Top Banner
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Arsitektur Kolonial dalam Sejarah Arsitektur Indonesia Art Deco adalah salah satu gaya arsitektur penting yang hadir pada era arsitektur kolonial di Indonesia. Gaya yang lahir di Eropa dan tumbuh cepat mendunia, masuk ke Indonesia melalui karya-karya arsitek Belanda yang berpraktek profesional di akhir masa penjajahan Belanda. Sebagai bagian dari wajah arsitektur kolonial, gaya ini memiliki pengaruh dan tinggalan yang cukup banyak. Penggal masa kolonial sangat mewarnai sejarah perkembangan arsitektur di Indonesia. Jika dilihat bentangnya, sejarah panjang arsitektur di Indonesia dapat dibagi dalam 3 periode utama, yaitu periode sebelum Penjajahan Belanda, periode selama masa Penjahahan Belanda dan periode pasca Penjajahan Belanda. Periodisasi ini menempatkan masa kehadiran dan penjajahan Belanda selama kurang lebih 3 abad sebagai penggal penting, menjadi batas yang sangat mewarnai dan merubah perjalanan dan wajah arsitektur di Indonesia. Periode selama masa penjajahan Belanda banyak dikenal dengan sebutan masa Kolonial, yang berlangsung dari abad ke-17 sampai dengan abad ke-20 (di tahun 1940-an). Handinoto (1986 dalam Wiyatiningsih, 2000) membagi secara garis besar perkembangan arsitektur kolonial Belanda ini dalam tiga kurun waktu: a. b. c. Awal abad ke-17 sampai dengan akhir abad ke-18, dimana kekuasaan penjajahan dijalankan oleh VOC, perusahaan dagang Belanda yang masuk pertama karena daya tarik rempah-rempah Nusantara. Bangunan pada periode ini banyak didominasi oleh bangunan arsitektur perbentengan. Akhir abad ke-18 sampai dengan akhir abad ke-19,. Bangunan perbentengan berubah, gaya arsitektur Belanda yang dibawa dari Eropa mulai dipengaruhi oleh budaya setempat (terutama Jawa) dan kondisi lingkungan/iklim tropis. Bentukan- bentukan arsitektur yang dibawa Belanda menyesuaikan dengan lingkungan dan menghasilan tampilan yang berbeda dengan arsitektur periode sebelumnya. Awal abad ke-20 sampai akhir tahun 1940-an (akhir penjajahan Belanda di Indonesia) muncul gerakan yang menginginkan bentuk khas arsitektur Indiesch dengan mengambil sumber arsitektur tradisional Indonesia. Gerakan ini dipelopori arsitek-arsitek muda Belanda yang datang untuk bekerja dan berkarya di Indonesia. Setelah era tiga kurun waktu tersebut, pengaruh arsitektur tinggalan kolonial masih kuat dan dapat dirasakan dalam karya-karya pasca kemerdekaan. Berbeda dengan arsitektur tradisional yang sangat beragam dan mengkespresikan identitas masing- masing
26

Colonial and History

Feb 17, 2016

Download

Documents

Andreas Surya

architect
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Colonial and History

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

1. Arsitektur Kolonial dalam Sejarah Arsitektur Indonesia

Art Deco adalah salah satu gaya arsitektur penting yang hadir pada era arsitektur

kolonial di Indonesia. Gaya yang lahir di Eropa dan tumbuh cepat mendunia, masuk ke

Indonesia melalui karya-karya arsitek Belanda yang berpraktek profesional di akhir masa

penjajahan Belanda. Sebagai bagian dari wajah arsitektur kolonial, gaya ini memiliki

pengaruh dan tinggalan yang cukup banyak.

Penggal masa kolonial sangat mewarnai sejarah perkembangan arsitektur di

Indonesia. Jika dilihat bentangnya, sejarah panjang arsitektur di Indonesia dapat dibagi

dalam 3 periode utama, yaitu periode sebelum Penjajahan Belanda, periode selama masa

Penjahahan Belanda dan periode pasca Penjajahan Belanda. Periodisasi ini menempatkan

masa kehadiran dan penjajahan Belanda selama kurang lebih 3 abad sebagai penggal

penting, menjadi batas yang sangat mewarnai dan merubah perjalanan dan wajah

arsitektur di Indonesia. Periode selama masa penjajahan Belanda banyak dikenal dengan

sebutan masa Kolonial, yang berlangsung dari abad ke-17 sampai dengan abad ke-20 (di

tahun 1940-an). Handinoto (1986 dalam Wiyatiningsih, 2000) membagi secara garis besar

perkembangan arsitektur kolonial Belanda ini dalam tiga kurun waktu:

a.

b.

c.

Awal abad ke-17 sampai dengan akhir abad ke-18, dimana kekuasaan penjajahan

dijalankan oleh VOC, perusahaan dagang Belanda yang masuk pertama karena

daya tarik rempah-rempah Nusantara. Bangunan pada periode ini banyak didominasi

oleh bangunan arsitektur perbentengan.

Akhir abad ke-18 sampai dengan akhir abad ke-19,. Bangunan perbentengan

berubah, gaya arsitektur Belanda yang dibawa dari Eropa mulai dipengaruhi oleh

budaya setempat (terutama Jawa) dan kondisi lingkungan/iklim tropis. Bentukan-

bentukan arsitektur yang dibawa Belanda menyesuaikan dengan lingkungan dan

menghasilan tampilan yang berbeda dengan arsitektur periode sebelumnya.

Awal abad ke-20 sampai akhir tahun 1940-an (akhir penjajahan Belanda di

Indonesia) muncul gerakan yang menginginkan bentuk khas arsitektur Indiesch

dengan mengambil sumber arsitektur tradisional Indonesia. Gerakan ini dipelopori

arsitek-arsitek muda Belanda yang datang untuk bekerja dan berkarya di Indonesia.

