Top Banner
Sengkarut Kebijakan Pendidikan Tinggi
28

Buletin kaji april 2015

Jul 21, 2016

Download

Documents

lkm unj

Buletin Kaji Edisi April 2015 "Sengkarut Kebijakan Pendidikan Tinggi" Silahkan dibaca edisi e-paper nya (Proyek angkatan Lalumiere 2013) Lembaga Kajian Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Buletin kaji april 2015

1Edisi April 2015

Sengkarut Kebijakan Pendidikan Tinggi

Page 2: Buletin kaji april 2015

2 Sengkarut Kebijakan Pendidikan Tinggi

Sekretariat LKM UNJJl. Rawamangun Muka

Kampus A UNJ, Gedung G, Ruang 305

www.lkm-unj-blogspot.com

www.facebook.com/LembagaKajianMahasiswa

@lkmunj

Penasehat : Irsyad Ridho, M.HumPenanggung Jawab : Rizki PujiantoPemimpin Redaksi : Aflahudin MasrurReporter : Ayu Rahayu, Alviana Rizqi Suryanto, Linda HayatiEditor : Rahmat Mustakim, Hadi Setioko, Rizki PujiantoLayout : Aprilla Puji LestariKontributor : Afiful Hajiroh, Dina Aulia, Herlina Amriani, Dina Chaerani, Rafidah Aprilia

SUSUNAN REDAKSI BuletinKajiKRITIS - AKTUAL - JUJUR - INDEPENDEN

SAMBUTAN REDAKSI

“Syukurlah, Buletin Kaji edisi terbaru ini bisa terbit

kembali. Sebetulnya persiapan sudah dilakukan

sejak beberapa bulan lalu. Meliputi perumusan

tema, pembagian rubrik dan lainnya. Meski begitu,

kendala tetap ada, terkhusus secara lebih teknis.

Edisi kali ini memaparkan seputar problematika

dalam dunia pendidikan, yang lagi-lagi tidak

ada habisnya. Persoalan Program Pendidikan

Guru (PPG) masih layak dipertanyakan. Soal nasib mahasiswa yang mengikuti praktek PPL antar lintas angkatan. Juga konsep dan realitas pendidikan multikulturalisme. Serta tidak lupa,

menyuguhkan tulisan lain yang tidak kalah menarik.

Kami menyajikan secara sederhana dengan harapan keberadaannya memberi manfaat. Untuk itu, kami pun mengajak pembaca untuk senantiasa haus akan

setiap informasi. Wabilakhir, selamat membaca.

DAFTAR ISI

LAPORAN UTAMA 3Wajib Kuliah 5 TahunLIPUTAN KHUSUS 5Dilema Pembatasan Kuliah 5 TahunESAI 7Bahasa Indonesia dalam Tantangan ZamanLIPUTAN 9-12Kretek Bagian dari KebudayaanMartin Potter Jenguk RA KartiniRESENSI BUKU 13Penyempitan Makna dan Arah PendidikanWawancara 15Multikulturalisme: Dari KacamataRahmat HidayatBINGKAI SASTRA 1720 Tahun Lalu, Berpuluh-puluh Tahun LagiCahaya PendidikanESAI JENAKA 18Bunuh DiriRESENSI FILM 20Karena Bicara Soal Nyawa Tidak CukupHanya 5 MenitSOSOK 23Beribadah di PerpustakaanLAIN 25-27LensaKarya LKM UNJ

Page 3: Buletin kaji april 2015

3Edisi April 2015

LAPORAN UTAMA

Kuliah di kampus berbasis pendidikan dan berharap menjadi tenaga pendidik di sekolah

nyatanya tidak bisa dilakukan setelah lulus. Menjadi guru bersertifikat profesional untuk mengajar tidak lagi menjadi bonus yang menggembirakan bagi lulusan sarjana pendidikan. Nyatanya, mahasiswa membutuhkan masa satu tahun untuk mengikuti program profesi untuk mendapatkan sertifikat mengajar atau akta IV. Perihal itu mahasiswa masih harus gigit jari lantaran kebijakan pemerintah yang dirasa memberatkan lulusan dikampus pendidikan seperti Universitas Negeri Jakarta.

Mulai wisuda periode juni 2014, sertifikat mengajar atau akta IV tidak akan dikeluarkan untuk lulusan FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan) ataupun Universitas berbasis pendidikan. Keputusan ini diambil atas keterangan surat Direktorat surat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 127/ E. E4 / MI/ 2014 tentang Sertifikat Pendidik.

Penghapusan Akta IV di lembaga berbasis pendidikan seperti UNJ erat hubungannya dengan isu PPG (Pendidikan Profesi Guru). PPG merupakan program pendidikan lanjutan bagi mahasiswa lulusan kependidikan yang ingin tersertifikasi menjadi guru professional. PPG dirancang dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pengajar di Indonesia. “PPG ini diadakan untuk memperbaiki kualitas tenaga didik Indonesia agar lebih profesional, sehingga

Alih-alih meningkatkan kualitas, justru PPG menuai protes bagi lulusan pendidikan.

Program PPGyang menuai Keluh Mahasiswa Basis Pendidikan

Dina Chaerani

tidak hanya tertutup untuk mahasiswa jurusan kependidikan namun juga untuk mahasiswa non-kependidikan. Ini sama halnya dengan profesi dokter. Ini sebuah momentum peningkatan kualitas profesi keguruan.

Mereka yang telah mengikuti PPG ini akan mendapat sertifikat. Sehingga tidak sembarangan menjadi guru atau pendidik,” jelas Drs. Agus Dudung, M.Pd selaku Ketua UPT PPL (Unit Pelaksana Teknis Program Pengalaman Lapangan) UNJ. Pada praktiknya, program yang diputuskan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) inipun masih belum banyak diketahui oleh mahasiswa UNJ. Banyak mahasiswa mengeluh-eluhkan terbatasnya informasi mengenai PPG.

“Saya pribadi tidak tahu apa itu PPG sebenarnya. Lagian kayaknya itu masih baru juga, deh. Menurut saya dan temen-temen lainnya buta sekali soal PPG,” protes Fahmi, mahasiswa semester 8 Jurusan Bahasa Jerman UNJ. Pasalnya, selain minimnya sosialisasi, protes lainnya adalah mengenai keistimewaan UNJ sebagai lembaga pendidikan pencetak guru. Mahasiswa merasa dirugikan karena harus menempuh masa studi satu tahun perkuliahan untuk mendapatkan sertifikat mengajar.

Debora, mahasiswa jurusan 2011 Bahasa Jerman, juga mengeluh tentang mata kuliah PPL (Program Pengalaman Lapangan) yang ternyata tidak berujung

Page 4: Buletin kaji april 2015

4 Sengkarut Kebijakan Pendidikan Tinggi

pada keterangan seritifikat mengajar. “Menurut saya adanya PPG ini mengulur waktu saja. Apa istimewanya mahasiswa kependidikan kalau begitu? Toh, kita juga masih ikut PPL. Berarti konsepnya sama dengan PPG,” keluh Debora, mahasiswi angkatan 2011 Jurusan Bahasa Jerman.Drs. Agus Dudung, M.Pd, menambahkan bahwa PPG memang ditujukan bagi mereka yang telah menyelesaikan skripsi dan tentunya PPL. “PPL yang sejak 2013 diubah menjadi PLP (Praktek Latihan Persekolahan) itu hanya praktek mengajar untuk memenuhi syarat kelulusan, bukan mengajar secara

Ilustrasi: Annisa Dewanti Putri

professional,” jelas dosen teknik mesin ini.

Drs. Agus Dudung, M.Pd merespon kebijakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) ini untuk membuka kesempatan bagi para mahasiswa lulusan kependidikan maupun no kependidikan demi profesi guru yang lebih baik. “Tenang saja PPG ini tidak merugikan mahasiswa program studi kependidikan juga, kok. Untuk pendaftaran antara mahasiswa lulusan prodi kependidikan dan non-kependidikan pun dipisah. Mendaftar online di website Dikti yaitu http://www.dikti.go.id. Saya paham betul akan permasalahan ini. Memang berat agaknya, karena kebijakan ini pun masih baru dan belum semua mahasiswa mengetahuinya. Entah karena mereka yang malas membuka website kampus ataupun Dikti, atau kami yang belum maksimal mensosialisasikannya. Tapi ini adalah keputusan dari Kemendikbud, mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus menjalankannya,” tambah Drs. Agus Dudung, M.Pd.

Menanggapi prahara PPG, pihak Unit Pelaksana Teknis Program Pengalaman Lapangan UNJ menginformasikan bahwa kapanpun mahasiswa yang ingin menjadi pendidik bisa melakukan pendafaran

dengan syarat memiliki kualifikasi akademik minimal sajana (S-1) atau diploma empat (D-IV) dari program studi terakreditas, kecua;I Program studi PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar) dan PAUD (Pendidikan Usia Dini).

Pada akhirnya untuk mengatasi permasalahan sosialisasi, Drs. Agus Dudung, M.Pd menghimbau bahwa mahasiswa harus lebih aktif dalam mencari informasi apapun, terutama di website DIKTI, karena masih banyak informasi yang mungkin tidak diberikan oleh UNJ.

