BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat keanekaragaman budaya atau tingkat heterogenitas yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman buadaya kelompok suku bangsa namun juga keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban, tradisional hingga ke modern dan kewilayahan. Hal ini menjadikan bangsa Indonesia berbeda dan dapat dikatakan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan bangsa lain. Dengan begitu, sudah seyogyanya arah pembangunan sumberdaya manusia terutama melalui pendidikan pun harus sejalan dengan multikultural yang ada di Indonesia. Keragaman yang dimiliki Indonesia, di satu sisi adalah merupakan anugrah yang sangat berharga dan harus dilestarikan serta dapat dijadikan modal besar untuk membawa bangsa ini menjadi maju sejajar dengan negara-negara besar lainnya, akan tetapi keragaman ini di sisi lain diakui atau tidak adalah sebuah tantangan karena di dalamnya akan dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti kolusi sesama etnis, nepotisme, kemiskinan, perusakan lingkungan, separatisme, dan dan yang lebih menghawatirkan adalah akan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, yang merupakan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat keanekaragaman
budaya atau tingkat heterogenitas yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman
buadaya kelompok suku bangsa namun juga keanekaragaman budaya dalam
konteks peradaban, tradisional hingga ke modern dan kewilayahan. Hal ini
menjadikan bangsa Indonesia berbeda dan dapat dikatakan mempunyai
keunggulan dibandingkan dengan bangsa lain. Dengan begitu, sudah seyogyanya
arah pembangunan sumberdaya manusia terutama melalui pendidikan pun harus
sejalan dengan multikultural yang ada di Indonesia. Keragaman yang dimiliki
Indonesia, di satu sisi adalah merupakan anugrah yang sangat berharga dan harus
dilestarikan serta dapat dijadikan modal besar untuk membawa bangsa ini menjadi
maju sejajar dengan negara-negara besar lainnya, akan tetapi keragaman ini di sisi
lain diakui atau tidak adalah sebuah tantangan karena di dalamnya akan dapat
menimbulkan berbagai persoalan, seperti kolusi sesama etnis, nepotisme,
kemiskinan, perusakan lingkungan, separatisme, dan dan yang lebih
menghawatirkan adalah akan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati
hak-hak orang lain, yang merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari
multikulturalisme tersebut, maka tidak dapat dipungkiri lagi bahwa penting
adanya kesadaran multikultural.
Terkait dengan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia, Moh.
Surya (2006) mengetengahkan tentang tren bimbingan dan konseling
multikultural, bahwa bimbingan dan konseling dengan pendekatan multikultural
sangat tepat untuk lingkungan berbudaya plural seperti Indonesia. Bimbingan dan
konseling dilaksanakan dengan landasan semangat bhinneka tunggal ika, yaitu
kesamaan di atas keragaman. Layanan bimbingan dan konseling hendaknya lebih
berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu mewujudkan
kehidupan yang harmoni dalam kondisi pluralistik.
Isu yang mengemuka tentang hubungan antara bimbingan dan konseling
dan budaya yang kemudian muncul dalam bimbingan dan konseling lintas budaya
antara lain didorong oleh pemahaman baru tentang realitas pertemuan budaya.
Globalisasi kapitalisme yang merupakan arus utama di dunia dewasa ini pada
dasarnya telah mengakibatkan penyempitan dunia. Wilayah dunia seolah semakin
mengecil. Tidak jelas lagi batas-batas antar negara dalam arti kultural. Ditambah
lagi dengan pesatnya pemakaian teknologi cyber yang luar biasa menjadikan
seolah-olah dunia adalah satu adanya. Fenomena demikian membawa konsekuensi
berupa adanya pertemuan orang atau bangsa yang tidak hanya bersifat orang
perorang tetapi lebih dari itu adalah pertemuan antar budaya.
Keniscayaan tersebut di atas yang oleh sebagian kalangan dinilai sebagai
gerak maju peradaban yang di satu sisi harus dihadapi dan dijalani kalau tidak
ingin dikatakan sebagai komunitas yang tertinggal dan terkesan mengisolasi diri,
sementara itu di sisi yang lain dampak dari kesemuanya itu adalah terjadinya
persoalan benturan budaya. Persoalan yang tidak sederhana ini tidak hanya
menuntut adanya pemecahan atau resolusi. Lebih dari itu perlu penyikapan yang
sehat yang berangkat dari kesadaran dan pemahaman individu dan masyarakat
akan adanya keberagaman budaya yang pada gilirannya menuntut kompetensi
mereka dalam beradaptasi, menerima perbedaan, membangun hubungan yang
luas, mengatasi konflik yang berakar pada perbedaan budaya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar mengenai multikulturalisme ?
2. Bagaimana multikulturalisme di Amerika ?
3. Bagaimana multikulturalisme di Indonesia ?
4. Bagaimana peranan konselor dalam menghadapi masyarakat yang
multikultural?
C. Tujuan
1. Untuk memahami konsep dasar multikulturalisme.
2. Untuk mengetahui multikulturalisme di Negara Amerika.
3. Untuk mengetahui multikulturalisme di Negara Indonesia.
4. Untuk memahami peranan konselor dalam menghadapi masyarakat yang
multikultural.
BAB II
ISI CHAPTER
MULTIKULTURALISME KONSELING DI SEKOLAH
A. MULTIKULTURAL DI KONSELING SEKOLAH
Menurut Biro Sensus Amerika Serikat (The U.S Bureau of the Census),
penduduk AS akan meningkat 50 persen pada tahun 2050, dari 255 juta orang
menjadi 383 juta orang. Sebagian besar pertumbuhan berada di antara kelompok
ras dan etnis yang terlihat (Visible Racial and Ethnic Groups). (D. W. Sue et aL,
1998) mengungkapkan bahwa saat ini, 45 persen dari populasi siswa di sekolah
umum berasal dari kelompok ras dan etnis yang terlihat (Visible Racial and Ethnic
Groups). Pada tahun 2050, lebih dari 50 persen anak-anak sekolah Amerika akan
menjadi anak-anak dari ras kulit berwarna. Pada tahun 1980-an terjadi
peningkatan dramatis dalam populasi non-Putih: Jumlah Afrika Amerika
meningkat lebih dari 13 persen, penduduk asli Amerika 38 persen, Amerika
Hispanik,53 persen dan Asia Amerika 107 persen (D. W Sue & Sue, 1999).
Sedangkan, populasi kulit putih tumbuh hanya 6 persen selama periode yang
sama. Tingkat kelahiran yang rendah di antara Amerika Kulit Putih tentunya
menyebabkan semakin banyak anak-anak di sekolah umum yang berasal dari
kelompok ras dan etnis yang terlihat (Visible Racial and Ethnic Groups). dan 75
persen dari mereka juga kemudian memasuki angkatan kerja (D. W Sue & Sue,
1999). Saat ini, terdapat 33 persen populasi ras Afrika Amerika, Amerika
Hispanik, dan penduduk asli Amerika yang berusia dibawah 18 tahun di
Amerika Serikat, dan mereka diperkirakan akan meningkat menjadi 40
persen pada tahun 2030 (US Bureau of the Census, 2001b).
Meningkatnya diversifikasi masyarakat AS telah menciptakan tantangan bagi
konselor dalam konselor umum dan sekolah pada khususnya. Dalam beberapa
tahun terakhir, sebagian besar imigran ke Amerika Serikat berasal dari ras Eropa
Kulit Putih. Namun, saat ini, sebagian besar imigran tiba di Amerika Serikat
berasal dari Asia (34 persen), Amerika Latin (34 persen), dan negara-negara lain
dengan populasi ras atau etnis yang terlihat (Atkinson, Morton, & Sue, 1998).
Mereka datang ke negeri yang sudah beragam populasinya, di mana terdapat
populasi ras Afrika Amerika sebanyak 12,3 persen dari populasi penduduk asli
Amerika yang hanya sebanyak 0,9 persen (US Bureau of the Census, 2000).
Sekolah kami diciptakan dan dikelola sebagian besar oleh ras Eropa Kulit Putih,
namun guru dan administrator sekolah harus mereka melayani anak-anak yang
berasal dari keluarga yang latar belakang ras dan etnisnya sangat berbeda. Hal
tersebut tentunya menjadi potensi masalah yang jelas, dan tanggung jawab untuk
mencegah masalah tersebut sering terletak pada konselor sekolah.
Bab ini adalah tentang konselor sekolah dan kompetensi multikultural yang
dimilikinya, termasuk pengetahuan dan pemahaman serta kepekaan yang harus
dimiliki konselor sekolah untuk dapat bekerja secara efektif dengan siswa dari
budaya yang berbeda.
Tidak mungkin untuk menulis tentang kompetensi multikultural tanpa nuansa
sosial politik. Materi di sini tidak dimaksudkan untuk menyinggung, tetapi
dimaksudkan untuk menantang anggota kelompok dominan: Kulit Putih, laki-laki,
heteroseksual, dan orang-orang Kristen. Ia meminta mereka untuk menjelaskan
status kebudayaan mereka dalam masyarakat dan konsekuesnsi dari status mereka
tersebut terhadap konseling dengan siswa dari berbagai budaya. Hal ini juga
dimaksudkan untuk menantang para anggota dari ras atau budaya yang dominan,
untuk menjelaskan bagaimana mereka melakukan internalisasi mengenai interaksi
mereka dengan individu lain yang berasal dari kelompok dominan dan bagaimana
internalisasi tersebut menentukan hubungan terapeutik mereka dengan anggota-
anggota lainnya dalam konseling, baik yang berasal dari kelompok dominan
maupun kelompok non dominan.
KONSEP-KONSEP POKOK DALAM KONSELING MULTIKULTURALKonsep Definisi
ALANAs Afrika Amerika, Latin, Asia Amerika dan Penduduk Asli Amerika
Kebudayaan Nilai-nilai, keyakinan, bahasa, ritual, tradisi, dan perilaku lainnya diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam setiap kelompok sosial (Helms, 1994).
Etnis Pola budaya tertentu dari sebuah kelompok yang didefinisikan oleh wilayah geografis tertentu di dunia (Helms & Cook, 1999).
Mayoritas Digunakan untuk menunjuk kelompok dengan bagian yang tidak proporsional dari kekuasaan dalam masyarakat; identik dengan dominan dan umum.
Minoritas Digunakan untuk menunjuk posisi ekonomi, hukum, politik, dan sosial bawahan dari kelompok tertentu (Helms & Cook, 1999); identik dengan non-dominan.
Multikulturalisme Filosofi dari bersikap waspada dalam memperhatikan dan memperlakukan semua aspek keragaman manusia.
Ras Sebuah konstruksi sosial yang dihasilkan dari ciri biologis diasumsikan berdasarkan penampilan dan digunakan untuk menyertakan dan mengecualikan orang-orang tertentu dari sumber daya masyarakat (Helms & Cook, 1999).
VREG Visible Racial and Ethnic Groups/ Kelompok ras dan etnis yang terlihat.
Tidak mungkin untuk menulis tentang kompetensi multikultural tanpa
menggunakan terminologi yang disepakati. Dua dari label-label dalam tabel diatas
membutuhkan perhatian khusus. Ketika kita berbicara tentang kelompok
mayoritas atau budaya mayoritas, kita tidak mengacu pada ukuran relatif dari
kelompok atau budaya. Mayoritas dalam konteks ini berarti dominan: kelompok
atau budaya ini memiliki bagian yang tidak proporsional dari kekuasaan di
masyarakat. Dengan cara yang sama, minoritas berarti "tidak dominan": memiliki
posisi sebagai bawahan dalam ekonomi, politik, hukum, dan sosial dari kelompok
tertentu atau budaya (Helms & Cook, 1999). Definisi kami, mayoritas dan
minoritas berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan untuk
mempertahankan dan mempengaruhi struktur sosial untuk memberi hak istimewa.
Budaya mayoritas jelas memiliki kepentingan dalam membatasi kekuatan budaya
lain. Respon dari orang dalam budaya minoritas dengan distribusi kekuasaan yang
tidak seimbang pun bervariasi: beberapa bertujuan untuk termasuk ke dalam
kelompok budaya dominan, sementara yang lain membenci dan melawan
ketidakadilan itu. Multikulturalisme yang dinamik merupakan faktor penting
dalam masyarakat dan di sekolah-sekolah kita.
1. Keanekaragaman: Kondisi Manusia
Kami percaya bahwa budaya mempengaruhi setiap aspek individu:
pikiran, perilaku, bahkan emosi. Terutama, dalam penekanan pada kompetensi
multikultural dan deskripsi perbedaan antara kelompok-kelompok anak-anak.
Tetapi beberapa pertanyaan proses konseling yang mendapatkan respon lebih
adalah kepada perbedaan antara kelompok orang daripada kesamaan antara
kelompok. Yang lain berfokus pada perbedaan antar kelompok yang dapat
mengaburkan perbedaan individu dalam kelompok.
2. Debat Etik vs Emik (The Ethic vs Emic Debate)
Selama bertahun-tahun, konselor telah berjuang dengan kesamaan dan
perbedaan. Apakah lebih baik untuk fokus pada kesamaan yang ada pada semua
orang, apa yang melampaui budaya dan sebagainya yang merupakan suatu
pendekatan etik? Atau pada perbedaan mereka, pada apa yang budaya tertentu dan
sebagainya merupakan suatu pendekatan emik? Beberapa berpendapat bahwa
ketika konseling berfokus pada perbedaan budaya, maka akan tidak mampu untuk
melihat kesamaan pada setiap orang. Mereka menunjuk praktek dan intervensi
konseling sebagai bukti masyarakat kesamaan, keduanya didasarkan pada prinsip-
prinsip umum yang telah terbukti efektif dari waktu ke waktu dengan orang-orang
dari semua latar belakang budaya yang berbeda. Mereka memegang apa yang RT
Carter dan Quereshi (1995) sebut sebagai posisi universal, dimana mereka tidak
menyangkal perbedaan budaya, tetapi jelas mereka percaya bahwa perbedaan
budaya merupakan kesamaan sekunder manusia.
Kritikus akan berpendapat bahwa mencari kesamaan pada orang, berarti
mereka mencari "Putih/Whiteness”. Mereka mengklaim bahwa prinsip-prinsip
konseling tradisional dan praktek berasal dari budaya-sudut pandang yaitu Putih
tertentu, laki-laki, dan Eropa-sentris. Teori berbasis ras, misalnya, bersikeras
bahwa kekuasaan yang diferensial antara kulit putih dan orang kulit berwarna
dapat mempengaruhi proses konseling, dan universalis, dengan mengabaikan isu-
isu kekuasaan dan ras, untuk mempertahankan status quo. Konselor sekolah harus
memahami kekuasaan diferensial dalam masyarakat dan dimensi sosio-historis
dari masing-masing asal ras. Bagaimana peran diferensial, tidak hanya dalam
proses konseling, tetapi juga dalam sistem pendidikan, memiliki konsekuensi
penting bagi konselor sekolah yang bekerja dengan siswa dari berbagai ras atau
warna.
