Page 1
SAJIAN KASUS
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. AA
Umur : 3 bulan
Tanggal Lahir : 14 Agustus 2014
Jenis Kelamin : Laki-laki
No. MR : 03471415
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Jl. H. Ibong RT 002 / RW 009 Bantar Gebang
Bangsal : Melati
Masuk RS : 14 November 2014
Keluar RS :
IDENTITAS ORANG TUA
Ayah
Nama Lengkap : Tn. H
Usia : 33 tahun
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. H. Ibong RT 002 / RW 009 Bantar Gebang
Ibu
Nama Lengkap : Ny. A
Usia : 28 tahun
1
Page 2
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Penghasilan : -
Alamat : Jl. H. Ibong RT 002 / RW 009 Bantar Gebang
Hubungan dengan orang tua : Anak Kandung
II. ANAMNESIS (Alloanamnesis)
Anamnesis dengan orang tua pasien dilakukan pada tanggal 17 November 2014 pukul
12.00 WIB di Bangsal Melati RSUD Kota Bekasi dan didukung catatan medis.
Keluhan Utama : Batuk berdahak sejak kurang lebih 2 minggu SMRS
Keluhan Tambahan : Demam, sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang anak laki-laki berumur 3 bulan dibawa oleh orang tua pasien ke IGD RSUD
Kota Bekasi pada tanggal 14 November 2014, dengan keluhan batuk berdahak kurang lebih 2
minggu SMRS. Dahak berwarna putih, lengket, jumlah sedikit, dahak berdarah disangkal.
Batuk lebih sering pada malam hari, kadang Os terlihat sesak dan bibirnya tampak kebiruan.
Awalnya batuk kering dan tidak sesering sekarang namun makin lama batuk terlihat semakin
berat. Setiap kali batuk, hal itu terjadi terus menerus sampai perut Os teraba kencang. Kadang
batuk diikuti dengan bunyi seperti menghirup nafas panjang. Keluhan batuk tersebut disertai
dengan demam, demam dirasakan naik turun dan tidak pernah diukur dengan termometer.
Gejala lain seperti muntah, diare, kejang, dan keringat malam disangkal orang tua Os. Selama
timbul keluhan batuk, Os nafsu minum susu Os berkurang. Buang air besar dan buang air
kecil normal. Ibu Os mengatakan bahwa 1 minggu sebelum timbul keluhan batuk pada Os,
kakak Os sempat mengalami keluhan batuk-batuk. Namun sembuh setelah diberi obat batuk.
2
Page 3
Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit Umur Penyakit Umur
Diare - Morbili -
Otitis - Parotitis -
Radang Paru - Demam berdarah -
Tuberkulosis - Demam tifoid -
Kejang - Cacingan -
Ginjal - Alergi -
Jantung - Kecelakan -
Darah - Operasi -
Difteri - Lain-lain -
Tidak mempunyai riwayat alergi makan maupun obat-obatan
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa
Riwayat Pemeriksaan Kehamilan dan Kelahiran
KEHAMILAN Morbiditas kehamilan
Tidak ditemukan kelainan
Perawatan antenatal
Periksa ke bidan 1 kali/ bulan, vaksin TT 2 kali
KELAHIRAN Tempat kelahiran PuskesmasPenolong persalinan
Bidan
Cara persalinan Partus pervaginamMasa gestasi Cukup bulan (39 minggu)
Keadaan bayi Berat badan lahir : 3000 g
Panjang badan : 47 cm
Lingkar kepala : -
Langsung Menangis : +
Nilai APGAR : -
Kelainan bawaan : Tidak ada
3
Page 4
Kesan : Riwayat kehamilan dan persalinan baik.
Riwayat Pertumbuhan/Perkembangan
Pertumbuhan gigi pertama : - (Normal : 5-9 bulan)
Psikomotor
Tengkurap : 3 bulan (Normal : 3-4 bulan)
Duduk : - (Normal : 6 bulan)
Berdiri : - (Normal : 9-12 bulan)
Berjalan : - (Normal : 13 bulan)
Berbicara : - (Normal : 9-12 bulan)
Membaca : -
Perkembangan Pubertas
Rambut pubis : belum ada
Perubahan suara : belum ada
Saat ini anak berusia 3 bulan. Tidak ada gangguan perkembangan dalam mental dan
emosi. Interaksi dengan orang sekitar baik.
Kesan: Pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai umur
Riwayat Makan dan Minum
Di bawah 1 tahun
Umur (bulan) ASI/PASI Buah/Biskuit Bubur Susu Nasi Tim0 – 2 +
(ASI hanya sampai usia 2 minggu,
dilanjutkan dengan susu formula)
- - -
2 – 4 + - - -
4
Page 5
Riwayat Imunisasi
Vaksin Dasar (Umur)
BCG 1 bulan
DPT / DT 2 bulan
POLIO 0 bulan 2 bulan
CAMPAK -
HEPATITIS B - -
Kesan : imunisasi dasar pasien belum lengkap sesuai dengan usianya karena belum
mendapatkan imunisasi Hepatitis B sejak lahir.
