Top Banner

of 22

Brachial Palsy & Trigger Finger

Mar 06, 2016

Download

Documents

Brachial Palsy & Trigger Finger
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BRACHIAL PALSYI. DefinisiLesi pleksus brakhialis adalah lesi saraf yang menimbulkan kerusakan saraf yang membentuk pleksus brakhialis, mulai dari radiks saraf hingga saraf terminal. Keadaan ini dapat menimbulkan gangguan fungsi motorik, sensorik atau autonomic pada ekstremitas atas. Istilah lain yang sering digunakan yaitu neuropati pleksus brakhialis atau pleksopati brakhialis.

II. PenyebabPenyebab lesi pleksus brakhialis bervariasi, diantaranya :1. Trauma Merupakan penyebab terbanyak lesi pleksus brakhialis pada orang dewasa maupun neonatus. Keadaan ini dapat berupa ; cedera tertutup, cedera terbuka, cedera iatrogenic.2. Tumor Dapat berupa tumor neural sheath yaitu ; neuroblastoma, schwannoma, malignant peripheral nerve sheath tumor dan meningioma. Tumor non-neural ; jinak (desmoid, lipoma), malignant ( kangker mammae dan kangker paru)3. Radiation-induced Frekuensi cedera pleksus brachialis yang dipicu oleh radiasi diperkirakan sebanyak 1,8 4,9% dari lesi dan paling sering pada pasien kangker mammae dan paru.4. Entrapment Keadaan ini merupakan penyebab cedera pleksus brakhialis pada thoracic outlet syndrome. Postur tubuh dengan bahu yang lunglai dan dada yang kolaps menyebabkan thoracic outlet menyempit sehingga menekan struktur neurovaskuler. Adanya iga accessory atau jaringan fibrous juga berperan menyempitkan thoracic outlet. Faktor lain yaitu payudara berukuran besar yang dapat menarik dinding dada ke depan (anterior dan inferior). Teori ini didukung dengan hilangnya gejala setelah operasi mammoplasti reduksi. Implantasi mammae juga dikatakan dapat menyebabkan cedera pleksus brakhialis karena dapat nmeningkatkan tegangan dibawah otot dinding dada dan mengiritasi jaringan neurovaskuler.

5. Idiopatik Pada Parsonage Turner Syndrome terjadi pleksitis tanpa diketahui penyebab yang jelas namun diduga terdapat infeksi virus yang mendahului. Presentasi klasik adalah nyeri dengan onset akut yang berlangsung selama 1 2 minggu dan kelemahan otot timbul lebih lambat. Nyeri biasanya hilang secara spontan dan pemulihan komplit terjadi dalam 2 tahun.III. Derajat KerusakanDerajat Kerusakan pada lesi saraf perifer dapat dilihat dari klasifikasi Sheddon (1943) dan Sunderland (1951).Klasifikasi Sheddon, yaitu : a. NeuropraksiaPada atipe ini terjadi kerusakan mielin namun akson tetap intak. Dengan adanya kerusakan mielin dapat menyebabkan hambatan konduksi saraf. Pada tipe cedera seperti ini tidak terjadi kerusakan struktur terminal sehingga proses penyembuhan lebih cepat dan merupakan derajat kerusakan paling ringan.b. AksonotmesisTerjadi kerusakan akson namun semua struktur selubung saraf termasuk endoneural masih tetap intak. Terjadi degenerasi aksonal segmen saraf distal dari lesi (degenerasi Wallerian). Regenerasi saraf tergantung dari jarak lesi mencapai serabut otot yang denervasi tersebut. Pemulihan sensorik cukup baik bila dibandingkan motorik.c. NeurotmesisTerjadi ruptur saraf dimana proses pemulihan sangat sulit terjadi meskipun dengan penanganan bedah. Bila terjadi pemulihan biasanya tidak sempurna dan dibutuhkan waktu serta observasi yang lama. Merupakan derajat kerusakan paling berat.Klasifikasi Sunderland lebih merinci kerusakan saraf yang terjadi dan membaginya dalam 5 tingkat, yaitu : 151. Tipe I : hambatan dalam konduksi (neuropraksia)2. Tipe II : cedera akson tetapi selubung endoneural tetap intak (aksonotmesis)3. Tipe III : aksonotmesis yang melibatkan selubung endoneural tetapi perineural dan epineural masih intak.4. Tipe IV : aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural, tetapi epineural masih baik.5. Tipe V : aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural dan epineural (neurotmesis).

