Top Banner
BAB I PENDAHULUAN Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen yang dapat berupa trauma tembus maupun tumpul serta trauma yang disengaja maupun tidak disengaja. Trauma tersebut mungkin melibatkan kerusakan pada organ dalam abdomen. 1,2 Trauma, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja adalah penyebab utama kematian pada usia hingga 44 tahun dan merupakan penyebab utama keempat yang menyebabkan kematian secara keseluruhan setelah penyakit jantung, kanker dan stroke. Diperkirakan sekitar setengah dari seluruh kematian terkait dengan trauma terjadi dalam hitungan detik atau menit setelah kejadian trauma serta terkait dengan laserasi pada aorta, jantung, batang otak, otak dan spinal cord. 3 Sebagian besar cedera abdomen disebabkan oleh trauma tumpul sekunder dari kecelakaan mobil dengan kecepatan tinggi, meskipun trauma tembus lebih sering terjadi pada lingkungan perkotaan. Kegagalan dalam mengelola cedera abdomen adalah faktor penyebab kematian pada kasus trauma abdomen yang kematiannya dapat dicegah, diikuti dengan faktor terjadinya multipel trauma. Faktor lainnya yang berperan dalam peningkatan insidensi trauma adalah kendaraan bermotor. 2 Peningkatan angka morbiditas terkait dengan trauma abdomen disebabkan oleh kegagalan mengenali adanya 1
36

CASE- Bedah (Repaired)s

Jan 15, 2016

Download

Documents

APkevin

fhfjff
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: CASE- Bedah (Repaired)s

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen yang dapat berupa trauma tembus

maupun tumpul serta trauma yang disengaja maupun tidak disengaja. Trauma tersebut

mungkin melibatkan kerusakan pada organ dalam abdomen.1,2

Trauma, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja adalah penyebab utama

kematian pada usia hingga 44 tahun dan merupakan penyebab utama keempat yang

menyebabkan kematian secara keseluruhan setelah penyakit jantung, kanker dan stroke.

Diperkirakan sekitar setengah dari seluruh kematian terkait dengan trauma terjadi dalam

hitungan detik atau menit setelah kejadian trauma serta terkait dengan laserasi pada

aorta, jantung, batang otak, otak dan spinal cord.3

Sebagian besar cedera abdomen disebabkan oleh trauma tumpul sekunder dari

kecelakaan mobil dengan kecepatan tinggi, meskipun trauma tembus lebih sering terjadi

pada lingkungan perkotaan. Kegagalan dalam mengelola cedera abdomen adalah faktor

penyebab kematian pada kasus trauma abdomen yang kematiannya dapat dicegah,

diikuti dengan faktor terjadinya multipel trauma. Faktor lainnya yang berperan dalam

peningkatan insidensi trauma adalah kendaraan bermotor.2

Peningkatan angka morbiditas terkait dengan trauma abdomen disebabkan oleh

kegagalan mengenali adanya perdarahan intra-abdomen yang tidak tampak serta

kegagalan untuk mengontrol perdarahan dari organ intra-abdomen. Cedera abdomen

diperkirakan dapat menyebabkan kematian akibat trauma sebesar 10% tiap tahunnya di

Amerika Serikat.2,3

Kejadian trauma abdomen diperkirakan terus menerus meningkat seiring dengan

penurunan insidensi penyakit infeksi dan industrialisasi masyarakat. Sehingga cedera

atau trauma saat ini menjadi konsentrasi dibidang kesehatan masyarakat.2 Untuk itu

diperlukan pengetahuan yang baik dan cukup luas mengenai trauma khususnya trauma

abdomen yang pada referat ini akan dibahas lebih lanjut.

1

Page 2: CASE- Bedah (Repaired)s

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Abdomen sering mengalami cedera setelah trauma tumpul dan trauma tembus. Sekitar

25% dari semua trauma akan membutuhkan eksplorasi abdomen. Evaluasi klinis

abdomen dilakukan dengan pemeriksaan fisik yang adekuat untuk mengidentifikasi

trauma intra-abdomen karena banyaknya pasien dengan perubahan status mental

sekunder dari trauma kepala, alkohol, atau obat-obatan serta karena inaksesibilitas

pelvis, abdomen atas, dan organ retroperitoneal untuk dipalpasi. Oleh karena itu

beberapa modalitas diagnostik digunakan selama 3 dekade terakhir, yaitu adalah

diagnostic peritoneal lavage (DPL), ultrasound, computed tomography, dan

laparoskopi, semuanya memiliki keuntungan, kerugian dan batasan. 1,2

2.1 Anatomi3

Gambar 1. 9 regio abdomen dan gambaran skematik organ abdomen.

Abdomen merupakan bagian batang tubuh yang terletak diantara toraks dan pelvis yang

dibatasi oleh diafragma pada bagian superior dan lipatan infragluteal pada bagian

kaudal. Abdomen biasa dibagi menjadi 9 regio untuk mengidentifikasi letak organ yang

berada didalamnya. 9 regio abdomen terdiri dari regio epigastrium, regio hipokondrium

dekstra dan sinistra, regio umbilikal, regio lumbar dekstra dan sinistra, region

hipogastrium serta regio inguinalis dekstra dan sinistra. Sedangkan untuk memudahkan

2

Page 3: CASE- Bedah (Repaired)s

inisiasi evaluasi trauma, abdomen dibagi kedalam empat area: abdomen intratorakal,

true abdomen, abdomen pelvis dan abdomen retroperitoneal.

Abdomen intratorakal merupakan bagian abdomen atas yang terletak di bawah

tulang costae. Struktur tulang dan tulang rawan membuat area ini sulit dipalpasi.

Abdomen intratorakal terdiri dari diafragma, hepar, spleen, dan lambung. Setiap organ

ini dapat mengalami trauma akibat efek dari trauma tumpul atau trauma tembus yang

mengenai tulang costae.

Abdomen pelvis ditandai dengan tulang pelvis yang terdiri dari rektum, kandung

kemih, uretra, usus halus, dan pada perempuan terdapat uterus, tuba fallopi, dan

ovarium. Trauma pada pelvis atau fraktur pelvis dapat merusak organ yang berada di

dalamnya, dan trauma tembus pada bokong dapat mencederai organ pelvis. Trauma

pada struktur ini kemungkinan ekstraperitoneal dan kemudian sulit didiagnosis. Untuk

itu perlu dilakukan tindakan seperti kateterisasi kandung empedu, uretrosistografi, dan

sigmoidoskopi untuk menegakkan diagnosis.

