PEMBUATAN BIODIESEL BERBAHAN DASAR BIJI BINTARO Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah biofuel yang diampu oleh Dr.Rurini Retnowati M.Si. Disusun Oleh: Kelompok 5 Nurul Khikmah (115090200111005) Yulia Nur Isnaini (115090201111021) Aulya Vidiana Ingeswari (115090207111011) M. FaJar Wicaksono (115090207111013) Roirotul Rodiyah (115090213111005) JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PEMBUATAN BIODIESEL BERBAHAN DASAR BIJI BINTARO
Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah biofuel yang diampu oleh
Dr.Rurini Retnowati M.Si.
Disusun Oleh:
Kelompok 5
Nurul Khikmah (115090200111005)
Yulia Nur Isnaini (115090201111021)
Aulya Vidiana Ingeswari (115090207111011)
M. FaJar Wicaksono (115090207111013)
Roirotul Rodiyah (115090213111005)
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012
KATA PENGANTAR
1
Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa yang telah memberi taufik dan
hidayah kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas terstruktur Mata Kuliah
Biofuel dengan judul “Pembuatan Biodiesel Berbahan Dasar Biji Bintaro” ini dengan baik.
Tanpa keberkatan dari Allah Yang Maha Esa, kami tak dapat menyelesaikan tugas ini tepat
waktu.
Kami selaku mahasiswa Kimia Fakultas MIPA Universitas Brawijaya mengucapkan
terima kasih kepada Ibu Rurini Retnowati selaku dosen pengampu yang telah membimbing
kami dalam penyusunan makalah ini dengan baik.
Makalah ini disusun sedemikian rupa agar dapat bermanfaat dalam menambah
khasanah pengetahuan tentang pembuatan biodiesel dari bahan alami, serta dapat
mengaplikasikan pembuatan biodiesel ini.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu. Makalah ini memiliki
kekurangan yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
diperlukan untuk perbaikan makalah ini. Harapan kami semoga menghasilkan manfaat
berganda (multiplayer effect) bagi semua pihak.
Malang, 17 Desember 2012
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………….........
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………………………
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………………
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………………..
1.3 Tujuan………………………………………………………………………………….
1.4 Manfaat………………………………………………………………………………..
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biodiesel………………………………………………………………………………..
2.2 Proses Pembuatan Biodesel scara Umum………………………………………………
2.3 Bintaro…………………………………………………………………………………
BAB III. METODOLOGI
3.1 Proses Ekstraksi Minyak Nabati Biji Bintaro………………………………………….
3.2 Proses Pemurnian Minyak Nabati Biji Bintaro…………………………………………
3.3 Pembuatan Biodiesel dari Minyak Nabati Biji Bintaro………………………………..
BAB IV. PEMBAHASAN
4.1 Proses Ekstraksi Minyak Nabati dari Biji Buah Bintaro…………………………........
4.2 Proses Pemurnian Minyak Nabati dari Biji Bintaro………………………………….…
4.3 Proses Pembuatan Biodiesel dari Minyak Nabati yang Dimurnikan dari Biji Bintaro…
4.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produk Biodiesel yang Berbahan Dasar Minyak
Nabati Biji Buah Bintaro………………………………………………………………..
4.5 Spesifikasi Biodiesel yang Dihasilkan dari Minyak Nabati Biji Buah Bintaro…………
BAB V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan……………………………………………………………………………...
5.2 Saran……………………………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………...
3
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Diagram Proses Pembuatan Biodiesel………………………………………
Gambar 2. Mekanisme reaksi transesterifikasi trigliserida dengan methanol………….
Gambar 3. Biji bintaro…………………………………………………………………..
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada awal abad ke-21 ini, kebutuhan energi yang berasal dari minyak gas sangatlah
tinggi. Hal ini terjadi karena konsumsi masyarakat terhadap minyak gas juga sangat
tinggi. Apalagi saat ini semakin banyak mesin-mesin atau alat-alat yang menggunakan
minyak gas sebagai bahan bakarnya. Sebenarnya kebutuhan energi yang besar tersebut
sangatlah wajar karena perkembangan ilmu teknologi didunia ini juga sangat berkembang
pesat. Akan tetapi, minyak gas yang telah digunakan selama bertahun-tahun untuk
mencukupi kebutuhan energi tersebut jumlahnya terbatas. Hal ini disebabkan karena
bahan bakar yang digunakan selama ini merupakan bahan bakar yang terbuat dari fosil
hewan yang terkubur selama jutaan tahun didalam tanah yang keberadaannya tidak dapat
diperbaharui.
