Top Banner

of 92

Buku Kajian Riset Operasional Intensifikasi p2m

Oct 12, 2015

Download

Documents

Mirza Rizz
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • KerjasamaDIREKTORAT JENDERAL PEMBERANTASAN PENYAKIT MENULAR

    BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATANDEPARTEMEN KESEHATAN

    Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta Pusat 10560 Telp. 021 (4261088) Fax. 021(4243933)

    2004

    KAJIAN RISET OPERASIONAL

    INTENSIFIKASI PEMBERANTASAN PENYAKIT MENULAR TAHUN 1998/1999 - 2003

  • i

    KATA PENGANTAR

    Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat kasih dan karunia-Nya Kajian Riset Operasional Intensifikasi Pemberantasan Penyakit Menular (RO IPPM) dapat diselesaikan dengan baik. Sebagaimana diketahui, Kajian RO IPPM disusun berdasarkan hasil RO yang telah dilaksanakan dari tahun 1998/1999 sampai dengan 2002. Selama waktu tersebut telah dilaksanakan sebanyak 277 RO yang tersebar di 21 kabupaten IPPM. Harapan yang ingin dicapai dengan penyusunan kajian RO IPPM berupa diperolehnya masukan yang mampu laksana bagi program pemberantasan penyakit menular berdasarkan hasil sintesis RO IPPM yang telah dilakukan, khususnya pada era desentralisasi. Proses penyusunan kajian dilakukan dengan mereview semua RO yang sudah ada baik dari segi substansi keempat penyakit maupun segi administrasi. Fokus kajian lebih diarahkan pada hasil RO yang dapat diaplikasikan kepada program, merupakan hal-hal baru dan merupakan suatu metode pemecahan masalah berdasarkan kondisi daerah setempat. Dengan tersusunnya Kajian RO IPPM diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap upaya intensifikasi pemberantasan penyakit menular yang pada akhirnya dapat bermuara pada peningkatan derajat kesehatan khususnya penyakit menular di masing-masing kabupaten. Perkenankan saya pada kesempatan ini menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak atas perhatian, bantuan dan masukan serta kontribusinya dalam penyusunan Kajian RO IPPM ini.

    Jakarta, Desember 2004

    Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,

    Ttd

    Dr. Dini Latief, MSc

  • ii

    RINGKASAN EKSEKUTIF

    Riset Operasional (RO) adalah kegiatan penelitian yang dilakukan untuk

    memecahkan masalah-masalah operasional dalam suatu organisasi dengan menggunakan metode ilmiah untuk mencapai optimalisasi penggunaan sumberdaya. Tujuan pelaksanaan RO IPPM (Intensifikasi Pemberantasan Penyakit Menular) adalah untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di lokasi proyek IPPM dalam kemampuan berpikir analitik sehingga dapat memberikan masukan kepada pengambil keputusan dengan menggunakan informasi epidemiologi dan teknologi tepat guna dalam rangka intensifikasi pemberantasan penyakit menular. Area prioritas dalam RO IPPM meliputi empat penyakit, yaitu : malaria, tuberkulosis (TB paru), infeksi saluran nafas akut (ISPA) terutama pnemonia akut, dan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) terutama campak. Kegiatan RO IPPM meliputi bidang surveilans, audit medis, audit kesehatan masyarakat dan intervensi, serta mempunyai tiga karakteristik, yakni intensifikasi, desentralisasi dan pengembangan kemitraan. Daerah RO IPPM mencakup 6 provinsi (Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Timur) serta 21 Kabupaten di dalamnya.

    Sejak tahun 1997, tanggungjawab pengkoordinasian RO IPPM telah dialihkan dari Ditjen PPM-PL kepada Badan Litbangkes dengan focal point Puslitbang Pemberantasan Penyakit. Dalam pelaksanaannya, Badan Litbangkes bekerjasama dengan Konsultan Paket C IPPM, Pembina Daerah dan Konsultan Daerah. Berbagai kegiatan sosialisasi, pelatihan, pembinaan, supervisi dan pentaloka telah dilaksanakan. Kendala-kendala yang dijumpai antara lain ketidaksepahaman beberapa pihak terkait pada awalnya tentang bentuk RO IPPM, kurangnya komunikasi antara Pembina dan Peneliti, kurangnya jumlah dan kualitas SDM pelaksana RO, rotasi dan mutasi pegawai, serta hambatan dalam prosedur administrasi keuangan yang erat kaitannya dengan proses kontrak.

    Sebagai hasilnya, sejak tahun 1998/1999 hingga 2003 telah dilakukan 277 RO yang terdiri dari 70 RO tentang malaria, 71 RO tentang TB paru, 79 RO tentang ISPA dan 57 RO tentang PD3I. Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat merupakan provinsi yang setiap tahun anggaran melaksanakan RO dan jumlah RO dari kedua provinsi ini juga yang terbanyak. Selama kurun waktu tersebut, anggaran RO yang telah diserap sebesar Rp. 14.265.270.000,00, yaitu 92% dari keseluruhan anggaran yang tersedia.

    Dari seluruh RO yang dilaksanakan, hanya 71% (199) RO yang dilaporkan. Tidak adanya laporan disebabkan karena berbagai alasan, antara lain penelitian tidak selesai karena peneliti pindah, terlalu sibuk, dsb., adanya kesenjangan antara perencanaan dan pelaksanaan dengan pembinaan dan manajemen anggaran, kurangnya tenaga kepakaran pada bidang-bidang tertentu sebagai Pembina, dan kurang sinkronnya Pembina Badan Litbangkes, Konsultan Paket C, Konsultan Daerah dan Pembina Daerah.

    Agar hasil ini bisa menjadi masukan yang dapat diaplikasi oleh program, maka

    Badan Litbangkes telah melakukan kegiatan sintesis hasil RO. Tujuan khususnya

  • iii

    adalah agar hasil RO dapat ditransformasikan menjadi aksi, melakukan advokasi tentang manfaat dan pentingnya RO sehingga diadaptasi dan menjadi prioritas kabupaten, dan untuk mendiseminasikan hasil RO kepada masyarakat luas, termasuk lembaga legislatif.

    Laporan ini berisi rangkuman hasil RO IPPM berdasarkan jenis penyakit, yang

    lebih lanjut dikelompokkan lagi menjadi beberapa komponen. RO TB paru dikelompokkan menjadi : 1) Penemuan Kasus, 2) Manajemen Kasus, 3) Obat Anti TBC, dan 4) Monitoring dan Pencacatan. RO Malaria dikelompokkan menjadi : 1) Penemuan Penderita, 2) Pengobatan, 3) Obat Anti Malaria, 4) Vektor dan Pengendaliannya, dan 5) Manajemen Program. Pengelompokan RO ISPA adalah sebagai berikut : 1) Komunikasi, Informasi dan Edukasi, 2) Penemuan Kasus, 3) Manajemen Kasus, 4) Monitoring dan Pencatatan, dan 5) Lingkungan. Sedangkan RO PD3I dikelompokkan sebagai berikut : 1) Faktor Risiko, 2) Peningkatan Cakupan Imunisasi, 3) Evaluasi Pelaksanaan Imunisasi, dan 4) Penurunan Kasus.

    Setiap komponen kemudian dibahas berdasarkan hasil RO yang dilaporkan. Hal-hal yang ditekankan adalah nilai tambah yang dihasilkan oleh RO tersebut, pelajaran yang dapat diambil, kendala yang dihadapi, potensi pemanfaatan hasil RO tersebut, dan komentar serta saran dari Tim Pembina Badan Litbangkes. Secara khusus, masukan-masukan yang bersifat teknis dituliskan di dalam suatu bab tersendiri, demikian pula kesimpulan dan rekomendasi. Melengkapi buku laporan ini, telah dikumpulkan pula abstrak panjang dari setiap laporan RO yang diserahkan ke Badan Litbangkes, yang dibukukan per provinsi.

    Pelaksanaan RO IPPM telah memberikan banyak manfaat bagi program pemberantasan penyakit menular terutama dalam mengawali proses pendesentralisasian penelitian ke daerah. Berbagai inovasi muncul untuk pemecahan masalah berdasarkan permasalahan kedaerahan dan potensi daerahnya. Teknik-teknik baru tersebut potensial untuk diinisiasi menjadi program yang lebih luas, seperti program provinsi maupun program nasional atau setidaknya menjadi masukan untuk kebijakan program selanjutnya. RO IPPM telah memberikan pengalaman pembelajaran bagi daerah, khususnya dalam peningkatan kemampuan SDM peneliti daerah untuk memahami permasalahan lokal yang pemecahannya memerlukan penelitian. Disamping itu, Pusat c.q. Badan Litbangkes juga dapat menarik manfaat pembelajaran, khususnya tentang teknik pengorganisasian dan pembinaan RO daerah.

    RO IPPM seyogyanya dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan jalan

    menyelesaikan RO yang belum selesai atau melanjutkan RO yang masih tahap I, serta menyelesaikan analisis dan pelaporan. Hasil RO IPPM yang telah nyata bermanfaat perlu ditindaklanjuti menjadi program atau masukan bagi program. RO perlu dilanjutkan dan disebarluaskan tidak terbatas pada 4 area penyakit atau 6 provinsi saja. Untuk itu, perlu dicarikan alternatif pembiayaan RO.

  • iv

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR i RINGKASAN EKSEKUTIF ii DAFTAR ISI iv DAFTAR SINGKATAN v DAFTAR TABEL vii

    Bab I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang 1 B. Tujuan 3 C. Manfaat 3

    Bab II PELAKSANAAN RISET OPERASIONAL A. Kegiatan Riset Operasional (RO) 4

    B. Jenis dan Jumlah Riset Operasional 4 C. Anggaran 10 D. Lain-lain 10

    Bab III RANGKUMAN HASIL RISET OPERASIONAL

    A. Tuberkulosis Paru 12 B. Infeksi Saluran Pernafasan Akut 30 C. Malaria 50 D. Penyakit yang dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) 66

    Bab IV PERMASALAHAN UMUM DAN TEKNIS METODOLOGIS A. Permasalahan Umum 77

    B. Permasalahan Teknis Metodologis 78

    Bab V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan 81

    B. Rekomendasi 82 NAMA TIM PENYUSUN

  • v

    DAFTAR SINGKATAN ACD : Active Case Detection ADB : Asian Development Bank ADS : Auto Destruct Syiringe AIDS : Aquired Immuno Deficiency Syndrom APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah BCG : Baccille Calmete Guarine BES : Benefit Evaluation Study BPD : Badan Perwakilan Desa BTA : Bakteri Tahan Asam CO : Carbon Monoksida DIP : Daftar Isian Kegiatan DO : Droup Out DOTS : Directlly Observed Treatment Shortcourse DPT : Dipteri Pertusis Tetanus FGD : Focus Group Discussion GERDUNAS : Gerakan Terpadu Nasional GG : Gliceryl Guaiacolas HB : Haemoglobin HIV : Human Immuno Virus HST : Hulu Sungai Tengah ICDC : Intensified Communicable Diseases Control IDT : Inpres Desa Tertinggal INPRES : Instruksi Presiden IPPM : Intensifikasi Pemberantasan Penyakit Menular ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Akut JMD : Juru Malaria Desa JPKM : Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat KAP : Knowledge Attitude Practice KB : Keluarga Berencana KIA : Kesehatan Ibu Anak KIE : Komunikasi Informasi dan Edukasi KLB : Kejadian Luar Biasa KPD : Kegagalan Pengobatan Dini KPT : Kegagalan Pengobatan Total KPaK : Kegagalan Parasitologi Kasep MHD : Man Hitting Density MI : Madrasah Ibtidaiyah MTBS : Manajemen Terpadu Balita Sakit NO : Nitrogen Oksida NTT : Nusa Tenggara Timur OAM : Obat Anti Malaria OAT : Obat Anti Tuberkulosis OKU : Ogan Komering Ulu PCD : Pasive Case Detection PD3I : Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi

  • vi

    PKK : Perkumpulan Kesejahteraan Keluarga PMO : Pengawas Minum Obat POD : Pos Obat Desa PRM : Puskesmas Rujukan Mikroskpis PSM : Peran Serta Masyarakat PSP : Pengetahuan Sikap dan Perilaku PWS : Pemantauan Wilayah Setempat P2 ISPA : Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut P2 TBC : Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis P2M PL : Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan RO : Riset Operasional SD : Sekolah Dasar SDM : Sumber Daya Manusia SKD : Sistem Kewaspadaan Dini SKRT : Survei Kesehatan Rumah Tangga SPR : Slide Positivity Rate TBC : Tuberculosis TB Paru : Tuberkulosis paru TT : Tetanus Toxoid TTS : Timor Tengah Selatan UCI : Universal Child Immunization WHO : World Health Organization

  • vii

    DAFTAR TABEL Tabel 1 : Pelaksanaan RO IPPM Berdasarkan Provinsi dan Waktu Tahun

    1998/1999 2002

    Tabel 2 : Pelaksanaan RO IPPM Berdasarkan Kabupaten dan Waktu Tahun 1998/1999 -2002

    Tabel 3 : Penelitian RO IPPM Berdasarkan Area Penelitian Tahun 1998/1999 2002

    Tabel 4 : Jumlah RO berdasarkan Area Penelitian dan Tempat Pelaksanaan Tahun 1998/1999 2002

