Top Banner
145

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Jan 03, 2016

Download

Documents

Mengapa Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 perlu dilakukan?

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap fakta untuk membantu penyelesaian masalah kesehatan berbasis budaya kearifan lokal. Kegiatan ini menjadi salah satu fungsi dari Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.

Dengan mempertemukan pandangan rasional dan indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat dengan kearifan lokal masing-masing daerah. Dengan demikian akan menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah dan meningkatkan status kesehatan di Indonesia.

Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 12 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna
menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan kesehatan ibu dan anak dengan memperhatikan kearifan lokal.

Sentuhan budaya dalam upaya kesehatan tidak banyak dilakukan. Dengan terbitnya buku hasil penelitian Riset Etnografi ini akan menambah pustaka budaya kesehatan di Indonesia. Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan-Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Page 2: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

i

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Etnik GayoDesa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Badan Penelitian dan Pengembangan KesehatanKementerian Kesehatan Republik Indonesia

2012

Page 3: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012ii

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012Etnik GayoDesa Tetingi, Kecamatan Blang PegayonKabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Penulis :1. Yunita Fitrianti2. Fahmi Ichwansyah3. Ari Wahyudi4. Saifullah5. Niniek Lely Pratiwi

Editor :1. Niniek Lely Pratiwi

Disain sampul : Agung Dwi LaksonoSetting dan layout isi : Sutopo (Kanisius) Indah Sri Utami (Kanisius) Erni Setiyowati (Kanisius)

ISBN : 978-602-235-234-1Katalog :No. Publikasi :Ukuran Buku :Diterbitkan oleh : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI

Dicetak oleh : Percetakan Kanisius

Isi diluar tanggungjawab Percetakan

Page 4: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

iii

Buku seri ini merupakan satu dari dua belas buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan ibu dan Anak tahun 2012 di 12 etnik.

Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.03.05/2/1376/2012, tanggal 21 Februari 2012, dengan susunan tim sebagai berikut:

Ketua Pengarah : Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kese­hatan Kemkes RI

Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH)Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, MScSekretariat : dr. Trisa Wahyuni Putri, MKesAnggota Mardiyah SE, MM Drie Subianto, SE Mabaroch, SSosKetua Tim Pembina : Prof. Dr. Herman Sudiman, SKM, MKesAnggota : Prof. A.A.Ngr. Anom Kumbara, MA Prof. Dr. dr. Rika Subarniati, SKM Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, MKes Sugeng Rahanto, MPH, MPHMKetua tim teknis : Drs. Setia Pranata, MSiAnggota Moch. Setyo Pramono, SSi, MSi Drs. Nurcahyo Tri Arianto, MHum Drs. FX Sri Sadewo, MSiKoordinator wilayah 1. Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah : Dra. Rachmalina S Prasodjo,

MScPH2. Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo : dr. Betty Rooshermiatie,

MSPH, PhD3. Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua : Agung Dwi Laksono, SKM,

MKes4. Daerah Istimewa Yogjakarta, Jawa Timur, Bali : Drs. Kasnodihardjo

Page 5: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012iv

Page 6: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

v

KATA PENGANTAR

Mengapa Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 perlu dila­kukan ?

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indo nesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap fakta untuk membantu penyelesaian masalah kesehatan berbasis budaya kearifan lokal. Kegiatan ini menjadi salah satu fungsi dari Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.

Dengan mempertemukan pandangan rasional dan indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara­cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat dengan kearifan lokal masing­masing daerah. Dengan demikian akan menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah dan meningkatkan status kesehatan di Indonesia.

Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 12 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai­nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan kesehatan ibu dan anak dengan memperhatikan kearifan lokal.

Sentuhan budaya dalam upaya kesehatan tidak banyak dilakukan. Dengan terbitnya buku hasil penelitian Riset Etnografi ini akan menambah pustaka budaya kesehatan di Indonesia. Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam

Page 7: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012vi

penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan­Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

Surabaya, Desember 2012

Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI

Drg. Agus Suprapto, M.Kes

Page 8: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

vii

SAMBUTANKepala Badan Litbang Kesehatan

Assalamualaikum Wr.Wb.

Puji syukur kepada Allah SWT kami panjatkan, karena hanya dengan rahmat dan karuniaNya Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 ini dapat diselesaikan. Buku seri merupakan hasil paparan dari penelitian etnografi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang merupakan langkah konk-rit untuk memberikan gambaran unsur budaya terkait KIA yang berbasis ilmiah.

Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) menjadi prioritas utama Program pembangunan Kesehatan Masyarakat Indonesia. Penyelesaian masalah KIA belum menunjukkan hasil sesuai harapan yaitu mencapai target MDGs berupa penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 102/100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) 23/1000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Upaya medis sudah banyak dilakukan, sedangkan sisi non medis diketahui juga berperan cukup kuat terhadap status Kesehatan Ibu dan Anak. Faktor non medis tidak terlepas dari faktor­faktor sosial budaya dan lingkungan dimana mereka berada.

Melalui penelitian etnografi ini, diharapkan mampu menguak sisi budaya yang selama ini terabaikan. Budaya memiliki kekhasan tertentu, sehingga pemanfaatan hasil penelitian ini memerlukan kejelian pelak-sana atau pengambil keputusan program kesehatan agar dapat berdaya guna sesuai dengan etnik yang dipelajari. Kekhasan masing­masing etnik merupakan gambaran keragaman budaya di Indonesia dengan berbagai permasalahan KIA yang juga spesifik dan perlu penanganan spesifik pula. Harapan saya, buku ini dapat dimanfaatkan berbagai pihak untuk mema-hami budaya setempat dan selanjutnya dimanfaatkan untuk mengurai dan memecahkan permasalahan KIA pada etnik tertentu.

Ucapan terimakasih khususnya kepada tim peneliti dan seluruh pihak terkait merupakan hal yang sudah selayaknya. Kerja keras dan cerdas,

Page 9: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012viii

tanpa kenal lelah, merupakan bukti integritasnya sebagai peneliti Badan Litbangkes.

Akhir kata, bagi tim peneliti, selamat berkarya untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan keejahteraan masyarakat. Semoga buku ini bermanfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Wabillahitaufik wal hidayah, wassalamu’alaikum wr. wb.

Jakarta, Desember 2012

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI

DR. dr. Trihono, MSc.

Page 10: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

ix

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih paling pertama kami ucapkan kepada seluruh masyarakat Desa Tetingi yang telah menerima kami menjadi bagian dari mereka sehingga kami belajar banyak dan memperoleh informasi tentang mereka dari mereka. Tanpa mereka, buku ini tidak dapat ditulis dan berada di tangan pembaca seperti saat ini. Selain itu, kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan selama penelitian berlangsung sampai dengan selesainya penyusunan buku ini.

Ucapan terima kasih kami haturkan kepada yang terhormat:1. Bapak Dr. dr. Trihono, M.Sc. sebagai Kepala Badan Penelitian

Kesehatan Kementerian Kesehatan RI;2. Bapak drg. Agus Suprapto, M.Kes. sebagai kepala Pusat Huma­

niora, Kebijakan Kesehatan, dan Pemberdayaan Masyarakat, Ba dan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI;

3. Ibu dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc. sebagai Ketua Pelaksana Riset Khusus Budaya KIA, sementara riset etnografi Kesehatan Ibu dan Anak ini merupakan bagian dari Riset Khusus Budaya KIA 2012;

4. Ibu drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes. sebagai supervisor sekaligus reviewer penelitian sampai dengan selesainya penulisan buku;

5. Para pakar di bidang Antropologi Kesehatan dan Kesehatan Ibu dan Anak dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dan universitas sebagai tempat tim peneliti berkonsultasi;

6. Bapak Kepala Dinas Kesehatan, Sekretaris Dinas Kesehatan, dan staf bagian Kesehatan Ibu dan Anak Dinas Kesehatan Kabupaten Gayo Lues;

7. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gayo Lues;8. Bapak Camat Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues beserta staf

kecamatan;

Page 11: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012x

9. Bapak Kepala Desa Tetingi, sekretaris desa, tokoh masyarakat, kader kesehatan, bidan kampung, dukun kampung, dan seluruh masyarakat Desa Tetingi yang telah memberikan banyak infor masi dan menjadikan kami “keluarga” selama penelitian berlangsung;

10. Bidan Desa Tetingi yang telah sangat membantu dalam melan­carkan proses penelitian;

11. Ibu Siti Luksitasari sebagai penanggung jawab administrasi dan birokrasi; serta

12. Bapak, ibu, dan handai taulan lain yang tidak dapat kami sebut­kan satu per satu.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan imbalan yang sesuai dengan sumbangsih yang telah bapak dan ibu berikan.

Tim peneliti

Page 12: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

xi

DAfTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................................................. vSAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KESEHATAN ..................................................... viiUCAPAN TERIMA KASIH................................................................................................................................. ixDAFTAR ISI ................................................................................................................................................................... xiDAFTAR GAMBAR .................................................................................................................................................. xiiiDAFTAR GRAFIK ....................................................................................................................................................... xivDAFTAR BAGAN ....................................................................................................................................................... xvDAFTAR TABEL ........................................................................................................................................................... xvi

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................................... 1

BAB II GAYO LUES, PESONA NEGERI SERIBU BUKIT ................................................... 7 2.1 Sekilas Tentang Gayo Lues dan Orang Gayo .......................................... 7 2.2 Desa Tetingi, Desa di Bawah Kaki Bur Gajah ......................................... 11 2.3 Kondisi Alam Tetingi dan Kependudukan ................................................. 13 2.4 Sistem Mata Pencarian .................................................................................................... 21 2.5 Agama dan Sistem Kepercayaan .......................................................................... 26 2.6 Sistem Kemasyarakatan dan Organisasi Sosial ................................... 30 2.7 Bahasa Sebagai Alat Komunikasi ......................................................................... 33 2.8 Kesenian: Tari Saman, Tari Bines, dan Didong .................................... 34 2.9 Pengetahuan Mengenai Sehat dan Sakit dalam Kacamata Masya rakat Tetingi .................................................................................. 35

BAB III PEREMPUAN GAYO, DARI REMAJA SAMPAI DI BALIK BARA ..................................................................................................................................... 45 3.1 Remaja Gayo Lues; Beberu dan Bebujang ............................................... 45 3.2 Sistem Perkawinan ................................................................................................................ 49 3.3 Perempuan Gayo pada Masa Hamil ................................................................ 53 3.4 Persalinan: Bidan Kampung (Masih) Menjadi Idola .................... 63 3.5 Nite Ibu Nifas, 44 Hari Bersama Api dan Ramuan Gayo ......... 78

Page 13: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012xii

3.6 Perawatan Bayi .......................................................................................................................... 94 3.7 Makanan Bayi dan Masa Menyusui ................................................................. 99 3.8 Balita dan Anak ......................................................................................................................... 102 3.9 Health Seeking Behavior dalam Kesehatan Ibu dan Anak................................................................................................................................. 108

BAB IV TENAGA KESEHATAN DI MATA MASYARAKAT DESA TETINGI .... 111

BAB V POTENSI DAN KENDALA DALAM PEMBANGUNAN KESEHATAN IBU DAN ANAK DI DESA TETINGI ........................................... 115 5.1 Masa Hamil .................................................................................................................................... 116 5.2 Persalinan ......................................................................................................................................... 118 5.3 Pasca-persalinan ...................................................................................................................... 120 5.4 Intisari ................................................................................................................................................... 121

BAB VI SIMPULAN ............................................................................................................................................... 123

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................................................. 125

GLOSARIUM ............................................................................................................................................................... 127

Page 14: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

xiii

DAfTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Peta Gayo Lues. ............................................................................................................ 9Gambar 2.2. Kondisi jalan Desa Tetingi ................................................................................ 12Gambar 2.3. Denah Desa Tetingi ................................................................................................... 14Gambar 2.4. Bentuk rumah masyarakat Desa Tetingi ........................................ 16Gambar 2.5. Kondisi MCK Desa Tetingi ................................................................................ 17Gambar 2.6 Hasil perkebunan yang siap dipasarkan .......................................... 23Gambar 2.7. Penyembuhan peneni’an dengan cara semburan sirih .............................................................................................................. 42Gambar 3.1. Seorang Ibu hamil sedang bejangkat kayu bakar ................ 56Gambar 3.2. Daun sirih yang dicampur dengan rempah lainnya ........ 62Gambar 3.3 Semilu untuk memotong tali pusar bayi ....................................... 74Gambar 3.4 Seorang ibu sedang bedaring di dapur pasca-persalinan ......................................................................................................... 80Gambar 3.5 Seorang ibu sedang bedaring sambil menggendong bayinya .................................................................................................................................... 81Gambar 3.6 Bedak matah yang digiling dengan menggunakan gelas dengan alas piring kaca ..................................................................... 83Gambar 3.7 Tampal yang telah dicairkan dengan air jeruk purut dioleskan pada dahi, bawah daun telinga, dan bawah mata kaki ibu nifas selama 44 hari ..................... 84Gambar 3.8 Bedak param yang belum dikeringkan ............................................. 86Gambar 3.9 Abu dapur dicampur dengan kunyahan sirih ........................... 89Gambar 3.10 Asam kuyun dikupas kulitnya dan dibelah menjadi dua ..................................................................................................................... 89

Page 15: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012xiv

DAfTAR GRAfIK

Grafik 1.1. Jumlah Bidan dan Jumlah Dukun yang Terdapat di Kabupaten Gayo Lues .............................................................................................. 3Grafik 2.1. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur .................................................................................................................. 20Grafik 2.2. Jumlah Penduduk Berumur 10 tahun ke atas yang Melek Huruf Di Desa ...................................................................................................... 21

Page 16: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

xv

DAfTAR BAGAN

Bagan 2.1. Sistem Pemerintahan Desa Tetingi ............................................................... 29Bagan 2.2. Pohon Kekerabatan dalam Hubungan Kekerabatan ............. 33Bagan 3.1. Pohon Kekerabatan antara Ibu Hamil atau Ibu Bersalin dengan Dukun Kampung dalam Beberapa Keluarga di Desa Tetingi ...................................................................................................................... 65

Page 17: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012xvi

DAfTAR TABEL

Tabel 1.1. Data Pemeriksaan Kehamilan dan Persalinan Kabupaten Gayo .................................................................................................................. 2Tabel 2.1. Beberapa Perbedaan Istilah Bahasa Gayo Lues dan Gayo Takengon ......................................................................................................... 34

Page 18: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

1

BAB I PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang masih mempunyai banyak permasalahan kesehatan. Salah satu kabupaten di Indonesia yang (masih) mempunyai permasalahan kesehatan yang cukup tinggi adalah Kabupaten Gayo Lues, yang terletak di Provinsi Aceh. Secara umum kondisi kesehatan masyarakat di Kabupaten Gayo Lues salah satunya dapat diketahui dari hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 (Riskesdas), yang menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) Kabupaten Gayo Lues berada pada posisi 439 dari 440 kabupaten dan kota di Indonesia. Keadaan ini menjadi bahan pemikiran, indikator apa saja yang menyebabkan peringkat ini menjadi sangat rendah.

Salah satu indikator IPKM tersebut adalah cakupan pemeriksaan ke-hamilan atau antenatal care (ANC). Menurut data Riskesdas 2007, cakupan pemeriksaan kehamilan Kabupaten Gayo Lues adalah 25%. Cakupan ini adalah cakupan terendah di Provinsi Aceh, yang secara umum mempunyai cakupan pemeriksaan kehamilan sebesar 72% (Depkes, 2008:64). Dengan kata lain, cakupan pemeriksaan kehamilan Kabupaten Gayo Lues paling rendah di antara 21 kabupaten yang terdapat di Provinsi Aceh.

Menurut data profil kesehatan Aceh tahun 2010, angka kematian ibu di Aceh adalah 193/100.000 kelahiran hidup/LH. Bila ditelusuri per kabupaten maka ditemukan beberapa kabupaten yang memberikan kontribusi kematian ibu paling banyak, salah satunya adalah Kabupaten Gayo Lues (Profil Kesehatan Aceh, 2011). Menurut informasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Gayo Lues, pada tahun 2011 angka kematian balita berjumlah 30 orang, dengan rincian kematian neonatal 21 orang dan bayi 9 orang. Data­data inilah yang menjadi dasar pemikiran mengapa kajian kesehatan ibu dan anak dilakukan di Kabupaten Gayo Lues.

Page 19: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 20122

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran secara holistik aspek sejarah, geografi, dan sosial budaya yang terkait dengan kesehatan ibu dan anak pada etnis Gayo di Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan metode penelitian etnografi. Dalam metode penelitian etnografi peneliti secara langsung terjun ke lapangan mencari fenomena dan informasi dari informan, melalui observasi partisipatori (Ratna, 2010:88). Menurut LeCompte dan Schensul (1999 dalam Emzir, 2011:18) etnografi adalah sebuah metode penelitian yang bermanfaat untuk menemukan pengetahuan yang tersembunyi dalam suatu budaya dan komunitas. Oleh sebab itulah, metode etnografi digunakan dalam penelitian ini, untuk mengungkapkan dan menemukan pengetahuan yang tersembunyi dalam budaya masyarakat DesaTetingi, khususnya penge­tahuan tentang kesehatan ibu dan anak.

Tabel 1.1 Data Pemeriksaan Kehamilan dan Persalinan Kabupaten Gayo Lues Tahun 2011

No. Puskesmas

Pemeriksaan Kehamilan

(ANC)K1

Jumlah Ibu

Bersalin

Persalinan oleh Tenaga Kesehatan

Tempat Persalinan

FaskesNon-

Faskes

1. Kuta Panjang 90,05% 201 89,55% 180 02. Blang Jerango 93,60% 165 88,48% 146 03. Blang Kejeren 95,10% 641 86,12% 552 04. Gumpang 100% 177 97,18% 171 15. Dabun Gelang 93,98% 127 91,34% 116 06. Pining 90,91% 74 81,08% 60 07. Pintu Rime 97,56% 39 84,62% 28 08. Cinta Maju 82,14% 134 79,10% 106 09. Rikit Gaib 100% 103 85,44% 88 010. Kenyaran 94,34% 102 87,25% 88 111. Terangun 96,73% 204 83,33% 170 012. Rerebe 100% 132 80,30% 106 0

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Gayo Lues

Penelitian ini dilakukan di Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon. Desa Tetingi merupakan salah satu desa yang menjadi wilayah Puskesmas Cinta Maju yang berada di Kecamatan Blang Pegayon. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Gayo Lues 2012, dari 12 puskesmas yang ter-

Page 20: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

3

dapat di Kabupaten Gayo Lues, Puskesmas Cinta Maju mempunyai caku-pan pemeriksaan kehamilan dan persalinan oleh tenaga kesehatan paling rendah dibandingkan dengan puskesmas lain. Hal ini tentu menjadi tanda tanya besar, mengapa Puskesmas Cinta Maju mempunyai cakupan peme­riksaan kehamilan dan persalinan oleh tenaga kesehatan paling rendah dibandingkan dengan puskesmas lain. Hal ini terlihat pada tabel 1.1.

Selain data cakupan pemeriksaan kehamilan dan persalinan oleh te-naga kesehatan paling rendah, Puskesmas Cinta Maju juga masih memiliki banyak dukun. Namun jumlah dukun yang terdapat di wilayah Puskesmas Cinta Maju lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah bidan. Hal ini ber-beda dengan puskesmas lain yang memiliki jumlah dukun lebih banyak daripada jumlah bidan, seperti di Puskesmas Dabun Gelang. Hal ini tentu menarik perhatian, mengapa Puskesmas Cinta Maju yang memiliki bidan lebih banyak daripada dukun, mempunyai data cakupan ANC dan persali-nan oleh tenaga kesehatan paling rendah dibandingkan dengan puskes-mas lain. Hal ini justru berbanding terbalik dengan Puskesmas Dabun Gelang yang memiliki jumlah dukun lebih banyak daripada bidan, tetapi cakupan ANC dan persalinan oleh tenaga kesehatan lebih baik daripada Puskesmas Cinta Maju.

Grafik 1.1 Jumlah bidan dan jumlah dukun yang terdapat di Kabupaten Gayo Lues menurut puskesmas tahun 2011.

(Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Gayo Lues)

Page 21: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 20124

Puskesmas Cinta Maju yang terdapat di Kecamatan Blang Pegayon memiliki 12 desa yang menjadi wilayah kerjanya. Salah satu desa tersebut adalah Desa Tetingi. Desa ini dipilih berdasarkan pertimbangan jumlah ibu hamil yang terdapat di desa tersebut pada bulan Mei­Juni tahun 2012 lebih banyak daripada di desa lain. Banyaknya jumlah ibu hamil di lokasi peneli-tian diharapkan dapat memberikan banyak informasi mengenai kesehatan ibu dan anak dan peneliti dapat melihat secara langsung akti vitas ibu hamil dan bagaimana persalinan yang dilakukan oleh masyarakat setempat.

Metode pengumpulan data menggunakan metode observasi partisi­pasi, yaitu peneliti mengalami hidup bersama dengan objek penelitian dan menjadi bagian keluarga dari masyarakat di suatu etnis (Ratna, 2010:218). Oleh sebab itu, pada saat pengumpulan data, tim peneliti tinggal bersama (live in) dengan masyarakat Desa Tetingi untuk mengamati perilaku masya­rakat, khususnya perilaku yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak. Live in ini dilakukan selama kurang lebih dua bulan untuk mendapatkan informasi, khususnya informasi yang tersembunyi tentang kesehatan ibu dan anak.

Selain melakukan pengamatan atau observasi, pada saat tinggal ber­sama dengan masyarakat, peneliti juga melakukan wawancara dengan beberapa warga masyarakat setempat untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam. Wawancara mendalam ini dilakukan dengan infor­man yang mengetahui materi yang ingin ditanyakan. Misalnya, perta­nya an mengenai sejarah desa ditanyakan kepada tetua masyarakat setempat; pertanyaan tentang metode persalinan oleh dukun kampung ditanyakan kepada dukun kampung atau pasiennya; pertanyaan tentang remaja ditanyakan kepada orang tua remaja dan remaja itu sendiri; dan pertanyaan tentang kehamilan dan persalinan ditanyakan kepada ibu hamil, ibu bersalin, bidan desa, kader kesehatan, dukun kampung, dan keluarganya. Pada intinya, wawancara dilakukan dengan informan yang dianggap mengetahui materi atau konteks yang ingin ditanyakan.

Penentuan informan dilakukan secara snowball sampling, yaitu men cari suatu informasi dari satu informan ke informan lain sampai akh-irnya key informant (informan kunci) tersebut ditemukan. Wawancara de ngan key informant bukan hanya dilakukan sekali, tetapi berulang kali untuk mendapatkan informasi yang mendalam dan lengkap. Peneliti juga melakukan teknik probing dalam wawancara untuk mengeksplorasi infor-masi yang diperoleh.

Demi validitas data, dilakukan triangulasi, yaitu proses penguatan bukti dari individu­individu yang berbeda, jenis data (misalnya catatan

Page 22: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

5

lapangan observasi dan wawancara) dalam deskripsi, dan tema­tema dalam penelitian kualitatif (Emzir, 2011:82). Triangulasi ini dilakukan ke ­pada informan yang berbeda. Sebagai contoh, pertanyaan tentang per­salinan ditanyakan kepada ibu bersalin, dukun kampung, bidan desa, kelu arga ibu bersalin, dan tetangganya. Selain itu, triangulasi juga dil a­kukan dalam metode pengumpulan data, yaitu antara hasil observasi, wawancara, dan telaah dokumen yang diperoleh dari poskesdes, kantor kecamatan, dinas kesehatan kabupaten, dinas pariwisata kabupaten, dan Badan Pusat Statistik Gayo Lues.

Hasil observasi dan wawancara dengan informan tersebut ditulis di atas kertas yang disebut “catatan harian”. Dalam catatan harian tersebut segala temuan dan informasi yang diperoleh peneliti ditulis. Catatan harian ini sangat penting sebagai instrumen analisis data. Setelah ditulis, catatan harian tersebut dibaca lagi oleh peneliti untuk mengeksplorasi informasi dari informasi yang telah diperoleh. Seorang peneliti etnografi perlu menganalisis catatan­catatan lapangan untuk mengetahui apa yang akan dicari dalam periode berikutnya dalam observasi partisipasi (Emzir, 2011:209).

Setelah ditulis dan dianalisis, langkah selanjutnya adalah peneliti melakukan pengkodean (coding) dalam catatan harian tersebut. Coding ini dilakukan untuk mempermudah peneliti dalam menemukan pola. Semua analisis etnografis akan melibatkan pencarian melalui catatan lapangan untuk menemukan pola­pola budaya (Spradley, 1980:85 dalam Emzir, 2011:211). Dengan kata lain, pola­pola budaya tersebut akan ditemukan dengan cara menganilisis catatan harian. Melalui catatan harian tersebut akan ditemukan keterulangan dan kesamaan peristiwa dan informasi.

Setelah pengkodean dilakukan, langkah selanjutnya adalah menge­lom pokkan hasil pengkodean untuk melakukan kategorisasi sesuai dengan tema yang telah ditentukan. Setelah kategorisasi tersebut ditentukan, langkah selanjutnya adalah mendeskripsikan hasil temuan sesuai dengan kategori atau tema yang telah ditetapkan. Dalam kategori atau tema yang telah ditetapkan tersebut, peneliti akan melakukan thick description berdasarkan catatan harian. Setelah thick description yang dilakukan pada setiap tema, selanjutnya peneliti melakukan analisis holistik, yaitu analisis menyeluruh. Analisis ini dilakukan untuk mencari ”benang merah” antara satu tema dengan tema yang lain. Dengan kata lain, analisis holistik ini dilakukan untuk mencari keterkaitan antara satu tema dengan tema yang lain.

Page 23: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 20126

Page 24: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

7

BAB II GAYO LUES, PESONA NEGERI SERIBU BUKIT

2.1 Sekilas Tentang Gayo Lues dan Orang Gayo

Gayo Lues merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Pro­vinsi Aceh. Kabupaten ini merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Tenggara. Secara administratif Kabupaten ini dibentuk pada tahun 2002, namun sistem pemerintahan baru berjalan pada tahun 2005. Jarak Kabupaten Gayo Lues dengan Kota Banda Aceh (ibukota Provinsi Aceh) kurang lebih sekitar 475 kilometer. Perjalanan menuju kabupaten ini hanya dapat dilalui dengan perjalanan darat karena belum ada bandar udara yang dibangun di sana. Perjalanan darat yang biasa ditempuh dapat melalui dua rute. Rute pertama dimulai dari Medan melewati Kutacane (Aceh Tenggara), dengan waktu tempuh kurang lebih 12 jam, sedangkan rute kedua dimulai dari Banda Aceh melewati Takengon (Aceh Tengah), dengan waktu tempuh kurang lebih 14 jam. Sepanjang perjalanan, hutan belantara yang berbukit­bukit dengan curamnya tebing di kiri­kanan ruas jalan yang berliku­liku menjadi irama dan nada dalam perjalanan.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih selama 12 jam sampai 14 jam, tibalah di Kabupaten Gayo Lues yang dijuluki “Negeri Seribu Bukit”. Kabupaten ini dijuluki “Negeri Seribu Bukit” karena adanya hamparan per bukitan pohon pinus dan lahan pertanian masyarakat yang begitu luas di antara kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Untuk itu, UNESCO pun memberi Gayo Lues julukan sebagai “paru­paru dunia” karena pesona alam Gayo Lues yang masih hijau dan alami. Berada di Gayo Lues bak berada dalam sebuah wajan. Pegunungan dan perbukitan menghijau memagari Gayo Lues sehingga ke mana pun mata memandang hanya bukit dan gunung yang menghijau yang ada dalam pandangan.

Page 25: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 20128

Banyak tulisan menceritakan tentang sejarah Kabupaten Gayo Lues baik dipublikasikan melalui dunia internet maupun dalam bentuk cetak, seperti profil kabupaten, BPS, dan sebagainya. Sejarah yang diceritakan hampir sama, yaitu sejarah Gayo Lues dari zaman Kerajaan Aceh, zaman Belanda, zaman Jepang, zaman kemerdekaan, sampai terbentuknya Gayo Lues menjadi kabupaten sendiri. Namun, tulisan ini hanya akan menceritakan tentang sejarah terbentuknya Kabupaten Gayo Lues karena menceritakan sejarah Gayo Lues dari zaman Ke rajaan Aceh sampai ter­bentuknya Kabupaten Gayo Lues dianggap terlalu panjang. Cerita me­ngenai terbentuknya Kabupaten Gayo Lues dianggap penting dalam tulisan ini karena peneliti ingin menggambarkan bagaimana kondisi Kabupaten Gayo Lues sebagai kabupaten yang baru lahir di Provinsi Aceh berpengaruh terhadap sistem pemerintahan dan sistem sosial, termasuk sistem kesehatan.

Sebelum menjadi kabupaten sendiri, Gayo Lues termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Aceh Tenggara. Karena luasnya daerah yang harus dikoordinasi dan minimnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh Tenggara, muncul kesan bahwa kemajuan pembangunan Gayo Lues dianaktirikan (BPS Gayo Lues, 2005). Untuk itu, pada akhir tahun 1997 beberapa orang tua bermusyawarah di Blang Kejeren untuk mem­perjuangkan Gayo Lues menjadi kabupaten administratif (BPS Gayo Lues, 2005). Melalui proses dan perjuangan yang panjang, akhirnya pada tahun 2002 Gayo Lues menjadi kabupaten sendiri. Kabupaten Gayo Lues dibentuk berdasarkan Undang­Undang Nomor 4 Tahun 20021 yang diresmikan pada tanggal 2 Juli 2002 oleh Menteri Dalam Negeri (BPS Gayo Lues, 2005). Namun, menurut pemerintah setempat, sistem pemerintahan Gayo Lues baru berjalan pada tahun 2005. Jadi, terhitung pada tahun 2012, Kabu­paten Gayo Lues berusia 10 tahun. Dalam usia 10 tahun tersebut masih banyak permasalahan yang dihadapi oleh Kabupaten Gayo Lues, termasuk masalah kesehatan, terutama kesehatan ibu dan anak.

Orang Gayo. Penduduk Gayo Lues berasal dari etnis yang beragam, seperti etnis Gayo, Batak, Jawa, Karo, Aceh, dan sebagainya. Namun, tidak ada data statistik yang dapat menjelaskan jumlah penduduk Gayo Lues berdasarkan etnis. Namun menurut perkiraan salah seorang pegawai Badan Pusat Statistik Kabupaten Gayo Lues yang juga merupakan orang Gayo, hampir 80% penduduk Gayo Lues berasal dari etnis Gayo,

1 Sumber: www.gayolueskab.go.id diakses tanggal 3 Oktober 2012.

Page 26: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

9

sedangkan 20% lagi berasal dari etnis lain, seperti Jawa, Batak, Karo, Aceh, dan sebagainya.

Sebelum melanjutkan ke pembahasan selanjutnya, deskripsi menge­nai orang Gayo akan dijelaskan terlebih dulu agar orang Gayo yang di­maksud dapat dimengerti. Pada bagian ini peneliti akan menjelaskan siapa yang dimaksud dengan orang Gayo, terutama orang Gayo yang ada di Kabupaten Gayo Lues. Penjelasan ini berdasarkan pada cerita masyarakat setempat (folklore) dan berdasarkan beberapa literatur tentang Gayo. Namun, literatur atau dokumen yang menjelaskan tentang orang Gayo masih sangat terbatas.

Berdasarkan cerita tetua masyarakat setempat (folklore), seperti Empun (kakek) Za dan Empun (kakek) Sa, kata gayo berasal dari bahasa Karo yang berarti “kepiting besar”. Menurut sejarah atau dongeng masyarakat setempat (folklore), dulu terdapat lubang kepiting besar yang terletak tidak jauh dari Desa Porang (sebuah desa di Kabupaten Gayo Lues). Oleh sebab itu, orang Karo yang pada saat itu juga merupakan penghuni Tanah Gayo menyebut orang yang tinggal di sekitar lubang kepiting tersebut sebagai orang Gayo. Pendapat ini hampir mirip dengan pendapat M.Z. Abidin (1969:1 dalam Tantawi, 2011:1) yang mengatakan bahwa dalam bahasa Batak Karo kata gayo berarti “kepiting”. Sementara itu, kata karo

Gambar 2.1. Peta Gayo Lues. (Sumber:www.gayolueskab.go.id)

Page 27: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201210

sendiri juga berasal dari bahasa Gayo, yaitu ikaro yang berarti diburu atau dikejar. Menurut cerita masyarakat setempat (folklore), orang Karo dulu berasal dari Tanah Gayo. Namun karena mereka tidak mau masuk Islam, mereka ikaro atau diburu. Oleh sebab itu, mereka pindah ke suatu tempat yang sekarang diberi nama Tanah Karo yang terdapat di Sumatera Utara.

Namun cerita tersebut di atas berbeda dengan versi yang diungkapkan oleh Melalatoa dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan Gayo. Menurut Melalatoa (1982:35), dalam berbagai tulisan dikatakan bahwa orang Gayo adalah sekelompok orang di daerah pantai yang tidak mau masuk Islam, karena itu mereka melarikan diri ke pedalaman. Kata gayo itu berasal dari kata kayo yang berarti “takut” atau “melarikan diri” (lihat Said, 1961:17; Zainuddin, 1961:26 dan 99; Team Monografi Daerah, 1975:59­60; dan lain­lain, dalam Melalatoa, 1982:35). Berdasarkan penjelasan tersebut, terdapat perbedaan dengan versi folklore masyarakat setempat. Menurut folklore, orang Karo adalah orang yang tidak mau masuk Islam, sedang­kan menurut berbagai literatur seperti yang dijelaskan oleh Melalatoa, orang Gayo­lah yang tidak mau masuk Islam. Namun, dua versi pendapat tersebut tidak dapat dibuktikan kebenarannya karena masih kurangnya literatur yang kami temukan untuk mengungkapkan tabir sejarah orang Gayo. Namun terlepas dari perbedaan tersebut dapat diasumsikan bahwa orang Gayo dan orang Karo mempunyai hubungan dan keterkaitan dalam sejarah, meskipun pada saat ini terlihat berbeda.

Orang Gayo mendiami Tanah Gayo yang meliputi pusat Pegunungan Bukit Barisan bagian utara, yang merupakan dataran tinggi dengan keting­gian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut (Wiradnyana, 2011:4). Pegunungan Bukit Barisan yang sangat luas tersebut membuat orang Ga­yo terbagi menjadi beberapa kelompok masyarakat. Secara tradisional, wilayah Tanah Gayo terbagi menjadi empat bagian, yaitu wilayah Lut Tawar, wilayah Deret (daerah Jambu Aye), wilayah Gayo Lues dan Gayo Tanyo, serta wilayah Serbejadi (Hurgronje, 1996:2­7 dalam Wiradnyana, 2011:4). Sementara itu, Melalatoa (1982:34) membagi kelompok masyarakat orang Gayo menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok yang terdapat di Daerah Tingkat II (Kabupaten) Aceh Tengah, Aceh Tenggara, dan Aceh Timur (Gayo, 1975:1 dalam Melalatoa, 1982:34).

Orang yang berdiam di Kabupaten Aceh Tengah masih terbagi men­jadi Orang Gayo Lut dan Orang Gayo Deret, kelompok yang mendiami Kabupaten Aceh Timur terbagi menjadi Gayo Serbejadi dan Gayo Kalul, sedangkan kelompok yang mendiami Aceh Tenggara adalah orang Gayo

Page 28: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

11

Lues (Melalatoa, 1982:34). Kelompok orang Gayo yang terakhir inilah yang menjadi subjek dalam penelitian ini. Pada saat ini Gayo Lues sudah berpisah dengan Aceh Tenggara dan menjadi kabupaten sendiri, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Orang Gayo yang berdiam di sekitar Danau Lut Tawar kadang­kadang menyebut orang Gayo Lues dengan orang Belang atau orang Gayo saja (Melalatoa, 1982:24). Untuk itu, tulisan ini akan menggunakan kata “orang Gayo” untuk menyebut orang Gayo Lues.

2.2 Desa Tetingi, Desa di Bawah Kaki Bur Gajah

Salah satu desa yang terdapat di Kabupaten Gayo Lues adalah Desa Tetingi yang terletak di Kecamatan Blang Pegayon. Jarak antara Desa Tetingi dengan Desa Cinta Maju (ibukota Kecamatan Blang Pegayon) se­kitar 2 kilometer, sedangkan jaraknya dengan Kecamatan Blang Kejeren (pusat pemerintahan Kabupaten Gayo Lues) sekitar 6 kilometer. Tidak ada kendaraan umum yang menuju desa ini. Ada bentor (becak motor) yang tersedia, tetapi hanya bisa mencapai Desa Cinta Maju. Di sebelah barat SD Cinta Maju terdapat gang kecil dengan jalan berbatu. Di pintu jalan inilah titik terakhir bentor bisa mengantarkan penumpangnya menuju Desa Tetingi. Selanjutnya perjalanan dilakukan dengan jalan kaki, kira­kira sepanjang 1,5 kilometer. Batu­batu kecil di sepanjang jalan selalu ada, menemani perjalanan menuju Desa Tetingi. Jalan ini belum diaspal. Jalanan yang menanjak tak urung membuat keringat bercucuran dan napas tersengal­sengal bagi sebagian orang yang belum terbiasa dengan kondisi jalan.

Jalan menuju Desa Tetingi kira­kira selebar 4 meter sehingga ken­daraan roda dua dan roda empat bisa melewatinya. Namun, kondisi jalan yang berbatu, kadang kala tanah yang tergenang air jika musim hujan, dan banyaknya tanjakan menyebabkan beberapa kendaraan, seperti bentor, tak berani mengambil risiko untuk melewati jalan tersebut.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 20 menit, tibalah di sebuah desa tepat di kaki bukit yang bernama Bur Gajah. Bur dalam ba-hasa Gayo berarti “gunung”. Apabila musim tanam padi telah lewat satu bulan, hamparan sawah yang menghijau menjadi penyegar mata. Tanaman jagung pun ikut menghiasi. Jika musim panen akan tiba, sawah nan hijau tersebut berubah menjadi kuning dan tumbuhan jagung pun mengering. Namun pohon­pohon nan rindang dan tumbuhan lain tetap menghijau di Bur Gajah sehingga mata tetap segar memandangnya.

Page 29: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201212

Gambar 2.2.Kondisi jalan Desa Tetingi. (Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Mei 2012)

Tetingi berasal dari kata kutetingi yang berarti kampung yang ting­gi. Mendengar namanya saja sudah dapat dibayangkan bahwa desa ini terletak di dataran yang tinggi. Desa Tetingi terletak pada ketinggian 1.205 m dpl. Letak Desa Tetingi di dataran tinggi menyebabkan cuaca yang dingin, tetapi surga bagi tanaman pangan sehingga hamparan sawah dan perkebunan membentang luas di Desa Tetingi.

Adapun batasan wilayah Desa Tetingi adalah sebagai berikut. Di sebelah timur, Desa Tetingi berbatasan dengan Desa Tebukit, di sebelah barat berbatasan dengan Desa Kong Bur, di sebelah selatan berbatasan dengan pengunungan, dan di sebelah utara berbatasan dengan Desa Cinta Maju.

Sejarah Desa Tetingi. Tidak ada dokumen atau tulisan yang men­jelaskan tentang sejarah Desa Tetingi. Namun, berdasarkan cerita tetua di Desa Tetingi yang telah hidup berpuluh­puluh tahun di sana, seperti Empun (Kakek) Mn, Empun (Kakek) Za, dan Empun (Nenek) Ar, sebelum menjadi sebuah desa, Tetingi adalah sebuah perladangan dan persawahan tempat orang bekerja. Mulanya perladangan dan persawahan tersebut hanya menjadi tempat bekerja pada siang hari, dan menjelang malam pemilik sawah atau ladang tersebut kembali ke kampungnya yang mayo­

Page 30: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

13

ritas terletak di Desa Kong. Namun dari waktu ke waktu, para pemilik sawah dan ladang tersebut mendirikan rumah di sekitar sawah dan ladang mereka. Pada tahun 1970­an, hanya ada sekitar tujuh rumah yang berdiri di Tetingi. Lima rumah di antaranya terdapat di daerah yang sekarang bernama Dusun Arul Sirep dan dua rumah terdapat di daerah yang sekarang bernama Dusun Tamak Nunang yang dikenal juga dengan nama Dusun Blang Papan. Saat itu, masih banyak hewan buas berkeliaran di sekitar alam Tetingi, seperti harimau dan beruang, sehingga tak ada orang yang berani pergi seorang diri. Hewan buas tersebut pada saat ini sudah jarang ditemukan, bahkan dapat dikatakan sudah tidak ada lagi.

