Top Banner
LAPORAN KASUS “CHOLELITIASIS” Oleh: Karina Astari Yulianto 107103001529 Pembimbing: Dr. Rofi , SpB (K) BD MODUL KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
51

Cholelithiasis Karina

Jan 29, 2016

Download

Documents

j
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Cholelithiasis Karina

LAPORAN KASUS

“CHOLELITIASIS”

Oleh:

Karina Astari Yulianto

107103001529

Pembimbing:

Dr. Rofi , SpB (K) BD

MODUL KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2012

Page 2: Cholelithiasis Karina

BAB 1

PENDAHULUAN

Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di

negara barat. 10 Angka kejadiannya lebih dari 20% populasi dan insiden meningkat

dengan bertambahnya usia . 14 Di negara Barat, batu empedu mengenai 10% orang

dewasa. Angka prevalensi orang dewasa lebih tinggi di negara Amerika Latin (20%-

40%) dan rendah di negara Asia (3%-4%). 8

Di Amerika Serikat, terhitung lebih dari 20 juta orang Amerika dengan batu empedu

dan dari hasil otopsi menunjukkan angka kejadian batu empedu paling sedikit 20%

pada wanita dan 8% pada laki-laki di atas umur empat puluhan. Di Inggris, sekitar 5,5

juta orang dengan batu empedu dan dilakukan lebih dari 50 ribu kolesistektomi tiap

tahunnya. 11

Sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di klinis, sementara publikasi

penelitian batu empedu masih terbatas. Sebagian besar pasien dengan batu empedu

tidak mempunyai keluhan. Risiko penyandang batu empedu untuk mengalami gejala

dan komplikasi relatif kecil. Walaupun demikian, sekali batu empedu mulai

menimbulkan serangan nyeri kolik yang spesifik maka resiko untuk mengalami masalah

dan penyulit akan terus meningkat. 10

Sekitar 1 juta pasien baru terdiagnosis mengidap batu empedu per tahun, dengan

dua pertiganya menjalani pembedahan. Angka kematian akibat pembedahan untuk

bedah saluran empedu secara keseluruhan sangat rendah, tetapi sekitar 1000 pasien

meninggal setiap tahun akibat penyakit batu empedu atau penyulit pembedahan. 14

Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru Ultrasonografi

(USG) maka banyak penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara dini

sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya

peralatan dan semakin kurang invasifnya tindakan pengobatan sangat mengurangi

morbiditas dan moralitas. 9

Page 3: Cholelithiasis Karina

BAB 2

ILUSTRASI KASUS

2.1. IDENTITAS

Nama : Ny. T

Umur : 49 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Status Pernikahan : Menikah

Suku : Jawa

Pendidikan Terakhir : SMA

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Alamat : Parung, Bogor

Agama : Islam

Tanggal Masuk RS : 1 Juni 2012

2.2. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 12 Juni 2012.

Keluhan Utama

Nyeri perut kanan atas sejak 1 minggu SMRS yang makin memberat.

Page 4: Cholelithiasis Karina

Keluhan Tambahan

BAK seperti teh, mual, muntah, nafsu makan menurun.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan nyeri pada perut kanan atas sejak 1 minggu

SMRS. Nyeri yang dirasakan seperti ditusuk – tusuk yang dirasakan makin memberat.

Awalnya nyeri yang dirasakan masih dapat ditahan oleh pasien dan ia masih dapat

beraktivitas, kemudian diberikan obat-obatan maag oleh pasien, nyeri dirasa berkurang

namun kemudian timbul kembali. Namun, sejak 3 hari SMRS nyeri yang dirasakan

makin memberat sehingga pasien tidak kuat untuk beraktivitas sehari-hari. Nyeri yang

dirasakan dari ke ulu hati dan menjalar ke punggung belakang. Nyeri dirasakan sekitar

15 menit, berkurang ketika pasien istirahat. Tidak memberat dengan batuk maupun

menarik napas. Awalnya nyeri dirasakan hilang timbul sejak 1 bulan SMRS. Pasien

mengkonsumsi obat-obatan maag. Namun nyeri dirasakan tidak kunjung membaik

hingga dibawa ke RS Medika. Di RS Medika ia lalu dianjurkan untuk USG. Setelah

hasilnya keluar dikatakan bahwa terdapat gall stone pankreatitis. Ia lalu dirawat sekitar

5 hari di RS tersebut. Ia dianjurkan untuk operasi, namun ia ingin dioperasi di RS

Fatmawati, kemudian ia pindah rawat ke RS Fatmawati.

Mual (+) tiap kali makan sehingga nafsu makan pasien menurun. Ia hanya dapat

makan 3 sendok tiap kali makan. Muntah (+) berisi makanan. BAK seperti teh (+) pekat

dan BAB normal. Mata terlihat kuning. Demam (-), batuk (-), sesak (-), dan nyeri dada

(-), penurunan berat badan (-), muntah darah (-). Keluhan seperti ini baru pertama kali

dirasakan pasien.

Pasien telah dirawat di RS Fatmawati selama 2 minggu (masuk tanggal 1 Juni

2012), ia dirawat di bagian penyakit dalam kemudian dikonsulkan ke bagian bedah.

Setelah 5 hari dirawat di RS Fatmawati mata pasien terlihat menguning. BAK pasien

masih seperti teh. BAB pasien menjadi seperti dempul pada hari ketiga perawatan

tersebut. Ia mengaku sulit untuk makan karena merasa mual dan tidak nafsu makan.

Page 5: Cholelithiasis Karina

Saat ini, keluhan pasien merasa nyeri perutnya sudah mulai berkurang, mual (-),

muntah (-).

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat sakit kuning (-), DM (-), hipertensi (-), alergi obat dan makanan (-).

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat sakit kuning dalam keluarga (-). Riwayat penyakit batu dalam keluarga

(-). Riwayat hipertensi (+) ibu pasien, diabetes mellitus (-). Alergi (-)

Riwayat Sosial

Pasien adalah seorang ibu dengan tiga anak. Ia senang mengkonsumsi

makanan seperti daging. Pasien tidak begitu memperhatikan keseimbangan asupan

makanannya. Sehari – hari ia sebagai seorang ibu rumah tangga. Riwayat konsumsi

alkohol (-), merokok (-), IVDU (-), dan konsumsi jamu (-).

2.3. PEMERIKSAAN FISIK (12 Juni 2012)

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Composmentis (GCS = 15)

BB : 48 kg TB : 155 cm

Status Gizi : baik (IMT = 20 kg/m2)

Tanda Vital :

Tekanan Darah : 120/90 mmHg Frekuensi Nadi :80 x/menit

Frekuensi Pernapasan : 20 x/menit Suhu : 36,8oC

Page 6: Cholelithiasis Karina

Status Generalis

Kulit : Sawo matang, hiperpigmentasi (-), suhu raba hangat, lembab, turgor cukup,

ikterus (+)

Kepala : deformitas (-), rambut hitam, distribusi merata, rambut tidak

mudah dicabut.

Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik +/+

Telinga : normotia +/+, serumen minimal +/+, sekret -/-, nyeri tekan

-/-

Hidung : deviasi septum (-), sekret -/-

Mulut : oral hygiene sedang.

Tenggorokan : faring hiperemis (-)

Leher : KGB tidak teraba membesar, JVP 5 – 2 cmH2O

Paru :

Pemeriksaan Kanan Kiri

Inspeksi depan Pergerakan dada simetris saat statis dan dinamis.

Inspeksi belakang Pergerakan dada simetris saat statis dan dinamis.

Palpasi depan Vocal fremitus simetris kanan dan kiri.

Palpasi belakang Vocal fremitus simetris kanan dan kiri.

Perkusi depan Sonor Sonor

Perkusi belakang Sonor Sonor

Auskultasi depanSuara napas vesikulerRhoncii (-)Wheezing (-)

Suara napas vesikulerRhoncii (-) Wheezing (-)

Auskultasi belakangSuara napas vesikulerRhoncii (-)Wheezing (-)

Suara napas vesikulerRhoncii (-)Wheezing (-)

Jantung :

Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak

Page 7: Cholelithiasis Karina

Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V 1 jaari medial garis midklavikula

sinistra

Perkusi : Batas atas jantung ICS II garis parasternal sinistra.

Batas kiri jantung di ICS V 1 jari medialgaris midclavicula sinistra.

Batas kanan jantung di ICS III garis parasternal dekstra.

Auskultasi S I dan II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :

Inspeksi : datar, venektasi (-)

Palpasi : supel, nyeri tekan (+) pada region hipokondrium kanan dan

epigastrium, hepar dan lien tidak teraba, Murphy sign (+).

Perkusi : timpani, pekak hepar (+), nyeri ketok (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal

Ekstremitas : akral hangat +/+, edema -/-, CRT < 2”

Riwayat Perawatan

Pada awal masuk (1 Juni 2012), didapatkan pada pemeriksaan fisik yaitu sklera

ikterik (+), nyeri tekan epigastrium dan Murphy sign (+). Pada pemeriksaan laboratorium

didapatkan peningkatan transaminase yaitu SGOT 18 dan SGPT 56, bilirubin total 1,1 ;

bilirubin direk 0,5 ; bilirubin indirek 0,6. Ketika itu, ia didagnosis dengan ikterus obtruktif

ec susp cholelithiasis dd/ cholesistitis, peningkatan enzim transaminase. Kemudian

dilakukan USG abdomen kembali didapatkan hasil cholelithiasis multiple, organ

intraabdomen lain baik. Dilakukan foto polos abdomen 3 posisi didapatkan hasil

opasitas multiple di region abdomen kanan atas, tak tampak tanda-tanda obstruksi tr.

Digestive, udara ataupun cairan bebas intra abdomen.

Pada tanggal 29 November 2011 (hari ke IV perawatan), pada anamnesis

didapatkan BAB dempul (+). Pada pemeriksaan fisik, didapatkan ikterik (+). Hari ini

dilakukan USG pada pasien dengan hasil kolelitiasis multipel.

Page 8: Cholelithiasis Karina

Kemudian pasien dikonsulkan ke bagian bedah digestif, didiagnosis dengan

kolesistitis kronik, kolelitiasis, gallstone pancreatitis ( perbaikan ). Pasien diberi

antibiotic Cefoperazon 2 x 1 gr.

2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Laboratorium

Tanggal Pemeriksaan

1/6/2012 5/6/2012 Nilai Rujukan

Hemoglobin (g/dl) 12,5 12,2 11,7 – 15,5

Hematokrit (%) 38 39 33 – 45

Leukosit ribu/uL 8,0 8,3 5,0 – 10,0

Tombosit (ribu/uL) 390 379 150 – 440

Eritrosit (juta/uL) 4,00 4,03 3,80 – 5,20

VER (fl) 88,0 90,8 80,0 – 100,0

HER (pg) 28,8 28,8 26,0 – 34,0

KHER (g/dl) 35,8 36,4 32,0 – 36,0

RDW (%) 13,0 14,0 11,5 – 14,5

Hitung jenis

Basofil (%)

Eosinofil (%)

Netrofil (%)

Limfosit (%)

Monosit (%)

0

2

60

24

4

0

3

72

15

11

0 – 1

1 – 3

50 – 70

20 – 40

2 – 8

Masa perdarahan (menit)

1,0 – 3,0

Masa pembekuan (menit)

2,0 – 6,0

SGOT (U/l) 18 - 0 – 34

Page 9: Cholelithiasis Karina

SGPT (U/l) 56 - 0 – 40

Protein total (g/dl) 6,9 - 6 – 8

Albumin (g/dl) 4,00 - 3,4 – 4,8

Globulin (g/dl) 2,90 - 2,5 – 3

Bilirubin total (mg/dl)

1,1 2,5 0,1 – 1,0

Bilirubin direk (mg/dl)

0,5 0,9 <0,2

Bilirubin indirek (mg/dl)

0,6 1,1 <0,6

Fosfatase alkali (U/l)

186 - 30 – 140

Ureum (mg/dl) 17 13 20 – 40

Creatinin (mg/dl) 0,6 0,6 0,6 – 1,5

GDS (mg/dl) 96 - 70 – 140

Na (mmol/l) - 139 135 – 147

K (mmol/l) - 3,46 3,10 – 5,10

Cl (mmol/l) - 101 95 – 108

Trigliserida (mg/dl)

- 112 < 150

Kolesterol total (mg/dl)

- 171 < 200

Kolesterol HDL (mg/dl)

- 42 37 – 83

Kolesterol LDL (mg/dl )

- 106 < 130

Amylase 86 - 13 – 53

Page 10: Cholelithiasis Karina

pankreatik (U/l)

Lipase (U/l) 73 - 6 – 51

Hemostasis

APTT (detik)

Kontrol APTT

PT (detik)

Kontrol PT

INR

32,8

32,5

14,8

13,0

1,19

27,4 – 39,3

11,3 – 14,7

HbsAg - < 0,1 ( non rekatif )

Anti HCV - 0,03

Kesan peningkatan enzim transaminase, fosfatase alkali, peningkatan bilirubin total,

direk, dan indirek. Didapatkan peningkatan amylase dan lipase.

b. Radiologi

1. Rontgen Thoraks

Trakea di tengah.

Jantung : elongasi aorta (-), CTR < 50%

Paru : kedua hilus tidak menebal, corakan brronkovaskuler tidak

meningkat, paarenkim paru baik.

kedua sinus dan diafragma baik.

Dinding dada dan soft tissue dalam batas normal.

