Top Banner

of 123

Biografi Para Bupati Jombang

Jul 14, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BIOGRAFIPARA BUPATI JOMBANG

Oleh: Fahrudin Nasrulloh Dian Sukarno Yusuf Wibisono

DITERBITKAN OLEH:

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010

BIOGRAFI PARA BUPATI JOMBANG Pemerintah Kabupaten Jombang Cetakan pertama, Desember 2010 Biografi Para Bupati Jombang Pemerintah Kabupaten Jombang, 2010 Penyunting : Fahrudin Nasrulloh Pemeriksa aksara : Jabbar Abdullah Perbaikan akhir : Abdul Wahab Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Fahrudin Nasrulloh, Dian Sukarno, Yusuf Wibisono Biografi Para Bupati Jombang Cet. 1. -- Jombang: Pemerintah Kabupaten Jombang, 2010 150 hlm.; 21 cm ISBN:

2

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................... IDENTITAS BUKU ............................................................................................... DAFTAR ISI ........................................................................................................... PENGANTAR PENULIS ....................................................................................... BAB I SEJARAH SINGKAT KABUPATEN JOMBANG ................................ BAB II BIOGRAFI PARA BUPATI JOMBANG ............................................... Profil R.A.A. Soeroadiningrat (Masa Bhakti 1910-1930) ................ Profil R.A.A. Setjoadiningrat (Masa Bhakti 1930 1946) ............... Profil Bupati R. Boediman Rahardjo (Masa Bhakti 1946-1949) ..... Profil R. Moestadjab Soemowidagdo (Masa Bhakti 1949-1950) ..... Profil R. Istadjab Tjokrokoesoemo (Masa Bhakti 1950-1956) ......... Profil Bupati M. Soebijakto (Masa Bhakti 1956-1958) .................... Profil Bupati R. Soedarsono (Masa Bhakti 1958-1962) ................... Profil Bupati R. Hassan Wirjoekoesoemo (Masa Bhakti 19621966) ................................................................................................. 9. Profil Bupati Ismail (Masa Bhakti 1966-1973) ................................. 10. Profil Bupati R. Soedirman (Masa Bhakti 1973-1979) ..................... 11. Profil Achmad Hudan Dardiri (Masa Bhakti 1979-1983) ................ 12. Profil Bupati Noeroel Koesmen (Masa Bhakti 1983-1988) .............. 13. Profil Bupati Tarmin Hariadi (Masa Bhakti 1988-1993) .................. 14. Profil Bupati Soewoto Adiwibowo (Masa Bhakti 1993-1998) ......... 15. Profil Bupati Drs.H. Affandi, M.Si (Masa Bhakti 1998-2003) ......... 16. Profil Bupati Drs. H. Suyanto (Masa Bhakti 2003 2008) .............. 17. Profil Bupati Drs. H. Ali Fikri (Masa Bhakti 2008-2008) ................ BAB III PENUTUP ............................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. TENTANG PENULIS ............................................................................................ 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 1 2 3 4 8 17 17 25 29 31 33 35 37 43 45 49 57 76 83 86 95 98 107 117 119 123

3

PENGANTAR PENULIS Sebagai salah satu upaya dalam rangka memajukan pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia di setiap wilayah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Jombang merupakan wilayah yang cukup siknifikan dengan berbagai sumber daya manusianya dan potensi agrarisnya untuk diperhitungkan di masa mendatang. Sebagai sebuah cermin kesejarahan baik di masa lalu, kini, dan kelak, profil bupati yang telah memimpin dan mewarnai kesejarahan Jombang terasa menjadi penting dituliskan untuk dijadikan teladan, tolok ukur, kaca benggala, atau evaluasi bagi siapa saja, khususnya bagi masyarakat Jombang. Kesejarahan yang bersifat historis-komunal tersebut tidak lepas dari peran warga Jombang dalam berpartisipasi serta turut berproses dalam pembangunan dan pembentukan citra Kabupaten Jombang sebagai kota santri yang memiliki karakter egaliter, ramah, beriman, dan senantiasa mampu memunculkan harapan-harapan baru yang konstruktif demi mewujudkan kesejahteraan dan kemajuan di segala bidang. Kiranya bakal berharga jika kehadiran buku Biografi Para Bupati Jombang ini mampu memenuhi sebagian dari kebutuhan literasi dalam konteks historis yang paling elementer bagi masyarakat Jombang untuk kemudian dijadikan acuan dalam banyak hal terkait, sehingga mempunyai fungsi dan edukasi bagi warganya secara luas. Biografi para Bupati Jombang dalam buku ini dimulai dari masa Bupati R.A.A. Soeroadiningrat (Masa Bhakti 1910-1930) sampai Bupati Drs. H. Ali Fikri (Masa Bhakti 2008-2008). Masa Bupati Suyanto yang menjabat kembali sebagai Bupati Jombang dari 2009 sampai dengan 2013 akan dibukukan tersendiri secara khusus. Perlu disampaikan, penggunaan kata biografi dalam judul di atas dimaksudkan sebagai harapan bahwa di kemudian waktu tiap sosok Bupati Jombang dapat dituliskan kembali secara lebih lengkap, mendetail, dan menyeluruh. Dan dalam buku ini belumlah memenuhi maksud tersebut. Karena itu, kami menggunakan kata profil di tiap sosok Bupati di sini, yang dalam arti lain bisa bermakna semacam biografi kecil. Konsekuensi intelektual dari penulisan biografi memang berat dan kompleks. Kompleksitas ini muncul ketika teks telah berhadapan dengan pembaca. Untuk itu, kiranya penting kami sodorkan semacam ilustrasi ikhwal problema penulisan biografi dari sejarawan Taufik Abdullah ini:

4

Terkabarlah bahwa seorang penulis biografi muda usia mendatangi pembimbingnya. Ia merasa gelisah dan kecewa. Tak mungkin rasanya ia menulis biografi dari seorang tokoh dengan sejujurnya. Bagaimana mungkin, sebab istri si tokoh masih hidup. Dengan tenang si pembimbing memberi jawaban: Bunuh istrinya! Akhir ceritanya? Si penulis muda tentu tidak membunuh istri dari tokoh yang diselidikinya secara fisik. Ia mencoba membunuhnya sebagai faktor yang akan mempengaruhi tulisannya. Begitulah, setidaknya yang diusahakannya. Membunuh, demi kejujurannya terhadap sasaran yang dipelajarinya. Tentu masalahnya tidak semudah itu. Ini barulah salah satu aspek sampingan dari problema yang dihadapi dalam penulisan biografi. Kemungkinan munculnya kemarahan, kejengkelan atau, rasa tersinggung keluarga dan teman dekat mereka yang diteliti, barulah salah satu masalah saja. Ini baru menyangkut soal yuridis dan, mungkin, politis dalam penulisan. Menjadikan biografi sebagai sasaran penelitian dan penulisan kadang-kadang dapat membawa orang pada dua kemungkinan yang bertolak belakang. Ia si peneliti, jika itu yang dikehendakinya bisa merasa puas dengan data dasar mengenai tokohnya. Lahirnya diketahui. Orang tuanya dikenal. Tempat dan tingkat pendidikannya dicantumkan. Kedudukan yang pernah dijabat ditelusuri. Dan seterusnya. Tak salah. Tetapi, jika ini yang dilakukan, bukankah lebih baik jika ia tidak berhenti pada satu orang saja? Akan lebih baik lagi dilanjutkan dengan catatan tentang tokoh-tokoh lain, yang mungkin sepekerjaan, sestatus atau sedaerah, dengan yang pertama. Apa yang didapatkannya merupakan bahan yang akan sangat berharga bagi studi sosiologis-historis tentang kelompok sosial dari tokoh-tokoh itu. Kemungkinan kedua ialah terlibatnya pada hal-hal yang bersifat spekulatif-filosofis. Penghargaan yang sadar terhadap masalah ini sering berarti telah lebih dulu menempatkan tokohnya dalam konteks sejarah yang kosmis sifatnya. Ia telah lebih dulu menentukan sikap, sebelum menelitinya. Tetapi jika tidak, berarti ia sesungguhnya telah menentukan pilihan ideologisnya. Dengan keterlibatannya dalam kehidupan tokohnya ia biasanya telah beranggapan bahwa peranan tokohnya dominan. Dan, seperti yang sering terjadi, ia akan terbuai pada hagiografi di mana biografi telah menjadi riwayat para orang suci, bukan manusia biasa.1

Ada rasa genting sekaligus pelik jika penulisan biografi kecil ini mengacu pada paparan akademis Taufik Abdullah di atas. Secara jujur, dalam konteks lapangan riset yang kami hadapi, justru sebaliknya. Dari 17 sosok bupati dalam buku ini, hampir 10-an lebih yang sudah meninggal dan sama sekali belum tertelusuri data pribadinya secara akurat. Memang butuh bertahun-tahun, jika yang diinginkan adalah sebuah biografi lengkap. Dan kiranya apa yang kita sebut sebagai data, tak pernah habis dan selalu ada yang baru. Tentu dengan batasan-batasan tertentu. Demi semua tujuan yang diacu dalam penulisan buku ini di atas, kita berharap besar dalam setiap periode pemilihan bupati akan mempunyai pemimpin yang mampu menjadi pengayom, memberi teladan, dan memakmurkan mereka. Kinerja pemimpin haruslah diemban dengan sungguh-sungguh, tidak mengabaikan tanggung jawab, dan tidak pula demi kepentingan diri sendiri. Sebagai penutup, kami sodorkan kembali tulisan1

Taufik Abdullah, Manusia dalam Sejarah: Sebuah Pengantar, dalam Manusia dalam Kemelut Sejarah, (LP3S. Jakarta. 1978). Hlm.1-2.

5

salah seorang Bupati Jombang yang terpahat di ruang tamu lantai satu bagian luar dari ruang Sekda, sebagai cerminan bagaimana seorang pemimpin dan pegawai negara berwatak, bertugas, dan berpikiran ke depan:Gedung ini dibangun untuk meningkatkan fasilitas kerja bagi para karyawan/karyawati Pemerintah Daerah Tingkat II Jombang, dalam rangka upaya meningkatkan kemampuan serta keterampilan melaksanakan tugas pokok yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan di segala bidang kehidupan. Oleh karena itu, kepada kita semua dituntut untuk mau dan mampu bekerja dengan sungguhsungguh, serta mampu berfikir, bersikap dan berbuat yang terbaik. Jangan kecewakan pimpinanmu, rekanmu, keluargamu dan dirimu sendiri, karena tindakanmu yang tidak terpuji. Bina terus kebersamaan, kebanggaan dan kesetiaan kepada Korpri, agar menjadi kekuatan yang kokoh dan tegar, dengan dilandasi rasa iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selamat bertugas, berkarya dan beramal!! Semoga dalam menjalankan tugas dan pengabdian kita, selalu mendapatkan petunjuk, bimbingan dan kekuatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Jombang, 23 Agustus 2005 Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jombang ttd H. Soewoto Adiwibowo

Tandasan Bupati Soewoto mengisyaratkan betapa urgennya seorang pemimpin (atau pegawai negara) dalam konteks peran elite politik agar dapat dijadikan pegangan dan kepercayaan dalam merumuskan kebijakan pemerintah demi hajat hidup orang banyak. Fenomena terkini tentang pemilihan kepala daerah dalam kontes Pilkada terkesan seolah hanya permainan politik dan intrik yang mengumbar janji-janji kesejahteraan semata, sementara ketika seseorang telah terpilih dengan segala kharisma yang dimilikinya ataupun yang dibuat-buat tentu dihadapkan dengan tanggung jawab untuk merealisasikan program-programnya secara baik dan benar, tepat sasaran dan tidak diselewengkan. Ini menjadi tantangan bersama, terutama bagi seorang pemimpin. Politik populis demikian merupakan bagian dari dinamika perpolitikan Indonesia kontemporer yang harus disikapi secara terbuka dan kritis. Kini, pertanyaan paling utama, menurut Daniel Dhakidae, bagi politik populis adalah kemampuannya menyelesaikan masalah ekonomi-politik yang begitu mengancam. Politik populis sering gagal mengembangkan manajemen politik yang efisien dan efektif. Jenis politik seperti ini lebih mengandalkan kemegahan dalam janji-janji resmi, formale Versprechen, dibandingkan dengan mengerjakan janji substantif, inhaltliche Versprechungen

6

(Steinert). Pada saatnya irasionalisme politik kharismatik yang menjadi inti politik populis harus berpasangan dengan politik rasional dalam suatu manajemen ekonomipolitik yang lebih berarti. Hanya dengan itu milenium ketiga menjadi tantangan dan bukan keranjang sampah.2 Akhirnya, tiada ranting yang tak patah, bahwa buku Biografi Para Bupati Jombang ini hanyalah sebagian kecil ikhtiar pendokumentasian yang tentunya masih banyak kekurangan dan kemungkinan kealpaan atau ketelodoran merangkai data yang kami susun. Karena itu, saran dan kritik dari pembaca sangatlah kami harapkan. Tak terlupa pula kami sampaikan beribu terima kasih kepada semua narasumber dan sejumlah informan yang turut membantu penggalian data sehingga penerbitan buku ini dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Tim Penulis

2

Baca Daniel Dhakidae, Populisme, Pemimpin Kharismatik, dan Masa Depan Politik Indonesia, dalam Indonesia Abad XXI: Di Tengah Kepungan Perubahan Global. (PT Kompas Media Nusantara. Jakarta. 2000). Hlm. 64-65.

