Top Banner

of 75

Bpk-subsidi Bahan Bakar

Jul 07, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN EKSEKUTIF Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) dan Surat Tugas Anggota/Pembina Utama Keuangan Negara V (BUMN) No. 21/ST/VII-XV.1/4/2004 tanggal 29 April 2004, BPK-RI telah melaksanakan pemeriksaan atas subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) tahun 2003 (Januari s.d. Desember). Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui dan menilai besarnya subsidi yang harus/patut dibayar oleh Pemerintah tahun 2003 (Januari s.d. Desember) dan tingkat kewajaran jumlah penjualan BBM bersubsidi tahun 2003 (Januari s.d. Desember) untuk seluruh wilayah Indonesia. Dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1971 pasal 13 (b) ditetapkan bahwa Pertamina bertugas untuk menyediakan BBM bagi kebutuhan pembekalan dalam negeri. Sementara itu dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Pertambangan dan Menteri Keuangan No. 02/KB/M/Pertamb/1967 tanggal 25 Pebruari 1967 dalam penjelasan pasal 3 dikemukakan D.15.1.1.39 bahwa karena penyelenggaraan distribusi bahan bakar minyak di dalam negeri masih tetap merupakan suatu usaha yang diatur Pemerintah, termasuk penetapan harga penjualannya, maka dengan sendirinya segala untung ruginya merupakan tanggungan Pemerintah walaupun pelaksanaannya adalah P.N. Minyak. Hal ini mengandung pengertian bahwa apabila biaya pengadaan BBM lebih kecil daripada hasil penjualannya maka Pemerintah berkewajiban memberikan subsidi, yang disebut subsidi BBM. Selain itu untuk melaksanakan penugasan Pemerintah tersebut, Pertamina memperoleh upah (fee) dari Pemerintah. Fee tersebut terdiri dari fee produksi, fee pengolahan dan fee distribusi yang besarnya masing-masing US$ 1.50 per barrel dari hasil produksi minyak mentah, US$0.20 per barrel dari jumlah minyak mentah yang diolah dan US$0.20 per barel dari jumlah BBM yang terjual. Terjadinya subsidi BBM ini antara lain karena harga jual BBM di dalam negeri ditetapkan oleh Pemerintah melalui Keputusan Presiden (Keppres) yang jumlahnya lebih rendah daripada biaya pokoknya. Jenis BBM yang disubsidi oleh Pemerintah selama periode yang diaudit (Januari s.d. Desember 2003) diatur dalam Keppres No 90 Tahun 2002 yang berlaku sejak 2 Januari 2003 tentang harga jual eceran BBM dalam negeri adalah premium, minyak tanah, minyak solar, minyak diesel dan minyak bakar, sedang biaya pokok BBM dimaksud ternyata lebih besar dari harga jualnya. Lingkup pemeriksaan meliputi atas: 1. Biaya yang diperhitungkan ke biaya pokok BBM yang berasal dari biaya minyak mentah dan produk, biaya pengolahan, biaya distribusi, biaya angkutan laut dan biaya kantor pusat yang dibebankan ke dalam biaya pokok BBM, yaitu biaya bunga, biaya umum kantor pusat, biaya yang tidak diperhitungkan dan biaya penyusutan,

BPK-RI

i

Konsolidasi

2. Hasil penjualan BBM bersubsidi, 3. Perhitungan subsidi BBM. Jumlah hasil penjualan BBM dan pemakaian sendiri (own use), biaya pokok BBM, subsidi BBM dan volume penjualan dan pemakaian sendiri tahun 2003 (Januari s.d. Desember) adalah sebagai berikut:Uraian Hasil Penjualan BBM dan pemakaian sendiri Biaya pokok BBM Subsidi BBM Volume penjualan Pemakaian sendiri Volume penjualan dan pemakaian sendiri Satuan Rp juta Rp juta Rp juta Kiloliter (kl) Kiloliter (kl) Kiloliter (kl) Jumlah 76.807.077,63 107.673.404,83 30.866.327,20 75.894.881.588 912.196.045 76.807.077.633

Jumlah subsidi BBM tahun 2003 (Januari s.d. Desember) sebesar Rp30.866.327,20 juta merupakan hasil verifikasi BPKP atas laporan keuangan PT Pertamina (Persero). A. Gambaran Umum Gambaran umum pengelolaan dan perkembangan subsidi BBM sebagai berikut: 1. Jumlah subsidi BBM dalam lima tahun terakhir dan porsinya terhadap realisasi Belanja Negara dalam APBN Realisasi jumlah subsidi BBM dan pembayarannya oleh Pemerintah kepada PT Pertamina (Persero) melalui APBN selama lima tahun terakhir terus meningkat dan merupakan pengeluaran Pemerintah yang besar. Dalam TA 1999/2000 subsidi BBM adalah sebesar Rp39.893.877,00 juta atau 18,21% dari jumlah realisasi Belanja Negara sebesar Rp219.000.000,00 juta. Subsidi BBM meningkat menjadi Rp55.641.221,00 juta dalam TA 2000 (April s.d. Desember) atau 26,86% dari jumlah realisasi Belanja Negara sebesar Rp207.185.811,30 juta, dan meningkat lagi menjadi Rp61.837.411,59 juta dalam TA 2001 (Januari s.d. Desember) atau 23,98% dari jumlah realisasi Belanja Negara sebesar Rp257.893.907,08 juta. Sedangkan tahun 2002 (Januari s.d. Desember) subsidi BBM mengalami penurunan menjadi Rp31.594.249,15 juta atau 9,18% dari jumlah realisasi Belanja Negara sebesar Rp344.008.801,00 juta. Subsidi BBM ini menurun lagi menjadi Rp30.866.327,20 juta dalam tahun 2003 atau 8,33% dari jumlah anggaran Belanja Negara sebesar Rp370.591.779,57 juta. 2. Proses kegiatan penyediaan BBM Proses kegiatan penyediaan BBM dalam negeri dimulai dari penetapan jumlah volume kebutuhan dalam negeri, yang perhitungannya dilakukan PT Pertamina (Persero) Direktorat Hilir Bidang Pemasaran dan Niaga. Setelah diketahui rencana volume kebutuhan BBM dan dengan memperhatikan jumlah persediaan minyak mentah dan BBM serta kapasitas kilang unit-unit pengolahan dan kemampuannya yang dapat dioperasikan, selanjutnya ditetapkan jumlah minyak mentah dan sumber-sumber pemenuhannya untuk diolah menjadi BBM, serta jumlah BBM yang diimpor. Sumber perolehan minyak mentah adalah dari dalam negeri dan impor yang pengadaannya dilaksanakan oleh PT Pertamina (Persero) Divisi Niaga. Minyak mentah dari dalam negeri bersumber dari minyak mentah prorata, yaitu kewajiban dari setiap perusahaan minyak yang beroperasi di Indonesia untuk menyerahkan sebagianBPK-RI ii Konsolidasi

produksinya, dan dari minyak mentah inkind yaitu minyak mentah bagian Indonesia dan PT Pertamina (Persero) yang diperlukan untuk diolah di kilang. Selisih antara kebutuhan minyak mentah dengan ketersediaan minyak mentah dalam negeri dipenuhi dari impor baik dari Kontraktor Production Sharing (KPS) dan pasar minyak (impor murni). Sumber produk BBM disamping dihasilkan dari hasil kilang dalam negeri juga dipenuhi dari impor. Pengolahan minyak mentah menjadi produk BBM dilakukan oleh 7 (tujuh) unit pengolahan (UP), yaitu UP I Pangkalan Brandan, UP II Dumai dan Sei Pakning, UP III Plaju dan Sungai Gerong, UP IV Cilacap, UP V Balikpapan, UP VI Balongan dan UP VII Sorong, dengan total kapasitas mengolah minyak mentah per hari sebanyak 1.063.000 barrels. Dalam mekanisme perhitungan subsidi BBM, yang termasuk kilang-kilang penugasan Pemerintah dalam penyediaan BBM dalam negeri adalah UP I s.d. V. Hal ini berarti bahwa segala pendapatan dan biaya untuk menghasilkan produk BBM oleh kelima kilang ini menjadi beban Pemerintah. Sedang UP VI dan VII tidak termasuk kilang penugasan Pemerintah, dan penyediaan BBM dari kedua kilang ini oleh PT Pertamina (Persero) diperhitungkan sebagai penjualan ekspor kepada Pemerintah. BBM hasil pengolahan kilang dalam negeri dan impor didistribusikan oleh 8 (delapan) unit pemasaran (UPms), yaitu UPms I Medan, UPms II Palembang, UPms III Jakarta, UPms IV Semarang, UPms V Surabaya, UPms VI Balikpapan, UPms VII Makassar dan UPms VIII Jayapura. Penjualan dalam negeri didistribusikan melalui agen/penyalur dan konsumen PT Pertamina (Persero) yang terdiri dari 2.358 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), 211 Agen Premium dan Minyak Solar (APMS), 51 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Bunker (SPBB), 135 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Industri (SPBI)/Pool Konsumen, 104 Premium Solar Packed Dealer (PSPD), dan 2.077 Agen Minyak Tanah. Selain itu PT Pertamina (Persero) juga menjual BBM kepada TNI/Polri melalui 202 Stasiun Pengisian Bahan Bakar ABRI (SPBA) dan pembangkitpembangkit PT Perusahaan Listrik Negara (PT PLN) yang kuantitasnya disediakan sesuai permintaan TNI/Polri dan PT PLN. Pertanggungjawaban PT Pertamina (Persero) atas pelaksanaan tugas Pemerintah untuk penyediaan BBM, yaitu PT Pertamina (Persero) menyerahkan data pengadaan minyak mentah dan produk, intake/output kilang, nilai transfer BBM, penyerahan produk PT Pertamina (Persero) UP VI dan VII dan penjualan BBM serta own use kepada Tim Satker Finek BBM. Atas data PT Pertamina (Persero) tersebut, Tim Teknis Satker Finek BBM melakukan proses perhitungan subsidi bulanan dan proses pembuatan Berita Acara dan selanjutnya dilaksanakan rapat Tim Pengarah Satker Finek BBM untuk mengesahkan Berita Acara permintaan pembayaran subsidi bulanan. Berdasarkan Berita Acara di atas, PT Pertamina (Persero) mengajukan pembayaran subsidi BBM bulanan kepada Menteri Keuangan. Dropping dana penggantian subsidi BBM bulanan oleh Pemerintah ke rekening PT Pertamina (Persero) dilakukan setiap akhir bulan. 3. Jumlah biaya pokok BBM dan subsidi BBM Jumlah biaya pokok BBM untuk penyediaan BBM tahun 2003 (Januari s.d. Desember) hasil verifikasi BPKP adalah sebesar Rp107.673.404,83 juta, sedangkan jumlah hasil penjualan dan pemakaian sendiri hanya sebesar Rp76.807.077,63 juta sehingga Pemerintah harus membayar kekurangan biaya pokok BBM atau menyerahkan subsidi sebesar Rp30.866.327,20 juta.

BPK-RI

iii

Konsolidasi

Biaya pokok BBM ini terdiri dari biaya minyak mentah dan produk, biaya pengolahan, biaya distribusi, biaya angkutan laut, biaya bunga, biaya umum Kantor Pusat, biaya yang tidak diperhitungkan dan biaya penyusutan. Komponen biaya pokok BBM yang dominan adalah biaya minyak mentah dan produk, yang nilainya mencapai Rp96.194.522,52juta atau 89,34% dari biaya pokok BBM untuk tahun 2003 (Januari s.d. Desember). 4. Perbandingan biaya pokok BBM dengan harga jual Biaya pokok BBM rata-rata pada tahun 2003 (Januari s.d. Desember) sebesar Rp1.850,78 per liter sedang harga jual BBM rata-rata sebesar Rp1.320.23 per liter, sehingga Pemerintah memberikan subsidi BBM rata-rata sebesar Rp530.55 per liter untuk setiap jenis produk BBM (premium, minyak tanah, minyak solar, minyak diesel dan minyak bakar). 5. Permintaan dan realisasi pembayaran subsidi BBM sebelum audit BPK-RI atas subsidi BBM tahun 2003. Sesuai laporan bulanan perhitungan biaya pokok BBM yang disusun oleh Satker Finek BBM, Direksi PT Pertamina (Persero) setiap bulan mengajukan permintaan penggantian subsidi BBM ke Menteri Keuangan. Jumlah subsidi BBM tahun 2003 berdasarkan hasil verifikasi BPKP sebesar Rp30.866.327,20 juta. Dari jumlah tersebut masih harus diperhitungkan dengan koreksi BPK atas subsidi BBM tahun 2002 sebesar Rp305.010,96 juta, sehingga jumlah subsidi BBM tahun 2003 yang masih harus dibayar Pemerintah adalah sebesar Rp30.561.316,24 juta. Dari jumlah Rp30.561.316,24 juta telah diterima penggantian subsidi BBM tahun 2003 menurut PT Pertamina (Persero) sebesar Rp30.037.930,00 juta, terdiri dari penerimaan tunai sebesar Rp4.015.050,00 juta dan off set (SPM Nihil) sebesar Rp26.022.880,00 juta. Dengan demikian piutang subsidi BBM tahun 2003 kepada Pemerintah sebelum koreksi BPK-RI adalah sebesar Rp523.386,24 juta. B. Hasil Pemeriksaan Pemeriksaan dilakukan terhadap biaya pokok BBM, dan hasil penjualan BBM bersubsidi pada PT Pertamina (Persero) yang meliputi, Direktorat Hulu dengan 4 (empat) Daerah Operasi Hulu (DOH), yaitu DOH Sumatera Bagian Selatan, DOH Jawa Bagian Barat, DOH Jawa Bagian Timur dan DOH Kalimantan, Direktorat Pengolahan dengan 4 (empat) Unit Pengolahan (UP), yaitu UP II s.d. V, Direktorat Pemasaran dan Niaga dengan 7 (tujuh) Unit Pemasaran (UPms), yaitu UPms I s.d. VII dan Bidang Perkapalan, Direktorat Keuangan, serta Kontraktor Production Sharing (KPS) di bawah pengawasan Badan Pengelola Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS). Dari pemeriksaan tersebut dapat diketahui bahwa terdapat (1) temuan-temuan yang mengakibatkan perlunya koreksi terhadap biaya pokok BBM yang berarti koreksi terhadap besarnya jumlah subsidi BBM yang dibayar Pemerintah, (2) temuan-temuan berupa kelemahan sistem pengendalian intern, dan (3) temuan yang berkaitan dengan tindak lanjut pemeriksaan BPK-RI, yang secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Temuan-temuan yang mengakibatkan jumlah subsidi BBM harus dikoreksi Dari hasil pemeriksaan, terdapat temuan-temuan yang mengakibatkan jumlah subsidi BBM tahun 2003 yang akan dibayar Pemerintah sebesar Rp30.866.327,20 juta sesuai hasil verifikasi BPKP, menjadi terlalu besar dan harus dikurangi sebesar Rp449.962,64 juta.BPK-RI iv Konsolidasi

