Top Banner

of 32

Case Report Bedah Bph

Apr 04, 2018

Download

Documents

Farah Dibah
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    1/32

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering

    diketemukan pada pria yang menapak usia lanjut. Istilah BPH atau benign

    prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat

    hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat1. Kelenjar prostat

    adalah organ tubuh pria yang paling sering mengalami pembesaran, baik jinak

    maupun ganas. BPH akan timbul seiring dengan bertambahnya usia, sebab BPH

    erat kaitannya dengan proses penuaan2. Hiperplasia prostat benigna ini dapat

    dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat

    hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun1. Selain itu yang menyebabkan

    pembesaran kelenjar prostat, adalah bertambahnya zat prostaglandin dalam

    jaringan prostat, beta sitosterol yang berperan menghambat pembentukan

    prostaglandin. Oleh karena itu, kelenjar prostat dapat juga disembuhkan oleh beta

    sitosterol2.

    Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang

    menjengkelkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari

    pembesaran kelenjar prostat atau benign prostate enlargement (BPE) yang

    menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal

    sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh

    pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO).

    Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli

    maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas

    maupun bawah. Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa

    LUTS (lower urinary tract symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding

    symptoms) maupun iritasi (storage symptoms) yang meliputi: frekuensi miksi

    meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus

    (intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi, dan tahap selanjutnya terjadi

    retensi urine1.

    1

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    2/32

    Hubungan antara BPH dengan LUTS sangat kompleks. Tidak semua pasien

    BPH mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak semua keluhan miksi

    disebabkan oleh BPH. Banyak sekali faktor yang diduga berperan dalam

    proliferasi/pertumbuhan jinak kelenjar prostat, tetapi pada dasarnya BPH tumbuh

    pada pria yang menginjak usia tua dan masih mempunyai testis yang masih

    berfungsi normal menghasilkan testosteron. Di samping itu pengaruh hormon lain

    (estrogen, prolaktin), diet tertentu, mikrotrauma, dan faktor-faktor lingkungan

    diduga berperan dalam proliferasi sel-sel kelenjar prostat secara tidak langsung.

    Faktor-faktor tersebut mampu mempengaruhi sel-sel prostat untuk mensintesis

    protein growth factor, yang selanjutnya protein inilah yang berperan dalam

    memacu terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat. Fakor-faktor yang mampu

    meningkatkan sintesis protein growth factor dikenal sebagai faktor ekstrinsik

    sedangkan protein growth factor dikenal sebagai faktor intrinsik yang

    menyebabkan hiperplasia kelenjar prostat1.

    Terapi yang akan diberikan pada pasien tergantung pada tingkat keluhan

    pasien, komplikasi yang terjadi, sarana yang tersedia, dan pilihan pasien. Di

    berbagai daerah di Indonesia kemampuan melakukan diagnosis dan modalitas

    terapi pasien BPH tidak sama karena perbedaan fasilitas dan sumber daya manusia

    di tiap-tiap daerah. Walaupun demikian dokter di daerah terpencilpun diharapkan

    dapat menangani pasien BPH dengan sebaik-baiknya1.

    2

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    3/32

    BAB II

    LAPORAN KASUS

    2.1. Identifikasi

    Nama : Tn. S

    Jenis kelamin : Laki-laki

    Usia : 72 tahun

    Kebangsaan : Indonesia

    Agama : Islam

    Status : Sudah menikah

    Pekerjaan : Buruh

    Alamat : Gg. Serumpun No. 1654 RT. 35 RW. 06 Kel. 8 Ulu,

    Seberang Ulu II, Palembang

    Tanggal masuk : 24 September 2012

    Tanggal pemeriksaan : 25 September 2012

    2.2. Anamnesis

    Keluhan Utama:

    Sulit untuk kencing sejak kurang lebih 1 bulan sebelum masuk rumah

    sakit.

    Riwayat Perjalanan Penyakit:

    Sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu, penderita merasakan sulit untuk

    kencing. Penderita merasakan pancaran kencing lemah, menetes sedikit-

    sedikit, terasa sakit, dan harus mengedan saat kencing. Penderita mengaku

    masih ada sisa urin setelah kencing dan perasaan tidak puas serta dalam

    sehari kencing dapat berkali-kali dengan selang waktu - 1 jam sekali.

    Selain itu, penderita terbangun pada malam hari untuk kencing lebih dari 3

    kali tiap malam. Penderita menyangkal mengalami pusing, mual, muntah,

    nyeri pinggang, kencing darah, demam, dan kencing berpasir. Riwayat

    adanya trauma juga disangkal.

    3

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    4/32

    Kurang lebih 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, penderita berobat

    ke dokter dan dilakukan pemasangan kateter. Apabila kateter dilepaskan,

    penderita kembali merasakan sulit untuk kencing.

    Riwayat Penyakit Dahulu:

    Penderita mengaku pernah mengalami penyakit kencing batu tahun

    1970an. Riwayat penyakit darah tinggi dan penyakit jantung juga diakui

    oleh penderita dengan minum obat dan kontrol tidak teratur. Riwayat

    penyakit kencing manis disangkal oleh penderita. Riwayat penyakit dengan

    keluhan yang sama disangkal oleh penderita.

    Riwayat Penyakit dalam Keluarga:

    Riwayat penyakit darah tinggi dalam keluarga diakui oleh penderita.

    Riwayat penyakit jantung, kencing manis, dan riwayat penyakit dengan

    keluahan yang sama dalam keluarga disangkal oleh penderita.

