Top Banner

of 32

Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

Jun 02, 2018

Download

Documents

ekho109
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    1/32

    Polisi

    Senin, 06 Oktober 2014

    Di sebuah asteroid yang sangat-sangat kecil, ada seorang raja yang duduk di atas takhta tanpa

    didampingi siapa pun. Jubah besarnya berjela menutupi seluruh planet mini itu. Tak ada

    tempat bagi yang lain. Syahdan, dalam dongengPangeran KecilAntoine de Saint-Exupery

    yang termasyhur ini, sang pangeran mengunjungi tempat raja yang kesepian itu. Melihat

    seorang tamu datang, raja itu pun gembira. "Nah, ini ada rakyat," ia berseru.

    Tampak ia sangat merindukan "rakyat". Kita tak tahu sejak kapan. Yang kita jadi tahu dari

    kisah ini (yang mungkin sebuah amsal) adalah bahwa kekuasaan hanya bisa disebut demikian

    bila ada orang lain yang dikuasai. Bahkan lebih dari itu: seorang penguasa, mau tak mau,

    selalu harus memberi pembenaran otoritasnya di depan orang lain, juga bila orang lain itu

    berada dalam posisi hamba sahaya.

    Raja dalam cerita Saint-Exupery memerintah, tapi titahnya hanya terlaksana jika yang

    diperintah merasa cocok. "Otoritas diterima pertama-tama karena ia masuk akal," kata

    baginda. "Jika kita perintahkan orang membuang diri ke dalam laut, mereka akan

    membangkang dengan revolusi. Aku punya hak untuk dipatuhi karena titahku masuk akal."

    Artinya, hak untuk dipatuhi tak datang dari takdir yang menentukan bahwa sang raja adalah

    manusia yang lebih utama, tapi justru karena ia pada dasarnya setara dengan mereka yangmematuhinya. Kedua pihak bertolak dari "masuk akal". Ada pengakuan bahwa sang hamba

    punya posisi yang juga menentukan apa arti "masuk akal".

    "Ah! Voila un sujet," seru sang raja: katasujetsaya terjemahkan jadi "rakyat", tapi

    sebenarnya lebih tepatsujetadalah "sahaya". Kata "sahaya", yang dalam naskah lama Melayu

    umumnya mengacu ke arti oknum yang tunduk, kemudian berkembang jadi "saya", atau

    "aku", sebagaimana sang raja.

    Demokrasi dimulai dengan dorongan menegaskan bahwa baik raja maupun rakyat masing-

    masing sebuah subyek, sebuah "saya". Kedua-duanya setara, baik yang berdaulat maupunyang tidak. Seperti telah dilihat Aristoteles di Yunani di abad ke-4 Sebelum Masehi,

    perjuangan ke arah demokrasi bergerak karena timbulnya kesadaran egaliter, karena

    keyakinan akan kesetaraan yang mendasar.

    Saya kira pepatah lama Melayu "raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah" bermula

    dari pengalaman sejarah kita: posisi seorang raja adalah sesuatu yang serba mungkin,

    contingent.Tanpa dasar yang kekal, raja naik atau raja turun karena pergulatan yang tak

    jarang dibarengi kekerasan. Bahkan di Jepang. Maharaja Jepang, Tenno, yang bertakhta

    sampai hari ini, dikatakan sebagai keturunan dewi matahari Amaterasu. Tapi sejarah resmi

    juga mencatat kekuasaan dinasti ini bermula dengan Maharaja Jimmu pada 660 Sebelum

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    2/32

    Masehi. Kedaulatannya dikukuhkan dengan ekspedisi militer. Gambarnya menunjukkan

    sosok gagah yang membawa busur besar.

    Dengan senjata, tanpa dewi matahari, tanpa sumber yang kekal buat siapa pun, siapa saja bisa

    berkuasa. Dari situlah demokrasi bangkit. Demokrasi, seperti dikatakan Ranciere dalam "10

    Thesis tentang Politik", bukanlah sebuah sistem. Pada dasarnya ia perjuangan politik darisiapa saja yang ambil bagian untuk membangun suatu kehidupan yang bisa mereka terima

    dan sebab itu punya legitimasi kuat. "Siapa saja" itu berarti juga mereka yang semula "tak

    masuk hitungan"-seperti Kaum Kulit Hitam di Amerika Serikat yang berjuang menegaskan

    kesetaraan pada tahun 1960-an.

    Hasilnya tak bisa ditentukan dengan sebuah formula. Desain para ahli konstitusi atau

    pemegang doktrin tak selamanya terlaksana. Mereka ini, seperti halnya kaum elite yang

    terbentuk di suatu kurun waktu, justru yang perlu didobrak. Dalam sejarah, merekalah yang

    menghambat proses demokratisasi dengan memilah-milah siapa yang berhak jadi

    penggembala dan yang harus hanya jadi gembala. Politik lahir dari gerakan menggebrak

    pemilahan itu. Politik dalam hal ini sama dengan semangat demokrasi: sebuah "dissensus",

    bukan konsensus.

    Tak mengherankan bila demokrasi mengundang para pembencinya. Ranciere mengingatkan

    hal itu dalamLa haine de la democratie(versi Inggrisnya,Hatred of Democracy): kebencian

    kepada demokrasi tak akan berkesudahan. Di masa Yunani Kuno ia ditertawai, di abad ke-20

    di zaman Fasisme ia dianggap "asing" atau "berbahaya", di Indonesia dulu dan kini ia

    dianggap "impor Barat" dan harus diwaspadai. Mendukung demokrasi yang menegaskan hak

    rakyat, kata pembenci demokrasi, sama halnya dengan mendukung suara yang bodoh atau

    kacau.

    Dan itulah yang hari-hari ini terjadi: rakyat, yang dalam beberapa pemilihan selama hampir

    satu dasawarsa sanggup menunjukkan betapa pentingnya hak politik bagi mereka, dan

    sekaligus menunjukkan kesanggupan mereka mengelola konflik dan dissensus, oleh

    pendukung oligarki di parlemen disisihkan. Lembaga perwakilan rakyat berhenti mewakili

    kehendak rakyat. Representasi yang berasumsi akan mencerminkan secara sempurna apa

    yang direpresentasikannya ternyata cuma ilusi besar, dan kini jadi dusta.

    Dengan demikian, politik dibekukan. Sebagai gantinya akan ditegakkan "Polisi", untuk

    mengikuti istilah Ranciere: pengaturan, pengendalian, dan penjagaan hidup orang banyak,melalui lembaga-lembaga yang didirikan. Polisi ini akhirnya hanya membuat posisi para

    penguasa lembaga kukuh, dengan alasan merekalah sang penjaga.

    Tapi perlawanan akan terjadi. DalamPangeran Kecil, sang raja merumuskan hidupnya

    sebagai pemerintah dan pengatur. Dialah penegak Polisi. Ia minta tamunya jadi "menteri

    kehakiman" di asteroid yang praktis kosong itu. Tapi sang tamu sudah melihat betapa

    ganjilnya raja yang tanpa rakyat itu.

    Dan ia pun menolak.

    Goenawan Mohamad

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    3/32

    Membebaskan Koruptor

    Senin, 06 Oktober 2014

    Oce Madril,Anggota Staf Pengajar Fakultas Hukum UGM, Direktur Advokasi Pusat Kajian

    Antikorupsi FH UGM

    Perlakuan istimewa terhadap koruptor ternyata belum berakhir. Koruptor masih dapat

    menikmati sejumlah kemudahan melalui instrumen kebijakan pemerintah. Hukuman yang

    dijatuhkan oleh pengadilan tidak lagi membuat takut, karena nanti dapat dikurangi oleh

    pemerintah, melalui kebijakan remisi dan bebas bersyarat. Sebuah kebijakan yang

    mencederai rasa keadilan masyarakat di tengah usaha memberantas korupsi dan membuatjera koruptor yang telah merugikan negara. Menurut catatan Indonesia Corruption Watch

    (ICW), selama pemerintahan SBY, tercatat ada 38 koruptor yang diberi pembebasan

    bersyarat.

    Padahal pemerintah sebenarnya sudah memperketat pemberian remisi dan bebas bersyarat.

    Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012. Bagi terpidana

    korupsi, berlaku syarat khusus yang lebih ketat. Selain syarat berkelakuan baik dan telah

    menjalani hukuman minimal dalam jangka waktu tertentu, koruptor harus bersedia bekerja

    sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang

    dilakukannya (justice collaborator) serta telah membayar lunas denda dan uang pengganti

    sesuai dengan putusan pengadilan.

    Jika dibandingkan dengan peraturan lama, PP No. 99/2012 telah mempersempit ruang gerak

    koruptor untuk menikmati remisi dan pembebasan bersyarat. Dapat juga diartikan bahwa

    hanyajustice collaboratoryang berhak atas fasilitas itu. Remisi dan pembebasan bersyarat

    tidak hanya dimaknai sebagai hak narapidana, tapi juga sebagai bentuk penghargaan dari

    negara bagi mereka yang telah bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar

    sebuah kejahatan serius, seperti korupsi. Perlakuan istimewa terhadapjustice collaborator

    tidak hanya termaktub dalam PP, tapi Mahkamah Agung (MA) juga mendukungnya melaluiSurat Edaran MA No. 4 Tahun 2011 serta Peraturan Bersama antara Menteri Hukum dan

    HAM, Jaksa Agung, kepolisian, KPK, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

    (LPSK).

    Selain syarat ketat, prosedur pemberian remisi/bebas bersyarat juga sangat ketat. Tidak hanya

    menjadi kewenangan penuh Kementerian Hukum dan HAM, juga harus mendapat

    rekomendasi dari penegak hukum, salah satunya KPK.

