan.

Raharjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

_____________. 2006. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas.

Soekanto, Soerjono & Sri Mamuji. 1986. Metode Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Rajawali.

JURNAL april.indd 58 5/16/2012 4:43:11 PM

Page 69: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 59

Salim, HS. 2006. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta: Sinar Graffika.

Suhadibroto. 2008. “Catatan Terhadap Hasil Evaluasi atas Penelitian Putusan-Putusan Hakim”. Makalah. Disampaikan pada Pelatihan Investigator dan Penelitian Komisi Yudisial di Jakarta 2 Februari 2008.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

JURNAL april.indd 59 5/16/2012 4:43:11 PM

Page 70: cover jurnal April 2010.cdr

60 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

PERBUATAN MELAWAN HUKUM LINGKUNGAN:PENAFSIRAN EKSTENSIF DAN DOKTRIN

INJURIA SINE DAMNO

Kajian Putusan Nomor 548/Pdt.G/2007/PN.JAK.SEL

ShidartaFakultas Hukum Universitas Tarumanegara, Jalan Letjen S. Parman Nomor 1 Jakarta

email [email protected]

ABSTRACTTort is a legal instrument that provides remedies for civil wrongdoings not arising out of contracts. A plantiff who suffers damage may use this instrument to file a lawsuit based on Article 1365 of Civil Code. According to this article, the plantiff is the person who should prove the wrongdoing, damage, and other elements of tort. Such a burden of proof is not in line with the spirit of strict liability as stipulated in Article 35 of Law No. 23 Year 1997. Unlike civil cases in general, the terms of wrongdoing and damage of tort could be defined broadly in environmental legal cases. For instance, a damage does not necessarily mean a physical injury.. Judges are very much anticipated to interpret such elements extensively rather than restrictively. Court Verdict Number 548/Pdt.G/2007/PN.JAK.SEL studied here seems to take a different direction from that of wide-ranging interpretation. Through this analysis the author resolves that imposing the doctrine of ‘injuria sine damno’ in some extent shall broaden the meanings of some crucial elements of tort.

Keywords: tort, injuria sine damno, environmental law.

ABSTRAK Perbuatan melawan hukum adalah sarana yang disediakan untuk mengatasi pelanggaran kontrak dalam hukum perdata. Penggugat yang menderita kergian dapat memakai instrumen ini untuk menggugat atas dasar Pasal 1365 KUH Perdata. Pasal ini menyatakan bahwa si penggugatlah yang harus membuktikan kesalahan, kerugian, dan unsur-unsur lain dari perbuatan melawan hukum itu. Beban pembuktian ini tidak sejalan dengan semangat tanggung jawab mutlak yang ditetapkan dalam Pasal 35 UU No. 23 Tahun 1997. Tidak seperti kasus-kasus perdata pada umumnya, istilah kerugian tidaklah harus bermakna kerugian fisik. Hakim tampaknya lebih menafsirkan unsur-unsur perbuatan melawan hukum ini lebih luas daripada mempersempitnya. Putusan hakim NO. 548/Pdt.G/2007/PN.JAK.SEL yang ditelaah di sini menunjukkan arah yang berbeda daripada penafsiran memperluas. Melalui analisisnya, penulis artikel ini menyarankan agar doktrin ‘injuria sine damno’ yang digunakan dalam hal unsur-unsur penting dalam perbuatan melwan hukum itu harus ditafsirkan secara lebih luas.

Kata kunci: perbuatan melawan hukum, injuria sine damno, hukum lingkungan.

JURNAL april.indd 60 5/16/2012 4:43:11 PM

Page 71: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 61

PENDAHULUANI.

Perbuatan melawan hukum, baik perdata (onrechtmatige daad) maupun pidana (wederrechtelijke daad) adalah dua konsep penting dalam wacana ilmu hukum. Secara umum, terutama jika mengikuti arus besar (mainstream) pemikiran hukum di Indonesia, kedua konsep ini mengalami divergensi dalam arah penafsirannya. Perbuatan melawan hukum perdata mengarah kepada pemaknaan yang meluas (ekstensif), yakni dengan mengartikan hukum tidak sama dengan undang-undang (wet). Jadi, onrechtmatig dibedakan pengertiannya dengan onwetmatig.

Momentum historis dari perluasan ini terjadi setelah putusan Hoge Raad der Nederlanden tanggal 31 Januari 1919, yaitu dalam kasus kasus Lindenbaum versus Cohen. Lain halnya dengan perbuatan melawan hukum dalam lapangan pidana yang justru mengarah ke pemaknaan yang menyempit (restriktif), yakni lebih mengarah kepada sifat melawan hukum formal (formele wederrechtelijkheid). Apa yang disebut hukum lazimnya mengacu pada ketentuan norma positif dalam sistem perundang-undangan pidana yang telah ada, tertulis, dan berlaku sebelum perbuatan dilakukan. Pelanggaran terhadap syarat ini merupakan pelanggaran serius terhadap asas legalitas.

Jika terjadi divergensi dalam kedua lapangan hukum itu, lalu bagaimana halnya dengan perbuatan melawan hukum di dalam lapangan hukum lingkungan? Hal ini menarik untuk ditanyakan karena ranah hukum lingkungan tidak sepenuhnya dapat dimasukkan ke dalam kriteria hukum perdata dan hukum pidana. Dengan mengutip Drupsteen, Koesnadi Hardjasoemantri (1999: 38) mengatakan hukum lingkungan (millieurecht) adalah hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam (natuurlijk millieu) dalam arti seluas-luasnya. Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan. Dengan demikian, hukum lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Mengingat pengelolaan lingkungan dilakukan terutama oleh pemerintah, maka hukum lingkungan sebagian besar terdiri dari hukum pemerintahan (bestuursrecht). Dalam tulisan ini, perbuatan melawan hukum dalam ranah hukum lingkungan itu diberi nomenklatur “perbuatan melawan hukum lingkungan”.

Problema yang dikemukakan di atas menjadi kajian menarik dengan dilakukannya studi terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan nomor 548/Pdt.G/2007/PN.JAK.SEL. Putusan yang dibacakan pada tanggal 4 Desember 2007 tersebut berangkat dari gugatan perdata yang diregistrasi pada tanggal 22 Maret 2007. Tampil sebagai penggugat adalah Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (selanjutnya disingkat Walhi) melawan tergugat I PT NMR, tergugat II Negara RI cq Pemerintah cq Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan turut tergugat Negara RI cq Pemerintah cq Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Dasar gugatan adalah perbuatan melawan hukum, yakni Pasal 1365 KUH Perdata, dikaitkan dengan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 17 (ayat 1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat UUPLH).

JURNAL april.indd 61 5/16/2012 4:43:11 PM

Page 72: cover jurnal April 2010.cdr

62 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

Kasus ini sendiri berawal dari kontrak karya yang mengikat PT NMR untuk melakukan usaha penambangan emas di kawasan Teluk Buyat, Minahasa, Sulawesi Utara, pada tahun 1986. Untuk itu, PT NMR mendapat persetujuan AMDAL dari Departemen ESDM pada bulan November 1994. Selanjutnya, pada bulan Maret 1996 PT NMR sudah beroperasi dengan membuang tailing (limbah) di Teluk Buyat. Persoalan awal masa pembuangan ini memang ada beberapa versi. Departemen ESDM (tergugat II) bahkan berusaha meyakinkan hakim bahwa pembuangan tailing baru dilakukan PT NMR pada Oktober 2001.

Pada bulan Februari 1999 terbit Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. Pasal 18 ayat (1) dari peraturan ini mewajibkan setiap pembuangan tailing ke laut harus mendapat izin dari Menteri/Kepala Bapedal. Pada bulan April tahun berikutnya, PT NMR mengajukan permohonan izin ini kepada Bapedal. Menurut PT NMR, permohonan ini diajukan dalam rangka menyesuaikan diri dengan adanya peraturan baru tersebut. Pada tanggal 11 Juli 2000, KLH mengirim surat nomor B-1456/BAPEDAL/07/2000 tentang Pembuangan Limbah Tailing ke Teluk Buyat (ditujukan ke Direktur Utama PT NMR). Keluarnya surat ini menimbulkan polemik. Penggugat (Walhi) menafsirkan surat ini sebagai izin sementara (enam bulan) kepada PT NMR untuk membuang limbah. Untuk dapat diberikan izin pembuangan, PT NMR masih harus melakukan ecological risk assessment (ERA).

KLH sendiri tampaknya setuju dengan penafsiran dari penggugat. Dalam jawaban dan dupliknya, turut tergugat KLH menyatakan bahwa surat itu memang merupakan persetujuan kepada PT NMR untuk membuang tailing ke laut, namun dengan syarat. Syaratnya antara lain harus dilakukan ERA. PT NMR diberi waktu enam bulan. Ketentuan lebih lanjut tentang baku mutu dan pembuangan limbah akan ditetapkan berdasarkan hasil studi risk assessment itu. Di sisi lain, PT NMR menolak argumen ini. Menurutnya, tidak ada kata “sementara” dalam surat itu. Jadi ini berarti Bapedal sudah memberikan izin yang berlaku seterusnya (tidak sementara). ERA juga bukan syarat dikeluarkannya izin. ERA dianggap bukan kewajiban hukum (belum ada aturannya), hanya sebatas academic draft.

Selain itu, PT NMR pun merasa dirinya tidak pernah mendapat teguran/sanksi dari pemerintah terkait urusan ERA ini. Namun, berdasarkan surat nomor B-2227/IV/10/2000 tanggal 5 Oktober 2000 yang dikirimkan oleh KLH kepada tergugat II (Departemen ESDM) ada diceritakan tentang hasil pertemuan antara Bapedal dan PT NMR yang menyatakan bahwa penempatan tailing pada kedalaman laut kurang dari 82 meter sebagaimana dilakukan PT NMR itu, kurang tepat. Di sini terlihat bahwa pandangan Departemen ESDM (tergugat II) dan KLH (turut tergugat), kendati sama-sama instansi resmi pemerintah, kerap bertolak belakang dalam kasus ini.

Atas kenyataan ini penggugat berpendapat terhitung sejak 11 Januari 2001, izin sementara yang diberikan kepada PT NMR untuk membuang limbah tailing sudah berakhir dan tergugat I masih belum melakukan ERA sebagai syarat diberikan izin lebih lanjut untuk pembuangan. Atas

JURNAL april.indd 62 5/16/2012 4:43:11 PM

Page 73: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 63

dasar fakta ini, maka penggugat berpandangan tergugat I telah melakukan perbuatan melawan hukum. Sekalipun pernah membantah bahwa ERA ini bukan keharusan, PT NMR kemudian mengajukan fakta bahwa ERA yang diminta sudah diserahkannya tanggal 11 Januari 2001.

Disampaikan pula oleh tergugat I, bahwa fakta telah terjadinya perbuatan melawan hukum harus dikaitkan dengan pengertian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 butir 12 dan 14 UUPLH. Tergugat I dan tergugat II membantah pencemaran dan perusakan lingkungan hidup itu sudah benar-benar terjadi. Sejak awal, polemik tentang fakta pencemaran ini sangat didominasi oleh klaim-klaim ilmiah (scientific) dari kedua belah pihak yang berperkara, walaupun pada ujungnya bukti-bukti penggugat tidak mampu meyakinkan majelis hakim.

Dalam putusannya, PN Jakarta Selatan secara bulat membebaskan para tergugat dari semua dalil yang diajukan penggugat. Majelis menyatakan, perusakan dan pencemaran harus dilakukan oleh pihak tertentu secara langsung di lapangan. Oleh karena itu, majelis menolak dalil gugatan yang terkait masalah administratif seperti alasan bahwa PT NMR tidak memiliki izin pembuangan tailing ke laut, tidak memiliki izin pembuangan merkuri ke udara, menyebarkan informasi yang tidak benar tentang laut, melanggar konvensi internasional, dan melanggar prinsip pemerintahan yang baik. Menurut majelis, segala masalah administratif itu tidak masuk ke dalam pengertian pelanggaran hukum terkait perusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Majelis juga menilai PT NMR tidak terbukti telah mencemari Teluk Buyat karena saksi, fakta, dan ahli yang diajukan pihak penggugat tidak secara jelas menyatakan pencemaran di Teluk Buyat adalah akibat limbah dari PT NMR.

Patut dicatat, bahwa sebelum kasus perdata ini bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dua kasus lain terkait dengan PT NMR telah diputus di Pengadilan Negeri Manado dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada tanggal 24 April 2004 Pengadilan Negeri Manado mengeluarkan putusan perkara pidana nomor 284/Pid.B/2005 yang membebaskan terdakwa I PT NMR dan terdakwa II Presiden Direktur PT NMR (bernama RBN). Putusan yang ketika itu masih belum berkekuatan hukum tetap tersebut, sempat pula dipakai sebagai bahan eksepsi oleh tergugat I dalam kasus perdata Walhi melawan PT NRM ini. Eksepsi tadi ditolak oleh majelis hakim. Kasus lain yang juga sudah berjalan lebih dulu adalah gugatan government action dari KLH terhadap PT NMR dan Presiden Direktur RBN atas pelanggaran Pasal 22 ayat (1) UUPLH. Gugatan KLH yang diregistrasi dengan nomor 94/Pdt.G/2005/PN.JAK.SEL ini juga tidak berhasil dimenangkan oleh Pemerintah.

