Top Banner
Acara III CHITIN dan CHITOSAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh: Nama : Desy Puspita Sari NIM : 13.70.0181 Kelompok C1 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN 1
29

Chitin Chitosan Desy Puspita Sari 13.70.0181 C1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

Dec 04, 2015

Download

Documents


Kitin adalah produk yang berasal dari sisa pemrosesan bahan baku makanan berasal dari laut seperti kepiting dan udang sedangkan kitosan merupakan polimer karbohidrat yang dimodifikasi alami danberasal dari kitin.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Chitin Chitosan Desy Puspita Sari 13.70.0181 C1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

Acara III

CHITIN dan CHITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:

Nama : Desy Puspita Sari

NIM : 13.70.0181

Kelompok C1

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

1

Page 2: Chitin Chitosan Desy Puspita Sari 13.70.0181 C1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

1. MATERI DAN METODE

1.1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, peralatan

gelas. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah

udang, HCL 0,75 N; 1 N dan 1,25 N; NaOH 3,5 N, NaOH 40%, 50% dan 60%.

1.2. Metode

1.2.1. Demineralisasi

1

HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok C1 dan C2 menggunakan HCl 0,75N, C3 dan C4 HCl 1N, dan C5 HCl 1,25N

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam & secara kontinu dilakukan pengadukan.

Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.

Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.

Page 3: Chitin Chitosan Desy Puspita Sari 13.70.0181 C1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

2

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Page 4: Chitin Chitosan Desy Puspita Sari 13.70.0181 C1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

3

1.2.2. Deproteinasi

Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan 6:1

Kemudian dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam.

Kemudian disaring dan didinginkan

Lalu dicuci sampai pH netral.

Page 5: Chitin Chitosan Desy Puspita Sari 13.70.0181 C1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

1.2.3. Deasetilasi

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam dan dihasilkan chitin

Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2, NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan NaOH 60% untuk kelompok A5

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan

Page 6: Chitin Chitosan Desy Puspita Sari 13.70.0181 C1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Kitin dan Kitosan

Kelompok PerlakuanRendemen Kitin I (%)

Rendemen Kitin II

(%)

Rendemen Kitosan (%)

C1HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%

23,45 30,00 27,43

C2HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%

37,82 44,00 27,38

C3HCl 1N + NaOH 50% +

NaOH 3,5%41,67 54,55 32,16

C4HCl 1N + NaOH 50% +

NaOH 3,5%40,00 58,30 24,30

C5HCl 1,25N + NaOH 60% + NaOH 3,5%

21,19 40,32 11,25

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai rendemen kitin tiap kelompok

berbeda – beda. Pada kelompok C1-C5 nilai rendemen kitosan I lebih kecil dibanding

dengan nilai rendemen kitin II. Pada rendemen kitin I persentase terkecil adalah

kelompok C5 sebesar 21,19%, dan yang terbesar yaitu kelompok C3 yaitu sebesar

41,67%. Pada rendemen kitin II persentase terkecil yaitu kelompok C1 sebesar 30% dan

yang terbesar yaitu kelompok C4 sebesar 58,3%. Untuk nilai persentase rendemen

kitosan yang didapatkan juga berbeda tiap kelompok karena nilai rendemen kitin yang

juga berbeda. Nilai persentase rendemen kitosan terkecil yaitu kelompok C5 sebesar

11,25% dan yang terbesar yaitu kelompok C2 sebesar 37,38%.

5

Page 7: Chitin Chitosan Desy Puspita Sari 13.70.0181 C1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

3. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini, kulit udang digunakan sebagai sumber kitin dan kitosan. Salah

satu bahan yang dapat digunakan dalam pembuatan kitin dan kitosan adalah limbah

udang (crustacea). Kulit udang yang merupakan sumber kitin mengandung protein 25-

40%, kalsium karbonat 45-50%, dan kitin 15-20%, namun besarnya kandungan

komponen-komponen tersebut juga dipengaruhi oleh jenis udang dan tempat hidup dari

udang tersebut. Kulit udang merupakan salah satu limbah dari pengolahan udang yang

dapat berfungsi sebagai sumber potensial pembuatan kitin dan kitosan. Menurut

Deshpande (1986) dalam jurnal Extraction and Characterization of Chitin and Chitosan

from F.solani CBNR BKRR, Synthesis of their Bionanocomposite and Study of their

Productive Applicationkitin merupakan suatu homopolimer dari N-asetil-D-glukosamin

yang dihubungkan oleh ikatan ß-1-4 dan sumber utamanya yaitu limbah krustasea.

