Top Banner
PEMBAHASAN ASCITES 3.1. Definisi Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum. Asites dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Pada dasarnya penimbunan cairan di rongga peritoneum dapat terjadi melalui dua mekanisme dasar yakni transudasi dan eksudasi. Asites yang ada hubungannya dengan sirosis hati dan hipertensi porta adalah salah satu contoh penimbunan cairan di rongga peritoneum yang terjadi melalui mekanisme transudasi. Asites jenis ini paling sering dijumpai di Indonesia. Asites merupakan tanda prognosis yang kurang baik pada beberapa penyakit. Asites juga menyebabkan pengelolaan penyakit dasarnya menjadi semakin kompleks. Infeksi pada cairan asites akan lebih memperberat perjalanan penyakit dasarnya oleh karena itu asites harus dikelola dengan baik. 1 3.2. Etiologi Tabel 1. Berbagai Etiologi Asites 2 Terkait Hipertensi Porta (SAAG ≥1.1) Tidak Terkait Hipertensi Porta (SAAG <1.1) Pre-sinusoid Peritonitis Trombosis vena porta atau splenikus Karsinomatosis peritoneal Schistosomiasis Pankreatitis Sinusoid Vaskulitis 18
32

Case Report

Feb 02, 2016

Download

Documents

med
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Case Report

PEMBAHASAN

ASCITES

3.1. Definisi

Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum. Asites dapat

disebabkan oleh banyak penyakit. Pada dasarnya penimbunan cairan di rongga

peritoneum dapat terjadi melalui dua mekanisme dasar yakni transudasi dan eksudasi.

Asites yang ada hubungannya dengan sirosis hati dan hipertensi porta adalah salah satu

contoh penimbunan cairan di rongga peritoneum yang terjadi melalui mekanisme

transudasi. Asites jenis ini paling sering dijumpai di Indonesia. Asites merupakan tanda

prognosis yang kurang baik pada beberapa penyakit. Asites juga menyebabkan

pengelolaan penyakit dasarnya menjadi semakin kompleks. Infeksi pada cairan asites

akan lebih memperberat perjalanan penyakit dasarnya oleh karena itu asites harus

dikelola dengan baik.1

3.2. Etiologi

Tabel 1. Berbagai Etiologi Asites2

Terkait Hipertensi Porta (SAAG ≥1.1) Tidak Terkait Hipertensi Porta (SAAG

<1.1)

Pre-sinusoid Peritonitis

Trombosis vena porta atau splenikus Karsinomatosis peritoneal

Schistosomiasis Pankreatitis

Sinusoid Vaskulitis

Sirosis (81%), termasuk PBS Kondisis hipoalbuminemia lainnya:

sindrom nefrotik

Hepatitis Akut Obstruksi atau infark usus

Keganasan (KHS atau metastasis) Kebocoran limfe pascaoperasi

Pasca-sinusoid

Gagal jantung kanan

Sindrom Budd-Chiari

18

Page 2: Case Report

3.3. Patofisiologi

Ada beberapa teori yang menerangkan patofisiologi asites transudasi. Teori-teori itu

misalnya underfilling, overfilling dan periferal vasodilatation. Menurut teori underfilling

asites dimulai dari volume cairan plasma yang menurun akibat hipertensi porta dan

hipoalbuminemia. Hipertensi porta akan meningkatkan tekanan hidrostatik venosa

ditambah hipoalbuminemia akan menyebabkan transudasi, sehingga volume cairan

intravaskular menurun. Akibat volume cairan intravaskular menurun, ginjal akan bereaksi

dengan melakukan reabsorpsi air dan garam melalui mekanisme neurohormonal. Sindrom

hepatorenal terjadi bila volume cairan intravaskular sangat menurun. Teori ini tidak

sesuai dengan hasil penelitian selanjutnya yang menunjukkan bahwa pada pasien sirosis

hati terjadi vasoldilatasi perifer, vasodilatasi splanchnic bed, peningkatan volume cairan

intravaskular dan curah jantung. Teori overfilling mengatakan bahwa asites dimulai dari

ekspansi cairan plasma akibat reabsorpsi air oleh ginjal. Gangguan fungsi itu terjadi

akibat peningkatan aktivitas hormon anti-diuretik (ADH) dan penurunan aktivitas hormon

natriuretik karena penurunan fungsi hati. Teori overfilling tidak dapat menerangkan

kelanjutan asites menjadi sindrom hepatorenal. Teori ini juga gagal menerangkan

gangguan neurohormonal yang terjadi pada sirosis hati dan asites. Evolusi dari kedua

teori itu adalah teori vasodilatasi perifer. Menurut teori ini, faktor patogenesis

pembentukan asites yang amat penting adalah hipertensi porta yang sering disebut

sebagai faktor lokal dan gangguan fungsi ginjal yang sering disebut sebagai faktor

sistemik.1

Akibat vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid terjadi peningkatan resistensi sistem

porta dan terjadi hipertensi porta. Peningkatan resistensi vena porta diimbangi dengan

vasodilatasi splanchnic bed oleh vasodilator endogen. Peningkatan resistensi sistem porta

yang diikuti oleh peningkatan aliran darah akibat vasodilatasi splanchnic bed

menyebabkan hipertensi porta menjadi menetap. Hipertensi porta akan meningkatkan

tekanan transudasi terutama di sinusoid dan selanjutnya kapiler usus. Transudat akan

terkumpul di rongga peritoneum. Vasidilator endogen yang dicurigai berperan antara lain:

glukagon, nitric oxide (NO), calcitonine gene related peptide (CGRP), endotelin, faktor

natriuretik atrial (ANF), polipeptida vasoaktif intestinal (VIP), substansi P, prostaglandin,

enkefalin, dan tumor necrosis factor (TNF).1

Vasodilator endogen pada saatnya akan mempengaruhi sirkulasi arterial sistemik;

terdapat peningkatan vasodilatasi perifer sehingga terjadi proses underfilling relatif.