Jika kembali pada objek kajian tulisan ini, yaitu putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan nomor 548/Pdt.G/2007/PN.JAK.SEL, maka tampak bahwa satu persoalan yang para pihak perdebatkan adalah tentang telah terjadi atau tidak terjadinya “perbuatan melawan hukum lingkungan.” Satu pihak menafsirkan perbuatan melawan hukum lingkungan ini secara ekstensif,

JURNAL april.indd 63 5/16/2012 4:43:11 PM

Page 74: cover jurnal April 2010.cdr

64 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

sementara pihak lain menafsirkannya secara restriktif. Putusan majelis hakim sendiri tampaknya lebih setuju terhadap penafsiran sempit.

Penafsiran yang digunakan memang belum menyentuh karakteristik khas dari kasus-kasus hukum lingkungan yang sebagian besar berada dalam area hukum pemerintahan, termasuk doktrin yang dapat dilekatkan pada perbuatan melawan hukum lingkungan, yaitu doktrin injuria sine damno (injury without damage). Suatu doktrin yang ingin ditawarkan penulis dalam kajian ini dalam rangka memperjelas pemahaman tentang makna perbuatan melawan hukum lingkungan di masa-masa mendatang.

RUMUSAN MASALAHII.

Ada banyak aspek yang ikut disinggung dalam putusan perkara ini. Sebagai contoh, selain mempersoalkan pokok perkara, majelis hakim juga menggarisbawahi ius standi organisasi lingkungan hidup seperti Walhi yang memiliki keterbatasan dalam mengajukan gugatan mengenai kerusakan lingkungan hidup. Keterbatasan itu tertera dalam Pasal 38 ayat (2) UUPLH yang menyatakan gugatan oleh organisasi lingkungan hidup tidak boleh menyertakan tuntutan ganti rugi, serta harus terkait dengan perbuatan perusakan dan pencemaran lingkungan.

Tulisan ini akan memfokuskan pada persoalan perbuatan melawan hukum lingkungan, yakni seputar dasar gugatan Pasal 1365 KUH Perdata dalam konteks hukum lingkungan. Namun, ternyata disadari bahwa kupasan tentang perbuatan melawan hukum lingkungan ini tidak dapat melepaskan diri dari persoalan ius standi penggugat, mengingat unsur kerugian yang menjadi elemen penting dalam perbuatan melawan hukum ini ikut dipersoalkan dalam Pasal 38 ayat (2) UUPLH. Atas dasar pertimbangan ini, persoalan ius standi tadi, sepanjang berguna untuk memperjelas kajian, akan ikut disinggung seperlunya.

Objek kajian dalam tulisan inipun hanya diarahkan pada putusan pengadilan tingkat pertama, kendati pada saat tulisan ini dibuat, diperoleh kabar bahwa Walhi sedang mengajukan upaya hukum atas putusan ini. Dengan berangkat dari latar belakang dan identifikasi permasalahan, maka rumusan yang diajukan dalam kajian ini adalah: apakah penafsiran ekstensif dan doktrin injuria sine damno dapat menjadi alternatif yang dapat ditawarkan untuk memaknai perbuatan melawan hukum lingkungan secara lebih tepat dalam kasus ini (serta kasus-kasus hukum lingkungan lainnya)?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

Sejak arrest kasus Lindenbaum-Cohen tanggal 31 Januari 1919, pemaknaan perbuatan melawan hukum di lapangan hukum keperdataan setidaknya dapat dihubungkan dengan empat hal, yaitu perbuatan itu harus: (1) melanggar hak orang lain; (2) bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau; (3) bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau; (4) bertentangan dengan

JURNAL april.indd 64 5/16/2012 4:43:11 PM

Page 75: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 65

kepatutan yang terdapat dalam masyarakat terhadap diri atau barang orang lain. Pemaknaan yang muncul dari putusan tersebut merupakan terobosan penting setelah beberapa putusan sebelumnya cenderung masih mempersempit makna “hukum” sama seperti makna “undang-undang”, misalnya dalam putusan kasus mesin jahit Singer (1905) dan kasus pipa air ledeng kota Zutphen (1910). Jika diterapkan ke dalam hukum lingkungan, ada beberapa persoalan yang perlu diberikan catatan (lihat Setiawan, 1991: 8-15).

Pertama, pengertian melanggar hak orang lain di sini mencakup area denotasi yang luas. Orang tersebut tidak harus subjek yang bertempat tinggal di lokasi yang terkena dampak langsung pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Orang ini dapat terdiri dari mereka yang dirugikan secara idealisme, misalnya para aktivis lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan. Dalam konteks kasus ini, Walhi adalah lembaga swadaya masyarakat yang tidak tinggal di kawasan Teluk Buyat, tetapi oleh hukum termasuk kategori orang-orang yang juga dilanggar haknya.

Kedua, pengertian bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pelaku adalah kewajiban menurut undang-undang. Penafsiran demikian karena rumusan Hoge Raad tentang pengertian perbuatan melawan hukum tahun 1919 itu menjiplak secara harfiah rancangan undang-undang tahun 1913. Kata “undang-undang” di sini meliputi undang-undang dalam arti material, termasuk peraturan perundang-undangan pidana. Ini berarti seseorang yang melakukan pelanggaran pidana karena mencuri atau menipu, di samping dapat dituntut secara pidana, dimungkinkan pula karena kerugian yang ditimbulkannya untuk digugat secara perdata.

Ketiga, pengertian bertentangan dengan kesusilaan yang baik dan kepatutan dapat dianggap sebagai perluasan yang penting dari penafsiran perbuatan melawan hukum. Kedua batasan tersebut memang dapat berubah dari waktu ke waktu dan berbeda dari satu komunitas ke komunitas lainnya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan sudah dengan sendirinya bertentangan dengan kesusilaan. Apa yang dikenal sebagai “bertentangan dengan kepatutan” adalah jika: (1) perbuatan tersebut sangat merugikan orang lain tanpa kepentingan yang layak, dan (2) perbuatan itu tidak berguna atau menimbulkan bahaya bagi orang lain. Perbuatan penyalahgunaan hak (misbruik van recht) yang terjadi dalam kasus terkenal “cerobong asap palsu” yang diputus oleh Pengadilan Colmar tanggal 2 Mei 1855, membuktikan bahwa perbuatan yang sia-sia dan merugikan orang lain, adalah juga pelanggaran hukum.

Ada hal yang menarik untuk membedakan antara ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata dan Pasal 1366 KUH Perdata. Secara redaksional ketentuan Pasal 1365 menggunakan kata-kata “karena salahnya” (schuld) yang berbeda dengan bunyi Pasal 1366 yang berbunyi “karena kelalaian atau ketidakhati-hatian” (nalatigheid; onvoorzichtigheid). Kata “melawan hukum” mengandung arti baik tindakan aktif maupun pasif. C. Asser (1991) juga menekankan tentang hal ini. Menurutnya, jika Pasal 1365 KUH Perdata menekankan pada perbuatan aktif, maka Pasal 1366 menekankan pada aspek pembiaran (tidak berbuat).

JURNAL april.indd 65 5/16/2012 4:43:11 PM

Page 76: cover jurnal April 2010.cdr

66 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

Kedua pasal ini konon diinspirasi oleh pembedaan yang lazim dianut dalam hukum pidana, yaitu kesengajaan dan kelalaian. Dengan demikian, segala perbuatan yang disebabkan karena kesengajaan maupun kelalaian atau ketidakhati-hatian, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, sepanjang perbuatan itu salah (melanggar hukum dalam arti luas), dan oleh karena itu si pelakunya layak diberikan beban untuk mengganti kerugian.

A.J. Pannett (1992: 3) menyatakan bahwa pada asasnya hukum tidak akan membebankan kewajiban penggantian kerugian terhadap semua bentuk pelanggaran. Jenis-jenis kerugian yang disebut damnum sine injuria adalah contoh pengecualiannya, yaitu apabila kerugian disebabkan oleh pelanggaran yang dilakukan karena si pelaku tengah menjalankan perintah undang-undang. Artinya, sekalipun ada kerugian, jika pelakunya berbuat karena menjalankan perintah undang-undang, ia tidak wajib untuk mengganti kerugian itu. Sebaliknya, ternyata ada juga doktrin injuria sine damno, yang mengatakan bahwa kendati tidak ada kerugian, pelaku tetap wajib mengganti kerugian tersebut. Pannett menyebut contoh penerapan doktrin terakhir ini adalah perbuatan memasuki tanah milik orang lain (trespass). Black’s Law Dictionary (1990: 785) menyebut doktrin ini dengan injuria absque damno, yang diartikannya sebagai “Injury without damage. A wrong done, but from which no loss or damage results, and which, therefore, will not sustain an action.”

Doktrin ini memang lazim diterapkan dalam gugatan perdata, tetapi bukan berarti tidak dapat diterapkan untuk sebab-sebab yang cenderung berdimensi publik, seperti penghinaan, penipuan, dan kesalahan pemidanaan. Bahkan dalam kasus Ashby versus White (1703-1704) doktrin ini dipakai oleh Hakim Lord Holt dalam dissenting opinion-nya tatkala menangani hak konstitusional penggugat yang “dirugikan” karena dilarang untuk ikut dalam pemilihan umum (Stephenson, 2008: 639-640). Holt menulis dalam putusan itu sebagai berikut:

“If the plaintiff has a right, he must of necessity have a means to vindicate and maintain it, and a remedy if he is injured in the exercise or enjoyment of it, and, indeed it is a vain thing to imagine a right without a remedy; for want of right and want of remedy are reciprocal... And I am of the opinion that this action on the case is a proper action. My brother Powell indeed thinks that an action on the case is not maintainable, because there is no hurt or damage to the plaintiff, but surely every injury imports a damage, though it does not cost the party one farthing, and it is impossible to prove the contrary; for a damage is not merely pecuniary but an injury imports a damage, when a man is thereby hindered of his rights. To allow this action will make publick officers more careful to observe the constitution of cities and boroughs, and not to be so partial as they commonly are in all elections, which is indeed a great and growing mischief, and tends to the prejudice of the peace of the nation.”

Doktrin-doktrin di atas menarik untuk dikaji dalam konteks UUPLH. Untuk doktrin pertama, damnun sine injuria, dapat ditunjuk Pasal 35 ayat (2) UUPLH. Dalam ayat ini disebutkan

JURNAL april.indd 66 5/16/2012 4:43:11 PM

Page 77: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 67

beberapa alasan yang membebaskan pelaku pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dari kewajiban membayar ganti rugi. Alasan-alasan itu adalah jika ada bencana alam atau peperangan, keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia, dan tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Pengertian pihak ketiga ini menurut bunyi penjelasan ayat ini adalah sesama pelaku usaha atau pemerintah. Ketentuan Pasal 35 ayat (2) ini sebenarnya menyimpang dari ketentuan ayat (1) yang sama-sama berada dalam paragraf bertajuk “Tanggung Jawab Mutlak”.

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) diartikan menurut penjelasan ayat tersebut sebagai “...unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian.” Selanjutnya dinyatakan pula bahwa ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup dapat ditetapkan sampai batas tertentu.

Ketentuan Pasal 35 ayat (1) UUPLH sebenarnya merupakan roh penting yang menunjukkan karakteristik perbuatan melawan hukum lingkungan. Black’s Law Dictionary (1990: 1422) mengartikan strict liability sebagai liability without fault. Konsep ini sebenarnya lebih dikenal dalam tanggung jawab produk dan perlindungan konsumen. Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab ini dalam UUPLH maka secara logis harus dipahami bahwa unsur kesalahan dalam perbuatan melawan hukum lingkungan praktis tidak mungkin lagi ditafsirkan secara restriktif.

Koesnadi Hardjasoemantri (1999: 385-386) mengakui bahwa Pasal 35 UUPLH ini kenyataannya tidak bisa berlaku untuk semua kegiatan, tetapi harus diterapkan selektif. Ia menyatakan pasal ini semula ditampung dalam Pasal 21 Undang-Undang Lingkungan Hidup (lama), yang berbunyi: “Dalam beberapa kegiatan yang menyangkut jenis sumber daya tertentu tanggung jawab timbul secara mutlak pada perusak dan atau pencemar pada saat terjadinya perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang pengaturannya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.”