Kesan : cor dan pulmo dalam batas normal.

Page 11: Cholelithiasis Karina

2. USG

Kesan : cholelithiasis multiple

Organ intraabdomen lain baik

3. Foto abdomen 3 posisi

Kesan : - opasitas multiple di region abdomen kanan atas

- Tak tampak tanda- tanda obstruksi traktus digestive, udara,

ataupun cairan bebas intra abdomen

2.5. RESUME

Ny. T, 49 tahun, datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah yang makin

memberat sejak 1 minggu SMRS. BAK seperti teh (+), mual (+), muntah (+) berisi

makanan, penurunnan nafsu makan (+). Demam (-), muntah darah (-). Tiga hari setelah

masuk rumah sakit timbul keluhan badan menguning dan BAB kadang dempul.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, status

gizi baik. Pada pemeriksaan mata didapatkan sclera ikterik +/+. Pada pemeriksaan

abdomen didapatkan pada palpasi nyeri tekan pada regio hipokondrium kanan dan

epigastrium, Murphy sign (+).

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan :

Laboratorium, didapatkan kesan peningkatan enzim transaminase, peningkatan

bilirubin total, direk, dan indirek. Didapatkan peningkatan amylase dan lipase.

Radiologi :

Rontgen thoraks dalam batas normal.

USG kolelitiasis multipel.

Foto abdomen 3 posisi opasitas multiple di region abdomen kanan atas

2.6. DIAGNOSIS KERJA

Kolesistitis kronik.

Kolelitiasis, gallstone pancreatitis ( perbaikan )

2.7. PENATALAKSANAAN

Page 12: Cholelithiasis Karina

Diet rendah lemak.

Transamin 3 x 500 mg

Ranitidin 2 x 1 amp

Cepoperazon 2 x 1 gr

Pembedahan laparoskopi kolesistektomi.

2.8. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad functionam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

Dilakukan operasi laparoskopi kolesistektomi tanggal 11/06/2012

Laporan operasi :

A dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya

Eksplorasi tampak, penyabunan dinding anterior abdomen

Insersi trokar II dan III sesuai SOP

Preservasi arteri dan duktus sistikus

Duktus sistikus diklip hem O lock 2 proksimal, distal, dipotong

KE dilepaskan dari bed hepar, perdarahan dirawat, pasang surgicell 1 buah

KE dikeluarkan, isi kantong batu multiple hijau kekuningan

Gas dikeluarkan, trokar dicabut, luka dijahit.

Diagnosis pre operasi : kolesistitis kronik + kolelitiasis gallstone pancreatitis

( perbaikan )

Diagnosis post operasi : sesuai

Obat :

Page 13: Cholelithiasis Karina

Sharox 3 x 1

Prazolac 1 x 1

Ketese 2 x 1

BAB 3

Page 14: Cholelithiasis Karina

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Kolelitiasis disebut juga sinonimnya adalah batu

empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan

batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan

beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam

kandung empedu. 1

Kolelitiasis atau batu empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang

membentuk suatu material yang menyerupai batu yang dapat ditemukan dalam

kandung empedu (kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau

pada kedua-duanya2.

Gambar 1. Lokasi Batu empedu

Page 15: Cholelithiasis Karina

2.2. EPIDEMIOLOGI

Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% sedangkan angka kejadian di

Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara.1 Peningkatan

insiden batu empedu dapat dilihat dalam kelompok resiko tinggi yang disebut ”5 Fs” :

female (wanita), fertile (subur)-khususnya selama kehamilan, fat (gemuk), fair, dan forty

(empat puluh tahun).

Tiap tahun 500.000 kasus baru dari batu empedu ditemukan di Amerika Serikat.

Kasus tersebut sebagian besar didapatkan di atas usia pubertas, sedangkan pada

anak-anak jarang. Orang gemuk ternyata mempunyai resiko tiga kali lipat untuk

menderita batu empedu. Insiden pada laki-laki dan wanita pada batu pigmen tidak

terlalu banyak. Avni Sali membuktikan bahwa diet tidak berpengaruh terhadap

pembentukan batu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi jenis batu yang

terbentuk. Hal ini didukung oleh peneliti dari Jepang yang menemukan bukti bahwa

orang dengan diet berat biasanya menderita batu jenis kolesterol, sedangkan yang

dietnya tetap biasanya menderita batu jenis pigmen. Faktor keluarga juga berperan

dimana apabila keluarga menderita batu empedu kemungkinan resiko untuk menderita

penyakit tersebut dua kali lipat dari orang normal3.

2.3. EMBRIOLOGI

Cikal bakal saluran empedu dan hati adalah sebuah penonjolan sebesar 3 mm

di daerah ventral usus depan. Bagian cranial tumbuh menjadi hati, bagian kaudal

menjadi pankreas, sedangkan bagian sisanya menjadi kandung empedu. Dari tonjolan

berongga yang bagian padatnya kelak menjadi sel hati, di antara sel hati tersebut

tumbuh saluran empedu yang bercabang – cabang seperti pohon.1

2.4. ANATOMI KANDUNG EMPEDU

Page 16: Cholelithiasis Karina

Kandung empedu merupakan kantong berbentuk bulat lonjong seperti

buah alpukat dengan panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu. Kandung

empedu terletak tepat dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu terdiri atas fundus,

korpus, infundibulum, dan kolum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol

dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior

abdomen setinggi ujung tulang rawan costa IX kanan.

Empedu dibentuk oleh sel-sel hati dan ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian

disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum inter lobaris.

Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri.

Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum

mencapai duodenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang

berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum.

Duktus hepatikus bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus.

Gambar 2. Anatomi sistem hepatobilier

Pembuluh arteri kandung empedu adalah a. cystica, cabang a. hepatica kanan.

V. cystica mengalirkan darah langsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang

sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu4.

Page 17: Cholelithiasis Karina

Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat

collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici

hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf

yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus coeliacus4.

2.5. FISIOLOGI KANDUNG EMPEDU

a. Pembentukan dan Komposisi Empedu

Hati memproduksi empedu dan mengekskresikannya ke kanalikuli empedu.