Riwayat Keluarga (corak reproduksi)
Hubunga
n
Umur
(Tahun)
Jenis
Kelamin
Keadaan
Kesehatan
Penyebab
Meninggal
Kakek Tidak tahu Laki-laki Sehat
Nenek Tidak tahu Perempuan Sehat -
Ayah 33 tahun Laki-laki Sehat -
Ibu 28 tahun Perempuan Sehat -
Lahir Usia
kehamilan
BBL PB LK LD
An. ZA Spontan
(dibidan)
± 39 mg 3200 gr 48 cm Lupa Lupa
An. AA
(pasien)
Spontan
(dibidan)
± 39 mg 3000 gr 47 cm Lupa Lupa
Kesan : Anak kedua dari dua bersaudara
5
Page 6
Keluarga Berencana
Ibu pasien mengaku tidak mengikuti program KB
Riwayat Sosial Ekonomi
Ayah pasien bekerja sebagai wiraswasta sedangkan ibu pasien adalah ibu rumah
tangga. Ayah pasien menanggung 1 istri dan 2 orang anak. Biaya pengobatan menggunakan
BPJS.
Kesan: riwayat sosial ekonomi kurang.
Data Perumahan
Kepemilikan : Rumah sendiri
Keadaan Rumah : Dinding rumah tembok, kamar berjumlah 2, 1 kamar mandi
di dalam rumah. Rumah berada di pemukiman yang cukup
padat penduduk, tembok dengan tetangga berdekatan. Sumber
air minum PAM. Pencahayaan baik dan ventilasi rumah cukup.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Telah dilakukan pemeriksaan fisik pada tanggal 17/11/2014 di Bangsal Melati.
Keadaan umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Derajat kesadaran: Compos mentis
Status gizi : Gizi kurang
Tanda vital
Tekanan darah : -
Suhu : 37,0 derajat celcius per aksiler
Nadi : 120x/ menit
Rerpirasi : 32 x/menit, tipe abdominothorakal
Data antropometri
BB : 4,7 kg
TB : 60 cm
BB/U : 4,7/6,5 x 100 % : 72,3 % Gizi kurang
6
Page 7
TB/U : 60/61 x100% : 98,4% Gizi baik
BB/TB : 4,7/6 x 100% : 78,3 % Gizi kurang
7
Page 9
Status Generalis
Kepala : Normocephali, tidak terdapat deformitas, rambut hitam, distribusi rambut merata
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, mata merah -/-, lakrimasi -/-, pupil bulat
isokor, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+, perdarahan
subkonjungtiva +/+
Hidung : Simetris, deviasi septum (-), deformitas (-), sekret (-), epistaksis (-)
Mulut : Bibir simetris, sianosis (-), mukosa lidah merah muda, mukosa mulut basah (+)
tonsil T1-T1, caries (-)
Telinga : Normotia, nyeri tekan tragus (-), nyeri tarik (-), serumen (-)
Leher : KGB tidak teraba membesar
Thorax
Paru : Inspeksi : Gerakan dada simetris kanan dan kiri, retraksi (-)
areola & papilla mammae (+)
Palpasi : Gerak napas simetris, vocal fremitus simetris kanan dan kiri
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, Ronkhi (+/+), Wheezing (-/-)
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Jantung : Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Teraba ictus cordis pada ICS V, 1 cm medial linea
midclavicularis kiri
Perkusi : Batas jantung kanan setinggi ICS II-ICS IV parasternalis dextra
Batas jantung atas setinggi ICS II parasternalis sinistra
Batas jantung kiri setinggi ICS IV midclavicularis sinistra
Auskultasi : S1-S2 reguler, Gallop (-), Murmur (-)
9
Page 10
Abdomen :
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel di seluruh regio abdomen, hepar lien tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani, Shifting dullness (-)
Ekstremitas :
Superior : Inspeksi : Simetris, deformitas (-), ikterik (-), ptechiae (-), sianosis (-)
Palpasi : Hangat, tonus otot baik, akral hangat (+/+), turgor kulit baik
