Top Banner
SAJIAN KASUS 1. IDENTITAS PASIEN Nama : An. AA Umur : 3 bulan Tanggal Lahir : 14 Agustus 2014 Jenis Kelamin : Laki-laki No. MR : 03471415 Agama : Islam Suku : Jawa Alamat : Jl. H. Ibong RT 002 / RW 009 Bantar Gebang Bangsal : Melati Masuk RS : 14 November 2014 Keluar RS : IDENTITAS ORANG TUA Ayah Nama Lengkap: Tn. H Usia : 33 tahun Suku Bangsa : Jawa Agama : Islam Pendidikan : SMA Pekerjaan : Wiraswasta Alamat : Jl. H. Ibong RT 002 / RW 009 Bantar Gebang 1
43

Case Pertusis

Jan 18, 2016

Download

Documents

devitaafriska

case anak pertusis
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Case Pertusis

SAJIAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. AA

Umur : 3 bulan

Tanggal Lahir : 14 Agustus 2014

Jenis Kelamin : Laki-laki

No. MR : 03471415

Agama : Islam

Suku : Jawa

Alamat : Jl. H. Ibong RT 002 / RW 009 Bantar Gebang

Bangsal : Melati

Masuk RS : 14 November 2014

Keluar RS :

IDENTITAS ORANG TUA

Ayah

Nama Lengkap : Tn. H

Usia : 33 tahun

Suku Bangsa : Jawa

Agama : Islam

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Jl. H. Ibong RT 002 / RW 009 Bantar Gebang

Ibu

Nama Lengkap : Ny. A

Usia : 28 tahun

1

Page 2: Case Pertusis

Suku bangsa : Jawa

Agama : Islam

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Penghasilan : -

Alamat : Jl. H. Ibong RT 002 / RW 009 Bantar Gebang

Hubungan dengan orang tua : Anak Kandung

II. ANAMNESIS (Alloanamnesis)

Anamnesis dengan orang tua pasien dilakukan pada tanggal 17 November 2014 pukul

12.00 WIB di Bangsal Melati RSUD Kota Bekasi dan didukung catatan medis.

Keluhan Utama : Batuk berdahak sejak kurang lebih 2 minggu SMRS

Keluhan Tambahan : Demam, sesak nafas

Riwayat Penyakit Sekarang

Seorang anak laki-laki berumur 3 bulan dibawa oleh orang tua pasien ke IGD RSUD

Kota Bekasi pada tanggal 14 November 2014, dengan keluhan batuk berdahak kurang lebih 2

minggu SMRS. Dahak berwarna putih, lengket, jumlah sedikit, dahak berdarah disangkal.

Batuk lebih sering pada malam hari, kadang Os terlihat sesak dan bibirnya tampak kebiruan.

Awalnya batuk kering dan tidak sesering sekarang namun makin lama batuk terlihat semakin

berat. Setiap kali batuk, hal itu terjadi terus menerus sampai perut Os teraba kencang. Kadang

batuk diikuti dengan bunyi seperti menghirup nafas panjang. Keluhan batuk tersebut disertai

dengan demam, demam dirasakan naik turun dan tidak pernah diukur dengan termometer.

Gejala lain seperti muntah, diare, kejang, dan keringat malam disangkal orang tua Os. Selama

timbul keluhan batuk, Os nafsu minum susu Os berkurang. Buang air besar dan buang air

kecil normal. Ibu Os mengatakan bahwa 1 minggu sebelum timbul keluhan batuk pada Os,

kakak Os sempat mengalami keluhan batuk-batuk. Namun sembuh setelah diberi obat batuk.

2

Page 3: Case Pertusis

Riwayat Penyakit Dahulu

Penyakit Umur Penyakit Umur

Diare - Morbili -

Otitis - Parotitis -

Radang Paru - Demam berdarah -

Tuberkulosis - Demam tifoid -

Kejang - Cacingan -

Ginjal - Alergi -

Jantung - Kecelakan -

Darah - Operasi -

Difteri - Lain-lain -

Tidak mempunyai riwayat alergi makan maupun obat-obatan

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa

Riwayat Pemeriksaan Kehamilan dan Kelahiran

KEHAMILAN Morbiditas kehamilan

Tidak ditemukan kelainan

Perawatan antenatal

Periksa ke bidan 1 kali/ bulan, vaksin TT 2 kali

KELAHIRAN Tempat kelahiran PuskesmasPenolong persalinan

Bidan

Cara persalinan Partus pervaginamMasa gestasi Cukup bulan (39 minggu)

Keadaan bayi Berat badan lahir : 3000 g

Panjang badan : 47 cm

Lingkar kepala : -

Langsung Menangis : +

Nilai APGAR : -

Kelainan bawaan : Tidak ada

3

Page 4: Case Pertusis

Kesan : Riwayat kehamilan dan persalinan baik.