    Persoalan muncul manakala syarat dan prosedur yang ketat itu tidak dilaksanakan secarakonsisten oleh pemerintah. Inkonsistensi itu terlihat ketika Kementerian Hukum dan HAM

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    4/32

    menerbitkan keputusan pembebasan bersyarat terhadap Hartati Murdaya dan pemberian

    sejumlah remisi kepada koruptor yang jelas-jelas bukanjustice collaborator, contohnya

    Anggodo Widjojo yang sempat menggemparkan dunia hukum akibat ulahnya sebagai

    makelar kasus. Mereka jelas tidak memenuhi syarat, dan KPK pun tidak memberikan

    rekomendasi terhadapnya. Keputusan menteri tersebut mengandung cacat yuridis karenatidak memenuhi syarat dan prosedur sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan.

    Selain cacat yuridis, keputusan itu beraroma koruptif. Khususnya dalam soal Hartati

    Murdaya, ada perbenturan kepentingan di situ. Kita semua tahu bahwa Menteri Hukum dan

    HAM merupakan petinggi Partai Demokrat, sementara Hartati Murdaya merupakan mantan

    anggota Dewan Pembina Partai Demokrat. Afiliasi politik yang sama membuat kebijakan

    menteri ini berpotensi melanggar prinsip conflict of interest. Bahwa dalam membuat

    keputusan, hendaknya seorang penyelenggara negara menghindari adanya perbenturan

    kepentingan. Prinsip ini mestinya dijunjung tinggi oleh Menteri Hukum dan HAM.

    Kemudian, sepertinya pemerintah sudah lupa ratio legiskenapa PP No. 99/2012 muncul.

    Peraturan tersebut diterbitkan dengan pertimbangan utama untuk memenuhi rasa keadilan

    masyarakat. Secara tegas dinyatakan di situ, pemerintah berpandangan bahwa aturan lama

    belum mencerminkan seutuhnya rasa keadilan yang dirasakan oleh masyarakat. Pendekatan

    inilah yang digunakan pemerintah. Dengan demikian, tolok ukur penggunaan kewenangan

    pemberian remisi/bebas bersyarat itu adalah "memperhatikan rasa keadilan masyarakat",

    bukan rasa keadilan koruptor. Korupsi adalah kejahatan jabatan publik. Ada kepentingan

    publik di situ, sehingga pemerintah tidak bisa seenaknya membuat kebijakan yang dapat

    melanggar kepentingan publik.

    Berharap pemerintahan sekarang menganulir kebijakannya, sepertinya tidak mungkin.

    Hukum saja dilanggar, apalagi imbauan dan kritik dari publik. Harapan kita tertuju pada

    pemerintahan baru. Isu ini akan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Jokowi.

    Komitmen politik presiden terpilih Jokowi bisa dilihat dari kebijakannya perihal remisi dan

    pembebasan bersyarat untuk koruptor. Tentu dimulai dari pemilihan Menteri Hukum dan

    HAM yang pro-pemberantasan korupsi dan punya catatan integritas yang tidak diragukan.

    Menteri Hukum dan HAM yang baru bisa me-reviewsemua permohonan remisi dan

    pembebasan bersyarat, termasuk me-reviewkebijakan bebas bersyarat yang telah diambil.

    Keputusan yang mengandung cacat yuridis dan koruptif harus dibatalkan. Kita butuh

    konsistensi pemerintah. *

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    5/32

    Golkar dan Museum Soeharto

    Senin, 06 Oktober 2014

    Muhidin M. Dahlan, kerani @warungarsip

    Jika museum adalah ruang di mana ingatan diseleksi dari ribuan itemperistiwa masa silam,

    Golkar adalah itemyang sangat tidak ingin diingat di Museum H.M. Soeharto. Golkar, yang

    menjadi partai paling berkuasa selama tiga dekade bersama naik pasang dan stabilnya

    Soeharto di takhta kepresidenan, menjadi tak ubahnya-maaf--sebutir upil di bawah laci di

    museum yang dibuka untuk publik pada akhir Agustus 2013 ini.

    Alih-alih Golkar, justru Museum H.M. Soeharto di Kemusuk, Sedayu, Bantul, ini

    menempatkan PKI sebagai satu-satunya partai politik yang memberi latar dan narasi besar

    bagi kejayaan Soeharto. PKI dan logonya palu arit, baik dalam bentuk diorama maupun

    desain kliping koran di dinding museum biografi ini, mendapat hampir 50 persen tempat. PKI

    menjadi pal dasar bagi sebuah loncatan terbesar dalam sejarah politik hidupnya, dari seorang

    serdadu yang dibesarkan dalam keluarga ulu-uludi Kemusuk, Bantul, Yogyakarta, menjadi

    penguasa yang paling kuat di Asia Tenggara.

    Masuklah di beranda perpustakaan Museum H.M. Soeharto. Tak satu pun buku sejarah

    Golkar Anda temukan di dalamnya. Selain enam jilid kronik prestasi pembangunan, sejumlah

    biografi yang menjunjung nama dan prestasi pembangunan Soeharto, 20 jilid buku kliping

    tentang lini masa pemerintahan Soeharto yang terbit pada 2008, buku tentang PKI-lah yang

    menempati deretan terbanyak. Bahkan lima jilid Sejarah PKIversi Angkatan Darat dalam

    cetak luks bisa dibaca leluasa oleh semua umur.

    Tentu saja, buku-buku yang "membela" kiprah politik PKI, seperti karya Ruth T. McVey

    Kemunculan Komunisme Indonesia(2010), jangan harap ditemukan di beranda perpus

    museum ini. Tentu saja, biografi-kritis Soeharto tak mendapatkan hak-tinggal seinci pun

    dalam rak sepanjang 6 meter itu, seperti karya R.E. Elson Suharto: Sebuah Biografi Politik(2005), Richard Robison Soeharto & Bangkitnya Kapitalisme Indonesia(2012), dan Julie

    Southwood & Patrick Flanagan Teror Orde Baru: Penyelewengan Hukum & Propaganda

    1965-1981 (2013).

    Belum lagi videotron di bangunan limasan depan museum yang diputar berulang-ulang

    sepanjang hari dan wajib ditonton ratusan pengunjung yang umumnya anak-anak sekolah dari

    TK hingga SMA, yang isinya tentang "prestasi" Soeharto menindak PKI dan menyelamatkan

    negara dari kekacauan. Di tayangan videotron berdurasi 10 menit itu, tampak PKI adalah

    lawan kuat dan paling bajingan bagi Soeharto di satu sisi, sementara di sisi lain menjadi

    "kawan sepemundakan" dalam narasi panjat pinang politik. Darah anggota dan simpatisan

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    6/32

    PKI menjadi semacam minyak pelicin yang dioleskan di batang pinang untuk memberi tahu

    bergenerasi-generasi manusia Indonesia betapa pembangunan diraih dengan susah-payah.

    Golkar di mata Soeharto, sebagaimana direpresentasikan museum ini, tak ubahnya syarat

    formal belaka untuk menunjukkan kepada dunia bahwa sistem politik di Indonesia sudahsesuai dengan syarat-syarat minimal sebuah negara demokrasi.

    "Pengorbanan" PKI yang tak bertara pada pesta-darah 1965-1966 rupa-rupanya lebih pantas

    dirayakan dalam Museum H.M. Soeharto ketimbang kehadiran artifisial Golkar dalam sejarah

    kepemimpinan politik, sistem demokrasi Pancasila, dan derap ekonomi pembangunan

    Soeharto selama tiga dekade. *

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    7/32

    Di Atas Ransel Ku Angkat Kaki

    Senin, 06 Oktober 2014

    Hari Prasetyo, [email protected]

    "Mas lagi di Jakartakah? Kalau iya, hari ini jadwalnya nonton SCC kan, ya? He-he-he...."

    Mas Bro terhenyak membaca pesan itu di jejaring sosial yang ditujukan kepadanya dari

    seorang sahabat, aktris muda berbakat dari sebuah teater yang punya prospek cerah di negeri

    ini.

    Segera, ia pergi secara tergesa-gesa menuju Galeri Nasional (Galnas) di kawasan Gambir,

    Jakarta Pusat, dari kantornya di selatan ibu kota pada suatu hari, hendak menonton

    pementasannya.

    Mas Bro menuju Galnas dengan menumpang beberapa kali angkutan umum dan berbekal

    sebuah tas punggung atau ransel.

    Pementasan berlangsung di salah satu halaman Galnas itu. Bambu menjadi elemen utama

    yang dimainkan oleh para aktrisnya. Mengutip tulisan pengantar mereka dalam buku

    pertunjukan, bambu menjadi aktor dan juga simbol dari waktu itu sendiri.

    Manusia yang diimpit oleh waktu di berbagai belahan dunia, terutama di perkotaan, menjadi

    tema pementasan ini.

    Tapi, mengapa bambu, bukan ransel yang melekat di punggung Mas Bro, untuk menandai

    problematik masyarakat perkotaan? Tentu saja, tak ada yang salah dengan pilihan itu.

    Ini hanya semacam resepsi dari Mas Bro yang tampak masih berjarak dengan bambu, yang

    sudah ribuan tahun dikenali oleh manusia. Meski ransel punya riwayat sama panjangnya.

    Ransel adalah sebuah wadah yang dipakai di punggung seseorang dan dilindungi dua tali

    yang memanjang vertikal melewati bahu. Dipakai oleh manusia dari zaman berburu sampai

    era modern.