Page 5: Buletin kaji april 2015

5Edisi April 2015

LIPUTAN KHUSUS

Kuliah wajib lima tahun masih menjadi buah bibir di kalangan mahasiswa. Sejak bergulirnya

peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan awal tahun 2014 ini, mahasiswa menjadi khawatir tentang jumlah masa studi yang dibatasi 5 tahun itu. Banyak mahasiswa yang dilema karena tunggakan jumlah sks sedangkan masa studi sudah habis. Kondisi ini memicu berlarut-larut perdebatan diskusi antar mahasiswa.

Peraturan pemerintah ini menyangkut jumlah masa studi mahasiswa di perguruan tinggi. Peraturan yang dipertegas surat keputusan DIKTI menyatakan bahwa mahasiswa wajib kuliah lima tahun. Keputusan DIKTI ini diatur dalam permendikbud 49/2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT). Dalam pasal17 ayat 3c disebutkan bahwa masa studi terpakai bagi mahasiswa untuk program sarjana (S1) dan diploma 4 (D4) maksimal 5 tahun.

Pasalnya pembatasan masa kuliah ini menunjukkan beberapa pengaruh pada perguruan tinggi, salah satunya akreditasi perguruan tinggi. “Tidak hanya di perguruan tinggi swasta saja akreditasinya dipengaruhi oleh jumlah lulusan, tetapi di perguruan tinggi negeri pun akreditasinya dilihat dari banyaknya jumlah kelulusan mahasiswa,” jelas Dr. Aan Wasan,

M.Si selaku tim pengembangan mahasiswa dari PR III.

Dr. Aan Wasan, M.Si menambahkan bahwa sistem kurikulum pada perguruan tinggi ini dievaluasi setiap 4 bulan. Dari hasil evaluasi tersebut Dr. Aan Wasan, M.Si mengakui masih banyak mahasiswa yang masih melakukan perkuliahan. Padahal seharusnya mahasiswa tersebut telah selesai kuliah.

Dari keterangannya juga, hasil evaluasi dihitung berdasarkan

perhitungan Satuan Kredit Semester (SKS) untuk S1 berjumlah 144 sks. Jumlah 144 dikalkulasikan ke dalam 8 semester dengan hasil minimal 18 sks persemester. “Akan lebih baik jika persemester bisa mencapai 24 sks untuk

gelar S1 dan akan selesai dengan ketentuan 3,5 tahun. Hasil evaluasi ini merupakan solusi yang efektif dan saya optimis mahasiswa UNJ mampu menyelesaikan studinya maksimal 5 tahun,“ tambah Dr. Aan Wasan, M.Si.

Pasalnya pihak kampus justru minim untuk meningkatkan fasilitas untuk kelengkapan sarana pembelajaran. Peraturan baru yang dibuat oleh kemendikbud atas Permendikbud No. 49 tahun 2014 tentang standar nasional pendidikan tinggi, menyebutkan pasal 17 (ayat 3) durasi masa studi

DILEMA PEMBATASAN KULIAHLIMA TAHUN Lisda Lismaya dan Linda Hayati“Kuliah itu bukan hanya mencari ilmu, tapi juga pengalaman, te-man, dan yang paling penting manfaat mahasiswa buat masyarakat”.

Peraturan berasas hitung-hitungan masa kuliah justrutidak memperhitungkan peningkatan kualitas mahasiswa.

“Kualitas mahasiswa bukan ditentukan dari lama atau tepat waktunya lulus masa studi. ...,”

jelas Indra aktivis Lembaga Pers UNJ, Didaktika.

Page 6: Buletin kaji april 2015

6 Sengkarut Kebijakan Pendidikan Tinggi

pendidikan tinggi yang berisi meliputi keterangan jumlah maksimal masa studi wajib tempuh selama perkuliahan ini yang masih sulit diterima oleh mahasiswa.

Mahasiswa merasa keputusan itu kurang memperhatikan kondisi yang terjadi di kampus. “Kualitas mahasiswa bukan ditentukan dari lama atau tepat waktunya lulus masa studi. Mahasiswa

yang studinya lama belum tentu dia tidak berkualitas, siapa tahu dia lebih memiliki wawasan yang luas.Dan mahasiswa yang studinya tepat waktu belum tentu berkualitas juga, siapa tau dia kurang siap menghadapi dunia kerja dan akhirnya pengangguran,” jelas Indra aktivis Lembaga Pers UNJ, Didaktika.

Indra menganggap alasan peraturan permendikbud dinilai masih ambigu.“Pemerintah menilai mempersingkat masa studi dilakukan demi mengurangi APBN Negara yang di berikan kepada mahasiswa lama dan kemudian memberikan kepada mahasiswa yang akan masuk kuliah. Tetapi bukankah setiap mahasiswa sudah diwajibkan untuk membayar uang kuliah tunggal tiap semester bahkan biaya tersebut naik setiap angkatan baru,” ucap Indra

Gunawan, saat ditemui disela-sela kegiatan kajiannya.

Sejumlah aktivis kampus menyambut khawatir pula pada keikutsertaan mahasiswa akan organisasi kampus. Situasi ini akan memberi efek pada regenerasi atau pola pengkaderisasi anggota baru. Kepala Departemen PSDM BEM FT, Hadi Sumantri menguraikan persoalan yang dihadapi BEM terkait kaderisasi yang berubah apabila peraturan

permendikbud ini dilaksanakan. “Jika peraturan ini dilaksanakan itu berarti angkatan lama harus segera fokus kepada studinya dan tidak ada lagi yang mengikuti keorganisasian di kampus baik tingkat jurusan, fakultas maupun universitas. Itu berarti nantinya mahasiswa baru bisa langsung menjabat sebagai pengurus harian BEMJ bukan lagi staff,” ucap mantan ketua HIMA Sipil ini.

Peraturan permendikbud yang berujung pada pembatasan masa kuliah, biaya tinggi, dan regenerasi aktivis pada akhirnya akan terus menjadi peraturan yang bias tujuan serta penuh imbas negatif. “Aktivis yang berani ikut akan sedikit dan enggak akan sebanyak sebelum peraturan ini muncul,” celetuk Indra.

Sumber: http://alpinedailyplanet.typepad.com/.a/6a0133f2e9fdbf970b01a51165005b970c-pi

Page 7: Buletin kaji april 2015

7Edisi April 2015

Melihat perkembangan bahasa Indonesia dengan imajinasi sejarah, akan sangat nampak sebuah

peristiwa yang sedang kita alami saat ini. Masa lalu dan kini tidak bisa kita pisahkan begitu saja. Oleh karena itu, istilah “jas merah” menjadi wacana politik Soekarno untuk menegaskan betapa pentingnya sejarah bagi keberlangsungan hidup esok dan yang akan datang.

Imajinasi modernisasi pada masa Belanda membawa pengaruh terhadap perkembangan nasionalisme kebahasaan kita. Bahasa Melayu dan bahasa daerah kala itu, menjadi inferior diganakan, dan sesegera mungkin menyesuaikan diri untuk dapat berbahasa Belanda agar dapat hidup lebih layak dan berkecukupan. Hanya itu penolong mereka pada fase kesengsaraan baik secara pengetahuan dan perkembangan keteknologian pada masa prakemerdekaan.

Sutan Takdir Alisyahbana dalam pidatonya (1986) meneguhkan sebuah perisitiwa penting pada masa kedudukan Belanda di Indonesia. Pada fase ini tentulah penting berbahasa Belanda. Orang Indonesia tentu mengerti, seseorang yang menguasai bahasa Belanda saat itu akan mendapat kedudukan yang lebih tinggi dan gaji yang lebih besar ketimbang orang yang hanya memahami bahasa melayu dan bahasa daerah. Pada

intinya, STA berpendapat bahwa dengan menguasai bahasa Belanda, ia masuk ke dalam kebudayaan modern.Melihat perkembangan bahasa tentunya sangat berkaitan erat dengan perkembangan ilmu dan tekhnologi. Seperti dikatakan STA, kesadaran masyarakat Indonesia untuk menguasai bahasa belanda agar terbuka baginya dunia baru dunia ilmu dan tekhnologi, dunia martabat manusia dan pengetahuan yang tidak berhingga banyaknya, serta tidak ada dalam kebudayaan turun menurun.

Mungkin kita dapat mengingat seorang pribumi terpelajar di Belanda bernama Sosrokartono pada 29 Agustus 1899 dalam Kongres Ilmu Bahasa dan Sastra Belanda. Sosrokartono mencium

aroma kemajuan. Ia ingin menyerap seluruh intelektual kepunyaan Belanda, kereta-kereta melaju dengan cepat tanpa kuda di jalur besi, dan bahkan, kapal-kapal melaju bebas tanpa layar sebagai simbol modernisasi telah mempengaruhi Sosrokartono untuk mengagumi bahasa Belanda untuk dikembangkan di Hindia.

Nilai modernisasi atas dasar penguasaan teknologi dan pengetahuan bangsa barat dalam perkembangan masyarakat Indonesia prakemerdekaan memberi pengaruh bagi kehidupan kaum bumi putera dalam

Bahasa Indonesia Dalam Tantangan Zaman

Afiful Hajiroh

ESAI

Hingga akhirnya, semangat nasionalisme kepemudaan tumbuh dan mencetuskan

sumpah pemuda untuk meraih kebebasan berbangsa dan bernegara

oleh Indonesia.

