Top Banner
DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BALAI KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM PAPUA II SORONG Jln. Jenderal Sudirman 40, SORONG, PAPUA Telp. (0951) 321986 Kerjasama BKSDA Papua II Sorong dengan The Nature Conservancy BINTUNI, AGUSTUS 2005
286

Bintuni Indonesian Screen

Jul 02, 2015

Download

Documents

Sartison Tambak
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Bintuni Indonesian Screen

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

BALAI KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM PAPUA II SORONG Jln. Jenderal Sudirman 40, SORONG, PAPUA

Telp. (0951) 321986

KerjasamaBKSDA Papua II Sorong

denganThe Nature Conservancy

BINTUNI, AGUSTUS 2005

Page 2: Bintuni Indonesian Screen
Page 3: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

RENCANA PENGELOLAANCAGAR ALAM TELUK BINTUNI PROPINSI IRIAN JAYA BARAT

2006-2030

Oleh:Dr. Ir. Jamartin Sihite

Ir. Obed N. Lense, M.Sc. Ir. Retno Suratri, M.Sc.

Ir. Chandra Gustiar, M.Si. Sergius Kosamah, SH

EditorProf. Dr. Frans Wanggai Dr. Ir. Jamartin Sihite Dr. Ir. Lukman Yunus Ir. Obed Lense, M.Sc. Ir. Retno Suratri, M.Sc. Ir. Chandra Gustiar, M.Si.

Desain cover dan Tata Letak Dr. Ir. Jamartin Sihite Ir. Obed N. Lense

Fotografi Dr. Ir. Jamartin Sihite Ir. Obed Lense, M.Sc. Ir. Chandra Gustiar, M.Si.

Peta Tematik Ir. Yosias Gandhi, M.Sc (Lab. GIS Fahutan Unipa Manokwari) Ir. Obed Lense, M.Sc.

Page 4: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong

RENCANA PENGELOLAANCAGAR ALAM TELUK BINTUNI PROVINSI IRIAN JAYA BARAT 2006-2030Dr. Jamartin Sihite, dkk.

x, 266 hal; 21x30 cm

PenulisDr. Jamartin Sihite, dkk.

Terbitan Pertama, Agustus 2005

EditorProf. Dr. Frans Wanggai Dr. Jamartin Sihite Dr. Lukman Yunus Ir. Obed Lense, M.Sc. Ir. Retno Suratri, M.Sc. Ir. Chandra Gustiar, M.Si.

Desain cover dan Tata Letak Dr. Jamartin Sihite Ir. Obed N. Lense

Fotografi Dr. Jamartin Sihite Ir. Obed Lense, M.Sc. Ir. Chandra Gustiar, M.Si.

Peta Tematik Ir. Yosias Gandhi, M.Sc (Lab. GIS Fahutan Unipa Manokwari) Ir. Obed Lense, M.Sc.

Penerbit:The Nature Conservancy (TNC), Southeast Asia Center for Marine Protected Areas (SEA CMPA) (Jl. Pengembak No. 2 Sanur-Bali, Indonesia. Phone: (62-361) 287272 (hunting), Fax: (62-361) 270737)

Bekerjasama dengan UNIVERSITAS NEGERI PAPUA MANOKWARI Jl. G. Salju Amban Manokwari, Irian Jaya Barat PO Box 23 Manokwari Phone : (0986) 211754 Fax : (0986) 211455

Hak Cipta pada TNC (The Nature Conservancy) dan Universitas Negeri Papua

ISBN: 979-97700-4-1

Page 5: Bintuni Indonesian Screen

DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

BALAI KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM PAPUA II Alamat: Jl. Jenderal Sudirman No. 40 Po. Box 1053 Sorong-Papua

Telp 0951-321926, Faks. 0951-334073, Email: [email protected]

RENCANA PENGELOLAAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI

TAHUN 2006 – 2030

Page 6: Bintuni Indonesian Screen
Page 7: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Ringkasan Eksekutif RI- 1

BKSDA Papua II Sorong

RINGKASAN EKSEKUTIF

Cagar Alam Teluk Bintuni adalah salah satu kawasan konservasi di Kabupaten Bintuni yang

sebagian besar merupakan tipe hutan mangrove. Karena keunikan wilayahnya serta terdapatnya

beragam jenis flora dan fauna endemik Papua, maka pemerintah melalui Surat Keputusan

Menteri Kehutanan No: 891/KPTS-II/1999 tentang penunjukan Kawasan Hutan Propinsi dan

perairan Papua, menunjuk kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sebagai Kawasan Cagar Alam

dengan luas 124,850 Ha. Sejak Penunjukan, pengelolaan kawasan CATB berada di bawah Balai

Konservasi Sumberdaya Alam Papua II Sorong - Seksi Konservasi Wilayah I Manokwari.

Kegiatan yang dilakukan masih terbatas pada pengamanan kawasan sedangkan kegiatan yang

mengarah kepada pelestarian fungsi kawasan belum dilakukan.

Pada era desentralisasi sektor kehutanan sejalan dengan diberlakukannya otonomi khusus bagi

Propinsi Papua serta implementasi paradigma pengelolaan hutan berbasis

masyarakat,memunculkan dilema baru bagi pengelolaan kawasan konservasi di daerah.

Tekanan masyarakat terhadap sumberdaya hutan semakin gencar bermunculan, baik ditinjau

dari segi tuntutan masyarakat pemilik hak ulayat akan haknya terhadap kawasan hutan bahkan

juga kegiatan pemanfaatan sumberdaya di dalam kawasan semakin tidak terkendali. Menyikapi

masalah tersebut, khusus bagi kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB), sebagai salah satu

kawasan konservasi yang strategis, berbatasan langsung dengan pusat kota dan merupakan

tempat dimana masyarakat kota Bintuni dan sekitarnya menggantungkan kehidupannya,

terutama dari hasil Perikanan seperti udang, ikan, dan kepiting.

Dalam upaya untuk mengelola Cagar Alam Teluk Bintuni yang lebih baik, The Nature

Conservancy (TNC) dalam hal ini Southeast Asia Center for Marine Protected Areas (SEACMPA)

yang berkedudukan di Denpasar, Bali membentuk suatu Tim Penyusun yang bertugas menyusun

Rencana Pengelolaan Kawasan (RPK) yang terdiri dari unsur pengelola kawasan (BKSDA Papua

II, c.q. Resort KSDA Bintuni), akademisi, dan organisasi non pemerintah serta didukung oleh

unsur Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni. Tim ini dibentuk untuk membantu pemerintah

daerah dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam Papua II dalam merumuskan Rencana

Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni secara partisipatif yang mampu

mempertahankan dan melestarikan fungsi kawasan sesuai peruntukannya.

Dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni ini dimaksudkan sebagai upaya

untuk menjawab berbagai tantangan yang muncul dari adanya kebijakan pelaksanaan otonomi

daerah dan meningkatnya tuntutan masyarakat untuk dapat terlibat langsung dalam proses

pembangunan bidang kehutanan. Tantangan ini, pada dasarnya merupakan wujud tuntutan

publik atas perlunya suatu program pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang benar-

Page 8: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Ringkasan Eksekutif RI- 2

BKSDA Papua II Sorong

benar dapat dijalankan dan isinya merupakan kumpulan agenda dari aspirasi segenap pemangku

kepentingan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan.

Dokumen Rencana Pengelolaan ini bertujuan untuk mengakomodir berbagai aspirasi dari

stakeholder dan merumuskannya dalam rencana strategis dan rencana aksi. Disamping itu

penyusunan dokumen ini ditujukan untuk menciptakan salah satu instrumen pengelolaan yang

mampu memberikan landasan bagi perencanaan dan pengembangan kawasan Cagar Alam

Teluk Bintuni oleh Pemerintah Kabupaten Bintuni. Dengan adanya dokumen ini, diharapkan

dapat mendorong penyelenggaraan pengelolaan kawasan CATB yang akomodatif , demokratif ,

partisipatif dan bertanggung jawab.

Proses penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni, Kabupaten

Bintuni oleh Tim Penyusun dilakukan melalui serangkaian tahapan (1) Konsultasi, koordinasi, dan

sosialiasi kegiatan penyusunan RPK Cagar Alam Teluk Bintuni kepada Bupati Teluk Bintuni,

Dinas-Dinas Terkait di Teluk Bintuni, Wakil masyarakat adat yang bermukim di dalam dan sekitar

Kawasan CATB, dan LSM Mitra Pesisir, Akhir Maret 2005; (2) Pertemuan Kampung (village

meeting) dan Rapid Social Assesment (RSA) di 14 kampung/kelurahan yang berada di dalam

dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, serta Rapid Biological Assesment (RBA) dalam

rangka pengumpulan data SOSEKBUD dan biologi kawasan, yang dilakukan selama periode

akhir Maret s/d awal Mei 2005; (3) Lokakarya khusus dengan seluruh masyarakat yang bermukim

di dalam dan sekitar kawasan yang di wakili oleh Kepala Kampung, Kepala Suku, dan Tokoh

masyarakat di setiap kampung yang memiliki akses langsung ke kawasan Cagar Alam Teluk

Bintuni, di Bintuni, tanggal 1 Juni 2005; (4) Lokakarya Penjabaran dan Perumusan Draft Rencana

Pengelolaan CATB yang dilaksanakan pada tanggal 2 Juni 2005, di Bintuni; (5) Kajian ilmiah

(scientific review) draft Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni oleh

“reviewer”, sehingga dokumen yang dibuat dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah; dan (5)

Pemaparan Draft Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni yang dilaksanakan pada

tanggal 22 Juli 2005 di Departemen Kehutanan, c.q. Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam,

Jakarta. Kegiatan ini dihadiri oleh Bupati Teluk Bintuni, Rektor Unipa Manokwari, Kepala

Bappeda Propinsi Irian Jaya Barat dan Kabupaten Teluk Bintuni, dinas terkait (Dinas kehutanan

dan Dinas Kelautan dan Perikanan) di Teluk Bintuni, Koordinator Badan Monitoring, dan

masyarakat Teluk Bintuni yang diwakili oleh wakil masyarakat adat yang bermukim di dalam dan

sekitar Kawasan CATB.

Visi Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni untuk tahun 2006 – 2030 adalah mewujudkan

“Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang Lestari,Berkelanjutan dan Berdaya

Guna”. dapun skenario yang menjadi impian ataupun harapan para pemangku kepentingan dan

Page 9: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Ringkasan Eksekutif RI- 3

BKSDA Papua II Sorong

masyarakat kota Bintuni pada masa 25 tahun mendatang adalah “Pada Tahun 2030 Pengelolaan

Cagar Alam Teluk Bintuni Akan Berjalan Ideal Dan Optimal, Karena Kebijakan Pemerintah Yang

Akomodatif Dan Didukung Oleh Kelembagaan Pemangku Kepentingan Yang Demokratif.

Untuk menunjang terwujudnya visi pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni, dalam dokumen ini

telah dirumuskan secara detai Rencana kegiatan pengelolaan yang difokuskan pada 7 (tujuh)

aspek, yaitu aspek Pemantapan Kawasan, Peningkatan efektifitas Pengelolaan Kawasan,

Pengembangan Konservasi jenis dan Keanekaragaman Hayati, Perlindungan dan Pengamanan

Kawasan, Pendukung/Kelembagaan, Pemanfaatan, serta aspek Sarana Prasarana Pendukung

Kegiatan Pengelolaan.

Dalam implementasi kegiatan Rencana pengelolaan Kawasan, akan dimonitor dan dievaluasi

oleh unsur internal pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni maupun oleh Forum komunikasi yang

bersifat independent. Dalam perjalanan waktu, isu-isu pengelolaan kawasan yang baru akan

muncul, sehingga dalam aktivitas perencanaan lebih lanjut akan didapatkan beberapa strategi-

strategi tertentu yang tidak relevan lagi. Oleh karena itu, prioritas kegiatan perlu dievaluasi dan

dimodifikasi.

Selain itu, dalam dokumen ini juga telah disusun Rencana pembiayaan serta kemungkinan-

kemungkinan sumber dana yang bisa di gali dalam menunjang implementasi kegiatan Rencana

pengelolaan periode limatahunan dan duapuluh limatahunan.

Page 10: Bintuni Indonesian Screen
Page 11: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Sambutan Bupati SB-1

BKSDA Papua II Sorong

SAMBUTAN BUPATI

Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan salah satu dari beberapa kawasan konservasi yang

terletak di Kabupaten Teluk Bintuni. Cagar alam ini merupakan kebanggaan masyarakat

Kota Bintuni, sudah dikenal di dunia internasional dan juga tempat banyak penduduk

menggantungkan hidupnya. Upaya pengelolaan yang bertujuan untuk penyelamatan dan

pelestarian kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan wujud dari tanggungjawab kita

bersama selaku umat ciptaan Tuhan terhadap anugerah yang diberikan kepada masyarakat

Teluk Bintuni.

Keberadaan kawasan konservasi di suatu daerah, mampu memberikan manfaat yang besar,

tidak hanya pada daerah dimana kawasan konservasi berada tetapi juga memberikan

manfaat kepada lingkungan global. Tim penyusun Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar

Alam Teluk Bintuni yang dibentuk oleh The Nature Conservancy (TNC), South East Asia

Center for Marine Protected Areas (SEACMPA) Bali, yang terdiri dari unsur pengelola

kawasan (BKSDA Papua II, c.q. Resort KSDA Bintuni), akademisi, dan didukung oleh unsur

Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni telah selesai menyusun rencana pengelolaan

dan ini merupakan suatu momentum yang baik dimana ada banyak pihak yang berjuang

bersama dalam pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Perhatian yang besar dari masyarakat dan kerja keras Tim Penyusunan Rencana

Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni diperlihatkan dari antusiasme semua pemangku

kepentingan dalam mengikuti proses penyusunan, dimulai dari proses konsultasi publik baik

pertemuan kampung, diskusi intern dengan institusi terkait di daerah, dan lokakarya tingkat

Kabupaten merupakan bukti kepedulian kita bersama dalam upaya penyelamatan kawasan

ini. Oleh sebab itu, Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni menyambut baik hasil dokumen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni 25 tahunan yang telah dirumuskan dan

disusun oleh Tim secara bersama-sama dengan para pemangku kepentingan. Pemerintah

Kabupaten Teluk Bintuni tetap mengharapkan dukungan dari semua pihak, terutama segenap

masyarakat Teluk Bintuni dalam upaya impelementasinya. Pemerintah Kabupaten Teluk

Bintuni juga mengharapkan dengan adanya dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam

Teluk Bintuni, maka sinergitas dan kinerja para pemangku kepentingan dalam pengelolaan

maupun pengembangan kawasan dapat berjalan secara efektif, transparan dan bertanggung

jawab, sehingga upaya mewujudkan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni secara

lestari, berkelanjutan dan berdaya guna dapat terlaksana.

Sehubungan dengan upaya untuk mewujudkan tujuan tersebut di atas, secara khusus saya

meminta Pengelola Cagar Alam untuk dapat melaksanakan dengan sungguh-sungguh dan

sekaligus pula melakukan koordinasi pelaksanaan berbagai kegiatan yang ada dalam

Page 12: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Sambutan Bupati SB-2

BKSDA Papua II Sorong

dokumen rencana kegiatan dimaksud bersama dengan Kepala Dinas dan Instansi terkait.

Masyarakat Kabupaten Teluk Bintuni secara umum juga saya minta untuk dapat mendukung

sepenuhnya upaya pelaksanaan kegiatan di lapangan. Terhadap hal-hal yang mungkin

muncul atau dijumpai di lapangan, termasuk kemungkinan konflik kepentingan, dalam atau

selama pelaksanaan kegiatan ini saya minta dengan sangat untuk dapat dipecahkan

bersama secara terbuka, partisipatif dan berpegang pada azas demokrasi.

Atas nama Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni saya mengucapkan terima kasih dan

penghargaan kepada Tim Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan atas segala upaya

dan kerja keras yang dilakukan selama ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga, saya

sampaikan kepada lembaga pendukung kegiatan The Nature Conservancy (TNC), South

East Asia Center for Marine Protected Areas (SEACMPA) Bali, yang telah membantu dan

menfasilitasi proses penyusunan Dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kabupaten Teluk Bintuni selama ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan pula kepada

semua pihak baik instansi teknis terkait, dinas lainnya se-Kabupaten Teluk Bintuni, lembaga

pendidikan dan lembaga penelitian serta lembaga pelaksana teknis Departemen Kehutanan

di Kabupaten Teluk Bintuni yang telah membantu memberikan konstribusi pemikiran dan

berpartisipasi aktif dalam proses penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam

Teluk Bintuni. Terima kasih dan penghargaan yang sama pula saya sampaikan kepada

semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas partisipasinya dalam proses

penyusunan rencana pengelolaan ini.

Dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan suatu momentum

awal yang baik bagi pengembangan dan pengelolaan kawasan konservasi di Tanah Papua,

secara khusus pelestarian dan perlidungan kawasan konservasi di Kabupaten Teluk Bintuni.

Namun demikian, untuk menambah arti dan nilai manfaat dokumen ini maka sekali lagi saya

mengajak semua para pemangku kepentingan dan segenap masyarakat Teluk Bintuni untuk

secara bersamasama mendukung implementasi kegiatan dalam dokumen program rencana

pengelolaan ini.

Akhirnya, hanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa kita panjatkan puji dan syukur, sehingga

kita boleh menikmati hidup yang baik hingga saat ini.

Bintuni, Agustus 2005

Page 13: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Sambutan Kepala BKSDA Papua II SKBKSDA-1

BKSDA Papua II Sorong

SAMBUTAN KEPALA BALAI KSDA PAPUA II

Perubahan arah kebijakan Departemen Kehutanan RI yang prioritasnya kegiatan lebih

dititikberatkan pada konservasi dan rehabilitasi kawasan merupakan suatu peluang yang

baikdalam upaya penyelamatan kawasan hutan di Papua. Namun demikian, pengelolaan

kawasan konservasi menjadi hal yang dilematis dan tidak konstruktif di Papua, apabila

diperhadapkan pada era desentralisasi pengelolaan hutan di daerah, perlibatan masyarakat

adat dan penetapan kawasan konervasi yang kurang mengakomodir berbagai kepentingan

masyarakat di masa lalu. Selain itu pula, tuntutan kepentingan akan kebutuhan dasar hidup

masyarakat di Papua secara khusus masyarakat yang bermukim di sekitar dan dalam

kawasan konservasi menjadi suatu tantangan yang harus segera dipecahkan bersama oleh

para penggiat konservasi dan pemerhati lingkungan di Tanah Papua.

Permasalahan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi dan kepentingan masyarakat,

erutama masyarakat yang berdiam di sekitar dan dalam kawasan konservasi di Papua

merupakan masalah krusial yang harus segera diselesaikan. Disamping itu, model

pengelolaan maupun instrumen kebijakan yang digunakan dalam pengelolaan kawasan

konservasi selama ini di Papua kurang mengakomodir kepentingan dan aspirasi masyarakat ,

sehingga pengelolaan kawasan konervasi tidak dapat berjalan secara efektif, berkelanjutan

dan bermanfaat bagi masyarakat.

Upaya proses penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk

Bintuni yang digagasi oleh The Nature Conservancy (TNC) merupakan suatu langkah awal

yang bijak dan bukti nyata kepedulian para penggiat konservasi dan pemerhati lingkungan

Kabupaten Teluk Bintuni dan sekitarnya dalam upaya mewujudkan pengelolaan kawasan

konservasi di Papua yang partisipatif, transparan, demokratik dan bertanggung gugat. Upaya

ini merupakan salah satu bantuan yang sangat berharga bagi kami dalam upaya pengelolaan

kawasan konservasi di Papua, secara khusus dalam wilayah kerja Balai Konservasi Sumber

Daya Alam Papua II Sorong. Menginggat keterbatasan sumber daya kami yang kurang

proposional dengan luas wilayah konservasi yang ada dalam wilayah pemangkuhan Balai

KSDA Papua II Sorong di Papua.

Penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang

digagasi oleh Tim penyusun rencana pengelolaan kawasan CATB serta berkoordinasi

dengan Balai KSDA Papua II juga merupakan langkah yang sejalan dan sesuai dengan

program dan prosedural penetapan dan pengelolaan suatu kawasan konservasi. Selain itu

pula, proses penyusunan yang melibatkan para pemangku kepentingan serta publik di

Kabupaten Teluk Bintuni memberikan makna yang penting dalam membangun dan merubah

paradigma kebijakan pengelolaan yang lebih akomodatiif, transparan dan demoktratik.

Sehingga, kebijakan pengelolaan kawasan konservasi di Papua bersifat partisipatif yang

Page 14: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Sambutan Kepala BKSDA Papua II SKBKSDA-2

BKSDA Papua II Sorong

dapat mengakomodir semua aspirasi para pemangku kepentingan dalam kawasan. Dengan

demikian, implementasi program pengelolaan kawasan selanjutnya dapat berjalan lebih

efektif dan seinergis serta meminilisasi konflik yang selama ini terjadi.

Oleh sebab itu, Balai KSDA Papua II Sorong menyambut baik dan menyampaikan selamat

dan sukses atas diselesaikannya dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam

Teluk Bintuni ini. Selanjutnya, disadari bahwa sumberdaya pada Balai KSDA Papua II masih

sangat terbatas, maka kontribusi dan dukungan para pemangku kepentingan serta publik

Manokwari masih sangat diharapkan juga dalam implementasi program selanjutnya.

Pada kesempatan ini pula, kami ucapkan terima kasih kepada Tim Faslitasi Penyusunan

Rencana Pengelolaan CATB atas upaya dan kerja keras yang diberikan selama ini. Ucapan

terima kasih juga, kami sampaikan kepada Bupati Teluk Bintuni serta Pemerintah Kabupaten

Teluk Bintuni atas segala dukungan dan bantuan yang diberikan. Ucapan terima kasih juga

kami sampaikan kepada The Nature Conservancy atas segala dukungan dalam menfasilitasi

proses penyusunan dokumen selama ini. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam

proses penyelesaian dokumen ini, yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu juga kami

ucapkan banyak terimakasih.

Pengelolaan dan pelestarian kawasan konservasi di Tanah Papua, secara khusus pada

wilayah Kepala Burung Pulau Papua bukan semata-mata merupakan tanggungjawab Balai

KSDA Papua II selaku pemangku dan pengemban tugas pengelola kawasan, melainkan

merupakan tanggungjawab kita bersama segenap masyarakat Papua untuk melestarikan dan

mewariskan kekayaan alam yang unik dan maha kaya bagi generasi akan datang di tanah ini.

Akhirnya, segala puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang

telah memberikan perlindungan, berkat dan anugerah yang tak ternilai harganya, sehingga

proses kegiatan ini dapat diselesaikan dengan baik.

Sorong, Agustus 2005

Page 15: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kata Pengantar KP-1

BKSDA Papua II Sorong

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang maha kuasa, yang telah membantu

memberikan kekuatan, kesehatan dan menyertai serta melindungi kita, sehingga proses

penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan (RPK) Cagar Alam Teluk Bintuni

(CATB) dapat diselesaikan dengan baik.

Dokumen ini dihasilkan melalui serangkaian tahapan kegiatan diskusi baik formal dan

informal yang dilakukan Tim Penyusun RPK Cagar Alam Teluk Bintuni, baik internal tim

berupa konsolidasi dan koordinasi yang dilakukan secara regular, maupun eksternal tim

antara berupa konsultasi publik dan field survei. Rangkaian tahapan proses yang dilakukan

Tim Penyusun RPK CATB secara umum terdiri dari beberapa tahapan kegiatan, yaitu :

1. Penyusunan rencana kegiatan (work-plan) untuk keperluan internal Tim Penyusun RPK

Cagar Alam Teluk Bintuni, dilaksanakan di kantor TNC, Southeast Asia Center for Marine

Protected Areas (SEACMPA) Bali pada tgl 6-8 Maret 2005.

2. Penelusuran informasi-informasi yang pernah dilakukan di Cagar Alam Teluk Bintuni

bekerjasama dengan beberapa stakeholder seperti Universitas Negeri Papua, CRMP

Jakarta dan Mitra Pesisir Bintuni, Pemerintah Daerah Teluk Bintuni termasuk beberapa

Dinas terkait, BKSDA Papua I dan Resort KSDA Bintuni, BP Tangguh, TNC Bali, dan

beberapa LSM lokal di Manokwari, Bulan Pebruari – April 2005.

3. Konsultasi, koordinasi, dan sosialiasi kegiatan penyusunan RPK Cagar Alam Teluk

Bintuni kepada Bupati Teluk Bintuni, Dinas-Dinas Terkait di Teluk Bintuni, Masyarakat

yang diwakili LMA Bintuni dan Lemasom, dan LSM Mitra Pesisir, Akhir Maret 2005 .

4. Pertemuan Kampung (village meeting) dan Rapid Social Assesment (RSA) di 14

kampung/kelurahan yang berada di dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk

Bintuni, serta Rapid Biological Assesment (RBA) dalam rangka pengumpulan data

SOSEKBUD dan biologi kawasan, yang dilakukan selama periode akhir Maret s/d awal

Mei 2005.

5. Lokakarya khusus dengan seluruh masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar

kawasan yang di wakili oleh Kepala Kampung, Kepala Suku, dan Tokoh masyarakat di

setiap kampung yang memiliki akses langsung ke kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, di

Bintuni, tanggal 1 Juni 2005.

6. Lokakarya Penjabaran dan Perumusan Draft Rencana Pengelolaan CATB bersama

pemangku kepentingan terkait di Kabupaten Teluk Bintuni, dilaksanakan pada tanggal 2

Juni 2005, di Bintuni.

Page 16: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kata Pengantar KP-2

BKSDA Papua II Sorong

7. Kajian ilmiah (scientific review) draft Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk

Bintuni oleh Dr. Sukristijono Sukardjo, DS.c, APU (Peneliti Mangrove, Puslitbang

Oseanologi-LIPI).

8. Pemaparan Draft Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni yang dilaksanakan

pada tanggal 22 Juli 2005 di Departemen Kehutanan, c.q. Pelestarian Hutan dan

Konservasi Alam, Jakarta. Kegiatan ini dihadiri oleh Bupati Teluk Bintuni, Rektor Unipa

Manokwari, Kepala Bappeda Propinsi Irian Jaya Barat dan Kabupaten Teluk Bintuni,

dinas terkait (Dinas kehutanan dan Dinas Kelautan dan Perikanan) di Teluk Bintuni,

Koordinator Badan Monitoring, dan masyarakat Teluk Bintuni yang diwakili oleh Ketua

LMA Bintuni dan Lemasom.

9. Pengesahan dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni oleh

Dirjen PHKA, di Jakarta.

Dokumen ini memuat kondisi umum kawasan, kebijakan, analisis permasalahan, rencana

kegiatan, pembiayaan, pengorganisasian, dan monitoring dan evaluasi. Khusus untuk

rencana kegiatan, difokuskan pada 7 (tujuh) aspek, yaitu aspek Pemantapan Kawasan,

Peningkatan efektifitas Pengelolaan Kawasan, Pengembangan Konservasi jenis dan

Keanekaragaman Hayati, Perlindungan dan Pengamanan Kawasan, Pendukung/

Kelembagaan, Pemanfaatan, serta aspek Sarana Prasarana Pendukung Kegiatan

Pengelolaan.

Dokumen Rencana Pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan arahan

umum kegiatan yang diharapkan dapat di realisasikan oleh para pemangku kepentingan

dalam program pengelolaan kawasan CATB sesuai dengan kewenangan serta tugas pokok

dan fungsinya. Implementasi kegiatan pengelolaan selanjutnya, merupakan tugas pokok dan

fungsi serta kewenangan Balai KSDA Papua II, Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni dan

para pemangku kepentingan dalam kawasan, bukan lagi menjadi tugas Tim Penyusun RPK

CATB. Namun demikian, pelaksanaan kegiatan bukan merupakan tanggungjawab sepihak

pengelola kawasan dan pemerintah daerah, melainkan tanggungjawab bersama para

pemangku kepentingan dalam kawasan dan juga masyarakat Teluk Bintuni dalam

mendukung dan menyukseskan pelaksanaannya.

Dengan selesainya Dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni ini, pada

kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bupati Teluk Bintuni yang telah memberikan perhatian serius dan mendukung kami,

sehingga semua proses kegiatan dapat berjalan dengan baik.

2. Badan Perencana Daerah Kabupaten Teluk Bintuni beserta jajarannya atas bantuan dan

arahan selama proses penyusunan dokumen ini.

3. Kepala Balai KSDA Papua II atas dukungan, bantuan dan kerjasama yang diberikan

kepada kami, sehingga koordinasi dan kerjasama dapat berjalan lancar dan sukses.

Page 17: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kata Pengantar KP-3

BKSDA Papua II Sorong

4. The Nature Conservancy (TNC), Southeast Asia Center for Marine Protected Areas

(SEACMPA) Bali, atas dukungan, bantuan dan fasilitas, sehingga proses penyusunan

dokumen ini dapat direalisasikan dengan baik.

5. Universitas Negeri Papua Manokwari dan Universitas Trisakti Jakarta, atas bantuan

teknis dan informasi yang diberikan, sehingga penyusunan dokumen dapat diselesaikan

dengan baik.

6. Teman-teman di Pusat Studi Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PS2AL) - Bogor atas

bantuan editing dan koreksian serta dukungan data-informasi yang diberikan

7. Teman di BP Indonesia khususnya Jalal, Piere dan Habel atas bantuan dan dukungan

yang diberikan

8. Kepada instansi teknis terkait dan dinas serta semua pihak yang tidak dapat kami

sebutkan satu persatu di sini.

9. Masyarakat Teluk Bintuni, khususnya masyarakat yang bermukim di kampung-kampung

di dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Semoga dokumen ini dapat menjadi acuan dan instrumen dasar bagi Balai KSDA Papua II

Sorong dan Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni sebagai upaya dalam pengembangan

program pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, sehingga memberikan manfaat

sebesar-besarnya bagi masyarakat Teluk Bintuni dan juga mewujudkan pengelolaan

kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang lestari, berkelanjutan dan berdaya guna.

Mendama Tambe Jaga Tane Cagar Alam Teluk Bintuni

Bintuni, Agustus 2005

Tim Penyusunan RPK Cagar Alam Teluk Bintuni,

Dr. Ir. Jamartin Sihite, MSi Ir. Obed Lense, MSc Ir. Retno Suratri, MSc Ir. Chandra Gustiar, MSi Sergius Kosamah, SH

Page 18: Bintuni Indonesian Screen
Page 19: Bintuni Indonesian Screen

R

enca

na P

enge

lola

an C

agar

Ala

m T

eluk

Bint

uni

BKSD

A Pa

pua I

I Sor

ong

Page 20: Bintuni Indonesian Screen
Page 21: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Daftar Isi i

BKSDA Papua II Sorong

DAFTAR ISI

Halaman PETA SITUASI RINGKASAN EKSEKUTIF SAMBUTAN BUPATI KABUPATEN TELUK BINTUNI SAMBUTAN KEPALA BALAI KSDA PAPUA II KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I. PENDAHULUAN ...................................................................................................... I-1 A. Latar Belakang...…………………………………………………………………….. I-1 B. Maksud dan Tujuan .. ……………………………………….………………………. I-5 C. Sasaran ....…………………………………………………………………………… I-6 C1. Perlindungan . ………………………………………………………………… I-6 C2. Konservasi... ……………………………………………………….…………. I-6 C3. Pendidikan.. …………………………………………………………..………. I-6 C4. Pemanfaatan Sumberdaya....……………………………………………….. I-7 C5. Peningkatan Sistem Pengelolaan .....………………………………………. I-7

D. Ruang Lingkup................................................................................................... I-8 E. Visi dan Misi Cagar Alam Teluk Bintuni ............................................................ I-8 F. Metode Pendekatan ... ……………………………………………………………… I-9

II. KEADAAN UMUM KAWASAN................................................................................. II-1 A. Risalah Kawasan ..………………………………………………………………….. II-1 A1. Informasi Umum Kawasan . ….……………………………………………… II-1 A.1.1 Sejarah Penetapan Kawasan ...…..…………………….………….. II-1 A.1.2. Letak dan Luas................... .……………………………….……….. II-2 A.1.3. Aksesibilitas.......................................................………….………. II-3 A2. Kondisi Fisik Kawasan....………………………………………….…………. II-4 A.2.1. Iklim.... ………….……………………………………………..………. II-4 A.2.2. Geologi...... ……………………………………………………..…….. II-5 A.2.3. Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Hidrologi ... ………………..…… II-5 A.2.4. Tanah... ………………………………………….……………….…… II-6 A3. Kondisi Biologi Kawasan . ..…………….……………….…………………… II-7 A.3.1. Ekosistem .. ………………………………………………………….. II-7 A.3.1.1. Hutan Hujan Dataran Rendah .... ……………………….. II-7 A.3.1.2. Hutan Mangrove .. ………………………………………… II-9 A.3.2. Species ...…………………………………….………………………. II-15 A.3.2.1. Flora …………………………….…………………………. II-16 A.3.2.2. Fauna .........………….….………………………………… II-17 B. Karakteristik Sosial, Ekonomi dan Budaya. …………...…………………………. II-25 B.1. Penduduk……………………………………………………………………. .. II-25 B.2. Mata Pencaharian…………………………………………………………..... II-28

Page 22: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Daftar Isi ii

BKSDA Papua II Sorong

DAFTAR ISI

Halaman

B.3. Pendidikan dan Kesehatan .......................………………………………… II-30 B.3.1. Pendidikan …………………………………….………………………. II-30 B.3.2. Kesehatan …………………………………….………………………. II-31 B.4. Agama .. ...........................…………………………………………………… II-33 B.5. Kearifan Tradisional Masyarakat.. ....................…………………………… II-34 B.6. Pemanfaatan Sumberdaya Alam ..............………………………………… II-34 B.6.1. Pandangan Masyarakat Adat terhadap SDA (Tanah & Hutan).. .. II-34 B.6.2. Pola Pemanfaatan SDA... ...............……………………………..… II-35 B.6.3. Pemanfaatan SDA di Kawasan CATB........................................ . II-37 B.6.3.1. Penangkapan dan Pengumpulan Hasil Laut ................. II-38 B.6.3.2. Pemanfaatan Tumbuhan ............................................... II-40 B.6.3.3. Tempat Berburu............................................................. II-44 B.6.3.4. Tempat Berladang ......................................................... II-45 B.6.4. Kepemilikan Lahan .....……….……………………………………… II-46 B.7. Sarana dan Prasarana Transportasi……………………………………….. II-48 B.8. Pendugaan Nilai Ekonomi Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.............. II-50

C. Permasalahan.................................................................................................... II-54 C1. Fisik..............................…………………………………………………….... II-55 C.1.1. Letak Kawasan .. ..............................………………………………. II-55 C.1.2. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai ... .........………………………. II-55 C.1.3. Infrastruktur..................……………………………………………… II-56 C2. Biologi………………………………………………................................... .. II-56 C3. Sosial Ekonomi Budaya... ..............…………………………………………. II-57 C.3.1. Penangkapan Hasil Perikanan yang tidak Ramah Lingkungan .. II-57 C.3.2. Adanya Perburuan Buaya, Rusa dan Burung ....…………………. II-58 C.3.3. Adanya Perkampungan di Dalam Kawasan.. …………………….. II-59 C.3.4. Tumpang Tindih Kawasan dengan Penggunaan Lahan Lain .. … II-60 C.3.5. Adanya Tempat Penimbunan kayu di Dalam Kawasan .. ……….. II-60 D. Faktor Penghambat ........................……………………………………………….. II-61 D.1. Pengembangan Wilayah Kabupaten Teluk Bintuni.................................. II-61 D.2. Kapasitas Pengelola Kawasan.. ...………………………………………….. II-62 D.3. Peran Masyarakat (Community Involvement) .. ....................................... II-62

III. KEBIJAKAN ............................................................................................................ III-1A. Dasar Hukum.. ………………………………………………………………………. III-1 B. Kebijakan Konservasi Biodiversity di Indonesia ...……………………………….. III-2

B.1. BAPI 1993……………………………………………………………………… III-2 B.2. IBSAP 2003......................……………………………………..…………….. III-4

C. Sektor Kehutanan..................……………………………………………………… III-5 C.1. Pengelolaan Hutan Lestari......................................................……..……. III-5 C.2. Rencana Strategis Ditjen PHKA…………………………………….……... III-5 C.3. Kebijakan Umum dan Strategi Pembangunan Cagar Alam .................... III-15 C.4. Pengelolaan Cagar Alam .......................................... …………………….. III-20 C.5. Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Mangrove. ............... III-23

Page 23: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Daftar Isi iii

BKSDA Papua II Sorong

DAFTAR ISI

Halaman

D. Pengembangan Wilayah …………………………………………………………… III-26 D.1. Tinjauan Panataan Ruang Kabupaten Teluk Bintuni . …………………… III-26 D.2. Hubungan Ruang Kawasan Cagar Alam Dengan Daerah Sekitarnya..... III-28

IV. ANALISIS PERMASALAHAN ................................................................................. IV-1 A. Pengelolaan dan Kebijaksanaan.……………………..…………………….…….. IV-1

A.1. Permasalahan …………..…………………………………..……………….. IV-1 A.1.1. Aspek Pengelolaan...... ………………….………………………….. IV-1 A.1.2. Aspek Kebijakan .............. ……………………….……………..…… IV-6 A.2. Alternatif Pemecahan Masalah .……………………….……………..…….. IV-6

B. Aspek Biologi Kawasan ..................................................................................... IV-8 B.1. Permasalahan .. ………………………………………………………………. IV-8 B.1.1. Ekosistem .......…………………………………………….…………. IV-8 B.1.2. Flora dan Fauna ....................………………………………………. IV-17 B.2. Alternatif Pemecahan Masalah . .....................…………………………….. IV-21

C. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya................................................................... IV-26 C.1. Permasalahan .......................……………………………………………….. IV-26 C.1.1 . Rendahnya partsipasi Masyarakat ..... ...........……………………. IV-26 C.1.2 . Pola Pemanfaatan Sumberdaya Alam .... .............………………. IV-26 C.2. Alternatif Pemecahan Masalah ................................................................ IV-29 D. Skenario Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni ............................................. IV-34 D.1. Kebijakan Akomodatif dan Kelembagaan Demokratik............................. IV-34 D.2. Kebijakan Sentralistik dan Kelembagaan Demokratik ............................. IV-35 D.3. Kebijakan Akomodatif dan Kelembagaan Otoritik.................................... IV-35 D.4. Kebijakan Sentralistik dan Kelembagaan Otoritik .................................... IV-36 E. Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman (KKPA) .................... IV-36 E.1. Identifikasi dan Penilaian faktor Internal dan Eksternal ........................... IV-37 E.2. Analisis Keterkaitan antar Unsur SWOT ....................... ........................... IV-39 F. Perumusan Strategi Pengelolaan ..................................................................... IV-40

V. RENCANA KEGIATAN ........................................................................................... V-1 A. Umum…………………………….…………………………………………………... V-1 B. Rencana Kegiatan Pengelolaan …………………………………………………... V-2

B.1. Pemantapan Kawasan ……………………………………………………… V-2 B.2. Peningkatan Efektifitas Pengelolaan Kawasan……………………………. V-3 B.3. Pengembangan Konservasi Jenis dan Keanekaragaman Hayati............ V-6 B.4. Perlindungan dan Pengamanan Kawasan............................................... V-10 B.5. Pendukung/Kelembagaan……………………………………...................... V-12 B.6. Pemanfaatan................................ ……………………………..…………… V-13 C. Sarana dan Prasarana……………………………………………………………… V-17 C.1. Sarana Prasarana Pengelolaan . …………………………………………… V-17 C.2. Sarana Prasarana Pendidikan .. ……………………………………………. V-18 C.3. Sarana Prasarana Penelitian .………………………………………………. V-19

Page 24: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Daftar Isi iv

BKSDA Papua II Sorong

DAFTAR ISI

Halaman

VI. PEMBIAYAAN ......................................................................................................... VI-1 A. Sumber Dana. ……………………………………………………………………….. VI-1 B. Rincian Biaya………………………………………………………………………... VI-2

VII. PENGORGANISASIAN ........................................................................................... VII-1 A. Pembinaan SDM, Kelembagaan dan Koordinasi ....…………………………….. VII-1

A.1. Pengembangan Organisasi dan SDM ......………………………………… VII-1 A.2. Kebijakan Pengelolaan...…………………………………………………….. VII-2 A.3. Koordinasi dalam Lingkup Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni.....……. VII-3 A.4. Koordinasi dengan Instansi Lain …………………………………………… VII-3

B. Tanggungjawab Administrasi ……………………………………………………… VII-6 C. Penyusunan Staf .…………………………………………………………………… VII-8

VIII. MONITORING DAN EVALUASI ............................................................................. VIII-1 A. Pelaksana Kegiatan.. ……………………………………………………………….. VIII-1 A.1. Internal Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni …………………………….. VIII-1 A2. Forum Komunikasi Independen . …………………………………………… VIII-2 A.2.1. Komposisi Forum Komunikasi MONEV CATB.…….….. ........... ... VIII-2 A.2.2 . Tugas dan Tanggungjawab ...... ……………………………………. VIII-6 A.2.3. Sumberdaya Pendukung ......……………………………………….. VIII-7 B. Rencana Waktu Pemantauan dan Evaluasi.. ……………………………………. VIII-7 B.1. Internal Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni . ……………………………. VIII-7 B.2. Forum Komunikasi Independen ...................... ……………………………. VIII-8 B.2.1. Lingkup Kegiatan Badan Forum Komunikasi Independen . ......... VIII-8 B.2.2. Mekanisme Kerja Forum Komunikasi Independen....................... VIII-9

IX. PENUTUP ................................................................................................................ IX-1

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 25: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Daftar Isi v

BKSDA Papua II Sorong

DAFTAR TABEL

No Keterangan Halaman

I-1 Stakeholder di sekitar Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) ................................... I-9 II-1 Distrik Dan Kampung yang Memiliki Akses Terdekat dengan Kawasan Cagar

Alam Teluk Bintuni……………………………………………………………………… II-4 II-2 Jenis tanah yang terdapat di sebagian besar kawasan Cagar Alam Teluk

Bintuni ................................................................................................................... II-6II-3 Jenis-Jenis mangrove sejati pada ekosistem mangrove kawasan Cagar Alam

Teluk Bintuni ......................................................................................................... II-16 II-4 Jenis-Jenis asosiasi mangrove pada ekosistem mangrove kawasan Cagar Alam

Teluk Bintuni ......................................................................................................... II-16 II-5 Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi ekosistem hutan dataran Rendah di

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.........……………………………………………. II-17 II-6 Jenis herpetofuana yang dijumpai selama survei lapangan (Field Survey) di

dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ........................................ II-18 II-7 Jenis burung yang dicatat selama survei lapangan (Field Survey) di dalam dan

sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni........... .............. ……………………… II-20 II-8 Jenis mamalia yang dijumpai selama survei lapangan (Field Survey) serta

berdasarkan informasi masyarakat setempat di dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni .……………………………………………………………. II-22

II-9 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di sekitar Cagar Alam Teluk Bintuni ..................................................................................................…… II-26

II-10 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur di sekitar Cagar Aalam Teluk Bintuni..……................................................................................................ II-28

II-11 Mata Pencaharian penduduk yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni .......…….................................………………………………………… II-29

II-12 Sarana Pendidikan di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni tahun 2002... . II-30 II-13 Sarana Kesehatan di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni tahun 2005 .... II-31 II-14 Tenaga Kesehatan yang ada di kampung sekitar kawasan Cagar Alam Teluk

Bintuni tahun 2005..........................…………………………………………………… II-32 II-15 Jumlah penduduk yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

berdasarkan agama.. .....……………………………………………………………… II-33 II-16 Hasil perikanan yang dihasilkan di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

(CATB) beserta harganya. ................................................................................... II-40 II-17 Pemanfaatan vegetasi palem oleh masyarakat di sekitar kawasan Cagar Alam

Teluk Bintuni ........................................................................................................ II-41 II-18 Pemanfaatan komponen flora dan fauna pada ekosistem mangrove di dalam

dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ................................................... II-43 II-19 Sarana dan jenis transportasi kampung di sekitar CATB ke Ibukota Distrik

dengan saran transportasi sungai/laut ........ …......………………………………… II-49 II-20 Jalur pelayaran reguler dari dan ke Bintuni yang dilayani oleh PT Pelni dan

pelayaran swasta lain ........………………….......…………………………………… II-50 II-21 Fungsi dan Manfaat Lingkungan Ekosistem Mangrove........................................ II-51 II-22 Asumsi Dasar Penilaian Jenis Manfaat Hutan Mangrove Kawasan Cagar Alam

Teluk Bintuni ......................................................................................................... II-52 II-23 Prediksi Nilai Ekosistem Hutan Mangrove Kawasan CATB............................ ..... II-53

Page 26: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Daftar Isi vi

BKSDA Papua II Sorong

DAFTAR TABEL

No Keterangan Halaman

IV-1 Kondisi personil pengelola kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sampai dengan Juli tahun 2005 ………………………………………………………………………… IV-3

IV-2 Kondisi sarana dan prasarana pengelola kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sampai dengan Juli tahun 2005....…………………………………………………… IV-4

IV-3 Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap aspek pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni …………………………………………………………….. IV-7

IV-4 Permasalahan sekaligus ancaman terhadap keberadaan ekosistem hutan hujan dataran rendah di kawasanCagar Alam Teluk Bintuni tahun 2005 ........ ...……… IV-9

IV-5 Tempat Penimbunan Kayu (TPK)/ Logyard yang menempati ekosistem hutan dataran rendah dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sampai dengan tahun 2005 ............................................................................................................ IV-10

IV-6 Permasalahan sekaligus ancaman dan penyebabnya terhadap keberadaan ekosistem mangrove di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni tahun 2005 ...... ..… IV-14

IV-7 Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap keberadaan ekosistem hutan mangrove dan nipah di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni...................... IV-22

IV-8 Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap keberadaan ekosistem hutan dataran rendah di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ....... ……………………… IV-23

IV-9 Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap flora dan fauna di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ...………………………………………………………...... IV-24

IV-10 Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap aspek Sosial Ekonomi dan Budaya kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ........................................................ IV-33

IV-11 Matriks hasil analisis SWOT .……………………………………………………….... IV-40 V-1 Prioritas rencana kegiatan pengelolaan kawasan selama dua puluh lima tahun

(2006-2030) Cagar Alam Teluk Bintuni...............................................…………… V-1 V-2 Rencana kegiatan pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dalam

meningkatkan efektifitas pengelolaan kawasan..................................................... V-3 V-3 Rencana kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dalam

meningkatkan efektifitas pengelolaan kawasan.................................................... V-5 V-4 Rencana kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dalam

mengembangkan konservasi jenis dan keanekaragaman hayati........................... V-9 V-5 Rencana kegiatan pengelolaan untuk aspek perlindungan dan pengamanan

kawasan.. ............................................................................................................. V-12 V-6 Rencana kegiatan pengelolaan untuk aspek pendukung/kelembagaan dalam

pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ................................................. V-13 V-7 Rencana kegiatan pengelolaan untuk aspek pemanfaatan sumberdaya alam

di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ................................................................. V-16 VI-1 Rencana alokasi biaya pengelolaan jangka pendek kawasan CATB (per tahun)

pada periode 5 tahun pertama (2006-2010) ........................................................ VI-2 VI-2 Rencana alokasi biaya pengelolaan kawasan CATB jangka panjang

(lima-tahunan) pada periode 25 tahun pertama (2006-2030)............................... VI-9 VI-3 Rencana alokasi biaya pengadaan sarana dan prasarana untuk jangka pendek

(per tahun) pada periode 5 tahun pertama (2006-2010) ...................................... VI-16 VI-4 Rencana alokasi biaya pengadaan sarana dan prasarana untuk jangka panjang

(per tahun) pada periode 25 tahun (2006-2030) .................................................. VI-19

Page 27: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Daftar Isi vii

BKSDA Papua II Sorong

DAFTAR TABEL

No Keterangan Halaman

VII-1 Kondisi staf pengelola cagar alam dan rencana pemenuhan staf berserta rencana pelatihan ................................................................................................. VII-9

VII-2 Rencana kebutuhan biaya pemenuhan staf dan rencana pelatihan di Cagar Alam Teluk Bintuni................................................................................................ VII-10

VIII-1 Kondisi fasilitas pendukung pengelola Lab GIS Fakultas Kehutanan Unipa........ VIII-3

VIII-2 Kondisi personil pendukung pengelolaan Lab GIS Fakultas Kehutanan Unipa .. VIII-4

VIII-3 Rencana monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni oleh unsur internal pengelola kawasan .......... ………...…………… VIII-8

Page 28: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Daftar Isi viii

BKSDA Papua II Sorong

DAFTAR GAMBAR

No Keterangan Halaman

I-1 Cagar Alam Teluk Bintuni……………………………………………………………… I-1

I-2 Hutan Mangrove di Cagar Alam Teluk Bintuni………………………………………. I-2

I-3 Abrasi di Hutan Mangrove Cagar Alam Teluk Bintuni.......………………………….. I-3

I-4 Kerangka Umum Penyusunan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni (General Framework)....................…………………………………………………… I-12

I-5 Hierarki Penentuan Prioritas Kegiatan Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni.…. I-14

II-1 Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang Diusulkan WWF/IUCN/PHPA 1983.... II-1

II-2 Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni Hasil Tata Batas Sub Biphut Manokwari Tahun 1999 .......................................................................................................... II-2

II-3 Peta Kerja Kegiatan Survei Kondisi dan Potensi Mangrove Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni 2005 ..........................................……………………………………… II-7

II-4 Tipe hutan hujan dataran rendah primer di belakang formasi hutan mangrove S. Simeri Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni .................................................... II-8

II-5 Struktur Hutan Dataran Rendah Di Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni............. II-8

II-6 Tipe hutan hujan dataran rendah sekunder di dekat kampung Mamuranu, kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni...................................................................... II-9

II-7 Vegetasi mangrove Zona Avicenia-Sonneratia di P. Mania, Cagar Alam Teluk Bintuni ................................................................................................................... II-9

II-8 Vegetasi mangrove Zona Rhizophora-Bruguiera di S. Tirasai, Cagar Alam Teluk Bintuni ......................................................................................................... II-10

II-9 Tipe vegetasi nipah (Nypa fructicans) di S. Yensei Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ......................................................................................................... II-10

II-10 Tipe vegetasi nipah (Nypa fructicans) campuran pada Zona Pasang Surut di S. Tirasai, Cagar Alam Teluk Bintuni .................................................................. II-10

II-11 Pengukuran dan pengambilan titik koordinat plot pengamatan vegetasi mangrove di P. Kaboi di kawasan CATB.............................................................. II-12

II-12 Vegetasi Mangrove S. Simeri di kawasan CATB ............................................... II-12

II-13 Pola zonasi vegetasi hutan mangrove di Tanjung Pitaboni, Cagar Alam Teluk Bintuni ......................................................................................................... II-14

II-14 Pola zonasi vegetasi hutan mangrove di Sungai Sumberi Cagar Alam Teluk Bintuni ........................................................................................................ II-14

II-15 Jenis Anggrek (Bulbophylum sp.) yang bisa ditemukan di hutan dataran rendah dan magrove di Kawasan CATB .... ………………………………………………… II-17

II-16 Jenis buaya muara (Crocodylus porosus) yang ditemukan di kawasan CATB .. II-18

II-17 Peta Lokasi Kegiatan Survei Keberadaan Fauna Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ................................................................................................................... II-19

II-18 Jenis kepiting bakau (Scylla sp.) yang memiliki nilai ekonomis yang dapat ditemukan di kawasan CATB ........................................................................…… II-24

II-19 Lokasi Pemukiman penduduk K. Pasamai …………………………………………. II-26

Page 29: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Daftar Isi ix

BKSDA Papua II Sorong

DAFTAR GAMBAR

No Keterangan Halaman

II-20 Peta Lokasi Kampung yang berada di dalam dan sekitar Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni 2005....................................................................................... II-27

II-21 Salah seorang anggota masyarakat nelayan di K. Korano Jaya setelah melaut . II-28

II-22 Penangkapan ikan dengan menggunakan “JARING BALABUH” yang dilakukan masyarakat lokal di dalam dan sekitar kawasan CATB ………......………………. II-38

II-23 Jenis siput bor Bactronophorus sp. yang dikumpulkan masyarakat lokal di sekitar kawasan CATB .................................................................................................... II-38

II-24 Jenis kerang Polymesoda coaxan yang dikumpulkan masyarakat lokal di sekitar kawasan CATB ..................................................................................................... II-38

II-25 Jenis kepiting bakau Scilla sp. yang biasa dikumpulkan masyarakat lokal di dalam dan sekitar kawasan CATB ....……………………………………………….. II-39

II-26 Bentuk pemanfaatan jenis palem sebagai (a) busur dan anak panah, (b) lantai rumah/para-para, dan (c) anyaman keranjang …………………………………….. II-40

II-27 Pemanfaatan pohon mangrove sebagai tiang (belo) untuk menangkap ikan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni..................................................................... . II-42

II-28 Pemanfaatan pohon mangrove sebagai tiang (belo) untuk menangkap ikan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni...................................................................... II-42

II-29 Rumah tradisional masyarakat lokal yang sebagian besar bahan bakunya berasal dari vegetasi nipah di Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni .................... II-42

II-30 Dendeng rusa dan babi hutan yang diperoleh dari berburu di hutan sekitar kampung Mamoranu dalam Cagar Alam Teluk Bintuni........................................ II-44

II-31 Model Kandang pembesaran anakan buaya di Kampung Yensei, Distrik Idoor .. II-45

II-32 Lahan kebun dan bekas kebun masyarakat lokal di Kampung Mamoranu yang berada dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni .............................................. II-45

II-33 Peta kepemilikan lahan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni menurut wilayah hukum adat .......................................................................................................... II-47

II-34 Sarana transportasi udara jenis Twin-Otter di pelabuhan udara kota Bintuni yang melayani penerbangan ke dan dari kota Bintuni ......................................... II-48

II-35 Sarana transportasi darat jenis land cruiser (hardtop) yang melayani transportasi Manokwari-Bintuni PP .......................................................................................... II-48

II-36 Sarana transportasi laut/sungai jenis longboat yang digunakan masyarakat di dalam dan sekitar Cagar Alam Teluk Bintuni ....................................................... II-49

II-37 Pembukaan lahan hutan dataran rendah untuk logyard kegiatan logging di dekat Kampung Tirasai dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni .............................. II-55

II-38 Pengendapan lumpur (sedimentasi) yang membentuk delta di muara S. Bintuni/ Wasian di dalam Kawasan CTAB.….......…………………………………………… II-56

II-39 Masyarakat baru pulang berburu di dalam Kawasan CATB………………………. II-59

II-40 Salah satu Kondisi Pemukiman penduduk (K. Mamuranu) yang terletak di dalam kawasan CTAB ..................................................................................................... II-59

II-41 Diskusi dengan masyarakat Banjar Ausoy tentang tumpang tindih LU 2 dengan Batas kawasan CATB........................................................................................... II-60

Page 30: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Daftar Isi x

BKSDA Papua II Sorong

DAFTAR GAMBAR

No Keterangan Halaman

III-1 Rencana Pola Pengembangan Kota Bintuni sebagai Ibu Kota kabupaten Teluk Bintuni . ....................................................................................................... III-27

IV-1 Pemukiman di Desa Anak Kasih yang dibangun Dinas Sosial Propinsi Papua dan berada dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ………………………… .. IV-2

IV-2 Satu-satu sarana transportasi dalam menunjang kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ..................................................................................... IV-3

IV-3 Pembukaan lahan hutan dataran rendah dan sebagian hutan mangrove sebagai logyard di S. Sumberi di kawasan CATB.............................................................. IV-11

IV-4 Kebun masyarakat lokal di Kampung Mamuranu di dalam kawasan CATB ...... IV-11

IV-5 Salah satu logyard yang memanfaatkan sebagian ekosistem mangrove di S. Tirasai di Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ................................................ IV-12

IV-6 Bentuk gangguan ekosistem mangrove yang diakibatkan oleh tongkang pengangkut kayu log di S. Tirasai di Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni........... IV-14

IV-7 Kerusakan hutan mangrove akibat erosi tepi dekat muara sungai Wasian di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni...................................................................... IV-15

IV-8 Terinvasinya hutan bekas perladangan oleh jenis pionir di K. Mamuranu, CATB IV-17

IV-9 Jenis burung mambruk (Goura cristata) yang telah dilindungi undang-undang yang populasinya terancam.................................................................................. IV-18

IV-10 Jenis burung kasuari kerdil (casuarius benetti) yang telah dilindungi undang-undang yang populasinya terancam .... ................................................. IV-19

IV-11 Jenis kuskus bertotol (Spilocuscus maculatus) yang telah dilindung undang-undang yang sudah jarang dijumpai di hutan dataran rendah Cagar Alam Teluk Bintuni ..................................................................................... IV-19

IV-12 Jenis satwa buaya muara (Crocodylus porosus) yang telah dilindungi undang-undang populasinya menurun akibat perburuan liar di Cagar Alam Teluk Bintuni ......................................................................................................... IV-19

IV-13 Diskusi bersama masyarakat K. Korano Jaya dan K. Yensei dalam rangka penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni............ IV-29

IV-14 Kegiatan Lokakarya Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni 1 dan 2 Juni 2005 untuk menyamakan persepsi semua stakeholder terhadap kawasan .................................................................................................... ......................... IV-30

VI-1 Alur pengusulan pelaksanaan kegiatan dan implementasi kegiatan.................... VI-1

VII-1 Struktur arus informasi dari tahapan pelaksanaan pengelolaan di Cagar Alam Teluk Bintuni ......................................................................................................... VII-2

VII-2 Struktur sistem pengelolaan kawasan Cagar Alam.............................................. VII-6

VII-3 Struktur organisasi pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni ..................................... VII-7

VIII-1 Mekanisme kerja Forum Komunikasi Independen ............................................... VIII-9

Page 31: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Daftar Isi xi

BKSDA Papua II Sorong

DAFTAR LAMPIRAN

No Keterangan Halaman

1 Istilah dan Terminologi yang termuat dalam dukumen ........................................... L-2

2 Data suhu udara ambien (0C) selama tiga tahun (1997 – 2000) berhasil dicatat oleh PT Calmarine pada stasiun pengamat cuaca Tanah Merah, Babo .................. L-10

3 Data kelembaban relatif udara ambien (%) selama tiga tahun (1997 – 2000) berhasil di catat oleh PT Calmarine pada stasiun pengamat cuaca Tanah Merah, Babo.......................................................................................................................... L-10

4 Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat semai dan pancang di Plot Pulau Kaboi (Depan Muara Tirasai), Cagar Alam Teluk Bintuni ................................................................................................... L-11

5 Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat tiang dan pohon di Plot Pulau Kaboi (Depan Muara Tirasai), Cagar Alam Teluk Bintuni ........................................................................................................... L-11

6 Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat semai dan pancang di Plot Mangrove S. Simeri, Cagar Alam Teluk Bintuni L-11

7 Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat tiang dan pohon di Plot Mangrove S. Simeri, Cagar Alam Teluk Bintuni ... L-12

8 Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat semai dan pancang di Plot Pulau Maniai (Tanjung Pitaboni), Cagar Alam Teluk Bintuni ........................................................ ................................................... L-12

9 Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat Tiang dan Pohon di Plot Pulau Maniai (Tanjung Pitaboni), Cagar Alam Teluk Bintuni ...................................................... ..................................................... L-12

10 Hasil perhitungan Nilai kubikasi kayu manrove (m3/ha) Vegetasi Tingkat Tiang dan Pohon di kelompok hutan mangrove Pulau Maniai (Tanjung Pitaboni), Cagar Alam Teluk Bintuni (20 m x 230 m = 0,46 ha) .................................................................. L-13

11 Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat semai dan pancang di Plot Sungai Sumberi, Cagar Alam Teluk Bintuni .. L-13

12 Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat Tiang dan Pohon di kelompok hutan mangrove Sungai Sumberi, Cagar Alam Teluk Bintuni .................................................................................................. L-14

13 Hasil perhitungan Nilai kubikasi kayu manrove (m3/ha) Vegetasi Tingkat Tiang dan Pohon di kelompok hutan mangrove Sungai Sumberi, Cagar Alam Teluk Bintuni (20 m x 230 m = 0,46 ha) ........................................................................................ L-14

14 Rangkuman Hasil Workshop Tingkat Kabupaten Penyusunan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni 2005 ……………………………………….. ...................... L-15

15 Programme of two-days meeting on Establishing the Bintuni Bay Nature Reserve Management Plan……………………………………………………………………….. L-20

16 A COMMITMENT related to the management of BBNR was produced by the traditional community members who live inside and surrounding the Bintuni Bay Nature Reserve during the Kabupaten Meeting in Bintuni ………………………….. L-21

17 Rangkuman Catatan Hasil Presentasi Draf Akhir Rencana Pengelolaan Kawasan CATB di PHKA Jakarta (22 Juli 2005) ………………………………………………… L-23

18 Peta Kerja Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni 2006-2030……….. .. L-25

Page 32: Bintuni Indonesian Screen
Page 33: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Pendahuluan I - 1

BKSDA Papua II Sorong

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengalaman ketika krisis moneter memberikan pengalaman yang sangat berharga. Krisis ini

berdampak tidak hanya pada sistem perekonomian tetapi juga pada sistem lingkungan

(ekologi) nasional. Kondisi krisis menyebabkan upaya pemenuhan kepentingan ekonomi

melupakan aspek lingkungan. Pada banyak daerah dapat dijumpai terjadinya eksploitasi

sumberdaya alam yang mengabaikan kelayakan ekologis dan keberadaan kawasan lindung.

Kondisi ini seyogyanya menyadarkan bangsa Indonesia untuk memperbaiki pengelolaan

sumberdaya alam dan lingkungan agar tercapai pembangunan yang berkelanjutan. Salah

satu upaya yang perlu dilaksanakan untuk kepentingan pengelolaan sumberdaya yang

menyeluruh adalah melakukan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang tepat yang

mempertimbangkan aspek ekonomi dan lingkungan berada pada posisi yang seimbang.

Wilayah pesisir Indonesia, yang terdiri dari

tiga ekosistem utama, yaitu mangrove,

terumbu karang, dan padang lamun,

Keberadaan ketiga ekoistem tersebut

sangat vital bagi produktivitas perairan dan

perikanan. Dari ketiga ekosistem pesisir

tersebut, ekosistem mangrove mempunyai

peran lebih menonjol. Luas mangrove di

Indonesia menyumbang 23,50% dari total

luas mangrove di dunia, yaitu kurang lebih

9,6 juta ha yang berada dalam wilayah

administrasi kawasan hutan dan non-kawasan hutan (Spalding et al., 1997). Hasil-hasil

penelitian juga telah menngkatkan pemahaman tentang nilai, fungsi, dan atribut ekosistem

mangrove. Sehingga dalam tahun-tahun terakhir ini, biodiversitas mangrove dan

konservasinya telah menjadi perhatian dunia. Pada waktu yang sama, habitat kawasan

pesisir di setiap pulau-pulau di Indonesia berada dalam tekanan yang berat sebagai akibat

pertumbuhan penduduk dan pembangunan.

Skala dampak manusia pada eksositem mangrove di Indonesia telah secara dramatis selama

dekade terakhir memperlihatkan ancaman serius. Pantai Utara Jawa, Selat Malaka, Teluk

Jakarta, misalnya, telah mengalami kerusakan yang melewati toleransi daya dukung

lingkungan, seperti eksploitasi berlebihan terhadap mangrove dan terumbu karang yang akan

menghilangkan fungsinya sebagai perlindungan alami terhadap badai dan gelombang,

tangkap lebih (over fishing) terhadap sumberdaya ikan yang akan mengakibatkan

musnahnya berbagai jenis ikan ekonomis penting, serta pencemaran perairan pesisir yang

Gambar I-1. Cagar Alam Teluk Bintuni

Page 34: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Pendahuluan I - 2

BKSDA Papua II Sorong

akan mengurangi produksi ikan dengan merusak tempat pemijahan dan habitat yang bernilai

lainnya (Cicin-Sain dan Knecht, 1998).

Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pesisir adalah menjadi penyambung darat dan

laut, serta peredam gejala-gejala alam yang ditimbulkan oleh perairan, seperti abrasi,

gelombang, badai dan juga merupakan panyangga bagi kehidupan biota lainnya yang

merupakan sumber penghidupan masyarakat sekitamya. Selain itu fungsi ekologis hutan

mangrove yang penting adalah sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari

makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan

(ikan, udang dan kerang-kerangan) baik yang hidup di perairan pantai maupun Iepas pantai.

Menurut Kusmana (2002) pada tingkat ekosistem sebagai wetland secara keseluruhan hutan

mangrove mempunyai peranan/fungsi sebagai (1) pembangunan lahan dan pengendapan

lumpur, (2) habitat fauna terutama fauna laut, (3) lahan pertanian dan kolam garam, (4)

melindungi ekosistem pantai secara global, (5) keindahan bentang darat dan (6) pendidikan

dan pelatihan.

Hutan mangrove berkaitan erat dengan tingkat produksi perikanan. Hal ini dapat dilihat

bahwa daerah-daerah perikanan potensial di Indonesia seperti di perairan sebelah timur

Sumatera, pantai selatan dan timur Kalimantan, pantai Cilacap dan pantai selatan Irian Jaya

semuanya masih berbatasan dengan hutan mangrove yang cukup luas dan bahkan masih

perawan. Pada sisi lain diketahui bahwa menurunnya produksi perikanan di Bagan Siapi-api

yang sebelum perang Dunia II merupakan wilayah penghasil utama ikan di Indonesia

bahkan di dunia, salah satunya disebabkan oleh rusaknya mangrove di daerah sekitarnya

(Noor et al. 1999).

Besarnya peranan hutan mangrove atau ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat

diketahui dari banyak jenis hewan, baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di

Gambar I-2. Hutan Mangrove di Cagar Alam Teluk Bintuni

Page 35: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Pendahuluan I - 3

BKSDA Papua II Sorong

sekitar pohon mangrove. Fungsi lain yang penting adalah sebagai penghasil bahan organik

yang merupakan mata rantai utama dalam jaringan makanan ekosistem hutan mangrove.

Daun mangrove yang gugur melalui proses penguraian oleh mikroorganisme diuraikan

menjadi partikel partikel detritus. Detritus kemudian menjadi bahan makanan bagi hewan

pemakan detritus, seperti cacing, mysidceae (udang-udang kecil/rebon). Selanjutnya hewan

pemakan detritus menjadi makanan larva ikan, udang dan hewan lainnya. Pada tingkat

berikutnya hewan-hewan tersebut menjadi makanan bagi hewan yang lebih besar dan begitu

seterusnya untuk menghasilkan ikan, udang dan berbagai jenis bahan makanan lainnya yang

berguna bagi kepentingan manusia (Sugiarto dan Willy 1995 dalam Suhaeb, 1999).

Ekosistem mangrove menyediakan makanan, tempat berlindung dan berkembang biak bagi

satwa liar, bahkan beberapa diantaranya termasuk kedalam jenis yang endemik atau

keberadaannya telah langka seperti harimau sumatra (Pantera tigris sumatranensis),

bekantan (Nasalis larvatus), serta beberapa jenis berang-berang (otters) (Noor 1995).

Produk yang paling memiliki nilai ekonomis tinggi dari ekosistem mangrove adalah

perikanan. Banyak jenis ikan yang bernilai ekonomi tinggi menghabiskan sebagian siklus

hidupnya pada habitat mangrove (Sasekumar et. al., 1992).

Masyarakat di sekitar kawasan hutan mangrove juga mempunyai ketergantungan sangat

besar terhadap ekosistem mangrove tersebut, karena mereka dapat berperan sebagai

perusak ataupun penjaga hutan mangrove. Untuk itu diperlukan upaya-upaya yang dapat

memperbaiki dan meningkatkan partisipasi masyarakat dan pengelolaan yang baik agar

fungsi ganda dari hutan mangrove dapat berjalan dengan baik dan dapat dimanfaatkan

secara optimal.

Indonesia mempunyai areal hutan mangrove yang sangat besar, mencapai 4.152.000 Ha,

tetapi menurut Spalding (1997) dalam Noor dkk (1999) luas ini sudah mengalami penyusutan

sampai 40% terutama pada periode 1990-1999. Menipisnya areal mangrove di kawasan

pesisir ditunjukkan oleh luasan mangrove yang mengalami kerusakan. Berdasarkan data

yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan

pada Tahun 1997 dari total hutan mangrove 8,7

juta Ha sebesar 5,9 juta Ha telah mengalami

kerusakan dan hanya 2,8 juta Ha yang

kondisinya masih baik. Hal ini terjadi antara lain

diakibatkan oleh: kegiatan konversi mangrove

menjadi peruntukkan lain, terutama disebabkan

oleh tekanan penduduk untuk pemukiman,

lahan tambak, lahan pertanian, tempat

pendaratan kapal, serta bangunan lainnya. Dari Gambar I-3. Abrasi di Hutan Mangrove Cagar

Alam Teluk Bintuni

Page 36: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Pendahuluan I - 4

BKSDA Papua II Sorong

isu pokok lingkungan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hutan mangrove

sebagai ekosistem di kawasan pesisir telah mengalami kerusakan, penurunan luasan dan

mutu habitat sebesar 68 %.

Sejalan dengan semakin menipisnya mangrove. laju abrasi-erosi di kawasan pesisir

menunjukkan kecenderungan yang semakin tinggi. Terjadinya proses abrasi-erosi ini

diindikasikan oleh kenyataan yang menunjukkan garis pantai di beberapa tempat seperti di

daerah Kalimantan Barat dan Kabupaten Rembang hampir menyentuh badan jalan, merusak

areal kebun kelapa penduduk dan lahan pertanian lainnya. Kerusakan pesisir diperkirakan

mempunyai besaran dampak lebih dari 80 %. dimana abrasi sudah berjarak sekitar 3-5 m

dari posisi jarak lima tahun yang lalu (sekitar 30- 40 m).

Pulau Irian/Papua merupakan pulau dengan keanekaragaman hayati yang cukup besar.

Pulau ini memiliki 5-7% kekayaan hayati (biodiversity) dunia. Ini bisa dipahami karena secara

geografis pulau Irian mempunyai variasi yang luas, mulai dari gunung yang diselimuti es,

vegetasi pegunungan, dataran rendah sampai hutan rawa. Di Irian juga bisa dijumpai 14

ecoregion daratan dan 5 ecoregion air. Dari 19 ecoregion ini maka di dalam 8 ecoregion yang

tercatat dalam WWF Global dapat dijumpai keberadaan 200 habitat.

Di dalam kawasan Teluk Bintuni yang merupakan ecoregion #129 terdapat kawasan

mangrove yang cukup luas bahkan merupakan kawasan mangrove terbesar di dunia.

Analisis citra satelit TNC (2003) menunjukkan bahwa di Teluk Bintuni masih ada hutan

mangrove seluas 435.168 Ha dan merupakan luasan mangrove terbesar yang berada pada

satu kawasan di Indonesia. Penelitian Ruitenbeek (1992) menunjukkan bahwa hutan

mangrove di Teluk Bintuni mendukung keberadaan sejumlah industri dan secara ekonomi

cukup besar. Dari sektor perikanan dihasilkan US$ 35 juta per tahun, kayu chips US $ 1,5

juta dan perikanan artisanal US $ 10 juta per tahun.

Cagar Alam di Teluk Bintuni diusulkan untuk pertama sekali oleh WWF pada permulaan

tahun 1980, dengan total luas 450.000 Ha (Petocz, 1983). Usulan ini kemudian

ditindaklanjuti dengan penetapan oleh Departemen Pertanian RI dengan SK Mentan No.

182/Kpts/UM/II/1982 dengan luasan Cagar Alam 300.000 Ha. Pada tahun 1991 PHKA/AWB

merevisi luasan dengan mengusulkan luas Cagar Alam ini menjadi 260.000 Ha (Zuwendra,

dkk, 1991). Pelaksanaan tata batas kawasan pada tahun 2000 oleh Biphut Manokwari

menetapkan luasan akhir dari kawasan adalah 124.850 Ha yang diperkuat dengan SK

Menhut No. 891/Kpts-II/1999. Pada saat yang bersamaan, perkembangan ekonomi di Teluk

Bintuni bergerak maju. Industri udang, woodchips dan LNG serta penetapan kabupaten baru

mengharuskan dibangunnya banyak infrastruktur dan baik langsung maupun tidak langsung

akan menyebabkan dampak pada kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Sampai saat ini rencana pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni belum tersusun. Kawasan

saat ini dikepalai oleh Kepala Ressort dan hanya memiliki jagawana dengan fasilitas

Page 37: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Pendahuluan I - 5

BKSDA Papua II Sorong

pendukung terbatas untuk melakukan pengawasan. Ketidaktersediaan rencana pengelolaan

menyebabkan aktivitas pengelolaan di Cagar Alam menjadi tidak terencana bahkan hampir

tidak ada. Perkembangan menjadi kabupaten baru menyebabkan pemerintah kabupaten

membutuhkan adanya pengelolaan sumberdaya alam yang baik. USAID dan CRMP/Mitra

Pesisir telah menyusun rencana pengelolaan untuk kawasan pesisir Teluk Bintuni, dimana

dokumen ini juga digunakan sebagai acuan bagi penyusunan rencana pengelolaan kawasan

konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni. Disamping itu, dalam strategi pembangunan Teluk

Bintuni, pelibatan dukungan di luar pemerintahan menjadi perhatian penting bagi

pembangunan Teluk Bintuni. UNDP dan BP sudah terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya

alam dan pembangunan kapasitas kelembagaan di Pemerintahan.

Khusus di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni pernah dilakukan beberapa survey dan

penelitian khususnya pada kawasan ekosistem mangrove dan dapat digunakan sebagai

informasi ekologis daerah Cagar Alam. Survei ini menunjukkan bahwa mangrove di Cagar

Alam Teluk Bintuni tergolong kepada sistem yang relatif tidak kompleks – hanya terdapat 20

spesies tanaman mangrove, dibandingkan dengan hutan dataran rendah di sekitarnya yang

mengandung 1200 spesies tanaman. Tetapi, ekosistem mangrove Cagar Alam Teluk Bintuni

mempunyai peran ekonomi yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi kawasan Teluk

Bintuni. Ketergantungan masyarakat sekitar terhadap sumberdaya perikanan dari kawasan,

pengambilan kayu bakar dan bahan bangunan rumah, adanya sedimentasi akibat

pengelolaan kawasan hulu yang kurang baik menjadi ancaman bagi keberadaan Cagar Alam

Teluk Bintuni. Keberadaan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni yang ada masih relatif

belum efektif dan efisien. Diharapkan adanya rencana pengelolaan Cagar Alam Teluk

Bintuni yang baik akan memudahkan pengawasan bersama antara BKSDA Papua II dengan

pemerintah daerah Kabupaten Teluk Bintuni.

B Maksud dan Tujuan

Tujuan pengelolan Cagar Alam Teluk Bintuni adalah untuk melestarikan habitat hutan

mangrove, hutan nipah dan pesisir di dalam kawasan untuk :

1. Menjamin perlindungan bagi kehidupan biota pesisir dan perairan, serta melindungi satwa

langka,

2. Menjamin keberlanjutan sumberdaya alam bagi penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

pemanfaatan terbatas oleh masyarakat setempat dan pengembangan pariwisata alam.

3. Menyusun suatu struktur pengelolaan bersama yang lebih mandiri dan kapasitas

memadai.

4. Menerapkan zona pemanfaatan tradisional dengan memberikan hak penangkapan

sumberdaya perikanan di dalam kawasan khusus bagi penduduk kawasan.

Page 38: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Pendahuluan I - 6

BKSDA Papua II Sorong

C Sasaran

Sararan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni adalah tercapainya pelestarian dan

perlindungan keanekaragaman hayati di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni melalui

pola pengelolaan komprehensif yang efisien tetapi berdayaguna (efektif), sehingga mampu

menjamin keberadaan biota langka dan endemik, serta menjamin berlangsungnya

pemanfaatan potensi secara berlanjut (sustainable use) guna mendorong pembangunan

ekonomi daerah.

Secara umum sasaran pengelolaan meliputi aspek (i) perlindungan, (ii) konservasi, (iii)

pendidikan, (iv) pemanfaatan sumberdaya yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan

serta (v) peningkatan sistem pengelolaan.

C1. Perlindungan

¶ Pengukuhan hukum atas Batas kawasan baik di darat/Sungai dan laut.

¶ Penerapan suatu sistem zonasi di lapangan Cagar Alam Teluk Bintuni, yang

melindungi semua daerah yang memiliki nilai biologi tinggi.

¶ Penerapan sistem pengawasan yang efektif oleh staf jagawana Cagar Alam Teluk

Bintuni untuk menegakkan peraturan.

¶ Peraturan Cagar Alam Teluk Bintuni yang jelas, dapat diterapkan, dan menjamin

perlindungan sumberdaya alam dan menghormati pemanfaatan tradisional.

¶ Perlindungan dan menjaga fungsi tempat pemijahan ikan dan biota perairan.

¶ Perlindungan dan pelestarian fauna dan flora kawasan pada habitat alamnya.

¶ Kegiatan pemanenan terbatas yang tidak mengancam populasi jenis manapun di

dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

C2. Konservasi

¶ Flora dan fauna kawasan dilestarikan pada ekosistem alamnya.

¶ Melakukan intervensi pengelolaan yang efektif bila terdapat spesies atau ekosistem

yang terancam.

¶ Pemeliharaan sebaik-baiknya rute-rute migrasi satwa di dalam kawasan.

¶ Pengembangan dan penerapan secara efektif sistem pemantauan dan evaluasi.

¶ Rehabilitasi atau pemulihan daerah yang mengalami degradasi lingkungan.

C3. Pendidikan

¶ Mengembangkan fasilitas dan infrastruktur untuk pendidikan dan penelitian tentang

konservasi sumberdaya alam di Cagar Alam Teluk Bintuni.

Page 39: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Pendahuluan I - 7

BKSDA Papua II Sorong

¶ Peningkatan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat sekitar kawasan Cagar

Alam Teluk Bintuni terhadap kelestarian kawasan.

¶ Peningkatan tingkat ketrampilan masyarakat setempat untuk memberikan

perlindungan komunitas terhadap kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

C4. Pemanfaatan Sumberdaya

Perikanan dan Berburu

¶ Pemanfaatan sumberdaya perikanan dan satwa buru oleh masyarakat secara

tradisional.

¶ Perlindungan tempat pemijahan ikan terutama yang ada di dalam kawasan

Cagar Alam Teluk Bintuni.

¶ Mengembangkan kearifan tradisional yang mendukung pemanfaatan

berkelanjutan sumberdaya perikanan dan satwa buru

Penelitian

¶ Penyusunan kesepakatan tentang hak kepemilikan intelektual khususnya bagi

kearifan tradisional.

¶ Pelaksanaan suatu rencana pemantauan dan inventarisasi biologi untuk habitat

di Cagar Alam Teluk Bintuni, terutama bagi habitat yang rentan dan spesies yang

terancam punah.

¶ Penyusunan suatu rencana penelitian menyeluruh dan dilaksanakan

bekerjasama dengan mitra mitra ilmiah terutama untuk menangani isu-isu penting

bagi kawasan.

C5. Peningkatan Sistem Pengelolaan

¶ Pengembangan dan penerapan sistem pengelolaan yang berkelanjutan untuk Cagar

Alam Teluk Bintuni.

¶ Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia khususnya yang terlibat langsung

dalam pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni.

¶ Peningkatan sarana dan prasarana Cagar Alam.

¶ Peningkatan partisipasi stakeholder lokal secara positif untuk mendukung

pengelolaan kawasan.

¶ Pelatihan dalam meningkatkan ketrampilan petugas khususnya jagawana (ranger)

Cagar Alam Teluk Bintuni agar mampu mengawasi dan megelola Cagar Alam Teluk

Bintuni secara lebih mandiri.

Page 40: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Pendahuluan I - 8

BKSDA Papua II Sorong

D. Ruang Lingkup

Rencana pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni terdiri dari Rencana Pengelolaan jangka

Panjang (25 Tahun) dan Rencana Jangka Pendek (5 Tahun Pertama). Rencana tersebut

meliputi bahasan kebijakan, analisis masalah, rincian kegiatan dan pentahapan kegiatan baik

untuk pembanggunan sarana prasarana, pengelolaan potensi kawasan, perlindungan dan

pengamanan hutan, koordinasi, penelitian dan pendidikan.

E. Visi dan Misi Cagar Alam Teluk Bintuni

Konsep pengelolaan kawasan perlu mempunyai tujuan ideal. Untuk itu diperlukan adanya

visi dan misi, dimana konsep ini akan diperjuangkan oleh pengelola. Pusat kepedulian atau

visi pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni sampai Tahun 2030 adalah: TERWUJUDNYA

PENGELOLAAN KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI SESUAI FUNGSINYA SECARA LESTARI, BERKELANJUTAN DAN BERDAYA GUNA. Visi atau pusat kepedulian

tersebut hanya akan terwujud apabila semua stakeholder membangun komitmen bersama

yang tercermin dalam kepedulian untuk bertindak melestarikan kawasan Cagar Alam Teluk

Bintuni serta terbentuknya kesadaran publik secara luas di seluruh wilayah Kabupaten Teluk

Bintuni.

Misi merupakan gambaran deklaratif tentang tujuan yang ingin dicapai oleh suatu lembaga,

organisasi atau kegiatan. Berdasarkan beberapa isu pengelolaan seperti yang dijabarkan

pada Bab selanjutnya, maka misi yang diemban dalam pengelolaan Cagar Alam Teluk

Bintuni untuk periode 25 tahun mendatang adalah:

1. Meningkatkan database dan sistem informasi yang memadai.

2. Meningkatkan upaya penegakan hukum terhadap kegiatan-kegiatan yang dapat

menurunkan kualitas kawasan.

3. Meningkatkan kesadaran masyarakat di dalam dan sekitar Kawasan tentang

pentingnya keberadaan Kawasan sebagai system penyanggah kehidupan.

4. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat di di dalam dan sekitar Kawasan

melalui kegiatan pemberdayaan.

5. Menciptakan keutuhan dan kualitas Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni .

6. Meningkatkan kinerja dan kemampuan pengelola Kawasan.

Misi inilah yang akan dijabarkan lebih lanjut menjadi program dan rencana aksi dalam

dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Page 41: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Pendahuluan I - 9

BKSDA Papua II Sorong

F. Metode Pendekatan

Mengingat bahwa sasaran dari kajian ini adalah tersusunnya rencana pengelolaan kawasan

Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitarnya (tahun 2005-2024) melalui pendekatan ekosistem

dan berbasis masyarakat, serta tersedianya rencana kegiatan selama 5 tahun.

Rencana kegiatan pengelolaan kawasan konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni mempunyai

banyak komponen kegiatan yang didasarkan kepada potensi kawasan dan juga

permasalahan kawasan, maka diperlukan prinsip pendekatan yang terpadu dalam menyusun

Rencana Pengelolaan (Management Plan) Cagar Alam Teluk Bintuni. Hal ini dimaksudkan

agar rencana pengelolaan (management plan) bisa digunakan sebagai acuan bagi Balai

Konservasi Sumber Daya Alam wilayah Papua II-Sorong dan Departemen Kehutanan cq

Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Kelestarian Alam serta Pemerintah Daerah

Kabupaten Teluk Bintuni untuk mengelola kawasan konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni.

Kerangka pendekatan yang akan digunakan dalam penyusunan Rencana Pengelolaan

disajikan dalam Gambar 1-4.

Untuk melihat fungsi dan peran dari setiap pemangku kepentingan (stakeholder) maka

dilakukan analisis stakeholder, khusus yang mempunyai peran terhadap kawasan Cagar

Alam Teluk Bintuni (CATB). Tujuannya adalah agar data dan informasi yang diperoleh

mengenai kondisi, aktivitas, persepsi dan aspirasi tentang CATB meliputi semua pihak yang

berkepentingan (Tabel I-1).

Tabel I-1. Stakeholder di sekitar Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB)

No Stakeholder

1 Departemen Kehutanan BKSDA Papua II Resort Bintuni

2 Bappeda Teluk Bintuni

3 Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Teluk Bintuni

4 Dinas Perikanan dan Kelautan Teluk Bintuni

5 Syahbandar Teluk Bintuni

6 Dinas Pertanian dan Perkebunan Teluk Bintuni

7 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

a. Mitra Pesisir

b. Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Bintuni

c. Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Lemason

d. Yayasan Forum Dialog Pembangunan Masyarakat Teluk Bintuni (YFDPMTB)

e. Ikatan Pemuda Teluk Bintuni (IPTB)

8 Masyarakat

A. Masyarakat di dalam Kawasan

* Distrik Idoor

1. Kampung Mamuranu/Anak Kasih

Page 42: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Pendahuluan I - 10

BKSDA Papua II Sorong

No Stakeholder

2. Kampung Tirasai

B. Bersinggungan dengan Kawasan

* Distrik Bintuni

1. Kampung Pasamai

2. Kampung Bumi Waraitama (SP 1)

3. Kampung Banjar Ausoy (SP 4)

4. Kampung Tuasai

5. Kampung Argo Sigemerai (SP 5)

6. Kampung Korano Jaya (SP 2)

C. Di luar Kawasan

* Distrik Bintuni

1. Kelurahan Bintuni Timur

2. Kelurahan Bintuni Barat

* Distrik Idoor

1. Kampung Yakati

2. Kampung Yensei

* Distrik Kuri

1. Kampung Naramasa

Stakeholders yang dilihat peran dan fungsinya antara lain : Departemen Kehutanan-BKSDA

Papua II Sorong, Sub BKSDA Resort Bintuni, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kab.

Teluk Bintuni, Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Teluk Bintuni, Dinas Pertanian dan

Perkebunan Kab. Teluk Bintuni, LSM (al, Mitra Pesisir, Lembaga Masyarakat Adat-LMA

Bintuni, LMA Lemason, Yayasan Forum Dialog Pembangunan Masyarakat Teluk Bintuni,

Ikatan Pemuda Teluk Bintuni) dan masyarakat dari desa-desa yang berbatasan atau berada

dalam kawasan CATB. Wawancara pada lembaga pemerintahan dan LSM dilakukan secara

purposive dimana untuk pemerintah dilakukan 2 orang, LSM 1 orang sedangkan untuk

kelompok masyarakat 5 orang (Ketua Kampung, tokoh agama, tokoh adat dan 2 orang

anggota masyarakat). Total seluruh responden yaitu 87 orang, dimana untuk Masyarakat di

sekitar kawasan CATB jumlah responden totalnya 70 orang.

Metode Rapid Socio-economic Assessment - RSA diterapkan untuk mendapatkan gambaran

tentang persepsi dan kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat desa sekitar kawasan Cagar

Alam Teluk Bintuni. RSA merupakan pendekatan dengan indepth interview dan diskusi grup

terfokus (FGD) dimana peneliti hanya akan berperan menjadi fasilitator diskusi.

Metode FGD dilakukan untuk mendapatkan informasi yang banyak dalam waktu yang relatif

singkat. Sedangkan Indepth Interview dilakukan untuk menggali data berdasarkan kasus-

kasus tertentu yang tidak bisa diungkapkan pada saat diskusi berlangsung seperti

pengalaman, perasaan dan motif yang berada dalam individu maupun kelompok.

Page 43: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Pendahuluan I - 11

BKSDA Papua II Sorong

Wawancara dilakukan dengan bantuan ”Kuesioner” agar pertanyaan lebih terfokus dan

menghindari kemungkinan melupakan hal-hal yang harus ditanyakan.

