Chicago di Musim Dingin Seminggu yang lalu, tanggal 7 Desember 2007 saya beserta teman-teman pertukaran pelajar dalam satu cluster berkesempatan jalan-jalan ke Chicago. Terpaksa mengorbankan sekolah satu hari demi sebuah pengalaman. Pagi-pagi sekali Joan (Ibu angkat) mengantarkan saya ke Seymour. Seymour adalah kota tetangga, 15 menit perjalanan ke sana. Pagi itu udara cukup dingin dan jalanan licin. Meskipun saat itu masih belum ada salju di sini, tapi suhunya sudah di bawah titik beku. Christi Reynolds adalah coordinator saya. Seymor hanya tempat transit, agar Christi bisa bertemu saya di sana. Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Indianapolis. Dengan menggunakan Mega Bus, perjalanan ke Chicago berjalan mulus. Bus harus berjalan ekstra hati-hati agar tidak melesat dari jalur, ya jalanan yang berlapis es merupakan tantangan bagi supir bus. Bahkan yang namanya “Black Ice” merupakan bahaya tersembunyi di musim dingin ini. Saya duduk bersama Mari, dari Georgia. Sepanjang perjalanan, yang terlihat hanya putihnya salju, soalnya kami
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Chicago di Musim Dingin
Seminggu yang lalu, tanggal 7 Desember 2007 saya beserta teman-teman pertukaran
pelajar dalam satu cluster berkesempatan jalan-jalan ke Chicago. Terpaksa mengorbankan
sekolah satu hari demi sebuah pengalaman. Pagi-pagi sekali Joan (Ibu angkat) mengantarkan
saya ke Seymour. Seymour adalah kota tetangga, 15 menit perjalanan ke sana. Pagi itu udara
cukup dingin dan jalanan licin. Meskipun saat itu masih belum ada salju di sini, tapi suhunya sudah
di bawah titik beku. Christi Reynolds adalah coordinator saya. Seymor hanya tempat transit, agar
Christi bisa bertemu saya di sana. Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Indianapolis.
Dengan menggunakan Mega Bus, perjalanan ke Chicago berjalan mulus. Bus harus
berjalan ekstra hati-hati agar tidak melesat dari jalur, ya jalanan yang berlapis es merupakan
tantangan bagi supir bus. Bahkan yang namanya “Black Ice” merupakan bahaya tersembunyi di
musim dingin ini. Saya duduk bersama Mari, dari Georgia. Sepanjang perjalanan, yang terlihat
hanya putihnya salju, soalnya kami menuju bagian utara. Semakin ke utara, udara semakin dingin
dan salju semakin tebal.
Sementara itu, Chicago terkenal sebagai “Windy City” yang membuat sekujur tubuh
menggigil di kala musim dingin. Hal itu terbukti sesampai di sana, baru turun dari bus, angin dingin
menghembus wajah kami. Dingin namun kering dan menggigit, poru-pori wajah menciut hingga
susah untuk bergerak. Sialnya, kami berjalan melawan aliran angin,whus…kami harus bertahan
menghadapi perihnya rongga hidung dan lobang telinga yang sakit karena tekanan yang begitu
tinggi. Di dalam hati, awalnya saya menggerutu akan perjalanan ini. Ada sesal untuk coordinator
saya yang memilih perjalanan di musim dingin, bukannya di musim yang lebih hangat.
Setelah meletakkkan semua barang-barang di “Youth Hostel” tempat kami menginap
selama tiga hari, kami langsung beranjak ke luar ruangan lagi. Transportasi yang kami gunakan
selama di Chicago adalah bus seperti Busway, namun menggunakan kartu pengunjung yang
hanya dibeli sekali sewaktu kedatangan hingga berlaku sampai kami pulang(72 jam). Semuanya di
sini serba praktis dan modern.
Memandang kota nomor tiga terbesar di Amerika Serikat ini, membuat saya begitu
bersyukur. Tidak pernah sama sekali sebelumnya saya membayangkan bisa menginjakkan kaki ke
sini. Merupakan sebuah pengalaman yang amat berharga melihat megahnya peradaban modern
serta beragam manusia dari berbagai latar belakang berseliweran di sini. Tidak sedikit wanita
muslimah berkerudung yang saya lihat, sampai-sampai saya merasa tidak sendiri.