Pada dewasa normal, saat mengkonsumsi makanan menyebabkan produksi

empedu di hati sekitar 500 – 1000 mL empedu per harinya. Sekresi dari empedu

merupakan respon terhadap rangsangan neurogenik, humoral, dan kimia. Stimulasi

vagal meningkatkan sekresi empedu, yang mana rangasangan terhadap n.

splanknikus menyebabkan penurunan aliran empedu. HCL yang ikut berperan

dalam proses pencernaan protein, dan asam lemak, di duodenum menstimulasi

pelepasan sekretin dari duodenum yang kemudian meningkatkan produksi dan

aliran empedu. Aliran empedu dari hati melalui duktus hepatikus, yang kemudian

memasuki duktus hepatikus komunis, melalui duktus koledokus, yang berakhir di

duodenum. Dengan sfingter Oddi yang intak, aliran empedu akan langsung ke

kandung empedu.5

Empedu terdiri atas air, elektrolit, garam empedu, protein, lipid, dan pigmen

empedu. Konsentrasi natrium, kalium, kalsium, dan klorin di empedu sama dengan

di plasma atau cairan ekstraselular. pH empedu hepatic biasanya netral atau sedikit

lebih basa, tetapi dengan diet yang bevariasi menyebabkan peningkatan protein di

empedu sehingga pH menjadi lebih asam. Garam empedu primer, cholate, dan

chenodeoxycholate,disintesis dari kolesterol pada hati, kemudian dikonjugasikan

dengan taurin dan glisin, yang pada empedu bertindak sebagai anion (asam

empedu) yang diseimbangkan oleh natrium. Garam empedu diekskresikan ke

empedu oleh hepatosit dan turut dalam proses pencernaan dan absorbsi lemak di

Page 18: Cholelithiasis Karina

usus. Di usus, sekitar 80 % dari asam empedu yang terkonjugasi diabsorbsi di ileum

terminal, sisanya kemudian didehidrooksilasi (dekonjugasi) oleh bakteri usus,

membentuk asam empedu sekunder deoxycholate dan lithocholate yang diabsorbsi

di kolon, kemudian dibawa kembali ke hati, dikonjugasikan, dan disekresikan ke

empedu. Sekitar 95 % dari asam empedu direabsorbsi dan kembali ke hepar melalui

sistem vena portal, sehingga disebut sebagai sirkulasi enterohepatik. Lima persen

diekskresikan ke feses.5

Sintesis kolesterol dan fosfolipid di hepar merupakan prinsip sehingga lipid

dapat ditemukan pada empedu. Warna dari empedu berhubungan dengan pigmen

bilirubin diglukuronida, yang merupakan produk metabolik dari hemoglobin, dengan

konsentrasi pada empedu 100 kali lebih tinggi dibanding pada plasma. Di usus,

bakteri kemudian mengkoversinya ke dalam urobilinogen.5

b. Fungsi Kandung Empedu

Kandung empedu, duktus bilier, dan sfingter Oddi bersama – sama bekerja

untuk menyimpan dan mengatur aliran empedu. Fungsi utama dari kandung

empedu adalah untuk mengatur kadar dan menyimpan empedu hepar dan dan

membawa empedu ke duodenum sebagai respon terhadap makanan.5

- Absorbsi dan Sekresi

Pada kondisi puasa, sekitar 80 % dari empedu disekresikan oleh hati yang

disimpan di kandung empedu. Proses penyimpanan tersebut dapat terjadi

karena adanya kapasitas absortif dari kandung empedu, yang mana mukosa

kandung empedu memiliki kekuatan absorbsi per unit area dari tiap struktur.

Kandung empedu dengan cepat mengabsorbsi natrium, klorida, dan air yang

menyebabkan perubahan komposisi empedu. Absorbsi yang cepat ini

merupakan salah satu mekanisme dalam mencegah peningkatan tekanan pada

sistem bilier pada kondisi di bawah normal. Relaksasi yang bertahap

pengosongan empedu selama keadaan puasa juga berperan penting dalam

memelihara tekanan intraluminal agar relative rendah pada saluran bilier.5

Page 19: Cholelithiasis Karina

Sel – sel epitel dari kandung empedu mensekresikan 2 produk yang

penting ke lumen kandung empedu yaitu glikoprotein dan hydrogen. Kelenjar –

kelenjar pada mukosa infundibulum dan leher dari kandung empedu

mensekresikan mucus glikoprotein yang diyakini melindungi mukosa dari efek

litik empedu dan memfasilitasi aliran empedu melewati duktus sistikus. Mucus ini

memberikan warna putih pada empedu yang dapat ditemukan pada kondisi

hidrop kandung empedu akibat dari obstruksi duktus sistikus. Transport ion

hydrogen olehh epitel kandung empedu menyebabkan penurunan pH dari

empedu. Kondisi asam menyebabkan pemadatan kalsium sehingga kondisi pH

yang turun mencegah terbentuknya presipitasi garam kalsium.5

- Aktivitas Motorik

Pengisian kandung empedu difasilitasi oleh kontraksi tonik dari sfingter

Oddi, yang menciptakan gradient tekanan antara duktus bilier dan kandung

empedu. Selama fase puasa kandung empedu tidak terisi secara pasif.

Sehubungan dengan fase II dari proses pencernaan berupa pergerakan dari

kompleks motorikk myenterik pada usus, kandung empedu secara berulang

mengeluarkan sejumlah empedu ke duodenum. Proses ini dimediasi oleh

hormone motilin. Sebagai respon terhadap makanan, pengosongan kandung

empedu merupakan koordinasi respon motorik dari kontraksi kandung empedu

dan relaksasi sfingter Oddi. Salah satu stimulus yang paling berperan dalam

pengosongan kandung empedu adalah hormone kolesistokinin (CCK) yang

dilepaskan oleh mukosa duodenum sebagai respon terhadap makanan. Ketika

terdapat rangsang makanan, kandung empedu mengeluarkan 50 – 70 % isinya

dalam waktu 30 – 40 menit. Dalam 60 – 90 menit kandung empedu kemudian

terisi kembali secara bertahap. Hal ini berhubungan dengan berkurangnya kadar

CCK. Hormone dan jalur neural lain juga berperan dalam koordinasi kandung

empedu dan sfingter Oddii. Defek pada aktivitas motorik kandung empedu

berperan dalam nukleasi kolesterol dan pembentukan batu kandung empedu.5

- Regulasi Neurohormonal

Page 20: Cholelithiasis Karina

Saraf vagus menstimulasi kontraksi dari kandung empedu, dan saraf

simpatis splanikus menghambat aktivitas tersebut. Obat – obat

parasimpatomimetik menyebabkan kontraksi kanduung empedu, sedangkan

atropine menyebabkan relaksasi. Secara neural, lengkung refleks pada sfingter

Oddi dengan kandung empedu, lambung, dan duodenum mengkoordinasikan

aliran empedu ke duodenum. Distensi antrum pada lambung menyebabkan

kontraksi kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi. 5

Reseptor – reseptor hormonal terletak pada otot polos, pembuluh darah,

saraf, dan epitel kandung empedu. CCK merupakan hormone peptide yang

berasal dari sel epitel saluran cerna bagian atas dan ditemukan dalam

konsentrasi yang sangat tinggi pada duodenum. CCK dilepaskan ke pembuluh

darah oleh asam, lemak, asam amino pada duodenum. Waktu paruh CCK dalam

plasma 2 – 3 menit dan dimetabolisme oleh hati dan ginjal. CCK secara

langsung bekerja pada reseptornya di otot polos kandung empedu dan

menstimulasi kontraksi kandung empedu. CCK juga menyebabkan relaksasi dari

bagian terminal duktus bilier, sfingter Oddi, dan duodenum, stimulasi CCK pada

kandung empedu dan saluran bilier juga dimediasi oleh saraf vagus kolinergik.

