DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BALAI KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM PAPUA II SORONG Jln. Jenderal Sudirman 40, SORONG, PAPUA Telp. (0951) 321986 Kerjasama BKSDA Papua II Sorong dengan The Nature Conservancy BINTUNI, AGUSTUS 2005
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM
BALAI KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM PAPUA II SORONG Jln. Jenderal Sudirman 40, SORONG, PAPUA
Telp. (0951) 321986
KerjasamaBKSDA Papua II Sorong
denganThe Nature Conservancy
BINTUNI, AGUSTUS 2005
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni BKSDA Papua II Sorong
RENCANA PENGELOLAANCAGAR ALAM TELUK BINTUNI PROPINSI IRIAN JAYA BARAT
2006-2030
Oleh:Dr. Ir. Jamartin Sihite
Ir. Obed N. Lense, M.Sc. Ir. Retno Suratri, M.Sc.
Ir. Chandra Gustiar, M.Si. Sergius Kosamah, SH
EditorProf. Dr. Frans Wanggai Dr. Ir. Jamartin Sihite Dr. Ir. Lukman Yunus Ir. Obed Lense, M.Sc. Ir. Retno Suratri, M.Sc. Ir. Chandra Gustiar, M.Si.
Desain cover dan Tata Letak Dr. Ir. Jamartin Sihite Ir. Obed N. Lense
Penerbit:The Nature Conservancy (TNC), Southeast Asia Center for Marine Protected Areas (SEA CMPA) (Jl. Pengembak No. 2 Sanur-Bali, Indonesia. Phone: (62-361) 287272 (hunting), Fax: (62-361) 270737)
Bekerjasama dengan UNIVERSITAS NEGERI PAPUA MANOKWARI Jl. G. Salju Amban Manokwari, Irian Jaya Barat PO Box 23 Manokwari Phone : (0986) 211754 Fax : (0986) 211455
Hak Cipta pada TNC (The Nature Conservancy) dan Universitas Negeri Papua
ISBN: 979-97700-4-1
DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM
BALAI KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM PAPUA II Alamat: Jl. Jenderal Sudirman No. 40 Po. Box 1053 Sorong-Papua
Cagar Alam Teluk Bintuni adalah salah satu kawasan konservasi di Kabupaten Bintuni yang
sebagian besar merupakan tipe hutan mangrove. Karena keunikan wilayahnya serta terdapatnya
beragam jenis flora dan fauna endemik Papua, maka pemerintah melalui Surat Keputusan
Menteri Kehutanan No: 891/KPTS-II/1999 tentang penunjukan Kawasan Hutan Propinsi dan
perairan Papua, menunjuk kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sebagai Kawasan Cagar Alam
dengan luas 124,850 Ha. Sejak Penunjukan, pengelolaan kawasan CATB berada di bawah Balai
Konservasi Sumberdaya Alam Papua II Sorong - Seksi Konservasi Wilayah I Manokwari.
Kegiatan yang dilakukan masih terbatas pada pengamanan kawasan sedangkan kegiatan yang
mengarah kepada pelestarian fungsi kawasan belum dilakukan.
Pada era desentralisasi sektor kehutanan sejalan dengan diberlakukannya otonomi khusus bagi
Propinsi Papua serta implementasi paradigma pengelolaan hutan berbasis
masyarakat,memunculkan dilema baru bagi pengelolaan kawasan konservasi di daerah.
Tekanan masyarakat terhadap sumberdaya hutan semakin gencar bermunculan, baik ditinjau
dari segi tuntutan masyarakat pemilik hak ulayat akan haknya terhadap kawasan hutan bahkan
juga kegiatan pemanfaatan sumberdaya di dalam kawasan semakin tidak terkendali. Menyikapi
masalah tersebut, khusus bagi kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB), sebagai salah satu
kawasan konservasi yang strategis, berbatasan langsung dengan pusat kota dan merupakan
tempat dimana masyarakat kota Bintuni dan sekitarnya menggantungkan kehidupannya,
terutama dari hasil Perikanan seperti udang, ikan, dan kepiting.
Dalam upaya untuk mengelola Cagar Alam Teluk Bintuni yang lebih baik, The Nature
Conservancy (TNC) dalam hal ini Southeast Asia Center for Marine Protected Areas (SEACMPA)
yang berkedudukan di Denpasar, Bali membentuk suatu Tim Penyusun yang bertugas menyusun
Rencana Pengelolaan Kawasan (RPK) yang terdiri dari unsur pengelola kawasan (BKSDA Papua
II, c.q. Resort KSDA Bintuni), akademisi, dan organisasi non pemerintah serta didukung oleh
unsur Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni. Tim ini dibentuk untuk membantu pemerintah
daerah dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam Papua II dalam merumuskan Rencana
Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni secara partisipatif yang mampu
mempertahankan dan melestarikan fungsi kawasan sesuai peruntukannya.
Dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni ini dimaksudkan sebagai upaya
untuk menjawab berbagai tantangan yang muncul dari adanya kebijakan pelaksanaan otonomi
daerah dan meningkatnya tuntutan masyarakat untuk dapat terlibat langsung dalam proses
pembangunan bidang kehutanan. Tantangan ini, pada dasarnya merupakan wujud tuntutan
publik atas perlunya suatu program pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang benar-
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Ringkasan Eksekutif RI- 2
BKSDA Papua II Sorong
benar dapat dijalankan dan isinya merupakan kumpulan agenda dari aspirasi segenap pemangku
kepentingan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan.
Dokumen Rencana Pengelolaan ini bertujuan untuk mengakomodir berbagai aspirasi dari
stakeholder dan merumuskannya dalam rencana strategis dan rencana aksi. Disamping itu
penyusunan dokumen ini ditujukan untuk menciptakan salah satu instrumen pengelolaan yang
mampu memberikan landasan bagi perencanaan dan pengembangan kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni oleh Pemerintah Kabupaten Bintuni. Dengan adanya dokumen ini, diharapkan
dapat mendorong penyelenggaraan pengelolaan kawasan CATB yang akomodatif , demokratif ,
partisipatif dan bertanggung jawab.
Proses penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni, Kabupaten
Bintuni oleh Tim Penyusun dilakukan melalui serangkaian tahapan (1) Konsultasi, koordinasi, dan
sosialiasi kegiatan penyusunan RPK Cagar Alam Teluk Bintuni kepada Bupati Teluk Bintuni,
Dinas-Dinas Terkait di Teluk Bintuni, Wakil masyarakat adat yang bermukim di dalam dan sekitar
Kawasan CATB, dan LSM Mitra Pesisir, Akhir Maret 2005; (2) Pertemuan Kampung (village
meeting) dan Rapid Social Assesment (RSA) di 14 kampung/kelurahan yang berada di dalam
dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, serta Rapid Biological Assesment (RBA) dalam
rangka pengumpulan data SOSEKBUD dan biologi kawasan, yang dilakukan selama periode
akhir Maret s/d awal Mei 2005; (3) Lokakarya khusus dengan seluruh masyarakat yang bermukim
di dalam dan sekitar kawasan yang di wakili oleh Kepala Kampung, Kepala Suku, dan Tokoh
masyarakat di setiap kampung yang memiliki akses langsung ke kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni, di Bintuni, tanggal 1 Juni 2005; (4) Lokakarya Penjabaran dan Perumusan Draft Rencana
Pengelolaan CATB yang dilaksanakan pada tanggal 2 Juni 2005, di Bintuni; (5) Kajian ilmiah
(scientific review) draft Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni oleh
“reviewer”, sehingga dokumen yang dibuat dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah; dan (5)
Pemaparan Draft Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni yang dilaksanakan pada
tanggal 22 Juli 2005 di Departemen Kehutanan, c.q. Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam,
Jakarta. Kegiatan ini dihadiri oleh Bupati Teluk Bintuni, Rektor Unipa Manokwari, Kepala
Bappeda Propinsi Irian Jaya Barat dan Kabupaten Teluk Bintuni, dinas terkait (Dinas kehutanan
dan Dinas Kelautan dan Perikanan) di Teluk Bintuni, Koordinator Badan Monitoring, dan
masyarakat Teluk Bintuni yang diwakili oleh wakil masyarakat adat yang bermukim di dalam dan
sekitar Kawasan CATB.
Visi Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni untuk tahun 2006 – 2030 adalah mewujudkan
“Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang Lestari,Berkelanjutan dan Berdaya
Guna”. dapun skenario yang menjadi impian ataupun harapan para pemangku kepentingan dan
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Ringkasan Eksekutif RI- 3
BKSDA Papua II Sorong
masyarakat kota Bintuni pada masa 25 tahun mendatang adalah “Pada Tahun 2030 Pengelolaan
Cagar Alam Teluk Bintuni Akan Berjalan Ideal Dan Optimal, Karena Kebijakan Pemerintah Yang
Akomodatif Dan Didukung Oleh Kelembagaan Pemangku Kepentingan Yang Demokratif.
Untuk menunjang terwujudnya visi pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni, dalam dokumen ini
telah dirumuskan secara detai Rencana kegiatan pengelolaan yang difokuskan pada 7 (tujuh)
aspek, yaitu aspek Pemantapan Kawasan, Peningkatan efektifitas Pengelolaan Kawasan,
Pengembangan Konservasi jenis dan Keanekaragaman Hayati, Perlindungan dan Pengamanan
Kawasan, Pendukung/Kelembagaan, Pemanfaatan, serta aspek Sarana Prasarana Pendukung
Kegiatan Pengelolaan.
Dalam implementasi kegiatan Rencana pengelolaan Kawasan, akan dimonitor dan dievaluasi
oleh unsur internal pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni maupun oleh Forum komunikasi yang
bersifat independent. Dalam perjalanan waktu, isu-isu pengelolaan kawasan yang baru akan
muncul, sehingga dalam aktivitas perencanaan lebih lanjut akan didapatkan beberapa strategi-
strategi tertentu yang tidak relevan lagi. Oleh karena itu, prioritas kegiatan perlu dievaluasi dan
dimodifikasi.
Selain itu, dalam dokumen ini juga telah disusun Rencana pembiayaan serta kemungkinan-
kemungkinan sumber dana yang bisa di gali dalam menunjang implementasi kegiatan Rencana
pengelolaan periode limatahunan dan duapuluh limatahunan.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Sambutan Bupati SB-1
BKSDA Papua II Sorong
SAMBUTAN BUPATI
Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan salah satu dari beberapa kawasan konservasi yang
terletak di Kabupaten Teluk Bintuni. Cagar alam ini merupakan kebanggaan masyarakat
Kota Bintuni, sudah dikenal di dunia internasional dan juga tempat banyak penduduk
menggantungkan hidupnya. Upaya pengelolaan yang bertujuan untuk penyelamatan dan
pelestarian kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan wujud dari tanggungjawab kita
bersama selaku umat ciptaan Tuhan terhadap anugerah yang diberikan kepada masyarakat
Teluk Bintuni.
Keberadaan kawasan konservasi di suatu daerah, mampu memberikan manfaat yang besar,
tidak hanya pada daerah dimana kawasan konservasi berada tetapi juga memberikan
manfaat kepada lingkungan global. Tim penyusun Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni yang dibentuk oleh The Nature Conservancy (TNC), South East Asia
Center for Marine Protected Areas (SEACMPA) Bali, yang terdiri dari unsur pengelola
kawasan (BKSDA Papua II, c.q. Resort KSDA Bintuni), akademisi, dan didukung oleh unsur
Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni telah selesai menyusun rencana pengelolaan
dan ini merupakan suatu momentum yang baik dimana ada banyak pihak yang berjuang
bersama dalam pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Perhatian yang besar dari masyarakat dan kerja keras Tim Penyusunan Rencana
Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni diperlihatkan dari antusiasme semua pemangku
kepentingan dalam mengikuti proses penyusunan, dimulai dari proses konsultasi publik baik
pertemuan kampung, diskusi intern dengan institusi terkait di daerah, dan lokakarya tingkat
Kabupaten merupakan bukti kepedulian kita bersama dalam upaya penyelamatan kawasan
ini. Oleh sebab itu, Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni menyambut baik hasil dokumen
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni 25 tahunan yang telah dirumuskan dan
disusun oleh Tim secara bersama-sama dengan para pemangku kepentingan. Pemerintah
Kabupaten Teluk Bintuni tetap mengharapkan dukungan dari semua pihak, terutama segenap
masyarakat Teluk Bintuni dalam upaya impelementasinya. Pemerintah Kabupaten Teluk
Bintuni juga mengharapkan dengan adanya dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam
Teluk Bintuni, maka sinergitas dan kinerja para pemangku kepentingan dalam pengelolaan
maupun pengembangan kawasan dapat berjalan secara efektif, transparan dan bertanggung
jawab, sehingga upaya mewujudkan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni secara
lestari, berkelanjutan dan berdaya guna dapat terlaksana.
Sehubungan dengan upaya untuk mewujudkan tujuan tersebut di atas, secara khusus saya
meminta Pengelola Cagar Alam untuk dapat melaksanakan dengan sungguh-sungguh dan
sekaligus pula melakukan koordinasi pelaksanaan berbagai kegiatan yang ada dalam
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Sambutan Bupati SB-2
BKSDA Papua II Sorong
dokumen rencana kegiatan dimaksud bersama dengan Kepala Dinas dan Instansi terkait.
Masyarakat Kabupaten Teluk Bintuni secara umum juga saya minta untuk dapat mendukung
sepenuhnya upaya pelaksanaan kegiatan di lapangan. Terhadap hal-hal yang mungkin
muncul atau dijumpai di lapangan, termasuk kemungkinan konflik kepentingan, dalam atau
selama pelaksanaan kegiatan ini saya minta dengan sangat untuk dapat dipecahkan
bersama secara terbuka, partisipatif dan berpegang pada azas demokrasi.
Atas nama Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni saya mengucapkan terima kasih dan
penghargaan kepada Tim Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan atas segala upaya
dan kerja keras yang dilakukan selama ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga, saya
sampaikan kepada lembaga pendukung kegiatan The Nature Conservancy (TNC), South
East Asia Center for Marine Protected Areas (SEACMPA) Bali, yang telah membantu dan
menfasilitasi proses penyusunan Dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Kabupaten Teluk Bintuni selama ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan pula kepada
semua pihak baik instansi teknis terkait, dinas lainnya se-Kabupaten Teluk Bintuni, lembaga
pendidikan dan lembaga penelitian serta lembaga pelaksana teknis Departemen Kehutanan
di Kabupaten Teluk Bintuni yang telah membantu memberikan konstribusi pemikiran dan
berpartisipasi aktif dalam proses penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam
Teluk Bintuni. Terima kasih dan penghargaan yang sama pula saya sampaikan kepada
semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas partisipasinya dalam proses
penyusunan rencana pengelolaan ini.
Dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan suatu momentum
awal yang baik bagi pengembangan dan pengelolaan kawasan konservasi di Tanah Papua,
secara khusus pelestarian dan perlidungan kawasan konservasi di Kabupaten Teluk Bintuni.
Namun demikian, untuk menambah arti dan nilai manfaat dokumen ini maka sekali lagi saya
mengajak semua para pemangku kepentingan dan segenap masyarakat Teluk Bintuni untuk
secara bersamasama mendukung implementasi kegiatan dalam dokumen program rencana
pengelolaan ini.
Akhirnya, hanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa kita panjatkan puji dan syukur, sehingga
kita boleh menikmati hidup yang baik hingga saat ini.
Bintuni, Agustus 2005
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Sambutan Kepala BKSDA Papua II SKBKSDA-1
BKSDA Papua II Sorong
SAMBUTAN KEPALA BALAI KSDA PAPUA II
Perubahan arah kebijakan Departemen Kehutanan RI yang prioritasnya kegiatan lebih
dititikberatkan pada konservasi dan rehabilitasi kawasan merupakan suatu peluang yang
baikdalam upaya penyelamatan kawasan hutan di Papua. Namun demikian, pengelolaan
kawasan konservasi menjadi hal yang dilematis dan tidak konstruktif di Papua, apabila
diperhadapkan pada era desentralisasi pengelolaan hutan di daerah, perlibatan masyarakat
adat dan penetapan kawasan konervasi yang kurang mengakomodir berbagai kepentingan
masyarakat di masa lalu. Selain itu pula, tuntutan kepentingan akan kebutuhan dasar hidup
masyarakat di Papua secara khusus masyarakat yang bermukim di sekitar dan dalam
kawasan konservasi menjadi suatu tantangan yang harus segera dipecahkan bersama oleh
para penggiat konservasi dan pemerhati lingkungan di Tanah Papua.
Permasalahan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi dan kepentingan masyarakat,
erutama masyarakat yang berdiam di sekitar dan dalam kawasan konservasi di Papua
merupakan masalah krusial yang harus segera diselesaikan. Disamping itu, model
pengelolaan maupun instrumen kebijakan yang digunakan dalam pengelolaan kawasan
konservasi selama ini di Papua kurang mengakomodir kepentingan dan aspirasi masyarakat ,
sehingga pengelolaan kawasan konervasi tidak dapat berjalan secara efektif, berkelanjutan
dan bermanfaat bagi masyarakat.
Upaya proses penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni yang digagasi oleh The Nature Conservancy (TNC) merupakan suatu langkah awal
yang bijak dan bukti nyata kepedulian para penggiat konservasi dan pemerhati lingkungan
Kabupaten Teluk Bintuni dan sekitarnya dalam upaya mewujudkan pengelolaan kawasan
konservasi di Papua yang partisipatif, transparan, demokratik dan bertanggung gugat. Upaya
ini merupakan salah satu bantuan yang sangat berharga bagi kami dalam upaya pengelolaan
kawasan konservasi di Papua, secara khusus dalam wilayah kerja Balai Konservasi Sumber
Daya Alam Papua II Sorong. Menginggat keterbatasan sumber daya kami yang kurang
proposional dengan luas wilayah konservasi yang ada dalam wilayah pemangkuhan Balai
KSDA Papua II Sorong di Papua.
Penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang
digagasi oleh Tim penyusun rencana pengelolaan kawasan CATB serta berkoordinasi
dengan Balai KSDA Papua II juga merupakan langkah yang sejalan dan sesuai dengan
program dan prosedural penetapan dan pengelolaan suatu kawasan konservasi. Selain itu
pula, proses penyusunan yang melibatkan para pemangku kepentingan serta publik di
Kabupaten Teluk Bintuni memberikan makna yang penting dalam membangun dan merubah
paradigma kebijakan pengelolaan yang lebih akomodatiif, transparan dan demoktratik.
Sehingga, kebijakan pengelolaan kawasan konservasi di Papua bersifat partisipatif yang
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Sambutan Kepala BKSDA Papua II SKBKSDA-2
BKSDA Papua II Sorong
dapat mengakomodir semua aspirasi para pemangku kepentingan dalam kawasan. Dengan
demikian, implementasi program pengelolaan kawasan selanjutnya dapat berjalan lebih
efektif dan seinergis serta meminilisasi konflik yang selama ini terjadi.
Oleh sebab itu, Balai KSDA Papua II Sorong menyambut baik dan menyampaikan selamat
dan sukses atas diselesaikannya dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni ini. Selanjutnya, disadari bahwa sumberdaya pada Balai KSDA Papua II masih
sangat terbatas, maka kontribusi dan dukungan para pemangku kepentingan serta publik
Manokwari masih sangat diharapkan juga dalam implementasi program selanjutnya.
Pada kesempatan ini pula, kami ucapkan terima kasih kepada Tim Faslitasi Penyusunan
Rencana Pengelolaan CATB atas upaya dan kerja keras yang diberikan selama ini. Ucapan
terima kasih juga, kami sampaikan kepada Bupati Teluk Bintuni serta Pemerintah Kabupaten
Teluk Bintuni atas segala dukungan dan bantuan yang diberikan. Ucapan terima kasih juga
kami sampaikan kepada The Nature Conservancy atas segala dukungan dalam menfasilitasi
proses penyusunan dokumen selama ini. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam
proses penyelesaian dokumen ini, yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu juga kami
ucapkan banyak terimakasih.
Pengelolaan dan pelestarian kawasan konservasi di Tanah Papua, secara khusus pada
wilayah Kepala Burung Pulau Papua bukan semata-mata merupakan tanggungjawab Balai
KSDA Papua II selaku pemangku dan pengemban tugas pengelola kawasan, melainkan
merupakan tanggungjawab kita bersama segenap masyarakat Papua untuk melestarikan dan
mewariskan kekayaan alam yang unik dan maha kaya bagi generasi akan datang di tanah ini.
Akhirnya, segala puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang
telah memberikan perlindungan, berkat dan anugerah yang tak ternilai harganya, sehingga
proses kegiatan ini dapat diselesaikan dengan baik.
Sorong, Agustus 2005
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Kata Pengantar KP-1
BKSDA Papua II Sorong
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang maha kuasa, yang telah membantu
memberikan kekuatan, kesehatan dan menyertai serta melindungi kita, sehingga proses
penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan (RPK) Cagar Alam Teluk Bintuni
(CATB) dapat diselesaikan dengan baik.
Dokumen ini dihasilkan melalui serangkaian tahapan kegiatan diskusi baik formal dan
informal yang dilakukan Tim Penyusun RPK Cagar Alam Teluk Bintuni, baik internal tim
berupa konsolidasi dan koordinasi yang dilakukan secara regular, maupun eksternal tim
antara berupa konsultasi publik dan field survei. Rangkaian tahapan proses yang dilakukan
Tim Penyusun RPK CATB secara umum terdiri dari beberapa tahapan kegiatan, yaitu :
1. Penyusunan rencana kegiatan (work-plan) untuk keperluan internal Tim Penyusun RPK
Cagar Alam Teluk Bintuni, dilaksanakan di kantor TNC, Southeast Asia Center for Marine
Protected Areas (SEACMPA) Bali pada tgl 6-8 Maret 2005.
2. Penelusuran informasi-informasi yang pernah dilakukan di Cagar Alam Teluk Bintuni
bekerjasama dengan beberapa stakeholder seperti Universitas Negeri Papua, CRMP
Jakarta dan Mitra Pesisir Bintuni, Pemerintah Daerah Teluk Bintuni termasuk beberapa
Dinas terkait, BKSDA Papua I dan Resort KSDA Bintuni, BP Tangguh, TNC Bali, dan
beberapa LSM lokal di Manokwari, Bulan Pebruari – April 2005.
3. Konsultasi, koordinasi, dan sosialiasi kegiatan penyusunan RPK Cagar Alam Teluk
Bintuni kepada Bupati Teluk Bintuni, Dinas-Dinas Terkait di Teluk Bintuni, Masyarakat
yang diwakili LMA Bintuni dan Lemasom, dan LSM Mitra Pesisir, Akhir Maret 2005 .
4. Pertemuan Kampung (village meeting) dan Rapid Social Assesment (RSA) di 14
kampung/kelurahan yang berada di dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni, serta Rapid Biological Assesment (RBA) dalam rangka pengumpulan data
SOSEKBUD dan biologi kawasan, yang dilakukan selama periode akhir Maret s/d awal
Mei 2005.
5. Lokakarya khusus dengan seluruh masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar
kawasan yang di wakili oleh Kepala Kampung, Kepala Suku, dan Tokoh masyarakat di
setiap kampung yang memiliki akses langsung ke kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, di
Bintuni, tanggal 1 Juni 2005.
6. Lokakarya Penjabaran dan Perumusan Draft Rencana Pengelolaan CATB bersama
pemangku kepentingan terkait di Kabupaten Teluk Bintuni, dilaksanakan pada tanggal 2
Juni 2005, di Bintuni.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Kata Pengantar KP-2
BKSDA Papua II Sorong
7. Kajian ilmiah (scientific review) draft Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni oleh Dr. Sukristijono Sukardjo, DS.c, APU (Peneliti Mangrove, Puslitbang
Oseanologi-LIPI).
8. Pemaparan Draft Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni yang dilaksanakan
pada tanggal 22 Juli 2005 di Departemen Kehutanan, c.q. Pelestarian Hutan dan
Konservasi Alam, Jakarta. Kegiatan ini dihadiri oleh Bupati Teluk Bintuni, Rektor Unipa
Manokwari, Kepala Bappeda Propinsi Irian Jaya Barat dan Kabupaten Teluk Bintuni,
dinas terkait (Dinas kehutanan dan Dinas Kelautan dan Perikanan) di Teluk Bintuni,
Koordinator Badan Monitoring, dan masyarakat Teluk Bintuni yang diwakili oleh Ketua
LMA Bintuni dan Lemasom.
9. Pengesahan dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni oleh
Dirjen PHKA, di Jakarta.
Dokumen ini memuat kondisi umum kawasan, kebijakan, analisis permasalahan, rencana
kegiatan, pembiayaan, pengorganisasian, dan monitoring dan evaluasi. Khusus untuk
rencana kegiatan, difokuskan pada 7 (tujuh) aspek, yaitu aspek Pemantapan Kawasan,
Peningkatan efektifitas Pengelolaan Kawasan, Pengembangan Konservasi jenis dan
Keanekaragaman Hayati, Perlindungan dan Pengamanan Kawasan, Pendukung/
Kelembagaan, Pemanfaatan, serta aspek Sarana Prasarana Pendukung Kegiatan
Pengelolaan.
Dokumen Rencana Pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan arahan
umum kegiatan yang diharapkan dapat di realisasikan oleh para pemangku kepentingan
dalam program pengelolaan kawasan CATB sesuai dengan kewenangan serta tugas pokok
dan fungsinya. Implementasi kegiatan pengelolaan selanjutnya, merupakan tugas pokok dan
fungsi serta kewenangan Balai KSDA Papua II, Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni dan
para pemangku kepentingan dalam kawasan, bukan lagi menjadi tugas Tim Penyusun RPK
CATB. Namun demikian, pelaksanaan kegiatan bukan merupakan tanggungjawab sepihak
pengelola kawasan dan pemerintah daerah, melainkan tanggungjawab bersama para
pemangku kepentingan dalam kawasan dan juga masyarakat Teluk Bintuni dalam
mendukung dan menyukseskan pelaksanaannya.
Dengan selesainya Dokumen Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni ini, pada
kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bupati Teluk Bintuni yang telah memberikan perhatian serius dan mendukung kami,
sehingga semua proses kegiatan dapat berjalan dengan baik.
2. Badan Perencana Daerah Kabupaten Teluk Bintuni beserta jajarannya atas bantuan dan
arahan selama proses penyusunan dokumen ini.
3. Kepala Balai KSDA Papua II atas dukungan, bantuan dan kerjasama yang diberikan
kepada kami, sehingga koordinasi dan kerjasama dapat berjalan lancar dan sukses.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Kata Pengantar KP-3
BKSDA Papua II Sorong
4. The Nature Conservancy (TNC), Southeast Asia Center for Marine Protected Areas
(SEACMPA) Bali, atas dukungan, bantuan dan fasilitas, sehingga proses penyusunan
dokumen ini dapat direalisasikan dengan baik.
5. Universitas Negeri Papua Manokwari dan Universitas Trisakti Jakarta, atas bantuan
teknis dan informasi yang diberikan, sehingga penyusunan dokumen dapat diselesaikan
dengan baik.
6. Teman-teman di Pusat Studi Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PS2AL) - Bogor atas
bantuan editing dan koreksian serta dukungan data-informasi yang diberikan
7. Teman di BP Indonesia khususnya Jalal, Piere dan Habel atas bantuan dan dukungan
yang diberikan
8. Kepada instansi teknis terkait dan dinas serta semua pihak yang tidak dapat kami
sebutkan satu persatu di sini.
9. Masyarakat Teluk Bintuni, khususnya masyarakat yang bermukim di kampung-kampung
di dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Semoga dokumen ini dapat menjadi acuan dan instrumen dasar bagi Balai KSDA Papua II
Sorong dan Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni sebagai upaya dalam pengembangan
program pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, sehingga memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi masyarakat Teluk Bintuni dan juga mewujudkan pengelolaan
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang lestari, berkelanjutan dan berdaya guna.
