Top Banner
1 KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015 EDISI VI / MEI-JUNI 2015 MAHASISWA BANYAK BICARA SURVEY : PELAYANAN AKADEMIK FAKULTAS GERBANG KHUSUS: MELAYANI SAMBIL OTAK-ATIK PONSEL NOBAR BUBAR: Larang- Melarang di FIA
28

Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

Jul 22, 2016

Download

Documents

tekan tombol 'share' untuk mengunduh atau unduh di tautan berikut: https://www.dropbox.com/s/0xtu5ekozsb9fxq/KETAWANGGEDE%20VI%20MEI-JUNI%202015.pdf?dl=0
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

1KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

EDISI VI / MEI-JUNI 2015

MAHASISWABANYAK BICARA

SURVEY : PELAYANAN AKADEMIK FAKULTAS

GERBANG KHUSUS: MELAYANI SAMBIL OTAK-ATIK PONSEL

NOBAR BUBAR: Larang-Melarang di FIA

Page 2: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

2 KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

Daftar IsiSusunan RedaksiPemimpin Umum

Pemimpin Redaksi

Redaktur Pelaksana

Staf Media Cetak

M.Iqbal Yunazwardi

Efrem Limsan Siregar

Bunga Astana

Rizqi Nurhuda RamadhaniTim Desain Kreatif

Efrem Limsan SiregarRizqi Nurhuda Ramadhani

Tim RisetAulia NabilaKhusnl KhotimahAnggria Ahda M.

ReporterBunga AstanaAinun SyahidaRikho K. W.Rahmawati Nur Azizah

EditorFadrin Fadlan ByaArditha Mauluddin

Sirkulasi dan SponsorAhmad Ridlo ZamzamiHesti K. W.Haroki Abd.

Alamat Redaksi, Iklan dan PromosiSekber Rusunawa Unit Kegiatan Maha-siswa Kav. 2Surel: [email protected]: www.kavling10.comTwitter: @uapkm_ubfacebook: Lpm Kavling SepuluhLine official account: @TAZ3417QContact: Efrem (082218840691) Bunga (085784806763)

Editorial : Mencari Intelektual Kampus

Gerbang Utama : Antara Demokrasi dan Fungsi Mahasiswa

Jajak Massa

Gerbang Khusus : Tolak KRS Manual

Survey Pelayanan Akademik Fakultas

Gerbang Khusus : Melayani Sambil Otak-atik Ponsel

Jam Malam

Kilas KAA

Opini

Nobar Bubar

Si Kasep

3

5

9

11

12

14

16

18

24

27

21

Page 3: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

3KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

Mahasiswa memang sulit dimengerti. Usai berdemo, lantas jejak selanjutnya hilang, entah kemana. Jalan berlubang, biaya kuliah yang mahal, namun hanya sedikit yang benar-benar peduli. Gejala umum akut yang teramat panjang penyebabnya. Setelah reformasi 1998, setidaknya iklim perubahan-perubahan memang terasa. Mata-mata tak lagi hadir dalam setiap diskusi maha-siswa. Rasa ketakutan itu selintas hilang. Kita pun bisa bernapas lega, rektor bukan lagi seorang militer. Setiap mahasiswa bebas menyuarakan pendapatnya, tanpa harus menerima intimidasi langsung dari aparat keamanan. Kesempatan ini dimanfaatkan maha-siswa dalam proses pengembangan diri semak-simal mungkin. Pencarian informasi muaranya bisa dari mana saja dan terbantu oleh kemajuan teknologi infromasi dan komunikasi. Dengan gawai di tangan, segalanya bisa menjadi cepat nan instan. Luapan ekspresi semakin meletup-letup di media sosial, sampai-sampai ranah privasi merambat masuk ke ranah publik. Namun, bergantinya waktu dan rezim, kenyataan yang terjadi sekarang, kampus miskin intelektual. Jujur saja, bertambahnya mahasiswa dan perguruan tinggi, berapakah yang mampu membawa roda perubahan? Semua akademis berjalan pada alur-alur yang tersedia. Sedikit mahasiswa yang mau mendobrak ketidakadilan sebagai bentuk pembaruan kehidupan. Maha-siswa dirundung rasa takut, selalu berhadapan pada pantangan ini dan itu. Ketakutan itu lalu menjelma menjadi titik acu bagi tindak-tanduk mahasiswa. Menghindar dari kemungkinan terburuk, mahasiswa ber-

main aman saja, memang tak ada gereget-nya. Bisa jadi, meminjam istilah Nietzche, keadaan tersebut merupakan interiorisasi individual, dibius dengan nilai-nilai yang dapat menjamin kelangsungan moralitas. Maka, pola-pola struktural tergam-bar dalam situasi macam ini. Mereka yang berada pada pucuk tertinggi memegang kendali permainan. Birokrasi kampus den-gan regulasinya harus kita taati. Imbas pada mahasiswa, segala-galanya yang tak sepadan dan sehendak dengan keinginan birokrasi akan diganjal. Mahasiswa dan petinggi kampus tidak lagi pada posisi yang sejajar. Mahasiswa memang anak muda yang berbahaya. Tetapi, apalah arti ber-bahaya ini bila mahasiswa masih enggan tampil pada garda terdepan membela masyarakat kecil dan tertindas. Mata kita selalu tertutup dengan meyakini tugas dan kuliah adalah kewajiban yang tak boleh di-tawar lagi. Sekarang, siapa yang malas ber-pikir? Inilah satu keadaan yang menunjuk-kan reformasi belum berjalan sepenuhnya. Model a la Prancis, menjauhkan mahasiswa dari ranah politik, menjelma di Indonesia lewat kebijakan NKK/BKK. Mahasiswa, praktis, dilarang berpolitik. Kebebasan berpikir seperti kaum intelektual lain-nya terkekang. Tak ada lagi alasan untuk melakukan gerakan. Demonstrasi dianggap berbeda dengan khazanah keilmuan. Dalam kurun waktu ini Sistem Kredit Semester (SKS) diterapkan. Aktivi-

EditorialMencari intelektual kaMpus

Page 4: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

4 KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

tas mahasiswa semakin terbatas. Mahasiswa digenjot agar cepat selesai dengan Indeks Prestasi (IP) yang tinggi. Kemahasiswaan se-batas pada minat, bakat, kerohanian dan pe-nalaran saja. Seperti setan, pesan tersirat ini sebenarnya tak kelihatan tapi orang merind-ing bulu kuduknya. Kita tetap menghargai kejeniusan Daud Yusuf, tetapi harus merombak kebi-jakan lamanya yang beberapa rohnya masih tertancap sampai sekarang ini. Kebijakan ini menjauhkan mahasiswa terhadap realita di sekitarnya. Dampaknya bisa terlihat sekarang, mahasiswa tampil sebagai borjuis baru, jauh dari masyarakat kecil yang berhadapan pada masalah-masalah sosial. Polesan itu tampak dalam pentas dan pesta dalam kampus yang amat-teramat jauh dampaknya bagi masyarakat. Belum pernah terbayangkan, mati-matian mahasiswa men-cari artis dan dana besar. Semuanya memang berbau study oriented, takjublah dengan se-mua kegiatan yang hanya mengurusi keingi-nanan semata. Perbedaan bukan lagi tercermin antara mahasiswa masyarakat, tetapi juga pada dirinya sendiri. Dekapan keterasingan ini mengamputasi semangat mahasiswa da-lam mewujudkan karyanya bagi orang lain. Tekanan dari luar semakin memarah di ranah akademis. Tak ada tempat untuk berlari selain menghibur diri sendiri. Mahasiswa mulai ikut-ikutan tampil meniru politikus, berani melakukan transak-sional di belakang panggung. Idealisme ras-anya mulai terkubur dalam-dalam. Pertarun-gan memperebutkan kursi presiden BEM, EM atau pun DPM sama panasnya seperti pilkada. Pernahkah kita menganggap perbedaan (ke-pentingan) sebagai sesuatu yang benar-benar indah? Semua merasa seperti orang besar, mencoba menegakkan kembali struktural-isme di dalam organisasi masing-masing. Pen-jaringan anggota dan kawan sejawat tak lebih dari upaya menambah kantung-kantung su-ara. Senior hanya tampil one man show, tanpa

melibatkan banyak pihak. Buah-buah semcam ini, pantaslah tak bisa mengem-bang mekar di masyarakat. Mental-mental yang terbangun mirip penguasa, beragam intrik dan cara supaya orang terjegal. Sekarang mahasiswa berada di pihak mana? Mari kita refleksikan. Re-formasi yang didengungkan tujuh belas tahun silam, kadang-kadang kita salah tafsirkan. Selalu ada definisi dari sudut pandang yang berbeda. Bagaimana melanjutkan ini? Kita semua sudah ter-bohongi. Memimpikan reformasi baru cuma fantasi orang-orang yang mencoba tampil heroik. Semua terimajinasi dari roman-tisme masa lalu. Padahal, mustahil seja-rah dua kali terulang persis. Menghad-irkan kembali tokoh-tokoh reformasi ke tengah-tengah kita, rasanya amat meng-gelikkan. Sebagian saja kini berdiam di balik jeruji besi. Belum lagi, ada yang berkhianat pada janji-janjinya dulu. Lu-pakanlah romantisme sejarah. Mahasiswa tidak kendur seman-gat. Hanya saja, kita perlu belajar dan belajar sejarah lagi agar malu dengan yang kita sedang lakoni sekarang. Ru-ang-ruang diskusi harus menyala-me-nyala di kampus agar kita tahu kepada siapa sebenarnya berpihak. Dan sebagai makhluk intelektual, kita tahu meman-faatkan kekuatan politik. Silahkan saja memilih haluan pal-ing keras, kiri, fundamental sekalipun, biar diskursus ramai di ranah akademik ini. Pemikir, penulis atau pejuang lapan-gan, entahlah, selama itu perjuangan kita melenyapkan penindasan.