Limbah udang mengandung protein dan mineral yang cukup tinggi, serta astaxantin

yang merupakan pro-vitamin A untuk pembentukan warna. Dalam industri pengolahan

crustaceae ada dua jenis limbah yang dihasilkan. Pertama adalah limbah cair yang

berupa suspensi air dan kotoran serta yang kedua limbah padat yang berupa kulit,

kepala, dan juga kaki (Yen, 2009). Rismana (2001) menambahkan limbah udang yang

terdiri atas kulit dan kepala merupakan limbah industri dari pabrik pembekuan udang,

limbah ini dapat mencapai 60 -70 % dari berat utuh. Kulit dan kepala udang

mengandung kitin yang cukup besar dibandingkan dengan cangkang atau kulit

crustaceae lainnya.

Kitin adalah produk yang berasal dari sisa pemrosesan bahan baku makanan berasal dari

laut seperti kepiting dan udang (Mejia-Saulies et al., 2006). Menurut Muzzarelli (1985),

kitin merupakan polisakarida linear tersusun dari ikatan (1-4)-2-asetamido-2-deoksi-b-

D-glukopiranosa. Persentase kitin dalam udang mencapai sebesar 60-70% dari berat

udang dan apabila kitin mengalami proses selanjutnya akan menghasilkan kitosan

sebesar 15-20%. Besar kandungan kitin dalam udang dipengaruhi juga oleh jenis udang

dan lingkungan tempat tinggalnya. Menurut Jang et al (2004) dalam jurnal Structural

Characteristics of Chitin and Chitosan Isolated from the Biomass of Cultivated Rotifer,

Brachionus rotundiformis bahwa kandungan kitin tergantung pada sumber karena dapat

6

Page 8: Chitin Chitosan Desy Puspita Sari 13.70.0181 C1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

7

dalam bentuk α, β- dan γ. Perbedaan tersebut tergantung pada susunan rantai di daerah

kristalin.

Menurut teori Tolamite et al (2000) dalam jurnal Production and characterization of

chitosan from shrimp waste bahwa kitosan merupakan polimer karbohidrat yang

dimodifikasi alami danberasal dari kitin yang telah ditemukan di berbagai sumber alam

seperti krustasea, jamur, serangga dan beberapa ganggang. Kitosan kering tidak

mempunyai titik lebur dan apabila disimpan dalam jangka waktu yang lama dengan

suhu sekitar 100oF, sifat kelarutan dan viskositas dari kitosan ini akan berubah. Apabila

kitosan disimpan lama dengan keadaan terbuka (mengalami kontak dengan udara), hal

tersebut akan mengakibatkan terjadinya dekomposisi, perubahan warna menjadi

kekuningan, dan menurunnya viskositas dari kitosan tersebut (Islam et al., 2011). Sifat

dari kitosan lainnya adalah kitosan hanya dapat larut dalam asam encer seperti misalnya

asam asetat, asam format, asam sitrat. Akan tetapi bila kitosan telah disubstitusikan, hal

ini akan membuat kitosan dapat larut dengan air. Kitosan dapat mudah larut dengan

asam asetat karena asam asetat memiliki gugus karboksil yang akan mempermudah

pelarutan kitosan yang disebabkan karena terjadinya interaksi hidrogen antara gugus

karboksil dan gugus amina dari kitosan (Dunn et al., 1997).

