Top Banner
65

Cdk 097 Foodborne Diseases

Jun 24, 2015

Download

Documents

diyan110
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Cdk 097 Foodborne Diseases
Page 2: Cdk 097 Foodborne Diseases

1994

9

D

Daftar Isi :

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

7. Food-Borne Diseases

esember 1994

2. Editorial 4. English Summary

Artikel :

5. Pemeriksaan Kebersihan Makanan Restoran dan Katering di DKI Jakarta – Noer Endah Pracoyo, Gendro Wahyuhono, Misna-diarly, Meryani Girsang

8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keadaan Sanitasi Jasaboga – D. Anwar Musadad

11. Perilaku Tenaga Pengolah Makanan Jasaboga – D. Anwar Musadad 16. Enterobiasis pada Anak Usia di Bawah 6 Tahun di Desa Cikaret –

Yuliati, Sahat Ompusunggu 19. Pencemaran Telur Cacing dan Sumber Pencemaran pada Beberapa

Macam Sayuran di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta – Ahmad Hidayat, Sahat Ompusunggu, Syahrial Harun

22. Penelitian-penelitian Fasciolopsiasis di Indonesia – Emiliana Tjitra 26. Penelitian-penelitian Taeniasis di Indonesia – Emiliana Tjitra 32. Penggunaan Antibiotik secara Rasional pada Diare – Pudjarwoto

Triatmodjo 36. Pola Resistensi Shigella sp. yang Diisolasi dari Penderita Gastro-

Karya Sriwidodo WS enteritis di Jakarta terhadap Beberapa Jenis Antibiotik – Pudjarwoto Triatmodjo

40. Penetapan Kadar Kadmium dalam Sayuran dan Air secara Spek-troskopi Serapan Atom dengan Ekstraksi Ditizon dan APDK – Mariana Raini, Daroham Mutiatikum, Ani Isnawati

45. Pengaruh Sanitasi Lingkungan terhadap Kadar Nitrat-Nitrit pada Air Tanah di Pegangsaan Dua dan di Pasar Minggu – Sukar, Agustina Lubis

49. Efek Sinar-X Dosis Tunggal terhadap Kadar Hb Mencit Dewasa strain Quacker-Bush – Suhardjo

53. Kalibrasi Keluaran Pesawat Terapi Linac Mitsubishi di RS Dr. Kariadi, Semarang – Susetyo Trijoko, Dani

57. Indeks Karangan Cermin Dunia Kedokteran tahun 1994

61. Pengalaman Praktek 62. Abstrak 64. RPPIK

Page 3: Cdk 097 Foodborne Diseases

Pernahkah sejawat berpikir bahwa makanan yang diperlukan untuk kesehatan dari pertumbuhan justru dapat menularkan atau menyebabkan penyakit ? Hal tersebut dimungkinkan bila dalam makanan terdapat pula kuman/bakteri penyebab penyakit; atau bila selama pengolahannya telah tercemar baik oleh bakteri atau zat berbahaya lain.

Dalam Cermin Dunia Kedokteran edisi ini dibahas berbagai aspek penyiapan dan kebersihan makanan, dan beberapa penyakit yang dapat ditularkan melalui makanan, termasuk adanya zat kimia yang dapat mem-bahayakan kesehatan.

Pada kesempatan ini Redaksi mengucapkan Selamat Hari Natal 1994 dan Tahun Baru 1995; semoga Cermin Dunia Kedokteran dapat tetap setia mengunjungi sejawat dan tetap berguna di tahun-tahun mendatang.

Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 2

Page 4: Cdk 097 Foodborne Diseases

1994

REDAKSI KEHORMATAN

– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro

Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. R.P. Sidabutar

Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno SKM, MScD, PhD.

Bagian Periodontologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

– Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soe-

darmo Staf Ahli Menteri Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

– Prof. DR. B. Chandra Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

– DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

– Prof.DR.Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta

REDAKSI KEHORMATAN

KETUA PENGARAH Prof. Dr Oen L.H. MSc

KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W

PEMIMPIN USAHA Rohalbani Robi

PELAKSANA Sriwidodo WS

TATA USAHA Sigit Hardiantoro

ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran Gedung Enseval Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih Jakarta 10510, P.O. Box 3117 Jkt.

NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

PENERBIT Grup PT Kalbe Farma

PENCETAK PT Midas Surya Grafindo

– Dr. B. Setiawan Ph.D – DR. Ranti Atmodjo

– Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto

Zahir MSc. – Dr. P.J. Gunadi Budipranoto

PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang tersebut.

Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan menge-nai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di-sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem-baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.

Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe-ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuseripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174–9. Weinstein L, Swartz MN. Padaogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Padaologic physiology: Mecha-nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.

Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002

Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis.

Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 3

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

Page 5: Cdk 097 Foodborne Diseases

English Summary THE INFLUENCE OF ENVIRON-MENTAL SANITATION ON NITRATE-NITRITE CONCENTRATION IN GROUNDWATER IN PEGANGSAAN DUA AND IN PASAR MINGGU Sukar, Agustina Lubis Ecology Research Centre, Health Re-search and DevelopmentBoard, Depart-ment of Health, Jakarta, Indonesia.

This study was conducted in Pegangsaan Dua East Jakarta and in Pasar Minggu, South Ja-karta in 1990. The purpose of this study was to obtain the informa-tion on the impact of distance of septic tank to water source and the depth of water source on nitrate and nitrite concentration.

The result showed that in 40% of samples, nitrate concentration of ground water in Pegangsaan Duo was exceeding the stan-dard according to the Ministry of Health regulation No. 416/1990, while the depth of the water source affect the nitrate and nitrite concentration. Thereby it Is suggested that the depth of watersource should be more than 15 m.

Cermin Dunia Kedok. 1994; 97: 45-8 Sk, AI

CALIBRATION OF THE OUTPUT OF MITSUBISHI LINAC THERAPY MACHINE AT DOKTER KARIADI HOSPITAL Susetyo Trijoko, Dani PSPKR BATAN, Jakarta Indonesia

Radiotherapy Unit, Dr. Kariadi Hospital, Semarang has been equipped with a medical linac machine designed by Mitsubishi that can produce electron and photon beams, each with nomi-nal energy of 6 MeV. In order to assure the correct radiation dose given to patient, the output of the machine should be calibrated periodically, at least every two years, by the National Calibra-tion Facility. Measurements of the electron and photon beams were carried out by using stan-dard equipments and proce-dures recommended by the International Atomic Energy Agency (IAEA). The results can be used as references for calcu-lating doses given to the patient.

Cermin Dunia Kedok. 1994; 97: 53-6 St, Dn

One's luck couldn’t last for ever

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 4

Page 6: Cdk 097 Foodborne Diseases

Artikel

Pemeriksaan Kebersihan Makanan Restoran dan Katering

di DKI Jakarta

Noer Endah Pracoyo, Gendro Wahyuhono, Misnardiarly, Meryani Girsang Pusat Penelitian Penyakit Menular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Makanan merupakan kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia; selain dapat meningkatkan kesehatan dapat pula men-jadi sumbēr penularan penyakit bila tidak dikelola dengan se-mestinya (secara higienis). Dewasa ini banyak makanan disaji-kan oleh para pengusaha jasa boga untuk melayani perkantoran, pasar, pabrik atau untuk umum. Apabila penanganan, baik mulai cara pemilihan, pengelolaan sampai kepenyajian makanan pada konsumen kurang memenuhi syarat kesehatan maka makanan tersebut dapat menjadi sumber penularan penyakit dan meng-akibatkan sakit.

Terjadinya penyakit (infeksi) pada manusia antara lain : • Bila makanan terkontaminasi oleh bakteri patogen seperti Salmonella, Shigella, Brucella, Cholera dan lain-lain. • Bila makanan mengandung mikroba yang mengeluarkan racun misalnya Clostridium perfringens, Cl. botulinum, Vibrio parahaemolyticus, Bacillus cereus. • Bila makanan mengandung bahan kimia yang dapat meng-akibatkan keracunan misalnya : Zn, Cadmium, Antimon, insek-tisida dan lain-lain. • Bila makanan mengandung hewan parasit misalnya : Taenia, Ascaris, Cysticerca, Trichinella dan lain-lain. • Bila makanan telah mengandung racun, misalnya jamur, ketam kastral, ikan dan lain-lain.

Makanan yang dapat mengakibatkan infeksi di dalam tubuh dapat menimbulkan akibat fatal, tergantung dari patogenitas dan jumlah mikroba yang masuk serta kerentanan orang yang terkena; selain itu dapat dipengaruhi pula oleh beberapa faktor yang mendukung berkembang biaknya mikroba atau parasit, misalnya : • Suhu lingkungan : sangat menentukan daya hidup serta berkembang mikroba atau parasit. • Makanan itu sendiri, terutama makanan dari jenis yang mengandung protein yang mudah ditumbuhi mikroba.

• Manusia, yaitu orang yang secara langsung menangani ma-kanan baik cara pemilihan, pengolahan bahan, serta penyajian pada konsumen. • Lingkungan sekitar; meliputi tempat buangan sampah, limbah, vektor (lalat, rodensia, lipas dan lain-lain). • Kontrol terhadap bahan makanan, misalnya alat-alat, cara pengolahan, pengepakan dan lain-lain.

Di negara maju, seperti di Eropa keracunan rnakanan dapat terjadi pada penyediaan makanan di pesawat udara, kapal, ferry dan lain-lain; pada umumnya makanan tersebut tercemar oleh kuman Salmonella, Vibrio parahaemolyticus(1).

Dalam penelitian ini telah diperiksa hasil olahan makanan restoran yang merangkap katering dan katering khusus. Adapun perbedaan antara restoran yang merangkap katering dan katering khusus di sini adalah sebagai berikut : Restoran merangkap katering – Pengolahan makanan tidak

menggunakan dapur khusus, serta alat-alat khusus

– Ruang pengolah makanan tidak terpisah dengan ruang lain

– Dapur tidak dilengkapi dengan tempat buangan sampah

– Tempat menyimpan makan-an digunakan almari

– Pengolah makanan tidak menggunakan pakaian khusus

Katering khusus – Pengolahan makanan di da-

pur khusus dan mengguna-kan alat khusus

– Ruang pengolah makanan terpisah dengan ruang lain

– Dapur dilengkapi dengan

tempat buangan sampah – Tempat menyimpan makan-

an di almari pendingin – Pengolah makanan meng-

gunakan pakaian khusus.

Salah satu faktor untuk menentukan parameter kebersihan makanan adalah dengan pemeriksaan angka kuman aeiob pada hasil olahan makanan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 5

Page 7: Cdk 097 Foodborne Diseases

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor keber-sihan para pengusaha jasa boga baik restoran maupun katering khusus. BAHAN DAN CARA KERJA

Restoran merangkap katering sebanyak 18 buah dan 25 ka-tering khusus bersedia diperiksa hash olahan makanannya. Dari setiap jenis makanan masing-masing tempat pengolah makanan diambil sebanyak 100–200 gram untuk diperiksa secara mikro-biologi di Puslit Penyakit Menular. Dicari angka kuman pada makanan; angka/jumlah kuman yang tumbuh dipakai sebagai indikator kebersihan Tempat Pengolahan Makanan.

Cara pemeriksaan jumlah angka kuman • Contoh makanan diambil sebelum disajikan pada para kon-sumen. • Contoh makanan ditimbang seberat 10 gram, kemudian di-haluskan dengan pisau/gunting/blender steril, kemudian diho-mogenisasi dengan Phosphate Buffer Saline pH 7,2 sebanyak 90 ml, dari kemudian larutan homogen ini dibuat penipisan se-banyak 5–6 kali. • Dari penipisan tersebut diambil sebanyak 1 ml kemudian dicampur dengan agar standar Total Plate Count Agar. • Setelah itu dieramkan di dalam inkubator selama 24 jam dengan suhu 37°C. • Setelah 24 jam di dalam inkubator, kuman yang tumbuh dihitung. Jumlah angka kuman diperoleh dengan rumus sebagai berikut : B A = ––––– X 10 gram contoh makanan C Catatan : A = jumlah angka kuman B = jumlah kuman terhitung C = penipisan

Apabila di dalam makanan ditemukan kuman yang tumbuh,

dihitung dengan menggunakan rumus di atas. Jumlah angka kuman yang diperbolehkan adalah bila

jumlah angka kuman yang tumbuh kurang dari jumlah angka yang tertera pada Pedoman Persyaratan Sementara Cemaran Mikroba dalam Makanan yang dikeluarkan oleh Dir Jen PPM & PLP No. : 027/PPM/II/ 1986(z). HASIL DAN PEMBAHASAN

Diperoleh 190 contoh makanan untuk diperiksa. Contoh makanan tersebut dikelompokkan menjadi 10 kelompok yaitu : sayur, nasi, gulai/opor, rendang, daging/ayam goreng, acar, bakmi, samba], kueh dan buah-buahan (Tabel 1).

Jumlah angka kuman yang tumbuh pada pemeriksaan ma-kanan menurut tempat pengolah makanan dapat dilihat pada Tabel 2.

Jumlah angka kuman tumbuh yang tidak memenuhi syarat kesehatan pada hasil olahan makanan restoran merangkap ka-tering sebesar 72,9%, sedangkan hasil olahan makanan dari katering khusus sebesar 60%. Besarnya prosentase angka kuman pada makanan restoran merangkap katering mungkin berasal

Tabel 1. Jumlah Makanan yang Diperiksa menurut Tempat Pengolahan Makanan dan Jenis Makanan

Jenis Makanan Restoran Merangkap Katering Katering Khusus

1. Nasi 2. Sayur 3. Gulai/opor 4. Rcndang 5. Daging/ayam 6. Acar 7. Bakmi 8. Sambal 9. Kueh 10. Buah

10 12 10 2 12 3 3 2 4 1

22 29 7

11 26 7 1 4

21 3

Tabel 2. Jumlah Angka Kuman yang Tumbuh menurut Tempat Peng- olahan Makanan

Restoran merangkap katering Katering khusus

Jenis makanan

1) 2) 3) 1) 2) 3)

1. Nasi 2. Sayur 3. Gulai 4. Rendang 5. Daging/ayam 6. Acar 7. Bakmi 8. Sambal 9. Kue 10. Buah

10 12 10 2

12 3 3 2 4 1

8 9 5 2 8 3 1 2 4 1

80 75 50

100 66

100 33

100 100 100

22 29 7 I1 26 7 1 4 21 3

12 16 5 5 16 5 1 3 12 3

55 58 71 45 61 71

100 75 57

100

Jumlah 59 43 72,9 131 78 60

Keterangan : 1) = Jumlah rnakanan yang diperiksa 2) = Jumlah makanan yang tidak memenuhi .stanular 3) = Prosentase dari bahan yang sudah terkontaminasi, cara pengolahan makanan dan faktor lingkungan yaitu tempat pengolahan makanan tidak dipisahkan dengan ruangan lain, bahan yang sudah dimasak tidak dipisahkan/ditempatkan pada tempat yang semestinya sehingga kontaminasi mudah terjadi (cross contamination), atau berasal dari para penjamah makanan karena tidak menggunakan pakaian khusus untuk memasak.

Hasil penelitian Institut Pertanian Bogor (1990) menunjuk-kan bahwa jumlah kontaminasi kuman pada pedagang kaki lima yang menetap lebih besar dari hasil pemeriksaan makanan pedagang kaki lima yang berpindah tempat karena makanan yang tersisa disimpan kembali pada temperatur ruangan(1). Selama penyimpanan bakteri/kuman akan tumbuh dan jika pemanasan tidak sempurna bakteri/kuman tidak akan mati(1). Pada pedagang kaki lima yang berpindah tempat makanan yang dijual pada hari itu akan habis pada hari itu pula; pada katering khusus makanan yang dimasak hari itu akan disajikan hari itu pula. Terjadinya kontaminasi pada makanan katering khusus mungkin karena bahannya sendiri telah mengandung kuman atau cara pengolahan makanan yang kurang sempurna(2).

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 6

Page 8: Cdk 097 Foodborne Diseases

Tabel 3. Besarnya Angka Kuman yang Tidak Memenuhi Standar Kese hatan menurut Janis Makanan

Tidak memenuhi standar kesehatan Janis makanan Jumlah makanan

diperiksa n %

1. Nasi 2. Sayur 3. Gulai/opor 4. Rendang 5. Daginglayam 6. Acar 7. Bakmi 8. Sambal 9. Kue 10. Buah

32 41 17 13 38 10 4 6 25 4

20 25 10 7 24 8 2 5 16 4

63 61 59 54 64 90 50 83 64

100

Jumlah 190 121 63

Jumlah seluruh makanan yang tidak memenuhi standar ke-

sehatan sebanyak 121 dari 190 makanan yang diperiksa (63%) (tabel 3); Tabel 4 membedakan jenis makanan yang diolah melalui proses pemanasan terlebih dulu sebelum disajikan dengan makanan (jenis makanan) yang tidak melalui proses pemanasan. Proses pemanasan dapat mempengaruhi pertumbuhan kuman; bakterilkuman akan mati pada suhu di atas 100°C sedangkan bakteri tertentu yang berspora baru akan mati bila dipanaskan lebih dari 100°C. Tabel 4. Prosentase Kuman yang Tumbuh Tidak Memenuhi Standar Kesehatan

Makanan dipanaskan lebih dulu

Makanan yang tidak dipanaskan lebih dulu

1* 2* 3* 1* 2* 3*

1. Nasi 32 20 63 1. Acar 10 8 90 2. Sayur 41 25 61 2. Sambal 6 5 83 3. Gulai 17 10 59 3. Buah 4 4 1004. Rendang 13 7 54 5. Daging 38 24 64 6. Bakmi 4 2 50 7. Kue 25 16 64 Jumlah 170 104 61 20 17 85

Keterangan : 1* = Jumlah makanan yang diperiksa 2* = Jumlah kuman yang tumbuh tidak memenuhi standar 3* = Prosentase jumlah kuman yang tumbuh tidak memenuhi standar

Kuman yang tumbuh mungkin patogen, sehingga dapat terjadi kertacunan makanan.

Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, ada bebe-rapa cara pencegahan infeksi lewat makanan, yakni : • Memutuskan rantai antara sumber penyakit dengan bahan makanan, baik makanan yang sudah diolah maupun makanan yang masih mentah dengan cara menjaga kebersihan makanan

mulai tahap pemilihan bahan sampai tahap dikonsumsi. • Para food handler (penjamah makanan) sebelum memper-siapkan makanan cuci tangan terlebih dahulu (dengan sabun lebih baik). • Penjamah makanan yang sedang sakit terutama diare berat dilarang mempersiapkan makanan. • Makanan mentah sebaiknya dipisahkan dari makanan yang telah dimasak. • Untuk mencegah terjadinya pencemaran silang (cross con-tamination) permukaan tempat masak dibersihkan setelah di-pakai. • Jangan mempersiapkan masakan terlalu dini. • Makanan yang telah dimasak disimpan di tempat yang bersih. Jika terpaksa harus disimpan untuk jangka waktu lama, dijaga dalam keadaan panas (di atas 60°C) atau dingin (di bawah 10°C) Menyimpan makanan dalam waktu lama pada suhu biasa akan memudahkan pertumbuhan kuman atau jamur. • Makanan dari bahan daging, ikan dan makanan yang me-ngandung protein tinggi sebaiknya disimpan di tempat dingin atau freezer. • Makanan harus selalu dijaga dari jangkauan anjing, kucing, tikus, lalat, atau hewan lainnya, serta jauhkan dari limbah buangan. • Gunakan air bersih dan tidak tercemar untuk mencuci dan memasak atau untuk mencuci alat-alat yang digunakan untuk memasak dan menyajikan masakan. KESIMPULAN

Dari hasil pemeriksaan makanan restoran merangkap ka-tering dan katering khusus, ternyata 61% hasil olahannya masih mengandung kuman aerob di atas batas yang telah ditentukan (tidak memenuhi standar kesehatan yang ditentukan).

Pencemaran makanan mungkin terjadi pada saat pengolah-an makanan, pemilihan bahan serta faktor lingkungan misalnya para penjamah makanan, alat-alat yang digunakan, cara penyimpanan dan lain-lain; oleh karenaitu perlu pemantauan kebersihan Tempat Pengolahan Makanan secara rutin.

KEPUSTAKAAN

1. Hilda et al. Bacteria content in food, drink and ice collected from street food handler in Jakarta. Medika 1983; 3.

2. Warta Diare 1988; 4(11): 6-7. 3. WHO. Microbiological aspect of food hygiene, WQHO Tech Rep Ser

1976: 598. 4. Peraturan Menteri Kesehatan No. 712/Menkes/X/1986 tentang Persyaratan

Kesehatan Jasa Boga. 5. Jawetz E et al. The microbiology of special environment. Review of

Medical Microbiology, 12th. ed. Lange Med Publ, Los Angeles, California. 1986. p. 89-90.

6. Yacob M. Safe food handling, WHO 1989. p. 24-26.

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 7

Page 9: Cdk 097 Foodborne Diseases

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keadaan Sanitasi Jasaboga

D. Anwar Musadad

Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Jasaboga atau catering, adalah perusahaan atau perorangan yang melakukan kegiatan pengelolaan makanan yang disajikan di luar tempat usaha atas dasar pesanan(1). Usaha ini kini telah berkembang terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, dimana jasa pelayanan makanan sangat dibutuhkan.

Adanya sentralisasi produksi makanan pada usaha jasaboga menimbulkan jarak antara tempat memasak dan tempat penyajian atau tempat makan serta jarak antara waktu pengelolaan/memasak dan waktu penyajian atau waktu makan. Sedangkan makanan tersebut dimakan pada waktu yang bersamaan oleh banyak orang. Dengan demikian diperluk an- penanganan makanan yang baik, yakni dengan memperhatikan aspek sanitasinya. Cara penanganan yang kurang baik akan menimbulkan risiko rusak atau tercemarnya makanan yang dapat membahayakan kesehatan konsumen.

Di Jakarta diketahui bahwa 56,7% jasaboga keadaan sani-tasinya baik, 39,2% sedang, dan 4,1% jelek(2). Secara bivariate keadaan sanitasi tersebut berbeda secara bermakna atas faktor keikutsertaan pengelola jasaboga dalam kursus penyehatan makanan.

Tulisan ini dimaksudkan untuk menganalisa lebih lanjut guna mengidentifikasi faktor-faktor yang dominan dalam me-nentukan variasi keadaan sanitasi jasaboga.

BAHAN DAN CARA Analisis ini merupakan analisis lanjut dari hasil penelitian

aspek sanitasi pengelolaan jasaboga yang dilakukan terhadap 97 buah jasaboga di DKI Jakarta, tahun 1990.

Sebagai variabel dependen adalah keadaan sanitasi ja-saboga, gabungan dari variabel-variabel yang termasuk critical items dalam penyehatan makanan, yakni variabel-variabel sum6er dan keutuhan makanan, penanganan bahan makanan,

penanganan makanan jadi, penanganan karyawan, penyediaan sarana kesehatan perorangan, penyediaan air bersih, pembu-angan limbah, fasilitas WC, konstruksi bangunan dan proses pencucian alat. Dengan demikian variabel sanitasi jasaboga berupa nilai kontinyu dari hasil penjumlahan nilai-nilai sub variabel di atas.

Variabel independen adalah karakteristik pengelola, ka-rakteristik jasaboga, dan pelayanan kesehatan. a) Karakteristik pengelola, terdiri dari umur, jenis kelamin, tingkat pendidkan formal, dan pendidikan/kursus jasaboga. b) Karakteristik jasaboga terdiri dari kelas/golongan jasaboga, jumlah pegawai tetap, jumlah omzet hidangan per hari, dan lama berdiri perusahaan. c) Pelayanan kesehatan terdiri dari pengawasan sanitasi dan keikutsertaan dalam kursus/penyuluhan penyehatan makanan.

Analisis yang digunakan adalah analisis regresi ganda (multi regression analysis) menggunakan program SPSSPC. HASIL DAN PEMBAHASAN 1) Karakteristik Pengelola Jasaboga

Dari 4 variabel yang dimasukkan dalam analisis, terdapat 2 variabel yang mempunyai peran terhadap variasi keadaan sanitasi jasaboga, yaitu variabel pendidikan dan variabel kursus jasaboga. Apabila hanya memasukkan variabel pendidikan, maka besarnya koefisien determinasi (R2) adalah 0,0645. Sedangkan bila variabel tersebut dimasukkan bersama-sama dengan variabel kursus jasaboga maka diperoleh koefisien determinasi 0,1055. Dengan demikian pendidikan pemilik mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap variasi keadaan sanitasi jasaboga, yakni sebesar 6,5%, sedangkan keikutsertaan pemilik dalam kursus jasaboga mempunyai pengaruh 4,1% terhadap variasi keadaan sanitasi jasaboga.

Tampaknya latar belakang pendidikan dan keikutsertaan

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 8

Page 10: Cdk 097 Foodborne Diseases

pemilik dalam kursus jasaboga mempunyai andil yang cukup berarti terhadap variasi keadaan sanitasi jasaboga, yakni sebesar 10,6%. Hal ini dapat menerangkan bahwa baiknya sanitasi jasaboga juga didasarkan pada pengetahuan yang didapat dari hasil pendidikan.

Jenis kelamin pengelola tampaknya tidak berpengaruh terhadap variasi keadaan sanitasi jasaboga. Wanita, yang bia-sanya baik dan rapi dalam penataan dan pengelolaan makanan, tidak menunjukkan pengaruh terhadap keadaan sanitasi ja-saboga.

Persamaan regresi antara keadaan sanitasi dengan karak-teristik pengelola jasaboga adalah sebagai berikut : Y = 40,25 + 2,10 X1 +3,10 X 2; Y = keadaan sanita.si jasaboga, XI = tingkat pendidikan pengelola, dan X2 = keikutsertaan dalam pendidikan/kursus jasaboga.

Dari persamaan di atas tampak bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan pengelola semakin baik keadaan sanitasi jasaboga. Hal tersebut menunjukkan adanya pengaruh positif tingkat pendidikan pengelola terhadap keadaan sanitasi. Begitu pula keikutsertaan pengelola dalam pendidikan/kursus jasaboga merupakan nilai tambah dalam memperbaiki keadaan sanitasi. Dengan demikian upaya peningkatan pengetahuan terhadap pengelola jasaboga dapat dijadikan cara dalam meningkatkan keadaan sanitasi jasaboga. 2) Karakteristik Jasaboga

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa dari 4 karakte-ristik pengelola yang dimaksukkan dalam analisis, hanya va-riabel jumlah tenaga tetap yang mempunyai pengaruh terhadap variasi keadaan sanitasi jasaboga dengan koefisien determinasi (R2) = 0,07154. Artinya besarnya pengaruh variabel jumlah tenaga tetap pada variasi keadaan sanitasi jasaboga sebesar 7,2%. Walaupun pengaruh tersebut relatif kecil namun secara statistik bermakna (Sign. F = 0,0081 pada derajat kepercayaan 95%).

Persamaan regresi antara keadaan sanitasi jasaboga dengan jumlah tenaga tetap adalah sebagai berikut : Y = 51,10 + 0,17 X (Y adalah keadaan sanitasi, dan X adalah jumlah tenaga tetap jasaboga)

Jumlah tenaga tetap jasaboga dapat menggambarkan besar kecilnya usaha jasaboga. Semakin besar perusahaan jasaboga semakin besar pula kemungkinan keadaan sanitasinya baik.

Dalam analisis ini variabel golongan jasaboga tidak keluar. Hal ini mungkin karenamasing-masing kelas/golongan jasaboga variasinya kurang sehingga perannya tidak tampak. Kemungkinan lain adalah adanya ketidakjelasan penggolongan jasaboga di lapangan. Mosalnya, ada jasaboga yang saarana dan prasarananya masih sederhana tetapi sudah melayani pesanan dalam jumlah besar dan atau untuk kepentingan nasional/internasional.

Begitu pula variabel lama berdiri perusahaan; tidak tampak pengaruh lamanya berdiri yang merupakan pengalaman dalam mengelola jasaboga terhadap keadaan sanitasi. 3) Pelayanan Kesehatan

Keterlibatan petugas kesehatan dalam pembinaan dan pe- ngawasan tempat penyelenggaraan makanan, khususnya ja-

saboga mutlak diperlukan. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa kursus/penyuluhan

tentang penyehatan makanan mempunyai pengaruh terhadap variasi keadaan sanitasi jasaboga sebesar 6,4%, atau koefisien determinasi sebesar 0,0639. Tampaknya kursus/penyuluhan penyehatan makanan yang dilakukan pihak Departemen Kese-hatan menunjukkan hasil positif. Walaupun persentasenya relatif kecil, tetapi secara statistik peran tersebut bermakna (Sign F = 0,0125 pada derajat kepercayaan 95%). Persamaan regresinya adalah Y = 49,10 + 4,90 X (Y adalah keadaan sanitasi, X adalah kursus/penyuluhan penyehatan makanan)

Tampak bahwa dengan keadaan pengelola mendapat kur-sus/ penyuluhan tentang penyehatan makanan, keadaan sanitasi jasaboga menjadi bertambah baik; sedangkan pengawasan/ inspeksi sanitasi yang dilakukan petugas terhadap jasaboga tampaknya belum membuahkan hasil terhadap perbaikan sani-tasi jasaboga. Hal ini dapat dilihat dari tidak berperannya variabel pengawasan sanitasi terhadap variasi keadaan sanitasi jasaboga. Kurang berperannya variabel tersebut kemungkinan pengawasan yang dilakukan petugas tidak dilaksanakan secara rutin dan intensif.

Hasil analisis regresi gabungan terhadap variabel-variabel karakteristik pengelola, karakteristik jasaboga dan pelayanan kesehatan, ternyata hanya variabel jumlah tenaga tetap dan pendidikan jasaboga yang berpengaruh terhadap variasi keadaan sanitasi jasaboga, yakni sebesar 12,4%. Tampak bahwa jumlah tenaga tetap mempunyai pengaruh cukup besar terhadap variasi sanitasi jasaboga sebesar 7,2%, sedangkan pengaruh variabel keikutsertaan pengelola dalam pendidikan/kursus jasaboga sebesar 5,2%.

Dari hasil analisis gabungan ini, ternyata variabel pendidikan dan kursus/penyuluhan penyehatan makanan tidak menunjukkan pengaruh. Tampaknya besar kecilnya perusahaan yang dapat digambarkan oleh variabel jumlah tenaga tetap, dan pendidikan dasar jasaboga merupakan variabel-variabel yang berpengaruh terhadap variasi sanitasi jasaboga. Hal ini memperkuat anggapan bahwa pada awalnya usaha jasaboga hanya merupakan penyaluran hobi atau usaha sampingan ibu-ibu. Tanpa pendidikan resmi yang memadai, tetapi dengan kemauan yang keras dan berbekal pendidikan/kursus jasaboga mereka sudah dapat membuka usaha jasaboga.

Persamaan regresi keadaan sanitasi dengan faktor berpe-ngaruh adalah sebagai berikut : Y = 48,74 + 0,17 X1 + 3,47 X2; Y = keadaan sanitasi, X1 = jumlah tenaga tetap, dan X2 = kursus/pendidikan jasaboga.

Persamaan di atas menunjukkan bahwa sanitasi jasaboga dipengaruhi oleh variasi jumlah tenaga tetap dan keikutsertaan pemilik dalam pendidikan/kursus jasaboga. Akan tetapi secara keseluruhan pengaruh tersebut relatif kecil (hanya 12,4%) ter-hadap variasi keadaan sanitasi jasaboga. Hal ini menunjukkan masih banyaknya faktos lain yang mungkin berpengaruh dan belum masuk dalam analisis ini. Kecilnya pengaruh variabeUkarakteristik pemilik, jasaboga, dan pelayanan ke-sehatan mungkin disebabkan oleh kurang pekanya variabel-

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 9

Page 11: Cdk 097 Foodborne Diseases

variabel tersebut sebagai faktor yang dianggap berpengaruh terhadap variasi sanitasi jasaboga. KESIMPULAN

Hasil analisis regresi ganda menunjukkan bahwa hanya besarnya jumlah tenaga tetap dan keikutsertaan pemilik dalam pendidikan./kursus jasaboga yang berpengaruh terhadap variasi keadaan sanitasi jasaboga, yakni sebesar 12,4%.

Untuk itu perlu dilākukan bimbingan dan pembinaan yang terus menerus terhadap jasaboga, baik melalui pemeriksaan berkala maupun peningkatan materi penyehatan makanan dalam kursus-kursus jasaboga sesuai dengan tingkat pendidikannya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan yang telah memberi kesempatan untuk melakukan penelitian ini. Begitu juga kepada pengurus Asosiasi Pengusaha Jasaboga Indonesia (APJ I) dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian.

KEPUSTAKAAN

1. DepartemenKesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan RI No/712/MEN. KES/PER/X/1986 tanggal 6 Oktober 1986 tentang Persyaratan Kesehatan Jasaboga, Ditjen. PPM & PLP, Jakarta, 1987.

2. Musadad, Anwar dkk. Aspek Sanitasi Pengelolaan Jasaboga. (Laporan Hasil Penelitian), Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Badan Litbangkes Depkes RI. Jakarta, 1990.

3. Northern Ireland Ministry Of Health And Social Services; Clean Catering A Handbook On Premises, Equipment And Practices For The Promotion Of Hygiene In Food Establishments, Her Majesty's Stationery Office, London, 1972.

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 10

Page 12: Cdk 097 Foodborne Diseases

Perilaku Tenaga Pengolah Makanan Jasaboga

D. Anwar Musadad

Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian perilaku tenaga pengolah makanan di 97 buah jasaboga di DKI Jakarta yang meliputi pengetahuan, sikap dan tindakannya dalam hal sanitasi makanan. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner dan pengamatan.