Riwayat Pertumbuhan/Perkembangan

Pertumbuhan gigi pertama : - (Normal : 5-9 bulan)

Psikomotor

Tengkurap : 3 bulan (Normal : 3-4 bulan)

Duduk : - (Normal : 6 bulan)

Berdiri : - (Normal : 9-12 bulan)

Berjalan : - (Normal : 13 bulan)

Berbicara : - (Normal : 9-12 bulan)

Membaca : -

Perkembangan Pubertas

Rambut pubis : belum ada

Perubahan suara : belum ada

Saat ini anak berusia 3 bulan. Tidak ada gangguan perkembangan dalam mental dan

emosi. Interaksi dengan orang sekitar baik.

Kesan: Pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai umur

Riwayat Makan dan Minum

Di bawah 1 tahun

Umur (bulan) ASI/PASI Buah/Biskuit Bubur Susu Nasi Tim0 – 2 +

(ASI hanya sampai usia 2 minggu,

dilanjutkan dengan susu formula)

- - -

2 – 4 + - - -

4

Page 5: Case Pertusis

Riwayat Imunisasi

Vaksin Dasar (Umur)

BCG 1 bulan

DPT / DT 2 bulan

POLIO 0 bulan 2 bulan

CAMPAK -

HEPATITIS B - -

Kesan : imunisasi dasar pasien belum lengkap sesuai dengan usianya karena belum

mendapatkan imunisasi Hepatitis B sejak lahir.

Riwayat Keluarga (corak reproduksi)

Hubunga

n

Umur

(Tahun)

Jenis

Kelamin

Keadaan

Kesehatan

Penyebab

Meninggal

Kakek Tidak tahu Laki-laki Sehat

Nenek Tidak tahu Perempuan Sehat -

Ayah 33 tahun Laki-laki Sehat -

Ibu 28 tahun Perempuan Sehat -

Lahir Usia

kehamilan

BBL PB LK LD

An. ZA Spontan

(dibidan)

± 39 mg 3200 gr 48 cm Lupa Lupa

An. AA

(pasien)

Spontan

(dibidan)

± 39 mg 3000 gr 47 cm Lupa Lupa

Kesan : Anak kedua dari dua bersaudara

5

Page 6: Case Pertusis

Keluarga Berencana

Ibu pasien mengaku tidak mengikuti program KB

Riwayat Sosial Ekonomi

Ayah pasien bekerja sebagai wiraswasta sedangkan ibu pasien adalah ibu rumah

tangga. Ayah pasien menanggung 1 istri dan 2 orang anak. Biaya pengobatan menggunakan

BPJS.

Kesan: riwayat sosial ekonomi kurang.

Data Perumahan

Kepemilikan : Rumah sendiri

Keadaan Rumah : Dinding rumah tembok, kamar berjumlah 2, 1 kamar mandi

di dalam rumah. Rumah berada di pemukiman yang cukup

padat penduduk, tembok dengan tetangga berdekatan. Sumber

air minum PAM. Pencahayaan baik dan ventilasi rumah cukup.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Telah dilakukan pemeriksaan fisik pada tanggal 17/11/2014 di Bangsal Melati.

Keadaan umum

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Derajat kesadaran: Compos mentis

Status gizi : Gizi kurang

Tanda vital

Tekanan darah : -

Suhu : 37,0 derajat celcius per aksiler

Nadi : 120x/ menit

Rerpirasi : 32 x/menit, tipe abdominothorakal

Data antropometri

BB : 4,7 kg

TB : 60 cm

BB/U : 4,7/6,5 x 100 % : 72,3 % Gizi kurang

6

Page 7: Case Pertusis

TB/U : 60/61 x100% : 98,4% Gizi baik

BB/TB : 4,7/6 x 100% : 78,3 % Gizi kurang

7

Page 8: Case Pertusis

8

Page 9: Case Pertusis

Status Generalis

Kepala : Normocephali, tidak terdapat deformitas, rambut hitam, distribusi rambut merata

Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, mata merah -/-, lakrimasi -/-, pupil bulat

isokor, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+, perdarahan

subkonjungtiva +/+

Hidung : Simetris, deviasi septum (-), deformitas (-), sekret (-), epistaksis (-)

Mulut : Bibir simetris, sianosis (-), mukosa lidah merah muda, mukosa mulut basah (+)

tonsil T1-T1, caries (-)

Telinga : Normotia, nyeri tekan tragus (-), nyeri tarik (-), serumen (-)

Leher : KGB tidak teraba membesar

Thorax

Paru : Inspeksi : Gerakan dada simetris kanan dan kiri, retraksi (-)

areola & papilla mammae (+)

Palpasi : Gerak napas simetris, vocal fremitus simetris kanan dan kiri

Auskultasi : Suara nafas vesikuler, Ronkhi (+/+), Wheezing (-/-)

Perkusi : Sonor seluruh lapang paru

Jantung : Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Teraba ictus cordis pada ICS V, 1 cm medial linea

midclavicularis kiri

Perkusi : Batas jantung kanan setinggi ICS II-ICS IV parasternalis dextra

Batas jantung atas setinggi ICS II parasternalis sinistra

Batas jantung kiri setinggi ICS IV midclavicularis sinistra

Auskultasi : S1-S2 reguler, Gallop (-), Murmur (-)