Produksi kitosan dari cangkang krustasea umumnya terdiri dari empat langkah dasar,

yaitu demineralisasi, deproteinisasi, penghilangan warna dan deasetilasi (Islam et al.,

2011). Hal ini juga didukung oleh pendapat Cira (2002) dalam jurnal Production of

Chitin and Chitosan from Shrimp Shell in BatchCulture of Lactobacillus plantarum

bahwa metode konvensional untuk ekstraksi kitin dari krustasea merupakan proses

kimia, yang menggunakan asam kuat dan basa untuk menghilangkan mineral dan

protein. Namun penggunaan asam kuat (HCl) mungkin berbahaya bagi sifat fisik-kimia

kitin dan kitosan. Maka dilakukan proses demineralisasi (DM) dan deproteinasi (DP)

yang diperlukan untuk pembentukan chitin dan chitosan.Pada praktikum ini, proses

ekstraksi kitin menggunakan bahan baku limbah kulit udang yang telah dipisahkan dari

kepalanya. Untuk mengekstraksi kitin, limbah kulit udang harus mengalami tahap

demineralisasi dan deproteinasi. Sedangkan untuk mendapatkan kitosan, kitin yang

telah didapat sebelumnya harus diproses lebih lanjut, yaitu proses desasetilasi.

Page 9: Chitin Chitosan Desy Puspita Sari 13.70.0181 C1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

2.1. Pembuatan Kitin

2.1.1. Demineralisasi

Demineralisasi dilakukan agar garam – garam anorganik ataupun kandungan –

kandungan mineral yang terdapat dalam udang, khususnya kalsium karbonat (Laila dan

Hendri, 2008). Reaksi antara kalsium karbonat dengan HCl akan menyebabkan

terbentuknya gas CO2. Hal ini ditandai dengan gelembung – gelembung udara yang

muncul saat penambahan HCl kedalam sampel. Kemunculan gas CO2 ini menunjukkan

bahwa terjadi proses pemisahan mineral pada limbah udang (Arif et al., 2013). Limbah

udang dicuci dengan air mengalir lalu dikeringkan, setelah itu dicuci kembali dengan air

panas sebanyak 2 kali dan dikeringkan lagi. Proses pencucian memiliki tujuan untuk

menghilangkan kotoran – kotoran yang menempel, sedangkan untuk pengeringan

dilakukan agar sisa dari pencucian dan air yang tadi terserap saat proses pencucian

dapat menguap serta lebih memudahkan dalam proses selanjutnya. Kemudian langkah

selanjutnya adalah penghancuran bahan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan

ayakan 40 – 60 mesh. Proses penghancuran dilakukan untuk membuat permukaan bahan

menjadi lebih luas, sehingga senyawa pelarut yang ditambahkan pada langkah

selanjutnya dapat kontak secara sempurna dengan bahan dan menghasilkan hasil yang

lebih baik. Kemudian ditambahkan dengan HCl dimana perbandingan serbuk kitin dan

HCl yaitu 1:10 dengan menggunakan HCl 0,75 N (kelompok C1 dan C2), HCl 1 N

(kelompok C3 dan C4), serta HCl 1,25 N (kelompok C5). Menurut Bastaman (1989),

mineral dapat dilarutkan dengan penggunaan asam encer, salah satunya adalah dengan

asam klorida. Selain itu Arif et al., (2013) juga menambahkan bahwa demineralisasi

memang secara umum dilakukan dengan menggunakan larutan HCl ataupun H2SO4

dalam kondisi yang tertentu.

Setelah dilakukan penambahan HCl, larutan lalu diaduk dan dipanaskan dengan

menggunakan hot plate pada suhu 90oC selama 1 jam. Proses pengadukan ini

dimaksudkan untuk membuat pemanasan menjadi merata dan mineral lebih mudah

dihilangkan. Lalu dilakukan pencucian hingga pH menjadi netral dan dikeringkan

dengan suhu sebesar 80oC selama 24 jam dalam oven. Pengeringan dalam oven

memiliki tujuan untuk memastikan bahwa produk akhir dalam bentuk yang benar –

benar kering.

Page 10: Chitin Chitosan Desy Puspita Sari 13.70.0181 C1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

Pada percobaan ini, hasil rendemen dari demineralisasi akan disebut rendemen kitin I.