Dari 310 orang yang diwawancarai, hanya 21,0% yang memiliki pengetahuan tinggi tentang sanitasi makanan, 85,2% memiliki sikap yang positif dan 56,8% memiliki tindakan baik dalam hal sanitasi makanan.

Disarankan agar melakukan upaya peningkatan pengetahuan dan pembinaan terhadap tenaga pengolah makanan dan pengelola jasaboga.

PENDAHULUAN

Jasaboga atau catering, adalah perusahaan atau perorangan yang melakukan kegiatan pengelolaan makanan yang disajikan di luar tempat usaha atas dasar pesanan(1). Adanya jarak antara tempat pengolahan dan penyajian makanan serta banyaknya jumlah pesanan menuntut pengelolaan yang profesional se-hingga terhindar dari risiko rusak atau tercemarnya makanan. Pengelolaan makanan yang biasanya hanya ditangani oleh keluarga dengan keadaan tempat dan peralatan yang sederhana, kini harus ditangani oleh tenaga-tenaga yang benar-benar me-miliki pengetahuan dan ketrampilan dalam bidangnya. Seperti diketahui peran dan perilaku tenaga pengolah makanan sangat berpengaruh terhadap kualitas makanan.

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui perilaku tenaga pengolah makanan (TPM), khususnya pengetahuan, sikap dan tindakan (perbuatan) TPM dalam penyehatan makanan jasaboga. BAHAN DAN CARA

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian sanitasi

jasaboga di DKI Jakarta, yakni di 97 jasaboga yang terdaftar di Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Data yang dikumpulkan meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan tenaga pengolah makanan (TPM) dalam hal cuci tangan, penanganan makanan, disinfeksi, peng-gunaan alatpelindung dan hubungan antara penyediaan makanan dengan kejadian penyakit. Sebagai responden adalah seluruh tenaga yang terlibat langsung dalam pekerjaan pengelolaan ma-kanan yang ditemui saat kunjungan penelitian, yakni tukang masak (cook) pembantu tukang masak, tukang racik dan tenaga pengemas. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner dan pengamatan pada waktu TPM melakukan kegiatan pengolahan makanan. Analisis perilaku TPM, yang terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan, dilakukan dengan sistem scoring, yakni memberikan nilai maksimum 100 pada masing-masing pertanyaan sesuai dengan pengelompokannya. Nilai maksimum didasarkan pada kebenaran, kelengkapan dan atau kepositifan jawaban.

Penilaian pengetahuan dan tindakan dikategorikan ke dalam 3 kategori, yakni tinggi, bila jumlah nilai > 80% dari nilai total, sedang bila jumlah nilai antara 60% – < 80% dari nilai total, dan

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 11

Page 13: Cdk 097 Foodborne Diseases

rendah bila jumlah nilai < 60% dari nilai total. Penilaian sikap dikategorikan ke dalam 2 kategori, yakni baik bila jumlah nilai ≥ 80% dari nilai total dan kurang baik bila jumlah nilai < 80% dari nilai total. HASIL

Dari 97 jasaboga yang disurvai, terdapat 310 orang TPM yang berhasil diwawancarai, terdiri dari 137 (44,2%) laki-laki dan 173 (55,8%) perempuan, umur sebagian besar (75,4%) di bawah 35 tahun. Sebagian besar (89,0%) dari mereka merupakan tenaga tetap dengan lama kerja rata-rata di bawah 5 tahun.

Tingkat pendidikan TPM sebagian besar (64,2%) tamat SD dan SLTP dan hanya sebagian kecil (19,7%) saja yang pernah mendapatkan penyuluhan tentang higiene makanan. Mereka yang pernah mendapatkan penyuluhan, 55,7% mengaku men-dapatkan penyuluhan dari petugas kesehatan, 11,5% dari De-partemen Tenaga Kerja, 31,1% dari tempat kursus jasaboga, 11,5% dari Asosiasi Pengusaha Jasaboga Indonesia (APR) dan 1,6% dari Ditjen Pariwisata. Tabel 1. Karakteristik Responden

No. Karakteristik Jumlah Persen

1. Jenis kelamin – Laki–laki 137 44,2 – Perempuan 173 55,8

2. Status tenaga – Tetap 276 89,0 – Tidak tetap 34 11,0

3. Umur 5 19 38 12,3 20 – 24 93 30,1 25 – 29 62 20,1 30 – 34 40 12,9 35 – 39 26 8,4 40 – 44 15 4,9 45 – 49 12 3,9 50 – 54 14 4,5 ~ 55 10 2,9

4. Lama kerja < 1 th 57 18,4 1 – 2 th 78 25,2 3 – 4 th 74 23,9 2 5 th 101 32,6

5. Pendidikan – Tidak sekolah 9 2,9 – Tidak tamat SD 36 11,6 – Tamat SD 99 31,9 – Tamat SLTP 100 32,3 – Tamat SLTA 59 19,0 – Tamat PT 7 2,3

6. Penyuluhan Makanan – Pernah 19,7 – Tidak pernah 80,3

Perilaku Tenaga Pengolah Makanan (TPM)

Perilaku TPM jasaboga terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan TPM dalam hal sanitasi makanan yang meliputi cuci tangan, kebersihan tangan, penanganan makanan, penggunaan alat pelindung kerja, disinfeksi alat dan hubungan antara penyediaan makanan dengan kejadian penyakit.

Pengetahuan Pengetahuan TPM tentang kegunaan cuci tangan, 19,7%

menyebutkan untuk membunuh kuman, 29,0% menyebutkan untuk menghilangkan kotoran, 49,7% menyebutkan keduanya dan 1,6% lagi menjawab tidak tahu. Sedangkan mengenai kegunaan disinfeksi, 66,8% TPM menyebutkan untuk mem-bunuh kuman, 49,7% untuk menghilangkan kotoran, 22,6% untuk menghilangkan bau dan 4,8% menjawab tidak tahu.

Pengetahuan TPM tentang penyakit-penyakit yang dapat ditimbulkan dari makanan yang ditangani secara tidak higienis, 89,0% menyebutkan penyakit perut, 36,8% menyebutkan ke-racunan makanan, 18,1% penyakit kecacingan, 9,0% penyakit saluran pernafasan dan 7,4% menjawab tidak tahu.

Terdapat 33,5% TPM yang menyebutkan bahwa makanan dikatakan rusak apabila makanan tersebut sudah berjamur, 47,1% menyebutkan rasanya berubah, 42,9% menyebutkan warnanya berubah, 71,6% menyebutkan makanan berbau, 59,0% makanan berlendir dan 1,9% menjawab tidak tahu. Untuk mencegah agar makanan yang diolah tidak cepat rusak atau basi, 22,9% TPM menyebutkan agar makanan tidak kontak secara langsung dengan anggota tubuh, 61,3% menyebutkan dengan cara me-masaknya yang benar, 58,4% menyebutkan cara penyimpanan-nya harus baik, 43,9% menyebutkan dengan menggunakan alatalat yang bersih dan 5,8% menjawab tidak tahu.

Dari jawaban jawaban TPM tentang pengetahuan sanitasi makanan tersebut di atas, maka setelah dilakukan scoring di-dapatkan keadaan tingkat pengetahuan TPM seperti dalam Tabel 2. Tabel 2. Tingkat Pengetahuan TPM Tentang Sanitasi Makanan

Kriteria Jumlah Persen

Rendah Sedang Tinggi

165 80 65

53,2 25,8 21,0

Jumlah 310 100,0

Apabila tingkat pengetahuan TPM tersebut dikaitkan den-

gan faktor-faktor karakteristik TPM seperti jenis kelamin, tingkat pendidikan, status karyawan, lama kerja dan keikutsertaan dalam penyuluhan higiene makanan, maka didapatkan hasil pengujian statistiknya seperti terlihat dalam Tabe13. Tabel 3. Tingkat Kemaknaan Uji Chi-square Tingkat Pengetahuan TPM Menurut Karakteristik Responden

Karakteristik Responden Pengetahuan

1. Jenis kelamin 0,7874 2. Pendidikan 0,0187 3. Status karyawan 0,4386 4. Lama kerja 0,6279 5. Penyuluhan Higiene Makanan 0,0003 Tabel 3 menunjukkan bahwa ada perbedaan pengetahuan

yang bermakna atas faktor pendidikan dan penyuluhan higiene makanan. TPM yang memiliki tingkat pendidikan SLTA ke atas mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 12

Page 14: Cdk 097 Foodborne Diseases

TPM yang memiliki tingkat pendidikan SLTP ke bawah. Begitu pula TPM yang pernah mendapatkan penyuluhanhigiene makanan mempunyai pengetahuan lebih tinggi dibandingkan dengan TPM yang tidak pernah mendapatkan penyuluhan higiene makanan (p<0.05). Sedangkan pengetahuan TPM atas variabel jenis kelamin, status karyawan dan lama kerja TPM tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0,05).

Sikap Sikap TPM terhadap kebiasaan mencuci tangan sebelum

memasak atau memegang makanan dan disinfeksi peralatan pada umumnya baik. Hampir seluruh TPM (99,7%) menganggap perlu melakukan cuci tangan sebelum melakukan kegiatan memasak atau memegang makanan dan 96,5% menganggap perlu setiap peralatan bekas makan didisinfeksi.

Sebagian besar (83,5%) TPM setuju apabila makanan yang waktu penyajiannya lebih dari 6 jam setelah dimasak disimpan di tempat dingin dilakukan pemanasan ulang. Tetapi hampir se-paruh (46,5%) dari mereka tidak setuju bahwa makanan jasaboga tersebut dapat menjadi media penularan penyakit. Untuk menghindari terjadinya pencemaran terhadap makanan, sebagian besar (89,7%) TPM setuju apabila setiap pengolah makanan menggunakan alat pelindung kerja seperti tutup kepala dan celemek (Tabel 4). Tabel 4. Karakteristik Responden

Sikap Jumlah Persen

1. Penanganan makanan yang penyajiannya > 6 jam – Setuju – Tidak setuju – Tidak ada pendapat 2. Makanan dapat menjadi media penularan penyakit – Setuju – Tidak setuju – Tidak ada pendapat 3. Penggunaan alai pelindung – Setuju – Tidak setuju – Tidak ada pendapat

259 37 14

127 144 39

278

7 25

83,5 12,0 4,5

41,0 46,5 12,5

89,7 2,3 8,1

Berdasarkan keadaan di atas maka diperoleh gambaran 46 (14,8%) TPM memiliki sikap kurang baik terhadap sanitasi makanan dan 264 (85,2%) baik. Apabila sikap TPM tersebut dikaitkan dengan karakteristik TPM seperti jenis kelamin, tingkat pendidikan, status karyawan, lama kerja, keikutsertaan dalam penyuluhan higiene makanan, dan tingkat pengetahuan maka hasil pengujian statistiknya seperti dalam Tabel 5. Tabel 5. Tingkat Kemaknaan Uji Chi-square Sikap TPM Menurut Karakteristik Responden

Karakteristik Responden Sikap

1. Jenis kelamin 0,3627 2. Pendidikan 0,2755 3. Status karyawan 0,4295 4. Lama kerja 0,6279 5. Penyuluhan Higiene Makanan 1,0000 6. Tingkat Pengetahuan 0,0169

Dari tabel 5 tampak bahwa tidak ada perbedaan sikap yang bermakna atas faktor-faktor tersebut, kecuali atas tingkat pengetahuannya tentang sanitasi makanan.

Tindakan Sebagian besar TPM memiliki kebiasaan yang baik dalam

hal mencuci tangan; 94,5% responden mengaliu selalu dan hanya 5,5% yang kadang-kadang saja mencuci tangan sebelum melakukan kegiatan memasak atau memegang makanan. Dalam melakukan cuci tangan, 87,4% selalu menggunakan sabun, 12,3% hanya kadang-kadang dan 0,3% tidak pernah menggunakan sabun. Begitu juga kebiasaan mencuci tangan setelah buang air besar, sebagian besar (91,9%) menyebutkan selalu menggunakan sabun dan 70,8% mengaku selalu melakukan disinfeksi (Tabel 6).

Tabel 6. Tindakan TPM dalam Mencuci Tangan sebelum Masak, setelah Buang Air Besar dan Disinfeksi Peralatan

Tindakan TPM

Selalu Kadang2 Tidak Jumlah

No. Jenis Tindakan

n % n % n % n %

1.

2.

3.

Cuci tangan sebelum masak/makan Cuci tangan pakai sabun setelah BAB Disinfeksi Alat

293

285

211

94,5

91,9

70,8

17

25

70

5,5

8,1

23,5

0

0

17

0,0

0,0

5,7

310

310

298

100,0

100,0

100,0

Dalam melakukan kegiatan pengolahan makanan sebagian. besar (72,8%) TPM tidak menggunakan cincin di jari tangannya. Sedangkan penggunaan tutup kepala dan celemek, hanya 58,1% yang menggunakan tutup kepala dan 74,2% yang menggunakan celemek saat melakukan kegiatan memasak (Tabel 7). Dalam penggunaan tutup kepala, 85,6% dari mereka mengaku selalu menggunakan tutup kepala setiap hari. Mereka yang tidak meng-gunakan tutup kepala atau hanya kadang-kadang saja, 32,2% memberi alasan tidak praktis atau repot, 29,6% karena alatnya tidak tersedia, 37,5% karena panas, dan 0,7% karena alasan lain. Sedangkan mereka yang tidak menggunakan celemek, 37,5% memberikan alasan karena alatnya tidak tersedia, 42,5% karena tidak praktis atau repot dan 20% karena merasa panas.

Tabel 7. Tindakan TPM dalam Penggunaan Cincin, Tutup Kepala dan Celemek

Tindakan

Ya Tidak Jumlah

No. Jenis Tindakan

n % n % n %

1.

2.

3.

Tidak menggunakan cincin di tangan Menggunakan tutup kepala Menggunakan

225

180

230

72,8

58,1

74,2

84

130

80

27,2

41,9

25,8

309

310

310

100,0

100,0

100,0

Pada waktu dilakukan pengamatan terhadap TPM, sebagian besar (90,0%) keadaan kuku tangannya terpotong pendek.

Setelah dilakukan scoring dan pengelompokan terhadap tindakan tersebut, maka didapatkan keadaan tindakan seperti pada Tabe1 8.

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 13

Page 15: Cdk 097 Foodborne Diseases

Tabel 8. Tindakan TPM dalam Sanitasi Makanan

Kriteria Jumlah Persen

Buruk Sedang Tinggi

46 88 176

14,8 28,4 56,8

Jumlah 310 100,0

Apabila tindakan pengolah makanan tersebut dikaitkan dengan faktor-faktor karakteristik TPM seperti jenis kelamin, tingkat pendidikan, status karyawan, lama kerja, keikutsertaan dalam penyuluhan higiene makanan, tingkat pengetahuan, dan sikapnya terhadap sanitasi makanan maka hasil pengujian statis-tiknya terlihat seperti dalam Tabel 9.

Tabel 9. Tingkat Kemaknaan Uji Chi-square Tindakan TPM menurut Karakteristik Responden

No. Karakteristik Responden Tindakan

1 Jenis kelamin 0,4908 2 Pendidikan 0,0391 3 Status karyawan 0,1016 4 Lama kerja 0,0000 5 Penyuluhan Hyg. Makanan 0,0001 6 Tingkat Pengetahuan 0,1070 7 Sikap 0,1428

Ternyata tabel 9 menunjukkan adanya perbedaan tindakan yang bermakna atas faktor pendidikan, lama kerja dan keikut-sertaan responden dalam penyuluhan higiene makanan (p<0.05), sedangkan atas faktor lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0.05). PEMBAHASAN

Perhatian tenaga pengolah makanan (TPM) terhadap aspek sanitasi dan sikapnya dalam penanganan makanan merupakan hal yang sangat penting dalam berperilaku saniter. Diasumsikan orang yang memiliki pengetahuan tinggi akan sesuatu hal ia akan memiliki sikap yang baik atau positif terhadap hal tersebut. Selanjutnya orang yang memiliki sikap yang baik atau positif terhadap hal tersebut ia akan memiliki tindakan yang baik pula.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 21,0% TPM yang memiliki pengetahuan tinggi tentang sanitasi makanan. Sebagian besar TPM pengetahuannya rendah dan sedang. Responden tidak mengetahui secara lengkap mengenai tanda-tanda makanan yang rusak serta cara pencegahannya. Begitu juga dengan penyakit-penyakit yang dapat ditimbulkan oleh keadaan makanan yang tidak higienis. TPM yang memiliki tingkat pengetahuan rendah tentang sanitasi dikhawatirkan akan memiliki sikap yang kurang baik dan tidak termotivasi untuk melakukan tindakan-tindakan saniter, dan bahkan banyak melakukan kesalahan dalam pengelolaan makanan yang dapat berakibat membahayakan keamanan makanan.

Tingkat pengetahuan TPM tentang sanitasi makanan hampir merata, baik pada TPM laki-laki maupun perempuan. Begitu juga pada TPM yang lama kerjanya tinggi dengan TPM yang lama kerjanya rendah tidak menunjukkan perbedaan tingkat pengetahuan. Tingkat pengetahuan TPM yang rendah di-

mungkinkan karena tingkat pendidikannya yang rendah pula. Sebagian besar TPM adalah SLTP ke bawah. Hasil pengujian statistik ternyata menunjukkan perbedaan yang bermakna, di mana TPM yang memiliki tingkat pendidikan tinggi memiliki pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan TPM yang memiliki tingkat pendidikan rendah. Menurut Rogers (1974) orang yang memiliki tingkat pendidikan rendah relatif sulit menerima hal-hal yang bersifat baru. Sebaliknya orang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi cenderung lebih terbuka dan mudah menerima hal-hal baru(2). Hasil pengujian statistik me-nunjukkan perbedaan pengetahuan yang bermakna atas faktor keikutsertaan TPM dalam penyuluhan higiene makanan. TPM yang pernah mendapatkan penyuluhan higiene makanan me-miliki pengetahuan lebih tinggi dibandingkan TPM yang belum pernah mendapatkan penyuluhan higiene makanan.

Secara teoritis, orang yang memiliki pengetahuan tinggi akan memiliki sikap yang baik atau positif. Sebaliknya orang yang memiliki pengetahuan rendah biasanya akan bersikap ku-rang baik. Sikap merupakan ungkapan rasa atau tanggapan batin terhadap keadaan atau rangsangan dari luar(2).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap TPM terhadap sanitasi makanan umumnya baik. Mereka sebagian setuju dengan adanya keharusan TPM menggunakan alat pelindung kerja pada waktu melakukan pengolahan makanan. Mereka juga setuju dan menganggap perlu melakukan cuci tangan sebelum melakukan pekerjaan memasak atau memegang makanan, me-lakukan disinfeksi terhadap peralatan makan serta penanganan terhadap makanan yang waktu penyajiannya lebih dari 6 jam. Persetujuan mereka terhadap tindakan di atas telah menunjukkan sikap yang baik. Walaupun demikian hampir separuh dari mereka tidak setuju apabila dikatakan makanan jasaboga dapat menjadi media penularan penyakit. Kemungkinan sikap tersebut timbul didasarkan pada keyakinan dan pengalaman bahwa makanan yang mereka olah keadaannya baik dan merasa tidak mungkin membahayakan. Padahal kemungkinan tercemarnya makanan, baik karena lingkungan maupun perilaku TPM besar sekali.

Sikap TPM terhadap sanitasi makanan hampir sama saja, baik pada tenaga laki-laki maupun perempuan, tenaga harian maupun tenaga tetap, mendapatkan penyuluhan higiene makan-an maupun tidak. Sikap mereka terhadap sanitasi makanan juga tidak berbeda, baik yang memiliki lama kerja tinggi maupun yang memiliki lama kerja rendah dan tingkat pendidikan tinggi maupun tingkat pendidikan rendah. Ketiadaan perbedaan sikap atas faktor-faktor tersebut dimungkinkan karena sikap tidak secara langsung dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut, tetapi lebih oleh pengertian dan pengalaman orang yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan pendapat yang menyebutkan bahwa sikap juga dipandang sebagai hasil belajar, yang diperoleh dari hasil interaksi dengan objek sosial atau peristiwa sosial(3). Hasil pengujian statistik menunjukkan adanya perbedaan sikap yang bermakna atas tingkat pengetahuannya. TPM yang memiliki pengetahuan tinggi memiliki sikap yang lebih baik dibandingkan dengan TPM yang memiliki pengetahuan rendah. Dengan de-mikian kemungkinan tumbuhnya sikap yang baik disebabkan

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 14

Page 16: Cdk 097 Foodborne Diseases

oleh karena pengetahuannya yang tinggi tentang sanitasi ma-kanan.

Sikap juga sering diartikan sebagai kecenderungan untuk bertindak(4). Orang yang memiliki sikap yang baik akan memiliki tindakan yang baik pula. Hasil menunjukkan bahwa ternyata tindakan TPM tidak berbeda secara bermakna atas sikapnya. Tindakan TPM yang memiliki sikap yang baik tidak berbeda jauh dengan TPM yang memiliki sikap yang kurang baik. Hal ini menggambarkan bahwa tindakan tidak selalu berasosiasi dengan sikapnya. Seringkali sikap yang dikemukakan tidak tercermin dalam tindakannya. Tidak searahnya sikap dengan tindakan kemungkinan disebabkan adanya berbagai hambatan dan faktor ketiadaan sarana. Tetapi tindakan tersebut menunjukkan perbedaan yang bermakna atas faktor-faktor pendidikan, lama kerja dan keikutsertaannya dalam penyuluhan higiene makanan. TPM yang tingkat pendidikannya tinggi memiliki tindakan yang baik dibandingkan TPM yang memiliki lama kerja rendah, Begitu juga TPM yang pernah mendapatkan penyuluhan higiene ma-kanan memiliki tindakan yang lebih baik dibandingkan dengan TPM yang belum pernah mendapatkan penyuluhan higiene ma-kanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa tindakan yang dilaku-kan didasarkan pada pengetahuan yang didapatkan dari hasil penyuluhan higiene makanan serta pengalaman bekerja. Peri-laku yang didasarkan pada pengertian dan kesadaran biasanya relatif langgeng.

Pada umumnya TPM memiliki tindakan yang baik dalam hal sanitasi makanan, di mana sebagian besar mengaku selalu men-cuci tangan sebelum melakukan pekerjaan memasak atau me-megang makanan, selalu mencuci tangan menggunakan sabun setelah buang air besar dan selalu melakukan disinfeksi terhadap peralatan makan. Begitu juga hasil pengamatan terhadap keada-an kukunya sebagian besar terpotong pendek dan tidak meng-gunakan cincin saat melakukan pengolahan makanan. Namun demikian ternyata di antara mereka ada sebagian yang tidak menggunakan alat pelindung kerja pada waktu memasak, hanya kadang-kadang mencuci tangan, tidak menggunakan tutup ke-

pala dan tidak menggunakan celemek. Keadaan demikian di-khawatirkan akan dapat mencemari makanan dan seterusnya dapat membahayakan konsumennya. Pengalaman menunjukkan bahwa sebagian besar penyakit-penyakit yang ditularkan melalui makanan berasal dari karyawan-karyawan yang sakit, berperilaku tidak higienis dan menerapkan cara-cara yang tidak saniter dalam penyiapan makanan(5). KESIMPULAN

Tulisan di atas menunjukkan bahwa perilaku TPM dalam hal sanitasi makanan di jasaboga relatif masih rendah. Hanya 21,0% yang memiliki pengetahuan tinggi, 85,2% memiliki sikap baik dan 56,8% memiliki tindakan baik dalam hal sanitasi makanan.

Untuk meningkatkan pengetahuan serta keterampilannya dalam pengelolaan makanan dalam kaitannya dengan sanitasi makanan perlu adanya peningkatan bimbingan dan penyuluhan sanitasi makanan, baik terhadap tenaga pengolah makanan maupun bagi pengelolanya.

UCAPAN TERIMA KASIH Rasa terima kasih penulis sampaikan kepada /r. Ny. H. Sri Soewasti

Soesanto, MPH, Kepala Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan yang telah mem-berikan kesempatan untuk melakukan penelitian ini, serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian.

KEPUSTAKAAN

1. Departemen Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 712/ MEN.KES/PER/X/1986 tgl 6 Oktober 1986 tentang Persyaratan Kesehatan Jasaboga, Ditjen. PPM&PLP, Jakarta; 1987.

2. Soekidjo Notoatmodjo, Solita Sarwono. Pengantar Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: FKMUI, 1985.

3. Mar'at. Sikap Manusia, Perubahan Serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.

4. Bertrand LA. Sosiologi, Kerangka Acuan, Metoda Penelitian, Teori-teori tentang Sosialisasi, Kepribadian dan Kebudayaan, Penerbit PT Bina Ilmu, Surabaya; 1980.

5. Longree K, Blaker GG. Sanitary Techniques. New York: John Wiley & SOns Inc, 1971.

People don't plan to fail, they just fail to plan

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 15

Page 17: Cdk 097 Foodborne Diseases

Enterobiasis pada Anak Usia Di bawah 6 Tahun

di desa Cikaret

Yuliati, Sahat Ompusunggu Institusi Pendidikan Tenaga Kesehatan, Yayasan Rumah Sakit Mohammad Husni Thamrin, Jakarta

ABSTRAK

Suatu survei untuk Mengetahui prevalensi enterobiasis dan pencemaran jari tangan oleh telur cacing telah dilakukan pada anak-anak umur di bawah 6 tahun di desa Cikaret, Sukabumi, Jawa Barat. Pemilihan sampel dilakukan dengan cara systematic random sampling, pemeriksaan enterobiasis dilakukan dengan Scotch adhesive tape menurut Graham dan pemeriksaan cucian jari tangan dengan sedimentasi.

Hasil menunjukkan bahwa prevalensi enterobiasis pada anak-anak ini relatif tinggi (53,8%) dan angka infeksi makin meningkat dengan meningkatnya umur. Juga ada hubungan antara jumlah telur Enterobius vermicularis yang melekat di anus dengan terjadinya pruritus. Adapun besarnya angka pencemaran telur E. vermicularis pada jari tangan penderita enterobiasis ini juga relatif tinggi (6,6%).

PENDAHULUAN

Enterobius vermicularis adalah salah satu jenis cacing usus yang masih tinggi infeksinya di Indonesia. Jenis cacing ini tidak dimasukkan sebagai kelompok cacing yang ditularkan melalui tanah, (soil transmitted helminths) melainkan dalam kelompok contagious or faecal-borne helminths(1) sebab infeksi umumnya terjadi melalui kontaminasi tangan dengan anus. Biasanya in-feksi jenis cacing ini terjadi di lingkungan keluarga sebab juga biasa terjadi melalui perantaraan alat-alat tidur yang terkonta-minasi telur(2).

Tidak seperti cacing usus umumnya yang bertelur di rongga usus, Enterobius vermicularis bertelur di sekitar anus sehingga telurnya tidak akan ditemukan dengan pemeriksaan tinja. Sebab itu untuk mendiagnosis enterobiasis digunakan alat apus anus (anal swab), yang biasa dipakai adalah apus anus Scotch adhe-sive tape menurut Graham.

Umumnya pemeriksaan dalam survei-survei infeksi cacing usus di Indonesia adalah pemeriksaan tinja sehingga infeksi Enterobius vermicularis jarang dilaporkan, namun beberapa laporan yang ada menunjukkan angka infeksi yang termasuk

tinggi. Pemeriksaan yang pernah dilakukan di daerah Menteng, Jakarta pada tahun 1991 terhadap seluruh kelompok umur menunjukkan prevalensi enterobiasis berkisar antara 5-65,2% sesuai dengan kelompok umurnya(3). Pemeriksaan terhadap anak-anak umur hingga 14 tahun yang dirawat tinggal di UPF RSUD Saiful Anwar Malang menunjukkan angka infeksi oleh Enterobius vermicularis sebesar 13%(4). Penelitian di daerah Condet Jakarta atas penduduk dari seluruh kelompok umur menunjukkan prevalensi sebesar 34,1%(5). Penelitian-penelitian ini seluruhnya menggunakan alat apus anus Scotch tape. Pemeriksaan bahanbahan autopsi sejak tahun 1955-1979 di Jakarta menunjukkan persentase positif cacing dewasa Enterobius vermicularis perperiode waktu sebesar 39% (1952-1955), 9,8% (1967-1971) dan 7,8% (1979)(6).

Sebagaimana telah disebutkan, cacing dewasa E. vermicu-laris bertelur di anus; akibat perlekatan telur anus akan terasa gatal sehingga penderita, terutama anak-anak, akan menggaruk anusnya dan selanjutnya menyebabkan reinfeksi yang berkesi-nambungan bila anak-anak makan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu. Iritasi ini menyebabkan pruritus.. Gejala pruritus ani

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 16

Page 18: Cdk 097 Foodborne Diseases

merupakan gejala yang umum terdapat pada penderita entero-biasis(7). Laporan pemeriksaan kuku jari tangan untuk menge-tahui angka pencemaran juga sangat jarang. Suatu pemeriksaan kuku anak-anak SD di kecamatan Tanggulangin, Kab. Sidoarjo menunjukkan pencemaran oleh telur E. vermicularis sebesar 1,7% dari 60 orang yang diperiksa(8).

Berikut ini akan dilaporkan hasil survei pemeriksaan apus anus dan pemeriksaan jari tangan yang dilakukan di desa Cikaret, Sukabumi, Jawa Barat pada tahun 1992. Selain mengemukakan besarnya prevalensi enterobiasis dan angka pencemaran jari tangan, juga dikemukakan hubungan antara besarnya jumlah telur cacing dengan kejadian pruritus. BAHAN DAN CARA KERJA

Survei dilakukan di desa Cikaret, Sukabumi, Jawa Barat pada tahun 1992. Sampel adalah 106 anak-anak umur di bawah 6 tahun. Pemilihan sampel dilakukan secara systematic random sampling. Pemeriksaan enterobiasis dilakukan dengan meng-gunakan alat apus anus Scotch adhesive tape menurut Graham. Pengambilan bahan pemeriksaan dilakukan pada pagi hari sebe-lum anak-anak buang air besar atau mandi, yaitu dengan mem-buka terlebih dahulu adhesive tape dari tempat melekatnya di kaca benda, lalu bagian perekatnya ditempelkan beberapa kali ke sekitar anus dan akhirnya dikembalikan melekat ke tempatnya semula. Pada waktu pengambilan bahan apus anus juga dilaku-kan pengamatan adanya pruritus di sekitar anus lalu hasilnya dicatat. Bahan apusan anus dibawa ke Laboratorium Mikrobio-logi Institusi Pendidikan Tenaga Kesehatan Yayasan Rumah Sakit Mohammad Husni Thamrin (Lab Mikro YRS MHT) Jakarta lalu diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran lemah dan dihitung seluruh telur cacing yang ditemukan. Penghitung-an telur cacing ini hanya dilakukan bila jumlahnya hingga 200 butir sedangkan bila jumlahnya di atas 200 butir penghitungan tidak diteruskan lagi. Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila pada seluruh lapangan pandang tidak ditemukan telur cacing.

Pengambilan bahan cucian jari tangan dilakukan sesudah hasil pemeriksaan mikroskopis terhadap apusan anus diketahui. Pengambilan cucian jari tangan ini hanya dilakukan terhadap penderita enterobiasis atau yang positif mengandung telur cacing E. vermicularis. Pengambilan dilakukan sebagai berikut: Mula-mula disiapkan bahan pencuci berupa kain kasa yang direndam dalam larutan pencuci berupa larutan NaOH 0,25%. Kuku di-gunting dan dimasukkan ke dalam larutan pencuci tadi, sedang-kan telapak tangan dan jari-jari tangan dicuci/diusapi dengan kain kasa yang direndam tersebut. Kain kasa yang sudah "kotor" ini dikibaskan beberapa kali dalam larutan NaOH 0,25% sebelum diperas dan dibuang. Pemeriksaan bahan cucian ini juga dilakukan di Lab Mikro YRS MHT Jakarta dengan cara sedimentasi yaitu pemutaran dengan kecepatan 2000 rpm selama 3 menit dan endapannya diperiksa di bawah mikroskop(9). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila dalam tiga sediaan setiap sampel menunjukkan hasil negatif. HASIL

Karakteristik seluruh anak-anak yang diperiksa dapat dilihat

pada tabel 1. Jumlah terbanyak yang diperiksa adalah pada kelompok umur 2–3 tahun sedangkan yang paling sedikit pada kelompok umur < 1 tahun. Jumlah anak laki-laki yang diperiksa lebih besar dari pada jumlah anak perempuan.

Tabel 1. Distribusi Anak-anak Umur di Bawah 6 Tahun yang Diperiksa terhadap Enterobiasis di Desa Cikaret, Sukabumi Jawa Barat, 1992

Karakteristik Jumlah %

Umur (tahun) < 1 < 2 2–3 4–5

3 8 50 45

2,8 7,5 47,2 42,5

Jumlah 106 100 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan

64 42

60,4 39,6

Jumlah 106 100

Hasil pemeriksaan apusan anus menurut umur dapat dilihat pada tabel 2. Besarnya prevalensi enterobiasis pada seluruh anak-anak umur di bawah 6 tahun tersebut adalah 53,8% (57/ 106) dan angka infeksi menurut kelompok umur ini kelihatan makin meningkat dengan meningkatnya umur.

Tabel 2. Distribusi Penderita Enterobiasis menurut Umur pada Anak anak Umur di Bawah 6 Tahun, Desa Cikaret, Sukabumi Jawa Barat, 1992.

Positif telur E. vermicularis Umur (tahun)

Jumlah yang diperiksa Jumlah %

< 1 < 2 2–3 4–5

3 8

50 45

1 3 24 29

33 37,5 48

64,4

Jumlah 106 57 53,8

Distribusi penderita enterobiasis menurut jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 3. Ternyata jumlah penderita laki-laki (60,9%) lebih besar daripada jumlah penderita perempuan (42,9%).

