Top Banner
205

Buku Studi Dampak Advokasi ABG 2006

Nov 21, 2015

Download

Documents

Anggaran berkeadilan gender selalu mulai dengan mengajukan pertanyaan yang sederhana: Apakah kebutuhan dan kepentingan
perempuan sudah dimasukkan dalam proses penganggaran?
Women Research Institute (WRI) menggunakan istilah Anggaran Berkeadilan Gender karena beberapa pertimbangan. Namun, salah satu alasannya adalah untuk selalu mengingatkan kita semua, termasuk para perencana dan pembuat anggaran agar selalu mempertimbangkan nilai- nilai keadilan dan kesetaraan berdasarkan pola hubungan yang tidak diskri- minatif baik menurut kelas sosial, agama, kelompok budaya, suku bangsa dan jenis kelamin.
Kurang lebih lima tahun belakangan ini, analisa anggaran dengan menggunakan perspektif gender, yang merupakan dasar kerja anggaran berkeadilan gender, telah menarik perhatian banyak pihak. Berbagai upaya telah dilakukan oleh para organisasi atau lembaga swadaya masyarakat (LSM ) di Indonesia, untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah serta keterlibatan warga. Upaya-upaya ini dilakukan untuk mendorong



VIII Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender



peningkatan kesejahteraan kalangan marjinal, terutama perempuan. Tujuannya, adalah untuk mengurangi dan menyelesaikan berbagai masalah ketidakadilan sosial di Indonesia.
WRI dengan dukungan dana dari European Union (EU) melalui The Partnership for Governance Reform in Indonesia (Partnership) telah melakukan kegiatan penelitian dan focus group discussion mengenai “Penilaian Dampak dan Kapasitas Program Advokasi Gender” sepanjang bulan Februari hingga Mei 2006.
Buku ini merupakan gambaran yang diperoleh WRI berdasarkan hasil studi yang telah diselenggarakan pada enam wilayah penelitian, yaitu Surakarta (Jawa Tengah), Yogyakarta meliputi Gunung Kidul (Daerah Istimewa Yogyakarta), Surabaya meliputi Lamongan (Jawa Timur), Mataram (Nusa Tenggara Barat), Makassar (Sulawesi Selatan) dan Kupang (Nusa Tenggara Timur). Tentu saja, informasi yang dipaparkan sangat berkait dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada wilayah penelitian tersebut. Sehingga, gambaran yang dituangkan dalam buku ini menggam- barkan seputar apa yang terjadi pada enam wilayah penelitian WRI. Sekalipun, advokasi Anggaran Berkeadilan Gender juga dilaksanakan pada wilayah-wilayah lain di Indonesia. Dan, mungkin saja akan memberikan gambaran yang berbeda dengan gambaran yang dituliskan dalam buku ini. Data dan informasi yang digunakan sepenuhnya dalam buku ini, hanya dapat mewakili situasi ke enam wilayah penelitian tersebut. WRI berharap paparan yang dituangkan dalam buku ini dapat memberikan kontribusi, bukan saja pada tataran substansial, namun juga pada tataran kelembagaan dan kebijakan. Sehingga, kesejahteraan bagi kalangan marjinal, terutama perempuan dapat terwujud.
Untuk itu, sekali lagi WRI mengucapkan banyak terima kasih atas segala dukungan yang telah diberikan oleh EU dan Partnership serta semua pihak yang telah turut terlibat dalam pelaksanaan penelitan ini.



Women Research Institute
Jakarta, Agustus 2006
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • AdvokasiAnggaran Berkeadilan Gender

    STUDI DAMPAK

  • Women Research Institute2006

    STUDI DAMPAK

    Aris Arif MundayatEdriana NoerdinSita Aripurnami

    AdvokasiAnggaran Berkeadilan Gender

  • Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan GenderISBN: 979-99305-5-3

    Women Research Institute, 2006

    PenulisDr. Aris Arif MundayatEdriana Noerdin, MASita Aripurnami, M.Sc

    PenelitiErni Agustini, M.SiDiana Teresa Pakasi, M.SiMargaret Aliyatul Maimunah, M.SiSiti Nurwati Hodijah, MAAmorisa Wiratri

    PenyuntingArya Wisesa

    Disain Cover & Tata LetakSekar Pireno KS

    Cetakan I, Agustus 2006

    Buku ini diterbitkan atas dukungan European Union dan Partnership.Isi buku sepenuhnya menjadi tanggungjawab Women Research Institute.

    PenerbitWomen Research InstituteJl. Kalibata Utara II No. 34A, RT. 016/RW. 02, Jakarta 12740 - INDONESIATel. (62-21) 798.7345 & 794.0727 Fax. (62-21) 798.7345Email: [email protected] Website: www.wri.or.id

  • Pengantar Penerbit

    Bab I.Pendahuluan

    Bab II.Proses Pelaksanaan Program Advokasi Anggaran BerkeadilanGender

    Bab III.Dinamika Pelaksanaan Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender

    Bab IV.Strategi dan Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender

    Bab V.Kesimpulan dan Rekomendasi

    Daftar Pustaka

    Glossarium

    VII

    1

    11

    65

    111

    173

    187

    191

    Daftar Isi

  • VIIPengantar Penerbit

    A nggaran berkeadilan gender selalu mulai dengan mengajukanpertanyaan yang sederhana: Apakah kebutuhan dan kepentinganperempuan sudah dimasukkan dalam proses penganggaran?

    Women Research Institute (WRI) menggunakan istilah AnggaranBerkeadilan Gender karena beberapa pertimbangan. Namun, salah satualasannya adalah untuk selalu mengingatkan kita semua, termasuk paraperencana dan pembuat anggaran agar selalu mempertimbangkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan berdasarkan pola hubungan yang tidak diskri-minatif baik menurut kelas sosial, agama, kelompok budaya, suku bangsadan jenis kelamin.

    Kurang lebih lima tahun belakangan ini, analisa anggaran denganmenggunakan perspektif gender, yang merupakan dasar kerja anggaranberkeadilan gender, telah menarik perhatian banyak pihak. Berbagai upayatelah dilakukan oleh para organisasi atau lembaga swadaya masyarakat(LSM ) di Indonesia, untuk meningkatkan peranan pemerintah daerahserta keterlibatan warga. Upaya-upaya ini dilakukan untuk mendorong

    Pengantar Penerbit

  • VIII Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender

    peningkatan kesejahteraan kalangan marjinal, terutama perempuan.Tujuannya, adalah untuk mengurangi dan menyelesaikan berbagai masalahketidakadilan sosial di Indonesia.

    WRI dengan dukungan dana dari European Union (EU) melalui ThePartnership for Governance Reform in Indonesia (Partnership) telah melakukankegiatan penelitian dan focus group discussion mengenai Penilaian Dampakdan Kapasitas Program Advokasi Gender sepanjang bulan Februari hinggaMei 2006.

    Buku ini merupakan gambaran yang diperoleh WRI berdasarkan hasilstudi yang telah diselenggarakan pada enam wilayah penelitian, yaituSurakarta (Jawa Tengah), Yogyakarta meliputi Gunung Kidul (DaerahIstimewa Yogyakarta), Surabaya meliputi Lamongan (Jawa Timur),Mataram (Nusa Tenggara Barat), Makassar (Sulawesi Selatan) dan Kupang(Nusa Tenggara Timur). Tentu saja, informasi yang dipaparkan sangatberkait dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada wilayah penelitiantersebut. Sehingga, gambaran yang dituangkan dalam buku ini menggam-barkan seputar apa yang terjadi pada enam wilayah penelitian WRI.Sekalipun, advokasi Anggaran Berkeadilan Gender juga dilaksanakan padawilayah-wilayah lain di Indonesia. Dan, mungkin saja akan memberikangambaran yang berbeda dengan gambaran yang dituliskan dalam bukuini. Data dan informasi yang digunakan sepenuhnya dalam buku ini, hanyadapat mewakili situasi ke enam wilayah penelitian tersebut. WRI berharappaparan yang dituangkan dalam buku ini dapat memberikan kontribusi,bukan saja pada tataran substansial, namun juga pada tataran kelembagaandan kebijakan. Sehingga, kesejahteraan bagi kalangan marjinal, terutamaperempuan dapat terwujud.

    Untuk itu, sekali lagi WRI mengucapkan banyak terima kasih atassegala dukungan yang telah diberikan oleh EU dan Partnership serta semuapihak yang telah turut terlibat dalam pelaksanaan penelitan ini.

    Women Research InstituteJakarta, Agustus 2006

  • Pendahuluan 1

    Bab IPendahuluan

    Latar Belakang

    P emerintah Indonesia melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9Tahun 2000 telah meletakkan dasar hukum bagi PengarusutamaanGender (PUG) dalam segala bidang pembangunan nasional. Pemerintahjuga berusaha mengambil langkah strategis guna mensosialisasikan pers-pektif gender. Dalam hal itu, pemerintah Indonesia pascareformasi 1998telah menunjukkan kemauan untuk mengimplementasikan strategi PUG,baik pada program pembangunan maupun kebijakan serta peraturan-peraturan yang dikeluarkan sebagai dasar hukum bagi kerja pemerintah.Tiga tahun setelah Inpres itu diterbitkan, pemerintah mengeluarkanKeputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132 Tahun 2003 tentangPedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pem-bangunan di Daerah. Peraturan itu menambah jajaran aturan yang adasebelumnya, misalnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentangpengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

  • 2 Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender

    Terhadap Perempuan (Convention to Eliminate all forms of DiscriminationAgainst Women; CEDAW). Sehubungan dengan upaya pemerintah mengim-plementasikan strategi PUG, terdapat beberapa peraturan seperti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan PembangunanNasional, khususnya Bab 12 yang berisi peningkatan kualitas hidupperempuan serta kesejahteraan dan perlindungan anak. Selain itu, dalamundang-undang yang sama, gender juga diarusutamakan dalam tiga belasbab lainnya, yang merupakan landasan operasional bagi pelaksanaanstrategi PUG pada masing-masing bidang pembangunan. Undang-Undangtersebut kemudian dijabarkan ke dalam Peraturan Presiden Nomor 7Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional(RPJMN) tahun 2004-2009.

    Secara lebih spesifik, pemerintah mengeluarkan rencana kerjatahunan, misalnya Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2005 yang beradadi bawah naungan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2004. Undang-undang itu menyebutkan perlunya analisis gender bagi kebijakanpembangunan. Sementara Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2005 yangmenjadi dasar kerja RKP 2006 menegaskan bahwa PUG ditetapkan sebagaisalah satu strategi yang perlu dilakukan seluruh bidang pembangunan agarkebijakan atau program atau kegiatan pembangunan responsif terhadapisu-isu gender.

    Walaupun demikian, kita sering menemukan adanya kesenjanganantara program atau kebijakan dengan alokasi anggaran untuk program-program yang telah dirumuskan. Kesenjangan juga tampak di antarakemauan pemerintah untuk lebih transparan dan lebih partisipatif dalamproses perencanaan dengan proses penganggarannya. Penganggaran dalamhal itu lebih merupakan hak sepenuhnya pemerintah daerah, akan tetapidi lain pihak proses perencanaan diharapkan dapat melibatkan masyarakat.Hal tersebut kemudian mendorong pemerintah untuk mengambil langkahstrategis guna mensosialisasikan perspektif gender. Secara umum, anggaranpemerintah daerah di Indonesia belum memiliki perspektif gender.Anggaran tersebut lebih merupakan alokasi keuangan daerah yang bersifataggregate, sehingga faktor manusia yang secara sosial dan budaya berbeda,bahkan dibedakan, tidaklah terpikirkan. Hal itu kemudian dapat mengha-silkan kebijakan yang bias. Akibatnya, dampak yang muncul sering kali

  • Pendahuluan 3

    tidak mendatangkan manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki.Dalam hal itu, pembangunan belum sungguh-sungguh ditujukan untukmeningkatkan kesejahteraan dengan memerhatikan kesenjangan genderyang terjadi di tengah masyarakat.

    Selain kesenjangan tersebut, juga terdapat masalah mengenai pengeta-huan gender di sebagian besar masyarakat maupun aparat pemerintah. Ditingkat masyarakat, pemahaman umum mengenai gender kerap disamakandengan jenis kelamin perempuan, yang akhirnya hanya dialamatkan padaisu mengenai perempuan, ketimbang konstruksi sosial dan budaya yangmenyebabkan terjadinya pembedaan peran perempuan dan laki-laki. Dalampraktik, hal itu cenderung mendiskriminasi perempuan dalam bidang apapun, sehingga kesejahteraan perempuan jauh lebih buruk daripada laki-laki. Sekalipun masyarakat memaknai gender sama dengan jenis kelaminperempuan yang bermuara hanya pada isu perempuan, hal itu menunjukkanbahwa ada keinginan untuk berusaha memahami apa yang disebut dengangender. Di lain pihak, persoalan mendasar justru terletak pada kenyataanbahwa sebagian besar aparat pemerintah daerah yang menangani peng-anggaran tidak mengetahui sama sekali pengertian tentang gender. Punbagi yang sudah mengetahui konsep gender, mereka belum mampu meng-gunakan kacamata gender untuk menentukan prioritas program dananggaran, baik untuk kebutuhan perempuan maupun laki-laki. Akibatnya,perempuan menjadi pihak yang dirugikan dalam konteks pengalokasiananggaran untuk pembangunan. Dalam hal itu, hasil pembangunan belummenjadikan perempuan setara dengan laki-laki. Dengan demikian, terdapatkesenjangan perspektif gender, baik pada tingkat perumusan programmaupun penganggaran.