Abdomen retroperitoneal terdiri dari ginjal, ureter, pankreas, duodenum porsi

kedua dan ketiga, pembuluh darah besar, aorta, dan vena kava. Trauma pada struktur ini

juga dapat terjadi sekunder dari trauma tembus atau trauma tumpul. Ginjal dapat rusak

melalui trauma costae bagian posterior dan struktur ini juga dapat rusak melalui

crushing injury pada bagian depan atau sisi torso. Kemudian trauma pada struktur ini

mungkin hanya mengakibatkan sedikit pada temuan fisik, pemeriksaan fisik dan

diagnostic peritoneal lavage (DPL) jarang digunakan. Evaluasi abdomen peritoneal

membutuhkan prosedur pencitraan radiografi seperti computed tomography (CT) scan,

angiografi, ultrasound, dan pielografi intravena.

True abdomen terdiri dari usus halus dan usus besar, kandung kemih ketika

distensi, dan uterus ketika sedang mengalami gravid. Perforasi pada organ ini biasanya

bermanifestasikan nyeri dari peritonitis dan disertai dengan temuan fisik abdomen yang

signifikan. DPL berguna untuk mencurigai adanya cedera intraabdomen dan foto polos

abdomen dapat membantu melihat jika terdapat gambaran udara bebas.

3

Page 4: CASE- Bedah (Repaired)s

Gambar 2. Empat pembagian anatomi abdomen secara tradisional. (A) Abdomen intratorakal. Isi daerah

ini adalah subdiafragma tetapi sefalik terhadap margin costae. Dengan respirasi, diafragma dianggap naik

pada level puting (sela iga anterior keempat). Hemidiafragma kiri yang ruptur diilustrasikan dengan

herniasi lambung dan kolon transversus distal ke dalam hemitoraks kiri. (B) Demikian juga dengan isi

dari abdomen pelvis yang berada dalam tulang pelvis. (C) Struktur dalam abdomen peritoneal. True

abdomen (intraperitoneal) terdiri dari viscera dan organ yang ada didalamnya dinamik, tergantung dengan

posisi tubuh dan respirasi.

2.2 Mekanisme trauma1,2

Trauma tumpul sekunder akibat kecelakaan kendaraan bermotor, kecelakaan sepeda

motor, jatuh, serangan fisik maupun menabrak pejalan kaki masih merupakan

mekanisme yang sering terjadi pada trauma abdomen. Luka tembus abdomen biasanya

disebabkan oleh luka tusuk dan luka tembak. Dalam hal ini biasanya luka tusuk

abdomen memiliki resiko yang lebih rendah dibandingkan dengan kejadian luka

tembak.

Berdasarkan tingginya frekuensi cedera organ intraabdomen setelah luka tembak,

biasanya tindakan eksplorasi abdomen wajib dilakukan dengan pengecualian jika luka

superfisial dan tangensial serta terbatas hanya pada abdomen regio kuadran kanan atas.

Tatalaksana pembedahan trauma organ padat pada pasien dengan trauma tumpul

yang stabil telah diperluas sama halnya dengan pembedahan pada trauma tembus.

Dengan peningkatan modalitas pencitraan, pasien stabil yang mengalami trauma organ

4

Page 5: CASE- Bedah (Repaired)s

padat tunggal setelah luka tusuk atau luka tembak abdomen dapat diobati secara

konservatif.

Pada anak-anak, selain mekanisme cedera diatas, pelecehan terhadap anak dan

trauma sekunder dari aktivitas rekresional seperti bersepeda, berenang dan roller

skating juga sebaiknya dipertimbangkan sebagai mekanisme cedera yang mungkin

dapat terjadi.

2.3 Pendekatan Diagnostik2,3

Diagnosis dan tatalaksana harus dilakukan berdasarkan protokol yang sudah ditetapkan.

Perbaikan fungsi jalan nafas khususnya pada pasien koma harus dilakukan sebelum

mengevaluasi abdomen. Kemudian selanjutnya dilakukan pemasangan endotracheal

tube dan ventilasi. Selain itu tindakan resusitasi dengan cairan ringer lactate (RL) atau

NaCL juga perlu dilakukan untuk keseimbangan cairan pasien dengan trauma abdomen.

Resusitasi kristaloid awal diindikasikan khususnya pada kejadian trauma kepala.

Abdomen adalah diagnostik kotak hitam. Untungnya, dengan beberapa

pengecualian tidak penting untuk mengetahui organ apa yang cedera tetapi yang penting

adalah mengenai apakah tindakan laparotomi eksplorasi perlu untuk dilakukan.

Pemeriksaan fisik abdomen dapat diandalkan dalam membuat diagnosis seperti adanya

kekakuan abdomen atau distensi abdomen.

Riwayat terjadinya trauma atau mekanisme cedera penting untuk menjelaskan

kemungkinan adanya trauma organ intraabdomen. Semua informasi yang mungkin

penting sebaiknya digali mulai dari pre-hospital termasuk mekanisme cedera,

ketinggian saat jatuh, kerusakan interior dan eksterior kendaraan bermotor, mekanisme

kematian lainnya, ejeksi, tanda vital, status mental, perdarahan eksternal, serta jenis

senjata tajam yang digunakan. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan saat

berada di rumah sakit biasanya akurat dalam menentukan trauma intraabdomen pada

pasien sadar dan responsif. Banyak pasien dengan perdarahan intraabdomen moderat

akan berada dalam kondisi kompensasi hemodinamik dan tidak akan ditemukan tanda-

tanda masalah pada peritoneum.