Tabel 3. Distribusi Penderita Enterobiasis menurut Jenis Kelamin pada Anak-anam Umur di Bawah 6 Tahun, Desa Cikaret, Sukabumi, Jawa Barat, 1992

Positif telur E. vermicularis Jenis kelamin

Jumlah yang diperiksa Jumlah %

Laki-laki Perempuan

64 42

39 18

60,9 42,9

Jumlah 106 57 53,8

Di antara ke-57 orang penderita enterobiasis tersebut ter-

dapat 25 orang (43,9%) yang menunjukkan pruritus di anusnya. Hubungan jumlah telur E. vermicularis dengan pruritus dapat dilihat pada tabel 4. Ternyata ada hubungan terjadinya pruritus dengan jumlah telur yang melekat di anus (X = 35,2; P < 2 0,01).

Hasil pemeriksaan cucian jari tangan pada 57 orang pen-derita enterobiasis menunjukkan besannya angka pencemaran

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 17

Page 19: Cdk 097 Foodborne Diseases

Tabel4. Jumlah Penderita Enterobiasis menurut Jumlah Telur yang Melekat di Anus dan Ada Tidaknya Pruritas pada Anak-anak Umur di Bawah 6 Tahun, Desa Cikaret, Sukabumi, Jawa Barat, 1992

Jumlah penderita menurut jumlah telurStatus pruritus < 200 > 200

Jumlah

Pruritus Tidak pruiritus

3 30

22 2

25 32

Jumlah 33 24 57

jari tangan sebesar 6,6% (7 orang) yang terdiri dari 5 orang laki-laki dan 2 orang perempuan dan seluruh telur yang ditemukan tersebut adalah telur E. vermicularis. PEMBAHASAN

Besarnya prevalensi enterobiasis yang didapatkan dalam penelitian ini adalah 53,8%. Dibandingkan dengan angka infeksi yang dikemukakan oleh peneliti lain, misalnya yang pernah di-lakukan di daerah Menteng, Jakarta yang berkisar antara 5 – 65,2%(3), angka prevalensi di desa Cikaret ini masih dalam kisaran angka infeksi yang dilakukan di Menteng, Jakarta ter-sebut. Namun dibandingkan dengan angka-angka infeksi yang dilaporkan dari Malang sebesar 13%(4) dan dari Condet, Jakarta sebesar 34,1%(5), hasil penelitian ini menunjukkan angka yang lebih tinggi. Diduga hal itu disebabkan oleh perbedaan umur. Penulis mengadakan pemeriksaan ini pada anak-anak berumur di bawah 6 tahun sedangkan kedua pemeriksaan terdahulu tersebut berumur mulai dari anak-anak hingga 14 tahun dan umur tua. Dalam literatur juga telah dinyatakan bahwa pada umumnya jenis cacing ini banyak terdapat pada anak-anak(2). Hal ini dapat dijelaskan karena pada umumnya anak-anak, apalagi di pedesaan, belum mengetahui pengertian hidup sehat, makan tanpa cuci tangan namun sangat geman bermain-main. Hal itu tentu saja akan memperbesar kemungkinan mendapat infeksi jenis cacing ini.

Meskipun jenis cacing ini banyak ditemukan pada anak-anak, namun hingga umur tertentu ada kecenderungan mening-katnya angka infeksi dengan makin dewasanya umur anak. Terlihat pada tabel 2 bahwa makin tinggi umur, makin tinggi pula angka infeksinya. Pemeriksaan yang dilakukan di Malang juga memberi hasil yang sama(4) meskipun umur penderita hingga 14 tahun. Adapun lebih tingginya angka infeksi pada anak laki-laki dibanding perempuan (tabel 3) diduga disebabkan oleh lebih tingginya aktivitas laki-laki dibanding perempuan sehingga pe-maparan pada laki-laki lebih tinggi danipada perempuan.

Besarnya persentase yang menunjukkan pruritus di antara penderita adalah 43,9% dan dengan uji khi kuadrat terhadap tabel 4 menunjukkan ada hubungan antara jumlah telur dengan terjadinya pruritus. Meskipun cara pengelompokan jumlah telur yang melekat di anus ini agak "kasar", 'namun hal ini dapat memberi gambanan bahwa makin banyak telur yang melekat di anus makin besar rangsangan gatal yang ada di anus. Adapun pruritus yang terjadi di anus ini adalah akibat garukan yang dilalsukan oleh si penderita dan tentu saja makin tinggi rasa gatal

akan menyebabkan intensitas ganukan makin besar dan selanjutnya kejadian pruritus makin nyata.

Angka pencemaran jari tangan dalam pemeriksaan ini ada-lah 6,6% (7 orang di antara 57 penderita enterobiasis). Hasil ini relatif jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang pernah di-lakukan di Sidoarjo yang hanya 1,7% (1 di antara 60 orang)(6). Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan umur sampel. Penulis mengambil sampel umur seluruhnya di bawah 6 tahun, sedangkan sampel di S i:doarjo adalah anak-anak SD yang tentu saja telah mengetahui cara-cara hidup sehat dari gurunya sehingga kebersihan tangannyapun tentunya sudah lebih baik. Adanya pencemaran jari tangan dengan telur E. vermicularis ini tentu saja berasal dari anusnya sendiri, meskipun mungkin (namun sangat kecil) dari tangan atau anus temannya. Bila anakanak ini sembarangan memegang peralatan makan di rumah, berarti sumber penularan yang berkesinambungan (bila tidak diobati) berlangsung terus. KESIMPULAN 1) Besarnya prevalensi enterobiasis pada anak-anak umur di bawah 6 tahun di desa Cikaret, Sukabumi, Jawa Barat relatif tinggi (53,8%) dan angka infeksinya meningkat dengan me-ningkatnya umur. 2) Ada hubungan antara jumlah telur Enterobius vermicularis yang melekat di anus dengan terjadinya pruritus. 3) Besarnya angka pencemaran telur Enterobius vermicularis pada jari tangan penderita enterobiasis juga relatif tinggi (6,6%).

UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1) Bapak Drs. Soerodo, Apt., Direktur Akademi Analis Kesehatan IPTK YRS

Moh. Husni Thamrin yang telah memberi izin hingga survei ini dapat ter-laksana.

2) Bapak Drs. K. Pandia, Kepala Laboratorium Mikrobiologi IPTK YRS Moh. Husni Thamrin yang telah memberi izin dan fasilitas pemeriksaan laboratorium

KEPUSTAKAAN

1. World Health Organization. Soil Transmitted Helminths. WHO Tech. Rep.

Ser. 1964; 277: 6. 2. Miyazaki I. An Illustrated Book of Helminthic Zoonoses. Tokyo: Inter-

national Medical Foundation of Japan. 1991: 327. 3. Handoyo I, Kartanegara D. Penyelidikan pengobatan pada oxyuriasis dengan

piperazine hydrate dan pyrantel pamoate, dan dengan menggunakan alat usap anus modifikasi "Graham swab". Dalam Kumpulan Makalah Seminar Parasitologi Nasional Ke-II. Jakarta: Grafiti Medika Pers, 1981: 161–165.

4. Soebaktiningsih, Nurtjahjono. Enterobius vermicularis pada anak yang di-rawat tinggal di UPF/Lab. Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Saiful Anwar/FK Unibraw Malang. Maj. Kedokt. Tropis Indon. 1989; 2(1–2): 21–26.

5. Rachmiawati A. Beberapa aspek epidemiologis enterobiasis pada keluarga di RT. 001/RW. 01, Condet Balekambang, Jakarta Timur. Maj. Kedokt. Fak. Kedokt. UKI 1993; 17: 26–31.

6. Mahfudin H. Cacing-cacing usus manusia yang didapat dari bahan autopsi di Jakarta. Dalam Kumpulan Makalah Seminar Parasitologi Nasional Ke-II Jakarta: Grafiti Medika Pers, 1981: 80-87.

7. Faust EC, Russel PF, Jung RC. Craig and Faust's Clinical Parasitology, 8th ed. Philadelphia: Lea and Febiger 1970: 333.

8. Widodo AS, Kusmartisnawati, Ideham B. Pemeriksaan kuku pada Anak Sekolah Dasar. Maj. Kedokt. Tropis Indon. 1983; (6(1): 42–45.

9. Hadidjaja P. Penuntun Laboratorium Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1990: 39-40.

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 18

Page 20: Cdk 097 Foodborne Diseases

Pencemaran Telur Cacing dan Sumber Pencemaran

pada Beberapa Macam Sayuran di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta

Ahmad Hidayat, Sahat Ompusunggu, Syahrial Harun

Institut Pendidikan Tenaga Kesehatan, Yayasan Rumah Sakit Mohammad Husni Thamrirt, Jakarta

ABSTRAK

Suatu penelitian pencemaran telur cacing dan sumber pencemaran pada sayuran telah dilakukan di Pasar Induk Kramat Jati Jakarta tahun 1992. Ada tiga jenis sayuran yang diperiksa yaitu kol (kubis), selada air dan kemangi dengan jumlah seluruh sayuran yang diperiksa sebanyak 108 sampel. Pemeriksaan dilakukan dengan cara gabungan sedimen-tasi dan pengapungan.

Hasil menunjukkan bahwa angka pencemaran sebesar 28,7% dengan angka pencemaran tertinggi pada selada air. Hanya dua jenis telur cacing yang ditemukan yaitu Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura. Sumber pencemaran bervariasi mulai dari jenis pupuk, air penyiram kebun hingga air pencuci sayuran.

PENDAHULUAN

Sayuran adalah salah satu bahan makanan yang merupakan sumber protein dan mineral bagi tubuh manusia. Sebelum dima-kan umumnya sayuran dimasak lebih dahulu; di samping agar rasanya lebih enak juga agar kuman-kuman yang membahaya-kan kesehatan mati. Selama sayuran dimasak dengan panas yang cukup tidak ada masalah. Masalah timbul bila sayuran dimakan tanpa dimasak lebih dahulu. Dalam hal ini, bersama sayuran bisa ikut bakteri, virus atau parasit patogen yang cepat atau lambat akan menimbulkan penyakit. Kebiasaan makan sayuran mentah ini, yang biasa juga disebut lalapan, sudah mentradisi di suku-suku tertentu di Indonesia sehingga kelihatannya sulit diubah. Beberapa jenis sayuran yang biasa dimakan mentah antara lain adalah kol atau kubis,selada air dan kemangi. Sayuran jenis-jenis tersebut memang rasanya menjadi kurang enak bila dimasak lebih dahulu. W alaupun jenis-jenis sayuran seperti ini dicuci se-bersih mungkin sebelum dimakan, namun kemungkinan pence-maran dengan bakteri, virus atau parasit masih tetap ada selama tidak dimasak sebelum dimakan. Pencemaran sayuran ini di-perbesar lagi oleh kenyataan bahwa banyak petani sayuran yang menggunakan tinja manusia sebagai pupuk, yang besar ke-

mungkinan mengandung bakteri, virus atau parasit patogen. Pen-cemaran sayuran oleh telur cacing telah dilaporkan beberapa kali di Jakarta baik pada sayuran yang dijual di pasar(1,2,3) maupun sayuran di kebun(3). WHO juga telah pernah menyatakan adanya pencemaran sayur-sayuran di pasar-pasar Eropa(4).

Tulisan ini di samping mengemukakan angka pencemaran sayuran yang dijual di Pasar Induk Kramat Jati Jakarta, juga mengemukakan bahan-bahan yang mungkin merupakan sumber pencemaran. BAHAN DAN CARA KERJA

Sampel ada dua macam yaitu: a. sayuran dan b. petani dan pedagang sayuran. Sampel sayuran diperoleh dari Pasar Induk Kramat Jati Jakarta, sedangkan pemeriksaan dilakukan di Labo-ratorium Mikrobiologi Institut Pendidikan Tenaga Kesehatan Yayasan Rumah Sakit Mohammad Husni Thamrin (Lab Mikro IPTK YRS MHT) Jakarta.

Besar sampel sayuran ditentukan dengan mempertimbang-kan jenis sayuran (kol/kubis, selada air dan kemangi), tempat sumber/asal sayuran (dua sumber untuk kol/kubis dan satu sumber untuk masing-masing selada air dan kemangi) dan lamanya

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 19

Page 21: Cdk 097 Foodborne Diseases

pengambilan sampel – setiap 2 hari selama 2 bulan (54 hari) sehingga jumlah sampel masing-masing jenis sayuran adalah: a). kol/kubis = 2 sumber x 54/2 hari = 54 sampel; b). selada air = 1 sumber ic 54/2 hari = 27 sampel dan c). kemangi= 1 sumber x 54/2 hari = 27 sampel. Dengan demikian jumlah seluruh sampel = 54 + 27 + 27 = 108 sampel. Terhadap sampel sayuran ini dilakukan pemeriksaan untuk menemukan ada tidaknya telur cacing. Spesimen (bahan pemeriksaan) berupa seikat kecil sayuran dari setiap pengambilan sampel sayuran. Setiap satuan sayuran yang akan diperiksa dimasukkan ke dalam kantung plastik lalu dibawa ke Lab. Mikro IPTK YRS MHT.

Pemeriksaan sayuran dilakukan dengan gabungan cara sedimentasi dan flotasi, sesuai dengan yang biasa dipakai oleh para peneliti sebelumnya(1) dengan sedikit modifikasi pada lamanya perendaman sayuran. Caranya adalah sebagai berikut: Mula-mula disiapkan corong besar dengan bagian ujungnya di-rekatkan dengan kantong plastik. Bagian lubang corong diberi sumbat sementana lalu corong diisi dengan 500 ml NaOH 0,2%. Selanjutnya sayuran dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam corong yang berisi larutan NaOH 0,2% tersebut dan dibiarkan terendam selama kurang lebih 30 menit. Potongan sayuran di-keluarkan darn larutan pencuci tersebut dengan lebih dulu di-goyang-goyangkan agar kotoran dan telur cacing yang mungkin melekat pada sayuran bisa terlepas. Setelah itu sumbat sementara pada lubang corong dilepas sehingga larutan cucian jatuh pada kantong plastik yang melekat di bawahnya. Larutan cucian ini dibiarkan selama satu malam dengan harapan seluruh telur cacing menjadi mengendap di bagian bawah kantong plastik. Kemudian plastik penampungnya dijepit dengan suatu jepitan lalu bagian atas digunting sehingga sisa larutan cucian yang ada di atasnya terbuang. Sisa larutan cucian yang masih tinggal diambil kira-kira 10 ml lalu dimasukkan ke tabung pemusing. Larutan dipusing dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit. Cairan supernatan dibuang, lalu dengan menggunakan pipet Pasteur satu tetes endapan diambil dan diteteskan ke atas kaca benda yang sebelumnya telah ditetesi dengan satu tetes larutan Lugol sebagai pewarna. Sediaan ditutup dengan kaca benda dan diperiksa di bawah mikroskop. Ke dalam sisa endapan ditam-bahkan larutan NaCl jenuh hingga penuh, dikocok lalu ke atas-nya ditempelkan kaca tutup dan dibiarkan selama 15 menit. Kaca tutup diangkat dan diletakkan ke atas kaca benda yang se-belumnya telah ditetesi dengan satu tetes larutan Lugol sebagai pewarna. Sediaan diperiksa di bawah mikroskop. Hasil pe-meriksaan dinyatakan positif bila salah satu atau kedua sediaan menunjukkan hasil positif dan hasil negatif bila kedua sediaan menunjukkan hasil negatif.

Pada waktu setiap pengambilan sayuran di pasar, terhadap pedagang diajukan pertanyaan untuk mengetahui tempat pena-naman sayuran lalu dilakukan pengamatan kebun dan terhadap petani dan pedagang sayuran dilakukan wawancara untuk me-ngetahui sumber penularan serta faktor lain yang menyokong pertumbuhan telur seperti: a) jenis tanah; b) kelembaban tanah; c) jenis pupuk yang dipakai; d) sumber air penyiram kebun atau pencuci; e) kebersihan dalam pengangkutan dan f) kebersihan selama penjualan.

HASIL Hasil pemeriksaan sayuran ini dapat dilihat pada tabel 1.

Terlihat bahwa dari 108 sampel sayuran yang diperiksa, 28,7% (31 sampel) mengandung telur cacing. Seluruh 31 sampel sayuran yang positif tersebut mengandung telur Ascaris lumbricoides dan hanya 2 sampel sayuran yang mengandung campuran dengan telur Trichuris trichiura. Dari ketiga jenis sayuran yang dicemari oleh telurA. lumbricoides ini ternyata selada air merupakan jenis sayuran yang paling tinggi angka pencemarannya.

Tabel 1. Distribusi Sayuran yang Positif Telur Cacing menurut Jenis Sayuran dan Jenis Cacing. Pasar Induk Kramat Jati Jakarta, Juni–Agustus 1992.

A. lumbricoides T. trichiura Dua jenis Jenis sayuran

Jumlah yang

diperiksa Jumlah % Jumlah % Jumlah %

KoVkubisSelada air Kemangi

54 27 27

12 10 9

22,2 37

33,3

1 0 1

1,86 0

3,7

1 0 1

1,86 0

3,7

Jumlah 108 31 28,7 2 1,85 31 1,85

Hasil wawancana yang dilakukan terhadap petani dan pe-dagang tentang kemungkinan sumber pencemar dan faktor lain yang menyokong pertumbuhan telur dapat dilihat pada Tabel 2. Terlihat bahwa adanya bahan penceman sudah dimulai dari kebun. Kebun tempat penanaman seluruh jenis sayuran yang diperiksa tersebut memakai kotoran manusia sebagai pupuk di samping pupuk kimia dan humus tanaman. Kemungkinan sum-ber pencemar lain adalah air penyiram kebun dan pencuci serta alat angkutan, khususnya terhadap kol, sebab meskipun dikupas sebelum dijual namun selama pengangkutan sayuran tersebut tidak dibungkus.

Tabel 2. Bahan-bahan Pencemar dan Penunjang Perkembangan Telur Cacing pada Sayuran yang Dijual di Pasar Induk Kramat Jati Jakarta, Juni–Agustus 1992.

Pencemar/penunjang Kol/kubis Selada air dan kemangi

Jenis tanah Kelembaban tanah Jenis pupuk Sumber. air Pengangkutan Penjualan

Gembur, tanah liat Lembab Kotoran manusia, kotoran hewan, kimia Selokan, air hujan Tanpa pembungkus seisms angkutan Wasps berulang, tanpa dicuci

Gembur, tanah liat Lembab, becek Kotoran manusia, selokan, humus tanam-an, kimia Selokan, kolam, air hujan Tanpa angkutan (dibawa sendiri) Kadang dicuci, disiramdengan air sumur

PEMBAHASAN Dalam penelitian ini jenis sayuran yang diperiksa hanya tiga

jenis yang semuanya merupakan jenis sayuran yang biasa di-makan mentah. Angka pencemanan dalam penelitian ini berkisar antara 1,86–33,3% (tabel 1). Dibandingkan dengan penelitian-penelitian lain yang pernah dilakukan di Jakarta (tabel 3) hasil penelitian ini menunjukkan angka pencemaran yang relatif lebih tinggi, namun terhadap angka pencemaran yang dikemukakan WHO hasil penelitian ini lebih rendah. Lebih tingginya angka pencemaran dalam penelitian ini dibandingkan dengan hasil-

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 20

Page 22: Cdk 097 Foodborne Diseases

hasil lain yang ada di Jakarta tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan cara pemeriksaan; pada penelitian ini meskipun se-cara umum cara pemeriksaan yang digunakan sama dengan yang digunakan oleh para peneliti lain, namun lama pengendapan larutan cucian lebih lama (semalam) sehingga seluruh telur yang mungkin ada dapat mengendap dan terdeteksi.

Perbedaan tersebut mungkin juga disebabkan oleh perbe-daan penanganan sayuran baik mulai dari penanaman di kebun, pengangkutan hingga penanganan dalam pemasaran. Terlihat pada Tabel 2 ada beberapa jenis bahan pencemar yang bisa berperan, baik jenis pupuk yang digunakan, jenis air penyiram selama penanaman maupun air pencuci. Jenis air pencemar juga sedikit bervariasi; angka pencemaran pada air pencemar inipun tentunya bervariasi pula. Semua variasi bahan pencemar ini akan menyebabkan bervariasinya angka pencemaran.

Tabel 3. Angka pencemaran sayuran dalam berbagai penelitian.

Nama peneliti (tahun)

Lokasi penelitian

Jenis sayuran

Meath lumbricoides

Trichuris trichiura

WHO (1964) Pasar Selada 47 % – Kubis 93 % – Kodijat (1980) Pasar umum Selada 16,7% – & swalayan Kubis 8,7% – Wangsadipura Pasar Banyak jenis 2,8% – dkk (1981) jenis Bahar (1986) Pasar* Kubis 7,9% 2,8 % Dewi, Harijani Kebun Banyak jenis + +dan Renny (1987) Penulis (1992) Pasar* Kubis 22,2% 1,86%

Selada air 37 % – Kemangi 33,3% 3,7 %

Keterangan : * Lokasi yang sama

Lebih tingginya angka pencemaran selada air dan kemangi dibanding kol diduga disebabkan oleh cara pencuciannya; selain dicuci, kol juga dikupas sehingga lebih bersih daripada selada air dan kemangi. Adapun angka pencemaran sangat tinggi di pasar Eropa yang dikemukakan oleh WHO beberapa puluh tahun sebelumnya diduga karena kesadaran para pekerja yang terlibat dengan sayuran tersebut pada waktu itu masih rendah.

Telur cacing pencemar yang ditemukan dalam penelitian ini hanya dua jenis, yaitu Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura. Hal ini bisa disebabkan oleh kenyataan bahwa kedua jenis cacing ini merupakan jenis yang paling dominan meng-infeksi manusia di Indonesia umumnya, Jakarta khususnya, se-

hingga jenis cacing yang mencemari makanan termasuk sayur-pun demikian juga. Akan hal tidak ditemukannya telur jenis cacing lain, misalnya cacing tambang, selain mungkin disebab-kan oleh jumlah telur cacing tambang per ekor betina memang relatif lebih kecil, mungkin juga disebabkan oleh keadaan per- kebunan sayuran yang selalu lembab sehingga telur-telur cacing tambang yang mungkin ada cepat menetas sehingga tidak di-temukan lagi.

Ketiga jenis sayuran yang diteliti ini adalah jenis yang paling sering dimakan manusia dalam keadaan mentah. Dilihat dari angka pencemaran yang relatif tinggi tersebut, maka infeksi cacing usus melalui sayuran, khususnya melalui ketiga jenis sayuran yang diteliti, masih relatif besar kemungkinannya, ter- utama pada kelompok masyarakat yang biasa makan sayuran mentah atau lalapan. Penelitian ini dilakukan di sebuah pasar yang merupakan "pasar induk" bagi pasar-pasar lainnya di Jakarta sehingga sayur-sayuran yang telah tercemar tersebut tentu saja bisa menyebar ke pasar-pasar lainnya. KESIMPULAN 1) Angka pencemaran sayuran (kol/kubis, selada air dan kemangi) oleh telur cacing di Pasar Induk Kramat Jati Jakarta masih relatif tinggi (28,7%) dengan angka pencemaran tertinggi pada selada air dan jenis telur cacing pencemar adalah Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura. 2) Kemungkinan sumber pencemar sayuran bervariasi mulai dari jenis pupuk, air penyiram kebun hingga air pencuci sayuran.

UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. Soerodo, Apt., Direktur Akademi Analis Kesehatan IPTK Y1 Mob. Husni Thamrin yang telah memberi izin hingga penelitian ini dap terlaksana.

2. Bapak Drs. K. Pandia, Kepala Laboratorium Mikrobiologi IPTK YRS Mo Husni Thamrin yang telah memberi izin dan fasilitas pemeriksaan labora-toris.

KEPUSTAKAAN

1. Wangsadipura J, Gunawan, Purnomo, Rahardja A. Parasit-parasit beberal macam sayuran dari pasar di Jakarta. Dalam: Kumpulan Makalah Semin Parasitologi Nasional Ke-II. Jakarta: Grafiti Medika Pers, 1981: 596-601

2. Kodijat S. Kontarninasi sayuran mentah dengan telur cacing yang ditulark melalui tanah. Maj Parasitol Indon 1980; 2(1&2): 41-3.

3. Dewi RM, Harijani, Renny M. Penelitian Parasit Usus pada Sayuran Jakarta. Cermin Dunia Kedokt 1987; 45: 64-7.

4. World Health Organization. Soil Transmitted Helminth. WHO Tech Rep S 1964; 277: 25.

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 21

Page 23: Cdk 097 Foodborne Diseases

Penelitian-penelitian Fasciolopsiasis di Indonesia

Emiiiana Tjitra

Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Sejak adanya laporan kasus fasciolopsiasis, beberapa penelitian epidemiologi dan pemberantasan telah dilakukan di kecamatan Babirik, kabupaten Hulu Sungai Utara, propinsi Kalimantan Selatan, pada tahun 1985 - 1991.

Ternyata kecamatan Babirik endemis fasciolopsiasis dengan angka infeksi 1,2 - 27%. Penderita anak-anak (< 15 tahun) lebih banyak ditemukan di desa Sei Papuyu dan Sungai Luang Hilir. Dan tumbuhan air telah ditemukan 2 metacercaria tetapi belum diketemukan jenis keong hospes perantara pertamanya. Praziquantel 60 mg/kgBB (dibagi dalam 2 dosis) efektif dan aman untuk pengobatan fasciolopsiasis, sedangkan efikasi praziquantel 30 mg/kgBB dosis tunggal perlu diteliti lebih lanjut. Diduga manusia terinfeksi dengan makan supan-supan (tumbuhan air).

Dengan pengobatan saja, tidak cukup untuk memberantas fasciolopsiasis. Oleh sebab itu penelitian rantai penularan dan sosial-budaya perlu dilakukan, di samping usaha penyuluhan dan kebersihan lingkungan. Adanya migrasi penduduk juga merupakan kendala pemberantasan.

PENDAHULUAN

Fasciolopsiasis adalah penyakit cacing daun terbesar (Fasciolopsis buski) yang disebabkan karena manusia ter-infeksi metacercaria dari F. buski melalui konsumsi tum- buhan air (kangkung, teratai dll). Hospes tetap cacing ini adalah manusia sedangkan hospes reservoirnya adalah babi, anjing dan kelinci. Hospes perantara pertama adalah keong, dan hospes perantara kedua pdalah tumbuhan air. Cacing dewasanya hidup di dalam usus halus manusia (Lampiran 1).

Oleh sebab itu keluhan penderita umumnya berhubungan dengan saluran pencernaan; di aritaranya diare berlendir, sakit perut, mual, muntah, rasa terbakar. Bila infeksinya berat, penderita tampak seperti penderita gizi buruk yaitu kurus, pucat,,perut membesar, edema dan jaundice(1).

Penyakit ini banyak didapatkan di kawasan Asia Teng-

gara. Walaupun Indonesia merupakan salah satu negara yang dinyatakan terjangkit fasciolopsiasis yaitu di Sumatera dan Kalimantan(1) tetapi hanya ada beberapa penelitian dan laporan kasus mengenai penyakit ini.

Kasus pertama dilaporkan oleh Pinardi dkk (1982) yang mengidentifikasikan cacing Fasciolopsis buski pada mun- tahan seorang anak laki-laki 11 tahun yang tak pernah meninggalkan Indonesia. Anak tersebut diperkirakan men-dapat infeksi melalui makanan supan-supan yaitu sayuran atau tumbuhan air yang mengandung metacercaria. Penderita berasal dari desa Sei Papuyu, kecamatan Babirik, kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan (Lampiran 2). Berturut-turut kemudian dilaporkan diketemukannya cacing ini dan telur-telurnya pada muntahan dan tinja dari 25 penderita lain dari daerah yang sama(2). Sejak itu penelitian

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 22

Page 24: Cdk 097 Foodborne Diseases

terhadap fasiolopsiasis barn dimulai. Sesuai laporan kasus pertama, penelitian-penelitian fas-

ciolopsiasis yang telah dilakukan, semuanya di kecamatan Babirik, kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. A. PENELITIAN EPIDEMIOLOGI

Pada Nopember 1985, dilakukan survei pendahuluan di desa Sei Papuyu. Pemeriksaan tinja dilakukan terhadap seluruh penduduk termasuk anak-anak sekolah dasar di desa itu. Di samping itu juga dilakukan terhadap anak-anak dari dua sekolah dasar di luar desa yang dipilih secara random. Tabel 1. Angka infeksi F. buski di desa Sei Papuyu, kecamatan Babirik, kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selata.y Nopember 1985(1).

Positip Desa Jumiah yang diperiksa

n %

Desa Sei Papuyu anak SD penduduk

43 505

34 114

79,1 22,6

Jumlah 548 148 27,0

Desa lain anak SD 79 35 44,3

Total 627 183 29,2

Dari 548 tinja penduduk dan anak sekolah desa Sei

Papuyu, 27% positip fasciolopsiasis. Kelompok umur yang menderita infeksi F. buski terbanyak adalah 5-14 tahun yaitu 56,8%, sedangkan kelompok umur 15 tahun ke atas hanya 8,8 %. Angka infeksi tertinggi didapatkan pada anak sekolah yaitu 79,1% (34 dari 43 anak sekolah). Angka infeksi di 2 sekolah dasar di luar desa Sei Papuyu (79 anak) juga cukup tinggi yaitu 44,3% (Tabel 1).

Keluhan dari 34 anak sekolah desa Sei Papuyu yang menderita fasciolopsiasis adalah panas, tak nafsu makan, sakit perut, rasa terbakar di perut, muntah, dan diare. Pada pemeriksaan klinis ditemukan emasiasi, anemia, perut membesar, ascites, dan jaundice (Lampiran 3).

Pada Februari 1986 dilakukan survei lanjutan di 4 desa tetangga yang berdekatan dengan desa Sei Papuyu, yang letaknya juga sepanjang sungai Babirik-Danau Panggang yaitu Pajukungan Hulu, Parupukan, Teluk Limbang, dan Murung Kupang (Lampiran 2).

Tabel 2. Angka infeksi F. buski menurut kelompok umur di 4 desa kecamatan Bablrlk, kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, Februari 1986(4)

Positip Kelompok umur Jumlah yang diperiksa

n %

Anak < 15 tahun Dewasa > 15 tahun

364 216

94 12

25,8 5,6

Total 580 106 18,3

Kasus fasciolopsiasis di empat desa tersebut adalah 18,3% dari 580 sampel tinja yang diperiksa (Pejukungan Hulu 7%, Parupukan 68,3%, Teluk Limbang 35,6%, dan Murung Kupang 0%). Kasus ini juga lebih banyak ditemui pada anak-anak kurang dari 15 tahun yaitu 25,8%(4) (Tabel 2).

Keluhan dan gejala yang dijumpai juga seperti yang dijumpai pada penelitian tt;rdahulu yaitu sakit perut atau rasa terbakar, mual, muntah-muntah, tak nafsu makan, diare, de-mam, emasiasi, anemia, perut membesar dan keras, ascites, dan ikterus(4). Tabel 3. Angka infeksi F. buski setelah pengobatan di desa Sei Papuyu, kecamatan Babirik, kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, November 1986(5).

Positip Jenis penduduk Jumlah yang diperiksa

n %

Lama anak SD penduduk

32 364

14 54

43,7 14,8

Baru Jumlah 396 107

68 28

17,2 26,2

Total 503 96 19,1

Pada Nopember 1986 dilakukan survei evaluasi hasil

pengobatan pada anak sekolah dan penduduk desa Sei Papuyu. Kasus fasciolopsiasis yang ditemukan di desa tersebut adalah 19,1%. Di antara penduduk yang diperiksa terdapat 107 pen-datang barn dengan angka infeksi F. buski 26,2%, sedangkan pada penduduk lama adalah 17,2% (Tabel 3). Ini berarti ter-dapat penurunan angka infeksi F. buski pada penduduk lama setelah 12 bulan pengobatan yaitu dari 27% (Tabel 1) menjadi 17,2% (Tabel 3). Demikian pula terdapat penurunan pada anak sekolah setelah 12 bulan pengobatan yaitu dari 79,1% (Tabel 1) menjadi 43,7% (Tabel 3).

Hanya sedikit keong (Bellamya, Pila, dan Indoplannorbis) dan tumbuhan air yang dapat diambil untuk diperiksa karena pada saat itu sedang terjadi banjir (musim hujan), dan tak satupun di antaranya mengandung rediae dan metacercaria F. buski(5)

Pada tahun 1988, Handoyo dkk menemukan 2 meta-cercaria dari tumbuhan air yang dibawa oleh staf PPM & PLP(6). Tabel 4. Angka infeksi F. buski di tiga desa kecamatan Babirik, ka bupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, 1989 - 1990(7).

Positip Desa Jumiah yang diperiksa

N %

Sungai Parupukan Sungai Luang Hilir Teluk Limbang

638 780 446

87 9 12

13,6 1,2 2,7

Total 1864 108 5,8

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 23

Page 25: Cdk 097 Foodborne Diseases

Pada tahun 1989/1990 dilakukan kembali penelitian di tiga desa kecamatan Babirik. Angka infeksi F. buski yang didapatkan adalah 5,8%; angka infeksi di desa Sungai Paru-pukan, Sungai Luang Hilir dan Teluk Limbang adalah 13,6%, 1,2%, dan 2,7%(7) (Tabel 4).

Jumlah kasus fasciolopsiasis pada anak-anak < 15 tahun dan dewasa tidak berbeda kecuali di desa Sungai Luang Hilir yaitu ditemukan hanya pada kelompok umur <15 tahun(7) (Tabel 5). Tabel 5. Distribusi penderita fasciolopsiasis menurut kelompok umur di kecamatan Babirik, kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, 1989 -1990(7).

