Top Banner
PRESENTASI KASUS HEMATOMA SUBDURAL KRONIS BERULANG KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH Pembimbing: dr. Julintari Indriyani, Sp.S Oleh: Melissa Mauli Sibarani (030.10.176) FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA 5 JANUARI – 7 FEBRUARI 2015 1
30

Case- SDH Bilateral

Sep 18, 2015

Download

Documents

Evy Liesniawati

SDH bilateral
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

PRESENTASI KASUSHEMATOMA SUBDURAL KRONIS BERULANGKEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAFRUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH

Pembimbing:dr. Julintari Indriyani, Sp.S

Oleh:Melissa Mauli Sibarani (030.10.176)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTIJAKARTA5 JANUARI 7 FEBRUARI 2015

LEMBAR PENGESAHANHEMATOMA SUBDURAL KRONIS BERULANG

Case ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit Umum Daerah Budhi AsihPeriode 5 Januari 7 Februari 2015

Oleh: 1. Nama: Melissa Mauli Sibarani NIM: 030.10.176

Telah diterima dan disetujui oleh penguji,

Jakarta, 26 Januari 2015

dr. Julintari Indriyani, Sp. S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAFRUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIHPROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

PENDAHULUAN

Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang mengalami efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi tersebut merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah.1Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Perdarahan subdural paling sering terjadi akibat trauma kapitis dengan insidensi sebanyak 75%, dan lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita. Adapun penyebab lain di antaranya trauma pada leher karena guncangan pada badan, pecahnya aneurisma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdural, gangguan pembekuan darah, keganasan, atau pun perdarahan dari tumor intracranial. Orang tua lebih rentan mengalami perdarahan dikarenakan pembuluh darah lebih rapuh. Hematoma subdural yang terjadi pada lansia menimbulkan kesulitan dalam penegakkan diagnosis dan terapi. Hematoma subdural akut, di mana gejala klinis muncul dalam waktu kurang dari 72 jam, biasanya terjadi pada usia muda. Sedangkan hematoma subdural kronis, biasanya sering terjadi pada usia lanjut dengan insiden tertinggi pada usia 60-70 tahun, di mana gejala klinis baru muncul lebih dari 20 hari.2 Insiden terjadinya hematoma subdural kronik diperkirakan 1 dari 100.0000 populasi per tahun dan meningkat menjadi 7 dari 100.000 pada populasi dengan usia 70-79 tahun.3 Secara signifikan, hematoma subdural kronis adalah penyebab reversibel dari demensia.4 Angka kejadian hematoma subdural lebih banyak yang sifatnya unilateral (85%) dibandingkan dengan bilateral. Hematoma subdural bilateral lebih sering terjadi pada bayi akibat atrofi otak dan shaken baby syndrome.4

LAPORAN KASUSI. Identitas Pasien Nama: Tn. S Jenis Kelamin: Laki-laki Usia: 75 tahun Alamat: Jl. Pisangan baru timur No. 11, Matraman. Agama: Islam Pekerjaan: - Status Pernikahan: Duda Pendidikan Terakhir: - Tanggal Datang ke RS: 6 Januari 2015 Nomor CM: 957860