    2.3. Pemeriksaan Fisik

    Status Generalis

    - Keadaan umum : tampak sakit sedang

    - Kesadaran : E4M6V5

    - Tekanan darah : 180/100 mmHg

    - Nadi : 87 x/menit

    - Pernapasan : 21 x/menit

    - Suhu : 36,7 0C

    - Kulit : ikterik (-), sianosis (-)

    - Kepala :

    Normocephali, rambut hitam dan tidak mudah rontok, sudut nasolabialis

    simetris.

    a. Mata : edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera

    ikterik (-/-), pupil isokor, refleks cahaya (+/+),

    b. Hidung : sekret (-/-), napas cuping hidung (-/-)

    4

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    5/32

    c. Mulut dan Tenggorokkan : mukosa bibir anemis (-), sianosis (-), lidah

    kotor (-), papil atrophi (-), tonsil T1/T1,

    faring hipermis (-)

    d. Telinga : nyeri tekan tragus (-/-), gangguan pendengaran (-/-)

    - Leher :

    Inspeksi : simetris, massa (-)

    Palpasi : pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran KGB (-)

    JVP : 5-2 cmH2O

    - Thorax :

    Simetris, gerak napas tertinggal (-/-), pektus ekskavatum (-)

    Pulmo :

    a. Inspeksi : sela iga melebar (-/-), otot bantuan napas (-/-)

    b. Palpasi : vokal fremitus hemitoraks dextra = sinistra

    c. Perkusi : sonor, batas paru-hepar ICS VI

    d. Auskutasi : vesikuler (+/+) normal, ronki (-/-), wheezing (-/-)

    Cor :

    a. Inspeksi : iktus kordis tidak tampak

    b. Palpasi : iktus kordis teraba di ICS VI linea mid clavicula sinistra

    c. Perkusi : batas atas : ICS II

    batas kanan : linea parasternalis dextra

    batas kiri : ICS VI linea mid aksilaris anterior sinistra

    d. Auskultasi : S1/S2 (+) reguler, murmur (-), gallop (-)

    - Abdomen

    Inspeksi : datar, lemas, massa (-)

    Palpasi : nyeri tekan (-), teraba massa (-), hepar-lien tidak teraba

    Perkusi : timpani, nyeri ketok (-)

    Auskultasi : bising usus (+) normal

    5

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    6/32

    - Ekstremitas

    a. Superior : akral hangat, edema (-/-) sianosis (-/-), CRT < 2 detik

    b. Inferior : akral hangat, edema (-/-), pitting edema (-/-), sianosis (-/-),

    CRT < 2 detik

    - Urogenitalia

    Lihat status lokalis.

    Status Lokalis:

    Urologikus:

    a. Regio Costo Vertebrae Angle Dextra et Sinistra

    Inspeksi : bulging (-/-)

    Palpasi : ballotement (-/-)

    Perkusi : nyeri ketok (-/-)

    b. Regio Suprapubic

    Inspeksi : bulging (-), scar (-)

    Palpasi : nyeri tekan (-)

    c. Regio Genetalia Eksterna

    Inspeksi : MUE normal, terpasang kateter uretra No. 16F, urin jernih,

    darah (-), pus (-)

    Rectal Toucher:

    Penderita menolak dilakukan pemeriksaan dalam sehingga tidak dapat

    dinilai kemungkinan terjadi pembesaran prostat.

    2.4. Pemeriksaan Penunjanga. Laboratorium

    Dilakukan pemeriksaan pada tanggal 24 september 2012.

    1. Hematologi

    - Hb : 13,2 gr/dl

    - Leukosit : 5.700 / ul

    - Trombosit : 210.000 / ul

    - Hematokrit : 39 %

    6

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    7/32

    - Golongan darah : B, Rh (+)

    - BT : 3 menit

    - CT : 9 menit

    2. Kimia Darah

    - BSS : 70 mg/dl

    - Protein total : 5,4 gr/dl

    - Albumin : 4,1 gr/dl

    - Globulin : 1,3 gr/dl

    - Ureum : 25 mg/dl

    - Creatinin : 0,92 mg/dl

    - Na : 139 mmol/dl

    - K : 3,6 mmol/dl

    - Cl : 107 mmol/dl

    b. Pemeriksaan USG

    Pemeriksaan dilakukan pada 25 September 2012.

    7

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    8/32

    Dari hasil pemeriksaan USG didapatkan ginjal kanan dan kiri

    dalam batas normal, vesika urinaria dalam batas normal, dan prostat

    mengalami pembesaran dengan kalsifikasi (-).

    c. Pemeriksaan EKG

    Pemeriksaan EKG dilakukan pada tanggal 25 September 2012.

    Dari hasil pemeriksaan EKG didapatkan hasil gambaran:

    - irama sinus, frekuensi 75/mnt

    - interval PR 240 mdtk

    - durasi QRS 80 mdtk

    - Gelombang R tinggi pada sadapan V4 40mmMaka, dapat disimpulkan abnormalitas EKG dengan AV blok

    derajat I dan hipertrofi ventrikel kiri dengan repolarisasi.

    8

    PR

    QRS

    R

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    9/32

    2.5. Diagnosis Banding

    Temuan Klinis BPH Ca ProstatStriktur

    UretraUrolitiasis Kasus

    Kesulitan berkemih + +/- + + +

    Pancaran kemih

    menurun+ +/- + + +

    Frekuensi kemih

    abnormal+ +/- + + +

    Berkemih tidak

    lampias+ +/- + + +

    Disuria + +/- + + +

    Urin keluar menetes

    diakhir berkemih+ +/- + + +

    Pancaran kemih

    bercabang- - + - -

    Hematuria - +/- + +/- -

    Nyeri pelvis - +/- + - -

    Nocturia + - - - +

    Urgensi + - - - +

    Mengedan saat miksi + - - - +

    Riwayat trauma - - + - -

    Hasil colok dubur

    Teraba

    prostat

    simetris,

    konsistensi

    kenyal

    Teraba

    prostat

    asimetris,

    konsistensi

    keras

    - -

    Tidak

    dilakukan

    colok

    dubur

    2.6. Diagnosis Kerja

    Benign Prostatic Hyperplasia dengan Cardio Vascular Disease.

