Apr 06, 2016
Gemuruh Jiwa Titisan Hawa
Mentari menampakkan senyumnya
Menyiratkan semburan cahaya
Kuning merekah indah
Menyemai kedamaian alam semesta
Desir pasir berayun pelan
Menyibak pantai yang gersang
Perahu menari-nari dengan lihai
Meronta, melawan desiran ombak
Apakah ombak akan menaklukkan perahu?
Atau perahu akan menaklukkan ombak?
Entahlah…
Setetes rindu pada kebebasan
Merekah kuat di dalam kalbu titisan hawa
Melambai-lambai pada jeritan kata
Semakin kuat, semakin dekat
Mari, mari sambut kebebasan
Kebebasan yang hakiki
Bukan dia yang hina
Bukan dia yang nista
Namun, dia yang mampu menari di atas ombak
Derai Mimpi Kartini
Kala langkah tak berkawan
Kala asa tak bertuan
Hati seakan mati
Redup tak berarti
Jengkal demi jengkal
Terasa sangat berat
Namun cita tak akan padam
Terpatri kuat, terkunci rapat
Mimpi pun membara
Menganga di setiap detik
Maju, bergerak, perlahan
Semilir membawa harapan
Goresan pena terukir mesra
Tetes demi tetes
Lembar demi lembar
Menari dalam relung imajinasi
Kini, ia menjadi cahaya dalam kegelapan
Menjadi pelita dalam kebodohan
Menopang asa dan cita
Mewangi di setiap hembusan nafas
Menebarkan cinta di setiap sudut negeri
Bak awan yang menghiasi birunya langit
Indah, sangat indah
Mimpi yang abadi
Sepanjang masa
* Alfi Muhimmatul
Kartini
Hentakan mulut berdengung
Merayap ke atas angin
Berterbangan menyelimuti
Gelapnya awan
Awan menangis sendu
Hujan hati bertatap saja
Jiwa merah muda merayap
Mengubah gelap hitam
Ke putih terang
Siapa?
Kartini,
Wanita pemberi inspirasi penghujung mati
* Uswa
Ibuku Ibu Kartini
Peluh keringat menetes pelan
Membasahi sisi dipelupuk hati
Duka lara tiada di rasa
Demi bahagianya sang buah hati
Ibuku Ibu Kartini
Menjaga kami tanpa rasa lelah
Ia bukan wanita perkasa
Tubuh ringkihnya dimakan umur
bertambah usia
Raut wajah goresan cerita
Mencerminkan kerapuhan jiwa
Keluh kesah tiada dirasa
Berjuang hidup demi belahan jiwa
Ibuku Ibu Kartini
Membesarkanku sepenuh hati
Sesosok kartini nyata
Menjagaku dengan derai keringat juga air
mata
Habis Gelap
Habis gelap terbitlah terang
Tak hentinya kami berucap syukur
Harum namamu bau semerbak
Menumbuhkan semangat dalam gejolak
Mengorbankan jiwa raga
Menghilangkan sekat antara kita
Demi terwujudnya emansipasi wanita
Kau tak ingin wanita dijajah pria
Wanita lemah tak berdaya
Tak mampu untuk melawan
Hanya pasrah merenung dalam jiwa
Apalagi hak yang diperjuangkan
Kini semua telah sirna
Karena jasamu wahai sang ksatria
Bekerja keras demi Indonesia
Memperjuangkan kesamaan jiwa
* Rizky
Tanganku yang Tak Sampai
Ingin aku buat beberapa rampai
Tentang kau yang ku cintai
Bukan alai
Tapi ini air yang meng-ambai
Sungguh yakin akan kau yang menguntai
Di dedaun pagi yang tak semampai
Andai…..
Aku bisa mencintai
Hanya kau yang aku sampai
Hai..
Sapa hangat sang dawai
Di antara ngarai dan belum terbukanya
tirai
Kau masih terlihat pasai
Hingga sapa sang dawai harus berulangkali
membelai
Sudah mulai
Iya, merdu dari kidung dawai
Tentang kasih tinggi yang se-mampai
Tetapi,
aku masih mencoba mendapak sunyi untuk
menggapai Sang derai
Namun,
aku hanyalah bangkai
Layaklah jika kau mengabai
Jika ada badai
Hilanglah kau Sang bisai
Dan aku lihat beberapa bagian bilai
saat aku beranikan diri membuka tirai
Dan begitulah aduhai
Tuhan punya cipta pada bonsai
Juga pada arombai di tepian pantai
Jika kau pandang aku sebagai masai
Biarlah masai ini terus me-lalai
Menjadi untai
Untai yang menjadi esai
Hingga akhirnya aku selesai
Sebuah rima yang aku pakai untuk mencintaimu saat kita
terlarai
Perempuan yang Berubah
Mengasur tidur tak terpancang cagak
Tangan mengepal, yang sudah mengapal
perjalanan rantau kemarau dibulan
April
Rebah marah atau hanya desah kesal
menggumam pada kebencian luka
Menata bata dari kata orang lain berbayar
harga :
"Kerja..."
Perempuan senja di hamparan sorga
Aku di sebalik neraka berusaha mengeja
Bukan pada harga yang jauh terjaga
Melainkan kotaKota renta usia yang haus
akan noda
Jika perempuanku telah berbeda
Tangannya akan semakin mengepal lama
Berotot nyata, pada kunangKunang yang juga
sama-sama suka senja
Pada tengkulak yang mencoba mencurangi
nelayan2 di kota
Mereka sama
Perempuanku,
Jika tanganmu semakin membatu
Air akan mengasuhmu lewat basuh lembut
kesabaran
Memberikan 3 menit bisu keterdiaman
Mengolah logika-logika lama
Mendulang lagi kenangan akan senja berdua
Lewat waktu yang serasa koma
Mencapai melankolia lama
Perempuanku,
Jika tanganmu tak lagi menyiku
Ada satu kalimat untukmu:
"Aku masih ingin bertemu"
Keinginan Menyentuh ragu dengan puisi, 2014
* Pranata
Banyak yang mengatakan
Banyak yang bilang
Banyak yang mengatakan
Banyak yang mengecam
Tentang dia
Dia sang anak adam
Banyak yang mengatakan,
Wanita suka menangis karena keadaan
Namun disibak sanalah wanita berjuang tuk
para pahlawan
Banyak yang mengatakan,
Wanita mudah pecah bag cermin hiasan
Disitulah ditemukan, kekuatan sang Ibunda
dalam berkorban
Banyak yang mengatakan,
Wanita lemah dan tak berpengetahuan
Itu dulu tuan,
Sebelum emansipasi datang
Banyak yang mengatakan,
Wanita hanya teman belakang dalam
kehidupan
Tapi, disinilah wanita bersinar dan tak
pernah terbenam
Diantara jutaan, 28 April 2014
Gadis Ayu
Gadis Ayu
Oksigen mahal itu bagimu
Pijatan jarum penghias tubuhmu yang kaku
Cairan plasma luruh, deras, seiring
mengguyurmu
Virus, sahabat setia dalam hidupmu
Gadis Ayu
Gumam itu tak bernada
Jeritanmu tertahan tanpa suara
Valium pembius rintihan merdu berdawai ria
Ranjang beroda mengantarkan ragamu ke
singgah sana
Gadis Ayu
Berbaring lemas nan sayu
Hidupmu tak ingin menghitung waktu
Senyum terlempar tanpa pandang bulu
Semangat hidup adalah perjuanganmu
Leukimia, rumah sakit, 2010
* Ulin
Ilustrasi :
Imam “3 Koma”
Ibu Kartini hingga
Ibu dan Aku
Kau baktikan sisa hidupmu tuk wanita
Indonesia
Hingga mereka mampu berkata
Kau turunkan kelihaian jemari dan tutur
katamu
Hingga mereka mampu berkarya
Kau limpahkan seluruh jiwa dan ragamu
Tuk perjuangkan martabat wanita di depan
bangsa
Selayaknya engkau kartini,
Ibuku pun menjadi wanitamu
Wanita yang berpegang teguh denganmu
Membimbingku menjadi wanita kartini
Memegang jemari ini tuk berani menapaki
tanah air
Menapakkan telapak ini tuk akhirnya
berdiri
Berdiri tuk melahirkan karya
Berdiri tuk menyuarakan semangatmu
Karna ku berdiri karna Ibu dan semangatmu
Salam Ku Untukmu Kartini
Gejolak jiwa yang dahulu tertindas,
membangkitkan raga hawa sesungguhnya
Perjuangkan makna hawa untuk dunia
Meski kau tlah menyatu dengan alam,
Namun tak pernah mati dalam jiwa perempuan
indonesia
wahai kartini semangat dan perjuanganmu
melekat pada wanita titisanmu
Aunganmu mampu membangkitkan jiwa ini
hingga Bangkit dan berdiri kokoh tuk dunia
Dan aku percaya,
wanita Kartini tak lagi tumbang oleh
hembusan Adam
Kusuarakan selalu Salamku Untukmu Kartini
* Tita
Kau Tak Dapat Ku Miliki
Seribu puisi yang kupunya,
Tak mampu menyaingi indah wajahmu,
Kau adalah keindahan,
Yang menghiasi duniaku,
Memandangmu,
Aku berharap waktu berhenti,
Menyentuhmu,
Seperti menyentuh sesuatu yang rapuh,
Tapi sangat berharga,
Kau adalah jejak,
Yang iringi langkahku,
Kau adalah detak,
Yang iringi jantungku,
Kau adalah air mata,
Yang iringi tangisku,
Karena kau kan selalu ada di hatiku
..................
Ibu Sahabat Pertamaku
Ibu,
Kau ajarkan aku tentang cinta,
Cinta pertama dalam hidupku,
Sejuta kasih kau suap di mulutku,
Kau adalah sosok sahabat tiada tara,
Pengorbananmu tak mampu ku ucap dengan
kata-kata,
Pahlawan pertama dalam nafasku,
Nyawaku terlindung berbalut cintamu,
Tiada tara,
Tiada kata,
Itulah pengorbananmu,
Ibuku,
Kaulah sahabat cintaku,
Mengalir kasih pertamaku,
Doaku kan selalu menyertaimu
* Azalia
Titik itu berhenti
koma itu berhenti sejenak,
Seru itu segera
dan tanya itu
.....