Gambar 3. Klasifikasi cedera saraf

IV. Gambaran KlinisGejala yang timbul umumnya unilateral berupa kelainan motorik, sensorik dan bahkan autonomik pada bahu dan/atau ekstremitas atas. Gambaran klinisnya mempunyai banyak variasi tergantung dari letak dan derajat kerusakan lesi. Lesi pleksus brakhialis dapat dibagi atas pleksopati supraklavikular dan pleksopati infraklavikular. 2,17

Gambar 4. Pleksus supraclavikular dan infraklavikular

Pleksopati supraklavikulerPada Pleksopati supraklavikuler lesi terjadi ditingkat radiks saraf, trunkus saraf atau kombinasinya. Lesi ditingkat ini dua hingga tujuh kali lebih sering terjadi dibanding lesi infraklavikuler.21. Lesi tingkat radiksPada lesi pleksus brakhialis ini berkaitan dengan avulsi radiks. Gambaran klinis sesuai dengan dermatom dan miotomnya. Lesi di tingkat ini dapat terjadi partial paralisis dan hilangnya sensorik inkomplit, karena otot-otot tangan dan lengan biasanya dipersyarafi oleh beberapa radiks. 5,17,18Presentasi klinis pada lesi radiks : 5Radiks sarafPenurunan RefleksKelemahanHipestesi/kesemutan

C5Biseps brakhiiFleksi sikuLateral lengan atas

C6BrakhioradiialisEkstensi pergelangan tanganLateral lengan bawah

C7Triceps brakhiiEkstensi sikuJari tengah

C8-Fleksi jari2 tanganMedial lengan bawah

T1-Abduksi jari2 tanganMedial siku

Presentasi klinis diatas adalah untuk membantu penentuan level lesi radiks, sedangkan kelemahan otot yang lebih lengkap terjadi sesuai miotom servikal berikut ini : 5C5 : Rhomboideus, deltoid, biseps brachii, supraspinatus, infraspinatus, brachialis, brachioradialis, supinator dan paraspinalC6 : Deltoid, biseps brachii, brachioradialis, supraspinatus, infraspinatus, supinator, pronator teres, fleksor carpi radialis, ekstensor digitorum komunis dan paraspinalC7 : Pronator teres, fleksor carpi radialis, ekstensor digitorum komunis, triceps brachii dan paraspinalC8/T1 : Triceps brachii, fleksor carpi ulnaris, fleksor digitorum profundus, abduktor digiti minimi, pronator kuardatus, abduktor pollicis brevis dan parapinal Gambar 5. Gambar miotom servikal2. Sindroma Erb-DuchenneLesi di radiks servikal atas (C5 dan C6) atau trunkus superior dan biasanya terjadi akibat trauma. Pada bayi terjadi karena penarikan kepala saat proses kelahiran dengan penyulit distokia bahu, sedangkan pada orang dewasa terjadi karena jatuh pada bahu dengan kepala terlampau menekuk kesamping. Presentasi klinis pasien berupa waiters tip position dimana lengan berada dalam posisi adduksi (kelemahan otot deltoid dan supraspinatus), rotasi internal pada bahu (kelemahan otot teres minor dan infraspinatus), pronasi (kelemahan otot supinator dan brachioradialis) dan pergelangan tangan fleksi (kelemahan otot ekstensor karpi radialis longus dan brevis). Selain itu terdapat pula kelemahan pada otot biseps brakhialis, brakhialis, pektoralis mayor, subscapularis, rhomboid, levator scapula dan teres mayor. Refleks bisep biasanya menghilang, sedangkan hipestesi terjadi pada bagian luar (lateral) dari lengan atas dan tangan.3. Sindroma Klumpkes ParalysisLesi di radiks servikal bawah (C8, T1) atau trunkus inferior dimana penyebab pada bayi baru dilahirkan adalah karena penarikan bahu untuk mengeluarkan kepala,sedangkan pada orang dewasa biasanya saat mau jatuh dari ketinggian tangannya memegang sesuatu kemudian bahu tertarik. Presentasi klinis berupa deformitas clawhand (kelemahan otot lumbrikalis) sedangkan fungsi otot gelang bahu baik. Selain itu juga terdapat kelumpuhan pada otot fleksor carpi ulnaris, fleksor digitorum, interosei, tenar dan hipotenar sehingga tangan terlihat atrofi. Disabilitas motorik sama dengan kombinasi lesi n. Medianus dan ulnaris. Kelainan sensorik berupa hipestesi pada bagian dalam/ sisi ulnar dari lengan dan tangan.4. Lesi di trunkus superiorGejala klinisnya sama dengan sindroma Erb di tingkat radiks dan sulit dibedakan. Namun pada lesi di trunkus superior tidak didapatkan kelumpuhan otot rhomboid, seratus anterior, levator scapula dan saraf supra - & infraspinatus. Trdapat gangguan sensorik di lateral deltoid, aspek lateral lengan atas dan lengan bawah hingga ibu jari tangan.5. Lesi di trunkus mediaSangat jarang terjadi dan biasanya melibatkan daerah pleksus lainnya (trunkus superior dan/atau trunkus inferior) Gejala klinis didapatkan kelemahan otot triceps dan otot-otot yang dipersyarafi n. Radialis (ekstensor tangan), serta kelainan sensorik biasanya terjadi pada dorsal lengan dan tangan. 6. Lesi di trunkus inferiorGejala klinisnya yang hampir sama dengan sindroma Klumpke di tingkat radiks. Terdapat kelemahan pada otot-otot tangan dan jari-jari terutama untuk gerakan fleksi, selain itu juga kelemahan otot-otot spinal intrinsik tangan. Gangguan sensorik terjadi pada aspek medial dari lengan dan tangan.7. Lesi Pan-supraklavikular (radiks C5-T1 / semua trunkus)Pada lesi ini terjadi kelemahan seluruh otot ekstremitas atas, defisit sensorik yang jelas pada seluruh ekstremitas atas dan mungkin terdapat nyeri. Otot rhomboid, seratus anterior dan otot-otot spinal mungkin tidak lemah tergantung dari letak lesi proksimal (radiks) atau lebih ke distal (trunkus).

