Top Banner
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Anemia hemolitik autoimun (AIHA) atau autoimmune hemolytic anemia ialah suatu anemia hemolitik yang timbul karena terbentuknya aotuantibodi terhadap eritrosit sendiri sehingga menimbulkan destruksi (hemolisis) eritrosit. 2.2. Insiden Insidens dari AIHA tipe hangat sekitar 1 dari total 75-80.000 populasi di USA. AIHA tipe hangat dapat muncul pada usia berapapun, tidak seperti AIHA tipe dingin yang sering menyerang usia pertengahan dan lanjut. Namun, di Indonesia tidak ada data yang khusus membahas tentang prevalensi dan insiden kasus AIHA secara nasional. 2.3. Etiologi Etiologi pasti dari penyakit anemia hemolitik autoimun masih belum jelas (idiopatik), akan tetapi ada beberapa teori yang mengatakan bahwa AIHA terjadi kerena gangguan central tolerance dan gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif residual. Sistem kekebalan tubuh mengalami gangguan fungsi dan
23

Case report

Jan 17, 2016

Download

Documents

fiorenditahadi
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Case report

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Anemia hemolitik autoimun (AIHA) atau autoimmune hemolytic anemia

ialah suatu anemia hemolitik yang timbul karena terbentuknya aotuantibodi

terhadap eritrosit sendiri sehingga menimbulkan destruksi (hemolisis) eritrosit.

2.2. Insiden

Insidens dari AIHA tipe hangat sekitar 1 dari total 75-80.000 populasi di

USA. AIHA tipe hangat dapat muncul pada usia berapapun, tidak seperti AIHA

tipe dingin yang sering menyerang usia pertengahan dan lanjut. Namun, di

Indonesia tidak ada data yang khusus membahas tentang prevalensi dan insiden

kasus AIHA secara nasional.

2.3. Etiologi

Etiologi pasti dari penyakit anemia hemolitik autoimun masih belum jelas

(idiopatik), akan tetapi ada beberapa teori yang mengatakan bahwa AIHA terjadi

kerena gangguan central tolerance dan gangguan pada proses pembatasan limfosit

autoreaktif residual. Sistem kekebalan tubuh mengalami gangguan fungsi dan

menghancurkan selnya sendiri karena keliru mengenalinya sebagian bahan asing

(reaksi autoimun).

2.4. Klasifikasi dan Patofisiologi

Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui

aktivasi sistem komplemen, aktivasi mekanisme selular, atau kombinasi

keduanya. Aktivasi Sistem Komplemen secara keseluruhan akan menyebabkan

hancurnya membran sel eritrosit sehingga terjadi hemolisis intravaskular yang

ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Sistem komplemen akan

diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif. Antibodi-antibodi yang

memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3

disebut sebagai aglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini berikatan dengan

Page 2: Case report

antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu di bawah suhu

tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen

permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.

Gambar 1 : Jalur aktivasi komplemen

Klasifikasi anemia hemolitik autoimun berdasarkan sifat reaksi antibodi,

AIHA dibagi 2 golongan sebagai berikut:

1. Anemia Hemolitik Autoimun Hangat atau warm AIHA yakni suatu keadaan

dimana tubuh membentuk autoantibody yang bereaksi terhadap sel darah

Page 3: Case report

merah pada suhu tubuh. Autoantibody melapisi sel darah merah, yang

kemudian dikenalinya sebagai benda asing dan dihancurkan oleh sel perusak

dalam limpa atau kadang dalam hati dan sumsum tulang. Dan suhu badan

pasien pada anemia hemolitik aotuimun hangat ini >37oC. Warm reactive

antibodies:

1) Primer (idiopatik)

2) Sekunder:

a. Kelainan limfoproliferatif

b. Kelainan autoimun (Sistemik lupus eritematosus/SLE)

c. Infeksi mononukleosisc. 