Setelah era tiga kurun waktu tersebut, pengaruh arsitektur tinggalan kolonial masih

kuat dan dapat dirasakan dalam karya-karya pasca kemerdekaan. Berbeda dengan

arsitektur tradisional yang sangat beragam dan mengkespresikan identitas masing-masing

1

Page 2: Colonial and History

2

budaya, arsitektur kolonial hadir dengan bentukan arsitektur yang baru secara seragam,

sehingga memberi warna baru dalam dunia arsitektur di Indonesia. Penjajahan Belanda

adalah satu kekuatan politik yang mengikat seluruh keragaman budaya di Indonesia di

bawah satu ikatan kekuasaan, sehingga arsitektur yang dibawanya diterapkan di seluruh

wilayah Indonesia. Passchier (2009) memberi gambaran tentang keseragaman tersebut

sebagai berikut:

Sekitar tahun 1930an, penampilan rumah-rumah kolonial ini tampaknya merujuk ke sebuah konsep arsitektur universal yang dapat dijumpai di seluruh kepulauan Indonesia: sering berupa sebuah rumah tunggal dengan atap genting, dinding berplester pada lapisan batu tras, jendela dari kayu jati, dan kadang-kadang terdiri atas dua lantai dengan sebuah garasi dan sebuah paviliun. (Passchier, 2009:133)

Art Deco hadir di Indonesia pada periode ini, periode yang membawa ikatan baru

dalam arsitektur Indonesia. Dibawa bersamaan dengan gaya-gaya arsitektur yang lain oleh

para arstitek muda Belanda, seperti Thomas Karsten, C.P. Wolff Schoemaker, A.F. Falbers

dan lain-lain. Kusno (2009) melihat ada tiga gaya arsitektur yang hidup selama masa

kolonial, yaitu gaya Imperium1 , Arsitektur Indish dan gaya modern Nieuwe Bouwen.

Gaya Imperium, Arsitektur Indish dan gaya modern Nieuwe Bouwen telah menemukan tempat ideologis dalam historiografi arsitektur Indonesia dan meninggalkan jejak dalam bentuk Arsitektur Indonesia Kontemporer. (Kusno, 2009: 170)

Gaya Imperium digunakan oleh Belanda untuk menegaskan kehadiran pemerintahan

dan menandai pembentukan negara kolonial di Hindia Belanda. Penggunaannya diatur

dengan Peraturan Gubernur Jenderal Marsekal Herman Willem Daendels (1808-1811)

(Kusno, 2009: 172), dan diterapkan di seluruh wilayah jajahan. Salah satu tampilan yang

dapat dikenali adalah penggunaan dominasi kolom-kolom tinggi pada bagian muka

bangunan, yang memberi kesan meneguhkan simbol kekuasaan yang ingin ditunjukkan

oleh pemerintah baru.

Gaya Imperium surut penggunaannya dan akhirnya tersingkir pada akhir abad 19,

sejalan dengan diperkenalkannya politik etis di Eropa. Kehadiran pemerintah kolonial di

negara-negara jajahan yang sangat menonjolkan kekuatan kekuasaan tanpa

memperhatikan kepentingan rakyat banyak ditentang. Gerakan politik etik mendorong agar

pemerintah kolonial melakukan upaya-upaya yang sepadan untuk mensejahterakan rakyat

dan negara jajahan. Pemerintah penjajahan dirasa sudah sangat banyak mengambil

keuntungan dari kekayaan alam negeri jajahan, dan sudah saatnya untuk memberikan

perhatian yang lebih seimbang kepada kesejahteraan penduduk aseli. Kusno (2009: 174)

menyebutkan

1

bahwa politik kolonial yang baru, berdasarkan keinginan untuk

Istilah gaya imperium sama dengan istilah gaya kolonial. Passchier (2009:127) menyebutkan bahwa Colonial Style (gaya kolonial) adalah istilah yang sering dipakai oleh pengarang Amerika, sementara orang Inggris lebih suka menggunakan istilah Imperial Style (gaya imperium).

Page 3: Colonial and History

3

mengemansipasikan rakyat jajahan, membutuhkan sebuah tampilan arsitektur yang

berbeda. Sekelompok arsitek Belanda yang didatangkan ke Hindia Belanda pada awal

abad kedua puluh dimaksudkan untuk perubahan itu

Perubahan politik kolonial tersebut mendorong bangkitnya dua gerakan arsitektur

yang berbeda: Arsitektur Indiesch dan Nieuwe Bouwen. Dua gerakan ini secara perlahan

sama-sama menyingkirkan Gaya Imperium – sisa-sisa simbolis dunia feodal kolonial abad

kesembilan belas dan menggantikannya dengan tampilan arsitektur baru (Kusno, 2009:

180). Bangunan-bangunan tidak lagi diorientasikan sebagai simbol kekuasaan pemerintah

kolonial, tetapi dikembangkan menyesuaikan dengan kondisi lingkungan setempat,

mengadopsi pengaruh gaya-gaya arsitektur modern yang berkembang di Eropa, dan

menghasilkan bangunan-bangunan yang tampil lebih estetis.

Arsitektur Indish secara umum diartikan sebagai arsitektur Eropa –yang dibawa oleh

para arsitek Belanda ke Indonesia- yang beradaptasi dengan kondisi dan budaya lokal

Indonesia. Sedyawati (1997 dalam Suryasari 2003:11-13) menyebutkan bahwa tercakup

dalam pengertian bangunan Indisch adalah adanya penekanan pada pengaruh lokal atau

corak lokal. Secara fisik, arsitektur Indisch banyak beradaptasi dengan iklim tropis

Indonesia, sehingga bentuk arsitektur Eropa dimodifikasi untuk mengatasi panas dan

lembab. Secara kultural, Arsitektur Indish juga mengadopsi bentukan arsitektur lokal yang

mewadahi adat kebiasaan setempat. Keberadaan beranda misalnya, tidak semata menjadi

ruang antara yang memisahkan ruang luar dan ruang dalam, tetapi juga merupakan ruang

tempat aktifitas yang menghubungkan secara sosial penghuni dan lingkungannya. Ronald

(1997 dalam Suryasari 2003:11-13) menyebutkan bahwa pengertian Arsitektur Indisch

mengindikasikan adanya pengaruh bentuk arsitektur lokal, bentuk arsitektur tradisional dari

suku-suku yang ada di Indonesia, khususnya Jawa. Plafond/langit-langit ruang yang tinggi,

overstek/teritisan yang cukup lebar dan keberadaan beranda baik di depan maupun di

belakang bangunan adalah beberapa hasil adaptasi dengan kondisi dan budaya lokal.