Data yang digunakan adalah data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai instansi terkait

dan LSM – LSM yang aktif dalam pengembangan Teluk Bintuni; dan data primer yang

dikumpulkan selama proses penyusunan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Data yang dikumpulkan dianalisis secara kualitatif untuk menggambarkan hubungan antara

data yang satu dengan data lainnya. Selain itu untuk memperoleh rencana pengelolaan

untuk Cagar Alam Teluk Bintuni dilakukan Analisis SWOT (Strenghts, Weaknesses,

Opportunities, Threats).

Aspek biologi kawasan dikaji berdasarkan survey lapangan (field survey) dan telaah silang

dengan publikasi dan laporan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kawasan Cagar Alam

Teluk Bintuni dan sekitarnya serta berbagai informasi yang diperoleh melalui penelusuran

pustaka, dan wawancara dengan berbagai stakeholder. Pengamatan yang dilakukan pada

hutan dataran rendah dilakukan dengan metode penjelajahan pada beberapa tempat untuk

melihata struktur dan komposisi jenis flora. Sedangkan untuk melihat struktur dan komposisi

jenis serta potensi flora mangrove, dilakukan dengan metode garis berpetak (line-plot

sampling method) serta metode penjelajahan (explorasi) pada beberapa lokasi yang

ditetapkan berdasarkan tipe ekosistem (Soerianegara, 1998). Pada setiap petak pengamatan

di lakukan pencatatan jenis, jumlah , tinggi, dan diameter (untuk tingkat vegetasi tiang dan

pohon). Selain itu, pada lokasi tempat pengamatan flora mangrove, juga dilakukan

pengamatan keberadaan jenis-jenis satwa dengan metode penglihatan langsung (direct

seen), melihat jejak kaki (footprint/trail), dan suara (noisy). Selain pengamatan langsung,

informasi keberadaan satwa di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni juga diperoleh

berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat lokal yang bermukim di kampong-

kampung di dalam dan di sekitar kawasan yang berhasil dikunjungi.

Page 44: Bintuni Indonesian Screen

Re

ncan

a Pe

ngelo

laan

Cag

ar A

lam

Telu

k Bi

ntun

i

Pend

ahul

uan

I - 1

2

BK

SDA

Pap

ua II

Sor

ong

Tujuan

-D

afta

r Sta

kehold

er

/Res

ponder

-Met

ode

Surv

ey

(Inte

rvie

w,

Ques

tionnaire)

IBSAP dan Kebijakan Konservasi SDA Hayati

Asp

ek-a

spek

Pe

ngel

ola

an

Bio

div

ersi

ty/

Surv

ey

Item

Cat

egory

Isu-

isu

Kon

serv

asi

Bio

dive

rsity

pe

r A

spec

t dar

i IB

SAP

List

Isu

Inte

rvie

w R

ecor

Que

stio

nnai

reK

esan

/har

apan

St

akeh

olde

r te

rhad

ap C

agar

A

lam

Tel

uk

Bin

tuni

Prog

ram

-pro

gram

K

abup

aten

I. P

ER

SIA

PAN

II

. PE

NG

UM

PUL

AN

DA

TA

Sorti

ng

V.

AN

AL

ISIS

SWO

T A

naly

sis

Ren

cana

Str

ateg

i

Pengel

ola

an

Cag

ar A

lam

Tel

uk

Bin

tuni

Prog

ram

-pro

gram

BK

SDA

–R

eTe

luk

Bin

tuni

Rencana dan Strategi Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

PRO

SES S

ELE

KSI

REN

CAN

A K

EG

IATAN

TERPI

LIH

DAN

PE

NTAH

APA

N

KEG

IATAN

Des

ain d

an P

rogra

m

¶M

anfa

at L

ingku

ngan

Ren

cana

Pengem

ban

gan

Pr

ogra

Usu

lan S

kenar

io

dan

Str

ateg

i Pe

ngel

ola

an C

agar

Ala

Usu

lan

Kel

embag

aan

Penduku

ng

¶U

sula

n P

enta

hap

an

Keg

iata

n

Pengel

ola

an J

angka

Pa

nja

ng d

an

Pendek

III.

PEN

GO

LA

HA

N D

AT

A

IV.

RE

VIE

W P

RO

GR

AM

Rev

iew

Pro

gram

-pro

gram

Pe

nnge

lola

an C

agar

Ala

m

Telu

k B

intu

ni

Daf

tar

Prio

rita

s Is

u

Rev

iew

Pro

gram

-pro

gram

Pe

ngel

olaa

n Pe

sisi

r K

abup

aten

Tel

uk B

intu

ni

PER

TE

MU

AN

& K

ON

SUL

TA

SI

¶BKSD

A P

apua

II -

Soro

ng

¶Bap

ped

a Pr

opin

si

¶Bupat

i Kab

upate

n T

eluk

Bin

tuni

¶D

inas

Keh

uta

nan

Kab

. Tel

uk

Bin

tuni

¶D

inas

Per

ikanan K

abupate

n

¶U

niv

ersi

tas

Papua

¶In

stan

si T

erka

it K

abupate

n

¶M

asya

raka

t Adat

Tel

uk

Bin

tuni

¶Id

entifika

si

Mas

ala

h &

Ken

dala

¶In

venta

risa

si &

Iden

tifika

si

Atlas Sumberdaya Teluk Bintuni

Rev

iew

Pro

gram

-pro

gram

K

onse

rvas

i Bio

dive

rsity

R

evie

w K

onse

p Pe

ngel

olaa

n R

evie

w K

ebija

kan

Pem

da

Rev

iew

Keb

ijaka

n Pe

ndid

ikan

da

n Pe

nelit

ian

di C

agar

Ala

m

LOKA

KARY

A K

ABU

PATE

N

Gam

bar

1-4

.Ke

rang

ka U

mum

Pen

yusu

nan

Ren

cana

Pen

gelo

laan

Cag

ar A

lam

Tel

uk B

intu

ni (

Gen

eral

Fra

mew

ork)

Page 45: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Pendahuluan I - 13

BKSDA Papua II Sorong

Beberapa hal yang diperhatikan dalam Penyusunan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk

Bintuni adalah sebagai berikut :

a. Untuk mencapai pemanfaatan kawasan konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni yang

lestari dan terpadu perlu diperhatikan kerentanan ekosistem kawasan konservasi,

kapasitas sumberdaya alam dan ketergantungan masyarakat di sekitar Cagar Alam

Teluk Bintuni.

b. Dalam pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan lainnya khususnya dalam

perencanaan pengelolaan kawasan konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni perlu

melibatkan unsur sektor perikanan dan kelautan, mitra pesisir serta masyarakat adat;

c. Dalam rangka menetapkan pemanfaatan sumberdaya di dalam kawasan Cagar Alam

Teluk Bintuni maka pengaturan akses ke sumberdaya tersebut harus memperhatikan

“hak penduduk sekitar kawasan konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni dan praktek turun-

temurun yang menggambarkan kearifan tradisional” dalam pengelolaan sumberdaya

alam sepanjang pola atau kegiatan tersebut sesuai dengan pembangunan yang

berkelanjutan

d. Pelibatan masyarakat sejak awal perencanaan dimaksudkan untuk menghindari konflik

diantara kelompok pemanfaat kawasan konservasi terutama dengan kelompok

pemanfaat dari lingkungan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ;

e. Untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dari sektor terkait ke kawasan

konservasi dan di antara kelompok pemanfaat kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni perlu

ditetapkan prosedur dan mekanisme pada tingkat administratif yang tepat;

f. Perlu ditingkatkan kesadaran publik akan perlunya perlindungan dan pengelolaan Cagar

Alam Teluk Bintuni untuk Penyusunan Rencana Pendayagunaan Kawasan Teluk dan

keikutsertaan mereka yang terkena pengaruh dalam proses pengelolaan;

g. Untuk membantu pengambilan keputusan mengenai Cagar Alam Teluk Bintuni perlu

dilakukan pengkajian dengan mempertimbangkan faktor ekologi, ekonomi, sosial dan

budaya;

h. Untuk perencanaan Penyusunan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni perlu

diperhatikan beberapak aspek utama yang menjadi acuan, yaitu:

¶ Adanya keterkaitan ekologis baik antar ekosistem mangrove dan perairan di dalam

kawasan konservasi dengan areal budidaya penduduk;

¶ Dalam suatu kawasan konservasi, untuk Penyusunan Rencana Pengelolaan

biasanya terdapat lebih dari satu kelompok sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan;

Page 46: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Pendahuluan I - 14

BKSDA Papua II Sorong

¶ Baik secara ekologis dan ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan konservasi secara

monokultur adalah sangat rentan terhadap perubahan internal maupun eksternal

yang menjurus pada kegagalan usaha;

¶ Kawasan konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni pada umumnya merupakan

sumberdaya terbuka (open acces resources), walau secara khusus di Papua ada

batasan aturan hak adat, tetapi akses cukup terbuka untuk dapat dimanfaatkan oleh

semua orang.

i. Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan menjadi acuan dalam penyusunan Rencana

Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Faktor dimensi ekologis, sosial

ekonomi, sosial budaya, hukum dan kelembagaan menjadi faktor yang sangat berperan

dalam penyusunan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni (Gambar 1-5).

Kriteria indikator pembangunan berkelanjutan

Ekologi :

a. Kelestarian ekosistem dan fungsinya (hutan mangrove)

b. Kelestarian beranekaragamnya spesies dilindungi dan endemik

c. Daya dukung lingkungan terhadap kegiatan pemanfaatan

d. Terpeliharanya kualitas air (sedimentasi tidak terlalu besar)

Gambar I-5. Hierarki Penentuan Prioritas Kegiatan Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Tahap I Tujuan/Fokus

Penentuan Prioritas Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Sosial Budaya

Tahap 2 Komponen

Pembangunan Berkelanjutan

Ekonomi Ekologi Regional

Penataan

a b c d e f g h i lk mj n po

Pemeliharaan Pemanfaatan Pengawasan Pengendalian

Tahap III Indikator

Pembangunan Berkelanjutan

Tahap IV Strategi

PengelolaanCagar Alam

Penelitian - Pengembangan

Pemulihan

Page 47: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Pendahuluan I - 15

BKSDA Papua II Sorong

Ekonomi:

e. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

f. Dampak terhadap perekonomian secara makro

g. Peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya pengguna kawasan mangrove

h. Keberlanjutan usaha dan akuntabilitas

Sosial Budaya:

i. Terpeliharanya kearifan dan budaya lokal

j. Keamanan dan ketentraman masyarakat

k. Kesehatan masyarakat

l. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan

Regional:

m. Aksesibilitas kawasan

n. Posisi kawasan dari sudut pandang sistem Tata Ruang Propinsi dan Kabupaten

o. Posisi kawasan berdasarkan kondisi geografis

p. Status kepemilikan lahan

Page 48: Bintuni Indonesian Screen
Page 49: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 1

BKSDA Papua II Sorong

II. KEADAAN UMUM KAWASAN

A. Risalah Kawasan

A.1 Informasi Umum Kawasan

A.1.1 Sejarah Penetapan Kawasan

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) The Bintuni Bay Nature Reserve pertama kali

diusulkan oleh WWF pada tahun 1980-an. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan

diusulkan areal ini sebagai kawasan konservasi adalah:

1. Luasan mangrove yang ada merupakan rumpun mangrove yang paling baik di Papua

(Irian Jaya saat itu);

2. Kawasan ini merupakan areal penting untuk menyangga kegiatan perikanan komersil

dan industri udang yang ada;

3. Kawasan ini merupakan habitat penting dan pusat populasi paling padat bagi

berkembang biaknya jenis buaya muara (Crocoylus porosus), Di kawasan in hidup kurang

lebih 160 jenis jenis burung, lebih dari 17 marsupial, dan kurang lebih 39 jenis mamalia

(Petocz, 1987).

Dari segi luasan, kawasan ini mengalami beberapa kali perubahan luasan. Luasan yang

diusulkan WWF pada tahun 1980-an adalah mencakup areal seluas kurang lebih 450.000

hektar (Petocz, 1983) (Gambar II-1.).

Kemudian pada awal tahun 1982,

Departemen Pertanian Republik

Indonesia mengusulkan areal

seluas kurang lebih 357.300 ha

termasuk kelompok hutan

mangrove Sungai Aramasa,

Sungai Weperar, Sungai Wagura,

and Sungai Kaitero untuk

ditetapkan sebagai Kawasan

Cagar Alam. Pada tanggal 10

Nopember 1982, Cagar Alam

Teluk Bintuni secara definitif ditunjuk sebagai daerah Cagar Alam melalui Surat Keputusan

Menteri Pertanian No. 182/Kpts/UM/11/1982, yang meliputi areal seluas 300.000 ha.

Luasan tersebut ternyata lebih kecil daripada luasan yang diusulkan sebelumnya (357.300

ha). Hal ini karena areal seluas 57.300 ha telah dialih fungsikan menjadi hutan produksi

berdasarkan Forest Agreement No: FA/N/024/XII/1982, tertanggal 22 Desember 1982 antara

Gambar. II-1 Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang diusulkan WWF/IUCN/PHPA Tahun 1983

Page 50: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 2

BKSDA Papua II Sorong

Menteri Pertanian Republik Indonesia dan PT Bintuni Utama Murni Wood Industries (PT

BUMWI), tentang realisasi surat permohonan PT BUMWI NO: 07/su-1/1980, tanggal 9 januari

1980 yang ditujukan kepada MENTAN untuk mendapatkan Hak Pengusahaan Hutan Di

Wilayah Propinsi Irian Jaya.

Pada tahun 1991, AWB/PHKA

melakukan suatu studi untuk

merevisi kembali luasan Cagar

Alam yang sudah ditetapkan

melalui Surat Keputusan Menteri

Pertanian No.

182/Kpts/UM/11/1982 dan usulan

WWF/IUCN/PHPA tahun 1983. Hal

ini karena terjadi tumpang tindih

peruntukan kawasan antara CATB

dengan areal Hak Pengusahaan

Hutan (HPH) di sekitar kawasan

teluk Bintuni seperti PT Henrison

Iriana, PT BUMWI, dan PT Yotefa

Sarana Timber.

Berdasarkan beberapa alternatif di

atas, AWB/PHKA mengusulkan areal seluas ± 260.000 ha sebagai kawasan Cagar Alam

Teluk Bintuni, termasuk daerah daerah perairan teluk seluas ± 60.000 ha dengan koordinat

133° 131 - 134° 02’ BT dan 20 02’ - 20 30’ LS.

Pada tahun 1997, kegiatan penataan batas pertama di Kawasan cagar alam dilakukan oleh

PT BASRICO CEMERLANG, yang merupakan batas persekutuan areal HPH PT Henrison

Iriana dengan panjang batas yang terrealisasi sepanjang 77.247.76 meter. Selanjutnya,

dilakukan tata batas tahap kedua yang dilaksanakan oleh Sub Balai Inventarisasi dan

Perpetaan Hutan (BIPHUT) Manokwari pada tahun 1999 yang merupakan batas luar dan

batas fungsi (melingkar/temu gelang) dengan panjang terealisasi 172.846,20 meter yang

kemudian ditunjuk dengan SK MENHUT NO: 891/KPTS-II/1999 tentang penunjukan

Kawasan Hutan Propinsi dan perairan Papua, maka luas Kawasan Cagar Teluk Bintuni

adalah 124,850 Ha (Gambar II-2).

A.1.2 Letak dan Luas

Berdasarkan pembagian administrative pemerintahan, kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

(CATB) berada di wilayah kerja Pemerintahan Daerah Kabupaten Teluk Bintuni, Propinsi Irian

Jaya Barat (IJB). Kabupaten Teluk Bintuni merupakan salah satu Kabupaten hasil

Gambar II-2. Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni Hasil Tata Batas Sub Biphut Manokwari Tahun 1999.

Page 51: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 3

BKSDA Papua II Sorong

pemekaran di propinsi Papua yang baru disahkan pada tahun 2002. Pada tingkat Distrik,

kawasan Cagar Alam ini berada di dalam wilayah administratif Distrik Bintuni, Distrik Idoor,

dan Distrik Kuri.

Berdasarkan pembagian wilayah pengelolaan Hutan dan Kawasan Konservasi Sumber Daya

Alam, Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) berada di wilayah kerja Resort KSDA Bintuni dan

Resort KSDA Babo, Seksi Konservasi Wilayah I Manokwari, Balai Konservasi Sumber Daya

Alam (BKSDA) Papua II yang berkedudukan di Sorong, Irian Jaya Barat.

Cagar Alam Teluk Bintuni terletak di bagian timur Kawasan perairan Teluk Bintuni. Secara

geografis terletak antara 02º.02'-02º.30' LS dan 133º.31' -134º.02' BT, dengan batas-batas

wilayah sebagai berikut:

¶ Bagian utara berbatasan dengan areal HPH PT Yotefa Sarana Timber

¶ Bagian selatan berbatasan dengan sungai Naramasa dan HPH PT BUMWI

¶ Bagian Barat berbatasan dengan Sungai Wasian, dan perairan Teluk Bintuni

¶ Bagian Timur berbatasan dengan wilayah Distrik Idoor dan HPH PT Henrison Iriana

Berdasarkan SK MENHUT NO: 891/KPTS-II/1999 tentang penunjukan Kawasan Hutan

Propinsi dan perairan Papua, luas Kawasan Cagar Teluk Bintuni adalah124.850 Ha, dimana

lebih 90% areal merupakan ekosistem hutan mangrove.

A.1.3 Aksesibilitas

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dapat diakses dari beberapa tempat. Untuk mencapai

kawasan CATB dari ibukota Propinsi Irian Jaya Barat (Manokwari) dan Sorong, dapat

ditempuh dengan menggunakan pesawat udara jenis Twin-Otter milik Maskapai penerbangan

Merpati Nusantara ke kota Bintuni (Ibukota Kabupaten Teluk Bintuni) selama kurang lebih 45

menit dan kendaraan roda empat (Toyota Hard-top) dari Manokwari dengan waktu tempuh

kurang lebih 10 – 12 jam. Selanjutnya dari kota Bintuni kawasan CATB dapat diakses

dengan dua cara, yaitu (1) menggunakan kendaraan roda empat dan roda dua ke batas utara

kawasan dengan waktu tempuh kurang lebih 10 - 15 menit; (2) menggunakan perahu motor

(longboat) menyusuri sungai Steenkol/Wasian ke batas barat kawasan dengan waktu tempuh

kurang lebih 30 - 45 menit. Dari hasil pengamatan di lapangan kawasan CATB juga dapat

diakses dari beberapa kampung berada di batas utara kawasan seperti disajikan pada Tabel

II-1.

Page 52: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 4

BKSDA Papua II Sorong

Tabel II-1. Distrik Dan Kampung yang Memiliki Akses Terdekat dengan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

No. Kampung Distrik Jarak ke CATB Sarana dan Jenis Transportasi

1 Kelurahan Bintuni Timur Bintuni ° 2 km Sungai dan Jalan Darat, Perahu

dayung/motor dan roda dua/empat

2 Kelurahan Bintuni Barat Bintuni ° 3 km Sungai dan Jalan Darat, Perahu dayung/motor dan roda dua/empat

3 Kampung Pasamai Bintuni ° 2 km Sungai dan Jalan Darat, Perahu

dayung/motor dan roda dua/empat

4 Waraitama/SP 1 Bintuni ° 2K m

Jalan Darat, roda dua/empat

5 Kampung Korano Jaya/SP 2 Bintuni

° 1 Km Sungai dan Jalan Darat, Perahu dayung/motor dan roda dua/empat

6 Kampung Banjar Ausoy/SP 4 Bintuni

° 1 km Sungai dan Jalan Darat, Perahu dayung/motor dan roda dua/empat

7 Kampung Tuasai Bintuni ° 1 km Jalan Darat, roda dua/empat jalan kaki

8 Kampung Argo Sigemerai/SP 5 Bintuni ° 2 km Jalan Darat, jalan kaki

9 KampungTirasai Bintuni DalamKawasan CATB -

10 Kampung Mamoranui Idor DalamKawasan CATB -

11 Kampung Anak Kasih Idor DalamKawasan CATB -

12 Kampung Yakati Idor ° 15 km Sungai, Perahu dayung/motor

13 Kampung Yensei Idor ° 10 km Sungai, Perahu dayung/motor

14 Kampung Naramasa Kuri ° 5 km Sungai, Perahu dayung/motor Sumber : Hasil Survei Tim TNC (2005)

A.2 Kondisi Fisik Kawasan

A.2.1 Iklim

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni termasuk daerah tropika dan berdasarkan klasifikasi iklim

Koppen termasuk dalam tipe iklim Afa, yaitu daerah tropika basah yang bersuhu tinggi.

Sedangkan berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson kawasan ini termasuk dalam tipe

iklim A, yaitu daerah sangat basah.

Curah hujan bulanan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni cukup bervariasi. Curah hujan

bulanan tertinggi terjadi pada bulan Pebruari dengan curah hujan maksimum dan rata-rata

masing-masing 38,61 inches (980,69 mm) dan 17,32 inches (439,93 mm). Sedangkan curah

hujan bulanan terendah terjadi pada bulan September dengan curah hujan maksimum dan

rata-rata berturut-turut 5,17 inches (131,32 mm) dan 3,34 inches (86,36 mm).

Page 53: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 5

BKSDA Papua II Sorong

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitarnya suhu udara berkisar antara 20,02 °C

sampai dengan 37,26 °C untuk basis data selama 3 tahun. Suhu udara maksimum terjadi

selama musim monson timur laut, yakni ketika terjadi curah hujan maksimum. Sedangkan

selama periode siklus tahunan, variasi suhu udara rata-rata bulanan berkisar antara 25,74 °C

– 27,50 dengan variasi tidak lebih dari 2 °C. Nilai suhu udara rata rata bulanan adalah 26,92

°C dengan hampir 54% data yang terukur terletak dalam kisaran antara 23 °C hingga 27 °C,

dimana suhu bulanan rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Januari

Kelembaban udara di kawasan berkisar antara 40% hingga 100%, namun sebagian besar

(hampir 60%) hasil pengukuran lebih besar dari 90%, dengan nilai rata-rata selama periode

pengukuran mencapai 90,2%. Kelembaban sangat tinggi terjadi di malam hari ketika suhu

udara rendah dan sedang terjadi hujan.

Data kecepatan angin selama tiga tahun (1997-2000) menggambarkan kecepatan angin di

Teluk Bintuni dan sekitarnya pada umumnya lambat hingga sedang dengan rata-rata 8

m/detik (28,8 km/jam).

Tekanan udara barometrik maksim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk adalah 1.013 milibar

(mb) dan minimumnya adalah 998,6 mb. Tekanan udara rata-rata sepanjang periode

pengukuran adalah 1.006,1 mb, dengan rentang pengukuran relatif lebih kecil, dan sekitar

90% data berada di antara 1.002,5 mb hingga 1.010mb (BP Pertamina, 2002).

A.2.2 Geologi

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB), secara fisiografis terdiri dari daerah rawa/pasang

surut yang umumnya bervegetasi mangrove yang berbahan induk aluvium muda (recent

alluvium) dari zaman kwarter yang menutupi sedimen masam Tersier dan Pleistosin seperti

sandstone, shale, dan konglomerat (PT BUMWI, 1994).

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) merupakan kawasan rawan gempa yang selalu

diikuti dengan gelombang tsunami karena berada dalam wilayah tektonis yang aktif sebagai

akibat dari tubrukan dua lempengan besar.

A.2.3 Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Hidrologi

Secara umum, kawasan Teluk Bintuni termasuk dalam kelompok Daerah Aliran Sungai (DAS)

Muturi, Aramasa, Korol-Bomberai, dan DAS Remu. Di Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

mengalir beberapa sungai besar yang bermuara ke Teluk Bintuni dan merupakan Sub-Das

dari DAS-DAS tersebut mulai dari sebelah barat, yaitu Sungai Wasian, Sungai Muturi, Sungai

Bokor, Sungai Tirasai, Sungai Sumber, Sungai Kodai, Sungai Rarjoi, Sungai Kamisayo,

Sungai Tatawori, Sungai Sorobaba, Sungai Yakati, Sungai Yensei, Sungai Sobrawara, dan

Page 54: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 6

BKSDA Papua II Sorong

Sungai Naramasa. Sungai-sungai tersebut berfungsi sebagai daerah tampungan air

beberapa anak sungai yang bermuara ke sungai-sungai tersebut dan selanjutnya mengatur

pembuangan air ke Teluk Bintuni. Sungai-sungai tersebut memiliki debit yang cukup besar

sehingga pada saat musim penghujan terutama di bagian hulu sungai, debit air sungai-sungai

tersebut dapat naik beberapa kali lipat dan kadang-kadang dapat menyebabkan banjir

(menggenangi daerah sekitar). Saat musim hujan dan debit air meningkat biasanya warna air

sungai berubah warna menjadi kecoklatan. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi

proses erosi pada daerah-daerah yang mengalirkan air tersebut ke sungai-sungai di

bawahnya. Di samping ketiga sungai yang selalu berair tersebut, terdapat pula kali-kali mati

yang hanya berair atau menyalurkan air (banjir) bila turun hujan lebat.

Kebutuhan masyarakat akan air minum dan MCK yang bermukim di sekitar kawasan Cagar

Alam Teluk Bintuni terutama di ibukota distrik Bintuni, Idoor, dan Kuri di peroleh dari sumur-

sumur yang digali, serta aliran sungai-sungai kecil yang melintasi atau mengalir di pinggiran

perkampungan penduduk. Khusus untuk Distrik Bintuni (Ibukota Kabupaten Teluk Bintuni),

air minum dan cuci ada yang diperoleh dari sumur bor. Kebutuhan air masyarakat di

Kampung-Kampung di luar Ibukota Distrik lebih banyak memanfaatan air dari sungai-sungai

besar tersebut di atas serta beberapa sungai/kali kecil yang mengalir di dekat Kampung

mereka.

A.2.4 Tanah

Sebagian besar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ditutupi oleh vegetasi mangrove dengan

jenis tanah organosol, gambut, dan aluvium dengan ciri-ciri sperti disajikan pada Tabel II-2

Tabel II-2. Jenis Tanah yang terdapat di sebagian besar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Jenis Tanah Ciri-Ciri

Organosol, Organik

Jenuh air, lempung lanau, berwarna abu-abu, asam, komprebilitas tinggi, permeabilitas rendah-sedang, daya dukung rendah, dan tebal 1,5 – 2 m

AluviumTekstur halus – kasar, porositas rendah – tinggi, berwarna gelap, draenase buruk, bersifat alkali, dan sedikit asam.

Sumber: Hasil Survei Tim TNC, 2005 dan Pemda Propinsi Papua, PEMKAB Manokwari, UNIPA, CRMP, 2003.

Pada daerah yang berbatasan langsung dengan perairan Teluk Bintuni, memiliki karakteristik

tanah fluvial deltatik dengan ciri-ciri: melengkung halus, relief rendah, berlumpur, dan beeting

pasir.

Page 55: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 7

BKSDA Papua II Sorong

A.3 Kondisi Biologi Kawasan

A.3.1 Ekosistem

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni mencakup dua tipe ekosistem utama, yakni ekosistem

hutan hujan dataran rendah dan ekosistem mangrove. Selain kedua ekosistem tersebut, di

kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni juga bisa dijumpai ekosistem hutan rawa campuran

dengan luasan yang sangat kecil. Seluruh ekosistem tersebut adalah ekosistem alami dan

sebagian vegetasinya masih terpelihara dengan baik. Hasil survei lapangan dengan

mengunjungi beberapa lokasi ekosistem (Gambar II.3) yang ada menunjukan bahwa secara

umum kondisi vegetasi pada kedua ekosistem tersebut masih terpelihara dengan baik,

walaupun pada beberapa bagian telah mengalami degradasi dalam luasan yang kecil akibat

aktivitas manusia.

A.3.1.1 Hutan Hujan Dataran Rendah

Ekosistem ini tersebar terutama pada batas-batas Utara dan Timur kawasan Cagar Alam

Teluk Bintuni. Suatu keunikan tersendiri bahwa di beberapa tempat di kawasan CATB, tipe

ekosistem ini juga dapat ditemui pada beberapa pulau mengrove baik berbentuk hamparan

pegunungan rendah maupun bukit-bukit kecil. Hal ini dapat dijumpai di Pulau Mangrove

Gambar II-3. Peta Kerja Kegiatan Survei Kondisi dan Potensi Mangrove Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni 2005

Page 56: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 8

BKSDA Papua II Sorong

Maniai, Nusuama, Kamai, dan Pulau Modan. Hutan Hujan Dataran Rendah (Lowland

Rainforest) ini membentuk lapisan tajuk dan sub tajuk (Gambar II-5) dengan

keanekaragaman jenis yang cukup tinggi dan diperkirakan 60-90% tumbuhan yang ada di

ekosistem ini merupakan spesies endemik.

Tipe ekosistem hutan dataran rendah

(hutan lahan kering) ini kebanyakan berada

di belakang formasi hutan mangrove

peralihan dan pada beberapa bagian

kawasan dapat dijumpai komunitas hutan

dataran rendah berada langsung di

belakang formasi hutan mangrove

(Gambar II-4).

Ekosistem hutan hujan dataran rendah

memiliki peran yang sangat penting

sebagai salah satu komponen pendukung

kawasan. Dalam ekosistem hutan ini tumbuh beraneka ragam jenis flora mulai dari

tumbuhan tingkat rendah seperti fungi sampai dengan tumbuhan tingkat tinggi. Hutan

dataran rendah di kawasan CATB menyimpan berbagai spesies tumbuhan berkayu (pohon)

yang bernilai ekonomis tinggi seperti matoa (Pometia spp.), kayu besi/merbau (Intsia bijuga

dan I. palembanica), pulai (Alstonia spp.), Nyatoh (Palaquium sp.) Medang (Litsea sp.) serta

beberapa spesies dari famili Dipterocapaceae seperti mersawa (Anisoptera sp.), resak

(Vatica papuana), dan hopea (Hopea sp.).

Ekosistem ini umumnya tersusun atas vegetasi primer (Primary Forest) dan vegetasi

sekunder (Secondary Forest). Pada ekosistem yang tersusun oleh vegetasi primer terlihat

masih alami dan memiliki karakteristik strata tajuk yang jelas. Pada strata atas dan tengah

didominasi oleh jenis-jenis tumbuhan berkayu seperti kayu besi/merbau (Intsia bijuga) dan

matoa (Pometia sp.), sedangkan

pada strata bawah ditumbuhi

perdu dan semak yang

mendukung berbagai tanaman

pemanjat, epifit, paku-pakuan,

dan jenis-jenis palem (Palmae)

termasuk juga berbagai jenis

rotan.

Sedangkan pada hutan hujan

dataran rendah sekunder (bekas

perladangan) didominasi oleh

Gambar II-4. Tipe hutan hujan dataran rendah primer di belakang formasi hutan mangrove S. Simeri

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

Gambar II-5. Profil Struktur Hutan Dataran Rendah Di Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

Page 57: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 9

BKSDA Papua II Sorong

jenis-jenis pionir seperti makaranga (Macaranga mappa dan Macaranga tanarius) dan sirih

hutan (Piper sp.). Sebagian besar hutan dataran rendah sekunder adalah merupakan bekas

kebun masyarakat (Gambar II-6) dan bekas areal tempat penimbunan kayu (logyard) dari

HPH dan Kopermas yang beroperasi di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Selain sebagai habitat flora, ekosistem

hutan hujan dataran rendah merupakan

habitat berbagai jenis reptil seperti buaya

air tawar (Crocodylus novaguinensis),

burung mambruk (Goura cristata), burung

cenderawasih (Paradisae minor), Echidna

berparuh pendek (Tachyglossus

aculeatus), Echidna berparuh panjang

(Zaglossus bruijni), marga tikus

berkantung endemis yang aneh,

Dasyuridae, Bandycoot (Peroryctes

raffrayanus), kuskus (Phalanger

orientalis), possum kerdil (Cercatetus

caudatus, Distoechurus pennatus, dan Pseudocheirus spp.), kangguru pohon (Dendrolagus

fursinus), walabi hutan (Dorcpsis spp.), walabi liar biasa (Macropus agilis). Bahkan menurut

Zuwendra, dkk. (1991) pada sungai jernih di ekosistem hutan dataran rendah dapat dijumpai

jenis ikan pelangi (rainbow fish) dari genus Melanotaenia, yang merupakan jenis endemik

kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Ekosistem hutan dataran rendah, terutama yang berada pada batas luas kawasan Cagar

Alam juga dapat dipandang sebagi daerah penyanggah (Buffer zones) yang berfungsi

sebagai benteng pertahanan terhadap ancaman kerusakan ekosistem mangrove yang

merupakan ekosistem terluas di kawasan.

A.3.1.2 Hutan Mangrove

Vegetasi hutan mangrove di Teluk Bintuni

secara umum dapat dibedakan menjadi 3

zona berdasarkan jenis pohon pembentuk

tajuk dominan, yaitu zona Avicenia-

Sonneratia, Rhizophora-Sonneratia, dan

Rhizophora-Bruguiera. Selain membentuk

zonasi seperti di atas, dijumpai juga

beberapa jenis yang membentuk tegakan

murni.

Gambar II-7. Vegetasi mangrove Zona Avicenia – Sonneratia di P. Maniai, Cagar Alam Teluk Bintuni.

Gambar II-6. Tipe hutan hujan dataran rendah sekunder di dekat kampung Mamoranu, Kawasan

Cagar Alam Teluk Bintuni

Page 58: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 10

BKSDA Papua II Sorong

Berdasarkan pengamatan di lapangan, Zona Avicenia-Sonneratia dan Rhizophora-Sonneratia

adalah zona komunitas mangrove yang paling luar dan langsung berhadapan dengan

perairan Teluk Bintuni. Jenis yang dijumpai pada daerah ini didominasi oleh jenis Avicenia

alba, Avicenia marina, dan Rhizophora mucronata dengan tinggi pohon rata mencapai 10 m.

Substrat yang ada di bawah tegakan pada zona ini adalah endapan lumpur yang masih lunak

dan tanah lepas yang terendap oleh

pasang surut. Sedangkan substrat yang

ada di bawah wilayah mangrove terutama

untuk zona Avicenia-Sonneratia sudah

agak lebih padat. Pasang surut pada

daerah ini sangat nyata terlihat dengan

adanya perubahan permukaan air.

Sedangkan Zona Rhizophora-Bruguiera

merupakan wilayah hutan mangrove yang

umumnya tumbuh lebih ke darat, terutama

di sepanjang penggirian sungai-sungai

besar dan kecil yang bermuara ke perairan Teluk Bintuni. Secara umum, Rhizophora spp.

dan Bruguiera spp. Merupakan pohon-pohon pembentuk tajuk utama dalam zona ini. Lebih

lanjut jenis-jenis yang banyak dijumpai di zona ini adalah Rhizophora mucronata, R.

Apiculata, Bruguiera Gymnoriza, Bruguiera parviflora, Xylocarpus spp., Ceriops tagal,

Avicenia officinalis. Pada zona ini juga dijumpai jenis tumbuhan bawah, yaitu Acanthus

ebracteatus, Acanthus ilicifolius, Aegiceras corniculatum dan Avicenia intermedia (api-api

merah). Substrat yang ada di bawah tegakan pada zona ini sudah lebih keras dan kompak

(tidak lepas) yang di dominasi oleh faksi liat. Pasang surut dan banjir sangat nyata terlihat

dengan adanya perubahan permukaan air.

Gambar II-8. Vegetasi mangrove Zona Rizhiphora-Bruguiera di S. Tirasai, Cagar Alam Teluk Bintuni.

Gambar II-9. Tipe vegetasi nipah (Nypa fructicans) di S. Yensei Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

Gambar II-10. Vegetasi nipah (Nypa fructicans)campuran pada zona pasang surut di S. Tirasai,

Cagar Alam Teluk Bintuni

Page 59: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 11

BKSDA Papua II Sorong

Disamping itu, pada zona peralihan pasang surut (intertidal zone) dan air tawar dan air asin di

hutan mangrove dan zona dataran banjir pinggiran sungai dan formasi yang menutupi

dataran banjir, dijumpai vegetasi nipah (Nypa fructicans) yang tumbuh bercampur dengan

tegakan mangrove dan umumnya terbentang di antara daerah semi saline hingga ke air tawar

permanen.

Pada daerah lebih ke arah daratan, jenis nipah (Nypa fructicans) tumbuh bercampur dengan

jenis mangrove Xylocarpus moluccensis (Wamesa: Kabau hitam) dan X. granatum

(Wamesa: Kabau merah) (Gambar II-9). Pada daerah yang paling dekat dengan zona

pasang surut vegetasi ini tumbuh bersama jenis mangrove dengan kerapatan cukup tinggi,

yaitu dari genus Rhizophora, Bruguiera, Sonneratia, dan Avicenia (Gambar II-10). Kehadiran

jenis-jenis mangrove ini semakin berkurang atau tidak hadir sama sekali pada daerah yang

lebih ke arah daratan di sepanjang sungai.

Hutan mangrove di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dapat di kelompokan ke dalam

beberapa kelompok, yaitu kelompok hutan mangrove sungai Wasian, Sungai Muturi, Sungai

Weperar, Sungai Modan, dan Sungai Naramasa. Pada bagian luar vegetasi mangrove yang

berbatasan langsung dengan garis pantai/muara teluk, struktur jumlah pohonnya lebih kecil di

bandingkan dengan vegetasi mangrove yang tumbuh lebih ke belakang, terutama di

sepanjang sungai-sungai besar yang bermuara di kawasan perairan Teluk Bintuni. Hasil

penelusuran data sekunder diketahui bahwa informasi quantitatif tentang potensi mangrove di

kawasan CATB relatif kurang. Berikut adalah beberapa informasi kuantitatif potensi

mangrove di beberapa bagian CATB yang berhasil dihimpun dari hasil survei lapangan Tim

TNC (2005).

Kelompok hutan mangrove Sungai Wasian. Komunitas ini mangrove di daerah ini

membentuk formasi Avicenia-Sonneratia (bagian luar) dan Rhizophora-Bruguiera (bagian

tengah). Di bagian luar (dekat pantai) yang merupakan daerah pengendapan lumpur di

dominasi oleh jenis Sonneratia alba dengan kerapatan 270 pohon/ha, untuk tingkat pancang

dan semai dengan kerapatan berturut-turut 470 pohon/ha dan 5.000 anakan/ha. Sedangkan

pada bagian dalam (bagian tengah) ditemui jenis Rhizophora apiculata yang mendominasi

semua tingkatan vegetasi dengan kerapatan berturut-turut 260 pohon/ha untuk tingkat pohon,

730 pohon/ha untuk tingkat tiang, dan 6.000 anakan/ha untuk fase semai.

Kelompok hutan mangrove Pulau Kaboi (Depan Muara Tirasai). Pengamatan dilakukan

dengan membuat transek dan sub-plotnya sepanjang 100 meter yang tegak lurus dengan

dari tepi sungai/pantai ke bagian dalam pulau dengan azimut 1800, koordinat 133o52’31.6”E,

02o16’86.8’’S. Jumlah plot pengamatan ditentukan sebanyak 4 buah yang dibuat secara

kontinu dari tepi sungai/pantai, dan melakukan pencatatan terhadap jenis, jumlah individu tiap

jenis, diameter batang (tiang dan pohon), tinggi (tiang dan pohon).

Page 60: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 12

BKSDA Papua II Sorong

Hasil pengamatan menunjukan bahwa pada

daerah ini didominasi oleh jenis-jenis

Rhizophora mucronata, Bruguiera sexangula,

B. Parviflora, B. Gymnorrhiza, dan Ceriops

tagal. Hasil analisis vegetasi menggambarkan

bahwa pada tingkat anakan/semai, pancang,

dan pohon, jenis R. mucronata menunjukan

kerapatan tertinggi masing 5000 anakan/ha,

363 anakan/ha, dan 162 pohon/ha sekaligus

menjadi spesies yang dominan pada semua

tingkatan vegetasi (Lampiran 4 dan 5).

Kelompok hutan mangrove Pulau Nusuama (Koordinat: 133o51’86.5”E, 02o18’36.7’’S).

Metode yang digunakan dalam pengamatan

vegetasi mangrove di kawasan ini adalah

penjelajahan dalam suatu jalur yang

didampingi informan lokal untuk melihat

komposisi jenis mangrove yang ada. Hasil

pengamatan menunjukan bahwa jenis-jenis

yang ditemukan hampir sama dengan jenis-

jenis yang ditemukan di Pulau Maniai (Tanjung Pitaboni) yang didominasi oleh jenis

Rhizophora mucronata. Jenis lain yang ditemukan di daerah ini adalah Aegiceras

corniculatum, Bruguiera sexangula, Avicennia alba, B. parviflora, Ceriops decandra, B.

Gymnorrhiza, dan Ceriops decandra. Jenis-jenis yang yang ditemukan di daerah ini tidak

jauh berbeda dengan jenis mangrove pada kelompok hutan mangrove Pulau Nusuama. Hal

ini karena kondisi habitat dan letak kedua tempat tersebut relatif sama.

Kelompok hutan mangrove Sungai Simeri. Pengamatan mangrove di daerah ini dilakukan

dengan observasi pada beberapa bagian

hutan dengan menggunakan perahu motor

(longboat) serta pengamatan plot (Koordinat:

133o56’37.1”E, 02o07’07.0’’S). Hasil

observasi pada beberapa bagian hutan

menunjukan bahwa pada daerah pinggiran

sungai, vegetasi mangrove di daerah ini di

dominasi oleh jenis Xylocarpus spp. dan

Bruguiera spp. Hutan mangrove di daerah

terlihat seperti hutan tua atau hutan

mangrove sekunder yang membentuk pulau-Gambar II-12. Vegetasi mangrove S. Simeri di

kawasan CATB.

Gambar II-11. Pengukuran dan mengambilan titik koordinat plot pengamatan vegetasi mangrove di

P. Kaboi di kawasan CATB.

Page 61: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 13

BKSDA Papua II Sorong

pulau kecil, dengan karakter pohon-pohon Xylocarpus spp. yang tumbuh kerdil menyerupai

bonsai raksasa.

Hasil analisa vegetasi dari pengamatan transek menunjukan bahwa pada tingkat semai dan

pancang, jenis Rhizophora mucronata dan Xylocarpus molucensis merupakan jenis dominan

dengan Nilai Penting berturut-turut untuk semai 68 dan 56, tingkat pancang 178 dan 55

(Lampiran 6). Sedangkan pada tingkat pohon didominasi oleh Rhizophora mucronata

(INP=180) dan B. gymnorrhiza (INP=120.) (Lampiran 7).

Kelompok hutan mangrove Sungai Taberai. Plot pengamatan mangrove dibuat tegak

lurus Pulau dengan Azimut 2800 dengan koordinat 133o57’08.2”E, 02o12’05.1’’S. Hasil

pengamatan menunjukan bahwa pada daerah ini di dominasi oleh jenis-jenis Bruguiera

gymnorrhiza dan Ceriops decandra. Untuk jenis Rhizophora jumlahnya tidak terlalu banyak

ditemukan di wilayah ini sedangkan jenis Aegiceras corniculatum dan jenis Xylocarpus hanya

ditemukan satu-satu di pinggir sungai.

Kelompok hutan mangrove Pulau Maniai (Tanjung Pitaboni). Pada kelompok hutan

mangrove Pulau Maniai/Tanjung Pitabone (20 16’86.8”S, 1330 52’ 31.6” E), untuk tingkat

anakan ditemui 8 jenis mangrove dari 3 famili (Rhizophoraceae, Myrsinaceae dan

Avicenniaceae) mangrove, yaitu Rhizophora mucronata, Aegiceras corniculatum, Bruguiera

sexangula, Avicennia alba, B. parviflora, Ceriops decandra, dan B. Gymnorrhiza, sedangkan

pada tingkat pancang Ceriops decandra tidak ditemukan (Lampiran 8). Hasil tersebut

menunjukan bahwa pada tingkat anakan/semai, jenis R. mucronata menunjukan kerapatan

tertinggi (11875 anakan/ha) sekaligus menjadi spesies yang dominan (INP=84,44) dengan

persebaran yang paling merata (F=0,75), sedangkan untuk tingkat pancang didominasi oleh

Aegiceras corniculatum (INP=64,70), kerapatan 500 semai/ha, dan tersebar paling merata

(F=0,42). Hal ini mengindikasikan bahwa khusus untuk kawasan mangrove tanjung Pitaboni

sudah cukup stabil untuk pertumbuhan permudaan jenis-jenis non-pionir.

Pada tingkatan vegetasi tiang, jenis yang ditemukan agak sedikit berkurang menjadi 5 jenis,

sedangkan pada tingkat pohon meningkat lagi menjadi 10 jenis (Lampiran 9). Vegetasi

mangrove pada tingkat tiang dan pohon, jenis Rhizophora apiculata merupakan spesies

dominan (INP=140,85 dan 96,48), dan sekaligus meruapakan spesies dengan kerapatan

tertinggi (150 pohon/ha dan 104,17 pohon/ha) dengan persebaran yang paling merata

(F=0,58 dan 0,75).

Hal yang menarik untuk disimak adalah berkurangnya jumlah jenis tertentu pada saat

mencapai tingkat tiang. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam dinamika populasi jenis-jenis

mangrove di daerah ini, terjadi pengurangan jenis (mortality) terhadap jenis-jenis tertentu,

sehingga kajian mendalam perlu dilakukan untuk melihat perkembangan populasi (dinamika

populasi) baik jenis maupun jumlah jenis mangrove mulai dari tingkat semai sampai

mencapai tingkat pohon.

Page 62: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 14

BKSDA Papua II Sorong

Lebih lanjut ditemui bahwa

hutan mangrove di Tanjung

Pitaboni memiliki zonasi yang

tidak jelas (irreguler zonation),

dimana dalam satu transek

terjadi percampuran jenis

sampai pada zona belakang

(Gambar II-13). Hal ini diduga

karena kondisi substrat pada

daerah tersebut hampir merata

(seragam) akibat selalu

terendam pada saat pasang

naik (high tide) sehingga jenis-

jenis yang seharusnya tidak berada pada zona depan, tengah, dan belakang bisa tumbuh

bercampur.

Kelompok hutan mangrove Sungai Sumberi (020 04’.012’’S, 1330 53’.780’’E). Pada

kelompok hutan mangrove ini ditemukan 9 jenis untuk tingkat semai, yaitu Acrosticum

speciosum, Rizophora apiculata, Aegiceras corniculatum, Bruguiera gymnorrhiza, Xylocarpus

granatum, Ceriops decandra, C. tagal, R. mucronata dan D. spathacea, namun pada tingkat

pancang hanya ditemukan 3 jenis, yaitu Ac. Speciosum, X. Granatum, dan D. spathacea

(Lampiran 11). Hasil ini menggambarkan bahwa pada tingkat anakan/semai dan pancang

didominasi oleh jenis Acrosticum speciosum dengan kerapatan tertinggi (9167 anakan/ha dan

600 anakan/ha) sekaligus menjadi spesies yang dominan (INP=62,94 dan 100,00), namun

persebaran hampir sama dengan jenis-jenis lain. Sedangkan untuk vegetasi mangrove

tingkat tiang dan pohon didominasi oleh Rizophora Apiculata (INP=86,50 dan 113,18),

kerapatan tertinggi masing-

masing 50 pohon/ha dan 100

pohon/ha, dan persebaran yang

hampir sama dengan jenis lain

untuk tingkat pancang dan pada

tingkat pohon penyebarannya

cukup luas dibanding jenis

lainnya (Lampiran 12).

Hal yang menarik untuk disimak

dari data yang diperoleh

(Lampiran 11 dan 12) adalah

menghilangnya jenis tertentu

seperti Rizophora Apiculata dan

Gambar II-13. Pola zonasi vegetasi hutan mangrove di Tanjung Pitaboni, Cagar Alam Teluk Bintuni

Gambar II-14. Pola zonasi vegetasi hutan mangrove di Sungai Sumberi Cagar Alam Teluk Bintuni

Page 63: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 15

BKSDA Papua II Sorong

Bruguiera gymnorrhiza saat mencapai tingkat pancang dan tiang kemudian muncul lagi pada

saat mencapai tinkat pohon. Hal ini diduga terjadi kematian (mortality) pada proses dinamika

populasi di areal ini, namun hal perlu dikaji lebih jauh lagi penyebab penurunan jumlah jenis

tersebut.

Pola zonasi hutan mangrove di S. Sumberi (Gambar II-14) tidak jauh berbeda dengan hutan

mangrove Tanjung Pitaboni di masih terjadi percampuran jenis pada zona tengah dan

belakang. Pada komunitas hutan ini terlihat adanya perbedaan yang sangat nyata antar plot,

semakin dalam semakin menampakkan ke arah vegetasi peralihan yang dicirikan oleh

tumbuhnya jenis vegetasi peralihan ke hutan dataran rendah dan rawa air tawar seperti

Xylocarpus granatum dan D. spathacea. Berbeda dengan hutan mangrove Tanjung Pitaboni,

komposisi tajuk hutan mangrove di areal ini terlihat kurang teratur dan mulai membentuk

strata. Hal ini karena komposisi jenis dari komunitas ini mulai beragam dengan hadirnya

beberapa jenis vegetasi peralihan hutan dataran rendah (lowland forest).

Hutan mangrove S. Tirasai. Areal sepanjang S.Tirasai didominasi oleh jenis bakau kurap

(Rhizophora mucronata). Jenis lain yang tumbuh adalah Bruguiera parvifolia, Xylocarpus

moluccensis, Xylocarpus granatum, Avicennia alba, Aegiceras corniculatum, Pandanus

odoratissima, Sonneratia alba, dan Bruguiera gymnorrhiza. Pada bagian hulu juga

ditemukan jenis Nypa fruticans, jenis palem yang tumbuh di pesisir sungai.

Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa pada kelokan bagian luar S. Tirasai

banyak dijumpai jenis Bruguiera parviflora kemudian Rhizophora mucronata pada lapis

kedua, sedangkan di bagian dalam kelokan didominasi oleh Sonneratia alba dan Avicenia

alba. Perbedaan jenis yang dominan antara bagian dalam dan bagian luar kelokan, mungkin

dipengaruhi oleh faktor sedimentasi atau deposit substrat lumpur. Pada bagian dalam

kelokan, arusnya lemah sehingga daya angkut airnya menurun yang mengakibatkan terjadi

penimbunan lumpur (akresi) dari hulu sungai. Endapan lumpur lunak hasil proses

sedimentasi ini sangat cocok untuk habitat jenis-jenis pionir seperti Sonneratia alba.

Sedangkan pada bagian luar kelokan arusnya relatif kuat, menyebabkan abrasi pada bagian

tepi dan proses sedimentasi berjalan lambat atau bahkan tidak terjadi yang berakibat jenis-

jenis pioner tidak bisa tumbuh.

Dari hasil pengamatan di lapangan didapatkan nilai rata-rata kubikasi vegetasi tingkat tiang

dan pohon untuk tiap hektar luasan mangrove adalah sebesar 107,4 m/ha (Lampiran 9 dan

12). Nilai kubikasi tertinggi ditunjukan oleh jenis A. alba dan R. apiculata dengan potensi

berturut-turut adalah 65.42 m3/ha dan 44,80 m3/ha (Lampiran 10 dan 13).

A.3.2 Species

Pada sub Bab sebelumnya telah dideskripsikan mengenai ekosistem alami penyusun

kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang juga merupakan habitat dari berbagai species flora

Page 64: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 16

BKSDA Papua II Sorong

maupun fauna. Terdapat banyak species penting yang berasosiasi dengan habitat dan

karakteristik biologi lainnya. Untuk itu perlu di ketahui keragaman species di kawasan

termasuk species-species (flora dan fauna) langka yang dilindungi serta species kunci.

A.3.2.1 Flora

Jenis-jenis flora yang terdapat di

Kawasan Cagar Alam TB sangat

berhubungan erat dengan

ekosistem penyusun kawasan

seperti telah di uraikan panjang

lebar pada bagian sebelumnya.

Untuk ekosistem hutan

mangrove, didominasi oleh flora

mangrove dan jenis-jenis lain

yang biasa berasosiasi dengan

vegetasi mangrove. Hasil survei

lapangan yang dilakukan Tim

TNC (2005) berhasil

mengidentifikasi jenis-jenis mangrove sejati yang mendiami ekosistem mangrove pada

kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni seperti disajikan pada Tabel II-3.

Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa jenis-jenis mangrove pada Tabel II-3.

diperkaya lagi dengan jenis-jenis vegetasi yang tumbuh berasosiasi dengan jenis mangrove

seperti disajikan pada Tabel II-4.

Jenis-jenis tersebut belum termasuk jenis-jenis dari kelompok epifit dan liana yang terlihat

banyak tersebar di kawasan. Hal ini mengindikasikan bahwa keragaman jenis tumbuhan

mangrove di Teluk Bintuni

tergolong tinggi.

Selain flora ekosistem hutan

mangrove, hutan hujan dataran

rendah di kawasan Cagar Alam

Teluk Bintuni juga menyimpan

keanekaragaman flora yang relatif

tinggi, terutama dari jenis-jenis

tumbuhan berkayu (Tabel II-5).

Tabel II-3. Jenis-Jenis mangrove sejati pada ekosistem mangrove kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

No. Spesies Famili1 Avicenia alba Aviceniaceae 2 Avicenia marina Aviceniaceae 3 Bruguiera gymnorrhiza Rhizophoraceae 4 Bruguiera sexangula Rhizophoraceae 5 Bruguiera parviflora Rhizophoraceae 6 Ceriops decandra Rhizophoraceae 7 Ceriops tagal Rhizophoraceae 8 Rhizophora apiculata Rhizophoraceae 9 Rhizophora mucronata Rhizophoraceae 10 Sonneratia alba Soneratiaceae 11 Sonneratia caseolaris Soneratiaceae 12 Xylocarpus granatum Meliaceae 13 Xylocarpus moluccensis Meliaceae

Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.

Tabel II-4. Jenis-Jenis asosiasi mangrove pada ekosistem mangrove kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

No. Spesie Famili1 Acrosticum sp. Pteridaceae 2 Cerbera manghas Apocynaceae 3 Dolichandrone spathacea Bignonaceae 4 Heritiera littoralis Sterculiaceae 5 Lumnitzera littorea Combretaceae 6 Myristica hollrungii Myristicaceae 7 Nypa fruticans. Palmae8 Acanthus ilicifolius Acanthaceae 9 Aegialitis annulata Plumbaginaceae 10 Aegiceras corniculatum Myrsinaceae

Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.

Page 65: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 17

BKSDA Papua II Sorong

Pada strata tajuk didominasi oleh famili

antara lain Leguminosae,

Dipterocarpaceae, Moraceae, dan

Caesalpiniaceae. Sedangkan pada strata

bawah ditumbuhi perdu dan semak yang

mendukung berbagai tanaman pemanjat,

epifit termasuk anggrek, paku-pakuan, dan

jenis-jenis palem (Palmae) termasuk juga

pelbagai jenis rotan. Sayangnya data dasar

mengenai daftar tumbuhan/flora yang ada

di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

belum tersedia. Dari sejumlah yang

berhasil diidentifikasi, sebagian besar

adalah jenis-jenis endemik dan beberapa

genus yang telah dilindungi undang-undang

Indonesia antara lain antara lain genus

Nepenthes (Famili Nepenthaceae).

Kemungkinan besar jenis-jenis yang

ditemui di daerah ini, juga ditemui di Cagar Alam Teluk Bintuni. Berdasarkan informasi dari

pengelola kawasan dan masyarakat setempat, di ekosistem hutan dataran bisa rendah juga

dijumpai jenis-jenis anggrek dari genus Bulbophyllum yang secara hukum Indonesia telah

dilindungi.

A.3.2.2 Fauna

Hasil pengamatan lapangan pada

beberapa lokasi di dalam kawasan

(Gambar II-16), menunjukan bahwa

Cagar Alam Teluk Bintuni memiliki

keanekaragaman fauna yang cukup tinggi.

Hal ini didukung oleh kondisi fisiografi dan

ketersediaan sumber daya seperti pakan,

air, tempat berlindung, serta tempat

berkembang biak yang sesuai dengan

kehidupan satwa liar baik dari jenis

burung, mamalia, reptil dan amfibi serta

jenis avertebrata.

Gambar II-15. Jenis anggrek (Bulbophyllum sp.) yang bisa ditemukan di hutan dataran rendah dan mangrove

di kawasan CATB

Tabel II-5. Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi ekosistem hutan dataran Rendah di Kawasan Cagar

Alam Teluk Bintuni.

No. Jenis Famili1. Intsia spp. Caesalpiniaceae 2. Pometia spp. Sapindaceae 3. Callophylum sp. Guttiferae 4. Terminali sp. Combretaceae 5. Canarium sp. Burseraceae 6. Vatica papuana Dipterocarpaceae 7. Annisoptera sp. Dipterocarpaceae 8. Hopea sp. Dipterocarpaceae 9. Baccaurea

b t tEuphorbiaceae

10. Gnetum gnemon Gnetaceae 11. Gigantochola sp. Graminae 12. Garcinia sp. Guttiferae 13. Litsea sp. Lauraceae 14. Arthocarpus sp. Moraceae 15. Ficus sp. Moraceae 16. Eugenia sp. Myrtaceae 17. Calamus sp. Palmae 18. Pandanus sp. Pandanaceae

Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.

Page 66: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 18

BKSDA Papua II Sorong

Reptil dan Ampibi (Amphibians and Reptiles)

Kawasan CATB dan sekitarnya merupakan habitat penting bagi perkembangbiakan jenis-

jenis reptil dan amfibi. Hasil pengamatan langsung (direct seen) dan wawancara dengan

penduduk lokal, di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitarnya bisa dijumpai beberapa

jenis reptil dan amfibi seperti disajikan pada Tabel II-6

Jenis-jenis herpetofauna yang disajikan pada

Tabel II.6, lebih sedikit dibandingkan dengan

hasil survei yang dilakukan BP Pertamina (2002)

di ekosistem mangrove dan hutan dataran

rendah Saengga dan Tanah Merah yang hampir

sama dengan ekosistem yang ada di Cagar

Alam Teluk Bintuni, yaitu 27 spesies reptil dan 9

spesies amfibi. Hal ini memberi peluang

ditemukannya jenis-jenis herpetofauna lain

selain jenis-jenis yang disajikan pada Tabel II.6.

Terdapat tiga jenis, yaitu buaya muara

(Crocodylus porosus), buaya air tawar

Tabel II-6. Jenis herpetofuana yang dijumpai selama survei lapangan (Field Survey) di dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

Status Konservasi

No. Nama ilmiah NamaIndonesia

Lokasi

Ende

mik

Dili

ndun

gi

CIT

ES1

RD

B2

1 Crocodylus porosus Buaya muara S. Tirasai ã H I V

2 Crocodylus novaguinensis Buaya air tawar K. Yakati ã H I -

3 Hydrosaurus amboinensis Soa-soa S. Sumberi ã - - -

4 Varanus sp. Biawak K.Mamuranu, K.Tirasai ã H II -

5 Varanu sindicus Biawak bakau H. Mangrove K. Mamuranu ã C - -

6 Enhydris sp. Ular bakau Mangrove dekat K.Mamuranu - - - -

7 Hydropis sp. Ular sanca Hutan Dataran rendah Tirasai - - - -

8 Boiga irregulatus Ular coklat pohon

Hutan Dataran rendah Anak Kasih - - - -

9 Litoria infrafenata Katak pohon hijau

Hutan Dataran rendah Anak Kasih, Tirasai, dan Mamuranu

- - - -

Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005. Keterangan:

H = Keputusan Menteri Pertanian No. 716/KPTS/Um/l0/1980 C = Keputusan Menteri Pertanlan No. 327KPTS/Um/5/1978 V = Vulnerable (rentan) 1 Convention on International Trade in Endangered Species 2 IUCN Red Book List of Threatened Species

Gambar II-17. Jenis buaya muara (Crocodylus porosus) yang ditemukan di kawasan CATB

Page 67: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 19

BKSDA Papua II Sorong

(Crocodylus novaguinensis), dan biawak bakau (Varanus prafinuvi), termasuk kedalam jenis

satwa yang dilindungi dengan undang-undang di Indonesia (Petocz, 1983). Kedua jenis

satwa reptilia tersebut, yaitu C. porosus dan C. Novaeguinensis adalah satwa endemik New

Guinea dan telah tercatat dalam App. I CITES, yaitu jenis yang terancam punah dalam IUCN

Red Data Book (IUCN, 1979), dan termasuk jenis binatang yang dilindungi dengan Undang-

Undang di Indonesia, (SK Mentan No. 327/Kpts/um/5/1978 dan No. 176/Kpts/um/10/1978).

Burung (Birds)

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitarnya memiliki keanekaragaman jenis burung

yang cukup tinggi. Hal ini didukung oleh kondisi fisiografi dan ketersediaan sumberdaya

seperti pakan, air, tempat berlindung dan berkembang biak yang merupakan komponen

pendukung kehidupan satwa tersebut. Selama survei yang dilakukan oleh Tim TNC (2005),

yang dilakukan melalui pengamatan langsung (direct seen), suara (noisy), dan informasi dari

masyarakat lokal, kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan habitat kurang lebih 26

jenis burung yang tersebar di beberapa bagian kawasan CATB seperti disajikan pada Tabel

II-7.

Gambar II.16. Peta Lokasi Kegiatan Survei Keberadaan Fauna Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni 2005

Page 68: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 20

BKSDA Papua II Sorong

Tabel II-7. Jenis burung yang dicatat selama survei lapangan (Field Survey) di dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

Status Konservasi

No. Nama ilmiah Nama Indonesia Lokasi

Ende

mik

Dili

ndun

gi

CIT

ES1

RD

B2

1 Ardea sumatrana Cangak laut S. Muturi - F - NeT

2 Cacatua galerita Kakatua Jambul Kunig

S.Tirasai, S.Sumberi, S.Simeri, S. Naramasa, K. Mamuranu

ã B,C II -

3 Casuarius bennetti Kasuari kerdil Kampung Anak Kasih, Mamuranu ã A II NeT

4 Cicinnurusmagnificus

Cenderawasih molek (Magnificent Bird of Paradise)

S. Yakati ã - II -

5 Cinclosoma ajax Anis puyuh ajax Muara Tirasai ã - - -

6 Colacalia esculenta Walet sapi S. Muturi, S. Wasian - - - -

7 Dacelo gaudichaud Kukubara perut merah S. Naramasa ã F - -

8 Dicrurus hottentottus S. Tatawori - - - -

9 Egretta ibis Kuntul Kerbau Muara Sungai Muturi ã - III

10 Egretta intermedia Kuntul perak (Bangau putih) S. Naramasa - - - -

11 Egretta sacra Kuntul karang S. Naramasa ã A,D,E -

12 Eopsaltriapulverulenta

Robin bakau (Manggrove robin)

S. Wasian, S. Muturi, S. Tatawori - - - -

13 Falcon cenchroides Alap-alap layang

S.Tirasai, S.Sumberi, S.Simeri, S. Naramasa, K. Mamuranu

- - II -

14 Geoffroyus geoffroy Kakatua paruh merah K. Anak Kasih - - - -

15 Goura cristata Mambruk ubiaat (dara mahkota)

K. Naramasa, K. Mamuranu ã - I Vul.

16 Gygas alba Dara laut putih S. Tatawori - - - -

17 Halcyon cholaris Cekakak sungai S. Sumberi ã F - -

18 Larus novaehollandia Dara laut putih Muara Muturi - G - -

19 Lorius lory Nuri kepala hitam S. Muturi, S.Tirasai ã C II -

20 Milvus migrans Elang paria/ Alap-alap malam

S.Tirasai, S.Sumberi, S.Simeri, S. Naramasa, K. Mamuranu

- G II -

21 Nectarinia aspasia Burung madu hitam S. Sumberi, S. Anak Kasih ã A,E,F - -

22 Nectarinia jugularis Burung madu sriganti S. Sumberi ã A,E,F - -

23 Paradisaea minor Cenderawasih kuning kecil

Kampung Anak Kasih, Mamuranu ã A,E,F II -

Page 69: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 21

BKSDA Papua II Sorong

Status Konservasi

No. Nama ilmiah Nama Indonesia Lokasi

Ende

mik

Dili

ndun

gi

CIT

ES1

RD

B2

24 Philemon buceroides Cikukua tanduk S. Kodai - F - -

25 Proboscigeraterrimus Kakatua raja Sekitar Kampung

Naramasa ã B -

26 Stercorarius pomarinus Camar S. Wasian - - - -

27 Sterna albifrons Dara laut kecil Perairan Pulau Modan - A - -

Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.

Keterangan: A = Peraturan Konservasi Kehidupan Liar (Wildlife Conservation Regulation) 1931 No. 266 B = Kepulusan Menleri Pertanian No. 421/KPTS-Um/8/1970 August 26, 1970 C = Keputusan Menteri Pertanlan No. 7421KPTS/Um/12/1978 December 2, 1978 D = Keputusan Menteri Pertanlan No. 757/KPTS/Um/12/1979 E = Peraturan Pemerinlah NO.7 of 1999, 27 January 1999 F = Keputusan Menteri Pertanian No. 301/KPTS-Um/6/1991 June 10, 1991 G = Peraturan Konservasi Kehidupan Liar (Wildlife Conservation Regulation) 1935 No. 513 NeT = Near Threaten (hampir terancam) V = Vulnerable (rentan)

1 Convention on International Trade in Endangered Species 2 IUCN Red Book List of Threatened Species

Jumlah tersebut (Tabel II-7) lebih sedikit dibandingkan hasil survei yang dilakukan Zuwendra

dkk., (1991) yang melaporkan bahwa di kawasan Teluk Bintuni (termasuk kawasan Cagar

Alam Teluk Bintuni) sedikitnya teramati 95 jenis burung, dimana 45 spesies diantaramya

sudah di lindungi oleh undang-undang, yang terdiri dari 75 spesies burung yang menetap

dan 20 spesies burung migran. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan BP Tangguh

dalam rangka penyususnan dokumen ANDAL melaporkan bahwa di kawasan Teluk Bintuni

khususnya daerah Sungai Saengga dan S. Manggosa yang memiliki kemiripan ekosistem

dengan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, berhasil teramati lebih dari 140 jenis burung (BP

Pertamina, 2002). Hal ini mengindikasikan bahwa keragaman jenis burung di kawasan

Cagar Alam Teluk Bintuni cukup tinggi dan perlu mendapat perhatian lebih serius baik dari

perlindungan dan penelitian. Besar kemungkinan, melalui penelitian yang lebih seksama,

keragaman jenis seperti yang disajikan pada Tabel II.7 tersebut di atas dapat bertambah.

Berdasarkan hasil penelusuran pustaka, diketahui bahwa Cagar Alam Teluk Bintuni

merupakan habitat jenis-jenis satwa endemik Papua serta satwa/fauna yang telah dilindungi

undang-undang. Hasil rangkuman dari sejumlah referensi pendukung antara lain Petocz

(1987), Petocz dan Raspado (1994), Behler dkk. (1986), Zuwendra dkk. (1991), Rudiyanto

(1996), dan BP Pertamina (2002) diketahui bahwa dari jenis satwa burung yang ada di

kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (hasil survei Tim TNC, 2005), 14 jenis diantaranya adalah

Page 70: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 22

BKSDA Papua II Sorong

spesies endemik, 14 jenis telah dilindungi baik oleh hukum Indonesia maupun hukum

Internasional (CITES dan IUCN) seperti disajikan pada Tabel II.7. Menurut the Convention

on International Trade in Endangered Species (CITES), di antara spesies burung yang dapat

dijumpai di CATB, satu jenis burung mambruk (Goura cristata) masuk dalam Appendix I, tujuh

jenis lain (P. minor, F. cenchroides, C. magnificus, M. migrans, C. galerita, L. Lory, dan

Casuarius bennetti) masuk Appendix II, dan satu jenis (Egreta ibis) masuk Appendix III.

Selain itu menurut RDB (Red Data Book) jenis mambruk masuk dalam kategori “rentan”

(vurnerable), yaitu jenis mambruk ubiat/mahkota (G. cristata) dan dua jenis lagi dikategorikan

“hampir terancam”, yaitu A. sumatrana dan C. bennetti (Conservation International, 1999).

Jumlah jenis endemik untuk kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang berhasil dicatat

selama survei hampir sama dengan jumlah spesies burung endemik hasil survei Zuwendra

dkk. (1991) yang melaporkan bahwa di daerah CATB dan sekitar ditemukan paling sedikit

12 jenis endemik. Hal ini mengindikasikan bahwa kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

menjadi penting sebagai habitat dan perkembangbiakan jenis-jenis endemik khususnya

satwa avifauna.

Kawasan Teluk Bintuni nampaknya merupakan daerah pencarian pakan (winter ground) dari

beberapa jenis burung pengembara (migran). Dalam survei dijumpai ratusan burung pelican

(Pelecanus conspicillatus) dan umukia raja (Tadorna rajah) pada beberapa bagian Cagar

Alam terutama pada daerah muara dengan bentangan bentik pasir. Menurut informasi dari

masyarakat setempat burung-burung tersebut akan datang pada bulan April – Mei dan

kemudian pergi pada bulan Desember saat musim ombak.

Mamalia (Mammals)

Hasil pengamatan selama survei dengan metode pengamatan langsung (direct seen) dan

jejak kaki (footprint/trail) serta informasi dari penduduk lokal, di kawasan ini bisa dijumpai 12

jenis mamalia, dua diantaranya merupakan jenis yang sudah dilindungi undang dan masuk

dalam appendix II CITES (Tabel II-8).

Tabel II-8. Jenis mamalia yang dijumpai selama survei lapangan (Field Survey) serta berdasarkan informasi masyarakat setempat di dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Status Konservasi

No. Nama ilmiah Nama Indonesia Lokasi

Ende

mik

Dili

ndun

gi

CIT

ES1

RD

B2

1 Pteropusneohibernicus Kelelawar besar K. Mamuranu, K. Anak

Kasih, K. Tirasai ã - - -

2 Spilocuscus maculatus Kuskus bertotol K. Naramasa ã I II -

3 Phalanger orientalis Kuskus kelabu K. Mamuranu, K. Anak Kasih ã I II -

Page 71: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 23

BKSDA Papua II Sorong

Status Konservasi

No. Nama ilmiah Nama Indonesia Lokasi

Ende

mik

Dili

ndun

gi

CIT

ES1

RD

B2

4 Cervus timorensis Rusa K. Mamuranu, K. Anak Kasih Intr A - -

5 Dorcopsis muelleri Walabi hutan K. Naramasa ã - - V

6 Dendrolagus ursinus Kangguru pohon K. Mamuranu, K. Anak Kasih ã B - -

7 Peroryctes raffayana Bandikot K. Mamuranu, K. Anak Kasih, K. Tirasai ã - - -

8 Sus crofa Babi hutan K. Mamuranu, K. Anak Kasih, K. Tirasai Intr - - -

9 Pteropus conspilicatus Kelelawar K. Anak Kasih ã - - -

10 Pogonomys macrourus

Tikus hutan dataran rendah K. Anak Kasih, Tirasai ã - - -

11 Isodon macrourus Tikus tanah K. Mamuranu, K. Anak Kasih, K. Tirasai ã - - V

12 Pristis microden Cucut gergaji Perairan Teluk ã Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005. Keterangan:

A = Peraturan Konservasi Kehidupan Liar (Wildlife Conservation Regulation) 1931 No. 266 B = Kepulusan Menleri Pertanian No. 421/KPTS-Um/8/1970 August 26, 1970 I = Keputusan Menteri Pertanian No. 66/KPTS/Um/2/1973 V = Vulnerable (rentan) Intr = Introduce

1 Convention on International Trade in Endangered Species 2 IUCN Red Book List of Threatened Species

Hasil pengamatan terhadap jenis-jenis mamalia yang disajikan pada Tabel II.8 hampir sama

dengan jenis-jenis mamalia yang ditemukan dalam survei yang dilakukan oleh Zuwendra,

Erftemeijer, dan Allen (1991) yang melaporkan bahwa di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

dapat dijumpai mamalia seperti Echidna berparuh pendek (Tachyglossus aculeatus), Echidna

berparuh panjang (Zaglossus bruijni), marga tikus berkantung endemis yang aneh,

Dasyuridae, dan Bandycoot (Peroryctes raffrayanus) atau tikus, kuskus (Phalanger orientalis)

pada habitat hutan mangrove, possum kerdil (Cercatetus caudatus, Distoechurus pennatus,

dan Pseudocheirus spp.), kangguru pohon (Dendrolagus fursinus), walabi hutan (Dorcpsis

spp.), walabi liar biasa (Macropus agilis), dan jenis-jenis Chiroptera yang merupakan

kelompok mamalia yang luar biasa aneka ragamnya, seperti kelelawar berhidung tabung,

rubah terbang, kelelawar ekor berarung, kelelawar tapal kuda, dan kelelawar mastif. Namun

jumlah tersebut masih jauh lebih rendah dari hasil penelitian yang di lakukan oleh PT Geobis

Woodward-Clyde Indonesia pada tahun 1998 yang melaporkan bahwa di kawasan Teluk

Bintuni /Bearau dapat ditemui kurang lebih 70 spesies mamalia yang terdiri dari 36 spesies

kelelawar (Chiroptera), 17 spesies marsupial (Marsupialia), 15 spesies binatang pengerat

(rodents), serta rusa dan babi hutan.

Kawasan perairan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan habitat jenis lumba-lumba, seperti

jenis Seusa plumbea yang bersirip putih yang menurut informasi masyarakat, sering terlihat

Page 72: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 24

BKSDA Papua II Sorong

dalam satu group bermain mengikuti jalannya armada kapal penangkap udang untuk

mendapatkan ikan-ikan yang lebih kecil sebagai makanannya. Informasi yang diperoleh dari

penduduk bahwa di beberapa daerah muara sungai besar di kawasan Cagar Alam Teluk

Bintuni dapat dijumpai marga Delphinidae. Bahkan sejenis ikan paus berukuran besar pernah

terlihat di perairan Teluk Bintuni yang lebih dalam.

Ikan

Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa kawasan yang terkena pasang surut,

banyak dijumpai ikan gergaji (saw-fishes), hiu, dan ikan merah. Informasi dari penduduk

setempat bahwa ikan cucut gergaji (Pristis microden) yang merupakan ikan terbesar dan

telah dilindungi undang-undang yang sering masuk sampai ke sungai-sungai dalam kawasan

Cagar Alam Teluk Bintuni. Sedangkan jenis hiu yang terdapat di perairan kawasan Cagar

Alam Teluk Bintuni adalah jenis hiu bodoh (Chyloscyllium punctatum dan C. Brevipinna) yang

dapat mencapai panjang 3 m. Informasi dari nelayan tradisional (penduduk lokal) diketahui

bahwa jenis Lutjanus johnii (ikan merah) dan Himantura uarnak (ikan pari) sering juga

tertangkap saat memancing di sungai-sungai dekat hutan mangrove di kawasan CA Teluk

Bintuni.

Mengacu pada informasi tersebut di atas, peran kawasan Cagar Alam Teluk menjadi sangat

penting bagi masyarakat sekitar kawasan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari terutama

ikan baik untuk dikonsumsi sendiri maupun untuk dijual sebagai pendapatan pendapatan

keluarga.

Hasil survei serta didukung oleh informasi dari penduduk setempat bahwa dii kawasan habitat

air tawar ditemukan ditemukan jenis ikan air tawar dimana dua di antaranya merupakan ikan

pelangi (rainbow fish) dari genus Melanotaenia. Jenis ikan tersebut merupakan jenia

endemik dan tersebar di beberapa sungai, rawa, dan danau di sekitar kawasan di mana

makanan utamanya adalah nyamuk. Jenis ikan ini sangat potensial untuk dijadikan ikan hias

sehingga memberikan peluang bagi masyarakat setempat untuk mengembangkan jenis ini

untuk meningkatkan pendapatan keluarga.

Avertebrata

Perairan di sekitar kawasan Cagar Alam

Teluk Bintuni merupakan habitat beberapa

jenis avertebrata, terutama dari jenis udang.

Beberapa jenis udang yang ditemui di

perairan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk

Bintuni, yaitu udang tiger/Tiger Prawn

(Penaeus semisulcatus dan

Parapenaeopsis sculptilis), udang Gambar II-18. Jenis kepiting bakau (Scylla sp.) yang

memiliki nilai ekonmis yang dapat ditemukan di kawasan CATB

Page 73: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 25

BKSDA Papua II Sorong

endeavour/Endeavour Prawn (Metapenaeus monoceros), Banana prawn (Penaeus

marguensis dan Penaeus indicus), udang raja/king prawn (Penaues hatisalcatus), dan lobster

(Panulirus ornatus). Hal ini menjadikan kawasan perairan sekitar CA Teluk Bintuni menjadi

penting sebagai habitat udang yang dapat mendukung industri udang komersial di Kabupaten

Teluk Bintuni.

Di kawasan perairan CA Teluk Bintuni juga di jumpai jenis avertebrata lain seperti jelly fish

(Scyphozoa), salps (Salpa sp.), mantis srimp (Squitta sp.), Crinoid sealilies, Gorgoniau corals

(Gorgonaceae), kerang timba/Bailer’s shells (Nilo acthiopicus dan Syrinx aruanus), serta jenis

kepiting bakau Scylla sp. (Gambar II-18).

B. Karakteristik Sosial Ekonomi dan Budaya

B.1 Penduduk

Jumlah penduduk yang berada di 14 Kampung di sekitar (di luar, bersinggungan dan di

dalam) Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) sampai dengan Bulan Maret 2005 yaitu sebanyak

9.557 Jiwa. Penduduk secara garis dibedakan atas dua, yaitu penduduk asli /lokal dan

pendatang. Penduduk asli adalah penduduk yang telah lama bermukim disekitara kawasan

Cagar Alam yang dikenal sebagai pemangku hak masyarakat hukum adat, sedangkan

penduduk pendatang yaitu berasal dari masyarakat transmigrasi dan atau para pedagang

serta penduduk Papua pendatang (dari Sorong, Biak, Serui dan tempat tempat lain diluar

Teluk Bintuni). Penduduk secara etnisitas selain didiami oleh etnis asli (Papua), juga terdapat

berbagai etnis pendatang lainnya, dari luar Papua seperti Jawa, Bugis, dan Ambon.

Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan lapangan, dari 14 kampung yang ada di

sekitar kawasan CATB, Kampung Anak Kasih dan Tirasai merupakan kampung yang baru

terbentuk sehingga secara definitif belum ada. Anak kasih merupakan kampung yang baru

terbentuk pada tahun 2002, diawali dengan adanya mobilisasi penduduk marga pemangku

hak ulayat di Anak Kasih pada saat kopermas mulai beroperasi. Beberapa penduduk tersebut

berasal dari penduduk Kampung Mamuranu yang pada awalnya hanya membuat pondok dan

ladang disekitar daerah logyard yang dibuka oleh kopermas . Mamuranu adalah desa yang

berada di dalam kawasan CATB yang sudah ada sebeluk kawasan diusulkan dan ditunjuk

sebagai Cagar Alam Teluk Bintuni. Pada tahun 2003 Dinas Sosial Propinsi Papua membuat

rumah semi permanen dengan jumlah 54 rumah, dimana pembuatan rumah-rumah tersebut

tidak ada koordinasi terutama dengan pihak BKSDA Papua 2, maupun pihak gereja

setempat .

Kampung Tirasai pada awalnya hanya berupa gubuk sebagai tempat berburu, pada tahun

1992 lokasi tersebut dibuka oleh PT. Henrison Iriana sebagai logyard. Ketika hadirnya

Kopermas maka kelompok Marga Imeri berniat membuka pemukiman baru di logyard Tirasai.

Page 74: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 26

BKSDA Papua II Sorong

Keinginan masyarakat untuk membentuk kampung baru, terlihat bahwa telah diajukan

permohonan untuk pemukiman baru di lokasi Logyard Tirasai ke Pemda Distrik Bintuni pada

tahun 2002. Pihak pemerintah daerah tidak mengkoordinasikan masalah tersebut dengan

KSDA Papua II Resort Bintuni, dan langsung memberi rekomendasi bahwa usulan mereka

akan ditindaklanjuti.

Sehingga sekarang masyarakat

penduduk Tirasai cukup banyak

bermukim disana sambil menantikan

surat keputusan tentang penetapan

status kampung tersebut .

Pada tahun 1994 melalui Program Bina

Desa PT Henrison Iriana, sebagian

masyarakat yang ada di Tirasai

mengikuti program tersebut yang

berlokasi di Pasamai. Akan tetapi

dengan berbagai alasan sehingga

mulai awal tahun 2005, masyarakat tersebut sudah banyak kembali lagi ke Tirasai dan

sementara menenempati rumah bekas karyawan Kopermas yang sementara ini ditinggalkan.

Persebaran penduduk yang bermukim di sekitar kawasan berdasarkan kampung (Gambar

II.19) dan jenis kelamin disajikan pada Tabel II-9.

Tabel II-9. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Sekitar Cagar Alam Teluk Bintuni

Jumlah Penduduk (Jiwa) No. Kelurahan/Kampung Distrik Jumlah

(KK) Perempuan Laki-laki Total

1 Bintuni Timur Bintuni 325 735 853 1588

2 Bintuni Barat Bintuni 606 1310 1471 2781 3 Pasamai Bintuni 42 74 82 156 4 Waraitama/SP 1 Bintuni 254 354 375 729 5 Korano Jaya/SP 2 Bintuni 123 257 271 528 6 Banjar Ausoy/SP 4 Bintuni 191 347 445 792 7 Tuasai/Beimes/Ingruji Bintuni 209 282 274 556 8 Argo Sigemerai/SP 5 Bintuni 242 599 710 1309 9 Tirasai Bintuni 28 58 89 147

10 Mamuranu Idoor 20 55 70 125 11 Anak Kasih Idoor 15 36 47 83 12 Yakati Idoor 60 140 202 342 13 Yensei Idoor 50 92 127 219 14 Naramasa Kuri 35 85 117 202

Jumlah 2200 4424 5133 9557 Persentase 46,29 53,71 100

Sumber: Monografi Kampung (Desa) Bulan Maret 2005, Hasil Survei Tim TNC, 2005 Diolah

Gambar. II.19. Lokasi Pemukiman penduduk K. Pasamai

Page 75: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 27

BKSDA Papua II Sorong

Kampung Waraitama, Korano Jaya, Banjar Ausoy, Tuasai dan Argo Sigemerai merupakan

pemukiman transmigrasi yang letaknya bersinggungan dengan Kawasan CATB. Kampung

Mamuranu merupakan kampung yang berada didalam kawasan dan sudah ada sebelum

ditetapkannya Kawasan CATB, sedangkan Kampung Anak Kasih dan Tirasai merupakan

perkampungan baru yang ada didalam kawasan. Sedangkan Kampung Yakati, Yensei dan

Naramasa merupakan kampung yang secara letak berada diluar kawasan akan tetapi

keterkaitannya terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan cukup

besar.

Luas wilayah Distrik (Kecamatan) Bintuni yaitu 7.926 Km2 (Atlas Sumberdaya Pesisir

Kawasan Teluk Bintuni, 2003), sedangkan Distrik Idoor dan Kuri tidak diperoleh data luasan

wilayah (karena merupakan distrik baru). Berdasarkan Tabel 10, bahwa kepadatan

penduduk di sekitar kawasan CATB masih rendah (1,2 jiwa/Km2). Akan tetapi seiring dengan

perkembangan Kabupaten Teluk Bintuni yang merupakan Kabupaten pemekaran baru, maka

potensi para penduduk pendatang akan semakin banyak sehingga jumlah penduduk dimasa

yang akan datang diprediksikan akan semakin cepat bertambah.

Gambar II-20. Peta Lokasi Kampung yang berada di dalam dan sekitar Kawasan Cagar Alam Teluk

Bintuni 2005

Page 76: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 28

BKSDA Papua II Sorong

Tabel II.10. memperlihatkan bahwa sebaran proporsi jumlah penduduk laki-laki lebih besar

dibandingkan dengan proporsi jumlah penduduk perempuan. Ratio perbandingan antara

jumlah penduduk laki-laki terhadap perempuan adalah 1,16. Hasil pengamatan di lapangan

yang diperkuat dengan hasil penelitian Yalhimo (2003) memberi gambaran bahwa penduduk

yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sebagian besar berusia

produktif (19–50 tahun) dengan persentase 49,63 %, disusul penduduk dengan kelompok

usia sekolah (7–18 tahun) sebesar 22,86 %. Persebaran penduduk yang bermukim di

kampung-kampung sekitar Cagar Alam Teluk Bintuni berdasarkan kelompok umur disajikan

pada Tabel II.10.

Tabel II.10. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur di Sekitar Cagar Alam Teluk Bintuni

Kelompok Umur (Thn) JumlahNo. Kelurahan/Kampung Distrik 0 – 6 7 -18 19 - 50 > 50 (Jiwa)

1 Bintuni Timur Bintuni 214 342 815 217 1588

2 Bintuni Barat Bintuni 243 617 1459 462 2781 3 Pasamai Bintuni 31 37 63 25 156 4 Waraitama/SP 1 Bintuni 84 170 351 124 729 5 Korano Jaya/SP 2 Bintuni 74 114 260 80 528 6 Banjar Ausoy/SP 4 Bintuni 101 152 401 138 792 7 Tuasai/Beimes/Ingruji Bintuni 72 105 318 61 556 8 Argo Sigemerai/SP5 Bintuni 211 320 605 173 1309 9 TirasaI Bintuni 15 36 72 24 147

10 Mamuranu Idoor 26 29 55 15 125 11 Anak Kasih Idoor 13 18 43 9 83 12 Yakati Idoor 35 107 125 75 342 13 Yensei Idoor 29 63 97 30 219 14 Naramasa Kuri 15 75 80 32 202

Jumlah 1163 2185 4744 1465 9557 Persentase 12,17 22,86 49,63 15,34 100

Sumber : Monografi Kampung (Desa) Bulan Maret 2005, Hasil Survei Tim TNC, 2005 Diolah

B.2 Mata Pencaharian

Masyarakat yang berada di sekitar (diluar,

bersinggungan dan di dalam) Cagar Alam Teluk

Bintuni (CATB), mayoritas bermatapencaharian

sebagai petani (45,80 %) dan diikuti oleh

nelayan (18,82 %). Hal ini terjadi karena

terutama Kampung (Desa) yang bersinggungan

dengan kawasan CATB, merupakan

permukiman transmigrasi sehingga Gambar II-21. Salah seorang anggota masyarakat nelayan di K. Korano Jaya setelah

melaut

Page 77: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 29

BKSDA Papua II Sorong

penduduknya banyak yang bermatapencaharian sebagai petani. Akan tetapi untuk Kampung

(Desa) yang berada di dalam kawasan CATB seperti Kampung Mamuranu, Anak Kasih, dan

Tirasai serta kampung yang secara lokasi berada di luar, kawasan CATB seperti Kampung

Yakati, Yensei dan Naramasa akan tetapi bermatapencaharian didalam kawasan CATB yaitu

nelayan (18,82 %), berburu (2,82 %) dan menokok sagu (1,28 %). Ketiga jenis mata

pencaharian tersebut, sangat mengandalkan kepada sumberdaya alam yang ada di dalam

kawasan CATB, sehingga ketergantungan mereka terhadap sumberdaya alam kawasan

cukup besar.

Dengan persentase penduduk lebih dari 20 % yang mengandalkan sumberdaya alam

kawasan CATB secara langsung, dengan laju pertumbuhan penduduk 1-2 %/tahun,

diprediksikan dimasa yang akan datang tekanan terhadap kawasan CATB akan semakin

besar. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan kawasan CATB yang baik dengan

bekerjasama dengan masyarakat setempat sehingga kawasan CATB terjaga kelestariannya

dan masyarakat tetap dapat melakukan kehidupannya sehari-hari. Secara lengkap kondisi

penduduk berdasarkan matapencaharian dapat dilihat pada Tabel II-11.