3) Sindroma evand

4) HIV

2. Anemia Hemolitik Dingin atau cold AIHA yakni suatu keadaan dimana tubuh

membentuk aotoantibodi yang beraksi terhadap sel darah merah dalam

suhu ruangan atau dalam suhu yang dingin. Dan suhu tubuh pasien pada

anemia hemolitik aotuimun dingin ini <37oC. Cold reactive antibodies:

1) Idiopatik (Cold agglutinin diseases) 

2) Sekunder :

a. Atipikal atau pneumonia mikoplasma

b. Kelainan limfoproliferatif 

c. Infeksi mononukleosi

3. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria (PCH)

Dalam darah penderita ditemukan anti lisin terhadap sel-sel darah merah yang

menjadi aktif bila suhu badan didinginkan.

4. Paroxysmal Nocturnal Hemogkobinuria (PNH)

Urin menjadi merah tua pada pagi hari kemudian berkurang sampai hilang

sama sekali menjelang siang dan sore hari.

5. Anemia Hemolitik Autoimun oleh Obat

Anemia hemolitik autoimun yang disebabkan oleh obat-obat, seperti:

Levodopa (Sinewet) , Cephalosporins.

Page 4: Case report

Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolisis karena obat yaitu:

hapten/ penyerapan obat yang melibatkan antibodi tergantung obat,

pembentukan kompleks ternary (mekanisme kompleks imun tipe innocent

bystander ), induksi autoantibodi yang bereaksi terhadap eritrosit tanpa ada

lagi obat pemicu, serta oksidasi hemoglobin. Penyerapan/absorbsi protein non-

imunologis terkait obat akan menyebabkan tes coombs positif tanpa kerusakan

eritrosit.

Pada mekanisme hapten/absorbsi obat, obat akan melapisi eritrosit dengan

kuat. Antibodi terhadap obat akan dibentuk dan bereaksi dengan obat pada

permukaan eritrosit. Eritrosit yang teropsonisasi oleh obat tersebut akan

dirusak di limpa. Antibodi ini bila dipisahkan dari eritrosit hanya bereaksi

dengan reagen yang mengandung eritrosit berlapis obat yangsama (misal

penisilin).

Mekanisme pembentukan kompleks ternary melibatkan obat atau metabolit

obat, tempatikatan obat permukaan sel target, antibodi, dan aktivasi

komplemen. Antibodi melekat pada neoantigen yang terdiri dari ikatan obat

dan eritrosit. Ikatan obat dan sel target tersebut lemah, dan antibodi akan

membuat stabil dengan melekat pada obat ataupun membrane eritrosit.

Beberapa antibodi itu memiliki spesifisitas terhadap antigen golongan darah

tertentu. Pemeriksaan coombs biasanya positif. Setelah aktivasi komplemen

terjadi hemolisis intravaskular, hemoglobinemia, dan hemoglobinuria.

Mekanisme ini terjadi pada hemolisis akibat obat kinin, kuinidin, sulfonamide,

sulfonylurea, dan tiazid.

Contoh obat seperti, Metildopa yang bersirkulasi dalam plasma akan

menginduksi autoantibodi spesifik terhadap antigen Rh pada permukaan sel

darah merah. Jadi yang melekat pada permukaan sel darah merah adalah

autoantibodi, sedangkan obat tidak melekat. Mekanisme bagaimana induksi

formasi autoantibodi ini tidak diketahui.

Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidatif. Oleh karena hemoglobin

mengikat oksigen maka bisa mengalami oksidasi dan mengalami kerusakan

akibat zat oksidatif. Eritrosit yang tua makin mudah mengalami trauma

oksidatif. Tanda hemolisis karena proses oksidasi adalah dengan

Page 5: Case report

ditemukannya methemoglobin, sulfhemoglobin, dan Heinz bodies,blister cell,

bites cell dan eccentrocytes. Contoh obat yang menyebabkan hemolisis

oksidatif ini adalah nitrofurantoin, phenazopyridin, aminosalicylic acid .

Pasien yang mendapat terapi sefalosporin biasanya tes coombs positif karena

absorbsi non-imunologis, immunoglobulin, komplemen, albumin, fibrinogen,

dan plasma protein lain pada membran eritrosit.