Pasien dengan trauma tumpul yang stabil secara hemodinamik dievaluasi secara

adekuat dengan USG atau CT abdomen, kecuali jika terdapat luka berat lainnya maka

pasien harus pergi ke ruang operasi sebelum dilakukan evaluasi abdomen. Dalam hal

tersebut, diagnostic peritoneal lavage (DPL) atau focus abdomninal sonography trauma

5

Page 6: CASE- Bedah (Repaired)s

(FAST) dilakukan di ruang operasi untuk menyingkirkan perdarahan intraabdomen

yang memerlukan eksplorasi bedah segera. Sedangkan untuk kasus luka tembak maka

harus dilakukan eksplorasi.

a. Radiografi polos

1. Radiografi toraks dapat digunakan untuk melihat adanya pneumoperitoneum, isi

rongga abdomen pada toraks akibat ruptur hemidiafragma, atau fraktur costae

bagian bawah. Selanjutnya tanda yang ditemukan tersebut dapat meningkatkan

kemungkinan trauma spleen dan hepar.

2. IV pyelography dan retrograde cystography adalah pemeriksaan yang digunakan

pada beberapa tahun yang lalu untuk mengevaluasi pasien trauma dengan

hematuria yang sekarang sebagian besar telah digantikan dengan contrast-

enhanced CT.

3. Radiografi pelvis dapat digunakan pada pasien dengan keadaan tidak stabil

karena juga dapat berguna untuk menegakkan diagnosis fraktur pelvis.

b. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)

DPL adalah pemeriksaan yang cepat dan akurat untuk mengidentifikasi trauma

intraabdomen setelah trauma tumpul pada pasien yang unresponsif atau hipotensi

tanpa indikasi jelas untuk dilakukan eksplorasi abdomen. Kriteria standar DPL

positif adalah ditemukannya trauma tumpul termasuk didapatkan setidaknya 10 ml

darah ketika dilakukan aspirasi, discharge yang berdarah, eritrosit lebih dari

100.000/mm3, leukosit lebih dari 500/mm3, kadar enzim amilase lebih dari 175

IU/dl, atau terdeteksi adanya cairan empedu, bakteri atau serat makanan.

6

Page 7: CASE- Bedah (Repaired)s

Gambar 3. DPL dilakukan melalui insisi infraumbilikal.Linea alba diinsisi, kateter menembus

peritoneum dengan bantuan trokar dan diarahkan ke dalam panggul.

Trauma yang signifikan bisa tidak terdiagnosa dengan DPL. Robekan diafragma,

hematoma retroperitoneal, dan trauma renal, pankreas, duodenum, usus halus serta

kandung kemih ekstraperitoneal seringkali tidak terdiagnosa dengan hanya

pemeriksaan DPL saja. Indikasi dan kontraindikasi untuk DPL dapat dilihat pada

tabel 2 berikut ini.

Tabel 1. Indikasi dan Kontraindikasi untuk DPL

c.Ultrasound Sonography (USG)

7

Page 8: CASE- Bedah (Repaired)s

USG telah sering digunakan beberapa tahun terakhir di Amerika Serikat untuk

evaluasi pasien dengan trauma tumpul. Objektif pada evaluasi USG adalah untuk

mencari cairan bebas intraperitoneum. Selain itu USG juga dapat digunakan untuk

mengevaluasi hepar dan spleen setelah cairan bebas sudah diidentifikasi. Beberapa

keuntungan dari USG adalah non-invasif, tidak menggunakan radiasi, dapat

dilakukan pengulangan, murah serta dapat digunakan selama evaluasi awal.

d. Abdominal computed tomography (CT)

CT abdomen merupakan metode pencitraan yang sering digunakan untuk evaluasi

pasien dengan trauma tumpul abdomen. CT dapat digunakan untuk mengevaluasi

retroperitoneum dengan baik serta juga dapat mengevaluasi trauma organ pada

pasien stabil dengan temuan pada USG. Selain itu CT juga dapat digunakan untuk

mengidentifikasi grading pada trauma organ serta mengevaluasi ekstravasasi

kontras.

Untuk membantu menegakkan diagnosis trauma, baik trauma tumpul maupun

trauma tembus abdomen dapat digunakan algoritma dibawah ini yang akan

dijelaskan pada Gambar 2 dan Gambar 3.

Gambar 2. Algoritma dalam Diagnosis Trauma Tumpul Abdomen

8

Page 9: CASE- Bedah (Repaired)s

Gambar 3. Algoritma dalam Diagnosis Trauma Tembus Abdomen

2.4 Klasifikasi Trauma Abdomen1

a. Trauma Tembus Abdomen

Trauma tembus abdomen melibatkan transfer energi ke suatu jaringan yang

relatif kecil. Kecepatan luka tembak sangat tinggi jika dibandingkan dengan tipe

trauma tembus lainnya. Luka tembak merupakan penyebab tersering penyebab

trauma tembus abdomen. Trauma intraabdomen terjadi sekitar 80% pada pasien

yang mengalami luka tembak abdomen, sedangkan hanya sekitar 20% - 30%

pasien yang mengalami luka tusuk. Frekuensi terjadinya cedera pada organ akibat

trauma tembus abdomen akan dijelaskan pada tabel 2.

Tabel 2. Frekuensi Terjadinya Trauma Organ pada Trauma Tembus Abdomen

Organ Angka Kejadian

Liver 37

Usus halus 26

Lambung 19

Kolon 17

Pembuluh darah mayor 13

Retroperitoneal 10

9

Page 10: CASE- Bedah (Repaired)s

Mesenterium & omentum 10

Lien 7

Diafragma 5

Ginjal 4

Lainnya 10

Trauma pada rongga toraks dan abdomen terjadi pada 20% pasien dengan

luka tembus abdomen. Pasien dengan luka tembus toraks juga mungkin

mengalami trauma intraabdomen karena peluru dapat dengan mudah melintang

pada diafragma. Pasien dengan luka tembak abdomen dan toraks inferior

biasanya dilakukan tindakan laparotomi karena kemungkinan terjadinya trauma

intraabdomen yang besar. Perbedaan antara potensial trauma dengan luka tembak

dan luka tusuk adalah pada fungsi energi kinetik yang lebih tinggi terkait dengan

luka tembak. Tatalaksana selektif mungkin merupakan metode terbaik untuk

mengobati luka tusuk.

b. Trauma tumpul

Kecelakaan mobil merupakan penyebab sekitar 60% semua cedera traumatik.

Tabel 3 akan menjelaskan insidensi organ spesifik yang cedera akibat trauma

tumpul abdomen. Organ tersering yang cedera akibat trauma intraabdomen

adalah hepar. Cedera hepar yang ringan sering terdeteksi pada pasien yang

menjalani CT abdomen, sedangkan trauma spleen pada dewasa kemungkinan

besar secara klinis akan terlihat signifikan dan membutuhkan intervensi

pembedahan.