    Tabel 5 : Anggaran RO IPPM Berdasarkan Tempat Pelaksanaan Tahun 1998/1999 - 2002

    Tabel 6 : Daya Serap Angaran RO IPPM Berdasarkan Tahun Anggaran Tahun 1998/1999 2002

    Tabel 7 : Riset Operasional TBC Paru per Kabupaten Intensifikasi Program Pemberantasan Penyakit 1998/1999 - 2002

    Tabel 8 : Penelitian TBC Paru di 6 Provinsi IPPM Berdasarkan Tema Penelitian Tahun 1998/1999 - 2002

    Tabel 9 : Penelitian ISPA/Pneumoni di 6 Provinsi IPPM Berdasarkan Bidang Masalah Penelitian Tahun 1998/1999 - 2002

    Tabel 10 : Penelitian Malaria di 6 Provinsi IPPM Berdasarkan Bidang Masalah Penelitian Tahun 1998/1999 2002

    Tabel 11 : Jumlah RO PD3I Berdasarkan Provinsi Tahun 1998/1999 2002

    Tabel 3.1.5 : Daftar Judul RO TB dan Nama Peneliti Utama per Kabupaten

    Tabel 3.1.6. : Daftar Judul RO ISPA dan Nama Peneliti Utamanya per Kabupaten Tabel 3.3.5 : Daftar Penelitian RO Malaria dan Nama Peneliti Utamanya per

    Kabupaten

    Tabel 3.4.5. : Daftar Penelitian RO PD3I

  • viii

    TIM PENYUSUN

    Tim Pengarah :

    1. Prof. Dr. Umar Fahmi Achmadi, MPH, PhD 2. Dr. Dini Latief, MSc 3. Dr. Indriono Tantoro, MPH 4. Drg. Titte K Adimidjaja, MScPH 5. Dr. Agus Suwandono, MPH, DR.PH, APU

    Tim Teknis : Ketua : Dra. Harijani AM, APU Anggota :

    1. Dr. Endang Rahayu Sedyaningsih Mamahit, MPH, DR.PH 2. Supratman Sukowati, PhD 3. DR. Sandjaja, MPH 4. Indah Yuning Prapti, SKM, M.Kes 5. Drs. Ondri Dwi Sampurno, M.Si, Apt 6. Ir. Inswiasri, M.Kes 7. Drs. Bambang Heriyanto, M.Kes 8. Drs. Djoko Yuwono, MS 9. Drg. Sekartuti, M.Kes 10. Dede Anwar Musadad, SKM, M.Si 11. Dr. Ainur Rofiq

    Sekretariat:

    1. Junediyono, SKM 2. Estiko Widiatmi

  • 1

    BAB I PENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANG

    Proyek Intensified Communicable Diseasses Control (ICDC) atau Intensifikasi Pemberantasan Penyakit Menular (IPPM) merupakan konsep dan sistem desentralisasi dalam perencanaan dan manajemen empat penyakit yang dianggap paling berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat Indonesia yaitu malaria, TB Paru, ISPA dan penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Ciri ICDC antara lain adalah intensifikasi dan memperkuat manajemen kabupaten/kota terutama meningkatkan kemampuan para pengelola di Kabupaten/Kota di bidang perencanaan, pelaksanaan dan penganggaran.

    Proyek ICDC dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (P2M & PL) dengan dana pinjaman dari Asean Developmnet Bank (ADB). Riset Operasional (RO) dalam Proyek ICDC merupakan kegiatan penunjang yang berfungsi memecahkan masalah-masalah pelaksanaan kegiatan program kesehatan dalam empat area penyakit di kabupatan/kota sasaran proyek. Riset operasional adalah kegiatan penelitian yang dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah operasional dalam suatu organisasi dengan menggunakan metode ilmiah untuk mencapai optimalisasi penggunaan sumberdaya. Tujuan pelaksanaan RO ICDC adalah untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di lokasi proyek ICDC dalam kemampuan berfikir analitik, sehingga dapat menghasilkan masukan bagi para pengambil keputusan dalam menggunakan informasi epidemiologi dan teknologi tepat guna dalam rangka intensifikasi pemberantasan penyakit menular sasaran proyek ICDC. Riset operasional intensifikasi pemberantasan penyakit menular (RO IPPM) merupakan salah satu komponen dalam kegiatan intensifikasi pemberantasan penyakit menular. Sejak September tahun 1997 Ditjen P2M & PL mengalihkan tanggung jawab koordinasi RO kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes). Sebagai tindaklanjut, Kepala Badan Litbangkesdengan suratnya tertanggal 27 Januari 1998telah menunjuk Puslitbang Pemberantasan Penyakit sebagai focal point kegiatan ini. Sebuah buku panduan untuk RO IPPM diterbitkan pada awal 1998. Buku ini kemudian terus mengalami revisi sesuai perkembangan proyek IPPM dan sesuai masukan dari pelbagai pakar RO. Di samping itu, dibentuk pula sebuah tim teknis yang terdiri dari peneliti-peneliti Badan Litbangkes, terutama yang berpengalaman melaksanakan penelitian di keempat penyakit area prioritas RO IPPM. Tugas tim ini antara lain adalah membantu peneliti daerah dalam membuat proposal, melakukan pembinaan teknis dan metodologis, melakukan supervise RO, dan membina analisis dan penulisan laporan akhir.

    Sebagai padanan tim teknis, Badan Litbangkes juga membentuk tim administrasi RO IPPM. Tugasnya antara lain, mempersiapkan kontrak, menatalaksana dana RO dan DIP Badan Litbangkes yang merupakan komplemen RO IPPM.

  • 2

    Area prioritas dalam RO IPPM meliputi 4 penyakit, yaitu : malaria, tuberculosis (TB Paru), infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dalam hal ini terutama pneumonia akut, dan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) terutama campak. Kegiatan RO IPPM terdiri dari RO di bidang surveillans, audit medis, audit kesehatan masyarakat dan bidang intervensi. Tiga karakteristik RO IPPM, yaitu bidang intensifikasi, bidang desentralisasi dan pengembangan kemitraan. Daerah intervensi RO IPPM mencakup 21 kabupaten/kota (Bangka, Belitung, Ogan Komering Ulu, Bandung, Indramayu, Ciamis, Majalengka, Tasikmalaya, Banjarnegara, Jepara, Kebumen, Pekalongan, Hulu Sungai Tengah, Banjarmasin, Kotabaru, Tapin, Banggai, Donggala, Sumba Barat, Sumba Timur dan Timor Tengah Selatan ) yang berada di 6 provinsi yaitu Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Timur.

    Sebagai langkah awal, tim-tim Badan Litbangkes melakukan berbagai pertemuan sosialisasi RO IPPM di 6 provinsi terkait. Kemudian tim menyelenggarakan berbagai pelatihan RO yang diikuti oleh peserta Kabupaten, Provinsi dan Pusat. Selain itu, dilaksanakan juga Pentaloka-pentaloka di ke 6 provinsi. Tujuannya adalah untuk membangkitkan minat daerah untuk melakukan RO yang relevan sesuai prioritas dan kebutuhan daerah serta membina pengembangan proposal.

    Materi utama pelatihan adalah metode riset operasional dengan prinsip ilmiah yang diuraikan dalam alur pikir dan langkah-langkah sistematis. Selanjutnya dilakukan penyusunan proposal dan protokol penelitian, pelaksanaan penelitian, penulisan laporan dan penulisan artikel hasil penelitian.

    Sejak tahun 1998/1999 sampai dengan tahun 2003 telah dilakukan 277 RO, terdiri dari 71 riset bidang tuberculosis, 70 riset bidang malaria, 79 riset bidang ISPA dan 57 riset bidang PD3I. Hasil-hasil RO IPPM yang dianggap baik telah dipilih untuk dipresentasikan dalam seminar nasional RO pada bulan Mei 2002 dan Oktober 2003 di Bali.

    Pada awalnya pelaksanaan RO IPPM ini mengalami banyak kendala karena masih belum sepahamnya antara berbagai pihak yang berkepentingan di tingkat pusat, misalnya tentang Peneliti Utama, jumlah maksimum biaya RO, topik yang dianggap penting oleh daerah dan yang diminta oleh Proyek IPPM, selain masalah prosedur administrasi keuangan yang cukup rumit. Masalah utama lain adalah tidak sinkronnya perencanaan dan pelaksanaan pembinaan dengan ketersediaan dan manajemen anggaran pembinaan.

    Dalam pelaksanaan RO IPPM ditemukan berbagai kendalan lain, di antaranya belum terciptanya kesepahaman tentang pentingnya RO IPPM bagi program kesehatan daerah. Kurang efektifnya pembinaan RO disebabkan oleh kurangnya komunikasi antara pelaksana penelitian dengan pembina, terbatasnya waktu untuk melaksanakan RO, kesibukan kegiatan rutin para peneliti RO, kurangnya jumlah dan kualitas SDM yang mampu melaksanakan RO, rotasi dan mutasi pegawai, serta hambatan karena masalah administrasi keuangan yang erat kaitannya dengan proses kontrak.

    Dirasakan bersama bahwa tidak mudah untuk mencapai komitmen daerah dalam menciptakan iklim yang kondusif, dan memberikan pemahaman kepada para pemegang program tentang pentingya hasil riset sebagai acuan untuk menetapkan keputusan dan atau kebijakan program kesehatan. Biaya RO yang telah dikeluarkan sudah cukup besar demikian pula cukup banyak RO yang telah ada hasilnya, maka agar RO IPPM dapat berhasil guna dan berdaya guna harus segera ditindaklanjuti dengan analisis, rangkuman

  • 3

    serta umpan balik kepada daerah agar hasil-hasil RO dan hasil-hasil di luar RO yang relevan dapat menjadi masukan bagi perbaikan program pemberantasan penyakit menular.

    B. TUJUAN PENGKAJIAN

    Umum:

    Mensintesis hasil-hasil riset operasional menjadi masukan yang mampu laksana bagi program intensifikasi pemberantasan penyakit menular dalam era desentralisasi bidang kesehatan.

    Khusus:

    1. Mentransformasi hasil-hasil RO menjadi masukan bagi peningkatan dan pemecahan masalah program.

    2. Melakukan advokasi tentang manfaat dan pentingnya RO IPPM sehingga menjadi program prioritas kabupaten.

    3. Diseminasi informasi hasil-hasil RO kepada masyarakat luas, termasuk lembaga legislatif, baik melalui seminar, media ilmia, media massa maupun website.

    C. MANFAAT Pelaksanaan kajian terhadap hasil-hasil RO Intensifikasi Pemberantasan Penyakit Menular diharapkan dapat bermanfaat bagi :

    1. Intensifikasi program pemberantasan penyakit menular 2. Bahan advokasi kepada stakeholders terkait 3. Pemecahan permasalahan pemberantasan penyakit

  • 4

    BAB II PELAKSANAAN RISET OPERASIONAL

    A. KEGIATAN RISET OPERASIONAL (RO)

    Proyek intensifikasi pemberantasan penyakit menular mulai dilaksanakan sejak tahun 1997 di 6 provinsi yang mencakup 21 kabupaten/kota, sedangkan kegiatan RO dilakukan dari tahun anggaran 1998/1999- tahun anggaran 2002. Kegiatan RO yang telah dilakukan oleh tim pembina pusat dan tim pembina daerah, konsultan, Dinas kesehatan dan peneliti daerah adalah sebagai berikut:

    1. Sosialisasi tentang RO ke Provinsi proyek ICDC. 2. Pelatihan tentang RO & metodologi penelitian dilakukan sebelum pembuatan

    proposal. Pelatihan dilakukan di Surabaya dan Bogor untuk para calon peneliti RO dari wilayah proyek ICDC. Pelatihan di Surabaya diikuti oleh calon peneliti dari Indonesia Timur yaitu dari Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah dan Kalimantan Selatan. Sedangkan pelatihan di Bogor diikuti oleh calon peneliti RO dari Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumatera Selatan.

    3. Pelatihan tentang pembuatan laporan akhir dan penulisan artikel ilmiah, dilakukan di Bogor dan Bandung

    4. Pembinaan laporan, dilakukan di 6 Provinsi dengan kunjungan dan pembahasan bagi setiap peneliti bersama konsultan, pembina pusat dan pembina daerah.

    5. Evaluasi laporan akhir dan feed back perbaikan laporan sebagai bahan penyempurnaan laporan akhir, dilakukan setiap tahun.

    6. Menilai laporan akhir dan memilih hasil RO yang terbaik disetiap daerah dan bidang untuk dipresentasikan dalam seminar RO nasional.

    7. Seminar hasil RO terbaik, telah dilakukan 2 kali bertempat di Denpasar, Bali. 8. Kompilasi laporan dan kajian untuk bahan advokasi dan sosialisasi.

    B. JENIS DAN JUMLAH RISET OPERASIONAL

    Sejak tahun 1998/1999 sampai dengan tahun 2002 telah dilakukan 277 RO, menurut tahun anggaran, RO terbanyak dilakukan pada tahun 1999/2000 sebanyak 85, pada tahun 2002 sebanyak 78, pada tahun 1998/1999 sebanyak 61 dan pada tahun 2000 sebanyak 53 RO. Berdasarkan distribusi pelaksanaan RO di 6 provinsi, terbanyak dilakukan di Provinsi Jawa Barat (62), kemudian berturut-turut adalah Jawa Tengah (60), Nusa Tenggara Timur (45), Kalimantan Selatan (40), Sumatera Selatan (39) dan Sulawesi Tengah (35).