Tubuh akan bereaksi dengan meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik, sistem renin-

19

Page 3: Case Report

angiotensin-aldosteron dan arginin vasopresin. Akibat selanjutnya adalah peningkatan

reabsorpsi air dan garam oleh ginjal dan peningkatan indeks jantung.1

Gambar 1. Bagan patogenesis asites sesuai teori vasodilatasi perifer

Asites pada sirosis terjadi akibat hipertensi porta dan vasodilatasi splanknikus.

Secara umum, vasodilatasi splanknikus kemudian berdampak pada: (1) ekstravasasi

cairan k erongga peritoneum secara langsung (akibat perbedaan tekanan hidrostatik), serta

(2) aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron/RAA (disebut juga sebagai mekanisme

underfilling) sehingga terjadi vasokonstriksi arteri renalis dan retensi natrium. Retensi

natrium akan meningkatkan tekanan pembuluh darah splanknikus dan sistemik, yang

kemudian mengakibatkan asites dan edema perifer. Faktor lain yang berkontribusi

menyebabkan asites ialah penurunan tekanan onkotik vaskular akibat hipoalbuminemia

pada sirosis hati.3

Hipertensi porta, vasodilatasi splanknikus, dan aktivasi sistem RAA pada

tahap lanjut dapat memicu vasokonstriksi renal sehingga terjadi gagal ginjal akut.

Fenomena ini sering disebut sebagai sindrom hepatorenal. Di sisi lain, sekitar 10-30%

pasien sirosis hepatis dengan asites dapat mengalami peritonitis bakterialis spontan,

akibat migrasi bakteri lumen usus ke nodus limfe mesenterika dan lokasi lainnya.4

20

Page 4: Case Report

3.4. Diagnosis

1. Anamnesis

Pada kondisi awal, asites bersifat asimtomatik. Keluhan kembung atau begah

pada perut. Keluhan kembung atau begah pada perut dirasakan saat volume

cairan sekitar 1-2 L. Keluhan lain dapat berupa bengkak pada kedua tungkai,

peningkatan berat badan, distensi perut. Keluhan sesak nafas juga dapat

ditemukan, terutama jika terjadi hidrotoraks (akibat dari mobilisasi cairan ke

rongga toraks).1

Bila disertai demam, nyeri perut hebat atau penurunan kesadaran perlu

dipikirkan kemungkinan peritonitis bakterialis spontan (PBS). Adanya oliguria

progresif pada pasien sirosis hepatis dan asites dapat menandakan sindrom

hepatorenal.1

2. Pemeriksaan fisik asites

Inspeksi

Pada inspeksi akan tampak perut membuncit seperti perut katak, umbilikus

seolah bergerak ke arah kaudal mendekati simpisis os pubis. Sering dijumpai

hernia umbilikalis akibat tekanan intraabdomen yang meningkat.1

Palpasi dan Perkusi

Pada perkusi, pekak samping meningkat dan terjadi shifting dullness. Asites

yang masih sedikit belum menunjukkan tanda-tanda fisis yang nyata.

Diperlukan pemeriksaan khusus misalnya dengan puddle sign untuk

menemukan asites. Edema tungkai biasanya bersifat pitting. Pemeriksaan

dapat dilakukan pada tibia anterior, dorsum pedis, atau posterior maleolus

medialis.1

Auskultasi paru diperlukan untuk menilai ada hidrothoraks.1

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat memberikan informasi untuk mendeteksi

asites adalah ultrasonografi. Untuk menegakkan asites, ultrasonografi

mempunyai ketelitian yang tinggi.1

Parasentesis dan analisis cairan asites dapat bersifat diagnostik atau terapeutik.

Parasentesis direkomendasikan pada seluruh pasien sirosis yang baru pertama

kali mengalami asites. Analisis cairan asites minimal mencakup jumlah dan

hitung jenis sel, kadar albumin, dan kadar protein total. 1

21

Page 5: Case Report

Serum-ascites albumine gradient (SAAG) penting untuk membedakan asites

yang ada hubungannya dengan hipertensi porta atau asites non-hipertensi

porta. Nilai SAAG ≥1.1 menandakan penyebab hipertensi porta (Tabel 1).1

Diagnosis asites ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,

didukung dengan temuan cairan di rongga peritoneum pada pencitraan USG

abdomen.1

3.5. Tata Laksana

1. Tata Laksana Umum5

Diet restriksi garam (rekomendasi: Natrium 6-8 g/hari)

Restriksi asupan cairan menjadi 1000 mL/hari hanya direkomendasikan pada

pasien dengan hiponatremia dilusional (kadar Na+ serum <130 mmol/L)

Hindari penggunaan OAINS dan konsumsi alkohol

Pertimbangkan untuk penghentian penggunaan obat penghambat ACE, ARB,

dan penyekat-β

2. Tata Laksana pada asites volume sedang. Dapat dilakukan secara rawat jalan,

sesuaikan dengan toleransi pasien.5

Spironolakton dosis 50-200 mg/hari p.o yang dikombinasikan dengan

furosemid dosis rendah 20-40 mg/hari) selama beberapa hari, terutama bila

ditemukan edema perifer.