Organ yang padat seringkali mengalami cedera dari kejadian trauma

tumpul. Tekanan aplikatif yang tiba-tiba pada abdomen lebih cenderung

menyebabkan ruptur pada organ padat dibandingkan dengan organ berongga.

Jaringan yang lebih elastis pada dewasa muda memiliki toleransi yang lebih baik

dibandingkan dengan orang tua dan hal ini yang menyebabkan perbedaan

insidensi dan pola trauma pada anak dan dewasa dengan trauma tumpul

abdomen.

Tabel 3. Frekuensi Trauma Organ pada Trauma Tumpul Abdomen pada Dewasa

Organ Angka Kejadian

Liver 30

10

Page 11: CASE- Bedah (Repaired)s

Lien 25

Hematoma retroperitoneal 13

Ginjal 7

Kandung kemih 6

Usus 5

Mesenterium 5

Pankreas 3

Diafragma 2

Lainnya 4

2.5 Indikasi Pembedahan1,2

Indikasi untuk laparotomi meliputi adanya tanda-tanda peritonitis, eviserasi, perburukan

klinis selama observasi, dan terdapat instabilitas hemodinamik serta pada pemeriksaan

DPL dan FAST yang konsisten didapatkan adanya hemoperitoneum.

Antibiotik spektrum luas diberikan segera jika telah diputuskan untuk melakukan

laparotomi. Evidence based yang baik mengatakan bahwa antibiotik tidak perlu

dilanjutkan jika telah lebih dari 24 jam post operasi, bahkan jika telah terjadi

kontaminasi dari trauma organ berongga. Profilaksis tetanus sebaiknya diberikan pada

pasien dengan trauma abdomen ini. Pasien dengan imunisasi komplit pada masa kanak-

kanak cukup berikan imunisasi booster. Akan tetapi jika tidak ada riwayat imuninasi,

lengkap atau tidak diketahui, maka imunisasi pasif harus diberikan disertai dengan

globulin hiperimun.

2.6 Tatalaksana Trauma Spesifik1,2,4

1. Diafragma

Trauma pada diafragma setelah trauma tumpul melibatkan sebagian besar

hemidiafragma kiri. Semua trauma diafragmatik harus diperbaiki untuk

mencegah potensial jangka panjang terjadinya herniasi, inkarserasi, dan

strangulasi visera abdomen. Strangulasi dapat terjadi beberapa bulan bahkan

beberapa tahun setelah trauma terjadi jika lubang pada diafragma tidak

terdiagnosis dan diobati.

Diagnosis trauma diafragma dapat dicurigai jika terjadi distress pernapasan

dan bukti radiologis terjadinya efusi pleura yang tidak membaik dengan tube

11

Page 12: CASE- Bedah (Repaired)s

thoracostomy atau gambaran radiografi posisi tegak menunjukkan herniasi viseral

yang jelas kedalam toraks. Foto rontgen toraks pada pasien dengan ruptur

diafragma tumpul kadang tidak terlihat jelas khususnya pada ventilasi tekanan

positif dan mungkin hanya muncul gambaran kabur pada sudut costofrenikus atau

garis diafragma. Laserasi linier pada diafragma dapat diperbaiki dengan jahitan

simple running atau horizontal interuptus.

Gambar 4. Radiografi toraks menunjukkan adanya gelembung didalam toraks kiri dengan ruptur hemidiafragma kiri

Gambar 5. Foto polos toraks lateral menunjukkan herniasi gaster ke dalam kavum pleura kiri.

2. SpleenSpleen adalah organ intraabdomen yang sering mengalami trauma tumpul

abdomen. Selain itu, trauma spleen juga sering terjadi pada fraktur iga bawah di

bagian kiri karena spleen terletak pada kuadran kiri atas dan terletak pada bagian

kiri sedikit posterior dari lambung. Pada anamnesis penting untuk mengetahui

mekanisme trauma serta lokasi terjadinya trauma. Riwayat jatuh, dipukul atau

trauma terkait olahraga pada dada bagian kiri, flank (daerah abdomen pada

setiap sisi regio umbilikal) atau abdomen bagian kiri atas biasanya terkait

dengan trauma spleen.

Manifestasi klinis yang tampak biasanya sedikit dan tidak signifikan seperti

adanya tanda-tanda kehilangan darah, nyeri atau tenderness pada abdomen

kuadran kiri atas dan nyeri alih pada bahu kiri (Kehr’s sign). Tatalaksana yang

12

Page 13: CASE- Bedah (Repaired)s

dapat dilakukan pada pasien trauma abdomen dengan cedera spleen hanya

pembedahan.

3. Hepar

Hepar adalah organ terbesar dalam rongga abdomen yang sering mengalami

kerusakan pada trauma tumpul atau tembus abdomen sama halnya dengan

trauma pada torakoabdominal. Insidensi trauma hepar lebih banyak jika

dibandingkan dengan trauma spleen. Mekanisme hemostatik spontan biasanya

cukup efektif pada sekitar 85% pasien dengan trauma hepar yang tidak

mengalami perdarahan secara aktif saat laparotomi dan trauma ini diperkirakan

dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh. Pada saat tindakan laparotomi, trauma

hepar tidak memerlukan terapi spesifik dan drainase biasanya tidak terlalu

penting untuk dilakukan.

Pasien dengan trauma hepar yang signifikan biasanya memiliki riwayat

energi tumpul mayor yang ditransfer ke toraks kanan dan abdomen atas.

Manifestasi klinis yang muncul mungkin minimal karena perdarahan awal tidak

menyebabkan iritasi peritoneal atau distensi abdomen. Pasien dengan hipotensi

yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya atau adanya riwayat syok setelah

kejadian trauma tumpul harus dianggap beresiko untuk terjadinya trauma hepar

yang berat. DPL atau FAST dapat membantu menegakkan diagnosis

hemoperitoneum, jika hasilnya positif, laparotomi dapat menjadi opsi

pembedahan. CT scan abdomen dapat dengan pasti mengevaluasi adanya

hematoma subkapsular, laserasi dan trauma parenkim hepatik lainnya.

a. Tatalaksana operasi

Cedera yang bervariasi dari robekan kapsular simpel dan laserasi non

perdarahan, fraktur kompleks dengan destruksi lobaris dan disrupsi parenkim

yang ekstensif, disrupsi duktus biliaris, serta trauma vena sentral dan arteri

hepatika. Prinsip penanganan trauma hepar adalah sama terlepas dari derajat

keparahan trauma, yaitu dengan melakukan kontrol perdarahan, membuang

jaringan yang rusak serta melakukan drainase yang adekuat.