Koreksi tersebut menurut jenis biaya dapat dirinci sebagai berikut:(dalam juta rupiah) Uraian 1. Biaya minyak mentah & produk (1) 2. Biaya operasi: Pengolahan Distribusi Angkutan laut Bunga Biaya umum kantor pusat Biaya yg tidak dapat diperhitungkan Penyusutan Jumlah biaya operasi (2) Jumlah biaya pokok BBM (1 + 2) 3. Jumlah penjualan & pemakaian sendiri Subsidi BBM (1 + 2 - 3) Saldo menurut BPKP 96.194.522,52 4.998.657,84 2.954.642,27 3.050.682,06 238.739,21 (188.603,55) (309.137,15) 733.901,63 11.478.882,31 107.673.404,83 (76.807.077,63) 30.866.327,20 Koreksi BPK-RI (162.240,88) (32.267,18) (86.115,48) (35.439,03) (10.575,76) (29.472,47) (63.812,25) (27.926,65) (285.608,81) (447.849,69) (2.112,95) (449.962.64) Saldo menurut BPK-RI 96.032.281,64 4.966.390,66 2.868.526,79 3.015.243,03 228.163,45 (218.076,02) (372.949,40) 705.974,98 11.193.273,50 107.225.555,14 (76.809.190,58) 30.416.364,56

Selain itu terdapat usulan koreksi BPK-RI sebesar Rp163.381,28 juta pada BP Migas yang belum disetujui oleh PT Pertamina (Persero) dan masalah tersebut akan diteliti kembali dalam pemeriksaan subsidi BBM tahun 2004. Penyebab timbulnya perhitungan jumlah subsidi BBM yang terlalu besar antara lain disebabkan (a) PT Pertamina (Persero) salah membebankan harga pokok Non BBM sebagai faktor pengurang subsidi BBM, (b) PT Pertamina (Persero) salah dengan membebankan biaya fungsi bersama BBM dan Non BBM (joint cost) seluruhnya ke subsidi BBM, yang seharusnya dibebankan secara proporsional ke biaya BBM dan Non BBM, (c) PT Pertamina (Persero) salah dengan membebankan biaya-biaya yang tidak terkait dengan kegiatan penyediaan BBM seperti biaya gaji (upah) tenaga kerja Non BBM atau pihak/instansi di luar PT Pertamina (Persero), biaya material dan kontrak untuk operasional Non BBM ke subsidi BBM, dan (d) Terjadi kehilangan minyak mentah dan produk melebihi batas toleransi yang diperkenankan pada saat minyak mentah dan produk disuplai (supply losses) dan diangkut (transportation losses). 2. Temuan-temuan mengenai kelemahan sistem pengendalian intern Terdapat 22 temuan yang berkaitan dengan kelemahan sistem pengendalian intern dan penerapan yang kurang tepat yang dapat berpengaruh terhadap tingkat kewajaran laporan subsidi BBM yaitu sebagai berikut : a) Pengadaan minyak mentah dan produk pada PT Pertamina (Persero) Direktorat Hulu 1) Perhitungan laporan arus minyak mentah unitisasi (RDL & MB Tract II) PT Pertamina (Persero) Daerah Operasi Hulu Jawa Bagian Barat (DOH JBB) tahun 2003 tidak dapat diyakini kewajarannya. 2) Biaya tambahan pekerjaan atas pemasangan Trunkline 6 inci dari SP Tambun ke pantai Muara Tawar tidak wajar. 3) Proses penunjukan langsung atas pengadaan jasa tenaga kerja PT Pertamina (Persero) Daerah Operasi Hulu Jawa Bagian Timur (DOH JBT) sebanyak 15 kontrak dengan estimasi sebesar Rp3.674,00 juta tidak sesuai SK Direksi Pertamina No.077/C0000/2000-SO tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.

BPK-RI

v

Konsolidasi

4) Pemanfaatan kendaraan untuk pengawas PT Pertamina (Persero) dalam beberapa proyek tertentu di PT Pertamina (Persero) Daerah Operasi Hulu Sumatera Bagian Selatan (DOH SBS) tidak optimal. 5) PT Pertamina (Persero) DOH SBS masih memperhitungkan unsur jasa/resiko/keuntungan dalam amandemen kontrak nomor SPB2189/D13000/2002-S0 yang mengakibatkan penentuan nilai amandemen kurang menguntungkan perusahaan. 6) Pengungkapan biaya upgrade Personal Computer dan upgrade Note Book dalam kontrak nomor SPB-3054/D13000/2003-S0 kurang memadai. 7) Proses negosiasi PT Pertamina (Persero) DOH SBS dalam lelang nomor 211/PBM-03 belum optimal yang mengakibatkan penetapan besaran biaya mobilisasi kurang tepat. 8) Dasar perhitungan sewa gudang oleh PT Trakindo Utama (PT TU) dalam rangka kontrak Vendor Operated Warehouse No. 50.1.A.M.0312 tidak jelas. 9) Proses Penunjukkan Langsung atas Pekerjaan penyiapan/pembuatan jalan masuk, lapangan lokasi, pondasi rig XJ-650, parit, bak sarana limbah & patok labrang untuk pemboran sumur ABB-26 Area Operasi Sangatta tidak sesuai ketentuan dan keterlambatan pelaksanaan pekerjaan tersebut tidak dikenakan denda. 10) Terdapat 2 (dua) tangki di Terminal Minyak Mentah Bunyu Daerah Operasi Hulu (DOH) Kalimantan tidak dapat dioperasikan dan penyelesaiannya berlarut-larut. 11) Terdapat pekerjaan pembangunan gedung baru kantor PT Pertamina (Persero) DOH Kalimantan yang gagal karena dilaksanakan oleh kontraktor yang diragukan kemampuannya dan merugikan PT Pertamina (Persero) sebesar Rp1.656,76 juta. b) Pengadaan minyak mentah dan produk pada BP MIGAS 1) Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS) belum memiliki alat pengendalian yang baik untuk melakukan verifikasi atas kebenaran invoice/tagihan MM Prorata/ DMO dari Kontraktor Production Sharing. 2) Terdapat perbedaan kuantitas minyak mentah prorata/DMO KPS antara Laporan A.05 dengan Laporan Buku Merah sebesar 3.263.595,20 barrel. c) Biaya pengolahan pada PT Pertamina (Persero) Direktorat Hilir Bidang Pengolahan dan unit-unit pengolahan. 1) Kilang UP IV Cilacap tahun 2003 tidak dapat memenuhi target produksi premium, minyak tanah dan solar masing-masing sebesar 1.269,22 barrel, 976,76 barrel dan 3.196,02 barrel. 2) PT Pertamina (Persero) UP IV Cilacap selama tahun 2003 terbebani rugi Rumah Sakit Pertamina Cilacap Swadana minimal sebesar Rp10.845,36 juta. 3) Pelaksanaan proyek penggantian pompa G-34-91B di Sump No. 5 dan G-34-93B di Sump No. 6 pada PT Pertamina (Persero) UP V Balikpapan tidak tertib administrasi dan penyelesaiannya mengalami keterlambatan. d) Biaya distribusi, hasil penjualan dan distribusi BBM pada PT Pertamina (Persero) Direktorat Hilir Bidang Pemasaran dan Niaga dan Unit-unit Pemasaran. 1) PT Pertamina (Persero) UPms III kurang mencatat upah (fee) pungut PBBKB Tahun 2003 sebesar Rp3.182,28 juta. 2) Terjadi pelanggaran prosedur pendistribusian solar oleh SPBU Marina Ancol.

BPK-RI

vi

Konsolidasi

3) Pengendalian atas penjualan BBM bersubsidi yang diserahkan lebih dahulu daripada PNBP-nya lemah. e) Biaya angkutan laut pada PT Pertamina (Persero) Direktorat Hilir Bidang Perkapalan. 1) Biaya penanganan musibah kapal MT Minas di perairan Natuna sebesar Rp8.023,70 juta ditalangi terlebih dahulu oleh PT Pertamina (Persero) Bidang Perkapalan. 2) Pembinaan kepada galangan sebagai penyedia jasa pekerjaan docking repair tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan. 3) Terdapat potensial klaim demurrage yang belum disepakati sebagai recoveries tahun 2003 total sebesar Rp1.108,71 juta. 3. Temuan-temuan yang berkaitan dengan tindak lanjut pemeriksaan BPK-RI a) Pejabat BP MIGAS (dahulu Pertamina Dit. MPS) tidak sungguh-sungguh menindaklanjuti temuan pemeriksaan BP MIGAS, BPK-RI, BPKP, dan Surat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang kewajiban kontraktor untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) tahun 2001 oleh Conocophilips (dahulu Conoco Indonesia Inc. Ltd) yang belum diserahkan senilai Rp300.964,31 juta, sehingga terdapat potensi kerugian negara minimal sebesar US$48,389.60 ribu atas pembebanan investment credit gas yang belum diselesaikan oleh BP MIGAS dan Conocophilips sejak DMO tahun 2001 belum diserahkan menjadi bagian Negara Indonesia, dan hal ini termasuk perhitungan subsidi BBM Tahun 2001 terlalu tinggi dibebankan sebesar Rp300.964,31 juta. Permasalahan tersebut telah ditindaklanjuti oleh Conocophillips dengan memperhitungkan kewajiban Pemerintah pada Kontraktor berupa underlifting dan DMO fee tahun 2003 serta melakukan cash settlement ke rekening Pemerintah, sehingga tindak lanjut temuan dinyatakan selesai. b) Penjualan Naptha Ke SIETCO Sebagai Faktor Pengurang Biaya Pokok BBM (Cost Reducing Factor) Diakui Lebih Rendah Sebesar US$1,004,231.44 atau equivalen Rp10.493.116.418,00 untuk tahun buku 2001. Temuan ini telah ditindaklanjuti dengan pembayaran SIETCO kepada PT Pertamina (Persero) melalui rekening Cilacap Debottlenecking Project SPA Account No. 6550-6-92899 di Bank Amerika International, New York, yang dinyatakan melalui surat SIETCO tertanggal 5 Agustus 2004. Dengan demikian tindak lanjut temuan dinyatakan selesai

Kesimpulan : 1. Jumlah subsidi BBM tahun 2003 sesuai hasil pemeriksaan BPK-RI adalah sebesar Rp30.416.364,56 juta. Jumlah tersebut dibandingkan hasil verifikasi BPKP sebesar Rp30.866.327,20 juta menunjukkan bahwa hasil verifikasi BPKP terlalu besar Rp449.962,64 juta. Selain itu terdapat usulan koreksi BPK-RI sebesar Rp163.381,28 juta pada BP Migas yang belum disetujui oleh PT Pertamina (Persero) dan masalah tersebut akan diteliti kembali dalam pemeriksaan subsidi BBM tahun 2004. 2. Masih dijumpai kelemahan-kelemahan sistem pengendalian intern dalam pengelolaan penyediaan BBM dalam negeri yang dapat berpengaruh terhadap tingkat kewajaran laporan subsidi BBM.BPK-RI vii Konsolidasi

BPK-RI menyarankan agar: 1. Pemerintah dan PT Pertamina (Persero) melakukan koreksi atas biaya subsidi BBM tahun 2003 (Januari s.d Desember) yang telah disetujui untuk dikoreksi sebesar Rp449.962,64 juta dengan mengurangi biaya subsidi BBM tahun 2003. Selain itu terdapat usulan koreksi BPKRI sebesar Rp163.381,28 juta pada BP Migas yang belum disetujui dan masih perlu diteliti kembali dalam pemeriksaan subsidi BBM tahun 2004. 2. PT Pertamina (Persero) membukukan dan melaporkan ke BPK-RI koreksi terhadap laporan keuangan tahun 2003. 3. Selain usaha yang sedang dilakukan Pemerintah untuk memperkecil disparitas harga yang terjadi dan memperkecil subsidi BBM, PT Pertamina (Persero) perlu melakukan perbaikan sistem pengendalian intern dalam pengelolaan penyediaan BBM dan meningkatkan usaha untuk menjamin distribusi BBM dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada.

Untuk mengetahui hasil pemeriksaan lebih lengkap dapat dibaca dalam hasil pemeriksaan terlampir.