6. Anemia Hemolitik Autoimun oleh Aloantibodi

Dapat disebabkan oleh transfusi darah. Hemolisis aloimun yang paling berat

adalah reaksi transfusi akut yang disebabkan karena ketidaksesuaian ABO

eritrosit (sebagai contoh transfusi PRC golongan A pada pasien golongan

darah O yang memiliki antibodi IgM anti-A pada serum) yang akan memicu

aktivasi komplemen dan terjadi hemolisis intravaskular yang akan

menimbulkan DIC dan infark ginjal. Dalam beberapa menit pasien akan sesak

nafas, demam, nyeri pinggang, menggigil, mual, muntah, dansyok. Reaksi

transfusi tipe lambat terjadi 3-10 hari setelah transfusi, biasanya disebabkan

karena adanya antibodi dalam kadar rendah terhadap antigen minor eritrosit.

Setelah terpapar dengan sel-sel antigenik, antibodi tersebut meningkat pesat

kadarnya dan menyebabkan hemolisis ekstravaskular.

2.5. Manifestasi Klinis

Gejala dari anemia hemolitik mirip dengan anemia yang lainnya.

Hemolisis bisa terjadi secara tiba-tiba dan berat, menyebabkan krisis hemolitik,

yang ditandai dengan:

Demam

Menggigil

Nyeri punggung dan nyeri lambung

Perasaan melayang

Penurunan tekanan darah yang berarti.

Sakit kuning (jaundice) dan air kemih yang berwarna gelap bisa terjadi

karena bagian dari sel darah merah yang hancur masuk ke dalam darah.

Limpa membesar karena menyaring sejumlah besar sel darah merah yang hancur,

kadang menyebabkan nyeri perut. Hemolisis yang berkelanjutan bisa

Page 6: Case report

menyebabkan batu empedu yang berpigmen, dimana batu empedu berwarna gelap

yang berasal dari pecahan sel darah merah.

Manifestasi klinis AIHA berdasarkan klasifikasinya:

1. Anemia hemolitik aotuimun tipe hangat biasanya gejala anemia ini terjadi

perlahan-lahan, ikterik, demam, dan ada yang disertai nyeri abdomen, limpa

biasanya membesar, sehingga bagian perut atas sebelah kiri bisa terasa nyeri

atau tidak nyaman dan juga bisa dijumpai splenomegali pada anemia

hemolitik autoimun tipe hangat. Urin berwarna gelap karena

terjadi hemoglobinuri. Pada AIHA paling tebanyak terjadi yakni idiopatik

splenomegali tarjadi pada 50-60%, iketrik terjadi pada 40%, hepatomegali

30% pasien dan limfadenopati pada 25% pasien. Hanya 25% pasien tidak

disertai pembesaran organ dan limfonodi.

2. Anemia hemolitik aotoimun tipe dingin sering terjadi aglutinasi pada suhu

dingin. Hemolisis berjalan kronik. Anemia ini biasanya ringan dengan Hb: 9-12 g/dl.

Sering juga terjadi akrosinosis dan splenomegali. Pada cuaca dingin akan

menimbulkan  meningkatnya penghancuran sel darah merah, memperburuk

nyeri sendi dan bisamenyebabkan kelelahan dan sianosis (tampak kebiruan)

pada tangan dan lengan

2.6. Manifestasi Klinis

Secara keseluruhan aha seringkali menunjukkan gejala berupa:

– Mudah lelah

– Pucat mendadak

– Malaise dan demam jika dicetuskan oleh infeksi

– Ikterus dan perubahan warna urine.

– Nyeri abdomen dan gangguan pernafasan

– Hepatomegali dan splenomegali

– Gambaran darah tepi menunjukkan adanya proses hemolitik

– Kadar hemoglobin 3-9 g/dl

– Kadar bilirubin secara tidak langsung meningkat

– Gambaran sumsum tulang menunjukkan hiperplasi sel eritropoitik

normoblastik.