Inferior : Inspeksi : Simetris, deformitas (-), ptechiae (-) ikterik(–), sianosis (-)
Palpasi : Hangat, tonus otot baik, akral hangat (+/+), turgor kulit baik
Anus dan rektum : Perianal eritem (-)
Genitalia : Fimosis (-), OUE hiperemis (-)
Tulang belakang : Kifosis(-), lordosis(-), skoliosis(-)
IV. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Sistem Motorik
Tropi : Eutrofi
Tonus otot : Normal
Kekuatan otot :
Ekstremitas atas proksimal distal : 5 5 5 5 │ 5 5 5 5
Ekstremitas bawah proksimal distal : 5 5 5 5 │ 5 5 5 5
Interpretasi : tidak ada kelainan neurologi
10
Page 11
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan 14/11/14
Darah Rutin
Leukosit (5 – 10 ribu/uL) 28.2
Eritrosit (4 – 5 juta/uL) 3.66
Hemoglobin (11 – 14.5 g/dL) 10.7
11
Page 12
Hematokrit (40 – 54 %) 34.8
MCV (75 – 87 fL) 95.1
MCH (24 – 30 pg) 29.2
MCHC (31 – 37 %) 30.7
Trombosit (150 – 400 ribu/uL) 620
KIMIA KLINIK
Diabetes
Glukosa Darah Sewaktu 93
Elektrolit
Natrium (Na) 136
Kalium (K) 4.7
Clorida (Cl) 97
Pemeriksaan 15 / 11 / 2014 Pemeriksaan 15 / 11 / 2014
Darah Lengkap KIMIA KLINIK
Laju Endap Darah 3 Analisa Gas Darah
Leukosit 28.7 pH 7.319
Hitung Jenis PCO2 38.9
Basofil 0 PO2 160.3
Eosinofil 0 O2 Saturasi (SO2 %) 99.3
Batang 3 HCO3 20.2
Segment 21 TCO2 21.4
Limfosit 74 BE ecf -6.1
Monosit 2 BE blood -4.8
Eritrosit 3.83 Std HCO3 (SBC) 20.5
Hemoglobin 11.0 O2 Content 16.8
Hematokrit 36.8 O2 Cap 16.4
Index Eritrosit Alveolar Oxygen 153.6
MCV 96.2 Suhu 37.0
MCH 28.7 Hb 11.8
MCHC 29.9 O2 2
Trombosit 650 FIO2 28.0
12
Page 13
IMUNOSEROLOGI
CRP Kualitatif Non Reaktif
Pemeriksaan Radiologi
Skeletal normal
Cor, sinus, dan diafragma normal
Pulmo : Corakan normal. Tampak infiltrate di parakardial dan parahiler bilateral.
Kesan : Bronkopneumonia duplex
VI. RESUME
Seorang anak laki-laki berumur 3 bulan dibawa oleh orang tua pasien ke IGD RSUD
Kota Bekasi pada tanggal 14 November 2014, dengan keluhan batuk berdahak kurang lebih 2
minggu SMRS. Dahak berwarna putih, lengket, jumlah sedikit, dahak berdarah disangkal.
Batuk lebih sering pada malam hari, kadang Os terlihat sesak dan bibirnya tampak kebiruan.
Awalnya batuk kering dan tidak sesering sekarang namun makin lama batuk terlihat semakin
berat. Setiap kali batuk, hal itu terjadi terus menerus sampai perut Os teraba kencang. Kadang
batuk diikuti dengan bunyi seperti menghirup nafas panjang. Keluhan batuk tersebut disertai
dengan demam, demam dirasakan naik turun dan tidak pernah diukur dengan termometer.
13
Page 14
Selama timbul keluhan batuk, Os nafsu minum susu Os berkurang. Ibu Os mengatakan
bahwa 1 minggu sebelum timbul keluhan batuk pada Os, kakak Os sempat mengalami
keluhan batuk-batuk. Namun sembuh setelah diberi obat batuk.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran
compos mentis, frekuensi nadi 120 x/menit, frekuensi pernapasan 32 x/menit, suhu tubuh
37.0˚C, berat badan 4,7 kg, tinggi badan 60 cm. Pemeriksaan status generalis didapatkan
perdarahan subkonjungtiva +/+ dan pada pemeriksaan thorax paru-paru terdapat ronkhi +/+.
Dari hasil lab didapatkan leukositosis, trombositosis, anemia. Pada pemeriksaan analisa gas
darah didapatkan asidosis metabolik. Pada pemeriksaan foto thorax dada didapatkan infiltrat
di parakardial dan parahiler bilateral, kesan bronkopneumonia duplex.