Pada tahun 1980­an terjadi gempa bumi yang dahsyat mengguncang Aceh, termasuk Gayo Lues. Dalam satu hari bisa terjadi 30 kali guncangan. Gempa bumi tersebut melanda Gayo Lues selama sekitar satu bulan. Tentu saja gempa bumi tersebut membuat masyarakat menjadi takut, termasuk beberapa orang yang berada di sekitar Tetingi, seperti di Tebukit dan Bur Gajah. Selain di Tetingi, perladangan dan persawahan juga ada di Tebukit dan Bur Gajah yang terletak kira­kira satu atau dua kilometer dari Tetingi. Pemilik sawah dan ladang tersebut juga ada yang mendirikan rumah di Tebukit dan Bur Gajah pada waktu itu. Pada saat gempa mengguncang Gayo Lues, penduduk yang mendirikan rumah di Tebukit dan Bur Gajah tersebut pindah ke Tetingi untuk berkumpul bersama dengan warga yang lain. Pada saat itu, bukan hanya gempa yang membuat takut masyarakat setempat, tetapi juga perampokan yang dilakukan oleh orang yang tak dikenal. Mulai saat itu, penduduk Tetingi semakin bertambah dari waktu ke waktu hingga Tetingi menjadi sebuah dusun dalam wilayah Desa Kong, Kecamatan Kuta Panjang.

Pada tahun 2000, Desa Kong direncanakan untuk pemekaran karena wilayahnya yang sangat luas. Pada tahun 2001, pemekaran Desa Kong tersebut disetujui dan disahkan. Desa Kong dipecah menjadi empat desa, yaitu Desa Kong Bur, Desa Kong Palu, Desa Cinta Maju, dan Desa Tetingi. Desa Kong Bur, Desa Cinta Maju, dan Desa Tetingi termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Blang Pegayon, sedangkan Desa Kong Palu termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Kuta Panjang. Sejak itu, Tetingi menjadi sebuah desa yang dipimpin oleh seorang guechik (kepala desa).

2.3 Kondisi Alam Tetingi dan Kependudukan

Di Desa Tetingi terdapat dua dua dusun, yaitu Dusun Arul Sirep dan Dusun Tamak Nunang yang dikenal juga dengan nama Dusun Blang Papan.

Page 31: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201214

Dua dusun ini dipisahkan oleh Sungai Aih Sekat. Namun, sejak tahun 2008 terdapat titih (jembatan) yang menghubungkan dua dusun tersebut. Jembatan tersebut dibangun oleh pemerintah melalui PNPM. Keberadaan jembatan tersebut memudahkan masyarakat Dusun Arul Sirep untuk bertandang ke Dusun Tamak Nunang, begitu pula sebaliknya.

Panjang jembatan tersebut kurang lebih 40 meter, dengan lebar 1,5 meter. Di bawah jembatan tersebut mengalir Sungai Aih Sekat yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk memandikan jenazah. Oleh sebab itu, sungai tersebut tidak digunakan untuk MCK karena diyakini akan berpengaruh pada kesehatan, seperti sakit perut, sakit mata, dan sebagainya. Hal ini seperti yang terjadi pada Je, seorang bocah laki­laki yang berumur sekitar 10 tahun yang mengalami kebutaan pada mata kirinya. Menurut ibunya, kebutaan yang dialami oleh Je terjadi pada saat Je berumur sekitar 6 tahun karena mandi di bawah jembatan setelah dua hari orang memandikan mayat di sana.

“... jangan mandi di sungai itu, apalagi di bawah jembatannya. Kalau mau (mandi) juga, tempatnya agak ke atas sedikit. Di bawah jembatan itu tempat orang mandiin mayat. Nanti kena

Gambar 2.3. Denah Desa Tetingi. (Sumber: Desain Tim Peneliti, Juni 2012)

Page 32: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

15

kontaknya. Sakit perut nanti. Liat mata Je itu kan sakit. Itu gara­garanya waktu sebelum sekolah dia suka mandi di sungai di bawah jembatan itu. Itulah matanya sakit (tidak dapat melihat sebelah). Padahal dulu bagus matanya …,” jelas Inen Je.

2.3.1 Keadaan Pola Pemukiman

Terdapat perbedaan antara pola pemukiman Dusun Arul Sirep dengan Dusun Tamak Nunang. Sebagian besar rumah di Dusun Arul Sirep berada di sebelah timur jalan karena di sebelah barat jalan kondisi tanah berjurang dan terdapat sungai. Rumah penduduk di Dusun Arul Sirep menghadap ke timur sehingga sebagian besar rumah di Dusun Arul Sirep membelakangi jalan desa. Hal ini berbeda dengan rumah yang terdapat di Dusun Tamak Nunang. Di Dusun Tamak Nunang, rumah penduduk berdiri di sepanjang barat dan timur jalan desa. Selain itu, rumah penduduk tersebut berdiri menghadap jalan desa. Hal ini disebabkan karena kondisi alam Dusun Tamak Nunang lebih datar daripada kondisi alam di Dusun Arul Sirep.

Pada umumnya rumah penduduk Desa Tetingi terbuat dari kayu yang berdindingkan papan kayu, beratapkan seng, dan beralaskan kayu atau se-men plester, kecuali rumah bantuan dari pemerintah, masjid, dan poskes-des. Kayu­kayu tersebut dibeli di kota atau di pemotong kayu yang oleh masyarakat setempat biasa dikenal dengan istilah sinso. Berdasarkan penu-turan salah seorang warga Tetingi, harga kayu per lima meter kurang leb-ih Rp27.000,00. Keadaan rumah kayu yang dimiliki oleh masyarakat Desa Tetingi berkaitan dengan sejarah Desa Tetingi yang pernah dilanda gempa bumi yang dahsyat. Oleh sebab itu, mereka lebih memilih rumah kayu dari-pada rumah semen atau beton sebagai tempat bernaung mereka.

“... di sini tidak ada rumah dari batu bata karena salah satunya kebiasaan dari nenek moyang dulu, jadi tidak terbiasa, lagian kalau dari beton jika ada musibah seperti gempa rumah kita gak akan roboh ...,” sapa Empun (Kakek) Mn.

Dulu sebelum menggunakan kayu sebagai bahan untuk membangun rumah, warga Tetingi menggunakan bambu sebagai bahan utama membuat rumah dan sangi sebagai bahan untuk atap rumah. Sangi adalah sejenis dedaunan pandan yang sudah dikeringkan sehingga berwarna cokelat dan kering. Perpindahan dari bambu menjadi kayu terjadi sekitar tahun 1980­an.

Page 33: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201216

“... kira­kira tahun 70 ke bawah, kebanyakan sebagian bambu dan 80­an ke atas, udah mulai ada sinso ..,.” jelas Aman MID.

Gambar 2.4. Bentuk rumah masyarakat Desa Tetingi. (Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Mei 2012)

Setiap rumah di Desa Tetingi sudah mempunyai listrik sebagai sarana penerangan. Oleh sebab itu, sebagian masyarakat telah memiliki televisi sebagai sarana hiburan dan sarana informasi. Membeli televisi sepertinya lebih menggiurkan daripada membangun MCK di dalam rumah. Hal ini terlihat dari sedikitnya masyarakat Desa Tetingi yang memiliki MCK di dalam rumah, sedangkan televisi lengkap dengan parabolanya dimiliki oleh “hampir” seluruh masyarakat Desa Tetingi. Menurut pengamatan kami, sebagian masyarakat Desa Tetingi telah memiliki televisi, namun hanya ada satu rumah yang mempunyai MCK lengkap di dalam rumahnya. Pemilik rumah tersebut adalah seorang pemilik tanah, kolam, dan kebun yang luas di Desa Tetingi. Dia adalah Empun (kakek) Mn.

Selain Empun (kakek) Mn, tidak ada lagi masyarakat Desa Tetingi yang memiliki MCK di dalam rumah, kecuali poskesdes. Sebagian besar masyarakat Tetingi menggunakan parit sebagai MCK. Beberapa warga Desa Tetingi ada juga yang membangun bak penampungan air yang diletakkan di luar rumah. Air yang mengalir ke bak tersebut adalah air yang bersumber dari mata air di pegunungan, yang mengalir ke pipa­pipa kecil yang dibuat

Page 34: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

17

oleh masyarakat setempat. Berhubung bak penampungan air tersebut terletak di luar rumah, tetangga yang terletak di sekitar rumah pemilik juga ikut menggunakan bak penampungan air tersebut untuk keperluan mencuci dan mandi.

Selain parit dan bak penampungan air, masyarakat Desa Tetingi menggunakan MCK umum yang dibuat oleh PNPM pada tahun 2008. MCK umum tersebut dibagi menjadi dua, yaitu untuk laki­laki dan untuk perempuan. MCK tersebut terdiri atas tiga bak penampungan air dan lima jamban. Salah satu bak penampungan air digunakan oleh perempuan untuk mandi dan mencuci, sedangkan yang dua lagi digunakan untuk laki­laki. Sementara itu, satu dari empat jamban digunakan untuk perempuan, dua digunakan untuk laki­laki, dan satu jamban lagi telah rusak.

Meskipun telah dibangun MCK umum oleh pemerintah, tetapi MCK tersebut tidak dirawat baik oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari keadaan MCK yang tidak terawat dan kadang kala masih ada kotoran manusia. Keadaan MCK yang tidak terawat inilah yang menyebabkan masyarakat masih membuang air besar di parit atau di kolam. Meskipun jamban dan bak penampungan air telah tersedia, tetapi masih banyak masyarakat setempat yang lebih suka membuang air besar di parit. Hal ini seperti

Gambar 2.5. Kondisi MCK Desa Tetingi. (Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Mei 2012)

Page 35: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201218

yang dilakukan oleh Kak Se, yang sempat menjadi pengasuh anak tenaga kesehatan yang ada di sana. Meskipun tinggal di poskesdes yang telah memiliki jamban di dalam rumah, Kak Se tetap memilih membuang air besar di parit yang ada di depan poskesdes. Menurutnya, ada kepuasan tersendiri ketika membuang air besar di parit.

Selain rumah penduduk, terdapat juga bangunan lain yang berdiri di antara pemukiman penduduk. Bangunan tersebut antara lain masjid, pos kesdes, poskamling, meunasah, dan rangkang. Meunasah adalah ba-ngunan tinggi berbentuk rumah panggung yang digunakan untuk kegiatan keagamaan, seperti tempat anak­anak mengaji, tempat merayakan Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi Muhammad SAW, dan sebagainya. Acara keagamaan tersebut dilakukan di meunasah agar semua warga masyarakat dapat hadir, termasuk perempuan yang sedang haid. Jika acara diselenggarakan di masjid, perempuan yang sedang haid tidak dapat masuk sehingga tidak dapat mengikuti acara keagamaan tersebut. Oleh sebab itu, aca ra keagamaan sering kali dilakukan di meunasah, sedangkan masjid digu­nakan hanya untuk shalat jumat dan shalat ied.

Di samping meunasah terdapat rangkang. Rangkang adalah ba-ngunan memanjang yang dibentuk bilik­bilik berukuran kira­kira 2 meter x 3 meter. Terdapat enam bilik di bangunan rangkang tersebut. Salah satu bilik rangkang tersebut dihuni oleh sebuah keluarga kecil. Pada mulanya rangkang tersebut didirikan untuk anak laki­laki yang belajar mengaji di meunasah. Namun, rangkang tersebut tidak lagi dihuni oleh anak laki­laki sejak ada pesantren di Desa Cinta Maju. Di pesantren tersebut sebagian anak laki­laki dan anak perempuan Desa Tetingi yang duduk di bangku SMP belajar mengaji dan menimba ilmu agama, sepulang sekolah pada siang hari sampai usai shalat Isya. Sementara itu, anak laki­laki dan juga anak perempuan yang sedang duduk di bangku SD belajar mengaji di meunasah setelah sholat magrib usai. Anak laki­laki dan anak perempuan yang duduk di bangku SMP dan tidak nyantri di pesantren Cinta Maju, juga ikut belajar mengaji di meunasah. Kadang kala mereka juga ikut mengajar anak­anak yang baru belajar mengaji.

Selain meunasah, rangkang, dan masjid, juga terdapat poskesdes di Desa Tetingi. Poskesdes tersebut terletak di “pojok” pemukiman warga. Di poskesdes tersebut terdapat satu bidan desa yang tinggal bersama dengan keluarga kecilnya. Di poskesdes inilah masyarakat Desa Tetingi bisa mendapatkan pelayanan kesehatan.

Page 36: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

19

2.3.2 Kondisi Persawahan, Perladangan, dan Peternakan

Hamparan sawah yang luas menjadi pemandangan indah yang ter­dapat di Desa Tetingi ini. Sawah yang terdapat di sekitar pemukiman warga menjadi salah satu lahan bagi masyarakat setempat untuk menghidupi diri dan keluarganya. Selain sawah, perkebunan pun menjadi salah satu keindahan alam yang terdapat di desa Tetingi, seperti perkebunan daun serai wangi, tembakau, dan sebagainya. Selain sawah dan perkebunan, ladang juga menjadi tempat bagi warga Tetingi untuk bekerja. Istilah ladang dalam bahasa Gayo bermakna sebuah lahan luas yang ditanami berbagai jenis tanaman dan terletak jauh dari rumah, sedangkan lahan yang tidak terlalu luas dan berada di dekat rumah atau di belakang rumah dikenal dengan istilah empus. Ladang dan empus tersebut ditanami berbagai jenis tanaman, seperti kacang panjang, jagung, cabai, bawang merah, dan sebagainya.

Selain persawahan, perkebunan, dan perladangan, juga tampak ko lam ikan yang dibangun di sekitar pemukiman warga atau di sekitar per sawahan. Di kolam tersebut terdapat berbagai jenis ikan air tawar, seperti ikan mas, ikan mujahir, dan sebagainya. Ikan tersebut dikonsumsi sendiri oleh pemiliknya atau dijual apabila hasilnya tidak habis dikonsumsi sendiri. Selain peternakan ikan, juga tampak hewan ternak lain, seperti sapi, ayam, dan itik. Ayam dan itik dipelihara oleh sebagian masyarakat untuk dikonsumsi sendiri apabila waktunya telah tiba untuk dikonsumsi, sedangkan sapi dipelihara untuk tabungan dan dijual apabila ada kebutuh­an keuangan yang mendesak.

2.3.3 Kependudukan

Berdasarkan data kependudukan yang terdapat di poskesdes pada tahun 2011, jumlah penduduk Desa Tetingi adalah 305 jiwa, yang terdiri atas 164 laki­laki dan 141 perempuan. Mereka menghuni area pemukiman yang terdapat di Dusun Arul Sirep dan Dusun Tamak Nunang. Tidak ada data yang tersedia di monografi desa atau di poskesdes yang menyatakan luas pemukiman penduduk yang dihuni oleh masyarakat Desa Tetingi. Namun, berdasarkan perkiraan hasil observasi dan pernyataan masyarakat setempat, hanya seperempat dari luas Desa Tetingi yang dijadikan lahan pemukiman penduduk, sedangkan tiga per empat lainnya merupakan lahan persawahan, perkebunan, perladangan, dan lahan kosong yang ditumbuhi oleh rumput­rumput liar dan pohon­pohon yang menjulang tinggi

Page 37: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201220

Grafik 2.1 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan kelompok umur Desa Tetingi tahun 2011.

(Sumber: Poskesdes Tetingi)

Dari 305 jiwa yang menghuni Desa Tetingi, masih banyak individu yang buta aksara. Hal ini terlihat dari data poskesdes tahun 2011 yang menunjukkan bahwa dari 115 perempuan yang berusia di atas 10 tahun di Desa Tetingi, hanya ada 43 orang yang melek huruf. Sementara itu, dari 129 laki­laki yang berusia di atas 10 tahun yang ada di Desa Tetingi, hanya ada 22 orang yang melek huruf. Tingginya jumlah buta aksara di Desa Tetingi disebabkan oleh tidak adanya sekolah di Desa Tetingi, mulai dari SD sampai SMA. Anak­anak di Desa Tetingi bersekolah di Desa Cinta Maju yang jaraknya kira­kira dua kilometer dari Desa Tetingi. Tingginya angka buta aksara di Desa Tetingi tentu berdampak pada kesehatan, apalagi promosi kesehatan sering kali menggunakan teks tertulis yang ditempel di tempat­tempat tertentu, seperti di fasilitas kesehatan.

Berdasarkan etnis, mayoritas masyarakat Desa Tetingi adalah etnis Gayo. Mereka datang dari desa­desa yang terdapat di Kabupaten Gayo Lues, seperti Desa Kuta Panjang, Kong, Pining, Terangon, Porang, dan sebagainya. Mereka datang ke Desa Tetingi karena perkawinan. Mayoritas pendatang adalah perempuan. Hal ini terjadi karena adanya sistem juelen dalam perkawinan, yang akan dijelaskan pada bagian sistem perkawinan pada bab berikutnya. Selain etnis Gayo, ada juga etnis lain yang menghuni

Usia (Tahun)

Page 38: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

21

Grafik 2.1 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan kelompok umur Desa Tetingi tahun 2011.

(Sumber: Poskesdes Tetingi)

Dari 305 jiwa yang menghuni Desa Tetingi, masih banyak individu yang buta aksara. Hal ini terlihat dari data poskesdes tahun 2011 yang menunjukkan bahwa dari 115 perempuan yang berusia di atas 10 tahun di Desa Tetingi, hanya ada 43 orang yang melek huruf. Sementara itu, dari 129 laki­laki yang berusia di atas 10 tahun yang ada di Desa Tetingi, hanya ada 22 orang yang melek huruf. Tingginya jumlah buta aksara di Desa Tetingi disebabkan oleh tidak adanya sekolah di Desa Tetingi, mulai dari SD sampai SMA. Anak­anak di Desa Tetingi bersekolah di Desa Cinta Maju yang jaraknya kira­kira dua kilometer dari Desa Tetingi. Tingginya angka buta aksara di Desa Tetingi tentu berdampak pada kesehatan, apalagi promosi kesehatan sering kali menggunakan teks tertulis yang ditempel di tempat­tempat tertentu, seperti di fasilitas kesehatan.

Berdasarkan etnis, mayoritas masyarakat Desa Tetingi adalah etnis Gayo. Mereka datang dari desa­desa yang terdapat di Kabupaten Gayo Lues, seperti Desa Kuta Panjang, Kong, Pining, Terangon, Porang, dan sebagainya. Mereka datang ke Desa Tetingi karena perkawinan. Mayoritas pendatang adalah perempuan. Hal ini terjadi karena adanya sistem juelen dalam perkawinan, yang akan dijelaskan pada bagian sistem perkawinan pada bab berikutnya. Selain etnis Gayo, ada juga etnis lain yang menghuni

Usia (Tahun)

Desa Tetingi, seperti etnis Alas yang berasal dari Kabupaten Aceh Teng­gara dan etnis Sunda yang berasal dari Jawa Barat. Etnis Alas datang ke Desa Tetingi karena adanya perkawinan dengan masyarakat setempat, sedangkan etnis Sunda datang ke Desa Tetingi karena sengaja merantau ke Gayo Lues. Berdasarkan pengamatan kami dan pernyataan masyarakat setempat, hanya ada dua orang yang berasal dari etnis Sunda tersebut.

2.4 Sistem Mata Pencarian

Berdasarkan data di poskesdes tahun 2011, 99% masyarakat Desa Tetingi bekerja sebagai petani. Tanaman yang ditanam kebanyakan tanam­an palawija, yang merupakan tanaman berusia pendek, seperti padi, jagung, bawang merah, cabai, dan sebagainya. Selain tanaman berusia pendek, ada juga masyarakat yang menanam avokad dan tembakau, tetapi tidak banyak masyarakat yang mau menanam jenis tanaman tersebut. Menurut mereka, seperti yang diungkapkan oleh Empun (Kakek) Ar, Aman Bd, Bang Su, dan Bang Al, jenis tanaman keras kurang cocok ditanam di area perkebunan desa Tetingi, sudah dicoba beberapa kali tetapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan.

2.4.1 Pertanian

Berbagai jenis tanaman ditanam oleh masyarakat Desa Tetingi dalam pertanian mereka. Jenis tanaman tersebut dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu tanaman pangan dan tanaman non­pangan. Tanaman pangan adalah tanaman yang dapat dimakan oleh masyarakat sebagai pangan

Grafik 2.2 Jumlah penduduk berumur 10 tahun ke atas yang melek huruf di Desa Tetingi tahun 2011. (Sumber: Poskesdes Tetingi)

Page 39: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201222

mereka, seperti padi, jagung, bawang merah, kacang panjang, kacang tanah, dan cabai. Sementara itu, tanaman non­pangan adalah tanaman yang tidak dapat dikonsumsi oleh masyarakat sebagai pangan mereka, seperti tembakau dan serai wangi.

Sebagian tanaman pangan, seperti padi, jagung, bawang merah, kacang panjang, kacang tanah, dan cabai dikonsumsi dan disimpan untuk kebutuhan keluarga, dan sebagian lagi dijual ke peukan dan pajak pagi. Peukan adalah pasar mingguan yang diadakan pada hari Sabtu di Desa Cinta Maju, sedangkan pajak pagi adalah pasar yang diadakan setiap hari di Blang Kejeren (ibukota Kabupaten Gayo Lues).

Hasil tanaman pangan tersebut biasanya dijual oleh ibu­ibu. Apabila ada hasil tanaman pangan, ibu­ibu berangkat ke puekan atau pajak pagi pada pukul 06.00 pagi hari sampai siang hari. Setelah berjualan, mereka kembali ke rumah sambil membawa bahan makanan lain yang dapat di­konsumsi, seperti ikan, daging, ayam, telur, dan buah­buahan. Bahan makanan tersebut dibeli dari hasil penjualan tanaman pangan. Selain membeli bahan makanan, uang hasil penjualan sebagian juga digunakan untuk membeli kebutuhan rumah tangga lainnya, dan sebagian lain di­tabung untuk biaya hidup lainnya serta untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak­anak. Mereka biasanya menginvestasikan hasil kebun ke dalam bentuk lain, seperti emas atau sapi.

“... kalau di sini kebanyakan kerja kayak gitu ya kan, uang hasil kebun. Itulah kalo udah dapat hasil kebunnya, sebagian kalo ada beras, ada dia nanam padi, itu kemungkinan disimpan ataupun dibelikannya benda atau emas, kayak sapi, supaya disimpan, apabila keperluan dijual …,” jelas Aman Mi.

Selain dijual, hasil tanaman pangan tersebut ada yang disimpan un­tuk kebutuhan keluarga, apalagi hasil tanaman yang bisa disimpan dalam jangka waktu lama, seperti padi. Selain disimpan, hasil tanaman pangan tersebut juga ada yang dikeringkan untuk dijadikan bibit agar bisa ditanam lagi, seperti bawang merah, kacang panjang, cabai, dan kacang tanah.

Berbeda dengan tanaman pangan, tanaman non­pangan ditanam un tuk dijual, seperti serai wangi dan tembakau. Serai wangi adalah salah satu tanaman yang ditanam oleh masyarakat Desa Tetingi. Setelah ber­usia 6 bulan dan menua, daun serai wangi tersebut dipotong dengan menggunakan sabit. Orang yang memotong serai wangi tersebut adalah

Page 40: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

23

pemilik dan petani upahan. Petani upahan diberi upah per hari sebesar Rp40.000.00. Setelah dipotong, daun serai tersebut dibiarkan satu atau dua hari untuk menghilangkan air embun yang menempel di daun serai. Lama waktu untuk menghilangkan air embun tersebut tergantung pada panas matahari. Air embun yang menempel di daun serai harus dihilangkan. Jika daun serai masih dalam keadaan basah, minyak yang dihasilkan hanya sedikit.

Setelah daun­daun serai tersebut kering dari tetesan air embun, selanjutnya dikukus. Untuk itu, para petani serai harus menyiapkan banyak kayu bakar untuk mengukus serai. Setelah dua jam dikukus, minyak serai wangi tersebut akan keluar dari pipa yang mengalir dari “pucuk” drum ke wadah yang telah disiapkan di ujung pipa. Dua drum serai yang di­kukus dapat menghasilkan satu kilogram minyak serai wangi. Minyak tersebut dijual ke pengepul dengan harga sekitar Rp150.000,00 sampai Rp160.000,00 per kilogram. Jika seorang petani memiliki lahan pertanian serai sekitar dua hektar, minyak yang dihasilkan dapat mencapai 40 kilogram atau senilai sekitar Rp6.000.000,00. Namun, ketika ditanyakan mengenai kegunaan minyak serai, para petani tersebut tidak tahu. Hal yang terpenting bagi mereka adalah menghasilkan minyak serai lalu dijual kepada pengepul minyak serai dan mendapatkan uang.

Gambar 2.6 Hasil perkebunan yang siap dipasarkan. (Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Juni 2012)

Page 41: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201224

Selai serai, tanaman non­pangan lain yang ditanam oleh masyarakat Desa Tetingi adalah tembakau. Setelah menua dan menguning, daun­daun tembakau tersebut dipetik lalu digulung, beberapa helai daun tem-bakau digulung menjadi satu. Setelah digulung, daun tembakau dijepit pada jangka. Jangka adalah alat penjepit daun tembakau yang terbuat dari bambu. Jangka tersebut sengaja dibuat oleh petani tembakau agar mudah memotong gulungan daun tembakau. Setelah dijepit dengan jangka, gulungan tembakau tersebut lalu dipotong dengan menggunakan parang yang tajam. Namun, menurut Aman So, tidak semua petani tem-bakau pandai memotong daun tembakau, termasuk dirinya. Menurutnya, memotong daun tembakau membutuhkan keahlian.

Setelah daun tembakau dipotong halus, selanjutnya dijemur di ba­wah sinar matahari selama kurang lebih dua atau tiga hari, tergantung pa da sinar matahari. Harga tembakau pada saat ini (bulan Juni 2012) sekitar Rp20.000,00 per kilogram. Menurut Aman So, harga tersebut termasuk rendah karena harga tembakau pernah mencapai Rp50.000,00 per kilogram. Satu kali panen, petani tembakau bisa menghasilkan sekitar 500 kilogram tembakau, bahkan bisa sampai berton­ton, tergantung pada luasnya kebun tembakau. Setelah dijemur, tembakau tersebut dijual kepada pengepul tembakau atau dijual sendiri ke pasar. Bagi perokok rokokulung, tembakau tersebut dapat dikonsumsi bersama daun nipah. Rokokulung adalah rokok daun nipah yang di dalamnya terdapat tembakau yang digulung sendiri oleh si perokok.

Selain jenis tanaman tersebut di atas, ada juga buah­buahan yang ditanam oleh masyarakat Desa Tetingi, seperti avokad dan terung belanda. Buah­buahan tersebut ada yang dikonsumsi oleh keluarga dan ada pula yang dijual ke pasar atau pengepul buah­buahan.

2.4.2 Peternakan

Selain pertanian, masyarakat Desa Tetingi juga memiliki ternak, se­perti ikan air tawar, sapi, ayam, dan bebek. Ternak tersebut dibeli dari hasil penjualan tanaman pangan dan non­pangan. Hewan ternak dirawat oleh mereka sendiri, seperti ikan air tawar di dalam kolam ikan. Di Desa Tetingi ada banyak kolam ikan yang terbentang luas di sekitar area pemukiman penduduk. Ikan tersebut ada yang dikonsumsi sendiri oleh keluarga pemilik kolam dan ada pula yang dijual ke pasar atau pengepul ikan.

Selain ikan air tawar, ada juga masyarakat yang memelihara sapi. Sapi biasanya dimasukkan di kandang di belakang rumah pada malam

Page 42: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

25

hari. Namun, pada pagi hari dari pukul 07.00 pagi sampai pukul 18.00 sore hari, sapi­sapi tersebut diikat di tengah padang rumput liar yang menjadi santapannya. Sapi tersebut sengaja dibeli pada saat penjualan hasil ladang sebagai tabungan masa depan dan persiapan jika ada keperluan yang mendesak.

Selain sapi dan ikan air tawar, ada juga masyarakat yang memelihara ayam dan bebek di dalam kandang di belakang atau depan rumah mereka. Ayam dan bebek tersebut dipelihara untuk dikonsumsi, pada saat ayam dan bebek tersebut dianggap sudah tua atau jika ada acara keluarga atau kegiatan masyarakat, seperti Isra’ Mi’raj, Idul Fitri, dan sebagainya.

2.4.3 Pembuat Parang

Selain pertanian dan peternakan, ada juga masyarakat Desa Tetingi yang mempunyai mata pencarian lain, seperti membuat parang, pisau, dan cangkul. Parang, pisau, dan cangkul tersebut dibuat di “bengkel” yang terletak di dekat rumah mereka. Setelah selesai dibuat, parang, pisau, dan cangkul tersebut lalu dijual ke pasar. Kadang kala ada juga konsumen yang memesan parang, pisau, dan cangkul tersebut langsung kepada pem­buatnya.

2.4.4 Pembagian Peran dalam Mata Pencaharian

Dalam sistem mata pencarian, terutama dalam pertanian, ada pem-bagian peran antara perempuan dan laki­laki, seperti dalam pertanian padi. Dalam pertanian padi, seorang perempuan biasanya bertugas menanam dan memotong padi, sedangkan para laki­laki bertugas membajak sawah dan mengangkat padi yang sudah dipotong ke tempat penggilingan padi. Jarang ditemukan laki­laki, bahkan bisa dikatakan tidak pernah, me­nanam atau memotong padi karena pekerjaan tersebut dianggap pe­ker jaan perempuan sehingga para laki­laki merasa malu dan tidak mau melakukannya. Oleh sebab itu, pada saat menanam atau memanen padi, hanya perempuan saja yang bisa dijumpai di tengah hamparan sawah.

Para petani di Desa Tetingi berangkat ke sawah, kebun, atau ladang setiap hari, kecuali ada acara sosial, seperti perkawinan dan acara ke­agamaan. Namun, ada juga petani yang meliburkan diri dari pekerjaan pertanian pada hari Jumat. Sebelum berangkat menuju sawah, kebun, atau ladang, para perempuan memasak terlebih dulu untuk bekal bagi yang berangkat ke sawah dan bagi anggota keluarga yang ditinggalkan di rumah. Menjelang sore hari, para perempuan tersebut kembali ke rumah dengan

Page 43: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201226

membawa hasil ladang, seperti cabai, kacang panjang, dan sebagainya. Selain membawa hasil ladang, para perempuan juga membawa kayu bakar yang digunakan untuk memasak. Mayoritas masyarakat Desa Tetingi masih menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak. Pada saat tiba di rumah, dapur adalah ruang aktivitas mereka untuk memasak bagi anggota keluarga.

Masyarakat Desa Tetingi memiliki sistem kerja sama atau gotong royong dalam pekerjaan pertanian. Mereka menyebutnya dengan istilah pang lo. Geuchik dan Aman MID memberikan penjelasan yang tidak jauh berbeda mengenai pang lo tersebut. Menurut mereka, pang lo adalah sebuah bentuk kerja sama dalam melaksanakan pekerjaan di sawah atau di kebun, yang dilakukan secara bergantian. Misalnya, pada suatu hari kel-uarga A membantu keluarga B memanen padi maka pada hari lain keluarga B akan membantu keluarga A, jika keluarga A membutuhkan orang untuk menyelesaikan pekerjaan di sawah atau di kebun. Namun, berbeda halnya jika orang yang membantu tidak mempunyai sawah atau kebun. Misalnya, Ibu A tidak mempunyai sawah, tetapi dia membantu Ibu B memanen padi. Dalam hal ini Ibu A akan mendapat upah dari Ibu B atau mendapat pem-bagian hasil panen sebagaimana yang telah disepakati bersama.

2.5 Agama dan Sistem Kepercayaan

Berdasarkan informasi dari tokoh masyarakat Desa Tetingi, seratus persen masyarakat Desa Tetingi beragama Islam. Terdapat masjid dan meunasah sebagai tempat ibadah masyarakat Desa Tetingi. Namun ada perbedaan penggunaan masjid dan meunasah. Masjid digunakan untuk shalat Jumat dan shlat Ied, sedangkan meunasah digunakan untuk shalat Magrib dan Isya, pengajian, dan acara keagamaan lain, seperti Isra’ Mi’raj dan sebagainya. Setelah usai shalat Magrib, meunasah digunakan untuk pengajian anak­anak yang dibimbing oleh Aman Ti, yang juga berperan sebagai kepala dusun di Desa Tetingi. Aman Ti membimbing dan mengajar mengaji sekitar 20 orang anak seorang diri. Oleh sebab itu, anak­anak yang sudah mahir mengaji dan membaca Al Qur’an ikut membantu Aman Ti membimbing anak­anak yang baru belajar mengaji dan membaca Iqra’.

Selain digunakan untuk ibadah shalat Magrib dan pengajian anak­anak, meunasah juga digunakan untuk kegiatan ibadah lainnya, seperti Isra’ Mi’raj. Menjelang Isra’ Mi’raj, masyarakat setempat memasak ber­bagai jenis makanan yang akan disantap pada hari Isra’ Mi’raj. Makanan yang dimasak berbagai macam, mulai dari makanan ringan seperti

Page 44: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

27

lemang2, lepat,3 dan sebagainya sampai lauk­pauk, seperti gulai ayam dan sebagainya.

Pada hari pelaksanaan perayaan Isra’ Mi’raj, masyarakat berkumpul di meunasah. Menurut masyarakat setempat, meunasah dijadikan tem-pat pelaksanaan acara Isra’ Mi’raj supaya semua masyarakat, baik tua maupun muda, baik laki­laki maupun perempuan, bisa datang dalam acara tersebut, terutama perempuan yang sedang haid pun bisa datang ke muenasah untuk mengikuti acara Isra’ Mi’raj. Sementara itu, jika dilaksanakan di masjid, perempuan yang sedang haid tidak dapat masuk ke dalam masjid karena dikhawatirkan dapat mengotori masjid.

Acara Isra’ Mi’raj dimulai pada pukul 09.00 pagi hari. Acara diawali dengan sambutan dari tokoh agama. Kemudian acara dilanjutkan dengan ceramah Isra’ dan Mi’raj oleh seorang santri dari pesantren yang terdapat di Desa Cinta Maju, yang juga merupakan warga Desa Tetingi. Menurut salah seorang tokoh masyarakat setempat, hal ini dimaksudkan agar anak­anak berani dan mampu berdiri di depan forum. Usai ceramah, acara selanjutnya adalah istirahat dengan minum dan makan makanan ringan yang telah disiapkan, seperti lemang, lepat, buah-buahan, dan kue. Masing­masing keluarga membawa makanan dan minuman dari rumah masing­masing lalu dihidangkan kepada anggota keluarga yang berada di meunasah. Ada juga beberapa keluarga yang saling bertukar makanan dan minuman. Usai makan bersama, acara selanjutnya adalah ceramah yang disampaikan oleh seorang penceramah yang sengaja diundang ke Desa Tetingi. Ceramah yang disampaikan menggunakan bahasa Gayo sehingga masyarakat mudah memahaminya. Setelah ceramah dari penceramah tersebut usai, acara selanjutnya adalah makan nasi bersama dengan lauk­pauk yang telah disiapkan oleh keluarga masing­masing. Acara makan bersama tersebut juga dilakukan di muenasah.

Meskipun mayoritas masyarakat Desa Tetingi beragama Islam, namun kepercayaan kepada hal­hal yang gaib masih ada. Hal ini terlihat dari pe­nanganan masalah yang dihadapi oleh masyarakat setempat, misalnya apabila ada seorang bayi menangis terus­menerus tanpa berhenti, di­

2 Lemang adalah makanan tradisional Gayo Lues yang terbuat dari beras ketan. Beras ketan tersebut dimasukkan ke dalam bambu yang di dalamnya sudah ada daun pisang sebagai pembungkusnya. Bambu yang sudah diisi ketan dibakar dengan menggunakan api dari kayu bakar.

3 Lepat adalah nama makanan tradisional Gayo Lues yang terbuat dari tepung beras. Tepung beras tersebut dibentuk dan diisi parutan kelapa yang telah dicampur dengan gula merah. Setelah itu, tepung beras tersebut dibungkus dengan menggunakan daun pisang, kemudian dikukus.

Page 45: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201228

percaya bahwa hal tersebut disebabkan oleh pengaruh hal gaib, seperti blis (setan). Hal ini seperti yang dialami dan diceritakan oleh seorang warga setempat yang berperan sebagai tenaga kesehatan berikut ini.

“Suatu ketika, anaknya selalu menangis pada saat menjelang magrib hingga larut malam. Ia menangis sambil melihat ke atas. Melihat kejadian tersebut, lalu bidan kampung pun da­tang dan memberikan benang pancorana yang diikat ke ping­gang anaknya. Sebelum diikat ke pinggang anaknya, benang pancarona terlebih dulu didoakan oleh bidan kampung. Menurut bidan kampung, ada jin yang mengganggu anaknya sehingga ia selalu menangis pada saat menjelang magrib hingga larut malam. ‘Memang katanya di sini (poskesdes) dulu angker se­belum dibangun,’ cerita bidan desa. Setelah diberi benang pan­corana tersebut, anaknya pun berhenti menangis. Hal ini tentu di luar dugaan dan kepercayaan bidan desa. Menurut bidan kampung, benang yang diikat di pinggang anaknya tidak boleh dilepas hingga anaknya berumur dua tahun. Benang tersebut dirancang dengan pelonggar dan pengencang tali sehingga bisa menyesuaikan bentuk tubuh si anak.”

Sistem kepercayaan kepada hal­hal yang gaib juga terlihat pada peletakan botol yang berisi air di atas pintu masuk rumah atau digantungkan di dinding rumah. Menurut masyarakat setempat, keberadaan botol di dalam rumah tersebut dapat membawa rasa aman, sehat, selamat, dan dihindarkan dari masalah rumah tangga. Namun, tidak semua rumah di Desa Tetingi masih terdapat botol air tersebut karena sudah hilang atau dibuang karena airnya sudah keruh dan ada ulatnya di dalamnya. Aman Mi juga mengutarakan bahwa botol tersebut dimaksudkan agar para penggunanya mendapatkan rasa tenang, sehat, dan tidak masuk setan. Pandangan lain juga diutarakan oleh Bang Hs, bahwa botol tersebut dijadikan jimat yang berguna untuk memberi semangat, rasa aman, dan tidak ada rasa takut untuk tinggal di rumah tersebut.

2.6 Sistem Kemasyarakatan dan Organisasi Sosial

2.6.1 Sistem Pemerintahan Desa Tetingi

Desa Tetingi dipimpin oleh seorang geuchik (kepala desa). Guechik dipilih oleh masyarakat secara langsung setiap lima tahun sekali. Geuchik

Page 46: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

29

mempunyai peran penting dalam menyelesaikan urusan desa, baik yang bersifat administratif maupun non­administratif, seperti menyelesaikan masalah masyarakat yang berkaitan dengan pembangunan dan pene­rapan aturan dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Dalam men-jalankan tugasnya sebagai kepala desa, geuchik dibantu oleh seorang se­kretaris desa, kepala dusun, imam, kepala urusan pembangunan, kepala urusan pe merintah, kepala urusan umum, dan tokoh-tokoh masyarakat se tempat.

Dasar pengorganisasian desa berpedoman pada Qanun nomor 9 tahun 2004 tentang Pembentukan Kecamatan di Kabupaten Gayo Lues. Menurut geuchik, sekretaris desa, dan beberapa pegawai kantordi keca­matan, struktur pemerintahan desa yang berjalan sekarang ini adalah seperti skema berikut ini.

Bagan 2.1 Sistem pemerintahan Desa Tetingi.