Penyusun undang-undang menyadari bahwa prinsip tanggung jawab mutlak dengan pembalikan beban pembuktian tidak begitu saja dapat diterapkan, sehingga pelaksanaannya dilakukan secara bertahap sesuai dengan perkembangan kebutuhan. Namun, dengan mengutip pandangan Rüdiger Lummert, Koesnadi menyadari bahwa seiring dengan bertambah pesatnya industrialisasi, bertambah pula risiko dan rumitnya hubungan sebab akibat. Oleh sebab itu teori hukum telah meninggalkan konsep “kesalahan” dan berpaling ke konsep “risiko”.

Lalu, apakah makna dari ulasan tentang kesalahan dan risiko dalam konteks perbuatan melawan hukum? Menurut Setiawan (1991: 31), perkataan “kesalahan” dalam Pasal 1365 KUH Perdata menunjuk pada tanggung jawab atas suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum.

JURNAL april.indd 67 5/16/2012 4:43:11 PM

Page 78: cover jurnal April 2010.cdr

68 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

Kata “kesalahan” dengan demikian sering dipakai sebagai sinonim dari perbuatan melawan hukum. Sementara itu, “risiko” dipakai sebagai lawan dari kesalahan, untuk menunjukkan peristiwa-peristiwa pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan.

Prinsip tanggung jawab mutlak jelas tidak dianut dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Dapat dipahami bahwa hakim-hakim yang menangani gugatan perbuatan melawan hukum lingkungan dengan dasar gugatan menggunakan pasal ini, akhirnya terjebak untuk tidak lagi memperhatikan ketentuan Pasal 35 UUPLH. Padahal, setiap kesalahan yang telah terbukti (misalnya melanggar izin) dalam hukum lingkungan adalah tindakan berisiko mengundang kerugian di kemudian hari. Pada titik inilah tersedia pintu masuk bagi doktrin injuria sine damno.

Jika kembali kepada putusan hakim yang menjadi objek kajian ini, maka terlihat bahwa majelis hakim PN Jakarta Selatan sepenuhnya menyadari adanya penafsiran ekstensif dalam pengertiban perbuatan melawan hukum. Dalam pertimbangan putusannya (halaman 217), majelis mempertegas tentang hal ini. Namun, sebagaimana ditunjukkan dalam uraian di bawah nanti, pertimbangan majelis hakim justru tidak pernah menggunakan penafsiran yang memperluas tersebut. Majelis justru memaknai perbuatan melawan hukum sebagai sesuatu yang identik dengan perbuatan melawan undang-undang (onwetmatige daad).

Sangat menarik untuk melihat bahwa majelis hakim PN Jakarta Selatan menempatkan perbuatan melawan hukum dalam konteks kasus ini harus terkait dengan Pasal 1 angka 12 UUPLH (pengertian pencemaran) dan Pasal 1 angka 14 UUPLH (pengertian perusakan). Dari hasil penafsiran sistematis ini, perbuatan melawan hukum diartikannya sebagai: (1) tindakan; (2) di lapangan; (3) secara nyata dan langsung; dan (4) mencemarkan dan merusak lingkungan hidup. Ini berarti, perbuatan melawan hukum dalam konteks Teluk Buyat dimaknai oleh Majelis sebagai perbuatan hukum yang aktif (tindakan) di lapangan. Tindakan itu harus nyata dan langsung dampaknya. Artinya, perbuatan yang bukan di lapangan dan tidak langsung dampaknya, seperti jika PT NMR tidak melengkapi diri dengan persyaratan administrasi bukan tergolong perbuatan melawan hukum atau setidak-tidaknya perbuatan yang berisiko terhadap kelestarian lingkungan. Padahal, memiliki izin adalah bagian dari kewajiban hukum tergugat. Sementara itu, mengawasi dan menegur adalah kewajiban hukum dari Pemerintah (tergugat II dan turut tergugat).

Penafsiran “perbuatan melawan hukum” yang dipersempit ini lebih-lebih terlihat lagi dalam hal pelakunya ditujukan kepada pemerintah. Kewajiban hukum pemerintah dalam pengelolaan lingkungan antara lain diatur dalam Pasal 10 UUPLH. Di situ ada kata-kata “mengembangkan dan menerapkan perangkat yang bersifat preemptif, preventif, dan proaktif dalam upaya pencegahan penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.” Dalam penjelasan pasal ini disebutkan, bahwa perangkat yang bersifat preemptif adalah tindakan yang dilakukan pada tingkat pengambilan keputusan dan perencanaan, seperti tata ruang dan analisis dampak lingkungan hidup.

JURNAL april.indd 68 5/16/2012 4:43:11 PM

Page 79: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 69

Ketentuan ini jelas menunjukkan bahwa kewajiban dalam pengelolaan lingkungan harus sudah dimulai bahkan sebelum terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan. Artinya, perbuatan melawan hukum dapat terjadi jika tindakan preemptif, preventif, dan proaktif ini tidak dilakukan. Di sini dapat terlihat bahwa penafsiran restriktif atas pengertian perbuatan melawan hukum lingkungan sangat tidak tepat.

Penggugat menyebutkan setidaknya enam indikator untuk menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, dalam hal ini khususnya UUPLH. Keenam indikator itu, menurut indentifikasi majelis hakim adalah:(1) tidak memiliki izin pengelolaan tailing; (2) tidak memiliki izin pembuangan; (3) menyalahi prosedur dan perizinan pelepasan merkuri; (4) menyampaikan informasi yang menyesatkan; (5) melanggar konvensi internasional; dan/atau (6) melanggar prinsip umum pemerintahan yang baik. Salah satu saja dari indikator di atas telah dilanggar, maka dengan sendirinya perbuatan melawan hukum tersebut telah terpenuhi.

Satu hal yang sangat signifikan untuk diungkapkan dalam kaitan dengan ada tidaknya unsur kesalahan dalam perbuatan melawan hukum adalah tentang status Surat No. B-1456/BAPEDAL/07/2000 tentang Pembuangan Limbah Tailing ke Teluk Buyat (tanggal 11 Juli 2000). Apakah surat ini merupakan izin bagi PT NMR untuk melakukan pembuangan tailing (setelah berlakunya PP No. 19 Tahun 1999)? Jika surat itu adalah izin, apakah izin ini bersifat sementara? Jika izin itu masih bersifat sementara, apakah syarat-syarat untuk dikeluarkannya izin permanen sudah dipenuhi? Apakah selanjutnya pihak yang berwenang sudah menetapkan izin permanen itu? Jika izin permanen tersebut tidak/belum diberikan, apakah berarti PP No. 19 Tahun 1999 sudah dilanggar? Rangkaian pertanyaan ini sebenarnya merupakan pusat perdebatan paling krusial dari pembuktian perbuatan melawan hukum dalam kasus ini. Sayang sekali, putusan majelis hakim tidak mengarahkan sama sekali pertimbangan putusannya ke rangkaian pertanyaan-pertanyaan ini.

Dalam surat gugatannya, penggugat menafsirkan surat No. B-1456/BAPEDAL/07/ 2000 tersebut merupakan “izin sementara” bagi tergugat (PT NMR) untuk membuang tailing ke Teluk Buyat (surat gugatan penggugat hlm. 8). Perlu dicatat, bahwa sebelum surat ini keluar pun PT NMR sudah melakukan pembuangan tailing ke Teluk Buyat. Dalam jawabannya, pihak tergugat berusaha untuk menunjukkan bahwa izin pembuangan tailing sudah dimiliki PT NMR yaitu dengan surat No. B-1456/BAPEDAL/07/2000 itu juga. izin tersebut bukan izin sementara karena memang tidak pernah terdapat kata “sementara” di dalam surat tersebut, di samping pandangannya bahwa studi ERA bukan kewajiban hukum (belum ada aturannya). Selain itu, jika memang PT NMR melanggar, seharusnya ia sudah diberi teguran/sanksi, sesuatu yang menurutnya tidak pernah diterimanya (lihat surat jawaban tergugat hlm. 35-37).

Dalam konteks ini terdapat perbedaan penafsiran tentang status izin ini, yakni sebagai izin sementara atau izin permanen. Dalam teori hermeneutis, sangat penting untuk menetapkan penafsiran ini dengan melihat pandangan dari si penerbit izin sendiri. Sebab, surat itu dibuat

JURNAL april.indd 69 5/16/2012 4:43:11 PM

Page 80: cover jurnal April 2010.cdr

70 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

oleh KLH, sehingga KLH inilah yang seharusnya paling memahami makna dari surat yang dibuatnya.

Pada halaman 160-165 putusan PN Jakarta Selatan, majelis hakim sesungguhnya sudah mengutip kesaksian Mantan Menteri KLH Sonny Keraf. Kesaksian ini secara tegas menyebutkan bahwa surat tanggal 11 Juli 2000 adalah izin yang ditetapkan dengan syarat. Saksi menyatakan bahwa PT NMR diminta melakukan studi ERA untuk membuang tailing ke Teluk Buyat. Atas hasil studi itulah, saksi (Menteri) baru akan mempertimbangkan untuk mengambil keputusan akhir. Pandangan Sonny Keraf ini sejalan dengan jawaban dan duplik turut tergugat. Dokumen yang disampaikan turut tergugat (alat bukti TT-13) mengungkapkan bahwa PT NMR pada tanggal 16 April 2001 masih mengirimkan surat kepada Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan meminta diberikan izin permanen. Hal ini membuktikan bahwa PT NMR sebenarnya secara sadar mengetahui bahwa izin Bapedal No. Surat B-1456/BAPEDAL/07/2000 tanggal 11 Juli 2000 itu bukan izin permanen sebagaimana didalihkan oleh PT NMR di dalam surat jawabannya.

Sanggahan bahwa PT NMR tidak pernah ditegur atau dijatuhi sanksi sebenarnya tidak relevan untuk diungkapkan sebagai argumen oleh pihak tergugat I dan tergugat II. Dalam kasus ini terlihat bahwa antara pihak tergugat II dan turut tergugat, terdapat kelemahan koordinasi (lihat Pasal 9 dan 11 UUPLH yang mensyaratkan adanya keterpaduan antar-instansi pemerintah di bawah koordinasi Menteri KLH). Dalam kesaksian Sonny Keraf, sebagaimana dikutip dalam putusan PN hlm. 165, terdapat kata-kata “sangat mungkin” yang diucapkannya, yang mengindikasikan pemerintah sebagai pihak yang dijadikan tergugat II dan turut tergugat, memang juga melakukan kesalahan dalam melakukan keterpaduan pengelolaan lingkungan (lihat kewajiban-kewajiban pemerintah dalam Pasal 10 UUPLH).

Kelemahan koordinasi ini lebih-lebih sangat kontras terlihat dari perbedaan sikap tergugat II dan turut tergugat dalam memposisikan diri mereka masing-masing terhadap pihak PT NMR. Tergugat II jelas mendudukkan dirinya dalam “satu kubu” dengan PT NMR, sementara turut tergugat menempatkan diri sebagai “kubu yang berseberangan.” Tergugat II membenarkan bahwa instansinya tidak pernah menegur PT NMR (berdasarkan asumsi PT NMR sudah menjalankan semua aturan hukum positif), namun sebaliknya turut tergugat dengan menyakinkan mengatakan instansinya (yang notabene juga mewakili unsur pemerintah) telah menegur PT NMR, yang berujung pada gugatan government action KLH kepada pihak PT NMR dalam perkara lain di PN Jakarta Selatan.

Conflicting argumentation antara tergugat II dan turut tergugat dalam kasus ini sepatutnya turut menjadi perhatian majelis hakim. Label yang diberikan oleh penggugat dengan menempatkan keduanya sebagai unsur Negara RI cq Pemerintah RI, tentu mengandung maksud agar mereka bertanggung jawab bukan sebagai subjek hukum yang mandiri. Mereka adalah unsur negara dan

JURNAL april.indd 70 5/16/2012 4:43:11 PM

Page 81: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 71

pemerintah dan bertanggung jawab atas posisi tersebut. Lebih jauh lagi, ketika KLH menggugat PT NMR pada kasus lain, maka gugatan itu merupakan bentuk government action yang mewakili unsur Negara RI cq Pemerintah RI sebagai representasi masyarakat [Pasal 38 ayat (2) UUPLH]. Sulit dibayangkan jika pihak Departemen ESDM sampai harus memposisikan diri berada di luar sikap Pemerintah cq KLH (apalagi sampai harus memberi kesaksian dan bertahan/konsisten dengan sikapnya seperti ditunjukkannya pada kasus Walhi vs PT NMR ini).

Sampai di sini, akan mudah dimengerti jika majelis hakim terdorong untuk menempatkan akar masalah kasus ini pada wilayah hukum administrasi. Pelanggaran tergugat I, tergugat II, dan turut tergugat dalam kasus ini, kalaupun ada pelanggaran, dianggap semata-mata pelanggaran hukum administrasi, dan bukan perbuatan melawan hukum lingkungan. Penafsiran demikian adalah penafsiran restriktif yang sangat bertentangan dengan butir-butir analisis yang telah dikemukakan dalam tulisan ini.

