Top Banner
PRESENTASI KASUS NN. D DENGAN NYERI PERUT KANAN BAWAH PEMBIMBING: DR. OKKY PARTAKUSUMA, SP.B Disusun oleh: Adil Sultani (030.08.005) KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARDJO JAKARTA 1
54

Case App Kronik

Oct 28, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Case App Kronik

PRESENTASI KASUS

NN. D DENGAN NYERI PERUT KANAN BAWAH

PEMBIMBING:

DR. OKKY PARTAKUSUMA, SP.B

Disusun oleh:

Adil Sultani (030.08.005)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARDJO JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA

1

Page 2: Case App Kronik

LEMBAR PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : Adil Sultani

NIM : 030.08.005

Bagian : Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Bedah

FK Universitas Trisakti

Judul Kasus : Nn. D dengan nyeri perut kanan bawah

Pembimbing : dr. Okky Partakusuma, Sp.B

Jakarta, 2 Juli 2013

Pembimbing

dr. Okky Partakusuma, Sp.B

2

Page 3: Case App Kronik

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. D

Umur : 16 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Pariaman dalan RT 1 / RW 02, Pasar Minggu

Status : Belum Menikah

Pekerjaan : Pelajar

Agama : Muslim

Suku : Jawa

II. ANAMNESIS

Dilakukan autoanamnesis pada Minggu, 23 Juni 2013 pukul 20.45 WIB

a. Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah sejak 3 minggu sebelum masuk rumah

sakit

b. Keluhan Tambahan :

- Mual disertai muntah beberapa jam SMRS

- Demam (+)

- Konstipasi (+)

- Keluhan semua pada 3 minggu SMRS

c. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) :

Pasien datang ke Poli Bedah RS AL dengan keluhan nyeri perut menusuk di daerah perut

kanan bawah kurang lebih pada 3 minggu sebelum masuk rumah sakit. Awalnya nyeri di rasakan

di daerah sekitar pusar kemudian berpindah ke daerah perut kanan bawah. Nyeri dirasakan terus

menerus dan semakin lama semakin nyeri sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Keluhan 3

Page 4: Case App Kronik

tersebut di sertai dengan demam. Pasien merasa mual kemudian muntah. Tetapi pasien saat

pasien datang ke berobat keluhan sudah tidak dirasakan lagi. Pada saat pertama kali datang

berobat pasien menolak untuk dilakukan tindakan.

Pasien juga mengaku terdapat terdapat keluhan susah BAB sebelum terdapat keluhan nyeri

perut. Tidak terdapat gangguan BAK.

d. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD) :

Pasien belum pernah mengalami hal yang sama sebelum keluhan pertama pada 3 minggu

sebelum masuk rumah sakit dirasakan. Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, asma, trauma,

terapi radiasi, tumor, dan keganasan disangkal pasien.

e. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK) :

Tidak ada keluarga pasien yang mengalami hal serupa. Keluarga pasien ada yang

memiliki riwayat hipertensi dan diabetes mellitus. Riwayat asma, tumor, dan keganasan tidak

pernah dialami keluarga pasien.

f. Riwayat Medikasi

Pasien mengkonsumsi obat untuk menghilangkan keluhan nyeri tersebut.

g. Riwayat Alergi

Pasien menyangkal adanya riwayat alergi terhadap makanan, obat, ataupun substansi lain.

h. Riwayat Kebiasaan

Pasien mengaku jarang mengkonsumsi sayur dan buah. Pasien juga jarang minum air

putih dan jarang berolahraga.

4

Page 5: Case App Kronik

III. PEMERIKSAAN FISIK

- Keadaan Umum

Kesan Sakit : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Gizi : Cukup

- BB : 53 kg

- TB : 160 cm

- BMI : 20,7 kg/m2

- Tanda Vital

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 95 x/menit

Suhu : 36,8oc

Pernapasan : 20 x/menit

- Status Generalis

1. Kulit

Warna : sawo matang, tidak pucat, tidak ikterik, tidak sianosis,

tidak ada ruam, dan tidak terdapat hipopigmentasi maupun

hiperpigmentasi

Lesi : tidak terdapat lesi primer seperti makula, papul, vesikel,

pustul maupun lesi sekunder seperti jaringan parut

Rambut : lebat, berwarna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut

Turgor : baik

Suhu raba : hangat

2. Kepala : normocephali, ubun-ubun besar cekung (-)

Mata

Bentuk : normal, kedudukan bola mata simetris

Palpebra : normal, tidak terdapat ptosis, lagoftalmus, oedema, perdarahan,

blepharitis

Gerakan : normal, tidak terdapat strabismus, nistagmus

Konjungtiva : tidak anemis

5

Page 6: Case App Kronik

Sklera : tidak ikterik

Pupil : bulat, isokor, RCL +/+, RCTL +/+

Telinga

Bentuk : normotia

Liang telinga : lapang

Serumen : tidak ditemukan serumen pada telinga kanan maupun kiri

Nyeri tarik auricular : tidak ada nyeri tarik pada auricular kanan maupun kiri

Nyeri tekan tragus : tidak ada nyeri tekan pada tragus kanan maupun kiri

Hidung

Bagian luar : normal, tidak terdapat deformitas, tidak hiperemis, tidak ada sekret,