    Jumlah RO berdasarkan tempat pelaksanaan dan tahun pelaksanaan disajikan pada Tabel 1& Tabel 2 .

  • 5

    Tabel 1. Pelaksanaan RO-IPPM Berdasarkan Provinsi dan Waktu Tahun 1998/1999 2002

    Tahun Pelaksanaan No

    Provinsi 1998/

    1999 1999/ 2000

    2000 2002

    Jumlah

    1. Sumatera Selatan 8 1 30 - 39 2. Jawa Barat 16 27 2 15 60 3. Jawa Tengah 23 17 6 13 59 4. Kalimantan Selatan 8 15 - 16 39 5. Sulawesi Tengah 4 15 - 16 35 6. Nusa Tenggara Timur 2 10 15 18 45

    Jumlah 61 85 53 78 277

    Tabel 2. Pelaksanaan RO-IPPM Berdasarkan Kabupaten dan Waktu

    Tahun 1998/1999 2002. Tahun Pelaksanaan

    No

    Kabupaten/ Kota

    1998/ 1999

    1999/ 2000

    2000 2002

    Jumlah

    I Prov. Sumatera Selatan 8 1 30 - 39 1 Bangka 3 1 6 - 10 2 Belitung 2 - 12 - 14 3 Ogan Komering Ulu 3 - 12 - 15

    II Prov. Jawa Barat 16 27 2 15 60 4 Bandung 4 13 2 5 24 5 Indramayu 2 - - 1 3 6 Ciamis 2 9 - 3 14 7 Majalengka 5 - - 4 9 8 Tasikmalaya 3 5 - 2 10

    III Prov. Jawa Tengah 23 17 6 13 59 9 Banjarnegara 6 3 2 2 13

    10 Jepara 4 3 1 5 13 11 Kebumen 7 6 2 4 19 12 Pekalongan 6 5 1 2 14

    IV Prov. Kalimantan Selatan 8 15 - 16 39 13 Hulu Sungai Tengah 3 4 - 2 9 14 Banjarmasin 3 2 - 10 15 15 Kotabaru - 5 - 1 7 16 Tapin 2 4 - 3 8

    V Prov. Sulawesi Tengah 4 15 - 16 35 17 Banggai 2 5 - 10 17 18 Donggala 2 10 - 6 18

    VI Prov. Nusa Tenggara Timur

    2 10 15 18 45

    19 Sumba Barat - 5 1 6 12 20 Sumba Timur 1 5 7 6 19 21 Timor Tengah Selatan 1 - 7 6 14

    Jumlah 61 85 53 78 277

  • 6

    Area RO IPPM berdasarkan 4 kelompok penyakit yaitu malaria, ISPA/pnemoni, TB Paru, dan PD3I. Proyek ICDC merekomendasikan 16 topik RO, yaitu :

    1. Peran serta masyarakat dalam pengenalan dini dan rujukan anak-anak dengan gejala pneumonia;

    2. Evaluasi surveilans klinik hasil pengobatan pneumonia; 3. Kepatuhan pada DOTS (Directly Observed Treatment Short-course); 4. Surveilans dampak infeksi HIV pada kejadian TB; 5. Uji coba alat sekali pakai pada imunisasi; 6. Pemanfaatan bidan di desa untuk kegiatan rutin imunisasi; 7. Konseling untuk menurunkan akibat infeksi pada gizi anak; 8. Kriteria penyemprotan insektisida pada pengendalian vektor; 9. Sistem kewaspadaan dini untuk mencegah KLB malaria; 10. Strategi pencegahan malaria di masyarakat; 11. Resistensi terhadap obat anti malaria; 12. Pemulihan biaya (cost recovery) pada pelayanan pemberantasan penyakit

    menular;

    13. Hubungan perencanaan dan pembiayaan kesehatan terpadu dengan pemantauan keuntungan dan evaluasi (benefit monitoring & evalution);

    14. Kepatuhan pada standar kinerja; 15. Pengaruh budaya masyarakat; 16. Lain-lain (riset disesuaikan permasalahan dalam program pemberantasan

    keempat penyakit menular.

    Distribusi jumlah RO IPPM berdasarkan area penelitian dan tahun pelaksanaan disajikan pada Tabel 3.

    Tabel 3. Penelitian RO-IPPM Berdasarkan Area Penelitian

    Tahun 1998/1999 2002 Tahun Pelaksanaan

    No.

    Bidang Penyakit 1998/ 1999

    1999/ 2000

    2000 2002 Jumlah

    1. Malaria 6 28 12 16 62 2. ISPA/Pneumonia 26 17 20 24 87 3. TB Paru 12 24 15 20 71 4. PD3I 17 16 6 18 57 Jumlah 61 85 53 78 277

  • 7

    Tabel 3 menunjukkan bahwa RO penyakit ISPA/pneumonia terbanyak dilaksanakan (87), kemudian berturut-turut diikuti oleh TB Paru (71), malaria (62), dan PD3I (57). Rincian tentang jumlah penelitian yang dilaksanakan menurut area penelitian, tahun anggaran dan tempat pelaksanaan penelitian disajikan pada Tabel 4.

    Tabel 4. Jumlah RO IPPM Berdasarkan Area Penelitian dan Tempat Pelaksanaan

    Tahun 1998/1999 Tahun 2002 Tahun Pelaksanaan No Kabupaten

    Area 1998/ 1999

    1999/ 2000

    2000 2002 Jumlah

    1 2 3 4 5 6 7 8

    1 Bangka TB 1 - 1 - 2 Malaria - 1 4 - 5 ISPA 1 - 1 - 2 PD3I 1 - - - 1

    2 Belitung TB - - 3 - 3 Malaria - - 7 - 7 ISPA 1 - 1 - 2 PD3I 1 - 1 - 2

    3 Ogan Komering Ulu TB 1 - 4 - 5 Malaria - - 3 - 3 ISPA 1 - 4 - 5 PD3I 1 - 1 - 2

    4 Bandung TB 1 7 - 3 11 Malaria - - - - - ISPA 2 3 - 1 6 PD3I 1 3 2 1 7

    5 Ciamis TB 1 3 - 1 5 Malaria - 4 - - 4 ISPA 1 2 - - 3 PD3I - - - 2 2

    6 Majalengka TB - - - 1 1 Malaria - - - - - ISPA 3 - - 2 5 PD3I 2 - - 1 3

    7 Tasikmalaya TB 1 - - 1 2 Malaria - 3 - - 3 ISPA 2 1 - - 3 PD3I - 1 - 1 2

    8 Indramayu TB - - - - - Malaria - - - - - ISPA - - - - - PD3I

    2 - - 1 3

  • 8

    Tahun Pelaksanaan No Kabupaten Area 1998/

    1999 1999/ 2000

    2000 2002 Jumlah

    1 2 3 4 5 6 7 8

    9 Kebumen TB - 3 1 1 5 Malaria 1 2 - 1 4 ISPA 4 - 1 2 6 PD3I 2 1 - - 3

    10 Jepara TB - 1 - 1 2 Malaria 2 1 - 2 5 ISPA 2 1 1 1 5 PD3I - - - 1 1

    11 Banjarnegara TB 1 - - - 1 Malaria 2 3 2 - 7 ISPA 1 - - 2 3 PD3I 2 - - - 2

    12 Pekalongan TB 3 2 - - 5 Malaria - 2 - - 2 ISPA 2 - 1 - 3 PD3I 1 1 - 2 4

    13 Hulu Sungai Tengah TB - 1 - 1 2 Malaria - 1 - 1 2 ISPA - - - - - PD3I 3 2 - - 5

    14 Tapin TB - 1 - 1 2 Malaria - - - - - ISPA 1 1 - 1 3 PD3I 1 2 - 1 4

    15 Banjarmasin TB 2 1 - 5 8 Malaria - - - - - ISPA 1 1 - 5 7 PD3I - - - - -

    16 Kotabaru TB - 1 - - 1 Malaria - 3 - - 3 ISPA - - - 1 1 PD3I - 1 - - 1

    17 Donggala TB - 2 - 2 4 Malaria - 4 - 1 5 ISPA - 2 - 1 3 PD3I 2 2 - 2 6

    18 Banggai TB 1 1 - 3 5 Malaria - - - 2 2 ISPA - 1 - 1 2 PD3I 1 3 - 4 8

  • 9

    Tahun Pelaksanaan No Kabupaten Area 1998/

    1999 1999/ 2000

    2000 2002 Jumlah

    1 2 3 4 5 6 7 8

    19 Sumba Timur TB - 1 3 1 5 Malaria - 1 2 1 4 ISPA 1 3 1 2 7 PD3I - - 1 2 3

    20 Sumba Barat TB - 2 - - 2 Malaria - 2 1 4 7 ISPA - - - 2 2 PD3I - 1 - - 1

    21 Timor Tengah Selatan TB 1 - 2 - 3 Malaria - - 1 3 4 ISPA - - 2 1 3 PD3I - - 2 2 4 Jumlah 61 85 53 78 277

    Pelaksanaan RO IPPM di kabupaten proyek tidak dilakukan pada setiap tahun anggaran, seperti di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 1999/2000 dan tahun 2002 hampir tidak ada pelaksanaan RO, hanya ada 1 RO di Kabupaten Bangka pada tahun anggaran 1999/2000. Kondisi tidak adanya pelaksanaan RO juga terjadi di Provinsi Jawa Barat, pada tahun 2000 hampir semua kabupaten tidak melaksanakan RO IPPM kecuali 2 penelitian yang dilaksanakan di Kabupaten Bandung. Tabel 4 menjelaskan bahwa kemampuan melaksanakan RO dari masing-masing kabupaten sangat bervariasi, Kabupaten Indramayu merupakan kabupaten yang melaksanakan RO IPPM paling sedikit (3 RO IPPM) sementara Kabupaten Bandung melaksanakan RO IPPM paling banyak (24 RO IPPM). Kemampuan melaksanakan penelitian pada kabupaten proyek IPPM di Provinsi Jawa Tengah bisa dikatakan sama, dari 4 kabupaten yang ada semua melaksanakan penelitian di setiap tahun anggaran. Kabupaten Kota Baru, Kalimantan Selatan pada tahun 1998/1999 tidak melaksanakan RO, kondisi yang sama terjadi di tahun 2000 semua kabupaten tidak melaksanakan penelitian.

    Pada tahun 2002 di Kabupaten Donggala dan Kabupaten Banggai Provinsi Sulawesi Tengah tidak ada pelaksanaan RO IPPM. Pada tahun 1999/2000 di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang tidak ada pelaksanaan RO hanya di Kabupaten Timor Tengah Selatan, sedangkan pada tahun 1998/1999 Kabupaten Sumba Barat tidak melaksanakan RO.

    Provinsi Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi yang melaksanakan RO IPPM pada setiap tahun anggaran. Khusus untuk Provinsi Jawa Tengah hampir semua area RO IPPM dilaksanakan tiap tahun anggaran.

  • 10

    C. ANGGARAN Terlaksananya RO IPPM tentu tidak lepas dari ketersediaan pembiayaan yang ada.

    Besarnya jumlah pembiayaan berdasarkan tahun anggaran dan tempat pelaksanaan penelitian disajikan pada Tabel 5

    Tabel 5. Anggaran RO-IPPM berdasarkan Tempat Pelaksanaan

    Tahun 1998/1999 2002 (dalam jutaan rupiah)

    Tahun Pelaksanan No.

    Provinsi 1998/

    1999 1999/ 2000

    2000 2002 Jumlah

    1. Sumatera Selatan 393,837 50,000 2083,207 - 2.527,045 2. Jawa Barat 780,487 1.281,812 148,260 769,049 2.979,607 3. Jawa Tengah 1.139,486 830,123 301,787 659,749 2.931,104 4. Nusa Tenggara Timur 100,000 500,000 749,65 866,79 2.216,440 5. Kalimantan Selatan 378,297 741,967 - 795,925 1.916,189 6. Sulawesi Tengah 198,692 591,476 - 810,350 1.780,123 Jumlah 2.990,717 3.995,379 3.996,316 3.996,316 14.265,27

    Jumlah seluruh pembiayaan untuk pelaksanaan RO IPPM di 6 provinsi IPPM adalah Rp. 14.265.270.000,00, terdistribusi merata di 4 tahun anggaran dan 6 provinsi. Provinsi Jawa Barat dan Jawa tengah paling banyak melaksanakan RO-IPPM dibandingkan Provinsi lainnya. Provinsi Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan melaksanakan penelitian 39 penelitian tetapi biaya untuk Sumatera Selatan lebih banyak dari pada di Kalimantan Selatan.