Pleksopati InfraklavikulerPada pleksopati infraklavikuler terjadi lesi ditingkat fasikulus dan/atau saraf terminal. Lesi infraklavikuler ini jarang terjadi dibanding supraklavikuler namun umumnya mempunyai prognosis lebih baik. Penyebab utama terjadi pleksopati infraklavikuler biasanya adalah trauma dapat tertutup (kecelakaan lalu lintas) maupun terbuka (luka tembak). Mayoritas disertai oleh kerusakan struktur didekatnya (dislokasi kaput humerus, fraktur klavikula, scapula atau humerus).Gambaran klinis sesuai dengan lesinya : 1. Lesi di fasikulus lateralDapat terjadi akibat dislokasi tulang humerus. Lesi disini akan mengenai daerah yang dipersyarafi oleh n. Muskulocutaneus dan sebagian dari n. Medianus. Gejala klinisnya yaitu kelemahan otot fleksor lengan bawah dan pronator lengan bawah, sedangkan otot-otot intrinsik tangan tidak terkena. Kelainan sensorik terjadi di lateral lengan bawah dan jari 1 III tangan.2. Lesi di fasikulus medialDisebabkan oleh dislokasi subkorakoid dari humerus. Kelemahan dan gejala sensorik terjadi dikawasan motorik dan sensorik n. Ulnaris. Lesi disini akan mengenai seluruh fungsi otot intrinsik tangan seperti fleksor, ekstensor dan abduktor jari-jari tangan, juga fleksor ulnar pergelangan tangan. Secara keseluruhan kelaianan hampir menyerupai lesi di trunkus inferior. Kelainan sensorik terlihat pada lengan atas dan bawah medial, tangan dan 2 jari tangan bagian medial.3. Lesi di fasikulus posteriorLesi ini jarang terjadi. Gejala klinisnya yaitu terdapat kelemahan dan defisit sensorik dikawasan n. Radialis. Otot deltoid (abduksi dan fleksi bahu), otot-otot ekstensor lengan, tangan dan jari-jari tangan mengalami kelemahan. Defisit sensorik terjadi pada daerah posterior dan lateral deltoid, juga aspek dorsal lengan, tangan dan jari-jari tangan.