Laserasi simpel dengan perdarahan yang berhenti saat pembedahan tidak

membutuhkan drainase kecuali jika laserasi dalam pada parenkim yang dapat

meningkatkan kebocoran bilier post operasi. Hematoma subkapsular dapat

13

Page 14: CASE- Bedah (Repaired)s

dievaluasi simpel atau dibiarkan utuh jika tidak disertai dengan trauma

parenkim. Laserasi yang terus menyebabkan perdarahan meskipun telah

dilakukan kontrol perdarahan lokal (termasuk packing), membutuhkan ekplorasi

pada luka hepar serta ligasi radikal bilier dan pembuluh darah spesifik. Jika

terjadi perdarahan yang terus menerus maka struktur porta hepatis harus

dikompresi sebagai maneuver diagnostik (Pringle Maneuver). Jika perdarahan

berhenti, maka perdarahan dianggap berasal dari vena porta atau arteri hepatika.

Akan tetapi jika perdarahan terus berlanjut maka perdarahan dianggap berasal

dari vena hepatika utama atau vena kava inferior. Triad portal dapat secara

intermiten tersumbat untuk memungkinkan terjadinya peningkatan visualisasi

selama dilakukan penjahitan dan ligasi pembuluh darah. Ketika ligasi parenkim

selektif gagal dilakukan, maka ligasi arteri hepatika dapat menjadi alternatif

selama oklusi Trias Pringle memiliki efek bermanfaat. Hal ini jarang dilakukan

tetapi dapat menghasilkan keadaan hemostatik yang dramatik.

Alternatif untuk laserasi dalam dengan perdarahan persisten adalah

dilakukan debridement reseksional pada segmen hepar. Hal ini dapat dicapai

dengan melakukan teknik fraktur jari, membuang hepar yang rusak. Alternatif

ini dibutuhkan sekitar 5% - 8% pada pasien dengan cedera hepar. Reseksi

subsegmental biasanya adekuat atau jika perlu dilakukan segmentektomi atau

lobektomi. Keputusan untuk dilakukannya debridemen reseksional harus dibuat

pada eksplorasi awal. Alternatif ini dikaitkan dengan tingkat kematian setinggi

30% sehingga harus dihindari kecuali memang benar diperlukan.

14

Page 15: CASE- Bedah (Repaired)s

Gambar 6. Manuver Pringle mengkompresi struktur trias portal dengan klem vaskular

noncrushing untuk mengontrol hepatic inflow. Jika memungkinkan, waktu klem dibatasi dengan

interval 15-20 menit.

Teknik tambahan adalah dengan menggunakan absorbable mesh, satu

persatu membungkus setiap lobus pada hepar dan melekatkan mesh pada

ligamentum falsiformis. Teknik ini berfungsi dengan atau tanpa packing, ketika

terdapat laserasi superfisial yang multipel pada hepar dengan perdarahan aktif

dan dapat digunakan sebagai alternatif untuk debridemen parenkim jika terjadi

kehilangan darah yang signifikan, pasien sulit diresusitasi, hipotermia atau

asidosis, serta jika terjadi koagulopati dari transfusi massif. Namun keputusan

untuk mengatasi trauma dan selanjutnya melakukan resusitasi setelah abdomen

ditutup merupakan langkah yang tepat. Packing dilakukan untuk kompresi

secara signifikan pada hepar yang mengalami trauma dengan laparotomy pads

yang diletakkan pada bagian atas dan bawah hepar. Packing dapat berhasil jika

dilakukan sejak awal sebelum koagulopati belum terlalu berat.

Komplikasi mayor setelah trauma hepar adalah hemoragik, insufisiensi

pernafasan, koagulopati, hipoglikemi, fistel bilier atau trauma duktus bilier,

hemobiliam dan subdiafragmatik atau terjadinya abses intraparenkimal.

4. Lambung

15

Page 16: CASE- Bedah (Repaired)s

Lambung adalah organ yang rentan terhadap trauma tembus pada bagian atas

abdomen dan bagian bawah toraks, yang merupakaan visera abdomen bagian

atas yang berada pada bagian dasar tulang iga pada tingkat setinggi sela iga

keempat. Lambung dapat mengalami trauma sekitar 5% hingga 10% pada pasien

dengan trauma tembus abdomen.

Manifestasi klinis terjadinya trauma pada gaster adalah adanya hematemesis

atau darah yang dapat ditemukaan saat aspirasi dengan nasogastric tube.

Meskipun begitu, tidak adanya darah yang ditemukan pada aspirasi gaster juga

tidak bisa menyingkirkan kemungkinan terjadinya trauma gaster.

Pada saat dilakukan laparotomi, pembukaan yang adekuat membutuhkan

mobilisasi dan visualisasi pada seluruh gaster. Sebagian besar permukaan

anterior gaster dapat divisualisasikan secara adekuat tanpa mobilisasi yang

ekstensif dengan memegang pinggir kurva yang lebih besar pada gaster dengan

jari atau klem Babcock, lalu kemudian gaster ditarik kebawah dan dilebarkan.

Pembukaan gastroesophageal junction dapat sulit dilakukan jika bagian yang

melebar pada margin costae sempit.

Trauma pada gaster biasanya dapat dengan mudah diperbaiki, terutama

dengan double layer, dengan lapis dalam dengan jahitan menggunakan 3-0 atau

4-0 yang dapat diserap, kemudian diikuti dengan lapisan luar dengan jahitan

Lembert permanen 3-0 atau 4-0. Trauma besar khususnya pada luka tembak

membutuhkan tindakan reseksi, sedangkan trauma pada pylorus harus ditutup

dengan Heineke-Mikulicz pyloroplasty.