Tabel II-11. Mata Pencaharian penduduk yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

Mata Pencaharian (Jiwa)

Distrik Kampung/Kelurahan

Nel

ayan

Tani

Ber

buru

(R

usa,

B

uaya

da

n ba

bi)

Men

okok

Sa

gu

Bur

uh

PNS/

TNI/

POL

Swas

ta

Lain

2 Bintuni Timur 138 61 0 0 17 17 28 64

Bintuni Barat 161 148 0 0 74 59 87 77

Pasamai 11 25 0 0 0 2 3 1

Waraitama/SP 1 16 187 0 0 13 3 24 11

Korano Jaya/SP 2 1 96 0 0 14 8 14 54

Banjar Ausoy/SP 4 27 154 0 0 0 29 26 9

Tuasai/Beimes/Ingruji 0 196 0 0 0 2 4 7

Argo Sigemerai/SP5 8 184 0 0 5 21 37 12

Bintuni

Tirasai 13 6 9 0 0 0 0 0

Mamuranu 9 2 7 0 0 2 0 0

Anak Kasih 7 1 7 0 0 0 0 0

Yakati 20 0 19 18 0 3 0 0

Idoor

Yensei 16 9 10 12 0 3 0 0

Kuri Naramasa 14 4 15 0 0 0 2 0

Jumlah 441 1073 67 30 123 149 225 235

Persentase 18,822 45,80 2,86 1,28 5,25 6,35 9,60 10,04 Sumber : Monografi Kampung (Desa) Bulan Maret 2005, Hasil Survei Tim TNC, 2005 Diolah

Page 78: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 30

BKSDA Papua II Sorong

B.3 Pendidikan dan Kesehatan

B.3.1 Pendidikan

Kualitas pendidikan dari penduduk yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam

Teluk Bintuni secara umum masih rendah, dengan kondisi sarana prasarana pendidikan yang

kurang memadai, terutama jumlah guru untuk setiap sekolah masih rendah. Sebagai contoh

rata-rata jumlah guru untuk tingkat sekolah dasar disetiap kampung (desa) sebanyak 1-3

orang. Secara umum untuk tingkat Kabupaten Teluk Bintuni, pelaksanaan pendidikan telah

berlangsung pada berbagai jenjang pendidikan, mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai

dengan Perguruan Tinggi (PT). Sarana pendidikan yang terdapat di sekitar kawasan CATB

disajikan pada Tabel II-12. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat sekitar

kawasan CATB, pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap cagar alam dan pelestarian

alam masih rendah (84%). Hal ini disebabkan oleh minimnya informasi tentang cagar alam

dan pelestarian alam yang mereka terima karena kurangnya sarana dan media informasi.

Tabel II-12. Sarana Pendidikan di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni tahun 2002

Sarana Pendidikan Distrik Kampung/Kelurahan

TK SD SMP SMU PTJumlah (unit)

Bintuni Bintuni Timur 1 2 1 2 1 7 Bintuni Barat 2 3 1 2 0 8 Pasamai 0 0 0 0 0 0 Waraitama/SP 1 0 0 0 0 0 0 Korano Jaya/SP 2 0 1 1 0 0 2 Banjar Ausoy/SP 4 1 1 1 0 0 3 Tuasai/Beimes/Ingruji 0 1 0 0 0 1 Argo Sigemerai/SP5 1 1 0 0 0 2 Tirasai 0 0 0 0 0 0 Idoor Mamuranu 0 1 0 0 0 1 Anak Kasih 0 0 0 0 0 0 Yakati 0 1 0 0 0 1 Yensei 0 1 0 0 0 1 Kuri Naramasa 0 1 (Rusak) 0 0 0 1 Jumlah 5 13 4 4 1 27

Sumber : Monografi Kampung (Desa) Bulan Maret 2005, Hasil Survei Tim TNC, 2005 Diolah

Tabel II-12. menunjukan bahwa hampir semua kampung telah memiliki sarana pendidikan

untuk tingkat SD, sedangkan tingkat SMP dan SMU masih terkonsentrasi di pusat kota

Kabupaten Teluk Bintuni (kelurahan Bintuni Timur dan Bintuni Barat) serta daerah

pemukiman transmigrasi (kampung Korano Jaya/SP2 dan Banjar Ausoy/SP4).

Page 79: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 31

BKSDA Papua II Sorong

Terkonsentrasinya sarana pendidikan lanjutan di ibukota Kabupaten dan daerah transmigrasi

mengakibatkan banyak anak-anak usia sekolah lulusan sekolah dasar (SD) mengalami

kesulitan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (SMP). Hal yang sama juga di

alami para siswa lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) untuk melanjutkan sekolah ke

tingkat SMU. Kendala utama yang dirasakan adalah jarak sekolah lanjutan dengan

pemukiman mereka cukup jauh, juga sarana transportasi yang belum lancar/langka. Hal ini

membuat para siswa mengalami kesulitan untuk datang ke sekolah tepat waktu, bahkan

banyak dari mereka yang terpaksa tidak masuk sekolah (meliburkan diri) dalam waktu lama.

Permasalahan lain yang cukup menonjol hampir sama dengan sekolah-sekolah yang ada di

sekitar kawasan CATB, yaitu guru sebagai tenaga pengajar yang dirasakan masih kurang

terutama guru-guru bidang IPA dan bahasa Inggris baik pada tingkat SMP maupun tingkat

SMU.

B.3.2 Kesehatan

Sarana kesehatan yang ada di kampung-kampung di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk

Bintuni sangat terbatas. Puskesmas dan Puskesmas Pembantu (PusTu) hanya ada di ibukota

Kabupaten (Bintuni Barat) dan pemukiman transmigrasi (Banjar Ausoy/SP4), sedangkan

beberapa kampung lain di wilayah ini hanya memiliki poliklinik desa (Polindes) atau

posyandu. Pada kampung-kampung tertentu bahkan tidak memiliki sarana kesehatan sama

sekali seperti terlihat pada Tabel II-13.

Tabel II-13. Sarana Kesehatan di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni tahun 2005

Sarana Kesehatan Distrik Kampung/Kelurahan Puskemas Pustu Polindes/P’Yandu

Jumlah (unit)

Bintuni Bintuni Timur 0 1 1 2 Bintuni Barat 1 0 1 2 Pasamai 0 0 0 0 Waraitama/SP 1 0 0 0 0Korano Jaya/SP 2 0 0 0 0Banjar Ausoy/SP 4 1 0 0 1Tuasai/Beimes/Ingruji 0 0 0 0Argo Sigemerai/SP5 0 0 0 0Tirasai 0 0 0 0

Idoor Mamuranu 0 0 0 0 Anak Kasih 0 0 0 0 Yakati 0 0 0 0 Yensei 0 0 0 0 Kuri Naramasa 0 0 0 0 Jumlah 2 1 2 5

Sumber: Hasil survei tim TNC, 2005.

Page 80: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 32

BKSDA Papua II Sorong

Meskipun demikian rutinitas kunjungan dari para medis tetap dilakukan ke kampung-

kampung yang ada. Kendala yang menonjol dalam kunjungan petugas kesehatan adalah

masalah transportasi. Untuk ke kampung Yakati dan Yensei misalnya harus ditempuh dengan

menggunakan perahu motor (longboat) dengan waktu tempuh 4-6 jam, tergantung pasang

surutnya air.

Keadaan tenaga kesehatan yang ada di daerah sekitar kawasan juga masih terbatas seperti

disajikan pada Tabel II-14.

Tabel II-14. Tenaga Kesehatan yang ada di kampung sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni tahun 2005

Tenaga Kesehatan Distrik Kampung/Kelurahan

Dokter Mantri Perawat/Bidan Dukun Beranak Bintuni Bintuni Timur 0 1 0 4

Bintuni Barat 1 7 12 3 Pasamai 0 0 0 1Waraitama/SP 1 0 0 0 0Korano Jaya/SP 2 0 1 0 1 Banjar Ausoy/SP 4 1 2 4 0Tuasai/Beimes/Ingruji 0 0 0 2Argo Sigemerai/SP5 0 0 0 0Tirasai 0 0 0 0

Idoor Mamuranu 0 0 0 1 Anak Kasih 0 0 0 0 Yakati 0 0 0 3 Yensei 0 0 0 2 Kuri Naramasa 0 0 0 1 Jumlah 2 11 16 18

Sumber: Monografi Kampung (Desa) Bulan Maret 2005, Hasil Survei Tim TNC, 2005 Diolah

Tabel II-14 memperlihatkan bahwa tenaga medis seperti dokter, mantri, dan bidan yang

terdapat di kampung-kampung di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni masih sangat

kurang. Di ibukota Kabupaten hanya terdapat seorang dokter dan beberapa mantri serta

perawat/bidan yang bertugas di Puskesmas. Hal ini menyebabkan tidak terpenuhinya

pelayanan pengobatan oleh tenaga kesehatan yang dibutuhkan masyarakat. Khusus untuk

pelayanan persalinan, masyarakat lebih banyak menggunakan jasa dukun beranak

(traditional healers) yang jumlahnya cukup banyak dan hampir tersedia di setiap kampung di

sekitar kawasan CATB.

Jenis penyakit yang paling umum di derita oleh masyarakat di sekitar kawasan adalah

malaria, diare, penyakit kulit, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), Frambusia, dan

penyakit mata dimana penyakit malaria, diare, dan ISPA merupakan penyakit yang banyak

Page 81: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 33

BKSDA Papua II Sorong

diderita dan menjadi penyebab utama kematian. Hasil studi Yalhimo (2003) menunjukan

bahwa selama tahun 2003 terdapat 246 kasus malaria dan 135 kasus diare, 59 kasus ISPA

dibanding dengan 22 kasus penyakit kulit, 27 kasus Frambusia, dan 55 kasus penyakit mata.

Menonjolnya kasus malaria, diare, dan ISPA diduga disebabkan oleh lingkungan tempat

tinggal masyarkat yang dekat denagn hutan rawa dan mangrove yang merupakan tempat

berkembang biak nyamuk malaria, air baku untuk minum sangat kurang dan tidak memenuhi

standar baku kesehatan, serta kondisi lingkungan jalan umum yang berdebu pada musim

kemarau yang membuat kualitas udara menjadi buruk akibat banyaknya debu.

B.4 Agama

Penduduk yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sebagian besar

sudah memeluk agama seperti Kristen Protestan, Katolik, dan Islam. Hal ini ditunjang oleh

sarana ibadah yang cukup memadai (Tabel II-15).

Tabel II-15. Jumlah penduduk yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni berdasarkan Agama

Distrik Kampung/Kelurahan KristenProtestan

Jumlah Tempat Ibadah

KatolikJumlah Tempat Ibadah

IslamJumlah Tempat Ibadah

Bintuni Bintuni Timur 997 1 178 0 413 2 Bintuni Barat 2395 4 204 1 182 0 Pasamai 52 0 104 1 0 0 Waraitama/SP 1 203 1 37 0 489 3 Korano Jaya/SP 2 47 1 12 0 469 6 Banjar Ausoy/SP 4 70 1 38 0 684 5 Tuasai/Beimes/Ingruji 556 3 0 0 0 0 Argo Sigemerai/SP5 77 1 27 0 1205 6 Tirasai 147 0 0 0 0 0

Idoor Mamuranu/ Anak Kasih 208 1 0 0 0 0 Yakati 342 1 0 0 0 0 Yensei 219 1 0 0 0 0 Kuri Naramasa 187 1 8 0 7 0

Jumlah 5500 16 608 2 3449 22 Persentase 57,55 6,36 36,09

Sumber: Monografi Kampung (Desa) Bulan Maret 2005, Hasil Survei Tim TNC, 2005 Diolah

Tabel II-15. memperlihatkan bahwa jumlah penduduk yang menganut agama kristen

protestan lebih besar dibandingkan jumlah penganut agama lain (57,55 %). Tempat ibadah

umumnya juga telah ada di setiap kampung (desa).

Page 82: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 34

BKSDA Papua II Sorong

B.5 Kearifan Tradisional Masyarakat

Masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) masih

memiliki kepercayaan bahwa tempat-tempat tertentu di daerah mereka masih dianggap

keramat (tempat pamali). Hasil wawancara dengan tokoh adat Naramasa (Bpk. Set Efredire)

menyatakan bahwa Pulau Modan merupakan tempat “pamali” dimana menurut kepercayaan

mereka di sana terdapat buaya putih, sehingga tidak sembarang orang bisa masuk kesana.

Pulau Modan termasuk tanah adat Suku Kuri . Selain itu daerah yang dianggap sebagai

tempat “pamali” yaitu sekitar Pulau Jawarupai yaitu Sungai Asi Inabuo. Disamping itu masih

ada tempat tertentu yang oleh masyarakat dilindungi keberadaannya karena bernilai ritual

seperti mata air, goa, pohon-pohon tertentu, dan sebagainya. Bila dicermati aturan-aturan

mengenai pemanfaatan tanah-hutan seperti itu, pada hakekatnya sejalan dengan prinsip-

prinsip konservasi.

B.6 Pemanfaatan Sumberdaya Alam

B.6.1 Pandangan Masyarakat Adat terhadap sumberdaya alam (Tanah dan Hutan)

Masyarakat adat yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB)

memandang tanah dan hutan merupakan sesuatu yang sangat penting dan bermanfaat bagi

kehidupan mereka sebagian pemilik hak ulayat. Oleh sebab itu mereka berusaha memiliki

tanah seluas-luasnya untuk dapat di pertahankan dalam jangka waktu lama serta untuk di

wariskan dari generasi ke generasi.

Masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan CATB, memandang tanah dan hutan

sebagai suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Apalagi bila tanah tersebut mengandung

sumber daya tambang. Hal ini membuat masyarakat adat mulai berpikir tentang status tanah

dan hutan yang saat ini di kelola oleh “pihak-pihak luar” seperti areal transmigrasi dan Hak

Pengusahaan Hutan (HPH). Menurut keterangan dari Tokoh masyarakat Bintuni Bpk. Otto

Manibuy, masyarakat adat harus mendapat kompensasi apabila tanah adat mereka

Salah satu pengelolaan sumberdaya alam di dalam CATB berkaitan dengan kearifan

tradisional masyarakat, khususnya masyarakat adat Wamesa adalah pada kegiatan

pengambilan hasil laut dari mangrove berupa kepiting (karaka). Dalam proses

pengambilan karaka, masyarakat biasanya tidak mengambil seluruh jumlah karaka

dalam satu liang (lubang) dengan pertimbangan karaka yang ditinggalkan dapat

berkembang biak. Selain itu dalam pengambilan/pemanenan hasil pohon sagu,

masyarakat adat Wamesa dalam menebang pohon sagu mencari yang tua/matang.

Indikator yang dipakai adalah pohon sagu yang telah berbunga dan menghasilkan

puting sari.

Page 83: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 35

BKSDA Papua II Sorong

diusahakan untuk usaha tertentu, hal tersebut merupakan usaha agar masyarakat adat tidak

hanya menjadi “penonton” tetapi juga merasakan hasil kegiatan yang dilakukan.

Masyarakat adat melihat hutan mempunyai fungsi ekonomi karena merupakan tempat

menggantungkan kehidupan sehari-hari. Hutan bagi masyarakat adat berfungsi sebagai

tempat berburu rusa, babi hutan, dan jenis-jenis burung tertentu sebagai sumber protein

keluarga, dan jenis burung lain seperti nuri, kakatua dan mambruk untuk di jual. Hutan juga

merupakan sumber sayuran, biji-bijian, dan obat-obatan.

Hutan bagi masyarakat adat yang bermukim di sekitar kawasan CATB juga memiliki fungsi

sosial. Bagi masyarakat adat, hutan merupakan sarana pemersatu hubungan sosial antar

warga dalam satu suku maupun antar suku. Masyarakat Suku Wamesa yang mengklaim

sebagian besar wilayah hutan yang ada didalam kawasan CATB, anggota masyarakatnya

juga tersebar di sekitar kawasan dan kota Bintuni. Dengan adanya kondisi tersebut rasa

persaudaran mereka tetap terikat kuat karena adanya rasa bersama dalam memiliki hutan

adat mereka.

Selain itu tinggi rendahnya status sosial (social status) seseorang atau sekelompok orang

dalam satu marga, klan, ataupun suku dapat di tentukan oleh seberapa luas tanah yang

dimiliki orang/kelompok/klain/marga/suku tertentu. Sebagai contoh pada Suku Sough yang

bermukim di sekitar kawasan CATB, marga Iba, Tiri, Sayori, Yettu, dan Horna “mengklaim”

sebagi kelompok dengan status sosial tinggi karena memiliki tanah yang sangat luas yang

membentang mulai dari pegunungan Arfak sampai ke Pesisir Teluk Bintuni.

B.6.2 Pola pemanfaatan sumberdaya alam.

Pemanfaatan sumber daya alam berupa tanah dan hutan oleh masyarakat yang bermukim di

sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) masih mengandalkan kearifan tradisional.

Secara sosial budaya masyarakat memiliki ikatan erat dengan hutan, sehingga mereka bisa

bertahan hidup dari generasi ke geneeasi sampai saat ini.

Pola pemanfaatan sumber daya tanah secara tradisional biasanya mengacu pada sistem

kelembagaan yang meliputi aturan, nilai, norma dan hukum adat yang mengatur tentang

siapa, kapan, dan dimana seseorang atau kelompok orang boleh memanfaatkan tanah

termasuk sistem pewarisan konflik dan cara penyelesaiannya. Pola ini merupakan aturan tak

tertulis yang disepakati bersama oleh para pemilik tanah yang berlangsung turun temurun.

Pemanfaatan dan pengelolaan hutan oleh masyarakat di sekitar kawasan CATB menunjukan

bahwa hutan merupakan sumber utama kehidupan. Hutan dimanfaatkan untuk memenuhi

beragam kebutuhan seperti kegiatan berkebun (perladangan berpindah), berburu binatang

liar, mencari ikan, menokok sagu, serta sebagai tempat pengambilan bahan baku untuk

pembuatan rumah.

Page 84: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 36

BKSDA Papua II Sorong

Dalam bertani misalnya, masyarakat menggantungkan hidupnya pada kegiatan berkebun

dimana mereka juga terikat pada aturan-aturan yang berlaku yang disepakati bersama.

Aturan-aturan tersebut antara lain:

(1) Lahan yang dikelola haruslah milik marga/klan/anggota suku;

(2) Lahan yang dikelola dianjurkan berdekatan dengan lahan milik anggota klan atau suku

lain dengan harapan memudahkan dalam pengerjaan dan pengontrolan bersama;

(3) Batas-batas lahan yang telah disepakati, tidak boleh diubah begitu saja tanpa

kesepakatan bersama antar anggota klan atau suku dengan harapan bahwa dalam

pengelolaannya tidak mengganggu kepentingan anggota yang lain;

(4) Pembukaan lahan, penebangan pohon, pembakaran, pemagaran, dan penanaman

sedapat mungkin dilakukan secara bersama-sama anggota klan atau suku yang lain

agar bila terjadi musibah seperti banjir, kekeringan, atau kebakaran hutan dapat

dilakukan pengaturan dan penanggulangan secara bersama-sama oleh anggota atau

suku yang bersangkutan.

Aturan juga dibuat dalam berburu binatang liar dimana pola pemanfaatan dilakukan hanya

pada areal hutan yang merupakan milik klan atau suku yang bersangkutan. Hal ini senantiasa

diperhatikan karena bila kegiatan perburuan dilakukan tanpa didasarkan atas aturan batas-

batas tanah ulayat klan, bisa berdampak terhadap terjadinya pertentangan bahkan konflik.

Dari segi pemanfaatan hasil buruan, pada pelaksanaan kegiatan berburu, ada pemburu yang

adakalanya berhasil dari pada yang lain. Pemburu yang berhasil tersebut senantiasa

membagi-bagikan hasil buruannya kepada tetangganya dengan radius dua rumah juga

kepada keluarga dekat seperti kakek-nenek, orang tua, saudara kandung, atau para kerabat

dekat di luar radius tersebut.

Dalam meramu sayuran dan buah-buahan untuk konsumsi seperti daun, bunga, buah, tunas

atau buah-buahan yang tumbuh di sekitar kampung atau dekat dengan kebun-kebun

penduduk, dapat di klaim sebagai milik pribadi oleh mereka yang pertama kali menemukan,

membersihkan atau yang punya lahan dimana tumbuhan tersebut berada dan selanjutnya

diwariskan kepada keturunannya. Dari segi pengumpulan bahan bangunan, pohon dan

tumbuhan yang biasanya digunakan untuk bangunan atau keperluan rumah tangga, yang

tumbuh disekitar pemukiman, dekat kebun, atau di kawasan pamali dapat diklaim sebagai

milik pribadi oleh mereka yang pertama kali menemukan atau membersihkannya, dan dapat

juga diwarisakan kepada keturunannya.

Pola pemanfaatan tersebut diatas, lebih berhubungan dengan prinsip-prinsip pengaturan

dalam memenuhi kebutuhan subsistensi keluarga. Namun seiring dengan perkembangan

jaman, dimana “pihak luar” mulai masuk, para pemilik tanah mulai terperikat untuk

Page 85: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 37

BKSDA Papua II Sorong

“menyerahkan” sumberdayanya untuk digunakan. Hal ini berdampak pada semakin

terkikisnya sistem kearifan tradisional yang mengandung nilai-nilai konservasi atas sumber

daya tanah.

Ketika masuk sistem ekonomis kapitalis yang berbasis pada penggunaan uang, maka

penggunaan hutan lebih banyak mengarah pada prinsip-prinsip ekonomi yang menghasilkan

keuntungan materiil. Hal ini karena ketika beroperasi sejumlah HPH, Hutan konversi untuk

program transmigrasi, pemukiman, dan lain-lain menyebabkan terjadinya perubahan struktur

pemilikan dan pola peruntukan yang telah lama dianut masyarakat. Areal hutan milik komunal

telah dikonversi untuk berbagai kepentingan sekaligus dan masyarakat menerima

kompensasi langsung. Umumnya kompensasi adalah berupa uang tunai dan pembangunan

rumah tinggal yang tentunya berdampak terhadap perubahan fungsi hutan untuk berbagai

stakeholder.

B.6.3 Pemanfaatan Sumberdaya Alam di Kawasan CATB.

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni secara fisik dikelilingi oleh pemukiman penduduk yang

secara turun temurun telah berinteraksi dalam bentuk memanfaatkan sumberdaya alam baik

flora maupun fauna yang ada dalam kawasan. Bentuk interaksi dengan kawasan Cagar

Alam Teluk Bintuni, yaitu berupa pemanfaatan jenis-jenis flora dan fauna serta lahan untuk

kebun. Pemanfaatan beberapa jenis flora oleh masyarakat lebih tertuju pada kayu sebagai

bahan bakar dan juga bahan bangunan, seperti pembuatan tiang-tiang rumah tradisional dan

tiang pagar rumah. Pemanfaatan fauna lebih terfokus pada fauna perairan, seperti ikan,

kepiting, udang, dan kerang (bia).

Pola interaksi masyarakat sekitar dengan kawasan CATB yaitu dalam bentuk mata

pencaharian, dimana sebagian masyarakat ada yang bermatapencaharian sebagai nelayan,

berburu dan menokok sagu. Apabila melihat pola tersebut maka pemanfaatan sumberdaya

alam di kawasan CATB cukup intensif, dimana masyarakat mengamabil sumberdaya alam

tersebut hampir setiap hari. Jenis fauna yang ada di dalam kawasan CATB seperti

buaya,rusa dan beberapa jenis burung banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai hewan

buruan. Khusus untuk buaya, rusa dan babi merupakan fauna yang sering diburu dan telah

menjadi sumber mata pencaharian di beberapa kampung seperti Naramasa, Yakati, Yensei,

Mamuranu, Anak Kasih dan Tirasai. Buaya diambil kulitnya sedangkan rusa dan babi diambil

dagingnya untuk dibuat dendeng. Selain itu sumberdaya alam hutan mangrove berupa lahan

pada daerah peralihan telah dimanfaatkan sebagai kebun. Kegiatan pemanfaatan tersebut

telah terjadi sejak jaman dahulu dan menjadi warisan bagi generasi sekarang.

Page 86: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 38

BKSDA Papua II Sorong

B.6.3.1 Penangkapan dan Pengumpulan Hasil Laut

Penangkapan ikan dan hasil perikanan lain

oleh masyarakat di dalam dan sekitar

kawasan CA Teluk Bintuni umumnya masih

sederhana. Peralatan tangkap yang

digunakan masih bersifat tradisional seperti

tombak, seser dan sero. Selain itu sebagian

masyarakat sekitar kawasan juga sudah mulai

mengenal dan menggunakan alat tangkap

yang lebih modern yang diadopsi seperti

rawai dan jaring udang (trammel net).

Dalam kegiatan penangkapan ikan dan hasil

laut lainnya, masyarakat lokal yang bermukim

di dalam dan sekitar kawasan mengenal

beberapa cara/teknik penangkapan

tradisional, yaitu teknik penangkapan

“PELEKALI, JARING BALABUH, dan

MANCING”.

“PELEKALI”, yaitu penangkapan ikan dengan

cara membentangkan (memotong) muara

sungai/kali/kanal kecil dalam kawasan yang

terpengaruh pasang surut dan menggunakan

jaring bekas trawl. Teknik ini sudah

berlangsung lama dan turun temurun dengan

memanfaatkan salah satu karakteristik fisik

kawasan yang dipengaruhi oleh pasang surut

air laut. Pada saat air sungai penuh/pasang

naik (high tide), pada mulut/muara

kali/sungai/kanal dalam kawasan

dibentangkan sejenis jaring (bekas trawl)

sampai ke dasar sungai dengan bantuan

tiang-tiang kayu mangrove dari jenis

Rizophora sp. Kolam-kolam yang terbentuk

saat air surut (low tide) selanjutnya di beri

sejenis racun yang berasal dari tumbuhan

dikenal dengan “akar bore /tuba” yang dapat membuat ikan terbius “mabuk”.

Gambar II-22. Penangkapan ikan dengan menggunakan “JARING BALABUH” yang dilakukan masyarakat lokal di dalam dan sekitar kawasan CATB

Gambar II-23. Jenis siput bor Bactronophorus sp.yang dikumpulkan masyarakat lokal di sekitar kawasan CATB

Gambar II-24. Jenis Kerang Polymesoda coaxan yang dikumpulkan masyarakat lokal di sekitar kawasan CATB

Page 87: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 39

BKSDA Papua II Sorong

“JARING BALABUH”, yaitu teknik penangkapan ikan, udang, dan hasil perikanan lain secara

tradisional dengan menggunakan jaring apung (lokal: jaring balabuh).

“MANCING”, yaitu penangkapan hasil laut terutama ikan di dalam dan sekitar kawasan

Cagar Teluk Bintuni oleh penduduk lokal dengan menggunakan perahu dayung/motor. Alat

yang digunakan adalah alat pancing (nelon plus mata kail).

Pengumpulan hasil laut yang dimaksud disini adalah pengambilan/pengumpulan hasil

perikanan berupa kepiting (mud crabs) yang dalam istilah lokal disebut “Karaka”, kerang/siput

(shellfish), dan “Tambelo”, sejenis molusca (marine borer) yang hidup di dalam batang kayu

mangrove yang mati.

Pengumpulan hasil laut biasanya dilakukan di komunitas hutan mangrove oleh penduduk

lokal yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Teknik pengambilan

masih dilakukan secara tradisional dengan menggunakan “pengait” yang terbuat dari besi

dengan panjang ° 1 m, keranjang, dan kantong (noken).

Pemanfaatan berbagai jenis ikan dan udang ditangkap dengan menggunakan alat tangkap

jaring ”berlabuh” dan untuk ”pele kali”, pancing, akar bore (tuba) serta menggunakan perahu

mesin/tanpa mesin. Daerah penangkapan ikan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar

kawasan CATB, hampir meliputi seluruh kawasan terutama di Sungai Tirasai, Muturi, Bokor,

Kodai serta sungai kecil lainnya. Sedangkan untuk menangkap kepiting (karaka)

menggunakan alat besi pengait.

Hasil wawancara dengan para nelayan

menunjukan bahwa, sekali melaut (sehari

semalam) mereka dapat menghasilkan 10-

30 tali ikan. Pada umumnya para nelayan

melaut tidak setiap hari, dalam seminggu

mereka melaut 2-3 kali. Jadi rata-rata

penghasilan kotor sekali melaut yaitu

Rp.100.000-300.000, hasil tersebut belum

dipotong oleh bahan bakar (harga bensin

Rp. 4.500/liter) yang memerlukan sekitar 15

liter (± Rp.70.000) dan dibagi dengan

nelayan lain (1 perahu 2 orang). Apabila

diasumsikan rata-rata pendapatan bersih = Rp. 200.000 – 70.000 = 130.000/2 = Rp.

65.000/orang sekali melaut maka penghasilan sebulan rata-rata adalah Rp.650.000-

Rp.975.000. Sedangkan untuk yang menangkap kepiting (karaka) pada umumnya

menggunakan perahu tanpa mesin/dayung (kole-kole) dan sekali melaut dapat menghasilkan

7- 10 ekor, sehingga dapat menghasilkan rata-rata Rp. 50.000-100.000/sekali melaut.

Pengumpulan hasil perikanan oleh masyarakat hanya dilakukan pada saat air surut (low tide),

Gambar II-25. Jenis Kepiting bakau Scilla sp. yang biasa dikumpulkan masyarakat lokal di dalam dan

sekitar kawasan CATB

Page 88: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 40

BKSDA Papua II Sorong

khususnya bila pergantian pasang surut dan pasang naik terjadi pada siang hari. Hasil

wawancara dengan beberapa nelayan tradisional (pengumpul) bahwa dalam satu kali

pengambilan, tiap orang dapat mengumpul/mengambil 10-15 ekor/orang untuk “ karaka” dan

1-3 kantong/orang untuk kerang/siput.

Tabel II-16. Hasil Perikanan yang dihasilkan di dalam Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) beserta harganya.

No Jenis Hasil Perikanan Satuan Harga (Rupiah)

1 Ikan Ekor Satu Tali (3-5 ekor/ ±1 Kg) 10.000 2 Ikan Sembilan Tali (3-5 ekor/ ±1 Kg) 10.000 3 Ikan Kepala Batu Tali (3-5 ekor/ ±1 Kg) 10.000 4 Ikan Congge Tali (3-5 ekor/ ±1 Kg) 12000 5 Ikan Lasi Tali (3-5 ekor/ ±1 Kg) 10.000 6 Ikan Bubara Tali (3-5 ekor/ ±1 Kg) 10.000 7 Ikan Kakap Merah Ekor 10.000-35.000 8 Ikan Sisip Tali (3-5 ekor/ ±1 Kg) 10.000 9 Udang Kg 25.000 10 Kepiting (Karaka) Ekor 7.000-10.000 11 Tambelo Kantong 5.000-10.000 12 kerang/bia/siput Kantong 5.000-10.000

Sumber : Hasil Survei Tim TNC, 2005.

B.6.3.2 Pemanfaatan Tumbuhan

Keberadaan ekosistem hutan dataran rendah dan ekosistem mangrove di kawasan dirasa

sangat penting, terutama oleh masyarakat traditional yang bermukim di sekitar kawasan

Cagar Alam Teluk Bintuni. Hutan ini bagi masyarakat setempat merupakan sumber sumber

bahan makanan, obat-obatan, kayu bakar, dan bahan bangunan.

(a) (b) (c)

Gambar II-26. Bentuk pemanfaatan jenis palem sebagai (a) busur dan anak panah, (b) lantai rumah/para-para, dan (c) anyamankeranjang

Page 89: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 41

BKSDA Papua II Sorong

Khusus untuk pemanfaatan sebagai kayu bakar, masyarakat sekitar hanya memanfaatkan

ranting dan cabang yang gugur tanpa menebang pohon. Hal ini menjadikan hutan mangrove

terutama di kawasan CATB masih terpelihara dengan baik. Peralatan yang digunakan untuk

penebangan mangrove masih sederhana, yaitu menggunakan parang dan kapak.

Pengambilan kayu bakar dilakukan dengan mengumpulkan ranting/cabang pohon di hutan

dataran rendah dan pohon mangrove yang mati/gugur dan pohon mangrove yang tumbang

secara alami (akibat angin dan umur pohon tua).

Kehadiran jenis-jenis palem dalam ekosistem hutan dataran rendah membuat hutan ini

menjadi berarti bagi masyarkat sekitar. Masyarakat sekitar banyak memanfaatkan salah satu

komponen flora ini untuk berbagai macam keperluan.

Hasil survei Tim TNC (2005) menunjukan bahwa masyarakat suku Sough yang bermukim di

sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni memanfaatkan beberapa jenis palem yang

tumbuh di hutan dataran rendah CATB sebagai bahan makanan, bahan bangunan, obat

tradisional, serta senjata dan perkakas (Gambar II-27 dan Tabel II-17 ).

Tabel II-17. Pemanfaatan vegetasi palem oleh masyarakat di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

No Jenis (nama lokal) Kegunaan

1Caryota rumpiana (guta more)

¶ Bagian pucuk diambil sebagai bahan makanan ¶ Ijuk digunakan sebaga atat dan bubungan rumah

2Calamus sp.1 (aitaga moredek)

¶ Batang dikupas dan dibersihkan dan digunakan sebagai pengikat pagar dan tiang rumah dan tali busur

3Calamus sp.2 (aitaga cidemeh)

¶ Daun digunakan sebagai pembungkus makanan, terutama ubi yang ditumbuk

4Calamus sp.3 (aitaga besameh))

¶ Batang langsung digunakan untuk mengikat tiang rumah ¶ Batang dibelah, dibersihkan sebagai tali busur ¶ Batang dianyam untuk pembuatan keranjang dan anyaman lain

5Licuala sp. (beimes)

¶ Batang dibelah sesuai ukuran, dibersihkan, dan digunakan sebagai lantai rumah atau tempat duduk (para-para)

¶ Batang dibelah, dikikis sebagai bahan baku pembuatan busur panah

6Pinanga sp.1 (Amough)

¶ Batang dibelah dan dikikis untuk pembuatan busur dan hulu tombak (sejata tradisional)

7Pinanga sp.2 (Humog)

¶ Batang dibelah, dibersihkan dan digunakan sebagai lantai rumah ¶ Batang dibelah dan dikikis untuk pembuatan anak panah

8Pinanga sp.3 (Corohuij moro)

¶ Batang dibelah, dibersihkan dan digunakan sebagai lantai rumah/para-para

¶ Batang dibelah dan dikikis untuk pembuatan anak panah ¶ Daun digunakan sebagai pembungkus makanan

Sumber: Hasil survei TNC, 2005

Pemanfaatan sumberdaya mangrove dapat dilihat dari dua tingkatan, yaitu pemanfaatan

tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan dan tingkat komponen ekosistem sebagai

Page 90: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 42

BKSDA Papua II Sorong

komponen utama kehidupan (primary biotic component). Khusus untuk masyarakat yang

yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam, umumnya masih terbatas pada

pemanfaatan tingkat komponen ekosistem (flora dan fauna) sebagai komponen primer

kehidupan di hutan mangrove. Pemanfaatan hutan mangrove di Kawasan Cagar Alam Teluk

Bintuni hanya terbatas pada pemanfaatan hutan mangrove dalam skala traditional (traditional

uses).

Pemanfaatan flora hutan mangrove secara traditional pada umumnya dilakukan oleh

masyarakat setempat untuk keperluan rumah tangga. Jenis-jenis yang dimanfaatkan hanya

terbatas pada jenis mangrove dan nipah. Pemanfaatan jenis mangrove oleh masyarakat

lokal umumnya digunakan sebagai kayu bakar, perkakas, bahan bangunan rumah,

perlengkapan perahu tradisional (Gambar II-27), serta untuk keperluan tiang-tiang pagar

dalam kegiatan mencari ikan (fishing) yang dalam istilah lokal disebut “ tiang belo” (GambarII-28).

Khusus untuk vegetasi nipah, penduduk

asli di sekitar kawasan Cagar Teluk Bintuni,

yaitu masyarakat suku Sough, Kuri, dan

Wamesa dalam kehidupan lintas generasi

telah memanfaatkan tujuh bagian nipah

yang dapat dimanfaatkan, yaitu anak daun,

tulang daun, tangkai daun, pucuk, buah

malai dan akar. Pemanfaatan nipah oleh

masyarkat suku-suku ini antara lain sebagai

bahan makanan/minuman, bahan

bangunan seperti untuk atap dan dinding

rumah (Gambar II-29), obat-obatan, energi,

perkakas, dan perlengkapan perahu tradisional, dan kerajinan.

Gambar II-28. Pemanfaatan pohon mangrove sebagai tiang (belo) untuk menangkap ikan di Kawasan Cagar

Alam Teluk Bintuni.

Gambar II-27. Pemanfaatan pohon mangrove sebagai tiang (belo) untuk menangkap ikan di Kawasan Cagar

Alam Teluk Bintuni.

Gambar II-29. Rumah tradisional masyarakat lokal yang sebagian besar bahan bakunya berasal dari vegetasi nipah di Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

Page 91: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 43

BKSDA Papua II Sorong

Berikut adalah rangkuman pemanfaatan komponen flora pada ekosistem mangrove di

kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, seperti disajikan pada Tabel II-18.

Tabel II-18. Pemanfaatan komponen flora pada ekosistem mangrove oleh masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

No. Tujuan pemanfaatan

Jenis yang dimanfaatkan

Bagian yang dimanfaatkan Cara pemanfaatan

1 Bahan makanan/minuman

Nypah Fructicans Buah Buah mudah dibelah air dan daging dimakan dan diminum dengan rasa seperti buah kelapa muda

Malai Malai dipotong kemudian disadp untuk mengahsilkan nira (bobo), sejenis minuman tradisional/lokal

Tangkai daun tangkai daun dipotong kecil, dikuliti, diasapi di atas tungku api, setelah kering dibakar, abunya diambil dan disimpan di dalam media bambu sebagai subtitusi GARAM dapur.

2 Bahan Bangunan Nypah Fructicans Daun Bahan baku pembuatan atap dan kajang (dinding) rumah, pondok, dan perahu yang dapat beratahan 3 – 5 tahun masa pakai

Tangkai daun ¶ Untuk dinding, tangkai daun nipah dijemur sampai kering, dipotong sesuai ukuran kemudian dirakit sebagai dinding

¶ Untuk para-para (tempat duduk), tangkai daun dibersihkan selanjutnya ditancapkan sepanjang bentangan jaring sebagai penahan jaring agar tidak terbawa arus air pasang dan surut atau dipotong sesuai ukuran para – para lalu disusun sebagai tempat duduk saat memancing ikan.

Bakal tangkai daun (pucuk)

Pucuk dibersihkan dari anak daun, dibersihkan dibelah menjadi dua bagian selanjutnya dimanfaatkan sebagai pengikat pengganti paku untuk mengikat atap atau kajang

Rhizophora sp. Batang Digunakan langsung sebagai tiang rumah

3 Obat-obatan Nypah Fructicans akar Akar dibakar dan arangnya diletakan pada gigi yang sakit

Rhizophora sp. Kulit Kulit diparut digunakan sebagai obet kudis

4 Energi (bahan bakar)

Nypah Fructicans anak daun dan tangkai daun

Anak daun maupun tangkai daun yang telah kering diambil sejanjutnya dibakar

Bruguiera sp. Batang Digunakan langsung sebagai kayu bakar

Rhizophora sp. Batang, ranting,cabang

Digunakan langsung sebagai kayu bakar

5 Perkakas anak daun ¶ anak – anak daun dijahit pada bahan mudah lentur dengan panjang ° 50 – 60 cm, selanjutnya dibentuk menjadi sebuah tabung yang berdiameter 25 – 30 cm dan tinggi 80 – 100 cm untuk WADAH TEPUNG SAGU, AYAKAN SAGU, dan KAMBOTI (pengganti kantong)

Page 92: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 44

BKSDA Papua II Sorong

No. Tujuan pemanfaatan

Jenis yang dimanfaatkan

Bagian yang dimanfaatkan Cara pemanfaatan

¶ sebagai pembungkus untuk memasak (bakar) bahan makanan seperti sagu, ikan, dan daging.

Tangkai daun Tulang dibersihkan kemudian dijadikan sendok (gata-gata) yang digunakan untuk mengkonsumsi makanan tradisional (papeda)

Tulang daun sebagai sapu untuk membersihkan di dalam dan di sekitar rumah.

6 Kerajinan Anak daun Anak daun dianyam membentuk kerajinan tangan seperti topi, keranjang yang atasnya terbuka (idate) dan tertutup (kirore).

7 Perlengkapan perahu tradisional

Nypah Fructicans Daun Bahan baku pembuatan atap perahu yang dapat beratahan 3 – 5 tahun masa pakai

Rhizophora sp. Batang Digunakan langsung sebagai tiang rumah perahu

8 Tiang belo Rhizophora sp. Batang Digunakan langsung sebagai tiang-tiang pancang (belo) untuk ditempatkan jaring trawl dalam kegiatan “pele kali”

Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.

B.6.3.3 Tempat Berburu

Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar

Cagar Alam Teluk Bintuni dengan ekosistem

utama adalah manggrove yang kaya

berbagai jenis satwa liar seperti babi huta

(Sus sp.), rusa (Cervus timorensis), serta

berbagai jenis burang dan mamalia. Kondisi

ini menyebabkan dalam kehidupan lintas

generasi selalu melakukan aktivitas

perburuan maupun penangkapan terhadap

satwa liar untuk memenuhi akan protein

hewani.

Dalam memenuhi kebutuhan akan protein, masyarakat yang bermukim di sekitar Cagar Alam

Teluk Bintuni masih tergantung pada ketersediaanya di alam. Peranan kawasan CATB

menjadi penting sebagai sumber protein hewani bagi penduduk sekitar.

Selain pemanfaatan hasil perikanan berupa ikan, udang, dan kepiting, masyarakat yang

bermukim di dalam dan sekitar CATB, terutama di Kampung Naramasa, Yakati dan Yensei

juga melakukan perburuan buaya di Sungai Naramasa, Sobrawara, Yensei dan Yakati.

Mereka berburu buaya minimal 2 orang (satu perahu) dan berburu pada saat malam hari.

Alat yang mereka gunakan berupa tombak, parang, senter serta perahu dayung (kole-kole).

Buaya yang diburu harus memiliki diameter badan antara 12 sampai 20 inci, karena ukuran

Gambar II-30. Dendeng rusa dan babi hutan yang diperoleh dari berburu di hutan sekitar kampung

Mamoranu dalam Cagar Alam Teluk Bintuni

Page 93: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 45

BKSDA Papua II Sorong

badan buaya tersebut yang laku di pasaran. Harga kulit buaya saat ini, yaitu rata-rata Rp.

15.000/inci. Selain diambil kulitnya daging

buaya dikonsumsi oleh masyarakat serta

“tangkur” buaya cukup laku di pasaran. Para

pembeli kulit, daging serta bagian lain dari tubuh

buaya hampir setiap minggu datang ke

kampung, hal ini mengindikasikan bahwa

permintaan terhadap komoditas tersebut cukup

tinggi. Berdasarkan hasil wawancara dengan

masyarakat yang berburu buaya, hasil

tangkapan saat ini sudah semakin sulit di dapat.

Apabila dibandingkan dengan 5 sampai 10 tahun

yang lalu, dalam waktu seminggu berburu

mereka dapat menghasilkan 7 sampai 10 ekor buaya. Sekarang sekali berburu memerlukan

waktu 1 – 2 minggu dan rata-rata hanya memperoleh 3 – 4 ekor. Usaha dari masyarakat

untuk melakukan pembesaran anakan buaya sudah mulai dilakukan di kampung Yensei,

Naramasa, dan Bintuni Timur. Dalam kegiatan ini, sekitar 7 – 10 ekor anak buaya dimasukan

dalam kandang anakan buaya berukuran 4 m x 6 m (Gambar II-31). Usaha yang

dikembangkan oleh masyarakat Yensei, Naramasa, dan Bintuni ini bisa dikembangkan di

Kampung lain atau dikembangkan skala usahanya, sehingga pola pemanfaatan buaya

dengan cara pengambilan dari alam lambat laun bisa dikurangi.

Perburuan lain terhadap fauna yang ada di kawasan CATB, yaitu rusa dan babi. Rusa dan

babi banyak terdapat di hutan dataran rendah di sekitar hutan mangrove. Dalam berburu

rusa dan babi dilakukan secara sendiri maupun berkelompok. Alat yang digunakan berupa

tombak, parang, panah, jerat serta anjing. Daging rusa dan babi di jual dalam bentuk

dendeng, harga pasaran sekarang yaitu Rp.15.000/Kg.

B.6.3.4 Tempat Berladang

Ladang dan kebun masyarakat yang

terdapat di dalam kawasan umumnya

berlokasi/letaknya jauh dari pemukiman.

Ladang atau kebun pada umumnya

diusahakan baik oleh masyarakat yang

tinggal di luar maupun di dalam kawasan

CATB. Pola perladangan adalah dengan

sistem perladangan berpindah yang

ditanami dengan jenis tanaman semusim,

Gambar II-31. Model Kandang pembesaran anakan buaya di Kampung Yensei, Distrik Idoor.

Gambar II-32 Lahan kebun dan bekas kebun masyarakat lokal di Kampung Mamoranu yang berada

dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

Page 94: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 46

BKSDA Papua II Sorong

ubi-ubian, sayuran dan jenis tanaman buah-buahan dengan rata-rata luas lahan 0,25 – 1,0 ha

untuk tiap kepala keluarga.

Pola pembukaan lahan atau kebun masyarakat secara umum mempunyai beberapa tahapan,

sebagai berikut :

¶ Pembersihan lantai hutan, yaitu menebas semak belukar, menebang pohon-pohon

tingkat pancang dan tiang.

¶ Menebang pohon–pohon besar yang ada dalam lahan, kemudian lahan tersebut

dibiarkan beberapa waktu tertentu agar bekas ranting pohon dan semak belukar menjadi

kering. Ranting pohon dan semak-belukar yang ada dikumpulkan pada suatu tempat

dalam lahan/kebun dan atau dipinggir.

¶ Pembakaran dilakukan setelah ranting-ranting pohon dan semak-belukar yang ada sudah

Kering dan kemudian hasil pembakaran berupa abu dibiarkan agar

terdekomposisi/bercampur dengan tanah yang ada.

¶ Setelah itu dilakukan penanaman sesuai jenis tanaman yang akan diusahakan.

¶ Setelah tanaman dipanen, maka mereka akan berpindah ke lokasi lahan yang baru

dengan lama pengusahaan lahan (masa bera) 1-2 tahun.

B.6.3 Kepemilikan Lahan

Hasil survey lapangan Tim TNC (2005) berhasil mengidentifikasi kepemilikan lahan di

kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni menurut wilayah hukum adat (Gambar II-33).

Secara tradisional, kawasan ini berada dalam pengelolaan wilayah adat tiga suku besar yakni

Suku SOUGH (marga Imeri, Yettu, Tiri, dan Iba), dan suku WAMESA (marga Fimbay,

Masyewi, Maboro, Kindewara, Kawab, Sirimbe, Waney, Tatiri, Kemon, dan Susumbokop),

dan suku KURI dari marga Urbon, Efredire, dan Pigo. Khusus untuk suku Wamesa, marga-

marga yang memiliki hak ulayat cukup besar di kawasan adalah Susumbokop, Tatitri,

Maboro, Manibuy, dan Kemon, sedangkan marga yang lain hanya memiliki kurang dari 15 %

dari total wilayah yang menjadi hak ulayat suku Wamesa (Hasil Survey Tim, 2005).

Suku Sough yang mendiami kawasan S. Wasian, S.Bintuni hingga S. Simeri lebih dikenal

dengan panggilan Manikion Parirei. Suku ini terutama dari marga Yettu dan Tiri “mengklaim”

wilayah hukum adat mereka meliputi wilayah muara Sungai Wasian, S. Bintuni, S. Tisai, S.

Banjar Ausoy, S. Muturi, dan S. Tirasay. Marga Imery meliputi S. Tirasay, Sungai Sumberi,

S. Tikamari, S. Anak Kasih, dan S. Simeri. Sedangkan Marga Iba memiliki wilayah hukum

adat mulai dari Sungai Sigirau sampai dengan S. Banjar Ausoy. Menurut informasi dari tokoh

kunci (Andarias Iba) di Kampung Tuasai bahwa tanah yang saat ini menjadi hak ulayat

marga Iba merupakan pemberian dari marga Yettu sebagai balas jasa atas bantuan marga

Page 95: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 47

BKSDA Papua II Sorong

Iba yang telah ikut membantu menyelesaikan masalah (perang saudara) yang waktu itu

dialami oleh marga Yettu. Hasil wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat (Bernadus

Sioho) bahwa hal yang sama juga terjadi pada marga Sioho yang memiliki hak ulayat di

daerah Sungai Tikamari dan S. Anak Kasih yang merupakan pemberian dari marga Imery.

Suku Wamesa khususnya marga Manibuy “mengklaim” bahwa sebelum adanya perang suku

wilayah adat mereka mulai dari Sungai Simeri hingga S. Manibuy. Marga Tatiri,

Susumbokop, Kemon, dan Maboro yang berasal dari kampung Yakati “mengklaim” wilayah

Gunung Taberay Pulau Nusuama, Pulau Kaboi sampai dengan Sungai Kodai. Marga

Fimbay, Sirimbe, Masyewi yang berasal dari kampung Yensei “mengklaim” wilayah hukum

adat mereka meliputi Pulau Maniai, P.Jawarupai dan P. Modan.

Sedangkan suku KURI mengklaim wilayah adat mereka meliputi daerah sekitar Sungai

Naramasa, S.Sobrowara, dan S. Modan. Menurut pengakuan orang Kuri, Pulau Modan

adalah milik orang Yensei ( Suku Wamesa). Sampai saat ini kepemilikan Pulau Modan masih

menjadi percebatan antara suku Wamesa dengan Suku Kuri. Hal ini terjadi karena menurut

sejarah yang diceritakan oleh tokoh adat Wamesa (Bpk. Adrian Tatiri) dan Kuri (Bpk. Set

Efredire), Pulau Modan pada jaman kerajaan Tidore merupakan pusat pemerintahan daerah

kekuasaan kerajaan Tidore di Irian. Kedua suku tersebut mengklaim bahwa suku merekalah

yang punya hanya aulat di Pulau Modan tersebut.

Gambar II-33. Peta Kepemilikan Lahan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni menurut wilayah hukum adat

Page 96: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 48

BKSDA Papua II Sorong

Batas-batas kepemilikan tanah adat tersebut, belum merupakan batas adat yang mutlak.

Karena sampai saat ini belum dilakukan kesepakatan antara ketiga suku besar tersebut.

Kesepakatan mengenai batas tanah adat perlu segera dilakukan agar tidak terjadi “konflik”

antar ketiga suku dimasa yang akan datang. Hal tersebut diakui juga oleh Kepala Bidang

Sosekbud Bappeda Teluk Bintuni Bpk. Tessa,S.Sos, bahwa kesepakatan mengenai batas

tanah adat harus segera dilakukan agar tidak terjadi konflik antar suku, dan dimasa yang

akan datang Bappeda Teluk Bintuni akan mencoba memfasilitasi hal tersebut.

B.7 Sarana dan Prasarana Transportasi

Sarana transportasi yang ada di Kabupaten Teluk Bintuni khususnya di 3 Distrik (Distrik

Bintuni, Distrik Idoor, Distrik Kuri) yang terdekat dengan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni,

terdiri dari sarana Transportasi Udara, Darat dan Sungai/Laut.

Transportasi Udara

Di Ibu Kota Kabupaten Teluk Bintuni terdapat

sebuah lapangan terbang dengan konstruksi

aspal yang bisa di darati oleh jenis Pesawat

Twin-Otter (Gambar II.34) dan Cesna.

Penerbangan reguler ke kabupaten Teluk

Bintuni dilayani oleh maskapai Merpati

Nusantara, dengan frekuensi penerbangan

sekali seminggu (Kamis) dari manokwari dan

hari Minggu dari Sorong. Selain itu juga bisa

menggunakan pesawat carteran jenis cesna

milik AMA dari Manokwari, Akan tetapi

transportasi udara di Kabupaten Teluk Bintuni

sangat tergantung dari cuaca, apabila cuaca

buruk maka setiap maskapai tidak jadi

melakukan penerbangan .

Tansportasi Darat

Untuk mencapai kampung-kampung terdekat

di sekitar Ibu Kota Kabupaten Teluk Bintuni

dapat di tempuh dengan menggunakan

kendaraan umum roda empat (taxi) dengan

jumlah armada yang terbatas. Disamping itu

juga tersedia sarana transportasi roda dua

(ojek) yang melayani penumpang umum

Gambar II-35. Sarana transportasi darat jenis land cruiser (hardtop) yang melayani transportasi

Manokwari-Bintuni PP

Gambar II.34. Sarana transportasi udara jenis Twin-Otter di pelabuhan udara kota Bintuni yang melayani

penerbangan ke dan dari kota Bintuni

Page 97: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 49

BKSDA Papua II Sorong

dalam kota dan ke kampung di sekitar kota Bintuni. Sedangkan transportasi darat yang

melayani penumpang umum yang akan berpergian ke luar kota/Kabupaten Teluk Bintuni

khususnya Manokwari menggunakan Hardtop (Gambar II-35) dengan waktu tempuh 12 – 16

jam.

Sarana transportasi darat yang menghubungkan Ibu Kota Kabupaten Teluk Bintuni dengan

Kabupaten terdekat (Kabupaten Manokwari) adalah jalan timbunan (pengerasan) ° 74 km

dan jalan beraspal ° 126 km (Pemda Prov. Papua, Pemda Manokwari, Unipa, CRMP, 2003).

Keadaan transportasi jalan kota Bintuni adalah jalan beraspal (sebagian besar sudah rusak)

sepanjang 13 km yang menghubungkan lokasi-lokasi pemukiman penduduk, sedangkan jalan

yang menghubungkan ibukota Kabupaten Teluk Bintuni dengan kampung-kampung di

sekitarnya adalah jalan tanah timbunan dan jalan tanah yang dipadatkan. Jumlah dan jenis

sarana transportasi darat yang ada di Kota

Bintuni disajikan pada Tabel II.20.

Tansportasi Sungai/Laut

Peran sarana transportasi sungai/laut

sangat penting untuk kampung-kampung di

sekitar Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB),

khususnya kampung-kampung yang berada

di wilayah pemerintah Distrik Idoor dan Kuri.

Sarana transportasi utama adalah perahu

motor atau longboat (Gambar II-36) dan

perahu dayung.

Akses beberapa kampung di sekitar Cagar

Alam Teluk Bintuni ke pusat kota Kabupaten Teluk Bintuni menggunakan sarana transportasi

sungai/laut disajikan pada Tabel II-19.

Tabel II-19. Sarana dan Jenis Transportasi Kampung di sekitar CATB ke Ibukota Distrik dengan saran Transportasi Sungai/Laut.

No Kampung Sarana dan Jenis Transportasi

Waktu Tempuh

Keterangan

1 Mamuranu Sungai & laut, perahu motor ° 3 jam S.Kamisayo-Laut-S.Wasian

2 Anak Kasih Sungai & laut, perahu motor ° 2,5 jam S.Anak kasih-S.Manibuy-Laut-

3 Yakati Sungai & laut, perahu motor ° 4 jam S.Yakati-S.Tatawori-Laut-S.Wasian

4 Yensei Sungai & laut, perahu motor ° 4 jam S.Yensei-S.Tatawori-Laut-S.Wasian

5 Naramasa Sungai & laut, perahu motor ° 6 jam S. Naramasa-Laut-S.Wasian Sumber: Hasil survei tim TNC, 2005.

Gambar II-36. Sarana transportasi laut/sungai jenis longboat yang digunakan masyarakat di dalam dan sekitar

Cagar Alam Teluk Bintuni.

Page 98: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 50

BKSDA Papua II Sorong

Selain itu untuk transportasi laut antar kabupaten,Teluk Bintuni telah memiliki sebuah

dermaga/pelabuhan. Jalur pelayaran yang mempunyai akses dari dan ke Teluk Bintuni

melalui Sorong adalah pelayaran reguler PT PELNI dan pelayaran swasta lain seperti

disajikan pada Tabel II-20.

Tabel II-20. Jalur pelayaran reguler dari dan ke Bintuni yang dilayani oleh PT Pelni dan pelayaran swasta lain

No Nama Kapal Trayek

1 KM Papua III Mkw-Sorong-Babo-Bintuni-Kokas-Fakfak (PP)

2 KM Lady Marina Merauke-Agats-Timika-Tual-Kaimana-Fakfak-Bintuni-Sorong (PP)

3 KM Bintang Satya Sorong-Babo-Bintuni-Kokas-Fakfak (PP)

4 KM Raflesia* Bintuni-Babo-Kelapa Dua-Sorong

5 KM Semuel* Belum dioperasikan Sumber: Hasil survei tim TNC, 2005. * Armada Milik PEMKAB Teluk Bintuni

B.8 Pendugaan Nilai Ekonomi Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

Pendugaan nilai ekonomi kawasan CATB perlu dilakukan agar semua pihak mengetahui

betapa besarnya manfaat ekonomi yang dapat dihasilkan. Sehingga semua pihak merasa

perlu untuk melestarikan kawasan CATB, agar generasi yang akan datang masih dapat

memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Pendugaan nilai ekonomi kawasan CATB

dilakukan hanya pada hutan mangrovenya, karena mayoritas kawasan merupakan hutan

mangrove.

Pendekatan yang digunakan dalam melakukan penilaian manfaat kawasan CATB (ekosistem

hutan mangrove) didekati dengan menggunakan konsep penilaian ekonomi total (total

economic valuation) dari produk barang dan jasa yang berguna (use value) dan yang tidak

berguna secara langsung (non use value) .

Nilai ekonomi total (total economic value = TEV) merupakan jumlah dari nilai pemanfaatan

(use value = UV) dan nilai non pemanfaatan (non-use value = NUV). UV adalah jumlah dari

nilai pemanfaatan langsung (direct use value = DUV), nilai pemanfaatan tidak langsung

(indirect use value = IUV), nilai pilihan (option value = OV). Sedangkan, NUV adalah jumlah

dari nilai eksistensi (existensi value = XV) dan nilai warisan (bequest value = BV). Dengan

demikian nilai ekonomi total dapat diformulasikan sebagai berikut:

TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + OV) + ( XV + BV)

Pendekatan penilaian dalam perhitungan nilai manfaat kawasan CATB (ekosistem hutan

mangrove) melalui perhitungan nilai total ekonomi yaitu menggunakan pendekatan produksi

dan nilai pasar (productivity and market values), pasar pengganti, pendekatan biaya ganti

Page 99: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 51

BKSDA Papua II Sorong

(replacement cost), dan contingen valuation method dengan memanfaatkan data hipotetik

mengenai kesediaan membayar dan menerima (willingness to pay/ WTP and willingness to

accept/ WTA) dari pengguna sumberdaya ekosistem hutan mangrove.

Mencermati manfaat yang dapat dihasilkan dari ekosistem mangrove, Camillle Bann (1999)

mencoba membaginya kedalam 3 domain yaitu: (i) fungsi produksi yang berkelanjutan, (ii)

fungsi pengatur lingkungan, dan (iii) fungsi Informasi. Dalam terminologi yang sifatnya

holistik, ekosistem hutan mangrove juga memiliki “keunikan” dan berfungsi secara sosial dan

ekonomi. Klasifikasi manfaat dan fungsi dari ekosistem mangrove ini, selanjutnya dapat kita

lihat pada Tabel II-21.

Table II-21. Fungsi dan Manfaat Lingkungan Ekosistem Mangrove

Fungsi Produksi Berkelanjutan Fungsi Pembawa dan Pangatur

Kayu bakar Pengendali erosi

Arang Penyerap dan recycle limbah manusia dan polutan lainnya

Ikan Memelihara biodiversity

Udang Tempat migrasi habitat

Tannin Tempat pemijahan dan pembibitan

Nipa Supplai unsur hara (nutrient)

Obat-obatan Regenerasi nutrien

Perburuan tradisional, penangkapan ikan dan pengumpulan produk

Melindungi dan memelihara terumbu karang

Sumberdaya genetic

Sosial Ekonomi/ Fungsi Konversi Fungsi Informasi

Industri dan penggunaan lahan Informasi religius dan spiritual

Tambak Inspirasi artistic dan budaya

Usahatani padi Informasi pendidikan, sejaran dan pengembangan ilmu pengetahuan

Habitat bagi penduduk asli

Tempat rekreasi

Perhitungan nilai ekonomi dari setiap jenis manfaat ekosistem hutan mangrove untuk nilai

aktual didasarkan atas asumsi-asumsi pada tingkat harga, produksi, biaya di sekitar kawasan

CATB. Sementara penilaian manfaat potensial dikawasan CATB dihitung dengan

pendekatan asumsi dalam penilaian ekonomi (Tabel II-22).

Page 100: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 52

BKSDA Papua II Sorong

Tabel II-22. Asumsi Dasar Penilaian Jenis Manfaat Hutan Mangrove Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

No Jenis Manfaat Nilai Manfaat Cagar Alam Teluk Bintuni (Hutan Mangrove) (Rp/ha/thn) Asumsi Dasar Penilaian Manfaat (Aktual) 1 Kayu Bakar 2188 Luas mangrove 112.365 ha . Produksi 0.0625 m3/ha/th harga Rp. 50.000/m3; biaya 30 % dari penerimaan

2 Atap Daun Nipah 240000 Produksi 150 bengkawang/ha/thn, harga atap daun nipah Rp. 2000/bengkawang; biaya sekitar 20% dari penerimaan, dengan luas areal nipah 480 ha

3 Ikan 104837 Produksi 1178 Ton/thn; harga rata-rata Rp. 10000/Tali (2 Kg) = Rp 5.000/kg; Ikan besar (kakap merah) Rp.15.000/ekor (2 Kg) Jadi Harga rata-rata Rp 10.000,

dibagi dengan luas areal mangrove (112.365 ha)

4 Udang 789976 Produksi 1495 ton/tahun, harga US$ 6.25/kg (konversi Rp. 9500/US$), dibagi dengan luas areal mangrove (112.365 ha)

5 Kepiting/Karaka 129024 Produksi 23,04 ekor/ha/thn dengan harga Rp.7.000/ekor; biaya 20% dari penerimaan

6 Kerang/bia 76200 Produksi 19,05 kg/ha/thn dengan harga rata-rata Rp.5.000/kg; biaya 20% dari penerimaan

7 Satwaliar (Buaya, Rusa, 127264 Didasarkan pada pendapatan penggunaan lokal (berburu dan

meramu) Rp. 6,5 juta/KK/ tahun, jumlah penduduk 2200 KK, Babi, Burung) dibagi dengan luas areal mangrove

8 Pengendali Erosi 95937 Penilaian berdasarkan produktivitas pertanian lokal Rp. 4,9 juta/KK/ tahun (2200 KK), dibagi luas areal mangrove

9 Penyerapan Carbon 3441763 Diproksi dari kandungan karbon hutan mangrove 19.926 kg/ha

di Riau (E.Hilmi, 2003) dan potensi tegakan 66 m3/ha, dikonversi ke dalam tegakan mangrove per hektar (107 m3/ha); harga carbon/kg = US $ 10/ton, konvers Rp. 9.500/US$

10 Manfaat pilihan biodiversitas 142500

Nilai biodiversitas hutan mangrove perhektar US $ 1500 km2/thn atau sekitar US $ 15/ha/tahun (Ruitenbeek, 1991) konversi Rp. 9.500/US$.

11 ManfaatKeberadaan 6291000 Nilai manfaat keberadaan habitat mangrove US$ 2516/ha/thn

(Meilant, 1996) Konversi Rp. 9500 /US$ Habitat

No Jenis Manfaat Nilai Manfaat Cagar Alam Teluk Bintuni (Hutan Mangrove) (Rp/ha/thn) Asumsi Pendugaan Nilai Potensial

1 Kayu Bangunan 942000 Luas mangrove 112.365 ha (157Pohon(Batang)/ha) jenis Rhizopora sp, yang sering digunakan sebagai bahan bangunan harga Rp.10.000/Batang,Potensi Luas panen tegakan mangrove 22.473 ha (rotasi 20 thn), Biaya 40% dari penerimaan

2 Chip 17974000

Potensi tegakan mangrove 107 m3/ha; diasumsikan potensi yang digunakan untuk chip yaitu 80% yaitu 86 m3/ha, chipwood plant = 300.000 m3/thn harga ekspor chip = US $ 40/m3, dikonversi (Rp. 9500/US$), Biaya 45% dari penerimaan

Keterangan : Produksi ikan dan udang (1178 dan 1495 ton/tahun) merupakan produksi total perairan Teluk Bintuni 2003 (Sumber : Atlas Sumberdaya Pesisir), Potensi tegakan mangrove marupakan potensi keseluruhan jenis dan diasumsikan semua dipakai untuk chip

Asumsi penilaian diatas dimasukkan unsur biaya yang merupakan biaya proses produksi

seperti tenaga kerja, serta biaya produksi lainnya. Jenis manfaat kayu bakar, sagu sampai

dengan satwa liar merupakan nilai aktual yang selama ini telah ada dan dimanfaatkan oleh

masyarakat. Sementara jenis manfaat bahan bangunan dan chip merupakan nilai potensial.

Page 101: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 53

BKSDA Papua II Sorong

Sebagai suatu sumberdaya, penilaian ekosistem mangrove didasarkan kepada manfaat dan

fungsi-fungsi yang dihasilkan, baik fungsi produksi, ekologis, dan fungsi sosial ekonomi.

Penilaian total manfaat ekonomi dari ekosistem hutan mangrove meliputi penilaian manfaat

langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan dan manfaat keberadaan. Total nilai

ekonomi yang dihitung yaitu nilai aktual dan nilai potensial. Nilai aktual adalah nilai

pemanfaatan hutan mangrove saat ini. Nilai potensial diaproksimasi dengan menghitung

manfaat potensial yang ada dan atau berpeluang dikembangkan jika masyarakat dapat

memanfaatkan secara optimal. Keragaan nilai manfaat ekosistem mangrove kawasan CATB

dapat dilihat pada Tabel II-23.

Tabel II-23. Prediksi Nilai Ekosistem Hutan Mangrove Kawasan CATB

Jenis Manfaat Ekonomi Manfaat Ekonomi (Rp) per Ha Total Kawasan

Manfaat Langsung 1 Kayu Bangunan 150,720 16,935,652,800 2 Chip 2,926,000 328,779,990,000 3 Kayu Bakar 2,939 330,240,444 4 Atap Daun Nipah 5,126 576,000,000 5 Ikan 31,715 3,563,699,192 6 Udang 238,984 26,853,479,297 7 Kepiting/Karaka 39,200 4,404,708,000 8 Kerang/Bia 20,000 2,247,300,000 9 Satwa Liar 11,296 1,269,225,100 3,425,980 384,960,294,833 Manfaat Tidak Langsung 1 Perangkap sedimen 95,937 10,780,000,000 2 Penyerapan Karbon 2,727,916 306,522,322,200 3 Manfaat Pilihan Biodiversitas 158,333 17,791,125,000 4 Manfaat Keberadaan Habitat 6,176,667 694,041,150,000 5 Penahan abrasi 5,522,160 620,497,508,400 6 Pencegah Intrusi 211,901 23,810,233,392 14,892,915 1,673,442,338,992 Manfaat Ekonomi Kawasan 18,318,895 2,058,402,633,825 Sumber : Perhitungan data lapangan

Berdasarkan hasil analisis data Tabel II-23, diketahui bahwa total nilai ekonomi ekosistem

mangrove dapat dibedakan menjadi manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat

langsung yang ada di kawasan juga ada yang tidak bisa dimanfaatkan dan ini dikategorikan

sebagai manfaat potensial atau manfaat kesempatan. Yang termasuk kedalam nilai ini

adalah manfaat kayu jika digunakan sebagai bahan baku chip dan kayu bangunan. Sebagai

kawasan konservasi, kayu dari Cagar Alam Teluk Bintuni tidak bisa dimanfaatkan sebagai

Page 102: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 54

BKSDA Papua II Sorong

sumberdaya kayu terutama untuk kegiatan komersial. Kehilangan kesempatan ini akan

menghasilkan manfaat langsung bagi penduduk dan manfaat jasa lingkungan yang nilainya

jauh lebih besar. Jika dicermati maka terlihat dari manfaat langsung dan tidak langsung,

maka manfaat langsung hanya mencapai 18,7% (Rp. 3.425.980/Ha/Tahun) sedangkan

manfaat tidak langsung dari jasa lingkungan mencapai 81,3% (Rp. 14.892.915/Ha/Tahun).

Keragaan nilai ekonomi manfaat langsung (aktual dan potensial) hutan mangrove menurut

jenis dirinci sebagai berikut: nilai tegakan hutan mangrove sebesar 89.9% meliputi manfaat

kayu bakar, kayu bangunan dan chip. Nilai manfaat langsung yang dimanfaatkan masyarakat

dari kawasan mencapai 10.1% yaitu dari atap daun nipah, hasil perikanan dan satwa liar

(meliputi ikan, udang, kepiting/karaka, kerang/bia, buaya, rusa, babi dan burung)

Nilai manfaat tidak langsung (aktual dan potensial) hutan mangrove sebagai fungsi

pengendali erosi Rp. 95.937/ha/tahun; dan sebagai penyerap carbon Rp. 2.727.916

/ha/tahun. Sementara manfaat pilihan terhadap keanekaragaman hayati hutan mangrove

sebesar Rp. 158.333/ha/tahun dan keberadaan habitat ekosistem hutan mangrove agar tetap

tersedia mempunyai nilai ekonomi Rp. 6.176.667 /ha/tahun (20,72%).

Analisis pendugaan terhadap nilai hutan mangrove Kawasan CATB merupakan gambaran

awal berapa besar nilai manfaatnya secara ekonomi . Nilai ini diprediksi masih lebih rendah,

karena belum semua manfaat hutan mangrove diperhitungkan seperti nilai manfaat obat-

obatan, konservasi habitat, perlindungan spesies langka serta hutan dataran rendah yang

luasnya ±10% dari luas kawasan. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian yang

komprehensif tentang nilai manfaat ekonomi kawasan CATB.

Meskipun dari hasil pendugaan nilai manfaat ekonomi hasil perikanan, satwa liar dan atap

daun nipah relatif cukup kecil akan tetapi nilai tersebut sangat penting karena merupakan nilai

manfaat langsung yang setiap hari dirasakan oleh masyarakat didalam dan sekitar kawasan

CATB untuk menunjang kehidupannya sehari-hari. Secara nilai ekonomi memang kayu

mangrove untuk kayu bakar, kayu bangunan dan chip menunjukan nilai terbesar akan tetapi

nilai tersebut hanya jangka pendek (sesaat). Hal yang paling penting adalah bila hutan

mangrovenya hilang maka nilai manfaat lain seperti hasil perikanan, atap daun nipah, satwa

liar serta manfaat tidak langsung seperti pengendali erosi, sebagai penyerap karbon serta

nilai manfaat pilihan keanekaragaman hayati dan keberadaan habitat akan hilang. Oleh

karena itu kelestarian hutan mangrove perlu dijaga terus agar nilai atau manfaat lain yang

diperoleh selain nilai tegakan mangrove dapat tetap diperoleh.

C. Permasalahan

Hasil pengamatan dan wawancara langsung dengan masyarkat di dalam dan sekitar

kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) mengindikasikan adanya beberapa

Page 103: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 55

BKSDA Papua II Sorong

permasalahan serius yang sedang terjadi di kawasan. Hal ini bisa di kategorikan sebagai

ancaman (threat) bagi keberadaan kawasan saat ini dan masa datang.

C.1 Fisik

Permasalahan fisik yang dimaksud di sini adalah kondisi fisik kawasan saat ini yang telah

mengalami ganguan yang dapat mengancam keberadaan kawasan Cagar Alam seperti letak

kawasan, infrastruktur, pengelolaan DAS, dan tumpang tindih kawasan.

C.1.1 Letak Kawasan

Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa letak kawasan Cagar Alam TB yang

sangat dekat dan pada beberapa bagian langsung berbatasan dengan pemukiman

penduduk. Bahkan beberapa kampung yang didiami oleh penduduk asli letaknya berada

dalam kawasan. Kampung-kampung yang letaknya dalam kawasan adalah Kampung

Mamuranu (Koordinat: S 20 14’8.71’’ dan E 1330 58’6.09’’), Kampung Anak Kasih (Koordinat:

E133 56.092S 20 03’ 0.69’’ dan E 1330 56’

0.92’’), Kampung Tirasai (Koordinat: S 20 03’

2.31’’ dan E 1330 51’ 6.37”). Kondisi

menyebabkan aksesibilitas masyarakat di

sekitar ke kawasan sangat mudah dan

sedikit mengalami kesulitan dalam

pengawasanya sehingga tekanan terhadap

kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sangat

besar.

Hasil pengamatan di lapangan juga

menunjukan bahwa letak kawasan Cagar

Alam Teluk Bintuni juga berbatasan

langsung dengan hutan produksi yang merupakan areal penebangan beberapa Hak

Pengusahaan Hutan (HPH) seperti PT Yotefa Sarana Timber di bagian Utara, PT Bintuni

Utama Murni Wood Industries (PT BUMWI) di bagian selatan dan PT Manokwari Lestari di

bagian Timur. Untuk keperluan Tempat Penimbunan Kayu (TPK) atau logyard beberapa

industri perkayuan tersebut membuka beberapa bagian Cagar Alam Teluk Bintuni terutama

pada ekosistem hutan dataran rendah dan sebagian hutan mangrove.

C.1.2 Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)

Secara fisik, di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni mengalir beberapa sungai besar dan kecil

yang bermuara di perairan Teluk Bintuni dan mempunyai fungsi sebagai sarana transportasi

bagi masyarakat lokal. Hasil pengamatan di lapangan serta informasi dari masyarakat, pada

Gambar II-37. Pembukaan lahan hutan dataran rendah untuk logyard kegiatan logging di dekat

Kampung Tirasai dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

Page 104: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 56

BKSDA Papua II Sorong

saat musim penghujan sungai-sungai tersebut seringkali meluap dan airnya berubah warna

coklat-keruh. Hal ini mengindikasikan besarnya tingkat erosi yang terjadi pada daerah hulu

(upland) sebagai akibat “laju pengrusakan” lahan hutan yang tak terkendali. Akibatnya

substrat yang terbawa banjir di musim hujan akan menumpuk membentuk delta di muara-

muara sungai di perairan Teluk Bintuni. Hal

ini diduga karena pengusahaan hutan yang

tidak memperhatikan aspek kelestarian

lingkungan banyak terjadi pada ekosistem

hutan hujan dataran rendah yang

menyimpan potensi jenis-jenis kayu yang

bernilai komersial. Kegiatan ini umumnya

dilakukan para pemegang HPH dan

Kopermas yang memiliki konsesi di sekitar

CATB.

C.1.3 Infrastruktur

Hasil pengamatan di menunjukan bahwa infrastruktur pendukung dalam kegiatan

pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dengan luasan yang cukup besar (124. 850

ha) sangat kurang memadai. Infrastruktur yang ada saat ini hanya berupa satu buah pondok

kerja berukuran 36 m2 yang sekaligus merupakan rumah tinggal kepala resort KSDA Bintuni.

Hal ini sangat mempengaruhi kegiatan pengelolaan terutama dalam hal pengawasan dan

perlindungan kawasan.

C.2 Biologi

Permasalahan internal biologi kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni masih belum terlihat. Hal

ini karena sebagian besar ekosistem penyusun kawasan terutama ekosistem mangove

sebagai komponen ekosistem utama masih alami dan terpelihara dengan baik.

Permasalahan biologi yang bisa terlihat adalah permasalahan karena faktor eksternal yang

terjadi karena bukan merupakan hubungan antar ekosistem atau spesies . Hasil pengamatan

di lapangan berhasil diidentifikasi beberapa permasalahan yang dihadapi pada

ekosistem/flora/fauna yang berada di dalam kawasan, yaitu degradasi dan perubahan

struktur hutan dataran rendah, degradasi sebagian kecil hutan mangrove, dan penurunan

populasi beberapa jenis satwa tertentu disebabkan oleh aktivitas manusia, gejala alam, dan

faktor sosial budaya.

Aktivitas manusia yang menyebabkan terjadinya permasalahan tersebut, yaitu pembukaan

lahan untuk keperluan tempat penimbunan kayu oleh pengusaha HPH di sekitar kawasan,

Gambar II-38. Pengendapan lumpur (sedimentasi) yang membentuk delta di muara S. Bintuni/Wasian di

dalam Kawasan CTAB

Page 105: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 57

BKSDA Papua II Sorong

pemumahan, pemukiman dan perladangan oleh penduduk lokal di dalam dan sekitar

kawasan, penebangan liar, dan pembangunan infrastruktur lain.

Terganggunya beberapa bagian ekosistem mangrove juga sebagai akibat gejala alam yang

disebabkan oleh angin dan erosi pinggiran sungai. Hasil pengamatan di lapangan

menunjukan bahwa terdapat beberapa bagian dari ekosistem mangrove, terutama pada

daerah-daerah dengan sungai yang terbuka luas, telah mengalami kerusakan/hilang yang

diakibatkan oleh terpaan angin dan pengikisan pinggiran sungai oleh ombak pada saat

musim angin.

Faktor lain yang memberi andil dalam permasalahan lingkungan biologi kawasan adalah sosial

budaya, masyarakat lokal telah lama dan secara turun temurun bermukim di dalam dan

sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Kondisi sosial budaya ini telah menciptakan suatu

interaksi dengan kawasan dalam bentuk pemanfaatan sumberdaya alam baik flora maupun

fauna yang ada dalam kawasan maupun ekosistemnya. Pemanfaatan jenis-jenis flora oleh

masyarakat lebih tertuju pada kayu sebagai bahan bakar dan juga bahan bangunan, seperti

pembuatan tiang-tiang rumah tradisional dan tiang pagar rumah. Pemanfaatan fauna lebih

terfokus pada perburuan satwa liar (seperti rusa, babi hutan, kasuari) dan fauna perairan

(seperti ikan, kepiting, udang, kerang). Sedangkan pemanfaatan ekosistem hanya dilakukan

oleh mayarakat lokal yang bermukim di dalam kawasan untuk keperluan tempat berkebun.

C.3. Sosial Ekonomi dan Budaya

Kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar sangat berpengaruh besar terhadap

kelestarian CATB, terutama mata pencaharian yang wilayah kerjanya berada di dalam

kawasan. Karena hal ini berhubungan dengan adanya pengambilan beberapa jenis flora dan

fauna, dimana menurut peraturan yang ada sebenarnya hal itu dilarang. Akan tetapi karena

hal tersebut sudah dilakukan sebelum ditunjuk adanya kawasan CATB, maka pengaturan

yang melibatkan dan diterima semua pihak harus dilakukan. Beberapa permasalahan sosial

ekonomi dan budaya terhadap CATB adalah menurunnya hasil tangkapan dan buruan

sebagai akibat dari praktek penangkapan hasil perikanan yang tidak ramah lingkungan dan

perburuan satwa liar (buaya, rusa dan beberapa jenis burung), adanya perkampungan

logyard (tempat penimbunan kayu) di dalam kawasan, serta tumpang tindih antara batas

kawasan dengan penggunaan lahan lain.

C.3.1. Penangkapan Hasil Perikanan yang Tidak Ramah Lingkungan

Masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan, di sekitar CATB menempati urutan

kedua (18,82 %). Oleh karena itu banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya

dalam mengambil hasil perikanan. Masyarakat yang bermata pencaharian nelayan

Page 106: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 58

BKSDA Papua II Sorong

menggunakan alat tangkap jaring untuk “pele kali” , jaring berlabuh dan pancing, serta

menggunakan akar bore (tuba). Menurut informasi dari beberapa nelayan di dalam dan

sekitar Cagar Alam Teluk Bintuni, hasil tangkapan ikan sudah semakin menurun bila di

bandingkan dengan beberapa tahun lalu (3-5 tahun lalu). Hasil tangkapan yang dulu masih

mendapat “ 2 sampai 3 ember” sekarang hanya dapat “0,5 sampai 1 ember”. Selain itu

daerah tangkapan sudah semakin jauh, dimana dahulu hanya 15 sampai 30 menit dari

perkampungan, sekarang sudah memerlukan waktu 1 jam lebih bahkan sampai ke sekitar

Teluk Bintuni. Hal ini diduga disebabkan oleh kegiatan penangkapan hasil yang tidak

memeperhatikan kelestarian lingkungan yang dapat berdampak pada menurunnya populasi

biota perairan.

Berdasarkan pengamatan di lapangan serta informasi dari pengelola kawasan dan beberapa

nelayan lokal, berhasil diidentifikasi beberapa praktek penangkapan adalah penggunaan akar

bore ini dilakukan pada saat “pele kali” yang membuat ikan-ikan tersebut mabuk sehingga

mudah diambil, indikasi penangkapan ikan dengan menggunakan racun serangga

(insektisida), serta penggunaan pukat harimau (trawler) oleh perusahaan udang sampai ke

dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni .

Cara-cara penangkapan ikan yang merusak tersebut belum diberikan sangsi hukum yang

tegas. Minimnya sarana dan prasarana aparat (BKSDA Papua, II Resort Bintuni) yang hanya

ada satu orang petugas dengan luas kawasan yang sangat luas (124.850 hektar) serta belum

adanya koordinasi dengan aparat penegak hukum lain (Kepolisian dan Koramil) membuat

penegakan hukum sangat lemah.

C.3.2. Adanya Perburuan Buaya, Rusa dan Beberapa Jenis Burung

Masyarakat yang berada di sekitar kawasan CATB, ada yang bermatapencaharian dalam

berburu (Buaya, Rusa, Babi dan beberapa jenis burung), terutama masyarakat di Kampung

Naramasa, Yakati, Yensei, Mamuranu, Anak Kasih dan Tirasai. Berdasarkan hasil

wawancara dan survei lapangan, khusus untuk buaya diburu terutama oleh masyarakat

Naramasa, Yakati dan Yensei. Masyarakat tersebut berburu sepanjang Sungai Naramasa,

Yakati sampai ke dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, yaitu Sungai Sobrawara, alat

yang digunakan berupa tombak dan perahu tanpa mesin (kole-kole). Permintaan akan kulit

buaya menurut informasi dari masyarakat Naramasa masih cukup tinggi, dimana hampir

setiap minggu datang para pengumpul kulit buaya yang berasal dari Babo dan Bintuni untuk

selanjutnya dikumpulkan di Sorong lalu di jual ke Surabaya.

Page 107: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 59

BKSDA Papua II Sorong

Sedangkan rusa, babi dan beberapa jenis burung,

diburu di dalam kawasan CATB terutama di sekitar

Pulai Maniai, Nusuamar dan Modan. Alat yang

sering digunakan untuk berburu rusa dan babi yaitu

panah, tombak, jerat, anjing dan parang,

sedangkan untuk burung menggunakan senapan

angin. Cara masyarakat tersebut dalam berburu

dilakukan dengan dua cara yaitu berburu sendiri

dan berkelompok (5-10 orang). Hasil tangkapan

rusa dan babi, biasanya di jual dalam bentuk

dendeng.

Menurut hasil wawancara dengan beberapa

masyarakat yang bermatapencaharian berburu,

seiring dengan semakin bertambahnya jumlah

penduduk, serta tingginya permintaaan atas hasil buruan tersebut menyebakan jumlah

buaya, rusa dan beberapa jenis burung sudah semakin berkurang. Hasil buruan waktu lalu

(5-10 tahun yang lalu), dalam 1-3 hari berburu bisa mendapatkan 5-10 ekor, tapi sekarang

mereka memerlukan waktu yang lebih lama (1-2 minggu) dengan hasil 1-2 ekor ataupun tidak

dapat hasil buruan sama sekali.

Berdasarkan kondisi diatas, dengan tingginya tingkat perburuan buaya, rusa dan beberapa

jenis burung, maka hal ini dapat mengancam kelestarian terutama buaya, rusa dan beberapa

jenis burung dimana fauna tersebut merupakan kekayaan keanekaragaman hayati yang ada

di CATB.

C.3.3. Adanya Perkampungan di dalam Kawasan

Berdasarkan hasil survei lapangan

menunjukan bahwa ada beberapa kampung

(desa) yang berada di dalam kawasan

CATB yaitu Kampung Mamuranu, Anak

Kasih dan Tirasai. Keberadaan kampung-

kampung tersebut terutama Kampung

Mamuranu memang sudah ada sebelum

adanya penunjukan CATB. Dengan

keberadaan ketiga kampung tersebut, maka

masyarakat yang tinggal di kampung

tersebut dalam melakukan aktivitasnya

sehari-hari akan sangat tergantung pada sumberdaya alam yang ada di dalam CATB. Selain

Gambar II-40 Salah satu Kondisi Pemukiman penduduk (K. Mamuranu) yang terletak di dalam

Kawasan CTAB

Gambar II-39. Masyarakat baru pulang berburu di dalam Kawasan CATB

Page 108: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 60

BKSDA Papua II Sorong

itu dengan “dibentuknya” perkampungan baru seperti Kampung Anak Kasih dan Tirasai di

dalam CATB, akan semakin bertambahnya masyarakat yang tergantung terhadap

sumberdaya alam dalam aktivitasnya sehari-hari.

Kondisi diatas diperburuk dengan adanya pembuatan “perumahan sosial” oleh pihak Pemda

Propinsi Papua pada tahaun 2003, dengan dibangunnya 54 rumah semi permanen di

Kampung Anak Kasih (di dalam kawasan CATB), tanpa adanya koordinasi khususnya

dengan BKSDA resort Bintuni. Hal tersebut akan menambah jumlah masyarakat yang akan

tinggal di dalam kawasan CATB, sehingga semakin besar sumberdaya alam yang akan

diambil yang selanjutnya menyebabkan jumlah dan jenis flora maupun fauna di dalam

kawasan CATB semakin menurun.

C.3.4. Tumpang tindih antara Batas Kawasan dengan Penggunaan Lahan lain.

Pemukiman transmigrasi yang ada di sebelah Utara batas kawasan CATB mulai tahun 1994,

memberikan permasalahan yaitu adanya lahan usaha 2 (LU 2) Kampung Banjar Ausoy SP 4

(200 hektar) dan Waraitama SP 1 (160 hektar) masuk kedalam kawasan. Hal ini terjadi

karena tidak adanya koordinasi antara pihak transmigrasi dengan BKSDA Papua 2 Resort

Bintuni pada saat penetapan LU 2

tersebut serta belum dilaksanakannya

proses tata batas.

Berdasarkan hasil wawancara dengan

masyarakat di semua kampung yang ada

di sekitar kawasan, lebih dari 60%

responden (46 responden atau 65,7%)

kurang mengetahui adanya batas

kawasan CATB. Hal ini menunjukan

bahwa proses penataan batas tahap 1

tahun 1997 (tata batas persekutuan) batas

Utara dan Timur serta tahap 2 tahun 1999 batas Barat dan Selatan, belum tersosialisasi

dengan baik atau kurang melibatkan masyarakat setempat. Oleh karena itu dalam rangka

rencana pengelolaanya, maka diperlukan proses penataan batas ulang dimana dalam

prosesnya melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan serta adanya proses sosialisasi.