7

BAB I SEJARAH SINGKAT KABUPATEN JOMBANG Jombang adalah kabupaten yang terletak di bagian tengah Provinsi Jawa Timur. Luas wilayahnya 1.159,50 km, dan jumlah penduduknya 1.165.720 jiwa, dalam hitungan statistik tahun 2005. Pusat Kota Jombang terletak di tengah-tengah wilayah kabupaten, memiliki ketinggian 44 meter di atas permukaan laut, dan berjarak 79 km (1,5 jam perjalanan) dari barat daya Kota Surabaya, ibu kota Provinsi Jawa Timur. Jombang memiliki posisi yang sangat strategis, karena berada di persimpangan jalur lintas selatan Pulau Jawa (Surabaya-Madiun-Yogyakarta), jalur Surabaya-Tulungagung, serta jalur Malang-Tuban. Jombang juga dikenal dengan sebutan kota santri, karena banyaknya sekolah pendidikan Islam (pondok pesantren) di wilayah tersebut. Bahkan ada pameo yang mengatakan Jombang adalah pusat pondok pesantren di tanah Jawa karena hampir seluruh pendiri pesantren di Jawa pasti pernah berguru di Jombang. Di antara pondok pesantren yang terkenal adalah Tebuireng, Denanyar, Tambak Beras, dan Rejoso. Banyak tokoh terkenal Indonesia yang dilahirkan di Jombang, di antaranya adalah mantan Presiden Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid, pahlawan nasional K.H. Hasyim Asyari dan K.H. Wahid Hasyim, tokoh intelektual Islam Nurcholis Madjid (Cak Nur), serta budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun). Konon, kata Jombang merupakan akronim dari kata berbahasa Jawa ijo dan abang. Ijo mewakili kaum santri (agamis), dan abang mewakili kaum abangan (nasionalis atau kejawen). Kedua kelompok tersebut hidup berdampingan dan harmonis di Jombang. Bahkan kedua elemen ini digambarkan dalam warna dasar lambang daerah Kabupaten Jombang. Sementara lambang Kabupaten Jombang menyimpan makna filosofis tersendiri. Berbentuk perisai, di dalamnya berisi gambar: padi dan kapas, gerbang Mojopahit dan benteng, Balai Agung (Pendopo Kabupaten Jombang), menara dan bintang sudut lima diatasnya berdiri pada beton lima tingkat, gunung, dua sungai satu panjang satu pendek. Ada pun arti gambar lambang Kabupaten Jombang terdiri dari beberapa hal.

8

Gambar Perisai: Mengandung arti alat untuk melindungi diri dari bahaya. Gambar Padi dan Kapas: berarti kemakmuran, sebagai harapan masyarakat jombang, khususnya bangsa Indonesia umumnya. Gambar Gerbang Mojopahit: berarti jaman dahulunya Jombang wilayah kerajaan Mojopahit wewengkon krajan sebelah barat. Gambar Benteng: berarti jaman dulunya Jombang merupakan benteng Mojopahit sebelah barat, hal ini menyebabkan masyarakat bermental kuat, dinamis dan kritis. Gambar Balai Agung: berarti para pejabat daerah dalam membimbing masyarakat bersifat mengayomi seperti tugas balai yang tetap berdiri tegak dan kukuh, guna memelihara persatuan/kesatuan rakyat di dalam daerahnya. Gambar Tangga Beton Lima Tingkat: berarti terus tetap berpegang teguh pada landasan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, demi persatuan kesatuan bangsa dan negara Republik Indonesia. Warna Putih berarti dalam menjalankan tugas tetap berpegang pada kesucian, sepi ing pamrih rame ing gawe. Gambar Bintang Sudut Lima dan Menara: berarti Ketuhanan Yang Maha Esa. Jombang terkenal di segala penjuru tanah air sebagai tempat yang banyak Pondok Pesantren. Pondok-pondok tersebut adalah Tebuireng, Rejoso, Denanyar, Tambak Beras dan sebagainya. Gambar Gunung: berarti Jombang selain terdiri dari daerah rendah, sebagian terdiri dari tanah pegunungan. Warna Hijau berarti banyak membawa kemakmuran. Gambar Dua sungai: berarti Kesuburan Jombang dialiri oleh 2 (dua) sungai yaitu Sungai Brantas dan Sungai Konto yang banyak membawa kemakmuran bagi daerah Jombang. Sedang Makna filosofis warna dari symbol Kabupaten Jombang terdiri dari tercermin dalam beberapa jenis warna. Warna Hijau dan Merah tua: warna dari perisai berarti perpaduan 2 warna Jo dan Bang (Ijo dan Abang) sama dengan Jombang. Hijau: Kesuburan, ketenangan, kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Merah: Keberanian, dinamis dan kritis. Biru Langit Cerah, juga berarti kecerahan wajah rakyat yang optimis. Coklat: Warna Tanah Asli, segala sesuatu menampakkan keasliannya. Kuning: Warna keagungan dan kejayaan. Putih: Kesucian. Penemuan fosil Homo Mojokertensis di lembah Sungai Brantas menunjukkan bahwa seputaran wilayah yang kini adalah Kabupaten Jombang diduga telah dihuni sejak ribuan tahun yang lalu. Pada tahun 929 Masehi menurut berita prasasti Turyyan yang ditemukan secara in situ (masih berada di tempat pertama kali ditemukan), Mpu Sindok peletak Dinasti Isyana atau Isyana Wangsa di Jawa Timur telah memindahkan ibukota9

kerajaannya ke Tamwlang. Letak Tamwlang ini diduga di daerah Kecamatan Tembelang, Kabupaten Jombang. Kemudian pada tahun 937 Masehi menurut berita prasasti Anjuk Ladang, Nganjuk, ibukota tersebut dipindah oleh Raja Dharmawangsa Teguh ke Watugaluh. Watugaluh ini diduga sekarang adalah Desa Watugaluh di wilayah Kecamatan Diwek, Jombang.3 Tahun 1006 Masehi, sekutu Sriwijaya dari kerajaan Wora-wari (letak kerajaan ini mungkin sekitar Ponorogo) menghancurkan ibukota Kerajaan Mataram Hindu Medang dan menewaskan Raja Dharmawangsa Teguh. Airlangga, sang menantu putera Raja Udayana Bali yang ketika itu masih sangat muda, berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh. Bukti petilasan sejarah Airlangga ketika menghimpun kekuatan kini dapat dijumpai di Sendang Made, Kecamatan Kudu. Tahun 1019, Airlangga mendirikan kerajaan baru yang wilayahnya meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali. Pada tahun 1042 Masehi, Airlangga turun tahta dan membagi dua kerajaannya. Sebelah barat disebut Kadiri (Kediri) dengan ibukotanya yang baru yakni Daha. Sedangkan di sebelah timur disebut Janggala dengan ibukotanya yang lama yakni Kahuripan. Bila melihat peta perkembangan kekuasan Dinasti Airlangga maka tidak mengherankan bila ketika itu Jombang sudah menjadi lalu lintas yang kerap dilalui. Pada era 1293-1500 Masehi ditandai dengan berkuasanya Majapahit sebagai kerajaan Hindu terakhir di Semenanjung Malaya. Kerajaan Majapahit tercatat sebaga salah satu Negara terbesar dalam sejarah Indonesia.4 Kemudian data etnografi yang menyisir seberapa akurat cerita babad, mitos, dan legenda menjadi rujukan penting bagi Hari Kelahiran kota ini.53

4

5

Hasil penelitian dari tim sejarah UGM tahun 2008 berjudul Penelusuran Hari Jadi Jombang menyebutkan perihal data Prasasti Turryan (851 aka). Prasasti ini ditemukan di Watu Godek, Malang. Damais (1955) membaca prasasti ini dikeluarkan oleh Sri Maharaja Rake Sindok. Terbuat dari batu, berukuran 126 x 117 cm. Berisi tentang permohonan bangunan suci di daerah Turryan oleh Dang Atu Pu Sahitya. Menurut Damais, penanggalan tersebut dikonversi menjadi 14 Juli 929 M. Raja Sindok di akhir prasasti menitah-guratkan bahwa ia memulai ibokotanya di Tamwlang. Lokasi ini diinterpretasi sebagai Desa Tembelang, di utara Kota Jombang. Selanjutnya ditemukan lagi Prasasti Poh Rinting (851 aka/23 Oktober 929 M); Prasasti Gwg (855 aka/14 Agustus 933 M); Prasasti Gurit, masa Airlangga (955 aka); Prasasti Sendang Made (diperkirakan masa Kerajaan Kediri). Lan Fang, Inspirasi Jombang, PT. Revka Petra Media, Surabaya. 2009. Salah satu legenda kawentar dari Jombang adalah cerita Kebokicak. Semula cerita Kebokicak ditulis dalam bahasa Jawa kuno. Belum diketahui siapa yang menulis dalam bahasa ini. Cerita lain menyebut: adalah Kiai Farhan yang pertama kali mendapatkan cerita ini melalui wisik yang diperolehnya dari Lembu Peteng, putra Brawijaya V, lalu ia menuliskannya. Kemudian ia menerjemahkannya ke bahasa Indonesia. Saat itu, pada tahun 1960, Kiai Farhan bersama Bayan Darmin berkeinginan menyebarkan

10

Pada masa Kerajaan Majapahit, wilayah yang kini disebut sebagai Kabupaten Jombang merupakan gerbang Majapahit. Gapura barat adalah Desa Tunggorono, Kecamatan Jombang, sedang gapura selatan adalah Desa Ngrimbi, Kecamatan Bareng. Hingga sekarang banyak dijumpai nama-nama desa atau kecamatan yang diawali dengan prefiks mojo, di antaranya Mojoagung, Mojowarno, Mojojejer, Mojotengah, Mojongapit, dan sebagainya. Salah satu peninggalan Majapahit di Jombang adalah Candi Arimbi di Kecamatan Bareng. Sehubungan dengan merosotnya Kerajaan Majapahit, Agama Islam mulai berkembang di kawasan ini, di mana penyebarannya dari pesisir pantai utara Jawa Timur. Jombang kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Mataram Islam. Seiring dengan surutnya pengaruh Mataram, kolonialisasi Belanda menjadikan Jombang sebagai bagian dari wilayah VOC pada akhir abad ke-17, yang kemudian sebagai bagian dari Hindia Belanda. Etnis Tionghoa juga berkembang; Kelenteng Hong San Kiong di Gudo (konon didirikan pada tahun 1700) yang masih berfungsi hingga kini. Sampai sekarang masih ditemukan di sejumlah kawasan di Jombang yang mayoritas penduduknya adalah etnis Tionghoa dan Arab.6 Ini menjelaskan posisi Jombang sebagai daerah kota raja yang diperhitungkan sejak jaman Kerajaan Majapahit. Sebaliknya, karena menjadi pusat perkotaan maka ada konsekuensi yang muncul dalam dinamika kehidupan masyarakat Jombang. Sejak jaman dahulu Jombang menjadi wilayah yang terbuka dalam menerima semua unsur perdagangan dan kebudayaan yang masuk dari luar. Baik itu melalu kehidupan agrarisnya maupun melalui peran-peran perguruan-perguruan dan padepokan-padepokan. Dan bukan unsur-unsur dari dalam Pulau Jawa saja tetapi juga meliputi aspek-aspek dari luar Jawa.cerita ini pada khalayak Jombang sebagai cerita yang dibayangkan merupakan asal-usul daerah Jombang. Namun dengan cara bagaimana? Lewat tabligh Islam jelas sangatlah riskan. Di tahun itupun ia tak punya koneksi penerbit. Maka, lewat tradisi ludruklah ia mencoba mensosialisasikannya. Ia lantas menemui beberapa sutradara Ludruk Massa Baru Jombang, yakni: Pardi, Juri, Syaiin, dan Ngaidi Wibowo. Dari Ludruk Massa Baru inilah kisah Kebokicak dipentaskan pada 1968 di Rejoso Pinggir, dan tahun 1972 di Ngembul, Kesamben. Hingga kini--meski meludrukkan cerita Kebokicak wajib dengan selametan dan sesajenan terlebih dahulu--terkadang masih digelar terutama oleh grup Ludruk Duta Karisma pimpinan Ngaidi Wibowo. Selain dari Pak Ngaidi, sumber cerita ini diserap (Agustus 2006) dari Kiai Hafidz (cicit Kiai Farhan) yang konon pernah ditaskhihkan pula pada Kiai Jamal di Ponpes AlMuhibbin, Tambak Beras, Jombang. Baca lebih rinci esai Fahrudin Nasrulloh Babad Jombang yang Dibayangkan, Radar Mojokerto, 7 Juni 2009 dalam bukunya Jejak Langkah dan Pikiran Insan Jombang (Disporabudpar Jombang: 2010). Purwadi, Babad Jombang, (2008, belum diterbitkan).

