MEMBANGUN DENGAN ‘G E M B I R A ‘ GERAKAN MEMBANGUN BERBASIS INISIATIF RAKYAT POKOK-POKOK PIKIRAN PROGRAM PEMBANGUNAN KABUPATEN SIKKA LIMA TAHUNAN ‘ 2003 – 2008’ O L E H 1. DRS. ALEXANDER LONGGINUS 2. DRS. YOS ANSAR RERA SEBUAH ACUAN RENCANA STRATEGI 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
MEMBANGUN DENGAN ‘G E M B I R A ‘
GERAKAN MEMBANGUN BERBASIS INISIATIF RAKYAT
POKOK-POKOK PIKIRAN PROGRAM PEMBANGUNAN KABUPATENSIKKA LIMA TAHUNAN ‘ 2003 – 2008’
OLEH
1. DRS. ALEXANDER LONGGINUS2. DRS. YOS ANSAR RERA
SEBUAH ACUAN RENCANA STRATEGI KABUPATEN SIKKA
2003 - 2008
1
BAB I
P EN D A H U L U A N
A. POKOK PIKIRAN DAN ARGUMENTASI:
erakan reformasi dan demokratisasi di Indonesia yang telah bergulir dan dilaksnakan
saat ini adalah reaksi dan perlawanan terhadap sistim politik dan kebijakan
pembangunan Orde Baru yang sentralistik, represif dan cenderung korup. Setelah
pemerintahan Orde Lama yang lebih berorientasi kepada pembangunan politik dengan slogan
politik adalah panglima, telah membawa dampak kehidupan pemerintahan dan demokrasi
yang sangat labil, terbukti dari kejatuhan Kabinet yang tak terkendali. Sementara itu
penanganan ekonomi tidak menjadi perhatian serius, sehingga berkembang seadanya saja.
Pemerintahan Orde Baru justru membalikannya. Pembangunan ekonomi adalah yang utama,
sedangkan politik cukup dijalankan oleh segelintir politisi dan elit penguasa, atau dengan
slogan “Politick No, ekonomi Yes”. Hasilnya, justru terjadi ketimpangan social ekonomi yang
maha luas, antara segelintir orang yang kaya raya dengan sebagaian masyarakat yang hidup di
bawah garis kemiskinan. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) membelenggu dan merusak
mental birokrasi pemerintahan. Kebebasan masyarakat dirampas oleh Negara. HAM diinjak-
injak atas nama stabilitas Negara. Demokrasi dilumpuhkan karena masyarakat dianggap tidak
mampu melaksanakannya.
G
Penguasa Orde Baru mengadopsi ideologi pembangunan sentralistik
(developmentalism), dan melaksanakan dengan ketat. Proses pembangunan masyarakat dari
Sabang sampai Merauke, dinilai dengan indikator-indikator makro ekonomi yang ditetapkan
secara sentralistik pula dan diberlakukan secara pukul rata ke seluruh Indonesia. Kebijakan ini
mendorong pemerintah daerah bersama-sama dengan birokrasinya berusaha sedapat mungkin
memenuhi tuntutan pusat, karena dengan demikian dianggap sukses tetapi ketergantungan
menjadi lebih tinggi. Bersamaan dengan itu, masyarakat daerah makin terasing dari
pembangunan dan justru makin terpinggirkan karena pembangunan itu sendiri. Tetapi, itu
bukan masalah karena bukan masyarakat di daerah yang menentukan pemerintahan
daerahnya sukses atau tidak. Model pembangunan ekonomi Orde Baru berdasarkan pemikiran
teori ekonomi klasik mensyaratkan sentralisme dalam perencanaan, pelaksanaan dan kontrol.
Selain itu, negara hanya menyokong sekelompok kecil orang sebagai pemegang kendali
pembangunan ekonomi, yaitu dengan memberikan fasilitas bahkan tanpa kontrol, sehingga
sekelompok orang tersebut menjadi raksasa ekonomi. Harapan awal kebijakan ini adalah
bahwa sekelompok kecil orang tersebut dapat menciptakan multiplier effect bagi masyarakat
2
luas sebagai dampak dari pendekatan kebijakan yang disebut trickle down effect (efek
penetesan ke bawah, Supriatna 2000).
Hasilnya justru terbalik dari yang dicita-citakan. Segelintir orang memang menjadi kaya
raya karena disokong oleh Negara. Mereka mengeruk sebagian besar uang rakyat untuk
menumpuk kekeyayaan, dan masyarakat makin miskin dan tak berdaya. Sementara itu
sebagian pejabat pemerintah yang bertugas mensejahterakan masyarakat justru terlibat-KKN,
termasuk dengan segelintir orang kaya yang tadinya diberi fasilitas yang dibiayai dengan
uang rakyat.
Gerakan reformasi berusaha mengoreksi semua penyelewengan dan penyalagunaan
wewenang serta pengelolaan kekayaan Negara dan uang rakyat selama pemerintahan Orde
Baru berkuasa. Reformasi menuntut agar penyelenggaraan Negara dikembalikan kepada cita-
cita sesuai aturan dan kebijakan yang sudah ditetapkan terutama sebagai Negara demokrasi.
Sejalan dengan itu masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk ikut serta didalam proses
pengambilan kebijakan, menjalankan dan ikut serta pula dalam kebijakan pemanfaatannya.