tidak ada nyeri tekan

Septum : simetris, tidak ada deviasi

Mukosa hidung : tidak hiperemis, konka nasalis tidak edema

Mulut dan tenggorok

Bibir : normal, tidak pucat, tidak sianosis

Gigi-geligi : hygiene baik, tidak ada gigi yang tanggal, gigi geraham belakang

belum tumbuh

Mukosa mulut : normal, tidak hiperemis, tidak halitosis

Lidah : normoglosia, tidak tremor, tidak kotor

Tonsil : ukuran T1/T1, tenang, tidak hiperemis

Faring : tidak hiperemis, arcus faring simetris, uvula di tengah

3. Leher :

Bendungan vena : tidak ada bendungan vena

Kelenjar tiroid : tidak membesar, mengikuti gerakan saat menelan

Trakea : di tengah

4. Kelenjar Getah Bening

Leher : tidak terdapat pembesaran di KGB leher

6

Page 7: Case App Kronik

Aksila : tidak terdapat pembesaran di KGB aksila

Inguinal : tidak terdapat pembesaran di KGB inguinal

5. Thorax

Sela iga tidak melebar, tidak ada efloresensi yang bermakna

Paru-paru

o Inspeksi : simetris, tidak ada hemithoraks yang tertinggal

pada saat inspirasi, tipe pernapasan abdomino-thorakal

o Palpasi : vocal fremitus sama kuat pada kedua hemithoraks

o Perkusi : sonor pada kedua hemithoraks

o Auskultasi : suara nafas vesikuler, tidak terdengar ronkhi

maupun wheezing pada kedua lapang paru

Jantung

o Inspeksi : tidak tampak pulsasi ictus cordis

o Palpasi : terdapat pulsasi ictus cordis pada ICS V, + 1 cm

lateral dari linea midklavikularis sinistra

o Perkusi : -

o Auskultasi : bunyi jantung I & II regular, tidak terdengar gallop

maupun murmur

6. Abdomen

Inspeksi : datar, tidak terdapat striae dan kelainan kulit, tidak terdapat pelebaran

vena

Auskultasi : bising usus positif 3 x/menit

Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, tidak terdapat nyeri tekan di titik mc

burney, maupun nyeri lepas.

Perkusi : nyeri ketok (-)

7. Ekstremitas

Inspeksi : tidak tampak deformitas

Palpasi : akral hangat pada keempat ekstremitas, tidak terdapat oedema pada

keempat ekstremitas

7

Page 8: Case App Kronik

- Status Lokalis

Regio Abdomen

Inspeksi : datar, tidak terdapat striae dan kelainan kulit, tidak terdapat pelebaran

vena

Auskultasi : bising usus positif 3 x/menit

Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, tidak terdapat nyeri tekan di titik mc

burney, maupun nyeri lepas.

Perkusi : nyeri ketok (-)

Rovsing sign (-), Blumberg sign (-), Psoas sign (-), Obturator sign (+)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil pemeriksaan laboratorium pre-operasi pada tanggal 19 Juni 2013

Pemeriksaan Hasil Nilai normal

Leukosit 7.000/Ul 5.000 – 10.000/Ul

Eritrosit 4,35 juta/mm3 3,6 – 5,2 juta/mm3

Hemoglobin 12,7 g/dl 12 – 16 g/dl

Hematokrit 38 % 38 – 46 %

Thrombosit 431.000/mm3 150 – 400 ribu/mm3

Bleeding time 2 menit 00 detik 1 – 6 menit

Clotting time 10 menit 00 detik 10 – 16 menit

Urine lengkap

8

Page 9: Case App Kronik

Warna Kuning jernih

Blood/Eritrosit - -/negatif

Glukosa - -/negatif

Leukosit - -/negatif

Bilirubin - -/negatif

Ketone - -/negatif

Berat Jenis 1.015 1.003 – 1.031

PH 6,0 4,5 – 8,5

Protein - -/negatif

Urobilinogen + +/positif

Nitrite - -/negatif

Sedimen

- Eritrosit/LPB - +/0-1/LPB

- Lekosit/LPB +/0-1 +/1-5/LPB

- Epitel + +/positif

- Bakteri - -/negatif

- Silinder/LPK - -/negatif/LPK

- Kristal - -/negatif

9

Page 10: Case App Kronik

V. RESUME

Wanita, 16 tahun, datang dengan keluhan nyeri perut menusuk di daerah perut kanan bawah

kurang lebih pada 3 minggu yang lalu. Awalnya nyeri di rasakan di daerah sekitar pusar

kemudian berpindah ke daerah perut kanan bawah. Nyeri dirasakan terus menerus dan semakin

lama semakin nyeri sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Demam (+), mual (+), muntah

(+), konstipasi (+), keluhan sekarang tidak ada, awalnya pasien menolak untuk dilakukan

tindakan. Pasien mengaku jarang mengkonsumsi sayur dan buah. Pasien juga jarang minum air

putih dan jarang berolahraga.

Regio Abdomen

Inspeksi : datar, tidak terdapat striae dan kelainan kulit, tidak terdapat pelebaran vena

Auskultasi : bising usus positif 3 x/menit

Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, tidak terdapat nyeri tekan di titik mc burney,

maupun nyeri lepas.

Perkusi : nyeri ketok (-)

Rovsing sign (-), Blumberg sign (-), Psoas sign (-), Obturator sign (-).