9

Page 10: Case Pertusis

Abdomen :

Inspeksi : Datar

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Supel di seluruh regio abdomen, hepar lien tidak teraba membesar

Perkusi : Timpani, Shifting dullness (-)

Ekstremitas :

Superior : Inspeksi : Simetris, deformitas (-), ikterik (-), ptechiae (-), sianosis (-)

Palpasi : Hangat, tonus otot baik, akral hangat (+/+), turgor kulit baik

Inferior : Inspeksi : Simetris, deformitas (-), ptechiae (-) ikterik(–), sianosis (-)

Palpasi : Hangat, tonus otot baik, akral hangat (+/+), turgor kulit baik

Anus dan rektum : Perianal eritem (-)

Genitalia : Fimosis (-), OUE hiperemis (-)

Tulang belakang : Kifosis(-), lordosis(-), skoliosis(-)

IV. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

Sistem Motorik

Tropi : Eutrofi

Tonus otot : Normal

Kekuatan otot :

Ekstremitas atas proksimal distal : 5 5 5 5 │ 5 5 5 5

Ekstremitas bawah proksimal distal : 5 5 5 5 │ 5 5 5 5

Interpretasi : tidak ada kelainan neurologi

10

Page 11: Case Pertusis

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan 14/11/14

Darah Rutin

Leukosit (5 – 10 ribu/uL) 28.2

Eritrosit (4 – 5 juta/uL) 3.66

Hemoglobin (11 – 14.5 g/dL) 10.7

11

Page 12: Case Pertusis

Hematokrit (40 – 54 %) 34.8

MCV (75 – 87 fL) 95.1

MCH (24 – 30 pg) 29.2

MCHC (31 – 37 %) 30.7

Trombosit (150 – 400 ribu/uL) 620

KIMIA KLINIK

Diabetes

Glukosa Darah Sewaktu 93

Elektrolit

Natrium (Na) 136

Kalium (K) 4.7

Clorida (Cl) 97

Pemeriksaan 15 / 11 / 2014 Pemeriksaan 15 / 11 / 2014

Darah Lengkap KIMIA KLINIK

Laju Endap Darah 3 Analisa Gas Darah

Leukosit 28.7 pH 7.319

Hitung Jenis PCO2 38.9

Basofil 0 PO2 160.3

Eosinofil 0 O2 Saturasi (SO2 %) 99.3

Batang 3 HCO3 20.2

Segment 21 TCO2 21.4

Limfosit 74 BE ecf -6.1

Monosit 2 BE blood -4.8

Eritrosit 3.83 Std HCO3 (SBC) 20.5

Hemoglobin 11.0 O2 Content 16.8

Hematokrit 36.8 O2 Cap 16.4

Index Eritrosit Alveolar Oxygen 153.6

MCV 96.2 Suhu 37.0

MCH 28.7 Hb 11.8

MCHC 29.9 O2 2

Trombosit 650 FIO2 28.0

12

Page 13: Case Pertusis

IMUNOSEROLOGI

CRP Kualitatif Non Reaktif

Pemeriksaan Radiologi

Skeletal normal

Cor, sinus, dan diafragma normal

Pulmo : Corakan normal. Tampak infiltrate di parakardial dan parahiler bilateral.

Kesan : Bronkopneumonia duplex

VI. RESUME

Seorang anak laki-laki berumur 3 bulan dibawa oleh orang tua pasien ke IGD RSUD

Kota Bekasi pada tanggal 14 November 2014, dengan keluhan batuk berdahak kurang lebih 2

minggu SMRS. Dahak berwarna putih, lengket, jumlah sedikit, dahak berdarah disangkal.

Batuk lebih sering pada malam hari, kadang Os terlihat sesak dan bibirnya tampak kebiruan.

Awalnya batuk kering dan tidak sesering sekarang namun makin lama batuk terlihat semakin

berat. Setiap kali batuk, hal itu terjadi terus menerus sampai perut Os teraba kencang. Kadang

batuk diikuti dengan bunyi seperti menghirup nafas panjang. Keluhan batuk tersebut disertai

dengan demam, demam dirasakan naik turun dan tidak pernah diukur dengan termometer.

13

Page 14: Case Pertusis

Selama timbul keluhan batuk, Os nafsu minum susu Os berkurang. Ibu Os mengatakan

bahwa 1 minggu sebelum timbul keluhan batuk pada Os, kakak Os sempat mengalami

keluhan batuk-batuk. Namun sembuh setelah diberi obat batuk.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran

compos mentis, frekuensi nadi 120 x/menit, frekuensi pernapasan 32 x/menit, suhu tubuh

37.0˚C, berat badan 4,7 kg, tinggi badan 60 cm. Pemeriksaan status generalis didapatkan

perdarahan subkonjungtiva +/+ dan pada pemeriksaan thorax paru-paru terdapat ronkhi +/+.

