Top Banner
171

Buku Insentif Das

Jun 19, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Buku Insentif Das
Page 2: Buku Insentif Das

Sistem Insentif Rehabilitasi Lahan Dalam Rangka

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Haryanto R. Putro M. Buce Saleh Hendrayanto Iin Ichwandi

Sudaryanto

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

2003

Page 3: Buku Insentif Das

Sistem Insentif Rehabilitasi Lahan dalam Rangka Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

PENULIS Haryanto R. Putro M. Buce Saleh Hendrayanto Iin Ichwandi Sudaryanto KONSTRIBUTOR Hariadi Kartodihardjo Harianto Kukuh Murtilaksono Endriatmo Soetarto Iskandar Z. Siregar TATA LETAK Kasuma Wijaya Syamsul Budiman ILUSTRASI SAMPUL Kasuma Wijaya @ Fakultas Kehutanan IPB, 2003 VII+166 hal, 165 x 230 mm ISBN 979-9337-15-1 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Page 4: Buku Insentif Das

i

KATA PENGANTAR

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan pengelolaan sumberdaya yang terdapat di suatu DAS, baik sumberdaya alam (natural capital), sumberdaya manusia (human capital) beserta pranata institusi formal maupun informal masyarakat (social capital), maupun sumberdaya buatan (man made capital) yang satu sama lain saling berinteraksi (interaction).

Isu-isu penurunan kualitas lingkungan dalam pengelolaan DAS, terutama isu banjir dan kekeringan seringkali ditanggapi sebagai isu-isu yang disebabkan oleh masalah-masalah yang bersifat teknis semata, sehingga usulan-usulan pemecahan masalah lebih banyak dipusatkan pada kegiatan-kegiatan yang bersifat teknis, seperti sodetan sungai, normalisasi sungai, pembuatan resapan aliran permukaan, penanaman di daerah hulu sungai dan sebagainya, masih jarang yang melihat prasyarat-prasyarat yang diperlukan agar kegiatan-kegiatan yang bersiafta teknis tersebut dapat berjalan dengan baik.

Tim Kerja Fakultas Kehutanan IPB telah melakukan beberapa studi sebagai upaya untuk mengkaji permasalahan-prmasalahan yang dihadapi dalam Pengelolaan DAS, terutama dalam rangka merespon isu banjir dan kegagalan Rehabilitasi Lahan. Dari hasil-hasil studi tersebut ditemukan indikasi kuat bahwa kegiatan-kegiatan yang bersifat teknis memerlukan kegiatan-kegiatan non teknis sebagai prasyarat keberhasilan kegiatan teknis. Lemahnya Sistem Insentif dan Kelembagaan dalam Pengelolaan DAS merupakan dua hal yang dominan yang menyebabkan munculnya isu banjir dan kegagalan rehabilitasi lahan.

Hasil dari studi tersebut ditulis dalam tiga buku, sebagai upaya untuk memberikan tambahan pengetahuan dan bahan acuan bagi studi dan praktek pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Ketiga buku tersebut adalah:

1. Penataan Institusi Pengelolaan DAS

2. Sistem Insentif Rehabilitasi Lahan Dalam Kerangka Pengelolaan DAS

Page 5: Buku Insentif Das

ii

3. Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS : Kasus DAS Ciliwung

Buku 1. Penataan Institusi Pengelolaan DAS secara garis besar berisi konsep institusi/kelembagaan, pengalaman penerapannya di beberapa negara, permasalahan institusi pengelolaan DAS di Indonesia, serta telaah penatanaannya.

Buku 2. Sistem Insentif Rehabilitasi Lahan Dalam Kerangka Pengelolaan DAS, secara garis besar berisi konsep insentif, sejarah pengelolaan DAS di Indonesia, dan hasil studi kasus sistem insentif yang diperlukan di DAS Ciliwung (Jawa Barat), Rokan (Riau) dan DAS Dodokan (NTB), posisi insentif dan kebijakan rehabilitasi lahan dalam kerangka pengelolaan DAS, serta panduan pengembangan sistem insentif.

Buku 3. Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan DAS : Kasus DAS Ciliwung, secara garis besar berisi konsep pengelolaan DAS, karakteristik DAS Ciliwung, permasalahan DAS Ciliwung dan pengelolaannya, kebijakan pengelolaan DAS Ciliwung, dan sintesa rekomendasi pengelolaan DAS dan pengendalian banjir di Jakarta.

Disadari bahwa dalam penulisan buku-buku ini masih belum sempurna sehingga masukan dari pembaca sangat berguna dalam menyempurnakan isi dan penulisan buku ini. Terlepas dari kekurangan yang masih ada, diharapkan buku-buku tersebut dapat bermanfaat bagi perbaikan pengelolaan DAS di Indonesia.

Tulisan ini tidak akan terdokumentasi dengan baik tanpa bantuan Japan International Agency (JICA). Terima kasih untuk Hiroshi Nakata, Rika Novida dan Irma Imelda yang dengan sabar menunggu kompilasi dokumen ini. Tidak lupa penghargaan kami berikan kepada tim dapur, Kasuma Wijaya dan Syamsul Budiman yang telah melakukan pekerjaan dengan sangat baik.

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Dekan, Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS

Page 6: Buku Insentif Das

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i iDAFTAR ISI ......................................................................................... iii iDAFTAR TABEL ...................................................................................... v iDAFTAR GAMBAR................................................................................... vii

iI. PENDAHULUAN ............................................................................... 1

II. PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU .......................... 5

III. PENGERTIAN INSENTIF................................................................... 19

IV. PERSPEKTIF SEJARAH PERKEMBANGAN REHABILITASI HUTAN

DAN LAHAN DI INDONESIA ........................................................... 37

V. INSENTIF REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI DAS CILIWUNG,

ROKAN DAN DODOKAN ................................................................... 63

VI. POSISI INSENTIF DALAM REHABILITASI HUTAN .............................103

VII. KEBIJAKAN REHABILITASI HUTAN ...................................................109

VIII. PANDUAN PERANCANGAN INSENTIF UNTUK REHABILITASI

HUTAN DAN LAHAN ........................................................................127

iDAFTAR PUSTAKA

Page 7: Buku Insentif Das

iv

Page 8: Buku Insentif Das

v

DAFTAR TABEL Nomor Teks Hal

Tabel 1. Perbedaan antara insentif variabel (variable insentives) dan insentif pemungkin (enabling incentives)..................... 21

Tabel 2. Bentuk-bentuk insentif di tingkat petani/implementasi yang diharapkan oleh berbagai pihak terkait melalui proses PRA dan LFA untuk DAS Ciliwung, Rokan, dan Dodokan .............................................................................. 29

Tabel 3. Karakteristik yang dapat meningkatkan atau menghambat kemungkinan bekerjanya insentif ...................... 31

Tabel 4. Struktur kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan ....................... 36 Tabel 5. Beberapa peraturan perundangan yang mengatur

Pengelolaan DAS .................................................................. 60 Tabel 6. Bentuk-bentuk insentif di tingkat petani/implementasi

yang diharapkan oleh berbagai pihak terkait melalui proses PRA dan LFA untuk DAS Ciliwung................................ 92

Tabel 7. Bentuk-bentuk insentif di tingkat petani/implementasi yang diharapkan oleh berbagai pihak terkait melalui proses PRA dan LFA untuk DAS Rokan ................................... 95

Tabel 8. Bentuk-bentuk insentif di tingkat petani/implementasi yang diharapkan oleh berbagai pihak terkait melalui proses PRA dan LFA untuk DAS Dodokan ............................... 97

Tabel 9. Kategori Insentif/Disinsentif Pengelolaan DAS Terpadu Dalam Konteks Kebijakan Nasional ........................................118

Tabel 10. Contoh-Contoh Insentif Ekonomi untuk pengelolaan DAS terpadu untuk berbagai sektor .......................................119

Tabel 11. Kategori insentif ekonomi untuk rehabilitasi hutan dan lahan berbasis masyarakat ....................................................149

Page 9: Buku Insentif Das

vi

Page 10: Buku Insentif Das

vii

DAFTAR GAMBAR Nomor Teks Hal

Gambar 1. DAS dalam pandangan 3-D (tiga dimensi)......................... 6 Gambar 2. Gambar Proyeksi Permukaan DAS (2-D)............................ 7 Gambar 3. Siklus/pergerakan Air di Suatu DAS .................................. 8 Gambar 4. Tipe-tipe insentif ............................................................. 20 Gambar 5. Sistem insentif rehabilitasi lahan....................................... 22 Gambar 6. Kategori insentif menurut luaran (pendapatan dan

kontrol) yang diharapkan ................................................. 27 Gambar 7. Tahap-tahap yang harus dipenuhi dalam

mengembangkan insentif rehabilitasi hutan dan lahan .............................................................................. 33

Gambar 8. Kerangka Logis Sistem Penyelenggaran Rehablitasi hutan dan Lahan (RHL)....................................................107

Page 11: Buku Insentif Das

1

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perkembangan pembangunan nasional saat ini dan pada masa yang akan

datang ditandai oleh semakin terbukanya peluang bagi masyarakat untuk

berpartisipasi secara langsung dalam proses perencanaan, pengorganisasian,

pelaksanaan, maupun pengendalian program pembangunan. Disamping itu

penyelenggaraan pembangunan juga diarahkan untuk menggantikan

mekanisme administratif yang semula dikendalikan pemerintah menjadi

mekanisme pasar dimana perilaku masyarakat digerakkan oleh berbagai

insentif/disinsentif yang tersedia.

Di sisi lain degradasi sumber daya alam telah terjadi di berbagai tempat.

Luas hutan dan penutupan vegetasi menurun sangat tajam di berbagai Daerah

Aliran Sungai (DAS), terutama di daerah hulu, akibat eksploitasi sumberdaya

hutan dan lahan yang irasional, sehingga mengganggu keseimbangan

lingkungan. Banjir dan kekeringan di daerah hilir DAS selalu terjadi setiap

tahun dan dirasakan dampaknya di seluruh wilayah. Untuk menanggulangi

kondisi dan permasalahan di atas, pemerintah bersama masyarakat perlu

melakukan rehabilitasi hutan dan lahan yang pada prinsipnya tidak dapat

dipisahkan dari pengelolaan DAS.

Selama ini degradasi lahan dan sumberdaya alam dipandang sebagai

masalah fisik, sehingga pendekatan teknologi selalu diandalkan untuk

memecahkannya. Fakta lapangan menunjukkan bahwa pendekatan teknologi

gagal dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan, bahkan lahan kritis semakin

luas dari waktu ke waktu. Kegagalan tersebut dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:

pertama: Degradasi lahan dan sumberdaya alam hanyalah gejala dari masalah

lain, baik di bidang ekonomi, sosial, politik, kebijakan maupun masalah lainnya.

Tanpa upaya untuk memecahkan masalah yang sebenarnya, upaya rehabilitasi

akan banyak mengalami kegagalan; kedua: Program rehabilitasi lahan tidak

menarik (atraktif) bagi pengguna lahan untuk terlibat, karena tidak

Page 12: Buku Insentif Das

2

memecahkan masalah mereka secara langsung, misalnya: memperbaiki hasil

panen, meningkatkan pendapatan atau mengurangi resiko kegagalan panen.

Penyelenggaraan pembangunan diharapkan dapat mewujudkan efisiensi

alokasi pemanfaatan sumberdaya hutan dan lahan. Namun demikian tidak

mustahil bahwa pilihan-pilihan masyarakat hanya akan mendorong pemanfaatan

sumberdaya hutan dan lahan tanpa memperhatikan aspek-aspek

pelestariannya. Hal ini dapat terjadi apabila masyarakat tidak memperoleh

insentif yang memadai dalam upaya pelestarian sumberdaya tersebut. Pada

tingkat administratif pemerintahan, hal serupa juga akan dihadapi. Keterbukaan

ekonomi dan investasi akan mendorong peningkatan pemanfaatan sumberdaya

hutan dan lahan, karena prioritas masih tertuju pada pemulihan krisis ekonomi.

Berbagai program pelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup senantiasa

akan tertinggal apabila tolok ukur pembangunan tidak memasukkan unsur-

unsur kelestarian lingkungan hidup.

Mengingat berbagai permasalahan di atas, pelaksanaan pembangunan

kehutanan perlu menyertakan pendekatan sistem insentif/disinsentif, khususnya

guna menjamin tercapainya tujuan program rehabilitasi hutan dan lahan, baik di

tingkat masyarakat yang terlibat langsung dalam aktivitas tersebut, maupun di

tingkat kebijakan yang melibatkan berbagai instansi pemerintah. Untuk

merumuskan insentif yang tepat diperlukan rumusan kebijakan dan panduan

yang dapat digunakan oleh seluruh stakeholders untuk berpartisipasi dalam

rehabilitasi hutan dan lahan khususnya dan pengelolaan DAS umumnya.

B. TUJUAN

Buku merupakan hasil kajian untuk perumusan dokumen kebijakan yang

dapat digunakan oleh seluruh stakeholders untuk melaksanakan proses-proses

rehabilitasi lahan dalam pengelolaan DAS secara terpadu. Secara khusus,

tujuan penerbitan buku ini adalah:

Page 13: Buku Insentif Das

3

1. Menyajikan naskah akademik mengenai sistem insentif penyelenggaraan

rehabilitasi lahan dalam pengelolaan DAS secara terpadu.

2. Menyajikan panduan yang dapat digunakan oleh seluruh stakeholders

dalam mengembangkan insentif rehabilitasi lahan dalam pengelolaan DAS

terpadu.

Page 14: Buku Insentif Das

5

II. PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU

A. Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai terjemahan dari watershed secara harfiah

diartikan sebagai setiap permukaan miring yang mengalirkan air. Dalam konteks unit kajian

dan unit pengelolaan, DAS didefinisikan sebagai bentang lahan yang dibatasi oleh topografi

pemisah aliran (topographic divide), yaitu punggung-punggung bukit/gunung yang

menangkap curah hujan, menyimpan dan kemudian mengalirkannya melalui saluran-saluran

pengaliran ke satu titik patusan (outlet) (Manan, 1976; Linsley, 1980; Diskusi pengelolaan

DAS di Bogor tahun 1978). Titik patusan umumnya berupa muara sungai di laut, kadang-

kadang di danau. Suatu DAS yang titik patusannya berada di sungai diistilahkan sebagai

sub DAS dari sungai tempat titik patusan berada. Daerah Pengaliran Sungai (DPS) dan

Wilayah Aliran Sungai (WAS) merupakan terminologi lain yang mempunyai arti yang sama

dengan pengertian DAS.

Mengacu kepada pengertian DAS seperti uraian diatas yang telah diterima secara

luas, batas permukaan DAS menjadi jelas, dan mudah dibatasi baik di lapangan maupun di

peta kontur atau peta topografi, terutama untuk lahan-lahan bergelombang sampai

bergunung. Batas permukaan di lahan-lahan datar dan di lahan dengan sistem drainase

buatan lebih sulit ditetapkan. Pengertian DAS di atas juga menunjukkan bahwa DAS

merupakan satuan (unit) sistem hidrologi, yaitu satuan daerah pengaliran air dari mulai

curah hujan jatuh di permukaan tanah, mengalir sampai di titik patusan. DAS sebagai

sistem hidrologi dimana titik patusan merupakan titik kajian hasil air (water yield)

menjelaskan lebih lanjut bahwa air di titik patusan tidak hanya berasal dari aliran di

permukaan tanah (surface flow) tetapi juga berasal dari aliran di dalam tanah, yaitu aliran

bawah permukaan (sub surface flow) dan aliran air bumi/air tanah (ground water flow).

Pergerakan aliran bawah permukaan dan aliran air bumi dipengaruhi oleh sifat tanah dan

jenis serta struktur batuan (geologi) yang terdapat di suatu DAS. Dengan melihat sistem

hidrologi tersebut, batas suatu DAS, di lapangan tidak hanya batas di permukaan tanah saja

tetapi juga terdapat batas di dalam tanah, di mana batas keduanya tidak selalu bersesuaian

(coincide). Batas di dalam tanah (di bawah permukaan tanah) relatif lebih sulit ditetapkan

dan cenderung bersifat dinamis, sehingga dalam kegiatan praktis, batas suatu DAS hanya

menggunakan batas di permukaan tanah, yang bersifat definitif untuk aliran permukaan dan

Page 15: Buku Insentif Das

6

bersifat indikatif untuk aliran di dalam tanah dan untuk keseluruhan sistem hidrologi DAS

tersebut. Gambaran yang lebih jelas tentang suatu DAS dapat dilihat dari Gambar 1 dan

Gambar 2.

Gambar 1. DAS dalam pandangan 3-D (tiga dimensi)

Ukuran DAS sangat bervariasi dari sangat kecil (beberapa hektar) sampai sangat

besar (ribuan hektar). DAS berukuran sangat kecil, sungai utamanya berhulu di bukit-bukit

yang berbatasan langsung dengan laut. Sungai utamanya umumnya bersifat intermittent,

yaitu hanya berair pada saat hujan dan beberapa saat setelah hujan berhenti. DAS sangat

besar berhulu di pegunungan yang jauh dari laut. Sungai utamanya umumnya bersifat

perennial, yaitu berair hampir sepanjang tahun.

Page 16: Buku Insentif Das

7

Gambar 2. Gambar Proyeksi Permukaan DAS (2-D)

Batas (permukaan) DAS tidak selalu dan sebagian besar tidak bersesuaian dengan

batas wilayah administrasi pemerintahan baik pemerintah propinsi maupun kabupaten/kota.

Sesuai dengan ukuran DAS, ada DAS yang hanya mencakup satu wilayah pemerintahan

kabupaten/kota, tetapi ada juga yang mencakup lebih dari satu wilayah kabupaten/kota

dalam satu wilayah propinsi dan propinsi yang berbeda bahkan ada juga yang mencakup

wilayah negara yang berbeda. Dalam beberapa publikasi ada istilah DAS lokal yaitu DAS

yang hanya mencakup satu wilayah kabupaten/kota, DAS regional yaitu DAS yang

mencakup lebih dari satu wilayah kabupaten/kota dalam propinsi yang sama, DAS nasional

yaitu DAS yang mencakup dua wilayah propinsi (Ambar, 2001) dan untuk yang mencakup

lebih dari satu wilayah negara dapat diistilahkan sebagai DAS internasional.

B. Komponen dan Ciri Daerah Aliran Sungai

Mengacu kepada pengertian DAS dalam uraian di atas, maka di dalam suatu DAS

terdapat berbagai komponen sumberdaya, baik sumberdaya alam (natural capital), yaitu

udara (atmosphere), tanah dan batuan penyusunnya, vegetasi, satwa, sumberdaya manusia

(human capital) beserta pranata institusi formal maupun informal masyarakat (social

capital), maupun sumberdaya buatan (man made capital) yang satu sama lain saling

Page 17: Buku Insentif Das

8

berinteraksi (interaction). Komponen-komponen sumberdaya tersebut adalah khas untuk

suatu DAS sehingga menjadi karakteristik dari DAS tersebut.

Sumberdaya alam terutama udara, tanah dan batuan penyusunnya serta

morfologinya merupakan faktor yang hampir tak dapat dimanipulasi dalam jangka pendek,

relatif terhadap faktor sumberdaya manusia (human capital), sumberdaya buatan manusia

(man made capital) serta pranata institusi formal maupun informal masyarakat (social

capital) (Kartodihardjo et al., 2000). Sumberdaya alam sebagai obyek pengelolaan dapat

dikelompokkan menjadi sumberdaya air, tanah dan penutup tanah dalam bentuk vegetasi

maupun non vegetasi.

Dengan memandang DAS sebagai satuan sistem hidrologi, interaksi antar

komponen sumberdaya tersebut di suatu DAS dapat digambarkan melalui siklus/pergerakan

air di DAS tersebut. Perubahan suatu komponen sumberdaya dapat dikaji dampaknya

terhadap komponen sumberdaya lainnya dengan melihat dampak perubahan tersebut

terhadap komponen proses pergerakan air dan keseluruhan siklus/pergerakan air.

Gambaran tentang siklus/pergerakan air di suatu DAS dapat dilihat dalam Gambar 3.

Gambar 3. Siklus/pergerakan Air di Suatu DAS

Page 18: Buku Insentif Das

9

Dari sistem pergerakan air nampak jelas hubungan sebab-akibat hulu-hilir. Daerah

hulu dari segi letak daerah dalam suatu DAS dan yang dipersepsikan oleh masyarakat luas

merupakan daerah paling atas sedangkan daerah hilir adalah daerah paling bawah dari

suatu DAS. Daerah hulu umumnya dicirikan oleh topografi bergunung, curah hujan tinggi

dan kondisi sosial ekonomi masyarakat lokalnya kurang maju. Semakin ke arah hilir

cenderung makin landai, hujan makin kurang dan kondisi sosial ekonomi lebih baik. Dalam

pengertian lebih luas pengertian hulu-hilir tidak sebatas dalam letak suatu daerah di atas

dan di bawahnya, tetapi lebih melihat hubungan sebab-akibat, seperti halnya pencemaran

udara dimana pergerakan udara yang menentukan “hulu-hilir” suatu daerah, yang tidak

selalu di atas dan di bawahnya.

Keadaan udara yang mencakup suhu, kelembaban, angin, awan, radiasi dan hujan

yang diistilahkan sebagai iklim; morfologi DAS, sifat jenis tanah dan batuan, serta struktur

batuan mencerminkan kapasitas dan kemampuan lahan alamiah dalam mendukung

kehidupan. Ukuran kapasitas dan kemampuan lahan alamiah ditentukan oleh tingkat

pengetahuan dan penguasaan teknologi masyarakat lokal maupun global. Penggunaan

lahan yang melampaui kapasitas dan kemampuannya akan mengakibatkan penurunan

kapasitas dan kemampuan yang akhirnya menyebabkan kerusakan sehingga lahan tidak

mampu lagi memberikan fungsi dalam mendukung kehidupan.

Sumberdaya suatu DAS dari segi penguasaannya dapat dikelompokkan menjadi

sumberdaya yang dikuasai oleh negara dan yang dikuasai rakyat baik sebagai komunitas

maupun individu. Dalam konteks sumberdaya DAS sebagai kesatuan ekosistem, maka

dalam pemanfaatan kedua sumberdaya tersebut harus memperhatikan kepentingan/fungsi

publik. Sumberdaya yang dikuasai oleh negara seyogyanya dapat memberikan kemanfaatan

publik lebih besar dibandingkan dengan yang dikuasai oleh rakyat.

C. Tipologi DAS

Dalam uraian komponen dan ciri DAS (Sub Bab B) dijelaskan bahwa DAS terdiri dari

komponen yang dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok komponen utama yaitu (1)

kelompok komponen yang sulit dikendalikan (unmanageable) relatif terhadap (2) kelompok

komponen lainnya yang dapat dikendalikan (manageable). Kelompok pertama terdiri dari

komponen iklim, jenis dan struktur batuan (geologi), jenis dan sifat tanah (tanah).

Komponen-komponen tersebut kemudian (dipengaruhi oleh vegetasi, dan waktu)

Page 19: Buku Insentif Das

10

membentuk morfologi DAS yang digambarkan oleh kemiringan lahan, latitude, relief,

amplitudo, aspek, pola dan kerapatan jaringan drainase/sungai, dan luas daerah aliran

sungai.

Morfologi DAS dalam banyak hal dapat dikuantifikasikan, yaitu yang diistilahkan

sebagai morfometri DAS. Morfometri DAS seperti, luas, faktor bentuk, faktor-faktor ciri

jaringan drainase/sungai banyak digunakan dalam memprediksi perilaku respon DAS dalam

mengalihragamkan (transformation) hujan menjadi aliran sungai (debit, discharge) dalam

bentuk hidrograph satuan.

Perbedaan salah satu komponen pembentuk morfologi DAS akan mengakibatkan

perbedaan morfologi DAS, yang selanjutnya akan mengakibatkan perbedaan sifat DAS, baik

dalam hal kerentanan lahan terhadap erosi, longsor, produktivitas lahan, dan perilaku

hidrologi. Perilaku hidrologi yang digambarkan oleh bentuk hidrograph dengan ciri waktu

konsentrasi (time of concentration, tc), waktu resesi (time of recesion, tr) dan debit puncak

(maximum discharge, Qp) serta kualitas air menggambarkan respon DAS terhadap

resultante adanya variasi komponen dan kegiatan di dalam DAS, sementara kerentanan

lahan terhadap erosi, longsor, dan produktivitas lahan merupakan sifat in situ dan sangat

bervariasi di dalam suatu DAS. Menggambarkan sifat umum (generalized) dari sifat in situ

menjadi satu ciri/sifat suatu DAS tidaklah mudah.

Karakteristik komponen iklim dan fisik suatu DAS sangat erat kaitannya atau

pengaruhnya terhadap perilaku sosial ekonomi termasuk didalamnya kelembagaan

sosialnya, sehingga akan membentuk karakteristik sosial ekonomi dan kelembagaan sosial

pengelolaan sumberdaya alam dalam suatu DAS. Sebagai contoh: bagian DAS yang

didominasi lahan subur cenderung “diinvasi” dengan kegiatan pertanian intensif dan jumlah

penduduk tinggi, sebaliknya lahan tidak subur cenderung dibiarkan dan berpenduduk

kurang padat. DAS berukuran besar cenderung meliputi lebih dari satu wilayah administratif

otonomi pemerintah daerah, sebaliknya DAS berukuran kecil, akan memperkecil peliputan

wilayah administrasi otonomi pemerintah daerah. Semua ini akan mempengaruhi perilaku

manajemen sumberdaya alam di suatu DAS.

Dalam kerangka pengelolaan (management) DAS diperlukan ukuran-ukuran kinerja

atau hubungan input-output pengelolaan. Untuk menghindari atau memperkecil bias ukuran

kinerja diperlukan identifikasi tipologi DAS, yaitu pengelompokkan DAS berdasarkan ciri

Page 20: Buku Insentif Das

11

inheren DAS baik yang menyangkut ciri iklim dan fisik DAS yang menyebabkan kesamaan-

kesamaan dalam hal output pengelolaan, ciri sosial ekonomi masyarakat, dan kelembagaan

pengelolaan sumberdaya alam di suatu DAS yang kesemuanya akan menentukan perilaku

pengelolaan sumberdaya alam suatu DAS.

Dalam hal ciri inheren iklim dan fisik DAS seperti diuraikan sebelumnya,

hidrograph dan kualitas air sungai di suatu outlet DAS merupakan gambaran resultante

variasi kegiatan dan ciri klimatik serta fisik DAS sehingga lebih tepat untuk dijadikan

indikator output pengelolaan secara komprehensif, sehingga ciri hidrograph dan kualitas air

dapat dijadikan dasar dalam penyusunan tipologi suatu DAS dari sudut pandang iklim dan

fisik DAS.

Dalam rangka pengelolaan DAS di Indonesia telah dikembangkan kriteria dan

indikator DAS kritis dalam rangka penetapan urutan prioritas DAS yang dituangkan dalam

bentuk Surat Keputusan Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Nomor:

128/Kpts/V/1997 tentang Kriteria Penetapan Urutan Prioritas Daerah Aliran Sungai. Kriteria

dan indikator tersebut dikembangkan untuk seluruh DAS di Indonesia tanpa

mempertimbangkan ciri inheren DAS tersebut. Misalnya untuk kriteria hidrologi

dikembangkan indikator Coefisien Variasi (CV) aliran sungai, indeks penggunaan air (IPA)

dan kualitas air. Indikator kriteria hidrologi tersebut dalam konteks tingkat kekritisan bisa

dianggap sesuai tetapi dalam konteks management untuk mengatasi kekritisan tersebut bisa

menjadi bias, ketika, ukuran-ukuran indikator tersebut sama untuk seluruh DAS di

Indonesia. Nilai atau ukuran indikator hidrologi tersebut yang dianggap kritis berdasarkan

ukuran kriteria dan indikator dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Reboisasi dan

Rehabilitasi Lahan Nomor: 128/Kpts/V/1997 bisa jadi merupakan ciri inherent DAS tersebut,

bukan karena adanya salah penggunaan (misuse/mismanagement) sumberdaya alam DAS

tersebut.

Ciri DAS lainnya selain ciri klimatik dan fisik DAS, yaitu ciri sosial ekonomi dan

lembaga pengelolaan Sumberdaya Alam DAS perlu dikenali dan dianalisis dalam kaitannya

dengan respon terhadap input pengelolaan yang diberikan. Menyamaratakan input

pengelolaan baik berupa teknologi, maupun kebijakan pengelolaan akan menyebabkan

pengelolaan tidak efektif dan efisien, bahkan dapat menyebabkan kontra produktif terhadap

pencapaian tujuan pengelolaan.

Page 21: Buku Insentif Das

12

Tipologi DAS Indonesia baik yang menyangkut karakter atau ciri klimatik dan fisik

maupun sosial ekonomi dan lembaga pengelolaan perlu dikembangkan dalam upaya

pengelolaan DAS yang lebih logis, baik untuk keperluan pengukuran kinerja pengelolaan

yang lebih proporsional maupun untuk keperluan penetapan tujuan (goal), sasaran

(objective), outcome dan bentuk serta strategi pengelolaan DAS di Indonesia yang lebih

tepat dalam pencapaian outcome, sasaran dan tujuan.

Langkah-langkah pembentukan/penetapan tipologi DAS adalah dengan membuat

data dasar (data base) yang komprehensif mencakup keseluruhan data komponen DAS,

iklim, fisik, sosial ekonomi dan lembaga pengelolaan sumberdaya alam DAS. Format data

dasar perlu diseragamkan untuk seluruh Indonesia, agar memungkinkan dan memudahkan

dalam analisis data. Standar Meta Data ISO 19115 yang merupakan standar internasional

data base GIS dapat diadopsi, sehingga dapat sekaligus mengikuti format standar

internasional.

D. Pengelolaan DAS

Hewlett (1969) memberikan batasan tentang Pengelolaan DAS sebagai one part of

natural resources management or the development and administration of a country to

satisfy their needs of present and future human resident. Departemen Pertanian, Republik

Indonesia (SK Mentan No. 251/kpts/Um/4/1979) merumuskan pengelolaan DAS sebagai

upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam

dengan manusia dan segala aktivitasnya dengan tujuan membina kelestarian dan

keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia.

Society of American Forester (1985) memberikan batasan Pengelolaan DAS sebagai:

Application of business methods in watershed to assure maximum supplies of useable

water, desirable water flow, prevention and control of erosion and the reduction of flood,

sediment damages.

Sedangkan pengelolaan DAS secara terpadu merupakan suatu proses penyusunan

dan penerapan suatu tindakan yang melibatkan sumberdaya alam dan manusia di dalam

DAS, dengan mempertimbangkan faktor-faktor sosial, politik, ekonomi, lingkungan dan

institusi (kelembagaan) dalam DAS, untuk mencapai dan seluas mungkin mengembangkan

lingkup dari tujuan masyarakat jangka pendek dan panjang (Boehmer et al., 1997).

Page 22: Buku Insentif Das

13

Dari batasan/pengertian tersebut, kata-kata penting yang menandai pengertian

Pengelolaan DAS terpadu adalah:

1. Pengelolaan sumberdaya alam.

2. Pemenuhan kebutuhan manusia sekarang dan yang akan datang.

3. Kelestarian dan keserasian ekosistem.

4. Pengendalian hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia.

5. Penyediaan air, pengendalian erosi, banjir dan sedimentasi, dan

6. mempertimbangkan faktor-faktor sosial, politik, ekonomi, lingkungan dan institusi

(kelembagaan).

Sesuai dengan uraian batasan di atas, pengelolaan DAS pada dasarnya adalah

pengelolaan sumberdaya alam dan buatan (natural and man made capital) yang terdapat di

suatu DAS. Praktek pengelolaan sumberdaya alam dan buatan di Indonesia dibagi atau

dikelompokkan kedalam sektor-sektor pengelolaan/pembangunan. Sebut saja sektor yang

terkait dengan tanah dan batuan yang menyusunnya serta vegetasi di atasnya yaitu

pertambangan, pertanian, perkebunan, kehutanan; yang terkait dengan badan air dan

sumberdaya buatan, yaitu energi, transportasi, prasarana, pemukiman dan lain-lain.

Pengelolaan sektoral sumberdaya tersebut melibatkan instansi pemerintah, propinsi maupun

kabupaten/kota, perusahaan swasta atau milik negara maupun masyarakat sebagai individu,

maupun kelompok. Multi sumberdaya yang dikelola oleh lembaga-lembaga sektoral

pemerintahan, dan non pemerintah menjadikan pengelolaan DAS bersifat multi sektoral dan

multi pemangku kepentingan (stakeholders).

Tujuan (goal) pengelolaan DAS yang dirumuskan dari pengertian pengelolaan DAS

dan pengelolaan DAS terpadu adalah terpeliharanya :

1. kelestarian fungsi produksi

2. kelestarian fungsi lingkungan

3. kelestarian fungsi sosial-ekonomi.

Konsekuensi DAS sebagai satuan pengelolaan sumberdaya di suatu DAS maka

seluruh program dan kegiatan masing-masing komponen pengelola harus bersinergi ke arah

tercapainya tujuan pengelolaan tersebut. Kenyataan yang ada sampai sekarang, program

dan kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya DAS oleh masing-masing yang mempunyai

Page 23: Buku Insentif Das

14

kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya DAS di Indonesia belum sinergi bahkan dalam

banyak kasus bertentangan atau bersifat menghambat tercapainya tiga tujuan tersebut.

Sifat DAS yang multi sumberdaya, multi sektor, multi pemangku kepentingan dan

DAS sebagai satu kesatuan ekosistem menuntut pengelolaan bersifat menyeluruh (holistic)

dalam melihat hubungan interaksi antar komponen sumberdaya DAS sehingga pengelolaan

juga harus melibatkan multi disiplin keilmuan, koordinatif dan transparan serta dapat

dipertanggung-gugatkan (accountable) baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan,

selain harus efektif dan efisien, sehingga pemahaman menyeluruh, koordinatif, transparan

dan dapat dipertanggung-gugatkan merupakan prinsip-prinsip yang harus digunakan dalam

pencapaian tujuan pengelolaan DAS terpadu. Selain itu dengan adanya daerah hulu-hilir

dalam suatu DAS yang diartikan sebagai “sebab-akibat”, dimana daerah yang

mengakibatkan harus memberikan kompensasi bagi daerah yang diakibatkan (dalam

konteks akibat negatif), dan sebaliknya dalam konteks akibat positif, prinsip berbagi

pembiayaan (cost sharing) harus diperhatikan/diterapkan.

Pencapaian tujuan pengelolaan DAS terpadu yang melibatkan multi pemangku

kepentingan memerlukan kerangka kerja logis atau logical framework (logframe) yang

disusun dengan tujuan untuk mengukur kinerja atau hingga sejauh mana tingkat

ketercapaian tujuan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) terpadu dalam suatu

skema/kerangka pemikiran secara logis dan bertahap. Dalam pentahapannya atau tingkat

pencapaian tujuan, tujuan akhir (goal) pengelolaan DAS terpadu (bersifat normatif) dapat

dicapai jika keluaran langsung (output) program dan kegiatan bersifat lebih

kongkrit/operasional dapat diukur, dan keluaran tersebut akan bisa diperoleh jika ada

asupan kegiatan (input). Pengelolaan DAS terpadu sebagai proses dapat diketahui secara

runut kinerjanya melalui indikator-indikator tersusun dalam kerangka logis tersebut.

Indikator yang tersusun harus bersifat obyektif atau disebut juga sebagai Objective

Verifiable Indicators (OVI), artinya indikator tersebut dapat diukur melalui serangkaian

proses verifikasi dan pengumpulan data, sehingga setiap indikator harus mempunyai

verifier. Sedapat mungkin, verifier dapat dikuantifikasikan sehingga penentuan tolok ukur

atau ukuran nilai dapat disusun dengan pengelompokkan/klasifikasi yang lebih akurat

(Murtilaksono, 2002).

Page 24: Buku Insentif Das

15

Pengelolaan DAS terpadu memerlukan pengembangan kelembagaan pelaksana

kegiatan yang efisien dan efektif, pengembangan institusi yang dapat mendukung secara

cepat kebutuhan pelaksana kegiatan, dan penerapan kegiatan. Untuk itu diperlukan

prasyarat atau asumsi bahwa perlu kesamaan persepsi tentang masalah pengelolaan DAS

dan pentingnya pembaharuan kebijakan disamping peraturan perundangan, serta adanya

koordinasi baik internal institusi maupun lintas institusi (Kartodihardjo, et al, 2000).

E. Konsep Bio-Region dan Konsep Pengelolaan DAS Terpadu

Perkembangan pengetahuan tentang ekosistem global telah menghasilkan

paradigma baru dalam pendekatan pengelolaan sumberdaya alam, yaitu pendekatan yang

diistilahkan bioregion. Konsep ini didasari oleh pengetahuan bahwa tidak ada satu sistem

alam (nested ecosystem) yang bersifat tertutup, sehingga antara satu ekosistem dengan

ekosistem lainnya saling berinteraksi. Konsep bioregion mengakomodir migrasi biologi

komponen suatu ekosistem ke ekosistem lainnya melalui pergerakan dinamis, periodik,

musiman mahluk hidup, yaitu satwa, selain “migrasi” komponen fisik lainnya.

Memperhatikan ciri-ciri pengelolaan berdasarkan bioregion yang disarikan dari

pengalaman Bioregionalism, Man and the Biosphere Program, International Conservation

and Development Projects, Protected Area Management, and Ecosystem Management

(Miller, 1996) pada dasarnya ciri-ciri tersebut hampir sama dengan ciiri-ciri pengelolaan DAS

terpadu yang bersifat holistik, koordinatif, transparan dan dapat dipertanggung-gugatkan.

Perbedaannya, dalam konsep pengelolaan DAS terpadu hubungan antara ekosistem (nested

ecosystem) lebih dipandang dari sudut pergerakan air, sedangkan dalam konsep bioregion

hubungan tersebut juga memperhatikan aspek migrasi satwa dan pergerakan udara global.

Dalam konsep pengelolaan DAS terpadu, disadari bahwa masing-masing komponen

sumberdaya yang ada di suatu DAS, pada dasarnya memiliki batas-batas ekosistem dan

batas satuan pemanfaatan ekonomis yang tidak selalu berada dalam satu satuan DAS tetapi

seringkali melintasi batas DAS, sehingga batas ekosistem dan batas satuan pemanfaatan

ekonomis dari komponen sumberdaya tersebut dapat mencakup lebih dari satu DAS. Dalam

konteks pengelolaan DAS terpadu dikenal istilah Satuan Wilayah Sungai (SWS), Satuan

Wilayah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (SWPDAS), dan DAS “A” Ds (Daerah Aliran

Sungai “A” dan sekitarnya) yaitu satuan pengelolaan sumberdaya yang mencakup beberapa

Page 25: Buku Insentif Das

16

DAS. Konsep ini pada dasarnya dilandasi konsep satuan pengaliran (DAS) dan wilayah

administrasi pemerintahan dalam kerangka efektifitas dan efisiensi pengelolaan.

Dalam konteks satuan kajian, konsep pengelolaan DAS terpadu untuk wilayah

tertentu misalnya wilayah kepulauan (pulau-pulau kecil), SWS, SWPDAS dapat identik

dengan unit kajian berbasis bioregion, namun untuk wilayah pulau besar seperti pulau

Jawa, Kalimantan, Sumatera, Kalimantan dan Papua, konsep SWS, SWPDAS tidak

selalu/belum dapat mengakomodir konsep bioregion.

Satu kesatuan daratan nampaknya memadai untuk dijadikan satuan kajian

bioregion, yang dapat dijadikan sebagai perencanaan global untuk dijabarkan lebih lanjut

menjadi perencanaan di tingkat SWPDAS dan DAS.

F. Rehabilitasi Lahan dalam Pengelolaan DAS Terpadu

Rehabilitasi lahan dalam arti luas dapat diartikan sebagai upaya memperbaiki fungsi

lahan sesuai dengan kapasitas lahannya. Untuk lahan yang telah sangat berat mengalami

penurunan fungsinya, seperti lahan bekas pertambangan, upaya memperbaiki fungsi

lahannya diistilahkan sebagai reklamasi lahan.

