Top Banner
PEMBUATAN BIODIESEL BERBAHAN DASAR BIJI BINTARO Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah biofuel yang diampu oleh Dr.Rurini Retnowati M.Si. Disusun Oleh: Kelompok 5 Nurul Khikmah (115090200111005) Yulia Nur Isnaini (115090201111021) Aulya Vidiana Ingeswari (115090207111011) M. FaJar Wicaksono (115090207111013) Roirotul Rodiyah (115090213111005) JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA 1
38

Biodiesel Biji Bintaro

Dec 01, 2015

Download

Documents

PEMBUATAN BIODIESEL BERBAHAN DASAR BIJI BINTARO
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Biodiesel Biji Bintaro

PEMBUATAN BIODIESEL BERBAHAN DASAR BIJI BINTARO

Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah biofuel yang diampu oleh

Dr.Rurini Retnowati M.Si.

Disusun Oleh:

Kelompok 5

Nurul Khikmah (115090200111005)

Yulia Nur Isnaini (115090201111021)

Aulya Vidiana Ingeswari (115090207111011)

M. FaJar Wicaksono (115090207111013)

Roirotul Rodiyah (115090213111005)

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2012

KATA PENGANTAR

1

Page 2: Biodiesel Biji Bintaro

Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa yang telah memberi taufik dan

hidayah kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas terstruktur Mata Kuliah

Biofuel dengan judul “Pembuatan Biodiesel Berbahan Dasar Biji Bintaro” ini dengan baik.

Tanpa keberkatan dari Allah Yang Maha Esa, kami tak dapat menyelesaikan tugas ini tepat

waktu.

Kami selaku mahasiswa Kimia Fakultas MIPA Universitas Brawijaya mengucapkan

terima kasih kepada Ibu Rurini Retnowati selaku dosen pengampu yang telah membimbing

kami dalam penyusunan makalah ini dengan baik.

Makalah ini disusun sedemikian rupa agar dapat bermanfaat dalam menambah

khasanah pengetahuan tentang pembuatan biodiesel dari bahan alami, serta dapat

mengaplikasikan pembuatan biodiesel ini.

Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu. Makalah ini memiliki

kekurangan yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun

diperlukan untuk perbaikan makalah ini. Harapan kami semoga menghasilkan manfaat

berganda (multiplayer effect) bagi semua pihak.

Malang, 17 Desember 2012

Penyusun

2

Page 3: Biodiesel Biji Bintaro

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………….........

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….

DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………………………

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………………

1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………………..

1.3 Tujuan………………………………………………………………………………….

1.4 Manfaat………………………………………………………………………………..

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biodiesel………………………………………………………………………………..

2.2 Proses Pembuatan Biodesel scara Umum………………………………………………

2.3 Bintaro…………………………………………………………………………………

BAB III. METODOLOGI

3.1 Proses Ekstraksi Minyak Nabati Biji Bintaro………………………………………….

3.2 Proses Pemurnian Minyak Nabati Biji Bintaro…………………………………………

3.3 Pembuatan Biodiesel dari Minyak Nabati Biji Bintaro………………………………..

BAB IV. PEMBAHASAN

4.1 Proses Ekstraksi Minyak Nabati dari Biji Buah Bintaro…………………………........

4.2 Proses Pemurnian Minyak Nabati dari Biji Bintaro………………………………….…

4.3 Proses Pembuatan Biodiesel dari Minyak Nabati yang Dimurnikan dari Biji Bintaro…

4.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produk Biodiesel yang Berbahan Dasar Minyak

Nabati Biji Buah Bintaro………………………………………………………………..

4.5 Spesifikasi Biodiesel yang Dihasilkan dari Minyak Nabati Biji Buah Bintaro…………

BAB V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan……………………………………………………………………………...

5.2 Saran……………………………………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………...

3

Page 4: Biodiesel Biji Bintaro

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Diagram Proses Pembuatan Biodiesel………………………………………

Gambar 2. Mekanisme reaksi transesterifikasi trigliserida dengan methanol………….

Gambar 3. Biji bintaro…………………………………………………………………..

4

Page 5: Biodiesel Biji Bintaro

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada awal abad ke-21 ini, kebutuhan energi yang berasal dari minyak gas sangatlah

tinggi. Hal ini terjadi karena konsumsi masyarakat terhadap minyak gas juga sangat

tinggi. Apalagi saat ini semakin banyak mesin-mesin atau alat-alat yang menggunakan

minyak gas sebagai bahan bakarnya. Sebenarnya kebutuhan energi yang besar tersebut

sangatlah wajar karena perkembangan ilmu teknologi didunia ini juga sangat berkembang

pesat. Akan tetapi, minyak gas yang telah digunakan selama bertahun-tahun untuk

mencukupi kebutuhan energi tersebut jumlahnya terbatas. Hal ini disebabkan karena

bahan bakar yang digunakan selama ini merupakan bahan bakar yang terbuat dari fosil

hewan yang terkubur selama jutaan tahun didalam tanah yang keberadaannya tidak dapat

diperbaharui.

Persediaan minyak gas yang berasal dari fosil hewan yang tidak imbang dengan

kebutuhan energi yang berasal dari minyak gas saat ini selalu menjadi pembicaraan yang

hangat ditengah masyarakat saat ini. Hal ini disebabkan harga minyak gas yang dulu

sangat murah menjadi sangat mahal akhir-akhir ini karena keberadaan minyak gas yang

sudah langka. Akibatnya mau tidak mau pemerintah harus melakukan eksploitasi minyak

gas secara besar-besaran guna untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut.

Melihat kondisi dan permasalahan seperti yang telah dijelaskan diatas, perlu adanya

suatu solusi yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi yang sangat besar,

yaitu dengan cara membuat eneriy alternatif yang bahannya terbuat dari bahan yang dapat

diperbaharui keberadaannya. Penemuan terbaru tentang energi alternatif tersebut salah

satunya adalah biodiesel. Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif pengganti minyak

gas yang dapat diperbaharui dan bahannya terbuat dari minyak nabati atau minyak

hewani. Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai biodiesel adalah minyak nabati

dari biji buah bintaro.

Biji buah bintaro sangatlah efektif jika digunakan sebagai bahan bakar alternatif

biodiesel dikarenakan pesediaan biji buah bintaro ini, di Indonesia khususnya, cukup

melimpah keberadaannya. Perkembangbiakanan buah bintaro ini juga cukup mudah dan

5

Page 6: Biodiesel Biji Bintaro

tersedia sepanjang tahun. Selain itu, buah bintaro ini juga beracun sehingga

pemanfaatannya oleh masyarakat juga masih sangat kurang.

1.2 Rumusan Masalah1. Bagaimana proses pembuatan biodiesel dari minyak nabati biji bintaro?2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produk biodiesel yang berbahan dasar

minyak nabati biji bintaro?3. Bagaimana spesifikasi biodiesel yang dihasilkan dari minyak nabati biji bintaro?

1.3 Tujuan1. Mengetahui proses pembuatan biodiesel dari minyak nabati yang dimurnikan dari biji

bintaro.2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produk biodiesel yang berbahan dasar

minyak nabati dari biji bintaro.3. Mengetahui spesifikasi biodiesel yang dihasilkan dari minyak nabati biji bintaro.