    Bambu yang terus tumbuh bisa melambangkan manusia yang selalu bisa menyesuaikan diri

    dengan zaman masing-masing. Tapi Mas Bro termasuk yang tercerabut dari akar tradisi

    masyarakatnya yang mengakrabi bambu.

    Ia larut dalam benda lain yang mengikat manusia di era modern dalam sebuah

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    8/32

    ketergantungan yang nyaris absolut sehingga layak menjadi simbol atau siap dijadikan

    penanda sebuah problem manusia perkotaan dalam pentas teater. Benda itu adalah televisi,

    lemari es, telepon genggam, dan ransel.

    Deretan tas ransel di pundak atau di dada para penumpang itu bagaikan sebuah pergelaranseni rupa.

    Ia serupa manusia yang pada satu saat memaknai kehidupannya secara fungsional, yakni

    mencari nafkah untuk makan dan menghidupi diri serta keluarga. Tapi, di lain kesempatan

    atau saat bersamaan, memaknai kehidupannya sebagai pewujud kesenangan, keindahan, dan

    eksistensi bagi dirinya dan orang lain.

    Ransel itu benda fungsional dan penanda identitas. Puluhan tahun lalu, sambil beramai-ramai

    memakai sandal jepit dengan satu dari dua tangkai ransel tergantung di bahu kanan, Mas Bro

    dan kawan-kawan menyusuri lorong kampus sebuah universitas yang dulu berdomisili di

    Rawamangun. "Ssstanak-anak Sastra lewat, tuh," bisik mereka yang sedang duduk di taman

    kampus.

    Di kursi kereta api Mojopahit dari Stasiun Senen, Jakarta, yang membawanya ke Malang

    untuk mendaki puncak Mahameru, Mas Bro memandangi tasnya dan membayangkannya

    serasa koper dalam syair lagu Kereta Lajukarya Leo Kristi: "Di atas koper ku angkat kaki//

    Serasa melayang serasa terbang//Senyumku terkembang walau kusendiri.."

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    9/32

    Headphones

    Selasa, 07 Oktober 2014

    Antyo Rentjoko, Bekas narablog, @PamanTyo

    Kesehatan telinga kaum muda Australia terancam karena clubbing,konser, dan...

    headphones! Itulah laporan Australian Hearing, sebuah lembaga kesehatan pendengaran,

    pada 2010. Dan, nun di Amerika, ada H.E.A.R. (Hearing Education and Awareness for

    Rockers,Hearnet.com), sebuah organisasi nirlaba yang didukung industri instrumen musik,

    pemusik, dan media musik.

    Misi H.E.A.R. adalah mengajak khalayak menjaga kesehatan pendengarannya. Sejumlah

    pemusik menjadi duta, dari rocker Lars Ulrich (Metallica) hinggajazzerHerbie Hancock. Di

    San Francisco, markasnya, mereka juga membuka kelas pelatihan dan klinik evaluatif.

    Dengan latar tadi, laporanKoran Tempo(Sabtu, 4 Oktober 2014) tentang headphones sebagai

    gaya hidup menjadi menarik. Laporan itu seperti menghimpun pengalaman pembaca yang

    sejak tiga tahun lalu melihat makin banyak orang mengenakan headphones,bukan

    earphones,sambil berjalan. Rupanya kian banyak orang yang tak puas dengan earphones.

    Meningkatnya penikmatan headphonesmakin terasa sejak 2010, ketika sejumlah padagang

    audio menawarkan amplifieruntuk headphones. Sasaran utama mereka awalnya para

    penikmat piringan hitam yang membutuhkanpreamp. Sebelumnya, ramai pula penawaran

    DAC (digital-to-analog converter) agar musik digital menjadi lebih "tebal", bukan sekadar

    "suara kaleng".

    Lalu, seberapa lama orang tahan memakai headphonesnonstop? Beda kuping, beda jawaban.

    Sehatkah pendengaran mereka? Ahli THT yang dapat mengevaluasi--di Indonesia pada 2013

    ada 700 ahli THT (Telingakusehat.com). Tentu, sumber penurunan pendengaran bukan cuma

    headphones, ajeb-ajeb,dan konser, tetapi juga kebisingan kota dan lingkungan kerja.

    Pada 2004 diwartakan bahwa sejumlah tamatan SMK tak lolos seleksi sebuah pabrik PMA

    Jepang di Tangerang karena pendengaran mereka buruk. Ternyata noise induced hearing loss

    (NIHL) terjadi di sekolah: tempat praktek tak menyediakan pelindung telinga.

    Untuk konser, sejauh ini di Indonesia belum digencarkan pemakaian earplugs.Konsumen

    diharapkan tahu sendiri sebelum memasrahkan diri untuk dihajar tumpukanspeaker.Cara

    murah ada: beli earplugsuntuk industri di apotek, berupa sumbat karet untuk kuping.

    Mungkin akan mengurangi penikmatan musikal, tapi daripada jadi budek,kan?

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    10/32

    Lalu, pasal di luar kesehatan?Headphonesdan earphonesmenjadikan musik kian individual,

    tapi sisi penikmatan komunalnya tak lantas hilang. Dari ponsel dan iPod-nya, setiap orang

    mendengarkan musik masing-masing; tak ada lagi era dominasi lagu dalam keluarga,

    indekos, dan kantor seperti dulu: yang paling kencang dan kerap memutar lagu itulah yang

    berpeluang menularkan selera.

    Di sisi lain, meski menikmati secara individual, media sosial membuat kaum muda selalu

    terbarui tentang informasi musikal. Padahal mereka tak perlu menonton MTV, cukup dari

    YouTube dan audio streamingsaat naik sepur.

    Itulah jasa headphonesdan earphones:tak mengganggu telinga orang sebelah, tapi beroleh

    hiburan dan pengetahuan dari orang lain yang mengunggahkan musik ke awan.

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    11/32

    Titik Lemah Perppu Pilkada

    Selasa, 07 Oktober 2014

    Joko Riyanto,Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta

    Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan dua peraturan pemerintah pengganti

    undang-undang (perppu). Pertama, Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan

    Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Perppu ini mencabut UU Nomor 22/2014 tentang

    Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur bahwa kepala daerah dipilih oleh

    DPRD. Kedua, Perppu Nomor 2/2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23/2014 tentang

    Pemerintahan Daerah. Perppu kedua ini menghapus tugas dan wewenang DPRD memilihkepala daerah.

    Perppu adalah hak konstitusional presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD

    1945, "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan

    pemerintah pengganti undang-undang." Dalam ayat (2) dinyatakan bahwa perppu itu harus

    mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikut. Kemudian Mahkamah Konstitusi

    memperjelas frasa "kegentingan yang memaksa" bagi presiden untuk menerbitkan perppu.

    Ada beberapa titik lemah Perppu Pilkada. Pertama, kegentingan yang memaksa sebagai

    syarat diterbitkannya Perppu Pilkada tidak jelas. Saat ini tidak ada ihwal yang menjadikan

    kegentingan yang memaksa (bencana, konflik, atau instabilitas politik). Justru, perppu itu

    keluar dari "kegentingan memaksa" SBY karena desakan dan kecaman dari rakyat atas aksi

    walk-outPartai Demokrat dalam Sidang Paripurna DPR, sehingga pilkada oleh DPRD

    menang. Bahkan Perppu Pilkada dapat dinilai sebagai cuci tangan Presiden SBY atas

    persoalan yang menimpa dirinya. Dengan Perppu Pilkada, SBY seolah ingin memberikan

    beban kepada pemerintah Jokowi dan tak ingin disalahkan sendiri jika Perppu Pilkada ditolak

    DPR.

    Kedua, sepuluh syarat perbaikan yang dimasukkan ke dalam Perppu Pilkada belum tentumenghilangkan dampak negatif pilkada langsung. Belum ada kajian dan penelitian mendalam

    atas sepuluh syarat itu untuk pilkada yang demokratis. Perppu Pilkada terkesan hanya

    mengakomodasi kepentingan politik SBY dan Demokrat dengan kedok sepuluh syarat

    perbaikan. Alasan menolak pilkada oleh DPRD tak demokratis juga keliru. Sebab,

    berdasarkan Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013, MK menganggap bahwa pilkada melalui

    DPRD adalah demokratis. Jadi tidak ada kekosongan hukum.

    Ketiga, dari sisi pembentukan legislasi, Perppu Pilkada tidak lazim. Sebab, Perppu Pilkada

    dikeluarkan hanya hitungan jam setelah pengesahan RUU Pilkada. SBY bisa dianggap

    melecehkan DPR dan konstitusi. Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    12/32

    RUU dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Bagaimana bisa,

    setelah menandatangani RUU Pilkada, SBY lalu menerbitkan perppu. Norma yang

    terkandung dalam konstitusi tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan

    golongan.

    Melihat beberapa kelemahan Perppu Pilkada, tampak SBY sedang "berjudi" dengan DPR.

    Dengan komposisi DPR baru, koalisi Prabowo akan memiliki 291 kursi. Sedangkan Koalisi

    Indonesia Hebat hanya punya 269 kursi. Kalau dilakukan mekanisme voting,secara hitungan,

    koalisi Prabowo akan menang dengan menolak Perppu Pilkada. Kita hanya berharap DPR

    mampu melihat kepentingan yang lebih besar ketimbang politik balas dendam.