Dengan penambahan HCl 0,75 N pada kelompok C1 dan C2 diperoleh rendemen kitin I

sebesar 23,45% dan 37,82%. Kemudian pada perlakuan HCl 1 N pada kelompok C3

dan C4 diperoleh rendemen kitin I sebesar 41,67% dan 40%. Sedangkan pada perlakuan

HCl 1,25 N pada kelompok C5 didapatkan rendemen kitin I sebesar 21,19%. Hal

tersebut tidak sesuai dengan teori dari Johnson dan Peterson (1974) yang mengatakan

bahwa apabila semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan maka rendemen kitin

yang dihasilkan juga akan semakin banyak pula. Hal tersebut dikarenakan adanya

senyawa-senyawa mineral pada serbuk udang akan semakin mudah untuk dilepaskan.

Penambahan asam atau basa dengan konsentrasi yang lebih tinggi dengan disertai

proses atau waktu yang lebih panjang akan mengakibatkan lepasnya ikatan protein dan

mineral dengan kitin serta bahan organik lainnya yang ada pada kulit udang.

2.1.2. Deproteinasi

Deproteinasi adalah tahap yang memiliki tujuan untuk menghilangkan protein yang

terdapat dalam limbah udang (Arif et al., 2013). Pada proses deproteinasi, mula-mula

kitin yang telah melewati proses demineralisasi dicampur dengan larutan NaOH 3,5%

dengan perbandingan kitin : NaOH sebesar 6 : 1. Penambahan NaOH ini dimaksudkan

untuk membuat kandungan protein yang berada pada kitin menjadi terpisah (Rogers,

1986). Selain itu menurut Suharto (1984), gugus asetil yang ada pada kitin dapat

dihidrolisis dengan penambahan NaOH ini, sehingga dapat mengalami deasetilasi pada

proses yang selanjutnya. Pada tahap deproteinasi ini semua kelompok menggunakan

konsentrasi NaOH yang sama. Lalu dilakukan proses pemanasan selama 1 jam hingga

suhu menjadi 70oC. Selama proses pemanasan juga dilakukan pengadukan. Pengadukan

dimaksudkan agar pelarutan NaOH lebih baik dan proses deproteinasi berjalan dengan

lancar. Kemudian setelah itu dilakukan penyaringan dan pendinginan. Proses

pendinginan diperlukan supaya kitin dalam larutan bisa mengendap pada bagian bawah

dan tidak terbuang pada saat pencucian (Rogers, 1986). Langkah yang terakhir adalah

pencucian hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam dan

dihasilkan kitin.

Page 11: Chitin Chitosan Desy Puspita Sari 13.70.0181 C1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

Proses deproteinasi bertujuan untuk memisahkan kandungan protein yang ada pada

kitin. Proses deproteinasi dilakukan setelah proses demineralisasi karena menurut

Alamsyah et al. (2007), isolasi kitin dengan tahap demineralisasi-deproteinasi akan

menghasilkan rendemen kitin yang lebih banyak apabila dibandingkan dengan tahap

isolasi kitin dengan tahap deproteinasi-demineralisasi. Hal ini dapat terjadi karena

mineral yang ada pada kitin akan membentuk pelindung yang keras pada kulit udang.

Selain itu, secara umum mineral memiliki struktur yang lebih keras jika dibandingkan

dengan protein, maka apabila mineral yang ada pada kitin sudah dihilangkan lebih

dahulu, hal ini akan menyebabkan proses deproteinasi yang dilakukan setelahnya dapat

berlangsung lebih optimal karena pelindung yang berasal dari kandungan mineral yang

ada sudah dihilangkan terlebih dahulu (Islam et al., 2011). Menurut Rinaudo (2006)

dalam jurnal Chitin and Chitosan Preparation from Marine Sources. Structure,

Properties and Applications bahwa proses deproteinasi ini dapat juga disebut sebagai

langkah dekolorisasi dimana bertujuan untuk menghapus pigmen dalam udang sehingga

memperoleh chitin murni tidak berwarna.