    D. LAIN-LAIN Dari semua pembiayaan yang dianggarkan setiap tahun tidak semuanya dapat

    terserap, hanya 92% anggaran yang mampu dimanfaatkan. Penyerapan anggaran yang tidak mencapai 100% disebabkan oleh karena para peneliti tidak semua menyampaikan laporan akhir sebagai pertanggungjawaban RO. Dari 277 penelitian yang dibiayai, jumlah laporan yang diterima oleh pengelola RO hanya 199 laporan (71%). Para peneliti yang tidak menyampaikan laporan disebabkan oleh berbagai alasan, antara lain karena pelaksanaan penelitian tidak selesai. Hal ini terkait dengan tidak adanya pemantauan pelaksanaan RO dari pusat karena adanya kesenjangan antara perencanaan dan pelaksanaan pembinaan dengan ketersediaan dan manajemen anggaran pembinaan. Disamping itu, juga ada ketidaksinkronan antara pembina Badan Litbangkes, Konsultan Paket C Proyek ICDC, Konsultan Daerah dan Pembina Daerah. Jumlah penyerapan anggaran dan laporan akhir disajikan pada Tabel 6.

  • 11

    Tabel 6. Daya Serap Anggaran RO IPPM berdasarkan Tahun Anggaran

    Tahun 1998/1999 Tahun 2002 Tahun Jumlah RO

    IPPM Realisasi

    Laporan Akhir Jumlah Anggaran Realisasi

    Keuangan 1998-1999 61 67 % 2.990.716.750 88,29 % 1999-2000 85 80 % 3.995.378.850 97,36 %

    2000 53 49 % 3.282.859.800 91,5 % 2002 78 88 % 3.990.316.250 90 % Total 277 71 % 14.259.271.650 92 %

    Jumlah RO yang telah dilaksanakan dan laporan akhir penelitian yang disampaikan ke koordinator RO di Badan Litbang Kesehatan adalah:

    ! Pada tahun 1998/1999 sebanyak 61 RO, dengan alokasi dana Rp 2.990.716.750,- terealisasi 88,92%. Laporan akhir yang diterima sebanyak 40 laporan (67%).

    ! Pada tahun 1999/2000 sebanyak 85 RO, dengan alokasi dana Rp 3.995.378.850,- terealisasi 97,36% . Laporan akhir yang diterima sebanyak 68 laporan (80%).

    ! Pada tahun 2000 sebanyak 53 RO, dengan alokasi dana Rp 3.282.859.800,- terealisasi 91.50%. Laporan akhir yang diterima sebanyak 21 laporan (39 %).

    ! Pada tahun 2002 sebanyak 78 RO, dengan alokasi dana Rp 3.990.316.250,-terealisasi 90%. Laporan akhir yang diterima sebanyak 69 laporan (71%).

    Selama 4 tahun pelaksanaan RO IPPM telah dilaksanakan 277 penelitian dengan pembiayaan sebesar Rp. 14.259.271.650,00. Realisasi keuangan sampai tahun terakhir pelaksanaan RO mencapai 92 % (Rp. 13.124.091.318,00). Bila rata-rata biaya satu RO sebesar Rp. 50.000.000, maka jumlah biaya semua RO yang menghasilkan 199 laporan akhir seharusnya sebesar Rp. 9.950.000.000,00. Namun kenyataannya, besarnya penyerapan anggaran mencapai 92% dari Rp. 14.259.271.650.000,00 yakni sebesar Rp. 13.124.091.318,00. Dengan demikian telah terjadi pemborosan anggaran sebanyak Rp 3.174.091.318, yang digunakan untuk RO tanpa menghasilkan laporan akhir. Ketidakefektifan pembiayaan dikarenakan peneliti utama tidak menyerahkan laporan akhir sampai waktu akhir penyerahan laporan. Berbagai upaya koordinator RO untuk mengingatkan kepada peneliti utama agar memberikan laporan akhir penelitian telah dilakukan termasuk memberikan surat teguran, namun hasilnya kurang memuaskan.

  • 12

    BAB III RANGKUMAN HASIL RISET OPERASIONAL

    3.1. TUBERKULOSIS PARU Indonesia berada di urutan ketiga terbanyak di dunia dalam jumlah penderita TBC,

    dengan hampir 600.000 kasus TBC baru setiap tahunnya, atau 280 kasus baru per 100.000 penduduk, termasuk 126 kasus baru BTA+ per 100,000. Permasalahan utama dalam TBC adalah bahwa hanya sekitar 20% (tahun 2000) dari seluruh kasus TBC paru yang terdeteksi. Di Indonesia penemuan kasus TBC paru ini dilaksanakan secara pasif (passive case detection). Dari semua kasus yang terdeteksi tersebut, 87% berhasil diobati (melebihi 85% yang merupakan target WHO untuk angka kesembuhan).

    Penyakit menular yang menimbulkan kerugian sosial-ekonomi luar biasa ini sebenarnya telah ada obatnya, yang efektif dan murah. Namun pengobatan TBC yang harus dilakukan selama minimal 6 bulan harus diikuti dengan manajemen kasus dan tata-laksana pengobatan yang baik. Angka drop-out (DO) pengobatan TBC paru secara nasional diperkirakan tinggi. Hal ini sangat berbahaya, karena penelitian telah memperlihatkan bahwa pengobatan yang dilakukan dengan tidak teratur akan memberi efek yang lebih buruk daripada tidak diobati sama sekali. Karena resistensi obat yang terjadi akibat seseorang tidak berobat tuntasatau bila diberi obat yang keliruakan memberikan dampak buruk tidak hanya kepada yang bersangkutan tetapi juga kepada epidemiologi TBC di daerah tersebut.

    Strategi efektif untuk menghentikan penyebaran TBCyang dikenal dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse chemotherapy)terdiri dari lima komponen pokok, yaitu : 1) Jaminan komitmen politik Pemerintah yang kuat untuk menanggulangi TBC; 2) Diagnosis akurat dengan pemeriksaan mikroskopis untuk penemuan kasus; 3) Pemberian obat yang dilaksanakan secara langsung dengan melibatkan Pengawas Menelan Obat (PMO); 4) Tersedianya obat anti tuberkulosis (OAT) secara menyeluruh dan tepat waktu; dan 5) Sistem monitoring dan pencatatan yang baik. Program nasional pemberantasan TBC paru telah menerapkan strategi DOTS ini dengan suatu komitmen yang tercermin dalam Gerakan Terpadu Nasional (Gerdunas) TBC, yang inti gerakan terpadunya adalah kemitraan.

    Riset operasional yang bertemakan TBC sepanjang masa proyek IP2M berjumlah 40 judul. Ditinjau dari sudut Kabupaten daerah proyek IP2M, terdapat 5 kabupaten yang tidak melaksanakan RO TBC paru, yaitu Indramayu, Hulu Sungai Tengah, Kotabaru, Banggai dan Sumba Barat. Distribusi jumlah riset operasional TBC paru per kabupaten dapat dilihat pada tabel berikut :

  • 13

    Tabel 7. Riset Operasional TBC Paru per Kabupaten Intensifikasi Program Pemberantasan Penyakit

    1998/1999 2002

    No Kabupaten Jumlah 1 Bangka 1 2 Belitung 2 3 Ogan Komering Ulu 3 4 Bandung 9 5 Tasikmalaya 1 6 Majalengka 1 7 Indramayu - 8 Ciamis 3 9 Pekalongan 2 10 Kebumen 4 11 Jepara 2 12 Banjarnegara 1 13b Hulu Sungai Tengah - 14 Banjarmasin 2 15 Kotabaru - 16 Tapin 2 17 Banggai - 18 Donggala 2 19 Sumba Barat - 20 Sumba Timur 2 21 Timor Tengah Selatan 3 J U M L A H 40

    Pengelompokan hasil riset operasional tentang TBC tidak terlepas dari strategi DOTS. Namun karena dari 40 judul RO TBC tidak ada satupun yang meneliti komponen Komitmen Pemerintah, maka hasil RO IP2M tentang TBC dikelompokkan sebagai berikut :

    1. Penemuan kasus 1.1. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku (PSP) masyarakat, Prevalensi TBC paru, dan

    Faktor Risiko

    1.2. Pemberdayaan masyarakat dan sektor swasta untuk penemuan kasus TBC paru 1.3. Peningkatan mutu petugas kesehatan 1.4. Metode diagnosis 1.5. Penemuan aktif kasus TBC paru 1.6. TBC Balita

  • 14

    2. Manajemen kasus 2.1. Kepatuhan berobat dan pemberdayaan masyarakat/swasta untuk meningkatkan

    kepatuhan berobat

    2.2. Keberhasilan pengobatan 2.3. Gizi 2.4. Pembiayaan pengobatan TBC paru

    3. Obat Anti TBC 4. Monitoring dan Pencatatan

    Jumlah penelitian untuk kelompok 1 sebanyak 23 buah, kelompok 2 sebanyak 14 penelitian, kelompok 3 satu penelitian, dan kelompok 4 dua penelitian (rincian judul dan pengelompokan pada Tabel 8). Dari segi jumlah RO TBC ini sudah cukup menggembirakan, tetapi dari segi mutu masih banyak yang perlu diperbaiki. Terlepas dari analisis dan komentar tentang aspek ilmiah RO TBC ini, sub-bab berikut mencoba merangkum hasil-hasil nyata RO TBC selama kurun waktu proyek RO-IP2M, yang mungkin dapat dijadikan masukan bagi program P2-TBC, baik di daerah yang melakukan RO tersebut, ataupun di daerah lain.

    Tabel 8. Penelitian TBC Paru di 6 Provinsi IPPM

    Berdasarkan Tema Penelitian Tahun 1998/1999 2002

    Provinsi Tema Sumsel Jabar Jateng Kalsel Sulteng NTT

    Total

    Penemuan Kasus

    3 7 7 1 1 3 22

    Manajemen Kasus

    2 5 2 3 1 2 15

    OAT - - - - - - - Monitoring & Pencatatan

    1 2 - - - - 3

    Jumlah 6 14 9 4 2 5 40

    3.1.1. Penemuan Kasus 3.1.1.1.Pengetahuan Sikap dan Perilaku masyarakat, prevalensi TB paru dan faktor risiko

    A. PSP masyarakat Terdapat dua riset operasional (RO) yang terutama menghasilkan data PSP

    masyarakat tentang TBC paru. Penelitian di Kabupaten Majalengka (Asep Zaki Mulyatno, 2000) bertujuan meningkatkan pengetahuan masyarakat melalui media

  • 15

    CD animasi dan penelitian di Kabupaten Jepara (Kusnarto, 2001) bertujuan mengukur pengaruh pelatihan terhadap PSP kader dan pengaruhnya terhadap cakupan penemuan suspek penderita TBC.

    Sebagaimana dapat diduga sebelumnya, penyuluhan intensif dan pelatihan dapat meningkatkan PSP kelompok sasaran secara bermakna. Yang dapat ditarik pelajaran dari pengalaman melaksanakan RO ini adalah, dari Majalengka : proses pengembangan media penyuluhan telah melibatkan kelompok sasaran sejak dari penggalian permasalahan, pemilihan media, perencanaan, hingga skenario penyuluhan. Dengan demikian dapat dihasilkan media penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan dan kesanggupan menerima kelompok sasaran.

    Sedangkan dari Jepara diperoleh pengalaman membentuk kader desa yang peduli terhadap TBC. Kader dipilih dari desa-desa yang digolongkan menjadi desa pegunungan IDT dan non-IDT, desa dataran IDT dan non-IDT, desa pantai IDT dan non-IDT. Setelah intervensi PSP kader diukur dua kali, segera setelah intervensi dan 2 bulan setelahnya. Ternyata didapatkan peningkatan yang bermakna, dan peningkatan ini bertahan sampai 2 bulan setelah pelatihan. Para kader terlatih inipun telah dapat meningkatkan jumlah penemuan suspek TBC paru, walaupun jumlah BTA+ nya tidak meningkat.

    Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan program berdasarkan hasil RO tentang PSP masyarakat dan kader peduli TBC ini adalah: a) tingginya pengetahuan tidak selalu berbanding lurus dengan perbaikan perilaku; b) pengetahuan yang tidak disegarkan atau diperbaharui berangsur-angsur akan menurun kembali; dan c) keberadaan kader perlu didukung secara swadaya oleh masyarakat untuk mencegah drop-out. Dengan demikian program penyuluhan dengan media dan cara yang tepat, kepada sasaran yang tepat pula, harus dilaksanakan secara berkala, dan pembentukan serta kesinambungan kader harus sedapat mungkin berdasarkan inisiatif dan kreativitas masyarakat sendiri.

    B. Prevalensi TBC paru Hanya satu RO di Kabupaten Kebumen yang menghasilkan prevalensi TBC

    paru (Sutrisna, 2000-2001). Memang sesungguhnya dalam disain proyek IP2M data prevalensi TBC paru tidak diharapkan diperoleh dari RO, melainkan dari survei data dasar (BES). Akan tetapi, karena hingga saat RO ini dilaksanakan data tersebut belum ada, maka Kabupaten Kebumen memutuskan untuk menggalinya melalui RO.

    Tujuan RO tersebut adalah menghitung prevalensi TBC paru pada populasi yang berumur di atas 15 tahun. Sampel diambil dari 7 kecamatan dari 22 kecamatan yang ada, dengan memperhatikan kepadatan penduduk : kecamatan padat, kecamatan sedang dan kecamatan renggang.

    Secara keseluruhan hasil menunjukkan proporsi TBC paru BTA+ sebesar 6 dari 504 orang (1,05% 4), angka yang termasuk tinggi menurut WHO. Secara rinci : prevalensi BTA+ di kecamatan padat 2,08%, kecamatan sedang 0% dan

  • 16

    kecamatan renggang 1,26%. Sebagian besar penderita (83,3%) berusia 24 - 45 tahun.