6

11

Mengingat kekuasaan Majapahit saat itu terbentang dari Sumatra, Semenjanjung Malaya, Kalimantan, Bali bahkan sampai ke Phlipina. Inilah yang menjadi dasar historis kenapa kehidupan Jombang sangat majemuk.7 Memasuki abad ke-14, pengaruh Majapahit berangsur-angsur melemah karena kerap terjadi perang saudara. Sementara pedagang-pedagang muslim dan para penyebar Agama Islam mulai memasuki nusantara. Memang pada kitab Nagarakertagama tidak menyebutkan tentang keberadaan Islam. Tetapi nampaknya pada waktu itu sudah ada keluarga Kerajaan Majapahit yang beragama Islam. Dalam tempo singkat, Agama Islam diserap oleh masyarakat. Karena siar Agama Islam dilakukan dengan cara yang sangat mentolelir kebudayaan awal. Bahkan termasuk kebudayaan di luar Jawa. Di bagian barat nusantara muncullah sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Agama Islam, yaitu Kesultanan Malaka. Yang kemudian disusul kesultanan-kesultanan Islam lainnya seperti Demak, Pajang dan Mataram. Kesultanan-kesultanan ini berusaha mendapatkan legitimasi politik atas kekuasan mereka melalui hubungan dengan Kerajaan Majapahit. Maka ketika kekuasaan Kerajaan Majapahit runtuh, Jombang menjadi bagian Kerajaan Mataram Islam. Pada abad ke-17, pengaruh Mataram melemah. Kolonialisasi Belanda menjadikan Jombang bagian dari VOC yang kemudian menjadi bagian dari Hindia Belanda. 8 Tahun 1811, didirikanlah Kabupaten Mojokerto, di mana meliputi pula wilayah yang kini adalah Kabupaten Jombang. Jombang merupakan salah satu residen di dalam Kabupaten Mojokerto. Bahkan Trowulan (di mana merupakan pusat Kerajaan Majapahit), adalah masuk dalam kawedanan (onderdistrict afdeeling) Jombang.97 8

9

Lan Fang, ibid,. Ibid,. Sebagai bandingan, apabila melihat kesejarahan Kota Kediri, kita bisa mengacu pada semisal Babad Khadiri yang diterbitkan Penerbit Tan Khoen Swie, Kediri, pada akhir 2006. Juga ada beberapa naskah babad lain yang diacukan pada sejumlah kesejarahan kota lain. Tersebutlah karya Willem Walraven (1887-1943) berjudul Modjokerto in de motregen (KITLV, Leiden, 1998). Buku berbahasa Belanda ini masih belum diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Ada tiga bab menarik dalam buku tersebut yang mengulas perihal afdeeling Jombang di zaman Hindia Belanda. Tampaknya di situ Walraven merekam perjalanan jurnalistiknya menyusuri sejumlah kota di Jawa: Jombang, Mojokerto, Batu, Bangkalan, Tuban, Pasir Putih, Panarukan, Kalianget, Rembang, dan Muria. Pun 5 bab khusus berjudul Oosthoeksche reis-impressies (kesan-kesan perjalanan di Jawa Timur). Dalam ranah bahasan ikhtiar konservasi dan munculnya cerita Kebokicak sebagai salah satu pijakan lahirnya Babad Jombang, kalimat Barthes tersebut, seakan membentang menggulirkan pengkajian di medan ilmu-ilmu sosial yang penggarapannya bertolak berdasarkan pada prosedur yang dianggap ilmiah, atau di sanalah penyajian fakta diberlakukan. Dalam hal ini, apa yang berlayapan tanpa terceritakan, membabarkan

12

Sekitar tahun 1900 penyebaran Agama Kristen yang dilakukan pendeta-pendeta dari Belanda dan daratan Eropa telah mendorong percepatan jumlah pengikut Agama Kristen, khususnya di wilayah Jawa Timur. Daerah Mojowarno, Jombang menduduki basis terbesar di wilayah karesidenan Surabaya dengan jumlah jemaat mencapai 4.528 jiwa, mengungguli wilayah Kediri dan Madiun 2.085 penganut, serta Swaru (Pasuruhan) sekitar 1.956 umat Kristiani.10 Ini sekaligus membuktikan betapa warga di wilayah Kabupaten Jombang sangat pluralis dan menjunjung tinggi toleransi dalam kebhinekaan.

Daftar nama Bupati Jombang mulai R.A.A. Soeroadiningrat hingga Suyanto

Masa pergerakan nasional, wilayah Kabupaten Jombang memiliki peran penting dalam menentang kolonialisme. Beberapa putera Jombang merupakan tokoh perintis kemerdekaan Indonesia, seperti K.H. Hasyim Asy'ari (salah satu pendiri NU dan pernah menjabat sebagai ketua Masyumi) dan K.H. Wachid Hasyim (salah satu anggota BPUPKI termuda, serta Menteri Agama RI pertama). Undang-undang Nomor 12 Tahun

10

kegelisahan kreatif bahwa cikal-bakal yang terdapat dalam tradisi tutur suatu masyarakat layak dituliskan. J.D. Wolterbeek, Babad Zending Ing Tanah Djawi, Petronella-Hospitaal Jogjakarta.

13

1950 tentang Pembentukan Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur mengukuhkan Jombang sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur.11 Alfred Russel Wallace (1823-1913), naturalis asal Inggris yang memformulasikan Teori Evolusi dan terkenal akan Garis Wallace, pernah mengunjungi dan bermalam di Jombang ketika mengeksplorasi keanekaragaman hayati Indonesia. Setidaknya ada tiga kawasan yang tercatat dalam berbagai literatur yaitu Wonosalam, Japanan, dan Mojoagung. Letak geografis tiga kawasan ini berada di sisi timur Kabupaten Jombang memanjang ke selatan dengan jarak jika ditarik garis lurus kurang lebih 15 km. Tiga titik kawasan ini juga tak jauh dari Trowulan, yang diyakini menjadi salah satu pusat kejayaan Kerajaan Majapahit. Di dalam Java a Travelers Anthology disebutkan bahwa Wallace mengunjungi kebun kopi di Wonosalam di kaki Gunung Arjuna dan mengumpulkan spesimen burung merak di Wonosalam. Di dalam catatan ini Wallace menulis Wonosalam dengan ejaan Wonosalem dan terletak di kaki Gunung Arjuna. Padahal, Wonosalam yang ada di Jombang ini berada di kaki Gunung Anjasmoro. Ada kemungkinan gunung yang saat ini dinamakan Gunung Anjasmoro, pada saat itu belum mempunyai nama atau kalaupun sudah mempunyai nama, tetapi kurang dikenal dan masih menjadi bagian dari Gunung Arjuna yang memang letaknya berada dalam satu gugusan.12 Jadi mungkinkah ada nama Wonosalam lain di kaki Gunung Arjuna? Sejauh ini tampaknya bisa diduga bahwa tidak ada Wonosalam selain yang di Jombang. Apalagi dalam perjalanannya ke Wonosalam, seperti disebutkan dalam The Malay Archipelago, merupakan salah satu buku perjalanan ilmiah terbaik pada abad ke-19, Wallace sempat singgah di Candi Arimbi yang letaknya di Dusun Ngrimbi, Desa Pulosari, Kecamatan Bareng, namun secara geografis lebih dekat dengan Wonosalam. Jadi ini bisa menjadi titik acuan Wonosalam manakah yang ditapaki Wallace pada tahun 1861 itu. Dalam kisah perjalanannya, ketika menuju Wonosalam ia melihat hutan yang sangat indah dan melewati bangunan Candi Arimbi yang juga sangat menakjubkan yang dia anggap sebagai pusara seorang raja. Mungkin praduga Wallace tidak salah, karena

1112

Dihimpun dari berbagai sumber: di antaranya: http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Jombang. Junaedi, Wallace di Jombang, harian Surya, 15 Juli 2010.

14

menurut

berbagai

kisah,

Candi

Arimbi

dibangun

sebagai

tempat

perabuan

Tribhuwanatunggadewi yang merupakan penjelmaan dari Dewi Parwati. Selain itu, dalam kisahnya yang lain di Wonosalam, Wallace selain mengumpulkan berbagai jenis spisemen ayam hutan dan berbagai burung, utamanya burung merak, juga mengunjungi kebun-kebun kopi. Dan sampai sekarang, kopi tetap menjadi salah satu komoditas perkebunan utama petani di Wonosalam, selain cengkih dan kakao serta berbagai jenis durian utamanya durian bido. Entah bagaimana keadaan kebun-kebun kopi di Wonosalam ketika itu. Kemungkinan kebun-kebun kopi dibangun bersamaan dengan kebijakan tanam paksa, yaitu pada masa Gubernur Jenderal Johannes van Den Bosch berkuasa pada pertengahan abad ke-18. Apalagi kawasan Mojowarno, kawasan barat daya dan berdekatan dengan Wonosalam, pada abad 18 merupakan pusat kebudayaan kolonial Belanda, yang tentu saja segala kebijakan kolonial akan terpancar ke sekitarnya. Jejak peradaban kolonial Belanda di Mojowarno hingga saat ini pun masih terlihat dengan peninggalan bangunanbangunan rumah tua dan gereja-gereja, termasuk peninggalan Pabrik Gula Tjoekir di barat Mojowarno. Hanya saja, sekitar 40 tahun semenjak kedatangan Wallace atau sekitar awal tahun 1900-an, perusahaan-perusahaan kolonial Belanda mulai menata dan membangun kembali perkebunan kopi di Wonosalam dengan sistem sewa lahan dengan merayu dan memelihara kalangan elite penguasa lokal. Perkebunan dicetak terutama di kawasan tinggi di lereng Gunung Anjasmoro, mulai dari Dusun Segunung (Desa Carangwulung) hingga berderet ke selatan sampai Dusun Sumberjahe dan Sumberarum (Desa Sambirejo). Bahkan, di Dusun Segunung sejak awal 1920-an sudah dibangun pabrik pengolah kopi. Bangunan ini bertahan hingga awal tahun 2000-an sebelum diruntuhkan oleh pemilik tanah saat ini. Eksotisme Jombang selain yang terlukiskan dalam kunjungan Alfred Wallace di atas, berbagai macam obyek wisata di Jombang juga tak kalah menariknya jika dibandingkan dengan kabupaten lain. Seperti Goa Sigolo-golo, Sumber Boto, Kedung Cinet, Sumber Penganten, Goa Sriti, Sendang Made, Air Terjun Tretes, dan lain-lain. 13 Tanggal 20 Maret 1881, Jombang secara resmi memperoleh status kabupaten,13

Nanang PME dkk, Pesona Wisata Jombang, (Parbupora, Kabupaten Jombang, 2005).

15

dengan memisahkan diri dari Kabupaten Mojokerto. Akan tetapi Kabupaten Jombang ini baru pada tahun 1920 mempunyai seorang Bupati yaitu Raden Adipati Arya Soeroadiningrat sebagai Bupati Jombang pertama. Hingga sampai dengan periode 20092013, Kabupaten Jombang diteruskan dan dijalankan dengan gemilang beserta segala persoalannya oleh Bupati Suyanto.

16

BAB II BIOGRAFI PARA BUPATI JOMBANG 1. Profil R.A.A. Soeroadiningrat (Masa Bhakti 1910-1930)

Kanjeng Sepuh atau Kanjeng Jimat adalah panggilan kesayangan warga Jombang untuk Bupati Jombang pertama yakni Raden Adipati Arya Soeroadiningrat atau R.A.A. Soeroadiningrat.14 Beliau menjabat sebagai Bupati Jombang sejak 1910 hingga 1930. Sebelum masa kepemimpinan beliau, Jombang merupakan daerah afdeeling Karesidenan Surabaya dengan pusat pemerintahan Jombang. Secara geografis Jombang terletak pada titik ketinggian 40 meter di atas permukaan air laut. Namun sebelum masuk di bawah afdeeling Surabaya terlebih dahulu Jombang menjadi bagian afdeeling Mojokerto wilayah paling barat. Kemudian pada tahun 1881 Jombang dipisahkan menjadi afdeeling tersendiri. Sekitar tahun 1910 afdeeling resmi dipisahkan dan menjadi sebuah kabupaten baru dengan cakupan luas sekitar 920 km persegi. Sebagai daerah afdeeling baru Jombang dibagi menjadi dua kontrol afdeeling, yaitu kontrol afdeeling Jombang, meliputi distrik Jombang dan Ploso. Kontrol afdeeling kedua terletak di Mojoagung yang membawahi distrik Mojoagung dan Ngoro.15 R.A.A Soeroadiningrat merupakan keturunan ke-15 dari Prabu Brawijaya V, Raja terakhir Majapahit.16 Menurut silsilah, R.A.A. Soeroadiningrat, dalam silsilah disebutkan R.A.A. Soeroadiningrat V (Bupati Jombang I) adalah putera dari R.A.A. Soeroadiningrat IV (Regent Sedayu, 1855-1884). R.A.A. Soeroadiningrat IV merupakan keturunan langsung Raden Museng atau R.A.A. Soeroadiningrat III (Regent Sedayu, 1816-1855).14

15

16

Menurut versi keluarga sebutan Kanjeng Jimat diperuntukkan R.A.A. Soeroadiningrat IV yang berada di Sedayu, Gresik. Penelusuran Hari Jadi Jombang, diterbitkan oleh Kantor Parbupora Kabupaten Jombang bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2008. Heather Sutherland., Silsilah Keluarga Penguasa Jawa Madura Anak Turun Brawijaya V. Tanpa penerbit.