    Pada dasarnya perumusan anggaran yang berperspektif gendermemiliki kemampuan untuk mengurangi kesenjangan tersebut, sehinggabias yang terjadi dapat dihindarkan. Misalnya, mengenai partisipasi perem-puan. Walaupun partisipasi telah dibuka sedemikian luas, hambatan sosialdan budaya yang membayangi perempuan tetap menjadikan mereka kurangdapat memengaruhi proses pengambilan keputusan. Kalaupun hadir dalamacara-acara pertemuan, perempuan sering kali hanya dihitung dalam kon-teks kehadirannya saja, bukan karena sumbangan pemikiran subtantifmereka. Akibatnya, akses dan kontrol mereka terhadap program pem-

  • 4 Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender

    bangunan menjadi sangat lemah. Akses dan kontrol terhadap programpembangunan masih lebih banyak berada di tangan kaum lelaki. Hal itumerupakan masalah yang perlu ditanggapi secara serius, karena terjadi didaerah-daerah penelitian. Untuk itu diperlukan pemikiran bersama agarbias gender dapat dihindarkan, karena dapat memberi dampak sosialberupa diskriminasi terhadap perempuan.

    Semenjak kebijakan pemerintah mengenai PUG dicanangkan pada2000, isu gender dalam pembangunan terasa lebih mendapat ruang yangpenting. Kebijakan tersebut tidak hanya mendorong jajaran birokrasi untuklebih memiliki perspektif gender, tetapi juga memacu lembaga-lembagadonor internasional untuk mendukung keterlibatan organisasi masyarakatsipil dalam mempercepat pergerakan isu gender. Jika dihitung, hampir limatahun belakangan ini advokasi anggaran berkeadilan gender telah menjadifokus kegiatan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indone-sia.

    Advokasi anggaran berkeadilan gender mulai diterapkan pada 2001oleh beberapa LSM anggota forum Gender Budget Analysis yang bekerja diaras nasional dengan jaringan di daerah dan anggota forum yang bekerjadi aras daerah. Pada aras nasional, forum itu melakukan advokasi genderbudget dengan mendesak Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) agarmengalokasikan anggaran sebesar 30 persen untuk sektor pendidikan,kesehatan 15 persen, dan anggaran pemberdayaan perempuan 5 persendari APBN (Ketetapan MPR Nomor 6 Tahun 2002). Pada aras daerah,forum itu mendorong pemerintah setempat untuk menyusun anggaranyang sensitif gender, seperti dilakukan di Surakarta, Yogyakarta, Surabaya,Sulawesi Selatan, Mataram, dan Kupang. Kendati awal perjalanan advokasitersebut tidak bermula dari isu anggaran seperti Sulawesi, Surabaya,Mataram, dan Kupang, yang mengawali dari voter education akhirnyamuncul gerakan bersama pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan RakyatDaerah (DPRD) untuk merumuskan Anggaran Pendapatan dan BelanjaDaerah (APBD) yang lebih sensitif gender melalui partisipasi aktif ditingkat pengusulan program dalam Musyawarah Rencana Pembangunan(Musrenbang), sehingga diharapkan terjadi keberimbangan, keadilan, dankesejahteraan dari dampak pembangunan, baik terhadap laki-laki maupunperempuan dan anak perempuan.

  • Pendahuluan 5

    Namun demikian, regulasi Musrenbang yang membuka partisipasipublik dalam hal perencanaan dan penganggaran tampaknya belum bisamendorong sebagian besar kabupaten atau kota untuk merestrukturisasiAPBD mereka. Melalui proses advokasi untuk mendorong partisipasipublik, diharapkan persentase Anggaran Rutin dan Anggaran Pembangun-an tidak lagi 89 berbanding 11, tetapi lebih mendekati 50 banding 50,sehingga bisa memberi dampak yang bermakna bagi masyarakat luas.Keterlibatan aktif sejumlah organisasi masyarakat sipil dalam kegiatanadvokasi itu pun agaknya mampu mendorong pemerintah untuk mener-bitkan berbagai kebijakan yang menjamin implementasi strategi PUG In-donesia. Salah satu peraturan yang dapat dirujuk ketika LSM melakukanadvokasi untuk kalangan eksekutif dalam penyusunan Anggaran Berkeadil-an Gender adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132 Tahun2003. Anggaran Berkeadilan Gender (ABG) merupakan alat untukmembangun kesetaraan, keseimbangan, dan keadilan gender, guna mewu-judkan kesejahteraan masyarakat. Alat dalam penyusunan anggaran denganperspektif gender itu juga dibutuhkan pemerintah pusat dan daerah agarpenyusunan anggaran berkeadilan gender segera dapat dilaksanakan, seiringdengan keluarnya beberapa kebijakan PUG. Walaupun demikian, peratur-an-peraturan tersebut belum memberi dampak yang berarti pada membaik-nya kesejahteraan kalangan marjinal, terutama perempuan.

    Peraturan atau regulasi pemerintah memang telah membuka ruangpartisipasi publik dalam perumusan prioritas program sesuai dengankebutuhan masyarakat. Namun demikian, regulasi-regulasi tersebut belumdapat berfungsi meningkatkan kesejahteraan kalangan marjinal dan perem-puan. Karena itu, indikator-indikator yang menunjukkan tingginya tingkatketidakadilan sosial yang dialami kaum perempuan di Indonesia makinmeningkat. Misalnya, tingginya peringkat Angka Kematian Ibu ketikamelahirkan (AKI). Pada tahun 2002 rasio kematian ibu adalah 380/100.000 (BPS et al, 2004). Data Badan Pusat Statistik (BPS) tentangjumlah perempuan buta huruf di atas usia 10 tahun di perdesaan adalah16 persen, sedangkan jumlah laki-laki yang buta huruf kurang dariseparuhnya, yaitu hanya 7 persen. Di daerah perkotaan, perbedaan tingkatbuta huruf perempuan adalah 8 persen sementara laki-laki hanya 3 persen.Data Organisasi Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA)

  • 6 Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender

    memperlihatkan bahwa perempuan usia di atas 15 tahun yang buta hurufadalah 45 persen dan laki-laki hanya 23 persen. Data tersebut dipaparkanoleh Dr Meiwita Budiharsana, Perwakilan Ford Foundation di Indonesia,sebagaimana dikutip oleh Pambudy dalam acara di Jakarta yang dikutipKompas, 24 September 2005.

    Anggaran Berkeadilan Gender yang sudah diperkenalkan di Indone-sia ini, belum mengubah kesejahteraan kaum marjinal, terutama perem-puan. Hingga sekarang, sistem penganggaran di negara kita tidak berpers-pektif gender, yang dalam praktiknya justru bias gender karena wacanapatriarki yang dominan membuatnya tidak sensitif terhadap kebutuhanperempuan yang memang berbeda dengan kebutuhan lelaki (Noerdin etal, 2005). Pemerintah, dalam penetapan alokasi dan distribusi anggaran,sering kali tidak mempertimbangkan kebutuhan dengan perspektif gen-der. Asumsi bahwa anggaran diperuntukkan bagi umum maupun aparatur,yang dianggap pasti akan dimanfaatkan oleh laki-laki dan perempuan,kerap menjadi alasan klise pembenaran kebijakan anggaran yang tidakberperspektif gender. Aparatur pemerintah sering melupakan bahwa meskialokasi anggaran akan sampai pada semua orang, belum tentu perempuandan laki-laki menikmatinya dengan kapasitas yang setara. Fakta menun-jukkan bahwa dampak terhadap perempuan dan laki-laki dari diaplikasi-kannya kebijakan anggaran amat berbeda. Dalam hal itu, perempuan yangsecara kultural dan historis mewarisi ketertinggalan dalam pendidikan danpengambilan keputusan dibanding laki-laki justru kian terpuruk karenatidak pernah menjadi subjek aktif dalam setiap proses pembangunan.Akibatnya, kesenjangan di antara laki-laki dengan perem-puan semakinlebar dan menguat.

    Dari uraian di atas, advokasi tersebut merupakan program strategisyang dapat mendorong penerapan anggaran berkeadilan gender. Hal inibisa dilihat dari adanya beberapa regulasi yang dikeluarkan oleh pemerin-tah di tingkat pusat. Meskipun demikian, dengan berlakunya sistemdesentralisasi, advokasi anggaran tidak bisa lagi hanya dilakukan di tingkatpusat, tetapi juga harus dilakukan di setiap kabupaten atau kota yangjumlah totalnya sampai sekarang mencapai lebih dari 460 kabupaten/kota. Akibatnya, pekerjaan pendampingan dalam proses Musrenbang tidakmudah dilakukan. Demikian pula dengan peraturan-peraturan daerah

  • Pendahuluan 7

    partisipatif yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Peraturan-peraturanitu sering kali tidak bisa diimplementasikan, karena perspektif genderbelum menjadi kebutuhan mendasar guna merumuskan anggaran pem-bangunan. Selain itu, ada sejumlah hambatan berkaitan dengan prosesadvokasi LSM di tingkat daerah. Sehubungan dengan itu, sangatlah pentinguntuk segera dilakukan penilaian dampak dan kapasitas para pelakuadvokasi anggaran berkeadilan gender untuk mengetahui berbagai kendalayang dihadapi, baik sosial budaya maupun politik. Ini penting mengingatpenerapan peraturan atau regulasi pemerintah cenderung tidak diterapkanatau terjadi penyimpangan anggaran, sehingga tidak berkeadilan gender.Dari penilaian itu akan diketahui kegagalan dan keberhasilan upaya-upayainclusive local governance and citizen engagement dalam mendorong peningkatankesejahteraan di kalangan marjinal, terutama perempuan.

    Permasalahan

    Selama ini ada beberapa istilah berkaitan dengan Gender Budgeting yangdalam bahasa Indonesia diartikan beragam, seperti Anggaran Berpers-pektif Gender, Anggaran Responsisf Gender, dan Anggaran Berkea-dilan Gender. Women Research Institute (WRI) menggunakan istilah yangterakhir, yakni Anggaran Berkeadilan Gender, berdasarkan sejumlahalasan politis, sosial dan budaya. Pertama, pemerintah Indonesia telah me-nyatakan keberpihakannya untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gen-der dengan mengeluarkan kebijakan PUG pada semua program kerja yangtelah memiliki dasar hukum. Namun demikian, seiring dengan itu masihditemukan adanya kesenjangan antara kebijakan yang berpihak pada kea-dilan gender dan cara pemerintah melakukan pengalokasian serta peng-gunaan anggaran. Kedua, pemerintah dalam menjalankan program ataukegiatannya membutuhkan dana yang dituangkan dalam APBD maupunAPBN. Adanya komitmen pemerintah untuk menjalankan PUG padasemua program kerja, secara teoretis akan memunculkan APBN dan APBDyang sensitif gender. Ketiga, penggunaan APBD dan APBN demi kesejah-teraan masyarakat semestinya mempertimbangkan nilai-nilai keadilan dankesetaraan berdasarkan pola hubungan tidak diskriminatif, baik menurut

  • 8 Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender

    kelas sosial, agama, kelompok budaya, suku bangsa, dan jenis kelamin.Anggaran yang berkeadilan gender juga meletakkan fondasinya pada

    proses mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai monitoring dan evaluasianggaran tersebut. Lebih dari itu, seyogyanya anggaran selalu dibangunberdasarkan proses konsultasi interaktif antara masyarakat, perempuandan laki-laki, kalangan eksekutif dan kalangan legislatif. Anggaran Berkea-dilan Gender merupakan strategi dan alat yang efektif untuk mengurangikemiskinan karena dapat mendorong pemerintah untuk fokus pada pro-gram peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya untuk kelompok-kelompok marjinal, termasuk kelompok perempuan miskin yang secarasosial kerap tidak dipandang sebagai kepala keluarga. Anggaran yangberkeadilan gender bertujuan untuk mengurangi kesenjangan sosial, eko-nomi, politik dan gender antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, mem-bantu mempromosikan akuntabilitas penggunaan sumber daya publik,termasuk anggaran belanja publik, kepada masyarakat khususnya perem-puan yang sebagian besar terpinggirkan dibanding laki-laki dalam halpengambilan keputusan mengenai penggunaan anggaran belanja publiktersebut.

    Penelitian ini berangkat dari permasalahan advokasi ABG yang telahdilakukan oleh sejumlah LSM di Indonesia. Ada beberapa pertanyaan yangmenjadi dasar dari penelitian ini, yaitu:

    1. Apa dampak dari advokasi yang telah dilakukan oleh berbagaiorganisasi masyarakat sipil di Indonesia untuk mendorong kebu-tuhan akan adanya perspektif berkeadilan gender dalam perumus-an anggaran daerah guna mencapai kesejahteraan masyarakat,terutama kalangan marjinal dan perempuan?