Apakah sudah Kau jawab
kapan akan kau gores pena (lagi)..?
Wanita dalam sosok
Sosok rapuh namun tak melepuh
Sosok indah namun tak merasa megah
Sosok pasrah namun tak berserah
Dan sosok teduh namun tak rusuh
Merasa semua semu
Mengalir tak berair
Merasa semua hampa
Mengembang dalam alunan tak bersua
Mungkinkah bertanya
Kepada ombak hati tak bertuan
Mungkinkah menyapa
Kepada rintihan tangis yang bergema
Meraih asa tanpa resah
Meraih angan tanpa desah
Menggenggam tangan dalam buaian
Menjadi hangat dalam dekapan
Inilah kisah tak usai
Dalam dunia warna
Ombang ambing gejolak wanita
Dalam rangkaian sinema
* Khikmah
Wanita perkasa
Senja,
Redup yang pankan mata
Di bawah ronanya
Tergeletak puluhan ribu nyawa
Menggentung tanpa arti
Menunggu,
Menyepi,
Membawa derita, memikul asa
Kudus, 04-04-2014
Andai Ku Terlahir Bukan Dari
Rahim Mu Ibu
Andai Ku Terlahir Bukan Dari Rahim Mu Ibu,
Kini ku bimbang bersamamu Apa aku harus
senang?
Aku tak bisa merasakannya Apa ku harus sedih?
Aku masih meragukannya
Andai waktu bisa ku putar kembali
Andai kau bukan Ibu yang melahirkan ku
Aku ingin mencobanya
Mencoba hidup dengan topangan kaki ku
Mencoba berjalan mengikuti hati ku
Aku ingin tahu,
Bagaimana aku hidup tanpa bayangmu ibu
Mata yang selalu mengitariku,
Rasa ingin tahu ku,
Selalu menujam dalam benak ku
* Rina
Talang cinta
Talang cinta Tuhan
Helai rambut hitam menikam
menatap senja di keheningan
Tiba saatnya
Talang Cinta dengan luruh dalam pendakian doa
Setelah dua ratus tujuh puluh hari bersemadhi
dalam hening jati diri
di detak jantung ibu
duh ibu,
Tuhan
cinta apa yang pernah alpa untukku
dekap kasih yang tak pernah lekang bagiku
tak ada keluh, tak ada kesah, dibalik matamu
yang senantiasa basah
dan angka - angka inflasi yg memusingkan tiap
kepala
hanya engkau yang selalu berkata
makanlah, ibu masih kenyang
pakailah, pakaian ibu masih bagus
tenanglah, akan ibu lakukan apa saja untukmu
ibu
bagimu cahaya surga
wakil Tuhan di dunia
di kakimu aku bersimpuh
menghantarkan bakti dan cinta
yang mungkin kelak ku alpa..
* Yudi
sayang, bunga itu
aku tidak terima, bunga itu terambil orang
aku tidak rela, malam ini dapat kabar
kamu akan di ambil orang
kenapa itu?
aku pun tidak tahu, mau berkata apa
pilihan darimu, hakmu saja
aku tidak bisa bicara lama
lamunan malam ini pertanda hampa
bersiaplah menyantap kehidupanmu
Kudus, 22022014
Camar Biru
Camar, lihatlah itu
pergi dengan perlahan
berdesir suara lirihnya
sekejap berdendang, terdengar lamban
beserta geyuyup angin romantis
saling berhimpitan batang-batang
sungguh tidak terdengar
kicauan lembut
hanya daun pojok itu yang
mendengarnya,
itupun tak keras
namun kian sirna
camar datang dengan perempuan menangis
itupun sirna dalam lantunan angin
tak selang lama, camar kembali
dia hanya meninggalkan lima kata saja
"cinta tak selalu tepat waktunya"
masih ada jalan untuk melewati dan berdiam
diri
kudus, 13032014
* Ulum
WANITA DI ZAMAN EDAN
Wanita di zaman edan
Ahlaknya serba kebablasan
Wanita di zaman edan
Moralnya serba tak kecukupan
Wanita di zaman edan
Kecanduan kosmetik oplosan
Wanita di zaman edan
Auratnya………Ahai!
sungguh menawan,
Bagi birahi yang kelaparan.
Wanita di zaman edan
“Lonte PK ayam kimcil cabecabean”
Di zaman edan,
Wanita edan!
Kudus, 15 April 2014
* Umam
Ilustrasi :
Imam “3 Koma”
Kejutan Mengerikan
Buah Tinta: Yuni Isnawati*
Aku terdiam dibalik kaca jendela.
Melihat beberapa kuncup bunga anggrek yang
sedang mekar. Hanya beberapa,tapi terlihat
sangat cantik. Warnanya yang putih cerah
berpadu dengan warna ungu yang membentuk
gradasi, seolah membawa pikiran ke dalam
suasana yang sedikit berbeda ketika
melihatnya meskipun hanya beberapa detik.
Aku berbalik arah, melihat suasana rumah
yang sepi. Bagi keluargaku, hari minggu
adalah bonus waktu untuk berlama-lama di
dalam selimut. Jadi tidak heran, jika di
hari minggu aku sering menikmati suasana
pagi tanpa aksi jahil adik adikku yang
sering membuat gaduh.
Aku berjalan pelan menuju meja makan.
Aku mengambil ponselku yang tergeletak di
meja makan. Sambil duduk di kursi, aku
membuka pesan yang belum aku baca sejak
tadi malam karena tidak kuat menahan
kantuk.
Ada empat pesan dari kontak yang
sama. Aku namai kontak tersebut dengan
nama “Mas Hendra”. Hendra adalah kekasihku
sejak tiga bulan yang lalu. Kami adalah
teman yang sering satu kelas ketika
kuliah. Aku memang tertarik dengannya
sejak pertama kali aku melihatnya. Namun
waktu itu aku tidak berani berharap agar
bisa dekat dengannya. Karena aku sadar,
aku bukan wanita berparas cantik,
berpenampilan menarik, dan tidak pintar.
Aku mahasiswa biasa. Sungguh berbanding
terbalik jika dibandingkan dengan Hendra.
Dia adalah kakak tingkatku, dia dua tahun
lebih tua dariku. Dia mahasiswa semester 8
yang penampilannya sangat menarik.
Wajahnya tampan, senyumnya ramah, dan
banyak dikenal oleh mahasiswa kampus
karena keaktifannya dalam beberapa
organisasi. Ya, bisa dibilang dia itu pria
idaman bagi banyak wanita. Jadi aku masih
tidak percaya, seorang lelaki yang dikenal
dengan banyak kelebihannya itu menyukai
wanita biasa sepertiku. Wanita pendiam
yang tidak memiliki popularitas.
Aku membaca pesan darinya satu per
satu. Terbayang sosoknya yang gagah itu
dalam benakku. Aku tersenyum, tersipu, dan
merasa sangat senang. Bukan hanya karena
pesan-pesannya yang selalu menaikkan detak
jantungku. Tapi semua memori akan
kejadian-kejadian kecil yang kami lalui.
***
Wajah beberapa mahasiswa tampak
sedikit mengerut karena teriknya matahari
yang membakar kulit. Aku duduk di salah
satu kursi di sudut ruangan berdinding
kaca. Sesekali aku melihat ke arah luar,
mencari batang hidung mas Hendra. Aku
memasang senyum melihat dosen muda yang
melintas. Beliau adalah dosen kuliah kami
hari ini. Beliau memang disiplin. Saking
disiplinnya, beliau sering menunggu
mahasiswanya yang datang. Mungkin itu
salah satu sebab beliau bisa mencapai
kesuksesan di usia muda. Yaitu disiplin
dan bisa mengelola waktu dengan baik.
Aku kembali memasang senyum,
menyambut kedatangan mas Hendra yang
tampak semangat. Wajahnya terlihat segar,
seperti wangi parfum yang dia pakai hari
ini.
“Gimana tidurmu semalam?” ucapnya
membuka pembicaraan sembari duduk di
sebelahku.
“Nyenyak mas.”
Jawabku dengan senyum singkat.
“Maaf ya akhir-akhir ini aku agak
sibuk, soalnya lagi banyak urusan. Hari
ini aku kuliahnya juga cuma sebentar, mau
pamit sama pak Dani dulu” ujarnya, sambil
merapikan lengan baju panjangnya.
“Emm...memangnya mau pergi kemana
mas?”
“mas mau ke...”
“Eh Hendra, Widia. Kalian ngapain
mojok disitu? Ayo cepat masuk kelas.
Kuliah sudah dimulai tuh!” tegur Bowo
sambil menarik lengan Hendra menuju kelas.
Aneh, Bowo seperti sengaja memotong
obrolan kami. Ya sudahlah, mereka kan
teman karib. Mungkin Bowo tidak ingin
temannya itu terlalu lama mengabaikan
kelas kuliah yang sudah dimulai sejak
beberapa menit yang lalu.
***
Sejak hari itu, mas Hendra semakin
jarang menemuiku. Hanya pesan-pesan
singkat yang mengingatkanku untuk makan,
istirahat, mengerjakan tugas. Dia
membuatku merasa kehilangan.
Jika aku bertanya, “sebenarnya mas
Hendra sibuk apa?” Dia menjawab “Mas
sedang sibuk buat masa depan.” Lalu jika
aku bertanya, “Masa depan gimana
maksudnya?” Dia menjawab, ”Masa depan yang
mas inginkan.” Semua jawaban itu tidak
menjawab rasa penasaranku.
Aku masih bertanya-tanya, tapi aku
tidak ingin mencurigai mas Hendra. Mungkin
karena skripsinya yang sulit sehingga
menghabiskan banyak waktu dan pikiran.
Iya, aku harus percaya sama mas Hendra.
Aku harus bisa mengerti dia disaat dia
sibuk seperti ini.