II. Anamnesis(Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan anak pasien di Poli Neurologi pada hari Selasa, 6 Januari 2015 pukul 12.45)Keluhan Utama: Nyeri kepala dan sulit berkomunikasi pasca operasi dengan hematoma subdural bilateral pada bulan Mei 2014Keluhan tambahan : Lemah pada tungkai bawah pasca operasiRiwayat Penyakit SekarangPasien datang ke poli neurologi RSUD Budhi Asih pada tanggal 6 Januari 2015 untuk kontrol post operasi kepala di Rumah Sakit Persahabatan dengan diagnosis hematoma subdural bilateral pada bulan Mei 2014. Keluhan saat ini adalah nyeri kepala dan sulit berkomunikasi pasca operasi. Selain itu keluhan tambahan berupa lemah pada kedua tungkai bawah.Pertama kali pasien datang ke poli saraf RSUD Budhi Asih dengan keluhan kaku seluruh badan sejak bulan April 2014Awalnya pasien terjatuh ke saluran air di depan rumahnya saat sedang berjemur di pagi hari. Kejadian tersebut terjadi bulan Maret 2014. Pasien terjatuh dan kepala sebelah kiri terbentur aspal. Tidak ada penurunan kesadaran pada saat itu. Pasien segera dilarikan ke puskesmas terdekat. Di puskesmas tersebut, pasien hanya dijahit pada bagian luka di kepalanya. Lalu pasien disuruh pulang, tanpa diperiksa foto kepala. Berselang beberapa minggu setelah itu, pasien kembali jatuh untuk kedua kalinya di kamar mandi. Tidak jelas bagaimana hal itu bisa terjadi karena saat itu pasien sendirian dan baru diketahui saat pasien jatuh terduduk di lantai. Tidak ditemukan adanya jejas/ luka di kepala akibat jatuh yang kedua kali tersebut. Tidak ada keluhan pada saat itu seperti penurunan kesadaran, muntah, maupun gangguan gerak. Dua bulan kemudian, yaitu bulan Mei 2014, pasien mulai mengeluhkan nyeri berdenyut pada seluruh kepala, lemas pada seluruh bagian tubuh, terutama kedua tungkai bawah. Pasien mulai sulit diajak berkomunikasi (sulit nyambung) dan sering menjawab pertanyaan dengan mengulang kalimat/kata terakhir dari sipenanya. Pasien kemudian dibawa ke Rumah Sakit Persahabatan dan dilakukan foto kepala. Ditemukan adanya gambaran hematoma subdural bilateral di daerah frontoparietal. Lalu diputuskan untuk dilakukan operasi di rumah sakit tersebut. Keadaan klinis sesudah operasi membaik, nyeri kepala berkurang, tidak ada mual maupun muntah. Sesudah operasi hingga saat ini, pasien hanya dibaringkan di tempat tidur dan mobilisasi menggunakan kursi roda. Pasien sering mengompol dan BAB di tempat tidur, sehingga pasien menggunakan pampers. Kemudian pada bulan November 2014, pasien mulai mengeluhkan kaki kiri sulit diluruskan dan lutut kiri terasa kaku.Riwayat Penyakit DahuluPasien diketahui menderita darah tinggi dan penyakit jantung, yang baru diketahui sejak pasien memeriksakan dirinya pada bulan Mei 2014Riwayat Penyakit KeluargaTidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang serupa. Riwayat Sosial dan KebiasaanPasien memiliki kebiasaan merokok 2 bungkus per hari sejak usia muda (bekerja). Pasien tidak suka minum kopi dan tidak suka makan-makanan yang berlemak.III. Pemeriksaan FisikPemeriksaan UmumKeadaan Umum: Tampak sakit ringanKesadaran: Compos mentisTekanan Darah: 160/90 mmHgNadi: 90 x/menitSuhu: 36,3 oCPernafasaan: 18 x/menit

KepalaEkspresi wajah: Tampak wajah asimetrisRambut: Hitam keputihan Bentuk: NormocephaliMataKonjungtiva: anemis (-/-)Sklera: ikterik (-/-)Kedudukan bola mata: ortoforia/ortoforiaPupil: bulat isokor 3mm/3mmTelingaTidak dilakukanMulutBibir: Sianosis (-), luka (-), simetris.LeherTrakhea terletak ditengahTidak teraba benjolan/KGB yang membesarKelenjar Tiroid : tidak teraba membesarThoraksBentuk: SimetrisParu ParuPemeriksaanDepanBelakang

InspeksiKiriSimetris saat statis dan dinamisSimetris saat statis dan dinamis

KananSimetris saat statis dan dinamisSimetris saat statis dan dinamis

PalpasiKiriVocal fremitus dan pergerakan napas simetrisVocal fremitus dan pergerakan napas simetris

KananVocal fremitus dan pergerakan napas simetrisVocal fremitus dan pergerakan napas simetris

PerkusiKiriSonor di seluruh lapang paruSonor di seluruh lapang paru

KananSonor di seluruh lapang paruSonor di seluruh lapang paru

AuskultasiKiri- Suara vesikuler- Wheezing (-), Ronki (-)- Suara vesikuler- Wheezing (-), Ronki (-)

Kanan- Suara vesikuler - Wheezing (-), Ronki (-)- Suara vesikuler- Wheezing (-), Ronki (-)

JantungInspeksi: Tidak tampak pulsasi iktus cordisPalpasi: Tidak dilakukan Perkusi: Tidak dilakukan Auskultasi: Bunyi jantung I-II reguler, Gallop (-), Murmur (-).