VII. DIAGNOSA KERJA
1. Pertusis2. Gizi kurang
VIII. DIAGNOSA BANDING
1. TB Paru
2. Bronkhitis
IX. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa
1. Rawat di ruang perawatan isolasi (anjuran)
2. O2 nasal 2 liter / menit
3. Edukasi orang tua mengenai penyakit anak
4. Konsultasi ahli gizi
Medikamentosa
1. IVFD KaEN 3A 480 cc / 24 jam
2. Azitromisin 1 x 50 mg
3. Cinam 2 x 200 mg
4. Sanmol 6 x 500 mg (bila demam)
14
Page 15
5. Ambroxol syrup 3 x 1,5 Cth
6. Azitromisin 1 x 50 mg
7. Inhalasi / 8 jam (Combivent 0,5 cc + NaCl 2 cc)
Rencana Pemeriksaan :
1. Laboratorium
Darah rutin: Hb, Ht, Leukosit, Trombosit
Elektrolit: Na, K, Cl
Analisa Gas Darah
Glukosa Darah Sewaktu
2. Foto Thoraks AP
X. PROGNOSIS
Ad Vitam : Ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam
Ad Fungsionam : Ad bonam
XI. FOLLOW UP
Follow Up
15/11/14 16/11/14 17/11/14 18/11/14
S Batuk (+)Setiap batuk bibir membiru
Batuk (+)Setiap batuk bibir membiruDemam (+)
Batuk (+) Batuk berkurang (+)
O Skala AVPU: AlertPAT:A : compos mentisB : retraksi (-), NCH (-)C : pucat (-), sianosis (+)
Tanda Vital:S : 37 oCN : 120 x/menitRR : 32 x/menit
St. Generalis:Mata : CA-/-, SI-/-, perdarahan subkonjugtiva +/+Hidung Telinga : dbn
Skala AVPU: AlertPAT:A : compos mentisB : retraksi (-), NCH (-)C : pucat (-), sianosis (+)
Tanda Vital:S : 37,7 oCN : 120 x/menitRR : 32 x/menit
St. Generalis:Mata : CA-/-, SI-/-, perdarahan subkonjugtiva +/+Hidung Telinga : dbn
Skala AVPU: AlertPAT:A : compos mentisB : retraksi (-), NCH (-)C : pucat (-), sianosis (-)
Tanda Vital:S : 36,7 oCN : 118 x/menitRR : 30 x/menit
St. Generalis:Mata : CA-/-, SI-/-, perdarahan subkonjugtiva +/+Hidung Telinga :
Skala AVPU: AlertPAT:A : compos mentisB : retraksi (-), NCH (-)C : pucat (-), sianosis (-)
Tanda Vital:S : 36,8 oCN : 118 x/menitRR : 28 x/menit
St. Generalis:Mata : CA-/-, SI-/-, perdarahan subkonjugtiva +/+Hidung Telinga :
15
Page 16
Mulut : Sianosis (+)Thorax : Rh +/+, Wh-/-Abdomen : Datar, supel, BU (+) 4x/menitEkstremitas : Akral hangat, edema (-)
Mulut : Sianosis (+)Thorax : Rh +/+, Wh-/-Abdomen : Datar, supel, BU (+) 3x/menitEkstremitas : Akral hangat, edema (-)
dbnMulut : Sianosis (-)Thorax : Rh +/+, Wh-/-Abdomen : Datar, supel, BU (+) 3x/menitEkstremitas : Akral hangat, edema (-)
dbnMulut : Sianosis (-)Thorax : Rh +/+, Wh-/-Abdomen : Datar, supel, BU (+) 3x/menitEkstremitas : Akral hangat, edema (-)
Leukosit 28.7
Eritrosit 3.83
Hb 11.0
Ht 36.8
MCV 96.2
MCH 28.7
MCHC 29.9
Tr 650
CRP Non
reaktif
A Pertusis + Susp. Bronkopneumonia +
Gizi kurang
Pertusis + Bronkopneumonia
duplex + Gizi kurang
Pertusis + Bronkopneumonia
duplex + Gizi kurang
Pertusis + Bronkopneumonia
duplex + Gizi kurang
P - IVFD KaEN 3A
480 cc / 24 jam
- Azitromisin 1 x 50
mg
- Cinam 2 x 200 mg
- Sanmol 6 x 500 mg
(bila demam)
- Ambroxol syrup 3
x 1,5 Cth
- Inhalasi / 8 jam
(Combivent 0,5 cc +
NaCl 2 cc)
- IVFD KaEN 3A
480 cc / 24 jam
- Azitromisin 1 x
50 mg
- Cinam 2 x 200 mg
- Sanmol 6 x 500
mg (bila demam)
- Ambroxol syrup 3
x 1,5 Cth
- Inhalasi / 8 jam
(Combivent 0,5 cc
+ NaCl 2 cc)
- IVFD KaEN 3A
480 cc / 24 jam
- Azitromisin 1 x
50 mg
- Cinam 2 x 200
mg
- Sanmol 6 x 500
mg (bila demam)
- Ambroxol syrup
3 x 1,5 Cth
- Inhalasi / 8 jam
(Combivent 0,5 cc