Persediaan minyak gas yang berasal dari fosil hewan yang tidak imbang dengan
kebutuhan energi yang berasal dari minyak gas saat ini selalu menjadi pembicaraan yang
hangat ditengah masyarakat saat ini. Hal ini disebabkan harga minyak gas yang dulu
sangat murah menjadi sangat mahal akhir-akhir ini karena keberadaan minyak gas yang
sudah langka. Akibatnya mau tidak mau pemerintah harus melakukan eksploitasi minyak
gas secara besar-besaran guna untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut.
Melihat kondisi dan permasalahan seperti yang telah dijelaskan diatas, perlu adanya
suatu solusi yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi yang sangat besar,
yaitu dengan cara membuat eneriy alternatif yang bahannya terbuat dari bahan yang dapat
diperbaharui keberadaannya. Penemuan terbaru tentang energi alternatif tersebut salah
satunya adalah biodiesel. Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif pengganti minyak
gas yang dapat diperbaharui dan bahannya terbuat dari minyak nabati atau minyak
hewani. Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai biodiesel adalah minyak nabati
dari biji buah bintaro.
Biji buah bintaro sangatlah efektif jika digunakan sebagai bahan bakar alternatif
biodiesel dikarenakan pesediaan biji buah bintaro ini, di Indonesia khususnya, cukup
melimpah keberadaannya. Perkembangbiakanan buah bintaro ini juga cukup mudah dan
5
tersedia sepanjang tahun. Selain itu, buah bintaro ini juga beracun sehingga
pemanfaatannya oleh masyarakat juga masih sangat kurang.
1.2 Rumusan Masalah1. Bagaimana proses pembuatan biodiesel dari minyak nabati biji bintaro?2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produk biodiesel yang berbahan dasar
minyak nabati biji bintaro?3. Bagaimana spesifikasi biodiesel yang dihasilkan dari minyak nabati biji bintaro?
1.3 Tujuan1. Mengetahui proses pembuatan biodiesel dari minyak nabati yang dimurnikan dari biji
bintaro.2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produk biodiesel yang berbahan dasar
minyak nabati dari biji bintaro.3. Mengetahui spesifikasi biodiesel yang dihasilkan dari minyak nabati biji bintaro.
1.4 Manfaat1.4.1 Teoritis
1. Menambah khazanah pengetahuan mengenai proses pengolahan biodiesel.1.4.2 Praktis
1. Dapat mengaplikasikan pembuatan biodiesel yang berbahan dasar minyak nabati biji bintaro dalam kehidupan sehari-hari sebagai sumber energi alternatif.
2. Dapat memanfaatkan bahan alam sebagai sumber energi alternatif pengganti sumber energi tak terbarui.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biodiesel
Biodiesel adalah suatu bentuk bioenergi atau bahan bakar nabati yang dibuat dari
minyak nabati (dapat berupa minyak baru maupun minyak bekas), yang diolah melalui proses
transesterifikasi (Hambali et al. 2007). Istilah biodiesel sebenarnya merujuk pada bahan bakar
yang dihasilkan dari proses ekstrak minyak nabati atau lemak hewani yang digunakan untuk
operasi standart mesin diesel.
Biodiesel juga merupakan sejenis bahan bakar diesel yang terbuat dari bahan–bahan
hayati yang mengandung minyak nabati dan lemak hewani. Secara kimiawi, bahan-bahan
hayati tersebut mengandung monoalkil ester dari asam lemak rantai panjang yang bersumber
dari golongan lipida (Darnoko et al. 2001). Monoalkil ester ini dapat berupa metil atau etil
ester yang berwujud cair pada suhu ruang (titik leleh antar 4-18ºC), titik didih rendah, tidak
korosif, dan merupakan senyawa yang relatif stabil. Namun metal ester lebih stabil saat proses
distilasi fraksional dan lebih ekonomis sehingga lebih banyak digunakan daripada etil ester
(Anisa, 2011).
Bahan-bahan alam yang dapat digunakan sebagai biodiesel yaitu bahan alam yang
dapat menghasilkan minyak nabati, diantaranya tanaman kelapa, jarak, kelapa sawit, jagung,
bertingkat, modifikasi remaserasi dan modifikasi maserasi dengan mesin berpengaduk
(Sudjadi, 1986).
2.3.2 Proses pemurnian minyak nabati biji bintaro
14
Menurut Ketaren (1986) pada umumnya, proses pemurnian minyak melalui tahapan
pemisahan bahan berupa suspensi dan dispersi koloid dengan cara penguapan, degumming,
dan pencucian dengan asam; pemisahan asam lemak bebas dengan netralisasi; dekolorisai
dengan proses pemucatan; deodorisasi; dan Pemisahan gliserida jenuh (stearin) dengan cara
pendinginan (chilling).
1. Degumming
Degumming merupakan pre-treatment yang bertujuan untuk memisahkan gum (getah
atau lendir) berupa fosfolipid, protein, karbohidrat, dan resin (polimer). Selain itu, degumming
ini juga bertujuan untuk mengurangi ion logam (Fe3+,Cu2+), memudahkan proses pemurnian
selanjutnya, dan memperkecil terjadinya loss pada minyak (Ketaren, 1986).