17

Raden Museng adalah keturunan dari Raden Anom dan Raden Ayu Suradilaga (Patih Panembahan Madura). Raden Anom merupakan putera Tjakraningrat IV (1718-1745). Tjakraningrat IV keturunan dari Raden Undakan atau Tjakraningrat II (Panembahan Madura,1648-1707 dan Bupati-Wedana Bangwetan,1705-1707). Raden Undakan putera dari Raden Prasena atau Tjakraningrat I (Adipati Madura, 1624-1648). Raden Prasena putera Raden Kara (Pangeran Tengah Arosbaya, Bangkalan, 1592-1621). Raden Kara putra Raden Pratanu (Pangeran Lemahluhur/Lemahduwur, Arosbaya, Bangkalan, 15311592). Raden Pratanu putra Ki Pragalba (Pangeran Palakaran, Bangkalan). Ki Pragalba putra Ki Demung (Demang Palakaran, Kota-Anyar, Arosbaya, Bangkalan). Ki Demung putra Nyi Ageng Buda. Nyi Ageng Buda putri Aria Pratikel/Pabekel (Madekan, Sampang). Aria Pratikel putra Aria Menger (Madekan, Sampang). Aria Menger putra Raden Lembu Peteng (Madekan, Sampang, Madura). Raden Lembu Peteng putra Prabu Brawijaya V (Kertawijaya/Bra Tumapel, 1447-1478) dengan Kanjeng Ratu Handarawati (Putri Cempa).

foto R.A.A. Soeroadiningrat tahun 1930-an

Masa kecil Raden Adipati Arya Soeroadiningrat bernama Bagus Badrun. Beliau merupakan putera dari salah satu selir R.A.A. Soeroadiningrat IV. Sebagai putera seorang Regent atau Adipati, maka Bagus Badrun harus menjalani proses pendadaran sebagai18

kader pemimpin bangsanya. Sebagai bekal terjun ke masyarakat, Bagus Badrun kecil menimba ilmu agama di Pesantren Giri. Tidak cukup hanya ilmu agama, Bagus Badrun juga mendalami ilmu kanuragan atau beladiri di Perguruan Gilingwesi. Proses membangun watak dasar pemimpin masa itu benar-benar dilakukan secara paripurna. Karena selain melalui jalur agama, juga menggunakan jalur budaya dan tradisi setempat. Sehingga pemimpin yang dihasilkan betul-betul mumpuni untuk menjadi Pamong Praja, artinya panutan dan pembimbing rakyat, tidak sebaliknya menjadi Pangreh Praja atau penguasa rakyatnya. Bagus Badrun diangkat oleh Pemerintah Belanda menggantikan ayahandanya R.A.A. Soeroadiningrat IV sebagai Regent atau Adipati di daerah Sedayu, Gresik pada kurun waktu 1884-1910, bergelar R.A.A. Soeroadiningrat V, sebelum menjabat kedudukan yang sama di wilayah Jombang pada periode berikutnya. Pengangkatannya sebagai Adipati Sedayu menimbulkan kecemburuan di kalangan saudaranya. Salah satu di antara yang kurang setuju Bagus Badrun menggantikan ayahandanya adalah saudara lain Ibu bernama Raden Jamilun. Kelak Raden Jamilun memposisikan diri sebagai oposan R.A.A. Soeroadiningrat V hingga menjadi Regent atau Adipati di Jombang.17 Berbeda dengan R.A.A. Soeroadiningrat yang berprinsip mengikuti arus air tapi jangan sampai terbawa arus, artinya mengikuti kemauan Belanda, tetapi tetap berjuang dan bekerja untuk rakyat. Bagi Raden Jamilun sikap moderat ala saudaranya itu sangat bertentangan dengan hati nurani. Maka Raden Jamilun memilih berjuang membela rakyat dengan cara dan keyakinannya sendiri. Ia akhirnya menjadi penyamun seperti kisah Robin Hood di Inggris atau kisah Brandal Lokajaya, nama Raden Said atau Sunan Kalijaga ketika melakukan hal yang sama pada kurun waktu akhir Majapahit. Kejahatan maling Jamilun akhirnya terdengar juga oleh Pemerintah Belanda. Namun pihak Belanda tidak bisa berkutik, karena Raden Jamilun adalah saudara R.A.A. Soeroadiningrat yang pada waktu itu sangat disegani Belanda dan disayang rakyatnya. Sehingga sepak terjang Raden Jamilun dengan jalan mencuri harta kaum berduit dan hasilnya dibagi-bagikan untuk rakyat kecil, terus berlanjut tanpa ada yang menghentikan. Meskipun17

tidak

sedikit

maling-maling

kroco

atau

kelas

teri

harus

Wawancara dengan Agus Heliyana sebagai buyut menantu R.A.A Soeroadiningrat dan Bapak Raden Panji Darmodi selaku cucu R.A.A. Soeroadiningrat, pada hari Rabu, 29 September 2010, jam 18.30 WIB di Caf Garuda, Jln. Dr. Sutomo, Jombang.

19

mempertanggungjawabkan perbuatannya di sebuah mahkamah pengadilan Belanda yang disebut landraad. Surat pengangkatan R.A.A. Soeroadiningrat V tidak begitu saja diterbitkan oleh pihak pemerintah Hindia Belanda. Artinya selain pandangan pihak Keratuan Belanda, juga ada pihak-pihak lain yang mendorong dipilihnya Kanjeng Sepuh sebagai Bupati Jombang pertama. Pejabat yang dimaksud adalah Bupati Mojokerto ketiga Raden Adipati Arya Kramadjajaadinegara. Karena masa sebelumnya Jombang masuk dalam bagian afdeeling Mojokerto, sehingga ikatan batin antara penguasa dua wilayah ini masih sangat kuat. R.A.A. Kramadjajaadinegara sendiri memiliki orang kepercayaan untuk memantau perkembangan Jombang bernama Imam Zahid, seorang penghulu di Sumobito. Bahkan Imam Zahid inilah yang mengambil beselit/Surat Keputusan pengangkatan R.A.A. Soeroadiningrat V sebagai Bupati Jombang ke Batavia.18 Konon dalam perjalanan membawa SK dari Batavia, Imam Zahid menyempatkan diri membeli bibit mangga gadung. Pohon mangga itu kemudian ditanam di depan masjid Sumobito. Sekarang pohon mangga gadung tersebut masih dapat kita saksikan di halaman masjid Sumobito, Kabupaten Jombang. Masa awal jabatan Raden Adipati Arya Soeroadiningrat V sebagai Bupati Jombang ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan Pendopo Kabupaten Jombang pada tanggal 22 Februari 1910 dan penanaman pohon beringin kunthing di halaman pendapa serta beringin di lokasi Ringin Conthong. Penanaman pohon beringin ini menurut simbolisme Jawa adalah sebagai lambang pengayoman seorang pemimpin kepada kawula atau rakyat yang dipimpinnya. Sebagai pemimpin lulusan pondok pesantren dan perguruan seni beladiri, R.A.A. Soeroadiningrat V memiliki bekal keilmuan yang cukup. Tulisan tangan beliau dikenal sangat indah, terutama jika menggunakan huruf Arab Pego dan huruf Jawa. Namun sangat jelek jika memakai huruf latin. Hal ini diakui oleh Bapak Raden Panji Darmodi selaku cucu beliau. Sosok R.A.A. Soeroadiningrat V juga dikenal sebagai seorang tokoh pluralis dan moderat. Bukti kepluralisan beliau diwujudkan pada penghormatan terhadap keyakinan

18

Wawancara dengan Bapak Nasrul Illah, pemerhati budaya, pada hari Jumat, tanggal 8 Oktober 2010 pukul 09.30 di Disporabudpar Kabupaten Jombang.

20

lain di luar Agama Islam yang beliau anut. Bahkan di ruang kerja beliau terdapat patung Budhis simbol Agama Buddha dan Batara Wisnu sebagai simbol Agama Hindu. Meskipun demikian R.A.A. Soeroadiningrat bukan penganut sinkretis agama.

R.A.A. Soeroadiningrat dengan R.A. Ayu Maimunah

Upaya untuk mendekati Belanda digunakan Bupati Jombang pertama sebagai media penyambung. Sehingga memudahkan agenda tersembunyi beliau untuk semaksimal mungkin memakmurkan rakyat. Dengan cara ini akhirnya rakyat tidak terbebani, baik pungutan pajak yang mencekik maupun kebijakan lain. Justru banyak kaum jelata menghormati beliau sebagai sosok pengayom dan mengerti kebutuhan rakyat. Karena beliau dikenal juga sebagai orang pintar yang bisa mengobati orang sakit dengan ramuan-ramuan tradisional. Atas jasa baik beliau sebagai pemimpin dan disukai rakyatnya, maka Pemerintah Belanda memberikan bintang kehormatan Ridder Der Oranye Nasaw atau bintang kehormatan sebagai tangan kanan Raja (orang kepercayaan Belanda). Mengenai kewaskitaan Kanjeng Sepuh atau R.A.A. Soeroadiningrat V ini, banyak saksi yang masih bisa menceritakan. Seperti misalnya; suatu hari diceritakan bahwa Kanjeng Sepuh telah membeber (menggelar) tikar di Pendopo Kabupaten untuk pengobatan gratis. Dikatakan demikian karena pasien yang berobat biasanya tidak menyerahkan uang sebagai ongkos melainkan hasil bumi yang mereka miliki, seperti

21

pisang, kelapa, dan beras satu takar. Tikar atau klasa dalam bahasa Jombang digunakan antrian pasien atau warga Jombang yang ingin berobat. Tiba-tiba ketika giliran salah satu pasien, Kanjeng Sepuh berpesan kepada anak si pasien agar memberikan ramuan daun Sembung kepada Mbok (Ibunya) sampai hari Rebo Wage. Kemudian setelah tiba hari Rebo Wage menurut pesan Kanjeng Sepuh, pasien bersangkutan meninggal dunia. Benar tidaknya kewaskitaan ini wallahualam bishawab. Salah satu acara pesta rakyat yang digelar rutin setiap tahun oleh Kanjeng Sepuh adalah pesta memperingati ulang tahun Ratu Belanda Yuliana. Biasanya dilakukan di Pendopo Kabupaten dengan diwarnai arak-arakan massal para petani yang memamerkan hasil bumi mereka. Mungkin semacam karnaval yang kita kenal sekarang untuk memperingati kemerdekaan. Hasil-hasil bumi yang diarak keliling dengan menggunakan kendaraan dokar sepanjang jalan-jalan di Kota Jombang tersebut adalah hasil bumi terbaik yang mereka miliki. Kemudian pada sesi akhir acara dilakukan penyerahan hadiah dari Pemerintah Belanda kepada pemenang yang menyajikan hasil bumi terbaik, terbanyak, dan terbesar. Hasil-hasil bumi itu berupa pala pendhem; seperti uwi, gembili, tales dan lain-lain, termasuk padi dan palawija. Puncak acara peringatan ulang tahun Ratu Yuliana dilakukan dengan menggelar tarian dansa ala Eropa dan pertunjukan karawitan. Di setiap kesempatan selalu digunakan Kanjeng Sepuh untuk memperluas jaringan lobby. Sering di sela-sela tugas beliau sebagai Bupati, beliau secara sengaja bergabung dengan orang-orang Belanda dan asing lainnya di sebuah komunitas selatan kantor pos sekarang yang dulu bernama community society. Atau kelompok high class zaman Belanda. Kegiatan community society ini antara lain olahraga bersama di rumah bola (bowling) dan bilyard. Posisi rumah bola adalah kantor telkom sekarang. Di situlah sering Kanjeng Sepuh mendapatkan perhatian lebih dari pejabat Pemerintah Belanda. Tidak mengherankan jika Dr. Van Der Plass selaku Residen Surabaya sangat menaruh hormat pada Kanjeng Sepuh. Rasa hormat ini bahkan cenderung mengarah pada persaudaraan antar bangsa. Karena Dr. Van Der Plass sering melakukan kunjungan ke kediaman Kanjeng Sepuh. Akhirnya beberapa mesin uang Belanda di tanah Jawa berupa pabrik-pabrik gula banyak didirikan di daerah Jombang. Tidak kurang dari tujuh pabrik gula pernah berdiri di Kabupaten Jombang, antara lain; pabrik gula Tjoekir, Ceweng, Djombang Baru, Peterongan, Ploso, Sumobito, dan Mojoagung.