Jika disadari bahwa hukum lingkungan sebagian besar terdiri dari hukum pemerintahan (bestuursrecht), maka gugatan perdata atas dasar perbuatan melawan hukum lingkungan pun harus diperlakukan secara berbeda dengan gugatan perdata pada umumnya. Hukum di sini harus diartikan secara luas, termasuk juga pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang bersentuhan dengan hukum administrasi (khususnya perizinan). Dalam konteks perkara gugatan lembaga swadaya masyarakat atas perkara hukum lingkungan seperti ini, maka persoalan yurisdiksi absolut PN Jakarta Selatan untuk mengadili kasus ini tidak relevan untuk dipersoalkan. Hal ini perlu ditekankan karena ius standi Walhi untuk mengajukan gugatan atas dasar NGO’s legal standing memang hanya mungkin disalurkan melalui lingkungan peradilan umum.

Kendati kapasitas Walhi untuk menggugat memang tidak termasuk dalam materi pokok perkara, masalah ini tampaknya perlu pula disinggung dalam tulisan ini karena terdapat korelasi erat dengan kewenangan penggugat untuk mengajukan permintaan ganti rugi. Persoalan ganti rugi ini mau tidak mau juga berhubungan dengan ada tidaknya kerugian yang menjadi unsur penting untuk dibuktikan dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Ulasan tentang posisi Walhi sebagai penggugat ini akan membawa pembaca kepada uraian lebih lanjut mengenai konotasi “pencemaran dan perusakan lingkungan” yang justru digunakan oleh majelis hakim guna menunjukkan tidak terpenuhinya unsur perbuatan melawan hukum dalam kasus ini.

Dalam eksepsinya, pihak tergugat I konpensi memang sempat mempersoalkan kewenangan Yayasan Walhi untuk mengajukan gugatan. Sebenarnya tergugat I tidak meragukan reputasi Yayasan Walhi sebagai LSM di bidang lingkungan. Oleh sebab itu, alasan eksepsinya lebih dikaitkan dengan aspek prosedural Yayasan Walhi setelah berlakunya UU Yayasan. Dengan perkataan lain, tidak layaknya Yayasan Walhi menggugat bukan karena Walhi tidak memenuhi syarat-syarat menurut UUPLH, melainkan lebih karena ia tidak memenuhi pengertian “yayasan” menurut UU Yayasan. Persoalan ini sebenarnya sudah diatasi melalui kesimpulan majelis tatkala

JURNAL april.indd 71 5/16/2012 4:43:11 PM

Page 82: cover jurnal April 2010.cdr

72 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

membuat pertimbangan perihal eksepsi. Majelis membolehkan Walhi menggugat atas dasar ius standi LSM yang diatur dalam UUPLH. Dalam pokok perkara, majelis membuat pertimbangan pula bahwa hak penggugat dalam mengajukan gugatan adalah dalam batas-batas (ruang lingkup) untuk kepentingan pelestarian lingkungan.

Oleh karena Walhi mengajukan gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum dengan enam indikator di atas, maka majelis berpendapat penggugat sudah melampaui haknya dengan melanggar ketentuan UUPLH. Kesimpulan majelis ini membingungkan karena tidak konsisten dengan penerimaan hak Walhi untuk mengajukan gugatan atas dasar legal standing LSM lingkungan. Artinya, jika majelis menolak eksepsi tergugat dan mengakui hak Walhi untuk menggugat menurut UUPLH, maka dengan sendirinya tidak mungkin majelis menyatakan hak menggugat Walhi sudah melampaui batas-batas yang diperbolehkan menurut UUPLH.

Satu terobosan yang dapat dijadikan referensi adalah seperti apa yang telah dilakukan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusan No. 212/Pdt.G/2002/PN.JKT.PST yang menyatakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga memiliki legal standing untuk menggugat, semata-mata karena AJI memiliki special interest untuk menegakkan asas kebebasan pers (Mas Achmad Santosa, 2004: 86-87). Artinya, dengan masih berkutatnya PN Jakarta Selatan dalam mempersoalkan ius standi Walhi menunjukkan majelis hakim masih terjebak pada sekat-sekat sempit pemahaman formal yuridis dalam menerjemahkan peran serta organisasi masyarakat dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan sebagaimana dikehendaki Pasal 38 UUPLH.

Dalam persidangan ini, majelis hakim sendiri memang akhirnya berkesimpulan bahwa Walhi berhak untuk menggugat atas dasar ius standi (legal standing) LSM tetapi ia sudah melampaui haknya dengan melanggar UUPLH. Dalam pertimbangan putusannya (atas perihal eksepsi), majelis membandingkan terlebih dulu antara Pasal 1365 KUH Perdata dan Pasal 38 UUPLH. Majelis melihat ada unsur kerugian yang disinggung dalam kedua pasal ini. Majelis berkesimpulan bahwa unsur “ganti rugi” dalam gugatan perdata adalah hak bagi korban, sehingga menjadi hak bagi korban untuk menuntut ganti rugi atau tidak.

Dalam gugatan ius standi LSM seperti ini, posisi Walhi sebagai penggugat tidak bisa disamakan dengan korban pencemaran/perusakan lingkungan. Diberinya ius standi LSM untuk menggugat adalah atas dasar idealisme. Jadi, kalaupun mau disebut “kerugian” maka kerugian penggugat tersebut bukan dalam arti material. Walhi bukan “korban” seperti halnya penduduk dan nelayan di sekitar Teluk Buyat. Sekalipun demikian, sebagai aktivis lingkungan yang sudah diakui kiprahnya, Walhi mempunyai kepentingan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup, di mana pun di seluruh Indonesia.

Pasal 38 ayat (2) UUPLH menyatakan hak mengajukan gugatan itu terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. Rumusan ayat ini dapat dimengerti. Tujuan pembatasan tersebut tidak lain adalah

JURNAL april.indd 72 5/16/2012 4:43:11 PM

Page 83: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 73

guna mencegah LSM yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan kasus-kasus pencemaran/perusakan lingkungan untuk menggugat pelaku usaha dengan motif utama adalah untuk mencari keuntungan materi. Dengan dilarangnya LSM menuntut ganti rugi, diharapkan tidak ada gugatan yang berkonotasi “mencari keuntungan di atas penderitaan orang lain” itu. Sebagai pencegahan, LSM ini diseleksi secara administratif dengan mengacu kepada status badan hukum dan anggaran dasarnya. Seleksi berikutnya adalah secara praktis, yaitu melihat apakah LSM ini sudah aktif berkarya dalam masyarakat. Untuk Yayasan Walhi, persoalan administratif dan praktis ini seharusnya tidak lagi menjadi kendala karena sudah beberapa preseden menerima ius standi-nya untuk beracara di pengadilan.

Majelis hakim menyimpulkan Walhi sebagai LSM lingkungan dapat mengajukan tuntutan ganti rugi. Namun, lagi-lagi majelis hakim mempersoalkan bahwa tuntutan Walhi dalam surat gugatannya itu menjadi berlebihan karena perbuatan melawan hukum dalam konteks Pasal 38 ayat (2) UUPLH adalah harus dalam rangka mencemarkan dan merusak lingkungan hidup. Penafsiran ini merupakan penafsiran otentik yang dikombinasikan dengan penafsiran sistematis, yakni mengacu kepada batasan “pencemaran” dan “perusakan” lingkungan hidup menurut Pasal 1 butir 12 dan Pasal 1 butir 14. Majelis hakim justru berkesimpulan bahwa pencemaran dan perusakan lingkungan hidup ini ternyata tidak terbukti.

Apabila majelis hakim benar-benar konsisten untuk terus menggunakan penafsiran otentik dan sistematis, maka akar dari kedua penafsiran ini harus dikembalikan kepada metode penafsiran gramatikal. Metode penafsiran gramatikal seringkali dipandang metode termudah sebagai mana disinyalir oleh banyak pihak. Padahal, metode inipun membutuhkan daya analisis yang ekstra hati-hati. Hal itu dapat ditunjukkan dengan beberapa pemikiran sebagai berikut.

Pertama, rumusan kata-kata kunci dalam Penjelasan Pasal 38 ayat (2) huruf b sebenarnya berbeda dengan rumusan Pasal 1 butir 12 dan Pasal 1 butir 14 UUPLH. Dalam Penjelasan Pasal 38 ayat (2) huruf UUPLH terdapat kata-kata “... perbuatan melanggar hukum karena mencemarkan atau merusak lingkungan hidup.” Di sini formulasi kalimat yang digunakan adalah dua kata kerja (verba), yaitu (1) mencemarkan, (2) merusak. Dua kata kerja ini tidak secara tepat bisa dipadankan dengan formulasi kata benda (nomina) yang ada dalam Pasal 1, yaitu (1) pencemaran, (2) perusakan.

Kata “mencemarkan” menggambarkan adanya perilaku tertentu dari si subjek (dalam hal ini harus manusia). Sementara itu, kata “pencemaran” menunjukkan kondisi yang terjadi pada si objek (dalam hal ini lingkungan hidup). Hal ini dapat disimpulkan dari kalimat “...masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, ... ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia...” Kondisi lingkungan hidup yang disebut pencemaran itu harus sudah melewati tingkatan tertentu. Dengan demikian, melalui penafsiran gramatikal dapat dikatakan bahwa perilaku mencemar sebenarnya tidak selalu harus berbuah dengan pencemaran, tetapi bisa saja baru berpotensi ke

JURNAL april.indd 73 5/16/2012 4:43:12 PM

Page 84: cover jurnal April 2010.cdr

74 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

arah pencemaran (karena mungkin tingkatan “cemar”-nya belum melampaui ambang batas yang ditetapkan).

Kedua, munculnya kata “atau” dalam Penjelasan Pasal 38 ayat (2) huruf b UUPLH menunjukkan suatu alternatif tindakan. Seandainya pun, majelis tetap memandang kata “mencemarkan/merusak” tersebut berkorespondensi secara tepat dan sebangun dengan rumusan kata “pencemaran/perusakan” dalam Pasal 1 UUPLH, maka masih perlu diperhatikan satu lagi kata kunci dalam ketentuan Penjelasan Pasal 38 ayat (2) UUPLH tersebut.

Kata “mencemarkan atau merusak” dalam Penjelasan Pasal 38 ayat (2) tersebut menunjukkan bahwa kedua tindakan tidak harus terjadi bersamaan. Artinya, tergugat I bisa saja belum sampai pada tindakan mencemarkan tetapi ia sudah merusak lingkungan hidup. Secara leksikal, kata “perusakan” memang mengandung makna lebih luas daripada “pencemaran”.

Definisi perusakan lingkungan hidup dalam Pasal 1 butir 14 adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Pengertian pembangunan berkelanjutan di sini tentu dalam konteks pembangunan berwawasan lingkungan hidup, yang menurut Pasal 1 butir 3 UUPLH adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup (termasuk sumber daya) ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan.

Pembentuk peraturan perundang-undangan menyadari benar bahwa tindakan pembuangan limbah tambang, apalagi dalam jumlah besar seperti dilakukan oleh PT NMR, merupakan tindakan yang berisiko menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap fisik dan/atau hayati lingkungan. Akibatnya yang dipersyaratkan dalam definisi Pasal 1 butir 14 UUPLH tidak selalu harus ditafsirkan sebagai bentuk pencemaran lingkungan yang bersifat kasat mata (nyata dan langsung) sebagaimana ditafsirkan oleh majelis hakim.

Penafsiran bahwa akibat perbuatan melawan hukum itu harus langsung secara gramatikal sudah bertentangan dengan redaksi Pasal 1 butir 14 UUPLH yang mengatakan akibat (perubahan fungsi lingkungan itu) bisa juga tidak langsung. Akibat perusakan ini, menurut definisi Pasal 1 butir 14 juncto Pasal 1 butir 3 UUPLH, tidak harus dirasakan oleh generasi sekarang melainkan bisa sampai pada generasi mendatang.

Kesadaran dari akibat (perubahan fungsi lingkungan) secara langsung dan tidak langsung itulah yang membuat PP No. 19 Tahun 1999 mensyaratkan semua bentuk pembuangan limbah seperti dilakukan oleh PT NMR dilarang dilakukan tanpa ada izin. Menurut teori hukum, izin adalah suatu kebolehan (secara partikular) atas sesuatu yang secara umum dilarang. Artinya, perbuatan pembuangan limbah tambang itu pada prinsipnya adalah sesuatu yang dilarang. Namun,

JURNAL april.indd 74 5/16/2012 4:43:12 PM

Page 85: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 75

larangan umum ini bisa diterobos sepanjang ada izin dari pemerintah. Izin ini diberikan setelah dipenuhi syarat-syarat yang ditetapkan si pemberi izin. Jika syarat-syarat tidak dipenuhi, maka izin tidak diberikan. Apabila izin tidak diberikan, maka tindakan pelaku sudah harus ditafsirkan melanggar larangan umum tersebut. Filosofi dari PP No. 19 Tahun 1999 inilah yang seharusnya dijadikan pegangan oleh majelis hakim. Filosofi ini, tampak sangat jelas dalam bunyi Pasal 9, 10, 12, dan 14 PP No. 19 Tahun 1999.