+ NaCl 2 cc)
- IVFD KaEN 3A
480 cc / 24 jam
- Azitromisin 1 x
50 mg
- Cinam 2 x 200
mg
- Sanmol 6 x 500
mg (bila demam)
- Ambroxol syrup
3 x 1,5 Cth
- Inhalasi / 8 jam
(Combivent 0,5 cc
+ NaCl 2 cc)
16
Page 17
Follow Up
19/11/14 20/11/14 21/11/14
S Batuk berkurang (+) Batuk berkurang (+) Batuk berkurang (+)
O Skala AVPU: AlertPAT:A : compos mentisB : retraksi (-), NCH (-)C : pucat (-), sianosis (+)
Tanda Vital:S : 36,6 oCN : 118 x/menitRR : 28 x/menit
St. Generalis:Mata : CA-/-, SI-/-, perdarahan subkonjungtiva +/+Hidung Telinga : dbnMulut : Sianosis (+)Thorax : Rh +/+, Wh-/-Abdomen : Datar, supel, BU (+) 3x/menitEkstremitas : Akral hangat, edema (-)
Skala AVPU: AlertPAT:A : compos mentisB : retraksi (-), NCH (-)C : pucat (-), sianosis (+)
Tanda Vital:S : 36,5 oCN : 118 x/menitRR : 28 x/menit
St. Generalis:Mata : CA-/-, SI-/-, perdarahan subkonjungtiva +/+Hidung Telinga : dbnMulut : Sianosis (+)Thorax : Rh +/+ minimal, Wh-/-Abdomen : Datar, supel, BU (+) 3x/menitEkstremitas : Akral hangat, edema (-)
Skala AVPU: AlertPAT:A : compos mentisB : retraksi (-), NCH (-)C : pucat (-), sianosis (-)
Tanda Vital:S : 36,6 oCN : 116 x/menitRR : 28 x/menit
St. Generalis:Mata : CA-/-, SI-/-, perdarahan subkonjungtiva +/+Hidung Telinga : dbnMulut : Sianosis (-)Thorax : Rh +/+ minimal, Wh-/-Abdomen : Datar, supel, BU (+) 3x/menitEkstremitas : Akral hangat, edema (-)
Leukosit 15.8
Eritrosit 4.1
Hb 11.5
Ht 41.0
MCV 86.0
MCH 28.7
MCHC 32.7
Tr 470
A Pertusis + Bronkopneumonia
duplex + Gizi kurang
Pertusis + Bronkopneumonia duplex +
Gizi kurang
Pertusis + Bronkopneumonia
duplex + Gizi kurangP - IVFD KaEN 3A 480
cc / 24 jam
- Azitromisin 1 x 50
mg
- IVFD KaEN 3A 480
cc / 24 jam
- Azitromisin 1 x 50 mg
- Cinam 2 x 200 mg
- Sanmol 6 x 500 mg
- Boleh pulang
- Azitromisin 1 x
50 mg
- Ambroxol syrup 3
17
Page 18
- Cinam 2 x 200 mg
- Sanmol 6 x 500 mg
(bila demam)
- Ambroxol syrup 3 x
1,5 Cth
- Inhalasi / 8 jam
(Combivent 0,5 cc +
NaCl 2 cc)
(bila demam)
- Ambroxol syrup 3 x 1,5
Cth
- Inhalasi / 8 jam
(Combivent 0,5 cc +
NaCl 2 cc)
x 1,5 Cth
18
Page 19
ANALISA KASUS
Pada kasus ini, ditegakkan diagnosa, atas dasar :
a. Anamnesis
- Batuk berdahak sejak kurang lebih 2 minggu SMRS, dahak berwarna
putih, lengket, jumlah sedikit, dahak berdarah disangkal.
- Kadang pasien terlihat sesak dan bibirnya tampak kebiruan. Setiap kali
batuk, hal itu terjadi terus menerus sampai perut Os teraba kencang.
- Kadang batuk diikuti dengan bunyi seperti menghirup nafas panjang.
- Terdapat demam, demam dirasakan naik turun.
b. Pemeriksaan fisik
- Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis
- Frekuensi nadi 120 x/menit, frekuensi pernapasan 32 x/menit, suhu tubuh
37,0 derajat celcius
- Pemeriksaan status generalis didapatkan perdarahan subkonjungtiva +/+
dan pada pemeriksaan thorax paru-paru terdapat ronkhi +/+.
c. Hasil laboratorium
- Dari hasil lab didapatkan leukositosis (28,2 ribu), trombositosis (620 ribu)
yang menandakan adanya suatu proses infeksi.
- Pada pemeriksaan analisa gas darah didapatkan asidosis metabolik
terkompensasi dengan pH 7.319, HCO3 20.2 dan PCO2 38.9
- Pada pemeriksaan foto thorax dada didapatkan infiltrat di parakardial dan
parahiler bilateral, kesan bronkopneumonia duplex.
