Laporan Kasus CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF) et causa CORONARY ARTERIAL DISEASE (CAD) Disusun Oleh: INTAN KEMALADINA 0908120406 Pembimbing : dr. IRWAN, Sp.JP-FIHA 1
Laporan Kasus
CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF) et causa
CORONARY ARTERIAL DISEASE (CAD)
Disusun Oleh:
INTAN KEMALADINA
0908120406
Pembimbing :
dr. IRWAN, Sp.JP-FIHA
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD ARIFIN ACHMAD
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2013
1
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gagal jantung kongestif/Congestive Heart Failure (CHF) merupakan
suatu keadaan patofisiologik dimana jantung sebagai pompa tidak mampu
memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan.1 Gagal jantung
merupakan suatu sindroma klinik yang komplek yang disertai keluhan gagal
jantung berupa sesak, fatigue, baik dalam keadaan istirahat atau latihan, edema
dan tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat. Di Eropa
kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat pada usia yang lebih
lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prognosis dari gagal jantung akan jelek
bila dasar atau penyebabnya tidak dapat diperbaiki.2
Gagal jantung merupakan salah satu penyebab kematian dan
ketidakmampuan bekerja yang paling umum di jumpai di berbagai industri dan
merupakan sindrom yang paling umum ditemukan dalam praktek klinik. Kejadian
gagal jantung akan semakin meningkat di masa depan karena semakin
bertambahnya usia harapan hidup dan makin berkembangnya fasilitas kesehatan
dan pengobatan mengakibatkan perbaikan harapan hidup penderita dengan
penurunan fungsi jantung. Gagal jantung susah dikenali secara klinis, karena
beragamnya keadaan klinis serta tidak spesifik serta hanya sedikit tanda – tanda
klinis pada tahap awal penyakit. Hanya 35 % pasien yang baru didiagnosis gagal
jantung dapat bertahan hidup rata-rata sampai 5 tahun. Perkembangan terkini
memungkinkan untuk mengenali gagal jantung secara dini serta perkembangan
pengobatan yang memeperbaiki gejala klinis, kualitas hidup, penurunan angka
perawatan, memperlambat progresifitas penyakit dan meningkatkan kelangsungan
hidup.3
2
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gagal jantung adalah keadaan dimana jantung tidak lagi mampu
memompa darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh
walaupun darah balik masih normal. Dengan kata lain, gagal jantung adalah
ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah dalam jumlah yang memadai
untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh (forward failure), atau kemampuan
tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang tinggi
(backward failure), atau kedua-duanya.4
2.2 Etiologi
Gagal jantung adalah komplikasi tersering dari segala penyakit jantung
kongenital dan didapat. Beberapa etiologi yang menyebabkan gagal jantung,
diantaranya adalah 4
Hipertensi
Penyakit jantung koroner atau Coronary Arterial Disease (CAD)
Disfungsi endokardium, miokardium, perikardium akibat penyakit jantung
koroner atau akibat infeksi (miokarditis, endokarditis)
Gangguan irama jantung atau aritmia (takikardi ventrikuler, fibrilasi
ventrikuler, fibrilasi atrial, takikardi suparventrikuler)
Penyakit katup jantung (stenosis aorta, stenosis mitral, stenosis pulmonal,
regurgitasi aorta)
Kardiomiopati
Sindrom curah jantung tinggi (anemia, septikemia, tirotoksikosis)
Kemoterapi (doxorubicin atau trastuzumab)
infeksi sistemik, infeksi paru-paru dan emboli paru
Penyakit jantung bawaan
Cacat septum ventrikel
2.3 Patofisiologi
3
4
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung meliputi keadaan-
keadaan yang meningkatkan preload, afterload, dan menurunkan kontraktilitas
miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan preload meliputi regurgitasi
aorta dan cacat septum ventrikel dan afterload akan meningkat pada keadaan-
keadaan seperti stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium
dapat menurun pada infark miokardium dan kardiomiopati. Selain ketiga
mekanisme fisiologi yang menyebabkan gagal jantung, terdapat faktor-faktor
fisiologis lain yang dapat menyebabkan jantung bekerja sebagai pompa.6,7
Faktor-faktor yang mengganggu pengisian ventrikel (misal, stenosis katup
atrioventrikularis) juga dapat menyebabkan gagal jantung. Keadaan-keadaan
seperti perikarditis konstriktif dan tamponade jantung mengakibatkan gagal
jantung melalui kombinasi beberapa efek seperti gangguan pada pengisian dan
ejeksi ventrikel. Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya gagal jantung
melalui penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa disritmia, infeksi
sistemik dan infeksi paru-paru, dan emboli paru. Disritmia akan mengganggu
fungsi mekanis jantung dengan mengubah rangsangan listrik yang memulai
respons mekanis, respon mekanis yang sinkron dan efektif tidak akan dihasilkan
tanpa adanya ritme jantung yang stabil. Respons tubuh terhadap infeksi akan
memaksa jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh yang
meningkat. Emboli paru secara mendadak akan meningkatkan resistensi terhadap
ejeksi ventrikel kanan, memicu terjadinya gagal jantung kanan. 6,7
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal
jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan
ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi
volume sekuncup dan meningkatkan volume residual ventrikel. Dengan
meningkatnya volume akhir diastolik ventrikel, terjadi peningkatan tekanan akhir
diastolik ventrikel kiri, terjadi pula peningkatan tekanan atrium kiri karena atrium
dan ventrikel berhubungan langsung selama diastol. Peningkatan tekanan atrium
diteruskan ke dalam pembuluh darah paru-paru, meningkatkan tekanan kapiler
dan vena paru-paru. Apabila tekanan hidrostatk anyaman kapiler paru-paru
melebihi tekanan onkotik pembuluh darah, akan terjadi transudasi cairan ke dalam
interstisial. Jika kecepatan transudasi cairan melebihi kecepatan drainase limfatik,
4
5
akan terjadi edema interstisial. Peningkatan tekanan lebih lanjut dapat
mengakibatkan cairan merembes ke dalam alveoli dan terjadilah edema paru. 6,7
Tekanan arteri paru-paru dapat meningkat akibat peningkatan kronis
tekanan vena paru. Hipertensi pulmonalis meningkatkan tahanan terhadap ejeksi
ventrikel kanan. Serangkaian kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri, juga
akan terjadi pada jantung kanan yang akhirnya akan menyebabkan edema dan
kongesti sistemik.6,7
Perkembangan dari edema dan kongesti sistemik atau paru dapat
diperberat oleh regurgitasi fungsional dari katup-katup trikuspidalis atau mitralis.
Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi anulus katup
atrioventrikularis, atau perubahan orientasi otot papilaris dan korda tendinae
akibat dilatasi ruang. 8,9
Sebagai respon terhadap gagal jantung, ada tiga mekanisme primer yang
dapat dilihat:
Meningkatkan aktivitas adrenergik simpatis
Menurunnya volume sekuncup pada gagal jantung akan membangkitkan
respons simpatis kompensatorik. Meningkatnya aktivitas adrenergik
simpatik merangsang katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan
medula adrenal. Denyut jantung dan kekuatan kontraksi akan meningkat
untuk menambah curah jantung. Selain itu juga terjadi vasokonstriksi
arteri perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume
darah dengan mengurangi aliran darah ke organ-organ yang
metabolismenya rendah (misal, kulit dan ginjal) untuk mempertahankan
perfusi ke jantung dan otak. Venokonstriksi akan meningkatkan aliran
balik vena ke sisi kanan jantung, untuk selanjutnya akan menambah
kekuatan kontraksi.
Namun, pada akhirnya respons miokardium terhadap rangsangan simpatis
akan menurun, katekolamin akan berkurang pengaruhnya terhadap kerja
ventrikel.
Meningkatnya preload akibat aktivasi renin-angiotensin-aldosteron
Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan memulai serangkaian
peristiwa berikut: penurunan aliran darah dan akhirnya laju filtrasi
5
6
glomerulus, pelepasan renin dari aparatus jukstaglomerulus, interaksi renin
dengan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan angiotensin I,
konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, rangsangan sekresi
aldosteron dari kelenjar adrenal dan retensi natrium dan air pada tubulus.
Angiotensin II juga menghasilkan efek vasokonstriksi yang meningkatkan
tekanan darah. Pada gagal jantung berat, kombinasi antara kongesti vena
sistemik dan menurunnya perfusi hati akan mengganggu metabolisme
aldosteron di hati, sehingga kadar aldosteron dalam darah meningkat.
Saat ini sedang diselidiki peranan faktor natriuretik atrium (atrial
natriuretik factor, ANF) pada gagal jantung. ANF adalah hormon yang
disintesis pada jaringan atrium. Peptida natriuretik tipe B (BNP) terutama
disekresi melalui ventrikel. Natriuretrik peptida dilepaskan akibat
meningkatnya tekanan atau volume intrakardia dan menekan sistem renin-
angiotensin-aldosteron.
Hipertrofi ventrikel
Respon kompensatorik terakhir pada gagal jantung adalah hipertrofi
miokardium. Hipertrofi meningkatkan jumlah sarkomer dalam sel-sel
miokardium; sarkomer dapat bertambah secara paralel atau serial
bergantung pada jenis beban hemodinamik yang mengakibatkan gagal
jantung. Sebagai contoh, suatu beban tekanan yang ditimbulkan stenosis
aorta akan disertai dengan meningkatnya ketebalan dinding tanpa
penambahan ukuran ruang dalam (hipertrofi konsentris). Respon
miokardium terhadap beban volume, seperti pada regurgitasi aorta,
ditandai dengan dilatasi dan bertambahnya ketebalan dinding (hipertrofi
eksentris).
2.4 Klasifikasi
Menurut American College of Cardiology, gagal jantung terdiri atas empat
stadium, yaitu:3
Stadium Kriteria
A Mempunyai risiko tinggi terhadap perkembangan gagal jantung
tetapi tidak menunjukkan struktur abnormal dari jantung
6
7
B Adanya stuktur yang abnormal pada jantung pasien tetapi tidak
bergejala
C Adanya struktural yang abnormal dari pasien dengan gejala awal
gagal jantung
D Pasien dengan gejala tahap akhir gagal jantung sulit diterapi
dengan pengobatan standar
Menurut New York Heart Assosiation (NYHA), gagal jantung
diklasifikasikan menjadi empat kelas yaitu: 8
Kelas Kriteria
I para penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam
kegiatan fisik serta tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit
jantung seperti cepat lelah, sesak nafas atau berdebar-debar,
apabila mereka melakukan kegiatan biasa.
II penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik.
Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi
kegiatan fisik yang biasa menimbulkan gejala-gejala insufisiensi
jantung seperti kelelahan, jantung berdebar, sesak nafas atau
nyeri
III penderita penyakit jantung dengan banyak pembatasan dalam
kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat,
akan tetapi kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah
menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti yang
tersebut di atas.
IV penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa
menimbulkan keluhan. Waktu istirahat juga dapat menimbulkan
gejala-gejala insufisiensi jantung, yang bertambah apabila
mereka melakukan kegiatan fisik meskipun sangat ringan.
2.5 Diagnosis
7
8
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditemukan gejala sebagai berikut:
Sesak nafas (Orthopnoe, dispneua d’effort dan paroxysmal nocturnal
dispnoe)
Mudah lelah (fatik)
Edema perifer
2. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum dan tanda vital3
Pada gagal jantung ringan atau sedang, pasien bisa tampak tidak
memiliki keluhan, kecuali merasa tidak nyaman saat berbaring
datar selama lebih dari beberapa menit. Pada pasien dengan gagal
jantung yang lebih berat, pasien bisa memiliki upaya nafas yang
berat dan bisa kesulitan untuk menyelesaikan katakata akibat sesak.
Tekanan darah sistolik bisa normal atau tinggi, tapi pada umumnya
berkurang pada gagal jantung lanjut karena fungsi LV yang sangat
menurun.
Tekanan nadi bisa berkurang, dikarenakan berkurangnya stroke
volume, dan tekanan diastolik arteri bisa meningkat sebagai akibat
vasokontriksi sistemik.
Sinus tachycardia adalah gejala non spesifik yang diakibatkan oleh
aktivitas simpatis yang meningkat.
Vasokontriksi perifer mengakibatkan ekstrimitas perifer menjadi
lebih dingin dan sianosis dari bibir dan ujung jari juga diakibatkan
oleh aktivitas simpatis yang berlebihan
2) Pemeriksaan vena jugularis
Pemeriksaan vena jugularis memberikan perkiraan tekanan pada
atrium kanan, dan secara tidak langsung tekanan pada atrium kiri.1
3) Pemeriksaan paru10
Pulmonary Crackles (ronkhi atau krepitasi) dihasilkan oleh
transudasi cairan dari rongga intravaskular kedalam alveoli.
8
9
Pada pasien dengan edema paru, ronki dapat didengar pada kedua
lapang paru. Jika ditemukan pada pasien tanpa penyakit paru,
ronkhi spesifik untuk gagal jantung. Pasien dengan gagal jantung
kronik, seringkali tidak ditemukan rhonki bahkan ketika pulmonary
capilary wedge pressure kurang dari 20 mmHg, hal ini karena
pasien sudah beradaptasi dan drainase sistem limfatik cairan
rongga alveolar sudah meningkat.
Efusi pleura timbul sebagai akibat meningkatnya tekanan sistem
kapiler pleura, hasilnya adalah transudasi cairan kedalam rongga
pleura.
4) Pemeriksaan jantung10
Pemeriksaan jantung, walau penting, seringkali tidak dapat
memberikan informasi yang berguna mengenai beratnya gagal
jantung. Jika terdapat kardiomegali, titik impulse maksimal (ictus
cordis) biasanya tergeser kebawah intercostal space (ICS) ke V,
dan kesamping (lateral) linea midclavicularis.
Hipertrofi ventrikel kiri yang berat mengakibatkan pulsasi
prekodial (ictus) teraba lebih lama (kuat angkat). Pemeriksaan
pulsasi prekordial ini tidak cukup untuk mengevaluasi beratnya
disfungsi ventrikel kiri.
Pada beberapa pasien, bunyi jantung ketiga dapat didengar Bunyi
jantung ketiga (gallop) umum ditemukan pada pasien dengan
volume overload yang mengalami tachycardia dan tachypnea, dan
seringkali menunjukkan kompensasi hemodinamik yang berat.
Bunyi jantung keempat bukan indikator spesifik gagal jantung, tapi
biasanya ada pada pasien dengan disfungsi diastolik.
Murmur regurgitasi mitral dan trikuspid umumnya ditemukan pada
pasien dengan gagal jantung yang lanjut.
5) Pemeriksaan abdomen dan ekstremitas3,10
Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umum pada
pasien dengan gagal jantung. Jika memang ada, hati yang
9
10
membesar seringkali teraba lunak dan dapat berpulsasi saat sistol
jika terdapat regurgitasi katup trikuspid.
Ascites dapat timbul sebagai akibat transudasi karena tingginya
tekanan pada vena hepatik dan sistem vena yang berfungsi dalam
drainase peritoneum.
Jaundice dapat juga ditemukan dan merupakan tanda gagal jantung
stadium lanjut, biasanya kadar bilirubin direk dan indirek
meningkat. Ikterik pada gagal jantung diakibatkan terganggunya
fungsi hepar sekunder akibat kongesti (bendungan) hepar dan
hipoksia hepatoselular.