Trauma tembus abdomen sering disertai dengan laserasi diafragma

karena disebabkan posisi gaster yang tinggi dalam abdomen. Selama ventilasi

spontan akan terjadi tekanan negatif pada kavum pleura dan tekanan positif

dalam abdomen dan gradien tekanan resultan menyebabkan perpindahan cairan

gaster dan partikulat dari abdomen ke dalam toraks. Kontaminasi sering terjadi

sebelum ventilasi tekanan positif dan laparotomi. Empiema dapat disebabkan

oleh kontaminasi yang minimal. Kemudian kombinasi trauma gaster dan

diafragma juga memerlukan tindakan lavage pada kavum pleura sebelum

dilakukan penutupan diafragma, untuk itu laserasi diafragma harus cukup besar

untuk dapat melakukan lavage pada abdomen.

16

Page 17: CASE- Bedah (Repaired)s

Dalam tatalaksana pembedahan gaster ada beberapa hal yang harus

diperhatikan yaitu, nervus prenikus dan pembesaran laserasi diafragma yang

harus dilakukan secara radial atau perifer. Adequate lavage sulit dilakukan

karena adanya kontaminasi pleura atau jika pembesaran laserasi diafragma tidak

dapat dilakukan tanpa resiko denervasi.

Trauma tumpul abdomen jarang terjadi jika dibandingkan dengan trauma

tajam yang menyebabkan trauma gaster. Gaster berukuran besar, distensible, dan

mobile. Gaya atau kekuatan yang besar dapat menyebabkan blowout pada

dinding gaster. Sebagai konsekuensinya, angka mortalitas dari trauma gaster

terkait hal tersebut tinggi pada pasien dengan trauma tumpul abdomen. Blowout

injuries pada gaster juga cenderung lebih besar dan gaster mungkin menjadi

besar pada saat yang bersamaan saat terjadinya trauma. Kemudian, cedera

trauma tumpul sering disertai dengan kontaminasi intraperitoneal yang

signifikan. Prinsip operative exposure dan repair merupakan opsi untuk

tatalaksana trauma gaster sama halnya dengan trauma tembus.

5. Duodenum

a. Trauma tembus

Duodenum yang terletak retroperitoneal dan dekat dengan beberapa visera lain

serta struktur vaskular mayor menyebabkan trauma tembus duodenum jarang

terjadi. Diagnosis trauma duodenum biasanya dibuat saat berada di ruang

operasi. Gastrointestinal contrast CT biasa digunakan dalam diagnostik pada

trauma tumpul.

Diagnosis dan tatalaksana trauma duodenum di dalam ruang operasi

tergantung dengan pembukaan yang adekuat. Pembukaan dilakukan dengan

insisi refleksi dari peritoneum lateralis duodenum dan mobilisasi duodenum dari

kanan ke kiri dengan kombinasi diseksi kauter dan tumpul. Teknik ini dikenal

dengan Kocher Maneuver, dan dapat melintang pada garis tengah ke level aorta

abdominal yang akan menyebabkan bukaan dibawah vena kava dan aorta.

Masuk ke dalam lesser sac melalui ligamentum gastrokolik akan membuka

aspek kaudal duodenum porsi pertama dan aspek medial pada porsi kedua.

Bukaan porsi ketiga dan keempat duodenum dapat dilakukan dengan insisi

ligamentum Treitz dan mobilisasi kolon kanan dari kanan ke kiri sehingga kolon

17

Page 18: CASE- Bedah (Repaired)s

kanan dan usus halus dapat di tinggikan (Cattell Maneuver). Dengan maneuver

kombinasi ini maka seluruh bagian duodenum dapat dimobilisasi dan terpajan

untuk mengevaluasi adanya trauma. Identifikasi semua trauma pada waktu yang

bersamaan saat eksplorasi awal sangat penting karena hal ini terkait dengan

peningkatan angka morbiditas.

Trauma tembus yang paling sering pada duodenum adalah laserasi simpel

yang dapat membaik secara primer. Repair jenis ini harus dilakukan dua lapis

dengan jahitan 3-0 atau 4-0 lapis dalam yang dapat diserap diikuti dengan

jahitan permanen Lambert lapis luar 3-0 atau 4-0. Penutupan yang dilakukan

harus secara transversal dan jika memungkinkan lakukan pencegahan

kompromais luminal. Traktus biliaris tidak membutuhkan drainase pada

beberapa kasus dan duodenum juga tidak membutuhkan tube decompression

meskipun kedua maneuver tersebut sudah dilakukan sebelumnya.

Trauma yang besar pada duodenum dapat direpair dengan jejunal patch

dengan mengambil bagian jejunum dan meletakkannya di daerah yang

mengalami trauma. Sehingga serosa jejunum dapat menyokong duodenum yang

direpair.

Tindakan alternatif lainnya adalah Roux-en-Y duodenojejunostomy dan

pancreaticoduodenectomy jika trauma terkait dengan trauma pankreas atau

traktus biliaris. Tube decompression pada duodenum sebaiknya dilakukan pada

trauma duodenum yang berat. Pada semua trauma duodenum, daerah

periduodenum harus didrainase secara eksternal untuk mengontrol kebocoran

post operasi serta untuk mengontrol fistula. Dengan pembuatan anastomosis

gastrojejunal dan adanya prosedur yang bersamaan dilakukan untuk menurunkan

produksi asam lambung, H2 blocker atau proton pump inhibitor sebaiknya

diberikan dalam periode post operasi untuk mencegah ulserasi marginal.

Trauma tumpul

Trauma tumpul duodenum jarang terjadi dan lebih sulit didiagnosis

dibandingkan dengan trauma tembus. Trauma ini dapat terjadi sendiri atau

dengan trauma pankreas. Pemeriksaan fisik adalah salah satu cara yang terbaik

untuk mengetahui adanya trauma duodenum meskipun yang ditemukan pada

pemeriksaan fisik biasanya tidak terlalu signifikan dikarenakan letak duodenum

18

Page 19: CASE- Bedah (Repaired)s

yang retroperitoneum. Hematoma intramural pada duodenum yang cedera jarang

terjadi spesifik pada pasien dengan trauma tumpul.