Hal ini juga tampaknya harus diperhatikan, yakni perbedaan budaya yang
sangat dekat dan sangat penting untuk proses konseling. Bagaimana konselor
dapat menawarkan bantuan baik jika mereka tidak memahami bagaimana nilai-
nilai dan perilaku berbasis budaya siswa yang berbeda-beda dari budaya konselor
itu? Mereka yang mendukung posisi etik mungkin berpendapat bahwa aliansi
kerja diperlukan untuk semua konseling, apa pun latar belakang budaya klien
Meskipun beberapa akan menentang perlunya aliansi kerja, semua harus
menyadari bahwa bagaimana aliansi kerja dibentuk, dimana strategi yang
digunakan untuk mengembangkannyaharus bervariasi tergantung pada latar
belakang budaya masing-masing siswa. Misalnya, imigran Asia yang berusia
muda mungkin merasa tidak nyaman dengan konselor yang bebas
mengekspresikan emosi, sedangkan imigran Latin muda mungkin oleh seorang
konselor yang tidak menunda.
3. Perbedaan Dalam Grup
Meskipun penting untuk memperhatikan perbedaan antarkelompok, yakni
bagaimana kelompok budaya berbeda satu sama lain, Namun di sisi lain
memperhatikan perbedaan anggota-anggota dalam grup pun sama pentingnya,
yakni dari kelompok budaya tertentu yang berbeda di antara mereka sendiri.
Konselor sekolah bekerja di seluruh budaya perlu mengajukan pertanyaan tentang
setiap siswa, seperti Apa pola budaya yang luas dari siswa yang berasal dari ras
atau kelompok etnis tertentu? Dan sejauh mana perilaku siswa ini mencerminkan
pola tersebut? Pertanyaan pertama berbicara kepada perbedaan antarkelompok,
yang kedua, berbicara mengenai perbedaan dalam kelompok atau intragrup.
Perbedaan antarkelompok menghasilkan stereotip rasial dan etnis,
perbedaan intragrup membuktikan stereotip yang salah. Salah satu sumber utama
dari perbedaan intragrup adalah akuisisi kedua budaya: ketika orang-orang dari
budaya nondominan datang dan melakukan interaksi yang berkelanjutan dengan
orang-orang dari budaya yang dominan, mereka mengalami proses adaptasi,
dimana mereka belajar untuk hidup dalam budaya yang berbeda dari budaya
mereka sendiri.
Berry (1980) mengemukakan bahwa "budaya lain" adalah stimulus yang
membangkitkan tiga reaksi: bergerak menuju, bergerak melawan, atau bergerak
menjauh Bergerak terhadap budaya dominan berarti mengadopsi setidaknya
beberapa karakteristik budaya, sering sebagai sarana. untuk mendapatkan
penerimaan atau hak istimewa. Bergerak melawan terhadap budaya dominan
berarti menolak budaya itu, yang menciptakan hubungan negatif dengan budaya
dominan. Menjauh dari budaya dominan adalah bentuk penarikan, biasanya
menjadi kantong etnis. Anggota dari budaya nondominan yang menjauh dari
budaya mungkin menginginkan hubungan dengan anggota dari budaya dominan,
baik positif maupun negatif.
Baru-baru ini, adaptasi budaya telah digambarkan sebagai satu arah, dua
arah, atau proses multi arah (LaFromboise, Coleman, & Gerton, 1993). Ketika
adaptasi adalah searah, anggota gerakan budaya tidak dominan dalam satu arah,
menuju budaya yang dominan dan jauh dari budaya mereka sendiri. Ketika
adaptasi adalah dua arah, mereka bergerak maju mundur antara dua budaya dan
merasa dekat dengan masing-masing budaya tersebut. Ketika adaptasi multiarah,
anggota dari budaya nondominant mampu berpartisipasi dalam berbagai struktur
sosial lebih kompleks, terdiri dari beberapa kelompok budaya, sambil
mempertahankan identitas positif dengan budaya asal mereka. Jelas anak-anak
dari budaya lain harus menyesuaikan setidaknya beberapa derajat budaya dominan
di Amerika Serikat. Apa yang penting bagi Anggota konselor sekolah dari budaya
dominan juga dapat mengalami adaptasi budaya, tetapi biasanya proses
melibatkan adaptasi terhadap budaya dominan-di Amerika Serikat, Putih, laki-laki
dan Eropasentris.
Juga, ketidaksepakatan baik dan kebingungan dalam literatur tentang
penggunaan adaptasi budaya sebagai istilah umum untuk semua tanggapan bahwa
orang-orang dari satu budaya dapat memiliki ke budaya lain. Beberapa lebih suka
akulturasi, kita akan berpendapat akulturasi yang menyiratkan bergerak menuju
dan akuisisi dari budaya lain. Sebaliknya, adaptasi budaya memungkinkan untuk
bentuk-bentuk adaptasi yang tidak mengarah ke akuisisi ke tingkat yang nyata
dari budaya perilaku atau sikap dominan yang bekerja dengan anak-anak dan
keluarga mereka adalah pemahaman tentang proses dan kesadaran bahwa anak-
anak dan orang tua mereka mungkin memiliki sangat berbeda, bahkan
bertentangan bentuk adaptasi budaya. Hal ini tidak biasa, misalnya, untuk anak-
anak untuk bergerak menuju budaya dominan dan orang tua mereka untuk
bergerak melawan itu.
Ada beberapa bentuk adaptasi budaya, yang masing-masing melibatkan dua arah
searah, atau adaptasi multiarah:
Asimilasi. Merupakan bentuk adaptasi searah. Individu beradaptasi dengan
menolak budaya aslinya dan berusaha sebisa mungkin untuk menjadi
individu dari budaya yang dominan.
Integrasi. Individu mempertahankan beberapa aspek dari budaya asli,
sementara dia juga melakukan atribut budaya yang dominan.
Bikulturalisme (pergantian). Bikulturalisme adalah mengetahui dan
memahami dua budaya., Menjaga hubungan positif dengan kedua, dan
mengubah perilaku seseorang agar sesuai dengan konteks budaya tertentu
(LaFromboise et al., 1993). Hubungan keduanya dua arah dan non-rasial.
Penolakan. individu tidak mencari hubungan yang positif dengan budaya
dominan, melainkan ia terus mengidentifikasi budaya non-dominan secara
kuat.
Keterpinggiran. Individu mengidentifikasi dengan baik budaya dominan
maupun budaya nondominant.
Konselor sekolah harus berperan dengan baik dalam bidang adaptasi
budaya. Mereka ingin siswa mereka untuk mengembangkan dan mencapai, dan
kenyataannya adalah bahwa di negeri ini proses tersebut berlangsung dalam hanya
bagi kelompok ras kulit putih, laki-laki, dan masyarakat Eropa-sentris. Pada saat
yang sama, mereka menyadari pentingnya keragaman budaya, keragaman rasa
menambah individu, untuk komunitas sekolah, dan masyarakat yang lebih luas.
Jawabannya tampaknya akan menjadi adaptasi melalui bikulturalisme. Tentu saja
kemampuan untuk bergerak dengan nyaman antara dua budaya yang berbeda
adalah penangkal imperialisme budaya, pada saat yang sama, mempromosikan
kepekaan terhadap dan penerimaan pandangan dunia yang berbeda. Mampu
bergerak dengan kenyamanan dalam budaya ras kulit putih menciptakan berbagai
peluang-pendidikan, sosial, dan profesional-untuk anak-anak dari budaya
nondominan. Konselor sekolah memiliki tanggung jawab untuk memfasilitasi
adaptasi bikultural, kegagalan untuk melakukannya hanya bisa membatasi pilihan
siswa minoritas.
Bikulturalisme dapat memfasilitasi peningkatan pemahaman terhadap orang lain
yang merupakan proses yang sama pentingnya bagi anak-anak dari budaya yang
dominan. Belajar tentang budaya yang berbeda mengajarkan fleksibilitas, empati,
dan toleransi, melainkan memperluas cara anak-anak berpikir, merasa, dan
berperilaku. Masuknya siswa VREG di sekolah adalah kesempatan untuk
memperkaya pengalaman semua siswa.
B. KONSELING MULTIKULTURAL DENGAN KELOMPOK RASIAL
Kami melangkah di area yang sensitif. Konseling multikultural merupakan
istilah lain yang memicu perdebatan di bidang konseling. Beberapa sarjana
percaya bahwa istilah harus disediakan untuk bekerja dengan orang-orang dari ras
atau kulit berwarna saja (lihat, misalnya, Locke, 1997). Istilah untuk ras lainnya
hilang karena konseling multikultural menyatakan bahwa semua orang adalah
produk dari proses sosialisasi berbasis budaya (lihat, misalnya, Pederson, 1991).
Kami percaya bahwa konseling multikultural itu merupakan area yang sensitif dan
menganggap serius semua aspek keragaman manusia tetapi juga menentukan
status khusus pada aspek ras yang dianggap merupakan penentu utama dari
budaya.
Pada bagian ini, kita akan mendeskripsikan pola budaya dan implikasinya
terhadap konseling bagi penduduk Amerika ras kulit putih, ras Afrika Amerika,
Hispanik Amerika, Asia Amerika, dan penduduk asli Amerika. Organisasi bagian
ini tidak dirancang untuk mengecualikan kelompok manapun. Namun, hal ini
dimaksudkan untuk menyoroti keunggulan ras-ras tersebut dalam konseling
multikultural.
1. Ras Amerika Kulit Putih
“ Di kelas saya, ketika isu ras muncul, sekarang dan lagi seorang
mahasiswa yang berasal dari kelompok ras dan etnis yang terlihat
(VREG) berbagi pengalaman dengan kami. Ketika itu terjadi, pasti dua
atau lebih siswa ras kulit putih menanggapi dengan mengakui
pengalaman siswa VREG dan kemudian pindah dengan cepat untuk
menggambarkan pengalaman minoritas mereka sendiri. Tumbuh
lingkungan keluarga yang miskin, tumbuh sebagai seorang Amerika
Italia di lingkungan Irlandia, tumbuh sebagai seorang Yahudi di
lingkungan yang didominasi Kristen (atau sebaliknya). Apa yang siswa
tersebut, saya pikir, menyatakan memori mereka yang merasa tidak
nyaman atau bahkan mengalami penindasan, mungkin bertujuan untuk
meminimalkan masalah ras dan keuntungan menjadi orang ras kulit
putih.
Seorang wanita yang aku tahu, seorang wanita Yahudi yang lahir di
lingkungan Yahudi di Kota New York, pernah mengatakan kepada saya
dari percakapan dia dengan ayahnya ketika dia masih gadis, tidak
lama setelah keluarganya pindah ke lingkungan yang lebih beragam
dalam pinggiran kota. Dia memperingatkan bahwa dia mungkin akan
menghadapi anti-Semitisme, dan mungkin akan mengganggunya, yang
mengguncang rasa percaya dirinya, dan membuatnya mempertanyakan
kemampuannya untuk mencapai apa yang dia inginkan dalam hidup.
Lalu ia mencubit lembut pada lengan bawah dan berkata, “tapi ingat,
Anda selalu memiliki kulit putih ini”
Diskusi kita dari kelompok ras dimulai dengan ras putih karena sangat
penting untuk melihat ras tersebut sebagai budaya seperti budaya ras lainnya.
Meskipun di negara ini, budaya ras putih dominan, Kulit Putih menjadi
keuntungan ketika berada di dunia yang penuh dengan cara lain. Ras putih adalah
bagian dari mosaik warna yang membentuk masyarakat Amerika. Bagaimanapun,
hanya sedikit orang yang sadar diri mereka sebagai ras putih. Tidak seperti orang
kulit berwarna, yang dihadapkan dengan identitas ras mereka setiap hari, ras putih
dapat dengan mudah menjalani kehidupan mereka tanpa pernah merenungkan apa
artinya putih mereka, menjadi putih-atau pandangan dunia mereka yang unik.
Pandangan dunia
Budaya Amerika yang dapat diterima di dunia seperti yang didefinisikan
oleh Ras Kulit Putih yang berasal dari Eropa Utara-telah menjadi fokus dari
banyak penelitian. Dalam salah satu penelitian terhadap dampak dan dominasi
budaya Ras Kulit Putih, Ho (1987) menarik perbandingan antara nilai-kelas
menengah Amerika ras putih dan orang-orang dari kelompok minoritas ras atau
etnis. Tabel 6.2 menunjukkan perbandingan tersebut sepanjang beberapa dimensi.
Nilai-nilai Budaya dari Kelas Menengah Amerika Putih Dan Grup Rasial
Lain
Dimensi
Kelompok Rasial
Amerika
Putih
kelas
menengah
Asia
Amerika
Amerika
Indian
Amerika
Hitam
Amerika
Hispanik
Hubungan
orang
dengan
alam
Penguasaan
atas masa
depan
Keharmonisan
dengan masa
lalu dan masa
sekarang
Keharmonisan
dengan masa
sekarang
Keharmonisan
dengan masa
sekarang
Keharmonisan
dengan masa
sekarang
Orientasi
waktu
Masa
Depan
Dulu-
sekarang
(Past-present)
sekarang sekarang Dulu-sekarang
(Past-present)
Definisi
Diri
individualis sejajar sejajar sejajar Sejajar
Modus
aktivitas
yang
dipilih
melakukan melakukan Sedang terjadi melakukan Sedang terjadi
Sifat
individu
Baik dan
Buruk
Baik Baik Baik dan
Buruk
Baik
Dalam sebuah diskusi tentang bagaimana pandangan dunia terbentuk, D.
W Sue (1978) menggunakan konsep locus of control dan lokus tanggung jawab
(Rotter, 1966, 1975) untuk menarik perbandingan antara arus utama budaya ras
kulit Putih Eropa-Amerika dan budaya lain (juga lihat D. W Sue & Sue, 2003).
Keduanya, baik locus of control maupun lokus tanggung jawab dapat berupa
internal atau eksternal. Gambar 6.1 menunjukkan empat pandangan dunia
berdasarkan kombinasi yang berbeda dari locus of control dan locus tanggung
jawab internal dan eksternal. Menurut Sue, di kuadran 1, merupakan keadaan di
mana keduanya, locus of control dan lokus tanggung jawab berada pada area
internal (IC-IR), yang merupakan pandangan dunia mengenai budaya ras kulit
putih pada kelas menengah.
Nilai tinggi untuk memecahkan masalah ditempatkan pada sumber daya
pribadi: kemandirian, pragmatisme, individualisme, status prestasi melalui
usahanya sendiri, dan kekuasaan atau kendali atas orang lain, hal-hal, hewan, dan
kekuatan atau alam. Cita-cita demokrasi seperti "akses yang sama terhadap
kesempatan," kebebasan dan keadilan untuk semua, "" Tuhan membantu mereka
yang membantu diri mereka sendiri, "dan" pemenuhan takdir pribadi "semua
mencerminkan pandangan dunia ini. Individu yang bertanggung jawab atas
semua. Kegagalan yang konstan dan berkepanjangan atau ketidakmampuan untuk
mencapai tujuan menyebabkan gejala menyalahkan diri sendiri (depresi, rasa
bersalah, dan perasaan tidak mampu). (D. W Sue & Sue, p. 277)
Konselor sekolah, disosialisasikan oleh pandangan dunia IGIR, harus peka
ketika bekerja dengan siswa dari budaya tidak dominan yang pandangan dunia
mungkin sangat berbeda. Beberapa anak-anak berasal dari negara-negara dengan
rezim totaliter, tempat di mana sulit untuk mengadopsi locus of control internal.