    2. Sampai sejauh mana hasil advokasi anggaran berkeadilan genderberjalan, dan seberapa efektif advokasi yang dilakukan oleh organi-sasi masyarakat sipil dalam mendorong aparatur pemerintahanuntuk lebih sensitif dan bisa menyusun penganggaran yang berpers-pektif gender, serta hambatan apa saja yang ditemukan dalamadvokasi tersebut?

    3. Apa pembelajaran yang dapat diambil sehubungan dengan pro-gram advokasi anggaran berkeadilan gender, dan kapasitas apa

  • Pendahuluan 9

    yang dibutuhkan oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil dalamrangka mengembangkan strategi dan program anggaran berkeadilangender?

    Tujuan Penelitian

    1. Melihat sejauh mana kemampuan masyarakat sipil, termasukperempuan, dalam memengaruhi kebijakan penganggaran di daerahmasing-masing, dan bagaimana peningkatan pengetahuan danketerampilan para pembuat dan pengambil keputusan (eksekutifdan legislatif) dalam mengimplementasikan pengarusutamaangender, sehubungan dengan proses pembuatan kebijakan dalampenerapan anggaran berkeadilan gender.

    2. Melihat sejauh mana dan apa saja hambatan terhadap programadvokasi anggaran berkeadilan gender dalam meningkatkan parti-sipasi perempuan di bidang perencanaan dan penganggaran melaluiMusrenbang.

    3. Memperoleh gambaran komprehensif tentang proses advokasianggaran berkeadilan gender yang dilakukan oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil, dan sejauh mana proses penyusunandan pembuatan anggaran daerah melibatkan serta mempertimbang-kan kebutuhan perempuan.

    4. Mendesak pemerintah pusat dan daerah, serta mensosialisasikankepada masyarakat luas melalui hasil studi yang dipublikasikanbahwa implementasi APBD berperspektif gender adalah suatukebutuhan.

    Metode Penelitian

    Studi tentang dampak advokasi anggaran berkeadilan gender inimenggunakan metode penelitian kualitatif. Tujuannya adalah untuk mema-hami persoalan-persoalan sosial, budaya, dan politik, yang dihadapi dalam

  • 10 Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender

    proses advokasi. Karena itu, instrumen atau alat penting yang dapat diguna-kan untuk memperoleh data yang diperlukan, sekaligus untuk memahami-nya, adalah dengan teknik wawancara mendalam (in depth interview) melaluiperspektif pelaku advokasi, termasuk pelaku yang terlibat dalam penyu-sunan anggaran (masyarakat sipil, aparat pemerintah daerah, dan anggotalegislatif). Selain wawancara mendalam, teknik penelitian observasilapangan juga dilakukan untuk menilai secara kualitatif dampak dari pro-gram advokasi tersebut.

    Pengumpulan data dilakukan dengan mewawancarai secara mendalam10 sampai 17 orang narasumber yang terlibat dalam advokasi ABG disetiap daerah penelitian. Tujuannya untuk mengetahui pewacanaan, partisi-pasi, pengetahuan analisis sosial gender dalam perencanaan dan pengang-garan, serta proses monitoring yang dilakukan oleh multi-stakeholder. Merekadipilih berdasarkan kategori yang mencakup kalangan eksekutif, anggotalegislatif, LSM, dan masyarakat sipil dampingan LSM. Untuk memperkuatinstrumen penelitian, tim peneliti juga menyelenggarakan Forum GroupDiscussion (FGD) untuk mengetahui aspirasi kelompok masyarakat dariberbagai latar belakang.

    Lokasi Penelitian

    Pengumpulan data lapangan hingga penulisan draft membutuhkanwaktu sekitar empat bulan. Penelitian dilaksanakan di enam wilayah, yakniSurakarta, Surabaya, Mataram, Kupang, Yogyakarta, dan Makassarberdasarkan pertimbangan bahwa LSM mitra Partnership di masing-masingkabupaten atau kota telah melakukan advokasi anggaran berkeadilan gen-der. Selain itu, LSM di masing-masing wilayah juga telah menjalin kerjasama dengan aparatur pemerintah, baik di tingkat eksekutif maupunlegislatif. Mereka yang terlibat dengan program advokasi tersebut memberiandil pada proses penganggaran, sehingga tahapan dan dampak dari pro-gram itu bisa diidentifikasi.

  • Proses Pelaksanaan Program Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender 11

    Bab IIProses Pelaksanaan Program Advokasi

    Anggaran Berkeadilan Gender

    Bab ini membahas aspek-aspek sejarah dari program advokasi anggaranberkeadilan gender di enam wilayah penelitian. Kondisi strukturaldan budaya yang ada pada tingkat masyarakat tempat advokasi anggaranberkeadilan gender berlangsung merupakan hal-hal yang cukup pentinguntuk dilihat dan dicermati, karena memberi pengaruh pada pelaksanaanprogram advokasi.

    Awal Perjalanan Menuju Anggaran Berkeadilan Gender

    Sejak diterbitkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam PembangunanNasional, wacana mengenai gender mulai menemukan ruang lebih terbukadaripada tahun-tahun sebelumnya. Inpres No. 9/2000 telah membukapintu, yang kemudian memengaruhi pemerintahan sesudahnya untuk lebihmemerhatikan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan keadilan dan kese-

  • 12 Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender

    taraan gender. Salah satu bentuk keberpihakan pemerintah adalahkebijakan-kebijakan yang terkait dengan pengalokasian anggaran untukpemberdayaan perempuan. Instruksi Presiden tentang pengarusutamaangender itu dikeluarkan dengan tujuan untuk mendorong sosialisasi pro-gram pemberdayaan perempuan pada seluruh bidang pemerintahandaerah, termasuk upaya untuk memberi dampak terhadap perumusanAPBD yang berkeadilan gender.

    Setelah Inpres No.9/2000 tentang pengarusutamaan gender (PUG)dalam pembangunan nasional resmi ditetapkan sebagai kebijakan, tigatahun berikutnya pemerintah menerbitkan sebuah keputusan mengenaipedoman umum pelaksanaan pengarusutamaan gender dalam pelaksanaanpembangunan di daerah. Keputusan tersebut dikenal sebagai KeputusanMenteri Dalam Negeri Nomor 132 Tahun 2003. Salah satu bentuk nyatadari kebijakan tersebut adalah pengalokasian anggaran pada setiap instansidi tingkat daerah, dan juga institusionalisasi pemberdayaan perempuanpada seluruh badan pemerintahan. Dari hal itu diharapkan perpektif gen-der dapat mewarnai keseluruhan sistem badan-badan pemerintahan untuklebih sensitif terhadap isu gender.

    Keberpihakan Pemerintah Indonesia pada perspektif gender sebagai-mana disebutkan di atas mendapatkan respons dari beberapa LembagaSwadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia. Pada 2001, misalnya, The AsiaFoundation bersama sepuluh LSM, seperti Civic Education and BudgetTransparancy (CiBa), Bandung Institute of Governance Studies (BIGS),Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro), Forum Indonesia untukTransparansi Anggaran (Fitra), Balai Suro Urung Inong Aceh (BSUI Aceh),Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Lembaga Studi PendidikanPerempuan dan Anak (LSPPA), Rifka Annisa, Yayasan Annisa Swasti(Yasanti), dan Gerakan Perempuan untuk Perlindungan Buruh Migran(GPPBM), melakukan gerakan Gender Budget Advocacy (GBA). Gerakanitu merupakan awal dari program dan kegiatan advokasi AnggaranBerkeadilan Gender (ABG) di Indonesia. Program dan kegiatan advokasitersebut mencakup sosialisasi wacana anggaran gender, studi anggaran,dan pelatihan, yang dilakukan di pusat dan daerah. Gerakan itu mencobamendesak pemerintah daerah dan pusat untuk menyusun APBD yang

  • Proses Pelaksanaan Program Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender 13

    berkeadilan gender. Selain menyambut ABG, lembaga-lembaga swadayamasyarakat yang peduli pada masalah anggaran dan pemberdayaanperempuan juga menjadikannya sebagai bagian dari program advokasi.

    Lembaga-lembaga swadaya masyarakat di Yogyakarta seperti Insti-tute for Development and Economic Analysis (IDEA), Institut Hak AsasiPerempuan (IHAP), Yasanti, KPI, LSPPA, Rifka Annisa, dan WomenCrisis Centre (WCC), yang sebagian di antaranya terlibat kerja sama denganThe Asia Foundation, menunjukkan kepedulian pada permasalahan ABG,selain tetap menangani isu-isu perempuan lainnya. IDEA, misalnya, terta-rik pada ABG karena memerhatikan isu anggaran, yang kemudian berkem-bang pada masalah anggaran berkeadilan gender. Hal itu dipandang olehIDEA sebagai wujud dari pelaksanaan konvensi antidiskriminasi terhadapperempuan. Hal itu juga mendorong mereka untuk turut memperjuangkanhak-hak perempuan dalam anggaran, yang diwujudkan melalui programadvokasi ABG. Isu itu kemudian dipertajam oleh IDEA dengan merumus-kan kebutuhan perempuan di tingkat Musrenbang.

    Di wilayah Kota Surakarta, lembaga-lembaga swadaya masyarakatseperti PPKB, Yayasan Krida Paramita (YKP), Pusat Telaah dan InformasiRegional (Pattiro Surakarta), Indonesia Partnership Governance Institute(IPGI), Yayasan Bina Kesejahteraan Sosial (YBKS), Kepedulian AdvokasiKonsumen Anak (Kakak), Advokasi untuk Transformasi Masyarakat(Atma), Gita Pertiwi, Forum Komunikasi Keluarga Becak (FKKB),Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Solidaritas Perempuan Anti-Kekerasandan Hak Asasi (Spekham), dan Jaringan Perempuan Usaha Kecil (Jarpuk),secara umum menjalankan kerja advokasi, baik yang bertujuan untukpemberdayaan, partisipasi, dan anggaran dalam konteks masyarakat umummaupun yang berkaitan khusus dengan isu perempuan. Kegiatan advokasiitu bergerak sejak tahun 2001 sampai 2006. Selain itu, beberapa pusatstudi di sejumlah perguruan tinggi di Surakarta juga memberi sumbangankonseptual bagi program-program advokasi di kota ini dan sekitarnya,seperti Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender Universitas NegeriSolo (P3G-UNS) dan Pusat Studi Wanita UNISRI. Lembaga swadayamasyarakat yang menangani isu perempuan dan angga-ran, umumnyamemiliki program advokasi yang berkaitan dengan pendidik-an, kesehatan,

  • 14 Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender

    Wawancara dengan Bapak Direktur LPTP, Surakarta, 2 Maret 2006.Wawancara dengan staf program laki-laki YKP Surakarta, 23 Februari 2006.

    1.

    2.

    dan ketimpangan anggaran antara belanja publik dan belanja aparatur.Secara khusus, di kota itu juga terdapat forum yang memperte-mukanbeberapa LSM yang menangani isu anggaran, yaitu Forum Peduli AnggaranKota Surakarta (FPAKS). Forum itu merupakan kekuatan koalisi yangbertujuan untuk mengkritisi proses penyusunan APBD, serta mempu-nyai daya dorong advokatif. Dalam hal itu, FPAKS mencakup koalisi LSMdan beberapa institusi perguruan tinggi, seperti IPGI, Lembaga StudiAdvokasi Kebijakan Publik (Leskap), Konsorsium Monitoring PenguatanInstitusi Publik (Komfif), YKP, Pattiro, P3G-UNS, Universitas IslamBatik (Uniba), YPKAS, Kakak, Atma, dan Pusat Studi Wanita Universi-tas Slamet Riyadi. Kendati institusi yang berasal dari perguruan tinggi ba-nyak yang tidak aktif, pada awalnya mereka turut andil membentuk fo-rum tersebut.

    Menurut Direktur Program Advokasi Lembaga PengembanganTeknologi Pedesaan (LPTP), advokasi pemberdayaan perempuan, sebelumadvokasi ABG dilaksanakan di Kota Surakarta pada 1999-2000, secaraumum bergerak di tiga sektor, yaitu sektor pendidikan, kesehatan, danekonomi. Sementara itu, lembaga swadaya masyarakat seperti YKP, Aso-siasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), dan Jarpuk, cende-rung menangani isu-isu yang berkaitan dengan kebutuhan perempuan yangmenghadapi persoalan di sektor ekonomi. ASPPUK dan Jarpuk adalahdua LSM yang menangani isu-isu yang dihadapi oleh perempuan pengusahakecil, kesehatan, dan kekerasan dalam rumah tangga.1 Beberapa dari LSMtersebut memiliki basis kerja yang tidak dibatasi oleh wilayah administra-tif. Basis mereka adalah komunitas atau kelompok, misalnya, YKP yangmelaksanakan advokasi berbasis pada organisasi dan kelompok. Wilayahkerja YKP semula terbatas di Kota Solo dan sekitarnya, namun kemudianmeluas sampai wilayah kabupaten sekitar.2 Sementara Pattiro lebih berbasispada wilayah administratif perkotaan, mulai dari aras kelurahan,kecamatan, hingga kota. Agenda kerja LSM itu memang diarahkan padamasyarakat kota beserta birokrasi yang menopang tata administrasi kota.