    Walaupun bukan RO, namun data yang dihasilkan oleh penelitian ini sangat bermanfaat sebagai data dasar dalam merencanakan program pemberantasan TBC paru di Kabupaten yang bersangkutan.

    C. Faktor Risiko Dua buah RO di Bandung mencoba menggali faktor-faktor risiko kejadian

    TBC paru dan penularannya (Achmad Kustijadi, 2001 dan Endang Kusumawardani, 2001). Keduanya bertujuan untuk melihat pengaruh lingkungan rumah terhadap kejadian penularan TBC paru pada Balita, seperti ventilasi, kepadatan hunian, pencahayaan ruangan, dan kelembaban udara rumah. Kusumawardani menambahkan faktor status gizi, kebiasaan hidup dan status imunisasi, serta mengukur pula PSP penderita dan keluarga tentang TBC paru dan faktor risikonya.

    Patut disayangkan karena berbagai kendala, kedua penelitian ini tidak memberikan hasil yang dapat diinterpretasi. Selain kesulitan non-teknis seperti keterbatasan waktu dan dana, terdapat kesulitan teknis utama yaitu dalam memilih indikator untuk menetapkan apakah di dalam suatu rumah telah terjadi kejadian penularan TBC paru.

    Terlepas dari kesulitan-kesulitan tersebut, penelitian serupa ini sebenarnya penting dilakukan untuk mempelajari faktor-faktor risiko penularan TBC paru, terutama faktor-faktor yang bisa diintervensi. Namun perlu diperhatikan bahwa penelitian ini baru akan mempunyai makna, bila pemegang program P2 TBC memang mempunyai rencana dan kesanggupan untuk mengembangkan program untuk mengintervensi faktor-faktor lingkungan tersebut. Bila tidak, maka hasil penelitian hanya akan menambah pengetahuan saja, tanpa melangkah ke tindak-lanjut.

    3.1.1.2.Pemberdayaan masyarakat/swasta untuk penemuan kasus

    Terdapat 7 RO yang mengambil tema pemberdayaan masyarakat atau sektor swasta untuk meningkatkan penemuan kasus TBC paru. Sebagaimana diketahui, kebijakan yang dianut oleh program P2 TBC di Indonesia dalam menemukan kasus TBC paru BTA+ baru adalah secara pasif - promotif. Pada umumnya ke tujuh RO ini berupaya untuk meningkatkan penemuan kasus TBC paru baru dengan cara meningkatkan jumlah rujukan suspek TBC oleh masyarakat dan meningkatkan kemitraan dengan pemberi pelayanan kesehatan swasta.

    Sebuah RO yang dirancang untuk mengembangkan model kemitraan dengan dokter praktek swasta RS untuk penemuan kasus TBC paru telah mulai dirintis di Kabupaten Donggala (Idham Pontoh, 2002). RO tahap pertama telah dapat menghasilkan data bahwa 83% dokter praktek swasta yang diteliti melayani pasien TBC rata-rata 5 orang per tahun, yang berarti terdapat kurang-lebih 500 kasus TBC per tahun dilayani oleh dokter praktek swasta di kota Palu. Namun sebagian besar

  • 17

    diagnosis ditegakkan hanya secara klinis dan pemberian OAT belum sesuai dengan program Pemerintah. Yang cukup menjanjikan adalah para dokter tersebut menyatakan bersedia mengikuti program Pemerintah dalam manajemen kasus TBC paru asalkan mendapatkan informasi yang cukup.

    Patut disayangkan RO ini tidak dilanjutkan, sehingga model kemitraan belum sempat dikembangkan. RO tindak-lanjut untuk mengembangkan dan mengujicobakan model kemitraan dengan dokter praktek swasta (maupun institusi pelayanan kesehatan swasta lain) untuk penemuan dan penatalaksanaan kasus TBC paru sangat dianjurkan.

    Di Kabupaten Sumba Timur, NTT, sebuah RO untuk mengembangkan kelompok peminat TBC paru di masyarakat dalam meningkatkan penemuan suspek TBC paru juga telah mulai dirintis (Lely Harakay, 2000). Sayangnya, karena masih banyaknya kelemahan dalam metode penelitian (misalnya pemilihan kelompok intervensi dan kelompok kontrol tidak sebanding tingkat pendidikan dan pekerjaannya), hasil RO ini belum dapat menjadi masukan berarti.

    RO hampir serupa dilaksanakan di Kabupaten Jepara (Umrotun, 2002). Di sini dicoba dibangun kemitraan dengan PKK, perangkat desa dan dengan penderita TB sendiri untuk meningkatkan jumlah penemuan suspek TBC paru, BTA+, BTA dengan Rontgen+, dan jumlah penderita yang berobat ke Puskesmas. Sebagai kontrol adalah kemitraan dengan kader Posyandu sebagaimana yang selama itu lazim dilakukan. Hasilnya secara umum menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan temuan-temuan yang dituju, walaupun secara statistik tidak signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol.

    RO-RO serupa lainnya dilaksanakan di Kabupaten Kebumen, yang mencoba membentuk jejaring antar tokoh masyarakat (Toma), kader dan bidan di desa (Budi Sardjanti, 2001), di Kabupaten Tasikmalaya (R. Sjaefudin, 2002) dan Kabupaten Bangka (Fauzia, 2002) yang berupaya memberdayakan aparat desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD), dan di Kabupaten Bandung yang mencoba menghasilkan model kader kesehatan untuk menemukan kasus TBC paru baru dan sebagai Pengawas Minum Obat (PMO) (Tedy Sulaksana, 2001).

    Penelitian di Kebumen dilakukan di Puskesmas Sruweng yang sebelumnya sangat jarang menerima pasien TBC, kecuali kasus yang sudah parah. Ternyata RO ini berhasil meningkatkan jumlah penderita suspek paru dengan presentasi BTA+ sebesar 8,7%. RO di Kabupaten Bangka menyimpulkan bahwa anggota BPD tidak efektif untuk dijadikan PMO, namun hasil ini tidak konklusif karena banyak kekurangan dijumpai dalam metode RO nya. Demikian pula RO di Tasikmalaya dan Bandung belum menghasilkan kesimpulan karena laporannya (atau penelitiannya?) belum selesai.

    Pada umumnya, RO-RO pemberdayaan masyarakat seperti di atas, bila dilaksanakan dengan baik dan tuntas akan memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Terlebih RO ini memberikan pengalaman bagi petugas kesehatan untuk membangun kemitraan dengan pihak-pihak di luar sektor kesehatan. Masalah terbesar adalah mempertahankan kemitraan tersebut di luar masa RO, di mana tidak tersedia lagi anggaran khusus untuk itu. Pemerintah daerah perlu memikirkan jalan

  • 18

    agar secara swadaya dapat mempertahankan kemitraan yang sudah mulai berjalan dan mempertahankan kader-kader kesehatan agar tidak drop-out.

    3.1.1.3.Peningkatan mutu petugas kesehatan

    Terdapat 2 buah RO yang bertujuan meningkatkan mutu petugas kesehatan dalam menemukan kasus TBC paru, di Kabupaten Pekalongan (Sutanto Setiabudi, 2000) dan di Kabupaten Timor Tengah Selatan (Musa Salurante, 2001). Pada umumnya yang dilaksanakan adalah memberikan pelatihan penyegaran kepada petugas kesehatan, melaksanakan supervisi teratur, dan melengkapi reagen yang dibutuhkan. Seperti dapat diprediksi sebelumnya, intervensi-intervensi ini dapat meningkatkan angka temuan suspek TBC paru, dan pada pemberian pelatihan yang disertai supervisi periodik, Slide Positivity Rate (SPR) juga dapat ditingkatkan secara bermakna.

    RO-RO ini memberikan bukti kepada Dinas Kesehatan setempat bahwa apabila program P2 TBC dilaksanakan sebagaimana mestinya (meliputi mutu petugas, kelengkapan sarana-prasarana, dan pengawasan) maka hasilnya akan terus meningkat. Setelah adanya bukti ini, maka perlu diupayakan agar situasi pelaksanaan program yang ideal ini tidak hanya berlangsung dalam masa RO saja, tetapi ditanamkan dalam sistem sehari-hari.

    3.1.1.4.Metode diagnosis

    Metode diagnosis yang diupayakan untuk diperbaiki meliputi berbagai teknik untuk mengeluarkan sputum seperti teknik batuk efektif di Kabupaten Belitung (Muhamad Nizar, 2000), fisioterapi di Kabupaten Ciamis (Toto Suparto, 2000), pemberian ekspektoransia dan antibiotika di Kotamadya Banjarmasin (Surya Dinata Nyoman, 2002) dan Kabupaten Kebumen (Kusbiyantoro, 2002), serta peningkatan quality control pemeriksaan mikroskopis slide TBC, seperti yang dilaksanakan di Kabupaten Ogan Komering Ulu (Syaiful Kamal, 2000). Masih ada satu RO lagi di Kabupaten Donggala yang berupaya menggunakan metode tradisional dalam mengeluarkan sputum, namun ini dilaksanakan pada penderita TBC dalam fase pengobatan lanjut (Andi Atu, 2002).

    Dari 4 buah RO untuk meningkatkan pengeluaran sputum untuk diagnosis di atas, yang patut diperhatikan adalah penelitian di Kebumen. Dalam survei awal didapati bahwa untuk memudahkan pengeluaran sputum pada umumnya dilakukan cara-cara tradisional, seperti minum teh manis, batuk kuat-kuat dan minum air putih. Penelitian yang merupakan studi eksperimen semu ini mencobakan Gliceryl Guaiacolas (GG) dan Bromhexin HCL (B) dengan kontrol placebo (Amylum). Hasil memperlihatkan bahwa GG adalah zat yang paling baik untuk kemudahan pengeluaran dahak dan paling baik menghasilkan dahak berkualitas tinggi dibanding kedua zat lain (hasil secara statistik bermakna). Namun untuk tingkat penemuan BTA + (yang berkisar antara 5,2 6%), ketiga zat tidak memperlihatkan perbedaan bermakna.

  • 19

    Hasil RO di Kebumen yang telah dilaksanakan dengan kualitas metode penelitian yang baik ini dapat menjadi masukan bagi program P2 TBC untuk dilaksanakan secara rutin. Tidak tertutup kemungkinan juga untuk menggabungkan teknik ini dengan teknik tradisional yang selama ini telah dilakukan.

    Sebagai catatan, RO di Kabupaten Ciamis belum dapat dinilai karena belum selesai dilakukan (atau belum dilaporkan?), sedang RO di Kotamadya Banjarmasin dan Kabupaten Belitung masih kurang memenuhi syarat ilmiah (misal jumlah responden yang diambil untuk tiap kelompok intervensi tidak sama dan teknik intervensinya tidak tunggal). Demikian pula, laporan RO untuk meningkatkan pengeluaran sputum dalam fase pengobatan lanjut (Andi Atu, 2002) dianggap belum lengkap sehingga sukar untuk diinterpretasikan.

    Satu-satunya RO tentang Quality Control dilakukan di Kabupaten OKU (Syaiful Kamal, 2002). Tujuannya meningkatkan validitas penemuan suspek TBC dan menyeragamkan teknik pemeriksaan BTA di Puskesmas. Yang dipakai adalah standard National TB Programme 1996 yang direkomendasikan WHO. Studi ini berhasil mengevaluasi sarana-prasarana laboratorium TBC di Puskesmas lokasi studi, hasil kinerja pewarnaan slide TBC dengan Ziehl-Neelsen, dan hasil pembacaan slide TBC nya. Akan lebih baik lagi bila studi dilanjutkan dengan mengambil dan memeriksa spesimen selama 3 bulan setelah pelatihan untuk melihat dampak pelatihan terhadap kinerja petugas.

    Evaluasi seperti ini harusnya dilakukan oleh setiap Dinas Kesehatan atau unit pelayanan TBC minimal setahun sekali untuk menjaga mutu hasil pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis TBC, yang meliputi :

    o Sarana, prasarana laboratorium o Kinerja petugas o Hasil kerja berupa slide TBC o Index positivy rate TBC

    3.1.1.5.Penemuan aktif kasus TBC paru

    Untuk meningkatkan angka penemuan kasus TBC paru baru, beberapa Kabupaten mencoba beberapa metode penemuan kasus secara lebih aktif. Kabupaten Sumba Timur merintis pemetaan kelompok rawan TBC, yakni orang-orang yang tinggal dalam area berjarak radius putar

  • 20

    + 11,5%) dan 102 orang tetangga yang memenuhi kriteria inklusi (rate BTA + 32,4%).

    Disimpulkan bahwa model pemetaan dan pelacakan kontak pada kasus index dapat meningkatkan jumlah temuan kasus TBC paru baru. Terlebih lagi, model pemetaan kasus dapat menjadi masukan bagi surveilans dalam meningkatkan kewaspadaan dini, dan memudahkan petugas menemukan penderitanya untuk melakukan intervensi sesuai program. Hasil-hasil RO ini dapat dijadikan masukan bagi Dinas Kesehatan setempat, setidaknya untuk mempertimbangkan kebijakan pemeriksaan BTA bagi kontak penderita.

