Top Banner

of 21

caping 16.12.2013-13.1.2014

Jun 04, 2018

Download

Documents

ekho109
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 8/13/2019 caping 16.12.2013-13.1.2014

    1/21

    Pesawat RI 1Minggu, 15 Desember 2013 | 00:57 WIB

    Putu Setia

    Tak lama lagi, Maret tahun depan, pesawat kepresidenan yang supermewah datang. Jenisnya Boeing

    Business Jet 2 Green atau lebih keren disebut Boeing 737-800 BBJ-2. Kalau tak juga paham, ya, tak usah

    bertanya. Saya juga tak paham. Pesawat ini bukan buatan Bandung.

    Bayangkan saja yang gampang. Pesawat ini punya kamar tidur besar, ada ruang tamu, ada ruang istirahat,

    ada kamar mandi dengan pancuran. Itu khusus untuk presiden dan keluarganya. Di belakangnya ada kursi-

    kursi penumpang yang bisa diselonjorkan jadi tempat tidur. Lalu ruang rapat, ruang olahraga, dan beberapa

    toilet. Tak disebutkan apakah di ruang istirahat ada sarana karaoke, maklum presiden kita gemar

    menyanyi.

    Harga pesawat ini US$ 91,2 juta atau sekitar Rp 820 miliar. Lebih murah daripada membangun pusat

    olahraga Bukit Hambalang yang telantar itu. Bahwa masih banyak rakyat yang miskin, murid-murid

    belajar di bangunan yang hampir roboh, dan korban berjatuhan di persimpangan kereta api, itu urusan

    gubernur. Pesawat ini urusan presiden.

    Siapa yang akan memakai? Kalau yang membeli, saya tahu: Presiden Yudhoyono. Setidaknya, di masa

    beliau pesawat dibeli, dibayar, dan datang-kalau sesuai dengan rencana. Inilah jasa besar Pak SBY setelah

    dua periode memimpin bangsa ini menyiapkan motor mabur yang layak untuk penggantinya.

    Yang jelas, sepertinya SBY tak akan menikmati pesawat ini. Pesawat datang bulan Maret saat kampanye

    yang riuh. Bulan April pemilu legislatif. Setelah itu, pemilu presiden. SBY sebagai ketua umum partai

    tentu sibuk kampanye dan pastilah malu menggunakan fasilitas negara. Untuk pergi ke luar negeri supaya

    bisa menikmati pesawat ini, rasanya mengada-ada di tengah keributan-setidaknya situasi politik panas-di

    antara pemilu legislatif dan pemilu presiden. Kalau pesawat itu hanya dibawa terbang ke Bali-dibuat

    seminar dadakan agar bisa mengundang Presiden-sepertinya mubazir. Belum sempat SBY tiduran, eh,

    sudah mendarat. Kapan menikmati pancuran?

    Pengganti SBY, kalau melihat calon presiden yang sudah dideklarasikan, tak ada masalah dengan pesawat

    ini. Mereka bisa menyesuaikan diri dengan kemewahan. Yang jadi masalah, kalau Joko Widodo, yang saat

    ini Gubernur DKI Jakarta, yang terpilih menggantikan SBY-itu kalau PDI Perjuangan mau mencalonkan-apakah Jokowi nyaman di pesawat yang ternyaman ini?

    Presiden Jokowi pasti tetap blusukan di negeri yang luas ini. Ia pasti akan melihat sungai-sungai tanpa

    jembatan di Banten, ia akan pergi ke petani sawit yang tanahnya tergusur tambang batu bara di Kalimantan

    dan Sulawesi, ia akan melihat bagaimana alam Papua terkuras sementara daerah itu tak pernah dibangun

    dengan baik. Saya menduga Presiden Jokowi akan lebih banyak blusukan ke Nusantara, untuk melihat apa

    yang dirasakan rakyatnya, dibanding berpidato ke mancanegara. Pertanyaannya tentu: apakah Jokowi akan

    memakai pesawat supermewah itu? Bagaimana pesawat itu mendarat di bandara kecil? Kapan Jokowi akan

    tidur nyenyak dalam pesawat kalau penerbangan paling lama tiga jam? Lalu, kapan olahraga dalam

    pesawat untuk mencari keringat agar bisa mandi di pancuran? Yang paling bingung, saya membayangkan

  • 8/13/2019 caping 16.12.2013-13.1.2014

    2/21

    apakah baju Jokowi yang seharga Rp 70 ribu dan dibeli di Pasar Klewer itu tidak terbanting oleh

    kemewahan pesawat?

    Andai Boeing 737-800 BBJ-2 belum jadi, saya setuju pesawat ini ditunda sampai rakyat miskin berkurang

    dan anak-anak belajar di gedung yang kokoh. Syukur kalau tak jadi dibeli. Ini membuat nyaman presiden

    mendatang, juga enak untuk Pak SBY yang capek membeli pesawat tapi tak sempat menggunakan.

  • 8/13/2019 caping 16.12.2013-13.1.2014

    3/21

    GilaMinggu, 12 Januari 2014 | 00:55 WIB

    Putu Setia

    @mpujayaprema

    Pemilihan umum makin dekat dan orang-orang pada sibuk. Ada yang sibuk membuat baliho

    sembari mencari pohon di pinggir jalan yang belum digelayuti peraga kampanye. Ada yang sibuk

    mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi dengan target pemilu legislatif dan pemilu

    presiden disatukan. Ada yang sibuk nge-tweet, menjelek-jelekkan calon tertentu, dan

    mempromosikan calon yang dijagokannya. Para menteri pun sibuk, terutama yang dari partai

    politik atau yang ikut konvensi calon presiden. Urusan elpiji, pengungsi Sinabung, tanah longsor,

    diabaikan.

    Kepala Rumah Sakit Jiwa Menur, Surabaya, juga sibuk. Rumah sakit ini sedang menyiapkan 300

    tempat tidur dan 10 kamar paviliun untuk mengantisipasi pasien gila setelah pemilu. Menurut

    Direktur Utama RSJ Menur dr Adi Wirachjanto, pengalaman Pemilu 2004 dan 2009 cukup

    memberi bukti, banyak orang gila setelah pencoblosan selesai. "Pengalaman yang sudah-sudah

    menunjukkan hal itu,'' katanya.

    Siapa yang akan gila? Para caleg yang gagal menjadi anggota Dewan. Astaga, kenapa hal itu

    bisa terjadi? Karena mereka mempertaruhkan uang yang tidak sedikit, dan uang itu diperoleh

    dengan berbagai cara. Dari cara yang halal (menjual perhiasan istri dan menjual warisan)sampai cara berutang. Bahkan, di Kalimantan Timur, ada caleg yang tertangkap karena

    merampok untuk mencari biaya kampanye.

    Para caleg ini sebenarnya sudah "gila" sebelum pemilu dimulai. Dalam otak mereka, uang yang

    dihamburkan sekarang ini akan kembali dalam satu tahun masa jabatannya sebagai anggota

    Dewan. Masa jabatan empat tahun setelahnya, sudah berarti keuntungan. Mereka tahu gajinya

    "belum kembali modal", tapi fasilitas sana-sini plus saweran sudah dihitungnya dengan cermat:

    amat banyak. Menjadi anggota Dewan di provinsi atau kabupaten, hanya dengan memainkan

    dana bantuan sosial saja, sudah jadi kaya.

    Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) punya data. Pada Pemilu 2009, ada 7.376 caleg

    gagal yang gila. Data diambil dari Kementerian Kesehatan. "Gila karena gagal. Bahkan ada yang

    sampai bunuh diri," ujar Wakil Sekjen KIPP Jojo Rohi.

    Jadi, layak kalau rumah sakit jiwa di berbagai kota lain juga dikabarkan ikut mengantisipasi

    pasien gila pasca-pemilu. Persaingan caleg makin ketat, uang yang harus disediakan makin

    banyak. Ditambah lagi bermunculan "tim sukses dadakan" yang mengompori caleg agar aktif

    berkampanye, memasang baliho dan mencetak baju kaus sebanyak-banyaknya. Di kampung

    saya, banyak anak muda yang jadi "tim sukses dadakan" hanya supaya bisa menjual bambu

    untuk memasang baliho.

  • 8/13/2019 caping 16.12.2013-13.1.2014

    4/21

    Para caleg juga saling serang. Anwar Fuadi, aktor sinetron yang "mendadak nyaleg", mengecam

    caleg yang hanya berpendidikan SMA dan miskin. Argumentasinya, sudah pendidikan rendah,

    miskin pula, bagaimana bisa menambah wawasan, bukankah nanti anggota Dewan menyeleksi

    pejabat-pejabat yang bergelar doktor? Fuadi dikecam, bahkan di Banten muncul "ikatan caleg

    miskin" yang meminta Anwar Fuadi meminta maaf.

    Saling jegal seperti ini marak di daerah-daerah. Betul-betul gila. Partai politik bukan hanya tak

    berhasil mencerdaskan masyarakat, mencari kader yang "normal" saja sulit. Hasil pemilu nanti

    sudah bisa ditebak. Para anggota Dewan terpilih adalah mereka yang "gila" (dalam tanda petik,

    yang bisa berarti gila kekuasaan, tak tahu apa yang dikerjakan, dan sebagainya), sementara

    yang gagal betul-betul gila dan menghuni rumah sakit jiwa. Seharusnya ada lembaga

    independen yang memantau para caleg "normal" dan mengumumkan ke masyarakat, hanya

    mereka yang layak dipilih.

  • 8/13/2019 caping 16.12.2013-13.1.2014

    5/21

    PetasanSabtu, 04 Januari 2014 | 23:27 WIB

    Toriq Hadad

    @thhadad

    Selamat tahun baru. Konon tahun yang kita masuki ini adalah Tahun Kuda Kayu. Orang-orang

    yang ber-shio kuda, menurut budaya Tionghoa, biasanya tangkas, berpikiran bebas,

    independen, dan pintar mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu. Aktor laga Jackie

    Chan, investor dan spekulator George Soros, serta mantan wapres Jusuf Kalla, termasuk yang

    ber-shio kuda.

    Percaya atau tidak, tak jadi masalah. Tak perlu pula dipersoalkan cara kita menandai malam

    pergantian tahun ini. Mau berzikir semalam suntuk, itu baik dan terpuji. Berdoa memuliakan

    Tuhan bisa dilakukan kapan saja, termasuk di malam pergantian tahun. Mau nonton musik,

    berjoget sampai pagi, itu juga hak asasi. Hasrat orang mengejar bahagia, tanpa mengganggu

    yang lain dan tanpa melawan hukum, sama sekali tak boleh dihalangi.

    Saya memilih bersarung di rumah malam itu. Badan meluang, tulang-tulang rasanya copot--

    meniru lagu Benyamin S. di tahun 70-an. Tapi niat tidur lebih cepat malam itu berantakan.

    Gara-gara menonton televisi, kantuk saya lenyap mendengar laporan penggerebekan "teroris" di

    Graha Ciputat. Tempat itu letaknya bertetangga dengan kecamatan tempat saya tinggal. Tapi

    bukan itu yang mengganggu saya.

    Setiap kali polisi menyerbu mereka yang disebut "teroris" itu, saya selalu miris. Bukan tak

    percaya cerita penyerbuan versi polisi. Tapi wartawan seharusnya selalu melakukan check dan

    re-check. Keterangan dari satu pihak wajib di-cross check dengan pihak lain agar lebih

    mendekati kebenaran. Susahnya, dalam hal "teroris", hampir semua keterangan datang hanya

    dari satu pihak, yaitu polisi.

    Saya tak meragukan kesungguhan polisi bekerja. Polisi juga mempertaruhkan nyawa

    menghadapi kelompok "teroris" itu. Tapi wartawan biasanya tak mewawancarai korban hidup

    atau keluarga mereka yang diburu itu. Keterangan satu pihak itu menyebabkan berita tak

    seimbang. Bahasa jurnalistiknya, tidak cover both sides. Maka, selama wartawan belum bisa

    meliput kedua sisi, saya memilih menuliskan dalam tanda petik: "teroris".

    Di layar kaca, pada malam tahun baru itu, setiap kali wartawan televisi melaporkan terdengar

    suara tembakan, saya tak bisa membedakan suara itu dengan bunyi petasan meledak. Maklum

    saja, malam itu suara senapan menyalak seperti senyap ditelan ledakan ribuan petasan. "Pesta"

    petasan tahun ini terasa lebih hebat daripada tahun-tahun sebelumnya.

    Di kampung saya saja, sejak dua jam menjelang tengah malam, petasan aneka rupa sudah

    bersahut-sahutan di angkasa. Harga satu petasan yang bisa menaburkan bintang di udara

    berkisar seratus sampai dua ratus ribu. Mungkin di seluruh Kecamatan Pamulang saja sudahlebih dari seratus juta rupiah dibakar pada malam tahun baru itu. Berapa banyak uang

  • 8/13/2019 caping 16.12.2013-13.1.2014

    6/21

    dihanguskan semalaman itu di Tangerang Selatan, di seluruh Banten, di Jakarta, di seluruh

    provinsi Indonesia? Bisa-bisa jumlahnya puluhan atau ratusan miliar rupiah.

    Rupanya, sulit menghapus tradisi bakar petasan yang sudah begitu mengakar ini. Pemerintah

    VOC Belanda, menurut majalah Historia, pada 1650 pernah melarang karena hampir sama

    suaranya dengan senapan "pemberontak". Presiden Soeharto pada 1971 juga hanya

    mengizinkan petasan "cabe rawit". Larangan terbit setelah Gubernur Jakarta Ali Sadikin

    menyulut berton-ton petasan menandai pergantian tahun itu. Sial, korban berjatuhan malam itu,

    beberapa sampai tewas. Toh, dengan berjalannya waktu, larangan itu luntur.

    Sampai sekarang, kalau ada sunatan atau perkawinan, si empunya hajat akan membakar

    petasan. Semakin kaya yang punya gawe, semakin panjang mercon yang dibakar. Dulu, di

    Tiongkok, petasan menandai awal pertunjukan ketangkasan silat. Sekarang, di sini, petasan

    dibakar demi gengsi sang sahibul hajat. Mungkin juga sebagai tanda bersyukur lantaran mampu

    menggelar hajatan.

    Tapi di akhir malam 2013, dengan ekonomi yang jauh merosot dari tahun sebelumnya, tak ada

    yang perlu kita syukuri dengan membakar mercon. Barangkali meledakkan petasan lebih cocok

    dianggap cara buang sial atas apa yang terjadi pada 2013. Setelah sial dibakar habis dengan

    ongkos selangit, semoga tak ada lagi menteri, gubernur, orang-orang terhormat, yang masuk bui

    akibat korupsi di tahun baru ini.