1.4 Manfaat1.4.1 Teoritis

1. Menambah khazanah pengetahuan mengenai proses pengolahan biodiesel.1.4.2 Praktis

1. Dapat mengaplikasikan pembuatan biodiesel yang berbahan dasar minyak nabati biji bintaro dalam kehidupan sehari-hari sebagai sumber energi alternatif.

2. Dapat memanfaatkan bahan alam sebagai sumber energi alternatif pengganti sumber energi tak terbarui.

6

Page 7: Biodiesel Biji Bintaro

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biodiesel

Biodiesel adalah suatu bentuk bioenergi atau bahan bakar nabati yang dibuat dari

minyak nabati (dapat berupa minyak baru maupun minyak bekas), yang diolah melalui proses

transesterifikasi (Hambali et al. 2007). Istilah biodiesel sebenarnya merujuk pada bahan bakar

yang dihasilkan dari proses ekstrak minyak nabati atau lemak hewani yang digunakan untuk

operasi standart mesin diesel.

Biodiesel juga merupakan sejenis bahan bakar diesel yang terbuat dari bahan–bahan

hayati yang mengandung minyak nabati dan lemak hewani. Secara kimiawi, bahan-bahan

hayati tersebut mengandung monoalkil ester dari asam lemak rantai panjang yang bersumber

dari golongan lipida (Darnoko et al. 2001). Monoalkil ester ini dapat berupa metil atau etil

ester yang berwujud cair pada suhu ruang (titik leleh antar 4-18ºC), titik didih rendah, tidak

korosif, dan merupakan senyawa yang relatif stabil. Namun metal ester lebih stabil saat proses

distilasi fraksional dan lebih ekonomis sehingga lebih banyak digunakan daripada etil ester

(Anisa, 2011).

Bahan-bahan alam yang dapat digunakan sebagai biodiesel yaitu bahan alam yang

dapat menghasilkan minyak nabati, diantaranya tanaman kelapa, jarak, kelapa sawit, jagung,

jerami, wijen, kacang tanah, kacang kedelai, biji bunga matahari, biji kapas, biji alpukat, biji

bintaro, dan bahan-bahan hayati lainnya yang banyak mengandung minyak.

Biodiesel mempunyai rantai karbon antara 12-20 serta mengandung oksigen. Adanya

oksigen pada biodiesel menyebabkan adanya perbedaan antara biodiesel dengan petroleum

diesel (solar) yang komponen utamanya terdiri dari hidrokarbon. Biodiesel terdiri dari metil

ester asam lemak nabati, sedangkan petroleum diesel adalah hidrokarbon. Namun, biodiesel

mempunyai sifat kimia dan fisika yang serupa dengan petroleum diesel, sehingga biodiesel

dapat digunakan untuk mesin diesel (Anisa, 2011).

Biodiesel sendiri memiliki kelebihan dan kekurangan dalam penggunaannya.

Kelebihan dari penggunaan biodiesel diantaranya:

1. Bahan baku yang digunakan untuk biodiesel adalah bahan baku yang dapat

diperbaharui (renewable) dan juga tidak beracun

7

Page 8: Biodiesel Biji Bintaro

2. Mempunyai cetane number yang tinggi

3. Biodegradable dan dapat menigkatkan biodegradasibility hingga 500% bila dicampur

dengan bahan bakar diesel

4. Biodiesel memiliki tingkat flammable yang rendah

5. Biodiesel dapat digunakan pada semua mesin tanpa adanya modifikasi

6. Biodiesel juga berfungsi sebagai pelumas sekaligus membersihkan injektor

7. Biodiesel juga dapat mengurangi emisi karbondioksida (disebabkan oleh pembakaran

bahan bakar fosil sebesar 75%), partikulat berbahaya, total hidrokarbon, nitroksida,

dan sulfur oksida (Pakpahan, 2001).

Sedangkan kelemahan dari penggunaan biodiesel, diantaranya:

1. Kandungan energi biodiesel diketahui 11% lebih kecil bahan bakar diesel yang

berbasis minyak bumi, sehingga kapasitas pembangkit listrik dari mesin yang

digunakan tersebut akan menurun jauh ketika menggunakan biodiesel

2. Biodiesel memiliki kualitas oksidasi yang kurang baik

3. Biodiesel cenderung berubah menjadi gel apabila disimpan dalam waktu yang lama

yang dapat menyebabkan penyumbatan berbagai komponen mesin

4. Biodiesel juga dapat menyebabkan pertumbuhan mikroba, sehingga menyebabkan

beberapa kerusakan pada mesin

5. Timbulnya kelangkaan pangan akibat dialihkannya tanaman yang biasa dikonsumsi

untuk bahan bakar (Pakpahan, 2001).

2.2 Proses Pembuatan Biodiesel secara Umum

Biodiesel dibuat melalui suatu proses kimia yang disebut transesterifikasi yang

merupakan proses pemisahan gliserin dari minyak nabati. Transesterifikasi adalah reaksi ester

untuk menghasilkan ester baru yang mengalami penukaran posisi asam lemak. Reaksi

transesterifikasi (alkoholisis) adalah tahap konversi dari trigliserida pada minyak nabati

menjadi ester (biodiesel) melalui reaksi dengan menggunakan alcohol rantai pendek seperti

methanol atau etanol dan katalis asam atau basa yang menghasilkan produk samping berupa

gliserol (Anisa, 2011).

Bahan baku utama untuk pembuatan biodiesel antara lain minyak nabati, lemak

hewani, lemak bekas/ lemak daur ulang. Semua bahan baku tersebut mengandung trigliserida,

asam lemak bebas (ALB). Proses transesterifikasi yang umum untuk membuat biodiesel dari

minyak nabati ada tiga macam, yaitu: transestesterifikasi dengan katalis basa, transesterifikasi

8

Page 9: Biodiesel Biji Bintaro

dengan katalis asam langsung, dan konversi minyak nabati menjadi asam lemak menjadi

biodiesel. Proses dasar pembuatan biodiesel dapat dilihat pada gambar 1.

Recycled Greases

Asam Sulfat

Minyak Nabati

Alkohol

Alkohol+katalis basa

Crude Glycerin Crude Biodiesel

Gliserin Biodiesel

Gambar 1. Diagram Proses Pembuatan Biodiesel.

Sedangkan mekanisme reaksi transesterifikasi umum trigliserida dengan alkohol dari

jenis methanol, adalah:

O O

R1 – C – O – CH2 R1 – C – O – CH3 HO – CH2

O O

R2 – C – O – CH + 3CH3OH NaOH R2 – C – O – CH3 + HO - CH

O O

9

Transesterifikasi

Dilute Acid Esterification

Alcohol Recovery

Destilasi Gliserin Destilasi Biodiesel

Page 10: Biodiesel Biji Bintaro

R3 – C – O – CH2 R 3 – C – O – CH3 HO – CH2

Trigliserida methanol biodiesel gliserol

Gambar 2. Mekanisme reaksi transesterifikasi trigliserida dengan methanol.

Trigliserida sebagai komponen utama dari minyak nabati bila direaksikan dengan

alkohol, akan menyebabkan skeleton gliserol akan membebaskan ketiga rantai asam lemak

dan bergabung dengan alkohol untul menghasilkan asam lemak alkil ester (biodiesel) (Anisa,

2011).