C.3.4. Adanya Tempat Penimbunan Kayu (Logyard) di dalam Kawasan

Adanya hak pengusahaan hutan (HPH) mulai Tahun 1990 dan IPKMA (Izin Pemanfaatan

Kayu Masyarakat Adat)/ Kopermas (Tahun 2002) yang berada di sekitar serta bagian hulu

CATB memberikan dampak yang cukup besar terhadap kelestarian CATB. HPH/IPKMA

tersebut mengeluarkan kayu untuk selanjutnya di kumpulkan disuatu tempat yang disebut

Gambar II-41 Diskusi dengan Masyarakat Banjar Ausoy tentang Tumpang Tindih LU 2 dengan Batas kawasan

CATB

Page 109: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 61

BKSDA Papua II Sorong

dengan Tempat Penimbunan Kayu (Logyard). Karena sarana angkutan selanjutnya untuk

membawa kayu keluar Bintuni menggunakan transportasi sungai dan laut, maka Logyard

tersebut dibuat di sekitar sungai dan pada umumnya posisinya berada di dalam kawasan

CATB. Beberapa Logyard yang berada di dalam kawasan CATB yaitu Logyard 4 (di Sungai

Muturi) PT. Yotefa Sarana Timber dan IPKMA/Kopermas, Logyard Anak Kasih di Sungai

Tikamari/Anak Kasih di buat oleh IPKMA/Kopermas, Logyard Sumberi dibuat oleh

IPKMA/Kopermas, Logyard SP 5 di Sungai Sigirang dibuat oleh IPKMA/Kopermas, Logyard 5

di Sungai Awarepi dibuat oleh IPKMA/Kopermas, serta Logyard SP 4 di Sungai Banjar Ausoy

di buat oleh IPKMA/Kopermas.

Keberadaan Logyard tersebut mengakibatkan datangnya masyarakat untuk tinggal di sekitar

Logyard tersebut, karena di lokasi tersebut telah dibangun rumah karyawan dan perkantoran

yang dilengkapi dengan sarana lain seperi listrik, air bersih serta sarana hiburannya lainnya.

Akibat lain yang ditimbulkan dengan adanya Logyard tersebut, yaitu semakin mudahnya

akses masyarakat untuk masuk kedalam kawasan CATB, karena jalan darat telah dibuat dari

daerah penebangan sampai ke Logyard. Dengan kondisi tersebut maka akan semakin

banyak masyarakat yang akan tinggal di dalam kawasan serta akses masyarakat untuk

memanfaatkan sumberdaya alam di dalam CATB semakin besar sehingga akan mengurangi

jumlah dan jenis flora dan fauna yang ada.

D. Faktor Penghambat

Pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni akan berhasil apabila bisa mengurangi

faktor penghambat yang ada. Faktor penghambat merupakan suatu kondisi dimana lembaga

pengelola dalam hal ini BKSDA Papua 2, tidak memiliki kewenangan (Authority) untuk

menyelesaikannya. Beberapa faktor penghambat yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan

CATB antara lain :

D.1. Pengembangan Wilayah Kabupaten Teluk Bintuni

Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kabupaten Teluk Bintuni sampai saat ini belum ada.,

Dokumen yang telah ada yaitu Rencana Detil Tata Ruang (RDTRK) Kota Bintuni tahun 2004.

Berdasarkan dokumen RDTRK Kota Bintuni, Kota Bintuni meliputi Kampung Sibena sampai

dengan Kampung Argosigemerai (SP5). Pola ruang Kota Bintuni yang terbentuk berupa

Strip Development, dimana bentuk kotanya memanjang dari Barat ke Timur. Kondisi diatas

menimbulkan konsekuensi dari adanya dua “generator” aktivitas yang sama kuatnya. Satu

“generator” berada di ujung barat kota, kelurahan bintuni barat dan timur bersama-sama

dengan Kampung Sibena, yang merupakan cikal bakal Kota Bintuni, dan di ujung timur kota,

“generator” aktivitas baru yang muncul sebagai akibat keberadaan kawasan pusat

Page 110: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Keadaan Umum Kawasan II - 62

BKSDA Papua II Sorong

pemerintahan Kabupaten Teluk Bintuni (dekat dengan Kampung Korano Jaya) beserta

kegiatan-kegiatan ikutan yang menyertainya.

Berdasarkan kondisi diatas maka dimasa yang akan datang, mulai dari Kampung Sibena

sampai dengan Kawasan pusat pemerintahan Kabupaten Teluk Bintuni diprediksi akan

menjadi kawasan pemukiman/perkantoran/perdagangan serta aktivitas lainnya. Apabila

melihat posisi dari kota yang memanjang sepanjang jalan, dimana sebelah Selatan dari jalan

dengan jarak 1 sampai 5 Km, merupakan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) maka

akses masyarakat kedalam kawasan CATB akan semakin mudah. Hal ini akan menjadi

ancaman yang cukup serius terutama kawasan CATB di Bagian Barat dan Utara yang

berdekatan sepanjang jalan/perkampungan. Dengan semakin mudahnya akses masyarakat

ke dalam kawasan CATB, maka peluang masyarakat untuk mengambil flora, fauna dan

lahan untuk kebun akan semakin besar sehingga kelestarian CATB semakn menurun.

D.2 Kapasitas Pengelola Kawasan

Salah satu faktor penentu dalam pengelolaan suatu kawasan konservasi adalah peranan dan

kapasitas pengelola baik dari jumlah (quantity) dan kemampuan (quality/skill). Kondisi saat

ini (current situation) menunjukan bahwa kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dengan luasan

yang cukup besar (± 124.850 ha) hanya di awasi oleh seorang kepala resort yang dibantu

dua orang jagawana. Hal ini diperparah lagi dengan minimnya sarana pendukung seperti

perahu motor (longboat) dan kemampuan managerial yang terbatas. Hal ini sangat

mempengaruhi atau bahkan boleh dikatakan sebagai faktor penghambat dalam mencapai

tujuan pengelolaan dan tujuan pembangunan suatu kawasan konservasi, khususnya Cagar

Alam.

D.3 Peran Masyarakat (Community involvement)

Kaitannya dengan pelestarian kawasan, peran masyarakat sekitar sangat strategis dan

prospekstif. Dikatakan strategis sebab tanpa partisipasi nyata masyarakat sekitar, tidak

mungkin kawasan konservasi tersebut akan lestari. Dikatakan prospektif dengan keyakinan

bahwa masyarakat di dalam dan sekitar kawasan tidak akan menolak upaya pemberdayaan

yang sangat terkait langsung dengan kepentingannya. Hasil pengamatan di lapangan

mengindikasikan bahwa peran masyarakat dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk

Bintuni dalam ikut menjaga kelestarian kawasan masih rendah. Hal ini bisa terlihat dari

terganggunya beberapa bagian kawasan Cagar Alam yang juga “melibatkan” masyarakat di

dalam dan sekitar kawasan seperti pembukaan lahan untuk logyard milik Kopermas dan

perambahan hutan untuk kegiatan perladangan (shifting cultivation). Kemungkinan besar

karena pengetahuan masyarakat tentang pentingnya kawasan relatif kurang bahkan tidak

mengerti sama sekali.

Page 111: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 1

BKSDA Papua II Sorong

III. KEBIJAKAN

A. Dasar Hukum

Peraturan-peraturan Perundangan yang terkait dengan Pengelolaan Cagar Alam di Indonesia

adalah sebagai berikut:

1. UUD 1945, Pasal 33 ayat 3

2. UU NO.5 tahun 1960, tentang Agraria

3. UU No. 11 tahun 1974, tentang Irigasi

4. UU No.5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan

Ekosistemnya

5. UU NO.9 tahun 1990, tentang Pariwisata

6. UU No. 24 tahun 1992, tentang Penataan Ruang

7. UU No. 5 tahun 1994, tentang Ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati

8. UU No. 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

9. UU No. 41 tahun 1999, tentang Kehutanan

10. UU NO.31 tahun 2004, tentang Perikanan

11. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

12. PP No. 64 tahun 1967, tentang Delegasi Wewenang Perkenbunan, Perikanan

dan Kehutanan kepada Daerah .Swantara" Tingkat I

13. PP No. 29 Tahun 1986, tentang Analisa Lingkungan

14. PP No. 15 tahun 1990, tentang Usaha Perikanan

15. PP No. 20 tahun 1990, tentang Pemantauan Polusi Air

16. PP No. 27 tahun 1991, tentang Rawa-rawa

17. PP No. 35 tahun 1991, tentang Sungai-sungai

18. PP No. 69 tahun 1996, tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Serta Bentuk

dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang

19. PP No. 47 tahun 1997, tentang Tata Ruang Wilayah Nasional

20. PP No. 68 tahun 1998, tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian

Alam

21. PP No. 27/1999 tentang AMDAL

Page 112: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 2

BKSDA Papua II Sorong

22. PP No. 63 tahun 2002, tentang Hutan Kota

23. PP No. 34 tahun 2002, tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana

Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan

24. PP No. 45 tahun 2004, tentang Perlindungan Hutan

25. Perpu No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang Undang No. 41

tentang Kehutanan

26. Keppres No. 57 tahun 1989, tentang Komisi Pengarah untuk Pengelolaan

Klasifikasi Lahan Nasional

27. Keppres No. 32 tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung

28. Keppres No. 48/1991 tentang Pengesahan Konvensi Ramsar

29. Instruksi Mendagri No. 26/1997, tentang Perlindungan Hutan Mangrove sebagai

Jalur Hijau

B. Kebijakan Konservasi Biodiversity di Indonesia

Indonesia memberikan perhatian yang besar kepada konservasi keanekaragaman hayati.

Kebijakan ini dapat dilihat dalam BAPI (The Biodiversity Action Plan for Indonesia, 1993) dan

IBSAP (Indonesia Biodiversity Strategi and Action Plan, 2003). Kondisi kenaekaragaman

hayati (biodiversity) Indonesia dan proses degradasi yang terjadi dapat dilihat di dalam

IBSAP. Sumber atau penyebab degradasi ini antara lain adalah kebakaran hutan,

perambahan hutan, penebangan liar, penggunaan teknologi yang merusak, kurangnya

pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan keanekaragaman hayati dan lingkungan.

Selain itu, kurangnya kelengkapan peraturan dan perundangan serta lemahnya penegakan

hukum dalam bidang konservasi biodiversity/lingkungan juga menyebabkan proses degradasi

semakin cepat.

Ada sedikit perbedaan antara BAPI dan IBSAP, antara lain :

- BAPI 1993 digunakan hanya untuk memahami histori action plan nasional sebagai

dokumen nasional pertama dalam konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia.

- IBSAP 2003 sebagai dokumen nasional kedua dalam konservasi keanekaragaman hayati

di Indonesia, menggantikan BAPI 1993, yang merupakan rujukan utama yang digunakan

sebagai pembanding untuk identifikasi isu-isu konservasi di Indonesia.

B.1. BAPI (The Biodiversity Action Plan for Indonesia) 1993

Sebelum meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai

Keanekeragaman Hayati, Indonesia telah menyusun BAPI. Dengan adanya BAPI 1993 maka

Page 113: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 3

BKSDA Papua II Sorong

diharapkan akan ada panduan untuk menetapkan prioritas dan investasi di bidang konservasi

keanekaragaman hayati terutama untuk periode Rencana Pembangunan Lima Tahun

(Repelita) V dan VI (hingga 1999). Tujuan ataupun sasaran yang ditetapkan adalah

mengkonservasi sebanyak mungkin keanekaragaman hayati untuk menjadi tumpuan

kehidupan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Tujuan utama dari BAPI 1993 adalah :

1. Memperlambat laju kehilangan tutupan hutan primer, lahan basah, terumbu karang

serta habitat daratan maupun lautan lainnya yang sangat penting bagi keberadaan

keanekaragaman hayati.

2. Mengembangkan ketersediaan data dan informasi tentang kekayaan keanekaragaman

hayati nasional, sehingga dapat dimanfaatkan oleh para pembuat kebijakan dan

masyarakat luas.

3. Memperluas pemanfaatan sumberdaya hayati secara lestari dan lebih ramah

lingkungan dibandingkan praktik yang telah berlangsung selama ini.

Prioritas dari BAPI ada 4 (empat) kegiatan utama, yaitu :

1. Konservasi in-situ taman nasional dan kawasan lindung daratan;

2. Konservasi in-situ di luar kawasan lindung, mencakup kawasan hutan, lahan basah dan

kawasan budidaya pertanian;

3. Konservasi sumberdaya pesisir dan laut;

4. Konservasi eks-situ melalui bank gen dan bank benih, perlindungan varietas, dan

program penangkaran.

Di dalam BAPI tidak disebutkan pihak/lembaga yang dengan tegas bertanggungjawab

menjamin implementasi serta pencapaian sasaran dan tujuan yang ditetapkan. Selain itu,

BAPI 1993 juga tidak mempunyai dasar hukum formal dalam struktur perundangan nasional

sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Aspek sosial ekonomi, NGO

dan kerjasama internasional juga tidak terdapat dalam dokumen BAPI 1993. Isu-isu yang

ada dalam BAPI adalah :

1. Isu yang terkait dengan aspek kebijakan, yaitu isu mengenai kapasitas SDM

2. Isu yang terkait dengan aspek pengelolaan biodiversity, terdiri dari konservasi in-situ

dan eks-situ biodiversity, partisipasi masyarakat, pendidikan dan pelatihan, serta

valuasi biodiversity.

3. Isu yang terkait dengan aspek sistem informasi dan teknologi, yaitu isu mengenai riset

dan training.

Page 114: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 4

BKSDA Papua II Sorong

B.2. IBSAP (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan) 2003

IBSAP 2003 merupakan penyempurnaan dari BAPI 1993 dan merupakan strategi dan

rencana aksi biodiversity nasional. IBSAP 2003 mempunyai tujuan :

1. Melakukan kajian atas kebutuhan dan aksi prioritas yang tercantum dalam BAPI 1993

untuk mengetahui apa saja yang sudah dicapai, apa yang belum dilaksanakan, dan

mencari penyebab mengapa dana dan/atau motivasi yang diperlukan belum

didapatkan;

2. Mengidentifikasi kebutuhan dan aksi prioritas yang baru dan merevisi rencana aksi

menurut perubahan yang mungkin akan terjadi pada kebijakan lingkungan hidup di

masa yang akan datang;

3. Menentukan peluang dan kendala yang ada saat ini dalam konservasi dan

pemanfaatan berkelanjutan atas keanekaragaman hayati secara efektif, termasuk

kekurangan dalam pengetahuan yang ada dan sasaran serta tindakan yang realistis

untuk menutup kekurangan ini;

4. Menyusun strategi baru yang jelas, dan disertai dengan rencana aksi yang rinci.

Isu-isu tentang biodiversity adalah sebagai berikut :

1. Isu yang terkait dengan aspek kebijakan/kelembagaan, terdiri dari isu masalah

kebijakan yang over eksploitasi, sentralistis, sektoral, dan tidak partisipatif, serta

penegakan hukum dan kelembagaan yang lemah;

2. Isu yang terkait dengan aspek pengelolaan biodiversity, mencakup isu mengenai

eksploitasi berlebih, degradasi sumberdaya hayati, globalisasi bisnis keanekaragaman,

introduksi spesies dan varietas eksotik, konversi habitat yang tinggi, pencemaran

lingkungan, dan kekeliruan penilaian sumberdaya;

3. Isu yang terkait dengan aspek sosial ekonomi, mencakup isu mengenai tekanan

penduduk, kemiskinan, pembagian manfaat yang tidak adil, serta kapasitas SDM yang

tidak memadai.

4. Isu yang terkait dengan sistem informasi dan teknologi, mencakup isu mengenai riset

dan sistem informasi yang tidak memadai, serta penggunaan teknologi yang merusak;

5. Isu dalam aspek peran NGO dan kerjasama internasional, terkait dengan kerjasama

internasional dan kesadaran, pemahaman dan kepedulian.

Page 115: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 5

BKSDA Papua II Sorong

C. Sektor Kehutanan

C.1. Pengelolaan Hutan Lestari

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa mangrove

merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu, maka pemerintah bertanggungjawab dalam

pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan,

keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2). Selanjutnya dalam kaitan kondisi mangrove yang

rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis

atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi

(Pasal 43).

Adapun berdasarkan statusnya, hutan terdiri dari hutan negara dan hutan hak (pasal 5, ayat

1). Berkaitan dengan hal itu, Departemen Kehutanan secara teknis fungsional

menyelenggarakan fungsi pemerinthan dan pembangunan dengan menggunakan

pendekatan ilmu kehutanan untuk melindungi, melestarikan, dan mengembangkan ekosistem

hutan baik mulai dari wilayah pegunungan hingga wilayah pantai dalam suati wilayah Daerah

Aliran Sungai (DAS), termasuk struktur sosialnya. Dengan demikian sasaran Departemen

Kehutanan dalam pengelolaan hutan mangrove adalah membangun infrastruktur fisik dan

sosial baik di dalam hutan negara maupun hutan hak. Selanjutnya dalam rangka

melaksanakan fungsinya, Departemen Kehutanan sebagai struktur memerlukan penunjang

antara lain teknologi yang didasarkan pada pendekatan ilmu kelautan (sebagai infrastruktur)

yang implementasinya dalam bentuk tata ruang pantai.

C.2. Rencana Strategis Ditjen PHKA

Departemen Kehutanan menetapkan kebijakan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

SK.456/Menhut-II/2004 tanggal 29 Nopember 2004 tentang 5 (lima) Kebijakan Prioritas

Bidang Kehutanan dalam Program Pembangunan Nasional Kabinet Indonesia Bersatu tahun

2005 – 2009 diarahkan kepada :

1. Pemberantasan pencurian kayu di Hutan Negara dan Perdagangan Kayu Illegal.

Kegiatan ini adalah meminimalisir penebangan liar dan pencurian kayu sesuai dengan

kewenangan Departemen Kehutanan.

2. Revitalisasi sektor kehutanan, khususnya industri kehutanan.

3. Rehabilitasi dan konservasi Sumberdaya Hutan.

Kegiatan ini meningkatkan konsolidasi semua aparat Departemen Kehutanan dalam

rangka meningkatkan kinerja rehabilitasi dan konservasi.

4. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan.

5. Pemantapan Kawasan Hutan.

Page 116: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 6

BKSDA Papua II Sorong

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan P.13/Menhut-II/2005 tanggal 13 Juni 2005

tentang Organisasi dan Tata Hubungan Kerja Departemen Kehutanan, tugas dan fungsi

Direktorat Jenderal PHKA adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi

teknis di Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Dalam melaksanakan tugas

sebagaimana dimaksud di atas, Ditjen PHKA menyelenggarakan fungsi:

1. Penyiapan rumusan kebijakan Departemen Kehutanan di bidang Penyidikan dan

Perlindungan Hutan, Pengendalian Kebakaran Hutan, Konservasi Kawasan dan

Keanekaragaman Hayati, serta Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam.

2. Pelaksanaan kebijakan di bidang Penyidikan dan Perlindungan Hutan, Pengendalian

Kebakaran Hutan, Konservasi Kawasan dan Keanekaragaman Hayati, serta

Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

3. Perumusan standar, norma, pedoman, kriteria dan prosedur di bidang Penyidikan dan

Perlindungan Hutan, Pengendalian Kebakaran Hutan, Konservasi Kawasan dan

Keanekaragaman Hayati, serta Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam

4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan standar, norma, pedoman,

kriteria dan prosedur di bidang Penyidikan dan Perlindungan Hutan, Pengendalian

Kebakaran Hutan, Konservasi Kawasan dan Keanekaragaman Hayati, serta

Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam

5. Pelaksanaan administrasi di bidang Penyidikan dan Perlindungan Hutan, Pengendalian

Kebakaran Hutan, Konservasi Kawasan dan Keanekaragaman Hayati, serta

Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam.

Dari tugas pokok dan fungsi di atas, maka tugas PHKA tidak hanya di dalam kawasan

konservasi saja, tetapi meliputi seluruh kawasan hutan yang ada di Indonesia. Untuk itu

dalam rangka melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, organisasi Direktorat Jenderal

PHKA di pusat dan di daerah adalah sebagai berikut :

1. Sekretariat Direktorat Jenderal PHKA

2. Direktorat Penyidikan dan Perlindungan Hutan

3. Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan

4. Direktorat Konservasi Kawasan

5. Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati

6. Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam

7. Balai Konservasi Sumber Daya Alam

8. Balai Taman Nasional

Page 117: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 7

BKSDA Papua II Sorong

Kegiatan Pengelolaan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, semakin

lama semakin berat tantangannya, dengan demikian diperlukan adanya kegiatan-kegiatan

yang bersifat strategis sehingga dapat mendukung upaya konservasi sumberdaya alam

hayati dan ekosistemnya. Untuk itu pemahaman secara menyeluruh posisi konservasi dalam

pembangunan nasional harus dipahami dan diketahui secara menyeluruh oleh seluruh

personil lingkup Ditjen PHKA.

Oleh karena itu, untuk dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan Konservasi sumberdaya alam

hayati dan ekosistemnya secara benar dan terarah diperlukan perencanaan yang

menyeluruh, sinergis dan strategis sehingga mampu memberikan manfaat kepada seluruh

masyarakat secara optimal. Dalam rangka penyusunan rencana strategis di atas, perlu

dipahami oleh seluruh unsur pengelola maupun para pihak hal-hal yang berkaitan dengan

kondisi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya saat ini.

Rencana Stratejik Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam merupakan

penjabaran dari Renstra Departemen Kehutanan dimana dalam penyusunannya didasarkan

kepada Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004,

Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2004,

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004,

Perauran Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004,

Keputusan Menteri Kehutanan No. 123/KPTS-II/2001, Peraturan Menteri Kehutanan

P.13/Menhut-II/2005.

Sedangkan visi dan misi dan Ditjen PHKA adalah sebagai berikut :

1. Pernyataan Visi

Keadaan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) sampai

saat ini tidak banyak mengalami perubahan seperti lima tahun sebelumnya yaitu antara

lain meliputi :

a. Permasalahan Kawasan

Sampai saat ini yang berkaitan dengan status kawasan konservasi belum secara

keseluruhan sudah dikukuhkan, dengan kata lain belum seluruhnya mempunyai

batas di lapangan yang jelas. Sehingga hal ini sering menimbulkan konflik dengan

pihak lain. Disamping itu pengelolaan kawasan belum seluruhnya dilaksanakan

dengan standar, norma dan kriteria yang jelas, sehingga KSDAHE belum secara

optimal dan efektif memberikan manfaat kepada masyarakat.

b. Perlindungan Hutan dan Penegakan Hukum

Dampak krisis multi dimensi yang dialami oleh Bangsa Indonesia mengakibatkan

terjadinya permasalahan sosial yang memprihatinkan, beberapa kasus yang terjadi

antara lain: terjadinya kesenjangan sosial, kebutuhan lahan garapan yang sangat

Page 118: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 8

BKSDA Papua II Sorong

besar (lapar lahan) sehingga menimbulkan konflik lahan, masih lemahnya akses

masyarakat terhadap pengelolaan hutan, kecenderungan memperoleh hasil cepat

melalui kegiatan illegal (over cutting, penebangan liar, penyelundupan kayu,

perambahan hutan dan sebagainya). Gangguan terhadap kawasan konservasi dan

kawasan hutan lainnya juga terjadi akibat kebakaran hutan (harmfull fire). Hal ini

terjadi disebabkan pengelolaan hutan yang kurang baik serta ditunjang oleh

kurangnya sumberdaya yang ada untuk penanggulangan kebakaran hutan, dimana

kebakaran hutan ini sudah menimbulkan kerugian yang sangat besar dan juga secara

internasional timbul ”Transboundary haze pollution”, yang menjadi sorotan

internasional.

c. Pemanfaatan SDAHE

Pemanfaatan flora dan fauna masih banyak menimbulkan dampak negatif seperti

misalnya maraknya penyelundupan flora dan fauna. Sampai saat ini, Penerimaan

Negara Bukan Pajak (PNBP) di bidang KSDA masih perlu ditingkatkan. Manfaat

kawasan konservasi tidak seluruhnya diukur dari PNBP, tetapi juga manfaat lain yang

bukan dalam bentuk uang (ekonomis) juga harus diperhatikan dan ditingkatkan serta

dipublikasikan tentang pentingnya manfaat KSDAHE bagi pembangunan, sehingga

dapat memberikan manfaat optimal bagi masyarakat.

d. Kelembagaan

Pemerintah dan lembaga yang menangani atau mengelola KSDAHE sampai saat ini

masih jauh dari standar, norma dan kriteria yang ada. Hal-hal yang perlu ditingkatkan

antara lain : level organisasi, SDM, sarana dan prasarana, disamping itu juga

membentuk organisasi pengelola yang baru.

Dengan mempertimbangkan beberapa hal di atas maka dalam lima tahun mendatang

visi yang harus dicapai dan dipahami oleh jajaran Direktorat Jenderal Perlindungan

Hutan dan Konservasi Alam baik di pusat maupun di daerah adalah :

“Mewujudkan Kawasan Hutan dan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan

Ekosistemnya yang Aman dan Mantap secara Legal Formal, Didukung

Kelembagaan yang Kuat dalam Pengelolaannya serta Mampu Memberikan Manfaat

Optimal Kepada Masyarakat”.

2. Pernyataan Misi

Untuk mewujudkan visi dalam lima tahun mendatang, diperlukan bentuk nyata

implementasinya dan menggambarkan yang seharusnya terlaksana. Dari visi tersebut

ditetapkan empat misi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

sebagai berikut :

Page 119: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 9

BKSDA Papua II Sorong

MISI DIREKTORAT JENDERAL PHKA :

Misi 1. Memantapkan pengelolaan konservasi sumberdaya alam hayati dan

ekosistemnya.

Agar pengelolaan KSDAHE dapat tercapai tujuannya dengan baik, maka kawasan

konservasi yang dikelola harus jelas batas-batasnya, sehingga tidak menimbulkan konflik

dengan pihak lainnya. Disamping itu pengelolaan yang seharusnya dilaksanakan pada

kawasan konservasi tersebut harus jelas kriteria, norma dan standar pengelolaan

kawasan konservasi.

Misi 2. Memantapkan perlindungan hutan dan penegakan hukum.

Sampai saat ini gangguan terhadap hutan dan hasil hutan semakin meningkat, hal ini

terlihat dari laju kerusakan hutan setiap tahunnya mencapai 2,83 juta hektar. Disamping

itu kebakaran hutan selalu terjadi setiap tahun pada musim kemarau. Dengan adanya

kejadian tersebut tentunya akan menyulitkan pengelolaan kawasan konservasi maupun

kawasan hutan lainnya, sehingga tidak mencapai fungsi secara optimal. Dengan

demikian gangguan terhadap kawasan konservasi maupun kawasan hutan serta

tumbuhan dan satwa liar harus dieliminir sedemikian rupa.

Misi 3. Mengembangkan secara optimal pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan

ekosistemnya berdasarkan prinsip kelestarian.

Pemanfaatan SDA perlu dikelola dan dikembangkan secara optimal. Sampai saat ini

PNBP bidang PHKA dirasa masih sangat kecil kontribusinya di sektor kehutanan.

Pemanfaatan SDA yang potensial untuk dikembangkan meliputi wisata alam, jasa

lingkungan dan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar. Namun demikian tidak semua

pemanfaatan jasa KSDAHE diidentikkan dengan pendapatan dalam bentuk uang. Oleh

karenanya, perlu adanya penyebarluasan informasi agar dapat dipahami oleh semua

pihak, sehingga KSDAHE dapat didukung dan dilaksanakan dengan baik.

Misi 4. Mengembangkan kelembagaan dan kemitraan dalam rangka pengelolaan,

perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya

Kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang mendukung KSDAHE masih

perlu ditingkatkan. Disamping itu SDM, dana sarana dan prasarana yang ada perlu

dioptimalkan dan ditingkatkan. Pengelolaan KSDAHE tidak bisa dilaksanakan sendiri oleh

pemerintah, maka dalam pengelolaan ini kemitraan sangat diperlukan. Pola kemitraan

perlu dikembangkan dan diwujudkan dalam pengelolaan KSDAHE.

Adapun tujuan dari masing-masing misi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan

Konservasi Alam, sebagai berikut:

Page 120: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 10

BKSDA Papua II Sorong

Misi 1 : Memantapkan pengelolaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya,

dengan tujuan :

1. Meningkatkan efektifitas pengelolaan KSA/KPA/TB/HL sesuai fungsi kawasan

2. Mengembangkan KSA, KPA baru di 32 Propinsi

3. Memfasilitasi (pembinaan kawasan di luar kawasan konservasi) pengelolaan

ekosistem esensial

4. Meningkatkan upaya pengawetan tumbuhan dan satwa liar

Misi 2 : Memantapkan perlindungan hutan dan penegakan hukum, dengan tujuan :

Meningkatkan upaya perlindungan hutan, kawasan konservasi sumberdaya alam hayati

dan ekosistemnya serta pengendalian kebakaran hutan dan penegakan hukum.

Misi 3 : Mengembangkan secara optimal pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan

ekosistemnya berdasarkan prinsip kelestarian, dengan tujuan :

1. Meningkatkan pemanfaatan Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA) dan

jasa lingkungan serta mengembangkan Bina Cinta Alam

2. Meningkatkan pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL)

Misi 4 : Mengembangkan kelembagaan dan kemitraan dalam rangka pengelolaan,

perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya,

dengan tujuan :

1. Memantapkan institusi pengelola KSDAHE

2. Mewujudkan SDM yang mampu mendukung pengelolaan KSDAHE

3. Memantapkan perencanaan, evaluasi dan pengendalian pembangunan kehutanan

dibidang PHKA, di Pusat dan 66 UPT

4. Mewujudkan pemenuhan sarana dan prasarana pengelolaan KSDAHE

5. Memantapkan peraturan perundang-undangan bidang KSDAHE

6. Meningkatkan peran masyarakat dan para pihak terkait dalam kemitraan

pengelolaan KSDAHE dan perlindungan hutan.

Adapun sasaran dari masing-masing misi Direktorat Jenderal PHKA, sebagai berikut :

Misi 1 :Memantapkan pengelolaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya,

dengan sasaran :

1. Terbangunnya 20 taman nasional model

2. Terselesaikannya proses pengukuhan 150 KSA, KPA, dan TB

Page 121: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 11

BKSDA Papua II Sorong

3. Terselesaikannya penataan zona/blok di 300 KSA, KPA dan TB

4. Terselesaikannya site plan pada zona/blok pemanfaatan di 200 KPA dan TB

5. Terlaksananya pembinaan habitat TSL di SM, KPA dan TB seluas 100.000 ha.

6. Terlaksananya evaluasi fungsi KSA, KPA, TB dan HL pada 200 kawasan

7. Terselesaikannya penetapan daerah penyangga kawasan konservasi di 66 UPT

dan pembinaan daerah penyangga KPA, KSA di 300 lokasi

8. Terkelolanya data informasi dan publikasi konservasi KSDAHE di pusat dan 6 UPT.

Misi 2 : Memantapkan perlindungan hutan dan penegakan hukum, dengan sasaran :

1. Terlaksananya penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan: perambahan

kawasan, penebangan liar, peredaran hasil hutan illegal termasuk TSL, perburuan

TSL, perusakan habitat, kebakaran hutan/hot spot dan pencurian TSL di 32

propinsi

2. Terwujudnya peningkatan kemampuan operasional pengendalian kebakaran hutan

meliputi: pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca kebakaran hutan di 32

propinsi

3. Meningkatnya peran serta dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka

perlindungan hutan dan pengendalian kebakaran hutan di 32 propinsi.

Misi 3 : Mengembangkan secara optimal pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan

ekosistemnya berdasarkan prinsip kelestarian dengan sasaran :

1. Terwujudnya peningkatan pengusahaan pariwisata alam di 32 propinsi

2. Terlaksananya pemanfaatan jasa lingkungan di HL, HP dan kawasan konservasi

(prioritas perdagangan carbon, pemanfaatan air) di 15 propinsi.

3. Terbentuknya kader konservasi tingkat madya dan utama serta terbinanya

kelompok pecinta alam, kelompok swadaya masyarakat, kelompok profesi serta

kader konservasi di 66 UPT.

4. Terlaksananya pengkajian, penelitian dan pengembangan (kalitbang) tumbuhan

dan satwa liar di 66 UPT.

5. Terlaksananya penangkaran jenis TSL di 66 UPT.

6. Terlaksananya penyiapan penyelenggaraan perburuan di 5 TB, Kebun Buru dan

Blok Buru (KB dan BB).

7. Terlaksananya pengendalian perburuan liarTSL di 66 UPT.

8. Terlaksananya pengendalian peredaran TSL di 32 BKSDA.

Page 122: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 12

BKSDA Papua II Sorong

9. Terlaksananya pengendalian peragaan dan pertukaran TSL di 50 lembaga

konservasi.

10. Terlaksananya peningkatan budidaya tanaman obat-obatan di 66 UPT.

11. Terlaksananya pengendalian pemeliharaan TSL untuk kesenangan di 32 BKSDA.

Misi 4 : Mengembangkan kelembagaan dan kemitraan dalam rangka pengelolaan,

perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya,

dengan sasaran :

1. Terwujudnya institusi yang mampu menyelenggarakan pengelolaan KSDAHE dan

mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat

2. Meningkatnya jumlah dan kompetensi SDM aparatur struktural, non struktural dan

fungsional

3. Meningkatnya sistem perencanaan, evaluasi dan pengendalian pembangunan

kehutanan bidang PHKA

4. Terpenuhinya sarana dan prasarana pengelolaan KSDAHE di pusat dan daerah

(66 UPT).

5. Terwujudnya peraturan perundangan yang mendukung pengelolaan KSDAHE

6. Meningkatnya kesadaran masyarakat dan keterlibatan para pihak dalam

mendukung tercapainya KSDAHE dan perlindungan hutan.

Adapun strategi dari masing-masing misi Direktorat Jenderal PHKA, sebagai berikut :

a. Misi 1 : Memantapkan pengelolaan konservasi sumberdaya alam hayati dan

ekosistemnya, setrategi adalah :

1. Percepatan proses pembangunan 20 TN model

2. Percepatan penataan zona/blok di 300 KSA,KPA dan TB

3. Percepatan penyelesaian site plan pada zona/blok pemanfaatan di 200 KPA,

TB

4. Koordinasi pelaksanaan pembinaan habitat TSL di SM, KPA dan TB seluas

100. 000 ha

5. Optimalisasi pelaksanaan evaluasi fungsi KSA, KPA, TB dan HL, pada 200

kawasan

6. Percepatan penyelesaian penetapan daerah penyangga kawasan konservasi di

66 UPT dan pembinaan daerah penyangga KPA,KSA di 300 lokasi

7. Optimalisasi pengelolaan data informasi dan publikasi konservasi SDAHE

Page 123: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 13

BKSDA Papua II Sorong

8. Percepatan penyelesaian identifikasi tipe-tipe ekosistem dan terpenuhinya

keterwakilannya di kawasan konservasi di 32 propinsi

9. Koordinasi pengelolaan TSL dan kawasan konservasi yang termasuk di dalam

kesepakatan internasional

10. Koordinasi pelaksanaan pemeliharaan habitat satwa migran dan ekosistem

karst di 20 lokasi

11. Percepatan penyelenggaraan penetapan dan pengelolaan satwa liar yang

dilindungi dan tidak dilindungi (3 jenis)

12. Koordinasi penyelenggaraan pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta

habitatnya di 66 UPT

b. Misi 2 : Memantapkan perlindungan hutan dan penegakan hukum setrategi

adalah :

1. Koordinasi pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana

kehutanan: perambahan kawasan, penebangan liar; peredaran hasil hutan illegal

termasuk TSL, perburuan TSL, perusakan habitat, kebakaran hutan/hot spot dan

pencurian TSL di 32 propinsi

2. Peningkatan kemampuan operasional pengendalian kebakaran hutan meliputi :

pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca kebakaran hutan di 32

propinsi.

3. Peningkatan peran serta dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka

perlindungan hutan dan pengendalian kebakaran hutan di 32 propinsi.

c. Misi 3 : Mengembangkan secara optimal pemanfaatan sumberdaya alam hayati

dan ekosistemnya berdasarkan prinsip kelestarian, strateginya adalah :

1. Peningkatan pengusahaan pariwisata alam, di 32 propinsi

2. Optimalisasi pelaksanaan pemanfaatan jasa lingkungan di HL,HP dan Kawasan

Konservasi (prioritas perdagangan carbon , pemanfaatan air) di 15 propinsi

3. Percepatan pembentukan kader konservasi tingkat madya dan utama serta

terbinanya kelompok pencinta alam, kelompok swadaya masyarakat, kelompok

profesi serta kader konservasi di 66 UPT

4. Optimalisasi pelaksanaan pengkajian, penelitian dan pengembangan (kalitbang)

tumbuhan dan satwa liar di 66 UPT.

5. Optimalisasi pelaksanaan penangkaran jenis TSL di 66 UPT

6. Koordinasi pelaksanaan penyiapan penyelenggaraan per-buruan di 5 TB, Kebun

Buru & Blok Buru (KB, KB & BB)

Page 124: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 14

BKSDA Papua II Sorong

7. Koordinasi pelaksanaan pengendalian perburuan liar TSL di 66 UPT

8. Koordinasi pelaksanaan pengendalian peredaran TSL di 32 BKSDA.

9. Koordinasi pelaksanaan pengendalian peragaan dan pertukaran TSL di 50

lembaga konservasi.

10. Optimalisasi Pelaksanaan peningkatan budidaya tanaman obat-obatan di 66

UPT.

11. Koordinasi pelaksanaan pengendalian pemeliharaan untuk kesenangan di 32

BKSDA

c. Misi 4 : Mengembangkan kelembagaan dan kemitraan dalam rangka

pengelolaan, perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati

dan ekosistemnya, strateginya adalah :

1. Mewujudkan institusi yang mampu menyelenggarakan pengelolaan KSDAHE,

dan mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat secara optimal.

2. Meningkatkan jumlah dan kompetensi SDM aparatur struktural, non struktural

dan fungsional.

3. Meningkatkan sistem perencanaan, evaluasi dan pengendalian pembangunan

kehutanan bidang PHKA.

4. Memenuhi sarana dan prasarana pengelolaan KSDAHE di pusat dan daerah (66

UPT).

5. Mewujudkan peraturan perundangan yang mendukung pengelolaan KSDAHE.

Meningkatkan kesadaran masyarakat dan keterlibatan para pihak dalam

mendukung tercapainya KSDAHE dan perlindungan hutan.

Untuk mencapai sasaran pembangunan kehutanan bidang PHKA tahun 2005-2009,

kebijakan mengacu pada 5 (lima) kebijakan ptrioritas pembangunan kehutanan, sebagai

berikut :

a. Kebijakan Pemberantasan Pencurian Kayu di Hutan Negara dan Perdagangan

Kayu Illegal

Kebijakan ini dimaksudkan untuk membangun persepsi yang sama dari seluruh

pemangku kepentingan bahwa pencurian kayu dan peredaran kayu illegal yang

telah berkembang sangat memprihatinkan dan mengakibatkan penurunan fungsi

kawasan konservasi, fragmentasi habitat, masalah sosial, ekonomi, dan budaya.

b. Kebijakan Rehabilitasi dan Konservasi Sumber Daya Hutan.

Kebijakan ini dimaksudkan untuk melindungi dan memelihara proses ekologis

esensial dan sistem penyangga kehidupan, mengawetkan sumber daya alam

Page 125: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 15

BKSDA Papua II Sorong

hayati dan ekosistemnya, memanfaatkan sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya berdasarkan prinsip kelestarian serta mempercepat pulihnya

kawasan konservasi yang rusak sehingga kembali berfungsi normal.

c. Kebijakan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan.

Kebijakan ini dimaksudkan untuk memfasilitasi serta mengakomodir kegiatan

masyarakat sekitar kawasan konservasi. Dampak yang diharapkan dari kebijakan

tersebut adalah berkembangnya kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sekitar

kawasan konservasi melalui perolehan manfaat secara langsung atau tidak

langsung bagi pelaku usaha maupun mitra.

¶ Memperkuat kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat/para pemangku

kepentingan dalam kegiatan konservasi dan rehabilitasi SDA.

¶ Penguatan usaha produktif masyarakat sekitar kawasan konservasi.

d. Kebijakan Pemantapan Kawasan Hutan.

Kebijakan ini dimaksudkan untuk mempercepat pemantapan penataan kawasan

konservasi. Dalam rangka peningkatan efektifitas pengelolaan kawasan

konservasi akan sangat ditentukan oleh kepastian status suatu kawasan.

Berdasarkan visi, misi, tujuan, sasaran dan kebijakan, program pembangunan kehutanan

bidang PHKA, mengacu pada program nasional sebagaimana program dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 serta Program Departemen

Kehutanan. PHKA mempunyai 5 program untuk menampung kegiatan-kegiatan

pembangunan kehutanan bidang PHKA. Program tersebut adalah:

a. Program Pemantapan Keamanan Dalam Negri.

b. Program Pemantapan Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Hutan.

c. Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam.

d. Program Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan

Lingkungan Hidup.

e. Program Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.

C.3. Kebijakan Umum dan Strategi Pembangunan Cagar Alam

Pola pembangunan dan pemanfaatan hutan di masa lalu yang hanya berorientasi kepada

pembalakan (timber oriented) tanpa memperhatikan dan memperhitungkan nilai-nilai

lingkungan/ekologi, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat, telah cenderung

terjadinya eksploitasi hutan secara berlebihan, sehingga potensi sumberdaya alam lainnya

seperti hasil hutan non-kayu (flora dan fauna) dan jenis lingkungan menjadi rusak dan hilang

Page 126: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 16

BKSDA Papua II Sorong

tanpa memberikan hasil yang optimal. Hal tersebut telah pula memunculkan dan tumbuhnya

konglomerasi, dan terabaikannya hak-hak masyarakat sekitar hutan, serta menyebabkan

hilangnya akses masyarakat sekitar hutan untuk dapat menikmati kekayaan alam hutan

tersebut dan kesejahteraan mereka tetap tertinggal.

Memperhatikan hal tersebut, hendaknya program pembangunan dan pemanfaatan hutan dan

kawasan konservasi dari aspek konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem di masa

mendatang harus diarahkan kepada pemanfaatan yang bersifat multi fungsi, dengan

memperhatikan aspek lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya, serta dengan melibatkan dan

mengutamakan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.

Ketentuan hukum yang mengatur mengenai keberadaan dan pengelolaan kawasan

konservasi antara lain Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya

Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

serta Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan

Pelestarian alam.

Berdasarkan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan kita mengenal hutan

dan klasifikasinya sebagai berikut :

Á Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam

hayati yang didominasi pepohonan dan persekutuan alam lingkungannya, yang satu

dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu : fungsi

konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi.

Á Sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari

sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang

bersama-sama dengan unsur non-hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk

ekosistem.

Á Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh

pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Pemerintah

menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok atas :

o Hutan konservasi

o Hutan lindung, dan

o Hutan produksi

Berdasarkan UU No 41 ini, pengertian hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri

khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan

satwa serta ekosistemnya. Sedang dalam ketentuan Undang-undang No. 5 Tahun 1990

tentang Konservasi Sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, kita mengenal kawasan

konservasi dan salah satunya adalah kawasan suaka alam. Dalam UU ini, pengertian

Page 127: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 17

BKSDA Papua II Sorong

kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di

perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman

tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem

penyangga kehidupan. Salah satunya adalah kawasan cagar alam

Kawasan Cagar Alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya

mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang

perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Adapun kriteria untuk

penunjukan dan penetapan sebagai kawasan cagar alam seperti yang diatur dalam Peraturan

Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian

Alam :

Á Mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa dan tipe ekosistem:

Á Mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya;

Á Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak

atau belum diganggu manusia;

Á Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan

yang efektif dan menjamin keberlangsungan proses ekologis secara alami;

Á Mempunyai ciri khas potensi dan dapat merupakan contoh ekosistem yang

keberadaannya memerlukan upaya konservasi; dan atau

Á Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang

langka atau yang keberadaannya terancam punah.

Pemanfaatan potensi kawasan konservasi hanya akan dapat dilaksanakan secara konseptual

dan terencana apabila potensi kawasan yang ada tersebut diketahui peran dan fungsinya.

Peran dan fungsi kawasan menjadi titik tolak kepentingan pemanfaatan dari segi nilai

ekologis dan nilai finansial. Oleh karena itu pengetahuan mengenai nilai potensi merupakan

hal yang penting untuk pemberdayaan manfaat kawasan konservasi. Pemanfaatan kawasan

konservasi dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus bertujuan

menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga, melindungi dan meningkatkan fungsi

kawasan konservasi. Beberapa fungsi dari kawasan konservasi termasuk Cagar Alam

adalah sebagai berikut

¶ Fungsi tata air. Cagar alam sebagai salah satu kawasan hutan pelestarian alam adalah

hutan dengan ciri khas tertentu yang memiliki fungsi pokok perlindungan serta penyangga

kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan

secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

Kawasan cagar alam juga memiliki peranan yang sangat penting untuk perlindungan

fungsi tata air (hidro-orologis). Perlindungan fungsi tersebut berperan pula di dalam

Page 128: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 18

BKSDA Papua II Sorong

mendukung perlindungan sistem penyangga kehidupan. Namun peran dan fungsi

tersebut nampaknya pada saat ini belum sepenuhnya dinilai secara kuantitatif dari

manfaat finansial serta baru dinilai secara mikro dari nilai ekologinya.

Dimasa mendatang dimana sumberdaya air akan menjadi terbatas maka peran kawasan

konservasi, khususnya cagar alam dengan fungsi hidro-orologisnya akan memainkan

peranan yang berarti, khususnya bagi penyediaan dan kelangsungan sumberdaya air

untuk kawasan pemukiman, industri dan lain-lainnya. Pada kawasan cagar alam

mangrove, fungsi pengendali intrusi air asin dan pengendali banjir akan menjadi fungsi

penting kawasan bagi masyarakat sekitar kawasan.

Studi yang berkaitan dengan hal-hal tersebut harus mulai untuk terus dikembangkan,

sehingga nilai-nilai pemanfaatan kawasan konservasi dari segi nilai ekologis akan

semakin diketahui masyarakat luas, dan hal tersebut diharapkan akan menyadarkan

mereka untuk selalu berupaya melestarikan dan menjaga keberadaan kawasan

konservasi bagi kelangsungan sistem penyangga kehidupan dan peningkatan kualitas

kehidupan masyarakat secara regional, nasional dan bahkan internasional.

¶ Pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan konservasi tanpa merusak lingkungan

dan mengurangi fungsi utamanya seperti pemanfaatan wisata alam, pemanfaatan

keindahan dan kenyamanan.

¶ Manfaat O2, CO2 dan penyerap panas. Kawasan konservasi di daerah tropis memiliki

peranan yang sekarang dikenal sebagai paru-paru dunia, berbagai jenis tumbuhan mulai

dari yang bersifat semak belukar sampai bentuk pohon memiliki kemampuan untuk

menyerap gas karbondioksida untuk kemudian dirubah menjadi gas oksigen, yang

membuat iklim mikro menjadi lebih nyaman. Disamping itu beberapa jenis dari tumbuhan

yang terpelihara dan terlindungi secara baik di kawasan-kawasan konservasi berperan

pula untuk mencegah polusi udara dan pemanasan global. Pemanfaatan kawasan

konservasi untuk berperan sebagai penyerap gas karbondioksida maupun zat polutan

serta sebagai penghasil oksigen maupun penyerapan efek panas dari gas rumah kaca

belum banyak dikemukakan secara kuantitatif dari segi nilai ekologi maupun finansial.

Studi-studi yang berkaitan dengan kepentingan pemanfaatan kawasan konservasi untuk

hal tersebut harus mulai untuk dikembangkan.

¶ Sumber Plasma Nutfah. Menggunakan kawasan konservasi sebagai sumber plasma

nutfah dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan, untuk plasma nutfah tersebut

dibudidayakan dan dikembangkan di luar kawasan seperti antara lain untuk kepentingan

budidaya jamur, penangkaran satwa, budidaya tanaman obat dan tanaman hias, dan lain-

lain.

¶ Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada kawasan konservasi. Merupakan bentuk

kegiatan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama

Page 129: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 19

BKSDA Papua II Sorong

kawasan konservasi, seperti untuk mengambil madu, mengambil getah, mengambil buah,

dan lain-lain. Usaha pemanfaatan dan pemungutan tersebut dimaksudkan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran

masyarakat untuk menjaga, melindungi dan meningkatkan fungsi kawasan konservasi.

Berdasarkan Pasal 67 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan

bahwa masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui

keberadaanya berhak :

Á Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari

masyarakat adat yang bersangkutan;

Á Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan

tidak bertentangan dengan Undang-Undang;

Á Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan.

Pemanfaatan tradisional yang diperbolehkan hanyalah pemanfaatan potensi kawasan

berupa hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan untuk kepentingan pemenuhan

kebutuhan spiritual masyarakat lokal/setempat/sekitar kawasan konservasi yang

dilaksanakan oleh masyarakat lokal/setempat/sekitar taman nasional sendiri dengan

mempergunakan peralatan tradisional dan sesuai dengan prinsip-prinsip konservasi.

Dikaitkan dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan ekosistemnya maka kegiatan pemanfaatan tradisional menjadi salah

satu aktivitas yang harus diadopsi dalam kegiatan pengelolaan kawasan cagar alam.

¶ Kegiatan Penelitian dan Pendidikan. Sesuai fungsi kawasan konservasi, kawasan

cagar alam haruslah mengakomodasi kegiatan penelitian dan pendidikan. Bentuk dan

materi penelitian dan pendidikan perlu diarahkan dan diselaraskan dengan kebutuhan

dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bentuk penelitian terapan, misalnya

penelitian tentang teknologi konservasi sumberdaya alam atau penelitian murni, antara

lain penelitian tentang tingkah laku satwa, dapat dilangsungkan dalam kawasan

konservasi.

Untuk pendayagunaan dan hasilguna, maka pengelolaan dan penelitian dan pendidikan

diarahkan pada kegiatan, sebagai berikut :

Á Identifikasi obyek dan jenis tumbuhan, satwa, ekosistem dan sosial ekonomi budaya

masyarakat.

Á Penyusunan skala prioritas pelaksanaan program penelitian yang disesuaikan

dengan tujuan dan sasaran pengelolaan kawasan konservasi.

Á Pengembangan bentuk kerjasama dengan masyarakat.

Page 130: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 20

BKSDA Papua II Sorong

Á Pengembangan sistem promosi rencana penelitian dan hasil penelitian kepada

masyarakat luas.

C.4. Pengelolaan Cagar Alam

Melihat kondisi dan permasalahan yang terjadi saat ini pada kawasan konservasi maka

kebijaksanaan pengelolaan kawasan konservasi mengalami perubahan paradigma. Bila

dimasa lalu titik berat pengelolaan kawasan konservasi lebih difokuskan pada aspek

perlindungan dan pengawetan, antara lain diwujudkan dengan penunjukan kawasan

konservasi dan hutan lindung, penetapan jenis-jenis flora dan fauna yang dilindungi, dan

berbagai upaya pengamanan dan perlindungan serta kegiatan preventif lainnya. Oleh karena

itu, dalam rangka mewujudkan seluruh aspek konservasi dalam pembangunan dan

peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan konservasi termasuk cagar alam,

maka bobot peningkatan dan pengembangan aspek pemanfaatan berdasarkan azas

kelestarian menjadi titik berat dengan didukung perlindungan dan pengawetan yang

memadai. Dengan memperhatikan perkembangan keadaan yang berjalan tersebut kebijakan

pembangunan kawasan konservasi termasuk cagar alam diarahkan untuk mengemban misi

terwujudnya manfaat optimal konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bagi

kesejahteraan masyarakat, untuk mewujudkan misi tersebut serta dipandu dengan ketetapan

GBHN tahun 1999 yang menekankan kepada perwujudan pengelolalan sumber daya alam

hutan secara lestari, berkeadilan dan mandiri untuk sebesar-besarnya, kesejahteraan rakyat,

maka ditetapkan program konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya di dalam

pengelolaan kawasan konservasi sebagai berikut :

a. Melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kawasan-kawasan konservasi sehingga

benar-benar mencerminkan kepentingan konservasi keanekaragaman jenis flora dan

fauna, kekhasan, keunikan dan keindahan sumber daya alam .

b. Mengembangkan kawasan konservasi keanekaragaman hayati yang memenuhi

persyaratan dan kriteria baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan,

guna lebih menjamin keberadaan dan keterwakilan tipe-tipe ekosistem dan gejala alam

lainnya;

c. Meningkatkan pembinaan satwa liar baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi melalui

peningkatan kegiatan inventarisasi, rehabilitasi dan pembinaan habitat guna menjamin

kelestarian populasi jenis dan pemanfaatannya.

d. Meningkatkan pembinaan kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa)

melalui penilaian keunikan dan keasliannya serta mengembangkan pengelolaannya

melalui model pengelolaan yang memadai dan diharapkan mampu memberikan manfaat

bagi peningkatan kesejahteraan dan kesadaran konservasi masyarakat setempat.

Page 131: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 21

BKSDA Papua II Sorong

e. Meningkatkan pembangunan dan pengelolaan kawasan konservasi alam melalui

pengembangan pengelolaan yang mantap dan memadai, mendorong pemanfaatan

secara lestari dan optimal dari fungsi pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian,

pendidikan konservasi dan menunjang budidaya, serta diharapkan mampu memberikan

manfaat bagi peningkatan kesejahteraan dan kesadaran konservasi masyarakat

setempat.

f. Meningkatkan keterpaduan pembangunan kawasan konservasi dengan pembangunan

wilayah, sehingga kawasan konservasi tersebut mampu mendukung dan memberikan

kontribusi yang berarti bagi pembangunan wilayah serta peningkatan kesejah-teraan dan

kepedulian konservasi pada masyarakat.

g. Meningkatkan pembinaan konservasi keanekaragaman hayati di luar kawasan konservasi

dan di luar kawasan hutan baik daratan dan perairan.

h. Meningkatkan kerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam bentuk

partisipasi aktif yang positif sebagai masukan bagi pemerintah dalam pelaksanaan

operasional konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

i. Mendorong dan meningkatkan partisipasi pemerintah daerah dalam pengelolaan

kawasan konservasi yang telah diproyeksikan dalam ketentuan Undang-Undang No. 24

Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah.

j. Meningkatkan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hutan dari kawasan hutan

dan kawasan konservasi guna peningkatan nilai ekonomi dan kesejahteraan masyarakat

disekitar hutan melalui kegiatan penunjang budidaya.

k. Pemanfaatan dan peningkatan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam

pengelolaan hutan dan kawasan konservasi, sehingga mampu memberikan manfaat dan

hasil produk yang ramah lingkungan dan terstandarisasi.

l. Melakukan dan mengembangkan pendekatan baru dalam analisis biaya dan keuntungan

dengan memperhitungkan biaya-biaya lingkungan dan sosial dengan disertai kajian

dampak lingkungan dan sosial, pemantauan dan pengawasannya secara konsisten di

lapangan.

m. Membangun dan mengembangkan peranserta aktif masyarakat disekitar hutan dan

kawasan konservasi dalam mengembangkan usaha ekonomi berbasis sumberdaya alam

setempat dan mampu melestarikan potensi keanekaragaman hayati yang ada.

n. Memberdayakan dan mengembangkan lebih lanjut kearifan dan tradisi masyarakat

setempat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan

dan lestari dalam upaya pelestarian hutan dan konservasi alam.

Page 132: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 22

BKSDA Papua II Sorong

o. Meningkatkan kemampuan dan pengetahuan masyarakat melalui berbagai pelatihan dan

pendidikan mengenai upaya pencegahan dan penanggulangan berbagai kerusakan

lingkungan dan pelestariannya.

p. Membangun dan menggali sumber pendanaan untuk konservasi sumber daya alam

hayati dan ekosistem melalui trust fund atau debt for nature swap serta mendorong

pengelola kawasan konservasi untuk mengembangkan kemampuan pendanaan secara

mandiri di dalam pengelolaan kawasannya.

q. Meningkatkan peran aktif para ahli konservasi, lembaga masyarakat dibidang politik dan

sebagainya untuk mampu mendorong terciptanya berbagai peraturan dan kelembagaan

yang mendukung upaya pelestarian alam dan lingkungan.

r. Meningkatkan supremasi hukum dan memberikan sanksi yang tegas dan jera terhadap

para pelanggar yang berkaitan dengan pelestarian alam dan lingkungan.

Untuk pencapaian program konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya di

kawasan konservasi, maka kegiatan prioritas yang dapat dilaksanakan adalah :

a. Peningkatan inventarisasi potensi kawasan hutan yang mencakup seluruh potensi flora,

fauna, jasa lingkungan dan ekosistem, sehingga secara bertahap pengetahuan mengenai

potensi dan kegunaan setiap komponen penyusun ekosistem dan dapat diungkapkan dan

diketahui, serta hal ini penting di dalam perencanaan pengelolaan dan pemanfaatan

secara berkelanjutan, lestari, efektif dan efesien.

b. Pemantapan kawasan melalui kegiatan kajian potensi satuan unit pengelolaan ekosistem

yang efektif dan efisien, penataan batas, pengukuran, pemetaan dan pengukuhan status

kawasan, guna memberikan kepastian pengelolaan dan pemanfaatan secara

berkelanjutan dan lestari, serta penegakan hukum bagi kasus penindakan pelanggaran

dan perusakan kawasan.

c. Peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia yang mampu mendukung

semua upaya pengelolaan kawasan konservasi secara efektif, efisien, berkelanjutan dan

lestari.

d. Pengembangan kegiatan penelitian dan ilmu pengetahuan, termasuk membangun sistem

informasi dan data base sebagai basis untuk mendukung serta membantu penyelesaian

permasalahan yang dihadapi maupun pengambilan keputusan dalam pengelolaan

kawasan konservasi secara berkelanjutan dan lestari.

e. Pengembangan partisipasi dan swakarsa masyarakat dalam pengelolaan kawasan

konservasi secara adil, mandiri, berkelanjutan dan lestari.

Page 133: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 23

BKSDA Papua II Sorong

f. Pengembangan usaha kecil menengah dan koperasi yang mampu mendorong

berkembangnya iklim usaha yang kondusif dalam pemberdayaan ekonomi

rakyat/masyarakat disekitar kawasan yang mampu mendukung ekonomi nasional.

g. Mewujudkan perlindungan dan pengamanan sumberdaya alam hayati dan ekosistem

pada kawasan konservasi melalui peranserta secara aktif dari masyarakat di sekitarnya.

h. Rehabilitasi dan revitalisasi habitat-habitat yang mengalami degradasi dan pragmentasi di

dalam upaya mencegah kepunahan plasma nutfah dan penyelamatan kekayaan

keanekaragaman hayati.

i. Pengembangan sistem pengawasan dan pengendalian yang diikuti dengan penerapan

sanksi yang tegas pada tiap bentuk pelanggaran dan kerusakan terhadap kawasan dan

potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem agar pengelolaan dan pemanfaatannya

dapat dilaksanakan secara lebih efektif dan efisien.

j. Pengembangan kelembagaan termasuk ketentuan peraturan perundangan, organisasi

pengelolaan yang secara kondusif mampu meningkatkan pengelolaan dan pemanfaatan

sumberdaya alam hayati dan ekosistem secara lestari, efektif dan efisien.

C.5. Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Mangrove

Pengelolaan kawasan hutan khususnya hutan mangrove di Indonesia terususun dalam suatu

strategi Nasional yang merujuk kepada pola pengelolaan lingkungan di dalam Agenda 21

Indonesia. Strategi Nasional Ekosistem Mangrove dan Agenda 21 Indonesia memuat antara

lain :

1. Perencanaan terpadu dan pengembangan sumberdaya di zona pantai:

¶ Memusatkan perhatian pada masalah monitoring, evaluasi dan administrasi

sumberdaya.

¶ Memonitor dan melindungi lingkungan pantai dan lautan.

¶ Memusatkan perhatian pada permasalahan polusi laut yang timbul di daratan.

2. Pemanfaatan sumberdaya kelautan yang berkelanjutan

¶ Menyoroti kesulitan sekitar keseimbangan antara konservasi sumberdaya alam yang

tidak dapat pulih dan penggunaan sumberdaya biologi secara berkesinambungan.

3. Mensejahterakan dan memberdayakan masyarakat pantai

¶ Mempertelakan masalah-masalah kemiskinan dan kesempatan ekonomi yang

terbatas yang dihadapi masyarakat pantai, serta mencari institusi dan strategi yang

dapat menanggulangi permasalahan tersebut.

Page 134: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 24

BKSDA Papua II Sorong

Di lingkup Departemen, departemen teknis yang mengemban tugas dalam pengelolaan hutan

mangrove adalah Departemen Kehutanan. Landasan dan prinsip dasar yang dibuat harus

berdasarkan peraturan yang berlaku, landasan keilmuan yang relevan, dan konvensi-

konvensi internasional terkait dimana Indonesia turut meratifikasinya.

Di dalam menyelenggarakan kewenangannya dalam pengelolaan hutan mangrove,

Departemen Kehutanan membawahi Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang bekerja di daerah,

yaitu Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) akan tetapi operasional penyelenggaraan rehabilitasi

dilaksanakan Pemerintah Propinsi dan terutama Pemerintah Kabupaten/Kota (dinas yang

membidangi kehutanan).

Sedangkan untuk meningkatkan intensitas penguasaan teknologi dan diseminasi informasi

mangrove, Departemen Kehutanan sedang mengembangkan Pusat Rehabilitasi Mangrove

(Mangrove Centre) di Denpasar – Bali (untuk wilayah Bali dan Nusa Tenggara) yang

selanjutnya akan difungsikan untuk kepentingan pelatihan, penyusunan dan sebagai pusat

informasi. Untuk kedepan sedang dikembangkan Sub Centre Informasi Mangrove di

Pemalang – Jawa Tengah (untuk wilayah Pulau Jawa), di Sinjai – Sulawesi Selatan (untuk

wilayah Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya), di Langkat – Sumatera Utara (untuk wilayah

Sumatera dan Kalimantan).

Adapun untuk mengarahkan pencapaian tujuan sesuai dengan jiwa otonomi daerah,

Pemerintah (pusat) telah menetapkan Pola Umum dan Standar serta Kriteria Rehabilitasi

Hutan dan Lahan (Keputusan Menteri Kehutanan No. 20/Kpts-II/2001), termasuk di dalamnya

rehabilitasi hutan yang merupakan pedoman penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan

bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) serta masyarakat.

Strategi yang diterapkan Departemen Kehutanan untuk menuju kelestarian pengelolaan

hutan mangrove: (1) Sosialisasi fungsi hutan mangrove, (2) Rehabilitasi dan konservasi, (3)

Penggalangan dana dari berbagai sumber.

Secara umum, pengelolaan kawasan mangrove khususnya kawasan cagar alam haruslah

sesuai dengan “prinsip pengelolaan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Untuk

mencapai tujuan ini maka secara umum kebijakan yang ada berdasar dan berpedoman

kepada :

¶ Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan pelestarian

kemampuan dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi

dan seimbang (Pasal 2 UU No. 5/1990).

¶ Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan

terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keselmbangan ekosistemnya

sehingga dapat lebih mendukung upava peningkatan kesejahteraan masyarakat dan

mutu kehidupan manusia. (Pasal 3 UU No. 5/1990).

Page 135: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 25

BKSDA Papua II Sorong

¶ Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan (Pasal

5 UU No. 5/1990) :

o perlindungan sistem penyangga kehidupan;

o pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;

o Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

Secara khusus, dalam hal pengelolaan hutan Mangrove maka aspek perencanaan menjadi

sangat penting. Dalam hal ini, perencanaan juga memuat aspek dan informasi sebagai

berikut :

¶ Perencanaan Kehutanan meliputi : inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan,

penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan

penyusunan rencana kehutanan. (Pasal12 UU No. 41/1999).

¶ Berdasarkan inventarisasi hutan, Pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan

hutan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan tersebut. (Pasal14 UU

No. 41/1999).

¶ Pemerintah Propinsi menetapkan wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan lindung

dalam suatu Peraturan Daerah. Pemerintah Kabupaten menjabarkan lebih lanjut

kawasan lindung ke dalam peta yang lebih detil dengan Peraturan Daerah. (Pasal 34

Keppres No. 32/1990).

¶ Pemerintah menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem

penyangga kehidupan. (UU No. 5/1990).

Secara spesifik, rencana atau pokok kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan hutan

mangrove, Departemen Kehutanan telah, sedang, dan akan melakukan kegiatan-kegiatan

baik dalam bentuk kegiatan operasional teknis di lapangan maupun yang bersifat konseptual.

Kegiatan-kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Operasional Teknis

Sejak Tahun Anggaran 1994/1995 sampai dengan Tahun Dinas 2001, kegiatan

operasional teknis yang dilaksanakan di lapangan oleh Balai/Sub Balai RLKT

(sekarang bernama Balai Pengelolaan DAS) sebagai Unit Pelaksana Teknis

Departemen Kehutanan adalah rehabilitasi hutan mangrove di luar kawasan hutan

dan di dalam kawasan hutan seluas 22.699 Ha melalui bantuan bibit, pembuatan unit

percontohan empang parit dan penanaman/rehab bakau, yang tersebar di 18

Propinsi.

2. Penyusunan Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove.

3. Inventarisasi kerusakan hutan mangrove (22 Propinsi).

Page 136: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 26

BKSDA Papua II Sorong

4. Penyusunan basis data pengelolaan hutan mangrove.

5. Penyusunan Rencana Tata Ruang Daerah Pantai Kabupaten.

D. Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah harus dipandang sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya wilayah

agar sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan demikian

pengembangan wilayah adalah bagian tak terpisahkan dari tujuan pembangunan secara

keseluruhan. Kabupaten Teluk Bintuni yang merupakan Kabupaten Pemekaran (12

November 2002) dari Kabupaten Manokwari harus segera memecahkan beragam

permasalahan yang dihadapi masyarakat, kesenjangan antar wilayah, pengembangan

sentra-senta produksi, serta peningkatan kualitas hidup masyarakat adalah beberapa dari

sejumlah program pembangunan yang harus dilaksanakan.

Berdasarkan kondisi diatas, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni dituntut untuk

memaksimalkan semua sumberdaya yang ada (manusia, alam dan buatan) untuk

mewujudkan pembangunan di semua bidang. Salah satu modal pembangunan dari

Kabupaten Teluk Bintuni yaitu sumberdaya alam (SDA) yaitu berupa SDA hutan, perikanan,

pertanian, pertambangan (batubara), serta gas bumi (LNG Tangguh). SDA alam yang ada di

kabupaten Teluk Bintuni diantaranya yaitu berada dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

(CATB). SDA hasil perikanan merupakan SDA yang banyak terdapat di dalam kawasan

CATB. Selain itu flora serta fauna yang eksotis (mangrove, buaya, rusa, serta beberapa jenis

burung) terdapat di dalam kawasan CATB. Sesuai dengan fungsinya yang merupakan

kawasan konservasi, CATB memiliki peranan yang cukup besar dalam menjaga kelestarian

ekosistem di sekitar Teluk Bintuni. Akan tetapi seiring dengan rencana pembangunan yang

akan dilakukan, kawasan CATB tidak akan terlepas dari pengaruh untuk dimanfaatkan

sebagai modal pembagunan. Oleh karena itu setiap rencana pembangunan yang akan

dilakukan oleh pemda, harus ada koordinasi dengan BKSDA Papua 2 yang memiliki kantor

Resort di Bintuni.

D.1. Tinjauan Penataan Ruang Kota Kabupaten Teluk Bintuni

Awal dari proses penataan ruang adalah beranjak dari adanya kebutuhan untuk melakukan

perubahan sebagai akibat dari perubahan pengelolaan maupun akibat perubahan-perubahan

keadaan (peningkatan kesejahteraan, bencana alam, perkembangan sosial dan lain-lain).

Jadi pada dasarnya harus ada dua kondisi yang harus dipenuhi di dalam perencanaan tata

ruang (Clayton and Dent, 1993, dalam Rustiadi et al., 2003):

1. Kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah

terjadinya perubahan yang tidak diinginkan

Page 137: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 27

BKSDA Papua II Sorong

2. Adanya political will dan kemampuan untuk mengimplementasikan perencanaan yang

disusun.

Dengan demikian penyusunan perencanaan tata ruang pada dasarnya bukan merupakan

suatu keharusan tanpa sebab, melainkan lahir dari adanya kebutuhan. Sasaran utama dari

perencanaan tata ruang pada dasarnya adalah untuk menghasilkan penggunaan yang

terbaik, namun biasanya dapat dikelompokan atas tiga sasaran umum: 1) efisiensi, 2)

keadilan dan akseptabilitas masyarakat, dan 3) keberlanjutan. Sasaran efisiensi merujuk

pada manfaat ekonomi, dimana dalam konteks kepentingan publik pemanfaatan ruang

diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (publik). Tata ruang harus

merupakan perwujudan keadilan dan melibatkan partisipasi masyarakat, oleh karenanya

perencanaan yang disusun harus dapat diterima oleh masyarakat. Perencanaan tata ruang

juga harus berorientasi pada keseimbangan fisik dan sosial sehingga menjamin peningkatan

kesejahteraan secara berkelanjutan.

Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kabupaten Teluk Bintuni sampai saat ini belum ada,

sehingga terdapat kesulitan untuk mengetahui arahan pembangunan untuk tingkat

Kabupaten., Dokumen yang telah ada yaitu Rencana Detil Tata Ruang (RDTRK) Kota Bintuni

tahun 2004. RDTRK Kota Bintuni dapat dijadikan sebagai dasar untuk melihat arahan

pembangunan yang akan mempengaruhi terhadap kawasan, karena kawasan CATB

letaknya berdekatan dengan Kota Bintuni. Berdasarkan RDTRK Kota Bintuni, ibu kota

Gambar III-1. Rencana Pola Perkembangan Kota Bintuni sebagai Ibukota Kabupaten Teluk Bintuni

Page 138: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 28

BKSDA Papua II Sorong

kabupaten mulai dari Kampung Sibena sampai dengan Kampung Argosigemerai (SP5), serta

telah dibangunnya pusat pemerintahan Kabupaten Teluk Bintuni yang berjarak 27 Km

sebelah Timur dari Kota Bintuni (dekat Kampung Korano Jaya). Selain itu berdasarkan

RDTRK Kota Bintuni, Kampung Argo Sigemerai direncanakan sebagai kawasan komersil dan

bisnis baru berskala regional.

Berdasarkan kondisi diatas maka dapat dilihat bahwa batas Barat Laut dan Utara kawasan

CATB, merupakan daerah yang sangat dekat dengan perkampungan dan pusat aktivitas

lainnya. Agar kawasan CATB dapat terjaga dengan baik maka perlu adanya daerafh buffer

antara jalan dengan batas kawasan CATB. Selain itu untuk mengurangi tekanan terhadap

penggunaan lahan, maka setiap pemanfaatan/penggunaan lahan dilakukan di sebelah Utara

jalan Trans Bintuni – Manokwari..

Perencanaan pengembangan sektor pertanian/perkebunan sebaiknya dikembangkan di

sebelah Utara jalan Trans Bintuni – Manokwari, karena daerah tersebut merupakan daerah

hutan dataran rendah serta menjauh dari batas kawasan CATB. Selain itu untuk

pengembangan sektor lain seperti perikanan diharapkan dilakukan di luar kawasan CATB,

agar tidak terjadinya konflik kepentingan karena kawasan tersebut merupakan kawasan

konservasi.

D.2. Hubungan Ruang Kawasan Cagar Alam dengan Daerah Sekitarnya

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) secara geografis merupakan daerah hilir dari

beberapa sungai besar seperi Sungai Muturi, Bokor, Tirasai, Kodai, Tatawori, Naramasa

serta beberapa sungai kecil lainnya, untuk selanjutnya aliran sungai tersebut masuk ke Teluk

Bintuni. Daerah hulu dari sungai-sungai tersebut merupakan kawasan hutan yang sampai

saat ini masih merupakan hutan produksi. Dengan adanya Hak Pengusahaan Hutan (HPH)

maka kondisi hutan di bagian hulu sungai tersebut semakin rusak sehingga dapat

mengakibatkan erosi dan tingkat sedimentasi di setiap sungai semakin besar. Melihat kondisi

diatas maka kawasan CATB merupakan daerah buffer sebelum aliran sungai masuk ke Teluk

Bintuni.

Perubahan pola penggunaan lahan di hulu DAS dari hutan alam menjadi usaha hutan baik

oleh masyarakat maupun HPH, ditambah dengan usaha pertanian yang tidak sesuai daya

dukung lahan menyebabkan laju erosi dan sedimentasi bertambah. Penambahan besar erosi

dan sedimentasi menyebabkan tekanan terhadap kawasan cagar alam semakin besar.

Sedimentasi yang memasuki kawasan mempunyai peran ganda, sebagai potensi pendukung

keberadaan ekosistem mangrove dan sekaligus ancaman. Mangrove hanya bisa

berkembang jika ada suplai sedimen sebagai substrat pertumbuhan. Tetapi bila sedimentasi

bertambahnya sangat cepat maka laju perubahan semakin cepat dimana perubahan dari

ekosistem mangrove menjadi hutan dataran rendah lebih cepat dari terbentuknya mangrove

Page 139: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Kebijakan III - 29

BKSDA Papua II Sorong

baru. Jika ini berkembang terus maka luas kawasan hutan mangrove semakin kecil dan

keberadaan cagar alam ini menjadi terancam. Perubahan ekosistem ini akan menyebabkan

terjadinya kehilangan fungsi ekonomi kawasan sebagai spawning ground bagi ikan, kepiting,

udang yang merupakan sumber pencaharian masyarakat yang berdiam di dalam dan sekitar

Cagar Alam Teluk Bintuni

Pada sisi lain, pola transportasi ke dan dari Kabupaten umumnya menggunakan sungai.

Kondisi ini menyebabkan akses di dekat dan dalam kawasan sangat intens untuk

transportasi. Sungai Wasian (Sungai Steenkol) yang merupakan batas alam sebelah Timur

kawasan CATB, merupakan ”pintu gerbang” bagi masuknya kapal penumpang/barang dari

Sorong ataupun daerah lain. Melihat posisi muara sungai tersebut yang sangat dipengaruhi

oleh sungai-sungai yang berasal dari kawasan CATB (terutama Sungai Muturi) dimana

tingkat sedimentasinya sudah tinggi, maka berdasarkan pengamatan lapangan sedimentasi

di muara Sungai Wasian semakin mempersempit muaranya. Dengan kondisi demikian maka

bukan hal yang mustahil dimasa yang akan datang kapal-kapal tidak dapat lagi masuk ke

Sungai Wasian, sehingga dari perhubungan laut Kabupaten Teluk Bintuni akan terisolir. Hal

tersebut menunjukan bahwa peranan kawasan CATB sebagai daerah buffer bagi aliran

sungai yang bermuara di Teluk Bintuni cukup besar, sehingga hal yang sangat penting untuk

menjaga kelestarian kawasan CATB.

Teluk Bintuni terkenal sebagai daerah penghasil beberapa jenis hasil perikanan seperti ikan,

udang, kepiting (karaka) dan lain-lain. Hal ini ditunjukan dengan berdirinya perusahaan-

perusahaan perikanan, salah satunya yaitu PT. Bintuni Mina Raya yang berlokasi di Wimro

Distrik Babo. Selain itu banyak masyarakat yang tinggal di sekitar Teluk Bintuni atau

kawasan CATB yang bermatapencaharian sebagai nelayan. Kawasan CATB mayoritas

wilayahnya (lebih dari 90%) merupakan hutan mangrove (mangi-mangi) dengan luasan

seluruhnya 124.850 hektar, yang merupakan tempat mencari makan (feeding ground), tempat

memijah (spawning ground) dan tempat berkembang biak (nursery ground) bagi berbagai

jenis ikan, udang, kerang, dan bagi biota laut lainnya. Berdasarkan kondisi diatas

menunjukan bahwa kawasan CATB merupakan ”rumah/gudang” dari beberapa jenis hasil

perikanan, sehingga memiliki peranan yang cukup penting bagi keberlangsungan produksi

perikanan di Teluk Bintuni dan sekitarnya.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas menunjukan bahwa kawasan CATB perlu dijaga

kelestariannya, karena memiliki peranan yang cukup penting dalam menjaga fungsinya

sebagai buffer bagi aliran sungai yang masuk ke Teluk Bintuni serta sebagai ”rumah/gudang”

bagi berbagai jenis hasil perikanan agar Teluk Bintuni tetap menjadi daerah penghasil ikan.

Oleh karena itu dalam kebijakan pengembangan wilayah, diharapkan agar dapat

meminimalkan akses/pemanfaatan terhadap kawasan CATB agar kelestariannya dapat

terjaga.

Page 140: Bintuni Indonesian Screen
Page 141: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 1

BKSDA Papua II Sorong

IV. ANALISIS PERMASALAHAN

A. Pengelolaan dan Kebijaksanaan

Aspek pengelolaan menguraikan tentang tujuan pengelolaan, evaluasi kondisi pengelolaan,

dan input-input dalam rangka merumuskan strategi kebijaksanaan. Sedangkan aspek

kebijaksanaan menguraikan tentang perkembangan kebijakan yang ada dan digunakan

sebagai dasar untuk memenuhi fungsi kawasan beserta efektifitasnya. Pengelolaan dan

kebijaksanaan dalam analisis difokuskan kepada tujuan penyusunan Rencana Pengelolaan

Kawasan.

A.1 Permasalahan

A.1.1 Aspek Pengelolaan

Dalam pengelolaan suatu kawasan konservasi, permasalahan yang merupakan kelemahan

yang bersifat teknis dan atau non-teknis merupakan hal sering terjadi. Permasalahan ini juga

dijumpai di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Beberapa permasalahan dari aspek

pengelolaan yang berhasil teridentifikasi antara lain adalah :

1. Status Kawasan secara yuridis formal masih lemah

Status kawasan konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni sampai saat ini masih dalam status

hukum penunjukan dan belum penetapan. Disamping itu, tata ruang daerah juga belum resmi

ada. Kondisi ini secara hukum membuat kepastian kawasan menjadi sangat rawan karena ke

depan, proses perkembangan wilayah dan tekanan terhadap cagar alam cukup besar,

sementara status masih penunjukan. Jika pemerintah daerah membuat perda dalam tata

ruang yang mengurangi atau menghilangkan cagar alam, maka tidak ada alasan untuk

membatalkannya karena secara hukum, keberadaan kawasan masih dalam tahap

penunjukkan dan belum penetapan.

2. Kurangnya koordinasi Pengelola Cagar Alam dengan jajaran Pemerintah Daerah

Pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni masih sepenuhnya ditangani oleh institusi

yang berstatus instansi pusat dan wewenang kendali ada pada BKSDA Papua II Sorong dan

bukan di wilayah atau kawasan Cagar Alam. Kondisi ini sangat potensial menyebabkan

kegiatan pengelolaan belum bisa maksimal dan efektif. Informasi yang diperoleh dari

pengelola teknis Cagar Alam Teluk Bintuni menunjukan bahwa tanggung jawab pengelolaan

terkesan sepenuhnya berada di tangan KSDA Bintuni dan belum mendapat dukungan dari

pemerintah daerah, padahal pengelolaan dan pengawasan kawasan konservasi juga menjadi

Page 142: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 2

BKSDA Papua II Sorong

bagian tanggung jawab Pemerintah Daerah. Kondisi sebagai kabupaten baru juga menjadi

salah satu penyebab masalah ini muncul. Peranan institusi pengelola dalam mengikuti

mekanisme koordinasi dan birokrasi dengan Pemerintah Daerah (PEMDA) juga masih kurang

efektif. Ini bisa disebabkan karena adanya perbedaan struktur dan eselonisasi antara

pengelola dengan dinas di dalam Pemda. Hal ini di perparah lagi dengan birokrasi yang

panjang yang harus di tempuh oleh institusi pengelola di daerah dalam membuat kebijakan-

kebijakan yang menyangkut pengelolaan kawasan karena tanggungjawab dan kendali masih

ada di BKSDA Papua II yang berkedudukan di Sorong.

Selain dengan pemerintah daerah di

Kabupaten, koordinasi yang lemah juga

terlihat muncul dengan pemerintah propinsi.

Teluk Bintuni yang dulunya masih kecamatan

dan berinduk di Propinsi Papua mempunyai

kendala jarak. Akibatnya, koordinasi yang

lemah ini juga terlihat dari ditemukannya

pembangunan pemukiman masyarakat di

Anak Kasih oleh Dinas Sosial Propinsi Papua

dan lokasi ini berada di dalam kawasan cagar

alam. Seharusnya penempatan wilayah

pemukiman baru didasarkan kepada peta dan

tata ruang wilayah sehingga keberadaan kawasan konservasi dan batasnya bisa menjadi

pertimbangan pembangunan.

3. Peran institusi pengelola belum maksimal.

Institusi pengelola kawasan konservasi di daerah, dalam hal ini Balai Konservasi Sumberdaya

Alam (BKSDA) Papua II merupakan perpanjangan tangan institusi pusat (PHKA). Dalam

aktivitas kegiatannya, balai membawahi kegiatan pengelolaan kawasan di 14 Kabupaten,

seperti : Kabupaten Biak, Numfor, Serui, Waropen, Manokwari, Teluk Wondama, Teluk

Bintuni, Sorong, Sorong Selatan, Raja Ampat, Fak-fak, Kaimana, Mimika, dan kota Sorong.

Khusus untuk Wilayah Kabupaten Teluk Bintuni, institusi pengelola kawasan konservasi yang

ada adalah Resort KSDA Bintuni yang membawahi dua kawasan Cagar Alam, yaitu Cagar

Alam Wagura Kote dan Cagar Alam Teluk Bintuni. Bila dilihat dari kondisi geografis, luas

kawasan, beragamnya obyek yang harus dikelola, serta “rumitnya” mekanisme birokrasi yang

harus diikuti, tanggung jawab instansi ini terasa sangat berat dalam mencapai tujuan

pengelolaan kawasan. Keberadaan koordinasi yang berada di Sorong dan aksesibilitas serta

komunikasi ke wilayah Teluk Bintuni juga menjadi salah satu sebab kurang optimalnya peran

institusi pengelola.

Gambar IV-1. Pemukiman di Desa Anak Kasih yang dibangun Dinas Sosial Propinsi Papua

dan berada dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Page 143: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 3

BKSDA Papua II Sorong

4. Minimnya kapasitas dan jumlah sumberdaya pengelola.

Dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi di Kabupaten Teluk Bintuni, tanggung jawab

pengelolaan kawasan hanya ditangani oleh tiga orang personil yang terdiri dari 1 orang Kepala

Resort dan 2 orang tenaga Polisi Kehutanan. Hal ini tidak sebanding dengan luasan kawasan

Cagar Alam Teluk Bintuni, yaitu kurang lebih 124.850 ha dan Cagar Alam Wagura Kote, yaitu

kurang lebih 15.000 ha. Khusus untuk Cagar Alam Teluk Bintuni, pengelolaan dilakukan oleh

Kepala Ressort dan 3 orang Jagawana (Tabel IV-1).

Dari data personil

pengelola kawasan

pada Tabel di atas

tergambar bahwa

kapasitas pengelola

yang ada saat ini

masih kurang

memadai. Hal ini

terlihat dari kualifikasi dari pengelola yang semuanya tidak memiliki latar belakang pendidikan

kehutanan. Dengan kekuatan pengelola seperti ini, proses pencapaian tujuan pengelolaan

kawasan akan sangat jauh dari yang diharapkan.

5. Minimnya sarana dan prasarana penunjang.

Dalam kegiatan pengelolaan kawasan Cagar

Alam Teluk Bintuni, institusi pengelola saat ini

ditunjang oleh sarana dan prasarana yang

sangat minim. Berdasarkan hasil pengamatan

di lapangan dan informasi dari kepala Resort

KSDA Bintuni, sarana prasarana yang ada

masih jauh dari memadai. Kawasan cagar

alam dengan luas 125.000 Ha, dominan

kawasan mangrove dan kawasan sungai

hanya didukung prasarana pengelola yang

sangat minim yaitu satu motor, tanpa ada

longboat atau speedboat (Tabel IV-2).

Bila dilihat dari tugas dan tanggung jawab yang dituntut, sarana dan prasarana penunjang

yang ada sangat kurang. Hal ini sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan dari

pengelolaan kawasan. Pengawasan dan patroli yang efektif serta upaya untuk pembinaan dan

koordinasi dengan masyarakat yang ada di dalam dan sekitar kawasan sangat tidak

mendukung dengan sarana yang ada. Upaya penambahan sarana dan petugas menjadi

salah satu prioritas yang harus dilakukan agar aksesibilitas pengelola ke dalam kawasan dan

Gambar IV-2. Satu-satu sarana transportasi dalam menunjang kegiatan pengelolaan

kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Tabel IV-1. Kondisi personil pengelola kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sampai dengan Juli tahun 2005.

No. Status/Golongan/ Masa Kerja Kualifikasi Keterangan

1. PNS/III-a/22 tahun Sarjana Hukum Kepala Resort 2. PNS/II-b/6 tahun SLTA Jagawana 3. PNS/II-b/6 tahun SLTA Jagawana

Sumber: Resort KSDA Bintuni

Page 144: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 4

BKSDA Papua II Sorong

melakukan pembinaan masyarakat semakin baik. Pembinaan masyarakat akan meningkatkan

peran aktif masyarakat dalam pengelolaan cagar alam, khususnya pengawasan dan

perlindungan.

Tabel IV-2. Kondisi sarana dan prasarana pengelola kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sampai dengan Juli tahun 2005

No. Sarana dan Prasarana Jumlah (Unit) Kondisi Keterangan

1. Pondok kerja ukuran 36 M2 1 Sedang Perlu perbaikan

2. Motor Dinas 1 Buruk Perlu perbaikan

3. Mesin ketik 2 Rusak - Sumber: Resort KSDA Bintuni

6. Data dasar kawasan.

Informasi yang di peroleh dari pengelola kawasan menunjukkan bahwa kajian dan penelitian

telah banyak dilakukan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, namun hasil-hasilnya tidak

terdokumentasi dengan baik sebagai arsip yang ditinggalkan pada institusi pengelola baik di

BKSDA Papua II Sorong maupun di Ressort Bintuni. Hal ini juga diperkuat dari hasil

penelusuran data sekunder, dari data yang telah terdokumentasi yang bersumber dari

beberapa stakeholder seperti Perguruan Tinggi, LSM, BP Tangguh, dan Pemerintah Daerah,

ternyata informasi dasar kawasan masih belum memadai dalam menunjang kegiatan

pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Dari informasi kegiatan yang pernah dilakukan di kawasan Cagar Alam baik di dalam

Departemen Kehutanan maupun di luar kehutanan, hampir tidak dijumpai adanya data dan

laporan hasil kegiatan yang terdokumentasi di pengelola. Salah satu contoh adalah laporan

kegiatan tata batas kawasan. Kegiatan ini sudah dilakukan tahun 1999 tetapi peta hasil

pengukuran dan laporan kegiatannya tidak dijumpai sebagai dokumen di resort atau lokasi

cagar alam. Hal ini menjadi salah satu kelemahan sistem dokumentasi data tentang kawasan

dan secara tidak langsung juga akan mempengaruhi kinerja dari pengelola kawasan

7. Tidak tersedianya proporsi dana yang seimbang dengan luas kawasan.

Perubahan kebijakan keuangan untuk pengelolaan kawasan dimana sebelumnya bersumber

dari dana APBN, sekarang hanya menerima dana yang bersumber dari Dana Reboisasi.