Target diuresis : penurunan berat badan sekitar 300-500 g/hari pada pasien

tanpa edema perifer, atau sekitar 800-1000 g/hari pada pasien dengan edema

perifer. Diuresis yang terlalu masif dapat mengabkibatkan gagal ginjal akut.

Selain berat badan, lingkat perut juga perlu dimonitor.

3. Tata laksana pada asites volume besar. Ditandai dengan rasa tidak nyaman pada

abdomen yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Evakuasi cairan asites dapat

dilakukan dengan parasentesis terapeutik atau optimalisasi medikamentosa.5

Parasentesis terapeutik. Perlu diingat, evakuasi cairan dalam jumlah besar

dapat mengakibatkan komplikasi kardiovaskular berupa vasokonstriksi dan

penurunan tekanan darah, serta gagal ginjal akut. Oleh sebab itu

direkomendasikan pemberian plasma expander, seperti albumin 1,5 g/KgBB.

Medikamentosa ditingkatkan hingga dosis maksimal: spironolakton 400

mg/hari ditambah furosemid 160 mg/hari.

22

Page 6: Case Report

4. Pada kasus asites refrakter, yakni respon tidak adekuat dengan diuretik dosis tinggi

atau asites terjadi kembali setelah parasentesis terapeutik, dapat dipertimbangkan

prosedur parasentesis ulang dengan pemberian albumin. Pemasangan TIPS

(transjugular intrahepatic portosystemic shunt) dapat dipertimbangkan untuk

mencegah rekurensi asites. TIPS mampu menurunkan retensi natrium dan

memperbaiki respon renal terhadap diuretik.5

Pengobatan asites transudat sebaiknya dilakukan secara komprehensif, meliputi1:

1. Tirah Baring

Tirah baring dapat memperbaiki efektivitas diuretika, pada pasien asites transudat

yang berhubungan dengan hipertensi porta. Perbaikan efek diuretika tersebut

berhubungan dengan perbaikan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus akibat tirah

baring. Tirah baring akan menyebabkan aktivitas simpatis dan sistem renin-

angiotensin-aldosteron menurun. Yang dimaksud dengan tirah baring disini bukan

istirahat total di tempat tidur sepanjang hari, tetapi tidur terlentang, kaki sedikit

diangkat, selama beberapa jam setelah minum obat diuretika.

2. Diet

Diet rendah garam ringan sampai sedang dapat membantu diuresis. Konsumsi garam

(NaCl) perhari sebaiknya dibatasi hingga 40-60 mEq/hari. Hiponatremia ringan

sampai sedang bukan merupakan kontraindikasi untuk memberikan diet rendah

garam, mengingat hiponatremia pada pasien asites transudat bersifat relatif. Jumlah

total Na dalam tubuh sebenarnya di atas normal. Biasanya diet rendah garam yang

mengandung NaCl kurang dari 40 mEq/hari tidak diperlukan. Konsentrasi NaCl yang

amat rendah justru dapat mengganggu fungsi ginjal.

3. Diuretika

Diuretika yang dianjurkan adalah diuretika yang bekerja sebagai antialdosteron,

misalnya spironolakton. Diuretika ini merupakan diuretika hemat kalium, bekerja di

tubulus distal dan menahan reabsorpsi Na.

Target yang sebaiknya dicapai dengan terapi tirah baring, diet rendah garam dan

terapi diuretika adalah peningkatan diuresis sehingga berat badan turun 400-800

g/hari. Pasien yang disertai edema perifer penurunan berat badan dapat sampai 1500

g/hari. Sebagian besar pasien berhasil dengan terapi kombinasi tirah baring, diet

rendah garam dan diuretika kombinasi. Setelah cairan asites telah dapat dimobilisasi,

dosis diuretika dapat disesuaikan. Biasanya diet rendah garam dan spironolakton

23

Page 7: Case Report

masih tetap diperlukan untuk mempertahankan diuresis dan natriuresis sehingga asites

tidak terbentuk lagi.

4. Terapi parasentesis

Parasentesis sebenarnya merupakan cara pengobatan asites yang tergolong kuno. Pada

mulanya karena berbagai komplikasi, parasentesis asites tidak lagi disukai. Beberapa

tahun terakhir ini parasentesis kembali dianjurkan karena mempunyai banyak

keuntungan dibandingkan dengan terapi konvensional bila dikerjakan dengan baik.

Untuk setiap liter cairan asites yang dikeluarkan sebaiknya diikuti dengan substitusi

albumin parenteral sebanyak 6-8 gram. Setelah parasentesis sebaiknya terapi

kenvensional tetap diberikan. Parasentesis asites sebaiknya tidak dilakukan pada

pasien sirosis dengan Child-Pugh C kecuali asites tersebut refrakter.

5. Pengobatan terhadap penyakit yang mendasari

Asites sebagai komplikasi penyakit-penyakit yang dapat diobati, dengan

menyembuhkan penyakit yang mendasari dapat menghilangkan asites.