VI. DIAGNOSIS KERJA

PRE – OP : APPENDICITIS KRONIK

POST – OP : APPENDICITIS KRONIK POST APPENDIKTOMI

Tanda – tanda yang membedakan apendisitis dengan penyakit lain adalah :

1. Gastroenteritis

10

Page 11: Case App Kronik

Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih

ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Panas dan

leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendisitis.

2. Limfadenitis mesenterica

Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut

yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan disertai dengan perasaan mual-

muntah.

3. Diverticulitis

Meskipun diverculitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi kadang-kadang

dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan ruptur pada

diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejala-gejala appendisitis.

4. Batu ureter atau batu ginjal

Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan

gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos abdomen atau urografi

intravena dapat memastikan penyakit tersebut.

VII. PENATALAKSANAAN

Tindakan bedah apendiktomi

Non-medikamentosa

- Pro rawat inap untuk perbaikan keadaan umum dan persiapan operasi

- Edukasi pasien mengenai perjalanan penyakit serta penanganannya, persiapan operasi

dan tujuannya, serta tatalaksana berikutnya setelah hasil diketahui

- Post – operasi : Awasi tekanan darah, nadi, suhu dan pernapasan.

Puasa hingga flatus

11

Page 12: Case App Kronik

Medikamentosa

- Infus RL dan Glukosa 1 : 3 28 tetes/menit

- Ceftriaxone 2x1gr

- Tramadol 3x1 amp

- Profeus sup 2x1

- Kompres luka dengan kassa steril dilembabkan dengan NaCL 0,9 persen, diganti

setiap hari

- 2 hari :

o Cefadroxil 2x1 mg

o Asam mefenamat 2x1 mg

VIII. PROGNOSIS

- Ad Vitam : ad Bonam

- Ad Fungsionam : ad Bonam

- Ad Sanationam : ad Bonam

FOLLOW UP POST OP H+1

Subjektif : Masih nyeri pada luka operasi, sudah bisa buang angin, tidak ada mual muntah.

Objektif : Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Nadi : 96 x/menit

Suhu : 36,3 0C

RR : 18 x/menit

Bising usus : (+)

Status Lokalis Regio Abdomen

12

Page 13: Case App Kronik

Inspeksi : perut agak membuncit, terdapat luka bekas operasi di perut

bagian kanan bawah yang tertutup perban, tidak ada rembesan

darah di perban.

Palpasi : nyeri tekan (+) di daerah bekas operasi.

Assesment : Appendicitis kronik post op apendiktomi H+1

Planning :

- Myconazol cream

- Terapi lainnya lanjut

- Kontrol 1 minggu post op

13

Page 14: Case App Kronik

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Apperndiks

Appendiks merupakan organ dengan struktur tubular yang rudimeter dan tanpa fungsi

yang jelas. Appendiks berkembang dari posteromedial caecum dengan panjang yang bervariasi

namun pada orang dewasa sekitar 5-15 cm dan diameter sekitar 0,5-0,8 cm. Appendiks

merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum dan Colon ascendens.

Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan apppendiks terlihat pada minggu ke-8

kehamilan yaitu bagian ujung dari protuberans caecum. Dalam proses perkembangannya,

awalnya apendiks berada pada apeks caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih medial

ekat Plica ileocaecalis. Lumen apendiks sempit dibagian proksimal dan melebar di bagian distal.

Ahmpir seluruh permukaan apendiks dikelilingi oleh peritoneum dan mesoapendiks (mesenter

dari appendiks) yang merupakan lipatan peritoneum yang berjalan kontinyu sepanjang appendiks

dan berakhir di ujung appendiks.

Gambar 1. Anatomi appendiks

14

Page 15: Case App Kronik

Pada appendiks terdapat 3 taenia coli yang menyatu di persambungan caecum dan bisa

berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi appendiks. Posisi apendiks terbanyak

adalah retrocaecal 65.28% baik intraperitoneal maupun retroperitoneal dimana appendiks

berputar ke atas di belakng caecum. Selain itu juga terdapat posisi pelvic (panggul) 31,01%

(appendiks menggantung ke arah pelvic minor), subcaecal ( dibawah caecum) 2,26% retroileal

(dibelakang usus halus) 0,4%, retrokolika, dan pre-ileal.

Gambar 2. Variasi Letak Appendiks

Vaskularisasi appendiks berasal dari arteri appendikularis yang berjalan di sepanjang

masoapendiks dan merupakan cabang dari arteri ileocolica dan yang merupakan cabang trunkus

mesenterik superior. Selaiin dari arteri apendikular yang memperdarahi hampir seluruh apendiks,

juga terdapat kontribusi dari arteri asesorius. Untuk aliran balik, vena apendiseal cabang dari

vena ileocoli berjalan ke vena mesentrik superior dan masuk ke sirkulasi portal.

Persarafan parasimpatis dari apendiks berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti

a. Mesenterica superior dan a. Apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.

Thorakalis X.

15

Page 16: Case App Kronik

B. Fisiologi Appendiks

Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke

dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks

tampaknya berperan pada patogenesis appendicitis

Awalnya, apendiks dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini, appendiks

dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan Imunoglobulin A (IgA).

Walaupun appendiks merupakan komponen integral dari sistem Gut Associated Lymphoid Tissue

(GALT), imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol

proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal

lainnya. Namun, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah

jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.