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Penanggung Jawab Pemeriksaan,

Dra. Tiurlan H.Simatupang,MM

BPK-RI

viii

Konsolidasi

HASIL PEMERIKSAAN ATAS PENERIMAAN DAN PENGGUNAAN DANA PROYEK PIPA GAS JAWA TIMUR PADA PT PERTAMINA (PERSERO) DAN PT TRANS JAVAGAS PIPELINE DI JAKARTA, SINGAPURA, DAN NEW YORK I. GAMBARAN UMUM A. Tujuan Pemeriksaan

1. Untuk memperoleh keyakinan yang memadai atas kebenaran besarnya penerimaan dan pengeluaran dana throughput fee atas proyek pipa Jawa Timur di Bank of America (BoA) New York; 2. Untuk memperoleh keyakinan yang memadai atas penarikan dan pelunasan pinjaman, serta penyertaan modal PT Trans Javagas Pipeline pada Bank of Tokyo Mitsubishi (BTM) Singapore. 3. Untuk mengetahui tingkat return yang wajar dan memadai bagi Pertamina atas pembagian throughput fee setelah hutang lunas.B. Sasaran Pemeriksaan

Aliran penerimaan dan pengeluaran dana di BoA, New York serta penarikan dan pelunasan pinjaman pada BTM, Singapore.C. Metode Pemeriksaan

1. Memahami skema aliran dana yang terdapat di BoA. 2. Mereview dan memverifikasi secara uji petik dengan pemilihan sampel yang selektif atas penerimaan dan pengeluaran dana throughput fee di BoA. 3. Mereview dan memverifikasi secara uji petik atas penarikan pinjaman dan pelunasan pinjaman di BTM. 4. Mereview dan memverifikasi penyertaan modal PT TJP di BTM. 5. Mereview dan menganalisa biaya-biaya yang dikeluarkan Pertamina. 6. Melakukan konfirmasi dan diskusi kepada pihak Pertamina, PT TJP dan BNP Paribas. 7. Prosedur pemeriksaan lain yang diperlukan.D. Jangka Waktu Pemeriksaan

22 Nopember s.d. 31 Desember 2004E. Obyek Pemeriksaan

PT Pertamina (Persero) dan PT Trans Javagas Pipeline di Jakarta; Bank of America di New York; dan Bank of Tokyo Mitsubishi di Singapura.10

II. LATAR BELAKANG DAN KRONOLOGIS PEMERIKSAAN PROYEK A. Latar Belakang dan Skema Proyek Pipa Gas Jawa Timur

Sesuai dengan UU No 8 tahun 1971, Pertamina, Menteri Pertambangan dan Energi (sebagai wakil dari Pemerintah Republik Indonesia) dan Atlantic Richfield Bali North Inc. (ARBNI/ARCO) sebuah perusahaan yang berbadan hukum Negara bagian Delaware, Amerika Serikat pada tanggal 14 November 1980 bersama-sama menandatangani kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract). Kontrak bagi hasil ini menyangkut kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumur minyak lepas pantai Pulau Kangean seluas 18.035 km2. Berdasarkan Production Sharing Contract (PSC) tersebut diketahui bahwa apabila kontraktor menemukan gas alam, dan Pertamina dengan ARBNI/ARCO sepakat bahwa gas alam itu cukup ekonomis untuk dikembangkan, maka Pertamina dan ARBNI/ARCO akan membagi hasil (equity share) atas pengembangan lapangan gas tersebut masing-masing sebesar 31,8182% untuk Pertamina/Pemerintah Republik Indonesia dan 68,1818% untuk ARBNI/ARCO. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 41 tahun 1982 tentang Kewajiban dan Tata Cara Penyetoran Pendapatan Pemerintah dari Hasil Operasi Pertamina Sendiri dan Kontraktor Production Sharing (KPS), Pemerintah mengenakan pajak perseroan atas bunga, dividen dan royalti sebesar 56% terhadap hasil ARBNI/ARCO, sehingga hasil akhirnya Pemerintah dan ARBNI/ARCO masing-masing menerima kurang lebih sebesar 70% dan 30%. Pada tahun 1985 ARBNI/ARCO menemukan cadangan gas alam di Lapangan Pagerungan yang cukup besar untuk memenuhi konsumsi domestik (khususnya Jawa Timur). Selanjutnya ARBNI/ARCO pada tahun 1986 mengajukan commerciality report yang diantaranya menjelaskan aspek komersil/ekonomis termasuk rencana total biaya investasi yang diperlukan untuk pengembangan lapangan tersebut. Kemudian pada tanggal 14 September 1987 PT Bimantara Citra (PT BC) mengajukan permohonan kepada Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) untuk menanamkan modal di Lapangan Kangean. Menanggapi surat PT BC tersebut, pada tanggal 1 Oktober 1987 Mentamben memberikan ijin kepada PT BC untuk berpartisipasi dalam rangka pengembangan lapangan gas Kangean. Hal ini memungkinkan karena dalam kontrak bagi hasil disebutkan bahwa Pertamina atau badan hukum yang disetujui Pertamina dapat menggunakan haknya untuk berpartisipasi dalam kepemilikan modal maksimal 10% atau lazim disebut participating interest. Pada tanggal 15 Oktober 1987, Pemerintah membentuk Tim Keppres 35 tahun 1987 sehubungan dengan pembahasan kebutuhan gas pembangkit listrik di

11

Jawa Timur. Pada tanggal 19 Oktober 1987 ARBNI/ARCO mengajukan Draft Head of Agreement (Draft HOA) dan Plan of Development (POD) kepada Pertamina untuk mengembangkan gas alam tersebut. Pertamina melalui surat No. 4109/C0000/87-S1 tanggal 30 Desember 1987, antara lain menyatakan pada prinsipnya Pertamina menyetujui operasi komersial wilayah kerja Kangean Block ARBNI/ARCO. Berdasarkan Keppres 35 tahun 1987, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) selaku Ketua Tim Keppres 35 tahun 1987 mengeluarkan surat No. 808/M/BPPT/VIII/88 tanggal 7 Juli 1988 yang ditujukan kepada Mentamben, yang memutuskan hal-hal sebagai berikut: 1. Pembelian gas di pagar konsumen (pengembangan lapangan dilakukan oleh ARBNI/ARCO). 2. Pembelian gas di lapangan (wellhead) dan jaringan pipa dibangun oleh Pertamina, ARBNI/ARCO atau swasta lainnya. Kemudian Mentamben meneruskan kebijakan Pemerintah tersebut dengan menyampaikan surat No.2908/36/M.DJM/88 tanggal 8 Juli 1988 kepada Dirut Pertamina dengan isi surat yang secara prinsip sama dengan surat Menristek kepada Mentamben diatas. Selanjutnya, Dirut Pertamina meneruskan kebijakan tersebut dengan mengirim surat No. 1253/C0000/1988 tanggal 19 Juli 1988 kepada ARBNI/ARCO yang memberitahukan perihal kebijakan Pemerintah tersebut diatas. Pada tanggal 19 Mei 1989, PT BC mengajukan usulan untuk menyusun Feasibility Study dengan resiko sendiri dan menyatakan kesediaannya untuk membangun proyek pipa gas dari Kangean ke Gresik dengan pola Lumpsum Turn Key Fixed Price, yang kemudian disetujui Pertamina pada tanggal 17 Juli 1989 tapi atas beban PT BC. Akhir tahun 1989 dan berturut-turut pada tahun berikutnya, Pertamina menandatangani perjanjian penjualan gas (Gas Sales Agreement) dengan tiga pembeli yakni: 1. Pada tanggal 29 Desember 1989 dengan PT Perusahaan Listrik Negara (PT PLN) dengan harga sebesar US$2.53 per MMBTU sesuai dengan surat Menteri Pertambangan dan Energi No. 4539/32/M.DJM/89 tanggal 20 Desember 1989. 2. Pada tanggal 4 Mei 1990 dengan PT Perusahaan Gas Negara (PT PGN) dengan harga sebesar US$2.16 per MMBTU sesuai dengan surat Menteri Pertambangan dan Energi No. 1564/32/M.DJM/90 tanggal 23 April 1990.

12

3. Pada tanggal 5 April 1991 dengan PT Petro Kimia Gresik (PT PKG) dengan harga sebesar US$2.00 per MMBTU sesuai dengan surat Menteri Pertambangan dan Energi no. 4603/32/M.DJM/89 tanggal 26 Desember 1989. Secara simultan pada tanggal 9 April 1990 juga dibuat perjanjian penyaluran dan penjualan gas di pagar lapangan (Wellhead Gas Sales and Supply Agreement) antara Pertamina dan ARBNI/ARCO. Perjanjian tersebut antara lain menyatakan bahwa kontraktor mempunyai kewajiban menjual, menawarkan dan mengirimkan gas yang diproduksi dari area kontrak di pagar lapangan kepada Pertamina dengan harga sebesar US$1.66 per MMBTU. Pada tanggal 30 Juni 1990, Pertamina menandatangani HOA dengan konsorsium proyek yang terdiri dari PT BC, PT Tranaco Utama (PT TU), ARBNI/ARCO, Britoil Alfa Ltd, Yayasan Dana Pensiun PT PLN (YDP PT PLN), dan Yayasan Kesejahteraan Pegawai Pertamina (YKPP) untuk pembangunan pipa. Dalam HOA tersebut antara lain dinyatakan bahwa konsorsium yang dipimpin PT BC akan membangun pipa dan mengusahakan pendanaannya, yang atas usaha tersebut Pertamina akan membayar berupa pendapatan pipa gas (throughput fee) sebesar US$0.72/MMBTU x 1.044 TCF dan US$0.36/MMBTU untuk kelebihan dari 1.044 TCF selama sisa waktu 20 tahun. Selain hal tersebut diatas, HOA juga menyebutkan bahwa konsorsium proyek akan mengusahakan pendanaan dan akan membuat kontrak Engineering, Procurement and Construction (EPC) dengan perusahaan yang mempunyai reputasi internasional berdasarkan fixed price turn key contract yang persyaratannya harus terlebih dahulu disetujui oleh Pertamina. Untuk merealisasikan HOA, pada tanggal 5 April 1991 dibentuk konsorsium PT Trans Javagas Pipeline (PT TJP) dengan komposisi terdiri dari PT BC (49%), PT TU (28%), YKPP (10%), PT Adhiraksa Tama (5%), YDP PT PLN (5%) dan YDP Bank Dagang Negara (3%). Dalam melaksanakan pembangunan proyek Transmisi Gas Jawa Timur tersebut, PT TJP mengajukan permohonan pinjaman komersial luar negeri, dan mendapat persetujuan dari Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, Pengawasan dan Pembangunan (Menko Ekuwasbang) sebagai Ketua Tim Pinjaman Komersial Luar Negeri (TPKLN) melalui surat No. S-06/K.Tim PKLN/1991 tanggal 7 November 1991 sebesar US$ 440,000,000.00. Pertamina dan PT TJP kemudian mengikat perjanjian pembangunan pipa gas Jawa Timur dalam Build and Transfer Agreement (BTA) pada tanggal 23 Januari 1992. Pipa tersebut dibangun untuk mengalirkan gas dari produsen/operator gas (ARBNI) di Kangean Block kepada ketiga pagar stasiun penerima pembeli gas, yaitu PT PLN, PT PGN, dan PT PKG. Perjanjian ini pada dasarnya mengatur kewajiban PT TJP untuk membiayai dan membangun pipa gas

13

Jawa Timur, dan setelah selesai PT TJP berkewajiban menyerahkan hak kepemilikan dan fisik pipa tersebut kepada Pertamina dengan tanpa mengharapkan pembayaran apapun dari Pertamina, kecuali hak PT TJP untuk memperoleh 50% pendapatan transportasi gas (throughput fee) sebagaimana diatur dalam TFPA. Sementara kewajiban Pertamina dalam BTA adalah: 1. Melakukan pengawasan teknis atas pembangunan proyek pipa gas Jawa Timur (BTA pasal 6.3, pasal 10.1 dan pasal 10.2) untuk meyakini bahwa pelaksanaan sesuai dengan desain selama 30 tahun. 2. Membebaskan tanah yang diperlukan untuk jalur pipa (BTA pasal 6.7) dengan biaya dari PT TJP. 3. Menerima pipa gas Jawa Timur baik fisik maupun hak kepemilikannya untuk memenuhi ketentuan UU No 8 tahun 1971, dan selanjutnya Pertamina berkewajiban mengoperasikan pipa tersebut (BTA pasal 15.1.3 dan pasal 16.1). 4. Melakukan perbaikan dan menanggung resiko terjadinya kerusakan pipa yang terjadi setelah pipa menjadi milik Pertamina (BTA pasal 15.2.2). Disamping itu dalam BTA ditentukan nilai tetap (fixed value) sebesar US$420,000,000.00 yang diperlukan Pertamina sebagai dasar untuk: 1. Membayar PPN (BTA pasal 7.3.6). 2. Menentukan besarnya bank garansi yang harus diterbitkan oleh PT TJP (BTA pasal 8.4.a). 3. Menetapkan besarnya kompensasi yang harus dibayarkan oleh Pertamina kepada PT TJP apabila Pertamina memilih membatalkan proyek dan menggunakan hak opsinya untuk mengambil alih proyek (BTA pasal 22.3.4). Selain itu pada tanggal 23 Januari 1992 yang kemudian diamandemen tanggal 31 Juli 1992, PT TJP dan Pertamina menandatangani perjanjian Throughput Fee Payment Agreement (TFPA) yang isinya menyatakan bahwa besarnya throughput fee yang dibayarkan ke PT TJP sebelum cross-over volume adalah US$0.72/MMBTU. Pengertian cross over volume adalah mana yang terjadi lebih dahulu antara lunasnya hutang ditambah bunga atau tercapainya total volume (1.044 x 1015 BTU). Hal ini berarti apabila total volume gas yang mengalir sudah melebihi 1.044 x 1015 BTU dan hutang belum lunas, maka PT TJP berkewajiban untuk mengusahakan pembayaran atas sisa pinjaman tersebut. Perjanjian ini pada dasarnya mengatur penggunaan pendapatan throughput fee sebelum dan sesudah hutang PT TJP lunas. Sumber dana adalah pendapatan throughput fee yang diperoleh dari Perjanjian Jual Beli Gas, dan PT TJP tidak mempunyai hak untuk menuntut pembayaran secara langsung maupun tidak