Pasal 9 dan Pasal 13 menyebutkan kata “dapat menimbulkan” yang secara tegas berkonotasi sebagai sesuatu yang tidak harus sudah terjadi, melainkan berpotensi terjadi. Izinpun diwajibkan ada terlebih dulu adalah dalam rangka mencegah, bukan mengatasi pencemaran dan/atau perusakan (PP No. 19 Tahun 1999 menggunakan pula istilah “kerusakan”).

Dengan demikian dapat dikonstatasi sebuah penafsiran yang lebih ekstensif bahwa setiap tindakan membuang tailing, lebih-lebih secara tanpa izin dari pihak berwenang, adalah perbuatan melawan hukum lingkungan dan perbuatan itu termasuk dalam kategori perusakan lingkungan. Oleh karena persoalan ini lebih terkait kepada perizinan, maka dengan menggunakan doktrin injuria sine damno atau injuria absque damno, seharusnya unsur kesalahan sudah terbukti tanpa perlu majelis hakim bersusah payah menunjukkan bukti-bukti fisik telah adanya pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Doktrin ini sudah menunjukkan bahwa perbuatan melawan hukum seharusnya sudah dapat dikenakan terhadap si pelaku.

SIMPULANIV.

Berdasarkan konstelasi pemikiran seperti di atas, maka majelis hakim telah menafsirkan makna perbuatan melawan hukum lingkungan secara restriktif, yang pada hakikatnya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip yang ingin ditegakkan dalam UUPLH. Jika disadari bahwa hukum lingkungan sebagian besar terdiri dari hukum pemerintahan (bestuursrecht), maka gugatan perdata atas dasar perbuatan melawan hukum lingkungan pun harus ditafsirkan secara ekstensif, dan perlu diperlakukan secara berbeda dengan gugatan perdata pada umumnya (yang notabene masih menggunakan prinsip liability based on fault dan beban pembuktian biasa).

Majelis hakim dalam kasus ini telah membatasi pengertian perbuatan melawan hukum hanya kepada perbuatan melawan hukum berupa tindakan di lapangan yang secara nyata dan langsung mencemarkan dan merusak lingkungan hidup. Doktrin injuria sine damno seharusnya dapat dikenakan untuk membantu perluasan penafsiran perbuatan melawan hukum ini. Pandangan majelis yang bersifat restriktif ini memiliki implikasi tersendiri terhadap ius standi penggugat atas dasar gugatan karena perbuatan melawan hukum lingkungan. Catatan tambahan yang dapat diberikan dalam konteks ius standi penggugat tersebut adalah sebagai berikut:

Penafsiran bahwa perbuatan melawan hukum harus berupa tindakan pelaku di lapangan yang secara nyata dan langsung mencemarkan dan merusak lingkungan hidup berarti akan

JURNAL april.indd 75 5/16/2012 4:43:12 PM

Page 86: cover jurnal April 2010.cdr

76 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

menutup kemungkinan Negara cq Pemerintah RI ikut digugat dalam konteks gugatan atas dasar ius standi LSM. Sebab, porsi tanggung jawab pemerintah di bidang lingkungan hidup sangat erat terkait dengan tugas-tugas administratif, sementara tindakan administratif itu sendiri menurut putusan ini diartikan berada di luar konteks perbuatan melawan hukum menurut Pasal 38 ayat (2) UUPLH. Ketentuan pasal ini harus dibaca dalam satu napas dengan ketentuan Pasal 37 dan Pasal 38 ayat (1) UUPLH.

Kedua pasal di atas berada dalam lingkup paragraf 4 dari Bab VII. Paragraf 4 ini mengatur tentang hak masyarakat dan organisasi lingkungan hidup dalam mengajukan gugatan. Pasal 37 ayat (1) antara lain menyatakan masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan (class action) mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan kepentingan perikehidupan masyarakat. Kata “berbagai masalah” ini menunjukkan keinginan pembentukan undang-undang untuk tidak mempersempit penafsiran bahwa sengketa lingkungan dalam paragraf ini hanya pada satu segi hukum tertentu.

Pasal 38 ayat (1) selanjutnya menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengolahan lingkungan hidup sesuai dengan pola kemitraan, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Penjelasan Pasal 38 ayat (1) tertulis “cukup jelas”. Ketentuan ayat ini sesungguhnya senapas dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1), yaitu membuka ke arah penafsiran yang tidak boleh restriktif.

Penegasan itu lebih-lebih terlihat dari pengertian pelestarian fungsi lingkungan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 butir 5 UUPLH. Namun, dalam Pasal 38 ayat (2) memang dicantumkan pembatasan, yaitu dalam hal tuntutan yang diajukan yakni terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu, tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. Dengan demikian, aspek gugatan atas dasar ius standi LSM itu boleh saja luas (seperti halnya gugatan atas dasar class action), tetapi bentuk tuntutannyalah yang dibatasi.

DAFTAR PUSTAKA

Asser, C. 1991. Pengajian Hukum Perdata Belanda. Terjemahan Sulaiman Binol. Jakarta: Dian Rakyat.

Black, Henry Campell. 1990. Black’s Law Dictionary. St. Paul: West Publishing.

Hardjasoemantri, Koesnadi. 1999. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pannett, A.J. 1992. Law of Torts. London: Pitman Publishing.

Santosa, Mas Achmad. 2004. “Gugatan AJI: Perluasan Hak Gugat Organisasi (Legal

JURNAL april.indd 76 5/16/2012 4:43:12 PM

Page 87: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 77

Standing), Kajian Putusan No. 212/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pusat.” Jurnal Dictum. Edisi No. 2. Hlm. 57-91.

Setiawan, Rachmat. 1991. Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum. Bandung: Binacipta.

Shidarta. 2006. Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan. Bandung: Utomo.

Stephenson, Carl. 1937. Sources of English Constitutional History: A Selection of Documents from AD 600 to the Present. New York: Harper & Brothers.

JURNAL april.indd 77 5/16/2012 4:43:12 PM

Page 88: cover jurnal April 2010.cdr

78 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

PENAFSIRAN UNSUR ”MEMPERKAYA DIRI” DAN ”KERUGIAN NEGARA”

Kajian Putusan Nomor 63/PID/2006/PT.PTK

Ibrahim SagioFakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Jl. Ahmad Yani Pontianak Kalimantan Barat

email: [email protected]

ABSTRACT Court verdict analyzed in this article concerns on the case of crime of corruption. The focus is about the interpretation of the judge over the case through the trial process. The conclusion of the examination in general is that, it is of necessity to expound and interpret a rule the judges complying with before applying it to any particular case. They also have to consider all the aspects of the case. In the case this article discussed, the judges are not able to make a distinction between a conduct of corruption and a business transaction. It appears that the judges were perceived to be incapable of making the right interpretation to apply in the case. And the judges mistakes in interpreting resulted in futile decisions which could not reflect a substantive justice.

Keywords: state loss, corruption, illicit enrichment.

ABSTRAK Putusan hakim yang dianalisa dalam artikel ini terkait dalam kasus korupsi. Fokus dalam kajian ini terkait dengan penafsiran hakim selama proses persidangan ini berlangsung yang dapat disimpulkan bahwa secara umum dengan mengurai dan menafsirkan peraturan dimana muncul kasus yang spesifik dalam tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu, hakim dalam memutuskan perkara perlu dipertimbangkan kasus tersebut dari berbagai aspek terlebih dahulu. Dalam kasus ini, pengambil keputusan tidak dapat membedakan antara perilaku korupsi dan transaksi bisnis karena kurang mampu membuat penafsiran yang digunakan dalam membedah perkara ini. Selain itu, hakim juga melakukan kesalahan dalam menafsirkan yang pada akhirnya melahirkan putusan yang tidak merefleksikan keadilan substantif.

Kata kunci: kerugian negara, korupsi, memperkaya diri.

JURNAL april.indd 78 5/16/2012 4:43:12 PM

Page 89: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 79

PENDAHULUANI.

Terdakwa S adalah pimpinan sebuah bank setempat periode tahun 1986 s.d. tahun 1993. Terdakwa meluluskan permintaan TL untuk mendapatkan 3 (tiga) fasilitas kredit modal kerja secara lisan. Semua kredit telah terealisasikan. Dalam perkembangannya ditemukan bahwa jaminan agunan milik TL tidak sesuai dengan perjanjian kredit yang seharusnya sebesar 130% dari nilai pinjaman. Itu sesuai dengan Pasal 8 dari isi Perjanjian Kredit yang telah disepakati kedua belah pihak.

Kendati kredit sudah diberikan bank namun dalam kenyataan pinjaman itu tidak jelas penggunaannya. Ironisnya TL tidak pernah dilakukan angsuran atau setoran semenjak pencairannya hingga pinjaman dinyatakan berstatus kredit macet.

Atas perbuatan terdakwa yang memberikan fasilitas kredit, Jaksa Penuntut Umum menuduh yang bersangkutan melakukan tindak pidana korupsi. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tercatat pada tanggal 27 Oktober 2005 dengan nomor REG.PERK: 01/PIDSUS/2005 dalam kasus tersebut. Dakwaan itu terdiri dari:

Dakwaan 1. primer: S selaku pejabat sementara pimpinan bank setempat baik secara sendiri-sendiri maupun bersekutu satu sama lain dengan TL, secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau patut diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. S telah memberikan TL 3 (tiga) fasilitas kredit dengan tanpa menggunakan prinsip kehati-hatian. Perbuatan terdakwa S diancam pidana dalam Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 UU No. 3 Tahun 1971 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 43 A UU No. 20 Tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001.

Dakwaan 2. subsidair: terdakwa selaku pimpinan bank setempat bersama-sama TL pada tanggal 29 April 1991, tanggal 31 Juli 1991 dan tanggal 31 Juni 1992 atau dalam kurun waktu tahun 1991 sampai dengan tahun 1992 dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Keduanya telah menyalahgunakan kesempatan-kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara. Perbuatan terdakwa S diancam pidana dalam Pasal 1 ayat (1) sub b jo Pasal 28 UU No. 3 Tahun 1971 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 43 A UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001.

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang dibacakan dan diserahkan di persidangan Pengadilan Negeri Singkawang pada tanggal 2 Maret 2006, yang pada pokoknya menuntut agar majelis hakim Pengadilan Negeri Singkawang mengadili perkara ini memutuskan:

JURNAL april.indd 79 5/16/2012 4:43:12 PM

Page 90: cover jurnal April 2010.cdr

80 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

1. Menyatakan terdakwa S terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana tercantum dalam dakwaan subsider;

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa S dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun, dengan perintah supaya terdakwa ditahan dan denda sebesar Rp30.000.000,- subsidair 6 (enam) bulan kurungan.

Putusan Hakim

Perkara tersebut diperiksa dan diputus bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri dan selanjutnya dilakukan proses banding di Pengadilan Tinggi Kalimantan Barat. Majelis hakim Pengadilan Tinggi tidak sependapat dengan putusan Pengadilan Negeri Singkawang tanggal 16 Maret 2006 Nomor 250/PID.B/2005/PN.SKW, sehingga membatalkan putusan tersebut.

Majelis hakim Pengadilan Tinggi setelah menghubungkan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a UU No. 3 Tahun 1973 dengan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa S selaku pimpinan cabang bank setempat di Singkawang yang telah memberikan kredit kepada TL yang berupa tiga perjanjian kredit yang telah direalisasi dan jumlahnya kurang lebih Rp. 900.000.000,-. Pencairan kredit dilakukan terdakwa dengan cara-cara yang tidak lazim berlaku dalam praktek proses pemberian kredit, sehingga perbuatan terdakwa tersebut merupakan perbuatan yang tercela dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian maka unsur sifat melawan hukum dalam dakwaan primair tersebut telah terbukti.

Bahwa tentang unsur “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan.” Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 menyatakan bahwa perkataan “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan” dalam ayat tersebut dapat dihubungkan dengan Pasal 18 ayat (2) yang memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang sumber kekayaannya sedemikian rupa, sehingga kekayaan yang tak seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

Majelis hakim dalam pertimbangannya, mengutip “pengertian kaya” dari kamus bahasa Indonesia, sedangkan istilah “memperkaya” majelis hakim berpendapat bahwa “memperkaya” adalah menunjukkan adanya perubahan kekayaan seseorang atau pertambahan kekayaan yang tak seimbang diukur dari penghasilan yang diperolehnya.