C. Histologi

Komposisi histologi serupa denan usus besar, terdiri dari empat lapisan yakni mukosa,

submukosa, muskularis eksterna, dan lapisan serosa. Permukaan dalam atau mukosa secara

ymym sama seperti mukosa colon, berwarna kuning muda dengan gambaran nodular, dan

komponen limfoid yang prominen. Komponen limfoid ini mengakibatkan lumen dari appendiks

seringkali berbentuk irreguler (stelata) pada potongan melintang.

16

Page 17: Case App Kronik

Gambar 3. Potongan melintang appendiks vermiformis normal

D. Definisi

Appendisitis adalah peradangan pada organ appendiks vermiformis atau yang di kenal

juga sebagai usus buntu. Diklasifikasikan sebagai suatu kasus medical emergency dan

merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui. Obstruksi lumen

merupakan penyebab utama appendicitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena

parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis.

Penelitian Collin (1990) di Amerika Serikat pada 3.400 kasus, 50% ditemukan adanya faktor

obstruksi. Obstruksi yang disebabkan hiperplasi jaringan limfoid submukosa 60%, fekalith 35%,

benda asing 4%, dan sebab lainnya 1%.

17

Page 18: Case App Kronik

Gambar 4. Inflamasi Appendiks

E. Epidemiologi

Insidens apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang,

tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun bermakna. Hal ini disebabkan oleh

meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Apendisitis dapat

ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidens

tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada lelaki dan

perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens pada lelaki lebih

tinggi. Meskipun jarang, pernah dilaporkan kasus appendiks neonatal dan prenatal. Pasien

dengan usia yang lebih dari 60 tahun dilaporkan sebanyak 50% meninggal akibat apendisitis.

18

Page 19: Case App Kronik

Gambar 5. Insiden Risiko Terjadinya Appendicitis Berdasarkan Usia

F. Etiologi

Appendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendiks sehingga terjadi

kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi. Appendisitis akut dapat

disebabkan oleh proses radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus

diantaranya hiperplasia jaringan limfa, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang

menyumbat.

Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang appendiks, diantaranya :

a. Faktor sumbatan

Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%)

yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hiperplasia

jaringan limfoid submukosa,35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan

sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obstruksi yang

disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut

diantaranya : 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus

apendisitis akut gangrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut

dengan ruptur.

19

Page 20: Case App Kronik

b. Faktor bakteri

Infeksii enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendisitis

akut. Adanya fekalith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk

dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen

apendiks. Pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara

Bacteriodes fragilis dan E.coli, Splanchicus, Lacto-bacilus, Pseudomonas,

Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah

kuman anaerob sebesar 96% dan aerob <10%.

c. Faktor konstipasi dan pemakaian laksatif

Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya

sumbatan fungsional apendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman flora kolon

biasa sehingga mempermudah timbulnya apendisitis akut. Penggunaan laksatif

yang terus-menerus dan berlebihan memberikan efek merubah suasan flora usus

dan menyebabkan terjadinya hiperesi usus yang merupakan permulaan dari proses

inflamasi. Pemberian laksaif pada penderita apendisitis akan merangsang

peristaltik dan merupakan predisposisi terjadinya perforasi dan peritonitis.

d. Kecenderungan familiar

Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari

organ, appendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya

yang mudah terjadi appendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan

makanan dalam keluarga terutama denga diet rendah serat dapat memudahkan

terjadinya fekalith dan mengakibatkan obstruksi lumen.

e. Faktor ras dan diet

20

Page 21: Case App Kronik

Faktor ras berhubungan dengan keniasaan dan pola makan sehari-hari.

Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih

tinggi dari negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang,

kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke

pola makan tinggi serat. Justru negara berkembang, yang dulunya memiliki tinggi

serat kini beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko appendisitis yang

lebih tinggi.

Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi

mukosa appendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Ulserasi mukosa

merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Berbagai spesies bakteri

yang dapat diisolasi pada pasien apendisitis yaitu :

Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob

Escherichia coli Bacteroides fragilis

Viridans streptococci Peptostreptococcus micros

Pesudomonas aeruginosa Bilophila species

Enterococcus Lactobacillus species

Tabel 1. Spesies bakteri yang dapat diisolasi

G. Klasifikasi/tipe appendisitis

Ada beberapa jenis apendisitis yang memiliki perubahan ayng berbeda berhubungan dengan

apendisitis, sehingga ada perbedaan gejala, pengobatan dan prognosis. Appendisitis

diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Appendisitis akut

21

Page 22: Case App Kronik

a. Appendisitis akut sederhana ( Cataral Appendicitis)

Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi.

Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan

dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi menebal, edema,

dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeridi daerah umbilikus, ,mual, muntah,

anoreksia, dan demam ringan. Pada appendisitis cataral terjadi leukositosis dan

appendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.

b. Appendisitis akut purulent (Supurative Appendicitis)

Tekanan dalam lumen terus bertambah disertai edema menyebabkan

terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.

Keadaan ini memperberat iskemik dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang

ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa

sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan

mesoappendiks terjadi edema, heperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat

fibrinopurulen.

Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di

titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan

defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda

peritonitis umum.

c. Appendisitis akut gangrenosa

Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu

sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif,

appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna

ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Apada appendisitis akut gangrenosa

terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.

2. Appendisitis infiltrat

22

Page 23: Case App Kronik

Appendisitis infiltrat adalah proses radang appendiks ayng penyebarannya dapat dibatasi

oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan

massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.