Edema perifer adalah manisfestasi kardinal gagal jantung, hal ini
walau demikian tidaklah spesifik dan biasanya tidak terdapat pada
pasien yang telah mendapat diuretik. Edema perifer pada pasien
gagal jantung biasanya simetris, beratnya tergantung pada gagal
jantung yang terjadi, dan paling sering terjadi sekitar pergelangan
kaki dan daerah pretibial pada pasien yang masih beraktivitas.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan pada gagal jantung
antara lain adalah : darah rutin, elektrolit (Na & K), ureum &
kreatinine, SGOT/SGPT, dan BNP. Pemeriksaan ini mutlak harus
dilakukan pada pasien dengan gagal jantung karena beberapa alasan
berikut : (1) untuk mendeteksi anemia, (2) untuk mendeteksi gangguan
elektrolit (hipokalemia dan/atau hiponatremia), (3) untuk menilai
fungsi ginjal dan hati, dan (4) untuk mengukur brain natriuretic
peptide (beratnya gangguan hemodinamik).3,7
Foto thoraks
Pemeriksaan Chest X-Ray (CXR) sudah lama digunakan dibidang
kardiologi, selain menilai ukuran dan bentuk jantung, struktur dan
perfusi dari paru dapat dievaluasi. Kardiomegali dapat dinilai melalui
CXR, cardiothoracic ratio (CTR) yang lebih dari 50%, atau ketika
ukuran jantung lebih besar dari setengah ukuran diameter dada, telah
10
11
menjadi parameter penting pada follow-up pasien dengan gagal
jantung.3,5
EKG
Pemeriksaan elektrokardiogram (ECG) harus dilakukan untuk setiap
pasien yang dicurigai gagal jantung. Dampak diagnostik
elektrokardiogram (ECG) untuk gagal jantung cukup rendah, namun
dampaknya terhadap terapi cukup tinggi. Temuan EKG yang normal
hampir selalu menyingkirkan diagnosis gagal jantung.Gagal jantung
dengan perubahan EKG umum ditemukan. Temuan seperti gelombang
Q patologis, hipertrofi ventrikel kiri dengan strain, right bundle branch
block (RBBB), left bundle branch block (LBBB), AV blok, atau
perubahan pada gelombang T dapat ditemukan. Gangguan irama
jantung seperti takiaritmia supraventrikuler (SVT) dan fibrilasi atrial
(AF) juga umum.
Ekokardiografi
Pemeriksaan echo saat ini telah menjadi metode diagnostik umum
digunakan untuk menilai anatomi dan fungsi jantung, miokardium dan
perikadium, dan mengevaluasi gerakan regional dinding jantung saat
istirahat dan saat diberikan stress farmakologis pada gagal jantung.
Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung adalah penilaian
Left-ventricular ejection fraction (LVEF), beratnya remodelling
ventrikel kiri, dan perubahan pada fungsi diastolik.3
4. Kriteria Diagnosis
Kriteria Framingham dapat dipakai untuk diagnosis gagal jantung
kongestif. Kriteria diagnosis ini meliputi kriteria mayor dan minor.3
Kriteria mayor:
Kriteria mayor terdiri dari beberapa tanda klinis, antara lain:
Paroksismal nokturnal dispnea
Distensi vena leher
Ronki paru
Kardiomegali
Edema paru akut
11
12
Gallop S3
Peningkatan tekanan vena jugularis
Refluks hepatojugular
Kriteria minor:
Kriteria minor terdiri dari beberapa gejala, antara lain:
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dispnea d’effort
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardia (lebih dari 120 kali per menit)
Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat minimal 1
kriteria mayor dan 2 kriteria minor.1
2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Non-Farmakologi:
Oksigen
Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab dan bagaimana mengenal serta
upaya timbul keluhan.
Edukasi pola diet, kontrol asupan garam, air dan kebiasaan alkohol
Monitor berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat badan tiba-tiba
Mengurangi berat badan pada pasien dengan obesitas.
Hentikan kebiasaan merokok
Penatalaksanaan Farmakologis:
Angiotensin Converting Enzym (ACE) inhibitor
ACE inhibitor merupakan vasodilator yang sering digunakan untuk gagal
jantung kongestif. Obat ini menghambat produksi angiotensin II yang
secara abnormal tinggi pada gagal jantung kongestif. Angiotensin II
menyebabkan vasokonstriksi dengan meningkatkan kerja ventrikel kiri,
dan hal ini secara langsung dapat menjadi toksik terhadap ventrikel kiri
dalam dosis yang berlebihan. ACE-I dianjurkan sebagai obat lini pertama
12
13
bila tidak ada kontraindikasi sampai dosis minimal. Harus diberikan
sebagai terapi awal, bila disertai retensi cairan harus diberikan bersama
diuretik. Obat-obatan ACE-I diantaranya benazepril, catopril, enalapril,
dll.3,10
Diuretik
Diuretik menyebabkan ginjal mengeluarkan kelebihan garam dan air dari
aliran darah sehingga mengurangi jumlah volume darah dalam sirkulasi.
Dengan volume darah yang rendah, jantung tidak akan bekerja keras.
Penggunaan diuretik ini dapat mengurangi gejala klinis berupa retensi
cairan pada pasien dengan gagal jantung kongestif. Selain itu, diuretik
dapat menurunkan tekanan vena jugular, kongesti pulmonal, dan edema
perifer. Diuretik dimulai dengan dosis awal yang rendah, kemudian dosis
perlahanlahan ditingkatkan sampai output urine meningkat dan berat
badan menurun, biasanya 0.5 hingga 1 kg per hari. Dosis pemeliharaan
diuretik digunakan untuk mempertahankan diuresis dan penurunan berat
badan. Penggunaan diuretik ini perlu dikombinasikan dengan pembatasan
konsumsi natrium. 3,10
Penyekat Beta (Beta Blocker)
Beta blocker bertujuan untuk menghambat efek samping sistem syaraf
simpatis pada penderita gagal jantung kongestif. Beta blocker efektif untuk
menurunkan resiko kematian pada penderita gagal jantung kongestif.