  • 8/13/2019 caping 16.12.2013-13.1.2014

    7/21

    Tokoh 2013Sabtu, 28 Desember 2013 | 23:46 WIB

    Putu Setia

    Mumpung liburan, saya berkesempatan ngobrol santai bersama Romo Imam. Topik yang ingin saya mintai

    komentarnya adalah siapa tokoh yang layak ditulis tahun 2013. "Ya, siapa lagi kalau bukan Susilo

    Bambang Yudhoyono, orang pertama di negeri ini," kata Romo Imam.

    Saya terkesiap. Padahal sebelumnya sudah saya jelaskan, tokoh yang mau saya tulis harus kontroversial,

    bukan pejabat yang lurus-lurus saja seperti presiden, wakil presiden, menteri, dan sebagainya. "Lo, SBY

    sebagai presiden juga kontroversial," jawab Romo. "Beliau kan sudah menerbitkan perpu untuk

    menyelamatkan Mahkamah Konstitusi, lalu perpu itu lolos di DPR sebagai undang-undang. Tapi, ketika

    keppres yang mengangkat hakim MK Patrialis Akbar dibatalkan pengadilan tata usaha negara, kenapa

    SBY mau banding. Mestinya diterima sembari mengucap syukur alhamdulillah, karena sekalianmengangkat hakim-hakim MK yang baru. Patrialis Akbar sudah tak layak jadi hakim MK, karena

    syaratnya harus tujuh tahun meninggalkan partai. Patrialis masih bau partai, buktinya partainya juga

    mengusulkan presiden banding."

    "Tak berminat?" tanya Romo. "Bukan tak berminat," jawab saya cepat. "Saya takut menulis, kalau salah

    nanti saya disomasi pengacara SBY. Sudah dua orang kena somasi, saya tak mau jadi orang ketiga. Tokoh

    lain saja Romo."

    Romo mengambil sirih-kami memang bukan perokok. "Kalau Ketua Umum Demokrat tidak, bagaimana

    kalau Ketua Umum Golkar, Pak Ical alias ARB? Pasti tak berminat juga. Romo tahu ada ungkapan disekitar ARB yang perlu diluruskan. ARB itu katanya ibarat cinta, semakin dipaksakan semakin tidak

    diterima."

    Romo tertawa, lalu mengulum sirih. Saya ikut tertawa, tanpa komentar. Romo melanjutkan: "Yusril Ihza

    Mahendra bagus ditulis, Majelis Syuro Partai Bulan Bintang. Dia tokoh paling berani menggugat pemilu

    legislatif dan pemilu presiden. Dia betul, tak ada di konstitusi yang menyebut syarat pengajuan presiden

    dan wakil presiden harus memperoleh suara tertentu. Yang berhak mengajukan pasangan calon presiden-

    wakil presiden adalah partai atau pasangan partai peserta pemilu. Dan Yusril merasa sendirian karena

    tokoh lain terganggu oleh ulahnya ini, meskipun diam-diam semua setuju untuk masa depan negeri."

    Saya pura-pura berpikir. "Menulis Yusril juga sulit, meski saya setuju dengan ulah dia. Bahkan banyak

    pemikiran Yusril yang saya sepakati dalam menata negara ini. Tapi nama partainya ada bulan ada bintang,

    benda-benda di langit. Eksklusif. Saya maunya simbol yang ada di bumi, yang akrab dilihat orang desa."

    "Ya, banteng moncong putih," Romo kembali tertawa. "Tulis Ibu Mega, kalau berani. Dugaan Romo, dia

    tak akan men-capres-kan Jokowi sebelum pemilu. Setelah pemilu, dia berhitung, kalau suara PDIP di atas

    20 persen, dia akan maju dan Jokowi dijadikan cawapres. Kalau kurang-kurang sedikit dan PDIP harus

    berkoalisi, dia lihat lawannya. Kalau cuma yang itu-itu saja, Mega akan berani tampil dan menggandeng

    cawapres dari partai 'penggenap suara'. Jokowi jadi tim sukses andalan. Kalau suara PDIP kurang banyak,

    ya, apa mau dikata. Jokowi jadi cawapres mendampingi capres dari Gerindra sesuai dengan kesepakatan

    Batutulis. Ada pendapat?"

  • 8/13/2019 caping 16.12.2013-13.1.2014

    8/21

    Saya tahu Romo menantang. "Saya tak punya pendapat, kecuali kasihan pada Jokowi." Romo menyahut:

    "Kalau begitu, tulis Jokowi saja, tokoh ini unik. Semakin hari semakin kelihatan ada ambisi di saat

    pernyataan tanpa ambisi. Ia pura-pura tak mikir, entah jika itu strategi. Atau menulis tokoh lain lagi?"

    "Tidak, Romo," cepat saya jawab. "Kolomnya sudah habis, ini saya lagi menulis."

  • 8/13/2019 caping 16.12.2013-13.1.2014

    9/21

    IbuSabtu, 21 Desember 2013 | 23:52 WIB

    Putu Setia

    Saya persembahkan tulisan ini dengan setulusnya kepada para ibu, dan perempuan-perempuan

    yang akan menjadi ibu. Begitu mulianya seorang ibu, bahkan ajaran agama menempatkan kaum

    ibu sebagai manusia yang terhormat. Jika kita ingin tahu di mana letak surga, maka kita harus

    sungkem kepada ibu. Dengan posisi sungkem itu, kita pun bisa melihat telapak kaki ibu. Nah, di

    sanalah surga.

    Surga tidak terletak di tubuh para lelaki. Surga dibawa ibu, tetapi tidak diletakkannya di dalam

    tas, meski mereknya Hermes. Tak pula di gelang berlian atau arloji yang harganya ratusan juta

    rupiah. Karena ibu membawa surga, ia harus membagi perhatiannya kepada suami, kepada

    anak dan cucu. Jika ada anak-anaknya yang setiap hari bersekolah melewati jembatan gantung

    yang bergoyang, ibu harus membangun jembatan yang kokoh, bukan mempersolek wajahnya.

    Ibu harus mengontrol perilaku suaminya agar bekerja dengan jujur, bukan malah mendorong

    suaminya untuk korupsi. Sang ibu harus sadar kehormatan keluarga begitu penting. Korupsi,

    pelan atau cepat, pasti berujung pada aib yang ditanggung seluruh keluarga. Apalagi jika sang

    ibu yang jadi pejabat dan melakukan korupsi, maka aibnya berkali lipat. Orang bersorak ketika

    ibu itu diangkut dengan mobil tahanan.

    Jika ibu hanya mengurusi rumah tangga, campur tangan ibu dalam pekerjaan sang suami,

    seharusnya juga melekat. Kenapa harus dibantah jika Ibu Negara ikut campur urusan kabinetyang jadi pekerjaan presiden? Tentu campur tangan itu tidak diobral di ruang kantor, karena

    tugas sudah dibagi-bagi. Campur tangan menjelang tidur malam, Ibu Negara berbisik kepada

    Presiden tentang kabinet dan urusan negeri, bukankah itu wajar? Saya sendiri menjelang tidur

    pernah dibisiki oleh ibunya anak-anak: "Sudah mulai tua, menulis yang bijak, jangan menghujat

    seperti dulu."