Selanjutan, didaerah-daerah pemerintah dan masyarakat diberi kebebasan dan wewenang
mengurus rumah tangga daerahnya sendiri, sehingga mereka bertanggung jawab dan merasa
memiliki. Sudah tidak relefan lagi masyarakat di daerah dianggap tidak sanggup mengurus
dirinya sendiri. Reformasi juga menuntut pemberantasan KKN, Penghormatan terhadap HAM
dan demokrasi, tidak mengkontradiksikan politik dan ekonomi sehingga memaksa kita
memilih salah satu di antaranya. Reformasi hanya mendorong terwujudnya otonomi
masyarakat, kebebasan berekspresi dan berkreatifitas, dan terwujudnya Pemerintahan yang
bersih dan accountable, dengan mengembalikan sistem Demokrasi atau mengembalikan
kedaulatan di tangan rakyat dalam proses pembangunan.
Salah satu perwujudan reformasi di bidang Pemerintahan adalah kebijakan otonomi
daerah, yang dimaksudkan adalah pemerintah dan masyarakat di daerah secara bersama
menentukan sendiri kebijakan dan proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
sesuai kebutuhan dan kondisi mereka. Kebijakan otonomi daerah juga berarti pengakuan
terhadap prinsip kedaulatan berada di tangan rakyat, kata lain dari demokrasi. Inilah capaian
penting dari reformasi di Indonesia, yang kemudian dikuatkan dengan lahirnya UU No. 22
tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU NO. 25 mengenai perimbangan keuangan
pusat dan daerah yang sejak 1 Januari 2001 sudah mulai diimplementasikan.
Permasalahannya adalah bagaimana kita mengejawantakan prinsip dan tujuan dari kebijakan
otonomi daerah itu dalam konteks local masyarakat Sikka dan menjadikannya sebagai prinsip-
prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Menurut kami, prinsip pokok pertama adalah meningkatkan partisipasi masyarakat.
Untuk maksud tersebut, pemerintah sebagai penyelenggara yang bertanggung jawab, terlebih
3
dahulu harus membenah diri, membenah perangkat dan mekanisme sistemnya agar proses
penyelengaraan pembangunan dapat berjalan sesuai yang diharapkan. Sementara itu posisi
masyarakat dalam tatanan kehidupan demokrasi, boleh dikatakan dinamikanya semakin
meningkatdan cukup potensial untuk berkembang baik secara kuantitas maupun kualitas.
Semua ini adalah hasil dan dampak positif dari reformasi. Kita patut bersyukur karena
masyarakat Sikka dapat merespon dan memberi isi terhadap reformasi. Persoalan sekarang
adalah bagaimana pemerintah daerah dan DPRD merumuskan sistim dan pola kebijakan yang
tepat agar dinamika aspirasi masyarakat ini bermanfaat bagi pembangunan masyarakat itu
sendiri.
Ada beberapa hal yang menurut hemat kami perlu dikembangkan agar dinamika
partisipasi ini bermanfaat untuk pengembangan demokrasi dan pembangunan kesejahteraan
masyarakat pada umumnya. Pertama, aspirasi masyarakat setidaknya harus dijadikan sebagai
acuan perumusan kebijakan politik dan pembangunan serta dijadikan sebagai salah satu pola
baku kontrol pelaksanaan kebijakan atau program tersebut. Ini berarti, perlu komitmen dan
kemauan yang ikhlas untuk menata ulang pola perencanaan pembangunan yang benar-benar
sinkron antara kebutuhan prioritas masyarakat serta missi tugas dan fungsi pelayanan dari
Unit – Dinas/ Satuan kerja pemerintah daerah. Sementara itu pengawasan teknis oleh Unit
kerja pemerintah serta masyarakat harus proporsional dan maksimal, sehingga kualitas dan
out put yang dicapai memadai. Pengalaman saat ini menunjukan bahwa koordinasi dan
sinkronisasi perencanaan dan pelaksanaan berbagai program pembangunan melalui
mekanisme yang ada ternyata masih benrjalan sendiri-sendiri bahkan kebutuhan prioritas
masyarakat sering tidak tertampung dalam berbagai program yang dilaksanakan pemerintah.
Masyarakat sering mempersoalkan program pembangunan yang dilaksanakan di wilayahnya
ternyata diluar dari yang prioritaskan dan diluar perencanaannya. Sehingga sering kali mereka
hanya menjadfi penonton dan pada giliranya mereka tidak merasa memiliki. Kedua,
pemerintah menfasilitasi dan mendorong berbagai bentuk asosiasi gerakan masyarakat (Civil
Society), seperti koperasi, LSM, perkumpulan, dll melalui kerja sama atau bantuan teknis
lainnya untuk mengembangkan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan, seperti
pendidikan, ekonomi skala kecil, dan berbagai bentuk pengembangan otonomi masyarakat
lainnya.
Masih berkaitan dengan partisipasi masyarakat adalah bagaimana menjadikan
masyarakat sebagai subyek yang mandiri/otonom. Menjadikan masyarakat subyek yang
otonom berarti, pertama-tama merubah cara pandang kita sendiri sebagai penyelenggara
pemerintahan. Pemerintah semestinya tidak lagi melihat masyarakat hanya sebagai obyek
pembangunan fisik yang dianggap miskin, bodoh atau pun tidak mau maju dan berkembang.
Bahwa masyarakat itu tidak memiliki potensi sumberdaya yang memadai dan peluang
4
mengelolanya pun terbatas, termasuk skill untuk mencapai kemajuan dalam berbagai bidang.