    3.1.1.6.TB Balita

    Sebuah RO di Kabupaten Bandung (Sugiartono, 2001) mempelajari kasus TBC Balita. Tujuannya adalah untuk mengetahui jumlah Balita risiko tinggi TBC dalam populasi sasaran, dan mengetahui angka penularan TBC pada Balita risiko tinggi. Hasilnya : didapat 246 responden Balita yang 79%nya telah diimunisasi BCG; 26,6% dari responden tersebut menunjukkan hasil tes tuberkulin (+), di antara mereka >60% indurasinya >10mm. Dengan foto rontgen 75% responden dicurigai TBC paru. Sementara 70,4 % Balita tersebut mempunyai jarak rumah

  • 21

    Upaya untuk melibatkan dokter praktek swasta juga dilakukan di Kabupaten Bandung (Agus Kukuh Setiana, 2001). Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran PSP dokter praktek swasta tentang P2 TBC paru dan strategi DOTS, serta unutk mengembangkan model kemitraan PRM dengan dokter praktek swasta. Hasilnya menunjukkan 80% dari 42 dokter yang berpraktek di sekitar Puskesmas Soreang, Cimahi Tengah, melayani 20 pasien TBC paru baru per tahun. Namun hampir 50% tidak tahu tentang program DOTS dan 50% merujuk/ memeriksakan sputum ke laboratorium swasta. Pengetahuan ini sangat penting untuk melihat sejauh mana keterlibatan pihak swasta dalam program P2 TBC dan faktor-faktor yang dapat diintervensi/diperbaiki. Sayang penelitian belum selesai, sehingga model kemitraan belum lagi diperoleh.

    Kabupaten Banjarnegara berupaya mengerahkan guru SD dan pekerja sosial masyarakat (PSM) sebagai pendamping PMO, dibandingkan dengan PMO tradisional saja yaitu keluarga terdekat (Sakundarno Adi, 2000). Diperoleh hasil, secara keseluruhan kepatuhan minum obat mencapai lebih dari 90% pada ke tiga kelompok (2 intervensi dan satu kontrol), namun periksa dahak ulang penderita TBC masih belum baik (sekitar 2/3 penderita tidak periksa). Menambahkan guru SD dan PSM sebagai pendamping PMO akan memperbaiki kepatuhan berobat pada masa pengobatan intensif saja, tetapi tidak pada masa intermiten. Hasil RO ini sangat bermanfaat bagi Dinas Kesehatan sebagai alternatif dalam mencari upaya yang tepat untuk meningkatkan kepatuhan berobat dan periksa dahak ulang penderita TBC paru.

    Upaya mengerahkan aparat desa sebagai PMO juga dilaksanakan di Kabupaten Belitung (Hadin, 2000) dan di Kabupaten Tasikmalaya (Sjaefudin, 2002), upaya mengerahkan tokoh agama dilakukan di Kabupaten Bandung (Sukmahadi Thawaf, 2001), dan upaya pemberian KIE kepada keluarga selaku PMO dilakukan di Kabupaten OKU (Saprianto, 2002). Namun metode RO yang dilakukan masih perlu ditingkatkan (misal ada yang jumlah sampelnya tidak memadai, dan ada pula yang tidak merinci kriteria sampel dan intervensi yang dilakukan). Demikian juga metode pelaporannya, masih kurang rinci sehingga sukar menginterpretasikan hasilnya.

    Metode konseling pada penderita TBC paru dicoba diterapkan oleh petugas kesehatan di Kabupaten Bandung (Elvira Ivantika, 2002). Dalam RO ini, dikembangkan juga media buku konseling yang dilatihkan kepada petugas TBC di Puskesmas. Hasilnya sangat menggembirakan: 1) terjadi peningkatan pengetahuan petugas TBC sesudah pelatihan, 2) terjadi peningkatan pengetahuan yang bermakna pada kelompok penderita yang diintervensi, dan 3) kepatuhan penderita yang dikonseling lebih baik daripada penderita kontrol (98,7% dibandingkan dengan 45,6%). Diperoleh hasil tambahan, yaitu penderita yang ditangani oleh petugas yang bersikap kurang baik menyebabkan penderitanya 10 kali menjadi tidak patuh.

    Hasil RO di Kabupaten Bandung ini dapat dijadikan masukan bagi Kabupaten-kabupaten lain. Upaya yang dilakukan dengan metode RO yang baik ini selain berhasil memproduksi buku media konseling, juga berhasil meningkatkan

  • 22

    kinerja petugas TBC Puskesmas dan kepatuhan berobat penderita TBC paru hingga hampir 100%.

    Sebuah RO lain di Kabupaten Bandung (Sudirman Pura Widjaja, 2001) mencoba menggali faktor-faktor sosial budaya yang mempengaruhi sikap penderita TBC paru sehingga enggan berobat ke Puskesmas. Penelitian ini menghasilkan informasi mengenai kepercayaan masyarakat tentang TBC paru, namun sayangnya belum dapat menghubungkan antara kepercayaan tersebut dengan keengganan berobat ke Puskesmas.

    3.1.2.2.Keberhasilan pengobatan

    Banyak faktor menyebabkan kegagalan konversi pada penderita TBC paru yang telah berobat. Sebuah RO di Kabupaten Timor Tengah Selatan (I Wayan Triana Suryanata, 2000) berupaya menggali faktor-faktor tersebut. Ternyata ada 15 variabel yang mempengaruhi, antara lain status gizi, lantai rumah, jendela rumah, merokok, peran keluarga dalam pengobatan, ketersediaan PMO, penyuluhan oleh paramedis, dan kepatuhan berobat penderita sendiri. Namun dalam analisis multivariat, ternyata model terbaik bagi populasi yang diteliti ini hanya terdiri dari variabel lantai rumah, PMO dan status gizi penderita. Implikasinya adalah program P2 TBC di wilayah tersebut perlu mengalokasikan biaya untuk penyuluhan dan perbaikan sanitasi rumah, peningkatan PMO (misalnya dengan pemberian penghargaan), dan upaya perbaikan status gizi.

    Sebagaimana telah disinggung dalam topik Diagnosis, di Kabupaten Donggala ada upaya untuk mendapatkan sputum yang lebih baik dari penderita yang sedang dalam fase pengobatan lanjut (Andi Atu, 2002). Dalam RO ini pemberian obat tradisional berupa daun mayana yang berkhasiat memudahkan pengeluaran sputum dibandingkan dengan Gliseril Guaiacolat (GG). Hasil menunjukkan bahwa daun mayana relatif lebih efektif dalam mengeluarkan sputum pada pasien TBC fase pengobatan lanjut. Namun laporan yang tidak lengkap menyulitkan kita untuk memperoleh gambaran yang baik tentang jalannya RO serta hasilnya.

    Sebuah RO di Kabupaten Ciamis mencoba mengembangkan pola konseling untuk meningkatkan angka kesembuhan penderita TBC paru (Herman, 2001). Penelitinya menyimpulkan bahwa metode konseling dapat menurunkan angka DO hingga menjadi 3%. Namun karena dalam laporannya tidak dijelaskan bentuk ataupun model konselingnya, demikian juga dasar pembuatan kesimpulannya, maka sukar untuk menarik manfaat dari penelitian ini, apalagi mereplikasinya di tempat lain.

    3.1.2.3.Gizi

    Salah satu faktor keberhasilan pengobatan TBC paru adalah status gizi penderita. Menyadari akan hal ini, beberapa RO berupaya melakukan intervensi pada aspek gizi. Namun laporan (atau penelitian) yang tidak lengkap/selesai menyebabkan kita tidak dapat memperoleh pelajaran apa-apa darinya. Penelitian-

  • 23

    penelitian tersebut adalah upaya pengembangan model konseling gizi untuk penderita TBC paru di Kabupaten Timor Tengah Selatan (Markus Righuta, 200?) dan upaya pemberian tambahan gizi Balita di Kabupaten Kebumen (Suprapti Hartini, 2001).

    3.1.2.4.Pembiayaan pengobatan TBC paru

    Sebuah RO di Kabupaten Tapin berupaya menyoroti aspek pembiayaan dalam manajemen pelayanan pengobatan penderita TBC paru (Rosihan Adhani, 2002). Studi deskriptif ini menghasilkan data bahwa biaya rata-rata untuk penyembuhan penderita TBC paru selama 6 bulan adalah sekitar 4 juta rupiah (termasuk biaya OAT-andaikan harus membeli, pemeriksaan laboratorium, transport, dll), padahal penghasilan rata-rata keluarga penderita setiap bulan Rp. 566.022,- dengan jumlah tabungan yang dapat diabaikan. Juga didapatkan bahwa kemampuan satu keluarga untuk membayar iuran JPKM hanya sekitar Rp. 2000,- per bulan. Selisih antara biaya penyembuhan dan kemampuan membayar penderita/keluarganya menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah untuk berupaya mengurangi atau membebaskan biaya retribusi penderita TBC. Antara lain yang diusulkan adalah pengurangan biaya laboratorium dengan menggabungkan pelaksanaan pemeriksaan laboratorium pada beberapa Puskesmas dan memobilisasi dana masyarakat untuk upaya pemberantasan TBC di masyarakat.

    3.1.3. Obat Anti Tuberkulosis Sebuah upaya unik dalam manajemen penderita TBC paru dilakukan di

    Kabupaten Ogan Komering Ulu (Irfani Riza, 2002). RO ini mencoba membandingkan hasil pengobatan terapi DOTS program untuk kategori I dengan terapi dosis OAT yang disesuaikan dengan berat badan/tubuh penderita TB paru yang underweight, disebut sebagai DOTS Subuh. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa pada penderita underweight terapi DOTS Subuh memberikan hasil pengobatan yang lebih baik dibandingkan dengan terapi DOTS program. Hal ini diperlihatkan dengan angka konversi BTA setelah pengobatan intensif (90% dibanding 46%) dan angka kesembuhan (98% dibanding 84%).

    Hasil ini patut menjadi pertimbangan pemegang program P2 TBC dalam menentukan alternatif pelayanan pengobatan bagi penderita TBC paru underweight, terutama bila angka kesembuhan di suatu daerah cukup rendah.

    3.1.4. Monitoring dan Pencatatan Komponen monitoring, pencatatan dan pelaporan sangat penting dalam penatalaksanaan TBC. Sehingga sangatlah tepat apabila aspek inipun diteliti dan diupayakan peningkatannya. Kabupaten Ciamis berupaya untuk mengembangkan sistem pelaporan TBC Pelayanan Kesehatan Swasta (Yuyun Ruhiat Triyono, 2002). Penelitian Yuyun dibagi dalam 2 tahap; tahap pertama mendata kebiasaan dokter dan BP swasta dalam melakukan penatalaksanaan penderita TBC, dan tahap 2

  • 24

    melakukan intervensi dengan media penyuluhan untuk mengubah perilaku dokter dan pemberi pelayanan kesehatan di BP swasta tersebut.

    Hasilnya menunjukkan, 75% dari 54 dokter swasta yang diteliti mengobati sendiri penderita TBC paru yang datang berobat; 17% merujuk dan sisanya belum pernah menerima pasien TBC. Namun hanya 53% yang selalu melaporkan kasusnya ke Puskesmas. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan foto thorax dan 81% penderita menuntaskan pengobatannya sampai 6 bulan. Selain itu, 15 dari 16 BP swasta yang diteliti ternyata menerima penderita TBC paru. Tetapi di sini hanya 19% penderita saja yang berobat hingga tuntas. Lagi-lagi hanya setengah BP yang melaporkan ke Puskesmas.

    Penelitian tahap 2 belum ada laporannya (atau tidak selesai), karenanya kita tidak dapat melihat metode intervensi apa yang dicobakan dan bagaimana hasilnya. Walaupun demikian, hasil tahap pertama sudah menunjukkan betapa penting dan perlunya program P2 TBC melibatkan sektor swasta dalam menanggulangi TBC. Dinas Kesehatan setempat perlu menindaklanjuti temuan ini dengan program yang tepat.

    Di lain pihak, Kabupaten Bandung mencoba menerapkan model sistem pencatatan dan evaluasi keberhasilan program P2 TBC dengan software komputer pencatatan TBC (Frisca, 2002). Sistem baru ini dicobakan pada 10 Puskesmas dengan kontrol 10 Puskesmas lainnya. Sayangnya, hasil menunjukkan tidak adanya perbedaan proporsi Puskesmas yang pencatatan dan pelaporannya lengkap (60% di kedua kelompok). Dan tidak ada satu variabelpun yang mempengaruhi kelengkapan ini secara bermakna (pendidikan petugas, lama kerja, pembinaan kepala Puskesmas, dll). Sangat dianjurkan untuk menggali lebih dalam (secara kualitatif) mengapa sistem komputer tak dapat memperbaiki kelengkapan pelaporan, dan juga menggali faktor kecepatan pelaporan. Dengan demikian, sistem yang telah mulai dikembangkan dapat terus disempurnakan.