Beberapa orang dari ras kulit berwarna, setelah mengalami rasisme kelembagaan
dan sosial, tidak percaya pada cita-cita demokrasi. Pendidikan di negeri ini selalu
dianggap sebagai sarana untuk mencapai kontrol lebih besar atas nasib seseorang,
dan personel sekolah hanya melakukan asumsi dan filosofi yang siswa dan orang
tua miliki itu. Tentu saja pendidikan adalah pintu gerbang ke mobilitas ke atas,
namun konselor sekolah harus peka terhadap siswa yang memiliki pandangan
dunia yang dibentuk oleh kontrol tempat eksternal atau lokus eksternal tanggung
jawab atau keduanya. Apakah 'terlalu sering dianggap kurangnya motivasi di
kalangan siswa minoritas mungkin merupakan refleksi dari pandangan dunia yang
dibentuk oleh eksternalitas.
Identitas Ras Kulit Putih
Identitas Rasial adalah kombinasi dari sikap, keyakinan, dan perilaku yang
mendefinisikan individu sebagai makhluk ras. Semua orang, yang berasal dari ras
manapun memiliki identitas rasial. Menurut Helms dan Cook (1999), model
identitas ras adalah model psikologis yang menggambarkan cara untuk mengatasi
"internalisasi perlakuan yang rasis " dan mencapai " konsepsi diri sosi-ras yang
sehat dalam berbagai kondisi penindasan rasial" (hal.81).
Helms (1984, 1990c, 1995) menyatakan bahwa dalam masyarakat di mana
satu ras dinilai superior hanya karena yang lain secara implisit atau eksplisit
dianggap rendah akan membentuk pengalaman psikologis individu ras tertentu,
termasuk sikap terhadap ras nya sendiri maupun terhadap ras lain, mitra dalam
dinamika dominasi atau penindasan. Helms mengusulkan enam tahap, dia
memanggil mereka untuk menjelaskan status pengalaman ras kulit putih. Setiap
Status mewakili sekelompok sikap, keyakinan, dan nilai-nilai yang mempengaruhi
pandangan dunia, individu dan mempengaruhi cara dia memproses informasi
tentang ras:
1. Status hubungan. Hubungan ras kulit putih tidak menyadari isu-isu ras dan
rasisme. Mereka tidak mengerti bahwa ras membangun politik sosial yang
menentukan tempat individu dalam masyarakat. Ras kulit putih menyukai
sikap mereka yang tidak mengabaikan status mereka yang berasal dari ras
kulit warna ("Saya tidak melihat warna, saya melihat orang itu"). Mereka
bahkan dapat menunjukkan ke teman hitam sebagai bukti bahwa mereka
tidak rasis. Karena warna tidak masalah, mereka percaya bahwa jika orang
kerja keras, mereka bisa maju sama seperti orang lain.
2. Status Disintegrasi. Hancurnya ras Kulit Putih telah menyadarkan akan
isu-isu rasisme dalam masyarakat. Dengan kesadaran datang perasaan
cemas, rasa bersalah, kehilangan, atau tidak berdaya. Karena mereka
merasa tidak mampu melakukan sesuatu untuk mengurangi konflik
keadaan, sering ras putih menghindari kontak dengan orang kulit
berwarna, yang berlindung dalam kenyamanan kelompok ras mereka
sendiri.
3. Status Reintegrasi. Reintegrasi ras Kulit Putih adalah suatu keadaan
dimana mereka percaya bahwa Ras Kulit Putih adalah orang-orang yang
unggul dibandingkan orang-orang ras kulit warna. Reintegrasi Pasif
mencoba untuk menghindari orang kulit berwarna, sedangkan reintegrasi
aktif terlibat dalam tindakan terang-terangan bermusuhan dan kekerasan
terhadap orang kulit berwarna.
4. Status Pseudoindependence. Ras putih Pseudoindependent mengakui
rasisme, menerima orang kulit berwarna secara intelektual, dan ingin
membantu orang kulit berwarna dengan memberlakukan standar dan
budaya ras kulit putih pada mereka. Ras putih Pseudoindependence
percaya solusi untuk rasisme melibatkan orang kulit putih berubah
menjadi berwarna. Meskipun pandangan mereka secara politik benar, ras
putih pseudoindependence berbuat banyak untuk benar-benar memerangi
rasisme.
5. Status Immersion / emersion. Orang-orang di status ini sedang membentuk
identitas ras Kulit Putih positif dengan belajar tentang menjadi orang Kulit
Putih, tentang konsekuensi menjadi Kulit Putih, dan tentang hubungan
menjadi Kulit Putih ke seluruh masyarakat: Fokus mereka telah bergeser
dari perubahan orang kulit berwarna untuk mengubah diri. Orang-orang ini
mencari orang lain yang juga telah berjuang untuk mencapai identitas ras
kulit putih yang non-rasis.
6. Status otonomi. Ras kulit putih otonom mencari kontak dengan kelompok-
kelompok budaya yang berbeda dan mengalami kontak bahwa saling
memperkaya. Mereka nyaman berkembang dalam identitas ras Putih,
mereka percaya bahwa mereka memiliki sesuatu untuk menawarkan serta
sesuatu untuk belajar. Berkomitmen untuk bekerja untuk perubahan,
mereka mungkin bersedia untuk membuat pilihan hidup yang
mencerminkan sikap itu.
Setiap status semakin kompleks, dan dalam status tiap individu mampu
memproses informasi. Pada waktu tertentu, satu statusnya biasanya mendominasi,
meskipun beberapa karakteristik individu lain mungkin ada yang harus
mengintegrasikan tugas dan tantangan dari setiap status dalam gilirannya sebelum
maju ke status berikutnya. Namun dalam situasi tertentu, ia mungkin kembali ke
status yang lebih rendah.
Menurut Helms, dua proses mendasar yang mendasari kemajuan individu
melalui status semakin lebih kompleks: ditinggalkannya rasisme dan
pengembangan identitas positif ras Kulit Putih. Dalam kontak pertama tiga status,
disintegrasi dan reintegrasi, individu meninggalkan rasisme, mengembangkan
identitas rasial yang positif.
Teori Helms memiliki peran penting bagi konselor ras putih yang bekerja
dengan anak-anak kulit berwarna. Konselor sekolah harus menyadari status
identitas ras mereka sendiri dan melakukan segala upaya untuk menjadi otonom.
Ada beberapa metode untuk menilai identitas rasial. Pada tahun 1996, Helms
mengusulkan penggunaan Skala Identitas Sikap Ras Putih (WRIAS) ( Helms &
Carter, 1990) untuk menghasilkan profil yang menunjukkan bagaimana identitas
ras individu rusak oleh status. Konselor dapat menggunakan WRIAS untuk
memahami identitas ras mereka sendiri dan sebagai dasar untuk lokakarya
penggalangan kesadaran bagi personil sekolah dan untuk bekerja dengan
kelompok-kelompok kecil.
2. Afrika Amerika
Pada tahun 2000, Afrika Amerika terdiri lebih dari 12 persen dari populasi
US (US Bureau of the Census, 2000). Kelompok ras ini beragam dalam hal kelas
sosial ekonomi, pendidikan, status ras-identitas (hubungan dengan budaya ras
kulit putih), dan struktur keluarga. Sekitar 35 persen dari Afrika Amerika
termasuk ke dalam kelas menengah atau lebih tinggi (W Sue & Sue , 2003). Hal
ini penting karena status sosial ekonomi merupakan variabel penting dalam
menentukan derajat asimilasi ke dalam budaya Kulit Putih (Hildebrand, Phenice,
Gray, & Hines, 1906). Namun, ras Afrika Amerika terus memegang status
minoritas di negeri ini. Sebagai bukti, Sue dan Sue mengemukakan hal-hal
berikut ini:
Tingkat Afrika Amerika hidup dalam kemiskinan tiga kali lebih tinggi
dari ras Kulit Putih Amerika .
Tingkat pengangguran adalah dua kali lebih tinggi di antara Afrika
Amerika.
Sekitar sepertiga dari pria Amerika Afrika di usia dua puluhan mereka
berada di penjara, sedang dalam masa percobaan, ataupun sudah
mendapatkan pembebasan bersyarat.
Rentang hidup orang Amerika Afrika adalah lima sampai tujuh tahun
lebih pendek dari Kulit Putih Amerika.
Konseling multikultural menuntut bahwa konselor sekolah melihat siswa
dalam konteks sejarah, pengalaman hidup dan budaya mereka Tentu saja tidak
semua siswa Amerika Afrika hadir untuk konseling dengan katalog panjang
insiden di mana mereka adalah korban diskriminasi rasial, tetapi tidak ada
konselor yang dapat menutup mata terhadap dampak diskriminasi yang
berkepanjangan pada siswa kulit berwarna. Dimana konseling tradisional akan
mencari sumber-sumber internal masalah siswa, konseling multikultural akan
menuntut konselor untuk menganggap sekelompok masyarakat -khususnya
rasisme dan diskriminasi- ketika bekerja dengan siswa Kulit Hitam yang
merespon otoritas Kulit Putih dengan pemberontakan, kecurigaan, atau
penghindaran.
Pola budaya
Setiap usaha untuk menggambarkan pola-pola budaya yang luas menjalankan
risiko stereotip, dari menghadap perbedaan individu. Di sisi lain, kegagalan untuk
mempertimbangkan pola budaya meningkatkan risiko imperialisme dominan-
budaya, ketidakpekaan terhadap karakteristik dan perilaku yang berkaitan dengan
budaya.
Menurut Helms dan Cook (1999), budaya Afrika Amerika memadukan
berbagai elemen dari banyak kelompok etnis Afrika yang datang ke Amerika
Serikat selama beberapa abad. Karakteristik tertentu tampaknya bersama oleh
budaya Afrika, dan karakteristik mendefinisikan budaya Afrika Amerika hari ini:
Spiritualitas. Keyakinan bahwa pasukan nonfisik, terutama Maha
tinggi yang dapat muncul dalam berbagai manifestasi, memiliki
kekuatan untuk menentukan apa yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari.
Keharmonisan. Diri dan sifat adalah berhubungan dan dimaksudkan
untuk beroperasi dengan selaras.
Gerakan. Gerakan dan gerak melengkapi kata yang diucapkan.
Mempengaruhi Pikiran Tubuh. Emosi individu, pikiran, dan tubuh
membentuk tiga serangkai saling berhubungan yang dimaksudkan
untuk berfungsi dalam keseimbangan. Apapun alter salah satu
komponen tiga serangkai yang juga mempengaruhi orang lain
Komunalisme. Kelompok ini memainkan peran penting dalam
mendefinisikan diri, dan kelompok adalah sama pentingnya dengan
individu.
Ekspresif. Aspek unik dari kepribadian yang diekspresikan melalui
perilaku individu dan kreativitas.
Oralitas. Pengetahuan yang diperoleh dan ditransmisikan secara lisan,
dan individu mencapai kredibilitas dengan menjadi seorang
komunikator lisan yang efektif. Komunikasi yang efektif adalah ritmis
dan simbolik, dan itu terjadi pada tingkat kognitif, afektif, dan
perilaku.
Waktu. Waktu diukur oleh peristiwa bermakna sosial dan adat istiadat
daripada kuantitas.
Keluarga Afrika Amerika
Mungkin karakteristik yang paling menonjol dari keluarga Afrika Amerika
adalah adanya struktur, diperpanjangnya jaringan, dan kekuatannya, dukungan
ekonomi dan emosional yang menyediakan jaringan (DW Sue & Sue, 2003).
Keduanya, baik struktur dan kekuatan telah memungkinkan keluarga Afrika
Amerika untuk bertahan hidup bahkan dalam perbudakan (Gutman, 1977). Hanya
budaya Kulit Putih Eropasentris, yang menekankan pada keluarga inti, yang
cenderung melakukan pengasuhan patologis seseorang anak laki-laki oleh ibu
biologis atau ayah. Konselor sekolah pasti menemukan siswa Amerika Afrika
yang dibesarkan oleh kakek-nenek atau bibi atau paman atau saudara. Kuncinya
adalah mengakui bahwa praktek adalah kebudayaan diterima dan tanda kekuatan
di keluarga Amerika Afrika.
Bekerja dengan orang tua atau wali siswa yang berasal dari ras Kulit Hitam
bisa menjadi tantangan khusus untuk konselor sekolah. Tahun-tahun yang penuh
rasisme dan diskriminasi dapat meninggalkan curiga dari orang tua dan wali pada
konselor yang berasal dari ras Kulit Putih. Sebaliknya, mereka harus
memberdayakan para pengasuh dan untuk membuat kolaborasi pekerjaan mereka
bersama-sama. Cara terbaik untuk memulai adalah dengan memperlakukan orang
tua atau pengasuh sebagai ahli: "Kau tahu Michael orang yang lebih baik dari
orang lain Kami membutuhkan bantuan Anda untuk membantu dia.." Hanya saja
setelah orang tua atau pengasuh mengakui kolaborasi konselor harusmembuat
sugesti yang membantu anak.
Identitas Lintas Ras Kulit Hitam
Cross (1971) adalah salah satu yang pertama mempublikasikan model
proses identitas kulit hitam yang dikembangkan. Ia menyebut proses "kehitaman/
Nigrescence" dan Helms menggambarkannya sebagai menjadi “Hitam/ Black”
dalam hal cara seseorang tentang mengevaluasi diri sendiri dan kelompok. Helms
(1984, 1990b, 1994), menggambar pada model persilangan, mengembangkan
model identitas rasial Hitam yang telah dikutip dan digunakan secara luas di
literatur. Baru-baru saja bahwa model tersebut sekarang disebut Model Identitas
Warna Rasial Rakyat yang diperluas untuk mencakup semua orang kulit berwarna
yang hidup di Amerika Serikat (Helms & Cook, 1999):
1. Kesesuaian Status. Individu tidak menyadari isu-isu ras dan implikasi
politik sosialmereka. Mereka mematuhi standar jasa ras Kulit Putih
2. Disonansi Status. Melalui pengalaman dari beberapa macam, individu
disonan menjadi bingung dan ambivalen tentang isu-isu ras dan
kelompok ras sosial mereka sendiri. Mereka mulai mempertanyakan kulit
putihnya sebagai standar utama untuk menilai diri mereka sendiri dan
orang lain.
3. Pendalaman Status. Individu dalam pendalaman statusnya menjunjung
kelompok sosial rasial mereka sendiri dan merendahkan Kulit Putih.
Mereka mendefinisikan diri mereka dengan kelompok ras mereka dan
percaya bahwa komitmen dan kesetiaan kepada kelompok adalah hal
yang terpenting. Orang-orang ini cenderung sangat waspada dan
hipersensitif terhadap isu-isu Ras.