Page 8: Buletin kaji april 2015

8 Sengkarut Kebijakan Pendidikan Tinggi

mempelajari bahasa Belanda sebelum datangnya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Hingga akhirnya, semangat nasionalisme kepemudaan tumbuh dan mencetuskan sumpah pemuda untuk meraih kebebasan berbangsa dan bernegara oleh Indonesia.

Momentum penting dalam perkembangan bahasa Indonesia ada pada saat kongres pemuda Indonesia yang dimotori oleh perkumpulan pemuda 28 oktober 1928. Mulai dari Jong Sumatra Bond, Sekar Roekoen Pasundan, Jong Java, Jong Ambon dan Pemoeda Indonesia dan kelompok lainnya melahirkan setitik harapan untuk kemandirian bangsa dengan adanya peristiwa Sumpah Pemuda, yakni bertanah air, berbangsa, dan dan menjunjung bahasa Indonesia.

Fase transisi peralihan bahasa Belanda ke Indonesia Pada masa pendudukan Jepang dirasa memberi beban terhadap intelek dan guru-guru di Indonesia, agar tidak menimbulkan kekacauan pada masyarakat administrasi di sekolah dan lembaga-lembaga lain. Pada tahun 1942, barulah didirikan Komisi Bahasa Indonesia yang beranggotakan bukan saja para ahli bahasa dan cendikiawan, tetapi juga para pemimpin politik tertinggi Soekarno-Hatta. Kala itu, mereka serempak berkeinginan untuk mendirikan kantor bahasa Indonesia.

Terdapat tiga tugas utama pada komisi bahasa Indonesia. Pertama, menciptakan istilah-istilah yang sangat diperlukan pada saat itu. Kedua, menilai kata-kata yang dipakai masyarakat umum, yaitu kata-kata mana yang diterima sebagai bahasa Indonesia dan mana yang tidak diterima sebagai bahasa Indonesia. Terakhir, menciptakan tata bahasa baru.

Hingga pada akhirnya, setelah proklamasi kemerdekaan, pekerjaan komisi bahasa Indonesia dilanjutkan oleh Universitas Indonesia. Kemudian dilanjutkan oleh lembaga pembinaan bahasa Indonesia dan sampai

pada pusat pembinaan dan pengembangan bahasa yang tertuang dalam UUD 1945. Isinya, kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bahasa kebangsaan, dan bahasa resmi dengan ringkas dan tidak meragu-ragukan. Dalam pasal 36, dinyatakan: Bahasa Negara adalah bahasa Indonesia. Dalam hal ini, perkembangan imajinasi bahasa Indonesia sedang bergerak menuju kepada perkembangan masyarakat dan kebudayaan modern. Seperti bahasa lain, baik Belanda atau Inggris. Perkembangan bahasa seolah bergerak mengejar ketertinggalan pada abad ke-20 untuk mengejar abad ke-21 demi mengalahkan India dan China. Padahal di negeri lain, permasalahan bahasa

bahkan bisa sampai menyebabkan pertumpahan darah, seperti di negara Spanyol ataupun Srilangka.

Kita masih menghadapi masalah yang serupa memperjuangkan bahasa Indonesia dalam arus modern yang ditandai dengan zaman globalisasi. Arus globalisasi telah mengajak kita untuk lebih mengenal dan memahami bahasa internasional, seperti bahasa Inggris sebagai modal utama keberlangsungan hidup, sebuah cara untuk “sukses” hidup dan berkecukupan. Tidak bisa disalahkan dan dipungkiri, bahwa hal ini tentunya sangat berkaitan erat

terhadap perkembangan pengetahuan dan tekhnologi Negara-negara maju pun lantas mempengaruhi bahasa mana yang lebih penting untuk kita pelajari bahkan kita kagumi.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dan tuan rumah yang telah diperjuangkan mati-matian oleh para pahlawan kita, apakah tetap bertahan di tengah pusaran zaman? Ataukah keberadaannya akan hanyut lalu menghilang? Itu semua kembali kepada diri kita masing-masing. Memaknai bahasa asing dalam realitas kehidupan kita sehari-hari. Baik sebagai kebutuhan dan tuntutan, ataukah akhirnya menjadi sebuah polemik kebudayaan.

http://sd.keepcalm-o-matic.co.uk/i/saya-bangga-menggunakan-bahasa-indonesia.png

Page 9: Buletin kaji april 2015

9Edisi April 2015

LIPUTAN

Pukul dua siang, acara seminar bedah buku pun dimulai. Jumlah peserta yang hadir cukup banyak, terlihat dari kursi-kursi yang dipadati peserta

hingga barisan paling belakang.

Bedah buku ini diawali dengan sejumlah penampilan seperti pembacaan puisi oleh Amar Ar risalah dari Jurusan Bahasa Indonesia dan pembacaan salah satu esai Muhammad Sobary oleh Rianto, moderator diskusi.

Prof. Mudji menjelaskan bahwa kretek merupakan salah satu warisan kebudayaan negeri. ia menyebutkan bahwa di balik kretek itulah, sebenarnya semua unsur-unsur yang dibahaskan dalam buku ini dapat membuat kita hidup. “Lalu, semua yang menghidupkan kita itu dimatikan atas nama peran bisnis. Di sini jelas terlihat bagaimana nasib para petani tembakau yang menjadi korban akan ketidakadilan,” papar Prof Mudji Sutrisno.

Semar Gugat di Temanggung berisikan kumpulan esai Muhammad Sobary. Ditulis langsung oleh Sobary lewat wawancara dan ikut dalam aktivitas petani tembakau di Temanggung. Sobary menjelaskan kretek sebagai warisan kebudayaan, berisikan pembelaan yang tepat oleh para petani tembakau.

Kretekbagian dari kebudayaan

Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM) Universitas Negeri Jakarta menggelar diskusi dan bedah buku Semar Gugat di Temanggung karya Muhammad Sobary di Unit Pelayanan Teknis UNJ pada (4/12)

lalu. Diskusi ini digagas atas kerjasama LKM UNJ dan Kompas Gramedia.Diskusi dan bedah buku Muhammad Sobary ini dibahas oleh Prof. Mudji Sutrisno.

Herlina Amriani

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Page 10: Buletin kaji april 2015

10 Sengkarut Kebijakan Pendidikan Tinggi

Menurut Sobary, saat ini kretek ditolak karena argumen kesehatan, merusak moral, atau apapun yang membuat kretek semakin bernilai negatif. “Jika kretek mati, maka pengaruh akan kebudayaannya tidak terasa,” ucap Mantan Kepala Kantor Berita Nasional Antara ini.

Ia menjelaskan bukan hanya sampai taraf kesadaran kita memaknai kretek. Baginya kesadaran sikap merevolusi mental tidak cukup, tetapi tindakan yang serius jauh lebih diperlukan.

“Saya merokok demi keputusan politik. Merokok sebagai bentuk perlawanan ideologis terhadap kaum kapitalis. Saya tidak terima dengan campur tangan kapitalis asing yang meneriakkan moralitas rokok, ekonomi rokok, dan kesehatan lingkungan akibat rokok. Padahal mereka ingin mengambil kretek kita ini,” tegas Sobary semangat.

Sobary yang juga sempat menjadi peneliti bidang kebudayaan dan agama di LIPI menambahkan bahwa dia tidak berani merokok kalau tidak mengetahui tentang divine kretek, atau kretek surgawi yang sehat, yang di dalamnya terdapat asam amino untuk mengganti sel-sel mati. “Bahkan kretek ini dapat menyembuhkan penyakit kanker, seperti riset yang dilakukan dokter Greta Zahar,” tambah Sobary.

Kretek menjadi sebuah tradisi dan kebudayaan masyakarat Indonesia dulu dan kini. “Kretek adalah identitas Indonesia. Dunia lain tidak punya kretek, mereka hanya punya rokok putih bukan kretek. Sebagai bagian dari kebudayaan, kita perlu mempertahankan kebudayaan kretek tersebut,” ajak Sobary lantang.

Prof. Mudji menyimpulkan bahwa kita harus kembali menafsirkan makna tradisi yang pada masa modern

yang sudah hilang ini. “Masa modernitas ini bisa dipertemukan antar generasi dengan cara berdialog, seperti yang dilakukan dalam seminar ini, yang membahas kretek sebagai bagian dari kebudayaan. Tinggal bagaimana memaknai tradisi itu sendiri apakah perlu dikembalikan atau tidak,” ucap budayawan dan dosen FIB UI ini.

Sebagai penutup, Sobary memberikan pesan bahwa menulislah sesuatu dengan pelan-pelan tetapi serius untuk kepentingan indonesia, dan kepentingan kebudayaan Indonesia. Ia menyarankan bahwa salah satu cara untuk dapat menulis adalah dengan marah pada keadaan, maka dengan sendirinya kita akan menulis.

Diskusi dan bedah buku ini diakhiri dengan penampilan grup musik Medipus UNJ dan pengumuman sayembara esai LKM UNJ. Esai Gifani, mahasiswa jurusan ekonomi 2014, dengan judul Pendidikan dan Pahlawan didaulat menjadi pemenang sayembara esai bertema Pendidikan dan Pahlawan.