V. Pemeriksaan Penunjang RadiografiAdanya cedera saraf tepi biasanya disertai dengan cedera tulang dan jaringan iikat sekitar yang dapat dinilai dengan pemeriksaan radiografi. Pada kasus cedera traumatik, penggunaan X-foto dapat membantu menilai adanya dislokasi, subluksasi atau fraktur yang dapat berhubungan dengan cedera pleksus tersebut. Pemeriksaan radiografi : 1. Foto vertebra servikal untuk mengetahui apakah ada fraktur pada vertebra servikal2. Foto bahu untuk mengetahui apakah ada fraktur skapula, klavikula atau humerus.3. Foto thorak untuk melihat disosiasi skapulothorak serta tinggi diafragma pada kasus paralisa saraf phrenicus.Adanya benda asing seperti peluru juga dapat terlihat. Sedangkan pada kasus cedera pleksus brakhialis traumatik yang berat. Narakas, melaporkan bahwa umumnya terdapat trauma multipel pada kepala atau muskuloskletal lainnya.CT scan dapat digunakan untuk menilai adanya fraktur tersembunyi yang tidak dapat dinilai oleh x-foto. Sedangkan myelografi digunakan pada lesi supraklavikular berat, yang berguna untuk membedakan lesi preganglionik dan postganglionik. Kombinasi CT dan myelografi lebih sensitif dan akurat terutama untuk menilai lesi proksimal (avulsi radiks). MRI dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai jaringan ikat sekitar lesi dan penilaian pleksus brakhialis ekstraforaminal normal atau tidak normal.

Elektrofisiologi

Hasil pemeriksaan kecepatan hantar syaraf untuk Compound Muscle Action Potentials (CMAP) didapatkan amplitudo yang rendah setelah hari ke-9.SNAPs (Sensory Nerve Action Potentials) berguna untuk membedakan lesi preganglionic atau lesi postganglionic. Pada lesi postganglionic, SNAPs tidak didapatkan tetapi positif pada lesi preganglionic.EMG (Elektromiografi) dengan jarum pada otot dapat tampak fibrilasi, positive sharp wave (pada lesi axonal), amplitudo dan durasi. Dimana denervasi terlihat setelah minggu ke-2.