    2.7. Penatalaksanaan

    a. Medikamentosa

    - IVFD RL gtt XX/mnt

    - Kateterisasi dengan kateter No.16F

    - Cefotaxim 2 x 1 gr Inj. IV

    - Amlodipin 1 x 5 mg tab

    b. Tindakan operasi

    Rencana prostatektomi terbuka dengan pendekatan retropubik infravesika

    dengan persiapan tranfusi PRC 450 ml selama operasi dilaksanakan.

    9

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    10/32

    c. Rencana post operasi

    - Kontrol paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui

    kemungkinan terjadi penyulit.

    - Kontrol selanjutnya setelah 3 bulan untuk mengetahui hasil akhir

    operasi.

    2.8. Prognosis

    Quo ad vitam : bonam.

    Quo ad functionam : dubia.

    10

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    11/32

    BAB III

    TINJAUAN PUSTAKA

    3.1. Anatomi Prostat

    a. Lokasi dan Deskripsi

    Prostata merupakan organ kelenjar fibromuskular yang

    mengelilingi uretra pars protatica (Gambar 3.1 dan 3.2). Prostata

    mempunyai panjang kurang lebih 1 inchi (3 cm) dan terletak di antara

    collum vesicae di atas dan diaphragma urogenitale di bawah (Gambar

    3.2)3.

    Gambar 3.1. Potongan sagital pelvis laki-laki3.

    Prostata dikelilingi oleh capsula fibrosa. Di luar capsula terdapat

    selubung fubrosa, yang merupakan bagian lapisan visceral fascia pelvis

    (Gambar 3.2). Prostata yang berbentuk kerucut mempunyai basis protatae

    yang terletak di superior dan berhadapan dengan collum vesicae, dan

    apex prostata yang terletak di inferior dan berhadapan dengan

    diaphragma urogenitale. Kedua ductus ejaculatorius menembus bagian

    atas facies posterior prostatae untuk bermuara ke urethra pars prostatica

    pada pinggir lateral utriculus prostaticus (Gambar 3.2)3.

    11

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    12/32

    A B

    C

    Gambar 3.2. Potongan koronal prostata (A), potongan sagital (B),

    potongan horizontal (C)3.Perhatikan muara ductus ejaculatorius pada pinggir utriculus prostaticus.

    Hubungan3:

    1. Ke superior: Basis protatae berhubungan dengan collum vesicae. Otot

    polos prostata terus melanjut tanpa terputus dengan otot polos collum

    vesicae. Urethra masuk pada bagian tengah basis prostatae (Gambar

    3.1).

    2. Ke inferior: Apex prostatae terletak pada facies superior diaphragma

    urogenitale. Urethra meninggalkan prostata tepat di atas apex pada

    facies anterior (Gambar 3.2).

    3. Ke anterior: Facies anterior prostatae berbatasan dengan symphisis

    pubica, dipisahkan oleh lemak ekstraperitoneal yang terdapat di dalam

    spatium retropubicum (cavum Retzius). Selubung fibrosa prostata

    dihubungkan dengan aspek posterior os pubis oleh ligamenta

    puboprostatica. Ligamenta ini terletak di samping kanan dan kiri linea

    mediana dan merupakan penebalan fascia pelvis (Gambar 3.1).

    12

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    13/32

    4. Ke posterior: Facies posterior prostatae (Gambar 3.1 dan 3.2)

    berhubungan erat dengan facies anterior ampulla recti dan dipisahkan

    dari rectum oleh septum rectovesicale (fascia Denonvillier). Septum

    ini dibentuk pada masa janin oleh fusi dinding ujung bawah excavatio

    retrovesicalis peritonealis, yang semula meluas ke bawah sampai ke

    corpus perineale.

    5. Ke lateral: Facies lateralis prostatae difiksasi oleh serabut anterior

    musculus levator ani pada saat serabut ini berjalan ke posterior dari

    pubis (Gambar 3.2).

    b. Struktur Prostat

    Kelenjar prostata yang jumlahnya banyak tertanam di dalam

    campuran otot polos dan jaringan ikat, dan ductusnya bermuara ke

    urethra pars prostatica3.

    Prostata secara tidak sempurna terbagi menjadi 5 lobus (Gambar

    3.2). Lobus anterior terletak di bagian depan urethra dan tidak

    mempunyai jaringan kelenjar. Lobus medius atau medianus adalah

    kelenjar berbentuk baji yang terletak di antara urethra dan ductus

    ejaculatorius. Permukaan atas lobus medius berhubungan dengan

    trigonum vesicae, bagian ini mengandung banyak kelenjar. Lobus

    posterior terletak di belakang urethra dan di bawah ductus ejaculatorius,

    juga mengandung kelenjar. Lobi prostatae dexter dan sinister terletak di

    samping urethra dan dipisahkan satu dengan yang lainnya oleh alur

    vertikal dangkal yang terdapat pada facies posterior prostatae. Lobi

    laterales mengandung banyak kelenjar

    3

    .

    c. Fungsi Prostat

    Fungsi prostata adalah menghasilkan cairan tipis seperti susu yang

    mengandung asam sitrat dan fosfatase asam. Cairan ini ditambahkan ke

    semen pada waktu ejakulasi. Bila otot polos pada capsula dan stroma

    berkontraksi, sekret yang berasal dari banyak kelenjar diperas masuk ke

    13

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    14/32

    urethra pars prostatica. Sekret prostata bersifat alkalis dan membantu

    menetralkan suasana asam di dalam vagina3.

    d. Perdarahan

    1. Arteriae: cabang arteria vesicalis inferior dan arteria rectalis media3.

    2. Venae: membentuk plexus venosus prostaticus, yang terletak di antara

    capsula prostatica dan selubung fibrosa (Gambar 3.2). Plexus venosus

    prostaticus menampung darah dari vena dorsalis profunda penis dan

    sejumlah venae vesicales, selanjutnya bermuara ke vena illiaca

    interna3.

    e. Aliran Limf

    Pembuluh limf dari prostata mengalirkan cairan limf ke nodi iliaci

    interni3.

    f. Persarafan

    Persarafan prostat berasal dari plexus hypogasticus inferior. Saraf

    simpatis merangsang otot polos prostata saat ejakulasi3

    .