Menurut Sahirman (2009) degumming merupakan treatment antara minyak mentah
dengan air, asam encer (asam fosfat atau asam sitrat) dan terkadang dilute caustic soda.
Proses ini dilakukan untuk menghilangkan phosphatides dan mucilaginous material (getah-
getah) dari crude oil. Phosphatide merupakan emulsifier yang sangat baik dan dapat
menyebabkan refining loses dimana phosphatide berhubungan dengan logam-logam
khususnya besi sehingga dapat menurunkan oxidative stability serta phosphatide juga dapat
menyebabkan inverse terhadap warna dan fiksasi pada deodorize oil. Selain itu, phosphatide
membuat minyak menjadi keruh selama penyimpanan, menstimulasi akumulasi air pada ester
atau biodiesel, dan menyebabkan penggunaan katalis alkali pada proses transesterifikasi lebih
banyak. Oleh karena itu phosphatide harus dihilangkan.
Proses degumming ini dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti pemanasan,
penambahan asam fosfat, penambahan natrium hidroksida, hidrasi, dan penggunaan pereaksi
khusus seperti asam format, natrium klorida, dan natrium fosfat. Secara garis besar, terdapat
dua jenis proses degumming, yaitu: water degumming yang dilakukan dengan penambahan air
pada suhu minyak 60-90°C yang diikuti proses pemisahan dengan gaya sentrifugal dan acid
degumming yang dilakukan untuk pospatida yang tidak dapat dihilangkan melalui pemanasan,
terdapat penambahan larutan asam (asam sitrat atau asam pospat) dan sejumlah metanol.
Proses degumming dengan menambahkan asam fosfat adalah proses yang paling banyak
dilakukan dalam industri (Moestapa, 1981).
Asam fosfat merupakan cairan yang tidak berwarna dan tidak berbau. Tujuan
penambahan asam fosfat adalah untuk mengendapkan phosphatide yang bersifat
nonhydratable menjadi hydratable sehingga dapat dipisahkan dari minyak melalui proses
pencucian. Menurut Hendrix (1990) sebelum proses netralisasi, minyak diberi perlakuan
15
dengan penambahan 0.02 – 0.5% asam fosfat pada suhu 60-90°C selama 15-30 menit, agar
phosphatide yang larut dalam minyak menjadi mudah dihilangkan.
Proses pemisahan gum (degumming) perlu dilakukan sebelum proses netralisasi
dengan alasan sabun yang terbentuk dari hasil reaksi antara asam lemak bebas dengan caustic
soda pada proses netralisai akan menyerap gum (getah dan lendir) sehingga menghambat
proses pemisahan sabun (soap stock) dari minyak. Selain itu, netralisasi minyak yang masih
mengandung gum akan menambah partikel emulsi dalam minyak, sehingga mengurangi
rendemen trigliserida (Djatmoko dan Ketaren 1985).
2. Netralisasi
Netralisasi merupakan suatu proses untuk memisahkan asam lemak bebas dari minyak
atau lemak, dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya
sehingga membentuk sabun (soap stock). Pemisahan asam lemak bebas dapat juga dilakukan
dengan cara penyulingan (de-asidifikasi). Pada minyak terdapat tiga ikatan antara asam lemak
dengan gliserol. Adanya reaksi hidrolisis dan oksidasi bisa menyebabkan ikatan antara asam
lemak dan gliserol terurai sehingga terbentuk asam lemak bebas. Tujuan proses netralisasi
adalah untuk menghilangkan asam lemak bebas (FFA) yang terdapat pada minyak yang dapat
menyebabkan bau tengik. Netralisasi dapat dilakukan dalam beberapa cara, yaitu : netralisasi
dengan kaustik soda (NaOH), netralisasi dengan natrium karbonat (Na2CO3), netralisasi
minyak dalam bentuk “miscella”, pemisahan asam (de-acidification) dengan cara penyulingan
serta pemisahan asam dengan menggunakan pelarut organik (Ketaren 1986).
Netralisasi menggunakan kaustik soda (NaOH) banyak digunakan dalam industri
karena lebih efisien dan lebih murah dibandingkan dengan cara netralisasi lainnya. Selain itu,
penggunaan kaustik soda membantu dalam mengurangi zat warna dan kotoran yang berupa
getah dan lendir dalam minyak. Dengan cara hidrasi dan dibantu dengan proses pemisahan
sabun secara mekanis, netralisasi dengan menggunakan kaustik soda dapat menghilangkan
fosfatida, protein, resin, dan suspensi dalam minyak yang tidak dapat dihilangkan dengan
proses pemisahan gum. Komponen minor dalam minyak yang berupa sterol, klorofil, vitamin
E dan karotenoid hanya sebagian kecil dapat dikurangi dengan proses netralisasi ini (Ketaren,
1986). Menurut Herlina (2002) NaOH lebih banyak digunakan pada proses netralisasi karena
memiliki reaktifitas yang lebih baik. Selain itu, secara ekonomis harganya lebih murah dan
mudah didapat di Indonesia (Priatna, 1982).