Aku menghela nafas. Menyusul ketiga
temanku yang berjalan menuju kantin.
Mereka adalah Ana, Dina dan Ulya. Kami
duduk berhadapan di meja persegi panjang
yang siap menjadi lahan untuk santapan
kami. Kami adalah teman sejak ospek.
Pertemanan kami tidak terlalu dekat, hanya
sekadar teman biasa yang sering makan
bersama di kantin.
“ini ya, yang namanya Widia?”Suara
wanita menghentikan gurauan kami.
Kami memandangi wanita cantik itu.
Wanita itu berdiri tepat di hadapanku,
bersama kedua temannya.
“iya. Aku Widia. Kamu siapa?” kataku
sambil menatap mata lentiknya yang terbuka
lebar.
“Gue Ratna.” Jawabnya dengan nada
ketus.
Wajahnya menyiratkan kebencian. Meski
begitu wajahnya tetap cantik dengan
pulasan make up tipis. Tubuhnya tinggi dan
ramping. Sangat apik dengan balutan dress
warna biru yang membuat kulitnya terlihat
cerah. Tapi sayang, dia kurang tahu sopan
santun. Sehingga mengurangi aura
kecantikannya yang elok.
“Kayaknya aku gak kenal sama kamu
Ratna. Ada apa ya?” tanyaku lagi.
“Tidak ada apa-apa. Cuma mau
memberikan ini.” katanya sambil
menyodorkan amplop berwarna coklat.
Aku menerimanya dengan wajah yang
masih bertanya-tanya. Menatap wajah gadis
cantik itu lekat-lekat. Antara terpesona
dan heran. Gadis itu lantas melangkah
pergi di susul dengan kedua temannya.
Melenggak lenggok hingga membuat beberapa
lelaki tercekat melihatnya. Suara hak
sepatunya perlahan menghilang, membuatku
berhenti memandangi gadis cantik itu.
Aku teringat dengan amplop yang ada
di tanganku. Aku membukanya dengan rasa
penasaran. Aku mengambil 2 lembaran foto
di dalamnya. Memandangi dua orang yang ada
di foto-foto itu.
Aku terbelalak. Aku masih tidak
percaya. Foto mas Hendra yang sedang asyik
bersantap di sebuah kedai bersama wanita
tadi. Apakah ini jawaban dari pertanyaanku
selama ini? Apakah yang aku khawatirkan
selama ini memang terjadi? Apa benar, mas
Hendra tega membohongiku dengan cara
seperti ini?
Aku tidak menghiraukan komentar
teman-temanku yang terdengar histeris
melihat dua lembar foto itu. Pikiranku
melayang jauh. Apakah mungkin mas Hendra
mempunyai hubungan khusus dengan wanita
tadi?
Aku beranjak pergi meninggalkan
teman-temanku, mencari tempat untuk
menenangkan diri.
***
Aku termenung di atas kasur. Sudah
dua hari aku menghabiskan waktu di kamar.
Aku memutar-mutar HP yang sengaja aku
matikan. Aku sengaja menghindar, sengaja
diam dan membiarkan Hendra berpikir
sendiri mengapa aku begini. Wanita lebih
suka bila pasanganny mampu menebak apa
yang ada dalam pikiran wanita, meskipun si
wanita tahu bahwa hal itu menyulitkan
pasangannya.
“Tok tok tok tok, kak tolong bukakan
pintunya. Tolong kak, bukakan pintunya.”
Suara kurcaci-kurcaci itu membuatku tidak
tahan, dan memaksaku untuk membuka pintu
kamarku. Dengan malas aku membukanya.
”Ha” teriakku refleks melihat dua
orang dengan wajah tertutup kain hitam
berada di depan daun pintu bersama kedua
adikku.
“waaa” teriakku lagi ketika mereka
dengan cepat menarik lenganku dan
membawaku keluar rumah dan masuk mobil.
Aku berteriak, namun kedua orang itu
berusaha menutup mulutku dengan tangan
kanannya. Tidak salah lagi, aku diculik!
Lalu adikku, Mama, Papa. Bagaimana dengan
mereka?
Aku menenggerakkan seluruh badanku
dengan sekuat tenaga. Aku berusaha untuk
lepas dari tangan-tangan mereka tapi tidak
berhasil. Sepertinya tangan yang menutup
mulutku ini adalah tangan seorang wanita.
Terlihat dari kukunya yang di cat dengan
apik dan cantik. Aku memegang tangannya
yang halus, memandangi wajahnya yang
tertutup kain hitam, hanya kedua matanya
yang terlihat.
Tidak lama setelah itu, mobil
berhenti. Salah satu dari mereka menutup
mataku dengan kain. Tangan yang bercat
kuku cantik memegangi tanganku. Aku hanya
pasrah karena mulai kelelahan, melangkah
pelan dituntun dua orang tadi. Pikiranku
panik, bercampur aduk. Akan dibawa kemana
aku ini?
Aku hanya diam ketika mereka
memaksaku duduk di sebuah kursi. Mereka
melepaskan kedua tangannya. Ini adalah
kesempatan untukku lari dari sisni. Ya!
Secepatnya!
Dengan cepat aku membuka penutup mata
dan segera bangkit dan berlari. Aku
memandang sekeliling. Tempat apa ini? Aku
memutar arah pandanganku. Dari sudut kiri,
sudut kanan, dan sisi atas ruangan ini.
Ini bukan layaknya gudang atau rumah
kosong tempat orang menyandera korbannya.
Suasana yang asri dan damai dengan alunan
musik balada yang perlahan memperlambat
detak jantungku.
Aku masih tidak mengerti. Tepat di
atas meja mungil berbentuk bundar terdapat
rangkaian bunga yang sangat cantik dan
tiga lilin yang menyala.
“Sayang…”
Suara yang amat aku kenal, diikuti
dengan suara langkah kaki yang mantap. Aku
menoleh, mencari asal suara itu. Astaga!
Mas Hendra.
“Ma mas...Mas Hendra?”
Aku terkejut melihat wajah penuh
senyum itu. Penampilannya sangat rapi
dengan tatanan rambutnya yang kelimis.
“hehe..kaget ya?”
“a..apa ini maksudnya? Kenapa...”
Aku sedikit gugup dan malu karena
menyadari penampilanku yang sangat
berantakan. Aku hanya diam menunduk
menunggu jawaban. Hanya menurut saja
ketika aku di tuntun untuk duduk di sebuah
kursi tepat di depan meja bundar. Aku
memandangi penampilannya yang kali ini
sangat mempesonaku. Dia duduk di depanku,
dan kami bertatapan tepat di antara meja
mungil yang berhiaskan lilin-lilin cantik.
“Sayang, mungkin ini terlalu cepat
untuk sayang. Atau mungkin sayang masih
ragu, tentang keseriusanku untuk
menjadikanmu pendampingku. Beberapa hari
ini mungkin sayang mencurigaiku dan ingin
meninggalkanku. Mungkin sayang
menganggapku tidak peduli dengan
kelanjutan hubungan kita. Tapi, ada satu
hal yang harus aku katakan, dan kali ini
sayang harus percaya.”
Jantungku berdebar. Lebih kencang
jika dibandingkan dengan tragedi
penculikan yang aku alami beberapa menit
yang lalu. Dia berdiri, melangkah dan
berhenti tepat di depanku. Tangannya
meraih tanganku yang gemetaran, lalu
menunuduk dan menjatuhkan lutut kirinya di
lantai. Kedua bola mata kami saling
berdekatan, lalu dengan perlahan dan hati-
hati dia katakan.
“Sayangku Widia. Maukah kamu menjadi
istriku?”
Aku tak dapat mengeluarkan suara. Ini
seperti mimpi. Memoriku mengarah pada
wanita cantik itu. Kedai ini. Astaga!
Tidak salah lagi, ini kedai tempat mas
Hendra terlihat mesra dengan wanita itu.
Aku mencari kedua penculik yang ternyata
masih berdiri di belakangku. Aku
terbelalak menyaksikan wajah mereka yang
telah menanggalkan penutupnya.
“Ratna, Bo..Bowo?”
Aku setengah berteriak. Sungguh tak
percaya dengan semua ini. Mereka tersenyum
melihatku yang terbelalak tak menyangka
semua ini adalah rencana mereka.
“Iya, aku Ratna. Aku sepupunya
Hendra. Aku yang punya kedai ini. Jadi
beberapa hari lalu kami sering ketemuan
untuk persiapin drama ini. Hehehe.” ucap
Ratna dengan wajah yang tersenyum ramah,
sangat berbeda dengan raut wajahnya saat
kami bertemu beberapa hari yang lalu.
Aku menitikkan air mata. Mungkin ini
yang disebut menangis bahagia. Aku tak
kuasa mengucapkan apapun selain memeluk
mas Hendra. Aku tidak ingin sedikit pun
jauh darinya.
“Iya, aku mau mas” jawabku kemudian,
dengan penuh kemantapan.
*Mahasiswa Sistem Informasi UMK
Bulan tidak pernah membenci matahari.
Begitupun matahari, ia tidak pernah membenci
bulan.
Mereka Saling memiliki, melengkapi, dan bersinergi.
Terimakasih Ibu
Buah Tinta: Alfi Muhimmatul Fauziyyah*
Mentari yang bersinar terang di ufuk
timur memberikan semangat untukku. Hari
ini adalah hari pertama aku sekolah. Aku
punya teman baru, guru baru, dan
lingkungan baru. Aku merasa senang, tapi
aku takut jika teman-teman mengejekku. Aku
berbeda dengan mereka. Kaki kiriku tidak
bisa digunakan untuk berjalan. Aku pincang
sejak lahir. Untuk berjalan aku harus
menggunakan tongkat.
“Zaza, ayo sayang masuk ke dalam kelas”
kata Ibuku.
“I…iya bu,” aku mencium tangan Ibu dan
bergegas masuk ke dalam kelas.
“Ibu, Zaza masuk ke kelas dulu ya.”
“Iya sayang, belajar yang rajin ya,” ucap
Ibu sampil mencium keningku.