Pemerintahan desa yang diterbitkan SK­nya oleh Bupati adalah kepala desa, sekdes, imam desa, dan BPK (Badan Pengawas Kampung), sedangkan yang lain ditetapkan oleh pimpinan kampung melalui kepala desa. Sementara itu, di atas geuchik ada seorang mukim yang dipilih oleh geuchik­geuchik yang akan berada dalam mukim tersebut. Mukim berada pada level kecamatan. Dalam Kecamatan Blang Pegayon, terdapat dua orang mukim. Satu mukim membawahi enam desa. Mukim dibantu oleh sekretaris dan bendahara mukim. Peran mukim adalah menyelesaikan masalah antardesa dan membantu camat dalam pembangunan desa. Untuk itu, segala aktivitas mukim dilakukan di kantor kecamatan.

Pemuda

Masyarakat

Ormas

BPK Desa Tetingi

Geuchik

Imam

Desa Tetingi

Kadus Arul Sirep

Kadus Tamak Nunang

Sekdes

Kaur Pembangunan

n

Kaur Umum

Kaur Pemerintah

Page 47: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201230

Menurut beberapa tokoh masyarakat setempat, walaupun struktur desa telah ditetapkan dengan Qanun dan Surat Keputusan Bupati, tetapi budaya kepemimpinan desa masih tetap menggunakan sistem dalam budaya Gayo yang biasa disebut jema opat. Jema opat pada masa sekarang sudah disesuaikan dengan struktur baru, seperti reje disamakan dengan geuchik, pegawe disamakan dengan sekdes, kaur, dan kadus, orang tue disamakan dengan imam dan BPK, dan saudere disamakan dengan cerdik pandai dan tokoh masyarakat.

Pendapat ini dipertegas juga oleh Pak Am yang merupakan salah seorang pegawai BPS Kabupaten Gayo Lues, yang juga menulis tentang sejarah Gayo Lues dalam skripsinya. Beliau menambahkan bahwa gelar pejabat disebut kejuron. Istilah kejuron berbeda dalam setiap masyarakat. Dalam masyarakat Gayo Lues dinamakan kejuron pejabah, dalam masyarakat Takengon (Aceh Tengah) disebut kejuron sibanyak linge, dalam masyarakat Lokop disebut kejuron nabok, dan dalam masyarakat Kutacane (Aceh Tenggara) disebut kejuron nampak. Pak Am juga menjelaskan tentang semboyan jema opat yang mempunyai makna sebagai berikut.

1. Saudere

“Saudere pong mupakat, lepas berule taring beraing, salah ber­tegak benar berpapah.” Artinya, saudara merupakan tempat bermu­syawarah, tempat meminta, dan saling membantu.

2. Urang tue

“Urang tue musidik sasat.” Artinya, orang tua akan menganggap anak sendiri apabila menemukan ada anak yang salah. Untuk itu, mereka akan menyelidiki dan memberi nasihat, kemudian dikembalikan pada orang tuanya.

3. Pegawe

“Pegawe mu perlu sunet.” Artinya, orang yang mengetahui hukum adat, pemerintahan, haram, halal, dan lain-lain.

4. Reje

Fungsi reje adalah mengawasi, berlaku adil, kasih, benar, dan suci.

Page 48: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

31

2.6.2 Kelompok Sosial

Menurut informasi dari masyarakat, tidak ada kelompok sosial dalam masyarakat Desa Tetingi, seperti arisan, PKK, kelompok pengajian, atau kelompok-kelompok sosial lainnya. Menurut mereka, hanya ada kelompok pengajian ibu­ibu yang diadakan setiap malam Jumat, tetapi kelompok tersebut sudah tidak aktif lagi karena tidak ada yang memeloporinya. Sementara itu, kelompok sosial pemuda hanya ada jika ada kegiatan Tari Saman atau Tari Bines yang akan dipentaskan di Desa Tetingi, di desa lain, atau di tempat lain. Jika ada kegiatan Tari Saman dan Tari Bines, para pemuda tersebut berkumpul untuk latihan bersama dan menyiapkan segala perlengkapan yang dibutuhkan.

2.6.3 Organisasi Sosial (Sistem Kekerabatan)

Dalam masyarakat Gayo terdapat beberapa terminologi kekerabatan yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari­hari. Istilah kekerabatan tersebut menunjukkan peran dan status sosial seseorang. Keluarga inti (nuclear family) yang terdiri atas bapak, ibu, dan anak mempunyai pang­gilan tersendiri dalam keluarga. Misalnya, seorang bapak dipanggil apak oleh anaknya, sedangkan seorang ibu dipanggil amak oleh anaknya. Anak laki­laki akan dipanggil win oleh orang yang lebih tua, sedangkan anak perempuan akan dipanggil etek oleh orang yang lebih tua. Seorang adik akan memanggil aka untuk kakak perempuannya dan abang untuk kakak laki-lakinya.

Panggilan win untuk anak laki-laki dan etek untuk anak perempuan akan berubah jika sudah menikah. Apabila sudah menikah dan belum mempunyai anak, panggilan etek akan berubah menjadi inen mayak dan win menjadi aman mayak. Panggilan inen mayak dan aman mayak akan berubah lagi jika mereka sudah mempunyai anak. Nama anak pertama akan mengikuti nama panggilan mereka, misalnya nama anak pertama mereka adalah Dewi maka inen mayak akan dipanggil menjadi Inen Dewi dan aman mayak menjadi Aman Dewi. Jadi, melalui panggilan tersebut dapat diketahui pasangan suami istri yang belum mempunyai anak dan siapa nama anak pertama mereka.

Panggilan Inen Dewi dan Aman Dewi akan berubah lagi ketika anak­nya menikah dan mempunyai seorang anak. Misalnya, nama anak Dewi adalah Sultan. Sultan adalah cucu pertama bagi Inen Dewi dan Aman Dewi. Maka itu, Inen Dewi dan Aman Dewi akan dipanggil Empun Sultan

Page 49: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201232

oleh masyarakat setempat, yang berarti kakek atau nenek Sultan. Namun, panggilan Inen Mayak, Aman Mayak, Inen Dewi, Aman Dewi, atau Empun Sultan hanya boleh dilakukan oleh orang yang lebih tua daripada mereka. Apabila ada orang yang lebih muda memanggil dengan istilah tersebut maka dianggap tidak sopan oleh masyarakat setempat. Namun, panggilan tersebut sering digunakan dalam penyebutan secara tidak langsung (bu­kan panggilan) oleh masyarakat setempat, meskipun usianya lebih muda. Berdasarkan istilah tersebut dapat diketahui warga masyarakat yang sudah mempunyai anak atau cucu dan yang belum mempunyai anak atau cucu.

Selain panggilan dalam keluarga inti (nuclear family), juga ada pang­gilan dalam keluarga luas (extended family) yang terdiri atas adik dan kakak bapak dan ibu. Adik perempuan ibu dipanggil yu dan suami yu dipangil pakcik, sedangkan adik laki­laki ibu dipanggil pun dan istri pun dipanggil inepun. Kakak perempuan ibu dipanggil we’ dan suami we’ dipanggil we’, sedangkan kakak laki­laki ibu dipanggil pun dan istri pun dipanggil inepun. Adik perempuan bapak dipanggil ebik dan suami ebik dipanggil kail, sedangkan adik laki­laki bapak dipanggil ujang dan istri ujang dipanggil makcik. Kakak perempuan bapak dipanggil ebik dan suami ebik dipanggil kail. Kakak laki­laki bapak dipanggil we’ dan istri we’ dipanggil we’.

Selain terminologi panggilan dalam hubungan kekerabatan, juga ada terminologi status dalam hubungan kekerabatan, misalnya hubung­an kakak­adik yang mempunyai jenis kelamin yang sama disebut se­rinen, sedangkan jika berbeda jenis kelamin disebut impal. Serinen juga merupakan istilah untuk menyebutkan hubungan sepupu yang mempunyai jenis kelamin yang sama, sedangkan hubungan jenis kelamin yang berbeda disebut dengan.

Dalam sistem perkawinan, anak dari hubungan impal boleh menikah. Perkawinan tersebut disebut perkawinan impal. Sebagai contoh, Ardi mempunyai seorang adik perempuan bernama Dewi. Hubungan Ardi dan Dewi tersebut disebut impal. Setelah dewasa, Ardi menikah dengan pasangannya dan Dewi pun menikah dengan pasangannya. Setelah me­nikah, Ardi dan istrinya mempunyai anak laki-laki, dan Dewi dan suaminya mempunyai anak perempuan. Hubungan anak Dewi dan anak Ardi disebut dengan. Anak Dewi dan Ardi tersebut boleh menikah, disebut perkawinan impal. Untuk lebih lanjut, sistem perkawinan akan dibahas pada bab selanjutnya.

Page 50: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

33

Bagan 2.2 Pohon kekerabatan dalam hubungan keluarga.

2.7 Bahasa Sebagai Alat Komunikasi

Masyarakat Desa Tetingi menggunakan bahasa Gayo Lues dalam percakapan sehari­hari. Penggunaan bahasa Indonesia hanya bisa dilakukan oleh anak­anak, remaja, dan sebagian orang dewasa, sedangkan sebagian besar mereka yang sudah lanjut usia tidak bisa berbahasa Indonesia. Menurut Melalatoa (1982:53), bahasa orang Gayo dapat dikelompokkan menjadi dua dialek. Dialek pertama adalah dialek Gayo Lut, yang terbagi pula ke dalam paling sedikit tiga sub­dialek, yaitu sub­dialek Bukit, Cik, dan Deret. Sementara itu, dialek yang kedua adalah dialek Gayo Lues yang terbagi pula ke dalam sub­dialek Serbejadi, Tampur, dan Lukup (Tamiang) (lihat Hazeu, 1907:vii, Banta, 1977:1­2).

Orang Gayo Lut yang mayoritas menghuni wilayah Aceh Tengah sering kali disebut orang Takengon oleh masyarakat Gayo Lues. Takengon adalah nama ibukota Kabupaten Aceh Tengah. Menurut masyarakat setempat, bahasa Gayo Lues pada umumnya hampir sama dengan bahasa Gayo yang berada di daerah lain, seperti di Aceh Tengah (Takengon). Namun, beberapa kosakata mempunyai dialek dan istilah yang berbeda, sebagai contoh seperti yang terdapat pada Tabel 2.1 berikut ini.

Keterangan:

: Laki-laki : Perempuan

serinen

serinen serinen impal

dengan serinen

tidakboleh

menikah

Page 51: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201234

Tabel 2.1 Beberapa Perbedaan Istilah Bahasa Gayo Lues dan Gayo Takengon

Gayo Lues Gayo Takengon ArtiGaib Gib JauhBur Baur BukitSejuk Bengi DinginEtek Ipak Anak perempuanApak Ama Bapak

2.8 Kesenian: Tari Saman, Tari Bines, dan Didong

Kesenian Gayo Lues yang terkenal adalah Tari Saman dan Tari Bines. Tari Saman telah mendapatkan penghargaan dari UNESCO tahun 2011 sebagai warisan budaya dunia bukan benda yang wajib dilestarikan.4 Menurut salah satu tokoh masyarakat setempat, asal usul dan sejarah tari Saman dan tari Bines tidak diketahui secara jelas. Sejarah tari Saman dan tari Bines hanya diterima ceritanya saja secara turun-temurun. Menurut cerita tersebut, kata Saman berasal dari bahasa Arab yang artinya delapan, tetapi formasi tarinya ganjil.

Setiap penari di dalam tari Saman mempunyai istilah sendiri. Penari yang di tengah disebut penangkat, yang diapit oleh dua orang pengapit dan dua orang penyepit, sedangkan dua orang penari yang berada di paling ujung disebut penupang. Fungsi penari paling ujung adalah menahan gerakan agar tidak jatuh, penangkat memberikan komando, dan pengapit yang mengingatkan penangkat bila lupa syair atau gerakan.

Menurut salah seorang tokoh masyarakat setempat, tari Saman mempunyai tujuan untuk 1) syiar Islam, 2) media komunikasi pemerintah dan masyarakat, 3) hiburan, 4) media komunikasi muda­mudi, dan 5) pengikat tali persaudaraan antardesa sirinen sehingga menjadi sumap sepangkalan. Lafal syairnya diawali dengan birsemilah, yang sebenarnya berasal dari kata bismillah, yang berarti dengan menyebut nama Allah.

Menurut Pak Sa, salah seorang tetua di Desa Tetingi, tari Saman dibawa oleh Syech Syaman yang datang ke tanah Gayo untuk mensyiarkan agama Islam. Pernyataan ini sejalan dengan tulisan Tantawi Isma yang menyebutkan Syech Syaman mengajarkan agama Islam sambil mengge­rakkan tangan ke kiri, ke kanan dan ke atas, ke bawah atau sambil bertepuk

4 Sumber: http://www.bbc.co.uk diunduh pada tanggal 6 November 2012.

Page 52: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

35

tangan dan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim. Oleh karena itu, tari tersebut diberi nama Saman (Tantawi Isma, 2011). Sementara itu, sumber yang lain mengatakan bahwa tari Saman sudah ada sejak abad ke­14 yang kemudian oleh Syech Syaman dikembangkan untuk menyampaikan pesan keagamaan (Dinas Pariwisata Kabupaten Gayo Lues, 2011).Tari Saman ini dilakukan oleh laki-laki.

Selain tari Saman, ada juga tari lainnya yang disebut tari Bines, yang dilakukan para kaum perempuan. Selain tari Saman dan tari Bines, ada juga kesenian Gayo Lues lainnya yang disebut tari Didong, yang diatraksikan pada waktu acara perayaan tertentu di Gayo Lues, seperti perkawinan, sunatan, dan lainnya. Seniman didong melalui puisinya memberikan pe-nerangan kepada masyarakat tentang sejarah daerah dan nasional, tentang revolusi fisik, dan tentang Pancasila (Melalatoa, 1982:141). Didong juga menyampaikan kritik­kritik terhadap penguasa, kepincangan di dalam masyarakat, dan lain­lain, dan juga memberikan pandangan hidup (Kadir, 1971 a: 14­17; Gobal 1971 a, dsb dalam Melalatoa, 1982:141).

Masyarakat Desa Tetingi, terutama anak­anak dan kaum muda, sering berlatih tari Saman dan Bines, apalagi jika ada kegiatan dalam masyarakat. Tari Saman biasanya dilakukan oleh laki-laki dan ditampilkan dalam acara adat atau dipentaskan untuk penyambutan tamu, sedangkan tari Bines, yaitu tarian yang diperankan oleh perempuan berbentuk grup, satu grup terdiri atas minimal sebelas orang, ditampilkan dalam acara adat dan penyambutan tamu.

2.9 Pengetahuan Mengenai Sehat dan Sakit dalam Kacamata Masya-rakat Tetingi

Setiap masyarakat mempunyai pemahaman yang berbeda mengenai sehat dan sakit. Pemahaman tersebut kadang kala bertentangan dengan pemahaman dalam dunia medis. Sebagai contoh, dalam dunia medis seseorang yang menderita flu atau batuk dikatakan bahwa orang tersebut sedang sakit. Hal ini berbeda dengan pandangan masyarakat, seperti pandangan Empun (kakek) Ar yang berpendapat bahwa sakit adalah ke­tika dia tidak bisa melakukan aktivitas sehari­hari dan hanya bisa tidur di rumah. Menurutnya, selama dia masih bisa melakukan aktivitas sehari­hari, meskipun dalam keadaan flu atau batuk, dia menganggap bahwa dirinya sehat atau tidak sakit. Pendapat lain seperti yang diungkapkan oleh Aman Mi, sehat itu mencakup kesehatan jasmani dan rohani.

Page 53: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201236

“... orang dapat dikatakan sehat dia itu ya, bisa dia melakukan segala aktivitas dengan lancar, terlihat segar, misal dia itu sakit, entah flu ato batuk dia, tapi dia masih berangkat ke sawah atau kerja walaupun jalan dia pelan­pelan, masih bisa itu dikatakan sehat. Kalo dia di rumah tiduran, tambah sakit dia. Kalau dia itu di rumah hanya tiduran tidak bisa bergerak, baru sakit dia ...,” jelas Empun (Kakek) Ar, suami bidan kampung di Desa Tetingi.

“... dikatakan orang yang sehat, dia ga rasa sakit badannya, ga sakit­sakit, kebutuhan sehari­hari cukup, termasuk orang sehat itu.Kalo orang sakit walaupun dia banyak uang tapi hidup tidak enak, badan sakit, itu masih tidak sehat. Orang yang dikatakan sehat itu, sehat jasmani sehat rohani, ...” jelas Aman Mi, salah seorang penduduk di Desa Tetingi.

“... tambah sakit gitu terus, lantaran apa, lantaran kalo orang kayak gitu ya kan, kemungkinan pikirannya itu di rumah itu gak cukup tambah parah penyakitnya. Kayak aku kalo aku sakit, kalo udah tidur aku, itu dah parah. Kalo ga pergi lagi aku ke kebun, itu dah parah.Tapi kalo bisa, bawa parang lagi, bawa cangkul lagi, itu sedang saja.Tapi kalo orang yang sehat, dikatakan orang yang sehat jasmani, rohani baru dikatakan orang sehat. Walaupun banyak uang dia, kalo ga sehat jasmani atau rohani, itu ga dikatakan sehat ...,” ungkap Aman Mi.

Perbedaan pandangan mengenai sehat dan sakit antara kacamata medis dan kacamata masyarakat dapat dikategorikan dalam dua kategori, yaitu sehat dan sakit yang dilihat dari faktor gejala dan sehat dan sakit dilihat dari faktor penyebab. Bagi masyarakat, selama bisa melakukan aktivitas sehari­hari meskipun dalam keadaan batuk dan flu, mereka meng anggap bahwa mereka sehat. Sementara itu, dalam kacamata medis gangguan fisik seperti batuk dan flu dianggap sakit, meskipun penderita masih dapat melakukan aktivitas sehari­hari.

Perbedaan dua kacamata tersebut juga terlihat pada faktor penye­bab sakit. Jika dalam pandangan medis, sakit disebabkan oleh adanya bakteri, virus, atau psikis yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi sakit. Namun, hal ini berbeda dengan pandangan masyarakat yang ber­anggapan bahwa sakit bisa disebabkan oleh faktor lain. Faktor tersebut kami kategorikan menjadi empat, yaitu (1) faktor psikologis, (2) faktor

Page 54: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

37

pelanggaran terhadap norma atau aturan yang berlaku, (3) faktor ulah alam gaib atau blis dalam istilah setempat, dan (4) faktor ulah manusia yang sengaja membuat seseorang sakit, yang dikenal dengan istilah tube dalam masyarakat setempat, yang artinya diguna­guna.

Faktor psikologis berhubungan dengan pemahaman mengenai bersih dan kotor. Menurut beberapa warga masyarakat setempat, jika seseorang merasa jijik atau kotor pada suatu keadaan makanan atau minuman, bisa mendatangkan penyakit. Namun, jika dia merasa bahwa makanan dan minuman tersebut bersih dan tidak mendatangkan penyakit, minuman dan makanan tersebut tetap disantap meskipun dalam kacamata orang lain, misalnya dalam kacamata medis, makanan dan minuman tersebut sebenarnya dalam keadaaan kotor atau tidak steril. Pemahaman mengenai penyebab penyakit inilah yang menyebabkan banyak masyarakat di Desa Tetingi minum air mentah tanpa dimasak terlebih dulu.

“... kalo di sini orang minum, itu masalah kebersihan airnya, kalo orang di sini orang kalo dia melihat sungai air itu, mau dia minum itu. Kalau orang luar itu dianggap kotor dan bisa menyebabkan datang penyakit. Sebab datangnya penyakit itu karena kejijikan itu kalo jijik, apa pun kita makan sering datang penyakit itu. Kalo di sungai itu ya kan, kalo orang jijik minumnya kalo diminum, pasti sakit perut. Karena ga nerima di dalam itu, tapi kalo ga jijik, dia walau bagaimanapun, pasti ga ada sakit itu ...,” jelas Aman Mi.

Faktor yang kedua adalah faktor pelanggaran terhadap norma atau aturan yang berlaku. Sebagai contoh, di dalam masyarakat Gayo Lues ada larangan tidak boleh keluar rumah pada pukul 12.00 siang hari atau pada saat sinar mentari bersinar dengan teriknya. Menurut mereka, saat itu merupakan saat blis atau setan sedang berkeliaran. Blis atau setan tersebut dapat mengganggu manusia sehingga dapat menyebabkan sakit. Namun, ada juga yang beranggapan bahwa aturan tidak boleh keluar rumah pada pukul 12.00 karena pada saat itu matahari sedang bersinar tepat di atas kepala sehingga dapat menyebabkan sakit kepala.

“... jangan keluar jam 12 siang. Nanti sakit. Banyak jin dan hantu yang keluar ...,” jelas Empun (Nenek) Za memperingatkan salah seorang tim peneliti yang pada saat itu ingin keluar rumah.

Page 55: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201238

Faktor yang ketiga adalah ulah alam gaib. Faktor ini mempunyai persamaan dengan faktor yang kedua, yaitu sama­sama disebabkan oleh ulah makhluk di alam gaib atau blis dalam istilah masyarakat setempat. Namun, ada perbedaan dalam dua katergori ini. Pada faktor kedua suatu penyakit disebabkan oleh pelanggaran suatu aturan yang dapat me nye­babkan datangnya setan, sedangkan dalam faktor ketiga seseorang sakit karena adanya gangguan dari alam gaib tanpa melanggar suatu aturan yang ada. Sebagai contoh adalah penyakit peneni’an yang diderita oleh Empun (nenek) Za. Peneni’an dalam bahasa Gayo Lues diartikan ditusuk oleh setan pada bagian punggung belakang hingga menembus bagian dada.

Selain peneni’an ada juga penyakit yang disebabkan oleh kelamun (pelangi). Menurut masyarakat setempat, jika ada kelamun yang menghiasi langit dengan warna­warninya, berarti pada saat itu ada makhluk gaib yang sedang minum di suatu tempat yang tidak dapat dilihat secara kasat mata. Menurut mitos masyarakat setempat, makhluk gaib tersebut dapat berbentuk apa saja, seperti ular atau makhluk lain. Jika makhluk gaib tersebut sedang minum di suatu tempat dan ada seseorang yang berada di dekatnya pada saat dia minum, orang tersebut dapat menderita penyakit gatal pada tubuhnya. Hal ini seperti yang dialami oleh Empun (kakek) Za pada cerita berikut ini.

Pada suatu malam, ketika usai makan malam bersama keluarga Empun (kakek) Za, Empun (kakek) Za mengeluh sakit gatal­gatal pada badannya.

“Ini badan saya gatal semua. Kenapa ya, Nak?” tanya Empun (kakek) Za salah seorang peneliti.

“Gatalnya di bagian mana, Pak?” tanya peneliti kepada Empun (kakek) Za.

“Rasanya gatal semua.Tadi saya sudah berobat ke Mentri (mantri) di Cinta Maju, terus disuntik, dikasih obat dan salep,” lanjut Empun (kakek) Za.

Lalu, Inen Za (putri pertama Empun Za) yang berada di sebelah Empun (kakek) Za menimpali, “Kata orang sini itu kena kelamun,” jelas Inen Za.

“Kelamun? Apa itu, Kak?” tanya peneliti heran.

Page 56: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

39

“Itu yang kita lihat kemarin sore, yang ada warna merah hijau di langit itu. Apa kata adik itu? Ngi …,” jelas Inen Za.

Peneliti itu pun mencoba mengingat kembali apa yang dilihatnya kemarin sore bersama Inen Za, “Oh, pelangi,” tebak peneliti setelah ingat­annya kembali pada peristiwa kemarin.

“Oh. Iya pelangi,” jelas Inen Za.

Kemudian Inen Za pun melanjutkan penjelasannya, “Kata orang sini kalau ada kelamun, itu ada yang sedang minum, entah di air kolam, sungai. Itu sejenis makhluk halus. Jin, tapi enggak tampak,” jelasnya.

Empun (kakek) Za pun ikut menambahkan penjelasan Inen Za, “Kadang ia berbentuk ular, seperti buaya itu,” jelasnya.

“Kalau kita berada di dekat dia waktu dia minum, gatal­gatal sudah badan kita,” tambah Inen Za.“Tapi kita tidak tahu kalau kita sudah dekat dia itu. Biasanya rumputnya itu berwarna merah. Kalau sudah kena itu, gatal sekali. Ingin rasanya menggitar terus (menggaruk terus),” jelas Empun (kakek)Za.“Lama itu sembuhnya,” Inen Za ikut menambahi.

Kemudian suami Inen Za yang juga ikut dalam percakapan tersebut juga ikut bersuara, “Obatnya pakai daun sirih yang disemburin ke badan,” jelasnya.

Empun (kakek) Za pun ikut menambahi, “Itu pakai dukun. Pakai kemenyan. Daun sirih dikunyah kayak nyirih itu. Terus disemburih ke badan kita (orang yang sakit),” jelasnya.

“Pakai kemenyan untuk ngusir jinnya,” jelas Inen Za.

Kemudian suami Inen Za menimpali lagi, “Itu kena miang. Bapak kan kerjanya di bawah pohon tembakau. Itu kan banyak miangnya. Kalau udah kena miangnya itu gatal sekali,” jelasnya.

Selain tiga faktor seperti yang dijelaskan di atas, ada juga faktor ulah manusia yang sengaja menyebabkan seseorang menjadi sakit. Hal ini disebut tube oleh masyarakat setempat, yang artinya diguna­guna. Tube dapat dilakukan oleh manusia melalui makanan atau minuman yang disajikan khusus untuknya. Selain itu, tube juga dapat terjadi tanpa media apa pun, yaitu hanya dengan mengingat wajah yang ingin disakiti.

Page 57: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201240

Penyakit yang disebabkan oleh tube ini seperti yang dialami oleh saudara Kak S. Pada saat itu, saudara Kak S mempunyai penyakit pada kelaminnya. Untuk menyembuhkan penyakit tersebut, saudara Kak S dibawa ke rumah sakit, tetapi tak kunjung sembuh. Menurut Kak S, pihak rumah sakit menyatakan bahwa saudara Kak S terkena penyakit kampung dan harus diobati dengan cara kampung. Akhirnya, saudara Kak S tersebut dibawa ke pengobat tradisional untuk mendapatkan penyembuhan. Pada saat ini, kondisi saudara Kak S sudah membaik meskipun secara psikologis masih belum sembuh total seperti keadaan sebelum dia sakit.

2.10 Health Seeking Behaviour; Pengobatan Tradisional vs Medis. Me-nurut Winkelman (2009:2):

… culture also affects behaviors that expose us to disease and the reasons prompting us to seek care, how we describe our symptoms, and our compliance with treatments ….

Dengan kata lain, budaya berpengaruh pada pencarian pengobatan terhadap suatu penyakit dan bagaimana seseorang mendeskripsikan penyakit tersebut. Pemahaman masyarakat mengenai penyebab sehat dan sakit seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dapat mempengaruhi perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior). Seperti yang telah dijelaskan, sakit dipahami oleh masyarakat Tetingi karena disebabkan oleh ilmu gaib atau magis. Hal ini berpengaruh pada perilaku pencarian pengobatan yang terlihat pada pemilihan pengobatan tradisional yang masih sering dilakukan oleh masyarakat setempat untuk menyembuhkan penyakit yang dialaminya. Hal ini seperti yang dialami oleh Empun (nenek) Za yang menderita penyakit peneni’an.

Penderita penyakit peneni’an mengalami rasa sakit pada bagian punggung belakang hingga menembus dadanya. Pada saat itu, Empun (nenek) Za mengalami rasa sakit pada punggung sebelah kirinya menembus sampai dada kirinya. Menurutnya rasa sakit itu bagaikan ditusuk oleh benda tajam. Peneni’an tersebut dalam masyarakat setempat dipahami sebagai penyakit ditusuk setan. Untuk itu, pengobatan yang dilakukan adalah dengan cara pengobatan tradisional untuk mengusir setannya.

Pada saat Empun (nenek) Za menderita penyakit peneni’an, kelu-ar ganya memanggil Aman Yu yang juga merupakan menantunya un­tuk menyembuhkan penyakit peneni’an yang dideritanya. Aman Yu di-kenal sebagai dukun kampung oleh masyarakat setempat, terutama

Page 58: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

41

oleh masyarakat Desa Porang tempat Aman Yu berdomisili. Aman Yu memberikan pengobatan peneni’an pada Empun (nenek) Za dengan semburan sirih.

Pengobatan semburan sirih dilakukan karena penyakit peneni’an yang diderita oleh Empun (nenek) Za dianggap disebabkan oleh setan. Oleh sebab itu, pengobatan yang dilakukan pun melalui dukun kampung dengan segala peralatannya yang dianggap mampu untuk mengusir setan yang menyebabkan Empun (nenek) Za menjadi sakit. Sebelum disemburkan kepada bagian yang sakit, daun sirih dan beberapa bahan­bahan lainnya, seperti jih (batang ilalang), kacu (gambir) , tekur (kencur), jerango, kapur sirih, pinang yang telah dibelah, dan bungli, didoakan terlebih dulu oleh Aman Yu. Pada saat Aman Yu mendoakan daun sirih dan bahan­bahan tersebut, sayup­sayup terdengar kalimat syahadat, tauhid, dan beberapa kalimat lain yang sulit dipahami. Pada saat itu, Aman Yu seolah­olah sedang berdialog dengan seseorang dan memintanya untuk tidak mengangggu Empun (nenek) Za yang sedang sakit.

Setelah selesai didoakan, daun sirih dan bahan-bahan tersebut dikunyah oleh Aman Yu sampai halus. Sambil terus mengunyah daun sirih di mulutnya, Aman Yu mendekati Empun (nenek) Za yang berbaring lemah di atas kasur. Aman Yu pun meminta Empun (nenek) Za untuk membalikkan badannya sehingga posisi Empun (nenek) Za menjadi tengkurap. Kemudian Aman Yu menyuruh Inen Yu (istrinya sekaligus anak Empun (nenek) Za) untuk menyibakkan baju Empun (nenek) Za sampai punggung belakangnya terlihat. Aman Yu pun mulai berkomat-kamit membacakan doa sambil mengunyah sirih. Lalu, Aman Yu menulis huruf Arab yang terdiri atas tiga huruf, yaitu Alif, Lam, dan Ha, pada punggung Empun (nenek) Za. Setelah menulis huruf­huruf tersebut, Aman Yu mulai menyemburkan sirih yang ada di mulutnya ke punggung Empun (nenek) Za. Setelah disemburkan, lalu punggung Empun (nenek) Za ditutup dengan kain agar tidak mengotori bajunya. Setelah disembur dengan sirih, Aman Yu memberikan segelas air putih mentah yang sebelumnya didoakan oleh Aman Yu.

Setelah pengobatan sembur sirih dilakukan, seorang peneliti ber­tanya kepada Inen Yu mengapa Empun (nenek) Za tidak dibawa ke pus­kesmas atau rumah sakit. Namun, Inen Yu, putri kedua Empun (nenek) Za berkata, “Enggak bisa kata orang kontener.5 Ini penyakit kampung.”

5 Kontener adalah istilah dalam masyarakat Gayo Lues untuk menyebutkan rumah sakit.

Page 59: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201242

Akhirnya, Empun (nenek) Za diobati dengan cara tradisional, yaitu dengan semburan sirih oleh dukun kampung yang juga menantu Empun (nenek) Za. Keesokan hari, seorang peneliti menjenguk keadaan Empun (nenek) Za dan dia tampak lebih sehat daripada hari sebelumnya dan sudah melakukan aktivitas sehari­hari seperti membuat tikar dari daun pandan duri.

Gambar 2.7. Penyembuhan peneni’an dengan cara semburan sirih. (Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Juni 2012)

Selain Empun (nenek) Za, ada juga Empun (kakek) Ar yang mengalami penyakit benjolan besar pada pantatnya yang mirip dengan bisul. Untuk menyembuhkan penyakitnya tersebut, Empun (kakek) Ar berobat ke dukun kampung karena dianggap merupakan penyakit kampung yang disebabkan oleh blis atau setan. Menurutnya, penyakit yang demikian tidak dapat disembuhkan oleh tenaga medis di pelayanan kesehatan.

“… bawa ke kontener, enggak cocok. Enggak sembuh­sembuh. Kan gitu­gitu aja. Enggak tau sakitnya. Kalau di kontener kan cuma diinfus …,” jelas Empun (Kakek) Ar.

Selain dengan semburan sirih, pengobatan tradisional Gayo juga ada dengan cara mengunjungi makam orang yang dulu adalah seorang dukun kampung. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Empun (Nenek) Ar kepada pasiennya yang meminta pengobatannya. Empun (nenek) Ar seorang bidan kampung, dia mengajak pasiennya untuk melakukan pengobatan di makam ibunya yang dulu juga merupakan seorang dukun kampung. Berikut cerita Empun (nenek) Ar dengan pasiennya.

Page 60: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

43

Pada suatu hari, ada beberapa orang datang ke rumah Empun (nenek) Ar, seorang bidan kampung. Mereka mau mengucapkan terima kasih kepada Empun (nenek) Ar yang telah menyembuhkan anak mereka hingga saat ini bisa berjalan. Sebelum berobat ke Empun (nenek) Ar, anaknya belum bisa berjalan padahal usianya sudah menginjak 5 tahun. Kemudian orang tuanya membawakannya ke Empun (nenek) Ar untuk mendapatkan pengobatan. Setiba di rumah Empun (nenek) Ar, lalu Em­pun (nenek) Ar memandikan anak tersebut di kuburan ibunya bidan kampung yang juga dulu adalah seorang bidan kampung. Anak tersebut dimandikan di kuburan ibunya dengan menggunakan jeruk purut. Selain jeruk purut, ada juga kemenyan yang dibakar di sekitar kuburan tersebut. Menurutnya, setelah dua kali anak tersebut dimandikan di kuburan dengan menggunakan jeruk purut, anak tersebut sembuh dan bisa berjalan. Untuk itu, orang tuanya datang ke rumah Empun (Nenek) Ar untuk mengucapkan terima kasih kepada Empun (Nenek) Ar dengan memberikan uang sebesar Rp300.000,00 agar kubur ibunya disemen dan uang Rp50.000,00 untuk Empun (Nenek) Ar. Orang tua anak kecil tersebut sudah lama mengenal Empun (Nenek) Ar sehingga mereka sudah tampak seperti keluarga. Dulu, nenek anak tersebut juga berobat di ibu Empun (Nenek) Ar. Pada saat itu, ibunya menginginkan seorang anak laki­laki. Setelah berobat kepada ibu Empun (Nenek) Ar, ibunya berhasil mendapatkan anak laki­laki, dan anak laki-laki tersebut adalah bapak si anak kecil tadi.

Selain dengan cara datang ke dukun kampung, pengobatan juga dapat dilakukan dengan cara pengobatan mereka sendiri, yaitu melalui tanaman yang ada di sekitar mereka. Tanaman yang bisa dijadikan obat tersebut mereka ketahui dari nenek moyang mereka. Sebagai contoh, obat batuk dalam masyarakat Gayo Lues salah satunya adalah daun ruwi, yaitu daun berduri. Daun ruwi tersebut direbus dengan menggunakan garam. Air rebusannya kemudian diminum sebagai obat batuk. Selain daun ruwi, ada juga getah geloah geger yang digunakan sebagai obat sakit gigit dan bibir pecah­pecah, dan masih banyak lagi tanaman yang biasa dijadikan obat oleh masyarakat Desa Tetingi.

Page 61: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201244

Page 62: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

45

BAB III PEREMPUAN GAYO,

DARI REMAJA SAMPAI DI BALIK BARA

3.1 Remaja Gayo Lues; Beberu dan Bebujang

Dalam masyarakat Gayo, seorang anak laki­laki yang sudah meng-injak masa remaja disebut sudah bujang, dan anak perempuan disebut beru. Sementara itu, para remaja laki-laki disebut bebujang dan para remaja perempuan disebut beberu (Melalatoa, 1982:94). Seorang anak laki-laki sudah bisa disebut bujang apabila dia sudah dikhitan dan ber usia sekitar 13 tahun, sedangkan anak perempuan sudah bisa disebut beru apabila dia sudah mengalami menstruasi dan berusia sekitar 13 tahun. Namun, istilah beru dan bujang ini digunakan untuk menyebut seorang anak yang tidak sekolah dan belum menikah. Untuk itu, meskipun seorang anak telah berusia 13 tahun dan sudah dikhitan untuk laki-laki dan sudah mengalami menstruasi untuk perempuan tetapi dia masih sekolah, maka dia tidak disebut bujang atau beru. Oleh sebab itu, jika ada seorang anak berhenti sekolah, maka dia akan ditanya oleh masyarakat setempat “Hana ti sekolah ko? Male jadi seberu ke? (Mengapa kamu tidak sekolah? Mau jadi beru kampungkah kamu?).

“… seberu dan sebujang itu bisa dikatakan mulai umur 13 itu saya bilang. Kalau enggak sekolah dia. Kalau sekolah, nggak bilang orang seberu. Nah, itu anak pelajar…,” jelas Empun (kakek) Mn, seorang tokoh masyarakat di Desa Tetingi.

Para beberu dan bebujang ini mempunyai kegiatan sendiri dalam masyarakat, misalnya bebujang menari tari Saman, sedangkan beberu menari tari Bines. Tarian tersebut ditarikan pada acara tertentu, misalnya acara silaturahmi antarkampung. Tari Saman dan tari Bines memang

Page 63: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201246

dikhususkan dan diutamakan untuk beberu dan bebujang. Oleh sebab itu, apabila ada seberu atau sebujang tidak bisa mengikuti tari Saman atau tari Bines pada suatu acara, dia akan didenda sesuai dengan jumlah yang telah disepakati bersama. Namun karena jumlah beberu dan bebujang di Desa Tetingi semakin sedikit, para pelajar yang sudah remaja pun diajak untuk menari tari Saman dan tari Bines apabila penarinya kurang.

“… tapi kalau seperti adikmu tadi yang kuliah di Jogja, misalnya dia pulang kemari, dia kan tinggal di desa ini. Itu dicatat orang ini menjadi sebujang dia dalam buku saja. Kalau misalnya pigi (pergi) ke daerah mana untuk tari saman, kalau bisa dia ikut, ikutlah. Kalau nggak, nggak apa­apa. Kalau nggak sekolah itu, kalau nggak ikut, didenda itu …,” jelas Empun (kakek) Mn.

3.11 Interaksi Sosial Remaja Gayo Lues.

Menurut masyarakat setempat, seorang laki­laki yang belum menikah (perjaka) dilarang untuk berkunjung ke rumah seorang perempuan yang masih gadis, meskipun hanya sekadar “bermain” atau bertandang, begitu pula sebaliknya. Apabila ada seorang perjaka datang ke rumah seorang gadis dengan maksud hanya untuk bertandang bukan untuk melamar, akan menjadi “omongan” bagi masyarakat sekitar. Oleh sebab itu, orang tua si gadis pun akan melarangnya. “Omongan” yang muncul dalam masyarakat tersebut secara tidak langsung menjadi social control bagi masyarakat setempat yang menjadi aturan tata­kelakuan (mores). Mores atau tata-kelakuan mencerminkan sifat­sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar atau tidak sadar, oleh masyarakat terhadap anggota­anggotanya (Soekanto, 1990:221).

Aturan yang “melarang” seorang perjaka untuk datang ke rumah seorang gadis menyebabkan seorang gadis di Desa Tetingi sering kali dilamar oleh seorang perjaka yang belum pernah mereka kenal sebelumnya. Hal ini seperti yang dialami oleh Tr, seorang gadis berusia 15 tahun dan pada saat ini sedang duduk di bangku kelas 2 SMP. Menurut Tr, pada saat dia duduk di bangku kelas 6 SD, dia pernah dilamar oleh seorang laki­laki. Laki­laki tersebut langsung datang ke rumah orang tuanya untuk melamarnya. Namun lamaran tersebut ditolak Tr karena masih ingin bersekolah.