  • 25

    3.1.5. Daftar Judul RO TB dan Nama Peneliti Utama per Kabupaten

    No Judul RO-TB Peneliti Utama

    Tema

    Provinsi Bangka-Belitung Kabupaten Bangka

    1 Peningkatan Penemuan Penderita TB Paru Melalui Peran Serta Badan Perwakilan Desa (BPD) di Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka

    Fauzia Penemuan kasus Pemberdayaan masyarakat/swasta untuk penemuan kasus

    Kabupaten Belitung 2 Efektivitas Teknik Batuk yang Efektif

    dalam Proses Pengeluaran Sputum Penderita TB di Kabupaten Belitung

    Mohamad Nizar

    Penemuan kasus Metode diagnosis

    3 Studi Komparatif Efektivitas PMO Nakes dan PMO BPD terhadap Keteraturan Pengobatan Penderita TB di Kabupaten Belitung

    H.M.Hadin Manajemen kasus Kepatuhan berobat dan pemberdayaan masyarakat/swasta untuk kepatuhan berobat

    Provinsi Sumatera Selatan Kabupaten Ogan Komering Ulu

    4 Perbandingan Keberhasilan Terapi Antituberkulosis antara Terapi DOTS Kategori I dengan Terapi Dosis Penyesuaian Berat Badan Tubuh (DOTS Subuh) pada Penderita TB Paru Underweight

    Irfani Riza Obat Anti Tuberkulosis

    5 Quality control Pemeriksaan Mikroskopis Slide TB di Puskemas Rujukan Mikroskopis Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan

    Syaiful Kamal

    Penemuan kasus Metode diagnosis

    6 Efektivitas Pemberian KIE pada Keluarga dalam Mencegah Perilaku Drop Out Pasien TB Paru di Wilayah Dinas Kesehatan Kabupaten OKU

    Saprianto Manajemen kasus Kepatuhan berobat dan pemberdayaan masyarakat/ swasta untuk kepatuhan berobat

    Provinsi Jawa Barat Kabupaten Bandung

    7 Pemberdayaan Tokoh Masyarakat dalam Upaya Meningkatkan Kepatuhan Penderita TB Terhadap Pengobatan di Kabupaten Bandung

    Sukmahadi Thawaf

    Manajemen kasus Kepatuhan berobat dan pemberdayaan masyarakat/ swasta untuk kepatuhan berobat

  • 26

    8 Pengembangan Model Kemitraan dengan Dokter Praktek Swasta dalam Pelaksanaan P2TB Paru Strategi DOTS di Kabupaten Bandung

    Agus Kukuh Setiana

    Manajemen kasus Kepatuhan berobat dan pemberdayaan masyarakat/ swasta untuk kepatuhan berobat

    9 Penularan Penyakit Tuberkulosis Paru di Rumah Tangga dan Faktor-Faktor yang Berpengaruh

    Achmad Kustijadi

    Manajemen kasus PSP masyarakat,

    prevalensi TB paru, dan faktor risiko

    Faktor risiko 10 Faktor Risiko Timbulnya Penyakit TB

    Paru di Kecamatan Cimahi Tengah, Kabupaten Bandung

    Endang Kusumawardan

    Penemuan kasus PSP masyarakat,

    prevalensi TB paru, dan faktor risiko

    Faktor risiko 11 Faktor Sosial Budaya yang

    Mempengaruhi Sikap Penderita TB Paru Enggan Berobat ke Puskesmas di Kabupaten Bandung

    Sudirman Purawijaya

    Manajemen kasus Kepatuhan berobat dan pemberdayaan masyarakat/swasta untuk kepatuhan berobat

    12 Upaya Penanganan Balita Risiko Tinggi Tuberkulosis Paru di Kabupaten Bandung: Satu Pendekatan untuk Intensifikasi Pemberantasan Penyakit TB Paru di Masyarakat

    Sugiartono Penemuan kasus TB Balita

    13 Pengembangan Model Penemuan dan Pengawasan Minum Obat Penderita TB paru oleh Kader Kesehatan di Kabupaten Bandung

    Tedy Sulaksana

    Penemuan kasus Pemberdayaan masyarakat/swasta untuk penemuan kasus

    14 Uji Coba Metode Konseling Oleh Petugas Kesehatan Terhadap Kepatuhan Penderita TB paru dalam pengobatan di Kabupaten Bandung

    Elvira Ivantika

    Manajemen kasus Kepatuhan berobat dan pemberdayaan masyarakat/ wasta untuk kepatuhan berobat

    15 Penerapan Model Sistem Pencatatan dan Evaluasi Keberhasilan Penanggulangan P2TB Menggunakan Software Pencatatan TB di Kabupaten Bandung tahun 2002

    Frisca Sri Oetami

    Monitoring dan pencatatan

    Kabupaten Tasikmalaya

    16 Pemberdayaan Aparat Desa Dalam Meningkatkan Cakupan Penemuan TB paru di Puskesmas Pager Ageung Kabupaten Tasikmalaya

    R. Sjaefudin Penemuan kasus ! Pemberdayaan

    masyarakat/swasta untuk penemuan

    kasus

  • 27

    Kabupaten Majalengka

    17 Pengembangan Model Penyuluhan TB dengan Menggunakan Media CD animasi dalam Upaya Meningkatkan Pengetahuan Masyarakat Tentang TB di Kabupaten Majalengka tahun 2002.

    Asep Zaki Mulyatno

    Penemuan kasus ! PSP masyarakat,

    prevalensi TB paru, dan faktor risiko

    ! PSP masyarakat Kabupaten Ciamis

    18 Pengembangan Metode Pengambilan Dahak Penderita TB Paru sebagai Upaya Meningkatkan Keberhasilan Deteksi BTA di Kabupaten Ciamis

    Toto Suparto Penemuan kasus Metode diagnosis

    19 Pengembangan Pola Konseling dalam Peningkatan Angka Kesembuhan Penderita Tuberkulosis Paru di Kabupaten Ciamis

    Herman Manajemen kasus Keberhasilan pengobatan

    20 Pengembangan Sistem Pelaporan Penyakit TB dari Pelayanan Kesehatan Swasta dalam Upaya Meningkatkan Penemuan Kasus di Kab. Ciamis

    Yuyun Ruhiat Triyono

    Monitoring dan pencatatan

    Provinsi Jawa Tengah Kabupaten Pekalongan

    21 Upaya Peningkatan Penemuan Penderita TB Paru Melalui Pelatihan Terpadu Petugas Puskesmas dan Supervisi Periodik Secara Teratur di Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah tahun 1999/2000

    Sutanto Setiabudi

    Penemuan kasus Peningkatan mutu petugas kesehatan

    23 Peningkatan Cakupan Penemuan Penderita TB paru dengan Pemeriksaan BTA dari Kontak Keluarga dan Tetangga Sekitar Penderita BTA + di Pekalongan (Tahap I)

    Suwondo Penemuan kasus Penemuan aktif kasus TB paru

    Kabupaten Kebumen

    24 Studi Prevalensi TB Paru di Kabupaten Kebumen dan Karakteristik Penderita TB Paru di Kabupaten Kebumen Yang Ditemukan

    Sutrisna Penemuan kasus ! PSP masyarakat,

    prevalensi TB paru, & faktor risiko

    ! Prevalensi

    25 Peningkatan Penemuan BTA (+) di Puskesmas Sruweng Melalui Pembentukan Jejaring Antar Toma, Kader dan Bidan di Desa

    Budi Sardjanti

    Penemuan kasus Pemberdayaan masyarakat/swasta untuk penemuan kasus

    26 Upaya Penanggulangan Penyakit Menular TBC Secara Dini Dengan

    Suprapti Hartini

    Manajemen Kasus Gizi

  • 28

    Pemberian Tambahan Gizi Balita di Kabupaten Kebumen

    27 Uji Coba Beberapa Ekspektoransia Dalam Rangka Meningkatkan Pengeluaran Sputum untuk Pemeriksaan BTA pada Tersangka Penderita TB paru di Kabupaten Kebumen.

    Kusbiyantoro Penemuan kasus Metode diagnosis

    Kabupaten Jepara

    28 Pengembangan Model Kemitraan Untuk Meningkatkan Penemuan Penderita Tuberkulosa

    Umrotun Penemuan kasus Pemberdayaan masyarakat/swasta untuk penemuan kasus

    29 Pelatihan TOT TB paru oleh Paramedis Bides pada Kader Kesehatan dan Pengaruhnya terhadap Pengetahuan, Sikap dan Praktek Masyarakat.

    Kusnarto Penemuan kasus ! PSP masyarakat,

    prevalensi TB paru, & faktor risiko

    ! PSP masyarakat Kabupaten Banjarnegara

    30 Penyertaan Guru SD dan Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) Sebagai Motivator dan Organisator Pengawas Menelan Obat pada Penderita TB paru di Kabupaten Banjarnegara

    Sakundarno Adi

    Manajemen kasus Kepatuhan berobat dan pemberdayaan masyarakat/swasta untuk kepatuhan berobat

    Provinsi Kalimantan Selatan

    Kotamadya Banjarmasin

    31 Efektifitas penggunaan model I-card pada kasus pengobatan TB di Banjarmasin.

    Mohamad Isa Manajemen kasus Kepatuhan berobat dan pemberdayaan masyarakat/swasta untuk kepatuhan berobat

    32 Manfaat pemberian antibiotika dan ekspektoran sebelum dilakukan pemeriksaan sputum terhadap penemuan kasus TB paru baru dengan BTA positif di Puskesmas Kotamadya Banjarmasin

    Surya Dinata Nyoman

    Penemuan kasus Metode diagnosis

    Kabupaten Tapin

    33 Studi model intervensi penyuluhan terhadap penderita TB paru beserta PMO dalam meningkatkan keteraturan minum obat di Kab. Tapin

    Noorfiansyah Manajemen kasus Kepatuhan berobat dan pemberdayaan masyarakat/swasta untuk kepatuhan berobat

  • 29

    34 Pemulihan biaya pelayanan pemberantasan Tuberkulosis paru di Kab. Tapin

    Rosihan Adhani

    Manajemen kasus Pembiayaan pengobatan TB paru

    Provinsi Sulawesi Tengah Kabupaten Donggala

    35 Efektifitas metode standar dan tradisional dalam mengeluarkan sputum penderita TB paru pada fase pengobatan lanjut di Kab. Donggala.

    Andi Atu Manajemen kasus Keberhasilan pengobatan

    36 Pengembangan model kemitraan dengan memanfaatkan dokter praktek swasta dan RS untuk penemuan kasus TB paru di Kab. Donggala

    Idham Pontoh

    Penemuan kasus Pemberdayaan masyarakat/swasta untuk penemuan kasus

    Provinsi Nusa Tenggara Timur

    Kabupaten Sumba Timur

    37 Meningkatkan cakupan penemuan kasus TB paru dengan pemetaan kelompok rawan TB di Puskesmas Waingapu Kab. Sumba Timur NTT

    Rukmiyati Penemuan kasus Penemuan aktif kasus TB paru

    38 Pengembangan Kelompok Peminat TB Paru dalam Meningkatkan Penemuan Tersangka TB Paru

    Lely Harakay Penemuan kasus Pemberdayaan masyarakat/swasta untuk penemuan kasus

    Kabupaten Timor Tengah Selatan

    39 Pengembangan model konseling gizi penderita penyakit Tuberkulosis di Kab. Timor Tengah Selatan Prov. Nusa Tenggara Timur

    Markus N.Righuta

    Manajemen kasus Gizi

    40 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kegagalan Konversi Penderita TB Paru Umur Di atas 15 Tahun di Kab. Timor Tengah Selatan

    I Wayan Triana Suryanata

    Manajemen kasus Keberhasilan pengobatan

    41 Faktor-faktor yang berhubungan dengan paramedis dalam penemuan kasus suspek TB paru di Kab. Timor Tengah Selatan

    Musa Salurante

    Penemuan kasus Peningkatan mutu petugas kesehatan

  • 30

    3.2. INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT Istilah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) mengandung 3 unsur yaitu infeksi,

    saluran pernafasan, dan akut. Saluran pernafasan adalah organ yang mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya (sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura), sedang infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari, walaupun beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA dapat berlangsung lebih dari 14 hari, misalnya pertusis. Dengan demikian ISPA adalah infeksi saluran pernafasan yang dapat berlangsung sampai 14 hari, dimana secara klinis suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi di setiap bagian saluran pernafasan dengan berlangsung tidak lebih dari 14 hari.

    Infeksi saluran pernafasan akut merupakan kelompok penyakit yang komplek dan heterogen, yang disebabkan oleh berbagai etiologi. Etiologi ISPA terdiri dari 300 lebih jenis virus, bakteri dan riketsia serta jamur. Virus penyebab ISPA antara lain golongan miksovirus (termasuk didalamnya virus influensa, virus para-influensa dan virus campak), adenovirus. Bakteri penyebab ISPA misalnya streptokokus hemolitikus, stafilokokus, pneumokokus, hemofilus influenza, Bordetella pertusis, Korinebakterium diffteria.

    Salah satu penularan ISPA adalah melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan. Adanya bibit penyakit di udara umumnya berbentuk aerosol yakni suatu suspensi yang melayang di udara, dapat seluruhnya berupa bibit penyakit atau hanya sebagian daripadanya. Adapun bentuk aerosol dari penyebab penyakit tersebut ada 2, yakni: droplet nuclei (sisa dari sekresi saluran pernafasan yang dikeluarkan dari tubuh secara droplet dan melayang di udara); dan dust (campuran antara bibit penyakit yang melayang di udara).