Sumber dana ini hanya digunakan untuk membiayai kegiatan pengelolaan kawasan yang lebih

dikategorikan sebagai dana rutin seperti pengamanan kawasan, pembinaan kader, dan dana

pameran konservasi dan tidak dikhususkan untuk pembangunan kawasan.

Dalam pengelolaan kawasan konservasi, prinsip pencegahan selalu dipandang lebih baik

dibandingkan dengan rehabilitasi atau perbaikan. Akan tetapi prinsip ini belum terlaksana di

Page 145: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 5

BKSDA Papua II Sorong

dalam pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Kondisi hutan mangrove yang relatif

masih baik dan tekanan kerusakan yang belum besar diduga menjadi salah satu sebab

kurangnya perhatian dalam pengelolaan. Ini tergambar dari alokasi dana untuk Cagar Alam

Teluk Bintuni yang sangat kecil, padahal dari segi luas kawasan, Cagar Alam Teluk Bintuni

membutuhkan alokasi dana yang cukup besar dalam pengelolaannya, khusus dalam

pengawasan. Aksesibilitas yang dominan lewat air membutuhkan biaya patroli yang cukup

besar. Disamping itu, penyuluhan kepada masyarakat yang berada di dalam maupun di

sekitar kawasan juga sangat diperlukan agar pengelolaan kawasan bisa didukung oleh

masyarakat.

8. Minimnya perangkat lunak yang tersedia.

Pedoman dan petunjuk teknis bagi pengelolaan kawasan dan jenis yang merupakan

perangkat lunak dalam menunjang kegiatan pengelolaan kawasan masih belum tersedia di

Pondok Kerja Resort KSDA Bintuni. Padahal perangkat ini sangat diperlukan dalam

pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan. Hal ini menyebabkan kegiatan

pemberdayaan masyarakat sulit dilakukan dan diukur keberhasilannya. Disamping itu,

ketidaktersediaan buku saku pengelolaan dan pedoman koordinasi juga menyebabkan upaya

pengelolaan terbentur pada masalah legalitas kegiatan. Hal lain yang menjadi permasalahan

adalah pola pengelolaan dan pemberdayaan masyarakat di dalam kawasan dimana mereka

umumnya adalah masyarakat tradisional yang tidak terbiasa berurusan dengan kondisi yang

serba formal. Untuk itu sangat diperlukan adanya pedoman bagi pelaksana teknis pengelolaan

Cagar Alam.

9. Ketidakjelasan batas kawasan di lapangan.

Batas kawasan yang jelas akan membuat semua pemangku kepentingan memahami dan

menyadari keberadaan kawasan Cagar Alam. Batas yang tidak jelas dapat menyebabkan

terjadinya tumpang tindih penggunaan dan sangat potensial menjadi sumber konflik. Hasil

pengamatan di lapangan menunjukan bahwa batas kawasan berupa pal-pal batas tidak

ditemui lagi atau telah rusak dimakan usia. Menurut informasi dari Kepala Resort KSDA

Bintuni, pada tahun 1997 telah dilakukan penataan batas kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

oleh konsultan PT BASRICO CEMERLANG dan oleh Sub BIPHUT Manokwari pada tahun

1999.

Dalam pelaksanaan tata batas kawasan, pola pemetaan dan kegiatan partisipatif sangat

diperlukan. Ketidakjelasan batas kawasan dan kurangnya koordinasi dengan instansi terkait

mengakibatkan pada beberapa bagian kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni terjadi tumpang

tindih dengan peruntukan lain. Hal ini dapat dijumpai pada batas barat-laut kawasan dimana

dijumpai adanya tumpang tindih kawasan cagar alam dengan lahan usaha II untuk peserta

Page 146: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 6

BKSDA Papua II Sorong

transmigrasi nasional. Seharusnya dalam peta akhir tata batas, areal transmigrasi ini sudah

dikeluarkan dari areal cagar alam.

10. Kurangnya apresiasi masyarakat terhadap kawasan.

Apresiasi dan pemahaman masyarakat terhadap kawasan diukur dari bagaimana masyarakat

memperlakukan kawasan Cagar Alam. Baik buruknya apresiasi ini sangat ditentukan

pemahaman dan pengetahuan mereka. Di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni,

apresiasi ini terlihat masih kecil. Hal ini ditandai dengan adanya kegiatan yang berkaitan

dengan pembukaan lahan untuk pembuatan tempat penimbunan kayu, perladangan,

pemukiman, dan penebangan di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Dari wawancara

diketahui bahwa ini bisa terjadi karena kurangnya penyuluhan, penyebaran informasi dan

sosialisasi kawasan. Kondisi ini bisa dipahami mengingat adanya keterbatasan dari pengelola

teknis kawasan untuk bisa berkunjung ke desa-desa yang menggunakan transportasi melalui

air/sungai.

A.1.2 Aspek Kebijakan

Berdasarkan penjelasan dari institusi pengelola kawasan, sampai pada saat disusunnya

rencana pengelolaan kawasan ini relatif hampir tidak pernah ada kebijakan yang diambil oleh

pengelola teknis (resort) untuk memenuhi fungsi kawasan. Kegiatan yang pernah ada

hanyalah penataan kawasan berupa keterlibatan pengelola dalam kegiatan penataan batas

definitif bersama konsultan PT BASRICO CEMERLANG dan oleh Sub BIPHUT Manokwari

pada tahun 1999. Sejak itu tidak pernah ada kebijakan penataan sampai rencana ini disusun.

Selain itu, kegiatan pengawasan kawasan pernah dilakukan beberapa kali, namun itupun

hanya bersifat insidentil yang bersamaan dengan penelitian atau survei yang dilakukan oleh

beberapa LSM konservasi. Kegiatan pengawasan secara periodik tidak pernah ada di

kawasan. Penyebab utama adalah tidak tersedianya sarana untuk melakukan pengawasan

dari sungai dimana lebih dari 90% kawasan merupakan hutan mangrove sementara sarana

transportasi pengelola adalah motor.

A.2 Altenatif pemecahan masalah

Dari beberapa permasalahan pengelolaan kawasan tersebut di atas, diketahui bahwa

kelemahan-kelemahan yang muncul lebih banyak di pengaruhi oleh faktor internal. Apabila

kondisi ini dibiarkan akan dapat menjadi faktor penghambat dalam rangka mencapai tujuan

pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Beberapa alternatif pemecahan masalah

yang dapat diberikan sehubungan dengan kelemahan yang terjadi dalam pengelolaan

kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni disajikan pada Tabel IV-3.

Page 147: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 7

BKSDA Papua II Sorong

Tabel IV-3. Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap aspek pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Stakeholders Permasalahan Alternatif pemecahan masalah

Penanggung Jawab Pendukung

¶ Peningkatan status kawasan secara yuridis formal dan ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Alam

Ditjen PHKA dan BAPLAN

BKSDA Papua II dan Biphut

Status Kawasan secara yuridis formal masih lemah (Kawasan CATB berstatus penunjukan)

¶ Pengakuan Keberadaan Cagar Alam Teluk Bintuni secara legal formal oleh Pemerintah Daerah

PEMDA Teluk Bintuni dan BKSDA Papua II, Resort KSDA Bintuni

BKSDA Papua II, Resort KSDA Bintuni, LSM lokal dan NGO

Kurangnya koordinasi dengan jajaran Pemerintah Daerah.

¶ Peningkatan status pengelola kawasan.

Ditjen PHKA BKSDA Papua II

¶ Penambahan jumlah personil pengelola.

Ditjen PHKA BKSDA Papua II Belum maksimalnya peranan institusi pengelola dan minimnya kapasitas dan jumlah sumberdaya pengelola

¶ Meningkatkan kemampuan personil pengelola melalui berbagai kesempatan pendidikan dan latihan pengelolaan kawasan konservasi yang lebih profesional.

BKSDA Papua II Unipa Manokwari, Dirjen PHKA Jakarta, BP Tangguh Project

Minimnya sarana dan prasarana Penunjang

¶ Peningkatan mutu dan pemeliharaan sarana prasarana yang telah ada.

BKSDA Papua II BP Tangguh Project, PEMDA Teluk Bintuni

¶ Pembangunan sarana dan prasarana penunjang pengelolaan seperti pembangunan kantor resort, pondok kerja, pondok jaga, menara pengawas, dan pengadaan perahu motor.

BKSDA Papua II BP Tangguh Project, PEMDA Teluk Bintuni

Minim data dasar kawasan ¶ Inventarisasi potensi kawasan secara menyeluruh.

BKSDA Papua II Unipa Manokwari (koordinasi)

¶ Mempromosikan kegiatan penelitian dan kajian untuk menggambarkan kondisi kawasan, baik di bidang SOSEK, BIOLOGI, dan FISIK kawasan.

BKSDA Papua II Unipa Manokwari (koordinasi)

¶ Pengumpulan hasil-hasil penelitian dan pengembangan yang pernah dilakukan di kawasan melalui kerjasama dengan mitra lain seperti PT, LSM (lokal dan internasional), Lembaga Penelitian, Investor, dan Pemerintah Daerah.

BKSDA Papua II Unipa Manokwari , LSM, dan Lembaga Penelitian, BP Tangguh Project (koordinasi)

Tidak memadainya proporsi dana dengan luas kawasan

¶ Alokasi dana untuk kegiatan pengelolaan yang cukup memada melalui mekanisme skala prioritas.

Dirjen PHKA BKSDA Papua II

¶ Membangun kerjasama dengan stakeholder yang lain seperti LSM dan Pemerintah daerah melakukan kegiatan pengelolaan kawasan, sehingga beban yang harus ditanggung institusi pengelola menjadi lebih ringan.

BKSDA Papua II Unipa Manokwari , LSM, dan Lembaga Penelitian

Page 148: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 8

BKSDA Papua II Sorong

Stakeholders Permasalahan Alternatif pemecahan masalah

Penanggung Jawab Pendukung

Minimnya perangkat lunak ¶ Pembuatan pedoman pengelolaan kawasan dan jenis.

BKSDA Papua II BP Tangguh Project, Unipa Manokwari , LSM, dan Lembaga Penelitian (koordinasi)

¶ Penyederhanaan pedoman penegelolaan yang ada sehingga mudah dipahami masyarakat di dalam dan sekitar kawasan, terutama untuk kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan keikutsertaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan.

BKSDA Papua II BP Tangguh Project, Unipa Manokwari , LSM, dan Lembaga Penelitian (koordinasi)

Ketidakjelasn batas kawasan di lapangan.

¶ Pemeliharaan batas kawasan. BKSDA Papua II Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan

¶ Rekonstruksi batas kawasan bila dirasa perlu.

BKSDA Papua II, Biphut

Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan

Kurangnya apresiasi masyarakat terhadap kawasan.

¶ Meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya Cagar Alam Teluk Bintuni sebagai penyangga sistem kehidupan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan.

BKSDA Papua II Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan

Sumber: Analisis Data Survei Tim TNC, 2005.

B. Aspek Biologi Kawasan

Pemekaran Kawasan Teluk Bintuni menjadi Kabupaten Teluk Bintuni membawa beberapa

konsekuensi logis seperti pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi dan bertambahnya

kebutuhan lahan baru untuk berbagai keperluan seperti perumahan, jalan, jembatan,

dermaga, dan infrastruktur lainnya. Hal ini dapat memicu semakin meningkatnya tekanan

terhadap sumberdaya alam hayati dan ekosistem yang ada di daerah ini, termasuk ekosistem

penyusun kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Meningkatnya tekanan ini dapat mengancam

keberadaan dan kelangsungan ekosistem dan sumberdayanya, baik secara langsung seperti

konversi lahan maupun tidak langsung, misalnya pencemaran oleh limbah kegiatan

pembangunan.

B.1 Permasalahan

B.1.1 Ekosistem

Kawasan CagarAlam Teluk Bintuni tersusun oleh dua ekosistem utama, yaitu ekosistem hutan

mangrove sebagai penyusun utama kawasan dan hutan hujan dataran rendah. Kedua

ekosistem penyusun kawasan ini adalah ekosistem alami dan sebagian besar masih

Page 149: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 9

BKSDA Papua II Sorong

terpelihara dengan baik, kecuali beberapa bagian ekosistem hutan hujan dataran rendah dan

sebagian kecil hutan mangrove telah mengalami gangguan/tekanan akibat faktor manusia

seperti pembukaan lahan untuk pemukiman, tempat penimbunan kayu (logyard), penebangan

liar, perladangan, serta lahan usaha untuk peserta transmigrasi nasional, dan sebagai akibat

gejala alam seperti erosi tepi dan angin.

Ekosistem Hutan Hujan Dataran Rendah

Hasil pengamatan di lapangan mengindikasikan bahwa permasalahan dan ancaman utama

terhadap keberadaan ekosistem hutan hujan dataran rendah di kawasan CATB adalah

degradasi ekosistem yang merupakan akibat dari beberapa aktivitas manusia seperti disajikan

pada Tabel IV-4.

Tabel IV-4. Permasalahan sekaligus ancaman terhadap keberadaan ekosistem hutan hujan dataran rendah di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni tahun 2005

Permasalahan Stakeholder/penyebab Keterangan

Degradasi ekosistem

Pembukaan lahan untuk tempat penimbunan kayu (logyard) oleh HPH dan Kopermas.

Ada yang dilakukan sebelum tata batas definitif kawasan

Penebangan liar (illegal logging) Pelaku kegiatan ini belum bisa di justifikasi dan memerlukan pengamatan yang lebih seksama.

Perladangan (cultivated land) Terutama dilakukan oleh masyarakat yang bermukim di dalam kawasan

Pemukiman penduduk Memanfaatkan bekas logyard dan ada yang dibuka jauh sebelum ditunjuk sebagai kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Sumber: Survei Tim TNC, 2005.

Tabel IV-4 mengindikasikan bahwa ekosistem hutan dataran rendah sedang menghadapi dua

permasalahan utama, yaitu degradasi ekosistem dan tumpah tindih kawasan. Hasil

pengamatan di lapangan mengindikasikan bahwa beberapa bagian ekosistem ini, baik yang

berada di pulau mangrove maupun di batas Timur, Utara, dan Barat Laut kawasan CATB

sebagian telah mengalami kemunduran. Kemunduran yang terjadi pada ekosistem ini

sebagian besar disebabkan oleh adanya intervensi manusia seperti pembukaan lahan untuk

tempat penimbunan kayu (logyard) oleh beberapa HPH dan KOPERMAS yang beroperasi di

sekitar kawasan, pembuatan kebun masyarakat, serta untuk keperluan pemukiman penduduk

lokal. Selain itu, pada beberapa bagian ekosistem ini telah terjadi penebangan, terutama

pohon-pohon jenis komersil seperti merbau dan matoa. Temuan di lapangan menunjukan

Page 150: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 10

BKSDA Papua II Sorong

terdapat beberapa tempat penimbunan kayu (logyard) yang terdapat dalam pada ekosistem

hutan dataran rendah di kawasan Cagar Alam (Tabel IV-5).

Tabel IV-5. Tempat Penimbunan Kayu (TPK)/ Logyard yang menempati ekosistem hutan dataran rendah dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sampai dengan Tahun 2005.

Letak Logyard Dibuka oleh

Lokasi GPSKeterangan

Logyard II PT.Henrison Iriana

S.Tirasai S 20 03’ 13.9’’ E 1330 51’ 38.2”

Dibuat sebelum adanya tata batas kawasan dan Masih digunakan oleh Kopermas dan HPH PT Manokwari Lestari.

Logyard III

PT Yotefa Sarana Timber

S. Ausoi S 20 06’ 04.4’’ E 1330 40’ 13.4”

Dibuat sebelum adanya tata batas kawasan dan masih digunakan oleh Kopermas.

Logyard IV

PT Yotefa Sarana Timber

S. Muturi S 20 06’ 25.5’’ E 1330 43’ 49.6”

Dibuat sebelum adanya tata batas kawasan dan masih digunakan oleh PT Yotefa Sarana Timber dan Kopermas.

Logyard Anakkasih

Kopermas S. Tikamari/ Anak Kasih

S 20 03’ 04.1’’ E 1330 56’ 05.5’’

Dibuat sesudah adanya tata batas kawasan dan digunakan sebagai areal pemukiman K. Anak Kasih.

Logyard Sumberi

Kopermas S. Sumberi S 20 02’ 39.4’’ E133 55.02.3”

Dibuat sesudah adanya tata batas kawasan dan masih digunakan oleh Kopermas.

Logyard Sp V

Kopermas S. Sigirau S 20 07’.18.3” E1330 37’.86.5”

Dibuat sesudah adanya tata batas kawasan sementara non aktif.

Logyard V Kopermas S. Awarepi S 20 09’ 30.56’’ E1330 34’ 47.2”

Dibuat sesudah adanya tata batas kawasan dan sudah tidak digunakan tapi sekarang diupayakan untuk dijadikan Dermaga Fery (ASDP).

Logyard SP IV

Kopermas S. Ausoi S 20 06’.36.9” E1330 40’.57.8”

Dibuat sesudah adanya tata batas kawasan dan sudah tidak digunakan

Sumber: Survei Tim TNC, 2005.

Tabel IV-5 menunjukan bahwa di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang secara

hukum merupakan daerah konservasi terdapat aktivitas pembukaan lahan untuk keperluan

pembuatan logyard yang jumlahnya dapat mengancam keberadaan eksositem yang ada,

khususnya ekosistem hutan dataran rendah. Tempat-tempat tersebut setelah digunakan oleh

pemegang HPH dan Kopermas belum dilakukan rehabilitasi. Bahkan terdapat beberapa

logyard yang sudah tidak digunakan oleh pemegang HPH masih digunakan oleh KOPERMAS

untuk tempat penimbunan kayu sebelum dilakukan pemuatan ke tongkang.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, informasi dari pengelola kawasan dan

masyarakat yang bermukim di areal tersebut, pembukaan lahan untuk keperluan logyard

Page 151: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 11

BKSDA Papua II Sorong

tersebut terjadi sebelum dan sesudah kegiatan tata batas kawasan. Logyard yang dibuka

sebelum adanya tata batas kawasan sebagian besar dilakukan oleh pemegang HPH yang

arealnya berbatasan dengan kawasan CATB. Namun setelah adanya tata batas kawasan,

areal tersebut tidak direhabilitasi bahkan digunakan kembali oleh sebagian Kopermas yang

beroperasi di sekitar wilayah Cagar Alam Teluk Bintuni. Sedangkan logyard yang dibangun

setelah adanya tata batas kawasan semuanya dibuka oleh Kopermas. Pembukaan lahan ini

dimungkinkan karena letak areal penebangan HPH/Kopermas yang langsung berbatasan

dengan ekosistem hutan dataran rendah Cagar Alam Teluk Bintuni. Selain itu, untuk keperluan

pengangkutan kayu bulat/gergajian para pemegang HPH dan Kopermas “tidak memiliki”

alternatif lain dan lebih banyak memilih alternatif melalui sungai-sungai yang ada dalam Cagar

Alam Teluk Bintuni, sehingga pembuatan tempat penimbunan kayu (logyard) di tepi-tepi

sungai yang ada dalam kawasan CATB tidak bisa terhindarkan.

Kegiatan perladangan/berkebun juga merupakan faktor yang memberi andil terhadap

kemunduran eksositem hutan dataran rendah. Hasil pengamatan di lapangan, beberapa

bagian ekosistem ini telah dibuka untuk keperluan pembuatan kebun masyarakat, seperti yang

dilakukan oleh masyarakat lokal yang yang

bermukim di kampung Mamuranu dan Anak

Kasih yang ada dalam kawasan CATB.

Kegiatan perladangan/membuka kebun ini

lebih banyak dilakukan oleh masyarakat

yang bermukim dalam dalam kawasan.

Lokasi kebun masyarakat pada ekosistem

ini lebih banyak terdapat pada beberapa

pulau mengrove baik berbentuk hamparan

pegunungan rendah maupun bukit-bukit

kecil seperti Pulau Mangrove Maniai,

Nusuama, Kamai, dan Pulau Modan. Cara

Gambar IV-4. Kebun masyarakat lokal yang bermukim di Kampung Mamuranu di kawasan

CATB

Gambar IV-3. Pembukaan lahan hutan dataran rendah dan sebagian hutan mangrove sebagai logyard di S. Sumberi di kawasan CATB

Page 152: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 12

BKSDA Papua II Sorong

berkebun yang digunakan adalah sistem tebas bakar (slashed and burned system) dan telah

berlangsung lama dan turun-temurun dari generasi ke generasi. Pola pembukaan lahan atau

kebun masyarakat secara umum mempunyai beberapa tahapan sebagai berikut:

a. Pembersihan lantai hutan, yaitu menebas semak belukar, menebang pohon-pohon tingkat

pancang dan tiang;

b. Menebang pohon-pohon besar yang ada dalam lahan, kemudian dibiarkan beberapa

waktu tertentu agar bekas tebangan mengering;

c. Setelah kering, bekas tebangan berupa ranting dan semak belukar dikumpulkan pada

suatu tempat dalam kebun dan atau di pinggiran kebun, kemudian dibakar;

d. Penanaman sesuai jenis yang akan diusahakan.

Lahan tersebut umumnya diusahakan selama 1 – 2 tahun (3 – 4 kali panen), kemudian

mereka akan berpindah ke lahan yang baru. Waktu (masa bera) yang diperlukan untuk

mengusahakan kembali bekas kebun yang ditinggalkan adalah 3-5 tahun. Luas lahan yang

diusahakan bervariasi antara 0,2 – 1,0 ha tiap kepala keluarga.

Pembukaan lahan untuk keperluan pemukiman

pada kawasan dan sekitar kawasan yang

dijumpai ada beberapa pola, seperti (i)

memanfaatakan bekas logyard yang

ditinggalkan oleh Kopermas seperti Kampung

Anak Kasih, (ii) pembukaan lahan pemukiman

oleh pemegang HPH dalam kawasan, seperti

Kampung Tirasai yang dibangun oleh PT

Henrison Iriana, (iii) serta pemukiman yang

dibuka oleh masyarakat sendiri seperti

Kampung Mamuranu. Pembukaan lahan untuk

pemukiman, seperti juga pada kegiatan

pembukaan lahan untuk logyard, ada yang di lakukan sebelum tata batas kawasan, yaitu

Kampung Tirasai dan sesudah tata batas kawasan, yaitu Kampung Anak Kasih. Khusus untuk

pemukiman masyarakat Kampung Mamuranu yang berada dalam kawasan CATB,

keberadaanya sudah ada sejak kawasan ini belum ditunjuk sebagai kawasan Cagar Alam.

Pada beberapa bagian kawasan CATB, terutama pada bagian sebelah utara yang langsung

berbatasan dengan beberapa areal konsesi HPH dan Kopermas, kawasan CATB telah

mengalami sedikit tekanan/gangguan oleh adanya penebangan. Informasi yang diperoleh dari

pengelola kawasan CATB, kegiatan ini dilakukan sebelum adanya tata batas kawasan atau

karena “ketidakjelasan” batas kawasan di lapangan.

Gambar IV-5. Salah satu logyard yang memanfaatkan sebagian ekosistem

mangrove di S. Tirasai di Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Page 153: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 13

BKSDA Papua II Sorong

Kemunduran ekosistem hutan dataran rendah yang disebabkan oleh beberpa hal tersebut di

atas akan membawa beberapa konsekuensi terganggunya fungsi ekosistem tersebut sebagai

salah satu penyusun kawasan CATB. Beberapa hal yang lebih jauh dapat ditimbulkan

sebagai akibat kemunduran eksositem ini antara lain:

1. Perubahan iklim mikro (suhu, kelembaban dan intensitas cahaya) dapat mempengaruhi

pertumbuhan permudaan alam pada ekosistem ini.

2. Perubahan struktur hutan yang bisa mengakibatkan terganggunya habitat yang

merupakan tempat berkembangbiak jenis-jenis satwa.

3. Terinvasinya areal-areal bekas kebun masyarakat dengan jenis-jenis tumbuhan pionir

seperti Macaranga (Macaranga mappa dan M. Tanarius) yang menggantikan jenis asli

seperti Matoa (Pometia spp.), Merbau (Intsia spp.), dan jenis-jenis dari famili

Dipterocarpaceae.

4. Masuknya jenis-jenis luar (introduksi) yang bisa menjadi sumber pembawa hama dan

penyakit.

Dengan melihat kondisi permasalahan dan lebih jauh yang dapat terjadi di ekosistem ini, maka

perlindungan, pelestarian, dan rehabilitasi menjadi suatu hal yang mendesak di lakukan

dalam rencana pengelolaan kawasan ke depan.

Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan komunitas alami dan

pertumbuhannya masih terlihat cukup baik. Ekosistem mangrove ini terlihat cukup dinamik

yang diindikasikan oleh pertambahan luasan di beberapa bagian dan pengurangan luasan di

bagian lain yang terjadi secara alami. Ekosistem mangrove di Cagar Alam Teluk Bintuni

paling luas dan paling sedikit mendapat gangguan di kawasan Asia Pasifik dan perlu

mendapat perhatian (Ruitenbeek, 1992). Hasil pengamatan lapangan mengidentifikasi bahwa

permasalahan utama yang dihadapi ekosistem ini adalah degradasi lahan yang disebabkan

oleh aktivitas manusia (Tabel IV-6).

Penyebab utama kemunduran ekosistem ini secara langsung adalah akibat pembukaan lahan

untuk pembuatan logyard dan pemukiman penduduk, aktivitas pengangkutan kayu oleh HPH

dan Kopermas yang memanfaatkan sungai, pemanfaatan oleh penduduk setempat, serta

akibat faktor alam seperti erosi tepi sungai dan angin. Secara tidak langsung, ekosistem ini

juga terancam degradasi sebagai akibat dari dari pengusahaan hutan yang dilakukan di

bagian atas (upland) kawasan yang tidak memperhatikan kelestarian dan keberlanjutan.

Page 154: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 14

BKSDA Papua II Sorong

Tabel IV-6. Permasalahan sekaligus ancaman dan penyebabnya terhadap keberadaan ekosistem mangrove di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni tahun 2005

Permasalahan Penyebab Keterangan

Degradasi ekosistem

¶ Pembukaan lahan (land clearing) untuk tempat penimbunan kayu (logyard) HPH dan Kopermas.

Ada yang dilakukan sebelum tata batas definitif kawasan

¶ Aktivitas pengangkutan kayu oleh HPH dan Kopermas

Penggunaan tongkang dalam pengangkutan kayu di sungai.

¶ Pemukiman dan perumahan penduduk.

Memanfaatkan bekas logyard dan ada yang dibuka jauh sebelum ditunjuk sebagai kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

¶ Pemanfaatan pohon mangrove oleh penduduk lokal.

Untuk keperluan kayu bakar, tiang rumah, dan tiang belo.

¶ Erosi tepi sungai, abrasi pantai, dan angin.

Karena gejala alam dan aktivitas manusia

¶ Perubahan masukan dari ekosistem air tawar dan sedimentasi yang sangat besar

Pengusahaan hutan daerah atas (upland/ hinterland) yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan.

Sumber: Analisis Data Survei Tim TNC, 2005.

Seperti yang terjadi pada ekosistem hutan dataran rendah, kasus yang yang sama juga

terjadi pada ekosistem ini namun pada skala luasan yang lebih kecil. Hasil pengamatan di

lapangan menunjukan bahwa sebagian kecil luasan hutan mangrove ikut dibuka dalam

pembukaan lahan untuk keperluan tempat penimbunan kayu (logyard), terutama pada bagian

pinggiran sungai. Pembukaan lahan untuk keperluan logyard tersebut terjadi sebelum

kegiatan dan sesudah kegiatan tata batas kawasan. Logyard yang dibuka sebelum adanya

tata batas kawasan sebagian besar

dilakukan oleh pemegang HPH yang

arealnya berbatasan dengan kawasan

CATB. Namun setelah adanya tata batas

kawasan, areal tersebut tidak direhabilitasi

bahkan sebagian besar masih digunakan

oleh HPH maupun Kopermas yang

beroperasi di sekitar wilayah Cagar Alam

Teluk Bintuni. Sedangkan logyard yang

dibangun setelah adanya tata batas

kawasan semuanya dibuka oleh

Kopermas.

Gambar IV-6. Bentuk gangguan ekosistem mangrove yang diakibatkan oleh tongkang

pengangkut kayu log di S. Tirasai di Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

Page 155: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 15

BKSDA Papua II Sorong

Pada beberapa bagian ekosistem ini juga dijumpai kerusakan/gangguan dalam skala kecil

sebagai akibat dari kegiatan pengangkutan kayu oleh oleh HPH dan Kopermas yang

memanfaatkan beberapa sungai di kawasan Cagar Alam. Kegiatan ini biasanya

menggunakan sarana Tug Boat dan Tongkang. Hasil pengamatan di lapangan dan

wawancara dengan penduduk lokal bahwa beberapa bagian hutan mangrove yang tumbuh di

tepi-tepi sungai di kawasan ada yang tumbang atau patah yang disebabkan oleh lalu lintas

Tongkang dalam mengangkut kayu dari logyard menuju ke perairan Teluk.

Tekanan terhadap keberadaan hutan mangrove juga datang dari pemanfaatan vegetasi

mangrove oleh masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan. Hasil pengamatan

di lapangan menunjukan bahwa pemanfaatan hutan mangrove di Kawasan Cagar Alam Teluk

Bintuni hanya terbatas pada pemanfaatan hutan mangrove dalam skala tradisional/subsistem

(traditional uses) untuk keperluan rumah tangga seperti kayu bakar, perkakas, bahan

bangunan rumah, serta untuk keperluan tiang-tiang pagar dalam kegiatan mencari ikan

(fishing) yang dalam istilah lokal disebut “tiang belo”. Namun menurut informasi dari pengelola

kawasan bahwa pada beberapa bagian kawasan, terutama pada batas sebelah barat laut di

pinggiran Sungai Wasian, pemanfaatan vegetasi mangrove sudah berkembang untuk

keperluan kayu bakar dan bahan bangunan,

sehingga masyarakat sudah mulai

melakukan penebangan pohon mangrove

dari jenis Bruguiera sp. Hal ini

dimungkinkan karena hutan mangrove pada

batas Barat Laut kawasan posisinya sangat

dekat dengan pemukiman sehingga

aksesibilitas sangat mudah. Seiring dengan

berkembangnya Kabupaten Teluk Bintuni

dimana salah satu konsekuensi laju

pertambahan penduduk yang semakin

cepat, aktivitas ini dapat mengancam

keberadaan ekosistem pada beberapa

waktu ke depan.

Degradasi ekosistem mangrove di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, selain diakibatkan oleh

faktor manusia, juga tidak jarang diakibatkan oleh faktor alam seperti erosi tepi sungai dan

angin. Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa kejadian ini paling banyak terjadi

pada ekosistem mangrove yang tumbuh di pinggiran pada daerah dekat muara sungai-sungai

besar seperti Sungai Wasian, S. Muturi, S. Bokor, S. Tatawori, dan S. Naramasa. Dari data

iklim yang diperoleh, terutama kecepatan angin, pada bulan-bulan tertentu, yaitu periode Juni

– Agustus yang merupakan musim monson tenggara biasanya bertiup angin tenggara yang

cukup kencang dengan kecepatan lebih dari 90 km/jam. Sedangkan pada periode Desember

Gambar IV-7. Kerusakan hutan mangrove akibat erosi tepi dekat muara sungai Wasian di

kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. .

Page 156: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 16

BKSDA Papua II Sorong

- Pebruari yang merupakan musim monson barat-laut, kecepatan angin kadang mencapai

lebih dari 30 km/jam. Kondisi ini menyebabkan perairan di sungai-sungai besar tersebut

bergelombang yang sering menghantam pinggiran sungai yang ditumbuhi vegetasi mangrove

sehingga terjadi “abrasi”. Tiupan angin kencang tersebut juga menyebabkan robohnya

pohon-pohon mangrove di beberapa bagian kawasan. Dari studi yang dilakukan oleh Tim

TNC (2003) diketahui bahwa luasan mangrove Pulau Karaka yang menurut peta Citra Satelit

Lansat tahun 1989 adalah 15,19 hektar telah berkurang luasnya menjadi 6,81 hektar

berdasarkan peta Citra Satelit Lansat tahun 2002. Hilangnya sebagian luasan hutan

mangrove di daerah ini diduga lebih banyak disebabkan oleh “abrasi” pantai.

Hal lain yang yang menjadi ancaman terhadap degradasi yang dihadapi ekosistem ini adalah

dampak yang akan ditimbulkan oleh perubahan masukan (input) dari ekosistem air tawar.

Perubahan masukan ini dapat berupa meningkatnya aliran permukaan (run-off) dan

berkurangnya masukan unsur hara (nutrient) yang terjadi secara simultan. Secara alami

masukan air tawar dari atas ekosistem mangrove sangat diperlukan sebagai salah satu

sumber unsur hara (nutrient) selain air hujan untuk pertumbuhan. Pada saat masukan yang

diterima lebih banyak berasal dari aliran permukaan (runoff), secara kuantitatif jumlah input air

tawar meningkat namun secara kualitatif berupa kandungan bahan organik menurun. Hal ini

karena yang terangkut oleh runoff adalah berupa material kasar yang berasal dari lapisan

tanah yang lebih dalam dan bukan merupakan bahan halus berupa humus sebagai hasil

dekomposisi yang terjadi di lantai hutan di atasnya. Material ini hanya akan tertumpuk di

ekosistem ini dalam bentuk delta-delta di kelokan sungai maupun di daerah muara. Apabila

hal ini berlangsung dalam waktu lama, akan berakibat pada pertumbuhan vegetasi mangrove

menjadi terhambat (Lugo and Snedaker, 1974). Hasil penelitian Lugo dan Clintron (1975)

mengatakan bahwa hutan mangrove dengan komposisi pohon-pohon yang tinggi sangat

rentan terhadap kerusakan bila berkembang pada kondisi aliran permukaan yang tinggi.

Hasil pengamatan di lapangan mengindikasikan bahwa masukan air tawar yang masuk ke

dalam eksosistem mangrove lebih banyak merupakan aliran permukaan. Menurut informasi

penduduk setempat, pada saat musim hujan, sungai-sungai yang bermuara di kawasan

Cagar Alam Teluk Bintuni sering meluap (banjir) dengan warna air berubah menjadi coklat-

keruh. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi ekosistem daerah atas (upland) telah

mengalami gangguan. Adanya beberapa HPH, Kopermas, dan pemukiman di daerah atas

diduga sebagai penyebab meningkatnya aliran permukaan yang masuk ke kawasan.

Berdasarkan data iklim yang ada, kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitar setiap tahun

mendapat rata-rata curah hujan yang tinggi, yaitu lebih dari 3000 mm, dimana pada bulan-

bulan tertentu seperti bulan Pebruari, Nopember, dan Desember curah hujan bulanannya

cukup tinggi. Kondisi ini membuat daerah kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitarnya

sangat rentan terhadap erosi/aliran permukaan bila tidak dikelola berdasarkan asas

kelestarian.

Page 157: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 17

BKSDA Papua II Sorong

Implikasi negatif terhadap keberadaan ekosistem mangrove sebagai dampak dari beberapa

permasalahan tersebut di atas adalah terganggunya fungsi ekologis penting dari ekosistem ini

seperti peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur

dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan, penghasil sejumlah besar

detritus (daun dan dahan pohon mangrove yang rontok), daerah asuhan (nursery ground),

daerah mencari makanan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground)

bermacam biota perairan,

B.1.2 Flora dan Fauna

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang cukup

tinggi. Flora di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan suatu mosaik yang terdiri dari

dua tipe vegetasi utama, yaitu hutan mangrove dan hutan hujan dataran rendah. Pada habitat

tersebut tumbuh berbagai spesies tumbuhan, baik spesies tumbuhan yang memiliki nilai

ekonomis maupun spesies kunci (key species). Kondisi fisiografi kawasan Cagar Alam Teluk

Bintuni dan ketersediaan sumber daya seperti pakan, air, tempat berlindung, serta tempat

berkembang biak yang sesuai dengan

kehidupan fauna juga sangat mendukung

kehadiran satwa liar baik dari jenis avifauna,

mamalia, reptil dan amfibi serta jenis

avertebrata.

Dari sejumlah jenis satwa yang ada di

kawasan, beberapa di antaranya merupakan

spesies endemik dan jenis-jenis yang

keberadaannya di alam sudah dilindungi

undang-undang nasional maupun

international. Bahkan beberapa diantara

satwa yang ada, keberadaanya di alam

sudah masuk dalam kategori terancam punah. Permasalahan utama yang dihadapi oleh

kompoen flora dan fauna di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni adalah berkurangnya jenis-

jenis flora asli, penurunan populasi beberapa jenis satwa liar, dan minimnya data dasar

tentang flora dan fauna di kawasan.

1. Terancamnya habitat flora setempat

Hal ini merupakan dampak dari degradasi ekosistem sebagai akibat kegiatan manusia seperti

pembukaan lahan untuk pembuatan logyard dan kebun masyarakat. Ini sangat terlihat nyata

pada ekosistem hutan dataran rendah yang letaknya berbatasan langsung dengan areal hutan

produksi, pemukiman dan kebun penduduk. Dari segi ekologi, kegiatan ini sangat

berpengaruh terhadap kemampuan regenerasi permudaan dari jenis-jenis asli yang pada

Gambar IV-8. Terinvasinya hutan bekas perladangan oleh jenis pionir di K. Mamurana,

CATB.

Page 158: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 18

BKSDA Papua II Sorong

umumnya merupakan jenis-jenis yang tahan naungan (toleran). Regenerasi jenis-jenis ini,

terutama pada fase kecambah, semai, dan pancang sangat peka terhadap perubahan iklim

mikro dan naungan. Perubahan iklim mikro dan naungan dapat menekan pertumbuhan jenis-

jenis ini. Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa pada beberapa bekas lahan yang

dibuka untuk tujuan tersebut di atas, hutan sekunder yang terbentuk didominasi jenis-jenis

pionir seperti makaranga (Macaranga mappa dan Macaranga tanarius ) dan sirih hutan (Piper

sp.).

2. Penurunan populasi dan keanekaragaman jenis satwa.

Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa penurunan populasi dan keanekaragaman

jenis satwa diduga diakibatkan oleh degradasi ekosistem dan perburuan yang berlebihan

(overhunting) baik yang dilakukan oleh masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar

kawasan maupun pendatang dari luar kota Bintuni.

Penurunan populasi satwa, khususnya biota perairan diduga juga disebabkan adanya isu

penggunaan racun serangga (agriculture pesticide) dalam penangkapan hasil laut.

Berkurangnya keanekaragaman jenis satwa

di kawasan juga diduga disebabkan oleh

aktivitas beberapa industri kehutanan yang

memanfaatkan sungai-sungai di dalam

kawasan Cagar Alam sebagai sarana

transportasi seperti kapal penarik (tug boat).

Terganggunya beberapa bagian ekosistem

kawasan akibat kegiatan manusia

membawa implikasi pada perubahan

struktur dan komposisi vegetasi. Hal ini

mengakibatkan menurunnya kualitas habitat

yang sangat berpengaruh terhadap

kehidupan satwa liar yang menghuni

beberapa tipe ekosistem di kawasan. Burung Mambruk (Goura cristata), Kasuari kerdil

(Casuarius benetti), dan cenderawasih minor (Paradisaea minor) misalnya, menurut informasi

penduduk yang bermukim di K. Tirasai, Anak Kasih, Sumberi, Mamuranu, dan Naramasa

bahwa dalam kurun waktu lebih 10 tahun yang lalu, jenis-jenis burung ini masih bisa dijumpai

di sekitar kampung dan masih mudah bagi mereka untuk menangkap jenis-jenis satwa ini.

Akan tetapi saat ini, keberadaannya jenis-jenis satwa tersebut sangat jarang dijumpai sekitar

kampung. Hal ini diduga karena jenis satwa ini sangat rentan terhadap gangguan habitat yang

sekaligus tempat berkembang biak jenis-jenis satwa ini. Untuk berkembang, jenis-jenis

cenderawasih seperti cenderawasih minor (Paradisea minor) dan cenderawasih indah (Ptiloris

magnificus), secara khusus, membutuhkan habitat berupa hutan dengan karakter tajuk yang

Gambar IV-9. Jenis burung mambruk (Gouracristata) yang telah dilindung undang-undang

yang populasinya terancam

Page 159: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 19

BKSDA Papua II Sorong

cukup Iebat, utuh (belum mengalami

kerusakan) dengan vegetasi pepohonan

besar yang tumbuh rapat dan tajuknya

terdiri atas tiga strata. Hal yang sama juga

terjadi pada beberapa satwa mamalia

seperti rusa (Cervus timorensis), babi hutan

(Sus scrofa), Kangguru pohon

(Dendrolagus ursinus), kuskus bertotol

(Spilocuscus maculatus), dan kuskus

kelabu (Phalanger orientalis), serta jenis

reptil seperti buaya muara (Crocodylus

porosus) dan biawak (Varanus sp.).

Habitat jenis-jenis satwa tersebut telah

terdesak sebagai akibat aktivitas manusia.

Selain isu degradasi ekosistem, faktor

perburuan liar juga diduga memberi andil

terhadap menurunnya populasi beberapa

jenis satwa di kawasan Cagar Alam Teluk

Bintuni. Berdasarkan hasil pengamatan di

lapangan, informasi dari pengelola

kawasan, serta informasi dari masyarakat

setempat bahwa perburuan satwa liar,

seperti rusa dan babi hutan, diketahui

bahwa ada tiga pemangku kepentingan

utama yang terlibat dalam perburuan satwa

liar di kawasan CA, yaitu oknum aparat

keamanan, masyarakat lokal, dan

pedagang satwa (trader/middlemen). Pada

awalnya, perburuan satwa dilakukan oleh

masyarakat setempat untuk keperluan

sendiri (subsisten), namun seiring dengan

meningkatnya jumlah penduduk,

permintaan akan daging buruan meningkat

pula. Bahkan hasil buruan yang telah

diproses menjadi dendeng merupakan

barang oleh-oleh (souvenir) yang biasa

dicari tamu-tamu yang datang ke Bintuni.

Hal ini mengakibatkan jumlah satwa yang

Gambar IV-11. Jenis kuskus bertotol (Spilocuscus maculatus) yang telah dilindung

undang-undang yang sudah jarang dijumpai di hutan dataran rendah Cagar Alam Teluk Bintuni.

Gambar IV-12. Jenis satwa buaya muara (Crocodylus porosus) yang telah dilindung

undang-undang populasinya menurun akibat perburuan liar di Cagar Alam Teluk Bintuni.

Gambar IV-10. Jenis burung kasuari kerdil (casuarius benetti) yang telah dilindung undang-

undang yang populasinya terancam

Page 160: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 20

BKSDA Papua II Sorong

diburu semakin meningkat pula. Metode perburuan yang dilakukan adalah dengan

menggunakan lampu senter dan tombak, pemasangan jerat (perangkap), dan kadang-kadang

menggunakan senjata (melibatkan oknum petugas keamanan).

Menurunnya populasi satwa yang sering diburu oleh pihak tersebut dapat dilihat dari trend

hasil buruan yang diperoleh masyarakat di dalam dan sekitar kawasan yang semakin turun.

Hasil dari pertemuan kampung (village meeting) yang dilakukan di beberapa kampung seperti

K. Tirasai, Anak Kasih, Mamuranu, Yensei, Yakati dan Kampung Naramasa tergambar bahwa

kecenderungan (trend) hasil buruan dan tangkapan masyarakat menurun tajam dalam

sepuluh tahun terakhir. Hasil buruan rusa dan babi misalnya, pada sepuluh tahun yang lalu

masyarakat yang berburu hanya dengan menggunakan peralatan tradisional seperti lampu

senter dan tombak dengan lokasi tempat berburu yang tidak terlalu jauh dari kampung

mereka, dapat menghasilkan sampai 10 ekor rusa atau babi hutan. Namun saat ini hanya

bisa membawa pulang satu atau dua ekor dan tidak jarang pulang tanpa hasil buruan. Lokasi

buruan pun semakin jauh dari kampung mereka. Kecenderungan yang sama juga terjadi

pada hasil tangkapan satwa perairan seperti ikan, udang, dan siput.

Kondisi fisiografis serta ketersediaan pakan yang cukup membuat kawasan Cagar Alam Teluk

Bintuni merupakan habitat yang cocok bagi tempat berkembang biaknya buaya muara

Crocodylus porosus. Hasil survei yang dilakukan oleh WWF-IUCN-PHPA pada tahun 1985

dan FAO-PHPA pada tahun 1988 ternyata populasi buaya di kawasan Teluk Bintuni menurun

tajam. Penyebab utama menurunnya populasi buaya ini adalah karena perburuan terhadap

buaya besar dan buaya kecil serta pengambilan telur yang kurang terkendali, yang merupakan

salah satu mata pencaharian pokok penduduk setempat.

Disamping isu penurunan populasi, keanekaragaman fauna di kawasan juga diduga

mengalami pengurangan. Hal ini terlihat nyata pada jenis satwa burung yang banyak

menempati habitat mangrove dan hutan dataran rendah. Menurut hasil survei yang dilakukan

Zuwendra dkk. (1991) sedikitnya teramati 95 jenis burung di kawasan Cagar Alam Teluk

Bintuni dan sekitarnya. Namun selama survei lapangan yang dilakukan hanya berhasil

tercatat kurang lebih 26 jenis burung. Dari jumlah tersebut, keberadaan beberapa beberapa

jenis di antaranya diperoleh berdasarkan informasi dari penduduk yang bermukim di dalam

kawasan. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa keanekaragaman jenis, khususnya jenis

avifauna di kawasan mengalami penurunan yang signifikan selama 10 tahun terakhir.

Selain menurunnya kualitas habitat akibat degradasi ekosistem, hal lain yang memberi andil

menurunnya keanekaragaman jenis satwa di kawasan adalah aktivitas pengusahaan hutan

yang menggunakan alat-alat mekanik yang menimbulkan kebisingan, khususnya penggunaan

kapal penarik (tug boat) yang memanfaatkan beberapa sungai-sungai dalam kawasan.

Kebisingan ini diduga mengakibatkan jenis-jenis satwa tertentu, terutama burung, bermigrasi

ke tempat yang lebih “aman”.

Page 161: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 21

BKSDA Papua II Sorong

3. Kurangnya Data Dasar.

Permasalahan lain yang dihadapi kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, khususnya aspek flora

dan fauna yang menempati ekosistem kawasan, adalah minimnya data flora dan fauna yang

tersedia. Pengelola hampir tidak memiliki data dasar tentang flora dan fauna sehingga

pengelolaan tidak pernah didasarkan kepada informasi data. Kurangnya data dasar flora dan

fauna kawasan Cagar Alam terutama disebabkan karena studi atau kegiatan penelitian

tentang keberadaan fauna di kawasan masih sangat jarang. Padahal ketersediaan data dasar

yang memadai, terutama data kuantitatif suatu kawasan konservasi merupakan salah satu

faktor penting dalam proses pengelolaan kawasan. Beberapa aspek flora kawasan yang

dirasa belum memadai adalah daftar (check list) jenis-jenis, potensi, serta penyebaran flora di

kawasan. Berdasarkan informasi-informasi tersebut, dapat diketahui jenis-jenis flora yang

merupakan spesies kunci dan spesies yang dilindungi yang sangat menunjang dalam kegiatan

pengelolaan kawasan.

Kondisi minimnya data dasar selain terjadi pada komponen flora kawasan juga terjadi pada

komponen fauna. Penelusuran data sekunder yang dilakukan menunjukan bahwa informasi

tentang keanekaragaman, dinamika populasi, dan penyebaran fauna di kawasan masih

kurang memadai dalam mendukung kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Ketersedian informasi tersebut sangat penting guna menjawab dua pertanyaan umum yang

sering muncul dan di hadapi para pengelola kawasan konservasi seperti juga kawasan Cagar

Alam Teluk Bintuni, yaitu:

1. Komunitas spesies apa yang terdapat dalam kawasan konservasi, dimana dan berapa

jumlahnya?

2. Bagaimana kecenderungan (trend) atau dinamika populasi dari waktu ke waktu?

B.2 Altenatif pemecahan masalah

Permasalahan biologi kawasan yang lebih banyak di pengaruhi oleh faktor eksternal apabila

dibiarkan akan menjadi faktor pemnghambat dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan

kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Oleh karena itu sesegera mungkin dicarikan alternatif

pemecahan masalahnya (Tabel IV-7, Tabel IV-8, Tabel IV-9).

Page 162: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 22

BKSDA Papua II Sorong

Tabel IV-7. Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap keberadaan ekosistem hutan mangrove dan nipah di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Stakeholders Permasalahan Penyebab Alternatif pemecahan

masalahPenanggungjawab Pendukung

Degradasi ekosistem

¶ Pembukaan lahan (land clearing) untuk tempat penimbunan kayu (logyard) HPH dan Kopermas.

¶ Rehabilitasiekosistem dengan jenis-jenis yang sesuai dengan kualitas tempat tumbuh.

Dinas Kehutanan Kabupaten Teluk Bintuni.

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni (Koordinasi).

¶ Aktivitas pengangkutan kayu oleh HPH dan Kopermas.

¶ Larangan pembukaan lahan.

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni

Dinas Pertania Kabupaten Teluk Bintuni (Koordinasi)

¶ Pemukiman dan perumahanpenduduk.

¶ Relokasi Logyard ke luar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni bila memungkinkan.

Dinas Kehutanan Kabupaten Teluk Bintuni

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni (Koordinasi)

¶ Pemanfaatan pohon mangrove oleh penduduk lokal.

¶ Penataan kawasan dalam bentuk pembagian blok ekosistem kedalam 2 blok, yaitu blok inti dan blok “pemanfaatan”.

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni

Kelompok Masyarakat Pemanfaat

¶ Erosi tepi sungai, abrasi pantai, dan angin.

¶ Minimalisasi kegiatanpenebangan di daerah atas (upland) kawasan.

Dinas Kehutanan Kabupaten Teluk Bintuni

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni (Koordinasi)

¶ Perubahan masukan dari ekosistem air tawar.

¶ Penebangan liar (illegal logging).

¶ Penindakan secara tegas dengan pemberlakuan hukum yang berlaku untuk menghentikan kegiatan tersebut.

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni

Polres Teluk Bintuni (Koordinasi)

¶ Perladangan (cultivated land)

¶ Monitoring dan kontrol secara kontinyu terhadap luasan logyard yang sudah ada sehingga tidak ada penambahan luasan areal logyard.

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni

Dinas Pertania Kabupaten Teluk Bintuni (Koordinasi)

¶ Pemasangan tanda larangan menebang di kawasan.

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni

Kelompok Masyarakat bermukim di dalam - sekitar kawasan

¶ Pembinaan dan penerangan tentang pentingnya kawasan.

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni

Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitarkawasan

Page 163: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 23

BKSDA Papua II Sorong

Stakeholders Permasalahan Penyebab Alternatif pemecahan

masalahPenanggungjawab Pendukung

¶ Mengikut sertakan masyarakat dalam perlindungan dan pengawasan kawasan.

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni

Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitarkawasan

¶ Pembinaan terhadap peladang di dalam kawasan melalui penerapan teknologi pemanfaatan lahan minimal dengan tetapmemperhatikan kebutuhan.

Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Teluk Bintuni

¶ BKSDA Papua II c.q ResortKSDA Bintuni (Koordinasi)

¶ Kelompok Masyarakat pemanfaat.

¶ Anjuran penggunaan spesies lokal bukan introduksi.

Dinas Pertanian Kab. Teluk Bintuni (Koordinasi).

¶ Kelompok Masyarakat pemanfaat.

¶ BKSDA Papua II c.q ResortKSDA Bintuni

Sumber: Analisis Data Survei Tim TNC, 2005.

Tabel IV-8. Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap keberadaan ekosistem hutan dataran rendah di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Stakeholders Permasalahan Penyebab Alternatif pemecahan

masalahPenanggungjawab Pendukung

Degradasi ekosistem

1. Rehabilitasiekosistem dengan jenis-jenis asli yang sesuai dengan kualitas tempat tumbuh yang ada.

Dinas Kehutanan Kabupaten Teluk Bintuni.

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni (Koordinasi).

1. Pembukaan lahan untuk tempatpenimbunan kayu (logyard) oleh HPH dan Kopermas. 2. Penindakan secara

tegas dengan pemberlakuan hukum yang berlaku untuk menghentikan kegiatan tersebut.

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni .

Polres Teluk Bintuni (Koordinasi)

3. Monitoring dan kontrol secara kontinyu terhadap luasan logyard yang sudah ada sehingga tidak ada penambahan luasan areal logyard.

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni .

Dinas Kehutanan Kabupaten Teluk Bintuni (Koordinasi).

Page 164: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 24

BKSDA Papua II Sorong

Stakeholders Permasalahan Penyebab Alternatif pemecahan

masalahPenanggungjawab Pendukung

4. Pemindahan logyard ke lokasi di luar kawasan.

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni .

Dinas Kehutanan Kabupaten Teluk Bintuni (Koordinasi).

2. Penebangan liar (illegal logging)

1. Pemasangan tanda larangan menebang di kawasan.

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni

Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan

2. Penegakan hukum. BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni .

Polres Teluk Bintuni (Koordinasi)

3. Penyadaran tentang pentingnya kawasan.

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni

Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan

4. Mengikutsertakan masyarakat dalam perlindungan dan pengawasan kawasan.

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni

Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan

3. Perladangan (cultivatedland)

1. Pembinaan terhadap peladang di dalam kawasan melalui penerapan teknologi pemanfaatan lahan minimal dengan tetap memperhatikan kebutuhan.

Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Teluk Bintuni

1. BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni (Koordinasi).

2. Kelompok Masyarakat pemanfaat.

2. Anjuran penggunaan spesies lokal bukan introduksi.

Dinas Pertanian Kab. Teluk Bintuni (Koordinasi).

1. Kelompok Masyarakat pemanfaat.

1. BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni

4. Pemukiman penduduk

Pembinaan dan penerangan tentang pentingnya kawasan.

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni

Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan

Sumber: Analisis Data Survei Tim TNC, 2005.

Tabel IV-9. Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap flora dan fauna di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Stakeholders Permasalahan Penyebab Alternatif pemecahan

masalah Penanggungjawab Pendukung

Berkurangnya jenis-jenis flora asli

Degradasi habitat

1. Rehabilitasi ekosistem dengan jenis-jenis yang sesuai dengan kualitas tempat tumbuh.

Dinas Kehutanan Kabupaten Teluk Bintuni.

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni (Koordinasi).

2. Penegakan hukum yang berlaku untuk menghentikan kegiatan yang mengakibatkan kemunduruan habitat.

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni .

Polres Teluk Bintuni (Koordinasi)

Page 165: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 25

BKSDA Papua II Sorong

Stakeholders Permasalahan Penyebab Alternatif pemecahan

masalah Penanggungjawab Pendukung

3. Relokasi Logyard ke luar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni bila memungkinkan.

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni .

Dinas Kehutanan Kabupaten Teluk Bintuni (Koordinasi).

4. Penyuluhan dan penerangan tentang penting keutuhan ekosistem sebagai habitat satwa dan keberadaannya di kawasan.

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni .

Dinas Kehutanan Kabupaten Teluk Bintuni (Koordinasi).

Penurunan Populasi satwa

Perburuan liar/ berlebihan

1. Larangan perburuan satwa liar bagi masyarakat yang bukan pemilik hak ulayat dan tidak tinggal dan menetap di dalam dan sekitar kawasan.

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni

Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan

2. Pembatasan perburuan satwa oleh masyarakat yang pemilik hak ulayat dan menetap di dalam dan sekitar kawasan hanya untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga.

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni

Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan

3. Larangan perburuan terhadap satwa yang dilindungi dan masuk dalam kategori terancam.

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni

Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan

Penggunaan Racun

Larangan keras menggunakan bahan kimia dalam penangkapan hasil perikanan.

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni

Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan

Perubahan Keanekaragaman jenis satwa

Penggunaan alat-alatmekanik oleh HPH dan Kopermas

1. Minimalisasi penggunaan peralatan mekanik dengan tingkat kebisingan yang tinggi di dalam kawasan CA..

Dinas Kehutanan Kabupaten Teluk Bintuni.

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni (Koordinasi).

2. Pemetaan tempat-tempat penting bagi perkembangan satwa liar seperti tempat pemijahan biota perairan, tempat perkawinan burung, dan tempat bertelur buaya dan burung.

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni

Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan

3. Pemberdayaan masyarakat misalnya penangkaran buaya dan keramba apung di sungai.

Dinas Kelautan dan Perikanan Teluk Bintuni

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni . Mitra Pesisir Teluk Bintuni

4. Pengaturan pemanfaat-an sumberdaya di kawasan, (sistem “sasi”)

Dinas Kelautan dan Perikanan Teluk Bintuni

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni .

Page 166: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 26

BKSDA Papua II Sorong

Stakeholders Permasalahan Penyebab Alternatif pemecahan

masalah Penanggungjawab Pendukung

Kurangnya data dasar

Minimnya studi/penelitian dan monitoring flora dan fauna di kawasan

Penelitian dan monitoring yang intensif terhadap keberadaan flora dan fauna kawasan.

Universitas Negeri Papua Manokwari

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni . Dinas Kelautan dan Perikanan Teluk Bintuni Mitra Pesisir Teluk Bintuni

Sumber: Analisis Data Survei Tim TNC, 2005.

C. Aspek Sosial dan Ekonomi dan Budaya

Rencana pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) dapat dilaksanakan secara efisien

dan efektif apabila dalam proses perencanaannya memperhatikan semua aspek termasuk

aspek sosial ekonomi dan budaya.

C.1 Permasalahan

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dan merupakan permasalahan dari aspek sosial

ekonomi dan budaya dalam rangka rencana pengelolaan kawasan CATB, yaitu

pengembangan partisipasi masyarakat, Pola Pemanfaatan Sumberdaya Alam, dan

Pengembangan Pendidikan dan Penelitian.

C.1.1 Rendahnya Partisipasi Masyarakat

Partisipasi merupakan suatu istilah yang diartikan sebagai upaya untuk menunjukan

keikutsertaan individu/kelompok dalam suatu kegiatan, yang bila dikaitkan dengan

pembangunan maka akan merupakan upaya peran serta dalam pembangunan.

Koentjaraningrat (1980) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat, terutama masyarakat

pedesaan dapat dibagi kedalam dua tipe, yaitu : (1) Partisipasi dalam aktivitas-aktivitas

bersama dalam proyek pembangunan khusus; dan (2) Partisipasi sebagai individu di luar

aktivitas bersama.

Dari pendapat Kontjaraningrat tersebut terdapat dua sumber munculnya partisipasi

masyarakat, yaitu partisipasi masyarakat karena dorongan atau motivasi dari luar dan

partisipasi karena keinginan dari diri manusia itu sendiri. Berdasarkan kondisi sosial ekonomi

masyarakat sekitar kawasan CATB, partisipasi masyarakat yang perlu dilakukan, yaitu harus

adanya dorongan atau motivasi dari luar dalam hal ini bisa di inisiasi oleh BKSDA Papua II cq

Resort Bintuni atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Lembaga swadaya masyarakat

yang sudah melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan di sekitar kawasan CATB

diantaranya yaitu LSM Mitra Pesisir. Kegiatan yang sedang dilakukan sekarang adalah

Page 167: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 27

BKSDA Papua II Sorong

menyusunan rencana strategis (Renstra) Pengelolaan Kawasan Pesisir Kabupaten Teluk

Bintuni. LSM tersebut dapat dijadikan sebagai mitra dalam rangka mengembangkan

partisipasi masyarakat.

Hasil pengamatan di lapangan serta infromasi dari pengelola kawasan bahwa partisipasi

masyarakat di dalam dan sekitar kawasan yang sangat diperlukan dalam rangka rencana

pengelolaan kawasan CATB masih rendah. Hal ini diduga karena tingkat pengetahuan serta

pemahaman tentang fungsi kawasan cagar alam sebagai penyanggah sistem kehidupan

masih rendah. Hal ini terbukti dengan adanya tumpang tindih kawasan dengan lahan usaha II

transmigrasi (Waraitama dan Banjar Ausoy) dengan luas total 360 hektar serta adanya

pembangunan 54 rumah di Kampung Anak Kasih, serta beberapa kegiatan ilegal seperti

perburuan dan pembukaan lahan untuk perladangan dan logyard di dalam kawasan.

Penyebabnya diduga karena kurangnya kegiatan sosialisasi tentang fungsi kawasan CATB.

Kemungkinan besar terjadi karena minimnya media dan sarana informasi mengenai

keberadaan Cagar Alam dan pelestarian alam.

C.1.2. Pola Pemanfaatan Sumberdaya Alam

Secara turun temurun, masyarakat lokal yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan Cagar

Alam Teluk Bintuni telah berinteraksi dengan kawasan dalam bentuk memanfaatkan

sumberdaya alam baik flora maupun fauna yang ada dalam kawasan. Sumberdaya alam

yang banyak dimanfaatkan antara lain, yaitu untuk fauna adalah berbagai jenis ikan, udang,

kepiting (karaka), buaya, rusa,babi serta berbagai jenis burung. Sedangkan flora, yaitu nipah

dan tanaman mangrove serta sagu (di sekitar Yensei dan Yakati). Kegiatan pemanfaatan

tersebut telah terjadi sejak jaman dahulu dan menjadi warisan bagi generasi sekarang.

Hasil pengamatan di lapangan dan wawancara dengan masyarakat menunjukan bahwa

kecenderungan (trend) produksi, khususnya sumber daya alam fauna baik berupa hasil

tangkapan maupun buruan menurun dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat yang bermata pencaharian sebagai

nelayan misalnya, hasil tangkapan dibandingkan dengan 3-5 tahun lalu sudah semakin

menurun. “Dulu kita kalo mencari bisa bawa pulang 2 sampai 3 ember, sekarang hanya

dapat setengah sampe 1 ember”, ungkap beberapa penduduk lokal yang biasa melakukan

aktivitas penangkapan hasil laut di beberapa kampung yang dikunjungi. Selain itu daerah

tangkapan sudah semakin jauh, dimana dahulu hanya 15 sampai 30 menit dari

perkampungan, sekarang sudah memerlukan waktu 1 jam lebih bahkan sampai ke sekitar

Teluk Bintuni.

Hal yang sama juga terjadi pada kegiatan perburuan satwa liar seperti rusa, babi hutan, dan

satwa burung. Informasi dari masyarakat menunjukan bahwa berburu satwa liar seperti

disebutkan di atas sudah semakin sulit. Sepuluh tahun lalu satwa rusa banyak terlihat di

Page 168: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 28

BKSDA Papua II Sorong

sekitar perkampungan, seperti Kampung Mamuranu dan Tirasai. Kondisi saat ini sudah sangat

jauh berbeda, dimana kegiatan perburuan tidak lagi di sekitar kampung atau hutan mangrove,

akan tetapi kearah pegunungan di luar kawasan CATB.

Sedangkan untuk masyarakat yang memanfaatkan batang mangrove, daun nipah serta sagu,

pada umumnya hanya untuk dikonsumsi/penggunaan sendiri dengan jumlah yang cukup

sedikit. Batang mangrove yang kecil biasanya diambil untuk kayu bakar, sedangkan yang

besar untuk tiang rumah. Daun nipah diambil untuk membuat atap rumah, sedangkan sagu

untuk konsumsi sehari-hari (di Yensei dan Yakati) .

Berdasarkan kondisi diatas, dapat dilihat bahwa ketergantungan masyarakat terutama yang

bermatapencaharian sebagai nelayan, berburu dan menokok sagu terhadap sumberdaya alam

baik fauna maupun flora di dalam kawasan CATB cukup tinggi. Dengan melihat trend hasil

tangkapan yang semakin menurun maka dapat diprediksikan jumlah populasi fauna yang ada

di dalam kawasan CATB semakin menurun. Salah satu faktor penyebab kecenderungan

(trend) produksi ini adalah pola pemanfaatan yang tidak begitu memperhatikan aspek

kelestarian hasil. Hasil pengamatan di lapangan, berhasil diidentifikasi beberapa pola

pemanfaatan sumber daya alam, khususnya fauna yang diduga menjadi faktor penyebab

produksi tangkapan dan buruan sebagai berikut:

1. Penggunakan akar bore (tuba) dan indikasi penggunaan racun serangga (insektisida).

Penggunaan akar bore ini dilakukan pada saat “pele kali” yang membuat ikan-ikan tersebut

mabuk sehingga mudah diambil. Menurut informasi beberapa nelayan dari beberapa

kampung (desa) di sekitar CATB, pengaruh dari akar bore tersebut cepat hilang (2-3 hari) di

lokasi tersebut, serta yang terpengaruh hanya ikan. Dampak dari penggunaan jenis racun ini

terhadap populasi biota laut seperti ikan memang tidak langsung terlihat seketika, apalagi bila

penggunaannya hanya dalam jumlah yang sedikit. Tetapi bila digunakan terus menerus, akan

terjadi akumulasi dan dapat mengancam perkembangbiakan biota perairan, namun hal ini

perlu pengkajian yang lebih dalam.

Berdasarkan informasi dari pengelola kawasan dan beberapa nelayan lokal, terdapat indikasi

penggunaan bahan kimia pembasmi hama (insektisida) jenis Dhesis 2,5 dan Apoda dalam

kegiatan penangkapan hasil laut, terutama ikan. Padahal jenis bahan kimia tersebut dapat

mengakibatkan ikan-ikan mati serta fauna atau flora lain pun ikut mati. Hal tersebut yang saat

ini menjadi permasalahan, dimana kualitas air semakin menurun (tercemar) karena

penggunaan obat kimia tersebut yang dapat berakibat buruk terhadap kesinambungan hasil.

2. Penggunaan pukat harimau (trawl) oleh Kapal Penangkap udang.

Kondisi lain yang menyebabkan semakin menurunnya jenis dan jumlah perikanan di dalam

CATB yaitu mulai tahun 1988 sampai dengan Februari 2005, terdapat beberapa perusahaan

Page 169: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 29

BKSDA Papua II Sorong

penangkapan udang salah satunya, yaitu PT. Bintuni Mina Raya yang berlokasi di Wimro.

Saat ini perusahaan tersebut menghentikan operasi penangkapan untuk sementara waktu,

dengan alasan perubahan manajemen. Seharusnya daerah penangkapan perusahaan

tersebut berada di perairan Teluk Bintuni, akan tetapi kenyataannya perusahaan tersebut

menangkap udang masuk sampai ke sungai-sungai di dalam Cagar Alam Teluk Bintuni, yaitu

Sungai Muturi, Bokor dan Naramasa. Dengan menggunakan jaring pukat harimau (trawler)

dan kapal cukup besar, perusahaan tersebut menangkap semua hasil perikanan yang ada,

akan tetapi karena perusahaan tersebut hanya mengambil udang saja, maka ikan (terutama

yang kecil) yang tertangkap di buang begitu saja.

Berdasarkan kondisi diatas, maka penangkapan hasil perikanan yang tidak ramah lingkungan

merupakan masalah yang sangat penting dan harus segera dicarikan penyelesaiannya agar

kelestarian CATB dapat dijaga, sehingga fungsinya sebagai tempat mencari makan (feeding

ground), tempat memijah (spawning ground) dan tempat berkembang biak (nursery ground)

bagi berbagai jenis ikan, udang, kerang, dan bagi biota laut lainnya dapat lestari.

C.2 Alternatif Pemecahan Masalah

Agar masyarakat sekitar kawasan CATB

serta pihak-pihak yang berkepentingan lain

ikut terlibat secara aktif berpartisipasi dalam

perencanaan, pelaksanaan, serta

pengawasan kawasan CATB, maka sebagai

langkah awal perlu dilakukan proses

pembelajaran bagi semua pihak baik melalui

sosialisasi, pengadaan media informasi

tentang pelestarian alam serta berbagai

aktivitas lainnya yang dapat meningkatkan

pengetahuan dan pemahamannya.

Sebagai alternatif pemecahan masalah

rendahnya partisipasi masyarakat dan adanya

pemanfaatan sumberdaya alam di dalam

kawasan CATB yang tidak ramah lingkungan

dapat dilakukan berupa:

1. Peningkatan partisipasi masyarakat

(melibatkan masyarakat dalam setiap

kegiatan pengelolaan) serta penyuluhan

yang intensif kepada masyarakat yang

ada didalam dan sekitar kawasan CATB

Gambar IV-13. Diskusi Bersama Masyarakat K. Korano Jaya dan K. Yensei dalam Rangka Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan

Cagar Alam Teluk Bintuni

Page 170: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 30

BKSDA Papua II Sorong

2. Adanya pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan CATB yang ramah

lingkungan

Masyarakat sekitar kawasan CATB, terkelompokan dalam beberapa kampung. Hal ini dapat

dijadikan dasar sebagai awal partisipasi mereka berdasarkan kampung (desa). Setiap

kampung memiliki aparat serta pada umumnya berkelompok menurut asal/sukunya masing-

masing. Pada setiap kampung dibangun pengetahuan dan pemahaman tentang cagar alam

dan pelestarian alam lalu dibentuk semacam kelompok kerja (Pokja) yang anggotanya dipilih

oleh mereka sendiri. Setelah masing-masing kampung (desa) memiliki Pokja, maka

selanjutnya dilakukan adanya pertemuan antar Pokja dari masing-masing kampung untuk

dibangun pemahaman bersama tentang pelestarian alam serta merumuskan rencana kerja

yang akan dilakukan. Setelah itu dilakukan pertemuan dengan aparat pemerintah untuk

mensinkronkan dengan rencana pembangunan pemerintah.

Sebagai langkah awal dalam meningkatkan partisipasi masyarakat, dalam penyusunan

rencana pengelolaan Kawasan CATB telah dilakukan diskusi di 14 kampung yang berada

didalam, bersinggungan dan diluar kawasan. Diskusi tersebut dirancang sedemikian rupa

sehingga masyarakat yang ikut dalam diskusi tersebut terlibat aktif dan peneliti hanya

berfungsi sebagai fasilitator. Beberapa isu strategis dari hasil diskusi disetiap kampung

tersebut diantaranya yaitu masalah sosialisasi kawasan, pemanfaatan sumberdaya alam

(flora dan fauna) serta harapan masyarakat untuk ikut terus terlibat dalam setiap kegiatan di

Kawasan CATB.

Sebagai contoh nyata partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan CATB, yaitu dalam

hal tata batas (ulang) dan pengamanan kawasan. Pada kegiatan tata batas, pelaksana

melakukan penatabatasan melibatkan masyarakat sekitar kawasan (mengetahui, ikut dalam

proses tata batas dan menyetujui batas). Proses tata batas yang dilakukan disekitar suatu

kampung, maka Pokja disekitar kampung tersebut yang akan ikut aktif terlibat. Demikian juga

dalam pengamanan kawasan, akan lebih efisien dan efektif apabila pengamanan dilakukan

Gambar IV-14. Kegiatan Lokakarya Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni 1 dan 2 Juni 2005 untuk menyamakan persepsi semua stakeholder terhadap kawasan.

Page 171: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 31

BKSDA Papua II Sorong

oleh seluruh masyarakat (Pokja) yang ada di sekitar kawasan CATB, dimana sebelumnya

telah terbentuk kesepakatan mengenai keharusan menjaga wilayah kampung (desa) masing-

masing terutama yang masuk kedalam kawasan CATB dari usaha-usaha yang dapat merusak

kelestariannya.

Diskusi disetiap kampung tersebut, ditindaklanjuti dengan mengadakan Lokakarya

Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan CATB pada tanggal 1 dan 2 Juni 2005 untuk

menyamakan persepsi semua stakeholder terhadap kawasan. Pada hari pertama lokakarya

diadakan pertemuan khusus untuk masyarakat dan pada hari kedua dilakukan pertemuan

dengan semua stakeholder. Sebagai langkah awal untuk melakukan ”Pengaturan

pemanfaatan sumberadaya alan didalam kawasan CATB”, pada pertemuan hari pertama

dihasilkannya ”Kesepakatan Masyarakat” yang ditandatangani oleh perwakilan dari 14

kampung, bagaimana mengelola kawasan CATB secara bersama-sama. Butir-butir

kesepakatan tersebut antara lain :

Dalam pemanfaatan sumberdaya alam di dalam Kawasan CATB, siapapun boleh mencari

makan didalam kawasan tanpa memandang suku/marga/batas-batas wilayah adat asalkan

mematuhi aturan kesepakatan yang sudah dibuat. Kegiatan yang ”Boleh” dilakukan antara

lain adalah:

1. Kami dapat melakukan penangkapan hasil-hasil perikanan seperti ikan, udang,

karaka, siput atau bia dan hasil laut lainnya

2. Kami dapat berkebun dan mendapat bantuan bimbingan teknis dari dinas terkait

(Untuk Masyarakat di dalam kawasan)

3. Kami dapat melakukan pemanfaatan kayu mangi-mangi untuk kayu bakar sendiri

(bukan untuk dijual) dan kegiatan menangkap ikan ”pele kali”

4. Kami dapat berburu hewan atau satwa liar seperti buaya, rusa, babi hutan dan burung

5. Kami boleh menangkap ikan dengan dengan menggunakan ”akar bore” dan jaring

Kegiatan yang ”Tidak Boleh” dilakukan didalam kawasan CATB antara lain:

1. Tidak boleh menggunakan obat (bahan kimia) dalam menangkap ikan, udang dll

2. Tidak boleh menebang mangi-mangi atau bakar dari cagar alam dalam skala besar

untuk keperluan usaha kayu atau tambak atau lainnya

3. Tidak boleh menebang kayu di hutan tanah kering atau gunung didalam cagar alam

4. Tidak membolehkan kapal-kapal yang berlayar di sungai untuk membuang sampah

atau limbah minyak atau bahan kimia ke sungai

5. Tidak boleh kapal besar atau kapal udang atau kapal pukat harimau untuk beroperasi

di dalam kawasan cagar alam

Page 172: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 32

BKSDA Papua II Sorong

6. Tidak boleh ada eksplorasi bahan tambang di dalam kawasan cagar alam Teluk

Bintuni

Untuk mendukung pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, masyarakat akan

mendukung berupa :

1. Kami akan melaporkan pelanggaran kesepakatan yang terjadi kepada pengelola

Cagar Alam Teluk Bintuni

2. Kami akan menangkap langsung pelanggaran aturan yang sudah disepakati bersama

3. Pembentukan kelompok kerja disetiap kampung yang ada di dalam dan sekitar

kawasan yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan rencana kegiatan pengelolaan

Masyarakat juga berharap pemerintah daerah turut mendukung kegiatan pengelolaan cagar

alam. Untuk itu masyarakat mengharapkan pemerintah melakukan hal-hal :

1. Membuat peraturan daerah mengenai cagar alam

2. Melakukan pembinaan dan penyuluhan serta pendampingan yang terus menerus

kepada masyarakat di dalam dan sekitar cagar alam, khusus untuk peningkatan

ekonomi masyarakat

3. Kami meminta pemerintah daerah memberikan perhatian lebih besar pada pendidikan

masyarakat.

Butir-butir ”Kesepakatan Masyarakat” tersebut merupakan suatu upaya untuk ”mengatur

pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan CATB”, serta perlu ditanggapi secara bijak

oleh pihak pengelolaa (BKSDA Papua II Sorong cq. Resort Bintuni) karena hal tersebut

merupakan aspirasi/harapan dan niat dari masyarakat sekitar kawasan CATB untuk ikut aktif

dalam melestarikan kawasan tetapi tanpa melupakan kebutuhan hidup masyarakat sehari-

hari. Karena kita sadari bersama bahwa peranan masyarakat sekitar terhadap kelestarian

kawasan CATb sangat besar.

Masyarakat mengharapkan masih bisa memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di dalam

kawasan terutama hasil perikanan, dan satwa liar serta mangrove secara terbatas untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya (ekonomi). Pemanfaatan ini tetap diimbangi dengan adanya

larangan menggunakan bahan kimia dalam menangkap ikan, menebang mangrove untuk

industri atau tambak serta pelarangan kapal trawl/pukat harimau masuk kedalam kawasan

CATB. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat berkeinginan untuk tetap menjaga kelestaraian

kawasan CATB. Akan tetapi hal tersebut perlu didukung oleh sosialisasi dan penyuluhan yang

baik dengan tetap memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat. Karena bukan hal yang tidak

mungkin suatu saat nanti akan datang investor yang menawarkan sejumlah uang untuk

membuka usaha (tambak dll) didalam kawasan dengan memanfaatkan ”masyarakat adat”

yang mayoritas kurang mampu secara ekonomi. Apabila kondisi sosial ekonomi masyarakat

Page 173: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 33

BKSDA Papua II Sorong

tetap menjadi perhatian, maka masyarakat sekitar kawasan CATB diharapkan tidak akan

mudah tergoda oleh para pengusaha yang hanya melihat keuntungan ekonomi saja.

Dengan alternatif pemecahan masalah yaitu berupa peningkatan peran serta masyarakat,

sosialisasi serta adanya pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam didalam kawasan CATB,

maka diharapkan kawasan CATB dapat dijaga kelestariannya dan masyarakat sekitar bisa

meningkatkan taraf kehidupannya secara sosial dan ekonomi.

Berikut adalah rangkuman permasalahan dan alternatif pemecahan masalah terhadap aspek

Sosial Ekonomi dan Budaya kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni seperti disajikan pada Tabel

IV-10.

Tabel IV-10. Permasalahn dan alternatif pemecahan terhadap aspek Sosial Ekonomi dan Budaya kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Stakeholders Permasalahan Alternatif pemecahan

masalah Penanggungjawab Pendukung

Rendahnya Pengetahuan dan pemahaman tentang Cagar Alam

Penyuluhan tentang Keberadaan Cagar Alam Teluk Bintuni

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni

Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan

Rendahnya Partisipasi Masyarakat

Melibatkan masyarakat dalam setiap kegiatan

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni

Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan

Penangkapan Hasil Perikanan yang Tidak Ramah Lingkungan (Penggunakan akar bore (tuba) dan Indikasi penggunaan racun serangga)

Penyuluhan dan penerangan yang intensif kepada masyarakat di dalam dan sekitar kawasan, khususnya nelayan tentang bahaya dari penggunaan bahan kimia terhadap kesinambungan hasil tangkapan

Dinas Kelautan dan Perikanan Teluk Bintuni

1. BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni.

2. Mitra Pesisir Teluk Bintuni

Penggunaan pukat harimau (Trawl) oleh Kapal Penangkap udang di dalam kawasan CATB

Penegakan hukum BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni .

Dinas Kehutanan Kabupaten Teluk Bintuni (Koordinasi).

Adanya Perkampungan di dalam Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB)

Pemberdayaan masyarakat (Pelatihan/bimbingan teknis pembuatan dendeng manis,abon, kerajinan dari kulit buaya, dan budidaya pertanian)

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni .

Dinas Kehutanan Kabupaten Teluk Bintuni (Koordinasi).

Tumpang tindih antara Batas Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) dengan Penggunaan Lahan lain.

Rekonstruksi Pal Tata Batas

BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni

Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan

Sumber: Analisis Data Survei Tim TNC, 2005.

Page 174: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 34

BKSDA Papua II Sorong

D. Skenario Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Perencanaan Skenario adalah sebuah alat manajemen yang strategis yang dapat

merangsang berbagai pemikiran mengenai kemungkinan–kemungkinan di masa depan.

Skenario ini dapat pula menghasilkan suatu strategi yang kokoh, merangsang pemikiran dan

perdebatan mendalam atas isu pokok penting, yang mengfokuskan pemikiran ke masa depan

bukan pada masa kini atau masa lampau.

Berikut adalah beberapa skenario yang didasarkan pada kondisi kawasan yang mungkin

dapat diterapkan dalam pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sampai tahun 2030.

D.1 Kebijakan Akomodatif dan Kelembagaan Demokratik

Skenario ini merupakan kondisi ideal yang dapat diwujudkan dan merupakan skenario yang

didambaan kita semua. Skenario ini menggambarkan situasi dimana kebijakan Pemerintah

Pusat (Departemen Kehutanan) dan Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni yang dapat

mengakomodir semua kepentingan stakeholder yang ada dengan tetap memperhatikan fungsi

dan peruntukan kawasan. Kebijakan yang ideal dan didukung oleh kelembagaan baik

pengelola kawasan maupun pemangku kepentingan lainnya yang bersifat demokratif akan

membuat terciptanya program pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang lestari,

berkelanjutan dan berdayaguna.

Beberapa ciri skenario ini antara lain:

¶ Status kawasan yang sudah jelas sebagai kawasan Cagar Alam melalui penetapan

Menteri Kehutanan, didukung Peraturan Daerah dan keberadaan kawasan Cagar Alam

terlihat jelas dalam Tata Ruang Wilayah Kabupaten Teluk Bintuni;

¶ Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni telah dikeluarkan atau diterbitkan oleh pemerintah

Pusat dalam hal ini BKSDA Papua II Sorong dan sudah disosialisasikan kepada semua

pemangku kepentingan. Dukungan dan partisipasi aktif dari semua pemangku

kepentingan membuat pengelolaan kawasan bersifat aspiratif;

¶ Tidak ada lagi konflik kepentingan antar pemangku kepentingan dalam kawasan;

¶ Masyarakat sadar dan secara bersama-sama memelihara keutuhan kawasan;

¶ Pembangunan fisik yang tidak sesuai fungsi dan peruntukan kawasan tidak dijumpai;

¶ Tidak ada klaim hak ulayat dari masyarakat adat terhadap keberadaan kawasan;

¶ Pemberdayaan masyarakat asli/pemilik ulayat berjalan efektif;

¶ Pemanfaatan terbatas oleh masyarakat adat di bawah bimbingan pengelola;

Sasaran akhir dari skenario ini adalah penyadaran publik telah terbentuk secara mantap

bahwa kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni pelestariannya menjadi tanggung jawab bersama,

Page 175: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 35

BKSDA Papua II Sorong

manfaatnya dinikmati secara bersama oleh seluruh lapisan masyarakat serta keutuhan

kawasan menjadi kebanggaan kita bersama pula.

D.2. Kebijakan Sentralistik dan Kelembagaan Demokratik

Skenario ini menggambarkan kondisi dimana kebijakan pengelolaan kawasan yang

dikeluarkan oleh pemerintah tidak mempertimbangkan aspek kelestarian dan keutuhan

kawasan. Kebijakan yang dikeluarkan hanya didasarkan pada pertimbangan ekonomi daerah

dan untuk kepentingan kelompok tertentu semata dengan dalih kepentingan masyarakat

secara umum. Namun demikian, ada upaya bersama oleh kelompok pemerhati lingkungan

untuk membentuk aliansi memperjuangkan dan mempertahankan kelestarian dan keutuhan

kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sebagai kawasan ekosistem kebanggaan seluruh

penduduk Kabupaten Teluk Bintuni. Kelompok pemerhati lingkungan ini berasal dari

masyarakat pemilik ulayat, akademisi, legislatif dan NGO lokal dan internasional yang masih

peduli dan berjuang untuk mempertahankan keutuhan dan kelestarian kawasan. Kelompok ini

memperjuangkan terbentuknya kelembagaan pengelolaan yang demokratif dan partisipatif.

Beberapa ciri yang dapat menjelaskan situasi tersebut, antara lain :

¶ Kebijakan pembangunan sarana fisik dalam kawasan yang tidak berhubungan dengan

fungsi kawasan sebagai Cagar Alam masih diijinkan;

¶ Ijin pembangunan sarana dan prasarana untuk kepentingan kelompok tertentu;

¶ Kelompok pemerhati lingkungan secara bersama-sama berjuang untuk mempertahankan

kawasan, walaupun pemanfaatan kawasan oleh pemerintah secara sepihak tetap ada;

Dalam skenario ini, pemerhati lingkungan terkadang optimis, terkadang pesimis dalam

memperjuangkan keutuhan dan kelestarian kawasan. Sekalipun demikian, mereka tetap

berjuang diantara berbagai tekanan kepentingan tersebut dengan keyakinan bahwa berjuang

diatas jalur kebenaran demi kepentingan bersama, cepat atau lambat pasti akan terwujudkan

diatas panji demokratisasi.

D.3. Kebijakan Akomodatif dan Kelembagaan Otoritik

Skenario ini adalah kebijakan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni telah dikeluarkan atau

diterbitkan oleh pemerintah dalam bentuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) ataupun

peraturan daerah tentang pengelolaan kawasan yang aspiratif, namun para pemangku

kepentingan dalam kawasan (stakeholders) tidak memperhatikan atau melaksanakannya.

Pemangku kepentingan (stakeholder) hanya melaksanakan kegiatan pengelolaan kawasan

berdasarkan kebutuhan dan kepentingan masing-masing lembaga/institusinya saja. Pada

akhirnya, setiap instansi hanya mementingkan pencapaian tujuan masing-masing tanpa

memperdulikan tujuan bersama seperti yang tertuang dalam Rencana Pengelolaan Kawasan

(RPK).

Page 176: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 36

BKSDA Papua II Sorong

Beberapa ciri yang dapat menjelaskan situasi tersebut, antara lain:

¶ Kegiatan yang dilakukan dalam kawasan oleh beberapa instansi, dilaksanakan secara

sektoral, walaupun lokasi dan sasaran kegiatannya sama pada satu wilayah;

¶ Koordinasi instansi teknis dan instansi terkait lainnya tidak berjalan sesuai dengan yang

direncanakan dalam rencana pengelolaan kawasan.

D.4. Kebijakan Sentralistik & Kelembagaan Otokritik

Skenario ini adalah situasi terburuk yang dapat terjadi, kebijakan pemerintah yang tidak

aspiratif dibarengi dengan kelembagaan pemangku kepentingan yang kaku dalam

menerapkan kebijakan serta otoriter dalam menjalankan aturan tanpa mau menerima

masukan dari berbagai stakeholder. Skenario ini dicirikan oleh kebijakan yang diambil hanya

memberi peluang kepada pemodal mampu tertentu untuk mengelola kawasan sesuai

keinginan pemodal tanpa memperhatikan fungsi penetapan kawasan. Pemangku kawasan

mendukungnya dengan dalih bahwa telah sesuai aturan tanpa memperhatikan dampak teknis

yang akan terjadi yang akhirnya akan merubah fungsi kawasan.

E. Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman (KKPA)

Pendekatan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threat) untuk Rencana

Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan pendekatan yang didasarkan

pada Kekuatan ,Kelemahan, Peluang dan Ancaman kondisi kawasan CATB. Tahapan

analisis SWOT yang dilakukan meliputi : tahapan identifikasi dan penilaian faktor internal dan

eksternal, analisis keterkaitan unsur SWOT dan tahapan penentuan alternatif rencana

pengelolaan.

Dalam analisis potensi dan kelemahan serta kekuatan dan peluang, issu-issu yang terjadi

dapat diidentifikasi menjadi dasar kajian antara lain :

1. Belum tersedianya informasi dasar yang memadai, khususnya data kuantitatif biologi

mengenai kawasan.

2. Lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dalam

Cagar Alam Teluk Bintuni.

3. Kurangnya kesadaran masyarakat tentangnya penting pelestarian kawaan Cagar Alam

Teluk Bintuni.

4. Adanya perkampungan dan Logyard di dalam kawasan CATB sehingga pemanfaatan

flora, fauna, lahan akan semakin besar.

Page 177: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 37

BKSDA Papua II Sorong

5. Tingginya tingkat permintaan terhadap satwa dari jenis-jenis tertentu seperti buaya, rusa,

cenderawasih dan mambruk serta adanya indikasi masyarakat nelayan yang mengunakan

bahan kimia dalam menangkap ikan.