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    13/32

    Manajemen Intelektual Pertahanan

    Selasa, 07 Oktober 2014

    Sjafrie Sjamsoeddin, Wakil Menteri Pertahanan RI

    Panglima Besar Jenderal Soedirman selalu berpesan kepada para prajurit agar senantiasa

    memenangkan hati dan pikiran rakyat dalam melawan penjajah Belanda. Makna pesan ini

    sangat efektif dari masa ke masa. Artinya, tentara dan rakyat harus bersatu dalam

    mempertahankan negara.

    Kita pantas belajar kepada para Bapak Bangsa yang selalu mengutamakan kepentinganbangsa yang lebih besar. Mereka bahkan rela menanggalkan kepentingan pribadinya ketika

    sudah menyangkut kepentingan bangsa dan negara.

    Saya ingin menggunakan pengalaman yang dulu dipergunakan para Bapak Bangsa itu di

    dalam mengelola sistem pertahanan. Kita membutuhkan defence intellectual management

    (DIM) dalam membangun sebuah kemampuan sistem pertahanan yang bisa melindungi

    segenap kehidupan warga bangsa ini.

    Adalah hak dan kewajiban setiap warga negara ikut serta dalam pembelaan negara untuk

    mewujudkan negara yang majemuk dan luas serta kaya ini terjaga, maju, sejahtera, dan

    cerdas kehidupannya. Tentu, sebagai negara kebangsaan, kita harus mampu hidup

    bermartabat dan bisa menempatkan diri berdampingan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

    Era globalisasi yang cenderung tanpa batas ditandai kemajuan komunikasi dan informasi

    serta pengetahuan dan teknologi yang sudah pasti mempengaruhi tata nilai dan pola

    penyelenggaraan pertahanan negara untuk menghadapi ancaman multidimensional yang

    kompleks. Dengan perkataan lain, kita perlu memiliki kualitas kemampuan pertahanan yang

    unggul untuk menekan eskalasi ancaman.

    Manajemen intelektual pertahanan merupakan suatu resultan dari kualitas praktis dan

    akademis yang diterapkan dalam interaksi kepemimpinan dan manajemen untuk membangun

    kekuatan pertahanan dalam merespons ancaman dan tantangan multidimensional.

    DIM memang dimulai dari panggilan hak dan kewajiban pembelaan negara bagi setiap warga

    dari semua aspek profesi, baik militer maupun nirmiliter. Tetapi sebenarnya DIM juga

    merupakan tuntutan fenomena profesional yang harus ditumbuhkembangkan agar

    menghasilkan adrenalin yang cukup pada saat diperlukan untuk mengatasi suatu

    permasalahan. Maka DIM menjadi semacam cairan solusi, yang seketika tanpa perlu mencari

    referensi atau membuka kamus ketika hendak menangani masalah.

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    14/32

    DIM bukan institusional, tetapi individual capabilityyang berbasis profesionalitas yang sarat

    dengan tantangan kemauan dan kesanggupan individual yang dibentuk melalui tiga koridor

    membangun DIM. Tiga koridor itu ialah koridor pendidikan dan pelatihan formal, beragam

    pengalaman kegiatan dan akses pekerjaan, serta kemampuan pengembangan diri. Inilah yang

    membentuk modalitas yang berharga bagi kemampuan individu. Seorang profesional harusmemiliki sikap pantang menyerah walaupun ia harus siap menghadapi dinamika pasang-surut

    sepahit apa pun dan tidak akan punah menghadapi tekanan seberat apa pun.

    Permasalahan negara yang cenderung kompleks dan eskalatif tidak cukup dihadapi dengan

    alat utama sistem persenjataan modern dan organisasi militer canggih, tetapi membutuhkan

    kemampuan DIM yang dikelola dalam kepemimpinan dan manajemen yang multiguna.

    Mengapa? Sebab, kita tidak boleh terkecoh dengan istilah "perang modern", yang bertumpu

    pada berbagai ragam kecanggihan, tetapi akhirnya makna "the man behind the gun" yang

    penuh dengan adrenalin yang berkualitas itulah tumpuan dari solusi permasalahan yang

    sebenarnya.

    DIM ibarat mengumpulkan jam terbang yang harus dijalani sendiri. Bahkan pencapaian

    kualitas DIM didapatkan dari perjuangan melintas perjalanan jauh untuk memperoleh suatu

    pengalaman yang berharga itu. Semakin sering mengalami intensitas penanganan masalah

    yang kita hadapi, maka akan lebih tajam pisau analisis dan keputusan yang kita miliki. Inilah

    tantangan yang perlu dijawab bagi generasi penerus pertahanan negara sebagai role model

    yang produktif untuk pembelaan negara masa kini dan masa depan.

    Ada harapan yang sangat besar dari generasi penerus untuk terpanggil melakukan halproduktif dalam bela negara dengan menunjukkan kompetensi profesionalitasnya. Kita harus

    menjadi garda terdepan sekaligus motor penggerak dalam mewujudkan gerakan nasional bela

    negara. Di samping itu, sebagai agen perubahan dalam membangun daya tangkal, generasi

    penerus harus mampu mempertahankan nilai-nilai karakter dan jati diri bangsa dengan selalu

    kreatif dan inovatif menyebarluaskan nilai bela negara untuk bangsa seraya memahami

    perubahan tatanan dunia baru.

    Itulah manajemen intelektual pertahanan yang harus kita pahami juga sebagai suatu upaya

    untuk terus meningkatkan capacity buildingdari masing-masing pribadi kita.

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    15/32

    Genjer-genjer

    Rabu, 08 Oktober 2014

    Purnawan Andra, Peminat Kajian Sosial Budaya

    Lagu sebagai wujud ekspresi seni (musik) mempunyai posisi, fungsi, dan pemaknaan yang

    lekat dengan kebutuhan akan estetika, etika, identifikasi, dan komunalitas. Seturut Shin

    Nakagawa (2000), eksistensi musik dapat dilihat dari kedudukannya sebagai teks dan konteks

    di dalam masyarakat. Musik bukan hanya sebuah ekspresi bunyi (teks) yang menghibur atau

    semata sebagai tontonan, tapi juga sebuah ruang pembacaan yang lebih kritis tentang

    identitas, tradisi, modernitas, dan sejarah musik itu sendiri (konteks) dalam masyarakatnya.

    Lagu bisa menjadi sarana artikulasi ide dan pemikiran. Potensialitasnya menjadikannya

    senjata ampuh yang mampu menarik khalayak lebih luas untuk terlibat, termasuk dalam

    politik. Terbukti, di masa pilihan legislatif lalu, orasi politik selalu melibatkan panggung

    musik dalam setiap kampanyenya. Musik dieksploitasi politikus untuk menarik massa.

    Lagu juga bisa hadir pada peta sejarah yang lebih luas dan menjadi perdebatan kontekstual.

    Pun berperan positif untuk menciptakan paradigma zaman ketika mampu merepresentasikan

    kondisi aktual dan faktual masyarakat. Seperti ketika kita mengingat lagu Genjer-genjer

    yang menjadi kontroversi hingga kini.

    Aris Setiawan (2011) menulis bahwa lagu yang diharamkan di era Orde Baru itu diidentikkan

    dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Penciptanya, Muhammad Arief, asal Banyuwangi,

    meninggal karena dibunuh dan dianggap sebagai pengikut PKI dalam pembantaian 1965-

    1966. Padahal lagu ini secara lugas mengisahkan kondisi ekonomi rakyat yang dilanda

    kelaparan dan kemiskinan hebat sampai tidak mampu membeli beras. Akibatnya, genjer

    (Limnocharis flava), yang merupakan tanaman gulma dan biasanya dikonsumsi itik, dijadikan

    makanan utama bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Oleh PKI, lagu ini dijadikan corong

    perjuangan ideologinya dalam "memperjuangkan nasib rakyat". Namun seusai peristiwa 30September, kebijakan politik penumpasan paham komunis sampai ke akar-akarnya turut

    menyeret lagu ini menjadi sesuatu yang mesti dilenyapkan.

    Meski pernah dipopulerkan oleh penyanyi Lilis Suryani dan Bing Slamet, lagu ini semakin

    lama makin tak terdengar. Padahal, jika dikembalikan pada kodratnya, lagu sederhana ini tak

    lebih dari sekadar peristiwa bunyi yang tak berbeda dengan lainnya. Strukturnya dengan

    deretan nada, kontur melodi, dan konsep harmoni menjadikannya sebagai sebuah musik.

    Justru peristiwa dan tragedi yang menyertainyalah yang menjadikannya tabu.

    Perkembangan dan pandangan, termasuk tentang musik, memang tidak dapat dilepaskan dari

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    16/32

    semangat zaman yang memberinya makna. Pada saat yang sama, adagium klasik bahwa

    "sejarah ditulis oleh para pemenang" (yang biasanya lalu menjadi penguasa) membuat apa

    saja yang menguntungkan bisa ditonjolkan dan yang melemahkan bisa dibikin kabur atau

    dihapuskan. Dan sejarah telah menempatkan Genjer-genjerdalam wilayah sunyi yang

    menjadikannya tak mampu bersuara sebagai sebuah musik.

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    17/32

    Dara Puspita yang Terlupakan

    Rabu, 08 Oktober 2014

    Denny Sakrie, Pengamat Musik

    Sebuah stasiun televisi Indonesia pernah menampik untuk menghadirkan kisah Dara Puspita,

    band wanita pertama Indonesia asal Surabaya di era 1960-an, dengan alasan mereka sekarang

    tak dikenal. Tentu ini sangat bertolak belakang dengan antusiasme sebagian orang Amerika

    Serikat, Inggris, Belanda, Jepang, Portugal, dan Australia yang sangat mengenal Dara

    Puspita, yang terdiri atas Lies AR (gitar, vokal), Titiek AR (gitar, vokal), Titiek Hamzah

    (bass, vokal) dan Susy Nander (drum).