Aku duduk di bangku paling depan
dekat dengan meja guru. Kuperhatikan
teman-teman dikelasku, mereka tidak ada
yang cacat seperti aku. Mereka mempunyai
dua kaki yang utuh. Mereka mempunyai fisik
yang sempurna. Rasa takutku muncul
kembali, aku takut jika teman-teman
mengejekku karena aku cacat.
Dari luar kelas terlihat perempuan
muda berparas cantik sedang berjalan
menuju ke dalam kelas. Dia adalah guru
kelasku.
“Selamat pagi anak-anak.” ucap bu
guru ketika masuk ke dalam kelas.
“Selamat pagi bu guru,” ucap semua siswa.
“Anak-anak, Ibu ucapkan selamat
datang di SD Harapan Bangsa. Kalian adalah
siswa terpilih dari ratusan siswa yang
mendaftar di sekolah ini. Jadi, tepuk
tangan untuk kalian semua.”
Semua siswa tampak gembira seraya
bertepuk tangan.
“Selanjutnya, Ibu akan memperkenalkan
diri Ibu. Semua sudah siap mendengarkan bu
guru?”
“Yaaa bu.” jawab siswa serempak.
“Baiklah, perkenalkan nama Ibu adalah
Ana Silvia, anak-anak bisa memanggil bu
guru dengan panggilan bu Ana. Nah,
sekarang giliran anak-anak yang berkenalan
dengan teman sebangku masing-masing ya,
sebutkan nama lengkap kalian!” pinta bu
Ana.
Aku pun berkenalan dengan teman
sebangkuku.
“Hai namamu siapa? Aku Zaza Citra
Putri, biasa dipanggil Zaza”, ucapku
sambil tersenyum.
“Namaku Ila Saskia”, jawab Ila dengan
memalingkan muka.
Aku sangat sedih karena Ila membalas
dengan muka masam di wajahnya. Kenapa Ila
seperti itu? Apa karena aku cacat, jadi
dia tidak mau berteman denganku. Tapi aku
kan tidak pernah minta dilahirkan dengan
keadaan seperti ini. kenapa semua terasa
tidak adil.
“Hai, namamu siapa?’ tiba-tiba
terdengar suara anak laki-laki yang duduk
di bangku nomor dua, tepat di belakang
bangkuku. Aku menoleh kebelakang,
“Hai, namaku Zaza Citra Putri, namamu
siapa?”
“Aku Fahmi Najib, senang berkenalan
denganmu.” ucap Fahmi sambil tersenyum.
“Iya, aku juga senang berkenalan dengamu,
tapi kamu tidak malu berteman denganku?”
kataku.
“Aku senang berteman dengan siapa saja,
termasuk denganmu. Mulai sekarang kita
berteman ya?” kata Fahmi.
“Iya, aku mau berteman baik denganmu.”
jawabku dengan tersenyum.
***
Bel pulang sekolah berbunyi, aku
menghampiri ibu yang sudah menungguku di
gerbang sekolah. Sesampai di rumah, Ibu
bertanya kepadaku.
“Za, hari pertama masuk sekolah pasti
menyenangkan ya?”
“Iya bu, hari ini aku berkenalan
dengan bu guru dan teman-teman. Ada
temanku yang sangat baik bu, namanya
Fahmi. Dia tidak malu berteman dengan
Zaza, padahal Zaza anak yang cacat.”
“Eh, anak Ibu tidak boleh berkata seperti
itu, setiap manusia yang diciptakan Allah
memiliki kekurangan dan kelebihan Zaza.
Zaza harus bersyukur karena diberi Allah
kecerdasan, diberi dua mata yang bisa
melihat, dua tangan, dan diberi kesehatan.
Itu semua adalah karunia Allah. Jangan
karena Zaza cacat, Zaza jadi rendah diri.
Allah tidak suka dengan orang yang rendah
diri. Ibu sayang sama Zaza. Walaupun Zaza
cacat, Ibu akan tetap menyayangi Zaza,
karena Zaza adalah anak ibu yang paling
baik.” Mendengar kata-kata Ibu, aku tidak
sedih lagi. Aku berusaha menerima
keadaanku dengan ikhlas.
***
Sudah satu bulan aku bersekolah,
namun tidak banyak yang mau berteman
denganku. Hanya Fahmi yang mau berteman
baik denganku. Karena apalagi kalau bukan
karena aku cacat. Aku memang berbeda
dengan teman-temanku. Seperti pagi ini,
ketika jam olahraga aku hanya bisa melihat
teman-teman dari jendela kelas.
Bel masuk kelas berdering. Bu Ana
masuk ke dalam kelas dengan membawa
brosur. Aku penasaran dengan isi brosur
yang dibawa Bu Ana.
“Anak-anak, Ibu membawa brosur yang
berisi pengumuman penting. Dengarkan baik-
baik ya. Dinas Pendidikan Kabupaten akan
menyelenggarakan lomba menyanyi tingkat
SD. Minggu depan sekolah kita akan
mengadakan tes seleksi untuk memilih satu
siswa yang akan mewakili sekolah dalam
lomba tersebut. Ibu harap salah satu
diantara kalian bisa mewakili sekolah kita
untuk berpartisipasi dalam lomba
tersebut.”
Mendengar pengumuman itu, aku senang.
Aku ingin mengikuti lomba menyanyi itu.
Tapi, aku ragu. Aku menunduk dan
memandangi kakiku.
Sampai di rumah, aku bercerita kepada
ibu.
“Bu, tadi bu Ana mengumumkan kalau
akan diadakan lomba menyanyi tingkat SD
se-Kabupaten. Zaza ingin ikut bu, tapi
Zaza takut kalau orang-orang mengejek Zaza
karena Zaza cacat.”
“Lho...lho...lho...Zaza kok bilang
begitu? Kan Ibu selalu bilang, Zaza itu
sama dengan yang lainnya. Apalagi suara
Zaza kan sangat merdu, jadi Zaza pasti
bisa. Dan pastinya ibu akan selalu
mendukungmu.” Kata ibu lalu memelukku.
“Terimaksih bu, Zaza janji akan
mengikuti tes seleksi itu. Zaza akan
berusaha menyanyi dengan baik.” ucapku.
Tes seleksi pun dilaksanakan.
Pesertanya banyak sekali. Tidak hanya dari
kelas satu, tetapi mulai kelas satu hingga
kelas enam pun mengikuti tes seleksi ini.
Kini, giliran aku menyanyi. Dengan tenang
aku pun membawakan sebuah lagu yang sudah
aku siapkan dari rumah. Tanpa kuduga,
akhirnya pihak sekolah mengumumkan kalau
yang akan mewakili sekolah untuk mengikuti
lomba menyanyi adalah aku. Bahagianya
diriku. Sejak hari itu, aku berjanji akan
latihan setiap hari di rumah.
***
Hari perlombaan itu tiba. Setelah
berlatih selama dua minggu, kini aku
berada dalam panggung lomba.
“Kita saksikan penampilan Zaza Citra
Putri dari SD Harapan Bangsa.” kata
pembawa acara memintaku naik panggung.
Pandanganku menyapu seluruh ruangan.
Aku melihat ibu, Bu Ana, guru-guru dan
teman-teman di baris penonton sambil
menyemangatiku.
“Aku akan menyanyikan sebuah lagu
dari Hadad Alwi dan Farhan yang berjudul
Ibu, lagu ini aku persembahkan untuk Ibuku
tercinta.” ucapku sebelum menyanyi.
IBU
Bersinar kau bagai cahaya yang selalu
beriku penerangan
Selembut sutra kasihmu kan selalu rasa
dalam suka dan duka
Kaulah Ibuku
Cinta kasihku
Terimakasihku tak kan pernah terhenti
Kau bagai matahari yang selalu bersinar
Sinari hidupku dengan kehangatanmu
Bagaikan embun kau sejukkan, hati ini
dengan kasih sayangmu
Betapa kau sangat berarti dan bagiku kau
tak kan pernah terganti
Kaulah Ibuku
Cinta kasihku
Terimakasihku tak kan pernah terhenti
Kau bagai matahari yang selalu bersinar
Sinari hidupku dengan kehangatanmu
Kaulah Ibuku
Cinta kasihku
Pengorbananmu sungguh sangat berarti
Kaulah Ibuku
Cinta kasihku
Terimakasihku tak kan pernah terhenti
Kau bagai matahari yang selalu bersinar
Sinari hidupku dengan kehangatanmu
Aku mendengar sorak sorai tepuk
tangan dari penonton ketika aku selesai
menyanyi. Aku meneteskan air mata. Ibu
yang melihatku juga meneteskan air mata.
Dalam hati aku berkata “Terimakasih Ibu,
Engkau yang selalu memberikan semangat
kepadaku, kasih sayangmu begitu besar
kepadaku.”
Kini tiba saatnya, panitia
mengumumkan pemenang lomba. Jantungku
berdegup kencang. Napasku seperti
meloncat-loncat tak karuan. Dari atas
panggung, juri membawa selembar kertas
yang berisi nama pemenang.
“Juara I lomba menyanyi dimenangkan
oleh Zaza Citra Putri dari SD Harapan
bangsa” kata juri dengan keras.
“Zaza, kamu menang. Kamu juara 1
Zaza.” Ucap ibu sambil memelukku. Aku
tidak percaya.
“Terimakasih ya Allah, Engkau telah
memberikan karunia yang begitu besar
padaku.” Ucapku sambil meneteskan air
mata. Aku sangat senang sekali.
Aku sekarang sadar, aku tidak boleh
rendah diri. Fisikku memang berbeda dengan
teman-teman lainnya. Tapi aku juga bisa
berprestasi. Sama seperti yang diucapkan
oleh Ibu. Terimakasih Ibu, selama ini
selalu menguatkanku.
Gubug Impian, 31 Januari 2014
*Mahasiswa PGSD
Ilustrasi :
Imam “3 Koma”
Rembulan Surga untuk Mama
Buah Tinta: Khikmah Khusnia*
Senja hari ini pancarkan energi yang
maha dahsyat untukku. Kicauan burung pipit
yang meramaikan halaman, mengingatkanku
dimasa kecil yang sering bermain kejar-
kejaran bersama teman-teman. Teman-teman
memanggilku Alya. Gadis berkulit putih
bersih dengan lesung pipi dan rambut
berponi miring.