Cerita yang sama juga dialami oleh Ay, seberu di Desa Tetingi berusia 17 tahun. Pada pertengahan Juni 2012, ada sebujang yang datang melamarnya, padahal dia belum pernah bertemu sama sekali dengan sebujang tersebut. Namun, Ay menolak lamaran sebujang dengan cara

Page 64: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

47

yang halus agar sebujang tidak sakit hati. Untuk menolak sebujang tersebut, Ay berkata bahwa dia belum siap menikah dan dia akan me-nikah 3 tahun lagi. Menurut Ay, peristiwa lamaran pada pertengahan Juni tersebut bukan peristiwa pertama baginya. Pada usianya yang ke­17 tahun, dia sudah tujuh kali didatangi oleh sebujang untuk melamarnya. Lamaran pertama datang pada saat dia duduk di bangku kelas 2 SMP. Pada saat itu, usianya 14 tahun. Menurut pengakuan Ay, sebenarnya alasannya untuk menolak sebujang tersebut bukan karena dia ingin menikah 3 tahun lagi, tetapi karena dia sudah mempunyai seorang kekasih. Dia sudah dua bulan berpacaran (bebiak) dengan pacarnya. Selama dua bulan tersebut komunikasi dengan pacarnya dilakukan melalui handphone.

Kehadiran handphone telah mempermudah remaja Desa Tetingi untuk berkomunikasi dengan teman­temannya, termasuk dengan keka­sihnya. Handphone tersebut ada yang dibelikan oleh orang tuanya, ada pula yang membeli sendiri dari hasil pentas tari Saman atau tari Bines. Sekali pentas, biasanya para penari tersebut mendapat uang sekitar Rp50.000,00­Rp100.000,00. Uang tersebut dikumpulkan untuk membeli handphone. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Tr. Menurut Tr, dia membeli handphone dari uang yang dia peroleh dari pentas tari Bines. Melalui handphone tersebut dia dapat berkomunikasi dengan teman­temannya, termasuk kekasihnya. Meskipun handphone tersebut adalah miliknya, tetapi adiknya dan teman­teman yang ada di sekitarnya juga ikut menggunakannya untuk berkomunikasi dengan teman­temannya.

Komunikasi melalui handphone bukan hanya dialami oleh Ay dan Tr. Kak My dan Kak Se yang sekarang sudah menjadi inen mayak juga mengaku bahwa dia berkomunikasi dengan pacarnya, yang sekarang telah menjadi suaminya, melalui handphone. Kemajuan teknologi komunikasi seperti kehadiran handphone di tengah masyarakat desa menyebabkan sistem gaya pacaran di kalangan remaja semakin mudah. Melalui short message service atau SMS atau telepon, para remaja tersebut bisa menjalin hubungan dengan kekasihnya. Menurut Aman Mi (tokoh masyarakat setempat) kehadiran handphone di tengah masyarakat menjadi faktor banyaknya kawin lari yang dilakukan oleh para remaja yang kadang kala umurnya masih di bawah 15 tahun, padahal menurut aturan adat yang terdapat di Desa Tetingi, seseorang dapat diperbolehkan menikah sekitar umur 17 sampai 20 tahun.

“… pake hp atau sms dia, kalo pacaran, itulah yang biasanya terjadi di desa kita ni, pake hp dia semua …,” jelas Aman Rk.

Page 65: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201248

“… alasannya kebanyakan dia kawin lari, itu penyebabnya terutama ya kan, dia punya hp. Kalau menurut aturan, dari umur dia sekitar 18, 17, 20 sampai ke atas. Yang kebanyakan kalo di sini sekarang ya kan, itu ga sampe pun 14, 12, kan gitu …,” jelas Aman Mi.

Selain faktor globalisasi dan kemajuan teknologi komunikasi, faktor lingkungan juga menjadi penyebab banyaknya pernikahan dini yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Banyaknya masyarakat yang menikah pada usia muda menyebabkan umur di atas 19 atau 20 tahun menjadikan usia yang tua untuk menikah atau sudah dikatakan “terlambat” untuk menikah. Hal ini seperti yang telah diutarakan oleh salah seorang pemuda Desa Tetingi berikut ini.

“… aku pun ni udah dibilang tua, ga nikah­nikah bang. Umurku 21 aku bang …,” kata Bang Ja.

Tidak ada dokumen atau arsip desa yang menjelaskan tentang rata­rata usia perkawinan masyarakat Desa Tetingi. Namun, berdasarkan peng­amatan dan wawancara mendalam dengan beberapa warga masyarakat setempat, dapat diketahui usia perkawinan masyarakat Desa Tetingi berkisar dari umur 14 tahun sampai 20 tahun, yaitu pada saat seorang anak duduk di bangku SMP atau SMA.

Usia pernikahan yang masih dikatakan sangat muda menyebabkan mereka (yang menikah) masih hidup bersama orang tuanya atau berada dalam satu atap dengan orang tua mereka. Orang tua pun secara tidak langsung bertanggung jawab untuk mengajari mereka untuk menjadi keluarga yang mandiri. Misalnya, orang tua mengajak mereka untuk turun ke sawah bersama, bekerja bersama dengan bapak dan ibunya, dan memasak bersama. Untuk itu, dalam satu rumah di Desa Tetingi dapat dihuni oleh beberapa rumah tangga. Apabila rumah tangga anak sudah dianggap mampu untuk berdiri sendiri, orang tua akan men­jawe-kan (memisahkan) mereka dengan cara mendirikan rumah bagi anaknya dan menyerahkan sebagian tanah sawahnya untuk dikelola oleh anaknya.

“… itulah makanya dia kalo sekarang kayak umur gitu kawin, itu harus tanggung jawab orang tua, kenapa­kenapa pasti anak itu belum dapat mendirikan apanya itu, orang tua harus tanggung jawab apa yang kekurangannya harus diapakan, ya kan, dan lakinya itu harus cepat dia suruh mencari pekerjaan,

Page 66: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

49

kalau tidak cepat kita dukung, cerai dia itu …,” tutur Aman Mi, seorang tokoh masyarakat setempat.

“… sudah dipisahkan sama orang tuanya, dibikin rumahnya, ditunjukkan sawahnya. Kalian sudah saya pisahkan dari rumah, itu rumah, saya bikin kecil. Itu sawah kalian, itu kebun kalian. Apa kalian mu tanam, tanam terus, kalo ga ada modal minta dari saya, berapa dapat saya kasih. Gitu …,” lanjut Aman Mi.

3.2 Sistem Perkawinan

Dalam masyarakat Gayo Lues terdapat berbagai macam jenis per ka winan. Menurut hemat kami, jenis perkawinan tersebut dapat dikategorikan ke dalam dua kategori, yaitu (1) berdasarkan status pe­ngantin yang berkaitan dengan unyuk (maskawin), dan (2) berdasarkan cara laki­laki mempersunting pengantin perempuan. Kategori pertama terdapat dua jenis, yaitu juelen dan angkap, sedangkan kategori yang kedua juga terdapat dua jenis yaitu bejejeroh dan naik.

Berdasarkan status pengantin perempuan atau laki­laki terdapat dua jenis perkawinan, yaitu juelen dan angkap. Juelen berasal dari kata juel yang artinya jual. Sesuai dengan artinya tersebut, pengantin perempuan diibaratkan dijual kepada pihak keluarga laki­laki. Setelah menikah, pe­ngantin perempuan akan tinggal dengan kerabat suaminya (virilokal). Jika seorang perempuan dengan status juelen masih sering bergaul dengan kerabat pihak orang tuanya, secara langsung atau tidak dia akan dicela oleh kerabat suaminya (Melalatoa,1982:80)

Dalam perkawinan juelen, ada unyuk (maskawin) yang harus dipe­nuhi oleh pihak laki-laki. Unyuk tersebut dapat berupa uang, emas, hewan ternak, atau sawah. Namun, pada umumnya unyuk yang diberikan pada saat ini adalah emas dalam hitungan mayam. Satu mayam setara dengan 3 gram emas. Menurut Inen Je, rata­rata unyuk yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada perempuan adalah 3 mayam. Besarnya unyuk yang diberikan kepada pihak keluarga perempuan tergantung pada status sosial pengantin perempuan. Semakin tinggi status sosial seorang perempuan, semakin tinggi pula nilai unyuk yang ditawarkan. Misalnya, ada seorang perempuan mempunyai pendidikan yang tinggi sampai sarjana, unyuk yang diberikan dapat mencapat 25 mayam emas dan uang sebesar Rp25.000.000,00.

Page 67: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201250

“… kalau makin tinggi pangkatnya, makin tinggi pula maharnya. Kayak di bawah itu kana da pangkatnya udah tinggi. Udah bidan. Itu diminta 25 juta dan 25 mayam …,” jelas Inen Je.

Selain unyuk, ada juga istilah teniron dalam perkawinan juelen. Dua istilah tersebut mempunyai makna yang berbeda. Unyuk adalah permintaan keluarga perempuan kepada keluarga laki­laki, sedangkan teniron adalan permintaan khusus dari pengantin perempuan kepada pengantin laki­laki. Dalam masyarakat Desa Tetingi, teniron biasanya berbentuk emas atau benda lain yang diinginkan oleh pengantin perempuan.

“… kalau mahar untuk walinya, kalau teniron untuk yang ber­sangkutan (pengantin perempuan) …,” jelas Empun (kakek) Ar.

Dalam masyarakat Desa Tetingi, perkawinan dengan cara juelen ini sering terjadi. Oleh sebab itu, banyak ibu di Desa Tetingi merupakan pendatang dari desa lain yang ada di Kabupaten Gayo Lues, seperti Kuta Panjang, Terangon, Pining, dan sebagainya, bahkan ada yang datang dari kabupaten lain, seperti Aceh Tengah, Aceh Tenggara, dan sebagainya. Untuk itu, dalam sistem perkawinan juelen ini, pihak keluarga laki­laki mempunyai peran penting dalam kehidupan keluarga anak laki­lakinya, termasuk dalam kehamilan dan proses persalinan menantunya.

Selain perkawinan juelen, ada juga perkawinan angkap, yaitu pe-ngantin laki­laki yang menyerahkan diri kepada pihak keluarga pengantin perempuan. Dengan status ini seolah­olah pihak laki­laki tidak mampu membayar mahar atau teniron sehingga tidak dapat mengambil seorang perempuan masuk ke dalam lingkungannya (Melalatoa, 1982:82). Oleh sebab itu, setelah menikah, sepasang pengantin tersebut akan tinggal dalam pihak keluarga perempuan (uxorilokal) karena pihak laki­laki tidak mampu “membeli” perempuannya. Dengan kata lain, dalam sistem perkawinan angkap ini laki­laki “menjual” dirinya kepada pihak perempuan dengan cara menyerahkan dirinya kepada keluarga perempuan.

“… enggak ada lagi mungkin sapinya, kerbaunya. Enggak bisa bayar. Diangkapkannya dia. Enggak dikasih pigi (pergi) anak perempuan itu tadi ke tempat yang laki­laki. Netap dia di situ (di lingkungan perempuan) …,” jelas Empun (kakek) Ar.

Menurut Melalatoa (1982:82), banyak latar belakang yang menyebab­kan terjadinya perkawinan dengan sistem angkap, di antaranya (1) kadang­

Page 68: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

51

kadang karena pihak keluarga perempuan hanya mempunyai anak tunggal perempuan, oleh karena itu orang tuanya sangat berat melepaskan anak tunggalnya itu dari lingkungannya, (2) ada pula seorang perjaka yang orang tuanya tidak mampu memenuhi mahar dan teniron dari pihak perempuan, (3) ada lagi kenyataan seorang gadis itu memang tidak ada orang yang melamarnya sehingga harus diambil laki­laki pendatang yang memang mencari induk semang di rantau orang (Djauhari, 1973:40­42 dalam Melalatoa, 1982:82), dan (4) ada pula seorang perjaka yang memang senang dengan status angkap ini, justru orang tua yang mempunyai anak tunggal ini adalah orang memiliki harta kekayaan dan terpandang.

Selain jenis perkawinan berdasarkan status pengantin yang berkaitan dengan unyuk (maskawin), ada juga jenis perkawinan berdasarkan cara laki­laki mempersunting pengantin perempuan. Seorang laki­laki dapat mempersunting seorang perempuan pujaan hatinya dengan dua cara, yaitu (1) dengan cara “baik­baik” menghadap keluarga perempuan untuk “meminta” anak perempuannya untuk menjadi istrinya, dan (2) dengan cara “belakang”, yaitu langsung mengajak perempuan ke rumah penghulu, imam, geuchik, atau tokoh masyarakat setempat untuk menikah tanpa meminta “izin” dari keluarga perempuan. Cara pertama tersebut dalam masyarakat Gayo disebut kerje bejejeroh dan cara kedua disebut kerje naik atau kawin lari.

Kerje bejejeroh melewati proses yang panjang, dimulai dari lamaran kepada keluarga perempuan sampai terjadi kesepakatan antara pihak laki­laki dan pihak perempuan. Pada saat lamaran, keluarga laki­laki datang ke rumah keluarga perempuan untuk menanyakan kesediaan dan kesepakatan mengenai unyuk. Apabila disepakati, selanjutnya akan dilihat kecocokan antara calon pengantin perempuan dan laki­laki oleh orang tua. Apabila sudah ditemukan kecocokan antara keduanya, akan ditentukan “hari baik” oleh orang tua untuk melangsungkan pernikahan.

Berbeda dengan kerje bejejeroh yang melewati proses lamaran, dalam kerje naik tidak ada proses lamaran yang dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Kerje naik terjadi karena sama-sama suka, namun mendapat hambatan dari salah satu atau kedua keluarga, sehingga laki­laki mengajak perempuan pergi ke rumah imam, geuchik, atau tokoh masyarakat setempat untuk menikah. Cara ini juga terkadang dimanfaatkan laki­laki untuk “memaksa” perempuan pujaan hatinya untuk menikah, misalnya dengan sengaja dia mengajak perempuan pujaannya datang ke rumah imam. Dalam masyarakat Desa Tetingi, apabila ada

Page 69: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201252

seorang pemuda mengajak seorang perempuan ke rumah imam atau tokoh masyarakat setempat, biasanya si pemuda bermaksud menikahi perempuan tersebut tanpa izin dari pihak keluarga perempuan terlebih dulu. Apabila hal ini terjadi dan perempuan tersebut menolak untuk dinikahkan, nama baik perempuan tersebut sudah tidak ada lagi karena dianggap telah melakukan hubungan suami istri. Dalam masyarakat Desa Tetingi, sistem perkawinan kerje naik sering terjadi di Desa Tetingi karena dianggap lebih murah dan lebih mudah, tidak harus melalui proses yang panjang seperti pinangan dan pertunangan.

“… kawin lari itu cepat prosesnya. Enggak ada acara pinang meminang, tunangan. Kalau kawin biasa (bejejeroh) kan lama, ada pinangan, tunangan. Itu kan perlu banyak biaya. Kalau kawin lari kan murah. Sekarang itu udah banyak yang kawin lari. Udah biasa. Sekarang itu udah enggak sekuno dulu lagi …,” jelas Inen Je yang merupakan pendatang dari desa tetangga.

Kepada setiap pasangan yang melakukan kerje naik akan diajukan pertanyaan “Apakah sudah melakukan hubungan suami istri atau belum”. Apabila mereka tidak mau mengaku bahwa mereka sudah melakukan hubungan suami istri, mereka akan ditakut­takuti dengan pisau atau dengan kata­kata yang bernada “ancaman”, seperti mereka tidak boleh masuk rumah dan makanan yang mereka masak hukumnya haram. Apabila ada sepasang calon pengantin yang melakukan kerje naik mengaku bahwa mereka sudah melakukan hubungan seks sebelum menikah, dia akan dimandikan dengan menggunakan tanah merah dan mungkur (jeruk purut) sebelum dinikahkan. Orang yang memandikan mereka adalah orang yang bisa membacakan doa sebelum dimandikan, seperti bidan kampung atau dukun kampung lainnya.

Tanah merah yang digunakan untuk mandi sebanyak dua genggam orang dewasa. Setelah dimandikan dengan tanah merah tersebut, kemudian dua sejoli tersebut akan disiram dengan air. Setelah tanah merahnya hilang dari tubuhnya, kemudian akan dimandikan lagi dengan jeruk purut sebanyak tiga buah. Apabila dua sejoli tersebut sudah di­mandikan, mereka sudah dianggap suci dan makanan yang mereka ma­sak pun sudah halal untuk dimakan. Namun, jika dua sejoli tersebut belum dimandikan dengan tanah merah dan jeruk purut, mereka tidak boleh masuk rumah karena tubuhnya dianggap najis (kotor). Selain itu, makanan yang mereka masak pun tidak boleh atau haram untuk dimakan.

Page 70: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

53

Pernikahan mereka pun dianggap tidak sempurna dan tidak sah.“…sebelum diresmikan dia ditanya dulu, masih suci enggak.

Bagaimana kalian sudah suka, betul­betul mau kawin sama dia. Bagaimana kalian sudah melalui batas. Kalau enggak, bisa masak. Kalo udah melewati batas, enggak bisa masak, kalian harus dimandikan dulu, disucikan dulu baru bisa masak. Ditaruh di dalam baskom, ditaruh tanah, air dikasih jeruk purut (hanya dipotong). Ada doa, cuma syarat aja …,” jelas seorang imam di Desa Tetingi.

“…kalau nggak dimandikan, nggak sempurna nikahnya ya. Sama dengan nikah sama anjing …,” jelas Empun (nenek) Ar.

Setelah dinikahkan, kedua mempelai tersebut akan tinggal bersama keluarga perempuan (uxorilokal) atau keluarga laki­laki (virilokal) sesuai dengan unyuk yang dibayarkan. Apabila dalam kerje naik ini, pihak laki-laki membayar unyuk kepada pihak perempuan sesuai dengan permin­taan, kedua mempelai tersebut akan tinggal di lingkungan laki­laki (virilokal). Namun apabila pihak laki­laki tidak membayar unyuk kepada keluarga perempuan, kedua mempelai akan tinggal di lingkungan perem­puan (uxorilokal). Besarnya unyuk yang dibayarkan tersebut dapat mem­pengaruhi peran keluarga besar dalam keluarga inti, termasuk pada masa kehamilan dan pengambilan keputusan dalam persalinan.

3.3 Perempuan Gayo pada Masa Hamil

Kehamilan merupakan suatu kebahagiaan bagi seorang perempuan, apalagi jika itu adalah anak pertama baginya. Kebahagiaan tersebut sering kali ditunjukkan kepada orang lain dengan berbagai cara. Salah satu cara tersebut misalnya dengan mengadakan sebuah pesta atau upacara yang mengundang banyak orang, seperti upacara mitoni6 dalam masyarakat Jawa. Namun, dalam masyarakat Gayo, khususnya di Desa Tetingi, tidak ada upacara pada masa kehamilan. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Melalatoa (1982:89) dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan Gayo bahwa tidak ada upacara dalam rangka kehamilan seseorang, seperti pada masyarakat tertentu yang lain.

6 Mitoni adalah salah satu tradisi masyarakat Jawa yang dilaksanakan saat usia kehamilan seseorang berusia 7 bulan dan pada kehamilan pertama kali. Maknanya adalah bahwa pendidikan bukan saja setelah dewasa, akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam rahim sang ibu (Bratawidjaja, 1988:21).

Page 71: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201254

Tidak adanya upacara atau pesta kehamilan dalam masyarakat Gayo tentu disebabkan oleh suatu faktor. Menurut hemat kami, faktor tersebut berkaitan dengan pengetahuan masyarakat setempat bahwa kehamilan seseorang harus ditutupi atau dirahasiakan agar tidak diketahui oleh orang lain. “Merahasiakan kehamilan” inilah yang menyebabkan tidak adanya upacara atau pesta kehamilan dalam masyarakat Gayo.

“Merahasiakan kehamilan” dalam masyarakat Gayo dilaku­kan dengan berbagai cara. Salah satu caranya adalah me­lalui pakaian. Pada saat hamil, si ibu akan menggunakan sarung sebagai rok. Selain itu, ada sehelai kain panjang yang dilingkarkan pada leher dan menjulur sampai ke perut. Hal ini senada dengan pendapat Melalatoa (1982:89), bahwa dalam masyarakat Gayo ada kebiasaan menyelimuti bagian tubuh sedemikian rupa sehingga bagian perut tidak mudah dilihat orang. Namun, menurut hemat kami, kebiasaan menyelimuti bagian tubuh sedemikian rupa tersebut sudah mulai pudar, khususnya dalam masyarakat Desa Tetingi. Di Desa Tetingi, sebagian besar ibu hamil tidak lagi menyelimuti tubuhnya sedemikian rupa untuk menutupi kehamilannya. Mereka juga mengenakan pakaian layaknya yang dikenakan oleh kaum perempuan pada umumnya, seperti daster, celana panjang, dan rok sehingga kehamilan mereka pun terlihat.

Meskipun kehamilan mereka terlihat oleh orang lain, tetapi mera­hasiakan usia kehamilan dari orang lain, khususnya dari orang yang tidak dikenal baik olehnya atau “orang asing” masih dilakukan oleh ibu hamil di Desa Tetingi. Apabila ada orang asing yang bertanya tentang kehamilannya, ibu hamil tersebut cenderung tidak memberi jawaban bahkan menghindar dari orang tersebut. Apabila ibu hamil tersebut memberi jawaban tentang usia kehamilannya, jawaban tersebut belum tentu benar karena mereka kadang kala menambahkan atau mengurangi usia kehamilan mereka kepada orang lain. Sebagai contoh, jika seorang ibu hamil 7 bulan ditanya oleh seseorang tentang usia kehamilannya, ia dianjurkan untuk menjawab 5 atau 9 bulan.

“… kalau ada orang asing yang tanya berapa bulan hamilnya, kadang­kadang dia nggak mau jawab, kecuali bidan yang tanya baru dia jawab, karena kalau sudah di atas tiga bulan itu, itu

Page 72: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

55

rawan jin katanya. Takut kemasukan jin katanya. Katanya kalau sudah tiga bulan itu jin nanti masuk …,” jelas Inen Je.

Seorang ibu hamil di Desa Tetingi akan merahasiakan usia kehamilan dari orang yang tidak dikenal baik olehnya, kecuali keluarganya, bidan kampung, atau bidan desa, karena adanya kepercayaan masyarakat se-tempat bahwa masa hamil merupakan masa yang sangat rentan bagi ibu hamil untuk dimasuki jin atau setan. Jin atau setan tersebut dapat berasal dari setan itu sendiri atau berasal dari kesengajaan yang dilakukan oleh manusia, yang disebut tube oleh masyarakat setempat. Jadi, seorang ibu hamil dan keluarganya berusaha untuk menutupi atau merahasiakan kehamilan itu untuk melindungi ibu hamil dan janinnya dari gangguan setan.

Selain karena adanya ketakutan pada setan yang dapat masuk ke dalam tubuh ibu hamil, merahasiakan kehamilan dilakukan karena ada rasa malu yang dirasakan oleh ibu hamil ketika orang lain mengetahui bahwa dia sedang hamil. Seorang wanita merasa malu diketahui orang bahwa dirinya sedang hamil (Melalatoa, 1982:89). Hal ini seperti pengakuan Kak My, seorang wanita hamil yang berusia 20 tahun.

“… rasanya itu semua orang melihat saya. Misalnya kalau ada yang main voli di lapangan itu, mereka pada ketawa, rasanya itu mereka menertawakan saya, padahal belum tentu juga ya …,” jelas Kak My kepada salah seorang tim peneliti.

3.3.1 Aktivitas Ibu Hamil

Seorang ibu hamil di Desa Tetingi masih melakukan pekerjaan se­perti yang dilakukan oleh perempuan lain pada umumnya, seperti bekerja di ladang, di sawah, dan menyelesaikan urusan rumah tangga seperti memasak dan mencuci. Pekerjaan tersebut tetap mereka lakukan, meskipun dalam keadaan hamil. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa mayoritas masyarakat Desa Tetingi adalah petani. Dalam pertanian ini ada pembagian tugas antara perempuan dan laki­laki. Perempuan bertugas menanam dan memotong padi, sedangkan laki­laki bertugas membajak sawah dan mengangkat padi yang telah dipotong oleh kaum perempuan ke tempat penggilingan padi. Tugas perempuan menanam dan memotong padi juga dilakukan oleh ibu hamil.

Lahan pertanian masyarakat Desa Tetingi ada yang terletak di sekitar pemukiman warga dan ada pula yang terletak di Bur (Bukit) Gajah. Bur

Page 73: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201256

Gajah dapat dilihat dari pemukiman penduduk, tetapi untuk mencapai area tersebut harus melewati tanjakan, turunan, dan kadang kala jalan yang licin jika musim hujan. Perjalanan ditempuh kurang lebih selama 30 menit sampai 2 jam. Keadaan jalan yang demikian juga harus dilewati oleh ibu hamil. Meskipun dalam keadaan hamil, si ibu tetap berangkat bekerja ke ladang atau sawah yang ada di Bur Gajah. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Inen Ar. Meskipun kehamilannya sudah masuk bulan kedelapan, tetapi Inen Ar tetap berangkat ke ladangnya yang terletak di Bur Gajah. Dia berangkat pada pagi hari sekitar pukul 07.00 dan pulang pada sore hari sekitar pukul 17.30. Pada saat pulang ke rumah, Inen Ar tidak kembali dengan tangan hampa. Dia membawa kayu bakar dari kebunnya untuk keperluan memasak.

Gambar 3.1. Seorang Ibu hamil sedang bejangkat kayu bakar. Hal ini dipercaya oleh masyarakat setempat dapat melancarkan proses persalinan.

(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Mei 2012)

Selain Inen Ar, ada juga Kak Fa, seorang inen mayak yang sedang hamil. Kak Fa berusia 20 tahun. Sama halnya dengan Inen Ar, Kak Fa juga bekerja di ladang atau sawah untuk menanam atau memanen padi dan tanaman lainnya. Pada sore hari, Kak Fa pulang dengan menggendong kayu bakar di belakang punggungnya, yang dikenal dengan istilah bejangkat dalam bahasa Gayo. Menurut Inen Mi yang juga berperan sebagai kader kesehatan di Desa Tetingi, ketika usia kehamilan menginjak delapan bulan, ibu hamil disarankan untuk bejangkat agar mudah melahirkan. Jika dia tidak bisa melakukan jangkat, bisa dijunjung, yaitu kayu bakar diletakkan di atas kepalanya.

Page 74: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

57

“… kata orang tua, bawa kayu itu dengan jangkat itu supaya dia melahirkan nggak terlalu lama dia …,” jelas Inen Mi, seorang Kader Kesehatan.

Apabila ibu hamil tersebut tidak pergi ke ladang atau ke sawah, banyak aktivitas yang dilakukan oleh ibu hamil di rumah, seperti membuat ramuan yang akan digunakan setelah melahirkan nanti, seperti bedak param, tampal, dan wak kuning. Ramuan­ramuan tersebut dibuat ketika usia kehamilan menginjak delapan bulan. Selain itu, mereka juga membuat tikar atau tas dari daun bengkuang (pandan berduri) bersama dengan ibu­ibu yang lain.

3.3.2 Masalah Kehamilan: Penyebab, Pencegahan, dan Pengobatannya

Dalam pengetahuan masyarakat Desa Tetingi, apabila ada masalah selama kehamilan, seperti ada bercak darah keluar, sakit pinggang, sakit perut, dan penyakit­penyakit lainnya, dianggap bahwa hal tersebut disebabkan oleh blis (setan). Blis masuk ke dalam tubuh ibu hamil dan mengganggu ibu hamil dan janinnya. Masuknya blis ke dalam tubuh ibu hamil tersebut dikenal dengan istilah rampat.

Rampat terjadi karena dua faktor, yaitu (1) tube atau diguna­guna oleh manusia, dan (2) melanggar pantangan yang telah ditetapkan bagi ibu hamil, seperti tidak boleh keluar pada saat magrib dan jam 12 siang, tidak boleh terkena hujan, dan sebagainya. Oleh sebab itu, ibu hamil di Desa Tetingi cenderung menutupi usia kehamilannya untuk menghindari tube yang dapat menyebabkan rampat.

Selain faktor tube, rampat juga dapat terjadi karena adanya pelang­garan yang dilakukan oleh ibu hamil terhadap pantangan­pantangan yang telah ditetapkan. Banyak pantangan yang tidak boleh dilakukan oleh ibu hamil, terutama pantangan dalam perbuatan. Menurut hemat kami, pantangan tersebut dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu ber­dasarkan waktu, tempat, dan objek. Berdasarkan waktu, (1) ibu hamil tidak boleh terkena panas matahari tepat pada saat matahari berada di atas kepala, yaitu sekitar jam 12 siang, (2) tidak boleh keluar pada saat magrib menjelang, (3) tidak boleh terkena air hujan, dan (4) tidak boleh tidur siang dalam waktu yang lama. Berdasarkan tempat, (1) seorang ibu hamil tidak boleh duduk di tanah, (2) tidak boleh berdiri di depan pintu, (3) tidak boleh duduk di bawah pohon asam, dan (4) tidak boleh duduk di pintu atau di jendela rumah. Sementara itu berdasarkan objek seorang

Page 75: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201258

ibu hamil tidak boleh menyakiti orang lain selama hamil dan tidak boleh melihat burung sedang terbang.

“… ibu hamil itu nti berates lo (jangan main panas hari), nti beriyo (jangan main senja), niri nti yoyo (jangan mandi pada waktu senja), nti beruren (jangan bermain hujan) …,” jelas Empun (nenek) Ar, seorang bidan kampung di Desa Tetingi.

Apabila pantangan tersebut dilanggar, ada kepercayaan dalam ma­sya rakat Gayo Lues bahwa ibu hamil tersebut akan menerima akibatnya, misalnya (1) apabila ibu hamil tidur lama pada siang hari maka anaknya akan besar sehingga sulit keluar pada saat dilahirkan, (2) apabila ibu hamil duduk di tanah maka pantat anaknya akan hitam atau anaknya akan susah berbicara, (3) apabila duduk di depan pintu atau di jendela rumah maka akan mengalami kesulitan pada waktu melahirkan, (4) apabila melihat burung terbang maka anak yang dilahirkan akan cepat menderita sakit mata, (5) jika duduk di bawah pohon asam maka anaknya selalu menangis. Selain pantangan­pantangan di atas, masih banyak lagi pantangan ibu hamil di Desa Tetingi.

Dalam pengetahuan masyarakat setempat, banyaknya pantangan bagi ibu hamil bertujuan untuk menjaga ibu hamil dan janinnya dari gangguan blis (setan). Menurut mereka, masa hamil merupakan masa yang rentan untuk diganggu oleh setan sehingga dapat berakibat buruk pada ibu hamil dan janinnya. Sebagai contoh, tidak boleh keluar pada jam 12 siang karena pada saat itu dianggap banyak blis yang berkeliaran. Blis tersebut dianggap dapat mengganggu kehamilan.

Berdasarkan kepercayaan tersebut, maka ibu hamil dianjurkan un-tuk menggunakan jimat yang disebut benang pancarona, yang diikat di pinggangnya agar blis tidak mengganggu ibu hamil dan janinnya. Benang pancarona digunakan sejak usia kehamilan 2 bulan atau 3 bulan sampai melahirkan. Benang pancarona terdiri atas lima warna, yaitu hijau, merah, kuning, putih, dan hitam. Pada kelima benang tersebut ditusukkan kunyit, kencur, jahe, kemenyan, dan jeruk purut. Setelah rempah-rempah tersebut terikat di dalam benang lima warna tersebut, kemudian diikatkan ke pinggang ibu hamil. Sebelum diikat, benang dan rempah­rempah tersebut didoakan terlebih dulu oleh bidan kampung atau dukun kampung. Benang pancarona dipahami sebagai penangkal setan sehingga ibu yang hamil tidak diganggu oleh setan.

Page 76: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

59

“… sejak 3 bulan 2 bulan ya heba (sebagian) taulah apa namanya dikasih mamak obatku. Tos anue tangkalnya (buat penangkalnya itu) benang pancarona, ijo (hijau), ilang (merah), using (kuning), putih, hitam. Lima bangsa. Nti masuk blis (agar tidak dimasuk setan). Dipakai pada saat dua bulan hamil. Diikat di sini (sambil menunjukan pinggangnya). Oya (itu ada) kunyit, tekur (kencur), baing (jahe), kemenyan, mungkur (jeruk purut). Mungkur­nya kecil­kecil begini (sebesar ibu jari orang dewasa). Taruh di dalam benangnya. Cucuklah (tusuklah) jarumnya. Pujuk (gulung) di dalam benang. Diikat terus di sini (sambil pegang pinggangnya) …,” jelas Empun (Nenek) Ar.

Selain Empun (Nenek) Ar, masih ada lagi bidan kampung atau dukun kampung yang biasa mengatasi permasalahan kehamilan dan menolong persalinan seorang ibu di Desa Tetingi, misalnya Aman Yu. Aman Yu ada-lah seorang dukun kampung berjenis kelamin laki­laki yang juga sering membantu persalinan dan menangani masalah kehamilan. Aman Yu bukan warga Desa Tetingi, tetapi dia sering datang ke Desa Tetingi karena keluarga mertuanya berasal dari Desa Tetingi dan masih menetap di Desa Tetingi. Aman Yu juga sering dipanggil oleh keluarga mertuanya untuk menyembuhkan penyakit jika ada keluarganya yang sakit, termasuk mem­beri benang penangkal setan kepada Kak Se, adik iparnya yang sedang hamil. Menurut Kak Se, dia diberi benang penangkal oleh Aman Yu sejak usia kehamilannya menginjak dua bulan.

Berbeda dengan Empun (Nenek) Ar yang menggunakan benang lima warna (pancarona), Aman Yu hanya menggunakan satu benang putih saja. Bahan­bahan yang digunakan pun berbeda dengan yang digunakan oleh Empun Ar. Aman Yu menggunakan rempah bungli, kencur, jerango, kulit buah mungkur (jeruk purut), dan bungkusan kemenyan. Sama halnya dengan Empun Ar, rempah­rempah tersebut juga dirangkai dengan benang, kemudian diikatkan di pinggang ibu hamil. Sebelum diikat, benang anti­hantu tersebut didoakan terlebih dulu agar setan tidak mengganggu ibu hamil dan janinnya.

Benang pancarona atau benang anti­hantu yang digunakan oleh ibu hamil diyakini oleh masyarakat setempat sebagai penangkal blis (se tan) yang dapat mengganggu kehamilan seorang ibu dan janinnya. Namun kadang kala gangguan kehamilan tersebut masih terjadi, seperti keluar darah sebelum melahirkan, sakit perut yang tak tertahankan,

Page 77: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201260

dan sebagainya, padahal si ibu sudah menggunakan benang pancarona atau benang anti­hantu. Hal ini seperti yang dialami oleh Kak Se. Pada saat kehamilan Kak Se berusia 7 bulan, ada darah yang keluar pada saat Kak Se buang air kecil, padahal Kak Se sudah menggunakan benang anti­hantu di pinggangnya. Selain itu, pada usia kehamilan delapan bulan, Kak Se juga sering mengalami sakit perut. Penyakit yang diderita oleh Kak Se tersebut disebut rampat oleh masyarakat setempat, yaitu ada setan yang mengganggu kehamilan Kak Se. Untuk itu, keluarga Kak Se memanggil Aman Yu untuk mengobati Kak Se, bukannya memanggil tenaga kesehatan, meskipun ada tenaga kesehatan di Desa Tetingi.

Obat yang digunakan untuk mengobati penyakit Kak Se tersebut adalah obat tradisional Gayo yang dianggap dapat mengusir setan. Ada dua macam obat rampat yang digunakan oleh masyarakat Gayo Lues, yaitu obat air rampat dan daun kayu atau dirin kayu. Obat air rampat terdiri atas kerpih rampat atau sesampih, air jeruk nipis, kulit pinang masak, dan kilat jih (pucuk batang ilalang). Bahan­bahan tersebut dimasukkan ke dalam air mendidih. Setelah itu didoakan oleh bidan kampung atau dukun kampung, kemudian diminumkan kepada ibu hamil yang sedang terkena rampat.

Selain air rampat, obat rampat lainnya adalah daun kayu. Daun kayu adalah sekumpulan daun­daun yang terdiri atas daun bebesi, daun dedingin, rumput batang teguh, daun pelulut, rumput jejerun, rumput sesampih, dan kulit batang pisang abu. Bahan-bahan tersebut dicuci dan diikat, kemudian dimasukkan ke dalam teko. Di dalam teko tersebut sudah ada air dan beras sebanyak setengah genggam. Teko yang berisikan daun kayu tersebut diletakkan di atas kemenyan yang sudah dibakar. Asap yang keluar dari kemenyan dan daun kayu tersebut diusapkan ke wajah ibu hamil yang kena rampat sebanyak tiga kali. Hal ini dilakukan agar setannya hilang. Selanjutnya air yang ada di dalam teko diusapkan ke perut ibu hamil.

3.3.3 Makanan Pantangan bagi Ibu Hamil

Selain pantangan dalam perbuatan seperti yang telah dijelaskan se­belumnya, ada juga pantangan makanan bagi seorang ibu hamil, antara lain tidak boleh makan tape, nanas, dan durian secara berlebihan. Na­mun, menurut Empun (Nenek) Ar, seorang bidan kampung di Desa Te-tingi, pantangan tersebut bukanlah pantangan yang mutlak tidak boleh dilakukan. Apabila seorang ibu benar­benar sedang menginginkan ma­

Page 78: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

61

kanan tersebut atau sedang ngidam, makanan tersebut boleh dimakan, asalkan tidak berlebihan. Menurutnya, sebenarnya tidak ada makanan yang dilarang dimakan oleh seorang ibu hamil. Selama ibu hamil tersebut mau memakannya, makanan apa pun boleh dimakan.

Berbeda dengan Empun (Nenek) Ar, Empun (Nenek) Ma yang juga berperan sebagai bidan kampung di Desa Tetingi mengungkapkan bahwa banyak pantangan makanan bagi ibu hamil, di antaranya tidak boleh makan cabai dan telur. Menurutnya, cabai dapat menyebabkan luka pada bagian peranakan. Apabila ibu hamil memakannya, akan terjadi gegalan, yaitu pintu tempat anak lahir akan keluar.

3.3.4 Pemeriksaan Kehamilan

Poskesdes di Desa Tetingi berada di “pojok” pemukiman penduduk, namun fasilitas kesehatan tersebut belum dimanfaatkan dengan baik oleh sebagian masyarakat setempat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, termasuk pemeriksaan kehamilan. Hal ini dapat dilihat dari masih adanya ibu hamil yang enggan memeriksakan kehamilannya kepada tenaga kesehatan, seperti yang dilakukan oleh Inen So. Inen So yang baru melahirkan anak keempatnya pertengahan bulan Mei 2012 mengaku bahwa selama dia mengandung anaknya tersebut, dia tidak pernah memeriksakan kehamilannya kepada tenaga kesehatan.

“… untuk apa diperiksa, nanti lahir sendiri …,” ujar Inen So.

Berdasarkan ungkapan Inen So tersebut dapat dilihat bahwa faktor keengganan Inen So memeriksakan kehamilannya karena adanya rasa aman, nyaman, dan mudah dalam setiap persalinan yang telah dilakukan sebelumnya. Kemudahan melahirkan dirasakan oleh Inen So pada saat melahirkan anak pertama sampai anak ketiga, bahkan pada saat melahirkan anak ketiga, Inen So tidak dibantu oleh bidan kampung maupun bidan desa. Dia hanya dibantu oleh tetangganya, Inen Nur, untuk memotong tali pusar anaknya. Rasa mudah melahirkan sejak kehamilan pertama inilah yang menyebabkan Inen So tidak mau memeriksakan kehamilannya kepada tenaga kesehatan.

Pemeriksaan kehamilan dapat dilakukan oleh bidan desa di Pos-kesdes, tetapi ibu hamil di Desa Tetingi pada umumnya memeriksakan kehamilannya pada saat ada posyandu, setiap bulan pada tanggal 5 di poskesdes Desa Tetingi. Sementara itu, bidan kampung tidak melakukan pemeriksaan kehamilan, kecuali jika ibu hamil mengalami gangguan

Page 79: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201262

kehamilan seperti yang telah diceritakan sebelumnya. Apabila seorang ibu hamil mengalami gangguan kehamilan, mereka cenderung datang ke bidan kampung daripada bidan desa. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan mereka bahwa ada setan yang mengganggu ibu hamil dan janinnya, dan hanya bidan kampung yang dianggap bisa menghilangkan setan dari tubuh ibu hamil tersebut.

