BAB I SEJARAH DAN BUDAYA LAMPUNG Wilayah Kabupaten Lampung Tengah terletak persis dibagian tengah dari Provinsi Lampung. Berbagai riwayat, hikayat maupun cerita-cerita rakyat berlatar belakang sejarah daerah telah pula mewarnai sosok Lampung Tengah. Sehingga dari sisi historis sejarah Kabupaten Lampung Tengah tidak terlepas dari sejarah Lampung secara umum. A. Asal Muasal Kata Lampung Sejarah asal mula kata Lampung berasal dari beberapa sumber. Salah satu sumber menyebutkan bahwa pada zaman dahulu provinsi ini bila di lihat dari daerah lain seperti melampung/terapung. Sebab wilayahnya sendiri pada waktu itu sebagian besar dikelilingi oleh sungai-sungai dan hanya dihubungkan deretan Bukit Barisan di tanah Andalas. Karena daerah ini pada saat itu tampak terapung, lalu muncullah sebutan lampung (melampung). Sumber lain berdasarkan sebuah legenda rakyat menyebutkan, zaman dulu di daerah ini ada seorang 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I SEJARAH DAN BUDAYA LAMPUNG
Wilayah Kabupaten Lampung Tengah terletak persis dibagian tengah
dari Provinsi Lampung. Berbagai riwayat, hikayat maupun cerita-cerita
rakyat berlatar belakang sejarah daerah telah pula mewarnai sosok
Lampung Tengah. Sehingga dari sisi historis sejarah Kabupaten
Lampung Tengah tidak terlepas dari sejarah Lampung secara umum.
A. Asal Muasal Kata Lampung
Sejarah asal mula kata Lampung berasal dari beberapa sumber. Salah
satu sumber menyebutkan bahwa pada zaman dahulu provinsi ini bila di
lihat dari daerah lain seperti melampung/terapung. Sebab wilayahnya
sendiri pada waktu itu sebagian besar dikelilingi oleh sungai-sungai dan
hanya dihubungkan deretan Bukit Barisan di tanah Andalas. Karena
daerah ini pada saat itu tampak terapung, lalu muncullah sebutan
lampung (melampung).
Sumber lain berdasarkan sebuah legenda rakyat menyebutkan, zaman
dulu di daerah ini ada seorang yang sakti mandraguna serta memiliki
kepandaian yang sulit ada tandingannya bernama Mpu Serutting Sakti.
Sesuai dengan namanya, salah satu kesaktian Mpu tersebut dapat
terapung diatas air. Kemudian di ambil dari kepandaian Mpu Serutting
Sakti itu, tersebutlah kata lampung (terapung).
Riwayat lain menyebutkan bahwa pada zaman dahulu ada sekelompok
suku dari daerah Pagaruyung Petani, dipimpin kepala rombongan
bernama Sang Guru Sati. Suatu ketika Sang Guru Sati mengembara
1
bersama ketiga orang anaknya, masing-masing bernama Sang
Bebatak, Sang Bebugis dan Sang Bededuh. Karena kala itu tanah
Pagaruyung sudah dianggap tak dapat lagi mampu memberikan
penghidupan yang layak, lalu ketiga keturunan ini akhirnya mencari
daerah kehidupan baru.
Dalam riwayat ini disebutkan, Sang Bebatak menuju ke arah utara,
menurunkan garis keturunan suku bangsa Batak. Sang Bebugis menuju
ke arah timur, menurunkan garis keturunan suku bangsa Bugis dan
Sang Bededuh menuju ke arah timur-selatan yang merupakan garis
keturunan suku Lampung.
Singkat cerita, keturunan berikutnya dari Sang Guru Sati lalu tinggal di
Skala Brak. Saat rombongan tersebut memasuki sebuah daerah yang di
sebut dengan Bukit Pesagi, Appu Kesaktian, salah seorang ketua
rombongan menyebut kata “lampung”; maksudnya menanyakan siapa
bermukim di tempat ini.
Kemudian dalam pertemuan ini, pertanyaan yang dilontarkan Appu
Kesaktian di jawab oleh Appu Serata Dilangit yang sudah lebih dulu
menetap di sana dengan kata “wat” yang dalam bahasa daerah berarti
ada. Artinya, tempat tersebut ada yang menghuni. Karena terjadi selisih
paham, kedua tokoh itu bersitegang namun mereka akhirnya menjalin
persaudaraan. Selanjutnya nama “lampung” selalu diucapkan dan jadi
nama tempat.