“Hai Al” suara Dila memecah lamuanku.
“yuk ke mall” ajak Dila.
“Males ah. Mendingan baca novel di
rumah” jawabku singkat.
“Emm, ya sudah, kita ngobrol saja
ya,” ucap Dila.
Aku pun mengangguk pelan.
Setelah ngobrol banyak tentang masa
kecil kita, akhirnya Dila pamit pulang.
Terdengar suara Mama batuk-batuk di
ruang tengah. Sedangkan dik Zahra asyik
main game di ruang belajar. Ayah,
merantau di Kalimantan dan sudah lima
tahun tidak pulang.
Suara adzan mulai menghiasi waktu
magrib. Aku, Mama, dan dik Zahra sholat
berjama’ah di mushola. Kami baru dua bulan
menjadi muallaf. Kami sekeluarga
memutuskan untuk berpindah keyakinan
setelah memperoleh pengalaman spiritual.
Semenjak itu, kami mulai mendalami agama
islam. Tak mudah menjalani hidup di
lingkungan keluarga yang sebagian besar
beragama non muslim. Apalagi semenjak
keluarga kami berpindah keyakinan. Mereka
menilai kami sesat, dan itu cukup
menyakitkan bagi kami.
###
Aku menghampiri Mama yang sedang
membaca koran di ruang tengah.
“Ma, jika aku pergi menuntut ilmu ke
luar negeri, apa Mama mengizinkan?”
Tanyaku pada Mama.
“Apa? Ke luar negeri? Mama tidak akan
mengizinkan kamu pergi. Yang Mama punya di
dunia ini cuma kamu dan Zahra. Papa sudah
pergi, apa kamu juga tega meninggalkan
Mama?” Pertanyaan Mama membuatku semakin
kalah rayuan.
“Tapi Ma, aku bisa menuntut ilmu dan
berkarier lebih leluasa. Aku akan buktikan
pada Mama kalau aku bisa sukses” Ucapku.
“Kalau hanya kuliah, Mama bisa
membiayai kamu. Kamu tidak perlu kuliah ke
luar negeri untuk mendapatkan beasiswa“
jelas Mama.
Kali ini Mama teguh pada
pendiriannya. Tekadku sudah bulat. Aku
harus tetap pergi keluar negeri untuk
menggapai cita-citaku. Aku berpikir
realistis hidup dari penghasilan berjualan
di warung kopi itu sama sekali tidak
menjanjikan. Beasiswa ini adalah
kesempatan emasku untuk menuntut ilmu dan
berkarier agar aku bisa meringankan beban
Mama.
####
Tante Risma tiba-tiba datang dan
memaki-maki Mama.
“Kalian sebaiknya pergi dari rumah
ini. Mana sertifikat rumah ini! Sudah
bertahun-tahun hutang, tapi tidak
dibayar!” kata tante Risma.
Bagai disambar petir di siang hari,
kemarahan tante Risma membuat hatiku
sangat rapuh. Aku tidak tahu apa yang
terjadi hingga tante Risma akan menyita
rumah Mama. Sebanyak itukah hutang Mama
hingga Mama harus menyerahkan rumah pada
tante Risma.
Mama tak berkutik. Mama hanya bisa
menangis. Aku tahu bagaimana perasaan
Mama. Aku bisa membaca kesedihan di wajah
Mama. Mama yang aku kenal, adalah sosok
wanita yang tidak banyak bicara. Mama
lebih suka diam dan menyembunyikan
kesedihannya dalam hati.
“Tante, Alya mohon, beri kami waktu
tiga hari saja. Alya janji akan
mengembalikan uang tante,” Pintaku pada
tante Risma.Tante Risma hanya memalingkan
muka dan tidak bicara sedikitpun. Akhirnya
tante Risma pulang dengan wajah kesal.
“Sebenarnya apa yang terjadi ma?”
Tanyaku sedikit mengintrogasi Mama.
“Mama terpaksa berhutang kepada tante
Risma untuk menebus obat Zahra saat dia
opname di rumah sakit” Jelas Mama.
Mama menangis, air matanya tumpah.
Sejujurnya aku rapuh melihat Mama seperti
ini. Tapi aku tidak boleh ikut menangis.
Aku tidak ingin Mama bertambah sedih.
“Ma, Alya mohon, izinkan Alya pergi
ke luar negeri untuk menuntut ilmu Ma.
Alya janji, Alya akan jaga diri. Alya juga
akan berkarier disana. Alya ingin meraih
cita-cita Alya. Alya tidak ingin Mama
terus-terusan dihina mereka. Alya akan
buktikan kalau Alya jauh lebih sukses dari
mereka. Ma, Alya mohon, izinkan Alya
pergi. Alya janji tidak akan menjadi
beban Mama lagi. Jika Alya sukses, Alya
akan membiayai kuliah dik Zahra.” Aku
memohon dan bersimpuh di kaki Mama sambil
terisak-isak. Mama memegang erat tanganku
dan menghapus air mata yang membasahi
pipiku. Mama terdiam. Aku tahu, Mama sudah
mulai tak kuasa menghalangi niatku pergi.
Mama mulai merangkai kata.
“Pergilah nak, kamu berhak meraih
cita-citamu. Jaga dirimu ya nak. Semoga
kelak kamu bisa sukses disana.” ucap mama.
####
Pasporku sudah siap. Dua hari lagi
aku akan meninggalkan Indonesia. Aku tahu
perasaan Mama. Mama pasti sangat sedih
melepas kepergianku. Tapi ini adalah
pilihan. Pilihan untuk masa depan keluarga
kami.
“Ma, Alya berangkat ya. Doakan Alya”
pintaku pada Mama.
Lagi-lagi Mama meneteskan air mata.
Mama memelukku dengan pelukan yang sangat
erat. Dik Zahra meraih tanganku. Aku tak
henti-hentinya meneteskan air mata.
Rasanya meninggalkan orang-orang terkasih
adalah siksaan berat. Tapi ini harus aku
lakukan untuk masa depan keluarga kami.
####
Aku bersyukur. Aku sudah tiba di
Jerman. Aku mulai kuliah disalah satu
universitas negeri disana. Nilaiku selalu
cumlaude. Waktu berputar sangat cepat.
Aktivitasku tidak hanya kuliah, aku juga
bekerjasama di media cetak terkemuka di
Jerman sebagai redaktur. Semenjak di
Jerman, aku mulai tekun mempelajari dunia
jurnalistik. Yang menjadi kebanggaanku
disini, buku-buku terbitan Indonesia
sangat memikat warga Jerman terutama
novel-novel remaja. Kecintaanku pada dunia
jurnalistik berawal dari kegiatan
favoritku membaca banyak buku. Aku
memiliki inspiring word “Tanganku akan
lepuh dimakan zaman, namun karyaku akan
tetap bersinar dan abadi sepanjang zaman”.
Itulah inpiring word yang membuatku
terus berkarya.
Aku tak pernah absen mengirim email untuk
Mama. Seminggu, hampir tiga kali aku
mengirim email untuk Mama. Menanyakan
kabar Mama, kesehatan Mama, perkembangan
warung kopi Mama, kabar dik Zahra, dan
masih banyak lagi. Aku juga sering
mengirimkan uang bulanan untuk Mama. Agar
Mama bisa tetap bertahan hidup dan
membiayai sekolah dik Zahra di Indonesia.
####
Hari ini aku wisuda. Aku diwisuda
tanpa kehadiran Mama. Rasanya
kebahagiaanku sedikit musnah tanpa
kehadiran Mama disisiku. Rasanya iri,
melihat teman-teman mendapat rangkaian
bunga dan ucapan selamat dari orang-orang
terkasih. Sedangkan aku tak ada yang
memperhatikan.
“Dear, don’t be sad. Be happy, I’m
beside you” kata Fahmi padaku.
Fahmi itu teman sejati untuk
menumpahkan segala keluh kesahku selama
aku di Jerman. Dia juga dari Indonesia.
Tetapi dia jauh lebih beruntung daripada
aku. Karena dia kaya raya. Namun dia tak
pernah membangga-banggakan kekayaan yang
dimilikinnya. Dia sangat baik padaku.
####
Aku masih menetap di Jerman. Aku
menjadi asisten dosen disini dan
mendapatkan beasiswa S2. Jadi, aku tidak
akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Tak
hanya itu, sekarang aku mulai menata hidup
lebih religius. Aku memutuskan untuk
behijab. Hidayah untuk berhijab telah
memelukku. Aku sadar bahwa menutup aurat
adalah kewajiban bagi muslim maupun
muslimah.
Ini adalah persembahan terindah untuk
Mama. Mama pantas untuk menerima kado
terindah ini. Ya, aku memberangkatkan Mama
haji. Aku ingin membuat Mama bahagia.
Membahagiakan wanita yang melahirkanku,
merawatku, membesarkanku dengan cinta dan
kasih yang sangat tulus, mengirimkan doa-
doa yang sangat berpengaruh dalam hidupku
sehingga aku bisa sukses.
####
“Doakan Mama nak, hari ini Mama akan
berangkat ke tanah suci. Terima kasih ya
nak. Mama akan selalu mencintaimu” kata
Mama saat aku menelpon beliau.
Aku sangat bahagia dan terharu. Aku
turut merasakan kebahagiaan Mama. Sejak
dulu, Mama ingin sekali berangkat haji.
Karena faktor biaya, Mama selalu menghapus
niatnya itu.
####
Dik Zahra sudah semester tujuh. Aku
pun sudah sukses di Jerman. Aku memutuskan
untuk kembali ke Indonesia.
“Mbak, cepat pulang, Mama sakit” Dik
Zahra menelponku dengan nada cemas.
Aku pun segera menuju Indonesia.
Tangisku pecah kala aku memadang
rumah mungilku dipenuhi tetangga yang
membaca surat yasin. Tampak tante Risma
membawa dua keranjang bunga segar, dan pak
dhe Toni memegang keranda jenazah.