VI. PenatalaksanaanPenatalaksanaan pada pleksus brakhialis menjadi tantangan, terutama karena beberapa penyebab tidak ada terapi yg spesifik. Penatalaksanaan suportif, dengan berfokus pada kontrol nyeri dan disertai dengan penatalaksanaan aspek rehabilitasi dan tindakan operasi, operasi diindikasikan pada lesi pleksus brakhialis berat dan umumnya dilakukan 3-4 bulan setelah trauma dan tidak dianjurkan jika telah lebih dari 6 bulan karena hasil kesembuhan tidak optimal. Jika lesi sangat luas dan perbaikan keseluruhan tidak memungkinkan maka tujuan utama perbaikan bedah adalah mengembalikan fungsi fleksi siku, kemudian dapat dilanjutkan dengan fungsi ekstensi pergelangan tangan dan fleksi jari-jari. Beberapa tindakan operasi yang dilakukan pada lesi pleksus brakhialis adalah :1. Pembedahan primerPembedahan dengan standart microsurgery dengan tujuan memperbaiki injury pada plexus serta membantu reinervasi. Teknik yang digunakan tergantung berat ringan lesi. Neurolysis : Melepaskan constrictive scar tissue disekitar saraf Neuroma excision: Bila neuroma besar, harus dieksisi dan saraf dilekatkan kembali dengan teknik end-to-end atau nerve grafts Nerve grafting : Bila gap antara saraf terlalu besar, sehingga tidak mungkin dilakukan tarikan. Saraf yang sering dipakai adalah n suralis, n lateral dan medial antebrachial cutaneous, dan cabang terminal sensoris pada n interosseus posterior Neurotization : Neurotization pleksus brachialis digunakan umumnya pada kasus avulsi pada akar saraf spinal cord. Saraf donor yang dapat digunakan : hypoglossal nerve, spinal accessory nerve, phrenic nerve, intercostal nerve, long thoracic nerve dan ipsilateral C7 nerve. Intraplexual neurotization menggunakan bagian dari root yang masih melekat pada spinal cord sebagai donor untuk saraf yang avulsi.Perbaikan primer yang segera biasanya direkomendasikan bila laserasi saraf bersih dari benda tajam.2. Pembedahan sekunder Tujuan untuk meningkatkan seluruh fungsi extremitas yang terkena. Ini tergantung saraf yang terkena. Prosedurnya berupa tendon transfer, pedicled muscle transfers, free muscle transfers, joint fusions and rotational, wedge or sliding osteotomies.Perbaikan operatif sekunder setelah 2-4 minggu secara umum direkomendasikan untuk cedera tumpul atau cedera dengan kerusakan jaringan lunak yang luas dimana cedera saraf sangat berat dan perbaikan primer atau grafting tidak memungkinkan, neurotization dengan anastomosis satu saraf dengan yang lain dapat menjadi pilihan lainnya.Terapi Rehabilitasi MedikFisioterapi1. Fase akut RICE (rest, ice, compression and elevation)a. Istirahatb. Terapi dingin : digunakan untuk mengurangi rasa nyeri, dapat diberikan dengan modalitas sederhana seperti cold pack atau dengan cryojet air yang mengluarkan uap air dingin bersuhu -40oC selama 20 menit dan dapat diulang tiap 2 jam.c. Kompresi : dilakukan pada ekstremitas yang edema.d. Elevation : pada cedera pleksus brakhialis berat (adanya avulsi radiks), dapat terjadi edema yang signifikan pada ekstremitas yang terkena. Ini dikarenakan oleh pompa aliran darah balik abnormal yang biasanya dilakukan oleh otot yang lumpuh diatas batas jantung. Pada malam hari dapat dilakukan dengan cara diganjal dengan bantal dan pada beberapa kasus dimodifikasi menggunakan splint. Preventatif Dilakukan untuk mempertahankan ROM dan mencegah kelemahan lebih lanjut, meliputi : Proper positioning Splinting Latihan ROM Latihan penguatan pada otot yang terkena Pemeriksaan rutin dan perlindungan terhadap daerah yang mengalami gangguan sensorik.2. Fase subakut dan kronik Manajemen Nyeri Ultrasound : merupakan modalitas thermal (diathermy: deep heating modalities) dengan frekuensi 1-3MHz, diberikan selama 5-10 menit dilakukan 1-2 kali per hari selama 6-8 hari atau 14 kali pemberian. Penggunaannya dalam mengurangi nyeri menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga dapat meningkatkan pembuangan metabolit yang menyebabkan nyeri sehingga menurunkan spasme otot dan meningkatkan ambang nyeri. Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) : merupakan stimulasi listrik yang telah digunakan untuk mengelola nyeri lebih dari 2 dekade, berdasarkan teori gate control menurut Melzack dan Wall (1965). TENS mengaktivasi serabut saraf diameter besar (A-beta) yang menginhibisi interneuron (substantia gelatinosa) pada medulla spinalis. Pada giliranya menghasilkan inhibisi pada serabut saraf diameter kecil (A-delta) dan C (serabut saraf nyeri), bersama dengan inhibisi presinaps dari T-cells untuk menutup gerbang dan mengatur nyeri. TENS diberikan dengan implus frekuensi tinggi (50-100Hz) selama 30 menit sampai 1 jam per sesi, maksimal 2 jam per sesi, dengan total 8 jam perhari. Terapi dilanjutkan selama 3 minggu dan dikurangi bertahap setelah 8 12 minggu.22,24,25

Gambar 6. Direct current stimulation of motor points of effected musculature. A twitch response was noted and repeated 8 times at each point.

Latihan Latihan pada ekstremitas yang lumpuh pada awal terapi bertujuan untuk memelihara lingkup gerak sendi (LGS) dan mencegah atrofi otot, dimana umumnya sering menjadi masalah pada masa penyembuhan. Latihan LGS yang diberikan dapat pasif, aktif maupun aktif dibantu (active assited). Latihan peninkatan kekuatan/ stregthening exercise dapat diberikan bilamana terdapat kontraksi otot secara aktif. 5,26 Latihan penguatan otot leher, diberikan secara isometrik dimana penderita diintruksikan untuk mengkontraksikan otot leher tanpa menggerakan sendi. Pasien meletakkan tangannya ddikepala untuk menahan gerakan leher. Kontraksi dipertahankan selama lima hitungan (lima detik) diikuti relaksasi selama tiga hitungan dan kemudian diulang lagi, umumnya sebanyak tiga kali. Latihan ini diulangi untuk semua arah gerak. Alternatif lain adalah pasien berbaring terlentang/telungkup dengan kepala beralaskan bantal kemudian menekan kepala kearah bantal. Dalam melakukan latihan ini harus diperhatikan agar tidak terjadi gerakan leher.27 Cedera pleksus brakhialis menyebabkan kelemahan dan immobilisasi yang membatasi perenggangan normal dari otot dan jaringan penyokong. Kontraktur berakibat, perubahan biomekanik dan peningkatan usaha yang diperlukan untuk pergerakan lebih lanjut membatasi aktivitas. Saat istirahat/tidak aktif keterbatasan kontraksi otot kurang dari 20% dari tegangan maksimal, terjadi disuse atrofi, yang berlanjut dengan perburukan dari kelemahan. Gambar 7. Latihan fisik pada cedera pleksus brakhialis