< 15 tahun > 15 tahun Desa

n % n % Jumlah

Sungai Parupukan Sungai Luang Hilir

Teluk Limbang

43 9 6

49,4 100,0 50,0

44 0 6

50,6 9

50,0

87 12

Total 58 53,8 50 46,2 108

B. PENELITIAN PEMBERANTASAN

Penelitian pemberantasan yang telah dilakukan hanya merupakan pengobatan terhadap penderita.

Pada bulan Nopember 1985, dilakukan pengobatan pen-derita fasciolopsiasis di desa Sei Papuyu dengan praziquantel 60 mg/kgBB, dibagi dalam 2 dosis dengan jarak pemberian 4-6 jam(3). Dari 34 anak sekolah yang diobati, hanya 93,1% menunjukkan kesembuhan setelah pengobatan 3 bulan(4) dan 56,3% setelah pengobatan 12 bulan(5). Dari 114 pen- derita dewasa yang diobati, hanya 15 orang yang dapat di-evaluasi pada 3 bulan pertama, semuanya menunjukkan kesembuhan 100%, dan 73,3% setelah pengobatan 12 bu1an(5). (Tabel 6). Tabel 6. Angka kesembuhan Praziquantel pada pengobatan fascio lopsiasis di kecamatan Babirik, kabupaten Hulu Sungai, Kalimantan Selatan, 1986(4,5).

Angka kesembuhan pada 3 bulan 12 bulan Kelompok n % n %

Anak Dewasa

40,43 15/15

93,1 100

18/32 11/15

56,3 73,3

Angka infeksi F. buski anak yang masih cukup tinggi pada

evaluasi 3 bulan pertama, dapat disebabkan karena tidak semua anak-anak tersebut minum obat atau tidak minum obat dosis ke dua. Reinfeksi juga mungkin terjadi pada saat bulan ke 3 tersebut, karena waktu yang dibutuhkan dari metacercaria menjadi cacing dewasa dan menghasilkan telur adalah 3 - 4 minggu pada hospes tetapnya (Lampiran 1). Peningkatan angka infeksi pada evaluasi 12 bulan mungkin disebabkan karena terjadinya reinfeksi.

Adapun efek samping praziquantel yang ditemukan adalah ringan yaitu sakit kepala dan perut tidak enak(3).

Pada bulan Februari 1986 dilakukan pengobatan ter- hadap 94 anak sekolah yang menderita fasciolopsiasis di 4 desa lain (Pajukungan Hulu, Parupukan, Teluk Limbang dan Murung Kupang) dengan dosis praziquantel sama yaitu 60 mg/kgBB, dibagi dalam 2 dosis dengan jarak pemberian 4-6 jam. Efek samping yang ditemukan adalah mual-mual dan muntah-muntah (4 anak)(4). Hasil pengobatan ini tidak di-evaluasi.

Pada tahun 1989/1990 Subdit Filariasis dan Schistoso-miasis melakukan pengobatan terhadap 96 penderita di 3 desa kecamatan Babirik yaitu Sungai Parupakan, Sungai Luang Hilir, dan Teluk Limbang. ()bat yang digunakan juga praziquantel 30 mg/kgBB, tetapi dengan dosis tunggal. Demikian pula pada tahun 1990/1991 juga melakukan pengobatan terhadap penderita-penderita di 5 desa lain di kecamatan Babirik dengan praziquantel dosis 30 mg/kgBB, dosis tunggal. Hasil p8ngobatan dengan dosis ini tidak di-evaluasi. KESIMPULAN 1). Fasciolopsiasis endemis di Kecamatan Babirik, Kabupaten

Hulu Sungai Utara, Propinsi Kalimantan Selatan, dengan angka infeksi 1,2–27%.

2). Penderita anak-anak lebih banyak ditemukan di desa Sei • Papuyu dan Sungai Luang Hilir.

3). Baru 2 metacercaria yang ditemukan pada tumbuhan air tetapi belum diketahui jenis keong yang sebagai hospes perantara pertamanya.

4). Praziquantel 60 mg/kgBB (dibagi dalam 2 dosis) efektif dan aman untuk pengobatan fasciolopsiasis dengan efek samping ringan yaitu sakit kepala, mual, muntah dan perut tak enak. Efikasi praziquantel dengan dosis tunggal 30 mg/kgBB perlu diteliti lebih lanjut.

5). Diduga manusia terinfeksi melalui makan supan-supan yaitu suatu tumbuhan air.

6). Pengobatan saja tidak cukup untuk memberantas fasciolopsiasis. Oleh sebab itu penelitian rantai penularan dan sosial budaya perludilakukan, di samping usaha penyuluhan dan kebersihan lingkungan.

7). Adanya migrasi penduduk menyulitkan pemberantasan.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih ditujukan kepada Bapak Dr Suriadi,Gunawan, DPH dan Ibu Dra. Harijani AM, yang mengijinkan makalah ini diterbitkan.

KEPUSTAKAAN

1. It Brown HW, Neva FA. Basic Clinical Parasitology. 5th ed. Appleton Century Croifts, Norwalk, Connecticut; USA. 1983.

2. Hadidjaja P, Dahri HM, Roesin R, Margono SS, Djalins J, Hanafiah M. First autochthonous cAse of Fasciolopsiasis buski infection in Indonesia. Am. J Trop Med Hyg 1982; 31 (5) : 1065.

3. Handoyo I, Ismuljuwono B, Darwis F, Rudiansyah. A survey of fascio-

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 24

Page 26: Cdk 097 Foodborne Diseases

lopsiasis in Sei Papuyu village of Babirik subdistrict, Hulu Sungai Utara Regency, South Kalimantan Province. Trop. Biomed 1986; 3 : 113-18.

4. Handoyo I, Ismuljowono B, Darwis F, Rudiansyah. Further survey of fasciolopsiasis in Babirik Subdistrict, Hulu Sungai Utara Regency, South Kalimantan Province. Trop. Biomed. 1986; 3 : 119-123.

5. Handojo I, Ismuljowono B, Darwis F, Rudiansyah. Evaluation of post treatment control of fasciolopsiasis in Sei Papuyu village of Babirik

Subdistrict, Hulu Sungai Utara Regency, South Kalimantan Province, Indonesia. Trop. Biomed 1987; 4:125-127.

6. Komunikasi pribadi dengan Dr. Iman Handoyo. 7. Bidang Peningkatan Kesehatan dan Pencegahan Penyakit, Kantor Wilayah

Propinsi Kalimantan Selatan, Depkes RI. Laporan Pelaksanaan Pemberantasan Fasciolopsiasis buski di kecamatan Babirik, kabupaten dati II Hulu Sungai Utara, Propinsi Kalimantan Selatan, 1989-1990.

8. Komunikasi pribadi dengan Dr. Isrin IIyas, MPH.

Lampiran 1. Daur Hidup Fasciolopsis buski Sumber : Jeffrey & Leach, Atlas of Medical Helminthology & Protozoology.

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 25

Page 27: Cdk 097 Foodborne Diseases

Penelitian-penelitian Taeniasis di Indonesia

Emiliana Tjitra

Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

ABSTRAK

Taeniasis atau penyakit cacing pita merupakan penyaldt zoonosis parasiter yang berhubungan dengan kebiasaan makan daging babi atau sapi atau kerbau yang kurang masak. Di beberapa daerah Indonesia dilaporkan adanya kasus taeniasis dan cysticercosis. Oleh sebab itu dilakukan beberapa penelitian epidemiologi taeniasis dan lain-lain untuk dapat dilakukan usaha-pemberantasan.

Angka infeksi taeniasis di Indonesia adalah 0,4 - 23 %, dan angka infeksi yang didapat dengan anamnesis ternyata lebih besar dari pada infeksi taeniasis dengan pemeriksaan tinja. Spesies taenia di Bali terutama adalah Taenia saginata. Kemung-kinan Taenia saginata taiwanesis di Indonesia yaitu di P. Samosir dan Bali perlu diteliti lebih lanjut.

Taeniasis ditemukan pada semua golongan umur. Umumnya lebih banyak ditemukan pada orang dewasa, kecuali di desa Abiansemal (dekat Denpasar), Bali, yaitu infeksi tertinggi pada golongan umur muda (0 – 9 tahun). Penderita taeniasis juga lebih banyak ditemukan pada laki-laki dari pada wanita karena laki-laki lebih banyak makan daging. Penderita taeniasis yang transmigrasi ke daerah pemukiman baru dapat merupakan sumber infeksi di daerah tersebut. Selain itu faktor sosial - budaya se-tempat sangat mempengaruhi terjadinya infeksi taenia. Bithionol dan praziquantel yang efektif masih perlu diteliti.

Kerja sama lintas sektoral antara Departemen Kesehatan dengan Departemen Penerangan, Depdikbud, dan Departemen Petemakan dibutuhkan untuk menanggulangi taeniasis.

PENDAHULUAN

Taeniasis adalah penyakit cacing pita yang disebabkan karena manusia terinfeksi Cysticercus cellulose (Taenia solium) atau Cysticercus bovis (Taenia saginata) melalui konsumsi daging dari hewan ternak babi atau sapi atau kerbau. Bila manusia terinfeksi telurnya, disebut cysticercosis. Sampai saat ini manusia hanya dapat menderita cysticercosis sellulose. Cacing dewasanya hidup di dalam usus halus(gambar1).

Keluhan utama penderita taeniasis umumnya mengeluar-kan proglotid pada waktu buang air besar atau proglotid ke-

luar secara spontan. Keluhan lainnya biasanya berhubungan dengan saluran pencernaan (mual, mulas, kembung, nyeri epigastrium, diare, obstipasi dli), lemah, cepat ngantuk, sakit kepala, dan anoreksia. Gejala penderita cysticercosis cerebri umumnya seperti penderita epilepsi.

Taeniasis merupakan penyakit zoonosis parasiter yang panting di Indonesia, terutama di daerah dengan penduduk yang mempunyai kebiasaan makan daging kurang masak. Di Indonesia yang mempunyai taeniasis telah diketemukan di propinsi Sumatera Utara, Irian Jaya, Nusa Tenggara Timur,

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 26

Page 28: Cdk 097 Foodborne Diseases

Bali, Lampung, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Timor Timur, Kalimantan Barat, dan daerah-daerah transmigrasi lain yang ada penduduk berasal dari Bali(1,2,3,4).

Angka infeksi taeniasis di Indonesia bervariasi dari satu daerah dengan daerah lain yaitu antara 0,4 - 9,5%2, walaupun ada adat atau kepercayaan penduduk setempat melarang makan daging yang mengandung cysticercus. Daging yang terkontaminasi itu disebut beberasan di Bali, daging biji atau buah babi di Irian, banasan di Toraja, dan manisan di Tapanuli(3).

Taeniasis menjadi perlu mendapat perhatian dengan ada-nya perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain (transmigrasi), kebiasaan buruk membuang air besar tidak pada tempatnya, tidak mengandangkan temak peliharaan, dan suka makan daging yang kurang masak. Dengan demikian, secara umum taeniasis dapat menimbulkan masalah kesehatan masyarakat. A. PENELITIAN EPIDEMIOLOGI.

Sejak tahun 1972 telah banyak dilakukan penelitian di daerah endemi dan daerah transmigrasi yang pendudukanya berasal dari daerah endemi. Hasil penelitian umumnya berupa angka infeksi dan distribusi taeniasis menurut golongan umum

dan jenis kelamin, yang diperiksa dengan cara pemeriksaan tinja atau cara anamnesis (tabel 1). Tabel 1. Penelitian epidemiologi taenlasis di Indonesia.

Lokasi Penelitian Angka Infeksl % Keterangan

Sumatera Utara P. Samosir 9,5 Dad 285 penduduk yang dianamnesis.

Ambarita 2,0 Dad 350 sampel tinja.

P. Samosir Terkumpul 79 ekor cacing pits.

Irian Jaya Enarotali 9,0 Dari 170 sampel tinja penderita rawat tinggal.

8,0 Dari 74 sampel tinja penderita rawat jalan.

Obano 2,0 Dari 350 sampel tinja.

Nusa Tenggara P. Timor Timur. 7,0 Dari 445 sampel tinja.

Bali Tronyan 0,8 Dan 548 sampel tinja. Sukawati 2,1 Padangsembilan 3,3 Mendayo ' 1,1 Dari 143 sampel tinja. Kutu Tambahan 0,4 Dari 123 sampel tinja. Bungaya 1,1 Dad 88 sampel 611.0. Jembrana 1,0 Dari 354 sampel tinja. Buleleng 0,4 Karangasam 1,0 Abiansemal Penasih, Banjar 2,0 Dengan cara anamnesis

Saba Banjar Kelod, 2,3,0 Dengan pemeriksaan

tinja.

Renon, Denpasar 7,1

Dengan formalin-eter, uasapan perianal, cellophan-tape dan anamnesis.

Lampung Seputih Raman 1,0 Dad 476 sampel tinja.

Sulawesi Utara Werdhi Agung Sulawesi 0,4 Dad 245 sampel tinja.

Tenggara Kendari 0,4 Dari 243 sampel tinja. Sumatera Utara

Dan 285 penduduk pulau Samosir yang dianamnesis, 9,5% menderita taeniasis dan lebih banyak dijumpai pada penduduk yang berusia lanjut. Taeniasis juga dijumpai 1,3% dari 154 anak sekolah yang diperiksa tinjanya dan semuanya adalah anak laki-laki (5). Di Ambarita, dilaporkan 2% positif taeniasis dari 350 sampel tinja yang diperiksa(6).

Pada tahun 1986-1987, Kosin dkk, berhasil mengumpul-kan 79 ekor cacing pita di P. Samosir. Serelah diteliti ternyara bukan merupakan Taenia saginata, melainkan mirip Taenia khawi yang ada di Taiwan. Untuk memastikannya, penelitian dengan analisis DNA probe sedang dilakukan(7).

Irian Jaya Di RS Enarotali, angka infeksi taeniasis adalah 9% dari

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 27

Page 29: Cdk 097 Foodborne Diseases

170 sampel tinja penderita yang dirawat, dan 8% dari 74 tinja penderita rawat jalan(8). Di desa Obano didapatkan 2% positif taeniasis dari 350 sampel tinja yang diperiksa. Penderita ter-sebut 3% adalah laki-laki dan 1% wanita, dengan umur antara 11-50 tahun(9).

Subianto dkk juga menemukan kasus cysticercosis dari 350 Irian Jaya dan lebih banyak pada penderita laki-laki di-bandingkan penderita wanita. Hal ini mungkin disebabkan karena perbedaan kebiasaan makan daging babi yaitu lakilaki memakan bagian otak yang kadang-kadang mungkin mengandung banyak kista, sedangkan wanita mendapat bagian usus(10). Nusa Tenggara Timur

Pada survai parasit usus dan darah pada manusia di Timor, Nusa Tenggara Timur, 7% dari 445 sampel tinja yang terkumpul adalah positif taeniasis. Angka infeksi tertinggi terdapat pada kelompok umur 30 - 39 tahun (13%), kemudian kelompok umur 20 - 29 tahun (11%) dan kelompok umur 40 - 49 tahun (10%). Angka infeksi terendah terdapat pada ke-lompok umur 0 - 9 tahun (1%). Hal ini mungkin disebabkan orang dewasa lebih banyak mengkonsumsi daging dibanding-kan anak-anak. Kasus taeniasis juga lebih banyak dijumpai pada penderita laki-laki (8%) dibandingkan penderita wanita (5%)(11). Bali

Di Bali, angka infeksi taeniasis antara 0,8% - 23% dan Taenia saginata ditemukan lebih banyak dari pada Taenia solium(12).

Dari 548 sampel tinja yang diperiksa, angka infeksi tae-niasis di Trunyan 0,8%, Sukawati 2,1% dan Padangsembilan (Denpasar) 3,3%. Penderita tersebut berumur 1,5 - 60 tahun. Angka infeksi tertinggi di Padangsembilan yaitu pada golong-an umum 40 - 49 tahun (5%), di Sukawati pada golongan umur 30 - 39 tahun (7,7%), dan Trunyan hanya terdapat pada golongan umur 30 - 39 tahun (3,6%)(13). Taeniasis juga di-jumpai di desa Mendayo, Kutu Tambahan, dan di Bungaya. Angka infeksinya adalah 1,1%, 0,4 % dan 1,1% dari masing-masing 143, 123 dan 88 sampel tinja yang diperiksa(14). Pada penelitian lain dari 354 sampel tinja yang diperiksa, hanya 4 orang yang positif yaitu 1% di Jembrana, 0,4% di Buleleng, dan 1% di Karangasem. Dari 4 penderita tersebut 1 wanita dan 3 laki-laki(15).

Angka infeksi taeniasis di Abiansemal (dekat Denpasar) dengan cara anamnesis adalah 2%. Penderita tersebut berumur antara 0 - 69 tahun. Angka infeksi tertinggi terdapat pada golongan umur 0 - 9 tahun yaitu 3,7%, dan terendah pada golongan umur 10 - 19 tahun yaitu 0,8%. Empat kasus dari 52 kasus taeniasis terdapat pada anak balita. Didapatkan pula penderita laki-laki lebih banyak yaitu 2,6%, dibandingkan wanita yaitu 1,5%(16).

Pada tahun 1983, Bakta mendapatkan angka infeksi tae-niasis 23% pada penduduk dewasa di desa Penatih, Banjar Saba, dengan menggunakan pemeriksaan langsung. Angka

infeksi pada laki-laki lebih besar dibandingkan pada wanita, dan 7 dari 8 cacing yang ditemukan adalah Taenia saginata(17).

Di Banjar Kelod, Renon, Denpacar, taeniasis juga ditemui dengan angka infeksi 7,1%. Penelitian ini menggunakan teknik formalin-eter, usapan perianal, cellophan-tape, dan anamnesis. Taeniasis juga ditemukan lebih banyak pada laki-laki pada wanita(18).

Di RS Bali, pada tahun 1962 tercatat 24 penderita taeniasis laki-laki dan 4 wanita. Pada tahun 1963 dilaporkan pula 43 penderita taeniasis laki-laki dan 10 wanita yang telah diobati. Pada tahun 1964 tercatat lebih banyak lagi penderita taeniasis yaitu 58 penderita laki-laki dan 20 wanita(19).

Pada pemeriksaan kuku jari tangan dari 12 penderita tae-niasis ditemukan 5 (41,6%) penderita penderita positif telur cacing berumur 1,5 tahun(20).

Kasus taeniasis termuda di Indonesia didapatkan di Bali pada anak berumur 1,5 tahun(13). Lampung

Di tempat pemukiman barn transmigrasi (Seputih Raman) yang berasal dari Bali, didapat angka infeksi taeniasis 1% (5 dari 476 sampel tinja). Penderita tersebut berumur antara 15 -60 tahun, 2 wanita dan 3 laki-laki(15). Sulawesi Utara.

Di tempat pemukiman baru transmigrasi (Werdhi Agung,, Bolaang Mongondow) yang berasal dari Bali, juga didapatkan angka infeksi 0,4% (1 dari 245 sampel tinja). Penderita terse-but adalah laid-laid yang berumur 58 tahun(15). Sulawesi Tenggara

Di tempat pemukiman baru transmigran (Kendari) yang juga berasal dari Bali, didapatkan angka infeksi 0,4% (1 dari 243 sampel tinja). Penderita tersebut adalah wanita dan ber-umur 30 tahun(3). B. Penelitian Pemberantasan

Penelitian pemberantasan taeniasis telah banyak dilakukan dengan pengobatan. Adapun obat taeniasis yang pernah dipakai adalah Atabrine, Yomesan, Bithionol, Mebendazole, Trivexan, dan Praziquantel (tabel 2). Beberapa obat tradisional dilaporkan juga berkhasiat sebagai taeniasis yaitu isi biji labu merah, biji pinang, biji buah wudani, kulit delima putih, dan ramuan jamu(7) tetapi belum ada yang meneliti.

Atabrine (kuinakrin hidroklorida) pernah dipakai sebagai obat pilihan utama untuk taeniasis karena cacing dapat keluar lengkap dengan scolex. Obat tersebut sudah digunakan untuk penderita taeniasis di Jakarta, Irian Jaya, dan Sumatera Utara. Diberikan dalam dosis tunggal 15 mg/kg BB dengan dosis maksimum 1 gram, dan mendapatkan angka kesembuhan 85%(5,21,22). Obat ini sudah tidak dipakai lagi karena toksik dan sering menimbulkan efek samping.

Yomesan (niklosamid) sering pula dipakai, toksisitas rendah, mudah diberikan dan angka kesembuhan cukup tinggi (90 - 97%)(5). Obat ini sekarang sulit didapatkan di

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 28

Page 30: Cdk 097 Foodborne Diseases

Tabel 2. Penelitian pengobatan taeniasis di Indonesia.

Obat Dosis Lokasi Angka kesembuhan(%)

Atarbrine 15 mg/kgBB, Jakarta 85 dosis tunggal Irian Jaya 85 (Maksimum lgram) Sumatera Utara 85

Bithionol 2 gram, dosis tunggal Sumatera Utara 100

20-40 mg/kgBB Bali 90.3 40 mg/kgBB Jakarta 80

Mebendazole 2 x 300 mg/hari, 3 hari

Bali

87,5

Trivexan

4 x 2 (200 mg Mebendazole + 60 mg pirantel pamoat), /hari,

3 hari

Bali

100

Praziquantel 10 mg/kgBB, Sumatera Utara 87,5 dosis tunggal Bali 70,4 Bali 91,7

15 mg/kgBB, dosis tunggal

Jakarta

100

Indonesia(4).

Bithionol (2,2 thio 4,6 diklorofenol/Bitin) dipakai oleh Kosin dick (1972) dengan dosis tunggal 2 gram (10 tablet)(5), Widarso dick (1983) dengan dosis 20 - 40 mg/kg BB(4), dan Handojo (1983) dengan dosis 40 mg/kg BB(23). Angka ke-sembuhan yang dilaporkan adalah 100%, 90,3% dan 80%, tetapi cacing pita yang keluar dalam bentuk potdnganpotongan. Obat ini sekarang tidak dipergunakan lagi karena berasal dari Jepang dan tidak terdaftar di Indonesia.

Mebendazole (meta 5 benzole benzimidazole - 2 karbonat/ Vermox®) digunakan dengan dosis 300 mg, dua kali sehari, selama 3 hari. Angka kesembuhan selama pengobatan men, capai 87,5% dan 50% pada evaluasi 2 - 3 bulan setelah pengobatan (24). Dosis yang tepat untuk cacing pita masih perlu diteliti.

Trivexan® adalah campuran mebendazole 200 mg dan pi-rantel pamoat 60 mg dalam 1 tablet. Obat ini pernah digunakan untuk pengobatan 26 penderita yang positip taeniasis dan 5 penderita yang negatip. Dosis yang digunakan adalah 4 X 2 tablet/sehari, selama 3 hari. Ternyata 30 penderita berhasil mengeluarkan strobila dan proglotid Taenia saginatd(25).

Praziquantel (Biltricide, Cesol) telah digunakan untuk mengobati 24 kasus taeniasis di Simanindo dan 54 kasus di Bandung. Obat diberikan dengan dosis tunggal 10 mg/kg BB dan memberi angka kesembuhan 87,5% dan 70,4%. Efek samping obat ini antara lain sakit kepala, lemah, mual, yang segera menghilang(26). Pada pengobatan praziquantel ter- hadap 12 penderita taeniasis lain dengan dosis sama, didapat-kan 41,6% penderita mengeluarkan cacing dengan scolex. Angka kesembuhan yang dilaporkan adalah 91,7% pada

evaluasi 3 bulan setelah pengobatan, dan efek samping yang ditemukan ringan(20). Peneliti lain memberikan praziquantel dengan dosis 15 mg/kg BB terhadap 6 penderita Taeniasis saginata dan setelah 4 - 6 bulan tidak menunjukkan kekam-buhan(27). Obat ini belum beredar di Indonesia. C. Penelitian lain (sosial-budaya dan lain-lain)

Irian Jaya Di Irian Jaya, kasus taeniasis berhubungan dengan ke-

biasaan memasak yang masih memakai cara primitif yaitu dengan batu panas sehingga daging babi masih mengandung kista(2,28). Di samping itu pemotongan babi di dalam hutan masih banyak dilakukan karena sekelompok penduduk ingin menikmati daging babi tanpa ada gangguan dari keluarga. Kasus taeniasis ditemukan lebih banyak pada laki-laki, karena penduduk laki-laki lebih banyak makan daging babi, akibatnya juga lebih banyak menderita taeniasis dan cysticercosis(28).

Angka infeksi taeniasis di Irian Jaya cukup tinggi dan luas. Hal ini disebabkan karena kebiasaan penduduk berkelana dari satu tempat ke tempat lain, babi sebagai mas kawin, perdagangan babi dari sate desa ke desa lain, pemeriksaan babi mati sulit dilakukan karena sarana yang jauh memuaskan dan dilakukan oleh bukan petugas khusus yang terlatih oleh Dinas Peternakan setempat, babi dipelihara kebanyakan rumah, babi masih diberi makan kotoran manusia, kebiasaan buang air besar di mana saja, dan kebersihan diri yang sangat kurang(28-29). x Bali

Penelitian adanya hubungan kebiasaan makanan dengan taeniasis dilakukan terhadap 38 responden (kepala keluarga). Dilaporkan 89,5% menyatakan menyukai lawar yaitu cam-puran daging babi, sapi atau ayam dengan sayur-sayuran dan bumbu rempah-rempah. Makanan tersebut dimakan tanpa atau kurang masak selama upacara keagamaan. Hanya 2,6% responden menyatakan tidak menyukai(16). Infeksi taeniasis juga berhubungan dengan tingkat pendidikan. Tak satupun penduduk yang berpendidikan Sekolah Menengah Atas menderita taeniasis, dan umumnya penderita adalah berpendidikan rendah atau buta huruf(16).

Kebiasaan buang air besar di luar rumah dan di udara ter-

buka yang disebabkan karena terbatasnya yang mempunyai jamban keluarga (23,7%) tampaknya juga berhubungan dengan terjadinya taeniasis. Kebiasaan buruk tersebut juga disebabkan karena udara panas dan lingkungan yang mendukung mereka dapat buang air besar di mana saja. Mereka umumnya buang air besar di teba (lorong kecil di belakang rumah yang umumnya digunakan untuk ternak babi) dan sungai(16). Penelitian lain juga melaporkan bahwa faktor penentu yang mendukung kejadian cysticercosis adalah lingkungan (sosial dan fisik), sistim pemeliharaan ternak, pola pasar dan distribusi daging babi untuk masyarakat(30).

Dan hasi pemeriksaan histologis nodul 8 penderita cystic-ercosis asal Bali, ternyata semuanya merupakan Cysticercus

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 29

Page 31: Cdk 097 Foodborne Diseases

cellulosa(31). Hal ini yang sama juga dilaporkan oleh peneliti lain yaitu dari 6 penderita cysticercosis (5 laki-laki dan 1 wanita) yang berumur antara 12 - 39 tahun dan 2 diantaranya juga menderita taeniasis (T. solium) (32).

Laporan Kosin (1986/1987) tentang adanya kemungkinan jenis T. saginata taiwanesis di Indonesia7, juga diteliti oleh Dharmawan dkk terhadap hati 638 ekor babi yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) Denpasar. Ditemukan 22,9% hati terinfeksi cysticercus yang diduga merupakan kista T. s taiwanesis33. Sumatera Utara

Napitupulu dkk juga melakukan uji coba menginfeksikan babi lokal Samosir dengan proglitid gravid yang berasal dari 2 penderita taeniasis di Samosir. Ternyata ditemukan cysticercus di hati babi setelah 40 dan 60 hari. Cysticercus tersebu~ Cysticercus cellutose(14). KESIMPULAN 1) Angka infeksi taeniasis di Indonesia adalah 0,4 - 23%, dan

angka infeksi dengan anamnesis ternyata lebih besar daripada infeksi taeniasis dengan pemeriksaan tinja.

2) Spesies taenia di Bali terutama adalahTaenia saginata. Kemungkinan Taenia saginata taiwanesis, di Indonesia (P.Samosir dan Bali) perlu diteliti lebih lanjut.

3) Taeniasis dapat detemukan pada semua golongan umur. Umumnya lebih banyak ditemukan pada orang dewasa, kecuali di desa. Abiansemal (dekat Denpasar), Bali, yiatu infeksi tertinggi pada golongan umur muda (0 - 9 tahun).

4) Penderita taeniasis lebih banyak dite(nukan pada laki-laki dari pada wanita karena laki-laki lebih banyak makan daging.

5) Penderita taeniasis yang transmigrasi ke daerah pemukiman baru dapat merupakan sumber infeksi di daerah tersebut.

6) Bithionol dan praziquantel tampaknya merupakan obat taeniasid yang cukup baik, walaupun dosis praziquantel yang efektif masih diteliti.

7) Faktor sosial - budaya setempat sangat mempengaruhi terjadinya infeksi taenia.

8) Kerja sama lintas sektoral antara Departemen Kesehatan dengan Departemen Penerangan, Departemen Depdikbud, dan Departemen Peternakan dibutuhkan untuk menang-gulangi taeniasis.

UCAPAN TERIMA XASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada Bapak Dr. Suriadi Gunawan DPH

dan Ibu Dra. Harijani AM yang mengijinkan makalah ini dapat diterbitkan.

KEPUSTAKAAN

1. Subdit Zoonosis, Direktorat Pemberantasan Penyakit Bersumber Bina-tang, Direktorat Jenderal P2M & PLP, Departemen Kesahatan RI; Petunjuk Pencegahan & Pemberantasan Taeniasis (Penyakit Cacing Pita) dan Cysticercosis pada manusia 1986.

2. Margono SS. Cestode in man Indonesia. Bull Penelit Kes 1989; 17 (2):60-66.

3. Rasidi R, Margono SS. Taeniasis di beberapa daerah di Indonesia. Maj Kedokt Indon 1985; 35 (1) : 680 - 683.

4. Widarso HS. Studi pendahuluan pengobatan taeniasis dengan Bithionol. Kern's kerja ilmiah. Seminar Parasitologi Nasional ke III, Bandung, 29-31 Agusws 1983.

5. Kosin E. Depdagri A, Djohansjah A. Taeniasis di pulau Samosir, Maj Kedokt Universitas Sumatera Utara, Medan 1972; 3 : 5

6. Croses JH, Clarke MD Cole WC, Liam JC, Parton F, Joesoef A, Kosin EH. Parasitology survey in northern Sumatera, Indonesia. Trop Med Hyg 1976; 79 : 123 - 131.

7. Kosin EH, Rahmad A. Taeniasis di Indonesia dan terapi. Kertas kerja ilmiah pada Seminar Albendazole, Jakarta, 1989.

8. Tumada LR, Margono SS. Intestinal helminthic infection in the Paniai highlands with special reference to Taenia and Hymenolepis Hans. Maj Kedokt Indon 1973; 7 - 8 : 103 - 107.

9. Margono SS, Rasidi R, Simanjuntak GM, Endardjo S, Sukarya A, dan Sarvmpaet S. Intestinal parasites in Obano, Irian Jaya, Indonesia. Maj Kedokt Indon 1979; 29 : 56 - 58.

10. Subianto DB, Tumada LR, dan Margono SS. Bums and epileptical fits associated with cycticercosis in mountain people of Irian Jaya. Imp Geogr Med 1978; 30 : 275 - 278.

11. Camay WP, Joesoef A, Rogers V, Tibuludji, N, Seputhra IG, Hoedojo. Intestinal and blood parasites of man in Timor. Bull Penelit Kes 1975; 3:1-10.

12. Sutisna P. Human parasitic infection in Bali : a review. Bull Penelit Kes 1989; 17 (2) : 276 - 283.

13. Simanjuntak GM, Margono SS, Sachlan R, Harjono C, Rasidi R, Sutopo B. An investigation on taeniasis and cysticercosis in Bali. Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1977; 8 : 494 - 497.

14. Rasidi R, Margono SS, Simanjuntak GM, Koesharjono C. Intestinal parasites in villages of Bali. Maj Kedokt Indon 1979; 29 : 3 - 5. 15. Rasidi R. Koesharjono C, Simanjuntak GM, Harjono C, Sachlan R, Margono SS. Taeniasis di Bali dan daerah transmigrasi Seputih Raman di Lampung Tengah dan Werdhi Agung di Sulawesi Utara. Seminar Parasitologi Nasional ke II, Jakarta.

16. Widjana DP, Kapti N. Beberapa aspek taeniasis di kecamatan Abiansemal, Bali. Penataran Penanggulangan Taeniasis dan Sistiserkosis sepropinsi Bali, Denpasar, 1984.

17. Bakta IM, Soewami H. Taeniasis di Banjar Saba, desa Penatih, Bali, Proceedings of the 3rd Congr Indonesian Association of Internists, Jakarta, July 24-29, 1983.

18. Sutisna P. Masalah taeniasis di Banjar Kelod, Renon, Denpasar. Reg Scient Meeting of Parasitology, Surabaya, 1989.

19. Ngoerah IGNG. Cysticercosis dari susunan saraf pusat. Majalah Bmiah Universitas Udayana 1975; 31 - 38.

20. Sutisna P. 'Karakteristik beberapa penderita taeniasis saginata dan efek-tivitas praziquantel untuk pengobatannya (in press) 1989.

21. Hadidjaja P. Beberapa kasus taeniasis di Djakarta. Tjara diagnosa dan pengobatan. Maj Kedokt Indon 1971; 21 :: 173 - 178.

22. Gunawan TD. Subianto DR, Endarjo S, Margono SS. Cysticercosis cerebri in Irian Jaya. Trop Geogr Med 1978; 30 : 279 - 283.

23. Handojo I. Laporan pendahuluan dari percobaan pengobatan taeniasis saginata dengan Bithionol. Karts kerja ilmiah. Seminar Parasitologi Nasional ke III, Bandung, 29 - 31 Agustus 1983.