    Kalau misalnya Ibu Negara berbisik: "Mas, menteri itu sepertinya tak berpihak ke rakyat. Izin mal

    diobral, pasar rakyat tak dibangun. Menteri itu mengajarkan permusuhan, orang sembahyang

    saja dipersulit. Menteri itu kok suka benar impor hasil pertanian, memangnya kita tak punya

    tanah." Dan bisikan selebihnya. Bukankah itu pertanda ada perhatian? Tergantung kemudian

    sang presiden memilah, apakah itu bisikan malaikat atau bisikan setan. Jadi, tak ada gunanya

    membantah bertubi-tubi kalau ada tuduhan Ibu Negara ikut campur urusan presiden, karena

    bantahan itu justru terkesan menutupi sesuatu.

    Suami yang sukses karena ada istri perkasa di sampingnya, itu kata orang. Presiden yang

    sukses tentu karena ada Ibu Negara yang perkasa juga. Namun ada sukses yang negatif. Jika

    suami sukses melakukan korupsi, bisa jadi itu berkat istri yang perkasa, selalu merongrong

    suami dengan permintaan yang konsumtif. Lalu, ketika suami ditahan karena tertangkap tangan

    menerima suap, sang istri hanya bisa menangis sambil menutupi wajahnya dengan kerudung.

    Supaya tak menyesal berkepanjangan, jadilah istri yang mendorong suami untuk bersyukur dan

  • 8/13/2019 caping 16.12.2013-13.1.2014

    10/21

    menasihati suami kalau ada tanda-tanda melakukan perbuatan tak baik. Kalau suami membeli

    mobil dan rumah, tanya dari mana uangnya. Bukan minta jatah mobil lain.

    Istri yang mengantar keluarganya hidup di jalan penuh berkah, itulah ibu yang sejati. Ibu dengan

    predikat mulia. Bumi ini disebut Ibu Pertiwi, bukan Bapak Pertiwi, karena ia menjadi sumber

    kehidupan. Sungguh laknat orang yang memperkosa Ibu Pertiwi, selaknat orang yang

    memperkosa perempuan sebagai calon ibu.

    Kita berutang karena lahir dari rahim ibu. Mari sungkem kepada ibu di hari Minggu ini. Kepada

    ibu yang mulia: Selamat Hari Ibu.

  • 8/13/2019 caping 16.12.2013-13.1.2014

    11/21

    MonumenSenin, 16 Desember 2013

    - untuk Hanung Bramantyo

    Tokoh sejarah rata-rata mati dua kali. Pertama kali ia dimakamkan. Kedua kali ketika ia dibangun

    sebagai monumen. Mandela akan mengalami itu, seperti halnya Sukarno. Sebuah monumen

    berniat mengekalkan, tapi akhirnya membekukan. Sang tokoh akan dianggap telah selesai,

    tinggal dipuja.

    Di tahun 1924 di Rusia, negeri yang menegakkan monumen di hampir tiap kota, satu acara

    resmi dibuka untuk merayakan hari kelahiran Penyair Pushkin, pencipta puisi novel Eugene

    Onegin yang termashur itu. Untuk acara itu Mayakovski menulis sebuah sajak. Pada suatu

    malam, demikian penyair itu bercerita, ia copot patung Pushkin dari pedestalnya di Trevsrakay

    bulvar, Moskow. Ia ajak sang penyair abad ke-19 itu berjalan-jalan, bertukar-pikiran.

    Bagi Mayakovski, tiap monumen, juga yang dibangun untuk dirinya, harus diledakkan dengan

    dinamit. "Begitu benci aku kepada tiap benda mati/Begitu gandrung aku kepada tiap bentuk

    hidup!"

    Tapi ia sendiri mati dua kali. Pertengahan April 1930, penyair berumur 37 itu menembak dirinya

    sendiri. Ditinggalkannya satu catatan: "Jangan salahkan siapapun karena kematianku, dan

    mohon jangan bergosip. Orang yang sudah mati sangat tak menyukai itu..."

    Gosip tak bisa dicegah - juga pertanyaan kenapa Mayakovski bunuh diri. Lunacharski, tokoh

    kebudayaan Revolusi Oktober, seorang penelaah puisi yang jernih pandangnya, berbicara

    tentang dualisme dalam diri dan puisi Mayakovski: yang satu keras bagaikan logam dan yang

    lain lembut. Mungkin akhirnya dualisme itu tak dapat diatasinya lagi. Mungkin ada cinta yang

    gagal. Mungkin Mayakovski -- penyair revolusioner ketika revolusi Rusia sedang

    mengkosolidasikan kekuatannya -- mulai melihat ada yang membeku dalam dirinya -- juga dalam

    tahap revolusi itu.

    Kita tak akan pernah tahu. Mayakovski sudah jadi seorang pemuda komunis yang ditahan polisi

    Tsar pada umur 15. Dengan antusias ia sebut Revolusi Oktober 1917 sebagai "revolusiku". Ia

    melihat awal masa depan yang serba baru.

    Lima tahun sebelumnya, dalam usia 19 tahun, bersama sejumlah seniman lain ia mengeluarkan

    "Manifesto Futuris". Judulnya menantang, "Tamparan ke Selera Masyarakat". Di sana

    dinyatakan bahwa pernyatan itu adalah suara "semangat zaman". Di sana juga diserukan agar

    para sastrawan lama dibuang jauh-jauh. "Lemparkan Pushkin, Tolstoi, Dostoyevski, dll., ke luar

    dari Kapal Modernitas!".

    Mungkin itu cara anak muda cari perhatian: menantang raksasa. Mayakosvki sendiri memulai

    penampilannya ke dunia kesenian dengan muka dicat dan jas panjang warna limun. Tapi di luar

    itu, ia memang berbakat istimewa. Bila ia memakai begitu banyak tanda seru dalam puisinya,bila ia selalu mendamik dada (seperti "aku" Chairil Anwar), ia tak sekedar berteriak minta dilihat.

  • 8/13/2019 caping 16.12.2013-13.1.2014

    12/21

    "Itu dia sukmaku/serpih-serpih mega yang tercabik/di langit yang terbakar/di atas salib berkarat/

    di menara lonceng/".

    Puisi panjangnya di tahun 1915, "Awan dalam Celana", segera mendapat sambutan. Dengan

    cepat ia dapat posisi terkemuka. Ia duta puisi Sovet untuk dunia. Boris Pasternak, yang kelak

    akan menerima Hadiah Nobel untuk novelnya, Dr. Zhivago, punya tilikan yang tajam atas

    Mayakovski yang dikenalnya di tahun-tahun itu.

    Penyair asal Georgia itu, tulis Pasternak, "seorang muda rupawan", dengan "suara seorang

    penyanyi mazmur dan tinju seorang pegulat". Puisinya adalah puisi yang diraut dengan baik oleh

    seorang seniman, nadanya arogan, "diabolik", liar gelap seperti suara setan, dan pada saat yang

    sama nasibnya "telah terpateri, tersesat selamanya, seakan-akan menjerit meminta tolong."

    Pasternak benar: puisi itu tanpa disadari penyairnya tersesat dalam sebuah zaman politik yang

    tak mau memahami keliaran dan kompleksitas kata. Zaman Stalin.

    Desember 1935, datang kematian Mayakovski yang kedua: ketika ia oleh Stalin dinobatkan

    sebagai "penyair terbaik dan paling berbakat di masa Soviet".

    Orang ragu benarkah Stalin menyukai puisinya. Sebab di antara penobatan itu Stalin

    merumuskan doktrin "Realisme Sosialis". Sejak itu, dengan kendali Partai, ekspresi artistik

    ditertibkan. Karya ala Mayakovski, yang sibuk dengan "aku", yang arogan, liar dan gelap, akan

    dianggap "kontrarevolusi".