Tidak berarti kesempatan dan peluang mengelolanya pun menjadi terbatas. Persoalannya,
selama ini kita terjebak dalam ambisi membangun yang fisik untuk kebutuhan praktis
pragmatis, lalu kita tinggalkan yang strategis sprituil untuk kemanusiaan manusia.
Pendekatannya bersifat top down, dimana keterlibatan masyarakat menjadi sangat terbatas
termasuk proses pengambilan keputusan dan perencanaannya sendiri masyatrakat tidak tahu.
Lalu masyarakat menjadi penonton, tetpai proyeknya gagal dan mubasir maka masyarakatlah
yang dipersalahkan.
Menurut hemat kami masyarakat Sikka memiliki sumber daya yang cukup potensial
termasuk ketrampilan dan kreatifitas yang cukup survive di tengah tantangan hidup yang
mungkin paling keras di seluruh Indonesia. Masyarakat Sikka juga memiliki daya kreatif yang
tinggi sebagaimana terwujud dalam bentuk kreasi seni dan budaya. Masalahnya bagaimana
cara pandang pemerintah untuk mengembangkan potensi ini menjadi peluang dan harapan.
Untuk memacu pembangunan lima tahun ke depan Kabupaten Sikka dalam kerangka
otonomi daerah, kami tawarkan suatu pola pendekatan yang menjadi sebuah “gerakan” yang
dinamakan “GEMBIRA”. Kata ini merupakan akronim bebas: Gerakan Membangun Berbasis
Inisiatif Rakyat. Visi GEMBIRA ini menempatkan rakyat sebagai subyek yang dari padanya
kita menemukan kekuatan dan sumber inspirasi pembangunan.
Mengapa inisiatif rakyat menjadi basis? Pertama, kita percaya bahwa masyarakat Sikka
memiliki pengalaman dan kemampuan untuk membangun diri mereka sendiri. Ini adalah
bentuk apresisiasi bukan hanya terhadap kapasitas masyarakat tetapi juga terhadap apa yang
secara timbal balik saling mendukung, yaitu demokrasi dan pengembangan civil society.
Kedua, berdasarkan kebijakan otonomi daerah maka prinsip pembangunan bersifat top-down
pada masa Orde Baru harus kita ganti dengan model bottom up.
Selanjutnya di mana dan bagaimana posisi pemerintah daerah? Sejalan dengan prinsip-
prinsip di atas maka pemerintah daerah adalah fasilitator bagi pengembangan potensi
masyarakat. Dengan demikian pemerintah bukan lagi sumber dan asal mula proyek
pembangunan, melainkan rakyat. Di sini berlaku semacam prinsip subsidiaritas, yakni apa
yang dimiliki dan dapat dikembangkan sendiri oleh masyarakat tidak perlu campur tangan
pemerintah. Pemerintah hanya mengambil bagian dalam upaya membantu apa yang tidak
dapat dikerjakan sendiri oleh masyarakat, misalnya dengan memberi insentif pajak dan
fasilitas pinjaman kepada usaha-usaha kreatif masyarakat dan menyiapkan infrastruktur yang
memudahkan mereka untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar dan kemajuan yang
sustainable.
5
B. PROFIL KABUPATEN SIKKA:
1. KONDISI UMUM
Secara geografis, luas wilayah Kabupaten Sikka 7.436,10 Km2 terdiri dari luas
daratan (Pulau Flores) 1.614,80 Km2 dan pulau-pulau (17 buah) 117,11 Km2 dan luas
lautan 5.821,33 Km2 . Luas daratan Kabupaten Sikka dibandingkan dengan luas wilayah
Propinsi Nusa Tenggara Timur maka hanya sebesar 3,66% dari luas wilayah NTT sebesar
47.349,91 Km2. Keadaan topografi sebagian besar berbukit dan bergunung dengan lereng-
lereng yang curam diselang-selingi lembah. Untuk topografi datar pada umumnya terletak
di daerah pantai.
Kabupaten Sikka beriklim tropis seperti pada daerah-daerah lain di Indonesia pada
umumnya. Suhu berkisar antara 270C - 290C, pada musim panas maksimum 29,70C dan
pada musim hujan minimum 23,80C atau rata-rata 27,20C. Kelembaban udara rata-rata
85,5 % per tahun, kelembaban nisbih 74 % - 86 % Kecepatan angin rata-rata 12 - 20
knots. Musim panas 7 - 8 bulan (April / Mei - Oktober / Nopember) dan musim hujan
kurang lebih 4 bulan (Nopember - Desember - Maret - April) Curah hujan per tahun
berkisar antara 1.000 mm -1.500 mm, dengan jumlah hari hujan sebesar 60-120 hari per
tahun.
Penggunaan tanah di Kabupaten Sikka di dominasi lahan pertanian yaitu seluas
90.138 ha (52,05%), sedangkan penggunaan tanah lainnya yaitu kawasan hutan seluas 3
8.442,43 ha (22,20%), semak belukar seluas 23.745 ha (13,71%) dan lain-lain seluas
20.865,57 ha (12,05%).