24. Ngurah K. Efektivitas mebendazole pada taeniasis. Maj Kedokt Indon 1984; 3 : 204 - 206.

25. Pumomo. Usaha mengeluarkan berbagai macam cacing usus dengan mengobatan Trivexan. Kertas kerja ilmiah Seminar Parasitologi Nasional ke III, Bandung, 2931 Agusws 1983.

26. Koesharjono C, Sukartinah S, Suaedah I, Windiyaningsih C, Panjaitan W, Suamawa IM, Subandi. Praziquantel sebagai that untuk pengobatan taeniasis. Maj Kedokt Indon 1987; 1 : 23 - 28.

27. Mahfudin H. Kasus taeniasis saginata yang didapat antara tahun 1988 dan 1989 di Jakarta. Laporan pendahuluan dan pengobatan dengan Praziquantel. Seminar Parasitologi Nasional VI & Kongres P4I V, Pandaan - Pasuruan, 23 - 25 Juni 1990.

28. Rumawas I. Thesis : Tinjauan Penanggulangan penyakit taeniasis/ cysticercosis pada penduduk di sekitar pantai danau Paniai, Irian Jaya, 1979 - 1980.

29. Gunawan S. Aspek sosio-budaya masalah taeniasis dan cysticercosis di

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 30

Page 32: Cdk 097 Foodborne Diseases

daerah pengunungan Iran Jaya. Seminar Parasitologi nasional ke III dan Kongres P4I. 24 - 27 Juni 1981, Jakarta.

30. Dharrnawan NS. Studi deskriptif tentang kejadian sistiserkosis pada babi dan kaitannya dengan kondisi lingkungan asal temak penderita di Bali. Seminar Parasitologi Nasional VII dan Kongres P4I VI, 23-25 Agustus 1993, Denpasar, Bali.

30. Giri IW. Cysticercosis in Surabaya. Southeast Asian J Trop Med Pub 111th 1978; 9 : 232-236.

31. Sutisna R. Sistiserkosis di Bali: Laporan 6 kasus, Seminar Parasitolol Nasional VII dan Kongres P4I VI, 23-25 Agustus 1993, Denpasar, Bal

32. Dharmawan NS, He S. Geerts S. Kemungkinan kehadiran sistiserkosi: cacing Taenia saginata taewanensis di. Bali. Seminar Parasitologi Ns sional VII dan Kongres P4I VI, 23-25 Agustus 1993, Denpasar, Bali.

33. Napitupulu T, Gani EH, Depary AA dkk. Infeksi eksperimental Taeni saginata pada babi lokal di P. Samosir. Seminar Parasitologi Nasiona VII dan Kongres P4I VI, 23 - 25 Agustus 1993, Denpasar, Bali.

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 31

Page 33: Cdk 097 Foodborne Diseases

Penggunaan Antibiotiksecara Rasional pada Diare

Pudjarwoto Triatmodjo

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Diare hingga kini masih merupakan salah satu masalah ke-sehatan masyarakat Indonesia yang utama baik ditinjau dari segi kesakitan maupun kematian yang ditimbulkannya. Sampai saat ini masih sering terjadi wabah diare atau KLB (Kejadian Luar Biasa) di berbagai daerah yang disertai dengan sejumlah kematian.

Kebijaksanaan teknis (strategi) pemberantasan diare di Indonesia dalam Repelita V adalah meneruskan kebijaksanaan Repelita IV yaitu upaya penanggulangan dan pencegahan diare untuk menurunkan angka kematian diare pada bayi dan balita sebesar 25%, dengan menurunkan angka kematian bayi dari 12 menjadi 9 per 1000 kelahiran hidup, menurunkan angka kema-tian balita karena diare dari 5 menjadi 3,8 per 1000 balita, serta menurunkan angka kesakitan diāre pada balita sebesar 25% se-hingga episode diare pada balita turun dari 2,1 menjadi 1,6 kali per tahun(1).

Langkah-langkah pelaksanaan program yang dilakukan oleh instansi terkait (Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan Pemukiman/P2M & PLP Dep Kes) dalam upaya penanggulangan diare adalah dengan menerapkan tatalaksana penderita diare pola baru secara tepat dan efisien, yaitu dengan mengutamakan URO (Upaya Rehidrasi Oral), terapi cairan intravena (hanya untuk penderita dehidrasi berat), terapi antibiotika secara rasional (sesuai indikasi) serta upaya rujukan. Sedangkan upaya pencegahan diare dilakukan melalui program KIA dan immunisasi campak, perbaikan nutrisi, penggunaan air bersih, peningkatan hygiene perorangan dan kesehatan lingkungan(1,2).

Dalam makalah ini diuraikan tentang antibiotik dalam hu-bungannya dengan upaya penanggulangan diare pola baru de-ngan spesifikasi pembicaraan mengenai pemakaian antibiotik secara rasional pada penyakitdiare berdasarkan ketentuan WHO

dan sumber lain untuk menambah wawasan para pengguna antibiotik dengan harapan agar pemakaian antibiotik pada kasuskasus diare dapat dilakukan secara rasional/tepat dan terarah sesuai indikasi sehingga penggunaan secara berlebihan dan tidak pada tempatnya dapat dihindari. KEADAAN DAN MASALAH

Obat-obat antibiotik dan anti diare selama ini dijual secara bebas di pasaran sehingga hal ini memberi peluang kepada pengguna antibiotik/konsumen untuk menggunakan antibiotik secara bebas dan tidak pada tempatnya. Dalam hubungan ini penggunaan antibiotik untuk pengobatan diare cenderung ber-lebihan dan tidak rasional. Instansi terkait (Direktorat Jenderal PPM & PLP Dep Kes RI) menyebutkan bahwa proporsi pemakaian antibiotik untuk penderita diare sangat tinggi yaitu sebesar 68% pada penderita balita dengan rentang nilai antara 34%–96% dan untuk semua umur sebesar 71% dengan rentang nilai antara 43%-97%(1).

Penggunaan antibiotik secara berlebihan dan tidak rasional dapat menimbulkan dampak negatip yang cukup serius, antara lain terjadinya resistensi kuman terhadap antibiotik, efek sam-ping yang membahayakan penderita serta pemborosan biaya. Timbulnya resistensi kuman ini dapat berakibat meningkatnya mortalitas (angka kematian) karena diare dan membuat dunia penelitian dituntut harus bekerja keras untuk menemukan jenis obat/antibiotika baru yang mampu membasmi kuman yang telah kebal terhadap jenis antibiotik yang telah ada. Penelitian ini membutuhkan dana yang cukup besar dan sarana yang memadai sehingga tidak selalu dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga penelitian yang ada(3,4,5). PENGGUNAAN ANTIBIOTIK SECARA RASIONAL Pemilihan antibiotik untuk pengobatan diare tidaldah se-

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 32

Page 34: Cdk 097 Foodborne Diseases

mata-mata bertujuan untuk menghentikan diare, tetapi juga memerlukan pertimbangan matang yang meliputi efektivitas, efek samping pada penderita serta kemungkinan terjadinya re-sistensi kuman. Dalam upaya memilih antibiotik yang rasional untuk pengobatan penyakit infeksi, para ahli farmakologi telah menetapkan beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan antara lain meliputi 5 hal yaitu(6). – Patomekanisme – Diagnosis mikrobiologik – Faktor farmakokinetik – Faktor/kondisi penderita – Faktor biaya Patomekanisme diare

Beberapa penulis mengemukakan bahwa pertimbangan untuk memberikan terapi antibiotik pada penderita diare pertama-tama hendaknya didasarkan pada patomekanisme diare yang dihadapi. Dalam hal ini perlu diingat bahwa tidak jarang pada satu penderita diare terdapat lebih dari satu mekanisme(8). Secara singkat dapat dikemukakan di sini bahwa patomekanisme diare dapat dibagi menjadi 5 kelompok yaitu : 1) Diare osmotik : – Kelebihan makanan (overfeeding) – Zat-zat yang tidak diabsorpsi (laktulose, sorbitol) – Malabsorpsi makanan yang larut dalam air. 2) Diare sekretorik : – Melalui cyclic AMP – Humoral: VIP, sekretin, serotonin, kalsitonin, gastrin, cho-lecystokinin. – Kelompok asam empedu, asam lemak rantai panjang, asam chenodeoxycholat. 3) Gangguan motilitas usus : – Hipomotilitas – Hipermotilitas. 4) Gangguan fungsi permukaan usus : – Short bowel syndrome – Penyakit membran mukosa. 5) Gangguan absorpsi khusus : – Congenital chloridorrhea.

Keputusan untuk memberikan terapi antibiotik pada kasus-kasus diare sangat bergantung pada patomekanisme dan faktor etiologinya. Pada keadaan diare tertentu, berlandaskan pada pola patomekanisme yang dihadapi dan anamnesis relatif sudah cukup untuk mendeteksi faktor penyebabnya (etiologi) sehingga pemilihan obat (drug of choice) telah dapat diperkirakan. Pada kejadian diare akut yang disebabkan oleh faktor non infeksi (malnutrisi, malabsorpsi, intoksikasi dan lain-lain), pemakaian antibiotik tidak perlu. Menurut WHO (1990), kira-kira 95% anak-anak penderita diare akut yang berobat ke rumah sakit sudah dapat diatasi dengan URO (Upaya Rehidrasi Oral) dan meneruskan pemberian makanan (continued feeding) termasuk pemberian ASI terutama pada anak-anak yang masih menyusui. Namun pada kasus-kasus diare yang disebabkan oleh faktor infeksi terutama infeksi oleh beberapa jenis bakteri dan parasit tertentu, terapi antibiotik merupakan suatu hal yang esensial.

Diagnostik mikrobiologik Faktor penyebab (etiologi) diare terdiri dari faktor infeksi

dan non infeksi. Berkat perkembangan yang pesat di bidani mikrobiologi, maka sampai dengan dasa warsa 80–90-an sekital 80% etiologi diare yang disebabkan oleh faktor infeksi teal dapat diketahui (Tabel 1)(7). Tabel 1. Gambaran etiologi diare yang meliputi faktor infeksi dan non infeksi (WHO, 1990)

Faktor penyebab Alternatip I. Infeksi : II. Non-infeksi :

1) Virus : – Rotavirus – Adenovirus, dll. 2) Bakteri : – Vibrio cholera, Vibrio NAG, V. parahaemo- lyticus – Salmonella/Shigella – Escherichia coli patogen: ETEC, EPEC, EIEC, EHEC EAEC. – Campylobacter jejuni – Staphylococcus aureus – Yersinia enterocolytica 3) Parasit : – Protozoa: Entamuba hystolytica, Giardia lamblia, Cryptosporidium, Balantidium coli – Cacing perut: Ascaris sp., Strongyloides, Trichuris trichiura – Jamur: Candida KKP (Kurang Kalori Protein), intoksikasi bahan kimia/bakteri, intoleransi makanan tertentu, immuno-defisiensi, malnutrisi, maldigesti dll.

Dalam tabel 1 tampak bahwa faktor penyebab penyakit

diare sangat kompleks/beraneka ragam. Beberapa faktor penye-bab mempunyai gejala klinik yang spesifik, tetapi beberapa faktor lain mempunyai gejala klinik yang mirip sehingga sering sulit meramalkan faktor penyebabnya. Di samping itu perlu di-ingat bahwa masing-masing mikroorganisme penyebab diare ini mempunyai tingkat kepekaan yang berbeda terhadap berbagai jenis antibiotik. Dengan diketahuinya rotavirus sebagai faktor penyebab diare pada sebagian besar kasus diare pada bayi dan balita, maka penggunaan antibiotik untuk pengobatan diare di-anjurkan agar lebih saksama, artinya pengobatan diare dengan antibiotik hanya diberikan sesuai dengan indikasi.

Terapi antibiotik pada diare yang disebabkan oleh rotavirus tidak akan mengatasi masalah karena rotavirus tidak bisa di-berantas dengan antibiotik. Demikian pula pada diare yang di-sebabkan oleh faktor non infeksi. Oleh karena itu untuk me-netapkan pemilihan antibiotik secara tepat dan terarah sesuai indikasi, sangat perlu ditegakkan diagnosis mikrobiologik. Dalam hubungan ini diagnosis mikrobiologik tidak bisa dira-malkan begitu saja, tetapi perlu ditunjang dengan pemeriksaan laboratoris untuk identifikasi mikrobiologis dan uji resistensinya terhadap antibiotik. Cara yang paling baik untuk menegakkan diagnosis mikrobiologik adalah dengan teknik kultur atau de-ngan teknik ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) ter-utama untuk identifikasi rotavirus dan E. coli patogen; adakala-nya cukup dilakukan dengan pemeriksaan pewarnaan Gram, antara lain untuk identifikasi faktor penyebab diare dari golong-

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 33

Page 35: Cdk 097 Foodborne Diseases

an parasit/protozoa. Untuk mendapatkan diagnosis mikrobiologik yang repre-

sentatif, spesimen untuk pemeriksaan laboratorium (feses/rectal swab) hendaknya berasal dari penderita yang belum mendapatkan pengobatan antibiotik; sebab bila sudah mendapatkan terapi antibiotik, hasil pemeriksaan mikrobiologi bisa negatip. Peme-riksaan laboratorium selanjutnya adalah uji resistensi kuman terhadap antibiotik. Cara yang paling ideal untuk melakukan uji resistensi adalah dengan Disk Diffusion Method (KirbyBauer, 1966) secara in vitro. Hasil uji resistensi ini memberikan infor-masi tentang kepekaan kuman terhadap antibiotik tertentu dalam dua alternatif yaitu sensitif atau resisten. Hasil sensitif terhadap suatu antibiotik berarti dengan dosis lazim antibiotik tersebut cukup untuk menghambat pertumbuhan kuman bersangkutan. Sedangkan hasil resisten berarti kadar lazim tidak cukup untuk menghambat pertumbuhan kuman yang dihadapi. Uji resistensi in vitro dengan metode Kirby Bauer bukan untuk menentukan kadar obat secara in vivo, tetapi untuk menentukan pilihan antibiotik (drug of choice) yang paling efektif untuk pengobatan penyakit yang dihadapi; dalam hal ini antibiotik terpilih adalah yang memberikan hasil sensitif.

Apabila patomekanisme diare yang dihadapi dan diagnosis : mikrobiologi telah dapat ditegakkan, maka barulah dapat di-

rencanakan tindakan rasional untuk memenuhi persyaratan per-

timbangan faktor efektivitas dalam pemilihan antibiotik untuk pengobatan diare.

Sebagaimana diketahui tidak semua kasus-kasus diare dapat diobati dengan antibiotik seperti diane yang disebabkan oleh infeksi rotavirus dan diane yang disebabkan oleh faktor non infeksi. Menurut WHO (1990) beberapa kasus diane yang memerlukan terapi antibiotik antara lain adalah kasus-kasus kolera, shigellosis (disentri/bloody diarrhoea = diare berdarah), amubiasis dan giardiasis. Selain kasus-kasus diare tersebut di atas, tidak dianjurkan untuk diobati dengan antibiotik. Pada kejadian diare yang berasosiasi dengan penyakit lain seperti pneumonia, otitis media, malaria dan lain-lain upaya penanggu-langannya memerlukan terapi yang spesifik. Dalam Tabel 2 disajikan informasi tentang penggunaan antibiotik yang dianjur-kan untuk pengobatan diare pada kasus-kasus tersebut di atas(4,7).

Faktor farmakokinetik Dalam tulisan ini faktor farmakokinetik hanya dibahas se-

cana sepintas. Pemilihan antibiotik secana rasional di samping berdasankan pada pertimbangan patomekanisme diare dan etio-loginya, faktor farmakokinetik perlu dipertimbangkan secana saksama, kanena keberhasilan terapi antibiotik juga tergantung pada apakah suatu antibiotik mampu mencapai tempat infeksi dengan kadar yang cukup efektif, yaitu sedikitnya setinggi Kadar Hambat Minimal (KHM) untuk kuman yang bersangkutan; bahkan bila mungkin lebih diinginkan mencapai kadar 4–8 x lipat KHM. Efek suatu antibiotika baik efek antimikroba maupun efek toksiknya sangat ditentukan oleh kinetik obat tersebut dalam tubuh.

Faktor penderita Dalam pemilihan antibiotik secara rasional, kondisi pen-

Tabel 2. Berbagai Jenis Antibiotik yang Dianjurkan untuk Pengobatan Diare (WHO, 1990)

Etiologi diare (Faktor penyebab)

Antibiotik(1)

terpilih Alternatip(1)

Cholera(2,3)

Shigella dysentery(2)

Amubiasis Giardiasis

Tetracycline Anak-anak: 12,5 mg/kg 4 x sehari, 3 hari Dewasa: 500 mg 4 x sehari, 3 hari Trimethoprim (TMP) - Sulfamethoxazole (SMX) Anak-anak: TMP 5 mg/kg + SMX 25 mg/kg 2 x sehari, 5 hari Dewasa: TMP 160 mg + SMX 800 mg 2 x sehari, 5 hari Metronidazole Anak-anak: 10 mg/kg 3 x sehari, 5 hari Dewasa: 750 mg. 3 x sehari, 5 hari Metronidazole(5)

Anak-anak: 5 mg/kg 3 x sehari, 5 hari Dewasa: 250 mg 3 x sehari, 5 hari

Furazolidone Anak-anak: 1,25 mg/kg 4 x sehari, 3 hari Dewasa: 100 mg 4 x sehari, 3 hari Trimethoprim (TMP) - Sulfamethoxazole (SMX)(4)

Anak-anak: TMP 5 mg/kg + SMX 25 mg/kg 2 x sehari, 3 hari Dewasa: TMP 160 mg/kg + SMX 800 mg/kg 2 x sehari, 3 hari Nalidixic Acid Anak-anak: 15 mg/kg 4 x sehari, 5 hari Dewasa: 1 g. 3 x sehari, 5 hari Ampicilin Anak-anak: 25 mg/kg 4 x sehari, 5 hari Dewasa: 1 g. 4 x sehari, 5 hari Pada kasus berat: injeksi intramuskuler dehydroemetine hydro- chloride, 1–1,5 mg/kg Quinacrine Anak-anak: 2,5 mg/kg 3 x sehari, 5 hari Dewasa: 100 mg 3 x sehari, 5 hari

Keterangan : (1) Semua dosis yang diberikan adalah melalui oral kecuali bila dinyatakan

lain. Untuk anak-anak kecil, bila tidak tersedia obat dalam bentuk sirup dapat diberikan dalam bentuk payer.

(2) Pemilihan antibiotik pada pengobatan diare harus diperhitungkan fre-kuensi kepekaan terhadap antibiotika di daerah tersebut.

(3) Tujuan pengobatan dengan antibiotika bukan untuk keberhasilan peng-obatan melainkan untuk mempersingkat lamanya penyakit dan pada kasus yang berat mempercepat pengeluaran mikroorganisme.

(4) Alternatif lain adalah eritromisin dan khloramphenikol. (5) Tinidazole dan ornidazole dapat juga digunakan sesuai dengan anjuran

produsen obat. derita juga perlu mendapat perhatian yang saksama. Adapun beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan, antana lain : 1) Mekanisme pertahanan penderita

Dalam hal ini adalah imunitas humoral dan seluler. Umum-nya terapi antibiotik akan berhasil bila antibiotik tersebut dapat menghambat pertumbuhan kuman, kanena selanjutnya eradikasi

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 34

Page 36: Cdk 097 Foodborne Diseases

kuman akan berlangsung melalui mekanisme pertahanan tubuh; bila tidak memadai harus dipilih antibiotika yang bekerja cepat serta bersifat bakterisidal. 2) Umur penderita

Pada penderita yang berumur sangat muda (neonatus), fungsi ekskresi ginjal dan biotransformasi di hepar belum berkembang secara adekuat. Kloramphenikol tidak dianjurkan untuk diberikan pada neonatus karena dapat menimbulkan gray syndrome yang dapat berakibat fatal. Pada penderita usia lanjut walaupun tidak menunjukkan kelainan, umumnya bersihan kreatinin sangat jelas menurun. Penderita usia lanjut lebih cenderung mendapat efek toksik aminoglikosida. Sulfonamid dapat menimbulkan kernikterus pada neonatus. 3) Faktor genetik

Untuk penderita dengan defisiensi enzym glukosa 6 fosfat dihidrogenase, perlu dihindarkan pemberian antibiotika kloram-phenikol d an sulfonamid karena dapat menimbulkan hemolisis akut. 4) Kehamilan

Ibu hamil pada umumnya lebih peka terhadap pengaruh obat tertentu termasuk antibiotik. Oleh karena itu pemberian anti-biotik pada ibu hamil harus disertai pertimbangan kemungkinan efek samping baik pada ibu maupun pada bayi yang dikan-dungnya. Dalam hubungan ini kemungkinan timbulnya efek samping pada fetus tergantung pada usia kandungan serta daya tembus obat pada sawar uri. Beberapa antibiotika seperti strep-tomisin, tetrasiklin dan sulfonamid hendaknya tidak dipilih; pemberian streptomisin pada ibu yang hamil tua dapat menim-bulkan ketulian pada bayi yang dilahirkan.

Pada pemberian antibiotik pada kehamilan trimester per-tama harus diingat akan timbulnya bahaya teratogenesis. 5) Status perawatan

Perlu dipertimbangkan pemberian antibiotik pada penderita rawat jalan dan rawat nginap di rumah sakit. Untuk penderita rawat jalan sebaiknya dipilih antibiotika yang mempunyai toksisitas yang rendah, pemberiannya mudah (biasanya peroral) dan tidak terlalu sering. Pada penderita rawat nginap dibutuhkan antibiotik yang mempunyai efektivitas memadai karena penderita yang dirawat biasanya mengalami infeksi berat, terdapat penyakit penyerta, dan lain-lain.

6) Penyakit lain Dalam pemberian antibiotika sebaiknya selalu diperhatikan

kemungkinan adanya gangguan fungsi organ atau sistem tubuh khususnya hati dan ginjal karena kedua organ tersebut bersifat sangat menentukan dalam hal farmakokinetik obat. Sirosis hati ataupun hepatitis menahun dapat meningkatkan toksisitas tetra-siklin, meningkatkan kadar kloramfenikol dalam darah sehingga menimbulkan bahaya toksik. Obat-obat yang dimetabolisme secara ekstensif di hepar seperti kloramfenikol, metronidazol dan lain-lain perlu dikurangi dosisnya bila terdapat gagal hati. Antibiotik yang terutama diekskresi melalui ginjal akan mengalami kumulasi dalam tubuh hospes yang menderita gangguan fungsi ginjal. Pada beberapa jenis antibiotik tertentu adanya gangguan fungsi eksresi ginjal sangat potensial menimbulkan intoksikasi/keracunan.

Faktor biaya Dalam pemilihan antibiotik walaupun faktor harga bukan

merupakan faktor utama yang perlu dipertimbangkan, namun sebaiknya tidak dikesampingkan, karena kerap kali tersedia obat alternatif yang lebih murah tetapi mempunyai efektivitas yang sama dan antibiotik yang lebih murah dapat meningkatkan compliance pada sebagian penderita.

KEPUSTAKAAN 1. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal PPM & PLP; Buku

Pegangar Pemberantasan Penyakit Diare dalam Repelita V. Jakarta, 1990. 2. Sutoto, Indriyono. Strategi dan Perkembangan Program Pemberantasar

Diare di Indonesia. Medika 1993; 19(6): 62-7. 3. Gan VHS, Setiabudy R. Antimikroba. Farmakologi dan Terapi. Hal

514-526. 4. Suriatmadja S. Peranan Obat dalam Penatalaksanaan Diare. Medika 1992

18(7): 79-82. 5. Hoedijono K. Pertimbangan Pemilihan Antimikroba di Puskesmas. Medikr

1987; 13(8): 740-43. 6. Setiabudy R. Pemilihan Antibiotik secara Rasional. Maj Farmakologi

Terapi Indon 1988; 5(1): 29-36. 7. World Health Organization/CDD/SER/80.2/Rev.2.1990. A Manual for the

Treatment of Diarrhoea, For Use By Physicians and Other Health Workers Drug and Antimicrobial Agents. Hal. 23-25.

8. Anonim. Penggunaan Obat Anti Diare Secara Rasional. Warta Diare 1990 4(6).

Open a good book and it will open up new prospects for you

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 35

Page 37: Cdk 097 Foodborne Diseases

Pola Resistensi Shigella sp. yang Diisolasi

dari Penderita Gastroenteritis di Jakarta terhadap Beberapa Jenis Antibiotik

Pudjarwoto Triatmodjo

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Untuk menambah informasi mengenai pola resistensi Shigella terhadap antibiotik pilihan, enam puluh satu (61) isolat Shigella yang diperoleh dari hasil isolasi penderita diare di beberapa Rumah Sakit di Jakarta, telah diuji resistensinya terhadap 6 macam antibiotik yaitu tetrasiklin dengan potensi disk 3014, khloramfeniko130 µg, streptomisin 10 µg, kanamisin 30 µg, ampisilin 10 µg dan sulfametoxazol-trimetoprim 25 µg. Cara pengujian dilakukan dengan Disk Diffusion Method dari Kirby Bauer (1966). Penentuan tentang resistensi dan sensitifitasnya mengikuti petunjuk National Committee for Clinical Laboratory Standards (NCCLS, 1976).

Hasil penelitian menunjukkan, Shigella telah mempunyai tingkat resistensi yang cukup tinggi terhadap 4 jenis antibiotik yaitu terhidap tetrasiklin 62,3%, streptomisin 52,2%, ampisilin 39,3% dan khloramfenikol 31,2%. Dua jenis antibiotik yang cukup efektif untuk Shigella dalam penelitian ini adalah kanamisin dan sulfametoxazol-trimetoprim; tingkat resistensi Shigella adalah 3,2% terhadap kanamisin dan 0,0% terhadap sulfametoxazol-trimetoprim.

Dilihat dari keragaman resistensi terhadap antibiotik (multiple drug resistance), di Jakarta terdapat 2,7% isolat Shigella yang resisten terhadap 5 jenis antibiotik yaitu terhadap antibiotik tetrasiklin, streptomisin, khloramfenikol, kanamisin dan ampisilin. Dari 4 spesies Shigella yang ditemukan yaitu Shigella flexneri, S. dysentriae, S. boydii dan S. sonnei masing-masing mempunyai pola resistensi yang berbeda terhadap antibiotik. S. flexneri merupakan spesies yang paling tinggi tingkat resistensinya, sedangkan S. sonnei masih sensitif terhadap ke enam macam antibiotik tersebut.

Disimpulkan bahwa 4 macam antibiotik yaitu tetrasiklin, ampisilin, streptomisin dan khloramfenikol khususnya untuk daerah Jakarta secara in-vitro kurang efektif untuk Shigella. Dua jenis antibiotik yang masih cukup efektif adalah kanamisin dan sulfa-metoxazol-trimetoprim.

Di Indonesia populasi spesies Shigella yang paling tinggi adalah Shigella flexneri sebesar 60,8%, S. dysentri dan S. boydii 14,7%, S. sonnei 9,8%.

PENDAHULUAN Penyakit gastroenteritis pada bayi dan anak-anak hingga

kini masih merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya. Penyebab mikrobiologi

Dibacakan pada Kongres Nasional Mikrobiologi ke V di Yogyakarta, 4 – 6 Desember 1989.

gastroenteritis akut pada bayi dam anak di klinik adalah Rota- virus, Salmonella, Shigella, ETEC, Vibrio cholera, Campylo- bacter(1). Karena tingginya angka kejadian penyakit infeksi di Indonesia, maka penggunaan antibiotik untuk pengobatan gas-

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 36

Page 38: Cdk 097 Foodborne Diseases

troenteritis masih dianjurkan. Namun demikian perkembangan resistensi merupakan masalah yang sangat penting dan diupayakan pemecahannya karena menyebabkan kenaikan mortalitas penderita gastroenteritis(2,3).

Sebagaimana diketahui, upaya pengobatan gastroenteritis (diare) yang disebabkan oleh Shigella memerlukan antibiotik. Beberapa jenis antibiotik untuk Shigella adalah khloramfenikol, ampisilin, sulfametoxazol-trimetoprim dan lain lain(4,5). Pada periode tahun 80-an, suatu penelitian tentang pola resistensi Shigella terhadap antibiotik melaporkan bahwa Shigella masih sensitif terhadap khloramfenikol, kolimixin, kanamisin, ampi-silin dan lain-lain(1).

Di luar negeri, di Bangladesh tingkat resistensi Shigella terhadap beberapa jenis antibiotik sudah cukup tinggi, yakni 61% terhadap sulfametoxazol-trimetoprim, tetrasiklin 90%, khloramfeniko177% dan streptomisin 89%(6). Di Saudi Arabia, resistensi Shigella sp, terhadap sulfametoxazol-trimetroprim di berbagai daerah berkisar antara 17% – 55%(7).

Surveilans terhadap resistensi antibiotik perlu dilakukan baik dalam skala lokal, nasional maupun internasional untuk menentukan kebijakan pemakaian antibiotik serta membantu pemerintah dalam menyusun tatalaksana mengenai suplai dan penggunaan antibiotik(8).

Untuk menambah informasi mengenai pola resistensi Shigella terhadap beberapa jenis antibiotik pilihan, dalam makalah ini disajikan hasil penelitian mengenai pola resistensi Shigella sp. terhadap 6 macam antibiotik yaitu tetrasiklin, streptomisin, ampisilin, kanamisin, khloramfenikol dan sulfametoxazol-tri-metoprim. BAHAN DAN CARA

Obyek penelitian adalah penderita gastroenteritis yang ber-obat ke beberapa Rumah Sakit di Jakarta antara lain RS Karan-tina, RS Ciptomangunkusumo, RS Persahabatan. Sampel yang diambil untuk pemeriksaan laboratorium adalah rectal swab; pengambilannya dilakukan oleh petugas rumah sakit yang di-tunjuk. Rectal swab ini segera dimasukkan ke dalam medium transpor Carry & Blair.

Kriteria penderita yang diambil swabnya adalah penderita diare dengan frekuensi buang air lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi feses cair, berdarah atau tidak. Identifikasi terhadap Shigella sp.

Dilakukan dengan tiga tahap pemeriksaan yaitu plating media (penanaman), uji biokimia dan uji serologi. Plating media dilakukan dengan Salmonella-Shigella Agar, inkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Uji biokimia dilakukan dengan tiga macam gula pendek yaitu MA, SIM dan Urea. Uji serologi dilakukan dengan teknik aglutinasi dengan antisera Shigella. Uji resistensi dengan antibiotik

Cara uji resisistensi dengan Disk Diffusion Method (Kirby Bauer, 1966). Antibiotik yang digunakan dalam penelitian ini adalah antibiotik dalam bentuk disk (Product BBL) dengan potensi disk untuk khloramfenikol'30 µg, streptomisin 10 µg, tetrasiklin 30 µg, kanamisin 30 µg, ampisilin 10 µg dan sulfa-

metoxazol-trimetoprim 25 µg. Medium spesifik untuk pengujian ini adalah Muller Hinton Agar. Penentuan tentang resistensi dan sensitifitasnya mengikuti pedoman NCCLS, 1976. HASIL

Sejumlah enam puluh satu (61) strain Shigella telah berhasil diisolasi, terdiri dari 4 spesies yaitu Shigella dysentriae, S. sonnei, S. boydii dan S. flexneri; S. flexneri merupakan spesies yang paling banyak ditemukan (Tabel 1).

Tabel 1. Distribusi spesies Shigella pada penderita diare yang berobat ke beberapa Rumah Sakit di Jakarta, 1984–1989 (n=61).

Jumlah isolat ditemukan Spesies

n %

Shigella dysentrie Shigella Jlexneri Shigella boydii Shigella sonnei

9 37 6 9

14,7 60,8 9,8 14,7

Jumlah 61 100,0

Hasil uji resistensi terhadap 6 macam antibiotik (Tabel 2)

menunjukkan bahwa tingkat resistensi Shigella sp. terhadap 4 jenis antibiotik sudah cukup tinggi dan lebih dari 30%; yakni terhadap khloramfenikol sebesar 31,2%, tetrasiklin 62,3%, streptomisin 52,2% dan ampisilin 39,3%. Terhadap dua jenis antibiotik lainnya menunjukkan tingkat resistensi yang masih rendah, yakni terhadap sulfametoxazol-trimetoprim 0,0% dan kanamisin 3,2%. Tabel 2. Persentase resistensi Shigella sp hasil identifikasi rectal swab dari penderita diare di Jakarta terhadap 6 macam antibiotik (n=61).

Potensi antibiotik disk Jumlah isolat resisten Antibiotik

µg n %

Khloramfenikol Tetrasiklin Streptomisin Kanamisin Ampisilin Sulfametoxazol- Trimetoprim

30 30 10 30 10 25

19 38 32 2 24 0

31,2 62,3 52,2 3,2

39,3 0,0

Pola resistensi 4 spesies Shigella terhadap 6 macam antibio-tik ditinjau dari keragaman resistensinya (multiple drug resis-tance) tampak berbeda satu sama lain;pada S. flexneri 2,7% telah resisten terhadap 5 macam antibiotik yaitu khloramfenikol, tetrasiklin, streptomisin, kanamisin dan ampisilin (tabel 3).

Untuk S. dysentriae 44% telah resisten terhadap 4 macam antibiotik yaitu khloramfenikol, tetrasiklin, streptomisin dan ampisilin (tabel 4). Untuk S. boydii 16,6% resisten terhadap 4 macam antibiotik yaitu khlorampenikol, tetrasiklin, streptomisin dan ampisilin (tabel 5); sedangkan untuk S. sonnei dalam pene-litian ini 100% masih sensitif terhadap 6 macam antibiotik. PEMBAHASAN

di Jakarta S. firxneri merupakan spesies yang paling banyak ditemukan yakni sebesar 60,8%. Kepustakaan menyebutkan

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 37

Page 39: Cdk 097 Foodborne Diseases

Tabel 3. Keragaman resistensi (multiple drug resistance) S. flexneri ter- hadap 6 macam antibiotik pada pengujian dengan Disk Diffusion Method (n=37).