Sumber: dokumentasi Pribadi

Page 11: Buletin kaji april 2015

11Edisi April 2015

Lewat seorang Eskimo bernama Nanook, ia menamatkan waktu sampai enam belas bulan

lamanya, merekam segala aktivitas keseharian yaitu berburu, makan, tidur, dan lainnya.

Surat kabar New York pun menerbitkan tulisan John Grieson yang mengulas Nanook of the North.Dari berita itulah publik mengapresiasi dan pakar dokumenter menobatkan Flaherty sebagai bapak film dokumenter.

Seiring waktu ke depan, suguhan film dokumenter tak jarang diminati masyarakat. Karya itu merepresentasikan kenyataan. Dari kehidupan asli, fakta dipotret. Hasil jepretannya lantas diperlihatkan secara kolektif. Emosi penonton yang menyimak, terkadang bisa terkoyak. Rasa empati, sedih, bahagia, miris, maupun apatis, diletupkan lewat kepala masing-masing.

Itu pula yang meledak di salah satu kelas di gedung RA Kartini, Universitas Negeri Jakarta. Meski di luar bercuaca agak terik, di dalam terseduh dialog gemericik. Bertepatan 41 tahun yang lalu dengan peristiwa Malari, yaitu 15 Januari, acara nonton bareng (nobar) berlangsung. Sejumlah garapan film dokumenter berdurasi pendek diputar untuk dikisahkan.

Yang berkisah justru bule berkebangsaan Australia, Martin Potter.Seorang yang dikenal sebagai Creative Directorsekaligus Produser dari kelompok video multi platform Big Stories of Small Towns. Nama itu pun berhasil melekat di benak peserta yang hadir.

Lewat komunikasi berbahasa Inggris yang cukup jelas, Martin bertutur. Bila kurang, ada Egi Ryan Aldino,

Martin Potter Jenguk RA KartiniRahmat Mustakim

LIPUTAN

mahasiswa UNJ jurusan bahasa Inggris yang turun sebagai translator. Ketika di tahun 2000, mulanya ia bermain sebagai play maker untuk mengangkat Taring Padi, kolektif seni politik yang berkediaman di Yogyakarta. Dengan durasi 2:19 yang disaksikan peserta lewat Youtube, video berjudul Indonesia Art Activism and Rock ‘n Roll menilik sisi lain dari komunitas bergaya hidup punk, yaitu kehadirannya sebagai politic artist.

Fokus peliputan Martin berada di sekitar asia-pasifik.Dengan ajakan yang kooperatif, Martin bersama dengan proyek Big Stories Small Towns, mengajak beragam komunitas dari pelbagai negara tetangganya.Seperti dari Kamboja, Myanmar, Indonesia, termasuk tanah kelahirannya, Australia.

Konsep dari Big Strories Small Towns sebetulnya sederhana. Mengangkat cerita kehidupan penduduk setempat berupa pedesaan.Sebab di kota-kota kecil yang terpencil jauh itulah, terdapat cerita besar dengan rupa macam-macam identitasnya. Caranya, melalui kerja samadengan penduduk. Alhasil, Big Stories Small Towns mampu menggarap pekerjaan dokumenter seperti film pendek, kisah digital, serta esai foto yang menguak ilham yang penuh kasih, humor, dan harapan.

Hasil-hasil kerja itu bisa diakses di www.bigstories.com.au. Di halaman muka website, pengunjung bisa mengklik konten yang ada, berupa video dokumenter berdurasi pendek dari tiap kota penghasil karyanya. Atau memilih empat kategori di beranda seperti towns, collections, media dan themes.

Martin coba membagi realitas kehidupan seseorang.Seperti judul While Were Alive and Strong We Have to Work Hard di ruang kelas itu. Diceritakan,

Konon, tayangnya film Nanook of the North (1922) mengawali istilah kata film dokumenter. Film karya Robert Flaherty menggambarkan kehidupan di bumi belahan kutub utara.

Page 12: Buletin kaji april 2015

12 Sengkarut Kebijakan Pendidikan Tinggi

profesi seorang nenek tua bernama Chieng, asal desa Phnom, Kamboja, yang berjualan sayur-mayur, harus menempuh jarak sekitar 5-6 km lamanya untuk tiba di pasar. Nenek Chieng menjadi semacam simbolis bahwa di desa Phnom ditumbuhi bermacam konflik seperti status sosial, kesejahteraan, dan keadilan.

Isu-isu sosial itulah yang kemudian menjadi tanya. Sejauh mana signifikansi perubahan sosial bisa terjadi.Sebab sebuah dokumenter audio-visual hanya sekedar meraih feedback secara eksternal orang yang menyaksikan.Secara internal (ketokohan yang diangkat), besar kemungkinan belum tercapai.Perlahan gelitik itu dicermati Tia, mahasiswa UNJ jurusan Sosiologi, lewat pertanyaan yang diajukan kepada Martin.

“Sebetulnya penayangan film dokumenter hanya sebatas mengulas dari apa yang barangkali kita belum tahu. Aspek advokasi, organisasi, edukasi dan lainnya diulek dalam film. Kalau disatukan, kesemuanya bisa membuka keran pola pikir dari kepala orang-orang yang merekam pengalaman dari film, lewat daya imajinasinya”, ujar Martin.

Tak hanya Martin Potter. Hadir pula tokoh-tokoh filmmaker asal dalam negeri, seperti Enrico Aditjondro, Dodid Wijanarko, juga Dhyta Caturani. Ketiganya saling membagi pengalaman seputar pembuatan film dokumenter.

Salah satunya Enrico, Mantan seorang editor Asia Tenggara untuk EngageMedia.org yang kini tengah menjalankan kampanye mengenai pembatasan tembakau di Indonesia melalui World Lung Foundation, membagi kisah soal proyek film garapannya di Aceh. Ia harus menghadapi situasi tegang karena salah satu pemain filmnya meminta pembuatan ulang film. Perempuan asal Aceh itu mendapat kritikan oleh temannya karena dalam film itu ia melepas jilbabnya.

Dodid menambahkan bahwa seorang filmmaker harus mengerti secara

keseluruhan proyek film yang dibuat. “Bagi filmmaker pemula harus mengerti dan paham segala hal serta tujuan dari pembuatan filmnya,” ujar filmmaker dari Rumah Pohon Indonesia ini.

Martin Potter berhasil mengangkat problem sosial yang selalu berkembang dalam masyarakat keseharian. Maka itu film dokumenter bisa melebur dalam segala perspektif bidang keilmuan yang dipakai. Seperti dalam sambutan Irsyad Ridho bahwa film dokumenter bisa dikategorikan sebagai sastra. “Film itu adalah sastra. Sastra kini bukanlah soal Printing saja, tetapi juga soal audio visual,” ujar dosen bahasa dan sastra Indonesia yang aktif mengurus Lembaga Kajian Mahasiswa UNJ.

Di tahun 2015 ini, Martin lewat Big Stories Small Towns berencana akan melanjutkan misinya untuk membuat film dokumenter bersama sineas setempat di pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Acara pun ditutup dengan pembagian buletin sastra Stomata, yang juga diasuh oleh Irsyad Ridho.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Page 13: Buletin kaji april 2015

13Edisi April 2015

RESENSI BUKU

Pendidikan formal misalnya lembaga pendidikan PAUD, SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA dan

Universitas/Perguruan Tinggi. Pendidikan nonformal seperti halnya lembaga Bimbingan Belajar (Bimbel), lembaga kursus dan lembaga pelatihan. Sedangkan pendidikan informal adalah pendidikan yang ada dalam keluarga, teman sepermainan dan lain sebagainya.

Nampaknya ketiga ranah pendidikan tersebut tidak berjalan seimbang karena saat ini pendidikan yang selalu diusung dan didengungkan adalah pendidikan formal saja. Banyak problem dalam dunia pendidikan. Tetapi yang paling sering diperhatikan adalah permasalahan pada pendidikan formal, misalnya kurikulum sekolah, tawuran pelajar dan permasalahan lainnya. Pemerintah dan hampir semua lapisan masyarakat hanya memperhatikan ranah pendidikan

formal saja. Padahal di luar pendidikan formal ada juga yang harus diperhatikan.

Dengan hanya memperhatikan ranah pendidikan formal saja, masyarakat yang mengenyam pendidikan hanya diproyeksikan pada usaha untuk mencapai intelektualitas, prestasi akademik, dan tentu hanya bertumpu pada aspek kognitif. Hal-hal lain yang ada di luar aspek kognitif kurang diperhatikan. Akibatnya melahirkan manusia yang mempunyai tingkat intelektualitas tinggi dan penuh dengan rasa kebanggaan terhadap dirinya sebagai intelektual. Dengan kebanggaan akan terhadap dirinya akan melahirkan prestise belaka dan cenderung mengesampingkan sikap yang bermoral, inilah titik reoerientasi pendidikan.