3. Appendisitis abses

Terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan,

lateral dari sekum, retrocaecal, sucaecal, dan pelvic.

4. Appendisitis perforasi

Adalah pecahnya appendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus masuk kedalam

rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding appendiks tampak daerah

perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.

5. Appendisitis kronis

Merupakan lanjutan appendisitis akut supuratif sebagai proses radang yang persisten

akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya obstruksi parsial

terhadap lumen. Diagnosis appendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat

serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik

appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologi, dinding appendiks

menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrat sel

radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh

darah serosa tampak dilatasi.

H. Patogenesis

Sebagian besar appendiks disebabkan oleh sumbatan yang kemudian diikuti oleh infeksi.

Beberapa hal ini dpat menyebabkan sumbatan, yaitu hiperplasia jaringan limfoid, fekalith, benda

asing, striktur, kingking, perlengketan.

Bila bagian proksimal appendiks tersumbat, terjadi sekresi mukus yang tertimbun dalam

lumen appendiks, sehingga tekanan intra luminer tinggi. Tekanan ini akan mengganggu aliran

limfe sehingga terjadi edema dan terdapat luka pada mukosa, stadium ini disebut Appendisitis

23

Page 24: Case App Kronik

Akut Ringan. Tekanan yang meninggi, edema dan disertai inflamasi menyebabkan onstruksi

aliran vena sehingga menyebabkan trombosis yang memperberat iskemi dan edema. Pada lumen

appendiks juga terdapat bakteri, sehingga dalam keadaan tersebut suasana lumen appendiks

cocok buat bakteri untuk diapedesis dan invasi ke dinding dan membelah diri sehingga

menimbulkan infeksi dan menghasilkan pus. Stadium ini disebut Appendisitis Akut Purulenta.

Proses tersebut berlangsung terus sehingga pada suatu saat aliran darah arteri juga terganggu,

terutama bagian ante mesenterial yang mempunyai vaskularisasi minimal, sehingga terjadi infark

dan gangren, stadium ini disebut Appendisitis Gangrenosa. Pada stadium ini sudah terjadi

mikroperforasi, karena tekanan intraluminal yang tinggi ditambah adanya bakteri dan

mikroperforasi, mendorong pus serta produk infeksi mengalir ke rongga abdomen. Stadium ini

disebut Appendisitis Akut Perforasi, dimana menimbulkan peritonitis umum dan abses

sekunder. Tapi proses perjalanan appendisitis tidak mulus seperti tersebut di atas, karena ada

usaha tubuh untuk melokalisir tempat infeksi dengan cara “Walling Off” oleh omentum,

lengkung usus halus, caecum, colon, dan peritoneum sehingga terjadi gumpalan massa plekmon

yang melekat erat. Keadaan ini disebut Appendisitis Infiltrate.

Appendisitis infiltrate adalah suatu plekmon yang berupa massa yang membengkak dan

terdiri dari appendiks, usus, omentum, dan peritoneum dengan sedikit atau tanpa pengumpulan

pus. Usaha tubuh untuk melokalisir infeksi bisa sempurna atau tidak sempurna, baik karena

infeksi yang berjalan terlalu cepat atau kondisi penderita yang kurang baik, sehingga

appendikular infiltrate dibagi menjadi dua :

a. Appendikuler infiltrate mobile

b. Appendikuler infiltrate fixed

Perforasi mungkin masih terjadi pada walling off yang sempurna sehingga akan terbentuk

abses primer. Sedangkan pada walling off yang belum sempurna akan terbentuk abses sekunder

yang bisa menyebabkan peritonitis umum.

Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk

jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya dan menimbulkan

obstruksi. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada 24

Page 25: Case App Kronik

suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi

akut. Appendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-36 jam

setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukan abses setelah 2-3 hari.

25

Page 26: Case App Kronik

Gambar 6. Patofisiologi Appendisitis

I. Manifestasi klinis

a. Nyeri abdominal

Karena adanya kontraksi appendix, distensi dari lumen appendix ataupun karena

tarikan dinding appendx yang mengalami peradangan. Mula-mula nyeri dirasakan

samar-samar, tumpul dan hilang timbul yang merupakan nyeri viseral di daerah

epigastrium atau sekitar umbilicus karena appendix dan usus halus mempunyai

persarafan yang sama. Setelah beberapa jam (4-6 jam) nyeri berpindah dan menetap

di abdomen kanan bawah (titik Mc Burney). Apabila terjadi inflamasi (>6 jam) akan

terjadi nyeri somatik setempat yang berarti sudah terjadi rangsangan pada peritoneum

parietal dengan sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat

bila batuk ataupun berjalan kaki.

26

Page 27: Case App Kronik

Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat

dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika

meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut :

o Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum

(terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan

tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut kanan

atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernafas

dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.

psoas mayor yang menegang dari dorsal.

o Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul

gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik meningkat,

pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).

o Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat

terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangan dindingnya.

b. Mual-muntah biasanya pada fase awal

Disebabkan karena rangsangan visceral akibat aktivasi nervus vagus. Timbul

beberapa jam sesudah rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Hampir 75% penderita

disertai dengan vomitus, namun jarang berlanjut menjadi berat dan kebanyakan

vomitus hanya sekali atau dua kali.

c. Nafsu makan menurun (anoreksia)

Timbul beberapa jam sesudah rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan

anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita appendisitis akut, bila hal in tidak

ada maka diagnosis appendisitis akut perlu dipertanyakan.