Pada percobaan yang dilakukan, diperoleh rendemen kitin II secara berturut-turut dari

C1-C5 sebesar 30%, 44%, 54,55%, 58,3%, 40,32%. Berdasarkan hasil percobaan, pada

semua kelompok mengalami peningkatan rendemen kitin. Hal tersebut terjadi karena

proses deproteinasi yang sempurna. Faktor-faktor yang menyebabkan berhasil atau

tidaknya pembuatan kitin antara lain jenis bahan baku yang digunakan, serta proses

ekstraksi kitin yang dibagi menjadi dua metode yaitu proses demineralisasi dan proses

deproteinasi. Kitin dapat diekstrak baik dengan secara kimiawi maupun secara

enzimatis. Faktor lain yang mempengaruhi kualitas kitin dipengaruhi oleh tahapan dan

kondisi proses yang di dalamnya termasuk lamanya proses pengolahan, suhu

pengeringan yang digunakan, konsentrasi zat kimia yang ditambahkan, dan pH saat

proses pengekstrakan kitin (Laila & Hendri, 2008). Dengan semakin lama proses

pemanasan (pengeringan), akan menyebabkan denaturasi protein, sehingga protein yang

terlarut berkurang banyak. Namun, apabila pemanasan dilakukan dalam waktu yang

lebih singkat, hal ini mengakibatkan kandungan protein yang terlarut menjadi lebih

rendah karena protein yang ada di dalam kitin tersebut belum larut sepenuhnya

(Winarno, 1997).

Page 12: Chitin Chitosan Desy Puspita Sari 13.70.0181 C1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

11

2.1.3. Deasetilasi

Deasetilasi adalah proses terakhir yang dilakukan untuk mendapatkan kitosan.

Deasetilasi menurut Ramadhan et al., (2010) merupakan proses transformasi kitin

menjadi kitosan, dimana terjadi proses penghilangan gugus asetil yang ada pada kitin

menjadi gugus amina pada kitosan. Proses ini dilakukan dengan cara menghidrolisis

gugus asetoamida dengan menggunakan penambahan basa kuat, yaitu NaOH. Mula-

mula, kitin ditambah dengan NaOH dengan perbandingan kitin dan NaOH adalah 20 : 1.

Pada proses deasetilasi ini, digunakan NaOH 40% untuk kelompok C1 serta C2, NaOH

50% untuk kelompok C3 serta C4, dan NaOH 60% untuk kelompok C5. Setelah

ditambah dengan NaOH, dilakukan pengadukan selama 1 jam dan setelahnya didiamkan

selama 30 menit. Setelah itu, dilakukan pemanasan dengan suhu sebesar 90oC hingga 1

jam lamanya. Selama pemanasan juga sambil diaduk, kemudian setelahnya larutan

didinginkan, disaring dan residunya dicuci hingga pH netral. Proses ini dilakukan

bersamaan dengan penyaringan yang bertujuan untuk memisahkan rendemen kitosan

yang terbentuk dengan komponen-komponen lainnya. Kemudian, dikeringkan selama

24 jam pada suhu 70oC dan dihasilkan kitosan dari percobaan ini (Ramadhan et al.,

2010) yang mengungkapkan bahwa setelah proses pengeringan tersebut, maka kitosan

yang dihasilkan akan berbentuk serbuk dengan warna putih kekuningan. Menurut

Hussain et al., (2013), derajat deasetilasi mempengaruhi karaketristik fisik, kimia, dan

biologi dari kitosan.

Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan, penambahan NaOH 40% pada kelompok

C1 dan C2 diperoleh rendemen kitosan sebesar 27,43% dan 37,38%. Kemudian pada

perlakuan NaOH 50% pada kelompok C3 dan C4 diperoleh rendemen kitosan sebesar

32,16% dan 24,3%. Sedangkan pada perlakuan NaOH 60% pada kelompok C5

didapatkan rendemen kitosan sebesar 11,25%. Seharusnya, menurut Hirano (1989)

struktur kristal kitin panjang memiliki ikatan yang kuat antara ion nitrogen dan gugus

karboksil, sehingga di proses deasetilasi ini digunakan larutan natrium hidroksida

(NaOH) dengan konsentrasi 40-50% dan suhu yang tinggi untuk mengubah struktur

kitin menjadi struktur kitosan. Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan pada

proses deasetilasi, hal ini akan menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang

tinggi pula. Hal tersebut dikarenakan gugus fungsional amino yang mensubstitusi gugus

Page 13: Chitin Chitosan Desy Puspita Sari 13.70.0181 C1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

12

asetil pada kitin dalam larutan tersebut menjadi semakin aktif, sehingga proses

deasetilasi yang dilakukan akan lebih optimal.