Inilah yang menjadi kekhawatiran H.A.R. Tilaar dalam melihat pendidikan saat ini. Kekhawatiran tersebut dapat kita lihat dalam buku-buku yang pernah ditulisnya. Saat ini arah dan proses pendidikan telah berjalan pada jalur yang keliru. Proses pendidikan yang ada sekarang ini cenderung lebih diproyeksikan ke arah akademik dengan beragam tuntutannya. Padahal pendidikan sendiri bertujuan untuk “memanusiakan

Penyempitan maknadan

arah pendidikanAflahudin Masrur

Judul Buku : Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani IndonesiaPenulis : H.A.R. TilaarKota Terbit : BandungPenerbit : PT Remaja RosdakaryaTahun Terbit : 1999

Page 14: Buletin kaji april 2015

14 Sengkarut Kebijakan Pendidikan Tinggi

manusia menuju manusia yang berbudaya.”

Manusia berbudaya merupakan cita-cita yang digagas oleh H.A.R. Tilaar. Karena di dalam manusia berbudaya terdapat suatu proses pemanusiaan. Maksudnya yaitu terjadi perubahan, perkembangan, dan motivasi pada manusia. Ini bertujuan untuk menjadi manusia yang seutuhnya. Tilaar juga mengatakan bahwa proses pendidikan sebagai suatu proses kebudayaan haruslah melihat peserta didik bukan sebagai suatu entiti yang terpecah-pecah tetapi sebagai individu yang menyeluruh atau sebagai seorang manusia seutuhnya di tengah kehidupan yang serba kompleks.

Dengan menjadi manusia seutuhnya, maka dalam dirinya akan sadar dengan dua hal, yaitu; pertama, individu sebagai pelaku di dalam masyarakatnya. Kedua, sadar terhadap pranata-pranata sosial yang menampung nilai-nilai budaya yang akan mengatur tercapainya tujuan bersama. Dengan bermodalkan dua hal ini, maka masyarakat akan mudah dibentuk menjadi masyarakat madani (civil society). Karena jika kita berbicara mengenai individu maka kita berbicara mengenai hak dan kewajiban individu. Selanjutnya apabila kita berbicara mengenai pranata-pranata sosial maka kita memasuki bidang yang berkenaan dengan kerjasama antar individu.

Dua hal inilah yang menjadi modal untuk mencapai masyarakat demokratis. Masyarakat demokratis tak ubahnya sebagai masyarakat madani (civil society). Tilaar mengatakan bahwa masyarakat madani adalah suatu masyarakat demokratis dan menghargai human dignity atau hak-hak dan tanggung jawab manusia (Lihat hlm:160).

Sebenarnya inilah yang menjadi tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan, yaitu menciptakan

masyarakat madani yang di dalamnya terdapat kesukarelaan,

keswasembadaan, kemandirian tinggi terhadap negara dan keterkaitan pada nilai-nilai hukum yang disepakati bersama.

Namun dalam realitasnya, di tengah kehidupan kita terdapat pandangan yang salah kaprah. Seperti orang yang berpendidikan misalnya, cenderung memandang pekerjaan petani sebagai pekerjaan rendah, tidak ada prestise, dan pandangan negatif lainnya. Padahal petani merupakan pekerjaan yang

paling menentukan bagaimana seseorang dapat hidup dan kemudian dapat menjalani aktivitasnya, akhirnya karena reorientasi ciri lakon pendidikan kita semua harus kita relakan terjadi. Ternyata proses pendidikan menjadikan pandangan manusia terhadap hal lain yang bukan bagian dari akademik cenderung menjadi negatif.

Dari beberapa hal tersebut, arah dan makna pendidikan semakin menyempit pada aspek akademik. Proses pendidikan diarahkan menjadi manusia yang berakademik bukan manusia yang berbudaya. Padahal akademik merupakan bagian dari kebudayaan (kultur).

Aspek kultural semakin dilupakan oleh banyak orang. Jika ini terus dipertahankan mungkin petani akan terus dianggap sebagai sebuah pekerjaan, lebih mengerikannya lagi mental ndeso, inlander, dan tak ber-prestise akan selalu melekat, bukan melainkan sebagai aspek kebudayaan yang keberadaannya harus dikembangkan. Aspek kultural merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari dunia manusia apalagi pendidikan. Sejatinya manusia hidup dalam lingkup kebudayaan yang keberadaannya harus terus lestari mempertahankan tradisi bernilai.

Ilustrasi: Azarya Arkyoda

Page 15: Buletin kaji april 2015

15Edisi April 2015

WAWANCARA

Nama : Rakhmat Hidayat, S.Sos., M.Si TTL : Cirebon, 13 April 1980Pekerjaan : Dosen dan penelitiMinat : Membaca, Wisata Kuliner, Meneliti

Bagaimana perkembangan multikulturalisme di Indonesia?

Multikulturalisme berkembang setelah masa orde baru selesai. Saat orde baru, konteks masyarakat bersifat tunggal, seragam atau top down. Tak ada keragaman berpikir, tak ada ruang bagi masyarakat, sementara negara memonopoli.

Pada pengalihan dari orde baru ke reformasi terjadi kecelakaan sejarah yang berbentuk faksionalis. Hal tersebut muncul karena masyarakat tidak terbiasa dengan perbedaan.

Setelah orde baru, simbol agama baru

muncul diperbolehkan dan lebih terbuka.

Masyarakat menjadi lebih dominan daripada negara. Terjadi penyerangan lambang negara dengan bentuk kerusuhan, aksi anarkis di daerah-daerah. Sekarang, negara mulai bangkit untuk mengawasi multikulturalisme di Indonesia.

Mengapa terjadi out of control dalam multikulturalisme?Pengawasan diluar kendali bisa bermasalah karena sumbatan-sumbatan mekanisme yang tidak bisa mengakomodir kepentingan masyarakat. Tahun 1998-2001 adalah puncak

MULTIKULTURALISME:DARI KACAMATA RAKHMAT HIDAYATAlviana Rizqi Suryanto

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Pada kesempatan kali ini, tim redaksi Buletin Kaji mendapatkan

kesempatan untuk menemui Bapak Rakhmat Hidayat, S.Sos, M.Si. Beliau adalah salah satu dosen Sosiologi di UNJ yang begitu mencintai literasi. Tulisan-tulisannya banyak tersebar di surat kabar nasional.

Nah, terkait dengan resensi buku di halaman sebelumnya yang membahas mengenai istilah multikulturalisme, dalam rubrik wawancara ini, Bapak Rakhmat menjelaskan lebih jauh mengenai istilah itu. Berikut cuplikan wawancaranya yang berhasil tim redaksi Buletin Kaji rangkum:

Page 16: Buletin kaji april 2015

16 Sengkarut Kebijakan Pendidikan Tinggi

out of control di Indonesia yang merupakan hal wajar sebagai bentuk konsekuensi logis dari sistem sosial. Masalah tersebut bisa diselesaikan melalui mekanisme mediasi dimana negara turun untuk menengahi konflik yang ada di masyarakat.

Apakah Indonesia berpeluang sebagai negara multikultural?Ya, tentu. Multikulturalisme bersifat mengikat atau menganyam. Multikuturalisme adalah wajah Indonesia sesungguhnya dimana ratusan bahasa dan budaya diikat menjadi satu sebagai representasi keragaman. Meskipun begitu, Indonesia rentan dan berpotensi terjadi separatisme. Nah, untuk itulah local knowledge yang sudah berkembang di masyarakat bisa memperkuat multikulturalisme

Usaha apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk mewujudkan masyarakat yang multikultural?Bagaimana upaya yang dilakukan agar tidak terjadi perpecahan?Di sektor pendidikan, pemerintah bisa memperbaiki sarana dan akses pendidikan. Kemudian pemerintah membuka lapangan pekerjaan untuk sektor ekonomi. Pemerintah harus melakukan tindakan hukum lebih tegas. Pemerintah memperbolehkan masyarakat untuk mengekspresikan pendapat asal tidak mengganggu hak hidup orang lain.

Seharusnya, pemerintah bidang sosial dan ekonomi dikelola dengan baik. Kita tahu

Setelah menamatkan pendidikan sarjana dari Jurusan Sosiologi FISIP Unsoed, Purwokerto

(2002), ia bekerja sebagai wartawan majalah Cakram sejak 2003-2005.

Tahun 2004, ia mulai mengajar di Jurusan Sosiologi, FIS UNJ hingga saat ini. Tahun 2006,

melanjutkan studi magister di Departemen Sosiologi FISIP UI. Studi magister diselesaikan

pada Juli 2008.

Menambah jaringan, relasi dan teman merupakan energi positif dalam

meningkatkan kualitas diri sekaligus memperkuat modal sosial.

‘orang bisa berpikir kalau perut kenyang’ maka ekonomi adalah kunci utama permasalahan.

Apa peran pendidikan dalam mewujudkan multikulturalisme di Indonesia?Lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam menanamkan nilai-nilai universal, perbedaan, demokrasi, toleransi dan multikulturalisme. Yang menjadi masalah adalah jika yang diajarkan tentang dogma, terorisme, partikulturalisme. Sekolah harus bisa menjauhkan paham-paham tersebut, dibantu dengan kontrol pemerintah, Lembaga Sosial Masyarakat dan mahasiswa.

Kampus bisa meng-edukasi masyarakat dengan bentuk kampanye. Negara sebagai aktor otoritatif harus mampu bersinergis dengan masyarakat. Seharusnya.