Jumlah isolat resisten Multiple drug resistance

n % C, Te, S, K, Am 1 2,7 C, Te, S, Am 9 C, Te, K, Am 1 .27,2 C, Te, Am 1 Te, S, Am 1 5,4 Te, S 2 C, Te 1 8,2 Te 4 S 1 13,5

Keterangan : C = khloramfenikol K = kanamisin Te = tetrasiklin Am = ampisilin SxT = sulfametoxazol-trimetoprim S = streptomisin Tabel 4. Keragaman resistensi (multiple drug resistance) S. dysentriae ter hadap 6 macam antibiotik pada pengujian dengan Disk Diffusion Method (n=9).

Jumlah isolat resisten Multiple drug resistance

n %

C, Te, S, Am Te, S, Am Te, Am

4 2 1

44,4 22,2 11,1

Keterangan : C = khloramfenikol K = kanamisin Te = tetrasiklin Am = ampisilin SxT = sulfametoxazol-trimetoprim S = streptomisin Tabel 5. Keragaman resistensi (multiple drug resistance) S. boydii ter hadap 6 macam antibiotik pada pengujian dengan Disk Diffusion Method (n=6)

Jumlah isolat resisten Multiple drug resistance

n %

C, Te, S, Am Te, S, Am Te, Am

1 1

2

16,6 16,6

50,0

Keterangan : Idem label 4. bahwa distribusi populasi spesies Shigella dapat dijadikan in-dikator tingkat higiene suatu daerah. WHO (1988) mengemukakan bahwa di negara maju dengan tingkat higiene perorangan sudah cukup tinggi, infeksi Shigella yang paling umum adalah S. sonnei, sedangkan infeksi S. flexneri jarang dijumpai. Sebaliknya di negara sedang berkembang infeksi S. flexneri lebih sering terjadi daripada infeksi S. sonnei. Ditemukannya populasi S. flexneri yang jauh lebih tinggi daripada populasi S. sonnei indikator tingkat higiene di Jakarta yang masih rendah.

Secara in-vitro tingkat resistensi Shigella sp terhadap empat macam antibiotik dalam penelitian ini sudah cukup tinggi, yakni terhadap antibiotik tetrasiklin, ampisilin, streptomisin dan khloramfenikol. Tingginya tingkat resistensi ini diduga dise-

babkan karena keempat jenis antibiotik ini sudah lama masuk dalam daftar obat-obat esensial. Beberapa peneliti melaporkan bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya resistensi antara lain adalah adanya transfer gene pembawa sifat resisten dari kuman yang telah resisten kepada kuman yang lain oleh R-plasmid terutama pada golongan Enterobacteriaceae. Hal lain adalah karena pada setiap jenis infeksi, dokter hampir selalu memberi-kan terapi antibiotik. di samping itu dengan adanya pemakaian antibiotik yang bebas di masyarakat, sering terjadi pengobatan dengan antibiotik yang tidak sesuai dengan indikasi.

Antibiotik sulfametoxazol-trimetoprim dan kanamisin merupakan dua jenis antibiotik yang masih cukup efektif in-vitro untuk Shigella. Kanamisin merupakan antibiotik golongan amino-glikosida yang bersifat bakterisid terhadap kuman gram negatip. Resistensi bakteri terhadap antibiotik ini timbul secara perlahan, sehingga tidak mustahil bila saat ini tingkat resistensi Shigella terhadap antibiotik kanamisin masih relatip rendah. Antibiotik sulfametoxazol-trimetoprim, merupakan antibiotik kombinasi yang relatip baru sehingga masih cukup efektip untuk bakteri golongan Enterobctcteriaceae termasuk Shigella sp.

Pola resistensi empat spesies Shigella terhadap enam macam antibiotik menunjukkan adanya keragaman (multiple drug resis-tance). Tingginya multiple drug resistence Shigella terhadap antibiotik pilihan dapat menimbulkan kesulitan dalam upaya pengobatan bila terjadi wabah yang disebabkan oleh bakteri Shigella yang telah resisten terhadap 5 jenis antibiotik tersebut. Tingginya multiple drug resistance ini diduga berkaitan dengan pemakaian antibiotik yang tidak sesuai dengan dosis dan indikasi yang tepat. Perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam dari berbagai aspek untuk mendapatkan informasi yang representatif mengenai multiple drug resistance ini. KESIMPULAN

Untuk daerah Jakarta tingkat resistensi Shigella sp terhadap 4 jenis antibiotik pilihan sudah cu kup tinggi yakni terhadap khloramphenikol sebesar 31,2%, tetrasiklin 62,3%, streptomisin 52,2% dan ampisilin 39,3%. Dua jenis antibiotik yang masih cukup efektif in-vitro adalah kanamisin dan sulfametoxazol-trimetoprim. Tingkat resistensi Shigella terhadap kanamisin sebesar 3,2% dan terhadap sulfametoxazol-trimetoprim 0.0%.

Dilihat dari multiple drug resistance, di Jakarta terdapat 2,7% (1 dari 37) isolat Shigella telah resisten terhadap 5 jenis antibiotik di atas.

Dari 4 spesies Shigella yang ditemukan yaitu S. dysentriae, S. flexneri, S. boydii dan S. sonnei, populasi S. flexneri me-rupakan spesies yang paling banyak diteimukan yakni sebesar 60,8%.

KEPUSTAKAAN

1. Suharyono, Iskak Koiman. Penelitian penyebab mikrobiologi (bakteri + virus) penyakit diare akut di klinik, 1974-1982. Proc Pertemuar. Ilmiah Penyakit Diare di Indonesia, Jakarta 21-23 Oktober 1983. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Dep Kes RI. 1983.

2. WHOIDDC/EPEI80.4. Enteric infection due to Campylobacter, Yersinia, Salmonella and Shigella. Report of a Sub-group of the Scientific Working Group on Epidemiology and Etiology. Geneva, 14-16 November 1979.

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 38

Page 40: Cdk 097 Foodborne Diseases

3. Keputusan Seminar Rehidrasi ke III Semarang, 1982. Rehidrasi Oral. Pemantapan dan pembudayaannya dalam upaya penanggulangan diare. Dit. Jen. P2M&PLP, Dep Kes RI, 1984

4. Anonymous. Informatorium Obat Generik. Dit Jen POM Dep Kes RI, 1989 5. Robert SN. Manual of Medical Therapeutics, 21st Edisi Indonesia.

Pedoman Pengobatan. Ed : Ahmad H. Asdie, B. Santoso. Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, 1979.

6. Baqui AH et al. Epidemiological and clinical characteristics of Shigellosis in rural Bangladesh. Diarrhoea) Diseases Res 1988, 6(1) : 21-8.

7. Huq MI et al. Antimicrobial susceptibility pattern of the clinical isolates of

Shigella sp in the Eastern Province of Saudi Arabia. Asian Medical Sciences of Japan and Other Asian Countries. (April) 1987; 30(4) : 228-34.

8. Sudarmono P. Kebijakan pemakaian antibiotika dalam kaitannya dengan resistensi kuman. Mikrobiol Klin Indon 1986; 1:22-7.

9. Praseno, Abu Thalib. Perkiraan distribusi plasmid RP4 pada berbagai macam bakteri berdasarkan pola uji kepekaan terhadap antibiotik. Mikro- biol Klin Indon 1989; 4(1) : 19-21.

10. WHO, Guidelines for Antimicrobial Susceptibility Testing. 1979. 11. WHO, CDD Program for Control Diarrhoeal Diseases. Manual for Labo-

ratory Investigations of Acute Enteric Infection. 1987.

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 39

Page 41: Cdk 097 Foodborne Diseases

Penetapan Kadar Kadmium dalam Sayuran dan Air secara Spektroskopi Serapan Atom

dengan Ekstraksi Ditizon dan APDK

Mariana Raini, Daroham Mutiatikum, Ani Isnawati

Pusat Penelitian dan Pengembangan Farntasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departethen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Metoda ekstraksi logam berat khususnya kadmium (Cd) cukup banyak dan hasilnya belum dapat dibandingkan antara metoda yang satu dengan lainnya.

Penelitian ini dilakukan dengan Spektroskopi Serapan Atom dan pengerjaan per-siapannya untuk sayur menggunakan cara : a) destruksi basah langsung, b) destruksi ba-sah dengan ekstraksi, c) destruksi kering langsung, d) destruksi kering dengan ekstraksi. Sedangkan untuk air menggunakan cara : a) dengan pengenceran langsung, b) dengan ekstraksi. Ekstraksi dilakukan dengan metoda Ammonium Pirolidin Ditio Karbamat (APDK) dan Ditizon.

Dari hasil pemeriksaan pendahuluan untuk alat Spektrofotometer Serapan Atom, didapat batas deteksi untuk logam Cd = 0,026 bpj, untuk ketelitian alat prosentase simpangan baku rata-rata logam Cd = 97,70% berarti alat tersebut mempunyai ketelitian yang cukup baik.

Dari hasil perolehan kembali (recovery) logam Cd pada penelitian ini dap at disimpul-..kan bahwa cara terbaik untuk sayur adalah cara destruksi basah langsung, sedangkan untuk air adalah dengan metoda ekstraksi Ditizon. Hasil perhitungan statistik prosentase perolehan kembali untuk cara langsung, destruksi basah maupun kering dengan metoda ekstraksi Ditizon dan APDK tidak berbeda nyata.

PENDAHULUAN

Pencemaran lingkungan oleh logam berat akhir-akhir ini banyak dibicarakan antara lain cemaran Hg di teluk Jakarta, cemaran logam berat seperti Pb, Cd, Zn dalam tanaman yang ditanam di kota-kota besar atau daerah industri maupun cemaran logam berat dalam air limbah pabrik.

Pada penelitian ini akan dilakukan studi perbandingan me-toda ekstraksi kadmium dari sayur dan air karena kadmium merupakan logam toksik yang penting. Dalam alam kadmium bercampur dengan seng dan timbal. Ekstraksi dan pengolahan kedua terakhir ini sering menyebabkan pencemaran lingkungan oleh kadmium. Kerang serta hati dan ginjal hewan merupakan bahan makanan yang mengandung kadmium melebihi 0,05 bpj(1).

Kadmium dalam tubuh dapat tertimbun pada jaringan hati, gin-jal, tulang dan gigi yang jika berlangsung lama dapat menyebab-kan keracunan(2,3) dengan gejala awal berupa timbulnya warna kuning pada gigi, gangguan penciuman sampai yang lebih serius yaitu emfisema dan proteinuria(2) sehingga cukup berbahaya bagi kesehatan.

Pemeriksaan logam kadmium (Cd) dilakukan dengan Spek-troskopi Serapan Atom (SAA), sedangkan untuk pengerjaan persiapan dilakukan bertahap, untuk sayur dilakukan destruksi kering secara langsung dan tidak langsung. Kemudian dikelasi dengan APDK lalu diekstraksi dengan MIBK dan dikelasi de-ngan Ditizon lalu diekstraksi dengan kloroform.

Pengerjaan persiapan untuk air dilakukan dengan dua cara

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 40

Page 42: Cdk 097 Foodborne Diseases

yaitu cara langsung mengukur absorban air dengan SAA, bila perlu diencerkan. Cara kedua adalah dengan metoda kelasi menggunakan APDK kemudian diekstraksi dengan MIBK dan kelasi dengan Ditizon lalu diekstraksi dengan kloroform.

Hasil kedua metoda ini diukur dengan SAA dan didapat kadmium yang ditetapkan. BAHAN

Pengambilan Sampel Sebagai media diambil sayur dan air. Sayur berupa selada sayur diambil dari perkebunan sayur di

Lembang Jawa Barat karena diharapkan bebas dari pencemaran kadmium. Kemudian dibersihkan, diiris kecil-kecil, diangin-anginkan sampai kering dan dikeringkan lagi di oven pada 105°C selama 2 jam. Setelah kering dihaluskan dan disimpan dalam desikator siap untuk ditimbang,

Air berupa air bebas mineral/aqua demineralisata.

Pembuatan larutan baku pembanding Larutan baku pembanding Kadmium 1000 ppm. Dibuat

dengan melarutkan 1 gr logam Cd dalam asam kuat (1:1) ke-mudian diencerkan dengan air bebas mineral hingga 1000 ml.

Larutan baku pembanding Kadmium 100 ppm. Dibuat de-ngan mengencerkan 10 ml larutan baku pembanding kadmium 1000 ppm dalam air bebas mineral hingga 100 ml.

Larutan baku pembanding kadmium untuk cara ekstraksi APDK. Larutan baku pembanding kadmium dengan konsentrasi 0,1; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 ppm masing-masing diekstraksi dengan cara APDK. Hasil ekstraksi dapat langsung diukur absorbannya.

Langkah-langkah pengukuran Alat

Alat yang digunakan adalah Spektrofotometer Serapan Atom merk Shimadzu AA-64012 dengan kondisi logam Cd yang di-analisis pada panjang gelombang 228,8 nm, arus lampu 5 mA, lebar celah 3,8 A°, tinggi pembakaran 3 mm, lebar pembakaran 10 cm, dengan gas pendukung udara, berkecepatan 10 1/menit serta gas pembakar asetilen dengan kecepatan 1,3 1/menit. Batas deteksi

Batas deteksi Iogam Cd ditentukan dari beberapa konsen-trasi rendah larutan baku pembanding Cd yang masing-masing diukur serapannya. Kemudian ditetapkan konsentrasi yang pa-ling rendah yang masih terdeteksi. Ketelitian alat

Ketelitian alat ditentukan dari pengukuran serapan kon-sentrasi tertentu larutan baku pembanding yang terletak dalam daerah linier pada kurva kalibrasi dan perhitungan simpangan bakunya terhadap serapan rata-rata. Kurva kalibrasi • Kurva kalibrasi logam Cd dalam fasa air.

Kurva kalibrasi diperoleh dari pengukuran serapan bebe-rapa konsentrasi larutan baku pembanding dalam aqua DM secara duplo masing-masing 6 kali. • Kurva kalibrasi logam Cd metoda ekstraksi APDK.

Kurva kalibrasi diperoleh dari pengukuran serapan beber-apa konsentrasi larutan baku pembanding CD yang diekstrasi

dengan metoda APDK. Perolehan kembali (recovery)

Ke dalam sayur ditambahkan 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0;5 ppm larutan baku pembanding Cd kemudian masing-masing didestruksi secara kering dan basah, hasil destruksi diperlakukan untuk tiap metoda dan dihitung perolehan kembalinya.

Ke dalam air ditambahkan 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,5 ppm larutar baku pembanding Cd kemudian diperlakukan untuk tiap metoda dan dihitung perolehan kembalinya. CARA

Metoda ekstraksi yang dilakukan dapat dilihat pada bagan 1.

Bagan 1. Diagram Alir Metotle Ekstraksi Bahan Sampel

Sayur

Destruksi kering secara langsung Dua gram zat didestruksi kering pada suhu 300-350°C.

Kemudian dilarutkan dalam HNO3 1 N hingga 1.00 ml. Larutan ini siap diukur absorbannya.

Destruksi kering secara tidak langsung 1) Metoda ekstraksi Ditizon

Hasil destruksi kering dipindahkan ke dalamditambahkan 10 ml asam sitrat 10% dan 5 ml KCatur sampaj 8,5 terhadap timol biru. Kemudian e10 ml (Ditizon dalam kloroform), kocok biaAmbil lapisan CHC13 pindahkan ke corong lainml HNO3 1% kocok, diamkan sebentar dan pinDitizon ke corong pisah lain yang berisi 10 kocok, buang lapisan CHC13. Fraksi asam nithasil ekstraksi) dikumpulkan dalam labu takar ini siap diukur absorbannya. 2) Metoda ekstraksi APDK

Cermin Dunia Kedokteran No

corong pisah N 10% pH di-

kstraksi dengan rkan memisah. yang berisi 10 dahkan lapisan ml HNO3 1%

rat (lapisan air 50 ml. Larutan

. 97, 1994 41

Page 43: Cdk 097 Foodborne Diseases

Hasil destruksi kering dipindahkan ke dalam corong pisah ditambahkan 1,0 ml asam sitrat 10% dan 2-3 tetes brom kresol hijau. pH diacur dengan NH4OH sampai 5 lalu ditambahkan 5 ml APDK 2% kocok selama 60 detik, kemudian tambahkan 10 ml larutan MIBK kocok selama 60 detik, biarkan kedua lapisan memisah, lapisan air dipindahkan ke dalam corong pisah lain, sedangkan lapisan MIBK ditampung dalam labu ukur 25 ml.

Lapisan air diekstraksi lagi dengan 10 ml larutan MIBK. Lapisan MIBK dikumpulkan dan diencerkan sampai 25 ml. Larutan ini siap diukur absorbannya.

Destruksi basah secara langsung Ke dalam labu Kjedahl dimasukkan sampel dan 20 ml

campuran HNO3 p : HC1O4 : HZSO4 (40 : 4 : 1) tambahkan air bebas mineral secukupnya. Panaskan perlahan-lahan sampai mendidih selama 2 jam. Destruksi diteruskan sambil sewaktu-waktu digoyang-goyang dan dihentikan setelah diperoleh larut-an jernih, kemudian dalam labu ukur 100 ml, encerkan sampai batas. Larutan ini siap diukur absorbannya.

Destruksi basah secara tidak langsung 1) Metoda ekstraksi dengan Ditizon.

Caranya seperti di atas. 2) Metoda ekstraksi dengan APDK

Caranya seperti di atas.

Untuk air 1) Secara langsung

Air setelah ditambahkan beberapa konsentrasi baku pem-banding Cd, dapat langsung diukur absorbannya. 2) Metoda ekstraksi Ditizon

Caranya seperti di atas. 3) Metoda ekstraksi APDK

Caranya seperti di atas. PENGUJIAN SECARA STATISTIK

Untuk menguji, apakah setiap metoda mempunyai perbe-daan nyata, digunakan uji t pasangan (paired t test). Untuk

keperluan pengujian diambil hipotesis nol (Ho) yang berarti tidak ada perbedaan nyata perolehan kembali rata-rata kedua metoda yang akan diuji, kemudian dapat diuji apakah perbedaan perolehan kembali rata-rata adalah berbeda nyata dari harga nol. Rumus yang digunakan adalah : t = Xd Vn/Sd Keterangan : Xd = harga rata-rata perbedaan pasangan kedua metoda Sd = Standar deviasi perbedaan setiap pasangan harga kedua metoda n = banyaknya sampel Harga krisis t didapat dengan memasukkan harga derajat kebe-basan n-1 pada tabel distribusi t, maka dapat dilihat apakah Ho ditolak atau diterima. HASIL

Pemeriksaan pendahuluan Batas deteksi

Hasil serapan Kadmium (Cd) pada berbagai konsentrasi rendah didapat batas deteksi 0,026 bpj. Ketelitian Alat

Larutan logam Kadmium (Cd) pada konsentrasi 0,5 bpj diukur serapannya 20 kali. Serapan rata-rata = 0,1259 Simpangan baku = 2,89.10-3

Ketelitian alat = 100% – 1259,0

10.89,2 3−

= 97,70% Kurva Kalibrasi

Hasil perhitungan koefisien korelasi dari titik pembuat kurva diperoleh. Untuk fasa air r = 0,99966 y = 2,89634.10' + 0,228766 x Untuk metoda ekstraksi APDK : r = 0,96176 y = 0,038462 + 0,27728 x Kurva serapan Cd (A) terhadap konsentrasi (bpj) dapat dilihat pada Gambar 1.

Tabel 1. Hasil perolehan kembali (recovery) logam Cd pada sayur dengan berbagai perlakuan pen dahuluan dan berbagai metoda ekstraksi

Perolehan kembali (Recovery) % Deviasi Perlakuan Pendahuluan Metoda

+ 0,1 bpj + 0,2 bpj + 0,3 bpj + 0,4 bpj + 0,5 bpj Rata-rata Standar Destruksi Langsung 84,16 90,70 92,65 90,79 92,79 90,22 3,528 Kering Ditizon 90,76 89,52 90,86 94,55 95,53 92,24 2,629 APDK 83,97 88,44 89,68 89,88 97,87 89,97 5,021 Destruksi Langsung 90,5 95,5 97,2 99,1 97,62 95,98 3,323 Basah Ditizon 94,89 95,52 92,82 98,02 94,16 95,08 1,925 APDK 92,88 90,67 94,25 93,35 96,54 ' 93,54 2,134

Tabel 2. Hasil perolehan kembali (recovery) logam Cd pada air dengan berbagai metoda ekstraksi

Deviasi Perolehan kembali (Recovery) % Metoda + 0,1 bpj + 0,2 bpj + 0,3 bpj + 0,4 bpj + 0,5 bpj Rata-rata Standar

Langsung 93,3 93,7 97,5 100 100 96,9 3,27 Ditizon 91,3 95 100 99,98 97,98 96,85 3,716 APDK 89,36 91,6 100 97,99 98,59 95,51 4,714

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 42

Page 44: Cdk 097 Foodborne Diseases

Gambar 1. Kurva kalibrasi Cd dengan metoda langsung dan APDK Perolehan kembali (recovery)

Hasil perolehan kembali kadmium (Cd) dari sejumlah larutan baku yang ditambahkan pada sayur dan air dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. Pengujian secara statistik

Hasil pengujian secara statistik untuk tiap cara ekstraksi logam Cd pada sayur dan air permukaan dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4. Tabel 3. Uji statistik hasil pengukuran logam Cd pada sayur

Metoda Xd Sd T Harga Kritis T Ho < 2,78

Destruksi kering : Langsung – Ditizon – 2,026 3,52 – 2,418 2,78 Tidak ditolak Langsung – APDK 0,25 3,174 0,31 2,78 Tidak ditolak Ditizon – APDK Destruksi basah : 2,306 3,489 2,76 2,78 Tidak ditolak

Langsung – Ditizon 0,93 2,668 1,27 2,78 Tidak ditolak Langsung – APDK 0,446 2,712 0,61 2,78 Tidak ditolakDitizon – APDK 1,544 3,360 1,88 2,78 Tidak ditolak

Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa harga krisis T dari tabel distribusi T = 2,78 (untuk tingkat kepercayaan 95%) berarti [T] < 2,78. Hal ini menunjukkan Ho tidak ditolak. Jadi tidak ada beda nyata antara kedua metoda. Tabel 4. Uji statistik hasil pengukuran logam Cd pada air

Metoda Xd Sd T Harga Krisis T Ho < 2,787

Langsung – Ditizon 0,712 3,425 0,86 2,78 Tidak ditolak Langsung – APDK 1,344 1,630 2,36 2,78 Tidak ditolak Ditizon – APDK 0,712 3,425 0,86 2,78 Tidak ditolak

Pada tabel 4 dapat dilihat bahwa harga krisis T dari tabel distribusi T = 2,78 (untuk tingkat kepercayaan 95% berarti [T] < 2,78. Hal ini menunjukkan Ho tidak ditolak. Jadi tidak ada beda nyata antara kedua metoda. PEMBAHASAN

Pada pemeriksaan pendahuluan untuk alat Spektrofoto-meter Serapan Atom, didapat batas deteksi untuk logam Cd = 0,026 bpj dan untuk ketelitian alat prosentase simpangan baku rata-rata = 97,70% yang berarti alat tersebut mempunyai ke-pekaan dan ketelitian cukup baik.

Tahap destruksi dilakukan dengan dua cara yaitu destruksi basah dan destruksi kering. Pada destruksi basah digunakan asam-asam kuat sebagai oksidator, sehingga pengerjaan lebih berbahaya tetapi keuntungannya unsur logam diharapkan larut dalam pelarut tersebut, sedangkan pada destruksi kering karena pemanasan dilakukan pada temperatur tinggi, maka kemung-kinan unsur-unsur logam yang terdapat di dalamnya menguap seperti logam As, Hg, Zn dan Pb.

Metoda ekstraksi menggunakan cara ekstraksi dengan APDK dan ekstraksi dengan Ditizon. Pada metoda ekstraksi dengan APDK sebagai pengekstraksi digunakan pelarut organik MIBK, sedangkan komplek Cd-APDK dalam pelarut MIBK tidak stabil, kemungkinan hal ini disebabkan komplek Cd-APDK sudah terurai. Pada metoda ekstraksi dengan Ditizon, Cd dalam fasa air diekstraksi dengan Ditizon dalam fasa organik, kemudian diekstrasi lagi dalam fasa air (dengan asam nitrat 1N). Ekstraksi dalam fasa air lebih stabil bila dibandingkan dalam fasa organik, selain itu relatif lebih murah dibandingkan dengan menggunakan pelarut organik.

KESIMPULAN

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesim-pulan : • Ekstraksi logam Cd dalam sayur dan air dengan menggunakan metoda langsung, Ditizon, serta APDK tidak berbeda nyata. • Hasil destruksi 4sah lebih baik daripada destruksi kering untuk logam Cd dalam sayur. • Pada ekstraksi logam Cd dengan APDK selang waktu antara ekstraksi dan saat pengukuran tidak boleh terlalu lama karena komplek Cd-APDK tidak stabil.

Untuk logam Cd metoda ekstraksi yang paling baik dari metoda yang dilakukan pada sayur adalah destruksi basah secara langsung. Sedangkan pada air adalah cara langsung tanpa diekstraksi.

UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mem-

bantu sehingga penelitian ini dapat berjalan lancar. Ucapan terima kasih ini terutama kami sampaikan kepada Kepala Puslitbang Farmasi, staf peneliti dan pembantu peneliti yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.

KEPUSTAKAAN

1. Syaharuddin, Naid Tadjuddin. Analisis Logam Berbahaya Pb, Zn dan Cd dalam Daging Bekicot (Achatina fulica Bowdich) asal Daya Kotamadya Ujung Pandang. Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang 1991.

2. Goodhart SR, Shils EM. Modern Nutrition in Health and Disease. 5th ed.

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 43

Page 45: Cdk 097 Foodborne Diseases

Philadelphia: Lea,& Febiger 1973. 3. Martindatw. The Extra Pharmacopeia, 28th ed. The Pharmaceutical/Press,

London, 1983. p. 490–491 4. Instruction Manual of Shimadzu atomic absorption/flame spectrophotometer

Model AA-640, Shimadzu Corporation, Kyoto, Japan.

5. Sandell EB, Hiroshi Onish. Photometric Determination of traces of metals. General aspect 4th ed. part I. New York: John Wiley & SOns, 1978

6. Douglas SA, Donald WM. Principles of Instrumental Analysis, 2nd ed. Philadelphia: Sounder Coll, 1980.

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 44

Page 46: Cdk 097 Foodborne Diseases

Pengaruh Sanitasi Lingkungan terhadap Kadar Nitrat-Nitrit pada Air Tanah

di Pegangsaan Dua dan di Pasar Minggu

Sukar, Agustina Lubls

Pusat Penelitian Ekologi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Di Indonesia sekarang ini, hanya sebagian kecil saja pen-duduk kota dan desa yang bisa menikmati pelayanan air yang memenuhi syarat kualitas air minum. Sebagian besar sisanya mengambil air untuk keperluan sehari-hari dari sumber air tanah yang kualitasnya masih diragukan bahkan sering tidak diketahui. Angka cakupan penyediaan air bersih pada tahun 1980 untuk penduduk pedesaan baru 18%, sedang penduduk kota adalah 40%.

Di daerah perkotaan, angka penduduk yang menggunakan jamban saniter lebih tinggi, namun di banyak kota yang padat penduduk, tinja dari jamban yang seharusnya disalurkan ke septic tank atau sumur perembesan sebagian besar dibuang langsung ke sungai atau ke pembuangan air limbah sehingga mengakibatkan pencemaran air dan tanah. Kejadian pencemaran air dan tanah sebagian besar karena kegiatan manusia baik di lingkungan rumah tangga maupun kegiatan industri dan per-tanian. Umumnya keadaan ini disebabkan kurangnya penge-tahpan dan kesadaran masyarakat maupun petugas, di samping berbagai kondisi sosial ekonomi yang ada, serta kurangnya fasilitas yang memadai(1). Keterbatasan lahan yang tersedia juga menyebabkan terjadinya pencemaran air tanah oleh bahan-bahan organik yang berasal dari buangan rumah tangga: Pencemaran bahan-bahan organik terhadap air minum akan meningkatkan kadar ammonium. Ammonium cenderung mengikat oksigen dan dengan adanya mikroba Nitrosomonas yang berfungsi sebagai indikator. Ammonium dan oksigen tersebut akan membentuk nitrit (No-

2,) dan dengan adanya indikator mikroba Nitrobacter membentuk nitrat (NO-

3). Air yang mengandung nitrit sangat berbahaya untuk tubuh manusia terutama anak-anak di bawah umur 3 bulan, karen menyebabkan methaemoglobinemia; nitrit akan mengikat haemoglobin (Hb) darah dan menghalangi ikatan Hb dengan oksigen, selanjutnya tubuh akan kekurangan oksigen,

hal lazim disebut blue babies syndrome(2,3,4). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana

pencemaran bahan-bahan organikberpengaruh terhadap kualitas air tanah, khususnya parameter nitrat-nitrit, selairt itu juga di-amati kondisi somber air tanah dan sanitasi lingkungan (jarak septic tank ke sumber air minum, jenis sumber air dan dalam sumur) yang dihubungkan dengan kualitas airnya.

BAHAN DAN CARA

1) Pengumpulan Data(5)

Data yang dikumpulkan meliputi kadar nitrat-nitrit pada air tanah, wawancara dan observasi sanitasi lingkungan termasuk kebiasaan buang air besar dan jenis sarana air minum.

Contoh air tanah diambil dari Kelurahan Pegangsaan Dua, Jakarta Timer dan Kelurahan Pasar Minggu, Jakarta Selatan yang berasal dari saran sumur gali, sumur pompa tangan (SPT) dalam dan SPT dangkal. Pada masing-masing kelurahan diambil air tanah sebanyak sekitar 30 contoh.

Untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh pencemaran bahan-bahan organik, dilakukan wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner terhadap responden yang berdomisili di sekitar lokasi pengambilan contoh air tanah dan juga dilakukan observasi langsung keadaan sumber air dan sanitasi lingkungan. Untuk dap daerah digunakan 90 kuesioner, dengan pertanyaan meliputi : jarak saluran rembesan septic tank ke sumber. air minum yang rembesanseptiktanknyarapat air dan tanparembesan, jenis sumber air dan kedalaman sumur. Untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kadar nitrat, maka kadar nitrat dikategorikan menjadi dua yaitu kadar nitrat < 10 mg/1 dan kadar nitrat > 10 mg/i. Penentuan nilai kadar nitrat 10 mg/1 berdacarkan batas baku mutu air minum untuk kadar nitrat pada Permenkes No. 416/1990e

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 45

Page 47: Cdk 097 Foodborne Diseases

Populasi penduduk yang diwawancarai diambil secara purposive sampling di daerah Pegangsaan Dua dan daerah Pasar Minggu.

2) Cara Pemeriksaan Kadar Nitrat(6,7). Cara yang digunakan untuk pemeriksaan kadar nitrat dalam

contoh air adalah menurut metoda Brucine. Prinsip cara ini adalah reaksi antara nitrat dan Brucine akan menghasilkan warna kuning yang dapat digunakan untuk menduga adanya nitrat secara kolorimetri. Intensitas warna yang terjadi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 410 nm. Kecepatan reaksi antara Brucine dan ion nitrat dipengaruhi oleh suhu selama pemeriksaan. Pengontrolan suhu ini dapat dicapai dengan me-nambahkan pereaksi secara berurutan dan dengan menginkuba-sikan campuran-campuran reaksi pada interval waktu yang tepat dan pada suhu yang diketahui. Waktu reaksi perlu dipilih se-hingga diperoleh hasil yang optimum dan warna yang stabil. Metoda Brucine hanya dianjurkan untuk contoh dengan kadar nitrat-nitrogen antara 0,2–2 mg/1.

3) Cara Pemeriksaan Kadar Nitrit(6,7)

Pemeriksaan kadar nitrit dalam contoh air dilakukan dengan metode N-(1-Naftil Etilen Diamin Dihidrokhlorida). Yaitu ber-dasarkan pembentukan wama kemerah-merahan bila terjadi reaksi nitrit dengan asam sulfanilat dan N-(1-: Naftil Etilen Diamin Dihidrokhlorida) pada pH 2 – 2,5. Intensitas wama yang dihasilkan diukur secara spektrofotometrik padapanjang gelombang 543 nm. Warna dan zat tersuspensi yang terdapat dal= contoh air akan mengganggu pengukuran sehingga perlu dihilangkan dengan penyaringan. Ion-ion lain yang dapat mengganggu pengukuran ialah : Sb, Bi, Pb, Hg, Ag, Ferri, Khloroplatinat dan lvletavānadate.

Pengukuran nitrit sebaiknya langsung dari contoh yang, masih segar untuk mencegah aktivitas bakteri yang mengubah lark menjadi nitrat atau ammonia. Bila analisis tidak dapat segera dilakukan, contoh hams disimpan pada suhu -20°C atau tambahkan 40 mg HgC12 dan disimpan pada suhu 4°C dalam waktu 1–2 had. HASIL PENELITIAN

1) Kadar Nitrat dan Nitrit pada Contoh Air Tanah Contoh air tanah yang diambil pada lokasi Pegangsaan Dua,

Jakarta Timur dan Pasar Minggu, Jakarta Selatan dispjikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kadar Rata-rata Nitrat-Nitrit pada Contoh Air Tanah (Agus tus, 1990)

Kadar (mg/n

Nitrat Nitrit Lokasi Jumlah contoh

Kisaran Rata-rata Kisaran Rata-rata

1. Pegangsaan Dua, Jakarta Tunur 2. Pasar Minggu, Jakarta Selman

30

30

0,028–22

0,053–1,8

5,75

0,78

0.0006–0,1

0,002–0,19

0,005

0,031

Hasil pengukuran kadar rata-rata.nitrat pada air tanah yang berasal dari Kelurahan Pegangsaan Dua dan Pasar Minggu masing-masing adalah 5,75 mg/I dan 0,78 mg/1 (label 1). Di dalam Permenkes No. 416/1990 kadar maksimum nitrat dan nitrit yang diperbolehkan ada dalam air minum adalah sebesar 10 mg/1 dan 1 mg/1. Air minum di dalam peraturan tersebut didefinisikan sebagai air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syaratkesehatan dan dapat dim inum apabila telah dimasak. Air tanah dalam penelitian ini dikategorikan sebagai air minum. Tampak hasil pengukuran kadar rata-rata nitrat dibandingkan dengan Permenkes No. 416/1990, tidak ada kadar nitrat yang menyimpang pada seluruh contoh air dari Kelurahan Pasar Minggu, tetapi terdapat penyimpangan pada sekitar 40% contoh air yang diambil dari kelurahan Pegangsaan Dua.