Menurut Ketaren (1986), beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih
konsentrasi larutan alkali yang digunakan dalam netralisasi adalah keasaman dari minyak
16
kasar, jumlah minyak netral (trigliserida) yang tersabunkan diusahakan serendah mungkin,
jumlah minyak netral yang terdapat dalam soap stock, suhu netralisasi dan warna minyak
netral. Konsentrasi dari alkali yang digunakan tergantung dari jumlah asam lemak bebas atau
derajat keasaman minyak. Makin besar jumlah asam lemak bebas, makin besar pula
konsentrasi alkali yang digunakan. Suhu netralisasi dipilih sedemikian rupa sehingga sabun
(soap stock) yang terbentuk dalam minyak mengendap dengan kompak dan cepat.
Pengendapan yang lambat akan memperbesar kehilangan minyak karena sebagian minyak
akan diserap oleh sabun. Makin encer larutan alkali yang digunakan, makin besar jumlah
larutan yang dibutuhkan untuk netralisasi dan minyak netral yang dihasilkan berwarna lebih
pucat. (Ketaren, 1986).
Efisiensi netralisasi dinyatakan dalam refining factor, yaitu perbandingan antara
kehilangan total karena netralisasi dan jumlah asam lemak bebas dalam lemak kasar. Semakin
kecil nilai RF maka efisiensi netralisasi semakin tinggi.
Secara teoritis, untuk menetralkan 1 kg asam lemak bebas dalam minyak (sebagai
asam oleat), dibutuhkan sebanyak 0.142 kg kaustik soda kristal, atau untuk menetralkan 1 ton
minyak yang mengandung 1 persen asam lemak bebas (10 kg asam lemak bebas) dibutuhkan
sebanyak 0.142 kg kaustik soda kristal. Pada proses netralisasi perlu ditambahkan kaustik
soda berlebih yang disebut excess dari jumlahnya tergantung dari sifat – sifat khas minyak.
Penambahan alkali dengan jumlah berlebih (excess) bertujuan untuk mengurangi kesalahan
perhitungan kebutuhan alkali, sehingga penambahan alkali (kaustik soda) pada netralisasi
lebih tepat dan sesuai. Untuk minyak dengan kandungan asam lemak bebas yang rendah
dengan kadar asam lemak bebas kurang dari 5%, lebih baik dinetralkan dengan alkali encer
(konsentrasi lebih kecil dari 0.15N atau 5°Be), sedangkan asam lemak bebas yang tinggi,
lebih baik dinetralkan dengan larutan alkali 10 – 24°Be (Basiron, 1990).
17
BAB III
METODOLOGI
3.1 Proses Ekstraksi Minyak Nabati dari Biji Bintaro
Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan minyak nabati dari bahan yang
mengandung minyak nabati yatu biji bintaro. Metode yang digunakan untuk ekstraksi minyak
nabati biji bintaro adalah metode mechanical expression. Proses pertama yang dilakukan
adalah mengupas biji bintaro dari kulitnya, kemudian dilakukan uji pada biji bintaro yang
bertujuan untuk mengetahui karakterisasi dari biji tersebut. Uji yang dilakukan yaitu berupa
kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat dan kadar karbohidrat.
Selanjutnya, biji bintaro dihilangkan kandungan airnya yaitu dengan memasukkan biji bintaro
ke dalam oven blower selama 2 hari dengan suhu 40-60ºC. biji bintaro yang sudah kering,
kemudian dicacah agar mempermudah pengeluaran minyak. Kemudian dilakukan proses
pengepresan mekanik, yang terbagi menjadi dua cara, yaitu hidraulik (hydraulic pressing) dan
pengepresan berulir (expeller pressing), yang selanjutnya akan menghasilkan ekstrak minyak
nabati dari bahan dasar biji bintaro
3.2 Proses Pemurnian Minyak Nabati Biji Bintaro
Proses ini bertujuan untuk menghilangkan rasa dan bau yang tidak enak, warna yang
kurang menarik, dan memperpanjang masa simpan minyak. Pertama yang dilakukan adalah,
memisahkan antara bahan berupa suspensi dan dispersi koloid. Cara untuk memisahkan bahan
tersebut diantaranya dengan cara penguapan, degumming, netralisasi; dekolorisai dengan
proses pemucatan; deodorisasi; dan pendinginan (chilling). Degumming digunakan untuk
memisahkan komponen pengotor minyak. Minyak bintaro ditimbang dan dipanaskan hingga
mencapai suhu 70-75°C, kemudian ditambahkan asam pospat sebanyak 0,3 % berat minyak
dengan suhu tetap dan diaduk. Gum dan kotoran kemudian dipisahkan dari minyak dalah labu
terpisah dengan cara mencuci dengan air hangat. Setelah itu dilakukan proses netralisasi yaitu
proses pemisahan asam lemak bebas dari minyak bintaro dengan cara mereaksikannya dengan
asam lemak bebas sehingga terbentuk sabun. Proses netralisasi ini juga dapat dilakukan
dengan cara penyulingan. Selanjutnya dilakukan pendinginan (chilling) untuk memisahkan
gliserida jenuh (stearin) dari minyak bintaro.