Neuromuscular Electrical Stimulation (NMES) : merupakan stimulasi listrik yang lebih kuat dari pada TENS. Alat ini digunakan untuk menambah kekuatan dan memelihara massa otot walaupun tanpa usaha volunter dari subyek. Pada penderita cedera pleksus brakhialis berat dengan adanya denervasi otot, terapi NMES berguna untuk mencegah terjadinya atrofi otot.5,25 Diberikan minimal 10 kontraksi/repetisi sebanyak 3 set per hari dengan waktu istirahat antar set selama 2 menit, 3 kali per minggu. 1,5,25

Okupasi TerapiSetelah kekuatan dan ROM yang cukup pada lengan, terapi okupasi dimulai untuk meningkatkan koordinasi dan ketahanan melalui repetisi dari gerakan-gerakan stereotipik dasar yang meliputi pergerakan yang diperlukan untuk menullis, makan, berhias. Pada tahap rehabilitasi ini, pasien dievaluasi seputar kemampuannya untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Bila pasien direpkan ortosis, maka diberikan latihan dengan menggunakan orthosis tersebut yang disesuaikan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) pasien. Strategi lain dalam meningkatkan AKS termasuk latihan penggunaan satu tangan pada penderita dengan monoplegia serta edukasi penggunaan alat-alat bantu dirumah. Latihan yang diberikan sehubungan dengan AKS vokasional adalah peningkatan kemampuan penderita dalam menulis atau mengetik bila terganggu. Pada penderita dengan defisit sensorik, dapat diberikan latihan sensibilitas dengan obyek material yang bervariasi.

OrthotikOrtosis secara umum mempunyai tujuan sebagai berikut : Proteksi atau immobilisasi ; ortosis ini secara umum digunakan untuk stabilisasi setelah tindakan operatif atau situasi dimana stabilisasi diperlukan untuk otot yang lemah dalam melakukan aktivitas. Koreksi ; baik splint statis atau dinamis dapat diterapkan pada sendi untuk mencegah dan bahkan memperbaiki subluksasi atau deformitas. Bantuan fungsional ; ortosis dapat membantu fungsi otot yang lemah atau deformitas Ortosis atau alat bantu memegang peranan penting dalam penatalaksanaan rehabilitasi cedera pleksus brakhialis lebih lanjut. Peresepan alat bantu pada penderita ini sangat bervariasi dan tergantung disabilitas yang terjadi. Tujuan pemberian ortosis pada lesi pleksus brakhialis, adalah untuk : Mencegah nyeri sendi bahu dan subluksasi Mencegah atau mengurangi kontraktur (kekakuan sendi) Memperbaiki tampilan kosmetik dari anggota gerak yang terkena Membantu positioning tangan untuk meningkatkan fungsiSplint mungkin diperlukan selama tahap penyembuhan untuk mencegah kontraktur dan rengangan berlebih dari otot atau untuk menyokong anggota gerak pada posisi fungsi yang maksimal.

Gambar 8. Cock-up splintBeberapa contoh pertimbangan pemberian ortosis pada lesi pleksus brakhialis misalnya : Jika fungsi tangan distal masih baik namun gerakan bahu dan fleksi siku terganggu, maka ortosis dibuat dengan untuk menstabilkan bahu dan siku serta memberikan posisi fungsional pada tangan. Pemakaian ortosis yang paling tepat dapat berupa elbow and shoulder articulated arthoses dilengkapi dengan elbow ratchet lock untuk memberikan posisi fungsional pada tangan penderita. Wilmer Orthosis merupakan contoh ortosis yang banyak dipakai untuk pasien lesi pleksus brakhialis seperti ini. Ini merupakan ortosis bahu yang sangat efektif dalam mencegah subluksasi bahu dan memegang siku dalam posisi fleksi sehingga tangan berada dalam posisi yang dapat dipakai untuk aktivitas contohnya mengetik. Namun kekurangannya adalah pada penggunaan jangka lama dapat menyebabkan kontraktur siku. Di Inggris Stanmore Brachial Plexus Orthosis merupakan ortosis yang paling sering diresepkan. Ortosis ini dikatakan dapat memenuhi semua kebutuhan pasien dimana terdapat bagian forearm yang menyokong pergelangan tangan dan tangan, kemudian terdapat batang besi disamping yang menghubungkannya dengan bagian siku. Bagian siku ini dapat diatur dalam 6 posisi. Dari bagian siku kemudian terdapat batang besi yang menghubungkannya dengan socket bahu. Beban lengan dijaga oleh socket bahu ini.