Rata-rata rendemen kitosan yg dihasilkan dengan penggunaan NaOH sebesar 40%,

50%, dan 60% kurang sesuai dengan teori dari Hong et al. (1989) dan Naznin (2005)

yang mengatakan bahwa penggunaan NaOH dengan konsentrasi yang lebih tinggi akan

menghasilkan kitosan dengan rendemen yang lebih rendah. Hal tersebut dikarenakan

penambahan NaOH akan mengakibatkan proses depolimerisasi rantai molekul kitosan

sehingga berat molekul dari kitosan akan menurun. Kualitas dari produk kitosan yang

dihasilkan sangat ditentukan oleh derajat deasetilasinya dimana derajat deasetilasi pada

proses pembuatan kitosan ini dipengaruhi oleh jenis dan kualitas bahan dasar yang

digunakan dan kondisi proses yang dilakukan (konsentrasi larutan alkali, suhu, dan

waktu) (Suhardi, 1992).

Selain pengukuran rendemen yang sudah dilakukan pada praktikum kali ini, viskositas

sampel kitosan merupakan parameter penting yang menunjukkan kualitas sampel

kitosan. Dari hasil yang diperoleh melalui penelitian Toan (2009) dapat diketahui bahwa

secara khusus, viskositas sampel kitosan yang diekstrak dari golongan krustasea dengan

pengekstrakan 1 hari serta dengan krustasea beku dengan pengekstrakan 2 hari

menghasilkan viskositas yang tinggi. Biasanya parameter viskositas, kelarutan dan berat

molekul kitosan saling mempengaruhi. Selain itu, data yang terkumpul dari penelitian

Toan (2011) menunjukkan bahwa kualitas tinggi dan konsisten dari chitosan yang

dihasilkan dari cangkang udang windu dapat diperoleh dengan perlakuan pendahuluan

pada kerang menggunakan larutan asam salisilat encer. Hasilnya mirip dengan, dimana

bahan kulit udang diberi perlakuan dengan menggunakan encer benzoat. Udang

chitosan yang dihasilkan dengan cara ini dapat digunakan sebagai sumber bahan baku

untuk proses lanjutan dari kitosan.

Berdasarkan teori dari Cahyaningrum (2007), kitosan merupakan senyawa yang

memiliki banyak kegunaan pada bidang pangan, yang salah satunya dapat digunakan

sebagai bahan antimikroba. Kemampuan antimikroba yang dimiliki oleh kitosan ini

dikarenakan kitosan mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolisakarida yang

Page 14: Chitin Chitosan Desy Puspita Sari 13.70.0181 C1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

13

mampu menghambat pertumbuhan mikroba tertentu. Kemampuan antimikroba kitosan

dipengaruhi oleh konsentrasi pelarut kitosan dimana antimikroba yang menggunakan

kitosan ini efektif untuk menghambat pertumbuhan dari berbagai macam bakteri dan

kapang.

Edible film dikembangkan dari kitin dan turunannya terutama digunakan dalam industri

makanan untuk meningkatkan kualitas makanan dan umur simpan makanan. Lapisan-

lapisan luar / film dapat melindungi komoditi pangan dan dapat mengendalikan

perubahan fisiologis, morfologis dan fisikokimia dalam produk makanan. Film

polietilen dengan densitas tinggi, merupakan bahan kemasan yang umum digunakan

untuk melindungi makanan. Ada banyak mekanisme yang terlibat dalam

memperpanjang masa simpan makanan oleh film-film coating. Film yang diproduksi

dari kitin dan turunanya dapat digunakan sebagai bahan kemasan aktif yang lebih aman

bagi kesehatan serta lebih ramah lingkungan (Jiffy et al., 2013)

Kitosan dalam industri pangan digunakan sebagai bahan antimikroba. Kitosan dapat

menjadi bahan antimikroba karena kitosan mengandung gugus aminopolisakarida dan

juga enzim lisosim yang mampu menghambat pertumbuhan mikroba. Kitosan juga

memiliki muatan yang positif, muatan positif ini mampu menghambat pertumbuhan dari

kapang dan juga dari bakteri (Wardaniati dan Sugiyani, 2009).