Trauma ini sering terjadi pada anak setelah adanya gaya lokal pada abdomen

atas. Hematoma terjadi ketika duodenum cedera dan perdarahan terjadi pada

lapis subserosa atau submukosa. Pada keadaan ini tidak akan terjadi perforasi

duodenum. Hematoma jenis ini dapat menyebabkan obstruksi lumen. Jika tidak

didiagnosis dengan cepat, obstruksi akan berkembang dalam beberapa hari, hal

ini mungkin karena adanya peningkatan akumulasi air intramural sama halnya

dengan hemoglobin dalam hematoma yang kemudian mulai dipecah serta

adanya faktor gaya osmotik yang meningkatkan absorpsi air.

Semua hematoma pada daerah duodenum harus dieksplorasi untuk

menyingkirkan kemungkinan perforasi. Pembedahan yang tidak dilakukan

dengan cepat setelah trauma dapat bermanifestasi sebagai gejala obstruktif

beberapa hari setelah trauma. Obstruksi biasanya terjadi pada duodenum porsi

kedua dan pada gambaran klasik akan terlihat coiled-spring appearance. Gejala

obstruktif yang menetap 10-14 hari sejak diagnosis ditegakkan merupakan

indikasi untuk dilakukan eksplorasi abdomen untuk drainase hematoma,

meringankan obstruksi, dan menyingkirkan trauma yang terlewatkan.

Gambar 7. Tehnik eksklusi pilorik untuk trauma duodenum kompleks.

Duodenum sulit untuk dilakukan repair karena adanya enzim pencernaan

19

Page 20: CASE- Bedah (Repaired)s

intraluminal. Drainase yang adekuat dari daerah periduodenal membantu untuk

memastikan bahwa kebocoran tersebut dapat dikontrol dan tidak mengakibatkan

abses intraabdomen.

6. Pankreas

Trauma tembus

Trauma tembus pankreas biasanya didiagnosis dalam ruangan operasi. Pankreas

terletak retroperitoneum dan dikelilingi oleh beberapa organ visera lain dan

struktur vaskular mayor. Pada eksplorasi abdomen, tanda trauma pankreas

termasuk projectile path yang melewati daerah dekat pankreas, sentral

hematoma pada abdomen bagian atas, dan trauma pada duodenum, vena kava,

aorta suprarenal, atau pembuluh mesenterium.

Pada evaluasi trauma tembus pankreas, kunci yang paling penting untuk

tatalaksana operatif adalah apakah terdapat trauma duktal. Pancreatography

intraoperatif transduodenal direkomendasikan untuk kasus trauma ini.

Keuntungan dari maneuver ini adalah memungkinkan untuk mengambil

keputusan tipe intervensi operasi apa yang akan diambil.

Tatalaksana operatif pada trauma tembus pankreas tergantung pada lokasi

dan tingkat keparahan trauma. Trauma dapat dibagi ke dalam kaput, korpus dan

kaudal pankreas berdasarkan letaknya. Kemudian jika berdasarkan tingkat

keparahannya, trauma diklasifikasikan oleh derajat disrupsi parenkim dan ada

atau tidaknya trauma duktal. Pancreaticoduodenectomy dengan rekonstruksi

sebaiknya dilakukan pada kasus trauma duodenum yang masif.

Trauma tumpul

Perbedaan mayor antara trauma tumpul dan trauma tembus pankreas terletak

pada diagnosis. Trauma tembus pankreas biasa ditemukan pada eksplorasi

abdomen untuk trauma yang terkait, tetapi trauma tumpul dapat terjadi tanpa

diketahui dan diagnosis preoperatif sulit ditegakkan.

7. Usus Halus (Small Intestine)

Dikarenakan usus halus merupakan organ yang menempati lebih banyak volum

dalam rongga abdomen, maka organ intraabdomen ini mejadi organ yang paling

sering cedera oleh trauma trauma tembus abdomen. Keparahan trauma bervariasi

20

Page 21: CASE- Bedah (Repaired)s

dari trivial rents pada serosa usus atau mesenterium sampai perforasi masif atau

trauma devaskularisasi yang memerlukan reseksi ekstensif.

Diagnosis trauma usus halus dapat ditegakkan dengan beberapa metode.

Pemeriksaan fisik abdomen dilakukan untuk mendapatkan tanda peritoneum

pada pasien dengan trauma tembus usus halus. Pasien dengan luka tembak harus

dilakukan laparotomi. Pada pasien yang stabil dapat dilakukan eksplorasi untuk

trauma tembus abdomen anterior yang merusak fasia dinding abdomen.

Abdomen sebaiknya dilakukan eksplorasi dengan insisi garis tengah dan

atensi awal sebaiknya langsung mengarah pada perdarahan dari trauma yang

terkait atau dari mesenterium usus halus. Perdarahan dari mesenterium dapat

dikontrol dengan ligasi jahitan atau dengan jahitan suture pada robekan

mesenterika. Penutupun ini tidak membutuhkan perbaikan definitif, tapi harus

dilakukan kontrol perdarahan sementara sampai dapat dilakukan tatalaksana

definitif.

Setelah dilakukan kontrol perdarahan, langkah untuk mencegah kebocoran

isi usus dari trauma usus halus harus diambil. Hal ini dilakukan dengan

melakukan pemeriksaan cepat terhadap usus halus dan dengan penerapan klem

Babcock atau Allis, penutupan dengan jahitan single layer running untuk

sementara atau kontrol dengan menjepit daerah luka. Perbaikan definitif atau

reseksi tidak boleh dilakukan sampai keseluruhan usus sudah diperiksa untuk

melakukan pendekatan yang rasional dan logik sehingga dapat menentukan

tatalaksana operatif yang sesuai. Darah atau debris yang ditemukan pada serosa

usus halus sebaiknya diusap. Kompresi usus pada daerah yang diduga

mengalami trauma juga dapat menunjukan kebocoran yang harusnya dapat

diketahui.

Bagian usus atau mesenterium yang mengalami destruktif masif disertai

dengan iskemik harus dilakukan reseksi. Jika setelah dilakukan debridement

lebih dari 40% lingkar dinding usus hilang, maka segmen harus direseksi.

Anastomosis pada pasien trauma tidak dilakukan pada pasien dengan edema

dinding usus yang ekstensif, iskemik yang signifikan dan atau jika terjadi

hipoperfusi. Anastomose yang di lakukan pada dinding usus yang normal dapat

21

Page 22: CASE- Bedah (Repaired)s

bermanfaat jika dilakukan pada waktu yang tepat dan sebaiknya dilakukan

anastomose side-to-side dan end-to-end fungsional.