14

langsung dari Pertamina atau harta bendanya atau aset yang dimiliki Pertamina untuk memenuhi pembayaran terkait dengan proyek pipa gas Jawa Timur (TFPA pasal 1 dan 2.2). Sebelum hutang PT TJP lunas, throughput fee yang dibayarkan kepada PT TJP adalah sebesar Minimum Annual Quantity (MAQ) x US$0.72. Kemudian setelah hutang lunas, throughput fee yang dibayarkan kepada PT TJP adalah sebesar 50% pendapatan throughput fee setelah dikurangi bagian operator (ARBNI) dan Pemerintah RI, serta biaya operasi dan pemeliharaan Pertamina sebesar US$0.03 MMBTU x actual quantity (amandemen TFPA pasal 2.5). Selain itu dalam perjanjian TFPA juga diatur antara lain sebagai berikut : 1. Pertamina menanggung biaya operasi dan asuransi pipa gas Jawa Timur (amandemen TFPA pasal 2.4 dan TFPA pasal 8.1). 2. Pemegang saham PT TJP berkewajiban untuk menyetor modal minimal 10% dari pokok pinjaman (TFPA pasal 9.4). 3. Sebelum hutang lunas, PT TJP menggunakan pendapatan throughput fee (TFPA pasal 9.1) untuk : a. Membayar pajak. b. Mengangsur hutang dan membayar bunga serta biaya operasi (overhead) yang diperlukan untuk mengelola hutang dan integritas pipa. c. Jika masih ada sisa pendapatan digunakan untuk mempercepat pelunasan hutang. 4. Hukum yang berlaku untuk TFPA adalah hukum Negara Bagian New York, Amerika Serikat (TFPA pasal 13.6). Pada tanggal 27 Maret 1992 Pertamina, ARBNI, PT TJP & Continental Bank International (sekarang Bank of America, New York) menandatangani perjanjian Trustee and Paying Agent Agreement (TPAA) yang diamandemen tanggal 5 Agustus 1992 yang mengatur hal-hal sebagai berikut: 1. Mekanisme penerimaan/pembayaran harga gas dari seluruh Konsumen. 2. Mekanisme pembayaran pendapatan gas kepada produsen/operator gas (ARBNI dan Pemerintah RI). 3. Mekanisme pembayaran throughput fee untuk pembayaran hutang kepada Lender (BTM). 4. Mekanisme pembayaran project revenue setelah hutang lunas kepada PT TJP dan Pertamina. 5. Mekanisme penerbitan dan pencairan Letter of Credit. 6. Hukum yang berlaku adalah hukum Negara Bagian New York, USA.

15

Kemudian pada waktu yang bersamaan yaitu tanggal 27 Maret 1992, Pertamina, ARBNI, Britoil (Alpha) Ltd, PT Bimantara Duta Samudra menandatangani perjanjian Pipeline Operation & Maintenance Agreement (POMA), yang selanjutnya sejak tanggal 2 September 1997 perjanjian POMA tersebut dilaksanakan oleh PT Titis Sampurna (PT TS). Selanjutnya PT TJP menandatangani perjanjian Loan Agreement pada tanggal 5 Agustus 1992 dengan The Mitsubishi Bank. Berdasarkan perjanjian tersebut, PT TJP memperoleh pinjaman Offshore Loan Facility sebesar US$320,000,000.00 (termasuk US$20,000,000.00 sebagai standby loan facility), serta pinjaman Onshore Loan Facility sebesar US$120,000,000.00 (termasuk US$20,000,000.00 sebagai standby loan facility). Selain dari dana pinjaman, proyek pipa gas tersebut juga didanai dari setoran modal (equity) dari enam pemegang saham (shareholders) PT TJP sebesar US$44,816,052.66. Selain itu sesuai TFPA, sampai dengan pinjaman lunas tahun 2001 PT TJP telah menerima penggantian biaya overhead sebesar US$14,000,000.00 (7 tahun x US$2,000,000.00 per tahun). Pada tanggal 14 Januari 1994 dilakukan penyelesaian mekanik dari pembangunan pipa gas darat dan seluruh stasiun pengukur gas. Selanjutnya initial gas in untuk masing-masing pembeli terjadi pada tanggal 31 Januari 1994 kepada PT PKG, tanggal 1 Februari 1994 kepada PT PGN, dan tanggal 2 Februari 1994 kepada PT PLN. Terakhir pada tanggal 15 Mei 1994 dilakukan Operational Acceptance yang berarti telah selesainya proyek pipa gas dari PT TJP, dan selanjutnya hak kepemilikan pipa tersebut berpindah kepada Pertamina yang berkewajiban mengoperasikan pipa tersebut. Adapun bagan alur atas Latar Belakang Proyek dan Skema Proyek yang menjelaskan uraian tersebut diatas dapat dilihat pada lampiran 1 dan 2.B. Skema Aliran Dana Pendapatan Pipa Berdasarkan Perjanjian TFPA

Berdasarkan perjanjian TFPA diketahui bahwa sebelum hutang lunas, seluruh penerimaan throughput fee setelah dipotong bagian operator (ARBNI) dan Pemerintah Republik Indonesia akan dipergunakan untuk membayar hutang PT TJP kepada lenders (bagan alur lihat lampiran 3). Setelah hutang lunas, dana throughput fee akan dibagi dua (50%:50%) antara Pertamina dan PT TJP setelah dikurangi bagian operator (ARBNI) dan Pemerintah RI, serta biaya operasi dan pemeliharaan Pertamina yakni sebesar US$0.03 MMBTU x actual quantity (bagan alur lihat lampiran 4).

16

C. Hasil Pemeriksaan BPKP atas Proyek Pipa Gas Jawa Timur

Dari hasil pengumpulan data dan dokumen selama pemeriksaan diketahui bahwa Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah empat (4) kali melakukan pemeriksaan terkait dengan Proyek Pembangunan Pipa Gas Jawa Timur. Hasil pemeriksaan tersebut dinyatakan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Pipa Gas dari Pagerungan Blok Kangean ke Gresik Nomor: Lap-129/DVI.1/1997 tanggal 20 Maret 1997 dan Laporan Hasil Penelitian Awal KKN Terhadap Proyek Pembangunan Pipa Gas Jawa Timur Nomor: Lap-02.04.01147/DVI.1/1999 tanggal 6 April 1999. Dan selanjutnya masalah tersebut diungkap lagi dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Operasional atas Transmisi Gas Jawa Timur (Proyek Pipa Gas Kangean-Gresik) periode 1 April 1999 s.d 31 Maret 2000 Nomor: Lap.02.04.01.1813/PW.10A/2000 tanggal 28 Agustus 2000, dengan temuan sebagai berikut : 1. Alokasi dana ke PT TJP sebesar US$2,000,000.00 per tahun dari sebagian jumlah throughput fee US$0.72/MMBTU mengakibatkan Pertamina dirugikan sebesar US$12,000,000.00. Berdasarkan TFPA pasal 1 dan 9.1, PT TJP telah menerima US$2,000,000.00 per tahun dari bagian throughput fee US$0.72/MMBTU sebagai Project Company Overhead. Sejak tahun 1994 s.d 1999 jumlahnya telah mencapai US$12,000,000.00 dan akan berlaku sampai dengan hutang proyek lunas. Sementara itu, selama hutang proyek belum lunas Pertamina tidak mendapatkan hal yang sama. 2. Pembagian 50%:50% dari throughput fee setelah hutang proyek lunas dibuat belum sepenuhnya berdasarkan pada seluruh kontribusi Pertamina. Hal tersebut terjadi karena kontribusi Pertamina berupa biaya jasa Quality Assurance/Quality Control (QA/QC) dan asuransi belum diperhitungkan, sedangkan kontribusi PT TJP telah memasukkan kedua unsur biaya tersebut. 3. Beberapa pekerjaan pengoperasian dan pemeliharaan yang dilaksanakan oleh PT TS tidak dilaksanakan sesuai dengan kontraknya namun tidak dikenakan pinalti. Adapun pekerjaan tersebut adalah tidak dibuatnya Laporan Hasil Penelitan Laboratorium dan terdapat 2 (dua) item material yang jumlahnya dibawah minimum stock level yang disyaratkan dalam kontrak. Atas temuan di atas BPKP merekomendasikan kepada Pertamina hal-hal sebagai berikut : 1. Melakukan pendekatan kepada PT TJP dan membentuk tim negosiasi untuk membuat amandemen perjanjian BTA dan TFPA dengan formula bagi hasil yang lebih adil bagi kedua belah pihak, terutama alokasi dana kepada PT TJP sebesar US$2,000,000.00 per tahun dan memasukkan biaya jasa QA/QC dan

17

asuransi kedalam kontribusi Pertamina yang diperhitungkan dalam pembagian. 2. Merumuskan pinalti terhadap pekerjaan-pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian dan membuat Site Agreement untuk itu. Pertamina mengakui permasalahan tersebut dan akan menindaklanjuti rekomendasi BPKP untuk berunding (negosiasi) kembali dengan PT TJP mengenai alokasi dana sebesar US$2,000,000.00 per tahun yang telah diterima oleh PT TJP, dan pembagian 50%:50% dari throughput fee setelah hutang proyek lunas, dimana hal ini sejalan dengan surat Dirut Pertamina No. 378/C0000/2000SO tanggal 9 Mei 2000. Dalam negosiasi nantinya akan diperhitungkan semua elemen biaya yang telah dikeluarkan Pertamina. Kemudian sebagai tindak lanjut atas hasil pemeriksaan sebelumnya, BPKP melakukan pemeriksaan khusus atas indikasi KKN pada Proyek Pembangunan Pipa Gas Jawa Timur yang dituangkan dalam laporan nomor: Lap.02.04.01.1814/PW.10A/2000 tanggal 28 Agustus 2000 dengan temuan dan kesimpulan sebagai berikut: 1. Indikasi adanya mark up nilai proyek pada pemeriksaan sebelumnya diungkap dalam hal-hal yang berikut : a. Pertamina tidak membuat owner estimate atau Rencana Anggaran Biaya (RAB) dan studi keekonomian. Disamping itu jenis dan volume pekerjaan serta Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS) belum lengkap, sehingga harga kontrak yang ditetapkan tidak dapat dinilai apakah menguntungkan dan dapat dipertanggungjawabkan. b. Volume kontrak tidak dapat dinilai karena basic design dan detail design tidak lengkap dan tidak rinci. Disamping itu berdasarkan data dari Direktorat II Deputi Pengawasan Perminyakan, diketahui Proyek Pipa Gas Natuna (West Natuna Gas Pipeline/WNG) sepanjang 481 km (offshore) bernilai US$335,846,350.00. Dengan demikian Proyek Pembangunan Pipa Gas Jawa Timur sebesar US$400,000.00 dengan jaringan pipa sepanjang 420 km (360 km offshore dan 7 km onshore) terlalu mahal bila dibandingkan dengan Proyek Pipa Gas Natuna yang dibangun belakangan (1999/2000). Dari hasil pemeriksaan khusus tersebut disimpulkan bahwa indikasi mark up atas nilai Proyek Pembangunan Pipa Gas Jawa Timur tidak terbukti. Hal tersebut dapat disimpulkan dari hal-hal yang berikut: a. Proyek tersebut dalam BTA dinyatakan fixed value, sehingga proyek tersebut dapat dikatakan sebagai Lumpsum Turn Key Fixed Value Contract. Untuk proyek jenis tersebut, owner estimate tidak dibuat karena

18

sejak basic design sampai proyek selesai dengan performance yang diharapkan menjadi kewajiban rekanan dan merupakan lingkup kerja dalam kontrak. b. Isi TFPA lebih merupakan perjanjian kerja sama operasi atau usaha patungan dan bukan kontrak pembangunan proyek yang dibayar secara angsuran. TFPA section 2.4 mengatur pembagian pendapatan gas setelah hutang proyek lunas dengan dasar kontribusi masing-masing pihak. Sedangkan TFPA section 9.1 mengatur bahwa sebelum hutang lunas diutamakan untuk menyelesaikan kewajiban perpajakan dan kewajiban PT TJP sehubungan dengan perjanjian pinjaman. c. Dalam rangka pembangunan pipa gas tersebut, PT TJP telah mengeluarkan biaya sebesar US$444,816,052.66 dan biaya tersebut telah diverifikasi yang didukung dengan bukti-bukti valid. Adapun rincian biaya-biaya tersebut adalah sebagai berikut:No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Uraian Pembebasan Tanah EPC cost Directional Drilling Reinstatement Pre-operating expenses Project Management and Overhead IDC and Financing cost Alop Insurance Interest Rate Capping Insurance Professional Fee Jumlah Nilai (US$) 3,923,207.88 345,000,000.00 2,973,068.54 1,044,436.93 6,000,000.00 18,877,988.41 54,787,703.69 2,383,000.00 6,300,000.00 3,526,647.21 444,816,052.66

Selain itu atas sumber pendanaan tersebut telah dikonfirmasi kepada The Bank of Tokyo-Mitsubishi, Ltd beserta rincian masing-masing pemegang saham, dan tidak terdapat pemegang saham dengan saham kosong. d. Dari seluruh total biaya diketahui bahwa kontrak EPC-nya hanya sebesar US$345,000,000.00, sedangkan biaya lainnya merupakan konsekuensi biaya sehubungan dengan usaha kerjasama yang sebagian besar dananya dibiayai dari pinjaman. e. Harga pipa dunia pada saat proyek transmisi gas Jawa Timur dilaksanakan (1992-1994) jauh lebih tinggi dibandingkan harga pipa pada saat proyek gas Natuna dilaksanakan (1999). f. Kontraktor EPC untuk proyek Jawa Timur adalah Nippon Steel Corporation yang memiliki teknologi lebih mahal dari Mc Dermott yang menjadi pelaksana EPC saat proyek Natuna. Hal ini diketahui pada saat tender proyek Natuna, Nippon Steel menawarkan harga sebesar