Upaya rehabilitasi lahan dalam konteks pengelolaan DAS terpadu harus mengacu

kepada alokasi fungsi ruang (lahan) yang didasarkan pada kajian menyeluruh, mendalam,

hubungan ruang (spatial distibution), kapasitas dan kesesuaian penggunaan sumberdaya

lahan untuk mencapai tujuan pengelolaan DAS. Sehingga rehabilitasi lahan tidak terbatas

hanya pada kegiatan-kegiatan dalam program Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah

(RLKT) Departemen Kehutanan yang umumnya diterapkan di bagian hulu DAS, tetapi

termasuk rehabilitasi lahan pemukiman, industri dan lahan lainnya di seluruh DAS, termasuk

bantaran sepanjang saluran drainase/sungai. Keberhasilan rehabilitasi lahan seyogyanya

diukur dari tingkat pemulihan fungsi lahan, bukan dari realisasi kegiatan.

Rehabilitasi lahan dalam istilah populer diartikan “sempit” sebagai rehabilitasi lahan

“hanya” di luar kawasan hutan, sedangkan rehabilitasi lahan di dalam kawasan hutan

diistilahkan sebagai rehabilitasi hutan, sehingga dikenal luas istilah rehabilitasi hutan dan

lahan (RHL). Pembagian istilah rehabilitasi lahan menjadi rehabilitasi hutan dan rehabilitasi

lahan dimaksudkan untuk mempertegas kewenangan departemen teknis.

Page 26: Buku Insentif Das

17

Fungsi lahan yang telah terdegradasi yang dikenal sebagai lahan kritis di Indonesia

telah mencapai 43 juta hektar dengan laju 1,6 juta hektar per tahun (BAPLAN, 2002).

Luasnya lahan kritis menuntut penanganan yang terprogram berdasarkan fungsi dan

karakteristik lahan.

Penilaian lahan kritis dewasa ini didasarkan pada karakter iklim dan bio-fisik lahan

dan interaksi antar keduanya terhadap fungsi perlindungan tanah dan pengaturan tata air

(hidro-orological function), dan fungsi produksi (production function). Karakter lahan yang

dikaitkan dengan fungsi lain selain fungsi hidro-orologi dan produksi belum ada, seperti

fungsi lahan sebagai Taman Nasional, Cagar Alam dan lainnya.

Penilaian lahan kritis juga masih berdasarkan pada kekritisan setempat (in-site),

belum memperhitungkan dampak di hilirnya (off-site). Luasan tapak penilaian, letak tapak

di suatu DAS yang mempengaruhi besaran dampak off-site belum diperhitungkan. Terlepas

dari kekurangan tersebut, kekritisan tapak dapat menjadi indikator relatif tingkat kekritisan.

Program Rehabilitasi lahan harus merupakan kesatuan program dengan program

perlindungan dan pengamanan dan pemanfaatan sumberdaya alam, sebagai suatu program

konservasi sumberdaya alam1), sehingga dihasilkan percepatan pencapaian tujuan

pengelolaan DAS. Keberhasilan rehabilitasi suatu tapak tidak akan berarti apa-apa terhadap

pencapaian tujuan pengelolaan DAS apabila terjadi kerusakan di tempat lain.

Kebijakan, program dan kegiatan rehabilitasi lahan menyangkut suatu tapak yang

didalamnya melekat hak-hak atas penguasaan tapak tersebut, sehingga perumusan

kebijakan, program, dan kegiatan rehabilitasi lahan tidak dapat dilepaskan dari aspek sosio-

budaya dan ekonomi masyarakat.

-------------------------------------------------------------------------------------------- 1) Konservasi sumberdaya alam diartikan sebagai kegiatan pemanfaatan, perlindungan, dan rehabilitasi sumberdaya alam berdasarkan kapasitasnya untuk menjamin tercapainya fungsi kelestarian produksi, lingkungan dan sosial-ekonomi.

Page 27: Buku Insentif Das

19

III. PENGERTIAN INSENTIF

Insentif rehabilitasi hutan dan lahan adalah semua bentuk dorongan

spesifik atau rangsang/stimulus, umumnya berasal dari institusi eksternal

(pemerintah, LSM atau lainnya), yang dirancang dan diimplementasikan untuk

mempengaruhi atau memotivasi masyarakat, baik secara individu maupun

kelompok, untuk bertindak atau mengadopsi teknik dan metode baru yang

bertujuan untuk memperbaiki pengelolaan DAS melalui rehabilitasi hutan dan

lahan. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan insentif adalah salah satu

atau kombinasi dari hal-hal berikut:

1. Pembayaran atau pemberian konsesi untuk merangsang luaran (output)

yang lebih besar.

2. Dorongan atau faktor yang dapat memotivasi dilakukannya suatu tindakan.

3. Isyarat (signal), yang bisa negatif (disinsentif)/bersifat menghambat atau

positif (insentif)/bersifat meningkatan motivasi dan mengindikasikan suatu

tindakan.

Menurut Ostrom et al. (1993), insentif/disinsentif bukan hanya sekedar

penghargaan atau hukuman, tetapi menyangkut perubahan positif atau negatif

pada hasil (outcomes) yang dalam pandangan individu akan dapat dihasilkan

dari suatu tindakan yang dilakukan berdasarkan kaidah atau aturan tertentu

baik dalam konteks fisik maupun sosial.

Menurut sifatnya, tipe-tipe insentif dapat dikelompokkan menjadi:

1. Insentif Langsung: dapat diberikan dalam bentuk uang tunai, seperti upah,

hibah, subsidi dan pinjaman lunak; dalam bentuk barang seperti bantuan

pangan, sarana pertanian, ternak atau bibit pohon; atau dalam bentuk

kombinasi antara keduanya.

2. Insentif Tak Langsung: dapat berupa pengaturan fiskal atau bentuk

pengaturan seperti pajak, jaminan harga input/output, pengaturan

Page 28: Buku Insentif Das

20

INSENTIF

Insentif Langsung

Insentif Tak Langsung

Insentif Variabel

Insentif Pemungkin

Insentif Sektoral

Insentif Ekonomi

Makro

penguasaan/pemilikan lahan. Dalam konteks ini termasuk pelayanan

seperti penyuluhan, bantuan teknis, penggunaan alat-alat pertanian,

pemasaran, penyimpanan, pendidikan dan pelatihan, serta pelayanan

sosial, penggunaan organisasi komunitas dan desentralisasi pengambilan

keputusan.

Insentif tak langsung dapat berupa insentif variabel (variable incentives)

atau insentif pemungkin (enabling incentives). Insentif pemungkin dapat

dikelompokkan menjadi insentif sektoral dan insentif ekonomi makro (lihat

Gambar 4). Contoh-contoh insentif tak langsung dapat dilihat pada Tabel 1.

Gambar 4. Tipe-tipe insentif (Sanders and Cahlil, 1999)

Page 29: Buku Insentif Das

21

Insentif akan secara efektif mempengaruhi hasil (outcomes) bila

diterapkan dalam suatu kelembagaan yang mapan dan kondusif terhadap

pencapaian tujuan. Dalam kajian ini, yang dimaksud dengan sistem insentif

dapat dilihat dalam Gambar 5.

Tabel 1. Perbedaan antara insentif variabel (variable insentives) dan

insentif pemungkin (enabling incentives)

INSENTIF VARIABEL INSENTIF PEMUNGKIN

Sektoral Ekonomi Makro

Harga masukan

(input) dan

luaran (output)

Nilai tukar

(exchange rates)

Keamanan lahan

Pajak-pajak Pajak-pajak Aksesibilitas

Subsidi Tingkat bunga Pembangunan pasar

Tarif Tindakan fiskal

dan moneter

Devolusi pengelolaan

sumberdaya alam

Desentralisasi pengambilan

keputusan

Fasilitas kredit

Keamanan nasional

Sumber: IFAD (1996, 1998)

Page 30: Buku Insentif Das

22

REHABILITASI: - tujuan

- potensi sda - pengaturan

sosial - Faktor-faktor

eksternal

- sumberdaya - kapasitas - kemauan

-INSENTIF - Norma-norma

- Peraturan

HASIL (outcome)

TINDAKAN REHABILITASI

Gambar 5. Sistem insentif rehabilitasi lahan (diadopsi dari CIFOR)

Dari Gambar 5 dapat dijelaskan mengapa suatu DAS tertentu dikelola

lebih baik daripada DAS yang lain, dan mengapa sebagian penduduknya hidup

lebih sejahtera? Ada empat faktor yang dapat digunakan untuk memprediksi

hasil pengelolaan DAS, yaitu: (a) tujuan pengelolaan DAS, (b) potensi ekologis

dari sumberdaya, (c) pengaturan kelembagaan lokal, dan (d) berbagai kekuatan

eksternal (politik dan ekonomi). Faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap

tingkah-laku stakeholders dalam suatu DAS tertentu yang kemudian

menentukan kinerjanya.

Pengelolaan DAS memiliki tujuan yang penekanannya dapat berbeda-

beda. Ada dua tujuan utama yang dalam pencapaiannya dapat bertentangan

satu dengan yang lainnya, yaitu tujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan

penduduk di dalam DAS dan tujuan untuk rehabilitasi dan konservasi DAS.

Pada tujuan yang pertama, pemenuhan kebutuhan lokal, memperbaiki

pemerataan, ataupun mengurangi kemiskinan masyarakat di dalam DAS

merupakan hasil yang diharapkan dari pengelolaan DAS. Pencapaian tujuan

kedua biasanya berupa perlindungan hutan, rehabilitasi hutan dan perbaikan

tanah yang rusak/terlantar. Tujuan mana yang akan memperoleh penekanan

akan mempengaruhi hasil akhir pengelolaan DAS.

Page 31: Buku Insentif Das

23

Potensi sumberdaya di dalam DAS akan menentukan bentuk manfaat dan

praktek-praktek yang sesuai dalam pengelolaan DAS dalam rangka mencapai

tujuannya. Potensi DAS dapat dicerminkan oleh :

1. potensi produktifnya (dapat berupa: kesuburan lahan, nilai produk yang

dapat dihasilkan, keluwesannya dalam memenuhi kebutuhan lokal yang

berubah-ubah, resiko banjir-longsor-serangan hama/penyakit-api-

kekurangan air),

2. tekanan terhadap sumberdaya (dapat berupa: kepadatan penduduk,

permintaan produk, harga-harga, alternatif pemanfaatan kawasan), dan

3. stabilitas dan daya tahannya (dapat berupa: kapasitas regeneratif dan

manfaat yang dihasilkannya meskipun ada gangguan).

DAS yang memiliki potensi tinggi relatif lebih mudah untuk dikelola, juga

menghasilkan manfaat yang lebih banyak sehingga memberikan insentif yang

lebih besar pada pengelolanya. DAS yang memiliki daya tahan sumberdaya akan

memegang peranan penting dalam keputusan rumahtangga untuk melakukan

rehabilitasi. Stabilitas sumberdaya mempengaruhi motivasi untuk menukarkan

manfaat kini dengan harapan manfaat pada masa yang akan datang. Namun

potensi DAS yang tinggi ini sering manfaatnya tidak didistribusikan dengan baik,

di mana masyarakat lokal sering kalah bersaing dengan pendatang (contohnya

DAS Ciliwung).

Pengaturan kelembagaan menentukan bagaimana individu berinteraksi

dengan individu lainnya dalam pemanfaatan DAS. Pengaturan ini penting untuk

memastikan bahwa pengelolaan DAS dapat diterima oleh berbagai stakeholders

dengan tujuan dan kepentingannya masing-masing. Ada tiga faktor yang dapat

diidentifikasi dari pengaturan kelembagaan ini, yaitu:

1. koherensi kepentingan dan aktivitas di antara stakeholders,

2. kekuatan lembaga lokal, dan

3. manfaat untuk masyarakat lokal di dalam DAS.

Page 32: Buku Insentif Das

24

Pengaturan kelembagaan akan semakin mudah dilakukan jika ada

kesamaan kepentingan di antara stakeholders dan adanya kejelasan identitas

serta besaran (ukuran) kelompok masing-masing stakeholders. Semakin besar

dan semakin terdiferensiasi kelompok stakeholder yang ada di dalam DAS, maka

semakin sulit pengaturan sosialnya.

Kelembagaan lokal membantu berfungsinya pengelolaan DAS melalui

perlindungan terhadap hak, penguatan norma-norma yang berlaku, mengatasi

konflik, dan distribusi manfaat. Pengaruh kelembagaan sangat tergantung pada

kekuatan yang dimilikinya atas berbagai aktor yang terlibat dalam pengelolaan

DAS. Dalam aspek ekonomi dan politik sering komunitas di dalam DAS

merupakan kesatuan yang lemah. Pengaruh kelembagan lokal ini sering sulit

menjangkau kawasan ‘di luar’ lokal. Oleh sebab itu perlu penguatan oleh

lembaga eksternal yang memiliki kekuatan pengaruh yang memadai.

Keberhasilan pengelolaan DAS juga akan sangat dipengaruhi oleh

berbagai faktor eksternal yang keberadaannya berada di luar DAS.

Kelembagaan dan aktor eksternal DAS dapat saja melakukan intervensi

terhadap pengelolaan DAS dalam bentuk penguatan lembaga DAS yang ada

atau melalui perubahan konteks ekonomi dan politik dalam pengambilan

keputusan pengelolaan DAS. Kelembagaan dan aktor eksternal ini antara lain

adalah LSM, universitas, media masa, instansi pemerintah (Pusat), sangsi,

aturan, maupun berbagai kebijakan yang diciptakannya.

Di antara berbagai aktor tersebut, pemerintah sebagai kekuatan

eksternal, memberikan pengaruh yang paling dominan. Intervensi pemerintah

dapat dikategorikan sebagai intervensi yang paling lemah sampai intervensi

yang paling kuat. Semakin besar intervensi yang dilakukan pemerintah, maka

semakin besar peluang tingkah laku atau tindakan stakeholders DAS yang

ditentukan oleh insentif dan peraturan (regulation) daripada oleh norma-norma.

Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa pada situasi tertentu, orang akan

melakukan tindakan pengelolaan DAS jika mereka memiliki sumberdaya yang

Page 33: Buku Insentif Das

25

cukup, kapasitas yang memadai dan kemauan untuk bertindak. Sumberdaya

dapat berupa material, tenaga kerja, dan input-input lainnya yang dibutuhkan

untuk aktivitas pengelolaan. Termasuk dalam kapasitas adalah pengetahuan,

teknologi, maupun pengaturan sosial yang dibutuhkan untuk mengontrol dan

mengelola sumberdaya.

Tindakan pengelolaan DAS juga ditentukan oleh tiga faktor, yaitu:

1. insentif atau janji untuk memperoleh ‘hadiah’,

2. norma atau tingkah laku standar anggota masyarakat yang diharapkan

berlaku dalam suatu kelompok masyarakat, dan

3. peraturan (regulation) yang mendorong masyarakat untuk mengambil

tindakan tertentu.

DAS akan dapat dikelola dengan baik jika potensi sumberdayanya tinggi

dan pengaturan sosial serta faktor-faktor eksternal dapat menciptakan

keseimbangan yang baik antara insentif dan kontrol. Masyarakat akan mau

bertindak dalam rangka rehabilitasi dan konservasi DAS jika mereka dapat ikut

merasakan manfaat dari tindakannya itu. Pengelolaan DAS dikatakan telah

efektif jika tujuan manajemen dapat dicapai bersamaan dengan peningkatan

kesejahteraan sosial masyarakat penghuninya.

Berdasarkan uraian tersebut tampak bahwa aspek insentif hanyalah

merupakan sebagian kecil dari berbagai faktor yang dapat mempengaruhi

keberhasilan pengelolaan DAS secara berkelanjutan. Insentif selalu disertai

dengan aturan dan kontrol, namun faktor potensi sumberdaya DAS, pengaturan

sosial, maupun pengaruh faktor eksternal yang lainnya harus selalu

diperhitungkan dalam penyusunan program rehabilitasi dan konservasi DAS.

Keberhasilan pengelolaan DAS akan lebih mudah jika:

1. sumberdaya di dalam DAS menghasilkan manfaat yang besar,

2. peluang pendapatan masyarakat lokal sejalan dengan aktivitas rehabilitasi

DAS,

Page 34: Buku Insentif Das

26

3. hak atas lahan (tenureship) jelas, terjamin dan terdistribusi secara adil,

4. ada insentif bagi mereka yang bersedia mengorbankan manfaat jangka

pendeknya (manfaat individu) untuk memperoleh manfaat jangka panjang

(manfaat sosial), dan

5. ada kerjasama antar stakeholders pengelolaan DAS

Hasil rehabilitasi hutan dan lahan di dalam DAS dipengaruhi oleh dua

luaran utama, yaitu pendapatan yang akan diperoleh penduduk di dalam DAS

akibat tindakan rehabilitasi dan besaran kontrol yang dimiliki oleh penduduk

untuk menentukan secara bebas arah kehidupannya bila terlibat dalam tindakan

rehabilitasi. Kedua luaran tersebut dapat dipandang sebagai insentif yang akan

menentukan tindakan ataupun keputusan rumahtangga atau individu untuk

berpartisipasi dalam tindakan rehabilitasi. Berapa besar insentif tersebut

diberikan dan bagaimana insentif tersebut didistribusikan secara langsung akan

mempengaruhi motivasi masyarakat untuk melakukan rehabilitasi hutan dan

lahan DAS. Insentif tersebut juga secara langsung akan mempengaruhi

kesejahteraan penduduk di dalam DAS. Menurut hubungannya dengan luaran

yang diharapkan, insentif dapat dikelompokkan menjadi empat kategori

sebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 6.

Page 35: Buku Insentif Das

27

tinggi

tinggi

rendah

insentif lemahinsentif

berbasis pemberdayaan

insentif kuatinsentif

berbasis kesejahteraan

Pendapatan

rendah Kontrol

Gambar 6. Kategori insentif menurut luaran (pendapatan dan kontrol) yang

diharapkan

Berdasarkan kajian tentang Pengembangan Sistem Insentif Rehabilitasi

Hutan dan Lahan (Fahutan IPB, 2001), beberapa pokok hasilnya adalah :

1. Efektivitas bekerjanya insentif langsung seperti adanya dana murah,

penyediaan bibit dan pupuk dalam pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan

sangat tergantung pada kondisi insentif tak langsung yang ada di

masyarakat. Apabila kondisi insentif tidak langsung ini tidak mendukung,

maka adanya insentif langsung hanya akan menjadikan berlangsungnya

proyek jangka pendek tanpa ada dukungan masyarakat;

2. Kinerja rehabilitasi hutan dan lahan di lapangan masih didasarkan oleh

bekerjanya kelembagaan (pusat dan daerah) yang belum mampu

memperhatikan lemahnya insentif tak langsung khususnya mengenai

insentif pemungkin sebagai hambatan utama pelaksanaan rehabilitasi hutan

dan lahan. Insentif langsung yang berupa dana murah masih dipandang

sebagai faktor utama, sehingga informasi tentang kondisi masyarakat yang

Page 36: Buku Insentif Das

28

berkaitan dengan insentif pemungkin belum menjadi dasar penetapan

substansi program dan proyek rehabilitasi hutan dan lahan;

3. Proses komunikasi dan koordinasi antara pemerintah pusat (DepHut),

organisasi perencana di daerah (BRLKT/BPDAS dan propinsi), maupun

organisasi kehutanan di kabupaten, belum secara intensif dilaksanakan,

meskipun permintaan untuk melakukan koordinasi ini secara umum cukup

tinggi. Di pihak lain, adanya koordinasi yang sudah berjalan (DAS Ciliwung)

dipandang belum memenuhi harapan yang dibutuhkan;

4. Terdapat kebutuhan untuk memperoleh informasi dan hasil perencanaan di

tingkat DAS, sebagai dasar penilaian hasil perencanaan rehabilitasi hutan

dan lahan yang disusun oleh daerah otonom (kabupaten) serta prioritas

kegiatan yang diajukan. Dalam kaitan ini, peran Departemen Kehutanan

dalam menguatkan kelembagaan di tingkat DAS sangat penting artinya;

5. KepMenHut No. 20/Kpts-II/2001 tentang Pola Umum dan Standard serta

Kriteria Rehabilitasi Hutan dan Lahan perlu dijabarkan menjadi

perencanaan di tingkat DAS. Mekanisme penyusunan perencanaan tersebut

perlu didahului dengan program pokok yang diajukan setiap kabupaten.

Dalam implementasinya, diperlukan proses iterasi untuk saling

menyesuaikan dan memperbaiki antara pola umum yang dikeluarkan

Departemen Kehutanan, perencanaan oleh lembaga setingkat DAS, dan

program-program kabupaten;

6. Untuk memperbaiki kondisi insentif tidak langsung, pemerintah pusat

(DepHut) perlu melakukan koordinasi dengan berbagai sektor terkait untuk

menyusun program-program yang bersifat jangka panjang.

Berdasarkan harapan pihak-pihak terkait melalui proses PRA dan LFA

dapat dipetakan bentuk-bentuk insentif sesuai batasan di atas (lihat Tabel 2).

Berbagai bentuk insentif tersebut merupakan pilihan-pilihan yang

implementasinya sangat dipengaruhi kondisi spesifik lokasi, baik kondisi biofisik

maupun sosial budaya. Pada tingkat nasional, berbagai prakondisi perlu

Page 37: Buku Insentif Das

29

diperhitungkan secara seksama agar implementasi suatu bentuk insentif

tertentu dapat berhasil.

Tabel 2. Bentuk-bentuk insentif di tingkat petani/implementasi yang

diharapkan oleh berbagai pihak terkait melalui proses PRA dan LFA

untuk DAS Ciliwung, Rokan, dan Dodokan.

Kontrol Rendah Kontrol Tinggi

Pendapatan

Rendah

Insentif Lemah (Weak

incentives):

Dipandang tidak relevan untuk

digunakan dalam konteks

rehabilitasi hutan dan lahan

Insentif Berbasis Pemberdayaan

(Empowerment-based incentives):

Partisipasi dalam perencanaan dan

pengambilan keputusan, termasuk

fungsi kontrol

Kontrol terhadap lahan (tenure)

Informasi dan teknologi

Penguatan kelembagaan lokal,

Pemilihan jenis berbasis kearifan

lokal

Klinik agribisnis

Pembangunan plot percontohan

Pendidikan dan pelatihan, termasuk

penyuluhan, pendampingan dan

studi banding

Bantuan bibit/pos bibit

Penghargaan bagi yang berhasil

Bantuan dana pembuatan teras

Pembentukan kelompok konservasi

DAS

Pendapatan

Tinggi

Insentif Berbasis

Kesejahteraan (Prosperity-

based incentives):

Kesempatan kerja, misalnya

wana ternak

skema kredit, misalnya

KUTK

Subsidi bagi pemilik lahan

(bebas pajak)

Subsidi masal

Insentif Kuat (Strong incentives):

Kombinasi dan Integrasi aktivitas yang

mengandung unsur insentif berbasis

kesejahteraan dan insentif berbasis

pemberdayaan sedemikian rupa sehingga

menciptakan peluang untuk memperbesar

kemungkinan tercapainya tujuan

pengelolaan DAS, termasuk rehabilitasi

lahan/ penghijauan.

Page 38: Buku Insentif Das

30

Perbaikan jalur pemasaran

Menjamin kestabilan harga

hasil panen

Perbaikan infrastruktur

pengembangan usaha

program pendidikan dan

kesehatan

upah-imbalan yang menarik

(di atas UMR)

Pembangunan industri kecil

penampung hasil panen

Berdasarkan tinjauan normatif yang didasarkan atas kajian dari berbagai

sumber Sanders dan Cahill (1999) menyajikan berbagai karakteristik yang

mempengaruhi berjalan atau tidaknya suatu insentif, baik dalam konteks

insentif langsung maupun tidak langsung (lihat Tabel 3). Tabulasi berbagai

karakateristik tersebut akan membantu pengambil keputusan dalam

menentukan apakah di suatu DAS tertentu ada bentuk insentif langsung yang

perlu di adopsi atau prioritasnya justru pada perbaikan prakondisi (insentif tak

langsung) yang diperlukan agar suatu bentuk insentif langsung dapat di

implementasikan secara efektif dan efisien.

Page 39: Buku Insentif Das

31

Tabel 3. Karakteristik yang dapat meningkatkan atau menghambat

kemungkinan bekerjanya insentif

Karakteristik

Item Kondusif Menghambat

Konsekuensi atas

karakteristik

menghambat

Sumber Dana internal eksternal Pembayaran sulit

Ekonomi

Nasional

berbasis industri Berbasis pertanian Sering sulit bagi

pertanian untuk

membiayai rehabilitasi

Status

Kebijakan

terformulasikan

dengan baik

kurang ter-

formulasikan

Prioritas yang salah

mungkin disubsidi

Distribusi

Masalah

spesifik lokasi umum Terlalu mahal

mensubsidi keseluruhan

Tujuan Subsidi demonstrasif umum Terlalu mahal

mensubsidi keseluruhan

Ekonomi

Pertanian

pasar subsisten Tujuan pengguna lahan

adalah uang tunai bukan

konservasi

Sikap

Pengguna

Lahan

aktif pasif Sikap konservasi

mungkin sebatas akhir

pembayaran atau

supervisi

Sistem

Pertanian

tindakan

pelengkap

tindakan disruptif Menegasikan tindakan

pemeliharaan

Lama Subsidi spesifik tak spesifik Subsidi dapat

diinkorporasikan dalam

struktur harga

Proses

Evaluasi

cukup tidak ada Kesalahan penggunaan

tidak terdeteksi

Sumber: Sanders dan Cahill (1999)

Page 40: Buku Insentif Das

32

Karakteristik pada Tabel 3. juga dapat digunakan untuk memandu

pengambil keputusan atas prinsip-prinsip berikut :

1. Apabila karakteristik DAS lebih cenderung ke kiri (kondusif), maka

pendekatan insentif langsung memiliki peluang keberhasilan yang lebih

tinggi.

2. Sebaliknya bila karakteristik DAS lebih cenderung ke kanan (menghambat)

pendekatan insentif langsung memiliki peluang gagal yang lebih besar.

3. Apabila lebih dari satu karakteristik menghambat ditemukan, pengaruhnya

cenderung berlipat ganda.

4. Pertimbangan atas daftar karakteristik menghambat menunjukkan bahwa

insentif langsung sulit dikelola pada kondisi dimana aksi konservasi paling

diperlukan.

5. Agregasi karakteristik menghambat di negara manapun berakibat pada

semakin tidak realistisnya implementasi konsep pembayaran kembali

pinjaman ke pemerintah. Hibah dan pendanaan pada akhirnya lebih

banyak digunakan dalam bentuk bantuan.

6. Tidak peduli apakah sumberdana berasal dari sumber internal atau

eksternal, alokasi dana lebih baik digunakan untuk memperbaiki

karakteristik menghambat, misalnya: pengembangan kebijakan,

perencanaan terpadu, evaluasi program maupun pengembangan sikap

positif pengguna lahan.

Dari ketiga kasus di tiga DAS dapat diketahui bahwa pengembangan

sistem insentif cenderung sangat spesifik tapak, karena itu diperlukan panduan

yang dapat digunakan oleh Pemerintah Kabupaten dan berbagai pihak terkait

lainnya untuk mengembangkan insentif yang dapat diimplementasikan oleh

masyarakat. Gambar 7. memberikan gambaran mengenai tahap-tahap yang

dilakukan dalam mengembangkan insentif rehabilitasi hutan dan lahan.

Page 41: Buku Insentif Das

33

Rehabilitasi hutan dan lahan adalah bagian dari konservasi DAS. Pilihan

kelembagaannya relatif sulit akibat komplikasi sumberdaya yang termasuk di

dalamnya serta oleh berbagai faktor lainnya. Daerah aliran sungai umumnya

kerapatan penduduknya relatif longgar, sehingga pengembangan dan

pemeliharaan kelembagaan menjadi relatif sulit. Populasi penduduk DAS sering

secara ekonomis berada di luar alur besar ekonomi nasional, dianggap daerah

peripheral, di mana administrasi dan pemerintahan lokal relatif lemah.

Rumahtangga menjadi unit dasar pengambilan keputusan dan aktivitas yang

paling menonjol.

Gambar 7. Tahap-tahap yang harus dipenuhi dalam mengembangkan insentif

rehabilitasi hutan dan lahan

Page 42: Buku Insentif Das

34

Pengelolaan DAS memberikan insentif yang rendah bagi penggunanya

untuk melakukan tindakan kolektif. Beberapa alasan dapat dikemukakan

mengapa tindakan kolektif sering gagal terlaksana dalam program rehabilitasi

hutan dan lahan dalam rangka konservasi DAS.

1. Komunitas pemakai sering hanya dapat diidentifikasi secara geografis dan

umumnya tidak memiliki identitas kelompok ataupun struktur otoritas

operasional yang jelas.

2. Manfaat tertunda dan umumnya dinikmati oleh pihak yang tidak

mengeluarkan biaya pengelolaan DAS.

3. Perubahan yang terjadi pada sumberdaya umumnya sulit diketahui dan

diukur, sehingga manfaat dari investasi tidak jelas.

4. Keterkaitan atau saling-ketergantungan antar pemakai sumberdaya

dianggap lemah.

Berdasarkan berbagai alasan yang telah dikemukakan di atas, dapatlah

dikatakan bahwa mengandalkan sepenuhnya pada kelembagaan lokal bagi

rehabilitasi dan konservasi DAS merupakan pilihan yang tidak tepat.

Kelembagan lokal akan efektif sebagai pengelola sumberdaya jika manfaat dan

biaya memiliki berbagai ciri sebagai berikut: (a) manfaat timbul dengan cepat,

(b) manfaat dapat dinikmati secara lokal, (c) manfaat dapat dilihat secara

nyata, dan (d) manfaat dapat diperoleh oleh orang yang sama yang

menanggung biaya. Karakteristik manfaat dan biaya rehabilitasi dan konservasi

DAS memiliki ciri sebagai berikut: (a) manfaat muncul dalam jangka panjang,

(b) manfaat dinikmati oleh pihak yang jauh lokasinya, (c) manfaat sulit untuk

diidentifikasi, dan (d) manfaat juga dinikmati oleh mereka yang tidak ikut

menanggung biaya. Jadi rehabilitasi dan konservasi DAS perlu diatur oleh

lembaga yang lebih tinggi tingkatannya daripada tingkatan kelembagaan lokal.

Peranan pemerintah pusat ataupun kabupaten diharapkan masih relatif

besar. Kelembagaan lokal sulit diharapkan untuk memainkan peranan sentral

dalam rehabilitasi dan konservasi DAS. Hal ini bukan berarti bahwa

Page 43: Buku Insentif Das

35

kelembagaan lokal menjadi tidak penting. Berbagai pengalaman dari program

pengelolaan DAS menunjukkan bahwa menggerakkan masyarakat untuk

melakukan aktivitas rehabilitasi sulit dilakukan melalui pemaksaan atau

intervensi dari luar. Respon masyarakat (petani) yang berada di daerah yang

terpencil, di mana campur tangan pemerintah relatif kecil dan lebih banyak

bersandarkan pada indigenous local institutions, terhadap program rehabilitasi

ternyata lebih baik. Masih ada peluang untuk memberikan peranan yang

penting pada kelembagaan lokal dalam pengelolaan rehabilitasi DAS, terutama

yang menyangkut berbagai hal yang menjadi interest penduduk lokal.

Kelembagaan lokal juga menjadi penting jika program rehabilitasi dan

konservasi DAS dilandaskan pada permasalahan lokal. Program rehabilitasi DAS

juga lebih efisien dan sustainable apabila dapat memanfaatkan bakat dan

keterampilan masyarakat lokal daripada mendatangkan tenaga dari luar daerah.

Hubungan kelembagaan antara BRLKT/BPDAS, Dinas Kehutanan Propinsi

dan Dinas Kehutanan serta seluruh pihak terkait (stakeholders), termasuk

komunitas lokal dikukuhkan melalui Forum pengelolaan DAS dan rehabilitasi

lahan yang berfungsi dalam penyusunan perencanaan terpadu, kontrol dan

evaluasi program. Sinergi program yang diimplementasikan oleh seluruh pihak

terkait akan dapat dijamin bila forum diinisiasikan atas dasar kebutuhan lokal

dan dibangun atas dasar keinginan seluruh pihak terkait untuk memecahkan

masalah rehabilitasi dan pengelolaan DAS. Struktur kegiatan, peran berbagai

stakeholders dan sumber-sumber kegagalan atau inefisiensi yang mungkin

terjadi dapat dilihat pada Tabel 4.

Page 44: Buku Insentif Das

36

SUM

BER

KEG

AG

ALA

N/I

NEF

ISIE

NSI

Bias

sub

stan

sial

dan

/ata

u ke

pent

inga

n pe

mer

inta

h pu

sat

Perb

edaa

n pe

rsep

si, p

emah

aman

dan

kep

entin

gan

stak

ehol

ders

Perb

edaa

n ko

mitm

en u

ntuk

mel

aksa

naka

n RP

DAS

ter

padu

aki

bat

perb

edaa

n

kapa

sita

sst

akeh

olde

rske

sepa

kata

nat

asru

ang

yang

haru

sdi

pert

ahan

kan

- Kesa

laha

n in

terp

reta

si s

take

hold

ers

atas

RPD

AS t

erpa

du d

alam

kon

teks

RH

L,

perb

edaa

nka

pasi

tas

stak

ehol

ders

Krite

ria y

ang

dise

paka

ti st

akeh

olde

rs u

ntuk

pro

posa

l yan

g la

yak

dise

tuju

i;

biay

atr

ansa

ksi

Perb

edaa

n ka

pasi

tas

pela

ksan

a RH

L

Krite

ria y

ang

dise

paka

ti un

tuk

dija

dika

n al

at in

terv

ensi

bah

wa

proy

ek

dihe

ntik

an a

tau

dite

rusk

an;

biay

a tr

ansa

ksi

Akse

s pu

blik

ter

hada

p la

pora

n Im

plem

enta

si R

HL

sert

a m

ekan

ism

e um

pan

balik

ter

hada

p RP

DAS

Ter

padu

dan

Im

plem

enta

si R

HL

Akse

s pu

blik

ata

s ha

sil-h

asil

impl

emen

tasi

RH

L da

n m

ekan

ism

e um

pan

balik

terh

adap

RPD

ASTe

rpad

uda

nIm

plem

enta

siRH

L

PIH

AK

TER

KA

IT

Pem

erin

tah

Pusa

t (D

epH

ut),

mes

tinya

mel

ibat

kan

Bape

dal

Selu

ruh

stak

ehol

ders

: lo

kal,

kabu

pate

n, p

ropi

nsi,

Pusa

t

(ter

gant

ung

kara

kter

istik

DAS

)

Selu

ruh

stak

ehol

ders

: lo

kal,

kabu

pate

n, p

ropi

nsi,

Pusa

t

(ter

gant

ung

kara

kter

istik

DAS

)

Pem

erin

tah

Kabu

pate

n

Stak

ehol

ders

tin

gkat

Kab

upat

en, d

iusu

lkan

kep

ada

Gub

ernu

rol

ehBu

pati

deng

ante

mbu

san

keBR

LKT

dan

Pem

erin

tah

Prop

insi

(D

inas

Keh

utan

an P

ropi

nsi),

BRLK

TKa

nwil

DJA

Peng

esah

anpe

rset

ujua

npr

opos

al

Pela

ksan

a ya

ng d

isep

akat

i sta

keho

lder

s

Tekn

is:

Bupa

ti, D

ephu

t

Kele

mba

gaan

: St

akeh

olde

rs

Peng

awas

an:

Bupa

ti

Proy

ek:

Pim

pro

Tekn

is:

BRLK

T

Akun

tabi

litas

: Bu

pati

Selu

ruh

stak

ehol

ders

, dik

oord

inas

ikan

ole

h pi

hak

yang

dise

paka

ti

Tabe

l 4.

Stru

ktur

Keg

iata

n Reh

abili

tasi

Hut

an d

an la

han

AK

TIV

ITA

S U

TAM

A

Peny

usun

an P

ola

Um

um, K

riter

ia &

Ind

ikat

or

RHL

Penj

abar

an P

ola

Um

um, K

riter

ia &

Ind

ikat

or

RH

Lse

suai

kara

kter

istik

DAS

Peny

usun

an R

enca

na P

enge

lola

an D

AS

(RPD

AS)

Terp

adu

Adop

si R

PDAS

Ter

padu

men

jadi

Per

da

Dae

rah

Peny

usun

an P

ropo

sal I

mpl

emen

tasi

RPD

AS

tingk

atlo

kal(

bisa

bany

akpr

opos

al)

Pem

baha

san

dan

Pers

etuj

uan

Setia

p

Prop

osal

Impl

emen

tasi

RH

L

Peng

enda

lian

Ting

kat

Impl

emen

tasi

RH

L

Pela

pora

n

Pem

anta

uan

dan

Eval

uasi

Page 45: Buku Insentif Das

37

Page 46: Buku Insentif Das

37

IV. PERSPEKTIF SEJARAH PERKEMBANGAN

REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI INDONESIA

Manfaat hutan bagi kehidupan manusia semakin hari dirasa semakin

besar, sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan peranan hutan dalam

suatu ekosistem wilayah. Begitu juga dalam menempatkan skala prioritas

manfaat sumberdaya hutan akan sangat bergantung pada perkembangan

kehidupan masyarakat pada saat itu. Secara umum manfaat hutan dapat

dikelompokkan ke dalam manfaat yang bersifat "tangible" dan "intangible" atau

"use values" dan "non use values".

Penempatan skala prioritas yang kurang tepat, yaitu hutan sebagai

penghasil kayu, telah menimbulkan banyak masalah, karena hutan tidak dapat

berfungsi optimal dalam mengendalikan keanekaragaman hayati, iklim mikro,

tata air dan keseimbangan lingkungan.

Degradasi hutan akibat penebangan di luar batas kemampuannya telah

terjadi sejak lama, baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa. Di Pulau

Jawa pada masa pemerintahan Hindia Belanda, eksploitasi hutan alam jati dan

konversi hutan menjadi perkebunan telah terjadi secara besar-besaran dan lebih

diperparah lagi pada masa pendudukan Jepang, yang melakukan penebangan

hutan untuk kepentingan perang.

Pembukaan perkebunan secara besar-besaran dengan mengkonversi dari

lahan hutan terjadi sejak jaman penjajahan Belanda, telah mengakibatkan erosi

dan banjir yang dahsyat antara lain di Solo pada pertengahan dan akhir abad

ke-19. Oleh karenanya pemerintah Belanda pada waktu itu, tahun 1844

menerbitkan Undang-undang yang mengatur tentang pembukaan hutan.

Namun undang-undang tersebut tanpa pengawasan yang ketat tidak dapat

dijalankan dengan efektif, karena tuntutan kebutuhan lahan. Hal tersebut

ditunjukkan oleh peningkatan sedimentasi di sungai Cilutung dari 0,9 mm per

Page 47: Buku Insentif Das

38

tahun pada tahun 1911 menjadi 1,9 mm per tahun pada tahun 1917. Coster,

pengamat sedimentasi tersebut akhirnya memimpin “Badan Reboisasi” yang

dibentuk tahun 1930. Ordonansi yang dikeluarkan antara lain pengaturan luas

minimum hutan di suatu wilayah. Saat itu mulai dikenal bangunan konservasi,

yaitu teras sengkedan serta penggunaan pupuk hijau.

Berbeda dengan saat penjajahan Belanda, pada waktu pendudukan

Jepang, masalah konservasi tanah dan air tidak terperhatikan karena lebih

menekankan pada pemenuhan kebutuhan pangan dengan membuka hutan

secara ekstensif. Lebih lanjut erosi dan kerusakan lahan semakin menjadi-jadi.

Pada saat awal kemerdekaan Indonesia, kerusakan lahan dan tanah

belum bisa disentuh dengan nyata, karena perhatian pemerintah lebih banyak

diberikan kepada usaha yang digunakan untuk mempertahankan kemerdekaan

yang baru diproklamasikan.

I. J. Kasimo, Menteri Kesejahteraan pada waktu itu, yaitu tahun 1951-

1955 memperkenalkan Rencana Kesejahteraan Istimewa dengan salah satu

kegiatan yang berupa pembuatan teras dan penghijauan lahan pekarangan,

disamping dilaksanakan Percobaan Pertanian Tanah Kering.

Pada tahun 1956 dicetuskan Hari Pohon atau disebut sebagai Arbour

Day pada Kongres Kehutanan di Bandung. Setelah itu dilakukan kegiatan

Pekan Penghijauan Nasional yang pertama, yaitu pada tanggal 17-23 Desember

1961. Saat itu dilakukan penanaman pohon di tengah perkebunan teh Gunung

Mas.