Page 7: Case report

Gejala AIHA tipe hangat:

Gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik, dan demam, urin berwarna

gelap karena terjadi hemoglobinuri. Splenomegali, hepatomegali

Hasil laboratoriumnya menunjukkan hemoglobin di bawah 7g/dl.

Pemeriksaan direct coomb’s positif.

Gejala AIHA tipe dingin:

Terjadi aglutinasi pada suhu dingin, akrosianosis, splenomegali,

polikromatosia.

Anemia biasanya ringan dengan hb: 9-12 g/dl, tes coombs positif, serta

anti-i, anti-pr, atau anti-p dan anti-m (merupakan cara untuk diagnosa anti).

2.7. Pemeriksaan

Pemeriksaan fisik dilakukan secara sistematik dan menyeluruh. Perhatian

khusus diberikan pada, diantaranya:

a. Keadaan umum pasien : tampak sakit ringan atau berat

b. Warna kulit : pucat, sianosis, ikterus, kulit telapak tangan kuning seperti

jerami

c. Kuku : koilonychias (kuku sendok)

d. Mata : ikterus, konjugtiva pucat, perubahan pada fundus

e. Mulut : ulserasi, hipertrofi gusi, atrofi papil lidah

f. Limfadenopati, hepatomegali, splenomegali

g. Tingkat kesadaran pasien

h. Proporsi tubuh : adakah kelainan fisik pada pasien

Pemeriksaan laboratorium pada anemia hemolitik:

1. Gambaran penghancuran eritrosit yang meningkat:

Bilirubin serum meningkat

Urobilinogen urin meningkat, urin kuning pekat

Strekobilinogen feses meningkat, pigmen feses menghitam

2. Gambaran peningkatan produksi eritrosit

Retikulositosis

Hiperplasia eritropoesis sum-sum tulang

Page 8: Case report

3. Gambaran rusaknya eritrosit:

Morfologi : mikrosferosit, anisopoikilositosis, burr cell, hipokrom

mikrositer, target cell, sickle cell, sferosit.

Fragilitas osmosis, otohemolisis

Umur eritrosit memendek.

2.8. Diagnosa Kerja

Diagnosa AIHA ditegakkan dengan cara:

1. Direct Antiglobulin Test (Direct Coomb’s Test)

Sel eritrosit pasien dicuci dari protein-protein yang melekat

Direaksikan dengan antiserum atau antibodi monoklonal terhadap berbagai

immunoglobulin dan fraksi komplemen, terutama igG dan C3d.

Bila pada permukaan sel terdapat salah satu atau kedua igG dan C3d maka

akan terjadi aglutinasi

2. Indirect Antiglobulin Test (Indirect Coomb’s Test)

Untuk mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada serum.

Serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen.

Immunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat pada sel-sel

reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin serum dengan terjadinya

aglutinasi.

2.9. Diagnosa Banding

Sepertiga penderita anemia jenis ini menderita suatu penyakit tertentu

(misalnya limfoma, leukemia atau penyakit jaringan ikat, terutama lupus

eritematosus sistemik) atau telah mendapatkan obat tertentu, terutama metildopa.

Diagnosa banding untuk anemia hemolitik autoimun ini adalah:

1. Anemia pasca perdarahan, yaitu berkurangnya jumlah sel darah merah atau

jumlah hemoglobin (protein pengangkut oksigen) yang disebabkan oleh

perdarahan hebat.Anemia karena perdarahan terbagi atas :

1) Perdarahan akut, yang timbul renjatan bila pengeluaran darah cukup

banyak, sedangkan penurunan kadar Hb baru terjadi beberapa hari

kemudian.

Page 9: Case report

2) Perdarahan kronik, terjadi pengeluaran darah yang sedikit-sedikit sehingga

tidak diketahui pasien. Misalnya terjadi pada keadaan: ulkus peptikum,

menometroragi, perdarahan saluran cerna karena pemakaian analgesic,

epistaksis. Di Indonesia sering karena infestasi cacing tambang.

Pemeriksaan laboratorium ditemukan gambaran anemia sesuai dengan

anemia defisiensi Fe. Perdarahan pada saluran cerna akan memberi hasil

positif pada tes benzidin dari tinja.