3.6. Komplikasi

1. Sindrom Hepatorenal, dibagi menjadi dua kategori, yaitu4 :

Sindrom hepatorenal tipe I: penurunan fungsi ginjal pada pasien sirosis,

ditandai dengan peningkatan kadar kreatinin serum >2,5 mg/dL, dalam waktu

kurang dari dua minggu;

Sindrom hepatorenal tipe 2: penurunan fungsi ginjal pada pasien sirosis yang

berlangsung stabil atau lambat.

Kriteria diagnosis 4 :

Kadar kreatinin serum >1,5 mg/dL atau bersihan kreatinin 24 jam <40

mL/menit;

Tidak ada syok, infeksi bakteri, kehilangan cairan, maupun penggunaan agen

nefrotoksis;

Tidak ada respons perbaikan fungsi ginjal (penurunan kreatinin serum ≤1.5

mg/dL) setelah penghentian diuretik dan pemberian plasma expander;

Tidak ada proteinuria (<500 mg/hari) atau hematuria (<50 eritrosit per lapang

pandang besar);

Tidak ada keterlibatan uropati obstruktif atau penyakit parenkim ginjal melalui

USG;

Konsentrasi natrium urin <10 mmol/L.

24

Page 8: Case Report

Tata laksana4:

Pemberian norepinefrin dosis 0.5-3.0 mg/jam IV yang dikombinasikan dengan

albumin dosis 1 g/KgBB IV pada hari pertama, diikuti dengan 20-40 g/hari.

Terapi diberikan selama 5-15 hari, dengan target: penurunan kadar kreatinin

serum hingga <1.5 mg/dL.

Pada kasus asites, pemasangan TIPS dapat mencegah sindrom hepatorenal;

Hemodialisis tidak rutin dilakukan belum cukup bukti manfaatnya;

Pertimbangkan transplantasi hati.

2. Peritonitis Bakterialis Spontan

Definisi: Infeksi carian asites tanpa adanya sumber infeksi intraabdminal. Peritonitis

bakterialis dapat memicu sindrom hepatorenal (30% kasus) dengan angka mortalitas

tinggi. 4

Kriteria Diagnosis:

Ditemukan ≥250 sel polimorfonuklear/mm2 cairan asites dengan hasil kultur positif

patogen tunggal (biasanya E. coli).4

25

Page 9: Case Report

SIROSIS HATI

4.1. Definisi

Sirosis hati merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif yang

ditandai oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regeneratif.

Perubahan (distorsi) struktur tersebut dapat mengakibatkan peningkatan aliran

darah portal, disfungsi sintesis hepatosit, serta meningkatkan risiko karsinoma

hepatoseluler (KHS).3 Gambaran morfologi dari SH meliputi fibrosis difus, nodul

regeneratif, perubahan arsitektur lobular dan pembentukan hubungan vaskular

intrahepatik antara pembuluh darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatika)

dan aferen (vena hepatika).6

Secara klinis atau fungsional SH dibagi atas: 1. Sirosis hati kompensata dan 2.

Sirosis hati dekompensata, disertai dengan tanda-tanda kegagalan hepatoselular

dan hipertensi porta.6

4.2. Epidemiologi

Sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada penderita yang

berusia 45 – 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskular dan kanker). Diseluruh

dunia SH menempati urutan ketujuh penyebab kematian. Penderita SH lebih

banyak laki-laki, jika dibandingkan dengan wanita rasionya sekitar 1,6 : 1. Umur

rata-rata penderitanya terbanyak golongan umur 30 – 59 tahun dengan puncaknya

sekitar umur 40 – 49 tahun. Insidens SH di Amerika diperkirakan 360 per-

100.000 penduduk. Penyebab SH sebagian besar adalah penyakit hati alkoholik

dan non alkoholik steathepatitis serta hepatitis C.7 Di Indonesia prevalensi

penderita SH secara keseluruhan belum ada. Di daerah Asia Tenggara, penyebab

utama SH adalahh hepatitis B (HBV) dan c (HCV). Angka kejadian SH di

Indonesia akibat hepatitis B berkisar antara 21,2 – 46,9% dan hepatitis C berkisar

38,7 – 73,9%. 1

4.3. Etiologi dan Faktor Risiko

Penyebab SH bermacam-macam, kadang lebih dari satu sebab ada pada satu

penderita. Seluruh penyakit hati yang bersifat kronis dapat menyebabkan sirosis

hati. Etiologi tersering di negara barat adalah akibat alkoholisme kronik bersama

virus hepatitis C. Sementara di Indonesia, sirosis utamanya disebabkan oleh

hepatitis B dan/ atau C kronis. 6

26

Page 10: Case Report

Tabel 2. Penyebab SH7

Penyakit hati alkoholik (alcoholic Liver disease/ALD)

Hepatitis C kronik

Hepatitis B kronik dengan/atau tanpa hepatitis D

Seato hepatitis non alkoholik (NASH), hepatitis tipe ini dikaitkan dengan DM, malnutrisi

protein, obesitas, penyakit arteri koroner, pemakaian obat kortikosteroid.

Sirosis bilier primer

Kolangitis sklerosing primer

Hepatitis autoimun

Hematokromatosis herediter

Penyakit Wilsom

Defisiensi Alpha 1-antitrypsin

Sirosis kardia

Galaktosemia

Fibrosis kistik

Hepatotoksik akibat oab atau toksin

Infeksi parastit tertentu (Schistomiosis)

4.4. Patogenesis

Sirosis hepatis terjadi akibat adanya cidera kronik ireversibel pada parenkim

hati disertai timbulnya jaringan ikat difus (akibat adanya cidera fibrosis),

pembentukan nodul degeneratif ukuran mikronodul sampai makronodul. Hal ini

sebagai akibat adanya nekrosis hepatosit, kolapsnya jaringan penunjang retikulin,

disertai dengan deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular berakibat

pembentukan vaskular intra hepatik antara pembuluh darah aferen (vena porta dan

arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika), dan regenerasi nodular parenkim hati

sisanya.6

Terjadinya fibrosis hati disebabkan adanya aktivasi dari sel stellate hati.