    Salah satu suara "kontrarevolusi" itu teman kerja Mayakosvki: Meyerhold. Ia sutradara teater

    eksperimental yang karya-karynya mengungkapkan masa yang resah untuk pembaharuan itu.Juni 1939, ia ditangkap. Ia dituduh jadi mata-mata Jepang dan Inggris. -- dan ditembak mati.

    Di antara penangkapan dan kematian seperti itu, Uni Sovet bergema dengan titah Stalin:

    Mayakovski harus dikenang. Tak menghormatinya adalah "sebuah kejahatan". Maka orang pun

    berduyun-duyun membaca sajak-sajaknya di sekolah, di tempat pertemuan, di semua

    kesempatan resmi. Di saat itulah Pasternak, yang menolak untuk diberi sanjungan resmi

    apapun, menulis: Mayakovskiditumbuhkan dengan paksa "seperti kentang di zaman Katerina

    Agung" -- dan itu adalah "kematiannya yang kedua."

    Pada kematian kedua itu, sebuah patung didirikan di Triumfalnaya Ploshchad di Moskow.

    Mayakovski jadi monumen.

    Untunglah cerita tak berhenti. Sebuah monumen tak perlu diledakkan; ia bisa direbut. Sejak

    Stalin mangkat, dan kebekuan kreatif mencair, para penyair dan anak-anak muda menggunakan

    taman di sekitar patung itu untuk membaca sajak -- seakan-akan mereka bercengkerma kembali

    dengan Mayakovski, karena ini Mayakovski mereka, bukan Mayakovski di atas pedestal yang

    ditegakkan seperti berhala.

    Goenawan Mohamad

  • 8/13/2019 caping 16.12.2013-13.1.2014

    13/21

    BerkabungSenin, 23 Desember 2013

    Membaca sejarah, menyusun sejarah, adalah berkabung. Kita menyadari ada kematian. Kita

    menemui yang tak bisa lagi dihidupkan. Kita takziah ke dunia tokoh-tokoh yang tak ada lagi dan

    peristiwa yang tak bisa diulangi. Kita mencoba menghadirkannya kembali tapi pada saat itu juga

    kita tahu, selalu ada yang luput. Bukan karena amnesia.

    Sebuah riwayat, lihat film Soekarno, Lincoln,atau October: Ten Days That Shook the World

    hadir di sebuah layar putih. Dengan kata lain, ia disusun dalam seraut bentuk. Bangunan naratif

    itu menghendaki awal dan akhir. Apa gerangan yang terjadi sebelum awal dan sesudah akhir

    itu? Sang penyusun cerita terpaksa menghilangkannya. Bentuk adalah reduksi yang meringkus

    dan meringkas data yang bertaburan, susup-menyusup, berubah terus, centang-perenang.

    Bentuk itu, kisah sejarah itu, terbangun oleh kenangan, bukan oleh ingatan. Saya membedakan

    ingatan dari kenangan. Yang pertama rekaman pengalaman yang kita bayangkan tersimpan di

    sebuah ruang imajiner dengan label "masa lalu". Ingatan mudah ditata. Kenangan sebaliknya: ia

    tak tertata dalam ruang terpisah. Ia mengalir memasuki masa kini, bagian dari masa kini,

    mengubah secara kualitatif masa kini. Kenangan membikin masa lalu manunggal dengan semua

    masa. Waktu bukan ruang yang terkotak-kotak.

    Tapi para penyusun kitab sejarah membuat arsitektur: cerita mereka terdiri atas bab demi bab,

    sebagaimana sebuah film terdiri atas adegan demi adegan. Keruwetan ditiadakan, bahkan

    dalam karya historiografis yang biasanya tak dianggap "modern". Seperti Syair SingapuraDimakan Api yang ditulis Abdullah bin Abdulkadir Munsyi di abad ke-19: cerita sejarah ini

    disampaikan dalam bentuk puisi, tapi bukan puisi yang ekspresif yang menyeruak acak-acakan

    dari jiwa yang terkena trauma. Syair itu dengan runut bercerita.

    Dengan bentuk serunut itu, menulis sejarah adalah sebuah perkabungan resmi. Sering kali kita

    memerlukannya. Kita telah bersua dengan waktu dan kematian. Kita seakan-akan menyaksikan

    Kronos, dewa waktu dalam mithologi Yunani yang seperti digambarkan dalam sebuah lukisan

    Goya mengerkah anaknya yang hidup. Dan kita gentar.

    Syahdan, di hadapan kita ada dua jalan. Pertama, jalan yang ditempuh Hegel. Filosof Jerman ini

    menampik Kronos. Ia mengukuhkan Zeus, "dewa politik" Zeus yang mengendalikan arus waktu,

    Zeus yang menegakkan stabilitas, Zeus (penguasa di Olimpus) yang membentuk struktur dan

    menegaskan hukum-hukum yang abadi di atas bumi.

    Jalan yang kedua: kita mengakui kematian, namun menolak Kronos dan sekaligus Zeus. Kita

    membangun sebuah narasi yang dekat dengan arus kehidupan yang tak abadi tapi berarti. Kita

    ingin merasakan geraknya, menyentuh dinginnya, menyimak pelbagai partikel yang membuat

    warna dan aromanya. Dengan hasrat itu kita bawa tokoh dan peristiwa yang sudah lewat ke

    tengah masa kini, dan novel, lakon, dan film sejarah pun diproduksi.

  • 8/13/2019 caping 16.12.2013-13.1.2014

    14/21

    Dalam karya-karya itu, alur bergerak dalam "hari yang seakan-akan sekarang". Para

    pembaca Bumi Manusiadibawa ke masa kini Nyai Ontosoroh. Dalam bentuk lakon,

    seperti Sandyakalaning MajapahitSanusi Pane, "hari yang seakan-akan sekarang" bahkan

    datang lebih langsung. Di pentas, sebagaimana di layar putih, para tokoh sejarah hadir di masa

    kini.

    Para sejarawan akan menegaskan, itu bukan bagian historiografi. Tapi barangkali bisa

    didalihkan, sebuah novel (atau sebuah lakon, juga sebuah film) tetap penting karena ia

    menampik Hegel. Dari puncak menara filsafat, Hegel (juga Marx) memandang perjalanan hidup

    manusia dengan angkuh: aku bisa melihat sejarah secara lengkap, aku tahu apa awal dan

    ujungnya.

    Novel menunjukkan bahwa hidup tak bisa disimpulkan dari menara tinggi. Para tokoh novel

    tumbuh dari kancah sejarah: mereka tak akan beroleh gambaran total riwayat mereka sendiri.

    Mereka melangkah, mereka berjuang, tapi selalu meraba-raba jalan. Biarpun mereka tampak ditengah "narasi besar" misalnya dalam perjuangan kemerdekaan sebuah bangsa, hidup mereka

    adalah pelbagai narasi yang "kecil" dan "lokal". Yang mereka ketahui datang sepenuhnya dari

    praxis. Mereka adalah kerja, mereka berkreasi, berproduksi; mereka bukan makhluk teori.

    Tentu teori tentang sejarah diperlukan. Dengan teori bisa kita rumuskan gejala dan kita

    perkirakan arah; dalam sebuah ikhtiar pembebasan, misalnya dalam melawan kolonialisme, teori

    punya peran strategis.