    3.2. DefinisiBenign Prostatic Hyperplasia

    Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah pertumbuhan berlebihan

    sel-sel prostat yang tidak ganas dimana sejenis keadaan di mana kelenjar

    prostat membesar dengan cepat2. Sebenarnya yang terjadi adalah hiperplasi

    kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat yang sebenarnya ke arah

    perifer. Hiperplasi kelenjar prostat bukan kelainan pra-ganas

    4

    .

    Gambar 3.3.Hiperplasia prostat4.(A) Prostat normal: uretra (1), daerah kelenjar periuretra (2), kelenjar prostat (3).

    (B) Hiperplasia prostat: uretra yang terjepit (1), hiperplasia kelenjar periuretra menjadi

    hipertropia prostat (2), kelenjar prostat yang sebenarnya yang tertekan menjadi sebagaisimpai dan disebut simpai bedah.

    14

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    15/32

    3.3. EtiologiBenign Prostatic Hyperplasia

    Pembesaran jinak prostata sering ditemukan pada laki-laki berusia

    lebih dari 50 tahun. Penyebabnya mungkina karena ketidakseimbangan

    pengendalian hormon kelenjar3. Dengan bertambahnya usia, akan terjadi

    perubahan keseimbangan testosteron estrogen karen produksi testosteron

    menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan

    adiposa di perifer4.

    Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan, efek

    perubahan juga terjadi perlahan. Pada tahap awal, setelah terjadi

    pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat

    meningkat, dan setrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke

    dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang

    disebut trabekulasi. Mukosa dapat menerobos keluar di antara serat detrusor.

    Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula, sedangkan yang besar

    disebut divertikulum. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi

    otot dinding. Apabila keadaan berlanjut, detrusor menjadi lelah dan

    akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk

    berkontraksi sehingga terjadi retensi urin4

    .

    Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab

    terjadinya hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa

    hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar

    dihidrostestosteron (DHT) dan proses aging(penuaan). Beberapa hipotesis

    yang diduga sebagai penyebab timbulknya hiperplasia prostat adalah: (1)

    teori dehidrostestosteron, (2) adanya ketidakseimbangan antara estrogen-

    testosteron, (3) interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat, (4)berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan (5) teori stem sel5.

    3.4. EpidemiologiBenign Prostatic Hyperplasia

    Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah

    dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan ini terus

    berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomik4.

    15

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    16/32

    Oleh karena itulah dengan meningkatnya usia harapan hidup,

    meningkat pula prevalensi BPH. Office of Health Economic Inggris telah

    mengeluarkan proyeksi prevalensi BPH bergejala di Inggris dan Wales

    beberapa tahun ke depan. Pasien BPH bergejala yang berjumlah sekitar

    80.000 pada tahun 1991, diperkirakan akan meningkat menjadi satu

    setengah kalinya pada tahun 2031. Bukti histologis adanya benign prostatic

    hyperplasia (BPH) dapat diketemukan pada sebagian besar pria, bila mereka

    dapat hidup cukup lama. Namun demikian, tidak semua pasien BPH

    berkembang menjadi BPH yang bergejala (symptomatic BPH). Prevalensi

    BPH yang bergejala pada pria berusia 40-49 tahun mencapai hampir 15%.

    Angka ini meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 50-59

    tahun prevalensinya mencapai hampir 25%, dan pada usia 60 tahun

    mencapai angka sekitar 43%1. Pada lelaki usia 80 tahun sekitar 80% dan

    sekitar 50% dari angka kejadian tersebut akan menyebabkan gejala dan

    tanda klinis4.

    Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum pernah diteliti,

    tetapi sebagai gambaran hospital prevalence pada dua rumah sakit besar di

    Jakarta yaitu RSCM dan Sumberwaras selama 3 tahun (1994-1997) terdapat

    1040 kasus1.

    3.5. PatofisiologiBenign Prostatic Hyperplasia

    Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan

    tanda obstruksi saluran kemih berarti penderita harus menunggu pada

    permulaan miksi, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi

    menjadi lemah, dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkanhipersensitivitas otot detrusor berarti bertambahnya frekuensi miksi,

    nokturia, miksi sulit ditahan, dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena

    detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi

    sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan

    yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan

    rangsangan pada kandung kemih sehingga vesika sering berkontraksi

    16

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    17/32

    meskipun belum penuh. Gejala dan tanda ini diberi skor untuk menentukan

    berat keluhan klinis4.

    Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin

    sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin di dalam kandung

    kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini

    berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total sehingga penderita

    tidak mampu lagi untuk miksi. Karena produksi urin terus terjadi, pada

    suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekana

    intravesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi

    dari tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks.

    Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter, hidroureter,

    hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila

    terjadi infeksi. Pada waktu miksi, penderita harus selalu mengedan sehingga

    lama-kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid4.

    Gambar 3.4. Bagan pengaruh hiperplasia prostat pada saluran kemih5.