    Kolumnis Sara Schondhardt di The Wall Street Journaledisi 25 September 2014 menulis

    tentang Dara Puspita dengan tajuk "Indonesia's First All-Girl Rock Band Still Has The Power

    To Captive", yang antara lain menyebut bahwa Dara Puspita bisa disejajarkan dengan Pussy

    Riot, band punk wanita Rusia yang menawarkan aura feminisme.

    Dara Puspita, seperti halnya Koes Bersaudara, juga sempat dicekal oleh rezim Orde Lama

    Bung Karno yang saat itu bersemangat menggempur budaya Barat dengan idiom ngak-ngik-

    ngok.Antara paruh era 1960-an hingga awal 1970-an, sosok Dara Puspita memang kerap

    menjadi perbincangan khalayak. Majalah Tempoedisi 9 Januari 1972 menjadikan Dara

    Puspita sebagai sampul depan dan menulis panjang lebar tentang Dara Puspita yang baru saja

    kembali dari mancanegara selama tiga tahun.

    "Mereka hanya pemain musik, mereka bukan pencipta, mereka tidak memperjuangkan

    sesuatu yang khusus." Pendapat yang ditulis Putu Wijaya itu ada benarnya. Tapi kehadiran

    Dara Puspita sebagai band wanita yang berbalur rock n roll di tengah-tengah rezim yang

    mengharamkan budaya Barat sudah pasti sebuah fenomena menarik, setidaknya bagi orang-

    orang Barat.

    Di mata mereka, Dara Puspita adalah sebuah keajaiban dari negara di dunia ketiga yang

    mulai bangkit. Ketakjuban mereka terlihat jelas ketika selama seminggu dari 1 hingga 6

    Oktober kemarin di Casa Luna Ubud Bali berlangsung pameran dengan tajuk Dara Puspita:

    The Greatest Girl Group That (N)ever Wasyang digagas oleh Julien Poulson, orang

    Australia yang bermukim di Phnom Penh, Kamboja. Terbetik pula berita bahwa Groovie

    Record, sebuah perusahaan rekaman (label) asal Portugal, merilis album kompilasi hit Dara

    Puspita dalam format vinil secara ilegal.

    Empat tahun sebelumnya, Alan Bishop dari Sublime Frequencies di Seattle, AS, merilis

    ulang secara resmi kumpulan hitDara Puspita (1966-1968). Album yang berisikan 26 lagu itu

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    18/32

    bahkan masuk dalam 25 Favorite World Compilations of 2010 yang dipilih situs musikAll

    Music Guide. Di Australia sendiri muncul sebuah tribute bandyang khusus membawakan

    repertoar Dara Puspita. Band yang bernama 45 ini beberapa waktu lalu menggelar konser di

    Jakarta.

    Fakta-fakta ini jelas menunjukkan bahwa Dara Puspita merupakan salah satu pilar bersejarah

    dalam konstelasi musik populer di Indonesia. Dari ragam musik yang mereka mainkan, dari

    ekspresi bermusik sertafashionyang mereka kenakan, menyiratkan bahwa Dara Puspita

    bersikap seperti halnya kredo pemusik rock n roll: anti-kemapanan. Sayangnya, sekarang ini

    penikmat musik yang mengenal Dara Puspita bisa dihitung dengan jari. Ironis.

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    19/32

    Olahraga Terpimpin

    Rabu, 08 Oktober 2014

    H Maulwi Saelan, Ketua Umum PSSI 1965-1967; Kapten Timnas PSSI

    Ada kesan tersendiri, ketika saya membaca artikel Saudara Eddi Elison berjudul Semangat

    Kementerian Olahraga(Koran Tempo, 27 Agustus), khususnya tentang Trilogi

    Keolahragaan Nasional yang terdiri atas PON I 1948 di Solo, Asian Games IV 1962 di

    Jakarta, dan Games of the New Emerging Forces (Ganefo) 1963 di Jakarta. Kesan tersebut

    terbangun karena pada ketiga peristiwa tersebut, atas kehendak Tuhan yang Maha Kuasa,

    saya ikut terlibat di dalamnya.

    Trilogi pertama, PON I, diselenggarakan dengan penuh kesederhanaan karena Indonesia

    dalam tekanan dan ancaman Belanda. Namun "pesta" tersebut tetap berjalan dengan sangat

    semarak. Semua atlet dari 13 "Kresidenan" bertekad bukan hanya akan menyukseskan

    pertandingan, melainkan memperlihatkan bahwa pemerintah RI tetap ada, eksis, dan

    berdaulat. Mereka akan melawan propaganda Belanda, yang menyebut RI kolaps. Tidak

    mengherankan jika, sebagai kiper, saya menyimpan pistol dalam gulungan handuk, dan

    meletakkannya di sisi tiang gawang, untuk siap siaga jika sewaktu-waktu tentara Belanda

    menyerang. Hal yang sama dilakukan oleh atlet lainnya. Kebetulan atlet yang juga tentara

    cukup banyak masuk dalam kontingen tersebut.

    Kehadiran Presiden Sukarno, Wapres M. Hatta, Jenderal Soedirman, serta wakil-wakil dari

    Komisi Tiga Negara--Merle Cochran (AS), P. van Zeeland (Belgia), dan Critchley

    (Australia)--dalam pesta olahraga itu membuat dunia mengakui eksistensi RI sebagai negara

    berdaulat. Padahal, saat itu, sesuai dengan Perjanjian Renville, RI hanya terdiri atas

    Sumatera, Jawa, dan Madura. Atas dasar itu, saya bersepakat bahwa PON I disebut sebagai

    PON Perjuangan. Terlebih, tanggal pembukaannya, 9 September, ditetapkan sebagai Hari

    Olahraga Nasional (Haornas) oleh Presiden Sukarno, yang setiap tahun diperingati oleh

    negara dan rakyat Indonesia.

    Trilogi kedua, Asian Games IV, merupakan perjuangan tanpa henti pada tataran

    internasional. Pada Olimpiade Melbourne 1956, AGF mengadakan rapat dan menetapkan

    Israel, Pakistan, Singapura, dan Thailand, termasuk Indonesia dan Burma, sebagai calon

    penyelenggara Asian Games IV. Namun, pada 1958, pada saat Asian Games III di Tokyo,

    AGF malah menetapkan Taiwan sebagai penyelenggara Asian Games IV. Karena tidak

    mendapat respons dari pemerintahnya, pada 23 Mei 1958 akhirnya AGF menetapkan

    Indonesia sebagai penyelenggara Asian Games IV 1962. Setelah tujuh tahun berjuang,

    barulah Indonesia mendapat kesempatan untuk membuktikan kemampuannya.

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    20/32

    Latar belakang inilah yang membangkitkan spirit nasionalisme bangsa Indonesia untuk

    membuktikan kekeliruan anggapan beberapa negara yang mengira bahwa Indonesia tidak

    akan mampu menyelenggarakan pesta olahraga besar dan bergengsi. Bersama Bung Karno,

    akhirnya Indonesia memperlihatkan kepada dunia bahwa negara ini benar-benar berdaulat.

    Pada momen ini, Indonesia bukan hanya berhasil menyiapkan sarana keolahragaan kompletdengan nama Gelora Bung Karno, tapi juga mampu menunjukkan prestasi. Ini merupakan

    pangkal tolak "Olahraga Terpimpin", setelah PON I dijadikan sebagai landasan sikap

    keolahragaan nasional.

    Trilogi ketiga, pada 16 Oktober 1962, Menteri Olahraga Maladi mengumumkan keputusan

    Presiden Sukarno untuk menyelenggarakan Games of the New Emerging Forces (Ganefo).

    Padahal sebelumnya direncanakan akan diselenggarakan Asia Afrika (AA) Games atau Asia

    Afrika Amerika Latin (AAA) Games.

    Penyelenggaraan Ganefo pada dasarnya merupakan jawaban dan refleksi atas penghinaan

    IOC yang menskors Indonesia sehubungan dengan peristiwa Israel-Taiwan dalam Asian

    Games IV. Pemberian skors tersebut tanpa mendengar keterangan Indonesia terlebih dulu.

    Sikap itulah yang menyebabkan Indonesia akhirnya keluar dari IOC dan mempercepat

    pelaksanaan Ganefo dan berlangsung sukses. IOC belingsatankarena Indonesia mampu

    menghadirkan 51 negara dan berhasil merebut posisi ketiga setelah RRT dan Uni Soviet--

    dengan perolehan medali 21 emas, 25 perak, 35 perunggu.

    Keberhasilan Indonesia dalam mewujudkan prestasi oleh raga dalam Trilogi Keolahragaan

    Nasional, sebagaimana dipaparkan di atas, tidak terlepas dari peran Sukarno. Sebagai ajudanPresiden Sukarno, saya bisa merasakan bagaimana kepemimpinan beliau dalam

    mensinergikan olahraga sebagai salah bentuk gerakan revolusi mental.

    Inilah wujud dari olahraga terpimpin. Dalam perspektif kesejarahan, Olahraga Terpimpin

    terbukti telah meningkatkan prestasi olahraga nasional. Untuk itu kebijakan ini pantas

    menjadi acuan kabinet pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla. Kuncinya: Kementerian

    Pemuda dan Olahraga hanyalah mengurusi olahraga, dan menteri olahraga mendalami spirit

    serta jiwa Trilogi Olahraga Nasional. Sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman,

    menteri olahraga-lah nantinya yang menjadi pemimpin tertinggi olahraga, sebagaimana

    diperankan Bung Karno pada masa lalu.