Aktivasi ini dipicu oleh faktor pelepasan yang dihasilkan hepatosit dan sel

Kupffer. Sel stellate merupakan sel penghasil utama matrix ekstraselular (ECM)

setelah terjadi cedera pada hepar. Pembentukan ECM disebabkan adanya

pembentuk jaringan mirip fibroblast yang dihasilkan sel stellate dan dipengaruhi

27

Page 11: Case Report

oleh beberapa sitokin seperti transforming growth factor β (TGF-β) dan tumor

necrosis factors (TNF α).8

Defisit ECM di space of Disse akan menyebabkan perubahan bentuk dan

memacu kapilarisasi pembuluh darah. Kapilarisasi sinusoid kemudian mengubah

pertukaran normal aliran vena porta dengan hepatosit, sehingga material yang

seharusnya dimetabolisasi oleh hepatosit akan langsung masuk ke aliran darah

sistemik dan menghambat material yang diproduksi hati masuk ke darah. Proses

ini akan menimbulkan hipertensi portal dan penurunan fungsi hepatoselular.8

4.5. Patofisiologi

Hipertensi porta didefinisikan sebagai peningkatan gradien tekanan vena

hepatik >5 mmHg. Hipertensi porta terjadi akibat peningkatan resistensi terhadap

aliran darah porta dan peningkatan aliran masuk ke vena porta. Peningkatan

resistensi tersebut disebabkan oleh perubahan struktur parenkim hati (deposisi

jaringan fibrosis dan regenerasi nodular), serta mekanisme vasokonstriksi

pembuluh darah sinusoid hati (utamanya akibat defisiensi nitrit oksida).9

Hipertensi porta didefiniskan sebagai peningkatan gradien tekanan vena

hepatik >5 mmHg. Hipertensi porta terjadi akibat peningkatan resistensi terhadap

aliran darah porta dan peningkatan aliran masuk ke vena porta. Peningkatan

resistensi tersebut disebakan oleh perubahan struktur parenkim hati (deposisi

jaringan fibrosis dan regenerasi nodular), serta mekanisme vasokonstriksi

pembuluh darah sinusoid hati (utamanya akibat defisiensi nitrit oksida).9

1. Hipertensi porta dan kondisi hiperdinamik

Adanya hipertensi porta akan berdampak pada9:

a. Pembesaran limpa dan sekuestrasi trombosit (pada tahap lanjut dapat menjadi

hipersplenisme)

b. Terjadi aliran darah balik dan terbentuk pirau (shunt) dari sistem porta ke

pembuluh darah sistemik (portosistemik). Aliran portosistemik akan

menurunkan kemampuan metabolisme hati (first pass efect), fungsi

retikuloendotelial, dan mengakibatkan hiperamonemia. Kendati demikian,

kolateral portosistemik tetap tidak adekuat dalam mengurangi tekanan vena

porta. Sebaliknya, justru akan meningkatkan produksi NO sehingga terjadi

28

Page 12: Case Report

vasodilatasi splanknikus dan peningkatan aliran darah ekstrahepatik

(sementara kadar NO intrahepatik tetap rendah).

c. Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, akibat vasodilatasi planknikus

dan vasodilatasi sistemik. Pada tahap lanjut kondisi ini mengakibatkan

komplikasi pada jantung, paru, dan renal.

Secara klinis, hipertensi porta dan pembentukan kolateral portosistemik

akan mengakibatkan komplikasi berikut9:

Varises gastro-esofagus dan perdarahan varises tersebut;

Asites. Selain hipertensi porta, risiko kejadian asites juga semakin meningkat

akibat hipoalbuminemia;

Sindrom heoatorenal, akibat vasokonstriksi arteri renalis sebagai respons

terhadap vasodilatasi sistemik (mekanisme arterial underfilling):

Peritonitis bakterialis spontan, yaitu infeksi cairan asites akibat migrasi bakteri

lumen usus ke nodus limfe mesenterika

Ensefalopati hepatikum, terjadi akibat hiperamonemia

Komplikasi lainnya: sindrom hepatopulmonal, hipertensi portopulmonal, dan

kardiomiopati.

2. Insufisiensi hati. Perubahan struktur histologis hati akan diiringi oleh

penurunan fungsi hati, antara lain9:

a. Gangguan fungsi sintesis: hipoalbuminemia dan malnutrisi, defisiensi

vitamin K dan koagulopati (penurunan faktor koagulaasi yang

membutuhkan vitamik K, yaitu faktor II, VII, IX, dan X), serta

gangguan endokrin (kadar estrogen darah meningkat,

hiperparatiroidisme).

b. Gangguan fungsi ekskresi: kolestatis dan ikterus, hiperamonemia dan

ensefalopati

c. Gangguan fungsi metabolisme: gangguan homeostatis glukosa (dapat

menjadi diabetes melitus), malabsorpsi vitamin D dan kalsium.