Secara umum proses pembuatan biodiesel adalah katalis dan minyak nabati

dimasukkan ke dalam reaktor, kemudian dialirkan methanol hasil destilasi ke bagian bawah

reaktor. Katalis yang biasa digunakan adalah Natrium Hidroksida. campuran akan bereaksi

selama 1–8 jam dengan pengadukan yang kuat. Setelah reaksi selesai dan methanol telah

dipisahkan, terbentuk dua produk utama, yaitu gliserol dan metal ester. Karena adanya

perbedaan densitas, maka keduanya dapat terpisah secara gravitasi. Gliserol terbentuk pada

lapisan bawah, dan metal ester di lapisan atas (Haryanto, 2002).

Gliserol yang dihasilkan mengandung katalis dan sabun. Pemurnian gliserol dilakukan

dengan penambahan asam membentuk garam. Kemudian metil ester yang sudah dipisahkan

dari gliserol dicuci dengan air hangat untuk membuang residu katalis dan sabun, kemudian

dikeringkan dan dialirkan ke tempat penyimpanan. Kemurnian metil ester yang dihasilkan

biasanya 98% dan siap digunakan sebagai bahan bakar biodiesel (Haryanto, 2002).

2.3 Bintaro (Carbera manghas L)

Bintaro (Carbera manghas L) tmerupakan tanaman mangrove yang berasal dari

daerah tropis di Asia, Australia, Madagaskar, dan kepulauan sebelah barat samudra pasifik.

Dinamakan Carbera karena bijinya dan semua bagian pohonnya mengandung racun yang

disebut “carberin” yaitu racun yang dapat menghambat saluran ion kalsium di dalam otot

jantung manusia, sehingga dapat menggangu detak jantung dan dapat menyebabkan kematian

(Gailard et al. 2004; Anisa, 2011; Desti, 2011).

Bintaro memiliki nama yang berbeda di setiap daerah, seperti bintaro (Sunda, Jawa),

kanyeri putih (Bali), bilutasi (Timor-Timor), wabo(Ambon), goro-goro guwae (Ternate),

madangkapo (Minangkabau), bintan (Melayu), lambuto (Makassar), dan goro-goro (Manado)

(Taubing, 2012). Taksonomi tanaman bintaro antara lain:

Klasifikasi

Nama latin Carbera manghas L

Divisi Spermatophyta

10

Page 11: Biodiesel Biji Bintaro

Subdivisi Angiospermae

Kelas Dicotyledoneae

Bangsa Contortae

Suku Apocynaceae

Marga Carbera

Jenis Carbera manghas L

Pohon bintaro memiliki tinggi 4-20 m dengan batang yang tegak, berkayu, bulat, dan

berbintik-bintik hitam. Daun bintaro berbentuk lonjong, tepi rata, ujung dan pangkal

meruncing, tipis, licin, pertulangan menyirip, panjang 15-20 cm, lebar 3-5 cm, dan berwarna

hijau. Bunga bintaro bersifat majemuk, terletak di ujung batang, tangkai silindris, panjang ±

11 cm, hijau, kelopak tidak jelas, tangkai putih panjang 2-2,5 cm, jumlah empat, kepala sari

coklat, kepala putik hijau keputih-putihan, mahkota bentuk terompet, ujung pecah menjadi

lima, halus, putih, dan harum. Akar bintaro berupa akar tunggang. Buah bintaro berbentuk

lonjong, saat muda berwarna hijau dan setelah tua berwarna coklat. Biji bintaro berbentuk

bulat pipih, dan berwarna putih (Taubing, 2011; Anisa, 2011; Anita E.H, 2011).

Gambar 3. Biji bintaro (Anita E.H, 2011).

Biji bintaro berbentuk bulat pipih, berwarana putih dengan ukuran sekitar 2 cm x 1,5

cm dan terdiri dari dua bagian cross-matching berdaging putih. Setelah buah bintaro dikupas

dan terkena udara bebas, warna biji akan berubah menjadi warna abu-abu gelap dan akhirnya

coklat kehitaman (Desti,2011). Biji bintaro banyak mengandung senyawa saponin steroid

yaitu cerleasida A, 17 7-α-neriifolin, 17-β-neriifolin, cerbelin, dan 2’-o-asetil cerleasida A

(Oesman et al. 2010). Biji bintaro juga mengandung minyakyang cukup banyak yaitu sekitar

43-64% (Imahara et al. 2006) sehingga berpotensi sebagai bahan baku biodiesel (Anisa,

2011).

Biji bintaro memiliki kandungan asam lemak tidak jenuh yang tinggi sehingga

memiliki titik leleh yang rendah dan minyak akan berbentuk cair pada suhu kamar. Komposisi

11

Page 12: Biodiesel Biji Bintaro

asam lemak penyusun trigliserida minyak biji bintaro diantaranya: Asam Palmitat (17,67%),

Asam Palmitoleat (4,91%), Asam Stearat (4,38%), Asam Elaidat (8,54%), Asam Oleat

(34,02%), Asam Linolelaidat (4,49%), Asam Linoleat (16,74%), dan Asam ά-Linolenat

(0,40%). Jadi total asam lemak penyusun trigliserida minyak bintaro yaitu sebesar 89,98%

(Endriana, 2007).

2.3.1 Proses Ekstraksi minyak nabati biji Bintaro

Ekstraksi merupakan suatu cara yang bertujuan untuk mendapatkan minyak atau lemak dari

bahan yang mengandung minyak atau lemak. Cara ekstraksi ini bermacam – macam, yaitu

rendering (dry rendering dan wet rendering), mechanical expression, dan solvent extraction.

Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah, daya

penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh

ekstrak yang sempurna (Ansel, 1989).

Rendering merupakan suatu cara ekstraksi minyak atau lemak dari bahan yang

mengandung minyak atau lemak dengan kadar air tinggi (Ketaren, 1986). Mechanical

expression merupakan suatu cara ekstraksi minyak atau lemak, terutama untuk bahan yang

berasal dari biji – bijian. Cara ini dilakukan untuk memisahkan minyak dari bahan yang

berkadar minyak tinggi (30 – 70 persen). Pada pengepresan mekanis ini diperlukan perlakuan

pendahuluan sebelum minyak atau lemak dari bijinya. Perlakuan pendahuluan tersebut

meliputi pembuatan serpih, perajangan dan penggilingan serta tempering atau pemasakan.

Dua cara umum dalam pengepresan mekanis, yaitu pengepresan hidraulik (hydraulic

pressing) dan pengepresan berulir (expeller pressing) (Ketaren 1986). Hydraulic pressing

yaitu proses dimana bahan dipres dengan tekanan sekitar 2000 pound/inch2 (140,6 kg/cm =

136 atm). Banyaknya minyak atau lemak yang dapat diekstraksi tergantung dari lamanya

pengepresan, tekanan yang dipergunakan, serta kandungan minyak dalam bahan asal.

Sedangkan banyaknya minyak yang tersisa pada bungkil bervariasi sekitar 4 sampai 6

persen, tergantung lamanya bungkil ditekan dibawah tekanan hidraulik (Ketaren 1986).