6. Rencana pengembangan Kota Bintuni yang berada dekat dengan batas sebelah Utara

kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

7. Aktivitas pemegang HPH dan Kopermas, di daerah up land yang kurang memperhatikan

aspek kelestarian serta pada beberapa logyard dan dalam pengangkutan kayu melalui

sungai-sungai di dalam kawasan yang menggunakan peralatan mekanis seperti buldoser,

logging truck, dan tug boat dapat menimbulkan kebisingan dan pencemaran yang

menyebabkan terganggunya satwa-satwa tertentu.

8. Minimnya sarana dan prasarana serta kapasitas dan jumlah sumberdaya pengelola.

9. Kepemilikan lahan yang merupakan hak ulayat masyarakat di dalam dan sekitar kawasan.

E.1 Identifikasi dan penilaian faktor internal dan eksternal

Faktor internal yaitu Kekuatan (Strength) dan Kelemahan (Weakness), sedangkan faktor

eksternal yaitu Peluang (Opportunity) dan Ancaman (Threat). Analisis kekuatan yang

dimaksud adalah potensi atau keunggulan yang dimiliki kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

dalam aspek pengelolaan dan kebijaksanaan, biologi kawasan serta sosial ekonomi dan

budaya yang sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan sebagai Cagar Alam.

Kelemahan yang dimaksud, yaitu kondisi aspek pengelolaan dan kebijaksanaan, biologi

kawasan serta sosial ekonomi dan budaya yang dipandang dapat menghambat program

pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Peluang yang dimaksud adalah kondisi

eksternal yang dapat mendatangkan keuntungan apabila dapat memanfaatkannya. Berbagai

peluang yang tersedia dapat dikembangkan secara optimal berdasarkan potensi, hambatan

dan rencana program pengelolaan sebagai kawasan Cagar Alam.

Ancaman adalah keadaan eksternal yang apabila dibiarkan akan menjadi faktor penghambat

terhadap keberhasilan program pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Ancaman ini

perlu diwaspadai dan harus diatasi karena dapat memberikan pengaruh terhadap bisa atau

tidaknya faktor-faktor peluang untuk dimanfaatkan.

Hasil analisis SWOT Aspek Pengelolaan dan Kebijaksanaan, Biologi Kawasan serta Sosial

Ekonomi dan Budaya kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni adalah sebagai berikut :

Kekuatan (Strength)

S1. SK MENHUT NO: 891/KPTS-II/1999 tentang penunjukan Kawasan Hutan Propinsi dan

perairan Papua, termasuk Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Page 178: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 38

BKSDA Papua II Sorong

S2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Konservasi sumber daya alam dan

ekosistemnya.

S3. Ekosistem mangrove di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan komunitas

alami dan pertumbuhannya masih terlihat cukup baik, sehingga fungsi ekologinya

sebagai tempat mencari makan (feeding ground), daerah asuhan (nursery ground),

dan tempat pemijahan (spawning ground) masih bekerja dengan.

S4. Keanekaragaman flora yang cukup tinggi mulai dari tumbuhan tingkat rendah seperti

fungi sampai dengan tumbuhan tingkat tinggi, baik spesies tumbuhan yang memiliki

nilai ekonomis maupun spesies kunci (key species) dengan keendemikan jenis yang

cukup tinggi.

S5 Beberapa jenis fauna yang ada di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan jenis

endemik dan sudah dilindungi undang-undang nasional maupun internasional, bahkan

beberapa jenis burung tertentu sudah masuk dalam kategori hampir terancam (near

threatend).

S6. Adanya kearifan tradisional dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Kelemahan (Weakness)

W1. Lemahnya koordinasi institusi pengelola dengan Pemerintah Daerah.

W2. Minimnya sarana dan prasarana serta kapasitas dan jumlah sumberdaya pengelola.

W3. Belum tersedianya informasi dasar yang memadai, khususnya data kuantitatif biologi

mengenai kawasan.

W4. Masih rendahnya pemahaman masyarakat dan aparat tentang cagar alam dan

pelestarian alam

W5. Lemahnya penegakan hukum bagi pihak-pihak yang melakukan pengrusakan di dalam

kawasan, terutama bagi para nelayan yang menggunakan obat kimia saat mencari ikan.

Peluang (Opportunity)

O1. Dukungan bantuan dari donor baik Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Nasional dan

Internasional, yang peduli terhadap kelestarian ekosistem Cagar Alam Teluk Bintuni.

O2. UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus.

O3. Kawasan CATB merupakan tempat mencari kehidupan bagi sebagian masyarakat di

sekitar kawasan, sehingga apabila diberi penyuluhan tentang fungsi dan manfaat dari

kelestariannya maka partisipasi masyarakat akan besar.

O4. Belum tersusunnya Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten Teluk Bintuni, sehingga

dapat mendorong dalam rencana penyusunan RUTR Kabupaten untuk menjadikan

kawasan CATB sebagai “Paru-paru” Kabupaten Teluk Bintuni.

Page 179: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 39

BKSDA Papua II Sorong

O5. Adanya beberapa LSM (seperti Mitra Pesisir) yang telah melakukan kegiatan

pengelolaan lingkungan di sekitar pesisir Teluk Bintuni, untuk dijadikan sebagai mitra

dalam pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

O6. Kawasan CATB yang berfungsi sebagai buffer bagi Teluk Bintuni, sehingga sangat

penting untuk menjaga kelestariannya

Ancaman (Threat)

T1. Kepemilikan lahan yang merupakan hak ulayat masyarakat di dalam dan sekitar

kawasan.

T2. Tingginya tingkat permintaan terhadap satwa dari jenis-jenis tertentu seperti buaya,

rusa, cenderawasih dan mambruk serta adanya indikasi masyarakat nelayan yang

mengunakan bahan kimia dalam menangkap ikan.

T3. Aktivitas pemegang HPH dan Kopermas, di daerah up land yang kurang

memperhatikan aspek kelestarian serta pada beberapa logyard dan dalam

pengangkutan kayu melalui sungai-sungai di dalam kawasan yang menggunakan

peralatan mekanis seperti buldoser, logging truck, dan tug boat dapat menimbulkan

kebisingan dan pencemaran yang menyebabkan terganggunya satwa-satwa tertentu.

T4. Adanya perkampungan dan Logyard di dalam kawasan CATB sehingga pemanfaatan

flora, fauna, lahan akan semakin besar.

T5. Rencana pengembangan Kota Bintuni yang berada dekat dengan Batas sebelah Utara

kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

E.2 Analisis Keterkaitan antar Unsur SWOT

Dari hasil analisis diatas, disusun rencana pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

(CATB). Rencana pengelolaan dihasilkan dari penggunaan unsur-unsur kekuatan Aspek

Pengelolaan dan Kebijaksanaan, Biologi Kawasan serta Sosial Ekonomi dan Budaya kawasan

CATB untuk meraih peluang yang ada (SO), penggunaan kekuatan yang ada untuk

menghadapi ancaman yang datang (ST), pengurangan kelemahan dari kondisi yang ada

dengan memanfaatkan peluang yang ada (WO) dan pengurangan kelemahan yang ada untuk

menghadapi ancaman yang akan datang (WT).

Page 180: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 40

BKSDA Papua II Sorong

Tabel IV-11. Matriks Hasil Analisis antar unsur SWOT

Peluang (O) Ancaman (T)

Kekuatan (S)

Strategi1. Inventarisasi dan pemetaan sebaran

flora, fauna dan ekosistem (S3,S4,S5,O1)

Strategi1. Rekonstruksi Tata Batas (S1, T4) 2. Pemanfaatan terbatas sumberdaya

alam dari Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (S2, S3, T4)

3. Pemantauan rutin (S3, S4, S5, T2) 4. Monitoring dampak lingkungan (S4,

S5, T3, T4, T5) 5. Perlindungan jenis flora/fauna

beserta habitatnya (S4, S5, T3) 6. Pencegahan bahaya erosi,

sedimentasi dan Rehabilitasi kawasan CATB (S3, S5, S6,T3, T4)

7. Penyuluhan terhadap pentingnya eksistensi kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sebagai penyanggah sistem kehidupan (S4,O6,T1)

Kelemahan (W)

Strategi1. Sistem informasi dan Database (W3,

O1)2. Sarana prasarana pengelolaan (W2,

O1, O2) 3. Sarana prasarana pendidikan (W2,

W4, O1, O2, O5). 4. Sarana dan prasarana penelitian

(W2, W4, O1, O2, O5).

Strategi1. Penegakan hukum (W5, T2) 2. Patroli gabungan dan koordinasi

pengamanan (W1,W5, T2, T4, T5)

F. Perumusan Strategi Pengelolaan

Dari analisis SWOT dari data kajian pada kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni maka isu

strategis yang terkait dengan pengelolaan CATB yang berhasil diidentifikasi menjadi dasar

bagi penyusunan rencana aksi. Deskripsi rencana aksi ini menjadi indikator bagi penilaian

keberhasilan dan dasar bagi monitoring dan evaluasi.

STRATEGI 1. REKONSTRUKSI TATA BATAS KAWASAN

Sasaran:

Batas kawasan menjadi jelas dan diketahui semua pihak terkait

Kegiatan:

¶ Pembuatan jalur rintisan di sepanjang batas kawasan pada hutan dataran rendah

¶ Penggantian pal batas yang rusak

¶ Pemasangan plat seng tanda batas

Page 181: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 41

BKSDA Papua II Sorong

Indikator:

¶ Tersedianya jalur rintisan sepanjang batas kawasan pada hutan dataran rendah

¶ Terpasangnya pal batas kawasan baru yang jelas

¶ Terpasangnya plat seng sebagai tanda batas kawasan pada pohon-pohon di sepanjang batas kawasan.

STRATEGI 2. PENEGAKAN HUKUM

Sasaran:

Terciptanya suatu pemahaman yang menyeluruh terhadap hal-hal yang tidak boleh dilakukan

di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Kegiatan:

¶ Pembuatan peraturan khusus tentang larangan dan sangsi bagi perburuan dan

pemanfaatan flora dan fauna yang dilindungi

¶ Pembuatan aturan sederhana yang menyangkut pemanfaatan eksklusif bersyarat dan

lestari sda di Cagar Alam Teluk Bintuni untuk masyarakat adat

¶ Sosialisasi aturan tentang larangan dan sangsi terhadap kegiatan illegal di kawasan

kepada semua stakeholder

Indikator:

¶ Tersedianya aturan khusus tentang larangan dan sangsi terhadap pelanggaran yang

terjadi di dalam kawasan

¶ Terciptanya pemahaman yang utuh oleh masyarakat adat terhadap pemanfaatan terbatas

oleh masyarakat adat

¶ Meningkatnya pemahaman seluruh pemangku kepentingan terhadap hal-hal yang tidak

diperkenankan dilakukan di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

STRATEGI 3. PEMANTAUAN/PATROLI RUTIN

Sasaran:

Terjaganya keamanan kawasan dari kegiatan-kegiatan yang dapat menurunkan kualitas

kawasan.

Kegiatan:

¶ Patroli terjadwal oleh internal pengelola.

Page 182: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 42

BKSDA Papua II Sorong

¶ Pelatihan Jagawana/Polisi Hutan untuk meningkatkan kemampuan pengawasan

¶ Penyuluhan dan penerangan tentang pentingnya keberadaan kawasan.

¶ Pembuatan pedoman pemantauan bagi pengelola kawasan

Indikator:

¶ Meningkatnya keamanan kawasan dari kegiatan-kegiatan ilegal.

¶ Meningkatnya kemampuan pengelola dalam kegiatan pengamanan kawasan

¶ Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap keberadaan dan fungsi kawasan sebagai

penyangga sistem kehidupan.

¶ Tersedianya pedoman pemantauan sebagai acuan bagi pengelola dalam melakukan

kegiatan pemantauan.

STRATEGI 4. PATROLI GABUNGAN DAN KOORDINASI PENGAMANAN

Sasaran:

Terciptanya suatu pemahaman bersama antar stakeholder terhadap tanggung jawab

pengamanan dan pengawasan kawasan

Kegiatan:

¶ Koordinasi dengan instansi terkait dalam merencanakan pengamanan terpadu

¶ Patroli terpadu yang melibatkan beberapa instansi terkait

Indikator:

¶ Terciptanya kerjasama dan koordinasi antara pengelola dan instansi terkait dalam

pengamanan kawasan

¶ Menurunnya tingkat gangguan keamanan kawasan

STRATEGI 5. INVENTARISASI DAN PEMETAAN KEBERADAAN FLORA, FAUNA DAN EKOSISTEM KAWASAN

Sasaran:

Data Dasar FLORA, FAUNA, DAN EKOSISTEM yang memadai dalam menunjang

pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Kegiatan:

¶ Identifikasi tipe ekosistem dan pemetaan penutupan lahan di Cagar Alam Teluk Bintuni

Page 183: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 43

BKSDA Papua II Sorong

¶ Inventarisasi dan pemetaan status flora dan fauna kawasan

¶ Penelitian dinamika ekosistem dan populasi flora dan fauna kawasan

¶ Inventarisasi, identifikasi, dan pemetaan tempat khusus bagi perkembangbiakan, bertelur,

dan pemijahan di kawasan

¶ Pembuatan petak ukur permanen

¶ Pengumpulan hasil-hasil penelitian tentang flora, fauna, dan ekosistem yang pernah

dilakukan di CATB

Indikator:

¶ Tersedianya data tipe ekosistem dan penutupan lahan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

¶ Tersedianya informasi dan peta kondisi flora dan fauna kawasan.

¶ Tersedianya informasi perubahan ekosistem dan populasi flora dan fauna kawasan

¶ Adanya prasarana untuk kepentingan penelitian dan pendidikan

¶ Terdokumentasinya hasil-hasil penelitian dan kajian tentang ekosistem dan flora fauna

kawasan secara menyeluruh.

STRATEGI 6. PERLINDUNGAN JENIS FLORA/FAUNA BESERTA HABITATNYA

Sasaran:

Terjaminnya keberadaan flora dan fauna dan keutuhan habitanya di kawasan Cagar Alam

Teluk Bintuni.

Kegiatan:

¶ Kerjasama dengan institusi terkait dalam upaya perlindungan jenis flora dan fauna di

kawasan.

¶ Pemasangan tanda larangan dan pembuatan poster, brosur, atau leaflet tentang jenis-

jenis flora/fauna langka dan dilindungi serta larangan perburuan/pemanfaatannya.

¶ Penelitian tentang keberadaan flora/fauna langka, dilindungi, dan atau terancam di Cagar

Alam Teluk Bintuni.

¶ Pengamatan dan perkembangan flora/fauna di petak ukur permanen.

Indikator:

¶ Terjalinnya kerjasama yang baik dengan institusi terkait yang menunjang kegiatan

perlindungan dan pengembangan

Page 184: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 44

BKSDA Papua II Sorong

¶ Meningkat pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang keberadaan flora/fauna

langka, dilindungi, dan atau terancam punah di Cagar Alam Teluk Bintuni.

¶ Tersedianya informasi yang memadai tentang keberadaan flora/fauna langka, dilindungi,

dan atau terancam punah di Cagar Alam Teluk Bintuni.

¶ Tersedianya informasi tentang perkembangan flora/fauna tertentu untuk kepentingan

penelitian dan pengembangan.

STRATEGI 7. PENCEGAHAN BAHAYA EROSI DAN SEDIMENTASI DAN REHABILITASI KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI.

Sasaran:

Pulih dan terjaganya keutuhan ekosistem kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Kegiatan::

¶ Pencegahan kerusakan ekosistem sebagai akibat aktivitas manusia

¶ Rehabilitasi kawasan yang telah mengalami kerusakan di Cagar Alam Teluk Bintuni.

¶ Penelitian dan kajian yang intensif tentang tingkat kerusakan ekosistem kawasan.

Indikator:

¶ Menurunnya tingkat kerusakan ekosistem kawasan akibat aktivitas manusia.

¶ Meningkatnya kualitas ekosistem kawasan

¶ Tersedianya informasi yang memadai tentang laju kerusakan ekosistem kawasan dalam

menunjang kegiatan pengelolaan.

STRATEGI 8. PENYULUHAN TERHADAP PENTINGNYA EKSISTENSI KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI SEBAGAI PENYANGGAH SISTEM KEHIDUPAN

Sasaran:

Terciptanya Kesadaran dan Penghargaan masyarakat terhadap keberadaan kawasan Cagar

Alam Teluk Bintuni.

Kegiatan:

¶ Penyuluhan dan penerangan yang intensif tentang pentingnya keberadaan kawasan

sebagai penyanggah kehidupan

Page 185: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 45

BKSDA Papua II Sorong

¶ Pembuatan poster, leaflet, dan atau brosur tentang fungsi kawasan bagi kehidupan

masyarakat di dalam dan sekitar kawasan

Indikator:

¶ Meningkatnya kesadaran dan penghargaan masyarakat terhadap pentingnya keberadaan

kawasan CATB

¶ Meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang keberadaan kawasan Cagar Alam Teluk

Bintuni.

STRATEGI 9. PEMANFAATAN TRADISIONAL SDA DI KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI

Sasaran:

Meningkatnya Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar

Kawasan CATB

Kegiatan:

¶ Pembuatan panduan pemanfaatan sda di kawasan bagi pengelola

¶ Pembuatan poster tentang pemanfaatan sda secara lestari

¶ Penelitian tentang pola perkembangbiakan satwa, teknik perbanyakan tanaman berguna,

siklus hidup biota perairan, serta inventarisasi jenis-jenis komoditi pertanian setempat.

¶ Kerjasama dengan instansi terkait dalam kegiatan penyuluhan dan pendampingan

¶ Penerapan sistem penangkapan hasil perikanan yang ramah lingkungan

¶ Penerapan sistem pertanian yang memperhatikan aspek kelestarian dan keberlanjutan

¶ Pemanfaatan satwa liar tertentu di bawah bimbingan pengelola bekerjasama dengan

instansi terkait.

¶ Pembuatan sistem data terhadap hasil-hasil penelitian/kajian yang berhubungan

pemanfaatan terbatas.

Indikator:

¶ Tersedianya panduan pemanfaatan bagi pengelola kawasan

¶ Meningkatnya pemahaman masyarakat tentang pemanfaatan sumberdaya alam yang

lestari.

Page 186: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 46

BKSDA Papua II Sorong

¶ Tersedianya informasi menyangkut pola perkembangbiakan satwa, cara perbanyakan

tanaman berguna, siklus hidup biota perairan, serta jenis-jenis komoditi pertanian

setempat yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat.

¶ Terjalinnya kerjasama yang baik dengan instansi terkait yang menunjang kegiatan

pengelolaan kawasan

¶ Berkurang bahkan tidak ada lagi aktivitas penangkapan ikan menggunakan cara-cara

yang tidak ramah lingkungan.

¶ Berkurangnya tekanan terhadap keberadaan ekosistem kawasan sebagai akibat

perluasan lahan pertanian

¶ Terciptanya pola pemanfaatan satwa liar yang memperhatikan keseimbangan alam.

¶ Tersedianya sistem data dari hasil-hasil kajian yang berhubungan dengan kegiatan

pemanfaatan terbatas oleh masyarakat di dalam dan sekitar kawasan.

STRATEGI 10. SISTEM INFORMASI DAN DATA BASE

Sasaran:

Tersedianya sistem informasi data yang memadai untuk semua aspek kegiatan pengelolaan

dalam rangka menunjang perencanaan dan pengembangan kawasan

Kegiatan:

¶ Koordinasi dengan instansi terkait dalam mengembangkan SIG

¶ Pengadaan perangkat keras dan lunak untuk menunjang sistem informasi dan basis data

¶ Peningkatan kemampuan pengelola dalam penguasaan teknik SIG dan data base

¶ Mengumpulkan dan memelihara koleksi media-media informasi

Indikator:

¶ Terciptanya kerjasama dalam mengembangkan SIG dan basis data kawasan

¶ Tersedianya perangkat penunjang kegiatan SIG dan data base

¶ Tersedianya tenaga pengelola dengan kemampuan yang memadai di bidang SIG dan

basis data.

¶ Tersedianya koleksi media informasi yang memadai dalam menunjang kegiatan penelitian,

pendidikan dan pengembangan kawasan

Page 187: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Analisis Permasalahan IV - 47

BKSDA Papua II Sorong

STRATEGI 11. SARANA PRASARANA PENUNJANG KEGIATAN PENGELOLAAN KAWASAN

Sasaran:

Tersedianya sarana prasarana yang memadai dalam rangka menunjang kegiatan

pengelolaan, pendidikan, dan penelitian.

Kegiatan:

¶ Pengadaan dan pemeliharaan sarana prasarana pengelolaan seperti kantor/pondok kerja

¶ Pembuatan brosur/leaflet/buku/ serta media lain tentang keberadaan dan fungsi Cagar

Alam Teluk Bintuni.

¶ Pengadaan dan pemeliharaan Pusat komunikasi dan informasi (PUSKOMIN) kawasan.

¶ Pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana penelitian seperti pondok peneliti.

Indikator:

¶ Tersedia dan terpeliharanya sarana prasarana pengelolaan seperti bangunan kantor dan

pondok kerja pengelola yang memadai selain bangunan kantor yang sudah ada

¶ Tersedianya prasarana penerangan yang memadai untuk kepentingan pendidikan

¶ Tersedia dan terpeliharanya sarana berupa pusat komunikasi dan informasi kawasan

Cagar Alam Teluk Bintuni.

¶ Tersedia dan terpeliharanya sarana penelitian di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Page 188: Bintuni Indonesian Screen
Page 189: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Rencana Kegiatan V - 1

BKSDA Papua II Sorong

V. RENCANA KEGIATAN

A. UMUM

Rencana kegiatan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni didasarkan kepada hasil analisis

dari permasalahan dan kondisi yang ada. Hasil analisis SWOT dari peluang, kekuatan,

kelemahan dan hambatan yang ada menunjukkan adanya pilihan strategi yang harus

dilakukan.

Pilihan strategi ini diterjemahkan menjadi rencana kegiatan yang difokuskan kepada

beberapa aspek yang mengacu pada Rencana Stratejik (Renstra) Direktorat Jenderal

Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Tahun 2005 – 2009 merupakan tindak

lanjut dari Undang-undang Nomor : 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional,

Peraturan Pemerintah Nomor 20 tentang Rencana Kerja Pemerintah, Peraturan Pemerintah

Nomor 21 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Instruksi

Presiden Nomor 7 Tahun 1999, tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Beberapa

aspek pengelolaan yang menjadi fokus dalam rencana kegiatan pengelolaan kawasan Cagar

Alam Teluk Bintuni adalah aspek Pemantapan Kawasan, Peningkatan efektivitas

Pengelolaan Kawasan, Pengembangan Konservasi jenis dan Keanekaragaman Hayati,

Perlindungan dan Pengamanan Kawasan, Pendukung/Kelembagaan, dan aspek

Pemanfaatan. Disamping aspek-aspek pengelolaan tersebut, di dalam Rencana kegiatan

pengelolaan kawasan ini, secara khusus juga memuat usulan kegiatan Pembangunan

Sarana Prasarana Pendukung Kegiatan Pengelolaan.

Dalam implementasi kegiatan Rencana Pengelolaan Kawasan, aspek tersebut yang menjadi

fokus dalam rencana kegiatan yang diusulkan dilakukan berdasarkan skala prioritas yang

dituangkan dalam bentuk Rencana kerja tahunan, lima-tahunan, dan duapuluh lima-tahunan.

Berikut adalah skala prioritas aspek-aspek kegiatan dalam Rencana Kerja Pengelolaan

Kawasan selama duapuluh lima tahun seperti disajikan pada Tabel V-1.

Tabel V-1. Prioritas Rencana Kegiatan Pengelolaan Kawasan Selama Duapuluh Lima Tahun (2006-2030) Cagar Alam Teluk Bintuni.

Implementasi Kegaiatan

No Aspek Kegiatan Lima Thn I 2006-2010

Lima Thn II 2011-2015

Lima Thn III

2016-2020

Lima Thn IV

2021-2025

Lima Thn V 2026-2030

1. Pemantapan Kawasan + + + + + 2. Peningkatan efektifitas

Pengelolaan Kawasan + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +

3. Pengembangan Konservasi jenis dan Keanekaragaman Hayati

+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +

4. Perlindungan dan Pengamanan Kawasan + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +

Page 190: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Rencana Kegiatan V - 2

BKSDA Papua II Sorong

Implementasi Kegaiatan

No Aspek Kegiatan Lima Thn I 2006-2010

Lima Thn II 2011-2015

Lima Thn III

2016-2020

Lima Thn IV

2021-2025

Lima Thn V 2026-2030

5. Pendukung/Kelembagaan + + + + + + + + + + + + + + +

6. Pemanfaatan + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + 7. Sarana Prasarana

Pendukung Kegiatan Pengelolaan.

+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +

B. RENCANA KEGIATAN PENGELOLAAN

B.1 Pemantapan Kawasan

Dalam mengelola suatu kawasan konservasi yang lebih baik dan mantap, status hukum dari

kawasan tersebut merupakan suatu hal yang penting. Berikut adalah beberapa Rencana

kegiatan yang diusulkan dalam rangka pemantapan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

1. Kepastian Hukum Kawasan. Kepastian hukum yang dimaksud di sini adalah kegiatan

yang memberikan kepastian hukum yang jelas atas kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

yang saat ini masih berstatus Penunjukan bukan Penetapan oleh Menteri Kehutanan.

Untuk itu proses kepastian hukum dengan menetapkan status hukum kawasan menjadi

prioritas utama.

2. Pengakuan Keberadaan Cagar Alam Teluk Bintuni secara legal formal oleh Pemerintah Daerah. Proses penetapan kawasan Cagar Alam menjadi definitif juga harus

ditindak lanjuti dalam peraturan daerah yang mensahkan keberadaan kawasan di dalam

tata ruang propinsi maupun kabupaten.

3. Rekonstruksi pal batas, yaitu pemasangan kembali pal batas secara menyeluruh.

Kegiatan ini harus dilakukan secara koordinatif serta partisipatif dengan pihak-pihak lain

yang berkompeten dan terkait. Kegiatan ini akan dilaksanakan bersama Bappeda,

Pemerintah Kecamatan dengan masyarakat. Untuk memastikan posisi awal jalur batas

digunakan GPS atau mengikuti tata batas awal. Pelaksanaan pemasangan kembali pal

batas kawasan akan dilakukan secara bertahap. Rekostruksi pal batas diperlukan untuk

menetapkan kawasan dalam status hukum yang jelas. Rekonstruksi pal batas bukan

melakukan tata batas ulang tetapi berupa pemasangan kembali pal batas yang pernah

ada sesuai koordinat yang ada secara menyeluruh mulai dari titik nol. Total panjang

batas dengan daratan diperkirakan 125 km dari total batas 250 km.

4. Kerjasama. Kerjasama yang dimaksud disini adalah pelibatan stakeholder di luar

pengelola kawasan dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan pengelolaan,

khususnya dalam kegiatan rekonstruksi pal batas Kawasan.

Page 191: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Rencana Kegiatan V - 3

BKSDA Papua II Sorong

Adapun rangkuman rencana kegiatan yang diusulkan untuk menunjang kegiatan pemantapan

kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni disajikan pada Tabel V-2.

Tabel V-2. Rencana kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dalam meningkatkan Efektivitas Pengelolaan Kawasan.

No. Kegiatan Pokok Komponen kegiatan

1. Kepastian Hukum Kawasan Pembuatan SK. Menteri tentang Penetapan Kawasan

1. Pembuatan SK. Bupati Tentang Keberadaan Cagar Alam

2. Pengakuan Keberadaan Cagar Alam Teluk Bintuni secara legal formal oleh Pemerintah Daerah

2. Pembuatan Peraturan Daerah (PERDA) tentang Cagar Alam Teluk Bintuni.

1. Pengadaan/pembuatan pal batas 3. Rekonstruksi pal batas

2. Pemasangan Pal batas kawasan

4. Kerjasama Pembuatan MOU dengan stakeholder terkait untuk kegiatan Rekonstruksi Pal Batas

B.2 Peningkatan Efektifitas Pengelolaan Kawasan

Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan kawasan Cagar alam Teluk

Bintuni sesuai fungsi kawasan. Beberapa kegiatan pengelolaan yang diusulkan dalam

menunjang aspek ini adalah sebagai berikut:

1. Pembuatan Buku Saku/Juknis/Pedoman Kegiatan Pengelolaan Kawasan. Pedoman

ini nantinya akan diperuntukan kepada pengelola kawasan khususnya Polisi Hutan

(POLHUT) yang berisi tentang petunjuk teknis kegiatan pengelolaan kawasan.

2. Pemasangan Papan Petunjuk Kawasan. Papan petunjuk yang dimaksud disini adalah

papan petunjuk batas kawasan, keberadaan kawasan, dan papan pengumuman yang

berisi aturan dan larangan.

3. Pemeliharaan batas Kawasan. Tapal batas di lapangan sedapat mungkin dapat terlihat

jelas dan mudah diidentifikasi misalnya batas alam dan tanda-tanda buatan manusia,

sehingga batas tersebut dapat dengan mudah diidentifikasi. Jalur dan pal batas

memerlukan pemeliharaan dan pengamanan secara teratur oleh petugas. Pemeliharaan

batas ini dilakukan mulai tahun 1 sampai tahun ke 5 dan selanjutnya dilakukan

pemeliharaan rutin setiap 2 tahun.

4. Kajian/Penelitian Potensi Fungsi Kawasan. Melakukan penelitian yang berkaitan

dengan kepentingan penataan Kawasan.

5. Arahan Penataan dan Penetapan Blok. Kegiatan ini bertujuan untuk menata kawasan

ke dalam blok-blok.

Page 192: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Rencana Kegiatan V - 4

BKSDA Papua II Sorong

6. Pengadaan Poster/Leaflet Kegiatan Pengelolaan Kawasan. Kegiatan bertujuan untuk

menyebarluaskan informasi dan meningkatkan pengetahuan/kesadaran masyarakat

tentang keberadaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni serta fungsinya sebagai sistem

penyangga kehidupan.

7. Penelitian. Dampak di luar kawasan dapat berupa dampak positif dalam bidang ekonomi

seperti perbaikan sarana dan prasarana transportasi, komunikasi, dan adanya peluang

usaha baru. Sedangkan dampak negatifnya berupa pengaruh budaya luar terhadap

pelestarian budaya kawasan, keamanan dan stabilitas wilayah, serta konsumerisme

berkembang di masyarakat setempat sehingga dapat menyebabkan eksploitasi

sumberdaya alam berlebihan.

Untuk memonitor kemungkinan yang ditimbulkan oleh adanya pengembangan wilayah

maka pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni, maka direncanakan ada kegiatan

Monitoring Dampak Lingkungan setiap tahun sekali. Hasil studi ini sangat berguna

sebagai salah satu masukan dalam pengambilan kebijakan pengembangan kawasan

Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitarnya. Monitoring dampak lingkungan ini

pelaksanaannya dapat dilakukan melalui kerjasama dengan pihak lain seperti perguruan

tinggi atau LSM.

8. Pembinaan Masyarakat. Kegiatan ini ditujukan untuk membina masyarakat yang

bermukim di dalam dan sekitar Kawasan, khusus yang bermukim di blok penyangga

(Buffer block).

9. Pelibatan Masyarakat. Keterlibatan masyarakat sangat penting dalam kegiatan

pengelolaan kawasan, sehingga dirasa perlu untuk melibatkan mereka dengan

pembentukan suatu kelompok kerja yang dapat membantu pengelola dalam memberikan

masukan ataupun pemecahan masalah yang berkaitan dengan pemanfaatan kawasan.

10. Sistem Informasi Geografis dan Database. Sistern Informasi Geografis (Geographical

Information System) adalah alat analisis yang sangat ampuh untuk perencanaan

pengembangan Kawasan Konservasi. Untuk pengembangan SIG diperlukan koordinasi

dengan instansi-instansi yang lain terkait. Hasil penelitian yang diuraikan di atas

dimanfaatkan untuk pembaharuan informasi tematis kawasan. SIG juga bermanfaat untuk

produksi bahan media informasi dan komunikasi.

Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni dapat melakukan atau memfasilitasi penelitian

mengenai klasifikasi ekosistem, klasifikasi habitat dan inventarisasi. Data tersebut

merupakan baseline data yang dibutuhkan untuk evaluasi pengembangan ekosistem

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Karena keterbatasan tenaga lapangan di Cagar

Alam Teluk Bintuni, sebanyak mungkin penelitian akan dilakukan oleh pihak lain,

terutama peneliti dari perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri. Pengelola Cagar

Alam Teluk Bintuni dapat membantu dan memfasilitasi penelitian tersebut dengan

Page 193: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Rencana Kegiatan V - 5

BKSDA Papua II Sorong

bantuan sarana dan pemberian izin untuk menciptakan kondisi yang produktif untuk para

peneliti. Hasil penelitian tersebut digunakan untuk melengkapi database dan SIG yang

dikembangkan untuk Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Database dikembangkan untuk melengkapi Sistem Informasi Pengelolaan atau

Management Information System (MIS) yang sedang dikembangkan untuk kawasan

konservasi di Indonesia. Untuk kepentingan tersebut Cagar Alam Teluk Bintuni akan

mengumpulkan dan memelihara koleksi media-media informasi meliputi: 1) buku,

majalah, dan jurnal; 2) media informasi termasuk brosur, poster, gambar tempel; 3)

koleksi foto, slide, dan film; 4) peta (termasuk peta rupa bumi, pola penggunaan lahan,

peta navigasi, dsb).

Rangkuman rencana kegiatan yang diusulkan dalam meningkatkan Efektivitas Pengelolaan

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni seperti disajikan disajikan pada Tabel V-3.

Tabel V-3. Rencana kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dalam meningkatkan Efektivitas Pengelolaan Kawasan.

No. Kegiatan Pokok Komponen kegiatan

1. Buku Saku/Juknis/Pedoman Kegiatan Pengelolaan Kawasan

1. Pengadaan buku saku/panduan pemeliharaan batas kawasan

2. Pengadaan buku saku/panduan/juknis kegiatan pemeliharaan kawasan.

3. Pengadaan buku saku/panduan/juknis kegiatan pengelolaan potensi kawasan.

4. Pengadaan buku saku/panduan/juknis kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan.

5. Pengadaan buku saku/panduan/juknis kegiatan penelitian dan pengembangan kawasan.

2. Papan Petunjuk Kawasan Pengadaan dan Pemasangan papan pengumuman dan petunjuk di sepanjang jalur rintisan dan beberapa pulau yang sering dilewati masyarakat/pelayaran.

1. Pembuatan jalur rintisan dan jalan setapak pada batas kawasan dengan lebar 2 meter.

2. Memberikan tanda batas pada pohon di batas kawasan dengan nomor, plat seng dan tanda cat pada pohon di jalur batas Kawasan.

3. Pemeliharaan Batas Kawasan

3. Memperbaiki pal batas yang sudah rusak atau hilang.

1. Identifikasi dan Pemetaan tipe ekosistem yang ada di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

4. Kajian potensi fungsi kawasan

2. Identifikasi dan Pemetaan Penutupan Lahan sesuai Ekosistem.

Page 194: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Rencana Kegiatan V - 6

BKSDA Papua II Sorong

No. Kegiatan Pokok Komponen kegiatan

5. Arahan Penataan dan Penetapan Blok

Penataan dan pembuatan peta arahan blok di dalam kawasan

6. 1. Pengadaan Poster Pemanfaatan Lestari Pengadaan Poster/Leaflet Kegaiatn Pengelolaan Kawasan. 2. Pengadaan Poster Jenis-Jenis Flora/Fauna

langka dan di lindungi di Kawasan CATB

3. Pengadaan Poster tentang kondisi fekosistem di Kawasan CATB

7. Pembinaan masyarakat Pembinaan masyarakat yang bermukim di blok penyangga kawasan tentang pentingnya keberadaan kawasan sebagai penyanggah sistem kehidupan

8.Pelibatan Masyarakat

Pembuatan Kelompok Kerja dalam Kegiatan Pengelolaan Kawasan

9. Penelitian 1. Penelitian tentang dampak lingkungan

2. Kajian tentang dampak dari rencana

pembangunan wilayah

10.Sistem Informasi Geografis dan Database

Pengadaan sistem informasi geografis (SIG) dan pemutahiran data hasil-hasil peneltian

B.3 Pengembangan Konservasi Jenis dan Keanekaragaman Hayati

Kegiatan pengembangan konservasi jenis dan keanekaragaman hayati berkaitan dengan

kegiatan penelitian, pengembangan dan kegiatan lain yang menunjang budidaya, terutama

yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan

upaya pengawetan tumbuhan dan satwa liar dan memfasilitasi pengelolaan ekosistem

esensial. Beberapa kegiatan pengelolaan yang diusulkan dalam menunjang aspek ini adalah

sebagai berikut:

1. Buku Panduan. Pedoman ini merupakan buku saku/juknis/pedoman kegiatan

pemeliharaan flora dan fauna beserta habitatnya. Pedoman ini nantinya akan

diperuntukan kepada pengelola kawasan khususnya Polisi Hutan (POLHUT) yang berisi

tentang petunjuk teknis kegiatan pengelolaan kawasan.

2. Penelitian/Kajian Tentang Kondisi Flora, Fauna, dan Ekosistem Kawasan. Kegiatan

bertujuan untuk mengidentifikasi kondisi flora dan fauna kawasan beserta habitatnya

dalam mendukung upaya kegiatan konservasi jenis dan keanekaragaman hayati

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

3. Pembinaan Habitat. Kegiatan ini lebih difokuskan pada penilaian kondisi ekosistem

Kawasan yang merupakan habitat flora dan fauna kawasan.

Page 195: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Rencana Kegiatan V - 7

BKSDA Papua II Sorong

4. Pengendalian. Uraian mengenai upaya pengendalian, misalnya pengendalian jenis

eksotik. Upaya yang dilakukan seperti introduksi spesies yang memiliki potensi sebagai

hama, introduksi spesies yang fungsinya sama dengan spesies lokal dan lain-lain.

Pencegahan Hama dan Penyakit. Dalam ekosistem hutan alam yang strukturnya terdiri

dari berbagai jenis biota, tidak seumur dan kondisi ekosistemnya relatif stabil, hama

penyakit tanaman jarang sekali mengalami ledakan yang dapat merugikan komunitas

hutan. Gejolak populasi hama penyakit hutan biasanya bisa diatasi dengan kemampuan

alam sendiri sehingga alam dapat pulih kembali. Cagar Alam Teluk Bintuni mungkin

harus lebih memperhatikan kemungkinan adanya hama penyakit berbahaya di daerah-

daerah pertanian dalam kawasan atau sekitar batas kawasan. Kegiatan pemantauan

oleh petugas terhadap hama penyakit di daerah-daerah tersebut perlu dilakukan secara

periodik atau dengan memperhatikan laporan-laporan dari masyarakat tentang hama dan

penyakit tanaman. Satu hal yang perlu diperhatikan kemungkinan invasi biota eksotik ke

dalam kawasan, oleh karena itu bila ada kasus hama dan penyakit yang dianggap

membahayakan kawasan, maka harus segera dicarikan jalan pemecahannya baik secara

preventif maupun refresif. Secara umum kegiatan yang dapat dilakukan antara lain :

¶ Pemusnahan jenis tumbuhan eksotik yang berpotensi ekspansif yang ada di

kawasan.

¶ Penyuluhan dan sosialiasi larangan introduksi spesies eksotik.

¶ Melakukan penelitian Inventarisasi, Identifikasi dan Dampak jenis-jenis eksotik yang

ada di kawasan CATB.

Perlindungan Jenis. Secara umum penyadaran masyarakat dan instansi terkait tentang

status biota yang dilindungi perlu ditingkatkan. Beberapa biota yang dilindungi perlu

usaha perlindungan khusus. Untuk aktivitas perlindungan jenis ini, aktivitas yang dapat

dilakukan adalah :

¶ Melakukan penelitian detail tentang masa bunting satwa buruan untuk menentukan

saat berburu masyarakat.

¶ Membuat papan larangan perburuan satwa dilindungi.

¶ Membuat brosur, leaflet dan poster imbauan atau larangan berburu satwa dilindungi

dan hampir punah.

5. Pemulihan. Pemulihan merupakan kegiatan yang berkaitan dengan adanya kerusakan

dan perubahan dalam bentang lahan di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Untuk

bisa mengelola perubahan bentang lahan baik karena aktivitas manusia maupun alam,

pengelola kawasan CATB harus berkoordinasi dengan instansi terkait. Dalam hal ini,

kerusakan dan upaya pencegahan kerusakan dikelompokkan dalam rencana kegiatan

pemulihan. Kegiatan ini antara lain adalah :

Page 196: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Rencana Kegiatan V - 8

BKSDA Papua II Sorong

Pencegahan bahaya erosi-abrasi dan sedimentasi. Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

belum memiliki informasi yang lengkap tentang lokasi yang rawan abrasi-erosi dan lokasi

penumpukan sedimen, namun sudah mulai ada indikasi di beberapa lokasi adanya

pengaruh abrasi-erosi dan sungai semakin kecil, di muara semakin banyak calon pulau.

Pengelolaan terutama ditujukan pada daerah-daerah yang rawan abrasi-erosi yang

biasanya terjadi di lokasi yang terkena gelombang besar. Sementara pengelolaan

sedimen sangat terkait dengan upaya Dinas Kehutanan membangun pengelolaan hutan

berkelanjutan di areal HPH dan hutan masyarakat. Dalam rangka menunjang kegiatan ini,

perlu dilakukan melalui pembentukan Forum Koordinasi yang mengikutsertakan

instansi-instansi terkait.

Rehabilitasi Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Pada saat ini dalam kawasan telah ada

kegiatan pemanfaatan oleh masyarakat secara tradisional berupa usaha perikanan

(penangkapan), usaha perladangan/kebun rakyat, disamping adanya pembukaan wilayah

Cagar Alam Teluk Bintuni sebagai areal log-yard beberapa usaha kehutanan masyarakat.

Adanya kegiatan ini sangat mempengaruhi keutuhan ekosistem kawasan yang juga akan

berpengaruh terhadap flora dan fauna penting dalam kawasan. Oleh karena itu perlu

diupayakan kegiatan sebagai berikut:

¶ Penyusunan rencana teknik rehabilitasi kawasan yang rusak.

Untuk efisiensi dan efektivitas kegiatan rehabilitasi perlu disusun perencanaan teknis

terlebih dahulu. Kegiatan ini dilaksanakan melalui kerjasama dengan mitra kerja

yang berkaitan seperti perguruan tinggi, LIPI dan LSM.

¶ Rehabilitasi kawasan dengan tanaman asli. Terutama di bekas logyard HPH dan

kopermas yaitu di Tirasai, Sumberi, Logyard SP V S. Awarapi, Logyard SP IV S.

Ausoi. Untuk itu diperlukan :

¶ Pengadaan benih atau bibit tanaman lokal yang sesuai dengan ekosistem kawasan yang akan direhabilitasi.

¶ Penanaman atau rehabillitasi dengan menggunakan kerjasama dengan masyarakat dan dukungan pihak III.

¶ Pemeliharaan tanaman.

¶ Penelitian yang dapat dilakukan berkaitan dengan upaya pemulihan antara lain

adalah :

¶ Penelitian tingkat sedimentasi di beberapa sungai utama di dalam kawasan

¶ Penelitian dan kajian kerusakan ekosistem dan penyebabnya di dalam kawasan CATB

Page 197: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Rencana Kegiatan V - 9

BKSDA Papua II Sorong

6. Pengembangan Sistem Data Base. Kegiatan ini bertujuan untuk memutakhirkan

informasi kondisi flora dan fauna beserta habitatnya guna penunjang kegiatan

pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

7. Kerjasama. Melakukan kerjasama dan membuat MOU kerjasama antara BKSDA Papua

II Sorong cq Ressort Bintuni dengan lembaga penelitian, Universitas, dan Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM) baik lokal, nasional, maupun internasional.

Rangkuman rencana kegiatan yang diusulkan dalam mengembangkan konservasi jenis dan

Keanekaragaman Hayati Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni seperti disajikan disajikan pada

Tabel V-4.

Tabel V-4. Rencana kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dalam mengembangkan konservasi jenis dan Keanekaragaman Hayati.

No. Kegiatan Pokok Komponen kegiatan 1. Buku Panduan 1. Pengadaan Buku Panduan Pemeliharaan

flora/fauna dan ekosistem kawasan 2. Pengadaan Buku Panduan Pengendalian

flora/fauna dan ekosistem kawasan 3. Pengadaan Buku Panduan Rehabilitasi

kawasan 2. Penelitian/Kajian tentang

keadaan flora dan fauna kawasan 1. Inventarisasi dan Pemetaan Status Flora

dan Fauna di Kawasan 2. Penelitian tentang Dinamika Populasi Flora

dan Fauna 3. Inventarisasi dan identifiksasi Jenis

Tumbuhan Berguna dan Langka di Kawasan 4. Inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis flora

dan fauna eksostik di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

5. Dampak negatif dari kehadiran jenis-jenis eksotik di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

6. Pengembangan jenis-jenis lokal dalam kegiatan pertanian secara luas

7. Inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis flora dan fauna eksotik di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

3. Pembinaan Habitat 1. Inventarisasi dan pemetaan tempat khusus bagi perkembangbiakan, bertelur, dan pemijahan (spawning ground) di kawasan

2. Penelitian tentang dinamika ekosistem di Cagar Alam Teluk Bintuni

3. Pembuatan petak ukur permanen 4. Pembuatan jalur/jalan setapak untuk

keperluan pendidikan dan penelitian 4. Pengendalian

a. Pencegahan Hama dan Penyakit

1. Pemusnahan jenis tumbuhan atau eksotik yang berpotensi ekspansif yang ada di kawasan.

Page 198: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Rencana Kegiatan V - 10

BKSDA Papua II Sorong

No. Kegiatan Pokok Komponen kegiatan 2. Penyuluhan dan sosialiasi larangan

introduksi spesies eksotik. 3. Melakukan penelitian Inventarisasi,

Identifikasi dan Dampak jenis-jenis eksotik yang ada di kawasan CATB.

b. Perlindungan Jenis 1. Melakukan penelitian detail tentang masa bunting satwa buruan untuk menentukan saat berburu masyarakat

2. Membuat papan larangan perburuan satwa dilindungi

3. Membuat brosur, leaflet dan poster imbauan atau larangan berburu satwa dilindungi dan hampir punah

5. Pemulihan a. Pencegahan bahaya erosi-

abrasi dan sedimentasiPembentukan Forum Koordinasi yang mengikutsertakan instansi-instansi terkait.

b. Rehabilitasi Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

1. Penyusunan rencana teknik rehabilitasi kawasan yang rusak.

2. Rehabilitasi kawasan ¶ Pengadaan benih atau bibit tanaman lokal

yang sesuai dengan ekosistem kawasan yang akan direhabilitasi ¶ Penanaman atau rehabillitasi dengan

menggunakan kerjasama dengan masyarakat dan dukungan pihak III ¶ Pemeliharaan tanaman.

1. Penelitian tingkat sedimentasi di beberapa sungai utama di dalam Kawasan.

c. Penelitian yang dapat dilakukan berkaitan dengan upaya pemulihan 2. Penelitian dan kajian kerusakan ekosistem

dan penyebabnya di dalam kawasan CATB. 6. Pengembangan system data

base1. Potensi sumberdaya hayati (flora/fauna) di

Cagar Alam Teluk Bintuni 2. Data sosial ekonomi dan budaya

masyarakat di dalam dan sekitar kawasan 3. Pengumpulan hasil-hasil penelitian dan

pengembangan yang pernah dilakukan di kawasan

7. Kerjasama Pembuatan MOU dalam menunjang kegiatan Pengembangan Konservasi Jenis dan Keanekaragaman Hayati.

B.4 Perlindungan dan Pengamanan Kawasan

Kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan bertujuan untuk meningkatkan upaya

perlindungan hutan serta penegakan hukum di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Perlindungan dan pengamanan kawasan yang akan dilakukan didalam pengelolaan Cagar

Alam Teluk Bintuni adalah pengamanan dalam rangka penggunaan sumberdaya alam,

pelanggaran batas berupa pemukiman penduduk dan perladangan berpindah, penebangan

kayu secara liar, pengumpulan hasil hutan, penggembalaan ternak dan lain-lain.

Page 199: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Rencana Kegiatan V - 11

BKSDA Papua II Sorong

Upaya pengamanan umum yang dimaksud adalah kegiatan-kegiatan untuk mengamankan

dan memonitor setiap gangguan terhadap keutuhan kawasan. Untuk mendukung maka

diperlukan beberapa kegiatan, antara lain :

1. Pengamanan Rutin (patroli). Sesuai dengan prinsip pengelolaan yang efisien dan

cost-effective, pencegahan kerusakan habitat akibat kegiatan pemanfaatan dilakukan

oleh pemanfaat sendirl.

Kegiatan perlindungan dan pengamanan rutin diusulkan dapat dilakukan oleh pengelola

Kawasan (POLHUT), pemantauan berbasis masyarakat atau pihak swasta yang bersifat

sukarela (voluntir) di bawah arahan dan panduan dari pengelola Cagar Alam Teluk

Bintuni, serta pengamanan/patroli gabungan yang melibatkan instansi terkait yang lain.

Patroli gabungan yang bekerjasama dengan instansi terkait perlu dilakukan minimal

setahun dua kali. Demikian pula halnya dengan kerjasama dalam pengamanan yang

bersifat sporadis, berdasarkan laporan masyarakat setempat. Operasi sebaiknya

dilaksanakan jika keadaan keamanan benar-benar membutuhkan dukungan dari unsur

pengamanan lain seperti dari Polri dan TNI serta Pemda. Jika keadaan relatif aman,

maka intensitas operasi gabungan bisa dikurangi atau bahkan ditiadakan.

Pengamanan Cagar Alam Teluk Bintuni memerlukan koordinasi yang baik tidak saja

antar instansi terkait tetapi juga dengan tokoh masyarakat di sekitar kawasan. Oleh

karena itu koordinasi ini harus terus dilakukan dari waktu ke waktu minimal setiap akan

dan setelah pelaksanaan operasi gabungan.

Kegiatan pengamanan harus direncanakan dan apabila perlu, rute patroli dapat

diprogramkan di GPS sebelum berangkat. Sistem patroli harus sporadis agar rutinitas

patroli tidak dapat dipelajari oleh pelanggar. Setiap petugas harus mengetahui batas

kawasan dan peraturannya dan faktor yang dilindungi. Setiap petugas harus juga

mempelajari pola hidup dan kegiatan masyarakat setempat agar dapat mengidentifikasi

pendatang dari luar. Petugas lapangan harus siap bertindak berdasarkan informasi yang

berasal dari masyarakat karena mereka berada di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

setiap hari, mereka merupakan mata pengawasan yang sangat efisien.

2. Penegakan Hukum. Penegakan peraturan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni harus

merupakan lintas sektoral yang melibatkan otoritas pengelola CATB, polisi, Dinas

Perikanan, TNI dan masyarakat setempat. Untuk mendukung kegiatan penegakan

hukum di Kawasan CATB, perlu diusulkan beberapa kegiatan penunjang, yaitu:

¶ Pembuatan Peraturan dan Larangan yang sederhana dan jelas

Peraturan yang ada perlu dievaluasi untuk memastikan relevansi dan

ketepatgunaannya dalam pengamanan kawasan CATB. Upaya untuk membuat

Page 200: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Rencana Kegiatan V - 12

BKSDA Papua II Sorong

peraturan menjadi jelas, bisa dimengerti dan sesuai dengan tujuan konservasi serta

pemanfaatan berkelanjutan perlu dilakukan.

¶ Sosialisasi Peraturan

Aturan harus disosialisasikan dan fungsi serta peran setiap stakeholder harus jelas

sehingga tidak ada interpretasi ganda. Perlu juga dibuat peraturan khusus dan

disepakati semua pihak, terutama peraturan yang melarang semua kegiatan

ekstraktif yang merusak kawasan CATB. Pelarangan penggunaan trawl, bahan

kimia, bom, pelarangan penebangan hutan di CATB untuk usaha kehutanan,

perikanan dan perkebunan perlu dibuat dan dilaksanakan. Khusus untuk masyarakat

adat perlu juga dibuatkan aturan khusus yang menyangkut pemanfaatan eksklusif di

dalam kawasan tetapi dengan syarat tertentu dan mendukung pemanfaatan lestari.

3. Pembuatan Buku Panduan Perlindungan dan Pengamanan Kawasan.

Rangkuman rencana kegiatan yang diusulkan untuk aspek Perlindungan dan Pengamanan

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni disajikan disajikan pada Tabel V-5.

Tabel V-5. Rencana kegiatan pengelolaan untuk aspek Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

No. Kegiatan Pokok Komponen kegiatan

1. Pengamanan Rutin (patroli) 1. Patroli rutin oleh pengelola kawasan

2. Patroli gabungan

3. Patroli rutin berbasis masyarakat dan pihak swasta (voluntir)

2. Penegakan Hukum 1. Pembuatan peraturan khusus tentang larangan dan sanksi bagi perburuan dan pemanfaatan flora dan fauna yang dilindungi

2. Pembuatan aturan sederhana yang menyangkut pemanfaatan eksklusif bersyarat dan lestari di dalam kawasan untuk masyarakat adat

3. Sosisalisasi aturan tentang larangan dan sanksi terhadap kegiatan ilegal di kawasan kepada semua stakeholder

3. Buku Panduan Pengadaan buku Panduan Perlindungan dan pengamanan Kawasan CATB

B.5 Pendukung /Kelembagaan

Kegiatan pendukung/kelembagaan ditujukan untuk memantapkan institusi pengelola kawasan

serta mewujudkan Sumberdaya Manusia (SDM) yang mampu mendukung pengelolaan

kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

Page 201: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Rencana Kegiatan V - 13

BKSDA Papua II Sorong

1. Peningkatan Kapasitas Pengelola. Tekanan terhadap Cagar Alam di masa depan akan

lebih berat dan dibutuhkan kapasitas SDM khususnya Polisi Hutan (POLHUT) yang lebih

baik. Untuk itu perlu ada pelatihan dan training kepada jagawana.

2. Penambahan Jumlah Personil Pengelola. Saat ini petugas di Ressort Teluk Bintuni

hanya ada 2 petugas sementara per 10.000 Ha dibutuhkan 1 orang polisi hutan. Berarti

dibutuhkan 10-12 orang Polisi Hutan (POLHUT) untuk Cagar Alam Teluk Bintuni.

Direncanakan akan ada 10 petugas lapangan, setiap saat 5 di antaranya menjaga

koordinasi dan komunikasi dengan kelompok pemanfaat di lapangan.

Rangkuman rencana kegiatan yang diusulkan untuk aspek Pendukung /Kelembagaan dalam

pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni disajikan disajikan pada Tabel V-6.

Tabel V-6. Rencana kegiatan pengelolaan untuk aspek Pendukung /Kelembagaan dalam pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

No. Kegiatan Pokok Komponen kegiatan

1. Peningkatan Kapasitas Pengelola 1. Pelatihan jagawana voluntir

2. Pelatihan/Penyegaran Polhut

2. Personil Pengelola Penambahan jumlah personil pengelola, khususnya Polisi Hutan (POLHUT)

B.6 Pemanfaatan

Kegiatan pemanfaatan yang dimaksud disini lebih banyak difokuskan pada kegiatan

pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan oleh masyarakat di dalam dan sekitar kawasan.

Dari survei dan pertemuan dengan masyarakat dalam pembahasan rencana pengelolaan

kawasan ternyata bahwa masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan sangat

menggantungkan kehidupan sehari-hari mereka pada keberadaan Cagar Alam.

Pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan sudah dilakukan sejak lama dan turun temurun

sebelum daerah ini ditunjuk sebagai Kawasan Konservasi. Walaupun demikian, masyarakat

adat yang merupakan pemilik hak ulayat kawasan dan bermukim di dalam dan sekitar

kawasan masih berkomitmen untuk menjaga keberadaan CATB dengan membangun suatu

kesepakatan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di dalam kawasan CATB

yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam ini seperti yang telah di bahas pada

Bab V.

1. Buku Panduan. Pedoman ini merupakan buku saku/juknis/pedoman kegiatan

pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan. Pedoman ini nantinya akan diperuntukan

kepada pengelola kawasan khususnya Polisi Hutan (POLHUT) dan kelompok masyarakat

pemanfaat.

Page 202: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Rencana Kegiatan V - 14

BKSDA Papua II Sorong

2. Pemanfaatan Hasil Perikanan. Penduduk yang memiliki hak ulayat dan tinggal di dalam

dan sekitar kawasan diperbolehkan memanfaatkan hasil perikanan dari dalam kawasan

secara tradisional. Pengembangan dan pengawasan pemanfaatan hasil setempat

dilakukan Balai KSDA cq Ressort pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni dengan pemilik

hak ulayat yang tinggal dan menetap di dalam dan sekitar kawasan berdasarkan

kesepakatan bersama. Kesepakatan ini juga mencakup pemanfaatan oleh masyarakat

desa sekitar kawasan yang bukan pemilik hak ulayat.

Sistem pengaturan pemanfaatan tradisional sumberdaya perikanan seharusnya dilakukan

masyarakat pemilik hak ulayat dan tinggal dan menetap di dalam dan sekitar kawasan

secara tertulis dengan bimbingan BKSDA. Untuk itu, pengelola cagar alam harus

membangun pemahaman dan pentingnya kearifan tradisional dikembangkan dan dapat

diketahui pihak lain.

Pengembangan usaha perikanan di dalam kawasan hanya diperkenankan kepada

pemilik hak ulayat dan tinggal di dalam dan sekitar kawasan. Usulan untuk

pengembangan usaha budidaya lain misalnya budidaya ikan di sungai dengan keramba

harus diajukan kepada pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni dan bimbingan teknis untuk

pemanfaatan dilakukan bekerjasama dengan instansi terkait (Dinas Perikanan dan

Kelautan) dan Mitra Pesisir.

Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan adalah :

¶ Penyuluhan manfaat perlindungan kawasan mangrove bagi produksi perikanan

¶ Pembinaan masyarakat soal pemanfaatan perikanan di dalam kawasan yang ramah

lingkungan dan tidak merusak mangrove, bekerjasama dengan Dinas Perikanan dan

Kelautan serta LSM Mitra Pesisir, seperti :

o Pelatihan budidaya ikan dalam keramba apung di sungai

o Pengenalan sistem “sasi” agar ada peluang recovery dari sumberdaya yang

dimanfaatkan

o Pelatihan pembuatan dan perbaikan jaring penangkap ikan, bekerjasama

dengan Dinas Perikanan dan Kelautan

¶ Melakukan sosialisasi larangan penggunaan bahan kimia di dalam kawasan Cagar

Alam

3. Pemanfaatan Hasil Pertanian dan Perburuan. Ancaman utama dari kegiatan pertanian

dan perkebunan di dalam dan sekitar kawasan adalah penggunaan pestisida, herbisida

dan pupuk buatan, dan masalah lainnya menyangkut konservasi tanah. Pengelola Cagar

Alam Teluk Bintuni akan bekerja sama dengan Dinas Pertanian dalam memfasilitasi

masyarakat yang ada di sekitar dan dalam kawasan kepada akses terhadap pola

Page 203: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Rencana Kegiatan V - 15

BKSDA Papua II Sorong

pertanian yang lebih efisien. Dengan pengembangan pola pertanian dan perkebunan

yang lebih efisien kecenderungan untuk perluasan lahan dapat dicegah, serta

pendapatan petani dapat ditingkatkan.

Usaha pertanian dan kebun masyarakat di dalam kawasan dimungkinkan jika

peruntukannya adalah untuk konsumsi sehari-hari dan harus dipetakan untuk mencegah

perluasan. Pengembangan usaha perkebunan dengan skala luas dan jenis introduksi

dilarang dilakukan di dalam kawasan. Pengembangan kawasan budidaya perkebunan di

sekitar kawasan harus berkoordinasi dengan BKSDA agar tidak terjadi tumpang tindih

kawasan. Berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan masyarakat, ada beberapa

kegiatan yang bisa dilakukan, antara lain adalah :

¶ Penyuluhan tentang pentingnya sistem Pertanian dengan memperhatikan kelestarian

lingkungan

¶ Penerapan Sistem Pertanian yang Berkelanjutan

o Pengenalan sistem agroforestry khusus bagi penduduk yang ada di dalam

kawasan

o Pelatihan budidaya pertanian menetap secara terbatas pada pemukiman

penduduk di dalam kawasan

o Penyediaan bibit tanaman setempat.

¶ Pemanfaatan terbatas satwa liar

o Pengembangan dan Pembinaan upaya perbesaran buaya di desa Naramasa,

Yensei, Yakati, Mamuranu

o Pembinaan pengaturan waktu berburu sesuai dengan hasil penelitian yang

dilakukan

o Pelatihan dan bimbingan teknis pembuatan kerajinan dari kulit buaya di Desa

Naramasa, Yensei dan Yakati

o Pelatihan dan bimbingan teknis untuk pembuatan dendeng manis, abon dari

daging babi dan rusa, bekerjasama dengan Dinas Perindustrian Kabupaten

¶ Penyuluhan dan sosialisasi masa berburu berdasarkan hasil kajian/penelitian.

4. Penelitian. Kegiatan penelitian disini lebih difokuskan pada studi dalam rangka

mendukung kegiatan pemanfaatan oleh masyarakat secara lestari dan berkelanjutan.

5. Kerjasama. Kerjasama ditujukan untuk membangun kesepahaman bersama dengan

stakeholder terkait seperti Dinas Perikanan, Dinas Pertanian, dan Dinas Kehutanan

Kabupaten Teluk Bintuni dalam menunjang kegiatan pengelolaan kawasan, khususnya

aspek pemanfaatan secara lestari dan berkelanjutan.

Page 204: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Rencana Kegiatan V - 16

BKSDA Papua II Sorong

6. Pengembangan Sistem Data Base. Kegiatan ini dimaksudkan untuk pemutakhiran

informasi kawasan khususnya hasil-hasil kajian yang berhubungan dengan pemanfaatan

sumberdaya alam oleh penduduk yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan.

Rangkuman rencana kegiatan yang diusulkan untuk aspek Pemanfaatan sumberdaya alam di

kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni disajikan disajikan pada Tabel V-7.

Tabel V-7. Rencana kegiatan pengelolaan untuk aspek Pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.

No. Kegiatan Pokok Komponen kegiatan

1. Buku Panduan Pengadaan Buku Panduan Pemanfaatan

2. Pemanfaatan Hasil Perikanan 1. Penyuluhan bersama Dinas Kelautan dan Perikanan tentang manfaat perlindungan kawasan mangrove bagi produksi perikanan

2. Sosialisasi larangan penggunaan bahan kimia di dalam kawasan Cagar Alam

3. Pelatihan pengenalan system “Sasi”.

4. Pelatihan dan pendampingan pembuatan keramba apung di sungai

5. Pelatihan pembuatan dan perbaikan jaring

3. Pemanfaatan Hasil Pertanian dan Perburuan

1. Penyuluhan bersama Dinas Pertanian Penyuluhan tentang pentingnya sistem Pertanian dengan memperhatikan kelestarian lingkungan

2. Pengenalan sistem agroforestri.

3. Pelatihan budidaya pertanian menetap, terutama di kampung yang berada di dalam kawasan CATB

4. Pelatihan pembesaran anakan buaya

5. Pelatihan/bimbingan teknis pembuatan kerajinan dari bahan baku kulit buaya

6. Pelatihan/bimbingan teknis pembuatan dendeng manis dan abon dari daging rusa

7. Pengenalan cara perburuan satwa liar seperti rusa dan babi hutan dengan memperhatikan waktu-waktu beranak dan mengasuh anak

4. Penelitian 1. Penelitian dan kajian pola perkembangbiakan satwa dan lokasi perburuan

2. Penelitian dan kajian teknik perbanyakan tanaman, khususnya tanaman berguna di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

Page 205: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Rencana Kegiatan V - 17

BKSDA Papua II Sorong

No. Kegiatan Pokok Komponen kegiatan

3. Penelitian dan kajian tentang pola siklus hidup biota laut tertentu seperti ikan, udang, dan kepiting (karaka) di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

4. Inventarisasi jenis-jenis komoditi pertanian setempat

5. Kerjasama Pembuatan MOU dengan stakeholder terkait untuk menunjang kegiatan pemanfaatan.

6. Pengembangan sistem data base 1. Potensi sumberdaya hayati (flora/fauna) berguna

di Cagar Alam Teluk Bintuni

2. Musim perkembang biakan flora dan fauna di

Cagar Alam Teluk Bintuni

C. SARANA DAN PRASARANA

Membuat rencana pembangunan sarana dan prasarana dengan prioritas pentahapan

pembangunannya. Dalam perencanaan ini perlu dipertimbangkan guna kepentingan

pengelolaannya antara lain :

C.1. Sarana prasarana pengelolaan :

a. Bangunan kantor

Mengingat Cagar Alam Teluk Bintuni berada pada Kabupaten yang akan berkembang

sangat cepat, sarana kantor sangat dibutuhkan, baik sebagai pusat kegiatan pengelolaan

maupun pusat informasi. Kebutuhan sarana yang harus dilengkapi adalah :

¶ Pembebasan lahan : 500 m2

¶ Bangunan kantor : 1 Unit, ukuran 90 m2.

¶ Barak polisi hutan : 1 unit, untuk 6 keluarga, 108 m2

¶ Sarana listrik : 1 unit Genset 3 KW

¶ Sarana air bersih : Sumur bor, mesin air dan tower air

¶ Sarana Komunikasi : SSB 1 unit, Handy talky 7 unit dan menara SSB

¶ Sarana Transportasi : Motor 2 unit,

1 unit Speedboat 80 pk

1 unit longboat 40 pk

¶ Sarana kerja : 3 unit CPU + printer + peralatan kantor lainnya

7 unit GPS

7 unit kompas suunto

Page 206: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Rencana Kegiatan V - 18

BKSDA Papua II Sorong

b. Jalan patroli

Di Cagar Alam harus ada jalan patroli, yang dapat menjangkau keseluruh kawasan

sehingga memudahkan bagi petugas untuk melaksanakan tugasnya. Di CA Teluk

Bintuni, jalur air merupakan salah satu cara yang terpenting. Tetapi pada batas kawasan

yang berbatasan dengan hutan dataran rendah, jalan patroli dapat digabung bersama

jalur batas rintisan sehingga lebih efisien (berkaitan dengan pemeliharaan batas

kawasan). Aktivitas patroli bisa dilakukan bersamaan dengan pemeliharaan batas.

c. Pondok kerja

Bangunan ini diperuntukan bagi unit pengelola terkecil, dilengkapi dengan perlengkapan

yang memadai untuk kegiatan yang akan ditangani di tempat tersebut. Pondok kerja di

dalam CA Teluk Bintuni direncanakan akan menjadi 4 unit di luar kantor. Letak pondok

kerja ini adalah di Kampung Banjar Ausoy, Naramasa, Kampung Mamuranu dan Tirasai.

Sarana yang dibutuhkan antara lain :

¶ Pembebasan lahan : 3 unit, ukuran setiap lokasi 100 m2

¶ Bangunan pondok kerja : 3 unit, ukuran setiap pondok 48 m2

¶ Generator listrik : 3 unit kapasitas 2.5 KW

¶ Pompa air : 3 unit sumur bor, pompa air dan tower

¶ Sarana Komunikasi : SSB 3 unit, Handy talky 3 unit

¶ Peralatan Kerja : 3 unit Mesin Tik 80 cm

3 unit GPS

d. Pondok jaga dan Menara Pengawas

Untuk pengamatan satwa, sarana ini penting untuk : pengamatan satwa, keindahan alam

dan kebakaran. Lokasi pembangunan menara pengamat adalah di Awarepi, Simeri,

Pulau Modan, Pulau Bore.

C.2. Sarana prasarana pendidikan

a. Pusat informasi

Di Cagar Alam Teluk Bintuni, kantor dapat difungsikan sebagai pusat informasi.

b. Papan petunjuk

Sarana ini harus ada di Cagar Alam. Termasuk di dalam papan petunjuk ini adalah papan

pengumuman, papan larangan dan rambu-rambu peringatan. Penempatan diatur di

tempat yang strategis mudah dilihat.

¶ Papan Petunjuk ttg kawasan : 50 unit

¶ Papan Larangan & informasi : 100 unit, diutamakan di jalur batas rintisan yang berdekatan dengan kampung

Page 207: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Rencana Kegiatan V - 19

BKSDA Papua II Sorong

c. Jalan setapak

Di Cagar Alam sarana ini diperuntukan sebagai sarana patroli dan pendidikan, yang

berfungsi untuk pengamanan dan memudahkan melihat obyek wisata tertentu di Cagar

Alam Teluk Bintuni. Jalan setapak permanen di dalam kawasan mangrove dibangun pada

tempat yang ada menara pengamat dan petak ukur permanen saja.

C.3. Sarana dan prasarana penelitian

a. Pusat informasi dan sarana penelitian

Bangunan ini dapat dibuat di dalam kawasan sesuai kepentingannya. Di Cagar Alam

Teluk Bintuni, pusat informasi dan data base dibangun bersamaan dengan kantor (satu

bangunan). Disamping itu, perlu juga dibangun beberapa sarana seperti :

¶ Pembangunan stasiun iklim dan cuaca

Karena situasi iklim dan cuaca belum diketahui dengan pasti, maka perlu

dibangun stasiun klimatologi dan meteorologi. Data dan informasi dari stasiun ini

dapat digunakan untuk kelengkapan data base dan sistem informasi geografis

kawasan. Curah hujan di kawasan dan sekitarnya berlangsung sepanjang tahun,

dan jarang terjadi bulan kering.

¶ Stasiun pengamat air sungai otomatis (AWLR : automatic water level recording)

Pembangunan AWLR sangat membantu pengelola CATB dalam memantau

dampak dari perubahan penggunaan lahan yang ada di hulu terhadap CATB.

Lokasi yang diusulkan dibangun AWLR adalah Sungai Muturi,

¶ Pembuatan pondok penelitian terapung

Pondok peneliti untuk kebutuhan penelitian di dalam Cagar Alam Teluk Bintuni

sebaiknya tidak dibangun di banyak tempat. Untuk itu perlu dikembangkan dan

dibangun pondok peneliti terapung yang bisa dipindah-pindah tergantung lokasi

wilayah penelitian. Ini akan membuat waktu penelitian tidak terbuang akibat

mobilitas yang terbatas. Pondok ini bisa dipindah dengan menggunakan

longboat

b. Jalan rintis penelitian

Dibuat sesuai kepentingan dan sederhana.

c. Laboratorium alam (areal penelitian)

Penempatan areal lokasi penelitian disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku. Yang

dapat dilakukan adalah membangun petak ukur permanen. Lokasi pengamatan atau

Page 208: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Rencana Kegiatan V - 20

BKSDA Papua II Sorong

laboratorium alam akan sangat tergantung dari penelitian tentang pemetaan flora-fauna di

dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

d. Pondok atau rumah tamu peneliti

Pondok peneliti permanen dibangun disamping bangunan kantor pengelola Cagar Alam

Teluk Bintuni. Sarana penelitian berupa pondok peneliti yang punya mobilitas tinggi juga

dibangun dengan membuat pondok yang bisa dipindah-pindah di sungai dengan ditarik

boat. Ini sesuai dengan areal Cagar Alam yang didominasi areal sungai dan mangrove.

Page 209: Bintuni Indonesian Screen

Re

ncan

a Pe

ngelo

laan

Cag

ar A

lam

Telu

k Bi

ntun

i

Pem

biay

aan

V

I - 1

BKSD

A Pa

pua I

I Sor

ong

VI.

PEM

BIA

YAA

N

A.

Sum

ber D

ana

Sum

ber

dana

dal

am p

emba

ngun

an d

an p

enge

lola

an C

agar

Ala

m d

an S

uaka

Mar

gasa

twa

dapa

t m

engg

unak

an d

ana

AP

BN

, N

on A

PB

N a

tau

dana

lain

nya

anta

ra la

in b

erup

a ba

ntua

n da

lam

dan

luar

neg

eri.

Pen

ggal

anga

n bi

aya

peng

elol

aan

dari

swas

ta k

husu

snya

yan

g ad

a di

dae

rah

Kab

upat

en

Bin

tuni

dap

at d

ilaku

kan

oleh

pen

gelo

la d

enga

n se

peng

etah

uan

Kep

ala

Bala

i KS

DA

Pap

ua I

I S

oron

g.

Ban

tuan

dan

duk

unga

n in

i tid

ak h

arus

dal

am

bent

uk u

ang

teta

pi d

apat

dal

am b

entu

k ba

rang

. Mis

alny

a, s

umba

ngan

dal

am b

entu

k pe

ngad

aan

sara

na k

omun

ikas

i, pa

troli

atau

ban

guna

n ka

ntor

.

Ban

tuan

juga

dap

at d

igal

ang

oleh

LS

M a

tau

orga

nisa

si la

inny

a da

n pe

laks

anaa

n pe

mba

ngun

an ju

ga d

apat

dila

kuka

n ol

eh p

ihak

ket

iga

yang

ditu

njuk

pem

beri

- pe

ngga

lang

dan

a te

tapi

har

us s

epen

geta

huan

BK

SD

A P

apua

II

Sor

ong.

S

emua

ass

et y

ang

diba

ngun

di d

alam

kaw

asan

ata

u m

endu

kung

pela

ksan

aan

peng

elol

aan

kaw

asan

Cag

ar A

lam

Tel

uk B

intu

ni m

enja

di a

sset

dar

i Cag

ar A

lam

ata

u pe

mer

inta

h In

done

sia.

Mek

anis

me

peng

usul

an

perm

ohon

an b

antu

an k

egia

tan

dan

pena

nggu

ngja

wab

pel

aksa

naan

dis

ajik

an d

alam

Gam

bar V

I-1. P

ropo

sal D

ana

Dis

etuj

ui

Usu

lan

Pem

bang

unan

ata

u A

ktiv

itas

Pen

gelo

laan

Cag

ar A

lam

Pro

posa

l Pen

gelo

laan

Pro

posa

l Pen

eliti

an

¶ P

ropo

sal P

emba

ngun

an S

aran

a

Pen

gelo

la C

ATB

B

KS

DA

Pap

ua II

S

oron

g

Pem

buat

Usu

lan

Pro

gram

/Keg

iata

n

Dep

arte

men

K

ehut

anan

Pem

beri

Dan

a

Sw

asta

NG

O/L

SM

Neg

ara

Asin

g

Pel

aksa

naan

- Im

plem

enta

si

Pem

erin

tah

Indo

nesi

a

Pena

nggu

ngja

wab

: B

KS

DA

Pap

ua II

Sor

ong

Pela

ksan

a :

Pen

gelo

la T

ekni

s C

agar

Ala

m T

eluk

Bin

tuni

S

was

ta

LSM

Gam

bar V

I-1.

Alu

r Pen

gusu

lan

Pel

aksa

naan

Keg

iata

n da

n Im

plem

enta

si K

egia

tan

Page 210: Bintuni Indonesian Screen

Re

ncan

a Pe

ngelo

laan

Cag

ar A

lam

Telu

k Bi

ntun

i

Pem

biay

aan

V

I - 2

BKSD

A Pa

pua I

I Sor

ong

B.

Rin

cian

Bia

ya

Rin

cian

bia

ya u

ntuk

keg

iata

n pe

ngel

olaa

n di

sajik

an d

alam

Tab

el V

I-1 d

an T

abel

VI-2

sed

angk

an u

ntuk

renc

ana

biay

a pe

ngad

aan

sara

na d

an p

rasa

ran

penu

njan

g ke

giat

an p

enge

lola

an d

isaj

ikan

pad

a Ta

bel V

I-3. d

an T

abel

VI-4

.

Tabe

l VI-1

. R

enca

na a

loka

si b

iaya

pen

gelo

laan

Kaw

asan

CA

TB ja

ngka

pen

dek

(tahu

nan)

pad

a pe

riode

5 ta

hun

perta

ma

(200

6-20

10).

Ren

cana

Bia

ya p

ada

Perio

de T

ahun

ke

(x`0

00)

No

Keg

iata

n K

ompo

nen

Volu

me

Satu

an

Har

gaSa

tuan

(R

p)

2006

2007

2008

2009

2010

Tota

l 5

tahu

n (x

’000

)

1 Pe

man

tapa

n K

awas

an

a.

Kep

astia

n H

ukum

kaw

asan

P

embu

atan

SK

Def

eniti

f -

-

-

-

1.

Pem

buat

an S

K B

upat

i -

-

-

-

b.

Pen

gaku

an K

eber

adaa

n C

agar

Ala

m

Telu

k B

intu

ni s

ecar

a le

gal f

orm

al o

leh

Pem

erin

tah

Dae

rah

2.

Pem

buat

an P

erda

tent

ang

Cag

ar A

lam

-

-

-

-

c.

Rek

onst

ruks

i Pal

Bat

as1.

Pem

buat

an J

alur

Rin

tisan

dan

jala

n se

tapa

k (k

m)

125

Km

900

,000

22

,500

22

,500

22

,500

22

,500

22

,500

112,

500

2. P

embu

atan

Pal

bat

as

1 P

aket

1

,114

,000

1

,114

1

,114

3. P

embu

atan

Pla

t Sen

g ta

nda

bata

s 1

Pak

et

3,1

00,0

00

3,1

00

3,1

00

d. K

erja

sam

a P

embu

atan

MO

U d

enga

n st

akeh

olde

r te

rkai

t unt

uk k

egia

tan

Rek

onst

ruks

i Pal

B

atas

-

-

-

-

2 Pe

ning

kata

n Ef

ektif

itas

Peng

elol

aan

Kaw

asan

a.

Buk

u S

aku/

Jukn

is/P

edom

an K

egia

tan

Pen

gelo

laan

Kaw

asan

1.

Pen

gada

an b

uku

saku

/pan

duan

pe

mel

ihar

aan

bata

s ka

was

an

20

Uni

t

3

0,00

0 1

,200

1

,200

2. P

enga

daan

buk

u sa

ku/p

andu

an/ju

knis

ke

giat

an p

enge

lola

an p

oten

si k

awas

an.

20

Uni

t

3

0,00

0 1

,200

1

,200

3. P

enga

daan

buk

u sa

ku/p

andu

an/ju

knis

ke

giat

an p

erlin

dung

an d

an

peng

aman

an k

awas

an.

20

Uni

t

3

0,00

0 1

,200

1

,200

b.

Pap

an P

etun

juk

Kaw

asan

P

embu

atan

Pap

an P

engu

mum

an d

an

Pet

unju

k K

awas

an

50

Pak

et

1,6

50,0

00

41

,250

41,2

50

82,

500

Page 211: Bintuni Indonesian Screen

Re

ncan

a Pe

ngelo

laan

Cag

ar A

lam

Telu

k Bi

ntun

i

Pem

biay

aan

V

I - 3

BKSD

A Pa

pua I

I Sor

ong

Ren

cana

Bia

ya p

ada

Perio

de T

ahun

ke

(x`0

00)

No

Keg

iata

n K

ompo

nen

Volu

me

Satu

an

Har

gaSa

tuan

(R

p)

2006

2007

2008

2009

2010

Tota

l 5

tahu

n (x

’000

)

c.

Pem

elih

araa

n B

atas

Kaw

asan

1.

Pem

elih

araa

n Ja

lur

Rin

tisan

dan

jala

n se

tapa

k (k

m)

50

Km

900

,000

22,5

00

22,5

00

45,0

00

2.P

engg

antia

n P

al R

usak

1

Pak

et

1,1

14,0

00

-

-

-

1

,114

1

,114

3.P

embu

atan

Pla

t Sen

g ta

nda

bata

s 1

Pak

et

3,1

00,0

00

-

-

-

3

,100

3

,100

d. K

ajia

n po

tens

i fun

gsi k

awas

an

1. Id

entif

ikas

i Tip

e E

kosi

stem

dan

pe

met

aan

penu

tupa

n la

han

di C

ATB

-

-

-

-

-

-

-

-

-

2. P

enat

aan

dan

pem

buat

an p

eta

Pen

utup

an L

ahan

di D

alam

Kaw

asan

-

-

-

-

-

-

-

-

-

e.

Pem

buat

an P

oste

r/Lea

ftlet

1.

Pen

gada

an P

oste

r Pem

anfa

atan

Le

star

i15

0 P

aket

2

2,50

0 3

,375

-

-

-

-

3

,375

2. P

enga

daan

Pos

ter J

enis

-Jen

is

Flor

a/Fa

una

lang

ka d

an d

i lin

dung

i di

Kaw

asan

CA

TB

150

Pak

et

22,

500

- 3

,375

-

- 3

,375

3

,375

3. P

enga

daan

Pos

ter

tent

ang

kond

isi

ekos

iste

m d

i Kaw

asan

CA

TB

150

Pak

et

22,

500

- -

- -

3,3

75

3,3

75

g. P

embi

naan

mas

yara

kat

Pem

bina

an m

asya

raka

t yan

g be

rmuk

im d

i bl

ok p

enya

ngga

Kaw

asan

ten

tang

pe

ntin

gnya

keb

erad

aan

kaw

asan

seb

agai

pe

nyan

gga

sist

em k

ehid

upan

5 P

aket

9

,900

,000

9

,900

9

,900

9

,900

9

,900

9

,900

49,

500

h.

Pel

ibat

an M

asya

raka

t dal

am K

egia

tan

Pen

gelo

laan

Kaw

asan

P

embu

atan

Kel

ompo

k K

erja

1

Pak

et

10,4

50,0

00

10,4

50

- -

- -

-

i.

Pen

eliti

an

Pen

eliti

an te

ntan

g da

mpa

k lin

gkun

gan

1 P

aket

37

,500

,000

-

- -

37,5

00

- 37

,500

Kaj

ian

tent

ang

dam

pak

dari

renc

ana

pem

bang

unan

wila

yah

1 P

aket

37

,500

,000

-

- 37

,500

-

- 37

,500

j. S

iste

m In

form

asi G

eogr

afis

dan

D

atab

ase

Pen

gada

an s

yste

m in

form

asi g

eogr

afis

(S

IG) d

an p

emut

akhi

ran

data

has

il-ha

sil

pene

ltian

1 P

aket

37

,500

,000

-

- -

- 37

,500

37

,500

3 Pe

ngem

bang

an K

onse

rvas

i Jen

is d

an K

eane

kara

gam

an H

ayat

i

a.

Buk

u P

andu

an

1. P

enga

daan

Buk

u P

andu

an

Pem

elih

araa

n flo

ra/fa

una

dan

ekos

iste

m k

awas

an

1 P

aket

10

,000

,000

-

10,0

00-

- -

1

0,00

0

Page 212: Bintuni Indonesian Screen

Re

ncan

a Pe

ngelo

laan

Cag

ar A

lam

Telu

k Bi

ntun

i

Pem

biay

aan

V

I - 4

BKSD

A Pa

pua I

I Sor

ong

Ren

cana

Bia

ya p

ada

Perio

de T

ahun

ke

(x`0

00)

No

Keg

iata

n K

ompo

nen

Volu

me

Satu

an

Har

gaSa

tuan

(R

p)

2006

2007

2008

2009

2010

Tota

l 5

tahu

n (x

’000

)

2. P

enga

daan

Buk

u P

andu

an

Pen

gend

alia

n flo

ra/fa

una

dan

ekos

iste

m k

awas

an

1 P

aket

10

,000

,000

-

- -

10,0

00

-

10,

000

b.

Pen

eliti

an/K

ajia

n te

ntan

g ke

adaa

n flo

ra

dan

faun

a ka

was

an

1. In

vent

aris

asi d

an P

emet

aan

jeni

s Fl

ora

dan

Faun

a di

Kaw

asan

1

Pak

et

37,5

00,0

00

37,5

00

37,5

00

2. P

enel

itian

ttg

Din

amik

a P

opul

asi F

lora

da

n Fa

una

1 P

aket

37

,500

,000

37

,500

37

,500

3. I

nven

taris

asi d

an id

entif

iksa

si J

enis

Tu

mbu

han

Ber

guna

dan

Lan

gka

di

Kaw

asan

5 P

aket

37

,500

,000

37

,500

37

,500

4. I

nven

taris

asi d

an id

entif

ikas

i jen

is-je

nis

flora

dan

faun

a ek

sost

ik d

i kaw

asan

C

agar

Ala

m T

eluk

Bin

tuni

1

Pak

et

37,5

00,0

00

37,5

00

37,5

00

5. D

ampa

k ne

gatif

dar

i keh

adira

n je

nis-

jeni

s ek

sotik

di k

awas

an C

agar

Ala

m

Telu

k B

intu

ni

1 P

aket

37

,500

,000

37,5

00

37

,500

6. P

enge

mba

ngan

jeni

s-je

nis

loka

l dal

am

kegi

atan

per

tani

an s

ecar

a lu

as

1 P

aket

37

,500

,000

37

,500

37

,500

c.

Pem

bina

an H

abita

t 1.

Inv

enta

risas

i dan

pem

etaa

n te

mpa

t kh

usus

bag

i per

kem

bang

biak

an,

berte

lur,

dan

pem

ijaha

n (s

paw

ning

grou

nd) d

i kaw

asan

3 P

aket

37

,500

,000

37,5

00

37

,500

2. P

enel

itian

tent

ang

dina

mik

a ek

osis

tem

di

Cag

ar A

lam

Tel

uk B

intu

ni

2 P

aket

37

,500

,000

37

,500

37

,500

3. P

embu

atan

pet

ak u

kur p

erm

anen

1

Pak

et

16,9

50,0

00

16

,950

1

6,95

0

4. P

embu

atan

jalu

r/jal

an s

etap

ak u

ntuk

ke

perlu

an p

endi

dika

n da

n pe

nelit

ian.

1

Km

6

5,00

0

65,0

00

65,

000

d.

Pen

gend

alia

n

a.

Pen

cega

han

Ham

a da

n P

enya

kit

1.

Pem

usna

han

jeni

s tu

mbu

han

atau

ek

sotik

ya

ng

berp

oten

si

eksp

ansi

f ya

ng a

da d

i Kaw

asan

. 1

Pak

et

9,9

00,0

00

9

,900

2.

Pen

yulu

han

dan

sosi

alia

si la

rang

an

intro

duks

i spe

sies

eks

otik

. 2

Pak

et

9,9

00,0

00

9,9

00

9,9

00

Page 213: Bintuni Indonesian Screen

Re

ncan

a Pe

ngelo

laan

Cag

ar A

lam

Telu

k Bi

ntun

i

Pem

biay

aan

V

I - 5

BKSD

A Pa

pua I

I Sor

ong

Ren

cana

Bia

ya p

ada

Perio

de T

ahun

ke

(x`0

00)

No

Keg

iata

n K

ompo

nen

Volu

me

Satu

an

Har

gaSa

tuan

(R

p)

2006

2007

2008

2009

2010

Tota

l 5

tahu

n (x

’000

)

b. P

erlin

dung

an J

enis

1.

Mel

akuk

an p

enel

itian

det

ail t

enta

ng

mas

a bu

ntin

g sa

twa

buru

an u

ntuk

m

enen

tuka

n sa

at b

erbu

ru m

asya

raka

t

2.

Mem

buat

pap

an la

rang

an p

erbu

ruan

sa

twa

dilin

dung

i 10

P

aket

16

,500

,000

16,5

00

16

,500

3.

Mem

buat

bro

sur,

leaf

let d

an p

oste

r im

baua

n at

au la

rang

an b

erbu

ru s

atw

a di

lindu

ngi d

an h

ampi

r pun

ah

e.

Pem

ulih

an

a.

Pen

cega

han

baha

ya e

rosi

-abr

asi d

an

sedi

men

tasi

Pem

bent

ukan

For

um K

oord

inas

i yan

g m

engi

kuts

erta

kan

irsta

nsi-i

nsta

nsi t

erka

it.

b.

Reh

abili

tasi

Kaw

asan

Cag

ar A

lam

Te

luk

Bin

tuni

1.