19
Page 20
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan
di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah
pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih disukai dari batuk rejan (whooping
cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak (whoop artinya berteriak).
Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit
infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang
belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun.1,2,3
Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada anak,
terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000 kematian
disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Dengan
kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas
penyakit ini mulai menurun.4
II. EPIDEMIOLOGI
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada 60 juta
kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal. Selama masa pra-vaksin
tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit menular pada anak
di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi
kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang dari 5 tahun.1,2,3,5,6
Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4 tahun.6 Dalam
satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga lainnya. Pertusis dapat
mengenai semua golongan umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-5 tahun, umur penderita
termuda ialah 16 hari. Dahulu dikatakan bahwa perempuan terkena lebih sering daripada laki-
laki dengan perbandingan 0.9:1.1,3 Namun, perbandingan insidensi antara perempuan dan
laki-laki menjadi sama sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan proporsi anak belasan
tahun dan orang dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara bersama sampai 27%.7
Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertusis. Imunisasi sangat
mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan pertussis oleh karena itu di negara
dimana imunisasi belum merupakan prosedur rutin masih banyak didapatkan pertusis.
20
Page 21
Imunitas setelah imunisasi tidak berlangsung lama. Tingkat infeksi pertussis menurun drastis
setelah vaksin pertusis mulai digunakan secara luas, dan terendah sepanjang kasus yang
dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1976.5
Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidak cukup untuk mencegah
bayi baru lahir terhadap pertusis. Pertusis yang berat pada neonatus dapat ditemukan dari ibu
dengan gejala pertussis ringan. Kematian sangat menurun setelah diketahui bahwa dengan
pengobatan eritromisin dapat menurunkan tingkat penularan pertussis karena biakan
nasofaring akan negatif setelah 5 hari pengobatan. Tanpa reinfeksi alamiah dengan
B.pertussis atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua dan orang dewasa lebih
rentan terhadap penyakit ini jika terpajan.1
III. ETIOLOGI
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis,
adenovirus tipe 1, 2, 3, dan 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus
gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordotella pertusis ini mengakibatkan suatu
bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anak–anak kecil yang ditandai dengan batuk
paroksismal berulang dan stridor inspiratori memanjang ” batuk rejan”.1,3
Bordetellah pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerob minotil kecil dan tidak
membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak bergerak. Bisa
didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis dan kemudian ditanam
pada agar media Bordet – Gengou. Ada enam spesies dari Bordetella yaitu B. parapertussis,
B. bronchiseptica, B. avium, B. hinzii, B. holmesii, dan B. trematum. B. pertusis dan B.
parapertussis adalah dua patogen yang paling umum ditemukan pada manusia.8
Spesies Bordetella memiliki kesamaan tingkat homologi DNA yang tinggi pada gen
virulen, dan ada kontroversi apakah cukup ada perbedaan untuk menjamin klasifikasi sebagai
spesies yang berbeda. Hanya Bordetella Pertusis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP),
protein virulen yang utama. Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen klabil
panas. Dari 14 aglutinogen, 6 adalah spesifik untuk B.pertusis serotip bervariasi secara
geografis dan sesuai waktu.1
B.pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak sarinya
dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca penambahan
aerosol, agglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama FIM2 dan FIM3), dan
protein permukaan nonfimbria 69-kd yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan
terhadap sel sel epitel bersilia saluran pernapasan.1
21
Page 22
Sitotoksin trachea, adenilat siklase, dan TP tampak menghambat pembersihan
organisme. Sitotoksin trakea, faktor dermonekrotik, dan adenilat siklase diterima secara
dominan menyebabkan cedera epitel lokal yang menghasilkan gejala pernafasan dan
mempermudah penyerapan TP.1
TP terbukti mempunyai banyak aktivitas biologis (misal, sensitivitas histamin,
sekresi insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik
penyakit.1
IV. PATOGENESIS
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian
melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella
pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme
pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit sistemik.1,9
Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/
Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada
silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi dan menyebar
ke seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis
tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan
toksin yang akan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan whooping cough.1,9
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis
toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya
berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A yang aktif pada
daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag
ke daerah infeksi.1,9
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis
protein dalam membran sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel
target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamin dan
22
Page 23
serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktivitas insulin, sehingga
akan menurunkan konsentrasi gula darah.1,9
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hiperplasia jaringan limfoid
peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai
pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus
pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir akan
menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru.1,9
Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi pada saat
ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai
kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin atau sekunder
sebagai akibat anoksia.1
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel
mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik
terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi
yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis1.