Sedangkan expeller pressing memerlukan perlakuan pendahuluan yang terdiri dari proses

pemasakan atau tempering. Proses pemasakan berlangsung pada remperatur 240 °F (115,5

°C) dengan tekanan berkisar sekitar 15 – 20 ton/inch2. Kadar air minyak atau lemak yang

dihasilkan berkisar sekitar 2,5 – 3,5 persen, sedangkan bungkil yang dihasilkan masih

mengandung minyak sekitar 4 – 5 persen (Ketaren 1986)

Metode yang terakhir yaitu solvent extraction, yaitu ekstraksi dengan melarutkan

minyak dalam pelarut minyak dan lemak. Pada cara ini dihasilkan bungkil dengan kadar

minyak yang rendah yaitu sekitar 1 persen atau lebih rendah, dan mutu minyak yang

12

Page 13: Biodiesel Biji Bintaro

dihasilkan cenderung menyerupai hasil dengan cara expeller pressing, karena sebagian fraksi

bukan minyak akan ikut terekstraksi. Pelarut minyak atau lemak yang dipergunakan dalam

proses ekstraksi dengan pelarut menguap adalah petroleum eter, gasoline karbon disulfide,

karbon tetraklorida, benzene dan n – heksan.

Proses ekstraksi dengen pelarut pada dasarnya dibedakan menjadi dua fase yaitu fase

pencucian dan fase ekstraksi.

1. Fase Pencucian (Washing Out)

Pada saat penggabungan pelarut dengan simplisia, maka sel – sel yang rusak karena

proses pengecilan ukuran langsung kontak dengan bahan pelarut. Komponen sel yang

terdapat pada simplisia tersebut dengan mudah dilarutkan dan dicuci oleh pelarut. Dengan

adanya proses tersebut, maka dalam fase pertama ini sebagian bahan aktif telah berpindah ke

dalam pelarut. Semakin halus ukuran simpisia, maka semakin optimal jalannya proses

pencucian tersebut.

2. Fase ekstraksi (Difusi)

Pada fase ini, pelarut menarik senyawa senyawa yang ada di dalam sel dengan cara

menembus dinding sel terlebih dahulu. Pelarut dapat masuk ke dalam sel karena adanya

perbedaan konsenterasi antara larutan dalam sel dengan pelarut yang mula – mula masih

tanpa bahan aktif . proses penarikan ini akan berlangsung sampai terbentuk keseimbangan

konsenterasi antara di sebelah dalam dan sebelah luar sel.

Tahapan yang harus diperhatikan dalam mengekstraksi jaringan tumbuhan adalah

penyiapan bahan sebelum ekstraksi, pemilihan pelarut dan kondisi proses ektraksi, proses

pengambilan pelarut pengawasan mutu, dan pengujian yang dikenal pula sebagai tahapan

penyelesaian. Penggunaan pelarut bertitik didih tinggi menyebabkan adanya kemungkinan

kerusakan komponen – komponen senyawa penyusun pada saat pemanasan. Pelarut yang

digunakan harus bersifat inert terhadap bahan baku, mudah didapat, dan harganya murah

(Sabel dan Waren, 1973).

Dalam pemilihan cairan harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain murah dan

mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral tidak mudah menguap, dan

tidak mudah terbakar, selektif. Selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki,

tidak mempengaruhi zat berkhasiat, dan diperbolehkan oleh peraturan (Ketaren, 1986).

Menurut Ketaren (1986), pelarut yang sering digunakan dalam ekstraksi minyak lemak

adalah petroleum eter, gasoline, karbon disulfide, karbon tetraklorida, benzene, dan n-

13

Page 14: Biodiesel Biji Bintaro

heksana. Menurut Rose et al. (1975) dan Jacobs (1953), heksana merupakan pelarut yang

mudah menguap, aromanya memusingkan, bobot molekul 86,2, titik didih pada tekanan 760

mmHg 66-71 °C dan banyak digunakan sebagai pelarut. Kelarutan 0,0138g/100 ml dalam air

pada suhu 15,5 °C, 50 gram/100ml dalam air pada 33°C, larut dalam eter, sangat larut dalam

kloroform. Heksana merupakan cairan yang tidak berwarna, mudah menguap, sangat mudah

terbakar, titik leleh – 95 °C, larut dalam alkohol, aseton, eter, dan tidak larut dalam air.

Menurut Kurnia (2010), ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan dengan cara dingin

dan cara panas. Cara dingin yaitu metode maserasi dan perkolasi, sedangkan cara panas

antara lain dengan refluks, soxhlet, digesti, destilasi uap dan infuse. Refluks merupakan

ekstraksi pelarut pada suhu didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatasyang

relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan

pelarut yang selalu baru menggunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu

dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Digesti adalah

maserasi kinetik pada suhu lebih tinggi dari suhu kamar 40 – 50 °C. Destilasi uap adalah

ekstraksi zat kandungan menguap dengan fase uap air dari ketel secara kontinyu sampai

sempurna dan diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran menjadi destilasi air bersama

kandungan yang memisah sempurna atau sebagian. Infuse adalah ekstraksi pelarut air pada

suhu penangas air 96 – 98 °C selama 15 – 20 menit.

Istilah maserasi berasal dari bahasa latin “macerace” yang artinya mengairi,

melunakkan, merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana. Proses pengerjaan dilakukan

dengan cara merendam simplisia dalam pelarut. Pelarut akan menembus dinding sel dan

masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut karena adanya

perbedaan konsenterasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka larutan

akan didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsenterasi

antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Keuntungan dari metode maserasi adalah

peralatannya sederhana. Kerugian metode maserasi adalah waktu yang dibutuhkan untuk

mengekstraksi sampel cukup lama, cairan penyari yang digunakan lebih banyak, dan tidak

dapat digunakan untuk bahan – bahan yang memiliki tekstrur keras seperti benzoin, tiraks,

dan lilin. Metode maserasi dapat dilakukan dengan beberapa modifikasi, diantaranya adalah

modifikasi maserasi melingkar, modifikasi maserasi digesti, modifikasi maserasi melingkar

bertingkat, modifikasi remaserasi dan modifikasi maserasi dengan mesin berpengaduk

(Sudjadi, 1986).

2.3.2 Proses pemurnian minyak nabati biji bintaro

14

Page 15: Biodiesel Biji Bintaro

Menurut Ketaren (1986) pada umumnya, proses pemurnian minyak melalui tahapan

pemisahan bahan berupa suspensi dan dispersi koloid dengan cara penguapan, degumming,

dan pencucian dengan asam; pemisahan asam lemak bebas dengan netralisasi; dekolorisai

dengan proses pemucatan; deodorisasi; dan Pemisahan gliserida jenuh (stearin) dengan cara

pendinginan (chilling).

1. Degumming

Degumming merupakan pre-treatment yang bertujuan untuk memisahkan gum (getah

atau lendir) berupa fosfolipid, protein, karbohidrat, dan resin (polimer). Selain itu, degumming

ini juga bertujuan untuk mengurangi ion logam (Fe3+,Cu2+), memudahkan proses pemurnian

selanjutnya, dan memperkecil terjadinya loss pada minyak (Ketaren, 1986).