    Faktor lain yang mempengaruhi ISPA adalah merokok. Satu batang rokok dibakar maka akan mengeluarkan sekitar 4000 bahan kimia seperti nikotin, gas karbon monoksida, nitrogen oksida, hidrogen cianida, amonia, acrolein, acetilen, benzoldehide, urethane, methanol, conmarin, 4-ethyl cathecol, ortcresor peryline dan lainnya. Berdasarkan hasil penelitian Surjadi, ISPA yang terjadi pada ibu dan anak berhubungan dengan penggunaan bahan bakar untuk memasak dan kepadatan hunian rumah, demikian pula terdapat pengaruh pencemaran di dalam rumah terhadap ISPA pada anak dan orang dewasa. Pembakaran pada kegiatan rumah tangga dapat menghasilkan bahan pencemar antara lain asap, debu, grid (pasir halus) dan gas (CO dan NO). Demikian pula pembakaran obat nyamuk, membakar kayu di dapur mempunyai efek terhadap kesehatan manusia terutama Balita baik yang bersifat akut maupun kronis. Gangguan akut misalnya iritasi saluran pernafasan dan iritasi mata.

    Faktor lingkungan rumah seperti ventilasi juga berperan dalam penularan ISPA, dimana ventilasi dapat memelihara kondisi atmosphere yang menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia. Suatu studi melaporkan bahwa upaya penurunan angka kesakitan ISPA berat dan sedang dapat dilakukan di antaranya dengan membuat ventilasi yang cukup untuk mengurangi polusi asap dapur dan mengurangi polusi udara lainnya termasuk asap rokok. Anak yang tinggal di rumah yang padat (

  • 31

    Faktor lain yang berperan dalam penanggulangan ISPA adalah masih buruknya manajemen program penanggulangan ISPA seperti masih lemahnya deteksi dini kasus ISPA terutama pneumoni, lemahnya manajemen kasus oleh petugas kesehatan, serta pengetahuan yang kurang dari masyarakat akan gejala dan upaya penanggulangannya, sehingga banyaknya kasus ISPA yang datang ke sarana pelayanan kesehatan sudah dalam kategori berat.

    Tujuan program P2-ISPA adalah menurunkan angka kematian Balita akibat pneumoni dan menurunkan angka kesakitan akibat pneumoni. Penurunan angka kematian pneumoni Balita dilakukan dengan upaya tatalaksana penderita ISPA yang dilaksanakan melalui:

    ! Penderita pneumoni berat dirujuk ke sarana kesehatan rujukan ! Penderita pneumoni dirawat di rumah dan diberi terapi antibiotika dengan

    tindakan penunjang

    ! Penderita dengan klasifikasi bukan pneumoni (batuk pilek biasa atau ISPA lainnya) diberi tindakan penunjang atau atau terapi lain yang sesuai dengan diagnosisnya.

    Sedangkan penurunan angka kesakitan dilakukan dengan upaya pencegahan atau penanggulangan faktor risiko melalui kerjasama lintas program dan lintas sektor seperti melalui kerjasama dengan program imunisasi, bina kesehatan Balita, program bina gizi masyarakat, dan program penyehatan lingkungan.

    Dari riset operasional yang dilakukan dari tahun 1998 s/d 2002 di 6 provinsi proyek IP2M terdapat 62 buah penelitian ISPA/pneumoni, yang masing-masing dapat dikelompokkan menjadi; 16 buah tentang komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) termasuk peranserta masyarakat, 23 buah tentang penemuan kasus/deteksi dini, 12 buah tentang manajemen kasus, 9 buah tentang lingkungan dan 2 buah tentang monitoring dan pencatatan. Apabila dikaitkan dengan faktor-faktor yang berperan terhadap kejadian dan penatalaksanaan ISPA, hasil riset operasional ini belum mengkaji seluruh aspek.

  • 32

    Tabel 9. Penelitian ISPA/Pneumoni di 6 Provinsi IPPM Berdasarkan Bidang Masalah Penelitian

    Tahun 1998/1999 2002

    Provinsi Bidang Sumsel Jabar Jateng NTT Kalsel Sulteng

    Total

    KIE & Perilaku 2 4 6 2 - 2 16

    Penemuan kasus

    2 9 4 3 3 2 23

    Manajemen kasus

    1 2 4 2 3 - 12

    Monitoring dan pencatatan

    - 1 1 - - - 2

    Lingkungan 3 - 2 1 2 1 9 Jumlah 8 16 17 8 8 5 62

    Untuk itu rangkuman hasil riset operasional ini akan disajikan berdasarkan pengelompokan topik di atas.

    3.2.1. Komunikasi, informasi dan edukasi Hasil-hasil riset operasional yang berkaitan dengan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) dalam bagian ini adalah riset operasional yang mengkaji pengembangan media komunikasi, konseling dan pelatihan untuk kepentingan peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat akan ISPA/pneumoni.

    Penelitian yang mengidentifikasi media komunikasi penyuluhan di masyarakat Kabupaten Jepara mencakup pengembangan media booklet dan radio spot bagi ibu bayi dan Balita. Pada penelitian tahun pertama diketahui bahwa pengetahuan dan sikap ibu bayi/ Balita tentang pneumoni relatif rendah dan kurang mendukung. Masyarakat banyak yang belum pernah mendengar tentang pneumoni. Dari penelitian tersebut telah diidentifikasi media yang diinginkan masyarakat adalah sejenis buku yang penuh warna, bergambar, tulisan besar dan tidak terlalu banyak narasi (S.A. Nugraheni, 1999). Pada tahun kedua, setelah dilakukan sosialisasi ISPA/pneumoni melalui intervensi dengan booklet dan radio spot bagi ibu bayi dan Balita, secara umum ada peningkatan pengetahuan antara sebelum dan sesudah intervensi (Ary Setyowati, 2000).

    Penelitian dengan mengembangkan leaflet sebagai media penyuluhan juga telah dilakukan di Kabupaten Jepara (Ary Setyowati, 2001). Dari penelitian tersebut diketahui bahwa pengetahuan, sikap dan praktek ibu bayi/Balita tentang pneumoni masih sangat rendah. Setelah dilakukan intervensi penyuluhan menggunakan leaflet menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan, sikap, dan praktek ibu bayi/Balita tentang pneumoni dibandingkan dengan kontrol.

  • 33

    Model KIE lain yang dihasilkan riset operasional adalah ujicoba model adopsi inovasi teknik manajemen ISPA di Pekalongan berupa sosialisasi hasil pelatihan ISPA melalui media lembar balik (Tri Marhaeni, 2000). Dari penelitian yang dilakukan 2 tahap tersebut diperoleh informasi bahwa pengetahuan dan pendidikan masyarakat tentang ISPA masih sangat rendah, sedangkan dari segi petugas diketahui adanya kendala penyebarluasan informasi tentang ISPA berupa ketiadaan media yang sederhana, mudah dipahami, dan mudah disosialisasikan kepada masyarakat. Disamping itu, ada kesulitan petugas mempraktekkan hasil pelatihan ISPA antara lain tidak tersedianya timer, tidak semua Puskesmas mampu memutar video, dan waktu pertemuan pasien-petugas yang singkat. Dari hasil penelitian pendahuluan juga telah dikembangkan media penyuluhan berupa lembar balik. Dari penelitian tahap kedua, dengan mengujicobakan model media lembar balik teknik manajemen ISPA diketahui telah dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang ISPA. Lembar balik tersebut dinyatakan memudahkan petugas dalam memberikan penyuluhan dan konseling.

    Ujicoba KIE pada pemberdayaan ibu Balita dalam pencegahan dan penanggulangan dilakukan di Kabupaten Bandung (Nur Aminah Soediredja, 2002). Dari penelitian tersebut telah dikembangkan buku Pedoman Metode KIE Pneumoni Balita. Dari hasil ujicoba, metoda KIE tersebut diketahui telah meningkatkan pengetahuan; sedangkan dari hasil analisis cost effectiveness dan cost benefit, metoda KIE tersebut dianggap lebih baik dan lebih murah dibanding tanpa metoda KIE. Dalam analisis cost benefit penelitian ini harga per unit pengetahuan dihitung sebelum dan sesudah intervensi. Namun nilai mean pretest yang dihitung 0 dapat menimbulkan bias.

    Pengembangan media penyuluhan yang sifatnya lokal spesifik telah dikembangkan di Kabupaten Timor Tengah Selatan (Billy D. Messakh, 2002). Penelitian dilakukan 2 tahap dan bersifat kualitatif. Tahap pertama menghasilkan informasi bahwa pengetahuan masyarakat Kecamatan Amanatun tentang ISPA/pneumoni masih rendah dan adanya forum adat TOK TAK NOEK, suatu forum adat yang memiliki pengaruh kuat dalam tatanan masyarakat setempat. Pada penelitian tahap kedua, forum adat tersebut diujicobakan sebagai media penyuluhan ISPA/pneumoni. Hasil intervensi dengan cara tersebut diketahui telah merubah tingkat pengetahuan masyarakat tentang pneumoni secara bermakna (p

  • 34

    ini dapat mempercepat sosialisasi informasi tentang ISPA dan pentingnya pemanfaatan pelayanan Puskesmas, baik bagi petugas maupun masyarakat yang diukur dari banyaknya masyarakat yang hadir pada pertemuan-pertemuan yang dilakukan. Penelitian ini kurang dilengkapi informasi yang jelas tentang metodologi dan data sebelum dan setelah diintervensi, sehingga belum dapat menggambarkan secara keseluruhan tujuan penelitian.

    Ujicoba model penyuluhan untuk penderita guna meningkatkan pengetahuan, sikap dan praktek (PSP) ibu-ibu Balita dalam pencegahan dan penanggulangan pneumoni telah dilakukan di Kabupaten Bandung (Etty Purnama, 2000). Penelitian dilakukan 2 tahap, tahap I berupa pengumpulan data PSP dan pemahaman terhadap media penyuluhan; tahap II berupa intervensi penyusunan materi penyuluhan, pelatihan dan ujicoba media. Penelitian ini baru menyajikan hasil berupa faktor internal dan eksternal serta PSP sebelum intervensi. Belum ada data PSP pasca intervensi dan tidak ditunjang analisis statistik yang memadai sehingga hasilnya tidak jelas.

    Pengembangan KIE juga dilakukan dalam upaya peningkatan status gizi bayi/anak Balita yang menderita pneumoni di Kabupaten Majalengka (Hamdi, 2000). Penelitian dilakukan 2 tahap, tahun pertama berupa Rapid Etnographic Assessment (REA) untuk mengali informasi tentang praktek pemberian makanan masyarakat setempat dan konseling gizi yang ada, dan tahun kedua direncanakan inertevensi konseling dengan mengembangkan media yang sesuai. Dari REA didapat informasi sebanyak 19,3% masyarakat mempunyai menu makanan lengkap (5 sempurna) dan lainnya tidak lengkap. Dalam hal pola makan, sebanyak 37,5% pola makan waktu sakit sama dengan ketika tidak sakit dan 62,5% tidak sama. Penelitian ini tidak berlanjut dan belum sempat disusun media konselingnya sehingga tujuan penelitian secara keseluruhan tidak tercapai.

    Penelitian yang hampir sama dilakukan di Kabupaten Sumba Timur (I Gede Sutedja, 2003), di mana dalam penelitian tersebut dilakukan intervensi pelatihan TOT konseling gizi bagi bidan di desa dan pelatihan kader Posyandu. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa pengetahuan gizi dan perilaku ibu dalam memberikan makan anak lebih baik pada yang mendapat konseling dibanding yang tidak mendapat konseling. Dari penelitian tersebut juga diketahui status anak dan kecepatan kesembuhan pada yang ibunya mendapatkan konseling lebih baik dibanding yang tidak mendapat konseling.

    Peningkatan pengetahuan kader Posyandu untuk penemuan kasus dan tatalaksana ISPA telah diteliti di Sumba Timur (I Gede Sutedja, 2002). Penelitian ini menghasilkan informasi tentang faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA yaitu kurang gizi, tidak divaksinasi campak, tidak mengkonsumsi vitamin A, terkena paparan asap, dan tinggal di lingkungan hunian padat. Setelah diberikan pelatihan, tingkat pengetahuan dan sikap kader Posyandu meningkat.

    Pengembangan KIE yang dikaitkan dengan pelatihan telah dilakukan di Kabupaten Kebumen (Dwi Budi Satrio, 2000). Penelitian tahun pertama menunjukkan bahwa walaupun 85,7% ibu Balita di Kebumen telah mengikuti penyuluhan di Posyandu, akan tetapi hampir seluruhnya (96,3%) belum pernah mendengar atau lupa tentang terminologi ISPA di mana mereka hanya mengenal istilah batuk pilek. Pada penelitian tahap kedua dilakukan ujicoba materi pelatihan bagi ibu Balita di Posyandu dengan pengantar bahasa setempat dan pemutaran VCD yang juga menggunakan bahasa lokal. Kontrol diberi pelatihan dengan pengantar bahasa Indonesia dan pemutaran VCD dari WHO. Hasil

  • 35

    penelitian menunjukkan tidak adanya perbedaan pengetahuan, sikap dan keterampilan ibu Balita tentang ISPA antara daerah intervensi dan kontrol. Disimpulkan bahwa penyuluhan menggunakan bahasa setempat tidak lebih mudah dimengerti dibandingkan penyuluhan dengan pengantar bahasa nasional. Kelemahan dari penelitian ini adalah dalam