Hasil pengukuran kadar nitrit pada air tanah yang berasal dari Kelurahan Pegangsaan Dua dan Pasar Minggu masing-masing menunjukkan kadar rata-rata sebesar 0,005 mg/1 clan 0,031 mg/1. Pengukuran kadar nitrit yang dilakukan pada seluruh contoh air tanah dari kedua kelurahan tersebut juga tidak menunjukkan adanya penyimpangan terhadap kadar nitrit pada Permenkes No. 416/1990 untuk air minum.

2) Sanitasi Lingkungan di Pegangsaan Dua dan Kel. Pasar Minggu

Hasil penelitian sanitasi lingkungan di daerah Pegangsaan Dua dan Pasar Minggu disajikan pada Tabel 2. Evaluasi di-lakukan hanya di Pegangsaan Dua karena yang melewati balm mutu Permenkes No. 416/1990 untuk parameter nitrat di Ke-lurahan Pegangsaan Dua, Jakarta Timur. Didapat bahwa jarak septic tank ke sumber air minum < 15 m untuk kadar nitrat < 10 mg/1 sebanyak 50%, dan untuk kadar nitrat > 10 mgfi juga sebanyak 50%. Sedang jarak septic tank ke sumber air > 15 m untuk kadar nitrat < 10 mg/1 hanya terdapat 1 sumber air dan tidak ada sumber air yang mengandung kadar nitrat > 10 mg/1. Terlihat di sini sebagian besar (95,8%) jarak septic tank ke sumber air minum < 15 m. dan 47,8% sumber air melebihi kadar nitrat 10 mg/1. Di Daerah Pegangsaan Dua jenis sumber air sebagian besar adalah SPT dalam yaitu 83,3%, disusul SPT dangkal 13,3% dan sumur gali 3,4%. Pada jenis sumber air ini terlihat bahwa persentase sumber air yang kandungan kadar nitrat < 10 mg/1 lebih banyak dad. pada yang > 10 mg/1(60% : 40%).

Untuk sumur pompa <15 m 70% kadar nitratnya < 10 mg/1 dan 30% kadar nitratnya > 10 mg/130%; sedang pada kedalaman >15 m, 44,4% kadar nitratnya < 10 mg/l dan 55,6% kadar nitratnya> 10 mg/1. Terdapatperbedaan yang bermakna (0,2> p>0,1) antara 2 kategori kedalaman sumur terhadap kadar nitrat; berarti semakin dalam sumur, kadar nitrat semakin kecil.

Hasil pengukuran kadar nitrit Kel. Pegangsaan Dua dan Kel. Pasar Minggu (Tabel 1) belum ada yang melewati baku mutu Permenkes No. 416/1990. Untuk mengetahui kemung-kinan pengaruh jarak septic tank ke sumber air dan kedalaman SPT, maka dievaluasi berdasarkan kadar nitrit yang ada. Di-tentukan di sini kadar nitrit < 0,01 mg/1 dan kadar nitrit > 0,01

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 46

Page 48: Cdk 097 Foodborne Diseases

mg/l (Tabel 3).

Tabel 2. Faktor yang berpengaruh terhadap Kadar Nitrat Air Tanah di Pegangsaan Dua - Jakarta Timur

Kadar Nitrat (mg/I)

< 10 > 10 Total Faktor–faktor

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

1. Jarak septic tank ke sumber air minum a < 15 m b.> 15m

11 1

50 100

11 –

50 –

22 1

95,7 4,3

Sub total 12 52,2 11 47,8 23 100

2 Jenis cumber air : a. Stunur Gall b. SP Dangkal c. SP Dalam

– 2 16

11,1 88,9

1 2 9

8,3

16,7 75,0

1 4 25

3,3 13,3 83,3

Sub total 18 60 12 40 30 99,9

3. Dalam sumur Pampa (0.2 > p > 1) a. < 15 rn b > 15 m

14 4

70 44,4

6 5

30 55,6

20 9

69 31

Sub total 18 62,1 11 37,9 29 100

Tabel 3. Faktor yang berpengaruh terhadap Kadar Nitric Air Tanah di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur

Kadar Nitrit (mg/1)

< 0,01 > 0,01 Total Faktor-faktor

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

1. Jarak Septic Tank ke Sumber Air Minum (0,1 > p > 0,05) (Jakarta Selatan) a. < 15 m b. > 15 m

14 1

60,9 100

9 -

39,1 -

23 -

95,8 4,2

Sub Total 15 62,5 9 37,5 24 100

(Jakarta Timur) a. < 15 m b. > 15 m

11 -

50

11 1

50

100

22 1

95,6 4,4

Sub Total 11 47,8 12 52,2 23 100

2. Dalam SPT (Jakarta Selatan) a. < 15 m b. > 15 m

6 4

46,2 57,2

7 3

53,8 42,8

13 7

65 35

Sub Total 10 50 10 50 20 100

Dalam SPT (Jakarta Timur) a. < 15 m b. > 15 m

12 2

60 22,2

8 7

40 77,8

20 9

68,9 31,1

Sub Total 14 48,2 15 51,8 29 100

Di Kel. Pasar Minggu untuk jarak septic tank ke sumber air

minum < 15 m, 60,9% kadar nitritnya < 0,01 mg/1 dan 39,1% kadar nitritnya > 0,01 mg/I. Sedang untuk jarak septic tank ke sumber air minum > 15 m hanya terdapat 1 sumber air yang

mengandung kadar nitrit > 0,01 mg/1. Terlihat di sini bahwa untuk jarak septic tank ke sumber air minum > 15 m lebih sedikit kadar nitrit > 0,01 mg/1. Di Pegangsaan Dua pada jarak septic tank ke stunber air minum < 15 m untuk kadar nitrit <0,01 mg/1 sebanyak 50% dan untuk kadar nitrit > 0,01 mg/i terdapat 50%, sedang jarak septic tank ke sumber air minum > 15 m untuk kadar nitric < 0,01 mg/1 sebanyak 57,2% dan untuk kadar nitrit > 0,01 mg/1 terdapat 42,9%. Secara keseluruhan terlihat bahwa makin jauh jarak septic tank ke sumber air minum kadar nitrit > 0,01 mg/l lebih sedikit.

Faktor kedalaman SPT, di Pasar Minggu untuk kedalaman < 15 m terdapat kadar nitrit < 0,01 mg/1 sebanyak 46,2% dan kadar nitric > 0,01 mg/153,8%. Sedang untuk kedalaman > 15 m terdapat kadar nitrit < 0,01 mg/1 sebanyak 57,2% dan kadar nitrit > 0,01 mg/142,9%. Secara keseluruhan terlihat bahwa kedalaman SPT menunjukkan terjadinya penurunan kandungan kadar nitrit walaupun secara statistik hal ini tidak berarti. Di Pegangsaan Dua untuk kedalaman SPT < 15 m terdapat kadar nitrit < 0,01 mg/1 sebanyak 60% dan kadar nitrit > 0,01 mg/I terdapat sebanyak 40%. Sedang kedalaman > 15 m untuk kadar nitrit < 0,01 mg/1 sebanyak 22,2% dan kedalaman < 15 m untuk kadar nitric > 0,01 mg/1 terdapat 77,8%. Terlihat bahwa kedalaman SPT berpengaruh terhadap naik turunnya kandungan kadar nitrit sebanyak 60%. PEMBAHASAN

Terjadinya nitrat dan nitrit di alam adalah merupakan salah satu bagian dari sildus nitrogen. Nitrat dapat juga terjadi oleh aktivitas bakteri. Nitrat merupakan salah satu senyawa yang penting untuk sintesa protein tanaman dan binatang, akan tetapi nitrat pada kadar yang tinggi di dalam air dapat menstimulasi meledaknya pertumbuhan ganggang air yang dapat menyebab-kan depresi oksigen dalam air dan terjadi eutrofikasi.

Nitrit yang merupakan bagian dari daur nitrogen, dalam bentuk protein sangat penting untuk semua makhluk hidup, oleh aktivitas biologi protein akan diuraikan menjadi asam-asam amino kemudian menjadi ammonium yang akan diubah lagi menjadi nitrit dan nitrat. Perubahan dari ammonium menjadi nitrit akan dipercepat bila ada air, oksigen dan mikroorganisme yang disebut Nitrosomonas, selanjutnya dengan adanya nitrobacter nitrit membentuk nitrat(10,11,12).

Penduduk Jakarta sampai Pelita III, diperkirakan baru 60% yang memakai sumber air PDAM, 40% sisanya masih meman-faatkan air tanah untuk keperluan minumnya. Hasil analisis air tanah di kelurahan Pegangsaan Dua untuk kadar nitrat hanya 60% memenuhi Permenkes No. 416/1990 tentang baku mutu air minum, sedang kadar nitrit belum melewati Permenkes tersebut. Sedang untuk Kel. Pasar Minggu didapat kadar nitrat dan nitrit dari segi kimia masih memenuhi Permenkes No. 416/1990.

Faktor sanitasi lingkungan yang diperkirakan dapat mem-pengaruhi tinggi rendahnya kadar nitrit-nitrit dalam air tanah adalah : Kedalaman, usia dan konstruksi sumur serta jarak septic tank ke sumber air. Dari keempat faktor tersebut tampaknya kedalaman sarana air minum berhubungan dengan kadar nitrat-nitrit. Selanjutnya kadar nitrat dikategorikan menjadi dua yaitu

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 47

Page 49: Cdk 097 Foodborne Diseases

< 10 mg/1 dan > 10 mg/I dan kadar nitrit dibagi atas < 0,01 dan > 0,01 mg/1. Sedangkan jarak septic tank dan dalam sumurpompa dibagi menjadi dua kategori yakni < 15 m clan > 15 m. Ternyata dari empatfaktor tersebut di atas hanyadalam sumurpompa yang berpengaruh terhadap naik turunnya kadar nitrat (0,2 > p > 0,1) dan nitrit (0,1 > p > 0,05) (Tabel 2 dan 3).

Penelitian yang dilakukan oleh Brooks, D. et al menunjuk-kan adanya hubungan yang bermakna antara jarak septic tank (> 5 m), kedalaman sumur dengan kadar nitrat dalam air sumur. Demikian pula pada penelitian yang dilakukan oleh Didik Sa-rudji bahwa jarak open dumping mempengaruhi kadar amonium dalam air sumur.

Selain kedalaman sumur, pada penelitian ini tidak ditemu-kan faktor-faktor yang diperkirakan berhubungan dengan tinggi rendahnya kadar nitrat-nitrit. Salah satu penyebab tidak dapat dilakukan analisis statistik karena di daerah Pasar Minggu tidak ada contoh air tanah yang kadar nitratnya melebihi 10 mg/l. Berarti di daerah Pegangsaan Dua, diduga semakin dalam sumur pompa dibuat, kadar nitrat semakin rendeh. Perbedaan tinggi rendahnya kadar nitrat dan nitrit di dua daerah tersebut mungkin disebabkan adanya perbedaan kondisi tanah, curah hujan, fluktuasi permukaan air tanah. Hal lain dapat pula karena contoh terlalu sedikit untuk distratifikasi. Seperti dapat dilihat pada Tabel 3, penduduk yang memakai sumur gall. di Pegangsaan Dua hanya 1 Kepala Keluarga.

Melihat hasil analisis kadar nitrat-nitrit ternyata kadar nitrit masih memenuhi baku mutu kualitas air minum sesuai dengan Permenkes No. 416/1990. KESIMPULAN DAN SARAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pen-cemaran bahan organik terhadap kualitas air minum khususnya parameter nitrat-nitrit pada air tanah menghasilkan kesimpulan sebagai berikut : Pegangsaan Dua 1) Air tanah, 40% dari contoh air dari PegalTgsaan Dua kadar nitrat melewati Permenkes No. 416/1990. Kadar nitrat-nitrit pada daerah Pasar Minggu dan kadar nitrit daerah Pegangsaan Dua masih belum melewati Permenkes No. 416/1990. 2) Sebagian besar jarak septic tank ke sumber air minum lebih kecil dari 15 m. 3) Janis sumber air didominasi oleh SPT dalam yaitu 83,3%. 4) Dalamnya sumur mempunyai hubungan yang bermakna dengan kandungan nitrat (0,1 < p < 0,2) dan nitrit (0,05 < p < 0,1). Pegangsaan Dua dan Pasar Minggu 1) Pada jarak septic tank ke sumber air sebesar 15 m untuk kadar nitrit > 0,01 mg/I menunjukkan penurunan kandungan kadar nitrit,secara keseluruhan yaitu dari 95,890 menjadi 4,2% di Pasar Minggu. Sedang di Pegangsaan Dua penurunankandung-

an kadar nitrit dari 95,7% sampai 4,3%, walaupun penurunan ini secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. 2) Kedalaman secara keseluruhan juga menunjukkan penurun-an kandungan kadar nitrit yaitu dari 65% menjadi 35% di Pasar Minggu, sedang di Pegangsaan Dua dari 69% menjadi 31%.

SARAN 1) Untuk menghindari kemungkinan pengaruh pencemaran bahan-bahan organik, kedalaman sumur atau SPT hendaknya > 15 m. 2) Dianjurkan untuk membuat jarak septic tank ke sumber air minum > 15 m. 3) Untuk menghindari masuknya kembali air yang telah di-pakai, agar diberi platform, dinding sumur dan bibir sumur, sumur yang kadar nitratnya sudah melebihi nilai baku mutu hendaknya tidak dipergunakan untuk keperluan minum. 4) Pencemaran bahan organik di daerah Pegangsaan Dua memperlihatkan pengaruh terhadap tinggi rendahnya kadar nitrat-nitrit, untuk itu kedalaman sumber air perlu diperhatikan.

KEPUSTAKAAN

1. Kusnoputranto H. Kesehatan Lingkungan, DepDikBud Universitas Indo-nesia, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Jakarta. 1983.

2. Brooks D, Irma. Nitrates and Bacterial Distribution in Rural Domestic Water Supplies; Water Res Vol. 13, Pergamon Press Great Britain. 1979.

3. Lubis A. Amonium dalam Air Sumur Penduduk; Bul Penelit Kes, 1987; 15 (1).

4. Kot J, Roberts B, Jacobs D. Water Chlorination Chemistry, Environmental Impact and Health Effect, Volume 5, Levis publ, Mc Williamsburg, Virginia, 1984.

5. Mendenholl W, Reimnuth JE. Statistics for Management Economics, 2nd ed. Massachussets: Duxbury Press. 1983.

6. Dep PU. Pedoman Pengawatan Kualitas Air. DPMA Direktorat Jenderal Pengairan, Dep. P.U. 1981.

7. APHA-WWA-WPCF. Standard Methods for Examination of Water and Wastewater, I6 th ed. 1985.

8. Peraturan Merited Kesehatan RI. Tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air, Jakarta, 1990.

9. Pemerintah RL Peraturan Pemerintah No. 20, Tentang Pengendalian dan Pencemaran Air, Jakarta, 1990.

10. Manahan SE. Nitrogen Transformation by bacteria. Environmental chemistry, University of Missouri 4 th ed. Boston: Willard grand press, 1983.

11. IAWPRC. Nitrates: A question of Time. Water Quality International Magazine of the International Association of Water Pollution Research and Control, No. 1. 1987.

12. ……………..Nitrate Removal : A Compromise Solution; Water Quality International Magazine of the International Association of Water Pollution Research and Control (IAWPRC), No. 1. 1987.

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 48

Page 50: Cdk 097 Foodborne Diseases

Efek Sinar-X Dosis Tunggal terhadap Kadar Hb Mencit Dewasa

strain Quacker-Bush

Suhardjo

Laboratorium Oral Radiologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, Bandung

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek sinar-X pada hemoglobin mencit strain Quacker-Bush.

Digunakan 60 ekor mencit dewasa betina dan 60 ekor mencit dewasa jantan strain Quacker-Bush yang diirradiasi dengan menggunakan dosis sebesar 1 x 200, 2 x 200, dan 3 x 200 rad.

Dengan menggunakan rancangan penelitian eksperimental sungguhan (true experi-mental), dan data dianalisis dengan menggunakan uji statistik analisis varians pada a 5% dan cc 1%, faktorial 3 x 4, membuktikan bahwa sinar-X memberikan efek pada hemo-globin mencit dewasa strain Quacker-Bush.

Penelitian ini membuktikan bahwa sinar X memberikan pengaruh terhadap hemo-globin mencit, yaitu memberikan pengaruh sangat nyata pada mencit dewasa strain Quacker-Bush, dalam waktu 1 hari, 10 hari, dan 20 hari. Penelitian ini juga membuktikan adanya perbedaan efek dosis 1 x 200, 2 x 200, dan 3 x 200 rad.

PENDAHULUAN

Sinar X merupakan sinar yang berbentuk gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang yang sangat pen-dek. Sinar X dapat mengakibatkan ionisasi pada sistem biologis yang dilaluinya. Efek biologis dari sinar X adalah akibat dari besarnya ionisasi yang ditimbulkannya(1,2).

Radiasi pengion dapat menyebabkan anemia berat selama minggu pertama dan kedua setelah penyinaran. Hal ini karena produksi sel eritrosit berkurang dan sebagian lagi karena per-darahan dan kebocoran darah melewati dinding kapiler dalam waktu 5 sampai 7 hari setelah dosis radiasi sedang(3). Anemia aplastik sekunder akibatradiasi pengion adalah karena terjadinya kerusakan sumsum haemopoitik(4).

Ketika dewasa, sumsum haemopoitik terbatas pada rangka pusat, yaitu : tulang belakang, iga, sternum, tengkorak, sakrum

dan pelvis, ujung proksimal femur(4). Jaringan haemopoitik adalah organ tubuh yang kompleks, bersifat lebih radiosensitip. Setelah pemberian suatu dosis radiasi dalam daerah LD 50, kerusakan sumsum tulang menjadi nyata dalam waktu sejam yaitu ditandai oleh penurunan indeks mitosis dan pengurangan jumlah eritroblast(5).

Sinar X merupakan salah satu bentuk energi. Bila sinar X masuk ke suatu bahan, sinar akan bergabung dengan atom-atom bahan tersebut atau melewati bahan tanpa bergabung dengan atom-atomnya(6).

Berhubung radiasi foton adalah gelombang elektromagnetis yang tidak mempunyai muatan listrik baik positip maupun nega-tip, maka pada waktu ia bergerak melalui suatu medium maka radiasi foton tidak kehilangan energi akibat induksi listrik de-ngan elektron yang ada di sekitarnya. Foton ini hanya melepas-

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 49

Page 51: Cdk 097 Foodborne Diseases

kan energi kinetiknya bila mengadakan interaksi langsung dengan bagian-bagian atom yang ada dalam medium tersebut(7).

Interaksi antara radiasi pengion dan sistem biologi selalu didahului oleh beberapa tahapan kejādian seperti proses fisika, proses kimia serta !biokimia 'clan berakhir dengan proses biologis(8).

Kerusakan pada sistem haemopoitik adalah menjadi suatu faktor utama kematian setelah penyinaran akut. Irradiasi seluruh tubuh pada dosis sedang antara 500 rad sampai 1000 rad akan mengakibatkan pengurangan seluruh unsur seluler darah. Hal ini karena radiasi dapat merusak langsung peredaran sel yang dewasa, hilangnya sel dari sirkulasi karena perdarahan atau ke-bocoran yang melewati dinding kapiler, serta hilangnya produksi sel darah seluruhnya yang memiliki jangka waktu hidup terbatas; mereka harus terus menerus diperbaharui oleh produksi sel pada jaringan hematopoitik. Bila produksi sel dihambat, maka penem-patan kembali pada peredaran sel tidak akan terjadi. Irradiasi dosis besar seluruh tubuh mengakibatkan efek pada sumsum tu-lang yang secara mikroskopis mudah ditemukan dalam waktu beberapa jam setelah penyinaran. Eritrosit masak bersifat radio-resisten dan mempunyai jangka hidup normal kira-kira 4 bulan, walaupun terdapat pengurangan produksi eritrosit yang dramatis dalam sumsum tulang setelah dosis radiasi yang sedang; jumlah peredaran sel tidak menggambarkan penurunan, kecepatan pergantiannya lambat dalam peredaran. Dalam waktu 5 sampai 7 hari setelah radiasi dosis sedang maka terlihat penurunan eritrosit. Anemia berat berkembang selama minggu pertama dan kedua setelah penyinaran, hal ini karena produksi sel berkurang dan sebagian lagi terjadi perdarahan serta kebocoran darah melewati dinding kapiler. Tingkat minimum eritrosit dicapai dalam waktu 3 minggu setelah penyinaran. Penyembuhan dimulai kira-kira minggu ke-4 dan biasanya lengkap pada minggu ke lima atau minggu ke enam(1).

Eritroblast yang merupakan pendahulu sel darah merah pa-ling radiosensitif dan memperlihatkan tanda pengurangan dalam waktu beberapa jam setelah penyinarag, mencapai juinlah mini-mum dalam waktu 4 sampai 5 hari setelah irradiasi. Setelah penyinaran dosis sedang, menjadi normal dalam waktu 7 sampai 8 hari; gangguan pematangan terjadi pada dosis radiasi yang besar (Behrens, 1959).

Efek radiasi lan)sung pada unsur pokok plasma darah relatip sedikit, konsentrasi jumlah plasma protein berkurang pada awalnya. Fraksi albumin berkurang sebanyak 50%, αl, α2, β globulin bertambah, hal ini mengakibatkan penambahan dalam perbandingan globulin : albumin. Peningkatan asam amino nitro-gen, non protein nitrogen (NPN), dan urea menggambarkan ke-rusakan set. Peningkatan kadar besi serum dan konsentrasi pig-men empedu terjadi setelah kerusakan sel darah merah(1).

Berdasarkan hal-hal tersebut dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : Apakah sinar X dosis tunggal memberikan efek terhadap kadar hemoglobin mencit dewasa strain Quacke-Bush ?

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh sinar X dosis tunggal terhadap kadar hemoglobin mencit dewasa

strain Quacker-Bush. METODE PENELITIAN

Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit (Mus mus-culus) dewasa betina dan jantan strain QuacJcer-Bush, berasal dari Laboratorium Pemeliharaan Peram Bio-Farma Bandung.

Makanan hewan percobaan adalah pelet 551 (makanan anak babi) yang diproduksi oleh P.T. Charoen Pokphand Indo-nesia, Animal Feed Mill Co., Ltd. Air minum yang digunakan berasal dari PDAM Cimahi. Pemberian makanan dan minuman dilakukan secara ad libitum.

Selama penelitian hewan percobaan ditempatkan dalam kandang terbuat dari plastik berbentuk bak, berukuran 35 x 30 cm yang terbagi atas lima ruangan, masing-masing ruangan berukuran 7 x 30 cm. Kandang ditutup dengan kawat kasa yang dirancang sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk menyimpan pelet dan botol air minum.

Definisi operasional variabel utama yang digunakan meli-puti : Variabel bebas adalah sinar X merupakan radiasi pengion buatan yang berbentuk gelombang elektromagnetik yang di-pancarkan oleh pesawat sinar X (DT) dengan dosis 1 x 200 rad, 2 x 200 rad, dan 3 x 200 rad. Variabel akibat yaitu efek sinar X dosis tunggal terhadap kadar haemoglobin adalah efek biologis yang timbul berupa efek somatik yang ditandai adanya perubah-an kadar haemoglobin setelah irradiasi sinar X dengan dosis 1 x 200 rad, 2 x 200 rad dan 3 x 200 rad pada seluruh tubuh mencit.

Penelitian ini menggunakan desain eksperimental sungguh-an (true experimental) dengan faktorial 3 x 4 dan cara peng-ambilan sampel dilakukan dengan random, kemudian dilaku-kan dengan replikasi pada hewan coba dan terdapat perlakuan banding (kontrol).

Besarnya sampel sebanyak 60 ekor mencit betina dan 60 ekor mencit jantan dengan perincian tiap kelompok sebagai berikut : 15 ekor yang mendapat irradiasi 1 x 200 rad; 5 ekor untuk 1 hari pasca irradiasi, 5 ekor untuk 10 hari pasca irradiasi, dan 5 ekor untuk 20 hari pasca irradiasi. Demikian pula 15 ekor yang mendapat irradiasi 2 x 200 rad, 3 x 200 rad, dan kontrol.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara mengukur kadar haemoglobin masing-masing kelompok mencit yang telah mendapat irradiasi sinar X pada 1 hari, 10 hari, dan 20 hari pasca irradiasi. Kemudian data dianalisis dengan menggunakan uji statistik Analisa Variansi dengan α 5% dan α 1%. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa rata-rata kadar Hb mencit betina setelah irradiasi seluruh tubuh dengan dosis se-besar 1 x 200 rad dalam waktu 1 hari pasca irradiasi adalah se-besar 11,940 mg%, 10 hari pasca irradiasi sebesar 11,410 mg%, dan 20 hari pasca irradiasi sebesar 13,130 mg%.

Rata-rata kadar Hb mencit betina setelah irradiasi seluruh tubuh dengan dosis sebesar 2 x 200 rad dalam waktu 1 hari pasca irradiasi adalah sebesar 11,300 mg%, 10 hari pasca irradiasi sebesar 9,950 mg%, dan 20 hari pasca irradiasi sebesar 12,690 mg%.

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 50

Page 52: Cdk 097 Foodborne Diseases

Rata-rata kadar Hb mencit betina setelah irradiasi seluruh tubuh dengan dosis sebesar 3 x 200 rad dalam waktu 1 hari pasca irradiasi adalah sebesar 10,670 mg%, 10 hari pasca irradiasi sebesar 8,780 mg%, dan 20 hari pasca irradiasi sebesar 13,040 mg%.

Rata-rata kadar Hb mencit betina tanpa irradiasi seluruh tubuh sebagai kelompok kontrol dalam waktu 1 hari pasca irradiasi sebesar 13,300 mg%, 10 hari pasca irradiasi sebesar 11,890 mg%, dan 20 hari pasca irradiasi sebesar 12,07 mg%.

Penelitian menunjukkan bahwa pada irradiasi dengan dosis yang sama terjadi penurunan rata-rata kadar Hb mencit betina dalam waktu 10 hari pasca irradiasi dan terjadi kenaikan dalam waktu 20 hari pasca irradiasi. Semakin besar dosis irradiasi yang digunakan, maka semakin besar penurunan rata-rata kadar Hb mencit betina.

Penelitian menunjukkan bahwa untuk kelompok perlakuan berdasarlcan besarnya dosis irradiasi seluruh tubuh pada mencit betina (A),maka nilai Fhitung dari tabel diperoleh sebesar 25,990991 yang jika dibandingkan dengan FTabel dengan a 5%, dk (3,48) = 2,8 dan a 1%, dk (3,48) = 4,22 bersifat sangat berpengaruh (sangat signifikan); sedangkan untuk perlakuan yang berdasarkan lama waktu pasca irradiasi (B) maka nilai Fhitung dari tabel diperoleh sebesar 79,407034 yang jika dibandingkan dengan Ftabel dengan a 5%, dk (2,48) = 3,19 dan a 1%, dk (2,48) = 5,08 ersifat sangat berpengaruh (sangat signifikan).

Dengan demikian penelitian ini memberikan hasil bahwa perlakuan berdasarkan besarnya dosis irradiasi, memberikan efek yang sangat nyata berpengaruh (sangat signifikan), artinya sangat nyata memberikan pengaruh terhadap kadar Hb mencit betina. Hal yang sama juga memberikan hasil bahwa kelompok perlakuan berdasarkan lama waktu pasca irradiasi yang diukur dalam satuan hari pada mencit betina, hasilnya menunjukkan sangat nyata berpengaruh (sangat signifikan), artinya sangat nyata berpengaruh terhadap kadar Hb mencit betina.

Salah satu sifat sing X dapat menimbulkan efek biologis, yaitu mengakibatkan ionisasi sehingga mengakibat perubahan-perubahan yang menyebabkan sel-sel kehilangan daya pembe-lahan atau menghasilkan sel-sel abnormal setelah pembelahan. Bila radiasi cukup diabsorbsi, sel rusak(9).

Radiasi akut mempengaruhi tiga sistem yang sangat penting dalam urutan sebagai berikut : haemopoitik, gastrointestinal dan saraf pusat(10).

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa sinar X mem-berikan efek pada kadar Hb mencit betina dalam waktu satu hari sampai 10 hari pasca irradiasi.

Kadar Hb mencit dalam keadaan normal berkisar antara 13 sampai 16 gram per 100 ml. Pada penelitian ini kadar Hb mencit betina yang tidak mendapatkan irradiasi menunjukkan rata-rata sebesar 12.420 gram per 100 ml. yang berada di bawah kadar Hb rata-rata menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988). Hal ini disebabkan karena terjadi penyimpangan dari enam prinsip pe-meliharaan dan pembiakan hewan percobaan di daerah tropis.

Perubahan-perubahan pada tingkat sel-sel darah merah kebanyakan kurang menyolok pada periode awal setelah irra-diasi pada dosis mid-lethal. Ada penambahan sedikit selama

beberapa hari pertama. Pada binatang yang tahan terhadap ra-diasi ada pengurangan jumlah sel-sel darah merah pada pem-bacaan hematokrit dan haemoglobin diantara hari ke 10 dan ke 30 setelah penyinaran tingkat maksimum dan anemi biasanya dicapai sekitar hari ke 15 sampai hari ke 20. Pengurangan sel-sel darah disebabkan oleh faktor-faktor : (1) pengurangan atau penghentian produksi sel darah merah; (2) penambahan ke-rusakan, dan (3) perdarahan (Warien, Jacabson dkk, Cronbite Schwar dkk.).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kadar Hb mencit jantan setelah irradiasi seluruh tubuh dengan dosis se-besar 1 x 200 rad, 1 hari pasca irradiasi dosis sebesar 11,190 mg%, 10 hari pasca irradiasi sebesar 9,540 mg%, 20 hari pasca irradiasi sebesar 12,290 mg%.

Rata-rata kadar Hb mencit jantan setelah irradiasi seluruh tubuh dengan dosis 2 x 200 rad, 1 hari pasca irradiasi adalah sebesar 11,090 mg%, 10 hari pasca irradiasi sebesar 8,800 mg%, dan 20 hari pasca irradiasi sebesar 12,710 mg%.

Rata-rata kadar Hb mencit jantan setelah irradiasi seluruh tubuh dengan dosis 3 x 200 rad, 1 hari pasca irradiasi adalah sebesar 10,622 mg%, 10 hari pasca irradiasi sebesar 8,710 mg%, dan 20 hari pasca irradiasi sebesar 11,760 mg%.

Rata-rata kadar Hb mencit jantan tanpa irradiasi seluruh tubuh sebagai kelompok kontrol, setelah 1 hari sebesar 12,320 mg%, 10 hari sebesar 11,660 mg%, dan 20 hari sebesar 12,480 mg%.

Penelitian menunjukkan bahwa irradiasi dengan dosis sama pada seluruh tubuh menyebabkan penurunan kadar Hb rata-rata mencit jantan dalam waktu 20 hari pasca irradiasi. Semakin besar dosis irradiasi, makin besar penurunan rata-rata kadar Hb mencit jantan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk kelompok per-lakuan berdasarkan besarnya dosis irradiasi seluruh tubuh pada mencit jantan (A), maka nilai Fhitung dari tabel diperoleh sebesar 28,162274 yang jika dibandingkan dengan Ftabel dengan a 5%, dk (3,48) = 2,8 dan a 1%, dk (3,48) = 4,22, bersifat sangat ber-pengaruh (sangat signifikan), sedangkan untuk perlakuan yang berdasarkan lama waktu pasca irradiasi (B) maka nilai Fhitung dari tabel diperoleh sebesar 115,97199 yang jika dibandingkan dengan Ftabel dengan a 5%, dk (2,48) = 3,19 dan a 1%, dk (2,48) = 5,01 bersifat sangat berpengaruh (sangat signifikan).

Dengan demikian penelitian ini memberikan hasil bahwa irradiasi memberikan efek yang sangat nyata berpengaruh (sangat signifikan), artinya sangat nyata memberikan pengaruh terhadap kadar Hb mencit jantan; juga lama waktu pasca irradiasi yang diukur dalam satuan hari pada mencit jantan sangat nyata berpengaruh (sangat signifikan), artinya sangat nyata berpenga-ruh terhadap kadar Hb mencit jantan. KESIMPULAN 1) Sinar X dosis tunggal memberikan efek terhadap kadar Haemoglobin mencit dewasa strain Quacker-Bush. 2) Kelompok perlakuan berdasarkan besarnya dosis irradiasi memberikan efek yang sangat nyata berpengaruh terhadap kadar

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 51

Page 53: Cdk 097 Foodborne Diseases

Haemoglobin mencit. 3) Kelompok perlakuan berdasarkan lama waktu pasca irra-diasi yang diukur dalam satuan hari sangat nyata berpengaruh terhadap kadar Haemoglobin mencit.

SARAN • Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, terutama terhadap ketepatan perubahan kadar haemoglobin.