    Karena selalu terdapat sisa urin, dapat membentuk batu endapan di

    dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan

    menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistisis dan

    bila terjadi refluks, dapat terjadi pielonefritis (Gambar 3.4)4.

    17

    Hiperplasia Prostat

    Penyempitan lumen uretra posterior

    Tekanan intravesikal

    Vesika urinaria

    - Hipertropi otot detrusor

    - Trabekulasi

    - Selula

    - Divertikel vesika urinaria

    Ginjal dan Ureter

    - Refluks vesiko-ureter

    - Hidroureter

    - Hidronefrosis

    - Pionefrosis

    - Pilonefritis

    - Gagal ginjal

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    18/32

    Gambar 3.5. Patofisiologi obstruksi uretra oleh striktur dan penyulit

    uretritis purulen atau ruptur uretra4.Atropi ginjal (1), piolonefritis (2), hidronefrosis (3), hidroureter (4), hipertropi otot detrusor dan

    trabekulasi (5), divertikulum (6), retensi urin akut dan/atau kronik (7), sistolitiasis (8), karsinomakandung kemih (9), epididimoorkitis (10), sistisis (11), prostatitis (12), abses prostat (13),

    uretrolitiasis (14), karsinoma uretra (15), abses periuretra (16), ekstravasasi urin (17),fistel uretra (18), striktur uretra (19), prolaps rektum (20), hernia inguinalis (21).

    3.6. Gambaran KlinisBenign Prostatic Hyperplasia

    Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih

    maupun keluhan di luar saluran kemih5.

    a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah

    Keluhan pada saluran kemih sebelah atas (LUTS = lower urinary

    tract symptom) terdiri atas gejala obstruktif dan gejala iritatif.

    Tabel 3.1. Gejala obstruksi dan iritatif dari BPH5

    .Obstruksi Iritasi

    Hesitansi Frekuensi

    Pancaran miksi lemah Nokturi

    Intermitensi Urgensi

    Miksi tidak puas disuri

    Menetes setelah miksi

    Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih

    sebelah bawah, para ahli urologi membuat sistem skoring yang subjektif

    dan dapat dihitung sendiri berupa WHO PSS (prostatic symptom score).

    18

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    19/32

    Tabel 3.2. WHO PSS4.

    Pertanyaan Jawaban dan Skor

    Keluhan pada bulan

    terakhir

    Tidak

    ada

    samasekali

    < 20% < 50% 50% > 50%Hampir

    selalu

    a. Adakah anda merasa

    buli-buli tidak kosong

    setelah BAK?

    0 1 2 3 4 5

    b. Berapa kali anda

    hendak BAK lagi di

    dalam 2 jam setelah

    BAK?

    0 1 2 3 4 5

    c. Berapa kali terjadi

    bahwa arus berkemih

    berhenti sewaktu

    BAK?

    0 1 2 3 4 5

    d. Berapa kali terjadi anda

    tidak dapat menahan

    BAK?

    0 1 2 3 4 5

    e. Berapa kali terjadi arus

    lemah sekali sewaktu

    BAK?

    0 1 2 3 4 5

    f. Berapa kali terjadi anda

    mengalami kesulitan

    memulai BAK?

    0 1 2 3 4 5

    Bangun tidur untuk BAKTidak

    pernah1x 2x 3x 4x 5x

    g. Berapa kali anda

    bangun untuk BAK di

    waktu malam hari?

    0 1 2 3 4 5

    h. Andaikata cara BAK

    seperti yang anda alami

    sekarang ini akan

    seumur hidup tetap

    seperti ini, bagaimana

    perasaan anda?

    Senang

    sekaliSenang

    Pada

    umumnya

    puas

    Campuran

    antara

    puas dan

    tidak puas

    Pada

    umumnya

    tidak

    puas

    Tidak

    bahagia

    Jumlah Skor:

    0 = baik sekali

    1 = baik

    2 = kurang baik

    3 = kurang

    4 = buruk

    5 = buruk sekali

    Dari skor tersebut, dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3

    derajat, yaitu (1) ringan: skor 0 7, (2) sedang: skor 8-19, dan (3) berat

    skor 20-355.

    19

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    20/32

    b. Gejala pada saluran kemih bagian atas

    Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih

    bagian atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan

    di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam

    yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis5.

    c. Gejala di luar saluran kemih

    Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan vesika urinaria yang

    terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat

    retensi urin. Kadang didapatkan urin yang selalu menetes tanpa disadari

    oleh pasien yang merupakan pertanda dari inkontinensia paradoks5.

    Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus

    sfingter anus, mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan di dalam

    rektum dan prostat. Pada perabaan colok dubur, harus diperhatikan

    konsistensi prostat (pada pembesaran prostat jinak konsistensinya

    kenyal), adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas

    dapat diraba. Pada karsinoma prostat, prostat teraba keras atau teraba

    benjolan yang konsistensinya lebih keras dari sekitarnya atau ada prostat

    asimetri dengan bagian yang lebih keras. Dengan colok dubur dapat pula

    diketahui batu prostat bila teraba krepitasi4.

    Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa

    urin setelah miksi spontan. Sisa ditentukan dengan mengukur urin yang

    masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui

    dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi. Sisa urin

    lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas untuk indikasi melakukan

    intervensi pada hipertrofi prostat4.

    20

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    21/32

    Tabel 3.3. Derajat berat hipertrofi prostat berdasarkan gambaran klinis4.

    Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urin

    IPenonjolan prostat, batas atas mudah

    diraba< 50 ml

    II Penonjolan prostat jelas, batas atasdapat dicapai

    50 100 ml

    III Batas atas prostat tidak dapat diraba > 100 ml

    IV Retensi urin total

    Derajat berat obstruksi dapat pula diukur dengan mengukur pancaran

    urin pada waktu miksi, yang disebut uroflowmetri4.