Editorial

Page 5: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

5KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

Gerbang Utama

Tiga bulan lalu, Jokowi sibuk me-nenangkan kondisi tanah air. Semua ber-mula dari pemilihan calon Kapolri yang disetujui oleh DPR. Namun tak lama ke-mudian, KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat Kepala Biro Pem-binaan Karir Deputi Sumber Daya Manu-sia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian. Penetapan ini dua setengah jam sebelum Komisi III DPR mengunjungi rumah Budi Gunawan se-bagai tahapan sebelum uji kelayakan dan kepatutan. Polemik dua lembaga negara, KPK dan Polri, mendapat perhatian yang luas dari masyarakat. Polri menetapkan beber-apa pimpinan KPK sebagai tersangka dari berbagai kasus. Pimpinan KPK kemudian ditangkap oleh Polisi satu per satu, mulai dari Bambang Widjojanto yang ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara kesaksian palsu terkait sidang sengketa pilkada di Mahkamah Konsti-tusi akhir Januari lalu (20/1). Selanjutnya giliran Ketua KPK, Abraham Samad yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda

Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar) dalam kasus dugaan pemalsuan doku-men. Tak berhenti di situ, berturut-turut para pimpinan KPK lainnya ikut diseret dalam berbagai perkara di Ke-polisian. Tak ayal, hal tersebut mem-buat isu adanya kriminalisasi terhadap KPK semakin merebak di masyarakat. Hal itu dianggap sebagai bentuk upaya melemahkan KPK yang sedang me-nyelediki kasus dugaan korupsi dengan tersangka calon Kapolri Budi Gunawan. Padahal rakyat Indonesia menaruh harapan besar kepada dua institusi pen-egak hukum di Indonesia tersebut agar dapat berjalan secara harmonis sesuai fungsi dan tujuannya masing-masing. Tak hanya itu, rakyat Indonesia semakin dibuat susah oleh harga Bah-an Bakar Minyak (BBM) yang cendrung fluktuatif. Harga BBM jenis premium dan solar hampir setiap bulan mengala-mi perubahan naik turun. Ketika harga premium dan solar naik, harga bahan pokok pun ikut naik secara drastis, na-mun hal sebaliknya ketika harga pre-mium dan solar turun, tak diikuti oleh

Antara Demonstrasi dan Fungsi Mahasiswa

Mahasiswa UB berunjuk rasa di depan kantor DPRD Kota Ma-lang, 16 Maret 2015.

foto: Fardha/Kavling10

Page 6: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

6 KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

Gerbang Utama

menurunya harga bahan pokok tersebut. Ketidakstabilan harga BBM ini semakin menyusahakan masyarakat. Beberapa kel-ompok mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia melakukan demonstrasi dengan isu tersebut. Salah satunya, rapor merah untuk pemerintahan Jokowi-JK. Kota Malang pun tak luput dari aksi tersebut. Sekelompok mahasiswa yang me-namakan diri Aliansi Badan Eksekutif Ma-hasiswa Seluruh Indonesia (BEMSI), mere-ka berorasi seraya menyerahkan petisi dan nilai beberapa bidang kerja pemerintahan pusat kepada anggota dewan di depan Ge-dung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang, 16 Maret lalu. BEMSI membawa berbagai isu terkait kinerja Jokowi, terutama bidang ekonomi. Salah satunya terkait naik-turun-nya harga BBM. Saat ini harga premium menyentuh angka 7.800 rupiah per liter, naik 200 rupiah akhir April lalu. Kebijakan Jokowi yang merubah harga minyak setiap bulan membuat harga barang kebutuhan hidup menjadi tidak stabil dan dirasa se-makin menambah beban hidup rakyat. BEMSI kembali melakukan aksi ser-entak yang dilakukan di tiga kota besar di Indonesia yakni Surabaya, Jogja, dan Bogor pada 28 Maret silam. Gedung Grahadi di Surabaya menjadi saksi aksi kesatuan ma-hasiswa Malang, Bangkalan, dan Surabaya. UB juga terlibat. Suara mahasiswa semakin menjurus pada upaya penurunan Jokowi dari tampuk kepemimpinan. Rencananya bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei nanti, elemen-elemen mahasiswa se-Indo-nesia akan melakukan aksi bersama. Kabar ini kemudian menyebar melalui media so-sial dan broadcast massage. Tapi, Bayu Satria Utama menolak ke-benaran kabar tersebut. Isu itu keluar sebe-lum konsolidasi BEMSI berlangsung. Untuk aksi sebesar ini, BEMSI perlu melakukan konsolidasi secara nasional. ”Nah pada saat itu, ada tanggapan dari koordinator pusat supaya tidak terprovokasi dengan isu-isu

tersebut,” jelas mahasiswa yang saat ini menjabat Menteri Kebijakan Publik Ekse-kutif Mahasiswa UB. Dalam konsolidasi, mereka mengamati setiap masalah tak hanya ber-sandar pada kacamata mahasiswa sema-ta. Beberapa ahli juga terlibat. Para ahli pun berpendapat memang ada masalah. Demikian juga, kata Bayu, dari apa yang masyarakat rasakan, memandang ada masalah. ”Masyarakat kecil, mereka men-gatakan semua harga naik,” tuturnya. Menurut Bayu, aksi ini telah dilaku-kan dengan pertimbangan. ”Sebelum aksi harus ada pengajian atas sebuah isu, dalam kaitannya dengan Rapor Merah Jokowi. Se-tiap aksi harus ada konsolidasi dari BEMSI pusat, yang sekarang dipegang oleh Univer-sitas Lampung,” ujar Bayu yang ikut men-jadi koordiantor Aksi Rapor Merah Jokowi di Malang. Massa tak hanya berasal dari organ-isasi dalam kampus saja. Organisasi maha-siswa ekstra kampus juga melakukan hal serupa. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Fakultas Peternakan UB salah satunya, mengevaluasi kinerja Jokowi. Hanya saja, Muhammad Hafid Sukma, Ketua Hubungan Eksternal HMI Pusat, berpendapat, HMI belum sampai pada wacana menurunkan Jokowi. ”Dalam setiap konsolidasi yang kita lakukan, tidak pernah ada yang me-nyuarakan tentang penurunan Jokowi. Kita sebenarnya hanya mengevaluasi kinerja Jokowi,” katanya. Terlepas dari aksi mengritisi kinerja Pemerintahan Jokowi, Rabu (6/5) sekelom-pok Mahasiswa Peduli Demokrasi melaku-kan aksi dukungan kepada Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Dianns Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UB. Aksi dilakukan atas tindakan represifitas Dekanat FIA dan Rek-torat kepada LPM Dianns, di depan gedung rektorat. Musababnya, pemutaran film Samin vs Semen dan Alkimonekiye tak menda-pat izin dari pihak dekanat. Awal Mei lalu, bertepatan dengan Hari Buruh Interna-

Page 7: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

7KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

Gerbang Utama

sional, film berhasil diputar. Sayang, Al-kimonekiye belum habis, beberapa sat-pam dan keamanan kampus masuk dan membubarkan paksa pemutaran film. Siti Marfuah, Kasubbag Rumah Tangga, yang hadir saat pembubaran menyebut, izin belum keluar dari dekanat. ”Ini han-ya masalah komunikasi saja,” ungkap-nya. Demonstrasi yang dilakukan ma-hasiswa sebenarnya merupakan upaya untuk menunjukkan reaksi setelah meli-hat kenyataan. Bukan hal yang mengada-ada. Sebagai maha-siswa, mereka tidak bisa hanya diam begitu saja. Disini-lah kemudian demo berperan merespon kenyataan yang tidak bisa diterima karena berbeda dari harapan dan tujuan semula. Hal ini juga berkaitan dengan panggilan jiwa sebagai ma-hasiswa yang dituntut sebagai agent of control. Tidak dipungkiri sebagai maha-siswa ada tugas-tugas yang harus diem-ban bersama, terutama jika mengacu pada Tri Darma Perguruan Tinggi. Dalam hal ini sebenaranya tidak hanya kewa-jiban mahasiswa untuk melaksanakan Tri Darma Perguruan Tinggi, tapi juga seluruh civitas dan akademika perguru-an tinggi yang ada didalamnya termasuk dosen, dekanat, sekaligus rektorat.