Dari hasil lab didapatkan leukositosis, trombositosis, anemia. Pada pemeriksaan analisa gas

darah didapatkan asidosis metabolik. Pada pemeriksaan foto thorax dada didapatkan infiltrat

di parakardial dan parahiler bilateral, kesan bronkopneumonia duplex.

VII. DIAGNOSA KERJA

1. Pertusis2. Gizi kurang

VIII. DIAGNOSA BANDING

1. TB Paru

2. Bronkhitis

IX. PENATALAKSANAAN

Non Medikamentosa

1. Rawat di ruang perawatan isolasi (anjuran)

2. O2 nasal 2 liter / menit

3. Edukasi orang tua mengenai penyakit anak

4. Konsultasi ahli gizi

Medikamentosa

1. IVFD KaEN 3A 480 cc / 24 jam

2. Azitromisin 1 x 50 mg

3. Cinam 2 x 200 mg

4. Sanmol 6 x 500 mg (bila demam)

14

Page 15: Case Pertusis

5. Ambroxol syrup 3 x 1,5 Cth

6. Azitromisin 1 x 50 mg

7. Inhalasi / 8 jam (Combivent 0,5 cc + NaCl 2 cc)

Rencana Pemeriksaan :

1. Laboratorium

Darah rutin: Hb, Ht, Leukosit, Trombosit

Elektrolit: Na, K, Cl

Analisa Gas Darah

Glukosa Darah Sewaktu

2. Foto Thoraks AP

X. PROGNOSIS

Ad Vitam : Ad bonam

Ad Sanationam : Dubia ad bonam

Ad Fungsionam : Ad bonam

XI. FOLLOW UP

Follow Up

15/11/14 16/11/14 17/11/14 18/11/14

S Batuk (+)Setiap batuk bibir membiru

Batuk (+)Setiap batuk bibir membiruDemam (+)

Batuk (+) Batuk berkurang (+)

O Skala AVPU: AlertPAT:A : compos mentisB : retraksi (-), NCH (-)C : pucat (-), sianosis (+)

Tanda Vital:S : 37 oCN : 120 x/menitRR : 32 x/menit

St. Generalis:Mata : CA-/-, SI-/-, perdarahan subkonjugtiva +/+Hidung Telinga : dbn

Skala AVPU: AlertPAT:A : compos mentisB : retraksi (-), NCH (-)C : pucat (-), sianosis (+)

Tanda Vital:S : 37,7 oCN : 120 x/menitRR : 32 x/menit

St. Generalis:Mata : CA-/-, SI-/-, perdarahan subkonjugtiva +/+Hidung Telinga : dbn

Skala AVPU: AlertPAT:A : compos mentisB : retraksi (-), NCH (-)C : pucat (-), sianosis (-)

Tanda Vital:S : 36,7 oCN : 118 x/menitRR : 30 x/menit

St. Generalis:Mata : CA-/-, SI-/-, perdarahan subkonjugtiva +/+Hidung Telinga :

Skala AVPU: AlertPAT:A : compos mentisB : retraksi (-), NCH (-)C : pucat (-), sianosis (-)

Tanda Vital:S : 36,8 oCN : 118 x/menitRR : 28 x/menit

St. Generalis:Mata : CA-/-, SI-/-, perdarahan subkonjugtiva +/+Hidung Telinga :

15

Page 16: Case Pertusis

Mulut : Sianosis (+)Thorax : Rh +/+, Wh-/-Abdomen : Datar, supel, BU (+) 4x/menitEkstremitas : Akral hangat, edema (-)

Mulut : Sianosis (+)Thorax : Rh +/+, Wh-/-Abdomen : Datar, supel, BU (+) 3x/menitEkstremitas : Akral hangat, edema (-)

dbnMulut : Sianosis (-)Thorax : Rh +/+, Wh-/-Abdomen : Datar, supel, BU (+) 3x/menitEkstremitas : Akral hangat, edema (-)

dbnMulut : Sianosis (-)Thorax : Rh +/+, Wh-/-Abdomen : Datar, supel, BU (+) 3x/menitEkstremitas : Akral hangat, edema (-)

Leukosit 28.7

Eritrosit 3.83

Hb 11.0

Ht 36.8

MCV 96.2

MCH 28.7

MCHC 29.9

Tr 650

CRP Non

reaktif

A Pertusis + Susp. Bronkopneumonia +

Gizi kurang

Pertusis + Bronkopneumonia

duplex + Gizi kurang

Pertusis + Bronkopneumonia

duplex + Gizi kurang

Pertusis + Bronkopneumonia

duplex + Gizi kurang

P - IVFD KaEN 3A

480 cc / 24 jam

- Azitromisin 1 x 50

mg

- Cinam 2 x 200 mg

- Sanmol 6 x 500 mg

(bila demam)

- Ambroxol syrup 3

x 1,5 Cth

- Inhalasi / 8 jam

(Combivent 0,5 cc +

NaCl 2 cc)