Ternyata, wanita yang ada dibalik
keranda jenazah itu adalah wanita yang
sangat aku rindukan, wanita yang sangat
aku cintai, wanita yang selalu membelaiku
dengan kasih sayang, dan wanita yang
berpengaruh dalam kesuksesanku. Kenapa
kedatanganku harus dibayar dengan
kepergian Mama?
Jika boleh aku ingin bertanya kepada Allah
Kenapa menjemput Mama secepat ini?
Aku bahkan belum mampu mengeja kenangan,
tapi Mama sudah pergi.
Aku hanya bisa menangis di makam
Mama. Sulit melepas kepergian Mama. Aku
yakin, Mama berada ditempatNYA yang paling
indah.
Aku hanya bisa memandang rembulan
yang memancarkan sinar terangnya tiap
malam. Aku pernah ingat perkataan Mama
sewaktu aku masih kelas tiga SD.
“Lihatlah rembulan itu sayang, disana
ada bidadari yang cantik jelita” ucap
Mama.
“Pasti bidadari itu tidak kalah
cantik dengan Mama” Jawabku kala itu.
Memandang rembulan itu sebetulnya
belum cukup melepas kerinduanku pada Mama.
Setiap malam, aku memandang rembuan dan
berkata, “Aku merindukanmu Ma, aku
mencintai Mama.”
Semoga Mama bahagia di rembulan
surga, karena rembulan surga itu hanya
untuk Mama. Mama yang paling aku cinta.
“Mama itu ibarat lautan tanpa tepi, gunung
tanpa kerucut, kerinduan tanpa batas,
cinta tanpa lelah, kasih tanpa celah“
Rumah Sastra, 28 Maret 2014
*Mahasiswa PGSD Semester 4
Bagaimanapun,Dia Adalah
Anakku
Buah Tinta: Rina Noviana*
Sore itu, langit tampak marah padanya.
Dia tetap duduk manis menanti belas kasih,
terus saja meratapi nasib buruknya.
Hidupnya bagaikan runtuhan angan yang
pernah bergelayut dalam pikirannya. Ia
habiskan masa hidupnya dari belas kasih
pemuda-pemudi yang lalu lalang
dihadapannya. Setiap hari recehan uang ia
kumpulkan di kotak kue usang. Warnanya
sudah menguning, sebagian sudah berubah
coklat dengan bau yang cukup menyengat.
Hidupnya tampak mengenaskan ketika ia
harus menerima kenyataan. Anak laki-
lakinya pergi darinya. Badrun nama
anaknya, anak laki-laki yang tak tau diri.
Setiap malam dia pulang dengan tubuh yang
sempoyongan. Matanya buta oleh nikmat
dunia yang selalu menggerogoti tubuhnya.
“Darimana saja kau nak?” tanyanya
sambil memegang lengannya.
“Awas kau, tua renta busuk.” ucapnya
sembari mendorong ibunya ke lantai.
Dia pun akhirnnya tersungkur ke
lantai, kepalanya terbentur meja yang
lancip, cairan deras mengalir dari
pelipisnya.
Melihat ibunya terkapar di lantai,
Badrun pun hanya bisa nyengir kecut sambil
terus mengumpat. Dia merasa kesenangannya
terusik.
***
Lasih adalah wanita yang membuatnya
seperti itu. Dia adalah penari jaipongan
di desa Sukamenak. Dialah sang idola para
lelaki. Goyangannya yang aduhai membuat
para lelaki tergila-gila padanya. Badrun
kecewa pada Lasih karena melihat Lasih
kencan dengan juragan Muji. Kemudian ia
lampiaskan kemarahannya dengan menenggap
miras.
Semenjak saat itu kelakuan Badrun
menjadi berangas dan tak terkendali. Tanpa
pikir panjang dia kerap kali memukuli
ibunya. Tubuh renta sang ibu tak kuasa
menahannya. Kerap kali ia harus terkapar
tak berdaya.
Selang satu bulan dari malam itu,
Badrun mengulangi perbuatannnya. Dia ketuk
triplek yang menutupi rumahnya dengan
kuatnya. Sampai akhirnya pintu itu lepas
dari engsel yang menopangnya. Badrun pun
mencari ibunya. Namun ibunya tak kunjung
ia temukan.
***
Terseok-seok ia berjalan menjauh dari
rumah. Tubuh rentanya kini sudah tak lagi
bisa menerima perlakuan buruk anaknya. Dia
pergi menjauh, menjauh untuk selamanya.
Dia berjalan entah kemana, yang terpenting
ia tak bertemu dengan Badrun.
Andai saja Badrun menemukannya,
habislah hidupnya. Badrun yang tak kunjung
menemukannya akhirnya mengamuk dan
membanting semua barang yang berada di
rumah. Akhirnya ia sampai ke dapur dan
mengambil benda mungil itu.
Benda yang berwarna putih itu siap
mengoyak semua isi perut sang ibu. Badrun
keluar dengan menggenggam pisau yang
sangat tajam.
Dia berlari kencang mencari tubuh tua
yang tak berdaya. Tubuh yang bertahun-
tahun merawatnya kini menghilang dari
tatapannya. sampai tengah malam ia mencari
dan hasilnya pun tetap sama, ia tak
menemukannya juga.
Karena bingung mau melakukan apa, ia
menemui Lasih di kontrakannya. Lasih hidup
sendiri, dia janda yang mempunyai anak
satu, namun kecantikannya tak pernah
memudar meskipun sudah memiliki seorang
anak.
Dengan membabi buta Badrun merangsek
masuk kedalam kontrakan Lasih. Lasih yang
sedang asyik menonton TV kaget dan
langsung menatapnya. Tatapannya penuh
dengan tanda tanya.
“Apa yang ingin ia lakukan disini?”
itulah pertanyaan yang langsung muncul
dalam benakn Lasih.
***
Melihat Lasih yang berdiri mematung,
ia pun akhirnya menghampirinya. Setelah
tubuhnya lurus berdiri dihadapan Lasih, ia
ayunkan pisau yang sedari tadi ia
sembunyikan di balik punggungnya.
Lasihpun tumbang, mulutnya
memuncratkan darah segar, bercaknya
terhempas ke tubuh Badrun. Kaos hijau yang
melekat ditubuhnya kini berwarna merah
terang. Melihat pujaan hatinya terkapar
tak berdaya, badrun berteriak kencang.
Menangis, dan terus menangis sambil
memeluk tubuh Lasih. Dia tak percaya
dengan apa yang dilakukannya. Orang yang
ia sayang kini mati digenggamannya.
Pisau yang sedari tadi tertancap di
perut Lasih ia cabut. Tanpa berpikir
panjang akhirnya ia pun melakukan hal yang
sama pada dirinya. Ia tancapkan sendiri
pisau itu tepat di dadanya, tepat di
jantungnya.
Kini kontrakan Lasih bagaikan lautan
darah, disana tergeletak dua tubuh yang
tak bernyawa.
***
Anak kecil itu keluar dari kamar
mandi. Ia histeris melihat tubuh ibunya
yang berdarah. Seketika itu ia menjerit,
tetangga yang mendengar jeritan itu
langsung berdatangan ke kontrakan Lasih.
Mereka tak percaya dengan apa yang sedang
mereka lihat. Lasih dan Badrun sudah
menjadi mayat.
Berita kematian Badrun pun akhirnya
sampai ke telinnga ibunnya. Ia pun
akhirnya kembali ke desa, niatnya ia
urungkan.
Dilihatnya tubuh anaknya yang
tergeletak di atas papan di dalam rumah.
Sontak ia pun berlari menghampirinya. Ia
ciumi jenazah anaknya. Tak henti-hentinya
ia menangisi kepergianya.
Putra Lasih yang masih kecil kini ia
yang harus merawatnya. Itulah yang bisa ia
lakukan atas perbuatan anaknya. Lasih tak
mempunyai saudara, ia anak tunggal, mau
tak mau dialah yang harus merawatnya.
Dengan uang hasil mengemisnya, ia kini
menghidupi seorang anak mungil yang
hidupnya bertumpu padanya.
*Mahasiswa Teknik Informatika
Ilustrasi :
Rayhan Taufik
Namaku Kartini
Buah Tinta: Dessy Trianasari*
Namanya Kartini, ia adalah anak
perempuan satu-satunya di keluarganya.
Kartini tulang punggung keluarga, ia anak
sulung. Walaupun hanya lulusan SMA, ia
anak yang sangat cerdas. Kartini tidak
punya biaya untuk meneruskan ke perguruan
tinggi. Tapi ia bertekad untuk menjadikan
adiknya orang yang sukses. Kartini ingin
adiknya belajar sampai lulus perguruan
tinggi.
Kartini memang bukan orang kaya, ia
hanya pembuat dodol. Orang tuanya sering
sakit-sakitan. Hanya ia yang menjadi
andalan keluarga untuk menopang biaya
sehari-hari.
“Kartini, ayah dan ibu merasa bukan
orang tua yang baik untukmu dan adikmu
Firman.” kata Ayah Kartini.
“Tidak Ayah. Kartini tahu keadaan
ayah dan ibu sekarang. Kalian sering
sakit-sakitan. Kartini bisa membiayai
keluarga kita kok yah. Ayah tenang saja
ya,” kata Kartini.
Ayahnya tersenyum mendengar perkataan
Kartini. Ayahnya mendoakan agar Kartini
sukses dalam bisnisnya membuat dodol.
Setiap pagi, ia bangun pukul 3 pagi
untuk meracik dodol. Terkadang ibunya juga
membantu dalam meracik dodol. Dalam
membuat dodol, yang paling berat adalah
saat mengaduk dodol agar adonannya matang
dan kental. Setelah matang, dodol
dituangkan ke dalam baskom dan ditunggu
hingga dingin. lalu dicetak kecil-kecil
dan dibungkus pada kertas seperti permen.
Seperti itulah yang dilakukan Kartini
dalam membuat dodol setiap harinya.