Page 17: Buletin kaji april 2015

17Edisi April 2015

BINGKAI SASTRA

Biar temaram dalam ruang,Dan debu di antara lembaran-lembaran,Sepenggal kisah termaktub dalam dinding tak berbata

Bekas tiap-tiap goresan ilmu yang tertinggalMenyisakan kenangan sang pengabdi tanpa pamrihPada reruntuhan bangku kosong nan lusuhTergeletak asa tak bertuan

20 tahun lalu,Seorang pemuda bersafari sering datang kemariBerdiri di dekat papan hitamMenggoreskan apa yang sekarang membekas dalam benak

20 tahun lalu,Seorang pemuda penuh semangat datang kemariMenceritakan tiap-tiap kata dalam bukuMembangkitkan nafsu haus pengetahuanSayang , nyatanya Tuhan terlalu mencintainyaMungkin surga juga telah merindunyaTak kan lagi pemuda itu kembali

20 tahun lagi, berpuluh-puluh tahun lagi,Tak kan hilang namanya dalam sanubari

20 Tahun Lalu,Berpuluh-puluh Tahun Lagi

Alviana Rizqi Suryanto

Ia menyelami pikiranMasuk ke alam bawah sadar

Berproses di alam intelektualTenggelam dalam hati

Cahaya PendidikanDina Aulia

Memberi arahan dalam mengerti kehidupanMenggali rahasia-rahasia yang ada dalamnya

Teori praktik hasil dari keluarbiasaan otak manusiaMemperbaiki, menambah, membangun peradabannya

Tak boleh berhenti, tak boleh matiTetap bertambah dalam sikap dan pikiran

Berbagi pada diri yang merasa kurangMengedukasi pada pribadi yang

tidak mengerti

Page 18: Buletin kaji april 2015

18 Sengkarut Kebijakan Pendidikan Tinggi

Syahdan, judul asli Le Mythe de Sisyphe yang berbahasa Prancis terbit di tahun 1942. Sisifus

dikutuk sang dewa –manakala sepotong rahasia ia bocorkan. Batu raksasa didorongnya tepat dari lereng, naik menuju puncak gunung. Setibanya di puncak, batu lantas menggelinding ke bawah. Memaksa Sisifus mengerjakannya berulang. Adalah hukuman tragis paling terkutuk sepanjang masa –yang berbuntut kesia-siaan.

Bagi Camus, nasib perseorangan sama absurdnya dengan Sisifus. Segala wujud rutinitas dari tiap kita, sebetulnya cuplikan dari adegan tadi: mendorong batu ke puncak, lalu menyaksikan batu itu jatuh. Tampak dari bola mata, kesadaran terdeteksi: kita harus mengulang semua dari awal. Dan lagi.

Dari situlah, bunuh diri diaspali Camus sebagai jalan keluar. Seseorang boleh kira, hidupnya yang absurd tadi barangkali tak berarti. Pendeknya, Camus membujuk rayu logika: akhirilah, dengan cara bunuh diri.

Perintah Camus, barangkali dianggukkan Udin (yang tentu disamarkan namanya). Udin, jadi buah bibir masyarakat –yang mafhum buah persoalannya. Saat ia, masih berstatus pelajar di salah satu Sekolah Menengah Atas negeri, kota madya Jakarta Utara. Namanya yang berlabel angka itu dirahasiakan. Bukan karena tidak tersorot media, tetapi, demi menimbang alasan nama baik.

Bunuh DiriRahmat Mustakim

Suatu pagi, masyarakat di sekitar sekolah geger. Udin, diketahui tengah berjongkok di atas peluran semen, yang letaknya persis sebelum barisan genteng. Tubuhnya menyandar tembok. Kedua tangannya, tak lepas memeluk erat kakinya yang dilipat. Kepalanya tenggelam di sana.

Beberapa kali Udin berteriak tidak jelas. Seperti mengucap sebuah nama, juga luapan uneg-uneg. Sambil sesekali mengusap wajahnya. Air matanya tumpah,

meski tidak mengucur.

Dari lantai dua gedung sekolahnya, Udin berulah nekat. Niatannya melompat ke bawah –agar tubuhnya terjatuh. Tumbuh mengakar

di kepalanya, suatu keteguhan: ingin sesegera mungkin mengakhiri hidupnya.

Di bawahnya, orang-orang –termasuk guru dan kerabat sebayanya– tengah membujuk halus: meminta Udin membatalkan niatannya. Guru BK dikerahkan. Bahkan satpam, juga kepala bidang kurikulum. Tidak ketinggalan, kekasih hatinya. Yang juga sesama pelajar di sekolah itu.

Upayanya pun sia-sia. Lewat celah jendela kelas, Udin keburu diciduk bapak kepala bidang kurikulum yang membujuknya dari bawah tadi. Ia lalu dilarikan ke ruang guru, dengan agak berontak. Di sana, Udin diinterogasi perihal perkara yang merundungnya. Untuk diselesaikan secara kepala dingin.

ESAI JENAKA

Nasib manusia terlukis lewat mitos Sisifus. Lebih dari separo abad lalu, Camus bilang begitu. Sisifus diterjemahkan panjang Camus sebagai pemaknaan hidup, jauh ketimbang mendobrak tembok batas dalam legenda mitologi Yunani.

Bunuh diri tak lebih dari sebentuk kepengecutan, kesia-siaan,

ketidakberanian, menempuh hidup, dan apalah lainnya.

Page 19: Buletin kaji april 2015

19Edisi April 2015

Akhirnya, diketahuilah satu motif: Udin, semalam, baru saja putus hubungan dengan kekasih hatinya. Maka faktor psikologisnya terganggu. Oleh sebabnya kecewa, ia memilih bersepakat dengan skema pikiran Camus: bunuh diri –sebab merasa hidupnya tak lagi berarti.

Udin punya hak milik pribadi atas hidup dan mati. Dalam keputusannya yang belum utuh, ia bersekongkol dengan sifat berani. Saat ia baru ingin memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, besar kemungkinan, Udin tidak menyesali hidup yang telah dijalaninya. Sebab, di kepalanya sudah tergantung-menjerat kuat pada tambang kegelisahan, yaitu perkara sakit hati.

Itulah motif tunggal si Udin. Yang mungkin tidak dirumuskan sebagai “karena...”, melainkan sebagai “untuk...” Dari sini, timbul persepsi: Udin menyikapi bunuh diri bukan karena ingin mati, tetapi untuk keluar diri –dari perkara sakit hati. Bumbu inilah, yang kemudian dipakai Muhammad Damm (2011) untuk merumuskan sendiri racikan filsafat eksistensialismenya;

“Sebagian orang tidak memutuskan untuk bunuh diri karena sesuatu, tapi bunuh diri untuk sesuatu. Kedua-duanya adalah aspek dari sebuah motif. Salah satunya bisa saja lebih dominan, tapi sering kali aspek untuk luput dari pertimbangan orang-orang yang mencoba untuk memahami keputusan bunuh diri seseorang.” (Kematian: halaman 99)

Orang lain hanya bisa mencegah. Mungkin juga, hanya bisa menduga pasrah: bunuh diri tak lebih daripada sebentuk kepengecutan, kesia-siaan, ketidakberanian menempuh hidup; dan apalah lainnya. Tapi Socrates tidak pasrah. Ia lebih memilih untuk menenggak racun cemara daripada berhenti bertanya. Justru dengan

begitu, gagasannya dipertahankan sampai mati, bahwa hidup yang tak pernah diperiksa ialah hidup yang tak layak untuk dijalani. Pilihannya untuk bunuh diri agaknya lebih punya makna, yaitu idealismenya tidak dilacurkan.

Bila masih hidup, barangkali Socrates akan dijamu minum kopi oleh Udin. Sambil ngretek di warkop pinggir jalan, Udin berbisik kepadanya, “Camus itu keren, ya. Tiga tahun abis nerima nobel, dia mengamini doanya sendiri: cara paling absurd untuk mati adalah tewas dalam kecelakaan mobil.”

Sumber: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/a/a9/Fools_Cap_(PSF).png

Page 20: Buletin kaji april 2015

20 Sengkarut Kebijakan Pendidikan Tinggi

RESENSI FILM

Pada suatu malam, seorang pria tua mendengar pertengkaran ayah dan anak laki-laki yang

tinggal tepat di atas kamarnya. Pada tengah malam pertengkaran kembali terdengar dan dia mendengar anak laki-laki itu berteriak, “akan kubunuh kau!”, disusul suara tubuh terjatuh. Kemudian terdengar suara langkah kaki berlari menuruni tangga. Dari kamarnya, si orang tua berlari mencapai pintu, membukanya dan menemukan anak laki-laki itu berlari meninggalkan rumah.

Di tempat lain, di sebuah rumah yang berseberangan dengan rumah tempat pembunuhan terjadi dan hanya dipisahkan oleh jalur rel kereta listrik, seorang wanita tua mengaku menyaksikan bagaimana pembunuhan itu terjadi dan dengan yakin bersaksi bahwa anak itu pelakunya. Malam itu dia berbaring di tempat tidur namun tidak bisa tidur karena kepanasan. Dia melihat ke arah jendela dan melihat anak itu menancapkan pisau di dada ayahnya. Waktu yang sama dengan yang diungkapkan si pria tua, sekitar tengah malam.