Pada pasien yang telah melakukan vagotomi, respon terhadap CCK berkurang

dan ukuran serta volume kandung empedu meningkat.5

VIP menghambat kontraksi dan menyebabkan relaksasi kandung

empedu. Somatostatin dan analognya merupakan inhibitor yang poten terhadap

kontraksi kaandung empedu. Pasien yang mendapat terapi analog somatostatin

dan dengan somatostatinoma memiliki insidensi yang tinggi terhadap batu

kandung empedu, sehubungan dengan inhibisi kontraksi kandung empedu.

Hormone lain seperti substansi P dan enkefalin berpengaruh terhadap kontraksi

kandung empedu namun mekanismenya belum jelas.5

c. Sfingter Oddi

Page 21: Cholelithiasis Karina

Sfingter Oddi mengatur aliran empedu (dan produk pankreas) ke duodenum,

mencegah regurgitasi isi duodenum ke saluran bilier, dan empedu ke kandung

empedu. Sfingter Oddi memiliki struktur yang kompleks yang berfungsi independen

dari otot duodenum dan meciptakan tekanan yang tinggi antara duktus bilier dan

duodenum. Sfingter Oddi memiliki panjang 4 – 6 mm dan memiliki tekanan basal

sekitar 13 mmHg di atas tekanan duodenum. Pada manometri, sfingter

menunjukkan kontraksi fasik dengan frekuensi 4 kali per menit dan amplitudo 12 –

140 mmHg. Sfingter secara primer mengontrol pengaturan aliran empedu.

Relakksasi terjadi bila terdapat peningkatan CCK, yang menyebabkan berkurangnya

amplitude kontraksi fasik dan mengurangi tekanan basal, sehingga terjadi

peningkatan aliran empedu ke duodenum (Gambar 4). Selama kondisi puasa,

aktivitas sfingter Oddi dikoordinasikan dengan pengosongan kandung empedu

parsial periodic dan peningkatan aliran empedu yang terjadi selama fase III

kompleks mioelektrik.5

Gambar 3. Efek CCK pada kandung empedu dan sfingter Oddi. A. Kondisi puasa, kontraksi sfingter Oddi dan pengisian kandung empedu. B. Respon terhadap makanan, sfingter Oddi

relaksasi dan pengosongan kandung empedu.5

Page 22: Cholelithiasis Karina

2.4. FAKTOR RISIKO

Kolelitiasis paling sering terjadi pada wanita, terutama pada wanita dengan

multiparitas, konsumsi pil KB, obesitas, berat badan kurang, dan peningkatan

trigliserida serum. Diet memegang peran yang penting terhadap supersaturasi

kolesterol. Batu kolesterol tidak terjadi pada vegetarian. Batu kolesterol paling sering

terjadi pada populasi yang mengikuti diet Barat yang mengandung lemak hewani yang

tinggi. Insidensi kolelitiasis juga meningkat pada pasien DM yang kemungkinan

disebabkaan oleh perubahan pada fungsi motorik ataupun absorbsi pada kandung

empedu. Kolelitiasis juga dapat terjadi pada keluarga tertentu, namun faktor gentik yang

mendasarinya belum dapat dijelaskan. Beberapa data menunjukkan bahwa faktor

genetik sekitar 30 % berpengaruh terhadap kolelitiasis, sedangkan faktor lingkungan

memiliki persentase 70 %, yang mana diet merupakan faktor lingkungan yang utama.6

Kondisi puasa yang lama, reseksi ileum, vagotoomi, kondisi hemolitik, dan sirosis

merupakan faktor risiko tambahan, dan mayoritas menyebabkan pembentukan battu

oigmen hitam. Stasis duktus bilier, kista CBD, pancreatitis kronik, kolangitis sklerosis,

dan divertikkel perivaterian duodenal merupakan faktor risiko primer terhadap

pembentukan batu pigmen coklat.6

Tabel 1. Faktor Risiko Kolelitiasis

Faktor Risiko Kolelitiasis

- Obesitas *

- Kehamilan

- Multiparitas

- Wanita

- Obat – obatan : ceftriaxone, estrogen postmenopause

- Diet

- Penyakit ileum, reseksi atau by pass

- Peningkatan usia

*Obesitas didefinisikan sebagai IMT > 30 kg/m2

Page 23: Cholelithiasis Karina

2.5. PATOFISIOLOGI

Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan empedu

yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3) berkembang

karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang

terpenting dalam pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi

empedu dengan kolesterol terjadi bila perbandingan asam empedu dan fosfolipid

(terutama lesitin) dengan kolesterol turun di bawah harga tertentu. Secara normal

kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam

bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi

oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang

berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan

keadaan yang litogenik. 7

Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti

pengendapan kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar

dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat

saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau

partikel debris yang lain diperlukan untuk dipakai sebagai benih pengkristalan.7

2.6. MANIFESTASI KLINIS

Batu empedu mungkin tidak menimbulkan gejala selama berpuluh tahun, 70%

hingga 80% pasien tetap asimtomatik seumur hidupnya.8 Penderita batu empedu sering

mempunyai gejala-gejala kolestitis akut atau kronik. Bentuk akut ditandai dengan nyeri

hebat mendadak pada abdomen bagian atas, terutama ditengah epigastrium. Lalu nyeri

menjalar ke punggung dan bahu kanan (Murphy sign). Pasien dapat berkeringat banyak

dan berguling ke kanan-kiri saat tidur. Nausea dan muntah sering terjadi. Nyeri dapat

berlangsung selama berjam-jam atau dapat kembali terulang. 1

Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan fase akut, tetapi beratnya nyeri dan

tanda-tanda fisik kurang nyata. Sering kali terdapat riwayat dispepsia, intoleransi lemak,

nyeri ulu hati atau flatulen yang berlangsung lama. Setelah terbentuk, batu empedu

dapat berdiam dengan tenang dalam kandung empedu dan tidak menimbulkan

masalah, atau dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang paling sering adalah

Page 24: Cholelithiasis Karina

infeksi kandung empedu (kolesistitis) dan obstruksi pada duktus sistikus atau duktus

koledokus. Obstruksi ini dapat bersifat sementara, intermitten dan permanent. Kadang-

kadang batu dapat menembus dinding kandung empedu dan menyebabkan

peradangan hebat, sering menimbulkan peritonitis, atau menyebakan ruptur dinding

kandung empedu. 1

Page 25: Cholelithiasis Karina

2.7. DIAGNOSIS

2.7.1. Anamnesis

Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan

yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap

makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah

epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik

bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang

beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30%

kasus timbul tiba-tiba. 1

Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu,

disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri

berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri

menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam. 1

2. 7.2. Pemeriksaan Fisik

1. Batu kandung empedu

Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti

kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema

kandung empedu, atau pankretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan

punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif

apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena

kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien

berhenti menarik nafas. 1

2. Batu saluran empedu

Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang

teraba hati dan sklera ikterik. Perlu diketahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang

dari 3 mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah

berat, akan timbul ikterus klinis. 1

Page 26: Cholelithiasis Karina

2. 7.3. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan

pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi

leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin

serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi

mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum

dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali

terjadi serangan akut. 1

Penyaringan bagi penyakit saluran empedu melibatkan penggunaan banyak tes

biokimia yang menunjukkan disfungsi sel hati yaitu yang dinamai tes fungsi hati.