Setelah dodol siap, ia memasarkan ke toko-
toko langganannya. Ada sepuluh toko
langganannya. Setiap harinya ia mengayuh
sepeda berkilo-kilo meter untuk
mengantarkan dodol ke toko-toko
langganannya.
“Bu, ini dodolnya, 50 bungkus ya bu.
Dodol yang kemarin masih atau sudah habis
bu?” kata Kartini.
“Dodol yang kemarin sudah habis mbak,
ini uang hasil penjualannya, Rp 34.000,00.
Saya sudah ambil upah saya,” kata si
pemilik toko.
“Ya bu, terimakasih,” kata Kartini.
Setelah itu Kartini langsung pergi
menuju toko-toko selanjutnya. Selain
dipasarkan, ia juga menjualnya sendiri
keliling kampungnya. Setiap harinya ia
bisa menjual 30 bungkus dodol. Biasanya ia
sampai di rumah pukul 5 sore.
Setelah sampai rumah ia mandi dan
memasak untuk keluarganya. Setelah memasak
ia mencuci baju dan membimbing adiknya
belajar yang sekarang duduk di bangku SMP
kelas VIII. Ia baru benar-benar istirahat
pukul 11 malam. Padahal ia harus bangun
kembali pukul 3 pagi.
Ia melakukannya dengan senang hati,
tanpa mengeluh sedikitpun. Terkadang ia
merasa iri dengan teman-temannya yang bisa
kuliah di perguruan tinggi. Ia ingin
seperti teman-temannya. Tapi ia harus
memenuhi biaya sehari-hari keluarganya. Ia
selalu berdoa agar suatu saat ia juga bisa
kuliah seperti teman-temannya. Ia berpesan
kepada adiknya agar adiknya belajar lebih
keras lagi. Karena Kartini ingin adiknya
menjadi sarjana dan sukses dikemudian
hari.
“Firman, kamu harus rajin belajar ya.
Kamu tidak perlu memikirkan kakak, kakak
bisa menopang biaya sehari-hari kita,”
kata Kartini.
“Firman janji kak, Firman akan
memenuhi keinginan kakak. Firman sayang
kakak, ayah dan ibu,” kata Firman sambil
memeluk kakaknya.
Firman anak yang cerdas seperti
kakaknya. Ia sering mendapat peringkat
satu di sekolahnya. Bahkan ia mendapatkan
beasiswa dari sekolahnya karena mendapat
peringkat satu. Kartini bangga sekali
punya adik seperti Firman. Ia akan
melakukan apapun demi kesuksesan adiknya
kelak. Walaupun ia hanya lulusan SMA, tapi
ia berharap adiknya bisa lulus sampai
perguruan tinggi dan mempunyai pekerjaan
yang mapan.
“Firman, kalau kamu nanti jadi orang
yang sukses, jangan sombong ya. Ingatlah
perjuangan kakak dan orang tua kita untuk
menyekolahkan kamu,” pesan Kartini.
“Insyaallah kak, semoga aku bisa
memenuhi amanat kakak,” kata Firman.
“Amin” jawab Kartini.
Tak terasa malam semakin larut.
Waktunya mereka untuk tidur karena besok
pagi mereka harus melakukan rutinitas
masing-masing. Ketika mereka beranjak
tidur terdengarlah suara ibunya yang
sedang batuk-batuk di kamarnya. Saat itu
ayahnya sedang sholat di ruangan dekat
dapur. Merekapun menemui ibu mereka.
Betapa kagetnya mereka saat melihat tangan
ibunya penuh dengan darah. Ternyata ibunya
terjangkit penyakit TBC.
“Ibu, mengapa tidak bilang sama
Kartini kalau ibu terkena TBC? Kita ke
rumah sakit ya bu?” ajak Kartini.
“Nak, ibu tidak apa-apa. Ibu sudah
berobat ke mantri ujung jalan nak.
Sebentar lagi pasti sembuh”, jawab Ibu
Kartini.
“Tidak bu, Ibu harus ke rumah sakit.
Biar dokter yang akan memeriksa ibu,” kata
Kartini.
“Nak, sudahlah. Ibu tidak mau
merepotkan kamu. Nanti uangmu habis untuk
perawatan ibu nak. Ibu tidak apa-apa.”
jawab Ibu Kartini.
“Kali ini ibu harus menuruti
permintaan Kartini ya. Kartini bisa
mencari uang bu. Tabungan Kartini masih
cukup jika digunakan untuk berobat ke
rumah sakit,” kata Kartini dengan nada
memaksa.
Karena Kartini memaksa. Akhirnya
ibunya mau dibawa ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, ibunya
langsung ditangani oleh dokter spesialis
penyakit dalam. Semenjak ibunya di rumah
sakit, Kartini harus bolak balik ke rumah
sakit bersama ayahnya. Sedangkan adiknya
di rumah sendiri.
“Firman, kamu di rumah ya. Biar kakak
dan ayah yang pergi ke rumah sakit,” pesan
Kartini.
“Iya kak. Hati-hati dijalan ya,” kata
Firman sambil mencium tangan Ayah dan
Kartini.
Firman berharap ibunya lekas sembuh,
agar ia bisa berkumpul bersama ibunya
kembali.
Semakin hari kondisi ibu semakin
parah. Sehingga dokter harus menanganinya
secara intensif. Segala usaha telah dokter
lakukan, namun tuhan berkehendak lain. Ibu
Kartini meninggal dunia.
“Pak, saya sudah berusaha semaksimal
mungkin. Tapi maaf pak saya tidak bisa
menyelamatkan nyawa ibu”, kata sang
dokter.
“Apa dok, tidak mungkin. Tolong dok,
dokter pasti salah. Istri saya pasti bisa
tertolong. Saya akan bayar berapapun agar
istri saya sembuh dok,” pinta Ayah
Kartini.
“Tapi maaf pak, saya sudah berusaha
semaksimal mungkin. Tapi Tuhan berkata
lain. Bapak dan anak-anak harus ikhlas,”
kata sang dokter.
Kartini berusaha menenangkan hati
Ayahnya. Setelah ayahnya tenang, Kartini
segera mengurusi makam sang ibu. Kartini
tidak menyangka bahwa ibunya akan
meninggal secepat itu. Kartini dan Ayahnya
pulang untuk menyiapkan liang lahat untuk
sang ibu. Sesampainya di rumah betapa
kagetnya Firman setelah mendengar bahwa
ibunya meninggal.
“Firman, kamu yang tabah ya nak. Ibu
sudah tenang di alam sana. Ibu sudah
terbebas dari penyakit TBC nya,” kata ayah
Kartini.
“Apa yah, tidak mungkin. Aku ingin
melihat ibu, mana ibu yah?” kata Firman
sambil menangis.
“Firman, jasad ibumu masih di rumah
sakit. Nanti setelah dimandikan, ibu
dibawa pulang ke rumah. Kamu yang sabar
Firman. Buat ibu tersenyum di alam sana,”
kata Kartini sambil memeluk adik
tercintanya.
Setelah almarhumah ibu sampai di
rumah, Firman langsung memeluk tubuhnya.
Firman tak kuasa menahan tangis.
“Firman, kamu harus ikhlas ya, agar
ibu tenang di alam sana,” kata kartini.
“iya kak, Firman akan ikhlas kak.”
Jawab firman dengan nada sedih.
Banyak sekali yang melayat di
rumahnya saat itu. Tamu pun semakin banyak
yang datang silih berganti. Hingga ibunya
dimasukkan ke liang lahat pun masih banyak
yang melayat di rumahnya.
Keluarga Kartini melakukan tahlilan
selama tujuh hari. Setelah acara tahlilan
selesai, Kartini baru merasa kesepian
karena ditinggal ibunnya. Ia melihat album
foto saat ia masih kecil, ia digendong
sang ibu. Kartini mencium foto-foto sang
ibu sambil menangis. Betapa berharganya
sang ibu di mata Kartini. Tapi ia tak
boleh larut dalam kesedihan. Ia harus
bangkit mewujudkan cita-citanya
menyekolahkan sang adik hingga lulus
perguruan tinggi.
Keesokan harinya, seperti biasa ia
bangun pukul 3 pagi untuk membuat dodol.
Ayahnya pun ikut membantu Kartini
menyiapkan bahan-bahan buat dodol. Setelah
dodol siap dipasarkan. Ayahnya ikut
membantu mengantarkan dodol ke toko-toko
langganannya.
Tiga tahun sudah Kartini berbisnis
dodol. Hingga pada akhirnya ia dan ayahnya
membuat toko sendiri di depan rumahnya.
Semakin lama penjualan dodol Kartini
semakin berkembang pesat. Hingga pada
akhirnya ia membuat cabang di luar kota.
Cabang itu dikelola oleh saudara sepupunya
bernama Tuti.
Dari bisnis yang berkembang pesat
tersebut, ia bisa menyekolahkan Firman
hingga lulus Perguruan tinggi. Firman
lulus dengan predikat cumlaude di jurusan
dokter anak. Firman bekerja di rumah sakit
besar di jakarta. Selain itu, Kartini bisa
membeli rumah elit, mobil mewah hingga ia
bisa melanjutkan perguruan tinggi.
Walaupun umurnya tak semuda teman-temannya
tapi ia percaya diri. Baginya untuk
mendapatkan ilmu tidak ada kata terlambat.
Kartini akhirnya lulus dengan nilai
memuaskan. Ia menjadi sarjana ekonomi.
Sekarang kehidupan keluarga Kartini benar-
benar berubah. Ia berharap ibunya senang
melihat kesuksesan Kartini sekarang. Dalam
hidup memang butuh perjuangan untuk
mewujudkan impian. Begitu juga dengan
kartini. Mimpinya menjadi kenyataan. Ia
bisa kuliah dan sukses.