    Angka normal pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/detik dan pancaran

    maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, pancaran

    menurun antara 6-8 ml/detik, sedangkan maksimal pancaran menjadi 15

    ml/detik atau kurang. Kelemahan detrusor dan obstruksi infravesikal tidak

    dapat dibedakan dengan pengukuran pancaran kemih4.

    Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga

    mengganggu faat ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan

    urolitiasis. Tindakan untuk menentukan diagnosis penyebab obstruksi

    maupun menentukan kemungkinan penyulit harus dilakukan secara teratur4.

    3.7. Pemeriksaan PencitraanBenign Prostatic Hyperplasia

    Dengan pemeriksaan radiologik, seperti foto polos perut dan

    pielografi intravena, dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan,

    misalnya batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikulum kandung

    kemih. Kalau dibuat foto setelah miksi, dapat dilihat sisa urin. Pembesaran

    prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras pada dasar kandung

    kemih. Secara tidak langsung, pembesaran prostat dapat diperkirakan

    apabila dasar vesika urinaria pada gambar sistogram tampak terangkat atau

    ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti mata kail. Apabila

    fungsi ginjal buruk sehingga ekskresi ginjal kurang baik atau penderita

    sudah dipasang kateter menetap, dapat dilakukan sistogram retrograd4.

    Ultrasonografi dapat dilakukan secara transabdominal atau transrektal

    (transrectal ultrasonography = TRUS). Selain itu untun mengetahui

    pembesaran prostat, pemeriksaan ultrasonografi dapat pula menentukan

    21

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    22/32

    volume vesika urinaria, mengukur sisa urin, dan keadaan patologi lain

    seperti divertikulum, tumor, dan batu. Dengan ultrasonografi transrektal,

    dapat diukur besar prostat untuk menentukan jenis terapi yang tepat.

    Perkiraan besar prostat dapat pula dilakukan dengan ultrasonografi

    suprapubik. CT scan dan MRI jarang dilakukan4.

    Pemeriksaan sistografi dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan

    hematuria atau pada pemeriksaan urin ditemukan mikrohematuria.

    Pemeriksaan untuk ini dapat memberi gambaran kemungkinan tumor di

    dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang

    dari muara ureter, atau batu radiolusen di dalam vesika. Selain itu,

    sistoskopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar prostat dengan

    mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat ke

    dalam uretra4.

    3.8. Diagnosis BandingBenign Prostatic Hyperplasia

    Proses miksi bergantung pada kekuatan kontraksi detrusor, elastisitas

    leher kandung kemih dengan tonus ototnya, dan resistensi uretra. Setiap

    kesulitan miksi disebabkan oleh salah satu dari ketiga faktor tersebut.

    Kelemah detrusor dapat disebabkan oleh kelainan saraf (kandung kemih

    neurologik), misalnya pada lesi medula spinalis, neuropatia diabetes, bedah

    radikal yang mengorbankan persarafan di daerah pelvis, penggunaan obat

    penenang, obat penghambat reseptor ganglion, dan parasimpatolitik.

    Kekakuan leher vesika disebabkan oleh proses fibrosis, sedangkan resistensi

    uretra disebabkan oleh pembesaran prostat jinak atau ganas, tumor di leher

    kandung kemih, batu di uretra, atau striktur uretra, kelainan tersebut dapatdilihat dengan sistoskopi.

    22

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    23/32

    Tabel 3.4. Diagnosis banding obstruksi saluran kemih

    karena hipertrofi prostat4.

    Kelemahan detrusor VU Kekakuan leher VU Resistensi uretra

    Gangguan neurologik

    - Kelainan medulaspinalis

    FibrosisHipertrofi prostat ganas

    atau jinak

    - Neuropati diabetes

    melitus

    Kelainan yang

    menyumbat uretra

    - Pascabedah radikal di

    pelvisUretralitiasis

    - Farmakologik (obat

    penenang, penghambat

    alfa, parasimpatolitik)

    Uretritis akut atau

    kronik

    3.9. PenatalaksanaanBenign Prostatic Hyperplasia

    WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan

    miksi dengan skor WHO PSS (prostate symptom score). Skor ini dihitung

    berdasarkan jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi4.

    Terapi nonbedah dianjurkan bila WHO PSS tetap di bawah 15. Untuk

    itu dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi

    bedah dianjurkan bila WHO PSS bernilai lebih dari 25 atau bila timbul

    obstruksi4

    .

    Di dalam praktek, pembagian besar prostat derajat I IV digunakan

    untuk menentukan cara penanganan. Penderita derajat I biasanya belum

    memerlukan tindakan bedah, cukup diberikan tindakan konservatif, misal

    dengan penghambat adrenoreseptor alfa seperti alfazosin, prasozin, dan

    terasozin. Keuntungan obat penghambat adrenoreseptor alfa ialah efek

    positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak memengaruhi proses hiperplasia

    prostat sedikit pun. Kekurangannya ialah obat ini tidak dianjurkan untukpengobatan yang lama4.

    Derajat II merupaja indikasi untuk dilakukan tindakan pembedahan.

    Biasanya dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra (TUR =

    transurethral resection). Mortalitas TUR sekitar 1% dan morbiditas sekitar

    8%. Kadang derajat II dapat dicoba dengan pengobatan konservatif4.

    Pada derajat III, reseksi endoskopik dapat dikerjakan oleh ahli bedah

    berpengalaman. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga

    23

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    24/32

    reseksi tidak akan selesai dalam satu jam, sebaiknya dilakukan pembedahan

    terbuka4.

    Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal, retropubik

    atau perineal. Pada operasi melalui kandung kemih dibuat sayatan perut

    bagian bawah menurut pfannenstiel, kemudian prostat dienukleasi dari

    dalam simpainya. Keuntungan teknik ini adalah dapat sekaligus untuk

    mengangkat batu vesika urinaria atau divertikelektomi apabila ada

    divertikulum yang cukup besar. Cara pembedahan retropubik menurut

    Millin dikerjakan melalui sayatan kulit pfannenstiel dengan membuka

    simpai prostat tanpa membuka kandung kemih, kemudikan prostat

    dienukleasi. Cara ini mempunyai keunggulan, yaitu tanpa membuka

    kandung kemih, sehingga pemasangan kateter tidak lama seperti bila

    membuka vesika. Kerugiannya, cara ini tidak dapat dipakai jika diperlukan

    tindakan lain yang harus dikerjakan dari dalam kandung kemih. Kedua cara

    pembedahan terbuka tersebut masih kalah dibandingkan dengan cara TUR,

    yaitu morbiditasnya yang lebih lama, tetapi dapat dikerjakan tanpa

    memerlukan alat endoskopi yang khusus, dengan alat bedah baku (Gambar

    3.5). Protatektomi melalui sayatan perineal tidak dikerjakan lagi4

    .

    Pada hipertrofi derajat IV, tindakan pertama yang harus segera

    dikerjakan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan

    memasang kateter atau sistostomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih

    lanjut untuk melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitif dengan TUR

    atau pembedahan terbuka4.

    24

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    25/32

    Gambar 3.6 Skema pengelolaan BPH di Indonesia untuk dokter umumdan spesialis non urologi1.

    DRE: digital rectal examination, IPSS: international prostatic symptom score, QoL: quality of

    life, PVR: post voiding residual urine, TAUS: transabdominal ultrasonography, TRUS: transrectal

    ultrasonography.

    25

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    26/32

    Gambar 3.7. Skema pengelolaan BPH di Indonesia untuk spesialis urologi1.DRE: digital rectal examination, IPSS: international prostatic symptom score, QoL: quality of

    life, PVR: post voiding residual urine, IVP: intravenous pyelography, TAUS: transabdominal

    ultrasonography, TRUS: transrectal ultrasonography, danBPO: benign prostatic enlargement.

    26

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    27/32

    Gambar 3.8. Prostatektomi4.A. Perineal: kandung kemih (1), prostat (2), simfisis (3), diafragma urogenital (4), penis

    dengan uretra dan korpus kavernosus (5), rektum (6), peritoneum parietal (7), rongga

    perut (8).B. Suprapubik transvesikal. Bedah melalui kandung kemih, tetapi bukan melalui

    laparotomi karena rongga perut tidak dibuka.C. Retropubik melalui cavum Retzius antara kandung kemih dan simfisis. Rongga perut

    maupun kandung kemih tidak dibuka (pendekatan Millin).

    D. Endokskopik transuretral tanpa sayatan kulit (TUR).

    Penderita dengan keadaan umum tidak memungkinkan untuk

    dilakukan pembedahan, dapat diusahakan pengobatan konservatif dengan

    memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Efek samping obat ini

    adalah gejala hipotensi, seperti pusing, lemas, palpitasi, dan rasa lemah4.

    Pengobatan konservatif lain ialah dengan pemberian obat

    antiandrogen yang menekan produksi LH. Kesulitan pengobatan konservatif

    ini ialah menentukan berapa lama obat harus diberikan dan efek samping

    obat4.

    Pengobatan lain yang invasif minimal adalah pemanasan prostat

    dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui anena

    yang dipasang pada ujung kateter. Dengan cara yang disebut transurethral

    microwave thermotherapy (TUMT) ini, diperoleh hasil perbaikan kira-kira

    75% untuk gejala objektif4.

    27

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    28/32

    Pada penanggulangan invasif minimal lain yang disebut transurethral

    ultrasound guided laser induced prostatectomy (TULIP) digunakan cahaya

    laser. Dengan cara ini, diperoleh juga hasil yang cukup memuaskan.

    Uretra di daerah prostat dapat juga didilatasi dengan balon yang

    dikembangkan didalamnya (transurethral balloon dilatation = TUBD) yang

    biasanya memberi perbaikan yang bersifat sementara4.

    28

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    29/32

    BAB IV

    ANALISIS KASUS

    Seorang laki-laki 72 tahun datang ke RSUD. Palembang Bari dengan

    keluhan sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu, penderita merasakan sulit untuk

    kencing. Penderita merasakan pancaran kencing lemah, menetes sedikit-sedikit,

    terasa sakit, dan harus mengedan saat kencing. Penderita mengaku masih ada sisa

    urin setelah kencing dan perasaan tidak puas serta dalam sehari kencing dapat

    berkali-kali dengan selang waktu - 1 jam sekali. Selain itu, penderita terbangun

    pada malam hari untuk kencing lebih dari 3 kali tiap malam. Penderita

    menyangkal mengalami pusing, mual, muntah, nyeri pinggang, kencing darah,

    demam, dan kencing berpasir. Riwayat adanya trauma juga disangkal. Kurang

    lebih 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, penderita berobat ke dokter dan

    dilakukan pemasangan kateter. Apabila kateter dilepaskan, penderita kembali

    merasakan sulit untuk kencing.

    Dari keluhan utama dan riwayat perjalanan penyakit ini dapat dipikirkan

    beberapa diagnosis untuk keluhan seperti yang dirasakan oleh pasien ini dengan

    usia 72 tahun, yaitu benign prostatic hyperplasia (BPH) dan carsinoma prostat.