19

US$485,000,000.00 lebih mahal dari Mc Dermott yang menawarkan harga sebesar US$335,000,000.00. Penunjukkan Nippon Steel di Jawa Timur disebabkan dana yang digunakan untuk proyek tersebut diperoleh dari konsorsium yang dipimpin oleh The Mitsubishi Bank dari Jepang. g. Harga pipa proyek-proyek sejenis yang pelaksanaannya berdekatan dengan proyek Jawa Timur adalah sebagai berikut:Tahun 1994 1993 1995 1994 1983 1994 1999 Nama proyek MLLER ZEEPIPE-I EUROPIPE-I ONWJ ERAWAN-I Jawa Timur Natuna Lokasi United Kingdom Norway-Belgium Norway-German Indonesia Thailand Indonesia Indonesia Panjang (Km) 242 815 625 61 418 430 481 Dia meter 40 40 40 26 36 28 28 Unit cost (US$/ inch) 66.00 61.00 58.00 38.46 36.54 28.65 28.19

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa nilai proyek pipa gas Jawa Timur masih wajar dibandingkan dengan proyek-proyek sejenis. 2. Indikasi adanya kerugian Pertamina pada pemeriksaan sebelumnya diungkap dalam hal-hal yang berikut: a. Alokasi dana ke PT TJP sebesar US$2,000,000.00 per tahun dari sebagian jumlah throughput fee US$0.72/MMBTU mengakibatkan Pertamina dirugikan sebesar US$12,000,000.00. b. Pembagian 50%:50% dari throughput fee setelah hutang proyek lunas dibuat belum sepenuhnya berdasarkan pada seluruh kontribusi Pertamina, terutama biaya jasa QA/QC dan asuransi. Dari hasil pemeriksaan khusus tersebut disimpulkan bahwa adanya indikasi kerugian Pertamina belum terjadi. Hal tersebut dapat disimpulkan dari hal-hal yang berikut: a. Indikasi kerugian Pertamina dengan tidak diterimanya biaya overhead sebesar US$2,000,000.00 per tahun seperti halnya diterima PT TJP belum terjadi karena perjanjian masih berlangsung untuk jangka waktu yang panjang dan memungkinkan dibuatnya amandemen terhadap pasal-pasal dalam kontrak yang dianggap merugikan Pertamina. Apabila amandemen telah dibuat maka kerugian Pertamina dapat sepenuhnya dieliminir. b. Indikasi kerugian Pertamina sehubungan dengan belum dimasukkannya seluruh kontribusi Pertamina sebagai unsur pembanding dalam pembagian 50%:50% setelah hutang proyek lunas belum terjadi, karena pembagian 50%:50% tersebut baru akan dilaksanakan pada bulan September 2001. Sesuai rekomendasi BPKP apabila dibuat amandemen yang lebih adil

20

untuk kedua belah pihak maka kemungkinan kerugian Pertamina dari pembagian hasil setelah hutang lunas tidak terjadi. Secara keseluruhan, BPKP menyimpulkan tidak ditemukan unsur KKN dalam proyek pipa gas Jawa Timur, kecuali masalah perdata yang dapat merugikan Pertamina apabila tidak dilakukan amandemen terhadap kontrak.D. Hasil Penyelidikan Kejaksaan Agung atas Proyek Pipa Gas Jawa Timur

Dari hasil pengumpulan data dan dokumen selama pemeriksaan diketahui bahwa Kejaksaan Agung telah melakukan penyelidikan terkait dengan proyek pipa gas Jawa Timur dengan hasil sebagai berikut: 1. Surat Perintah Operasi Intelijen Yustisial No:Prinops-131/D/Dek/11/2000 tanggal 21 November 2000 dengan kesimpulan tidak diperoleh bukti permulaan tentang terjadinya tindak pidana korupsi, dimana tidak ditemukan adanya unsur kerugian negara. Hasil tersebut juga telah diinformasikan kepada Pansus Pertamina DPR-RI dan Komisi II DPR-RI pada acara rapat dengar pendapat maupun rapat kerja. 2. Laporan Tim Gabungan Kejaksaan Agung RI dengan Satuan Pengawasan Intern Pertamina berdasarkan Memo No. R85/J00000/2001-SO tanggal 11 Juni 2001 dengan kesimpulan belum diperoleh petunjuk terjadinya kasus tindak pidana korupsi, kecuali ada novum. 3. Surat dari Direktur Ekonomi & Keuangan Kejaksaan Agung RI No. R037/D.3/Dek/06/2001 tanggal 26 Juni 2001 kepada Jaksa Agung Muda Intelijen perihal laporan hasil penyelidikan mengenai kasus dugaan KKN pada proyek pipanisasi Kangean Gresik Jawa Timur, yang memuat hal-hal sebagai berikut: a. Dalam melakukan penyelidikannya, Tim Operasi Intelijen telah melakukan wawancara terhadap 22 orang, diantaranya adalah Direktur Utama (Dirut) PT TJP, Dirut Pertamina dan Dirut PT TS. b. Dari hasil wawancara tersebut, Tim membuat laporan sebagai berikut: 1). Kronologis proyek sejak ditemukannya cadangan gas ARBNI tahun 1985 sampai dengan mengalirnya gas (initial gas in) tanggal 28 Desember 1993 2). Penelitian dalam pelaksanaan proyek, dengan hasil sebagai berikut: a. PT TJP menunjuk Engineering Procurement Construction (EPC) Nippon Steel Corp sebagai pemenang tender, dengan dasar sebagai berikut: (1) Adanya persyaratan dari Mitsubsihi Bank dan telah disetujui oleh Pertamina.

21

(2) Pipa tersebut telah memenuhi standar kelayakan operasi Migas (SKPI) Dirjen Migas, ARCO /British Petroleum dan Pertamina. (3) PT TJP dibebaskan dari tanggung jawab apabila terjadi wanprestasi dalam pembangunan EPC. b. Proyek dilaksanakan dengan biaya US$445.00 juta, yang bersumber dari Mitsubishi Bank sebesar US$400.00 juta dan setoran modal pemegang saham PT TJP sebesar US$45.00 juta. c. Bahwa benar berdasarkan perjanjian kredit pasal 1.1 dan TFPA pasal 9.1, PT TJP menerima US$2.00 juta/tahun setelah proyek selesai s.d. hutang lunas untuk membiayai kegiatan operasionalnya. d. Bahwa apabila dikaitkan dengan Amandemen 1 TFPA pasal 24.ii yang menyatakan Pertamina berhak menerima US$3.70 juta/tahun setelah hutang lunas dalam jangka 20 tahun maka pengeluaran untuk PT TJP tersebut tidak menggambarkan adanya kerugian bagi Pertamina. e. Bahwa benar sesuai Amandemen 1 TFPA pasal 24.ii dan TFPA pasal 13.9 yang menyatakan bahwa PT TJP berhak menerima 50% dari pendapatan throughput fee setelah hutang lunas sampai dengan tahun 2014, namun keadaan tersebut terkompensasi pada : (1) BTA pasal 15.1 dan 16.1 yang menyatakan bahwa pipa gas Kangean menjadi milik Pertamina. (2) Pertamina berhak mendapatkan 50% dari throughput fee setelah hutang lunas. (3) Pertamina berhak mendapatkan 100% dari throughput fee setelah masa konsesi PT TJP berakhir. f. Dari BTA diketahui proyek tersebut dibayar sebagai Lump Sum Turn Key Fixed Value Contract yang bila dikaitkan dengan materi TFPA bahwa selain membangun sistem pipa gas yang kemudian langsung diserahkan kepada Pertamina, PT TJP juga diwajibkan menyiapkan dana untuk pembangunan maka keadaan demikian merupakan suatu perikatan bersama atau perjanjian kerja sama operasi, bukan kontrak proyek yang dibiayai dari APBN atau kas Pertamina. c. Berdasarkan hasil pemeriksaan BPKP disimpulkan bahwa tidak ditemukan adanya unsur KKN dalam proyek pipa gas Jatim dan BTA/TFPA antara Pertamina dengan PT TJP yang berindikasi tindak pidana korupsi, kecuali

22

masalah perdata yang dapat merugikan Pertamina bila tidak dilakukan amandemen terhadap kontrak. d. Bahwa Pertamina telah membentuk Tim Renegosiasi Proyek Pipa Gas Jatim yang bertugas untuk merundingkan kembali besarnya perbandingan perolehan revenue dari throughput fee dikaitkan dengan nilai kontribusi PT TJP. Berdasarkan hal-hal diatas, Tim Operasi Intelijen menyimpulkan tidak ada indikasi kolusi dan korupsi dan pembangunan proyek tersebut kecuali unsur nepotisme mengingat PT Bimantara Citra yang masuk dalam konsorsium PT TJP adalah milik Bambang Trihatmodjo. Untuk itu, Penyelidik Intelijen Yustisial menyarankan agar kegiatan penyelidikan kasus ini dihentikan, kecuali ditemukan data baru. 4. Surat dari Jaksa Agung Muda Intelijen atas nama Jaksa Agung RI kepada Direktur Utama Pertamina No. B-1313/D/Dep/10/2001 tanggal 29 Oktober 2001 perihal pelaksanaan tim negosiasi dalam penyelesaian perjanjian dengan PT TJP, yang memuat hal-hal sebagai berikut: a. PT TJP mendapatkan alokasi dana throughput fee sebesar US$0.72/MMBTU yang digunakan untuk membayar pokok pinjaman, bunga, biaya bank dan beban overhead sebesar US$2.00 juta/tahun, sementara Pertamina tidak memperoleh hak yang sama. b. Selama hutang proyek belum lunas. Pertamina wajib mengoperasikan dan memelihara aset yang dibangun, dan sampai dengan Oktober 2000, biaya operasi dan pemeliharaan (O & M) yang telah dikeluarkan adalah sebesar US$25,119.56 ribu. c. Pembagian pendapatan 50%:50% antara Pertamina dan PT TJP belum sepenuhnya sesuai dengan kontribusi masing-masing, yaitu tidak memperhatikan biaya O & M yang telah dikeluarkan Pertamina, biaya pengawasan, asuransi, perbaikan alat bantu navigasi dan sewa rumah. Ketiga hal diatas dituangkan dalam BTA dan TFPA yang pada dasarnya merupakan perikatan yang bersifat perdata.E. Proses Negosiasi Pertamina dengan PT TJP

Tim renegosiasi Pertamina dibentuk berdasarkan SK Dirut Pertamina No.113/C0000/2000-S0 tanggal 4 Desember 2000 dan diperpanjang dengan SK Dirut Pertamina No.014/C00000/2001-S0 tanggal 31 Januari 2001. Adapun Laporan Tim renegosiasi tersebut antara lain memuat beberapa identifikasi masalah dan alternatif penyelesaiannya yaitu:

23

1. Adanya penggantian overhead cost PT TJP sebesar US$2,000,000.00/tahun sesuai pasal 1 TFPA. Atas hal tersebut Tim renegosiasi akan menyusun amandemen dengan pola yang berikut: a. Overhead sebesar US$2,000,000.00/tahun adalah hak tiap partner. b. Overhead per tahun sejak 1994 sampai dengan 2001 akan menjadi prioritas atas klaim dana yang ada di reserve account sebelum dibagi antara Pertamina dan PT TJP. 2. Saldo Reserve Account setelah hutang lunas akan dibagi sama kepada Pertamina dan PT TJP sesuai TFPA pasal 6.2. Atas hal tersebut Tim akan: a. Melakukan inspeksi untuk menilai kewajaran saldo Reserve Account, penerimaan atas investasi jangka pendek yang dilakukan oleh Trustee (BoA), kewajaran disbursement atas pendapatan proyek kepada PT TJP sesuai pasal 5.2 TPAA. b. Menyusun amandemen atas Amandemen 1 TFPA dengan pola bahwa biaya O&M yang terjadi akan menjadi prioritas kedua atas klaim dana yang ada di Reserve Account sebelum dibagi kepada Pertamina dan PT TJP. Apabila saldo Reserve Account tidak mencukupi maka sisa biaya O&M sejak proyek selesai s.d hutang lunas akan menjadi prioritas kedua atas throughput fee setelah hutang lunas. 3. Adanya pembagian throughput fee setelah hutang lunas sebesar US$0.36/MMBTU. Atas hal tersebut Tim akan melakukan hal berikut: a. Verifikasi Equity PT TJP sebesar US$44,816,052.00 khususnya yang dedicated to the project. b. Menyusun 2 (dua) model throughput fee setelah hutang lunas yaitu: 1) Equity PT TJP adalah biaya PT TJP yang dikeluarkan sebagai pelaksana pembangunan jaringan pipa. Atas hal tersebut Pertamina akan membayar sekaligus equity ditambah margin keuntungan PT TJP sebagai kontraktor atau melalui toll fee selama beberapa tahun. 2) Toll Fee akan dibagi kepada Pertamina dan PT TJP sesuai Ratio Equity masing-masing pihak setelah dikurangi biaya O&M, biaya asuransi, pajak, QA/QC, dan biaya lain-lain. Selain itu apabila terjadi kekurangan atas perhitungan (shortfall) maka PT TJP harus menanggung biaya shortfall tersebut. 4. Adanya bentuk bisnis model kerjasama yang menuntut pihak PT TJP atas pembagian revenue. Atas hal tersebut Tim berpendapat bahwa bentuk bisnis model proyek ini adalah Build and Transfer (BTA) dengan pertimbangan: a. Head of Agreement pasal 2 yang menyatakan PT TJP adalah penanggung jawab pembangunan proyek pipa gas Jawa Timur.