  • Proses Pelaksanaan Program Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender 15

    Menurut mantan Direktur Pattiro Surakarta, lembaganya lebihmemfokuskan perhatian pada proses penyadaran dan pengawalan isu-isugender sejak dari Musyawarah Rencana Pembangunan Kelurahan(Musrenbangkel), Musyawarah Rencana Pembangunan Kecamatan(Musrenbangcam), sampai Musyawarah Rencana Pembangunan Kota(Musrenbangkot). Hal itu terutama dilakukan dalam kaitan dengan kebu-tuhan perempuan dalam pembangunan. Proses pemberdayaan politikmelalui pendampingan perempuan untuk berpartisipasi di setiap tingkatmusyawawah rencana pembangunan (musrenbang) dilakukan lewat penya-daran akan kebutuhan di kalangan perempuan. Penyadaran tersebut dilaku-kan agar kaum perempuan mampu merumuskan dan menyampaikankebutuhannya dalam serangkaian proses Musrenbangkel, Musrenbangcam,dan Musrembangkot.3 Hal itu penting untuk memunculkan kapasitasperempuan dalam menetapkan hal-hal yang memang dipandang pentingsesuai dengan kebutuhan mereka, yang selama ini dihambat oleh faktor-faktor budaya.4

    Langkah tersebut menunjukkan bahwa proses demokrasi seyogyanyatidak hanya diletakkan dalam tataran teknis mengenai dasar-dasar partisi-pasi, tetapi juga perlu lebih mendasar, yaitu pemenuhan hak-hak dasarmelalui keterlibatan perempuan dalam menentukan kebutuhan merekasendiri. Dalam konteks itu, kebutuhan akan kesehatan perempuan men-jadi pintu masuk bagi Pattiro Surakarta untuk melakukan advokasi.Demikian pula YKP yang awalnya terfokus pada isu kesehatan, namunkarena terlibat di dalam Jarpuk, lantas mengaitkannya dengan isu-isuekonomi. Aliansi antara YKP-ASPPUK-Jarpuk menunjukkan bahwamereka memiliki kemampuan untuk membangun masyarakat sipil secaraterorganisasi. Tujuan advokasi mereka adalah memberdayakan perempuanusaha kecil, baik secara ekonomi maupun organisasional. Jarpuk-

    Wawancara dengan Bapak Mantan Direktur Pattiro Surakarta, 20 Februari 2006.Bapak Direktur YKP, misalnya, mengatakan bahwa secara kultural cukup banyak perempuantelah kehilangan kemampuan untuk menetapkan kebutuhan, serta apa yang dianggap penting.Hal itu tampak dari lenyapnya jati diri mereka. Bahkan, beberapa perempuan lupa dengan namaasli mereka sendiri, karena selama ini selalu menggunakan nama suami. Ketika memasuki Jarpuk,masalah nama itu menjadi titik awal untuk proses penyadaran tentang adanya belenggu patriarki.

    3.

    4.

  • 16 Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender

    Wawancara dengan staf program perempuan YKP Surakarta, 23 Februari, 2006.Wawancara dengan staf program perempuan YKP Surakarta, 23 Februari, 2006.

    5.

    6.

    ASPPUK-YKP aktif mendorong kelompok-kelompok perempuan agarmampu menuangkan dan menyampaikan aspirasi, baik melalui mekanismeMusyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) maupun lewat DewanPerwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Aspirasi yang disampaikan utamanyaberkaitan dengan kebutuhan perempuan-perempuan pedagang kecil untukmendapatkan fasilitas tempat berdagang, serta harapan akan adanyakebijakan publik yang berpihak kepada perempuan pengusaha kecil.

    Program pemberdayaan perempuan melalui pendampingan Perem-puan Usaha Kecil (PUK) dilakukan YKP sejak 1997, sebagaimana dikisah-kan oleh salah seorang staf program YKP:

    Setelah melihat kembali visi dan misi YKP, usai rapat di Kaliurang,akhirnya kita mulai mengkhususkan, meski belum spesifik, padaperempuan usaha kecil mikro. Pada 1994, kawan-kawan di YKPmenggagas kerja sama dengan ASPPUK, yang dulu bernama Yaspukkemudian berganti nama menjadi ASPPUK sekitar tahun 1997-1998.Anggotanya adalah koalisi LSM-LSM.5

    YKP, satu dari sekitar 52 LSM yang tersebar di 64 kabupaten seluruhIndonesia, menjadi anggota ASPPUK. Wilayah kerja ASPPUK mencakupwilayah Barat (Sumatera), Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan, danSulawesi. Kota Solo masuk dalam wilayah Jawa.

    Di Solo ada Komisi Eksekutif Wilayah (KEW). Disitu ada PakTumiryanto, Setiyawidyastuti dari LPPES Purwokerto, Mbak Anikdari PPSW-UNS. Sekretaris Eksekutif-nya ialah Retno dariPerhimpunan untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial(Persepsi). Kantor ASPPUK wilayah Jawa berada di YKP.6

    Program-program ASPPUK, melalui pemberdayaan Usaha Bersama(UB) dan Kelompok Usaha Bersama (KUB), dirancang untuk memper-temukan kepentingan perempuan guna memperkuat posisi tawar dalam

  • Proses Pelaksanaan Program Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender 17

    Wawancara dengan staf program perempuan YKP, Surakarta, 23 Februari 20067.

    merumuskan program-program pembangunan, yang sesuai dengan kebu-tuhan mereka. Kerja-kerja aliansi yang dilakukan YKP pada akhirnya mem-pertemukan upaya pemerkuatan kapasitas kaum perempuan dalam mene-tapkan kebutuhan dengan upaya memperkuat proses demokrasi, sepertimampu melaksanakan dasar-dasar demokrasi berupa partisipasi dan seba-gainya. Hal itu memperkuat YKP untuk bergerak ke program pemberda-yaan ekonomi perempuan, yang merupakan basis untuk menuju pember-dayaan perempuan, sebagaimana dituturkan salah seorang staf YKP:

    Dengan program tersebut, ternyata yang terus berkembang adalahpersoalan perempuan. Karena kita menanganinya pada tahun 2001,kita pun mulai fokus ke pemberdayaan perempuan. Saya pertamakali di YKP mengorganisasi Jarpuk Boyolali. Setahun kemudian sayamenjadi team leader untuk penguatan jaringan kelompok kerjaperempuan. Itu adalah konsorsium antara Persepsi, LembagaPenelitian dan Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup(LPPSLH) dan YKP yang berada di sembilan kabupaten atau kotadi Jawa Tengah. YKP di Karanganyar, Boyolali, dan Sukoharjo.Persepsi melakukan advokasi di Klaten, Kudus, dan Wonogiri.Seemntara LPPSLH Purwokerto melakukan advokasi di Banyumas,Purwokerto, dan Kota Semarang. Ketika berbagai pelatihan makinberkembang pada proses pendampingan perempuan di masing-masing wilayah, beberapa teman menemukan sejumlah masalah,misalnya, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di kelompok-kelompok perempuan. Kita juga pada akhirnya mengembangkankegiatan lain yang terkait dengan hak asasi perempuan.7

    Sejak 1998, YKP lebih memfokuskan kegiatan pada isu-isu kesehatanperempuan dan kredit jamban, belum masuk ke isu ABG. Program-program yang dilaksanakan oleh YKP memang lebih banyak terkaitdengan kebutuhan akan pentingnya kesehatan masyarakat. Programtersebut dilakukan melalui pendampingan kaderkader kesehatan pospelayanan terpadu (Posyandu).

  • 18 Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender

    Kegiatan lain yang dilaksanakan oleh YKP sejak 2001 mencakupprogram pelatihan dan pendampingan rutin ke kelompok perempuan. Pro-gram pelatihan diadakan secara berkala, terkait dengan respons yangberkembang dalam kebijakan ekonomi usaha kecil dan menengah di KotaSurakarta. Program-program tersebut dilaksanakan secara personal maupunkelompok. Program pendampingan, misalnya, dilakukan dengan caramendatangi PUK secara personal. Pendampingan berkelompok dilakukandengan cara memaksimalkan forum-forum bersama. Agenda selanjutnyaadalah melobi para anggota dewan dan kalangan eksekutif, yang seringkali dilakukan secara personal. Selain itu, pendampingan juga dilakukanmelalui aliansi dan forum-forum yang ada. YKP memang tidak hanyamelakukan pendampingan secara personal, tetapi juga pada kelompok.

    Program kesehatan merupakan salah satu isu yang digarap olehPattiro. Untuk mengakses anggaran kesehatan ibu dan anak, yangdiwujudkan melalui Posyandu, organisasi itu melakukan pelbagaikegiatan pendampingan ibu-ibu di tingkat kelurahan, Menurut pihakPattiro, pemerintah daerah pernah menghentikan pendanaan bagiprogram kesehatan ibu dan anak itu, dengan alasan masyarakatsudah saatnya menggalang pendanaan secara swadaya. Sangatbanyak ibu dan anak terkena imbas dari dihentikannya dana tersebut.Mereka sulit mendapatkan akses pelayanan kesehatan melaluiPosyandu karena tidak memiliki uang. Karena ada kebutuhan nyatadari kaum ibu dan anak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan,pemerintah daerah akhirnya menganggarkan kembali anggarankesehatan ibu dan anak, yang dialokasikan dalam pos menjagakesehatan masyarakat melalui anggaran untuk pencegahan berbagaipenyakit tropis.

    Pengalaman PattiroMelakukan Advokasi Anggaran Kesehatan

    bagi Ibu dan Anak di Kota Surakarta

  • Proses Pelaksanaan Program Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender 19

    Hal itu dilakukan sekaligus dengan menghubungkan perempuan-perem-puan pengusaha kecil dengan masyarakat dan Jarpuk, selain dengan sesamaorganisasi masyarakat sipil maupun masyarakat politik (anggota legislatif).Sebagaimana dikatakan oleh salah seorang staf YKP:

    Jaringan usaha kecil juga memiliki aliansi seperti Jarpuk. Jaringan disini ada yang diorganisasi, atau sebagai bagian dari sistem sosial yangada. Intinya, kita mendorong untuk adanya jaringan....YKP sebetulnyarelatif kurang bergerak di Solo. Akan tetapi, personel-personelnyabanyak yang melakukan pendampingan, pelatihan, dan advokasi, diwilayah Solo. YKP ikut dalam pelbagai forum karena selalumemperjuangkan keadilan gender. Misalnya, ikut dalam Forum PeduliAnggaran Kota Surakarta, sehingga akhirnya muncul anggaranpendidikan atau anggaran kesehatan. Terakhir kami mengkritisiAPBD 2003, karena anggaran untuk pemberdayaan perempuankosong. Kita bersama kawan-kawan LSM lainnya mengkritisi haltersebut dan mengajukannya kepada DPRD.8

    Dalam advokasinya, lembaga-lembaga swadaya masyarakat diSurakarta dan Yogyakarta berbeda dengan LSM di Surabaya, SulawesiSelatan, Kupang, dan Mataram, yang didukung oleh Partnership for Gov-ernance Reform in Indonesia. Kegiatan advokasi yang biasa dilakukanselama itu lebih banyak mengarah pada voter education (pendidikan untukpemilih), yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan menghadapipemilihan umum 2004. Karena itu, sebelum tahun 2004, isu anggaranberkeadilan gender belum banyak dikenal di Surabaya, misalnya. Programadvokasi gender yang dilaksanakan masih mengarah pada sosialisasipemahaman gender untuk masyarakat luas. Wacana ABG merupakan pro-gram bersifat susulan dan merupakan pengembangan program pember-dayaan masyarakat yang ada sebelumnya.

    Program ABG muncul di Sulawesi Selatan pada 2001. Organisasiyang kali pertama mewacanakan ABG, menurut para aktivis LSM

    Wawancara dengan staf program perempuan dan wawancara dengan Bpk Direktur YKP,Surakarta, 23 Februari, 2006.

    8.