Secara administratif Pemerintahan Knbupaten Sikka terdiri dari 12 (data tahun 2006)
kecamatan membawahi 160 desa / kelurahan (147 desa dan 13 kelurahan). Kemajemukan
suku dan adat istiadat penduduk Kabupaten Sikka merupakan potensi besar yang patut
dikelola secara baik untuk menunjang pembangunan daerah termasuk di dalamnya
semangat gotong royong yang masih tampak terutama di pedesaan. Secara umum terdapat 5
kategori adat budaya masyarakat Kabupaten Sikka, yaitu: adat budaya Lio, Sikka Krowe,
Muhang/Tana Ai, Bajo/Bugis dan adat budaya Palue. Rata-rata pendapatan per kapita
penduduk Kabupaten Sikka masih berada di bawah rata-rata NTT. Sampai tahun 2002
(berdasarkan harga berlaku) rata-rata pendapatan per kapita penduduk Kabupaten Sikka
sebesar Rp. 1.951.328 sedangkan NTT sebesar Rp. 2.060.000. PDRB tahun 2000
berdasarkan harga konstan tahun 1993 sebesar Rp. 219.875.435,- meningkat sebesar 5,69
% dan tahun 2001 sebesar Rp. 208.029.969, Rata-rata pertumbuhan ekonomi pada tahun
2002 sebesar 5,69%.
Sampai tahun 2002 Struktur Perekonomian Kabupnten Sikka masih didominasi oleh
sektor Pertanian sebesar 43,30%, sektor jasa sebesar 19,01%, sektor perdagangan, restoran
6
dan hotel sebesar 15,60%. Sedangkan sektor lainnya memberikan sumbangan yaitu di
bawah 2%.
2. POTENSI WILAYAH
a. Sumberdaya Manusia
Jumlah penduduk pada tahun 2003 adalah 276.507 jiwa dengan laju
pertumbuhan penduduk sebesar 0,53%. Jumlah kepala keluarga sebanyak 56.217 KK
dengan rata -rata 5 jiwa per KK. Sedangkan rata-rata kepadatan penduduk 154 jiwa
per Km2 (data BPS tahun 2003). Jumlah KK Miskin sebanyak 38.299 KK.
Tingkat pendidikan pada tahun 2003 didominasi oleh belum tamat SD sebesar
45,36%, tamat SD sebesar 29%, tidak sekolah / belum sekolah sebesar 9,35%, tamat
SLTP sebesar 7,56%, tamat SLTA sebesar 6,75% dan tamat akademi / perguruan
tinggi sebesar 1,94%. Jumlah sarana pendidikan tahun 2005 TK sebanyak 62 unit, SD
sebanyak 295 unit, SLTP sebanyak 49 unit, SMU sebanyak 20 unit, SMK sebanyak 8
unit dan Perguruan tinggi sebanyak 3 unit. 62 unit Puskesmas Pembantu, 6 unit Balai
Pengobatan, 4 bunh apotik, 101 unit Polindes, 490 unit Posyandu, 7 unit Puskesmas
Keliling Roda Empat, 3 unit Puskesmas Keliling Laut dan 3 unit Laboratorium
Angkatan kerja penduduk Kabupaten Sikka tahun 2003 sebanyak 138.012 jiwa.
Penduduk yang bekerja sebanyak 136.116 jiwa sedangkan penduduk yang sedang
mencari kerja sebanyak 1.896 jiwa.
a. Sumberdaya Alam
Pertanian
Pada sub sektor pertanian tanaman pangan, Kabupaten Sikka memiliki lahan
kering potensial yang luas tetapi letaknya tersebar (tidak pada satu hamparan tertentu),
sehingga sebagian besar lahan tersebut masih berupa lahan tidur. Lahan basah yang
potensial seluas 3.593 Ha, lahan fungsional seluas 2.032 Ha, sedangkan lahan basah
yang belum diolah seluas 1.561 Ha. Untuk lahan kering yang potensial seluas 86.545
Ha, lahan fungsional seluas 29.870 Ha daan lahan kering yang belum diolah seluas
57.135 Ha.
Untuk sub sektor perkebunan, areal perkebunan pada tahun 2003 seluas
6.717.325 ha. Untuk komoditi Kelapa luas areal 22.752,85 ha dengan produksi
4.379,276 ton, Kakao luas areal 20.421,87 ha dengan produksi 7.886,43 ton, Jambu
Mete luas areal 20.144,59 ha dengan produksi 2.096,25 ton, Kopi (uas areal 1.636,53
ha dengan produksi 158,033 ton, Cengkeh luas areal 1.497,58 ha dengan produksi
220.220 ton, Kepok luas areal 175,93 ha dengan produksi 20.008 ton, Jarak luas areal
501,86 ha dengan produksi 49.321 ton, Tembakau luas areal 464,35 ha dengan
produksi 73.719 ton, Vanili luas areal 360,50 ha dengan produksi 49.685 ton, Lada
7
luas areal 263,05 ha dengan produksi 94.304 ton clan Pala luas areal 427,14 ha dengan
produksi 31.083 ton.
Sub sektor peternakan, jumlah populasi ternak pada tahun 2003 di Kabupaten
Sikka antara lain kuda sebanyak 16.509 ekor, sapi sebanyak 8.640 ekor, kerbau
sebanyak 565 ekor, kambing sebanyak 75.952 ekor, babi sebanyak 224.821 ekor,
ayam sebanyak 536.734 ekor dan itik sebanyak 45.234 ekor.
Kehutanan
Jumlah pohon dan produksi tanaman kehutanan tahun 2003 yaitu Kemiri
sebanyak 110.286 pohon dengan produksi 1.671,58 ton, dan asam sebanyak 26.170
pohon dengan produksi 1.297,43 ton.
Perikanan
Luas perairan Laut Kabupaten Sikka (Laut Flores dan Laut Sawu) sebesar
5.821,33 Km2 atau sebesar 77,07 % dari luas wilayah Kabupaten Sikka. Panjang
garis pantai ± 379,30 Km2 dan potensi lestari perairan sebesar 21.175 ton per tahun.