Page 15: Chitin Chitosan Desy Puspita Sari 13.70.0181 C1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

3. KESIMPULAN

Kulit udang merupakan limbah dari pengolahan udang yang dapat berfungsi sebagai

sumber potensial pembuatan kitin dan kitosan.

Kitin merupakan biopolimer dari unit N-asetil-D-glukosamin yang berikatan dengan

ikatan glikosidik β (1,4).

Kitosan merupakan produk turunan dari kitin, dapat dihasilkan dengan cara

menghidrolisis kitin dengan menggunakan basa kuat.

Untuk mengekstraksi kitin, limbah kulit udang harus mengalami tahap

demineralisasi dan deproteinasi.

Untuk mendapatkan kitosan, kitin yang telah didapat sebelumnya harus melalui

proses desasetilasi.

Semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan maka rendemen kitin yang

dihasilkan juga akan semakin banyak pula.

Tujuan deasetilasi untuk memutuskan ikatan kovalen antara gugus asetil dengan

gugus nitrogen yang terletak pada gugus asetamida kitin menjadi gugus amina (–

NH2) yang merupakan bagian dari senyawa kitosan yang akan dihasilkan.

Semarang, 21 Oktober 2015 Asisten Dosen:

- Tjan, Ivana Chandra

Desy Puspita Sari

13.70.0181

14

Page 16: Chitin Chitosan Desy Puspita Sari 13.70.0181 C1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

4. DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Rizal., et al.. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri

Arif, Rahman Abdur, Ischaidar, Hasnah Natsir, dan Seniwati Dali. (2013). Isolasi Kitin Dari Limbah Udang Putih Secara Enzimatis. Universitas Hasanuddin, Makassar.

Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast. Biochem. 37 (2002) 1359.

Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-98.

Cira, L. A., Huerta, S., Hall, G. M., Shirai, K., Process Biochem. 37 (2002) 1359.

Deshpande MV. 1986. Enzymatic degradation of chitin and its biological applications. J. Sci. Ind. Res. 1986. 45, 273-281.

Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen. (1997). Applications and Properties of Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.

Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan.Jepang.

Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.

Hussain, Md Rabiul, Murshid Iman and Tarun K. Maji. (2013). Determination of Degree of Deacetylation of Chitosan and Their effect on the Release Behavior of Essential Oil from Chitosan and Chitosan-Gelatin Complex Microcapsules. International Journal of Advanced Engineering Aplications 6 (4): 4-12.

Islam Md. Monarul, Shah Md. Masum, M. Mahbubur Rahman, Md. Ashraful Islam Molla, A. A. Shaikh, S.K. Roy. (2011). Preparation of Chitosan from Shrimp Shell and Investigation of Its Properties. International Journal of Basic & Applied Sciences IJBAS-IJENS Vol. 11 No. 01: page 77-80. Bangladesh.

Jang, M.K., B.G. Kong, Y.I. Jeong, C.H. Lee and J.W. Nah, 2004. Physicochemical characterization of α-chitin, β-chitin and γ-chitin separated from natural resources. J. Polym. Sci. A1, 42: 3423-3432.

Jiffy Paul P, Sharmila Jesline J. W& K. Mohan. (2013). Development Of Chitosan Based Active Film To Extend The Shelf Life Of Minimally Processed Fish.

15

Page 17: Chitin Chitosan Desy Puspita Sari 13.70.0181 C1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

16

International Journal of Research in Engineering & Technology Vol. 1, Issue 5: page 15-22. Tamil Nadu, India.

Johnson, A.H. dan M.S. Peterson.(1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.

Laila, A & Hendri, J. (2008).Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase.

Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press Inc. Orlando. San Diego.