4. Kemunculan Status. Orang-orang dalam kemunculanstatus memperoleh
rasa kesejahteraan dari solidaritas dengan kelompok ras mereka sendiri.
5. Internalisasi Status. Orang yang berasal dari ras kulit berwarna
mengalami internalisasi komitmen untuk dan menerima kelompok sosial
rasial mereka sendiri, telah mendefinisikan ulang atribut rasial mereka
sendiri, dan mampu untuk menilai secara objektif dan menanggapi
anggota dari kelompok dominan.
6. Kesadaran Status Integratif. Orang-orang ini menghargai hubungan
identitas kolektif mereka sendiridan mampu berempati dan bekerja sama
dengan anggota kelompok minoritas dan dengan kelompok kulit putih.
Keputusan hidup mereka dapat termotivasi oleh ekspresi humanisme
global.
Banyak dari apa yang kita katakan di bagian terakhir tentang dinamika
perkembangan ras identitas Kulit Putih dapat dikatakan tentang perkembangan
identitas rasial antara orang kulit berwarna. Model Helms dan Cook adalah model
fluida, di mana semua status untuk satu derajat atau lain yang hadir dalam
individu, tapi satu mendominasi pada waktu khusus mereka atau dalam situasi
tertentu. Dalam setiap status, orang kulit berwarna harus menegosiasi hubungan
mereka dengan budaya yang dominan. Bagi mereka dalam status sesuai, yang
berarti meninggikan budaya Putih, bagi mereka dalam pendalaman status, yang
berarti dapat menolak budaya Putih, dan bagi mereka yang telah mencapai
kesadaran integratif, yang dapat berarti saling memperkaya melalui Interaksi
dengan orang-orang dari semua kelompok ras.
Mengukur Identitas Rasial Kulit Hitam.
The Racial Identity Attitude Scale (RIAS), yang dikembangkan oleh Parham
dan Helms (1981), adalah upaya pertama untuk menempatkan model persilangan
dalam praktek. Skala ini terdiri dari 30 item yang dirancang untuk mengukur
sikap rasial dominan individu. RIAS menghasilkan skor pada empat sub-skala,
dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan dominasi suatu sikap ras tertentu.
Konsistensi koefisien reliabilitas internal untuk RIAS kisaran 0,66- 0,77. RIAS
telah mengalami dua revisi: RIAS-B (Helms, 1990a) dan RIAS-L (Helms 6
Parham, 1996). RIAS-B terdiri dari 30 item yang sama seperti RIAS asli, tapi
beberapa item telah terlihat ditugaskan untuk sub-skala yang berbeda. RIAS-L
memiliki tambahan 20 item, yang ditambahkan untuk meningkatkan konsistensi
internal.
Implikasi Konseling.
Dalam beberapa artikelnya pada pengembangan identitas ras, Helms (1984)
mendefinisikan empat kemungkinan jenis hubungan antara konselor dari ras Kulit
Putih dan klien dari ras Kulit Hitam (ataupun sebaliknya): paralel, progresif,
regresif, dan menyeberang. Hubungan paralel adalah salah satu di mana konselor
dan klien berada pada tingkat pembangunan identitas ras yang sama. Misalnya,
seorang konselor ras Kulit Putih di kontak status dan klien ras Kulit Hitam di
status kesesuaian akan berada dalam hubungan paralel. Dalam hubungan
progresif, konselor setidaknya satu tingkat lebih tinggi dari klien. Dalam
hubungan regresif, konselor setidaknya satu tingkat lebih rendah dari klien.
Akhirnya, dalam hubungan menyeberang, konselor dan klien memegang sikap
konflik terus menerus : misalnya, seorang konselor ras Kulit Hitam di status
pendalaman dan klien ras Kulit Putih di status pseudoindependence. Hipotesisnya
adalah bahwa hubungan progresif menguntungkan proses konseling sementara
hubungan regresif merugikan itu telah mendapat dukungan empiris (Bradby &
Pengobatan Indian Amerika di tangan pemukim putih di negeri ini begitu
brutal dan destruktif yang diperkirakan 90 persen dari populasi Indian Amerika
telah hancur pada akhir abad ke-19. Namun seabad kemudian, penduduk yang
meningkat secara dramatis. Bahkan, antara tahun 1980 dan 1990, jumlah Indian
Amerika meningkat hampir 55 persen, dari 1,3 juta menjadi hanya di bawah 2,1
juta, tingkat tertinggi di antara kelompok ras di Amerika Serikat untuk jangka
waktu tertentu (Choney, Benyhill-Paapke, atau Robbins, 1995), dan populasi
diperkirakan akan mencapai 4,3 juta di tahun 2050. Sebagian besar peningkatan
berasal dari orang-orang dengan keturunan ras campuran yang mengidentifikasi
diri mereka sebagai penduduk asli Amerika. Populasi gabungan dari Indian
Amerika, Eskimo, dan Aleuts pada tahun 2000 adalah sekitar 2,4 juta, kurang dari
1 persen dari penduduk AS. Populasi ini relatif muda 39 persen saja anggota di
bawah usia 29, dibandingkan 29 persen dari total penduduk AS. (US Bureau of
the Census, 2000).
Istilah Indian, Indian Amerika, penduduk asli Amerika dan digunakan
secara bergantian, mereka merujuk kepada masyarakat adat untuk benua Amerika
Serikat. Istilah Alaska Native (Penduduk Asli Alaska) ini digunakan untuk
merujuk pada Eskimo dan Aleut, yang merupakan bangsa Alaska. Pemerintah
federal telah menetapkan bahwa siapa pun dengan setidaknya 25 persen darah
Indian adalah Indian dan memenuhi syarat untuk manfaat. Lainnya bersikeras
bahwa afiliasi suku adalah ciri khas bangsa Indian. Menurut Trimble (1990), lebih
dari 60 persen dari Indian Amerika adalah warisan campuran, hasil dari
pernikahan antar ras dengan kulit hitam, Hispanik, dan kulit putih.
Penduduk asli amerika dan penduduk asli Alaska sangat beragam:
anggotanya berasal dari 542 kelompok suku dan berbicara lebih dari 150 bahasa
India (Bureau of Indian Affairs, 1993). Lima kelompok terbesar adalah Cherokee
(308.000), Navajo (219.000), Chippewa (104.000), Sioux (103.000), dan Choctaw
(82.000) (US Bureau of the Census, 2000). Sekitar 22 persen orang India lima di
lebih dari 300 pemesanan, 15 persen hidup dalam yurisdiksi suku, desa asli
Alaska, atau wilayah yang ditetapkan suku, dan sekitar 63 persen lima di daerah
pedesaan dan perkotaan (Choney et aL, 1995).
Indian Amerika dan penduduk asli Alaska adalah yang termiskin dari yang
miskin di Amerika Serikat. Beberapa statistik tampaknya mendukung bahwa
penilaian (Atkinson dkk, 1998):
Kematian akibat alkohol pada populasi ini adalah 6 kali lebih besar dari
pada populasi umum, dan terminal sirosis hati adalah 14 kali lebih besar.
Tingkat bunuh diri dua kali rata-rata nasional , dengan masa remaja hingga
dewasa saat risiko terbesar
Pendapatan rata-rata orang dalam kelompok ini adalah sekitar 75 persen
lebih sedikit dibandingkan dengan kulit putih.
Pengangguran adalah 10 kali rata-rata nasional.
Kematian bayi setelah tiga bulan pertama kehidupan adalah tiga kali rata-
rata nasional.
Angka putus sekolah dari sekolah yang lebih tinggi dan tingkat pendidikan
yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok etnis lainnya.
Tingkat kenakalan dan penyakit mental jauh melampaui orang-orang dari
sebagian kelompok dalam masyarakat.
Anak-anak dan remaja tampaknya sangat beresiko. Diperkirakan bahwa lebih
dari 34 persen dari anak-anak Indian adalah korban dari penyalahgunaan atau
kelalaian (National Indian Justice Center, 1990). Sebuah sidang Kongres
menemukan bahwa 52 persen dari remaja yang hidup di kota-kota dan 80 persen
dari mereka yang tinggal di reservasi terlibat dalam sedang sampai berat alkohol
atau penyalahgunaan obat, dibandingkan dengan 23 persen dari rekan-rekan
perkotaan non-Indian mereka (LaFromboise, 1998). Seiring dengan tingginya
tingkat kehamilan remaja, satu studi menemukan bahwa sepertiga dari anak
perempuan India melaporkan keinginan bunuh diri (Bee-Gates, Howard-Pitney,
LaFromboise, & Rowe, 1996). Statistik ini seharusnya mengingatkan konselor
sekolah untuk peran penting mereka bisa bermain dalam membantu anak-anak
penduduk asli Amerika dan remaja.
Pola budaya itu ada lebih dari 500 suku Indian diidentifikasi hari ini berbicara
kepada keragaman populasi ini. Namun Helms dan Cook (1999), menjelaskan
karya Locust (1990), yang mengidentifikasi delapan keyakinan dari sebagian
besar warga asli Amerika:
Maha Pencipta adalah kehadiran spiritual mahakuasa yang mengontrol
semua aspek eksistensi.
Manusia adalah gabungan dari roh, pikiran, dan tubuh. Dari tiga
komponen, semangat (“Saya” ) adalah yang paling penting karena ia
mendefinisikan esensi dari orang Tubuh fisik, disiapkan oleh individu
orang tua, adalah rumah di mana roh bersemayam. Dan pikiran menengahi
antara roh dan tubuh mirip dengan mediasi ego antara superego dan id.
Orang-orang berbagi kekerabatan spiritual dengan semua makhluk hidup
karena segala sesuatu berasal dengan Pencipta Agung.
Roh adalah. Immortal Ketika tubuh mati (atau "gudang"), semangat terus
mengulangi proses kelahiran - kematian hingga mencapai kesempurnaan
dan bisa kembali ke Pencipta Agung.
Kesehatan adalah keselarasan jiwa, raga, dan pikiran. Harmony
merupakan suatu keadaan yang berasal dari dalam, itu adalah tujuan
individu.
Penyakit adalah gangguan harmoni roh - tubuh-pikiran. Obatnya adalah
untuk mengidentifikasi keadaan apa pun melemah semangat dan
mengambil langkah-langkah untuk memperbaikinya.
Penyakit dapat disebabkan oleh sebab-sebab alamiah atau tidak wajar.
Penyakit alami terjadi ketika salah tidak sengaja atau dengan sengaja
melanggar suatu larangan suku suci tidak wajar penyakit - kecelakaan,
depresi, pemikiran irasional , atau perilaku yang tidak biasa, misalnya -
hasil dari kekuatan jahat yang mengambil bentuk beruang, burung hantu,
atau ular. (Inkarnasi sebenarnya adalah suku tertentu)
Setiap orang bertanggung jawab untuk dirinya atau status kesehatannya
sendiri. Namun, seorang penyembuh yang mengakui keterkaitan dari tiga
serangkai manusia (jiwa, raga, dan pikiran) sering dapat membantu
individu memulihkan harmoni setelah hilang.
Perbedaan yang mencolok antara keyakinan penduduk asli Amerika dan
penduduk kulit putih Eropa Amerika sebenarnya sangat mencolok. Hal ini sedikit
mengherankan bahwa banyak penduduk asli Amerika menemukan diri mereka
dipaksa untuk memilih antara asimilasi ke dalam budaya dominan atau penolakan
dari budaya dominan. Dan itu sedikit mengherankan bahwa konflik budaya yang
tercermin dalam hubungan antara konselor sekolah-siswa. Ini adalah masalah
tertentu dengan anak-anak membuat transisi ke sekolah menengah saat banyak
mulai mempertanyakan kebutuhan untuk sekolah (Wood & Clay, 1996). Fokus
pada saat ini di kalangan penduduk asli Amerika mungkin akan sulit bagi siswa
untuk memahami nilai masa depan pendidikan. Untuk konselor sekolah bekerja
dengan individu siswa, tugas ini adalah untuk menghubungkan nilai pendidikan
dengan nilai-nilai yang lebih relevan dengan budaya India-misalnya, berbagi,
kerjasama, dan harmoni dengan alam. Pada skala yang lebih besar, konselor dapat
bekerja menuju perubahan sistemik, seperti pengenalan kurikulum bikultur yang
relevan.
Tabel 6.5 Proses Perolehan Budaya-Kedua bagi Penduduk asli Amerika:
Warisan Budaya yang Konsistensi dan Ketidakkonsistenan
Ciri Warisan Budaya yang Konsisten
Penekanan pada komunikasi nonverbal, terbatas kemampuan bahasa Inggris
Sosialisasikan hanya dengan Indian lainnya, kontak terbatas dengan non India
Keterampilan akademik Tertinggal atau terbatas
Sedikit nilai ditempatkan pada pendidikan
Penilaian perilaku dalam hal dampaknya terhadap suku dan keluarga diperpanjang
Kesulitan menetapkan tujuan jangka panjang
Menempatkan nilai positif pada pengendalian emosi
Lokus eksternal tanggung jawab sebagai akibat dari paternalisme pemerintah
Terbiasa dengan harapan budaya dominan
Ciri Warisan Budaya yang Tidak Konsisten
Menyangkal dan tidak memiliki kebanggaan menjadi penduduk asli Amerika
Merasakan tekanan untuk mengadopsi nilai-nilai budaya yang dominan
Merasa bersalah karena tidak tahu atau berpartisipasi dalam budaya India
Memegang pandangan negatif dari penduduk asli Amerika
Bisa menderita kurangnya dukungan atau sistem kepercayaan
Akulturasi antara penduduk asli Amerika Sebuah merupakan sejarah
panjang kekejaman dan pengkhianatan dan genosida telah meninggalkan
penduduk asli Amerika curiga dan marah dengan Putih budaya. Bahkan pilihan
mereka saat ini memperkuat perasaan itu. Ketika Indian Amerika memilih untuk
tinggal di luar reservasi, mereka dipaksa untuk mengasimilasi, ketika rasa hormat
yang mendalam untuk tradisi mereka membuat mereka reservasi, mereka
terpinggirkan tidak heran bahwa adaptasi budaya untuk kelompok ini orang penuh
dengan konflik.
Zitkow dan Estes (1981) mengemukakan bahwa akulturasi dari penduduk
asli Amerika hasil sepanjang kontinum. Pada salah satu ujung kontinum yang
adalah konsistensi warisan, kepatuhan terhadap tradisi kesukuan. Di lain adalah
inkonsistensi warisan, penolakan terhadap tradisi kesukuan. Tabel 6.5 daftar
karakteristik yang menandai setiap akhir kontinum.
Penduduk asli Amerika yang memiliki karakteristik dari kedua kelompok
telah beradaptasi menjadi lebih mendekati budaya yang dimiliki penduduk ras
kulit putih dan mengisi suatu tempat di tengah-tengah kontinum. Bentuk adaptasi
parsial ini tidak harus bingung dengan bikulturalisme, karena bentuk adaptasi
parsial ini adalah kemampuan untuk hidup nyaman dalam dua budaya. Dalam hal
pengembangan identitas ras/budaya baik Model Helms (1990b, 1995) yang
mengemukakan model untuk orang kulit berwarna dan Model MID Atkinson et al
(1998) dapat diterapkan untuk penduduk asli Amerika.