Namun, pada penderita dengan disfungsi ventrikel kiri yang berat, denyut
jantung yang rendah (di bawah 65 kali/menit), atau tekanan darah sistolik
yang rendah (di bawah 85 mmHg), atau pada pasien dengan NYHA IV,
pemberian beta blocker tidak dianjurkan.10
Obat ini dapat menurunkan frekuensi denyut jantung, menurunkan tekanan
darah, dan memiliki efek langsung terhadap otot jantung sehingga
menurunkan beban kerja jantung. Reseptor beta terdapat di otot jantung
dan di dalam dinding arteri. Sistem syaraf simpatis memproduksi zat kimia
yang disebut sebagai norepinefrinyang bersifat toksik terhadap otot
jantung jika digunakan dalam waktu lama dan dengan dosis yang tinggi.11
Angiotensin II reseptor blocker (ARBs)
13
14
Angiotensin II reseptor blocker (ARBs) bekerja dengan mencegah efek
angiotensin II di jaringan. Obat-obat ARB, misalnya antara lain
candesartan, irbesartan, olmesartan, losartan, valsartan, telmisartan, dan
eprosartan. Obat-obatan ini biasanya digunakan pada penderita gagal
jantung kongestif yang tidak dapat menggunakan ACE inhibitor karena
efek sampingnya. Keduanya efektif, namun ACE inhibitor dapat
digunakan lebih lama dengan jumlah yang lebih banyak digunakan pada
data percobaan klinis dan informasi pasien. ACE inhibitor dan ARBs
dapat menyebabkan tubuh meretensi potassium.
Namun hal ini umumnya hanya terjadi pada pasien dengan gangguan
ginjal, atau pada orang-orang yang juga mengkonsumsi diuretik hemat
kalium, seperti triamterene atau spironolakton.11
Vasodilator agents (nitrat/hidralazin)
Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer,
dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat
mengurangi kebutuhan oksigen. Nitrat juga menambah oksigen suplai
dengan vasodilatasi pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah
kolateral. Dalam keadaan akut nitrogliserin atau isosorbid dinitrat
diberikan secara sublingual atau melalui infus intravena, yang dapat
diberikan secara intravena dengan dosis 1-4 mg per jam.
Obat inotropik positif
Inotropik bersifat simultan, seperti dobutamin dan milrinon, yang dapat
meningkatkan kemampuan pompa jantung. Hal ini digunakan sebagai
pengobatan pada kasus dimana ventrikel kiri sangat lemah dan tidak
berespon terhadap pengobatan standar gagal jantung kongestif. Salah satu
contohnya adalah digoksin. Obat ini digunakan untuk memperbaiki
kemampuan jantung dalam memompakan darah. Karena obat ini
menyebabkan pompa paksa pada jantung, maka obat ini disebut sebagai
inotropik positif. Namun demikian, digoksin merupakan inotropik yang
sangat lemah dan hanya digunakan untuk terapi tambahan selain ACE
inhibitor dan beta bloker. 11
Glikosida jantung (Digitalis)
14
15
Walaupun sering digunakan, tidak semua penderita gagal jantung
kongestif harus diberikan digoksin karena kurang efektif dibandingkan
dengan beberapa pengobatan medikasi lainnya. Digoksin dapat
mengurangi gejala setelah penggunaan vasodilator dan diuretik, namun
tidak untuk digunakan secara terus menerus. Digoksin merupakan obat
lama yang digunakan pada lebih dari 200 tahun yang lalu, yang merupakan
derivat dari tumbuhan foxglove. Obat ini juga dapat digunakan untuk
mengontrol irama jantung (pada atrial fibrilasi). Kelebihan digoksin dapat
membahayakan irama jantung sehingga terjadi aritmia. Resiko aritmia ini
meningkat jika dosis digoksin berlebihan, ginjal tidak berfungsi optimal
sehingga tidak dapat mengekskresikan digoksin dari tubuh secara optimal,
atau potasium dalam tubuh yang terlalu rendah (dapat terjadi pada
pemberian diuretik).11
2.7 Prognosis
Menentukan prognosis pada gagal jantung sangatlah kompleks, banyak
variabel yang harus diperhitungkan seperti etiologi, usia, ko-morbiditas, variasi
progresi gagal jantung tiap individu yang berbeda, dan hasil akhir kematian
(apakah mendadak atau progresif akibat gagal jantung).3
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas pasien
15
16
• Nama : Ny.RM
• No RM : 679456
• Umur : 53 tahun
• Jenis Kelamin : Perempuan
• Pekerjaan : IRT
• Status : Menikah
• Masuk RS : 02 Oktober 2013
• Tanggal Pemeriksaan : 24 Oktober 2013
Anamnesis
Autoanamnesis
Keluhan utama
Pasien mengeluhkan sesak nafas sejak 5 hari SMRS (sebelum masuk
rumah sakit)
Riwayat penyakit sekarang
- Pasien mengeluhkan sesak nafas sejak yang lalu dan bertambah berat 5
hari sebelum masuk RS. Sesak muncul saat melakukan aktifitas dan sesak
hilang setelah istirahat. Pasien tidak pernah mengeluhkan terbangun pada
malam hari karena sesak nafas, sesak nafas tidak bertambah berat ketika
berbaring, dan pasien juga belum pernah merasakan nyeri dada.