AbdomenInspeksi: Datar, simetris, smiling umbilicus (-)Palpasi: Dinding perut supel, tidak ada nyeri tekan pada epigastrium. Perkusi : Tidak dilakukan Auskultasi: Bising usus (+) normal

STATUS NEUROLOGISA. Keadaan Umum: Compos mentisB. Gerakan Abnormal: -C. Leher : sikap baik, gerak terbatasD. Tanda Rangsang MeningealTidak dilakukanE. Nervus KranialisN.I ( Olfaktorius)SubjektifTidak Dilakukan

N. II ( Optikus )Tajam penglihatan (visus bedside)NormalNormal

Lapang penglihatanTidak DilakukanTidak Dilakukan

Melihat warnaTidak DilakukanTidak Dilakukan

UkuranIsokor, D 3mmIsokor, D 3mm

Fundus OkuliTidak dilakukan

N.III, IV, VI ( Okulomotorik, Trochlearis, Abduscen )Nistagmus--

Pergerakan bola mataBaik ke 6 arahBaik ke 6 arah

Kedudukan bola mataOrtoforiaOrtoforia

Reflek Cahaya Langsung & Tidak Langsung++

Diplopia--

N.V (Trigeminus)Membuka mulut++

Menggerakan Rahang++

Oftalmikus++

Maxillaris++

Mandibularis++

N. VII ( Fasialis )Perasaan lidah ( 2/3 anterior )Tidak Dilakukan

Motorik OksipitofrontalisBaikBaik

Motorik orbikularis okuliBaikBaik

Motorik orbikularis orisParesisBaik

N.VIII ( Vestibulokoklearis )Tes pendengaranTidak dilakukan

Tes keseimbanganTidak dilakukan

N. IX,X ( Vagus )Perasaan Lidah ( 1/3 belakang )Tidak Dilakukan

Refleks MenelanBaik

Refleks MuntahTidak Dilakukan

N.XI (Assesorius)Mengangkat bahuBaik

MenolehBaik

N.XII ( Hipoglosus )Pergerakan LidahBaik

DisatriaTidak

F. Sistem Motorik TubuhKananKiri

Ekstremitas Atas

Postur TubuhBaikBaik

Atrofi OtotEutrofikEutrofik

Tonus Otot SpastikNormal

Gerak involunter(-)(-)

Kekuatan Otot44334444

KananKiri

Ekstremitas Bawah

Postur TubuhBaikBaik

Atrofi OtotEutrofikEutrofik

Tonus Otot SpastikSpastik

Gerak involunter(-)(-)

Kekuatan Otot44334444

Pada pasien ini ditemukan adanya hemiparesis dupleks

G. RefleksPemeriksaanKananKiri

Refleks Fisiologis

Bisep++

Trisep++

Patela++

Achiles++

PemeriksaanKananKiri

Refleks Patologis

BabinskiChaddok----

OppenheimGordon----

Klonus--

Hoffman Tromer--

H. Gerakan Involunter: Tidak adaI. Tes Sensorik (sentuhan ) sulit dinilaiJ. Fungsi AutonomMiksi: baikDefekasi: baikSekresi keringat: baikK. Keseimbangan dan koordinasiHasil

Tes disdiadokinesisTidak dilakukan

Tes tunjuk hidung dan jariTidak dilakukan

Tes tunjuk jari kanan dan kiriTidak dilakukan

Tes rombergTidak dilakukan

Tes tandem gaitTidak dilakukan

PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan LaboratoriumDari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan kadar HDL direk dan kadar ureum. Sedangkan pemeriksaan lain dalam batas normal.