Standing stock jenis pelagis 22.940 ton dan jenis demersal 12.352 ton. Potensi
penangkapan lestari untuk jenis pelagis 13.764 ton per tahun dan jenis demersal
7.411 ton per tahun (jumlah = 21.175 ton/tahun) atau 60 % dari standing stock.
Produksi perikanan tahun 1998 sampai dengan tahun 2003 secara berturut-
turut sebagai berikut: 6.784,2 ton; 7.322,6 ton; 7.927,9 ton; 8.230,2 ton; 8.475,2 ton.
Sementara tingkat pemanfaatan sampai dengan tahun 2003 sebesar 34,58 berupa:
a. Pelagis besar seperti ikan tuna cakalang, tongkol, cucut / hiu, tenggiri, terbang.
b. Pelagis kecil seperti ikan kembung, lemuru, teri, layang, selar, baronang.
c. Demersal/ikan - ikan dasar seperti kerapu, kakap, bawal, lencam, ekor kuning.
d. Non finfish:
Lobster, cumi-cumi, teripang, pelagis.
Nener: potensi lestari 65 juta ekor/tahun.
Produksi tahun 2003: 1.510.000 ekor / tahun (2,32 %).
Dengan garis pantai 379,30 Km maka peluang pengembangan usaha budidaya
terutama komoditi mutiara, rumput laut, teripang, baronang, bandeng dan udang.
Sampai dengan tahun 2003 yang sudah diusahakan adalah rumput laut dan mutiara.
Perkembangan Perdagangan antar pulau komoditi perikanan tahun 2003 yaitu:
1. Tuna /Cakang Baku :1.492.000 Kg ke Jakarta dan Banyuwangi
2. Ikan segar (tenggiri) :1.581 kg ke Denpasar
3. Kerapu segar :3.500 kg ke Denpasar
4. Kerapu hidup :425 kg ke Denpasar
5. Ikan teri kering :15.000 kg ke Kupang
8
6. Ikan.Kayu : 80.000 kg ke Makasar
7. Ikan Napoleon : 873 kg ke Denpasar
8. 8. Lobster hidup : 3.619 kg ke Denpasar
9. Nener : 1.510.000 kg ke Makasar
10. Anakan kerang Mutiara :1.510.000 kg ke Mataram
Perkembangan export komoditi perikanan tahun 2003 adalah Kerapu hidup
sebanyak 3.800 Kg ke Hong Kong.
Pertambangan dan Energi
Potensi bahan galian/tambang/mineral dan energi sebagai berikut:
Mineral industri:
- Gips Desa Dobo Kec. Mego (belum di survey)
- Kaolin Desa Bhera Kec. Mego (belum di survey)
- Porselin/ batu tokesi Desa Paga Kec. Paga (belum di survey)
- Pasir besi : Desn Lela Kecamatan Lela dan Desa Bola Kecamatan Bola;
- Clay: di Hikong, Kringa, Ojang, Wailamun, Nebe dan Talibura Kecamatan
Talibura; (belum di survey)
- Phosphate: Pemana Kecamatan Maumere; (belum di survey)
- Belerang: di Desa Egon Kecamatan Waigete 2000 Ha pernah disurvey oleh PT.
Andalan Alam;
- Mineral vital: aurum (Au) dan emas di Desa Tanarawa Kecamatan Talibura tahun
1987 diadakan pemboran oleh PT. Nusa Lontar Mining.
Potensi sumber energi yang telah dimanfaatkan adalah energi tenaga surya. Tahun
1999 Kecamatan Palue mulai digerakkan energi surya untuk penerangan / listrik bagi
100 rumah tangga, sampai dengan tahun 2003 sudah mencapai 1.543 KK
Pariwisata
Potensi obyek wisata Kabupaten Sikka keberadaannya ada yang sudah maupun
belum dikelola dan dikategorikan menjadi 5 yaitu:
1. Potensi wisata pantai/bahari
Obyek wisata yang sudah dikelola yaitu pantai Waiara, pantai Patiahu, Wairterang dan
Pantai Wodong. Sedangkan obyek wisata yang belum dikelola antara lain Pantai
Doreng, Pantai Koka, Pantai Waturia dan Pantai Sikka,
2. Potensi wisata alam/panornma alam
Obyek wisata yang sudah dikelola Taman laut Teluk Maumere. Sedangkan Potensi wisata
yang belum dikelola antara lain Gua alam Keytimu dan Wairbao di Bola, Air Panas di
9
Palue, Gunung Egon di Waigete, Batu Meteor di Desa Kloangpopot, pemandangan alam
puncak Bliran Sina Watublapi dan Taman Satwa di Pulau Dambila.
3. Potensi wisata rohani
Salah satu pusat agama Katholik, Kabupaten Sikka memiliki beberapa obyek wisata
rohani yaitu Gereja Tua Sikka, Patung Santa Maria (Mageria, Wisung Fatima Lela,
Watusoking /Watubala dan Hokor dan Patung Kristus Raja di Kota Uneng.