Versi lain dari cerita rakyat Lampung yang penuturannya hampir sama
dengan kedatangan Appu Kesaktian di Bukit Pesagi adalah cerita
tentang Ompung Silamponga. Dalam kisahnya diceritakan, di daerah
2
yang sekarang dinamakan Tapanuli, dulu terjadi letusan gunung berapi.
Karena letusan gunung berapi itu cukup dahsyat, di tempat ini banyak
penduduknya yang mati terkena semburan lahar panas serta bebatuan
yang disemburkan dari gunung berapi tersebut. Namun, meskipun
letusan itu sangat hebat, banyak juga yang berhasil menyelamatkan diri.
Letusan gunung api di daerah Tapanuli ini menurut tuturannya
membentuk sebuah danau yang kini di kenal dengan nama Danau
Toba.
Adalah empat orang bersaudara, masing-masing bernama Ompung
Silitonga, Ompung Silamponga Ompung Silaitoa dan Ompung
Sintalanga berhasil selamat dari letupan gunung berapi. Mereka
berempat menyelamatkan diri meninggalkan tanah Tapanuli menuju ke
arah tenggara. Dalam penyelamatan diri itu, keempat bersaudara
tersebut naik sebuah rakit menyusuri pantai bagian barat pulau Swarna
Dwipa yang sekarang bernama Pulau Sumatera. Siang malam mereka
tidur diatas rakit terus menyusuri pantai. Berbulan-bulan mereka
terombang-ambing dilautan tanpa tujuan yang pasti. Persediaan
makananpun dari hari ke hari semakin berkurang. Keempat bersaudara
ini juga sempat singgah di pantai untuk mencari bahan makanan yang
diperlukan.
Entah apa sebabnya, suatu hari ketiga saudara Ompung Silamponga
enggan diajak untuk meneruskan perjalanan. Padahal ia pada waktu itu
dalam keadaan menderita sakit. Merekapun turun ke daratan dan
setelah itu menghanyutkan Ompung Silamponga bersama rakit yang
mereka naiki sejak dari tanah Tapanuli. Berhari-hari Ompung Silaponga
tak sadarkan diri diatas rakit.
3
Pada suatu ketika, Ompung Silamponga sadar begitu merasakan rakit
yang ditumpanginya menghantam suatu benda keras. Saat matanya
terbuka, ia langsung kaget karena rakitnya telah berada di sebuah
pantai yang ombaknya tidak terlalu besar. Yang lebih mengherankan
lagi, begitu terbangun badannya terasa lebih segar. Segeralah dia turun
ke pantai dengan perasaan senang. Ia tak tahu sudah berapa jauh
berlayar dan dimana saudaranya berada. Yang dia tahu, kini telah
mendarat di suatu tempat. Kemudian Ompung Silamponga tinggal di
pantai tersebut. Kebetulan di pantai ini mengalir sungai yang bening.
Pikirnya, disinilah tempat terakhirnya untuk bertahan hidup, jauh dari
letusan gunung berapi.
Setelah sekian lamanya Ompung Silamponga menetap di sini, yang
menurut cerita tempatnya terdampar itu sekarang bernama Krui, terletak
di Kabupaten Lampung Barat, ia hidup sebagai petani. Karena merasa
sudah lama bertempat tinggal di daerah pantai, Ompung seorang diri
akhirnya melakukan perjalanan mendaki gunung dan masuk ke dalam
hutan. Suatu ketika tibalah ia di sebuah bukit yang tinggi dengan
panorama yang indah. Pandangannya mengarah ke laut serta di sekitar
tempat itu.
Kegembiraan yang dirasakannya, tanpa sadar dia berteriak dari atas
bukit dengan menyebut kata Lappung. Lappung dalam bahasa Tapanuli
berarti luas. Keyakinannya, pastilah disekitar situ ada orang selain
dirinya. Dengan tergesa-gesa dia turun dari atas bukit. Sesampainya di
tempat yang di tuju, Ompung bertekad untuk menetap di dataran
tersebut untuk selamanya.
4
Ternyata apa yang selama ini diyakininya memang benar, setelah cukup
lama tinggal di sini, Ompung akhirnya bertemu dengan penduduk yang
lebih dulu menetap di tempat ini dengan pola hidup yang masih
tradisional. Tapi meskipun demikian, penduduk itu tidak mengganggu
Ompung bahkan diantara mereka terjalin tali persahabatan yang baik.