2. Penyakit imunologik seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Tes sel LE, tes ANA (Antinuclear Antibody).

3. Thallasemia

Merupakan anemia hemolitik herediter yang diturunkan dari kedua orangtua

kepada anak-anaknya secara resesif menurut hukum mendel. Bayi baru lahir

dengan talasemia beta mayor tidak anemia gejala  awal pucat mulanya tidak

jelas. Biasanya menjadi lebih berat dalam tahun pertama kehidupan dan  pada

kasus yang berat terjadi dalam beberapa minggu setelah akhir. Bila penyakit

ini tidak ditangani dengan baik tumbuh kembang masa anak akan terhambat.

Anak tidak nafsu makan , diare, kehilangan lemak tubuh dan dapat disertai

demam berulang akibat anemia berat dan lama biasanya menyebabkan

pembesaran jantung. Terdapat hepatosplenomegali ikterus ringan mungkin ada

tetapi perubahan pada tulang yang menetap yaitu terjadinya bentuk muka

mongloid/face cooley akibat sistem eritropoesit  yang hiperaktif. Adanya

penipisan  kortek tulang  panjang  tangan  dan kaki dapat menimbulkan fraktur

patologis.  Penyimpangan  pertumbuhan  akibat anemia dan kekurangan gizi

menyebabkan   perawakan pendek. Kadang – kadang  ditemukan epistaksis

pigmentasi kulit, koreng pada tungkai, dan batu empedu. Pasien menjadi peka

terhadap  infeksi terutama bila limpanya telah  diangkat sebelum usia 5 tahun

dan mudah mengalami  septisemia  yang dapat mengakibatkan kematian 

dapat timbul  pansitopenia akibat hipersplenisme.

Hapusan darah tepi akan mendapatkan gambaran anisositosis hipokrom

poikilositosis sel target ( fragmentosit dan banyak sel normoblast ). Jumlah

retikulosit  dalam darah meningkat. Kadar besi dalam serum  meninggi dan

daya ikat serum  terhadap  besi menjadi rendah dapat mencap nol.

Page 10: Case report

4. Defisiensi Glukosa 6-Fosfat Dehydrogenase (G6PD) merupakan penyakit

dengan gangguan herediter pada aktivitas eritrosit (sel darah merah), di mana

terdapat kekurangan enzim G6PD. Enzim G6PD ini berperan pada

perlindungan eritrosit dari reaksi oksidatif. Karena kurangnya enzim ini,

eritrosit jadi lebih mudah mengalami penghancuran (hemolisis). Terjadinya

hemolisis ditandai dengan demam yang disertaijaundice (kuning) dan pucat di

seluruh tubuh dan mukosa. Urin juga berubah warna menjadi jingga-

kecoklatan; ditemukan tanda syok (nadi cepat dan lemah, frekuensi

pernapasan meningkat), dan tanda kelelahan umum. Hemolisis ini dapat

dipicu oleh konsumsi obat-obatan. Selain obat-obatan, makanan tertentu juga

dapat memicu timbulnya serangan hemolitik pada anak dengan defisiensi

G6PD; misalnya kacang fava (fava beans) dan kacang-kacangan tertentu.

Berikut ini adalah daftar obat-obatan yang perlu dipertimbangkan

pemberiannya pada pasien defisiensi G6PD.

2.10. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk anemia hemolitik autoimun:

a) AIHA Tipe panas, dijumpai kelainan laboratarium sebagai berikut:

1. Darah tepi

Anemia ini juga dijumpai kelianan diantaranya, pada darh tepi terdapat

mikrosferosit, pliikromasia, normoblast dalam darh tepi.Morfologianemia

ini pada umumnya ialah normokoromik normositer dan juga didapat

terjadinya peningkatan retikulosit.

2.  Bilurubin serum meningkat 2-4 mg/dl, dengan bilurubin indierk

lebihtinggi dari bilurubin direk.

3. TesCoombs direk (DAT) positif.

Direct Coomb’s tes dapat menunjukkan adanya antibodi atau komplemen

pada permukaan sel darah merah dan merupakan tanda dari autoimun

hemolisis.