Bersama Emmi dari Norwegia dan Chenlee dari Bhutan, kami memutuskan makan siang
di HardRock Café. Kami dituntut untuk mandiri, jadi dalam hal seperti ini seperti memutuskan
tempat belanja dan lokasi makan siang, ada dua atau tiga anak dalam satu grup yang bebas
menentukan pilihannya dengan syarat kembali ke tempat yang sama dalam waktu yang
ditentukan.
Saat matahari mulai terbenam, kami menuju Sears Tower. Salah satu gedung pencakar
langit yang tertinggi di dunia (1,730 kaki/528 m), menampilkan pemandangan yang mengagumkan
di malam hari. Kisruh di hati yang saya rasakan lenyap, ada rasa haru yang membuncah
memandangi keelokan setiap sudut mata angin kota Chicago yang membentang, berkilau indah
tanpa batas saking luasnya. Danau Michigan yang dingin dan tenang memantulkan kilau cahaya
malam. Subhanallah! Semua itu mengingatkan saya pada keluarga di kampung, seandainya
mereka berada di sisi saya bersama melihat gedung-gedung menjulang,apiknya tatanan
jalan,tingginya dekorasi pohon natal,pasti akan lebih bahagia. Tak terasa tetesan bening jatuh dari
pelupuk mata, ada bahagia terasa dan sepi menjalar. Malam itu, saya tersenyum menggulung hari.
Esok harinya, kami bergegas setelah sarapan menuju China Town. Bedanya, kali ini kami
naik kereta api bawah tanah(subway). Melesat begitu cepat hingga tak terasa kami telah tiba di
kota Cina, saya jadi teringat Padang. Nyaris tidak ada orang barat di sana, semuanya hanya orang
bermata sipit dengan bahasa mandarinnya. Layaknya kampuang cino di kota Padang. Tapi yang di
sini tentu lebih besar, mereka bahkan punya Koran sendiri dan berbagai fasilitas independent
lainnya. Oh ya, ada durian juga lho di salah satu tokonya, memang buah khas Asia!
China Town
Kemudian, kami melanjutkan perjalanan ke Shedd Aquarium yang terletak di bibir
danau Michigan. Di sana terdapat banyak jenis makhluk air, baik dari laut maupun air tawar. Satu
hal yang paling menarik di sana adalah pertunjukan aksi lumba-lumba. Kami menikmati lucunya
aksi hewan yang bersahabat ini sekitar 20 menit.Dekat Shedd Aquarium bersama Tatiana(Belgia),Genaro(Meksiko),Shadab(India),Eliza(Itali) dan
Nancy(Jerman),background: Lake Michigan dan gedung-gedung
Mendekati waktu makan siang, kami menuju mall yang menyediakan berbagai jenis
makanan tradisional Asia,sayang tidak ada masakan Indonesia. Akhirnya kami memilih masakan
Thailand,tidak begitu jauh beda dari masakan kita. Di saat teman-teman lain belanja banyak baju
dan aksesoris, saya justru memilih memikirkan kocek,mengingat di sini harga barang begitu mahal.
Masalahnya sebagian besar teman-teman saya berasal dari golongan yang cukup mampu,apalagi
anak-anak Eropa. Malam harinya, kami ke Festival Internasional yang menyediakan banyak stan
pameran, mayoritas dari Negara Eropa. Lagi-lagi, tidak ada tanda-tanda keberadaan Indonesia.
Tinggal satu hari lagi perjalanan kami, hari terakhir kami hanya menyempatkan diri ke
“Bean”. Sebuah karya seni seperti biji buncis dari metal, merefleksikan bayangan begitu rumit dan
indah. Bean terletak di luar ruangan seperti taman dan ukurannya amat besar.
Bean, bagian dalam
Pukul 10 pagi kami check out dan berangkat meninggalkan Chicago pukul 11. perjalanan
kami sangat menyenangkan, menyisakan kenangan manis dalam hari-hari saya selama di sini.