- Pasien juga mengeluhkan batuk kering sejak
- Pasien tidak mengeluhkan adanya nyeri kepala, demam, dan perubahan
dalam pola BAK maupun BAB.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Sakit jantung ( + )
- Hipertensi ( - )
- Diabetes Melitus ( - )
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengeluhkan penyakit yang sama.
16
17
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit jantung, hipertensi
dan diabetes mellitus
Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi dan kebiasaan
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan umum
Kesadaran : Komposmentis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 133 x/menit
Nafas : 26 x/menit
Suhu : 37,1°C
Kulit dan wajah : tidak sembab
Mata kiri dan kanan
Mata tidak cekung
Konjungtiva : tidak anemis
Sklera : tidak ikterik
Pupil : bulat, isokor diameter 3mm/3mm, refleks cahaya
+/+
Telinga : tidak ada kelainan
Hidung : tidak ada kelainan
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP 5+3 cmH2O
Thoraks
Paru-paru
Inspeksi : gerakan dinding dada simetris kiri dan kanan
Palpasi : vokal fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi: vesicular (+/+), ronki basah basal (+/+), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat
17
18
Palpasi : Ictus cordis teraba pada linea axillaris anterior sinistra SIK
V, lift (+) di apex, thrill (-)
Perkusi
o batas jantung kanan RIC V-VI 1 jari lateral linea sternal
dekstra
o batas jantung kiri RIC V-VI linea axilaris anterior sinistra
Auskultasi : bunyi jantung 1 dan 2 normal, gallop (+), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : abdomen tampak distensi, pelebaran vena (-)
Auskultasi: bising usus (+), frekuensi 10 x/menit
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak
teraba
Ekstremitas : atas oedem (-/-)
bawah oedem (+/+)
akral hangat, capillary refill time < 2 detik, sianosis (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan darah rutin:
Leukosit : /ul
Trombosit : /ul
Hb : gr/dl
Ht : %
- Kimia darah:
- Tanggal
SGPT/ALT : Iu/l
GLUC : mg/dl
Ureum : mg/dl
Creatinin : mg/dl
- Tgl
GLUC : mg/dl
18
19
Ureum : mg/dl
Creatinin : mg/dl
SGOT/AST : Iu/l
SGPT/ALT : Iu/l
Albumin : g/dl
Chol : mg/dl
HDL : mg/dl
TG : mg/dl
LDL : mg/dl
Ind bil : mg/dl
BUN : mg/dl
- Elektrolit:
Na+ : 138,4 mmol/L
K+ : 4,36 mmol/L
Cl- : 107,4 mmol/L
- Rontgent thorax
Dari foto thorax PA didapatkan kardiomegali dengan CTR >50%
- EKG:
19
20
Pada pemeriksaan EKG didapatkan gelombang QS pada lead V2, V3 dan
V4 serta ST depresi pada lead V5 dan V6.
- Ekokardiografi
Dari pemeriksaan ekokardiografi didapatkan kelemahan kontraktilitas
ventrikel kiri dengan EF 10%, dilatasi atrium kiri dan ventrikel kiri, serta adanya
thrombus pada ventrikel kiri.
20
21
Resume
Tn.H 50 tahun datang dengan keluhan sesak nafas sejak 1 hari SMRS
(Sebelum Masuk Rumah Sakit). 9 bulan SMRS, pasien mengeluhkan sesak nafas
pertama kali setelah pasien berjalan dan sesak hilang setelah istirahat. 2 bulan
SMRS, pasien mengeluhkan bengkak pada kaki dan perut mulai membesar namun
tidak terasa nyeri. 1 hari SMRS, pasien mengeluhkan sesak nafas yang dirasakan
semakin berat terutama pada sore hari, sesak nafas juga dirasakan saat pasien
istirahat, pasien juga merasakan nyeri dada.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan pada inspeksi ictus cordis terlihat,
pada palpasi linea axillaris anterior sinistra SIK V, lift (+) di apex, pada perkusi
batas jantung kanan RIC V-VI 1 jari lateral linea sterna dekstra, batas jantung kiri
RIC V-VI linea axilaris anterior sinistra, pada auskultasi didapatkan gallop (+).
Pemeriksaan rontgen thoraks didapatkan kardiomegali dengan CTR < 50%. Pada
pemeriksaan EKG didapatkan gelombang QS pada lead V2, V3 dan V4. Pada
pemeriksaan ekokardiografi didapatkan kelemahan kontraktilitas ventrikel kiri
dengan EF 10%, dilatasi atrium kiri dan ventrikel kiri, serta adanya thrombus pada
ventrikel kiri.