Mendama Tambe Jaga Tane Cagar Alam Teluk Bintuni
Bintuni, Agustus 2005
Tim Penyusunan RPK Cagar Alam Teluk Bintuni,
Dr. Ir. Jamartin Sihite, MSi Ir. Obed Lense, MSc Ir. Retno Suratri, MSc Ir. Chandra Gustiar, MSi Sergius Kosamah, SH
R
enca
na P
enge
lola
an C
agar
Ala
m T
eluk
Bint
uni
BKSD
A Pa
pua I
I Sor
ong
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Daftar Isi i
BKSDA Papua II Sorong
DAFTAR ISI
Halaman PETA SITUASI RINGKASAN EKSEKUTIF SAMBUTAN BUPATI KABUPATEN TELUK BINTUNI SAMBUTAN KEPALA BALAI KSDA PAPUA II KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I. PENDAHULUAN ...................................................................................................... I-1 A. Latar Belakang...…………………………………………………………………….. I-1 B. Maksud dan Tujuan .. ……………………………………….………………………. I-5 C. Sasaran ....…………………………………………………………………………… I-6 C1. Perlindungan . ………………………………………………………………… I-6 C2. Konservasi... ……………………………………………………….…………. I-6 C3. Pendidikan.. …………………………………………………………..………. I-6 C4. Pemanfaatan Sumberdaya....……………………………………………….. I-7 C5. Peningkatan Sistem Pengelolaan .....………………………………………. I-7
D. Ruang Lingkup................................................................................................... I-8 E. Visi dan Misi Cagar Alam Teluk Bintuni ............................................................ I-8 F. Metode Pendekatan ... ……………………………………………………………… I-9
II. KEADAAN UMUM KAWASAN................................................................................. II-1 A. Risalah Kawasan ..………………………………………………………………….. II-1 A1. Informasi Umum Kawasan . ….……………………………………………… II-1 A.1.1 Sejarah Penetapan Kawasan ...…..…………………….………….. II-1 A.1.2. Letak dan Luas................... .……………………………….……….. II-2 A.1.3. Aksesibilitas.......................................................………….………. II-3 A2. Kondisi Fisik Kawasan....………………………………………….…………. II-4 A.2.1. Iklim.... ………….……………………………………………..………. II-4 A.2.2. Geologi...... ……………………………………………………..…….. II-5 A.2.3. Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Hidrologi ... ………………..…… II-5 A.2.4. Tanah... ………………………………………….……………….…… II-6 A3. Kondisi Biologi Kawasan . ..…………….……………….…………………… II-7 A.3.1. Ekosistem .. ………………………………………………………….. II-7 A.3.1.1. Hutan Hujan Dataran Rendah .... ……………………….. II-7 A.3.1.2. Hutan Mangrove .. ………………………………………… II-9 A.3.2. Species ...…………………………………….………………………. II-15 A.3.2.1. Flora …………………………….…………………………. II-16 A.3.2.2. Fauna .........………….….………………………………… II-17 B. Karakteristik Sosial, Ekonomi dan Budaya. …………...…………………………. II-25 B.1. Penduduk……………………………………………………………………. .. II-25 B.2. Mata Pencaharian…………………………………………………………..... II-28
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Daftar Isi ii
BKSDA Papua II Sorong
DAFTAR ISI
Halaman
B.3. Pendidikan dan Kesehatan .......................………………………………… II-30 B.3.1. Pendidikan …………………………………….………………………. II-30 B.3.2. Kesehatan …………………………………….………………………. II-31 B.4. Agama .. ...........................…………………………………………………… II-33 B.5. Kearifan Tradisional Masyarakat.. ....................…………………………… II-34 B.6. Pemanfaatan Sumberdaya Alam ..............………………………………… II-34 B.6.1. Pandangan Masyarakat Adat terhadap SDA (Tanah & Hutan).. .. II-34 B.6.2. Pola Pemanfaatan SDA... ...............……………………………..… II-35 B.6.3. Pemanfaatan SDA di Kawasan CATB........................................ . II-37 B.6.3.1. Penangkapan dan Pengumpulan Hasil Laut ................. II-38 B.6.3.2. Pemanfaatan Tumbuhan ............................................... II-40 B.6.3.3. Tempat Berburu............................................................. II-44 B.6.3.4. Tempat Berladang ......................................................... II-45 B.6.4. Kepemilikan Lahan .....……….……………………………………… II-46 B.7. Sarana dan Prasarana Transportasi……………………………………….. II-48 B.8. Pendugaan Nilai Ekonomi Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.............. II-50
C. Permasalahan.................................................................................................... II-54 C1. Fisik..............................…………………………………………………….... II-55 C.1.1. Letak Kawasan .. ..............................………………………………. II-55 C.1.2. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai ... .........………………………. II-55 C.1.3. Infrastruktur..................……………………………………………… II-56 C2. Biologi………………………………………………................................... .. II-56 C3. Sosial Ekonomi Budaya... ..............…………………………………………. II-57 C.3.1. Penangkapan Hasil Perikanan yang tidak Ramah Lingkungan .. II-57 C.3.2. Adanya Perburuan Buaya, Rusa dan Burung ....…………………. II-58 C.3.3. Adanya Perkampungan di Dalam Kawasan.. …………………….. II-59 C.3.4. Tumpang Tindih Kawasan dengan Penggunaan Lahan Lain .. … II-60 C.3.5. Adanya Tempat Penimbunan kayu di Dalam Kawasan .. ……….. II-60 D. Faktor Penghambat ........................……………………………………………….. II-61 D.1. Pengembangan Wilayah Kabupaten Teluk Bintuni.................................. II-61 D.2. Kapasitas Pengelola Kawasan.. ...………………………………………….. II-62 D.3. Peran Masyarakat (Community Involvement) .. ....................................... II-62
III. KEBIJAKAN ............................................................................................................ III-1A. Dasar Hukum.. ………………………………………………………………………. III-1 B. Kebijakan Konservasi Biodiversity di Indonesia ...……………………………….. III-2
C. Sektor Kehutanan..................……………………………………………………… III-5 C.1. Pengelolaan Hutan Lestari......................................................……..……. III-5 C.2. Rencana Strategis Ditjen PHKA…………………………………….……... III-5 C.3. Kebijakan Umum dan Strategi Pembangunan Cagar Alam .................... III-15 C.4. Pengelolaan Cagar Alam .......................................... …………………….. III-20 C.5. Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Mangrove. ............... III-23
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Daftar Isi iii
BKSDA Papua II Sorong
DAFTAR ISI
Halaman
D. Pengembangan Wilayah …………………………………………………………… III-26 D.1. Tinjauan Panataan Ruang Kabupaten Teluk Bintuni . …………………… III-26 D.2. Hubungan Ruang Kawasan Cagar Alam Dengan Daerah Sekitarnya..... III-28
IV. ANALISIS PERMASALAHAN ................................................................................. IV-1 A. Pengelolaan dan Kebijaksanaan.……………………..…………………….…….. IV-1
B. Aspek Biologi Kawasan ..................................................................................... IV-8 B.1. Permasalahan .. ………………………………………………………………. IV-8 B.1.1. Ekosistem .......…………………………………………….…………. IV-8 B.1.2. Flora dan Fauna ....................………………………………………. IV-17 B.2. Alternatif Pemecahan Masalah . .....................…………………………….. IV-21
C. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya................................................................... IV-26 C.1. Permasalahan .......................……………………………………………….. IV-26 C.1.1 . Rendahnya partsipasi Masyarakat ..... ...........……………………. IV-26 C.1.2 . Pola Pemanfaatan Sumberdaya Alam .... .............………………. IV-26 C.2. Alternatif Pemecahan Masalah ................................................................ IV-29 D. Skenario Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni ............................................. IV-34 D.1. Kebijakan Akomodatif dan Kelembagaan Demokratik............................. IV-34 D.2. Kebijakan Sentralistik dan Kelembagaan Demokratik ............................. IV-35 D.3. Kebijakan Akomodatif dan Kelembagaan Otoritik.................................... IV-35 D.4. Kebijakan Sentralistik dan Kelembagaan Otoritik .................................... IV-36 E. Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman (KKPA) .................... IV-36 E.1. Identifikasi dan Penilaian faktor Internal dan Eksternal ........................... IV-37 E.2. Analisis Keterkaitan antar Unsur SWOT ....................... ........................... IV-39 F. Perumusan Strategi Pengelolaan ..................................................................... IV-40
V. RENCANA KEGIATAN ........................................................................................... V-1 A. Umum…………………………….…………………………………………………... V-1 B. Rencana Kegiatan Pengelolaan …………………………………………………... V-2
B.1. Pemantapan Kawasan ……………………………………………………… V-2 B.2. Peningkatan Efektifitas Pengelolaan Kawasan……………………………. V-3 B.3. Pengembangan Konservasi Jenis dan Keanekaragaman Hayati............ V-6 B.4. Perlindungan dan Pengamanan Kawasan............................................... V-10 B.5. Pendukung/Kelembagaan……………………………………...................... V-12 B.6. Pemanfaatan................................ ……………………………..…………… V-13 C. Sarana dan Prasarana……………………………………………………………… V-17 C.1. Sarana Prasarana Pengelolaan . …………………………………………… V-17 C.2. Sarana Prasarana Pendidikan .. ……………………………………………. V-18 C.3. Sarana Prasarana Penelitian .………………………………………………. V-19
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Daftar Isi iv
BKSDA Papua II Sorong
DAFTAR ISI
Halaman
VI. PEMBIAYAAN ......................................................................................................... VI-1 A. Sumber Dana. ……………………………………………………………………….. VI-1 B. Rincian Biaya………………………………………………………………………... VI-2
VII. PENGORGANISASIAN ........................................................................................... VII-1 A. Pembinaan SDM, Kelembagaan dan Koordinasi ....…………………………….. VII-1
A.1. Pengembangan Organisasi dan SDM ......………………………………… VII-1 A.2. Kebijakan Pengelolaan...…………………………………………………….. VII-2 A.3. Koordinasi dalam Lingkup Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni.....……. VII-3 A.4. Koordinasi dengan Instansi Lain …………………………………………… VII-3
B. Tanggungjawab Administrasi ……………………………………………………… VII-6 C. Penyusunan Staf .…………………………………………………………………… VII-8
VIII. MONITORING DAN EVALUASI ............................................................................. VIII-1 A. Pelaksana Kegiatan.. ……………………………………………………………….. VIII-1 A.1. Internal Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni …………………………….. VIII-1 A2. Forum Komunikasi Independen . …………………………………………… VIII-2 A.2.1. Komposisi Forum Komunikasi MONEV CATB.…….….. ........... ... VIII-2 A.2.2 . Tugas dan Tanggungjawab ...... ……………………………………. VIII-6 A.2.3. Sumberdaya Pendukung ......……………………………………….. VIII-7 B. Rencana Waktu Pemantauan dan Evaluasi.. ……………………………………. VIII-7 B.1. Internal Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni . ……………………………. VIII-7 B.2. Forum Komunikasi Independen ...................... ……………………………. VIII-8 B.2.1. Lingkup Kegiatan Badan Forum Komunikasi Independen . ......... VIII-8 B.2.2. Mekanisme Kerja Forum Komunikasi Independen....................... VIII-9
IX. PENUTUP ................................................................................................................ IX-1
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Daftar Isi v
BKSDA Papua II Sorong
DAFTAR TABEL
No Keterangan Halaman
I-1 Stakeholder di sekitar Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) ................................... I-9 II-1 Distrik Dan Kampung yang Memiliki Akses Terdekat dengan Kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni……………………………………………………………………… II-4 II-2 Jenis tanah yang terdapat di sebagian besar kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni ................................................................................................................... II-6II-3 Jenis-Jenis mangrove sejati pada ekosistem mangrove kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni ......................................................................................................... II-16 II-4 Jenis-Jenis asosiasi mangrove pada ekosistem mangrove kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni ......................................................................................................... II-16 II-5 Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi ekosistem hutan dataran Rendah di
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.........……………………………………………. II-17 II-6 Jenis herpetofuana yang dijumpai selama survei lapangan (Field Survey) di
dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ........................................ II-18 II-7 Jenis burung yang dicatat selama survei lapangan (Field Survey) di dalam dan
sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni........... .............. ……………………… II-20 II-8 Jenis mamalia yang dijumpai selama survei lapangan (Field Survey) serta
berdasarkan informasi masyarakat setempat di dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni .……………………………………………………………. II-22
II-9 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di sekitar Cagar Alam Teluk Bintuni ..................................................................................................…… II-26
II-10 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur di sekitar Cagar Aalam Teluk Bintuni..……................................................................................................ II-28
II-11 Mata Pencaharian penduduk yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni .......…….................................………………………………………… II-29
II-12 Sarana Pendidikan di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni tahun 2002... . II-30 II-13 Sarana Kesehatan di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni tahun 2005 .... II-31 II-14 Tenaga Kesehatan yang ada di kampung sekitar kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni tahun 2005..........................…………………………………………………… II-32 II-15 Jumlah penduduk yang bermukim di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
berdasarkan agama.. .....……………………………………………………………… II-33 II-16 Hasil perikanan yang dihasilkan di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
(CATB) beserta harganya. ................................................................................... II-40 II-17 Pemanfaatan vegetasi palem oleh masyarakat di sekitar kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni ........................................................................................................ II-41 II-18 Pemanfaatan komponen flora dan fauna pada ekosistem mangrove di dalam
dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ................................................... II-43 II-19 Sarana dan jenis transportasi kampung di sekitar CATB ke Ibukota Distrik
dengan saran transportasi sungai/laut ........ …......………………………………… II-49 II-20 Jalur pelayaran reguler dari dan ke Bintuni yang dilayani oleh PT Pelni dan
pelayaran swasta lain ........………………….......…………………………………… II-50 II-21 Fungsi dan Manfaat Lingkungan Ekosistem Mangrove........................................ II-51 II-22 Asumsi Dasar Penilaian Jenis Manfaat Hutan Mangrove Kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni ......................................................................................................... II-52 II-23 Prediksi Nilai Ekosistem Hutan Mangrove Kawasan CATB............................ ..... II-53
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Daftar Isi vi
BKSDA Papua II Sorong
DAFTAR TABEL
No Keterangan Halaman
IV-1 Kondisi personil pengelola kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sampai dengan Juli tahun 2005 ………………………………………………………………………… IV-3
IV-2 Kondisi sarana dan prasarana pengelola kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sampai dengan Juli tahun 2005....…………………………………………………… IV-4
IV-3 Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap aspek pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni …………………………………………………………….. IV-7
IV-4 Permasalahan sekaligus ancaman terhadap keberadaan ekosistem hutan hujan dataran rendah di kawasanCagar Alam Teluk Bintuni tahun 2005 ........ ...……… IV-9
IV-5 Tempat Penimbunan Kayu (TPK)/ Logyard yang menempati ekosistem hutan dataran rendah dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sampai dengan tahun 2005 ............................................................................................................ IV-10
IV-6 Permasalahan sekaligus ancaman dan penyebabnya terhadap keberadaan ekosistem mangrove di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni tahun 2005 ...... ..… IV-14
IV-7 Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap keberadaan ekosistem hutan mangrove dan nipah di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni...................... IV-22
IV-8 Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap keberadaan ekosistem hutan dataran rendah di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ....... ……………………… IV-23
IV-9 Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap flora dan fauna di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ...………………………………………………………...... IV-24
IV-10 Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap aspek Sosial Ekonomi dan Budaya kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ........................................................ IV-33
IV-11 Matriks hasil analisis SWOT .……………………………………………………….... IV-40 V-1 Prioritas rencana kegiatan pengelolaan kawasan selama dua puluh lima tahun
(2006-2030) Cagar Alam Teluk Bintuni...............................................…………… V-1 V-2 Rencana kegiatan pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dalam
meningkatkan efektifitas pengelolaan kawasan..................................................... V-3 V-3 Rencana kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dalam
meningkatkan efektifitas pengelolaan kawasan.................................................... V-5 V-4 Rencana kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dalam
mengembangkan konservasi jenis dan keanekaragaman hayati........................... V-9 V-5 Rencana kegiatan pengelolaan untuk aspek perlindungan dan pengamanan
kawasan.. ............................................................................................................. V-12 V-6 Rencana kegiatan pengelolaan untuk aspek pendukung/kelembagaan dalam
pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ................................................. V-13 V-7 Rencana kegiatan pengelolaan untuk aspek pemanfaatan sumberdaya alam
di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ................................................................. V-16 VI-1 Rencana alokasi biaya pengelolaan jangka pendek kawasan CATB (per tahun)
pada periode 5 tahun pertama (2006-2010) ........................................................ VI-2 VI-2 Rencana alokasi biaya pengelolaan kawasan CATB jangka panjang
(lima-tahunan) pada periode 25 tahun pertama (2006-2030)............................... VI-9 VI-3 Rencana alokasi biaya pengadaan sarana dan prasarana untuk jangka pendek
(per tahun) pada periode 5 tahun pertama (2006-2010) ...................................... VI-16 VI-4 Rencana alokasi biaya pengadaan sarana dan prasarana untuk jangka panjang
(per tahun) pada periode 25 tahun (2006-2030) .................................................. VI-19
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Daftar Isi vii
BKSDA Papua II Sorong
DAFTAR TABEL
No Keterangan Halaman
VII-1 Kondisi staf pengelola cagar alam dan rencana pemenuhan staf berserta rencana pelatihan ................................................................................................. VII-9
VII-2 Rencana kebutuhan biaya pemenuhan staf dan rencana pelatihan di Cagar Alam Teluk Bintuni................................................................................................ VII-10
VIII-1 Kondisi fasilitas pendukung pengelola Lab GIS Fakultas Kehutanan Unipa........ VIII-3
VIII-2 Kondisi personil pendukung pengelolaan Lab GIS Fakultas Kehutanan Unipa .. VIII-4
VIII-3 Rencana monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni oleh unsur internal pengelola kawasan .......... ………...…………… VIII-8
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Daftar Isi viii
BKSDA Papua II Sorong
DAFTAR GAMBAR
No Keterangan Halaman
I-1 Cagar Alam Teluk Bintuni……………………………………………………………… I-1
I-2 Hutan Mangrove di Cagar Alam Teluk Bintuni………………………………………. I-2
I-3 Abrasi di Hutan Mangrove Cagar Alam Teluk Bintuni.......………………………….. I-3
I-4 Kerangka Umum Penyusunan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni (General Framework)....................…………………………………………………… I-12
I-5 Hierarki Penentuan Prioritas Kegiatan Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni.…. I-14
II-1 Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang Diusulkan WWF/IUCN/PHPA 1983.... II-1
II-2 Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni Hasil Tata Batas Sub Biphut Manokwari Tahun 1999 .......................................................................................................... II-2
II-3 Peta Kerja Kegiatan Survei Kondisi dan Potensi Mangrove Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni 2005 ..........................................……………………………………… II-7
II-4 Tipe hutan hujan dataran rendah primer di belakang formasi hutan mangrove S. Simeri Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni .................................................... II-8
II-5 Struktur Hutan Dataran Rendah Di Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni............. II-8
II-6 Tipe hutan hujan dataran rendah sekunder di dekat kampung Mamuranu, kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni...................................................................... II-9
II-7 Vegetasi mangrove Zona Avicenia-Sonneratia di P. Mania, Cagar Alam Teluk Bintuni ................................................................................................................... II-9
II-8 Vegetasi mangrove Zona Rhizophora-Bruguiera di S. Tirasai, Cagar Alam Teluk Bintuni ......................................................................................................... II-10
II-9 Tipe vegetasi nipah (Nypa fructicans) di S. Yensei Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ......................................................................................................... II-10
II-10 Tipe vegetasi nipah (Nypa fructicans) campuran pada Zona Pasang Surut di S. Tirasai, Cagar Alam Teluk Bintuni .................................................................. II-10
II-11 Pengukuran dan pengambilan titik koordinat plot pengamatan vegetasi mangrove di P. Kaboi di kawasan CATB.............................................................. II-12
II-12 Vegetasi Mangrove S. Simeri di kawasan CATB ............................................... II-12
II-13 Pola zonasi vegetasi hutan mangrove di Tanjung Pitaboni, Cagar Alam Teluk Bintuni ......................................................................................................... II-14
II-14 Pola zonasi vegetasi hutan mangrove di Sungai Sumberi Cagar Alam Teluk Bintuni ........................................................................................................ II-14
II-15 Jenis Anggrek (Bulbophylum sp.) yang bisa ditemukan di hutan dataran rendah dan magrove di Kawasan CATB .... ………………………………………………… II-17
II-16 Jenis buaya muara (Crocodylus porosus) yang ditemukan di kawasan CATB .. II-18
II-17 Peta Lokasi Kegiatan Survei Keberadaan Fauna Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ................................................................................................................... II-19
II-18 Jenis kepiting bakau (Scylla sp.) yang memiliki nilai ekonomis yang dapat ditemukan di kawasan CATB ........................................................................…… II-24
II-19 Lokasi Pemukiman penduduk K. Pasamai …………………………………………. II-26
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Daftar Isi ix
BKSDA Papua II Sorong
DAFTAR GAMBAR
No Keterangan Halaman
II-20 Peta Lokasi Kampung yang berada di dalam dan sekitar Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni 2005....................................................................................... II-27
II-21 Salah seorang anggota masyarakat nelayan di K. Korano Jaya setelah melaut . II-28
II-22 Penangkapan ikan dengan menggunakan “JARING BALABUH” yang dilakukan masyarakat lokal di dalam dan sekitar kawasan CATB ………......………………. II-38
II-23 Jenis siput bor Bactronophorus sp. yang dikumpulkan masyarakat lokal di sekitar kawasan CATB .................................................................................................... II-38
II-24 Jenis kerang Polymesoda coaxan yang dikumpulkan masyarakat lokal di sekitar kawasan CATB ..................................................................................................... II-38
II-25 Jenis kepiting bakau Scilla sp. yang biasa dikumpulkan masyarakat lokal di dalam dan sekitar kawasan CATB ....……………………………………………….. II-39
II-26 Bentuk pemanfaatan jenis palem sebagai (a) busur dan anak panah, (b) lantai rumah/para-para, dan (c) anyaman keranjang …………………………………….. II-40
II-27 Pemanfaatan pohon mangrove sebagai tiang (belo) untuk menangkap ikan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni..................................................................... . II-42
II-28 Pemanfaatan pohon mangrove sebagai tiang (belo) untuk menangkap ikan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni...................................................................... II-42
II-29 Rumah tradisional masyarakat lokal yang sebagian besar bahan bakunya berasal dari vegetasi nipah di Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni .................... II-42
II-30 Dendeng rusa dan babi hutan yang diperoleh dari berburu di hutan sekitar kampung Mamoranu dalam Cagar Alam Teluk Bintuni........................................ II-44
II-31 Model Kandang pembesaran anakan buaya di Kampung Yensei, Distrik Idoor .. II-45
II-32 Lahan kebun dan bekas kebun masyarakat lokal di Kampung Mamoranu yang berada dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni .............................................. II-45
II-33 Peta kepemilikan lahan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni menurut wilayah hukum adat .......................................................................................................... II-47
II-34 Sarana transportasi udara jenis Twin-Otter di pelabuhan udara kota Bintuni yang melayani penerbangan ke dan dari kota Bintuni ......................................... II-48
II-35 Sarana transportasi darat jenis land cruiser (hardtop) yang melayani transportasi Manokwari-Bintuni PP .......................................................................................... II-48
II-36 Sarana transportasi laut/sungai jenis longboat yang digunakan masyarakat di dalam dan sekitar Cagar Alam Teluk Bintuni ....................................................... II-49
II-37 Pembukaan lahan hutan dataran rendah untuk logyard kegiatan logging di dekat Kampung Tirasai dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni .............................. II-55
II-38 Pengendapan lumpur (sedimentasi) yang membentuk delta di muara S. Bintuni/ Wasian di dalam Kawasan CTAB.….......…………………………………………… II-56
II-39 Masyarakat baru pulang berburu di dalam Kawasan CATB………………………. II-59
II-40 Salah satu Kondisi Pemukiman penduduk (K. Mamuranu) yang terletak di dalam kawasan CTAB ..................................................................................................... II-59
II-41 Diskusi dengan masyarakat Banjar Ausoy tentang tumpang tindih LU 2 dengan Batas kawasan CATB........................................................................................... II-60
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Daftar Isi x
BKSDA Papua II Sorong
DAFTAR GAMBAR
No Keterangan Halaman
III-1 Rencana Pola Pengembangan Kota Bintuni sebagai Ibu Kota kabupaten Teluk Bintuni . ....................................................................................................... III-27
IV-1 Pemukiman di Desa Anak Kasih yang dibangun Dinas Sosial Propinsi Papua dan berada dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ………………………… .. IV-2
IV-2 Satu-satu sarana transportasi dalam menunjang kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ..................................................................................... IV-3
IV-3 Pembukaan lahan hutan dataran rendah dan sebagian hutan mangrove sebagai logyard di S. Sumberi di kawasan CATB.............................................................. IV-11
IV-4 Kebun masyarakat lokal di Kampung Mamuranu di dalam kawasan CATB ...... IV-11
IV-5 Salah satu logyard yang memanfaatkan sebagian ekosistem mangrove di S. Tirasai di Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ................................................ IV-12
IV-6 Bentuk gangguan ekosistem mangrove yang diakibatkan oleh tongkang pengangkut kayu log di S. Tirasai di Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni........... IV-14
IV-7 Kerusakan hutan mangrove akibat erosi tepi dekat muara sungai Wasian di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni...................................................................... IV-15
IV-8 Terinvasinya hutan bekas perladangan oleh jenis pionir di K. Mamuranu, CATB IV-17
IV-9 Jenis burung mambruk (Goura cristata) yang telah dilindungi undang-undang yang populasinya terancam.................................................................................. IV-18
IV-10 Jenis burung kasuari kerdil (casuarius benetti) yang telah dilindungi undang-undang yang populasinya terancam .... ................................................. IV-19
IV-11 Jenis kuskus bertotol (Spilocuscus maculatus) yang telah dilindung undang-undang yang sudah jarang dijumpai di hutan dataran rendah Cagar Alam Teluk Bintuni ..................................................................................... IV-19
IV-12 Jenis satwa buaya muara (Crocodylus porosus) yang telah dilindungi undang-undang populasinya menurun akibat perburuan liar di Cagar Alam Teluk Bintuni ......................................................................................................... IV-19
IV-13 Diskusi bersama masyarakat K. Korano Jaya dan K. Yensei dalam rangka penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni............ IV-29
IV-14 Kegiatan Lokakarya Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni 1 dan 2 Juni 2005 untuk menyamakan persepsi semua stakeholder terhadap kawasan .................................................................................................... ......................... IV-30
VI-1 Alur pengusulan pelaksanaan kegiatan dan implementasi kegiatan.................... VI-1
VII-1 Struktur arus informasi dari tahapan pelaksanaan pengelolaan di Cagar Alam Teluk Bintuni ......................................................................................................... VII-2
VII-2 Struktur sistem pengelolaan kawasan Cagar Alam.............................................. VII-6
VII-3 Struktur organisasi pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni ..................................... VII-7
VIII-1 Mekanisme kerja Forum Komunikasi Independen ............................................... VIII-9
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Daftar Isi xi
BKSDA Papua II Sorong
DAFTAR LAMPIRAN
No Keterangan Halaman
1 Istilah dan Terminologi yang termuat dalam dukumen ........................................... L-2
2 Data suhu udara ambien (0C) selama tiga tahun (1997 – 2000) berhasil dicatat oleh PT Calmarine pada stasiun pengamat cuaca Tanah Merah, Babo .................. L-10
3 Data kelembaban relatif udara ambien (%) selama tiga tahun (1997 – 2000) berhasil di catat oleh PT Calmarine pada stasiun pengamat cuaca Tanah Merah, Babo.......................................................................................................................... L-10
4 Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat semai dan pancang di Plot Pulau Kaboi (Depan Muara Tirasai), Cagar Alam Teluk Bintuni ................................................................................................... L-11
5 Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat tiang dan pohon di Plot Pulau Kaboi (Depan Muara Tirasai), Cagar Alam Teluk Bintuni ........................................................................................................... L-11
6 Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat semai dan pancang di Plot Mangrove S. Simeri, Cagar Alam Teluk Bintuni L-11
7 Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat tiang dan pohon di Plot Mangrove S. Simeri, Cagar Alam Teluk Bintuni ... L-12
8 Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat semai dan pancang di Plot Pulau Maniai (Tanjung Pitaboni), Cagar Alam Teluk Bintuni ........................................................ ................................................... L-12
9 Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat Tiang dan Pohon di Plot Pulau Maniai (Tanjung Pitaboni), Cagar Alam Teluk Bintuni ...................................................... ..................................................... L-12
10 Hasil perhitungan Nilai kubikasi kayu manrove (m3/ha) Vegetasi Tingkat Tiang dan Pohon di kelompok hutan mangrove Pulau Maniai (Tanjung Pitaboni), Cagar Alam Teluk Bintuni (20 m x 230 m = 0,46 ha) .................................................................. L-13
11 Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat semai dan pancang di Plot Sungai Sumberi, Cagar Alam Teluk Bintuni .. L-13
12 Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat Tiang dan Pohon di kelompok hutan mangrove Sungai Sumberi, Cagar Alam Teluk Bintuni .................................................................................................. L-14
13 Hasil perhitungan Nilai kubikasi kayu manrove (m3/ha) Vegetasi Tingkat Tiang dan Pohon di kelompok hutan mangrove Sungai Sumberi, Cagar Alam Teluk Bintuni (20 m x 230 m = 0,46 ha) ........................................................................................ L-14
14 Rangkuman Hasil Workshop Tingkat Kabupaten Penyusunan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni 2005 ……………………………………….. ...................... L-15
15 Programme of two-days meeting on Establishing the Bintuni Bay Nature Reserve Management Plan……………………………………………………………………….. L-20
16 A COMMITMENT related to the management of BBNR was produced by the traditional community members who live inside and surrounding the Bintuni Bay Nature Reserve during the Kabupaten Meeting in Bintuni ………………………….. L-21
17 Rangkuman Catatan Hasil Presentasi Draf Akhir Rencana Pengelolaan Kawasan CATB di PHKA Jakarta (22 Juli 2005) ………………………………………………… L-23
18 Peta Kerja Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni 2006-2030……….. .. L-25
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Pendahuluan I - 1
BKSDA Papua II Sorong
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengalaman ketika krisis moneter memberikan pengalaman yang sangat berharga. Krisis ini
berdampak tidak hanya pada sistem perekonomian tetapi juga pada sistem lingkungan
(ekologi) nasional. Kondisi krisis menyebabkan upaya pemenuhan kepentingan ekonomi
melupakan aspek lingkungan. Pada banyak daerah dapat dijumpai terjadinya eksploitasi
sumberdaya alam yang mengabaikan kelayakan ekologis dan keberadaan kawasan lindung.
Kondisi ini seyogyanya menyadarkan bangsa Indonesia untuk memperbaiki pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan agar tercapai pembangunan yang berkelanjutan. Salah
satu upaya yang perlu dilaksanakan untuk kepentingan pengelolaan sumberdaya yang
menyeluruh adalah melakukan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang tepat yang
mempertimbangkan aspek ekonomi dan lingkungan berada pada posisi yang seimbang.
Wilayah pesisir Indonesia, yang terdiri dari
tiga ekosistem utama, yaitu mangrove,
terumbu karang, dan padang lamun,
Keberadaan ketiga ekoistem tersebut
sangat vital bagi produktivitas perairan dan
perikanan. Dari ketiga ekosistem pesisir
tersebut, ekosistem mangrove mempunyai
peran lebih menonjol. Luas mangrove di
Indonesia menyumbang 23,50% dari total
luas mangrove di dunia, yaitu kurang lebih
9,6 juta ha yang berada dalam wilayah
administrasi kawasan hutan dan non-kawasan hutan (Spalding et al., 1997). Hasil-hasil
penelitian juga telah menngkatkan pemahaman tentang nilai, fungsi, dan atribut ekosistem
mangrove. Sehingga dalam tahun-tahun terakhir ini, biodiversitas mangrove dan
konservasinya telah menjadi perhatian dunia. Pada waktu yang sama, habitat kawasan
pesisir di setiap pulau-pulau di Indonesia berada dalam tekanan yang berat sebagai akibat
pertumbuhan penduduk dan pembangunan.
Skala dampak manusia pada eksositem mangrove di Indonesia telah secara dramatis selama
dekade terakhir memperlihatkan ancaman serius. Pantai Utara Jawa, Selat Malaka, Teluk
Jakarta, misalnya, telah mengalami kerusakan yang melewati toleransi daya dukung
lingkungan, seperti eksploitasi berlebihan terhadap mangrove dan terumbu karang yang akan
menghilangkan fungsinya sebagai perlindungan alami terhadap badai dan gelombang,
tangkap lebih (over fishing) terhadap sumberdaya ikan yang akan mengakibatkan
musnahnya berbagai jenis ikan ekonomis penting, serta pencemaran perairan pesisir yang
Gambar I-1. Cagar Alam Teluk Bintuni
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Pendahuluan I - 2
BKSDA Papua II Sorong
akan mengurangi produksi ikan dengan merusak tempat pemijahan dan habitat yang bernilai
lainnya (Cicin-Sain dan Knecht, 1998).
Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pesisir adalah menjadi penyambung darat dan
laut, serta peredam gejala-gejala alam yang ditimbulkan oleh perairan, seperti abrasi,
gelombang, badai dan juga merupakan panyangga bagi kehidupan biota lainnya yang
merupakan sumber penghidupan masyarakat sekitamya. Selain itu fungsi ekologis hutan
mangrove yang penting adalah sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari
makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan
(ikan, udang dan kerang-kerangan) baik yang hidup di perairan pantai maupun Iepas pantai.
Menurut Kusmana (2002) pada tingkat ekosistem sebagai wetland secara keseluruhan hutan
mangrove mempunyai peranan/fungsi sebagai (1) pembangunan lahan dan pengendapan
lumpur, (2) habitat fauna terutama fauna laut, (3) lahan pertanian dan kolam garam, (4)
melindungi ekosistem pantai secara global, (5) keindahan bentang darat dan (6) pendidikan
dan pelatihan.
Hutan mangrove berkaitan erat dengan tingkat produksi perikanan. Hal ini dapat dilihat
bahwa daerah-daerah perikanan potensial di Indonesia seperti di perairan sebelah timur
Sumatera, pantai selatan dan timur Kalimantan, pantai Cilacap dan pantai selatan Irian Jaya
semuanya masih berbatasan dengan hutan mangrove yang cukup luas dan bahkan masih
perawan. Pada sisi lain diketahui bahwa menurunnya produksi perikanan di Bagan Siapi-api
yang sebelum perang Dunia II merupakan wilayah penghasil utama ikan di Indonesia
bahkan di dunia, salah satunya disebabkan oleh rusaknya mangrove di daerah sekitarnya
(Noor et al. 1999).