23
Page 24
V. MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini
berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari setelah
terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga
pembentukan lendir semakin banyak.1
Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket. Infeksi
berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3 tahapan :1,10
1. Tahap Kataral
Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi, ciri-
cirinya menyerupai flu ringan :
Bersin-bersin
Mata berair
Nafsu makan berkurang
Lesu
Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi
sepanjang hari)
2. Tahap Paroksismal / tahap spasmodic (2-4 minggu)
Selama stadium ini batuk menjadi hebat ditandai oleh whoop (batuk yang
bunyinya nyaring) sering terdengar pada saat penderita menarik nafas pada
akhir serangan batuk. Batuk dengan sering 5 – 10 kali, selama batuk anak tak
dapat bernafas dan pada akhir serangan batuk anak mulai menarik nafas
denagn cepat dan dalam. Sehingga terdengar bunyi melengking (whoop) dan
diakhiri dengan muntah.
Batuk ini dapat berlangsung terus menerus, selama beberapa bulan tanpa
adanya infeksi aktif dan dapat menjadi lebih berat.
Selama serangan, wajah merah, sianosis, mata tampak menonjol, lidah
terjulur, lakrimasi, salvias dan pelebaran vena leher.
Batuk mudah dibangkitkan oleh stress emosional misal menangis dan aktivitas
fisik (makan, minum, bersin dll).
3. Tahap Konvalesen
24
Page 25
Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk semakin
berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik. Kadang batuk
terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran pernafasan.
VI. DIAGNOSIS
Anamnesis
Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala klinis
pertusis lainnya, faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat
imunisasi.
Pemeriksaan fisik
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat
pasien diperiksa.
Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000-50.000 dengan
limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium paroksismal.
Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis oleh karena respon
limfositosis juga terjadi pada infeksi lain.1,3,10
Isolasi B.pertussis dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis
pertusis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94%
pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya.1,3,10
Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan
adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk
menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT. Nilai serum IgM FHA dan
PT menggambarkan respon imun primer baik disebabkan penyakit atau vaksinasi. IgG
toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik untuk mengetahui
infeksi dan tidak tampak setelah pertusis10,12.
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler,
atelektasis atau emfisema.
25
Page 26
Diagnosis banding pertusis pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis, pneumonia
bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis dan penyakit lain yang menyebabkan
limfadenopati dengan penekanan di luar trakea dan bronkus.
Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium.
Benda asing juga dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya gejalanya
mendadak dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologi dan endoskopi. Infeksi
B. parapertussis, B. bronkiseptika, dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis
B.pertussis, dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab.1
VII. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati keparahan
batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan penyembuhan
tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk menilai kemajuan penyakit
dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada puncak penyakit, mencegah atau
mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada riwayat alamiah penyakit dan pada
perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi,
keadaan ini disempurnakan dalam 48-72 jam.1,11
Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi terus di monitor.
Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan pemberian makan, muntah, dan perubahan berat
memberikan data untuk penilaian keparahan. Paroksismal khas yang tidak membahayakan
mempunyai tanda sebagai berikut lamanya kurang dari 45 detik, perubahan warna merah
tetapi tidak biru, bradikardi, atau desaturasi oksigen yang secara spontan selesai pada akhir
paroksismal, berteriak atau kekuatan untuk menyelamatkan diri pada akhir paroksismal,
mengeluarkan sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi bukan tidak berespons.1,11
Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan faktor-faktor
yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi, oksigen dapat diberikan
pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan lendir terutama pada bayi dengan
pneumonia dan distres pernapasan. Beberapa agen terapeutik atau medikamentosa yang
digunakan pada pasien pertusis adalah sebagai berikut :1,11,12
Antimikroba
Antimikroba selalu diberikan bila pertusis dicurigai atau diperkuat karena
kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran infeksi. Eritromisin, 40-50
mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi empat (maksimum 2 g/24 jam) selama
26
Page 27
14 hari merupakan pengobatan baku. Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat yang
diberikan dengan dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis, dengan dosis 60
mg/kg/24 jam dibagi menjadi tiga dosis, dan eritromicin estolat diberikan dengan
dosis 40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis menunjukkan pelenyapan organisme
pada 98% anak. Azitromisin, Claritomisin, Ampisillin, Rifampin, Trimethoprim-
Sulfametoksasol cukup aktif tetapi sefalosporin generasi pertama dan ke-2 tidak. Pada
penelitian klinis, eritromicin lebih unggul daripada amoksisilin untuk pelenyapan B.
Pertussis.