  • 20 Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender

    perempuan di Sulawesi Selatan, adalah Koalisi Perempuan Indonesia(KPI). Ketika itu, Sekretariat Nasional (Seknas) KPI mengundang KPISulawesi Selatan untuk mengikuti pelatihan ABG di Jakarta. Materi ABGdiberikan sebagai pendidikan politik bagi kader KPI, dengan perempuansebagai penerima manfaat program voter education. Namun, materi genderseperti teknik analisis anggaran berkeadilan gender, belum diberikan secaramendalam, hanya sebatas pemahaman mengenai definisi ABG. Sebagai-mana dikemukakan oleh salah seorang staf KPI:

    Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) memperjuangkan kuota 30persen perempuan di legislatif. Jika kondisi itu tercapai, maka harusada perangkatnya. Menurut KPI, perempuan yang duduk di badanlegislatif harus mendorong ABG. KPI memiliki pendidikanberjenjang yang diberi nama pendidikan politik (dikpol). Salah satumateri yang diberikan dalam dikpol adalah ABG.9

    Menurut pihak Sekretariat Wilayah KPI, Seknas memiliki programABG, namun pelaksanaan di wilayah-wilayah sangat tergantung pendanaanSeknas KPI. Sekretariat Nasional KPI sendiri tidak memiliki program ABGdi wilayah Sulawesi Selatan. Dengan demikian, untuk program ABG, KPISulawesi Selatan hanya melakukan pelatihan untuk anggota KPI saja.KPI memilih dan menyeleksi peserta yang dianggap mampu menggulirkanisu ABG di tingkat balai perempuan. Sementara menurut Ketua YayasanLembaga Konsumen (YLK) Sulawesi Selatan, sebelum wacana ABGberkembang pada tahun 2000-2001, YLK menjalin kerja sama denganYayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat In-donesia (Yappika) yang memiliki program advokasi anggaran. Latarbelakang munculnya program tersebut, menurut YLK, adalah karenaberkembangnya wacana otonomi daerah. Karena itu, YLK melaksanakanpendidikan yang terkait dengan masalah transparansi anggaran. Tujuannyaadalah untuk mempersiapkan masyarakat agar bisa memiliki kemampuanmengkritisi kebijakan anggaran. Analisis anggaran waktu itu adalah mem-

    Wawancara dengan staf perempuan untuk Monitoring Evaluasi FPMP dan KPI Wilayah Sulsel,23 Februari 2006

    9.

  • Proses Pelaksanaan Program Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender 21

    bandingkan anggaran belanja aparat dengan belanja pembangunan. Kegiat-an lainnya adalah melakukan investigasi terhadap proyek-proyek pem-bangunan yang sedang dikerjakan oleh Pemerintah Daerah SulawesiSelatan. Hal serupa pernah dilakukan di Surakarta. Hasil investigasi diKota Surakarta mengakibatkan wali kota Surakarta harus mendekam didalam penjara sejak 2004.

    Sementara isu anggaran di Provinsi Nusa Tenggara Timur dilontarkankali pertama oleh LSM bernama Pengembangan Inisiatif Advokasi Rakyat(PIAR). Konsentrasi organisasi itu sebenarnya pada berbagai persoalanmasyarakat adat. PIAR mengenalkan isu anggaran secara umum pada 1999,dan baru pada tahun 2002 mensosialisasikan wacana ABG denganmemakai istilah people budget. Pengenalan wacana ABG yang dilakukanPIAR merupakan kerja sama dengan sebuah lembaga donor luar negeri,

    Yaprita tertarik dengan isu gender secara umum pada 2002.Saat itu Yaprita melakukan sebuah penelitian bertema peranperempuan dalam politik di empat wilayah, yaitu KabupatenKupang, Kabupaten Ngada, Kabupaten Sumba Timur, dan ProvinsiNusa Tenggara Timur. Hasil penelitian dipresentasikan dalam bentukFocus Group Discussion (FGD), dengan mengundang beberapa LSMdan individu-individu di Kabupaten Kupang dan Kota Kupang yangmemiliki perhatian dengan masalah-masalah perempuan. FGDtersebut menghasilkan kesamaan pandangan tentang adanya 4 isubesar di wilayah tersebut, yaitu (1) kekerasan terhadap perempuan,(2) ekonomi, (3) kesehatan, dan (4) pendidikan. Hasil terpentingdari pertemuan FGD itu adalah kesepakatan untuk membentuksebuah wadah dalam rangka pemberdayaan perempuan di ruangpolitik. Wadah tersebut dinamakan Kaukus Perempuan Politik,dengan Yaprita bertindak sebagai ketua.

    Pembentukan Kaukus Perempuan PolitikPengalaman Yaprita, Kupang

  • 22 Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender

    OXFAM Australia.10 PIAR kemudian lebih dikenal sebagai LSM yangbanyak menggeluti isu transparansi anggaran publik dan korupsi, baik dilembaga eksekutif maupun legislatif. Selain PIAR, Yayasan PanggilanPertiwi untuk Keadilan (Yaprita) juga dikenal sebagai lembaga yangmemfokuskan pada isu ABG. Menjelang Pemilu 2004, lembaga itu jugamenangani voter education untuk pemberdayaan perempuan. Usai Pemilu,tepatnya pada tahun 2005, Yaprita mulai melibatkan diri dalam advokasiABG, khususnya di tingkat masyarakat sipil.

    Sama seperti wilayah lain, program dan kegiatan advokasi ABG diwilayah Mataram muncul pada awal tahun 2000-an. Sebagaimana diutara-kan oleh Wakil Ketua Somasi, dia dan teman-teman di Somasi barumendapatkan sosialisasi mengenai ABG pada awal tahun 2000-an.Pengetahuan mengenai ABG mulai banyak dibicarakan sejak tahun 2001hingga 2002, seperti tampak dari pernyataan Koordinator Kegiatan BidangAnggaran Berkeadilan Gender Somasi, yang sekaligus pimpinan Transfor-masi Perempuan untuk Keadilan (TRAPK).

    Saat KPI Jakarta menyelenggarakan seminar sehari pada tahun 2001.Waktu itu saya bekerja di Koslata (salah satu LSM di Nusa TenggaraBarat). Kami diundang untuk menghadiri seminar di Hotel LombokRaya. Dalam seminar itu diperkenalkan wacana AnggaranBerkeadilan Gender. Narasumbernya adalah Sekjen KPI Mba Dian.Acara dilanjutkan di hari kedua dengan pelatihan AnggaranBerkeadilan Gender khusus untuk anggota KPI Mataram, tidak untukumum....

    Melihat perjalanan isu ABG di atas, tampak jelas pengenalan danadvokasi program ABG cukup beragam. Kecuali Yogyakarta danSurakarta, isu ABG selalu diawali dengan program voter education, dengansalah satu agenda mendesak anggaran berkeadilan gender. Oleh pihakLSM ataupun jajaran eksekutif, anggaran yang berkeadilan jender itu seringkali dimaknai sebagai anggaran untuk model-model pemberdayaan,

    Hasil wawancara dengan Ibu Direktur PIAR, Kupang, 1 Maret 200610.

  • Proses Pelaksanaan Program Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender 23

    pendampingan, dan advokasi, terhadap kaum perempuan. Kondisi demi-kian mendorong para pelaku advokasi, khususnya dari kalangan LSM,untuk menggunakan beberapa strategi yang mempunya kaitan erat dengankebutuhan perempuan yang dapat diterima dari pembangunan. LSM-LSMtersebut berperan sebagai faktor pendorong dari luar yang memengaruhisubyek-subyek komunitas dampingan, dalam hal ini kaum perempuan yangsecara struktural dan kultural mengalami marjinalisasi dan diskriminasi,untuk lebih aktif berpartisipasi. Kondisi struktural dan kultural menyebab-kan kaum perempuan kehilangan kemampuan sebagai pihak yang memilikikapasitas untuk menentukan kebutuhannya sendiri. Penyadaran yangdilakukan oleh sejumlah LSM itu tidak hanya meningkatkan kemampuanberpartisipasi, tetapi juga memperkuat kapasitas perempuan untukberperan dan memainkan posisi penentu dalam pembangunan.

    Gender Budget Advocacy di Nusa Tenggara Barat

    Dari penuturan Koordinator Kegiatan Bidang ABG Somasi,tampak bahwa Gerakan Gender Budget Advocacy (GBA) masuk kewilayah Nusa Tenggara Barat lewat keterlibatan Seknas KPI.Sekretariat Nasional KPI merupakan salah satu LSM yang tergabungdalam GBA. Namun, kegiatan advokasi ABG di Nusa TenggaraBarat baru pada tahap penyebaran wacana. Tahap pelatihan advo-kasi ABG hanya diperuntukkan bagi anggota KPI Cabang Mataram.Dari temuan lapangan, hampir semua aktivis LSM yang diwawanca-rai menyatakan bahwa sosialisasi program advokasi ABG meluasdi seluruh wilayah Nusa Tenggara Barat sejak tahun 2005. Melaluisejumlah LSM, isu ABG menyebar ke berbagai daerah dan kota,termasuk Mataram, Makassar, Kupang, Surabaya, Surakarta, danYogyakarta.

  • 24 Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender

    Pewacanaan Anggaran Berkeadilan Gender

    Pewacanaan gender di beberapa daerah penelitian memperkuat dansenantiasa mengikuti kebutuhan perempuan di bidang-bidang kesehatan,partisipasi politik, dan ekonomi. Sedangkan penyebaran wacana anggaranyang berkeadilan gender berlangsung melalui sejumlah LSM, baik yangberlatar belakang organisasi perempuan maupun organisasi yang berlatarpenguatan teknis demokrasi. Hal itu kemudian menyebar lewat pelbagaikelompok masyarakat dampingan, atau kelompok yang menjalin kerja samadengan LSM di wilayah masing-masing, misalnya, kelompok masyarakatdampingan seperti Jarpuk, beberapa tokoh masyarakat, serta kalanganeksekutif dan legislatif.

    Sebagian pewacanaan ABG di Mataram dibangun melalui hubunganpersonal antara aktivis LSM dan pihak-pihak eksekutif maupun legislatif.Wakil Ketua DPRD Kota Mataram yang juga mantan Ketua PartaiDemokrasi Indonesia (PDI) Nusa Tenggara Barat, misalnya, mendengarwacana ABG dari percakapan personal dengan beberapa pihak, khususnyaLembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (LBH-APIK) pada tahun 2005. Selain lewat hubungan personal, pewacanaanABG di Mataram juga terbangun melalui kegiatan yang direncanakan,misalnya, dalam Focus Group Discussion (FGD) atau penyelenggaraanpelatihan-pelatihan ABG. Selain dilakukan oleh GBA, pewacanaan ABGseperti itu juga dilakukan oleh ASPPUK, dan beberapa LSM yangtergabung dalam ASPPUK, seperti Perempuan Panca Karsa (PPK),Koperasi Sumber Daya Usaha An-Nisa (KSU An-Nisa), Yayasan KeluargaSehat Sejahtera Indonesia (YKSSI), Konsepsi, dan lain-lain, yang berkantordi Kota Mataram serta Jarpuk di seluruh Nusa Tenggara Barat. Merekabaru mengetahui wacana ABG pada 2005. Ketua Komite EksekutifASPPUK Wilayah Nusa Tenggara Barat, yang juga Pimpinan PPK, ketikadiwawancarai pada 16 Februari 2006 menyatakan bahwa wacana danadvokasi ABG itu sesungguhnya sudah lama dijalankan, namun denganmenggunakan istilah lain, yakni anggaran perempuan.

    Sebenarnya PPK sudah melakukan program ABG, tapi gak tahukalo namanya Anggaran Berkeadilan Gender. Kita sering menggu-

  • Proses Pelaksanaan Program Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender 25

    nakan istilah anggaran untuk perempuan. Ketika ada pertemuanperencanaan program advokasi Anggaran Berkeadilan Genderbersama ASPPUK, pas sekali.... Kita bahkan telah melakukan hearingsaat di Lombok Barat. Kita juga telah melakukan sejumlah diskusidengan para kepala desa mengenai alokasi dana desa. Sebenarnya,waktu itu kita buat pelatihan advokasi untuk kepala desa dan bukandalam kapasitas jaringan ASPPUK. Para kepala desa mengeluhkanmengenai sedikitnya dana tersebut, dan saat itu PPK telah membantuhingga tahap hearing, dan sudah mulai terlihat ada peningkatan alokasidana untuk desa-desa tertentu. Jadi, sebelum berangkat ke Jakarta,kita sudah mulai melakukan analisis, negosiasi untuk mendapatkanbuku APBD. Pengalaman itu kita bawa ke Jakarta, dan kok bisasama... Anggaran Berkeadilan Gender itu adalah istilah keren darianggaran perempuan.