Gabungan antara arsitektur Eropa dan ungkapan lokal serta tradisional di Indonesia

menghasilkan bentukan-bentukan arsitektur yang khas (di) Indonesia.

Berkembangnya arsitektur Indish dibarengai dengan hadirnya arsitektur Nieuwe

Bouwen. Akihary (1988 dalam Suryokusumo, 2005: 58) secara sederhana menyebut

arsitektur Nieuwe Bouwen sebagai istilah arsitektur bangunan sesudah tahun 1920-an yang

merupakan penganut dari International Style. Gaya Nieuwe Bouwen berjalan seiring

pengaruh gaya arsitektur modern yang sedang trend pada masa itu, yaitu Amsterdamse

School, Bauhaus dan De Stijl, yang berkembang di Indonesia karena praktek arsitek

Belanda di Indonesia. Karya-karya arsitek Belanda tersebut disambut hangat di Indonesia

Page 4: Colonial and History

4

pada umumnya, karena menerapkan gaya arsitektur modern dengan penyesuaian terhadap

iklim setempat (Handinoto, 1996:237 dalam Suryokusumo, 2005: 58).

Arsitektur Indish yang banyak digunakan pada bangunan-bangunan pemerintahan dan lembaga-lembaga publik, Nieuwe Bouwen jauh lebih populer dan lebih tersebar di kalangan “kelas menengah”. Nieuwe Bouwen digunakan pada banyak bangunan yang berkaitan dengan modal (perusahaan, toko, restoran, bioskop dan permukiman kelas menengah). Pada kota-kota di Hindia Belanda versi paling populer dari gaya ini adalah Art Deco. (Kusno, 2009 :180)

2. Art Deco di Era Kolonial

Art Deco adalah salah satu gaya yang muncul setelah era berakhirnya gaya

imperium, dan menjadi gaya yang paling populer pada era tahun 1920–1940an. Demikian

populernya gaya Art Deco ini mengakibatkan banyak bangunan-bangunan yang sudah ada

diubah penampilannya dengan gaya Art Deco. Stasiun Tugu di Yogyakarta diubah fasadnya

menjadi bergaya Art Deco pada tahun 1920-an, yang dilakukan senyampang dengan

perluasan ruang di bagian depan, sebagaimana terlihat dalam Gambar 1 dan Gambar 2.

Dalam gambar tersebut terlihat perbedaan antara Stasiun Tugu tahun 1890 yang bergaya

Imperium dan tahun 1925 yang bergaya Art Deco. Hotel Preanger di Bandung dan

Javanesche Bank di Semarang mengubah fasade bangunan dengan balutan Art Deco

untuk menghias diri, menghapus muka bangunan awalnya yang bergaya Imperium (Kusno,

2009: 180). Hotel Preanger ditata ulang oleh Wolff Schoemaker pada tahun 1929, dan

Javanesche Bank cabang Semarang dirancang oleh firma arsitektur Fermont-Cuypers yang

berkantor di Batavia tahun 1935.

Gambar 1: Stasiun Tugu dalam Gaya Imperium tahun 1890 Sumber : www.KITLV.nl, diakses tanggal 15 Juni 2013

Page 5: Colonial and History

5

Gambar 2 : Stasiun Tugu dalam Gaya Art Deco 1925 Sumber: Ikaputra, 2005: 57

Perubahan penampilan tidak hanya terjadi pada bangunan-bangunan kolonial yang

dikuasai oleh pemerintah Belanda, tetapi juga pada bangunan yang dimiliki oleh

masyarakat kota pada umumnya. Dikken (2002 dalam Kusno 2009 :181) menceritakan

bahwa kantor-kantor baru pengusaha beretnis Cina terkemuka pada jamannya, Oei Tiong

Ham, di Semarang, juga mengikuti semangat zaman yang sama. Berkat rancangan Liem

Bwan Tjie 2 , bangunan Art Deco barunya sangat berbeda dari penampilan awal, dan diduga

menjadi prototipe bangunan toko Cina-Indonesia. (Lihat Gambar 3)

Di Jakarta, pada tahun 1930-an perubahan fasad juga terjadi pada rumah-rumah

toko di Pasar Baru dan Pancoran, yang diubah dari gaya Cina menjadi Art Nouveau dan Art

Deco Eropa (Pratiwo, 2009:94). Perubahan yang dilakukan pada rumah toko sebatas pada

dinding fasad bangunan tanpa mengubah tata ruang bagian dalam bangunan. Perubahan-

perubahan semacam itu sangat mungkin terjadi pula di kota-kota lain, dengan tingkat

perubahan yang berbeda-beda. Beberapa fasad rumah toko di Ketandan dan Jalan

Malioboro Yogyakarta meninggalkan jejak perubahan dari rumah bargaya Cina ke

bangunan bergaya arsitektur modern. Teras lantai dua diubah menjadi ruang berdinding

dengan gaya Art Deco di bagian fasadnya. Bagian atap berarsitektur tradisional Cina yang

berada di balik dinding fasad tidak dirubah, seperti terlihat di Gambar 4.

2 Liem Bwan Tjie : lahir di Semarang 1891. Berpraktek sebagai arsitek sejak tahun 1929 dan menjadi salah seorang pelopor arsitektur modern di Indonesia. Karyanya disejajarkan dengan karya-karya arsitek Belanda di HindiaBelanda pada masa 1850-1950, seperti Maclaine Pont, Hulswit, Fermont dan Cuijpers, GmelichMeiling, Aalbers. Sumber : http://archiholic99danoes.blogspot.com/ 2012/03/ tokoh-arsitektur-modern-indonesia-liem.html, diakses pada tanggal 14 nov 2012 12.30.