Menurut Sahirman (2009) degumming merupakan treatment antara minyak mentah

dengan air, asam encer (asam fosfat atau asam sitrat) dan terkadang dilute caustic soda.

Proses ini dilakukan untuk menghilangkan phosphatides dan mucilaginous material (getah-

getah) dari crude oil. Phosphatide merupakan emulsifier yang sangat baik dan dapat

menyebabkan refining loses dimana phosphatide berhubungan dengan logam-logam

khususnya besi sehingga dapat menurunkan oxidative stability serta phosphatide juga dapat

menyebabkan inverse terhadap warna dan fiksasi pada deodorize oil. Selain itu, phosphatide

membuat minyak menjadi keruh selama penyimpanan, menstimulasi akumulasi air pada ester

atau biodiesel, dan menyebabkan penggunaan katalis alkali pada proses transesterifikasi lebih

banyak. Oleh karena itu phosphatide harus dihilangkan.

Proses degumming ini dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti pemanasan,

penambahan asam fosfat, penambahan natrium hidroksida, hidrasi, dan penggunaan pereaksi

khusus seperti asam format, natrium klorida, dan natrium fosfat. Secara garis besar, terdapat

dua jenis proses degumming, yaitu: water degumming yang dilakukan dengan penambahan air

pada suhu minyak 60-90°C yang diikuti proses pemisahan dengan gaya sentrifugal dan acid

degumming yang dilakukan untuk pospatida yang tidak dapat dihilangkan melalui pemanasan,

terdapat penambahan larutan asam (asam sitrat atau asam pospat) dan sejumlah metanol.

Proses degumming dengan menambahkan asam fosfat adalah proses yang paling banyak

dilakukan dalam industri (Moestapa, 1981).

Asam fosfat merupakan cairan yang tidak berwarna dan tidak berbau. Tujuan

penambahan asam fosfat adalah untuk mengendapkan phosphatide yang bersifat

nonhydratable menjadi hydratable sehingga dapat dipisahkan dari minyak melalui proses

pencucian. Menurut Hendrix (1990) sebelum proses netralisasi, minyak diberi perlakuan

15

Page 16: Biodiesel Biji Bintaro

dengan penambahan 0.02 – 0.5% asam fosfat pada suhu 60-90°C selama 15-30 menit, agar

phosphatide yang larut dalam minyak menjadi mudah dihilangkan.

Proses pemisahan gum (degumming) perlu dilakukan sebelum proses netralisasi

dengan alasan sabun yang terbentuk dari hasil reaksi antara asam lemak bebas dengan caustic

soda pada proses netralisai akan menyerap gum (getah dan lendir) sehingga menghambat

proses pemisahan sabun (soap stock) dari minyak. Selain itu, netralisasi minyak yang masih

mengandung gum akan menambah partikel emulsi dalam minyak, sehingga mengurangi

rendemen trigliserida (Djatmoko dan Ketaren 1985).

2. Netralisasi

Netralisasi merupakan suatu proses untuk memisahkan asam lemak bebas dari minyak

atau lemak, dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya

sehingga membentuk sabun (soap stock). Pemisahan asam lemak bebas dapat juga dilakukan

dengan cara penyulingan (de-asidifikasi). Pada minyak terdapat tiga ikatan antara asam lemak

dengan gliserol. Adanya reaksi hidrolisis dan oksidasi bisa menyebabkan ikatan antara asam

lemak dan gliserol terurai sehingga terbentuk asam lemak bebas. Tujuan proses netralisasi

adalah untuk menghilangkan asam lemak bebas (FFA) yang terdapat pada minyak yang dapat

menyebabkan bau tengik. Netralisasi dapat dilakukan dalam beberapa cara, yaitu : netralisasi

dengan kaustik soda (NaOH), netralisasi dengan natrium karbonat (Na2CO3), netralisasi

minyak dalam bentuk “miscella”, pemisahan asam (de-acidification) dengan cara penyulingan

serta pemisahan asam dengan menggunakan pelarut organik (Ketaren 1986).

Netralisasi menggunakan kaustik soda (NaOH) banyak digunakan dalam industri

karena lebih efisien dan lebih murah dibandingkan dengan cara netralisasi lainnya. Selain itu,

penggunaan kaustik soda membantu dalam mengurangi zat warna dan kotoran yang berupa

getah dan lendir dalam minyak. Dengan cara hidrasi dan dibantu dengan proses pemisahan

sabun secara mekanis, netralisasi dengan menggunakan kaustik soda dapat menghilangkan

fosfatida, protein, resin, dan suspensi dalam minyak yang tidak dapat dihilangkan dengan

proses pemisahan gum. Komponen minor dalam minyak yang berupa sterol, klorofil, vitamin

E dan karotenoid hanya sebagian kecil dapat dikurangi dengan proses netralisasi ini (Ketaren,

1986). Menurut Herlina (2002) NaOH lebih banyak digunakan pada proses netralisasi karena

memiliki reaktifitas yang lebih baik. Selain itu, secara ekonomis harganya lebih murah dan

mudah didapat di Indonesia (Priatna, 1982).

Menurut Ketaren (1986), beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih

konsentrasi larutan alkali yang digunakan dalam netralisasi adalah keasaman dari minyak

16

Page 17: Biodiesel Biji Bintaro

kasar, jumlah minyak netral (trigliserida) yang tersabunkan diusahakan serendah mungkin,

jumlah minyak netral yang terdapat dalam soap stock, suhu netralisasi dan warna minyak

netral. Konsentrasi dari alkali yang digunakan tergantung dari jumlah asam lemak bebas atau

derajat keasaman minyak. Makin besar jumlah asam lemak bebas, makin besar pula

konsentrasi alkali yang digunakan. Suhu netralisasi dipilih sedemikian rupa sehingga sabun

(soap stock) yang terbentuk dalam minyak mengendap dengan kompak dan cepat.

Pengendapan yang lambat akan memperbesar kehilangan minyak karena sebagian minyak

akan diserap oleh sabun. Makin encer larutan alkali yang digunakan, makin besar jumlah

larutan yang dibutuhkan untuk netralisasi dan minyak netral yang dihasilkan berwarna lebih

pucat. (Ketaren, 1986).

Efisiensi netralisasi dinyatakan dalam refining factor, yaitu perbandingan antara

kehilangan total karena netralisasi dan jumlah asam lemak bebas dalam lemak kasar. Semakin

kecil nilai RF maka efisiensi netralisasi semakin tinggi.

Secara teoritis, untuk menetralkan 1 kg asam lemak bebas dalam minyak (sebagai

asam oleat), dibutuhkan sebanyak 0.142 kg kaustik soda kristal, atau untuk menetralkan 1 ton

minyak yang mengandung 1 persen asam lemak bebas (10 kg asam lemak bebas) dibutuhkan

sebanyak 0.142 kg kaustik soda kristal. Pada proses netralisasi perlu ditambahkan kaustik

soda berlebih yang disebut excess dari jumlahnya tergantung dari sifat – sifat khas minyak.