Gambar 9. Macam-macam Wilmer orthosis Sebaliknya pada fungsi tangan yang terganggu namun fungsi otot ekstremitas proksimal yang masih baik, maka pemberian ortosis dapat berupa wrist driven flexor tenodesis splint, untuk mengembalikan fungsional tangan penderita.

Gambar 10. Wrist driven flexor tenodesis splint Pada kelumpuhan seluruh otot ekstremitas atas (monoplegia), pemberian ortosis bertujuan uuntuk posisitioning dan mencegah terjadinya subluksasi bahu. Ortosis yang diberikan hanya berupa shoulder/ arm sling.

Gambar 11. Macam-macam shoulder/arm sling

PsikologisMasalah psikologis pada penderita lesi pleksus brachialis dapat muncul terutama pada penderita dengan disabilitas yang berat. Subbagian psikologi dari rehabilitasi medik berupaya memberikan dukungan mental kepada penderita dalam menghadapi keterbatasannya dan memberikan motivasi dalam menjalankan terapi.

Sosial WorkerSosial medik membantu penyelesaian masalah sosial-ekonomi yang dapat timbul, diantaranya masalah biaya dalam menjalani terapi atau penderita tidak dapat melanjutkan pekerjaannya sehubungan dengan kecacatannya. Petugas sosial medik mengevaluasi kemungkinan alih pekerjaan sesuai dengan keahlian yang dimiliki penderita.

TRIGGER FINGERI. DefinisiTrigger fingeradalah gangguan umum yang sering terjadi dan ditandai di mana jari yang dibengkokkan tiba-tiba tidak dapat diluruskan kembali serta berhubungan dengan disfungsi dan nyeri yang disebabkan penebalan setempat pada suatu tendo fleksor, dalam kombinasi dengan adanya penebalan di dalam selubung tendon pada tempat yang sama

II. EpidemiologiTenosynovitis kadang-kadang berjalan dalam keluarga dan umumnya terlihat lebih sering pada laki-laki daripada perempuan. Penyebab untuk anak-anak bahkan kurang dikenal dan memiliki tingkat kekambuhan kurang dari 1-5% setelah perawatan. Tenosynovitis juga terhubung dengan reaktif rematik yang disebabkan oleh bakteri seperti Neisseria gonorrhoae. Pang et al menyebutkan faktor risiko terjadinya tenosynovitis meliputi: usia diatas 45 tahun, DM, gagal ginjal, penyakit pembuluh darah perifer, kondisi iskemik setempat, purulens subkutan, dan infeksi polimikroba pada operasi.

III. Patofisiologi Tendon otot fleksor tangan berada pada terowongan fibroosseus yang kencang. Lapisan visceral dan parietalnya berfungsi untuk melubrikasi dan memberikan nutrisi pada tendon yang berada di dalamnya. Tennosinovitis melibatkan peradangan dari kelopak atau fascia yang melapisi otot atau tendon. ( lapisan itu disebut Synovium). Sering terjadi tendonitis dan tendosinovitis bersama-sama. Tendonitis merupakan peradangan dari otot ( sering disebut dengan Tendinitis). Beberapa (tetapi tidak semua) tendon dilindungi oleh kelopak yang disebut synovium ini. Synovium membuat jumlah kecil berminyak merupakan cairan yang terletak antara otot . Cairan itu membantu otot/ tendon untuk bergerak bebas dan lancar ketika menarik pada tulang bila bergerak. Sistem yang terganggu pada Tendosinovitis adalah sistem muskuloskletal. Sistem muskuloskeletal ini merupakan penunjang bentuk tubuh dan bertanggung jawab terhadap pergerakan. Komponen utama sistem muskuloskletal ini adalah jaringan ikat. Sistem ini terdiri dari tulang, sendi, otot rangka, tendon, ligamen, bursa, dan jaringan-jaringan khusus yang menghubungkan struktur-struktur ini. Tendosinovitis paling umum terjadi di pergelangan tangan dan tangan. Diperkirakan 65% - 95% dari pasien dengan Rheumatoid Arthritis mengalami Tendosynovitis. Dan sepertiganya lagi terkait dengan kasus Diabetes Mellitus.