18
3.3 Pembuatan Biodiesel dari Minyak Nabati Biji Bintaro.
Proses pembuatan biodiesel dilakukan dengan metode transesterifikasi. Minyak yang
telah dimurnikan direaksikan dengan metanol dengan menggunakan katalis NaOH sebanyak
1% (b/b) pada suhu 60oC selama 60 menit. Kemudian dilakukan pemisahan gliserol dengan
cara settling (gravitasi) berdasarkan densitas zat terlarut. Gliserol dan zat pengotor lain
memiliki densitas lebih tinggi sehingga berada di lapisan bawah sedangkan lapisan atas
merupakan metil ester (biodiesel). Metil ester yang terbentuk dicuci dengan air hangat 60oC
sampai air cucian netral. Pengeringan metil ester dilakukan dengan cara dipanaskan pada suhu
120oC. Setelah itu dilakukan uji pada metil ester untuk mengetahui karakterisasi metal ester
diantaranya bilangan asam, kadar asam lemak bebas, bilangan iod, bilangan peroksida,
bilangan penyabunan, viskositas, densitas, kadar abu, kadar air, rendemen biodiesel dan titik
nyala.
19
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Proses Pembuatan Biodiesel dari Minyak Nabati Biji Bintaro
A. Proses Ekstraksi Minyak Nabati dari Biji Buah Bintaro
Ekstraksi merupakan suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan
yang mengandung minyak atau lemak. Cara ekstraksi minyak nabati tumbuhan bermacam –
macam, yaitu rendering (dry rendering dan wet rendering), mechanical expression
(hydraulic pressing dan expeller pressing, dan solvent extraction. Dalam hal ini, metode
ekstraksi yang digunakan adalah hydraulic pressing yang merupakan salah satu jenis metode
ekstraksi pada mechanical expression. Pemilihan metode ekstraksi hydraulic pressing karena
bahan baku untuk pembuatan biodiesel berupa biji-bijian yaitu biji Bintaro yang mempunyai
kandungan minyak total hingga 89,98%.
Hydraulic pressing yaitu proses dimana bahan baku dipres dengan tekanan 140,6
kg/cm atau 136 atm. Banyaknya minyak atau lemak yang dapat diekstraksi tergantung dari
lamanya pengepresan, tekanan yang dipergunakan, serta kandungan minyak dalam bahan
asal. Sedangkan banyaknya minyak yang tersisa pada bungkil bervariasi sekitar 4 sampai 6
persen, tergantung lamanya bungkil ditekan dibawah tekanan hidraulik (Ketaren 1986).
Pada pengepresan mekanis ini diperlukan perlakuan pendahuluan meliputi bahan
baku yang telah disortasi berdasarkan tingkat kematangannya dipisahkan antara biji buah
dengan serat dan kulit buah, Selanjutnya biji dikeringkan selama 48 jam pada temperatur
550C. Lalu dilanjutkan dengan pembuatan serpih, perajangan dan penggilingan serta
tempering atau pemasakan.
Ekstraksi dengan alat hot press hydraulic dilakukan pada tekanan 20 ton pada suhu
60-700C. Biji bintaro yang telah dikecilkan ukurannya dibungkus terlebih dahulu di dalam
kain saring. Biji bintaro yang akan dikempa dibungkus dengan kain atau cages agar bungkil
dapat tertahan.
Dari metode ekstrasi ini, dihasilkan rendemen sebesar 52,59 %, kadar asam lemak
bebas sebesar 2.75 %, nilai bilangan iod sebesat 60.30 g I2/100 g, nilai bilangan peroksida
5.85 mg O2/g, nilai bilangan penyabunan 199.76 mg KOH/g, nilai viskositas 63 cP, nilai
densitas 0.90 g/cm3, nilai % transmisi 87.43 % dan nilai kadar abu 0.40 %.