24

b. BTA pasal 8 yang menyatakan bahwa setelah jaringan pipa gas selesai dibangun, Pertamina berhak menggunakan dan memiliki jaringan pipa gas. Resiko yang terjadi sebelum penyelesaian pembangunan jaringan pipa menjadi tanggung jawab PT TJP sedangkan resiko yang timbul setelah penyelesaian jaringan pipa menjadi tanggung jawab Pertamina. Pada tanggal 23 Maret 2001 Pertamina melalui surat Direktur Keuangan kepada Bank of America (BoA) menyatakan keberatan atas ketentuan dalam TFPA mengenai rasio pembagian pendapatan throughput fee sebesar 50%:50%, dan menyatakan akan melakukan negosiasi dengan PT TJP untuk menentukan rasio pembagian pendapatan yang baru. Selanjutnya diadakan pertemuan Tim Renegosiasi Pertamina dengan PT TJP yang menghasilkan kesepakatan yang dituangkan dalam Minutes of Meeting pada tanggal 18-19 April 2001, yaitu sebagai berikut: 1. Pertamina menghendaki agar beberapa hal prinsipil dalam perjanjian disesuaikan sedemikian rupa sehingga tercipta kerjasama yang saling menguntungkan, yaitu: a. Penegasan besarnya nilai perjanjian yang akan menjadi nilai perolehan aset (original cost) pada saat penyerahan asset dari project company kepada Pertamina. b. Perlu dilakukan due diligent terhadap equity yang di klaim oleh PT TJP sebagai bagian dari Cost of Project. Menurut Pertamina hal ini sesuai TFPA pasal 9.4 bahwa equity project company hanya merupakan covenant terhadap Pertamina dan Lender. c. Pertamina menghendaki perlakuan yang sama atas fasilitas Overhead Cost yang diterima PT TJP sebesar US$14,000,000.00. d. Pertamina menawarkan 2 (dua) opsi kepada PT TJP setelah hutang lunas yaitu: 1) Penggantian sekaligus atas Equity PT TJP ditambah Return on Equity. 2) Toll fee Sharing berdasarkan equity setelah dikurangi overhead Pertamina sebesar US$14,000,000.00 dan realisasi Current operation cost, Asuransi, realisasi Prior operation cost (dari awal s.d hutang lunas). Apabila opsi ini dipilih, maka PT TJP juga harus ikut menanggung segala resiko operasi dan bisnis. e. Selama perundingan masih berlangsung, Pertamina menghendaki agar dibuat instruksi untuk tidak mengeksekusi kontrak kecuali atas Current operation Cost dan Prior Operation Cost. f. Pertamina dan PT TJP sepakat untuk menyusun perhitungan tarif Toll fee setelah hutang lunas.

25

2. Atas usulan perubahan tersebut PT TJP menyatakan : a. Menerima usulan perubahan yang diajukan oleh Pertamina sepanjang usulan perubahan tersebut saling menguntungkan dan disetujui oleh para pemegang saham PT TJP. b. Nilai Equity PT TJP adalah US$44,816,052.66. 3. Perubahan dan amandemen perjanjian tersebut diharapkan dapat diselesaikan sebelum 1 September 2001. 4. Pertamina akan membuat surat kepada PT TJP dan Bank of America, New York yang menyatakan bahwa selama masa perundingan berlangsung tidak dilakukan eksekusi oleh kedua belah pihak atas perjanjian yang berlaku antara Pertamina dan PT TJP kecuali: a. Penggantian atas Outstanding Advance Pertamina sesuai pasal 4 TFPA. b. Operation Cost untuk Pertamina sesuai pasal 2.4 Amandemen 1 TFPA. Selanjutnya Minutes of Meeting pada tanggal 18-19 April 2001 tersebut tidak menghasilkan keputusan yang disepakati oleh kedua belah pihak.F. Pemeriksaan BPK-RI dan Laporan Gani Djemat kepada Kejaksaan Agung

Pada bulan Mei tahun 2003 Pertamina meminta BPK-RI untuk melakukan pemeriksaan atas indikasi tindak pidana korupsi terkait dengan proyek pipa gas Jawa Timur. Selain itu pada bulan Juli 2003 Pertamina juga menggunakan jasa hukum kantor Advokat Gani Djemat & Partners yang diikat dengan kontrak no.444/C00000/2003-SO tanggal 2 Juli 2003. Dalam melaksanakan pekerjaannya kantor Advokat Gani Djemat & Partners juga melakukan konsultasi dan diskusi dengan Tim BPK-RI. Selanjutnya pihak Gani Djemat & Partner menyampaikan surat Nomor: 1639/IX/GDP/HD/03 tanggal 18 September 2003 kepada Jaksa Agung Republik Indonesia perihal dugaan terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan PT BC/PT TJP atas proyek pipa gas Jawa Timur. Adapun ringkasan dari Laporan Gani Djemat tersebut setelah berkonsultasi dengan Tim BPK-RI adalah menyatakan bahwa HOA yang dibuat oleh Pertamina dan PT TJP adalah pekerjaan pemborongan pemasangan pipa sebagai sarana transportasi gas, sehingga dengan demikian Keppres No. 29/1984 tanggal 21 April 1984 beserta lampirannya jo keputusan Direksi Pertamina No. Kpts-184/C0000/86-BI tanggal 21 Januari 1986 tentang petunjuk pelaksanaan pemborongan dan pengadaan di lingkungan Pertamina/Kontraktor Production Sharing harus dan wajib dipatuhi dan ditaati dan terdapat kerugian negara sebesar US$1,153 juta yang terdiri dari mark up US$114 juta, biaya operasi US$49 juta, throughput fee setelah hutang lunas US$599 juta, subsidi ke PT PKG US$383 juta, dan biaya FS Jawa Barat

26

US$7,5 juta. Disamping itu laporan tersebut dalam modus operandinya menyatakan bahwa Keppres no 35/1987 tidak sesuai dengan UU No. 15 tahun 1985 tentang ketenagalistrikan pasal 18 (3) yang menyatakan bahwa tata cara pembinaan dan pengawasan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.G. Keputusan Kejaksaan Agung atas Laporan Gani Djemat

Pada tanggal 20 Januari 2004 dengan surat No.R-055/D/Dek.2/01/2004, Jaksa Agung Muda Intelijen atas nama Jaksa Agung menjawab laporan Kantor Advokat & Pengacara Gani Djemat & Partners tanggal 18 September 2003 tersebut diatas dengan jawaban sebagai berikut: 1. Terhadap informasi tentang dugaan terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh PT BC/TJP sebagaimana surat Saudara tersebut, telah pernah dilakukan Operasi Intelijen Yustisial (Penyelidikan) berdasarkan Surat Perintah Operasi Intelijen Yustisial Nomor: Prinops-151/D/Dek/11/2000 tanggal 21 Nopember 2000: a. Berdasarkan hasil Operasi Intelijen Yustisial (Penyelidikan) tidak diperoleh bukti permulaan tentang terjadinya tindak pidana korupsi dimana tidak ditemukan adanya unsur kerugian negara, oleh karena itu kegiatan Operasi Intelijen Yustisial (Penyelidikan) telah dihentikan terhitung tanggal 2 Juli 2001; b. Hasil tersebut pada butir a telah diinformasikan kepada Pansus Pertamina DPR RI dan Komisi II DPR RI baik pada acara Rapat Dengar Pendapat maupun Rapat Kerja; c. Hasil tersebut juga telah disampaikan kepada Direktur Utama Pertamina dengan surat Nomor: B-1313/D/Dek/10/2001 tanggal 29 Oktober 2001 perihal Pelaksanaan Team Negosiasi Penyelesaian Perjanjian dengan TJP. 2. Terhadap informasi yang Saudara sampaikan tersebut telah kami lakukan penelitian dan penelaahan serta memperbandingkan dengan hasil Operasi Intelijen Yustisial (Penyelidikan) yang telah pernah dilakukan, dengan kesimpulan: a. Data dan fakta yang Saudara informasikan tersebut pada dasarnya sama dengan hasil pelaksanaan Operasi Intelijen Yustisial (Penyelidikan), dan tidak ditemukan adanya data dan fakta baru yang dapat dikualifikasi sebagai novum; b. Permasalahan tersebut pada dasarnya masih dalam ruang lingkup hukum perdata dan oleh karena itu penyelesaiannya dilakukan secara perdata.

27

3. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka tidak ada alasan hukum untuk membuka kasus tersebut kembali, terutama karena tidak diperoleh adanya novum. Keputusan Kejaksaan Agung RI tersebut pada prinsipnya merupakan cleareance atas masalah indikasi tindak pidana yang terkait pada proyek pipa gas Jawa Timur. Selanjutnya dalam beberapa pertemuan antara Pertamina dengan BPK-RI, dibahas mengenai masalah modal kerja Pertamina yang terganggu, antara lain disebabkan oleh adanya kasus Kahara Bodas Company (KBC) dan upayanya melakukan penyitaan aset Pertamina di luar negeri, serta masalah cash flow akibat adanya kenaikan harga crude dan produk bahan bakar minyak. Atas kesulitan modal kerja dan kekhawatiran penyitaan aset oleh KBC, Pertamina ingin segera memanfaatkan asetnya yang mengendap di luar negeri, khususnya dana pendapatan pipa gas yang terdapat di BoA, New York yang merupakan dana bersama antara Pertamina dengan PT TJP. Untuk itu Pertamina mengharapkan penyelesaian yang cepat agar dana yang mengendap tersebut dapat segera diselamatkan. Dengan pertimbangan bahwa Pertamina memerlukan percepatan pengeluaran dana, maka dibentuk Tim Audit dengan audit yang realisasinya dilaksanakan pada tanggal 22 November 2004 sampai dengan 31 Desember 2004.H. Proses Renegosiasi Pertamina dan PT TJP

Proses renegosiasi Pertamina dan PT TJP menghasilkan minutes of meeting sebagai berikut : 1. Minutes of meeting tanggal 1-2 Maret 2004 Kedua belah pihak telah melakukan perhitungan rasio pembagian pendapatan masing-masing dengan menggunakan 13 macam asumsi yang berbeda dan diperoleh 13 alternatif rasio penyelesaian yaitu sebagai berikut:a. Cash outflow (Capital contribution) Pertamina alternatif 1 (dalam US$):- OM before LDD (Incl. Tax) - PPN transfer - Insurance premium - Total QA/QC (Incl. Tax) - ARBNI remedial work - PT TJP Overhead cost before LDD - O&M cost after LDD - O&M Titis - Cost of Komaritim 25,702,354.90 29,034,600.00 5,664,290.30 11,274,005.33 7,000,000.00 14,000,000.00 8,114,887.57 1,500,000.00 1,872,270.00

Hasil pembagian rasio Pertamina : PT TJP adalah 67,39% : 32,61%.

28

b. Cash outflow (Capital contribution) Pertamina alternatif 2 (dalam US$):- OM before LDD - PPN transfer - Total QA/QC - O&M cost after LDD 23,868,904.72 19,356,400.00 6,846,390.24 5,900,000.00

Hasil pembagian rasio Pertamina : PT TJP adalah 44,88% : 55,12%. c. Cash outflow (Capital contribution) Pertamina alternatif 3 (dalam US$):- OM before LDD (Incl. Tax) - PPN transfer - Insurance premium - Total QA/QC (Incl. Tax) - PT TJP Overhead cost before LDD - O&M cost after LDD - O&M Titis - Cost of Komaritim 25,702,354.90 29,034,600.00 5,664,290.30 11,274,005.33 14,000,000.00 8,114,887.57 1,500,000.00 1,872,270.00

Hasil pembagian rasio Pertamina : PT TJP adalah 64,52% : 35,48%. d. Cash outflow (Capital contribution) Pertamina alternatif 4 (dalam US$):- OM before LDD - PPN transfer - Total QA/QC - O&M cost after LDD 23,868,904.72 29,034,600.00 10,269,585.36 5,900,000.00

Hasil pembagian rasio Pertamina : PT TJP adalah 53,94% : 46,06%. e. Cash outflow (Capital contribution) Pertamina alternatif 5 (dalam US$):- OM before LDD (Incl. Tax) - PPN transfer - Insurance premium - Total QA/QC (Incl. Tax) - O&M cost after LDD - O&M Titis - Cost of Komaritim 25,702,354.90 29,034,600.00 5,664,290.30 11,274,005.33 8,114,887.57 1,500,000.00 1,872,270.00

Hasil pembagian rasio Pertamina : PT TJP adalah 57,70% : 42,30%. f. Cash outflow (Capital contribution) Pertamina alternatif 6 (dalam US$):- OM before LDD (Incl. Tax) - PPN transfer - Total QA/QC (Incl. Tax) - O&M cost after LDD 25,702,354.90 29,034,600.00 11,274,005.33 8,114,887.57

29

- O&M Titis - Cost of Komaritim

1,500,000.00 1,872,270.00

Hasil pembagian rasio Pertamina : PT TJP adalah 54,39% : 45,61%. g. Cash outflow (Capital contribution) Pertamina alternatif 7 (dalam US$):- OM before LDD - PPN transfer - Insurance premium - Total QA/QC - O&M cost after LDD - O&M Titis - Cost of Komaritim 24,523,758.66 29,034,600.00 5,664,290.30 10,269,585.36 8,114,887.57 1,500,000.00 1,872,270.00

Hasil pembagian rasio Pertamina : PT TJP adalah 56,46% : 43,54%. h. Cash outflow (Capital contribution) Pertamina alternatif 8 (dalam US$):- OM before LDD - PPN transfer - Insurance premium - Total QA/QC (Incl. Tax) - O&M cost after LDD - O&M Titis - Cost of Komaritim 23,868,904.72 29,034,600.00 5,664,290.30 11,274,005.33 8,114,887.57 1,500,000.00 1,872,270.00

Hasil pembagian rasio Pertamina : PT TJP adalah 56,55% : 43,45%. i. Cash outflow (Capital contribution) Pertamina alternatif 9 (dalam US$):- OM before LDD - PPN transfer - Insurance premium - Total QA/QC (Incl. Tax) - O&M cost after LDD - O&M Titis - Cost of Komaritim 23,868,904.72 29,034,600.00 2,832,145.15 11,274,005.33 8,114,887.57 1,500,000.00 1,872,270.00

` j.