- IVFD KaEN 3A

480 cc / 24 jam

- Azitromisin 1 x

50 mg

- Cinam 2 x 200 mg

- Sanmol 6 x 500

mg (bila demam)

- Ambroxol syrup 3

x 1,5 Cth

- Inhalasi / 8 jam

(Combivent 0,5 cc

+ NaCl 2 cc)

- IVFD KaEN 3A

480 cc / 24 jam

- Azitromisin 1 x

50 mg

- Cinam 2 x 200

mg

- Sanmol 6 x 500

mg (bila demam)

- Ambroxol syrup

3 x 1,5 Cth

- Inhalasi / 8 jam

(Combivent 0,5 cc

+ NaCl 2 cc)

- IVFD KaEN 3A

480 cc / 24 jam

- Azitromisin 1 x

50 mg

- Cinam 2 x 200

mg

- Sanmol 6 x 500

mg (bila demam)

- Ambroxol syrup

3 x 1,5 Cth

- Inhalasi / 8 jam

(Combivent 0,5 cc

+ NaCl 2 cc)

16

Page 17: Case Pertusis

Follow Up

19/11/14 20/11/14 21/11/14

S Batuk berkurang (+) Batuk berkurang (+) Batuk berkurang (+)

O Skala AVPU: AlertPAT:A : compos mentisB : retraksi (-), NCH (-)C : pucat (-), sianosis (+)

Tanda Vital:S : 36,6 oCN : 118 x/menitRR : 28 x/menit

St. Generalis:Mata : CA-/-, SI-/-, perdarahan subkonjungtiva +/+Hidung Telinga : dbnMulut : Sianosis (+)Thorax : Rh +/+, Wh-/-Abdomen : Datar, supel, BU (+) 3x/menitEkstremitas : Akral hangat, edema (-)

Skala AVPU: AlertPAT:A : compos mentisB : retraksi (-), NCH (-)C : pucat (-), sianosis (+)

Tanda Vital:S : 36,5 oCN : 118 x/menitRR : 28 x/menit

St. Generalis:Mata : CA-/-, SI-/-, perdarahan subkonjungtiva +/+Hidung Telinga : dbnMulut : Sianosis (+)Thorax : Rh +/+ minimal, Wh-/-Abdomen : Datar, supel, BU (+) 3x/menitEkstremitas : Akral hangat, edema (-)

Skala AVPU: AlertPAT:A : compos mentisB : retraksi (-), NCH (-)C : pucat (-), sianosis (-)

Tanda Vital:S : 36,6 oCN : 116 x/menitRR : 28 x/menit

St. Generalis:Mata : CA-/-, SI-/-, perdarahan subkonjungtiva +/+Hidung Telinga : dbnMulut : Sianosis (-)Thorax : Rh +/+ minimal, Wh-/-Abdomen : Datar, supel, BU (+) 3x/menitEkstremitas : Akral hangat, edema (-)

Leukosit 15.8

Eritrosit 4.1

Hb 11.5

Ht 41.0

MCV 86.0

MCH 28.7

MCHC 32.7

Tr 470

A Pertusis + Bronkopneumonia

duplex + Gizi kurang

Pertusis + Bronkopneumonia duplex +

Gizi kurang

Pertusis + Bronkopneumonia

duplex + Gizi kurangP - IVFD KaEN 3A 480

cc / 24 jam

- Azitromisin 1 x 50

mg

- IVFD KaEN 3A 480

cc / 24 jam

- Azitromisin 1 x 50 mg

- Cinam 2 x 200 mg

- Sanmol 6 x 500 mg

- Boleh pulang

- Azitromisin 1 x

50 mg

- Ambroxol syrup 3

17

Page 18: Case Pertusis

- Cinam 2 x 200 mg

- Sanmol 6 x 500 mg

(bila demam)

- Ambroxol syrup 3 x

1,5 Cth

- Inhalasi / 8 jam

(Combivent 0,5 cc +

NaCl 2 cc)

(bila demam)

- Ambroxol syrup 3 x 1,5

Cth

- Inhalasi / 8 jam

(Combivent 0,5 cc +

NaCl 2 cc)

x 1,5 Cth

18

Page 19: Case Pertusis

ANALISA KASUS

Pada kasus ini, ditegakkan diagnosa, atas dasar :

a. Anamnesis

- Batuk berdahak sejak kurang lebih 2 minggu SMRS, dahak berwarna

putih, lengket, jumlah sedikit, dahak berdarah disangkal.

- Kadang pasien terlihat sesak dan bibirnya tampak kebiruan. Setiap kali

batuk, hal itu terjadi terus menerus sampai perut Os teraba kencang.

- Kadang batuk diikuti dengan bunyi seperti menghirup nafas panjang.

- Terdapat demam, demam dirasakan naik turun.

b. Pemeriksaan fisik

- Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis

- Frekuensi nadi 120 x/menit, frekuensi pernapasan 32 x/menit, suhu tubuh

37,0 derajat celcius

- Pemeriksaan status generalis didapatkan perdarahan subkonjungtiva +/+

dan pada pemeriksaan thorax paru-paru terdapat ronkhi +/+.

c. Hasil laboratorium

- Dari hasil lab didapatkan leukositosis (28,2 ribu), trombositosis (620 ribu)

yang menandakan adanya suatu proses infeksi.