Pemerintah mengalokasikan anggaran khusus untuk penghijauan walau

dana yang dialokasikan sangat terbatas. Anggaran tersebut dituangkan dalam

Proyek Departemen Pertanian nomor 001-037. Selanjutnya dengan dimulainya

Pembangunan Lima Tahun (Pelita) yang pertama pada tahun 1969, maka

dibentuk proyek Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai dan Lahan Kritis serta

Reboisasi. Namun pada tahun 1971 proyek tersebut diubah menjadi Proyek

Reboisasi dengan wilayah kerja Daerah Aliran Sungai. FAO memberikan

Page 48: Buku Insentif Das

39

bantuan dengan nama “Upper Solo Watershed Management and Upland

Development Project”. Selanjutnya dikeluarkan Inpres No 8/76 tahun 1976

tentang bantuan penghijauan dan reboisasi. Pada periode inilah terbentuk

Proyek Perencanaan dan Pembinaan Reboisasi dan Penghijauan Daerah Aliran

Sungai (P3RPDAS).

Pada Pelita-pelita selanjutnya, pemerintah Indonesia lebih menekankan

kepada proyek yang diutamakan pada DAS-DAS kritis atau DAS prioritas

dengan bantuan dari berbagai instansi donor luar negeri, seperti USAID, World

Bank, dan IBRD.

Berdasarkan kegiatan dalam proyek-proyek yang dapat dilihat mengalami

penyempurnaan terutama dalam perencanaan. Dalam periode Pelita I dan II

aspek pemerataan kegiatan lebih menonjol sehingga lokasi reboisasi dan

penghijauan tersebar pada 36 DAS di 21 propinsi dan 121 kabupaten. Hasil

evaluasi pelaksanaan reboisasi dan penghijauan selama Pelita I hingga III

walaupun bersifat “klise” sebagai berikut :

1. Timbulnya kesadaran pentingnya konservasi tanah dan air.

2. Mulai muncul swadaya masyarakat dalam kegiatan konservasi tanah dan

air.

3. Secara keproyekan terjadi peningkatan luas reboisasi dan penghijauan.

4. Dampak negatif di hilir (off-site) masih belum teridentifikasi benar karena

belum ada pemantauan.

5. Oleh petani proyek dianggap sebagai charity, belum tumbuh rasa sense of

belonging.

6. Lahir kader-kader dalam konservasi tanah dan air melalui proyek-proyek

yang telah ada.

Di luar Pulau Jawa penebangan hutan mulai marak setelah diterbitkannya

PP.No. 64.Tahun 1957. Berdasarkan peraturan itu banyak bermunculan konsep

hutan, perhitungan tebang, maupun ijin penebangan, yang melakukan

Page 49: Buku Insentif Das

40

eksploitasi hutan untuk menyediakan bahan baku industri panglong terutama di

Propinsi Riau dan Kalimantan Timur. Sejak lahirnya orde baru, yang

berorientasikan pada percepatan penebangan secara pragmatis, sumberdaya

alam hutan menjadi harapan salah satu kekuatan penggerak akselarasi

pembangunan. Hutan telah memberikan sumbangan yang besar dalam

menyediakan devisa negara, setelah minyak dan gas bumi. Namun dibalik itu

ekploitasi hutan telah menyebabkan kerusakan hutan di mana-mana.

Diperkirakan jumlah luasan hutan rusak telah mencapai 56,48 juta ha dengan

laju "deforestasi" dalam sepuluh tahun terakhir sekitar 1,6 juta ha per tahun.

Kerusakan tersebut tambah diperparah lagi oleh aktivitas masyarakat yang

melakukan penebangan illegal, karena aksesnya tertutup dengan adanya Hak

Pengusaha Hutan (HPH) yang beroperasi di wilayah yang sama.

Kerusakan hutan dan dampaknya terhadap ekosistem wilayah, terutama

terhadap pengendalian tata air, telah pula dipahami dan disadari sejak lama,

oleh para rimbawan dan penentu kebijakan. Upaya rehabilitasi hutan dan lahan

telah dilakukan, namun hasilnya belum memenuhi harapan, atau belum

menunjukkan kemajuan yang berarti jika dibandingkan dengan laju kerusakan

yang terjadi. Secara fisik volume pekerjaan rebosisasi hanya sebesar 50.000-

70.000 ha per tahun, sedangkan volume pekerjaan penghijauan hanya 400.000-

500.000 ha per tahun.

Konservasi tanah dan air di Indonesia sebenarnya telah lama menjadi

perhatian pemerintah, walau catatan tertulis secara kuantitatif baru dimulai

pada jaman penjajahan Belanda di awal abad ke-19. Bukti bahwa konservasi

tanah dan air telah menjadi perhatian Indonesia semenjak zaman kerajaan

adalah sistim pengairan subak di Bali yang merupakan kelanjutan dari masa

kerajaan Majapahit. Walaupun sistim sawah bukan merupakan usaha

konservasi tanah secara langsung, melainkan lebih kepada budidaya tanaman

padi sawah itu sendiri.

Page 50: Buku Insentif Das

41

Masalah dampak kerusakan hutan dan lingkungan, serta upaya

rehabilitasinya ternyata tidak hanya menyangkut aspek fisik saja, tetapi juga

mengangkat aspek sosial ekonomi dan kelembagaannya. Secara lebih spesifik,

upaya rehabilitasi hutan dan lahan dapat dilihat perkembangannya, ditinjau dari

teknis kegiatan, kelembagaan, mekanisme penyelenggaraan dan peran serta

masyarakat sebagai berikut:

A. PERIODE 1951-1973

1. Aspek Teknis

Sebelum tahun 1963 program rehabilitasi hutan dan lahan tidak

terpikirkan, meskipun kerusakan hutan, akibat penebangan telah terjadi

dimana-mana baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa. Begitu pula

pengelolaan hutan melalui pendekatan Daerah Aliran Sungai (DAS) belum

dilakukan.

Penanaman tanah kosong melalui program pembangunan "Hutan

Serbaguna", baru dicanangkan setelah tahun 1964, dimana pada saat itu

kehutanan telah menjadi departemen tersendiri pada masa kabinet 100 menteri.

Program pembangunan hutan serbaguna menitikberatkan pada

rehabilitasi tanah kosong sekaligus dikaitkan dengan usaha ekonomi rakyat

untuk meningkatkan kesejahteraannya. Bentuk kegiatannya terutama adalah

penanaman murbei pada kawasan hutan rusak (tanah kosong) dan pemukiman

ulat sutera.

2. Kelembagaan

Sebelum tahun 1963 hutan-hutan di seluruh Indonesia diurus oleh

Jawatan Kehutanan. Di daerah diserahkan kepada Dinas Kehutanan Tingkat I,

sesuai dengan PP No. 64 tahun 1967.

Page 51: Buku Insentif Das

42

Pada tahun 1963 pengelolaan hutan di Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah

dan sebagian wilayah Pulau Kalimantan diserahkan kepada perusahaan negara,

dengan tugas utama eksploitasi hutan.

Departemen kehutanan dibentuk pada tahun 1964, namun praktis belum

berbuat apa-apa, karena kemudian segera dibubarkan.

3. Mekanisme Penyelenggaraan

Pada masa kehutanan diurus oleh Jawatan Kehutanan, hutan merupakan

kekayaan alam yang harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat dan dijaga keutuhannya (pasal 33 UUD 1945).

Sesuai dengan aturan pendanaan (ICW merupakan sistem pengelolaan

dana peninggalan kolonial Belanda), yang masih diberlakukan hingga sekarang,

maka semua biaya yang diperlukan untuk pengelolaan hutan harus

mendapatkan persetujuan pemerintah, termasuk kegiatan-kegiatan untuk

reboisasi tanah kosong. Begitu juga hasil penjualan kayu ataupun hasil hutan

lainnya serta restribusi yang ditarik oleh kehutanan, langsung masuk ke kas

negara.

Mekanisme seperti itu, jelas tidak efektif untuk kegiatan pengelola hutan

yang seringkali memerlukan tindakan yang cepat dan tanggap-darurat

(emergency).

Oleh karena itu di daerah-daerah yang dipandang memiliki potensi yang

cukup besar dan permasalahan kehutanan juga cukup banyak, dibentuk

perusahaan negara yakni PN. Perhutani di Pulau Jawa (Jawa Tengah dan Jawa

Timur). PN Perhutani telah mampu menghasilkan beberapa kemajuan, terutama

telah melakukan rehabilitasi tanah-tanah kosong atau hutan rusak, yang terjadi

sebelumnya, meskipun laju kerusakan hutan masih cukup besar pada saat itu.

Page 52: Buku Insentif Das

43

4. Peran Serta Masyarakat

Pelibatan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan masih terbatas

sebagai pekerja hutan, atau dalam hubungan rakyat dengan penguasa. Pada

saat itu penjabat instansi kehutanan adalah penguasa teritorial dengan jabatan

Kepala Daerah Hutan (KDH) dan Menteri Kehutanan adalah Margirstrat, atau

pembantu Jaksa, yang memiliki kewenangan untuk membuat process verbale.

Dengan kewenangan itu, pejabat di lingkungan kehutanan dapat menggerakkan

dan memobilisasi tenaga kerja.

Namun pada masa menjelang G 30 S PKI, penjarahan dan penyerobotan

tanah hutan banyak dilakukan. Hal ini tentunya sangat mempengaruhi pula

peran serta masyarakat dalam program pembangunan hutan serbaguna (Sutra

Alam) yang pada saat itu sedang digalakkan. Sebagai percontohan untuk

mempromosikan program tersebut, karyawan PN. Perhutani diikutkan sebagai

peserta.

B. PERIODE 1973-1998

1. Aspek Teknis

Pasca kejatuhan orde lama, praktis program rehabilitasi yang baru belum

nampak, namun mulai dipilah perlunya rehabilitasi yang harus dilakukan di

dalam kawasan hutan maupun yang ada di luar kawasan hutan. Di luar

kawasan hutan program aforestation atau penghijauan, dikembangkan melalui

penanaman buah-buahan di lahan masyarakat.

Di dalam kawasan hutan, masih melanjutkan program lama, hanya di

wilayah kerja PN. Perhutani pada tahun 1972 dilakukan percepatan penanaman

tanah kosong yang dikenal dengan "double speed up reboitation". Di luar Pulau

Jawa mulai dicanangkan program "man made forest", yang dikemudian hari

menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI).

Page 53: Buku Insentif Das

44

Baru setelah tahun 1974; Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan

(Ditsi), membuat program Penyelamatan Hutan Tanah dan Air (PHTA), secara

teknis dikembangkan berbagai upaya untuk menanggulangi masalah lahan kritis

melalui pendekatan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) dalam bentuk

kegiatan:

a. Dalam kawasan hutan

Reboisasi:

- Penanaman di hutan lindung

(Tidak termasuk di kawasan hutan produksi dan hutan konservasi, karena

kedua kawasan hutan diserahkan kepada masing-masing pengelolanya).

b. Di luar kawasan hutan

Penghijauan:

- Pengadaan bibit

- Penanaman

- Terasering

- Bangunan sipil teknis (Cek Dam/Dam pengendali)

Pada Tahun 1984, pendekatan ekosistem DAS lebih ditingkatkan, dengan

strategi penetapan skala prioritas lokasi-lokasi DAS. Skala prioritas didasarkan

atas kekritisan dari kondisi masing-masing daerah aliran sungai.

Sejalan dengan perkembangan waktu dan tuntutan keadaan, kegiatan

tersebut selanjutnya berkembang menjadi:

a. Dalam kawasan hutan

- Reboisasi

- HTI

Page 54: Buku Insentif Das

45

b. Di luar kawasan hutan

1) Penghijauan input langsung (PIL), terdiri dari jenis kegiatan :

- Unit Percontohan UPSA/UPM

- Pemeliharaan Unit Percontohan UPSA/UPM

- Hutan dan atau Kebun Rakyat

- Bangunan Konservasi Tanah (Dam Pengendali/Dam Penahan) dan

bangunan konservasi tanah lainnya. Dalam kondisi tertentu

dapat dilakukan pembuatan dan atau perbaikan jalan desa dan

saluran air.

- Rehabilitasi Teras.

2) Penghijauan Areal Dampak (PAD) jenis kegiatannya dapat berupa

jenis-jenis kegiatan yang terdapat dalam penghijauan input langsung.

3) Penghijauan Swadaya (PS), jenis kegiatannya dapat berupa kegiatan

yang termasuk dalam penghijauan input langsung.

Secara terintegrasi Departemen Kehutanan bersama-sama dengan

departemen lain yang terkait, telah menilai tingkat kekritisan DAS di Indonesia

baik fisik maupun kondisi sosial ekonomi masyarakatnya dan menetapkan 414

DAS sebagai DAS prioritas penanganannya. Dari 414 DAS tersebut, 54 DAS

merupakan DAS prioritas pertama, 207 DAS termasuk prioritas kedua dan 153

DAS merupakan prioritas ketiga.

Upaya pengelolaan DAS oleh Departemen Kehutanan dijabarkan ke

dalam perencanaan pengelolaan DAS, yaitu rencana jangka panjang, jangka

menengah dan rencana jangka pendek. Rencana jangka panjang (15 tahun)

disusun dalam pola Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (Pola RLKT), yang

membuat arahan rehabilitasi dan konservasi tanah, serta arahan prioritas

penanganan Sub DAS.

Penyusunan Pola RLKT telah diselesaikan untuk 211 DAS/Sub DAS

(52,2% jumlah DAS) mencakup luas lahan 56.202.678 ha (28.9% dari luas

Page 55: Buku Insentif Das

46

daratan Indonesia). Disamping itu disusun Rencana Teknik Lapangan (RTL-

RLKT), yang merupakan rencana jangka menengah (5 tahun), yang memuat

rencana teknik rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan menurut lokasi, jenis

dan volume kegiatan, serta proyeksi tahunannya yang disusun untuk setiap

DAS/Sub DAS (termasuk arahan teknis dan analisis ekonomi untuk setiap usaha

RLKT). Penyusunan RTL-RLKT telah dapat diselesaikan untuk 328 Sub DAS

(19.695.630 ha), atau 10 %dari luas daratan Indonesia.

Untuk lebih mendorong akselerasi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan

rehabilitasi lahan, berbagai upaya yang telah dilakukan antara lain :

a. Hutan Rakyat

- Pemberian kredit usaha hutan rakyat yang diatur melalui SK Menteri

Kehutanan No. 54/Kpts-II/1997. Besarnya kredit usaha adalah Rp.

2000.000/ha dengan tingkat bunga sebesar 6 % per tahun dan telah

disalurkan dana sebesar Rp. 20.231.394.000 dengan luas areal sekitar

10.565 ha dan melibatkan 9.781 orang petani.

- Investasi pemerintah dalam pembangunan hutan rakyat dilaksanakan

melalui unit-unit areal model yang dilaksanakan di 12 propinsi (Aceh,

Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Jawa Tengah, DI

Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara dan

Sulawesi Selatan). Selain itu telah diberikan juga subsidi bibit untuk

pengembangan areal dampak hutan rakyat dan diperkirakan sampai

saat ini masyarakat telah mampu membangun hutan rakyat seluas

1.328.358 ha yang tersebar di 22 propinsi.

b. Sutera Alam

- Kredit usaha tani persuteraan alam kepada petani yang dituangkan

dalam SK Menhut No. 50/Kpts-II/1997. Pengembangan Kredit

Usahatani Persuteraan Alam dilakukan pada daerah pusat-pusat

produksi benang sutera di 4 propinsi yaitu (Sumatera Barat, Jawa

Barat, DI Yogyakarta dan Sulawesi Selatan). Sampai dengan bulan

Page 56: Buku Insentif Das

47

Februari 1998 jumlah kredit yang disalurkan sebesar Rp. 7.302.398.400

untuk areal seluas 1.070 ha dan melibatkan sekitar 1.166 petani.

- Peranan pemerintah dalam mendorong usahatani persuteraan alam

dalam bentuk bantuan teknis berupa pembangunan kebun bibit murbei

jenis unggul, bibit ulat sutera, pelatihan petani dan bantuan sarana

produksi khususnya di daerah sentra usaha sutera alam di Sulawesi

Selatan.

c. Lebah Madu

- Pembinaan pengembangan perlebahan dilakukan oleh Departemen

Kehutanan dan Perkebunan melalui kegiatan penyuluhan, pelatihan

petani, pembuatan model usaha lebah madu, pengkayaan tanaman

pakan lebah, bantuan koloni dan sarana produksi. Kegiatan ini telah

dilakukan di 20 propinsi yang mencakup 50 kabupaten.

- Jumlah bantuan yang telah disalurkan kepada masyarakat petani

perlebahan sejak Pelita IV sebanyak 4.5000 kotak lebah, bibit pakan

lebah sebanyak 108.500 batang. Obat-obatan sebanyak 1.200 unit dan

sarana produksi pengolahan madu sebanyak 25 unit. Disamping itu

telah dilakukan pula pelatihan budidaya lebah madu terhadap petani

lebah sebanyak 5.131 orang, petugas penyuluhan sebanyak 250 orang,

pramuka sebanyak 30 orang dan Penyuluh Swadaya Wanita sebanyak

30 orang yang diharapkan menjadi kader-kader usaha tani perlebahan.

Kegiatan-kegiatan pembinaan usaha perlebahan dilakukan oleh Perum

Perhutani di pulau Jawa melalui PMDH, diluar Jawa oleh PT. Inhutani

melalui pola kemitraan disamping itu ditunjuk pula HPH/HPHTI untuk

melaksanakan pembinaan perlebahan.

d. Kredit Usaha Tani Konservasi Tanah (KUK-DAS)

- KUK-DAS telah dirintis sejak tahun anggaran 1988, 1989 telah diawali

dengan pilot Proyek KUK-DAS di 2 kabupaten, kemudian pada tahun

1990/1991 dikembangkan menjadi 6 propinsi dan sejak tahun

Page 57: Buku Insentif Das

48

1993/1994 dikembangkan menjadi 21 propinsi. Sampai dengan bulan

Februari 1998 perkembangan KUK-DAS telah melibatkan 39.155 petani

(887 kelompok) pada 520 desa dengan areal usaha tani seluas 18.817

ha. Dana kredit yang telah disalurkan sebesar Rp. 32.618.125.318

(62.29%) dari garansi kredit sebesar 47.003.868.205. Angsuran kredit

yang telah jatuh tempo adalah sebesar Rp. 7.292.071.984 dan

pengambilan angsuran pokok kredit telah mencapai sebesar Rp.

5.486.545.053 (75.29%) dari pokok kredit yang telah jatuh tempo.

e. Hutan Kemasyarakatan

- Sejak tahun 1997, telah dikeluarkan SK Menteri Kehutanan yang

mengatur tentang pelaksanaan Hutan Kemasyarakatan, namun

peraturan tersebut telah berganti, dan pada implementasinya, tidak

membuahkan hasil nyata di lapangan. Bahkan yang berhasil

dilaksanakan adalah yang melalui bantuan OECF (Overseas Economic

Coorporations Fund-Jepang) yang dilaksanakan di berbagai wilayah

dan telah meliputi areal seluas 18. 681 ha.

- Sejak tahun 1990 dilaksanakan kerjasama teknik (grant) dengan

pemerintah Jerman (GTZ) di Propinsi Kalimantan Barat untuk

memperoleh metode pembangunan Hutan Kemasyarakatan yang

paling tepat sesuai kondisi setempat, dikenal sebagai SFDP.

Pendekatan partisipatif merupakan ciri pokok dari SFDP ini.

- Pengembangan HKM dilaksanakan di 19 propinsi (Aceh, Sumatera

Utara, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu,

DI Yogyakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi

Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Bali, NTB, NTT, Maluku,

Irian Jaya dan Timor Timur). Sebagai pelaksana kegiatan telah

ditunjuk BUMN Departemen Kehutanan dan Perkebunan (Perum

Perhutani dan PT. Inhutani), dan tanaman yang telah dibangun sampai

dengan tahun 1997/1998 mencapai luas 72.753 ha (NTT, NTB dan

Page 58: Buku Insentif Das

49

Timor Timur seluas 57.566 ha dan di luar NTT, NTB dan Timor Timur

seluas 15.187 ha). Jenis tanaman terdiri dari jenis yang mempunyai

banyak manfaat (MPTS) sebanyak 30% dan sisanya berupa tanaman

pangan (padi, jagung dan kacang-kacangan serta palawija lain)

dilaksanakan terutama di NTT dan NTB.

2. Aspek Kelembagaan

Penyelenggaraan program rehabilitasi lahan dalam bentuk proyek

penghijauan pada masa sebelum otonomi daerah seperti uraian berikut ini.

Gubernur dan Bupati merupakan administrator tunggal yang memiliki

kewenangan penuh untuk mengkoordinasikan kegiatan sektoral di wilayahnya

sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. Kepala Daerah Tingkat I dan

Kepala Daerah Tingkat II merupakan Kepala Daerah Otonom yang memiliki

kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri yang diimplementasikan dalam

peraturan daerah.

Kewenangan Gubernur, Bupati, Kepala Daerah Tingkat I dan Kepala

Daerah Tingkat II digunakan sebagai jembatan untuk menyelenggarakan

program rehabilitasi lahan dan merupakan kewenangan pemerintah pusat yang

diturunkan ke daerah. Secara sektoral program tersebut didelegasikan melalui

Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT), untuk bidang

perencanaan, pembinaan dan pengawasannya. Pelaksanaan kegiatan

diserahkan ke Daerah Tingkat II dengan bupati sebagai penanggung jawab

yang dilaksanakan oleh Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah (PKT). Di

lapangan Dinas PKT bekerjasama dengan Camat dan Kepala Desa serta Pemuka

Masyarakat mengkoordinir Kelompok Tani yang ada di wilayahnya untuk

melaksanakan kegiatan tersebut, yang kemudian diberikan insentif melalui

berbagai skema. Bentuk insentif yang diberikan meliputi :

- Pembinaan kelembagaan

- Bantuan bibit

Page 59: Buku Insentif Das

50

- Bantuan teknis (penyuluhan, demplot)

- Kredit

Organisasi Tim Pembina Penghijauan dan Reboisasi Tingkat I (TPPR) dan

Tim Koordinasi Penghijauan dan Reboisasi Tingkat II (TKPR) dibentuk sesuai

dengan kebutuhan, namun secara garis besar adalah sebagai berikut :

a. Susunan Tim Pembina Penghijauan dan Reboisasi Tingkat I, adalah :

Ketua : Wakil Gubernur KDH Tingkat I

Wakil Ketua I : Ketua Bappeda Tingkat I

Wakil Ketua II : Asisten Sekwilda Tingkat I yang membidangi

pembangunan

Sekretaris I : Karo Lingkungan Hidup (LH) Setwilda Tingkat

I/Kabid Pemantauan dan Pemulihan

Bapedalda, merangkap Ketua Sekretariat

Sekretariat II : Kepala Balai RLKT/Kabid RRL Kanwil

Kehutanan merangkap Wakil Ketua Sekretariat

Anggota : Kanwil Kehutanan, Kanwil Pertanian, Kanwil

DJA, Bapedalda, Dinas Kehutanan Tingkat I,

Dinas Pertanian Tingkat I, Dinas Peternakan

Tingkat I, Dinas PU, Perkebunan, Badan

Pertanahan Nasional, Kantor PMD dan Balai

RLKT

b. Sekretariat Tim

Dalam Pelaksanaan tugas sehari-hari Tim Pembina dilengkapi dengan

Sekretariat Tim dengan susunan :

Ketua : Karo LH/Kabid Pemantauan dan Pemulihan

Bapedalda

Wakil Ketua : Ka BRLKT/Kabid RRL-Kanwil Kehutanan

Page 60: Buku Insentif Das

51

Anggota : Kabag LH di Biro LH/Kepala Seksi Pemulihan

Kualitas Lingkungan Selaku Pimpro PUPR

Tingkat I, seksi Bappeda Tingkat I dan Dinas

Kehutanan Tingkat I

c. Tim Koordinasi

Susunan Tim Koordinasi Penghijauan dan Reboisasi di tingkat II

adalah :

Ketua : Wakil Bupati/Sekwilda Tingkat II

Wakil Ketua I : Ketua Bappeda Tingkat II

Wakil Ketua II : Asisten Sekwilda Tingkat II yang membidangi

pembangunan

Sekretaris I : Kabag Lingkungan Hidup/Perekonomian,

Sekwilda Tingkat II merangkap Ketua

Sekretariat

Sekretariat II : Kasi Konservasi Tanah Dinas PKT/Kehutanan

Tingkat II merangkap Wakil Ketua Sekretariat

Anggota : Asisten Sekwilda Tingkat II yang membidangi

Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan Tingkat

II, Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan,

Cabang Dinas Kehutanan Tingkat I dan

Tingkat II, Badan Pertanahan Nasional dan

Kantor PMD.

d. Sekretariat Tim Koordinasi

Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari Tim Koordinasi dilengkapi

dengan Sekretriat Tim, dengan susunan :

Ketua : Kabag LH/Kabag Perekonomian

Wakil Ketua : Kasi Konservasi Dinas PKT/Kehutanan Tingkat

II

Page 61: Buku Insentif Das

52

Anggota : Bappeda Tingkat II, unsur Dinas Tanaman

Pangan Tingkat II, Subag LH/Subag

Perekonomian

Adapun kewajiban dan tanggung jawab masing-masing unsur organisasi

adalah :

a. Gubernur KDH Tingkat I yang selanjutnya disebut gubernur berkewajiban

untuk membina penyelenggaraan bantuan penghijauan di Dati II, dan

menyelenggarakan bantuan reboisasi serta bertanggung jawab atas :

• Pembinaan perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan, pengamanan

dan pengembangan hasil dan melakukan pengawasan dan pelaporan

bantuan penghijauan serta membina peranserta dan swadaya

masyarakat/swasta

• Perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pelaporan bantuan

reboisasi serta pemeliharaan, pengamanan dan pengembangan hasil-

hasilnya.

• Pembinaan peranserta dan swadaya masyarakat/swasta

• Tugas dan tanggung jawab gubernur tersebut sehari-hari dilaksanakan

oleh TPPR.

b. Bupati KDH Tingkat II yang selanjutnya disebut bupati berkewajiban untuk

menyelenggarakan bantuan penghijauan dan bertanggung jawab atas :

• Perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemeliharaan, pengamanan,

pengembangan hasil dan pelaporan bantuan penghijauan

• Pengamanan hasil reboisasi

• Pembinaan peran serta swadaya masyarakat/ swasta

• Tugas dan tanggung jawab Bupati KDH Tingkat II tersebut, sehari-

harinya dilaksanakan oleh TKPR.

c. Camat bertanggung jawab terhadap pengawasan pelaksanaan

pengamanan hasil kegiatan penghijauan dan reboisasi, pembinaan

Page 62: Buku Insentif Das

53

peranserta dan swadaya masyarakat, serta bertanggung jawab atas

kelancaran dan ketertiban pelaksanaan penghijauan dan reboisasi. Tugas

dan fungsi camat tersebut ditetapkan dengan Surat Keputusan Bupati KDH

Tingkat II selambat-lambatnya pada minggu kedua Bulan April.

d. Kepala desa bertanggung jawab atas pelaksanaan pengamanan hasil

kegiatan penghijauan dan reboisasi. Tugas dan fungsi kepala desa

tersebut ditetapkan dengan Surat Keputusan Bupati KDH Tingkat II

selambat-lambatnya pada minggu kedua Bulan April.

e. Kepala Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah Dati II/Dinas Kehutanan

Dati II adalah penanggung jawab harian pelaksanaan bantuan

penghijauan, dan Kepala Dinas Kehutanan Tingkat I adalah penanggung

jawab harian dalam pelaksanaan bantuan Reboisasi.

f. Bupati KDH Tingkat II dengan Surat Keputusan menetapkan/ menunjuk

Pemimpin dan Bendaharawan Proyek Penghijauan yang berasal dari Dinas

PKT/Dinas Kehutanan Tingkat II.

g. Gubernur KDH Tingkat I dengan Surat Keputusan menetapkan/ menunjuk

Pemimpin dan Bendaharawan Proyek Reboisasi yang berasal dari Cabang

Dinas Kehutanan Tingkat I dan Tingkat II.

h. Gubernur KDH Tingkat I dengan Surat Keputusan menetapkan/ menunjuk

Pemimpin dan Bendaharawan Proyek PUPR Tingkat I yang berasal dari

Biro Lingkungan Hidup/Bidang Pemantauan dan Pemulihan pada

Bapedalda Tingkat I.

3. Mekanisme Penyelenggaraan

Program rehabilitasi lahan merupakan kebijakan nasional, yang pada

awalnya diimplementasikan dalam bentuk Proyek Inpres yang dimulai pada

tahun 1976, dalam rangka penyelamatan hutan, tanah dan air. Program

Page 63: Buku Insentif Das

54

tersebut meliputi Proyek Reboisasi yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan dan

Proyek Penghijauan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.

Sebagai motor penggerak pada saat itu dibentuk institusi proyek dibawah

Direktorat Jenderal Kehutanan/Departemen Kehutanan dengan nama Proyek

Perencanaan dan Pembinaan Reboisasi dan Penghijauan Daerah Aliran Sungai

(P3RPDAS), yang kemudian berkembang menjadi Balai Rehabilitasi Lahan dan

Konservasi Tanah (BRLKT). Fungsi pokok institusi tersebut adalah menyusun

rencana kegiatan-kegiatan proyek dalam pelaksanaan program, dan tugas-tugas

pembinaan rehabilitasi lahan.

Hingga dewasa ini program bantuan penghijauan maupun reboisasi

menjadi beban pemerintah pusat. Bantuan penghijauan diberikan kepada

Pemerintah Daerah Tingkat II yang diarahkan untuk melaksanakan kegiatan

konservasi tanah dan air melalui usaha tani.

Pada awalnya bupati yang sekaligus sebagai kepala daerah bertindak

sebagai pemimpin proyek penghijauan dalam kegiatan pengadaan bibit,

penanaman, pemeliharaan tanaman, terasering dan bangunan konservasi tanah

(Cek Dam/Dam Pengendali).

Mengingat beban kerja bupati sebagai kepala daerah sangat berat maka

untuk kelancaran tugasnya, dibantu oleh Petugas Khusus Penghijauan (PKP),

sedangkan dalam bidang perencanaan dan bimbingan teknis dilaksanakan oleh

P3RPDAS. Di lapangan bimbingan teknis dilakukan oleh Petugas Lapangan

Penghijauan (PLP), yang semula dibawah koordinasi PKP, karena

keberadaannya dalam paket INPRES, berikut dengan beban pendanaannya.

Namun sejalan dengan perkembangan sistem perproyekan dimana P3RPDAS

berubah menjadi institusi yang lebih establish (tetap) yakni Balai Rehabilitasi

Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT), PLP menginduk kesana dan personalnya

pun berubah menjadi pegawai tetap pemerintah pusat.

Pada fungsi organisasi kelemahan yang dirasakan dalam penyelenggaraan

program bantuan reboisasi adalah adanya pemisahan antara tugas

Page 64: Buku Insentif Das

55

pembinaan/pengendalian teknis dan tugas pembinaan/pengendalian

administrasi pada instansi yang berbeda, yaitu Departemen Kehutanan dan

Pemerintah Daerah Tingkat I. Keberadaan Tim Pembina Tingkat I yang

dimaksudkan sebagai wadah koordinasi penyelenggaraan reboisasi, dalam

perkembangannya saat ini mengambil alih tugas-tugas instansi yang terkait,

yaitu dibidang pembinaan administrasi dan pengendalian teknis di lapangan.

Hal ini mengakibatkan instansi yang terkait dalam penyelenggaraan reboisasi

seperti Dinas Kehutanan, Kanwil Kehutanan dan Balai/Sub Balai RLKT merasa

hanya bertanggungjawab dalam kapasitasnya sebagai anggota Tim Pembina

Tingkat I. Pada fungsi pelaksanaan kelemahan yang masih dirasakan

menghambat adalah penyediaan dana yang selalu tidak tepat waktu, akibat

proses adminitrasi yang cukup panjang. Pengembangan sumberdaya manusia

dalam arti peningkatan kecakapan individu di tingkat proyek maupun propinsi

dan peningkatan jumlah dana dalam penyelenggaraan reboisasi tidak cukup

berperanan dalam memperbaiki keberhasilan penyelenggaraan reboisasi,

demikian pula penyempurnaan teknologi bukanlah faktor penting yang dapat

menentukan keberhasilan penyelenggaraan reboisasi.

Persoalan lain yang mendasar dalam penyelengaraan reboisasi terletak

pada aspek institusinya, yaitu kurang dipahaminya sifat/karakteristik hasil

reboisasi sebagai sumberdaya dengan akses terbuka (open acces resources),

berjangka panjang dan intangible. Dengan demikian institusi penyelanggaraan

reboisasi yang berjalan justru meningkatkan biaya transaksi dan bukan

mengendalikan biaya transaksi tinggi yang disebabkan oleh sifat alami hasil

reboisasi. Institusi yang berjalan belum dapat memastikan instansi mana

sebagai penanggungjawab (manajer) keberhasilan penyelenggaraan reboisasi.

Lemahnya pemilikan (insecure property right) hasil reboisasi menyebabkan

ukuran keberhasilan penyelenggaraan reboisasi tidak menjadi insentif, karena

instansi yang terlibat kurang memiliki resiko (low risk perception) terhadap

kegagalan penyelenggaraan reboisasi.

Page 65: Buku Insentif Das

56

4. Peran Serta Masyarakat

Keterlibatan masyarakat sebagai peserta pada awalnya karena tanahnya

didaftar oleh Petugas Lapangan Penghijauan (PLP). Peranan kepala desa,

camat maupun aparat yang lain sangat besar dalam hal ini. Kesertaan sebagai

wujud partisipasi pada umumnya belum nampak. Penyelenggaraan program

lebih bersifat birokratif. Sudah barang tentu motivasi terhadap keberhasilan

program sangat rendah, dan ini terbukti dalam pelaksanaannya. Setelah selesai

periode proyek, kegiatan tersebut mereka tinggalkan.

Pada periode selanjutnya, penyelenggaraan program diubah, dengan

menerapkan sistem Demonstrasi Plot (Demplot). Diharapkan dengan sistem ini

peserta dibatasi kepada mereka yang telah tertarik dengan contoh-contoh

program. Demplot dilaksanakan oleh Sub Balai/Balai RLKT. Namun dalam

pelaksanaannya keikutsertaan mereka juga masih melalui peranan aparat desa,

sehingga masih tetap birokratis. Jadi peserta program adalah petani dampak

yang direncanakan.

Keikutsertaan masyarakat yang dilandasi oleh keinginan berpartisipasi

karena termotivasi terhadap program, adalah pada program-program yang

dikaitkan dengan usaha komersial seperti, pengembangan Jambu Mete, Lebah

Madu, Sutera Alam, Hutan Rakyat sebagaimana yang telah diutarakan dimuka.

Lebih termotivasi lagi pada program-program yang didukung oleh subsidi, baik

dalam bantuan input maupun pemasaran hasil.

Pengamanan hasil reboisasi sangat mahal. Oleh karena itu masyarakat

yang tinggal di sekitar lokasi reboisasi mempunyai peran penting dalam

penyelenggaraan reboisasi karena mereka, secara tidak langsung dan tidak

formal, berperan dalam pengambilan keputusan apakah hasil reboisasi perlu

diamankan atau tidak. Oleh karena itu institusi harus menempatkan masyarakat

dalam pengambilan keputusan bahkan perlu menjadi unsur ‘pemilik’ hasil-hasil

reboisasi. Jika masyarakat turut ‘memiliki’ hasil reboisasi, masyarakat akan turut

serta mempunyai resiko atas kegagalan hasil reboisasi.

Page 66: Buku Insentif Das

57

Permasalahan yang ditemukan dalam pelaksanaan setiap fungsi

manajemen penyelenggaraan reboisasi pada instansi yang lebih tinggi dari

instansi pelaksana program antara lain adalah:

1. Kelemahan peraturan perundangan yang menjadi dasar pelaksanaan

program bantuan reboisasi di daerah, yaitu Juklak yang dikeluarkan setiap

tahun oleh Ditjen Bangda. Materi Juklak tidak sejalan dengan Inpres Nomor

6 Tahun 1984 dan Instruksi Mendagri Nomor 17 A Tahun 1989 Tanggal 27

Juli 1989, yaitu mengurangi bahkan menghilangkan fungsi dan tanggung

jawab Kanwil dan B/SBRKLT dalam perencanaan dan pengendalian teknis.

Perencanaan dan pengendalian teknis, adalah dua aspek yang merupakan

wujud tanggung jawab Menteri Kehutanan dalam pembinaan teknis

program bantuan reboisasi, sebagaimana yang diatur dalam Inpres Nomor

6 Tahun 1984.

2. Tugas pembinaan dan pengendalian teknis belum berjalan seperti yang

ditetapkan dalam pedoman pelaksanaan.

3. Fungsi koordinasi dalam perencanaan belum dilaksanakan.

4. Terdapat perbedaan persepsi mengenai fungsi masing-masing instansi yang

terlibat dalam penyelenggaraan program bantuan reboisasi .

5. Terlihat adanya disinkronisasi antara pendekatan sektor dan wilayah.

6. Belum adanya kejelasan tentang penanggungjawab pengelolaan dan

pengamanan tanaman hasil reboisasi pasca proyek serta status hukum

tanaman yang nyata-nyata gagal.

C. PERIODE 1999-2002

1. Aspek Teknis

Pada masa era informasi pasca orde baru, terutama setelah diterbitkannya

UU No. 22 Tahun 1999; UU No. 41 Tahun 1999; UU No. 25 Tahun 2000 dan

Page 67: Buku Insentif Das

58

diikuti dengan PP No. 25 Tahun 2000, keinginan untuk merubah keadaan sudah

nampak bahkan semangat daerah untuk melaksanakan otonomi begitu tinggi.

Namun secara teknis, setelah tiga tahun lebih penyelenggaraan rehabilitasi

lahan masih melanjutkan program-program lama. Sejalan dengan itu untuk

menyesuaikan kewenangan pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam PP No.

25 Tahun 2000, dimana pemerintah pusat hanya berwenang untuk menetapkan

standar dan kriteria, maka melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 20 Tahun

2000. Departemen Kehutanan menyusun Pola Umum dan Standar serta Kriteria

Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Tujuan penyusunan Pola Umum Rehabilitasi

Hutan dan Lahan adalah diperoleh landasan bersama mengenai pendekatan

dasar, prinsip-prinsip, pola-pola penyelenggaraan dan mekanisme pengendalian

pelaksanaan agar diperoleh hasil dan dampak yang efektif sesuai dengan tujuan

rehabilitasi hutan dan lahan.

Namun kegiatan di lapangan masih melanjutkan program-program lama

yakni rehabilitasi hutan rusak, pembangunan Hutan Tanaman Industri dan

Hutan Rakyat serta penghijauan baik melalui pendekatan sipil teknis maupun

vegetatif.

Rehabilitasi hutan atau reboisasi dilakukan oleh pengusaha hutan di Jawa

dan Madura oleh PT Perhutani dan di luar Jawa oleh pengusaha HPH.

Keberhasilan rehabilitasi hutan di luar Jawa sangat memprihatinkan, sehingga

potensi hutan menurun drastis dan akibatnya banyak HPH yang dicabut haknya

atau meninggalkan area kerjanya.

Realisasi pembangunan HTI, berjalan sangat lambat sampai dengan tahun

2000, baru terealisasi 2.584.870 ha (Dephut, 2000), terdiri dari 1.032.018 ha

HTI Pulp, 830.074 ha HTI kayu pertukangan, 283.260 ha HTI Trans dan

439.518 ha pengembangan jenis tanaman unggulan (lokal species).

Pengembangan HTI tersebut terutama tersebar di provinsi Kalimantan Timur

(419.524 ha), Riau (298.576 ha), Kalimantan Barat (124.920 ha), Kalimantan

Selatan (148.248 ha) dan Kalimantan Tengah (106.041 ha).

Page 68: Buku Insentif Das

59

Hutan Rakyat lebih banyak yang dikembangkan secara swadaya di bawah

binaan Dinas PKT. Sebagai contoh hutan rakyat yang dikembangkan di

Kabupaten Wonosobo, yang telah meliputi luasan lebih dari 19.000 ha (lebih

luas dari hutan negara di daerah setempat), dengan kondisi yang baik, ditanam

dalam empat Strata (Sengon, Mahoni, Kopi dan Salak serta Kapulaga), yang

telah terbukti memberikan manfaat secara ekonomi bagi masyarakat setempat.