Besarnya peranan hutan mangrove atau ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat
diketahui dari banyak jenis hewan, baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di
Gambar I-2. Hutan Mangrove di Cagar Alam Teluk Bintuni
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Pendahuluan I - 3
BKSDA Papua II Sorong
sekitar pohon mangrove. Fungsi lain yang penting adalah sebagai penghasil bahan organik
yang merupakan mata rantai utama dalam jaringan makanan ekosistem hutan mangrove.
Daun mangrove yang gugur melalui proses penguraian oleh mikroorganisme diuraikan
menjadi partikel partikel detritus. Detritus kemudian menjadi bahan makanan bagi hewan
pemakan detritus, seperti cacing, mysidceae (udang-udang kecil/rebon). Selanjutnya hewan
pemakan detritus menjadi makanan larva ikan, udang dan hewan lainnya. Pada tingkat
berikutnya hewan-hewan tersebut menjadi makanan bagi hewan yang lebih besar dan begitu
seterusnya untuk menghasilkan ikan, udang dan berbagai jenis bahan makanan lainnya yang
berguna bagi kepentingan manusia (Sugiarto dan Willy 1995 dalam Suhaeb, 1999).
Ekosistem mangrove menyediakan makanan, tempat berlindung dan berkembang biak bagi
satwa liar, bahkan beberapa diantaranya termasuk kedalam jenis yang endemik atau
keberadaannya telah langka seperti harimau sumatra (Pantera tigris sumatranensis),
bekantan (Nasalis larvatus), serta beberapa jenis berang-berang (otters) (Noor 1995).
Produk yang paling memiliki nilai ekonomis tinggi dari ekosistem mangrove adalah
perikanan. Banyak jenis ikan yang bernilai ekonomi tinggi menghabiskan sebagian siklus
hidupnya pada habitat mangrove (Sasekumar et. al., 1992).
Masyarakat di sekitar kawasan hutan mangrove juga mempunyai ketergantungan sangat
besar terhadap ekosistem mangrove tersebut, karena mereka dapat berperan sebagai
perusak ataupun penjaga hutan mangrove. Untuk itu diperlukan upaya-upaya yang dapat
memperbaiki dan meningkatkan partisipasi masyarakat dan pengelolaan yang baik agar
fungsi ganda dari hutan mangrove dapat berjalan dengan baik dan dapat dimanfaatkan
secara optimal.
Indonesia mempunyai areal hutan mangrove yang sangat besar, mencapai 4.152.000 Ha,
tetapi menurut Spalding (1997) dalam Noor dkk (1999) luas ini sudah mengalami penyusutan
sampai 40% terutama pada periode 1990-1999. Menipisnya areal mangrove di kawasan
pesisir ditunjukkan oleh luasan mangrove yang mengalami kerusakan. Berdasarkan data
yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan
pada Tahun 1997 dari total hutan mangrove 8,7
juta Ha sebesar 5,9 juta Ha telah mengalami
kerusakan dan hanya 2,8 juta Ha yang
kondisinya masih baik. Hal ini terjadi antara lain
diakibatkan oleh: kegiatan konversi mangrove
menjadi peruntukkan lain, terutama disebabkan
oleh tekanan penduduk untuk pemukiman,
lahan tambak, lahan pertanian, tempat
pendaratan kapal, serta bangunan lainnya. Dari Gambar I-3. Abrasi di Hutan Mangrove Cagar
Alam Teluk Bintuni
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Pendahuluan I - 4
BKSDA Papua II Sorong
isu pokok lingkungan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hutan mangrove
sebagai ekosistem di kawasan pesisir telah mengalami kerusakan, penurunan luasan dan
mutu habitat sebesar 68 %.
Sejalan dengan semakin menipisnya mangrove. laju abrasi-erosi di kawasan pesisir
menunjukkan kecenderungan yang semakin tinggi. Terjadinya proses abrasi-erosi ini
diindikasikan oleh kenyataan yang menunjukkan garis pantai di beberapa tempat seperti di
daerah Kalimantan Barat dan Kabupaten Rembang hampir menyentuh badan jalan, merusak
areal kebun kelapa penduduk dan lahan pertanian lainnya. Kerusakan pesisir diperkirakan
mempunyai besaran dampak lebih dari 80 %. dimana abrasi sudah berjarak sekitar 3-5 m
dari posisi jarak lima tahun yang lalu (sekitar 30- 40 m).
Pulau Irian/Papua merupakan pulau dengan keanekaragaman hayati yang cukup besar.
Pulau ini memiliki 5-7% kekayaan hayati (biodiversity) dunia. Ini bisa dipahami karena secara
geografis pulau Irian mempunyai variasi yang luas, mulai dari gunung yang diselimuti es,
vegetasi pegunungan, dataran rendah sampai hutan rawa. Di Irian juga bisa dijumpai 14
ecoregion daratan dan 5 ecoregion air. Dari 19 ecoregion ini maka di dalam 8 ecoregion yang
tercatat dalam WWF Global dapat dijumpai keberadaan 200 habitat.
Di dalam kawasan Teluk Bintuni yang merupakan ecoregion #129 terdapat kawasan
mangrove yang cukup luas bahkan merupakan kawasan mangrove terbesar di dunia.
Analisis citra satelit TNC (2003) menunjukkan bahwa di Teluk Bintuni masih ada hutan
mangrove seluas 435.168 Ha dan merupakan luasan mangrove terbesar yang berada pada
satu kawasan di Indonesia. Penelitian Ruitenbeek (1992) menunjukkan bahwa hutan
mangrove di Teluk Bintuni mendukung keberadaan sejumlah industri dan secara ekonomi
cukup besar. Dari sektor perikanan dihasilkan US$ 35 juta per tahun, kayu chips US $ 1,5
juta dan perikanan artisanal US $ 10 juta per tahun.
Cagar Alam di Teluk Bintuni diusulkan untuk pertama sekali oleh WWF pada permulaan
tahun 1980, dengan total luas 450.000 Ha (Petocz, 1983). Usulan ini kemudian
ditindaklanjuti dengan penetapan oleh Departemen Pertanian RI dengan SK Mentan No.
182/Kpts/UM/II/1982 dengan luasan Cagar Alam 300.000 Ha. Pada tahun 1991 PHKA/AWB
merevisi luasan dengan mengusulkan luas Cagar Alam ini menjadi 260.000 Ha (Zuwendra,
dkk, 1991). Pelaksanaan tata batas kawasan pada tahun 2000 oleh Biphut Manokwari
menetapkan luasan akhir dari kawasan adalah 124.850 Ha yang diperkuat dengan SK
Menhut No. 891/Kpts-II/1999. Pada saat yang bersamaan, perkembangan ekonomi di Teluk
Bintuni bergerak maju. Industri udang, woodchips dan LNG serta penetapan kabupaten baru
mengharuskan dibangunnya banyak infrastruktur dan baik langsung maupun tidak langsung
akan menyebabkan dampak pada kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Sampai saat ini rencana pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni belum tersusun. Kawasan
saat ini dikepalai oleh Kepala Ressort dan hanya memiliki jagawana dengan fasilitas
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Pendahuluan I - 5
BKSDA Papua II Sorong
pendukung terbatas untuk melakukan pengawasan. Ketidaktersediaan rencana pengelolaan
menyebabkan aktivitas pengelolaan di Cagar Alam menjadi tidak terencana bahkan hampir
tidak ada. Perkembangan menjadi kabupaten baru menyebabkan pemerintah kabupaten
membutuhkan adanya pengelolaan sumberdaya alam yang baik. USAID dan CRMP/Mitra
Pesisir telah menyusun rencana pengelolaan untuk kawasan pesisir Teluk Bintuni, dimana
dokumen ini juga digunakan sebagai acuan bagi penyusunan rencana pengelolaan kawasan
konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni. Disamping itu, dalam strategi pembangunan Teluk
Bintuni, pelibatan dukungan di luar pemerintahan menjadi perhatian penting bagi
pembangunan Teluk Bintuni. UNDP dan BP sudah terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya
alam dan pembangunan kapasitas kelembagaan di Pemerintahan.
Khusus di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni pernah dilakukan beberapa survey dan
penelitian khususnya pada kawasan ekosistem mangrove dan dapat digunakan sebagai
informasi ekologis daerah Cagar Alam. Survei ini menunjukkan bahwa mangrove di Cagar
Alam Teluk Bintuni tergolong kepada sistem yang relatif tidak kompleks – hanya terdapat 20
spesies tanaman mangrove, dibandingkan dengan hutan dataran rendah di sekitarnya yang
mengandung 1200 spesies tanaman. Tetapi, ekosistem mangrove Cagar Alam Teluk Bintuni
mempunyai peran ekonomi yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi kawasan Teluk
Bintuni. Ketergantungan masyarakat sekitar terhadap sumberdaya perikanan dari kawasan,
pengambilan kayu bakar dan bahan bangunan rumah, adanya sedimentasi akibat
pengelolaan kawasan hulu yang kurang baik menjadi ancaman bagi keberadaan Cagar Alam
Teluk Bintuni. Keberadaan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni yang ada masih relatif
belum efektif dan efisien. Diharapkan adanya rencana pengelolaan Cagar Alam Teluk
Bintuni yang baik akan memudahkan pengawasan bersama antara BKSDA Papua II dengan
pemerintah daerah Kabupaten Teluk Bintuni.
B Maksud dan Tujuan
Tujuan pengelolan Cagar Alam Teluk Bintuni adalah untuk melestarikan habitat hutan
mangrove, hutan nipah dan pesisir di dalam kawasan untuk :
1. Menjamin perlindungan bagi kehidupan biota pesisir dan perairan, serta melindungi satwa
langka,
2. Menjamin keberlanjutan sumberdaya alam bagi penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
pemanfaatan terbatas oleh masyarakat setempat dan pengembangan pariwisata alam.
3. Menyusun suatu struktur pengelolaan bersama yang lebih mandiri dan kapasitas
memadai.
4. Menerapkan zona pemanfaatan tradisional dengan memberikan hak penangkapan
sumberdaya perikanan di dalam kawasan khusus bagi penduduk kawasan.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Pendahuluan I - 6
BKSDA Papua II Sorong
C Sasaran
Sararan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni adalah tercapainya pelestarian dan
perlindungan keanekaragaman hayati di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni melalui
pola pengelolaan komprehensif yang efisien tetapi berdayaguna (efektif), sehingga mampu
menjamin keberadaan biota langka dan endemik, serta menjamin berlangsungnya
pemanfaatan potensi secara berlanjut (sustainable use) guna mendorong pembangunan
ekonomi daerah.
Secara umum sasaran pengelolaan meliputi aspek (i) perlindungan, (ii) konservasi, (iii)
pendidikan, (iv) pemanfaatan sumberdaya yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan
serta (v) peningkatan sistem pengelolaan.
C1. Perlindungan
¶ Pengukuhan hukum atas Batas kawasan baik di darat/Sungai dan laut.
¶ Penerapan suatu sistem zonasi di lapangan Cagar Alam Teluk Bintuni, yang
melindungi semua daerah yang memiliki nilai biologi tinggi.
¶ Penerapan sistem pengawasan yang efektif oleh staf jagawana Cagar Alam Teluk
Bintuni untuk menegakkan peraturan.
¶ Peraturan Cagar Alam Teluk Bintuni yang jelas, dapat diterapkan, dan menjamin
perlindungan sumberdaya alam dan menghormati pemanfaatan tradisional.
¶ Perlindungan dan menjaga fungsi tempat pemijahan ikan dan biota perairan.
¶ Perlindungan dan pelestarian fauna dan flora kawasan pada habitat alamnya.
¶ Kegiatan pemanenan terbatas yang tidak mengancam populasi jenis manapun di
dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
C2. Konservasi
¶ Flora dan fauna kawasan dilestarikan pada ekosistem alamnya.
¶ Melakukan intervensi pengelolaan yang efektif bila terdapat spesies atau ekosistem
yang terancam.
¶ Pemeliharaan sebaik-baiknya rute-rute migrasi satwa di dalam kawasan.
¶ Pengembangan dan penerapan secara efektif sistem pemantauan dan evaluasi.
¶ Rehabilitasi atau pemulihan daerah yang mengalami degradasi lingkungan.
C3. Pendidikan
¶ Mengembangkan fasilitas dan infrastruktur untuk pendidikan dan penelitian tentang
konservasi sumberdaya alam di Cagar Alam Teluk Bintuni.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Pendahuluan I - 7
BKSDA Papua II Sorong
¶ Peningkatan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat sekitar kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni terhadap kelestarian kawasan.
¶ Peningkatan tingkat ketrampilan masyarakat setempat untuk memberikan
perlindungan komunitas terhadap kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
C4. Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan dan Berburu
¶ Pemanfaatan sumberdaya perikanan dan satwa buru oleh masyarakat secara
tradisional.
¶ Perlindungan tempat pemijahan ikan terutama yang ada di dalam kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni.
¶ Mengembangkan kearifan tradisional yang mendukung pemanfaatan
berkelanjutan sumberdaya perikanan dan satwa buru
Penelitian
¶ Penyusunan kesepakatan tentang hak kepemilikan intelektual khususnya bagi
kearifan tradisional.
¶ Pelaksanaan suatu rencana pemantauan dan inventarisasi biologi untuk habitat
di Cagar Alam Teluk Bintuni, terutama bagi habitat yang rentan dan spesies yang
terancam punah.
¶ Penyusunan suatu rencana penelitian menyeluruh dan dilaksanakan
bekerjasama dengan mitra mitra ilmiah terutama untuk menangani isu-isu penting
bagi kawasan.
C5. Peningkatan Sistem Pengelolaan
¶ Pengembangan dan penerapan sistem pengelolaan yang berkelanjutan untuk Cagar
Alam Teluk Bintuni.
¶ Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia khususnya yang terlibat langsung
dalam pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni.
¶ Peningkatan sarana dan prasarana Cagar Alam.
¶ Peningkatan partisipasi stakeholder lokal secara positif untuk mendukung
pengelolaan kawasan.
¶ Pelatihan dalam meningkatkan ketrampilan petugas khususnya jagawana (ranger)
Cagar Alam Teluk Bintuni agar mampu mengawasi dan megelola Cagar Alam Teluk
Bintuni secara lebih mandiri.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Pendahuluan I - 8
BKSDA Papua II Sorong
D. Ruang Lingkup
Rencana pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni terdiri dari Rencana Pengelolaan jangka
Panjang (25 Tahun) dan Rencana Jangka Pendek (5 Tahun Pertama). Rencana tersebut
meliputi bahasan kebijakan, analisis masalah, rincian kegiatan dan pentahapan kegiatan baik
untuk pembanggunan sarana prasarana, pengelolaan potensi kawasan, perlindungan dan
pengamanan hutan, koordinasi, penelitian dan pendidikan.
E. Visi dan Misi Cagar Alam Teluk Bintuni
Konsep pengelolaan kawasan perlu mempunyai tujuan ideal. Untuk itu diperlukan adanya
visi dan misi, dimana konsep ini akan diperjuangkan oleh pengelola. Pusat kepedulian atau
visi pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni sampai Tahun 2030 adalah: TERWUJUDNYA
PENGELOLAAN KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI SESUAI FUNGSINYA SECARA LESTARI, BERKELANJUTAN DAN BERDAYA GUNA. Visi atau pusat kepedulian
tersebut hanya akan terwujud apabila semua stakeholder membangun komitmen bersama
yang tercermin dalam kepedulian untuk bertindak melestarikan kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni serta terbentuknya kesadaran publik secara luas di seluruh wilayah Kabupaten Teluk
Bintuni.
Misi merupakan gambaran deklaratif tentang tujuan yang ingin dicapai oleh suatu lembaga,
organisasi atau kegiatan. Berdasarkan beberapa isu pengelolaan seperti yang dijabarkan
pada Bab selanjutnya, maka misi yang diemban dalam pengelolaan Cagar Alam Teluk
Bintuni untuk periode 25 tahun mendatang adalah:
1. Meningkatkan database dan sistem informasi yang memadai.
2. Meningkatkan upaya penegakan hukum terhadap kegiatan-kegiatan yang dapat
menurunkan kualitas kawasan.
3. Meningkatkan kesadaran masyarakat di dalam dan sekitar Kawasan tentang
pentingnya keberadaan Kawasan sebagai system penyanggah kehidupan.
4. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat di di dalam dan sekitar Kawasan
melalui kegiatan pemberdayaan.
5. Menciptakan keutuhan dan kualitas Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni .
6. Meningkatkan kinerja dan kemampuan pengelola Kawasan.
Misi inilah yang akan dijabarkan lebih lanjut menjadi program dan rencana aksi dalam
dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Pendahuluan I - 9
BKSDA Papua II Sorong
F. Metode Pendekatan
Mengingat bahwa sasaran dari kajian ini adalah tersusunnya rencana pengelolaan kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitarnya (tahun 2005-2024) melalui pendekatan ekosistem
dan berbasis masyarakat, serta tersedianya rencana kegiatan selama 5 tahun.
Rencana kegiatan pengelolaan kawasan konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni mempunyai
banyak komponen kegiatan yang didasarkan kepada potensi kawasan dan juga
permasalahan kawasan, maka diperlukan prinsip pendekatan yang terpadu dalam menyusun
Rencana Pengelolaan (Management Plan) Cagar Alam Teluk Bintuni. Hal ini dimaksudkan
agar rencana pengelolaan (management plan) bisa digunakan sebagai acuan bagi Balai
Konservasi Sumber Daya Alam wilayah Papua II-Sorong dan Departemen Kehutanan cq
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Kelestarian Alam serta Pemerintah Daerah
Kabupaten Teluk Bintuni untuk mengelola kawasan konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni.
Kerangka pendekatan yang akan digunakan dalam penyusunan Rencana Pengelolaan
disajikan dalam Gambar 1-4.
Untuk melihat fungsi dan peran dari setiap pemangku kepentingan (stakeholder) maka
dilakukan analisis stakeholder, khusus yang mempunyai peran terhadap kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni (CATB). Tujuannya adalah agar data dan informasi yang diperoleh
mengenai kondisi, aktivitas, persepsi dan aspirasi tentang CATB meliputi semua pihak yang
berkepentingan (Tabel I-1).
Tabel I-1. Stakeholder di sekitar Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB)
No Stakeholder
1 Departemen Kehutanan BKSDA Papua II Resort Bintuni
2 Bappeda Teluk Bintuni
3 Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Teluk Bintuni
4 Dinas Perikanan dan Kelautan Teluk Bintuni
5 Syahbandar Teluk Bintuni
6 Dinas Pertanian dan Perkebunan Teluk Bintuni
7 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
a. Mitra Pesisir
b. Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Bintuni
c. Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Lemason
d. Yayasan Forum Dialog Pembangunan Masyarakat Teluk Bintuni (YFDPMTB)
e. Ikatan Pemuda Teluk Bintuni (IPTB)
8 Masyarakat
A. Masyarakat di dalam Kawasan
* Distrik Idoor
1. Kampung Mamuranu/Anak Kasih
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Pendahuluan I - 10
BKSDA Papua II Sorong
No Stakeholder
2. Kampung Tirasai
B. Bersinggungan dengan Kawasan
* Distrik Bintuni
1. Kampung Pasamai
2. Kampung Bumi Waraitama (SP 1)
3. Kampung Banjar Ausoy (SP 4)
4. Kampung Tuasai
5. Kampung Argo Sigemerai (SP 5)
6. Kampung Korano Jaya (SP 2)
C. Di luar Kawasan
* Distrik Bintuni
1. Kelurahan Bintuni Timur
2. Kelurahan Bintuni Barat
* Distrik Idoor
1. Kampung Yakati
2. Kampung Yensei
* Distrik Kuri
1. Kampung Naramasa
Stakeholders yang dilihat peran dan fungsinya antara lain : Departemen Kehutanan-BKSDA
Papua II Sorong, Sub BKSDA Resort Bintuni, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kab.
Teluk Bintuni, Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Teluk Bintuni, Dinas Pertanian dan
Perkebunan Kab. Teluk Bintuni, LSM (al, Mitra Pesisir, Lembaga Masyarakat Adat-LMA
Bintuni, LMA Lemason, Yayasan Forum Dialog Pembangunan Masyarakat Teluk Bintuni,
Ikatan Pemuda Teluk Bintuni) dan masyarakat dari desa-desa yang berbatasan atau berada
dalam kawasan CATB. Wawancara pada lembaga pemerintahan dan LSM dilakukan secara
purposive dimana untuk pemerintah dilakukan 2 orang, LSM 1 orang sedangkan untuk
kelompok masyarakat 5 orang (Ketua Kampung, tokoh agama, tokoh adat dan 2 orang
anggota masyarakat). Total seluruh responden yaitu 87 orang, dimana untuk Masyarakat di
sekitar kawasan CATB jumlah responden totalnya 70 orang.
Metode Rapid Socio-economic Assessment - RSA diterapkan untuk mendapatkan gambaran
tentang persepsi dan kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat desa sekitar kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni. RSA merupakan pendekatan dengan indepth interview dan diskusi grup
terfokus (FGD) dimana peneliti hanya akan berperan menjadi fasilitator diskusi.
Metode FGD dilakukan untuk mendapatkan informasi yang banyak dalam waktu yang relatif
singkat. Sedangkan Indepth Interview dilakukan untuk menggali data berdasarkan kasus-
kasus tertentu yang tidak bisa diungkapkan pada saat diskusi berlangsung seperti
pengalaman, perasaan dan motif yang berada dalam individu maupun kelompok.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Pendahuluan I - 11
BKSDA Papua II Sorong
Wawancara dilakukan dengan bantuan ”Kuesioner” agar pertanyaan lebih terfokus dan
menghindari kemungkinan melupakan hal-hal yang harus ditanyakan.
Data yang digunakan adalah data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai instansi terkait
dan LSM – LSM yang aktif dalam pengembangan Teluk Bintuni; dan data primer yang
dikumpulkan selama proses penyusunan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Data yang dikumpulkan dianalisis secara kualitatif untuk menggambarkan hubungan antara
data yang satu dengan data lainnya. Selain itu untuk memperoleh rencana pengelolaan
untuk Cagar Alam Teluk Bintuni dilakukan Analisis SWOT (Strenghts, Weaknesses,
Opportunities, Threats).
Aspek biologi kawasan dikaji berdasarkan survey lapangan (field survey) dan telaah silang
dengan publikasi dan laporan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni dan sekitarnya serta berbagai informasi yang diperoleh melalui penelusuran
pustaka, dan wawancara dengan berbagai stakeholder. Pengamatan yang dilakukan pada
hutan dataran rendah dilakukan dengan metode penjelajahan pada beberapa tempat untuk
melihata struktur dan komposisi jenis flora. Sedangkan untuk melihat struktur dan komposisi
jenis serta potensi flora mangrove, dilakukan dengan metode garis berpetak (line-plot
sampling method) serta metode penjelajahan (explorasi) pada beberapa lokasi yang
ditetapkan berdasarkan tipe ekosistem (Soerianegara, 1998). Pada setiap petak pengamatan
di lakukan pencatatan jenis, jumlah , tinggi, dan diameter (untuk tingkat vegetasi tiang dan
pohon). Selain itu, pada lokasi tempat pengamatan flora mangrove, juga dilakukan
pengamatan keberadaan jenis-jenis satwa dengan metode penglihatan langsung (direct
seen), melihat jejak kaki (footprint/trail), dan suara (noisy). Selain pengamatan langsung,
informasi keberadaan satwa di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni juga diperoleh
berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat lokal yang bermukim di kampong-
kampung di dalam dan di sekitar kawasan yang berhasil dikunjungi.
Re
ncan
a Pe
ngelo
laan
Cag
ar A
lam
Telu
k Bi
ntun
i
Pend
ahul
uan
I - 1
2
BK
SDA
Pap
ua II
Sor
ong
Tujuan
-D
afta
r Sta
kehold
er
/Res
ponder
-Met
ode
Surv
ey
(Inte
rvie
w,
Ques
tionnaire)
IBSAP dan Kebijakan Konservasi SDA Hayati
Asp
ek-a
spek
Pe
ngel
ola
an
Bio
div
ersi
ty/
Surv
ey
Item
Cat
egory
Isu-
isu
Kon
serv
asi
Bio
dive
rsity
pe
r A
spec
t dar
i IB
SAP
List
Isu
Inte
rvie
w R
ecor
Que
stio
nnai
reK
esan
/har
apan
St
akeh
olde
r te
rhad
ap C
agar
A
lam
Tel
uk
Bin
tuni
Prog
ram
-pro
gram
K
abup
aten
I. P
ER
SIA
PAN
II
. PE
NG
UM
PUL
AN
DA
TA
Sorti
ng
V.
AN
AL
ISIS
SWO
T A
naly
sis
Ren
cana
Str
ateg
i
Pengel
ola
an
Cag
ar A
lam
Tel
uk
Bin
tuni
Prog
ram
-pro
gram
BK
SDA
–R
eTe
luk
Bin
tuni
Rencana dan Strategi Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
PRO
SES S
ELE
KSI
REN
CAN
A K
EG
IATAN
TERPI
LIH
DAN
PE
NTAH
APA
N
KEG
IATAN
¶
Des
ain d
an P
rogra
m
¶M
anfa
at L
ingku
ngan
¶
Ren
cana
Pengem
ban
gan
Pr
ogra
m¶
Usu
lan S
kenar
io
dan
Str
ateg
i Pe
ngel
ola
an C
agar
Ala
m¶
Usu
lan
Kel
embag
aan
Penduku
ng
¶U
sula
n P
enta
hap
an
Keg
iata
n
Pengel
ola
an J
angka
Pa
nja
ng d
an
Pendek
III.
PEN
GO
LA
HA
N D
AT
A
IV.
RE
VIE
W P
RO
GR
AM
Rev
iew
Pro
gram
-pro
gram
Pe
nnge
lola
an C
agar
Ala
m
Telu
k B
intu
ni
Daf
tar
Prio
rita
s Is
u
Rev
iew
Pro
gram
-pro
gram
Pe
ngel
olaa
n Pe
sisi
r K
abup
aten
Tel
uk B
intu
ni
PER
TE
MU
AN
& K
ON
SUL
TA
SI
¶BKSD
A P
apua
II -
Soro
ng
¶Bap
ped
a Pr
opin
si
¶Bupat
i Kab
upate
n T
eluk
Bin
tuni
¶D
inas
Keh
uta
nan
Kab
. Tel
uk
Bin
tuni
¶D
inas
Per
ikanan K
abupate
n
¶U
niv
ersi
tas
Papua
¶In
stan
si T
erka
it K
abupate
n
¶M
asya
raka
t Adat
Tel
uk
Bin
tuni
¶Id
entifika
si
Mas
ala
h &
Ken
dala
¶In
venta
risa
si &
Iden
tifika
si
Atlas Sumberdaya Teluk Bintuni
Rev
iew
Pro
gram
-pro
gram
K
onse
rvas
i Bio
dive
rsity
R
evie
w K
onse
p Pe
ngel
olaa
n R
evie
w K
ebija
kan
Pem
da
Rev
iew
Keb
ijaka
n Pe
ndid
ikan
da
n Pe
nelit
ian
di C
agar
Ala
m
LOKA
KARY
A K
ABU
PATE
N
Gam
bar
1-4
.Ke
rang
ka U
mum
Pen
yusu
nan
Ren
cana
Pen
gelo
laan
Cag
ar A
lam
Tel
uk B
intu
ni (
Gen
eral
Fra
mew
ork)
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Pendahuluan I - 13
BKSDA Papua II Sorong
Beberapa hal yang diperhatikan dalam Penyusunan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk
Bintuni adalah sebagai berikut :
a. Untuk mencapai pemanfaatan kawasan konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni yang
lestari dan terpadu perlu diperhatikan kerentanan ekosistem kawasan konservasi,
kapasitas sumberdaya alam dan ketergantungan masyarakat di sekitar Cagar Alam
Teluk Bintuni.
b. Dalam pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan lainnya khususnya dalam
perencanaan pengelolaan kawasan konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni perlu
melibatkan unsur sektor perikanan dan kelautan, mitra pesisir serta masyarakat adat;
c. Dalam rangka menetapkan pemanfaatan sumberdaya di dalam kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni maka pengaturan akses ke sumberdaya tersebut harus memperhatikan
“hak penduduk sekitar kawasan konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni dan praktek turun-
temurun yang menggambarkan kearifan tradisional” dalam pengelolaan sumberdaya
alam sepanjang pola atau kegiatan tersebut sesuai dengan pembangunan yang
berkelanjutan
d. Pelibatan masyarakat sejak awal perencanaan dimaksudkan untuk menghindari konflik
diantara kelompok pemanfaat kawasan konservasi terutama dengan kelompok
pemanfaat dari lingkungan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni ;
e. Untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dari sektor terkait ke kawasan
konservasi dan di antara kelompok pemanfaat kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni perlu
ditetapkan prosedur dan mekanisme pada tingkat administratif yang tepat;
f. Perlu ditingkatkan kesadaran publik akan perlunya perlindungan dan pengelolaan Cagar
Alam Teluk Bintuni untuk Penyusunan Rencana Pendayagunaan Kawasan Teluk dan
keikutsertaan mereka yang terkena pengaruh dalam proses pengelolaan;
g. Untuk membantu pengambilan keputusan mengenai Cagar Alam Teluk Bintuni perlu
dilakukan pengkajian dengan mempertimbangkan faktor ekologi, ekonomi, sosial dan
budaya;
h. Untuk perencanaan Penyusunan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni perlu
diperhatikan beberapak aspek utama yang menjadi acuan, yaitu:
¶ Adanya keterkaitan ekologis baik antar ekosistem mangrove dan perairan di dalam
kawasan konservasi dengan areal budidaya penduduk;
¶ Dalam suatu kawasan konservasi, untuk Penyusunan Rencana Pengelolaan
biasanya terdapat lebih dari satu kelompok sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan;
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Pendahuluan I - 14
BKSDA Papua II Sorong
¶ Baik secara ekologis dan ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan konservasi secara
monokultur adalah sangat rentan terhadap perubahan internal maupun eksternal
yang menjurus pada kegagalan usaha;
¶ Kawasan konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni pada umumnya merupakan
sumberdaya terbuka (open acces resources), walau secara khusus di Papua ada
batasan aturan hak adat, tetapi akses cukup terbuka untuk dapat dimanfaatkan oleh
semua orang.
i. Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan menjadi acuan dalam penyusunan Rencana
Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Faktor dimensi ekologis, sosial
ekonomi, sosial budaya, hukum dan kelembagaan menjadi faktor yang sangat berperan
dalam penyusunan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni (Gambar 1-5).