C. MEMPROMOSIKAN PRESTASI AKADEMIK SISWA MINORITAS:
STUDI KASUS
Dan Smith, seorang guru matematika yang berpengalaman, datang ke Rachel
Goodwin, konselor sekolah kelas sembilan, untuk berbicara tentang salah seorang
muridnya, Carlos Martinez. Dia mengatakan bahwa Carlos belum siap untuk
sembilan kelas aljabar, bahwa anak itu termasuk dalam remedial matematika. Mr
Smith melanjutkan dengan mengatakan bahwa ia telah meminta Carlos untuk
datang untuk bantuan tambahan, tetapi Carlos belum membuat janji. "Saya pikir
ia tidak akan mampu mengikuti kelas ini dan pada akhirnya ia hanya akan
mendapatkan nilai gagal." Mr Smith merasa terganggu oleh kemungkinan ini
karena ia tahu bahwa kegagalan bisa memperlambat pencapaian pendidikan
Carlos, dan ia menyadari tingkat drop out tinggi di kalangan Hispanik yang gagal
di sekolah. Namun, ia menegaskan, dia tidak bisa memperlambat siswa lainnya di
dalam kelas hanya karena satu siswa, sehingga dalam kepentingan terbaik dari
semua yang Carlos dipindahkan ke kelas remedial.
Ms Goodwin relatif baru dalam pekerjaannya, dan ia merasa sedikit
terintimidasi oleh Mr Smith, seorang guru veteran yang dihormati. Di sisi lain,
pelatihan itu telah membuatnya menyadari konsekuensi jangka panjang
menempatkan siswa dalam perbaikan matematika. Ya, Carlos mungkin akan
mendapatkan kelas yang lebih tinggi tapi dia juga tahu itu mungkin berarti dia
mendapatkan catatan prestasi matematika yang rendah, yang dapat menutup
kesempatan pendidikan dan pekerjaan di masa depan. Asumsi dasar, kemudian,
adalah bahwa mengingat kondisi yang tepat, membiarkan Carlos bisa belajar
aljabar. Dia mengumpulkan keberanian untuk mengatakan bahwa Mr Smith dan
kemudian menyarankan bahwa ia melihat lebih jauh ke dalam situasi Carlos
sebelum tiupan kelasnya
Mr Smith tampak terkejut dengan tanggapannya: "Saya tidak bisa ingat kapan
terakhir kali konselor sekolah tidak setuju dengan saya," katanya.
Ms Goodwin mungkin masih muda, tapi dia tahu pentingnya menjaga
hubungan kerja yang baik dengan guru. Dia tidak melawan, tapi dia tidak
mundur. Sebaliknya ia dinegosiasikan: "Mr Smith, biarkan aku memiliki satu
minggu untuk menilai sejarah sosial dan pendidikan Carlos sebelum kami
membuat keputusan. Apakah itu adil? "
Mr Smith enggan setuju. Tapi dia meninggalkan kantor konselor dengan
menggelengkan kepalanya.
Ms Goodwin merasa baik tentang intervensi nya dengan guru matematika, dia
merasa kurang baik tentang bekerja ekstra dia telah memberikan dirinya sendiri.
Ini akan lebih mudah saya hanya mengubah kelas carlos '. Tapi dia menyisihkan
tumpukan folder di mejanya menarik rekor Carlos 'di komputer-nya, dan mulai
bekerja. Carlos menunjukkan nilai rata-rata, dengan sedikit penurunan di kelas
matematika saat sekolah menengah, tapi komentar dari seorang guru kelas enam
tertangkap Ms Goodwies: "Carlos tampaknya melakukan dan belajar lebih baik
dalam kegiatan kelompok . Sebagian besar guru-gurunya mencatat bahwa Carlos
adalah menyenangkan dan bukan masalah perilaku.
Catatan juga memberikan penjelasan singkat mengenai situasi keluarga
Carlos. Dia adalah yang tertua dari enam bersaudara, semua yang dibesarkan oleh
ibu mereka, keluarga telah tiba dari Puerto Rico lima tahun sebelumnya.
Ketika dia selesai meninjau catatan Carlos ', Ms Goodwin mengirim catatan
ke kelas meminta Carlos untuk datang menemuinya selama periode makan siang.
Ketika ia masuk ke kantornya, ia tampak malu dan jelas gugup, takut bahwa ia
sedang dalam kesulitan. Ms Gooddwin menjelaskan kepada Carlos bahwa dia
ingin tahu tentang kelas matematika, bahwa Mr Smith datang ke kantor untuk
berbicara tentang kemajuannya.
"Saya tidak suka matematika." Kata Carlos. Kemudian ia menambahkan.
"Dan aku tidak suka Mr Smith. Dia selalu meminta saya atau memaksa saya ke
papan tulis ketika saya tidak tahu jawabannya "Carlos mengakui bahwa ia sering
merasa malu di kelas aljabar dan meminta Ms Goodwin jika dia bisa mengganti
kelasnya ke tingkat yang lebih mudah.
Ms Goodwin langsung mengenali tanda-tanda harga diri rendah dan
ketidakberdayaan yang dikembangkan Carlos. Ini akan sangat mudah hanya
untuk mengubah kelas Carlos. Tapi itu terlalu cepat, katanya dalam hati.
Sebaliknya ia mulai menjelaskan kepada Carlos pentingnya belajar aljabar,
bagaimana telah dikaitkan dengan skor SAT yang lebih tinggi dan kemampuan
untuk melakukan operasi kompleks banyak diminta oleh pasar kerja saat ini.
Carlos tidak terkesan. "Saya tidak berencana untuk pergi ke perguruan
tinggi." Dia mengatakan.
"Tapi bahkan jika Anda memutuskan untuk tidak pergi ke perguruan tinggi,
Carlos, aljabar dapat membantu Anda mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Itu alasan yang cukup bagi kami untuk mencoba untuk membuat Anda di kelas
Mr Smith. "
Kemudian Ms Goodwin menata dan menjelaskan rencananya untuk Carlos:
"Bagaimana bila seperti ini? Klub matematika bertemu sepulang sekolah dan
memiliki tutor yang bekerja dengan dua atau tiga siswa pada suatu waktu.
Sebagian besar anak-anak Hispanik, sehingga klub juga berencana kegiatan di
sekitar budaya Latin. "Ms Goodwin beralasan bahwa les kelompok kecil akan
menjadi cara yang paling efektif untuk memperbaiki nilai matematika Carlos itu,
dan bahwa kegiatan klub akan membantu meningkatkan harga diri nya.
Dia melanjutkan: "Juga, saya akan bicara dengan Mr Smith dan bertanya
kepadanya tentang kemungkinan Anda melakukan pekerjaan kelompok yang
lebih di kelas. Dan saya akan menyarankan bahwa akan memanggil Anda hanya
ketika ia cukup yakin Anda tahu jawabannya. Dan hanya untuk memastikan
bahwa masalah Anda dengan matematika tidak ada hubungannya dengan
ketidakmampuan belajar, aku akan meminta Anda untuk melihat psikolog
sekolah untuk pengujian. Bagaimana menurut Anda? "
"Oke," jawab Carlos. "Tapi aku tidak bisa melakukan hal setelah sekolah.
Aku punya pekerjaan paruh waktu setelah sekolah, saya bekerja di sebuah pompa
bensin jam empat sore untuk membantu ibuku."
Ms Goodwin merasa binging, yang les dan kegiatan setelah jam sekolah
adalah bagian penting dari rencana. Dia akan untuk datang dengan sesuatu yang
lain yang akan membantu Carlos secara akademis dan emosional tapi itu akan
mengakomodasi kesetiaannya dan tanggung jawab untuk keluarganya. Lalu ia
teringat surat yang telah datang di mejanya beberapa hari sebelum: sebuah
perusahaan teknologi lokal mulai semacam program magang pada hari Sabtu bagi
siswa yang diperlukan untuk bekerja dan ingin belajar teknologi komputer. Dia
menemukan surat di tumpukan to-do di mejanya jahitan dan kemudian
menyerahkannya kepada Carlos untuk membaca.
"Ini mungkin jawabannya," katanya, "Carlos, saya pikir Anda akan
memenuhi syarat untuk program ini, dan jika Anda melakukannya, Anda bisa
mendapatkan hampir sebanyak pada hari Sabtu karena Anda bekerja empat hari
seminggu di pom bensin, "
Carlos tampak ragu-ragu: "Saya harus berbicara dengan ibu saya tentang hal
itu."
"Mungkin aku bisa membantu. Apakah akan baik-baik saja bagi saya untuk
menelepon dan berbicara dengannya? "
"Tentu, tapi dia tidak berbicara bahasa Inggris."
"Jangan khawatir. Aku berbicara sedikit bahasa Spanyol dan kami akan
menemukan cara untuk berkomunikasi. Sekarang mari kita menjadwalkan
pertemuan kami berikutnya dan aku akan menindaklanjuti dengan psikolog
sekolah "
Setelah itu, Carlos pergi, Ms Goodwin membuat panggilan untuk ibunya.
Dalam bahasa Spanyol yang patah-patah, ia memperkenalkan dirinya, dengan
cepat menjelaskan kepada Senora Martines yang takut bahwa Carlos sedang
dalam kesulitan, dan menjelaskan bahwa ia berdosa * ingin membahas
bagaimana Carlos bisa berbuat lebih baik di sekolah. Dia selesai dengan meminta
ibu Carlos untuk datang ke sekolah untuk pertemuan, di mana seorang
penerjemah bisa membantu mereka bicara.
Senora Martinez jelas ingin membantu, tapi dia menjelaskan bahwa hal itu
sangat sulit baginya untuk meninggalkan apartemen. Dia punya tiga anak kecil di
rumah. Dan salah satunya mengidapsakit kronis.
"Puedo visitar su casa?" ("Bisakah aku datang ke rumahmu?") Tanya Ms
Goodwin. Senom Martinez menanggapi mudah. "Como nol Con eso, tidak ada
problema! ("itu tidak masalah!") Dan mereka menetapkan tanggal dan waktu.
Ms Goodwin tersenyum saat dia menulis sendiri catatan untuk meminta Sam
Rosario, asisten guru yang dibesarkan di lingkungan dan berbicara bahasa
Spanyol dengan lancar, untuk menjadi penerjemah pada pertemuan dengan ibu
Carlos.
Konsultasi dengan Guru
Tantangan Ms Goodwin dihadapi dalam studi kasus kami melampaui Carlos,
siswa. Integral dari proses membantu dia sedang berinteraksi dengan gurunya.
Hubungan konselor-guru selalu penting ketika seorang siswa mengalami
permasalahan-permasalahan akademik. Hal ini bahkan lebih penting ketika siswa
adalah anggota dari kelompok minoritas.
Bahwa ada dasar budaya untuk belajar dan kepribadian berarti konselor
sekolah harus peka terhadap konflik antara gaya mengajar tradisional Eropasentris
dan cara siswa yang dari budaya lain tersebut belajar. Vazquez (1998)
menyarankan prosedur tiga langkah untuk mengadaptasi instruksi untuk ciri-ciri
budaya (Gambar 6.2). Dalam modelnya, guru pertama mengidentifikasi sifat
siswa, kemudian meminta serangkaian pertanyaan tentang isi, konteksnya, dan
modus instruksi yang dapat diubah untuk mengatasi sifat mahasiswa dan akhirnya
mengembangkan strategi pembelajaran baru berdasarkan jawaban kepada mereka
pertanyaan. Konselor sekolah dapat memainkan peran dalam setiap langkah dari
prosedur, terutama dengan membantu guru mengidentifikasi ciri-ciri budaya siswa
dan kemudian membantu mereka menemukan cara-cara untuk beradaptasi konteks
dan mode instruksi kepada sifat-sifat.
Tentu saja, efektivitas konselor disini bertumpu pada hubungan dia telah
dengan guru. Ms Goodwin sangat menyadari kebutuhan untuk membangun dan
memelihara hubungan kerja yang baik dengan Mr Smith. Di sisi lain, dia merasa
perlu untuk menantang solusi Mr Smith: menempatkan Carlos di kelas
matematika remedial. Metode ia memilih adalah negosiasi, dia tawar-menawar
untuk beberapa waktu untuk belajar tentang Carlos sebelum membuat keputusan.
Mr Smith terkejut bahwa dia tidak setuju dengan dia firom awal tapi ia berhasil
untuk mengadvokasi mahasiswa tanpa mengasingkan guru.
Kuncinya untuk hubungan masa depan Ms Goodwin dengan Mr Smith dan
kerjasama bersedia di intervensi untuk Carlos terletak pada kemampuannya untuk
datang dengan sebuah rencana yang baik untuk Carlos dan yang masuk akal untuk
Mr Smith. Setiap kolaborasi konselor-guru harus dimulai dengan asumsi bahwa
pihak lain berkomitmen untuk membantu siswa. Jika komitmen itu ada dan
intervensi adalah suara, baik konselor dan guru harus datang jauh dari proses
dengan menghormati satu sama lain.
Prosedur Tiga Langkah Instruksi untuk Istilah Budaya
Langkah 1
Guru mengamati / mengidentifikasi ciri-ciri
siswa
Langkah 2
Sifat dilewatkan melalui "filter" dari tiga
pertanyaan untuk mengidentifikasi aspek pengajaran (konten/isi, konteks, mode) harus
terpengaruh.
Langkah 3
Guru menyampaikan / menulis strategi
pembelajaran baru
1. Carlo sangat khawatir tentang menyenangkan keluarganya.
Isi:
a. Apakah ada aspek dari sifat menunjukkan jenis bahan mengajar?
Konteks:
b. Apakah ada aspek dari sifat tersebut menyarankan fisik pengaturan psikologis saya harus membuat di dalam kelas?
Mode:
c. Apakah ada aspek dari sifat tersebut menunjukkan cara di mana saya harus mengajar?
1. Aku akan memberitahu Carlos bahwa saya akan memberitahu orang tuanya ketika ia tidak bekerja benar-benar baik. (Carlos harus bekerja dengan susah payah dan harapan sehingga baginya konteksnya berubah)
2. Sammy dan Joanna tampak tertarik ketika diberi kerja individual dan lebih "dihidupkan" saat berinteraksi dengan orang lain.