Foto Thoraks AP tanggal 20 Mei 2014

Kesan : LVH & Elongatio et atherosclerosis aortae. Pulmo, pleura, sinus, dan diafragma dalam batas normal

Hasil CT-Scan non kontras (20 Mei 2014) Pre operasi

Kesan: Sesuai hematoma kronik pada subdural frontoparietal bilateral disertai lesi iskemik basal ganglia kedua sisi dan korona radiata kiri

IV. Resume Seorang pasien laki-laki usia 75 tahun datang ke poli saraf RSUD Budhi Asih untuk kontrol post operasi kepala atas indikasi hematoma subdural kronis frontoparietal pada bulan Mei 2014. Keluhan saat ini masih terdapat nyeri kepala dan sulit berkomunikasi, selain itu terdapat keluhan lemas terutama pada kedua tungkai bawah. Pasien menjalani operasi kepala di RS Persahabatan karena sakit kepala berkelanjutan setelah jatuh pada bulan Maret 2014 sebanyak 2 kali yang hanya berselang beberapa minggu. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesan paresis n. VII dekstra, hemiparesis dupleks, spastik pada tangan kanan, kaki kanan dan kiri. Pemeriksaan penunjang berupa CT Scan yang dilakukan sebelum operasi menunjukkan adanya hematoma subdural bilateral frontoparietal. Saat pasien dianamnesis, pasien sudah kontrol ketiga kalinya di poli saraf RSUD Budhi Asih. Kontrol pertama dilakukan tanggal 24 Desember 2014 dan diberikan obat anti hipertensi, obat neuro protector, vitamin B, dan obat penghilang nyeri. Terapi tersebut dilanjutkan pada kontrol kedua pada tanggal 25 Desember 2014, dan kontrol terakhir pada tanggal 6 Januari 2015, keluhan nyeri kepala pasien sudah berkurang, sehingga pasien hanya diberikan obat anti hipertensi dan obat neuro protector saja.V. Diagnosis Diagnosis kerja: Diagnosis klinis: Cephalgia, Hipertensi, Hemiparesis dekstra, paresis n.VII dektra Diagnosis topis : Subdural hematoma Diagnosis etiologi : Trauma Kapitis Diagnosis patologi : Hemoragik

VI. Penatalaksanaan Terapi medika mentosa : Amlodipin 1 X 10 mg Piracetam 2 X 1200 Mecobalamine 2 X 500 mg Natrium diklofenac 25 mg + Diazepam 1 mg 2X1