4. Potensi wisata budaya
Kabupaten Sikka dengan beragam suku memiliki kekayaan budaya yang beragam. Potensi
wisata yang sudah dikelola antara lain: Museum Blikon Blewut (Ledalero), Perahu
Tembaga / Jong Dobo (Desa Iantena) Kecamatan Kewapante, Kampung Tradisional
(Nuabari, Hewokloang, Wuring / Bugis) dan Sanggar Budaya: (Gait Gu di Tebuk, Cogo,
Canda di Nangahale, Tarian Bobu di Sikka, Bliran Sina di Watublapi, Wuat Puan di
Watublapi, Puger Mudeng di Ohe, Pesalintunn Penin di Dokar, Tarian Bebing di Hokor)
Sedangkan potensi yang belum dikelola yaitu Kuburan Batu / Kampung Tua Desa Lenan
Darate Kec. Paga, Ritual Watu Mahe, Gading Gajah Purba (Watublapi).
5. Potensi wisata minat khusus
Obyek wisata minat khusus antar lain Taman berburu di Pulau Besar, Pusat
Kerajinan Rumah Tangga dan pasar tradisional dan keanekaragaman budaya suku Palue
di Kecamatan Palue.
3. SARANA DAN PRASARANA
a. Perumahan
Kebutuhan akan rumah yang layak huni semakin meningkat dari tahun ke tahun
baik milik Pemerintah maupun perorangan. Jumlah bangunan rumah penduduk tahun
2003 sebanyak 55.200 buah, terdiri dari 9.519 buah Rumah permanen, 5.538 buah
Rumah semi permanen dan 40.143 buah Rumah tidak permanen
b. Prasarana Jalan
Total panjang jalan di Kabupaten Sikka pada tahun 2003 adalah 980,32 km
dengan perincian jalan negara sepanjang 121,68 km, Jalan Propinsi sepanjang 109,9 km,
dan Jalan Kabupaten sepan jang 748,74
c. Pelabuhan:
Jaringan transportasi laut yang dilayani Pelabuhan Sadang Bui (jenis pelabuhan
Nusantara) memiliki 3 (tiga) buah dermaga berkonstruksi beton berkapasitas sandar kapal
berukuran 10.000 GT.
Jaringan transportasi udara dilayani oleh Bandar Udara Waioti dengan kapasitas
landasan yang dapat didarati oleh Foker 28. Frekuensi penerbangan pada tahun 2002
10
sebanyak 398 kali PP dengan membawa 7.262 penumpang tujuan ke Maumere dan
memberangkatkan 9.129 penumpang keluar.
Perusahaan Penerbangan yang secara reguler melayani rute penerbangan dari dan
keluar Maumere adalah Merpati Nusantara Airlines dan Pelita Air dengan jadwal setiap
hari penerbangan Maumere, Kupang, Waingapu, Denpasar, Surabaya, Jakarta,
Yogyakarta dan Bandung.
d. Telekomunikasi
Fasilitas telekomunikasi yang terdapat di Kabupaten Sikka yaitu 1 Kantor Pos
Pusat dan 5 kantor pos pembantu, 1 Kantor Telkom dengan 4725 SST, 11 buah wartel,
stasiun relay TVRI, Stasiun Microwave, 2 Stasiun radio, 19 SSB don 3 Tower
pemancar Telepon 65M
e. Listrik
Kapasitas tenaga listrik yang terdapat di Kabupaten 5ikka sebesar 4.876 KW
dengan jumlah KWH jual sebesar 1.609,382 KW. Panjang jaringan listrik tegangan
menengah (JTM) sebesar 301,042 KMS, sedangkan jaringan tegangan rendah (JTR)
sebesar 337,11 KMS. Jumlah pelanggan saat ini adalah 16.560 RT dengan jumlah
gardu sebanyak 150 buah dan Va terpasang 13.797
f. Lembaga Keuangan
Lembaga keuangan yang terdapat di Kabupaten Sikka yaitu Bank sebanyak 8
unit, Pegadaian sebanyak 2 unit, Asuransi sebanyak 3 unit dan Koperasi sebanyak 99
unit.
g. Sarana Perdagangan
Sarana Perdagangan di Kabupaten Sikka yaitu Pusat Pertokoan sebanyak 4 buah,
Perdagangan sebanyak 20 buah dan Pasar sebanyak 15 buah yang merupakan pasar
tradisional.
h. Jasa Akomodasi
Jasa akomodasi di Kabupaten Sikka yaitu hotel dan restoran. Untuk Klasifikasi
hotel Bintang II sebanyak 2 buah, Melati I sebanyak 13 buah, Melati II sebanyak 3 buah
dan Melati III sebanyak 5 buah. Untuk restouran / rumah makan sebanyak 25 buah.
Untuk jasa lainnya antar lain biro perjalanan sebanyak 4 buah, cabang biro per jalanan
sebanyak 3 buah, agen perjalanan sebanyak 4 buah, Toko/koperasi cinderamata
sebanyak 3 buah, tempat billiard sebanyak 10 buah, taman rekreasi sebanyak 1 buah dan
Pub/Karaoke sebanyak 7 buah.
11
C. KENDALA UMUM PENGEMBANGAN KUALITAS PEMBANGUNAN;
endala yang senantiasa dihadapi dalam pengembangan kwalitas pembangunan
masyarakat sesuai paradigma otonomi dengan konsep pemberdayaan dan penguatan
masyarakat yakni:
KPertama, Kendala Historis; Feodalisme dan kolonialisme yang pernah dipraktekan,
secara efektif di Indonesia selama 3,5 abad, telah melumpuhkan kepercayaan diri dan harkat
manusia yang merdeka. Bahkan proses ini menciptakan mentalitas masyarakat yang pasif dan
selalu bergantung pada pihak lain sangat kuat.