    Namun sang pengusung teori akan salah bila ia membentuk apa yang digambarkan Michel de

    Certeau sebagai "kota panorama". Kota seperti itu tampil sebagai sebuah totalitas, tapi totalitasitu sebenarnya hanya anggitan seorang "dewa-pengintip", kuasa yang hanya tertarik kepada

    keutuhan cerita besar sejarah. Maka diabaikanlah narasi kecil yang tak bisa dicocok-cocokkan

    oleh teori, dan disingkirkanlah apa yang tak terduga-duga. Di "kota panorama", berkuasa sikap

    yang tak mau menyentuh perilaku manusia sehari-hari.

    Seakan-akan datang kematian yang lebih mendasar: yang sehari-hari telah tak lagi punya

    pesona.

    Tapi kita masih punya alternatif. Kita masih bisa berjalan menyusuri kota seperti dalam sebuah

    novel, atau sebuah puisi, atau sebuah film yang mampu memulihkan pesona itu: sebuah jam tuadi dinding, selembar kain warna saga di jemuran, sekilas senyuman dalam hujan. Seakan-akan

    mereka buat pertama kalinya muncul di dunia.

    Kita akan selalu ketemu Kronos dan berkabung, tapi ada hal-hal sepele yang membahagiakan

    kita.

    Goenawan Mohamad

  • 8/13/2019 caping 16.12.2013-13.1.2014

    15/21

    ReligioSenin, 30 Desember 2013

    Agama adalah monster: beberapa dasawarsa menjelang kelahiran Isa Almasih, Lucretius,

    penyair dan pemikir Romawi, menggambarkan religio sebagai makhluk mengerikan yang

    menindas manusia.

    di seluruh negeri,

    hidup manusia rusak terlindas

    di bawah beban berat agama,

    yang menampakkan kepalanya,

    dari lapis langit,

    mengancam manusia yang fana

    dengan wajah yang menakutkan.

    Lucretius menuliskan itu di pembukaan De Rerum Natura ("Tentang Kodrat Benda-benda"). Ia

    menuliskannya ketika Republik Romawi berkecamuk oleh revolusi dan kontrarevolusi, tahun

    145-130 sebelum Masehi.

    Sampai hari ini, kita hampir tak tahu apa-apa tentang Lucretius, kecuali karyanya itu. Kita hanya

    bisa memperkirakan bagaimana suasana dalam periode yang disebutnya sebagai "masa rusuh

    tanah air kita" itu, dan bagaimana agama berperan.

    De Rerum Natura menggambarkan betapa gelap dan gairahnya hasrat manusia untuk masyhur

    dan berkuasa-gelap dan sia-sia. Seraya orang-orang mendaki ke puncak kehormatan, mereka

    selalu dalam bahaya. "Rasa iri, bagaikan sambaran petir, terkadang melontarkan mereka dari

    puncak hingga terperosok ke dasar Tartarus yang busuk."

    Dalam pandangan Lucretius, ambisi dan kecemburuan itu akan berakhir ke titik yang kosong.

    Sisyphus membawa batu berat itu ke puncak, tapi tiap kali batu itu terlontar kembali ke kaki

    gunung. Tiap kekuasaan-seperti ditunjukkan dalam sejarah Romawi-segera berakhir.

    Maka manusia, kata Lucretius, jika harus memilih, sebaiknya "tinggal diam", ketimbang punya

    kuasa dan mahkota.

    Yang hendak ditawarkan Lucretius sebenarnya ajaran Epicurus, seorang pemikir Yunani yang

    dikaguminya. Bagi Epicurus, tujuan hidup adalah kenikmatan, dalam arti yang khusus:

    kenikmatan yang tenang tenteram, justru dengan cara meniadakan hasrat yang berlebihan.

  • 8/13/2019 caping 16.12.2013-13.1.2014

    16/21

    Tapi manusia takut. Ia takut mati. Dalam ketakutan itu-ketakutan yang tak berdasar, sebab mati

    harus diterima sebagai bagian dari hidup-orang-orang menghimpun harta, kalau perlu dengan

    "pertumpahan darah di antara sesama warga". Dengan rakus mereka "menggandakan

    kekayaan", "menumpuk pembantaian di atas pembantaian".

    De Rerum Natura-yang terdiri atas enam buku-ditulis dengan keinginan untuk membebaskan

    zamannya dari semua itu. "Kita harus mengusir ketakutan dalam jiwa ini, kegelapan ini," tulis

    Lucretius, "bukan dengan sinar surya atau anak panah hari yang bercahaya, melainkan dengan

    nalar dan tatapan alam."

    Memakai nalar, menelaah alam: Lucretius, sebagaimana Epicurus, adalah pendahulu ilmu

    modern dan filsafat "serba-zat". Ia menjelaskan terjadinya wabah-yang dilukiskan dengan sangat

    mengerikan di Buku VI-bukan sebagai tulah dari langit, melainkan akibat "partikel-partikel yang

    beterbangan sekitar manusia yang membawa penyakit dan kematian". Baginya, yang ada hanya

    "atom dan kehampaan", zat dan ruang. Atom tak bisa dihancurkan; tiap kehancuran sebenarnyahanya perubahan bentuk. Atom (Lucretius menyebutnya dengan primordia, elementa, atau

    semina) saling bertaut membentuk kombinasi yang tanpa henti, dan bergerak terus-menerus,

    tanpa wujud akhir yang disiapkan.

    Maka kematian bukanlah titik putus. Tak ada akhirat. Neraka ada di dunia ini sebagai akibat

    kebodohan dan keserakahan. Surga ada di dunia dalam bentuk sapientum templa serena, "kuil-

    kuil tenteram para aulia".

    Dari sajak panjangnya, bisa dilihat Lucretius bukan seorang atheis. Tapi baginya Tuhan, atau

    dewa-dewa, tak terlibat dengan hidup kita. Mereka bukan pencipta makhluk, bukan sebab-musabab kejadian. Alam menjalankan roda hidupnya sendiri. Maka tak ada gunanya bersikap

    salih seperti yang dilembagakan agama:

    "Kesalihan bukan karena kita sering menundukkan kepala yang bercadar ke arah batu-batu,"

    demikian tertulis dalam De Rerum Natura. "Bukan karena kita menghampiri semua altar, bukan

    dengan bersujud di kuil para dewa, bukan pula karena kita membasahi altar dengan darah

    hewan korban." Kesalihan adalah kesanggupan kita menatap semua hal "dengan pikiran yang

    damai".

    Pikiran yang damai itu-dengan menghalau "teror dan kemuraman jiwa"-tumbuh bila manusia bisamenangkis "ancaman nabi-nabi". Lucretius menyatakan bahwa ia menulis De Rerum Natura

    untuk "membebaskan pikiran manusia dari belenggu agama yang menjerat".

    Dengan sikap yang seperti itu, tak mengherankan bila berabad-abad kemudian, setelah teks De

    Rerum Natura ditemukan pada tahun 1417, muncul tangkisan demi tangkisan, terutama dari

    Gereja Katolik. Tapi tak mengherankan pula bila pandangannya disambut orang di zaman

    "Pencerahan", yang merayakan kemerdekaan berpikir-sebuah zaman yang, seperti dikatakan

    Kant, didukung Frederick II. Penguasa Prusia ini, yang berteman dengan Voltaire, berkata pada

    tahun 1741: agama adalah "monster kuno".