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    21/32

    Buruh Batik

    Kamis, 09 Oktober 2014

    Heri Priyatmoko,Anggota Tim Pusaka Kota Surakarta

    "Carilah suami tukang ngecapbatik, karena lebih banyak duitnya ketimbang pegawai negeri

    yang bergaji terlalu sedikit." Begitulah nasihat orang tua terhadap putrinya pada periode

    pasca-kemerdekaan hingga 1970-an. Secuil fakta historis, buruh batik pada suatu masa

    pernah menjadi idaman kaum perempuan lantaran penghasilannya terbilang besar. Bahkan,

    jenis pekerjaan ini juga diimpikan para lelaki yang tak bisa bersekolah tinggi.

    Saban kali kita merayakan Hari Batik Nasional, yang jatuh pada 2 Oktober, keberadaan buruh

    batik nyaris terlupakan. Mereka hidup dalam kesenyapan di tengah kemeriahan perayaan

    yang bermisi melestarikan warisan budaya Nusantara itu.

    Dalam perusahaan industri batik rumahan, pekerjaan buruh batik terbagi menjadi beberapa

    jenis, sebut saja tukang cap, kuli babar,kuli celep,kuli beret,kuli kerok,pengubeng

    (pembatik), dan kuli kemplong. Potret kedekatan buruh dengan juragan diibaratkan seperti

    daging dan kulit, sulit diceraikan. Hubungan sosial mereka layaknya abdi dalemdengan raja

    di lingkungan keraton. Sejarah dunia perbatikan di Surakarta, misalnya, melukiskan ikatan

    batin antara buruh dan sang majikan dalam sebaris idiom lokal:pejah gesang nderek mbok

    mase.Terjemahan bebasnya, mengabdi secara total kepada juragan batik.

    Memang, tak jarang kelompok buruh menjelma bak prajurit istana sewaktu pecah konflik

    yang melibatkan juragan mereka dengan perusahaan batik di lain tempat. Para tukang siap

    angkat pentungan dan berani ikut tawuran demi membela kehormatan serta usaha milik

    majikan mereka. Rasa persaingan yang tinggi antarperusahaan adalah hal yang lumrah dalam

    lingkaran bisnis batik. Sejarawan sepuh Soedarmono, melalui tesisnya bertajuk "Pengusaha

    Batik di Laweyan Solo Awal Abad 20" memotret kenyataan itu dalam sepucuk kalimat: parit

    merah lawan parit darah.

    Spirit kewirausahaan dan etos kerja bos batik kadang menetes ke dalam tubuh si buruh, yang

    sudah mengabdi di situ selama belasan hingga puluhan tahun. Saking intimnya, kepercayaan

    penuh yang diberikan majikan kepada buruh acap tidak terbatas. Sampai-sampai modal untuk

    mendirikan perusahaan kecil diberikan oleh sang majikan dengan pengembalian secara

    cicilan.

    Inilah realitas apik yang perlu dikabarkan ke sidang pembaca bahwa merebaknya industri

    batik rumah tangga dan majunya pasar sandang di Jawa bermula dari sambung rasa dan

    ikatan persaudaraan buruh-majikan. Eloknya, buruh tidak dibelenggu. Tuannya tidak takut

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    22/32

    disaingi. Justru mereka memberi peluang seluas mungkin agar buruh melebarkan sayap dan

    mempraktekkan ilmu yang diperoleh dari tempatnya bekerja. Buruh yang punya kemampuan

    lebih, terutama ngecap,menduduki level teratas. Selain itu, mereka gampang bermobilitas

    vertikal, yaitu naiknya status sosial dari pekerja perusahaan menjadi pengusaha menengah

    atau besar.

    Demikianlah, buruh adalah katup pengaman perusahaan batik sekaligus kelompok yang

    memegang peran kunci hidup-matinya batik di Indonesia. Dalam hal ini, tugas pokok

    pemerintah Joko Widodo adalah memikirkan regenerasi para buruh batik. Pasalnya, usia

    mereka kian menua dan generasi sekarang emohbercita-cita menjadi buruh ngecaplayaknya

    pada 1970-an. Mungkin ini bisa menjadi agenda kerja Kementerian Pariwisata dan Ekonomi

    Kreatif mendatang.

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    23/32

    Mengatasi Inflasi Lewat PemberdayaanMasyarakat Miskin

    Kamis, 09 Oktober 2014

    Dian Ediana Rae, Kepala BI Jawa Barat

    Lebih dari 70 persen penyebab inflasi di Indonesia berasal dari sisi pasokan. Melihat data

    yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik, jumlah orang miskin dan penganggur di Indonesia

    masing-masing mencapai 28,28 juta orang dan 7,15 juta orang. Kondisi ini bisa lebih parah

    jika menggunakan standar ukuran kemiskinan yang berbeda. Walhasil, dapat disimpulkan

    bahwa sekitar 11,25 persen rakyat Indonesia tidak atau kurang berkontribusi terhadap

    produktivitas perekonomian, atau bahkan menjadi beban perekonomian Indonesia.

    Merujuk pada komposisi kontribusi usaha yang berpotensi dijadikan sarana pemberantasan

    kemiskinan dan pengangguran, sudah sewajarnya pemerintah memberi perhatian yang lebih

    besar bagi pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Meski jumlah pelaku

    UMKM mencapai 99 persen dari jumlah total perusahaan di Indonesia, kontribusinya secara

    nasional baru sekitar 7 persen.

    Hal ini menunjukkan terbatasnya kontribusi saham (share) UMKM terhadap GDP. Dilihatdari distribusi sektoral tenaga kerja, sektor pertanian masih dominan. Lebih dari 34,55 persen

    tenaga kerja berada dalam sektor pertanian. Ironisnya, justru Indonesia masih menghadapi

    persoalan mendasar, yakni keamanan pangan (food security).

    Ini tidak saja menimbulkan inflasi dari aspek keseimbangan permintaan dan penawaran, tapi

    juga inflasi yang terjadi akibat barang-barang komoditas yang diimpor (imported inflation).

    Karena itu, program mengatasi inflasi bisa sekaligus digabungkan dengan program

    pemberantasan kemiskinan/penggangguran serta ketahanan pangan.

    Upaya mengatasi masalah inflasi di Indonesia tidaklah sederhana. Sebab, masih terdapat

    faktor fundamental yang mengganggu bekerjanya mekanisme pasar secara sempurna, antara

    lain masih kurangnya produktivitas, kurang memadainya infrastruktur (seperti jalan raya dan

    pasokan listrik), serta distorsi pasar. Begitu juga jaringan distribusi dan pemasaran, yang

    masih memiliki kelemahan struktural. Semua itu merupakan hilir dari kapasitas fiskal

    pemerintah yang masih terbatas karena beban subsidi BBM dan listrik telah mencapai sekitar

    Rp 363 triliun. Adapun defisit fiskal berdasarkan undang-undang dibatasi tidak boleh

    melampaui 3 persen.

    Identifikasi persoalan pengangguran dan kemiskinan di Indonesia harus digarap secara lebih

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    24/32

    komprehensif dengan melibatkan berbagai pihak terkait. Profil dan karakteristik para

    penganggur dan orang miskin harus dibedah tuntas, dari kategori kemiskinan, tingkat

    pendidikan, lokasi, hingga potensi daerah berpenduduk miskin. Informasi seperti ini dapat

    dikolaborasikan dengan data penyebab inflasi, seperti produksi yang rendah dari holtikultura,

    ketergantungan pada bahan baku impor untuk produk-produk tertentu, dan lain sebagainya.

    Pemerintah dan anggota DPR yang baru perlu mengambil langkah sesegera mungkin untuk

    mengakhiri subsidi BBM dan merelokasi subsidi BBM untuk program-program afirmatif

    yang cerdas dan terukur demi memberantas pengangguran dan kemiskinan sekaligus

    mengatasi goncangan dari administered prices,yang merupakan salah satu penyebab utama

    inflasi di Indonesia.

    Seiring dengan keterbatasan ruang gerak fiskal, masih banyaknya kelemahan struktural dalam

    perekonomian, dan masih terjadinyapolicy mismatchdalam berbagai sektor perekonomian--

    serta jika merujuk pada peran Bank Indonesia sebagai otoritas moneter--tampaknya harus

    mulai diwacanakan kembali peran BI sebagai lembaga negara yang independen dan tidak

    semata-mata memiliki sasaran tunggal (single goal) untuk memelihara nilai mata uang

    rupiah. Ia juga menciptakan peran lebih luas dalam pertumbuhan ekonomian serta penciptaan

    kesempatan dan lapangan kerja seperti yang pernah dimilikinya sebelum 1999.

    Apabila kewenangan ini dapat diperoleh kembali, BI dapat secara langsung mempengaruhi

    sisi pasokan dalam perekonomian sekaligus memainkan perannya dalam mengatasi

    kemiskinan dan pengangguran. Pertimbangan lainnya untuk mengembalikan peran BI adalah

    persoalan kemiskinan dan pengangguran, yang menimbulkan dilema dalam kebijakanmoneter.

    Dilema ini dirasakan ketika BI menetapkan kebijakan moneter ketat dalam upaya

    pengendalian perekonomian jangka menengah dan panjang. BI sering menjadi sasaran kritik

    para pengamat dan kalangan pengusaha yang menganggap kebijakan moneter sebagai

    penghambat pertumbuhan perekonomian yang berpotensi mengurangi kapasitas penciptaan

    kesempatan kerja baru serta penghapusan kemiskinan.