Demonstrasi dan Tri Darma Pergu-ruan Tinggi Tri Hendra Wahyudi, Dosen Ilmu Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Brawijaya beranggapan bahwa demonstrasi ma-hasiswa adalah sebuah tindakan yang wajar dan lebih mengarah pada hal yang

positif. Dalam penjelasannya kepada wartawan kavling 10 (5/5), Tri menga-takan, “sepanjang itu motifnya berasal dari ideologi mahasiswa dan berasal dari keadaan politik juga menyangkut masyarakat luas, ya, gak papa. Sah-sah saja dan menurut saya itu positif, sepan-jang tidak ada kepentingan politik.” Selain itu, Tri juga menambahkan bahwa demonstrasi bisa menjadi pent-ing bagi mahasiswa sebagai tindakan pengaktualisasian ilmu yang mereka dapatkan di bangku kuliah. Kajian juga

perlu dilakukan untuk tuntutan-tuntutan yang mereka layangkan pada saat aksi. Dari sini, terda-pat sebuah kesimpu-lan bahwa sebenarnya demonstrasi adalah up-aya perwujudan poin-poin Tri Darma per-guruan tinggi. Secara umum tiga poin terse-but adalah; Pendidikan dan pengajaran, Pene-

litian dan pengembangan, dan Pengab-dian kepada masyarakat. Demonstrasi mengambil ketiganya. Pertama, seperti yang telah dijelaskan di awal, bahwa demonstrasi adalah wujud pengaktu-alisasian ilmu maka poin pertama me-megang kendali ini. Mahasiswa telah banyak belajar di bangku perguruan tinggi dan ia berkewajiban menyampai-kan atau mengajarkan ilmu itu kepada masyarakat. Dilanjutkan dengan peng-kajian atas suatu permasalahan, dari disiplin disiplin ilmu yang berbeda beda tersebut dibuatlah konsolidasi untuk menyatukan pemikiran pemikiran itu, transfer wacana pun berlangsung pada tahap ini, dan poin kedua Tri Darma juga berperan. Jadi dari sini poin ketiga, yaitu pengabdian kepada masyarakat pun coba dipenuhi dengan jalan demonstra-

”Gerakan mahasiswa menjadi gerakan par-sial, sesuai dengan isu yang ingin dikemuka-kan. Sama-sama demo tapi berbeda dengan wilayah lain. Istilahnya

terfragmentasi”

Page 8: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

8 KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

si, dan hal ini juga bisa dikatakan sebagai tradisi kritis bagi mahasiswa.

Tradisi Kritis, Sebelum dan Setelah Reformasi Tri dalam wawancaranya bersama wartawan kavling 10 menjelasakan bah-wa terdapat perbedaan yang mencolok pada demonstrasi mahasiswa pada dua rezim yaitu sebelum dan sesudah refor-masi. Menurutnya, gerakan demonstrasi mahasiswa sebelum reformasi adalah gerakan yang solid karena seluruh maha-siswa pada saat itu juga bersatu dan mer-eka memiliki tujuan yang sama. Selain itu mahasiswa tahu betul musuh mereka, yaitu menumbangkan rezim yang oto-riter. Yang kedua menurut Tri, gerakan tersebut lebih radikal dalam beraksi. Berlainan dengan demo pra refor-masi, gerakan demo mahasiswa setelah reformasi terlihat kabur karena mereka memiliki isu-isu tersendiri dan berbeda-beda untuk diangkat kedalam aksi demo. Hal itu membuat demonstrasi menjadi tidak solid dan seperti tidak tahu arah. ”Gerakan mahasiswa menjadi gerakan parsial, sesuai dengan isu yang ingin dikemukakan. Sama-sama demo tapi ber-beda dengan wilayah lain. Istilahnya ter-fragmentasi,” ungkap Tri. Pendapat serupa juga dikata-kan oleh M. Hafid Sukma, dalam sebuah wawancara (29/4) Hafid mengatakan bahwa selama ini HMI hanya melaku-kan aksi dengan kelompok mereka saja dan tidak dengan kelompok lain. “Belum pernah (bergabung-red) tapi kita komu-nikasikan dengan kelompok lain. Ya, me-mang dari pusat tidak ada perintah untuk bergabung,” kata Hafid. Bayu juga pernah membahas men-genai pengelompokkan isu tersebut. Da-lam wawancara yang dilakukan di depan Gedung Widyaloka itu ia menerangkan bahwa BEMSI hanya membahas masalah-masalah yang memang menjadi prioritas

mereka. Jadi akan berbeda-beda dengan kelompok yang lain. “Ini isu banyak. Dan kita punya prioritas mana yang lebih kita fokuskan,” ungkapnya.

Reaksi Masyarakat Tri beranggapan bahwa reaksi masyarakat bisa menjadi salah satu indika-tor keberhasilan sebuah aksi massa. Jika masyarakat setuju dengan demo tersebut, maka gerakan tersebut akan meluas dan masyarakat akan berinisiatif untuk ikut mendukung. Jika publik ikut bereaksi, be-rarti aksi itu bisa dikatakan berhasil. “Isu yang belum tentu benar, tapi kalau publik merasa itu benar lalu (masyarakat) melaku-kan aksi yang masif, ya itu juga akan ber-dampak,” ujar dosen Ilmu Politik tersebut. Disisi lain demo sering dipandang sebelah mata sebagai saluran aspirasi ber-pendapat. Demo kerap diidentikkan dengan kemacetan lalulintas dan cara-cara memak-sa, bahkan hal-hal yang merusak. Namun Tri menambahkan bahwa publik-lah yang menentukan penilaian benar dan tidaknya suatu demonstrasi. ”Ketika kita menyemat-kan satu kata yang sebenarnya tidak relevan dengan demonstrasi. Coba ditelusuri makna anarki, apakah itu merusak, pembangkan-gan, atau melawan konstitusi? Sering kali saya protes, karena anarki maknanya tidak begitu.” ujar Tri. Ia menambahkan bahwa makna anarki semestinya dipahami seba-gai upaya memprotes orang atau sekelom-pok orang yang berada dalam suatu tatanan karena jenuh dengan keadaan yang stagnan. ”Jadi tidak mungkin mahasiswa melakukan anarki. Ini yang harus diluruskan,” kata Tri menambahkan.

Penulis : Ainun SyahidaKontributor : Rahmawati Nur Azizah

Gerbang Utama

Page 9: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

9KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

Fungsi utama biro ini, se-bagai unsur pelaksana di bidang administrasi akademik dan ke-mahasiswaan. Pegawai akademik sangatlah dekat dengan kebutu-han mahasiswa dalam mengurus hal-hal administrasi. Namun, kualitas pelayan-an akademik menjadi sorotan. Masalahnya, pelayanan akademik mahasiswa justru identik dengan keruwetan sistem birokrasi yang menghambat para mahasiswa un-

tuk mengurus urusan admin-istratif. Masalah kedisiplinan waktu pegawai akademik men-jadi masalah krusial di kedua fakultas tersebut. Fenomena ini dapat dilihat dari ketidakhad-iran pegawai di jam-jam kerja mereka. Padahal mahasiswa membutuhkan bantuan ad-ministratif dari pegawai akade-mik pada saat itu juga.

MENYOROT PELAYANAN AKADEMIKDalam kehidupan kampus, tidak hanya pro-ses belajar-mengajar yang menjadi sorotan dalam indikator pendidikan Perguruan Ting-gi ini. Pihak lain di luar dosen dan mahasiswa juga turut menyukseskan perjalanan kehidu-pan kampus, salah satunya adalah pegawai akademik kampus.

Lihat riset di hal.12

Jajak Massa

MENYOROT PELAYANAN AKADEMIK

Page 10: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

10 KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

Gerbang Khusus

TOLAK KRS MANUALMahasiswa FISIP keberatan bila KRS dikerjakan secara manual.

Masa liburan di kampung halaman akan terusik.

Model dalam jaringan (online) tak banyak membantu proses peelaksanaan KRS. Sampai sekarang seluruh fakultas masih belum sepenuhnya melaksanakan KRS daring. Para pegawai masih harus melanjutkannya secara manual. Dosen Pembimbing Akademik (PA) masih harus melihat nilai yang keluar dan mata kuliah yang bakal diambil. Dengan model man-ual ini, dosen merasa cukup yakin untuk membubuhkan tanda tangan ke KRS dan KHS mahasiswa bimbingannya.

Di FISIP, prosedur KRS terbilang mudah. Syaratnya, mahasiswa tidak ter-lambat melakukan KRS dengan jadwal yang telah ditentukan pihak fakultas. Set-elah mahasiswa membayar SPP ke bank, mahasiswa bisa langsung membuka Sistem Informasi Akademik Mahasiswa (SIAM) untuk melakukan pengisian KRS pada semester selanjutnya. Setelah ini, proses daftar ulang selesai.

“Apabila mahasiswa terlambat melakukan KRS daring karena belum membayar SPP, mahasiswa dapat mem-berikan surat pengajuan penundaan pembayaran SPP kepada Wakil Dekan II. Kecuali, apabila ketelatan karena ke-

salahan dosen yang belum menyerahkan nilai pada batas waktu, mahasiswa akan mendapatkan nilai B untuk mata kuliah dosen tersebut,” Harnanto, Kepala Aka-demik FISIP.

Saat pelaksanaan KRS manual nanti, mahasiswa FISIP wajib melampir-kan foto copy KTP orang tua untuk men-cocokkan validasi data alamat mahasiswa pada SIAM. Sebab pada kenyataannya, banyak data SIAM yang tidak sesuai.

Bila data SIAM ternyata tak sesuai, imbasnya sangat terasa kepada bagian Akademik FISIP. Surat yang mereka kirim kepada masing-masing orang tua mahasiswa kembali lagi kepada mereka. Alamatnya tidak sesuai. Kalaupun surat sudah sampai ke alamat, orang tua maha-siswa malah tak datang untuk memenuhi panggilan.

Kebanyakan surat yang kembali merupakan surat panggilan kepada ma-hasiswa akhir yang belum menyelesai-kan masa studi sesuai waktunya. Apabila tidak segera ditangani, mahasiswa terse-but terancam drop out (DO).

Konsep KRS manual ini menda-pat tanggapan miring dari banyak maha-siswa. Keberatan ini membuat BEM FISIP berpikir cepat. Lembaga Kedaulatan Ma-hasiswa ini, lewat Kementerian Advokes-ma, kemudian menggagas acara ‘FISIP Bercerita’ untuk menampung tanggapan mahasiswa atas KRS Manual ini.

Pertama kali, mahasiswa duduk bersama dengan jajaran dekanat dan bagian Akademik FISIP membahas Kartu Rencana Studi (KRS) daring, 24 April lalu di aula FISIP lantai 7.