3.3.5 Ramuan Tradisional Gayo pada Masa Hamil

Pada masa hamil, terutama pada saat usia kehamilan 7 bulan sampai menjelang persalinan, ibu hamil di Gayo Lues dianjurkan untuk mengonsumsi ramuan tradisional agar mudah melahirkan. Ramuan tradisional tersebut beragam, seperti (1) mungkur (jeruk purut) yang dicampur dengan air beras, (2) air hangat dicampur dengan ketumbar yang langsung dikunyah dan diminum oleh ibu hamil, dan (3) daun sirih yang dicampur dengan rempah­rempah, seperti kapur sirih, kacu (gambir), konyel, tekur (kencur), pinang, bungli, ketumbar, dan kulit manis.

Kak Se, seorang ibu yang sedang hamil 7 bulan, mengonsumsi daun sirih dan rempah-rempah sejak usia kehamilan 7 bulan ini. Daun sirih dan rempah-rempah tersebut didoakan terlebih dulu oleh bidan kampung sebelum dikonsumsi oleh ibu hamil. Dalam satu hari, Kak Se mengonsum-si sirih dan rempah­rempah tersebut sebanyak tiga kali atau lebih, ter-gantung pada seleranya. Caranya, sirih dikunyah seperti mengunyah sirih pada umumnya. Daun sirih tersebut dikonsumsi sampai ibu hamil terse-but melahirkan.

Gambar 3.2. Daun sirih yang dicampur dengan rempah lainnya yang dikonsumsi oleh ibu hamil untu melancarkan proses persalinan.

(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Mei 2012)

Page 80: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

63

3.4 Persalinan: Bidan Kampung (Masih) Menjadi Idola

Bidan kampung adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat se­tempat untuk menyebut dukun kampung perempuan, sedangkan dukun kampung laki­laki tetap disebut dengan istilah dukun kampung. Oleh sebab itu, apabila masyarakat berbicara mengenai bidan, hal tersebut perlu dicerna kembali, bidan siapa yang dimaksud dalam pembicaraan tersebut, apakah bidan kampung atau bidan desa. Namun, bidan desa disebut oleh masyarakat setempat dengan sebutan mentri atau doktor. Dalam tulisan ini akan digunakan istilah bidan kampung untuk menjelaskan dukun kampung, sedangkan bidan desa tetap menggunakan istilah bidan desa. Sementara itu, dukun kampung pria dan pengobat tradisional lainnya tetap menggunakan istilah dukun kampung.

Di Desa Tetingi terdapat dua orang bidan kampung yang terkenal, satu bidan kampung terdapat di Dusun Arul Sirep, sedangkan satu bidan kampung lagi terdapat di Dusun Tamak Nunang. Namun sebenarnya, selain dua bidan kampung tersebut, masih ada perempuan Gayo yang bisa melakukan tindakan seperti bidan kampung, termasuk membaca mantra. Salah satu contohnya adalah Inen Ti. Namun, Inen Ti tidak mau dipanggil bidan kampung, sebab menurutnya masih ada Empun (Nenek) Ar yang lebih senior daripada dirinya. Oleh sebab itu, jarang ada masyarakat yang mengetahui bahwa Inen Ti juga bisa bertindak sebagai bidan kampung, kecuali orang­orang terdekatnya.

Selain bidan kampung yang berasal dari Desa Tetingi itu sendiri, masyarakat setempat juga memanggil bidan kampung yang berada di desa lain untuk menolong persalinan. Biasanya bidan kampung yang berasal dari desa tetangga dan dipanggil untuk menolong persalinan atau mengatasi masalah kehamilan masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan ibu hamil atau ibu bersalin. Jadi, bidan kampung yang menolong persalinan di Desa Tetingi bukan hanya berasal dari Desa Tetingi, melainkan juga berasal dari desa lain.

Masyarakat Desa Tetingi lebih cenderung memilih bidan kampung daripada bidan desa untuk menolong persalinan. Hal ini terlihat pada saat penelitian selama dua bulan di Desa Tetingi, terdapat lima ibu yang melakukan persalinan dan semuanya memanggil bidan kampong untuk menolong persalinan, baik bidan kampung yang berasal dari Desa Te­tingi maupun bidan kampung dari desa lain. Bidan kampung dipilih oleh masyarakat setempat untuk menolong persalinan karena adanya hubung­an kekerabatan antara ibu bersalin dan bidan kampung. Sebagai contoh,

Page 81: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201264

Inen Ar ditolong oleh bidan kampung yang adalah ibu kandungnya sendiri. Meskipun jarak rumah Inen Ar dengan poskesdes sama dekatnya dengan jarak rumahnya dengan rumah ibunya, namun Inen Ar lebih memilih dito-long oleh ibunya karena ibunya adalah seorang bidan kampung yang telah menolong persalinan selama bertahun­tahun. Demikian pula dengan Inen So. Dia ditolong oleh bibinya yang tinggal di Desa Kong Bur yang jaraknya kira­kira tiga kilometer dari rumahnya, padahal jarak poskesdes dengan rumahnya jauh lebih dekat, hanya sekitar 500 meter. Selain Inen Ar dan Inen So, ada juga Inen Sa, Kak My, dan Ka Su yang ditolong oleh bidan kampung. Mereka memanggil bidan kampung untuk menolong persali-nan karena masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan mereka.

Hubungan kekerabatan antara ibu bersalin dan bidan kampung ini-lah tampaknya yang menjadi faktor utama mengapa bidan kampung atau dukun kampung dipilih oleh masyarakat sebagai penolong persalinan daripada bidan desa. Hal ini berbeda dengan bidan desa yang notabene adalah seorang pendatang di Desa Tetingi dan tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan masyarakat Desa Tetingi. Hampir setiap keluarga luas (extended family) di Desa Tetingi mempunyai bidan kampung atau dukun kampung. Sebagai contoh, berikut akan ditampilkan pohon kekerabatan antara ibu bersalin dan bidan kampung dalam beberapa keluarga berikut ini.

Bagan 3.1. Pohon kekerabatan antara ibu hamil atau ibu bersalin dengan dukun kampung dalam beberapa keluarga di Desa Tetingi.

Keterangan :

: Laki-laki : Perempuan

: Dukun/Dukun kampung

: Ibu Hamil/Bersalin

: Balita

Page 82: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

65

Inen Ar ditolong oleh bidan kampung yang adalah ibu kandungnya sendiri. Meskipun jarak rumah Inen Ar dengan poskesdes sama dekatnya dengan jarak rumahnya dengan rumah ibunya, namun Inen Ar lebih memilih dito-long oleh ibunya karena ibunya adalah seorang bidan kampung yang telah menolong persalinan selama bertahun­tahun. Demikian pula dengan Inen So. Dia ditolong oleh bibinya yang tinggal di Desa Kong Bur yang jaraknya kira­kira tiga kilometer dari rumahnya, padahal jarak poskesdes dengan rumahnya jauh lebih dekat, hanya sekitar 500 meter. Selain Inen Ar dan Inen So, ada juga Inen Sa, Kak My, dan Ka Su yang ditolong oleh bidan kampung. Mereka memanggil bidan kampung untuk menolong persali-nan karena masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan mereka.

Hubungan kekerabatan antara ibu bersalin dan bidan kampung ini-lah tampaknya yang menjadi faktor utama mengapa bidan kampung atau dukun kampung dipilih oleh masyarakat sebagai penolong persalinan daripada bidan desa. Hal ini berbeda dengan bidan desa yang notabene adalah seorang pendatang di Desa Tetingi dan tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan masyarakat Desa Tetingi. Hampir setiap keluarga luas (extended family) di Desa Tetingi mempunyai bidan kampung atau dukun kampung. Sebagai contoh, berikut akan ditampilkan pohon kekerabatan antara ibu bersalin dan bidan kampung dalam beberapa keluarga berikut ini.

Bagan 3.1. Pohon kekerabatan antara ibu hamil atau ibu bersalin dengan dukun kampung dalam beberapa keluarga di Desa Tetingi.

Selain faktor hubungan kekerabatan, faktor lain yang menyebabkan mengapa masyarakat lebih memilih bidan kampung untuk menolong persalinan daripada bidan desa adalah karena sistem kepercayaan. Se-perti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya pada bagian sistem kepercayaan, meskipun mayoritas masyarakat Desa Tetingi beragama Islam, tetapi kepercayaan pada hal­hal yang gaib dan magis masih ada. Hal yang gaib dan magis tersebut juga dapat mengganggu ibu hamil dan ibu bersalin. Oleh sebab itu, bidan kampung atau dukun kampung membaca mantra untuk menghilangkan hal yang gaib dan magis tersebut. Mantra inilah yang menjadi daya tarik bidan kampung dan dukun kampung sehingga masih menjadi “idola” untuk menangani masalah kehamilan dan menolong persalinan. Sementara itu, bidan desa dianggap tidak bisa mengusir setan dan magis yang terdapat pada ibu hamil dan ibu bersalin.

“… kalau di sini melahirkan masih banyak dengan bidan kampung, Dik. Karena kalau bidan kampung ada mantra­man­tranya, kalau di mentri (bidan) itu enggak ada mantranya …,” jelas Inen Je.“… bidan kampung masih dipanggil karena dia tahu ada setan­nya atau nggak. Kalau doktor kan nggak tau …,” kata Kak Se.

3.4.1 Pengetahuan Ibu Bersalin Mengenai Tanda-tanda Persalinan

Masih ada ibu hamil di Desa Tetingi yang belum mengetahui tanda­tanda persalinan sehingga terjadi persalinan tanpa ditolong oleh bidan kampung atau bidan desa. Hal ini seperti yang dialami oleh Inen Ar yang mengira bahwa sakit perut yang dialaminya karena masuk angin, seperti yang diceritakan pada cerita berikut ini.

Pada suatu malam, pada pertengahan bulan Juni 2012, saat semua orang tengah tidur lelap, Inen Ar mengalami sakit perut. Pada saat itu, jam menunjukkan pukul 00.00 malam hari. Inen Ar menduga sakit perut yang dideritanya disebabkan masuk angin karena menurut perkiraannya dia tidak mungkin melahirkan pada malam itu. Sebab, berdasarkan pada peng­alaman persalinan anak sebelumnya, dia melahirkan pada saat usia kehamilannya sepuluh bulan, padahal pada saat itu usia kehamilannya sembilan bulan. Oleh sebab itu, Inen Ar beranggapan bahwa sakit perut yang dideritanya karena masuk angin, bukan karena ingin melahirkan.

Page 83: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201266

Untuk mengurangi rasa sakit itu, Inen Ar pun mengambil balsam untuk dioleskan ke perutnya yang sudah membesar agar rasa sakit itu berkurang. Namun, ternyata rasa sakit itu tetap terasa. Inen Ar pun mengambil air hangat yang ditaruh di dalam botol. Botol air hangat tersebut ditaruh di atas perutnya untuk mengurangi rasa sakit. Namun, rasa sakit itu tetap belum berkurang. Akhirnya, dia pun membangunkan suaminya yang sedang tidur lelap. Melihat istrinya mengeluh sakit di bagian perut, suaminya pergi ke rumah Empun (Nenek) Ar, seorang bidan kampung yang juga ibu kandung Inen Ar. Pada saat suaminya pergi ke rumah ibunya tersebut, Inen Ar berjuang sendiri untuk melawan rasa sakit itu. Tak lama berselang setelah suaminya pergi memanggil ibunya, lahirlah seorang bayi mungil dari rahim Inen Ar. Untungnya, tak lama setelah bayi tersebut lahir, Empun (Nenek) Ar pun datang bersama suaminya. Melihat si bayi telah lahir, Empun (Nenek) Ar pun segera memotong tali pusar bayi tersebut dengan semilu (sebilah bambu).Keesokan harinya, salah satu anggota keluarga Inen Ar da­tang ke poskesdes yang letaknya tak jauh dari rumah Inen Ar, kira­kira 100 me ter, untuk memberitahukan kepada bidan desa bahwa Inen Ar telah melahirkan. Setelah mendapatkan informasi mengenai kelahiran anak ke empat Inen Ar, bidan desa pun bergegas datang ke rumah Inen Ar untuk memeriksa keadaan Inen Ar dan menimbang bayinya. Berat bayi Inen Ar yang berjenis kelamin perempuan tersebut adalah 3,4 kilogram. Setelah menimbang bayinya, bidan desa pun menyuntik bagian paha Inen Ar dan memberikan obat dan kassa untuk pusar si bayi kepada Inen Ar. Kemudian bidan desa pun pamit untuk pulang.

Selain Inen Ar, ada juga Inen So yang melakukan persalinan sendiri tanpa dibantu oleh bidan kampung atau bidan desa. Pada saat itu dia mengira anak yang dikandungnya belum tiba waktunya untuk lahir, karena menurut perhitungannya, usia kandungannya baru berusia tujuh bulan. Hal ini seperti yang diceritakan pada cerita berikut ini.

Inen So yang berusia sekitar 30­an tahun telah melahirkan anak keempatnya pada bulan Mei 2012. Ia tidak menyangka anaknya akan lahir

Page 84: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

67

pada bulan itu. Menurut perkiraannya, dia akan melahirkan dua bulan lagi, karena menurut perhitungannya, usia kandungannya pada saat itu masih tujuh bulan. Namun, pagi yang cerah pada bulan Mei 2012 telah memberinya seorang anak laki­laki. Pada saat itu waktu menunjukkan pukul 07.00 pagi hari, waktu yang tepat bagi ibu­ibu di Desa Tetingi untuk melakukan aktivitas rumah tangga, seperti mencuci baju, membersihkan rumah, dan sebagainya. Pada saat itu, Inen So baru selesai mencuci pakaian di sumur yang terletak kira­kira 100 meter dari rumah Inen So. Setelah mencuci pakaian, Inen So mengalami sakit perut. Dia pun segera pulang untuk istrihat sejenak. Namun, rasa sakit itu semakin terasa. Melihat sang istri mengalami kesakitan, suami Inen So yang pada saat itu masih berada di rumah, segera memanggil bibinya yang juga seorang bidan kampung di Desa Kong (sekarang berganti nama Kong Bur). Jarak Desa Kong Bur dengan Desa Tetingi sekitar tiga kilometer. Bibinya tersebut adalah adik kandung bapak suami Inen So.

Ketika suaminya memanggil bibinya, rasa sakit perut yang dialami oleh Inen So semakin terasa. Tak lama berselang setalah suaminya pergi memanggil bibinya, rasa sakit di perut yang dialami Inen So semakin terasa. Tak lama kemudian, keluarlah seorang bayi lucu dari rahim Inen So. Untung tak disangka, tak lama kemudian bibi dan suaminya pun datang. Melihat sang bayi telah keluar dari rahim Inen So, bibinya pun langsung memotong tali pusar anaknya dengan semilu dan memandikannya dengan air dingin.

Kabar kelahiran putra keempat Inen So tidak diketahui oleh sebagian masyarakat Desa Tetingi, bahkan ada yang tidak tahu akan kehamilan Inen So. Hal ini seperti yang dialami oleh seorang anggota tim peneliti ketika memastikan informasi kepada salah satu warga bahwa Inen So telah melahirkan, warga tersebut berkata “O, yah? Banyak yang enggak tahu kalau dia itu hamil. Badannya juga kecil, nggak keliatan,” jelas salah satu warga tersebut dengan ekspresi sedikit kaget. Tim peneliti mengetahui bahwa Inen So telah melahirkan seorang anak laki­laki dari Empun (Nenek) Ar, seorang dukun kampung yang dekat dengan salah satu anggota tim peneliti. Empun (Nenek) Ar memberitahukan kepada salah seorang anggota tim peneliti tersebut pada hari kedua setelah Inen So melahirkan, pada saat mereka bertemu di MCK milik Empun (Nenek) Ar. Meskipun Empun (Nenek) Ar dikenal sebagai bidan kampung di Desa Tetingi, tetapi Inen So tidak memanggilnya, karena Inen So mempunyai bibi yang juga seorang bidan kampung. Berdasarkan sistem kekerabatan, Inen So dengan

Page 85: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201268

bibinya yang tinggal di Desa Kong Bur mempunyai hubungan kekerabtan lebih dekat daripada dengan Empun (Nenek) Ar, meskipun rumah Empun (Nenek) Ar lebih dekat daripada rumah bibinya.

Keesokan harinya atau pada hari ketiga setelah Inen So melahirkan, salah satu anggota tim peneliti bertandang ke poskesdes untuk mena­nyakan keadaan Inen So kepada bidan desa. Namun rupanya Bidan desa tidak mengetahui bahwa Inen So telah melahirkan tiga hari yang lalu, bahkan dia baru mendapatkan kabar tentang Inen So dari tim peneliti pada saat itu. Setelah mendapat informasi mengenai kelahiran anak Inen So dari tim peneliti, bidan desa tersebut pun datang ke rumah Inen So untuk memeriksa Inen So dan anaknya. Ketika tiba di rumah Inen So, bidan desa memeriksa Inen So, menyuntiknya, dan memberinya obat­obatan. Selain itu, bidan desa juga menimbang anak Inen So. Setelah ditimbang, berat bayi Inen So 2,8 kilogram. Bidan desa tersebut hanya menimbang bayi Inen So, karena menurutnya pada saat dia ingin merawat tali pusar bayi tersebut dan memberinya kassa, Inen So berkata bahwa anaknya sedang buang air besar. Akhirnya, bidan desa tersebut mengurungkan niatnya untuk memeriksa bayi dan memberi kassa pada pusar bayi Inen So. Oleh sebab itu, bidan desa tersebut hanya memberikan perlengkapan kassa untuk pusar bayi dan menjelaskan pada Inen So cara menggunakan kassa tersebut.

Setiba di poskesdes, peneliti pun bertanya kepada bidan desa apa­kah benar usia kehamilan Inen So belum mencapai 7 bulan seperti yang telah dijelaskan oleh Inen So sebelumnya pada peneliti. Bidan desa tersebut menjawab bahwa usia kehamilan Inen So tersebut sudah 9 bulan dan memang sudah waktunya melahirkan. Menurut bidan desa tersebut, memang masih banyak ibu hamil yang salah menghitung usia kehamilannya. Untuk itu, pada saat pemeriksaan pertama atau pada saat bertemu dengan ibu hamil, bidan desa bertanya kapan terakhir kali si ibu mengalami menstruasi.

Inen So telah melahirkan empat orang anak. Menurutnya, empat orang anaknya tersebut tidak ada yang dilahirkan dengan bantuan bidan desa, bahkan anaknya yang ketiga yang sekarang berumur 6 tahun tidak dibantu oleh bidan desa maupun bidan kampung, melainkan dibantu oleh tetangganya, karena pada saat itu bibinya yang berada di Desa Kong terlambat datang untuk memotong tali pusar anaknya. Tetangga Inen So yang membantu persalinan anak ketiganya adalah Inen NA yang rumahnya di depan rumah Inen So. Inen NA bukanlah seorang bidan kampung dan

Page 86: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

69

juga bukan seorang bidan desa, namun karena hal itu harus dilakukan, Inen NA akhirnya memotong tali pusar anak Inen So. Menurut Inen So, dia tidak mau memanggil bidan desa untuk membantu persalinannya karena takut dibedah. “Nggak ah, nanti dibedah. Masih bisa sendiri,” ujar Ibu So ketika salah seorang peneliti menanyakan mengapa dia tidak memanggil bidan desa untuk membantu persalinannya.

Berdasarkan dua cerita dari ibu bersalin di atas, dapat diketahui bahwa masih ada ibu hamil di Desa Tetingi yang tidak mengetahui tanda­tanda persalinan. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya (1) adanya kesalahan dalam menghitung bulan kehamilan, (2) adanya kesalahan dalam memprediksi persalinan karena berdasarkan pada pengalaman persalinan sebelumnya, dan (3) masih ada ibu hamil yang tidak melakukan pemeriksaan kehamilan kepada tenaga kesehatan, seperti yang diceritakan sebelumnya. Ketidaktahuan ibu hamil akan tanda­tanda persalinan dapat menyebabkan ketidaksiapan seorang ibu untuk menghadapi persalinan sehingga terjadi persalinan yang dilakukan sendiri oleh ibu hamil seperti dalam cerita Inen Ar dan Inen So.

Selain Inen Ar dan Inen So, ada juga Inen Ti yang melakukan per­salinan sendiri di tengah persawahan. Menurut cerita Inen Ti yang telah mempunyai tujuh orang anak, tiga orang anaknya, yaitu anak kelima, keenam, dan ketujuh dilahirkan di tengah sawah tanpa pertolongan bidan kampung maupun bidan desa. Pada saat itu, Inen Ti sedang bekerja di sawah. Pada saat bekerja, dia mengalami kesakitan pada perutnya. Me­lihat sang istri mengalami sakit perut, sang suami yang pada saat itu sedang bekerja segera pergi ke pemukiman penduduk untuk mencari pertolongan bidan kampung atau bidan desa. Namun, untung tak dapat diraih. Bidan kampung dan bidan desa tidak ada di tempat. Kemudian, suami Inen Ti pun memanggil bibinya yang bukan seorang bidan kampung untuk menolong Inen Ti yang sedang mengalami kesakitan.

Ketika suami Inen Ti pergi ke pemukiman penduduk untuk mencari pertolongan, Inen Ti berjuang sendiri melawan rasa sakit. Tak lama waktu berselang, Inen Ti melahirkan seorang bayi perempuan yang lucu, sebelum suaminya datang membawa bibinya untuk menolong. Tak lama kemudian, suaminya datang bersama bibinya. Melihat Inen Ti telah melahirkan seorang bayi, bibinya yang bukan seorang bidan kampung maupun bidan desa segera memotong tali pusar dan merawat bayinya. Menurut Inen Ti, dia sudah tiga kali mengalami persalinan sendiri di tengah sawah tanpa bantuan seorang bidan kampung maupun bidan desa.

Page 87: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201270

3.4.2 Metode Bidan Kampung Menolong Persalinan

Bidan kampung di Desa Tetingi mempunyai cara atau metode tersendiri untuk menolong persalinan. Cara atau metode tersebut dipelajari secara turun­temurun dari ibunya, neneknya, dan nenek moyangnya, seperti menggunakan kunyit dan minyak goreng untuk mengurut atau memijat perut ibu hamil, menggunakan semilu untuk memotong tali pusar bayi, dan sebagainya. Namun, kadang kala cara pertolongan persalinan satu bidan kampung dengan bidan kampung yang lain berbeda, begitu pula antara bidan kampung dan dukun kampung.

Menurut Empun (Nenek) Ma, salah seorang bidan kampung yang terkenal di Desa Tetingi, apabila ibu hamil sudah sering sakit dan diperkirakan sudah tiba waktunya untuk melahirkan, ia diberi air kopi yang dicampur kuning telur untuk diminum. Air kopi dan kuning telur tersebut merupakan “suntikan pemanas” atau perangsang agar cepat melahirkan. Pendapat Empun (Nenek) Ma tersebut sama dengan yang disampaikan oleh Empun (Kakek) Sn pada saat istrinya akan melahirkan anak­anaknya yang kini telah dewasa. Pada saat itu, istrinya diberi air kopi yang telah dicampur kuning telur oleh dukun kampung.

Selain kopi dan kuning telur sebagai perangsang agar cepat me­lahirkan, Empun (Nenek) Ma juga menjelaskan bahwa ada bawang putih, mungkur (jeruk perut), dan minyak goreng yang dioleskan pada lubang pintu lahir (vagina). Sebelum dioleskan, bahan­bahan tersebut dicampur terlebih dulu. Ramuan ini diberikan agar vagina cepat melebar sehingga bayi dapat keluar dengan mudah. Setelah mengoleskan bawang putih, mungkur, dan minyak goreng tersebut, Empun (Nenek) Ma akan menggoyang­goyangkan pinggang ibu yang akan melahirkan dengan kain panjang agar bayi cepat keluar.

Berbeda dengan Empun (Nenek) Ma, Empun (Nenek) Ar, seorang bidan kampung terkenal di Desa Tetingi, mempunyai cara yang berbeda untuk membantu persalinan. Pada saat seorang ibu hamil akan mela­hirkan, Empun (Nenek) Ar akan mengurut perut ibu tersebut dengan menggunakan minyak goreng dan bawang putih yang sudah didoakan terlebih dulu, kemudian dioleskan ke perut ibu hamil yang akan melahirkan. Minyak goreng dan bawang putih digunakan sebagai minyak urut untuk membantu persalinan karena diyakini dapat menghilangkan blis (setan) yang dapat masuk ke dalam tubuh ibu bersalin. Oleh sebab itu, menurut Empun (Nenek) Ar, minyak goreng tidak bisa diganti dengan minyak yang lain, seperti minyak telon dan minyak kayu putih, karena minyak­minyak

Page 88: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

71

tersebut tidak bisa menghilangkan atau mengusir setan yang akan masuk ke dalam tubuh ibu bersalin. Minyak goreng yang digunakan bisa minyak goreng yang sudah dipakai untuk menggoreng atau yang belum dipakai untuk menggoreng.

Apabila mengurut dengan minyak goreng dan putih tidak mampu membantu ibu bersalin melahirkan anaknya, Empun (Nenek) Ar masih mempunyai cara lain. Kedua kaki ibu bidan kampung akan masuk di antara kedua paha ibu bersalin sampai ujung kaki bidan kampung menyentuh pangkal paha ibu yang akan melahirkan. Dua kaki bidan kampung ter-

sebut akan membuka dua paha ibu yang melahirkan secara perlahan. Sementara itu, bidan kampung akan memasukkan tangannya ke dalam vagina ibu bersalin untuk mengambil si bayi. Sebelum dimasukkan, tangan bidan kampung terlebih dulu diolesi dengan minyak goreng dan tidak menggunakan sarung tangan seperti tenaga kesehatan. Hal ini dilakukan agar lebih mudah mengambil si bayi yang berada di dalam perut. Selain itu, meskipun ibu bersalin sulit melahirkan dan lubang vagina belum terbuka lebar, bidan kampung tidak akan merobek atau menggunting lubang vagina ibu bersalin. Untuk memperlebar lubang vagina ibu bersalin tersebut, bidan kampung akan memperlebar pintu antara dua paha ibu bersalin dengan menggunakan kakinya. Sementara itu, tangannya berusaha untuk meraih bayi yang berada di dalam rahim ibu bersalin. Empun (Nenek) Ma melakukan cara yang berbeda. Untuk memperlebar jalan lahir, ia menggunakan campuran bawang putih, mungkur (jeruk purut), dan minyak makan, kemudian dioleskan secara perlahan­lahan di pintu jalan lahir.

Apabila ada seorang ibu bersalin mengalami kesulitan melahirkan, masyarakat menganggap bahwa hal tersebut dikarenakan dia mempunyai kesalahan, baik dalam ucapan maupun perilaku kepada orang di seki­tarnya, misalnya kepada suaminya, ibunya, bapaknya, mertuanya, dan orang lain. Untuk itu, pada saat melahirkan dia dilangkahi oleh orang yang pernah dia sakiti. Misalnya, dia pernah menjelek­jelekkan ibunya, maka ibunya akan melangkahi tubuh ibu bersalin tersebut sebanyak tiga kali pada saat melahirkan. Apabila ibunya atau orang yang disakitinya sudah melangkahinya, berarti dia sudah mendapat izin dari orang tersebut untuk melahirkan “nge ku ijinen cerakku ku aku” (sudah saya izinkan omonganmu tentang aku).

Apabila si bayi telah keluar dari rahim sang ibu, namun tembuni (ari­ari) belum keluar, bidan kampung akan mengeluarkan tembuni terlebih

Page 89: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201272

dulu dari perut ibu sebelum tali pusar si bayi dipotong. Jadi, tali pusar si bayi tidak akan dipotong sebelum tembuni keluar. Hal ini dilakukan karena menurut bidan kampung, bayi dan tembuni mempunyai satu kesatuan nyawa. Oleh karena itu, jika tembuni belum keluar maka tali pusar bayi belum bisa dipotong karena nyawa si bayi baru ada satu, sedangkan yang satu lagi berada di tembuni yang masih di dalam perut sang ibu. Tali pusar bayi akan dipotong setelah tembuni keluar.

“… keluar dulu (ari­ari) baru dipotong tali pusatnya. Kalau belum keluar nggak dipotong. Satu napasnya kalau tembuni belum keluar, satu napasnya …,” jelas Empun (Nenek) Ar.

Apabila tembuni belum keluar, bidan kampung akan memijat perut ibu hamil agar tembuni itu keluar. Apabila tembuni tetap belum keluar, tangan bidan kampung akan masuk ke dalam vagina ibu yang melahirkan untuk mengambil tembuni. Pengambilan tembuni dengan menggunakan tangan bidan kampung dikenal dengan istilah rai dalam masyarakat Gayo Lues. Sebelum dimasukkan ke dalam vagina, tangan bidan kampung diolesi dengan minyak goreng terlebih dulu. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan mengeluarkan tembuni dari perut si ibu.

“… kalau berhenti tembuninya minyak gorenglah, rai terus (ambil terus). Ini pencet terus (tangan kanannya memegang perutnya), ini masuk terus (sambil menunjukkan tangan kirinya masuk ke dalam lubang vagina) …,” jelas Empun (Nenek) Ar. “… supaya licin dia kalau pakai minyak goreng. Kalau nggak kan payah (sulit). Kan payah (sulit) masukkan tangan ini ke dalam perut kalau nggak ditaruh minyak. Kalau udah ditaruh minyak, dia kan udah licin, jadi dimasukkan ini (tangan) ketemu dengan tembuni itu, ditangkap. Ditarik ke luar …,” jelas Empun (Kakek) Ar yang berada di sebelah istrinya pada saat wawancara.

Untuk memotong tali pusat, bidan kampung di Desa Tetingi meng­gunakan semilu. Semilu adalah potongan kulit bambu yang mempunyai sisi yang tajam. Panjangnya kurang lebih 20 cm dan tebalnya kurang lebih setebal pisau. Penggunaan semilu sebagai alat pemotong tali pusar bayi merupakan ajaran nenek moyang, yang diajarkan secara turun­temurun. Menurut ajaran nenek moyang mereka, penggunaan semilu untuk memotong tali pusar bayi merupakan ajaran Nabi Muhammad SAW, yaitu nabi dalam agama Islam. Agama Islam merupakan agama yang dianut

Page 90: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

73

oleh mayoritas masyarakat Desa Tetingi. Selain itu, menurut Empun (Ne­nek) Ma, pemotongan tali pusat menggunakan semilu tidak langsung putus sehingga bidan kampung bisa memotong tali pusar tersebut secara perlahan sambil membaca doa. Hal ini tentu berbeda dengan gunting yang bisa memotong tali pusar hanya dalam satu kali potong.

“... gi (enggak) pakai gunting. Keturunanlah saya. Dari datu (buyut). Dari nenek. Dari datu ke nenek, nenek ke mamak (ibu), mamak ke saya. Itu keturunan Nabi Muhammad. Enggak usah kata nenek pakai gunting. Nggak pakai gunting katanya, pakai semilu. Iya, nggak usah kata nenek. Nggak usah pakai gunting. Gunting tajam ya. Srep, udah. Gecep (potong) terus ya …,” jelas Empun (Nenek) Ma.

Sebelum memotong tali pusar, semilu didoakan terlebih dulu oleh bidan kampung. Doa yang dibacakan juga doa yang diajarkan oleh nenek moyangnya secara turun­temurun. Setelah didoakan, barulah semilu tersebut digunakan untuk memotong tali pusar yang telah diikat dengan benang godang, yaitu benang yang digunakan untuk mengikat karung, agar tidak putus. Ada tujuh ikatan benang godang yang diikatkan pada tali pusar. Empat ikatan diikat pada tali pusar yang dekat dengan bayi, sedangkan tiga ikatan diikat dekat dengan tembuni. Setelah diikat, ikatan bagian tengah dipotong dengan menggunakan semilu. Sebelum dipotong putus, semilu akan memotong atau mengiris tali pusar tersebut sebanyak tujuh kali. Pada saat memotong tali pusar secara perlahan tersebut, bidan kampung membaca doa. Tali pusar akan putus pada irisan atau hitungan ketujuh. Oleh sebab itulah bidan kampung masih menggunakan semilu untuk memotong tali pusar. Jika menggunakan gunting maka tali pusar akan langsung terpotong hanya dalam sekali potongan.

“… empat di anak bayi, tiga di tembuni (ari­ari). Potong tengah …,” jelas Empun (Nenek) Ar.

Pada saat memotong tali pusar, di bawah tali pusar diletakkan arang dan kunyit. Arang dan kunyit tersebut berfungsi sebagai alas atau sangkal, dalam bahasa Gayo Lues, untuk memotong tali pusar dengan menggunakan semilu. Selain berfungsi sebagai alas atau sangkal, kunyit juga dapat mengusir setan. Jadi, kunyit tidak bisa diganti dengan benda yang lain, misalnya lengkuas dan sebagainya. Penggunaan kunyit sebagai sangkal merupakan ajaran nenek moyang yang diperoleh secara turun­

Page 91: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201274

temurun. Semua yang dilakukan oleh Empun (Nenek) Ar sama dengan yang dilakukan oleh Empun (Nenek) Ma, hanya saja kunyit dan arang dialas dengan kapas. Pada saat pemotongan, bidan kampung mengucap doa Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad sampai tali pusar tersebut putus terpotong.

Gambar 3.3 Semilu untuk memotong tali pusar bayi. Di bawah semilu terdapat arang dan kunyit sebagai penyanggah dan juga dipercaya oleh masyarakat setempat untuk mencegah datangnya

setan yang dapat mengganggu ibu bersalin dan bayinya. (Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Juni 2012)

Setelah tali pusar terpotong, tali pusar yang tersisa pada ari­ari akan dioleskan ke bagian ketiak kiri dan kanan, pusar, dan pangkal paha kiri dan kanan si bayi dengan tujuan agar bayi tersebut tidak mempunyai napas yang tidak sedap, tidak ingusan, tidak ada kotoran pada matanya, dan tidak terjadi infeksi pada telinganya. Setelah itu, bayi dimandikan oleh bidan kampung dengan menggunakan mungkur (jeruk purut) dan air dingin yang mengalir. Hal ini dilakukan karena menurut bidan kampung, memandikan bayi dengan menggunakan air dingin merupakan ajaran Nabi Muhammad yang telah diajarkan secara turun­temurun.

Setelah si bayi dimandikan, sisa potongan tali pusar yang masih melekat pada tubuh bayi disembur dengan sirih. Caranya, sirih dan rempah­rempah, seperti tekur (kencur), bunge lawang (bunga cengkeh),

Page 92: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

75

kulit manis, kacu (gambir), pinang, kapur sirih, dan konyel dikunyah terlebih dulu oleh dukun kampung, kemudian disemburkan ke tali pusar bayi. Hal ini dilakukan karena adanya pengetahuan dalam masyarakat setempat bahwa semburan sirih dapat mengeringkan dan melepaskan tali pusar dengan cepat. Pada hari keempat, menurut Empun (Nenek) Ma, ujung tali pusar tersebut dibakar dan apabila menonjol ditekan agar masuk ke dalam perut.

Setelah pusarnya disembur dengan sirih, si bayi dibalut dengan kain panjang, kemudian dibacakan adzan dan iqomah bagi anak laki­laki dan iqomah saja bagi anak perempuan. Adzan dan iqomah tersebut dibacakan oleh ayah atau kakek si bayi dengan cara dibisikkan pada telinga si bayi. Jika bayi sudah diadzankan dan diiqomahkan berarti bayi tersebut sudah beragama Islam, agama yang dianut oleh seluruh warga masyarakat setempat.

Sementara itu, tembuni juga akan dimandikan dengan menggunakan mungkur (jeruk purut). Setelah dimandikan, tembuni dimasukkan ke dalam sumpit atau tape, yakni wadah yang dibentuk seperti tas, yang terbuat dari daun pandan.

“… budak (bayi) dimandikan pakai mungkur (jeruk purut). Tembuni (ari­ari) pun dimandikan. Bersihlah semuanya. Baru ditanam. Masuk di dalam sumpit ya, baru ditanam …,” jelas Empun (Nenek) Ar.

Setelah tembuni dimasukkan, tape lalu diikat dengan tali. Semilu, kunyit, dan arang yang digunakan pada saat memotong tali pusar di­selipkan di tali yang digunakan untuk mengikat tape tersebut. Kemudian tape tersebut dibawa ke bukit atau gunung untuk ditanam oleh bidan kampung. Sebelum menanamnya, bidan kampung akan berkata pada tembuni tersebut, “Ti ko ngenali adikmu ni, adikmu ni ngali ko (jangan kamu cari adikmu, adikmu yang akan cari kamu).” Menurut masyarakat Gayo Lues, tembuni ditanam di bukit atau di gunung agar suara anaknya nanti bagus. Selain itu, ada kepercayaan dalam masyarakat Gayo Lues bahwa jika tembuni ditanam di bukit, si bayi nantinya akan menjadi orang baik dan mendengar nasihat orang tuanya.

“… kene jema kati jeroh we. Pengenne penejer ni mamak rum bapak. Jeroh we. (kata orang biar dia baik. Mendengarkan nasihat bapak dan ibunya) …,” kata Empun (Nenek) Ar.

Page 93: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201276

Tidak semua ibu bersalin mengalami kemudahan dalam melahirkan seperti Inen Ar dan Inen So pada cerita sebelumnya. Apabila ibu bersalin mengalami masalah dalam persalinan, seperti bayi sesak (sungsang), ibu mengeluarkan banyak darah sebelum bayi keluar, ketuban belum pecah, dan persalinan lama, bidan kampung mempunyai cara dan obat tersendiri untuk menanganinya.

Apabila bidan kampung mengetahui bahwa bayi di dalam perut ibu bersalin dalam keadaan sungsang atau sesak dalam bahasa Gayo, dia akan menggoncang­goncangkan perut ibu hamil untuk memindahkan letak kepala si bayi. Perut ibu bersalin tersebut digoncangkan atau digoyang dari pinggul belakang menuju ke perut depan. Hal ini dilakukan agar kepala bayi berada di posisi bawah.

Apabila ibu bersalin mengeluarkan banyak darah tetapi bayinya belum keluar, bidan kampung akan memberikan air beras dan air mungkur (jeruk purut) kepada ibu yang akan melahirkan. Setelah mungkur tersebut diperas dan mengeluarkan air, kemudian disatukan dalam sebuah wadah dengan air beras. Air beras dan air mungkur tersebut kemudian diminum oleh ibu bersalin, setelah didoakan terlebih dulu oleh dukun kampung.

Berdasarkan pengetahuan bidan kampung, air beras dan mungkur tersebut berfungsi untuk menghilangkan blis (setan) yang dianggap sedang masuk di dalam tubuh ibu bersalin atau dengan kata lain “burung sedang bela”. Blis (setan) yang masuk ke dalam tubuh ibu bersalin tersebutlah yang menyebabkan banyak darah yang keluar dari rahim ibu bersalin, sedangkan si bayi belum keluar.

Selain air beras dan mungkur, ada juga obat lain yang digunakan oleh bidan kampung untuk mengatasi pendarahan. Obat tersebut adalah beras, kunyit, mungkur (jeruk purut), bawang putih, lebe, baing (jahe), dan bungli. Bahan­bahan tersebut diremas­remas sampai mengeluarkan air. Setelah itu, airnya diminum oleh ibu bersalin. Sebelum diminum, bahan-bahan tersebut didoakan terlebih dulu oleh bidan kampung. Setelah airnya diminum, bahan-bahan tersebut diusapkan ke wajah dan seluruh badan ibu bersalin. Fungsi obat tersebut adalah agar darah berhenti dan setan keluar sehingga ibu yang akan melahirkan menjadi sehat.

“… kati (agar) berhenti darahnya. Beluh blis (keluar setannya). Sehat we (sehat dia) …,” jelas Empun (Nenek) Ar.

Selain dua macam obat tersebut di atas, ada obat lain lagi yang dapat digunakan untuk menghentikan perdarahan ibu bersalin, yaitu semburan

Page 94: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

77

mangas (sirih) dicampur dengan awasacih7, pinang, kacu (kapur), konyel, kulit manis, dan bunge lawang (bunga cengkeh). Daun sirih dan rempah­rempah tersebut didoakan terlebih dulu oleh bidan kampung, kemudian dikunyah oleh bidan kampung. Kemudian, sirih dan rempah-rempah tersebut disemburkan ke perut ibu bersalin. Hal ini dilakukan agar setan yang ada dalam tubuh ibu bersalin tersebut keluar.