VII. PrognosisAd vitam: dubia ad bonamAd fungtionam : dubia ad bonamAd sanationam : dubia ad bonam

ANALISA KASUS

Seorang pasien laki-laki berusia 75 tahun datang ke poli saraf RSUD Budhi Asih setelah menjalani operasi kepala dengan diagnosis subdural hematoma bilateral. Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala dan sulit berkomunikasi pasca operasi. Selain itu pasien juga merasakan kelemahan pada kedua tungkai bawah serta kaki sebelah kiri kaku dan sulit diluruskan. Hematoma subdural yang dialami pasien merupakan kasus yang sangat jarang terjadi. Insidensi terjadinya sebesar 1/ 100.000 kasus per tahun dan meningkat menjadi 7/100.000 kasus per tahun pada usia di atas 70 tahun. Prevalensi terjadinya lebih banyak pada laki-laki dibanding pada perempuan terkait dengan resiko trauma.5Penyebab tersering terjadinya subdural hematoma adalah trauma (75%) dan sisanya merupakan perdarahan spontan (25%) yang biasanya terkait dengan konsumsi obat-obat antikoagulan dan antiplatelet.6 Pada kasus ini, penyebab terjadinya subdural hematoma adalah karena trauma kapitis. Seperti disebutkan sebelumnya, orangtua dengan usia >70 tahun lebih rentan mengalami hematoma subdural dikarenakan pembuluh darahnya lebih rapuh. Perdarahan yang terjadi pada hematoma subdural terletak antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana mereka menembus duramater.7Pada pasien ini terjadi trauma berulang, yang pertama pasien terjatuh dengan kepala kiri terbentur aspal, lalu beberapa minggu kemudian, pasien terjatuh kembali di kamar mandi, namun tidak diketahui dengan jelas kronologisnya. Sehingga subdural hematoma yang terjadi pada pasien ini kemungkinan besar adalah subdural hematoma berulang.Mekanisme trauma dapat berupa rudapaksa kepala yang dapat menyebabkan cedera pada otak karena adanya aselerasi, deselerasi dan rotasi darikepala dan isinya. Karena perbedaan densitas antara tengkorak dan isinya, bila ada aselerasi, gerakan cepat yang mendadak dari tulang tengkorak diikuti dengan lebih lambat oleh otak. Ini mengakibatkan benturan dan goresan antara otak dengan bagian-bagian dalam tengkorak yang menonjol atau dengan sekat-sekat duramater. Bila terjadi deselerasi (pelambatan gerak), terjadi benturan karena otak masih bergerak cepat pada saat tengkorak sudah bergerak lambat atau berhenti. Mekanisme yang sama terjadi bila ada rotasi kepala yang mendadak. Tenaga gerakan ini menyebabkan cedera pada otak karena kompresi (penekanan) jaringan, peregangan maupun penggelinciran suatu bagian jaringan di atas jaringan yang lain. Ketiga hal ini biasanya terjadi bersama-sama atau berturutan. Kerusakan jaringan otak dapat terjadi di tempat benturan(coup),maupun di tempat yang berlawanan(countre coup).Didugacountre coupterjadi karena gelombang tekanan dari sisi benturan (sisicoup)dijalarkan di dalam jaringan otak ke arah yang berlawanan; teoritis pada sisi countre coupini terjadi tekanan yang paling rendah, bahkan sering kali negatif hingga timbul kavitasi dengan robekan jaringan. Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi tengkorak pada setiap trauma merupakan penyebab utama terjadinyacountrecoup,akibat benturan-benturan otak dengan bagian dalam tengkorak maupun tarikan dan pergeseran antar jaringan dalam tengkorak. Yang seringkali menderita kerusakan-kerusakan ini adalah daerah lobus temporalis, frontalis dan oksipitalis.8-9Pada pasien ini, riwayat trauma kepala pertama yang kemungkinan menjadi penyebab terjadinya hematoma subdural ini, sehingga kemungkinan hematoma subdural bilateral pun tidak dapat disingkirkan.Subdural hematoma yang terjadi pada pasien ini digolongkan ke dalam subdural hematoma kronik, karena muncul gejalanya lebih dari 14 hari. Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Hal tersebut diakibatkan karena pada penderita usia lanjut, otak telah mengalami atropi. Hal ini menyebabkan penyusutan massa parenkim otak dan jarak antara otak dan selaput pembungkus otak menjadi renggang. Sehingga goncangan kecil mampu menyebabkan robekan bridging vein dan terjadi perdarahan yang berlangsung perlahan.Timbulnya gejala pada pasien dengan subdural hematoma kronik umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan osmotik yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.10Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.11 Adapun manifestasi klinis yang muncul pada pasien tergantung letak dari kerusakan bagian otak tertentu. Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggung jawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi. Adapun gejala yang muncul pada pasien ini di antara lain: Nyeri kepala, timbul akibat adanya proses desak ruang oleh hematom yang terbentuk. Lemas pada keempat ekstremitas, terutama kedua tungkai bawah akibat adanya penekanan pada korteks serebri area motorik yaitu lobus presentralis. Lemas dijumpai pada keempat ekstremitas sesuai dengan penekanan yang dijumpai baik dari sisi kiri maupun kanan dari hematoma subdural. Selain itu pada hasil CT Scan juga didapatkan lesi iskemik pada kedua basal ganglia dan korona radiata kiri. Di mana lesi pada korteks serebri menimbulkan gejala hemiparesis kontralateral. Seperti pada pasien ini, didapatkan sisi kanan lebih lemah dan lebih spastik. Hal tersebut menandakan gangguan yang terjadi bersifat lebih kronis dibandingkan sisi yang lain. Dengan demikian, paresis yang terjadi pada pasien ini adalah hemiparesis dupleks, di mana kekuatan otot antara kiri dan kanan berbeda dan terjadi dalam waktu yang tidak bersamaan. Di samping itu, semenjak operasi, pasien memang hanya dibaringkan di tempat tidur, dan mobilisasi menggunakan kursi roda. Pasien jarang dan malas berlatih sendiri. Hal itu juga yang dapat menyebabkan sendi pasien ini mulai kaku dan sulit digerakkan. Sedangkan kehilangan kemampuan berkomunikasi diakibatkan oleh penekanan pada lobus frontalis kiri di mana pada sisi kiri hemisfer terdapat area broca dan wernicke yang merupakan pusat bicara seseorang. Dari gambar CT Scan pasien ini pun tampak air fluid level yang lebih dominan di daerah kiri dibandingkan dengan sisi kanan. Air fluid level menggambarkan adanya perbedaan densitas pada lesi, yaitu gambaran hiperdens dan hipodens, menunjukkan gambaran hematoma subdural yang kronis. Gambaran CT Scan pada pasien dengan subdural kronis menggambarkan lesi hipodens. Namun pada pasien ini terdapat gambaran hipodens dan hiperdens. Hal tersebut bisa mengindikasikan adanya hematoma subdural yang berulang ataupun dapat pula menunjukkan ada sebagian hematoma yang sudah diserap/ mengalami reorganisasi.12Pada perdarahan subdural kronis , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma.Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seperti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada pasien ini prognosis terhadap penyakitnya adalah dubia ad bonam dikarenakan tindakan operasi pada hematoma subdural kronik memberikan prognosis yang baik, karena sekitar 90 % kasus pada umumnya akan sembuh total. Hematoma subdural yang disertai lesi parenkim otak menunjukkan angka mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat dapat mencapai sekitar 50 %.13Akan tetapi disarankan pada pasien ini untuk dilakukan CT Scan ulang untuk melihat progresivitas penyakit melihat usianya yang sudah tua dan kemungkinan untuk terjadinya komplikasi lanjut lebih besar. SDH kronis dapat terus berkembang karena terjadinya perdarahan ulang (rebleeding) dan tekanan osmotik yang lebih tinggi dalam cairan SDH kronis sebagai akibat dari darah yang lisis, akan menarik cairan ke dalam SDH. Perdarahan ulang tersebut cenderung tidak akan berhenti karena tingginya kadar fibrinolitik dalam cairan SDH. Hal-hal ini akan menyebabkan SDH tersebut terus berkembang. Kadang-kadang kompensasi otak yang atrofi cukup baik sehingga hanya memberikan gejala sakit kepala. Oleh karena itu, meskipun gejala klinis pasien ini membaik, ataupun nyeri kepala berkurang sesudah operasi, tidak menutup kemungkinan terjadinya rebleeding SDH atau SDH berulang.14DAFTAR PUSTAKA