Kedua, Pendekatan pembangunan yang top down; implikasi pendekatan tersebut, yakni
“semangat mengatur” kehidupan masyarakat oleh birokrasi pemerintah sangat dominan,
sehingga prakarsa dan inisiatip serta partispasi masyarakat menjadi terbatas.
Ketiga, Kendala yang bersifat kelembagaan ;
1. Kelembagaan yang ada di masyarakat; seperti, LMD,LKMD, PKK, POSYANDU,
KUD, KARANG TARUNA, dll, selalu berorientasi keatas dan lebih banyak
mewakili kepentingan pembangunan yang di rancang dari atas. Disamping itu para
pimpinan dan anggotanya yang terlibat, karena mobilisasi, tanpa proses rekruitmen
dan kaderisasi yang terstruktur sehingga komitmen, kreatifitas dan inisiatip kerja
sangat lemah, untuk mengartikulasikan/ menerjemakan kebutuhan dan kepentingan
masyarakat.
2. Kelembagaan pemerintah, seperti Dinas – Instansi serta Unit satuan kerja yang
mengemban tugas sebagai “pelayan public” mempunyai dua kendala structural
yakni: Pendekatannya masih berorientasi sektoral, koordinasi dan keterpaduan
program serta implementasinya masih belum berjalan baik. Sementara itu
pengalaman untuk memfasiliatasi program secara partisipatif dengan orienatsi untuk
proses belajar dan pemberdayaan masyarakat, masih belum menjadi komitmen
bersama dan andala keberhasilan program.
Keempat, Masih belum ada persepsi untuk memberikan kepercayaan sepenuhnya
terhadap kapasitas dan kemampuan masyarakat pedesaan. Pandangan tersebut memberi label
bahwa masyarakat adalah komunitas yang tidak mandiri, tidak mampu, kurang kerja keras,
masih tergolong miskin, tidak mau maju dan tidak kreatif, sehingga menimbulkan distorsi di
dalam proses pengambilan keputusan kebijakan pembangunan dan implementasinya.
Masyarakat dilihat sebagai obyek pembangunan semata dan beban yang harus ditangani.
Kelima, Pendekatan pembanungunan lebih mencirikan karitatif, dimana kebutuhan-
kebutuhan praktis/sesaat yang menjadi porsi perhatian, lalu menempatkan masyarakat
menjadi obyek kebaikan hati dan belas kasihan.
12
Keenam, Partisipasi masyarakat masih diukur dalam wujutnya yakni memberikan
tenaga atau bahan local dan swadaya uang, bukan lebih pada perhatian dan partisipasinya
dalam setiap langkah proses yakni mulai dari pengambilan keputusan, perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, pemanfaatan dan evaluasinya.
D. FILOSOFI PENDEKATAN GEMBIRA
elajar dari pengalaman-pengalaman masa lalu dan mencermati realitas kehidupan
masyarakat kabupaten Sikka dalam melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan,
maka kita akan menemukan budaya kerja dengan pola gotong royong yang telah mengakar
pada masyarakat Sikka yang sarat dengan nilai kebersamaan dan kekeuargaan.Realitas mana
menunjukan bahwa masyarakat Sikka dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, mereka selalu
mengerjakannya secara bersama-sama dalam suasana gembira dan suka cita tanpa merasakan
sebagai beban, penuh kekeluargaan. Misalnya kegiatan “Sako Seng” yakni gotong royong
mencangkul – mengolah lahan untuk bertani, yang dilakukannya secara bergilir setiap hari
untuk setiap orang atau berdasarkan kesepakatan besama, dimana sambil bekerja, selalu ada
nyanyian atau pantun berbalas pantun tradisional yang mengiringi kerja mereka sehingga
menambahkan semangat dan gairah kerja tersebut. Suasana tersebut menjadikan mereka
tidak memperdulikan panas terik matahari maupun hujan yang menguyur badan, sehingga
tetap gembira dan enjoi. Malah “Sako Seng” juga menjadi ajang – arena bagi muda mudi
“tempoe doeloe” untuk memadu cinta, yang berakir pada pelaminan dan banyak sukses bagi
pasangan yang akirnya menikah. Dengan demikian kata gembira adalah suasana dimana
orang tidak memiliki beban apapun teristimewa batinnya yang membuat seseorang senang,
bahagia, sukacita, riang dan rileks.
B
Selanjutnya dalam konteks paradigma baru sistem pemerintahan di Indonesia yakni
dengan adanya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tantang
Otonomi Daerah, maka paradigma pembangunan pun bergeser dari pola “Top down”
menjadi “Buttom Up”, dimana masyarakat hanya menjadi obyek dari program dan proyek
yang direncanakan dan dilaksanakan oleh orang lain teristimewa pemerintah sebagai
penyelenggara Negara, sehingga masyarakat hanya menjadi penonton. Sedangkan
penyelenggaraan otonomi menempatkan masyarakat sebagai subyek yang bertanggung jawab
penuh atas kesejahteraan hidupnya, sehingga pihak luar menjadi mitra yang mendorong
terwujudnya kesejahteraannya. Atas dasar kerangka argumentasi ini, maka untuk
melaksanakan pembangunan dalam kurun kepeimimpinan kami lima tahun kedepan, kami
menawarkan pola pendekatan pembangunan menjadi sebuah “gerakan” sehingga proyek
bukan demi proyek, melainkan proyek dan kegiatan harus menjadi sarana belajar dari
sebuah proses demokrasi dimana masyarakat merasa memiliki karena keputusannya sendiri.