Saat datang ajal menjemput, Ompung Silamponga meninggal di dataran
itu untuk selamanya. Daerah yang di sebut Lappung tersebut bernama
Skala Brak.
Tuturan cerita rakyat di sini mengatakan, bahwa nama Lampung berasal
dari nama Ompung Silamponga. Namun ada pula yang menuturkan
kalau nama Lampung di ambil dari ucapan Ompung saat ia berada
diatas puncak bukit begitu melihat dataran yang luas.
Versi berikutnya tentang asal-usul kata Lampung disebutkan bahwa
Skala Brak merupakan perkampungan pertama orang Lampung yang
penduduknya dinamakan orang Tumi atau Buai Tumi.
Menurut Achjarani Alf dalam tulisannya tahun 1954 berjudul
“Ngeberengoh” tentang istilah kata Lampung, bahwa untuk menuliskan
kata Lampung, selain orang Lampung yang beradat Sai Batin maka
mereka menuliskannya dengan sebutan Lampung dan bagi orang Sai
Batin menyebutkannya dengan sebutan `Lampung’ sebagaimana dalam
bahasa Indonesia. Hal ini sama dengan sebutan “Mega-lo” menjadi kata
“Menggala”.
Sebelum ajaran agama Hindu masuk ke Indonesia, beberapa sumber
menyebutkan bahwa di daerah ini semasanya telah terbentuk suatu
pemerintahan demokratis yang di kenal dengan sebutan Marga. Marga
5
dalam bahasa Lampung di sebut Mega dan Mega-lo berarti Marga yang
utama. Dimana masuknya pengaruh Devide Et Impera, penyimbang
yang harus ditaati pertama kalinya di sebut dengan Selapon. Sela
berarti duduk bersila atau bertahta sedangan Pon/Pun adalah orang
yang dimuliakan.
Ketika ajaran agama Hindu masuk ke daerah Selapon, maka mereka
yang berdiam di Selapon ini mendapat gelaran Cela Indra atau dengan
istilah lebih populer lagi di kenal sebutan Syailendra atau Syailendro
yang berarti bertahta raja.
Berdasarkan catatan It-Shing, seorang penziarah dari daratan Cina
menyebutkan, dalam lawatannya ia pernah mampir ke sebuah daerah di
tanah Swarna Dwipa (pulau Sumatera). Dimana di tempat itu walau
kehidupan penduduknya masih bersifat tradisional tapi sudah bisa
membuat kerajinan tangan dari logam besi (pandai besi) dan dapat
membuat gula aren yang bahannya berasal dari pohon Aren. Ternyata
tempat yang disinggahinya tersebut merupakan bagian dari wilayah
Kerajaan Sriwijaya, yang mana kerajaan besar ini sendiri gabungan dari
Kerajaan Melayu dengan Tulang Bawang (Lampung).
Sewaktu pujangga Tionghoa It-Shing singgah melihat daerah Selapon,
dari It-Shing inilah kemudian lahir nama Tola P’ohwang. Sebutan Tola
P’ohwang diambilnya dari ejaan Sela-pun. Sedangkan untuk
mengejanya, kata Selapon ini di lidah It-Shing berbunyi: So-la-po-un.
Berhubung orang Tionghoa itu berasal dari Ke’, seorang pendatang
negeri Cina yang asalnya dari Tartar dan dilidahnya tidak dapat
menyebutkan sebutan So maka It-Shing mengejanya dengan sebutan
6
To. Sehingga kata Solapun atau Selapon disebutnya Tola P’ohwang,
yang kemudian lama kelamaan sebutan Tolang Powang menjadi Tulang
Bawang.
Kerajaan Sriwijaya berbentuk federasi yang terdiri dari Kerajaan Melayu
dan Kerajaan Tulang Bawang semasanya menerima pengaruh ajaran
agama Hindu. Sedangkan orang Melayu yang tidak menerima ajaran
tersebut menyingkir ke Skala Brak. Sebagian lagi tetap menetap di
Mega-lo dengan budaya yang tetap hidup dengan ditandai adanya
Aksara Lampung.