“… itu dia melahirkan sebelum waktunya. Ada darah yang keluar waktu melahirkan. Itu katanya ada jin …,” jelas Inen Lani.

Apabila ketuban ibu bersalin belum pecah pada saat akan melahirkan, dukun kampung akan menusuk selaput dengan menggunakan biji padi.

“… beginilah, padi beginilah (sambil menunjukan kukunya), ma suklah ke dalam puset (vagina) itu, sunteklah rum rom (suntiklan dengan menggunakan padi) …,” jelas Empun (Nenek) Ar.

Namun apabila ketuban sudah pecah tetapi usia kehamilan ibu kurang dari sembilan bulan, sang ibu dianggap terkena setan atau rampat. Apabila hal ini terjadi maka si ibu hamil akan diberi obat ujung jih (pucuk ilalang) dan kilet (tunas ilalang) dengan jumlah masing­masing tujuh buah. Obat tersebut akan didoakan terlebih dulu oleh bidan kampung. Sementara itu anak yang ada di dalam kandungan si ibu harus segera dilahirkan.

Pada saat persalinan, sang suami tidak boleh masuk ke dalam ruang bersalin, meskipun hanya untuk sekadar menemani istrinya melahirkan. Menurut masyarakat setempat, persalinan merupakan urusan vagina, sehingga laki­laki akan merasa malu menemani istrinya melahirkan. Oleh sebab itu, pada saat proses persalinan, seorang suami tidak boleh me­nemani istrinya.

3.4.3 Dukun Kampung Pria

Selain bidan kampung, ada juga bidan kampung laki-laki di Desa Tetingi, yang disebut dukun kampung. Dukun kampung laki­laki ini kadang kala juga membantu proses persalinan, seperti Aman Yu. Aman Yu adalah

7 Awasacih berasal dari kata “awas Aceh”. Awas dalam bahasa Gayo Lues berarti rempah­rempah. Jadi awasacih adalah rempah­rempah aceh yang terdiri dari sapu laga, cengkeh keling, ketumbar, merica, dan buah pala.

Page 95: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201278

seorang warga Desa Porang Ayu yang menikah dengan salah seorang perempuan Desa Tetingi. Aman Yu sering mengobati orang sakit dan orang yang melahirkan, contohnya Inen An, adik iparnya sendiri. Pada saat melahirkan An, Inen An ditolong oleh Aman Yu. Namun, cara pertolongan persalinan Aman Yu berbeda dengan bidan kampung. Bidan kampung bisa leluasa membantu membuka vagina ibu bersalin dan mengambil bayinya dari lubang vaginanya, namun dukun laki­laki hanya bisa membantu dengan doa atau gerakan secara simbolik saja. Sementara itu, mengambil bayi dan memotong tali pusar tetap dilakukan oleh perempuan yang ada pada saat ibu itu bersalin, seperti ibunya atau ibu mertuanya.

Menurut Aman Yu, ada dua cara yang dilakukannya untuk membantu proses persalinan seorang ibu, yaitu (1) dukun kampung akan mendoakan kepala tepat pada ubun-ubun ibu bersalin, kemudian meniupnya, dan (2) dukun kampung akan meletakkan kain panjang menyelimuti perut sampai bawah lutut ibu bersalin, kemudian dukun kampung tersebut akan mendoakan kain tersebut. Setelah didoakan, kain tersebut akan ditarik cepat oleh dukun kampung sebagai simbol agar bayinya cepat keluar. Sementara itu, perempuan yang ada di sekitar ibu bersalin akan membantu mengurut perut ibu bersalin dan membuka lubang vagina agar bayinya cepat keluar.

Berdasarkan penjelasan Aman Yu tersebut, dukun kampung hanya bisa membantu proses persalinan dengan doa­doa dan gerakan simbolik, sedangkan urusan perut dan vagina dilakukan oleh perempuan yang ada di sana saat persalinan. Hal serupa juga dikatakan oleh Empun (Kakek) Ar yang juga bisa membantu persalinan. Namun, berhubung istrinya juga seorang bidan kampung, Empun (Kakek) Ar jarang membantu persalinan. Menurut Empun (Kakek) Ar, seorang dukun laki­laki membantu persalinan hanya dengan doa­doa saja, misalnya jika seorang ibu bersalin sulit melahirkan, dukun kampung tersebut akan mendoakan segelas air putih atau ramuan lain di luar ruangan persalinan. Kemudian air putih atau ramuan tersebut diminum oleh ibu bersalin agar mudah bersalin.

3.5 Nite Ibu Nifas, 44 Hari Bersama Api dan Ramuan Gayo

Setelah melahirkan, ibu nifas di Desa Tetingi akan melaksanakan prosesi nite. Dalam kamus umum Bahasa Gayo­Indonesia (Bahry, 2009:258), nite adalah istirahat setelah melahirkan. Pada masa nite, seorang ibu nifas akan duduk di dekat api dengan posisi duduk membelakangi api selama 44 hari. Duduk di dekat api ini disebut bedaring, dalam istilah masyarakat

Page 96: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

79

setempat. Selain duduk di dekat api, pada masa nite ibu nifas juga meng­gunakan ramuan­ramuan tradisional Gayo, baik yang digunakan di luar tubuh maupun di dalam tubuh. Jadi, nite adalah seluruh aktivitas ibu nifas mulai dari bedaring sampai menggunakan ramuan tradisional Gayo.

Nite dikenal juga dengan istilah bedapur dalam masyarakat setempat. Bedapur berasal dari kata dapur. Pengertian dapur dalam penjelasan ini bukan ruang untuk memasak, seperti yang dipahami oleh masyarakat pada umumnya, melainkan alat atau media untuk memasak. Mayoritas masyarakat Desa Tetingi mempunyai dapur yang terbuat dari kotak kayu yang diisi tanah untuk membakar kayu bakar, sebagai alat untuk memasak. Dapur inilah yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat untuk bedaring. Apabila ibu bersalin tersebut tidak mempunyai dapur yang terbuat dari kotak kayu yang diisi tanah, misalnya dia menggunakan kompor gas atau kompor minyak untuk memasak, suami atau keluarganya yang lain akan membuatkan dapur, atau dapat juga meminjam dapur tetangga yang mempunyai dapur yang tidak dipakai.

Dapur terbuat dari papan kayu yang mempunyai ukuran panjang kurang lebih 100 cm, lebar 70 cm, dan tinggi 20 cm. Papan tersebut di-

bentuk kotak, lalu diisi dengan tanah sampai penuh. Di atas tanah inilah diletakkan kayu bakar yang digunakan untuk menyalakan api pada masa nite. Ada perbedaan antara dapur yang baru digunakan untuk nite dengan dapur lama (dapur yang pernah digunakan untuk nite). Pada dapur baru akan ditanam teteguh di keempat sudut kotak kayu dapur. Batang teguh ini tidak digunakan atau ditanam lagi apabila dapur tersebut sudah pernah digunakan untuk nite. Tujuan penanaman teteguh pada kotak kayu dapur yang baru adalah untuk menjaga ibu nifas dan bayi agar tidak diganggu blis (setan).

Ada empat jenis kayu bakar yang digunakan untuk nite, yaitu kayu temung, delime (jambu), geluni, dan bengkuang (pandan duri). Selain empat jenis kayu tersebut, kayu lain tidak bisa digunakan untuk bedapur, termasuk alat pemanas atau pemasak lainnya, seperti kompor gas atau kompor minyak. Menurut Empun (Kakek) Ar, apabila salah satu dari empat jenis kayu bakar tersebut diganti dengan kayu lain atau diganti dengan alat pemanas atau pemasak lain, ada kepercayaan dalam masyarakat setempat akan datang suatu penyakit pada anaknya dan penyakit tersebut sulit disembuhkan.

“… kalau datang penyakit kalau besar anak itu, nggak mau sembuh. Itulah pantangannya …,” jelas Empun (Kakek) Ar.

Page 97: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201280

Setelah siap digunakan untuk nite, dapur diletakkan di dalam ruangan yang disepakati oleh keluarga untuk nite. Ada yang menggunakan kamar, ada juga yang menggunakan dapur (ruang untuk memasak) untuk tempat nite. Apabila dapur (ruang untuk memasak) disepakati sebagai tempat nite, ibu nifas tersebut akan pindah ke dapur dan melakukan nite selama 44 hari di dapur tersebut. Namun apabila kamar disepakati sebagai ruang untuk nite, dapur tersebut akan diangkat ke dalam ruang kamar.

Gambar 3.4 Seorang ibu sedang bedaring di dapur pasca-persalinan. (Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Juni 2012)

Jendela yang ada di ruang nite ditutup sehingga tidak ada udara atau angin yang masuk ke dalam ruangan tersebut. Namun, udara ma­sih bisa masuk ke dalam ruangan melalui celah­celah dinding papan rumah. Menurut masyarakat setempat, jendela ditutup pada saat nite agar blis tidak masuk ke dalam ruang nite, yang dapat mengganggu ibu nifas dan bayinya. Selain itu, jendela ditutup karena kondisi alam Desa Tetingi, biasanya angin bertiup kencang. Angin kencang dapat meniup api nite sehingga dapat menyambar ibu nifas dan benda­benda yang ada di sekitarnya.

Semakin dingin suhu udara di Desa Tetingi, semakin besar pula api yang menyala. Hal ini biasanya terjadi pada malam hari atau pada saat menjelang fajar. Begitu pula sebaliknya, apabila suhu udara di Desa Tetingi panas, hanya baranya saja yang menyala, bahkan kadang kala tidak

Page 98: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

81

menyala sama sekali. Hal ini biasanya terjadi pada siang hari. Si bayi pun ikut merasakan bedaring dan tidur bersama ibunya. Menurut masyarakat setempat, tujuan bedaring pada saat nite adalah untuk mengeluarkan darah kotor, menghilangkan sakit badan setelah melahirkan, agar badan tidak bungkuk, dan kuat bekerja di sawah serta di ladang.

“… habis melahirkan pakai dapur ya, nti (tidak) sakit awak (badan). Bungkuk. Pakai dapur timbang (lurus) ya. Keluar da rah kotornya sini (sambil menunjukan punggungnya). Da­rah kotor yang lekat di sini, tulen uduk (tulang punggung). Darah gumpalnya dekat di sini (sambil memegang tulang belakangnya). Daring (didekatkan dengan api) sama ini, beres we keluar (selesai itu, keluar) …,” jelas Empun (Nenek) Ar.

“… kalau nggak pakai itu, katanya nanti nggak kuat nyangkul, motong (padi atau serai) …,” jelas Inen Ti.

Gambar 3.5 Seorang ibu sedang bedaring sambil menggendong bayinya. (Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Juni 2012)

3.5.1 Ramuan Gayo Pasca-Persalinan

Selain bedaring pada masa nite, ibu nifas juga akan menggunakan ramuan­ramuan tradisional Gayo yang dibuat sendiri oleh masyarakat setempat, seperti bedak matah, tampal, bedak param, wak kuning, dan wak tuyuh atau wak kunul. Biasanya ramuan-ramuan tersebut akan dibuat pada masa hamil, biasanya pada saat usia kehamilan delapan bulan. Menurut masyarakat setempat, ramuan-ramuan tradisional tersebut lebih

Page 99: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201282

bagus daripada obat dokter. Menurut mereka, obat dokter bisa mengobati rasa sakit pada saat itu saja, sementara ramuan-ramuan tradisional tersebut dapat menyehatkan badan sehingga dapat memberikan kekuatan pada seorang ibu untuk bekerja, apalagi pekerjaan mayoritas masyarakat setempat adalah berkebun yang harus menyangkul, memotong padi, mengangkat kayu, dan sebagainya.

“… lebih jeroh wak kampung daripada wak dokter. Kene jema tue, sebab e kite bebuet, nyangkul, bekebun, jangkat. Memang obat dokter peh tir sehat, tapi sijep we dang idapure (Lebih bagus obat kampung daripada obat dokter. Kata orang tua, karena kita bekerja, menyangkul, berkebun, membawa kayu bakar di atas punggung. Memang obat dokter juga cepat sem­buhnya, tapi sebentar Cuma waktu bedapur saja (masa nifas saja) …,” jelas Kak Se.

Salah satu ramuan tradisional Gayo tersebut adalah bedak matah. Bedak matah digunakan pada hari pertama setelah melahirkan sampai hari ketiga. Bedak matah ini dioleskan ke seluruh badan ibu nifas, mulai dari ujung kaki sampai ke wajah. Menurut masyarakat setempat, fungsi bedak matah ini adalah untuk menyehatkan badan ibu nifas dan menghilangkan rasa pegal pasca­persalinan. Selain itu, bedak matah ini juga mempunyai fungsi untuk melancarkan ASI (Air Susu Ibu).

Berbeda dengan ramuan lainnya yang biasanya dibuat pada saat hamil, bedak matah dibuat pada hari pertama melahirkan. Bahan-bahan untuk membuat bedak matah terdiri atas rempah-rempah, yaitu beras, kunyit, baing (jahe), bawang putih, bungle, lebe, lempuyang, awasacih, mungkur (jeruk purut), dan minyak goreng. Cara membuat bedak matah adalah sebagai berikut. Pertama­tama, beras direndam terlebih dulu sela-ma kurang lebih setengah jam dan semua rempah dipotong, lalu dimasuk-kan ke dalam piring kaca dan ditambah air secukupnya agar mudah digi­ling. Rempah­rempah tersebut kemudian digiling dengan menggunakan gelas kaca. Menurut Inen Zaki, alat penggiling hanya boleh menggunakan gelas kaca yang digilingkan di atas piring kaca. Penggiling batu atau peng-giling lain tidak boleh digunakan untuk menggiling bedak matah. Namun, ketika ditanyakan pada Inen Za mengapa tidak boleh menggunakan peng-giling lain, Inen Za pun tidak tahu alasannya. Pendapat Inen Za tersebut selaras dengan observasi yang dilakukan ketika mertua Kak My menggi­ling bedak matah dengan gelas dan piring untuk Kak My. Namun ketika

Page 100: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

83

ditanyakan kepada mertua Kak My dan Kak My, mereka pun tidak tahu alasannya mengapa menggunakan gelas kaca dan piring sebagai penggil-ing bedak matah.

“… entahlah. Aturan jema jehmen (leluhur) seperti itu …,” jelas Inen Za dan Kak My.

Gambar 3.6 Bedak matah yang digiling dengan menggunakan gelas dengan alas piring kaca. (Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Juni 2012)

Namun pendapat yang diutarakan oleh Inen Za dan Kak My tersebut berbeda dengan yang dilakukan oleh Inen So. Inen So menggunakan tempurung kelapa dan piring kaca untuk menggiling bedak matah. Na-mun, ketika ditanyakan alasan menggunakan tempurung dan piring kaca, Inen So pun tidak tahu alasannya. Setelah rempah­rempah tersebut digiling, lalu dioleskan pada seluruh tubuh ibu nifas pada pagi dan sore hari setelah mandi. Setelah tiga hari menggunakan bedak matah, ibu nifas akan menggunakan bedak param sebagai penerus fungsi bedak matah.

Selain bedak matah, ada juga ramuan yang digunakan sejak hari pertama pasca-persalinan. Ramuan tersebut disebut tampal. Berbeda dengan bedak matah yang dioleskan ke seluruh badan ibu nifas, tampal hanya dioleskan pada bagian tubuh tertentu seperti seliben (dahi)), tuyuh kemiring (di bawah daun telinga), dan tuyuh mata gong (di bawah mata kaki). Tampal ini berwarna hitam sehingga jika digunakan ibu nifas seolah­olah sedang memakai pengikat kepala. Tampal terbuat dari rempah-

Page 101: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201284

rempah yang terdiri atas tepung beras atau tepung ketan, kunyit, baing (jahe), mungkur (jeruk purut), bungle, dan jire item.

Biasanya tampal dibuat pada masa hamil. Semua bahan digoreng sangrai sampai berwarna hitam. Setelah itu, bahan­bahan tersebut di­haluskan sampai berbentuk seperti kopi. Pada hari pertama pasca­persalinan, ibu nifas sudah menggunakan tampal. Bubuk tampal tersebut dicairkan dengan menggunakan air atau air mungkur (jeruk purut). Setelah cair, tampal tersebut dioleskan pada seliben (dahi), tuyuh kemiring (di bawah daun telinga), dan di bawah mata kaki. Sama halnya dengan bedak matah, tampal digunakan setiap pagi dan sore hari setelah mandi. Menurut pengetahuan masyarakat setempat, tampal ini mempunyai fungsi untuk mencegah sakit kepala pada saat bekerja di kebun, mencegah masuk angin, dan menghambat sakit pinggang.

“… fungsi tampal nanti kalau kita kerja di kebun biar gak mudah sakit kepala, gak masuk angin, gak cepat sakit pinggang …,” jelas Inen NA.

Gambar 3.7 Tampal yang telah dicairkan dengan air jeruk purut dioleskan pada dahi, bawah daun telinga, dan bawah mata kaki ibu nifas selama 44 hari. Fungsi tampal ini

adalah untuk menghilangkan rasa sakit kepala dan mencegah masuk angin. (Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Mei 2012)

Selain bedak matah dan tampal, ada juga ramuan lain yang digunakan ibu nifas, yaitu bedak param. Berbeda dengan bedak matah dan tampal yang digunakan sejak hari pertama pasca­persalinan, bedak param digunakan pada hari ketiga pasca­persalinan. Bedak param ini menjadi

Page 102: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

85

pengganti atau penerus bedak matah yang hanya digunakan selama tiga hari setelah melahirkan. Bedak param juga terbuat dari rempah­rempah yang terdiri atas tepung beras, kunyit, baing (jahe), lada pedih (merica), awasacih, bungle, lebe, mungkur (jeruk purut), dan jire manis.

Sama halnya dengan tampal, bedak param biasanya dibuat pada saat usia kehamilan sekitar delapan bulan. Pertama­tama, bahan­bahan seperti kunyit, jahe, merica, awasacih, bungli, lebe, jeruk purut, dan jire manis di-giling sampai halus. Setelah dihaluskan, bahan­bahan tersebut lalu dicam-pur dengan air secukupnya, lalu diperas seperti memeras kelapa dan disar-ing dengan menggunakan saringan untuk mengambil airnya. Pengo lahan ini sama dengan mengolah kelapa. Air perasan rempah­rempah tersebut lalu dicampur dengan tepung beras, diaduk sampai merata se perti mem-buat adonan kue. Selanjutnya, adonan dibentuk bulat­bulat kecil seperti kue kering, lalu dijemur di bawah atap rumah selama kurang lebih satu minggu sampai mengering. Penjemuran tidak boleh dilakukan di bawah matahari. Menurut masyarakat setempat, apabila bedak param dijemur di bawah matahari, ibu yang memakai bedak param tersebut nantinya tidak sehat dan tampak pucat. Pengeringan bedak param dilakukan di bawah atap rumah atau di langit­langit rumah kurang lebih selama satu minggu. Setelah bedak param tersebut mengering, kemudian disimpan di dalam sebuah wadah, seperti toples. Apabila tidak tahu, bedak param tersebut dapat dikira kue karena bentuknya sama dengan kue kering.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bedak param digunakan pada hari ketiga setelah melahirkan. Pada hari ketiga setelah melahirkan, bedak param yang sudah mengering dan berbentuk bulat lempeng dicairkan dengan air, lalu dioleskan ke seluruh tubuh ibu nifas pada pagi dan sore hari setelah mandi. Bedak param juga dapat digunakan pada siang hari atau malam hari, jika diperlukan. Bedak param dioles dari tubuh bagian bawah (kaki) menuju ke atas (wajah). Menurut masyarakat setempat, cara mengoleskan bedak param dari bawah ke atas ini dilakukan agar tubuh menjadi sehat dan tidak pucat. Selain itu, bedak param diketahui oleh masyarakat setempat mempunyai fungsi untuk menghangatkan badan dan menyehatkan badan agar tidak sakit dan tidak masuk angin.

“… biar gak cepat kedinginan, biar gak masuk angin badan kita selalu hangat gitu …,” jelas Inen Je.

Selain ramuan yang dioleskan pada bagian luar tubuh seperti yang disebutkan sebelumnya, ada juga ramuan yang dikonsumsi oleh ibu nifas

Page 103: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201286

untuk mengobati luka dalam. Salah satu obat tersebut dikenal dengan nama wak kuning. Wak dalam bahasa Gayo Lues berarti “obat”, dan kuning berarti “kunyit”. Jadi, wak kuning adalah obat yang terbuat dari kunyit. Meskipun namanya wak kuning, bukan hanya kunyit yang terdapat dalam ramuan wak kuning, melainkan ada juga rempah­rempah lain. Bahan-bahan untuk membuat wak kuning terdiri atas kunyit, baing (jahe), lempuyang, tekur (kencur), kulit manis, gule ilang (gula merah), awasacih, lada pedih (merica), bunga lawang, jire manis, asam jawa, dan serai.

Ada dua cara untuk membuat wak kuning, yaitu dengan cara dikeringkan atau direbus. Apabila ingin membuat wak kuning dengan cara dikeringkan, bahan­bahan tersebut dipotong halus lalu dijemur, kecuali gula merah, asam jawa, dan serai. Ketiga bahan tersebut tidak digunakan dalam pembuatan wak kuning yang dikeringkan. Setelah dijemur, lalu bahan­bahan tersebut ditumbuk halus seperti membuat serbuk mi nu­man instan, misalnya serbuk jahe. Pembuatan wak kuning dengan cara dikeringkan biasanya dilakukan pada usia kehamilan delapan bulan. Setelah melahirkan, wak kuning diminum dengan cara dicairkan dengan air panas, dicampur dengan gula.

Cara yang kedua adalah rempah­rempah tersebut direbus tanpa dike ringkan terlebih dulu. Sebelum direbus, rempah­rempah tersebut dihaluskan. Gula merah, asam jawa, dan serai kemudian ditambahkan ke dalam rebusan rempah-rempah tersebut. Pembuatan wak kuning dengan

Gambar 3.8 Bedak param yang belum dikeringkan. (Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Juni 2012)

Page 104: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

87

cara direbus biasanya dilakukan setelah melahirkan karena wak kuning yang direbus tidak dapat bertahan lama. Wak kuning yang direbus hanya dapat bertahan selama dua atau tiga hari. Apabila wak kuning tersebut sudah tidak baik untuk dikonsumsi atau sudah habis, wak kuning akan dibuat lagi. Meskipun wak kuning dengan cara direbus lebih rumit karena harus memasak lagi, namun ibu nifas di Desa Tetingi lebih menyukai mengonsumsi wak kuning dengan cara direbus.

Wak kuning dikonsumsi oleh ibu nifas selama 44 hari sebanyak tiga gelas atau lebih setiap hari sesuai dengan selera ibu bersalin. Berdasarkan pengetahuan masyarakat setempat, wak kuning dikonsumsi oleh ibu nifas karena mempunyai fungsi untuk menyehatkan badan dan menyembuhkan luka dalam pasca-persalinan.

Selain minum wak kuning, seorang ibu yang baru melahirkan juga minum air soda yang dicampur dengan susu kental manis. Soda dan susu kental manis tersebut diminum sejak hari pertama setelah me-lahirkan sampai tiga atau tujuh hari. Air soda yang dicampur dengan susu kental manis tersebut dipahami oleh masyarakat setempat dapat melancarkan ASI. Selain melancarkan ASI, soda dan susu kental manis juga dapat melancarkan gumpalan darah yang terdapat dalam perut ibu pascamelahirkan.

“… sakitlah di dalam perut. Ginilah darah gumpalnya. Besarlah. Teger (keras) …,” jelas bidan kampung pada saat peneliti bertanya apa fungsi dari soda dan susu.

Selain wak kuning yang berbentuk minuman, ada juga wak kuning yang digiling halus. Ramuan tersebut terbuat dari kunyit dicampur dengan garam dan air jeruk nipis (asam kuyun). Kunyit dan garam tersebut dihaluskan terlebih dulu, lalu dicampur dengan air asam kuyun. Setelah itu dimakan langsung oleh ibu nifas dari hari pertama pasca­persalinan sampai waktu ibu nifas merasa bahwa lukanya telah sembuh, biasanya sampai satu minggu setelah melahirkan. Menurut masyarakat setempat, fungsi wak kuning yang digiling ini adalah untuk mengeluarkan darah kotor pasca-persalinan dan menyehatkan badan ibu nifas.

“… kati bersih was (biar bersih dalam). Dimakan mamaknya ya terus. Mamak si besalin …,” jelas Empun (Nenek) Ar.

Selain wak kuning yang diminum atau dimakan oleh ibu nifas untuk menyembuhkan luka dalam, ada juga obat yang langsung dioleskan pada vagina atau dimasukkan ke dalam lubang vagina ibu nifas, yang dianggap

Page 105: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201288

juga berfungsi untuk menyembuhkan luka dalam. Obat tersebut dikenal dengan istilah wak tuyuh atau wak kunul dalam bahasa Gayo. Wak me-rupakan bahasa Gayo Lues yang berarti “obat”, sedangkan tu yuh berarti “bawah”. Jadi, wak tuyuh berarti “obat bawah”. Istilah “obat bawah” ini digunakan untuk menyebutkan vagina agar terdengar lebih sopan. Se-mentara itu, kunul mempunyai arti “duduk”. Dengan kata lain, wak kunul berarti “obat duduk”. Istilah “obat duduk” ini digunakan karena setelah melahirkan ibu nifas disarankan untuk duduk dengan cara merapatkan kedua pahanya agar luka yang terdapat pada vagina cepat sembuh.

Ada dua jenis wak tuyuh atau wak kunul, yaitu obat yang digunakan di luar vagina dan obat yang dimasukkan ke dalam vagina. Obat yang digunakan di luar vagina adalah kunyit yang dicampur dengan minyak goreng. Kunyit tersebut ingengal (dikunyah) terlebih dulu oleh ibu nifas, kemudian dicampurkan dengan minyak goreng. Setelah kunyit dan minyak goreng tersebut sudah tercampur rata, kemudian dioleskan di bagian luar vagina ibu nifas. Menurut masyarakat setempat, fungsi kunyit dan minyak goreng tersebut adalah untuk membuat vagina menjadi sempit kembali dan menyehatkan badan ibu nifas. Hal ini dilakukan karena bidan kampung tidak melakukan hecting atau penjahitan pada luka yang terdapat di luar vagina setelah melahirkan. Selain dioleskan di bagian luar vagina, kunyit dan minyak goreng tersebut juga bisa dimasukkan ke dalam vagina sesuai dengan keiginan ibu nifas itu sendiri.

“… ngengalnye halus (kunyah halus). Begini (diludahkan). Dituang minyak goreng, sapu terus (ke vagina). Kati sempit pusete (agar sempit vaginanya). Kati temas badannya ya (biar enak badannya ya) …,” jelas Empun (Nenek) Ar.

Selain kunyit dan minyak goreng, ada juga yang menggunakan ra­muan lain yang dimasukkan ke dalam vagina. Ramuan tersebut meliputi berbagai macam jenis. Setiap bidan kampung mempunyai jenis wak tuyuh yang berbeda. Namun, menurut informasi dari dua bidan kampung yang terkenal di Desa Tetingi, terdapat enam jenis wak tuyuh, yaitu (1) asam kuyun yang dibelah menjadi dua, kemudian di tengah belahan tersebut diberi garam, (2) awasacih yang dihaluskan, (3) sirih yang dikunyah dicampur dengan abu dapur, (4) daun keruku yang diberi garam, (5) minyak kayu putih yang dibasahkan pada kapas, dan (6) kapur barus. Masing­masing bahan tersebut dibungkus dengan kapas, lalu dimasukkan ke dalam vagina sedalam 5 cm.

Page 106: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

89

“… asam kuyun (jeruk nipis) kupas di sini ya, kupas di sini kulitnya, nye kerat (terus dipotong) di sini, masuklah garam di sini (di dalam asam kuyun). Adalah kapas, dibalut dengan kapas. Oyalah bun (letakkan), wak kunul. Wak kunul wak tuyuh sama …,” jelas Empun (Nenek) Ar.

“… awasacih digiling halus. Masukkan ke dalam kapas. Masukkan ke dalam anunya (vagina) biar cepat sembuh …,” jelas Inen Mi.

Gambar 3.9 Abu dapur dicampur dengan kunyahan sirih.

Setelah itu dibungkus dengan kapas, lalu dimasukkan ke dalam vagina ibu bersalin. (Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Juni 2012)

Gambar 3.10 Asam kuyun dikupas kulitnya dan dibelah menjadi dua. Belahan bagian tengah tersebut diberi garam, kemudian dibungkus

dengan kapas dan dimasukkan ke dalam vagina ibu bersalin. (Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Juni 2012)

Page 107: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201290

Tidak semua bidan kampung menggunakan kapur barus sebagai wak tuyuh, misalnya Empun (Nenek) Ar yang tidak menyarankan ibu nifas untuk menggunakan kapur barus sebagai wak tuyuh. Menurutnya, meng­gunakan kapur barus sebagai wak tuyuh dapat menyebabkan daya tahan tubuh ibu nifas menjadi lemah. Misalnya, apabila setelah melewati masa nifas ibu tersebut terkena hujan, badannya akan mudah menggigil. Selain itu, dia juga akan mengalami sakit perut. Untuk itu, Empun (Nenek) Ar tidak menyarankan ibu nifas untuk menggunakan kapur barus sebagai wak tuyuh. Jenis wak tuyuh yang disarankan Empun (Nenek) Ar adalah asam kuyun dan kunyahan sirih yang dicampur dengan abu dapur.

“… iyalah. Kecutlah. Sawah (sampai) 44 hari ya, jatuh hujannya ya, begini dia (memperagakan badannya menggigil). Sakit perutnya kalau pakai kapur barus. Kalau ini (sambil pegang jeruk nipis), nggak. Tegaplah badannya. Mari oya tangkuh ari dapur, kecut ya, using ya, bak mayat, nggak cantik ya. Kurus (habis itu berhenti dari dapur, kering dan kuning dia, seperti mayat, nggak cantik lagi. Kurus) …,” jelas Empun (Nenek) Ar.

Pemakaian wak tuyuh dimulai pada hari pertama setelah melahirkan sampai seminggu atau dua minggu setelah melahirkan, bahkan ada yang sampai 44 hari. Lama waktu penggunaan wak tuyuh tergantung pada “kesadaran” si ibu, apakah dia merasa bahwa luka di dalam vaginanya sudah sembuh atau belum. Apabila si ibu sudah merasa sembuh, penggunaan wak tuyuh tersebut dihentikan. Wak tuyuh tersebut tidak dikeluarkan oleh ibu nifas, melainkan keluar sendiri dari vagina bersama dengan keluarnya darah kotor pasca-persalinan. Apabila wak tuyuh tersebut telah keluar, wak tuyuh yang baru akan dimasukkan kembali ke dalam vagina.

“… pakai terus. Sini keluarlah sendirinya. Nggak bisa berai (nggak bisa diambil). Keluar sendirinya. Sawah­sawah waktu keluar (sampai­sampai sudah keluar). Tambah, keluar, tambah. Keluarlah sendirinya …,” jelas Empun (Nenek) Ma.

Ibu nifas dapat memilih dari berbagai jenis wak tuyuh tersebut di atas, sesuai dengan saran bidan kampung yang menolong persalinannya dan sesuai dengan kecocokan yang dirasakan oleh ibu nifas saat menggunakan wak tuyuh tersebut. Apabila si ibu merasa tidak cocok dengan salah satu jenis wak tuyuh, dia bisa mencoba jenis wak tuyuh yang lain. Namun, apabila semua jenis wak tuyuh telah dicobanya namun dia merasa tidak

Page 108: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

91

ada yang cocok, ibu tersebut tidak dianjurkan untuk menggunakannya. Menurut Inen Mi, rasa tidak cocok atau tidak serasi yang dirasakan oleh seorang ibu ketika menggunakan wak tuyuh adalah apabila ibu merasa sakit pinggang atau merasa kurang nyaman pada vaginanya. Apabila si ibu merasakan hal tersebut, dia akan mengganti wak tuyuh dengan jenis yang lain. Namun apabila rasa itu tetap sama, si ibu tersebut tidak menggunakan wak tuyuh lagi.

“… sebagian ada dipakai, sebagian gak. Itu menurut serasi tu …,” kata Inen Je.

Menurut pengetahuan masyarakat setempat, fungsi wak tuyuh adalah untuk mengeluarkan darah kotor yang terdapat di dalam perut ibu nifas pasca­persalinan. Apabila seorang ibu nifas tidak menggunakan wak tuyuh maka badannya terlihat pucat, berjalan tidak tegap, dan bekerja tidak kuat. Oleh sebab itu, seorang ibu nifas di Desa Tetingi disarankan untuk menggunakan wak tuyuh.

“… nggak tegap badannya, Nak. Kurus mungkung se ye sakit (bungkuk gini terus sakit). Mungkung lah (bungkuklah). Bekerja nggak sanggup. Kalau pakai wak tuyuh, tegep beh (tegap sekali). Kena hujan nggak apa­apa,” jelas Empun (Nenek) Ma.“… mukanya kuning, pinggangnya sakit kalau kerja. Kalau kami ini, kalau siap besar kan, kerja terus. Kalau nggak pakai obat itu bilang orang tua gak bisa kerja keras dia. Kalau kerja keras sudah sakit pinggang. Mau pun mukanya kuning­kuning kan. Nggak seperti biasa …,” jelas Inen Mi.“… darah kotor keluarlah. Masuk sini. Keluarlah darah kotor, darah using, darah putih. Tangkuh ari dapur pening (setelah berhenti dari bedapur, pusing), deba using salak e (sebagian kuning wajahnya), dak mayat (seperti mayat) …,” jelas Empun (Nenek) M.“… biar cepat lukanya sembuh, melancarkan darah putih itu keluar …,” jelas Inen Je

3.5.2 Pantangan Ibu Nifas

Pada suatu pagi yang cerah, pada saat sang mentari baru ingin me­nampakkan sinarnya, tim peneliti mendapat kabar bahwa Kak My, seorang ibu hamil, telah melahirkan seorang anak laki­laki. Pada saat itu pula salah

Page 109: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201292

seorang tim peneliti datang ke rumah Kak My untuk melihat keadaannya. Sesampainya di rumah Kak My, dia melihat Kak My sedang makan nasi hanya dengan lauk bawang. Melihat Kak My hanya makan dengan lauk bawang goreng, peneliti tersebut bertanya “Kok nggak ada lauknya, Kak? Nggak ada sayurnya? Kenapa, Kak? Nggak boleh makan sayur?” Kak My pun menjawab “Boleh, tapi jangan pedas.”

Keesokan harinya peneliti tersebut pun datang lagi pada jam yang sama. Untuk kedua kalinya peneliti menemukan Kak My sedang ma­kan. Namun, pada saat itu Kak My makan dengan lauk ayam goreng dicampurkan dengan bawang goreng tanpa sayur. Keesokan harinya lagi, peneliti datang lagi, tetapi pada jam yang berbeda, yaitu jam 11.00 siang hari. Pada saat berkunjung ke sana, lagi­lagi peneliti menemukan Kak My sedang makan dengan lauk ayam dan bawang goreng tanpa sayur. Pada saat itu, peneliti tersebut bertanya lagi mengapa Kak My hanya makan dengan lauk ayam goreng tanpa sayur. Kak My pun menjawab “Ini nggak boleh kita makan sayur, soalnya dia (bayi) lagi ada bintik­bintik merah di badannya,” jelas Kak My. Sakit bintik­bintik merah di badan dikenal dengan istilah uris dalam masyarakat Gayo Lues.

Menurut Kak My dan bibinya, pada masa nifas ada makanan yang tidak boleh dimakan oleh ibu nifas, seperti buah­buahan, kecuali buah labu. Menurutnya, ibu nifas dilarang makan buah­buahan karena khawatir nanti anaknya mengalami sakit perut.

“… kalau pakai obat kampung itu nggak boleh makan buah, nanti anaknya sakit perut. Kalau obat dokter kan boleh …,” jelas bibi Kak My.

Menurut bidan kampung, sebenarnya semua makanan boleh dimakan oleh ibu nifas, kecuali makanan tersebut merupakan pantangan baginya untuk dimakan, seperti anaknya sedang menderita sakit uris di badannya. Maka pada saat itu, ibunya tidak boleh makan sayur­sayuran.

“… enti pantang, berarti tan keluar peh, nguk nye pan meh (tidak ada pantangan, berarti waktu bayinya telah keluar lang­sung boleh makan semuanya). Neba ha pantangie, gi nguk pan nggih (sebagian memang dilarang, gak bisa makan). Kakakmu gere mupantang ya (kakakmu nggak ada pantangan) …,” kata Empun (Nenek) Ar.

Page 110: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

93

Selain pantangan makan beberapa jenis makanan, ada juga pan-tangan perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh ibu nifas. Salah satu pantangan tersebut adalah memasak untuk suami dan keluarganya. Pada masa nifas, seorang ibu tidak boleh memasak untuk suami dan keluargan-ya. Namun, dia boleh memasak untuk dirinya sendiri. Menurut masyarakat setempat, dosa hukumnya jika seorang ibu nifas memasak makanan un-tuk suaminya dan makanan tersebut dimakan oleh suaminya, sebab pada masa nifas seorang ibu dianggap masih dalam keadaan “kotor” karena darah nifas. Untuk itu, ibu nifas tidak boleh memasak untuk suami dan keluarganya. Selain itu, seorang ibu nifas tidak boleh berhubungan intim dengan suaminya.

“… apabila istri itu kalau tidak bersih, memasak nasi lakinya (suaminya) dia kan berdosa, karena dia belum bersih dari haidnya itu. Sebelum dia bersih, ga bisa pun dia bersetubuh, karena darah yang keluar itu masih ada di sana bisa bahaya, bisa jadi penyakit. Penyakit kusta. Dan apabila melahirkan anak akan sakit itu anaknya, dan istrinya pun sering sakit. Selama 44 hari itu, tidak dibenarkan istri bekerja, dimanjakanlah istri kita itu. Kemudian suami boleh lihat, gendong tapi ga boleh tidur dia di samping itu, ga bisa dilanggarnya. Karena istri belum suci dia. Dan setelah 44 hari, mandilah dia, sucilah …,” jelas Aman Mi, salah satu tokoh masyarakat di Desa Tetingi.

Pendapat yang serupa pun diutarakan oleh Aman So, seorang laki­laki warga Tetingi yang istrinya baru saja melahirkan pada pertengahan Mei 2012. Aman So mengatakan bahwa pascamelahirkan seorang suami tidak dapat bersetubuh dengan istrinya selama 44 hari lamanya. Istri memasak nasi untuk suaminya pun tidak diperbolehkan. Hal yang serupa juga di­katakan oleh Kak My, seorang wanita nifas. Selama nifas, Kak My tidak memasak untuk suaminya,karena jika dia memasak untuk suaminya, dia akan berdosa. Untuk itu, suaminya memasak sendiri untuk makanannya selama Kak My dalam keadaan nifas, bahkan kadang kala suaminya yang memasak makanan untuk Kak My.

Berhubung ibu nifas tidak boleh memasak untuk suaminya, peran ibu di dapur kadang kala digantikan oleh ibu atau ibu mertuanya. Ibu mertua mempunyai peran yang penting bagi ibu nifas. Hal ini berhubungan dengan sistem perkawinan juelen yang terdapat dalam masyarakat Gayo. Dalam pernikahan juelen, pengantin perempuan akan tinggal bersama dengan

Page 111: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201294

keluarga suaminya. Untuk itu, ibu mertua mempunyai peran dalam ke-hamilan sampai masa nifas seorang ibu, misalnya memasak untuk ibu nifas, suami, dan anak-anaknya.