Kriteria indikator pembangunan berkelanjutan
Ekologi :
a. Kelestarian ekosistem dan fungsinya (hutan mangrove)
b. Kelestarian beranekaragamnya spesies dilindungi dan endemik
c. Daya dukung lingkungan terhadap kegiatan pemanfaatan
d. Terpeliharanya kualitas air (sedimentasi tidak terlalu besar)
Gambar I-5. Hierarki Penentuan Prioritas Kegiatan Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Tahap I Tujuan/Fokus
Penentuan Prioritas Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Sosial Budaya
Tahap 2 Komponen
Pembangunan Berkelanjutan
Ekonomi Ekologi Regional
Penataan
a b c d e f g h i lk mj n po
Pemeliharaan Pemanfaatan Pengawasan Pengendalian
Tahap III Indikator
Pembangunan Berkelanjutan
Tahap IV Strategi
PengelolaanCagar Alam
Penelitian - Pengembangan
Pemulihan
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Pendahuluan I - 15
BKSDA Papua II Sorong
Ekonomi:
e. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
f. Dampak terhadap perekonomian secara makro
g. Peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya pengguna kawasan mangrove
h. Keberlanjutan usaha dan akuntabilitas
Sosial Budaya:
i. Terpeliharanya kearifan dan budaya lokal
j. Keamanan dan ketentraman masyarakat
k. Kesehatan masyarakat
l. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan
Regional:
m. Aksesibilitas kawasan
n. Posisi kawasan dari sudut pandang sistem Tata Ruang Propinsi dan Kabupaten
o. Posisi kawasan berdasarkan kondisi geografis
p. Status kepemilikan lahan
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 1
BKSDA Papua II Sorong
II. KEADAAN UMUM KAWASAN
A. Risalah Kawasan
A.1 Informasi Umum Kawasan
A.1.1 Sejarah Penetapan Kawasan
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) The Bintuni Bay Nature Reserve pertama kali
diusulkan oleh WWF pada tahun 1980-an. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan
diusulkan areal ini sebagai kawasan konservasi adalah:
1. Luasan mangrove yang ada merupakan rumpun mangrove yang paling baik di Papua
(Irian Jaya saat itu);
2. Kawasan ini merupakan areal penting untuk menyangga kegiatan perikanan komersil
dan industri udang yang ada;
3. Kawasan ini merupakan habitat penting dan pusat populasi paling padat bagi
berkembang biaknya jenis buaya muara (Crocoylus porosus), Di kawasan in hidup kurang
lebih 160 jenis jenis burung, lebih dari 17 marsupial, dan kurang lebih 39 jenis mamalia
(Petocz, 1987).
Dari segi luasan, kawasan ini mengalami beberapa kali perubahan luasan. Luasan yang
diusulkan WWF pada tahun 1980-an adalah mencakup areal seluas kurang lebih 450.000
hektar (Petocz, 1983) (Gambar II-1.).
Kemudian pada awal tahun 1982,
Departemen Pertanian Republik
Indonesia mengusulkan areal
seluas kurang lebih 357.300 ha
termasuk kelompok hutan
mangrove Sungai Aramasa,
Sungai Weperar, Sungai Wagura,
and Sungai Kaitero untuk
ditetapkan sebagai Kawasan
Cagar Alam. Pada tanggal 10
Nopember 1982, Cagar Alam
Teluk Bintuni secara definitif ditunjuk sebagai daerah Cagar Alam melalui Surat Keputusan
Menteri Pertanian No. 182/Kpts/UM/11/1982, yang meliputi areal seluas 300.000 ha.
Luasan tersebut ternyata lebih kecil daripada luasan yang diusulkan sebelumnya (357.300
ha). Hal ini karena areal seluas 57.300 ha telah dialih fungsikan menjadi hutan produksi
berdasarkan Forest Agreement No: FA/N/024/XII/1982, tertanggal 22 Desember 1982 antara
Gambar. II-1 Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang diusulkan WWF/IUCN/PHPA Tahun 1983
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 2
BKSDA Papua II Sorong
Menteri Pertanian Republik Indonesia dan PT Bintuni Utama Murni Wood Industries (PT
BUMWI), tentang realisasi surat permohonan PT BUMWI NO: 07/su-1/1980, tanggal 9 januari
1980 yang ditujukan kepada MENTAN untuk mendapatkan Hak Pengusahaan Hutan Di
Wilayah Propinsi Irian Jaya.
Pada tahun 1991, AWB/PHKA
melakukan suatu studi untuk
merevisi kembali luasan Cagar
Alam yang sudah ditetapkan
melalui Surat Keputusan Menteri
Pertanian No.
182/Kpts/UM/11/1982 dan usulan
WWF/IUCN/PHPA tahun 1983. Hal
ini karena terjadi tumpang tindih
peruntukan kawasan antara CATB
dengan areal Hak Pengusahaan
Hutan (HPH) di sekitar kawasan
teluk Bintuni seperti PT Henrison
Iriana, PT BUMWI, dan PT Yotefa
Sarana Timber.
Berdasarkan beberapa alternatif di
atas, AWB/PHKA mengusulkan areal seluas ± 260.000 ha sebagai kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni, termasuk daerah daerah perairan teluk seluas ± 60.000 ha dengan koordinat
133° 131 - 134° 02’ BT dan 20 02’ - 20 30’ LS.
Pada tahun 1997, kegiatan penataan batas pertama di Kawasan cagar alam dilakukan oleh
PT BASRICO CEMERLANG, yang merupakan batas persekutuan areal HPH PT Henrison
Iriana dengan panjang batas yang terrealisasi sepanjang 77.247.76 meter. Selanjutnya,
dilakukan tata batas tahap kedua yang dilaksanakan oleh Sub Balai Inventarisasi dan
Perpetaan Hutan (BIPHUT) Manokwari pada tahun 1999 yang merupakan batas luar dan
batas fungsi (melingkar/temu gelang) dengan panjang terealisasi 172.846,20 meter yang
kemudian ditunjuk dengan SK MENHUT NO: 891/KPTS-II/1999 tentang penunjukan
Kawasan Hutan Propinsi dan perairan Papua, maka luas Kawasan Cagar Teluk Bintuni
adalah 124,850 Ha (Gambar II-2).
A.1.2 Letak dan Luas
Berdasarkan pembagian administrative pemerintahan, kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
(CATB) berada di wilayah kerja Pemerintahan Daerah Kabupaten Teluk Bintuni, Propinsi Irian
Jaya Barat (IJB). Kabupaten Teluk Bintuni merupakan salah satu Kabupaten hasil
Gambar II-2. Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni Hasil Tata Batas Sub Biphut Manokwari Tahun 1999.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 3
BKSDA Papua II Sorong
pemekaran di propinsi Papua yang baru disahkan pada tahun 2002. Pada tingkat Distrik,
kawasan Cagar Alam ini berada di dalam wilayah administratif Distrik Bintuni, Distrik Idoor,
dan Distrik Kuri.
Berdasarkan pembagian wilayah pengelolaan Hutan dan Kawasan Konservasi Sumber Daya
Alam, Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) berada di wilayah kerja Resort KSDA Bintuni dan
Resort KSDA Babo, Seksi Konservasi Wilayah I Manokwari, Balai Konservasi Sumber Daya
Alam (BKSDA) Papua II yang berkedudukan di Sorong, Irian Jaya Barat.
Cagar Alam Teluk Bintuni terletak di bagian timur Kawasan perairan Teluk Bintuni. Secara
geografis terletak antara 02º.02'-02º.30' LS dan 133º.31' -134º.02' BT, dengan batas-batas
wilayah sebagai berikut:
¶ Bagian utara berbatasan dengan areal HPH PT Yotefa Sarana Timber
¶ Bagian selatan berbatasan dengan sungai Naramasa dan HPH PT BUMWI
¶ Bagian Barat berbatasan dengan Sungai Wasian, dan perairan Teluk Bintuni
¶ Bagian Timur berbatasan dengan wilayah Distrik Idoor dan HPH PT Henrison Iriana
Berdasarkan SK MENHUT NO: 891/KPTS-II/1999 tentang penunjukan Kawasan Hutan
Propinsi dan perairan Papua, luas Kawasan Cagar Teluk Bintuni adalah124.850 Ha, dimana
lebih 90% areal merupakan ekosistem hutan mangrove.
A.1.3 Aksesibilitas
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dapat diakses dari beberapa tempat. Untuk mencapai
kawasan CATB dari ibukota Propinsi Irian Jaya Barat (Manokwari) dan Sorong, dapat
ditempuh dengan menggunakan pesawat udara jenis Twin-Otter milik Maskapai penerbangan
Merpati Nusantara ke kota Bintuni (Ibukota Kabupaten Teluk Bintuni) selama kurang lebih 45
menit dan kendaraan roda empat (Toyota Hard-top) dari Manokwari dengan waktu tempuh
kurang lebih 10 – 12 jam. Selanjutnya dari kota Bintuni kawasan CATB dapat diakses
dengan dua cara, yaitu (1) menggunakan kendaraan roda empat dan roda dua ke batas utara
kawasan dengan waktu tempuh kurang lebih 10 - 15 menit; (2) menggunakan perahu motor
(longboat) menyusuri sungai Steenkol/Wasian ke batas barat kawasan dengan waktu tempuh
kurang lebih 30 - 45 menit. Dari hasil pengamatan di lapangan kawasan CATB juga dapat
diakses dari beberapa kampung berada di batas utara kawasan seperti disajikan pada Tabel
II-1.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 4
BKSDA Papua II Sorong
Tabel II-1. Distrik Dan Kampung yang Memiliki Akses Terdekat dengan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
No. Kampung Distrik Jarak ke CATB Sarana dan Jenis Transportasi
1 Kelurahan Bintuni Timur Bintuni ° 2 km Sungai dan Jalan Darat, Perahu
dayung/motor dan roda dua/empat
2 Kelurahan Bintuni Barat Bintuni ° 3 km Sungai dan Jalan Darat, Perahu dayung/motor dan roda dua/empat
3 Kampung Pasamai Bintuni ° 2 km Sungai dan Jalan Darat, Perahu
dayung/motor dan roda dua/empat
4 Waraitama/SP 1 Bintuni ° 2K m
Jalan Darat, roda dua/empat
5 Kampung Korano Jaya/SP 2 Bintuni
° 1 Km Sungai dan Jalan Darat, Perahu dayung/motor dan roda dua/empat
6 Kampung Banjar Ausoy/SP 4 Bintuni
° 1 km Sungai dan Jalan Darat, Perahu dayung/motor dan roda dua/empat
7 Kampung Tuasai Bintuni ° 1 km Jalan Darat, roda dua/empat jalan kaki
8 Kampung Argo Sigemerai/SP 5 Bintuni ° 2 km Jalan Darat, jalan kaki
9 KampungTirasai Bintuni DalamKawasan CATB -
10 Kampung Mamoranui Idor DalamKawasan CATB -
11 Kampung Anak Kasih Idor DalamKawasan CATB -
12 Kampung Yakati Idor ° 15 km Sungai, Perahu dayung/motor
13 Kampung Yensei Idor ° 10 km Sungai, Perahu dayung/motor
14 Kampung Naramasa Kuri ° 5 km Sungai, Perahu dayung/motor Sumber : Hasil Survei Tim TNC (2005)
A.2 Kondisi Fisik Kawasan
A.2.1 Iklim
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni termasuk daerah tropika dan berdasarkan klasifikasi iklim
Koppen termasuk dalam tipe iklim Afa, yaitu daerah tropika basah yang bersuhu tinggi.
Sedangkan berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson kawasan ini termasuk dalam tipe
iklim A, yaitu daerah sangat basah.
Curah hujan bulanan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni cukup bervariasi. Curah hujan
bulanan tertinggi terjadi pada bulan Pebruari dengan curah hujan maksimum dan rata-rata
masing-masing 38,61 inches (980,69 mm) dan 17,32 inches (439,93 mm). Sedangkan curah
hujan bulanan terendah terjadi pada bulan September dengan curah hujan maksimum dan
Kawasan CATB dan sekitarnya merupakan habitat penting bagi perkembangbiakan jenis-
jenis reptil dan amfibi. Hasil pengamatan langsung (direct seen) dan wawancara dengan
penduduk lokal, di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitarnya bisa dijumpai beberapa
jenis reptil dan amfibi seperti disajikan pada Tabel II-6
Jenis-jenis herpetofauna yang disajikan pada
Tabel II.6, lebih sedikit dibandingkan dengan
hasil survei yang dilakukan BP Pertamina (2002)
di ekosistem mangrove dan hutan dataran
rendah Saengga dan Tanah Merah yang hampir
sama dengan ekosistem yang ada di Cagar
Alam Teluk Bintuni, yaitu 27 spesies reptil dan 9
spesies amfibi. Hal ini memberi peluang
ditemukannya jenis-jenis herpetofauna lain
selain jenis-jenis yang disajikan pada Tabel II.6.
Terdapat tiga jenis, yaitu buaya muara
(Crocodylus porosus), buaya air tawar
Tabel II-6. Jenis herpetofuana yang dijumpai selama survei lapangan (Field Survey) di dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
Status Konservasi
No. Nama ilmiah NamaIndonesia
Lokasi
Ende
mik
Dili
ndun
gi
CIT
ES1
RD
B2
1 Crocodylus porosus Buaya muara S. Tirasai ã H I V
2 Crocodylus novaguinensis Buaya air tawar K. Yakati ã H I -
3 Hydrosaurus amboinensis Soa-soa S. Sumberi ã - - -
4 Varanus sp. Biawak K.Mamuranu, K.Tirasai ã H II -
5 Varanu sindicus Biawak bakau H. Mangrove K. Mamuranu ã C - -
6 Enhydris sp. Ular bakau Mangrove dekat K.Mamuranu - - - -
7 Hydropis sp. Ular sanca Hutan Dataran rendah Tirasai - - - -
8 Boiga irregulatus Ular coklat pohon
Hutan Dataran rendah Anak Kasih - - - -
9 Litoria infrafenata Katak pohon hijau
Hutan Dataran rendah Anak Kasih, Tirasai, dan Mamuranu
- - - -
Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005. Keterangan:
H = Keputusan Menteri Pertanian No. 716/KPTS/Um/l0/1980 C = Keputusan Menteri Pertanlan No. 327KPTS/Um/5/1978 V = Vulnerable (rentan) 1 Convention on International Trade in Endangered Species 2 IUCN Red Book List of Threatened Species
Gambar II-17. Jenis buaya muara (Crocodylus porosus) yang ditemukan di kawasan CATB
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 19
BKSDA Papua II Sorong
(Crocodylus novaguinensis), dan biawak bakau (Varanus prafinuvi), termasuk kedalam jenis
satwa yang dilindungi dengan undang-undang di Indonesia (Petocz, 1983). Kedua jenis
satwa reptilia tersebut, yaitu C. porosus dan C. Novaeguinensis adalah satwa endemik New
Guinea dan telah tercatat dalam App. I CITES, yaitu jenis yang terancam punah dalam IUCN
Red Data Book (IUCN, 1979), dan termasuk jenis binatang yang dilindungi dengan Undang-
Undang di Indonesia, (SK Mentan No. 327/Kpts/um/5/1978 dan No. 176/Kpts/um/10/1978).
Burung (Birds)
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitarnya memiliki keanekaragaman jenis burung
yang cukup tinggi. Hal ini didukung oleh kondisi fisiografi dan ketersediaan sumberdaya
seperti pakan, air, tempat berlindung dan berkembang biak yang merupakan komponen
pendukung kehidupan satwa tersebut. Selama survei yang dilakukan oleh Tim TNC (2005),
yang dilakukan melalui pengamatan langsung (direct seen), suara (noisy), dan informasi dari
masyarakat lokal, kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan habitat kurang lebih 26
jenis burung yang tersebar di beberapa bagian kawasan CATB seperti disajikan pada Tabel
II-7.
Gambar II.16. Peta Lokasi Kegiatan Survei Keberadaan Fauna Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni 2005
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 20
BKSDA Papua II Sorong
Tabel II-7. Jenis burung yang dicatat selama survei lapangan (Field Survey) di dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
Status Konservasi
No. Nama ilmiah Nama Indonesia Lokasi
Ende
mik
Dili
ndun
gi
CIT
ES1
RD
B2
1 Ardea sumatrana Cangak laut S. Muturi - F - NeT
2 Cacatua galerita Kakatua Jambul Kunig
S.Tirasai, S.Sumberi, S.Simeri, S. Naramasa, K. Mamuranu
ã B,C II -
3 Casuarius bennetti Kasuari kerdil Kampung Anak Kasih, Mamuranu ã A II NeT
6 Colacalia esculenta Walet sapi S. Muturi, S. Wasian - - - -
7 Dacelo gaudichaud Kukubara perut merah S. Naramasa ã F - -
8 Dicrurus hottentottus S. Tatawori - - - -
9 Egretta ibis Kuntul Kerbau Muara Sungai Muturi ã - III
10 Egretta intermedia Kuntul perak (Bangau putih) S. Naramasa - - - -
11 Egretta sacra Kuntul karang S. Naramasa ã A,D,E -
12 Eopsaltriapulverulenta
Robin bakau (Manggrove robin)
S. Wasian, S. Muturi, S. Tatawori - - - -
13 Falcon cenchroides Alap-alap layang
S.Tirasai, S.Sumberi, S.Simeri, S. Naramasa, K. Mamuranu
- - II -
14 Geoffroyus geoffroy Kakatua paruh merah K. Anak Kasih - - - -
15 Goura cristata Mambruk ubiaat (dara mahkota)
K. Naramasa, K. Mamuranu ã - I Vul.
16 Gygas alba Dara laut putih S. Tatawori - - - -
17 Halcyon cholaris Cekakak sungai S. Sumberi ã F - -
18 Larus novaehollandia Dara laut putih Muara Muturi - G - -
19 Lorius lory Nuri kepala hitam S. Muturi, S.Tirasai ã C II -
20 Milvus migrans Elang paria/ Alap-alap malam
S.Tirasai, S.Sumberi, S.Simeri, S. Naramasa, K. Mamuranu
- G II -
21 Nectarinia aspasia Burung madu hitam S. Sumberi, S. Anak Kasih ã A,E,F - -
22 Nectarinia jugularis Burung madu sriganti S. Sumberi ã A,E,F - -
23 Paradisaea minor Cenderawasih kuning kecil
Kampung Anak Kasih, Mamuranu ã A,E,F II -
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 21
BKSDA Papua II Sorong
Status Konservasi
No. Nama ilmiah Nama Indonesia Lokasi
Ende
mik
Dili
ndun
gi
CIT
ES1
RD
B2
24 Philemon buceroides Cikukua tanduk S. Kodai - F - -
25 Proboscigeraterrimus Kakatua raja Sekitar Kampung
Naramasa ã B -
26 Stercorarius pomarinus Camar S. Wasian - - - -
27 Sterna albifrons Dara laut kecil Perairan Pulau Modan - A - -
Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.
Keterangan: A = Peraturan Konservasi Kehidupan Liar (Wildlife Conservation Regulation) 1931 No. 266 B = Kepulusan Menleri Pertanian No. 421/KPTS-Um/8/1970 August 26, 1970 C = Keputusan Menteri Pertanlan No. 7421KPTS/Um/12/1978 December 2, 1978 D = Keputusan Menteri Pertanlan No. 757/KPTS/Um/12/1979 E = Peraturan Pemerinlah NO.7 of 1999, 27 January 1999 F = Keputusan Menteri Pertanian No. 301/KPTS-Um/6/1991 June 10, 1991 G = Peraturan Konservasi Kehidupan Liar (Wildlife Conservation Regulation) 1935 No. 513 NeT = Near Threaten (hampir terancam) V = Vulnerable (rentan)
1 Convention on International Trade in Endangered Species 2 IUCN Red Book List of Threatened Species
Jumlah tersebut (Tabel II-7) lebih sedikit dibandingkan hasil survei yang dilakukan Zuwendra
dkk., (1991) yang melaporkan bahwa di kawasan Teluk Bintuni (termasuk kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni) sedikitnya teramati 95 jenis burung, dimana 45 spesies diantaramya
sudah di lindungi oleh undang-undang, yang terdiri dari 75 spesies burung yang menetap
dan 20 spesies burung migran. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan BP Tangguh
dalam rangka penyususnan dokumen ANDAL melaporkan bahwa di kawasan Teluk Bintuni
khususnya daerah Sungai Saengga dan S. Manggosa yang memiliki kemiripan ekosistem
dengan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, berhasil teramati lebih dari 140 jenis burung (BP
Pertamina, 2002). Hal ini mengindikasikan bahwa keragaman jenis burung di kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni cukup tinggi dan perlu mendapat perhatian lebih serius baik dari
perlindungan dan penelitian. Besar kemungkinan, melalui penelitian yang lebih seksama,
keragaman jenis seperti yang disajikan pada Tabel II.7 tersebut di atas dapat bertambah.
Berdasarkan hasil penelusuran pustaka, diketahui bahwa Cagar Alam Teluk Bintuni
merupakan habitat jenis-jenis satwa endemik Papua serta satwa/fauna yang telah dilindungi
undang-undang. Hasil rangkuman dari sejumlah referensi pendukung antara lain Petocz
(1996), dan BP Pertamina (2002) diketahui bahwa dari jenis satwa burung yang ada di
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (hasil survei Tim TNC, 2005), 14 jenis diantaranya adalah
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 22
BKSDA Papua II Sorong
spesies endemik, 14 jenis telah dilindungi baik oleh hukum Indonesia maupun hukum
Internasional (CITES dan IUCN) seperti disajikan pada Tabel II.7. Menurut the Convention
on International Trade in Endangered Species (CITES), di antara spesies burung yang dapat
dijumpai di CATB, satu jenis burung mambruk (Goura cristata) masuk dalam Appendix I, tujuh
jenis lain (P. minor, F. cenchroides, C. magnificus, M. migrans, C. galerita, L. Lory, dan
Casuarius bennetti) masuk Appendix II, dan satu jenis (Egreta ibis) masuk Appendix III.
Selain itu menurut RDB (Red Data Book) jenis mambruk masuk dalam kategori “rentan”
(vurnerable), yaitu jenis mambruk ubiat/mahkota (G. cristata) dan dua jenis lagi dikategorikan
“hampir terancam”, yaitu A. sumatrana dan C. bennetti (Conservation International, 1999).
Jumlah jenis endemik untuk kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang berhasil dicatat
selama survei hampir sama dengan jumlah spesies burung endemik hasil survei Zuwendra
dkk. (1991) yang melaporkan bahwa di daerah CATB dan sekitar ditemukan paling sedikit
12 jenis endemik. Hal ini mengindikasikan bahwa kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
menjadi penting sebagai habitat dan perkembangbiakan jenis-jenis endemik khususnya
satwa avifauna.
Kawasan Teluk Bintuni nampaknya merupakan daerah pencarian pakan (winter ground) dari
beberapa jenis burung pengembara (migran). Dalam survei dijumpai ratusan burung pelican
(Pelecanus conspicillatus) dan umukia raja (Tadorna rajah) pada beberapa bagian Cagar
Alam terutama pada daerah muara dengan bentangan bentik pasir. Menurut informasi dari
masyarakat setempat burung-burung tersebut akan datang pada bulan April – Mei dan
kemudian pergi pada bulan Desember saat musim ombak.
Mamalia (Mammals)
Hasil pengamatan selama survei dengan metode pengamatan langsung (direct seen) dan
jejak kaki (footprint/trail) serta informasi dari penduduk lokal, di kawasan ini bisa dijumpai 12
jenis mamalia, dua diantaranya merupakan jenis yang sudah dilindungi undang dan masuk
dalam appendix II CITES (Tabel II-8).
Tabel II-8. Jenis mamalia yang dijumpai selama survei lapangan (Field Survey) serta berdasarkan informasi masyarakat setempat di dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Status Konservasi
No. Nama ilmiah Nama Indonesia Lokasi
Ende
mik
Dili
ndun
gi
CIT
ES1
RD
B2
1 Pteropusneohibernicus Kelelawar besar K. Mamuranu, K. Anak
Kasih, K. Tirasai ã - - -
2 Spilocuscus maculatus Kuskus bertotol K. Naramasa ã I II -
3 Phalanger orientalis Kuskus kelabu K. Mamuranu, K. Anak Kasih ã I II -
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 23
BKSDA Papua II Sorong
Status Konservasi
No. Nama ilmiah Nama Indonesia Lokasi
Ende
mik
Dili
ndun
gi
CIT
ES1
RD
B2
4 Cervus timorensis Rusa K. Mamuranu, K. Anak Kasih Intr A - -
5 Dorcopsis muelleri Walabi hutan K. Naramasa ã - - V
6 Dendrolagus ursinus Kangguru pohon K. Mamuranu, K. Anak Kasih ã B - -
7 Peroryctes raffayana Bandikot K. Mamuranu, K. Anak Kasih, K. Tirasai ã - - -
8 Sus crofa Babi hutan K. Mamuranu, K. Anak Kasih, K. Tirasai Intr - - -
9 Pteropus conspilicatus Kelelawar K. Anak Kasih ã - - -
10 Pogonomys macrourus
Tikus hutan dataran rendah K. Anak Kasih, Tirasai ã - - -
11 Isodon macrourus Tikus tanah K. Mamuranu, K. Anak Kasih, K. Tirasai ã - - V
12 Pristis microden Cucut gergaji Perairan Teluk ã Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005. Keterangan:
A = Peraturan Konservasi Kehidupan Liar (Wildlife Conservation Regulation) 1931 No. 266 B = Kepulusan Menleri Pertanian No. 421/KPTS-Um/8/1970 August 26, 1970 I = Keputusan Menteri Pertanian No. 66/KPTS/Um/2/1973 V = Vulnerable (rentan) Intr = Introduce
1 Convention on International Trade in Endangered Species 2 IUCN Red Book List of Threatened Species
Hasil pengamatan terhadap jenis-jenis mamalia yang disajikan pada Tabel II.8 hampir sama
dengan jenis-jenis mamalia yang ditemukan dalam survei yang dilakukan oleh Zuwendra,
Erftemeijer, dan Allen (1991) yang melaporkan bahwa di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
dapat dijumpai mamalia seperti Echidna berparuh pendek (Tachyglossus aculeatus), Echidna
berparuh panjang (Zaglossus bruijni), marga tikus berkantung endemis yang aneh,
Dasyuridae, dan Bandycoot (Peroryctes raffrayanus) atau tikus, kuskus (Phalanger orientalis)
pada habitat hutan mangrove, possum kerdil (Cercatetus caudatus, Distoechurus pennatus,
dan Pseudocheirus spp.), kangguru pohon (Dendrolagus fursinus), walabi hutan (Dorcpsis
spp.), walabi liar biasa (Macropus agilis), dan jenis-jenis Chiroptera yang merupakan
kelompok mamalia yang luar biasa aneka ragamnya, seperti kelelawar berhidung tabung,
rubah terbang, kelelawar ekor berarung, kelelawar tapal kuda, dan kelelawar mastif. Namun
jumlah tersebut masih jauh lebih rendah dari hasil penelitian yang di lakukan oleh PT Geobis
Woodward-Clyde Indonesia pada tahun 1998 yang melaporkan bahwa di kawasan Teluk
Bintuni /Bearau dapat ditemui kurang lebih 70 spesies mamalia yang terdiri dari 36 spesies
kelelawar (Chiroptera), 17 spesies marsupial (Marsupialia), 15 spesies binatang pengerat
(rodents), serta rusa dan babi hutan.
Kawasan perairan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan habitat jenis lumba-lumba, seperti
jenis Seusa plumbea yang bersirip putih yang menurut informasi masyarakat, sering terlihat
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 24
BKSDA Papua II Sorong
dalam satu group bermain mengikuti jalannya armada kapal penangkap udang untuk
mendapatkan ikan-ikan yang lebih kecil sebagai makanannya. Informasi yang diperoleh dari
penduduk bahwa di beberapa daerah muara sungai besar di kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni dapat dijumpai marga Delphinidae. Bahkan sejenis ikan paus berukuran besar pernah
terlihat di perairan Teluk Bintuni yang lebih dalam.
Ikan
Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa kawasan yang terkena pasang surut,
banyak dijumpai ikan gergaji (saw-fishes), hiu, dan ikan merah. Informasi dari penduduk
setempat bahwa ikan cucut gergaji (Pristis microden) yang merupakan ikan terbesar dan
telah dilindungi undang-undang yang sering masuk sampai ke sungai-sungai dalam kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni. Sedangkan jenis hiu yang terdapat di perairan kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni adalah jenis hiu bodoh (Chyloscyllium punctatum dan C. Brevipinna) yang
dapat mencapai panjang 3 m. Informasi dari nelayan tradisional (penduduk lokal) diketahui
bahwa jenis Lutjanus johnii (ikan merah) dan Himantura uarnak (ikan pari) sering juga
tertangkap saat memancing di sungai-sungai dekat hutan mangrove di kawasan CA Teluk
Bintuni.
Mengacu pada informasi tersebut di atas, peran kawasan Cagar Alam Teluk menjadi sangat
penting bagi masyarakat sekitar kawasan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari terutama
ikan baik untuk dikonsumsi sendiri maupun untuk dijual sebagai pendapatan pendapatan
keluarga.
Hasil survei serta didukung oleh informasi dari penduduk setempat bahwa dii kawasan habitat
air tawar ditemukan ditemukan jenis ikan air tawar dimana dua di antaranya merupakan ikan
pelangi (rainbow fish) dari genus Melanotaenia. Jenis ikan tersebut merupakan jenia
endemik dan tersebar di beberapa sungai, rawa, dan danau di sekitar kawasan di mana
makanan utamanya adalah nyamuk. Jenis ikan ini sangat potensial untuk dijadikan ikan hias
sehingga memberikan peluang bagi masyarakat setempat untuk mengembangkan jenis ini
untuk meningkatkan pendapatan keluarga.
Avertebrata
Perairan di sekitar kawasan Cagar Alam
Teluk Bintuni merupakan habitat beberapa
jenis avertebrata, terutama dari jenis udang.
Beberapa jenis udang yang ditemui di
perairan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni, yaitu udang tiger/Tiger Prawn
(Penaeus semisulcatus dan
Parapenaeopsis sculptilis), udang Gambar II-18. Jenis kepiting bakau (Scylla sp.) yang
memiliki nilai ekonmis yang dapat ditemukan di kawasan CATB
65.000/orang sekali melaut maka penghasilan sebulan rata-rata adalah Rp.650.000-
Rp.975.000. Sedangkan untuk yang menangkap kepiting (karaka) pada umumnya
menggunakan perahu tanpa mesin/dayung (kole-kole) dan sekali melaut dapat menghasilkan
7- 10 ekor, sehingga dapat menghasilkan rata-rata Rp. 50.000-100.000/sekali melaut.
Pengumpulan hasil perikanan oleh masyarakat hanya dilakukan pada saat air surut (low tide),
Gambar II-25. Jenis Kepiting bakau Scilla sp. yang biasa dikumpulkan masyarakat lokal di dalam dan
sekitar kawasan CATB
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 40
BKSDA Papua II Sorong
khususnya bila pergantian pasang surut dan pasang naik terjadi pada siang hari. Hasil
wawancara dengan beberapa nelayan tradisional (pengumpul) bahwa dalam satu kali
pengambilan, tiap orang dapat mengumpul/mengambil 10-15 ekor/orang untuk “ karaka” dan
1-3 kantong/orang untuk kerang/siput.
Tabel II-16. Hasil Perikanan yang dihasilkan di dalam Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) beserta harganya.