Apabila dihubungkan apa yang telah dilakukan oleh terdakwa S dan keadaan kekayaannya, maka majelis hakim berpendapat, bahwa tidak ternyata adanya harta kekayaan baik pada diri terdakwa sendiri mapun orang lain yaitu TL atau suatu badan, dan dengan demikian berarti unsur ”memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan” dalam dakwaan ini tidak terbukti adanya. Salah satu unsur dari pasal yang didakwakan dalam dakwaan primer tersebut tidak terpenuhi, maka berarti dakwaan primer yang didakwakan kepada terdakwa tersebut tidak

JURNAL april.indd 80 5/16/2012 4:43:12 PM

Page 91: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 81

terbukti secara sah dan meyakinkan dan karenanya terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan primair tersebut.

Sedangkan dakwaan subsidair terbukti, karena terdakwa melakukan perbuatan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan. Terhadap ketentuan tersebut, maka majelis hakim berpendapat bahwa tentang unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan” artinya disini harus ada pihak yang mendapat keuntungan, keuntungan berarti kesempatan atau kenikmatan materiel. Faktanya terdakwa memproses dan memberi fasilitas kredit kepada TL berupa tiga macam kredit insidentil.

Mengenai unsur “penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”, berarti bahwa seseorang yang mempunyai jabatan atau kedudukan dalam suatu organisasi; berbuat atau bertindak melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan kewajiban dalam jabatannya itu. Dikaitkan dengan serangkaian perbuatan terdakwa yang telah memberikan fasilitas kredit tersebut; maka majelis hakim berpendapat bahwa serangkaian tindakan terdakwa, jelas merupakan penyalahgunaan kewenangannya dalam jabatan. Dengan demikian maka unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” dalam dakwaan subsidair tersebut telah terbukti adanya.

Menyangkut unsur “langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.” Pengertian keuangan negara menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 meliputi juga keuangan daerah atau suatu badan/badan hukum, yang mempergunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat dengan dana-dana yang diperoleh dari masyarakat tersebut untuk kepentingan sosial, kemanusiaan dan lain-lain.

Menurut majelis hakim, yang dimaksud perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan perekonomian negara adalah pelanggaran-pelanggaran pidana terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam bidang kewenangannya seperti dimaksud dalam Tap MPRS No. XIII/MPRS/1966. Sedangkan serangkaian perbuatan terdakwa yang telah memberikan fasilitas tiga perjanjian kredit senilai sembilan ratus juta rupiah; dihubungkan dengan unsur kerugian negara, maka majelis hakim berpendapat; kredit macet pada Bank BUMN adalah sebagai piutang perusahaan negara, jadi tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian negara.

Majelis hakim berpendapat bahwa tidak terdapat kerugian negara baik langsung atau tidak langsung, dengan menunjuk bahwa ahli waris TL yang telah meninggal dunia yang diwakili oleh HI berdasarkan surat kuasa tanggal 17 September 1998, memberi pernyataan yang pada pokoknya bertanggungjawab untuk melunasi dan menyelesaikan segala utang-utang TL kepada debitur.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka majelis hakim Pengadilan Tinggi memutuskan:

JURNAL april.indd 81 5/16/2012 4:43:12 PM

Page 92: cover jurnal April 2010.cdr

82 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

1. Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Singkawang Tanggal 16 Maret 2006 Nomor 250/PID.B/2005/PN.SKW.

2. Menyatakan bahwa terdakwa S tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan dalam Surat Dakwaan Primair dan Subsidair; membebaskan terdakwa tersebut dari segala dakwaan;

3. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.

RUMUSAN MASALAHII.

Kasus korupsi yang melibatkan S selaku pimpinan bank setempat merupakan suatu tindak pidana yang melibatkan beberapa pihak termasuk antara lain pihak bank, perorangan dan perusahaan. Apabila dilihat dari fakta bahwa pemberian fasilitas kredit kepada TL yang tidak diproses seperti biasa. Bahkan berdasarkan jaminan agunan yang tidak sesuai nilainya dengan perjanjian yang sudah ditandatangani sehingga menimbulkan kesan janggal karena bank sebagai pemberi kredit tidak cermat atau tidak hati-hati dalam memberikan fasilitas kredit, tidak pernah meneliti kebenaran data yang diajukan pemohon.

Ketidakhati-hatian tersebut menyebabkan terjadi realisasi perjanjian kredit yang tidak layak yang merugikan bank tersebut. Bahkan dana kredit yang telah dicairkan tersebut tidak diperuntukan untuk mengembangkan usaha tetapi penggunaannya tidak jelas.

Dalam dakwaan penuntut umum, S dinyatakan dengan melawan hukum ia melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara. Selain itu, S juga didakwa telah menyalahgunakan kesempatan-kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara.

Putusan Pengadilan Negeri Singkawang, salah satu amarnya menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama. Namun pada tingkat pengadilan tinggi (banding), putusan tersebut dibatalkan dan terdakwa S dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan, oleh karenanya dibebaskan dari segala dakwaan. Apabila dicermati dasar pertimbangan putusan pengadilan tinggi tersebut, terdapat korelasinya dengan penggunaan penafsiran hukum dan metode berpikir majelis hakim yang bersifat deduktif.

Mencermati dari fakta yang ada dan putusan majelis hakim pengadilan tinggi yang telah membatalkan putusan pengadilan negeri, maka timbul suatu permasalahan yaitu penafsiran hukum apakah yang digunakan hakim, restriktif ataukah obyektif? Di antara keduanya, apakah penafsiran restriktif lebih tepat dan seharusnya selalu digunakan dalam konteks memahami unsur

JURNAL april.indd 82 5/16/2012 4:43:12 PM

Page 93: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 83

”memperkaya diri sendiri” dalam tindak pidana korupsi? Benarkah penafsiran ”kerugian negara” lebih tepat jika ditafsirkan secara lebih luas yakni mempengaruhi perekonomian masyarakat? Pertanyaan itulah yang hendak akan dijawab oleh penulis dalam penelitian ini.

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

Begitu seriusnya akibat dari kejahatan korupsi sehingga mengundang keprihatinan masyarakat bahkan komunitas internasional yang kemudian menggolongkannya menjadi masalah internasional.

Pada tanggal 1 Desember 2003, PBB mengesahkan Konvensi Anti Korupsi, United Nations Convention Againts Coruption. Konvensi ini (Nuryani, 2005: 56) menuntut negara yang meratifikasi untuk meluncurkan undang-undang yang melarang aktivitas seperti pencucian uang (money laundering), mencegah korupsi dan saling bekerja sama satu sama lain. Kewajiban lain yang diatur dalam konvensi ini adalah kewajiban negara anggota untuk mengkriminalkan kegiatan korupsi termasuk suap, penyalahgunaan harta negara dan kekuasaan.

Lembaga peradilan perlu menerapkan sistem hukum yang efisien serta pengadilan yang independen dan adil. Melindungi hak-hak semua orang tanpa kecuali (Himawan, 2006: 161) dan keadilan yang ingin dicapai adalah keadilan substansial dan bukan sekedar keadilan prosedural.

Fungsi hukum itu sendiri secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakuan dan adil; karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Kepastian hukum berarti bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan tuntunan itu pasti dipenuhi, dan bahwa pelanggaran hukum akan ditindak dan dikenakan sanksi menurut hukum saja; termasuk bahwa alat-alat negara dalam menjamin pelaksanaan hukum bertindak sesuai dengan norma-norma hukum. Hukum juga mengandung unsur keadilan di samping kepastian. Tuntutan keadilan itu pun mempunyai dua arti, yaitu formal dan materiel. Dalam arti yang pertama, keadilan menuntut bahwa hukum berlaku umum; dalam artian yang kedua (materiel) dituntut agar hukum sesuai mungkin dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat.

Oleh karena itu, untuk mencapai keadilan sesuai anggapan masyarakat, menuntut agar dalam setiap kasus di depan pengadilan; situasi kongkrit dan sosial sepenuhnya diperhatikan; berarti tingkat pengetahuan hakim sangat dibutuhkan.

Menurut Rawls (Rawls, 2006: 514), sesuatu adalah baik (bermanfaat) hanya ketika ia sesuai dengan cara hidup yang sejalan dengan prinsip hak yang telah ada. Jika rasa keadilan adalah baik, maka masyarakat yang tertata dengan baik merupakan masyarakat yang paling stabil. Oleh karena itu keadilan pada akhirnya memberi manfaat kepada setiap individu.

Keadilan itu sendiri akan terganggu apabila masih banyak terjadi korupsi dengan alasan korupsi menimbulkan kesenjangan dan ketidakadilan. Dalam Ensiklopedi Indonesia di sebut

JURNAL april.indd 83 5/16/2012 4:43:12 PM

Page 94: cover jurnal April 2010.cdr

84 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

“korupsi” (dari bahasa Latin: corruptio sama dengan penyuapan; corruptare sama dengan merusak) gejala di mana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidak beresan lainnya (Hartanti, 2005: 8).

Adapun arti harfiah dari korupsi dapat berupa:

1. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidak jujuran.

2. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya (S Wojowasito-WJS Poerwadarmita, 2004: 106).

Jerimy Pope, (Nuryani, 2005: 48) korupsi mencakup perilaku pejabat-pejabat sektor publik, baik politisi maupun pegawai negeri yang bertujuan memperkaya diri secara tidak pantas dan melanggar hukum, atau orang-orang dekat dengan mereka, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan pada mereka. Korupsi (Klitgaard, 2001: 31) didefinisikan sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.

Dengan demikian ada beberapa fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi yaitu bribery (penyuapan), exstraction (pemerasan), dan nepotism (nepotisme). Ada suatu fenomena bahwa tindak pidana korupsi terkait erat dengan jabatan atau kewenangan yang disalahgunakan. Pengertian jabatan (ambt) menurut Logemann, (Philipus M. Hadjon, 1994: 23) dikaitkan dengan tindakan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan.

Konsep “ambt” menentukan apakah suatu tindakan termasuk hukum administrasi ataukah termasuk perbuatan hukum perdata. Kewenangan diartikan sebagai sebuah hak memerintah atau melakukan hak dan kekuasaan pejabat publik untuk memaksa kepatuhan terhadap aturan-aturan yang mereka tetapkan secara sah dalam lingkungan tugas publik. Dalam menjalankan wewenang, harus dipertimbangkan asas larangan penyalahgunaan wewenang.

Berkaitan dengan tindak pidana, lembaga peradilan yang merupakan komponen struktur hukum pidana yang paling penting perlu menerapkan sistem hukum yang efisien serta pengadilan yang independen dan adil sehingga melindungi hak-hak semua orang tanpa kecuali. Dengan mengusung konsep itu pengadilan bertujuan mencapai keadilan substansial.

Fungsi hukum itu sendiri pada hakekatnya harus pasti dan adil sehingga harus ada jaminan kepastian hukum. Hal itu berarti setiap orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan secara baik dan setiap pelanggaran hukum akan ditindak dan dikenakan sanksi sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Dengan konsep itu maka sanksi yang dijatuhkan tidak memihak termasuk alat-alat negara yang melanggar hukum. Agar hukum dapat berjalan sesuai dengan koridor yang diharapkan maka negara wajib menjamin penyelengaraan hukum sesuai dengan norma-norma yang berlaku sehingga mewujudkan keadilan.

JURNAL april.indd 84 5/16/2012 4:43:12 PM

Page 95: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 85

Unsur keadilan menuntut hukum berlaku umum (formal) sesuai dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat. Tinjauan adil dan tidak adil (Hart, H.L.A, 209: 244), hampir sama bisa diungkapkan dengan kata-kata ‘fair’ (berimbang) dan ‘unfair’ (tidak berimbang); dapat dicontohkan misalnya tentang seorang hakim yang adil atau tidak adil; sebuah persidangan yang berimbang atau tidak berimbang; dan seorang yang diputus bersalah secara adil atau tidak adil.

Proses yang berkaitan dengan syarat-syarat dan tujuan “peradilan yang fair” (due process), meliputi antara lain: asas praduga tak bersalah, cara kerja yang benar atau pengadilan yang jujur dan terbuka termasuk menerapkan prinsip kebebasan peradilan, mulai dari penangkapan sampai penjatuhan pidana (Susanto, 2004: 1).

Dalam wacana sistem hukum Indonesia (Reksodiputro, 2008: 110), seharusnya hakim dinamakan penegak keadilan (bukan penegak hukum). Argumentasi bahwa hakim tidak hanya sebagai penegak hukum berdasarkan kewenangannya untuk menafsirkan hukum (baca: undang-undang), dan juga fungsi seperti legislator sebagai lawmaker atau pembuat ketentuan hukum.