Luka tusuk usus halus biasanya mudah untuk ditatalaksana dan jarang

membutuhkan reseksi atau debridement.

8. Kolon dan Rektum

Trauma kolon dan rektum sering disebabkan oleh trauma tembus atau trauma

perforasi. Trauma tumpul hanya menyebabkan trauma kolon sebesar 5%.

Trauma rektum dapat terjadi disertai dengan fraktur pelvis dan kemungkinan

trauma rektum harus dipikirkan pada pasien dengan fraktur pelvis.

Tanda dan gejala peritonitis akibat trauma kolon dan rektum tidak spesifik.

Darah yang ditemukan pada pemeriksaan merupakan bukti yang kuat untuk

trauma kolon dan rektal dan pemeriksaan proctoscopic dan sigmoidoscopic

harus dilakukan.

Tabel 4. Prinsip Manajamen Tatalaksana Operasi pada Trauma kolon dan Rektum

1. Pasien pada posisi lithotomy sehingga perineum dan abdomen dapat terpajan secara

simultan

2. Debridement luas pada jaringan yang mati dan rusak

3. Totally defunctioning colostomy

4. Penutupan dinding rektum, jika trauma mudah diakses

5. Drainase retrorektal, khususnya pada trauma yang berat

6. Distal rectal stump washout jika memungkinkan untuk dilakukan

7. Antibiotik spektrum luas via intravena, perbaikan nutrisi dan debridement

serial.

9. Ginjal

Ginjal adalah organ tersering yang mengalami trauma pada traktus urinarius.

Luka tembus dapat menyebabkan trauma parenkim yang secara umum

ditatalaksana dengan debridemen, primary repair, dan drainase. Sedangkan

trauma yang lebih ekstensif biasanya membutuhkan nefrektomi parsial atau

total.

Trauma tumpul ginjal secara umum dibagi menjadi trauma mayor dan

minor. Trauma minor terjadi sekitar 80%. Kontusio ginjal meliputi sebagian

besar trauma minor ginjal dan sering diobati dengan tindakan non-operatif.

22

Page 23: CASE- Bedah (Repaired)s

Sedangkan trauma renal mayor termasuk laserasi medulla kortikal profunda

dengan ekstravasasi, hematoma perinefrik besar dan trauma vaskular pada

pedukulum ginjal. Pada trauma jenis ini perlu dilakukan eksplorasi karena

tingginya insidensi komplikasi seperti perdarahan, pembentukan abses dan

hipertensi.

Gambar 8. Beberapa tipe trauma ginjal. A, laserasi ginjal kecil. B, Hematoma parenkim dan subkapsular

minor. C, Laserasi parenkim meluas hingga ke korteks renal tanpa terlibat collecting system. D, Laserasi

parenkimal multipel. E, Laserasi parenkim meluas hingga ke korteks, medulla dan collecting system dan

disertai dengan hematoma subkapsular dan ekstravasasi urin. F, Trauma pembuluh darah ginjal pada

hilum.

23

Page 24: CASE- Bedah (Repaired)s

BAB III

KESIMPULAN

Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen yang dapat berupa trauma tembus

ataupun trauma tumpul. Organ visera abdomen yang sering mengalami trauma adalah

hepar dan spleen. Frekuensi tersering terjadinya trauma organ abdomen baik yang

disebabkan oleh trauma tembus maupun trauma tumpul abdomen adalah hepar.

Diagnosis trauma abdomen dapat ditegakkan melalui anamnesis dengan menggali

mekanisme cedera, ketinggian saat jatuh, kerusakan interior dan eksterior kendaraan

bermotor, serta jenis senjata tajam yang digunakan. Selain itu juga dapat didukung dari

pemeriksaan fisik untuk mengetahui tanda vital, status mental dan juga status lokalis.

Adanya kekakuan abdomen atau distensi abdomen yang signifikan pada pasien dengan

trauma trunkal merupakan suatu indikasi untuk dilakukan eksplorasi pembedahan

dengan cepat.

Akan tetapi jika tidak ditemukan tanda seperti diatas dapat dilakukan pemeriksaan

penunjang lainnya seperti radiografi polos, computed tomography (CT) abdomen,

ultrasound sonography (USG) dan diagnostic peritoneal lavage (DPL) untuk

menegakkan diagnosis. Pada beberapa trauma abdomen perlu dilakukan eksplorasi

terlebih dahulu bahkan tindakan operatif sebelumnya untuk menegakkan diagnosis.

Tatalaksana pada trauma abdomen tergantung dari organ abdomen yang cedera serta

tingkat keparahannya. Opsi pembedahan seperti laparotomi, anastomose usus serta

ligasi pembuluh darah adalah beberapa opsi tatalaksana yang dapat digunakan untuk

tatalaksana trauma abdomen yang tergantung dari cedera organ yang terkena Untuk

beberapa kasus trauma abdomen juga dapat sembuh hanya dengan tindakan konservatif

tanpa pembedahan.

24

Page 25: CASE- Bedah (Repaired)s

DAFTAR PUSTAKA

1. Tank, Patrick. Grant’s Dissector, 13th edition. 2005. Philadelphia: Lippincott

Williams & Wilkins. pp71-84

2. Mulholland MW, Lillemoe KD, Doherty GM, Maier RV, dan Upchurch GR.

2006. Greenfield’s Surgery: Scientific Principles and Practice, 4th Edition.

Philladelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Pp340-4

3. Townsend CM, Beauchamp D, Evers M, dan Mattox KL. Sabiston Textbook of

Surgery, 18th edition. 2007. USA: Saunders, an Imprint of Elsevier.

4. Brunicardi FC, Andersen DK, Biliar TR, Dunn DL, Hunter JG, dan Pollock RE.

Schwartz’s Principles of Surgery, 8th edition. 2007. USA: McGraw-Hill

Companies.

5. Legome, Eric. Blunt Abdominal Trauma. Diakses dari

http://emedicine.medscape.com pada tanggal 1 September 2014.

6. Offner, Patrick. Penetrating Abdominal Trauma. Diakses dari

http://emedicine.medscape.com pada tanggal 2 September 2014.

25