Page 6: Colonial and History

6

Gambar 3 : Perubahan fasad bangunan milik Oei Tiong Ham, hasil rancangan Liem Bwan Tije tahun 1930.Sumber : Kusno (2009:187)

Gambar 4: Jejak Perubahan fasad bangunan berars itektur Cina di Malioboro Yogyakarta (1930)Sumber: www.KITLV;nl, diaskes tanggal 12 Juni 2013.

3. Arsitektur Era Pasca

Setelah sangat disemarakkan dengan banyak hadirnya berbagai aliran arsitektur

modern di Indonesia, perkembangan arsitektur di Indonesia melambat pada era tahun

Page 7: Colonial and History

7

1930-an hinggga 1950-an. Pada penggal tersebut dunia menghadapi depresi ekonomi dan

resesi besar-besaran yang diikuti dengan perang di kawasan Eropa dan Asia Pasifik

(Perang Dunia II). Pemerintahan kolonial Belanda banyak menghentikan kegiatan pemba-

ngunan fisik dan membatalkan rencana-rencana besar pengembangan kota. Menurut

Widodo (2009:23), tidak saja pada kegiatan pembangunan yang berhenti, pada periode

tersebut debat-debat akademik yang hangat serta eksperimen-eksperimen arsitektur besar

yang sempat berkembang dengan subur di Indonesia sebelum perang, juga terhenti. Ber-

akhirnya perang Dunia yang membawa berkah kemerdekaan bagi bangsa Indonesia di

tahun 1945 tidak serta merta menghidupkan kehidupan berarsitektur. Masa perang

Kemerdekaan sampai denga tahun 1950 adalah masa yang tidak aman dan tidak stabil

secara politik. Bangsa Indonesia berkonsentrasi untuk mempertahankan kemerdekaan dan

memantapkan seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perkembangan arsitektur di Indonesia pada masa pascakolonialisme sampai dengan

tahun 1950-an ini dapat dikatakan berhenti. Tidak ada bentuk baru, tidak ada gaya dan

aliran baru dan tidak ada karya-karya baru yang unggul, karena memang tidak ada kegiatan

pembangunan baru. Situasi ini mulai berubah pada tahun 1950-an yang disebut sebagai

sebuah masa renaisans 3 dalam pendidikan arsitektur dan dalam pembangunan kembali

profesi arsitektur di Indonesia. Setelah tahun 1960, arsitektur Indonesia tumbuh berkem-

bang kembali. Era tahun 1960 – 1965 didominasi oleh politik pembangunan karakter

bangsa di bawah komando Soekarno, yang salah satunya dilakukan dengan pelaksanaan

pembangunan proyek-proyek mercusuar berupa hotel, toko serba ada, jembatan layang,

monumen, masjid dan perkantoran. Era ini dilanjutkan dengan Orde Baru Soeharto (mulai

tahun 1966), yang juga melakukan pembangunan secara besar-besaran didukung dengan

kekuatan ekonomi yang ditopang oleh limpahan produksi minyak (Widodo, 2009:23).

Gaya arsitektur apa yang berkembang pada era pascakolonialisme? Gaya

Internasionalisme banyak mewarnai bangunan-bangunan yang dibangun pada era

pascakolonialisme. Proyek-proyek besar yang dibangun pada masa itu menjadi simbol dari

kekuatan dan dijadikan mercusuar yang membangkitkan semangat kebangsaan. Bangunan

pada era Soekarno banyak menampilkan gaya internasionalisme pascaperang dan gaya

sosialis, yang diperkenalkan oleh arsitek-arsitek yang belajar di luar negeri (terutama dari

Eropa Timur). Megah, monumental dan modern adalah ciri yang terlihat pada karya-karya

tersebut. Contoh bangunan penting era ini antara lain adalah Stadion Utama Gelora

Senayan dan Masjid Istiqlal.

3 Pada tahun 1950 Departemen Bangunan (Bouwkunde Afdeling) dibuka sebagai bagian dari Fakultas Ilmu Teknik Universitas Indonesia di Bandung. Sekolah arsitektur negeri pertama di Indonesia yang sudah merdeka ini belakangan menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB). (Widodo, 2009 :23)

Page 8: Colonial and History

8

Pada skala bangunan yang lebih kecil, terutama pada rumah-rumah tinggal, muncul

salah satu gaya arsitektur yang populer di Indonesia, yaitu gaya jengki. Prijotomo

berpendapat bahwa arsitektur yang ditandai dengan penggunaan atap pelana yang digeser

puncaknya, tampilan dominan garis dan bidang miring, serta penggunaan material lokal ini

adalah arsitektur khas dan aseli Indonesia. Lahirnya gaya ini setidaknya dilatarbelakangi

dua hal. Pertama adalah terbatasnya tenaga ahli asing dan arsitek yang berpraktek di

Indonesia setelah kembalinya para arsitek Belanda pada kemerdekaan. Pekerjaan-

pekerjaan arsitektur yang ada ditangani oleh arsitek lokal yang terbatas dan para pekerja

bidang konstruksi yang pernah bekerja di perusahaan konstruksi pada masa pendudukan.

Kedua, dalam rasa nasionalisme yang tinggi ada semangat untuk pembebasan diri dari

segala hal yang berbau kolonialisme, termasuk gaya bangunan era sebelumnya yang

sangat mewarnai arsitektur di Indonesia.

Gambar 5: Contoh rumah jengki di Blora dan Semarang, Jawa Tengah Sumber (gambar kanan) : http://fariable.blogspot.com/2010/07/rumah-gaya-jengki-berbeda-dengan.html

Di luar dua gaya tersebut di atas, arsitektur kolonial tidak serta merta lenyap

pengaruhnya. Menarik pendapat yang disampaikan oleh Kusno (2009 :184) bahwa

berbagai ragam bentuk dan tampilan bangunan masa kolonial masih menjadi sumber

kreativitas yang bernilai. Tidak hanya pada masa sampai dengan tahun 1960-an, tetapi

bahkan sampai pada arsitektur kontemporer saat ini. Dapat dikatakan bahwa arsitektur

kolonial dengan berbagai gaya yang hidup di dalamnya mewarnai gaya arsitektur dalam

waktu yang cukup lama, yaitu pada masa kolonialisme itu sendiri dan pada masa

sesudahnya akibat kosongnya pengembangan dunia arsitektur pada masa awal pasca

kemerdekaan.