Hasil pembagian rasio Pertamina : PT TJP adalah 54,86% : 45,14%. Cash outflow (Capital contribution) Pertamina alternatif 10 (dalam US$):- OM before LDD - PPN transfer - Insurance premium - Total QA/QC (Incl. Tax) - O&M cost after LDD 23,868,904.72 29,034,600.00 3,115,359.66 11,274,005.33 8,114,887.57

30

- O&M Titis - Cost of Komaritim

1,500,000.00 1,872,270.00

Hasil pembagian rasio Pertamina : PT TJP adalah 55,01% : 44,99%. k. Cash outflow (Capital contribution) Pertamina alternatif 11 (dalam US$):- OM before LDD (Incl. Tax) - PPN transfer - Insurance premium - Total QA/QC (Incl. Tax) - O&M cost after LDD - O&M Titis - Cost of Komaritim 25,702,354.90 29,034,600.00 2,832,145.15 11,274,005.33 8,114,887.57 1,500,000.00 1,872,270.00

Hasil pembagian rasio Pertamina : PT TJP adalah 56,10% : 43,90%. l. Cash outflow (Capital contribution) Pertamina alternatif 12 (dalam US$):- OM before LDD - PPN transfer - Insurance premium - Total QA/QC (Incl. Tax) - O&M cost after LDD - O&M Titis - Cost of Komaritim 23,868,904.72 29,034,600.00 3,776,193.53 11,274,005.33 8,114,887.57 1,500,000.00 1,872,270.00

Hasil pembagian rasio Pertamina : PT TJP adalah 55,43% : 44,57%. m. Cash outflow (Capital contribution) Pertamina alternatif 13 (dalam US$):- OM before LDD (Incl. Tax) - PPN transfer - Insurance premium - Total QA/QC (Incl. Tax) - O&M cost after LDD - O&M Titis - Cost of Komaritim 25,702,354.90 29,034,600.00 3,776,193.53 11,274,005.33 8,114,887.57 1,500,000.00 1,872,270.00

Hasil pembagian rasio Pertamina : PT TJP adalah 56,63% : 43,37%.

Penentuan rasio pembagian pipa gas tersebut diatas menggunakan financial model BNP Paribas dengan dasar-dasar sebagai berikut: a. Rumus yang dipakai. 1) Time value of money. 2) Internal Rate of Return (IRR). 3) Penentuan pembagian rasio antara Pertamina dan PT TJP

31

b. Operating cost dan capital distribution yang diperhitungkan 1) Jenis-jenis operating cost yang akan ditentukan kemudiana) Jenis Operating cost setelah hutang lunas/LDD (Loan Defeasance Date) sejak 12 Maret 2001 Nilai dan Keterangan - Nilai yang sudah dibayar sejak 1 Januari 2001 s.d 30 Juni 2001. - Nilai periode 1 Juli 2001 s.d 31 Desember 2003 yang terdiri dari : US$8,114,887.57 yang berasal dari Operation Maintanance (OM) PT Titis Sampurna (US$0.02615 x MMBtu x kuantitas minimum tahunan), atau US$5,900,000.00 berdasarkan TFPA (US$0.03/MMBTU x actual gas flow). - Nilai sejak 1 Januari 2004 akan dibayar dari Project Revenue berdasarkan TFPA. - US$1,500,000.00 + US$1,872,270.00 (hasil laporan DOH JBB) dari 13 Maret 2001 s.d 29 Pebruari 2004, atau - Jumlah di atas termasuk US$0.03/MMBtu seperti yang termuat di TFPA

b) Pengeluaran biaya OM yang lain (termasuk pembayaran ke Komaritim & DNV Konsultan untuk pengecekan dan evaluasi dari kondisi pipa) termasuk biaya OM Titis Sampurna

2) Jenis dan nilai capital distribution yang akan diperhitungkan kemudianJenis Operating cost before LDD (OM ARBNI & OM Titis) dari 1994 s.d 31 Desember 2000 b) PPN Transfer c) Insurance premium d) QAQC (supervision costs) e) Overhead Costs similar to PT TJP a) Nilai dan Keterangan - US$25,702,354.90 (US$24,523,758.66 + VAT US$1,178,596.24) , atau - US$23,868,904.72 tanpa VAT seperti di TFPA US$29,034,600.00 US$5,664,290.30 US$11,274,005.33 (US$10,269,585.36 + VAT US$1,004,419.97) US$14,000,000.00 (US$2,000,000.00 x 7 th)

2. Minutes of meeting tanggal 5 Maret 2004 a. Disepakati rasio baru sementara atas pembagian pendapatan setelah hutang lunas adalah alternatif 11, yaitu Pertamina 56,10% dan PT TJP 43,90%. b. Kesepakatan tersebut akan dimintakan persetujuan dan keputusan dari masing-masing Direksi para pihak. c. Apabila Direksi para pihak menyepakati rasio baru pembagian pendapatan maka kesepakatan Direksi para pihak tersebut akan diajukan ke Majelis Arbitrase, maka: 1) Apabila keputusan Majelis Arbitrase lebih kecil bagi Pertamina dibandingkan dengan kesepakatan Direksi para pihak tersebut, maka

32

PT TJP harus menerima rasio baru hasil kesepakatan Direksi para pihak. 2) Apabila keputusan Majelis Arbitrase lebih besar bagi Pertamina dibandingkan dengan kesepakatan Direksi para pihak tersebut, maka kedua belah pihak akan menerima keputusan Majelis Arbitrase tersebut. d. Apabila Direksi para pihak tidak menyepakati rasio baru pembagian pendapatan sementara proses Arbitrase tetap berjalan, maka : 1) Apabila keputusan Majelis Arbitrase lebih kecil bagi Pertamina dibandingkan dengan rasio pembagian pendapatan yang ditetapkan dalam TFPA, maka PT TJP harus menerima rasio pembagian pendapatan sebesar 50% untuk Pertamina dan 50% untuk PT TJP. 2) Apabila keputusan Majelis Arbitrase lebih besar bagi Pertamina dibandingkan dengan rasio pembagian pendapatan yang ditetapkan dalam TFPA, maka kedua belah pihak akan menerima keputusan Majelis Arbitrase tersebut. 3. Minutes of meeting tanggal 25 Maret 2004 a. Direksi para pihak sepakat untuk melakukan penyesuaian terhadap rasio yang disepakati pada tanggal 1-2 Maret 2004 dan menyepakati rasio final dengan memperhitungkan: 1) Penyertaan modal Pertamina senilai US$69,841,800.33, dengan rincian sebagai berikut:No 1 2 3 4 Keterangan Biaya O&M sebelum hutang lunas PPN transfer Biaya premi asuransi sebelum hutang lunas Biaya supervisi (QA/QC) Jumlah Nilai (US$) 23,868,904.70 29,034,600.00 5,664,290.30 11,274,005.33 69,841,800.33

2) Penyertaan modal PT TJP senilai US$44,816,052.66. b. Rasio final atas pembagian pendapatan yang disepakati Direksi para pihak adalah alternatif 8, yaitu Pertamina 56,55% dan PT TJP 43,45%. c. Selanjutnya kesepakatan rasio final tersebut akan diajukan kepada Dewan Komisaris dan Pemegang Saham masing-masing dan apabila disetujui akan dituangkan dalam Out of Court Settlement Agreement untuk diajukan ke Majelis Arbitrasi. 4. Pada tanggal 20 Juli 2004 Pertamina dan PT TJP menandatangani settlement agreement, dengan kesepakatan sebagai berikut : a. Schedule 1A; membuat dan mengirimkan Joint Letter kepada Trustee (BoA) yang menyatakan bahwa Pertamina dan PT TJP memerintahkan

33

b.

c.

d. e.

kepada BoA untuk mendistribusikan dana Revenue Escrow Account sebesar US$23,000,000.00 sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Schedule 1B; membuat dan mengirim Letter to The Tribunal ke United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) yang menyatakan bahwa Pertamina dan PT TJP sepakat menyerahkan penyelesaian permasalahan kedua belah pihak kepada UNCITRAL. Schedule 2 dan Schedule 3; mengamandemen TFPA dan TPAA yang menyatakan : a. Mengganti pasal 2.4 TFPA dan pasal 4.1 TPAA dengan pembagian ratio pembagian pendapatan yang baru, yaitu 56,55% untuk Pertamina dan 43,45% untuk TJP. b. Adapun pembagian Revenue Escrow Account adalah sebagai berikut : 1) Biaya-biaya (termasuk pajak) yang telah dikeluarkan oleh Pertamina untuk keperluan operasi, pemeliharaan dan perbaikan sistem pipa (OM cost) sampai dengan 1 Januari 2004; dikurangkan terlebih dulu dari Project Revenue dan dibayarkan ke Pertamina; 2) Sisanya, dibagi sesuai dengan rasio yang telah disepakati, yaitu 56,55% untuk Pertamina dan 43,45% untuk PT TJP. Schedule 4; membuat dan mengirim Letter to The Tribunal yang berisi hasil amandemen TFPA dan TPAA ke UNCITRAL untuk disetujui. Schedule 5; membuat dan mengirimkan Joint Letter kepada Trustee (BoA) yang menyatakan OM Cost periode 1 Januari 2001 s.d 31 Desember 2003 sebesar US$11,490,000.00 dibayarkan ke Pertamina. Kemudian sisanya (setelah dikurangi fee untuk BoA) akan dibagi untuk Pertamina sebesar 56,55% dan PT TJP 43,45%.

I.

Keputusan arbitrase UNCITRAL Berdasarkan TFPA section 12 dan TPAA section 11.2 disebutkan jika terjadi ketidaksepakatan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaian masalah dilakukan lewat majelis arbitrase UNCITRAL yang diketuai oleh Michael Hwang SC, dengan John P Bowman Esq sebagai arbitrator PT TJP, dan Arifin Kadarisman sebagai arbitrator Pertamina. Panel arbitrase mengeluarkan perintah pertama mengenai penyerahan dokumen tanggal 16 September 2003. Pada tanggal 7 Mei 2004, terjadi pergantian arbitrator Pertamina, dari Arifin Kadarisman kepada Abdul Hakim G. Nusantara, karena Arifin Kadarisman meninggal dunia. Pada tanggal 22 Desember 2004 Arbitrase internasional (UNCITRAL) yang terdiri dari Michael Hwang SC sebagai ketua, John P

34

Bowman Esq sebagai arbitrator PT TJP, dan Abdul Hakim G. Nusantara sebagai arbitrator Pertamina telah memberikan keputusan sebagai berikut: 1. Bahwa setiap pihak harus melaksanakan setiap klausul dan kondisi dalam settlement agreement. 2. Project revenue akan didistribusikan dengan ratio sebagai berikut: PT TJP sebesar 43,45% dan Pertamina sebesar 56,55%. 3. Jumlah dana yang tersimpan dalam perkiraan revenue escrow account sehubungan dengan jatuh tempo periode 10 September 2001 sampai dengan 10 September 2003 berikut dengan bunganya akan dibayarkan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pertamina berhak atas pembayaran sebesar US$11,490,000.00 sebagai pengganti atas biaya aggregate operation dan maintainance yang timbul selama periode jatuh tempo 10 September 2001 sampai dengan 10 September 2003. b. Sisa saldo revenue escrow account setelah dikurangi trustee fee akan dialokasikan sebagai berikut yakni PT TJP akan menerima 43,45% dan Pertamina akan menerima 56,55%. 4. Setelah keputusan arbitrase ini dikeluarkan, maka klaim dari PT TJP kepada Pertamina dan sebaliknya dianggap tidak berlaku lagi. 5. Setiap pihak harus menanggung dan membayar biaya Final consent award sejumlah US$4,624.51. Atas keputusan arbitrase tersebut, Kantor Advocat & Pengacara Gani Djemat & Partners mengirimkan surat No.015/l/Deplit-Law/GDP/RID/2005 tertanggal 4 Januari 2005 kepada Pertamina, antara lain menyatakan pada prinsipnya setuju dengan isi dari Final consent award tersebut karena sudah sama dengan kesepakatan yang dibuat antara Pertamina dan PT TJP. Dengan keputusan arbitrase tersebut, pembagian setelah hutang lunas berubah menjadi dana throughput fee akan dibagi antara Pertamina dan PT TJP (56,55%:43,45%) setelah dikurangi bagian operator dan Pemerintah RI serta realisasi biaya operasi dan pemeliharaan Pertamina (lihat lampiran 2C).III. Hasil Pemeriksaan

Berdasarkan informasi dan dokumen tersebut diatas dan dari hasil pemeriksaan diketahui hal-hal sebagai berikut: A. Nilai Proyek dan Penyertaan Modal PT TJP Pembangunan proyek sistem pipa yang dimulai pada tahun 1992 dan selesai pada tahun 1994 menggunakan total biaya sebesar US$444,816,052.66, yang terdiri