No Jenis Hasil Perikanan Satuan Harga (Rupiah)
1 Ikan Ekor Satu Tali (3-5 ekor/ ±1 Kg) 10.000 2 Ikan Sembilan Tali (3-5 ekor/ ±1 Kg) 10.000 3 Ikan Kepala Batu Tali (3-5 ekor/ ±1 Kg) 10.000 4 Ikan Congge Tali (3-5 ekor/ ±1 Kg) 12000 5 Ikan Lasi Tali (3-5 ekor/ ±1 Kg) 10.000 6 Ikan Bubara Tali (3-5 ekor/ ±1 Kg) 10.000 7 Ikan Kakap Merah Ekor 10.000-35.000 8 Ikan Sisip Tali (3-5 ekor/ ±1 Kg) 10.000 9 Udang Kg 25.000 10 Kepiting (Karaka) Ekor 7.000-10.000 11 Tambelo Kantong 5.000-10.000 12 kerang/bia/siput Kantong 5.000-10.000
Sumber : Hasil Survei Tim TNC, 2005.
B.6.3.2 Pemanfaatan Tumbuhan
Keberadaan ekosistem hutan dataran rendah dan ekosistem mangrove di kawasan dirasa
sangat penting, terutama oleh masyarakat traditional yang bermukim di sekitar kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni. Hutan ini bagi masyarakat setempat merupakan sumber sumber
bahan makanan, obat-obatan, kayu bakar, dan bahan bangunan.
(a) (b) (c)
Gambar II-26. Bentuk pemanfaatan jenis palem sebagai (a) busur dan anak panah, (b) lantai rumah/para-para, dan (c) anyamankeranjang
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 41
BKSDA Papua II Sorong
Khusus untuk pemanfaatan sebagai kayu bakar, masyarakat sekitar hanya memanfaatkan
ranting dan cabang yang gugur tanpa menebang pohon. Hal ini menjadikan hutan mangrove
terutama di kawasan CATB masih terpelihara dengan baik. Peralatan yang digunakan untuk
penebangan mangrove masih sederhana, yaitu menggunakan parang dan kapak.
Pengambilan kayu bakar dilakukan dengan mengumpulkan ranting/cabang pohon di hutan
dataran rendah dan pohon mangrove yang mati/gugur dan pohon mangrove yang tumbang
secara alami (akibat angin dan umur pohon tua).
Kehadiran jenis-jenis palem dalam ekosistem hutan dataran rendah membuat hutan ini
menjadi berarti bagi masyarkat sekitar. Masyarakat sekitar banyak memanfaatkan salah satu
komponen flora ini untuk berbagai macam keperluan.
Hasil survei Tim TNC (2005) menunjukan bahwa masyarakat suku Sough yang bermukim di
sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni memanfaatkan beberapa jenis palem yang
tumbuh di hutan dataran rendah CATB sebagai bahan makanan, bahan bangunan, obat
tradisional, serta senjata dan perkakas (Gambar II-27 dan Tabel II-17 ).
Tabel II-17. Pemanfaatan vegetasi palem oleh masyarakat di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
No Jenis (nama lokal) Kegunaan
1Caryota rumpiana (guta more)
¶ Bagian pucuk diambil sebagai bahan makanan ¶ Ijuk digunakan sebaga atat dan bubungan rumah
2Calamus sp.1 (aitaga moredek)
¶ Batang dikupas dan dibersihkan dan digunakan sebagai pengikat pagar dan tiang rumah dan tali busur
3Calamus sp.2 (aitaga cidemeh)
¶ Daun digunakan sebagai pembungkus makanan, terutama ubi yang ditumbuk
4Calamus sp.3 (aitaga besameh))
¶ Batang langsung digunakan untuk mengikat tiang rumah ¶ Batang dibelah, dibersihkan sebagai tali busur ¶ Batang dianyam untuk pembuatan keranjang dan anyaman lain
5Licuala sp. (beimes)
¶ Batang dibelah sesuai ukuran, dibersihkan, dan digunakan sebagai lantai rumah atau tempat duduk (para-para)
¶ Batang dibelah, dikikis sebagai bahan baku pembuatan busur panah
6Pinanga sp.1 (Amough)
¶ Batang dibelah dan dikikis untuk pembuatan busur dan hulu tombak (sejata tradisional)
7Pinanga sp.2 (Humog)
¶ Batang dibelah, dibersihkan dan digunakan sebagai lantai rumah ¶ Batang dibelah dan dikikis untuk pembuatan anak panah
8Pinanga sp.3 (Corohuij moro)
¶ Batang dibelah, dibersihkan dan digunakan sebagai lantai rumah/para-para
¶ Batang dibelah dan dikikis untuk pembuatan anak panah ¶ Daun digunakan sebagai pembungkus makanan
Sumber: Hasil survei TNC, 2005
Pemanfaatan sumberdaya mangrove dapat dilihat dari dua tingkatan, yaitu pemanfaatan
tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan dan tingkat komponen ekosistem sebagai
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 42
BKSDA Papua II Sorong
komponen utama kehidupan (primary biotic component). Khusus untuk masyarakat yang
yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam, umumnya masih terbatas pada
pemanfaatan tingkat komponen ekosistem (flora dan fauna) sebagai komponen primer
kehidupan di hutan mangrove. Pemanfaatan hutan mangrove di Kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni hanya terbatas pada pemanfaatan hutan mangrove dalam skala traditional (traditional
uses).
Pemanfaatan flora hutan mangrove secara traditional pada umumnya dilakukan oleh
masyarakat setempat untuk keperluan rumah tangga. Jenis-jenis yang dimanfaatkan hanya
terbatas pada jenis mangrove dan nipah. Pemanfaatan jenis mangrove oleh masyarakat
lokal umumnya digunakan sebagai kayu bakar, perkakas, bahan bangunan rumah,
perlengkapan perahu tradisional (Gambar II-27), serta untuk keperluan tiang-tiang pagar
dalam kegiatan mencari ikan (fishing) yang dalam istilah lokal disebut “ tiang belo” (GambarII-28).
Khusus untuk vegetasi nipah, penduduk
asli di sekitar kawasan Cagar Teluk Bintuni,
yaitu masyarakat suku Sough, Kuri, dan
Wamesa dalam kehidupan lintas generasi
telah memanfaatkan tujuh bagian nipah
yang dapat dimanfaatkan, yaitu anak daun,
tulang daun, tangkai daun, pucuk, buah
malai dan akar. Pemanfaatan nipah oleh
masyarkat suku-suku ini antara lain sebagai
bahan makanan/minuman, bahan
bangunan seperti untuk atap dan dinding
rumah (Gambar II-29), obat-obatan, energi,
perkakas, dan perlengkapan perahu tradisional, dan kerajinan.
Gambar II-28. Pemanfaatan pohon mangrove sebagai tiang (belo) untuk menangkap ikan di Kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni.
Gambar II-27. Pemanfaatan pohon mangrove sebagai tiang (belo) untuk menangkap ikan di Kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni.
Gambar II-29. Rumah tradisional masyarakat lokal yang sebagian besar bahan bakunya berasal dari vegetasi nipah di Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 43
BKSDA Papua II Sorong
Berikut adalah rangkuman pemanfaatan komponen flora pada ekosistem mangrove di
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, seperti disajikan pada Tabel II-18.
Tabel II-18. Pemanfaatan komponen flora pada ekosistem mangrove oleh masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
No. Tujuan pemanfaatan
Jenis yang dimanfaatkan
Bagian yang dimanfaatkan Cara pemanfaatan
1 Bahan makanan/minuman
Nypah Fructicans Buah Buah mudah dibelah air dan daging dimakan dan diminum dengan rasa seperti buah kelapa muda
Malai Malai dipotong kemudian disadp untuk mengahsilkan nira (bobo), sejenis minuman tradisional/lokal
Tangkai daun tangkai daun dipotong kecil, dikuliti, diasapi di atas tungku api, setelah kering dibakar, abunya diambil dan disimpan di dalam media bambu sebagai subtitusi GARAM dapur.
2 Bahan Bangunan Nypah Fructicans Daun Bahan baku pembuatan atap dan kajang (dinding) rumah, pondok, dan perahu yang dapat beratahan 3 – 5 tahun masa pakai
Tangkai daun ¶ Untuk dinding, tangkai daun nipah dijemur sampai kering, dipotong sesuai ukuran kemudian dirakit sebagai dinding
¶ Untuk para-para (tempat duduk), tangkai daun dibersihkan selanjutnya ditancapkan sepanjang bentangan jaring sebagai penahan jaring agar tidak terbawa arus air pasang dan surut atau dipotong sesuai ukuran para – para lalu disusun sebagai tempat duduk saat memancing ikan.
Bakal tangkai daun (pucuk)
Pucuk dibersihkan dari anak daun, dibersihkan dibelah menjadi dua bagian selanjutnya dimanfaatkan sebagai pengikat pengganti paku untuk mengikat atap atau kajang
Rhizophora sp. Batang Digunakan langsung sebagai tiang rumah
3 Obat-obatan Nypah Fructicans akar Akar dibakar dan arangnya diletakan pada gigi yang sakit
Rhizophora sp. Kulit Kulit diparut digunakan sebagai obet kudis
4 Energi (bahan bakar)
Nypah Fructicans anak daun dan tangkai daun
Anak daun maupun tangkai daun yang telah kering diambil sejanjutnya dibakar
Bruguiera sp. Batang Digunakan langsung sebagai kayu bakar
Rhizophora sp. Batang, ranting,cabang
Digunakan langsung sebagai kayu bakar
5 Perkakas anak daun ¶ anak – anak daun dijahit pada bahan mudah lentur dengan panjang ° 50 – 60 cm, selanjutnya dibentuk menjadi sebuah tabung yang berdiameter 25 – 30 cm dan tinggi 80 – 100 cm untuk WADAH TEPUNG SAGU, AYAKAN SAGU, dan KAMBOTI (pengganti kantong)
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 44
BKSDA Papua II Sorong
No. Tujuan pemanfaatan
Jenis yang dimanfaatkan
Bagian yang dimanfaatkan Cara pemanfaatan
¶ sebagai pembungkus untuk memasak (bakar) bahan makanan seperti sagu, ikan, dan daging.
Tangkai daun Tulang dibersihkan kemudian dijadikan sendok (gata-gata) yang digunakan untuk mengkonsumsi makanan tradisional (papeda)
Tulang daun sebagai sapu untuk membersihkan di dalam dan di sekitar rumah.
6 Kerajinan Anak daun Anak daun dianyam membentuk kerajinan tangan seperti topi, keranjang yang atasnya terbuka (idate) dan tertutup (kirore).
7 Perlengkapan perahu tradisional
Nypah Fructicans Daun Bahan baku pembuatan atap perahu yang dapat beratahan 3 – 5 tahun masa pakai
Rhizophora sp. Batang Digunakan langsung sebagai tiang rumah perahu
8 Tiang belo Rhizophora sp. Batang Digunakan langsung sebagai tiang-tiang pancang (belo) untuk ditempatkan jaring trawl dalam kegiatan “pele kali”
Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.
B.6.3.3 Tempat Berburu
Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar
Cagar Alam Teluk Bintuni dengan ekosistem
utama adalah manggrove yang kaya
berbagai jenis satwa liar seperti babi huta
(Sus sp.), rusa (Cervus timorensis), serta
berbagai jenis burang dan mamalia. Kondisi
ini menyebabkan dalam kehidupan lintas
generasi selalu melakukan aktivitas
perburuan maupun penangkapan terhadap
satwa liar untuk memenuhi akan protein
hewani.
Dalam memenuhi kebutuhan akan protein, masyarakat yang bermukim di sekitar Cagar Alam
Teluk Bintuni masih tergantung pada ketersediaanya di alam. Peranan kawasan CATB
menjadi penting sebagai sumber protein hewani bagi penduduk sekitar.
Selain pemanfaatan hasil perikanan berupa ikan, udang, dan kepiting, masyarakat yang
bermukim di dalam dan sekitar CATB, terutama di Kampung Naramasa, Yakati dan Yensei
juga melakukan perburuan buaya di Sungai Naramasa, Sobrawara, Yensei dan Yakati.
Mereka berburu buaya minimal 2 orang (satu perahu) dan berburu pada saat malam hari.
Alat yang mereka gunakan berupa tombak, parang, senter serta perahu dayung (kole-kole).
Buaya yang diburu harus memiliki diameter badan antara 12 sampai 20 inci, karena ukuran
Gambar II-30. Dendeng rusa dan babi hutan yang diperoleh dari berburu di hutan sekitar kampung
Mamoranu dalam Cagar Alam Teluk Bintuni
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 45
BKSDA Papua II Sorong
badan buaya tersebut yang laku di pasaran. Harga kulit buaya saat ini, yaitu rata-rata Rp.
15.000/inci. Selain diambil kulitnya daging
buaya dikonsumsi oleh masyarakat serta
“tangkur” buaya cukup laku di pasaran. Para
pembeli kulit, daging serta bagian lain dari tubuh
buaya hampir setiap minggu datang ke
kampung, hal ini mengindikasikan bahwa
permintaan terhadap komoditas tersebut cukup
tinggi. Berdasarkan hasil wawancara dengan
masyarakat yang berburu buaya, hasil
tangkapan saat ini sudah semakin sulit di dapat.
Apabila dibandingkan dengan 5 sampai 10 tahun
yang lalu, dalam waktu seminggu berburu
mereka dapat menghasilkan 7 sampai 10 ekor buaya. Sekarang sekali berburu memerlukan
waktu 1 – 2 minggu dan rata-rata hanya memperoleh 3 – 4 ekor. Usaha dari masyarakat
untuk melakukan pembesaran anakan buaya sudah mulai dilakukan di kampung Yensei,
Naramasa, dan Bintuni Timur. Dalam kegiatan ini, sekitar 7 – 10 ekor anak buaya dimasukan
dalam kandang anakan buaya berukuran 4 m x 6 m (Gambar II-31). Usaha yang
dikembangkan oleh masyarakat Yensei, Naramasa, dan Bintuni ini bisa dikembangkan di
Kampung lain atau dikembangkan skala usahanya, sehingga pola pemanfaatan buaya
dengan cara pengambilan dari alam lambat laun bisa dikurangi.
Perburuan lain terhadap fauna yang ada di kawasan CATB, yaitu rusa dan babi. Rusa dan
babi banyak terdapat di hutan dataran rendah di sekitar hutan mangrove. Dalam berburu
rusa dan babi dilakukan secara sendiri maupun berkelompok. Alat yang digunakan berupa
tombak, parang, panah, jerat serta anjing. Daging rusa dan babi di jual dalam bentuk
dendeng, harga pasaran sekarang yaitu Rp.15.000/Kg.
B.6.3.4 Tempat Berladang
Ladang dan kebun masyarakat yang
terdapat di dalam kawasan umumnya
berlokasi/letaknya jauh dari pemukiman.
Ladang atau kebun pada umumnya
diusahakan baik oleh masyarakat yang
tinggal di luar maupun di dalam kawasan
CATB. Pola perladangan adalah dengan
sistem perladangan berpindah yang
ditanami dengan jenis tanaman semusim,
Gambar II-31. Model Kandang pembesaran anakan buaya di Kampung Yensei, Distrik Idoor.
Gambar II-32 Lahan kebun dan bekas kebun masyarakat lokal di Kampung Mamoranu yang berada
dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 46
BKSDA Papua II Sorong
ubi-ubian, sayuran dan jenis tanaman buah-buahan dengan rata-rata luas lahan 0,25 – 1,0 ha
untuk tiap kepala keluarga.
Pola pembukaan lahan atau kebun masyarakat secara umum mempunyai beberapa tahapan,
sebagai berikut :
¶ Pembersihan lantai hutan, yaitu menebas semak belukar, menebang pohon-pohon
tingkat pancang dan tiang.
¶ Menebang pohon–pohon besar yang ada dalam lahan, kemudian lahan tersebut
dibiarkan beberapa waktu tertentu agar bekas ranting pohon dan semak belukar menjadi
kering. Ranting pohon dan semak-belukar yang ada dikumpulkan pada suatu tempat
dalam lahan/kebun dan atau dipinggir.
¶ Pembakaran dilakukan setelah ranting-ranting pohon dan semak-belukar yang ada sudah
Kering dan kemudian hasil pembakaran berupa abu dibiarkan agar
terdekomposisi/bercampur dengan tanah yang ada.
¶ Setelah itu dilakukan penanaman sesuai jenis tanaman yang akan diusahakan.
¶ Setelah tanaman dipanen, maka mereka akan berpindah ke lokasi lahan yang baru
dengan lama pengusahaan lahan (masa bera) 1-2 tahun.
B.6.3 Kepemilikan Lahan
Hasil survey lapangan Tim TNC (2005) berhasil mengidentifikasi kepemilikan lahan di
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni menurut wilayah hukum adat (Gambar II-33).
Secara tradisional, kawasan ini berada dalam pengelolaan wilayah adat tiga suku besar yakni
Suku SOUGH (marga Imeri, Yettu, Tiri, dan Iba), dan suku WAMESA (marga Fimbay,
Masyewi, Maboro, Kindewara, Kawab, Sirimbe, Waney, Tatiri, Kemon, dan Susumbokop),
dan suku KURI dari marga Urbon, Efredire, dan Pigo. Khusus untuk suku Wamesa, marga-
marga yang memiliki hak ulayat cukup besar di kawasan adalah Susumbokop, Tatitri,
Maboro, Manibuy, dan Kemon, sedangkan marga yang lain hanya memiliki kurang dari 15 %
dari total wilayah yang menjadi hak ulayat suku Wamesa (Hasil Survey Tim, 2005).
Suku Sough yang mendiami kawasan S. Wasian, S.Bintuni hingga S. Simeri lebih dikenal
dengan panggilan Manikion Parirei. Suku ini terutama dari marga Yettu dan Tiri “mengklaim”
wilayah hukum adat mereka meliputi wilayah muara Sungai Wasian, S. Bintuni, S. Tisai, S.
Banjar Ausoy, S. Muturi, dan S. Tirasay. Marga Imery meliputi S. Tirasay, Sungai Sumberi,
S. Tikamari, S. Anak Kasih, dan S. Simeri. Sedangkan Marga Iba memiliki wilayah hukum
adat mulai dari Sungai Sigirau sampai dengan S. Banjar Ausoy. Menurut informasi dari tokoh
kunci (Andarias Iba) di Kampung Tuasai bahwa tanah yang saat ini menjadi hak ulayat
marga Iba merupakan pemberian dari marga Yettu sebagai balas jasa atas bantuan marga
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 47
BKSDA Papua II Sorong
Iba yang telah ikut membantu menyelesaikan masalah (perang saudara) yang waktu itu
dialami oleh marga Yettu. Hasil wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat (Bernadus
Sioho) bahwa hal yang sama juga terjadi pada marga Sioho yang memiliki hak ulayat di
daerah Sungai Tikamari dan S. Anak Kasih yang merupakan pemberian dari marga Imery.
Suku Wamesa khususnya marga Manibuy “mengklaim” bahwa sebelum adanya perang suku
wilayah adat mereka mulai dari Sungai Simeri hingga S. Manibuy. Marga Tatiri,
Susumbokop, Kemon, dan Maboro yang berasal dari kampung Yakati “mengklaim” wilayah
Gunung Taberay Pulau Nusuama, Pulau Kaboi sampai dengan Sungai Kodai. Marga
Fimbay, Sirimbe, Masyewi yang berasal dari kampung Yensei “mengklaim” wilayah hukum
adat mereka meliputi Pulau Maniai, P.Jawarupai dan P. Modan.
Sedangkan suku KURI mengklaim wilayah adat mereka meliputi daerah sekitar Sungai
Naramasa, S.Sobrowara, dan S. Modan. Menurut pengakuan orang Kuri, Pulau Modan
adalah milik orang Yensei ( Suku Wamesa). Sampai saat ini kepemilikan Pulau Modan masih
menjadi percebatan antara suku Wamesa dengan Suku Kuri. Hal ini terjadi karena menurut
sejarah yang diceritakan oleh tokoh adat Wamesa (Bpk. Adrian Tatiri) dan Kuri (Bpk. Set
Efredire), Pulau Modan pada jaman kerajaan Tidore merupakan pusat pemerintahan daerah
kekuasaan kerajaan Tidore di Irian. Kedua suku tersebut mengklaim bahwa suku merekalah
yang punya hanya aulat di Pulau Modan tersebut.
Gambar II-33. Peta Kepemilikan Lahan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni menurut wilayah hukum adat
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 48
BKSDA Papua II Sorong
Batas-batas kepemilikan tanah adat tersebut, belum merupakan batas adat yang mutlak.
Karena sampai saat ini belum dilakukan kesepakatan antara ketiga suku besar tersebut.
Kesepakatan mengenai batas tanah adat perlu segera dilakukan agar tidak terjadi “konflik”
antar ketiga suku dimasa yang akan datang. Hal tersebut diakui juga oleh Kepala Bidang
Sosekbud Bappeda Teluk Bintuni Bpk. Tessa,S.Sos, bahwa kesepakatan mengenai batas
tanah adat harus segera dilakukan agar tidak terjadi konflik antar suku, dan dimasa yang
akan datang Bappeda Teluk Bintuni akan mencoba memfasilitasi hal tersebut.
B.7 Sarana dan Prasarana Transportasi
Sarana transportasi yang ada di Kabupaten Teluk Bintuni khususnya di 3 Distrik (Distrik
Bintuni, Distrik Idoor, Distrik Kuri) yang terdekat dengan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni,
terdiri dari sarana Transportasi Udara, Darat dan Sungai/Laut.
Transportasi Udara
Di Ibu Kota Kabupaten Teluk Bintuni terdapat
sebuah lapangan terbang dengan konstruksi
aspal yang bisa di darati oleh jenis Pesawat
Twin-Otter (Gambar II.34) dan Cesna.
Penerbangan reguler ke kabupaten Teluk
Bintuni dilayani oleh maskapai Merpati
Nusantara, dengan frekuensi penerbangan
sekali seminggu (Kamis) dari manokwari dan
hari Minggu dari Sorong. Selain itu juga bisa
menggunakan pesawat carteran jenis cesna
milik AMA dari Manokwari, Akan tetapi
transportasi udara di Kabupaten Teluk Bintuni
sangat tergantung dari cuaca, apabila cuaca
buruk maka setiap maskapai tidak jadi
melakukan penerbangan .
Tansportasi Darat
Untuk mencapai kampung-kampung terdekat
di sekitar Ibu Kota Kabupaten Teluk Bintuni
dapat di tempuh dengan menggunakan
kendaraan umum roda empat (taxi) dengan
jumlah armada yang terbatas. Disamping itu
juga tersedia sarana transportasi roda dua
(ojek) yang melayani penumpang umum
Gambar II-35. Sarana transportasi darat jenis land cruiser (hardtop) yang melayani transportasi
Manokwari-Bintuni PP
Gambar II.34. Sarana transportasi udara jenis Twin-Otter di pelabuhan udara kota Bintuni yang melayani
penerbangan ke dan dari kota Bintuni
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 49
BKSDA Papua II Sorong
dalam kota dan ke kampung di sekitar kota Bintuni. Sedangkan transportasi darat yang
melayani penumpang umum yang akan berpergian ke luar kota/Kabupaten Teluk Bintuni
khususnya Manokwari menggunakan Hardtop (Gambar II-35) dengan waktu tempuh 12 – 16
jam.
Sarana transportasi darat yang menghubungkan Ibu Kota Kabupaten Teluk Bintuni dengan
Kabupaten terdekat (Kabupaten Manokwari) adalah jalan timbunan (pengerasan) ° 74 km
dan jalan beraspal ° 126 km (Pemda Prov. Papua, Pemda Manokwari, Unipa, CRMP, 2003).
Keadaan transportasi jalan kota Bintuni adalah jalan beraspal (sebagian besar sudah rusak)
sepanjang 13 km yang menghubungkan lokasi-lokasi pemukiman penduduk, sedangkan jalan
yang menghubungkan ibukota Kabupaten Teluk Bintuni dengan kampung-kampung di
sekitarnya adalah jalan tanah timbunan dan jalan tanah yang dipadatkan. Jumlah dan jenis
sarana transportasi darat yang ada di Kota
Bintuni disajikan pada Tabel II.20.
Tansportasi Sungai/Laut
Peran sarana transportasi sungai/laut
sangat penting untuk kampung-kampung di
sekitar Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB),
khususnya kampung-kampung yang berada
di wilayah pemerintah Distrik Idoor dan Kuri.
Sarana transportasi utama adalah perahu
motor atau longboat (Gambar II-36) dan
perahu dayung.
Akses beberapa kampung di sekitar Cagar
Alam Teluk Bintuni ke pusat kota Kabupaten Teluk Bintuni menggunakan sarana transportasi
sungai/laut disajikan pada Tabel II-19.
Tabel II-19. Sarana dan Jenis Transportasi Kampung di sekitar CATB ke Ibukota Distrik dengan saran Transportasi Sungai/Laut.
No Kampung Sarana dan Jenis Transportasi
Waktu Tempuh
Keterangan
1 Mamuranu Sungai & laut, perahu motor ° 3 jam S.Kamisayo-Laut-S.Wasian
2 Anak Kasih Sungai & laut, perahu motor ° 2,5 jam S.Anak kasih-S.Manibuy-Laut-
3 Yakati Sungai & laut, perahu motor ° 4 jam S.Yakati-S.Tatawori-Laut-S.Wasian
4 Yensei Sungai & laut, perahu motor ° 4 jam S.Yensei-S.Tatawori-Laut-S.Wasian
5 Naramasa Sungai & laut, perahu motor ° 6 jam S. Naramasa-Laut-S.Wasian Sumber: Hasil survei tim TNC, 2005.
Gambar II-36. Sarana transportasi laut/sungai jenis longboat yang digunakan masyarakat di dalam dan sekitar
Cagar Alam Teluk Bintuni.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 50
BKSDA Papua II Sorong
Selain itu untuk transportasi laut antar kabupaten,Teluk Bintuni telah memiliki sebuah
dermaga/pelabuhan. Jalur pelayaran yang mempunyai akses dari dan ke Teluk Bintuni
melalui Sorong adalah pelayaran reguler PT PELNI dan pelayaran swasta lain seperti
disajikan pada Tabel II-20.
Tabel II-20. Jalur pelayaran reguler dari dan ke Bintuni yang dilayani oleh PT Pelni dan pelayaran swasta lain
No Nama Kapal Trayek
1 KM Papua III Mkw-Sorong-Babo-Bintuni-Kokas-Fakfak (PP)
2 KM Lady Marina Merauke-Agats-Timika-Tual-Kaimana-Fakfak-Bintuni-Sorong (PP)
3 KM Bintang Satya Sorong-Babo-Bintuni-Kokas-Fakfak (PP)
4 KM Raflesia* Bintuni-Babo-Kelapa Dua-Sorong
5 KM Semuel* Belum dioperasikan Sumber: Hasil survei tim TNC, 2005. * Armada Milik PEMKAB Teluk Bintuni
B.8 Pendugaan Nilai Ekonomi Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
Pendugaan nilai ekonomi kawasan CATB perlu dilakukan agar semua pihak mengetahui
betapa besarnya manfaat ekonomi yang dapat dihasilkan. Sehingga semua pihak merasa
perlu untuk melestarikan kawasan CATB, agar generasi yang akan datang masih dapat
memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Pendugaan nilai ekonomi kawasan CATB
dilakukan hanya pada hutan mangrovenya, karena mayoritas kawasan merupakan hutan
mangrove.
Pendekatan yang digunakan dalam melakukan penilaian manfaat kawasan CATB (ekosistem
hutan mangrove) didekati dengan menggunakan konsep penilaian ekonomi total (total
economic valuation) dari produk barang dan jasa yang berguna (use value) dan yang tidak
berguna secara langsung (non use value) .
Nilai ekonomi total (total economic value = TEV) merupakan jumlah dari nilai pemanfaatan
(use value = UV) dan nilai non pemanfaatan (non-use value = NUV). UV adalah jumlah dari
nilai pemanfaatan langsung (direct use value = DUV), nilai pemanfaatan tidak langsung
(indirect use value = IUV), nilai pilihan (option value = OV). Sedangkan, NUV adalah jumlah
dari nilai eksistensi (existensi value = XV) dan nilai warisan (bequest value = BV). Dengan
demikian nilai ekonomi total dapat diformulasikan sebagai berikut:
TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + OV) + ( XV + BV)
Pendekatan penilaian dalam perhitungan nilai manfaat kawasan CATB (ekosistem hutan
mangrove) melalui perhitungan nilai total ekonomi yaitu menggunakan pendekatan produksi
dan nilai pasar (productivity and market values), pasar pengganti, pendekatan biaya ganti
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 51
BKSDA Papua II Sorong
(replacement cost), dan contingen valuation method dengan memanfaatkan data hipotetik
mengenai kesediaan membayar dan menerima (willingness to pay/ WTP and willingness to
accept/ WTA) dari pengguna sumberdaya ekosistem hutan mangrove.
Mencermati manfaat yang dapat dihasilkan dari ekosistem mangrove, Camillle Bann (1999)
mencoba membaginya kedalam 3 domain yaitu: (i) fungsi produksi yang berkelanjutan, (ii)
fungsi pengatur lingkungan, dan (iii) fungsi Informasi. Dalam terminologi yang sifatnya
holistik, ekosistem hutan mangrove juga memiliki “keunikan” dan berfungsi secara sosial dan
ekonomi. Klasifikasi manfaat dan fungsi dari ekosistem mangrove ini, selanjutnya dapat kita
lihat pada Tabel II-21.
Table II-21. Fungsi dan Manfaat Lingkungan Ekosistem Mangrove
Fungsi Produksi Berkelanjutan Fungsi Pembawa dan Pangatur
Kayu bakar Pengendali erosi
Arang Penyerap dan recycle limbah manusia dan polutan lainnya
Ikan Memelihara biodiversity
Udang Tempat migrasi habitat
Tannin Tempat pemijahan dan pembibitan
Nipa Supplai unsur hara (nutrient)
Obat-obatan Regenerasi nutrien
Perburuan tradisional, penangkapan ikan dan pengumpulan produk
Melindungi dan memelihara terumbu karang
Sumberdaya genetic
Sosial Ekonomi/ Fungsi Konversi Fungsi Informasi
Industri dan penggunaan lahan Informasi religius dan spiritual
Tambak Inspirasi artistic dan budaya
Usahatani padi Informasi pendidikan, sejaran dan pengembangan ilmu pengetahuan
Habitat bagi penduduk asli
Tempat rekreasi
Perhitungan nilai ekonomi dari setiap jenis manfaat ekosistem hutan mangrove untuk nilai
aktual didasarkan atas asumsi-asumsi pada tingkat harga, produksi, biaya di sekitar kawasan
CATB. Sementara penilaian manfaat potensial dikawasan CATB dihitung dengan
pendekatan asumsi dalam penilaian ekonomi (Tabel II-22).