13
Atas argument dan pemahaman tentang otonomi daerah dengan paradigma pembangunan
“buttom up” tersebut maka untuk mendukung dan memperkuat komitmen pembangunan yang
berwawasan kerakyatan lima tahun kedepan, kami lebih memilih filosofi pembangunan yang
kami namakan GEMBIRA. Kata ini mempunyai makna sebagaimana telah kami paparkan
diatas. Selanjutnya sebagai sebuah filosofi pendekatan pembangunan maka kata GEMBIRA
merupakan akronim bebas sebagai Gerakan Membangun Berbasis Inisiatif Rakyat.
Pendekatan GEMBIRA ini jelas menempatkan rakyat sebagai subyek/aktor yang dari
padanya kita menemukan kekuatan dan sumber inspirasi pembangunan. Melalui filosofi ini
kita ingin memberikan pengakuan, penghargaan dan kepercayaan atas kapasitas dan
kemapuan masyarakat untuk melaksanakan dan mencapai kesejahteraan hidupnya. Sedangkan
pihak lain harus menjadi mitra fasilitator yang mendukung dan mendorong terwujudnya cita-
cita mereka.
Terdapat dua kata Kunci yang sarat makna dari filosofi ini yakni kata-kata “gerakan”
dan “inisiatif”. Gerakan bermakna bahwa setiap program dan kegiatan yang dilaksanakan
untuk masyarakat entah dari lembaga atau pihak manapun harus menjadi media belajar
bagi masyarakat sebagai proses demokrasi dimana setiap tahapan kegiatan proyek
melibatakan masyarakat dan masyarakat merasa memilikinya. Disamping itu hasil dari
sesuatu proyek atau kegiatan tidak menjadi satu-satunya tujuan akir, melainkan kehadirannya
harus mendorong dan menggerakan masyarakat untuk merencanakan dan melaksanakan
kegiatan-kegiatan lainya untuk mengatasi berbagai persoalan yang mereka hadapi.
Selanjutnya, mengapa inisiatif rakyat kita jadikan sebagai basis argumentasi atau kata
kunci dari filosofi ini? Pertama, karena kita percaya masyarakat Sikka memiliki
pengalaaman dan kemampuan untuk membangun diri mereka sendiri. Ini adalah bentuk
apresisiasi bukan hanya terhadap kapasitas masyarakat tetapi juga terhadap apa yang
secara timbal balik saling mendukung, yaitu demokrasi dan pengembangan civil society.
Kedua, berdasarkan kebijakan otonomi daerah maka prinsip pembangunan bersifat top-
down pada masa Orde Baru harus ditinggalkan dan diganti dengan model bottom up.
Di mana dan bagaimana posisi pemerintah daerah? Sejalan dengan prinsip-prinsip di atas
maka pemerintah daerah adalah fasilitator bagi pengembangan potensi masyarakat. Dengan
demikian pemerintah bukan lagi sumber inisiatif dan pemrakarsa proyek pembangunan,
melainkan rakyat. Di sini berlaku semacam prinsip subsidiaritas, yakni apa yang dimiliki dan
dapat dikembangkan sendiri oleh masyarakat perlu dihargai dan dikembangkan pemerintah.
Pemerintah dapat mengambil bagian dalam upaya membantu apa yang tidak dapat dikerjakan
sendiri oleh masyarakat, misalnya dengan memberi insentif pajak dan fasilitas pinjaman
kepada usaha-usaha kreatif masyarakat dan menyiapkan infrastruktur yang memudahkan bagi
mereka untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar dan kemajuan yang sustainable.
14
Memang membangun dengan model pendekatan ini menjadi tidak mudah dan kompleks,
namun kita harus mulai dengan proses yang demokratis dan partisipatif. Karena itu, perlu
waktu dan “kesabaran” dan komitmen kuat semua pihak.
15
BAB II
MELETAKKAN DASAR DAN ARAH PANDANG
DARI PEMBANGUNAN BERORIENTASI PERTUMBUHAN
KE PEMBANGUNAN BERBASIS RAKYAT
A. KILAS BALIK VISI PEMBANGUNAN BERORIENTASI
PERTUMBUHAN
Para ahli ekonomi pembangunan ortodoks biasanya mendefinisikan pembangunan
sebagai pencapaian pertumbuhan ekonomi yang akan meningkatkan standar hidup.
Peningkatan ini akan dicapai melalui penggunaan sumber daya manusia, sumber daya alam
dan kelembagaan. Gross National Product / GNP merupakan ukuran kemajuan yang paling
nyata menurut definisi ini. Namun sesungguhnya definisi ini jika diperhadapkan dengan
berbagai kenyataan pengalaman dari banyak Negara maka pembangunan yang berorientasi
pertumbuhan tidak memberi arti yang signifikan kepada orang miskin. Pengalaman bangsa
Indonesia dari beberapa dekade lalu hingga saat ini membuktikan bahwa pertumbuhan
ekonomi tidak dengan sendirinya meningkatkan taraf hidup mayoritas orang yang nota bene
adalah kaum miskin-kecil-tertindas. Pertumbuhan ekonomi disatu pihak sementara dipihak
yang lain tidak memperhatikan Peningkatan kwalitas sumber daya manusia maka roda
pembangunan secara umum dapat dilakukan dengan tidak mempedulikan hak asasi manusia.
Sumber daya alam dihambur-hamburkan hanya untuk mengejar keuntungan jangka pendek –