35

dari pinjaman offshore sebesar US$300,000,000.00 dan pinjaman onshore sebesar US$100,000,000.00, serta setoran modal (equity) dari enam pemegang saham (shareholders) PT TJP sebesar US$44,816,052.66. Total pinjaman dan setoran equity tersebut telah diakui oleh The Bank of Tokyo-Mitsubishi, Ltd (Singapore Branch) pada tanggal 28 November 1996 melalui surat Junichi Wakabayashi kepada PT TJP. Mengenai penyetoran equity ditegaskan kembali pada tanggal 9 Juli 1998 oleh Ms. Tan Yew Heng, Vice President Tokyo-Mitsubishi International Ltd, anak perusahaan The Bank of Tokyo-Mitsubishi, Ltd yang menyatakan bahwa jumlah equity yang disetor adalah sebesar US$44,816,052.66 dengan rincian equity yang disetor masing-masing pemegang saham (yaitu : PT BC, PT TU, YDP Pertamina, YDP PT PLN, PT Adiraksatama dan YDP BDN) sebagai berikut:(dalam US$)No. Bulan YDP Pertamina 1,577,005.00 0.00 708,955.01 680,585.30 0.00 700,680.20 0.00 304,931.53 0.00 101,010.55 139,521.09 0.00 0.00 203,336.37 61,587.07 4,991.46 4,482,603.58 10.00 YDP BDN 473,102.00 211,006.49 1,680.01 204,175.59 0.00 217,937.01 (7,732.95) 91,479.46 0.00 30,303.17 0.00 41,856.32 61,000.91 0.00 18,476.12 1,533.15 1,344,817.28 3.00 Pemegang Saham (shareholders) YDP PT PT Adhi PT TU PLN raksatama 788,503.00 788,490.00 4,415,600.00 0.00 100,314.00 561,763.00 354,477.50 254,163.49 1,423,311.00 340,292.65 334,341.46 1,870,512.20 0.00 5,951.19 35,126.64 350,340.10 363,228.35 2,034,078.76 0.00 (12,888.25) (72,174.20) 152,465.77 0.00 0.00 0.00 152,465.77 853,808.29 50,505.28 50,505.28 282,829.55 69,760.54 69,760.54 390,659.03 0.00 0.00 0.00 101,668.19 87,820.55 487,624.37 0.00 13,847.64 81,717.47 30,793.54 30,793.54 172,443.81 4,100.04 1,738.30 9,730.99 2,242,906.61 2,240,531.86 12,547,030.91 5.00 5.00 28.00 PT BC 7,727,300.00 3,446,439.33 27,440.17 3,275,146.34 59,721.63 3,559,637.83 (126,304.85) 0.00 1,494,164.52 494,951.71 683,653.31 0.00 860,641.41 135,706.81 301,776.66 17,887.55 21,958,162.42 49.00 Total 15,770,000.00 4,319,522.82 2,770,027.18 6,705,053.54 100,799.46 7,225,902.25 (219,100.25) 548,876.76 2,500,438.58 1,010,105.54 1,353,354.51 41,856.32 1,598,755.43 434,608.29 615,870.74 39,981.49 44,816,052.66 100.00

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Agus 92 Sept 92 Oct 92 Des 92 Jan 93 Mar 93 Apr 93 Jun 93 Jul 93 Agu 93 Sept 93 Okt 93 Des 93 Jan 94 Mar94 Sept 94 TOTAL % equity

B. Penarikan dan Pelunasan Pinjaman Dana Proyek pada BTM

Mengenai jumlah pinjaman offshore dan onshore yang telah ditarik, yaitu seluruhnya sebesar US$400,000,000.00 dinyatakan oleh Tokyo-Mitsubishi International, Ltd melalui Ms. Tan Yew Heng, Vice President, dan Ms. Lee Sock Bee, assistant Vice President melalui surat tertanggal 17 Januari 2001 kepada PT TJP. Adapun rincian penarikan pinjaman sejak 10 September 1992 s.d. 10 Maret 1994 adalah sebagai berikut:

36

(dalam US$) Tanggal 10/09/1992 13/10/1992 11/01/1993 10/03/1993 13/04/1993 12/07/1993 10/09/1993 12/10/1993 11/01/1994 10/03/1994 Total Offshore Loan 98,758,125.00 49,475,161.50 44,132,713.50 4,597,349.25 40,838,421.00 19,773,357.28 6,550,053.22 9,047,277.53 13,185,395.05 13,642,146.67 300,000,000.00 Onshore Loan 32,919,375.00 16,491,720.50 14,710,904.50 1,532,449.75 13,612,807.00 6,591,119.09 2,183,351.07 3,015,759.17 4,395,131.69 4,547,382.23 100,000,000.00 Total Loan 131,677,500.00 65,966,882.00 58,843,618.00 6,129,799.00 54,451,228.00 26,364,476.37 8,733,404.29 12,063,036.70 17,580,526.74 18,189,528.90 400,000,000.00

Mengenai pelunasan pinjaman juga dinyatakan oleh BTM telah selesai pada bulan Maret 2001, yang dapat dirinci sebagai berikut:Saldo Awal Pinjaman 400,000,000.00 395,188,632.08 376,578,839.84 365,313,259.24 342,465,430.10 315,847,408.44 289,936,476.89 262,153,607.29 232,386,235.45 202,858,410.71 167,451,883.78 131,397,842.44 93,389,373.24 53,937,372.87 Pembayaran Pinjaman Pokok 4,811,367.93 18,609,792.24 11,265,580.59 22,847,829.14 26,618,021.66 25,910,931.55 27,782,869.60 29,767,371.84 29,527,824.74 35,406,526.93 36,054,041.34 38,008,469.20 39,452,000.37 53,937,372.87 (dalam US$) Saldo Akhir Pinjaman 395,188,632.07 376,578,839.84 365,313,259.25 342,465,430.10 315,847,408.44 289,936,476.89 262,153,607.29 232,386,235.45 202,858,410.71 167,451,883.78 131,397,842.44 93,389,373.24 53,937,372.87 0.00

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Jatuh Tempo 12-Sep-94 10-Mar-95 11-Sep-95 11-Mar-96 10-Sep-96 10-Mar-97 10-Sep-97 10-Mar-98 10-Sep-98 10-Mar-99 10-Sep-99 10-Mar-00 11-Sep-00 12-Mar-01

Selanjutnya berdasarkan hasil review di BoA diketahui bahwa pembayaran pinjaman termasuk bunga dan biaya keuangan lainnya kepada The Mitsubishi Bank telah dilakukan sejak 31 Agustus 1994 sampai dengan 7 Maret 2001 adalah sebesar US$580,030,999.14 dengan rincian sebagai berikut:No. 1 2 3 4 5 No. Ref 1312/H0000/1994 322/H0000/95 1372/H0000/95-S4 1466/H0000/96-S4 1712/H0000/96-S4 Tanggal 31 Agustus 1994 9 Maret 1995 31 Agustus 1995 8 Maret 1996 6 September 1996 Jumlah (US$) 20,601,960.43 36,135,954.93 37,449,865.50 41,973,411.17 40,396,790.56

37

6 7 8 9 10 11 12 13 14

1211/H0000/97-S4 1121/H0000/97-S4 157/H0000/98-S4 628/H0000/98-S4 169/H0000/99-S4 716/H0000/99-S4 067/H0000/00-S4 463/H0000/00-S4 135/H0000/01-S4

28 Pebruari 1997 3 September 1997 5 Maret 1998 4 September 1998 9 Maret 1999 1 September 1999 8 Maret 2000 7 September 2000 7 Maret 2001

40,929,117.44 41,610,112.48 42,273,607.55 41,010,755.93 46,068,437.86 44,140,643.68 44,956,050.14 44,969,213.29 57,515,078.18 580,030,999.14

Total pembayaran pokok dan biaya keuangan lain

Dari total pembayaran tersebut, sesuai TFPA 9.1 termasuk penggantian biaya overhead untuk PT TJP sebesar US$14,000,000.00, dengan rincian sebagai berikut:No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Tanggal 10 September 1994 10 Maret 1995 11 September 1995 11 Maret 1996 10 September 1996 10 Maret 1997 10 September 1997 10 Maret 1998 10 September 1998 10 Maret 1999 10 September 1999 10 Maret 2000 11 September 2000 12 Maret 2001 Total biaya Overhead Jumlah (US$) 1,000,000.00 1,000,000.00 1,000,000.00 1,000,000.00 1,000,000.00 1,000,000.00 1,000,000.00 1,000,000.00 1,000,000.00 1,000,000.00 1,000,000.00 1,000,000.00 1,000,000.00 1,000,000.00 14,000,000.00

Dengan demikian atas pokok pinjaman sebesar US$400,000,000.00 diketahui bahwa jumlah bunga dan biaya keuangan lainnya selama enam setengah tahun (Agustus 1994 s.d. Maret 2001) adalah sebesar US$180,030,999.14 (US$580,030,999.14 - US$400,000,000.00) atau rata-rata bunga dan biaya keuangan lainnya selama satu tahun adalah sebesar US$27,697,076.79 (US$180,030,999.14 : 6,5) atau rata-rata persentase bunga dan biaya keuangan lainnya terhadap pokok pinjaman adalah sebesar 6,92% per tahun. C. Pembahasan Rasio dan Penggantian Biaya Operasi dan Pemeliharaan Pada bulan Maret 2004 Pertamina dan PT TJP sepakat membahas rasio baru untuk menggantikan rasio yang ditetapkan dalam TFPA. Pembahasan

38

tersebut menggunakan berbagai simulasi perhitungan rasio berdasarkan financial model hasil analisa keuangan BNP Paribas yang bertindak sebagai independent financial advisor. Jumlah pendapatan pipa yang menjadi acuan adalah surat dari BoA tanggal 17 Pebruari 2004 yang menyatakan bahwa perkiraan pendapatan pipa di Escrow Account per 10 Maret 2004, yaitu sebesar US$175,991,218.26, dengan rincian sebagai berikut:- Perkiraan Saldo Revenue Escrow Account per 10 Maret 2004 - Hasil Investasi di Receipt Account (dalam US$): Rincian hasil investasi di receipt account adalah sebagai berikut: Tanggal Penyetor Pokok Interest Total 04/09/03 PT PGN 569,247.57 2,972.74 572,220.31 04/09/03 PT PKG 569,768.69 2,975.46 572,744.15 16/09/03 PT PLN 1,520,141.35 7,431.80 1,527,573.15 03/10/03 PT PLN 592,490.74 2,485.99 594,976.73 06/10/03 PT PKG 562,494.69 2,285.13 564,779.82 15/10/03 PT PLN 1,467,189.74 6,365.46 1,473,555.20 05/11/03 PT PGN 601,270.21 2,167.58 603,437.79 07/11/03 PT PKG 509,852.65 1,756.16 511,608.81 18/11/03 PT PLN 1,354,145.29 4,335.52 1,358,480.81 03/12/03 PT PGN 636,375.62 1,732.36 638,107.98 04/12/03 PT PKG 160,838.90 433.37 161,272.27 16/12/03 PT PLN 1,495,894.84 3,637.93 1,499,532.77 30/12/03 PT PGN 371,574.28 687.03 372,261.31 05/01/04 PT PKG 397,441.22 672.75 398,113.97 15/01/04 PT PLN 535,749.01 767.35 536,516.36 04/02/04 PT PKG 480,393.30 408.67 480,801.97 05/02/04 PT PGN 500,376.03 413.51 500,789.54 17/02/04 PT PLN 1,100,884.95 630.72 1,101,515.67 Total 13,426,129.08 42,159.53 13,468,288.61 US$162,522,929.65 US$ 13,468,288.61

Dari hasil pembahasan tersebut diketahui bahwa kedua belah pihak telah melakukan perhitungan rasio pembagian pendapatan masing-masing dengan menggunakan 13 macam asumsi yang berbeda dan diperoleh 13 alternatif rasio penyelesaian. Selanjutnya dibahas alternatif rasio tersebut sampai akhirnya disepakati rasio final Pertamina 56,55% dan PT TJP 43,45% dengan memperhitungkan penyertaan modal Pertamina sebesar US$69,841,800.33 dan penyertaan modal PT TJP sebesar US$44,816,052.66. Pengeluaran Pertamina yang diakui sebagai penyertaan modal sebesar US$69,841,800.33 dapat dirinci sebagai berikut: 1. Biaya operasi dan pemeliharaan sebelum hutang lunas sebesar US$23,868,904.70. 2. PPN transfer sebesar US$29,034,600.00. 3. Biaya Premi asuransi sebelum hutang lunas sebesar US$5,664,290.30. 4. Biaya supervisi (QA/QC) sebesar US$11,274,005.33.

39

Selain itu disepakati pula penggantian biaya operasi dan pemeliharaan Pertamina untuk periode 1 Januari 2001 s.d 31 Desember 2003 sebesar US$11,490,000.00, dan untuk periode sejak 1 Januari 2004 akan ditanggung bersama sebesar realisasi biaya yang terjadi (actual cost), yang sampai dengan 31 Desember 2006 diperkirakan sebesar US$13,400,000.00, serta perbaikan besar (major repair) diperkirakan sebesar US$23,000,000.00. Kesepakatan tersebut pada akhirnya dituangkan dalam settlement agreement dan dikuatkan dengan keputusan arbitrase UNCITRAL, dengan kesepakatan bahwa revenue escrow account yang dibagi adalah pendapatan sejak 1 Januari 2001 s.d. 30 Juni 2003 dengan jatuh tempo (due date) pada tanggal 10 September 2001, 10 Maret 2002, 10 September 2002, 10 Maret 2003, dan 10 September 2003.D. Hasil Review dan Analisa Rekening Pendapatan Pipa Gas Jatim di BoA

Berdasarkan TPAA, BoA membuat rekening revenue escrow account untuk menampung perkiraan dana project revenue apabila pada saat jatuh tempo (due date) salah satu pihak baik Pertamina atau PT TJP tidak setuju untuk dibagi, yang kemudian diinvestasikan sampai kedua belah pihak setuju untuk dibagikan. Pendapatan bunga yang dihasilkan dari investasi revenue escrow account akan menambah jumlah yang akan dibagikan. Berdasarkan laporan kuartal dan laporan tahunan yang disediakan oleh BoA diketahui bahwa jumlah saldo rekening revenue escrow account per 13 Desember 2004 adalah sebesar US$159,197,157.85 dengan rincian penggunaan dana sebagai berikut:No 1 2 3 4 5 6 Jumlah (US$) Penambahan Pengurangan 10 September 2001 40,084,082.13 11 Maret 2002 38,842,162.80 13 Maret 2002 5,339,427.93 10 September 2002 33,513,026