VIII. PENCEGAHAN
1. Imunisasi aktif
Dosis total 12 unit protektif vaksin pertusis dalam 3 dosis yang seimbang
dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid pertusis,
difteria dan tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat,
imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak-
anak berumur > 7 tahun tidak rutin diimunisasi.1,11,13,14
Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama adolesens
infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai sumber infeksi B.
pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0.25 ml IM) telah
dipakai untuk mengontrol epidemi diantara orang dewasa yang terpapar.13,14
Efek samping sesudah imunisasi pertusis termasuk manifestasi umum seperti
eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering terjadi panas,
mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati,
anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam dapat dikurangi dengan pemberian
asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk
selama 48-72 jam.1,11,14
Imunisasi pertama pertusis ditunda atau dihilangkan jika penyakit panas,
kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat kejang.
Riwayat keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) atau reaksi
berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah kontra indikasi untuk imunisasi pertusis.
Kontraindikasi untuk pemberian vaksin pertusis berikutnya termasuk ensefalopati
dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3
27
Page 28
hari sebelum imunisasi, menangis 3 jam, “high picth cry” dalam 2 hari, kolaps atau
hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu badan tinggi sampai dengan 40,5 derajat
celcius dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis.1,11,13,14
2. Kontak dengan penderita
Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru lahir dan
ibu-ibu dengan pertusis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, peroral
selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang telah mendapatkan imunisasi juga
diberikan eritromisin profilaksis. Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi
penyebaran infeksi eliminasi B. pertussis dari saluran pernafasan dan mengurangi
gejala-gejala penyakit.1,11,12
Orang-orang yang kontak dengan penderita pertusis yang belum mendapat
imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah kontak
diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin diberikan sampai
batuk penderita berhenti atau mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertussis
monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi epidemi.1,11,12
IX. KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat.1,11
Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada 90% kematian pada anak-anak B.
pertusis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria sekunder (H.influenzae,
S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes).1,11
TBC laten dapat juga menjadi aktif
Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan lendir yang kental.
Aspirasi lendir atau muntah dapat menimbulkan pneumonia
Panas tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh bakteria
Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema
interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasis dapat timbul dan menetap
Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia.
Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat menyebabkan
perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural, perdarahan intrakranial,
ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan
gangguan nutrisi.1,11
28
Page 29
Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia serebral
(asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang dapat disebabkan
oleh temperatur tinggi.1,10
Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap Syndrome of
Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH).10
X. PROGNOSIS
Angka kematian karena pertusis telah menurun menjadi 10/1000 kasus. Rasio kasus
kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8% selama tahun 2000-2004 di USA. Persentase rawat inap
pada dewasa sebesar 3% (12% dewasa tua). Tingkat berkembangnya menjadi pneumonia
hingga 5% dan mengalami patah tulang rusuk sampai 4%.1. Kebanyakan kematian
disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru lain.1,12
DAFTAR PUSTAKA
29
Page 30
1. S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta : EGC. 181: 960-965.
2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. (2003). Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia : FK Unpad : 80-86.
3. Law Barbara J. (2008). Pertussis. Kendig’s : Disorders of Respiratory Tract in Children. WB Saunders. 6th edition. Philadelphia, USA. Chapter 62. h :1018-1023.
4. Heininger, U. (2010). Update on pertussis in children. Expert review of anti-infective therapy 8 (2): 163–73.
5. Black S. (1997). Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J. Diakses 23 Desember 2011 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9109162.
6. Cherry JD. (2005). The epidemiology of pertussis: a comparison of the epidemiology of the disease pertussis with the epidemiology of Bordetella pertussis infection. Pediatrics : 115:1422-1427. Diakses 30 Desember 2011 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15867059.
7. Farizo KM. (2002). Epidemiological features of pertussis in the United States, 1980-1989. Clin Infect Dis ; 14(3):708-19. Diakses 23 Desember 2011 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1562663.
8. Hewlett EL. (2005). Bordetella species. In: Principles and Practice of Infectious Diseases, 6th ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds), Churchill Livingstone, Philadelphia. p.2701. Diakses dari, http://www.uptodate.com/contents/microbiology-pathogenesis-and-epidemiology-of-bordetella-pertussis-infection#H3.
9. Todar, Kenneth. (2011). Bordetella pertussis and Whooping Cough. Diakses dari http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html.
10. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine. Missouri, USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699.
11. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h: 564-566.
12. Tejpratap Tiwari. (2005). Recommended Antimicrobial Agents for the Treatment and Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline. http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm
13. Kretsinger K, Broder KR, Cortese MM, et al. (2006). Preventing tetanus, diphtheria, and pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccine. MMWR Recomm Rep. 55(RR-17):1-33. Diakses 30 Januari 2012 dari https://online.epocrates.com/u/2951682/Pertussis/FollowUp/Overview.
30
Page 31
14. Update: Vaccine Side Effects, Adverse Reactions, Contraindications, and Precautions Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices. http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00046738.htm
31