    Padahal, di sisi lain, di tengah keterbatasan kebijakan fiskal yang mendasar, akan sangat

    diperlukan kebijakan moneter untuk menghindari kondisi perekonomian yang lebih buruk.

    Kondisi ini memerlukan langkah-langkah tepat, terarah, dan terukur untuk mencari

    keseimbangan antara kepentingan stabilitas moneter dan kelanjutan upaya mengatasi

    penggangguran serta kemiskinan. Ke depan, pemerintah dan BI dapat mengelaborasi

    persoalan-persoalan fundamental perekonomian bangsa secara sinergis dan komplementer.

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    25/32

    Presiden Pencitraan

    Kamis, 09 Oktober 2014

    Firdaus Cahyadi,Aktivis Lingkungan

    September 2014 adalah bulan yang membahagiakan bagi Presiden Susilo Bambang

    Yudhoyono (SBY). Pasalnya, pada 23 September lalu waktu New York, Amerika Serikat,

    Presiden SBY secara resmi diangkat sebagai Presiden Majelis Global Green Growth Institute

    (GGGI). GGGI adalah organisasi yang bertujuan meningkatkan semangat pertumbuhan hijau,

    sebuah paradigma yang ditandai oleh keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan

    pelestarian lingkungan secara berkelanjutan, khususnya di negara-negara berkembang.Apakah kira-kira hal yang menjadi dasar GGGI untuk mengangkat SBY menjadi Presiden

    Majelis di organisasi internasional itu? Apakah SBY memiliki jejak ekologi yang bagus

    dalam mengimplementasikan pertumbuhan hijau di Indonesia?

    Untuk menjawab hal itu, mari kita lihat jejak ekologi SBY selama menjadi Presiden Republik

    Indonesia. Di tengah hiruk-pikuk pilpres 2014, Presiden SBY ternyata menerbitkan Peraturan

    Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang rencana tata ruang kawasan perkotaan Denpasar,

    Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita). Salah satu poin terpenting dari aturan tersebut

    adalah mengubah peruntukan perairan Teluk Benoa dari kawasan konservasi perairanmenjadi zona budi daya yang dapat direklamasi maksimal seluas 700 hektare.

    Perpres itulah yang menjadi payung hukum bagi pemilik modal untuk mereklamasi Teluk

    Benoa. Sebelumnya, upaya pemilik modal untuk mereklamasi Teluk Benoa terbentur oleh

    aturan Perpres Nomor 45 Tahun 2011 karena kawasan Teluk Benoa masuk area konservasi

    perairan.

    Padahal, menurut pakar geomorfologi dari Universitas Udayana, R. Suryanto, seperti ditulis

    oleh portal balipost.co.idpada 2013, reklamasi Teluk Benoa akan mengubah sirkulasi air di

    kawasan itu. Adapun berubahnya sirkulasi air di sekitar Teluk Benoa juga akan berdampak

    terganggunya perkembangan hutan bakau (mangrove) dan kehidupan biota laut di sekitarnya.

    Perpres SBY, yang menjadi payung hukum bagi reklamasi Teluk Benoa, mendapat

    perlawanan dari aktivis lingkungan hidup di negeri ini.

    Kebijakan di bawah rezim pemerintah SBY, yang justru mendorong kerusakan lingkungan

    hidup, tidak berhenti sampai di situ. Sebelumnya, pada Juli 2013, pemerintah di bawah

    Presiden SBY juga mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 33 Tahun 2013

    tentang pengembangan produksi kendaraan bermotor yang hemat energi dan harga yang

    terjangkau. Mobil itu kemudian disebut low-cost green car(LCGC).

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    26/32

    Meski diklaim sebagai mobil yang hemat energi, faktanya mobil LCGC tetap menggunakan

    bahan bakar minyak. Artinya, LCGC masih menggunakan energi fosil. Hal itu akan semakin

    menambah emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim. Bahkan, di lapangan, mobil

    LCGC banyak menggunakan BBM bersubsidi yang memicu jebolnya anggaran negara. Jejak

    ekologi pemerintah SBY yang terburuk adalah penanganan kasus lumpur Lapindo.

    Pengangkatan SBY menjadi Presiden Majelis GGGI tak lebih sekadar keberhasilan sebuah

    proyek pencitraan rezim pemerintahan Presiden SBY justru kerap memproduksi kebijakan

    yang anti-lingkungan hidup. Sayang, organisasi internasional sebesar GGGI kurang cermat

    melihat kasus-kasus lingkungan hidup di Indonesia sebelum mengangkat SBY menjadi

    presiden majelis organisasinya. *

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    27/32

    Insaf

    Jum'at, 10 Oktober 2014

    Irfan Budiman, @papaipang

    Pelatih Persija Jakarta, Benny Dollo, dan pelatih Persib, Djadjang Nurdjaman, punya nama

    panggilan yang lucu. Reporter yang sering memandu pertandingan di sepak bola televisi yang

    sering berteriak-teriak sendiri ketika gol terjadi, atau malah tak ada gol, kerap menyebut

    Benny dengan panggilan "Bendol" alias kependekan dari namanya. Pun dengan Djadjang

    yang kemudian terdengar manis bin romantis dengan nama "Janur". Janur alias daun kelapa

    muda selalu terlihat dalam acara pesta pernikahan.

    Akronim bukanlah hal yang aneh. Bagi kita, hal itu sudah amat umum. Nama pahlawan

    nasional Oto Iskandar Di Nata yang dijadikan nama jalan kemudian malah dikenal dengan

    sebutan "Otista". Tak aneh bila singkat-menyingkat pun melanda sepak bola--olahraga paling

    populer di negeri ini.

    Tapi, satu yang janggal hal ini tak menyergap Indra Sjafri. Padahal, dia merupakan pelatih

    paling terkenal dan yang sukses di negeri ini, saat ini. Namun, ternyata namanya tetap steril

    akronim. Dia tetap dipanggil "Indra" atau "Coach Indra". Padahal, bila mengikuti pola

    Bendol dan Janur, dia bisa saja mendapat julukan "Insaf".

    Insaf memang terdengar kurang menyenangkan. DalamKamus Besar Bahasa Indonesia,

    "insaf" berarti sadar atau bisa juga berarti menyadari kesalahan yang pernah dilakukan. Kata

    "insaf" memang sering kali bermakna kurang baik.

    Meski tak pernah ada sebutan "insaf" bagi Indra Sjafri, sesungguhnya apa yang dilakukan

    Indra bersama timnas U-19 adalah sebuah upaya memperbaiki berbagai kesalahan yang

    dilakukan pengelola sepak bola di negeri ini.

    Banyak buktinya. Tim senior yang tidak pernah menjadi juara, ternyata di tangan Indra,

    memunculkan anak-anak muda yang berhasil mempersembahkan Piala AFF untuk usia di

    bawah 19 tahun, tahun lalu. Tak lama kemudian, saat lagi-lagi tim senior kita tak mampu

    lolos ke Piala Asia, malah anak-anak remaja itu lolos, bahkan menjadi juara grup, dengan

    mengalahkan Korea Selatan.

    Indra telah menjawab bagaimana cara mendapatkan para pemain yang bagus untuk timnas

    negeri ini. Caranya, mencari hingga ke pelosok negeri. Meniru istilah yang populer saat ini,

    dia blusukandemi mendapatkan pemain yang dicari. Hasilnya, Indra berhasil mengumpulkan

    pemain-pemain dengan talenta yang bagus.

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    28/32

    Popularitas anak-anak muda ini tak bisa dimungkiri sedang menjulang. Tapi, mereka

    bukanlah para pemain senior yang pada Piala AFF 2010 lalu bisa dibawa-bawa ke beberapa

    tokoh untuk sekadar makan dan berfoto bersama. Jangankan itu, untuk sekadar menjadi

    bintang iklan, pintu itu sudah tertutup.

    Nanti sore, anak asuh Indra Sjafri akan turun ke gelanggang untuk mempertaruhkan nama

    Indonesia melawan Uzbekistan. Namun, Indra tak mau sekadar berangkat ke Myanmar

    dengan dalih semata untuk mendapatkan pengalaman. Tapi, dia menggelegarkan semangat

    anak asuhnya untuk bisa sampai ke babak semifinal guna lolos Piala Dunia tahun depan.

    Tidak ada jaminan target atau harapan ini bisa terwujud. Namun, Indra Sjafri--atau bisa

    disingkat dengan Insaf--sesungguhnya telah melakukan banyak hal yang menjadi koreksi di

    ranah sepak bola negeri ini. Tampil dalam Piala Asia, U-19, sudah menjadi persembahan

    istimewa dari tim nasional negeri ini untuk para pendukungnya yang sudah lama haus

    kemenangan.

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    29/32

    FPI dan Landasan Dakwah Habib

    Jum'at, 10 Oktober 2014

    Husein Ja'far Al Hadar, Penulis

    Sejak awal masa Islam, Yaman menempati posisi penting di mata Nabi Muhammad. Karena

    itu, ketika Imam Ahmad al-Muhajir (820-924 Masehi) justru memilih berhijrah ke "kawasan

    kosong" (empty quarter), yang dulunya dikenal dengan nama Wadi Hadhramaut (lembah

    Hadhramaut, Yaman) yang tandus dan tak strategis itu, keputusan itu diyakini dan disebut-

    sebut mengandung sebuah rahasia (asrar) besar. Dan ternyata, memang dari sanalah salah

    satu arus dakwah Islam berbasis damai, cinta kasih, dan akulturatif bergerak ke kanan hinggaAsia Tenggara (khususnya Indonesia). Ini berbeda dengan arus dakwah Islam ke kiri (sampai

    Andalusia, Eropa) yang cenderung bercorak perang, penaklukan, politis, dan melawan jejak

    sejarah dan budaya Yahudi-Kristen yang telah ada sebelumnya.