Program penghijauan masih mengikuti pola RLKT dan RTL lama, namun

dalam pelaksanaannya telah mengalami kesulitan di daerah, terutama masalah

pendanaan.

2. Aspek Kelembagaan

Fungsi departemen Kehutanan tidak bisa seluruhnya dominan dalam suatu

DAS, hanya dominan pada DAS yang memang mempunyai kawasan hutan yang

dominan, misalnya DAS Ciliwung kawasan hutannya hanya 12% dari total

kawasan. Beberapa peraturan yang berkaitan dengan Pengelolaan DAS yang

sekarang ada antara lain adalah sebagaimana tersaji dalam Tabel 5.

3. Mekanisme Penyelenggaraan

Fungsi Departemen Kehutanan saat ini lebih kearah regulasi, fasilitasi

dan supervisi. Misalnya Regulasi adanya SK no. 52 dan no. 20 pada tataran

impementasinya diterjemahkan pada peran UPT Balai. Sebelumnya balai

dibebani dengan dengan tugas-tugas operasional, namun sekarang setelah

dirubah menjadi Balai Pengelolaan DAS (BPDAS), fungsinya diarahkan sebagai

fasilitator maupun katalisator bukan operator lagi. Misalnya di tingkatan DAS

Ciliwung tercetus keinginan daerah untuk mereview peraturan-peraturan yang

berkaitan dengan DAS Ciliwung dan salah satu program BPDAS tahun 2002-

2003 ditujukan untuk memfasilitasi hal tersebut, wujud fasilitasi itu adalah

membangun instrumen. Didalam konteks pengelolaan DAS terpadu terdapat

rencana multisektor yang tidak terlalu detail tetapi substansinya sebagai

pengikat komitmen stakeholders.

Page 69: Buku Insentif Das

60

Tabel 5. Beberapa peraturan perundangan yang mengatur Pengelolaan DAS.

No. Kategori Uraian 1. UU/PP/PERDA • UU No 11/1974

• PP No 22/1982 • UU No. 5/1990 : KSDA • PerMen PU No 45/1990 • PerMen PU No 63/1990 • Kepres 32/1990: Kawasan lindung • PP No 35/1991 • UU. No. 24/1992; Tata Ruang • Kepmen LH No 35/1995 • UU No. 23/1997: LH • UU No 41/1999 • PP No 82/2001 • Perlu Restrukturisasi Agraria: UU dan politik agraria dalam

pengelolaan SDA perlu memberdayakan masyarakat lokal. 2. Instrumen

Kebijakan • Tata Ruang Berjenjang dan dilakukan dengan konsisten

(penataan ruang kawasan pedesaan) • Kebijakan Nasional PSDA • Kesepakatan Penggunaan Valuasi sebagai Instrumen Penilaian • Manfaat dan biaya bersama antara hulu dan hilir • Indikator Kinerja kelestarian dalam rangka monitoring dan

evaluasi • Pengelolaan DAS terpadu • Upaya peningkatan kelembagaan (peraturan, pendanaan, SDM,

tenaga kerja) • Master plan drainage • Master plan air limbah • Legal instrumen (emergency laws)

3. Organisasi/Pengorganisasian

• Mobilisasi dana (pusat, propinsi, kabupaten) • Pengembangan Kelembagaan DAS • Program koordinasi hulu dan hilir dengan konsultasi publik • Badan yang independen, profesional, dan tidak birokratis serta

melibatkan masyarakat luas • Pernyataan tanggungjawab masing-masing dan kesepakatan

sukarela

4. Aspek Teknik/ Teknologi

• Kombinasi Normalisasi sungai, resapan, dan Retensi • Rehabilitasi Sempadan Sungai, Bendungan, Situ, Artificial

Recharge, Taman Resapan • Pengelolaan Hutan, Penghijauan dan reboisasi di Hulu, Tengah

dan Hilir • Land Use Management and Water Management • Pengembangan Data Base dan Sistem Monitoring Evaluasi DAS • Pembuatan pilot project

5. Masyarakat • Program Sadar Akan Bencana • Identifikasi pelaku dan penanggung jawab banjir (hulu,

tengah, hilir) • Sosialisasi Rencana dan Kegiatan di Kabupaten dan

Masyarakat. • Membangun pemberdayaan masyarakat lokal. • Akses masyarakat terhadap informasi, perumusan kebijakan,

perubahan kebijakan pelaksanaan maupun pengawasan harus dibuka seluas-luasnya bagi peran serta masyarakat

Page 70: Buku Insentif Das

61

Koordinasi antar institusi guna mendorong pengelolaan DAS terpadu telah

dilakukan, melalui dibentuknya Dewan Nasional Sumberdaya Air melalui

Keppres. Dewan ini memiliki satu komisi dibawahnya yaitu komisi DAS,

Kimpraswil menjadi pimpinan badan koordinasi ini dan untuk menghubungkan

antara tim koordinasi pusat dan tim koordinasi daerah adalah tim pengarah.

Secara umum sudah banyak terbentuk tim-tim koordinasi namun pada

kenyataannya tidak ada satupun yang berjalan sesuai dengan harapan. Hal ini

dimungkinkan oleh hal-hal pokok seperti mekanisme, konstituen dan

paradigmanya masih top down (memihak pusat), yang semestinya segera

diubah.

Peranan pemerintah pusat yang cenderung ingin dominan, sekalipun proses-

proses dilakukan ke daerah agar suatu program berjalan akan menghadapi

tentangan, karena paradigma yang dianut masih bersifat top-down.

Kemungkinan di daerah akan terjadi berbagai tanggapan yang bersifat negatif

terhadap program yang dimaksud peluangnya besar, hal ini terjadi karena pada

tataran riil di lapangan banyak hal antara lain alih fungsi, hak-hak masyarakat

atas tanah tidak terwadahi. Kemudian yang sering terjadi adalah mekanisme

kerjasama yang disusun berbeda satu sama lain sehingga yang terjadi adalah

sama-sama bekerja dengan ketidakjelasan arah pencapaian. Hal ini cukup

berbeda dengan program yang disusun oleh BPDAS dimana setiap pendapat

stakeholders digali kemudian apa maunya di kumpulkan dan disusun menjadi

sebuah rekomendasi keputusan, jadi konsepnya benar-benar disusun secara

bottom-up.

Ketika terjadi banjir maka persoalan teknis RHL di daerah hulu selalu

dikambinghitamkan, padahal persoalan di hilirpun sama pentingnya. Yang

terpenting adalah bagaimana caranya membangun public awareness di

masyarakat pada tingkat grass root melalui penguatan-penguatan

kelembagaan, walaupun inisiasi proses berasal dari atas namun kegiatan ini

akan menghentikan aktivitas kontraproduktif di lapangan. Inisiasi pertama

Page 71: Buku Insentif Das

62

adalah dibentuk forum di hulu yang diketuai oleh Bapeda, tetapi itu hanya

namanya saja soal siapa yang memfasilitasi (dana, materi lain) bisa siapa saja.

Kasus di Jawa Tengah tentang pengelolaan DAS timbul karena perbedaan

persepsi antara Departeman Kimpraswil yang menganggap semua yang

menyangkut air itu adalah wewenang Kimpraswil, sebab mereka melihat bahwa

air itu adalah komoditas, dengan Departemen Kehutanan yang memandang

bahwa air itu adalah jasa lingkungan yang bisa dikategorikan sebagai hasil

hutan non kayu dan jika air itu ada di kawasan hutan sesuai dengan konsesinya

maka itu adalah wewenang kehutanan.

4. Peran Serta Masyarakat

Masyarakat pada era reformasi ini sudah sangat kritis. Sesuai dengan

prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam Kepmen No.20 tahun 2000,

masyarakat telah merespon secara baik, terutama dalam memahami prinsip

keadilan, partisipasi dan kesetaraan. Berdasarkan pengalaman Tim (penulis),

pada saat memfasilitasi kegiatan PRA, maupun LFA dalam Studi Sistem Insentif

Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan nampak cukup antusias dan partisipatif.

Kesadaran tentang pentingnya kegiatan RHL telah nampak dan telah paham

betul bahwa kegiatan tersebut merupakan tanggung jawab bersama dan harus

dilaksanakan secara terintegrasi.

Page 72: Buku Insentif Das

63

V. INSENTIF REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI DAS CILIWUNG, ROKAN DAN DODOKAN

A. Karakteristik DAS Wilayah Studi

Studi tentang insentif dalam kegiatan RHL dilakukan di tiga wilayah areal

DAS yaitu: Ciliwung, Rokan dan Dodokan. Letak DAS Ciliwung dimulai dari

hulu yang bermata air di Gunung Gede, terletak di perbatasan kabupaten Bogor

dan Cianjur, kemudian menuju ke bagian tengah DAS yang berada di Kota

Madya Bogor terus mengalir ke Kota Administratif Depok dan akhirnya

bermuara di DKI Jakarta mempunyai luas 36.839 ha. DAS Ciliwung dibagi

kedalam tiga bagian wilayah yaitu : DAS Ciliwung Hulu seluas 14.876 ha, DAS

Ciliwung Tengah seluas 13.763 ha, DAS Ciliwung Hilir seluas 8.200 ha.

DAS Rokan dengan luas wilayah keseluruhan 1.014.294 Ha sebagian

besar terletak di wilayah Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir dan

Kabupaten Bengkalis. Bagian paling hulu dari DAS Rokan berada di dua

propinsi lain yaitu masing-masing Propinsi Sumatera Barat melalui Sungai Rokan

Kiri dan Propinsi Sumatera Utara melalui Sungai Rokan Kanan. Pembagian

wilayah DAS Rokan secara terinci terdiri dari Sub DAS Rangau 70.864 ha, Rokan

Kiri 403.807 ha, Mahato 187.156 ha, Rokan Kanan 173.895 ha, Batang Sosah

51.072 ha, Batang Lubuk 75.357 ha dan Sungai Dua 52.143 ha.

DAS Dodokan merupakan bagian dari Sub Satuan Wilayah Sungai

Dodokan, Satuan Wilayah Sungai Dodokan-Moyo-Sari, Propinsi Nusa Tenggara

Barat. Luas DAS Dodokan adalah 53.408 ha meliputi wilayah kerja Kabupaten

Lombok Tengah (7 kecamatan, 44 desa; 84,7%) dan Kabupaten Lombok Barat

(2 kecamatan, 4 desa; 15,3%). Di DAS Dodokan terdapat bendungan yang

mengairi pesawahan di Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur sehingga

peran DAS Dodokan juga penting bagi Kabupaten Lombok Timur.

Dari karakteristik masing-masing DAS Ciliwung, Rokan dan Dodokan

terlihat perbedaan yang cukup mencolok, antara lain bahwa DAS Ciliwung

Page 73: Buku Insentif Das

64

merupakan wilayah perkotaan dengan pengaturan yang berlebih namun dengan

kinerja yang belum baik, DAS Rokan merupakan wilayah pedesaan dengan luas

wilayah yang besar sedang mengalami perubahan/konversi hutan alam

menunjukkan kinerja yang cenderung menurun, sedangkan DAS Dodokan

merupakan wilayah pedesaan dengan luasan wilayah relatif kecil pertanian

cenderung intensif juga menunjukkan kinerja yang belum baik.

B. Persepsi Stakeholders Terhadap Rehabilitasi Lahan dan Penghijauan

1. Respon Masyarakat Lokal DAS Ciliwung

Sebagai suatu program yang keberhasilan kegiatannya membutuhkan

keterlibatan dan dukungan warga komunitas (petani) maka penting untuk

memperhatikan bagaimana sesungguhnya respon petani terhadap implementasi

program rehabilitasi lahan/penghijauan yang selama ini dilakukan. Namun

sebelumnya perlu dipelajari terlebih dahulu bagaimana struktur agraria petani

lokal di DAS Ciliwung. Karena dengan memperhatikan hal ini akan dapat

difahami sejauhmana kondisi aktual pemilikan/penguasaan lahan di kalangan

petani. Selanjutnya perlu dikaji keragaman struktur lahan pertanian yang ada

dalam hubungannya dengan dikotomi penguasaan/pemilikan lahan terutama

yang disebabkan oleh adanya perubahan ekonomi dan teknologi.

Sebagaimana diketahui sejak 3 (tiga) dekade terakhir khususnya

kawasan Puncak yang merupakan bagian dari wilayah hulu DAS Ciliwung telah

berkembang begitu rupa dan diikuti pertambahan penduduk yang begitu cepat.

Di samping itu dengan dukungan udara yang sejuk, kesuburan tanah yang baik

serta lokasi yang strategis dilihat dari kota Jakarta, Bogor, dan Bandung, telah

terjadi proses komersialisasi lahan yang agresif. Penguasaan lahan perorangan

makin meningkat menggantikan status lahan yang semula adalah hak garap

dari para petani lokal. Para petani ini karena berbagai sebab sempat menguasai

Page 74: Buku Insentif Das

65

sebagian lahan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan teh negara Gunung Mas.

Faktor utama yang dirasakan petani untuk melakukan hal tersebut adalah

karena luas lahan usahataninya tidak lagi mencukupi untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya.

Luas rata-rata lahan usahatani para petani di 5 desa kasus yang diteliti

berkisar antara 0.25 - 2 ha dengan tanaman utama hortikultur sayur-mayur.

Karena tidak seluruh petani dapat ditampung pada lahan HGU maka sebagian

petani mencari pekerjaan lain di sektor non-pertanian seperti menjadi tukang

ojek sepeda motor, penjaga villa peristirahatan milik orang kota, karyawan

rumah makan, padang golf, dan sebagainya. Patut dicatat semenjak timbulnya

arus komersialisasi lahan yang semakin merebak, banyak petani lokal yang

tergiur melepaskan sebagian atau seluruh lahan miliknya kepada orang kota

yang bermodal kuat. Pembelian lahan seperti itu jelas makin mempersempit

lahan usahatani petani lokal termasuk dengan melepaskan hak garapnya pada

orang kota atau yang dalam istilah lokal disebut over hak garap. Biasanya

setelah lahan mengalami over hak garap, maka segera diikuti dengan konversi

penggunaan lahan kepada yang bersifat non-pertanian. Hal ini akan

menyumbangkan pengurangan penutupan vegetasi pada permukaan lahan yang

penting untuk pemeliharaan fungsi wilayah hulu DAS Ciliwung sebagai daerah

tangkapan hujan (water catchment area).

Proses komersialisasi lahan yang agresif ini pada derajat tertentu telah

mengakibatkan terciptanya struktur komunitas lokal yang longgar karena

lingkungan mampu membentuk diferensiasi sosial yang makin nyata, walaupun

belum sampai pada tingkatan polarisasi. Termasuk dalam pengertian ini bukan

saja antara warga kota yang menguasai lahan relatif luas, melainkan juga

antara sesama petani setempat. Petani elit lokal dengan kekuatan modal dan

penguasaan lahannya yang relatif luas telah berhasil meningkatkan dirinya

dalam derajat kesejahteraan yang semakin menyolok dibandingkan dengan

kebanyakan warga petani lainnya. Homogenitas sosial yang semula menjadi ciri

Page 75: Buku Insentif Das

66

pengikat sosial dengan berbagai pranata sosial asli, seperti bagi hasil maro, atau

hubungan patron-klien antara petani kaya dan petani miskin, atau bahkan tuna

kisma telah diganti dengan proses peralihan penguasaan tanah yang lebih

mutakhir, seperti sewa komersial, jual beli tanah, selain sistem gadai yang telah

berlangsung selama ini. Dalam keadaan seperti ini, di samping telah terjadi

diferensiasi pada sistem penguasaan tanah, juga telah berkembang diferensiasi

pada masyarakat setempat yang didasarkan pada pola fragmentasi penguasaan

dan pemilikan tanah. Kesenjangan yang semakin lebar diantara masyarakat

telah menyebabkan konflik sosial antar warga setempat dengan pemilik rumah

penginapan, disko, atau kafe - yang notabene adalah milik orang kota misalnya

- makin sering terjadi, walaupun di permukaan layaknya seperti dipicu oleh

sebab lain seperti adanya ketersinggungan norma-norma susila dan keagamaan.

Program Rehabilitasi/Penghijauan Lahan Kritis masih dirasakan bersifat

Top-Down. Hal ini ditandai dengan penyusunan Rencana Program yang belum

melibatkan partisipasi Warga Masyarakat. Akibatnya pilihan atas Jenis Bibit

Tanaman yang akan disebarluaskan, misalnya, tidak senantiasa cocok dengan

kemauan warga. Berubah-ubahnya rencana program secara sepihak oleh pihak

aparat instansi dapat mengacaukan dan mengecewakan perasaan warga, antara

lain; janji untuk membuat sumur resapan di desa Gunung Geulis yang ternyata

hingga kini tidak terwujud, tidak adanya upah untuk tahap perawatan tanaman

(di lahan penanaman maupun di Kebun Bibit Desa) yang akhirnya justru

menjadi beban warga sendiri. Dengan demikian pendekatan program

diharapkan dapat lebih bersifat partisipatif dengan pemahaman agar warga

masyarakat mendapat akses pada pembuatan keputusan-keputusan atas alokasi

sumberdaya program, sehingga dapat lebih sesuai dengan kemauan dan

kemampuan riil yang ada pada warga masyarakat itu sendiri. Beberapa hal

yang dianggap penting dibicarakan bersama dengan masyarakat antara lain

adalah berapa jumlah bibit tanaman buah atau bibit tanaman keras (misal:

Albasia, Mindi) yang harus diadakan, berapa upah yang perlu dialokasikan, pada

tahap apa saja alokasi upah perlu diadakan, berapa orang warga masyarakat

Page 76: Buku Insentif Das

67

yang perlu dilibatkan dalam tahap kegiatan program kali ini, dan seterusnya.

Dalam ungkapan yang lebih singkat, program harus berbasiskan pada

komunitas warga karena mereka adalah salah satu pilar (stakeholders) strategis

DAS Ciliwung yang harus mendapatkan posisi yang memadai.

Program ini diharapkan dapat berlangsung secara berkesinambungan dan

sistematis mengikuti hasil evaluasi atas tahapan kegiatan yang sudah dilakukan

sebelumnya. Hal ini diajukan mengingat selama ini program yang dilancarkan

dirasakan lebih bersifat sporadis dan parsial, serta tidak fokus. Selama ini

pelaksanaan program dianggap dilakukan secara mendadak dan tidak

menyangkutkan diri dengan kebutuhan dan permasalahan warga dalam konteks

yang lebih komprehensif. Pertanyaan seperti seberapa jauh program

rehabilitasi lahan/penghijauan ini dapat menjadi peluang insentif baik dalam

bentuk peluang kerja atau sumber pendapatan baru, sering dilontarkan oleh

masyarakat. Pertanyaan tersebut seyogyanya dapat menjadi bahan pantauan

dan evaluasi pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses ‘duduk bersama’

yang jujur dan terbuka. Patut dicatat pada dasarnya program ini telah

mendapatkan sambutan baik dengan menjadikan warga sebagai subyek sasaran

program sehingga warga merasa telah mendapat semacam pengakuan dari

pemerintah bahwa mereka adalah ‘pemilik’ sah atas tanah garapannya. Namun

program ini belum diikuti dengan tindakan lebih lanjut yang mendudukan

mereka sebagai subyek aktif dalam penyusunan dan pelaksanaan program agar

lebih merasa sebagai pemilik program itu sendiri.

Banyaknya penguasaan lahan (misal: villa-villa peristirahatan) oleh orang

luar jelas telah menyulitkan pelaksanaan program, karenanya pelaksanaan

kegiatan program tidak dapat sepenuhnya dibebankan pada warga

setempat/kelompok tani. Apalagi diketahui sejak ditetapkan adanya

kebijaksanaan Bopunjur ternyata pembangunan sebagian villa-villa tetap tidak

mengindahkan lingkungan dan malahan tanpa IMB. Tentu saja semua ini

berimbas pada penciptaan situasi dan kondisi yang tidak kondusif, pada derajat

Page 77: Buku Insentif Das

68

tertentu warga meragukan tekad dan itikad pemerintah dalam menyukseskan

program rehabilitasi lahan/penghijauan tersebut.

Ada gagasan menjadikan program tersebut terpadu dengan

pembangunan Hutan Wisata, sehingga sekaligus dapat membuka peluang

kerja/usaha bagi warga setempat. Wilayah hulu DAS Ciliwung yang selama ini

telah menjadi tujuan wisata untuk banyak orang kota dan mancanegara

seyogyanya dapat dilengkapi dengan suatu pembangunan Hutan Wisata. Tentu

saja gagasan ini terpulang kepada hasil kajian dan komitmen dari semua pihak

yang menjadi stakeholders DAS Ciliwung.

2. Respon Masyarakat Lokal DAS Rokan

Dari hasil studi di dua desa di wilayah hulu DAS Rokan, diketahui bahwa

ketidakpastian kepemilikan/kepenguasaan sebagian lahan di kalangan warga

petani masih merupakan masalah utama. Wujud hal ini misalnya terjadi pada

proses pengambilalihan tanah ex onderneming di desa Rambah Tengah Ilir,

yang sebelumnya telah dikuasai warga lokal sebagai kebun rakyat, namun

ternyata diambil-alih kembali oleh pihak pemerintah daerah. Pengambilalihan

tanah masyarakat yang dijadikan areal transmigrasi pada tahun 1980

membuktikan bahwa pemerintah tidak mengakui hak-hak masyarakat atas

tanah adat atau ulayat. Pengambilalihan tanah yang telah menjadi kebun

masyarakat ini dilakukan dengan tekanan serta tanpa ada ganti rugi. Kejadian

itu mendorong masyarakat yang tergusur untuk mengerjakan tanah ex-

onderneming Pasir Jambu sebagai lahan kebun mereka. Meskipun di atas tanah

itu sekarang telah tumbuh tanaman karet, sengon, dan sungkai dengan baik

namun ancaman bahwa tanah akan diambil alih oleh pemerintah daerah tetap

menjadi masalah yang harus diselesaikan.

Selain masalah status tanah, masalah agraria yang lain adalah tidak

adanya batas wilayah yang jelas antara satu desa dengan desa lainnya. Hal ini

menyebabkan terjadinya pertengkaran antar masyarakat. Oleh karenanya

Page 78: Buku Insentif Das

69

direncanakan untuk mengembangkan kerjasama antar desa yang berbatasan

dalam rangka menentukan batas wilayah desa. Masing-masing desa diwakili

oleh masyarakat yang memiliki tanah diperbatasan serta lembaga adat dan

pemerintah desanya.

Kerusakan sungai Rokan yang terjadi di wilayah kecamatan Rambah

terlihat dari debit air yang semakin berkurang, banjir, tebing sungai runtuh atau

longsor, dan berkurangnya jumlah dan jenis ikan. Kerusakan sungai ini

disebabkan erosi yang terjadi di lahan bekas HPH akibat penebangan liar.

Untuk mengatasi masalah kerusakan sungai, masyarakat mengusulkan

beberapa hal, yaitu: (i) penegakan hukum dengan pemberian sanksi yang tegas

kepada penebang dan pengusaha kayu liar, (ii) kegiatan penghijauan di lahan-

lahan kritis dan lahan terlantar dan (iii) penanaman bambu di tebing-tebing

sepanjang sungai Rokan. Masalah kerusakan lain adalah erosi yang terjadi di

lahan pertanian. Erosi terjadi karena beberapa hal: (i) usaha tani tidak sesuai

dengan kemiringan lahan, (ii) tidak adanya terasering, dan (iii) cara pengolahan

lahan atau pembajakan yang tidak tepat. Untuk mengatasi masalah erosi ini

masyarakat merencanakan untuk membuat terasering dan menanam tanaman

penguat teras yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Selain itu juga

perlu peningkatan pengetahuan dan ketrampilan petani tentang pengelolaan

lahan yang miring. Masalah lain yang berkaitan dengan sumberdaya alam

adalah mengeringnya sumur di pemukiman dan rawa. Masyarakat menduga

penyebab keringnya sumur dan rawa adalah tanaman kelapa sawit yang rakus

air. Untuk mengatasi masalah ini masyarakat mengusulkan agar ada kampanye

untuk menyadarkan masyarakat agar tidak menanam kelapa sawit di kawasan

permukiman dan pertanian.

Program sengonisasi yang pernah dilakukan mempunyai masalah dengan

rendahnya harga jual sengon. Hal ini dibuktikan dengan tidak lakunya sengon

rakyat walaupun telah dijanjikan oleh program sengonisasi akan mendapatkan

harga yang menguntungkan. Ketidakpastian harga ini membuat petani sering

Page 79: Buku Insentif Das

70

mengganti tanamannya. Di sisi lain pemerintah perlu lebih memberikan

jaminan pemasaran. Sementara itu program kayu rakyat harus diprioritaskan

dan penebangan hutan alam secara luas harus dihentikan. Dengan demikian

pengusaha pengolahan kayu lebih banyak mengolah hasil kayu rakyat dan

bukan secara bebas menebang dari hutan alam demi kepentingan sendiri.

Permasalahan lainnya adalah berhubungan dengan hama seperti penggerek

batang pada tanaman sengon dan sungkai, dan jamur akar putih pada akar

karet.

Minimnya ketersediaan air, terutama di musim kemarau, disebabkan

karena tidak adanya saluran irigasi yang dikelola untuk mengairi sawah dan

kurang tepatnya penjadwalan penanaman. Untuk itu diperlukan pembangunan

irigasi untuk mengairi sawah, serta membangun kesepakatan lokal di tingkat

petani dalam menentukan jadwal tanam yang jelas dan adil bagi semua pihak.

Kecenderungan menurunnya luas lahan pangan adalah seiring dengan

perkembangan penduduk dan banyaknya alih fungsi untuk tanaman keras yang

lebih menguntungkan. Untuk itu, pemerintah harus membuat peraturan tentang

tata guna lahan yang disusun dengan melibatkan seluruh komponen

masyarakat.

Program-program yang dikembangkan dirasakan masyarakat belum tepat

baik mekanisme maupun sasarannya. Program-program tidak disusun

berdasarkan kesepakatan dengan masyarakat dan lebih mendengarkan pesanan

dari atas. Lebih dari itu realisasi program seringkali didasarkan atas lobby atau

kedekatan dengan pihak pengambil kebijakan. Program juga sering tidak tepat

waktu sehingga masyarakat sering menunggu terlalu lama untuk

pelaksanaannya. Kurangnya koordinasi antar instansi membuat program yang

dikembangkan seringkali tumpang tindih antara instansi satu dengan yang lain.

Sasaran program juga lebih banyak memprioritaskan daerah yang dekat dengan

kota dan tidak merata sehingga di suatu wilayah terjadi penumpukan program,

namun wilayah lain yang membutuhkan justru tidak ada program sama sekali.

Page 80: Buku Insentif Das

71

Hal yang penting lagi adalah program tidak transparan baik dari segi keuangan

maupun pertanggungjawabannya. Atas dasar hal tersebut maka masyarakat

merekomendasikan seharusnya program disesuaikan dengan kebutuhan

masyarakat dan dilakukan pendampingan terus-menerus, yang berarti

partisipasi masyarakat dalam pengembangan program harus diperbesar. Dalam

aspek kelembagaan desa juga kurang effektif dalam mendukung program-

program di masyarakat. Hal ini disebabkan internal pemerintahan desa yaitu

tidak terjadi komunikasi dan koordinasi antara pemerintah desa dengan LKMD.

Untuk itu kelembagaan desa harus mulai transparan dengan mengedepankan

musyawarah desa yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat untuk

mengambil keputusan. Kelompok tani sendiri kurang memiliki inisiatif dan

kemandirian. Kelompok tani hanya siap menerima bantuan, bahkan hanya aktif

jika ada proyek. Selepas proyek banyak kelompok yang bubar tanpa

kesinambungan kegiatan. Hal ini disebabkan rendahnya kesadaran dan

pemahaman akan perlunya berkelompok serta rendahnya tingkat pendidikan

masyarakat. Untuk mencapai kemandirian memerlukan proses yang panjang

seiring dengan bertambahnya intensitas tukar-menukar pengalaman dan

pengetahuan antar anggota kelompok sehingga sumberdaya manusia petani

akan dapat ditingkatkan. Untuk mewujudkan hal tersebut dapat dilakukan

inisiasi dengan mengadakan pertemuan kelompok secara teratur.

Pasar merupakan aspek penting dalam menunjang kehidupan bertani

masyarakat, namun aspek ini justru yang paling seringkali dikeluhkan

masyarakat. Berkaitan dengan pasar petani menilai tidak adil karena petani

tidak bisa menentukan harga. Pemerintah juga tidak pernah memberikan

jaminan pemasaran yang menguntungkan petani bahkan untuk program-

program yang dikembangkan pemerintah seperti sengon dan sungkai. Petani

menilai bahwa belum ada komitmen pemerintah untuk memberikan kepastian

harga yang menguntungkan. Situasi ini membuat tengkulak mempermainkan

harga sehingga harga di tingkat petani menjadi rendah. Kondisi ini diperparah

dengan mahalnya ongkos pengangkutan yang menurunkan margin keuntungan

Page 81: Buku Insentif Das

72

petani. Biaya transportasi yang mahal ini disebabkan oleh jalan yang kurang

memadai, harga bahan bakar minyak mahal dan jarak pemasaran yang jauh.

Ditengah tingginya ongkos transportasi, biaya yang dilaksanakan oleh petani

semakin membengkak dengan banyaknya pungutan liar atau illegal. Pungutan

ini sering dilakukan terutama untuk pengangkutan kayu dan dilakukan atau

dibekingi oleh aparat keamanan. Beberapa solusi yang dipikirkan petani adalah

dengan mengusulkan pembangunan pasar yang berdekatan dengan daerah

produksi. Selain sarana fisik seperti pasar, pemerintah juga harus memberikan

kepastian harga yang layak bagi petani berupa harga dasar dan pengawasan

terhadap harga tersebut. Pada tingkat masyarakat, pemberdayaan koperasi

merupakan salah satu solusinya.

Bagi kehidupan petani, sarana dan prasarana merupakan penunjang bagi

kehidupannya. Masyarakat petani merasa bahwa pembangunan belum merata

dimana terbukti banyak jalan desa yang belum dibangun. Ketika musim hujan

jalan becek bahkan ada yang tidak bisa dilewati kendaraan. Kenyataan ini

sangat mengganggu mobilitas mayarakat. Jalan yang rusak juga mempengaruhi

pengeluaran petani untuk ongkos angkut hasil pertanian mereka. Untuk itu

petani berharap pembangunan sarana fasilitas umum seperti jalan di desa

diprioritaskan.

Di luar konteks semua kendala itu, pada dasarnya program rehabilitasi

lahan/penghijauan yang diprakarsai oleh pemerintah sebenarnya mendapatkan

sambutan positif dari warga komunitas lokal. Tanaman sengon dan sungkai

yang banyak dikenalkan sebagai jenis pohon penghijauan ternyata

mendapatkan sambutan yang antusias dari warga karena dinilai dapat

mendatangkan sumber penghasilan bagi warga. Dengan demikian kampanye

sengonisasi yang pernah dilakukan itu dapat dikatakan berhasil baik dan bahkan

warga merespon secara giat untuk membudidayakannya. Hal penting yang

dapat memperlancar pelaksanaan program di lapangan adalah program tersebut

Page 82: Buku Insentif Das

73

dapat menjadi sumber alternatif pendapatan warga lokal, dan keberhasilan

mengembangkan faktor kelembagaan (kelompok tani) sebagai faktor kunci.

Perlu disadari adanya lahan kritis tidaklah terlepas dari perusakan

kawasan hutan atau sumberdaya alam lainnya yang tidak diikuti dengan

penegakan hukum yang memberi sangsi keras bagi para pelanggarnya.

Perusakan ini misalnya karena maraknya penebangan liar yang tak jarang

disponsori oleh para pemodal kuat dari luar desa. Di samping itu menurunnya

daya dukung lahan untuk pertanian tanaman pangan akibat minimnya

ketersediaan air dan kecenderungan menurunnya luas lahan tanaman pangan

melalui konversi fungsi lahan dan lain-lain, telah menyebabkan perlunya

pemerintah menyusun tata guna lahan di aras mikro (lokal).

3. Respon Masyarakat lokal DAS Dodokan

Dari hasil studi di 4 (empat) desa contoh di DAS Dodokan diketahui

bahwa faktor pertumbuhan penduduk alamiah dan migrasi (masuknya

penduduk luar) yang berlangsung setiap tahun cenderung terus meningkat. Hal

ini menyebabkan struktur penguasaan lahan di dalam komunitas lokal makin

terbatas, walaupun antara petani satu dengan petani lainnya cenderung merata.

Dengan kata lain tidak cukup kuat ditemukan gejala yang memperlihatkan

dikotomi penguasaan lahan, kecuali sebatas pembentukan diferensiasi sosial

yang makin kompleks. Rata-rata penguasaan lahan di desa-desa kasus berkisar

0.5 ha - 1 ha, dengan jenis tanaman yang cukup beraneka ragam, mulai dari

`tanaman buah-buahan seperti nangka, semangka, tembakau, palawija, kedelai

sampai dengan padi. Kegiatan usahatani merupakan sumber matapencaharian

andalan, kegiatan alternatif yang bersifat non-pertanian langka dan keadaan ini

makin diperparah oleh krisis ekonomi yang belum juga berakhir hingga saat ini.

Sementara itu diketahui pula bahwa produktivitas pertanian setempat relatif

rendah.

Page 83: Buku Insentif Das

74

Dengan kondisi menyempitnya struktur penguasaan lahan dan tak

adanya bentuk pranata sosio-agraria yang memihak pada kepentingan petani

gurem maka menjadi wajar timbul ketergantungan petani (warga masyarakat)

lokal terhadap kawasan hutan. Pranata sosio-agraria yang dimaksudkan di sini

adalah suatu hubungan antara petani kuat dan kecil yang berciri mutualistik,

namun sekaligus dengan itu dapat memberikan jaminan sosial bagi petani kecil

untuk memperoleh pemenuhan kebutuhan dasarnya. Sebagai contoh makin

meningkatnya harga minyak tanah dan meningkatnya harga kayu bangunan

memaksa petani mencari sumber lain yang lebih murah dan terjangkau, yaitu

dengan cara menebang pohon keras di hutan untuk kebutuhan kayu bakar dan

bahan bangunan bagi kepentingan perbaikan atau membangun rumah barunya.

Apabila petani tidak memperoleh kesempatan masuk ke dalam kawasan hutan

untuk mendapatkan lahan pertanian yang baru, maka bagi yang mampu dapat

menyewa lahan milik petani lainnya. Hal terakhir ini sekaligus mengisyaratkan

bahwa proses monetisasi dalam kegiatan ekonomi khususnya di usahatani telah

berkembang, sehingga hampir sulit menemukan pranata sosial asli yang mampu

memberikan jaminan hidup bagi petani kecil.

Lahan kritis dimaknai oleh petani lokal sebagai lahan kering dan sangat

sulit untuk ditanami padi, palawija, atau tanaman lainnya dan biasanya

ditelantarkan begitu saja. Belum adanya prasarana irigasi dan praktek pola

perladangan tradisional yang tidak memperhatikan aspek konservasi tanah yang

diterapkan oleh petani setempat menimbulkan lahan kritis yang makin meluas

setiap tahun. Program rehabilitasi lahan/penghijauan dalam skala besar sudah

berlangsung kurang lebih dari dua dekade yang lalu. Sebagaimana pendekatan

program-program bantuan, umumnya penyelenggaraan program rehabilitasi

lahan/penghijauan juga diprakarsai oleh pemerintah pusat, yaitu Departemen

Kehutanan. Apa yang terjadi kemudian komunitas warga petani yang menjadi

kelompok sasaran, menjadi cenderung tergantung dengan semua fasilitas yang

disediakan oleh pemerintah. Kelembagaan yang dibentuk, seperti kelompok

tani yang semula dimaksudkan sebagai gerakan masyarakat namun dalam

Page 84: Buku Insentif Das

75

perkembangannya lebih memunculkan diri sebagai saluran kepentingan dari

pihak supra desa (dinas/instansi pemerintah). Dengan demikian kegiatan

penghijauan lebih mencirikan dirinya sebagai program bantuan belaka tanpa

berupaya mengakarkan dirinya terhadap komunitas petani lokal. Namun

demikian tidak dapat kita pungkiri bahwa ada pula kelompok tani yang relatif

berhasil dalam pengembangan aktivitas dirinya, misalnya kelompok tani di desa

Gunung Jati yang dibentuk dalam rangka pembuatan Demplot UPSA. Karena

dinilai berhasil maka sejumlah desa tetangga turut mencontohnya. Contoh

lainnya adalah terbentuknya koperasi berbadan hukum seperti yang ada di

Desa Mangkung. Kegiatan koperasi ini berupa simpan-pinjam dan penyediaan

sarana produksi. Skema program yaitu gerakan swadaya penghijauan oleh

kelompok komunitas lokal yang lebih dikenal sebagai areal dampak UPSA,

dalam penilaian warga petani dianggap lebih berhasil. Apabila memperhatikan

kondisi penutupan lahan di desa-desa kasus, terlihat dengan jelas kondisi

pentupan lahan yang tidak baik, dan seolah-olah tidak terlihat jejak-jejak

program penanaman. Penyebabnya adalah kecepatan tumbuh pohon jauh lebih

lambat dengan kecepatan pemanfaatan kayu oleh warga petani itu sendiri.

Warga masyarakat menilai bahwa program bantuan tetap diperlukan

terutama jika dalam program tersebut sekaligus membuka peluang untuk

mendapatkan upah atau lapangan kerja, selain bantuan-bantuan lain yang

memang tidak dapat dibiayai sendiri oleh para petani. Warga komunitas lokal

menghendaki agar mereka diberi bantuan penghijauan dalam bentuk kebun

rakyat di lahan milik agar tujuan penghijauan dan membaiknya kesejahteraan

warga petani sekaligus dapat tercapai. Ketepatan waktu pemberian bantuan

juga perlu diperhatikan, dalam hubungannya dengan waktu penanaman yang

tepat. Warga sesungguhnya juga menyukai adanya skema bantuan pinjaman

dalam bentuk KUK DAS seperti dilakukan pada tahun 1996. Walaupun masih

banyak warga yang belum mengembalikan utang kreditnya, bahkan sebagian

warga lain menyatakan tak sanggup mengembalikan kredit pinjamannya,

karena mengalami kegagalan panen yang terjadi dalam beberapa tahun

Page 85: Buku Insentif Das

76

terakhir. Kegiatan program lain yang juga mendapatkan respon baik dari

komunitas warga lokal adalah budidaya lebah madu. Sampai saat ini kegiatan

budidaya lebah madu telah berhasil menumbuhkan sejumlah kelompok-

kelompok petani-peternak di beberapa desa. Dengan kegiatan ini telah ada

upaya rintisan program yang cukup memberi harapan kepada warga untuk

mendapatkan sumber penghasilan yang baru.

Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan/kegagalan pelaksanaan

program rehabilitasi lahan/penghijauan. Di Desa Beber misalnya, keberhasilan

program bantuan penghijauan menurut mereka disebabkan karena keinginan

datang dari warga lokal, dan itu bermula pada tahun 1982. Nafkah mereka

antara lain mengandalkan dari hasil penjualan kayu. Dengan demikian adanya

program yang menyediakan bibit tanaman kayu-kayuan yang mereka dambakan

namun tidak mampu dibeli karena ketiadaan dana disambut gembira oleh

warga. Di Desa Beber berdiri sebuah kelompok tani "Sepakat' yang sengaja

dibentuk untuk mengantisipasi program bantuan, namun kini tidak lagi aktif.

Walaupun demikian jejak-jejak kegiatan program masih dapat diamati. Ini

berkat makna penghijauan bukan lagi sebagai kebutuhan/tujuan pihak supra

desa saja, melainkan sudah menjadi kebutuhan fungsional warga lokal untuk

keperluan sumber nafkah sehari-harinya. Penyemaian bibit-bibit swadaya,

walaupun hanya dalam skala yang relatif kecil, telah menjadi aktivitas sehari-

hari yang mudah dijumpai dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Harapan

lain dari warga lokal adalah agar kepada mereka diberikan bimbingan teknis

lebih lanjut, khususnya bagi pemeliharaan bibit tanaman keras mangga,

alpukat, melinjo, dan lain-lain agar hasilnya dapat memuaskan. Mereka

mencontohkan pada tahun 1980 misalnya di Desa Beber ini pernah diterima

proyek PRPTE yang diintroduksikan oleh Dinas Perkebunan. Hasil dari kegiatan

proyek ini masih dapat dilihat sampai sekarang, bahkan kebun kelapa rakyat ini

sekarang telah menjadi salah satu sumber penghasilan rakyat yang penting.