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 52
BKSDA Papua II Sorong
Tabel II-22. Asumsi Dasar Penilaian Jenis Manfaat Hutan Mangrove Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
No Jenis Manfaat Nilai Manfaat Cagar Alam Teluk Bintuni (Hutan Mangrove) (Rp/ha/thn) Asumsi Dasar Penilaian Manfaat (Aktual) 1 Kayu Bakar 2188 Luas mangrove 112.365 ha . Produksi 0.0625 m3/ha/th harga Rp. 50.000/m3; biaya 30 % dari penerimaan
2 Atap Daun Nipah 240000 Produksi 150 bengkawang/ha/thn, harga atap daun nipah Rp. 2000/bengkawang; biaya sekitar 20% dari penerimaan, dengan luas areal nipah 480 ha
3 Ikan 104837 Produksi 1178 Ton/thn; harga rata-rata Rp. 10000/Tali (2 Kg) = Rp 5.000/kg; Ikan besar (kakap merah) Rp.15.000/ekor (2 Kg) Jadi Harga rata-rata Rp 10.000,
dibagi dengan luas areal mangrove (112.365 ha)
4 Udang 789976 Produksi 1495 ton/tahun, harga US$ 6.25/kg (konversi Rp. 9500/US$), dibagi dengan luas areal mangrove (112.365 ha)
5 Kepiting/Karaka 129024 Produksi 23,04 ekor/ha/thn dengan harga Rp.7.000/ekor; biaya 20% dari penerimaan
6 Kerang/bia 76200 Produksi 19,05 kg/ha/thn dengan harga rata-rata Rp.5.000/kg; biaya 20% dari penerimaan
7 Satwaliar (Buaya, Rusa, 127264 Didasarkan pada pendapatan penggunaan lokal (berburu dan
meramu) Rp. 6,5 juta/KK/ tahun, jumlah penduduk 2200 KK, Babi, Burung) dibagi dengan luas areal mangrove
8 Pengendali Erosi 95937 Penilaian berdasarkan produktivitas pertanian lokal Rp. 4,9 juta/KK/ tahun (2200 KK), dibagi luas areal mangrove
9 Penyerapan Carbon 3441763 Diproksi dari kandungan karbon hutan mangrove 19.926 kg/ha
di Riau (E.Hilmi, 2003) dan potensi tegakan 66 m3/ha, dikonversi ke dalam tegakan mangrove per hektar (107 m3/ha); harga carbon/kg = US $ 10/ton, konvers Rp. 9.500/US$
10 Manfaat pilihan biodiversitas 142500
Nilai biodiversitas hutan mangrove perhektar US $ 1500 km2/thn atau sekitar US $ 15/ha/tahun (Ruitenbeek, 1991) konversi Rp. 9.500/US$.
11 ManfaatKeberadaan 6291000 Nilai manfaat keberadaan habitat mangrove US$ 2516/ha/thn
(Meilant, 1996) Konversi Rp. 9500 /US$ Habitat
No Jenis Manfaat Nilai Manfaat Cagar Alam Teluk Bintuni (Hutan Mangrove) (Rp/ha/thn) Asumsi Pendugaan Nilai Potensial
1 Kayu Bangunan 942000 Luas mangrove 112.365 ha (157Pohon(Batang)/ha) jenis Rhizopora sp, yang sering digunakan sebagai bahan bangunan harga Rp.10.000/Batang,Potensi Luas panen tegakan mangrove 22.473 ha (rotasi 20 thn), Biaya 40% dari penerimaan
2 Chip 17974000
Potensi tegakan mangrove 107 m3/ha; diasumsikan potensi yang digunakan untuk chip yaitu 80% yaitu 86 m3/ha, chipwood plant = 300.000 m3/thn harga ekspor chip = US $ 40/m3, dikonversi (Rp. 9500/US$), Biaya 45% dari penerimaan
Keterangan : Produksi ikan dan udang (1178 dan 1495 ton/tahun) merupakan produksi total perairan Teluk Bintuni 2003 (Sumber : Atlas Sumberdaya Pesisir), Potensi tegakan mangrove marupakan potensi keseluruhan jenis dan diasumsikan semua dipakai untuk chip
Asumsi penilaian diatas dimasukkan unsur biaya yang merupakan biaya proses produksi
seperti tenaga kerja, serta biaya produksi lainnya. Jenis manfaat kayu bakar, sagu sampai
dengan satwa liar merupakan nilai aktual yang selama ini telah ada dan dimanfaatkan oleh
masyarakat. Sementara jenis manfaat bahan bangunan dan chip merupakan nilai potensial.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 53
BKSDA Papua II Sorong
Sebagai suatu sumberdaya, penilaian ekosistem mangrove didasarkan kepada manfaat dan
fungsi-fungsi yang dihasilkan, baik fungsi produksi, ekologis, dan fungsi sosial ekonomi.
Penilaian total manfaat ekonomi dari ekosistem hutan mangrove meliputi penilaian manfaat
langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan dan manfaat keberadaan. Total nilai
ekonomi yang dihitung yaitu nilai aktual dan nilai potensial. Nilai aktual adalah nilai
pemanfaatan hutan mangrove saat ini. Nilai potensial diaproksimasi dengan menghitung
manfaat potensial yang ada dan atau berpeluang dikembangkan jika masyarakat dapat
memanfaatkan secara optimal. Keragaan nilai manfaat ekosistem mangrove kawasan CATB
dapat dilihat pada Tabel II-23.
Tabel II-23. Prediksi Nilai Ekosistem Hutan Mangrove Kawasan CATB
Jenis Manfaat Ekonomi Manfaat Ekonomi (Rp) per Ha Total Kawasan
Manfaat Langsung 1 Kayu Bangunan 150,720 16,935,652,800 2 Chip 2,926,000 328,779,990,000 3 Kayu Bakar 2,939 330,240,444 4 Atap Daun Nipah 5,126 576,000,000 5 Ikan 31,715 3,563,699,192 6 Udang 238,984 26,853,479,297 7 Kepiting/Karaka 39,200 4,404,708,000 8 Kerang/Bia 20,000 2,247,300,000 9 Satwa Liar 11,296 1,269,225,100 3,425,980 384,960,294,833 Manfaat Tidak Langsung 1 Perangkap sedimen 95,937 10,780,000,000 2 Penyerapan Karbon 2,727,916 306,522,322,200 3 Manfaat Pilihan Biodiversitas 158,333 17,791,125,000 4 Manfaat Keberadaan Habitat 6,176,667 694,041,150,000 5 Penahan abrasi 5,522,160 620,497,508,400 6 Pencegah Intrusi 211,901 23,810,233,392 14,892,915 1,673,442,338,992 Manfaat Ekonomi Kawasan 18,318,895 2,058,402,633,825 Sumber : Perhitungan data lapangan
Berdasarkan hasil analisis data Tabel II-23, diketahui bahwa total nilai ekonomi ekosistem
mangrove dapat dibedakan menjadi manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat
langsung yang ada di kawasan juga ada yang tidak bisa dimanfaatkan dan ini dikategorikan
sebagai manfaat potensial atau manfaat kesempatan. Yang termasuk kedalam nilai ini
adalah manfaat kayu jika digunakan sebagai bahan baku chip dan kayu bangunan. Sebagai
kawasan konservasi, kayu dari Cagar Alam Teluk Bintuni tidak bisa dimanfaatkan sebagai
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 54
BKSDA Papua II Sorong
sumberdaya kayu terutama untuk kegiatan komersial. Kehilangan kesempatan ini akan
menghasilkan manfaat langsung bagi penduduk dan manfaat jasa lingkungan yang nilainya
jauh lebih besar. Jika dicermati maka terlihat dari manfaat langsung dan tidak langsung,
maka manfaat langsung hanya mencapai 18,7% (Rp. 3.425.980/Ha/Tahun) sedangkan
manfaat tidak langsung dari jasa lingkungan mencapai 81,3% (Rp. 14.892.915/Ha/Tahun).
Keragaan nilai ekonomi manfaat langsung (aktual dan potensial) hutan mangrove menurut
jenis dirinci sebagai berikut: nilai tegakan hutan mangrove sebesar 89.9% meliputi manfaat
kayu bakar, kayu bangunan dan chip. Nilai manfaat langsung yang dimanfaatkan masyarakat
dari kawasan mencapai 10.1% yaitu dari atap daun nipah, hasil perikanan dan satwa liar
(meliputi ikan, udang, kepiting/karaka, kerang/bia, buaya, rusa, babi dan burung)
Nilai manfaat tidak langsung (aktual dan potensial) hutan mangrove sebagai fungsi
pengendali erosi Rp. 95.937/ha/tahun; dan sebagai penyerap carbon Rp. 2.727.916
/ha/tahun. Sementara manfaat pilihan terhadap keanekaragaman hayati hutan mangrove
sebesar Rp. 158.333/ha/tahun dan keberadaan habitat ekosistem hutan mangrove agar tetap
tersedia mempunyai nilai ekonomi Rp. 6.176.667 /ha/tahun (20,72%).
Analisis pendugaan terhadap nilai hutan mangrove Kawasan CATB merupakan gambaran
awal berapa besar nilai manfaatnya secara ekonomi . Nilai ini diprediksi masih lebih rendah,
karena belum semua manfaat hutan mangrove diperhitungkan seperti nilai manfaat obat-
obatan, konservasi habitat, perlindungan spesies langka serta hutan dataran rendah yang
luasnya ±10% dari luas kawasan. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian yang
komprehensif tentang nilai manfaat ekonomi kawasan CATB.
Meskipun dari hasil pendugaan nilai manfaat ekonomi hasil perikanan, satwa liar dan atap
daun nipah relatif cukup kecil akan tetapi nilai tersebut sangat penting karena merupakan nilai
manfaat langsung yang setiap hari dirasakan oleh masyarakat didalam dan sekitar kawasan
CATB untuk menunjang kehidupannya sehari-hari. Secara nilai ekonomi memang kayu
mangrove untuk kayu bakar, kayu bangunan dan chip menunjukan nilai terbesar akan tetapi
nilai tersebut hanya jangka pendek (sesaat). Hal yang paling penting adalah bila hutan
mangrovenya hilang maka nilai manfaat lain seperti hasil perikanan, atap daun nipah, satwa
liar serta manfaat tidak langsung seperti pengendali erosi, sebagai penyerap karbon serta
nilai manfaat pilihan keanekaragaman hayati dan keberadaan habitat akan hilang. Oleh
karena itu kelestarian hutan mangrove perlu dijaga terus agar nilai atau manfaat lain yang
diperoleh selain nilai tegakan mangrove dapat tetap diperoleh.
C. Permasalahan
Hasil pengamatan dan wawancara langsung dengan masyarkat di dalam dan sekitar
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) mengindikasikan adanya beberapa
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 55
BKSDA Papua II Sorong
permasalahan serius yang sedang terjadi di kawasan. Hal ini bisa di kategorikan sebagai
ancaman (threat) bagi keberadaan kawasan saat ini dan masa datang.
C.1 Fisik
Permasalahan fisik yang dimaksud di sini adalah kondisi fisik kawasan saat ini yang telah
mengalami ganguan yang dapat mengancam keberadaan kawasan Cagar Alam seperti letak
kawasan, infrastruktur, pengelolaan DAS, dan tumpang tindih kawasan.
C.1.1 Letak Kawasan
Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa letak kawasan Cagar Alam TB yang
sangat dekat dan pada beberapa bagian langsung berbatasan dengan pemukiman
penduduk. Bahkan beberapa kampung yang didiami oleh penduduk asli letaknya berada
dalam kawasan. Kampung-kampung yang letaknya dalam kawasan adalah Kampung
Mamuranu (Koordinat: S 20 14’8.71’’ dan E 1330 58’6.09’’), Kampung Anak Kasih (Koordinat:
E133 56.092S 20 03’ 0.69’’ dan E 1330 56’
0.92’’), Kampung Tirasai (Koordinat: S 20 03’
2.31’’ dan E 1330 51’ 6.37”). Kondisi
menyebabkan aksesibilitas masyarakat di
sekitar ke kawasan sangat mudah dan
sedikit mengalami kesulitan dalam
pengawasanya sehingga tekanan terhadap
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sangat
besar.
Hasil pengamatan di lapangan juga
menunjukan bahwa letak kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni juga berbatasan
langsung dengan hutan produksi yang merupakan areal penebangan beberapa Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) seperti PT Yotefa Sarana Timber di bagian Utara, PT Bintuni
Utama Murni Wood Industries (PT BUMWI) di bagian selatan dan PT Manokwari Lestari di
bagian Timur. Untuk keperluan Tempat Penimbunan Kayu (TPK) atau logyard beberapa
industri perkayuan tersebut membuka beberapa bagian Cagar Alam Teluk Bintuni terutama
pada ekosistem hutan dataran rendah dan sebagian hutan mangrove.
C.1.2 Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Secara fisik, di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni mengalir beberapa sungai besar dan kecil
yang bermuara di perairan Teluk Bintuni dan mempunyai fungsi sebagai sarana transportasi
bagi masyarakat lokal. Hasil pengamatan di lapangan serta informasi dari masyarakat, pada
Gambar II-37. Pembukaan lahan hutan dataran rendah untuk logyard kegiatan logging di dekat
Kampung Tirasai dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 56
BKSDA Papua II Sorong
saat musim penghujan sungai-sungai tersebut seringkali meluap dan airnya berubah warna
coklat-keruh. Hal ini mengindikasikan besarnya tingkat erosi yang terjadi pada daerah hulu
(upland) sebagai akibat “laju pengrusakan” lahan hutan yang tak terkendali. Akibatnya
substrat yang terbawa banjir di musim hujan akan menumpuk membentuk delta di muara-
muara sungai di perairan Teluk Bintuni. Hal
ini diduga karena pengusahaan hutan yang
tidak memperhatikan aspek kelestarian
lingkungan banyak terjadi pada ekosistem
hutan hujan dataran rendah yang
menyimpan potensi jenis-jenis kayu yang
bernilai komersial. Kegiatan ini umumnya
dilakukan para pemegang HPH dan
Kopermas yang memiliki konsesi di sekitar
CATB.
C.1.3 Infrastruktur
Hasil pengamatan di menunjukan bahwa infrastruktur pendukung dalam kegiatan
pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dengan luasan yang cukup besar (124. 850
ha) sangat kurang memadai. Infrastruktur yang ada saat ini hanya berupa satu buah pondok
kerja berukuran 36 m2 yang sekaligus merupakan rumah tinggal kepala resort KSDA Bintuni.
Hal ini sangat mempengaruhi kegiatan pengelolaan terutama dalam hal pengawasan dan
perlindungan kawasan.
C.2 Biologi
Permasalahan internal biologi kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni masih belum terlihat. Hal
ini karena sebagian besar ekosistem penyusun kawasan terutama ekosistem mangove
sebagai komponen ekosistem utama masih alami dan terpelihara dengan baik.
Permasalahan biologi yang bisa terlihat adalah permasalahan karena faktor eksternal yang
terjadi karena bukan merupakan hubungan antar ekosistem atau spesies . Hasil pengamatan
di lapangan berhasil diidentifikasi beberapa permasalahan yang dihadapi pada
ekosistem/flora/fauna yang berada di dalam kawasan, yaitu degradasi dan perubahan
struktur hutan dataran rendah, degradasi sebagian kecil hutan mangrove, dan penurunan
populasi beberapa jenis satwa tertentu disebabkan oleh aktivitas manusia, gejala alam, dan
faktor sosial budaya.
Aktivitas manusia yang menyebabkan terjadinya permasalahan tersebut, yaitu pembukaan
lahan untuk keperluan tempat penimbunan kayu oleh pengusaha HPH di sekitar kawasan,
Gambar II-38. Pengendapan lumpur (sedimentasi) yang membentuk delta di muara S. Bintuni/Wasian di
dalam Kawasan CTAB
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 57
BKSDA Papua II Sorong
pemumahan, pemukiman dan perladangan oleh penduduk lokal di dalam dan sekitar
kawasan, penebangan liar, dan pembangunan infrastruktur lain.
Terganggunya beberapa bagian ekosistem mangrove juga sebagai akibat gejala alam yang
disebabkan oleh angin dan erosi pinggiran sungai. Hasil pengamatan di lapangan
menunjukan bahwa terdapat beberapa bagian dari ekosistem mangrove, terutama pada
daerah-daerah dengan sungai yang terbuka luas, telah mengalami kerusakan/hilang yang
diakibatkan oleh terpaan angin dan pengikisan pinggiran sungai oleh ombak pada saat
musim angin.
Faktor lain yang memberi andil dalam permasalahan lingkungan biologi kawasan adalah sosial
budaya, masyarakat lokal telah lama dan secara turun temurun bermukim di dalam dan
sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Kondisi sosial budaya ini telah menciptakan suatu
interaksi dengan kawasan dalam bentuk pemanfaatan sumberdaya alam baik flora maupun
fauna yang ada dalam kawasan maupun ekosistemnya. Pemanfaatan jenis-jenis flora oleh
masyarakat lebih tertuju pada kayu sebagai bahan bakar dan juga bahan bangunan, seperti
pembuatan tiang-tiang rumah tradisional dan tiang pagar rumah. Pemanfaatan fauna lebih
terfokus pada perburuan satwa liar (seperti rusa, babi hutan, kasuari) dan fauna perairan
(seperti ikan, kepiting, udang, kerang). Sedangkan pemanfaatan ekosistem hanya dilakukan
oleh mayarakat lokal yang bermukim di dalam kawasan untuk keperluan tempat berkebun.
C.3. Sosial Ekonomi dan Budaya
Kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar sangat berpengaruh besar terhadap
kelestarian CATB, terutama mata pencaharian yang wilayah kerjanya berada di dalam
kawasan. Karena hal ini berhubungan dengan adanya pengambilan beberapa jenis flora dan
fauna, dimana menurut peraturan yang ada sebenarnya hal itu dilarang. Akan tetapi karena
hal tersebut sudah dilakukan sebelum ditunjuk adanya kawasan CATB, maka pengaturan
yang melibatkan dan diterima semua pihak harus dilakukan. Beberapa permasalahan sosial
ekonomi dan budaya terhadap CATB adalah menurunnya hasil tangkapan dan buruan
sebagai akibat dari praktek penangkapan hasil perikanan yang tidak ramah lingkungan dan
perburuan satwa liar (buaya, rusa dan beberapa jenis burung), adanya perkampungan
logyard (tempat penimbunan kayu) di dalam kawasan, serta tumpang tindih antara batas
kawasan dengan penggunaan lahan lain.
C.3.1. Penangkapan Hasil Perikanan yang Tidak Ramah Lingkungan
Masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan, di sekitar CATB menempati urutan
kedua (18,82 %). Oleh karena itu banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya
dalam mengambil hasil perikanan. Masyarakat yang bermata pencaharian nelayan
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 58
BKSDA Papua II Sorong
menggunakan alat tangkap jaring untuk “pele kali” , jaring berlabuh dan pancing, serta
menggunakan akar bore (tuba). Menurut informasi dari beberapa nelayan di dalam dan
sekitar Cagar Alam Teluk Bintuni, hasil tangkapan ikan sudah semakin menurun bila di
bandingkan dengan beberapa tahun lalu (3-5 tahun lalu). Hasil tangkapan yang dulu masih
mendapat “ 2 sampai 3 ember” sekarang hanya dapat “0,5 sampai 1 ember”. Selain itu
daerah tangkapan sudah semakin jauh, dimana dahulu hanya 15 sampai 30 menit dari
perkampungan, sekarang sudah memerlukan waktu 1 jam lebih bahkan sampai ke sekitar
Teluk Bintuni. Hal ini diduga disebabkan oleh kegiatan penangkapan hasil yang tidak
memeperhatikan kelestarian lingkungan yang dapat berdampak pada menurunnya populasi
biota perairan.
Berdasarkan pengamatan di lapangan serta informasi dari pengelola kawasan dan beberapa
nelayan lokal, berhasil diidentifikasi beberapa praktek penangkapan adalah penggunaan akar
bore ini dilakukan pada saat “pele kali” yang membuat ikan-ikan tersebut mabuk sehingga
mudah diambil, indikasi penangkapan ikan dengan menggunakan racun serangga
(insektisida), serta penggunaan pukat harimau (trawler) oleh perusahaan udang sampai ke
dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni .
Cara-cara penangkapan ikan yang merusak tersebut belum diberikan sangsi hukum yang
tegas. Minimnya sarana dan prasarana aparat (BKSDA Papua, II Resort Bintuni) yang hanya
ada satu orang petugas dengan luas kawasan yang sangat luas (124.850 hektar) serta belum
adanya koordinasi dengan aparat penegak hukum lain (Kepolisian dan Koramil) membuat
penegakan hukum sangat lemah.
C.3.2. Adanya Perburuan Buaya, Rusa dan Beberapa Jenis Burung
Masyarakat yang berada di sekitar kawasan CATB, ada yang bermatapencaharian dalam
berburu (Buaya, Rusa, Babi dan beberapa jenis burung), terutama masyarakat di Kampung
Naramasa, Yakati, Yensei, Mamuranu, Anak Kasih dan Tirasai. Berdasarkan hasil
wawancara dan survei lapangan, khusus untuk buaya diburu terutama oleh masyarakat
Naramasa, Yakati dan Yensei. Masyarakat tersebut berburu sepanjang Sungai Naramasa,
Yakati sampai ke dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, yaitu Sungai Sobrawara, alat
yang digunakan berupa tombak dan perahu tanpa mesin (kole-kole). Permintaan akan kulit
buaya menurut informasi dari masyarakat Naramasa masih cukup tinggi, dimana hampir
setiap minggu datang para pengumpul kulit buaya yang berasal dari Babo dan Bintuni untuk
selanjutnya dikumpulkan di Sorong lalu di jual ke Surabaya.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 59
BKSDA Papua II Sorong
Sedangkan rusa, babi dan beberapa jenis burung,
diburu di dalam kawasan CATB terutama di sekitar
Pulai Maniai, Nusuamar dan Modan. Alat yang
sering digunakan untuk berburu rusa dan babi yaitu
panah, tombak, jerat, anjing dan parang,
sedangkan untuk burung menggunakan senapan
angin. Cara masyarakat tersebut dalam berburu
dilakukan dengan dua cara yaitu berburu sendiri
dan berkelompok (5-10 orang). Hasil tangkapan
rusa dan babi, biasanya di jual dalam bentuk
dendeng.
Menurut hasil wawancara dengan beberapa
masyarakat yang bermatapencaharian berburu,
seiring dengan semakin bertambahnya jumlah
penduduk, serta tingginya permintaaan atas hasil buruan tersebut menyebakan jumlah
buaya, rusa dan beberapa jenis burung sudah semakin berkurang. Hasil buruan waktu lalu
(5-10 tahun yang lalu), dalam 1-3 hari berburu bisa mendapatkan 5-10 ekor, tapi sekarang
mereka memerlukan waktu yang lebih lama (1-2 minggu) dengan hasil 1-2 ekor ataupun tidak
dapat hasil buruan sama sekali.
Berdasarkan kondisi diatas, dengan tingginya tingkat perburuan buaya, rusa dan beberapa
jenis burung, maka hal ini dapat mengancam kelestarian terutama buaya, rusa dan beberapa
jenis burung dimana fauna tersebut merupakan kekayaan keanekaragaman hayati yang ada
di CATB.
C.3.3. Adanya Perkampungan di dalam Kawasan
Berdasarkan hasil survei lapangan
menunjukan bahwa ada beberapa kampung
(desa) yang berada di dalam kawasan
CATB yaitu Kampung Mamuranu, Anak
Kasih dan Tirasai. Keberadaan kampung-
kampung tersebut terutama Kampung
Mamuranu memang sudah ada sebelum
adanya penunjukan CATB. Dengan
keberadaan ketiga kampung tersebut, maka
masyarakat yang tinggal di kampung
tersebut dalam melakukan aktivitasnya
sehari-hari akan sangat tergantung pada sumberdaya alam yang ada di dalam CATB. Selain
Gambar II-40 Salah satu Kondisi Pemukiman penduduk (K. Mamuranu) yang terletak di dalam
Kawasan CTAB
Gambar II-39. Masyarakat baru pulang berburu di dalam Kawasan CATB
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 60
BKSDA Papua II Sorong
itu dengan “dibentuknya” perkampungan baru seperti Kampung Anak Kasih dan Tirasai di
dalam CATB, akan semakin bertambahnya masyarakat yang tergantung terhadap
sumberdaya alam dalam aktivitasnya sehari-hari.
Kondisi diatas diperburuk dengan adanya pembuatan “perumahan sosial” oleh pihak Pemda
Propinsi Papua pada tahaun 2003, dengan dibangunnya 54 rumah semi permanen di
Kampung Anak Kasih (di dalam kawasan CATB), tanpa adanya koordinasi khususnya
dengan BKSDA resort Bintuni. Hal tersebut akan menambah jumlah masyarakat yang akan
tinggal di dalam kawasan CATB, sehingga semakin besar sumberdaya alam yang akan
diambil yang selanjutnya menyebabkan jumlah dan jenis flora maupun fauna di dalam
kawasan CATB semakin menurun.
C.3.4. Tumpang tindih antara Batas Kawasan dengan Penggunaan Lahan lain.
Pemukiman transmigrasi yang ada di sebelah Utara batas kawasan CATB mulai tahun 1994,
memberikan permasalahan yaitu adanya lahan usaha 2 (LU 2) Kampung Banjar Ausoy SP 4
(200 hektar) dan Waraitama SP 1 (160 hektar) masuk kedalam kawasan. Hal ini terjadi
karena tidak adanya koordinasi antara pihak transmigrasi dengan BKSDA Papua 2 Resort
Bintuni pada saat penetapan LU 2
tersebut serta belum dilaksanakannya
proses tata batas.
Berdasarkan hasil wawancara dengan
masyarakat di semua kampung yang ada
di sekitar kawasan, lebih dari 60%
responden (46 responden atau 65,7%)
kurang mengetahui adanya batas
kawasan CATB. Hal ini menunjukan
bahwa proses penataan batas tahap 1
tahun 1997 (tata batas persekutuan) batas
Utara dan Timur serta tahap 2 tahun 1999 batas Barat dan Selatan, belum tersosialisasi
dengan baik atau kurang melibatkan masyarakat setempat. Oleh karena itu dalam rangka
rencana pengelolaanya, maka diperlukan proses penataan batas ulang dimana dalam
prosesnya melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan serta adanya proses sosialisasi.
C.3.4. Adanya Tempat Penimbunan Kayu (Logyard) di dalam Kawasan
Adanya hak pengusahaan hutan (HPH) mulai Tahun 1990 dan IPKMA (Izin Pemanfaatan
Kayu Masyarakat Adat)/ Kopermas (Tahun 2002) yang berada di sekitar serta bagian hulu
CATB memberikan dampak yang cukup besar terhadap kelestarian CATB. HPH/IPKMA
tersebut mengeluarkan kayu untuk selanjutnya di kumpulkan disuatu tempat yang disebut
Gambar II-41 Diskusi dengan Masyarakat Banjar Ausoy tentang Tumpang Tindih LU 2 dengan Batas kawasan
CATB
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 61
BKSDA Papua II Sorong
dengan Tempat Penimbunan Kayu (Logyard). Karena sarana angkutan selanjutnya untuk
membawa kayu keluar Bintuni menggunakan transportasi sungai dan laut, maka Logyard
tersebut dibuat di sekitar sungai dan pada umumnya posisinya berada di dalam kawasan
CATB. Beberapa Logyard yang berada di dalam kawasan CATB yaitu Logyard 4 (di Sungai
Muturi) PT. Yotefa Sarana Timber dan IPKMA/Kopermas, Logyard Anak Kasih di Sungai
Tikamari/Anak Kasih di buat oleh IPKMA/Kopermas, Logyard Sumberi dibuat oleh
IPKMA/Kopermas, Logyard SP 5 di Sungai Sigirang dibuat oleh IPKMA/Kopermas, Logyard 5
di Sungai Awarepi dibuat oleh IPKMA/Kopermas, serta Logyard SP 4 di Sungai Banjar Ausoy
di buat oleh IPKMA/Kopermas.
Keberadaan Logyard tersebut mengakibatkan datangnya masyarakat untuk tinggal di sekitar
Logyard tersebut, karena di lokasi tersebut telah dibangun rumah karyawan dan perkantoran
yang dilengkapi dengan sarana lain seperi listrik, air bersih serta sarana hiburannya lainnya.
Akibat lain yang ditimbulkan dengan adanya Logyard tersebut, yaitu semakin mudahnya
akses masyarakat untuk masuk kedalam kawasan CATB, karena jalan darat telah dibuat dari
daerah penebangan sampai ke Logyard. Dengan kondisi tersebut maka akan semakin
banyak masyarakat yang akan tinggal di dalam kawasan serta akses masyarakat untuk
memanfaatkan sumberdaya alam di dalam CATB semakin besar sehingga akan mengurangi
jumlah dan jenis flora dan fauna yang ada.
D. Faktor Penghambat
Pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni akan berhasil apabila bisa mengurangi
faktor penghambat yang ada. Faktor penghambat merupakan suatu kondisi dimana lembaga
pengelola dalam hal ini BKSDA Papua 2, tidak memiliki kewenangan (Authority) untuk
menyelesaikannya. Beberapa faktor penghambat yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan
CATB antara lain :
D.1. Pengembangan Wilayah Kabupaten Teluk Bintuni
Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kabupaten Teluk Bintuni sampai saat ini belum ada.,
Dokumen yang telah ada yaitu Rencana Detil Tata Ruang (RDTRK) Kota Bintuni tahun 2004.
Berdasarkan dokumen RDTRK Kota Bintuni, Kota Bintuni meliputi Kampung Sibena sampai
dengan Kampung Argosigemerai (SP5). Pola ruang Kota Bintuni yang terbentuk berupa
Strip Development, dimana bentuk kotanya memanjang dari Barat ke Timur. Kondisi diatas
menimbulkan konsekuensi dari adanya dua “generator” aktivitas yang sama kuatnya. Satu
“generator” berada di ujung barat kota, kelurahan bintuni barat dan timur bersama-sama
dengan Kampung Sibena, yang merupakan cikal bakal Kota Bintuni, dan di ujung timur kota,
“generator” aktivitas baru yang muncul sebagai akibat keberadaan kawasan pusat
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Keadaan Umum Kawasan II - 62
BKSDA Papua II Sorong
pemerintahan Kabupaten Teluk Bintuni (dekat dengan Kampung Korano Jaya) beserta
kegiatan-kegiatan ikutan yang menyertainya.
Berdasarkan kondisi diatas maka dimasa yang akan datang, mulai dari Kampung Sibena
sampai dengan Kawasan pusat pemerintahan Kabupaten Teluk Bintuni diprediksi akan
menjadi kawasan pemukiman/perkantoran/perdagangan serta aktivitas lainnya. Apabila
melihat posisi dari kota yang memanjang sepanjang jalan, dimana sebelah Selatan dari jalan
dengan jarak 1 sampai 5 Km, merupakan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) maka
akses masyarakat kedalam kawasan CATB akan semakin mudah. Hal ini akan menjadi
ancaman yang cukup serius terutama kawasan CATB di Bagian Barat dan Utara yang
berdekatan sepanjang jalan/perkampungan. Dengan semakin mudahnya akses masyarakat
ke dalam kawasan CATB, maka peluang masyarakat untuk mengambil flora, fauna dan
lahan untuk kebun akan semakin besar sehingga kelestarian CATB semakn menurun.