22

Kanjeng Sepuh adalah figur Bupati yang sederhana. Kesan ini terekam pada keseharian beliau yang menyukai laku prihatin. Pada setiap malam Jumat Legi beliau selalu membakar dupa sebagai media kontemplasi. Dupa tersebut biasanya dibuat oleh Raden Ajeng Asiyah Airmuna sebagai putri keduanya. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat dupa dengan aroma khas dan berkelas diperoleh dari warisan turuntemurun, antara lain menggunakan kulit duku, kemenyan, dan ramuan-ramuan lainnya. Keteladanan hidup sederhana ini juga ditunjukkan dengan tidak bergaya hidup mewah, meskipun gaji Kanjeng Sepuh sebagai Adipati sebesar 1000 gulden setiap bulan memungkinkan untuk itu. Sebagai pembanding uang 15 gulden saja pada waktu itu bisa digunakan untuk membeli sebuah rumah mewah plus pekarangannya. Masa pensiun Kanjeng Sepuh sebagai Bupati di Jombang, terjadi perang dunia II. Ketika itu Jepang mulai masuk ke wilayah Indonesia setelah berhasil mematahkan dominasi Barat dengan mengebom pangkalan Angkatan Laut Amerika Pearl Harbor di Hawaii. Semula kehadiran bala tentara Jepang disambut dengan sukacita, tetapi setelah bangsa Indonesia tersadar bahwa tindakan Jepang lebih parah, bahkan lebih sadis dari Belanda, maka mulailah perlawanan di mana-mana. Tidak terkecuali di Jombang. Kedatangan Jepang ternyata menyulut penderitaan panjang rakyat Jombang. Salah satu bentuk kebiadaban gaya baru ala prajurit Jepang tersebut berupa penculikan gadis-gadis belia untuk digunakan sebagai budak seks tentara Jepang. Penculikan berakhir perkosaan massal itu yang kemudian terungkap sebagai jugun ianfu (wanita pemuas nafsu tentara Jepang). Untuk menghindari kebiadaban bala tentara Jepang, akhirnya Kanjeng Sepuh bersama beberapa cucu beliau yang sudah beranjak remaja memutuskan untuk sementara mengungsi ke suatu tempat/desa bernama Gempollegundi (sekarang Kecamatan Gudo). Di desa itulah sekitar empat hari Kanjeng Sepuh ditolong Lurah dan warga setempat agar tidak diketahui tentara Jepang. Pengungsian ini terjadi setelah melakukan serangkaian diskusi antara Kanjeng Sepuh dan putranya R.A.A. Setjoadiningrat serta penasehat spiritual beliau yang terkenal dengan sebutan Mbah Jimbrak, Lurah Gambang (Desa Plumbongambang, Kecamatan Gudo). Benar juga dugaan Kanjeng Sepuh, setelah empat hari mengungsi di Gempollegundi, Kanjeng Sepuh dan keluarga memutuskan kembali ke Ndalem

23

Kasepuhan yang berada di Jalan Arjuna (sekarang Jalan dr. Sutomo, tepatnya lokasi rumah sakit Muhammadiyah). Setiba di sana kondisi Kasepuhan sudah diacak-acak bala tentara Jepang. Kamar tidur Kanjeng Sepuh dan keluarga kusut masai bekas digunakan serdadu Jepang. Beberapa potong roti sisa prajurit Jepang tertinggal di meja kamar tidur beliau. Beruntung para prajurit Jepang itu sudah meninggalkan kediaman Kanjeng Sepuh. Sehingga kehidupan keluarga Bupati Jombang pertama itu bisa normal kembali. Setelah jabatan Kanjeng Sepuh sebagai Bupati pertama Jombang diserahkan kepada putra beliau Raden Adipati Arya Setjoadiningrat, maka mulailah masa pensiun beliau. Untuk mengisi waktu di sela aktifitas pensiun, Kanjeng Sepuh sering melukis di kamar pribadi beliau. Aktifitas melukis ini membuktikan bahwa Kanjeng Sepuh memiliki bakat terpendam sebagai seniman lukis, meskipun menolak dikatakan sebagai seniman. Raden Adipati Arya Soeroadiningrat (Kanjeng Sepuh) murud kasidan jati atau dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa pada 20 April 1946, tepatnya bulan Suro, hari Jumat Pahing.19 Banyak kalangan dan kolega beliau merasa sangat kehilangan, termasuk para tokoh ulama. Sebagai bentuk penghormatan terakhir sebelum jenazah dimakamkan di pemakaman keluarga Pulo Sampurno, sebanyak empat ulama pemimpin empat pondok pesantren besar di Kabupaten Jombang melakukan sholat jenazah bagi almarhum. Raden Adipati Arya Soeroadiningrat meninggalkan seorang istri bernama Raden Ayu Maimunah Soeroadiningrat dan 3 orang putri-putra, yaitu Raden Ayu Badariyah, Raden Ayu Asiyah Airmuna, dan Raden Adipati Arya Sarwadji atau Raden Adipati Arya Setjoadiningrat VIII.

19

Hasil wawancara dengan buyut menantu Kanjeng Sepuh Mas Agus Heliyana, hari Kamis, tanggal 30 September 2010, jam 18.30 WIB.

24

2. Profil R.A.A. Setjoadiningrat (Masa Bhakti 1930-1946)

Raden Adipati Arya Setjoadiningrat atau lengkapnya Raden Adipati Arya Setjoadiningrat VIII adalah Bupati Jombang kedua setelah Raden Adipati Arya Soeroadiningrat V. Beliau adalah putera ketiga dari Kanjeng Sepuh bernama kecil Raden Adipati Arya Sarwadji. Meskipun dikenal sebagai keturunan ningrat, Kanjeng Bupati Setjoadiningrat dikenal sebagai sosok bupati pejuang. Apalagi setelah menikah dengan garwa/istri kedua beliau Raden Ayu Poppy Kadarin, karena istri pertama beliau meninggal dunia. Raden Ayu Poppy Kadarin ini sangat terkenal sebagai istri bupati yang menjunjung tinggi pengabdian, baik kepada suami maupun bangsa dan negara. Hal ini tidak mengherankan karena beliau masih keturunan dr. Abdul Kadir selaku dokter pribadi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dari almarhumah istri pertama Raden Setjo dikaruniai enam putra-putri; Raden Panji Willy Soedjono, Raden Edi Soewondo, Raden Ayu Ani Rochani, Raden Ayu Nora Soetarinah, Raden Poegoeh Soeratno, dan Raden Ayu Mimik Soeseni. Sedangkan dengan istri sambungan Raden Ayu Poppy Kadarin beliau dikaruniahi dua momongan. Suksesi kepemimpinan dari Kanjeng Sepuh (Raden Adipati Soeroadiningrat V) kepada Raden Adipati Arya Setjoadiningrat berlangsung lancar, karena jauh sebelumnya jabatan tersebut sudah dipersiapkan. Ada dua alasan mengapa Raden Adipati Arya Setjoadiningrat VIII yang menggantikan ayahandanya. Pertama karena beliau satusatunya putera laki-laki, sehingga otomatis sebagai penerus tahta kebangsawanan. Kedua Raden Setjo telah dikirim mengikuti pendidikan Kepamongprajaan atau dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah Opleding S Chool di Blitar. Pada tahun-tahun awal jabatan Bupati yang diembannya, Raden Setjo menitikberatkan pada pembangunan pertanian. Apalagi pengairan pada waktu itu sangat mudah diperoleh. Ini disebabkan hutan-hutan di pegunungan Wonosalam masih rimbun.

25

Fokus perhatian Kanjeng Setjo terutama pada perkebunan karet dan tebu. Karena permintaan pasar dunia mengarah pada dua komoditas tersebut. Meskipun gula masih didominasi negara-negara Amerika Latin seperti Brazil dengan gula bitnya. Perubahan konstelasi politik dan militer pada sekitar tahun 1941 terjadi cukup signifikan dengan beralihnya peta kekuatan dari Barat yang dikomandoi negara-negara Eropa dan Amerika menuju kekuatan Dunia Timur yang diwakili oleh Jepang. Apalagi mimpi Jepang untuk menjadi Imperium Asia Jepang tidak dapat dibendung lagi. Jepang menganggap bahwa penghalang utama cita-cita mereka adalah Armada terkuat Amerika Serikat di Pasifik yang berpangkalan di Hawaii, yaitu Peral Harbor. Karena itu disusun rencana serangan rahasia oleh Laksamana Isoroku Yamamoto pada September 1941. Pada tanggal 28 Februari malam menjelang 1 Maret 1942, tentara ke-16 Jepang berhasil mendarat di tiga tempat sekaligus, yakni di Teluk Banten, Eretan (Jawa Barat), dan di Kragan (Jawa Tengah). Dari Kragan, pasukan divisi ke-48 bergerak ke tiga jurusan. Satu kolone pasukan yang bergerak melalui rute utara tiba di Surabaya pada tanggal 8 Maret 1942. Kolone lainnya bergerak ke arah barat dan berhasil menduduki Semarang. Gerakan ke arah selatan oleh kolone Sakaguchi menuju Cilacap.20 Kolone kedua yang menuju arah Surabaya melalui rute utara akhirnya sampai juga ke daerah Kabupaten Jombang. Pada awalnya kedatangan mereka dielu-elukan rakyat terutama kaum muda, karena propaganda Jepang yang terkenal dengan sebutan tiga A, yaitu; Jepang Cahaya Asia, Jepang Pemimpin Asia, dan Jepang Pelindung Asia. Apalagi di kalangan rakyat sangat mempercayai Ramalan Prabu Jayabaya Raja Kediri yang berbunyi, Akan datang pada suatu masa jago kate dari timur laut berpakaian seperti klaras (daun pisang kering) yang akan membebaskan Nusantara. Masa pendudukan Jepang Raden Adipati Arya Setjoadiningrat tetap

dipertahankan sebagai Bupati oleh penguasa Jepang. Apalagi putera pertama beliau Raden Panji Willy Soedjono mendapat didikan kemiliteran dari balatentara Jepang. Pada waktu itu Raden Willy mendapat pangkat Shodanco atau setara Letnan pada jenjang

20

Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI (Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia). 2007. Hlm.7.

26

kepangkatan TNI sekarang. Pilihan berkarir di kemiliteran putera pertama Kanjeng Setjo nantinya diikuti oleh adiknya Raden Edi Soewondo.21 Jepang menduduki Indonesia selama tiga setengah tahun, tetapi dampak yang ditimbulkan sungguh luar biasa. Termasuk kondisi pemerintahan dan kehidupan ekonomi yang makin terpuruk. Barang-barang kebutuhan rumah tangga sangat sulit diperoleh. Kalaupun ada harganya melambung tinggi. Sehingga pernah pemerintah pendudukan Jepang, khususnya di Jombang memprovokasi rakyat agar menjarah toko-toko milik etnis Cina. Masa itu adalah kondisi tersulit yang dialami Pemerintahan Kabupaten di bawah Raden Adipati Arya Setjoadiningrat. Setelah Jepang dikalahkan oleh balatentara Sekutu dan Jawa Timur diduduki kembali oleh Belanda, mantan Residen Surabaya Dr. Van Der Plass mengunjungi Raden Setjo disertai permintaan agar beliau mau mempertahankan jabatan Bupati sebagai kepanjangan tangan Belanda. Peristiwa ini sempat menimbulkan ketidaksenangan kaum Republikan karena mengira Raden Setjo figur Bupati pro Belanda. Tetapi sebenarnya kesediaan Kanjeng Setjo sebagai bentuk strategi agar pembelaan beliau terhadap para pejuang tidak diketahui. Sehingga meskipun secara kasat mata beliau terkesan pro Belanda, di balik itu komunikasi dengan para gerilyawan di hutan-hutan tetap dipertahankan. Pola komunikasi itu dilakukan dengan bantuan kurir yang sengaja datang pada malam hari ketika suasana sedang sepi. Si kurir menyampaikan kebutuhan para pejuang, sebaliknya Kanjeng Setjo menyediakan segala hal yang diperlukan. Antara lain persediaan senjata yang diperoleh melalui pasar gelap. Ketika meletus perang secara sporadis di Mojoagung antara tentara Belanda dan para pejuang, pada transisi masa pendudukan Jepang, istri Kanjeng Setjo, Raden Ayu Poppy menggalang aksi dapur umum di belakang Pendopo Kabupaten untuk mendukung logistik para pejuang. Setiap lurah di Kabupaten Jombang menyerahkan bahan-bahan makanan dan sayur-mayur untuk kepentingan tersebut. Hampir setiap hari truk-truk sisa pendudukan Jepang digunakan untuk mengangkut logistik ke garis depan pertempuran. Kanjeng Setjo sebagai Bupati Jombang kedua memegang jabatan tidak kurang dari 16 tahun. Selama kepemimpinan beliau dihabiskan untuk perjuangan, karena kurun

21

Wawancara dengan Bapak Raden Panji Darmodi, cucu Kanjeng Sepuh di ndalem Pesanggrahan, Jalan K.H. Ahmad dahlan, pada 30 September 2010, jam 21.30 WIB.

27

waktu 1930 hingga 1946 merupakan gencar-gencarnya revolusi fisik. Masa di mana pendudukan Jepang berlangsung, dilanjutkan proklamasi kemerdekaan, sedangkan di sisi lain Belanda ingin kembali menjajah Indonesia. Menjelang masa pensiun dan menjelang era Republik, Raden Adipati Arya Setjoadiningrat VIII mengabdikan hidupnya sebagai Residen di Surabaya sampai masa pensiun. Sebagaimana ayahanda Raden Adipati Arya Soeroadiningrat, ketika wafat pada tanggal 9 Juni 1963, jenazah Raden Adipati Arya Setjoadiningrat dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di Pulo Sampurno, Kecamatan Jombang.