Page 9: Colonial and History

9

4. Pengaruh Gaya Art Deco

Gaya Art Deco dapat ditemukan di mana saja pada awal tahun 1920-an (Damais,

2005:vi). Di luar arsitektur yang telah dibahas sebelumnya, pengaruh Art Deco sangat luas

pada dunia seni dan desain. Garis-garis dan tampilan bergaya Art Deco dapat dijumpai

dengan mudah di berbagai dunia seni. Art Deco telah merasuki semua jeluk dan lubuk gaya

hidup. Alastair Duncan, misalnya, dalam buku standarnya tentang dan yang berjudul Art

Deco, membahas sembilan bidang (di samping arsitektur) yang sempat sangat kuat gaya

art deconya, yakni furniture, textiles, iron works and lighting, silver-lacquer & metalware,

glass, ceramics, sculpture, painting-graphics-posters & bookbinding, dan jewelry. (Saliya,

2005:12). Pengaruh art deco juga sangat mewarnai desain kendaraan di tahun 1950-an

dan 1960-an, terutama di Amerika. Pada desain kendaraan, garis-garis aerodinamis

menghasilkan bentuk-bentuk streamline.

Yang menarik, gaya Art Deco dapat diterima tidak semata karena estetika visualnya,

tetapi juga karena semangat kebebasan dan optimisme yang diusungnya. Di dunia fashion,

dengan daya tarik estetika visualnya, fashion gaya Art Deco juga menyiratkan gerakan

emansipasi perempuan melalui perubahan silhouette pakaian 4 , penggunaan bahan dan

perubahan tata rias wajah. Prihutomo (2005:21) menggambarkan bahwa Art Deco berbagi

semangat yang sama dengan emansipasi perempuan di dunia. Berbagi kebebasan yang

sama dalam bentuk dan karakter yang sederhana.

Pengaruh yang luas pada dunia desain (di luar arsitektur) juga terjadi di Indonesia. Di

seni grafis Hindia Belanda, muncul Hindia Molek yang menampilkan eksotisme dan

keindahan Timur seperti sawah, kerbau, perempuan berkebaya dan berkonde, lelaki

bersarung dan berkopiah serta berbagai simbol komunitas feodal Belanda dan komunitas

masyarakat tradisional pribumi, dalam alam tropis yang indah (Sunarto, 2005: 32). Damais

(2005:vi) menyebutkan juga bahwa garis-garis pengaruh Art Deco ditemukan juga pada

becak di Tegal dan dokar di Sukabumi. Ini berarti bahwa Art Deco tidak saja diadopsi oleh

kalangan pekerja seni dan parancang, tetapi juga oleh masyarakat kebanyakan.

Demikian luasnya pengaruh dan terapan Art Deco di masyarakat dilatarbelakangi

setidaknya tiga hal. Pertama, secara visual gaya ini menawarkan citra estetika yang baru,

menarik dan berbeda dibandingkan dengan era sebelumnya. Kedua, gaya ini mengusung

semangat pembaharuan, kebebasan, optimisme dan mencitrakan gaya hidup yang mewah

dan mapan. Ketiga, kemudahan untuk mengadopsi, meniru dan menciptakan bentukan

baru bergaya Art Deco.

4 Art Deco dalam dunia fashion bersinonim dengan siluet bustless and waistless (Prihutomo, 2005:22)

Page 10: Colonial and History

10

Art Deco mudah diterapkan, sangat menarik, mudah dimengerti, tidak terlalu berat dan sederhana. Kesederhanaan ini dilengkapi dengan elemen dekorasi. Hiasan yang memperjelas bentuk tetapi tidak mempunyai arti khusus (Suryokusumo, 2005: 60).

Terkait dengan kemudahan mengadopsi dan menerapkan Art Deco ini, Saliya

(2005:13) memiliki hipotesis bahwa Art Deco hanya menyentuh benda-benda yang

kritikalitas formalnya 5 rendah seperti ambang pintu atau jendela, pegangan pintu, teko,

cawan, perwajahan tapestry, wajah perapian, permukaan dinding, dll. Art Deco tidak pernah

membahas elemen-elemen dengan kritikalitas tinggi, seperti stuktur dan ruang, misalnya.

Dan oleh karenanya Art Deco menjadi sangat terbuka untuk tafsir perseorangan dan

ketrampilan individual. Siapapun bisa mengapresiasi keindahan art deco secara subyektif

dan menciptakan bentuk-bentuk baru berbau art deco.

5. Jejak-jejak Gaya Art Deco di Indonesia

Gaya Art Deco sangat mewarnai wajah kota Hindia Belanda seperti Jakarta,

Bandung, Semarang, Surabaya dan Malang di tahun 1930-an. Perubahan-perubahan gaya

bangunan kolonial sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, menjadikan Art Deco

menjadi dominan di wajah-wajah kota terutama di pulau Jawa. Area pusat kota yang hidup

bersamaan dengan tumbuhnya sebuah kota sebagai kawasan perdagangan/komersial,

menjadi kawasan yang banyak mangadopsi gaya Art Deco. Budi Lim 6 (dalam Kusno, 2009:

182) memberi kesaksian bahwa jejak yang paling jelas terlihat di kota Hindia Belanda

tahun 1930-an adalah bangunan-bangunan Art Deco. Kesaksian itu diberikan setelah Budi

Lim menyusuri kota-kota di Pulau Jawa, mengumpulkan dan menyusun tipologi bangunan

tahun 1930-an dan 1940-an kota-kota Hindia Belanda yang masih tersisa di jalan-jalan

utama pada tahun 1980-an.