- Pada pemeriksaan analisa gas darah didapatkan asidosis metabolik

terkompensasi dengan pH 7.319, HCO3 20.2 dan PCO2 38.9

- Pada pemeriksaan foto thorax dada didapatkan infiltrat di parakardial dan

parahiler bilateral, kesan bronkopneumonia duplex.

19

Page 20: Case Pertusis

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan

di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah

pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih disukai dari batuk rejan (whooping

cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak (whoop artinya berteriak).

Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit

infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang

belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun.1,2,3

Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada anak,

terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000 kematian

disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Dengan

kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas

penyakit ini mulai menurun.4

II. EPIDEMIOLOGI

Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat

menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada 60 juta

kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal. Selama masa pra-vaksin

tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit menular pada anak

di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi

kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang dari 5 tahun.1,2,3,5,6

Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4 tahun.6 Dalam

satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga lainnya. Pertusis dapat

mengenai semua golongan umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-5 tahun, umur penderita

termuda ialah 16 hari. Dahulu dikatakan bahwa perempuan terkena lebih sering daripada laki-

laki dengan perbandingan 0.9:1.1,3 Namun, perbandingan insidensi antara perempuan dan

laki-laki menjadi sama sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan proporsi anak belasan

tahun dan orang dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara bersama sampai 27%.7

Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertusis. Imunisasi sangat

mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan pertussis oleh karena itu di negara

dimana imunisasi belum merupakan prosedur rutin masih banyak didapatkan pertusis.

20

Page 21: Case Pertusis

Imunitas setelah imunisasi tidak berlangsung lama. Tingkat infeksi pertussis menurun drastis

setelah vaksin pertusis mulai digunakan secara luas, dan terendah sepanjang kasus yang

dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1976.5

Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidak cukup untuk mencegah

bayi baru lahir terhadap pertusis. Pertusis yang berat pada neonatus dapat ditemukan dari ibu

dengan gejala pertussis ringan. Kematian sangat menurun setelah diketahui bahwa dengan

pengobatan eritromisin dapat menurunkan tingkat penularan pertussis karena biakan

nasofaring akan negatif setelah 5 hari pengobatan. Tanpa reinfeksi alamiah dengan

B.pertussis atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua dan orang dewasa lebih

rentan terhadap penyakit ini jika terpajan.1

III. ETIOLOGI

Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis,

adenovirus tipe 1, 2, 3, dan 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus

gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordotella pertusis ini mengakibatkan suatu

bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anak–anak kecil yang ditandai dengan batuk

paroksismal berulang dan stridor inspiratori memanjang ” batuk rejan”.1,3

Bordetellah pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerob minotil kecil dan tidak

membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak bergerak. Bisa

didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis dan kemudian ditanam

pada agar media Bordet – Gengou. Ada enam spesies dari Bordetella yaitu B. parapertussis,

B. bronchiseptica, B. avium, B. hinzii, B. holmesii, dan B. trematum. B. pertusis dan B.

parapertussis adalah dua patogen yang paling umum ditemukan pada manusia.8

Spesies Bordetella memiliki kesamaan tingkat homologi DNA yang tinggi pada gen

virulen, dan ada kontroversi apakah cukup ada perbedaan untuk menjamin klasifikasi sebagai

spesies yang berbeda. Hanya Bordetella Pertusis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP),

protein virulen yang utama. Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen klabil

panas. Dari 14 aglutinogen, 6 adalah spesifik untuk B.pertusis serotip bervariasi secara

geografis dan sesuai waktu.1

B.pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak sarinya

dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca penambahan

aerosol, agglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama FIM2 dan FIM3), dan

protein permukaan nonfimbria 69-kd yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan

terhadap sel sel epitel bersilia saluran pernapasan.1

21

Page 22: Case Pertusis

Sitotoksin trachea, adenilat siklase, dan TP tampak menghambat pembersihan

organisme. Sitotoksin trakea, faktor dermonekrotik, dan adenilat siklase diterima secara

dominan menyebabkan cedera epitel lokal yang menghasilkan gejala pernafasan dan

mempermudah penyerapan TP.1

TP terbukti mempunyai banyak aktivitas biologis (misal, sensitivitas histamin,

sekresi insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik

penyakit.1

IV. PATOGENESIS

Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian

melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella

pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme

pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit sistemik.1,9

Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/

Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada

silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi dan menyebar

ke seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis

tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan

toksin yang akan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan whooping cough.1,9

Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis

toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya

berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A yang aktif pada

daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag

ke daerah infeksi.1,9

Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis

protein dalam membran sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel

target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamin dan

22

Page 23: Case Pertusis

serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktivitas insulin, sehingga

akan menurunkan konsentrasi gula darah.1,9

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hiperplasia jaringan limfoid

peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai

pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus

pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir akan

menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru.1,9

Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi pada saat

ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai

kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin atau sekunder

sebagai akibat anoksia.1

Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel

mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik

terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi

yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis1.