3.5.3 Pasca-nite

Setelah 44 hari melewati masa nite, seorang ibu nifas akan mandi suci dengan menggunakan mungkur (jeruk purut). Sementara itu, anak­nya akan dicukur rambutnya oleh bidan kampung, bapaknya, atau keluar-ganya. Namun, ada juga bidan kampung yang mempunyai ritual yang berbeda untuk pasca-nite selain mandi dan mencukur rambutnya, seperti Empun (Nenek) Ma. Menurut Empun (Nenek) Ma, pada hari ke 44, daun geluni dibakar di dapur dan ibu nifas diminta untuk berdiri di sekitar dapur tersebut. Asap yang keluar akan mengenai seluruh tubuh ibu nifas sampai mengalami malak (keluar keringat). Setelah keringatnya keluar, barulah ibu nifas tersebut diperbolehkan mandi. Namun, Empun (Nenek) Ar sebagai bidan kampung tidak melakukan ritual ini. Menurutnya, setelah 44 hari, ibu nifas hanya dimandikan dengan mungkur.

Pada saat usai nite, bidan kampung akan diberi seperangkat alat shalat, seperti mukena, oleh ibu yang melahirkan, sebagai ucapan terima kasih. Namun, apabila proses persalinannya dulu dengan rai (bayi atau tembuninya diambil dari perut si ibu dengan menggunakan tangan bidan kampung), ibu yang melahirkan akan memberikan piring, gelas, dan sendok sebagai tambahan.

Setelah mandi suci pasca-nite, segala pantangan untuk ibu nifas boleh dilakukan lagi, seperti memasak untuk suami dan keluarganya. Setelah nite, si ibu sudah boleh bekerja, namun pekerjaan yang dapat dilakukan oleh seorang istri setelah dia melewati masa 44 harinya hanyalah pekerjaan yang ringan­ringan saja, seperti mencuci piring atau baju.

“… itupun kerja ga terus berat, misal biasanya bisa dia dua kaleng, ini setengah, baru satu, baru satu setengah. Kalu gak, itu bisa apa itu bilang orang tua zaman, bisa putus urat­urat yang kecil itu, karena dia terlalu bekerja, itu termasuk adat …,” jelas Aman Mi, salah seorang tokoh masyarakat setempat.

3.6 Perawatan Bayi

3.6.1 Perawatan Tali Pusar

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa setelah dipotong dengan meng­guna kan semilu, tali pusar yang masih melekat pada tubuh si bayi diberi

Page 112: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

95

semburan kunyahan sirih oleh bidan kampung agar tali pusar tersebut cepat lepas. Apabila tali pusar sudah lepas, pusar bayi akan diberi lada pedih (merica) atau kacu (gambir). Berdasarkan pengetahuan masyarakat setempat, lada pedih dan kacu dapat mempercepat kering pusar bayi.

“… udah lepas tali pusok e (tali pusarnya), lada pedih (merica) kalau bahasa gayonya, dimasukkan di sini (di pusar bati). Udah lepas ya, dimasukkan lada pedih (merica) …,” jelas Empun(Nenek) Ar.

Sementara itu, tali pusar yang sudah lepas dari tubuh bayi akan disimpan di dinding rumah atau di tempat lain. Tali pusar tersebut sengaja disimpan karena suatu saat bisa menjadi obat bagi si bayi apabila bayinya sakit, misalnya si bayi mengalami sakit mata. Pada saat mata si bayi sakit, tali pusar tersebut direndam dengan air, kemudian air rendaman tali pusar tersebut diteteskan ke mata si bayi agar cepat sembuh. Selain sakit mata, sakit pada telinga juga dapat diobati dengan menggunakan air rendaman tali pusar. Tali pusar tersebut dapat digunakan sampai waktu tak terhingga, bahkan sampai usia puluhan tahun.

“… disimpan di sini, di rering pik anu dapur e (di antara dinding dapur). Apa namanya, sakit mata, berair mata ya, rendam di sini tetes kone (diteteskan ke situ),” jelas Empun (Nenek) Ar.

“… iya, tali pusok tadi (tali pusar tadi). Sakit mata ya. Apa namanya sebangsa maih kemiringe (berair telinganya). Tep kone (diteteskan di situ) (tangannya sambil memperagakan seolah­olah menetes air ke telinga). Oya gune e (itulah gunanya) …,” jelas Empun (Nenek) Ar.

3.6.2 Upacara Turun Mani

Upacara turun mani adalah upacara memandikan bayi di luar rumah. Sebelum upacara ini dilakukan, bayi tidak boleh dimandikan di luar rumah dan dibawa bermain ke luar rumah. Bayi hanya boleh berada di dalam rumah. Hari upacara turun mani ini ditentukan oleh bidan kampung atau dukun kampung berdasarkan perhitungan hari baik menurutnya, sebelum masa nite berakhir. Jadi, upacara turun mani ini akan dilakukan pada masa nite, yaitu pada masa 44 hari setelah melahirkan. Biasanya upacara turun mani dilakukan pada minggu pertama, kedua, atau ketiga setelah melahirkan. Dengan kata lain, biasanya upacara turun mani dilakukan

Page 113: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201296

pada saat bayi berusia sekitar 7 sampai 28 hari. Selain itu, upacara turun mani biasanya dilakukan pada pagi hari, yaitu sekitar pukul 07.00 atau 08.00, pada saat matahari mulai menampakkan sinarnya.

Pada saat turun mani, banyak bahan dan peralatan yang disiapkan oleh dukun kampung. Peralatan pertama yang dibuat oleh bidan kampung adalah benang yang akan dikenakan di beberapa bagian tubuh bayi. Be­nang tersebut terdiri atas lima warna, yaitu merah, hitam, putih, kuning, dan hijau. Lima warna benang tersebut disatukan dalam satu ikatan. Ada lima ikatan benang lima warna yang dibuat oleh dukun kampung. Empat ikatan mempunyai ukuran yang sama, yaitu kira­kira sepanjang 15 cm, sedangkan satu ikatan lagi mempunyai ukuran yang berbeda, yaitu sekitar 25 cm.

Setelah menyelesaikan ikatan benang lima warna tersebut, kemudian bidan kampung menyiapkan bahan­bahan dan peralatan yang akan dibawa dan dibutuhkan pada saat berada di tempat pemandian si bayi. Bahan­bahan tersebut terdiri atas beras satu bambu (2 liter), mungkur (jeruk purut) sebanyak dua buah, kacu (gambir), pinang, sisir, cermin, sirih, konyel, sabun mandi, kerenem (kapur sirih), dubang (parang), dan kelapa yang sudah dikupas (tanpa serabut). Bahan­bahan tersebut diletakkan dan ditata rapi di dalam sebuah wadah, seperti baskom kecil. Bahan­bahan tersebut diletakkan di depan bidan kampung.

Pada saat bahan-bahan tersebut diletakkan di depan bidan kampung, bidan kampung mengambil lima ikatan benang yang telah dibuatnya. Lima ikatan benang tersebut lalu didoakan olehnya. Setelah didoakan, satu ikatan yang paling panjang yang berukuran kira­kira 25 cm, diikatkan pada pinggang si bayi yang pada saat itu telah berada di pangkuan neneknya yang duduk di sebelah bidan kampung. Empat ikatan benang yang lain diikatkan pada bagian pergelangan kaki kanan, kaki kiri, tangan kanan, dan tangan kiri si bayi.

Setelah mengikat benang­benang tersebut di beberapa bagian tubuh si bayi, bidan kampung mengambil sirih yang telah disiapkan sebelumnya. Sirih tersebut dioles dengan kapur sirih, setelah itu dibentuk seperti kerucut. Setelah sirih dibentuk menjadi kerucut, lalu ditaruh konyel dan pinang yang sudah dibelah kecil. Ada dua kerucut sirih yang dibuat oleh bidan kampung. Setelah itu, kerucut sirih tersebut diletakkan kembali di atas beras yang berada di dalam baskom bersama dengan bahan­bahan yang lain.

Page 114: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

97

Setelah membentuk kerucut sirih, bidan kampung mengambil ke­menyan, didoakan, lalu dibakar di atas bara api. Bara api yang membakar kemenyan tersebut lalu membakar demi yang telah disiapkan oleh bidan kampung. Demi adalah sebuah gulungan kain. Ketika dibakar, demi tersebut mengeluarkan asap. Demi inilah yang akan dibawa oleh bidan kampung ke tempat pemandian bayi.

Setelah semua perlengkapan dan peralatan turun mani dirasa telah lengkap, bidan kampung lalu menggendong bayi yang akan melakukan upacara turun mani. Bayi tersebut digendong dengan menggunakan kain baru. Hal ini dilakukan karena upacara turun mani dianggap mengantarkan bayi kepada kehidupan yang baru. Ketika bayi berada dalam gendongan bidan kampung, ada seorang perempuan yang memegang demi untuk dikelilingkan ke sekitar badan bidan kampung yang sedang menggendong bayi. Demi dikelilingkan tiga kali.

Setelah dikelilingkan ke sekitar badan bidan kampung, demi tersebut dipegang kembali oleh bidan kampung. Jadi, sambil menggendong bayi, bidan kampung memegang demi dan membawa tikar. Sementara itu, bahan­bahan yang berada di dalam baskom dibawa oleh nenek si bayi. Perjalanan keluar rumah pun di mulai. Sebelum keluar rumah, yaitu ketika berada di teras rumah, bidan kampung berdoa sambil menengadahkan tangannya ke atas. Setelah berdoa, bidan kampung pun melanjutkan perjalanannya keluar rumah. Pada saat menginjak tanah pertama kali di halaman rumah, bidan kampung mengambil satu kerucut sirih dan me­letakannya di atas tanah. Hal ini dilakukan karena adanya pengetahuan dalam masyarakat setempat bahwa ada nabi bumi yang bernama Ke­namat. Untuk itu, diletakkanlah kerucut sirih di atas tanah sebagai tan­da izin kepada nabi bumi. Sebelum meletakkannya di atas tanah, bidan kampung terlebih dulu mendoakan kerucut sirih tersebut. Setelah mele-takkan kerucut sirih, bidan kampung melanjutkan perjalanannya lagi menuju tempat pemandian bayi.

Tempat pemandian bayi tidak jauh dari rumah si bayi, bahkan berada tepat di depan rumahnya. Tempat pemandian bayi dapat di mana saja, dengan syarat air yang terdapat di tempat tersebut merupakan air yang mengalir. Untuk itu, biasanya tempat pemandian turun mani dilakukan di MCK keluarga, di parit, atau di sungai. Rata­rata MCK di Desa Tetingi terbuat dari parit atau ada bak penampungan air yang memiliki pancuran air yang bersumber dari sungai. Ketika tiba di tempat pemandian, dukun kampung mengambil kerucut sirih untuk didoakan. Setelah didoakan,

Page 115: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 201298

kerucut sirih tersebut diletakkan di pinggir air. Hal ini dilakukan karena adanya pengetahuan masyarakat setempat bahwa ada nabi air yang bernama Khairil. Untuk itu, diletakkanlah kerucut sirih tersebut sebagai bentuk izin kepada nabi air. Selain nabi bumi dan nabi air, ada juga nabi kayu dan nabi batu dalam pengetahuan masyarakat setempat. Nabi kayu bernama Gusut, sedangkan nabi batu bernama Yati.

Setelah meletakkan kerucut sirih tersebut di pinggir parit, bidan kampung membelah mungkur yang telah disediakan. Air mungkur (jeruk purut) dimasukkan di dalam sebuah wadah yang telah berisikan cairan tepung dan kunyit. Ramuan tersebut dikenal dengan istilah pangir. Setelah membelah mungkur, bidan kampung meletakkan dubang (parang) di dalam air, sambil diinjak. Ritual memandikan bayi pun dimulai. Pertama-tama bidan kampung akan mengusap bagian kepala bayi dengan pangir. Selanjutnya seluruh tubuh bayi diusap dengan pangir. Setelah itu, bayi langsung dicelupkan ke dalam air dingin yang mengalir.

Setelah dicelupkan ke dalam air yang dingin, si bayi akan diangkat lagi. Pada saat diangkat, buah kelapa yang telah disediakan dipecahkan dengan menggunakan dubang (parang) oleh seorang ibu. Air kelapa yang keluar dari buah kelapa tersebut disiramkan ke seluruh badan bayi. Pemecahan buah kelapa di dekat si bayi dilakukan agar bayi tidak takut petir pada saat sudah besar nanti. Sementara itu, memandikan bayi dengan air kelapa juga dipercaya agar bayi tidak takut air hujan.

Setelah selesai mandi, si bayi akan dibalut dengan kain baru. Kain baru yang membalut si bayi melambangkan semangat baru bagi si bayi. Sebelum dibalut dengan kain, si bayi disisir rambutnya dan disuruh mengaca pada cermin yang telah disediakan. Pada saat mengaca, ibu­ibu dan orang­orang yang ada di sekitarnya berkata “biar gagah nanti”. Sambil mengaca, si bayi dibedaki dengan bedak yang telah disediakan dan bidan kampung mencumbunya bahwa dia adalah laki­laki yang tampan. Setelah itu, bayi dibalut dengan kain baru, lalu digendong kembali oleh bidan kampung untuk dibawa ke rumah.

Pada saat tiba di rumah, si bayi masih tetap dalam pangkuan bidan kampung. Tak lama kemudian, ibu si bayi datang mendekati bidan kampung sambil membawa beras penebus yang telah disiapkan sebelumnya. Beras penebus tersebut diberikan kepada bidan kampung. Pada saat memberikan beras penebus tersebut, si ibu bayi berkata kepada bidan kampung “Ini bi, oros ku bibi, win ke aku (Ini bi, beras untuk bibi, bayinya untukku).” Hal tersebut melambangkan bahwa sebelum upacara turun

Page 116: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

99

mani dan sebelum beras penebus diserahkan, si bayi seolah-olah menjadi anak bidan kampung. Untuk itu, ibu si bayi memberikan beras penebus untuk bidan kampung. Sebelum menyerahkan anak tersebut pada ibunya, bidan kampung akan mendoakan anak tersebut terlebih dulu.

Beras penebus tersebut sebanyak satu bambu atau dua liter, di-simpan di dalam tapih. Selain beras juga terdapat bahan­bahan lain yang diletakkan di dalam tapih beras penebus. Bahan-bahan tersebut meli-puti kemiri 3 buah dan pinang 2 buah. Selain beras penebus, bidan kam­pung juga menerima satu tapih lagi yang berisi beras satu bambu, sirih, konyel, pinang, dan kacu (gambir). Beras dalam tapih tersebut sengaja disiapkan sebagai ucapan terima kasih kepada bidan kampung karena telah membantu persalinan. Selain itu, beras satu bambu yang disediakan pada saat turun mani yang ditempatkan di dalam baskom kecil juga diperuntukkan bagi bidan kampung. Di dalam baskom kecil tersebut sudah tersedia uang sebanyak Rp100.000,00. Setelah si bayi diserahkan kepada ibunya dan bidan kampung telah mendapatkan berasnya, si ibu bayi akan membasuh tangan bidan kampung dengan menggunakan air dan sabun. Hal ini dilakukan sebagai simbol terima kasih karena bidan kampung telah membantunya melahirkan anaknya.

3.7 Makanan Bayi dan Masa Menyusui

3.7.1 Makanan Pertama Bayi Baru Lahir

Pada saat baru lahir, bayi diberi sedikit garam yang dimasukkan ke dalam mulutnya oleh dukun kampung. Hal ini dilakukan karena adanya pengetahuan masyarakat setempat bahwa pemberian garam pada mulut si bayi bertujuan agar si bayi pada saat besar nanti dapat berbicara santun kepada orang lain. Selain garam, bayi baru lahir tidak boleh diberi makanan lain, misalnya madu. Menurut Kak Mya, jika seorang bayi baru lahir diberi madu, pada saat besar nanti dia bisa melawan perkataan orang tuanya. Pada saat memberikan garam ke mulut bayi, dukun kampung berkata kepada si bayi “Be se kemasin poa ini, bese jerohmu becerak rum saudare (begitu asinnya garam, begitu sopanmu berbicara pada saudara). Pengen manat jahman kah (dengar nasihat orang tua ya).”

“… kati jeroh cerak e (agar bagus bicaranya). Kati jeroh ko becerak urum saudere (agar bagus berbicara dengan saudara). Kati pengen jema cerak e (agar orang lain mendengar perka­taannya). Kasihlah garam …,” jelas Empun (Nenek) Ar.

Page 117: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012100

“… kalau manis tawon kata orang nanti melawan orang tuanya …,” jelas Kak My.

3.7.2 Pemberian ASI

Setelah diberi garam sebagai makanan pertamanya, bayi diberi ASI oleh ibunya sampai usia kurang lebih dua tahun. ASI pertama (kolostrum) atau susu basi dalam bahasa setempat dibuang oleh si ibu. Menurut masyarakat setempat, memberikan susu basi pada bayi dapat membuat si bayi sakit perut. Berdasarkan pengetahuan tersebut, susu basi (kolostrum) dibuang oleh si ibu.

ASI eksklusif sampai usia enam bulan masih belum diterapkan oleh beberapa, bahkan mayoritas ibu di Desa Tetingi. Pada saat menginjak usia dua atau tiga bulan, bayi diberi bubur nasi oleh ibunya. Hal ini dilakukan karena adanya pemahaman dan kekhawatiran sang ibu bahwa ASI tidak dapat mengenyangkan si bayi. Untuk itu, bayi diberi makanan tambahan, seperti bubur instan atau bubur nasi yang dibuat sendiri oleh ibunya. Nasi dicampur dengan aneka sayuran dimasak sampai matang. Setelah itu, dilumatkan sampai halus dan diberikan pada si bayi yang baru berusia tiga bulan.

3.7.3 Masalah ASI dan Menyusui

Jika air susu ibu menyusui belum keluar, bayi diberi madu, teh manis, atau air gula sebagai pengganti ASI. Hal ini seperti yang dilakukan Inen Ofi. Sejak hari pertama sampai hari ketiga setelah melahirkan, ASI Inen Ofi hanya keluar sedikit. Oleh karena itu, bayinya diberi madu, teh manis, atau air gula sebagai pengganti ASI. Jika lebih dari tiga hari ASI sang ibu belum juga keluar, bayi diberi susu formula. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Kak My. Kak My yang baru melahirkan anak pertamanya hanya mempunyai sedikit ASI pada payudaranya yang sebelah kiri, sedangkan payudaranya yang sebelah kanan mengalami pembengkakan. Sedikitnya ASI yang ke­luar dan terjadinya pembengkakan pada payudara menyebabkan Kak My mengambil keputusan untuk memberikan susu formula kepada anaknya yang baru berusia dua minggu. Kak My masih berusaha untuk memberikan ASI kepada anaknya, meskipun keluarnya sedikit. Tetapi, setelah diberi susu formula, anaknya tidak mau lagi minum ASI. “Mungkin karena nggak seenak susu ini kali ya?” cerita Kak My sambil menunjukkan kotak susu formula yang dibeli oleh suaminya di sebuah toko.

Page 118: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

101

Untuk mengatasi kurangnya ASI yang keluar dari payudara ibu me­nyusui, orang Gayo Lues mempunyai obat tradisional sendiri. Salah satu obat tersebut adalah bedak matah. Berdasarkan pengetahuan masyarakat setempat, bedak matah selain berfungsi sebagai penyegar badan setelah melahirkan, juga berfungsi sebagai pelancar ASI. Untuk melancarkan ASI, bedak matah tersebut dioleskan pada payudara ibu menyusui. Selain dioles, bedak matah juga dapat diminum agar ASI sang ibu lancar. Selain bedak matah, soda dan susu kental manis dipahami juga dapat melancarkan ASI. Ada pula cara lain untuk melancarkan ASI, yaitu dengan cara membersihkan puting susu dan payudara dengan air hangat atau jeruk nipis. Setelah dibersihkan, payudara disisirkan satu arah, yaitu dari pangkal menuju puting susu.

Memakai bedak matah dan meminum air soda dicampur dengan susu kental manis telah dilakukan oleh Kak My, namun ASI yang keluar tetap sedikit dan payudaranya pun masih mengalami pembengkakan lebih dari satu minggu. Selain mencoba obat tradisional Gayo Lues, Kak My juga sudah mencoba memanggil tenaga kesehatan yang ada di desanya. Pada saat itu, suami Kak My yang datang memanggil dan menceritakan kondisi Kak My kepada tenaga kesehatan. Namun, menurut tenaga kesehatan tersebut, pembengkakan pada payudara pada saat menyusui biasa ter­jadi. Tenaga kesehatan tersebut menyarankan untuk mengoleskan ASI ke payudara Kak My sebagai obatnya. Setelah mendapatkan saran dari tenaga kesehatan tersebut, suami Kak My pun pulang ke rumahnya tanpa membawa obat atau membawa tenaga kesehatan untuk memeriksa payudara istrinya. Sementara itu, payudara Kak My semakin membengkak dari hari ke hari dan badan Kak My pun menjadi panas. “Mungkin karena bengkak ini kali ya, makanya panas,” cerita Kak My pada seorang peneliti.

Berhubung Kak My tidak mendapatkan pengobatan atau pemeriksaan apa pun dari tenaga kesehatan, akhirnya Kak My berusaha dengan cara lain untuk mengobati pembengkakan pada payudaranya. Dia pun memanggil dukun kampung dari desa tetangga yang juga masih mempunyai hubungan kekerabatan dengannya. Dukun kampung tersebut memberikan obat tradisional yang terdiri atas tiga jenis, yaitu (1) tai ketol (kotoran cacing tanah) dicampur dengan air beras yang mendidih, (2) abu bengkoang (pandan duri) kering dioles dengan minyak goreng, dan (3) rumput kukur dicampur dengan kapur sirih. Tiga jenis obat tersebut dioleskan pada payudara yang bengkak secara bersamaan. Obat yang pertama dioles adalah daun kukur. Daun kukur diremas-remas terlebih dulu, setelah itu

Page 119: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012102

getah yang berbentuk busa yang keluar dari daun tersebut dioleskan pada payudara yang bengkak. Setelah itu, tai ketol yang telah dicampur dengan air beras dioleskan pada payudara yang bengkak. Terakhir, abu bengkoang kering dioles bersama minyak goreng. Menurut Kak My, melalui pengobat­an tradisional tersebut, rasa sakit pada payudaranya agar berkurang. “Ada kurang sikit (sedikit). Kurang sakitnya pun,” jelas Kak My. Sementara itu, untuk mengobati sakit panas yang diderita oleh Kak My, dukun kampung memberikan dedingin (sejenis cocor bebek) yang dicampur dengan beras, kemudian diremas. Setelah diremas, air dedingin dan beras tersebut di-minum oleh ibu nifas dan dioleskan ke seluruh badannya.

3.7.4 Tradisi Ulangan

Dalam masyarakat Gayo Lues, ada cara untuk melepas seorang anak untuk tidak menetek lagi. Apabila anak sudah berusia sekitar dua tahun, dia akan dibawa ke bidan kampung untuk melaksanakan ulangan, yaitu sebuah tradisi untuk melepaskan anak dari menyusui. Pada saat dibawa ke rumah bidan kampung, ibunya telah membawa perlengkapan untuk ulangan, seperti bertih (padi yang disangrai), satu butir telur yang sudah direbus, dan empat buah pisang mas. Bahan­bahan tersebut ditaruh di depan si anak dan anak duduk dalam posisi membelakangi si ibu. Pada saat itu, bidan kampung memberikan doa, mantra, dan nasihat kepada si anak agar dia tidak menyusui lagi. Selain bahan­bahan tersebut, ada juga air yang disediakan sebagai minum si anak, yaitu aih mulih (air yang berputar di sungai) atau air mengalir. Apabila pada hari pertama si anak tetap mau menyusu pada ibunya, si ibu akan membawanya lagi ke bidan kampung sampai si anak tidak ingin menetek lagi. Namun, biasanya setelah dilakukan ulangan, si anak sudah tidak mau menetek lagi dengan ibunya. Bertih, pisang emas, dan telur yang disediakan pada saat ulangan merupakan makanan yang disediakan untuk anaknya. Apabila si anak tidak mau makan makanan tersebut, ibunya akan memberinya makanan lain, seperti kue.

3.8 Balita dan Anak

3.8.1 Imunisasi

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, di Desa Tetingi sudah ada poskesdes yang berdiri di tengah pemukiman penduduk. Di Poskesdes inilah imunisasi melalui posyandu dilakukan. Posyandu di Desa Tetingi

Page 120: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

103

dilakukan setiap bulan pada tanggal 5. Namun, jika pada tanggal tersebut terdapat kegiatan masyarakat, seperti pernikahan, Isra’ Mi’raj, atau hari pasar, posyandu diundur pada hari selanjutnya. Jika hal tersebut terjadi maka kader kesehatan bertindak mengumumkan kepada masyarakat yang hendak mengikuti posyandu. Di Desa Tetingi terdapat tiga orang wanita yang berperan sebagai kader kesehatan. Peran kader kesehatan ini adalah membantu tenaga kesehatan dalam melaksanakan program kesehatan atau membantu mengatasi masalah kesehatan, salah satunya adalah posyandu.

Pada saat hari posyandu akan tiba, kader kesehatan menyiapkan makanan, seperti bubur kacang hijau atau kue untuk konsumsi pengunjung posyandu. Makanan tersebut kadang kala dimasak sendiri oleh kader kesehatan, namun kadang kala pula dibeli di pasar atau di toko­toko terdekat. Penyediaan makanan merupakan daya penarik agar masyarakat mau datang ke posyandu. Menurut bidan desa setempat, jika tidak ada makanan, masyarakat setempat tidak mau datang ke posyandu. “Kalau nggak ada makanannya, nggak mau datang mereka kak,” jelas bidan desa saat seorang peneliti bertanya mengapa ada makanan pada saat posyandu. Untuk itu, bidan desa dan kader kesehatan berusaha untuk menyediakan makanan ketika posyandu dilaksanakan, untuk menarik pengunjung. Makanan tersebut diberikan kepada balita yang sudah ditimbang dan diperiksa oleh tenaga kesehatan. Biasanya makanan tersebut dibungkus dalam plastik dan langsung diberikan kepada balita untuk dimakan. Hal ini menyebabkan kacang hijau yang dimakan oleh anak balita tidak terkonsumsi dengan baik, bahkan ada yang hanya menjadi mainan dan dibuang oleh anak balita tersebut.

Pada saat posyandu, bukan hanya anak balita yang diperiksa, tetapi ibu hamil juga diperiksa. Namun, ada beberapa ibu hamil yang mau diperiksa ketika pengunjung yang lain sudah pulang, karena dia tidak ingin dilihat oleh orang lain pada saat pemeriksaan. Selain ibu hamil, ibu­ibu yang merasa tidak enak badan, seperti sakit pinggang, kepala pusing, lemas, batuk, dan sebagainya juga ikut mengantre untuk mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan.

3.8.2 Sunat Anak

Dalam masyarakat Gayo Lues, seorang anak baik laki­laki maupun perempuan akan mengalami sunat yang dikenal dengan sunet atau khatam dalam istilah setempat. Ada perbedaan antara sunat laki­laki dan sunat

Page 121: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012104

perempuan dalam masyarakat Gayo Lues. Sunat perempuan dilakukan pada saat anak berusia sekitar 7 bulan sampai 1 tahun, atau pada saat si anak sudah bisa duduk. Sementara itu, sunat laki-laki dilakukan pada saat anak berusia sekitar 8 tahun sampai 12 tahun. Selain itu, seorang anak perempuan hanya boleh disunat oleh perempuan dan anak laki-laki oleh seorang laki­laki pula.

Seorang anak perempuan disunat pada usia sekitar 7 bulan sampai satu tahun. Anak perempuan disunat oleh seorang perempuan pula, baik oleh bidan kampung maupun tenaga kesehatan, seperti bidan atau dokter. Alasan bidan kampung masih dipilih sebagai orang untuk menyunat anaknya karena bidan kampung dianggap mempunyai mantra, sedangkan tenaga kesehatan tidak memilikinya. Namun, ada juga masyarakat Desa Tetingi yang menyunatkan anak perempuan ke bidan desa yang tinggal di desa tetangga. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Inen Je. Alasan Inen Je memilih tenaga kesehatan tersebut karena menurutnya, meskipun orang tersebut adalah bidan desa (tenaga kesehatan), ia juga bisa mengucapkan mantra layaknya bidan kampung sebelum menyunat seorang anak perempuan. Selain itu, adat sebelum menyunatkan anak perempuan tetap dilakukan oleh bidan desa tersebut, misalnya dia menyarankan agar anak perempuan dimandikan terlebih dulu oleh neneknya sebelum disunat.

Selain faktor mantra dan adat yang juga bisa dilakukan oleh tenaga kesehatan, alasan lain yang menyebabkan seorang ibu menyunatkan anak perempuannya ke tenaga kesehatan adalah keamanan dan keselamatan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Inen Wa yang akan menyunatkan anak perempuannya yang berusia delapan bulan. Inen Wa berencana menyunatkan anak perempuannya kepada tenaga kesehatan yang ada di desa tetangga karena dia merasa nyaman dan aman, sebab tenaga kesehatan tersebut muda dan penglihatannya lebih tajam daripada bidan kampung.

“… kalau bidan kampung kan udah tua. Takutnya udah nggak keliatan,” jelas Inen Wa.

Sebelum seorang anak perempuan disunat, dia akan dimandikan terlebih dulu oleh neneknya atau dukun kampung dengan menggunakan mungkur, di air sungai. Setelah dimandikan, dukun kampung mulai beraksi untuk menyunatnya. Bagian yang dipotong oleh dukun kampung adalah ujung klitoris, dengan menggunakan pisau. Pada saat mencuil ujung klito­ris tersebut, ada kapas yang menjadi alasnya.

Page 122: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

105

Sebelum ada tenaga kesehatan, sunat laki­laki dilakukan oleh se-orang mudim. Mudim adalah seorang dukun kampung yang berperan me-nyunat anak laki­laki. Namun sekarang sudah tidak ada lagi mudim di Desa Tetingi, bahkan menurut Empun (kakek) Mn, seorang tokoh masyarakat setempat yang berusia sekitar 60­an tahun, keberadaan mudim di Gayo Lues bisa dikatakan sudah tidak ada lagi. Empun (kakek) Mn juga bercerita bahwa anak pertamanya adalah seorang laki­laki yang sekarang berusia sekitar 30­an tahun, disunat oleh tenaga kesehatan yang ada di Gayo Lues pada saat itu. Menurutnya, seorang anak disunat oleh tenaga kesehatan lebih aman daripada disunat oleh seorang mudim. Selain itu, banyak per-syaratan dan perlengkapan yang harus disiapkan untuk seorang mudim ketika ingin menyunatkan anak kepadanya, seperti beras satu karung dan satu bambu dan ayam jantan satu ekor. Beras dan ayam jantan tersebut diantarkan ke rumah mudim tersebut. Menurut Empun (kakek) Mn, hal ini tentu merepotkan masyarakat. Sementara itu, jika menyunatkan anak kepada seorang tenaga kesehatan hanya membawa uang saja.

Selain banyaknya persyaratan yang perlengkapan yang harus dipe­nuhi, menurut Empun (kakek) Mn, menyunatkan anak kepada seorang mudim belum tentu terjamin keselamatan dan keamanannya karena menggunakan pisau dan tidak dijahit.

“… kalau di mentri (mantra) uangnya kan disiapkan, udah. Makan pun dia nggak mau. Ada juga yang mau makan. Itulah orang milih mentri. Semuanya pun terjamin. Kalau di mudim enggak pakai jahit, terus dibalutkannya terus pakai kain putih. Berdarah mau lama. Takut kita pun dengan dia, dipantannya (dihentikan). Ada juga yang nggak berdarah, ada juga sampai sore nggak berhenti darahnya …,” jelas Empun (Kakek) Mn.

3.8.3 Aktivitas Anak

Pada saat sang mentari mulai menampakkan sinarnya, anak­anak SD dan SMP di Desa Tetingi memulai harinya dengan berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Tidak ada SD atau SMP di Desa Tetingi. Jadi, anak­anak harus berjalan kaki dari Desa Tetingi ke Desa Cinta Maju untuk mengenyam pendidikan. Meskipun mereka harus menempuh jalan yang berbatu, tanjakan, dan turunan yang panjangnya kira­kira 2­3 kilometer, tetapi semangat anak­anak tersebut tetap menyala. Hal ini terlihat dengan senyum dan gelak tawa mereka saat berangkat sekolah bersama­sama.

Page 123: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012106

Pukul 11.00 siang hari saat matahari menyinari bumi dengan ter-iknya, anak­anak tersebut kembali ke rumah mereka di Desa Tetingi. Terik matahari dan tanjakan jalan harus mereka lalui. Kadang­kadang mereka berhenti sejenak di bawah pohon yang rindang untuk melepaskan lelah. Keringat pun mengucur di wajah mereka. Baju mereka pun tampak basah oleh keringat. Perjalanan tersebut harus mereka lalui tiap hari.

Setiba di rumah, mereka langsung mengganti baju seragam mereka. Rasa lapar pun sudah mulai menyerang. Piring yang bertengger di rak piring pun segera diambil. Nasi putih dan lauk yang tersedia di atas meja pun langsung diambil. Setelah makan, mereka langsung bermain dengan teman­teman mereka. Banyak permainan yang sering dimainkan oleh anak­anak di Desa Tetingi. Salah satu permainan tradisional yang dimainkan oleh anak­anak di Desa Tetingi adalah permainan simang. Simang dalam bahasa Gayo berarti “batu”. Permainan simang ini adalah permainan menghitung batu. Bila dihitung, ada sekitar ratusan batu yang disiapkan untuk bermain simang. Batu tersebut diletakkan di atas lantai. Masing­masing anak mengambil sekitar tiga puluhan batu yang diletakkan di depannya. Satu batu dijadikan patakon untuk mengambil batu yang lain, dengan cara batu tersebut dilemparkan ke atas. Setelah batu tersebut dilempar ke atas dengan menggunakan tangan kanan, tangan kanan dengan sigap mengambil batu­batu lain yang berserakan di lantai, sebelum batu yang dilemparkan ke atas tadi jatuh. Batu yang dilemparkan ke atas tidak boleh jatuh menyentuh tanah sehingga setelah mengambil batu di lantai, tangan kanan dengan sigap pula mengambil batu yang dilemparkan ke atas agar tidak jatuh ke bawah. Anak­anak tersebut mengambil batu di atas lantai sambil berhitung “sara (satu), rowa (dua), tulu (tiga), opat (empat), lime (lima), onom (enam), pitu (tujuh), walu (delapan), siwa (sembilan), sepuluh, dan seterusnya”.

Selain simang, masih banyak lagi permainan lain yang dimainkan oleh anak­anak di Desa Tetingi, di antaranya batok kelapa yang dijadikan alas kaki yang bertali, permainan tali karet, permainan tutup limun, dan sebagainya. Permainan tersebut dimainkan oleh anak­anak setelah pulang sekolah sampai sore hari. Tidak ada perbedaan antara permainan anak laki­laki dan anak perempuan. Setiap permainan selalu ada anak perempuan dan anak laki­laki, bahkan permainan lompat karet yang di daerah lain, seperti Bengkulu, menjadi permainan anak perempuan, di Desa Tetingi anak laki­laki pun ikut bermain.

Page 124: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

107

Namun, tidak semua anak tersebut bermain. Ada juga anak yang pergi ke ladang untuk membantu orang tuanya. Meskipun baru duduk di bangku SD, anak­anak tersebut sudah pandai mengerjakan pekerjaan di ladang dan di sawah. Kadang kala bukan hanya kebun milik orang tuanya yang mereka bantu, melainkan juga ladang atau sawah milik orang lain, dengan sistem upahan. Sal, contohnya, memanfaatkan musim libur seko lah untuk bekerja. Dia membantu memetik jagung milik tetangganya dengan upah Rp7.000,00 per karung. Dalam satu hari Sal dapat memperoleh 5­6 karung. Dia bekerja selama 4 hari. Dalam waktu 4 hari tersebut Sal dapat mengumpulkan uang sebanyak Rp130.000,00. Uang tersebut dibelikannya sepatu sekolah dengan harga Rp50.000,00 dan Rp50.000,00 lagi diberikannya kepada neneknya yang hidup sebatang kara. Masih ada sisa Rp30.000,00 yang dimanfaatkannya untuk membeli buku atau jajan.

Setelah lelah melakukan aktivitas seharian, pada sore hari anak­anak tersebut pulang ke rumah masing­masing. Setiba di rumah, anak perempuan membantu ibunya memasak. Mayoritas anak perempuan di Desa Tetingi sudah pandai memasak sejak usia delapan tahun. Setelah selesai memasak, mereka makan bersama dengan keluarga mereka se­belum atau setelah shalat Magrib. Selesai shalat Magrib, mereka per­gi ke meunasah untuk belajar mengaji. Di meunasah mereka diajar oleh seorang guru mengaji. Berhubung guru mengaji hanya ada satu sedangkan muridnya berjumlah 30­an orang, murid yang senior yang sudah pandai membaca Alquran ikut membantu guru tersebut mengajar murid­muridnya membaca Iqra’ dan huruf hijaiyah.

Setelah selesai mengaji, anak­anak tersebut kembali ke rumah ma­sing­masing atau ke rumah saudaranya tempat dia tidur. Dalam masya­rakat Gayo Lues, ada sebuah tradisi bagi seorang anak, yaitu ketika seorang anak sudah menginjak usia sekitar delapan tahun atau sekitar kelas 4 SD, biasanya pada malam hari mereka tidak tidur di rumah mereka lagi, melainkan tidur bersama dengan teman­temannya di sebuah rumah di desa tersebut. Jika seorang anak sudah menginjak usia delapan tahun dan masih tidur di rumah orang tuanya, dia akan merasa malu karena dianggap masih menetek atau menyusu oleh teman­temannya, kecuali jika ia adalah anak perempuan satu-satunya di rumah tersebut dan ibunya hanya sendiri di rumah. Hal ini terlihat pada saat tim peneliti bertanya mengapa Asmi, seorang anak perempuan berusia 10 tahun, tidak tidur bersama dengan teman­temannya di rumah Inen Li. Teman-temannya tersebut dengan kompak berkata “Masih netek pada ibunya,” jawab mereka sambil tertawa.

Page 125: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012108

Terdapat perbedaan dalam tradisi tidur ini antara anak laki­laki dan anak perempuan. Anak perempuan tidur di rumah tetangganya pada saat usianya menginjak 8 tahun, sedangkan anak laki­laki menginjak usia 12 tahun. Selain itu, tempat tidur anak perempuan adalah rumah salah satu penduduk setempat, sedangkan anak laki­laki biasanya di rangkang. Rangkang adalah sebuah bangunan yang dibangun untuk anak laki­laki yang mengaji di meunasah. Usai mengaji, mereka tidur bersama di rangkang tersebut. Namun sekarang rangkang di Desa Tetingi tidak di­fungsikan lagi untuk anak laki­laki yang mengaji. Beberapa ruangan rangkang dipakai oleh sebuah keluarga kecil, sedangkan ruangan yang lain dibiarkan terbengkalai. Oleh sebab itu, anak laki­laki di Desa Tetingi pada saat ini tidak tidur di rangkang lagi, tetapi tidur di rumah temannya atau di rumahnya sendiri.

Sekarang anak laki­laki dan anak perempuan di Desa Tetingi pada saat duduk di bangku SMP tinggal di sebuah pesantren yang terdapat di Desa Cinta Maju. Setelah pulang dari SMP pada siang hari, anak­anak tersebut pergi ke pesantren untuk mengaji dan belajar ilmu agama hingga larut malam.

Namun, tidak semua orang tua di Desa Tetingi menyetujui anaknya untuk tidur di rumah orang lain, meskipun di rumah bibinya. Hal ini seperti yang dilakukan Inen NA. Inen NA tidak menyuruh anak­anaknya untuk tidur di rumah orang lain karena dia ingin lebih dekat dengan anaknya dan dapat mengontrol belajar anaknya pada malam hari. Bukan hanya Inen NA, salah seorang tokoh masyarakat pun tidak menyetujui anaknya tidur di rumah tetangganya karena dapat mengganggu sekolah dan belajar anaknya.

“… itulah masalahnya orang tua, kalau dia mau disekolahkan, jangan pun dibiarkan tidur kayak itu dia ya kan, tidur di situ, tidur di sana, dia kan ga belajar. Kalau ga sekolah, ya enggak papa, tidur sana, kalau sekolah susah dia, gimana dia mau belajar …,” jelasnya.