D.2 Kapasitas Pengelola Kawasan
Salah satu faktor penentu dalam pengelolaan suatu kawasan konservasi adalah peranan dan
kapasitas pengelola baik dari jumlah (quantity) dan kemampuan (quality/skill). Kondisi saat
ini (current situation) menunjukan bahwa kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dengan luasan
yang cukup besar (± 124.850 ha) hanya di awasi oleh seorang kepala resort yang dibantu
dua orang jagawana. Hal ini diperparah lagi dengan minimnya sarana pendukung seperti
perahu motor (longboat) dan kemampuan managerial yang terbatas. Hal ini sangat
mempengaruhi atau bahkan boleh dikatakan sebagai faktor penghambat dalam mencapai
tujuan pengelolaan dan tujuan pembangunan suatu kawasan konservasi, khususnya Cagar
Alam.
D.3 Peran Masyarakat (Community involvement)
Kaitannya dengan pelestarian kawasan, peran masyarakat sekitar sangat strategis dan
prospekstif. Dikatakan strategis sebab tanpa partisipasi nyata masyarakat sekitar, tidak
mungkin kawasan konservasi tersebut akan lestari. Dikatakan prospektif dengan keyakinan
bahwa masyarakat di dalam dan sekitar kawasan tidak akan menolak upaya pemberdayaan
yang sangat terkait langsung dengan kepentingannya. Hasil pengamatan di lapangan
mengindikasikan bahwa peran masyarakat dalam dan sekitar kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni dalam ikut menjaga kelestarian kawasan masih rendah. Hal ini bisa terlihat dari
terganggunya beberapa bagian kawasan Cagar Alam yang juga “melibatkan” masyarakat di
dalam dan sekitar kawasan seperti pembukaan lahan untuk logyard milik Kopermas dan
perambahan hutan untuk kegiatan perladangan (shifting cultivation). Kemungkinan besar
karena pengetahuan masyarakat tentang pentingnya kawasan relatif kurang bahkan tidak
mengerti sama sekali.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Kebijakan III - 1
BKSDA Papua II Sorong
III. KEBIJAKAN
A. Dasar Hukum
Peraturan-peraturan Perundangan yang terkait dengan Pengelolaan Cagar Alam di Indonesia
adalah sebagai berikut:
1. UUD 1945, Pasal 33 ayat 3
2. UU NO.5 tahun 1960, tentang Agraria
3. UU No. 11 tahun 1974, tentang Irigasi
4. UU No.5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
5. UU NO.9 tahun 1990, tentang Pariwisata
6. UU No. 24 tahun 1992, tentang Penataan Ruang
7. UU No. 5 tahun 1994, tentang Ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati
8. UU No. 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
9. UU No. 41 tahun 1999, tentang Kehutanan
10. UU NO.31 tahun 2004, tentang Perikanan
11. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
12. PP No. 64 tahun 1967, tentang Delegasi Wewenang Perkenbunan, Perikanan
dan Kehutanan kepada Daerah .Swantara" Tingkat I
13. PP No. 29 Tahun 1986, tentang Analisa Lingkungan
14. PP No. 15 tahun 1990, tentang Usaha Perikanan
15. PP No. 20 tahun 1990, tentang Pemantauan Polusi Air
16. PP No. 27 tahun 1991, tentang Rawa-rawa
17. PP No. 35 tahun 1991, tentang Sungai-sungai
18. PP No. 69 tahun 1996, tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Serta Bentuk
dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang
19. PP No. 47 tahun 1997, tentang Tata Ruang Wilayah Nasional
20. PP No. 68 tahun 1998, tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam
21. PP No. 27/1999 tentang AMDAL
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Kebijakan III - 2
BKSDA Papua II Sorong
22. PP No. 63 tahun 2002, tentang Hutan Kota
23. PP No. 34 tahun 2002, tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan
24. PP No. 45 tahun 2004, tentang Perlindungan Hutan
25. Perpu No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang Undang No. 41
tentang Kehutanan
26. Keppres No. 57 tahun 1989, tentang Komisi Pengarah untuk Pengelolaan
Klasifikasi Lahan Nasional
27. Keppres No. 32 tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
28. Keppres No. 48/1991 tentang Pengesahan Konvensi Ramsar
29. Instruksi Mendagri No. 26/1997, tentang Perlindungan Hutan Mangrove sebagai
Jalur Hijau
B. Kebijakan Konservasi Biodiversity di Indonesia
Indonesia memberikan perhatian yang besar kepada konservasi keanekaragaman hayati.
Kebijakan ini dapat dilihat dalam BAPI (The Biodiversity Action Plan for Indonesia, 1993) dan
IBSAP (Indonesia Biodiversity Strategi and Action Plan, 2003). Kondisi kenaekaragaman
hayati (biodiversity) Indonesia dan proses degradasi yang terjadi dapat dilihat di dalam
IBSAP. Sumber atau penyebab degradasi ini antara lain adalah kebakaran hutan,
perambahan hutan, penebangan liar, penggunaan teknologi yang merusak, kurangnya
pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan keanekaragaman hayati dan lingkungan.
Selain itu, kurangnya kelengkapan peraturan dan perundangan serta lemahnya penegakan
hukum dalam bidang konservasi biodiversity/lingkungan juga menyebabkan proses degradasi
semakin cepat.
Ada sedikit perbedaan antara BAPI dan IBSAP, antara lain :
- BAPI 1993 digunakan hanya untuk memahami histori action plan nasional sebagai
dokumen nasional pertama dalam konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia.
- IBSAP 2003 sebagai dokumen nasional kedua dalam konservasi keanekaragaman hayati
di Indonesia, menggantikan BAPI 1993, yang merupakan rujukan utama yang digunakan
sebagai pembanding untuk identifikasi isu-isu konservasi di Indonesia.
B.1. BAPI (The Biodiversity Action Plan for Indonesia) 1993
Sebelum meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai
Keanekeragaman Hayati, Indonesia telah menyusun BAPI. Dengan adanya BAPI 1993 maka
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Kebijakan III - 3
BKSDA Papua II Sorong
diharapkan akan ada panduan untuk menetapkan prioritas dan investasi di bidang konservasi
keanekaragaman hayati terutama untuk periode Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita) V dan VI (hingga 1999). Tujuan ataupun sasaran yang ditetapkan adalah
mengkonservasi sebanyak mungkin keanekaragaman hayati untuk menjadi tumpuan
kehidupan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Tujuan utama dari BAPI 1993 adalah :
1. Memperlambat laju kehilangan tutupan hutan primer, lahan basah, terumbu karang
serta habitat daratan maupun lautan lainnya yang sangat penting bagi keberadaan
keanekaragaman hayati.
2. Mengembangkan ketersediaan data dan informasi tentang kekayaan keanekaragaman
hayati nasional, sehingga dapat dimanfaatkan oleh para pembuat kebijakan dan
masyarakat luas.
3. Memperluas pemanfaatan sumberdaya hayati secara lestari dan lebih ramah
lingkungan dibandingkan praktik yang telah berlangsung selama ini.
Prioritas dari BAPI ada 4 (empat) kegiatan utama, yaitu :
1. Konservasi in-situ taman nasional dan kawasan lindung daratan;
2. Konservasi in-situ di luar kawasan lindung, mencakup kawasan hutan, lahan basah dan
kawasan budidaya pertanian;
3. Konservasi sumberdaya pesisir dan laut;
4. Konservasi eks-situ melalui bank gen dan bank benih, perlindungan varietas, dan
program penangkaran.
Di dalam BAPI tidak disebutkan pihak/lembaga yang dengan tegas bertanggungjawab
menjamin implementasi serta pencapaian sasaran dan tujuan yang ditetapkan. Selain itu,
BAPI 1993 juga tidak mempunyai dasar hukum formal dalam struktur perundangan nasional
sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Aspek sosial ekonomi, NGO
dan kerjasama internasional juga tidak terdapat dalam dokumen BAPI 1993. Isu-isu yang
ada dalam BAPI adalah :
1. Isu yang terkait dengan aspek kebijakan, yaitu isu mengenai kapasitas SDM
2. Isu yang terkait dengan aspek pengelolaan biodiversity, terdiri dari konservasi in-situ
dan eks-situ biodiversity, partisipasi masyarakat, pendidikan dan pelatihan, serta
valuasi biodiversity.
3. Isu yang terkait dengan aspek sistem informasi dan teknologi, yaitu isu mengenai riset
dan training.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Kebijakan III - 4
BKSDA Papua II Sorong
B.2. IBSAP (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan) 2003
IBSAP 2003 merupakan penyempurnaan dari BAPI 1993 dan merupakan strategi dan
rencana aksi biodiversity nasional. IBSAP 2003 mempunyai tujuan :
1. Melakukan kajian atas kebutuhan dan aksi prioritas yang tercantum dalam BAPI 1993
untuk mengetahui apa saja yang sudah dicapai, apa yang belum dilaksanakan, dan
mencari penyebab mengapa dana dan/atau motivasi yang diperlukan belum
didapatkan;
2. Mengidentifikasi kebutuhan dan aksi prioritas yang baru dan merevisi rencana aksi
menurut perubahan yang mungkin akan terjadi pada kebijakan lingkungan hidup di
masa yang akan datang;
3. Menentukan peluang dan kendala yang ada saat ini dalam konservasi dan
pemanfaatan berkelanjutan atas keanekaragaman hayati secara efektif, termasuk
kekurangan dalam pengetahuan yang ada dan sasaran serta tindakan yang realistis
untuk menutup kekurangan ini;
4. Menyusun strategi baru yang jelas, dan disertai dengan rencana aksi yang rinci.
Isu-isu tentang biodiversity adalah sebagai berikut :
1. Isu yang terkait dengan aspek kebijakan/kelembagaan, terdiri dari isu masalah
kebijakan yang over eksploitasi, sentralistis, sektoral, dan tidak partisipatif, serta
penegakan hukum dan kelembagaan yang lemah;
2. Isu yang terkait dengan aspek pengelolaan biodiversity, mencakup isu mengenai
¶ Berdasarkan inventarisasi hutan, Pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan
hutan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan tersebut. (Pasal14 UU
No. 41/1999).
¶ Pemerintah Propinsi menetapkan wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan lindung
dalam suatu Peraturan Daerah. Pemerintah Kabupaten menjabarkan lebih lanjut
kawasan lindung ke dalam peta yang lebih detil dengan Peraturan Daerah. (Pasal 34
Keppres No. 32/1990).
¶ Pemerintah menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem
penyangga kehidupan. (UU No. 5/1990).
Secara spesifik, rencana atau pokok kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan hutan
mangrove, Departemen Kehutanan telah, sedang, dan akan melakukan kegiatan-kegiatan
baik dalam bentuk kegiatan operasional teknis di lapangan maupun yang bersifat konseptual.
Kegiatan-kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Operasional Teknis
Sejak Tahun Anggaran 1994/1995 sampai dengan Tahun Dinas 2001, kegiatan
operasional teknis yang dilaksanakan di lapangan oleh Balai/Sub Balai RLKT
(sekarang bernama Balai Pengelolaan DAS) sebagai Unit Pelaksana Teknis
Departemen Kehutanan adalah rehabilitasi hutan mangrove di luar kawasan hutan
dan di dalam kawasan hutan seluas 22.699 Ha melalui bantuan bibit, pembuatan unit
percontohan empang parit dan penanaman/rehab bakau, yang tersebar di 18
Propinsi.
2. Penyusunan Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove.
3. Inventarisasi kerusakan hutan mangrove (22 Propinsi).
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Kebijakan III - 26
BKSDA Papua II Sorong
4. Penyusunan basis data pengelolaan hutan mangrove.
5. Penyusunan Rencana Tata Ruang Daerah Pantai Kabupaten.
D. Pengembangan Wilayah
Pengembangan wilayah harus dipandang sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya wilayah
agar sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan demikian
pengembangan wilayah adalah bagian tak terpisahkan dari tujuan pembangunan secara
keseluruhan. Kabupaten Teluk Bintuni yang merupakan Kabupaten Pemekaran (12
November 2002) dari Kabupaten Manokwari harus segera memecahkan beragam
permasalahan yang dihadapi masyarakat, kesenjangan antar wilayah, pengembangan
sentra-senta produksi, serta peningkatan kualitas hidup masyarakat adalah beberapa dari
sejumlah program pembangunan yang harus dilaksanakan.
Berdasarkan kondisi diatas, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni dituntut untuk
memaksimalkan semua sumberdaya yang ada (manusia, alam dan buatan) untuk
mewujudkan pembangunan di semua bidang. Salah satu modal pembangunan dari
Kabupaten Teluk Bintuni yaitu sumberdaya alam (SDA) yaitu berupa SDA hutan, perikanan,
pertanian, pertambangan (batubara), serta gas bumi (LNG Tangguh). SDA alam yang ada di
kabupaten Teluk Bintuni diantaranya yaitu berada dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
(CATB). SDA hasil perikanan merupakan SDA yang banyak terdapat di dalam kawasan
CATB. Selain itu flora serta fauna yang eksotis (mangrove, buaya, rusa, serta beberapa jenis
burung) terdapat di dalam kawasan CATB. Sesuai dengan fungsinya yang merupakan
kawasan konservasi, CATB memiliki peranan yang cukup besar dalam menjaga kelestarian
ekosistem di sekitar Teluk Bintuni. Akan tetapi seiring dengan rencana pembangunan yang
akan dilakukan, kawasan CATB tidak akan terlepas dari pengaruh untuk dimanfaatkan
sebagai modal pembagunan. Oleh karena itu setiap rencana pembangunan yang akan
dilakukan oleh pemda, harus ada koordinasi dengan BKSDA Papua 2 yang memiliki kantor
Resort di Bintuni.
D.1. Tinjauan Penataan Ruang Kota Kabupaten Teluk Bintuni
Awal dari proses penataan ruang adalah beranjak dari adanya kebutuhan untuk melakukan
perubahan sebagai akibat dari perubahan pengelolaan maupun akibat perubahan-perubahan
keadaan (peningkatan kesejahteraan, bencana alam, perkembangan sosial dan lain-lain).
Jadi pada dasarnya harus ada dua kondisi yang harus dipenuhi di dalam perencanaan tata
ruang (Clayton and Dent, 1993, dalam Rustiadi et al., 2003):
1. Kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah
terjadinya perubahan yang tidak diinginkan
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Kebijakan III - 27
BKSDA Papua II Sorong
2. Adanya political will dan kemampuan untuk mengimplementasikan perencanaan yang
disusun.
Dengan demikian penyusunan perencanaan tata ruang pada dasarnya bukan merupakan
suatu keharusan tanpa sebab, melainkan lahir dari adanya kebutuhan. Sasaran utama dari
perencanaan tata ruang pada dasarnya adalah untuk menghasilkan penggunaan yang
terbaik, namun biasanya dapat dikelompokan atas tiga sasaran umum: 1) efisiensi, 2)
keadilan dan akseptabilitas masyarakat, dan 3) keberlanjutan. Sasaran efisiensi merujuk
pada manfaat ekonomi, dimana dalam konteks kepentingan publik pemanfaatan ruang
diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (publik). Tata ruang harus
merupakan perwujudan keadilan dan melibatkan partisipasi masyarakat, oleh karenanya
perencanaan yang disusun harus dapat diterima oleh masyarakat. Perencanaan tata ruang
juga harus berorientasi pada keseimbangan fisik dan sosial sehingga menjamin peningkatan
kesejahteraan secara berkelanjutan.
Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kabupaten Teluk Bintuni sampai saat ini belum ada,
sehingga terdapat kesulitan untuk mengetahui arahan pembangunan untuk tingkat
Kabupaten., Dokumen yang telah ada yaitu Rencana Detil Tata Ruang (RDTRK) Kota Bintuni
tahun 2004. RDTRK Kota Bintuni dapat dijadikan sebagai dasar untuk melihat arahan
pembangunan yang akan mempengaruhi terhadap kawasan, karena kawasan CATB
letaknya berdekatan dengan Kota Bintuni. Berdasarkan RDTRK Kota Bintuni, ibu kota
Gambar III-1. Rencana Pola Perkembangan Kota Bintuni sebagai Ibukota Kabupaten Teluk Bintuni
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Kebijakan III - 28
BKSDA Papua II Sorong
kabupaten mulai dari Kampung Sibena sampai dengan Kampung Argosigemerai (SP5), serta
telah dibangunnya pusat pemerintahan Kabupaten Teluk Bintuni yang berjarak 27 Km
sebelah Timur dari Kota Bintuni (dekat Kampung Korano Jaya). Selain itu berdasarkan
RDTRK Kota Bintuni, Kampung Argo Sigemerai direncanakan sebagai kawasan komersil dan
bisnis baru berskala regional.
Berdasarkan kondisi diatas maka dapat dilihat bahwa batas Barat Laut dan Utara kawasan
CATB, merupakan daerah yang sangat dekat dengan perkampungan dan pusat aktivitas
lainnya. Agar kawasan CATB dapat terjaga dengan baik maka perlu adanya daerafh buffer
antara jalan dengan batas kawasan CATB. Selain itu untuk mengurangi tekanan terhadap
penggunaan lahan, maka setiap pemanfaatan/penggunaan lahan dilakukan di sebelah Utara
jalan Trans Bintuni – Manokwari..
Perencanaan pengembangan sektor pertanian/perkebunan sebaiknya dikembangkan di
sebelah Utara jalan Trans Bintuni – Manokwari, karena daerah tersebut merupakan daerah
hutan dataran rendah serta menjauh dari batas kawasan CATB. Selain itu untuk
pengembangan sektor lain seperti perikanan diharapkan dilakukan di luar kawasan CATB,
agar tidak terjadinya konflik kepentingan karena kawasan tersebut merupakan kawasan
konservasi.
D.2. Hubungan Ruang Kawasan Cagar Alam dengan Daerah Sekitarnya
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) secara geografis merupakan daerah hilir dari
beberapa sungai besar seperi Sungai Muturi, Bokor, Tirasai, Kodai, Tatawori, Naramasa
serta beberapa sungai kecil lainnya, untuk selanjutnya aliran sungai tersebut masuk ke Teluk
Bintuni. Daerah hulu dari sungai-sungai tersebut merupakan kawasan hutan yang sampai
saat ini masih merupakan hutan produksi. Dengan adanya Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
maka kondisi hutan di bagian hulu sungai tersebut semakin rusak sehingga dapat
mengakibatkan erosi dan tingkat sedimentasi di setiap sungai semakin besar. Melihat kondisi
diatas maka kawasan CATB merupakan daerah buffer sebelum aliran sungai masuk ke Teluk
Bintuni.
Perubahan pola penggunaan lahan di hulu DAS dari hutan alam menjadi usaha hutan baik
oleh masyarakat maupun HPH, ditambah dengan usaha pertanian yang tidak sesuai daya
dukung lahan menyebabkan laju erosi dan sedimentasi bertambah. Penambahan besar erosi
dan sedimentasi menyebabkan tekanan terhadap kawasan cagar alam semakin besar.
Sedimentasi yang memasuki kawasan mempunyai peran ganda, sebagai potensi pendukung
keberadaan ekosistem mangrove dan sekaligus ancaman. Mangrove hanya bisa
berkembang jika ada suplai sedimen sebagai substrat pertumbuhan. Tetapi bila sedimentasi
bertambahnya sangat cepat maka laju perubahan semakin cepat dimana perubahan dari
ekosistem mangrove menjadi hutan dataran rendah lebih cepat dari terbentuknya mangrove
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Kebijakan III - 29
BKSDA Papua II Sorong
baru. Jika ini berkembang terus maka luas kawasan hutan mangrove semakin kecil dan
keberadaan cagar alam ini menjadi terancam. Perubahan ekosistem ini akan menyebabkan
terjadinya kehilangan fungsi ekonomi kawasan sebagai spawning ground bagi ikan, kepiting,
udang yang merupakan sumber pencaharian masyarakat yang berdiam di dalam dan sekitar
Cagar Alam Teluk Bintuni
Pada sisi lain, pola transportasi ke dan dari Kabupaten umumnya menggunakan sungai.
Kondisi ini menyebabkan akses di dekat dan dalam kawasan sangat intens untuk
transportasi. Sungai Wasian (Sungai Steenkol) yang merupakan batas alam sebelah Timur
kawasan CATB, merupakan ”pintu gerbang” bagi masuknya kapal penumpang/barang dari
Sorong ataupun daerah lain. Melihat posisi muara sungai tersebut yang sangat dipengaruhi
oleh sungai-sungai yang berasal dari kawasan CATB (terutama Sungai Muturi) dimana
tingkat sedimentasinya sudah tinggi, maka berdasarkan pengamatan lapangan sedimentasi
di muara Sungai Wasian semakin mempersempit muaranya. Dengan kondisi demikian maka
bukan hal yang mustahil dimasa yang akan datang kapal-kapal tidak dapat lagi masuk ke
Sungai Wasian, sehingga dari perhubungan laut Kabupaten Teluk Bintuni akan terisolir. Hal
tersebut menunjukan bahwa peranan kawasan CATB sebagai daerah buffer bagi aliran
sungai yang bermuara di Teluk Bintuni cukup besar, sehingga hal yang sangat penting untuk
menjaga kelestarian kawasan CATB.
Teluk Bintuni terkenal sebagai daerah penghasil beberapa jenis hasil perikanan seperti ikan,
udang, kepiting (karaka) dan lain-lain. Hal ini ditunjukan dengan berdirinya perusahaan-
perusahaan perikanan, salah satunya yaitu PT. Bintuni Mina Raya yang berlokasi di Wimro
Distrik Babo. Selain itu banyak masyarakat yang tinggal di sekitar Teluk Bintuni atau
kawasan CATB yang bermatapencaharian sebagai nelayan. Kawasan CATB mayoritas
wilayahnya (lebih dari 90%) merupakan hutan mangrove (mangi-mangi) dengan luasan
seluruhnya 124.850 hektar, yang merupakan tempat mencari makan (feeding ground), tempat
memijah (spawning ground) dan tempat berkembang biak (nursery ground) bagi berbagai
jenis ikan, udang, kerang, dan bagi biota laut lainnya. Berdasarkan kondisi diatas
menunjukan bahwa kawasan CATB merupakan ”rumah/gudang” dari beberapa jenis hasil
perikanan, sehingga memiliki peranan yang cukup penting bagi keberlangsungan produksi
perikanan di Teluk Bintuni dan sekitarnya.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas menunjukan bahwa kawasan CATB perlu dijaga
kelestariannya, karena memiliki peranan yang cukup penting dalam menjaga fungsinya
sebagai buffer bagi aliran sungai yang masuk ke Teluk Bintuni serta sebagai ”rumah/gudang”
bagi berbagai jenis hasil perikanan agar Teluk Bintuni tetap menjadi daerah penghasil ikan.
Oleh karena itu dalam kebijakan pengembangan wilayah, diharapkan agar dapat
meminimalkan akses/pemanfaatan terhadap kawasan CATB agar kelestariannya dapat
terjaga.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 1
BKSDA Papua II Sorong
IV. ANALISIS PERMASALAHAN
A. Pengelolaan dan Kebijaksanaan
Aspek pengelolaan menguraikan tentang tujuan pengelolaan, evaluasi kondisi pengelolaan,
dan input-input dalam rangka merumuskan strategi kebijaksanaan. Sedangkan aspek
kebijaksanaan menguraikan tentang perkembangan kebijakan yang ada dan digunakan
sebagai dasar untuk memenuhi fungsi kawasan beserta efektifitasnya. Pengelolaan dan
kebijaksanaan dalam analisis difokuskan kepada tujuan penyusunan Rencana Pengelolaan
Kawasan.
A.1 Permasalahan
A.1.1 Aspek Pengelolaan
Dalam pengelolaan suatu kawasan konservasi, permasalahan yang merupakan kelemahan
yang bersifat teknis dan atau non-teknis merupakan hal sering terjadi. Permasalahan ini juga
dijumpai di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Beberapa permasalahan dari aspek
pengelolaan yang berhasil teridentifikasi antara lain adalah :
1. Status Kawasan secara yuridis formal masih lemah
Status kawasan konservasi Cagar Alam Teluk Bintuni sampai saat ini masih dalam status
hukum penunjukan dan belum penetapan. Disamping itu, tata ruang daerah juga belum resmi
ada. Kondisi ini secara hukum membuat kepastian kawasan menjadi sangat rawan karena ke
depan, proses perkembangan wilayah dan tekanan terhadap cagar alam cukup besar,
sementara status masih penunjukan. Jika pemerintah daerah membuat perda dalam tata
ruang yang mengurangi atau menghilangkan cagar alam, maka tidak ada alasan untuk
membatalkannya karena secara hukum, keberadaan kawasan masih dalam tahap
penunjukkan dan belum penetapan.
2. Kurangnya koordinasi Pengelola Cagar Alam dengan jajaran Pemerintah Daerah
Pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni masih sepenuhnya ditangani oleh institusi
yang berstatus instansi pusat dan wewenang kendali ada pada BKSDA Papua II Sorong dan
bukan di wilayah atau kawasan Cagar Alam. Kondisi ini sangat potensial menyebabkan
kegiatan pengelolaan belum bisa maksimal dan efektif. Informasi yang diperoleh dari
pengelola teknis Cagar Alam Teluk Bintuni menunjukan bahwa tanggung jawab pengelolaan
terkesan sepenuhnya berada di tangan KSDA Bintuni dan belum mendapat dukungan dari
pemerintah daerah, padahal pengelolaan dan pengawasan kawasan konservasi juga menjadi
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 2
BKSDA Papua II Sorong
bagian tanggung jawab Pemerintah Daerah. Kondisi sebagai kabupaten baru juga menjadi
salah satu penyebab masalah ini muncul. Peranan institusi pengelola dalam mengikuti
mekanisme koordinasi dan birokrasi dengan Pemerintah Daerah (PEMDA) juga masih kurang
efektif. Ini bisa disebabkan karena adanya perbedaan struktur dan eselonisasi antara
pengelola dengan dinas di dalam Pemda. Hal ini di perparah lagi dengan birokrasi yang
panjang yang harus di tempuh oleh institusi pengelola di daerah dalam membuat kebijakan-
kebijakan yang menyangkut pengelolaan kawasan karena tanggungjawab dan kendali masih
ada di BKSDA Papua II yang berkedudukan di Sorong.
Selain dengan pemerintah daerah di
Kabupaten, koordinasi yang lemah juga
terlihat muncul dengan pemerintah propinsi.
Teluk Bintuni yang dulunya masih kecamatan
dan berinduk di Propinsi Papua mempunyai
kendala jarak. Akibatnya, koordinasi yang
lemah ini juga terlihat dari ditemukannya
pembangunan pemukiman masyarakat di
Anak Kasih oleh Dinas Sosial Propinsi Papua
dan lokasi ini berada di dalam kawasan cagar
alam. Seharusnya penempatan wilayah
pemukiman baru didasarkan kepada peta dan
tata ruang wilayah sehingga keberadaan kawasan konservasi dan batasnya bisa menjadi
pertimbangan pembangunan.
3. Peran institusi pengelola belum maksimal.
Institusi pengelola kawasan konservasi di daerah, dalam hal ini Balai Konservasi Sumberdaya
Alam (BKSDA) Papua II merupakan perpanjangan tangan institusi pusat (PHKA). Dalam
aktivitas kegiatannya, balai membawahi kegiatan pengelolaan kawasan di 14 Kabupaten,
seperti : Kabupaten Biak, Numfor, Serui, Waropen, Manokwari, Teluk Wondama, Teluk
Bintuni, Sorong, Sorong Selatan, Raja Ampat, Fak-fak, Kaimana, Mimika, dan kota Sorong.
Khusus untuk Wilayah Kabupaten Teluk Bintuni, institusi pengelola kawasan konservasi yang
ada adalah Resort KSDA Bintuni yang membawahi dua kawasan Cagar Alam, yaitu Cagar
Alam Wagura Kote dan Cagar Alam Teluk Bintuni. Bila dilihat dari kondisi geografis, luas
kawasan, beragamnya obyek yang harus dikelola, serta “rumitnya” mekanisme birokrasi yang
harus diikuti, tanggung jawab instansi ini terasa sangat berat dalam mencapai tujuan
pengelolaan kawasan. Keberadaan koordinasi yang berada di Sorong dan aksesibilitas serta
komunikasi ke wilayah Teluk Bintuni juga menjadi salah satu sebab kurang optimalnya peran
institusi pengelola.
Gambar IV-1. Pemukiman di Desa Anak Kasih yang dibangun Dinas Sosial Propinsi Papua
dan berada dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 3
BKSDA Papua II Sorong
4. Minimnya kapasitas dan jumlah sumberdaya pengelola.
Dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi di Kabupaten Teluk Bintuni, tanggung jawab
pengelolaan kawasan hanya ditangani oleh tiga orang personil yang terdiri dari 1 orang Kepala
Resort dan 2 orang tenaga Polisi Kehutanan. Hal ini tidak sebanding dengan luasan kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni, yaitu kurang lebih 124.850 ha dan Cagar Alam Wagura Kote, yaitu
kurang lebih 15.000 ha. Khusus untuk Cagar Alam Teluk Bintuni, pengelolaan dilakukan oleh
Kepala Ressort dan 3 orang Jagawana (Tabel IV-1).
Dari data personil
pengelola kawasan
pada Tabel di atas
tergambar bahwa
kapasitas pengelola
yang ada saat ini
masih kurang
memadai. Hal ini
terlihat dari kualifikasi dari pengelola yang semuanya tidak memiliki latar belakang pendidikan
kehutanan. Dengan kekuatan pengelola seperti ini, proses pencapaian tujuan pengelolaan
kawasan akan sangat jauh dari yang diharapkan.
5. Minimnya sarana dan prasarana penunjang.
Dalam kegiatan pengelolaan kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni, institusi pengelola saat ini
ditunjang oleh sarana dan prasarana yang
sangat minim. Berdasarkan hasil pengamatan
di lapangan dan informasi dari kepala Resort
KSDA Bintuni, sarana prasarana yang ada
masih jauh dari memadai. Kawasan cagar
alam dengan luas 125.000 Ha, dominan
kawasan mangrove dan kawasan sungai
hanya didukung prasarana pengelola yang
sangat minim yaitu satu motor, tanpa ada
longboat atau speedboat (Tabel IV-2).
Bila dilihat dari tugas dan tanggung jawab yang dituntut, sarana dan prasarana penunjang
yang ada sangat kurang. Hal ini sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan dari
pengelolaan kawasan. Pengawasan dan patroli yang efektif serta upaya untuk pembinaan dan
koordinasi dengan masyarakat yang ada di dalam dan sekitar kawasan sangat tidak
mendukung dengan sarana yang ada. Upaya penambahan sarana dan petugas menjadi
salah satu prioritas yang harus dilakukan agar aksesibilitas pengelola ke dalam kawasan dan
Gambar IV-2. Satu-satu sarana transportasi dalam menunjang kegiatan pengelolaan
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Tabel IV-1. Kondisi personil pengelola kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sampai dengan Juli tahun 2005.
No. Status/Golongan/ Masa Kerja Kualifikasi Keterangan
1. PNS/III-a/22 tahun Sarjana Hukum Kepala Resort 2. PNS/II-b/6 tahun SLTA Jagawana 3. PNS/II-b/6 tahun SLTA Jagawana
Sumber: Resort KSDA Bintuni
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 4
BKSDA Papua II Sorong
melakukan pembinaan masyarakat semakin baik. Pembinaan masyarakat akan meningkatkan
peran aktif masyarakat dalam pengelolaan cagar alam, khususnya pengawasan dan
perlindungan.