Page 86: Buku Insentif Das

77

Hal penting lain yang perlu digaris bawahi adalah warga sangat

menyadari bahwa terjadinya perambahan kawasan hutan adalah suatu tindakan

illegal, namun terpaksa dilakukan karena sempitnya penguasaan lahan

usahatani mereka. Oleh karena itu mereka berharap agar 'awig-awig'

(kesepakatan adat), antara pihak institusi pemerintah dan warga lokal yang

menuntut agar pihak yang disebut terakhir ini berlaku pro aktif memelihara

kawasan hutan yang mereka manfaatkan sebagai lahan garapan, tetap dapat

ditaati. Dengan demikian diharapkan kawasan hutan tersebut tidak akan

berubah menjadi lahan kritis walaupun dijadikan lahan garapan petani. Dari

uraian tadi, harapan-harapan warga petani terhadap penyelenggaraan program

pada masa mendatang dapat disimpulkan secara umum sebagai berikut:

program wana ternak dan silvo pasture agar diintroduksikan lebih luas dan

merata, pelatihan keterampilan dalam pengelolaan usahatani, pembuatan

sumur resapan, pengembangan kebun rakyat di lahan kritis, areal persemaian,

pembibitan, serta pemeliharaan sarana jalan desa agar menjadi perhatian serius

pemerintah bersama bersama warga lokal untuk terus menjamin keberhasilan

tujuan program dan bahkan meningkatkannya pada masa mendatang.

4. Respon Pihak-Pihak Terkait Dalam Pengelolaan DAS Ciliwung

Secara umum para pihak terkait di DAS Ciliwung menilai bahwa program

reboisasi/penghijauan yang dilakukan selama ini telah gagal. Beberapa faktor

yang dianggap penentu kegagalan program tersebut, antara lain :

Kelembagaan pengelolaan DAS Ciliwung lemah

Fungsi kontrol tidak berjalan serta penegakan hukum yang lemah dan

tidak konsisten

Koordinasi antar lembaga terkait dengan pengelolaan DAS kurang

berjalan

Kurangnya sosialisasi program kepada masyarakat

Page 87: Buku Insentif Das

78

Peran serta masyarakat masih relatif rendah

Budaya masyarakat yang tidak kondusif dengan konservasi.

Berdasarkan hasil Partisipatif Rural Appraisal (PRA) dan lokakarya pihak-

pihak terkait (stakeholders) dengan metode LFA di DAS Ciliwung dapat

diketahui bahwa permasalahan pokok yang menghambat keberhasilan program

rehabilitasi lahan/penghijauan dan/atau pengelolaan DAS masih diakibatkan

oleh berjalannya kelembagaan pada masa lalu, khususnya menyangkut masalah

pengorganisasiannya. Pihak-pihak terkait menentukan permasalahan tersebut

mulai dari masalah di tingkat petani/implementasi, perencanaan, pengawasan,

maupun kebijakan.

Pengelompokan permasalahan yang didasarkan pada persepsi pihak-

pihak terkait tersebut tidak jauh berbeda dengan permasalahan yang terjadi

sebelum otonomi daerah, meliputi aspek-aspek berikut:

1. Pelaksanaan yang sentralistik dan belum diwujudkannya kepastian tata

ruang: Permasalahan ini dipersepsikan oleh pihak-pihak terkait DAS

Ciliwung terutama berkaitan dengan kekakuan kebijakan, lemahnya

penegakan hukum, tidak adanya tata ruang yang disepakati seluruh pihak

terkait.

2. Organisasi penyelenggaraan lemah: Permasalahan yang menonjol di DAS

Ciliwung adalah lemahnya fungsi koordinasi, lemahnya fungsi kontrol, tidak

adanya perencanaan terpadu yang disepakati forum koordinasi yang ada

tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan, kebijakan yang dilaksanakan

belum dipahami oleh masyarakat dan lemahnya sosialisasi program.

3. Lemahnya pendekatan sosial budaya:

4. Kesadaran dan peran serta masyarakat rendah: Permasalahan ini

menggambarkan bahwa terdapat kesenjangan yang besar antara manfaat

individu dengan manfaat sosial dan lemahnya insentif bagi manfaat individu

untuk meningkatkan manfaat sosial rehabilitasi lahan/penghijauan.

Page 88: Buku Insentif Das

79

5. Tuntutan ekonomi masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya alam

sangat tinggi: Permasalahan ini dipersepsikan oleh pihak terkait di DAS

Ciliwung, dikaitkan dengan masalah kemiskinan penduduk lokal.

Beberapa cara pemecahan masalah yang diusulkan baik untuk tingkat

kebijakan dan institusi maupun tingkat operasional di masyarakat adalah :

a. Penegakan hukum melalui penerapan aturan hukum yang tegas,

peningkatan pemahaman peraturan oleh masyarakat, operasi penertiban,

memperkuat lembaga penegakan hukum, perbaikan produk-produk hukum,

menghidupkan kembali budaya malu atas pelanggaran hukum

b. Peningkatan fungsi koordinasi dan fungsi kontrol melalui sosialisasi aturan-

aturan, dibentuk team kontrol independen dan lembaga pengaduan, sistem

atau mekanisme yang jelas, adanya waskat, koordinasi yang transparan,

dan adanya insentif yang memadai bagi pelaku kontrol

c. Kegiatan sosialisasi program pengelolaan DAS, khususnya rehabilitasi

lahan/penghijauan melalui berbagai upaya seperti penerapan metode

sosialisasi yang tepat (contohnya sosialisasi dengan memfungsikan tokoh

masyarakat dan agama, ujicoba lapangan dan pembuatan demplot),

memperhatikan lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat, pendanaan

yang cukup untuk program sosialisasi, dibentuknya kelompok-kelompok

yang dapat membantu sosialisasi (misalnya Kelompok Pencinta Alam),

materi sosialisasi mudah dicerna oleh masyarakat.

d. Peningkatan peran serta masyarakat melalui berbagai insentif langsung

maupun tidak langsung yang dapat memberikan rangsangan kepada

masyarakat untuk lebih berperan dalam rehabilitasi lahan/penghijauan.

Berbagai insentif dalam rangka peningkatan ekonomi masyarakat diusulkan

dengan berbagai cara seperti memberikan subsidi bagi masyarakat (subsidi

masal, subsidi bibit, kredit program), akses terhadap modal dan pasar,

serta jenis tanaman unggulan sesuai dengan keinginan masyarakat.

Adapun bentuk-bentuk insentif yang tidak langsung yang diusulkan antara

Page 89: Buku Insentif Das

80

lain adalah dengan cara meningkatkan pengetahuan dan kesadaran

masyarakat mengenai pentingnya lingkungan (melalui kegiatan studi

banding, penyuluhan, pelatihan dan pendidikan), pelibatan masyarakat

dalam setiap tahapan pengambilan keputusan dalam kegiatan rehabilitasi

lahan/penghijauan.

Dalam menyikapi dan mencari upaya penyelesaian segala persoalan yang

ada dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS Ciliwung diperlukan langkah-

langkah berikut:

a. Perlu dibentuk suatu forum pengelolaan DAS Ciliwung yang efektif dan

institusi kerjasama yang mempunyai fungsi kontrol dalam aplikasinya.

b. Perlu dibuat program pengelolaan DAS yang menyeluruh untuk dapat

dilaksanakan oleh setiap stakeholders sesuai peran masing-masing.

c. Melakukan koordinasi antar lembaga/instansi terkait secara transparan dan

efektif.

d. Adanya kejelasan manfaat bagi stakeholders, khususnya masyarakat pada

tingkat bawah.

5. Respon Para Pihak Terkait dalam Pengelolaan DAS Rokan

Berdasarkan hasil kajian lapangan terhadap para pihak terkait dengan

pengelolaan DAS melalui metode LFA diperoleh gambaran beberapa

permasalahan yang muncul sebagai respon atas pertanyaan mengapa program

rehabilitasi lahan dan penghijauan dianggap gagal. Permasalahan-

permasalahan yang ada ternyata cukup mendasar dan saling kait-mengkait

antara satu permasalahan dengan permasalahan lainnya:

• Kelembagaan pengelolaan DAS

• Tata ruang tidak mantap

• Kurangnya penegakan hukum

• Kurangnya pendekatan sosial budaya

Page 90: Buku Insentif Das

81

• Kurangnya sosialisasi program

• Sumberdaya manusia masih rendah

• Pertimbangan ekonomi kurang memadai

Namun demikian, secara garis besar permasalahan-permasalahan

tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Kelembagaan Pengelolaaan DAS

Kelembagaan pengelolaan DAS dirasakan kurang mantap. Hal ini

dicirikan oleh masih lemahnya tingkat koordinasi antar pihak yang terkait dalam

pengelolaan DAS, kebijakan pemerintah yang tidak konsisten, dan pengawasan

yang lemah. Koordinasi tampaknya menjadi titik sentral kelemahan dalam

pengelolaan DAS yang berakibat pada perencanaan dan pelaksanaan

pengelolaan DAS secara terpadu tidak pernah berjalan. Koordinasi yang lemah

ini disebabkan oleh permasalahan yang cukup mendasar antara lain karena

masih kentalnya “ego sektoral” yang menyebabkan persepsi, visi, dan misi

tentang pengelolaan DAS yang tidak sama. Pada tingkatan operasional, para

pelaksana program rehabilitasi lahan dan penghijauan tidak cukup punya

komitmen dan masih berorientasi keproyekan.

b. Tata Ruang yang Tidak Mantap

Permasalahan tidak mantapnya tata ruang wilayah menyebabkan

penggunaan lahan seringkali tidak sesuai atau tidak mengikuti tata ruang yang

ada. Sebagai implikasinya dari persoalan tersebut menyebabkan sering

terjadinya konflik dalam penggunaan lahan. Tata ruang yang tidak mantap juga

menyebabkan perencanaan dalam program rehabilitasi lahan dan penghijauan

yang dihasilkan tidak mantap pula.

c. Kurangnya Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah dalam rangka untuk mendapatkan kepastian

hukum atas segala aturan yang telah dibuat dan disepakati bersama.

Penegakan hukum yang masih rendah ini dibuktikan masih besarnya kegiatan

Page 91: Buku Insentif Das

82

illegal logging dan bentuk-bentuk pelanggaran di bidang lingkungan. Kondisi ini

tentunya dapat menyebabkan berbagai pihak dalam masyarakat tidak/kurang

mempunyai dorongan/insentif untuk turut serta menjaga dan memperbaiki

lingkungan DAS yang rusak. Pada sisi lain, adanya illegal logging menyebabkan

rendahnya harga kayu, dimana ini dapat berdampak pada tidak lakunya kayu-

kayu hasil penghijauan, yang pada akhirnya tidak memberikan insentif bagi

masyarakat untuk melakukan kegiatan penghijauan (hutan rakyat) karena

produknya tidak dapat dipasarkan.

d. Kurangnya Pendekatan Sosial Budaya

Kurangnya pendekatan sosial budaya cukup dirasakan oleh masyarakat

dalam perencanaan program rehabilitasi lahan dan penghijauan. Pendekatan

program rehabilitasi lahan dan penghijauan bersifat top-down, dimana aspirasi

dari bawah kurang diperhatikan. Kurangnya masyarakat dilibatkan dalam proses

perencanaan menyebabkan “sense of belonging” masyarakat terhadap kegiatan

rehabilitasi lahan dan penghijauan rendah.

e. Kurangnya Sosialisasi Program

Kurangnya sosialisasi program juga dirasakan oleh berbagai pihak,

khususnya pada level tengah dan level bawah (masyarakat). Kurangnya

sosialisasi ini menyebabkan tidak adanya kesamaan persepsi, visi, dan misi

program diantara para pihak yang terkait, perencanaan yang tidak padu/selaras

dan kurangnya bahkan tidak adanya pemahaman manfaat pada tingkat

masyarakat tentang kegiatan rehabilitasi lahan dan penghijauan.

f. Sumberdaya Manusia yang Rendah

Kualitas sumberdaya manusia baik aparat maupun masyarakat sangat

memegang peranan yang sangat penting dalam setiap kegiatan pembangunan,

karena faktor ini sangat menentukan kualitas setiap kegiatan seperti

perencanaan, koordinasi, dan pengawasan serta rendahnya kesadaran akan

Page 92: Buku Insentif Das

83

manfaat hutan di DAS yang rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia

ini pun dapat menyebabkan permasalahan yang lainnya muncul.

g. Kurangnya Pertimbangan Ekonomi

Dalam setiap perencanaan program rehabilitasi lahan dan penghijauan

sangat mempertimbangkan masalah-masalah teknis biologis tetapi kurang

mempertimbangkan masalah-masalah ekonomi. Pertimbangan ekonomi dalam

kegiatan rehabilitasi lahan dan penghijauan ini sangat menentukan dan menjadi

pendorong/motivator bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan rehabilitasi

lahan dan penghijauan dengan baik. Beberapa pertimbangan ekonomi yang

perlu diperhatikan antara lain pemilihan komersial dan disukai masyarakat,

diversifikasi usaha, dukungan pasar untuk produk/hasil kegiatan penghijauan

melalui penyediaan/perbaikan infrastruktur pasar, dan stabilisasi harga.

6. Respon Para Pihak Terkait dalam Pengelolaan DAS Dodokan

Permasalahan inti (core-problem) yang diidentifikasikan oleh para

pengambil keputusan di aras atas desa (supra desa), dalam kinerja pelaksanaan

program rehabilitasi lahan/penghijauan adalah berasal dari dua aras, yaitu

masyarakat dan institusi pemerintah. Dari aras masyarakat mereka melihat

kurang berhasilnya pencapaian tujuan program disebabkan oleh tingkat

pendapatan masyarakat yang masih rendah (faktor kemiskinan). Sementara di

aras institusi supra desa, tidak efektifnya pencapaian program adalah karena

kinerja aparat instansi, termasuk di dalamnya kualitas petugas penyuluh di

lapangan masih rendah.

Di aras masyarakat, faktor kemiskinan telah berakibat tingkat pendidikan

yang dapat dicapai juga relatif rendah. Sekolah menuntut biaya relatif mahal

yang sulit dipenuhi oleh rata-rata warga desa yang berada di bawah garis

kemiskinan tersebut. Di samping itu pengetahuan dan keterampilan warga desa

dalam kegiatan rehabilitasi lahan/penghijauan juga relatif masih rendah. Namun

Page 93: Buku Insentif Das

84

ini disadari kembali sebagai disebabkan oleh kinerja aparat penyuluh,

khususnya yang belum bertugas secara optimal. Alasan hal terakhir ini antara

lain karena keterbatasan jumlah aparat, dukungan sarana yang minim, dan

belum adanya pilihan kelembagaan yang tepat untuk mengembangkan program

itu sendiri, serta belum adanya koordinasi dan komitmen yang mantap dari

dinas/instasi serta juga dunia usaha sebagai bagian dari stakeholders DAS

Dodokan. Dengan kata lain, para pengambil keputusan sebenarnya menyadari

bahwa mereka memang perlu berhati-hati untuk mengatakan atau menerima

dengan begitu saja bahwa kegagalan program tak lain disebabkan oleh faktor

kurangnya kesadaran dan kepedulian warga terhadap kelestarian lingkungan

dan tak dapat diserapnya makna program rehabilitasi lahan/penghijauan secara

baik karena rendahnya mutu pendidikan mereka.

Mereka sekaligus juga menyadari ada faktor lain yang bersifat lebih

fundamental, antara lain kepemilikan lahan petani lokal yang sempit dan status

tanah yang masih belum jelas, sehingga makin merebaknya lahan-lahan

absentee akibat kepemilikannya dikuasai oleh orang-orang luar (kota) yang

bermodal kuat, dan sebagainya. Hal ini terjadi terutama di desa-desa yang

kegiatan ekonominya meningkat. Faktor lain adalah pertumbuhan penduduk

yang terus meningkat, sehingga meningkatkan kebutuhan atas lahan.

Sementara di aras institusi supra desa komitmen dan kinerja aparat dan instansi

yang terkait dengan kepentingan program masih rendah.

Mereka juga mengeluhkan penyakit birokrasi dan sikap ego sektoral yang

tidak kondusif dalam penyusunan dan pelaksanaan program. Lebih jauh

koordinasi antar instansi terkait pun masih belum digarap dengan sungguh-

sungguh sehingga yang terkesan program ini menjadi kepentingan sektor

kehutanan saja. Hal lain yang diajukan adalah sikap para penyusun program

yang umumnya masih bersikap top-down, sehingga keterkaitan program

dengan aspirasi dari kelompok sasaran lebih sering tertata berdasarkan posisi

subyek vs obyek.

Page 94: Buku Insentif Das

85

Hal strategis berikut yang penting dicatat adalah kepastian hukum tata

ruang yang mengatur peruntukan lahan di aras kabupaten dan propinsi ternyata

juga masih menimbulkan keraguan, sehingga sulit diharapkan lahir kebijakan

yang mantap. Dalam hal ini mereka menyadari perlunya pemberdayaan Badan

Pertanahan Nasional agar tidak hanya berperan sebagai institusi pengelola

admisnistratif tanah saja, melainkan juga sebagai institusi yang memfasiltasi

penataan tata ruang yang lebih partisipatif sekaligus diakui secara legal.

Berdasarkan uraian di atas, masalah pokok program rehabilitasi

lahan/penghijauan adalah perlunya komitmen dan kebijakan yang memadai dari

seluruh pihak terkait di aras institusi. Ini dapat ditempuh antara lain dengan

membuat analisis-analisis yang lebih tajam terhadap kondisi aktual yang sedang

mengancam kualitas DAS Dodokan dan akibat jangka pendek dan panjang bagi

perekonomian masyarakat Pulau Lombok pada umumnya dan warga

masyarakat DAS Dodokan khususnya. Hal ini dinyatakan pula dengan sangat

kuatnya kesan bahwa di kalangan aparat institusi di aras supradesa,

pengetahuan tentang tingkat kekritisan yang mengancam DAS belum

sepenuhnya diketahui. Faktor ini merupakan salah satu faktor penyebab

rendahnya kinerja aparat. Faktor ini pula yang memungkinkan menyebabkan

ketidakpastian dalam penetapan tata ruang.

Dari kedua aras permasalahan tersebut akhirnya mengakibatkan

pelaksanaan program yang tidak sesuai dengan keinginan dan aspirasi

masyarakat setempat, timbulnya sikap (bukan kesadaran) warga komunitas

lokal yang kurang mengindahkan pentingnya konservasi DAS, dan akhirnya

praktek penebangan ilegal dan perambahan hutan oleh warga lokal, oknum

aparat, serta sejumlah individu pengusaha.

Di aras masyarakat tujuan 'menciptakan lapangan usaha/kerja non-

pertanian yang lebih luas' dipandang sebagai hal penting, mengingat tidak

semua kondisi ekologis desa-desa di DAS Dodokan kondusif untuk usahatani.

Hal itu berarti program rehabilitasi lahan/ penghijauan harus mampu menjadi

Page 95: Buku Insentif Das

86

sumber pendapatan baru bagi kelompok masyarakat setempat. Dengan

demikian hal tersebut sekaligus perlu disertai dengan upaya meningkatkan

pengetahuan, kesadaran, dan kepedulian masyarakat akan pentingnya

kelestarian lingkungan. Apabila ini telah tercapai, diharapkan dengan mudah

memposisikan kelompok masyarakat sebagai subyek yang penting dalam

pelaksanaan program rehabilitasi lahan/penghijauan, sehingga menjadikan

partisipasi mereka dalam program menjadi utuh.

Hal ini tidak akan terjadi begitu saja, karena di aras institusi perlu

dilakukan langkah-langkah yang kondusif untuk mendukung apa yang menjadi

tujuan di aras masyarakat. Langkah-langkah tersebut adalah mendorong

terbentuknya klinik agribisnis yang berguna sebagai wahana pembelajaran

warga masyarakat agar mereka terlatih menjadi wirausaha yang tangguh. Di

samping perlu meningkatkan kualitas ekosistem yang cocok untuk usahatani

dengan membangun ketersediaan saluran irigasi teknis. Kemudian membangun

program rehabilitasi lahan/ penghijauan secara terpadu dan lintas sektoral yang

dikoordinasikan oleh BRLKT. Hal penting lainnya adalah membuat penataan

ruang di dalam DAS yang proporsional dan seimbang dan ditegaskan melalui

peraturan yang jelas dan dimasyarakatkan secara luas. Dengan demikian

menjadi jelas batas/zonasi kawasan rehabilitasi lahan/penghijauan yang harus

dilaksanakan.

Atas dasar tujuan itu semua diharapkan keberhasilan program yang

bertumpu pada meningkatnya partisipasi masyarakat, meningkatnya peran serta

dan koordinasi antar institusi/instansi terkait, dan mendayagunakan potensi

yang mendukung pelestarian alam yang akan tercapai.

Pengelompokan permasalahan yang didasarkan pada persepsi pihak-

pihak terkait meliputi aspek-aspek berikut:

1. Pelaksanaan yang sentralistik dan belum diwujudkannya kepastian tata

ruang: Permasalahan ini dipersepsikan oleh pihak-pihak terkait DAS

Dodokan terutama berkaitan dengan kekakuan kebijakan, lemahnya

Page 96: Buku Insentif Das

87

penegakan hukum, tidak adanya tata ruang yang disepakati seluruh pihak

terkait.

2. Organisasi penyelenggaraan lemah: Permasalahan yang menonjol di DAS

Dodokan adalah lemahnya fungsi koordinasi, lemahnya fungsi kontrol, tidak

adanya perencanaan terpadu yang disepakati dan lemahnya sosialisasi

program

3. Rendahnya kualitas SDM dan lemahnya pendekatan sosial budaya:

Permasalahan ini muncul dengan tekanan pada rendahnya kualitas SDM

dan lemahnya pendekatan yang berbasis lokal.

4. Kesadaran dan peran serta masyarakat rendah: Permasalahan ini

menggambarkan bahwa terdapat kesenjangan yang besar antara manfaat

individu dengan manfaat sosial dan lemahnya insentif bagi manfaat individu

untuk meningkatkan manfaat sosial rehabilitasi lahan/penghijauan.

5. Tuntutan ekonomi masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya alam

sangat tinggi: Permasalahan ini dipersepsikan oleh pihak terkait di DAS

Dodokan, dikaitkan dengan masalah kemiskinan dan penebangan liar yang

perlu diselesaikan oleh Pemerintah.

C. Insentif Rehabilitasi Lahan/Penghijauan

Tujuan pengelolaan DAS adalah untuk mempertahankan manfaat ekologi

dan sosial DAS yang akan dapat dicapai bila setiap individu/rumah

tangga/kelompok di dalam DAS tersebut mau mengorbankan manfaat ekonomi

jangka pendeknya dan memaksimumkan manfaat ekonomi jangka panjang dari

sumberdaya lahan yang dikuasainya. Secara teoritis, bila kegagalan pasar,

kegagalan kebijakan dan kelembagaan dianggap tidak ada, setiap penguasa

lahan akan bersedia mengadopsi praktek-praktek konservasi yang memperkecil

dampak lingkungan atau biaya sosial di dalam tapak akibat degradasi

sumberdaya alam. Namun bila biaya sosial ditanggung oleh pihak lain di luar

Page 97: Buku Insentif Das

88

tapak, insentif konservasi bagi para penguasa lahan umumnya rendah. Di DAS

Ciliwung dan Rokan yang berciri lintas propinsi, masalah di atas makin kompleks

akibat adanya beberapa daerah otonom yang memiliki karakteristik sosial,

ekologi dan birokrasi yang berbeda-beda. Sedangkan DAS Dodokan yang

berciri lintas kabupaten, juga mempunyai masalah yang kurang lebih sama.

Selain itu, terdapat masalah struktural di DAS Ciliwung hulu dimana lahan yang

menjadi obyek rehabilitasi/penghijauan dimiliki oleh penduduk di luar wilayah

tersebut, termasuk penduduk di daerah hilir (DKI Jakarta).

Untuk mencapai manfaat ekologi dan sosial yang optimal, pengelolaan di

ketiga DAS memerlukan suatu “Badan” yang mampu menjembatani

pertanggunggugatan pengelolaan DAS yang diimplementasikan oleh pihak-pihak

terkait dan keberadaannya diakui oleh seluruh pihak terkait. Para pihak terkait

mengusulkan agar dibentuk “Forum Pengelolaan DAS”. Usulan pihak-pihak

terkait tersebut dipandang kurang tepat karena ikatan suatu forum umumnya

sangat longgar, sehingga sulit menyatukan beberapa Daerah Otonom dalam

ikatan kelembagaan. Untuk itu diusulkan dibentuk “Badan Koordinasi dan

Pengendalian Pengelolaan (BKPP) DAS” yang berfungsi sebagai berikut:

1. Sebagai media komunikasi bagi seluruh pihak terkait agar dapat disepakati

visi dan misi pengelolaan DAS (pulau Lombok untuk kasus DAS Dodokan).

2. Menyatukan rencana-rencana pihak terkait sehingga dapat disusun rencana

pengelolaan DAS Terpadu, termasuk penataan ruangnya, atas dasar

kesamaan visi dan misi yang disepakati.

3. Mengembangkan kesamaan ukuran kinerja keberhasilan pengelolaan DAS.

4. Memberikan pelayanan berbasis keahlian (technical assistance) dengan

menyediakan tenaga ahli yang diperlukan oleh seluruh pihak terkait.

5. Melaksanakan audit untuk seluruh program yang diimplementasikan oleh

pihak-pihak terkait guna menjamin pertanggunggugatan publik (public

accountability).

Page 98: Buku Insentif Das

89

Keberadaan “BKPP” DAS harus mampu menjembatani kepentingan

seluruh pihak terkait sehingga secara “bottom-up” dapat dirumuskan komitmen

bersama, perlunya kepastian hukum atas mekanisme pembagian biaya-manfaat,

serta adanya mekanisme kelembagaan yang jelas dan disepakati bersama.

Eksistensi “BKPP” tersebut akan sangat dipengaruhi oleh berlangsungnya

proses-proses partisipatif yang melibatkan seluruh pihak terkait dalam

perencanaan, implementasi dan evaluasi program. Terbangunnya rasa memiliki

atas program-program tersebut merupakan insentif pemberdayaan yang secara

nyata akan menentukan kinerja pengelolaan DAS.

Kepastian aspek legal tentang pembagian biaya-manfaat antara hulu-hilir

DAS dapat dikembangkan atas prinsip-prinsip berikut:

1. Pengaturan kontrak antara “BKPP” DAS dengan masyarakat hilir untuk

membantu pendanaan rehabilitasi daerah hulu (sebagai insentif bagi

masyarakat hulu).

2. Prinsip pencemar membayar (polluters’ pay principle): kesepakatan agar

BKPP DAS memberikan disinsentif bagi masyarakat hulu (melalui sistem

perpajakan dan penegakan hukum) bila melakukan tindakan yang

merugikan DAS.

3. Pengembangan hak kepemilikan melalui kebijakan tentang kompensasi

pasar bila memberikan jasa lingkungan (konservasi air) atau produk

akhirnya (air).

4. Pengembangan baku mutu air yang disepakati dan mekanisme denda

(disinsentif) yang dilembagakan bagi pihak-pihak yang melanggar.

“BKPP” DAS juga bertanggungjawab atas sosialisasi rencana pengelolaan

DAS terpadu, program yang akan dan sedang diimplementasikan oleh masing-

masing pihak terkait, serta hasil yang dicapai dalam setiap implementasi

program. Hasil kesepakatan pihak-pihak terkait menyatakan bahwa kelompok

sasaran dari program sosialisasi adalah seluruh pihak terkait, yaitu: masyarakat

petani, lembaga adat, aparat pemerintah, pengusaha dan ornop atau LSM.

Page 99: Buku Insentif Das

90

Program rehabilitasi lahan/penghijauan diharapkan mampu berperan

ganda, disamping untuk memelihara fungsi-fungsi ekologi/lingkungan, juga

memberikan manfaat bagi peningkatan ekonomi masyarakat. Dalam konteks ini

masyarakat harus dilibatkan sebagai subyek atau pelaksana langsung kegiatan

rehabilitasi lahan/penghijauan. Masyarakat harus dilibatkan sejak tahap

perencanaan, implementasi hingga tahap pengawasan dan evaluasi

keberhasilan. Setiap program rehabilitasi harus memperhatikan kondisi spesifik

lokal, baik dalam masalah biofisik maupun sosial budaya.

Untuk menjamin keberhasilan rehabilitasi lahan/penghijauan diperlukan

program peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Peningkatan kualitas

sumberdaya manusia dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan pelatihan dan

pendampingan. Berbagai pihak terkait sepakat mengenai pentingnya upaya

peningkatan kesadaran dan pemahaman mengenai konservasi DAS, baik melalui

jalur pendidikan formal maupun non formal.

Program rehabilitasi lahan/penghijauan diharapkan mampu berperan

ganda, disamping untuk memelihara fungsi-fungsi ekologi/lingkungan, juga

memberikan manfaat bagi peningkatan ekonomi masyarakat. Dalam konteks ini

masyarakat harus dilibatkan sebagai subyek atau pelaksana langsung kegiatan

rehabilitasi lahan/penghijauan. Masyarakat harus dilibatkan sejak tahap

perencanaan, implementasi hingga tahap pengawasan dan evaluasi

keberhasilan. Setiap program rehabilitasi harus memperhatikan kondisi spesifik

lokal, baik dalam masalah biofisik maupun sosial budaya. Untuk menjamin

keberhasilan rehabilitasi lahan/penghijauan diperlukan program peningkatan

kualitas sumberdaya manusia serta kebijakan yang mendorong kestabilan harga

kayu rakyat dan peningkatan akses pasar untuk kayu rakyat.

Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dapat dilakukan melalui

berbagai kegiatan pelatihan, pendampingan dan pengembangan

profesionalisme. Berbagai pihak terkait sepakat mengenai pentingnya upaya

peningkatan kesadaran dan pemahaman mengenai konservasi DAS, baik melalui

Page 100: Buku Insentif Das

91

jalur pendidikan formal maupun non formal. Bahkan para pihak terkait

menghendaki agar kepedulian para politisi dan pengambil keputusan terhadap

masalah kelestarian lingkungan perlu ditingkatkan. Untuk mendukung seluruh

program tersebut diperlukan upaya untuk mengembangkan lembaga pendidikan

yang berkualitas dan mampu mengadopsi kearifan tradisional serta mampu

menyediakan informasi teknologi tepat guna yang disebarluaskan kepada

seluruh masyarakat.

Untuk meningkatkan akses pasar diperlukan berbagai program guna

memperkuat kelembagaan lokal petani, antara lain: membentuk asosiasi petani

yang memiliki posisi tawar dalam penetapan harga dan menentukan standar

produk. Pemerintah diharapkan dapat membantu para petani dengan

memperbaiki infrastruktur, mendorong berkembangnya industri yang berbahan

baku dari kayu rakyat dan mengembangkan program kemitraan antara

pengusaha besar dengan asosiasi petani. Selain itu, pemerintah diharapkan

mampu melaksanakan penegakan hukum untuk menghentikan penebangan

hutan alam, khususnya penebangan liar yang dapat merusak pasar kayu lokal.

1. Insentif di Tingkat Masyarakat Lokal

Berdasarkan kategori insentif menurut luarannya (pendapatan dan

kontrol), bentuk-bentuk insentif yang diharapkan oleh pihak-pihak terkait DAS

Ciliwung disajikan pada Tabel 6. DAS Rokan pada Tabel 7. dan DAS Dodokan

pada Tabel 8.

Berbagai bentuk insentif sebagaimana disajikan dalam Tabel merupakan

pilihan-pilihan yang implementasinya sangat dipengaruhi kondisi spesifik lokasi,

baik kondisi biofisik maupun sosial budaya. Pada tingkat nasional, berbagai

prakondisi perlu diperhitungkan secara seksama agar implementasi suatu

bentuk insentif tertentu dapat berhasil.

Dalam pengelolaan DAS Ciliwung, dimana penyebab degradasi berasal

dari luar lahan pertanian (off-farm) dan manfaat rehabilitasi dinikmati di luar

Page 101: Buku Insentif Das

92

lahan pertanian, maka pengunaan insentif dapat dilakukan. Namun mengingat

bahwa masalah utamanya adalah faktor ekstrinsik, yakni: modal dan

akses/kontrol atas lahan jangka panjang (banyak pemilik lahan bukan

penduduk), pemberian insentif langsung tidak akan menyelesaikan

permasalahan rehabilitasi dalam jangka panjang. Dalam konteks ini, dua

langkah dapat ditempuh:

a. Bagi masyarakat pemilik lahan dapat diberikan insentif berbasis

pemberdayaan untuk mengadopsi teknik-teknik pertanian ramah

lingkungan dan insentif berbasis kesejahteraan berupa kompensasi atas

lahan yang digunakan untuk rehabilitasi atau pemilikan hasil panen.

b. Bagi pemilik lahan bukan penduduk setempat dan pemilik lahan untuk

usaha perlu ditegakkan peraturan agar: (a) mereka membayar pajak

lingkungan atas manfaat yang diperolehnya; (b) membayar denda bila

melakukan pelanggaran atas fungsi lahan; (c) mendapatkan keringanan

pajak pertanahan bila memenuhi fungsi lahan yang ditetapkan menurut

standar yang berlaku.

Tabel 6. Bentuk-bentuk insentif di tingkat petani/implementasi yang

diharapkan oleh berbagai pihak terkait melalui proses PRA dan LFA

untuk DAS Ciliwung.

Kontrol Rendah Kontrol Tinggi

Pendapatan Rendah

Insentif Lemah (Weak incentives): Dipandang tidak relevan untuk disajikan

Insentif Berbasis Pemberdayaan (Empowerment-based incentives): Partisipasi dalam perencanaan

dan pengambilan keputusan Pengembangan jumlah

kelompok penghijauan Informasi dan teknologi Penguatan kelembagaan lokal Kebebasan pemilihan jenis

sesuai kondisi lokal Pembangunan plot percontohan Pendidikan dan pelatihan,

termasuk penyuluhan, pendampingan dan studi

Page 102: Buku Insentif Das

93

banding Piagam Penghargaan bagi yang

berhasil Sosialisasi program secara

intensif Memberikan fungsi kontrol pada

masyarakat

Pendapatan Tinggi

Insentif Berbasis Kesejahteraan (Prosperity-based incentives):

Subsidi bagi pemilik lahan yang digunakan untuk rehabilitasi/penghijauan

Kesempatan kerja Subsidi masal Skema kredit usaha

tani konservasi Menjamin kestabilan

harga hasil panen Perbaikan infrastruktur,

termasuk sarana-prasarana desa

Pemanfaatan lahan tidur dengan tanaman keras

Penyediaan bibit unggul melalui pos bibit gratis

Insentif Kuat (Strong incentives): Kombinasi dan Integrasi aktivitas yang mengandung unsur insentif berbasis kesejahteraan dan insentif berbasis pemberdayaan sedemikian rupa sehingga menciptakan peluang untuk memperbesar kemungkinan tercapainya tujuan pengelolaan DAS, termasuk rehabilitasi lahan/ penghijauan.

Bentuk-bentuk insentif pada Tabel 6 tersebut dapat dikelompokkan

sebagai berikut:

a. Insentif Langsung

♦ Insentif berbasis pemberdayaan

• Pembangunan plot percontohan

• Partisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan

• Pemberian fungsi kontrol

• Kebebasan pemilihan jenis berbasis lokal

• Piagam penghargaan bagi yang berhasil

Page 103: Buku Insentif Das

94

♦ Insentif berbasis kesejahteraan

• Subsidi bagi pemilik lahan yang lahannya digunakan untuk

rehabilitasi

• Subsidi masal

• Kesempatan kerja

• Skema kredit usaha tani konservasi

• Pemanfaatan lahan tidur dengan tanaman keras

• Penyediaan bibit unggul melalui pos bibit gratis

b. Insentif Tak Langsung

♦ Insentif berbasis pemberdayaan

• Pendidikan dan pelatihan termasuk penyuluhan, pendampingan

dan studi banding

• Informasi dan teknologi

• Penguatan kelembagaan lokal

• Pengembangan jumlah kelompok penghijauan

• Sosialiasi program secara intensif

♦ Insentif berbasis kesejahteraan

• Perbaikan infrastruktur

• Perbaikan jalur pemasaran

• Kebijakan harga

Page 104: Buku Insentif Das

95

Tabel 7. Bentuk-bentuk insentif di tingkat petani/implementasi yang

diharapkan oleh berbagai pihak terkait melalui proses PRA dan LFA

untuk DAS Rokan.

Kontrol Rendah Kontrol Tinggi

Pendapatan Rendah

Insentif Lemah (Weak incentives): Dipandang tidak relevan untuk disajikan

Insentif Berbasis Pemberdayaan (Empowerment-based incentives):

Partisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, termasuk fungsi kontrol

Kontrol terhadap lahan (tenure)

Informasi dan teknologi Penguatan kelembagaan

lokal, Pemilihan jenis berbasis

kearifan lokal Pembangunan plot percontohan Pendidikan dan pelatihan,

termasuk penyuluhan, pendampingan dan studi banding

Pendapatan Tinggi

Insentif Berbasis Kesejahteraan (Prosperity-based incentives):

Kesempatan kerja Subsidi masal Perbaikan jalur

pemasaran Menjamin kestabilan

harga hasil panen Perbaikan infrastruktur Pembangunan industri

kecil penampung hasil panen

Insentif Kuat (Strong incentives): Kombinasi dan Integrasi aktivitas yang mengandung unsur insentif berbasis kesejahteraan dan insentif berbasis pemberdayaan sedemikian rupa sehingga menciptakan peluang untuk memperbesar kemungkinan tercapainya tujuan pengelolaan DAS, termasuk rehabilitasi lahan/ penghijauan.

Bentuk-bentuk insentif pada Tabel 7. tersebut dapat dikelompokkan

sebagai berikut:

Page 105: Buku Insentif Das

96

a. Insentif Langsung

♦ Insentif berbasis pemberdayaan

• Pembangunan plot percontohan

• Partisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan

• Pemilihan jenis berbasis lokal

♦ Insentif berbasis kesejahteraan

• Subsidi masal

• Kesempatan kerja

b. Insentif Tak Langsung

♦ Insentif berbasis pemberdayaan

• Pendidikan dan pelatihan termasuk penyuluhan

• Pendampingan dan studi banding

• Informasi dan teknologi

• Kontrol terhadap lahan (tenure)

• Penguatan kelembagaan lokal

♦ Insentif berbasis kesejahteraan

• Perbaikan infrastruktur

• Perbaikan jalur pemasaran

• Kebijakan harga

Dalam pengelolaan DAS Rokan penyebab degradasi lahan berasal dari

lahan pertanian (dalam arti luas) dan manfaat rehabilitasi juga akan dinikmati

oleh pemilik lahan, sehingga insentif berbasis kesejahteraan sebaiknya dibatasi

pada pengembangan jalur pemasaran (akses pasar) bagi produk-produk

pertaniannya, insentif lain sebaiknya di arahkan pada insentif berbasis

pemberdayaan. Seluruh insentif berbasis pemberdayaan yang diharapkan oleh

Page 106: Buku Insentif Das

97

pihak-pihak terkait dapat dipertimbangkan oleh para pengambil kebijakan, baik

di pusat maupun di daerah, untuk diadopsi dan diimplementasikan. Dalam

jangka pendek, prioritas dapat difokuskan pada partisipasi dalam proses

perencanaan dan pengambilan keputusan, pemilihan jenis berbasis lokal,

pendampingan dan studi banding dalam konteks penguatan kelembagaan lokal,

dan pemberian kontrol atas lahan.

Tabel 8. Bentuk-bentuk insentif di tingkat petani/implementasi yang

diharapkan oleh berbagai pihak terkait melalui proses PRA dan

LFA untuk DAS Dodokan.