23

Page 24: Case Pertusis

V. MANIFESTASI KLINIS

Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini

berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari setelah

terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga

pembentukan lendir semakin banyak.1

Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket. Infeksi

berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3 tahapan :1,10

1. Tahap Kataral

Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi, ciri-

cirinya menyerupai flu ringan :

Bersin-bersin

Mata berair

Nafsu makan berkurang

Lesu

Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi

sepanjang hari)

2. Tahap Paroksismal / tahap spasmodic (2-4 minggu)

Selama stadium ini batuk menjadi hebat ditandai oleh whoop (batuk yang

bunyinya nyaring) sering terdengar pada saat penderita menarik nafas pada

akhir serangan batuk. Batuk dengan sering 5 – 10 kali, selama batuk anak tak

dapat bernafas dan pada akhir serangan batuk anak mulai menarik nafas

denagn cepat dan dalam. Sehingga terdengar bunyi melengking (whoop) dan

diakhiri dengan muntah.

Batuk ini dapat berlangsung terus menerus, selama beberapa bulan tanpa

adanya infeksi aktif dan dapat menjadi lebih berat.

Selama serangan, wajah merah, sianosis, mata tampak menonjol, lidah

terjulur, lakrimasi, salvias dan pelebaran vena leher.

Batuk mudah dibangkitkan oleh stress emosional misal menangis dan aktivitas

fisik (makan, minum, bersin dll).

3. Tahap Konvalesen

24

Page 25: Case Pertusis

Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk semakin

berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik. Kadang batuk

terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran pernafasan.

VI. DIAGNOSIS

Anamnesis

Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala klinis

pertusis lainnya, faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat

imunisasi.

Pemeriksaan fisik

Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat

pasien diperiksa.

Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000-50.000 dengan

limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium paroksismal.

Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis oleh karena respon

limfositosis juga terjadi pada infeksi lain.1,3,10

Isolasi B.pertussis dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis

pertusis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94%

pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya.1,3,10

Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan

adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk

menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT. Nilai serum IgM FHA dan

PT menggambarkan respon imun primer baik disebabkan penyakit atau vaksinasi. IgG

toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik untuk mengetahui

infeksi dan tidak tampak setelah pertusis10,12.

Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler,

atelektasis atau emfisema.

25

Page 26: Case Pertusis

Diagnosis banding pertusis pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis, pneumonia

bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis dan penyakit lain yang menyebabkan

limfadenopati dengan penekanan di luar trakea dan bronkus.

Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium.

Benda asing juga dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya gejalanya

mendadak dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologi dan endoskopi. Infeksi

B. parapertussis, B. bronkiseptika, dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis

B.pertussis, dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab.1

VII. PENATALAKSANAAN

Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati keparahan

batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan penyembuhan

tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk menilai kemajuan penyakit

dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada puncak penyakit, mencegah atau

mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada riwayat alamiah penyakit dan pada

perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi,

keadaan ini disempurnakan dalam 48-72 jam.1,11

Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi terus di monitor.

Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan pemberian makan, muntah, dan perubahan berat

memberikan data untuk penilaian keparahan. Paroksismal khas yang tidak membahayakan

mempunyai tanda sebagai berikut lamanya kurang dari 45 detik, perubahan warna merah

tetapi tidak biru, bradikardi, atau desaturasi oksigen yang secara spontan selesai pada akhir

paroksismal, berteriak atau kekuatan untuk menyelamatkan diri pada akhir paroksismal,

mengeluarkan sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi bukan tidak berespons.1,11

Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan faktor-faktor

yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi, oksigen dapat diberikan

pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan lendir terutama pada bayi dengan

pneumonia dan distres pernapasan. Beberapa agen terapeutik atau medikamentosa yang

digunakan pada pasien pertusis adalah sebagai berikut :1,11,12

Antimikroba

Antimikroba selalu diberikan bila pertusis dicurigai atau diperkuat karena

kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran infeksi. Eritromisin, 40-50

mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi empat (maksimum 2 g/24 jam) selama

26

Page 27: Case Pertusis

14 hari merupakan pengobatan baku. Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat yang

diberikan dengan dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis, dengan dosis 60

mg/kg/24 jam dibagi menjadi tiga dosis, dan eritromicin estolat diberikan dengan

dosis 40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis menunjukkan pelenyapan organisme

pada 98% anak. Azitromisin, Claritomisin, Ampisillin, Rifampin, Trimethoprim-

Sulfametoksasol cukup aktif tetapi sefalosporin generasi pertama dan ke-2 tidak. Pada

penelitian klinis, eritromicin lebih unggul daripada amoksisilin untuk pelenyapan B.

Pertussis.