Daftar masalah
1. CHF
Rencana Penatalaksanaan
Nonfarmakologis : Memposisikan semi fowler Mengurangi asupan cairan dalam rangka mengurangi beban jantung Mengurangi asupan garam untuk mengurangi retensi cairan dalam tubuh
Farmakologis :
21
22
Oksigen 4 Liter IVFD Dekstrosa 5% 12 tpm + Heparin 20.000 unit/24 jam ISDN 5 mg/12 jam Spironolacton 25mg/24 jam Lasik 1 ampul/12 jam Aspilet 80 mg/24 jam Captopril 1.25 mg/12 jam Injeksi ranitidine 1 ampul/12 jam
Follow upTanggal S O A P
29/8/2013 Sesak napas
sudah
berkurang
Perut masih
membesar
Kaki masih
bengkak
T: 100/70 mmHg
N: 104x/menit
S: 35,5 C
P: 24 x/menit
Edema kedua
tungkai (+)
CHF
ec
CAD
- Oksigen 4 Liter- IVFD Dekstrosa 5% 12
tpm + Heparin 20.000 unit/24 jam
- ISDN 5 mg/12 jam- Spironolacton 25mg/24
jam- Lasik 1 ampul/12 jam- Aspilet 80 mg/24 jam - Captopril 1.25 mg/12 jam- Injeksi ranitidine 1
ampul/12 jam
30/8/2013 Sesak napas
(-)
Perut masih
membesar
Kaki masih
bengkak
T: 120/80 mmHg
N: 76 x/menit
S: 37,1 C
P: 22 x/menit
CHF
ec
CAD
- IVFD Dekstrosa 5% 12 tpm + Heparin 20.000 unit/24 jam
- ISDN 5 mg/12 jam- Spironolacton 25mg/24
jam- Lasik 1 ampul/12 jam- Aspilet 80 mg/24 jam - Captopril 1.25 mg/12 jam- Injeksi ranitidine 1
ampul/12 jam
31/8/2013 Sesak napas
(-)
Perut masih
membesar
Kaki masih
bengkak
T: 120/80mmHg
N: 80 x/menit
S: 36,9 0C
P: 23 x/menit
CHF
ec
CAD
- IVFD Dekstrosa 5% 12 tpm + Heparin 20.000 unit/24 jam
- ISDN 5 mg/12 jam- Spironolacton 25mg/24
jam- Lasik 1 ampul/12 jam
22
23
- Aspilet 80 mg/24 jam - Captopril 1.25 mg/12 jam- Injeksi ranitidine 1
ampul/12 jam
PEMBAHASAN
Pasien Tn.H , usia 50 tahun masuk ke ruang rawat jantung dengan keluhan
sesak nafas sejak 1 hari SMRS. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang dilakukan maka diagnosis pasien ini adalah gagal
jantung kongestif (CHF) dengan penyebab utamanya dapat dipikirkan adalah
Coronary Arterial Disease (CAD).
Diagnosis gagal jantung kongestif dapat ditegakkan berdasarkan kriteria
Framingham dimana didapatkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria
minor, dari anamnesis pasien didapatkan dispnea d’effort kemudian dari
pemeriksaan fisik didapatkan peninggian JVP, kardiomegali, gallop, dan edema
ekstremitas. Pada pasien ini didapatkan 3 kriteria mayor dan 2 kriteria minor
sehingga diagnosis pada pasien ini adalah gagal jantung kongestif (CHF),
berdasarkan klasifikasi yang disusun oleh NYHA, maka gagal jantung pada kasus
ini tergolong kedalam stage IV, yakni gejala dapat timbul pada saat pasien
beristirahat dan semakin berat setelah beraktifitas fisik meskipun sangat ringan.
Penyebab gagal jantung pada pasien ini dipikirkan adalah suatu penyakit
arteri koroner (CAD) karena pada pemeriksaan EKG ditemukan gelombang QS
pada lead V2, V3 dan V4 yang menandakan adanya infark miokardium yang
sudah ada sebelumnya (old myocardial infarction) pada dinding anterior ventrikel
kiri. Pada rontgen thoraks ditemukan pembesaran jantung dengan CTR >50%.
Infark miokardium akan menurunkan fungsi ventrikel karena otot yang
nekrosis serta otot yang iskemia di sekitarnya kehilangan daya kontraksi. Secara
fungsional infark miokardium akan menyebabkan perubahan antara lain daya
kontraksi yang menurun, gerakan dinding abnormal, perubahan daya kembang
dinding ventrikel, pengurangan volume sekuncup, dan pengurangan fraksi ejeksi.
Hal ini sesuai dengan hasil pemeriksaan ekokardiografi pada pasien yaitu
kelemahan kontraktilitas ventrikel kiri dengan EF 10%, dilatasi atrium kiri dan
ventrikel kiri, serta adanya thrombus pada ventrikel kiri.
23
24
Dilatasi ventrikel kiri yang diikuti dengan hipertrofi ventrikel kiri
merupakan kompensasi neurohumoral jantung untuk meningkatkan daya
kontraksi ventrikel. Namun pada proses hipertrofi ventrikel kiri juga terjadi
remodeling ventrikel kiri yang menyebabkan kekakuan otot ventrikel. Fungsi
diastolik akan mulai terganggu akibat dari gangguan relaksasi ventrikel kiri, yang
mengakibatkan kontraksi ventrikel kiri semakin lambat dan cardiac out put
semakin sedikit sehingga ditemukan bunyi gallop (S3) pada saat pengisian cepat
ventrikel pada fase diastolik. Selain itu kemampuan jantung untuk memompa
darah juga terganggu dan tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk
metabolisme di jaringan. Terganggu nya ventrikel kiri baik secara fungsi maupun
struktur mengakibatkan tekanan pada atrium kiri juga meningkat sehingga darah
juga akan menumpuk di paru-paru, penumpukan cairan tersebut mengakibatkan
ventrikel dan atrium kanan bekerja lebih, dan menimbulkan peninggian tekanan
pada atrium dan ventrikel kanan dapat ditandai dengan adanya distensi pada vena
jugularis dan peninggian pulsasi vena jugularis.