Salah satu mahasiswa yang hadir memberikan pendapatnya. Cara semacam ini memberatkan mahasiswa, karena pelaksanaannya bertepatan den-gan masa liburan semester. Mahasiswa, umumnya, memanfaatkan liburan ini kembali ke kampung halaman masing-masing. Mayoritas dari mereka berasal

Page 11: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

11KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

Gerbang Khusus

dari luar kota Malang. Jika begini, mahasiswa merasa terbebani.

Tanggapan serupa hampir da-tang dari sebagian besar mahasiswa yang hadir. Mahasiswa lainnya me-mandang pelaksanaan KRS daring justru lebih baik. Dia membanding-kan dengan Fakultas Ilmu Komputer (FILKOM) yang sepenuhnya mener-apkan KRS daring. Rasanya merin-gankan mahasiswa.

FILKOM memiliki tertib admin-istrasi pada pelaksanaan KRS. Di sini berkas KRS dan KHS dikumpul-kan pada minggu pertama kegiatan perkuliahan. Pihak fakultas yang menentukan batas waktu pengum-pulan. Apabila mahasiswa tersebut mengumpul berkas melebihi batas

waktu, maka dia mendapat sanksi gugur mata kuliah pada semester yang bersang-kutan. “Apabila sistem manual ini di terap-kan di FISIP akan banyak mahasiswa yang tidak mengumpulkan, karena kurang tert-ib,” jelasnya.

Waktu pula yang menjadi alasan ma-hasiswa enggan beralih pada KRS manual. Butuh waktu di perjalanan menuju kampus. Sampai di situ, mahasiswa kemudian harus rela untuk mengantri bila hendak menyer-ahkan berkas-berkas ke bagian Akademik. Menenteng berkas-berkas selama berjam-jam juga menjenuhkan mahasiswa yang se-dang menunggu giliran.

Setelah mengetahui mahasiswa merasa terbebani, pihak Akademik memikirkan jalan tengah menyelesaikan masalah ini. Jajaran mereka akan mengusulkan kepada pimpinan dekanat agar konsultasi KRS ber-langsung sebelum masa liburaan. “Sebet-ulnya, secara emosional masih lebih baik (bila mahasiswa) bertemu dosen PA, seka-lian curhat. Berhadapan secara tatap muka langsung,” ungkap Harnanto.

“Kalaupun surat sudah sampai ke alamat, orang tua mahasiswa malah tak datang untuk memenuhi

panggilan.”

Surat Panggilan kepada orang tua

foto: Rikho/Kavling10

Penulis : Rikho K. Wiratama

Page 12: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

12 KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

Riset ini mengangkat isu pelayanan akademik kemahasiswaan di fakultas-fakultas Universitas Brwaijaya (UB). Survei meliputi 15 fakultas di UB dan melibatkan 240 mahasiswa. Survei ini memperoleh hasil dua fakultas yang mendapat indikator ketidakpuasan paling tinggi, yakni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dan Fakultas Ilmu Budaya (FIB).Sedangkan tingkat kepuasan tertinggi didapat oleh Fakultas Matematika dan Ilmu Penge-tahuan Alam (FMIPA), Fakulatas Kedokteran (FK) dan Fakultas Hukum (FH).

Jajak Massa

2.Bagaimana menurut Anda mengenai etika dan keramahtamahan petugas aka-

demik mahasiswa?

1.Apakah Anda puas dengan pelayanan akademik fakultas?

6%

40%

8%

53%

22%

60%

25%

47%

72%

67%

BAIK

YA

CUKUP

BURUK

TIDAK

0%

73%

6%

27%

74%

14%

53%

7%

47%

79%

0%

07%

27%

93%

73%27%

80%

13%

20%

60%

7%

27%

0%

73%

93%

0%

33%

29%

67%

71% 15%

67%

15%

33%

70%

14%

33%

0%

67%

86%

0%

20%

92%

80%

8%7%

33%

6%

67%

87%

14%

40%

29%

60%

57%21%

53%

21%

47%

58%

0%

13%

19%

87%

81%

SURVEY PELAYANAN AKADEMIK FAKULTAS

Page 13: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

13KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

Jajak Massa

3.Bagaimana menurut Anda tentang kualitas dan update sistem akademik

mahasiswa?

4.Bagaimana menurut Anda tentang kedisiplinan waktu akademik?

5.Bagaimana menurut Anda tentang ketanggapan petugas akademik da-

lam melayani mahasiswa?

5%

0%

0%

6%

25%

34%

17%

5%

6%

17%

17%

8%

78%

95%

94%

67%

58%

58%

BAIK

BAIK

BAIK

CUKUP

CUKUP

CUKUP

BURUK

BURUK

BURUK

31%

12%

25%

25%

19%

6%

44%

69%

69%

29%

36%

29%

21%

21%

7%

50%

43%

64%

6%

0%

0%

35%

44%

0%

59%

56%

100%

33%

7%

6%

13%

7%

47%

54%

86%

47%

8%

15%

27%

21%

28%

13%

71%

57%

60%

7%

0%

0%

7%

14%

21%

86%

86%

79%

31%

8%

0%

38%

8%

38%

31%

84%

62%

7%

7%

21%

21%

0%

29%

72%

93%

50%

0%

0%

0%

25%

25%

8%

75%

75%

92%

20%

13%

20%

13%

20%

40%

67%

67%

40%

7%

6%

14%

20%

27%

13%

73%

67%

73%

7%

22%

7%

29%

21%

14%

64%

57%

79%

30%

0%

25%

30%

37%

37%

30%

63%

38%

SURVEY PELAYANAN AKADEMIK FAKULTAS

Page 14: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

14 KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

Gerbang Khusus

MELAYANI SAMBIL OTAK-ATIK PONSEL

Pelayanan Akademik FIB mengecewa-kan mahasiswa. Apalagi pegawainya melayani sambil sibuk dengan ponsel. Rasanya seperti diacuhkan.

Tengah siang, waktu yang salah bagi empat mahasiswa. Berkas-berkas sudah mereka tenteng, tapi malah harus duduk sambil menyaksikan ruang kosong tak berpenghuni. Raut wajah tampak seper-ti menanti. Sesekali mata memalingkan pandangan ke papan kecil yang berteng-ger di belakang kaca, bertulis ‘istirahat’.

Ruangan tersebut mirip loket pen-jualan karcis. Biar suasana menunggu agak mencair, beberapa saling mengo-brol kecil-kecil. “Sedang mengurus jad-wal untuk sempro,” cerita seorang wan-ita. Mahasiswa lainnya mencari kelas kosong untuk make up kelas. Semuanya berbau akademik.

Pemandangan ini lah yang terjadi saat reporter Ketawanggede mengunjungi ruang Akademik FIB. Padahal, datang-nya usai jam istirahat kantor.

Setengah jam berlalu, penantian itu berakhir. Pintu terbuka dan ‘istirahat’ itu lenyap jam setengah dua. Pelayanan dimulai.

Pembukaan ini, rasanya cukup menge-jutkan bagi mahasiswa. Kadang kala pe-layanan bisa dimulai jam setengah tiga. Sesuatu yang tidak menguntungkan bagi mahasiswa yang memiliki banyak aktivi-tas.

Kejadian ini bukan sekali ini saja. Kor-ban kekecewaannya tak hanya berjumlah empat. Pun model-model kekecewaan itu beragam bentuknya. Mereka yang tak kuasa menahan kekesalan, memilih untuk bercerita ke Badan Eksekutif Ma-hasiswa (BEM) atau Dewan Perwakilan

Mahasiswa (DPM) Fakultas Ilmu Bu-daya (FIB). Mukhammad Aang Kunaefi, Presiden BEM FIB membenarkan hal tersebut. Lewat Kementerian Ad-vokesma, mahasiswa ternyata banyak mengeluh soal ketepatan waktu pe-gawai Akademik. Kehadiran pegawai pun mengecewakan, kadang-kadang tidak lengkap. Mahasiswa merasa rugi, urusannya belum bisa ditangani orang yang bersangkutan.

Aang memahami persoalan ini, walau secara pribadi, dia menilai pe-layanan pegawai terkesan ramah dan nyaman saat mengunjungi ruang kerja mereka di lantai empat. Ia memang mengenal baik dan cukup akrab den-gan beberapa pegawai di sana. Akan tetapi keadaan terbalik terjadi keapda mahasiswa lain. Banyak di antara para pegawai yang bersikap tidak ramah dan terkesan mengacuhkan.

“Misalnya, mahasiswa mencari pe-gawai A, tetapi yang ada hanya pe-gawai B. Padahal pekerjaan tertentu hanya bisa ditangani oleh pegawai B, dan pegawai B tidak ada di tempat,” ujarnya.

Kekeu Kirani Firdaus, seorang ma-hasiswa Fakultas Ilmu Budaya Uni-versitas Brawijaya, punya cerita lain. Pernah suatu waktu saat mengurusi keperluan ke bagian Akademik, dirin-ya harus lelah bolak-balik menjumpai satu-dua-tiga pegawai. Padahal sebe-narnya, pegawai yang dimaksud adalah orang pertama tadi yang dijumpainya.

Malah, suatu waktu, pegawai pernah menjawab tidak tahu soal keperluan akademik. Yang paling Kekeu sayang-kan, seorang pegawai sering melayani mahasiswa sambil mengotak-atik ponsel. Kesannya, kata Kekeu, seperti mengacuhkan mahasiswa.

Page 15: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

15KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

Gerbang Khusus

Menanggapi persoalan pelayanan bagian Akademik, Aang bersama pihak DPM FIB melakukan survei atas kinerja bagian Akademik, Maret dan April silam. Hasil survey ini kemudian dibawa kepa-da pihak Akademik. Mereka menanggapi positif survei ini. “Untuk pembenahan di kemudian hari,” kata Aang.