Film perdana karya tangan dingin Sidney Lumet ini bermula di pengadilan kota New York yang menjadi tempat semua bukti dan penafsiran hukum dijabarkan. Si anak 18 tahun duduk dengan wajah yang tidak mampu menutupi gambaran hatinya yang diliputi

Karena bicara soal nyawa tidak cukup hanya 5 menit

Silvia Anggraini Setiawan

Judul Film12 Angry MenTanggal RilisApril 1957 (Amerika)SutradaraSidney Lumet, Henry FondaSkenarioReginald RosePemainHenry Fonda, Lee J. Cobb, E. G. Marshall, Martin Balsam, Jack Klugman, Jack Warden, John Fiedler, Edward Binns, Joseph Sweeney, Ed Begley, George Voskovec, Robert Webber

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Seorang anak berusia 18 tahun terancam diseret ke kursi listrik lantaran diduga membunuh ayahnya. Dalam voting yang diadakan 12 orang juri, satu orang mengangkat tangan untuk suara “tidak bersalah”. Ketika ditanya kenapa, dia menjawab, “aku tidak tahu.”

Page 21: Buletin kaji april 2015

21Edisi April 2015

ketakutan yang memuncak. Dengan pembelaan dan dukungan yang kecil di pihaknya, dengan yakin dirinya benar-benar akan dibawa ke kursi listrik untuk hukuman mati. Sebagaimana tata cara peradilan yang berlaku, nasibnya ditentukan oleh dua belas juri persidangan. Walaupun kecil kemungkinan, namun dirinya tetap berharap keadilan berada di pihaknya.Dua belas juri duduk melingkar di ruang juri dengan posisi duduk berdasarkan urutan duduk di ruang persidangan untuk melakukan voting dan musyawarah dengan tujuan suara bulat. Urutan duduk ini yang kemudian menjadi penamaan tokoh-tokoh juri, seperti juri nomor 1, 2 dan seterusnya hingga 12. Juri nomor satu bertindak selaku ketua juri. Voting dilakukan dengan menghasilkan suara 1 banding 11, juri nomor 8 yang diperankan oleh Henry Fonda memberikan suaranya untuk tidak bersalah. Juri nomor 8 ini sejujurnya juga belum yakin akan keputusannya. Dia hanya ingin mendiskusikan sejumlah keraguan akan fakta-fakta yang ada yang terlintas di benaknya.

Jawaban ini membuat para juri lainnya heran. Juri nomer 7 yang sedari tadi ingin segera pulang menyaksikan pertandingan tim baseball favoritnya kesal, menyadari dirinya harus duduk lebih lama lagi. Di antaranya banyak yang lebih dahulu terlanjur telah diyakinkan oleh fakta yang diungkapkan dipersidangan. Meyakini sebelasnya bukanlah upaya yang mudah dilakukan juri nomor 8, terlebih ketika menghadapi orang yang peragu, pemarah, acuh, kasar sampai yang mudah tersinggung. Namun ketika dia mengungkapkan keraguannya akan fakta yang ada serta analisisnya yang

tajam dan logis, satu persatu pun mengubah suaranya menjadi ‘’tidak bersalah’’.

Para juri sebenarnya bukanlah orang-orang yang berasal dari dunia hukum. Beberapa diantaranya bahkan baru pertama kali menjalankan perannya selaku juri persidangan. Tidak banyak yang dibahas mengenai latar belakang juri-juri dalam film ini. Juri nomor 2 (John Fiedler) adalah seorang pegawai bank, juri nomor 3 (Lee J. Cobb) adalah seorang pebisnis, dan juri nomor 4 (E.G. Marshall) merupakan seorang broker. Pada suatu adegan percakapan di kamar mandi, identitas juri nomor 8 terungkap sebagai seorang arsitek. Satu identitas juri lainnya yang terungkap adalah juri nomor 12 (Robert Webber) yang diketahui sebagai seorang yang bekerja di agensi periklanan.

Sebagai karya perdana Sidney lumet, 12 Angry Men harus cukup puas dengan masuk 3 nominasi perfilman. Meskipun tidak sesukses film garapan Lumet lainnya seperti: Murder on the Orient Express (1974), Dog Day Afternoon (1975), ataupun Network (1976) yang berhasil meraih beragam penghargaan, film ini dinilai sebagai salah satu film Amerika yang paling berpengaruh. Uniknya, sutradara yang juga menggarap film Before the Devil Knows You’re Dead (2007) ini berhasil mengarahkan niat seorang wanita berbakat bernama Sonia Sotomayor untuk terjun ke dunia hukum dan besar sebagai seorang hakim Amerika karena karyanya, 12 Angry Men. Sutradara favorit Sean Connery ini meninggal pada tahun 2011 Sumber: Dokumentasi Pribadi

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Page 22: Buletin kaji april 2015

22 Sengkarut Kebijakan Pendidikan Tinggi

karena limposis di usia 86 tahun dengan menghasilkan 50 film dan namanya dikenang sebagai salah satu sutradara yang paling produktif di era modern dalam Encyclopedia of Hollywood.Kesuksesan 12 Angry Men tidak terlepas dari tangan Henry Fonda yang selain berperan sebagai aktor utama, juga berperan sebagai sutradara, bekerja bersama Lumet. Mengawali dunia seni peran sejak tahun 1928, rupanya tidak membuat Henry Fonda menjadikan perannya sebagai Juri nomor 8 mendapat kesulitan yang berarti. Aktor yang dibesarkan oleh panggung broadway ini sukses dengan memenangkan penghargaan best picture dalam Academy Awards tahun 1957 dan best actor dalam BAFTA Award tahun 1958. Aktor yang masuk ke dalam jajaran 6 aktor paling besar sepanjang zaman oleh American Film Institute (1999), ini meninggal karena penyakit hari di umur 77 tahun (1982). Di tahun duka bagi dunia perfilman Amerika ini, dirinya sempat meraih Best Motion Picture Actor dalam Golden Globes.Sistem pengadilan yang ditampilkan dalam film 12 Angry Men adalah sistem pengadilan dengan sistem juri yang berlaku hingga hari ini di Amerika Serikat.

Dalam sistem pengadilan juri, hakim bertugas membuka dan menjelaskan jalannya persidangan, serta memutuskan beratnya hukuman bagi terdakwa, sementara juri memberikan keputusan bersalah atau tidaknya terdakwa dalam suatu kesimpulan singkat. Penuntut umum menerangkan pada juri mengenai kasus yang terjadi dengan maksud mempengaruhi bahwa terdakwa adalah pihak yang bersalah.

Sementara itu, pengacara menerangkan pada juri bahwa terdakwa tidak bersalah.Proses pembuktian dilakukan dengan mendatangkan beberapa orang saksi sedangkan terdakwa tidak diperkenankan memberikan keterangan dalam persidangan. Juri tidak diperkenankan memberikan pertanyaan kepada terdakwa, saksi ataupun korban. Juri hanya diberikan kesempatan untuk memutuskan terdakwa bersalah atau tidak. Apabila juri tidak dapat

memutuskan, maka juri akan dikumpulkan dalam suatu ruangan untuk memutuskan dengan suara bulat.

Film hitam putih yang hanya berdurasi 97 menit ini dikemas dengan sangat apik. Dengan hanya menggunakan tiga latar tempat; ruang sidang, ruang juri dan kamar mandi di ruang juri yang hanya menggunakan ruang juri sebagai lokasi utama cerita. Dalam waktu kurang dari dua jam dan hanya menggunakan satu latar tempat untuk menjabarkan kasus, semua penafsiran kasus dan analisanya dapat tersampaikan dengan sederhana, logis dan tajam serta penokohan yang

tergambar dengan jelas. Menariknya, film ini tidak menggunakan nama khusus. Nama penokohannya hanya sebatas anak 18 tahun, ayahnya, orang tua yang tinggal dibawah tangga, wanita tua di seberang jalan dan nama-nama jurinya pun hanya berdasarkan pada nomor urutan duduk. Hingga pada akhir cerita kedua juri bertukar identitas, juri nomor 8 diketahui sebagai Davis dan juri nomor 9 sebagai McCardle. Peringatan dini bagi yang ingin menjajal film 12 Angry Men: Sepertinya butuh kekuatan ekstra untuk mengikuti alur cerita sampai habis bagi penonton yang tidak suka dengan film yang musiknya terlalu sederhana seperti 12 Angry Men.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Page 23: Buletin kaji april 2015

23Edisi April 2015

SOSOK

Dari koran pembungkus kado itu, Halimah terkadang tergelitik untuk membaca berita. Salah satu yang disukai adalah rubrik kriminalitas. “Karena itu yang gampang untuk dipahami,” kata perempuan berkulit cokelat itu.

Beruntungnya, ketika mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar Halimah mempunyai seorang teman anak tukang pos. Dia punya berbagai jenis majalah, salah satunya majalah Sahabat Pena. Halimah bersikeras untuk mengusahakan membeli majalah itu. Yang sangat disayangkan, temannya tidak berniat menjual ataupun meminjamkan majalahnya. Dengan kecewa, Halimah akhirnya hanya dapat menyewa bukunya.