20
B. Proses Pemurnian Minyak Nabati dari Biji Buah Bintaro.
Proses pemurnian minyak nabati bertujuan untuk menghilangkan rasa dan bau yang
tidak enak, warna yang kurang menarik, dan memperpanjang masa simpan minyak sebelum
dikonsumsi atau digunakan sebagai bahan mentah dalam proses industri. Proses pemurnian
minyak diawali dengan proses degumming. Pada tahap ini, minyak hasil ekstraksi ditimbang,
kemudian minyak dipanaskan hingga suhu mencapai 70 – 75°C. Setelah itu, ditambahkan
asam fosfat 20% sebanyak 0.3% (v/b) dari berat minyak. Kemudian dilakukan pengadukan
selama 10 menit dengan suhu yang dipertahankan. Setelah pengadukan selesai, minyak
dimasukan ke dalam corong pemisah untuk memisahkan minyak dengan gum. Minyak dicuci
dengan air suhu 60°C hingga pH air buangan menjadi netral. Setelah proses de-gumming
selesai, minyak diuji kadar asam lemak bebasnya. Kadar asam lemak bebas minyak hasil
degumming ini merupakan dasar perhitungan kebutuhan NaOH yang akan digunakan pada
proses netralisasi.
Tahap pemurnian yang kedua yaitu proses netralisasi terhadap minyak hasil degumming.
Proses degumming perlu dilakukan sebelum tahapan netralisasi dengan alasan sabun yang
terbentuk dari hasil reaksi antara asam lemak bebas dengan kaustik soda pada proses
netralisasi akan menyerap gum (getah dan lendir) sehingga menghambat proses pemisahan
sabun (soap stock) dari minyak. Selain itu, netralisasi minyak yang masih mengandung gum
akan menambah partikel emulsi dalam minyak, sehingga mengurangi rendemen trigliserida.
Minyak hasil degumming diukur kandungan asam lemak bebasnya untuk dijadikan acuan
perhitungan larutan NaOH yang dibutuhkan pada proses netralisasi.
Pada tahap netralisasi, larutan alkali yang digunakan adalah kaustik soda. Langkah
pertama yaitu proses pemanasan minyak pada suhu 70-75°C. Kemudian ditambahkan larutan
NaOH konsentrasi 0.3N. Minyak diaduk selama 15 menit. Setelah itu dilakukan pencucian
seperti pada tahap degumming dengan menggunakan air suhu 60°C hingga pH air buangan
netral. Pengujian sifat fisiko kimia minyak dilakukan terhadap minyak murni yang dihasilkan
meliputi rendemen, kadar air, bilangan asam dan asam lemak bebas, bilangan peroksida,
bilangan iod, bilangan penyabunan, kadar abu, viskositas, densitas dan persen transmisi.
Kemudian dilakukan pengolahan data menggunakan statistik untuk mendapatkan proses
pemurnian terbaik.
Terhadap minyak dengan perlakuan terbaik dilakukan proses bleaching yang bertujuan
untuk menghilangkan warna yang tidak diinginkan pada minyak. Sehingga meningkatkan
21
kualitas minyak secara visual. Minyak dipanaskan hingga mencapai suhu 70°C kemudian
ditambahkan bentonit sebanyak 0.3% (b/b) dan dilakukan pengadukan selama 15 menit
menggunakan magnetic stirrer. Setelah proses pengadukan selesai, dilakukan penyaringan
terhadap minyak menggunakan kertas saring. Selain itu, minyak dengan perlakuan terbaik
diuji kandungan asam lemak penyusunnya menggunakan metode Gas Chromatoghraphy
Mass Spectrometry (GCMS).
3. Pembuatan Biodiesel Melalui Proses Transesterifikasi
Proses pembuatan biodiesel dilakukan dengan metode transesterifikasi. Minyak hasil
degumming direaksikan dengan metanol dengan rasio molar metanol terhadap minyak yaitu
6:1, dengan menggunakan katalis NaOH sebanyak 1% (b/b) pada suhu 60oC dan waktu reaksi
selama 60 menit. Kecepatan pengadukan pada proses ini dilakukan pada 400 rpm. Pemisahan
gliserol dilakukan dengan cara settling (gravitasi) yaitu berdasarkan densitas zat terlarut.
Gliserol dan zat pengotor lain memiliki densitas lebih tinggi sehingga berada di lapisan bawah
sedangkan lapisan atas merupakan metil ester (biodiesel). Metil ester yang terbentuk dicuci
dengan air hangat 60oC sampai air cucian netral. Pengeringan metil ester dilakukan dengan
cara dipanaskan pada suhu 120oC. Setelah itu metil ester tersebut dilakukan proses
karakterisasi, dengan menganalisis bilangan asam, kadar asam lemak bebas, bilangan iod,
bilangan peroksida, bilangan penyabunan, viskositas, densitas, kadar abu, kadar air, rendemen
biodiesel dan titik nyala.