Bandung sangat kaya dengan bangunan-bangunan bergaya Art Deco. Bangunan-

bangunan Hotel Preanger, Hotel Savoy Homann, Villa Isola adalah beberapa contoh

bangunan yang sangat menonjol gaya Art Deconya dan menjadi titik-titik penting kajian

bangunan Art Deco di Indonesia. Di Jakarta gedung Bioscoop Metropoole yang dibangun

pada tahun 1932 adalah bangunan Art Deco yang cukup menonjol. Tidak hanya pada

bagian eksterior, bangunan yang pada tahun 1960 diubah menjadi Bioskop Megaria

memiliki banyak ornamen interior bergaya art deco. Sesuai dengan fungsi dan kegiatan

yang ada di dalamnya, bioskop banyak menggunakan gaya ini untuk mendapatkan citra

5

6

Kritikalitas formal; Bentuk pesawat terbang, memiliki kritikalitas tinggi, sebab pilihan-pilihannya sangat sempit, karena itu ungkapan bentuknya hampir-hampir sama, siapapun pembuatnya. Ambang pintu misalnya memiliki kritikalitas rendah, sangat lebar spektrum pilihannya, hingga ragam bentuk akhirnya pun banyak. (Saliya, 2005:13 catatan kaki) Budi Lim; arsitek Indonesia yang telah berpraktek profesional dan menekuni arsitektur sejak tahun 1980-an. Karyanya yang berupa sejumlah Kantor Cabang Bank Universal (dibangun pada kurun waktu tahun 1990an) dinilai banyak mengunakan ungkapan gaya Art Deco yang kuat.

Page 11: Colonial and History

11

kemewahan dan keceriaan. Beberapa contoh gedung bioskop dapat dilihat dalam Gambar

6 dan Gambar 7.

Gambar 6 : Bioskop Capitol Theater Surabaya Sumber: http://rajaagam.wordpress.com/2010/03/14/bioskop-dulu-primadona-di-surabaya/, diakses tanggal 16 Juni 2013

Gambar 7 : Bioskop Metropoe th 1955, sebelum berubah menjadi Megaria tahun 1960an. Sumber: http://koleksitempodoeloe.blogspot.com/2012/08/intermezzo-bubaran-bioskop-metropole.html, diakses tanggal 16 Juni 2013

Page 12: Colonial and History

12

Di Malang, bangunan bergaya Art Deco dapat dilihat antara lain pada Gedung Bank ANK,

supermarket Avia, Gedung PLN Cekalet, showroom mobil bekas di Jalan Jaksa Agung

Suprapto, serta beberapa ruko di kawasan Jalan Patimura (Klodjen) dan Jalan Basuki

Rachmat (Santoso, 2005:42). Beberapa kota memiliki kantor pusat pemerintahan tinggalan

Belanda yang memiliki gaya Art Deco, seperti Cirebon (lihat Gambar 8).

Gambar 8: Kantor Balaikota Cirebon Sumber: http://alunkota.blogspot.com/2012/07/balai-kota.html, , diakses tanggal 16 Juni 2013

Di luar kota-kota Hindia Belanda tersebut, jejak-jejak bangunan kolonial pada

umumnya dapat dilihat juga pada kota-kota seperti Pasuruan, Magelang, Salatiga, Tegal dll.

Kota-kota tersebut memiliki hubungan dengan pusat-pusat kegiatan ekonomi Hindia

Belanda berupa pabrik gula dan perkebunan. Survey lapangan di kota-kota yang lebih kecil

(setingkat kecamatan) juga menunjukkan adanya pengaruh Art Deco pada bangunan-

bangunan lamanya. Sebagai contoh adalah dapat dijumpainya beberapa bangunan yang

memiliki ekspresi Art Deco di Kartosuro, Sukoharjo dan Delanggu Klaten, sebagaimana

terlihat dalam Gambar 9 dan Gambar 10. Bangunan-banguan tersebut berada di jalan-jalan

utama pusat kota kecamatan, dan memiliki fungsi komersial. Beberapa gapura jalan atau

lorong juga terlihat memiliki jejak pengaruh Art Deco, seperti terlihat dalam Gambar 11 dan

Gambar 12. Adanya pengaruh gaya ini pada bangun-bangunan skala kecil, memperkuat

asumsi bahwa gaya ini cukup luas diterima oleh khalayak. Gapura adalah bangunan yang

memiliki nilai komunal cukup tinggi, dan di sisi lain memiliki nilai penting yang tidak setinggi

Page 13: Colonial and History

13

bangunan gedung lainnya. Pada obyek yang demikian, gaya art deco tetap muncul dalam

benak proses pembuatannya.

Gambar 9 : Toko di Kartosuro, Sukoharjo Sumber: Rekaman Peneliti, November 2003

Gambar 11 : Gapura Dusun Ambarukmo Yogyakarta

Sumber: Rekaman Peneliti, November 2003 Sumber: Rekaman Peneliti, November 2003

Area-area peristirahatan seperti Kawasan Puncak, Batu Malang, Tawangmangu Solo,

Kaliurang Yogyakarta, patut diduga juga menyimpan kekayaan ragam arsitektur bergaya Art

Deco. Belum banyak data dan penelitian yang mengungkap hal tersebut, terutama fokus

pada keragaman gaya ini.

Page 14: Colonial and History

14

Gambar 12: Gapura terpengaruh gaya Art Deco di Karangwuni, Klaten Sumber: Rekaman Peneliti, November 2003

B. Batasan Penelitian

Analisis dan kajian dalam penelitian ini dibatasi pada fasad dan elemen visual pada fasad

bangunan. Batasan ini dipilih dengan mempertimbangkan banyaknya obyek penelitian

yang akan diamati dan beragamnya kadar/intensitas gaya pada bangunan. Pembahasan

aspek arsitektural bangunan lain, semisal tata ruang dan sistem struktur bangunan akan

dilakukan dalam kaitan dengan tampilan fasad. Batasan ini selaras dengan karakter gaya

art deco menurut Saliya hanya berkaitan dengan permukaan dan kulit bangunan saja,

sehingga hal yang paling menonjol yang dapat ditangkap dari gaya ini adaah aspek visual

saja (Saliya, 2005).