UCAPAN TERIMA KASIH Perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yth.: 1. Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran. 2. Bapak Rektor Universitas Padjadjaran. 3. Bapak Ketua Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran. 4. Laboratorium Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. 5. Laboratorium Oral Radiologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Pa-

djadjaran. 6. Perum Bio-Farma Jalan Pasteur Bandung.

KEPUSTAKAAN

1. Casarett AP. Radiation Biology. Prentice-Hall Inc., England Cliffs, New Jersey. 1968.

2. Upton AC. The Biological Effect of Lower-level Ionizing Radiation. Scient Am 1992; 246(2).

3. Baron DN. A Short Textbook of Chemical Padaology. 1984. 4. Balneus CF. Anatomic Medicine. Baltimore: William & Wilkins Co.1 `. ,. 5. Claus WD. Radiation Biology and Medicine Addison Wesley Publ Co.

Ltd, Reading Massachusetts, USA. 1958. 6. Edward C, Sherer MAS, Retenour ER. Radiation Protection for Dental

Radiographer. St. Louis: C.V. Mosby, 1984. 7. Amsyari F. Radiasi dosis rendah dan pengaruhnya terhadap kesehatan

(suatu pengamatan terhadap upaya proteksi radiasi). Surabaya: Airlangga University Press, 1989.

8. Darussalam M. Radiasi dan Radioisotop. Tarsito, Bandung. 1989. 9. Thompson FJ, Asworth WJ. X-rays Physics and Equipment. 2nd ed.,

Blackwell Scient Pub!. 1970. 10. Ali MY. Textbook of diagnostic cytology. Sydney: The New South Wales

Institute of Technology. 1978.

Kegiatan Ilmiah Desember 9–11, 1994 : KONGRES NASIONAL I PERHIMPUNAN PENELITI PENYAKIT TROPIK DAN INFEKSI INDONESIA Hotel Borobudur, Jakarta INDONESIA Sekr.: Sub bagian Penyakit Tropik dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Jl. Salemba 6, Jakarta 10430 INDONESIA Telp./Fax : 021 - 3908157

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 52

Page 54: Cdk 097 Foodborne Diseases

Kalibrasi Keluaran Pesawat Terapi Linac Mitsubishi

di RS Dr. Kariadi, Semarang

Susetyo Trijoko, Dani PSPKR BATAN, Jakarta

ABSTRAK

Unit Radioterapi RS Dr. Kariadi, Semarang telah memiliki pesawat linac medik buatan Mitsubishi yang dapat menghasilkan berkas foton dan elektron dengan energi nominal masing-masing 6 MeV. Untuk menjamin kebenaran dosis radiasi yang diberikan kepada pasien, keluaran (output) pesawat terapi wajib dikalibrasi secara berkala oleh Fasilitas Kalibrasi Tingkat Nasional, sekurang-kurangnya sekali dalam 2 (dua) tahun. Pengukuran berkas foton dan elektron dilakukan dengan menggunakan peralatan standard dan prosedur yang dianjurkan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA). Hasil pengukuran ini dapat digunakan sebagai acuan untuk perhitungan dosis yang diberikan pada pasien.

PENDAHULUAN

Sejak awal tahun 1950-an, pesawat pemercepat elektron (linear electron accelerator = linac), telah digunakan untuk terapi berbagai jenis tumorm. Saat ini RS Dr. Kariadi Semarang, telah memiliki sebuah pesawat linac medik yang ditempatkan di unit radioterapi. Pesawat linac buatan Mitsubishi, Jepang, tersebut dirancang untuk menghasilkan berkas foton dan elektron dengan energi nominal masing-masing 6 MeV. Berkas foton digunakan untuk menyinari tumor yang berada dalam jaringan tubuh (misal kanker payudara dan nasofaring), sedangkan berkas elektron untuk nOnyinari kasus kanker kulit.

Bila tumor diradiasi, sel-sel tumor harus diusahakan mene-rima dosis sesuai dengan besar dosis yang telah ditentukan, dan sel-sel normal di sekitarnya menerima dosis serendah mungkin. Sebelum penyinaran diperlukan dua macam informasi guna menghitung besarnya dosis yang akan diberikan pada pasien, Pertama adalah data yang berkaitan dengan pasien itu sendiri; letak dan volume tumor harus sudah diketahui secara pasti dari hasil diagnosis sebelumnya. Kemudian yang kedua adalah data yang berkaitan dengan berkas radiasi, seperti dosis acuan, la-pangan radiasi dan distribusi dosis.

Dalam pemberian radiasi pada tumor diharapkan distribusi dosis merata di seluruh bagian tumor, sehingga npaya terapi kanker akan lebih efektif. Langkah pertama yang harus dilaku-kan untuk menentukan distribusi dosis adalah mengukur besar-nya dosis acuan. Dosis acuan pesawat radioterapi harus diukur menurut prosedur yang benar dengan menggunakan alat ukur radiasi.

Untuk menjamin kebenaran nilai dosis radiasi, keluaran (output) sumber radiasi terapi wajib dikalibrasi secara berkala. Keluaran radiasi pesawat akselerator linier wajib dikalibrasi oleh Fasilitas Kalibrasi Tingkat Nasional, PSPKR BATAN(2), sekurang-kurangnya sekali dalam 2 (dua) tahun. Dalam tulisan ini akan diuraikan pelaksanaan kalibrasi keluaran pesawat linac Mitsubishi, ML-6M/EXL-8, milik RS Dr. Kariadi, Semarang.

PERALATAN DAN TATA KERJA

Peralatan 1) Pesawat akselerator linier (linac) Mitsubishi, ML-6M/ EXL-8. 2) Detektor bilik pengionan udara, berbentuk silinder, 0,6 cc.

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 53

Page 55: Cdk 097 Foodborne Diseases

3) Detektor bilik pengionan udara, keping paralel, 0,05 cc. 4) Digital Farmer Dosimeter 2570A. 5) Fantom air standard IAEA, 30 cm x 30 cm x 30 cm. 6) Fantom padat dari plexiglass. 7) Sumber pengecek Sr-90. Tata Kerja

Pertama dilakuk,an uji stabilitas sistim alat ukur radiasi. Detektor bilik pengionan udara volume 0,6 ml dihubungkan ke digital Farmer Dosimeter 2570A. Kemudian detektor tersebut dimasukkan ke dalam sumber radiasi pengecek Sr-90. Bacaan untuk waktu paparan 250 detik dicatat. Dilakukan ulangan se-banyak 5 (lima) kali. Nilai bacaan rata-rata dibandingkan dengan nilai bacaan standar. Sistim alat ukur radiasi dikatakan stabil dan siap dipergunakan untuk pengukuran apabila perbe-daan antara bacaan alat saat itu dan bacaan standar tidak lebih dari 1%.

Pengukuran Dosis Berkas Foton

Mula-mula dilakukan penentuan kualitas (energi) berkas foton. Untuk ini digunakan fantom air standar IAEA. Permukaan fantom ditetapkan pada jarak 100 cm dari fokus (sumber) radiasi. Ukuran lapangan radiasi di permukaan fantom diatur 10 cm x 10 cm. Pertama detektor ditempatkan pada kedalaman 10 cm dari permukaan fantom dan disinari selama 60 detik. Bacaan dicatat dan dilakukan ulangan sebanyak 5 (lima) kali. Dengan cara yang sama, kemudian detektor ditempatkan di kedalaman 20 cm. Dihitung perbandingan bacaan pada kedalaman 20 cm (D20) terhadap bacaan pada kedalaman 10 cm (D10) untuk menentukan kualitas berkas foton.

Tidak semua proses ionisasi yang terjadi dalam detektor bilik pengionan akibat radiasi dapat terkumpul ke elektroda dan terbaca oleh Dosimeter(3). Koreksi rekombinasi ion harus diper-hitungkan dalam penentuan dosis berkas radiasi foton maupun elektron. Faktor koreksi rekombinasi (Ps) didapatkan dengan metoda dua-tegangan. Metoda ini didasarkan pada pengukuran muatan QI dan Q2 yang dikumpulkan oleh detektor yang diberi tegangan kerja V I dan V2. Pada pengukuran ini, tegangan kerja V1 = Vmax (247 volt) dan tegangan V2 = Vmax/4. Detektor disinari selama 60 detik dicatat besarnya muatan yang terkumpul, Q1 dan Q2. Pengukuran dilakukan pada tegangan polaritas positif (+) dan negatif (–). Ps dihitung dengan rumus berikut(4) :

Ps = 1,002 – 0,3632 (Q1/Q2) + 0,3413 (Q1/Q2)2 (1)

Dosis acuan diukur pada kedalaman 5 cm(4) dari permukaan

fantom dengan jarak fokus ke permukaan fantom (FSD) 100 cm. Dosis pada kedalaman 5 cm tersebut ditentukan dengan rumus berikut(4) :

D5 = M . Nd . Sair,ud . Pu . PS (2)

D5 : dosis acuan pada kedalaman 5 cm air (cGy) M : bacaan dosimeter yang telah dikoreksi oleh suhu dan tekanan udara ruangan (division = div) Nd : faktor kalibrasi detektor, besarnya 0,8433 cGy/div

Sair,ud : nisbah daya henti air terhadap udara Pu : faktor koreksi perturbasi PS : faktor koreksi rekombinasi ion

Pengukuran dilakukan pada lapangan radiasi 4 x 4, 5 x 5, 8 x 8, l0x 10, 15x 15, 18x 18, 20 cm x 20 cm.

Dosis maksimum (D.) dihitung berdasarkan tabel pro-sentase dosis kedalaman (percentage depth dose = PDD) pada kedalaman 5 cm air (PDD5) menggunakan rumus berikut(5) :

Dmax = D5 . (100/PDD5) (3)

Pengukuran Dosis Berkas Elektron Pertama dilakukan penentuan kurva dosis kedalaman de-

ngan menggunakan detektor keping paralel 0,05 ml yang di-hubungkan ke dosimeter Farmer dan fantom padat dari plexi-glass. Lapangan radiasi diatur dengan applicator 10 cm x 10 cm. Jarak fokus (sumber) radiasi ke permukaan fantom (focus sur-face distance = FSD) tetap 100 cm. Detektor ditempatkan mulai dari permukaan fantom (kedalaman 0 cm) sampai dengan ke-dalaman 3,3 cm plexiglass. Detektor disinari berkas elektron dan bacaan dosimeter pada siap-tiap kedalaman fantom (zp) dicatat. Kedalaman fantom plexiglass (zp) kerttudian dikonversikan ke kedalaman air (zair) dengan rumus berikut(4) :

Zair = 1,15 . zp (4)

Dari bacaan dosimeter tersebut selanjutnya dibuat kurva pro-sentase dosis kedalaman (PDD) terhadap kedalaman air (zair). Berdasarkan kurva tersebut kemudian didapatkan nilai-nilai ke-dalaman dosis maksimum (R100), kedalaman 50% dosis maksi-mum (R50), dan jangkauan praktis elektron (Rp).

Untuk keperluan perhitungan dosis, kualitas berkas elektron biasa dinyatakan dengan istilah Ep yang menyatakan energi elektron rata-rata pada permukaan air dan dihitung dengan perumusan berikut(4) :

Eo = 2,33 . R50 (MeV) (5)

dengan R50 dinyatakan dalam cm. Pengukuran keluaran (output) berkas elektron dilakukan

dengan menggunakan detektor bilik pengionan silinder 0,6 ml yang dihubungkan ke Farmer Dosimeter dan fantom air standard IAEA. Namun, sebelum itu dilakukan penentuan faktor koreksi rekombinasi ion (Ps) pada berkas elektron dengan metoda dua-tegangan, seperti yang telah dilakukan pada berkas foton.

Dosis acuan diukur pada kedalaman dosis maksimum (R100) dengan jarak fokus ke permukaan air (FSD) 100 cm. Dosis acuan dihitung dengan rumus seperti pada persamaan (2). Pengukur-an dilakukan dengan applicator lapangan radiasi 5 x 5, 10 x 10, 15 x 15, 20 cm x 20 cm, dan cone berdiameter 2,5 cm dan 3,0 cm.

HASIL PENGUKURAN Pada waktu cek stabilitas didapatkan bacaan sistim dosime-

ter (22,37 ± 0,01) R, sedangkan nilai bacaan standard 22,20 R. Terdapat perbedaan 0,7%, maka sistim dosimeter dinyatakan stabil dan bisa digunakan, karena batas maksimum perbedaan yang diijinkan adalah 1,0(6).

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 54

Page 56: Cdk 097 Foodborne Diseases

Berkas Foton Pada penentuan kualitas berkas foton diperoleh bacaan

D10 = (90,8 ± 0,5) dan D21= (155,6 ± 0,4), sehingga didapatkan nilai perbandingan (D20/D10) = 0,583 atau (D10/D20) = 1,713. Dengan menggunakan kurva hubungan D10/D20 vs accelerating potential pada Gambar 1 (7), maka didapatkan potensial per-cepatan pesawat sebesar 6,0 MeV. Nilai tersebut sama dengan yang ditunjukkan pada panel kontrol pesawat. Dan berdasarkan Tabel XIII dan Gambar 14 dalam TRS No. 277(4), didapatkan nilai Sair,ud = 1,119 dan PS = 1,004.

Gambar 1. Kurva PDD berkas elektron energi nominal 6 MeV dari pesawat linac Mitsubishi RS Dr. Kariadi

Hasil pengukuran untuk menentukan faktor koreksi rekom-

binasi ion pada berkas foton ditunjukkan dengan Tabel 1. Tabel 1. Pengumpulan Muatan (Q) oleh Detektor

Polaritas Tegangan (V) Muatan (Q)

Positif (+)

Negatif (–)

VmaxVmax/4 Vmax

Vmax/4

(32,71 ± 0,38) nC (32 ,53 ± 0,25) nC (33,16 ± 0,25) nC (32,25 ± 0,17) nC

Dengan menggunakan persamaan (1) diperoleh faktor ko-reksi rekombinasi ion pada berkas foton (PS) = 1,007 ± 0,004.

Hasil pengukuran keluaran berkas foton dari pesawat linac ditunjukkan pada Tabel 2. D5 dihitung menggunakan persama-an (2), D. dihitung dengan persamaan (3) dan PDD5 diambil dari data bawaan pesawat. Berkas Elektron

Hubungan antara prosentase dosis kedalaman (PDD) ter-hadap kedalaman air (z) untuk berkas elektron ditunjukkan dengan kurva pada.Gambarl.Berdasarkan pada kurva tersebut, didapatkan R100 = 1,2 cm, R50 = 2,55 cm, dan RP = 3,35 cm.

Tabel 2. Dosis Acuan (D5) dan Dosis Maksimum Dmax Berkas Foton Pesawat Linac Mitsubishi ML-6M/EXL-8 untuk Waktu Penyinaran 1 (Satu) Menit.

Luas Medan Radiasi (cm x cm)

D5(cGy)

PDD5(%)

D (cGy)

4 x 4 5 x 5 6 x 6 8 x 8

10 x 10 15 x 15 18 x 18 20 x 20

163,6 ± 0,5 174,4 t 0,6 179,6±0,8 185,8±0,4 193,3 ± 0,9 195,2 ± 0,9 199,2 ± 0,3 200,9±0,5

83,9 83,0 83,6 84,8 86,0 86,5 86,7 86,8

195,0 210,1 214,8 219,1 224,8 225,6 229,8 231,4

Dengan menggunakan persamaan (5) diperoleh E = 5,94 MeV. Berbeda 1% di bawah energi nominal yang ditunjukkan oleh panel kontrol, yaitu 6 MeV. Dan berdasarkan Tabel X dalam TRS No. 277(4) dan Tabel VIII dalam protokol AAPM(8), didapatkan nilai Sair,ud = 1,061 dan PS = 0,960. Nilai faktor kalibrasi detektor (Nd) tetap 0,8433 cG/div.

Hasil pengukuran untuk menentukan faktor koreksi rekom-binasi ion pada berkas elektron ditunjukkan dengan Tabel 3.

Tabel 3. Pengumpulan Muatan (Q) oleh Detektor

Polaritas Tegangan (V) Muatan (Q)

Positif (+)

Negatif (–)

VmaxVmax/4 Vmax

Vmax/4

(64,64 ± 0,06) nC (60,32 ± 0,10) nC (65,04 ± 0,10) nC (61,28 ± 0,08) nC

Dengan menggunakan persamaan (1) diperoleh faktor koreksi rekombinasi ion pada berkas elektron (Ps) = 1,023 ± 0,002.

Hasil pengukuran keluaran berkas elektron dari pesawt linac ditunjukkan pada Tabel 4. Pengukuran dilakukan di satu titik yaitu pada kedalaman dosis maksimum. D. dihitung dengan menggunakan persamaan (2).

Tabel 4. Keluaran Berkas Foton PesawatLinac Mitsubishi ML-6M/EXL- 8 untuk Waktu Penyinaran 1 (Satu) Menit

Applicator (cm x cm)

Dmzx

(cGy)

5 x 5 10 x 10 15 x 15 20 x 20 Φ 2,5 cm Φ 3,0 cm

315,6 ± 0,6 350,8 t 0,8 355,8 t 0,4 361,9 t 0,2 224,8 ± 0,5 272,2 ± 0,5

KESIMPULAN

Telah dilakukan kalibrasi dosis keluaran (output) pesawat linac Mitsubishi ML-6/EXL-8 milik RS Dr. Kariadi, Semarang. Hasil pengukuran ini bisa digunakan sebagai acuan dalam per-hitungan dosis untuk penyinaran tumor pasien.

KEPUSTAKAAN 1. Suntharalingam N. Medical Radiation Dosimetry, Int. J. Appl. Radiation

and Isotope 1982; 33: 991-1006.

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 55

Page 57: Cdk 097 Foodborne Diseases

2. BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional), Peraturan tentang Kalibrasi Alat Ukur Radiasi dan Keluaran Sumber Radiasi, Standardisasi Radionuklida dan Fasilitas Kalibrasi, Jakarta, 1992.

3. Johns HE, Cunningham JR. The Physics of Radiology, 4th ed. Illinois: Charles C. Thomas, 1985.

4. IAEA (International Atomic Energy Agency). Absorbed Dose Determination in photon and electron beams, Techn Rep Ser (TRS) No. 277, Vienna, 1987.

5. PSPKR (Pusat Standardisasi dan Penelitian Keselamatan Radiasi) BATAN, Prosedur Kerja Kalibrasi Keluaran Sumber Radiasi Terapi, Jakarta, 1991.

6. Manual 0,6 Robust Ionisation Chamber, Nuclear Enterprises Limited, Beenham Berkshire England, 1985.

7. NACP (The Nordic Association of Clinical Physics), Procedures in external radiation therapy dosimetry with electron and photon beams with maximum energies between 1 and 50 MeV, Acta Radiologica Oncology 1980; 19: 56–79.

8. AAPM (American Association of Physicists in Medicine), A protocol for the determination of absorbed dose from high-energy photon and electron beams, Medical Physics 1983; 10(6): 741–71.

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 56

Page 58: Cdk 097 Foodborne Diseases

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 57

Page 59: Cdk 097 Foodborne Diseases

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 58

Page 60: Cdk 097 Foodborne Diseases

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 59

Page 61: Cdk 097 Foodborne Diseases

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 60

Page 62: Cdk 097 Foodborne Diseases

Pengalaman Praktek

Belatung dalam Kulit Kepala Suatu siang datang seorang laki dewasa ke Puskesmas dengan keluhan di dalam kulit

kepala sebelah kanan rasa sakit dan dirasakan ada sesuatu yang bergerak kesana kemari sejak hampir 1 bulan, sehingga penderita ini tidak bisa tidur dan selalu memukul-mukul kepalanya. Ketika diperiksa daerah kulit kepala tersebut, ternyata ada bekas luka dan di bagian tengahnya terasa agak lunak seperti ada ruangan kosong. Dari anamnesis, katanya daerah tersebut pernah luka terbuka kena batang kayu di hutan, kemudian dirawat dengan daun-daunan dan luka menutup sendiri. Dengan rasa ingin tahu, saya iris kulit kepala di daerah ruang kosong tersebut, ternyata di dalam agak kotor, campur sedikit pus dan ada beberapa belatung (ulat daging membusuk) yang masih bergerak-gerak. Daerah tersebut lalu dibersihkan dan ditutup kembali. Setelah kontrol kembali luka menutup baik dan penderita pulih kembali.

Dr. Aryawan Wichaksana

Puskesmas Tentena Kab. Poso - Sulteng

Epilepsi

Sampai saat ini penyakit epilepsi atau ayan masih dianggap suatu penyakit yang me-malukan atau merupakan penyakit menular atau penyakit turunan.

Suatu hari di luar jam praktek, saya diminta untuk melayani seorang anak laki-laki (9 tahun) yang dibopong dalam keadaan kejang-kejang, tidak sadar dan mulut berbusa. Untuk membantu menegakkan diagnosis, dibutuhkan keterangan atau riwayat penyakit. Tentunya yang paling mengetahui tentang anak tersebut adalah ibunya.

Setiap kali pertanyaan diajukan selalu dijawab tidak atau tidak tabu dan ada perasaan tidak suka untuk ditanyakan serta berusaha menutup diri. Mungkin merasa ibunya tidak tabu, dengan polosnya adik penderita (6 tahun) menceritakan semua hal yang saya tanyakan tadi terhadap ibunya. Ternyata anak tersebut menderita epilepsi dan hari itu sudah 3 kali kejang.

Kemudian saya katakan, jika ibu sayang dan ingin anaknya sembuh, seharusnya membantu dokter memberi ketērangan sebenarnya dan bekerja sama untuk mencari penyebab penyakit ini. Jangan karena perasaan-perasaan dan prasangka yang tidak benar, anak ibu dikorbankan. Tahukah ibu akibat kejang-kejang bagi perkembangan otak dan kepribadiannya serta bahayanya ?

Emiliana Tjitra Jakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 61

Page 63: Cdk 097 Foodborne Diseases

ABSTRAK ASPIRIN DAN NSAID UNTUK PENCEGAHAN KARSINOMA KOLOREKTAL

Para peneliti di Australia berpen-dapat bahwa pencegahan karsinoma kolorektal dengan penggunaan aspirin atau NSAIDs secara teratur merupakan stratregi yang didukung oleh literatur.

Piroksikam, sulindak dan aspirin dapat menurunkan kejadian karsinoma tersebut pada tikus percobaan bila di-bandingkan dengan plasebo. Meskipun mekanisme kerjanya belum jelas, data penelitian lanjutan menunjukkan bah-wa aspirin dan sulindak memberikan efek serupa pada manusia.

Inpharma 1993; 916:2 id

TIAZID DAN RISIKO HENTI JAN-TUNG

Untuk mengetahui pengaruh tiazid terhadap hipertensi dan risiko henti jantung, para peneliti di King County, Wash., USA membandingkan data 114 pasien hipertensi yang mengalami henti jantung antara tahun 1977-1990 dengan 135 pasien hipertensi.

Ternyata risiko henti jantung di kalangan pasien yang menggunakan tiazid + diuretik hemat kalium lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang hanya menggunakan diuretik tiazid (odds ratio: 0,3; 95%CI: 0,1-0,7). Dosis sedang (50 mg/hari) menyebabkan risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan dosis rendah (25 mg/hari) (odds ratio: 1,7; 95%CI: 0,7-4,5); dosis yang lebih tinggi (100 mg/hari) lebih meningkatkan risiko (odds ratio: 3,6; 95%CI:1,2-10,8).

Penambahan obat hemat kalium atas penggunaan tiazid menurunkan risiko henti jantung (odds ratio: 0,4; 95%CI: 0,1-1,5).

N. Engl. J. Med. 1994; 330: 1852-7

Brw

CARA BARU MENUMBUHKAN RAMBUT

Lima dari 13 pasien alopecia areata yang menggunakan diphenycycloprope-none (DPCP) 0,0001% -.2% sekali seminggu selama 24 minggu menun-jukkan pertumbuhan rambut kembali pada lebih dari 75% area yang diobati.

Semua pasien menunjukkan lim-fadenopati terlokalisir. Di kalangan res-ponder, terdapat penurunan jumlah T-cell, rendahnya infiltrasi limfosit dan pengurangan jumlah sel leu-2, sel leu-3, sel leu-4 dan intercelluar adhesion molecule - 1 (ICAM-1) yang bermakna bila dibandingkan dengan di kalangan non responder.

Inpharma 1994; 920:16 id

RISIKO CACAD LAHIR Survai atas registrasi kelahiran di

Norwegia selama tahun 1976-1989 mendapatkan data cacad lahir (birth defect) sebanyak 9192 kelahiran dari seluruh 371.933 kelahiran pada periode tersebut.

Analisis selanjutnya menunjukkan bahwa ibu yang bayi pertamanya men-derita kelainan, mempunyai risiko 2,4 kali lebih besar akan memperoleh bayi yang juga cacad pada kelahiran ber-ikutnya dibandingkan dengan ibu yang bayi pertamanya normal.Risiko ini lebih besar untuk jenis cacad yang serupa (7,6 kali; 95%CI: 6,5-8,8) dibandingkan dengan untuk jenis cacad yang berbeda (1,5 kali; 95%CI: 1,3-1,7).

Di antara para wanita yang tetap ting-gal di lingkungan yang sama, risiko ter-sebut adalah sebesar 11,6; sedangkan bila pindah ke lingkungan lain, risikonya sebesar 5,1 (p < 0,001).

Data ini mendukung dugaan peranan lingkungan terhadap risiko birth defect.

N. Engl. J. Med. 1994; 331: 1-4 Brw

OSTEOPOROSIS PADA ARTRITIS REMATOID

Penelitian menggunakan dual energy X-ray absorptiometry atas 148 pasien artritis rematoid sebelum diobati, yang dibandingkan dengan 730 orang normal sebagai kontrol menunjukkan bahwa osteoporosis sudah berlangsung sejak dini dan berkaitan dengan aktifnya penyakit.

Pada pasien yang penyakitnya masih aktif selama ± 2 tahun, pengukuran densitas tulang di daerah tulang belakang dan trokanter menunjukkan bahwa rata-rata mineral bone loss di lokasi tersebut adalah sebesar 5,5-10% (p <- 0,001 bila dibandingkan dengan pasien yang penyakitnya tidak aktif).

Penemuan ini membawa implikasi bagi penanganan dini pasien artritis rematoid.

Lancet 1994; 344: 23-7 Hk

SERAT UNTUK IRRITABLE BOWEL SYNDROME

Penggunaan bran pada irritable bowel syndrome ternyata justru mem-perburuk gejala pada 55% pasien; hanya 10% pasien yang merasakan perbaikan.

Gejala yang diperberat meliputi bowel disturbance (75%), rasa kembung (distension) - 50%, dan nyeri (41%).

Lancet 1994; 344: 39-48 Hk

SYOK SETELAH MINUM ANG-GUR

Satu kasus syokanafilaktik berat telah dilaporkan menimpa seorang wanita 34 tahun setelah minum anggur Campari-Orange.

Wanita tersebut mempunyai riwayat atopi, dan terbukti sensitif terhadap E-120 Carmine, suatu zat pewarna yang terkandung dalam minuman tersebut. Zat pewarna tersebut diolah dari ekstrak serangga Dactylopius coctus.

Lancet 1994; 344: 60-61 Hk

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 62

Page 64: Cdk 097 Foodborne Diseases

ABSTRAK BESI DAN RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER

Akhir-akhir ini kadar besi dalam tubuh dikaitkan dengan risiko penyakit jantung koroner. Untuk memastikan-nya, dilakukan penelitian atas 4518 wanita dan pria yang mulai diamati dari tahun 1971-1974 sampai dengan tahun 1987.

Ternyata risiko relatif terhadap penyakit jantung koroner di kalangan kadar saturasi transferin tertinggi (fifth quintile) dibandingkan dengan ka-langan kadar saturasi transferin teren-dah (first quintile) adalah sebesar 0,72 (95%CI: 0,51-1,00) di kalangan pria dan sebesar 0,85 (95%CI: 0,60-1,21) di kalangan wanita; hal serupa juga terlihat pada risiko infark miokard. Hubungan asosiasi yang terbalik juga ditemukan dalam hal mortalitas,baik umum maupun yang disebabkan oleh gangguan kar-diovaskuler.

Penelitian ini tidak menyokong pendapat bahwa kadar besi yang tinggi berkaitan dengan peninggian risiko penyakit jantung koroner ataupun in-fark miokard, bahkan memperlihatkan kecenderungan yang sebaliknya.

N. Engl.J. Med.1994;330:1119-24 hk

FUNGSI PROTEKSI IMUNO-GLOBULIN INTRAVENA

Mengingat infeksi nosokomial merupakan penyebab kematian yang utama di kalangan bayi prematur dan seringnya ditemukan kadar imuno-globulin yang rendah di kalangan ter

sebut, telah diadakan percobaan untuk mengamati efek proteksi pemberian imunoglobulin terhadap infeksi no-sokomial.

Dalam percobaan tersebut 2416 bayi dibagi secara acak; 1204 menerima imunoglobulin dengan dosis 900 mg/ kgbb. untuk bayi yang beratnya antara 501 - 1500 gram; pemberian diulang setiap 14 hari sampai beratnya 1800 gram, pindah rumah sakit, meninggal dunia atau dipulangkan. Kelompok kontrol terdiri dari 1212 bayi, dibagi atas 623 bayi menerima infus plasebo (fase I) dan 589 bayi tidak menerima apa-apa (fase II).

Infeksi nosokomial di darah, selaput otak dan saluran kemih terjadi , pada 439 (18,2%) bayi; 208 (17,3%) di kelompok imunoglobulin clan 231 (19,1%) di kelompok kontrol (RR 0,91, 95%CI: 0,77-1,88). Septikemi terjadi pada 15,5% bayi kelompok imunoglo-bulin dan pada 17,2% bayi kelompok kontrol. Selama fase I, infeksi no-sokomial terjadi pada 13,4% bayi ke-lompok imunoglobulin dan pada 17,8% bayi kelompok kontrol; pada fase II angka tersebut berturut-turut 21,0% dan 20,4%; perbedaan ini tidak bermakna. Organisme yang ditemukan berupa kokus gram negatif (53%), basil gram negatif (22,4%) dan kandida (16,0%). Kejadian necrotizing enterocolitis kelompok imunoglobulin 12% dan di kelompok kontro19,5%.

Pemberian imunoglobulin juga tidak mempengaruhi kejadian respiratory distress syndrome, displasia bronko-pulmoner, perdarahan intrakranial, la

manya perawatan di rumah sakit atau-pun mortalitas.

N. Engl. J.Med. 1994;330:1107-13

hk PENYEBAB STATUS EPILEP-TIKUS

Penelitian retrospektif dilakukan atas 154 kasus statrus epileptikus yang dirawat di San Francisco General Hos-pital selama tahun 1980 - 1989. Penye-bab utamanya ialah penghentian obat antikonvulsan (39 kasus), berkaitan. dengan alkohol (39 kasus), keracunan obat (14 kasus) dan infeksi susunan saraf pusat (12 kasus); pola penyebab ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian serupa yang diadakan di tempat yang sama pada tahun 1970-an.

Enam puluh persen kasus dapat diatasi dengan satu kali pemberian an-tikonvulsan (biasanya fenitoin dengan/ tanpa diazepam); sisanya memerlukan pengobatan tambahan (biasanya feno-barbital). Respons yang tidak memu-askan berkaitan dengan penyebab me-tabolik, anoksi, keracunan obat atau infeksi susunan saraf pusat; sedangkan pada pasien-pasien dengan tumor, penghentian obat atau epilepsi yang refrakter biasanya responsnya memuaskan.

Di antara 22 pasien yang meninggal dunia, hanya 2 orang yang langsung disebabkan oleh status epileptikus (1,3%); lainnya disebabkan oleh gangguan metabolik, stroke atau anoksi.

Neurology 1993;43(3) : 483-88 Brw

Reading is to the mind what exercise is to the body

(Iir Richard Steele)

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 63

Page 65: Cdk 097 Foodborne Diseases

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran

Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?

1. Keracunan makanan dapat disebabkan oleh toksin yang di-

keluarkan oleh bakteri di bawah ini, kecuali : a) Clostridium tetani b) Clostridium perfringens c) Clostridium botulinum d) Vibrio cholera e) Vibrio para haemolyticus

2. Pemeriksaan anal swab diperlukan untuk menemukan telur cacing : a) Taenia saginata b) Taenia solium c) Ascaris lumbricoides d) Trichuris trichiura e) Enterobius vermicularis

3. Gejala epilepsi dapat ditemukan pada penderita : a) Askariasis b) Sisteserkosis c) Ankilostomiasis d) Enterobiasis e) Semua dapat

4. Konsumsi daging mentah/setengah matang dapat menye-babkan : a) Askariasis b) Sisteserkosis c) Ankilostomiasis d) Enterobiasis e) Semua dapat

5. Obat pilihan pertama untuk kolera menurut WHO : a) Tetrasiklin b) Amoksisilin c) Khloramfenikol d) Ko-trimoksazol e) Metronidazol

6. Obat pilihan pertama untuk amubiasis menurut WHO : a) Tetrasiklin b) Amoksisilin c) Khloramfenikol d) Ko-trimoksazol e) Metronidazol

7. Nalidixic acid dapat digunakan untuk mengobati : a) Kolera b) Disentri amuba c) Disentri shigella d) Giardiasis e) Demam tifoid

8. Jarak sumber air minum dengan septic tank, seharusnya lebih dari : a) 10 m. b) 15 m. c) 20 m. d) 25 m. e) 30 m.

9. Keracunan nitrit menyebabkan : a) Diare b) Kejang c) Demam (febris) d) Anoksi/sianosis e) Semua benar

10. Keracunan kadmium dapat menyebabkan gejala berikut, kecuali : a) Pewarnaan gusi b) Anosmi c) Emfisema d) Proteinuri e) Diare

Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 64