2. Aku akan memberikan lebih banyak kegiatan yang memungkinkan Sammy dan Joanna untuk bekerja pada proyek dengan orang lain dalam kelompok-kelompok kecil. (Mode berubah sejak sarana instruksi telah bergeser untuk memasukkan lebih stident input)
3. Ben tampaknya terintimidasi dan malu
3. Aku akan meminta Ben pertanyaan di
ketika saya mengajukan pertanyaan yang dia tidak tahu jawabannya.
kelas yang saya cukup yakin dia bisa menjawabnya dengan benar, dan bekerja dengan dia secara individu di daerah-daerah di mana ia kurang berpengetahuan. (Strategi ini mempengaruhi baik modus instruksi dan konteks psikologis bagi Ben)
4. Charlotte lebih baik ketika saya mengajar materi melibatkan orang-orang yang berinteraksi dengan satu sama lain.
4. Aku akan mengajarkan konsep-konsep matematika yang lebih dalam contenxt orang berurusan dengan satu sama lain, seperti dalam pembelian, menginjak, pinjaman. (Mode pada dasarnya berubah sesuai gaya pilihan Charlotte pembelajaran)
Konseling Mahasiswa
Ms Goodwin melakukan pekerjaan yang baik dari negosiasi waktu untuk
penilaian Carlos sebelum membuat keputusan yang dapat memiliki konsekuensi
serius bagi masa depannya. Dan dia benar untuk memulai penilaian nya dengan
catatan-catatan sekolah yang merupakan sumber informasi yang berharga, tidak
hanya pada prestasi, tetapi juga pada keluarga latar belakang, hasil tes psikologi,
dan penilaian guru terhadap siswa. Dalam hal ini, Ms Goodwin menemukan
catatan yang menyarankan Carlos bekerja terbaik dalam kelompok kecil. Bahkan,
penelitian menunjukkan bahwa Hispanik, terutama mereka dengan tingkat yang
lebih rendah dari akuisisi budaya kedua, mencapai yang lebih baik dalam
Dalam pertemuannya dengan Carlos, Ms Goodwin tidak langsung
menjelaskan kepada Carlos mengenai harga diri rendah dan ketidakberdayaan
yang dipelajarinya. Tapi reaksi awal Ms Goodwin adalah menempatkan dia di
kelas matematika remedial memberitahu dia untuk masalah lain: kontrol lokus
eksternal Carlos. Anak itu percaya bahwa nasibnya bertumpu pada kekuatan luar
dirinya. Budaya kulit putih Eropa-Amerika memiliki orientasi IC-IR: kontrol
individual dan bertanggung jawab atas perilaku sendiri. Jika Ms Goodwin telah
dikenakan orientasi ini pada Carlos. dia hanya akan menasihati dia untuk bekerja
lebih keras pada matematika (DW Sue & Sue, 1999). Tapi Ms Goodwin mengakui
bahwa ketika Carlos memintanya untuk mengubah, ia berkata, "Aku tidak bisa
melakukan apa-apa tentang masalah saya dalam matematika." Sebuah locus of
control eksternal adalah terlalu umum di antara siswa minoritas, terutama mereka
yang tinggal di kondisi sosial ekonomi yang buruk. Jadi konselor berjanji untuk
berbicara dengan Mr Smith untuk mengubah beberapa aspek dari lingkungan
kelas Carlos. Ia berharap Cados akan merespon kondisi pembelajaran berubah
dengan upaya yang baik untuk meningkatkan keterampilan aljabar.
Konsultasi dengan Orang Tua
Konsultasi dengan orang tua memberikan informasi berharga tentang
sejarah psikososial anak, yang lebih penting, melibatkan orang tua dalam
pendidikan anak mereka. Penelitian telah menunjukkan bahwa keterlibatan orang
tua dalam pendidikan anak mereka, menciptakan lingkungan belajar yang
postitive di rumah, dan harapan akademik positif memiliki dampak yang
signifikan terhadap prestasi siswa (Henderson, 1987). Tapi ketika orang tua
imigran, miskin, atau orang kulit berwarna, membuat mereka terlibat dalam
sebuah kolaborasi dengan sekolah dapat menantang.
Dalam kasus Senora Martinez, ibu Carlos, ada dua masalah: logistik dan
komunikasi. Ini bisa sulit jika tidak mustahil untuk berpenghasilan rendah tunggal
orang tua untuk menghadiri sebuah konferensi di sekolah. Mudah bagi personil
sekolah untuk mengatakan bahwa orang tua ini tidak peduli tentang pendidikan
anaknya. Tapi itu jarang terjadi. Sebagai contoh, satu studi menemukan bahwa
orang tua siswa Hispanik pada risiko gagal di sekolah memiliki aspirasi
pendidikan tertinggi untuk anak-anak mereka dibandingkan dengan orang tua
yang berisiko Anglo, siswa, sukses Anglo, siswa, dan mahasiswa Hispanik sukses
(cam, Furlong, Carranza, Solber, & Jamaika, 1986). Namun, ketika orang tua
yang sama ditanya tentang harapan yang realistis mereka (versus aspirasi) untuk
anak-anak mereka, 43 persen mengatakan ijazah sekolah tinggi, 85 persen dari
orang tua siswa Anglo sukses dan 79 persen dari orang tua siswa Hispanik sukses
diharapkan anak-anak mereka untuk mendapatkan setidaknya gelar sarjana.
Temuan ini menunjukkan bahwa orang tua minoritas peduli tentang pendidikan
anak-anak mereka, lebih atas, mereka menunjukkan pentingnya sekolah konselor
mendorong orang tua siswa beresiko untuk memegang harapan tinggi untuk anak-
anak mereka.
Dalam studi kasus, Ms Goodwin tidak menampik ketidakmampuan Senora
Martinez untuk datang ke sekolah sebagai bukti bahwa dia tidak peduli tentang
pendidikan anaknya, melainkan ia menanggapi realitas situasi Senora Martinez
dengan menawarkan untuk mengunjunginya di rumah. Fleksibilitas semacam ini
pada bagian dari konselor sekolah dapat penting untuk membantu siswa minoritas
mencapai akademis.
Ketika saya bekerja sebagai konselor sekolah di kalangan Latin yang sangat miskin, lingkungan, saya sering mengadakan pertemuan orang tua di kamar masyarakat kompleks apartemen besar di mana siswa banyak sekolah lain hidup. Fleksibilitas yang meningkatkan Keterlibatan orang tua tunggal, juga membahas masalah lain, orang tua intimidasi dari budaya nondominant sering mengalami di sekolah yang dioperasikan oleh budaya yang dominan. Saya menemukan bahwa diferensial kekuasaan antara orang tua dan sekolah berkurang secara substansial ketika saya bertemu dengan orang tua di tempat yang asing bagi mereka.
Ketika orang tua tidak berbicara bahasa Inggris dan konselor tidak berbicara
bahasa mereka, jelas ada akan menjadi masalah komunikasi. Masalah yang lebih
halus adalah kontratransferensi atau kecenderungan untuk memandang rendah
mereka yang tidak berbahasa Inggris (DW Sue & Sue, 1999). Idealnya konselor
sekolah yang bekerja di lingkungan multikultural harus belajar bahasa kelompok
terbesar dari siswa minoritas yang mereka layani. Jika itu tidak layak, mereka
setidaknya harus belajar beberapa kata sehingga mereka dapat membangun
koneksi langsung kepada orang tua siswa mereka. Itulah yang Ms Goodwin
lakukan ketika dia menggunakan Spanyol yang terbatas untuk menelepon Senora
Martinez, membuat sambungan Tapi ketika dia benar-benar mengunjungi rumah
untuk berbicara dengan ibu Carlos, Ms Goodwin berencana untuk membawa
penerjemah. Mr Rosario adalah pilihan yang baik: ia berbicara Spanyol lancar dan
ia dibesarkan di lingkungan, yang berarti Ms Goodwin tidak akan harus
menavigasi daerah asing sendirian.
Jaringan Komunitas
Penelitian menunjukkan kelompok imigran, khususnya Amerika Hispanik,
memanfaatkan jaringan informal untuk mengakses layanan dan membangun
hubungan (De LaRos, 1998; Delgado, 1997,1998; Delgado & Humm-X) elgado,
1982).
Ketika saya menjadi seorang konselor sekolah di Bronx Selatan, banyak
keberhasilan, saya telah bekerja dengan orang tua berasal dari pemimpin jaringan
komunitas yang terlibat di dalam gereja, organisasi pelayanan sosial, dan
kelompok pemuda. Orang-orang ini telah memiliki kepercayaan dari masyarakat,
dan saya mengandalkan mereka untuk membantu saya mendapatkan kepercayaan
orang tua dan berkolaborasi untuk membantu anak-anak mereka. Satu orang yang
saya ingat khususnya adalah seorang imam Katolik setempat, Pastur Joe (el Padre
Jose), yang sering mengunjungi sekolah dan menikmati huubungan dekat dengan
kepala sekolah. Beberapa anggota staf membenci kehadirannya, tapi saya
memutuskan untuk meminta dia untuk menjadi bagian dari jaringan saya.
Sebagian besar orang dalam populasi masyarakat Latin di lingkungan tersebut
adalah Katolik, jadi saya pikir bantuan Pastor Joe bisa sangat berharga. Meskipun
isu-isu tertentu dari jaminan kerahasiaan harus dihormati, ketika Pastor Joe
membantu dengan sejumlah intervensi sensitif untuk siswa dan keluarga mereka.
Ketika Ms Goodwin meminta Mr Rosario untuk mengunjungi rumah
Martinez dengannya, pada dasarnya dia membentuk jaringan komunitas untuk
membantu Carlos. Para manajer perusahaan teknologi lokal, salah magang pada
hari Sabtu, juga akan menjadi bagian dari jaringan yang mengharuskan Carlos
mulai bekerja di sana. Seiring waktu, Ms Goodwin menjadi lebih terlibat dalam
masyarakat setempat-suatu keharusan bagi konselor sekolah -dia akan
menambahkan orang lain dengan keterampilan ke jaringan lain dia bisa
mengandalkan semua siswanya.
D. MEMPROMOSIKAN KESADARAN MULTIKULTURAL
Konselor sekolah, karena pelatihan mereka dan kepekaan mereka terhadap
isu-isu keragaman, secara khusus dilengkapi dengan baik untuk meningkatkan
kesadaran multikultural di sekolah. Seringkali proses ini tidak resmi, hanya
memperkenalkan isu-isu ras dan budaya ke dalam percakapan dengan guru dan
anggota staf lain. Kuncinya adalah untuk menjadi pengetahuan tapi tidak
mengancam. Tetapi yang lebih penting daripada pemberian kesempatan oleh
pertemuan individu adalah kesempatan untuk mengembangkan program untuk
mempertinggi multikultural seluruh sekolah.
LS Johnson (1995) mengusulkan bahwa konselor sekolah membantu
membangun dewan penasehat multikultural dalam sistem sekolah yang diisi
dengan mengidentifikasi isu keragaman. Dewan ini harus mewakili bagian-lintas
dari kelompok ras dan etnis dan fungsi (adrninistrator, guru, orang tua, siswa, dan
tokoh masyarakat). Setelah dewan mengidentifikasi bidang yang menjadi
perhatian, para anggota dapat mulai menetapkan tujuan dan sasaran serta rencana
kegiatan untuk pertemuan mereka. Misalnya, perkiraan dewan adalah untuk
memperhatikan tentang multikultural antara anggota staf sekolah. Dewan
mungkin merekomendasikan serangkaian pengembangan workshop staf oleh
otoritas pada multikulturalisme. Workshop ini bisa memiliki tujuan dua dimensi:
pengetahuan diri dan pengetahuan orang lain. Melalui latihan ras-identitas, guru
dan anggota staff lain dapat memahami dinamika kekuasaan diferensial antara ras
dan etnis. Selain itu, mereka harus mendapatkan pengetahuan budaya yang lebih
baik dari yang mereka kerjakan. Untuk dewan untuk melakukan pekerjaan yang
efektif, harus disetujui dan didukung oleh kepala sekolah dan mungkin dari
pengawasan dari pemerintahan. Perlawanan harus diharapkan dari guru dan
anggota staf sekolah lainnya, yang pada akhirnya tidak berbeda dari masyarakat
ketika ditanya masalah ujian keragaman isu dalam diri mereka sendiri dan sistem
di mana mereka bekerja.
Sejumlah intervensi asing dapat membantu siswa bekerja melalui isu-isu
multikultural. Johnson menyarankan mediasi konflik dan program mediasi teman
sebaya untuk memberikan siswa alternatif kekerasan untuk menyelesaikan konflik
rasial. Konseling kelompok kecil dan unit bimbingan kelompok besar adalah
modalitas yang sangat baik untuk mengembangkan kesadaran
multikultural. Komposisi kelompok-kelompok kecil harus ras dan etnis yang
beragam, dan siswa harus memiliki kesempatan untuk berbagi warisan mereka
dengan satu sama lain. Kurikulum untuk program kelas harus memberikan waktu
bagi siswa untuk memecah menjadi kelompok-kelompok kecil untuk diskusi dan
berbagi. Untuk memimpin kelompok-kelompok, konselor dapat membentuk tim
multikultural terdiri dari anggota staf profesional dan non-profesional yang sangat
tertarik pada isu-isu multikultural (T. Robinson, 1992).
Selama bertahun-tahun saya sebagai konselor sekolah, saya terus-menerus
mencari cara untuk mencapai siswa sebanyak mungkin dengan menggunakan tim
multikultural. Saya sangat bangga satu program saya dikembangkan pada sekolah
menengah (Kelas 5 sampai 8). Saya bekerja dengan sekelompok siswa kelas
delapan yang kemudian akan mentor untuk kelas lima, untuk membantu mereka
menyesuaikan diri dengan sekolah. Program mentor adalah bagian dari kurikulum
bimbingan untuk siswa kelas lima.
Konselor sekolah dapat kewalahan oleh beban kasus besar dan tantangan
untuk mencapai semua siswa di sekolah, atau mereka dapat menemukan cara-cara
kreatif memanfaatkan sumber daya lain di sekolah untuk memperbanyak layanan
mereka. Alih-alih berpikir bahwa mereka harus menyediakan semua layanan
kepada semua siswa, konselor sekolah harus menganggap diri mereka sebagai
koordinator program (Gysbers & Henderson, 2000), yang bekerja sama dengan
orang lain dan mengawasi di sekolah untuk memberikan layanan konseling
paraprofessional.
Akhirnya, mustahil untuk meningkatkan multikulturalisme di sekolah
tanpa pendidikan orang tua (LS Johnson, 1995). Kami berbicara sebelumnya
tentang strategi untuk melibatkan minoritas orang tua dalam pendidikan anak-
anak mereka. Sebuah tantangan yang lebih besar dapat bekerja dengan orang tua
dari budaya yang dominan untuk membantu mereka menghargai populasi di
sekolah anak-anak mereka dan cara keragaman dapat memperkaya pembelajaran
dan perkembangan anak-anak mereka. Tentu saja, banyak orang tua yang bisa
mendapatkan manfaat dari pemahaman tentang keragaman tidak longer.send
anak-anak mereka ke sekolah-sekolah umum, mereka telah membuat keputusan
pendidikan atas dasar ras.
Seorang mahasiswa pascasarjana ras Kulit Putih selalu bersekolah di
sekolah ras yang beragam. Dia mengatakan baru-baru ini bahwa ia terganggu oleh
fakta bahwa anak-anaknya sendiri, karena di daerah yang dijadikan tempat tinggal
keluarganya, mungkin akan menghadiri sekolah yang didominasi Kulit Putih. Dia
meratapi fakta bahwa anak-anaknya tidak akan memiliki pengalaman
multikultural di sekolah, bahwa mereka akan kehilangan sesuatu yang sangat
berharga.