C. Pertanyaan dan Tujuan Penelitian

Dari uraian di atas, dapat digarisbawahi beberapa hal sebagai berikut:

1.

2.

Era arsitektur kolonial di Indonesia adalah penggal penting dalam perkembangan

arsitektur di Indonesia. Bermula dari gaya arsitektur asli yang dibawa oleh Belanda

dan diterapkan di Indonesia, dan kemudian arsitektur yang mulai beradaptasi

dengan lingkungan dan budaya lokal, serta pada akhirnya arsitektur modern di era

tahun 1920an yang sangat semarak. Penggal kolonial sangat mewarnai arsitektur

Indonesia dan bahkan turut memberikan identitas bagi Arsitektur Indonesia.

Sebagai bagian dari gaya yang berkembang di era tahun 20-an, gaya art deco turut

pula masuk dan berkembang populer di Indonesia. Arsitek-arsitek muda Belanda

yang datang pada era tersebut menghasilkan beberapa bangunan yang monumental

sebagai tonggak kehadiran gaya art deco di Indonesia.

Page 15: Colonial and History

15

3. Gaya Art Deco adalah salah satu puncak penting dari arsitektur kolonal. Jejak-jejak

art deco pada banyak bangunan di kota-kota di Indonesia menunjukkan sangat

luasnya gaya ini diterapkan. Kawasan-kawasan lama dan area komersial di pusat

kota menyimpan banyak bangunan dengan gaya ini, yang terekspresikan secara

gamblang atau samar-samar melalui cuilan elemennya. Hal ini mengisyaratkan

kemungkinan akan adanya kekayaan keragaman tampilan dalam gaya art deco.

Di Yogyakarta, bangunan dengan gaya art deco dapat dijumpai di beberapa sudut

kota, dengan berbagai intensitas kuat/lemah ekspresi yang dapat ditangkap. Dengan

mempertimbangkan tiga hal penting sebagimana tersebut di atas dan kondisi bangunan-

bangunan obyek penelitian, pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1.

2.

Bagaimana tipologi arsitektur fasad art deco pada bangunan-bangunan yang ada di

Yogyakarta.

Bagaimana karakteristik desain dari gaya art deco yang ada pada fasad bangunan-

bangunan art deco di Yogyakarta.

Untuk menjawab pertanyan peneltian tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

1.

2.

Menemukan tipe bangunan art deco di yogyakarta, terutama melalui fasadnya

Merumuskan karkteristik desain fasad bangunan art deco.

D. Keaslian Penelitian : Penelitian Art Deco

Penelitian Art Deco di bidang arsitektur semestinya banyak terkait dengan penelitian

arsitektur era kolonial, yang berdasarkan obyek penelitiannya dapat dikelompokkan dalam

3 kategori, yaitu; 1) penelitian dengan obyek bangunan atau kawasan yang dibangun pada

era kolonial; 2) penelitian terhadap karya arsitek tertentu era kolonial; dan 3) penelitian

terhadap gaya bangunan era kolonial.

1.

2.

3.

Penelitian dengan obyek penelitian berupa bangunan atau kawasan yang dibuat

pada era kolonial.

Salah satu contoh penelitian kelompok ini adalah penelitian berjudul Pola Spasial

Permukiman Mlaten Semarang: Studi Spasial Permukiman yang Direncanakan dan

Pemakainnya, yang dilakukan oleh Antonius Ardiyanto pada tahun 1996. Penelitian ini

mengambil obyek lingkungan perumahan Mlaten Semarang karya A.A. Karsten.

Penelitian terhadap arsitek masa kolonial dan karyanya

Penelitian karya arsitek era kolonial salah satu contohnya dilakukan oleh Noviani

Suryasari pada tahun 2003 dengan judul Karakter Formal Bangunan Karya C.P Wolff

Schoemaker di Bandung Periode 1920-1940.

Penelitian gaya arsitektur pada bangunan era kolonial

Page 16: Colonial and History

16

Penelitian tentang gaya arsitektur di era kolonial antara lain dilakukan oleh Hariyadi

Salenda di tahun 2009 dengan judul Eksistensi Faham Aliran De Stijl pada Komposisi

Fasade Bangunan Kolonial Belanda dan Rumah Kontemporer.

Penelitian gaya Art Deco dalam arsitektur termasuk dalam penelitian tentang gaya

arsitektur di era kolonial, dan belum banyak dilakukan. Dalam banyak penelitian yang sudah

ada, Art Deco biasanya dilihat sebagai bagian dari penelitian arsitektur kolonial secara lebih

luas dan tidak dibahas secara khusus. Satu kajian tentang Art Deco dilakukan oleh Beta

Suryokusuma dan Noviani Suryasari yang menulis Transformasi Arsitektur Indis ke Dalam

Elemen dan Ragam Hias Art Deco. Salah satu hasil kajian tersebut menyebutkan adanya 3

periodisasi Art Deco dalam masa Nieuwe Bouwen Architecture di Indonesia, yaitu; 1)

periode Art Deco dan Amsterdamse School yang bergaya Indisch modern, 2) periode

decorative arts, dan 3) periode Streamline. Art Deco berperan sebagai sumber seni

dekoratif dan seni pembentukan pada massa bangunan.

Dari penelitian Art Deco yang tidak banyak tersebut dapat dilihat beberapa hal:

a.

b.

Penelitian tentang Art Deco dan bangunan kolonial pada umumnya, banyak

terkonsentrasi pada kota-kota besar penting Hindia Belanda, seperti Bandung,

Jakarta, Surabaya, Surabaya dan Malang.

Obyek penelitian Art Deco lebih banyak menggunakan bangunan-bangunan fasilitas

publik dan komersial berskala besar. Pada bangunan skala tersebut, proses

perencanaan dan perancangan akan melibatkan arsitek atau tenaga ahli formal lain,

sehingga penjelasan atas karya perancangan lebih dapat ditelusuri.