Penambahan alkali dengan jumlah berlebih (excess) bertujuan untuk mengurangi kesalahan

perhitungan kebutuhan alkali, sehingga penambahan alkali (kaustik soda) pada netralisasi

lebih tepat dan sesuai. Untuk minyak dengan kandungan asam lemak bebas yang rendah

dengan kadar asam lemak bebas kurang dari 5%, lebih baik dinetralkan dengan alkali encer

(konsentrasi lebih kecil dari 0.15N atau 5°Be), sedangkan asam lemak bebas yang tinggi,

lebih baik dinetralkan dengan larutan alkali 10 – 24°Be (Basiron, 1990).

17

Page 18: Biodiesel Biji Bintaro

BAB III

METODOLOGI

3.1 Proses Ekstraksi Minyak Nabati dari Biji Bintaro

Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan minyak nabati dari bahan yang

mengandung minyak nabati yatu biji bintaro. Metode yang digunakan untuk ekstraksi minyak

nabati biji bintaro adalah metode mechanical expression. Proses pertama yang dilakukan

adalah mengupas biji bintaro dari kulitnya, kemudian dilakukan uji pada biji bintaro yang

bertujuan untuk mengetahui karakterisasi dari biji tersebut. Uji yang dilakukan yaitu berupa

kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat dan kadar karbohidrat.

Selanjutnya, biji bintaro dihilangkan kandungan airnya yaitu dengan memasukkan biji bintaro

ke dalam oven blower selama 2 hari dengan suhu 40-60ºC. biji bintaro yang sudah kering,

kemudian dicacah agar mempermudah pengeluaran minyak. Kemudian dilakukan proses

pengepresan mekanik, yang terbagi menjadi dua cara, yaitu hidraulik (hydraulic pressing) dan

pengepresan berulir (expeller pressing), yang selanjutnya akan menghasilkan ekstrak minyak

nabati dari bahan dasar biji bintaro

3.2 Proses Pemurnian Minyak Nabati Biji Bintaro

Proses ini bertujuan untuk menghilangkan rasa dan bau yang tidak enak, warna yang

kurang menarik, dan memperpanjang masa simpan minyak. Pertama yang dilakukan adalah,

memisahkan antara bahan berupa suspensi dan dispersi koloid. Cara untuk memisahkan bahan

tersebut diantaranya dengan cara penguapan, degumming, netralisasi; dekolorisai dengan

proses pemucatan; deodorisasi; dan pendinginan (chilling). Degumming digunakan untuk

memisahkan komponen pengotor minyak. Minyak bintaro ditimbang dan dipanaskan hingga

mencapai suhu 70-75°C, kemudian ditambahkan asam pospat sebanyak 0,3 % berat minyak

dengan suhu tetap dan diaduk. Gum dan kotoran kemudian dipisahkan dari minyak dalah labu

terpisah dengan cara mencuci dengan air hangat. Setelah itu dilakukan proses netralisasi yaitu

proses pemisahan asam lemak bebas dari minyak bintaro dengan cara mereaksikannya dengan

asam lemak bebas sehingga terbentuk sabun. Proses netralisasi ini juga dapat dilakukan

dengan cara penyulingan. Selanjutnya dilakukan pendinginan (chilling) untuk memisahkan

gliserida jenuh (stearin) dari minyak bintaro.

18

Page 19: Biodiesel Biji Bintaro

3.3 Pembuatan Biodiesel dari Minyak Nabati Biji Bintaro.

Proses pembuatan biodiesel dilakukan dengan metode transesterifikasi. Minyak yang

telah dimurnikan direaksikan dengan metanol dengan menggunakan katalis NaOH sebanyak

1% (b/b) pada suhu 60oC selama 60 menit. Kemudian dilakukan pemisahan gliserol dengan

cara settling (gravitasi) berdasarkan densitas zat terlarut. Gliserol dan zat pengotor lain

memiliki densitas lebih tinggi sehingga berada di lapisan bawah sedangkan lapisan atas

merupakan metil ester (biodiesel). Metil ester yang terbentuk dicuci dengan air hangat 60oC

sampai air cucian netral. Pengeringan metil ester dilakukan dengan cara dipanaskan pada suhu

120oC. Setelah itu dilakukan uji pada metil ester untuk mengetahui karakterisasi metal ester

diantaranya bilangan asam, kadar asam lemak bebas, bilangan iod, bilangan peroksida,

bilangan penyabunan, viskositas, densitas, kadar abu, kadar air, rendemen biodiesel dan titik

nyala.

19

Page 20: Biodiesel Biji Bintaro

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Proses Pembuatan Biodiesel dari Minyak Nabati Biji Bintaro

A. Proses Ekstraksi Minyak Nabati dari Biji Buah Bintaro

Ekstraksi merupakan suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan

yang mengandung minyak atau lemak. Cara ekstraksi minyak nabati tumbuhan bermacam –

macam, yaitu rendering (dry rendering dan wet rendering), mechanical expression

(hydraulic pressing dan expeller pressing, dan solvent extraction. Dalam hal ini, metode

ekstraksi yang digunakan adalah hydraulic pressing yang merupakan salah satu jenis metode

ekstraksi pada mechanical expression. Pemilihan metode ekstraksi hydraulic pressing karena

bahan baku untuk pembuatan biodiesel berupa biji-bijian yaitu biji Bintaro yang mempunyai

kandungan minyak total hingga 89,98%.

Hydraulic pressing yaitu proses dimana bahan baku dipres dengan tekanan 140,6

kg/cm atau 136 atm. Banyaknya minyak atau lemak yang dapat diekstraksi tergantung dari

lamanya pengepresan, tekanan yang dipergunakan, serta kandungan minyak dalam bahan

asal. Sedangkan banyaknya minyak yang tersisa pada bungkil bervariasi sekitar 4 sampai 6

persen, tergantung lamanya bungkil ditekan dibawah tekanan hidraulik (Ketaren 1986).

Pada pengepresan mekanis ini diperlukan perlakuan pendahuluan meliputi bahan

baku yang telah disortasi berdasarkan tingkat kematangannya dipisahkan antara biji buah

dengan serat dan kulit buah, Selanjutnya biji dikeringkan selama 48 jam pada temperatur

550C. Lalu dilanjutkan dengan pembuatan serpih, perajangan dan penggilingan serta

tempering atau pemasakan.

Ekstraksi dengan alat hot press hydraulic dilakukan pada tekanan 20 ton pada suhu

60-700C. Biji bintaro yang telah dikecilkan ukurannya dibungkus terlebih dahulu di dalam

kain saring. Biji bintaro yang akan dikempa dibungkus dengan kain atau cages agar bungkil

dapat tertahan.

Dari metode ekstrasi ini, dihasilkan rendemen sebesar 52,59 %, kadar asam lemak

bebas sebesar 2.75 %, nilai bilangan iod sebesat 60.30 g I2/100 g, nilai bilangan peroksida

5.85 mg O2/g, nilai bilangan penyabunan 199.76 mg KOH/g, nilai viskositas 63 cP, nilai

densitas 0.90 g/cm3, nilai % transmisi 87.43 % dan nilai kadar abu 0.40 %.