    Pewacanaan ABG di Sulawesi Selatan

    Pewacanaan Anggaran Berkeadilan Gender di Sulawesi Selatanlebih awal dibanding Mataram. ABG telah dikenal pada 2001, danpewacanaannya melalui kegiatan atau program yang direncanakan.Dalam perkembangannya, pewacanaan ABG di Sulawesi Selatanmengalami pasang surut karena munculnya isu-isu baru yang salingmenyusul dengan program-program gender lainnya. Ketika menguatisu kuota 30 persen bagi perempuan di legislatif menjelang Pemilu2004, isu ABG di Sulawesi Selatan menyurut. Ketika The AsiaFoundation menyelenggarakan pelatihan ABG pada 2004, isutersebut kembali mencuat. Kegiatan pelatihan itu berlanjut denganprogram ABG yang diselenggarakan oleh Yayasan Swadaya MitraBangsa (Yasmib) dan Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP)Bone bekerja sama dengan The Asia Foundation untuk program2005-2006. Selain The Asia Foundation, organisasi lain yang jugapernah menyelenggarakan pelatihan ABG adalah Asosiasi DPRDKabupaten Se-Indonesia (Adkasi) pada 2005. Pada BagianPemberdayaan Perempuan Kabupaten Gowa, wacana ABG dikenal

  • 26 Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender

    Pewacanaan di Sulawesi Selatan tampak mengalir melalui jalur politik,dalam arti lewat wacana pemberdayaan perempuan untuk berpartisipasidalam politik. Di dalam FPMP, misalnya, Anggaran Berkeadilan Gender

    melalui pelatihan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pember-dayaan Perempuan bekerja sama dengan UNDP. Pelatihan tersebutmerupakan bagian dari pilot project Pengarusutamaan Gender diKabupaten Gowa. Pelatihan diselenggarakan pada 2005.Programpendidikan politik bagi perempuan dan legislatif, yang dilaku-kanoleh Forum Pemerhati Masalah Perempuan (FPMP), merupakanlanjutan pendidikan bagi para pemilih sebelum Pemilu 2004. Pro-gram pendidikan politik dilakukan selama 18 bulan, mulai dari awal2005 sampai pertengahan 2006. Program ini dilakukan pada 28kabupaten di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Dalam pelaksa-naan program, FPMP bermitra dengan beberapa Civil Society Or-ganization (CSO) untuk mengimplementasikan program di tingkatkabupaten. Di antara CSO yang terlibat adalah YLK Sulsel, LBH-Apik, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Makassar,Wahana Wisata Lingkungan (WWL), Yayasan Masagena, LembagaPengembangan dan Pembinaan Sosial Ekonomi Masyarakat(Lepsem), Lembaga Pengkajian Pedesaan, Pantai, dan Masyarakat(LP3M), Lembaga Informasi Pengembangan Kesehatan EkonomiMasyarakat (LIPKEM), Lembaga Solidaritas Rakyat Dewala (LSRDewala), Yayasan Swadaya Mitra Bangsa (Yasmib), YayasanKombongan Situru Toraja (YKS Toraja), Yayasan Jati, dan LembagaPemberdayaan Perempuan Bone (LPP Bone). Karena telahmemiliki daerah-daerah dampingan, mereka dijadikan mitra dalamprogram tersebut. Organisasi-organisasi tersebut bertugas mengorga-nisasi diskusi kampung dan dialog multi-stakeholder di tingkatkabupaten. Tugas lain pada tingkat kabupaten adalah menjadiorganisasi mitra Forum Pemerhati Masalah Perempuan (FPMP)untuk mendesakkan peraturan-peraturan daerah yang lebih berpihakkepada perempuan.

  • Proses Pelaksanaan Program Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender 27

    merupakan bagian dari pendidikan politik bagi perempuan dan legislatifperempuan, yang disebut Pendidikan Politik dan Peningkatan Pengeta-huan Masyarakat dan Anggota Parlemen tentang Korupsi dan Dampaknyabagi Perempuan di Sulawesi Selatan. Di dalam sosialisasi pemberdayaanpolitik untuk kaum perempuan juga disinggung materi ABG, yang diberikanuntuk bahan diskusi kampung kelompok-kelompok perempuan di 28kabupaten se-Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Hal itu diutarakanoleh koordinator program FPMP dan fasilitator Kota Makassar:

    Untuk pendidikan Anggaran Berkeadilan Gender memang masihsangat dasar, kenapa itu penting, hanya sebatas itu,... belum sampaipada analisis dan cara membaca anggaran. Karena di pendidikanpolitik banyak hal yang dibicarakan dan dibahas...11

    Materi yang diberikan lebih pada pemahaman definisi AnggaranBerkeadilan Gender dan mendorong peserta untuk dapat hadirdalam pembahasan anggaran di Musrenbang. Tugas fasilitator hanyamendorong peserta untuk ikut dan memberi pemahaman bahwauntuk masalah penganggaran tersebut ibu-Ibu perlu tahu dan harusdilibatkan.12

    Program yang dikerjakan oleh FPMP berkaitan dengan advokasi ABGadalah program pendidikan politik bagi perempuan akar-rumput dananggota legislatif perempuan. Pada masyarakat sipil dampingan FPMP,wacana ABG dikenal kali pertama lewat sejumlah pelatihan tingkat akar-rumput di beberapa kecamatan pada tahun 2005. Sedangkan diskusikampung di dua puluh tiga kabupaten se-Sulawesi Selatan diselenggarakanpada bulan Maret 2006. Kegiatan diskusi kampung untuk perempuan akar-rumput yang dilakukan FPMP dimulai dengan pelatihan bagi para fasilitatordiskusi kampung. Selanjutnya, diadakan pelatihan bagi perempuan-perempuan akar-rumput di tingkat kabupaten. Peserta pelatihan tingkat

    Wawancara dengan Ibu Sekretaris FPMP, Makassar, 24 Februari 2006.Wawancara dengan fasilitator perempuan FPMP untuk kota Makassar, Makassar, 23 Februari2006.

    11.

    12.

  • 28 Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender

    kabupaten sekitar 30 orang perempuan, dan diharapkan dapat mengajaksatu orang teman, sehingga dari sepuluh orang menjadi dua puluh orangyang tergabung dalam satu kelompok diskusi. Dalam satu kecamatanbiasanya terdapat tiga kelompok diskusi dengan peserta masing-masingberjumlah 20 orang. Lokasi kelompok dampingan FPMP untuk kegiatandiskusi kampung dipilih berdasarkan basis pengorganisasian masyarakatyang ada sebelumnya. Di wilayah yang dipilih biasanya ada LSM yangsebelumnya bekerja melakukan pemberdayaan di wilayah ini. Dalammenjalankan program tersebut, FPMP menjalin kemitraan dengan LSMyang telah memiliki wilayah dampingan, misalnya, Pangkep, Gowa, danMakassar yang merupakan wilayah dampingan YLK Sulawesi Selatan.Materi ABG yang diberikan untuk diskusi kampung adalah pelbagaipemahaman tentang definisi anggaran dan ABG.

    Dalam diskusi kampung dijelaskan pengertian APBD. Para pesertadiskusi kampung berpikir bahwa APBD adalah uang pemerintah,kemudian dijelaskan bahwa ibu-ibu sering diminta membayarmacam-macam, dan dalam setahun itu masuk ke dalam pospendapatan APBD.13

    Advokasi pada masyarakat sipil perempuan dampingan juga dilakukanoleh LML-ASPPUK, dengan memperkenalkan wacana ABG pada 2005melalui workshop ABG bagi perempuan yang tergabung dalam JarpukGowa. Program yang dijalankan di delapan kabupaten di Sulawesi Selatanitu terdiri dari diskusi kampung, kampanye media massa, pelatihan bagipara anggota legislatif perempuan, dan advokasi kebijakan atau Perdayang berpihak kepada perempuan.

    Organisasi lain yang juga melakukan advokasi anggaran, termasukABG, adalah Komite Pemantau Legislatif (Kopel). Organisasi itu tidakhanya melakukan advokasi anggaran, tetapi juga peraturan-peraturandaerah yang ditetapkan oleh pihak legislatif. Materi ABG diberikan padasaat pelatihan bagi para fasilitator kelompok dampingan Kopel. AnggaranBerkeadilan Gender juga diperkenalkan saat diskusi kampung kelompok-

    Wawancara dengan Ibu Sekretaris FPMP Makassar, 24 Februari 2006.13.

  • Proses Pelaksanaan Program Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender 29

    Program pendidikan politik yang ditujukan untuk anggotaparlemen dilakukan dalam kegiatan semiloka sebanyak dua kali.Semiloka pertama ditujukan pada isu-isu perempuan dan direkomen-dasikan untuk diperhatikan oleh anggota legislatif perempuan.Semiloka kedua ditujukan untuk memberikan pengetahuan tentangisu-isu perempuan, Anggaran Berkeadilan Gender, dan korupsi.Selain semiloka, program pendidikan politik dan peningkatanpengetahuan bagi para anggota legislatif juga disertai dengan diskusi-diskusi reguler yang diikuti oleh anggota legislatif perempuan daerahtingkat I dan tingkat II (Makassar), aktivis perempuan partai politik,dan FPMP. Pada diskusi reguler biasanya dibahas isu-isu yangdihadapi kaum perempuan, misalnya, alokasi dana biro Kesejah-teraan Sosial, Agama, dan Pemberdayaan Perempuan (KAP). Diskusikali itu menyoroti dana yang dialokasikan oleh bagian PemberdayaanPerempuan tidak transparan dan akuntabel. Ketidaktransparantersebut terutama terjadi saat pemberian dana bantuan keuanganuntuk organisasi perempuan. Dalam diskusi tersebut terungkapbahwa organisasi yang diketuai oleh istri gubernur dan Ketua DPRDI memperoleh dana sekitar 300 juta rupiah, sementara organisasiperempuan lain sangat sulit mengakses dana APBD.14 Diskusitersebut mengeluarkan surat permintaan untuk hearing di DPRDTingkat I Sulawesi Selatan, disertai poin-poin pernyataan dan tandatangan organisasi dan individu pengusul. Poin-poin pernyataanantara lain mempertanyakan pelaksanaan Inpres No. 9/2000 tentang

    Pengalaman FPMPdalam Membangun Wacana ABG di Sulawesi Selatan

    Informasi ini muncul pada diskusi reguler untuk persiapan hearing antara FPMP dan JaringanOrganisasi Perempuan (KPI, SP, Fatayat NU, Aisyiah, anggota partai politik perempuan) denganDPRD Tingkat I, Makassar, 2 Maret 2006.

    14.

  • 30 Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender

    Pengarusutamaan Gender (PUG) yang dilakukan oleh biro KAP.Strategi PUG selama itu dilaksanakan dengan tidak melibatkan unitkerja dalam eksekutif, dan proses APBD yang tidak transparan danakuntabel. Melalui kegiatan semiloka dan diskusi reguler di tingkatlegislatif, para anggota legislatif perempuan diharapkan memilikipengetahuan tentang isu-isu perempuan dan memperjuangkan isu-isu perempuan dalam kebijakan publik, seperti APBD dan Perdayang berperspektif gender. Dalam perkembangan berikut, akhirtahun 2005, bahan atau materi Anggaran Berkeadilan Gender jugadiberikan kepada semiloka bagi para anggota legislatif perempuanSulawesi Selatan. Meskipun terfokus pada pendidikan politik, FPMPmelakukan advokasi anggaran dalam konteks kesadaran berpolitik,kemudian advokasi ABG mulai dirasakan perlu. Hal itu terutamadilakukan saat muncul isu anggaran dalam penganggaran APBD2005/2006. Pada lembaga legislatif, baik DPRD Tingkat I, DPRDTingkat II Makassar, maupun DPRD Tingkat II Gowa, yang dikajidalam penelitian ini, wacana Anggaran Berkeadilan Gender telahdiperkenalkan melalui pelatihan yang diselenggaraan oleh Adkasipada 2004, dan kemudian diperkuat oleh FPMP pada tahun 2005.Anggota-anggota legislatif perempuan di parlemen se-SulawesiSelatan mendapat pelatihan dengan salah satu materinya adalahAnggaran Berkeadilan Gender dalam semiloka yang diselenggarakanFPMP pada 2005. Pada tataran eksekutif, bagian pemberdayaanperempuan Kota Makassar kali pertama mengenal wacana AnggaranBerkeadilan Gender pada tahun 2005 melalui pelatihan yangdiselenggarakan oleh Partnership for Governance Reform in Indo-nesia di Jakarta. Keterlibatan Partnership dalam mendukung kegiatanadvokasi FPMP ditujukan agar para eksekutif memiliki kemampuandalam merancang dan merumuskan peraturan-peraturan daerah yangberperspektif gender.

  • Proses Pelaksanaan Program Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender 31

    kelompok dampingan Kopel. Wacana ABG mulai dikenal Kopel padatahun 2001 lewat pelatihan yang diberikan oleh British Council. Pada2005, Kopel mulai lebih serius memperhatikan Anggaran BerkeadilanGender. Menurut pihak Kopel, perempuan masuk dalam kelompokmarjinal, selain petani dan nelayan. Saat ini, dalam advokasi anggaran,fokus Kopel lebih tertuju pada kasus-kasus korupsi, termasuk kasus duga-an korupsi di Biro Kesejahteraan Sosial, Agama, dan PemberdayaanPerempuan pada pos bantuan keuangan.

    Sementara pewacanaan ABG di Kupang dilakukan oleh beberapaLSM atau organisasi lain dengan cara beragam. Dalam mewacanakan ABG,Yaprita menyelenggarakan sejumlah kegiatan. Pertama-tama Yaprita meng-gelar diskusi dengan multi-stakeholder membahas tentang realitas persoalanperempuan dan kebijakan APBD, dengan mengundang anggota DPR,eksekutif, masyarakat dampingan, dan LSM. Diskusi diselenggarakandengan tujuan untuk mengidentifikasi berbagai persoalan gender di masya-rakat. Dalam diskusi itu juga dibahas tentang kebijakan APBD. Pesertadiskusi diajak untuk membaca APBD, yang kemudian dikaitkan denganpersoalan gender yang sudah lebih dulu diidentifikasi. Hasil akhir diskusitersebut, peserta mengeluarkan beberapa rekomendasi untuk dapatdiakomodasi dan ditindaklanjuti dalam proses perencanaan dan pengang-garan selanjutnya.