3.9 Health Seeking Behavior dalam Kesehatan Ibu dan Anak

Peran bidan kampung terhadap seorang ibu bersalin bukan hanya sebatas pada pertolongan persalinan, melainkan juga menjadi “rujukan” apabila seorang ibu pasca­persalinan mengalami sakit. Misalnya, apa­bila seorang ibu nifas mengalami panas badan, dia lebih cenderung

Page 126: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

109

memanggil bidan kampung untuk mengobatinya daripada bidan desa. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan yang dia miliki bahwa sakit yang dia alami disebabkan karena pengaruh setan. Oleh sebab itu, dia memanggil bidan kampung untuk mengobatinya, karena menurutnya hanya bidan kampung yang bisa mengusir setan tersebut. Hal ini seperti yang dialami oleh Kak My. Pada saat nifas, Kak My menderita sakit panas. Pada saat itu, Kak My memanggil Empun (Nenek) Ar untuk memberinya pengobatan. Kemudian Empun (Nenek) Ar memberikan daun dedingin yang dicampur dengan beras, kemudian diremas. Setelah diremas, lalu air dedingin dan beras tersebut diminum oleh Kak My dan dioleskan ke seluruh badannya.

Pengobatan oleh bidan kampung tersebut juga dilakukan kepada bayi. Pada saat bayi panas, si ibu akan memanggil bidan kampung untuk mengobatinya. Hal ini dialami oleh Kak My pada saat anaknya sakit panas. Pada saat itu Kak My memanggil Empun (Nenek) Ar untuk mengobati anaknya. Empun (Nenek) Ar memberikan daun bebesi dicampur keruh sejuk (nasi dingin) yang dioleskan ke seluruh badan si bayi. Daun bebesi dan keruh sejuk tersebut diremas dan didoakan terlebih dulu sebelum dioleskan ke seluruh badan bayi yang sakit.

Selain panas, sakit uris atau bintik­bintik merah pada badan bayi juga sering terjadi. Apabila bayi menderita sakit uris, bidan kampung akan mengobatinya dengan semburan sirih. Sirih tersebut dikunyah terlebih dulu lalu disemburkan pada bagian kaki, tangan, hati, dan ubun­ubun si bayi. Pada saat sedang sakit uris, ibu si bayi tidak boleh makan sayur dan terkena uap sayur rebus. Selain itu, jika sedang sakit uris, si bayi tidak boleh dimandikan.

Page 127: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012110

Page 128: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

111

BAB IV TENAGA KESEHATAN DI MATA MASYARAKAT

DESA TETINGI

Di DesaTetingi terdapat seorang bidan desa yang tinggal bersama keluarga kecilnya di Poskesdes. Poskesdes yang dibangun pada tahun 2010 berdiri di sudut pemukiman warga Desa Tetingi dan ditempati oleh bidan desa pada pertengahan tahun 2010. Bidan desa tersebut berasal dari Kota Langsa, sebuah kota yang terdapat di Provinsi Aceh. Dia datang ke Gayo Lues karena ikut suaminya yang bertugas di sana. Oleh karena itu, dia pun mencoba melamar untuk bekerja sebagai bidan desa sesuai dengan latar belakang pendidikan yang dimilikinya. Setelah diterima, dia pun ditempatkan di Poskesdes Tetingi.

Bidan desa tersebut tergolong masih muda. Usianya pada saat itu menginjak 26 tahun. Desa Tetingi adalah desa pertama baginya untuk mengabdi kepada masyarakat setelah dia menyelesaikan kuliahnya di tingkat D3 Kebidanan tiga tahun silam. Hal ini tentu menjadi pengalaman pertama baginya untuk menjadi seorang bidan desa, apalagi Desa Tetingi belum memiliki seorang bidan desa sebelumnya. Dengan kata lain, bidan desa tersebut adalah yang pertama bagi masyarakat Desa Tetingi, dan Desa Tetingi adalah yang pertama bagi bidan desa tersebut untuk mengabdi kepada masyarakat.

Kehadiran seorang bidan desa di Desa Tetingi belum mampu meng­geser peran bidan kampung, khususnya dalam pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan. Hal ini terlihat masih banyaknya ibu hamil yang meminta pertolongan persalinan kepada bidan kampung, seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya.

Sebelum kedatangannya, masyarakat Desa Tetingi pergi ke bidan desa yang tinggal di Desa Cinta Maju untuk mendapatkan pengobatan atau memeriksakan kehamilan. Jarak antara Desa Cinta Maju dengan Desa

Page 129: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012112

Tetingi sekitar 2 kilometer. Tidak ada transportasi umum yang tersedia dari Desa Tetingi menuju Desa Cinta Maju. Masyarakat setempat harus berjalan kaki dan melewati jalanan yang berbatu dan menanjak. Namun, hanya di Desa Cinta Maju itulah masyarakat bisa mendapatkan pengobatan oleh tenaga kesehatan pada saat itu. Pengobatan kepada tenaga kesehatan yang terdapat di desa tersebut masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Desa Tetingi hingga saat ini, meskipun sudah ada bidan desa di Desa Tetingi. Menurut masyarakat setempat, hal ini dilakukan karena faktor kecocokan dan kenyamanan yang mereka alami sendiri, seperti yang diungkapkan oleh Aman Mrw berikut ini.

“… serasi kalau berobat ke sana. Udah biasa berobat di sana …,” jelas Aman Mrw.

Sebelum mendapatkan pengobatan dari tenaga kesehatan, masyarakat Desa Tetingi mencoba untuk mengobati sakit yang dideritanya dengan cara pengobatan yang mereka ketahui, misalnya mencari pengobatan dari alam. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Aman Na yang mencari getah geloah (getah pohon jarak) untuk mengobati sakit gigi pada anaknya. Se lain Aman Na, ada juga Inen Ri yang mengobati batuk anaknya yang berumur delapan bulan dengan air yang ada di pohon pelu, yaitu pohon yang mirip dan menyerupai pohon bambu, tetapi batangnya lebih kecil daripada pohon bambu. Selain mencari pengobatan dari alam, masyarakat setempat juga mencari pengobatan ke dukun kampung untuk mengobati sakit yang dideritanya. Hal ini berhubungan dengan pengetahuan mereka tentang penyebab sakit, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa penyebab masyarakat Desa Tetingi belum memanfaatkan tenaga kesehatan yang ada di Desa Tetingi meliputi dua faktor. Faktor pertama yaitu faktor kenyamanan dengan tenaga kesehatan yang ada di desa lain yang menjadi tempat pengobatan mereka sebelum tenaga kesehatan di Desa Tetingi tersebut datang. Sementara, faktor yang kedua adalah faktor pengetahuan mereka tentang penyebab sakit dan pengobatan dari alam yang mereka ketahui.

Selain faktor dari masyarakat, kekurangpercayaan masyarakat ter­hadap tenaga kesehatan yang ada di Desa Tetingi juga disebabkan oleh karena faktor bidan desa itu sendiri. Bidan desa yang masih muda dan belum berpengalaman dianggap oleh masyarakat setempat belum mampu melakukan penyembuhan dengan baik, termasuk persalinan.

Page 130: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

113

Kurang bermasyarakatnya bidan desa dengan masyarakat setempat karena ada kendala bahasa. Bidan desa yang bukan berasal dari Desa Tetingi dan bukan orang Gayo tidak bisa berbahasa Gayo. Hal ini tentu menjadi kendala bagi bidan desa untuk berkomunikasi dengan masyarakat setempat, padahal unsur yang paling penting dalam komunikasi adalah bahasa.

“… mungkin karena aku nggak bisa bahasa Gayo, ya, Kak …,” jelas bidan desa.

Selain faktor bahasa, kurangnya bermasyarakat bidan desa dengan masyarakat setempat juga didukung oleh letak poskesdes yang berada di sudut pemukiman warga. Posisi tersebut menyebabkan kurang intensifnya komunikasi yang terjalin antara bidan desa dengan masyarakat setempat. Meskipun demikian, bidan desa sudah mempunyai hubungan yang baik dengan masyarakat setempat, khususnya dengan bidan kampung. Hal ini terlihat dari adanya hubungan sosial di antara mereka, termasuk da­lam pengobatan. Apabila bidan kampung menderita sakit, seperti sakit pinggang, bidan kampung datang ke bidan desa untuk mendapatkan pengobatan. Begitu pula sebaliknya. Benang pancorana yang ada di pinggang anak bidan desa juga dipasang oleh bidan kampung karena pada saat itu anaknya sering menangis saat Magrib menjelang. Menurut bidan kampung, hal tersebut karena ada setan yang mengganggunya. Oleh sebab itu, bidan kampung pun memasang benang pancarona untuk mengusir setan tersebut agar anak bidan desa tersebut tidak menangis lagi.

Selain letak poskesdes yang berada di sudut pemukiman warga yang menyebabkan kurangnya interaksi sosial antara bidan desa dengan masyarakat setempat, juga karena keadaan pintu poskesdes yang selalu tertutup. Menurut masyarakat setempat, bidan desa sering menutup pintu poskesdes sehingga mereka merasa sungkan untuk datang ke poskesdes untuk mendapatkan pengobatan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh masyarakat setempat berikut ini.

“… bidan desa sering menutup pintu poskesdes, sehingga kami tidak berani datang ….”

Menurut bidan desa, pintu poskesdes ditutup bukan karena bi dan desa tersebut “melarang” masyarakat setempat untuk datang ke pos­kesdes, namun karena kondisi alam Desa Tetingi. Secara geografis letak poskesdes yang juga sebagai tempat tinggal bidan desa berada di sisi bukit

Page 131: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012114

bagian yang tinggi dari dusun Arul Sirep. Di depan poskesdes membentang lembah persawahan yang luas. Apabila angin bertiup dari arah lembah menuju Dusun Arul Sirep, laju angin yang kencang akan langsung ke arah poskesdes dan masuk ke dalam rumah bila pintu terbuka sehingga pasir dan debu yang ada di depan poskesdes juga ikut masuk ke dalam. Hal inilah yang menyebabkan pintu poskesdes selalu tertutup. Berikut penuturan bidan desa

“… di sini anginnya kencang, apabila angin bertiup, maka pasir dan debu akan masuk ke dalam rumah .…”

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa faktor bahasa dan letak fasilitas kesehatan mempunyai pengaruh dalam komunikasi dan interaksi sosial antara bidan desa dengan masyarakat setempat sehingga masyarakat melakukan pengobatan ke tenaga kesehatan yang berada di desa lain atau pengobatan dengan cara mereka sendiri yang telah mereka ketahui selama bertahun-tahun. Oleh sebab itu, sebelum mendirikan poskesdes di sebuah desa, hendaknya pemerintah setempat mempertimbangkan aspek kehidupan sosial tenaga kesehatan nantinya terhadap masyarakat setempat.

Page 132: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

115

BAB V POTENSI DAN KENDALA DALAM

PEMBANGUNAN KESEHATAN IBU DAN ANAK DI DESA TETINGI

Program untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak telah sering dilakukan baik oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Namun perma-salahan kesehatan tersebut masih ada, seperti masih banyaknya kasus kematian ibu dan bayi. Oleh sebab itu, perlu adanya kacamata lain untuk mengungkapkan misteri di balik itu. Salah satunya dengan menggunakan kacamata kebudayaan.

E.B. Tylor (1871 dalam Seokanto, 1990:188­189) memberi definisi bah wa kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, keper­cayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, serta kebiasaan­kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kemudian Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang super organik, karena kebudayaan turun­temurun dari generasi ke generasi (Soekanto, 1990:188). Sementara itu, Merville J. Herkovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan cultural determinism yang berarti segala sesuatu yang ter dapat di dalam masyarakat ditentukan oleh adanya kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut (Soekanto, 1990:187), termasuk kese­hatan.

Kesehatan suatu masyarakat dapat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dimilikinya. Dengan kata lain, pemahaman kesehatan dalam suatu masyarakat dipengaruhi oleh kebudayaan yang telah mereka pelajari se cara turun­temurun dari generasi ke generasi. Sementara itu, setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat yang lain. Perbedaan kebudayaan antara suatu masyarakat dengan masya­rakat yang lain tentu menyebabkan pemahaman kesehatan yang berbeda

Page 133: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012116

pula. Sebagai contoh, masyarakat di Hulu Lembah Mississippi tidak menganggap malaria sebagai suatu penyakit yang dapat mengganggu kesehatan (Foster, 2011:51). Hal ini tentu berbeda dalam dunia medis yang menganggap bahwa malaria merupakan suatu penyakit yang berdampak pada kesehatan manusia.

Perbedaan pemahaman kesehatan antara dunia medis dengan suatu masyarakat juga terlihat dalam masyarakat Gayo di Desa Tetingi. Dalam masyarakat Gayo, permasalahan kesehatan pada umumnya dipercaya karena adanya pengaruh setan atau magis. Hal ini berbeda dengan dunia medis yang melihat permasalahan kesehatan berkaitan dengan bakteri, virus, dan mental seseorang atau masyarakat.

Pemahaman masyarakat mengenai kesehatan tersebut berpengaruh pada cara pengobatan yang dilakukan, yaitu dengan magis juga untuk mengusir setan. Oleh sebab itu, dukun kampung masih mempunyai peranan penting dalam pengobatan suatu penyakit, termasuk dalam kesehatan ibu dan anak, seperti pengobatan pada masa kehamilan sampai pasca-persalinan.

5.1 Masa Hamil

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ibu hamil di Desa Te­tingi cenderung merahasiakan usia kehamilannya dari orang lain, apa­lagi orang yang belum dikenalnya dengan baik. Merahasiakan usia ke­hamilan ini berkaitan dengan sistem kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat setempat, yang mempercayai bahwa kehamilan merupakan masa yang rentan untuk diganggu oleh setan dan magis sehingga dapat membahayakan ibu hamil dan janinnya.

Alasan merahasiakan usia kehamilan dari orang lain tersebut sekilas terdengar “aneh” bagi sebagian orang di luar masyarakat Desa Tetingi (outsider), namun hal tersebut menunjukkan kepedulian seorang ibu dan keluarganya untuk menjaga dan melindungi ibu hamil dan janinnya dari hal­hal yang dapat membahayakan keduanya. Di sisi lain, hal ini tentu menjadi kendala bagi tenaga kesehatan untuk mengidentifikasikan ibu hamil sehingga terjadi persalinan yang tidak diketahui oleh tenaga kesehatan, seperti yang telah diceritakan pada bab sebelumnya.

Apabila ada permasalahan atau gangguan kehamilan, seperti penda­rahan sebelum waktu persalinan, hal tersebut dipahami oleh masyarakat setempat disebabkan oleh karena ada setan atau magis yang mengganggu ibu hamil. Pemahaman tersebut berpengaruh pada perilaku pencarian

Page 134: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

117

pengobatan, sehingga bidan kampung atau dukun kampung dipilih untuk mengobati ibu hamil yang sedang mengalami permasalahan kehamilan. Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan pada mantra yang dimiliki oleh bidan kampung atau dukun kampung yang dapat mengusir setan yang mengganggu ibu hamil. Tenaga kesehatan dianggap tidak bisa mengusir setan tersebut. Padahal, masyarakat setempat juga tidak mengetahui mantra yang dibaca oleh bidan kampung atau dukun kampung tersebut.

Pemahaman tersebut tentu menjadi kendala bagi tenaga kesehatan untuk memberikan pengobatan dan mengatasi masalah kehamilan yang dialami oleh ibu hamil. Oleh sebab itu, tenaga kesehatan yang dianggap oleh masyarakat setempat tidak mampu mengusir setan karena tidak memiliki mantra seperti bidan kampung, hendaknya mempunyai strategi untuk membangun kepercayaan masyarakat. Salah satu strategi tersebut adalah “meniru” atau mengadopsi mantra bidan kampung atau dukun kampung, dengan cara membaca mantra pula, meskipun mantra yang dibaca adalah doa yang diajarkan oleh agamanya.

Mantra atau doa yang dibacakan oleh penyembuh dipercaya oleh masyarakat setempat dapat mengusir setan dan magis yang meng­ganggu ibu hamil. Ketika penyembuh membacakan mantra atau doa, ada ketenangan yang dialami oleh ibu hamil. Hubungan antara mantra atau doa dengan ketenangan jiwa ibu hamil tersebut dapat dipahami dalam psikoneuroimunologi. Menurut Ader dan Cohen (1993), psiko­neuroimunologi merupakan kaitan ataupun interaksi antara jiwa, kerja saraf, fungsi endokrin, dan proses kekebalan tubuh8. Martin (1938)9 menge­mukakan ide dasar konsep psikoneuroimunologi, yaitu (1) status emosi menentukan fungsi sistem kekebalan dan (2) stres dapat meningkatkan kerentanan tubuh. Berdasarkan teori tersebut dapat dipahami bahwa mantra atau doa yang dibacakan oleh penyembuh mempengaruhi emosi, jiwa, dan saraf seseorang. Oleh sebab itu, mengadopsi cara bidan kampung atau dukun kampung adalah salah satu strategi untuk membangun kepercayaan masyarakat.

Selain merahasiakan usia kehamilan dari orang lain, sebagian ibu hamil di Desa Tetingi juga mengonsumsi ramuan tradisional, seperti sirih

8 Sumber: http://johana.staff.ugm.ac.id/wp­content/uploads/buletin­psikologi.pdfdiunduh pada tanggal 28 Juni 2011.

9 Sumber:http://dennyhendrata.wordpress.com/2007/07/30/stres­dan­sistem­imun­tubuhsuatu­pendekatan­psikoneuroimunologi­2/. diunduh pada tanggal 28 Juni 2011.

Page 135: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012118

yang telah didoakan oleh bidan kampung. Mengonsumsi sirih ini diyakini oleh masyarakat setempat dapat melancarkan persalinan. Namun, hal ini belum dapat dijelaskan secara ilmiah. Selama ini sirih diketahui hanya sebagai obat hidung berdarah, obat bisul, obat batuk, obat sariawan, dan obat sakit mata (Syamsuhidayat, 1991:454). Oleh sebab itu, perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mengungkapkan misteri sirih dalam melancarkan persalinan.

Terlepas dari itu, mengonsumsi sirih yang dianjurkan oleh masya­rakat setempat kepada ibu hamil merupakan bentuk kepedulian mereka terhadap persiapan persalinan. Selain itu, mengonsumsi sirih juga meru­pakan tindakan preventif yang dilakukan oleh ibu hamil dalam menghadapi permasalahan persalinan. Nilai memakan sirih tersebut dapat “ditiru” dan diadopsi oleh tenaga kesehatan dalam menanamkan nilai mengonsumsi vitamin bagi ibu hamil.

Selain mengonsumsi ramuan tradisional untuk melancarkan per­salinan, ibu hamil di Desa Tetingi juga dianjurkan untuk bekerja di sa­wah, kebun, dan ladang, serta bejangkat (mengangkat kayu). Menurut pemahaman masyarakat setempat, aktivitas tersebut dapat melancarkan proses persalinan. Namun, apabila pekerjaan tersebut terlalu “berat” bagi ibu hamil, dikhawatirkan dapat berdampak kurang baik bagi kehamilan dan rahim seorang ibu sehingga berisiko pada kehamilannya. Oleh sebab itu, peran tenaga kesehatan untuk mengontrol ibu hamil tersebut sangat diperlukan agar kehamilan dan persalinan berisiko dapat dihindari.

5.2 Persalinan

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, masih ada ibu bersalin di Desa Tetingi yang belum mengetahui tanda­tanda persalinan sehingga masih banyak ibu bersalin yang melakukan persalinan sendiri tanpa pertolongan bidan desa atau bidan kampung. Hal ini tentu mem-punyai dampak yang kurang baik bagi ibu bersalin tersebut, apalagi persalinan tersebut adalah persalinan berisiko tinggi dan bermasalah. Oleh sebab itu, peran tenaga kesehatan dan pemerintah setempat sangat diperlukan untuk menanamkan pengetahuan tanda­tanda persalinan kepada ibu sejak kehamilan.

Menjelang persalinan, masih banyak ibu di Desa Tetingi yang mencari pertolongan persalinan ke bidan kampung atau dukun kampung, seperti yang telah diceritakan pada bab sebelumnya. Hal ini terjadi karena karena adanya hubungan kekerabatan antara keduanya. Hal ini tentu menjadi

Page 136: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

119

tantangan tersendiri bagi tenaga kesehatan yang ada di sana untuk meyakinkan dan mendekati masyarakat agar melakukan persalinan dengan bantuan tenaga kesehatan, apalagi tenaga kesehatan bukan berasal dari masyarakat setempat dan tidak mempunyai hubungan kekerabatan de­ngan salah satu individu masyarakat setempat. Ditambah lagi tenaga kesehatan tersebut tidak bisa berbahasa Gayo, yang merupakan bahasa sehari-hari masyarakat setempat.

Untuk mengatasi kendala tersebut, dapat ditempuh dua strategi, yaitu (1) tenaga kesehatan hendaknya membangun “hubungan kekerabatan” secara sosiologis kepada masyarakat setempat, meskipun tidak mempunyai hubungan biologis, dan (2) pemerintah setempat menyiapkan generasi yang akan berkiprah membangun kesehatan di desa tersebut yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Strategi pertama merupakan strategi jangka pendek, sedangkan strategi kedua merupakan strategi jangka panjang.

Selain adanya hubungan kekerabatan, bidan kampung atau dukun kampung masih dicari oleh masyarakat setempat untuk menolong per­sa linan karena adanya kepercayaan masyarakat setempat terhadap “ke-kuatan” mantra yang dimiliki oleh bidan kampung atau dukun kampung. Mantra yang dimiliki oleh bidan kampung atau dukun kampung tersebut dipercaya oleh masyarakat setempat dapat mengusir setan atau magis yang dapat mengganggu ibu bersalin. Oleh sebab itu, mantra yang dimiliki oleh bidan kampung atau dukun kampung pada pertolongan persalinan juga dapat diadopsi oleh tenaga kesehatan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Masyarakat Desa Tetingi lebih percaya kepada bidan kampung untuk menolong persalinan daripada tenaga kesehatan. Oleh sebab itu, peluang bidan kampung untuk menolong persalinan lebih banyak daripada tenaga kesehatan. Oleh sebab itu, bidan kampung hendaknya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah setempat. Perhatian tersebut mungkin dapat dilakukan dengan cara membina dan merangkul bidan kampung untuk bekerja sama dalam mengatasi permasalahan kehamilan seorang ibu sampai pasca­persalinan. Menurut pengakuan seorang bidan kampung, dia belum pernah mendapatkan pembinaan, khususnya tentang persalinan, dari pemerintah setempat. “Ilmu” pertolongan persalinan dia peroleh dari nenek moyangnya secara turun­temurun. Oleh sebab itu, peran peme­rintah sangat diperlukan untuk merangkul para bidan kampung dan dukun kampung selaku orang yang dipercaya oleh masyarakat setempat untuk menyembuhkan suatu penyakit dan menolong persalinan.

Page 137: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012120

5.3 Pasca-persalinan

Setelah persalinan, ibu nifas di Desa Tetingi menggunakan api yang diletakkan di belakang punggung yang dikenal dengan istilah bedapur atau nite. Penggunaan api tersebut dipercaya oleh masyarakat setempat dapat melancarkan darah kotor yang terdapat di punggung ibu hamil.

Penggunaan api pasca­persalinan tersebut sama dengan masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang melakukan sei pasca-persalinan. Sei merupakan tradisi memanaskan ibu nifas dalam rumah adat dengan asap selama 40 hari (Soerachman, 2009:3). Pembakaran kayu bakar biasanya mengeluarkan bahan pencemar berupa partikel debu (supended particulate matter) dan gas berupa karbon dioksida (CO2), formaldehid (HCHO), oksida nitrogen (NOx), dan oksida belerang (SOx). Terhirupnya bahan­bahan tersebut dapat menimbulkan gangguan kesehatan, berupa iritasi saluran pernapasan sampai gangguan paru­paru (Soerachman, 2011:8­9). Akibat tersebut juga dapat terjadi pada ibu nifas dan bayi di Desa Tetingi pada saat melakukan nite. Oleh sebab itu, perlu adanya penelitian tindak lanjut untuk membangun ruang nite yang sehat, seperti yang telah dilakukan di Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Selain menggunakan api, pada saat nite ibu nifas di Desa Tetingi juga menggunakan ramuan tradisional yang digunakan di seluruh tubuh, dimasukkan ke dalam vagina, dimakan, dan diminum. Ramuan­ramuan ter sebut dipercaya oleh masyarakat setempat dapat menyehatkan ba-dan, menyembuhkan luka dalam, dan memberi “kekuatan” pada saat bekerja nantinya. Penggunaan ramuan tersebut menunjukkan bagaimana kepedulian masyarakat setempat terhadap kesehatan seorang ibu dalam masa nifas.

Ramuan yang digunakan pada umumnya adalah rempah­rempah dapur, seperti kunyit dan sirih. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sirih biasanya digunakan sebagai obat hidung berdarah, obat bisul, obat batuk, obat sariawan, dan obat sakit mata, sedangkan kunyit berkhasiat sebagai obat demam, obat mencret, obat sesak napas, obat radang hidung, dan penurun panas. Selain itu, kunyit juga mengandung saponin, flavonoida, dan polifenol, selain minyak asiri (Syamsuhidayat, 1991:189).

Ramuan­ramuan tradisional yang digunakan oleh ibu nifas merupakan ramuan yang dipelajari secara turun­temurun dalam masyarakat Gayo di Desa Tetingi. Tanaman obat dan obat tradisional tersebut bermanfaat dan aman jika digunakan dengan mempertimbangkan sekurang­kurangnya

Page 138: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

121

enam aspek ketepatan, yaitu tepat takaran, tepat waktu dan cara peng­gunaan, tepat pemilihan bahan dan telaah informasi, serta sesuai dengan indikasi penyakit tertentu (Katno, 2008:5). Namun, belum ada penelitian yang mampu menjelaskan apakah ramuan­ramuan tersebut sudah sesuai dengan enam aspek tersebut. Oleh sebab itu, perlu adanya penelitian tindak lanjut untuk melihat apakah enam aspek tersebut sudah terpenuhi dalam ramuan tradisional yang digunakan oleh ibu nifas di Desa Tetingi.

5.4 Intisari

Berdasarkan pembahasan di atas dapat diambil sebuah intisari bahwa pembangunan kesehatan ibu dan anak di Desa Tetingi dapat melibatkan empat unsur, yaitu (1) bidan desa selaku tenaga kesehatan, (2) bidan kampung selaku penyembuh dan penolong persalinan yang dipercaya oleh masyarakat setempat, (3) pemerintah setempat selaku pemegang kebijakan, dan (4) masyarakat Desa Tetingi sebagai sasaran pembangunan kesehatan ibu dan anak. Empat unsur tersebut saling berkaitan.

Bidan desa yang mempunyai peran sebagai tenaga kesehatan ber­ada di posisi yang belum dipercaya sepenuhnya oleh masyarakat se­bagai penyembuh dan penolong persalinan. Oleh sebab itu, bidan desa hendaknya memahami dan mengikuti budaya dan kearifan lokal setempat, misalnya mengikuti cara pengobatan yang dilakukan oleh bidan kampung. Sebab, cara pengobatan yang dilakukan oleh bidan kampung telah dipercaya oleh masyarakat setempat selama bertahun-tahun, karena hal tersebut sesuai dengan pengetahuan masyarakat setempat tentang konsep sehat dan sakit.

Selain bidan desa, ada juga bidan kampung yang mempunyai pe­ngaruh yang besar terhadap pembangunan kesehatan ibu dan anak di Desa Tetingi. Bidan kampung yang lahir dan besar di Desa Tetingi telah bertahun­tahun menjadi penyembuh dan penolong persalinan masyarakat setempat. Hal ini tentu tidak mengherankan apabila bidan kampung lebih dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai penyembuh atau penolong persalinan daripada tenaga kesehatan yang baru dua tahun berada di Desa Tetingi. Oleh sebab itu, bidan kampung hendaknya dibina dan dirangkul oleh pemerintah setempat untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak di Desa Tetingi. Pemerintah juga merupakan elemen penting dalam pem­bangunan kesehatan ibu dan anak di Desa Tetingi.

Elemen yang terakhir yang berpengaruh dalam kesehatan ibu dan anak adalah masyarakat. Masyarakat sebagai suatu sistem yang mempu-

Page 139: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012122

nyai kebudayaan dan kearifan lokal mempunyai peran dan pengaruh ter-hadap kesehatan ibu dan anak.Sebagai contoh, dalam persalinan seorang ibu, masyarakat yang ada di sekitar ibu bersalin tersebut juga ikut ber-peran, seperti menjenguk ibu bersalin, bahkan ada juga yang ikut mem-bantu pada saat persalinan. Hal ini menunjukkan kontribusi masyarakat terhadap kesehatan ibu dan anak. Oleh sebab itu, masyarakat sebagai suatu sistem perlu mendapatkan perhatian pula dari pemerintah setem-pat selaku “penggerak” sistem masyarakat Desa Tetingi. Potensi yang baik dalam masyarakat bisa menjadi media untuk melibatkan masyarakat da-lam pembangunan kesehatan ibu dan anak, misalnya membuat kelom-pok­kelompok sosial yang membuat tikar atau tape dari daun pandan duri, yang umumnya dilakukan oleh perempuan di Desa Tetingi di rumah masing­masing. Kelompok sosial tersebut bisa menjadi kelompok belajar masyarakat untuk memahami kesehatan ibu dan anak, yang dibimbing oleh tenaga kesehatan dan kader kesehatan setempat.

Page 140: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

123

BAB VI SIMPULAN

Kesehatan dan kebudayaan merupakan dua elemen yang terintegral. Dalam memahami kesehatan suatu masyarakat perlu adanya pemaha-man tentang kebudayaan masyarakat tersebut, karena setiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri, termasuk “cara” mereka untuk bisa men-jadi sehat, terlepas cara mereka itu dianggap salah atau benar dalam ka-camata kebudayaan lain, termasuk dalam kacamata dunia medis.

Etnis Gayo merupakan salah satu etnis yang ada di Indonesia mem­punyai “cara sehat” sendiri yang berbeda dengan kebudayaan lain, khu­susnya dalam kesehatan ibu dan anak. Seperti yang telah dijelaskan se­belumnya, etnis Gayo mempunyai cara mereka untuk sehat sejak masa kehamilan sampai pasca-persalinan. Cara tersebut sudah mereka pelajari secara turun­temurun sebelum dunia medis datang dan mengenalkan “cara sehat” yang baru kepada mereka. Oleh sebab itu, mereka lebih meyakini “cara sehat” mereka sendiri daripada “cara sehat” yang dikenalkan oleh dunia medis, seperti menggunakan ramuan tradisional Gayo pada masa nite.

Ada dua faktor yang menyebabkan kebudayaan tersebut masih dila­kukan hingga saat ini, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor masyarakat Gayo itu sendiri dan elemen­elemen yang terkait di dalamnya, seperti kondisi alam, kebudayaan, dan pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat Gayo. Sementara itu, faktor eksternal adalah faktor tenaga kesehatan sebagai provider pelayanan kesehatan. Dari dua faktor tersebut, faktor eksternal­lah yang bisa menjadi “agen perubahan kesehatan” karena faktor eksternal adalah pelaku perubahan kesehatan.

Ketika provider pelayanan kesehatan menjadi agent of change, me-reka harus memahami faktor internal (masyarakat dan kebudayaannya)

Page 141: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012124

agar mengetahui permasalahan kesehatan yang ada dalam masyarakat tersebut. Selain itu, provider pelayanan kesehatan hendaknya bisa ber-bahasa masyarakat setempat agar mudah dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Apabila tenaga kesehatan tersebut dapat berbahasa lokal, dia dapat “bersahabat” dan “belajar” bersama masyarakat setempat, termasuk dengan bidan kampung, sehingga “rahasia” pengobatan bidan kampung yang diyakini oleh masyarakat dapat diketahui dan diadopsi oleh tenaga kesehatan. Harapannya, hal itu bisa menjadi media penarik masyarakat untuk melakukan pengobatan dan meminta pertolongan persalinan kepada tenaga kesehatan.

Selain faktor provider pelayanan kesehatan, perubahan juga dilakukan dari dalam diri masyarakat itu sendiri, seperti peningkatan pendidikan melalui pemberantasan buta aksara yang dilakukan oleh dinas terkait. Pemberantasan buta aksara ini perlu dilakukan untuk memudahkan pro-mosi kesehatan yang sering kali menggunakan bahasa tulis, termasuk buku KIA yang harus dimiliki oleh ibu hamil. Apabila ibu hamil tersebut tidak bisa bahasa tulis, pesan­pesan kesehatan tersebut tidak dapat tersampaikan dengan baik dan mereka tidak dapat membaca buku KIA tersebut.

Pembangunan infrastruktur juga perlu dilakukan, seperti jalan yang menjadi media untuk mengakses pelayanan kesehatan. Apabila jalan sudah diperbaiki, kendaraan umum untuk menuju Desa Tetingi dapat ma suk sehingga masyarakat tidak perlu berjalan kaki untuk mengakses pelayanan kesehatan, seperti puskesmas, rumah sakit, atau pelayanan kesehatan lainnya.

Dua faktor tersebut, provider pelayanan kesehatan dan masyarakat, harus berjalan secara sinergis untuk mencapai tujuan peningkatan kese­hatan ibu dan anak. Ibaratnya, provider pelayanan kesehatan adalah magnet dan masyarakat adalah besi. Magnet dan besi harus berjalan ke satu arah, yaitu peningkatan kesehatan ibu dan anak agar target yang diinginkan dapat tercapai.

Page 142: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

125

DAfTAR PUSTAKA

Ahimsa­Putra, Heddy Shri, 2005. “Kesehatan dalam Perspektif Ilmu Sosial Budaya.” dalam: Masalah Kesehatan dalam Kajian Ilmu Sosial Budaya. Yogyakarta: Kepel Press.

Bahry R., 2009. Kamus Umum Bahasa Gayo­Indonesia. Blangkejeren: Pemerintah Kabupaten Gayo Lues.

Dennyhendrata, 2007. Stres dan Sistem Imun Tubuh: Suatu Pendekat­an Psikoneuroimunologi. http://dennyhendrata.wordpress.com/2007/07/30/stres-dan-sistem-imun-tubuhsuatu-pendekat-an­psikoneuroimunologi­2/ Posted: Juli 30, 2007. (Di unduh pada tanggal 28 Juni 2011).

Emzir, 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif, Analisis Data. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Faisal, Sanapiah, 1990. Penelitian Kualitatif, Dasar­dasar dan Aplikasi. Malang: YA3

Foster, dan Anderson, 2011. Antropologi Kesehatan. Jakarta: UI­Press.Kalangie, Nico S., 1994. Kebudayaan dan Kesehatan. Jakarta: PT Kesaint

Blanc Indah Corp.Katno, 2008. Tingkat Manfaat Keamanan dan Efektivitas Tanaman Obat

dan Obat Tradisional. Jawa Tengah: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional, Badan Pene-litian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.

Koentjaraningrat, 2011. Pengantar Ilmu Antropologi I. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Koentjaraningrat, 2005. Pengantar Ilmu Antropologi II. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Mariyah, Emiliana, dkk., 2005. “Hambatan Budaya dalam Interakasi Bidan–Ibu Hamil; Studi Ketaatan untuk Meningkatkan Suplemen dan Status Besi di Puskesmas Banyuurip, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.” dalam: Masalah Kesehatan dalam Kajian Ilmu Sosial Budaya. Yogyakarta: Kepel Press.

Page 143: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012126

Melalatoa, 1982. Kebudayaan Gayo. Jakarta: PN Balai Pustaka.Prawitasari, Johana E., 1997. “Psikoneuroimunologi: Penelitian Antar Di­

siplin Psikologi, Neurologi, dan Imunologi” dalam Buletin Psikologi, Tahun V, Nomor 2.

http://johana.staff.ugm.ac.id/wp­content/uploads/buletin­psikologi.pdf (diunduh pada tanggal 28 Juni 2011).

Ratna, Nyoman Kutha, 2010. Metodologi Penelitian, Kajian Budaya dan Il­mu Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Soekanto, Soerjono, 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Soerachman, Rachmalina, 2009. Studi Kejadian Kesakitan dan Kematian Pada Ibu dan Bayi yang Melakukan Budaya Sei di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (belum dipublikasikan).

Syamsuhidayat, Sri Sugati, dkk., 1991. Inventaris Tanaman Obat Indo­nesia (I). Jakarta: Departemen Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Tantawi I, S. Buniyamin, 2011. Pilar­Pilar Kebudayaan Gayo Lues, Medan: Usupress.

Winkelman, Michael, 2009. Culture and Health; Applying Medical Anthro­pology. San Fransisco: Jossey­Bass.

Wiradnyana, Ketut, dan Taufikurrahman Setiawan, 2011. Merangkai Identitas Gayo. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

_____________., 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

_____________, 2010. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

_____________, 2011. Gayo Lues dalam Angka 2011. Gayo Lues: Badan Pusat Statistik (BPS).

_____________, 2005. Gayo Lues dalam Angka 2005. Gayo Lues: Badan Pusat Statistik (BPS).

_____________, 2011. Blang Pegayon dalam Angka 2011. Gayo Lues: Badan Pusat Statistik (BPS).

_____________, 2011. Profil Kesehatan Provinsi Aceh. Banda Aceh: Dinas Kesehatan Provinsi Aceh.

Page 144: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Etnik Gayo DEsa tEtinGi kEcamatan BlanG PEGayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

127

GLOSARIUM

Aman : Sebutan untuk laki­laki yang sudah menikah. Apabila belum mempunyai anak, laki­laki tersebut dipanggil aman mayak, dan apabila sudah mempunyai anak, nama anak pertama akan mengikuti kata aman, misalnya Aman Dewi.

Aih : Air.Beberu : Perempuan yang belum menikah.Bebujang : Laki­laki yang belum menikah.Bur : Gunung.Dubang : Golok.Blis : Jin/hantu.Empus : Kebun.Etek : Panggilan kepada perempuan yang lebih kecil dari pe­

nyapa.Empun : Nenek atau kakek.Geucik : Kepala desa.Inen : Sebutan untuk perempuan yang sudah menikah. Apabila

belum mempunyai anak, perempuan tersebut dipanggil inen mayak, dan apabila sudah mempunyai anak, nama anak pertama akan mengikuti kata inen, misalnya Inen Dewi.

Jeroh : Cantik.Jema tue : Orang tua.Jehmen : Orang dulu, leluhur.Jangkat : Tali untuk membawa barang yang bisa disangkutkan di

bahu.Jih : Ilalang.Kelamun : Pelangi.Kemiring : Kuping.Kerje : Nikah.

Page 145: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Buku sEri EtnoGrafi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012128

Kuning : Kunyit.Kunul : Duduk.Meunasah : Bangunan tinggi yang berbentuk rumah panggung yang

digunakan untuk kegiatan keagamaanMungkur : Jeruk purut.Matah : Mentah.Nite : Istirahat setelah melahirkan.Peukan : Pasar yang diadakan seminggu sekali.Pajak : Pasar yang diadakan setiap hari.Panglo : Pekerjaan yang dilakukan dengan cara bergantian atau de­

ngan saling menolong.Pancarona : Ikatan benang yang terdiri atas lima warna, yaitu hijau,

merah, kuning, putih, dan hitam.Peneni’an : Tusukan pada bagian perut yang disebabkan oleh setan.Param : Bedak yang dioleskan pada tubuh ibu yang baru mela­

hirkan.Rangkang : bangunan memanjang yang dibentuk bilik­bilik berukuran

kira-kira 2 x 3 meter.Rai : Jemput.Rampat : Jenis penyakit yang disebabkan oleh jin, bisa menimpa

hewan dan manusia.Semilu : Sembilu.Sangkal : Benda tumpuan untuk memotong benda lain.Tape : Sumpit, wadah yang berbentuk tas terbuat dari daun

pandan duri.Titih, titi : Jembatan.Tube : Racun (biasanya disebabkan oleh guna­guna).Tembuni : Ari-ari.Tampal : Bedak hitam (yang dioleskan pada pada dahi ibu

pascamelahirkan).Tuyuh : Bawah.Teniron : Permintaan.Tangkuh : Berhenti, keluar.Ulung : Daun.Unyuk : Maskawin.Win : Sapaan kepada anak laki­laki yang lebih muda daripada

penyapa.Wak : Obat.