Bagaimana konselor sekolah menjalankan program keragaman kesadaran
bagi orang tua? Sementara siswa belajar dalam kelompok kecil dan ruang kelas,
konselor sekolah dapat menyelenggarakan workshops untuk orang tua tentang
budaya yang berbeda yang diwakili sekolah. Ini masuk akal untuk mengajar
anak-anak tentang apresiasi multikultural jika orangtua mereka membuat
komentar rasis di rumah.
Mendasari diskusi ini, mempromosikan multikulturalisme di kalangan
guru, pelajar, dan orang tua adalah asumsi bahwa Identitas rasial konselor sekolah
sendiri dikembangkan dengan tinggi, dan hati dan jiwa mereka berkomitmen
untuk membantu orang lain memahami keragaman budaya sebagai sumber
pengayaan
PERSIAPAN POSTSECONDARY
Persiapan postsecondary siswa dari latar belakang budaya minoritas
menyajikan tantangan khusus. Seringkali siswa tersebut kurang memiliki panutan
dan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana untuk mempersiapkan
kehidupan setelah sekolah tinggi. Konselor sekolah dapat memainkan peran
penting dengan para siswa dengan menyediakan informasi yang akurat dan
menunjukkan kepada mereka bagaimana aspirasi mereka bisa menjadi kenyataan.
Kebutuhan Informasi yang Akurat
Seorang mahasiswa Honduras kelas delapan datang ke kantor saya untuk
membahas rencana kariernya. Dia bilang dia ingin menjadi seorang
dokter anak. Tanpa pikir panjang, dan dengan seksisme yang dimiliki.
Saya bertanya jika dia benar-benar mengerti dokter medis atau apakah
yang dia maksud adalah seorang perawat pediatrik. Dia menjawab
dengan tegas: bukan perawat. . Seorang dokter medis "Dan kemudian,
hampir dalam napas yang sama, ia menambahkan:" Tapi aku tidak ingin
pergi ke perguruan tinggi dalam empat tahun ".
Realitas ini memiliki banyak hubungannya dengan mempersiapkan siswa
dari kelompok berpenghasilan rendah dan minoritas untuk kehidupan setelah
SMA. Beberapa siswa, seperti anak kelas delapan yang ingin menjadi dokter anak,
membuat tidak ada ruang untuk realitas dalam rencana mereka untuk masa
depan. Masalahnya tidak begitu banyak bahwa mereka menyangkal realitas,
melainkan lebih kurangnya informasi yang akurat dan paparan model peran
kehidupan nyata. Mahasiswa Honduras saya mungkin melihat seorang dokter
anak di acara TV. Dia mungkin tidak pernah ke kantor dokter atau bertemu
dengan seorang dokter yang bisa menjelaskan tahun persiapan akademik yang
terlibat untuk menjadi seorang dokter anak. Siswa minoritas lain melihat realitas
dengan sangat jelas. Kesukaran kehidupan sehari-hari mereka membuat mereka
merasa putus asa tentang masa depan.
Hal ini penting, kemudian, bahwa konselor sekolah, terutama di sekolah
dasar, mengekspos siswa minoritas untuk orang-orang nyata melakukan berbagai
pekerjaan nyata. Yang sama pentingnya adalah kunjungan ke kampus, di mana
anak-anak yang lebih muda dapat berbicara dengan siswa dan professor atau dua.
Seorang teman saya baru-baru ini bercerita tentang anaknya. Kembali di
kelas tujuh anak itu mengunjungi Notre Dame. Sejak saat itu, teman saya
berkata, ia tidak pernah berjuang dengan anaknya tentang melakukan
pekerjaan rumah. Tahun lalu, pemuda itu diterima masuk awal untuk
Notre Dame.
Konselor sekolah bekerja dengan siswa dari budaya minoritas harus
merangsang para siswa tentang peluang karir mereka dan menyediakan mereka
dengan informasi yang akurat tentang pekerjaan yang terlibat dalam membuat
peluang menjadi kenyataan.
Transisi Sekolah ke Pekerjaan
Banyak jumlah siswa minoritas yang tidak melanjutkan ke perguruan
tinggi setelah lulus. Konselor sekolah harus yakin bahwa siswa lulus dari sekolah
dengan bekal pengetahuan dan keterampilan yang mereka butuhkan untuk bekerja
di pekerjaan yang baik. Peluang sekolah ke bekerja (1994) dapat menjadi sumber
daya berharga di sini (lihat Bab 5).Yang menarik adalah pembayaran magang
untuk pemuda berpenghasilan rendah di perusahaan-perusahaan lokal. Tidak
hanya magang ini memberikan pelatihan pekerjaan, yang meningkatkan
kemampuan kerja siswa di masa depan, magang juga menghilangkan tekanan
yang dimiliki banyak anak muda berpenghasilan rendah yang merasa harus
mendapatkan uang, namun juga membantu anak-anak untuk tetap berada di
sekolah. Para kritikus berpendapat bahwa pelatihan adalah variasi dari magang
tradisional, yang melacak siswa untuk karir tertentu. Tetapi penelitian telah
menunjukkan bahwa siswa yang bekerja setelah lulus dilapangan dimana mereka
telah dilatih menjadi lebih baik (Stern, Batu, Hopkins, McMillion, & Crain,
1994). Konselor sekolah harus memeriksa kabupaten mereka ketersediaan
pelatihan. Dana asli dibagikan melalui departemen pendidikan negara, dan semua
distrik sekolah di negara bagian dipersilakan untuk mengajukan bagian dari uang
tersebut.
Jika seorang siswa mengatakan serius bahwa ia ingin pergi ke perguruan
tinggi, konselor sekolah dan sekolah harus melakukan yang terbaik untuk
membuat itu terjadi. Tapi konselor dan sekolah juga memiliki tanggung jawab
untuk mereka yang tidak terikat perguruan tinggi. Untuk siswa tersebut, STWOA
harus menjadi bagian dari program pengembangan karir secara keseluruhan.
E. ISU ETIKA DAN HUKUM
Sebagian besar materi dalam bab ini dirancang untuk membantu konselor
sekolah memahami sosialisasi budaya mereka sendiri dan dari kelompok ras atau
etnis utama di Amerika Serikat. Pemahaman ini bukanlah pilihan, melainkan
merupakan tanggung jawab etis:
Konselor sekolah profesional memahami alasan belakang budaya yang
beragam -dari konseli dengan siapa dia bekerja. Ini termasuk, namun
tidak terbatas pada, belajar bagaimana identitas budaya/ etnis / ras
konselor sekolah berdampak pada nilai-nilai dia dan keyakinan tentang
proses konseling. (American School Counselor Association, 1998, hal. 3)
Arredondo et al. (1996) menyempurnakan definisi ini dalam deskripsi
kompetensi konseling multicultural mereka. Kompetensi diorganisir sekitar tiga
dimensi (keyakinan / sikap, pengetahuan, dan keterampilan), yang masing-masing
memiliki tiga karakteristik (kesadaran konselor tentang asumsinya, nilai-nilai, dan
bias, pemahaman klien memandang dunia dan mengembangkan intervensi strategi
dan teknik yang tepat).
Praktek etis mewajibkan konselor untuk melihat budaya sebagai bagian
penting dari proses konseling dan untuk mengenali perbedaan intragrup (WelfeL,
2002). Ketika konselor gagal untuk mengenali pentingnya budaya, biasanya
mereka memaksakan sosialisasi budaya mereka sendiri pada orang lain, yang
sering menyebabkan mereka untuk membuat penilaian negatif tentang mereka
yang berbeda-suatu bentuk imperialisme budaya. Dan ketika mereka gagal untuk
melihat perbedaan di antara anggota kelompok minoritas, yang berdampak pada
terbentuknya stereotip anggota kelompok itu. Tidak apa-apa untuk melihat pola
budaya untuk menjelaskan atau memahami mahasiswa, tetapi berbatasan pada
tidak etis untuk mengabaikan cara-cara di mana masing-masing siswa berbeda
dari pola itu. Keduanya, identitas ras model Putih dan Hitam, status tertinggi
menggabungkan kebanggaan dalam identitas ras individu dengan pengakuan dan
penghargaan atas perbedaan antara orang-orang.
Dua daerah tertentu yang menimbulkan tantangan etika untuk konselor
sekolah di sekolah-sekolah dengan siswa yang beragam adalah penilaian
pendidikan dan bimbingan karir. Kami telah berbicara panjang lebar tentang
tanggung jawab konselor sekolah 'untuk menjadi yakin bahwa hasil tes standar
tidak digunakan sebagai dasar tunggal untuk penempatan pendidikan (lihat Bab
4). Tanggung jawab itu menjadi lebih penting ketika siswa terisolasi dari budaya
tidak dominan. Penelitian telah menemukan bahwa tes standar bias terhadap siswa
minoritas (Anastasi & Urbina, 1997). Meskipun perbaikan tertentu, tes ini
bernorma pada populasi yang tidak cukup beragam, dan kemudian diberikan
kepada siswa dari latar belakang budaya yang beragam dan diinterpretasikan
tanpa kualifikasi. Kurangnya kemampuan bahasa Inggris juga dapat
mempengaruhi hasil tes negatif, menutupi bakat siswa untuk belajar. Konselor
sekolah tidak dapat menerapkan hasil tes standar untuk digunakan dalam cara
yang mendiskriminasi siswa minoritas.
Tantangan bagi bimbingan karir adalah perasaan tanggung jawab anak-
anak warna terhadap orang tua mereka dan keluarga, tanggung jawab yang
menggantikan keinginan dan tujuan mereka sendiri. Respon para konselor disini
harus menghormati loyalitas siswa kepada orang tua mereka ketika mencoba
untuk menengahi karir yang lebih baik dengan para siswa sendiri
F. KESIMPULAN
Isu-isu keragaman budaya mempengaruhi semua siswa. Konflik antara
budaya asal siswa minoritas dan budaya yang dominan dapat memiliki dampak
yang signifikan pada pengalaman pendidikan dan sosial di sekolah. Dan dengan
tidak menghargai dan belajar dari yang lain, siswa Kulit Putih akan ditolak dari
pendidikan multikultural. Karena efek rasisme dan diskriminasi yang begitu
meluas, konselor sekolah harus mempertimbangkan cara-cara untuk
memperbanyak layanan mereka dengan mengembangkan program-program untuk
menjangkau semua anak. Tentu saja, jika dipaksa untuk membuat pilihan karena
beban kasus yang berlebihan, maka konselor harus memfokuskan energi mereka
pada mereka yang paling berisiko karena tidak mencapai potensi mereka. Dalam
bab ini kita telah menjelaskan keduanya kelompok yang paling berisiko untuk
gagal dan konsekuensi jangka panjang dari kegagalan itu.
Mempromosikan multikulturalisme adalah sebuah tantangan. Tetapi juga
merupakan kesempatan bagi konselor sekolah untuk terlibat dalam membantu
semua siswa, apapun status warna kulit atau sosial ekonomi mereka, untuk belajar
dan untuk mencapai pendidikan. Dan itu bisa membuat perbedaan besar dalam
kehidupan seorang anak.
BAB III
ANALISIS
A. Pembahasan
1. Pengertian Multikultural (Multiculture)
Dalam ensiklopedia Americana “Culture is the whole complex of ideas and
things and activities produce by man in their historial experience” (Kebudayaan
adalah seluruh hasanah gagasan dan benda-benda yang dihasilkan manusia
sepanjang sejarah).
Menurut Wissler, 1929 secara normatif, budaya adalah tatanan kehidupan
yang ditekuni oleh kelompok dianggap sebagai kebudayaan. Yang mencakup
tatanan masyarakat, kebudayaan sesuatu puak/suku (tribe) adalah keseluruhan
kepercayaan dan tatanan yang dianut oleh suku tersebut.
Menurut Small, 1905 kebudayaan dari aspek psikologi merupakan seluruh
alat termasuk yang mekanis, mental dan moral, yang digunakan manusia untuk
mencapai tujuannya. Kebudayaan terdiri dari cara-cara manusia untuk mencapai
tujuannya, baik secara individu ataupun secara berkelompok.
Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah
kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi
kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini
telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep
multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman
secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat
majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan
dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau akan
mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan
demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha,
HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan
moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
“Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian
dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan
tentang penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural
yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga
dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran
politik (Azyumardi Azra, 2007).
Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan
akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan
luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana stiap
pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu
masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai
masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan
yang sangat banyak dan beraneka ragam.
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural
adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan
mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun
secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat dilihat
sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat
tersebut yang coraknya seperti sebuah mozaik. Di dalam mozaik tercakup semua
kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk
terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang
seperti sebuah mozaik tersebut. Model multikulturalisme ini sebenarnya telah
digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa
yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam
penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi “Kebudayaan bangsa (Indonesia)
adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”(Pratama, 2008).
Jadi, Multikultural merupakan suatu paham atau situasi, kondisi masyarakat
yang tersusun dari banyak kebudayaan. Multikultural lebih menekankan pada
kesetaraan budaya. Multicultural sering merupakan perasaan nyaman yang
dibentuk oleh pengetahuan. Pengetahuan yang dibangun oleh keterampilan yang
efektif, dengan setiap orang dari sikap kebudayaan yang ditemui dalam setiap
situasi yang melibatkan sekelompok orang yang berbeda latar belakang
kebudayaannya.
2. Faktor – Faktor Multikultural
Merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa ditolak bahwa negara Indonesia
terdiri atas berbagai kelompok etnis, budaya, agama, dan lain-lain. Oleh karena
itu, bangsa Indonesia disebut sebagai masyarakat multikultural yang unik dan
rumit. Pada dasarnya terdapat banyak faktor yang menyebabkan masyarakat
Indonesia menjadi masyarakat multikultural dan multiras. Menurut Ria (2012)
Faktor-faktor tersebut antara lain:
a. Faktor Sejarah Indonesia
Di mata dunia, Indonesia adalah negeri yang kaya dan subur. Segala sesuatu
yang diperlukan semua bangsa tumbuh di Indonesia. Misalnya, palawija dan
rempahrempah. Oleh karena itu, Indonesia menjadi negeri incaran bagi bangsa
lain. Sejak tahun 1605 bangsa Indonesia telah dikunjungi oleh bangsa-bangsa lain
yaitu Portugis, Belanda, Inggris, Cina, India, dan Arab. Kesemua bangsa tersebut
datang dengan maksud dan tujuan masing-masing. Oleh karena itu, mereka
tinggal dan menetap dalam jangka waktu yang lama. Kondisi ini menjadikan
Indonesia memiliki struktur ras dan budaya yang makin beragam.
b. Faktor Geografis
Apabila dilihat secara geografisnya Indonesia berada di jalur persilangan
transportasi laut yang ramai dan strategis. Karenanya banyak bangsa-bangsa
pedagang singgah ke Indonesia sekadar untuk berdagang. Bangsa-bangsa tersebut
seperti Arab, India, Portugis, Spanyol, Inggris, Jepang, Korea, Cina, Belanda,
Jerman, dan lain-lain. Kesemua bangsa tersebut mempunyai struktur budaya yang
berbeda-beda. Persinggahan ini mengakibatkan masuknya unsure budaya tertentu
ke negara Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari masuknya bahasa Inggris, bahasa
Belanda, agama Islam, Nasrani, Hindu, dan Buddha.
c. Faktor Bentuk Fisik Indonesia
Apabila dilihat dari struktur geologinya, bangsa Indonesia terletak di
pertemuan tiga lempeng benua besar. Hal ini menjadikan Indonesia berbentuk
negara kepulauan yang terdiri atas ribuan pulau. Masing-masing pulau
mempunyai karakteristik fisik sendiri-sendiri. Untuk mempertahankan hidup,
masyarakat di masing-masing pulau mempunyai cara yang berbeda-beda, sesuai
dengan kondisi fisik daerahnya. Oleh karena itu, masing-masing pulau juga
mempunyai perkembangan yang berbeda-beda pula. Teknologi, budaya, seni,
bahasa mereka pun berbeda-beda yang akhirnya membentuk masyarakat
multikultural.
d. Faktor Perbedaan Struktur Geologi
Sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa pada dasarya Indonsia terletak
di antara tiga pertemuan lempeng, yaitu lempeng Asia, Australia, dan Pasifik.