Sesak napas yang merupakan keluhan utama pada pasien ini disebabkan
oleh karena adanya kongesti pulmoner, dengan adanya akumulasi dari cairan
interstisial yang menstimulasi pernapasan cepat dan dangkal yang khas untuk
sesak napas yang disebabkan oleh penyakit jantung. Sesak napas pada malam hari
saat pasien tidur merupakan akibat pasien tidur dalam keadaan datar sehingga
aliran balik darah meningkat, akibatnya ventrikel kanan juga memompakan darah
yang lebih banyak ke arteri pulmonalis. Banyaknya darah di vaskuler paru
mengakibatkan ekstravasasi cairan dari vaskuler ke intersisial, dengan adanya
ekstravasasi cairan ke intersisial jaringan paru akan menimbulkan suara ronki
basah basal saat di lakukan auskultasi pada kedua lapangan paru. Ronkhi yang
timbul akibat adanya peradangan paru dapat disingkirkan karena tidak adanya
manifestasi demam pada pasien ini.
Edema kedua tungkai dan asites pada pasien ini terjadi karena adanya
kongesti vena sistemik sebagai akibat gagal jantung kanan. Gagal jantung kanan
dapat terjadi akibat meningkatnya tekanan vaskular paru sehingga akhirnya
membebani ventrikel kanan. Selain itu disfungsi ventrikel kiri juga berpengaruh
langsung terhadap fungsi ventrikel kanan melalui fungsi anatomis dan
24
25
biokimiawinya. Kedua ventrikel mempunyai satu dinding yang sama (septum
interventrikularis) yang terletak dalam pericardium. Perubahan-perubahan
biokimia seperti berkurangnya cadangan norepinefrin miokardium selama gagal
jantung juga dapat merugikan kedua ventrikel.
Penatalaksanaan pasien gagal jantung pada kasus ini dapat dilakukan
dengan pemberian oksigen 4 liter yang adekuat yang berfungsi untuk mencegah
disfungsi end organ dan serangan gagal organ yang multipel. Gagal jantung
ditangani dengan tindakan umum untuk mengurangi beban kerja jantung dan
manipulasi selektif terhadap ketiga penentu utama dari fungsi miokardium, baik
secara sendiri-sendiri maupun secara gabungan dari : beban awal, kontraktilitas,
dan beban akhir. Penatalaksanaan spesifik dapat diberikan terapi sesuai dengan
tingkatan gagal jantung pasien.
Pemberian captoril yang merupakan golongan ACEI, obat ini merupakan
first line therapy pada gagal jantung kongestive, pada pasien ini juga
dikombinasikan dengan obat diuretik kuat seperti furosemid karena terdapat
overload cairan, efek samping furosemid ini salah satu nya adalah hipokalemi
sehingga diberikan juga diuretik hemat kalium seperti spironolakton, vasodilator
juga diindikasikan pada gagal jantung. Pemberian obat vasodilator pada pasien ini
berupa pemberian ISDN, pemberian obat ini berguna dalam mengurangi preload
jantung dengan meningkatkan kapasitas vena sehingga dapat menurunkan
kebutuhan oksigen miokard dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan
cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang dapat disimpulkan bahwa pasien ini menderita gagal jantung kongestif
et causa CAD.
25
26
Daftar Pustaka
1. Irmalita. Gagal jantung kongestif. Dalam: Rilantono LI, Baraas F, Karo SK,
Roebiono PS, editors. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit Fakulras
Kedokteran Universitas Indonesia, 2002.
2. Colucci WS, Braunwald E. Pathophysiology of heart failure. In Baunwald’s
Heart Disease. A Textbook of cardiovascular medicine. 7th edition. Elsevier
Saunders. Philadelphia.2005
3. Dumitru L, Henri H. Heart Failure. Diunduh dari : www.medscape.com
4. Panggabean MM. Gagal Jantung. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbitan IPD FKUI : Jakarta. 2006. 1513-11
5. Francis GS, Tang W. Pathophysiology of Congestive Heatr Failure.
Cardiovascular Medicine. 2003;4 : S14-S20.
26
27
6. Rilantohon LL. Gagal Jantung. Dalam: Penyakit Kardiovaskuler (KKV). Jilid
I. Pusat Penerbitan FKUI. Jakarta: 2012. 261-75
7. Wilson ML, Price SA. Disfungsi Mekanis Jantung dan Bantuan Sirkulasi.
Dalam : Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi VI.. Jakarta
: EGC. 2006.
8. Adamopoulos S, Anker SD, Bhom M, dkk. ESC Guidelines for the Diagnosis
and Treatment Acute and Chronic Heart Failure 2012. Europan Heart Jurnal.
2012. 1787-1784
9. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et.al
editor. Cardiology. In: Harrison’s manual of medicine 17 th ed. USA: McGraw
Hill
10. Shah RV. Fifer MA. Heart Failure. In: Lilly LS, editor. Pathophysiology of
Heart Disease A Collaborative Project of Medical Students and Faculty. 4th
ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007; p. 225-251
11. O'Brien, Terrence. Congestive Heart Failure. South Carolina: Medical
University of South Carolina: 2006. Available from URL:
http://www.emedicinehealth.com/congestive_heart_failure/article_em.htm
27