4.6. Manifestasi Klinik

Sirosis hati merupakan kondisi histopatologis yang bersifat asimtomatis pada

stadium awal. Secara klinis, sirosis dapat dibedakan menjadi sirosis kompensata

29

Page 13: Case Report

(gejala klinis belum ada atau minimal) dan sirosis dekompensata (gejala dan tanda

klinis jelas).9

1. Sirosis kompensata

Kebanyakan bersifat asimtomatis dan hanya dapat didiagnosis melalui

pemeriksaan fungsi hati. Bila ada, gejala yang muncul berupa kelelahan non-

spesifik, penurunan libido, atau gangguan tidur. Tanda khas (stigmata) sirosis

juga seringkali belum tampak pada tahap ini. Sebenarnya sekitar 40% kasus

sirosis kompensata telah mengalami varises esofagus, namun belum

menunjukkan tanda-tanda perdarahan.9

2. Sirosis dekompensata

Disebut dekompensata apabila ditemukan paling tidak satu dari manifestasi

berikut: ikterus, asites dan edeme perifer, hematemesis melena (akibat

perdarahan varises esofagus), jaundice atau ensefalopati (baik tanda dan gejala

minimal hingga perubahan status mental). Asites merupakan dekompensata

yang paling sering ditemukan (sekitar 80%). Selain itu, terdapat beberapa

stigma sirosis lainnya yang dapat diidentifikasi, antara lain9:

a. Tanda gangguan endokrin:

i. Spider angioma. Gambaran seperti laba-laba di kulit, terutama

daerah leher, bahu dan dada

ii. Eritema palmaris, pada tenar dan hipotenar

iii. Atrofi testis. Sering disertai penurunan libido dan impotensi

iv. Ginekomastia

v. Alopesia pada dada dan aksila

vi. Hiperpigmentasi kulit, diduga akibat peningkatan kadar

melanocyte-stimualting hormone (MSH).

b. Kuku Muchrche. Gambaran pita putih horizontal yang memisahkan

warna kuku normal;

c. Kontraktur Dupuytren. Penebalan fasia pada palmar (terutama pada

sirosis alkoholik)

d. Fetor hepatikum. Bau napas khan akibat penumpukan metionin (gagal

dimetabolisme), atau akibat peningkatan konsentrasi dimetilsulfida

akibat pirau portosistemik yang berat;

e. Splenomegali

f. Petekie dan ekimosis bila terjadi trombositopenia koagulopati berat

30

Page 14: Case Report

g. Pemeriksaan palpasi hati sangat bervariasi, mulai dari tidak ditemukan

pembesaran hati, lobus kiri hati yang dapat teraba lunak (khas sirosis),

atau teraba nodul dengan konsistensi keras.

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan hematologi9:

Parameter hematologi: hemoglobin, leukosit, hitung trombosit, waktu

protrombin (INR);

Biokimia serum: bilirubin, transaminase (ALT dan AST), alkalin fosfatase,

-glutamyl transpeptidase ( GT), albumin dan globulin, imunoglobulin,

feritin serum dan saturasi transferin;

Apabila ditemukan asites: kadar elektrolit (natrium, kalium, bikarbonat,

klorida), ureum dan kreatinin, serta urinalisis (urin tampung 24 jam);

Deteksi/pemantauan etilogi: penanda serologi hepatitis B dan C, profil

lipid dan glukosa, penanda autoimun, dan sebagainya.

2. Biopsi hati dan pemeriksaan histopatologis, merupakan baku emas untuk

diagnosis dan klasifikasi derajat sirosis.9

3. Pemeriksaan radiologi (non-invasif), bertujuan untuk9:

a. Deteksi nodul hati atau tanda hipertensi porta: USG hati, CT-scan/MRI

b. Penilaian kekakuan jaringan hati (derajat fibrosis): transien elastografi

(Fibroscan), MR elastografi.

4.7. Diagnosis dan Penilaian Derajat Sirosis

Baku emas diagnosis sirosis hati ialah biopsi hati dengan pemeriksaan

histopatologis. Deteksi sirosis harus dipertimbangkan untuk setiap etiologi

penyakit hati kronis. Diagnosis juga harus menyertakan: (1) Etiologi penyakit, dan

(2) grading/staging histopatologis untuk menilai derajat nekro-inflamasi dan

fibrosis (misalnya dengan skor METAVIR lihat Tabel 2).9

Tabel 2. Skor METAVIR

Skor Fibrosis Skor Aktivitas

F0 = Tidak ada fibrosis A0 = Tidak ada aktivitas

31

Page 15: Case Report

F1 = Fibrosis porta tanpa septa A1 = Aktivitas Ringan

F2 = Fibrosis porta dengan septa A2 = Aktivitas Sedang

F3 = Banyak septa, namun belum terjadi

sirosis

A3 = Aktivitas Berat

F4 = Sirosis

Secara klinis sirosis dapat dibedakan menjadi beberapa derajat kategori berdasarkan

kriterua Child-Turcotte-Pugh (lihat Tabel 3) bertujuan untuk menilai prognosis (angka

kesintasan) pasien.9

Tabel 3. Skor (Child-Turcotte-Pugh (CTP)9

Parameter 1 Poin 2 Poin 3 Poin

Asites Tidak Ada Sedikit Sedang Berat

Ensefalopati hepatikum Tidak Ada Derajat 1-2 Derajat 3-4

Bilirubin (mg/dL) <2 2 – 3 >3

Albumin (g/dL) >3,5 2,8 – 3,5 <2,8

Waktu Protrombin atau

INR

<4 detik, atau

INR <1,7

4-6 detik, atau

INR 1,7-2,3

>5 detik, atau

INR 2,3

Keterangan :