“Satu minggunya Rp. 300,00. Uang jajan itu Rp. 100,00. Jadi untuk satu buku, harus nabung tiga hari,” ungkapnya.

Lain halnya ketika ia menempuh Sekolah Mengengah Atas (SMA). Halimah sewaktu SMA merantau ke Jakarta. Di rumah sepupunya, tempat Halimah berkediaman sekarang, banyak dihuni buku-buku. Saudaranya penggemar literasi. Ada sebuah bufet untuk menyimpan buku. Setiap bulan, rata-ratanya diisi dengan lima hingga enam buku baru. Keadaan ini yang buat Halimah semakin nyaman tinggal.

Belum berhenti di situ. Saat merangkak naik tingkat ke kelas sebelas, secara tidak sengaja, ruang kelas belajarnya berdekatan dengan perpustakaan. Hal itu

Perempuan asal Padang, Sumatera Barat itu baru menyandang gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) di

tahun kemarin, 2014. Untuk saat ini, Halimah tengah mengadu nasib di ibukota, menjadi guru bahasa Indonesia di salah satu sekolah dasar swasta. Meski begitu, di sela waktu yang semakin padat, ia masih menyempatkan diri untuk mewajibkan membaca. Literasi sudah jadi semacam nafas yang dikerjakan berulang, baginya. Layaknya ibadah yang diutarakan filsuf kenamaan dari Perancis, Jean-Paul Sartre.

Pada mulanya ketika semasa kecil, akses terhadap dunia literasi di kampungnya masih sulit, belum segampang sekarang. Sebab ia tinggal di daerah pelosok di Pulo Panggung, kabupaten Muara Enim. Di sana, toko buku mirip seperti oase, yang jaraknya tidak terjangkau. Apalagi perpustakaan, bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Langkanya bukan main.

“Waktu kecil, tidak ada hiburan yang memuaskan. Jam untuk menonton televisi pun dibatasi. Untuk mengisi waktu luang, iseng saja membaca,” ungkapnya sambil menyungging senyum.

Ibu dari Halimah ialah seorang pedagang baju di sebuah toko. Sebab itulah, ia diberi mandat. Tugas kesehariannya cuma satu, tidak lain menjaga toko ibunya. Toko itu menawarkan jasa membungkus kado untuk pelanggan. Untuk membungkus kado, dipakainya koran bekas yang dibeli seharga Rp. 500,00/ kilo.

BeribadahDI

PERrpustakaanAyu Rahayu

Setelan baju kotak-kotak dengan terbalut rok berwarna krem dia kenakan kali itu. Jilbabnya panjang, hingga menjuntai ke pinggang. Kira-kira itulah, ciri khas yang melekat dari seorang perempuan bernama Halimah.

Page 24: Buletin kaji april 2015

24 Sengkarut Kebijakan Pendidikan Tinggi

juga yang membuat dia senang. Selepas pelajaran usai, Halimah langsung menyambar perpustakaan. Meski terkadang pula, cuma sekedar membaca koran atau makalah hasil kakak kelasnya.Dari perjalanannya itu, akhirnya timbul hasrat untuk mengumpulkan buku-buku. Ditambah niatannya membuat perpustakaan pribadi. Hingga kini, perpustakaan pribadi di rumahnya sudah menampung total sekiranya 150 buku. Koleksi bukunya itu menjadi teman paling setia di kala senang maupun jenuh. Tidak hanya berbau sastra semata, namun juga buku politik dan sejarah yang ikut mewarnai koleksi perpustakaannya.

Pertemuannya dengan buku diakuinya sebagai sesuatu yang menarik. Salah satu kisahnya, ketika Halimah membeli sebuah novel. Pada mulanya ia mengira, buku yang dibelinya itu mengisahkan soal kehidupan romansa di Indonesia. Tetapi ternyata, ia membeli buku yang berkisah soal kehidupan di luar negeri. Ceritanya tentang seorang biarawati yang berzina dengan pendeta, lalu dihukum rajam. Judulnya Scarlet Letter karya Nathaniel Hawthorne.

“Ternyata buku ini berkisah tentang orang beragama kristen di Boston. Novel itu karya sastra yang bagus,” ujar Halimah.

Di kampusnya sendiri, Halimah terkenal senang menghabiskan waktu di Perpustakaan Pusat Bahasa kepunyaan Fakultas Bahasa dan Seni. Menurutnya, buku-buku di sana merupakan harta karun yang tidak ternilai. Ketika dirinya sudah lulus pun, ia masih sempat berkunjung ke sana: bersilaturahmi dengan buku-buku di Perpustakaan Pusat Bahasa.

“Kalau teman-teman mencari saya, mereka sudah paham kalau saya gak ada di masjid, sudah pasti saya berada di sini,” ujarnya.

Selepas membaca buku, biasanya Halimah akan menuangkannya ke dalam tulisan. Sebab menurutnya, buku yang sudah dibaca, namun tidak ditulis, akan menguap dan hilang dari ingatan. Kerap kali Halimah memajang tulisannya di dalam blog pribadi, atau

berbagai media sosial lainnya. Ia kurang begitu menyukai menaruh tulisannya di koran. Sebab dianggap daya kreativitas akan mati ketika tulisan ditentukan oleh tema.Puisi-puisi sering kali menjadi panutan oleh teman-temannya. Salah satu puisinya, Monolog Bada Isya, pernah singgah di Buletin Stomata (Sekitar Sastra dan Lainnya). Saat disinggung mengenai tulisannya, Halimah langsung berpendapat bahwa tulisan ialah sesuatu yang paling intim, seperti salat. Bersifat tidak dipaksakan, dan tidak untuk diperjualbelikan. Menurutnya, semua orang bisa jadi penulis. Karena pekerjaan menulis bukanlah bakat yang terlahir begitu saja, namun kemampuan yang senantiasa diasah.

“Gak setiap kali tulisan langsung jadi. Ketika mentok, sudahi saja dulu, lanjutkan nanti saja. Jika ingin menulis dengan tema yang lain, silakan, yang penting tulisan awal tetep disimpen,” begitulah tips yang dilontarkan alumni Pendidikan Bahasa Indonesia UNJ angkatan 2009 ini.

Terakhir, ada harapan yang tulus darinya. Sederhana saja, yaitu mengajak mahasiswa lainnya untuk meningkatkan budaya membaca. Mulailah dari membaca hal-hal yang ringan. Seperti komik atau baca status facebook orang. Setidaknya, membaca bisa menambah pengetahuan kosakata. Apapun. Ia juga berpesan, sebagai mahasiswa, harus tumbuh rasa gemar membaca, supaya berwawasan luas dan dapat membicarakan banyak hal.

Koleksi bukunya itu menjadi teman paling setia di kala senang

maupun jenuh. Tidak hanya berbau sastra semata, namun juga buku politik dan sejarah yang ikut mewarnai koleksi

perpustakaannya.

Page 25: Buletin kaji april 2015

25Edisi April 2015

LENSA

Mungkin,ini mantra lama yang kau lupa?

CieKalender Baru? Rafidah Aprilia

Setiap manusia pasti memiliki sebuah harapan. Entah dalam hal kecil, ataupun besar. Segala sesuatu yang dikerjakan, dipikirkan, dan dikatakan, dilakukan dengan harapan. Tanpa harapan, berarti manusia memutuskan untuk berhenti hidup. Jadi, miliki dan rengkuhlah harapanmu!

Bukankah hidup ini perlu meregang dan melenggang?Terkadang, segala sesuatu butuh meregang dan melenggang. Agar kehidupan bisa terus bernapas.Kita perlu belajar melenggang dan meregang, sebagaimana yang dilakukan sebuah jalan dan kendaraan. Agar bisa menghadirkan manusia baru, kita harus terus membuka, membuka, dan membuka.Berhenti, berhenti, dan tak selamanya berhenti. Tapi kita harus belajar meregang dan melenggang untuk orang lain agar kita tak berbahagiadengan cara kita sendiri.

Page 26: Buletin kaji april 2015

26 Sengkarut Kebijakan Pendidikan Tinggi

Tembok aja bisa kuat, masa kita enggak?

Harapan tidak akan menjelma menjadi kenyataan, tanpa adanya kekuatan. Namun, melakukan hal

yang benar, jujur, dan terhormat itu lebih penting daripada sekadar

kuat.

Pelajaran yang diajarkan di sekolah adalah berbuat lebih ketimbang sekadar menjawab benar soal ulangan atau ujian. Banyak orang menyalahkan keadaan, jika tidak sesuai harapan. Orang yang berhasil, adalah orang yang bisa mencari keadaan seperti apa yang mereka inginkan. Salah satunya, kita bisa mewujudkannya dengan menggunakan kuas, pallet, cat, dan sebidang kanvas. Memperlihatkan bagaimana kita memandang dunia.

Apa yang salah?

Page 27: Buletin kaji april 2015

27Edisi April 2015

KARYA LKM UNJ

Page 28: Buletin kaji april 2015

28 Sengkarut Kebijakan Pendidikan Tinggi

“Kuliah capek-capek, ujung-ujungnya ilmunya ga kepake?”

- Bang Kaji

Aprilla Puji L