Page 11: Case report

Gambar 2. Tes Coombs

Gambar 3. apusan darah tepi penderita AIHA: Menunjukan eritrosit

normokromik normositer, mikrosferosit, fragmentosit dan sebuah

normoblast (panah).

4. Hemoglobin dibawah 7gr/dl.

5. Pada pemeriksaan darah tepi pada tipe hangat ditemukan sferositosis yang

menonjol dalam darah tepi.

Page 12: Case report

Gambar 4. Menunjukkan sedian apus darah tepi pada anemia

hemolitik autoimun tipe hangat, terdapat banyak mikrosferosit dan

sel polikromatik yang lebih besar (retikulosit)

b) AIHA Tipe dingin

Tes aglutitinasi dingin dijumpai titer tinggi dan tes Coombs direk positif. Dan

juga tes darah tepi yakni menghitung jumlah lekosit yang kadangsampai >50

rb/mmk yang biasanya dijumpai pada yang akut, selain itu juga menghitung

jumlah trombosit meningkat.

Gambar 5. Sedian apus darah pada anemia hemolitik autoimun tipe dingin.

Aglutinasi eritrosit yang jelas terdapat pada sediaan apus darahyang dibuat

pada suhu ruangan. Latar belakangnya disebabkan oleh kosentrasi protein

plasma yang meningkat.

Page 13: Case report

2.11. Tatalaksana

Penatalaksanaan AIHA:

1. Kortikosteroid:

Obat golongan kortikosteroid yang biasa diberikan kepada penderita anemia

hemolitik autoimun adalah prednison.

Steroid ini mempunyai fungsi memblok makrofag dan menurunkan sintesis

antibody. Kortikosteroid menghambat proliferasi sel limfosit T, imunitas

seluler, dan ekspresi gen yang menyandi berbagai sitokin (IL-1, IL-2, IL-6,

IFN-α dan TNF- α).

Penderita dengan anemia hemolitik autoimun karena IgG mempunyai respon

yang baik terhadap pemberian steroid dengan dosis 2-10mg/kgBB/hari. Bila

proses hemolitik menurun dengan disertai peningkatan kadar Hb (monitor

kadar Hb dan retikulosit), maka dosis kortikosteroid diturunkan secara

bertahap. Pemberian kortikosteroid jangka panjang perlu mendapat

pengawasan terhadap efek samping, dengan monitor kadar elektrolit,

peningkatan nafsu makan, kenaikan berat badan, gangguan tumbuh kembang,

serta risiko terhadap infeksi.

2. Splenektomi

Metode operasi pengangkatan limpa dan bertujuan untuk menghilangkan

tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih bisa terus

berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit

yang terikat antibodi jauh lebih besar untuk menimbulkan kerusakan eritrosit

yang sama. Splenektomi sebaiknya dilakukan pada umur lima tahun keatas,

saat fungsi limpa dalam sistem imun tubuh telah diambil alih oleh organ

limfoid lain.

3. Obat Golongan Imunosupresan

Merupakan obat yang menekan system imun tubuh. Prinsip umum

penggunaan imunosupresan:

– Respons imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan

dibandingkan dengan respons imun sekunder

– Obat imunosupresan memberikan efek yang berbeda terhadap

antigen yang berbeda

Page 14: Case report

– Penghambatan respons imun lebih berhasil bila obat

imunosupresan diberikan sebelum paparan terhadap antigen.

Azatioprin dengan dosis 50 – 200 mg/ hari (80 mg/m2) dan Siklofosfamid

dengan dosis 50 – 150 mg/ hari (60 mg/m2). Azatioprin dan Siklofosfamid

secara umum bekerja menghambat sel B dan sel T.

4. Terapi lain seperti pemberian danazol dengan dosis 600 – 800 mg/ hari.

Biasanya danazol dipakai bersama - sama steroid. Bila terjadi perbaikan,

steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol diturunkan menjadi 200

– 400 mg/ hari.