P

enyu

suna

n re

ncan

a te

knik

re

habi

litas

i kaw

asan

yan

g ru

sak.

1

Pak

et

9,90

0,00

0

9,

900

9,90

0

2.

Reh

abili

tasi

kaw

asan

¶ P

enga

daan

ben

ih a

tau

bibi

t ta

nam

an lo

kal y

ang

sesu

ai

deng

an e

kosi

stem

kaw

asan

ya

ng a

kan

dire

habi

litas

i.

¶ P

enan

aman

ata

u re

habi

llita

si

deng

an m

engg

unak

an

kerja

sam

a de

ngan

mas

yara

kat

dan

duku

ngan

pih

ak II

I.

c. P

enel

tian

1. P

enel

itian

ting

kat d

an la

ju s

edim

enta

si

di b

eber

apa

sung

ai y

ang

berm

uara

di

kaw

asan

1

Pak

et

37,5

00,0

00

37

,500

3

7,50

0

2. P

enel

itian

dan

kaj

ian

laju

ker

usak

an

ekos

iste

m d

an p

enye

babn

ya d

i ka

was

an C

agar

Ala

m T

eluk

Bin

tuni

1

Pak

et

37,5

00,0

00

37,5

00

3

7,50

0

f.

Pen

gem

bang

an s

yste

m d

ata

base

1.

Pot

ensi

sum

berd

aya

haya

ti (fl

ora/

faun

a) d

i Cag

ar A

lam

Tel

uk

Bin

tuni

2 P

aket

10

.000

.000

10

.000

10

.000

20.0

00

2. D

ata

sosi

al e

kono

mi d

an b

uday

a m

asya

raka

t di d

alam

dan

sek

itar

kaw

asan

2

Pak

et

10.0

00.0

00

10.0

00

10.0

00

20

.000

Page 214: Bintuni Indonesian Screen

Re

ncan

a Pe

ngelo

laan

Cag

ar A

lam

Telu

k Bi

ntun

i

Pem

biay

aan

V

I - 6

BKSD

A Pa

pua I

I Sor

ong

Ren

cana

Bia

ya p

ada

Perio

de T

ahun

ke

(x`0

00)

No

Keg

iata

n K

ompo

nen

Volu

me

Satu

an

Har

gaSa

tuan

(R

p)

2006

2007

2008

2009

2010

Tota

l 5

tahu

n (x

’000

)

3. P

engu

mpu

lan

hasi

l-has

il pe

nelit

ian

dan

peng

emba

ngan

yan

g pe

rnah

dila

kuka

n di

kaw

asan

5

Pak

et

5,0

00,0

00

5,0

00

5,0

00

5,0

00

5,0

00

5,0

00

2

5,00

0

e. K

erja

sam

a

Pem

buat

an M

OU

dal

am m

enun

jang

ke

giat

an P

enge

mba

ngan

Kon

serv

asi

Jeni

s da

n K

eane

kara

gam

an H

ayat

i 1

Pak

et

5,0

00,0

00

5,0

00

5,0

00

4.

Perli

ndun

gan

dan

Peng

aman

an K

awas

an

a.

Pen

gam

anan

Rut

in (p

atro

li)

1. P

atro

li ru

tin o

leh

peng

elol

a ka

was

an

240

Pak

et

1

20,0

00

5,7

60

5,7

60

5,7

60

5,7

60

5,7

60

2

8,80

0

2. P

atro

li ga

bung

an

5 P

aket

9

,500

,000

9

,500

9

,500

9

,500

9

,500

9

,500

47,

500

3. P

atro

li ru

tin b

erba

sis

mas

yara

kat d

an

piha

k sw

asta

(vol

unte

er)

5 P

aket

-

Vol

untir

e.

Pen

egak

an H

ukum

1.

Pem

buat

an p

erat

uran

khu

sus

tent

ang

lara

ngan

dan

san

gsi b

agi p

erbu

ruan

da

n pe

man

faat

an fl

ora

dan

faun

a ya

ng

dilin

dung

i

- U

nit

-

-

2. P

embu

atan

atu

ran

sede

rhan

a ya

ng

men

yang

kut p

eman

faat

an e

kskl

usif

bers

yara

t dan

lest

ari d

i dal

am k

awas

an

untu

k m

asya

raka

t ada

t

- U

nit

-

-

3. S

osis

alis

asi a

tura

n te

ntan

g la

rang

an

dan

sang

si te

rhad

ap k

egia

tan

ilega

l di

kaw

asan

kep

ada

sem

ua s

take

hold

er

d.

Pem

buat

an P

andu

an

Buk

u P

andu

an P

erlin

dung

an d

an

peng

aman

an K

awas

an C

ATB

5.

Pend

ukun

g /K

elem

baga

an

a. P

erso

nil P

enge

lola

P

enam

baha

n pe

rson

il pe

ngel

ola

kaw

asan

P

HK

A

b. P

elat

ihan

/Pen

yega

ran

1. P

elat

ihan

jaga

wan

a vo

lunt

eer

6 pa

ket

7.50

0.00

0 15

.000

7.

500

7.50

0 7.

500

7.50

0 45

.000

2.

Pel

atih

an/P

enye

gara

n P

olhu

t 5

pake

t 10

.000

.000

20

.000

10

.000

10

.000

10

.000

50.0

00

Page 215: Bintuni Indonesian Screen

Re

ncan

a Pe

ngelo

laan

Cag

ar A

lam

Telu

k Bi

ntun

i

Pem

biay

aan

V

I - 7

BKSD

A Pa

pua I

I Sor

ong

Ren

cana

Bia

ya p

ada

Perio

de T

ahun

ke

(x`0

00)

No

Keg

iata

n K

ompo

nen

Volu

me

Satu

an

Har

gaSa

tuan

(R

p)

2006

2007

2008

2009

2010

Tota

l 5

tahu

n (x

’000

)

6.

Pem

anfa

atan

-

a.

Buk

u P

andu

an

Pen

gada

an B

uku

Pan

duan

Pem

anfa

atan

2

-

-

-

b.

Pem

anfa

atan

Has

il P

erik

anan

1.

Pen

yulu

han

bers

ama

Din

as K

elau

tan

dan

Per

ikan

an te

ntan

g m

anfa

at

perli

ndun

gan

kaw

asan

man

grov

e ba

gi

prod

uksi

per

ikan

an

2 P

aket

20

,900

,000

20,9

00

20

,900

4

1,80

0

2. S

osia

lisas

i lar

anga

n pe

nggu

naan

ba

han

kim

ia d

i dal

am k

awas

an C

agar

A

lam

1 P

aket

20

,900

,000

20,9

00

20,

900

3. P

elat

ihan

pen

gena

lan

syst

em “S

asi”.

1

Pak

et

20,9

00,0

00

20

,900

2

0,90

0

4. P

elat

ihan

dan

pen

dam

ping

an

pem

buat

an k

eram

ba a

pung

di s

unga

i 1

Pak

et

20,9

00,0

00

20

,900

2

0,90

0

5. P

elat

ihan

pem

buat

an d

an p

erba

ikan

ja

ring

1 P

aket

20

,900

,000

20,9

00

20,

900

c.

Pem

anfa

atan

Has

il P

erta

nian

dan

P

erbu

ruan

1.

Pen

yulu

han

bers

ama

Din

as P

erta

nian

P

enyu

luha

n te

ntan

g pe

ntin

gnya

sis

tem

P

erta

nian

den

gan

mem

perh

atik

an

kele

star

ian

lingk

unga

n

2 P

aket

20

,900

,000

20,9

00

20

,900

4

1,80

0

2. P

enge

nala

n si

stem

agr

ofor

estri

. 1

Pak

et

20,9

00,0

00

20

,900

2

0,90

0

3. P

elat

ihan

bud

iday

a pe

rtani

an m

enet

ap,

teru

tam

a di

kam

pung

yan

g be

rada

di

dala

m k

awas

an C

ATB

1

Pak

et

20,9

00,0

00

20

,900

2

0,90

0

4. P

enge

mba

ngan

jeni

s-je

nis

loka

l dal

am

kegi

atan

per

tani

an s

ecar

a lu

as.

1 P

aket

37

,500

,000

37

,500

37,

500

5. P

elat

ihan

pem

besa

ran

anak

an b

uaya

1

Pak

et

20,9

00,0

00

20,9

00

2

0,90

0

6. P

elat

ihan

/bim

bing

an te

knis

pem

buat

an

kera

jinan

dar

i bah

an b

aku

kulit

bua

ya

1 P

aket

20

,900

,000

20

,900

20,

900

7. P

elat

ihan

/bim

bing

an te

knis

pem

buat

an

dend

eng

man

is d

an a

bon

dari

dagi

ng

rusa

1

Pak

et

20,9

00,0

00

20,9

00

2

0,90

0

8. P

enge

nala

n ca

ra p

erbu

ruan

sat

wa

liar

sepe

rti ru

sa d

an b

abi h

utan

den

gan

mem

perh

atik

an w

aktu

-wak

tu b

eran

ak

dan

men

gasu

h an

ak

1 P

aket

20

,900

,000

20,9

00

20,

900

Page 216: Bintuni Indonesian Screen

Re

ncan

a Pe

ngelo

laan

Cag

ar A

lam

Telu

k Bi

ntun

i

Pem

biay

aan

V

I - 8

BKSD

A Pa

pua I

I Sor

ong

Ren

cana

Bia

ya p

ada

Perio

de T

ahun

ke

(x`0

00)

No

Keg

iata

n K

ompo

nen

Volu

me

Satu

an

Har

gaSa

tuan

(R

p)

2006

2007

2008

2009

2010

Tota

l 5

tahu

n (x

’000

)

d.

Pen

eliti

an

1. P

enel

itian

dan

kaj

ian

pola

pe

rkem

bang

biak

an s

atw

a da

n Lo

kasi

pe

rbur

uan

2 P

aket

37

,500

,000

37

,500

37,5

00

7

5,00

0

2. P

enel

itian

dan

kaj

ian

tekn

ik

perb

anya

kan

tana

man

, khu

susn

ya

tana

man

ber

guna

di k

awas

an C

agar

A

lam

Tel

uk B

intu

ni

-

-

-

-

3. P

enel

itian

dan

kaj

ian

tent

ang

pola

si

klus

hid

up b

iota

laut

terte

ntu

sepe

rti

ikan

, uda

ng, d

an k

epiti

ng (k

arak

a) d

i ka

was

an C

agar

Ala

m T

eluk

Bin

tuni

2 P

aket

37

,500

,000

37

,500

37,5

00

7

5,00

0

4. In

vent

aris

asi j

enis

-jeni

s ko

mod

iti

perta

nian

set

empa

t 1

Pak

et

10,0

00,0

00

10,0

00

1

0,00

0

e.

Ker

jasa

ma

Pem

buat

an M

OU

den

gan

stak

ehol

der

terk

ait u

ntuk

men

unja

ng k

egia

tan

Pem

anfa

atan

2 P

aket

2,

500,

000

2,5

00

2

,500

-

f.

Pen

gem

bang

an s

iste

m d

ata

base

1.

Pot

ensi

sum

berd

aya

haya

ti (fl

ora/

faun

a) b

ergu

na d

i Cag

ar A

lam

Te

luk

Bin

tuni

1

Pak

et

10,0

00,0

00

10,0

00

1

0,00

0

2. M

usim

per

kem

bang

bia

kan

flora

dan

fa

una

di C

agar

Ala

m T

eluk

Bin

tuni

1

Pak

et

10,0

00,0

00

10,0

00

1

0,00

0

Page 217: Bintuni Indonesian Screen

Re

ncan

a Pe

ngelo

laan

Cag

ar A

lam

Telu

k Bi

ntun

i

Pem

biay

aan

V

I - 9

BKSD

A Pa

pua I

I Sor

ong

Tabe

l VI-2

. R

enca

na a

loka

si b

iaya

pen

gelo

laan

Kaw

asan

CA

TB ja

ngka

pan

jang

(lim

a-ta

huna

n) p

ada

perio

de 2

5 ta

hun

perta

ma

(200

6-20

30).

Ren

cana

Bia

ya p

ada

Perio

de T

ahun

ke

(x`0

00)

No

Keg

iata

n K

ompo

nen

Volu

me

Satu

an

Har

gaSa

tuan

R

p x

000

2006

-20

1020

11-

2015

2016

-20

2020

21-

2025

2025

-20

30

Tota

l 25

tahu

n (x

’000

)

1 Pe

man

tapa

n K

awas

an

a. K

epas

tian

Huk

um k

awas

an

Pem

buat

an S

K D

efen

itif

-

-

-

-

¶ P

embu

atan

SK

Bup

ati

-

-

-

-

b. P

enga

kuan

Keb

erad

aan

Cag

ar A

lam

Te

luk

Bin

tuni

sec

ara

lega

l for

mal

ole

h P

emer

inta

h D

aera

h

¶ P

embu

atan

Per

da te

ntan

g C

agar

Ala

m

-

-

-

-

c.

Rek

onst

ruks

i Pal

Bat

as¶

Pem

buat

an J

alur

Rin

tisan

dan

jala

n se

tapa

k (k

m)

125

Km

900

11

2500

112,

500

¶ P

embu

atan

Pal

bat

as

1 P

aket

1

.114

1

,114

1

,114

¶ P

embu

atan

Pla

t Sen

g ta

nda

bata

s 1

Pak

et

3.1

00

3,1

00

3,1

00

d. K

erja

sam

a P

embu

atan

MO

U d

enga

n st

akeh

olde

r te

rkai

t unt

uk k

egia

tan

Rek

onst

ruks

i Pal

B

atas

-

-

-

-

2 Pe

ning

kata

n Ef

ektif

itas

Peng

elol

aan

Kaw

asan

a.

Buk

u S

aku/

Jukn

is/P

edom

an K

egia

tan

Pen

gelo

laan

Kaw

asan

1.

Pen

gada

an b

uku

saku

/pan

duan

pe

mel

ihar

aan

bata

s ka

was

an

20

Uni

t 30

.000

1,2

00

1.2

00

-

2. P

enga

daan

buk

u sa

ku/p

andu

an/ju

knis

ke

giat

an p

enge

lola

an p

oten

si k

awas

an.

20

Uni

t 30

,000

1,2

00

1.2

00

3. P

enga

daan

buk

u sa

ku/p

andu

an/ju

knis

ke

giat

an p

erlin

dung

an d

an

peng

aman

an k

awas

an.

20

Uni

t 30

,000

1,2

00

1.2

00

b.

Pap

an P

etun

juk

Kaw

asan

P

embu

atan

Pap

an P

engu

mum

an d

an

Pet

unju

k K

awas

an

50

Pak

et

1,6

50

82.5

00

82

.500

82.5

00

247.

500

c.

Pem

elih

araa

n B

atas

Kaw

asan

1.

Pem

elih

araa

n Ja

lur

Rin

tisan

dan

jala

n se

tapa

k (k

m)

50

Km

900

45

.000

45

.000

45.0

00

13

5.00

0

2.P

engg

antia

n P

al R

usak

5

Pak

et

1,1

14

1.1

14

1.1

14

1.1

14

1.1

14

1.1

14

5.57

0

3.P

embu

atan

Pla

t Sen

g ta

nda

bata

s 3

Pak

et

3.1

00

3.1

00

- 3

.100

-

3

,100

9.

300

Page 218: Bintuni Indonesian Screen

Re

ncan

a Pe

ngelo

laan

Cag

ar A

lam

Telu

k Bi

ntun

i

Pem

biay

aan

V

I - 1

0

BKSD

A Pa

pua I

I Sor

ong

Ren

cana

Bia

ya p

ada

Perio

de T

ahun

ke

(x`0

00)

No

Keg

iata

n K

ompo

nen

Volu

me

Satu

an

Har

gaSa

tuan

R

p x

000

2006

-20

1020

11-

2015

2016

-20

2020

21-

2025

2025

-20

30

Tota

l 25

tahu

n (x

’000

)

d. K

ajia

n po

tens

i fun

gsi k

awas

an

1. I

dent

ifika

si T

ipe

Eko

sist

em d

an

pem

etaa

n pe

nutu

pan

laha

n di

CA

TB

3 P

aket

37

.500

37.5

00

37.5

00

37.5

00

- 11

2.50

0

2. P

enat

aan

dan

pem

buat

an p

eta

Pen

utup

an L

ahan

di D

alam

Kaw

asan

3

Pak

et

37.5

00

- 37

.500

-

37.5

00

37.5

00

37.5

00

e.

Pem

buat

an P

oste

r/Lea

ftlet

1.

Pen

gada

an P

oste

r Pem

anfa

atan

Le

star

i45

0 P

aket

2

2.5

3.3

75

3.3

75

3.3

75

-

- 10

.125

2. P

enga

daan

Pos

ter J

enis

-Jen

is

Flor

a/Fa

una

lang

ka d

an d

i lin

dung

i di

Kaw

asan

CA

TB

450

Pak

et

22,

5 3

.375

3

.375

3

.375

-

-

10.1

25

3. P

enga

daan

Pos

ter

tent

ang

kond

isi

ekos

iste

m d

i Kaw

asan

CA

TB

450

Pak

et

22,

5 3

.375

3

.375

3

.375

-

-

10.1

25

f. P

embi

naan

mas

yara

kat

Pem

bina

an m

asya

raka

t yan

g be

rmuk

im d

i bl

ok p

enya

ngga

Kaw

asan

ten

tang

pe

ntin

gnya

keb

erad

aan

kaw

asan

seb

agai

pe

nyan

gga

sist

em k

ehid

upan

20

Pak

et

9,9

00

49.

500

49.5

00

49.5

00

49.5

00

19

8.00

0

g.

Pel

ibat

an M

asya

raka

t dal

am K

egia

tan

Pen

gelo

laan

Kaw

asan

P

embu

atan

Kel

ompo

k K

erja

1

Pak

et

10.4

50

10.4

50

- -

- -

10.4

50

h.

Pen

eliti

an

1. P

enel

itian

tent

ang

dam

pak

lingk

unga

n 2

Pak

et

37.5

00

- 37

.500

-

37.5

00

- 75

.000

2. K

ajia

n te

ntan

g da

mpa

k da

ri re

ncan

a pe

mba

ngun

an w

ilaya

h 1

Pak

et

37.5

00

37.5

00

-

- -

37,5

00

i. S

iste

m In

form

asi G

eogr

afis

dan

D

atab

ase

Pen

gada

an s

yste

m in

form

asi g

eogr

afis

(S

IG) d

an p

emut

akhi

ran

data

has

il-ha

sil

pene

ltian

5 P

aket

37

.500

37

.500

37

.500

37

.500

37

.500

37

.500

18

7.50

0

3 Pe

ngem

bang

an K

onse

rvas

i Jen

is d

an K

eane

kara

gam

an H

ayat

i

a.

Buk

u P

andu

an

1. P

enga

daan

Buk

u P

andu

an

Pem

elih

araa

n flo

ra/fa

una

dan

ekos

iste

m k

awas

an

1 P

aket

10

.000

10

.000

- 10

.000

2. P

enga

daan

Buk

u P

andu

an

Pen

gend

alia

n flo

ra/fa

una

dan

ekos

iste

m k

awas

an

1 P

aket

10

.000

10

.000

-

10.0

00

b.

Pen

eliti

an/K

ajia

n te

ntan

g ke

adaa

n flo

ra

dan

faun

a ka

was

an

1. I

nven

taris

asi d

an P

emet

aan

jeni

s Fl

ora

dan

Faun

a di

Kaw

asan

3

Pak

et

37.5

00

37.5

00

37.5

00

37

.500

112.

500

Page 219: Bintuni Indonesian Screen

Re

ncan

a Pe

ngelo

laan

Cag

ar A

lam

Telu

k Bi

ntun

i

Pem

biay

aan

V

I - 1

1

BKSD

A Pa

pua I

I Sor

ong

Ren

cana

Bia

ya p

ada

Perio

de T

ahun

ke

(x`0

00)

No

Keg

iata

n K

ompo

nen

Volu

me

Satu

an

Har

gaSa

tuan

R

p x

000

2006

-20

1020

11-

2015

2016

-20

2020

21-

2025

2025

-20

30

Tota

l 25

tahu

n (x

’000

)

2. P

enel

itian

ttg

Din

amik

a P

opul

asi F

lora

da

n Fa

una

2 P

aket

37

.500

37

.500

37.5

0065

.000

3. I

nven

taris

asi d

an id

entif

iksa

si J

enis

Tu

mbu

han

Ber

guna

dan

Lan

gka

di

Kaw

asan

3 P

aket

37

.500

37

.500

37

.500

37

.500

11

2.50

0

4. I

nven

taris

asi d

an id

entif

ikas

i jen

is-je

nis

flora

dan

faun

a ek

sost

ik d

i kaw

asan

C

agar

Ala

m T

eluk

Bin

tuni

1

Pak

et

37.5

00

37.5

00

37.5

00

5. D

ampa

k ne

gatif

dar

i keh

adira

n je

nis-

jeni

s ek

sotik

di k

awas

an C

agar

Ala

m

Telu

k B

intu

ni

2 P

aket

37

.500

37

.500

37

.500

65.0

00

6. P

enge

mba

ngan

jeni

s-je

nis

loka

l dal

am

kegi

atan

per

tani

an s

ecar

a lu

as

3 P

aket

37

.500

37

.500

37

.500

37

.500

11

2.50

0

c.

Pem

bina

an H

abita

t 1.

Inv

enta

risas

i dan

pem

etaa

n te

mpa

t kh

usus

bag

i per

kem

bang

biak

an,

berte

lur,

dan

pem

ijaha

n (s

paw

ning

grou

nd) d

i kaw

asan

3 P

aket

37

.500

37

.500

37

.500

37.5

00

11

2.50

0

2. P

enel

itian

tent

ang

dina

mik

a ek

osis

tem

di

Cag

ar A

lam

Tel

uk B

intu

ni

5 P

aket

37

.500

37

.500

37

.500

37

.500

37

.500

37

.500

18

7.50

0

3. P

embu

atan

pet

ak u

kur p

erm

anen

3

Pak

et

16.9

50

16.9

50

16.9

50

16.9

50

5085

0

4. P

embu

atan

jalu

r/jal

an s

etap

ak u

ntuk

ke

perlu

an p

endi

dika

n da

n pe

nelit

ian.

5

Km

50

.000

50

.000

50

.000

50

.000

50

.000

50

.000

25

0.00

0

d.

Pen

gend

alia

n

a. P

ence

gaha

n H

ama

dan

Pen

yaki

t 1.

Pem

usna

han

jeni

s tu

mbu

han

atau

ek

sotik

yan

g be

rpot

ensi

eks

pans

if ya

ng

ada

di K

awas

an.

1 P

aket

9.

900

9.90

0

9.

900

2. P

enyu

luha

n da

n so

sial

iasi

lara

ngan

in

trodu

ksi s

pesi

es e

ksot

ik.

2 P

aket

9.

900

9.90

0 9.

900

19

.800

b. P

erlin

dung

an J

enis

1.

Mel

akuk

an p

enel

itian

det

ail t

enta

ng

mas

a bu

ntin

g sa

twa

buru

an u

ntuk

m

enen

tuka

n sa

at b

erbu

ru m

asya

raka

t 3

Pak

et

37.5

00

37.5

00

37.5

00

37

.500

112.

500

2.

Mem

buat

pap

an la

rang

an p

erbu

ruan

sa

twa

dilin

dung

i 5

Pak

et

16.5

00

16.5

00

16.5

00

16.5

00

16.5

00

16.5

00

8250

0

Page 220: Bintuni Indonesian Screen

Re

ncan

a Pe

ngelo

laan

Cag

ar A

lam

Telu

k Bi

ntun

i

Pem

biay

aan

V

I - 1

2

BKSD

A Pa

pua I

I Sor

ong

Ren

cana

Bia

ya p

ada

Perio

de T

ahun

ke

(x`0

00)

No

Keg

iata

n K

ompo

nen

Volu

me

Satu

an

Har

gaSa

tuan

R

p x

000

2006

-20

1020

11-

2015

2016

-20

2020

21-

2025

2025

-20

30

Tota

l 25

tahu

n (x

’000

)

3.

Mem

buat

bro

sur,

leaf

let d

an p

oste

r im

baua

n at

au la

rang

an b

erbu

ru s

atw

a di

lindu

ngi d

an h

ampi

r pun

ah

450

Pak

et

22.

5 3

.375

3

.375

3

.375

-

-

10.1

25

e.

Pem

ulih

an

a.

Pen

cega

han

baha

ya e

rosi

-abr

asi d

an

sedi

men

tasi

Pem

bent

ukan

For

um K

oord

inas

i yan

g m

engi

kuts

erta

kan

irsta

nsi-i

nsta

nsi t

erka

it.

1

b.

Reh

abili

tasi

Kaw

asan

Cag

ar A

lam

Te

luk

Bin

tuni

P

enyu

suna

n re

ncan

a te

knik

reha

bilit

asi

kaw

asan

yan

g ru

sak.

1

Pak

et

9.90

0 9.

900

9.90

0

Reh

abili

tasi

kaw

asan

1. P

enga

daan

ben

ih a

tau

bibi

t tan

aman

lo

kal y

ang

sesu

ai d

enga

n ek

osis

tem

ka

was

an y

ang

akan

dire

habi

litas

i. 3

Pak

et

50.0

00

50.0

00

50.0

00

50.0

00

150.

000

2. P

enan

aman

ata

u re

habi

llita

si

deng

an m

engg

unak

an k

erja

sam

a de

ngan

mas

yara

kat d

an d

ukun

gan

piha

k III

.

3 P

aket

50

.000

50

.000

50

.000

50

.000

15

0.00

0

c. P

enel

tian

1. P

enel

itian

ting

kat d

an la

ju s

edim

enta

si

di b

eber

apa

sung

ai y

ang

berm

uara

di

kaw

asan

3

Pak

et

50.0

00

50.0

00

50.0

00

50.0

00

150.

000

2. P

enel

itian

dan

kaj

ian

laju

ker

usak

an

ekos

iste

m d

an p

enye

babn

ya d

i ka

was

an C

agar

Ala

m T

eluk

Bin

tuni

3

Pak

et

37.5

00

37.5

00

37.5

00

37.5

00

112.

500

f.

Pen

gem

bang

an s

yste

m d

ata

base

1.

Pot

ensi

sum

berd

aya

haya

ti (fl

ora/

faun

a) d

i Cag

ar A

lam

Tel

uk

Bin

tuni

2 P

aket

10

.000

10

.000

10.0

00

20.0

00

2. D

ata

sosi

al e

kono

mi d

an b

uday

a m

asya

raka

t di d

alam

dan

sek

itar

kaw

asan

2

Pak

et

10.0

00

10.0

00

10.0

00

20

.000

3. P

engu

mpu

lan

hasi

l-has

il pe

nelit

ian

dan

peng

emba

ngan

yan

g pe

rnah

dila

kuka

n di

kaw

asan

5

Pak

et

5.0

00

5.0

00

5.0

00

5.0

00

5.0

00

5.0

00

2

5.00

0

e. K

erja

sam

a

Pem

buat

an M

OU

dal

am m

enun

jang

ke

giat

an P

enge

mba

ngan

Kon

serv

asi

Jeni

s da

n K

eane

kara

gam

an H

ayat

i 1

Pak

et

5.0

00

5.0

00

5.0

00

Page 221: Bintuni Indonesian Screen

Re

ncan

a Pe

ngelo

laan

Cag

ar A

lam

Telu

k Bi

ntun

i

Pem

biay

aan

V

I - 1

3

BKSD

A Pa

pua I

I Sor

ong

Ren

cana

Bia

ya p

ada

Perio

de T

ahun

ke

(x`0

00)

No

Keg

iata

n K

ompo

nen

Volu

me

Satu

an

Har

gaSa

tuan

R

p x

000

2006

-20

1020

11-

2015

2016

-20

2020

21-

2025

2025

-20

30

Tota

l 25

tahu

n (x

’000

)

4.

Perli

ndun

gan

dan

Peng

aman

an K

awas

an

a.

Pen

gam

anan

Rut

in (p

atro

li)

1. P

atro

li ru

tin o

leh

peng

elol

a ka

was

an

1240

P

aket

120

28

.800

28

.800

28

.800

28

.800

28

.800

14

4.00

0

2. P

atro

li ga

bung

an

25

Pak

et

9.5

00

47.5

00

47.5

00

47.5

00

47.5

00

47.5

00

237.

500

3. P

atro

li ru

tin b

erba

sis

mas

yara

kat d

an

piha

k sw

asta

(vol

unte

er)

25

Pak

et

1.50

0 7.

500

7.50

0 7.

500

7.50

0 7.

500

37.5

00

e.

Pen

egak

an H

ukum

1.

Pem

buat

an p

erat

uran

khu

sus

tent

ang

lara

ngan

dan

san

gsi b

agi p

erbu

ruan

da

n pe

man

faat

an fl

ora

dan

faun

a ya

ng

dilin

dung

i

5 pa

ket

7.50

0 7.

500

7.50

0 7.

500

7.50

0 7.

500

37.5

00

2. P

embu

atan

atu

ran

sede

rhan

a ya

ng

men

yang

kut p

eman

faat

an e

kskl

usif

bers

yara

t dan

lest

ari d

i dal

am k

awas

an

untu

k m

asya

raka

t ada

t

5 pa

ket

7.50

0

7.50

0 7.

500

7.50

0 7.

500

7.50

0 37

.500

3. S

osis

alis

asi a

tura

n te

ntan

g la

rang

an

dan

sang

si te

rhad

ap k

egia

tan

ilega

l di

kaw

asan

kep

ada

sem

ua s

take

hold

er

5 pa

ket

15.0

00

15.0

00

15.0

00

15.0

00

15.0

00

15.0

00

75.0

00

d.

Pem

buat

an P

andu

an

Buk

u P

andu

an P

erlin

dung

an d

an

peng

aman

an K

awas

an C

ATB

2

pake

t 7.

500

7.50

0 7.

500

15

.000

5.

Pend

ukun

g /K

elem

baga

an

a. P

erso

nil P

enge

lola

P

enam

baha

n pe

rson

il pe

ngel

ola

kaw

asan

3

pake

t

P

HK

A

b. P

elat

ihan

/Pen

yega

ran

1. P

elat

ihan

jaga

wan

a vo

lunt

eer

15

pake

t 7.

500

45.0

00

22.5

00

22.5

00

22.5

00

11

2.50

0

2.

Pel

atih

an/P

enye

gara

n P

olhu

t 15

pa

ket

10.0

00

50.0

00

50

.000

50

.000

150.

000

6.

Pem

anfa

atan

-

a.

Buk

u P

andu

an

Pen

gada

an B

uku

Pan

duan

Pem

anfa

atan

2

pake

t 7.

500

7.50

0 7.

500

15

.000

b.

Pem

anfa

atan

Has

il P

erik

anan

1.

Pen

yulu

han

bers

ama

Din

as K

elau

tan

dan

Per

ikan

an te

ntan

g m

anfa

at

perli

ndun

gan

kaw

asan

man

grov

e ba

gi

prod

uksi

per

ikan

an

10

Pak

et

20.9

00

41.8

00

41.8

00

41.8

00

41.8

00

41.8

00

209.

800

Page 222: Bintuni Indonesian Screen

Re

ncan

a Pe

ngelo

laan

Cag

ar A

lam

Telu

k Bi

ntun

i

Pem

biay

aan

V

I - 1

4

BKSD

A Pa

pua I

I Sor

ong

Ren

cana

Bia

ya p

ada

Perio

de T

ahun

ke

(x`0

00)

No

Keg

iata

n K

ompo

nen

Volu

me

Satu

an

Har

gaSa

tuan

R

p x

000

2006

-20

1020

11-

2015

2016

-20

2020

21-

2025

2025

-20

30

Tota

l 25

tahu

n (x

’000

)

2. S

osia

lisas

i lar

anga

n pe

nggu

naan

ba

han

kim

ia d

i dal

am k

awas

an C

agar

A

lam

4 P

aket

9.

900

9.90

0 9.

900

9.90

0 9.

900

39

.600

3. P

elat

ihan

pen

gena

lan

syst

em “S

asi”.

5

Pak

et

20.9

00

20.9

00

20.9

00

20.9

00

20.9

00

20.9

00

104.

500

4. P

elat

ihan

dan

pen

dam

ping

an

pem

buat

an k

eram

ba a

pung

di s

unga

i 3

Pak

et

20.9

00

20.9

00

20.9

00

20.9

00

62.7

00

5. P

elat

ihan

pem

buat

an d

an p

erba

ikan

ja

ring

3 P

aket

20

.900

20

.900

20

.900

20

.900

62

.700

c.

Pem

anfa

atan

Has

il P

erta

nian

dan

P

erbu

ruan

1.

Pen

yulu

han

bers

ama

Din

as P

erta

nian

P

enyu

luha

n te

ntan

g pe

ntin

gnya

sis

tem

P

erta

nian

den

gan

mem

perh

atik

an

kele

star

ian

lingk

unga

n

10

Pak

et

20,9

00

41.8

00

41.8

00

41.8

00

41.8

00

41.8

00

209.

000

2. P

enge

nala

n si

stem

agr

ofor

estri

. 3

Pak

et

20.9

00

20.9

00

20.9

00

20.9

00

62.7

00

3. P

elat

ihan

bud

iday

a pe

rtani

an m

enet

ap,

teru

tam

a di

kam

pung

yan

g be

rada

di

dala

m k

awas

an C

ATB

3

Pak

et

20,9

00

20.9

00

20.9

00

20.9

00

62.7

00

4. P

enge

mba

ngan

jeni

s-je

nis

loka

l dal

am

kegi

atan

per

tani

an s

ecar

a lu

as.

2 P

aket

37

.500

37

.500

37.5

00

65.0

00

5. P

elat

ihan

pem

besa

ran

anak

an b

uaya

3

Pak

et

20.9

00

20.9

00

20.9

00

20.9

00

62.7

00

6. P

elat

ihan

/bim

bing

an te

knis

pem

buat

an

kera

jinan

dar

i bah

an b

aku

kulit

bua

ya

3 P

aket

20

.900

20

.900

20

.900

20

.900

62

.700

7. P

elat

ihan

/bim

bing

an te

knis

pem

buat

an

dend

eng

man

is d

an a

bon

dari

dagi

ng

rusa

3

Pak

et

20.9

00

20.9

00

20.9

00

20.9

00

62.7

00

8. P

enge

nala

n ca

ra p

erbu

ruan

sat

wa

liar

sepe

rti ru

sa d

an b

abi h

utan

den

gan

mem

perh

atik

an w

aktu

-wak

tu b

eran

ak

dan

men

gasu

h an

ak

3 P

aket

20

.900

20

.900

20

.900

20

.900

62

.700

d.

Pen

eliti

an

1. P

enel

itian

dan

kaj

ian

pola

pe

rkem

bang

biak

an s

atw

a da

n Lo

kasi

pe

rbur

uan

10

Pak

et

37,5

00

75.

000

75.

000

75.

000

75.

000

75.

000

375,

000

2. P

enel

itian

dan

kaj

ian

tekn

ik

perb

anya

kan

tana

man

, khu

susn

ya

tana

man

ber

guna

di k

awas

an C

agar

A

lam

Tel

uk B

intu

ni

3 P

aket

20

.900

20

.900

20

.900

20

.900

62

.700

Page 223: Bintuni Indonesian Screen

Re

ncan

a Pe

ngelo

laan

Cag

ar A

lam

Telu

k Bi

ntun

i

Pem

biay

aan

V

I - 1

5

BKSD

A Pa

pua I

I Sor

ong

Ren

cana

Bia

ya p

ada

Perio

de T

ahun

ke

(x`0

00)

No

Keg

iata

n K

ompo

nen

Volu

me

Satu

an

Har

gaSa

tuan

R

p x

000

2006

-20

1020

11-

2015

2016

-20

2020

21-

2025

2025

-20

30

Tota

l 25

tahu

n (x

’000

)

3. P

enel

itian

dan

kaj

ian

tent

ang

pola

si

klus

hid

up b

iota

laut

terte

ntu

sepe

rti

ikan

, uda

ng, d

an k

epiti

ng (k

arak

a) d

i ka

was

an C

agar

Ala

m T

eluk

Bin

tuni

10

Pak

et

37,5

00

75.

000

75.

000

75.

000

75.

000

75.

000

375,

000

4. I

nven

taris

asi j

enis

-jeni

s ko

mod

iti

perta

nian

set

empa

t 2

Pak

et

10.0

00

10.0

00

10.0

00

20

.000

e.

Ker

jasa

ma

Pem

buat

an M

OU

den

gan

stak

ehol

der

terk

ait u

ntuk

men

unja

ng k

egia

tan

Pem

anfa

atan

3 P

aket

5.

000

5.00

0 5.

000

5.00

0

15

.000

-

f.

Pen

gem

bang

an s

iste

m d

ata

base

1.

Pot

ensi

sum

berd

aya

haya

ti (fl

ora/

faun

a) b

ergu

na d

i Cag

ar A

lam

Te

luk

Bin

tuni

3

Pak

et

10.0

00

10.0

00

10

.000

10.0

00

30.0

00

2. M

usim

per

kem

bang

bia

kan

flora

dan

fa

una

di C

agar

Ala

m T

eluk

Bin

tuni

3

Pak

et

10.0

00

10.0

00

10

.000

10.0

00

30.0

00

Page 224: Bintuni Indonesian Screen

Re

ncan

a Pe

ngelo

laan

Cag

ar A

lam

Telu

k Bi

ntun

i

Pem

biay

aan

V

I - 1

6

BKSD

A Pa

pua I

I Sor

ong

Tabe

l VI-3

. R

enca

na A

loka

si B

iaya

Pen

gada

an S

aran

a da

n P

rasa

rana

unt

uk J

angk

a P

ende

k (p

er ta

hun)

pad

a P

erio

de 5

Tah

un P

erta

ma

(200

6-20

10)

Tot

al B

iaya

Per

iode

Tah

un k

e ( x

'000

) N

oA

ktiv

itas/

Keg

iata

n K

ompo

nen

Vol

ume

Satu

an

Har

ga

Satu

an

1

2

3

4

5

Tot

al 5

ta

hun

x 00

0.00

0

1Sa

rana

Pen

gelo

laan

K

anto

r

P

embe

basa

n La

han

Kan

tor

500

1

50,0

00

75

,000

Pen

gada

an K

anto

r/pon

dok

(KP

PN

.066

/33.

51)

Ban

guna

n K

anto

r (m

)

90

1

1

,750

,000

1

57,5

00

157,

500

Bar

ak P

olhu

t (un

tuk

6 or

ang

atau

klg

)

1

62

1

,500

,000

2

43,0

00

24

3,00

0

Gen

set K

anto

r (4.

5 K

W)

1

1

7,5

00,0

00

-

Kom

pute

r P IV

2

unit

1

0,00

0,00

0

10

,000

10,0

00

20,

000

Prin

ter A

3 (H

P 1

180C

)+ U

SB

C

onec

tor

1

un

it

4

,000

,000

4,0

00

4,

000

Per

alat

an k

anto

r

3

pake

t

7

,500

,000

7,5

00

7

,500

7,5

00

22,

500

Faks

imil

1

un

it

1

,500

,000

1,5

00

1,

500

Pen

gada

an S

ambu

ngan

Tel

pon

1

un

it

250

,000

2

50

250

Rad

io S

SB

1

25,

000,

000

25,0

00

25,

000

GP

S

7

3,5

00,0

00

10

,500

7

,000

7

,000

2

4,50

0

Kom

pas

Sun

to

7

1,0

00,0

00

3

,000

2

,000

2

,000

7,00

0

Spe

ed b

oat p

atro

li 40

PK

1

75,

000,

000

75,0

00

7

5,00

0

Long

boat

pat

roli

40 p

k

1

30,

000,

000

30

,000

3

0,00

0

Han

dy ta

lky

7

5,0

00,0

00

10

,000

10

,000

10

,000

5

,000

35,

000

mot

or ro

da 2

1

unit

2

0,00

0,00

0

20

,000

20,

000

Sar

ana

air b

ersi

h

1

15,

000,

000

15,0

00

15,

000

-

B

angu

nan

Kan

tor (

m) +

bar

ak

252

1

3

5,00

0

8,8

20

8

,820

1

7,64

0

Pem

elih

araa

n K

anto

r (K

PP

N.0

66/3

3.51

) H

alam

an k

anto

r

5

00

5

,000

2,5

00

2,5

00

2,5

00

2,5

00

2,5

00

12,

500

kom

pute

r dan

prin

ter

4

un

it

500

,000

2,0

00

2,0

00

2,0

00

2,0

00

8,

000

Per

alat

an k

anto

r

2

,500

,000

2,5

00

2,

500

Rad

io S

SB

1

unit

9

00,0

00

900

900

900

900

900

4,50

0

Page 225: Bintuni Indonesian Screen

Re

ncan

a Pe

ngelo

laan

Cag

ar A

lam

Telu

k Bi

ntun

i

Pem

biay

aan

V

I - 1

7

BKSD

A Pa

pua I

I Sor

ong

Tot

al B

iaya

Per

iode

Tah

un k

e ( x

'000

) N

oA

ktiv

itas/

Keg

iata

n K

ompo

nen

Vol

ume

Satu

an

Har

ga

Satu

an

1

2

3

4

5

Tot

al 5

ta

hun

x 00

0.00

0

Han

dy ta

lky

7

un

it

250

,000

5

00

1,0

00

1,5

00

1,7

50

1,7

50

6,

500

Spe

ed b

oat p

atro

li (o

pera

sion

al)

1

6,0

00,0

00

6

,000

6

,000

1

2,00

0

Long

boat

pat

roli

(ope

rasi

onal

)

2

3

,500

,000

3

,500

3

,500

3

,500

1

0,50

0

Mot

or ro

da 2

1

1

,550

,000

1,5

50

1,5

50

3,

100

opea

sion

al g

ense

t (lit

er b

ensi

n)

1

ta

hun

9,0

00,0

00

9

,000

9

,000

9

,000

9

,000

9

,000

4

5,00

0

Bia

ya T

elpo

n

1

1

,200

,000

1,2

00

1,2

00

1,2

00

1,2

00

1,2

00

-

P

ondo

k K

erja

-

P

ondo

k ke

rja (m

)

48

3 un

it

1

,750

,000

84,0

00

84,0

00

84,0

00

25

2,00

0

Ban

guna

n P

ondo

k ke

rja

(KP

PN

.066

/33.

51)

Pem

beba

san

laha

n (m

)

1

00

3 pe

tak

5

0,00

0

5

,000

5

,000

5

,000

15,

000

Gen

set P

ondo

k ke

rja, 1

,5K

W

3

un

it

2

,500

,000

2,5

00

2,5

00

2,5

00

7,50

0

Mes

in ti

k 60

cm

3

1

,000

,000

1,0

00

1,0

00

1,0

00

3,00

0

Rad

io S

SB

3

25,

000,

000

25,0

00

25,0

00

25,0

00

7

5,00

0

GP

S

3

3,5

00,0

00

3

,500

3

,500

3

,500

10,

500

Han

dy ta

lky

3

5,0

00,0

00

5

,000

5

,000

5

,000

15,

000

Long

boat

pat

roli,

25

pk

3

2

0,00

0,00

0

20

,000

20

,000

20

,000

60,

000

Per

alat

an p

ondo

k ke

rja

3

7,5

00,0

00

7

,500

7

,500

7

,500

22,

500

Sar

ana

air b

ersi

h

3

5

,000

,000

5,0

00

5,0

00

5,0

00

1

5,00

0

-

Pem

elih

araa

n(K

PP

N.0

66/3

3.51

) P

ondo

k ke

rja (m

)

48

3

35,

000

1

,680

3

,360

5

,040

1

0,08

0

Ope

rasi

onal

Gen

set

3

7,5

00,0

00

7

,500

15

,000

22

,500

22

,500

6

7,50

0

Ope

rasi

onal

long

boat

3

15,

000,

000

15,0

00

30,0

00

45,0

00

45,0

00

135,

000

Mes

in ti

k 60

cm

3

50,

000

50

1

00

1

50

1

50

450

Rad

io S

SB

3

900

,000

9

00

1,8

00

2,7

00

2,7

00

8,

100

Han

dy ta

lky

3

2

50,0

00

250

500

750

750

2,25

0

Long

boat

pat

roli

3

3,5

00,0

00

3

,500

7

,000

10

,500

10

,500

3

1,50

0

Per

alat

an p

ondo

k ke

rja

3

2,5

00,0

00

2

,500

5

,000

7

,500

7

,500

2

2,50

0

-

Page 226: Bintuni Indonesian Screen

Re

ncan

a Pe

ngelo

laan

Cag

ar A

lam

Telu

k Bi

ntun

i

Pem

biay

aan

V

I - 1

8

BKSD

A Pa

pua I

I Sor

ong

Tot

al B

iaya

Per

iode

Tah

un k

e ( x

'000

) N

oA

ktiv

itas/

Keg

iata

n K

ompo

nen

Vol

ume

Satu

an

Har

ga

Satu

an

1

2

3

4

5

Tot

al 5

ta

hun

x 00

0.00

0

2Sa

rana

Pen

didi

kan

Bro

sur/l

eafle

t/buk

u ko

mik

cag

ar a

lam

-

Pus

at d

ata

n in

form

asi

-

-

3Sa

rana

Pen

eliti

an

-

Pen

gada

an p

ondo

k pe

nelit

ian(

KP

PN

.066

/33.

51)

Pon

dok

Pen

eliti

(dlm

kom

plek

s ka

ntor

)

48

m

1,7

50,0

00

84

,000

-

-

-

-

8

4,00

0

Sta

siun

Pen

gam

at C

uaca

3

unit

1

5,00

0,00

0

15

,000

-

15

,000

-

15

,000

4

5,00

0

Sta

siun

Pen

gam

at A

ir S

unga

i

1

unit

7

5,00

0,00

0

-

-

75

,000

-

-

7

5,00

0

Pon

dok

Pen

eliti

tera

pung

(m)

4

8

2,0

00,0

00

-

96

,000

-

-

-

9

6,00

0

Long

boat

unt

uk p

enel

iti (4

0 pk

)

1

unit

3

0,00

0,00

0

-

30

,000

-

-

-

3

0,00

0

-

P

emel

lihar

aan

Pon

dok

Pen

eliti

48

35,

000

-

1,6

80

1,6

80

1,6

80

1,6

80

6,

720

Sta

siun

Pen

gam

at C

uaca

1

600

,000

-

6

00

6

00

6

00

6

00

2,

400

Sta

siun

Pen

gam

at A

ir S

unga

i

1

1

,200

,000

-

-

-

1,2

00

1,2

00

2,

400

Pon

dok

Pen

eliti

tera

pung

48

35,

000

-

-

1,6

80

1,6

80

1,6

80

5,

040

Long

boat

unt

uk p

enel

iti (4

0 pk

)

-

-

-

-

-

-

Page 227: Bintuni Indonesian Screen

Re

ncan

a Pe

ngelo

laan

Cag

ar A

lam

Telu

k Bi

ntun

i

Pem

biay

aan

V

I - 1

9

BKSD

A Pa

pua I

I Sor

ong

Tabe

l VI-4

. R

enca

na A

loka

si B

iaya

Pen

gada

an S

aran

a da

n P

rasa

rana

unt

uk J

angk

a P

anja

ng (p

er ta

hun)

pad

a P

erio

de 2

5 Ta

hun

(200

6-20

30)

Tot

al B

iaya

Per

iode

Tah

un k

e ( x

'000

) N

oA

ktiv

itas/

Keg

iata

n K

ompo

nen

Vol

ume

Satu

an

Har

ga S

atua

n 2

006-

2010

2

011-

2015

2

016-

2020

2

021-

2025

2

026-

2030

Tot

al 2

5 ta

hun

x 00

0.00

01

Sara

na P

enge

lola

an

K

anto

r

P

embe

basa

n La

han

Kan

tor

500

1

50,0

00

75,

000

7

5,00

0

Pen

gada

an K

anto

r/pon

dok

(KP

PN

.066

/33.

51)

Ban

guna

n K

anto

r (m

)

90

1

1,7

50,0

00

157,

500

15

7,50

0

Bar

ak P

olhu

t (un

tuk

6 or

ang

atau

klg

)

1

62

1

,500

,000

24

3,00

0

243,

000

Gen

set K

anto

r (4.

5 K

W)

1

1

7,5

00,0

00

-

-

Kom

pute

r P IV

3

unit

1

0,00

0,00

0

20,

000

10

,000

20

,000

10

,000

60,

000

Prin

ter A

3 (H

P

1180

C)+

US

B

Con

ecto

r

1

unit

4,0

00,0

00

4,

000

4,0

00

8,

000

P

eral

atan

kan

tor

3

pa

ket

7,5

00,0

00

22,

500

2

2,50

0

faks

imil

1

un

it

1

,500

,000

1,50

0

-

-

-

-

1,

500

Pen

gada

anS

ambu

ngan

Tel

pon

1

un

it

250

,000

25

0

-

-

-

-

250

Rad

io S

SB

1

25,

000,

000

2

5,00

0

-

-

-

-

25,

000

G

PS

7

3

,500

,000

2

4,50

0

-

-

-

-

24,

500

Kom

pas

Sun

to

7

1,0

00,0

00

7,

000

-

-

-

-

7,00

0

Spe

ed b

oat p

atro

li 40

PK

1

75,

000,

000

7

5,00

0

-

-

-

-

75,

000

Long

boat

pat

roli

40

pk

2

3

0,00

0,00

0

30,

000

30

,000

-

-

-

6

0,00

0

H

andy

talk

y

7

5

,000

,000

3

5,00

0

-

-

-

-

35,

000

m

otor

roda

2

4

un

it

20,

000,

000

2

0,00

0

20,0

00

-

20,0

00

20,0

00

80,

000

Sar

ana

air b

ersi

h

1

15,

000,

000

1

5,00

0

-

-

-

-

15,

000

-

B

angu

nan

Kan

tor

(m) +

bar

ak

252

1

3

5,00

0

17,

640

17

,640

17

,640

17

,640

17

,640

8

8,20

0P

emel

ihar

aan

Kan

tor

(KP

PN

.066

/33.

51)

Hal

aman

kan

tor

500

5,0

00

12,

500

12

,500

12

,500

12

,500

12

,500

6

2,50

0

kom

pute

r dan

pr

inte

r

4

unit

5

00,0

00

8,

000

8

,000

8

,000

8

,000

8

,000

4

0,00

0

Per

alat

an k

anto

r

2

,500

,000

1

2,50

0

12,5

00

12,5

00

12,5

00

12,5

00

62,

500

Rad

io S

SB

1

unit

9

00,0

00

4,

500

5

,175

5

,400

5

,625

5

,850

2

6,55

0

H

andy

talk

y

7

unit

2

50,0

00

6,

500

7

,475

7

,280

8

,125

8

,450

3

7,83

0

S

peed

boa

t pat

roli

1

6,0

00,0

00

12,

000

30

,000

30

,000

30

,000

30

,000

13

2,00

0

Long

boat

pat

roli

2

3,5

00,0

00

10,

500

21

,000

21

,000

21

,000

21

,000

9

4,50

0

Page 228: Bintuni Indonesian Screen

Re

ncan

a Pe

ngelo

laan

Cag

ar A

lam

Telu

k Bi

ntun

i

Pem

biay

aan

V

I - 2

0

BKSD

A Pa

pua I

I Sor

ong

Tot

al B

iaya

Per

iode

Tah

un k

e ( x

'000

) N

oA

ktiv

itas/

Keg

iata

n K

ompo

nen

Vol

ume

Satu

an

Har

ga S

atua

n 2

006-

2010

2

011-

2015

2

016-

2020

2

021-

2025

2

026-

2030

Tot

al 2

5 ta

hun

x 00

0.00

0

M

otor

roda

2

3

1,5

50,0

00

3,

100

6

,200

6

,200

9

,300

12

,400

3

7,20

0

opea

sion

al g

ense

t (li

ter b

ensi

n)

1

ta

hun

9,0

00,0

00

45,

000

45

,000

45

,000

45

,000

45

,000

22

5,00

0

Bia

ya T

elpo

n

1

1

,200

,000

1,20

0

1,2

00

1,2

00

1,2

00

1,2

00

-

Pon

dok

Ker

ja

-

P

ondo

k ke

rja (m

)

48

3

unit

1,7

50,0

00

252,

000

-

-

-

-

25

2,00

0

Pen

gada

an P

ondo

k ke

rja

(KP

PN

.066

/33.

51)

Pem

beba

san

laha

n (m

)

1

00

3 pe

tak

5

0,00

0

15,

000

-

-

-

-

1

5,00

0

Gen

set P

ondo

k ke

rja, 1

,5K

W

3

un

it

2

,500

,000

7,50

0

-

-

-

-

7,

500

M

esin

tik

60 c

m

3

1,0

00,0

00

3,

000

-

-

-

-

3,00

0

Rad

io S

SB

3

25,

000,

000

7

5,00

0

-

-

-

-

75,

000

G

PS

3

3

,500

,000

1

0,50

0

-

-

-

-

10,

500

Han

dy ta

lky

3

5,0

00,0

00

15,

000

-

-

-

-

1

5,00

0

Long

boat

pat

roli,

25

pk

3

2

0,00

0,00

0

60,

000

-

-

-

-

6

0,00

0

Per

alat

an p

ondo

k ke

rja

3

7,5

00,0

00

22,

500

-

-

-

-

2

2,50

0

S

aran

a ai

r ber

sih

3

5,0

00,0

00

15,

000

-

-

-

-

1

5,00

0

-

P

ondo

k ke

rja (m

)

48

3

3

5,00

0

10,

080

25

,200

25

,200

25

,200

25

,200

11

0,88

0P

emel

ihar

aan

(KP

PN

.066

/33.

51)

Ope

rasi

onal

Gen

set

3

7,5

00,0

00

67,

500

112

,500

112

,500

112

,500

112

,500

51

7,50

0

Ope

rasi

onal

lo

ngbo

at

3

15,

000,

000

13

5,00

0

2

25,0

00

2

58,7

50

3

10,5

00

2

81,2

50

1,

210,

500

M

esin

tik

60 c

m

3

5

0,00

0

450

518

540

563

585

2,65

5

Rad

io S

SB

3

900

,000

8,10

0

9,3

15

9,7

20

10,1

25

10,5

30

47,

790

Han

dy ta

lky

3

2

50,0

00

2,

250

2

,588

2

,700

2

,813

2

,925

1

3,27

5

Lo

ngbo

at p

atro

li

3

3

,500

,000

3

1,50

0

52,5

00

52,5

00

52,5

00

52,5

00

241,

500

Per

alat

an p

ondo

k ke

rja

3

2,5

00,0

00

22,

500

25

,875

27

,000

28

,125

29

,250

13

2,75

0

-

2Sa

rana

Pen

didi

kan

Bro

sur/l

eafle

t/buk

u ko

mik

cag

ar a

lam

2

pake

t

5

,000

,000

-

Pus

at d

ata

n in

form

asi

1

-

3

Sara

na P

enel

itian

-

Pen

gada

an p

ondo

k pe

nelit

ian(

KP

PN

.066

/33.

51)

Pon

dok

Pen

eliti

(d

lm k

ompl

eks

kant

or)

4

8

m

1,7

50,0

00

84,

000

-

-

-

-

8

4,00

0

Page 229: Bintuni Indonesian Screen

Re

ncan

a Pe

ngelo

laan

Cag

ar A

lam

Telu

k Bi

ntun

i

Pem

biay

aan

V

I - 2

1

BKSD

A Pa

pua I

I Sor

ong

Tot

al B

iaya

Per

iode

Tah

un k

e ( x

'000

) N

oA

ktiv

itas/

Keg

iata

n K

ompo

nen

Vol

ume

Satu

an

Har

ga S

atua

n 2

006-

2010

2

011-

2015

2

016-

2020

2

021-

2025

2

026-

2030

Tot

al 2

5 ta

hun

x 00

0.00

0

Sta

siun

Pen

gam

at

Cua

ca

3

unit

1

5,00

0,00

0

15,

000

-

15

,000

-

15

,000

4

5,00

0

Sta

siun

Pen

gam

at

Air

Sun

gai

1

un

it

75,

000,

000

-

-

75,0

00

-

-

75,

000

Pon

dok

Pen

eliti

te

rapu

ng (m

)

48

2,0

00,0

00

-

96

,000

-

-

-

9

6,00

0

Long

boat

unt

uk

Pen

eliti

(40

pk)

1

un

it

30,

000,

000

-

30,0

00

-

-

-

30,

000

-

Pem

ellih

araa

n P

ondo

k P

enel

iti

4

8

35,

000

-

1,6

80

1,6

80

1,6

80

1,6

80

6,

720

Sta

siun

Pen

gam

at

Cua

ca

1

600

,000

-

6

00

6

00

6

00

6

00

2,

400

Sta

siun

Pen

gam

at

Air

Sun

gai

1

1,2

00,0

00

-

-

-

1

,200

1

,200

2,40

0

Pon

dok

Pen

eliti

te

rapu

ng

48

3

5,00

0

-

-

1

,680

1

,680

1

,680

5,04

0

Long

boat

unt

uk

pene

liti (

40 p

k)

1

1

7,5

00,0

00

-

37

,500

37

,500

37

,500

37

,500

15

0,00

0

Page 230: Bintuni Indonesian Screen
Page 231: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Pengorganisasian VII - 1

BKSDA Papua II Sorong

VII. PENGORGANISASIAN

A. Pembinaan SDM, Kelembagaan, dan Koordinasi

A.1. Pengembangan Organisasi dan SDM

Pelaksanaan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni dilakukan BKSDA Papua II cq Resort

Bintuni. Prinsip pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni bersifat terpadu dan partisipatif. Untuk

itu dibutuhkan kerangka logis pengelolaan yang efisien dan dinamis, yang terutama

didasarkan pada strategi komunikasi, koordinasi, multistakeholders, dan pendidikan. Sebagai

pihak pengelola kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, BKSDA harus memiliki kemampuan

dalam berkomunikasi dan berkoordinasi dengan berbagai pihak, untuk melancarkan kegiatan

pengelolaan kawasan dan terpadu dengan pembangunan di wilayah sekitarnya. Secara

struktural, diusulkan beberapa posisi yang bersifat fungsional penuh, untuk menunjang

pengelolaan yang optimal.

Kelembagaan Resort KSDA Teluk Bintuni yang langsung mengelola Cagar Alam Teluk

Bintuni berada langsung di bawah BKSDA Papua II. Secara administratif BKSDA Papua II

akan berkoordinasi dan bertanggung jawab kepada Departemen Kehutanan. Untuk

mewujudkan pola pengelolaan yang efisien dan dinamis, dibutuhkan ukuran pengelolaan

yang kecil tetapi efektif. Kepala Resort Cagar Alam Teluk Bintuni harus lebih bersifat

fungsional, agar mampu mengoptimalkan pola pengelolaan yang koordinatif dan partisipatif

dengan tetap berkoordinasi dengan pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni. Oleh karena itu,

program-program pengembangan sumberdaya manusia, baik berupa pelatihan dalam lingkup

Kehutanan, Kelautan dan Perikanan, Lingkungan Hidup, maupun lingkup lainnya merupakan

kebutuhan penting. Kebutuhan pelatihan bersifat dinamis, sesuai dengan

kemajuan-kemajuan teknologi dan prinsip-prinsip umum pengelolaan.

Untuk itu, jumlah personal di Resort Cagar Alam Teluk Bintuni diusulkan bertambah sesuai

dengan pos pengawasan yang diusulkan, dimana setiap pos akan diisi satu sampai 2 orang

Polisi Hutan. Disamping itu perlu mengoptimalkan kemampuan teknis masing-masing

personalia yang ada dalam proses pengelolaan. Ini bertujuan untuk mengefisienkan

anggaran personalia, tetapi mengoptimalkan anggaran operasional dan pengelolaan

inventarisasi perlengkapan di Resort Cagar Alam Teluk Bintuni.

Disamping itu, pola peran partisipatif masyarakat dan pihak swasta yang ada di sekitar Teluk

perlu dilibatkan. Penerapan adanya Polisi Hutan volunteer yang biayanya dibebankan kepada

pihak swasta yang berniat membantu dapat dikembangkan tetapi garis komando terhadap

Polisi Hutan ini ada di Kepala Resort dan pihak swasta hanya sebatas memberikan dukungan

berupa fasilitas.

Page 232: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Pengorganisasian VII - 2

BKSDA Papua II Sorong

Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan adalah :

¶ Meningkatkan status pengelolaan kawasan konservasi di Teluk Bintuni menjadi seksi

KSDA mengingat di wilayah ini ada 2 kawasan cagar alam (Cagar Alam Teluk Bintuni

dan Wagura Kote) atau Cagar Alam Teluk Bintuni

¶ Menambah jumlah Polisi Hutan sehingga setiap wilayah pengawasan yang ada terisi

dengan Polisi Hutan penanggungjawab wilayah

¶ Melakukan pelatihan Polisi Hutan dalam bidang pengamanan hutan, pemberdayaan

masyarakat dan komunikasi

¶ Melakukan kerjasama dalam pengawasan kawasan dengan membina Polisi Hutan

volunteer dengan kerjasama pihak III

A.2. Kebijakan Pengelolaan

Di dalam pengelolaan cagar alam, semua aktivitas pengelolaan saling mendukung satu sama

lain. Aktivitas pengawasan dapat memberikan informasi dan data untuk kepentingan

pemeliharaan dan selanjutnya penataan. Di lain pihak, pelaksanaan penelitian dan

pengembangan akan memperkaya informasi untuk kepentingan pemeliharaan, pemanfaatan,

pengendalian dan pemulihan di kawasan cagar alam (Gambar VII-1).

Gambar VII-1. Struktur Arus Informasi dari Tahapan Pelaksanaan Pengelolaan di Cagar Alam Teluk Bintuni

Struktur organisasi dan sumberdaya manusia perlu di evaluasi terus-menerus melalui suatu

analisis beban kerja dan kebutuhan tenaga sehingga diharapkan lebih berdayaguna dan

berhasilguna serta dapat mengantisipasi beban pekerjaan yang akan dihadapi dan

direncanakan.

Penataan

Perlindungandan

Pengembangan

Pengawasan

Pengendalian

Pemulihan

PemanfaatanPemeliharaan

Page 233: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Pengorganisasian VII - 3

BKSDA Papua II Sorong

Dalam rangka menyesuaikan beban pekerjaan yang terus berkembang maka dari hasil

analisis diperlukan penambahan tenaga pada berbagai bidang keahlian, yang

pelaksanaannya dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan formasi dan biaya yang

tersedia. Untuk menunjang pelaksanaan pengelolaan, kepastian hukum kawasan juga harus

menjadi perhatian. Hal ini dimaksudkan agar keberadaan Cagar Alam menjadi

tanggungjawab semua pihak dan keberadaan serta pemanfaatan berhasil guna bagi

masyarakat sekitar. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah :

¶ Membentuk forum Komunikasi dan Kelompok Masyarakat Pengelola Cagar Alam Teluk

Bintuni.

Forum ini dibentuk dengan tujuan cagar alam lestari. Forum ini merupakan forum

multistakeholder dan menjadi forum atau wadah komunikasi yang membicarakan semua

kegiatan yang akan dilakukan di Cagar Alam. Dalam pelaksanaannya, forum ini bisa

menjadi perpanjangan tangan atau sumber informasi bagi Badan Monitoring

Pada sisi lain, kelompok masyarakat yang mencari nafkah dari dalam kawasan Cagar

Alam Teluk Bintuni juga harus diorganisir. Tujuannya adalah untuk memudahkan

pengawasan dan koordinasi sekaligus menjadi mata rantai pengawasan di seluruh

kawasan cagar alam

¶ Membantu pemerintah daerah dalam perumusan peraturan daerah khusus untuk

keberadaan kawasan konservasi Cagar Alam dalam tata ruang kabupaten.

A.3. Koordinasi Dalam Lingkup Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni

Secara umum, koordinasi pengelolaan dilakukan antara pengelola CATB dengan instansi di

atasnya yaitu BKSDA Papua II Sorong. Koordinasi khususnya dibutuhkan untuk menjangkau

pihak-pihak di lain dalam intansi Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Propinsi dan Pusat,

lembaga swadaya masyarakat (LSM), media massa, dan swasta.

A.4. Koordinasi dengan Instansi Lain

Secara umum, koordinasi pengelolaan dilakukan oleh pengelola Cagar Alam (Resort BKSDA)

dengan instansi terkait lain di dalam kabupaten dapat berlangsung optimal untuk membuka

peluang koordinasi dan kerja sama dalam kegiatan-kegiatan pengelolaan Cagar Alam Teluk

Bintuni. Koordinasi secara khusus dengan pemerintah Pemerintah Propinsi dan Pusat,

Lembaga Pendidikan dan Penelitian, Masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),

media massa, dan swasta dilakukan oleh BKSDA atau Resort dengan sepengetahuan

BKSDA Papua II.

Page 234: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Pengorganisasian VII - 4

BKSDA Papua II Sorong

1. Lingkup Pemerintah Kabupaten

Agar strategi dan program pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dapat sejalan

dan terpadu dengan strategi dan program pembangunan Daerah Kabupaten Teluk

Bintuni, maka pengelola CATB harus berkoordinasi dengan instansi dalam lingkup

Pemerintah Kabupaten, sebagai berikut: 1) Dinas Perikanan dan Kelautan; 2) Dinas

Pariwisata; 3) Dinas Kehutanan; 4) Dinas Tanaman Pangan; 5) Dinas Perhubungan; 6)

Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah; 7) Badan Perencanaan Pembangunan

Daerah; 8) Dinas Perindustrian dan Perdagangan; 9) Dinas Pendidikan; 10) Dinas

Permukiman dan Prasarana Wilayah; serta 11) Kepolisian dan TNI. Bentuk koordinasi

yang dilakukan dalam hal ini berupa pelaporan, informasi, kerja sama kegiatan, dan

konsultasi.

2. Lingkup Pemerintah Propinsi dan Pusat

BKSDA Resort Cagar Alam Teluk Bintuni harus berkoordinasi dengan Pemerintah

Propinsi Irian Jaya Barat, Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni dan instansi

teknis lainnya Bentuk koordinasi dalam hal ini berupa, pelaporan, informasi dan

kerjasama kegiatan.

3. Lembaga Pendidikan dan Penelitian

Dalam rangka pengembangan sumberdaya manusia, berkaitan dengan keterlibatan

masyarakat luas serta usaha peningkatan kesadartahuan masyarakat tentang nilai dan

manfaat Cagar Alam Teluk Bintuni, maka koordinasi dalam kegiatan pendidikan dan

penelitian sangat penting dilakukan. Koordinasi tersebut meliputi: 1) Lembaga Pendidikan

Dasar, Menengah, dan Umum se Kabupaten Teluk Bintuni dan 2) Perguruan Tinggi.

Bentuk koordinasi dalam hal ini berupa, kerjasama kegiatan dan konsultasi.

Kegiatan-kegiatan penelitian oleh lembaga-lembaga internasional untuk tingkat

operasional diatur sepenuhnya oleh Ditjen PHKA dan BKSDA Papua II Sorong.

4. Masyarakat Setempat

Guna mengoptimalkan pengelolaan kawasan yang efisien dan partisipatif, maka

koordinasi dengan masyarakat setempat sangat penting dilakukan. Koordinasi dengan

masyarakat setempat, terutama dengan: 1) Aparat desa; 2) Badan Perwakilan Kampung

atau Lembaga Masyarakat Adat (LMA); 3) Tokoh-tokoh masyarakat lainnya.

Koordinasi dalam hal ini berupa, pelaporan, kerjasama kegiatan dan konsultasi. Semua

kegiatan koordinasi dengan masyarakat setempat dilaporkan kepada BKSDA Papua II

Sorong dan Bappeda Kabupaten Teluk Bintuni.

Page 235: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Pengorganisasian VII - 5

BKSDA Papua II Sorong

5. Lembaga Swadaya Masyarakat

LSM memiliki peran penting baik sebagai fasilitator atau pendamping masyarakat,

maupun sebagai pengumpan masukan-masukan alternatif bagi strategi dan kebijakan

pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni. Untuk itu koordinasi antara Resort Cagar Alam

Teluk Bintuni dengan LSM baik di Kabupaten Teluk Bintuni dan sekitarnya, maupun dari

luar teluk, sangat dibutuhkan. Koordinasi tersebut terutama dengan:

1) LSM internasional: The Nature Conservancy (TNC), WWF, Conservation International

(CI) dan lain-lain

2) LSM nasional: Yayasan Kehati, Walhi, dan sebagainya

3) LSM lokal: , dan lain-lain

Koordinasi dalam hal ini berupa, pelaporan, kerjasama kegiatan dan konsultasi. Semua

kegiatan koordinasi dengan LSM dilaporkan kepada BKSDA Papua II Sorong dan

Bappeda Kabupaten Teluk Bintuni.

6. Media Massa

Usaha untuk menumbuhkan kesadartahuan dan keterlibatan masyarakat dalarn

pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni sulit tercapai apabila komunikasi dan informasl

hanya dilakukan oleh Kepala Resort Cagar Alam Teluk Bintuni atau BKSDA Papua II

Sorong. Dukungan media massa bagi strategi komunikasi dan informasi pengelolaan

akan memperluas daya imbasnya, tidak hanya untuk masyarakat sekitar tetapi juga

mampu menjangkau tingkat nasional dan internasional. Media masa dalam hal ini, adalah

media cetak, media elektronik, dan media alternatif.

7. Swasta

Koordinasi dengan swasta juga tidak kalah penting, terutama perusahaan besar di

Kabupaten Teluk Bintuni. Perusahaan swasta ini bisa berperan aktif bersama Resort

untuk mengawasi atau pengamanan kawasan Cagar Alam. Swasta bisa juga berperan

dalam memfasilitasi keberadaan Polisi Hutan volunteer untuk pengawasan.

Secara umum, para pemangku kepentingan di Teluk Bintuni yang dapat berperan dalam

pengelolaan Cagar Alam perlu mengetahui peran apa saja yang bisa dilakukan. Masyarakat

sebagai salah satu pemangku kepentingan (stake holder) dapat berperan sebagai Polisi

Hutan volunteer yang membantu proses pengawasan sekaligus juga menjadi pengguna jasa

cagar alam. Masyarakat di dalam pengelolaan cagar alam bias menjadi perpanjangan

tangan dari kepala Polisi Hutan sebagai pengelola teknis di daerah pengelolaan cagar alam

untuk mengumpulkan banyak informasi yang berguna bagi pengelolaan.

Page 236: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Pengorganisasian VII - 6

BKSDA Papua II Sorong

Disamping itu, masyarakat juga bias berperan sama untuk badan monitoring. Kondisi ini

menempatkan pelaksana teknis pengelolaan akan diawasi secara menyeluruh, baik oleh

masyarakat maupun oleh badan monitoring. Akan tetapi dalam perannya untuk pengelolaan,

masyarakat juga harus berkoordinasi dengan cagar alam.

Gambar VII-2. Struktur Sistem Pengelolaan Kawasan Cagar Alam

Posisi bada monitoring yang berada di luar struktur internal BKSDA ataupun pelaksana teknis

Cagar Alam membuat badan ini lebih independent dalam melakukan tugasnya untuk

mengawasi pelaksanaan pengelolaan tetapi badan ini terikat kepada rencana pengelolaan

kawasan. Keanggotaan dari badan yang cukup beragam akan membuat sinkronisasi

kegiatan dengan instansi terkait di lingkup Kabupaten Teluk Bintuni bias berjalan dengan baik

(Gambar VII-2).

B. Tanggungjawab dan Administrasi

Secara administrasi, tanggungjawab pelaksanaan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

berada di bawah BKSDA Papua II Sorong. Di dalam pelaksana teknis, kepala resort

bertanggungjawab sepenuhnya bagaimana melakukan implementasi pengelolaan kawasan.

Dalam pelaksanaan pengelolaan, dikembangkan adanya peran badan monitoring

pengelolaan kawasan yang direncanakan dalam dokumen rencana pengelolaan. Badan ini

akan memberikan input kepada resort dan BKSDA sebagai penanggungjawab.

Ka BKSDA Papua II Sorong

Kepala Ressort Cagar Alam Teluk Bintuni

Polisi Hutan

ForumKomunikasi

Masyarakat

Badan Monitoring

¶ Universitas Papua ¶ LMA¶ Bappeda Kab TB ¶ Dinas Kehutanan ¶ Dinas Perikanan

Dalam Kawasan CA dan di sekitar kawasan CA Teluk Bintuni

Kelompok Pemanfaat

Swasta

Page 237: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Pengorganisasian VII - 7

BKSDA Papua II Sorong

Gambar VII-3. Struktur Organisasi Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni

Kawasan CATB (Cagar Alam Teluk Bintuni) dengan luasan yang cukup besar sebaiknya

dikelola dengan jumlah staf yang memadai. Untuk itu direncanakan untuk menambah staf

dan struktur pengelola dengan membuat adanya kantor pembantu pada beberapa wilayah,

seperti Naramasa, Mamuranu, Tirasai. Setiap kantor wilayah ini akan bertanggungjawab ke

kepala resort dalam melaksanakan tugas pengelolaan kawasan. Di setiap wilayah pembantu

akan diisi juga dengan Polisi Hutan (Gambar VII-3).

Tugas dan Fungsi :

Kepala Polisi Hutan

1. Bertanggungjawab terhadap pelaksanaan rencana pengelolaan

2. Mengkoordinir Polisi Hutan yang ada di Cagar Alam Teluk Bintuni dalam melaksanakan

tugas pengelolaan kawasan

3. Bertanggungjawab terhadap koordinasi dengan instansi lain yang ada di Kabupaten

Teluk Bintuni

4. Membangun kerjasama dengan instansi swasta yang ada di Kabupaten untuk

Pengelolaan CA dan melaporkan kepada Ka BKSDA

5. Menyusun pengawasan dan evaluasi bulanan pelaksanaan rencana pengelolaan

6. Memberikan laporan pelaksanaan kepada Kepala BKSDA Papua II Sorong

Polisi Hutan

1. melakukan tugas Polisi Hutan

Ka BKSDA Papua II Sorong

Kepala Polisi Hutan Cagar Alam Teluk Bintuni

Ka Wilayah Mamuranu Ka Wilayah Tirasai Ka Wilayah Naramasa

Polisi Hutan Polisi Hutan Polisi Hutan

Administrasi

Badan Monitoring

¶ Universitas Papua ¶ LMA¶ Bappeda Kab TB ¶ Dinas Kehutanan ¶ Dinas Perikanan

Page 238: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Pengorganisasian VII - 8

BKSDA Papua II Sorong

2. membantu kepala Polisi Hutan dalam pengelolaan CA

3. memberikan laporan dan evaluasi pekerjaan setiap bulan kepada kepala Polisi Hutan

Administrasi

1. Melakukan tugas adminstrasi kantor resort

2. Bertanggungjawab terhadap dokumentasi kegiatan resort

3. Membantu kepala Polisi Hutan dalam pengarsipan dokumen penelitian dan rencana

penelitian

4. Membantu kepala Polisi Hutan dalam mengelola data base kawasan

5. Membantu kepala Polisi Hutan dalam mengkoordinasi kegiatan penelitian di kawasan

C. Penyusunan Staf

Kebutuhan staf untuk pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni perlu ditingkatkan baik jumlah

maupun kualitas. Untuk luas CATB yang mencapai 124.000 Ha dibutuhkan tambahan tenaga

Polisi Hutan yang bisa berfungsi ganda, baik dalam pengawasan, penyuluhan dan

pembinaan masyarakat. Untuk efisien dan efektifnya pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni,

kebutuhan tenaga tidak hanya dari jumlah tetapi juga kualifikasi harus memadai. Kulitas

pengelola juga bisa dipenuhi dengan adanya pelatihan.

Kepala Polisi Hutan/Kepala Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni/Kepala Resort :

¶ Pendidikan Sarjana/D3 Kehutanan masa kerja 3-5 tahun, atau

SMA dengan masa kerja lebih dari 15 tahun bekerja sebagai Polisi Hutan di Cagar

Alam

¶ Pernah mengikuti pendidikan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), penjenjang teknis

kehutanan (PTK), pelatihan penyusunan program, pemberdayaan masyarakat,

penyuluhan dan perencanaan partisipatif.

Kepala Wilayah (penanggungjawab wilayah) :

¶ Pendidikan D3 Kehutanan masa kerja 1-3 tahun, atau SMA dengan masa kerja 5-10

Tahun sebagai Polisi Hutan

¶ Pernah mengikuti pelatihan penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat

Polisi Hutan (Pohut)

1. Mengikuti pendidikan polisi kehutanan

Staf Komputer dan Administrasi

Page 239: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Pengorganisasian VII - 9

BKSDA Papua II Sorong

2. Pendidikan D3 komputer/administrasi masa kerja 1-3 tahun, atau SMA dengan masa

kerja 5-7 tahun di bidang komputer/administrasi

Kebutuhan tenaga untuk pengelolaan Cagar Alam direncanakan akan dipenuhi sampai pada

periode 2020 dan kapasitasnya juga akan diperkuat melalui kegiatan pelatihan dan kursus.

Bila kebutuhan staf di daerah tidak ada yang memenuhi, maka syarat minimal harus dipenuhi

dan ketrampilan akan dipenuhi lewat pelatihan (Tabel VII-1) dan rencana kebutuhan

pembiayaan didasarkan kepada standard biaya 2005 (Tabel VII-2)

Tabel VII-1. Kondisi Staf Pengelola Cagar Alam dan Rencana Pemenuhan Staf berserta Rencana Pelatihan

Kebutuhan Staff Pemenuhan Tenaga

No Aktivitas/Kegiatan Eksisting Kebutuhan Selisih

Kualifikasi 2006- 2010

2011- 2015

2016- 2020

2021- 2025

2026-2030

A Staf

1 Polisi Hutan Senior/Kepala Resort

1 1 0 Sarjana/ D3

0

2 Polisi Hutan (polhut)

¶ Polhut Pelaksana Pemula 0 6 6 D3/ SLTA 3 2 1

¶ Polhut Pelaksana 1 6 5 D3/ SLTA 2 3

3 Administrasi

Staf komputer dan administrasi

0 1 1 D3/ SLTA 1

B Pelatihan

¶ Pelatihan Pengenalan Jenis

- ã 3 1 1 1 1

¶ Pelathan Pemberdayaan Masyarakat

- ã 3 2 1 1 1

¶ Pelatihan Penyusunan Program

- ã 3 1 1 1 1

¶ Pelatihan Penyuluhan - ã 3 2 1 1 1

¶ Pelatihan Pembuatan Data Base

- ã 2 1

¶ Pelatihan GIS - ã 1 1 1 1 1

¶ Pelatihan Perencanaan Partisipatif

- ã 1 1 1 1 1

Page 240: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Pengorganisasian VII - 10

BKSDA Papua II Sorong

Tabel VII-2. Rencana Kebutuhan Biaya Pemenuhan Staf dan Rencana Pelatihan di Cagar Alam Teluk Bintuni

Rencana Biaya (Rp. X 000) No Aktivitas/Kegiatan 2006-

2010 2011-2015

2016-2020

2021-2025

2026-2030

Sumber Dana

A Staf APBN

1 Polisi Hutan Senior/Kepala Resort

96,000,

2 ¶ Polisi Hutan (polisi Hutan)

¶ Polhut Pelaksana Pemula 396,000

¶ Polhut Pelaksana 468,000

3 ¶ Administrasi

¶ Staf komputer dan administrasi

60,000

B Pelatihan dan Kursus APBN, Swasta

¶ Pelatihan Pengenalan Jenis 15,000 6,500 7,150 7,865 8,651

¶ Pelathan Pemberdayaan Masyarakat

12,000 8,800 4,400 4,400 4,400

¶ Pelatihan Penyusunan Program

15,000 5,000 5,000 5,000 5,000

¶ Pelatihan Penyuluhan 12,000 8,800 4,400 4,400 4,400

¶ Pelatihan Pembuatan Data Base

6,000 3,000

¶ Pelatihan GIS 5,000 5,000 5,000 5,000 5,000

¶ Pelatihan Perencanaan Partisipatif

4,000 4,000 4,000 4,000 4,000

Page 241: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Monitoring dan Evaluasi VIII - 1

BKSDA Papua II Sorong

VIII. MONITORING DAN EVALUASI

Kegiatan pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan proses yang

berkelanjutan, sehingga pemantauan dan evaluasi kegiatan merupakan hal yang sangat

penting dilakukan agar seluruh kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan tujuan dan

sasaran yang ditetapkan. Dalam perjalanan waktu, isu-isu pengelolaan kawasan yang baru

akan muncul, sehingga dalam aktivitas perencanaan lebih lanjut akan didapatkan beberapa

strategi-strategi tertentu yang tidak relevan lagi. Oleh karena itu, prioritas kegiatan perlu

dievaluasi dan dimodifikasi.

Secara umum melakukan kegiatan monitoring berarti melakukan dua hal, yaitu pertama

pemantauan atas rencana-rencana yang telah dibuat, kedua membandingkan kinerja dengan

ukuran yang telah di buat, memutuskan apakah perlu ada perubahan rencana dan membuat

perbaikan-perbaikan. Tetapi, dalam sistem manajemen konservasi, terminologi ini

dimodifikasi untuk mengetahui perbedaan antara kejadian-kejadian alami, survei,

pemantauan, pengamatan dan penelitian. Sedangkan evaluasi berarti mengidentifikasi apa

yang sudah dicapai dan mana yang belum serta apa yang harusnya dilakukan ke depan

dengan melibatkan atau mengumpulkan umpan balik dari stakeholder-stakeholder kunci dan

pengelola.

A. PELAKSANA KEGIATAN

Kegiatan pemantauan yang dilanjutkan dengan evaluasi implementasi kegiatan pengelolaan kawasan disarankan untuk dilakukan oleh unsur internal pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni maupun oleh Forum komunikasi yang independen.

A.1. Internal Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni

Pemantaun dan evaluasi yang dilakukan disini adalah merupakan kegiatan rutin dari pengelola kawasan terhadap kinerja anggota pengelola. Pemantauan dan evaluasi oleh unsur internal ini bisa berupa pengawasan melekat oleh atasan langsung baik di kantor maupun di lapangan. Pengawasan tersebut bisa diwujudkan berupa kegiatan pembinaan ke lokasi secara reguler atau dengan kunjungan/inspeksi mendadak.

Cara lain untuk pemantauan dan evaluasi kegiatan adalah dengan mengirimkan laporan periodik dan laporan khusus dari hirarki yang lebih rendah kepada pejabat di atasnya (misalnya dari petugas wilayah kepada kepala resort, dst). Demikian juga pelaksanaan rapat rutin yang diikuti oleh semua unsur pimpinan struktural dan fungsional, serta rapat berkala yang diikuti oleh semua pegawai Ressort KSDA Teluk Bintuni. Hal ini akan sangat efektif dalam pemantauan dan evaluasi kegiatan pengelolaan baik yang menyangkut kemajuan

Page 242: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Monitoring dan Evaluasi VIII - 2

BKSDA Papua II Sorong

kegiatan maupun permasalahan yang dihadapi. Pemecahan masalah biasanya dapat lebih cepat ditangani dibanding hanya komunikasi surat atau laporan.

A.2. Forum Komunikasi Independen

Selain Pemantauan dan evaluasi kegiatan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni yang dilakukan oleh pengelola kawasan, kehadiran dan peran suatu Forum Komunikasi yang independen sangat diperlukan. Forum ini diharapkan selain berperan dalam mengevaluasi kinerja rencana kerja yang telah dibuat, juga berfungsi sebagai kontrol dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan kawasan.

A.2.1 Komposisi Forum Komunikasi MONEV CATB

Untuk keperluan monitoring dan evaluasi implementasi kegiatan pengelolaan, komposisi forum komunikasi diharapkan memperhatikan tidak hanya kapasitas personil tetapi juga faktor keterwakilan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam kegiatan pengelolaan kawasan. Berikut adalah komposisi forum komunikasi yang akan dusulkan dengan memperhatikan aspek kemampuan pelaksana dan keterwakilan pemangku kepentingan utama dalam pengelolaan kawasan:

1. Universitas Negeri Papua

Institusi ini perlu mendapat pertimbangan sebagai pelaksana kegiatan monitoring dan evaluasi kegiatan pengelolaan. Dari segi kemampuan personil yang ada, tidak diragukan lagi institusi ini telah memiliki sumberdaya manusia yang handal dan pengalaman dalam melakukan pemantauan dan evaluasi implementasi kegiatan pengelolaan baik kawasan konservasi maupun kegiatan kehutanan lainnya. Disamping itu, dukungan peralatan yang ada dirasa cukup memadai untuk suatu kegiatan pemantauan dan evaluasi. Saat ini institusi ini telah memiliki laboratorium Geographical Information System (GIS) dengan beberapa perangkat keras dan lunak yang memadai dan dipimpin oleh seorang kepala laboratorium yang telah memiliki kualifikasi yang cukup dalam memonitor dinamika suatu kawasan konservasi. Berikut adalah kondisi peralatan dan personil pendukung yang ada di Laboratorium GIS yang bernaung di bawah Fakultas Kehutanan, Universitas Negeri Papua Manokwari seperti disajikan pada Tabel VIII-1. dan VIII-2.

Page 243: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Monitoring dan Evaluasi VIII - 3

BKSDA Papua II Sorong

Tabel VIII-1. Kondisi fasilitas pendukung pengelola Lab GIS Fakultas Kehutanan Unipa

No. Nama Barang

Spesifikasi Jumlah SumberPengadaan

Tahun Status Ket.