Hasil survei cukup jelas menggambar-kan kondisi pelayanan bagian Akademik. Sebagian besar mahasiswa merasa tidak puas dengan pelayanan akademik, teru-tama dalam masalah Kuliah Kerja Nyata (KKN).

FIB memang melakukan perubahan sistem KKN. Sejak semester lalu, KKN terbelah dua: magang dan tematik. KKN magang menempatkan mahasiswa di berbagai perusahaan, sementara tematik menempatkan mahasiswa di Pemerin-tahan Kota dan Kabupaten. Sekarang ini merupakan proses peralihan dari sistem lama ke sistem yang baru.

“Memang kita tidak menyosialisasikan dulu ke mereka semua (mahasiswa, red). Kami menyosialisasikan melalui pem-bekalan sebelum KKN. Jika mahasiswa datang ke acara pembekalan tersebut maka mahasiswa akan tahu,” tutur Dyah, pegawai bagian Akademik.

Namun, Aang menilai penggodokan sistem KKN yang baru sekarang belum digarap maksimal. Makanya, mahasiswa merasa kesulitan menyesuaikan diri pada sistem baru ini. “Setelah kami sampaikan kepada pihak fakultas, mereka menga-takan sudah ada pembenahan, salah sa-tunya adalah pelayanan surat observasi melalui media daring (online),” ujarnya.

Survei BEM dan DPM mendapat tangga-pan berbeda dari Sastriningsih, Kasubag Akademik. Dia menjelaskan, jajarannya selama ini belum menerima pengaduan soal keluhan mahasiswa. Bahkan Sas-triningsih juga mengaku belum meneri-ma pengajuan BEM dan DPM. “Selama ini kami baik-baik saja dengan mahasiswa,” ungkapnya.

Selama ini, bagian Akademik memang

belum memiliki program jajak pendapat dari mahasiswa kepada pelayanan aka-demik. Yang ada hanya kuisioner daring penilaian terhadap para dosen. Maha-siswa biasanya mengisi kuisioner saat mengisi KRS daring. Dyah menyarankan agar masalah-masalah mahasiswa terkait bagian Akademik disampaikan secara resmi terhadap jajarannya supaya bisa diproses lebih lanjut.

Survei pelayanan belum ada, alasan-nya, lantaran pihak rektorat, kata Dyah, juga belum memunyai program penila-ian terhadap pegawai di seluruh fakul-tas. Program semacam ini mengharuskan fakultas memunyai standar yang sama dan sesuai. Fakultas-fakultas yang ber-naung belum memiliki model semacam ini. “Karena itu pihak rektorat diharap-kan mampu merencanakan program tersebut,” ungkapnya.

Namun, bagian Akademik tak bisa menutup mata atas kelakuan mereka yang masih saja terlambat masuk usai jam istirahat berakhir. Telatnya memang tak setiap waktu, hanya kadang-kadang saja. Pegawai juga pernah patuh pada aturan istirahat dari 12.00-13.00.

“Meskipun papan ‘istirahat’ masih menggantung, selama pegawai berada di dalam ruangan, mereka sudah siap melayani. Selama tidak ada acara yang mendesak, seperti mengurus kepani-tiaan, rapat atau kepentingan sosial sep-erti melayat,” kata Dyah. Soal otak-atik ponsel, “Mungkin saja saat itu pegawai tersebut sedang menerima pesan singkat (SMS) dari pimpinan yang harus segera dibaca.”

Pegawai akademik juga bersikap tegas dalam pekerjaannya. Kadangkala mereka harus menegur mahasiswa yang tidak mematuhi prosedur dengan baik. Akan tetapi pegawai selalu berusaha untuk melayani mahasiswa dengan baik.

Penulis : Rizqi N. Ramadhani

Page 16: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

16 KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

Jam Malam

GeMBOs Ban Di kaMpusBanyaknya kasus pencu-rian kendaraan bermotor (curanmor) di Universitas Brawijaya(UB),pihak rektorat membenahi aturan parkir.

Melalui jejaring sosial, Line, pada 26 April lalu, Eksekutif Mahasiswa (EM) UB menyampaikan beberapa peraturan baru terkait parkir kendaraan. Ban motor/mo-bil bakal digembos jika parkir di tempat non-resmi dan melewati jam malam, 22.00. Parkir UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) dan LKM (Lembaga Kedaulatan Mahasiswa) dipindahkan ke belakang Samantha Krida. Sehari sebelumnya, pihak EM berkoordina-si dengan pihak rektorat.

Namun, pihak EM belum sepenuhnya sepakat dan akan mengkaji ulang. Meski masih wacana, EM mencoba membagikan informasi peraturan baru tersebut untuk mengetahui reaksi publik agar bisa dijadi-kan bahan pertimbangan. “Memang te-man-teman banyak juga yang dukung dan sepakat, tapi saya kok masih melihat ini belum benar-benar efektif untuk mengatasi masalah parkiran,” papar Reza Adi Pratama, Presiden EM UB.

Wakil Kepala Satpam, Moch. Choiri, men-gatakan, penggembosan ban memang akan terjadi, namun hingga saat ini belum ada Surat Keputusan (SK) Resmi Rektor. “Sebe-narnya kalau penggembosan ban, kan bagi mereka yang parkir liar. Cuma payung hu-kumnya (SK Rektor, red) untuk ini belum ada,” ujarnya.

Hal senada juga disampaikan Kepala Subbagian Rumah Tangga, Siti Marfuah. Menurutnya, peraturan penggembosan ban masih sebatas wacana. Sosialisasi dilakukan kepada mahasiswa agar nanti tidak kaget. Selain itu, untuk merealisasikannya, pihak rektorat membutuhkan persiapan teknis

yang matang. “Kami harus membuat perangkat huku-

mnya dulu, sebuah peraturan atau edaran. Setelah surat edaran kita berlakukan, kita siapkan perangkatnya, pompanya, sosial-isasi, tempat-tempat yg sudah disediakan, baru kita langsung action. Teknis semacam ini harus dibahas matang oleh tim,” ungkap-nya.

Rencananya, penggembosan ban dilaku-kan jika kendaraan parkir di luar kantung parkir yang disediakan. Kantung parkir resmi UB memiliki ciri-ciri tenda berwarna biru dengan lambang UB, penjaga parkir berseragam biru muda, dan punya kartu parkir. Kantung parkir hanya terdapat di titik-titik tertentu pada setiap fakultas.

Tidak semua gedung memilikinya, sep-erti sekitar UKM dan LKM. Padahal, banyak mahasiswa membawa kendaraannya saat menuju kedua gedung ini. Tentunya, hal ini menyebabkan jalan di sekitar gedung UKM dan LKM menjadi parkir Non-Resmi yang rawan penggembosan ban.

Jika penggembosan ban benar-benar di-lakukan maka akan banyak ban kendaraan yang kempis. Menanggapi hal tersebut, Choiri, menjelaskan akan mencoba berk-oordinasi dengan pimpinan. “UKM sendiri kan harusnya nggak seperti itu parkirnya,” paparnya.

Penggembosan di atas jam malam juga memberatkan mahasiswa. Banyak kegiatan non-akademik yang dilakoni sebagian besar mahasiswa dilaksanakan sampai melewati jam malam.

Namun, tak bisa dipungkiri, curanmor sering terjadi di malam hari. Penerangan sangat minim, sehingga keadaan sekitar kantung parkir terlihat gelap membuat kes-empatan itu terbuka lebar. Belum lagi, saat jam malam berlaku, penjaga parkir sudah meninggalkan masing-masing pos jaga.

Lalu bagaimana dengan satuan penga-manan? Satuan keamanan kampus ternyata

Page 17: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

17KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

Jam Malam

jumlahnya terbatas untuk menangani luas-nya UB. ”Digembos itu, biar nanti kalau ter-jadi curanmor, pencuri kan nggak mungkin bawa sepeda yang gembos,” ungkapnya.

Meskipun belum ada SK Rektor yang sah terkait penggembosan ban, area depan ga-rasi mobil yang berada diantara gedung Biologi dan Fakultas Ilmu Budaya telah me-masang plang bertuliskan “Sepeda motor dilarang parkir di area depan garasi mobil. Bagi yang melanggar, ban sepeda motor akan dikempiskan (digembosi)”.

Menurut Siti, hal tersebut tidak melang-gar peraturan. Paling tidak mengajarkan kepada mahasiswa untuk tidak parkir dis-itu. “Tidak jadi masalah sepanjang aturan itu bisa membuat efek jera. Ya tidak me-langgar aturan, itu kan sama saja dengan peringatan untuk tidak parkir disitu. Tapi action-nya untuk menggembosi itu juga be-lum punya dasar hukum kan,” jelasnya.

Belum pastinya pelaksanaan penggem-bosan ban motor/mobil karena hal ini masih perlu dibicarakan lagi dengan pihak mahasiswa yang diwakili EM, Dewan Per-wakilan Mahasiswa, dan Badan Eksekutif Mahasiswa tiap Fakultas. Rencananya, pihak mahasiswa akan menawarkan solusi kepada rektorat terkait keamanan UB se-lain penggembosan ban.

Solusi jangka pendek, kata Reza, yaitu pembangunan lahan parkir baru di samp-ing lapangan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Lahan ini dinilai cukup luas sebagai tempat parkir. Untuk solusi jangka menengah, EM mengusulkan kartu parkir yang dibuat seperti Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). Kartu parkir ini nantinya meencan-tumkan pelat nomor kendaran.

”Nah, yang tidak punya kartu parkir ini dia tidak boleh parkir di kantong parkir,” jelas mahasiswa Fakultas Pertanian saat ditemui 7 Mei lalu. “Mudah-mudahan min-ggu depan atau dua minggu lagi maksimal sudah bisa maju mempresentasikan usulan kita.”