Bilirubin serum yang difraksionasi sebagai komponen tak langsung dan langsung dari

reaksi Van den bergh, dengan sendirinya sangat tak spesifik. Walaupun sering

peningkatan bilirubin serum menunjukkan kelainan hepatobiliaris, bilirubin serum bisa

meningkat tanpa penyakit hepatobiliaris pada banyak jenis kelainan yang mencakup

episode bermakna hemolisis intravaskular dan sepsis sistemik. Tetapi lebih lazim

peningkatan bilirubin serum timbul sekunder terhadap kolestatis intrahepatik, yang

menunjukkan disfungsi parenkim hati atau kolestatis ekstrahepatik sekunder terhadap

obstruksi saluran empedu akibat batu empedu, keganasan, atau pankreas jinak. 9

Bila obstruksi saluran empedu lengkap, maka bilirubin serum memuncak 25

sampai 30 mg per 100 ml, yang pada waktu itu eksresi bilirubin sama dengan produksi

harian. Nilai >30 mg per 100 ml berarti terjadi bersamaan dengan hemolisis atau

disfungsi ginjal atau sel hati. Keganasan ekstrahepatik paling sering menyebabkan

obstruksi lengkap (bilirubin serum 20 mg per 100 ml), sedangkan batu empedu

biasanya menyebabkan obstruksi sebagian, dengan bilirubin serum jarang melebihi 10

sampai 15 mg per 100 ml. 9

Alanin aminotransferase (dulu dinamai SGOT, serum glutamat-oksalat

transaminase) danAspartat aminotransferase (dulu SGPT, serum glutamat-piruvat

transaminase) merupakan enzim yang disintesisi dalam konstelasi tinggi di dalam

hepatosit. Peningkatan dalam aktivitas serum sering menunjukkan kelainan sel hati,

tetapi peningkatan enzim ini ( 1-3 kali normal atau kadang-kadang cukup tinggi tetapi

Page 27: Cholelithiasis Karina

sepintas) bisa timbul bersamaan dengan penyakit saluran empedu, terutama obstruksi

saluran empedu. 9

Fosfatase alkali merupakan enzim yang disintesisi dalam sel epitel saluran

empedu. Pada obstruksi saluran empedu, aktivitas serum meningkat karena sel duktus

meningkatkan sintesis enzim ini. Kadar yang sangat tinggi, sangat menggambarkan

obstruksi saluran empedu. Tetapi fosfatasi alkali juga ditemukan di dalam tulang dan

dapat meningkat pada kerusakan tulang. Juga meningkat selama kehamilan karena

sintesis plasenta. 9

2. Pemeriksaan Radiologis

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena

hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung

empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan

foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau

hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran

kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika. 1

3. Pemeriksaan Ultrosonografi (USG)

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk

mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun

ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal

karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu

yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang

oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu

kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa. 10

Ultrasonografi sangat bermanfaat pada pasien ikterus. Sebagai teknik penyaring,

tidak hanya dilatasi duktus biliaris ekstra dan intra hepatik yang bisa diketahui secara

meyakinkan, tetapi kelainan lain dalam parenkim hati atau pankreas (seperti massa

atau kista) juga bisa terbukti. Pada tahun belakangan ini, ultrasonografi jelas telah

ditetapkan sebagai tes penyaring awal untuk memulai evaluasi diagnostik bagi ikterus.

Bila telah diketahui duktus intrahepatik berdilatasi, maka bisa ditegakkan diagnosis

kolestatis ekstrahepatik. Jika tidak didapatkan dilatasi duktus, maka ini menggambarkan

Page 28: Cholelithiasis Karina

kolestatis intrahepatik. Ketepatan ultrasonografi dalam membedakan antara kolestatis

intra dan ekstrahepatik tergantung pada derajat dan lama obstruksi saluran empedu,

tetapi jelas melebihi 90% .Distensi usus oleh gas mengganggu pemeriksaan ini. 9

4. Kolesistografi

Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif

murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat

dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus

paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis

karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati.

Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung

empedu. 1

5. HIDA Scan (Biliary Radionuclide Scanning)

Merupakan pemeriksaan non invasive terhadap hati, kandung empedu, duktus

bilier, dan duodenum dengan informasi anatomic dan fisiologis. Technetium-labeled

derivatives of dimethyl iminodiacetic acid (HIDA) diinjeksikan secara intravena, yang

kemudian akan dibersihkan oleh sel Kupffer pada hati, dan diekskresikan ke kandung

empedu. Ambilan oleh hati akan dideteksi dalam waktu 10 menit, kandung empedu,

duktus bilier, dan duodenum akan tampak dalam waktu 60 menit pada kondisi puasa.

Page 29: Cholelithiasis Karina

Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk diagnosis kolesistitis akut, yang akan

menunjukkan gambaran non visual dari kandung empedu, yang dengan cepat mengisi

duktus koledokus dan duodenum. Hasil false positive pada pemeriksaan ini meningkat

pada pasien dengan stasis bilier dan pada pasien yang mendapatkan nutrisi parenteral.

Pengisian kandung empedu dan CBD dengan pengisian duodenum yang lambat atau

tidak ada mengindikasikan adanya obstruksi pada ampula. Kebocoran saluran bilier

akibat pembedahan pada kandung emppedu atau saluran bilier dapat dikonfirmasi

dengan pemeriksaan ini.5

6. CT – Scan

CT – Scan abdomen berada di bawah USG dalam mendiagnosis batu kandung

empedu. CT – Scan digunakan untuk menentukan kondisi dari saluran bilier

ekstrahepatik dan struktur sekitarnya. Pemeriksaan ini dilakukan paada pasien yang

dicurigai keganasan pada kandung empedu, sitem bilier ekstrahepatik, dan kaput

pankrea. Penggunaan CT – Scan sebagai prosedur untuk menyingkirkan diagnosis

banding pada ikterus obstruktif (Gambar 13). CT – Scan dapat memberikan informasi

menngenai stadium, termasuk gambaran vascular pada pasien dengan tumor

periampula.11

Page 30: Cholelithiasis Karina

Gambar 13. CT – Scan pada abdomen kuadran atas terhadap pasien dengan kanker

pada distal CBD. Kanker mengobstruksi CBD dan duktus pankreatikus. 1. Vena porta.