Di antara orang Sela-pon yang menyingkir ke Skala Brak, guna untuk
merapatkan kembali hubungan dengan orang Melayu yang pindah ke
Pagaruyung, dilakukanlah pernikahan dengan seorang wanita bernama
“Tuanku Gadis”. Dari pernikahan tersebut, Selapon akhirnya mendapat
istilah baru lagi menjadi Selampung, dengan silsilahnya yang asli
mereka gelari “Abung”.
Pada saat itu, Kerajaan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan agung yang
wilayahnya sangat luas. Rajanya yang pertama bernama Sri
Jayanegara (680). Wilayah daerahnya meliputi sejumlah daerah di
Sumatera, Jawa Barat dan Kalimantan Barat, bahkan nama Sriwijaya
termashur hingga ke Malaysia dan Singapura (konon di ambil dari nama
panglima perang Sriwijaya yang mendarat di sana bernama Panglima
Singapura) sampai ke India.
Kemashuran Kerajaan Sriwijaya di tanah air meninggalkan beberapa
bukti kejayaan, diantaranya sebuah candi di Muara Takus Provinsi
Jambi yang di kenal dengan Candi Muara Takus, makam raja-raja di
Bukit Siguntang, Bukit Besar Palembang, Sumsel serta sejumlah
7
prasasti (batu bertulis) yang berada di beberapa tempat, seperti:
Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang, Prasasti Talang
Tuo di Palembang, Prasasti Telaga Batu di Palembang, Prasasti Bom
Baru di Palembang, Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangka, Prasasti
Karang Berahi di Jambi, Prasasti Palas Pasemah di Lampung Selatan
dan Prasasti Nalanda di Mesium Nalanda di India.
Dari sejumlah berita-berita ini diketahui, Sriwijaya memperoleh
kemajuan sekitar abad ke 7 dan 8 masehi dibawah pemerintahan Raja
Balaputra Dewa dari Wangsa Syailendra. Kemajuan-kemajuan itu,
diantaranya: Membentuk armada laut yang kuat sehingga memberikan
kemudahan bagi para pedagang untuk singgah dan berdagang dengan
aman; Kapal-kapal dagang Sriwijaya berlayar hampir ke seluruh
pelabuhan di Asia; Memberikan kesempatan pada putra-putri Indonesia
untuk belajar sampai ke India (Perguruan Tinggi Nalanda).
Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran pada sekitar abad ke 11
masehi. Lemahnya kerajaan yang sempat jaya ini dikarenakan
mendapat serangan dari Kerajaan Cola pimpinan Rajendrachola tahun
1025 dan munculnya Kerajaan Kediri yang mengadakan ekspedisi
Pamalayu ke Sumatera.
Dari beberapa keterangan di peroleh bahwa kata Lampung telah
berulang kali mengalami perubahan. Semula sebelum Hindu dari India
masuk ke Nusantara di sebut Selapon. Setelah Hindu masuk mendapat
gelaran Cela Indra atau Syailendra/Syailendro. Abad ke IV oleh It-Shing
disebutkannya Tola P’ohwang (Tulang Bawang). Abad ke VII di masa
Tuanku Gadis mendapat gelaran Selampung yang kemudian menjadi
sebutan Lampung.
8
B. Sejarah Perkembangan Daerah
Semasa kekuasaan marga-marga Hindu/Animisme, pada abad ke 14
masehi terdapat kekuasaan Ratu Sekar-mong (Sekromong) di Skala
Brak Bukit Pesagi dan abad 14-15 kekuasaan Paksi-pak, Ratu di
Puncak, Ratu Pemanggilan, Ratu di Balau dan Ratu di Pugung.
Semasa kekuasaan Islam dan pengaruh VOC, abad ke 15-16 masehi
terdapat kekuasaan Ratu Darah Putih, penyimbang-penyimbang
Lampung seba di Banten. Abad 16 sampai dengan 18 masehi, daerah
Lampung dibawah pengaruh Banten, lalu masuknya pengaruh
kekuasaan ekonomi VOC. Tahun 1668, VOC bercokol di tanah
Lampung dan mendirikan Benteng Petrus Albertus di Tulang Bawang.
Tahun 1684, penyimbang-penyimbang marga di Lampung melakukan
perdagangan lada dengan VOC melalui pelabuhan Sungai Way Tulang
Bawang. Tahun 1738, penyimbang-penyimbang marga dari kebuaian
Abung (Ratu di Puncak) memboikot perdagangan lada dengan VOC
dan melakukan pemasaran ke Palembang. Pada saat itu, Palembang
berada dibawah pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam,
salah satu kerajaan Islam di tanah Sumatera. Akibatnya VOC
mendirikan Benteng Valken Oog di Bumi Agung, Way Kanan.