4.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produk Biodiesel yang Berbahan Dasar
Minyak Nabati Biji Bintaro.
Produksi biodiesel berkaitan erat dengan bahan baku yang digunakan. Biodiesel
berbahan baku minyak biji bintaro mempunyai standar kualitas yang dipengaruhi oleh
kualitas minyak bintaro. Kualitas Minyak Bintaro ditentukan oleh faktor-faktor tingkat
kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi yang digunakan. Tingkat kematangan biji
bintaro dikatagorikan menjadi tiga jenis yaitu buah bintaro yang masih muda (hijau), buah
yang sudah masak (merah) dan buah yang sudah berkecambah. Pada biji bintaro didapatkan
hasil bahwa kandungan terbesar dari biji bintaro adalah kadar minyak yaitu 59,58 % untuk
biji bintaro masak, 55,04 % untuk biji bintaro muda, dan 45,56 % untuk biji bintaro
berkecambah. Dan metode ekstraksi yang menghasilkan rendemen cukup tinggi yaitu metode
hydraulic pressing yaitu sebesar 52,59 %, kadar asam lemak bebas sebesar 2.75 %, nilai
bilangan iod sebesat 60.30 g I2/100 g, nilai bilangan peroksida 5.85 mg O2/g, nilai bilangan
penyabunan 199.76 mg KOH/g, nilai viskositas 63 cP, nilai densitas 0.90 g/cm3, nilai %
transmisi 87.43 % dan nilai kadar abu 0.40 %.
22
4.2 Spesifikasi Biodiesel yang Dihasilkan dari Minyak Nabati Biji Bintaro.
Standar biodiesel tidak membedakan bahan dasar yang digunakan dalam memproduksi
biodiesel namun lebih ditekankan pada kinerja biodiesel itu sendiri. Kualitas biodiesel sebagai
produk bahan bakar mesin diesel ditentukan oleh beberapa parameter, antara lain massa jenis,
viskositas, angka setana, titik nyala, titik kabut, residu karbon, air dan sedimen, kandungan
fosfor, bilangan asam, kadar gliserol bebas, kadar gliserol total, angka iodine dan lain-lain.
Persyaratan mutu biodiesel di Indonesia sudah dibakukan dalam SNI-04-7182-2006, yang
telah disahkan dan diterbitkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) tanggal 22 Februari
2006 (Soerawidjaja, 2006). Spesifikasi biodiesel yang dihasilkan dari minyak nabati biji
bintaro disajikan dalam tabel berikut.
Parameter Nilai Standar Biodiesel Indonesia
Viskositas (cSt, 40⁰C) 3,55 2,3 – 6,0
Densitas (g/cm3, 40⁰C) 0,8940 0,850 – 0,890
Bilangan asam 0,34 Maks. 0,8
Titik asap (mm) 26 Min. 18⁰C
Titik tuang (⁰C) <0 -15 – 10
Nilai kalor (MJ/Kg) – Gross
- Nett
39,56
39,47
38,45 – 41,00
23
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pembuatan biodiesel dari biji bintaro dilakukan dengan beberapa proses, yaitu
proses ekstraksi minyak nabati, proses pemurnian minyak nabati, dan proses pembuatan
biodiesel dari minyak nabati yang dimurnikan dari biji bintaro. Pada proses ekstraksi,
digunakan metode hydraulic pressing sehingga didapatkan minyak nabati biji bintaro
dengan rendemen sebesar 52,59%. Pada proses pemurnian minyak nabati tahapan-
tahapannya meliputi pemisahan bahan, degumming, netralisasi, bleching, pengadukan dan
penyaringan. Dan pada proses pembuatan biodiesel, dilakukan melalui metode
transesterifikasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi produk biodiesel dari biji bintaro
diantaranya tingkat kematangan dan metode ekstraksi yang digunakan. Spesifikasi
biodiesel dari biji bintaro ditentukan oleh beberapa parameter, yaitu massa jenis,
viskositas, cetane number, titik nyala, titik kabut, residu karbon, air dan sedimen,
kandungan fosfor, bilangan asam kadar gliserol bebas, kadar gliserol total, angka iodine,
dan lain-lain.
3.2 Saran
Biodiesel berbahan bakar minyak biji bintaro memiliki kualitas yang baik,
maka diharapkan adanya invensi ini dapat memberi solusi terkait penyediaan energi bahan
bakar sebagai pengganti bahan bakar fosil yang persediaannya semakin hari semakin
menipis. Invensi ini diharapkan mampu menjawab persoalan krisis energi di negeri ini
24
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi 4. Jakarta: UI Press.
Basiron. 1990. Manfaat dan Keunggulan Kelapa Sawit. Bulletin Perkebunan Juni 1990. 21(2): 113-117.