1. Sastrodiningrat, A. G. MemahamiFakta FaktapadaPerdarahanSubduralAkut. MajalahKedokteran Nusantara. FK USU: Medan. 2006; 39 (3):297- 306.2. Traynelis VC. Chronic Subdural Hematoma in the Elderly. Clin Geriatr Med. 1991;7 (3): 583-933. Chen JCT, Levy ML. Causes, Epidemiology, and Risk Factors of Chronic Subdural Hematoma. Neuro Surg Clin N Am 2000; 11(3): 399-406.4. Pary R, Tobias CR, Lipman S. Dementia: What to do. South Med J. 1990; 83 (10): 1182-95. Ernestus RI, Beldzinski P, Lanfermann H, Klug N. Chronic Subdural Hematoma: Surgical Treatment and Outcome in 104 patiens. Surg Neurol 1997; 48(3): 220-56. Sambasivan M. An overview of chronic subdural hematoma: Experience with 2300 cases. Surg Neurol 1997; 47(5): 418-227. Heller, J. L., dkk, Subdural Hematoma MedlinePlus Medical Encyclopedia, 2012.8. Tom, S., dkk, Subdural Hematoma in Emergency Medicine, Medscape Reference,20119. PERDOSSI. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 200510. Brain Trauma Foundation, AANS, Joint Section of Neurotrauma and Critical Care.Guidelines for the management of severe head injury.J Neurotrauma.Nov1996;13(11):641-734.[Medline].11. Bullock MR, Chesnut R, Ghajar J, et al.Surgical management of acute subdural hematomas.Neurosurgery.Mar2006;58(3 Suppl):S16-24; discussion Si-iv.12. Cameron MM.Chronic subdural haematoma: a review of 114 cases.J Neurol Neurosurg Psychiatry.Sep1978;41(9):834-9.[Medline]13. Indonesian Neurological Association. Advanced Neurology Life Support. 2005.

1