27

Page 28: Case App Kronik

d. Obstipasi dan diare pada anak-anak.

Penderita appendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri

dan beberapa penderita mengalami diare. Hal tersebut timbul biasanya pada letak

appendix pelvikal yang merangsang daerah rektum.

e. Demam

Demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50 – 38,50C tetapi bila suhu

lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.

Kelainan patologi Keluhan dan tanda

Peradangan awal

Apenditis mukosa

Radang di seluruh ketebalan dinding

Apendisitis komplet radang

peritoneum parietale appendiks

Kurang enak ulu hati/daerah pusat,

mungkin kolik.

Nyeri tekan kanan bawah

(rangsaganan automik).

Nyeri sentral pindah ke kanan bawah,

mual dan muntah.

Rangsangan peritoneum lokal

(somatik), nyeri pada gerak aktif dan

28

Page 29: Case App Kronik

Radang alat/jaringan yang menempel

pada appendiks

Apendisitis gangrenosa

Perforasi

Pembungkusan tidak berhasil

Pembungkusan berhasil

Abses

pasif, defans muskuler lokal.

Genitalia interna, ureter, m.psoas

mayor, kantung kemih, rektum.

Demam sedang, takikardia,

mulai toksik, leukositosis.

Nyeri dan defans muskuler seluruh

perut.

Demam tinggi, dehidrasi,

syok, toksik

Massa perut kanan bawah, keadaan

umum berangsur membaik

demam remiten, keadaan umum toksik,

29

Page 30: Case App Kronik

keluhan dan tanda setempat

J. Diagnosis

a. Anamnesis

Untuk menegakkan diagnosis pada apendisitis didasarkan atas anamnesis ditambah

dengan pemeriksaan laboratorium sarta pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala

appendisitis ditegakkan dengan anamnesis, ada 4 hal penting yaitu :

o Nyeri mula – mula di epigastrium ( nyeri visceral ) yang beberapa waktu

kemudian menjalar ke perut kanan bawah.

o Muntah oleh karena nyeri visceral

o Demam

o Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak

sakit, menghindarkan pergerakan pada daerah perut.

b. Pemeriksaan fisik

1) Inspeksi

Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang

perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran

spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi.

Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler.

2) Auskultasi

Peristaltik usus sering normal. Peristaltic dapat hilang pada ileus paralitik karena

peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.

30

Page 31: Case App Kronik

3) Palpasi

Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda peritonitis

lokal yaitu:

o Nyeri tekan (+) Mc. Burney

Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran bawah atau titik Mc Burney

dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.

o Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum

Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang hebat (dapat

dengan melihat mimic wajah) di abdomen kanan bawah saat tekanan secara

tiba-tiba dilepaskan, setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan

dan dalam dititik Mc Burney.

o Defens muskuler(+) karena rangsangan M.Rektus Abdominis

Defens muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang

menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal. Pada appendiks letak

retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri pinggang.

Pemeriksaan Rectal Toucher

Akan didapatkan nyeri pada jam 9-12. Pada apendisitis pelvika akan didapatkan

nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.

4) Perkusi : nyeri ketuk (+)

c. Pemeriksaan khusus/tanda khusus

Rovsing sign

Penekanan perut kiri bawah terjadi nyeri perut kanan bawah, karena tekanan

merangsang peristaltic dan udara usus, sehingga menggerakkan peritoneum

sekitar appendix yang meradang (somatic pain)

Blumberg sign

31

Page 32: Case App Kronik

Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kiri bawah atau kolateral

dari yang sakit kemudian dilepaskan tiba-tiba, akan terasa nyeri pada kuadran

kanan bawah karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.

Psoas sign

Dilakukan dengan rangsangan muskulus psoas. Ada 2 cara memeriksa :

1. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien

memfleksikan articulation coxae kanan, psoas sign (+) bila terasa nyeri perut

kanan bawah.

2. Pasif: Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan pemeriksa, psoas

sign (+) bila terasa nyeri perut kanan bawah.

Gambar 7. Cara melakukan Psoas Sign

Obturator sign

Dilakukan dengan menyuruh pasien tidur telentang, lalu dilakukan gerakan fleksi

dan endorotasi sendi panggul atau articulation coxae. Obturator sign (+) bila

terasa nyeri di perut kanan bawah.32

Page 33: Case App Kronik

Gambar 8. Cara melakukan Obturator Sign

d. Pemeriksaan penunjang

1) Pemeriksaan laboratorium

o Pemeriksaan darah : pada laboratorium darah terdapat leukositosi ringan

( 10.000 – 18.000/mm3) yang didominasi >75% oleh sel Polimorfonuklear

(PMN), netrofil (shift to the left) dimana terjadi pada 90% pasien. Hal ini

biasanya terdapat pada pasien dengan akut appendisitis dan apendisitis tanpa

komplikasi. Sedangkan leukosit >18.000/ mm3 meningkatkan kemungkinan

terjadinya perforasi apendiks dengan atau tanpa abses.

o Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit, dan bakteri dalam

urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis

banding seperti infeksi daluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala

klinis yang hampir sama dengan appendisitis.