  • 8/13/2019 caping 16.12.2013-13.1.2014

    17/21

    Tapi agama tak mati-mati. Mungkin karena tak seluruhnya Lucretius benar bahwa agama

    "mengarahkan manusia ke dalam mala dan kekejian". Mungkin karena proyek pencerahan

    Lucretius gagal.

    Pada tahun 1771 Voltaire mengarang surat-menyurat imajiner yang membicarakan penyair

    Romawi itu. Di sana disebutkan Lucretius mati bunuh diri. Kita ingat De Rerum Natura yang

    dibuka dengan semangat berpendar-pendar diakhiri dengan deskripsi suram tentang Athena

    yang kena sampar. Sang filosof tak kunjung menemukan "kuil-kuil tenteram para aulia". Yang ia

    lihat hanya neraka: kebodohan, kerakusan. Meskipun sesekali ada secercah kemerdekaan.

    Goenawan Mohamad

  • 8/13/2019 caping 16.12.2013-13.1.2014

    18/21

    PelanSenin, 06 Januari 2014

    Liquor is quicker

    Ogden Nash

    Saya menyukai pagi: dengan gerimis atau sinar matahari, saya akan berjalan mengikuti bayang-

    bayang pohon sepanjang alur, atau sebaliknya, duduk tiga menit memejamkan mata di depan

    jendela terbuka. Ada sisa harum kemuning yang mekar semalam dan bau daun-daun yang lumat

    di rumput becek. Ada suara burung yang cerewet, ya, pagi adalah suara burung yang cerewet.

    Juga suara tokek, bunyi berat yang sabar satu demi satu, seakan-akan melawan kecepatan

    detik.

    Mungkin saya menyukai pagi karena di sana saya berlindung dari kecepatan detik.

    Meskipun bisa tak bertahan. Sebab jika pada menit berikutnya saya buka laptop, akan

    menghambur apa yang disebut "informasi", ribuan kata, suara, angka, dan gambar yang desak-

    mendesak, singkir-menyingkirkan: kabar dari situs dot.com,salam dan umpatan dan keluhan

    minta perhatian di Twitter, foto-foto pamer diri di Facebook, pesan-pesan sejenak dari teman dan

    orang yang tak dikenal di telepon seluler. Mereka melintas. Mereka tenggelam. Mereka diingat,

    tak lengkap. Mereka mungkin statemen, mungkin salah paham yang bergegas. Mereka

    berubah.

    Di depan laptop, dunia melawan pagi.

    Di depan laptop, di luar iPad, di luar kamar, kita diproyeksikan seolah-olah terancam: makhluk

    yang akan runtuh bila tak bergerak cepat. Klaus Schwab, pendiri World Economic Forum,

    menyebarluaskan kecemasan itu: "Kita bergerak dari sebuah dunia di mana yang besar

    memakan yang kecil ke arah dunia di mana yang cepat menelan yang pelan."

    Saya tak ingin mengamini itu. Kecepatan itu riuh-rendah. Saya lebih menginginkan apa yang

    digambarkan Chesterton sebagai "the gift of loneliness, which is the gift of liberty".Kesunyian itu

    mengandung karunia: kebebasan.

    Tapi memang ada, memang makin banyak, orang yang menampik karunia itu: mereka yang

    waswas bila tak melakukan apa-apa, mereka yang tak mengerti bagaimana duduk dengan mata

    terpejam mendengarkan bunyi hujan dan suara katak di selokan, orang-orang yang mau cepat-

    cepat mengakhiri sunyi, orang-orang yang dikerubuti waktu yang selalu dihitung.

    Saya tak pernah merasa merdeka dengan waktu yang dihitung, bukan karena tiap kali

    dikejar deadline,tapi mungkin karena saya datang dari generasi yang berbeda. Di waktu kecil, di

    malam hari, sambil terbaring di ambin, saya sering mendengarkan suara orang ura-

    uramembawakanWedhatamadalam tembang. Ada kalimat "sepa sepi lir sepah samun"yang tak

    saya pahami artinya tapi saya rasakan sendunya. Saya juga datang dari sebuah masa ketika

    sehabis isya anak-anak tergolek di samping ibu, dibimbing ke mimpi dengan dongeng yangpanjang.

  • 8/13/2019 caping 16.12.2013-13.1.2014

    19/21

    Mungkin sebab itu saya bisa mengerti mengapa Carl Honor berubah. Ia koresponden pelbagai

    surat kabar, antara lain The Economist,yang menulis berita-berita luar negeri. Ia mengejar (atau

    dikejar?) berita dari kota ke kota asing, masuk-keluar bandara dan pesawat, terus-menerus

    menelepon editor dan sumber-sumber berita (dan tak lagi mendengarkan musik di Walkman-

    nya), tak sempat pula bercerita panjang untuk mengantar tidur anak-anaknya.

    Pada suatu saat, ketika ia sedang antre di sebuah bandara, terbaca olehnya sebuah tulisan,

    "The One-Minute Bedtime Story". Eureka! Ia bergembira: akhirnya orang bisa membuat dongeng

    yang cuma satu menit panjangnya. Ia perlu kemudahan seperti itu, sebab ia tak bisa melayani

    permintaan anak-anaknya untuk membawakan cerita yang asyik. Hampir saban malam ia harus

    menulis, mengirim artikelnya, menjawab sur-el, membaca kabar, dan berdiskusi.

    Tapi bagaimana membawakan dongeng Hans Christian Andersen dalam 60 detik?

    Hanya dalam gerak yang pelan, kita bisa menyusuri hidup Si Thumbelina. Sebuah dongeng akan

    mati ketika ia jadi ikhtisar. Ia tak hidup dengan ketakjuban dari saat ke saat, sejak si tokoh alit

    lahir, diculik katak, diselamatkan ikan, kupu-kupu, dan tikus, dan akhirnya mendapatkan

    pangeran peri-bunga sebagai pasangannya, seraya si burung biru patah hati menyaksikannya

    pergi.

    Carl Honor pun berubah. Ia menulis buku In Praise of Slowness.

    Yang agak kurang ditekankan Honor ialah hubungan gerak yang tak terburu-buru dengan

    karunia kesunyian dan kebebasan, sesuatu yang telah rusak karena zaman berubah dan

    manusia resah untuk bekerja dan bekerja. Nietzsche pernah menyebutnya sebagai "kehausan

    Amerika". Bujukan-bujukan berlomba cepat ("liquor is quicker",kata penyair Amerika, Ogden

    Nash), juga pertukaran.

    Dalam proses itu, hilang kemampuan orang menghayati waktu sebagai ketakjuban yang selalu

    baru. Orang pun terus-menerus berbicara soal "kurang waktu". Tak ada lagi yang hendak

    memasuki keheningan "vita meditativa".Tak ada renungan sebelum tindakan.

    Dan lahirlah Twitter, Facebook, san-dek, yang dengan seketika menembakkan kata. Sementara

    dulu tiap ekspresi yang akan disiarkan harus menempuh prosedur berlapis, ada editor, ada

    penerbit, ada penyebar, kini semua itu diterabas. Bersaing cepat, berlomba menarik perhatian,

    bersaing mau diakui, berlomba teriak. Aku menggebrak, maka aku ada.

    Kecepatan dan kekuatan bisa efektif seperti peluru. Tapi peluru tak perlu nalar dan tak

    menumbuhkan tukar pikiran. "Media sosial" akhirnya hanya (mengutip seorang teman yang

    mengutip Macbeth untuk ini) "full of sound and fury, signifying nothing".