Kontrol Rendah Kontrol Tinggi

Pendapatan Rendah

Insentif Lemah (Weak incentives): Dipandang tidak relevan untuk disajikan

Insentif Berbasis Pemberdayaan (Empowerment-based incentives):

Partisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, termasuk fungsi kontrol

Kejelasan status lahan Penguatan kelembagaan

lokal, Peningkatan kemampuan

perencanaan petani Pendidikan dan pelatihan,

termasuk penyuluhan dan pendampingan

Pendapatan Tinggi

Insentif Berbasis Kesejahteraan (Prosperity-based incentives):

Klinik agribisnis Perbaikan infrastruktur

Insentif Kuat (Strong incentives): Kombinasi dan Integrasi aktivitas yang mengandung unsur insentif berbasis kesejahteraan dan insentif berbasis pemberdayaan sedemikian rupa sehingga menciptakan peluang untuk memperbesar kemungkinan tercapainya tujuan pengelolaan DAS, termasuk rehabilitasi lahan/ penghijauan.

Page 107: Buku Insentif Das

98

Bentuk-bentuk insentif pada Tabel 8. tersebut dapat dikelompokkan

sebagai berikut:

a. Insentif Langsung

Insentif berbasis pemberdayaan:

- Partisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan

Insentif berbasis kesejahteraan:

- Klinik agribisnis

b. Insentif Tak Langsung

Insentif berbasis pemberdayaan

- Pendidikan dan pelatihan termasuk penyuluhan dan pendampingan

- Kejelasan status lahan

- Penguatan kelembagaan lokal

Insentif berbasis kesejahteraan

- Perbaikan infrastruktur

Dalam pengelolaan DAS Dodokan penyebab degradasi lahan berasal dari

lahan pertanian (dalam arti luas) dan manfaat rehabilitasi juga akan dinikmati

oleh pemilik lahan, sehingga pemberian insentif sebaiknya di arahkan pada

insentif berbasis pemberdayaan. Selain itu masalah degradasi lahan di DAS

Dodokan dipandang belum terlalu kritis, sehingga seluruh insentif berbasis

pemberdayaan yang diharapkan oleh pihak-pihak terkait dapat dipertimbangkan

oleh para pengambil kebijakan, baik di pusat maupun di daerah, untuk diadopsi

dan diimplementasikan. Dalam jangka pendek, prioritas dapat difokuskan pada

partisipasi dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan, pelatihan

dan pendampingan dalam konteks penguatan kelembagaan lokal.

Page 108: Buku Insentif Das

99

2. Insentif Pemungkin (Enabling Incentive)

Dalam pandangan pihak-pihak terkait, faktor-faktor utama yang

mendukung keberhasilan rehabilitasi lahan/penghijauan dalam rangka

pengelolaan DAS bukan pada insentif langsung, tetapi pada insentif pemungkin,

khususnya perbaikan dan konsistensi pelaksanaan kebijakan, utamanya:

pemantapan tata ruang dan peningkatan koordinasi pengelolaan DAS. Kondisi

tersebut menunjukkan bahwa prioritas penggunaan insentif dalam rehabilitasi

lahan/penghijauan hanya dapat dibenarkan bila seluruh prakondisi yang

mendukung tercapainya tujuan pengelolaan DAS dibenahi. Penggunaan insentif

dalam rehabilitasi lahan/penghijauan dapat didukung bila merupakan tuntutan

arus bawah yang diwadahi oleh kemantapan kelembagaan lokal yang secara

partisipatif memberikan komitmen dan menunjukkan konsistensi dalam

pengelolaan DAS.

Idealnya, pemberian insentif langsung sebaiknya diberikan setelah semua

prakondisi kebijakan, regulasi dan kelembagaan (sebagai insentif pemungkin)

dipandang mapan. Selain itu penegakan hukum perlu dilakukan di semua lini

yang mungkin menjadi penyebab eksternal terhadap degradasi lahan, misalnya

penebangan ilegal. Namun demikian mengingat bahwa ada kesenjangan waktu

untuk penataan kebijakan dan kelembagaan, insentif berbasis pemberdayaan

dapat mulai diimplementasikan secara terbatas sebagai suatu proyek

percontohan.

Penataan ruang di tingkat kebupaten, sejauh mengikuti Undang-undang

No. 24 Tahun 1992, diharapkan mampu menghubungkan seluruh DAS, baik di

dalam suatu kabupaten, lintas kabupaten maupun lintas propinsi, melalui

kesinambungan kawasan lindungnya. Kelemahan umumnya ditemukan pada

tidak terakomodasikannya seluruh daerah tangkapan DAS ke dalam kawasan

lindung tersebut. Penerapan rencana tata ruang umumnya lemah/tidak

konsisten dan ukuran keberhasilan pengelolaan ruang umumnya tidak dikaitkan

dengan kualitas DAS, sehingga dalam realita banyak ditemukan lahan-lahan

Page 109: Buku Insentif Das

100

kritis, baik di dalam maupun di luar kawasan lindung, di dalam daerah

tangkapan suatu DAS. Selain itu tidak ada satupun lembaga yang

bertanggungjawab penuh atas keberhasilan atau kegagalan pengelolaan DAS.

Khusus di DAS Ciliwung Hulu masalah tata ruang juga diperkuat dengan

Keputusan Presiden Nomor 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan

Bopunjur.

Di dalam setiap bentuk kawasan budidaya akan ditemukan kelompok aksi

kolektif (collective action group) yang berbeda-beda dengan kepentingan yang

beragam pula. Identifikasi secara cermat atas setiap kelompok aksi kolektif dan

menggalang partisipasi antar kelompok aksi kolektif di tingkat masyarakat

dengan swasta dan sektor publik merupakan alternatif terbaik untuk

mensinergikan seluruh kepentingan dengan tujuan pengelolaan DAS. Dalam

konteks ini lembaga koordinasi merupakan keharusan agar sinergi dapat

diwujudkan.

Koordinasi pengelolaan DAS berangkat dari perbedaan kepentingan dan

persepsi atas pentingnya tujuan pengelolaan DAS tersebut, sehingga upaya

menggalang partisipasi harus berorientasi pada proses yang melibatkan seluruh

pihak terkait. Percepatan yang signifikan akan dapat dicapai bila koordinasi

pengelolaan DAS disertai dengan proses-proses pemberdayaan yang bertujuan

untuk menguatkan kelembagaan lokal. Dalam jangka pendek, koordinasi di

tingkat perencanaan dapat disebut berhasil bila :

a. Ada rencana terpadu pengelolaan DAS, termasuk rencana tata ruangnya,

yang diadopsi oleh seluruh pihak terkait sesuai kewenangannya masing-

masing, misalnya: diadopsi dalam Perda tingkat Propinsi dan Kabupaten.

b. Ada kriteria dan indikator kinerja pengelolaan DAS yang disepakati oleh

seluruh pihak terkait, termasuk di dalamnya kriteria dan indikator kinerja

rehabilitasi lahan/penghijauan.

c. Ada “BKPP” DAS yang dipercaya seluruh pihak terkait untuk menjembatani

pertanggunggugatan kinerja pengelolaan DAS kepada publik serta menjadi

Page 110: Buku Insentif Das

101

pusat komunikasi antar pihak-pihak terkait. Untuk DAS Ciliwung, BKSP

Jabotabek dapat memerankan proses-proses inisiasi “BKPP” DAS Ciliwung

dengan melibatkan seluruh pihak terkait.

Kesepakatan pihak-pihak terkait dalam proses LFA DAS menunjukkan

bahwa “BKPP” DAS merupakan kebutuhan seluruh pihak yang harus segera

diwujudkan. Mengingat bahwa DAS bersifat lintas propinsi/kabupaten, maka

“BKPP” DAS harus sepakati di antara kabupaten maupun propinsi terkait.

Mengingat bahwa DAS Dodokan merupakan DAS di pulau kecil dan lintas

kabupaten, maka: unit kewenangan “BKPP” DAS sebaiknya mencakup seluruh

DAS di Pulau Lombok dan keberadaannya harus sepakati di antara kabupaten

maupun kota terkait.. Di tingkat implementasi, keberhasilan koordinasi dapat

diketahui dari beberapa hal berikut:

a. Setiap pihak yang mengimplementasikan program (sesuai dengan rencana

pengelolaan DAS/pulau terpadu) memiliki kriteria keberhasilan

implementasi program yang sesuai ukuran kinerja pengelolaan DAS, dapat

diaudit dan dikomunikasikan secara transparan kepada seluruh pihak

terkait.

b. Terwujudnya mekanisme/hubungan kelembagaan antar seluruh pihak

terkait yang dibangun atas proses-proses partisipatif di dalam “BKPP” DAS,

termasuk mekanisme pembagian biaya-manfaat antara hulu-hilir dan

mekanisme penegakan hukum bagi pemilik lahan bukan penduduk.

c. Biaya pengelolaan DAS secara keseluruhan harus lebih rendah untuk

menghasilkan manfaat yang sama atau dengan biaya yang sama diperoleh

hasil yang lebih besar.

d. Ada kejelasan status lahan di tingkat komunitas lokal/petani.

Page 111: Buku Insentif Das

103

VI. POSISI INSENTIF DALAM REHABILITASI HUTAN

Rehabilitasi Hutan dan lahan merupakan upaya yang menyangkut berbagai

pihak yang mempunyai kepentingan berbeda-beda, sehingga keberhasilannya

sangat ditentukan oleh banyak pihak, tidak semata-mata oleh pelaksana

langsung di lapangan, tetapi oleh pihak-pihak yang berperan sejak tahapan

perencanaan hingga monitoring dan evaluasinya. Masyarakat merupakan

unsur pelaku utama, sedangkan pemerintah sebagai unsur pemegang otoritas

kebijakan dan fasilitator. Selain itu masih terdapat pihak-pihak lain, Perguruan

Tinggi, Lembaga Penelitian, LSM yang turut mendukung keberhasilan

penyelenggaraan RHL. Gambar 8 menyajikan kerangka logis penyelenggaraan

RHL partisipatif.

Rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan dalam kerangka pengelolaan

sumberdaya alam dengan satuan pengelolaan DAS. Batas satuan DAS hampir

selalu tidak bersesuaian dengan batas unit administrasi pemerintahan,

sehingga koordinasi dan integrasi antar pemerintahan otonom dan instansi

sektoral sangat penting.

DAS kecil yang hanya meliputi satu unit terkecil pemerintahan otonom,

koordinasi dan integrasi (rule of the game) dibuat dan dilaksanakan dalam

cakupan administrasi daerah tingkat II atau kabupaten, dimana bupati dan

dinas-dinas terkait berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait (stakeholders)

kegiatan RHL untuk membangun sistem RHL yang kondusif kearah tercapainya

RHL swakelola. Kewenangan masing-masing pihak yang terkait dapat

dituangkan dalam peraturan daerah sebagai implementasi dari UU No 22 dan 25

tahun 1999 serta PP No 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan

Kewenangan Daerah Otonom, disamping UU no 41 tahun 2000 tentang

Kehutanan sehingga kepentingan pihak-pihak terkait dapat terpenuhi.

Page 112: Buku Insentif Das

104

Untuk DAS besar dimana batas DAS melintas lebih dari satu unit

administrasi pemerintahan otonom, koordinasi dan integrasi kegiatan dilakukan

antar daerah otonom terkait. Apabila daerah-daerah otonom tersebut masih

dalam satu unit pemerintah daerah tingkat I, maka koordinasi dapat dilakukan

pemerintah daerah tingkat I, atau propinsi. Kewenangan masing-masing pihak

terkait dapat diatur dalam peraturan daerah yang ditetapkan oleh gubernur.

Dalam era otonomi daerah, khususnya untuk mengkoordinasikan peran

pemerintah daerah tingkat propinsi dan kabupaten, instansi BRLKT akan sangat

penting menjadi partner – instansi sejawat – yang secara profesional telah

bertahun-tahun menekuni dan menggeluti kegiatan RHL. Hal yang perlu

ditingkatkan adalah efisiensi dan efektivitas serta kreatifitas yang tidak hanya

mengikuti petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis (juklak dan juknis).

Kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan harus dirumuskan dengan

memperhatikan isu-isu penting yang dirasakan oleh masyarakat luas dengan

masukan-masukan dari berbagai pihak. Dalam hal ini pemerintah baik pusat

(Departemen Pertanian dan Kehutanan, Departemen Pemukiman dan Prasarana

Wilayah, Depdagri) maupun daerah (Gubernur, Bupati, Dinas-dinas dan Badan-

badan terkait) harus mampu memberikan landasan-landasan hukum maupun

operasionalnya, serta memfasilitasi pelaksanaan kegiatan tersebut.

Lembaga-lembaga lainnya seperti Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian,

LSM, dll secara aktif mendukung aspek kajian ilmiah untuk memberikan

landasan, kaidah-kaidah ekologi, sosial ekonomi dan teknis bagi penyusunan

kebijakan serta teknologi yang efisien dan ramah lingkungan kepada

masyarakat pelaku. Masyarakat sebagai pelaku utama juga harus terlibat

secara aktif sejak perencanaan, pelaksanaan kegiatan maupun kontrol dan

evaluasi pelaksanaan RHL.

Standar, kriteria dan indikator kinerja penyelenggaraan RHL dalam

pengelolaan DAS perlu disusun bersama secara partisipatif oleh pihak-pihak

terkait baik birokrasi pemerintah maupun lembaga lainnya dan disepakati

Page 113: Buku Insentif Das

105

bersama yang selanjutnya dapat dituangkan dalam bentuk perda propinsi

maupun kabupaten sebagai landasan penilaian akuntabilitas pemerintah

kabupaten dan propinsi.

Hasil Program RHL dirasakan tidak hanya oleh masyarakat lokal tetapi juga

masyarakat luas, baik itu regional, nasional maupun internasional. Isu

lingkungan global, misalnya perdagangan karbon (carbon trade) merupakan

salah satu contoh isu international yang terkait dengan RHL. Sangat tidak adil

(fair) suatu negara atau daerah hilir DAS yang sebagian besar wilayahnya

merupakan kawasan industri, memproduksi cemaran udara (COx, NOx),

sementara negara lain atau daerah hulunya berhasil menghijaukan dengan

penutupan tajuk yang rapat oleh tanaman keras sebagai penghasil O2 untuk

menekan polusi udara. Dengan demikian keberhasilan RHL semestinya

mendapatkan kompensasi yang dapat berupa uang sebagai nilai jual jasa-jasa

lingkungan.

Luasnya manfaat yang mungkin dinikmati oleh masyarakat memungkinkan

pendanaan RHL bersumber dari berbagai pihak. Dana RHL yang tersedia dan

potensial dimanfaatkan untuk RHL adalah dana dari pemerintah (DR, IHPH,

PSDH, dll), dana langsung masyarakat domestik berupa pajak lingkungan,

donasi dan swadana pemilik lahan, serta masyarakat/pemerintah internasional

dalam bentuk DNS (debt for nature swap), perdagangan karbon (carbon trade),

hibah (grant) dan lain-lain.

RHL dimasa datang diharapkan dapat dilaksanakan secara swakarsa,

swadaya, swadana dan swakelola tanpa mengandalkan dana dari pemerintah.

Untuk itu RHL harus digerakan oleh suatu mekanisme insentif-disinsentif agar

dapat melibatkan pihak-pihak terkait secara aktif, terutama masyarakat

pelaku/pelaksana langsung.

Masyarakat pelaku langsung akan dapat berperan lebih aktif apabila

setidaknya para pelaku yang dimaksud a) meyakini kebenaran program, b)

Page 114: Buku Insentif Das

106

mendapatkan manfaat dari hasil kegiatan, dan c) mampu melaksanakan

kegiatan tersebut.

Untuk mengetahui lebih mendalam ketiga hal di atas, maka diperlukan

evaluasi terhadap prinsip-prinsip kelembagaan yang diterapkan masyarakat

melalui identifikasi status kepemilikan (property right system), aturan perwalian

(rule of representantive), serta batas kewenangan (jurisdiction boundary).

Identifikasi status kepemilikan lahan sebagai tapak RHL, milik perorangan atau

kelompok masyarakat sebagai lahan komunal atau adat, sangat menentukan

intensitas dan kesungguhan pelaksanaan program yang akan diterapkan.

Pemahaman mengenai aturan perwalian perlu dilakukan karena budaya

masyarakat yang satu dengan yang lainnya berbeda.

Page 115: Buku Insentif Das

107

Gam

bar

8.

Kera

ngka

Log

is S

iste

m P

enye

leng

gara

n Reh

ablit

asi h

utan

dan

Lah

an (

RHL)

Page 116: Buku Insentif Das

109

VII. KEBIJAKAN REHABILITASI HUTAN

A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KEBIJAKAN

REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

Program rehabilitasi lahan merupakan kebijakan nasional, yang pada

awalnya diimplementasikan dalam bentuk Proyek Inpres yang dimulai pada

tahun 1976, dalam rangka penyelamatan hutan tanah dan air. Program

tersebut meliputi Proyek Reboisasi yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan dan

Proyek Penghijauan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.

Sebagai motor pengerak pada saat itu, dibentuk institusi proyek dibawah

Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian dengan nama

Perencanaan dan Pembinaan Penghijauan Daerah Penghijauan Daerah Aliran

Sungai (P3RPDAS), yang kemudian berkembang menjadi Balai Rehabilitasi

Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT). Fungsi pokok institusi tersebut adalah

menyusun rencana kegiatan-kegiatan proyek dalam pelaksanaan program, dan

tugas-tugas pembinaan rehabilitasi lahan.

Pada awalnya Proyek Penghijauan meliputi kegiatan yang bersifat teknik

pertanaman, terdiri atas kegiatan pengadaan bibit, penanaman dan pembuatan

teras serta yang bersifat teknik sipil berupa pembangunan Dam Pengendali dan

Dam Penahan. Seluruh kegiatan dilaksanakan di tanah milik (di luar kawasan

hutan), dalam bentuk paket-paket penghijauan. Akibatnya kegiatan

penghijauan dilaksanakan dengan volume pekerjaan yang sangat besar dan

membutuhkan dana yang besar pula. Pada saat itu sumber dana berasal dari

alokasi dana perencanaan, pengawasan dan rehabilitasi berdasarkan PP No. 22

Tahun 1968, tentang Penetapan dan Penggunaan Iuran Hak Pengusahaan

Hutan (IHPH) dan Iuran Hasil Hutan (IHH). Realisasi kegiatan banyak yang

tidak sesuai dengan target, banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan,

terutama dalam alokasi penggunaan dana, yang direncanakan secara kaku.

Program bantuan tidak dipandang sebagai subsidi atau insentif, tetapi dipahami

Page 117: Buku Insentif Das

110

sebagai biaya kegiatan, sehingga dianggap terlalu kecil. Hal itu menyebabkan

pelaksanaan program bantuan menjadi tidak efektif karena rendahnya

dukungan peserta.

Melihat kenyataan tersebut pada perkembangan selanjutnya dilakukan

perubahan pola bantuan. Bantuan dilaksanakan dalam bentuk pembangunan

unit-unit percontohan. Diharapkan dengan adanya unit percontohan tersebut

akan berdampak terhadap masyarakat di sekitarnya dan merangsang

masyarakat untuk melaksanakan kegiatan serupa secara swadaya.

Dalam rangka otonomi daerah, landasan kebijakan penyelenggaraan

rehabilitasi lahan/penghijauan mengalami banyak penyesuaian sebagaimana

uraian berikut:

1. Landasan hukum

Undang-Undang :

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

UU No. 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang Wilayah

UU No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.

18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Daerah

Peraturan Pemerintah:

Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan

Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi

Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 2000 tentang Organisasi Daerah

Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan

Page 118: Buku Insentif Das

111

Aturan Pelaksanaan:

Keputusan Menteri Kehutanan No. 20/KPTS-II/2001 tentang Pola

Umum dan Standar serta Kriteria Rehabilitasi Hutan dan Lahan

2. Kebijakan Saat Ini

a. Arah Kebijakan

Sebagaimana tertuang dalam Pasal 40 Undang-undang No. 41 Tahun

1999, rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan,

mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya

dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga

kehidupan tetap terjaga. Tujuan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL)

sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 20 /Kpts-

II/2001 adalah terpulihkannya sumberdaya hutan dan lahan yang rusak,

sehingga berfungsi optimal dan dapat memberikan manfaat kepada seluruh

pihak terkait (stakeholders), menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air

Daerah Aliran Sungai (DAS) dan mendukung kelangsungan industri kehutanan.

RHL merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan dan lahan yang

ditempatkan dalam kerangka pengelolaan DAS.

Dalam pasal 41, 42 dan 43 Undang-undang No. 41 Tahun 1999,

dikemukakan arahan pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan sebagai berikut:

Pasal 41

(1) Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan: reboisasi,

penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman, atau penerapan teknik

konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan

tidak produktif.

(2) Kegiatan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di

semua hutan dan kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman

nasional.

Page 119: Buku Insentif Das

112

Pasal 42

(1) Rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan berdasarkan kondisi spesifik

biofisik.

(2) Penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan pelaksanaannya

melalui pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan

memberdayakan masyarakat. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 43

(1) Setiap orang yang memiliki, mengelola, dan/atau memanfaatkan hutan

yang kritis atau tidak produktif, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan

untuk tujuan perlindungan dan konservasi.

(2) Dalam pelaksanaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

setiap orang dapat meminta pendampingan, pelayanan dan dukungan

kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain atau pemerintah.

Arahan pembagian kewenangan umum yang tertuang dalam PP 25 Tahun

2000, dalam konteks rehabilitasi hutan dan lahan dijabarkan oleh Departemen

Kehutanan sebagai berikut:

(1) Kewenangan Pemerintah Pusat

a. Penyusunan rencana makro dan pola umum rehabilitasi lahan dan

konservasi tanah

b. Penetapan kriteria dan standar pengelolaan rehabilitasi

c. Pengawasan dan pengendalian

d. Menilai kelayakan proposal daerah

e. Fasilitasi dan bimbingan

(2) Kewenangan Propinsi

a. Penyusunan pedoman penyelenggaraan rehabilitasi lahan

b. Penyelenggaraan dan pengawasan

c. Fasilitasi dan pelatihan teknis

Page 120: Buku Insentif Das

113

(3) Kewenangan Kabupaten

a. Menyusun proposal kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang

partisipatif dan spesifik lokasi

b. Melaksanakan dan menjamin keberhasilan kegiatan rehabilitasi hutan

dan lahan yang mandiri dan partisipatif

c. Fasilitasi dan bimbingan teknis

b. Strategi

Hingga saat ini Departemen Kehutanan bersama-sama departemen

terkait, telah menelaah jumlah DAS di Indonesia dan menetapkan jumlahnya

sebanyak 615 DAS. Pada tanggal 31 Januari 2001, pemerintah pusat

(Departemen Kehutanan) telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 20/Kpts-

II/2001 tentang Pola Umum dan Standar serta Kriteria Rehabilitasi Hutan dan

Lahan yang diharapkan dapat menjadi pedoman bagi pemerintah, pemerintah

daerah dan masyarakat dalam rehabilitasi hutan dan lahan. Secara eksplisit

dikemukakan bahwa teknologi, partisipasi masyarakat dan insentif merupakan

salah satu dari tiga kriteria yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam

indikator kinerja rehabilitasi hutan dan lahan.

Hingga saat ini Keputusan Menteri Kehutanan tersebut masih dalam

tahap sosialisasi dan berbagai pihak di daerah belum banyak memahami

maksud dan tujuan keputusan tersebut. Dalam makalah ini tingkat

keberterimaan daerah atas kewenangan Menteri Kehutanan untuk menetapkan

Pola Umum dan Standar serta Kriteria Rehabilitasi Hutan dan Lahan praktis

belum dapat dieavaluasi. Upaya sosialiasi keputusan tersebut harus segera

dilakukan melalui berbagai media, termasuk internet, media massa, lokakarya,

pelatihan dan sebagainya.

Page 121: Buku Insentif Das

114

c. Organisasi

Selain jabaran kewenangan pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten

tersebut di atas, tidak ada acuan formal baku yang menggambarkan organisasi

rehabilitasi hutan dan lahan dalam rangka otonomi daerah. Arahan

pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan sebagaimana dituangkan dalam pasal

42 UU Nomor 41 Tahun 1999 tersebut di atas memberikan ruang bagi

perbedaan organisasi rehabilitasi hutan dan lahan di tingkat lokal, tergantung

pada kondisi spesifik biofisik dan kesepakatan seluruh pihak terkait di daerah

tersebut.

Hubungan organisasional antara pemerintah pusat, propinsi dan

pemerintah daerah diperlukan untuk menjamin aliran perencanaan,

implementasi, pengendalian dan pemantauan/evaluasi agar kinerja rehabilitasi

hutan dan lahan dapat dipertanggunggugatkan kapada publik, serta mekanisme

pendanaan yang bersumber dari dana alokasi khusus yang berasal dari dana

reboisasi. Upaya untuk mendayagunakan kesepakatan lokal melalui forum-

forum atau institusi lokal lainnya perlu dihargai secara khusus dalam hal

koordinasi pengelolaan DAS secara keseluruhan.

B. KEBIJAKAN INSENTIF REHABILITASI HUTAN

Idealnya konservasi tanah dan air yang menjadi target utama rehabilitasi

hutan dan lahan cukup memadai untuk menjadi insentif bagi berbagai pihak,

mengingat manfaat jangka panjang yang akan diperoleh, baik manfaat

langsung maupun tidak langsung. Namun pada kenyataannya, kebutuhan akan

hasil cepat yang mencukupi dan tidak adanya sumber pendapatan yang tetap

bagi masyarakat serta adanya kegagalan kebijakan, pasar, maupun

kelembagaan telah menyebabkan semakin luasnya lahan kritis dari waktu ke

waktu.

Implementasi rehabilitasi hutan dan lahan menunjukkan bahwa efisiensi

dan efektivitas kegiatan tersebut dinilai rendah akibat pendekatan yang

Page 122: Buku Insentif Das

115

cenderung menegasikan faktor-faktor lokal, pendekatan keproyekan yang

menghasilkan insentif tentangan dan penyeragaman aspek-aspek teknis yang

hanya diukur dari keberhasilan tanam-tumbuh. Di pihak lain pendekatan

pengelolaan daerah sungai yang mendasari pentingnya rehabilitasi hutan dan

lahan, praktis kurang dikenal oleh berbagai pemangku kepentingan, walaupun

dalam banyak diskusi seringkali dinyatakan tingkat pentingnya.

Menata kembali kerangka logis rehabilitasi hutan dan lahan dalam

kaitannya dengan pengelolaan DAS serta mendorong seluruh pemangku

kepentingan di dalam DAS tersebut agar mau menjaga dan melestarikan

seluruh komponen sumberdaya alam yang dapat mempengaruhi kualitas DAS,

serta melakukan rehabilitasi pada lahan-lahan kritis di dalam DAS merupakan

kebutuhan yang mendesak. Dalam kaitannya dengan otonomi daerah,

kebutuhan tersebut semakin penting mengingat semakin banyaknya daerah

otonom yang harus berkoordinasi dan menyatakan kesepakatan terhadap

ukuran kinerja yang sama.

Mengacu pada kerangka logis rehabilitasi hutan dan lahan yang dirumuskan

di tingkat nasional dan substansi pengembangan sistem insentif yang disajikan

pada Bab IV, dapat dirumuskan kebijakan di tingkat nasional yang

memungkinkan berlakunya sistem insentif di tingkat DAS dan tapak rehabilitasi

hutan dan lahan.

1. Prinsip kebijakan Sistem Insentif RHL

Berdasarkan penjelasan panjang lebar pada bab-bab sebelumnya, maka

kebijakan sistem insentif RHL harus di dasari atas :

Prinsip Multisektor

Terjadinya degradasi hutan dan lahan seringkali disebabkan oleh faktor-

faktor di luar kehutanan. Adanya kebijakan insentif pada suatu sektor

seringkali menjadi disinsentif bagi kegiatan RHL (Perverse Incentives).

Page 123: Buku Insentif Das

116

Oleh karenanya kebijakan insentif RHL bukan melulu menjadi otoritas

sektor kehutanan. Atas dasar hal tersebut, maka landasan kebijakan

pengembangan sistem insentif RHL harus melalui pendekatan multisektoral,

khususnya pada sektor-sektor yang terkait dengan sumberdaya hutan dan

lahan seperti pertanahan, makro ekonomi, pertanian, perindustrian, energi,

dll. Dalam kerangka ini maka perlu didorong adanya kebijakan yang

sifatnya integratif dan koordinatif dari sektor-sektor tersebut.

Prinsip Cost-Benefit Sharing

Biaya dan manfaat dari kegiatan RHL seringkali tidak mengena pada pihak

(orang/sektor) dan wilayah/lokasi yang sama. Hal inilah yang secara

ekonomi sering menyebabkan terjadinya "kegagalan pasar" pada kegiatan

RHL. Dalam kaitan tersebut maka kebijakan sistem insentif RHL harus

mendorong tidak terjadinya kegagalan pasar tersebut, yaitu melalui

mekanisme "Cost-Benefit Sharing" baik antar pihak/pelaku maupun antar

wilayah seperti :

• Hulu - hilir

• Desa - kota

• Sektor kehutanan - non kehutanan

• Nasional/domestik - internasional

• Public sector - Private sector

2. Pendekatan dan instrumen kebijakan insentif RHL

Berdasarkan kedua prinsip di atas, maka kebijakan insentif RHL dapat

dibuat melalui pendekatan berikut :

Pendekatan institusi/legal

Pendekatan legal institusi ini dalam rangka adanya jaminan kepastian dan

keamanan hak atas pemilikan, pengelolaan atau akses pemanfaatan

sumberdaya hutan dan lahan. Jaminan kepastian tersebut dikemas dalam

Page 124: Buku Insentif Das

117

bentuk "Property right" berupa sejumlah hak (bundle of right) atas

sumberdaya hutan dan lahan misalnya : land right, management and use

right, communal and private right, dll.

Pendekatan Ekonomi

Berdasarkan pendekatan ekonomi, sejumlah kebijakan insentif RHL dapat

dibuat melalui instrumen-instrumen ekonomi, antara lain :

1. Market and Charge Systems, seperti concession Fee and Royalties

Water Protection Fee, Carbon offsets, dll.

2. Fiscal Instrument, seperti pajak-pajak dan subsidi

3. Bond and Deposite (Dana-dana jaminan) seperti Dana Jaminan

Reboisasi, Dana Reklamasi Lahan, Dana Jaminan Pencemaran, dll

Pendekatan Sosial

Kebijakan insentif RHL dapat dilakukan melalui pendekatan sosial yaitu

melalui livelihood Support dan Empowerment.

Berdasarkan pendekatan di atas, Tabel 9 menyajikan kategori

insentif/disinsentif dalam konteks kebijakan nasional menurut tapak, aktor dan

pendekatan yang mungkin dilakukan. Adapun contoh jenis-jenis insentif untuk

pengelolaan DAS terpadu dalam berbagai sektor disajikan pada Tabel 10.

3. Mekanisme Pendanaan RHL

Dalam kerangka pendanaan RHL, ada dua hal penting yang harus diatur

agar kebijakan pendanaan menjadi insentif bagi kegiatan RHL, yaitu:

Sumber-sumber pendanaan dan mekanisme pengumpulannya

Berdasarkan prinsip Cost-Benefit Sharing sesungguhnya sumber-sumber

pendanaan RHL dapat secara luas digali. Melalui berbagai instrument

ekonomi, mekanisme pengumpulan dana RHL dapat dirumuskan. Dalam

kaitan tersebut, pada level kebijakan nasional adalah bagaimana hal

tersebut ingin diwujudkan.

Page 125: Buku Insentif Das

118

Tabel 9. Kategori Insentif/Disinsentif Pengelolaan DAS Terpadu Dalam

Konteks Kebijakan Nasional

PENDEKATAN KEBIJAKAN TAPAK AKTOR Legal

Approach Social-

Approach Market

Approach

Unit Usaha

skala besar

Fiscal

Instruments

Bonds and

Deposits

Baku Mutu

Certification

Market and

Charge system

Unit Usaha

skala kecil

Fiscal

Instrument

Baku Mutu

Certification

Market and

Charge system

Komunitas Property Right Livelihood

Support

Empowerment

Certification

DALAM KAWASAN HUTAN

Rumah

Tangga

Property Right Livelihood

Support

Empowerment

Unit Usaha

skala besar

Fiscal

Instruments

Bonds and

Deposits

Baku Mutu

Certification

Market and

Charge system

Unit Usaha

skala kecil

Fiscal

Instrument

Baku Mutu

Certification

Market and

Charge system

Komunitas Property Right Livelihood

Support

Empowerment

LUAR KAWASAN HUTAN

Rumah

Tangga

Property Right Livelihood

Support

Empowerment

Page 126: Buku Insentif Das

119

Tabel 10. Contoh-Contoh Insentif Ekonomi untuk pengelolaan DAS terpadu

untuk berbagai sektor

Hak Kepemilikan

Sistem Pasar dan

Harga

Instrumen Fiskal

Dana Jaminan

Mekanisme Pendanaan

Lahan dan Tanah

- Hak atas

lahan/milik

- Hak guna

- Pajak

kepemilikan

- Pajak

penggunaan

lahan

- Dana

jaminan

reklamasi

lahan

- Dana pinjaman

untuk

konservasi

tanah

Sumber daya Air

- Hak atas air - Bagi hasil air

- Harga air

- Biaya

perlindunga air

- Pajak

pertumbuhan

modal

Hutan - Hak-hak pribadi

dan komunal

- Konsesi

- Sewa/ kontrak

- Tawar

menawar

- Konsesi

- Royalti

- Pajak untuk

log

- Subsidi untuk

reforestrasi

- Dana

jaminan

refores

trasi

- Dana

jaminan

pengelola

an hutan

Mineral - Hak atas

pertambangan

- Bagi hasil

produk

perdaga ngan

- Pajak

pemanfaatan

- Subsidi infill

- Subsidi

batterment

- Dana

jaminan

reklamasi

lahan

Polusi - Polusi yang

diperboleh kan

pada produk

perdaga ngan

- Biaya

perlakuan

- Subsidi

teknologi

- Pajak polusi - Dana

jaminan

pengirima

n limbah

- Dana

jaminan

kerusa

kan lingku

ngan

- Dana pinjaman

berbunga

rendah

- Insentif relokasi

Limbah - Harga

pengumpulan

- Pajak limbah

- Subsidi pada

teknologi

yang bersih

limbah

- Sistem

pembayar

an

kembali

dana

jaminan

- Insentif

Penggan ti CFC

Iklim - Emisi yang

diperboleh kan

dari produk

perdaga ngan

- Ofset karbon

- Kredit karbon

- Kuota perdaga

ngan CFC

- Pajak

karbon

- Pajak BFU

Page 127: Buku Insentif Das

120

Mekanisme Penggunaan Dana RHL

Hal lain yang juga penting dalam mekanisme pendanaan RHL adalah

bagaimana dana RHL yang terkumpul digunakan dan menjadi insentif bagi

kegiatan RHL. Seperti kasus DR sekarang ini, apakah penggunaan Dana

DR dan mekanisme penyalurannya menjadi insentif bagi kegiatan RHL.

Dalam kerangka ini, maka beberapa kebijakan yang berkaitan dengan

mekanisme penyaluran dana RHL perlu dibuat.

C. KEBIJAKAN NASIONAL

Apa yang telah diuraikan di atas adalah keseluruhan komponen

pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan baik yang menyangkut tahapan proses

pelaksanaan, syarat yang diperlukan, alternatif bentuk insentif, serta aktor

pelakunya. Bagaimana pelaksanaan tersebut dapat benar-benar berjalan akan

sangat tergantung pada semua aktor yang terlibat, namun masing-masing aktor

perlu mengetahui peran masing-masing secara jelas.

Dalam kebijakan nasional, tujuan yang senantiasa perlu ditekankan adalah

agar kebijakan tersebut dapat mempengaruhi aktor-aktor utama, baik pada

jajaran pemerintah maupun masyarakat, agar menurut pertimbangan yang

mereka sendiri lakukan, langkah-langkah nyata untuk melaksanakan rehabilitasi

hutan dan lahan menjadi pilihan rasional mereka. Oleh karena itu ruang lingkup

kebijakan nasional tertuju pada dua aspek pokok, yaitu :

1. Pertimbangan Rasionalitas Ekonomi

Terwujudnya syarat-syarat agar kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dapat

berjalan sesuai rationalitas ekonomi dengan tolok ukur B/C >1. Rasionalitas

ekonomi ini biasanya menjadi dasar perhitungan aktor-aktor seperti petani

tanaman pangan, peternak, maupun pengusaha yang memanfaatkan

sumberdaya alam dan menyebabkan dampak negatif bagi daya dukung

Page 128: Buku Insentif Das

121

sumberdaya alam. Oleh karena itu kebijakan nasional dapat dirumuskan setelah

terlebih dahulu diketahui masalah-masalah pokok yang dihadapi oleh

keempat aktor yaitu unit usaha skala besar, unit usaha skala kecil, komunitas,

dan rumah tangga. Apa yang dapat dilakukan untuk memenuhi rasionalitas

ekonomi tersebut adalah menjalankan ketiga bentuk mekanisme yaitu

pendekatan legal, pendekatan sosial, serta pendekatan pasar, sebagaimana

telah diuraikan dalam Tabel 29.

Dalam implementasinya, pelaksanaan kebijakan ini dapat dilakukan dengan

memperbaiki berbagai bentuk kebijakan dan manajemen yang diberlakukan

terhadap unit-unit usaha besar dan kecil, serta pelibatan komunitas dan rumah

tangga dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.

Oleh karena itu untuk pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan yang

berada di dalam kawasan hutan, evaluasi kebijakan dan manajemen dapat

dilakukan terhadap sistem pengelolaan hutan yang dijalankan dalam bentuk

pemberian hak pengusahaan hutan, ijin pemanfaatan hasil hutan, dll. yang

berlaku di hutan produksi, pengelolaan kawasan konservasi, maupun

pengelolaan hutan lindung. Demikian pula, evaluasi dilakukan terhadap

kebijakan dan manajemen rehabilitasi hutan dan lahan yang selama ini

diimplementasikan terhadap hutan di luar kawasan hutan negara.

Dalam kaitan ini, maka di dalam lingkup Departemen Kehutanan perlu

dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pengelolaan hutan yang

diberlakukan selama ini. Evaluasi serupa juga perlu dilakukan oleh instansi yang

berwenang melakukan pengelolaan hutan di wilayah Kabupaten. Departemen

Kehutanan perlu menjalankan program yang dapat membantu pemerintah

Kabupaten tersebut.

2. Pertimbangan Rasionalitas Birokrasi

Keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan juga sangat tergantung pada

sejauhmana kepentingan-kepentingan pragmatis birokrasi akibat spesialisasi,

Page 129: Buku Insentif Das

122

sektoral dan penyederhanaan pertanggungjawaban kegiatan (lebih menekankan

pertanggungjawaban administratif) dapat di atasi. Apabila lemahnya koordinasi

adalah karakteristik inherent dari birokrasi, maka perlu ada pilihan kebijakan

yang dapat meminimumkan hambatan tersebut. Langkah yang dapat

diupayakan adalah memadukan antara pendekatan rasional (top-down) dengan

pendekatan bottom up.

Kelemahan pendekatan top-down adalah sulitnya dipenuhi sejumlah asumsi

yang menjadi syarat keterlaksanaannya, yaitu :

a. Tujuan kebijakan bersifat konsisten dan jelas sehingga standard

evaluasinyapun dapat dirumuskan dengan mudah;

b. Kebijakan dirumuskan atas dasar hubungan sebab-akibat yang sangat jelas

sehingga jika kebijakan dijalankan, masalah akan dapat diatasi;

c. Organisasi pelaksana dapat mematuhi semua aturan yang dibuat;

d. Para pelaksana kebijakan mempunyai komitmen, kemampuan dan

ketrampilan dalam menerapkan kebebasan yang dimilikinya guna

mewujudkan tujuan kebijakan;

e. Adanya dukungan penuh dari berbagai kelompok kepentingan;

f. Perubahan sosial ekonomi tidak menghilangkan dukungan kelompok

sasaran dan tidak memperlemah hubungan konsep sebab-akibat yang

mendasai kebijakan tersebut.

Dalam pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan, pendekatan top-down tersebut

kemungkinan akan gagal disebabkan oleh :

a. Informasi yang tidak valid, sehingga masalah tidak terdeteksi dengan baik,

dan kebijakan yang dijalankan tidak relevan dengan masalah yang ada di

lapangan;

b. Konflik antara tujuan kebijakan dengan kepentingan kelompok sasaran,

sehingga tidak mendapat dukungan dari kelompok-kelompok kepentingan;

Page 130: Buku Insentif Das

123

c. Validitas konsep sebab-akibat yang melandasi kebijakan tidak memadahi;

d. Dengan penekanan pada keberhasilan koordinasi, kepatuhan dan kontrol

yang efektif, pendekatan ini mengabaikan manusia dengan target group

dan peran aktor lainnya.