Sedangkan solusi jangka panjang, yaitu pembangunan parkir terpusat pada empat titik. Parkiran terpusat harus bertingkat,

supaya bisa mencukupi kebutuhan volume kendaraan di UB yang sangat melimpah. “Kita masih matangkan lagi rencana ini kar-ena kan juga butuh biaya,” tambahnya.

Meski masih wacana, pihak Mako (Mar-kas Komando) Satuan Pengamanan UB menegaskan penggembosan ban akan di-lakukan jika pelanggaran terlewat batas, misalnya parkir motor hingga beberapa hari dikampus, dan lain-lain. Apabila nanti-nya penggembosan ban tetap diberlakukan, pihak rektorat akan menyediakan pompa gratis yang berada di Mako dekat perpusta-kaan pusat UB.

“Intinya dari pada kehilangan sepeda kan mendingan nuntun,” ujar Choiri. Pihak Mako sebetulnya berharap penggembosan ban tidak terjadi. “Warga UB hendaknya mema-tuhi peraturan, yang tidak boleh parkir ya nggak boleh.”

Pengalihan ParkirDalam peraturan yang dirilis EM juga

disebutkan rektorat membuka lahan parkir baru di belakang gedung Samantha Krida (Sakri). Namun pada kenyataannya, para pengendara tidak sepenuhnya mengguna-kan lahan parkir tersebut, terutama pen-gunjung kantin belakang Sakri (CL). Mereka malah memarkirkan kendaraan masing-masing di sepanjang jalan depan CL yang cenderung berantakan dan kerap menutup akses jalan.

Pembukaan lahan parkir ini dilakukan sejak 20 April lalu, disusul dengan menut-up portal pintu masuk menuju gedung UKM dan LKM. Penutupan portal mengakibatkan akses jalan menuju UKM dan LKM hanya melalui satu jalur yaitu CL.

Menurut Siti, ini dilakukan untuk keaman-an dan meminimalisir adanya curanmor. Portal sendiri akan terus ditutup hingga muncul kebijakan baru dari pihak rektorat. Sementara, Pihak Mako mengaku belum bisa melakukan tindakan penertiban kar-ena kebijakan Rektorat belum menyentuh area tersebut.Penulis : Bunga AstanaKontributor : Rikho K. Wiratama

Page 18: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

18 KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

Kilas KAA

Niatan Sejarah dan Relevansi

60 Tahun Konperensi Asia Afrika

Bandung, Ibu Kota Propinsi Jawa Barat, memang selalu ramai. Penduduk terlihat hilir mudik, sibuk dengan aktivitas yang tidak biasa. Sama seperti 60 tahun lalu, saat Sanusi H mengintruksikan seluruh warga Bandung bersiap diri menyamput 29 negara dan kurang lebih 1000 war-tawan.

Pada tahun 2015, antusiasme masyarakat juga membanjir tinggi, tak ingin hanya sekedar jadi penonton. Masyarakat turut andil menyukseskan acara yang menjadi tonggak sejarah eksistensi Indonesia di mata Dunia.

Niat Sejarah tersebut tetap hidup diten-gah pertanyaan-pertanyaan klise tentang relevansi dari Konperensi Asia Afrika. Bertajuk 60th Asian African Conference Commemoration 2015 : Advancing South-South Corporation, kesungguhan warga Indonesia tidak perlu dipertanyakan kem-bali. Tiap Masyarakat membangun soli-daritas gotong royong untuk menata kem-bali Jakarta dan Bandung sebagai tempat perhelatan Konperensi Tingkat TInggi KAA, dan Karnaval Asia Afrika.

Sebuah niatan sejarah tersebut tetap muncul ditengah masyarakat Indonesia yang mungkin mulai melupakan peristiwa sejarah tersebutRelevansi? Tentu kita mulai dulu dari me-lintas niatan sejarah yang dibangun oleh lima orang pria penggagas Konperensi Asia Afrika, Ali Sastroeamindjojo dari In-

donesia, Sir John Kotelawala dari Sriklanka, Muhammad Ali Bogra dari Pakistan, Jawahhahral Nehru dari India dan U Nu dari Burma. Kita harus menyepakati dulu, nia-tan sejarah tersebut dibentuk atas kesamaan nasib, yaitu kolonialisme dan imperialise.

Seperti halnya gaung persatu-an, Indonesia adalah lakon utama dibalik semua pergerakan terbesar bangsa-bangsa dalam negara dunia ketiga. Bahwa seharusnya ada yang harus diperjuangkan pada masa itu, dimana dua poros besar saat itu sedang sibuk-sibuknya berbi-cara mengenai teknologi, politik pengaruh dan persenjataan. Di negara dunia ketiga masih belum mencapai kebebasan dirinya untuk bebas menentukan nasib negaran-ya sendiri.Sebuah Niatan Sejarah

Persiapan ini bukan sekedar ser-emonial, niatan sejarah dilihat dari seberapa penting kah Konperensi Asia Afrika masih berdampakkah bagi negara- negara anggotanya.

Konperensi Asia Afrika adalah salah satu wadah yang sangat baik bagi negara-negara dunia ketiga pada zaman itu. Karakterisitik poli-tik global saat itu masih terkekeang pada perjuangan pembebasan negara-negara yang terjajah dan permasalahan negara dunia ketiga terhadap dua kutub dunia yang saling berjuang mendapatkan pen-garuh. Menurut mantan perdana menteri India, Jawahral Nehru, ada poin-poin penting yang dibawa oleh konperensi Asia Afrika dalam rumusan konkrit di depan sidang konperensi tersebut.

Disisi lain, menurut Malcom-X, tokoh terkemuka kulit berwarna, dia menyatakan bahwa Asia Afrika

Page 19: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

19KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

Kilas KAA

adalah sebuah pertemuan besar bagaima-na orang-orang kulit bewarna berhimpun merumuskan permasalahan di negaranya masing-masing.

Dalam pertemuan itu juga Indone-sia merumuskan bagaimana seharusnya negara dunia ketiga hadir sebagai bagian yang menggagas tinggi perdamaian dunia. Pada dasarnya, Asia Afrika adalah sebuah gagasan yang pada kesimpulan dalam dasasila bandung tetap akan abadi selama imperialism, kolonialisme dan modifikasi bentuk tersebut masih bersemayam da-lam sendi-sendi negara-negara di belahan Bumi ini yang masih merindukan arti dari perdamaian dan keadilan dunia.

Niatan sejarah tersebut pada dasarnya peluang bagi Asia-Afrika untuk kembali menantang fenomena tersebut untuk mendapatkan manfaat sebanyak-ban-yaknya. Fenemona seperti ini sudah jarang terjadi,contohnya Konstelasi perang dunia menunjukkan pola bipolar yang didasar-kan pada titik kulminasi perang pengaruh dan sektor perebutan kekuasaan ideologi.

Tetapi setelah perang dingin mereda, konsep globalisasi ekonomi pun mengalir deras membuat perubahan motif negara bergeser dari faktor politik keamanan menjadi ekonomi. Fenomena ini membuat pergesaran indikator kepentingan Seman-gat Asia – Afrika sendiri yang membuat semangat tersebut terlihat sampai saat ini hanya sebagai seremonial sejarah semata.

Mengidentifikasi Neo-Kolonialisme dan Imperialisme melalui Bandung Spirit

Kolonialisme mempunyai juga baju mod-ern, dalam bentuk penguasaan ekonomi, penguasaan intelektual, penguasaan ma-teril yang nyata, dilakukan oleh sekumpu-lan keil orang-orang asing yang tinggal di tengah-tengah rakyat . Begitulah kutipan pidato Presiden Soekarno dalam pembu-kaan KAA.

Intisari pidato tersebut memunculkan

fakta bahwa Bandung Spirit adalah sebuah kerelevansian yang ada bagaimanapun ja-man bergerak lewat pemahaman akan ba-haya dari kolonialisme dan imperialisme.

Kita melihat bahwa semakin berger-aknya zaman, hak-hak universal telah dibawa oleh dunia barat untuk memban-gun suatu sistem global yang dapat diap-likasikan oleh tiap-tiap negara di dunia ini. Tapi apakah sistem itu dapat diterap-kan, bahkan di negara-negara dunia ketiga sekalipun?

Bagaimana pengaruh kolonialisme dan imperialism di zaman globalisasi ini? Kita tak dapat memungkiri bahwa hak negara untuk menentukan arah hidupnya ada-lah sesuatu yang mutlak, bahkan dalam demokrasi sekalipun kebebasan adalah jaminan utama dari berjalanannya suatu sistem.

Tapi apa yang terjadi saat ini? Kita masih terkekang soal pemahaman anti penjajahan tetapi Negara tidak dapat me-nentukan piihan hidup sendiri. Seperti konflik Israel-palestina yang tak kunjung redam, agresi militer barat ke Iraq, Libya dan negara timur tengah lainnya, Ekspansi ekonomi Tiongkok ke benua Afrika yang sangat massif.

Mungkin kita akan kembali sosok-sosok orang seperti Chou Enlai, Nehru, Nasser Soekarno, dan banyak pemimpin Asia Af-rika lain yang berani mengambil langkah besar untuk mengaplikasikan arti dari perdamain dunia dan keadilan sosial.

Kita harus mengakui bahwa pada za-man saat ini, ketergantungan memang tidak bisa dielakkan, karena negara-nega-ra akan memainkan peranan cukup besar apabila mereka mampu merebut pemban-gunan teknologi. Inilah tantangan bagi Asia Afrika, tetapi apa yang kita ketahui tentang benua ini apabila media hanya memberikan konten-konten yang bersifat permasalahan dan macam-macamnya.