Pentium I, 256 MHz, 16 M, 40 G

1 Unit - - Inventaris Baik

Pentium II, 256 MHz, 32 M, 2 G

1 Unit P2T, Faperta Uncen

2000 Inventaris Baik

Pentium IV, 1,7 GHz, 600 Mb, 20 G

1 Unit Semi Que IV Jrs Kehutanan

2002 Inventaris Baik

Pentium IV, 3.0 GHz, 1.0 Gb, 20 G

1 Unit Diploma MHAPFahutan Unipa

2003 Inventaris Baik

1. KomputerHardwares

Pentium IV, 2.26 GHz, 261 Mb, 40 G

5 Unit Diploma MHAPFahutan Unipa

2004 Inventaris Baik

ILWIS 3.1, Lisenced

1 Unit 2000 Inventaris Baik

ArcView 3.3 Lisenced

1 Unit TNC 2003 Inventaris Baik

Citra Landsat 7 ETM, Teluk Bintuni

5 Scene TNC 2002 Inventaris Baik

2. KomputerSoft wares

Citra Landsat 7 ETM. Sarmi

5 Scene Proyek Atlas SD Pesisir Unipa

2002 Inventaris

3. MejaDigitasi Portable

1 Unit Semi Que IV Jrs Kehutanan

2002 Baik

4. MejaDigitasi Gulung

1 Unit Bappeda TK I Irian Jaya

1999 Pinjaman Baik

5. Ploter A1, Epson Stylus pro 7500

1 Unit P2T Faperta Uncen

2000 Inventaris Baik

6. Ploter Calcom 1 Unit Bappeda TK I Irian Jaya

2000 Pinjaman Baik

7. Scanner 1 Unit P2T Faperta Uncen

2000 Inventaris Rusak

8. D-Link 10/100 Fast Ethernet Switch DES-1008D, 8 link

1 Unit TNC 2003 Inventaris Baik

9. KameraDigital

Kodak Easy Share 1 Unit P2T Faperta Uncen

2000 Inventaris Baik

10. UPS Pro Link Pro 2100, 1000 W

1 Unit Semi Que IV Jrs Kehutanan

2003 Inventaris Baik

11. Stabilazer UNION 50/60 Hz, 500 VA

1 Unit Semi Que IV Jrs Kehutanan

2002 Inventaris Baik

12. ElektrikKid

- - Lab.Biometrika dan GIS

2002/ 2005

Inventaris Baik

Page 244: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Monitoring dan Evaluasi VIII - 4

BKSDA Papua II Sorong

Tabel VIII.2. Kondisi personil pendukung pengelolaan Lab GIS Fakultas Kehutanan Unipa

No. Nama pengelola Kualifikasi Pelatihan SIG Sponsor

1. Yosias Gandhi Master 1. Pelatihan Pengenalan SIG untuk pengelolaan Kawasan CA Tahun 2001, Unipa Manokwari.

TNC & UNIPA

2. Pelatihan Identifikasi Vegetasi Mangrove di Teluk Bintuni Tahun 2001, Unipa Manokwari

TNC

3. Presentasi Hasil Pelatihan SIG pada CA Teluk Bintuni di Biologi Conference IV, Goroka, PNGTahun 2002,

TNC

4. Remote Sensing and GIS for Coastal Zone ManagementTahun 2003, BIOTROP, Bogor

TNC

2. Julius D. Nugroho Master 1. Pelatihan Pengenalan SIG untuk pengelolaan Kawasan CA Tahun 2001, Unipa Manokwari.

TNC & UNIPA

2. Pelatihan Identifikasi Vegetasi Mangrove di Teluk Bintuni Tahun 2001, Unipa Manokwari

TNC

3. Remote Sensing and GIS for Coastal Zone Management Tahun 2003, BIOTROP, Bogor

TNC

3. Yoseph Rahawarin Sarjana 1. Pelatihan Pengenalan SIG untuk pengelolaan Kawasan CA Tahun 2001, Unipa Manokwari.

TNC & UNIPA

2. Pelatihan Identifikasi Vegetasi Mangrove di Teluk Bintuni Tahun 2001, Unipa Manokwari

TNC

4. Christian Imburi Sarjana Magang SIG untuk pemula di Biotrop, Bogor, Tahun 2004, BIOTROP, Bogor

Unipa

5. Fransina Kesaulija Sarjana Pelatihan Pengenalan SIG untuk pengelolaan Kawasan CA Tahun 2001, Unipa Manokwari.

TNC & UNIPA

Selain itu, institusi ini telah beberapa kali menjalin kerjasama dengan beberapa LSM dan Pemerintah Daerah dalam penelitian dan pengkajian di kawasan Teluk Bintuni, termasuk daerah Cagar Alam Teluk Bintuni. Kontribusi yang dapat diberikan oleh institusi ini dalam kegiatan monitoring dan evaluasi adalah lebih banyak difokuskan pada pemantauan dan mengevaluasi keberhasilan kegiatan, membantu mengidentifikasi dan memfasilitasi pemecahan masalah-masalah, khususnya yang berhubungan dengan aspek keilmuan yang dihadapi pengelola.

2. BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni

Selain melakukan monitoring dan evaluasi internal sebagai institusi pengelola, sebagai

pemegang kendali kegiatan pengelolaan kawasan, institusi ini juga diharapkan berperan

dalam kegiatan pemantauan dan evaluasi secara eksternal. Dari peran dan fungsi yang akan

Page 245: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Monitoring dan Evaluasi VIII - 5

BKSDA Papua II Sorong

dimainkan oleh institusi ini dalam kegiatan pengelolaan, segala bentuk permasalahan dan

hambatan dalam implementasi rencana kegiatan di lapangan akan lebih banyak diketahui

oleh institusi ini. Sehingga diharapkan dalam kegiatan evaluasi kegiatan pengelolaan yang

akan dilakukan oleh forum komunikasi, institusi akan banyak berperan dalam

mengkomunikasikan masalah dan hambatan yang ditemui dengan stakeholder yang lain

dalam di forum ini.

3. Masyarakat adat yang diwakili oleh Lembaga Masyarakat Adat Teluk Bintuni.

Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa dalam keberhasilan kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni harus banyak melibatkan komponen masyarakat adat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan. Selain partisipasi langsung masyarakat dalam kegiatan rencana kelola, peran masyarakat adat, yang di wakili oleh Lembaga Musyawara Adat (LMA) Bintuni dan Lemasom, dalam kegiatan monitoring sekaligus evaluasi implementasi kegiatan pengelolaan dirasa penting. Peran masyarakat adat dalam kegiatan monitoring dan evaluasi lebih di fokuskan pada mengkaji atau memantau peristiwa-peristiwa yang diperkirakan memiliki dampak penting terhadap nilai dan fungsi kawasan. Kegiatan ini umumnya adalah koordinasi kegiatan dalam bentuk bentuk konsultasi, pengarahan dan kerjasama dengan kelompok target yang beragam, sesuai dengan tipe kelompok pemanfaat dan tipe dampak. Koordinasi untuk kegiatan pemantauan dan evaluasi pengelolaan meliputi Forum Koordinasi dan Wadah Partisipasi. Koordinasi juga diperlukan dengan masyarakat setempat, serta pemanfaat potensi kawasan yang lainnya. Melalui koordinasi dan peran serta masyarakat, pengelolaan yang efisien, terutama dalam pemantauan dan evaluasi, dapat tercapai.

4. Bappeda Kabupaten Teluk Bintuni

Sebagai institusi perencana di Kabupaten Teluk Bintuni, Badan ini diharapkan memainkan

peran lebih banyak dalam menunjang kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk

Bintuni. Institusi ini memang masih relatif baru seiring dengan pemekaran Kabupaten Teluk

Bintuni, namun kapasitas institusi ini yang didukung oleh sumberdaya manusia yang ada

tidak diragukan lagi dalam kegiatan monitoring dan evaluasi. Apalagi di dalam struktur

organisasi, Badan ini telah dilengkapi dengan Sub Bagian Monitoring dan Evaluasi. Peran

yang bisa dimainkan oleh institusi ini menunjang kegiatan monitoring dan evaluasi adalah

memfasilitasi pemecahan dan penyelesaian masalah-masalah yang terkait dengan

pembangunan dan pengembangan yang dilakukan oleh dengan pemerintah daerah.

5. Dinas terkait di Kabupaten seperti Dinas Kehutanan dan Dinas Perikanan dan Kelautan.

Selain Badan Perencana Daerah (Bappeda) Kabupaten Teluk Bintuni, Dinas-Dinas yang

relevan dengan kegiatan pengelolaan kawasan, perlu dipertimbangan sebagai anggota

Page 246: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Monitoring dan Evaluasi VIII - 6

BKSDA Papua II Sorong

forum komunikasi yang diusulkan. Dinas-Dinas yang terkait langsung dan dianggap sebagai

mitra kerja pengelola adalah Dinas Kehutanan (DINHUT) dan Dinas Kelautan dan Perikanan

(DKP). Dari luasan kawasan yang ada (±124.850 ha), sebagian besar terdiri dari ekosistem

mangrove dan hutan dataran rendah, serta pada bagian tertentu berbatasan dengan hutan

produksi dan hutan lindung. Hal ini membuat aktivitas perikanan dan kehutanan di dalam dan

sekitar kawasan tidak dapat terelekan, sehingga peranan kedua pemangku kepentingan

(stakeholder) ini mutlak diperlukan baik dalam kegiatan pengelolaan maupun monitoring dan

evaluasi. Peran penting yang bisa diambil oleh kedua institusi ini adalah dalam hal

memfasilitasi penyelesaian masalah pengelolaan khususnya yang berkaitan dengan

masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya alam di dalam dan sekitar kawasan.

Forum komunikasi yang diusulkan perlu di perkuat dengan Surat Keputusan Bupati, sehingga keberadaanya dalam struktur hukum di Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni menjadi jelas. Berdasarkan kondisi stakeholder yang disebutkan di atas, diusulkan forum independen ini bisa di bawah koordinasi Universitas Negeri Papua (UNIPA), namun tidak tertutup kemungkinan pada saatnya nanti koordinator badan ini dipercayakan pada stakeholder yang lain seperti Bappeda Kabupaten Teluk Bintuni.

A.2.2 Tugas dan Tanggung Jawab

Tugas utama dari forum ini antara lain :

1. Memonitor pelaksanaan rencana pengelolaan yang dilakukan oleh BKSDA Papua II Sorong dan Ressort Teluk Bintuni

2. Melakukan evaluasi terhadap implementasi kegiatan sesuai dengan rencana pengelolaan yang sudah ditetapkan.

3. Membantu pengelola dalam memfasilitasi penyelesaian masalah pengelolaan, khususnya yang berkaitan dengan masyarakat.

4. Memberikan masukan kepada pengelola bila dari hasil evaluasi terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan rencana pengelolaan yang telah digariskan sebelumnya.

5. Membuat laporan evaluasi implementasi kegiatan rencana pengelolaan kawasan yang disampaikan kepada pengelola dan Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni.

Dalam pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi, forum independen yang dibentuk akan selalu berkoordinasi dengan Balai Konservasi Sumberdaya Alam Papua II Sorong dan kepala Resort KSDA Bintuni sebagai pemegang mandat utama pengelola kawasan serta masyarakat (Jagawana Voluntir, Forum Komunikasi, dan Kelompok Pemanfaat) di dalam dan sekitar kawasan (Gambar VII-1). Apabila dirasa perlu, forum ini dapat melakukan pengecekan lapangan (site visit) untuk melihat langsung kondisi lapangan yang sebenarnya.

Page 247: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Monitoring dan Evaluasi VIII - 7

BKSDA Papua II Sorong

A.2.3 Sumberdaya pendudung

Dalam memperlancar kinerja, forum yang diusulkan harus dilengkapi dengan fasilitas penunjang serta peningkatan kemampuan. Fasilitas penunjang yang dimiliki oleh Lab GIS di Unipa Manokwari dirasa sudah cukup memadai, namun masih perlu pengadaan beberapa perangkat lunak seperti foto citra satelit (Satelite imagenery) dan perangkat pengolahan data digital.

Selain itu dalam kegiatan pemantauan dan evaluasi, dirasa perlu untuk didukung oleh semacam pedoman pernantauan lapangan yang bersifat populer, sehingga dapat membantu pemantauan dan pengawasan potensi Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitarnya. Hal ini penting dalam meningkatkan pemahaman masyarakat tentang nilai dan manfaat kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni terletak pada senjang (gap) antara kegiatan teknis pelestarian dengan penginformasian kepada masyarakat luas.

Selain ditunjang oleh peralatan yang memadai, badan ini juga perlu ditunjang oleh kemampuan personil yang kualified. Salah satu strategi dalam yang bisa dilakukan dalam memfasilitasi peningkatan kemampuan (capacity building) dari personil dalam forum yang diusulkan adalah melalui pelatihan-pelatihan yang terprogram. Pelatihan atau kursus yang bisa diusulkan dalam menunjang kegiatan forum ini antara lain:

1. Pelatihan pengenalan sistem informasi geografis (SIG) yang bisa difasilitasi oleh pengelola Lab GIS di Unipa Manokwari dan kerjasama dengan LSM Internasional seperti The Nature Conservancy (TNC).

2. Pelatihan sistem monitoring dan evaluasi proyek yang bisa di fasilitasi oleh Unipa dan Bappeda Kabupaten Teluk Bintuni.

3. Khusus untuk masyarakat yang diwakili oleh Lembaga Musyawarah Adat (LMA) kampung, pelatihan atau kursus yang bisa diusulkan adalah pelatihan untuk penggunaan pedoman pernantauan lapangan, yang bisa difasilitasi oleh pengelola kawasan yang didukung koordinasi dengan pihak-pihak LSM.

B. RENCANA WAKTU PEMANTAUAN DAN EVALUASI

Dalam implementasinya, strategi-strategi pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

perlu dimonitor dan di evaluasi untuk setiap periode waktu implementasi kegiatan tertentu

oleh unsur internal pengelola kawasan maupun oleh suatu forum komunikasi independen.

B.1. Internal Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni

Khusus untuk pemantauan dan evaluasi oleh unsur internal pengelola kawasan, Kepala

Kesort sebagai agen pelaksana kegiatan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni diharuskan

melakukan monitoring dan evaluasi terjadwal secara internal terhadap semua implementasi

Page 248: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Monitoring dan Evaluasi VIII - 8

BKSDA Papua II Sorong

rencana kegiatan pengelolaan kawasan (Bab V) yang dijabarkan lebih lanjut pada pada

Tabel VIII-3.

Tabel VIII-3. Rencana monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni oleh unsur internal pengelola kawasan.

Bentuk Kegiatan No. Waktu

Pelaksanaan Monitoring Evaluasi 1. Bulanan Melakukan pemantauan terhadap

semua kegiatan pengelolaan yang dilakukan selama sebulan penuh yang meliputi hal-hal: ¶ Target dan Realisasi kegiatan

dan pembiayaan. ¶ Masalah dan hambatan yang

ditemui di lapangan. ¶ Kinerja personil pelaksana

kegiatan.

Mengevaluasi seluruh kegiatan selama satu bulan yang dituangkan dalam bentuk laporan bulanan yang disampaikan kepada BKSDA Papua II.

2. Triwulan Melakukan pemantauan terhadap semua kegiatan pengelolaan yang dilakukan selama tiga bula terakhir yang difokuskan pada hal-hal seperti pada pemantauan bulanan.

1. Rapat evaluasi implementasi kegiatan pengelolaan yang diikuti oleh semua unsur pimpinan struktural dan fungsional pengelola kawasan.

2. Laporan rutin yang disampaikan kepada BKSDA Papua II.

3. Semesteran Melakukan pemantauan terhadap semua kegiatan pengelolaan yang dilakukan selama enam bulan terakhir yang difokuskan pada hal-hal seperti pada pemantauan bulanan.

1. Rapat evaluasi implementasi kegiatan pengelolaan yang diikuti oleh semua unsur pimpinan struktural dan fungsional pengelola kawasan.

2. Laporan rutin yang disampaikan kepada BKSDA Papua II.

4. Tahunan Pemantauan secara menyeluruh terhadap semua kegiatan pengelolaan yang dilakukan selama satu tahun.

1. Rapat berkala untuk mengevaluasi komprehensif terhadap seluruh implementasi kegiatan pengelolaan yang diikuti oleh seluruh pengelola kawasan.

2. Laporan tahunan yang disampaikan kepada BKSDA Papua II.

B.2. Forum komunikasi Independen

B.2.1 Lingkup Kegiatan Badan Forum komunikasi Independen

Kegiatan monitoring oleh forum komunikasi independen terhadap implementasi rencana

pengelolaan dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu:

1. Monitoring dan evaluasi menyeluruh terhadap semua rencana pengelolaan kawasan

dan semua tujuan yang telah digariskan dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali.

2. Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan untuk semua aspek dalam rencana kelola

akan dievaluasi setiap tahun.

Page 249: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Monitoring dan Evaluasi VIII - 9

BKSDA Papua II Sorong

3. Apabila diperlukan, sewaktu-waktu dapat dilakukan monitoring dan evaluasi, namun

hanya bersifat insidensial.

Sebagai pedoman dalam proses monitoring dan evaluasi terhadap strategi-strategi yang

diimplementasikan, mengacu kepada rencana kegiatan pengelolaan (Bab V) dan

pembiayaan (Bab VI).

B.2.2 Mekanisme Kerja Forum Komunikasi Independen

Berdasarkan lingkup kerja seperti diuraikan sebelumnya, forum ini akan bekerja berdasarkan

skenario seperti ditampilkan pada diagram alur berikut:

Gambar. VII-1. Mekanisme Kerja Forum komunikasi Independen

PENGELOLAKAWASAN

FORUMKOMUNIKASI

Monitoring dan Evaluasi Tahunan

Implementasi kegiatan tidak berjalan sesuai

rencana kegiatan

IMPLEMETASIKEGIATAN DI

SETUJUI

IMPLEMENTASIKEGIATAN TAHUNAN

Saran, solusi pemecahan masalah,

dan atau revisi program

IMPLEMENTASIKEGIATAN LIMA

TAHUNAN

Monitoring dan Evaluasi

Lima -Tahunan

IMPLEMETASIKEGIATAN DI

SETUJUI

Implementasi kegiatan tidak berjalan sesuai

rencana kegiatan

Saran, solusi pemecahan masalah,

dan atau revisi program serta

peninjauan kembali atau perubahan

rencana pengelolaan yang ada

Page 250: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Monitoring dan Evaluasi VIII - 10

BKSDA Papua II Sorong

Dari gambar di atas dapat dijelaskan mekanisme kerja Forum komunikasi Independen adalah

sebagai berikut:

1. Forum ini akan melalukan monitoring dan evaluasi implementasi kegiatan

pengelolaan setiap tahun;

2. Apabila ditemukan permasalahan, hambatan dan atau hal-hal yang tidak berjalan

sesuai rencana kegiatan, maka forum ini wajib memberikan saran, solusi

pemecahan masalah, dan atau revisi program kepada pihak pengelola;

3. Apabila dalam monitoring dan evaluasi kegiatan tahunan tidak ditemukan

permasalahan, hambatan dan atau hal yang berjalan tidak sesuai rencana

kegiatan, maka implementasi kegiatan rencana pengelolaan diterima yang

ditindaklanjuti dalam bentuk laporan tertulis. Kemudian dilanjutkan dengan

kegiatan Monitoring dan evaluasi limatahunan.

4. Apabila dalam kegiatan MONEV lima tahunan ditemukan permasalahan,

hambatan dan atau hal-hal yang tidak berjalan sesuai rencana kegiatan, maka

forum ini wajib memberikan saran, solusi pemecahan masalah, dan atau revisi

program kepada pihak pengelola. Apabila diperlukan, dilakukan peninjauan

kembali atau perubahan rencana pengelolaan yang ada.

5. Apabila dalam monitoring dan evaluasi kegiatan lima-tahunan tidak ditemukan

permasalahan, hambatan dan atau hal yang tidak berjalan sesuai rencana

kegiatan, maka implementasi kegiatan rencana pengelolaan diterima yang

ditindak lanjuti dalam bentuk laporan tertulis.

Page 251: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Penutup IX - 1

BKSDA Papua II Sorong

IX. PENUTUP

Rencana pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni bukan merupakan suatu rencana

pengelolaan yang kaku yang harus digunakan untuk mengelola kawasan yang memiliki

proses ekologis yang rumit. Ekosistem Cagar Alam Teluk Bintuni memiliki ekosistem pesisir

pulau-pulau kecil, ekosistem mangrove dan perairan sehingga dalam pengelolaannya

dibutuhkan suatu piranti yang dinamis. Komitmen pihak pengelola terhadap kelompok-

kelompok terkait merupakan landasan penting bagi suatu pengelolaan yang dinamis.

Kerangka utama dalam pengelolaan dinamis adalah peran serta dan koordinasi lintas

sektoral dari semua pemangku kepentingan di Cagar Alam Teluk Bintuni.

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni adalah suatu dokumen yang memiliki nilai

akomodatif, partisipasi dan transparansi yang tinggi, karena dokumen ini disusun

berdasarkan hasil dari serangkaian proses yang melibatkan seluruh stakeholder, termasuk

masyarakat pemilik hak ulayat. Dokumen ini akan menjadi acuan bagi pemerintah dan

stakeholder di dalam melakukan kegiatan pengelolaan CATB pada periode 25 tahun ke

depan. Dokumen ini juga dapat berfungsi sebagai alat kontrol dan koordinasi berbagai

instansi sehingga diperoleh sinergitas dalam pelaksanaan setiap kegiatan yang

direncanakan.

Dalam implementasinya, dokumen ini diharapkan akan dilegalisasi dengan keputusan Bupati

Teluk Bintuni sehingga mempunyai kekuatan hukum tetap. Beberapa program yang

dirumuskan, telah disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi dari instansi teknis terkait

pada lingkup pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni dan juga telah mengakomodir berbagai

kepentingan stakeholder pendukung pengelolaan kawasan CATB serta tetap

mempertimbangkan kelestarian fungsi kawasan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Pertimbangan ini menjadi strategis karena dalam penganggaran hendaknya mengikuti skema

anggaran pada instansi teknis terkait untuk program yang bersesuaian dengan tugas dan

fungsi pokoknya. Sumber anggaran lain dapat diupayakan, baik yang bersumber dari swasta

maupun dana hibah lainnya yang sah.

Departemen Kehutanan dalam, hal ini Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian

Alam (PHKA) sebagai institusi pelaksana rencana kegiatan pengelolaan yang telah disusun,

memiliki banyak keterbatasan sumberdaya. Untuk itu, keterlibatan pihak lain seperti pihak

swasta/investor, LSM lokal dan internasional, Pemerintah Daerah, serta para pemerhati

lingkungan lainnya, sangat diharapkan dalam implementasi rencana kegiatan pengelolaan

Cagar Alam Teluk Bintuni di lapangan.

Dengan terbitnya Dokumen Rencana Pengelolaan ini, Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

dapat dikelola secara optimal dan lestari sesuai fungsi peruntukannya.

Page 252: Bintuni Indonesian Screen
Page 253: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Daftar Pustaka DP - 1

BKSDA Papua II Sorong

DAFTAR PUSTAKA

Asia Pacific Study Center – University of Gajah Mada, KONPHALINDO, WWF, and YDPTB. 1999. Management of sustainable community-based natural diversity in Bintuni Bay with emphasis on Mangroves. UGM, Yogyakarta.

Asmusruf, A., Rumbino, A, dan Lense, O. 2002. Pemanfaatan Nipah (Nypa Fruticans ) Oleh Lima Suku Di Bintuni. Beccariana, 4:2, 101-112.

Beehler, B.M., Pratt, T.K., dan Zimmerman, D.A. 2001. Burung-burung di Kawasan Papua (terjemahan). Birdlife International Indonesia Programme.

Bengen, D. G. 2002. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL-IPB. Bogor

Bengen, D. 2005. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB.

Berwulo, M.M. 1995. Pengusulan Lahan Basah Teluk Bintuni Menjadi Cagar Alam. Laporan Hasil Survei Lapang. Bogor, Indonesia.

Boli, P. Dkk. 2002. Survei Potensi Sumberdaya Perikanan dan Pertanian di Kawasan Teluk Bintuni. Unipa-CRMP.

Camillan Bann, 1999. The Economic Valuation of Mangroves: A Manual Research for Researcher.

Costanza, R.; d’Arge; R. de Groot; S. Farber; M. Grasso; B. Hannon; K. Limburg; S. Naeem., 1997. The Value of the World’s Ecosystem Services and Natural Capital. Nature 387 (1997).

Christensen, B. 1978. Biomass and primary production of Rhizophora apiculata BL. in a mangrove in southern Thailand. Aquat. Bot. 4:43-52.

Cicin-Sain, B and Knecht W.R. 1988. Integrated Coastal and Ocean Management. Concept and Practices. Island Press. Washington DC.

Clough, B.F. and Attiwill, P.M. 1975. Nutrient cycling in a community of Avicenia marina in a temperature region of Australia. In: Proceeding International Symp. Biology and Management of Mangroves. Inst. Food and Agric. Sci., University Florida, Gainsville, Fla. Vol. I, pp 137-146.

Conservation International, 1999. Lokakarya Penentuan Prioritas Konservasi Keanekaragaman Hayati Irian Jaya. CI Washington DC, USA.

Conyer, D. 1991. Perencanaan Sosial di Dunia Ke Tiga : Suatu Pengantar. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Dahuri, R. 1998. Potensi Keanekaragaman Hayati Dalam Dimensi Kepariwisataan Bahari di Kawasan Indonesia Timur. Makalah di sampaikan pada Seminar “ Prospek Pengembangan Wisata Bahari di KTI. Kerjasama YPMAS-Sultra dengan LP2SN. Bogor, 28 Desember 1998.

DinHut Prov. Maluku Utara – BPPK Papua Maluku, 2003. Kajian Potensi Biofisik Hutan Mangrove di Desa Guraping-Maluku Utara. BPPK Papua Maluku, Manokwari.

Page 254: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Daftar Pustaka DP - 2

BKSDA Papua II Sorong

Erftemeijer, P.L.A dan A. Bualuang. 1998. Participation of Local Communities in Mangrove Forest Rehabilitation in Pattani Bay, Thailand : Learning from Successes and Failures. Second International Conference on Wetlands and Development, Dakar, Senegal, 8-14 November 1998

Febrianto, F. 2002. Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove Kayu dan Non Kayu. Materi Teori dalam Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari Angkatan I di Bali. Jurusan Teknologi Hasil Hutan IPB Bogor. Bogor.

Golley, F., Odum, H.T., and Wilson, R.F. 1962. The structure and Metabolism of Puerto Rican red Mangrove forest in May. Ecology, 43: 9-19.

Goulter, P.F.E. and Allaway, W.G. 1979). Litter fall and decomposistion in a mangrove stand (Avicenia marina Folks.) in a Middle Harbour , Sydney. Australian J. Marine Freshwater Resources.

Heald, E.J. 1971. Production of Organic Detritus in a South Florida Estuary. P hd Thesis, University of Miami, USA (Un pblished).

Hilmi, Endang, 2003. Profil Kandungan Karbon pada Pohon Kelompok Jenis Rhizhopora, spp dan Bruguiera spp Dalam Tegakan Hutan Mangrove Alami di Indonesia. Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Koentjaranigrat. 1980. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. PT. Gramedia Jakarta.

Kusmana, C dan Onrizal. 1998. Evaluasi Kerusakan Kawasan Mangrove dan Arahan Teknik Rehabilitasinya di Pulau Jawa. Lokakarya Jaringan Kerja Pelestari Mangrove, Pemalang, Jawa Tengah. 12-13 Agustus 1998.

Kusmana, C. 2002. Ekologi Mangrove. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Leftungun, N. 2004. Pemanfaatan Palem oleh Masyarakat Suku Sougb di Kampung Sibena II Distrik Bintuni. Skripsi Sarjana Kehutanan, Fakultas Kehutan Unipa (Tidak diterbitkan).

Lense, O dan Kilmaskossu, A. 2002. Keanekaragaman Hayati Kawasan Teluk Bintuni Kabupaten Manokwari. Laporan Survei UNIPA dan CRMP.

Lugo, A.N. and Clintron, C. 1975. The Mangrove Forest of Puerto Rico and Their Management. In: Walsh, G.E., Snedaker, S.C, and Teas, H.J. (Eds.) Proceedings of Int. Symp. On Biology and Management of Mangroves. Vol. 2. Inst. Food and Agric. Sci., University Florida, Gainsville, Fla. Vol. I, pp 825-846.

Lugo, A.N. and Snedaker, S.C. 1974. The Ecology of Mangrove. Ann. Rev. Ecology and Systematic. 5:39-64.

Noor Y.R., Khazali M., Suryadiputra I.N.N. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA/Wetlands International, Bogor

Noor, Y.S. 1995. Mangrove Indonesia, Pelabuhan Bagi Keanekaragaman Hayati : Evaluasi Keberadaannya saat ini. Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove. LIPI-MAB Indonesia. Jakarta

Noor, Y.S., M. Khazali dan IN.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA dan Wetland International Programme. Bogor

Page 255: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Daftar Pustaka DP - 3

BKSDA Papua II Sorong

NRM, 2004. Potret dan Rencana Umum Pengelolaan Taman Wisata Alam Gunung Meja Manokwari. NRM, Manokwari.

Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Saunders Company, Philadelphia, USA.

Pearce, D.W and R.K. Turner, 1990. Economic of Natural Resources and The Environment. Harvester Wheatsheaf. New York, London, Sidney.

P3FED, 2002. Pokok-Pokok Pikiran tentang Pemberdayaan hak-hak masyarakat adat dalam mengeksploitasi sumberdaya alam provinsi Papua. P3FED Unipa, Manokwari.

PEMDA Provinsi Papua, Pemda Kab. Manokwari, UNIPA, dan Proyek Pesisir (USAID), 2003. Atlas sumberdaya pesisir Kawasan Teluk Bintuni. Proyek Pesisir (USAID) Indonesia, CRMP Project. Jakarta, Indonesia. 89 pp.

Pertamina - BP Indonesia. 2002. Andal Kegiatan Terpadu (Eksplorasi Gas, Fasilitas LNG, Pelabuhan, Bandar Udara dan Pemukiman LNG Tangguh Kabupaten Manokwari, Sorong dan Fak-fak Propinsi Papua). BP Indonesia, Jakarta.

Petocz, R.G. 1983. Recommended reserves for Irian Jaya Province. Statement prepared for the formal gazettment of thirty one conservation areas. WWW/IUCN Report. Conservation for development programme in Indonesia. Also published in Indonesian language, prepared in cooperation with PHPA: “usulan-usulan suaka di propinsi Irian Jaya”. Bogor, Indonesia. 61 pp.

Petocz, R.G. and George P. Raspada. 1984. Conservation and development in Irian Jaya: A strategy for rational resource utilization. Bogor: PHPA.

Petocz, R.G. and Y de Fretes. 1983. Mammals of the reserves in Irian Jaya. WWF/IUCN special report. Jayapura.

Pool, D.J., Lugo, A.E., and Snedaker, S.C. 1975. Production in Mangrove forests of Southern Florida and Puerto Rico. In: Proceeding International Symp. Biology and Management of Mangroves. Inst. Food and Agric. Sci., University Florida, Gainsville, Fla. Vol. I, pp 213-237.

PT BUMWI, 1994. Studi Evaluasi Lingkungan Hak Pengusahaan Hutan PT Bintuni Untama Murni Wood Industries di Kabupaten Manokwari, Propinsi Irian Jaya (Buku II: Laporan Utama). PT BUMWI, Jakarta.

PT. Geobis Woodward-Clyde Indonesia. 1988. Environmenttan Baseline Study. Final Report to Atlantic Richfield Berau, Inc.

Raharjo, Y. 1996. Community Base Management di Wilayah Pesisir Indonesia. Prosiding Pelatihan ICZPM, PKSPL IPB dan Ditjen Bangda Depdagri.

Rustiadi, E, Sunsun Saeful Hakim, dan Dyah R. Panuju. 2003. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. IPB. Bogor.

Soerianegara, I. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Sasekumar, A., M.U Leh., V.C Chong and R. D’Cruz. 1992. Mangroves as a Habitat for Fish and Prawns. Hydrobiologia.

Page 256: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Daftar Pustaka DP - 4

BKSDA Papua II Sorong

Soesilowati, E. 1997. Pemberdayaan Masyarakat Lapis Bawah : Kasus Kegiatan Suatu LSM di Jawa Tengah. Tesis Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1988. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay, Sorong.

Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1990. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay, Sorong.

Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1991. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay, Sorong.

Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1992. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay, Sorong.

Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1993. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay, Sorong.

Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1994. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay, Sorong.

Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1995. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay, Sorong.

Sub Biphut Manokwari, 2000. Peta Pengunaan Hutan di Kabupaten Manokwari Skala 1:250,000. Dinhut Manokwari

Suhaeb, A.S. 1999. Analisis Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Teluk Kendari. Tesis Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Tim P3FED Unipa, 2004. Kajian Model-Model Mekanisme Pemberian Kompensasi Hak Masyarakat Adat atas Pengelolaan Hutan dan Penggunaan Tanah di Distrik Bintuni, Kabupaten Manokwari. P3FED Unipa, Manokwari.

Tim TNC, 2003. Survei Potensi Hutan Bakau Cagar Alam Teluk Bintuni . The Nature Conservancy Papua Conservation Program, Palu Sulawesi Tengah, INDONESIA.

UNIPA dan Bappeda Manokwari. 2001. Rencana Pengembangan Sektor Ekonomi Potensial secara terpadu di Kawasan Teluk Bintuni. Universitas Negeri Papua bekerjasama dengan Badan Prencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Manokwari.

Page 257: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Daftar Pustaka DP - 5

BKSDA Papua II Sorong

Walsh, G.E. 1974. Mangroves: A Review. In: Ecology Halophytes (R.J. Raymond and W.H. Queen, Eds.). Academic Press, New York. Pp 51-174.

Womersley, J.S. (Ed). 978. Handbook of the Flora of Papua New Guinea, Vol.1. Melbourne University Press, 278 pages.

Yayasan Lingkungan Hidup Humeibouw Manokwari. 2002. Studi Sosial Budaya di Kecamatan Bintuni Kabupaten Manokwari. Yalhimo-CRMP.

Yayasan PERDU. 2002. Studi Sosial Budaya di Kecamatan Bintuni Kabupaten Manokwari. PERDU-CRMP.

Zuwendra, Erftemeijer, P., dan Allen, G, 1991. Inventarisasi Sumber Daya Alam Teluk Bintuni dan Rekomendasi untuk Manajemen dan Konservasi. PHKA/ AWB-Indonesia (Forestry Institute and Asian Wetlands Bureau), Bogor. Indonesia.

Page 258: Bintuni Indonesian Screen
Page 259: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Lampiran-Lampiran L- 1

BKSDA Papua II Sorong

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 260: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Lampiran-Lampiran L- 2

BKSDA Papua II Sorong

Lampiran 1. Istilah dan Terminologi yang termuat dalam dukumen

Abrasi Pengikisan batuan, dinding tanah oleh air, es, atau angin.

Agro-Ekosistem Sistem pertanian yang didasarkan pada hubungan timbal balik antara sekelompok manusia dan lingkungan fisiknya guna memungkinkan kelangsungan hidup kelompok manusia itu.

Agroforestri Sistem-sistem dan teknologi tata guna lahan di mana pepohonan berumur panjang (termasuk semak, palem, bambu, kayu, dll.) dan tanaman pangan dan atau pakan temak berumur pendek diusahakan pada petak lahan yang sama dalam suatu pengaturan ruang atau waktu.

Arboretum Tempat berbagai pohon ditanam dan dikembangbiakkan untuk tujuan penelitian atau pendidikan.

AWB Asian Wetland Bureau, Biro Tanah Basah Asia BAPEDALDA Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah BAPPEDA Badan Perencana Pembangunan Daerah BAPPENAS Badan Perencanaan Pembangunan NasionalBAPI The Biodiversity Action Plan for Indonesia, Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati di

Indonesia BKSDA

Balai Konservasi Sumberdaya Alam Biodiversity

Keaneka-ragaman hayati yaitu sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keanekaragaman bentuk kehidupan di bumi, bentuk interaksi antar sesama mahluk hidup dan antar mahluk hidup dengan lingkungannya. Keanekaragaman hayati mencakup tiga hal, yakni ekosistem, spesies dan genetis dan meliputi wilayah darat, perairan tawar, pesisir dan laut.

Biogeografi Penyebaran tumbuh-tumbuhan dan binatang secara geografis di muka bumi.

Biopirasi (biopiracy) Eksplorasi dan pemanfaatan, pengetahuan lokal dan sumber daya genetis tanpa pengetahuan ataupun persetujuan pemiliknya/masyarakat setempat.

Bioprospecting (bioprospeksi)Penilaian terhadap sumber daya genetis dan sumber daya hayati. Dalam praktiknya kegiatan ini dibarengi dengan munculnya isu-isu hak kepemilikan intelektual,

Page 261: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Lampiran-Lampiran L- 3

BKSDA Papua II Sorong

pembagian keuntungan yang adil dan merata, serta dampak negative akibat pemanfaatan produk rekayasa genetis.

BioregionKawasan/lingkungan fisik yang pengelolaannya tidak ditentukan oleh batasan politik dan administrasi, tetapi oleh batasan geografi, komunitas manusia serta sistem ekologi. Dengan demikian, bioregion juga mempunyai pengertian ekoregion, yaitu pengelolaan kawasan yang didasarkan pada prioritas ekosistem dan habitat alami setempat.

Bioteknologi Penerapan teknologi berbasis ilmu biologi untuk memanfaatkan makhluk hidup bagi kebutuhan manusia.

Cagar Alamadalah kawasan Suaka Alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangusung secara alami.

Cagar Biosfer Kawasan di dalam suatu negara yang mendapat status khusus dari negara-negara yang tergabung dalam program The Man and The Biosphere (MAB) di bawah UNESCO, sebagai kawasan konservasi khusus dengan fungsi ekonomi, ekologi dan sosial.

Cagar Warisan Dunia (World Heritage Site) Menurut World Heritage Convention yang dikeluarkan oleh UNESCO, ada dua yaitu:

1. "Cultural World Heritage" mengacu pada monumen, karya arsitektur, pahatan dan lukisan, elemen atau struktur arkeologis, prasasti, gua-gua hunian, dan kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang secara universal sangat bemilai tinggi dari sisi sejarah, seni, dan ilmu pengetahuan.

2. "Natural World Heritage" mengacu pada ekosistem, habitat atau kelompok formasi geologis dan fisiografis beserta spesies flora dan fauna yang terancam.

CITESConvention on International Trade of Endangered Species, Konvensi untuk Perdagangan Internasional Spesies Langka

Daerah Burung Endemik Wilayah pengelompokan alami burung-burung yang kisaran hidupnya terbatas.

Debt for Nature Swap Dana untuk konservasi alam didefinisikan sebagai pembatalan utang luar negeri dengan menukarnya dengan mobilisasi sumber daya alam dalam negeri untuk pelestarian alam.

Deforestasi Penggundulan hutan sehingga lahan yang semula berupa hutan menjadi berubah fungsinya, misalnya menjadi lahan pertanian, perkebunan atau penggunaan lainnya.

EkoregionSuatu pendekatan pengelolaan kawasan konservasi yang menggunakan pembagian wilayah berdasarkan kondisi perbedaan ekosistem (lihat bioregion).

Page 262: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Lampiran-Lampiran L- 4

BKSDA Papua II Sorong

EkosistemKomponen biotik dan abiotik dalam suatu lingkungan yang saling berinteraksi sehingga menghasilkan aliran energi dan daur hara.

EkuatorGaris imajiner yang mengelilingi bumi, diagonalnya 0 derajat (membagi bumi menjadi 2 wilayah: utara dan selatan)

Endemik, EndemismeSpesies tumbuhan atau binatang yang hanya terdapat di wilayah tertentu dan sering bersifat unik untuk daerah tersebut.

Epifit Tumbuhan yang hidup pada tumbuhan lain tetapi tidak merugikan. Eutrofikasi

Pengayaan zat-zat hara yang berlebihan di dalam suatu perairan sehingga mendorong ledakan pertumbuhan tumbuhan air dan mengakibatkan kekurangan kadar oksigen di dalam perairan.

Fenomena El Nino Peristiwa alam yang menimbulkan kemarau panjang yang hebat.

Fragmentasi Habitat Proses yang menyebabkan kawasan hutan primer yang semula saling bersambungan terpecah menjadi petak-petak yang saling terpisah dan terpencar.

Habitat Tempat hidup alami bagi binatang dan tumbuhan.

Herpetofauna Kelompok binatang yang temasuk dalam amfibi (katak/kodok) dan reptilia (buaya, penyu, ular, biawak, komodo).

Hutan Dipterocarpaceae Hutan yang didominasi spesies pohon dari famili Dipterocarpaceae. misalnya berbagai jenis meranti. kruing. kapur dll.

Hutan Hujan Dataran Rendah ’selalu-hijau’ Hutan yang berisi tanaman berkayu dan tumbuhan selalu-hijau. terdapat di dataran rendah daerah tropis dengan curah hujan 2500 mm/tahun.

Hutan Kerangas Hutan yang tumbuh di atas tanah podsolik. Tanah yang terlapuk berat dan mengandung silika terbentuk pada teras-teras kuarsa. batuan pasir, atau puncak-puncak batu cadas. Tanah ini sangat masam dan tidak subur. di mana besidan humus terkumpul di bawah lapisan atas pasir putih.

Hutan Konservasi UU no.41 menjelaskan bahwa yang termasuk hutan konservasi adalah hutan alam cadangan (nature preservation forest), hutan alam konservasi (nature conservation forest) dan taman berburu (hunting forest).

Hutan PrimerHutan perawan atau hutan alam yang belum dijamah manusia.

Hutan Sekunder Hutan alam yang sudah dimanfaatkan oleh manusia.

Page 263: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Lampiran-Lampiran L- 5

BKSDA Papua II Sorong

IBOYMerupakan singkatan dari International Biodiversity Observation Year (tahun observasi biodiversity internasional) yang dilaksanakan pada tahun 2001 dan 2002, sebagai jendela bagi para ilmuan dan pendidik dari seluruh dunia untuk bekerjasama meningkatkan komunikasi tentang ilmu-ilmu penting berbasis biodiversity.

IBSAPIndonesian Biodiversity Strategy and Action Plan, Strategi dan Rencana Aksi Biodiversity Indonesia

Indeks Keragaman Spesies (Species Diversity Index) Indeks yang digunakan oleh para ilmuwan lingkungan untuk membandingkan tingkat keanekaragaman spesies berdasarkan jumlah dan kelimpahan spesies binatang dan tumbuhan di suatu tempat.

IUCN International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources Karamba

Kurungan dari anyaman bambu yang ditempatkan (diapungkan) di sungai sebagai tempat perkembangbiakan ikan atau udang.

Karnivora Mahluk hidup pemakan daging.

Kawasan Intertidal/Iitoral Kawasan yang terletak di antara daerah pasang tertinggi dan surut terendah di pantai.

Kawasan Konservasi Kawasan-kawasan yang digolongkan dalam kawasan pelestarian alam yaitu taman nasional, taman wisata alam dan taman hutan raya, kawasan suaka alam yaitu cagar alam, suaka margasatwa, hutan lindung, dan taman buru. Istilah konservasi tidak dijumpai dalam UU No.5 tahun 1990. Sedangkan UU No.41 tahun 1999 muncul pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Sedangkan hutan konservasi dibagi ke dalam hutan suaka alam, hutan pelestarian alam. dan taman buru.

Keanekaragaman hayati (Biodiversity)Lihat biodiversity

Kegiatan yang menunjang budidaya di dalam kawasan Suaka Alamialah kegiatan yang dapat dilaksanakan dalam bentuk pengambilan, pengangkutan dan penggunaan plasma nutfah yang terdapat dalam kawasan alam yang bersangkutan untuk keperluan pemuliaan jenis dan penangkaran.

Konservasi Upaya perlindungan ekosistem penyangga kehidupan, pengawetan plasma nutfah serta pemanfaatan keanekaragaman hayati berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian.

Konservasi Eks-SituUpaya perlindungan, pemanfaatan dan pelestarian spesies di luar habitat aslinya berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian.

Konservasi In-Situ Upaya perlindungan, pemanfaatan dan pelestarian spesies di dalam habitat aslinya berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian.

Page 264: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Lampiran-Lampiran L- 6

BKSDA Papua II Sorong

Konvensi Keanekaragaman Hayati Konvensi yang ditandatangani oleh 150 negara dalam Konferensi Tingkat Tinggi PBB mengenai Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro pada tahun 1992.

KoridorJalur-jalur lahan yang dilindungi yang menghubungkan satu kawasan konservasi dengan kawasan konservasi lainnya. Dikenal sebagai koridor konservasi atau koridor perpindahan yang memungkinkan tumbuhan dan satwa untuk menyebar, sehingga memungkinkan aliran gen serta kolonisasi lokasi yang sesuai. Koridor dapat berfungsi membantu melestarikan satwa yang harus melakukan migrasi musiman di antara rangkaian habitat yang berbeda-beda untuk mendapatkan makanan.

Kriteria Ramsar Kriteria yang digunakan di bawah Konvensi Ramsar, untuk menilai kualitas atau nilai lahan basah berdasarkan kekayaan keanekaragaman hayati dan keunikan ekosistem sehingga layak mendapat status sebagai kawasan penting di dunia. Kriteria ini meliputi keunikan tipe lahan basah, komunitas binatang dan tumbuhan yang ada di dalam lahan basah, kriteria khusus sebagai habitat burung atau ikan yang unik.

Kriteria Status Flora atau Fauna menurut IUCN: 1. Kritis (Critically endangered) : jika taksa menghadapi resiko kepunahan yang

sangat ekstrim (tinggi) di alam dalam waktu yang sangat dekat. Populasinya berkurang paling sedikit 80% selama 10 tahun terakhir, luas wilayah diperkirakan kurang dari 100 km2, populasi kurang dari 250 individu dewasa. jumlah populasi diperkirakan kurang dari 50 individu dewasa dan kemungkinan punah di alam paling sedikit 50% dalam 10 tahun.

2. Genting/terancam {Endangered): jika taksa tidak termasuk kriteria genting tetapi mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dalam waktu dekat. Populasinya berkurang paling sedikit 50% selama 10 tahun terakhir.luas wilayah diperkirakan kurang dari 5000 km2 atau yang dapat ditempati kurang dari 500 km2, populasi diperkirakan kurang dari 2500 individu dewasa, jumlah populasi diperkirakan kurang dari 250 individu dewasa dan kemungkinan punah di alam paling sedikit 20% dalam 20 tahun.

3. Rentan {Vulnerable): jika taksa tidak termasuk kriteria genting atau terancam tetapi mengalami resiko kepunahan yang tinggi di alam dalam waktu dekat. Populasinya berkurang paling sedikit 20% selama 10 tahun terakhir, luas wilayah diperkirakan kurang dari 20.000 km2 atau yang dapat ditempati kurang dari 2000 km2, populasi diperkirakan kurang dari 10.000 individu dewasa, jumlah populasi diperkirakan kurang dari 1000 individu dewasa dan kemungkinan punah di alam paling sedikit 10% dalam 100 tahun. (lihat rincian kategori dalam Mogea dkk. 2001).

MAB Merupakan singkatan dari the Man And the Biosphere. Program UNESCO yang dimulai tahun 1971 untuk pemanfaatan berkelanjutan dan konservasi biodiversity dengan mengembangkan landasan natural dan social sciences. Juga ditujukan untuk meningkatkan hubungan yang harmonis antara masyarakat dan lingkungan globalnya.

Page 265: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Lampiran-Lampiran L- 7

BKSDA Papua II Sorong

Megadiversity Country Istilah yang digunakan untuk menggambarkan negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati dan budaya yang tinggi. Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia setelah Brazil.

MoratoriumPenghentian sementara/jeda.

Nilai OmitologisNilai-nilai mengenai keragaman spesies, jumlah, penyebaran dan kehidupan burung.

Nokturnal Sifat binatang yang aktif bergerak dan mencari makan pada malam hari.

Pembangunan Berkelanjutan Pola pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa melemahkan kemampuan pembangunan untuk memenuhi kebutuban generasi mendatang.

Pengelolaan kawasan Suaka Alamadalah upaya terpadu dalam penataan, pemeliharaan, pemanfaatan, pengawasan, pengendalian, pemulihan, perlindungan dan pengembangan kawasan Suaka Alam.

Perdagangan Karbon (carbon trade)Suatu mekanisme yang sedang dikembangkan secara intemasional melalui negara-negara yang masih memiliki hutan yang cukup luas (yang berfungsi menyerap karbon dari emisi bahan bakar) mendapatkan kompensasi dari kalangan internasional berupa dana untuk membiayai kegiatan konservasi yang dikaitkan dengan emisi karbon.

Pola Inti-PlasmaSistem pertanian yang menghubungkan pertanian dan agroindustri di mana produksi primer (tanaman tahunan atau tanaman keras, ternak, susu, unggas, telur, ikan, udang dan sebagainya) tidak terpusat pada unit produksi kapitalis (atau sosialis) yang besar tetapi tetap berada di tangan petani kecil, yang dihubungkan secara melembaga melalui kontrak dengan sebuah perusahaan inti yang lebih besar yang menangani satu atau lebih kegiatan hilir dan hulu seperti penyediaan sarana produksi, pengolahan dan pemasaran hasil.

Plasma NutfahSubstansi sebagai sumber sifat keturunan yang terdapat di dalam setiap kelompok organisme yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan sehingga tercipta suatu jenis unggul atau Kultivar baru.

Potassium Sianida Zat kimia yang digunakan untuk bahan racun untuk menangkap ikan, karena dapat membuat ikan yang terpapar zat ini menjadi pingsan sehingga mudah ditangkap.

PRAMerupakan singkatan dari Participatory Rural Appraisal. Metode PRA adalah media untuk berkomunikasi dengan cara dialog antara Perencana – Pelaksana Administratif dan partner mereka (masyarakat) untuk memecahkan masalah dan untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah-masalah yang terjadi.

Page 266: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Lampiran-Lampiran L- 8

BKSDA Papua II Sorong

Rawa Aluvial Rawa di tanah lempung yang terendapkan oleh air mengalir.

Rawa Herbaceous Rawa yang ditumbuhi tumbuhan kecil yang tumbuh seperti rumput dan batangnya tidak berkayu.

Rekayasa Genetis Teknologi yang digunakan untuk mengubah materi genetis sel hidup melalui campur tangan manusia sebagai upaya agar sel tersebut mampu menghasilkan senyawa yang diinginkan atau mengemban fungsi-fungsi yang berbeda dengan sel-set lain yang tidak mengalami manipulasi.

Rencana Pengelolaan kawasan Suaka Alamadalah upaya terpadu dalam penataan, pemeliharaan, pemanfaatan, pengawasan, pengendalian, pemulihan, perlindungan dan pengembangan kawasan Suaka Alam.

ResinHasil sekresi tanaman yang susunan kimianya sangat kompleks, padat, transparan, dan kompak.

Restocking Kegiatan yang ditujukan pada peningkatan populasi jenis flora dan fauna liar di habitat alam aslinya.

Revolusi Biru Proses perubahan produksi perikanan (khususnya darat, air tawar dan payau) dari cara-cara tradisional ke arah intensifikasi untuk meningkatkan produksi.

RSAMerupakan singkatan dari Rapid Social Assessment. Metode RSA adalah media untuk mengumpulkan data dan informasi, berkomunikasi dengan cara dialog antara peneliti dengan masyarakat.

Savana Padang rumput yang diselingi oleh kelompok kecil pepohonan.

Silvikultur Pemeliharaan dan pembinaan hutan atau manipulasi vegetasi hutan untuk tujuan tertentu seperti untuk mengontrol pembentukan, komposisi dan pertumbuhan pohon.

Transmigrasi Umum Perpindahan penduduk dari satu daerah yang padat penduduknya ke daerah lain yang berpenduduk jarang, dilakukan secara rutin atas prakarsa pemerintah.

Transmigrasi Swakarsa Transmigrasi atas usaha sendiri atau spontan.

Trawl Jenis perangkat penangkapan ikan, sering disebut sebagai pukat harimau.Tumbuhan Invasif

Spesies tumbuhan, umumnya bukan asli di suatu habitat, yang ditanam secara sengaja atau karena terbawa oleh faktor alam, namun kemudian mampu berkembang biak secara massal dan menguasai wilayah tumbuh komunitas spesies tumbuhan lainnya.

UNDP United Nations Development Program, suatu badan PBB untuk pembangunan

Page 267: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Lampiran-Lampiran L- 9

BKSDA Papua II Sorong

USAIDUnited State Aid, Lembaga Bantuan dari Amerika Serikat untuk Pembangunan di Negara Berkembang

Valuasi EkonomiCara penilaian ekonomi sumber daya alam dengan menetapkan atau mengukur nilainya secara moneter.

WWF World Wide Fund for Nature atau lebih dikenal dengan World Wildlife Fund, Lembaga internasional untuk pelestarian sumberdaya alam

Page 268: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Lampiran-Lampiran L- 10

BKSDA Papua II Sorong

Lampiran 2. Data suhu udara ambien (0C) selama tiga tahun (1997 – 2000) berhasil di catat oleh PT Calmarine pada stasiun pengamat cuaca Tanah Merah, Babo.

Suhu Udara (0C)Tahun Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sept Okt Nop Des

1997 maksimum - - 35.42 34.73 34.88 33.02 32.99 32.98 33.78 34.88 33.05

1997 rata-rata - - 26.92 26.89 26.4 25.43 25.34 25.93 27.11 27.17 27.48

1997 minimum - - - 22 22.74 21.4 20.83 20.02 20.76 22.84 22.2 22.88

1998 maksimum 36.31 36.15 36.21 36.92 37.26 34.19 34.6 34.19 35.59 37.02 36.12 33.53

1998 rata-rata 27.83 27.28 27.88 27.86 28.17 26.91 26.42 26.44 26.75 27.31 27.61 27.29

1998 minimum 22.72 23.05 23.14 23.51 23.45 23.26 21.36 22.62 22.82 23.11 23.19 22.11

1999 maksimum 36.35 35.09 35.81 35.56 35.37 35.6 34.59 34.58 35.13 36.36 33.08 33.55

1999 rata-rata 27.7 27.22 27.26 27.26 26.85 26.4 25.69 25.44 26.13 26.96 26.94 27.19

1999 minimum 22.93 22.2 22.7 22.79 22.99 22.45 21.2 21.87 21.96 22.99 22.91 22.71

2000 maksimum 35.87 34.9 37.07 35.64 - - - - - - - -

2000 rata-rata 26.96 27.14 27.27 27.25 - - - - - - - -

2000 minimum 22.85 22.45 22.03 22.71 - - - - - - - - Sumber: BP Pertamina (2002)

Lampiran 3. Data kelembaban relatif udara ambien (%) selama tiga tahun (1997 – 2000) berhasil di catat oleh PT Calmarine pada stasiun pengamat cuaca Tanah Merah, Babo.

Kelembaban Udara (%) Tahun

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sept Okt Nop Des

1997 maksimum - - - 100 100 100 100 100 100 100 100 100

1997 rata-rata - - - 86.5 86.9 83.7 88.8 83.1 85.7 85.2 86.5 87.4

1997 minimum - - - 43.4 54.4 49.8 53.2 46.9 53.8 52.7 39.4 61

1998 maksimum 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

1998 rata-rata 85.7 89.2 86.6 89.2 89 93.4 93.6 93 92.6 91.7 91.4 91.7

1998 minimum 48.5 51 45.6 SO.1 55.2 65.3 60.6 56.4 57.2 50.3 54.7 62.4

1999 maksimum 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

1999 rata-rata 90.1 90.7 91.3 91.9 93.1 93.1 93.5 94.4 93.2 92.2 93 93.3

1999 minimum 50.5 53.5 58.4 55.7 59.5 57.6 57.8 59.1 54.9 51 60.8 63.2

2000 maksimum 100 100 100 100 - - - - - - - -

2000 rata-rata 93.2 91.3 90.9 91.9 - - - - - - - -

2000 minimum 56.6 55.2 48.8 61 - - - - - - - - Sumber: BP Pertamina (2002)

Page 269: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Lampiran-Lampiran L- 11

BKSDA Papua II Sorong

Lampiran 4. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat semai dan pancang di Plot Pulau Kaboi (Depan Muara Tirasai), Cagar Alam Teluk Bintuni

Tngkat semai Tingkat pancang Jenis Famili

N/Ha F INP N/Ha F INP

B. gymnorrhiza Rhizophoraceae 2500 - 58 - - -

B. parviflora Rhizophoraceae - - - 262 - 92

Ceriops tagal Rhizophoraceae 2500 - 58 63 - 33

R. mucronata Rhizophoraceae - - - - - -

R. apiculata Rhizophoraceae 5000 - 84 363 - 175 Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.

Lampiran 5. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat tiang dan pohon di Plot Pulau Kaboi (Depan Muara Tirasai), Cagar Alam Teluk Bintuni

Tngkat tiang Tingkat pohon Jenis Famili

N/Ha F INP N/Ha F INP

B. gymnorrhiza Rhizophoraceae - - - 87 - 62

B. parviflora Rhizophoraceae - - - 150 - 51

Ceriops tagal Rhizophoraceae - - - 26 - 19

R. mucronata Rhizophoraceae - - - 150 - 11

R. apiculata Rhizophoraceae - - - 162 - 157 Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.

Lampiran 6. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat semai dan pancang di Plot Mangrove S. Simeri, Cagar Alam Teluk Bintuni

Tngkat semai Tingkat pancang Jenis Famili

N/Ha F INP N/Ha F INP

R. mucronata Rhizophoraceae 7000 - 68 770 - 178

X. moluccensis Meliaceae 6000 - 56 30 - 55

B. gymnorrhiza Rhizophoraceae 5000 - 44 160 - 41

Ae. corniculatum Myrsinaceae 4000 - 32 10 - 9

B. sexangula Rhizophoraceae - - - 130 - 11

X. granatum Meliaceae - - - 20 - 7 Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.

Page 270: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Lampiran-Lampiran L- 12

BKSDA Papua II Sorong

Lampiran 7. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat tiang dan pohon di Plot Mangrove S. Simeri, Cagar Alam Teluk Bintuni

Tngkat tiang Tingkat pohon Jenis Famili

N/Ha F INP N/Ha F INP

R. mucronata Rhizophoraceae - - - 160 - 180

X. moluccensis Meliaceae - - - - - -

B. gymnorrhiza Rhizophoraceae - - - 80 - 102

Ae. corniculatum Myrsinaceae - - - - - -

B. sexangula Rhizophoraceae - - - 40 - 18

X. granatum Meliaceae - - - - - - Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.

Lampiran 8. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat semai dan pancang di Plot Pulau Maniai (Tanjung Pitaboni), Cagar Alam Teluk Bintuni

Tngkat semai Tingkat pancang Jenis Famili

N/Ha F INP N/Ha F INP

Ae. corniculatum Myrsinaceae 1458 0,42 24,28 500 0,42 64,70

Avicennia alba Avicenniaceae 833 0,17 10,81 67 0,08 10,53

B. gymnorrhiza Rhizophoraceae 625 0,08 6,32 133 0,08 15,18

B. parviflora Rhizophoraceae 625 0,17 9,90 133 0,25 26,95

B. sexangula Rhizophoraceae 1250 0,17 12,65 - - -

Ceriops decandra Rhizophoraceae 1250 0,08 9,08 67 0,17 16,42

R. mucronata Rhizophoraceae 11875 0,75 84,44 33 0,08 8,21

R. apiculata Rhizophoraceae 4792 0,50 42,53 500 0,33 58,41 Sumber: Hasil Survei Tim TNC, 2005

Lampiran 9. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat Tiang dan Pohon di Plot Pulau Maniai (Tanjung Pitaboni), Cagar Alam Teluk Bintuni

Tingkat tiang Tingkat pohon Jenis Famili N/Ha F INP N/Ha F INP

A. corniculatum Rhizophoraceae - - - 2,08 0,08 3,98

Avicennia alba Avicenniaceae 108 0,17 88,81 2,92 0,50 59,98

A. marina Rhizophoraceae - - - 4,17 0,08 5,56

B. gymnorrhiza Rhizophoraceae - - - 12,50 0,08 10,86

B. parviflora Rhizophoraceae 25 0,08 19,78 37,50 0,42 43,33

B. sexangula Rhizophoraceae - - - 14,58 0,17 15,87

C. decandra Rhizophoraceae 8 0,08 12,85 2,08 0,08 4,21

R. mucronata Rhizophoraceae 25 0,25 37,41 60,42 0,50 54,80

R. apiculata Rhizophoraceae 150 0,58 140,85 104,17 0,75 96,48

S. alba Sonneratiaceae - - - 4,17 0,08 5,04 Sumber: Hasil Survei Tim TNC, 2005

Page 271: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Lampiran-Lampiran L- 13

BKSDA Papua II Sorong

Lampiran 10. Hasil perhitungan Nilai kubikasi kayu manrove (m3/ha) Vegetasi Tingkat Tiang dan Pohon di kelompok hutan mangrove Pulau Maniai (Tanjung Pitaboni), Cagar Alam Teluk Bintuni (20 m x 230 m = 0,46 ha)

Tiang Pohon Jenis Famili

Diamter Tinggi N/ha Potensi/phn (M3/phn)

Potensi/ha (M3/ha) Diamter Tinggi N/ha Potensi/phn

(M3/phn) Potensi/ha

(M3/ha)

Totalpotensi

Rata2/ha (m3/ha)

R. apiculata Rhizophoraceae 14.7 11.8 150 0.2 13.81 21.34 14 2.08 0.5 0.48 14.29

D. spathacea Bignoniaceae 28.79 16.9 2.92 1.1 1.48 1.48

B.gymnorrhiza

Rhizophoraceae 30.57 16.5 4.17 1.2 2.32 2.32

B. sexangula Rhizophoraceae 29.88 14.3 12.5 1.0 5.76 5.76

X. granatum Meliaceae 36.43 14.8 37.5 1.5 26.60 26.60

C. decandra Rhizophoraceae 16.88 12 8 0.3 0.99 35.59 16.4 14.58 1.6 10.94 11.92

R. mucronata Rhizophoraceae 16.03 12.3 25 0.2 2.85 28.66 18 2.08 1.2 1.11 3.96

X.moluccensis

Meliaceae 30.15 14.8 60.42 1.1 29.35 29.35

A. alba Avicenniaceae 16.73 12.2 108 0.3 13.32 29.61 15.8 104.17 1.1 52.11 65.42

S. alba Sonneratiaceae 23.25 15 4.17 0.6 1.22 1.22

B. parviflora Rhizophoraceae 11.89 13.3 25 0.1 1.70

Total 316 1.0 32.7 244.59 10.9 131.4 164.03

Rata-rata 63.20 0.20 24.459 1.09

Lampiran 11. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat semai dan pancang di Plot Sungai Sumberi, Cagar Alam Teluk Bintuni

Tngkat semai Tingkat pancang Jenis Famili

N/Ha F INP N/Ha F INP

Ac. speciosum Pteridaceae 9167 0,33 62,94 600 0,33 100,00

R. apiculata Rhizophoraceae 2917 0,33 27,49 - - -

Ae. corniculatum Myrsinaceae 2500 0,33 25,61 - - -

B. gymnorrhiza Rhizophoraceae 3750 0,33 31,27 - - -

X. granatum Meliaceae 1667 0,33 21,83 267 0,17 47,22

C. decandra Rhizophoraceae 1250 0,17 12,80 - - -

C. tagal Rhizophoraceae 417 0,17 9,03 - - -

R. mucronata Rhizophoraceae 417 0,17 9,03 - - -

D. spathacea Bignoniaceae - - - 333 0,17 52,78

Sumber: Hasil Survei Tim TNC, 2005

Page 272: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Lampiran-Lampiran L- 14

BKSDA Papua II Sorong

Lampiran 12. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat Tiang dan Pohon di kelompok hutan mangrove Sungai Sumberi, Cagar Alam Teluk Bintuni

Tingkat tiang Tingkat pohon Jenis Famili N/Ha F INP N/Ha F INP

R. apiculata Rhizophoraceae 50 0,33 86,50 100,00 0,83 113,18

D. spathacea Bignoniaceae 17 0,17 30,74 45,83 0,17 35,51

B. gymnorrhiza Rhizophoraceae - - - 29,17 0,33 37,00

B. sexangula Rhizophoraceae 33 0,33 53,38 20,83 0,33 23,97

X. granatum Meliaceae 33 0,17 47,62 16,67 0,33 20,62

C. decandra Rhizophoraceae 17 0,17 26,88 8,33 0,17 12,44

R. mucronata Rhizophoraceae - - - 12,50 0,33 22,77

X. moluccensis Meliaceae - - - 8,33 0,17 10,01

A. alba Aviceniaceae - - - 4,17 0,17 8,71

S. alba Soneratiaceae - - - 4,17 0,17 8,49

C. tagal Rhizophoraceae 33 0,33 54,88 - - - Sumber: Hasil Survei Tim TNC, 2005

Lampiran 13. Hasil perhitungan Nilai kubikasi kayu manrove (m3/ha) Vegetasi Tingkat Tiang dan Pohon di kelompok hutan mangrove Sungai Sumberi, Cagar Alam Teluk Bintuni (20 m x 140 m = 0,28 ha).

Tiang Pohon

Jenis Fam. Diamter Tinggi N/ha Potensi/phn

(M3/phn) Potensi/ha

(M3/ha) Diamter

(Cm)Tinggi

(M) N/ha Potensi/phn (M3/phn)

Potensi/ha (M3/ha)

Totalpotensi/ha

(M3/ha)

R. apiculata Rhizophoraceae 19.3 12 50 0.4 4.91 35.5 14.4 100 1.4 39.89 44.80 D. spathacea Bignoniaceae 17.2 10 17 0.2 1.11 27.4 12.8 45.83 0.8 9.68 10.79 B. gymnorrhiza Rhizophoraceae 36.3 15.1 29.17 1.6 12.76 12.76 B. sexangula Rhizophoraceae 12.9 6.5 33 0.1 0.78 26.9 13 20.83 0.7 4.31 5.09 X. granatum Meliaceae 15.9 10 33 0.2 1.83 24.7 10.8 16.67 0.5 2.41 4.25 C. decandra Rhizophoraceae 13.9 7.5 33 0.2 2.15 30.3 10.7 8.33 0.8 1.80 3.94 R. mucronata Rhizophoraceae 38.4 11 12.5 1.3 4.46 4.46 X. moluccensis Meliaceae 22.6 7.5 8.33 0.3 0.70 0.70 A. alba Avicenniaceae 35.7 15 4.17 1.5 1.75 1.75 S. alba Sonneratiaceae 33.4 25 4.17 2.2 2.56 2.56 C. decandra Rhizophoraceae 13.7 7 17 0.1 0.49

Total 183.00 1.20 11.27 250 11.0 39.40 50.67

Rata-rata 30.5 0.20 1.88 25 1.1 7.72

Page 273: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Lampiran-Lampiran L- 15

BKSDA Papua II Sorong

Lampiran 14. Rangkuman Hasil Workshop Tingkat Kabupaten Penyusunan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni 2005

A. General

The document of Bintuni Bay Nature Reserve Management plan has tried to establish based

on Fully Participatory Method. By doing this, implementation team could get as many as

opinions and inputs in which useful during implementation of the management plan of BBNR.

In related to this matter, there was an activity carried out during the establishment of 1st draft

of Management Plan of Bintuni Bay Nature Reserve called Village meeting in 14 villages

(kampung/kelurahan) in and surrounding BBNR. The aim of this activity was to gain more

information about interaction between communities and the site as well their “expectation” to

the BBNR in supporting their daily life now and future.

Information collected individually in every single village and need to be confirmed through a

special meeting (workshop) by inviting the traditional community members (masyarakat adat)

which are represented by head of tribe (Kepala Suku), head of kampong (Kepala Kampung),

and one respect person (Tokoh Masyarakat) in the village.

In addition, to improve the available 1st draft, it is necessary to be discussed (presented) with

the all stakeholders involved: Bupati Kab. Teluk Bintuni, Local institutions (Dinas terkait),

Regional Planning Agency (Bappeda), Local NGO, and Communities represented by

Lembaga Musyawarah Adat (LMA) Bintuni and Lembaga Musyarawarah Adat Sough-

Moskona (LEMASOM).

The workshop was divided in to two:

1. First day: special workshop with communities (masyarakat adat) who live at 14

villages inside and surrounding the BBNR.

2. Second day: presentation of the 1st draft of Management Plan of Bintuni Bay Nature

Reserve.

B. Objective

The objectives of the 1st-day workshop were:

1. To verify all the information collected from every single village inside and surrounding

the Bintuni Bay Nature Reserve.

2. Discussion amongst villagers who live inside and surrounding the BBNR about their

expectation to the BBNR.

3. To formulate a “commitment” amongst the communities who live inside and

surrounding the BBNR.

Page 274: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Lampiran-Lampiran L- 16

BKSDA Papua II Sorong

The objective of the 2nd-day workshop was presentation of the 1st draft of the management

plan of Bintuni Bay Nature Reserve in order to get inputs and critics from stakeholders

present in this workshop.

C. Participant

In the 1st day meeting, twenty-five people were present representing head of tribe (Kepala

Suku), head of kampong (Kepala Kampung), and one respect person (Tokoh Masyarakat) in

the village, Church (Klasis GKI Bintuni), BKSDA Papua II, and PHKA Jakarta. Whilst the 2nd

day workshop was attended by fifty-five participants representing local government (Bupati

Teluk Bintuni), local institutions (dinas-dinas terkait), Regional Planning Agency (Bappeda),

University (UNIPA), British Petroleum Tangguh Project, Local NGO (Mitra Pesisir Bintuni),

Head of traditional community organisation represented by the head of Lembaga

Musyawarah Adat (LMA) Bintuni and Lembaga Musyarawarah Adat Sough-Moskona

(LEMASOM), Church represented by the head of Klasis GKI Bintuni, and communities who

come to the 1st day workshop.

D. Programme

1st -day meeting (1 June, 2005)

Opening Session

The meeting was opened at 9.00 on Wednesday 1 June, 2005. The programme of the

opening session included:

¶ Praying was lead by Pdt. A. Kondologit, S.Th., The head of Gospel Christian Church

(GKI) in Papua, Bintuni.

¶ Remarks by the Head of Regional Planning Agency (Bappeda) Kabupaten Bintuni.

¶ Opening the workshop formally by the Head of Regional Planning Agency (Bappeda)

Kabupaten Bintuni representing Bupati Kabupaten Teluk Bintuni.

Roundtable Discussion

This discussion was lead by the implementation team from The Nature Conservancy (TNC).

There were three main issues raised during the roundtable discussion as follow:

¶ What are allowed and not allowed to be done in Bintuni Bay Nature Reserve?

¶ How the traditional community members (masyarakat adat) who live inside and

surrounding the Bintuni Bay can participate in protecting and keeping the reserve?

¶ What kind of traditional rule should the people form outside the traditional community

members (masyarakat adat) want to do something inside the BBNR?

Page 275: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Lampiran-Lampiran L- 17

BKSDA Papua II Sorong

During this session, all the issues discussed were concluded as a COMMITMENT produced

by the traditional community members (masyarakat adat) who live inside and surrounding the

Bintuni Bay.

Conclusion of Roundtable Discussion

The discussion amongst traditional community members (masyarakat adat) who live inside

and surrounding the Bintuni Bay Nature Reserve was going well. Even though sometimes

there was “hot” debate but dynamic amongst the participants, finally a very useful

COMMITMENT related to the management of BBNR was produced by the group. Following

are the main points of the commitment produced by the traditional community members

(masyarakat adat) who live inside and surrounding the Bintuni Bay present in the 1st-day

meeting:

1. Every body could use resources in BBNR, BUT must follow the rule made amongst

traditional community members as follow:

(1) ACTIVITIES ALLOWED IN BINTUNI BAY NATURE RESERVE:

¶ Catching fish, prawn, crabs, shell-fish, and another sea product;

¶ Gardening with technical assistant from Local Agriculture Institution (Dinas

Pertanian);

¶ Using mangrove (mangi-mangi) for traditional needs ONLY (not for commercial

purposes) like catching fish “pele kali”;

¶ Hunting wild animals (crocodile, deer, feral pig, and particular birds);

¶ Catching fish using “akar bore” and net.

(1) ACTIVITIES ARE NOT ALLOWED IN BINTUNI BAY NATURE RESERVE:

¶ Catching fish and another sea products using chemicals;

¶ Cutting down mangrove (mangi-mangi) in big scale like logging or fish-pond;

¶ Cutting down logs in low land forest in BBNR;

¶ Trowing waste like used engine-oil and chemicals into the rivers;

¶ Using trawl in catching fish or prawn;

¶ Mining operation.

2. Traditional community members (masyarakat adat) who live inside and surrounding the

Bintuni Bay Nature Reserve committed to support the management of BBNR through

several activities as follow:

(1) Report all activities against the rule agreed to the management of BBNR:

(2) Catch on the spot whoever break the rule agreed;

Page 276: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Lampiran-Lampiran L- 18

BKSDA Papua II Sorong

(3) Form a working group at every village inside and surrounding the BBNR during the

implementation of management plan.

3. Traditional community members (masyarakat adat) who live inside and surrounding the

Bintuni Bay also asked for the local government to support the management through:

(1) Produce a local regulation on BBNR:

(2) Intensive community-services to increase building and economic capacity of the

traditional communities who live inside and surrounding the Bintuni Bay.

During the implementation of commitment above, working group will be formed consist of

represent of traditional people (masyarakat adat) who live inside and surrounding the Bintuni

Bay. The main job of this working group is to formulate the law enforcement of the

commitment agreed which is assisted by local government and sponsor (TNC and BKSDA II

Papua).

Closing Session

The meeting was formally closed at 3.00 PM by Mr. M. Arman Mallolongan, MM. (Kepala

Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional IV, Secretary General of Forestry

Department of RI).

2nd -day meeting (2 June, 2005)

Opening Session

The meeting was opened at 9.30 on Thursday 2 June, 2005. The programme of the opening

session included:

¶ Praying was lead by Pdt. A. Konologit, STh, The head of Gospel Christian Church (GKI)

in Papua, Bintuni.

¶ Workshop-Committee Report, by the Head of Regional Planning Agency (Bappeda)

Kabupaten Bintuni.

¶ Remarks by Drs. J. Paiki, Bupati Teluk Bintuni.

¶ Opening the workshop formally by Drs. J. Paiki, Bupati Teluk Bintuni.

Presentation of the 1st draft of MP of Bintuni Bay Nature Reserve and Roundtable Discussion

In this session, the implementation team of establishing the MP of Bintuni Bay Nature

Reserve presented the 1st draft of Management Plan. Following are several inputs and issues

have been raised during the roundtable discussion:

1. Additional observing-tower at the mouth of Bintuni River;

Page 277: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Lampiran-Lampiran L- 19

BKSDA Papua II Sorong

2. The status of the Bintuni Bay Nature Reserve is not yet definitive as Nature Reserve;

3. Increase the status of Resort KSDA Bintuni to become “SEKSI”;

4. There should also be a commitment of traditional communities who live in upland

areas as the degradation of the forest located in upland may cause very significant

impact to the BBNR.

5. Scenarios in management plan;

6. Policy in recruiting local staff during the implementation of Management of BBNR;

7. Pay more attention in increasing the economic sector of the traditional communities

who live inside and surrounding the BBNR;

8. Socialise the management plan to the communities inside and surrounding the BBNR

is important;

9. Approaching method in establishing the management plan;

10. Integrated management organisation (lembaga pengelola terpadu) during the first 5-

year implementation of MP is necessary;

Closing Session

The meeting was formally closed at 3.30 PM by Mr. M. Arman Mallolongan, MM. (Kepala

Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional IV, Secretary General of Forestry

Department of RI).

Page 278: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Lampiran-Lampiran L- 20

BKSDA Papua II Sorong

Lampiran 15. Programme of two-days meeting on Establishing the Bintuni Bay Nature Reserve Management Plan

Wednesday 1 June, 2005

8.30 Registration 9.00 Opening Session Praying Ketua Klasis GKI Bintuni Remarks Mr. C. Thesia, on behalf of The head of

Regional Planning Agency (Bappeda) Kabupaten Bintuni

Opening the workshop Mr. C. Thesia, on behalf of The head of Regional Planning Agency (Bappeda) Kabupaten Bintuni

10.30 Coffee break 11.00 Roundtable Discussion Implementation Team 12.30 Lunch Committee 13.30 Workshop Conclusion Implementation Team 15.00 Closing Session Committee

Thursday 2 June, 2005

8.30 Registration 9.30 Opening Session Praying Ketua Klasis GKI Bintuni

Workshop-Committee Report Mr. C. Thesia, on behalf of The head of Head of Regional Planning Agency (Bappeda) Kabupaten Bintuni

Remarks Drs. J. Paiki, Bupati Kabupaten Teluk Bintuni

Opening the workshop Drs. J. Paiki, Bupati Kabupaten Teluk Bintuni

10.30 Coffee break Committee

11.00 Presentation of the 1st draft of MP of BBNR.

Implementation Team

12.00 Lunch 13.00 Roundtable Discussion Implementation Team

14.30 Workshop Conclusion Implementation Team

15.00 Coffee break Committee

15.30 Closing Session Committee

Page 279: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Lampiran-Lampiran L- 21

BKSDA Papua II Sorong

Lampiran 16. A COMMITMENT related to the management of BBNR was produced by the traditional community members who live inside and surrounding the Bintuni Bay Nature Reserve during the Kabupaten Meeting in Bintuni

LOKAKARYA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN

CAGAR ALAM TELUK BINTUNI TGL 1 JUNI 2005

BAPAK BUPATI YANG KAMI HORMATI, BAPAK, IBU PEJABAT DI KABUPATEN TELUK BINTUNI BAPAK DAN IBU HADIRIN SEMUA

KAMI MASYARAKAT YANG BERMUKIM DI SEKITAR DAN DI DALAM KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI, YANG TERDIRI DARI 14 KAMPUNG; TELAH BERTEMU DAN BERBICARA BERSAMA TENTANG CAGAR ALAM.

DARI PERTEMUAN TERSEBUT, KAMI MEMBUAT KESEPAKATAN KELOMPOK MASYARAKAT YANG BERMUKIM DI DALAM DAN SEKITAR KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI.

KAMI MASYARAKAT YANG ADA DI DALAM DAN DI SEKITAR KAWASAN CAGAR ALAM MENYATAKAN SIKAP KAMI ANTARA LAIN:

SIAPAPUN BOLEH MENCARI MAKAN DI DALAM KAWASAN TANPA MEMANDANG SUKU/MARGA/BATAS-BATAS WILAYAH ADAT ASALKAN MEMATUHI ATURAN

KESEPAKATAN YANG SUDAH DIBUAT

UNTUK ITU, KEGIATAN YANG BOLEH DILAKUKAN DI DALAM KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI ANTARA LAIN ADALAH:

1. KAMI DAPAT MELAKUKAN PENANGKAPAN HASIL-HASIL PERIKANAN SEPERTI IKAN, UDANG, KARAKA, SIPUT ATAU BIA, DAN HASIL LAUT LAINNYA.

2. KAMI DAPAT BERKEBUN DAN MENDAPAT BANTUAN BIMBINGAN TEKNIS DARI DINAS TERKAIT

3. KAMI DAPAT MELAKUKAN PEMANFAATAN KAYU MANGI-MANGI UNTUK KAYU BAKAR SENDIRI (BUKAN UNTUK DIJUAL) DAN KEGIATAN MENANGKAP IKAN “PELE KALI”

4. KAMI DAPAT BERBURU HEWAN ATAU SATWA LIAR SEPERTI BUAYA, RUSA, BABI HUTAN, DAN BURUNG

5. KAMI BOLEH MENANGKAP IKAN DENGAN MENGGUNAKAN “AKAR BORE” DAN JARING

KEGIATAN YANG TIDAK BOLEH DILAKUKAN DI KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI ANTARA LAIN ADALAH:

1. TIDAK BOLEH MENGGUNAKAN “OBAT” (BAHAN KIMIA) DALAM MENANGKAP IKAN, UDANG, DLL

2. TIDAK BOLEH MENEBANG MANGI-MANGI ATAU BAKAU DARI CAGAR ALAM DALAM SKALA BESAR UNTUK KEPERLUAN USAHA KAYU ATAU TAMBAK ATAU LAINNYA

3. TIDAK BOLEH MENEBANG KAYU DI HUTAN TANAH KERING ATAU GUNUNG DI DALAM CAGAR ALAM

4. TIDAK MEMBOLEHKAN KAPAL-KAPAL YANG BERLAYAR DI SUNGAI UNTUK MEMBUANG SAMPAH ATAU LIMBAH MINYAK ATAU BAHAN KIMIA KE SUNGAI

5. TIDAK BOLEH KAPAL BESAR ATAU KAPAL UDANG ATAU PUKAT HARIMAU UNTUK BEROPERASI DI DALAM KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI.

Page 280: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Lampiran-Lampiran L- 22

BKSDA Papua II Sorong

6. TIDAK BOLEH ADA EKSPLORASI BAHAN TAMBANG DI DALAM KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI.

UNTUK MENDUKUNG PENGELOLAAN KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI, KAMI MASYARAKAT AKAN MELAKUKAN DUKUNGAN BERUPA: 1. KAMI AKAN MELAPORKAN PELANGGARAN KESEPAKATAN YANG TERJADI KE

PENGELOLA CAGAR ALAM TELUK BINTUNI 2. KAMI AKAN MENANGKAP LANGSUNG PELANGGAR ATURAN YANG SUDAH

DISEPAKATI BERSAMA 3. PEMBENTUKAN KELOMPOK KERJA DI SETIAP KAMPUNG YANG ADA DI DALAM

DAN SEKITAR KAWASAN YANG AKAN DILIBATKAN DALAM PELAKSANAAN RENCANA KEGIATAN PENGELOLAAN

KAMI JUGA BERHARAP PEMERINTAH TURUT MENDUKUNG KEGIATAN PENGELOLAAN CAGAR ALAM. UNTUK ITU, KAMI MENGHARAPKAN PEMERINTAH MELAKUKAN HAL-HAL SEBAGAI BERIKUT: 1. MEMBUAT PERATURAN DAERAH MENGENAI CAGAR ALAM 2. MELAKUKAN PEMBINAAN, PENYULUHAN DAN PENDAMPINGAN YANG TERUS

MENERUS KEPADA MASYARAKAT DI DALAM DAN SEKITAR CAGAR ALAM, KHUSUS UNTUK PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT

3. KAMI MEMINTA PEMERINTAH DAERAH MEMBERIKAN PERHATIAN LEBIH BESAR PADA PENDIDIKAN MASYARAKAT

DEMIKIAN KESEPAKATAN YANG KAMI BUAT DARI 14 KAMPUNG YANG ADA DI DALAM DAN SEKITAR KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI

MENDAMA TAMBE JAGA TANE CAGAR ALAM TELUK BINTUNI

BINTUNI, 2 JUNI 2005

PERWAKILAN MASYARAKAT YANG BERMUKIM DI DALAM DAN SEKITAR CAGAR ALAM TELUK BINTUNI:

Page 281: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Lampiran-Lampiran L- 23

BKSDA Papua II Sorong

Lampiran 17. Rangkuman Catatan Hasil Presentasi Draf Akhir Rencana Pengelolaan Kawasan CATB di PHKA Jakarta (22 Juli 2005).

No. Name Institution Position Input/Critics/Question

1. How about the contribution of another stakeholders outside the Bintuni Region?

2. How the community can support the implementation of the Management Plan?

3. Once the MP is implemented, the communities who are living inside and surrounding the site should be fully involved

4. The BBNR should be promoted not only in regional but also in national even international level

6. The analysis of problems and solutions stated in MP are applicable, but they need to be analyzed deeply

7. Regarding the activity in Reconstruct the border of BBNR, it should be based on old border

1 Banjar Laban PHKA, Jakarta

Dir. Konservasi Kawasan PHKA

8. How can the BBNR be synchronize with the local/traditional culture (see Government Regulation-PP 68)

2 Adi Susmianto PHKA, Jakarta

1. The scenario of Management of BBNR stated in MP need to be strengthen

2. At the time, keep going with the MP, do not think about the current status of the site

3. The current document of MP of BBNR is not applicable if the status of the site is indefinite

4. The current document of MP can be considered as a starting point in fixed the site status of BBNR

5. Proposed not only one organization but several in Managing the BBNR

6. Especially in Papua, need to form an alternative organization based on local condition

7 Add the contribution of all stakeholders in current document of MP of BBNR

8. Proposed a zoning in MP (Arahan Zoning)

9. Use different term for MONITORING BODY, Forum for example

10. Balai is more suitable instead of Resort in Organization

1. Move the Vision and Mission section in to the Chapter of Introduction

2. The position and size should be based on Water Catchments Area in BBNR

3 Prof. Dr. F. Wanggai

University of Papua (UNIPA),Manokwari

Rector

3. Page II.10, add data of sedimentation level?

Page 282: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Lampiran-Lampiran L- 24

BKSDA Papua II Sorong

4. In Sub Chapter of Soil, if any, include the land use in every village inside and surrounding the BBNR

5. Chapter III, there should be a commitment of PEMDA in plotting the BBNR in their strategic plan or layout planning of Kabupaten

6. Page V.1, the position (GPS) of every pal should be included

1 The management needs more supporting facilities as the current one is not proportional compare to the size of the BBNR

4 Ir. J. Lekitoo Forestry Department ofKabupatenTeluk Bintuni

Head of office

2. The status of BBNR is very crucial in supporting the Management Plan

1. Fisheries and Marine Department of Kabupaten Teluk Bintuni is planned to established a local regulation on catching area in Bintuni Bay

2. A local rule of catching area (12 mil and 10 m isobar) is unclear

5 Drs. P. Karubui Fisheries and Marine Department ofKabupatenTeluk Bintuni

Head of office

3. In controlling activity, It is necessary to form a group of people from the communities inside and surroundings BBNR

7 Mr. Unu PHKA, Jakarta

Kasubdit Cagar Alam 1. All activities based on the a commitment amongst people who are living inside and surroundings BBNR should be supported by government regulation

2. There should be a buffer zone

3. With the current status of BBNR (Penunjukan, not (No Suggestions)),there may be some possibilities of changing function of the site

4. Correction, POLHUT instead of JAGAWANA

5. The reconstruction of site border should be proposed by Bupati

6. Proposed re-bordering in MP

7. Based on Government law, there should not be a Rehabilitation activity in Nature Reserve

8 Ms. Puspa PHKA, Jakarta

1. Management of BBNR should be based on Mangrove ecosystem as 90 % of the site is dominated by mangrove forest

2. Good to see that the economic value of the BBNR is mentioned in the document, however it needs to elaborate broadly

1 The planning should be divided into 25-year plan, 5-year plan, and yearly plan

9 Wahyu PHKA, Jakarta

2 State the main activities of 25-year plan, 5-year plan, yearly plan in the document

Page 283: Bintuni Indonesian Screen

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni

Lampiran-Lampiran L- 25

BKSDA Papua II Sorong

Lampiran 18. Peta Kerja Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni 2006-2030

Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk

Bintuni

. = Kantor S = Pondok Kerja ! = Menara Pengawas / = Tanda larangan G = Pondok Peneliti % = Pemukiman

.

S

S

S

G

!

!

!

!

!!

/

/

/

/

/

%

%

%

Page 284: Bintuni Indonesian Screen
Page 285: Bintuni Indonesian Screen
Page 286: Bintuni Indonesian Screen

AAppaa KKaattaa MMeerreekkaa

Drs. J. Paiki – Pjbt Bupati Teluk BintuniRencana Pengelolaan menunjukkan komitmen semua pemangku kepentingan untuk

menjaga kelestarian lingkungan hidup. Semoga implementasi akan membuat cagar alamterjaga dan masyarakat bisa merasakan manfaatnya

Prof. Dr. Frans Wanggai – Rektor Universitas PapuaPengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni adalah tanggungjawab kita semua, masyarakat dan

pemerintah. Implementasi rencana ini harus bisa menjaga kekayaan sumberdaya alamyang merupakan anugerah Tuhan

Ir. Petrus Kasihiw, MT - Kepala Bappeda Teluk BintuniRencana Pengelolaan ini akan membantu kami bekerja lebih baik bersama pengelola cagar

alam untuk kemajuan Kabupaten Teluk Bintuni

Ir. Fransisco Moga, MP – Kepala BKSDA Papua II – SorongRencana Pengelolaan ini merupakan bukti nyata kerjasama masyarakat adat, LSM dan

Pemerintah. Implementasi tetap membutuhkan dukungan dari semua pemangkukepentingan untuk mencapai lingkugnan yang lestari dan masyarakat sejahtera

Abraham Wekaburi (Koordinator 7 Suku di Bintuni)Cagar Alam milik kami, hidup kami tergantung disana. Kami ingin bisa bekerja bersamauntuk menjaga cagar alam ini. Kami berharap pengelolaan akan mensejahterakan kami

masyarakat

Adrian Tatiri – Kepala Kampung YakatiKami mau cagar alam bisa lestari, kami bisa dapat ikan, udang, karaka dan buaya dari

mangi-mangi. Cagar Alam ini kami masyarakat Bintuni pu barang. Semoga pengelola cagaralam bisa bekerja bersama masyarakat menjaga Cagar Alam Teluk Bintuni

Otto Manibuy – Tokoh Adat WamesaCagar Alam Teluk Bintuni kami orang pu barang. Semua masyarakat bisa mencari makandisana asal ikut kita pu aturan. Kita mau kita pu mangi-mangi terjaga dan kita bisa dapat

hasil laut dari kekayaan Cagar Alam

ISBN : 979-97700-4-1