    Maka saya menyukai pagi. Sesekali masih ada sisa mimpi, ingatan akan dongeng ayah,

    ninabobok ibu, gema di kepala dari sebuah lagu, novel yang semalam hadir dalam kesendirian

    dan kesunyian, dalam karunia kebebasan.

    Goenawan Mohamad

  • 8/13/2019 caping 16.12.2013-13.1.2014

    20/21

    HeteroglossiaSenin, 13 Januari 2014

    Di lantai pentas itu bisa ada rebana, suling dan ukulele, gambang dan wayang, gunungan dan

    kecrek, payung dan setandan pisang. Pernah ada balon yang sebenarnya kondom-kondom yang

    ditiup, tak jauh dari seonggok nasi tumpeng. Pernah ada dua benda yang dibungkus kain, dan

    sebuah struktur yang mirip pintu masjid, di sebelah sebuah tabung. Begitu banyak barang,

    masing-masing sepele dan tak jelas fungsinya.

    Tapi ada pesona.

    Di panggung, atau mungkin di lantai pentas, banyak hal bisa terjadi, sebab seorang dalang

    adalah seorang pesulap, dan Ki Dalang Slamet Gundono adalah pesulap yang tak tepermanai.

    Kini ia tak ada lagi di antara kita. Ia meninggal, Minggu, 5 Januari 2014, hanya sekitar lima harisetelah dirawat di sebuah rumah sakit di Sukoharjo, dekat Surakarta. Saya sudah cemas ketika

    ia mengirim sandek ke telepon seluler saya pada 31 Desember 2013: "Mas Goen, saya sakit.

    Kaki saya tak bisa jalan dan sakit luar biasa."

    Terakhir kali saya melihat ia di Teater Salihara: pementasan tanggal 16 November 2013 itu,

    yang dinantikan tamu dari pelbagai negara, tak selesai. Ia sudah tak sehat.

    Tapi orang tahu, ia luar biasa. Saya tak berhenti takjub bagaimana pesona itu bukan saja

    membuat pentasnya yang seakan-akan kacau itu jadi hidup-dan bagaimana ia, dengan warna

    lokal yang tebal, bisa menyentuh secara universal.

    Saya pernah menonton ia memainkan lakon Taliputra-Taliputri dengan gaya wayang klasik,

    mengenakan beskap hitam dan blangkon warna cokelat tua. Tapi ia lebih dikenal sebagai dalang

    dengan kostum yang ia rancang sendiri, dengan dadanya yang penuh lemak itu terbuka,

    memainkan "wayang suket", "wayang lindur", dan "wayang air"-pertunjukan yang dinamainya

    sendiri tanpa mencoba menjelaskannya sampai tuntas.

    Ia anti-batasan. Saya pernah menulis: Gundono adalah "teater tanpa definisi". Gundono bisa

    menembangkan pangkur dan melantunkan suluk, mengalir luwes dari nada diatonik ke

    pentatonik, tapi ia juga bisa menyerukan azan dan mengutip Quran dengan gaya qiraat Mesir. Ia

    memetik ukulele seakan-akan seorang penyanyi Hawaii, dan yang terdengar adalah kasidah.

    Repertoarnya sering tak terduga. Ia menggubah satu bagian mitologi tentang Manikmaya, atau

    Syiwa, dewa utama di kahyangan, dan istrinya, Uma atau Durga. Ia mampu memukau dengan

    kisah seorang kiai lokal yang melawan ulama yang berkuasa, tafsir atas Serat Cabolek karya

    Yasadipura I dari Keraton Surakarta abad ke-18. Di ketika lain, ia bergabung dengan teks

    Prancis terjemahan Elisabeth Inandiak atas satu fragmen Serat Centhini.

    Slamet Gundono adalah sebuah heteroglossia.

    Ketika Mikhail Bakhtin memperkenalkan kata ini, orang Rusia ini hendak menunjukkankeistimewaan bentuk novel dalam sastra. Novel adalah medium tempat pelbagai ragam bahasa

  • 8/13/2019 caping 16.12.2013-13.1.2014

    21/21

    bisa masuk, karena ia menampung percakapan sehari-hari: dialek daerah, bahasa khas satu

    kelompok sosial, bahasa dengan istilah profesional, bahasa birokrasi.

    Bakhtin berangkat dari pengamatannya tentang kehidupan verbal petani Rusia. Petani di

    pedalaman itu berbahasa Slavonik Gereja kepada Tuhannya, berbahasa dengan dialek lokal

    kepada anak-istrinya, dan mencoba meniru frasa pejabat kelas atas ketika mendiktekan sebuah

    permintaan kepada pemerintah setempat.

    Di Indonesia heteroglossia juga kita temui tiap kali-meskipun dengan sejarah sosial yang

    berbeda. Terutama dalam tradisi daerah. Ketika pepatah lama mengatakan bahwa "bahasa

    menunjukkan bangsa", yang dimaksudkan adalah hubungan bahasa dengan hierarki: tiap

    "bangsa"-lapisan sosial-akan menggunakan tata krama verbal yang sesuai.

    Saya ingat satu adegan dalam novel monumental Putu Wijaya, Putri: sang tokoh, perempuan

    muda lulusan Universitas Udayana, pada suatu ketika bertemu dengan tiga orang berkasta tinggi

    yang di kampus itu bekerja sebagai tukang parkir, pegawai kantin, dan pesuruh kantor. Putri-

    anak petani Meliling yang jadi abdi dari puri setempat-tetap menggunakan bahasa halus kepada

    mereka. Sapaan Putri "langsung menusuk ketiga orang itu". Mereka terkejut: "Hidup yang

    tambah keras membuat mereka terbiasa menerima segala bahasa."

    Dan gadis itu pun sadar: bahasa "mungkin tak sengaja menjadi alat kekuasaan". Bahasa,

    kesimpulan Putri pula, "mencoba mengendalikan manusia dari dalam suaranya".

    Slamet Gundono lahir dan dibesarkan di Slawi, dekat Tegal, dengan bahasa yang sering diolok-

    olok orang Jawa Tengah yang lain, terutama dari kalangan priayi. Tapi Slamet juga anak

    seorang dalang yang tak asing dengan bahasa Jawa literer wayang kulit. Sumbangan besar

    Slamet Gundono di sini tampak: heteroglossia-nya menyingkirkan otoritas bahasa yang dirawat

    di rumah-rumah bangsawan. Dengan lancar, tanpa beban, ia masukkan ungkapan verbal orang

    Slawi yang biasa dipakai nelayan pantai utara. Di sana-sini, begawan Manikmayanya akan

    menggunakan kata nyong untuk "aku", kata nok untuk memanggil si upik.

    Heteroglossia Slamet, dengan demikian, bukan sekadar suara yang beragam. Ia mengandung

    perlawanan kelas yang dibisukan menghadapi kelas yang memonopoli wibawa dan ukuran

    keindahan. Kesenian Slamet Gundono bukan punya komitmen sosial dalam pesan-pesannya,

    tapi lebih dalam: dalam pilihan ekspresinya. Dan ia melakukannya tanpa berteriak karena semuawajar, tanpa kemarahan, sebab resistansi terbaik menghadapi wibawa yang kaku adalah humor.

    Ketika ia pergi di usia 47 tahun, yang tetap kembali adalah sumbangan itu, senyum itu, pesona

    itu.

    Goenawan Mohamad