Mungkin kita masih ingat bagaimana agresi-agresi militer yang terjadi di Timur

Page 20: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

20 KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

Tengah, Penyakit Ebola dan isu kesehatan yang tak kunjung padam di Afrika, hing-ga permasalahan bencana alam, konflik negara tetangga dan gerakan separatis di Asia. Dengan semua permasalah yang terjadi, Apakah Tuhan menakdirkan Asia- Afrika sebagai benua yang ‘tak ramah’ un-tuk dihuni?

Ada kalimat-kalimat unik yang dilon-tarkan oleh Emily G. Bach, pemenang had-ian nobel perdamaian yang juga seorang sosiolog dan juga ekonomi. Menurutnya adalah sebuah keharusan niat bagaimana niat mulai dari KAA dibangun.

Ia memahami bahwa adalah sebuah urgensi di tengah kemelaratan pen-duduk dunia dan persaingan politik, dibutuhkan adan-ya keberanian untuk kemajuan cita-cita universal. Ia berpendapat bahwa dunia telah jemu akan penin-dasan, dogma dan peperangan. KAA adalah sebuah harapan besar bagi dunia khususnya bangsa-bangsa Asia Afrika untuk merumuskan masyarakat dan nilai-nilai baru yang dapat diterima.

Relevansi KAA : Dari Kerjasama Se-latan-Selatan Hingga Penyelesaian Konflik Palestina

Dari permasalahan yang kita bahas sebelumnya, sepertinya Konperensi Asia Afrika telah kehilangan beberapa momen-tum guna mengambil kembali tujuannya. Yang terakhir tentang mempertanyakan KAA saat pengungsi Rohingya direpresi oleh Mayoritas penduduk di Myanmar.

Tetapi pada 60 tahun perayaan Asia Afrika april lalu, terlihat KAA mulai me-mainkan peranan penting dalam hal

tersebut. Terlihat saat penutupan KAA di Bandung April lalu, ada beberapa poin terkait pentingnya Kerja sama Selatan Se-latan yang melibatkan negara-negara di Asia dan Afrika. Kemudian pembahasan mengenai penyegaran kemitraan strategis baru dan deklarasi utama tentang dukun-gan besar terkait kemerdekaan Palestina.

Berlangsungnya konperensi tersebut juga terkait dengan dukungan penuh se-mua negara yang terdiri dari 32 kepala negara, dari 92 delegasi negara yang men-dukung kemerdekaan penuh Palestina yang terarsip dalam Deklarasi Palestina.

Kilas KAA

Dari bidang ekonomi sendiri, Presiden Robert Mugabe dari Zimbabwe menya-takan bahwa kepentingan yang sangat be-sar bagi negara-negara Asia Afrika untuk membangun kerjasama ekonomi di ten-gah arus perdagangan global yang diken-dalikan oleh negara barat.

Tetapi untuk menjalankan itu semua , tentu harus ada dahulu penyelesaian konflik politik,ekonomi, sosial yang ada di masing-masing negara anggota.

Penulis : M. Iqbal Yunazwardi

Page 21: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

21KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

alam wawancara dengan Tri Hendra Wahyudi, salah satu dosen Ilmu Poli-tik, narasumber mengenai demonstrasi

mahasiswa, dirinya mengeluhkan pemaknaan kata ‘anarki’ yang tidak sesuai tempatnya. Dari sini, saya mencoba mengantar pembaca kepada sebuah gerbang yang sering disalahartikan, yaitu paham anarkisme. Referensi yang digunakan bersumber pada laman anarkis.org dan Budaya Bebas karya Lawrence Lessig. Sekali lagi ini hanyalah penjelasan anarkisme yang dijelaskan secara umum dan hanya menyentuh permukaannya saja. Anda dapat men-gakses laman tersebut untuk penjelasan yang lebih rinci dan dalam. Anarkisme ada-lah paham yang sering sekali di-salahartikan. Umumnya kata ‘anarki’ atau ‘anarkisme ’ terse-but digunakan untuk mengartikan ‘chaos’ atau kekacauan, dan keadaan ‘menolak kon-stitusi’. Akibatnya, pa-ham tersebut disinyalir sebagai sesuatu yang hanya mengingin-kan kekacauan. Tak jarang orang mengartikannya sebagai bentuk tindakan destruktif atau merusak. Hal ini dipercayai orang tanpa melihat asal usulnya. Tindakan seperti ini adalah buah pikiran yang keliru yang sudah umum dipercayai publik (common fallacy). Orang-orang menganggap ide tersebut benar demikian, anarki selalu merujuk pada kekacauan, padahal ide tersebut tidak benar, namun sudah terlanjur menyebar luas di masyarakat yang kemudian diterima dan terinternalisasi.

Mengartikan ‘Anarki’ dan ‘Anarkisme’ Anarkisme pertama kali muncul dari pem-berontakan petani Eropa abad pertengahan, tepat-

nya pada puncak revolusi Perancis 1789. Namun, masyarakat mulai menggunakan istilah anarkisme pada abad ke-19 untuk menggambarkan secara positif ideologi sosial serta politik yang tak memerlu-kan kehadiaran pemerintah. Para penggiat gagasan ini adalah Pierre Joseph Proudhon, Michael Bakunin dan Peter Kropotkin. Kata ‘anarki’ berasal dari bahasa Yunani, awalan an atau a berarti ‘tidak’ atau ‘ketiadaan’ se-dangkan archos berarti ‘peraturan’ , “penguasa”. Anarki bisa diartikan sebagai keadaan dimana tidak ada suatu aturan. Jadi Anarkisme, seperti yang di

katakan P.J Proudhon, adalah teori politik yang bertujuan mencipta-kan anarki, “ketiadaan tuan, tanpa raja yang berkuasa.” Dalam kata lain, anarkisme adalah paham yang bertujuan untuk menciptakan suatu masyarakat yang di dalamnya individu bebas berkumpul ber-sama secara sederajat. Dengan adanya istilah demokrasi, maka istilah anarki ini akan semakin diarahkan pada pemberontakkan. Anarki dengan tegas

menolak kekuasaan, sementara demokrasi mengambil seorang yang kemudian di-jadikan sebagai pemimpin tertinggi dalam sebuah negara. Demokrasi menganggap jika tidak ada pe-merintahan, negara akan menjadi kacau, maka wa-jar saja jika anarki, yang menolak pemerintahan, sering dimaknai sebagai tindakan kekacauan. Namun, makna anarki tak sekedar berarti anti-pemerintah, atau anti-negara. Anarkisme teru-tama adalah gerakan yang melawan hierarki. Men-gapa? Karena hierarki adalah struktur organisa-sional yang mewujudkan kekuasaan. Negara adalah bentuk “tertinggi” dari hierarki, golongan anarkis, seperti definisi, adalah anti-negara. Namun definisi

Pemaknaan Anarkisme dan Konsep Budaya Bebas

Opini

DOleh: Rahmawati Nur Azizah

Page 22: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

22 KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

ini tidak cukup untuk menjelaskan anarkisme. Kaum anarkis juga membela bentuk-bentuk organisasi sosial, politik, dan ekonomi yang anti hier-arki dan lebih kooperatif. Artinya kaum anarkis yang sesungguhnya melawan semua bentuk organisasi hierarkis dan dominasi, tidak hanya negara. Semua orang ditempatkan dalam keadaan setara, tanpa ada sekat sekat diantara mereka. Anarkisme sering dinilai negatif oleh se-bagian masyarakat, maka kaum anarkis mencoba memberikan nama lain dari anarkisme. Istilah yang paling biasa digunakan adalah “sosialisme bebas”, “komunisme bebas”, “sosialisme liberal”, dan “komu-nisme liberal”. Bagi kaum anarkis, sosialisme liberal, komunisme liberal, dan anarkisme dapat diartikan sama saja. American Heritage Dictionary menjabarkan pengertian sosialisme liberal, “Liberal : Seseorang yang percaya di dalam kebebasan bertindak dan ber-pikir; seseorang yang percaya di dalam kehendak be-bas.Sosialisme: Suatu sistem sosial yang di dalamnya para produsen memiliki kekuasaan politik dan sarana produksi serta mendistribusikan barang.” Maka dapat didefinisikan, sosialisme liberal, ”suatu sistem sosial yang percaya dalam kebebasan bertindak, berpikir, dan kehendak bebas, serta di da-lamnya produsen memiliki kekuatan politis, sarana untuk memproduksi dan mendistribusikan barang. Namun, demikian banyak Libertans Ameri-ka yang menganggap bahwa ini hanyalah suatu cara kaum anarkis menggabungkan ide Sosialis (yang anti liberal) dengan ide liberal supaya ide ide sosialis tersebut dapat lebih mudah diterima oleh kaum lib-eral.