Skor 5-6 : Child A (angka kesintasan 1 tahun pertama = 100%, 2 tahun pertama = 85%)

Skor 7-9 : Child B (angka kesintasan 1 tahun pertama = 81%, 2 tahun pertama = 57%)

Skor 10-15 : Child C (angka kesintasan 1 tahun pertama = 45%, 2 tahun pertama = 35%)

4.8. Tata Laksana

A. Tata laksana Sirosis Kompensata

Terapi ditujukan untuk mencegah perkembangan menjadi sirosis

dekompensata dan mengatasi kausa spesifik.,

1. Terapi medikamentosa

32

Page 16: Case Report

a. Terapi sesuai etiologi: Hepatitis B kronis, hepatitis C, NASH, sirosis

alkoholik, autoimun, dan sebagainya.

b. Bila perlu terapi defisiensi besi. Dapat diberika tambahan zink sulfat

2x200 mg PO untuk memperbaiki nafsu makan dan keram otot.

c. Bila perlu dapat diberikan antipruritus: kolestiramin, anti histamin, atau

agen topikal

d. Suplementasi vitamin D (atau analognya) pada pasien berisiko tinggi

osteoporosis.

2. Terapi non-medikamentosa

a. Diet seimbang 35-40 kkal/kgBB ideal dengan protein 1,2-1,5 g/KgBB/hari

b. Aktivitas fisik untuk mencegah inaktivitas dan atrofi otot, sesuaikan

dengan toleransi pasien

c. Stop konsumsi alkohol dan merokok

d. Pembatasan obat-obatan hepatotoksik dan nefrotoksik: OAINS, Isoniazid,

asam valproat, eritromisin, amoksisilin/klavulanat, dll.

3. Surveilas komplikasi sirosis

a. Monitor kadar albumin, bilirubin, INR, serta penilaian fungsi

kardiovaskular dan ginjal.

b. Deteksi varises dengan esofago-gastroduodenoskopi (EGD):

Bila tidak ditemukan varises: ulangi EGD tiap 2 tahun

Bila ditemuka varises kecil: Ulangi EGD setiap 1 tahun

Bila ditemukan varises besar: penyekat-β non selektif (propanolol),

prosedur ligasi varuses (pada kasus intoleran).

c. Deteksi retensi cairan dan pemantauan fungsi ginjal

d. Deteksi ensefalopati (atau ensefalopati minimal/subklinis): tes psikometri

dan neuropsikologis terhadap atensi dan fungsi psikomotorik setiap 6

bulan

e. Deteksi karsinoma hepatoseluler: pemeriksaan α-fetoprotein dan USG hati

seetiap 6 bulan

f. Vaksinasi hepatitis B dan hepatitis A, bila perlu.

B. Tata Laksana Sirosis Dekompensata

33

Page 17: Case Report

Terapi ditujukan untuk mengatasi kegawatdaruratan dan mengembalikan ke

kondisi kompensata. Tata laksana spesifik sesuai komplikasi yang ditemukan,

yaitu:

1. Hipertensi Portal

Definisi hipertensi portal (HP) adalah peningkatan hepatic venous pressure

gradient (HVPG) lebih dari 5 mmHg. Hipertensi portal merupakan suatu sindroma

klinis yang sering terjadi. Bila gradien tekanan portal (perbedaan tekanan antara

vena porta dan vena cava inferior) di atas 10-12 mmHg. Komplikasi HP dapat

terjadi akibat adanya 1) Peningkatan resistensi intra hepatik terhadap aliran darah

porta akibat adanya nodul regeneratif dan 2) Peningkatan aliran darah splanchic

sekunder akibat vasodilatasi pada splanchnic vascularbed.1

2. Asites

Penyebab asites yang paling banyak pada SH adalah HP, disamping adanya

hipoalbuminemia (penurunan fungsi sintesis pada hati) dan disfungsi ginjal yang

akan mengakibatkan akumulasi cairan dalam peritoneum. Penanganan asites yaitu

tirah baring, diit rendah garam yaitu konsumsi garam 5,2 gram atau 90 mmol/hari.

Bila tidak berhasil dapat dikombinasikan dengan spironolacton 100-200 mg/hari.

Respons diuretik bisa dimonitor dengan adanya penurunan berat badan 0,5 kg/hari

tanpa edema dan 1 kg/hari bila ada edema. Bila pemberian sprironolacton tidak

adekuat, bisa dikombinasikan dengan furosemid dengan dosis 20-40 mh/hari,

dengan dosis maksimal 160 mg/hari. Parasintesis dilakukan bila asites sangat

besar. Pengeluaran asites sampai 4-6 L perlu disertai dengan pemberian albumin.1

3. Varises Gastroesofagus

Varises gastroesofagus merupakan kolateral portosistermik yang paling

penting. Pecahnya varises esophagus (VE) mengakibatkan perdarahan varises

yang berakibat fatal. Varises ini terdapat sekitar 50% penderita SH dan

berhubungan dengan derajat keparahan SH. Empat puluh persen penderita SH dan

85% penderita SH dengan Child C mempunyai VE. Diagnosis VE ditegakkan

dengan esofagogastroduodenoskopi, sehingga perlu dilakukan skrining untuk

mengetahui adanya VE pada semua penderita SH yang didiagnosis pertama kali.1

Pencegahan untuk terjadinya perdarahan VE adalah dengan pemberian obat

golongan β blocker (propanolol) maupun ligasi varises. Bila sudah terjadi

perdarahan dalam keadaan akut, bisa dilakukan resusitasi dengan cairan

34

Page 18: Case Report

kristaloid/koloid/penggantian produk darah. Untuk menghentikan perdarahan

digunakan preparat vasokonstriktor splanchnic, somatostatin atau octreotide.