Penyebab trigger finger ini umumnya belum diketahui etiologi yang jelas. Kebanyakan penyebabnya adalah pemakaian otot yang berlebihan. Umumnya terjadi di sekitar pergelangan tangan. Misalnya terlalu banyak menulis, mengetik, pekerjaan merakit, dan sebagainya dapat memicu peradangan. Arthritis kadang-kadang dapat merupakan bagian dari tennosinovitis, yang biasanya ada bersama rasa sakit dan bengkak pada otot. Infeksi merupakan penyebab yang jarang pada tennosinovitis , infeksi dapat terjadi karena memotong atau luka tusukan pada kulit lebih dari satu otot memudahkan bakteri untuk masuk ke otot-otot lain, dan kadang-kadang infeksi dapat menyebar dari bagian tubuh lain melalui aliran darah ke otot dan fascia atau sinovium. Misalnya sejumlah orang yang memiliki Gonorea (Penyakit Menular Sexual) dapat terjadi tennosinovitis sebagai komplikasi dari Gonoreanya. Riwayat trauma juga dapat menjadi factor predisposisi tenosyvitis fleksor. Diduga pemakaian yang berlebihan menjadi penyebab utama peradangan sarung tendon ini.

IV. Gejala KlinisDiagnosa dibuat secara eksklusif dengan anamnesa yang menyeluruh dan pemeriksaan fisik.Trigger fingerdapat mengenai lebih dari satu jari pada satu waktu, meskipun biasanya lebih sering terjadi pada ibu jari, tengah, atau jari manis.Trigger fingerbiasanya lebih menonjol di pagi hari, atau saat memegang obyek dengan kuat.Gejala ini muncul biasanya dimulai tanpa adanya cidera. Gejala-gejala ini termasuk adanya benjolan kecil, nyeri di telapak tangan, pembengkakan, rasa tidak nyaman di jari dan sendi. Kekakuan akan bertambah jika pasien tidak melakukan aktifitas, misalnya saat anda bangun pagi. Dan kadang kekakuan akan berkurang saat melakukan aktifitas. Kadang kadang jika tendon terasa bebas bisa bergerak tegak akan dirasakan sendi seperti terjadi "dislokasi" / pergeseran sendi.Pada Kasus kasus yang berat jari tidak dapat diluruskan bahkan dengan bantuan. Pasien dengan diabetes biasanya akan terkena lebih parah.

Pada tingkatsendipalmaris distal, nodul bisa teraba lembut, biasanyadi atassendi metakarpofalangealis(MCP). Jariyang terkena bisamacetdalamposisimenekuk (lihat gambar di bawah) atau (kurang biasa) posisi diperpanjang. Ketika pasien berusaha untuk memindahkan angka lebih kuat melampaui pembatasan, angka mungkin cepat atau memicu melampaui pembatasan.

Trigger fingerdapatsangat menyakitkan bagi pasien. Dalam kasus yang parah, pasien tidak mampu untukmenggerakkan jari yangmelampauirentang gerak.Padaibu jariyang macet, padapalpasiyang lembut dapatditemukannodulpada aspek palmar sendi MCP pertama darisendipalmaris distal.

V. Pemeriksaan Penunjanga. Laboratorium darah untuk menemukan penyebab infeksib. Radiografi. Pada foto polos tampak penebalan jaringan lunak dan digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan fraktur. MRI dapat membuktikan tenosynovitis secara akurat, namun membutuhkan biaya yang tinggi.

VI. Penatalaksanaana. Medikamentosa Analgesik dan antiinflamasi NSAID Kortikosteroid oral atau injeksi intratendon Antibiotik, jika dicurigai disebabkan oleh infeksib. Non medikamentosa (Rehabilitasi Medik) Mengistirahatkan jari yang mengalami peradangan Modifikasi aktifitas sehari-hari, edukasi pasien untuk menghindari aktifitas tertentu yang dapat memicu timbulnya tenosynovitis Pengompresan menggunakan air dingin Penggunaan ultrasound dan sinar laser untuk mengurangi peradangan sarung tendon Splinting Melatih otot untuk diluruskan dengan cara gerakan menekan pada daerah lurus dan datar Pertimbangan bedah jika pengobatan secara medikamentosa tidak memberikan hasil yang memuaskan. Keberhasilan mencapai lebih dari 90%.