Budaya Bebas: Lisensi Creative Commons Karena konsep awal anarkisme adalah kes-etaraan dan kerjasama sukarela, maka hal tersebut sependapat dengan konsep budaya bebas, konsep yang lahir dan tumbuh besar di era digital sekarang ini. Era dimana seluruh dunia sudah didominasi oleh kecanggihan internet. Budaya bebas menawarkan sesuatu yang menarik, membebaskan konten kont-en tertentu dengan bermacam syarat tertentu pula, demi manfaat bersama. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, anarkisme tidak hanya menolak negara tapi juga dominasi. Sebagai contoh adalah lisensi Creative

Common, yang menerapkan gagasan copyleft yaitu gagasan yang memberikan hak kepada seseorang untuk merubah sebuah karya, dan meneruskan ke-pada orang lain dengan syarat, orang tersebut juga menyebarkan dan meneruskan hak yang sama kepa-da orang lain, memberikan attribusi, atau pencantu-man nama pembuat karya, dan tidak mengambil ke-untungan atau memperjualbelikan karya tersebut. Tindakan ini jelas mencerminkan konsep anarkisme yang positif, dan berlawanan dengan kon-sep copyright yang hanya menguntungkan individu dan menyebabkan persaingan, bukannya kerjasama. Konsep creative commons ini tetap menempatkan kreator utama sebagai pemegang kendali hak cipta, namun karya yang diciptakan bisa dibagikan bebas dengan siapa saja. Lahir Creative Commons,sebuah korporasi nirlaba yang didirikan di Massachusetts, namun berasal dari Universitas Stanford. Tujuannya mem-bangun lapisan hak cipta yang masuk akal di atas ekstrem-ekstrem yang sekarang mendominasi. Cara yang ditempuh ialah mempermudah orang membangun karya atas karya orang lain, dengan cara memudahkan para pencipta untuk membebas-kan orang lain mengambil dan membangun di atas karya-karya mereka. Di dalamnya terdapat kode kode sederhana yang disertai penjelasan yang mudah dibaca manu-sia dan terikat papda lisensi yang kuatm sehingga mmebuat usaha ini mudah dilakukan. Lisensi Creative Commons mendasari ber-lakunya kebebasan bagi siapapun yang mengakses li-sensi ini. Sampai sekarang lisensi Creative Commons sudah cukup mendunia. Di Indonesia misalnya, telah lahir berbagai macam netlabel, sebutan untuk label berbasis internet yang memberikan konten musik gratis, seperti YesNoWave, Hujan Rekords, dll. juga di bidang penerbitan seperti zine, buku, dan lain seba-gainya. Dengan ini, anarki tidak bisa diartikan seba-gai chaos ataupun suatu usaha yang dilakukan kaum anarkis untuk menciptakan kekacauan atau ketidak tertiban. Malah, kaum anarkis ingin menciptakan suatu masyarakat yang berdasarkan kebebasan in-dividu dan kooperasi sukarela. Dengan kata lain, tatanan dari bawah ke atas, bukan ketidaktertiban yang muncul dari atas ke bawah karena kekuasaan.

Opini

Page 23: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

23KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

Page 24: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

24 KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

Nobar Bubar

Sore itu, tepatnya saat hari buruh internasional, petugas keamanan FIA men-datangi panita pemutaran film Samin vs Se-men dan Alkinemokiye. Sekitar tiga puluh menit sebelum film pertama diputar, salah seorang petugas menanyakan izin yang dikeluarkan pihak Dekanat FIA. Panitia be-lum bisa memulai jika belum mengantongi izin dari dekanat. “Kalau terjadi apa-apa, yang disalahkan kami juga,” ujar salah se-orang satpam. LPM Dianns selaku panitia pelaksa-na, merasa keberatan. Panitia hanya meme-gang izin yang keluar dari pihak rektorat. Sementara, pihak keamanan tetap teguh, panitia harus mengantongi izin dari deka-nat agar acara bisa dimulai. Padahal panitia sudah menyiapkan agenda acara mulai dari menonton bareng sampai diskusi bersama. “Saya melihat ada rasa ketakutan pada satu Mei. Kita dicap, mengandung ideologi ter-tentu, padahal ini bentuk harmonisasi ma-hasiswa dan buruh,” ungkap Syaukani Ich-san, Pemimpin Umum LPM Dianns. Soal perizinan, panitia sebenarnya terlebih dulu telah mengajukan propos-al kegiatan kepada pihak dekanat. Pihak dekanat masih mempertimbangkannya, terkesan mengulur-ulur waktu pemberian izin. Panitia kemudian diarahkan untuk me-minta izin kepada rektorat. Namun, setelah mendapat izin tertulis dari rektorat, pihak dekanat masih belum memberi kepastian kepada LPM Dianns, selaku panitia, untuk menyelenggarakan pemutaran film. Lama membincangkan perizinan, panitia memutuskan untuk memulai acara. Jam setengah delapan malam, acara diawali

dengan pembacaan orasi peringatan hari buruh. Peserta, mulai dari mahasiswa sam-pai dosen, sudah memenuhi lantai satu FIA. Sedikit demi sedikit penonton juga mulai bertambah, tak hanya mahasiswa FIA se-mata. Alkinemokiye akhirnya tampak di layar. Di luar ruangan, penjagaan begitu ketat. Satpam kampus dan universitas mengawasi dari setiap area. Beberapa dari mereka juga ikut nimbrung ke dalam acara sambil menyaksikan film suguhan panitia. Suasana terbilang kondusif. Semua peserta tampak antusias mengikuti alur demi alur film. Alkinemokiye sendiri berkisah ten-tang perjuangan para buruh di Freeport, Papua yang meminta kenaikan upah. Di sisi lain, film ini juga mengangkat realita yang terjadi di bumi cenderawasih ini. Kekeras-an aparat keamanan kepada warga tampak dalam cerita. Sebuah rangkaian yang coba menceritakan keadaan sebenarnya di Pa-pua. Saat semua peserta asyik-asyiknya menonton, sebuah sedan hitam memasuki halaman gedung pemutaran. Setelah pintu terbuka, tampak Siti Marfuah, Kasubbag Rumah Tangga UB, keluar dari dalam mobil. Kedatangannya disambut pihak keamanan, namun bukan sebagai peserta diskusi. Di-rinya bermaksud memberhentikan acara. “Mohon maaf, acara harus berhenti. Ini sudah jam setengah sembilan. Ini tol-eransi dari pihak FIA sendiri, karena tidak ada titik temu untuk acara di sini. Jadi ses-uai kesepakatan, acara harus berhenti. Mo-hon maaf,” ujar seorang satpam memasuki

Larang-Melarang di FIA

Saat mahasiswa secara mandiri menghidupkan diskusi, hambatan malah datang dari pihak dekanat sendiri, takut bermuatan politis. Pelarangan

dianggap lebih ampuh ketimbang hadir dalam diskusi.

Page 25: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

25KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

memaksa mahasiswa untuk bubar. Sontak, pemberitahuan itu menge-jutkan penonton. Film belum tuntas di-tonton, masih berjalan setengah babak. Sorak-sorai peserta meminta film dilanjut-kan bergema di hall gedung. Namun, pihak keamanan tetap pada pendiriannya. Layar proyektor segera digulung. “Adik-adik (ma-hasiswa), saya tahu acaranya belum selesai. Begini saja, acara bisa dilanjutkan nanti, mengajukan izin kembali. Mungkin tem-patnya bukan di FIA,” ujar Siti Marfuah di depan banyak peserta.

Marfuah memang menerbitkan su-rat izin kepada panitia. Namun, dia menilai ada kekeliruan dalam menanggapi periz-inan tersebut. Dirinya tak langsung mem-berikan izin pemutaran film, karena tem-patnya berada di fakultas. Izin itu masih pada wewenang pihak dekanat. “Tadi dihubungi oleh Kabag TU, ternyata tidak ada perintah untuk men-

dampingi acara. Dekan juga tidak member-ikan izin,” kata Marfuah. “Saya tadi juga me-nyampaikan kepada Kabag TU, mahasiswa sudah banyak, pemateri dan dosen kita su-dah hadir. Namun, Pak Puji bersikeras tidak mengizinkan, karena belum berkoordinasi dengan Bagian TU atau PD III.” Panitia merasa kecewa atas pem-bubaran acara mereka. Kekecewaan ini bu-kan pada administrasi perizinan semata, tetapi menyangkut kebebasan dan otonomi mahasiswa dalam mengembangkan keil-muannya. “Saya menyadari ada yang pro dan kontra terhadap film ini,” kata Ican, sa-paan Syaukani Ichsan. Aliansi Mahasiswa Peduli Demokra-si (AMPD) juga menyayangkan pembuba-ran nobar ini. Mahasiswa yang bergabung dalam aliansi melakukan unjuk rasa di de-pan gedung rektorat dan dekanat. Mereka menuntut dekan minta maaf dan meminta proses mediasi antara dua belah pihak. Mediasi akhirnya berlangsung, 13 Mei silam. Seluruh perwakilan LKM dan LOF FIA hadir pada mediasi tersebut. Di forum ini, Bambang Supriyono, Dekan FIA, menyampaikan permohonan maaf atas pembubaran yang terjadi. Dia hadir seba-gai pihak kedua yang mewakili pimpinan fakultas. Pembahasan tidak lagi mengungkit kejadian yang terdahulu. Kedua pihak me-nyepakati tujuh butir hasil mediasi dengan membubuhkan tanda tangan bermaterai dari mediator, perwakilan organsisasi ma-hasiswa, dan dekan FIA. Pada salah satu butir, mahasiswa meminta pihak dekanat memerjelas sistem administrasi kegiatan mahasiswa. “Masalah satu organisasi ada-lah masalah bersama, ini merupakan ruang deliberatif,” ungkap Ican.

Nobar Bubar

Beberapa butir kesepatan mediasi

Penulis : Efrem Siregar

Page 26: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

26 KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

CIEE... WISUDA...

SELAMAT ATAS DIWISUDANYA:

ELYVIA INAYAH, S.I.Kom.

DHEA CANDRA DEWI S.A.P., M.A.P.

KARINA TRI HAPSARI, S.A.B.

Koordinator Media2011-2012

Sekretaris Umum2012-2013

Bendahara Umum2012-2013

Adalah hal yang mengecewakan saat akhirnya kita harus berpi-sah dengan kalian semua, terlebih hidup diluar sana lebih berat dari

kavling 10.

Page 27: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

27KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

SI KASEP Akademik Barbar

Page 28: Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

28 KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015