33

Page 34: Case App Kronik

o Pemeriksaan laboratorium lain yang mendukung diagnosa appendisitis adalah

C- reaktif protein. CRP merupakan reaktan fase akut terhadap infeksi bakteria

yang dibentuk di hepar. Kadar serum mulai meningkat pada 6-12 jam setelah

inflamasi jaringan. Tetapi pada umumnya, pemeriksaan ini jarang digunakan

karena tidak spesifik. Spesifitasnya hanya mencapai 50-87% dan hasil dari

CRP todak dapat membedakan tipe dari infeksi bakteri.

2) Foto polos abdomen

Radiologi polos tidak spesifik, umunya tidak efektif untuk biaya, dan dapat

menyesatkan dalam stuasi tertentu. Foto polos abdomen dapat digunakan untuk

menyingkirkan diagnosis banding. Pada appendisitis akut dapat terlihat abnormal

“gas pattern” dari usus, tapi hal ini tidak spesifik. Ditemukan fekalith dapat

mendukung diagnosis. Dapat ditemukan pula adanya local air fluid level,

peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran kanan bawah, perubahan

bayangan psoas line, dan free air (jarang) bila terjadi perforasi.

3) USG

Merupakan pemeriksaan yang akurat untuk menentukan diagnosis appendisitis.

Kriteria sonografi untuk mendiagnosis appendisitis akut adalah adanya

noncompressible appendiks sebesar 6 mm atau lebih pada diameter

anteroposterior, adanya appendicolith, interupsi pada kontinuitas lapisan

submukosa, dan cairan atau massa periappendiceal. Temuan perforasi appendisitis

termasuk cairan pericecal loculated, phlegmon ( sebuah definisi penyakit lapisan

struktur dinding appendiks) atau abses, lemak pericecal menonjol, dan kehilangan

keliling dari layer submukosa.

4) Barium enema

Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui

anus. Indikasi untuk apendisitis kronik, pemeriksaan ini dikatakan positif bila

menunjukkan appendiks yang non-filling dengan indentasi dari caecum

34

Page 35: Case App Kronik

menunjukkan adanya appendisitis kronis. Hal ini menunjukkan adanya inflamasi

pericaecal.

5) CT Scan

Sangat berguna pada pasien yang dicurigai mengalami proses inflamasi pada akut

abdomen dan adanya gejala tidak khas untuk appendisitis.

e. Scoring appendisitis

Keterangan Alvarado score :

Dinyatakan appendicitis akut bila > 7 point

Modified Alvarado score (Kalan et al) tanpa observasi of Hematogram:

1 – 4 dipertimbangkan appendicitis akut

5 – 6 possible appendicitis tidak perlu operasi

7 – 9 appendicitis akut perlu pembedahan

Penanganan berdasarkan skor Alvarado :

35

Page 36: Case App Kronik

1 – 4 : observasi

5 – 6 : antibiotic

7 – 10 : operasi dini

K. Diagnosis banding

Diagnosis banding appendisitis dapat bervariasi tergantung dari usia dan jenis kelamin :

- Pada anak – anak dan balita : intususepsi, diverkulitis dan gastroenteritis akut

- Pada anak – anak usia sekolah : gastroenteritis, konstipasi, infark omentum

- Pada pria dewasa muda : crohn’s disease, kolik traktur urogenitalis dan epididimitis.

- Pada wanita usia muda : pelvic onflammatory disease (PID), kita ovarium, infeksi

saluran kencing

- Pada uasia lanjut : keganasan dari traktus gastrointestinal dan saluran reproduksi,

diverkulitis, perforasi ulkus, dan kolesistitis.

L. Komplikasi

- Apendikular infiltrat : infiltrat atau massa yang terbentuk akibat mikro atau makro

perforasi dari appendiks yang meradang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus

atau usus besar.

- Apendikular abses : abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari

appendiks yang meradang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus atau usus

besar.

- Perforasi : gejalanya ialah nyeri berat dan demam >38,3 0C

- Peritonitis : peritonitis lokal dihasilkan dari perforasi gangren appendiks, yang

kemudian dapat menyebar ke seluruh rongga peritoneum. Gejalanya ialah :

peningkatan kekakuan otot abdomen, distensi abdominal dan demam tinggi.

36

Page 37: Case App Kronik

M. Penatalaksanaan

Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi dan

merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Pada apendisitis akut, abses, dan perforasi

diperlukan tindakan operasi apendiktomi cito. Tindakan ini dapat dilakukan melalui laparotomi

atau laparoskopi. Sebelum dilakukan tindakan pembedahan, pasien dianjurkan untuk tirah baring

dan diberikan antibiotik sistemik spektrum luas untuk mengurangi insidens infeksi pada luka

post operasi.

Indikasi appendiktomi diantara lain appendisitis akut, appendisitis kronik, periapendikular

infiltrat dalam stadium tenang, apendiks terbawa dalam operasi kandung kemih, dan apendisitis

perforata.

Teknik operasi apendiktomi :

1) Open Appendectomy

- Incisi Grid Iron (McBurney Incision)

- Lanz transverse incision

- Rutherford Morisson’s incision (insisi suprainguinal)

- Low Midline Incision

- Insisi paramedian kanan bawah

2) Laparoscopic Appendectomy

Teknik apendiktomi Mc Burney :

a) Pasien berbaring telentang dalam anestesi umum atau regional. Kemudian lakukan

tindakan asepsis dan antisepsis pada daerah perut kanan bawah.

b) Dibuat sayatan menurut Mc Burney sepanjang kurang lebih 10 cm dan dinding perut

dibelah menurut arah serabut otot secara tumpul, berturut – turut M. Oblikus abdominis

eksternus, M. Abdominis internus, sampai tampak peritonium.