Kondisi ini menjadikan Indonesia mempunyai tiga tipe struktur geologi yaitu tipe
Asia dengan struktur geologi Indonesia Barat, tipe peralihan dengan zona geologi
dengan struktur geologi Indonesia Tengah, dan tipe Australia dengan struktur
geologi Indonesia Timur. Perbedaan inilah yang mengakibatkan adanya perbedaan
ras, suku, jenis flora dan faunanya.
3. Ciri-Ciri Masyarakat Multikultural
Menurut Ayu (2012) ciri-ciri masyarakat multikultural, yaitu :
a. Terjadi segmentasi, yaitu masyarakat yang terbentuk oleh bermacam-macam
suku,ras,dll tapi masih memiliki pemisah. Yang biasanya pemisah itu adalah
suatu konsep yang di sebut primordial. Contohnya, di Jakarta terdiri dari
berbagai suku dan ras, baik itu suku dan ras dari daerah dalam negri maupun
luar negri, dalam kenyataannya mereka memiliki segmen berupa ikatan
primordial kedaerahaannya.
b. Memilki struktur dalam lembaga yang non komplementer, maksudnya adalah
dalam masyarakat majemuk suatu lembaga akam mengalami kesulitan dalam
menjalankan atau mengatur masyarakatnya alias karena kurang lengkapnya
persatuan tyang terpisah oleh segmen-segmen tertentu.
c. Konsesnsus rendah, maksudnya adalah dalam kelembagaan pastinya perlu
adany asuatu kebijakan dan keputusan. Keputusan berdasarkan kesepakatan
bersama itulah yang dimaksud konsensus, berarti dalam suatu masyarakat
majemuk sulit sekali dalam penganbilan keputusan.
d. Relatif potensi ada konflik, dalam suatu masyarakat majemuk pastinya terdiri
dari berbagai macam suku adat dankebiasaan masing-masing. Dalam teorinya
semakin banyak perbedaan dalam suatu masyarakat, kemungkinan akan
terjadinya konflik itu sangatlah tinggi dan proses peng-integrasianya juga
susah
e. Integrasi dapat tumbuh dengan paksaan, seperti yang sudah saya jelaskan di
atas, bahwa dalam masyarakat multikultural itu susah sekali terjadi
pengintegrasian, maka jalan alternatifnya adalah dengan cara paksaan,
walaupun dengan cara seperti ini integrasi itu tidak bertahan lama.
f. Adanya dominasi politik terhadap kelompok lain, karena dalam masyarakat
multikultural terdapat segmen-segmen yang berakibat pada ingroup fiiling
tinggi maka bila suaru ras atau suku memiliki suatu kekuasaan atas
masyarakat itu maka dia akan mengedapankan kepentingan suku atau rasnya.
4. Konseling Multikultural
Kajian menyangkut keragaman budaya dikenal beberapa istilah seperti cross
semestinya meninjau kembali dan mengimplementasikan Critical incident
analysis based learning An approach to training for active racial and cultural
awareness yang mempengaruhi aspek kompetensi multikultural dan mendukung
kesadaran multikultural, (b) para pendidik konselor dan peneliti memerlukan
pemahaman empiris yang luas dan mendalam tentang proses kompetensi dan
nonkompetensi multikultural, dan (c) membuat dan mengimplementasikan
pelatihan kompetensi konseling multikultural.
Temuan penelitian dan kajian teoritis tersebut menjadi dasar peningkatan
kompetensi konseling multikultural konselor sekolah secara integratif yaitu,
kesadaran, pengetahuan dan keterampilan. Kajian ini menyediakan cara
mempelajari konteks budaya konselor konseli, cara meningkatkan kompetensi,
mengatasi permasalahan yang timbul dalam proses konseling multikultural.
Dengan demikian, penelitian ini dapat menambah keluasan literatur konseling
multikultural sebagai bagian integral peningkatan kompetensi konselor sekolah
dan penyempurnaan kurikulum pelatihan konselor. Mengingat profesi konselor di
tanah air telah mendapatkan pengakuan resmi dan semakin tumbuhnya kesadaran
akan perlunya layanan konseling yang berkualitas, maka perlu peningkatan
kompetensi konseling multikultural bagi konselor sekolah. Ketiga dimensi
tersebut membutuhkan perlakuan.
Dalam upaya mensosialisasikan pendidikan multikultural di instansi-instansi
pendidikan, Bimbingan dan Konselinglah yang harus memberikan kontribusi
lebih. Karena Bimbingan sendiri adalah proses untuk membantu seseorang untuk
memahami dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya serta mengembangkan
pandangan-pandangannya sendiri secara bertanggung jawab. Sedangkan
Konseling adalah bantuan yang diberikan kepada individu dalam memecahkan
masalah kehidupannya secara tatap muka. Oleh sebab itu bimbingan dan
konseling harusnya mampu menunjukan peran lebih dalam upaya
mengembangkan pendidikan Multikultural di instansi-instansi pendidikan.
Konselor sekolah dituntut untuk menunjukkan ketrampilan profesional dan
kualifikasi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan konseli yang beragam
perbedaan identitas dan budaya. Keterampilan dasar konseling mencakup
kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif, mendengarkan dengan penuh
perhatian, ketrampilan empati, pengungkapan diri dan pemahaman informasi
pribadi (Hayden Davis, 2006).
Konseling multikultural membutuhkan integrasi kesadaran, pengetahuan dan
keterampilan multikultural dan budaya spesifik ke dalam lingkungan konseling,
dengan penekanan pada teknik terapi yang efektif sesuai konteks budaya
(Pedersen, 1997). Kode Etik Konseling Amerika menggambarkan kompetensi
multikultural sebagai "kapasitas konselor yang memiliki kesadaran dan
pengetahuan tentang keberagaman budaya pada diri sendiri danorang lain, dan
bagaimana kesadaran dan pengetahuan tersebut diterapkan secara efektif dalam
praktek terhadap konseli dan kelompok konseli" (APA, 2006). Konseling
multikultural dan konseling tradisional memiliki konsep yang saling terkait,
"kompetensi konseling multikultural mencakup pengetahuan dan keterampilan
konseling yang lebih spesifik dan mumpuni" (Patterson, 2004), (Fuertes,
Bartolomeo, & Matthew, 2001).
Konseling multikultural tidak mengabaikan pendekatan tradisional yang
monokultur, melainkan mengintegrasikannya dengan perspektif budaya yang
beragam (Rakhmat, 2008). Tujuannya adalah memperkaya teori dan metode
konseling yang bersesuaian dengan konteks konseling. Konseling multikultural
mengharuskan konselor mengambil sikap proaktif terhadap perbedaan budaya,
mengenali dan menghargai multikultural setiap individu serta memiliki
pengetahuan dan kesadaran multikultural. Konselor yang memiliki kompetensi
konseling multikultural dalam layanan konseling menyadari tantangan pemenuhan
layanan beragam konseli. Konselor menghargai dan mampu berinteraksi dengan
beragam konseli, memiliki tata pandang positif terhadap beragam budaya
(Pederson,1988). Konselor memahami manifestasi kultural sebagai keunikan latar
belakang pribadi, sosial dan psikologis. Konselor dapat mengadaptasi
modelmodel, teori-teori dan teknik-teknik konseling dalam rangka menghargai,
memperlakukan dan memenuhi keunikan kebutuhan konseli. Ketrampilan ini
dapat membantu konselor sekolah memahami konseli sebagai individu maupun
anggota kelompok kultural tertentu. Dalam profesi perbantuan, kompetensi
multikultural menunjukkan bahwa a) bentuk penanganan (treatment)
konvensional one-to one untuk memperbaiki permasalahan yang ada dapat
bertentangan dengan pengalaman sosio-politik dan kultural konseli. b) kompetensi
konseling multikultural dapat dilihat dalam tiga dimensi, yaitu komponen
kesadaran terhadap sikap/kepercayaan (attitudes/beliefs component), komponen
pengetahuan (knowledge component) dan komponen ketrampilan (skills
component). c) kompetensi multikultural diarahkan pada tingkat
personal/individual dan tingkat organisasi/sistem. d) Kompetensi multikultural
membahas perkembangan alternatif helping.
Bimbingan dan konseling dalam memberikan arahan kepada siswa, harus
pula memahami teori-teori pendidikan multikultural agar dapat memahami pikiran
seseorang bukan dengan cara menelusuri apa yang ada di balik otaknya dan pada
kedalama jiwanya, melainkan dari asal usul tindakan sadarnya, dari interaksi
sosial yang didasari oleh sejarah hidupnya (Moll & Greenberg). Dengan
mengetahui kondisi sosial dan sejarah hidup seseorang tentunya dapat lebih
mempermudah peranan BK untuk mensosialisasikan Pendidikan multikultural di
kalangan peserta didik.
Bimbingan dan Konseling dapat saja melakukan evaluasi program terhadap
berjalannya proses pendidikan multikultural yang salah satu contohnya dengan
menggunakan teori belajar sosiokultur. Membantu merupakan usaha memberikan
pertolongan dalam menghadapi dan mengatasi tantangan serta kesulitan yang
timbul dalam kehidupan manusia. Melalui proses bimbingan inilah diharapkan
ada usaha lebih giat dari bimbingan dan konseling untuk menanamkan sikap mau
menerima perbedaan kepada seluruh peserta didik, dan sebagai konselor pun
bimbingan dan konseling diharapkan mampu menanamkan sikap menghargai dan
mau menerima budaya lain sebagai obyek yang dapat dipelajari dengan segala
kelebihan dan kekurangannya, tidak kemudian mengganggap budayanyalah yang
paling baik. Hal ini terkait dengan konselor harus berusaha lebih giat untuk
menunjukan peranan bimbingan dan konseling di instansi-instansi pendidikan
agar dapat mewujudkan tujuan-tujuan bimbingan dan konseling sesuai dengan
yang diharapkan. Bimbingan dan konseling mempunyai peranana penting untuk
mengukuhkan adanya pendidikan multikultural di Indonesia.
Bimbingan dan konseling dapat mengadakan ceramah dan bentuk sosialisasi
lainnya agar pendidikan multikultural dapat dikenal oleh peserta didik dan BK
sendiri yang selama ini keberadaannya kurang dirasakan peserta didik dapat mulai
dirasakan kehadirannya ditengah-tengah peserta didik. Akan tetapi dalam
perkembangannya nanti, pendidikan multikultural tidak mungkin langsung dapat
diterima oleh masyarakat. Pendidikan Multikultural membutuhkan proses secara
bertahap agar peserta didik memahami konsep perbedaan, dan mau menerima
setiap perbedaan yang ada. Kemudian meyakini bahwa perbedaanlah yang
menyebabkan hidup ini indah dan tak ada manusia yang sama dalam dunia ini.
Seperti penuturan Lev Vygotsky, jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari
latar sosial dan budayanya.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Isu-isu keragaman budaya mempengaruhi semua siswa. Konflik antara budaya
asal siswa minoritas dan budaya yang dominan dapat memiliki dampak yang
signifikan pada pengalaman pendidikan dan sosial di sekolah. Karena efek
rasisme dan diskriminasi yang begitu meluas, konselor sekolah harus
mempertimbangkan cara-cara untuk memperbanyak layanan mereka dengan
mengembangkan program-program untuk menjangkau semua anak. Tentu saja,
jika dipaksa untuk membuat pilihan karena meliputi beban kasus, maka konselor
harus memfokuskan energi mereka pada mereka yang paling berisiko karena tidak
mencapai potensi mereka. Dalam bab ini kita telah menjelaskan keduanya
kelompok yang paling berisiko untuk gagal dan konsekuensi jangka panjang dari
kegagalan itu.
Mempromosikan multikulturalisme adalah sebuah tantangan. Tetapi juga
merupakan kesempatan bagi konselor sekolah untuk terlibat dalam membantu
semua siswa, apapun status warna kulit atau sosial ekonomi mereka, untuk belajar
dan untuk mencapai pendidikan. Dan itu bisa membuat perbedaan besar dalam
kehidupan seorang anak.
B. Rekomendasi
Dalam laporan bab ini masih banyak hal yang perlu diperbaiki dan jauh dari
kata sempurna, maka dari itu, penyusun merekomendasikan beberapa hal dibawah
ini kepada konselor di sekolah, guru, serta pembaca, yaitu:
1. Konselor sebaiknya selalu meng-upgrade soft skill agar lebih memahami
keragaman budaya konseli
2. Sebainya membuka literatur-literatur terkait dengan pengetahuan
mengenai multikulturalisme karena di Indonesia sangat beragam budaya
3. Keragaman budaya merupakan hal yang perlu diterima dan dipahami agar
terjalin konseling yang efektif dan kondusif
4. Sebaiknya lebih diperbanyak lagi penelitian mengenai bacaan terkait agar
ilmu dan pengetahuannya semakin kaya
DAFTAR PUSTAKA
. (2013). Pendekatan Konseling Multikultural Terhadap AnakBerkebutuhan Khusus. [Online]. Tersedia di: http://jofipasi.wordpress.com/2013/01/23/pendekatan-konseling-multikultur-terhadap-anak-berkebutuhan-khusus/. [21 Februari 2014]
Rahmadonna, Sisca. (-). Peranan Bimbingan dan Konseling dalamMengembangkan Pendidikan Multikultural di Indonesia. [Online]. Tersedia di: http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/lain-lain/sisca-rahmadonna-spd-mpd/artikel%20Sosiokultur%20dalam%20Implementasi.pdf. [21 Februari 2014]
Heru Mugiarso. (2012). Konseling dalam Analisis Lintas Budaya. [Online].
Tersedia di: http://bk-fkip.umk.ac.id/2012/09/konseling-dalam-analisis-lintas-budaya.html. [21 Februari 2014]