5. Tranfusi dilakukan jika ditemui anemia hemolitik berat yang mengancam

fungsi jantung. Transfusi biasanya dilakukan apabila Hb < 7 g/dl. Transfusi

darah dapat menyebabkan masalah pada penderita karena bank darah

mengalami kesulitan dalam menemukan darah yang tidak bereaksi terhadap

antibody. Transfusinya sendiri dapat merangsang pembentukan lebih banyak

lagi antibody maka darah yang ditranfusi harus tidak mengandung antigen

yang sesuai dengan penderita. Kemudian pada keadaan gawat dapat diberikan

immunoglobulin dosis.

6. Terapi plasmaferesis

Plasma darah dikeluarkan dari tubuh dan diganti dengan cairan atau plasma

dari donor yang bertujuan untuk mengurangi antibodi IgM, secara teoritis bisa

mengurangi hemolisis, namunsecara praktik hal ini sukar dilakukan

Pencegahan spesifik lainnya yang bisa dilakukan untuk anemia hemolitik

autoimun adalah:

1. Anemia hemolitik autoimun tipe hangat

Menyingkirkan penyebab yang mendasari terjadinya AIHA, contohnya SLE.

Pemakaian obat seperti methyldopa dan fludarabin harus dihentikan.

2. Anemia hemolitik autoimun tipe dingin

a. Menghindari udara dingin

b. Mengobati penyakit dasar

Page 15: Case report

2.12. Komplikasi

Komplikasi yang bisa terjadi pada penderita AIHA:

1. Deep vein thrombosis (DVT), yaitu terjadi bekuan darah yang terbentuk di

vena dalam, biasanya di tungkai bawah. Kondisi ini cukup serius, karena

terkadang bekuan tersebut bisa pecah dan mengalir melalui peredaran darah ke

organ-organ vital seperti emboli paru atau menyumbat arteri pada limpa

sehingga terjadi iskemi dan bisa menyebabkan gangguan jantung hingga

kematian.

2. Penyakit ginjal akut, terjadi hemogloblinuria oleh karena terjadi penghancuran

eritrosit dalam sirkulasi, maka Hb dalam plasma akan meningkat dan jika

konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin plasma maka Hb akan

berdifusi dalam glomerulus ginjal. Selain itu juga terjadi mikrioangiopati pada

pembuluh darah ginjal sehingga merusak tubuli ginjal menyebabkan oligouria

dan gangguan berat fungsi ginjal.

2.13. Pencegahan

2.14. Prognosis

Prognosis baik jika factor pencetus dapat dihindari, pasien ditatalaksana

lebih dini sebelum Hb jatuh pada kadar terendah.

Prognosa lainnya yaitu terkait penggunaan obat kortikosteroid pada anak.

Pada anak-anak penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat menyebabkan

pertumbuhan terhambat. Mekanisme terjadinya melalui stimulasi somatostatin,

yang menghambat growth hormone. Selain itu kortikosteroid menyebabkan

kehilangan Ca2+ melalui ginjal, akibatnya terjadi sekresi PTH yang meningkatkan

aktivitas osteoklast meresorpsi tulang. Kortikosteroid juga menghambat hormon-

hormon gonad, yang pada akhirnya menyebabkan gangguan proses penulangan

sehingga menghambat pertumbuhan.

Penggunaan kortikosteroid dalam jangka waktu lama menyebabkan

kondisi hiperkortisme sehingga menimbulkan gambaran habitus Cushing.

Kortikosteroid yang berlebihan akan memicu katabolisme lemak sehingga terjadi

redistribusi lemak di bagian tertentu tubuh. Gejala yang timbul antara lain moon

face, buffalo hump, penumpukan lemak supraklavikular, ekstremitas kurus, striae,

Page 16: Case report

acne dan hirsutism. Moon face dan buffalo hump disebabkan

redistribusi/akumulasi lemak di wajah dan punggung. Striae (parut kulit berwarna

merah muda) muncul akibat peregangan kulit (stretching) di daerah perut yang

disebabkan oleh akumulasi lemak subkutan.