Octreotide bisa diberikan dengan dosis 50-100 µg/h dengan infus kontinyu.

Setelah itu dilakukan skleroterapi atau ligasi varises. Tindakan endoskopi

terapetik ini juga dilakukan untuk menghentikan perdarahan berulang.

Transjugular intrahepatic portosistemic (TIPS) dan pembedahan shunt bisa

dilakukan namun sebagai efek samping dapat terjadi ensefalopati hepatik.1

4. Peritonitis Bakterial Spontan

Peritonitis Bakterial Spontan (SBP) merupakan komplikasi berat dan sering

terjadi pada asites yang ditandai dengan infeksi spontan cairan asites tanpa adanya

fokus infeksi intraabdominal. Pada penderita SH dan asites berat, frekuensi SBP

berkisar 30% dan angka mortalitas 25%. E. coli merupakan bakteri usus yang

sering menyebabkan SBP, namun bakteri gram positif seperti S. viridans, S.

amerius bisa ditemukan. Diagnosis SBP ditegakkan bila pada sampel cairan asites

ditemukan angkal sel netrofil > 250/mm3.1

Untuk penanganan SBP diberikan antibiotika golongan sefalosporin generasi

kedua atau cefotaxim, dengan dosis 2 gram intravena tiap 8 jam selama 5 hari.1

5. Ensefalopati Hepatikum

Sekitar 28% penderita SH dapat mengalami komplikasi ensefalopati

hepatikum (EH). Mekanisme terjadinya EH adalah akibat hiperammonia, terjadi

penurunan hepatic uptake sebagai akibat dari intrahepatic portal-systemic shunts

dan/atau penurunan sintesis urea dan glutamik. Beberapa faktor merupakan

presipitasi timbulnya EH diantaranya infeksi, perdarahan, ketidakseimbangan

elektrolit, pemberian obat-obat sedatif dan protein porsi tinggi. Dengan mencegah

ataupun menangani faktor-faktor presipitasi, Eh dapat diturunkan risikonya. Di

samping itu pemberian Laktulose, Neomisin (antibiotika yang tidak diabsorbsi

mukosa usus) cukup efektik mencegah terjadinya EH.1

6. Sindrom Hepatorenal

Sindrom hepatorenal (SHR) merupakan gangguan fungsi ginjal tanpa kelainan

organik ginjal, yang ditemukan pada SH tahap lanjut. Sindroma ini sering

dijumpai pada SH tahap lanjut. Sindroma ini sering dijumpai pada penderita SH

dengan asites reftrakter. Sindroma hepatorenal tipe 1 ditandai dengan gangguan

35

Page 19: Case Report

progresif fungsi ginjal dan penurunan klirens kreatinin secara bermakna dalam 1-2

minggu. Tipe 2 ditandai dengan penurunan filtrasi glomerulus dengan peningkatan

serum kreatinin. Tipe 2 lebih baik prognosisnya daripada tipe 1.1

Penanganan SHR yang terbaik adalah dengan transplantasi hati. Belum banyak

penelitian yang menguji efektivitas pemberian preparat somatostatin, terlipressin.

Untuk prevensi terjadinya SHR perlu dicegah terjadinya hipovolemia pada

penderita SH, dengan menghentikan pemberian diuretik, rehidrasi dan infus

albumin.1

DAFTAR PUSTAKA

1. Hirlain, 2010. Asites. In: A. W. Sudoyo, et al. eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing, p. 674.

36

Page 20: Case Report

2. Klarisa, C., Liwang, F. & Hasan, I., 2014. Asites. In: C. Tanto, F. Liwang, S. Hanifati & E. A. Pradipta, eds. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius, p. 698.

3. Tsochatzis EA, Bosch J, Burroughs AK. Liver cirrhosis. Lancet. 2014;383(9930):1749-61.

4. Europan Association for the Study of the Liver (EASL). EASL clinical practice guidelines on the management of ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and hepatorenal syndrome in cirrhosis. J Hepatol. 2011;53(3):397-417.

5. Runyon BA; AASLD Practice Guidelines Committee. Management of adult patients with ascites due to cirrhosis an update. Hepatology. 2009;49(6):2087-107.

6. Pinzani, M., Roselli, M., Zuckermann, M., Liver Cirrhosis. Best Practice & Research Clinical Gastroenterology. 2011;25:281-2990

7. Sherlock, S., Dooley, J., Hepatic Cirrhosis in S. Sherlock and J. Dooley (edts) Diseases of the Liver and Biliary System.11th edition, 365-380.

8. Lou IW. Manegement of end-stage liver disease. Med Clin North Am. 2014;98(1):119-52.

9. Longo Dl, Fauci AS, penyunting. Chronic hepatitis. Dalam: Harrison’s gastroenterology and hepatology. Edisi ke-2. Philadelphia: McGraw-Hill;2013.

37