Darnoko, et al. 2001. Pemanfaatan Pelepah Kelapa Sawit untuk Pembuatan Pulep dan Kertas Cetak. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit, 9 (2-30:63-76)
Djatmiko, D. dan Ketren, S. 1985. Pemurnian Minyak. Bogor: Agr Industri Press, Ftateta, IPB.
Endriana, D. 2007. Sintesis Biodiesel dari Minyak Biji Bintaro (Carbera manghas) Hasil Ekstraksi. Kimia UI. Depok.
Gallard Y. Krisnamoorthy A. and Bevallot F. 2004. Cebera manghas. http://www.fmipa.unsyah.ac.id/jurnalnatural/images/pdf/hal 18 21 2 2010.pdf[10 Jun 2011].
Hambali, et al. 2007. Pemanfaatan Gliserin Hasil Samping Produksi Biodiesel dari Berbagai Bahan Baku (Sawit, Jarak, Kelap) untuk Sabun Transparan, Pusat Penelitian Surfaktan, Bioenergi. Jakarta: LPPM IPB
Haryanto, Bode. 2002. Steam Power Plant by TBS as a Solid Fuel Sources. Journal of Technology Process Vol 2. No. 1, Chemical Engineering Program USU. Medan.
Hendrix, B. 1990. Neutralization I: Theory and Practice of Conventional Caustic (NaOH) Refining. World Conference Proceeding. America Oil Chemists. Illnois USA, pp: 94-100
Herlina. 2002. Lemak dan Minyak. Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara.
Herwanda, A.E. 2011. Kajian Proses Pemurnian Minyak Biji Bintaro (Cerbera manghas L.) sebagai Bahan Bakar Nabati. Bogor: IPB.
Imahara H, Minami E, Hattori M, Murakami H, Matsuri N. and Saka S. 2006. Curent Situation and Properties of Oils/Fat Resources for Biodiesel Production. The 2nd
International Conference on “Sustainable Energy and Environment (SEE 2006)”. P.1-5.
Jacobs MB. and L Scheflan. 1953. The Handbook of Solvents. Van Nostrand Company, Inc. New York.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan.Cetakan pertama. Jakarta: UI. Press.
Kurnia R. 2010. Ekstraksi dengan Pelarut. Skripsi. FATETA: IPB.
Marlianto, Taubing Des. 2012. Modifikasi dan Unjuk Kerja Kompor Sumbu Tunggal Berbahan Bakar Minyak Biji Bintaro. Bogor: IPB.
Moestapa. 1981. Aspek Teknis Pengolahan Rempah-Rempah menjadi Olleoresin dan Minyak Rempah-Rempah. Di Dalam Unin. 2003. Kajian Ekstraksi Minyak Biji Mengkudu (Morinda citrifolia L.,) Menggunakan Pelarut Organik. Skripsi. Fateta: IPB.
Oesman, F,. Murniana, N. Khairunnas dan N. Saidi. 2010. Atifungal Activity of Alkaloid from Dark of Cerbera odollam. Jurusan Kimia Fakultas MIPA, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia.
Pakpahan A. 2001. Palm Biodiesel Its Potency, technology, Business Prospect and Environmental Implication in Indonesia. Proceding of the International Biodiesel Workshop, Enhancing Biodiesel Development an Use. Ministry of Agriculture RI. Jakarta. Medan, 2-4 Oktober 2001.
Priatna. 1982. Prospek Pemakaian Diatome, bentonit dan Karbon Aktif sebagai Penjernih Minyak Sawit. Laporan Teknik Pertambangan. Departemen Pertambangan dan Energi. Dirjen Pertambangan Umum. PPTM.
Puspitasari, Desti. 2011. Kajian Pengaruh Tingkat Kematangan dan Metode Ekstraksi terhadap Mutu Minyak Biji Bintaro. Bogor: IPB.
Rose and Arthur. 1975. The Condensed Chemical Dictionary. Chapmand and Hall, Ltd. London.
Sabel and Waren. 1973. Theory and Practice of Oleoresin Extraction. Di Dalam Proceeding of The Conference of Spice. Tropical Produk Institute. London.
Sahirman. 2009.Perancangan Proses Produksi Biodiesel dari Minyak Biji Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) Disertasi. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB.
Soerawidjaja, T. H. 2006. Fondasi-Fondasi Ilmiah dan Keteknikan dari Teknologi Pembuatan Biodiesel. Handout Seminar Nasional” Biodiesel sebagai Energi Alternatif Masa Depan” UGM Yogyakarta.
Sudjadi. 1986. Metode Pemisahan Kanisius. Jakarta: Erlangga.
Utami, A.R. 2011. Kajian Proses Produksi Biodiesel dari Minyak Biji Bintaro (Cerbera odollam Gaertn) dengan Metode Transesterifikasi. Bogor: IPB.