Naznin, Rokshana. (2005). Extraction of Chitin and Chitosan from Shrimp (Metapenaeus monoceros) Shell by Chemical Method. Pakistan Journal of Biological Sciences 8 (7) : 1051-1054, 2005.

Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.

Rinaudo, M. Chitin and chitosan: Properties and applications. Prog. Polym. Sci. 2006, 31, 603–632.

Rismana, E. (2001). Langsing dan Sehat Lewat Limbah Perikanan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta.

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.Science Published Ltd., England.

Saulés, Jesús E. Mejía, Krzysztof N. Waliszewski, Miguel A. Garcia and Ramon Cruz-Camarillo. (2006). The Use of Crude Shrimp Shell Powder for Chitinase Production by Serratia marcescens WF. Biotechnology Journal 44 (1): 95-100.

Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.

Suharto, B. (1984). Pengaruh Perlakuan 1,5 % NaOH dan Pengukusan Terhadap Nilai Gizi Bahan Pakan Berserat Kasar Tinggi. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Toan Nguyen Van. (2009). Production of Chitin and Chitosan from Partially Autolyzed Shrimp Shell Materials. The Open Biomaterials Journal. Ho Chi Minh City, Vietnam

Toan Nguyen Van. (2011). Improved Chitin and Chitosan Production from Black Tiger Shrimp Shells Using Salicylic Acid Pretreatment. The Open Biomaterials Journal. Ho Chi Minh City, Vietnam

Page 18: Chitin Chitosan Desy Puspita Sari 13.70.0181 C1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

17

Tolaimate, A., Desbrières, J., Rhazi, M., Alagui, M., Vincendon, M. and Vottero, P. 2000. The influence of deacetylation process on the physicochemical characteristics of chitosan from squid chitin. Polymer. 41: 2463-9.

Wardaniati, Ratna Adi dan Sugiyani Setyaningsih. (2009). Pembuatan Chitosan Dari Kulit Udang dan Aplikasinya Untuk Pengawetan Bakso. Universitas Diponegoro, Semarang.

Winarno,F.G. (1997). Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Yen Ming-Tsung, Joan-Hwa Yang, Jeng-Leun Mau, (2009). Physicochemical characterization of chitin and chitosan from crab shells. Carbohydrate Polymers 75: page 15—21. Taiwan, ROC

Page 19: Chitin Chitosan Desy Puspita Sari 13.70.0181 C1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

5. LAMPIRAN5.1. Perhitungan

Rumus :

Rendemen Chitin I = beratkeringberatbasahI

×100 %

Rendemen Chitin II = berat kitin

berat basah II×100 %

Rendemen Chitosan = berat kitosan

berat basah III×100 %

Kelompok C1

Rendemen Chitin I = 3,5

14,5×100 %

= 23,45 %

Rendemen Chitin II = 1,55,0

×100 %

= 30,00 %

Rendemen Chitosan = 0,963,5

× 100 %

= 27,43 %

Kelompok C2

Rendemen Chitin I = 4,5

11,9× 100 %

= 37,82 %

Rendemen Chitin II = 2,25

×100 %

= 44 %

Rendemen Chitosan = 1,574,2

× 100 %

= 27,38 %

Kelompok C3

Rendemen Chitin I = 4,5

10,8×100 %

= 41,67 %

Rendemen Chitin II = 3

5,5×100 %

= 54,55 %

Rendemen Chitosan = 1,193,7

×100 %

= 32,16 %

18

Page 20: Chitin Chitosan Desy Puspita Sari 13.70.0181 C1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

19

Kelompok C4

Rendemen Chitin I = 4

10×100 %

=40,00 %

Rendemen Chitin II = 3,56

×100 %

= 58,3 %

Rendemen Chitosan = 1,415,8

×100 %

= 24,30 %

Kelompok C5

Rendemen Chitin I = 2,511,8

× 100 %

= 21,19 %

Rendemen Chitin II = 2,56,2

×100 %

= 40,32 %

Rendemen Chitosan = 0,181,6

× 100 %

= 11,25 %

5.2. Laporan Sementara5.3. Diagram Alir5.4. Abstrak Jurnal