20

Page 21: Biodiesel Biji Bintaro

B. Proses Pemurnian Minyak Nabati dari Biji Buah Bintaro.

Proses pemurnian minyak nabati bertujuan untuk menghilangkan rasa dan bau yang

tidak enak, warna yang kurang menarik, dan memperpanjang masa simpan minyak sebelum

dikonsumsi atau digunakan sebagai bahan mentah dalam proses industri. Proses pemurnian

minyak diawali dengan proses degumming. Pada tahap ini, minyak hasil ekstraksi ditimbang,

kemudian minyak dipanaskan hingga suhu mencapai 70 – 75°C. Setelah itu, ditambahkan

asam fosfat 20% sebanyak 0.3% (v/b) dari berat minyak. Kemudian dilakukan pengadukan

selama 10 menit dengan suhu yang dipertahankan. Setelah pengadukan selesai, minyak

dimasukan ke dalam corong pemisah untuk memisahkan minyak dengan gum. Minyak dicuci

dengan air suhu 60°C hingga pH air buangan menjadi netral. Setelah proses de-gumming

selesai, minyak diuji kadar asam lemak bebasnya. Kadar asam lemak bebas minyak hasil

degumming ini merupakan dasar perhitungan kebutuhan NaOH yang akan digunakan pada

proses netralisasi.

Tahap pemurnian yang kedua yaitu proses netralisasi terhadap minyak hasil degumming.

Proses degumming perlu dilakukan sebelum tahapan netralisasi dengan alasan sabun yang

terbentuk dari hasil reaksi antara asam lemak bebas dengan kaustik soda pada proses

netralisasi akan menyerap gum (getah dan lendir) sehingga menghambat proses pemisahan

sabun (soap stock) dari minyak. Selain itu, netralisasi minyak yang masih mengandung gum

akan menambah partikel emulsi dalam minyak, sehingga mengurangi rendemen trigliserida.

Minyak hasil degumming diukur kandungan asam lemak bebasnya untuk dijadikan acuan

perhitungan larutan NaOH yang dibutuhkan pada proses netralisasi.

Pada tahap netralisasi, larutan alkali yang digunakan adalah kaustik soda. Langkah

pertama yaitu proses pemanasan minyak pada suhu 70-75°C. Kemudian ditambahkan larutan

NaOH konsentrasi 0.3N. Minyak diaduk selama 15 menit. Setelah itu dilakukan pencucian

seperti pada tahap degumming dengan menggunakan air suhu 60°C hingga pH air buangan

netral. Pengujian sifat fisiko kimia minyak dilakukan terhadap minyak murni yang dihasilkan

meliputi rendemen, kadar air, bilangan asam dan asam lemak bebas, bilangan peroksida,

bilangan iod, bilangan penyabunan, kadar abu, viskositas, densitas dan persen transmisi.

Kemudian dilakukan pengolahan data menggunakan statistik untuk mendapatkan proses

pemurnian terbaik.

Terhadap minyak dengan perlakuan terbaik dilakukan proses bleaching yang bertujuan

untuk menghilangkan warna yang tidak diinginkan pada minyak. Sehingga meningkatkan

21

Page 22: Biodiesel Biji Bintaro

kualitas minyak secara visual. Minyak dipanaskan hingga mencapai suhu 70°C kemudian

ditambahkan bentonit sebanyak 0.3% (b/b) dan dilakukan pengadukan selama 15 menit

menggunakan magnetic stirrer. Setelah proses pengadukan selesai, dilakukan penyaringan

terhadap minyak menggunakan kertas saring. Selain itu, minyak dengan perlakuan terbaik

diuji kandungan asam lemak penyusunnya menggunakan metode Gas Chromatoghraphy

Mass Spectrometry (GCMS).

3. Pembuatan Biodiesel Melalui Proses Transesterifikasi

Proses pembuatan biodiesel dilakukan dengan metode transesterifikasi. Minyak hasil

degumming direaksikan dengan metanol dengan rasio molar metanol terhadap minyak yaitu

6:1, dengan menggunakan katalis NaOH sebanyak 1% (b/b) pada suhu 60oC dan waktu reaksi

selama 60 menit. Kecepatan pengadukan pada proses ini dilakukan pada 400 rpm. Pemisahan

gliserol dilakukan dengan cara settling (gravitasi) yaitu berdasarkan densitas zat terlarut.

Gliserol dan zat pengotor lain memiliki densitas lebih tinggi sehingga berada di lapisan bawah

sedangkan lapisan atas merupakan metil ester (biodiesel). Metil ester yang terbentuk dicuci

dengan air hangat 60oC sampai air cucian netral. Pengeringan metil ester dilakukan dengan

cara dipanaskan pada suhu 120oC. Setelah itu metil ester tersebut dilakukan proses

karakterisasi, dengan menganalisis bilangan asam, kadar asam lemak bebas, bilangan iod,

bilangan peroksida, bilangan penyabunan, viskositas, densitas, kadar abu, kadar air, rendemen

biodiesel dan titik nyala.

4.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produk Biodiesel yang Berbahan Dasar

Minyak Nabati Biji Bintaro.

Produksi biodiesel berkaitan erat dengan bahan baku yang digunakan. Biodiesel

berbahan baku minyak biji bintaro mempunyai standar kualitas yang dipengaruhi oleh

kualitas minyak bintaro. Kualitas Minyak Bintaro ditentukan oleh faktor-faktor tingkat

kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi yang digunakan. Tingkat kematangan biji

bintaro dikatagorikan menjadi tiga jenis yaitu buah bintaro yang masih muda (hijau), buah

yang sudah masak (merah) dan buah yang sudah berkecambah. Pada biji bintaro didapatkan

hasil bahwa kandungan terbesar dari biji bintaro adalah kadar minyak yaitu 59,58 % untuk

biji bintaro masak, 55,04 % untuk biji bintaro muda, dan 45,56 % untuk biji bintaro

berkecambah. Dan metode ekstraksi yang menghasilkan rendemen cukup tinggi yaitu metode

hydraulic pressing yaitu sebesar 52,59 %, kadar asam lemak bebas sebesar 2.75 %, nilai

bilangan iod sebesat 60.30 g I2/100 g, nilai bilangan peroksida 5.85 mg O2/g, nilai bilangan

penyabunan 199.76 mg KOH/g, nilai viskositas 63 cP, nilai densitas 0.90 g/cm3, nilai %

transmisi 87.43 % dan nilai kadar abu 0.40 %.

22

Page 23: Biodiesel Biji Bintaro

4.2 Spesifikasi Biodiesel yang Dihasilkan dari Minyak Nabati Biji Bintaro.

Standar biodiesel tidak membedakan bahan dasar yang digunakan dalam memproduksi

biodiesel namun lebih ditekankan pada kinerja biodiesel itu sendiri. Kualitas biodiesel sebagai

produk bahan bakar mesin diesel ditentukan oleh beberapa parameter, antara lain massa jenis,

viskositas, angka setana, titik nyala, titik kabut, residu karbon, air dan sedimen, kandungan

fosfor, bilangan asam, kadar gliserol bebas, kadar gliserol total, angka iodine dan lain-lain.

Persyaratan mutu biodiesel di Indonesia sudah dibakukan dalam SNI-04-7182-2006, yang

telah disahkan dan diterbitkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) tanggal 22 Februari

2006 (Soerawidjaja, 2006). Spesifikasi biodiesel yang dihasilkan dari minyak nabati biji

bintaro disajikan dalam tabel berikut.