37

Page 38: Case App Kronik

c) Peritonium disayat cukup lebar untuk eksplorasi.

d) Sakum dan apendiks diluksasi keluar.

e) Mesoapendiks dibebaskan dan dipotong dari apendiks secara biasa, dari apendiks ke arah

basis.

f) Semua perdarahan dirawat.

g) Disiapkan tabac sac mengelilingi basis apendiks dengan sutra, basis apendiks kemudian

dijahit dengan catgut.

h) Lakukan pemotongan apendiks apikal dari jahitan tersebut.

i) Puntung apendiks diolesi betadine.

j) Jahitan tabac sac disimpulkan dan puntung dikuburkan dalam simpul tersebut.

Mesoapendiks diikat dengan sutera.

k) Dilakukan pemeriksaan terhadap rongga peritoneum dan alat – alat didalamnya, semua

perdarahan dirawat.

l) Sekum dikembalikan ke dalam abdomen.

m) Sebelum ditutup, peritoneum dijepit dengan minimal 4 klem dan didekatkan untuk

memudahkan penutupannya. Peritoneum dijahit jelujur dengan chromic cat gut dan otot –

otot dikembalikan.

n) Dinding perut ditutup lapis demi lapis, fasia dengan sutera, sub cutis dengan cat gut dan

akhirnya kulit dengan sutera.

o) Luka operasi dibersihkan dan ditutup dengan kasa steril.

38

Page 39: Case App Kronik

N. Prognosis

Mortalitas adalah 0,1% jika appendisitis akut tidak pecah, dan 15% jika pecah pada orang

tua. Kematian biasanya dari sepsis, emboli paru, atau aspirasi. Prognosis membaik dengan

diagnosis dini sebelum perforasi dan antibiotik yang adekuat. Morbiditas meningkat dengan

ruptur dan usia tua.

BAB III

KESIMPULAN

Wanita, 16 tahun, datang dengan keluhan nyeri perut menusuk di daerah perut kanan

bawah kurang lebih pada 3 minggu yang lalu. Awalnya nyeri di rasakan di daerah sekitar pusar

kemudian berpindah ke daerah perut kanan bawah. Nyeri dirasakan terus menerus dan semakin

lama semakin nyeri sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Demam (+), mual (+), muntah

(+), konstipasi (+). Pasien mengaku jarang mengkonsumsi sayur dan buah. Pasien juga jarang

minum air putih dan jarang berolahraga. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan nyeri tekan di

titik mc burney (1/3 atas garis khayal yang menghubungkan SIAS dan umbilicus), maupun nyeri

lepas, nyeri ketok (-), Rovsing sign (-), Blumberg sign (-), Psoas sign (-), Obturator sign (-).

Pasien direncanakan dilakukan tindakan bedah apendiktomi. Selama persiapan operasi

apendiktomi , pasien mendapatkan terapi simptomatik untuk menghilangkan nyeri, rasa mual,

dan antibiotic untuk mengatasi infeksi. Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam karena

setelah operasi didapatkan appendiks tidak mengalami perforasi dan tidak terjadi komplikasi.

39

Page 40: Case App Kronik

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Shrestha, S. Anatomy of appendix and appendicitis.

http://medchrome.com/basic-science/anatomy/anatomy-appendix-appendicitis/. Accesed in

Juni,23,2013.

2. Faiz,O, balckburn,S, Moffat,D. Anatomy At A Glance. Edisi Ketiga. England : Oxford;2011. H

36.

3. urDocter. Anatomy and physiology of Appendix. Http://healthycase.com/articles/surgery/19-

anatomy-and-physiology-of-appendix. Accessed in Juni,23,2013.

4. Kevin P. Lally, Charles S. Cox JR. Dan Richard J. Andrassy. Appendix on Chapter 47 in

Sabiston Textbook of Surgery 17ed ebook. New york: Saunders; 2004.h 1381-1400

5. Addiss,D G. The epidemiology of appendicitis and appendectomy in the United States.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2239906. Accessed in Juni,23,2013.

6. Brunicardi C, Anderson DK, Billiar T, Duhn DL, Hunter JG, Mathews JB, Pallock RC. 2010. The

Appendix on Chapter 30 in Schwartz’s Principles of Surgery 9ed ebook. New York: McGraw-

Hills.

7. Annonymmous. Appendicits Type. http://www.appendicitissymptoms.org.uk/appendicitis-

types.htm. Accessed in Juni,23,2013.

40

Page 41: Case App Kronik

8. Old JL. Imaging for Suspected Appendicitis. Available at :

http://www.aafp.org/afp/2005/0101/p71.html#afp20050101p71-b15. Accessed in Juni,23,2013.

9. Vanjak D. Analysis of Scores in Diagnosis of Acute Appendicitis in women. Available at :

www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10356580. Accessed in Juni,23,2013.

10. Dudley H.A.F. apendisitis akut dalam Hamilton Bailey Ilmu Bedah Gawat Darurat edisi 11.

Gajah Mada Unv Press. 1992. Hal 441-452

11. Craig, Sandy. 2008. Appendicitis, Acut-Follw-Up. Available at :

http://emedicine.medscape.com/article/773895-followup. Accessed in Juni,23,2013.

41