Ada Di Ketika Kau
Tanya Mana
Buah Tinta: Pranata Wahyu*
Seorang wanita datang padaku sambil
membawa buah-buahan segar di keranjang
menjalin yang terbuat dari bambu berwarna
coklat tua kehitam-hitaman. Ia membawa
buah yang tampak segar dan berbagai macam
jenisnya. Keranjang itu dihias dengan pita
yang cantik, dibuat melengkung di beberapa
bagian sudutnya. Pita merah itu mengikat
erat pada plastik yang tembus pandang
bergambar bunga-bunga yang menyelimuti
keranjang kecil berbentuk oval, dengan
gagang melengkung di atasnya.
Baru kali ini aku melihat wanita itu
membawanya sambil berdandan rapi di
depanku. Ia tampak mengenakan Saree1
berwarna merah. Kepala berambut panjang
yang tergerai ke samping dan berkenakan
anting kecil pada kedua telinganya yang
menambah manis penampilannya.
Sehari-hari biasanya aku tak pernah
melihatnya seperti ini. Ia tampak berubah
sekarang, menjelma bak seorang puteri dari
negeri Gandhi2 yang sedang salah jalan
karena tersesat. Atau mungkin memang ia
sedang ingin menunjukkan sisi cantik dari
seorang wanita yang selama ini aku kenal
sebagai perempuan tomboy. Perempuan yang
11Saree ialah jenis kain yang dipakai wanita di
negara India, Bangladesh, Nepal, dan Sri Lanka.
Sari adalah pakaian yang terdiri dari helaian kain
yang tidak dijahit, variasinya beragam dengan
panjang 4-9 meter yang dipakaikan di badan dengan
bermacam-macam gaya. Jenis yang paling umum adalah
sari yang dililitkan di pinggang, dengan ujungnya
yang disangkutkan dari bahu ke punggung belakang. 2Negeri Gandhi yang di maksud adalah Negeri India
yang mana tempat Mohandas Karamchand Gandhi lahir
pada tanggal 2 Oktober 1869 di Porbandar, Gujarat,
India.Ia adalah seorang aktivis yang memperjuangkan
kemerdekaan India dan juga menentang segala macam
bentuk kekerasan (ahimsa).
sehari-harinya memakai celana rombeng di
bagian dengkul dan kaos oblong yang kerap
menyertainya kemanapun ia pergi.
Ia berjalan semakin mendekatiku, aku
tampak bingung, apa yang harus aku
lakukan. Sepertinya ia memang berusaha
menuju kearahku. Pelan tapi pasti ia akan
sampai di depanku. Nafasku semakin
melambat dan detak jantungku semakin
kencang mengetuk. Aku memang merasakan hal
yang beda sejak awal, aku tidak bisa
mengendalikan aliran darah ini untuk
berjalan seperti biasa. Yah, biasanya aku
tak dapat merasakan sendiri desir darah
yang mengalir disekujur nadi ini. kali ini
lain.
“hei” sapanya.
“waoww” jawabku kaget dengan terkagum
saat pandanganku yang sudah terkonsentrasi
buyar oleh sapanya yang lembut.
“ini” Ia sambil menyodorkan parcel
itu kepadaku dengan badan agak menunduk.
Selendang Saree-nya yang melingkar di
leher tampak sedikit melorot, begitu pula
rambutnya yang panjang mengayun kebawah
mengikuti arah gravitasi bumi. Mengayun
perlahan. Perlahan pula nafasku
menghembus.
Sepertinya aku disihirnya, aku
mengulurkan tangan begitu saja untuk
menerima hadiah darinya. Walau aku tak
tahu apa maksud darinya membawakanku
sebingkis parcel yang tak biasa ia lakukan
sebelumnya.
Uluran tanganku perlahan menyentuh
tangannya yang masih terasa kasar, tapi
aku acuhkan itu, karena ia bisa
menutupinya dengan wangi tubuhnya yang
semerbak keseluruh ruangan.
Terakhir kali aku ingat bagaimana ia
menyentuh tangan ini. Aku menepis uluran
tangannya untuk membantuku bangun saat aku
tersandung di sebuah selokan kecil. Aku
tampik bantuan itu dengan kasar. Aku
mengira laki-laki tak perlu bantuan wanita
untuk urusan apapun. Laki-laki harus bisa
semuanya sendiri termasuk mencuci piring
jika perlu pembuktian.
Memang aku sedang disihir. Aku tak
ingat lagi ketika ia tawarkan parcel itu
di depanku. Ini berarti ia berikan dengan
ikhlas, ia tak takut tanganku menampik
niat baiknya lagi untuk kedua kalinya.
Mungkin ia sudah berpikir puluhan kali
sebelum benar-benar datang kerumah ini.
Atau aku yang terlalu kagum pada
sosok wanita yang memberikan warna yang
berbeda selepas senja tadi. Ia dapat
mengubah cara pandangku pada sosok wanita
lain di dunia ini yang selama ini aku
kenal angkuh. Penuh teka-teki dan hanya
inginkan sebagian kemewahan dunia ketika
mendekati laki-laki yang diinginkannya.
“Silahkan duduk”
Aku hampir saja lupa untuk menjamu
tamuku yang satu ini.
“Apa aku terlihat pantas untuk datang
kesini?” ucapnya dengan senyum manis pada
bibir yang tipis memerah miliknya.
Aku terdiam sejenak. Mencoba tidak
tergesa-gesa untuk menjawabnya, mungkin ia
masih punya terusan untuk kalimat yang aku
kira belum selesai itu.
Hening sesaat.
“kau tampak cantik, dan rumah ini
juga cantik, kalian cocok jika berpadu”
Aku berusaha tidak menegaskan bahwa
aku sangat menyukainya malam ini, berusaha
menutupi perasaanku. Tapi, aku juga tidak
berbakat untuk menjadi pembohong dalam
urusan hati.
Seiring bulan yang perlahan naik,
pembicaraan kami semakin menjadi, semakin
hangat dan membawa pada suasana purnama
yang benderang.
Kalimat demi kalimat saling-silang
berganti, kadang aku yang menjawab
pertanyaannya tetapi kadang pula aku takut
untuk menjawabnya karena ia mencoba
menanyakan tentang kisah memalukanku waktu
buku-bukuku bertebaran pada peristiwa di
sebalik got.
Aku merasa nampak sebagai pecundang,
yang berjalan saja masih terjatuh. Aku
seperti anak kecil. Aku tak mau
mengingatnya lagi. Tapi, ia seakan-akan
pandai memancingku kearah sana. Ia
berhasil mendapati setiap kenangan yang
mulai terbuka seiring pembicaraan ini.
Aku bisa melihat cahaya purnama masuk
menyingkap wajahnya yang sebagian tak
terlihat karena pekatnya ruangan rumah
ini. Memang aku suka suasana remang untuk
mengobrol, dimana aku bisa menyembunyikan
mimik rupaku yang akan terlihat jujur jika
beberapa lampu menyala. Dalam ruangan
seperti ini pula aku bisa merasakan tenang
jika sudah berpasangan dengan secangkir
kopi hitam pada cangkir yang putih
bertuliskan Delft3.
“Mana tanda lahirmu?”
Percakapan kami sampai pada masa
kanak-kanak yang sering membincangkan
tanda lahir masing-masing. Ia mulai
menanyakan dimana letak tanda lahir yang
pernah aku ceritakan waktu kami masih
berteman di bangku Sekolah Dasar.
“Hemm, ternyata kau masih ingat ya?”
3Delftware adalah produk gerabah buatan Belanda
pada abad ke-16
Aku memiliki tanda lahir
Di sini, di punggungku, tanda lahir
berwarna abu-abu yang dulu sering kau
ejek.
Memang dulu tanda lahirku sering
menjadi bahan ejekan bagi Sarah yang
mengira tanda lahirku seperti bekas
kerokan yang lama tak hilang. Dasar,
geramku dalam hati.
***
Kami sudah sama-sama dewasa.
Menginjak umur 25 tahun bukanlah waktu
yang singkat untuk belajar tentang
kehidupan. Sudah lama pula aku tak
melihatnya, mungkin tahunan sudah ia pergi
dari kampung ini. yah, sejak ia meneruskan
kuliahnya keluar kota dan aku masih tetap
disini untuk menjaga rumah tua yang memang
sangat aku suka.
Sesekali Sarah tanpak meminum
kopinya, perlahan menyerutup kopi itu, ia
tampak menikmati kopi buatanku. Memang aku
terbiasa membuat kopi. Tapi, aku tak
terbiasa membuatkan kopi untuk orang lain.
Seperti malam ini, aku membuatkan
secangkir kopi untuk tamu yang lama tak
bersua denganku. Sedikit keder sebenarnya
menyuguhkan kopi ini, aku tak yakin ia
terbiasa menikmati kopi hitam yang lahir
dari tanah di kaki Gunung Dzouta di desa
ini.
Tapi setidaknya, dalam seduhan kopi
itu aku memasukkan kenangan antara aku dan
dia. Beberapa kisah yang bisa menambah
manis ketika Ia minum kopi itu dengan
perlahan.
Seiring purnama yang memuncak,
berjalan pula waktu yang berputar
terbalik. Perlahan pula aku melihat
wajahnya yang mulai tersingkap cahaya
bulan yang teduh masuk dari jendela rumah
yang lupa aku kunci karena ia keburu
datang saat senja tadi.
Wajah di balik gaun Saree merah yang
membuat aku terpukau. Berpadu dengan
beberapa perhiasan yang mengalung di leher
yang kadang-kadang berkerlip saat cahaya
purnama jatuh tepat mengenainya, begitu
pula sebuah permata yang menjulai dari
atas rambutnya yang terbelah menuju tepat
pada keningnya. Ia bisa membiusku,
menjadikan tubuhku kaku sesaat. Keanggunan
dalam tutur katanya serta selendang yang
ia kerudungkan untuk menutupi rambutnya
yang tergerai menyempurnakan Minggu malam
Nyepi4 di Tahun Sembilan Belas Dua Puluh
Tiga(1923)Saka.
4Nyepi adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan
setiap tahun Baru Saka. Hari ini jatuh pada
hitungan Tilem Kesanga (IX) yang dipercayai
*Nama Pena bagi laki-laki yang menyusun kata.
merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di
pusat samudera yang membawa intisari amerta air
hidup. Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci
terhadap mereka