Parameter Nilai Standar Biodiesel Indonesia

Viskositas (cSt, 40⁰C) 3,55 2,3 – 6,0

Densitas (g/cm3, 40⁰C) 0,8940 0,850 – 0,890

Bilangan asam 0,34 Maks. 0,8

Titik asap (mm) 26 Min. 18⁰C

Titik tuang (⁰C) <0 -15 – 10

Nilai kalor (MJ/Kg) – Gross

- Nett

39,56

39,47

38,45 – 41,00

23

Page 24: Biodiesel Biji Bintaro

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Pembuatan biodiesel dari biji bintaro dilakukan dengan beberapa proses, yaitu

proses ekstraksi minyak nabati, proses pemurnian minyak nabati, dan proses pembuatan

biodiesel dari minyak nabati yang dimurnikan dari biji bintaro. Pada proses ekstraksi,

digunakan metode hydraulic pressing sehingga didapatkan minyak nabati biji bintaro

dengan rendemen sebesar 52,59%. Pada proses pemurnian minyak nabati tahapan-

tahapannya meliputi pemisahan bahan, degumming, netralisasi, bleching, pengadukan dan

penyaringan. Dan pada proses pembuatan biodiesel, dilakukan melalui metode

transesterifikasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi produk biodiesel dari biji bintaro

diantaranya tingkat kematangan dan metode ekstraksi yang digunakan. Spesifikasi

biodiesel dari biji bintaro ditentukan oleh beberapa parameter, yaitu massa jenis,

viskositas, cetane number, titik nyala, titik kabut, residu karbon, air dan sedimen,

kandungan fosfor, bilangan asam kadar gliserol bebas, kadar gliserol total, angka iodine,

dan lain-lain.

3.2 Saran

Biodiesel berbahan bakar minyak biji bintaro memiliki kualitas yang baik,

maka diharapkan adanya invensi ini dapat memberi solusi terkait penyediaan energi bahan

bakar sebagai pengganti bahan bakar fosil yang persediaannya semakin hari semakin

menipis. Invensi ini diharapkan mampu menjawab persoalan krisis energi di negeri ini

24

Page 25: Biodiesel Biji Bintaro

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi 4. Jakarta: UI Press.

Basiron. 1990. Manfaat dan Keunggulan Kelapa Sawit. Bulletin Perkebunan Juni 1990. 21(2): 113-117.

Darnoko, et al. 2001. Pemanfaatan Pelepah Kelapa Sawit untuk Pembuatan Pulep dan Kertas Cetak. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit, 9 (2-30:63-76)

Djatmiko, D. dan Ketren, S. 1985. Pemurnian Minyak. Bogor: Agr Industri Press, Ftateta, IPB.

Endriana, D. 2007. Sintesis Biodiesel dari Minyak Biji Bintaro (Carbera manghas) Hasil Ekstraksi. Kimia UI. Depok.

Gallard Y. Krisnamoorthy A. and Bevallot F. 2004. Cebera manghas. http://www.fmipa.unsyah.ac.id/jurnalnatural/images/pdf/hal 18 21 2 2010.pdf[10 Jun 2011].

Hambali, et al. 2007. Pemanfaatan Gliserin Hasil Samping Produksi Biodiesel dari Berbagai Bahan Baku (Sawit, Jarak, Kelap) untuk Sabun Transparan, Pusat Penelitian Surfaktan, Bioenergi. Jakarta: LPPM IPB

Haryanto, Bode. 2002. Steam Power Plant by TBS as a Solid Fuel Sources. Journal of Technology Process Vol 2. No. 1, Chemical Engineering Program USU. Medan.

Hendrix, B. 1990. Neutralization I: Theory and Practice of Conventional Caustic (NaOH) Refining. World Conference Proceeding. America Oil Chemists. Illnois USA, pp: 94-100

Herlina. 2002. Lemak dan Minyak. Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara.

Herwanda, A.E. 2011. Kajian Proses Pemurnian Minyak Biji Bintaro (Cerbera manghas L.) sebagai Bahan Bakar Nabati. Bogor: IPB.

Imahara H, Minami E, Hattori M, Murakami H, Matsuri N. and Saka S. 2006. Curent Situation and Properties of Oils/Fat Resources for Biodiesel Production. The 2nd

International Conference on “Sustainable Energy and Environment (SEE 2006)”. P.1-5.

Jacobs MB. and L Scheflan. 1953. The Handbook of Solvents. Van Nostrand Company, Inc. New York.

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan.Cetakan pertama. Jakarta: UI. Press.

25

Page 26: Biodiesel Biji Bintaro

Kurnia R. 2010. Ekstraksi dengan Pelarut. Skripsi. FATETA: IPB.

Marlianto, Taubing Des. 2012. Modifikasi dan Unjuk Kerja Kompor Sumbu Tunggal Berbahan Bakar Minyak Biji Bintaro. Bogor: IPB.

Moestapa. 1981. Aspek Teknis Pengolahan Rempah-Rempah menjadi Olleoresin dan Minyak Rempah-Rempah. Di Dalam Unin. 2003. Kajian Ekstraksi Minyak Biji Mengkudu (Morinda citrifolia L.,) Menggunakan Pelarut Organik. Skripsi. Fateta: IPB.

Oesman, F,. Murniana, N. Khairunnas dan N. Saidi. 2010. Atifungal Activity of Alkaloid from Dark of Cerbera odollam. Jurusan Kimia Fakultas MIPA, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia.

Pakpahan A. 2001. Palm Biodiesel Its Potency, technology, Business Prospect and Environmental Implication in Indonesia. Proceding of the International Biodiesel Workshop, Enhancing Biodiesel Development an Use. Ministry of Agriculture RI. Jakarta. Medan, 2-4 Oktober 2001.

Priatna. 1982. Prospek Pemakaian Diatome, bentonit dan Karbon Aktif sebagai Penjernih Minyak Sawit. Laporan Teknik Pertambangan. Departemen Pertambangan dan Energi. Dirjen Pertambangan Umum. PPTM.

Puspitasari, Desti. 2011. Kajian Pengaruh Tingkat Kematangan dan Metode Ekstraksi terhadap Mutu Minyak Biji Bintaro. Bogor: IPB.

Rose and Arthur. 1975. The Condensed Chemical Dictionary. Chapmand and Hall, Ltd. London.

Sabel and Waren. 1973. Theory and Practice of Oleoresin Extraction. Di Dalam Proceeding of The Conference of Spice. Tropical Produk Institute. London.

Sahirman. 2009.Perancangan Proses Produksi Biodiesel dari Minyak Biji Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) Disertasi. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB.

Soerawidjaja, T. H. 2006. Fondasi-Fondasi Ilmiah dan Keteknikan dari Teknologi Pembuatan Biodiesel. Handout Seminar Nasional” Biodiesel sebagai Energi Alternatif Masa Depan” UGM Yogyakarta.

Sudjadi. 1986. Metode Pemisahan Kanisius. Jakarta: Erlangga.

Utami, A.R. 2011. Kajian Proses Produksi Biodiesel dari Minyak Biji Bintaro (Cerbera odollam Gaertn) dengan Metode Transesterifikasi. Bogor: IPB.

26