28

3. Profil Bupati R. Boediman Rahardjo (Masa Bhakti 1946-1949)

R. Boediman Rahardjo adalah salah satu sosok Bupati Jombang dari unsur kepolisian. Ia tercatat sebagai perwira Polri pertama yang menduduki jabatan sebagai pemimpin Jombang. Kota santri ini mengalami puncak kepemimpinan daerah dari tiga unsur TNI/Polri dan orang sipil. Dari sekian unsur yang berasal dari TNI Angkatan Darat, kepolisian, dan dari warga sipil ini mencerminkan keberagaman yang unik dan tentu hal tersebut memberi warna dan kontribusi tersendiri dalam keberjalanan pemerintahan di Kabupaten Jombang. Masa-masa kepemimpinan Bupati R. Boediman Rahardjo, kondisi keamanan di tanah air belum stabil karena niat buruk Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia. Dan ia ditunjuk oleh Pemerintah Pusat di Jakarta bukan tanpa alasan, mengingat kemampuannya sebagai pemimpin di kesatuan Polri sangat disegani. Sehingga ia mendapat tugas memimpin Jombang sebagai basis pertahanan terakhir kaum Republikan pada saat agresi militer Belanda. Atas pertimbangan keamanan teritorial, pada awal kepemimpinan Bupati R. Boediman didirikanlah sebuah Akademi Perwira di Mojoagung. Daerah Mojoagung ini dianggap sebagai tempat strategis untuk menghadang Belanda yang datang dari arah Trowulan. Akademi Perwira ini di bawah kendali langsung Kementrian Pertahanan. Atau tepatnya Pangkowilhan atau Panglima Komando Wilayah Pertahanan II, Kementrian Pertahanan. Salah satu putera Jombang yang sukses sebagai lulusan Akademi ini adalah Jendral Himawan Sutanto, putera Muhamad, seorang asisten Wedana di Diwek.

29

Muhamad sendiri adalah seorang Daidanco (Komandan Militer se-Indonesia) di era pendudukan Jepang.22 Sebagai seorang pemimpin dari kesatuan yang tergolong elit pada masa itu, tidak mengherankan jika R. Boediman Rahardjo diberi amanat memimpin Jombang dengan memegang kendali daerah Mojoagung sebagai ibukota pemerintah darurat kabupaten. Terbukti kemudian pasukan agresor Belanda tidak mampu memasuki Jombang melalui Mojoagung. Sehingga mereka memilih jalan memutar dari arah Babat, Lamongan menuju Ploso, baru masuk Jombang sebagai tujuan utama. Pertempuran demi pertempuran terjadi antara prajurit Republikan atau para pejuang kemerdekaan dengan tentara Belanda yang ingin kembali menjajah. Tidak jarang penghadangan dilakukan dengan berbekal senjata seadanya, itupun hasil rampasan dari tentara pendudukan Jepang yang sudah dikalahkan sebelumnya. Laskar-laskar atau prajurit dari berbagai kesatuan bahu-membahu untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Dalam situasi demikian, kedudukan seorang pemimpin wilayah seperti Bupati R. Boediman menjadi cukup vital. Mengingat fungsinya selain sebagai pengayom masyarakat, juga penyedia kebutuhan logistik prajurit di medan pertempuran. Kemampuaan memenejemen kesatuan Polri mendorong Bupati R. Boediman melaksanakan tugas secara maksimal. Sehingga kulminasi dari sinergitas antar kekuatan dari elemen bangsa Indonesia benar-benar menjadi catatan penting sebagai bagian dari salah satu pioner pejuang demi menjaga keutuhan dan kemerdekaan bangsa Indonesia.

22

Wawancara dengan Joko Suparto (eks TRIP) di kediamannya di Kaliwungu Selatan Gg II, Jombang, pukul 10.30 WIB.

30

4. Profil R. Moestadjab Soemowidagdo (Masa Bhakti 1949-1950)

Ia merupakan Bupati yang memiliki fisik dan prinsip hidup seperti Bima dalam cerita pewayangan. Gelar kebangsawanan Raden di depan namanya menunjukkan bahwa dirinya masih keturunan darah biru. Sosok R. Moestadjab Soemowidagdo yang tinggi besar menjadikannya mudah dikenali. Sampai-sampai Suparto Brata seorang penulis Jawa menyebutnya dengan deskripsi yang tidak jauh dari kondisi fisik sang pemimpin: gagah ibarat Werkudara alias Bima.23 Kepemimpinan Bupati R. Moestadjab di Kabupaten Jombang memperteguh posisi strategis Jombang sebagai benteng pertahanan terakhir para pejuang Republikan. Karena letak Jombang yang berada di lintas batas yang menghubungkan kota-kota lain dari seluruh penjuru Jawa Timur, menjadikan kota ini sangat ideal dijadikan benteng pertahanan. Sehingga kesatuan-kesatuan pejuang seperti Laskar Hizbullah, Kompi Wanara pimpinan mantan Menteri Kehutanan Soedjarwo, batalyon Merak pimpinan mantan Gubernur Jawa Timur Soenandar Priyo Soedarmo, pernah bermarkas di Jombang. Masa 1949-1950 adalah periode perjuangan bangsa Indonesia menegakkan kemerdekaan. Belanda dengan berbagai dalih dan alasan ingin mencengkeram dengan kuku-kuku kolonialisnya di bumi pertiwi. Maka di era kepemimpinan R. Moestadjab Soemowidagdo adalah masa penentu keberlangsungan pemerintahan sesudahnya. Karena jika para pejuang yang berada di garis depan tidak kuasa menghadapi agresor Belanda, maka kemungkinan Kabupaten Jombang akan luluh-lantak dalam peristiwa agresi tersebut. Bupati R. Moestadjab Soemowidagdo adalah salah satu sosok Bupati Jombang yang bertangan dingin. Kepiawaiannya dalam memimpin Jombang di masa-masa awal Republik Indonesia, membuktikan bahwa Bupati R. Moestdjab sebagai sosok pemimpin23

Surabaya Post, 10 November 1976

31

pilihan di masa transisi. Transisi sebagai kepala daerah kabupaten yang sebelumnya di bawah kekuasaan penguasa Hindia Belanda.

Rumah dinas yang pernah ditempati Bupati Moestadjab di Jl. K.H. Wahid Hasyim Jombang

Meskipun hanya satu tahun memimpin Kabupaten Jombang masa bhakti 19491950, namun sepak terjangnya menjadi landasan bagi strategi kepemimpinan Kabupaten Jombang era sesudahnya. Paling tidak Bupati R. Moestadjab telah meletakkan kerangka acuan bagi para penggantinya. Mengingat dalam situasi yang tidak pasti tentunya diperlukan figur yang kuat secara prinsip dan idealistik. Sehingga sangat tepat dijadikan teladan bagi warga masyarakat yang dipimpinnya. Atas prestasi memimpin kota santri di Jombang, akhirnya pemerintah pusat menugaskan R. Moestadjab Soemowidagdo menjadi Walikota Surabaya. Di tempat tugas yang baru ini ia langsung tancap gas menjadi ketua pembangunan Tugu Pahlawan sebagai tetenger (penanda) peristiwa 10 Nopember Surabaya. Selain dikenal sebagai pemimpin yang disegani, R. Moestadjab Soemowidagdo juga memiliki kepedulian terhadap nasib para seniman. Mengenai hal ini bisa dibuktikan dengan diberikannya sebuah rumah atas tanggungannya kepada almarhum Cak Kandar salah satu seniman lukis Jawa Timur.24

24

Wawancara dengan Syahlan Husain (Sekretaris Umum Dewan Kesenian Jatim) di kantor Dewan Kesenian Jawa Timur di Jl. Wisata Menanggal Surabaya, pada Selasa, 9 November 2010, pukul 12.30 WIB.

32

5. Profil R. Istadjab Tjokrokoesoemo (Masa Bhakti 1950-1956)

Kondisi Republik Indonesia yang baru diproklamasikan pada tahun 1945 mengalami ujian yang tidak ringan. Kedatangan pasukan Sekutu yang diboncengi Belanda menjadi batu sandungan bagi negara yang baru berdiri. Situasi yang tidak menentu ketika itu juga melanda Jombang, meskipun konon tidak cukup berpengaruh pada kondisi perekonomian rakyat. Karena posisi Jombang sebagai penentu strategis basis pertahanan para pejuang. Di tengah ketidakpastian itulah muncul dua opsi besar di Republik ini, yaitu golongan cooperation dan kubu non cooperation. Artinya mereka yang pro Belanda dan golongan yang anti penjajah Belanda. Akhirnya dari kemunculan kubu-kubu ini mendorong pemerintah pusat untuk selektif menentukan para pemimpin di daerah termasuk para bupatinya. Mereka yang sebelumnya dikenal sangat pro Belanda akan diberhentikan dari jabatan, bahkan dibuang jauh dari lingkaran pemerintahan. Karena komitmen loyalitas kebangsaannya dianggap meragukan. Beruntung akhirnya Jombang mendapat jatah seorang pemimpin dari kalangan non cooperation atau tepatnya pegawai sipil pamongpraja di luar pegawai yang diangkat Belanda. Ia adalah R. Istadjab Tjokrokoesoemo yang dikenal sebagai Republikan sejati dan tokoh yang memiliki nyali menentang penjajahan Belanda. Ia akhirnya cukup dikenal sebagai bupati di era perjuangan.25 Sepak terjang Bupati R. Istadjab Tjokrokoesoemo ternyata diwarisi oleh salah seorang putranya, Ismanoe, yang memilih menjadi pejuang yang bertempur di garis depan. Ibarat buah jatuh tak jauh dari pohonnya, Bupati R. Istadjab dan putranya Ismanoe adalah dua sisi mata uang bagi sejarah bangsa Indonesia yang muncul dari Kabupaten25

Wawancara dengan Joko Suparto (eks TRIP) di Kaliwungu Selatan Gg. II Jombang, pada tanggal 15 Desember 2010, pukul 10.45 WIB.

33

Jombang. Satu panggilan jiwa yang digerakkan oleh pemilik segala maha: Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai bupati pejuang, maka Bupati Istadjab membuka penuh pintu rumah dinasnya jika para pejuang membutuhkan. Rumah dinas yang kini masih bisa disaksikan di sebelah selatan Ringin Conthong Jombang ini adalah saksi bisu proses perjuangan arek-arek Jombang dalam menentang penjajahan Belanda.

Rumah dinas yang pernah ditempati Bupati Istadjab di Jl. Wahid Hasyim Jombang

Masa pengabdian Bupati Istadjab di Jombang membawa pengaruh pada karirnya di kemudian waktu. Karena jabatan baru sebagai Walikota Surabaya sudah menunggu. Waktu sekitar enam tahun memimpin kota santri menjadi pijakan untuk selanjutnya bertugas memimpin kota terbesar kedua di Indonesia itu. Kini setelah tahun demi tahun terus berganti dan zaman kian berubah, segores catatan sejarah yang melibatkan sepak terjang para pemimpin Jombang masa lalu adalah dokumen yang wajib diketahui dan diwariskan kepada generasi muda. Agar tujuan pengajaran sejarah tidak melenceng dan tenggelam. Menurut R. Moh. Ali, sejarah adalah sarana mengenalkan orang yang berjuang kepada orang yang sedang berjuang, benarbenar bisa diwujudkan. Termasuk upaya mewarisi nilai-nilai kejuangan para pendahulu. Sebagaimana diingatkan founding fathers atau pendiri negara Bung Karno; Jas Merah! Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.

34

6. Profil Bupati M. Soebijakto (Masa Bhakti 1956-1958 dan 1960-1961)

Salah satu bupati era transisi pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru yang dimiliki Kabupaten Jombang adalah M. Soebijakto. Ia adalah sosok bupati yang memiliki tingkat kematangan politik yang teruji. Sehingga tidak mengherankan jika ia menjabat dua kali sebagai Bupati Jombang, yaitu masa bhakti tahun 1956-1958 dan masa bhakti kedua 1960-1961. Hal yang jarang ditemui seorang bisa memegang jabatan sampai dua kali pada masa yang serba sulit itu. Ia dilahirkan di tengah kultur Madura, tepatnya di daerah Situbondo, Jawa Timur.26 Masa kecilnya kental dengan suasana masyarakat Madura yang sangat agamis. Selain itu daya juang dan etos kerja yang tinggi yang menjadi trademark penghuni pulau garam juga melekat erat pada diri M. Soebijakto. Hal tersebut kelak sangat mempengaruhi pengambilan keputusan di era transisi pemerintahan yang memerlukan strategi dan pola kebijakan yang taktis, agar pemerintahan tetap tegak berdiri. Selain sebagai pejabat yang disegani di lingkungan kerja, ia juga dikenal sebagai sosok yang menjunjung tinggi silaturahmi dan kekerabatan. Tidak mengherankan kalau ia selalu ramah pada setiap orang, apalagi terhadap kolega terdekatnya. Salah satu fakta yang diakui oleh Bapak Bupati R. Soedirman bahwa ia mendapat kehormatan kala pesta pernikahannya dihadiri oleh Bupati M. Soebijakto. Selain sebagai kepala daerah, Bupati M. Soebijakto juga dikenal sebagai aktifis Partai Nasional Indonesia (PNI). Sebuah organisasi politik yang dibangun oleh Bung Karno sebagai salah seorang founding fathers bangsa Indonesia. Sehingga paham-paham kebangsaan yang dipopulerkan Presiden Soekarno melekat erat dalam keseharian sosok M. Soebijakto. Paham yang dikenal sebagai Marhaenisme itu menjunjung tinggi pembelaan terhadap kaum lemah atau wong cilik.

26

Wawancara dengan Ibu Suudiyah R. Soedirman di rumahnya di Jl. Dharma Husada Indah Surabaya, 13 Desember 2010, pukul 13.00 WIB.