    Diagnosis banding berupa striktur uretra dengan gejala yang sama dapat

    disingkirkan dengan didapatkan informasi bahwa riwayat trauma disangkal oleh

    penderita, serta dari segi usia, kejadian striktur uretra ditemukan pada penderita

    dengan usia < 45 tahun.

    Penderita mengaku pernah mengalami penyakit kencing batu tahun 1970an.

    Riwayat penyakit darah tinggi dan penyakit jantung juga diakui oleh penderita

    dengan minum obat dan kontrol tidak teratur. Riwayat penyakit kencing manis

    disangkal oleh penderita. Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal

    oleh penderita.

    Dari informasi riwayat penyakit terdahulu, penderita memiliki riwayat

    penyakit kencing batu pada tahun 1970an, berarti saat usia penderita kurang lebih

    40 tahun. Kemungkinan kejadian urolitiasis dapat terjadi kembali pada pasien ini

    dilihat dari keluhan yang dialami meskipun penderita menyangkal kencing

    29

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    30/32

    berpasir atau terdapat batu pada urin, sehingga diagnosis urolitiasis belum dapat

    disingkirkan berdasarkan hasil anamnesis. Selain itu penderita memiliki riwayat

    penyakit hipertensi dan penyakit jantung yang menjadi penyulit jika dilakukan

    tindakan operasi sehingga diperlukan pertimbangan saat dilakukan operasi

    terutama prostatektomi terbuka.

    Dari hasil pemeriksaan fisik status generalis ditemukan penderita dengan

    tekanan darah 180/100 mmHg dengan hasil perkusi cor ditemukan pelebaran batas

    jantung kiri ke arah linea aksilaris anterior sinistra pada ICS VI yang

    menunjukkan bahwa pasien ini memiliki gangguan cardiovaskular.

    Dari hasil pemeriksaan status lokalis urologikus regio costo vertebrae angle

    dextra et sinistra diketahui bulging (-/-), ballotement (-/-), dan nyeri ketok (-/-)

    yang menunjukkan bahwa kemungkinan telah terjadi hidronefrosis dapat

    disingkirkan. Pada regio suprapubic juga diketahui bulging (-), scar (-), nyeri

    tekan (-) serta regio genetalia eksterna ditemukan MUE normal, terpasang kateter

    uretra No. 16F, urin jernih, darah (-), pus (-). Untuk pemeriksaan rektal toucher

    tidak dapat dilaporkan karena penderita menolak dilakukan pemeriksaan tersebut

    sehingga diagnosis carsinoma prostat dilihat dari hasil pemeriksaan fisik belum

    dapat disingkirkan.

    Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah maupun kimia darah dalam batas

    normal sehingga kemungkinan terjadi infeksi pada pasien ini dapat disingkirkan

    serta kemungkinan terjadi pembentukan batu secara primer juga dapat

    disingkirkan dengan hasil ureum dalam batas normal, yaitu 25 mg/dl.

    Dari hasil pemeriksaan USG, ditemukan ginjal kanan maupun kiri dalam

    batas normal begitu pula dengan vesika urinaria tidak ditemukan gambaran batu,

    sehingga urolitiasis sudah dapat disingkirkan dari diagnosis. Namun, ditemukanhasil USG dengan kesan pembesaran prostat cenderung benign sehingga diagnosis

    carsinoma prostate dapat disingkirkan dari diagnosis.

    Dari hasil pemeriksaan EKG ditemukan abnormalitas hasil yaitu terjadi AV

    blok derajat I dan hipertrofi ventrikel kiri dengan repolarisasi yang menunjang

    bahwa pasien ini benar adanya gangguan cardiovaskular sebagai penyulit.

    Berdasarkan hasil temuan baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik, maupun

    hasil pemeriksaan penunjang, maka dapat disimpulkan bahwa pasien ini

    30

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    31/32

    mengalami Benign Prostatic Hiperplasia dengan Cardio Vascular Disease.

    Penderita ini direncanakan akan dilakukan prostatektomi terbuka dengan

    pendekatan retropubik infravesika mengingat dari hasil temuan USG pembesaran

    prostat yang terjadi cukup besar. Namun, sebelum dilakukan tindakan

    prostatektomi terbuka ini, keadaan umum pasien perlu distabilkan terutama pada

    tekanan darah karena kemungkinan komplikasi perdarahan hebat dapat terjadi

    dengan pemasangan IVFD RL gtt XX/menit, injeksi Cefotaxim 2 x 1 gr IV, dan

    antihipertensi berupa amlodipin 1 x 5 mg tab. Prognosis pada pasien ini untukquo

    ad vitam, yaitu bonam, dan quo ad functionam, yaitu dubia.

    31

  • 7/29/2019 Case Report Bedah Bph

    32/32

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. 2003. Pedoman Penatalaksanaan BPH di

    Indonesia. Diunduh dari: http://www.iaui.or.id/. Diakses pada 1 Oktober

    2012; 00:18.

    2. Amalia R. 2007. Faktor-faktor Risiko Terjadinya Pembesaran Prostat Jinak.

    Tesis, Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Epidemiologi

    Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia.

    3. Snell RS. 2006. Pelvis: Bagian II Cavitas Pelvis, Prostata. Dalam: Anatomi

    Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Terjemahan oleh: Sugiharto,

    L. EGC, Jakarta, Indonesia, hal. 350-352; 372-374.

    4. Sjamsuhidajat R., de Jong W. 2005. Bagian III: Tindakan Bedah Organ dan

    Sistem Organ, Prostat. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC,

    Jakarta, Indonesia, hal. 782-786.

    5. Purnomo BB. 2009. Hiperplasia Prostat. Dalam: Dasar-dasar Urologi. Edisi

    2. Sagung Seto, Jakarta, Indonesia, hal 69-85.