    Kegiatan Yaprita selanjutnya adalah workshop simpul jaringan denganmengundang stakeholder dari enam belas kabupaten atau kota. Dalamkegiatan itu, wacana ABG disosialisasikan dengan menghadirkan beberapanarasumber. Maksud dari kegiatan itu adalah untuk membuat danmemperkuat jaringan antar-LSM dan masyarakat dalam rangka memeng-aruhi kebijakan yang berkeadilan gender. Workshop simpul jaringansemacam itu berhasil membentuk aliansi yang dinamakan gerakanmasyarakat Nusa Tenggara Timur untuk keadilan gender. Untuk mendo-rong terwujudnya wacana ABG, Yaprita melakukan kegiatan pelatihanberupa penguatan kapasitas dan sosialisasi ABG ke beberapa stakeholder anggota legislatif, instansi pemerintah, LSM atau organisasi lain, danmasyarakat dampingan. Pelibatan beberapa stakeholder didasarkan padapertimbangan akan efektivitas penerapan ABG yang perlu dilakukan dari

  • 32 Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender

    berbagai arah, baik dari masyarakat (bawah) maupun eksekutif danlegislatif (atas). Selain melalui pelatihan dan diskusi, pewacanaan ABGjuga dilakukan Yaprita lewat dialog interaktif di Radio Republik Indone-sia (RRI), dengan menghadirkan beberapa narasumber yang mengupastentang arti penting ABG dalam mengurangi kesenjangan dan angkakemiskinan perempuan.

    Di Jawa Timur, upaya untuk mewacanakan pentingnya anggaran yanglebih adil, khususnya bagi kaum perempuan, dikerjakan oleh SamitraAbhaya-KPPD Surabaya bekerja sama dengan beberapa organisasi, baikorganisasi perempuan (Savi Amira) maupun organisasi nonperempuan,seperti LBH Surabaya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi),Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Airlangga (Pusham-Unair,Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya (Pusham-Ubaya),dan organisasi organisasi mahasiswa ekstra kampus, seperti GerakanMahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam(HMI), dan sebagainya. Jaringan kerja yang dibentuk itu cukup unikmengingat latar belakang visi misi setiap organisasi yang beragam, namunmereka sepakat untuk memberi advokasi kepada pemerintah dan dewankota agar memberi perhatian khusus pada proses alokasi anggaran yanglebih berperspektif gender. Mereka mengkritisi dan berupaya membedahAPBD Surabaya, sehingga realisasi anggaran lebih berpihak kepadakepentingan rakyat banyak.

    Masing-masing organisasi di atas berangkat dari isu yang berbeda,namun tetap bermuara akhir pada anggaran yang berkeadilan gender.Misalnya, Walhi dengan isu anggaran yang terkait dengan lingkungan, LBHdengan bidang hukum, begitu pula dengan organisasi-organisasi yangbernuansa akademis. Mereka menyuarakan isu anggaran yang terkaitdengan bidang masing-masing. Pada satu titik di tahun 2002, melaluikegiatan advokasi kesehatan reproduksi, mereka sempat bersepakatmenyerukan satu isu, yakni pentingnya meningkatkan alokasi anggaranbagi kesehatan reproduksi perempuan.

    Organisasi lain yang juga mewacanakan anggaran berkeadilan gen-der adalah Cakrawala Timur Surabaya melalui berbagai program yangditujukan bagi pemberdayaan masyarakat, khususnya perempuan perdesa-

  • Proses Pelaksanaan Program Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender 33

    an yang menjadi kelompok sasaran. Di antaranya adalah program pening-katan kapasitas LSM lokal-mitra di daerah tempat kelompok sasaranmereka, yang umumnya perempuan perdesaan. Materi yang diberikandalam pelatihan tersebut mencakup analisis sosial, keorganisasian, ABG,dan materi tentang advokasi kebijakan. Cakrawala Timur juga mensosiali-sasikan program-programnya melalui talkshow di radio-radio beberapadaerah di Jawa Timur. Sedangkan Yayasan Lembaga Widya Darma(YLWD) dan Yayasan Pemberdayaan Pengembangan Sosial EkonomiMasyarakat (Yapsem) Lamongan sebagai anggota ASPPUK menebarsecara rutin wacana anggaran berkeadilan gender lewat program diskusikampung; untuk mengidentifikasi persoalan yang dihadapi perempuandalam kelompok dampingan mereka. Identifikasi masalah kemudianditindaklanjuti dengan mengadakan workshop yang mempertemukanberbagai unsur, baik dari kalangan legislatif, eksekutif maupun masyarakatumum dalam forum multi-stakeholder. Proses berikutnya adalah penyusunanagenda masalah usulan anggaran yang akan disampaikan dalam acara hear-ing dengan lembaga-lembaga terkait.

    Berdasarkan pemaparan di atas, advokasi ABG banyak dikerjakanoleh sejumlah LSM di enam wilayah penelitian semenjak tahun 2000 yangmakin menguat hingga 2006. Kegiatan yang dijalankan umumnya berupapendidikan kritis bagi masyarakat, dan jejaring dengan kalangan eksekutifdan legislatif untuk mengegolkan peraturan-peraturan daerah dan APBNyang lebih berperspektif gender. Berbagai pewacanaan anggaran berkea-dilan gender melalui advokasi yang dilakukan oleh sejumlah LSM terbuktimenghasilkan berbagai ragam pemahaman mengenai berbagai hal yangberperspektif gender, termasuk pemahaman akan ABG. Keberagamantersebut merupakan hasil dari berbagai latar belakang yang berbeda-bedadari setiap LSM yang melakukan advokasi.

    Keberagaman Pemahaman Anggaran Berkeadilan Gender

    Dari penelitian diperoleh data beragam tentang pemahaman anggaranberkeadilan gender, baik di kalangan LSM, legislatif, eksekutif maupun

  • 34 Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender

    masyarakat akar-rumput yang menjadi kelompok dampingan LSM.Pemahaman tersebut dapat digolongkan menjadi tiga kelompok besar,yakni mengarah pada anggaran yang tidak memisahkan laki-laki dan perempuan;women budget dan; pro poor budget. Ketiga pemahaman itu memang sangatmemengaruhi penyusunan program advokasi anggaran setiap organisasidalam merespons berbagai kendala, pelaksanaan program, dan juga dalammemilih strategi yang sesuai.

    Untuk wilayah Jawa Timur, khususnya di kalangan eksekutif danlegislatif, ABG dipahami sebagai anggaran yang tidak memisahkan laki-laki dan perempuan. Hal itu didasarkan pada pemikiran bahwa anggaranpemerintah semestinya diperuntukkan secara adil bagi semua lapisanmasyarakat, dan tidak dibedakan antara laki-laki atau perempuan. Bilaada pembedaan, dikhawatirkan akan menimbulkan kesan diskriminatif.Gender lebih sering dipahami sebagai persoalan perempuan (ibu-ibu),sehingga ketika muncul wacana tentang anggaran yang berkeadilan gen-der, hal itu diartikan sebagai alokasi anggaran bagi kebutuhan perempuan.Dengan demikian, aplikasi pada kebijakan anggaran biasanya tertuju padapos atau kebutuhan spesifik perempuan, misalnya, Posyandu, programpelatihan keterampilan, program mengentas Perempuan Pekerja SeksKomersial (PSK) di Surabaya.15

    Sementara di kalangan LSM sendiri ada keragaman dalam memahamianggaran yang berkeadilan gender. Lembaga swadaya masyarakat berlatarorganisasi perempuan cenderung memaknai ABG sebagai women budget,sedangkan LSM berlatar penguatan demokrasi, seperti LBH Surabaya,memaknai anggaran yang berkeadilan gender sebagai pro poor budget;16anggaran berbasis rakyat miskin yang di dalamnya mencakup kaum perem-puan. Anggaran seharusnya dibuat berdasarkan kebutuhan-kebutuhanyang dirasakan oleh rakyat miskin, dan bertumpu pada kesamaan hakantara laki-laki dan perempuan. Bila anggaran telah dibuat secara adil,dengan sendirinya perempuan akan menerima manfaat yang sama sebagaibagian dari anggota masyarakat.

    Wawancara dengan Bapak Ketua DPRD Kotamadya Surabaya, 1 Mei 2006.Wawancara dengan staf laki-laki LBH Surabaya, 29 April 2006.

    15.

    16.

  • Proses Pelaksanaan Program Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender 35

    Lembaga swadaya masyarakat di Sulawesi Selatan, misalnya,Lembaga Mitra Lingkungan (LML) yang bergerak di bidang lingkungantidak hanya menangani isu lingkungan hidup, namun juga sosial. Selainterkait dengan program Seknas ASPPUK, lembaga itu juga mengerjakanprogram yang terkait dengan lingkungan dan usaha kecil-menengah(UKM). Karena LML merupakan mitra ASPPUK, program itu sesungguh-nya merupakan program nasional yang diimplementasikan oleh organisasilokal anggota ASPPUK. Organisasi-organisasi lokal hanya mengikuti alurskema program yang telah ditetapkan oleh Seknas ASPPUK. Sehubungandengan itu, LML memiliki program yang berkaitan dengan advokasianggaran berkeadilan gender. Sama seperti beberapa LSM lain di Sulawesiyang mengaitkannya dengan isu-isu politik perempuan, program tersebutmerupakan lanjutan program pendidikan pemilih yang dilakukan sebelumPemilu 2004. Itu merupakan program nasional ASPPUK yang dilakukanoleh LML di Sulawesi Selatan.

    Program advokasi Anggaran Berkeadilan Gender dilakukan LML dienam kabupaten atau kota di Sulawesi Selatan (Makassar, Gowa,Jeneponto, Takalar, Pangkep, dan Bantaeng). Dari keterlibatan LML dalamadvokasi Anggaran Berkeadilan Gender, perlu pula diketahui bagaimanaanggota LML-ASPPUK memahami masalah itu. Ketua LML, danfasilitatornya, kurang lebih memiliki pandangan tentang gender sebagaiberikut:

    Anggaran Berkeadilan Gender adalah formasi anggaran yangdilakukan oleh daerah dalam menunjang kegiatan-kegiatan yang realuntuk kaum lemah. Anggaran Berkeadilan Gender penting karenakaum marjinal sama-sama warga negara, sama-sama punya hak dasaryang harus dipenuhi oleh negara, karena dalam proses pembangunankaum marjinal, perempuan diabaikan oleh negara. Namun demikian,bukan hanya perempuan saja yang harus diperhatikan, tetapi jugapihak termarjinal lainnya.17

    Wawancara dengan fasilitator laki-laki LML-ASPPUK, Makassar, 24 Februari 2006.17.

  • 36 Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender

    Anggaran Berkeadilan Gender adalah anggaran yang adil gender,jangan hanya dinikmati oleh gender tertentu. ABG penting untukmemperkecil kesenjangan.18

    Hampir sama dengan LML, pemahaman mengenai Anggaran Berkea-dilan Gender di kalangan staf FPMP juga beragam:

    Anggaran Berkeadilan Gender adalah alokasi untuk perempuan.Misalnya, dari kacamata biologis laki-laki dan perempuan berbeda.Dari perbedaan tersebut, perempuan harus mendapat alokasikhusus.19

    Anggaran untuk laki-laki dan perempuan yang setara dan adil gen-der.20

    Anggaran yang mempertimbangkan dampak bagi perempuan danlaki-laki.21

    Anggaran yang adil, transparan, dan setiap sektor telah memasukkanpengarusutamaan gender dalam anggaran, dan dampaknya bagiperempuan dan laki-laki.22

    Pandangan di atas menunjukkan adanya perbedaan pandanganmengenai anggaran berkeadilan gender dari dua organisasi yang berbeda,yaitu LML yang merupakan organisasi lingkungan dan FPMP yang merupa-kan organisasi perempuan. Pada tataran strategi, kegiatan yang dilakukanoleh LML memiliki beberapa kesamaan dengan FPMP yang berangkatdari akar-rumput, yaitu dalam bentuk program, antara lain, diskusikampung, Focus Group Discussion (FGD), workshop Anggaran Berkeadilan

    Wawancara dengan fasilitator perempuan LML-ASPPUK daerah Gowa, Kabupaten Gowa, 1Maret 2006.Wawancara dengan staf perempuan Monitoring dan Evaluasi FPMP, Makassar, 23 Februari2006.Wawancara dengan fasilitator perempuan FPMP untuk Makassar, Makassar, 23 Februari 2006.Wawancara dengan fasilitator laki-laki FPMP untuk Gowa, Makassar, 23 Februari 2006Wawancara dengan Ibu Ketua FPMP, Makassar, 22 Februari 2006.

    18.

    19.

    20.

    21.

    22.

  • Proses Pelaksanaan Program Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender 37

    Gender, dan hearing dengan anggota-anggota DPRD untuk menyampaikankebutuhan-kebutuhan perempuan hasil rekomendasi diskusi di berbagaiaras masyarakat.