35

Pemimpin Jombang yang ramah ini seolah melengkapi kharismanya sebagai pemimpin daerah berjuluk kota santri. Apalagi pertemuan dua aliran kebudayaan besar, yaitu Mataraman dan Arek menimbulkan sifat kritis tetapi egaliter dan senantiasa terbuka untuk berdialog dengan masyarakatnya. Sehingga kepemimpinan Bupati M. Soebijakto sangat tepat diperuntukkan bagi Kabupaten Jombang. Prestasi memimpin daerah di era transisi ternyata tidak mengurangi perannya menjadi kepala rumah tangga. Bahkan salah satu menantunya, Anton Sujarwo, pernah berhasil menduduki jabatan Kapolri. Prestasi demi prestasi ditorehkan dan jabatan demi jabatan disandang oleh Bupati M. Soebijakto. Rupanya pengabdiannya memimpin Jombang mendapat apresiasi positif dari pemerintah Provinsi Jawa Timur maupun pemerintah pusat. Salah satunya adalah posisi sebagai Pembantu Gubernur Jawa Timur di Madiun, telah mengantarkan puncak karirnya setelah memimpin Jombang. Seperti peribahasa harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama besar. Semoga sumbangsihnya dalam memimpin Kabupaten Jombang menjadi sebuah catatan emas yang mewarnai perjalanan kota santri sebagai bagian integral Bangsa Indonesia.

36

7. Profil Bupati R. Soedarsono (Masa Bhakti 1958-1962)

R. Soedarsono merupakan Bupati Jombang yang ke tujuh. Ia menjabat sebagai bupati pada periode 1958 hingga 1962. Soedarsono lahir di Magetan 24 September 1921, tepatnya di Desa Sumber Rambe, Kecamatan Karangrejo. Ayahnya bernama Abdullah Martodirjo, seorang Kepala Desa yang berpengaruh kala itu. Soedarsono terlahir sebagai anak ke lima dari enam bersaudara. Lazimnya seorang Kepala Desa, ayah Soedarsono mempunyai sawah yang cukup luas, dan punya banyak hewan ternak.27 Meski anak dari keluarga berpangkat, masa kecil Soedarsono tidak jauh beda dengan anak desa pada umumnya. Berkecipak dengan lumpur di sawah, bermain petak umpet, hingga mandi di sungai. Tidak jarang, Soedarsono kecil juga ikut menggembalakan kerbau di sawah sembari bermain jerami. Kakeknya bernama K.H. M. Tauhid, seorang ulama desa setempat. Dari kakeknya itulah ia mempelajari banyak ilmu agama, mulai dari salat hingga mengaji. Berdasarkan keterangan dari keluarganya, jika ditarik garis ke atas, K.H. M. Tauhid masih ada keturunan dari seorang pejuang yang juga sahabat dari Pangeran Diponegoro, yakni Sentot Alibasyah Prawirodirjo. Zaman penjajahan Belanda tidak sembarang orang bisa mengenyam pendidikan. Namun tidak begitu dengan Soedarsono yang notabene anak seorang Kepala Desa. Ia memulai pendidikannya di HIS (Sekolah dasar tujuh tahun berbahasa Belanda atau Hollandsch Inlandsche School) Magetan dan lulus pada tahun 1938. Setelah itu ia melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yakni MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau kini SMP). Saat bersekolah di MULO, Soedarsono harus meninggalkan

27

Wawancara dengan Endang Sri Ernawati (anak ketiga R. Soedarsono) di Jalan Iskandar Muda No 12, Wersah Jombang, pada Minggu, 24 Oktober 2010.

37

kampung halamannya. Karena sekolah setingkat SMP itu berada di kota Malang. Di sekolah itu ia menuntut ilmu selama tiga tahun, dan pada tahun 1941 ia dinyatakan lulus. Soedarsono muda tak pernah lelah mencari ilmu. Selepas dari MULO ia melanjutkan pendidikannya di Kweekschool (sekolah pendidikan guru pada zaman Belanda) di Malang. Di sekolah itulah ia mengenal seorang gadis asal Tulungagung yang kelak menjadi istrinya, yakni Roro Oentari. Tepat tahun 1941, Soedarsono tamat dari Kweekschool. Selanjutnya, ia mengabdikan diri sebagai guru di SR (Sekolah Rakyat) VI Caruban, Madiun. Pria asal Desa Sumber Rambe ini memulai karirnya menjadi guru terhitung mulai 1 September 1942. Namun sekitar satu tahun kemudian, atau tepatnya 30 Maret 1943, ia pindah menjadi juru bahasa di Kediri Syu Gyugun Dai I Daidan (Tentara sukarela bentukan Jepang ). Beberapa bulan kemudian, atau tepatnya 3 Oktober 1943, Jepang membentuk Tentara Pembela Tanah Air (PETA). Bersama para pemuda seusianya, Soedarsono ikut mendaftarkan diri dalam wadah tersebut. Layaknya seorang militer, ia dilatih teknik memegang senjata hingga cara menembak oleh Jepang. Namun sekitar pertengahan Agutus 1945, muncul permasalahan dalam diri Soedarsono. Ia ditangkap Jepang dengan tuduhan terlibat pemberontakan PETA Blitar pada 14 Februari 1945. Selanjutnya, ia bersama anggota PETA lainnya dibawa ke Cirebon. Rencananya, dalam rentang 1 hingga 15 Agustus 1945, para tawanan ini hendak dihukum mati. Namun takdir berbicara lain. Belum sempat eksekusi dilakukan, peta politik perang dunia II berubah. Tepat 14 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Kondisi itu berakibat dibebaskannya para tawanan Jepang, termasuk Soedarsono.

Pasca Kemerdekaan

Usai proklamasi dikumadangkan oleh Dwi Tunggal Soekarno Hatta, eks tentara PETA dimasukkan dalam wadah BKR (Badan Keamanan Rakyat). Begitu pula dengan Soedarsono, yang notabene pernah mendapatkan pendidikan militer PETA. Pria kelahiran Magetan ini menggabungkan diri di BKR Tulungagung. Namun hal itu dijalaninya hanya sekitar satu tahun. Karena pada 11 November 1946, ia dipercaya menjabat sebagai Kabag Umum (Kepala Bagian Umum) Jawatan Penerangan (Japen)

38

Kabupaten Tulungagung. Kejujuran dan kesederhanaannya, membuat karir Soedarsono terus menanjak. Pada tahun yang sama, Soedarsono mengakhiri masa lajangnya. Ia menyunting anak seorang pejabat Tulungagung, yang bernama Roro Oentari. Pernikahan itu dilakukan pada 25 Mei 1946. Tiga tahun kemudian ia diangkat sebagai pemimpin sementara Japen Kabupaten Tulungagung. Hal itu sesuai surat penetapan yang ditanda tangani Pemimpin Umum Jawatan Penerangan Karesidenan Kediri, Hardjosoemarmo. Dalam surat tertanggal 20 Oktober 1949 tersebut diterangkan, pengangkatan Soedarsono itu bersifat sementara. Alasannya, pemimpin sebelumya, Koeswo, mundur dari jabatan pemimpin. Meski menjabat pemimpin Japen, bukan berarti perjuangan Soedarsono dalam rangka mempertahankan kemerdekan RI padam. Saat agresi Belanda I meletus, 21 Juli 1947, ia kembali memanggul senjata. Soedarsono ikut bergerilya dengan pejuang lainnya guna menghalau Belanda yang ingin menguasai RI kembali. Begitu pula saat Belanda melakukan agresi militer II, 19 Desember 1948. Puncaknya, bersama CMKT (Comando Militer Kabupaten Tulungagung) yang dipimpin Mayor Sastroatmodjo, ia berhasil merebut kembali Tulungagung dari tangan Belanda. Usai KMB (Konferensi Meja Bundar), Desember 1949, sebagai Japen ia mendapat tugas menghadiri konferensi Dinas Kementerian Penerangan RI di Yogyakarta. Konferensi itu dihadiri oleh Kepala Japen Provinsi/Kabupaten dan Kepala studio (Radio RRI) se- Jawa. Dalam forum itu, Prof. DR Soepomo, salah satu delegasi RI, memberikan penjelasan hasil dari KMB yang baru saja digelar di Denhag, Belanda. Harapannya, hasil perundingan itu disosialisasikan di masing-masing daerah. Karir Soedarsono terus bergulir. Tanggal 1 Februari 1950, ia dipindah dari Tulungagung dan menjabat sebagai Kepala Japen Kabupaten Jombang. Kepercayaan menjabat sebagai Kepala Japen Kabupaten Jombang itu diemban Soedarsono selama delapan tahun. Yakni, mulai 1 Februari 1950 hingga 21 Maret 1958. Secara otomatis, seluruh keluarganya yang ada di Tulungagung juga diboyong ke Jombang. Saat itu, Soedarsono dan istrinya, Roro Oentari, tinggal di sebuah rumah kontrakan di Jalan Setya Budi. Di rumah itu pula mereka membesarkan ke empat anaknya.

39

Lewat SK Mendagri Diangkat Menjadi Bupati Meski sejak kecil tidak pernah punya cita-cita menjadi seorang bupati, namun garis hidup berbicara lain. Soedarsono mencapai puncak karirnya pada 22 Maret 1958. Ia diangkat menjadi Bupati Jombang yang ke tujuh, menggantikan bupati sebelumnya, M Soebijakto. Hal itu ditandai dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri, Sanoesi Hardjadinata. Dalam surat keputusan itu dijelaskan, sesuai dengan rapat yang digelar oleh DPRD Jombang tanggal 1 Maret 1958, mereka menyetujui Soedarsono menjadi Kepala Daerah (Bupati) Tingkat II Jombang. Seminggu kemudian, hasil rapat DPRD itu dikirim ke Menteri Dalam Negeri, Sanoesi Hardjawinata, untuk dimintakan pengesahan. Gayungpun bersambut. Menteri Dalam Negeri tidak keberatan atas usulan itu. Selanjutnya, pada 22 Maret 1958 terbitlah Surat Keputusan Menteri yang intinya mengesahkan Soedarsono menjadi bupati. Saat menjabat sebagai bupati, karakter sederhana, disiplin, dan tegas, merupakan sesuatu yang lekat dengannya. Bukan hanya itu, untuk menambah wawasan, bupati ke tujuh ini selalu rajin membaca buku serta surat kabar. Buku koleksinya yang hingga kini masih terawat misalnya, karya besar mantan Presiden Soekarno yang berjudul Di Bawah Bendera Revolusi (DBR). Kebiasaan yang lain yang tidak pernah lepas dari Soedarsono adalan sarapan berita. Setiap pagi sebelum berangkat ke kantor kabupaten, ia selalu menyempatkan diri membaca koran. Jika ada sesuatu yang dianggap penting, maka ia akan mengambil gunting. Berita tersebut dipotong kemudian dikliping. Menjaga kesehatan, berolahraga, hidup bersih, juga merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan dalam diri bapak empat anak ini. Maka tidak heran, saat pagi buta ia sudah bersih-bersih rumah. Selanjutnya, ia mengeluarkan sepeda kumbang merk Hercules miliknya. Dengan sepeda itulah ia berkeliling kota. Selain berolahraga, hal tersebut dilakukan untuk memantau perkembangan masyarakat. Kegiatan berolahraga itu semakin padat jika memasuki hari Kamis dan Minggu. Wajar saja, bupati ke tujuh ini juga paling hobby dengan olahraga tenis. Bupati Soedarsono meyakini, selain untuk menjaga kesehatan, hal-hal yang bersifat informal semisal olahraga, merupakan salah satu media untuk membangun komunikasi dengan jajaran di bawahnya. Dengan tenis itu pula hubungan emosi antara atasan dan bawahan bisa lebih terjaga.

40

Saat menjabat sebagai orang nomor satu di Jombang, pria asli Magetan ini juga dikenal cukup sederhana. Betapa tidak, saat itu Soedarsono dan keluarganya masih mengontrak rumah di Jalan Setya Budi Jombang. Sedangkan kendaraan yang ada di rumahnya hanya ada satu buah sepeda kumbang. Praktis, ke empat anaknya harus rela bergantian jika ingin bepergian dengan sepeda. Di ujung masa tugasnya, Soedarsono baru membeli rumah di Jalan WR Supratman No 4 Jombang. Kini rumah itu masih terawat dan ditempati oleh anaknya yang nomor satu, Hj Endang Sri Undarti. Jabatan Soedarsono berakhir pada 5 Januari 1962. Meski begitu ia belum pensiun. Mantan bupati ini masih sempat menduduki beberapa pos strategis di Pemkab, semisal menjabat sebagai Wedono, dan Patih (setingkat Sekretaris Daerah) pada tahun 1971. Terhitung sejak 1 Oktober 1971, mantan bupati ini pindah tugas lagi. Oleh pemerintah pusat ia diberi kepercayaan menjabat sebagai Kepala Bagian Pemerintahan Kabupaten Mojokerto. Posisi itu ia pegang hingga masa pensiun, yakni tahun 1977. Usai pensiun, pemikiran Soedarsono masih banyak dibutuhkan masyarakat. Selanjutnya, ia menjabat sebagai Sekretaris DPD II Golkar Kabupaten Mojokerto. Pemilu pertama Orde Baru pun digelar pada tahun itu. Walhasil, Soedarsono terpilih menjadi wakil rakyat dan masuk dalam FKP (Fraksi Karya Pembangunan). Jabatan itu sesuai dengan SK (Surat Keputusan) Gubernur Jawa Timur, Soenandar Prijosoedarmo, tertanggal 4 Juli 1977. Dalam surat dengan Nomor: PM 012.4/40/1977/SK itu dijelaskan bahwasannya Soedarsono ditetapkan menjadi anggota DPRD Kabupaten Mojokerto bersama 39 anggota dewan lainnya. Meski bertugas di Mojokerto, namun ia masih tetap pulang ke rumahnya di Jalan WR. Supratman Jombang. Secara otomatis, selama lima tahun menjabat sebagai wakil rakyat, Soedarsono harus bolak-balik dari Jombang ke Mojokerto. Karena kesederhanaan itu pula, ia lebih memilih naik bus saat berangkat dinas. Jabatan terakhir yang disandang oleh suami dari Roro Oentari ini adalah Ketua LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia) cabang Kabupaten Jombang. Amanah itu dilakoninya pada tahun 1986. Selain menjabat Ketua LVRI, ia juga aktif di DPD Golkar Jombang dengan posisi sekretaris. Sedangkan di bidang keagamaan, mantan Bupati Jombang ini aktif sebagai takmir Masjid Al Ikhlas yang ada di Jalan WR Supratman. Di Masjid itu juga ia kerap memberikan ceramah-ceramah keagamaan.