VIII. PENCEGAHAN

1. Imunisasi aktif

Dosis total 12 unit protektif vaksin pertusis dalam 3 dosis yang seimbang

dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid pertusis,

difteria dan tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat,

imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak-

anak berumur > 7 tahun tidak rutin diimunisasi.1,11,13,14

Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama adolesens

infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai sumber infeksi B.

pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0.25 ml IM) telah

dipakai untuk mengontrol epidemi diantara orang dewasa yang terpapar.13,14

Efek samping sesudah imunisasi pertusis termasuk manifestasi umum seperti

eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering terjadi panas,

mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati,

anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam dapat dikurangi dengan pemberian

asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk

selama 48-72 jam.1,11,14

Imunisasi pertama pertusis ditunda atau dihilangkan jika penyakit panas,

kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat kejang.

Riwayat keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) atau reaksi

berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah kontra indikasi untuk imunisasi pertusis.

Kontraindikasi untuk pemberian vaksin pertusis berikutnya termasuk ensefalopati

dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3

27

Page 28: Case Pertusis

hari sebelum imunisasi, menangis 3 jam, “high picth cry” dalam 2 hari, kolaps atau

hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu badan tinggi sampai dengan 40,5 derajat

celcius dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis.1,11,13,14

2. Kontak dengan penderita

Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru lahir dan

ibu-ibu dengan pertusis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, peroral

selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang telah mendapatkan imunisasi juga

diberikan eritromisin profilaksis. Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi

penyebaran infeksi eliminasi B. pertussis dari saluran pernafasan dan mengurangi

gejala-gejala penyakit.1,11,12

Orang-orang yang kontak dengan penderita pertusis yang belum mendapat

imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah kontak

diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin diberikan sampai

batuk penderita berhenti atau mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertussis

monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi epidemi.1,11,12

IX. KOMPLIKASI

Komplikasi terjadi terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat.1,11

Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada 90% kematian pada anak-anak B.

pertusis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria sekunder (H.influenzae,

S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes).1,11

TBC laten dapat juga menjadi aktif

Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan lendir yang kental.

Aspirasi lendir atau muntah dapat menimbulkan pneumonia

Panas tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh bakteria

Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema

interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasis dapat timbul dan menetap

Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia.

Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat menyebabkan

perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural, perdarahan intrakranial,

ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan

gangguan nutrisi.1,11

28

Page 29: Case Pertusis

Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia serebral

(asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang dapat disebabkan

oleh temperatur tinggi.1,10

Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap Syndrome of

Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH).10

X. PROGNOSIS

Angka kematian karena pertusis telah menurun menjadi 10/1000 kasus. Rasio kasus

kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8% selama tahun 2000-2004 di USA. Persentase rawat inap

pada dewasa sebesar 3% (12% dewasa tua). Tingkat berkembangnya menjadi pneumonia

hingga 5% dan mengalami patah tulang rusuk sampai 4%.1. Kebanyakan kematian

disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru lain.1,12

DAFTAR PUSTAKA

29

Page 30: Case Pertusis

1. S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta : EGC. 181: 960-965.

2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. (2003). Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia : FK Unpad : 80-86.

3. Law Barbara J. (2008). Pertussis. Kendig’s : Disorders of Respiratory Tract in Children. WB Saunders. 6th edition. Philadelphia, USA. Chapter 62. h :1018-1023.

4. Heininger, U. (2010). Update on pertussis in children. Expert review of anti-infective therapy 8 (2): 163–73.

5. Black S. (1997). Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J. Diakses 23 Desember 2011 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9109162.

6. Cherry JD. (2005). The epidemiology of pertussis: a comparison of the epidemiology of the disease pertussis with the epidemiology of Bordetella pertussis infection. Pediatrics : 115:1422-1427. Diakses 30 Desember 2011 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15867059.

7. Farizo KM. (2002). Epidemiological features of pertussis in the United States, 1980-1989. Clin Infect Dis ; 14(3):708-19. Diakses 23 Desember 2011 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1562663.

8. Hewlett EL. (2005). Bordetella species. In: Principles and Practice of Infectious Diseases, 6th ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds), Churchill Livingstone, Philadelphia. p.2701. Diakses dari, http://www.uptodate.com/contents/microbiology-pathogenesis-and-epidemiology-of-bordetella-pertussis-infection#H3.

9. Todar, Kenneth. (2011). Bordetella pertussis and Whooping Cough. Diakses dari http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html.

10. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine. Missouri, USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699.

11. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h: 564-566.

12. Tejpratap Tiwari. (2005). Recommended Antimicrobial Agents for the Treatment and Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline. http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm

13. Kretsinger K, Broder KR, Cortese MM, et al. (2006). Preventing tetanus, diphtheria, and pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccine. MMWR Recomm Rep. 55(RR-17):1-33. Diakses 30 Januari 2012 dari https://online.epocrates.com/u/2951682/Pertussis/FollowUp/Overview.

30

Page 31: Case Pertusis

14. Update: Vaccine Side Effects, Adverse Reactions, Contraindications, and Precautions Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices. http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00046738.htm

31