Penafsiran mutlak dibutuhkan karena undang-undang sering tidak lengkap dan tidak jelas bahkan seringkali ketinggalan dengan situasi. Oleh karenanya (Sutiyoso, 2006: 28), peraturan hukum yang tidak jelas harus dijelaskan, yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan penemuan hukum agar aturan dapat diterapkan terhadap peristiwanya.

Metode penemuan hukum digunakan untuk mewujudkan putusan hukum yang ideal yang mengandung aspek keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Motede ini juga harus mampu dipertanggungjawabkan oleh hakim agar dapat diterima oleh masyarakat secara luas.

Dalam dunia penemuan hukum dikenal beberapa metode antara lain melalui metode interpretasi. Metode interpretasi dilakukan dalam hal peraturan atau hukum yang ada tidak jelas, sedangkan metode konstruksi hukum digunakan apabila peraturannya memang tidak ada sehingga metode ini sesuai untuk mengisi kekosongan hukum atau undang-undang.

Dalam ilmu hukum dan praktek dikenal berbagai metode penafsiran yang digunakan (Atmadja, 1996: 7), beberapa metode yang dikenal dalam ilmu hukum yaitu:

1. Interpretasi subyektif, peraturan perundang-undangan ditafsirkan sesuai dengan kehendak pembentuknya seperti ketika peraturan itu ditetapkan.

2. Interpretasi obyektif, peraturan perundang-undangan ditafsirkan sesuai dengan adat istiadat, kebiasaan sehari-hari.

3. Interpretasi restriktif atau sempit, peraturan perundang-undangan diberikan arti terbatas menurut bunyi peraturan tersebut.

Interpretasi hukum menjadi salah satu tugas penting hakim. Hakim harus mampu menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal nyata di tengah masyarakat.

JURNAL april.indd 85 5/16/2012 4:43:12 PM

Page 96: cover jurnal April 2010.cdr

86 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

Namun tugas itu memiliki pembatasan dalam menafsirkan undang-undang. Von Savigny memberikan batasan tentang penafsiran sebagai rekonstruksi pikiran yang tersimpul dalam undang-undang, sedangkan Logemann menyatakan bahwa hakim harus tunduk pada kehendak pembuat undang-undang, hakim tidak boleh membuat tafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak itu (Sutiyoso, 2006: 79).

Penggunaan metode penafsiran diharapkan dapat memberikan solusi terhadap persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Untuk itu hendaknya faktor psikologis atau spirit yang ada dalam diri para pelaku (aktor) hukum yaitu keberanian untuk menafsir tidak hanya dengan rasio (logika) melainkan juga dengan nurani (Rahardjo, 2009: 92).

Para hakim Indonesia pada dasarnya sudah terbiasa menggunakan metode berpikir deduktif yaitu berpikir dari aturan umum untuk diterapkan pada kasus in-concreto (Ali, 1996: 216). Namun ada perkembangan baru yaitu cara berpikir induksi, sebagaimana terbuat dalam Keputusan MA RI Nomor 395K/Pid.1995 atas nama terdakwa Dr. MP, S.H., antara lain memuat ajaran penafsiran yuridis sosiologis.

Hakim menerapkan undang-undang dan sekaligus menciptakan hukum yang merupakan gabungan antara keputusan yang berpola pikir berdasarkan sistem, dan keputusan yang berpola pikir masalah/problem sosial kongkrit yang harus diputus. Hakim dalam melakukan penafsiran dengan melakukan perbuatan menimbang semua kepentingan dan nilai-nilai dalam sengketa, masalah sosial kemasyarakatan menjadi pusat perhatian dan diletakan di tempat terdepan.

Penafsiran Hakim dan Fakta Hukum dalam PersidanganA.

Majelis hakim Pengadilan Tinggi perlu lebih mempertimbangkan secara cermat dari uraian fakta dan keadaan serta pembuktian. Dasar-dasar pertimbangan mengarah pada terbuktinya atau fakta yang ditemukan dalam pemeriksaan sidang pengadilan memberatkan terdakwa, bahkan dinyatakan bahwa perbuatan terdakwa yang melanggar prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit merupakan perbuatan tercela dalam kehidupan masyarakat. Namun pada kesimpulan atau amar putusannya menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan perbuatan yang didakwakan.

Terkait dengan unsur ”memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan”, dihubungkan apa yang telah dilakukan oleh terdakwa dan kenyataannya, majelis hakim berpendapat tidak ternyata adanya harta kekayaan baik pada diri terdakwa sendiri maupun orang lain, padahal majelis hakim belum mengetahui apakah harta kekayaan terdakwa sebagian didapatkan dari hasil korupsi karena belum pernah dibuktikan. Putusan itu menurut penulis terperangkap dalam cara berpikir deduktif, karena realitas sosial tidak dijadikan dasar pertimbangan yang dominan. Bila dicermati, bahwa seluruh sistem hukum berlingkup negara (Hart, 2009: 11). Hukum paling baik dipahami sebagai ”cabang” moralitas atau keadilan dan bahwa yang menjadi esensinya adalah

JURNAL april.indd 86 5/16/2012 4:43:12 PM

Page 97: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 87

kesejalanannya dengan prinsip-prinsip moralitas atau keadilan, bukan wujudnya yang mencakup perintah dan ancaman.

Majelis hakim cenderung menggunakan penafsiran obyektif, karena kata ”memperkaya” ditafsirkan sesuai dengan pengertian sehari-hari yaitu perubahan kekayaan yang signifikan yang tidak seimbang diukur dari penghasilannya. Penafsiran hakim yang demikian itu mengundang kontroversial, karena walaupun hakim bebas untuk menafsirkan undang-undang namun tentunya ada beberapa pembatasan.

Penafsiran tidak lain adalah merekonstruksi pikiran yang tersimpul dalam undang-undang oleh karena itu hakim wajib mencari tahu kehendak pembuat undang-undang, dan tidak boleh membuat tafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak itu.

Maksud dari undang-undang terkait dengan pengertian ”memperkaya”, tersirat dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999; yang mana dikaitkan dengan “secara melawan hukum” dalam artian formil maupun materiil, maksudnya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang namun bila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan dalam masyarakat; maka tergolong korupsi.

Macam jenis dan tingkat korupsi ditemukan di berbagai negara, (Klitgaart, 2001: 85) mayoritas rakyat di hampir semua kebudayaan memahami bahwa sebagian besar jenis korupsi seperti tindak suap, penipuan, pemerasan, penyogokan adalah melawan hukum dan bukan kewajaran.

Para hakim dalam menyelesaikan perkara pidana, sebagaimana biasanya empat hal harus diungkapkan, yaitu: (1) bukti; (2) identitas tersangka; (3) motif tersangka dan (4) akibat pebuatan (Ficker, 2001: 26). Bila keempat pokok perkara itu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa, maka telah terpenuhi pembuktian perbuatan pidana sesuai apa yang didakwakan.

Dapat dilihat serangkaian perbuatan terdakwa dalam memproses permohonan kredit yang tidak seperti biasa, dengan fakta-faktanya adalah telah melanggar prinsip kehati-hatian dalam pemberian fasilitas kredit dan dengan cara kolusi dengan debitur, agunan yang tidak sesuai dengan klausula isi perjanjian, fasilitas kredit tidak digunakan sesuai dengan tujuan, angsuran utang kredit tidak pernah dilakukan.

Dalam prakteknya (Kasmir, 2003: 128), kredit macet dapat disebabkan oleh pihak perbankan sendiri yang disebabkan analisa yang kurang teliti. Penyebab lain karena kolusi dengan pihak debitur atau dapat pula dari pihak nasabah. Kredit macet dapat dikarenakan unsur kesengajaan atau memang debitur tidak mampu karena mengalami musibah.

Motif dari perbuatan terdakwa secara jelas menguntungkan diri sendiri dengan cara menyalahgunakan wewenang sebagai pejabat publik yang semestinya menjaga kepentingan

JURNAL april.indd 87 5/16/2012 4:43:12 PM

Page 98: cover jurnal April 2010.cdr

88 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

umum. Perbuatan tersebut mengandung niat yang tercela karenanya perbuatan tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban karena disamping bukti-bukti tindak pidana yang dilakukan atau unsur kesengajaan terdakwa.

Kesengajaan tersebut terbukti, bahwa terdakwa sudah tahu sebelumnya keadaan LTD sebagai pemohon kredit (debitur), sudah tahu agunan yang diterima oleh bank setempat di cabang Singkawang tidak sesuai dengan yang ada dalam ketentuan perjanjian kredit namun tetap diproses dan diberikan fasilitas kredit. Akibat serangkaian perbuatan terdakwa yang menyalahgunaan kewenangan karena ada kesempatan atau sarana padanya karena jabatan sebagai pimpinan bank yaitu terjadi kerugian negara atau dapat diduga secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Kerugian negara tersebut berupa kredit macet yang sebenarnya telah dapat diduga akan terjadi. Terjadi kerugian dalam perekonomian negara karena kredit yang diberikan salah sasaran. Bila dana kredit tersebut diberikan pada yang memang berhak akan dapat membantu dalam mengembangkan usaha sehingga dapat mengembangkan perekonomian masyarakat.

Majelis hakim Pengadilan Tinggi, dalam dasar menimbangnya juga mengakui bahwa terdakwa telah terbukti menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Namun dalam hal unsur “langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, dikaitkan dengan kredit macet; majelis hakim justru berpendapat bahwa kredit macet yang terjadi merupakan piutang negara, dan tidak terjadi kerugian negara.

Dalam kaitan ini, penulis menilai majelis hakim telah menggunakan penafsiran obyektif terhadap apa yang dimaksud ”kerugian negara”, diartikan seperti pada umumnya masyarakat mengartikannya, yaitu kerugian yang bersifat langsung atau hanya bersifat materi.

Pemikiran yang terkandung dalam pendapat majelis hakim adalah memisahkan antara kesalahan terdakwa karena menyalahgunakan wewenang sehingga terjadi kredit macet. Pendapat tersebut tidak sesuai dengan aspek yuridis dan pendapat hakim tidak berdasar pada pemikiran yang benar.

Hal ini dapat ditunjukkan bahwa hubungan antara terdakwa selaku pimpinan setempat dengan debitur TL bukanlah sekedar hubungan keperdataan yang kedudukannya sederajat. Salah satu pihak yaitu terdakwa S adalah pejabat. Bagi pemerintah, dasar untuk melakukan perbuatan publik adalah kewenangan yang berkaitan dengan suatu jabatan (ambt). Bank tempat terdakwa itu tergolong bank milik pemerintah yang didirikan di daerah-daerah. Dasar hukum pendiriannya adalah UU No. 13 Tahun 1962.

Oleh sebab itulah bank tersebut termasuk badan hukum publik. De heersende leer berpendapat bahwa kriteria untuk menentukan badan hukum publik atau perdata adalah (Ali, 1991: 60):

JURNAL april.indd 88 5/16/2012 4:43:12 PM

Page 99: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 89

1. Yang mendasarkan terjadinya, didirikan oleh penguasa atau diadakan oleh undang-undang, tergolong badan hukum publik.

2. Lapangan pekerjaannya dari badan hukum itu, yaitu apakah lapangan pekerjaan itu untuk kepentingan umum atau tidak. Jika untuk kepentingan umum itu adalah badan hukum publik.

Walaupun seandainya utang debitur TL terlunasi dengan barang jaminan, namun niat jahat atau penyalahgunaan, suap atau perbuatan kolusi yang dilakukan terdakwa itu sudah merupakan tindak pidana. Apalagi dalam kenyataan, ada dua fakta yang kontradiktif yang digunakan untuk menyatakan tidak ada kerugian negara. Pertama fakta yang dinyatakan dalam pertimbangan majelis hakim yaitu: barang agunan debitur cukup untuk membayar utang kredit (telah dilelang sebagian).

Bagian lain dalam pertimbangan hakim mengungkapkan surat pernyataan kuasa ahli waris dari TL yang diwakili oleh H pada tanggal 17 September 1998 yang inti pokoknya adalah kesanggupan untuk melunasi utang-utang debitur. Hal ini tidak logis terlihat apabila barang jaminan itu mencukupi untuk melunasi utang-utang debitur. Hal itu menimbulkan tanda tanya mengapa ada lagi surat pernyataan kesanggupan membayar dari pihak debitur dimaksud.

Penafsiran Hakim dan Putusan Hukum yang Memenuhi Rasa Keadilan MasyarakatB.

Secara universal keadilan yang ingin diwujudkan oleh hukum adalah melindungi masyarakat banyak. Hal itu sesuai dengan asas “the safety of the people is the highest law” dan juga asas justice as fairness (keadilan sebagai kejujuran) dan bukan untuk menutupi kepentingan-kepentingan yang bersifat negatif.