Namun demikian, model top-down tersebut dapat memastikan adanya

tanggungjawab yang terpusat serta adanya kemampuan penanggungjawab

yang tinggi karena adanya spesialisasi. Ini sangat penting agar apa yang sudah

dijalankan tidak menyimpang dari tujuan semula, dan jelas siapa

penanggungjawabnya.

Sebaliknya, pendekatan bottom up lebih menekankan kepercayaan dan

kemampuan pelaksanaan. Ini disebabkan karena target group terlibat dalam

penyesuaian-penyesuain yang diperlukan sehingga dapat ikut memiliki

kepentingan atas implementasi kebijakan. Kepercayaan merupakan modal

utama dan penting karena dalam pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan

memerlukan pemeliharaan dalam jangka panjang. Kegiatan tersebut tidak

hanya selesai pada tingkat penanaman, yang biasanya dikawal oleh organisasi

pelaksana yang sangat intensif, namun juga sampai pada pemeliharaan tegakan

yang institusi pelaksananya sangat tergantung pada besarnya dukungan target

group.

D. KEBIJAKAN YANG PERLU SEGERA DITETAPKAN

Berdasarkan kerangka logis penyelenggaraan RHL, substansi insentif RHL

dan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan nasional beberapa draf dapat

diusulkan untuk memastikan agar insentif RHL dapat diwujudkan di tataran

implementasi, yaitu:

Page 131: Buku Insentif Das

124

1. Kebijakan Pengelolaan DAS Terpadu

Walaupun secara implisit pentingnya pengelolaan DAS terpadu telah

dinyatakan dalam beberapa peraturan perundang-undangan, namun kebijakan

mengenai hal tersebut belum ada. Kebijakan mengenai pengelolaan DAS

terpadu akan memberikan jaminan atas terjadinya rekonsiliasi hulu-hilir,

kepastian tata ruang dan penerapan panduan perancangan insentif RHL serta

mekanisme cost-benefit sharing antar sektor. Kebijakan ini juga diperlukan

untuk menjamin kepemilikan atas rencana pengelolaan DAS terpadu serta

memastikan kewenangan dan peran masing-masing pemangku kepentingan.

Untuk itu diperlukan pendekatan yang berbasis logical framework perlu diadopsi

untuk mendorong tercapainya kesepakatan antar pemangku kepentingan

mengenai tujuan, sasaran, luaran yang ingin dicapai, input yang diperlukan

serta ukuran kinerja keberhasilan pengelolaan DAS terpadu.

2. Kebijakan Pendanaan di Tingkat DAS

Pendanaan RHL dan pengelolaan DAS adalah tanggungjawab pemerintah

dan para pemangku kepentingan yang mendapat manfaat langsung dari

sumberdaya alam di dalam DAS tersebut. Kebijakan yang mendorong

terbentuknya mekanisme pendanaan di tingkat DAS akan menjadi insentif bagi

terlaksananya RHL secara swakarsa, swadana dan swadaya. Kebijakan

mengenai mekanisme pendanaan ini dapat dikombinasikan dengan kebijakan

pengelolaan DAS terpadu. Dalam merealisasikan kebijakan ini, pendekatan

legal dan pendekatan pasar terhadap sumber-sumber pendanaan perlu

ditempuh (lihat Tabel 29 dan Tabel 30).

3. Kebijakan Sistem Informasi di Tingkat DAS

Sistem informasi yang menjamin terjadinya transparansi dan komunikasi

dua arah antar berbagai pemangku kepentingan akan mendorong berbagai

Page 132: Buku Insentif Das

125

pihak untuk mempertanggung-gugatkan setiap aktivitasnya. Kebijakan

diperlukan untuk memastikan peran pusat dalam menyebarluaskan setiap

informasi yang berguna bagi perbaikan sistem pengelolaan DAS dan

memfasilitasi komunikasi antar berbagai pihak/aktor yang aktivitasnya

berpengaruh terhadap kinerja pengelolaan DAS. Kebijakan ini juga diperlukan

untuk mendorong agar berbagai pusat pengetahuan (pool of knowledge),

misalnya: perguruan tinggi, LSM dan lembaga penelitian dapat memberikan

kontribusi informasi yang berguna bagi seluruh pemangku kepentingan. Selain

itu perlu dikembangkan mekanisme umpan balik (feedback) informasi dari

berbagai pemangku kepentingan ke pihak yang bertanggungjawab atas suatu

kegiatan yang berpengaruh negatif pada kinerja pengelolaan DAS.

Page 133: Buku Insentif Das

127

VIII. PANDUAN PERANCANGAN INSENTIF UNTUK

REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

Insentif sebagai instrumen dalam rehabilitasi hutan dan lahan pada

prinsipnya tidak terbatas pada insentif ekonomi, namun mencakup berbagai

intrumen lain, khususnya hukum, kebijakan dan berbagai instrumen

pembangunan sosial. Dalam merancang dan mengimplementasikan tindakan

insentif baru, konteks yang menyeluruh harus dipertimbangkan, termasuk

konteks sosial dan politiknya. Setidaknya terdapat tiga aspek makro yang harus

dipertimbangkan dalam merancang dan mengimplementasikan tindakan

insentif, yaitu (Vorhies, 2001):

1. Kendala Formal: hukum, kebijakan dan hak-hak kepemilikan. Setiap

tindakan, khususnya tindakan ekonomi, biasanya memerlukan aksi legal-

formal, misalnya: pajak atau subsidi rehabilitasi hutan dan lahan atau

melegalkan dan mengatur pasar hasil rehabilitasi hutan dan lahan.

2. Kendala Sosial: Banyak aturan tidak tertulis yang mengarahkan perilaku

sehari-hari masyarakat dalam percaturan ekonomi dan sosial. Kendala

sosial berakar pada sistem kepercayaan, termasuk norma budaya,

kesepakatan sosial, adat istiadat, etika, tradisi dan tabu. Masyarakat

patuh pada kendala sosial bukan karena hukum, tetapi karena

kesepakatan.

3. Kepatuhan (compliance): Suatu tindakan insentif hanya akan efektif bila

masyarakat patuh/taat pada aturan mainnya. Derajat kepatuhan

masyarakat atas aturan main tertentu bervariasi dan perlu dipertimbangkan

secara khusus dalam merancang suatu tindakan insentif.

Di tingkat implementasi, insentif ekonomi dipandang dapat digunakan

sebagai instrumen yang efektif untuk mendorong keberhasilan rehabilitasi hutan

dan lahan. Berdasarkan rumusan atas panduan perancangan insentif ekonomi

Page 134: Buku Insentif Das

128

yang relevan kemudian dikaji berbagai aspek kebijakan yang berkaitan dengan

hak kepemilikan, pendekatan pasar, pendekatan fiskal dan finansial serta faktor-

faktor non ekonomi lainnya. Bab ini difokuskan untuk merumuskan panduan

tersebut sebagai basis kajian kebijakan yang diperlukan dalam pengembangan

sistem insentif rehabilitasi hutan dan lahan. Keseluruhan bab ini dikembangkan

berdasarkan dokumen “Community-based Incentive For Nature Conservation”

yang ditulis oleh Emerton (1999) dan diterbitkan IUCN. Berbagai penyesuaian

kontekstual dan substansi rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan berdasarkan

kajian Tim Fakultas Kehutanan IPB mengenai pengembangan sistem insentif

rehabilitasi hutan dan lahan pada tahun 2000.

A. TUJUAN PERANCANGAN DAN IMPLEMENTASI INSENTIF

EKONOMI UNTUK REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

Faktor-faktor ekonomi di tingkat masyarakat mempunyai hubungan yang

erat dengan status dan integritas sistem-sistem alam. Masyarakat pedesaan

(rural) umumnya memiliki ketergantungan pada terpeliharanya sumberdaya

alam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Adanya lahan yang

baik, tanah subur, pasokan air yang teratur dan perlindungan terhadap cuaca

yang ekstrim memungkinkan konsumsi, produksi dan pemukiman masyarakat

yang sehat. Sistem-sistem alam seperti, hutan, kebun, padang rumput, padang

penggembalaan, lahan basah, pantai dan laut menghasilkan sumberdaya yang

dapat dimanfaatkan secara langsung untuk memberikan pendapatan dan

kehidupan sehari-hari (subsisten), kadang-kadang sebagai sumber mata

pencaharian masyarakat satu-satunya atau dalam kombinasinya dengan sistem

produksi masyarakat.

Sumberdaya-sumberdaya alam tersebut cenderung mempunyai peran

khusus bagi rumahtangga miskin, terutama pada keadaan tertekan, dan

seringkali merupakan jaring pengaman akhir ketika sumber-sumber kehidupan

dan pendapatan lain mengalami kegagalan.

Page 135: Buku Insentif Das

129

Namun demikian, kegiatan masyarakat kadang-kadang mengakibatkan

kerusakan sistem alam tempat mereka tergantung. Hampir semua bentuk

kegiatan produksi dan konsumsi mempunyai potensi untuk menurunkan,

mengubah, mencemari bahkan merusak sistem alam. Kegiatan-kegiatan seperti

lewah panen terhadap rumput, ikan dan kayu, konversi hutan menjadi lahan

pertanian dan pemanfaatan satwa liar tidak secara lestari semuanya

menurunkan dan merusak sistem alam secara langsung. Kegiatan-kegiatan lain

seperti pemanenan kayu dan ikan dengan menggunakan teknik-teknik yang

merusak, pertanian tebas-bakar, pertambangan terbuka, dan pembuangan

sampah pertanian dan rumahtangga tanpa pengolahan mengakibatkan

kerusakan sistem alam secara tidak langsung akibat kesalahan teknologi yang

diterapkan. Dalam konteks pengelolaan DAS, berbagai kegiatan tersebut

mengakibatkan terbentuknya lahan kritis yang membutuhkan penangan khusus

untuk memulihkan fungsinya, baik fungsi ekologi, sosial maupun produksi.

Sebagai akibat rusaknya sistem alam, termasuk penambahan luas lahan

kritis, sumber mata pencaharian dan kesejahteraan ekonomi masyarakat

semakin menurun. Menyadari bahwa ekonomi lokal sangat tergantung pada

ketersediaan dan kualitas sumberdaya hutan dan lahan di DAS, makin disadari

bahwa kegiatan konservasi, termasuk rehabilitasi hutan dan lahan, merupakan

komponen penting dalam kegiatan pembangunan pedesaan. Secara bersamaan

makin disadari pula bahwa ekonomi lokal memainkan peran penting dalam

pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan. Strategi rehabilitasi hutan dan

lahan, banyak melibatkan dan mempertimbangkan manfaat kegiatan tersebut

bagi masyarakat lokal. Upaya pembangunan dan konservasi, keduanya

bertujuan untuk memelihara status dan integritas alam yang secara ekonomi

dapat diterima masyarakat lokal.

Tanpa adanya manfaat nyata secara ekonomi, masyarakat lokal umumnya

tidak mau atau tidak mampu untuk mengkonservasi dan merehabilitasi hutan

dan lahan dalam kegiatan-kegiatan produksi dan konsumsi mereka. Secara

Page 136: Buku Insentif Das

130

umum, program-program, pembangunan pedesaan maupun rehabilitasi hutan

dan lahan, bertujuan utama untuk menciptakan kondisi agar masyarakat mau

dan mampu secara ekonomi melakukan tindakan konservasi sumberdaya hutan

dan lahan. Dengan kata lain, program-program tersebut bertujuan menyediakan

insentif ekonomi untuk mencegah degradasi hutan dan lahan atau

merehabilitasi lahan kritis berbasis masyarakat.

Insentif dapat didefinisikan sebagai dorongan khusus yang dirancang dan

dilaksanakan untuk mempengaruhi atau memotivasi orang untuk bertindak.

Dalam konteks rehabilitasi hutan dan lahan, insentif ekonomi ditekankan untuk:

(1) Mencegah terjadinya degradasi sumberdaya hutan dan lahan di DAS yang

kualitasnya masih bagus; dan (2) Mendorong masyarakat agar mau melakukan

rehabilitasi hutan dan lahan atas kesadarannya sendiri, sehingga dapat

memberikan manfaat finansial dan memperluas alternatif mata pencaharian

masyarakat.

Program-program dirancang untuk: (1) menciptakan dorongan-dorongan

ekonomi atau insentif positif untuk mencegah kerusakan sumberdaya hutan dan

lahan berkualitas bagus dan mendorong rehabilitasi hutan dan lahan; (2) tidak

menghargai tindakan merusak dengan menerapkan “hukuman” dan disinsentif;

dan (3) mengatasi tekanan ekonomi yang mendorong perilaku merusak atau

insentif tentangan (perverse incentive). Insentif ekonomi merupakan sebuah

instrumen yang dipandang mampu untuk mencegah degradasi hutan dan lahan

serta mendorong rehabilitasi hutan dan lahan untuk mendukung kehidupan

masyarakat yang berkelanjutan.

B. TAHAPAN DALAM PERANCANGAN INSENTIF EKONOMI

UNTUK REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

Proses perancangan dan implementasi insentif ekonomi untuk rehabilitasi

hutan dan lahan berbasis masyarakat meliputi tahapan-tahapan logis yang

berurutan didasarkan pada suatu latar belakang informasi dan analisis. Respon

Page 137: Buku Insentif Das

131

insentif baik terhadap kebutuhan-kebutuhan lokal, lingkungan sekitar dan

kegiatan-kegiatan ekonomi, maupun pasar yang lebih luas, kegagalan kebijakan

dan kelembagaan yang membuat masyarakat tidak ingin atau secara ekonomi

tidak mampu untuk rehabilitasi lahan dan hutan dalam kaitannya dengan

kegiatan-kegiatan ekonomi. Pemahaman terhadap dinamika sistem ekonomi ini

dan identifikasi terhadap kebutuhan-kebutuhan dan kesempatan-kesempatan

yang dapat mereka berikan untuk rehabilitasi dan lahan merupakan dasar bagi

pemilihan tata insentif yang sesuai dengan lokasi bersangkutan.

Sesuai dengan hasil kajian sebelumnya, rincian tahapan dalam

perancangan insentif rehabilitasi hutan dan lahan disajikan pada Gambar 5.,

dengan penjabaran sebagai berikut:

Tahap 1: Pengumpulan informasi yang melatarbelakangi mata

pencaharian masyarakat dan kharakteristik sumberdaya

alam dalam DAS

a. Jelaskan konteks sosial-ekonomi dan sumberdaya alam

Bagaimana dan dimana masyarakat tinggal, ketergantungan mereka

terhadap sumberdaya untuk mempertahankan hidup sehari-harinya, serta

kendala dan kesempatan yang mereka hadapi dalam pencaharian nafkah pada

waktu yang berbeda, semuanya menentukan konteks lokal dimana sumberdaya

dikonservasi atau mengalami kerusakan dan insentif yang dapat digunakan.

b. Identifikasi interaksi antara mata pencaharian lokal dengan sumberdaya

alam

Matapencaharian masyarakat seringkali tergantung dan memberikan

dampak pada sumberdaya alam. Ketergantungan dan dampak tersebut

bervariasi menurut waktu dan orang. Kebalikannya, perubahan status dan

integritas sistem alam berdampak kepada mata pencaharian lokal. Identifikasi

dan pemahaman atas interaksi tersebut beserta variasi-variasinya akan

memberikan informasi penting tentang kebutuhan dan relung bagi insentif

ekonomi.

Page 138: Buku Insentif Das

132

Tahap 2 : Analisis pengaruh ekonomi masyarakat terhadap

sumberdaya alam

a. Identifikasi kegiatan yang memberikan kontribusi langsung terhadap

kerusakan sumberdaya alam

Kegiatan-kegiatan ekonomi lokal dapat berdampak negatif terhadap

sumberdaya alam. Penyebab langsung degradasi sumberdaya yang umum

ditemui adalah adanya lewah ekspoitasi (over-expoitation) terhadap

sumberdaya alam, pemanenan dan praktek penggunaan lahan yang merusak,

konversi habitat alam dan masuknya sampah, racun dan bahan pencemar

lainnya ke dalam sistem alam. Identifikasi dampak-dampak negatif ini dan

kegiatan ekonomi penyebabnya memberikan informasi penting dalam

penentuan target insentif atau disinsentif.

b. Identifikasi penyebab pokok degradasi sumberdaya alam

Walaupun degradasi sumberdaya alam terjadi sebagai akibat langsung dari

kegiatan yang menurunkan kualitas sumberdaya alam, namun realitas tersebut

seringkali dibenarkan atau dihargai keberadaannya oleh proses-proses yang

lebih luas. Kegagalan-kegagalan dalam tata hukum, kebijakan, kelembagaan

dan pasar merupakan akar penyebab degradasi sumberdaya alam, karena hal

tersebut membiaskan biaya dan keuntungan relatif dari kegiatan ekonomi,

sehingga mendorong masyarakat untuk memproduksi dan mengkonsumsi

dengan cara-cara tertentu.

Tahap 3: Identifikasi kebutuhan dan relung insentif

a. Identifikasi kebutuhan insentif untuk rehabilitasi hutan dan lahan

Masyarakat cenderung untuk tidak melakukan tindakan konservasi

sumberdaya alam atau merehabilitasi hutan dan lahan kritis dalam kegiatannya

bila hal tersebut tidak memberikan manfaat ekonomi bagi mereka. Identifikasi

penyebab langsung degradasi sumberdaya alam dan faktor ekonomi yang

menyebabkannya (Tahap 3 dan 4) akan membantu dalam menentukan dimana

Page 139: Buku Insentif Das

133

rehabilitasi hutan dan lahan tidak diinginkan, siapa saja pemangku kepentingan

utama yang relevan, serta dalam kondisi apa dan kapan mereka tidak mau atau

tidak mampu untuk melakukan rehabilitasi hutan dan lahan.

b. Identifikasi relung insentif untuk rehabilitasi hutan dan lahan

Bila rehabilitasi hutan dan lahan tidak memiliki nilai (sense) ekonomi bagi

pemangku kepentingan tertentu atau pada waktu tertentu, terbuka kebutuhan

untuk mengembangkan insentif positif dan menghilangkan insentif tentangan.

Informasi tentang penyebab langsung maupun tidak langsung degradasi

sumberdaya alam membantu untuk mengidentifikasi bentuk insentif yang paling

sesuai dan sifat/ciri dari insentif tentangan.

Tahap 4: Memilih insentif ekonomi untuk rehabilitasi hutan dan

lahan berbasis masyarakat

Banyak insentif ekonomi yang dapat diterapkan untuk rehabilitasi hutan

dan lahan berbasis masyarakat. Dengan memperhatikan status dan integritas

sistem alam di DAS, kondisi sosial ekonomi dan mata pencaharian masyarakat

lokal serta dengan memahami faktor-faktor ekonomi yang langsung

menyebabkan degradasi alam, dimungkinkan untuk dapat mengidentifikasi

bentuk-bentuk insentif atau kombinasinya yang sesuai dan dinilai efektif,

diterima masyarakat lokal dan dapat diterapkan secara praktis.

Tahap 5: Pertimbangan praktis dalam penerapan tindakan insentif

a. Mengoperasionalkan insentif untuk rehabilitasi hutan dan lahan

Operasionalisasi insentif ekonomi untuk rehabilitasi hutan dan lahan

mencakup identifikasi mitra kerja (partner) dalam implementasinya, negosiasi

peran dan tanggungjawab mitra kerja dan menterjemahkan insentif ke dalam

bentuk konkret aksi di lapangan.

b. Peninjauan dan perancangan ulang insentif untuk rehabilitasi hutan dan

lahan

Page 140: Buku Insentif Das

134

Tindakan insentif tidak pernah memberikan hasil permanen atau mutlak

dalam pencapaian tujuan rehabilitasi hutan dan lahan serta

perbaikan/pengembangan mata pencaharian masyarakat. Status dan integritas

sumberdaya alam, mata pencaharian masyarakat serta faktor-faktor luar yang

mempengaruhi sistem alam selalu berubah menurut waktu. Peninjauan dan

penilaian ulang secara menerus serta perancangan ulang tindakan-tindakan

insentif (bila diperlukan) merupakan hal kritis untuk menjamin efektifitas dan

kelangsungannya dalam jangka panjang.

C. INFORMASI MENGENAI MATA PENCAHARIAN MASYARAKAT

DAN KHARAKTERISTIK SUMBERDAYA ALAM DALAM DAS

Dinamika sistem mata pencaharian lokal menyebabkan pengaburan fokus

dalam perancangan dan penerapan insentif ekonomi untuk rehabilitasi hutan

dan lahan. Bagian ini mengidentifikasi informasi dasar yang diperlukan untuk

perancangan dan penerapan insentif ekonomi.

1. Menjelaskan Konteks Sosial Ekonomi dan Sumberdaya Alam

Bagaimana dan dimana masyarakat tinggal, ketergantungan mereka

terhadap sumberdaya untuk mempertahankan hidup sehari-harinya, serta

kendala dan kesempatan yang mereka hadapi dalam pencaharian nafkah pada

waktu yang berbeda, semuanya menentukan konteks lokal dimana sumberdaya

dikonservasi atau mengalami kerusakan dan insentif yang dapat digunakan.

Menjelaskan konteks sosial ekonomi dan sumberdaya alam merupakan langkah

pertama dalam merancang insentif untuk rehabilitasi hutan dan lahan berbasis

masyarakat.

Enam elemen utama konteks sosial ekonomi dan sumberdaya alam yang

mempunyai nilai penting dalam merancang insentif untuk rehabilitasi hutan dan

lahan berbasis masyarakat adalah:

Page 141: Buku Insentif Das

135

• Tipe dan Penyebaran Sumberdaya Alam. Tipe sumberdaya alam apa yang

tersedia bagi masyarakat, bagaimana komposisi dan sebarannya menurut

ruang;

• Status dan Ketersediaan Sumberdaya Alam. Apakah sumberdaya alam dalam

kondisi asli atau terganggu, spesies atau ekosistem mana yang

menunjukkan gejala kerusakan khusus dan mana yang tersedia dalam

keadaan berlimpah;

• Cara-cara Sumberdaya Alam Dialokasikan dan Dikelola. Organisasi-

organisasi sosial, hubungan-hubungan dan kelembagaan yang

bertanggungjawab untuk mengendalikan penggunaan sumberdaya alam,

baik di dalam maupun di antara rumah tangga;

• Cara-cara Keputusan Mata Pencaharian Dibuat. Organisasi-organisasi sosial,

hubungan-hubungan dan kelembagaan yang bertanggungjawab untuk

mengendalikan kegiatan mata pencaharian, baik di dalam maupun di antara

rumah tangga;

• Mata Pencaharian Lokal yang Dominan. Kegiatan-kegiatan utama yang

memberikan kontribusi terhadap mata pencaharian dan kehidupan lokal;

• Cara-cara dimana Sistem Mata Pencaharian Berubah menurut Waktu dan

Orang yang Berbeda. Perbedaan-perbedaan sosial ekonomi, baik di dalam

maupun di antara rumah tangga, dalam kegiatan-kegiatan mata

pencaharian dan pengambilan keputusan, serta cara-cara kegiatan mata

pencaharian berubah menurut musim,, sepanjang waktu, atau sebagai

respon atas cekaman dan perubahan faktor luar.

Page 142: Buku Insentif Das

136

Senarai 1 : Informasi Mengenai Mata Pencaharian Masyarakat dan Sumberdaya Alam dalam DAS

KONTEKS:

Jenis dan Penyebaran Sumberdaya Alam: - Ekosistem apa ? - Spesies penyusunya apa ? - Dimana sumberdaya tersedia ? - Kapan sumberdaya tersedia ? Status dan Ketersediaan Sumberdaya Alam: - Status sumber daya alam ? - Sumberdaya yg berlimpah ? - Sumberdaya yang langka ? - Sumberdaya yang terdegradasi ? - Sumberdaya yang terancam punah ? - Sumberdaya yang mempunyai nilai komersial ? Pengelolaan dan Alokasi Sumberdaya Alam: - Pengelola dari luar ? - Keputusan di tingkat komunitas ? - Keputusan di tingkat rumahtangga ? - Strategi pengelolaan lokal ? - Divisi sosial mengenai keputusan dan tenaga kerja ? Keputusan Mata Pencaharian: - Organisasi di tingkat komunitas ? - Keputusan di tingkat rumahtangga ? - Divisi sosial mengenai keputusan dan tenaga kerja ? Sistem Mata pencaharian Lokal: - Strategi mata pencaharian utama ? - Sumber utama pendapatan ? - Sumber utama kehidupan harian (subsistence) ? - Sumber utama pekerjaan ? - Kepercayaan terhadap pasar luar ? Diferensiasi Mata Pencaharian dan Variasinya: - Diferensiasi antar rumah tangga ? - Diferensiasi dalam rumah tangga ? - Variasi musiman ? - Perubahan tak beraturan ? - Sumber cekaman ? - Pengaruh luar utama ?

INTERAKSI-INTERAKSI Ketergantungan Mata Pencaharian thd Sumberdaya Alam : - Sumber utama mata pencaharian ? - Kegiatan sekunder atau tambahan ?

Nilai Penting Ekonomi Sumberdaya Alam: - Sumber kehidupan harian (subsistence) ? - Sumber pendapatan ? - Sumber pekerjaan ? - Kegiatan ekonomi yg mana ? Variasi Sosial Ekonomi: - Bagaimana kelompok berbeda menggunakan

sumberdaya ? - Bagaimana kelompok berbeda mengelola

sumberdaya ? - Bagaimana kelompok berbeda mendapatkan

manfaat dari sumberdaya ? - Siapa yg sangat tergantung, bagaimana ? - Siapa yg kurang tergantung, bagaimana ? Waktu dan Perubahan: - Bagaimana penggunaan dan ketergantungan

bervariasi menurut musim ? - Sumber perubahan reguler lainnya ? - Sumber perubahan irreguler ? - Sumber perubahan eksternal ?

Analisis Pengaruh Ekonomi masyarakat terhadap

Sumberdaya Alam (Tahap 2)

Page 143: Buku Insentif Das

137

2. Identifikasi Interaksi Antara Mata Pencaharian dengan

Sumberdaya Alam.

Insentif ekonomi bekerja dengan memotivasi orang untuk bertindak dengan

cara tertentu atau memodifikasi kegiatan ekonomi mereka sehingga dapat

merangsang kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Hal pertama yang

diperlukan adalah pemahaman menyeluruh terhadap interaksi antara mata

pencaharian dengan sumberdaya alam. Tahap kedua dalam perancangan

insentif untuk rehabilitasi hutan dan lahan berbasis masyarakat adalah menilai

seberapa jauh kegiatan mata pencaharian tergantung dan mempengaruhi

sumberdaya alam.

Empat elemen utama interaksi antara mata pencaharian lokal dengan

sumberdaya alam yang paling relevan dalam perancangan insentif untuk

rehabilitasi hutan dan lahan berbasis masyarakat adalah:

• Tingkat Ketergantungan Mata Pencaharian Lokal terhadap Sumberdaya

Alam. Apakah sumberdaya alam merupakan sumber utama mata

pencaharian, atau digunakan untuk mendukung kegiatan-kegiatan atau

sebagai sumber sekunder sebagai masukan atau bentuk lain dari kegiatan

produksi;

• Sifat dari Kontribusi Sumberdaya Alam terhadap Mata Pencaharian Lokal.

Apakah sumberdaya alam memberikan kontribusi terhadap pendapatan,

sekedar penyambung hidup atau manfaat pekerjaan bagi populasi lokal dan

jenis kegiatan ekonomi yang didukungnya;

• Variasi Kontribusi Sumberdaya Alam terhadap Mata Pencaharian Orang

yang Berbeda. Bagaimana sumberdaya alam digunakan dan

ketergantungannya bervariasi menurut perbedaan kategori sosial-ekonomi

orang, dibedakan menurut kekayaan, gender atau akses terhadap

sumberdaya lainnya.

• Variasi Kontribusi Sumberdaya Alam Terhadap Mata Pencaharian pada

Waktu yang Berbeda. Bagaimana sumberdaya alam digunakan dan

Page 144: Buku Insentif Das

138

ketergantungannya bervariasi menurut musim, waktu atau sebagai respon

atas perubahan keadaan lokal atau eksternal.

D. ANALISIS PENGARUH EKONOMI KOMUNITAS TERHADAP

SUMBERDAYA ALAM

Terjadinya degradasi karena kebutuhan mata pencaharian menempatkan

permintaan secara tidak lestari terhadap sumberdaya alam. Bagaimana dan

mengapa aktivitas ekonomi lokal mengakibatkan degradasi sumberdaya alam

penting untuk diketahui. Bagian ini menjelaskan langkah-langkah analisis

tentang pengaruh ekonomi komunitas terhadap sumberdaya alam. Analisis ini

diperlukan untuk mengidentifikasi kebutuhan dan relung insentif untuk

rehabilitasi hutan dan lahan.

1. Identifikasi kegiatan yang memberikan konstribusi langsung pada

degradasi sumberdaya alam

Insentif ekonomi terutama digunakan sebagai alat untuk mencegah

degradasi sumberdaya alam oleh masyarakat. Terbukti dengan sendirinya

bahwa identifikasi sifat dan sumber degradasi alam lokal merupakan tahap

penting dalam merancang insentif. Terdapat 4 kategori utama kegiatan

ekonomi lokal yang memberikan konstribusi langsung pada degradasi

sumberdaya alam, yaitu:

• Kegiatan lewah eksploitasi terhadap sumberdaya alam. Pemanfaatan

sumberdaya alam yang tidak lestari, baik secara menyeluruh atau dalam

arti areal maupun spesies yang mereka panen memberikan kontribusi pada

degradasi sumberdaya alam. Aktivitas yang tidak lestari merupakan

aktivitas atau kombinasi aktivitas pemanenan sumberdaya alam yang

melampaui kemampuan sumberdaya alam tersebut untuk beregenerasi

atau sumberdaya alam tersebut digantikan dengan sumberdaya lain,

Page 145: Buku Insentif Das

139

sehingga terjadi kemunduran dalam kuantitas, kualitas atau

keanekaragaman sumberdaya alam sepanjang waktu.

• Aktivitas konversi habitat alami ke penggunaan lainnya. Penggunaan lahan

yang menyebabkan perubahan habitat secara permanen dengan merusak

dan menggantikan ekosistem alam dan spesies penyusunnya merupakan

faktor utama degradasi alam.

Penyebab Langsung Kegiatan lewah eskploitasi terhadap sumberdaya alam: - Kegiatan apa ? - Bagaimana kegiatan tersebut

menyebabkan degradasi sumberdaya alam ?

- Siapa yang melaksanakan ? - Kapan dilaksanakan ? Kegiatan mengkonversi habatat alami ke penggunaan lain - Kegiatan apa ? - Bagaimana kegiatan tersebut

menyebabkan degradasi sumberdaya alam ?

- Siapa yang melaksanakan ? - Kapan dilaksanakan ? - Pemanenan dan praktek penggunaan lahan yang merusak:- Kegiatan apa ? - Bagaimana kegiatan tersebut

menyebabkan degradasi sumberdaya alam ?

- Siapa yang melaksanakan ? - Kapan dilaksanakan ? Kegiatan yang mencemari basis sumberdaya alam : - Kegiatan apa ? - Bagaimana kegiatan tersebut

menyebabkan degradasi sumberdaya alam ?

- Siapa yang melaksanakan ? - Kapan dilaksanakan ?

Dasar Penyebab Kegagalan kebijakan - Bagaimana kebijakan mendorong

kegiatan ? Kegagalan pasar - Bagaiaman pasar mendorong

kegiatan ? Kegagalan kelembagaan - Bagaiaman kelembagaan

mendorong kegiatan ? Kondisi mata pencaharian - Bagaiaman kondisi mata

pencaharian mendorong kegiatan ?

Senarai 2 : Analisis Pengaruh Ekonomi Kerakyatan terhadap Sistem-Sistem Alam

Kebutuhan dan relung insentif untuk RHL

(Tahap 3)

Page 146: Buku Insentif Das

140

• Praktek teknik pemanenan dan penggunaan lahan yang merusak. Teknik

pemanfaatan lahan dan sumberdaya yang merusak akan menyebabkan

degradasi sumberdaya alam. Penggunaan teknik penangkapan ikan dan

pemanenan kayu yang merusak serta pemanfaatan lahan di lahan curam

dapat menyebabkan degradasi sumberdaya alam.

• Kegiatan yang mencemari sistem alam. Kegiatan produksi dan konsumsi

yang menghasilkan limbah atau hasil ikutan yang tidak ramah lingkungan

akan menyebabkan degradasi alam. Limbah domestik yang tidak diolah,

penggunaan bahan kimia berbahaya beracun atau pembuangan limbah

industri ke tanah dan air dapat menyebabkan degradasi DAS.

2. Identifikasi faktor-faktor ekonomi penyebab pokok degradasi

lahan

Masyarakat melakukan kegiatan ekonomi yang menyebabkan degradasi

sumberdaya alam akibat tekanan yang lebih luas mendorong atau menekan

mereka untuk melakukannya. Selain mengatasi penyebab langsung degradasi

sumberdaya alam, insentif ekonomi berbasis masyarakat bertujuan mengatasi

insentif tentangan tersebut. Indentifikasi insentif tentangan dan faktor-faktor

ekonomi yang menjadi penyebab pokok degradasi sumberdaya alam

memberikan informasi yang sangat penting dalam merancang insentif ekonomi.

Insentif tentangan dapat dikelompokkan ke dalam 4 kategori, yaitu:

• Kegagalan Kebijakan. Pemerintah meletakkan kebijakan untuk mendorong

kegiatan ekonomi bagi tercapainya tujuan pembangunan nasional atau

sektoral. Kebijakan tersebut umumnya disertai dengan sejumlah instrumen

pendukung, seperti subsidi, pajak, hukum, pendidikan, penelitian dan

penyuluhan. Instrumen kebijakan tersebut seringkali mendorong

masyarakat untuk melakukan aktivitas yang menyebabkan degradasi

sumberdaya alam dalam aktivitas ekonominya. Sebagai contoh kebijakan

pertanian yang mendorong produksi dengan input tinggi sebagai satu-

Page 147: Buku Insentif Das

141

satunya kegiatan yang dibenarkan untuk pemanfaatan lahan, kebijakan

industri dan perkotaan yang mendorong pembangunan dan pemukiman di

wilayah yang sensitif secara ekologi atau kebijakan yang kurang

mempertimbangkan pengelolaan limbah dan pengendalian pencemaran,

serta kebijakan lingkungan yang gagal mempertimbangkan isu pengelolaan

sumberdaya lokal dan penguasaan sumberdaya (tenure).

• Kegagalan Pasar. Pasar mengalokasikan sumberdaya dan

mengkoordinasikan keputusan masyarakat mengenai jumlah barang yang

mereka produksi dan konsumsi melalui mekanisme harga. Aktivitas

ekonomi masyarakat merespon harga dan pasar yang mereka hadapi,

sebab hal tersebut mempengaruhi keuntungan dan keinginan relatif atas

pilihan produksi dan konsumsi yang berbeda. Distorsi harga dan tidak

efesiennya pasar dapat mengirimkan sinyal (signal) yang salah kepada

masyarakat mengenai nilai sumberdaya alam yang menjadi basis produksi

barang dan jasa. Hal ini mendorong anggota masyarakat untuk

mengkonsumsi sumberdaya tersebut secara berlebihan dan menyebabkan

terjadinya degradasi alam. Sebagai contoh, tidak ada atau rendahnya nilai

iuran dan royalti pemanfaatan sumberdaya alam, monopoli pasar

sumberdaya lokal oleh tengkulak (makelar), penentuan harga rendah

untuk bahan kimia pertanian dan industri, rendahnya denda atau hukuman

bagi perusak lingkungan atau ketiadaan harga dan pasar bagi barang dan

jasa ramah lingkungan.

• Kegagalan Kelembagaan. Kelembagaan mengatur dan mengendalikan cara

dan kondisi bagaimana sumberdaya alam dikelola, dialokasikan dan

digunakan. Kelembagaan, baik di tingkat lokal maupun nasional,

mempengaruhi penggunaan sumberdaya alam oleh komunitas. Penataan

kelembagaan seringkali menegasikan aspek konservasi sumberdaya alam

karena merepresentasikan kepentingan kelompok tertentu, menegasikan

kontrol oleh anggota komunitas terhadap sumberdaya alam, menegasikan

Page 148: Buku Insentif Das

142

manfaat sumberdaya alam bagi anggota komunitas atau mendorong

kegiatan yang merusak sumberdaya alam. Sebagai contoh adalah monopoli

pemerintah dalam pengelolaan kawasan konservasi dan menafikan peran

penduduk lokal, penataan lahan dan tenure yang lemah dan penetapan

kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam yang menafikan pengguna

kunci atau sektor dalam populasi. Kegagalan institusi adalah disinsentif

kunci bagi konservasi hutan.

• Kondisi Mata Pencaharian (Livelihood circumstances). Kondisi biofisik dan

demografi, bersama-sama dengan kebijakan, pasar dan tata kelembagaan,

menentukan kegiatan mata pencaharian, kebutuhan, kendala dan

kesempatan lokal. Upaya mencari mata pencaharian yang aman seringkali

memaksa komunitas untuk melakukan kegiatan ekonomi yang

menyebabkan degradasi sumberdaya alam. Ketika sumber mata

pencaharian terbatas dan tidak aman, ketersediaan sumber kehidupan

harian, pendapatan dan pekerjaan sedikit, sehingga orang tidak memiliki

pilihan kecuali melakukan lewah eksploitasi, mengkonversi atau merusak

sumberdaya alam guna menghasilkan produk yang diperlukan. Sebagai

contoh, ketergantungan berlebihan terhadap pemanenan sumberdaya alam

untuk pendapatan atau penyambung hidup, tekanan atas lahan dan

populasi, cekaman musiman, lemahnya infrastruktur dan pasar, serta

kemiskinan.

E. IDENTIFIKASI KEBUTUHAN DAN RELUNG INSENTIF

Insentif ditujukan untuk menanggulangi penyebab langsung dan penyebab

pokok (underlying causes) degradasi sumberdaya alam dan mendorong

tindakan rehabilitasi hutan dan lahan. Insentif diperlukan ketika rehabilitasi

hutan dan lahan tidak layak secara ekonomis bagi anggota masyarakat. Untuk

menentukan kapan dan dimana suatu insentif dibutuhkan, diperlukan adanya

identifikasi dan pemahaman atas kasus dimana kelayakan ekonomi

Page 149: Buku Insentif Das

143

menyebabkan degradasi sumberdaya alam. Untuk tujuan tersebut diperlukan

identifikasi kelompok-kelompok yang mengakibatkan degradasi sumberdaya

alam dan aktivitas-aktivitas penyebabnya. Kapan hal tersebut terjadi

menunjukkan relung untuk menata insentif secara tepat. Bagian ini menyajikan

metode-metode guna mengidentifikasi kebutuhan dan relung insentif.

Informasi tersebut memungkinkan pemilihan dan penetapan insentif ekonomi

yang spesifik untuk rehabilitasi hutan dan lahan.

1. Kebutuhan insentif ekonomi

Insentif ekonomi diperlukan pada saat hutan dan lahan mengalami

penurunan fungsi atau terdegradasi. Manusia melakukan lewah eksploitasi

terhadap sumberdaya alam, mengubah ekosistem, membuat kerusakan dan

mencemari sistem alam, ketika secara ekonomis kegiatan tersebut

menguntungkan, termotivasi untuk melakukannya atau terpaksa melakukannya

karena tidak pilihan lain.

Analisis mengenai penyebab langsung dan penyebab pokok degradasi

sumberdaya alam memberikan alat untuk mengidentifikasi dimana dan

mengapa rehabilitasi hutan dan lahan tidak diinginkan secara ekonomis oleh

anggota-anggota masyarakat - ketika mereka memperoleh manfaat bersih dari

degradasi sumberdaya alam, atau ketika mereka harus mengeluarkan biaya

bersih untuk melestarikannya. Insentif ekonomi diperlukan dalam empat tipe

keadaan:

(1) Aktivitas ekonomi yang menyebabkan degradasi sumberdaya alam

lebih diinginkan dari pada aktivitas yang mengkonservasinya.