Penelitian ini memiliki beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan penelitian gaya

bangunan kolonial lain. Pertama, dilakukan untuk melihat pengarauh dan jejak Art Deco

pada bangunan-bangunan di Yogyakarta, dengan skala bangunan yang beragam dari kecil

sampai besar. Kedua, tidak ada batasan tahun pendirian atas bangunan yang diteliti,

sehingga kaitan gaya yang mungkin terlihat tidak semata karena ada kesamaan waktu,

tetapi mungkin dapat dilihat sebagai kaitan pengaruh.

Page 17: Colonial and History

Tahun Penelitian/Studi Kajian dan Fokus Penelitian Keterangan

1996 Pola Spasial Permukiman MlatenSemarang: Studi Spasial Permukiman yang Direncanakan dan Pemakainnya, oleh Antonius Ardiyanto

Meneliti perubahan (fisik danspasial) rumah dan lingkungan permukiman karya Arsitek Karsten -

2003 Karakter Formal Bangunan KaryaC.P Wolff Schoemaker di Bandung Periode 1920-1940, oleh Noviani Suryasari

Karakter Bangunan dan kaitannyadengan setting berasrsitektur.

Fokus pada Karakter formal bangunan karya CP Wolff Schoemaker.

Metode : analisis grafis terhadapkualitas formal bangunan.

2009 Eksistensi Faham Aliran De Stijlpada Komposisi Fasade Bangunan Kolonial Belanda dan Rumah Kontemporer, oleh Hariyadi Salenda

Meneliti keberadaan aliran fahamde Stijl pada beberapa bangunan dari masa yang berbeda.

Empat studi kasus bangunankolonial dan bangunan kontemporer.

17

Tabel 1: Perbandingan penelitian sejenis yang pernah.

E. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis keilmuan dan

manfaat praktis arsitektur. Dalam manfaat teoritis keilmuan, ada tiga hal yang terkait dengan

dengan penelitian ini, yaitu:

1.

2.

3.

Arsitektur kolonial: penelitian ini diharapkan melengkapi berbagai hasil penelitian

arsitektur kolonial yang telah dilakukan.

Gaya arsitektur: penelitian tentang gaya arsitektur di Indonesia, utamanya Art Deco

relatif belum banyak dilakukan. Penelitian ini diharapkan cukup menjadi pemicu untuk

penelitian lanjutan yang sejenis.

Estetika arsitektur. Meskipun tidak menjadi fokus utama, hasil penelitian ini

diharapkan menambah pengetahuan perihal estetika gaya bangunan kolonial.

Page 18: Colonial and History

18

Manfaat praktis arsitektur yang diharapkan adalah:

1.

2.

Untuk pengkayaan ragam visual pada dunia perancangan arsitektur. Pemahanan

akan ekspresi Art Deco dapat dijadikan acuan untuk pengembangan bentuk dan

estetika bangunan dalam proses perancangan.

Menjadi masukan dan pertimbangan dalam penanganan bangunan atau kasawan

pada sebuah kota, terutama untuk bangunan dan kawasan lama. Keberadaan gaya

tertentu yang signifikan pada sebuah bangunan atau yang mewarnai karakter

kawasan tertentu adalah salah satu pertimbangan penting dalam menentukan status

penanganan pelestarian bangunan. Oleh karena itu, pemahaman yang memadai

atas suatu gaya bangunan menjadi sangat penting.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini akan dituangkan dalam 6 bab, yang secara garis besar isinya

adalah sebagai berikut :

1.

2.

3.

4.

Bab I Pendahuluan

Berisi latar belakang penelitian yang dilakukan, menguraikan peran penting Art Deco

dalam khasanah arsitektur Indonesia, dan menekankan adanya keragaman ekspresi

art deco. Dalam bab ini dipaparkan juga rumusan pertanyaan dan tujuan penelitian,

manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab 2 Kajian Pustaka

Pada dasarnya berisi dua bagian penting. Pertama kajian pustaka terkait dengan Art

Deco, yang dimulai dengan pembahasan sejarah keberadaannya, perkembangan

dan ciri-ciri nya secara umum. Pada bagian lain diuraikan secara khusus

perkembangan art deco di Indonesia . Pada bagian ini juga diuraikan tentang art

nouveua, gaya arsitektur yang banyak dinilai memiliki kaitan kuat dengan art deco.

Kedua, kajian teoritik terkait dengan fasad bangunan dan stylistic system. Kajian ini

diperlukan karena kajian yang akan dilakukan ditekankan pada fasad bangunan,

sesuai dengan karakter art deco yang sangat visual.

Bab 3 Metode Penelitian

Bab ini menguraikan tentang tata cara dan langkah-langkah yang dilakukan dalam

penelitian tipologi.

Bab 4 Diskripsi Obyek Penelitian.

Bagian lain bab menguraikan diskripsi obyek penelitian yang dipilih. Pada awalnya

terdapat 73 bangunan yang akan dijadikan obyek penelitian, tetapi kemudian

berkurang menjadi 44 obyek penelitian. Diskripsi obyek penelitian ini memberikan

Page 19: Colonial and History

19

uraian untuk masing-masing obyek, dan secara khusus menggambarkan karakter Art

Deco yang dimiliki, yang menjadi dasar dalam pemilihan obyek penelitian.

5.

6.

Bab 5 Hasil dan Pembahasan

Berisi uraian hasil penelitian, yang menggambarkan adanya pengelompokkan tipe-

tipe bangunan art deco yang ada. Pada hasil yang lebih detil diuraikan karakter

masing-masing tipe yang ditemukan. Bab ini juga berisi pembahasan atas temuan

yang dihasilkan.

Bab 6 Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan yang pada dasarnya adalah jawab atas pertanyaan

penelitian yang disebutkan pada Bab I. Pada bagian akhir disampaikan beberapa

saran, yang diperuntukan bagi kegiatan penelitian lanjutan, bagi praktek profesional

arsitektur dan bagi pembuat kebijakan bangunan, kawasan dan kota.