Saat kekuasaan Raden Intan dan pengaruh Inggris pada tahun 1750
terjadi penyerahan daerah Lampung kepada VOC oleh Ratu Fatimah.
Namun Banten tidak diakui rakyat Lampung. Lalu muncullah gerakan
perlawanan Raden Intan I dari Keratuan Darah Putih. Penyimbang-
penyimbang marga di daerah Krui akhirnya berhubungan dengan
Inggris. Tahun 1799 VOC bubar, pemerintahan marga-marga di
9
Lampung terancam bahaya perompakan bajak laut, kelaparan dan
wabah penyakit.
Tahun 1801-1805, sebatin-sebatin bandar di daerah Semangka
melaksanakan perjanjian dagang dengan Inggris. Tahun 1808 Gubernur
Jenderal Daendels mengakui kekuasaan Keratuan Darah Putih dibawah
pimpinan Raden Intan I. Tahun 1812 kekuasaan pemerintahan Inggris
Raffles mengakui kekuasaan kepala-kepala marga di daerah Lampung.
Pada tahun 1816 daerah Lampung dibawah kekuasaan Residen
Belanda di Banten. Setahun kemudian yakni tahun 1817 Assisten
Residen Belanda Kruseman untuk Lampung mengakui kekuasaan
Raden Intan I. Kapten J. A. Du Bois lalu memperkuat bentengnya di
Kalianda dan Tulang Bawang. Tahun 1819-1826, ekspedisi Kapten
Hulstein ditolak berunding oleh Raden Intan I. Tahun 1826 dapat
dianggap tahun dimulainya perlawanan rakyat Lampung terhadap
kekuasaan Belanda. Perlawanan ini di pimpin Raden Imba dari
Keratuan Darah Putih. Tahun 1826 sampai dengan 1856 merupakan
masa perang Lampung (Perang Raden Intan). Namun sayang, pada
tanggal 5 Oktober 1856 Raden Intan II gugur dalam peperangan
menghadapi tentara jajahan dibawah pimpinan Kolonel Waleson.
Perang Lampung pun akhirnya berakhir.
Semasa administrasi pemerintahan Hindia Belanda, tahun 1829-1834,
J. A. Du Bois di angkat sebagai Residen Kepala Pemerintahan
Sipil/Militer untuk daerah Lampung dan berpusat di Terbanggi Besar.
Pada tahun 1847 Teluk Betung dijadikan ibukota Keresidenan
Lampung. Tanggal 21 Juni 1857 pemerintah Hindia Belanda
10
menetapkan pemerintahan daerah Lampung berdasarkan pada
susunan pemerintahan setempat, dengan ditandai diakuinya sistem
kemasyarakatan marga dibawah pimpinan penyimbang-penyimbang
masing-masing.
Sebelum suku Lampung tersebar ke daerah-daerah Lampung seperti
sekarang ini, disebutkan bahwa nenek moyang mereka pertama kali
mendiami Skala Brak, yakni di sekitar Bukit Pesagi (Kecamatan Belalau,
Lampung Utara). Pada mulanya di sana berdiri sebuah kerajaan
bernama Kerajaan Tumi dengan raja-rajanya yang menganut
kepercayaan animisme dan dipengaruhi agama Hindu Bairawa. Rajanya
yang terakhir disebutkan bernama Kekuk Suik. Dengan daerah
kekuasaannya yang terakhir adalah daerah jantung Tanjung Cina
sekarang. Raja tersebut dikisahkan meninggal dunia dalam sebuah
peperangan melawan anak buahnya sendiri yang datang dari daerah
Danau Ranau yang sudah memeluk ajaran agama Islam.
C. Suku dan Adat Istiadat
Berdasarkan adat istiadatnya, penduduk suku Lampung terbagi ke
dalam dua golongan besar, yakni masyarakat Lampung beradat
Pepadun dan masyarakat Lampung beradat Saibatin atau Peminggir.
Suku Lampung beradat Pepadun secara lebih terperinci dapat di
golongkan ke dalam; (a) Abung Siwo Mego (Abung Sembilan Marga),