Insentif positif diperlukan untuk mendorong manusia agar memodifikasi

atau mengubah aktivitas tersebut, dan disinsentif diperlukan untuk

menghambat aktivitas tersebut. Sebagai contoh, insentif mungkin

diperlukan untuk memodifikasi aktivitas-aktivitas pertanian, perikanan,

pertambangan, pemanfaatan hutan atau pembuangan limbah.

Page 150: Buku Insentif Das

144

(2) Insentif tentangan mendorong orang untuk melakukan aktivitas

yang menyebabkan degradasi sumberdaya alam. Insentif tentangan

tersebut perlu ditata ulang agar insentif positif untuk konservasi

sumberdaya alam dapat mengimbangi aktivitas merusak tersebut atau

menggantikannya. Sebagai contoh, insentif mungkin diperlukan untuk

mengatasi pengaruh musim, kekeringan, monopoli pasar, kebijakan

pertanian atau akses terbuka terhadap sumberdaya.

(3) Kebijakan, pasar, kelembagaan dan keadaan lokal gagal dan

membiaskan kepentingan relatif ekonomi terhadap konservasi

dan degradasi sumberdaya alam. Perbaikan kerja kebijakan, pasar,

kelembagaan dan keadaan lokal perlu dilakukan dan kegagalannya yang

menyangkut sumberdaya alam perlu diatasi. Sebagai contoh, insentif

KEBUTUHAN DAN RELUNG INSENTIF

Aktivitas degradasi diinginkan secara ekonomis: - Aktivitas yang mana? - Kelompok yang mana? - Kapan waktunya? - Akar penyebab? Insentif tentangan yang mendorong degradasi: - Aktivitas yang mana? - Kelompok yang mana? - Kapan waktunya? - Akar penyebab? Kebijakan, pasar, kelembagaan dan keadaan lokal gagal: - Aktivitas yang mana? - Kelompok yang mana? - Kapan waktunya? - Akar penyebab?

Senarai 3. Identifikasi Kebutuhan dan Relung Insentif

Pemilihan insentif ekonomi spesifik

untuk RHL berbasis masyarakat (Tahap 4)

Page 151: Buku Insentif Das

145

diperlukan untuk memperbaiki kelembagaan pengelolaan hutan berbasis

masyarakat, pasar bahan baku atau kebijakan rehabiltasi hutan dan lahan

nasional.

(4) Aktivitas rehabilitasi hutan dan lahan tidak memberikan manfaat

ekonomi langsung bagi anggota masyarakat. Kegagalan rehabilitasi

hutan dan lahan seringkali terjadi akibat tidak adanya dorongan positif

untuk melakukan kegiatan tersebut. Insentif ekonomi diperlukan untuk

memastikan bahwa rehabilitasi hutan dan lahan dapat memberikan

manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal.

2. Relung Insentif Ekonomi

Relung insentif ekonomi dapat ditemukan untuk menyelesaikan

permasalahan, kesenjangan dan kegagalan tertentu bila alasan yang jelas

degradasi sumberdaya alam dapat diidentifikasi dan dikaitkan dengan aktivitas

tertentu, penyebab, kelompok pelaku dan kondisi faktualnya. Analisis mengenai

penyebab langsung dan penyebab pokok degradasi hutan dan lahan,

memberikan alat untuk mengidentifikasi alasan-alasan yang menyebabkan,

keadaan dimana, rehabilitasi hutan dan lahan tidak diinginkan secara ekonomi

oleh anggota-anggota masyarakat. Keberadaan relung insentif ekonomi dapat

ditemukan pada empat kondisi berikut:

(1) Terdapat aktivitas ekonomi tertentu yang menyebabkan

degradasi sumber-daya alam.

Terdapat relung insentif yang ditargetkan langsung pada aktivitas

penyebab degradasi sumberdaya alam. Sebagai contoh, mungkin ada

relung yang mentargetkan insentif khusus pada pertanian tebas bakar,

aktivitas pemboman ikan, pengambilan kayu atau konversi lahan.

Page 152: Buku Insentif Das

146

(2) Terdapat kelompok-kelompok tertentu yang berpandangan

bahwa rehabilitasi hutan dan lahan tidak diinginkan secara

ekonomi. Relung yang lain untuk menggunakan insentif adalah

mentargetkannya pada kelompok-kelompok yang memandang bahwa

rehabilitasi hutan dan lahan tidak diinginkan secara ekonomi. Sebagai

contoh, mungkin ada relung untuk mentargetkan insentif khusus bagi

wanita, rumah tangga miskin, tuna kisma atau pada kelompok kunci

pengguna sumberdaya.

(3) Terdapat periode-periode khusus dimana rehabilitasi hutan dan

lahan tidak diinginkan secara ekonomi. Terdapat relung untuk

mentargetkan tindakan insentif pada periode-periode ketika rehabilitasi

hutan dan lahan tidak diinginkan secara ekonomi atau ditujukan untuk

mencegah munculnya situasi tertentu. Sebagai contoh, terdapat relung

untuk mentargetkan insentif pada saat aktivitas pertanian rendah, musim

kering dan paceklik atau ambruknya pasar dan kesempatan lainnya.

(5) Terdapat kebijakan, pasar, kelembagaan dan keadaan lokal

tertentu yang menyebabkan rehabilitasi hutan dan lahan tidak

diinginkan secara ekonomi.

Terdapat relung insentif untuk mengubah atau mengganti kerugian

dampak kebijakan, pasar, kelembagaan dan keadaan lokal yang bekerja

secara berlawanan dengan tujuan rehabilitasi hutan dan lahan. Sebagai

contoh, terdapat relung untuk mentargetkan insentif tertentu pada

rencana kerjasama pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan, pasar

produk hutan, penyuluhan informasi pertanian atau industri pengolahan

sumberdaya lokal.

Page 153: Buku Insentif Das

147

F. MEMILIH INSENTIF EKONOMI UNTUK REHABILITASI

HUTAN DAN LAHAN BERBASIS MASYARAKAT

Apabila kebutuhan dan relung untuk melakukan aksi yang bertujuan untuk

menanggulangi penyebab ekonomi degradasi sumberdaya alam telah

diidentifikasi, insentif spesifik dapat dipilih untuk memenuhi atau mengisi

kebutuhan dan relung yang tersedia. Bagian ini, menyajikan tipe-tipe utama

insentif ekonomi yang dapat digunakan untuk rehabilitasi hutan dan lahan

berbasis masyarakat.

1. Tipe-tipe insentif.

Terdapat 3 kategori insentif ekonomi yang dapat didefinisikan dan

dipandang relevan untuk rehabilitasi hutan dan lahan berbasis masyarakat,

yaitu:

(1) Insentif langsung: mekanisme yang ditargetkan untuk tujuan spesifik dan

mendorong masyarakat untuk mencegah degradasi sumberdaya alam serta

merehabilitasi hutan dan lahan, dengan memberikan penghargaan

bersyarat untuk setiap perilaku yang berubah.

(2) Insentif tak langsung: mekanisme yang mendorong masyarakat untuk

mencegah degradasi sumberdaya alam serta merehabilitasi hutan dan

lahan dengan menata kondisi pemungkin bagi berlangsungnya perilaku

positif.

(3) Disinsentif: mekanisme yang tidak menghargai masyarakat yang

menyebabkan tidak degradasi sumberdaya alam.

Dalam kategori tersebut, tindakan insentif ekonomi dapat berupa:

(a) Hak kepemilikan: tindakan yang mengalokasikan hak-hak kepemilikan

untuk memiliki, menggunakan atau mengelola sumberdaya alam.

(b) Tindakan mata pencaharian: tindakan penguatan dan diversifikasi

mata pencaharian lokal.

Page 154: Buku Insentif Das

148

(c) Tindakan pasar: tindakan yang merasionalisasikan harga dan

memperbaiki pasar.

(d) Tindakan fiskal: tindakan keuangan yang menerapkan sistem pajak dan

subsidi.

(e) Tindakan finansial: tindakan yang memobilisasikan dan meyalurkan

dana dan keuangan.

Senarai 4: Pemilihan Tindakan Insentif RHL

Untuk Setiap Kebutuhan dan Relung:

InsentifLangsung

Insentif TakLangsung

Disinsentif

Hak kepemilikan

Insentif mata pencaharian

Tindakan pasar

Tindakan fiskal

Pemilihan Insentif

Pertimbangan-Pertimbangan Praktis dalam Implementasi Insentif (Tahap 5)

Tindakan finansial

Page 155: Buku Insentif Das

149

Tabel 9. Kategori insentif ekonomi untuk rehabilitasi hutan dan lahan

berbasis masyarakat

Insentif Langsung Insentif tak

langsung

Disinsentif

Hak

kepemilikan

Contoh: hak milik, pengelolaan, akses,

penggunaan lahan dan sumber daya,

sewa, konsesi dan hak atas lahan dan

sumber daya alam

Contoh: pengeluaran,

pemindahan hak milik

lahan dan sumber daya,

penegakan hukum dan

hukuman untuk

penggunaan lahan yang

tidak berkelanjutan atau

tidak syah

Tindakan

mata

pencaharian

Contoh: perbaikan

efisiensi,

kesempatan dan

pemanfaatan

berkelanjutan

Contoh:

pengembangan

pedesaan,

diversifikasi dan

perbaikan mata

pencaharian

Tindakan

pasar

Contoh: perbaikan

pasar sumberdaya

alam,

pengembangan

pasar dan harga

untuk sumberdaya

alam baru

Contoh:

pengembangan

alternatif untuk

pasar dan produk

sumberdaya alam

Contoh: larangan pada

produk atau pasar,

kuota atau batas produk

Page 156: Buku Insentif Das

150

Tindakan

fiskal

Contoh: subsidi untuk aktivitas konservasi

sumberdaya dan produk, keringanan

pajak atau perbedaan pajak pada

penggunaan lahan dan produk

Contoh: pajak

sumberdaya alam atau

biaya tambahan, pajak

untuk penggunaan lahan

yang dan produk

berbeda

Tindakan

finansial

Contoh: target

hadiah untuk

aktivitas

konservasi,

kompensasi untuk

mengurangi

aktivitas yang tidak

berkelanjutan,

penyediaan dana

untuk

pengembangan

usaha alternatif

Contoh: bagi hasil

keuntungan,

persediaan

pinjaman, dana

bantuan dan kredit

untuk aktivitas

pengembangan

Contoh: denda dan

hukuman untuk

penggunaan

sumberdaya yang tidak

berkelanjutan atau tidak

syah

2. Hak Kepemilikan

Hak kepemilikan bertujuan untuk mengatasi kegagalan kelembagaan dan

kebijakan pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini didasarkan atas fakta bahwa

penerima keuntungan primer dari sumberdaya hutan dan lahan biasanya

dinikmati oleh individu-individu atau kelompok-kelompok yang memiliki hak

milik, hak mengelola, hak menggunakan dan memperdagangkan sumberdaya

tersebut.

Bahkan bagi anggota-anggota masyarakat yang memiliki hak asal,

kepentingan atau hak tradisional terhadap sumberdaya alam, mereka seringkali

kehilangan akses terhadap sumberdaya tersebut. Dalam kondisi tersebut,

masyarakat memperoleh keuntungan ekonomi yang kecil dari rehabilitasi hutan

dan lahan, karena mereka tidak memiliki hak memanfaatkan sumberdaya alam.

Page 157: Buku Insentif Das

151

Sebaliknya jika mereka memiliki keamanaan atas hak terhadap sumberdaya

hutan dan lahan, anggota masyarakat tidak memiliki beban atas degradasi

sumberdaya alam yang terjadi. Pengalokasian hak kepemilikan yang aman

untuk memiliki, mengelola dan menggunakan sumberdaya hutan dan lahan,

dapat menjadi insentif pada kondisi dimana masyarakat dapat memperoleh

keuntungan ekonomi dari kegiatan konservasi/rehabilitasi. Mereka juga dapat

mengatasi kegagalan pasar dengan memungkinkan harga pasar dan kelangkaan

untuk rehabilitasi hutan dan lahan.

Berbagai bentuk hak kepemilikan dapat digunakan sebagai insentif untuk

rehabilitasi hutan dan lahan, termasuk pemindahan hak milik atas tanah dan

sumberdaya kepada komunitas melalui sewa, pemberian konsesi atau hak

mengelola atau menggunakan sumberdaya tertentu, serta perwalian

masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan badan pengambilan

keputusan. Kolaborasi dan ko-manajemen adalah bentuk-bentuk khusus dari

hak kepemilikan yang digunakan secara luas sebagai insentif dalam rehabilitasi

hutan dan lahan berbasis masyarakat.

Hak kepemilikan digunakan juga sebagai disinsentif untuk degradasi hutan

dan lahan. Pemerintah seringkali memonopoli kontrol atas pengelolaan,

eksploitasi atau pemasaran sumberdaya hutan dan lahan yang sensitif atau

bernilai tinggi, seperti spesies pohon asli, mineral, air, atau kawasan konservasi,

dan menganggap pemanfataan oleh komunitas tidak syah. Meskipun aplikasi

hak kepemilikan tersebut menghambat degradasi hutan dan lahan, namun hal

tersebut jarang efektif dalam praktek karena kurangnya biaya penegakan

hukum serta masalah keadilan dan basis etikanya.

3. Tindakan mata pencaharian.

Tindakan mata pencaharian berkaitan dengan fakta bahwa sifat mata

pencaharian, khususnya keterbatasan dan ketakcukupannya, menekan anggota-

anggota masyarakat untuk melakukan aktivitas yang menyebabkan degradasi

sumberdaya hutan dan lahan, untuk penyambung hidup, pendapatan dan

Page 158: Buku Insentif Das

152

pekerjaan. Penguatan dan diversifikasi mata pencaharian masyarakat serta

dengan membuat hidup mereka lebih terjamin, tindakan mata pencaharian

tujukan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya

hutan dan lahan, dan menempatkan orang dalam posisi dimana mereka dapat

memilih, dan mampu, membatasi aktivitas-aktivitas ekonomi yang dapat

menyebabkan degrdasi sumberdaya hutan dan lahan.

Selang tindakan mata pencaharian dapat digunakan sebagai insentif untuk

rehabilitasi hutan dan lahan berbasiskan masyarakat. Hal ini dapat dibagi

secara luas menjadi insentif langsung yang mendorong orang untuk

menggunakan dan mengelola secara khusus sumberdaya hutan dan lahan lebih

lestari, dan insentif tidak langsung yang dapat memperkuat dan

mendiversifikasi mata pencaharian di pedesaan, membuat masyarakat kurang

bersandar atau pindah dari kegiatan mengeksploitasi sumberdaya hutan dan

lahan.

Insentif mata pencaharian langsung biasanya fokus pada upaya

mempertinggi efisiensi dan keleluasaan pada aktivitas-aktivitas yang

berbasiskan sumberdaya hutan dan lahan, seperti peningkatan nilai sumberdaya

tersebut dan kelestariannya pada tingkat lokal. Contohnya: intervensi untuk

promosi teknik pemanenan yang efisien, pelatihan anggota-anggota masyarakat

dalam keahlian pengolahan atau dalam penyelidikan produk-produk baru dan

teknologi.

Insentif tidak langsung pada mata pencaharian menganggap bahwa

dengan memperkuat dan mendiversifikasi mata pencaharian, dan membuat

mereka hidup lebih terjamin, orang akan mengurangi ketergantungannya

kepada sumberdaya hutan dan lahan. Mereka termasuk suatu selang yang luas

pada aktivitas-aktivitas pengembangan pedesaan dan dukungan kepada

infrastruktur sosial dan penyediaan lapangan kerja.

Page 159: Buku Insentif Das

153

4. Tindakan Pasar

Tindakan pasar bertujuan untuk mengatasi distorsi dan kelemahan pada

harga dan pasar, yang memberikan tanda yang salah pada produsen dan

konsumen, sehingga mendorong mereka untuk mendegradasi sumberdaya

hutan dan lahan, karena hal ini lebih mudah, menguntungkan atau lebih murah

untuk dilakukan. Insentif-insentif pasar untuk rehabilitasi hutan dan lahan

masyarakat mempunyai 3 bentuk dasar :

- Tindakan yang memperbaiki harga dan pasar untuk sumberdaya hutan

dan lahan mereka sendiri.

- Tindakan yang berusaha untuk meningkatkan suplai dan menghasil

berbagai alternatif dari sumberdaya sumberdaya hutan dan lahan.

- Tindakan untuk membatasi atau mengontrol pasar pada berbagai

produk dari sumberdaya hutan dan lahan.

Tindakan untuk meningkatkan pasar sumberdaya hutan dan lahan

termasuk didalamnya adalah rasionalisasi harga sumberdaya hutan dan lahan

yang ada, pengembangan kegunanan sumberdaya hutan dan lahan serta

produk baru, dan peningkatan saluran dan informasi pemasaran. Dengan

meningkatkan harga sumberdaya hutan dan lahan sejalan dengan kelangkaan

relatifnya, maka tindakan ini bertujuan untuk mendorong penggunaan secara

bijaksana, meningkatkan nilai tambah pada tingkat masyarakat dan konsumsi

terbatas pada level lestari. Misalnya: pengembangan pasar baru pada

sumberdaya hutan dan lahan non konsumtif, seperti ekoturisme, implementasi

pajak untuk layanan lingkungan, rasionalisasi royalti kayu dan pajak pengguna

hutan dan pengembangan kelompok pemasaran lokal dan industri cottage di

dalam sumberdaya hutan dan lahan.

Aternatif tindakan lainnya terhadap sumberdaya hutan dan lahan adalah

meningkatkan produk lain dan pasar pekerjaan pada level masyarakat. Hal ini

bertujuan untuk mendorong anggota masyarakat meninggalkan aktivitas

berbasis sumberdaya hutan dan lahan. Misalnya termasuk stimulasi pasar

Page 160: Buku Insentif Das

154

pertanian, ketersediaan pelatihan keahlian dan kredit kecil sebagai alternatif

bagi perusahaan f sumberdaya hutan dan lahan, domestikasi spesies liar dan

pengembangan alternatif sumberdaya liar seperti bahan konstruksi, sumber

pakan ternak atau bahan bakar. Pengukuran mata pencaharian yang berkaitan

dengan sifat dasar mata pencaharian, khususnya sifat sifat yang mendesak

memaksa anggota masyarakat untuk menurunkan sumberdaya alam untuk

mencari nafkah, pendapatan dan pekerjaan yang jarang.

5. Tindakan Fiskal

Tindakan fiskal meningkat dan menghabiskan pajak anggaran belanja

untuk meningkatkan atau menurunkan harga relatif dari produk-produk yang

berbeda, jadi bertujuan untuk mencegah atau mendorong konsumsi mereka

dan produksinya. Tindakan-tindakan ini dapat digunakan untuk memperbaiki

atau menyeimbangkan harga yang terdistorsi pada sumberdaya hutan dan

lahan, dan pasar lainnya.

Insentif fiskal untuk rehabilitasi hutan dan lahan biasanya ditargetkan pada

produk-produk dan pasar-pasar tertentu, dan dapat digunakan sebagai salah

satu insentif positif untuk rehabilitasi hutan dan lahan atau sebagai disinsentif

untuk mencegah degradasi. Contoh-contoh insentif fiskal untuk rehabilitasi

hutan dan lahan adalah subsidi untuk teknologi rehabilitasi sumber daya hutan

dan lahan atau produk-produk alternatif dari sumberdaya hutan dan lahan, dan

pembebasan pajak atau tingkat pajak yang relatif lebih rendah pada

penggunaan lahan dan sumber daya lestari. Disinsentif fiksal pada degradasi

alam merupakan bentuk yang berlawanan dan termasuk tingkat pajak yang

relatif lebih tinggi, atau pencabutan subsidi pada produk dan proses produksi

yang merusak sistem hutan dan lahan.

Keterbatasan banyak ditemukan pada penggunaan tindakan fiskal untuk

rehabilitasi hutan dan lahan berbasis masyarakat. Walaupun pengenaan pajak

tambahan pada level masyarakat biasanya tidak popular baik bagi anggota

masyarakat maupun pembuat keputusan, karena dapat menaikkan harga

Page 161: Buku Insentif Das

155

komoditi dasar, penggunaan subsidi sering membebani anggaran pemerintah

yang telah dibatasi. Ditambah lagi, karena banyak pasar dan harga yang telah

berfungsi buruk, keinginan untuk memasukkan distorsi-distorsi tambahan akan

dapat semakin meningkatkan pertanyaan. Dimana tindakan fiksal digunakan

sebagai insentif ekonomi untuk rehabilitasi hutan dan lahan berbasis

masyarakat, tindakan-tindakan ini biasanya diterapkan sebagai tindakan

temporer atau jangka pendek.

6. Tindakan Finansial

Tindakan finansial yang berkaitan dengan fakta-faka yang ada

menunjukkan bahwa khususnya masyarakat mendapatkan keuntungan tunai

(cash) yang kecil berkaitan dengan rehabilitasi hutan dan lahan, dan

mempunyai akses dana yang buruk yang dapat diinvestasikan pada aktivitas

atau teknologi pemanfaatan yang lestari lestari atau dalam aktivitas dan produk

ekonomi alternatif. Tindakan-tindakan tersebut memungkinkan adanya

pendanaan bagi masyarakat dan secara khusus memperuntukkannya bagi

aktivitas rehabilitasi hutan dan lahan.

Tindakan finansial mempunyai bentuk yang bermacam-macam. Insentif

finansial langsung termasuk imbalan tunai atau konpensasi untuk aktivitas

rehabilitasi hutan dan lahan, seperti ketersediaan dana bantuan, kredit atau

pinjaman yang secara langsung ditargetkan pada pengembangan produk

alternatif dan perusahaan sumber daya hutan dan lahan.

Banyak negara yang telah memfokuskan sistem bagi hasil sebagai insentif

ekonomi utama untuk rehabilitasi hutan dan lahan, pada umumnya sebagian

besar melalui alokasi proporsional antara biaya untuk areal yang dilindungi

dengan aktivitas pengembangan masyarakat yang berdekatan dengan areal

tersebut. Pengaturan ini pada umumnya telah memberikan keberhasilan secara

terbatas, terutama karena hanya disediakan secara tidak langsung, keuntungan

pada tingkat masyarakat seperti dukungan untuk sekolah, suplai air dan

Page 162: Buku Insentif Das

156

infrastruktur sosial lainnya. Masyarakat sering tidak mau, dan tidak mampu

secara ekonomi untuk mendukung rehabilitasi hutan dan lahan jika mereka

tidak diberikan secara tangible, dan keuntungan tunai pada tingkat individu atau

rumah tangga, yang menutup secara langsung kerugian biaya (cost) finansial

dan kerugian yang berkaitan dengan pembatasan penggunaan sumber hutan

dan lahan atau penggantian dengan aktivitas yang lain.

G. PERTIMBANGAN PRAKTIS DALAM IMPLEMENTASI

INSENTIF

Tindakan insentif ekonomi untuk rehabilitasi hutan dan lahan masyarakat

harus dapat diterapkan secara praktis, dapat diterima dan diterima oleh

kelompok-kelompok yang tepat. Di sini memerlukan pertimbangan secara hati-

hati terutama dalam hubungannya dengan pertimbangan keadilan, efisiensi dan

keberlanjutan. Ekonomi lokal dan eksternal dan perubahan keadaan

sumberdaya hutan dan lahan, insentif-insentif harus dapat digunakan kembali

dan di desain ulang dengan didasarkan pada kegiatan yang sedang berjalan,

jika mereka mau melanjutkan dengan hal-hal efektif untuk rehabilitasi hutan

dan lahan yang berbasiskan masyarakat. Pada bagian ini dijelaskan

pertimbangan-pertimbangan praktis yang berhubungan dengan pilihan

implementasi dan kesuksesan pada tindakan insentif.

1. Penetapan Insentif.

(1) Penterjemahan insentif ke dalam aktivitas di lapangan

Relung identifikasi dan kebutuhan untuk tindakan insentif bagi rehabilitasi

hutan dan lahan masyarakat dan penetapan tempat untuk tindakan-insentif

insentif secara benar dan penetapan mereka di 2 (dua) tempat yang sangat

berbeda. Pemilihan tindakan insentifharus diterjemahkan ke dalam suatu

Page 163: Buku Insentif Das

157

rangkaian yang kongkrit, dapat diterapkan secara praktis pada aktivitas-aktivitas

di lapang. Pertimbangan-pertimbangan praktis dalam penerapan insentif:

(a) Insentif tunggal hanya menanggulangi masalah tunggal atau aspek

tertentu rehabilitasi hutan dan lahan berbasis masyarakat.

(b) Kebanyakan paket insentif mengkombinasikan pendekatan "carrot and

stick"

(c) Tindakan insentif memerlukan mitra dalam penerapannya.

(2) Menjamin Penerimaan dan Ketepatan Insentif

Tindakan-tindakan insentif bertumpu pada pelaksanaannya oleh anggota-

anggota masyarakat, dan juga dukungan berbagai kelompok lain yang memiliki

potensi untuk mempengaruhi tingkah laku ekonomi masyarakat, dan

dampaknya terhadap sistem hutan dan lahan. Mereka tidak dapat sukses atau

lestari, jika mereka tidak dapat diterima oleh kelompok-kelompok lainnya.

Kepentingan khusus yang perlu dipertimbangkan:

(a) Tujuan masyarakat yang lebih luas dan organisasi-organisasi

lokal yang ada. Sejauh memungkinkan, desain dan pilihan

tindakan insentifuntuk rehabilitasi hutan dan lahan harus secara

serentak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, aspirasi dan tujuan,

penguatan mata pencaharian, dan pekerjaan dilakukan melalui

institusi dan pengetahuan lokal yang ada, sehingga tujuan-tujuan

yang telah ditetapkan dapat tercapai. Hal Ini akan secara nyata

mempertinggi pemenuhan kebutuhan masyarakat, keefektifan dan

penerimaan lokal.

(b) Insentif seharusnya tidak membuat anggota masyarakat lebih

buruk. Beberapa paket insentif yang menaikkan harga pada barang-

barang subsisten dasar, pengurangan pengangguran local atau

meningkatkan kesempatan memperoleh pendapatan atau

Page 164: Buku Insentif Das

158

pengurangan sektor-sektor khusus pada masyarakat yang tidak

diterima atau tidak lestari.

(c) Insentif seyogyanya diterima oleh para politikus dan

pengambil keputusan, serta konsisten dengan tujuan

pembangunan serta rehabilitasi hutan dan lahan yang lebih

luas. Beberapa tindakan yang bertentangan dengan garis politik,

sosial atau tujuan ekonomi adalah tidak bisa diimplementasikan dalam

praktek. Tujuan penggunaan insentif ekonomi untuk rehabilitasi hutan

dan lahan berbasis masyarakat adalah untuk mendukung

pembangunan dan rehabilitasi, bukan untuk mempertentangkan

tujuan dan pendekatan keduanya..

(d) Tindakan insentif harus mudah diimplementasikan,

meminimalkan biaya transaksi, penegakan dan partisipasi.

Walaupun ada dukungan dari luar, tindakan insentif akhirnya akan

diurus oleh pemerintah dan masyarakat lokal melalui berbagai kegiatan

aksi. Tindakan-tindakan insentif harus mudah dan murah untuk

diimplementasikan oleh semua kelompok yang perhatian, jika tindakan

-timdakan tersebut lestari dalam waktu yang lama.

2. Peninjauan dan Perancangan ulang Insentif

(1) Menghadapi perubahan

Tindakan-tindakan insentif untuk rehabilitasi hutan dan lahan masyarakat

tidak pernah pasti. Tindakan tersebut didesain dan diterapkan pada kondisi

khusus, agar tercapai tujuan-tujuan bersifat khusus. Keadaan ekonomi yang

menentukan degradasi dan rehabilitasi hutan dan lahan bervariasi diantara

kelompok dan waktu yang berbeda. Sumber daya hutan, lahan dan tujuan dari

tindakan insentif harus mereka sendiri yang tanggap terhadap perubahan yang

ada. Tindakan insentif hanya akan memiliki efektifitas yang terbatas dan tidak

mungkin lestari dalam waktu lama jika mereka tidak menghitung perbedaan

Page 165: Buku Insentif Das

159

dan perubahan dalam mata pencaharian lokal serta status dan kesatuan dari

sistem hutan dan lahan. Faktor-faktor penting yang perlu dipertimbangkan:

(a) Heterogenitas sosial ekonomi. Sektor-sektor berbeda dalam

masyarakat mempunyai strategi mata pencaharian dan kebutuhan

yang bervariasi, dan ketergantungan yang berbeda terhadap sistem

sumberdaya hutan dan lahan. Keefektifan dari relung insentif ekonomi

untuk rehabilitasi hutan dan lahan akan sesuai dengan variasi yang

ada. Tidak ada tindakan tunggal akan dapat diterapkan dan efektif

untuk seluruh kelompok.

(b) Variasi dampak tindakan insentif. Tindakan insentif mempunyai

dampak bervariasi pada sektor-sektor berbeda di masyarakat. Semua

insentif mempunyai potensi untuk mengubah peranan substansi yang

ada, tanggung jawab, penggunaan hutan dan lahan, dan akses

terhadap pendapatan, subsisten dan pekerjaan. Hal tersebut, berarti

insentif harus tidak merugikan kelompok-kelompok yang ada,

khususnya mereka telah menerima ancaman.

(c) Perubahan mata pencaharian masyarakat secara reguler.

Anggota masyarakat dihadapkan pada perbedaan keterbatasan dan

kesempatan mata pencaharian pada waktu yang berbeda. Beberapa

aspek perubahan tersebut bersifat umum, seperti musiman, bersifat

kebetulan dan tidak dapat diprediksi, seperti musim kering, pasar yang

bangkrut, perang dan gejolak masyarakat. Kebutuhan dan relung

rehabilitasi hutan dan lahan berbasiskan masyarakat akan bervariasi

pada waktu yang berbeda, dan sistem-sistem insentif harus dapat

beradaptasi dan responsif terhadap hal ini.

(d) Perubahan permanen dalam mata pencaharian dan

kesempatan masyarakat. Mata pencaharian orang-orang berubah

secara permanen seperti kebutuhan baru dan munculnya berbagai

kesempatan. Alasannya adalah tindakan insentif ekonomi tidak pernah

Page 166: Buku Insentif Das

160

dapat memberikan solusi permanen pada degradasi hutan dan lahan.

Mereka juga dapat menjadi pemilik tidak sah dalam waktu yang lama,

sebagian atau seluruh sektor di mayarakat. Sebagai contoh, produk-

produk hutan dan lahan sering kali terlihat inferior, serta pendapatan

dan pekerjaan berbasiskan sumber daya hutan dan lahan memerlukan

aktivitas yang sedikit. Insentif-insentif yang berdasarkan pada

penambahan dan pertumbuhan aktivitas berbasiskan sumberdaya bisa

pada waktu yang lama menjadi tidak dapat diterima sebagai perangkat

perubahan melalui mata pencaharian masyarakat, dan dapat berperan

untuk menjaga pengembangan pada tingkat masyarakat yang rendah.

2) Kebutuhan tindakan pendukung tambahan

Tindakan insentif masyarakat merupakan pemecah sebagian masalah dari

degradasi sumberdaya hutan dan lahan. Aksi mereka pada aktivitas level

masyarakat, dan pekerjaannya melalui isu-isu ekonomi. Penentuan dari

rehabilitasi dan degradasi hutan dan lahan, serta kebutuhan insentif,

memperluas jangkauan isu ekonomi dan keadaan lokal. Insentif ekonomi untuk

rehabilitasi hutan dan lahan masyarakat harus selalu disertai dengan adanya

dukungan tindakan bersifat luas di luar level lokal dan meliputi lebih dari

perhatian ekonomi. Beberapa bagian yang penting adalah tergantung pada :

(a) Faktor non ekonomi yang mendorong degradasi atau

mencegah rehabilitasi hutan dan lahan berbasis masyarakat.

Meskipun faktor-faktor ekonomi adalah penting untuk mengatasi

degradasi sumberdaya hutan dan lahan oleh masyarakat, mereka

bukan satu-satunya faktor yang dapat mengatasi hal tersebut. Jarak

dari distorsi-distorsi yang lain, kegagalan dan gap aksi melawan

rehabilitasi hutan dan lahan pada level lokal. Tekanan ini, termasuk

isu-isu yang berhubungan dengan informasi, ketidaksadaran dan

organisasi sosial, harus juga menjadi bidikan dari strategi rehabilitasi

hutan dan lahan.

Page 167: Buku Insentif Das

161

(b) Kelompok dan aktivitas lain yang langsung berkontribusi pada

degradasi sumberdaya hutan dan lahan. Masyarakat bukan hanya

kelompok-kelompok yang memproduksi dan mengkonsumsi hasil pada

degradasi hutan dan lahan. Pada produsen komersial khusus dan

konsumen kota, juga mendegradasi hutan dan lahan dalam aktivitas

ekonominya. Langkah yang harus diambil untuk memodifikasi dan

merubah aktivitas ini, tergantung dari sisi penawaran dan permintaan.

(c) Tekanan nasional dan global yang mendorong degradasi

sumberdaya hutan lahan. Insentif ekonomi bertujuan untuk

mengatasi dan menyeimbangkan pengaruh insentif penghambat, tetapi

sering tidak dapat merubah kebijakan, institusi dan pasar sumber

daya. Insentif ekonomi ini penting juga dalam modifikasi kebijakan

nasional dan global, institusi dan pasar, yang berada pada level lokal

degradasi sumber daya hutan dan lahan. Bagian penting lain adalah

sektor umum, makro ekonomi dan membentuk kembali kebijakan

sektoral, dan pertimbangan secara hati-hati pada persetujuan global

dan rancangan donor yang mengenakan kondisi-kondisi khusus pada

penggunaan sumber daya dan mata pencaharian lokal.

Page 168: Buku Insentif Das

162

Senarai 5: Pertimbangan Praktis

Kepraktisan dan Kesesuaian:Tujuan masyarakat luas dan organisasi lokal yang ada: - Apakah insentif sesuai dengan tujuan masyarakat? - Apakah insentif didasarkan atas pengetahuan

masyarakat? - Apakah insentif menggunakan organisasi masyarakat? Pengaruh tindakan insentif: - Apakah insentif menaikkan harga dasar? - Apakah insentif menurunkan peluang lokal? - Apakah insentif meminggirkan kelompok-kelompok

tertentu? Penerimaan secara politik: - Apakah insentif konsisten dengan tujuan yang lebih

luas? - Apakah insentif mendukung tujuan rehabilitasi dan

pembangunan? Kesederhanaan:

- Apakah insentif mudah diimplementasikan dan dipertahankan?

- Apakah insentif murah untuk diimplementasi dan dipertahankan?

Diferensiasi dan Perubahan- Apakah insentif mempertimbangkan heterogenitas

sosial ekonomi? - Apakah insentif resposif terhadap perubahan?

Tindakan Pendukung Tambahan- Faktor-faktor non ekonomi pada tingkat masyarakat? - Kelompok dan aktivitas lain penyebab degradasi

sumberdaya hutan dan lahan? - Kebijakan dan tekanan nasional dan global?

PENINJAUAN DAN PERANCANGAN

ULANG INSENTIF

Page 169: Buku Insentif Das

163

DAFTAR PUSTAKA

Biro Perencanaan, Sekretariat Jenderal Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999. Statistik Kehutanan dan Perkebunan Indonesia Tahun 1998/1999. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.

BRLKT Citarum-Ciliwung, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan

Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 2000. Rencana Teknik Lapangan-Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. Sub DAS Ciliwung Hulu, DAS Ciliwung. Buku I dan II

BRLKT Indragiri – Rokan, Departemen Kehutanan Kantor Wilayah Propinsi Riau.

2000. Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Sub Daerah Aliran Sungai Rokan. Proyek Perencanaan dan Evaluasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Indragiri-Rokan. Buku I dan II

BRLKT Wilayah IV. 1998. Laporan Hasil Monitoring Rehabilitasi Lahan dan

Konservasi Tanah (RLKT) SWP-DAS Ciliwung, Cisadane, Cimandiri Tahun 1997/1998. Sub BRLKT Ciujung-Ciliwung

BRLKT Wilayah VII. 1998. Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan

Konservasi Tanah Wilayah DAS Dodokan. Sub BRLKT Dodokan Moyosari. Buku I dan II

Chambers, Robert. 1996. Memahami Desa Secara Partisipatif. Kanisius.

Yogyakarta Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan.

1986. Ringkasan Rencana Teknik Lapangan-Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah

Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, Direktorat Jenderal

Rebiosasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan. 1997. Laporan Utama : Evaluasi Pengelolaan DAS Ciliwung Bagian Hulu

Direktorat RLKT dan Direktorat Bina Program, Direktorat Jenderal Rehabilitasi

Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Evaluasi Program RLKT Pelita VI. Buku I dan II

Direktorat Bina Program, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan,

Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Evaluasi Pelita VI Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan

Page 170: Buku Insentif Das

164

Dinas Kehutanan Kabupaten Lombok Tengah. 2000. Rancangan Teknis

Penghijauan Kebun Rakyat Tahun Anggaran 2000 (di Kecamatan Batukliang dan Pujut Kabupaten Lombok Tengah)

Dinas Kehutanan Kabupaten Lombok Tengah. 2000. Laporan Pelaksanaan

Proyek Penghijauan Kabupaten Lombok Tengah Tahun Anggaran 2000 Dinas Kehutanan Kabupaten Lombok Tengah. 2000. Buku Selayang Pandang

Pelaksanaan HKM di Kecamatan Batukliang dan Sekitarnya-Kabupaten Lombok Tengah

Emerton, Lucy. 1999. Community-Based Incentives for Nature Conservation.

IUCN-The World Conservation Union Eastern Africa Regional Office and Economics Unit

IFAD. 1996. Combatting Desertification-The Role of Incentives. International

Fund for Agricultural Development. Rome IFAD. 1998. Incentives Systems for Natural Resources Management : The Role

of Indirect Incentives. International Fund for Agricultural Development. Rome

Kepala BRLKT Dodokan Moyosari, Nusa Tenggara Barat. 2000. Bahan

Lokakarya: Karakteristik Sub DAS Dodokan. Makalah disampaikan dalam Lokakarya Pengembangan Sistem Insentif Rangka Rehabilitasi Lahan/Penghijauan di DAS Dodokan. Mataram, Nusa Tenggara Barat

Kepala BRLKT Indragiri-Rokan, Riau. 2000. Bahan Lokakarya: Karakteristik

Daerah Aliran Sungai (DAS) Rokan. Makalah di sampaikan dalam Lokakarya Pengembangan Sistem Insentif Dalam Rangka Rehabilitasi Lahan/Penghijauan di DAS Rokan. Pekanbaru, Riau

Laboratorium Ilmu Tanah , Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas

Mataram. 1999. Laporan Akhir Kegiatan Inventarisasi Lahan Kritis di Kabupaten Lombok Tengah Tahun Anggaran 1998/1999. Kerjasama Dinas Kehutanan Kabupaten Lombok Tengah dengan Laboratorium Ilmu Tanah , Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Mataram

Ostrom, et al. 1993, Cited In Aylward, et al., 1998. Economic Incentives For

Watershed Protection : a case study of Lake Arenal, Costa Rica. Final Report. Vrije Universiteit Amsterdam, Amsterdam, and International Institute for Environment and Development, London.

Page 171: Buku Insentif Das

165

Pola RLKT. 1990. Daerah Aliran Sungai Moyo Hulu Propinsi Nusa Tenggara

Barat. Buku I dan II Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 2000. Laporan Akhir

Evaluasi Penghijauan dan Reboisasi, Kerjasama Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan dan Perkebunan dengan Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran, Bandung

Sanders, David and Cahlil, Dennis. 1999. Where Incentives Fit in Soil

Conservation Programs. In : Incentives in Soil Conservation-From Theory to Practice, ed. D.W. Sanders, P.C. Huszar, S. Sombatpanit and T. Enters. Oxford and IBH Publishing, Co. PVT. LTD, New Delhi.

Stodio Driya Media. 1994. Berbuat Bersama Berperan Setara : Pengkajian dan

Perencanaan Program Bersama Masyarakat. Bandung T. Enters. 1999. Incentives as Policy Instruments-Key Concepts and Definition.

In : Incentives in Soil Conservation-From Theory to Practice, ed. D.W. Sanders, P.C. Huszar, S. Sombatpanit and T. Enters. Oxford and IBH Publishing, Co. PVT. LTD, New Delhi.