41

Rumah R Soedarsono di Jl. W.R. Supratman No.4 Jombang

Memang benar kata orang bijak, sekat antara hidup dan mati tak setebal kain kafan. Begitu juga dengan Soedarsono, pada hari Selasa 6 Mei 1997 bapak empat anak ini dipanggil menghadap Ilahi. Bupati ke tujuh ini meninggal di usia yang ke 76 tahun di RS Dokter Soetomo Surabaya. Kabupaten Jombang pun berduka. Padahal sebelumnya, ia masih memberikan ceramah di Masjid Al Ikhlas sehari sebelumnya. Di tengah-tengah ceramah, Soedarsono pingsan. Oleh para jamaah yang hadir ia dilarikan ke RSUD Jombang. Karena kondisinya yang terus memburuk, selanjutnya dirujuk ke Surabaya. Di rumah sakit terbesar di Jawa Timur itulah ia meninggal. Soedarsono dimakamkan di TPU (Tempat Pemakaman Umum) Pulo Sampurno Jombang. Seluruh kerabat, pejabat, mantan bupati, serta masyarakat umum ikut melepaskan kepergiannya. Ia meninggalkan empat orang anak dan sembilan orang cucu. Empat orang anak itu masing-masing; Endang Sri Undarti, Edi Raharjo, Endang Sri Ernawati, serta Endang Sri Ruliati.

42

8. Profil Bupati R. Hassan Wirjoekoesoemo (Masa Bhakti 1962-1966)

R. Hassan Wirjokoesoemo adalah putera keluarga bangsawan di Pamekasan, Madura. Masa kecilnya dilalui penuh keceriaan anak-anak khas pulau garam, ceria dan penuh warna, sebagaimana diungkapkan penyair Clurit Emas Zawawi Imron: Madura Kau adalah Lautku! Yang bisa diartikan bahwa Madura adalah sawah ladang kehidupan bagi warga masyarakatnya yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai nelayan. Lagi-lagi cadasnya karang Madura dan tingginya ombak di lautnya telah melahirkan seorang R. Hassan sebagai calon pemimpin masa depan. Sebagai seorang Bupati, R. Hassan Wirjokoesoemo adalah sosok bupati berotak cemerlang dan bervisi ke depan. Salah satu putera terbaik yang pernah dimiliki Kabupaten Jombang, karena ia adalah pejabat pertama yang menerima pendidikan khusus kepamongprajaan. Ia mengenyam pendidikan khusus sebagai siswa pamongpraja zaman Belanda atau lebih dikenal dengan sebutan MOSVIA.28 Dan ia tercatat sebagai siswa berprestasi di lembaga pendidikan yang cukup bergengsi itu. Sebagai salah satu lulusan terbaik MOSVIA, sepak terjang Bupati R. Hassan diwujudkan dengan menerapkan kepemimpinan yang berpihak pada rakyat kecil, serta tetap tidak meninggalkan hal-hal baik yang sudah dirintis oleh para senior pemimpin Jombang sebelumnya. Sehingga semakin menguatkan posisi Kabupaten Jombang sebagai urat nadi utama perekonomian maupun pengembangan agama dan budaya. Pola-pola pengembangan kepemimpinan yang bertolak dari prinsip pamong mulai diberlakukan. Praktek pangreh praja atau penguasa sengaja dihindari semaksimal mungkin. Dengan jalan begitu konsep bersatunya rakyat dengan pemimpin menjadi satu hal yang tidak bisa ditawar lagi. Prinsip-prinsip ini selaras dengan usia Republik yang menginjak remaja, 17 tahun sejak diproklamasikan tahun 1945.

28

Wawancara dengan Bapak R. Soedirman di rumahnya di Jl. Dharma Husada Indah Surabaya, pada 13 Desember 2010, pukul 12.45 WIB.

43

Sebagaimana Bupati M. Soebijakto, R. Hassan Wirjokoesoemo adalah salah satu kader Partai Nasional Indonesia (PNI) yang cukup militan. Ia adalah Soekarnois sejati yang meletakkan kepentingan bangsa di atas segala-galanya melebihi kepentingan individu maupun kelompok. Rupanya api revolusi yang terus dikobarkan oleh Sang Proklamator Bung Karno mampu merasuk hingga ke darah dan daging seorang R. Hassan. Ajaran-ajaran tentang kebangsaan, tentang keyakinan dan toleransi benar-benar telah memupuk jiwa kepemimpinannya. Tetapi seperti peribahasa air susu dibalas dengan air tuba, rupanya kejujuran dan ketegasan sosok Bupati R. Hassan Wirjokoesoemo berbuah pahit. Sebab konon ia berseberangan pandangan dengan penguasa orde baru, dan tentu saja masih banyak yang belum tergali dari sosok yang terbilang sunyi ini, si pendukung fanatis Bung Karno yang berdiri tegak di atas kaki spirit Marhaenisme. Beruntung sekali Kabupaten Jombang dipimpin oleh orang-orang pilihan, karena suri tauladannya akan menjadi catatan abadi sejarah kota santri. Apapun karya yang telah ditorehkan. Termasuk sosok Bupati R. Hassan Wirjokoesoemo yang telah memberi warna pada perjalanan panjang Kabupaten Jombang.

44

9. Profil Bupati Ismail (Masa Bhakti 1966-1973)

Ia adalah sosok Bupati Internasional, karena dilahirkan dari pasangan ayah Jawa Tengah, Indonesia dan ibu Melayu, Singapura. Latar belakang keluarga berbeda bangsa inilah yang mencetak seorang Ismail menjadi pemimpin yang memiliki daya jangkau visioner terkait pembinaan generasi muda sebagai aset bangsa masa depan. Hal ini dibuktikan dengan sepak terjang beliau yang mengutamakan jalur pembinaan generasi muda ketika memimpin Jombang. Salah satu pilihan pembangunan kader masa depan itu dilakukan Bupati Ismail melalui organisasi Gerakan Pramuka.29

Pak Kardjan (adik ipar Bupati Ismail) saat diwawancarai di rumahnya

Mengawali karir sebagai seorang Polisi Istimewa zaman pendudukan Jepang, Ismail seolah menempa diri untuk menghadapi tugas yang diembannya di kemudian hari. Jabatan Polisi Istimewa terus disandang hingga kesatuan berubah menjadi Mobrig atau Mobil Brigade, kemudian berubah lagi menjadi Brimob atau Brigade Mobil. Akhirnya29

Wawancara dengan Bapak Kardjan (usia 70 tahun, adik ipar Bupati Ismail) di Geneng gang II (jalan Madura) pada hari: Senin, 01 Nopember 2010, pukul 11.00 WIB.

45

beliau bertugas di Pekanbaru, Riau sebelum menjabat sebagai Bupati Jombang periode 1966-1973. Rupanya amanat menduduki jabatan sebagai pemimpin Jombang tidak sertamerta diperoleh dengan mudah, karena Ismail harus menyisihkan enam kandidat lainnya yang sama-sama dipromosikan oleh kesatuan masing-masing. Sebelum menjadi pejabat resmi Bupati Jombang, beliau menduduki jabatan sebagai Danres atau Komandan Kepolisian Resort Jombang (sekarang Kapolres). Pada awalnya amanat penugasan sebagai Bupati dijalani sebagai caretaker atau pengganti antar waktu karena terjadi kekosongan jabatan Bupati Jombang.30 Masa transisi dari Orde Lama menuju Orde Baru menyebabkan kondisi politik maupun perekonomian tidak stabil. Menghadapi hal demikian Bupati Ismail memiliki kiat memperbanyak pelatihan berbagai jenis keterampilan, seperti pelatihan menjahit, memasak, pertanian, peternakan, perkebunan, dan lain-lain. Keseluruhan pelatihan itu dikemas dalam kegiatan Kepramukaan atau Kepanduan menurut istilah pada waktu itu. Dalam masa kepemimpinan beliau Gerakan Pramuka sebagai lembaga pencetak kader pemimpin bangsa mendapat tempat yang layak di hati masyarakat, khususnya warga Kabupaten Jombang. Melalui tangan dingin beliau pulalah Jombang tercatat dengan tinta emas sebagai daerah subur organisasi Gerakan Pramuka. Berbagai upaya dilakukan agar Gerakan Pramuka diterima oleh warga masyarakat sebagai pendidikan alternatif melengkapi lembaga pendidikan formal yang ada. Tidak kurang dari 25 desa se-Kabupaten Jombang didirikan Gugus Depan Desa sebagai ujung tombak terdepan pengembangan Pramuka. Hasilnya kader-kader pramuka militan cukup banyak dijumpai di desa-desa tersebut. Antara lain Desa Plandi, Jombang. Akhirnya upaya ini mendapat perhatian dari badan kepanduan dunia yang pernah berkunjung ke Jombang. Pengembangan pramuka di lini terdepan diwujudkan dengan membentuk kader pramuka setingkat satuan karya. Satuan karya yang akhirnya disingkat Saka ini bertujuan untuk menampung generasi muda sesuai bakat, minat, dan kemampuan yang dimilikinya. Kalau orang mengenal Satuan Karya Taruna Bumi di bawah binaan Departemen Pertanian, maka diakui atau tidak embrio Satuan Karya Taruna Bumi berawal di

30

Wawancara dengan Bapak Kistam Mulyono (adik ipar Bupati Ismail) di Perumahan Jombang Permai , Jl. Alpukat No.18, hari Kamis, 4 Nopember 2010, pukul 10.26 WIB.

46

Kabupaten Jombang melalui instruksi langsung Bupati Ismail.31 Sejumlah instruktur yang merangkap pengawas lapangan pelaksanaan program Gerakan Pramuka disiapkan. Tidak jarang instruktur itu dijabat langsung para polisi di tingkat kepolisian sektor atau kecamatan. Tugasnya antara lain melakukan pendampingan dan arahan-arahan yang diperlukan warga masyarakat selama mengikuti pelatihan Gerakan Pramuka. Era pemerintahan Orde Baru yang ditandai dengan penerapan tahapan pembangunan yang lebih dikenal dengan PELITA, atau singkatan dari Pembangunan Lima Tahun dan REPELITA, kependekan dari Rencana Pembangunan Lima Tahun, antara lain direalisasikan melalui pemerataan potensi melalui program transmigrasi. Partisipasi generasi muda Pramuka di Kabupaten Jombang dalam program tersebut berupa pengiriman transmigran pemuda Pramuka ke wilayah Lampung. Tidak kurang dari seratus pemuda Pramuka asal kota santri Jombang dikirim ke lokasi transmigrasi. Hal ini berkat dorongan Bupati Ismail yang menantang generasi muda sebagai pioner pembangunan bangsa berpartisipasi melalui program transmigrasi. Terbukti kemudian tidak kurang dari tokoh Lampung mulai setingkat camat hingga anggota DPRD adalah kader muda Pramuka yang dikirim oleh Bupati Ismail ketika itu. Untuk di Jombang salah satu bukti peran Bupati Ismail dalam pengembangan Gerakan Pramuka adalah dibangunnya Sanggar Pramuka di Taman Kebonrojo, Jombang. Ismail menikah dengan seorang gadis Surabaya bernama Saminah, tepatnya di jalan Pakis, Surabaya. Dari pernikahan tersebut lahir empat puteri-putera, antara lain; Istrining Rahayu atau lebih dikenal dengan sebutan Mbak Ning (tinggal di Jakarta), Ismiyanto berdomisili Jakarta, Istrining Rochanah tinggal di Gresik, dan Isminaryono bermukim di Tulungagung. Latar belakang keluarga antar bangsa serta pendidikan kedisiplinan yang diperoleh di kepolisian menyebabkan Bupati Ismail dikenal cukup tegas, bahkan cenderung keras pada awal-awal memimpin Jombang. Untuk menerapkan disiplin dan etos kerja yang tinggi di lingkungan kantor pemerintah daerah Kabupaten Jombang, beliau menerapkan hukuman jemur badan pada setiap pegawai negeri sipil di lingkup pemerintah daerah yang terbukti terlambat masuk kantor, dalam bahasa Jombang dikenal

31

Wawancara dengan Kak Sukardi, salah satu pembina pramuka di Kwartir Cabang Gerakan Pramuka Jombang, di Desa Plandi, pada 26 September 2010, pukul 10:00 WIB.

47

dengan istilah dipares atau dijejer. Hukuman ini berlaku pada seluruh pegawai, meskipun dari lin