2. Duktus intrahepatik yang berdilatasi. 3. Dilatasi duktus sistikus dan leher kandung

empedu. 4. Dilatasi duktus hepatikus komunis. 5. Bifurkasi aarteri hepatic komunis ke

dalam arteri gastroduodenal dan. 6. Dilatasi duktus pankreatikus. 7. Vena spllenikus.7

7. Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)

Duktus bilier intrahepatik dapat dijangkau secara perkutaneus dengan

menggunakan jarum kecil dengan panduan fluoroskopik. Bila posisi dari duktus bilier

telah dipastikan, kateter dapat dimasukkan (Gambar 14). Melalui kateter, kolangiogram

dapat dilakukan dan terapi dapat dilakukan, seperti drainase dan pemasangan sten.

PTC dapat berperan dalam penatalaksanaan bbatu kandung empedu tanpa komplikasi,

tetapi paling bermanfaat dalam memberi tatalaksana pada striktur dan tumor duktus

bilier. PTC dapat menyebabkan kolangitis akibat perdarahan, kebocoran bilier, dan

masalah lainnya akibat penggunaan kateter.5

Page 31: Cholelithiasis Karina

Gambar 4. Diagram skematik PTC dan drainase untuk obstruksi proksimal kolangiokarsinoma.

A. Dilatasi duktus bilier intrahepatik dimasuki oleh jarum secara perkutan. B. Kawat kecil

dimasukkan melalui jarum ke duktus. C. Kateter yang masukkan bersama kawat, kawat lalu

dilepaskan. Kolangiogram dilakukan melalui kateter. D. kateter drainaase eksternal dipasang. E.

kawat panjang dipasang melalui kateter dan melewati tumor ke duodenum. F. sten internal

dipasang.5

8. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Sejak pertengahan tahun 1990, MRI dapat memberikan gambaran jelas hepar,

kandung empedu, dan pancreas. Penggunaan MRI dengan teknik dan kontras yang

lebih baru, gambaran anatomik dapat lebih jelas. MRI memiliki sensitivitas dan

spesifitas 95 % dan 89 % dalam mendeteksi koledokolelitiasis. MRCP (magnetic

resonance cholangiopancreatography) dapat menjadi pemeriksaan non invasive dalam

mendiagnosis penyakit pada salurana bilier dan pankreas (Gambar 15).5

Page 32: Cholelithiasis Karina

Gambar 5. MRCP., menunjukkan penebalan pada duktus bilier ekstrahepatik (garis) dan duktus

pankreatikus (garis berkepala).5

9. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography)

ERCP mapu memberikan informasi mengenai kondisi saluran bilier dan duktus

pankreatikus serta melihat ampuula dari papilla Vateri. Tidak hanya sebagai diagnostik

(Gambar 16), ERCP juga mampu menjadi salah satu teknik terapetik. Pemeriksaan

ERCP membutuhkan keterampilan dan gambar yang memuaskan, serta tidak begitu

dalam seperti pada pemeriksaan PTC. Jalur endoskopi cenderung aman karena tidak

kontak dengan peritoneum. 12

Page 33: Cholelithiasis Karina

Gambar 6. A. ERCP, endoskop masuk ke duodenum dan kateter pada duktus koledokus.5 B.

endoscopic retrograde cholangiogram, menunjukkan batu pada duktus koledokus. Pasien ini

telah menjalani gastrektomi partial Polya sehingga endoskop mencapai ampula melalui fleksura

duodenojejunal.12

Endoscopic ultrasound membutuhkan endoskop yang khusus. Hasilnya sangat

tergantung pada operator, tetapi menawarkan gambaran non invasive dari duktus bilier

dan struktur sekitarnya. Ia memiliki bagian untuk biopsy, sehingga dapat digunakan

pada kasus dengan tumor. Ia juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi batu pada

duktus bilier, namun kurang sensitive bila dibandingkan dengan ERCP. 11

2.8. TATALAKSANA

Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang

hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi

makanan berlemak. 1

Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun

telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan

kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan

kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan

makanan. 1

Page 34: Cholelithiasis Karina

Pilihan penatalaksanaan antara lain : 7

Terapi Non Bedah

Terapi non bedah merupakan pilihan terapi untuk batu empedu berupa terapi

disolusi oral dengan asam empedu, asam ursodeoxycholic dan chenodeoxycholic;

contact dissolution dengan bahan pelarut organic (metil tert – butyl eter), dan

extracorporeal shock wave biliary lithotripsy. Terapi ini jarang digunakan saat ini. Terapi

disolusi oral diindikasikan batu kolesterol simtomatik dan kandung empedu yang

berfungsi dengan normal. Terapi ini hanya efektif pada batu kolesterol, oleh karena itu

tidak diindikasikan pada batu dengan gambaran radioopak atau bila terdapat kalsifikasi

pada gambaran CT – Scan. Disolusi batu tersebut berhasil pada 40 % pasien, namun

angka kekambuhannya 50 % dalam 5 tahun bila terapi dihentikan. Contact dissolution

dengan pelarut organic membutuhkan kanulasi ke kandung empedu dengan infuse

pelarut ke kandung empedu. Terapi ini juga hanya efektiif pada batu kolesterol dengan

angka kekambuhan yang hampir sama dengan disolusi oral.13

Extracorporeal shock wave lithotripsy merupakan terapi yang cukup menjanjikan

untuk pilihan terapi non bedah sebagai tatalaksana batu simtomatik. Terapi ini

dilakukan pada pasien dengan batu tunggal dengan diameter 0,5 – 2 cm, dengan angka

kekambuhan yang lebih rendah yaitu sekitar 20 %. Sekali lagi, hanya sebagian kecil

pasien yang mampu memenuhi criteria tindakan ini. Terapi ini tidak pernah dianjurkan

oleh FDA Amerika sebagai terapi disolusi batu empedu.13

Terapi bedah

1. Kolesistektomi terbuka

Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga

kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah

cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan

untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi

adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. 7

2. Kolesistektomi laparaskopi

Page 35: Cholelithiasis Karina

Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang

ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di

Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi

normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung

dan paru.2 Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan

kecil di dinding perut. 7

Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya

kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai

melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu

duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur

konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang

dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan

kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini,

berhubungan dengan insiden komplikasi 6r seperti cedera duktus biliaris yang mungkin

dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi. 7

Gambar 6. Peletakkan trokar pada laparoskopi kolesistektomi. Laparoskopi melalui port 10 mm di atas umbilicus. Port tambahan lainnya pada epigastrium, subkostae sejajar garis midklavikula

dan aksilaris anterior kanan.