    Dakwah dari Hadhramaut itu dibawa oleh kalangan habaib(jamak dari kata habib), yakni

    keturunan Nabi Muhammad. Dari segi morfologi (sharf) saja, habib berarti "yang dicinta"

    (obyek-maf'ul) atau "yang mencinta" (subyek-fail). Sebab, cinta menjadi roh dakwah Islam

    yang dibawa para habibyang berbasis Thariqah 'Alawiyah, ajaran praktis tasawuf yang

    dipegang dan diajarkan secara turun-temurun oleh para habib, serta menjadi pedoman

    dakwah mereka.

    Ajaran cinta dan damai yang menjadi roh dakwah Islam para habibitu telah diteguhkan sejak

    awal oleh Faqih al-Muqaddam--pendiri Thariqah 'Alawiyah--dengan simbolisasi upacara

    pematahan pedang di depan para pengikutnya sebagai bentuk ditinggalkannya metode

    kekerasan dalam dakwah Islam. Itulah yang kemudian menjadi landasan (platform) dakwah

    Islam kalangan habibhingga kini.

    Platform itu pun didasarkan pada sikap Sayyidina Ali yang dalam situasi tersulit sekalipun,

    yakni menghadapi brutalitas kekerasan kaum Khawarij, tetap konsisten pada jalur damai(tahkim). Itu pula yang diperlihatkan Faqih al-Muqaddam dan generasi awal para habibdi

    Hadhramaut yang tetap pada jalur damai, meskipun menghadapi brutalitas kekerasan

    'Ibadiyah (sekte Khawarij) ataupun kaum Qaramithah yang sangat kejam dan barbar. Rumus

    mereka, yakni amar ma'rufdan nahi munkar, tak akan bisa tegak dan sukses tanpa jalur

    damai yang berbingkai rahmat dan cinta.

    Sebagaimana dikemukakan pengamat seperti Mark Woodward (Arizona State University,

    penulisIslam in Java) dan Engseng Ho (Duke University, penulis The Graves of Tarim),

    platform dakwah para habib itu juga bersifat inklusif, sebagai pengejewantahan rahmat-Nya.

    Ini terlihat hingga kini, di mana para habib itu biasanya menerima murid tanpa melihat latar

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    30/32

    belakang atau kelas sosialnya: dari preman hingga kalangan pinggiran. Adapun naluri

    "kekerasan" yang mungkin ada pada mereka justru diarahkan oleh para habib itu kepada

    mujadalah dalam tradisi tasawuf, yakni pelumpuhan nafsu-nafsu rendah. Adapun dalam

    konteks politik, sesuai dengan platform, para habibitu biasanya cenderung menjaga jarak,

    walau juga tetap menjaga pengaruhnya sebatas untuk kepentingan (maslahat) dakwah danumat.

    Itulah platform dakwah Islam para habibyang kian terasa absen di Front Pembela Islam

    (FPI). Platform itu sudah jelas secara konseptual dan teruji secara praktis dalam kondisi

    tersulit sekalipun. Dengan demikian, tak ada landasan untuk tak kembali pada khitahplatform

    itu.

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    31/32

    Seni Rupa dan Parlemen

    Sabtu, 11 Oktober 2014

    Asikin Hasan, Kurator seni rupa

    Gedung parlemen Australia di Canberra adalah ruang pamer. Gedung ini dibangun untuk

    pendidikan dan pengetahuan publik tentang orang-orang dan cara kerja di lembaga legislatif.

    Tak ada sepotong pagar pun menutupi gedung wakil rakyat itu. Gedung ini seperti dua tangan

    terbuka lebar yang hendak menyambut kedatangan siapa saja.

    Di bagian depan dimulai dengan pemandangan kolam berair jernih, mengalir, dan

    menyejukkan. Di bagian atap gedung terhampar rumput dengan pemandangan lepas langitbiru dan Kota Canberra yang asri. Kita dibawa ke dalam wisata arsitektur modern,

    merasakan tata ruang yang harmonis, mempertimbangkan dengan cermat skala antara

    manusia, gedung, dan lingkungan alam yang hijau.

    Di dalam gedung itu pula, keingintahuan kita tentang sejarah dan dinamika konstitusi

    Australia dijawab tuntas sampai ke akar tunjangnya, yaitu Magna Charta, dasar konstitusi

    yang berasal dari Inggris (1215). Perangkat audio-visual siap membantu pengunjung untuk

    mengetahui pelbagai hal mengenai kabinet, anggota senat, dan DPR. Kita bisa menelusuri,

    misalnya, profil para senator, lengkap dengan pendidikan dan pengalamannya. Begitu pulaprofil Kementerian Kesenian dalam kabinet Tony Abbott. Namun potongan informasi

    mengenai kabinet yang sedang berkuasa tampak tenggelam di tengah dalamnya lautan

    informasi dan dinamika mengenai sejarah konstitusi Australia.

    Penataan ruang pamer yang sangat memperhitungkan irama, jarak pandang, dan tata cahaya

    memudahkan para pengunjung untuk mengikuti satu demi satu materi pameran. Kualitasnya

    setara dengan pameran di Galeri Nasional, Museum Nasional, dan Galeri Seni Rupa

    Kontemporer yang tersebar di Australia.

    Saban hari, ribuan orang mengalir ke gedung itu, termasuk para pelajar yang didampingiseorang tutor. Para pengunjung bisa mengikuti perdebatan anggota legislatif dari atas balkon,

    membaca transkrip pidato, keputusan-keputusan parlemen, foto-foto kegiatan para senator

    yang ditata sangat menarik, dan video proses pembangunan gedung parlemen pada 1981-

    1988 itu. Yang lain bisa melihat sederet lukisan, patung, obyek yang bertali-temali dengan

    ide konstitusi, kepemimpinan, dan keaustraliaan. Lukisan para perdana menteri dipajang

    berderet pada dinding panjang. Sebuah tapestri raksasa menggambarkan hutan Australia

    tampak monumental dalam sebuah aula besar, dibangun berdasarkan lukisan Arthur Boyd,

    pelukis terkenal Australia. Karya-karya itu digunakan untuk mempertajam kepekaan rasa dan

    memperkaya pengalaman visual, terutama orang yang bekerja di situ. Bayangkan, gedung

    parlemen itu memiliki koleksi lebih dari 4.000 karya seni rupa.

  • 8/11/2019 Caping+Kolom Tempo 5.10.2014-11.10.2014

    32/32

    Sekalipun tak menyebut diri museum atau galeri, gedung rancangan arsitek Romaldo

    Giorgola itu telah memainkan peran tersebut. Rancangan yang menggabungkan pelbagai

    fungsi dan guna itu adalah revolusi terkini dalam dunia arsitektur. Keberadaannya pada satu

    sisi memberi informasi seluas-luasnya kepada publik mengenai arsip, dokumentasi, dan

    kualitas lembaga legislatif. Di sisi lain, gedung ini berperan mengingatkan anggota legislatifitu sendiri agar melahirkan keputusan berkualitas. Sebab, semua produk lembaga tersebut

    tersimpan rapi dalam mesin arsip, dan akan diolah oleh tim kurator independen guna menjadi

    karya di ruang pamer.

    Selaku perpanjangan tradisi Eropa, Australia menempatkan seni rupa sebagai wacana

    intelektual, bukan sebagai hiburan dan hiasan. Di situ pula museum selaku rumah bagi seni

    rupa memiliki peran strategis dan terhormat. Mereka percaya bahwa seni rupa adalah salah

    satu jalan untuk membangun karakter, dan cara berpikir manusia modern: mandiri,

    berkeadaban, jujur, dan toleran, yang diharapkan hadir pula pada perilaku anggota legislatif.

    Saya jadi mengerti ketika mengobrol dengan Senator Brett Mason (Sekretaris Parlemen untuk

    Kerja Sama Luar Negeri) dalam pembukaan pameran "Masters of Modern Indonesian

    Portraiture" di National Portrait Gallery, Canberra. Ia begitu antusias membicarakan lukisan-

    lukisan maestro Indonesia dan memperlihatkan kekagumannya kepada S. Sudjojono, Affandi,

    Agus Jaya, yang pada era 1940-an dapat melahirkan karya-karya hebat. Ia dapat membaca

    makna kuratorial pameran, dan melihat relasinya dengan perubahan sosial-politik di

    Indonesia.

    Bayangkan sekiranya gedung DPR/MPR di Senayan sejak dulu dirancang bukan semata

    sebagai kantor para legislator yang eksklusif, tapi juga berfungsi sebagai museum publik

    seperti di Australia. Dengan demikian, kita dapat menemukan jawaban-jawaban besar dari

    keputusan-keputusan besar yang masih gelap. Misalnya, Pidato NawaksaraBung Karno

    yang ditolak oleh parlemen. Sistem multipartai pada 1955 yang menimbulkan ketegangan

    politik, dan muncul kembali pada masa reformasi hingga hari ini. Pertanyaan tentang para

    politikus partai politik yang sama-sama menyanyikan Indonesia Raya tapi menolak Pancasila

    selaku dasar ideologi partainya. Juga, sampai kapan DPR menghabiskan waktu dan uang

    rakyat hanya untuk amendemen UUD yang justru berulang-ulang kali pula menimbulkan

    keguncangan sosial, ekonomi, dan politik? Tentu masih banyak pertanyaan besar lainnya. *