Sering kali hakim dalam penemuan hukum menggunakan metode penafsiran. Apa yang dilakukan hakim itu konsekuensi dari kewajibannya melaksanakan hukum, yang biasa disebut law enforcement. Pelaksanaan hukum itu menentukan apakah sistem peradilan kita diterapkan secara konsekuen atau belum (Ali, 1996: 316).

Dalam kasus korupsi dengan terdakwa S ini, pembuktian kesalahan yang diperoleh di persidangan telah cukup, baik berupa bukti fakta bahwa terdapat realisasi tiga perjanjian kredit kepada debitur dengan melawan hukum, keterangan saksi yang menerangkan kronologis kejadian perbuatan terdakwa yang intinya perbuatan tersangka terbukti adanya unsur melawan hukum.

Perbuatan terdakwa telah memenuhi batas minimum, (sesuai Pasal 183 KUHAP), yaitu dianggap cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Majelis hakim menilai bahwa bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan benar adanya. Namun dalam suatu kesimpulannya, menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa. Putusan tersebut bersifat tidak transparan, karena pikiran hakim tidak dapat diikuti secara jelas dan cenderung kurang masuk akal.

Pertimbangan hakim yang mengakui bahwa perbuatan terdakwa yang telah terbukti

JURNAL april.indd 89 5/16/2012 4:43:12 PM

Page 100: cover jurnal April 2010.cdr

90 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

terdapat unsur melawan hukum, namun hal itu tidak tercermin atau tidak sebagai dasar dalam memutus. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan penegakan hukum, yang mengupayakan untuk menjabarkan kaidah-kaidah hukum ke dalam kehidupan masyarakat, mewujudkan nilai-nilai keadilan, kesebandingan, kepastian hukum, perlindungan hak dan kebahagiaan masyarakat. Majelis hakim telah tidak berdasarkan pertimbangan dari aspek yuridis karena memisahkan antara penyalahgunaan wewenang dengan kerugian negara yang berupa kredit macet, yang pada kenyataannya keduanya saling terkait.

Tentunya, sikap tersebut akan menjauhkan putusan yang dihasilkannya dengan harapan putusan ideal, yang mempertimbangkan secara proporsional aspek kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Hakim dalam melakukan penafsiran hendaknya dengan melakukan perbuatan menimbang semua kepentingan dan nilai-nilai dalam sengketa; masalah sosial kemasyarakatan menjadi pusat perhatian dan diletakkan di tempat terdepan.

Penulis berpendirian bahwa hakim dalam melakukan penafsiran harus ada pembatasannya, yaitu tetap harus tunduk pada maksud dari undang-undang yang sedang ditafsirkan itu. Van Hattum menyatakan penafsiran restriktif harus digunakan pada undang-undang hukum pidana karena ditekankan pada aspek kepastian. Namun penafsiran yang lebih luas terhadap kerugian negara yaitu termasuk juga ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam tindak pidana korupsi, adalah masih dalam lingkup undang-undang dimaksud.

Memang ada kekhawatiran bahwa dapat terjadi multitafsir. Namun hakim dalam melakukan penafsiran tersebut perlu dibantu dengan rasio dan spirit aktor hukum yang bernurani. Putusan pengadilan dalam setiap kasus dituntut untuk sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Dalam penemuan hukum oleh hakim, dikenal adanya aliran progresif yang berpendapat bahwa hukum dan peradilan merupakan alat untuk perubahan sosial; dan aliran konservatif, yang menganggap hukum dan peradilan hanyalah untuk mencegah kemerosotan moral dan nilai-nilai lain.

Putusan hakim pada kasus ini, tergolong konservatif dan cenderung tidak adil. Pada bagian pertimbangan hukum terdapat membela kepentingan terdakwa secara tidak proporsional, karena penafsiran terhadap ”kerugian negara” diartikan kerugian sebagaimana dimaksudkan individu-individu dalam masyarakat, yang pada umumnya dimaksudkan kerugian materi.

Terkesan niat jahat terdakwa tidak sebagai pertimbangan yang ditonjolkan adalah uang negara yang telah diambil masih tetap utuh yang akan segera dilunasi debitur. Koruptor yang uangnya kemudian dikembalikan dengan cara diangsur atau dengan cara lain menurut pemikiran hakim dalam putusan tersebut bukanlah korupsi. Sebaliknya, koruptor yang tidak dapat mengembalikan uang negara tersebut yang dipidana korupsi (terjadi pemisahan antara hukum dan moral).

Oleh karena itu walaupun peraturan-peraturannya sudah ada, namun di bidang peradilan/dalam pelaksanaan peraturan-peraturan itu tidak konsisten sehingga hukum menjadi tidak tegak,

JURNAL april.indd 90 5/16/2012 4:43:12 PM

Page 101: cover jurnal April 2010.cdr

JURNAL YUDISIAL | Korupsi dan Legislasi | Vol-III/No-01/April/2010 | 91

hal tersebut menurut Van Apeldoren (Rahardjo, 2009: 27) faktor manusia menjadi penting dalam penegakan hukum, soal lingkungan terkait kepada manusia baik secara pribadi serta kepada penegak hukum sebagai suatu lembaga.

SIMPULANIV.

Terjadi ketidakkonsistenan antara fakta-fakta dan keadaan, pembuktian yang ditemukan dalam pemeriksaan sidang pengadilan, dengan kesimpulan majelis hakim Pengadilan Tinggi yang menyatakan terdakwa tidak terbukti melakukan perbuatan korupsi.

Hal tersebut terkait dengan pilihan metode penafsiran yang digunakan. Hakim menggunakan penafsiran obyektif terkait dengan unsur ”memperkaya diri atau orang lain”, ditafsirkan sesuai dengan pengertian sehari-hari yaitu perubahan kekayaan yang signifikan yang tidak seimbang diukur dari penghasilannya; sedangkan memperkaya diri terkait korupsi yang dimaksudkan undang-undang adalah dikaitkan dengan unsur melawan hukum, seperti kolusi, menyalahgunakan jabatan, dan penyuapan.

Putusan hakim pada kasus ini tergolong tidak adil (tidak berimbang), terindikasi pada bagian pertimbangan hukum terdapat membela kepentingan terdakwa secara tidak proporsional, penafsiran terhadap ”kerugian negara” diartikan kerugian sebagaimana dimaksudkan individu-individu dalam masyarakat, yang pada umumnya dimaksudkan kerugian materi; sedangkan yang dimaksudkan undang-undang ”kerugian negara” tidak hanya berupa kerugian keuangan tetapi bisa saja kerugian perekonomian negara. Penafsiran hakim yang demikian itu, berimplikasi pada pemaknaan terhadap korupsi itu sendiri, yang diartikan secara dangkal karena motif jahat terdakwa tidak dipertimbangkan, sehingga putusan tersebut jauh dari rasa keadilan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Santoso, Muhari. 2002. Paradigma Baru Hukum Pidana. Malang: Averroes Press.

Ali, Ahmad. 1996. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis). Jakarta: Chandra Pratama.

Ali, Chidir. 1991. Badan Hukum. Bandung: Alumni.

Atmadja, I Dewa Gede. 1996. Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum. Pidato Pengenalan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Ficker, Abdul. 2001. Pengadilan Asongan: Realitas Sosial Dalam Perspektif Hukum. Jakarta: Mitra Karya.

JURNAL april.indd 91 5/16/2012 4:43:12 PM

Page 102: cover jurnal April 2010.cdr

92 | Vol-III/No-01/April/2010 | Korupsi dan Legislasi | JURNAL YUDISIAL

Harahap, M. Yahya. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika.

Hartanti, Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.

Hart, H.L.A. 2009. The Concept of Law (Konsep Hukum). a.b.M.Khozim. Bandung: Nusa Media.

Himawan, Charles. 2006. Hukum Sebagai Panglima. Jakarta: Buku Kompas.

Klitgaard, Robert. 2001. Membasmi Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kasmir. 2003. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

M. Hadjon, Philipus. 1994. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogya: Gadjah Mada University Press.

Rahardjo, Satjipto. 2009. Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis). Yogyakarta: Genta Publishing.

Rahardjo, Satjipto. 2009. Hukum Progresif (Sebuah Sintesa Hukum Indonesia). Yogyakarta: Genta Publishing.

Rawls, John. 2006. A Theory of Justice (Teori Keadilan). ab.Uzair Fauzan. Yogya: Pustaka Pelajar Cet.1.

Reksodiputro, Mardjono. 2008. Mencoba Memahami Hukum dan Keadilan.

Rahayu, S. Butir-Butir Pemikiran dalam Hukum. Bandung: Refika Aditama.

Sutiyoso, Bambang. 2006. Metode Penemuan Hukum. Yogyakarta: UII Press.

Yulia Nuryani, Rena. 2005. Upaya Penegakan Hukum Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum Syiar Madani, Vol. VII No.1. Bandung: Fakultas Hukum UNISBA.

JURNAL april.indd 92 5/16/2012 4:43:12 PM

Page 103: cover jurnal April 2010.cdr

BIODATA PENULIS

Luh Rina Apriani, S.H., M.H., lahir di Bali, 21 April 1979. Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila (FHUP) pada kelompok mata kuliah Hukum Adat. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Pancasila pada tahun 2001 dan pendidikan S2 pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Pancasila Konsentrasi Hukum Bisnis di tahun 2006. Sejak tahun 2006 sampai sekarang menjabat sebagai bendahara pada Jurnah Hukum Themis dan aktif sebagai peneliti pada Pusat kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila.

Saryono Hanadi, S.H., M.H., lahir di Temanggung, 29 Maret 1957. Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, menyelesaikan S1 di Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tahun 1986 dan S2 di Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 2005. Pengalaman berorganisasi menjadi Ketua Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Ketua Pusat Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, dan Reviewer di lembaga Penelitian Universitas Jenderal Soedirman.

Alef Musyahadah Rahmah, S.H., M.H., lahir di Semarang, 22 Maret 1977. Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, menyelesaikan S1 di Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 2004 dan S2 di Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 2007. Pernah menjadi Ketua Peneliti dengan judul penelitian “Penemuan Hukum In Concreto Dalam kekebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia”, dan sebagai peneliti dengan judul penelitian “Bentuk dan Impelemntasi Peradilan Desa (Studi di Kabupaten Purbalingga)” Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman pada tahun 2008.

M.I. Wiwik Yuni Hastuti, S.H., lahir di Surakarta, 19 Juni 1959. Menyelesaikan S1 di Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tahun 1987. Pengalaman berorganisasi menjadi Ketua Program Non Reguler Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, dan menjadi Bendahara Pusat Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA., adalah guru besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang. Menyelesaikan Sarjana Hukum di Universitas Andalas dengan predikat summa cumlaude, master of public administration (MPA) di Universitas Malaya Kuala Lumpur tahun 2001, dan menyelesaikan studi doktoral di Universitas Gadjah Mada dengan predikat cumlaude.

JURNAL april.indd 93 5/16/2012 4:43:13 PM

Page 104: cover jurnal April 2010.cdr

Charles Simabura, S.H., M.H., adalah Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang. Menyelesaikan strata 1 dan strata 2 di Universitas Andalas. Pernah berkegiatan di Indonesia Corruption Watch dan Badan Anti Korupsi Sumbar.

Helmi, S.H., M.Hum., lahir di Banjarmasin, 13 Mei 1960. Pengajar pada Fakultas Hukum Lambung Mangkurat, menjabat sebagai Lektor Kepala Mata kuliah Hukum Pidana serta Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat pada tahun 1985 dan S2 Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga pada tahun 1996.

Dr. Shidarta, S.H., M.Hum., lahir di Pangkalpinang (1967). Saat ini ia adalah dosen program sarjana dan pascasarjana di sejumlah perguruan tinggi di Jakarta, Bandung, dan Semarang. Lulusan Universitas Gadjah Mada dan Universitas Katolik Parahyangan ini mengasuh beberapa mata kuliah, antara lain Filsafat Ilmu, Filsafat Hukum, Penalaran Hukum, dan Hukum Perlindungan Konsumen. Beberapa buku terkait bidang-bidang tersebut telah dipublikasikannya dalam ranah filsafat hukum, penalaran hukum, metode penelitian hukum, sosiologi hukum, dan perlindungan konsumen. Dalam beberapa tahun terakhir, ia menjadi anggota tim pakar penelitian dan salah seorang Mitra Bestari Jurnal Yudisial dari Komisi Yudisial Republik Indonesia. Komunikasi dengan yang bersangkutan dapat dilakukan melalui email: [email protected].

Ibrahim Sagio, S.H., M.Hum., lahir di Pontianak, 07 Maret 1962. Sarjana Hukum lulusan Universitas Tanjungpura Pontianak tahun (1987), menamatkan S2 (Magister) di UNPAD Bandung tahun (1999), Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura UNTAN; Menjabat Sekretaris PP HAM Untan, sekarang sedang mengikuti Program Doktor (S3) di UNDIP Semarang.

JURNAL april.indd 94 5/16/2012 4:43:13 PM