Page 36: Cholelithiasis Karina

Gambar 7. Metode yang salah (A) dan benar (B) dalam penarikan kandung empedu sehingga duktus sistikus dan duktus koledokus terlihat segaris

Gambar 8. Diseksi triangle of Calot

Page 37: Cholelithiasis Karina

Gambar 9. Laparoskopi Kolesistektomi

BAB 4

Page 38: Cholelithiasis Karina

ANALISA KASUS

Dalam kasus ini, Ny. T, 49 tahun, dengan diagnosis kolesistitis kronik dan

kolelitiasis gallstone pancreatitis ( perbaikan ). Diagnosis ditegakkan berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Pada anamnesis ditemukan pasien datang dengan keluhan utama nyeri perut

kanan atas sejak 1 minggu SMRS. Keluhan nyeri telah timbul sejak 1 bulan SMRS.

Pertama kali pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas kita dapat menduga

beberapa kondisi yaitu adanya gangguan di hepar, paru – paru atau kandung empedu.

Nyeri yang ditemukan pada pasien merupakan nyeri kolik yang timbul pada pasien

dengan kolelitiasis. Karena nyeri tidak memberat saat menarik napas ataupun batuk

yang biasa ditemukan pada pasien dengan gangguan pada paru. Sehingga dari

anamnesis kita dapat menyingkirkan adanya gangguan pada paru, namun belum

daapat menyingkirkan adanya gangguan pada hepar. Pasien juga mengeluh adanya

BAK yang berwarna seperti teh. Keluhan ini khas ditemukan pada gangguan sistem

bilier. Namun gangguan yang sifatnya intra atau ekstrahepatik belum dapat diketahui.

Untuk gangguan prehepatik dapat disingkirkan karena pada gangguan prehepatik tidak

dapat menyebabkan keluhan ini yang mana unconjugated bilirubin tidak memberikan

warna pada urin. Setelah 5 hari perawatan di RS Fatmawati timbul keluhan pada pasien

berupa ikterik dan BAB dempul. BAB dempul menandakan adanya ikterus obstruktif.

Obstruktif dapat disebabkan berbagai hal salah satu di antaranya adalah adanya batu

pada saluran koledokus sehingga menghambat aliran bilirubin yang memberi warna

pada feses sehingga bila terhambat menyebabkan warna dempul pada feses. Padaa

pasien tidak ada gejala prodromal seperti demam yang biasanya dialami oleh penderita

hepatitis, tidak ada gejala muntah darah, BAB warna hitam, sehingga adanya gangguan

pada hepar dari anamnesis dapat disingkirkan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan status gizi baik dengan normoweight. Pada

pemeriksaan mata ditemukan sclera ikterik +/+, hal ini dapat disebabkan oleh

peningkatan bilirubin. Selain itu ditemukan nyeri tekan pada kuadran hipokondrium

Page 39: Cholelithiasis Karina

kanan dan epigastrium. Pada kolelitiasis didapatkan nyeri tekan dengan punktum

maksimum di daerah letak anatomis kandung empedu. Murphy sign ditemukan positif

pada pasien ini. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita

menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari

tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. Dari pemeriksaan fisik hepar dan

lien tidak teraba.

Pada pemeriksaan serial darah ditemukan adanya peningkatan enzim

transaminase, amylase,dan bilirubin. Peningkatan enzim transaminase dapat

disebabkan oleh adanya gangguan pada hepar dan saluran bilier. Peningkatan amylase

dapat disebabkan oleh adanya refluks cairan pankreas yang dapat disebabkan oleh

batu pada kandung empedu. Salah satu produksi cairan pankreas adalah amylase.

Peningkatan bilirubin pada pasien ini terutama bilirubin direk sangat meningkat drastis

dibanding bilirubin indirek, Hal ini menunjukkan gangguan atau stagnasi terjadi pada

post hepatic didukung dengan BAB yang dempul.

Pada pemeriksaan rontgen thorax didapatkan gambaran normal dari jantung dan

paru. Kemungkinan adanya gangguan pada paru pada pasien ini dapat disingkirkan.

Pada pemeriksaan USG abdomen didapatkan kesan kolelitiasis multipel. Stagnasi yang

kronis pada CBD dapat menimbulkan gangguan pada hepar pada akhirnya.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada

pasien ini dapat ditegakkan diagnosis kolik abdomen ec kolelitiasis dan ikterus

obstruktif ec susp kolelitiasis. Pada pasien ini dilakukan penatalaksanaan berupa

laparoskopi kolesistektomi.

Prognosis pada pasien ini ad vitam yaitu dubia ad bonam. Ad functionam dubia

ad bonam. Dan ad sanationam dubia ad bonam.

Page 40: Cholelithiasis Karina

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit

Buku Kedokteran EGC. 2005.hal: 570-579

2. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of

Surgery . Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000.459-64.

3. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi 3.

Jakarta:Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2000.380-4.4. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar Fisiologi

Kedokteran. Sistem empedu dalam : Buku Ajar Bedah. Esentials of Surgery,

edisis ke-2. Jakarta: EGC, 1996. 121-123

5. Brunicardi, F. Charles, Andersen, Dana K., et al. Gallbladder and the

Extrahepatic Biliary System. In : Schwartz’s Principles of Surgery. 8 th Edition.

The McGraw – Hill Companies. 2007.

6. Nakeeb, Attila, Ahrendt, Steven A., et al. Calculous Biliary Disease. In :

Greenfield's Surgery: Scientific Principles and Practice. 4th Edition. Lippincott

Williams & Wilkins. 2006.

7. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of

Surgery). Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. 459-464.

8. Kumar, Ramzi S. Cotran & Stanley L. Robbins. Buku Ajar Patologi Edisi

7. Penerbit EGC. Jakarta. 2007

9. Sabiston David C. Buku Ajar Bedah, Bagian 2. Penerbit EGC. Jakarta. 1994

10.Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Edisi IV 2006, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit

Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.11.Beckingham, IJ. ABC Of Diseases Of Liver, Pancreas, And Biliary System

Gallstone Disease. Dalam: British Medical Journal Vol 13, Januari 2001:

322(7278): 91–94. Avaliable at :

http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=1119388

12.Britton, Julian, Bickerstaff, Kenneth I., et al. Benign Diseases of The Biliary Tract.

Oxford Textbook of Surgery. Oxford University Press. 2002.

Page 41: Cholelithiasis Karina

13.Nakeeb, Attila, Ahrendt, Steven A., et al. Calculous Biliary Disease. In :

Greenfield's Surgery: Scientific Principles and Practice. 4th Edition. Lippincott

Williams & Wilkins. 2006.

14.Keshav.S. The Gastrointestinal System at a Glance. London: Blackwell Science;

2004.