    Anggaran Berkeadilan Gender sering mendapatkan resistensi cukupsengit, karena masyarakat kerap mengonotasikan gender dengan perem-puan dan berasal dari barat. Menurut salah seorang Koordinator AliansiMasyarakat Peduli Rakyat Miskin (AMPRM), yang diwawancarai pada18 Februari 2006, sebagian besar masyarakat Nusa Tenggara Baratberagama Islam, dan menolak unsur-unsur dari barat. Bahkan, beberapatuan guru sebutan untuk ulama-ulama di Nusa Tenggara Barat danmasyarakat di Kota Mataram menyatakan dengan tegas:

    Menggunakan gender berarti percaya dengan hukum barat.... Kitapakai hukum Allah.23

    Implementasi program Anggaran Berkeadilan Gender di NusaTenggara Barat memang cukup berat. Keberadaan Tuan Guru denganpemahaman bahwa kata gender berasal dari Barat cukup menjadi kendalayang sangat besar. Salah seorang Koordinator TRAPK yang diwawancaraipada 16 Februari 2006 bahkan mengakui bahwa wacana Anggaran Berkea-dilan Gender merupakan wacana baru yang belum dapat dipahamiseutuhnya oleh sejumlah LSM di Nusa Tenggara Barat:

    Kawan-kawan masih blank dalam diskusi-diskusi itu (wacanaAnggaran Berkeadilan Gender; red). Benturan dari implementasiAnggaran Berkeadilan Gender adalah, kawan-kawan melihat danmenganalisis Anggaran Berkeadilan Gender dengan lebih memper-besar anggaran untuk perempuan, seperti di Departemen Sosial,khusus untuk perempuan, belum melihat pada pemanfaatan ataukebutuhan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Semuasektor harus dilihat, sehingga dinamikanya adalah kenapa sih perem-puan-perempuan aja yang anggarannya dinaikkan Kesepakatan

    Pengalaman salah seorang anggota DPRD perempuan Kota Mataram saat menyebarkan wacanaAnggaran Berkeadilan Gender, 19 April 2006.

    23.

  • 38 Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender

    mengenai istilah Anggaran Berkeadilan Gender adalah anggaranuntuk perempuan saja, belum paham bahwa itu untuk keseluruhansektor.

    Tidak jauh berbeda, di Kupang juga terlihat adanya keberagamanpemahaman tentang ABG yang nyaris merata di berbagai lembaga atauinstansi. Bahkan, keberagaman pemahaman gender juga terjadi antar-anggota dalam satu lembaga atau instansi. Ada kelompok sasaran yangmemahami ABG sebagai persamaan hak.

    Anggaran Berkeadilan Gender adalah persamaan hak. Persamaanhak antara kaum laki-laki dan perempuan. Maksudnya, perempuanmempunyai hak untuk berbicara, mempunyai hak untuk menge-mukakan pendapat, mempunyai hak dalam kerja apa saja. Anggaranberkeadilan gender harus banyak berpihak kepada perempuan. Janganhanya untuk aparat sehingga untuk kepentingan perempuan hanyaberapa persen saja. Seharusnya pemerintah harus banyak memer-hatikan perempuan, dalam kesehatan dan pendidikan.24

    Selain itu, salah seorang anggota kelompok sasaran lainnya jugamemahami ABG sebagai sebuah program pemerintah untuk peningkatanmasyarakat. Peningkatan yang dimaksud adalah peningkatan dalam halpemahaman maupun ekonomi rumah tangga.

    Anggaran Berkeadilan Gender intinya adalah tidak berbeda denganprogram-program pemerintah, tujuannya adalah untuk member-dayakan masyarakat menuju peningkatan pemahaman maupunkebutuhan rumah tangga sendiri.25

    Anggaran Berkeadilan Gender yang dipahami oleh eksekutif jugabervariasi. Ragam pemahaman tentang ABG itu terlihat sebagai berikut:

    Disarikan dari wawancara dengan Ibu Ketua JARPUK dan Ketua Aliansi Masyarakat untukTransparansi Anggaran, Kupang, 27 Februari 2006.Wawancara dengan Bapak Kepala Desa Camplong II, Kabupaten Kupang, 24 Februari 2006.

    24.

    25.

  • Proses Pelaksanaan Program Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender 39

    Anggaran Berkeadilan Gender adalah perencanaan bagaimana upayapemerintah untuk meningkatkan status perempuan, pendidikan,kesehatan: meningkatkan status pelayanan kesehatan. ABG adalahpengalokasian anggaran yang dapat meningkatkan kualitas hidupperempuan.26

    Rumusan ABG yang saya pahami adalah melihat kebutuhan pekerjaandengan anggaran yang ada. Misalnya, lebih banyak orang merasakalau anggaran yang untuk perempuan itu kan untuk jahit-menjahit,padahal kan bukan itu, bukan itu maksudnya. Tetapi, anggaranberkeadilan gender seharusnya lebih banyak dipahami untuk bagaima-na kebutuhan perempuan itu terpenuhi.27

    Menurut saya, Anggaran Berkeadilan Gender adalah alokasi anggarandi mana saja itu harus diimplementasikan dalam konsep. Secarapribadi, saya memahami bahwa mesti ada alokasi ABG, tetapi gen-der dalam pemahaman saya tidak khusus kepada perempuan. Padahalsemua sektor mesti...... kenapa biaya pendidikan sekian, kenapa kurangsekali perhatian dalam sektor kesehatan. Hal-hal inilah yang selalumengingatkan kami ternyata memang ada persoalan yang lebih seriusdibanding membeli mobil atau membangun rumah. Masalah dengangizi, masalah ibu hamil, ekonomi.28

    Sementara itu, perlu juga melihat bagaimana pemahaman anggaranberkeadilan gender dari lembaga pelaku advokasi anggaran berkeadilangender. Berikut adalah pernyataan responden LSM tentang ABG:

    Menurut kesimpulan saya, dari beberapa buku yang saya baca,Anggaran Berkeadilan Gender itu adalah realisasi dari anggaran yangdiberikan oleh pemerintah lewat APBD dirasakan manfaatnyaseimbang oleh laki-laki dan perempuan, bagaimana perempuan mera-sakan manfaatnya dan bagaimana laki-laki merasakan manfaatnya....

    Wawancara dengan Bapak Subdin Ketenagakerjaan Bappeda Propinsi Kupang, 21 Februari 2006.Wawancara dengan Ibu Ketua RPK POLDA NTT, 17 April 2006.Wawancara dengan Bapak Ketua Panitia Anggaran DPRD Provinsi NTT, 19 April 2006.

    26.

    27.

    28.

  • 40 Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender

    Menurut pemahaman saya, Anggaran Berkeadilan Gender adalahkeseimbangan dalam mendapatkan alolasi anggaran.29

    Beberapa pendapat di atas menunjukkan bahwa pemahaman tentangABG masih kurang tepat, dan dipahami setengah-setengah. Bahkan adayang memahaminya sebagai alokasi anggaran melulu untuk perempuan,sehingga direspons dengan mengalokasikan anggaran kepada biro pember-dayaan perempuan. Respons tersebut tidak dibarengi dengan alokasianggaran untuk memberantas keberadaan dan kesenjangan gender diinstansi atau unit atau sektor lain. Pendapat seperti itu terlihat dari jawabanyang dilontarkan oleh responden, misalnya,

    Kita sudah melakukan Anggaran Berkeadilan Gender karena kitasudah mengalokasikan anggaran untuk Biro PemberdayaanPerempuan. Kita sudah melakukan itu sejak Biro PemberdayaanPerempuan belum berdiri.30

    Meskipun demikian, dari beberapa pernyataan responden di atas, adaresponden yang sudah memiliki pemahaman lebih tepat tentang ABG.Latar belakang LSM tidak hanya memengaruhi keberagaman pemahamanterhadap ABG seperti telah dijelaskan, tetapi juga turut memengaruhiLSM bersangkutan dalam menjalankan advokasi. Untuk memahamiadvokasi yang dilakukan oleh sejumlah LSM, bagian berikut membahaspengalaman mereka dalam menjalankan advokasi ABG.

    Proses dan Corak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender

    Advokasi tentang ABG yang mengemuka pada tahun 2001, sebagai-mana telah dibahas, menunjukkan adanya orientasi pada tingkat kesadaran,partisipasi, pengaruh, dan kebijakan, baik untuk soal mekanisme demokra-si maupun anggaran untuk perempuan. Di Kota Surabaya, misalnya. Pada

    Wawancara dengan Ibu Koordinator Program Yaprita, 20 April 2006.Hasil wawancara dengan salah seorang staf laki-laki di Bappeda Provinsi NTT, 21 April 2006.

    29.

    30.

  • Proses Pelaksanaan Program Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender 41

    SA-KPPD adalah LSM yang mengawali pewacanaan tentangpentingnya anggaran berkeadilan gender, bersamaan dengan pro-gram advokasi gender mainstreaming yang dilakukan pada saat lembagaini berdiri pada 2002. Fokus utama lembaga itu adalah pada isukekerasan terhadap perempuan. SA-KPPD melakukan advokasigender mainstreaming bertolak dari meningkatnya kondisi kekerasanterhadap perempuan di tengah masyarakat. SA-KPPD merasakanperlunya melakukan sosialisasi pemahaman tentang gendermainstreaming di kalangan masyarakat luas guna mendorong adanyakebijakan yang mampu memberi perlindungan terhadap perempuandan anak dari tindak kekerasan. Advokasi gender mainstreaming yangdilakukan SA-KPPD melibatkan kerja sama dengan berbagai unsur,baik organisasi perempuan, organisasi nonperempuan, maupunkalangan akademisi, antara lain, LBH Surabaya, Walhi, PushamUnair, Pusham Ubaya, dan Omek (organisasi mahasiswa ekstrakampus). Aliansi tersebut beranggotakan organisasi-organisasiperempuan dan organisasi berlatar penguatan mekanisme demokrasi.Sinergi keduanya membuat mereka mampu mengkritisi masalahanggaran, baik dari sisi mekanisme demokrasi maupun dari sisiperspektif gender. Pimpinan SA-KPPD menyatakan bahwa:

    Dibedah secara utuh mulai dari isu lingkungan, perempuan,dan HAM sebelum APBD disahkan. Tujuannya adalah untukmengetahui apakah APBD telah menggambarkan danmemasukkan kebutuhan masyarakat. Pelopornya adalahKPPD, dengan kegiatan utama adalah kampanye.

    Menurut Direktur SA-KPPD, wacana tentang ABG dimulaipada 2001 melalui program pelatihan-pelatihan. Bentuk advokasibaru muncul pada 2002. Hal itu diawali oleh Rancangan Aksi

    Advokasi Gender Mainstreaming SA-KPPD

  • 42 Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender

    awalnya belum banyak LSM yang menangani isu anggaran berkeadilangender di wilayah Surabaya, kendati di kota ini terdapat sejumlah organisasiperempuan. Lembaga-lembaga swadaya masyarakat seperti misalnyaSamitra Abhaya Kelompok Perempuan Pro-Demokrasi (SA-KPPD),Cakrawala Timur, dan YLWD (anggota ASPPUK) pada awalnya tidakmencurahkan konsentrasi pada isu-isu anggaran berkeadilan gender.Namun, dalam perjalanan kemudian, ketiga organisasi tersebut memasuk-kan materi ABG sebagai bagian dari program-program advokasipemberdayaan yang dilakukan terhadap kaum perempuan di tingkatmasyarakat dampingan. Saat itulah perempuan di tingkat akar-rumputmulai terlibat dalam isu mengenai anggaran berkeadilan gender.

    Lembaga swadaya masyarakat lain yang bergerak menangani isuanggaran berkeadilan gender adalah Cakrawala Timur yang berdiri pada1991. Pada awal berdiri, Cakrawala Timur lebih banyak bergerak di bidangpengembangan masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan, dan hanyabermodalkan swadaya anggota Cakrawala Timur yang sebagian besaradalah mahasiswa dari Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang.Dukungan dana dari funding asing diterima pada tahun 1998 untuk kegiatanyang terfokus pada pengembangan masyarakat perdesaan, khususnya petaniperempuan. Menurut penuturan salah seorang staf Cakrawala Timur,mereka sengaja memilih kelompok sasaran petani perempuan karena mere-ka ini kelompok yang paling tidak berdaya dan perlu dibantu agar memper-oleh pengetahuan serta keterampilan memadai, yang kelak membuatmereka lebih berdaya dan memiliki tingkat kesejahteraan lebih baik.

    Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (RAN-PKTP) tahun 2002 yang menjadi wacana di komunitas jaringan.Kebutuhan akan ABG menjadi pemikiran lebih lanjut dari prosespembahasan RAN-PKTP. Kebutuhan akan dana ditujukan secarakhusus untuk penanganan korban kekerasan, tetapi masih sebatasisu belum sampai pada alokasi khusus untuk perlindunganperempuan dari kekerasan dan kesehatan reproduksi.

  • Proses Pelaksanaan Program Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender 43

    Dalam perjalanannya, Cakrawala Timur menjalin kerja sama denganUSAID untuk penguatan politik rakyat pada tahun 1999-2000. Sasaranmereka adalah aktivis mahasiswa, buruh, kaum tani, pemuda perkotaan,serta komunitas pondok pesantren se-Jawa Timur. Beberapa programpernah dilaksanakan Cakrawala Timur, di antaranya advokasi untukpenguatan partisipasi politik rakyat dalam era otonomi daerah (2000-2001)bekerja sama dengan Civil Society for Strengthening Programme (CSSP).Didukung oleh Partnership, Cakrawala Timur akhir bulan Mei 2003melaksanakan workshop strategi peningkatan partisip