Tabel IV-2. Kondisi sarana dan prasarana pengelola kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sampai dengan Juli tahun 2005
No. Sarana dan Prasarana Jumlah (Unit) Kondisi Keterangan
1. Pondok kerja ukuran 36 M2 1 Sedang Perlu perbaikan
2. Motor Dinas 1 Buruk Perlu perbaikan
3. Mesin ketik 2 Rusak - Sumber: Resort KSDA Bintuni
6. Data dasar kawasan.
Informasi yang di peroleh dari pengelola kawasan menunjukkan bahwa kajian dan penelitian
telah banyak dilakukan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, namun hasil-hasilnya tidak
terdokumentasi dengan baik sebagai arsip yang ditinggalkan pada institusi pengelola baik di
BKSDA Papua II Sorong maupun di Ressort Bintuni. Hal ini juga diperkuat dari hasil
penelusuran data sekunder, dari data yang telah terdokumentasi yang bersumber dari
beberapa stakeholder seperti Perguruan Tinggi, LSM, BP Tangguh, dan Pemerintah Daerah,
ternyata informasi dasar kawasan masih belum memadai dalam menunjang kegiatan
pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Dari informasi kegiatan yang pernah dilakukan di kawasan Cagar Alam baik di dalam
Departemen Kehutanan maupun di luar kehutanan, hampir tidak dijumpai adanya data dan
laporan hasil kegiatan yang terdokumentasi di pengelola. Salah satu contoh adalah laporan
kegiatan tata batas kawasan. Kegiatan ini sudah dilakukan tahun 1999 tetapi peta hasil
pengukuran dan laporan kegiatannya tidak dijumpai sebagai dokumen di resort atau lokasi
cagar alam. Hal ini menjadi salah satu kelemahan sistem dokumentasi data tentang kawasan
dan secara tidak langsung juga akan mempengaruhi kinerja dari pengelola kawasan
7. Tidak tersedianya proporsi dana yang seimbang dengan luas kawasan.
Perubahan kebijakan keuangan untuk pengelolaan kawasan dimana sebelumnya bersumber
dari dana APBN, sekarang hanya menerima dana yang bersumber dari Dana Reboisasi.
Sumber dana ini hanya digunakan untuk membiayai kegiatan pengelolaan kawasan yang lebih
dikategorikan sebagai dana rutin seperti pengamanan kawasan, pembinaan kader, dan dana
pameran konservasi dan tidak dikhususkan untuk pembangunan kawasan.
Dalam pengelolaan kawasan konservasi, prinsip pencegahan selalu dipandang lebih baik
dibandingkan dengan rehabilitasi atau perbaikan. Akan tetapi prinsip ini belum terlaksana di
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 5
BKSDA Papua II Sorong
dalam pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Kondisi hutan mangrove yang relatif
masih baik dan tekanan kerusakan yang belum besar diduga menjadi salah satu sebab
kurangnya perhatian dalam pengelolaan. Ini tergambar dari alokasi dana untuk Cagar Alam
Teluk Bintuni yang sangat kecil, padahal dari segi luas kawasan, Cagar Alam Teluk Bintuni
membutuhkan alokasi dana yang cukup besar dalam pengelolaannya, khusus dalam
pengawasan. Aksesibilitas yang dominan lewat air membutuhkan biaya patroli yang cukup
besar. Disamping itu, penyuluhan kepada masyarakat yang berada di dalam maupun di
sekitar kawasan juga sangat diperlukan agar pengelolaan kawasan bisa didukung oleh
masyarakat.
8. Minimnya perangkat lunak yang tersedia.
Pedoman dan petunjuk teknis bagi pengelolaan kawasan dan jenis yang merupakan
perangkat lunak dalam menunjang kegiatan pengelolaan kawasan masih belum tersedia di
Pondok Kerja Resort KSDA Bintuni. Padahal perangkat ini sangat diperlukan dalam
pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan. Hal ini menyebabkan kegiatan
pemberdayaan masyarakat sulit dilakukan dan diukur keberhasilannya. Disamping itu,
ketidaktersediaan buku saku pengelolaan dan pedoman koordinasi juga menyebabkan upaya
pengelolaan terbentur pada masalah legalitas kegiatan. Hal lain yang menjadi permasalahan
adalah pola pengelolaan dan pemberdayaan masyarakat di dalam kawasan dimana mereka
umumnya adalah masyarakat tradisional yang tidak terbiasa berurusan dengan kondisi yang
serba formal. Untuk itu sangat diperlukan adanya pedoman bagi pelaksana teknis pengelolaan
Cagar Alam.
9. Ketidakjelasan batas kawasan di lapangan.
Batas kawasan yang jelas akan membuat semua pemangku kepentingan memahami dan
menyadari keberadaan kawasan Cagar Alam. Batas yang tidak jelas dapat menyebabkan
terjadinya tumpang tindih penggunaan dan sangat potensial menjadi sumber konflik. Hasil
pengamatan di lapangan menunjukan bahwa batas kawasan berupa pal-pal batas tidak
ditemui lagi atau telah rusak dimakan usia. Menurut informasi dari Kepala Resort KSDA
Bintuni, pada tahun 1997 telah dilakukan penataan batas kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
oleh konsultan PT BASRICO CEMERLANG dan oleh Sub BIPHUT Manokwari pada tahun
1999.
Dalam pelaksanaan tata batas kawasan, pola pemetaan dan kegiatan partisipatif sangat
diperlukan. Ketidakjelasan batas kawasan dan kurangnya koordinasi dengan instansi terkait
mengakibatkan pada beberapa bagian kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni terjadi tumpang
tindih dengan peruntukan lain. Hal ini dapat dijumpai pada batas barat-laut kawasan dimana
dijumpai adanya tumpang tindih kawasan cagar alam dengan lahan usaha II untuk peserta
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 6
BKSDA Papua II Sorong
transmigrasi nasional. Seharusnya dalam peta akhir tata batas, areal transmigrasi ini sudah
dikeluarkan dari areal cagar alam.
10. Kurangnya apresiasi masyarakat terhadap kawasan.
Apresiasi dan pemahaman masyarakat terhadap kawasan diukur dari bagaimana masyarakat
memperlakukan kawasan Cagar Alam. Baik buruknya apresiasi ini sangat ditentukan
pemahaman dan pengetahuan mereka. Di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni,
apresiasi ini terlihat masih kecil. Hal ini ditandai dengan adanya kegiatan yang berkaitan
dengan pembukaan lahan untuk pembuatan tempat penimbunan kayu, perladangan,
pemukiman, dan penebangan di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Dari wawancara
diketahui bahwa ini bisa terjadi karena kurangnya penyuluhan, penyebaran informasi dan
sosialisasi kawasan. Kondisi ini bisa dipahami mengingat adanya keterbatasan dari pengelola
teknis kawasan untuk bisa berkunjung ke desa-desa yang menggunakan transportasi melalui
air/sungai.
A.1.2 Aspek Kebijakan
Berdasarkan penjelasan dari institusi pengelola kawasan, sampai pada saat disusunnya
rencana pengelolaan kawasan ini relatif hampir tidak pernah ada kebijakan yang diambil oleh
pengelola teknis (resort) untuk memenuhi fungsi kawasan. Kegiatan yang pernah ada
hanyalah penataan kawasan berupa keterlibatan pengelola dalam kegiatan penataan batas
definitif bersama konsultan PT BASRICO CEMERLANG dan oleh Sub BIPHUT Manokwari
pada tahun 1999. Sejak itu tidak pernah ada kebijakan penataan sampai rencana ini disusun.
Selain itu, kegiatan pengawasan kawasan pernah dilakukan beberapa kali, namun itupun
hanya bersifat insidentil yang bersamaan dengan penelitian atau survei yang dilakukan oleh
beberapa LSM konservasi. Kegiatan pengawasan secara periodik tidak pernah ada di
kawasan. Penyebab utama adalah tidak tersedianya sarana untuk melakukan pengawasan
dari sungai dimana lebih dari 90% kawasan merupakan hutan mangrove sementara sarana
transportasi pengelola adalah motor.
A.2 Altenatif pemecahan masalah
Dari beberapa permasalahan pengelolaan kawasan tersebut di atas, diketahui bahwa
kelemahan-kelemahan yang muncul lebih banyak di pengaruhi oleh faktor internal. Apabila
kondisi ini dibiarkan akan dapat menjadi faktor penghambat dalam rangka mencapai tujuan
pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Beberapa alternatif pemecahan masalah
yang dapat diberikan sehubungan dengan kelemahan yang terjadi dalam pengelolaan
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni disajikan pada Tabel IV-3.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 7
BKSDA Papua II Sorong
Tabel IV-3. Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap aspek pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Stakeholders Permasalahan Alternatif pemecahan masalah
Penanggung Jawab Pendukung
¶ Peningkatan status kawasan secara yuridis formal dan ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Alam
Ditjen PHKA dan BAPLAN
BKSDA Papua II dan Biphut
Status Kawasan secara yuridis formal masih lemah (Kawasan CATB berstatus penunjukan)
¶ Pengakuan Keberadaan Cagar Alam Teluk Bintuni secara legal formal oleh Pemerintah Daerah
PEMDA Teluk Bintuni dan BKSDA Papua II, Resort KSDA Bintuni
BKSDA Papua II, Resort KSDA Bintuni, LSM lokal dan NGO
Kurangnya koordinasi dengan jajaran Pemerintah Daerah.
¶ Peningkatan status pengelola kawasan.
Ditjen PHKA BKSDA Papua II
¶ Penambahan jumlah personil pengelola.
Ditjen PHKA BKSDA Papua II Belum maksimalnya peranan institusi pengelola dan minimnya kapasitas dan jumlah sumberdaya pengelola
¶ Meningkatkan kemampuan personil pengelola melalui berbagai kesempatan pendidikan dan latihan pengelolaan kawasan konservasi yang lebih profesional.
BKSDA Papua II Unipa Manokwari, Dirjen PHKA Jakarta, BP Tangguh Project
Minimnya sarana dan prasarana Penunjang
¶ Peningkatan mutu dan pemeliharaan sarana prasarana yang telah ada.
BKSDA Papua II BP Tangguh Project, PEMDA Teluk Bintuni
¶ Pembangunan sarana dan prasarana penunjang pengelolaan seperti pembangunan kantor resort, pondok kerja, pondok jaga, menara pengawas, dan pengadaan perahu motor.
BKSDA Papua II BP Tangguh Project, PEMDA Teluk Bintuni
Minim data dasar kawasan ¶ Inventarisasi potensi kawasan secara menyeluruh.
BKSDA Papua II Unipa Manokwari (koordinasi)
¶ Mempromosikan kegiatan penelitian dan kajian untuk menggambarkan kondisi kawasan, baik di bidang SOSEK, BIOLOGI, dan FISIK kawasan.
BKSDA Papua II Unipa Manokwari (koordinasi)
¶ Pengumpulan hasil-hasil penelitian dan pengembangan yang pernah dilakukan di kawasan melalui kerjasama dengan mitra lain seperti PT, LSM (lokal dan internasional), Lembaga Penelitian, Investor, dan Pemerintah Daerah.
BKSDA Papua II Unipa Manokwari , LSM, dan Lembaga Penelitian, BP Tangguh Project (koordinasi)
Tidak memadainya proporsi dana dengan luas kawasan
¶ Alokasi dana untuk kegiatan pengelolaan yang cukup memada melalui mekanisme skala prioritas.
Dirjen PHKA BKSDA Papua II
¶ Membangun kerjasama dengan stakeholder yang lain seperti LSM dan Pemerintah daerah melakukan kegiatan pengelolaan kawasan, sehingga beban yang harus ditanggung institusi pengelola menjadi lebih ringan.
BKSDA Papua II Unipa Manokwari , LSM, dan Lembaga Penelitian
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 8
BKSDA Papua II Sorong
Stakeholders Permasalahan Alternatif pemecahan masalah
Penanggung Jawab Pendukung
Minimnya perangkat lunak ¶ Pembuatan pedoman pengelolaan kawasan dan jenis.
BKSDA Papua II BP Tangguh Project, Unipa Manokwari , LSM, dan Lembaga Penelitian (koordinasi)
¶ Penyederhanaan pedoman penegelolaan yang ada sehingga mudah dipahami masyarakat di dalam dan sekitar kawasan, terutama untuk kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan keikutsertaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan.
BKSDA Papua II BP Tangguh Project, Unipa Manokwari , LSM, dan Lembaga Penelitian (koordinasi)
Ketidakjelasn batas kawasan di lapangan.
¶ Pemeliharaan batas kawasan. BKSDA Papua II Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan
¶ Rekonstruksi batas kawasan bila dirasa perlu.
BKSDA Papua II, Biphut
Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan
Kurangnya apresiasi masyarakat terhadap kawasan.
¶ Meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya Cagar Alam Teluk Bintuni sebagai penyangga sistem kehidupan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan.
BKSDA Papua II Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan
Sumber: Analisis Data Survei Tim TNC, 2005.
B. Aspek Biologi Kawasan
Pemekaran Kawasan Teluk Bintuni menjadi Kabupaten Teluk Bintuni membawa beberapa
konsekuensi logis seperti pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi dan bertambahnya
kebutuhan lahan baru untuk berbagai keperluan seperti perumahan, jalan, jembatan,
dermaga, dan infrastruktur lainnya. Hal ini dapat memicu semakin meningkatnya tekanan
terhadap sumberdaya alam hayati dan ekosistem yang ada di daerah ini, termasuk ekosistem
penyusun kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Meningkatnya tekanan ini dapat mengancam
keberadaan dan kelangsungan ekosistem dan sumberdayanya, baik secara langsung seperti
konversi lahan maupun tidak langsung, misalnya pencemaran oleh limbah kegiatan
pembangunan.
B.1 Permasalahan
B.1.1 Ekosistem
Kawasan CagarAlam Teluk Bintuni tersusun oleh dua ekosistem utama, yaitu ekosistem hutan
mangrove sebagai penyusun utama kawasan dan hutan hujan dataran rendah. Kedua
ekosistem penyusun kawasan ini adalah ekosistem alami dan sebagian besar masih
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 9
BKSDA Papua II Sorong
terpelihara dengan baik, kecuali beberapa bagian ekosistem hutan hujan dataran rendah dan
sebagian kecil hutan mangrove telah mengalami gangguan/tekanan akibat faktor manusia
seperti pembukaan lahan untuk pemukiman, tempat penimbunan kayu (logyard), penebangan
liar, perladangan, serta lahan usaha untuk peserta transmigrasi nasional, dan sebagai akibat
gejala alam seperti erosi tepi dan angin.
Ekosistem Hutan Hujan Dataran Rendah
Hasil pengamatan di lapangan mengindikasikan bahwa permasalahan dan ancaman utama
terhadap keberadaan ekosistem hutan hujan dataran rendah di kawasan CATB adalah
degradasi ekosistem yang merupakan akibat dari beberapa aktivitas manusia seperti disajikan
pada Tabel IV-4.
Tabel IV-4. Permasalahan sekaligus ancaman terhadap keberadaan ekosistem hutan hujan dataran rendah di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni tahun 2005
Permasalahan Stakeholder/penyebab Keterangan
Degradasi ekosistem
Pembukaan lahan untuk tempat penimbunan kayu (logyard) oleh HPH dan Kopermas.
Ada yang dilakukan sebelum tata batas definitif kawasan
Penebangan liar (illegal logging) Pelaku kegiatan ini belum bisa di justifikasi dan memerlukan pengamatan yang lebih seksama.
Perladangan (cultivated land) Terutama dilakukan oleh masyarakat yang bermukim di dalam kawasan
Pemukiman penduduk Memanfaatkan bekas logyard dan ada yang dibuka jauh sebelum ditunjuk sebagai kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Sumber: Survei Tim TNC, 2005.
Tabel IV-4 mengindikasikan bahwa ekosistem hutan dataran rendah sedang menghadapi dua
permasalahan utama, yaitu degradasi ekosistem dan tumpah tindih kawasan. Hasil
pengamatan di lapangan mengindikasikan bahwa beberapa bagian ekosistem ini, baik yang
berada di pulau mangrove maupun di batas Timur, Utara, dan Barat Laut kawasan CATB
sebagian telah mengalami kemunduran. Kemunduran yang terjadi pada ekosistem ini
sebagian besar disebabkan oleh adanya intervensi manusia seperti pembukaan lahan untuk
tempat penimbunan kayu (logyard) oleh beberapa HPH dan KOPERMAS yang beroperasi di
sekitar kawasan, pembuatan kebun masyarakat, serta untuk keperluan pemukiman penduduk
lokal. Selain itu, pada beberapa bagian ekosistem ini telah terjadi penebangan, terutama
pohon-pohon jenis komersil seperti merbau dan matoa. Temuan di lapangan menunjukan
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 10
BKSDA Papua II Sorong
terdapat beberapa tempat penimbunan kayu (logyard) yang terdapat dalam pada ekosistem
hutan dataran rendah di kawasan Cagar Alam (Tabel IV-5).
Tabel IV-5. Tempat Penimbunan Kayu (TPK)/ Logyard yang menempati ekosistem hutan dataran rendah dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sampai dengan Tahun 2005.
Letak Logyard Dibuka oleh
Lokasi GPSKeterangan
Logyard II PT.Henrison Iriana
S.Tirasai S 20 03’ 13.9’’ E 1330 51’ 38.2”
Dibuat sebelum adanya tata batas kawasan dan Masih digunakan oleh Kopermas dan HPH PT Manokwari Lestari.
Logyard III
PT Yotefa Sarana Timber
S. Ausoi S 20 06’ 04.4’’ E 1330 40’ 13.4”
Dibuat sebelum adanya tata batas kawasan dan masih digunakan oleh Kopermas.
Logyard IV
PT Yotefa Sarana Timber
S. Muturi S 20 06’ 25.5’’ E 1330 43’ 49.6”
Dibuat sebelum adanya tata batas kawasan dan masih digunakan oleh PT Yotefa Sarana Timber dan Kopermas.
Logyard Anakkasih
Kopermas S. Tikamari/ Anak Kasih
S 20 03’ 04.1’’ E 1330 56’ 05.5’’
Dibuat sesudah adanya tata batas kawasan dan digunakan sebagai areal pemukiman K. Anak Kasih.
Logyard Sumberi
Kopermas S. Sumberi S 20 02’ 39.4’’ E133 55.02.3”
Dibuat sesudah adanya tata batas kawasan dan masih digunakan oleh Kopermas.
Logyard Sp V
Kopermas S. Sigirau S 20 07’.18.3” E1330 37’.86.5”
Dibuat sesudah adanya tata batas kawasan sementara non aktif.
Logyard V Kopermas S. Awarepi S 20 09’ 30.56’’ E1330 34’ 47.2”
Dibuat sesudah adanya tata batas kawasan dan sudah tidak digunakan tapi sekarang diupayakan untuk dijadikan Dermaga Fery (ASDP).
Logyard SP IV
Kopermas S. Ausoi S 20 06’.36.9” E1330 40’.57.8”
Dibuat sesudah adanya tata batas kawasan dan sudah tidak digunakan
Sumber: Survei Tim TNC, 2005.
Tabel IV-5 menunjukan bahwa di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang secara
hukum merupakan daerah konservasi terdapat aktivitas pembukaan lahan untuk keperluan
pembuatan logyard yang jumlahnya dapat mengancam keberadaan eksositem yang ada,
khususnya ekosistem hutan dataran rendah. Tempat-tempat tersebut setelah digunakan oleh
pemegang HPH dan Kopermas belum dilakukan rehabilitasi. Bahkan terdapat beberapa
logyard yang sudah tidak digunakan oleh pemegang HPH masih digunakan oleh KOPERMAS
untuk tempat penimbunan kayu sebelum dilakukan pemuatan ke tongkang.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, informasi dari pengelola kawasan dan
masyarakat yang bermukim di areal tersebut, pembukaan lahan untuk keperluan logyard
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 11
BKSDA Papua II Sorong
tersebut terjadi sebelum dan sesudah kegiatan tata batas kawasan. Logyard yang dibuka
sebelum adanya tata batas kawasan sebagian besar dilakukan oleh pemegang HPH yang
arealnya berbatasan dengan kawasan CATB. Namun setelah adanya tata batas kawasan,
areal tersebut tidak direhabilitasi bahkan digunakan kembali oleh sebagian Kopermas yang
beroperasi di sekitar wilayah Cagar Alam Teluk Bintuni. Sedangkan logyard yang dibangun
setelah adanya tata batas kawasan semuanya dibuka oleh Kopermas. Pembukaan lahan ini
dimungkinkan karena letak areal penebangan HPH/Kopermas yang langsung berbatasan
dengan ekosistem hutan dataran rendah Cagar Alam Teluk Bintuni. Selain itu, untuk keperluan
pengangkutan kayu bulat/gergajian para pemegang HPH dan Kopermas “tidak memiliki”
alternatif lain dan lebih banyak memilih alternatif melalui sungai-sungai yang ada dalam Cagar
Alam Teluk Bintuni, sehingga pembuatan tempat penimbunan kayu (logyard) di tepi-tepi
sungai yang ada dalam kawasan CATB tidak bisa terhindarkan.
Kegiatan perladangan/berkebun juga merupakan faktor yang memberi andil terhadap
kemunduran eksositem hutan dataran rendah. Hasil pengamatan di lapangan, beberapa
bagian ekosistem ini telah dibuka untuk keperluan pembuatan kebun masyarakat, seperti yang
dilakukan oleh masyarakat lokal yang yang
bermukim di kampung Mamuranu dan Anak
Kasih yang ada dalam kawasan CATB.
Kegiatan perladangan/membuka kebun ini
lebih banyak dilakukan oleh masyarakat
yang bermukim dalam dalam kawasan.
Lokasi kebun masyarakat pada ekosistem
ini lebih banyak terdapat pada beberapa
pulau mengrove baik berbentuk hamparan
pegunungan rendah maupun bukit-bukit
kecil seperti Pulau Mangrove Maniai,
Nusuama, Kamai, dan Pulau Modan. Cara
Gambar IV-4. Kebun masyarakat lokal yang bermukim di Kampung Mamuranu di kawasan
CATB
Gambar IV-3. Pembukaan lahan hutan dataran rendah dan sebagian hutan mangrove sebagai logyard di S. Sumberi di kawasan CATB
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 12
BKSDA Papua II Sorong
berkebun yang digunakan adalah sistem tebas bakar (slashed and burned system) dan telah
berlangsung lama dan turun-temurun dari generasi ke generasi. Pola pembukaan lahan atau
kebun masyarakat secara umum mempunyai beberapa tahapan sebagai berikut:
a. Pembersihan lantai hutan, yaitu menebas semak belukar, menebang pohon-pohon tingkat
pancang dan tiang;
b. Menebang pohon-pohon besar yang ada dalam lahan, kemudian dibiarkan beberapa
waktu tertentu agar bekas tebangan mengering;
c. Setelah kering, bekas tebangan berupa ranting dan semak belukar dikumpulkan pada
suatu tempat dalam kebun dan atau di pinggiran kebun, kemudian dibakar;
d. Penanaman sesuai jenis yang akan diusahakan.
Lahan tersebut umumnya diusahakan selama 1 – 2 tahun (3 – 4 kali panen), kemudian
mereka akan berpindah ke lahan yang baru. Waktu (masa bera) yang diperlukan untuk
mengusahakan kembali bekas kebun yang ditinggalkan adalah 3-5 tahun. Luas lahan yang
diusahakan bervariasi antara 0,2 – 1,0 ha tiap kepala keluarga.
Pembukaan lahan untuk keperluan pemukiman
pada kawasan dan sekitar kawasan yang
dijumpai ada beberapa pola, seperti (i)
memanfaatakan bekas logyard yang
ditinggalkan oleh Kopermas seperti Kampung
Anak Kasih, (ii) pembukaan lahan pemukiman
oleh pemegang HPH dalam kawasan, seperti
Kampung Tirasai yang dibangun oleh PT
Henrison Iriana, (iii) serta pemukiman yang
dibuka oleh masyarakat sendiri seperti
Kampung Mamuranu. Pembukaan lahan untuk
pemukiman, seperti juga pada kegiatan
pembukaan lahan untuk logyard, ada yang di lakukan sebelum tata batas kawasan, yaitu
Kampung Tirasai dan sesudah tata batas kawasan, yaitu Kampung Anak Kasih. Khusus untuk
pemukiman masyarakat Kampung Mamuranu yang berada dalam kawasan CATB,
keberadaanya sudah ada sejak kawasan ini belum ditunjuk sebagai kawasan Cagar Alam.
Pada beberapa bagian kawasan CATB, terutama pada bagian sebelah utara yang langsung
berbatasan dengan beberapa areal konsesi HPH dan Kopermas, kawasan CATB telah
mengalami sedikit tekanan/gangguan oleh adanya penebangan. Informasi yang diperoleh dari
pengelola kawasan CATB, kegiatan ini dilakukan sebelum adanya tata batas kawasan atau
karena “ketidakjelasan” batas kawasan di lapangan.
Gambar IV-5. Salah satu logyard yang memanfaatkan sebagian ekosistem
mangrove di S. Tirasai di Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 13
BKSDA Papua II Sorong
Kemunduran ekosistem hutan dataran rendah yang disebabkan oleh beberpa hal tersebut di
atas akan membawa beberapa konsekuensi terganggunya fungsi ekosistem tersebut sebagai
salah satu penyusun kawasan CATB. Beberapa hal yang lebih jauh dapat ditimbulkan
sebagai akibat kemunduran eksositem ini antara lain:
1. Perubahan iklim mikro (suhu, kelembaban dan intensitas cahaya) dapat mempengaruhi
pertumbuhan permudaan alam pada ekosistem ini.
2. Perubahan struktur hutan yang bisa mengakibatkan terganggunya habitat yang
merupakan tempat berkembangbiak jenis-jenis satwa.
3. Terinvasinya areal-areal bekas kebun masyarakat dengan jenis-jenis tumbuhan pionir
seperti Macaranga (Macaranga mappa dan M. Tanarius) yang menggantikan jenis asli
seperti Matoa (Pometia spp.), Merbau (Intsia spp.), dan jenis-jenis dari famili
Dipterocarpaceae.
4. Masuknya jenis-jenis luar (introduksi) yang bisa menjadi sumber pembawa hama dan
penyakit.
Dengan melihat kondisi permasalahan dan lebih jauh yang dapat terjadi di ekosistem ini, maka
perlindungan, pelestarian, dan rehabilitasi menjadi suatu hal yang mendesak di lakukan
dalam rencana pengelolaan kawasan ke depan.
Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan komunitas alami dan
pertumbuhannya masih terlihat cukup baik. Ekosistem mangrove ini terlihat cukup dinamik
yang diindikasikan oleh pertambahan luasan di beberapa bagian dan pengurangan luasan di
bagian lain yang terjadi secara alami. Ekosistem mangrove di Cagar Alam Teluk Bintuni
paling luas dan paling sedikit mendapat gangguan di kawasan Asia Pasifik dan perlu
mendapat perhatian (Ruitenbeek, 1992). Hasil pengamatan lapangan mengidentifikasi bahwa
permasalahan utama yang dihadapi ekosistem ini adalah degradasi lahan yang disebabkan
oleh aktivitas manusia (Tabel IV-6).
Penyebab utama kemunduran ekosistem ini secara langsung adalah akibat pembukaan lahan
untuk pembuatan logyard dan pemukiman penduduk, aktivitas pengangkutan kayu oleh HPH
dan Kopermas yang memanfaatkan sungai, pemanfaatan oleh penduduk setempat, serta
akibat faktor alam seperti erosi tepi sungai dan angin. Secara tidak langsung, ekosistem ini
juga terancam degradasi sebagai akibat dari dari pengusahaan hutan yang dilakukan di
bagian atas (upland) kawasan yang tidak memperhatikan kelestarian dan keberlanjutan.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 14
BKSDA Papua II Sorong
Tabel IV-6. Permasalahan sekaligus ancaman dan penyebabnya terhadap keberadaan ekosistem mangrove di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni tahun 2005
Permasalahan Penyebab Keterangan
Degradasi ekosistem
¶ Pembukaan lahan (land clearing) untuk tempat penimbunan kayu (logyard) HPH dan Kopermas.
Ada yang dilakukan sebelum tata batas definitif kawasan
¶ Aktivitas pengangkutan kayu oleh HPH dan Kopermas
Penggunaan tongkang dalam pengangkutan kayu di sungai.
¶ Pemukiman dan perumahan penduduk.
Memanfaatkan bekas logyard dan ada yang dibuka jauh sebelum ditunjuk sebagai kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
¶ Pemanfaatan pohon mangrove oleh penduduk lokal.
Untuk keperluan kayu bakar, tiang rumah, dan tiang belo.
¶ Erosi tepi sungai, abrasi pantai, dan angin.
Karena gejala alam dan aktivitas manusia
¶ Perubahan masukan dari ekosistem air tawar dan sedimentasi yang sangat besar
Pengusahaan hutan daerah atas (upland/ hinterland) yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan.
Sumber: Analisis Data Survei Tim TNC, 2005.
Seperti yang terjadi pada ekosistem hutan dataran rendah, kasus yang yang sama juga
terjadi pada ekosistem ini namun pada skala luasan yang lebih kecil. Hasil pengamatan di
lapangan menunjukan bahwa sebagian kecil luasan hutan mangrove ikut dibuka dalam
pembukaan lahan untuk keperluan tempat penimbunan kayu (logyard), terutama pada bagian
pinggiran sungai. Pembukaan lahan untuk keperluan logyard tersebut terjadi sebelum
kegiatan dan sesudah kegiatan tata batas kawasan. Logyard yang dibuka sebelum adanya
tata batas kawasan sebagian besar
dilakukan oleh pemegang HPH yang
arealnya berbatasan dengan kawasan
CATB. Namun setelah adanya tata batas
kawasan, areal tersebut tidak direhabilitasi
bahkan sebagian besar masih digunakan
oleh HPH maupun Kopermas yang
beroperasi di sekitar wilayah Cagar Alam
Teluk Bintuni. Sedangkan logyard yang
dibangun setelah adanya tata batas
kawasan semuanya dibuka oleh
Kopermas.
Gambar IV-6. Bentuk gangguan ekosistem mangrove yang diakibatkan oleh tongkang
pengangkut kayu log di S. Tirasai di Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 15
BKSDA Papua II Sorong
Pada beberapa bagian ekosistem ini juga dijumpai kerusakan/gangguan dalam skala kecil
sebagai akibat dari kegiatan pengangkutan kayu oleh oleh HPH dan Kopermas yang
memanfaatkan beberapa sungai di kawasan Cagar Alam. Kegiatan ini biasanya
menggunakan sarana Tug Boat dan Tongkang. Hasil pengamatan di lapangan dan
wawancara dengan penduduk lokal bahwa beberapa bagian hutan mangrove yang tumbuh di
tepi-tepi sungai di kawasan ada yang tumbang atau patah yang disebabkan oleh lalu lintas
Tongkang dalam mengangkut kayu dari logyard menuju ke perairan Teluk.
Tekanan terhadap keberadaan hutan mangrove juga datang dari pemanfaatan vegetasi
mangrove oleh masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan. Hasil pengamatan
di lapangan menunjukan bahwa pemanfaatan hutan mangrove di Kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni hanya terbatas pada pemanfaatan hutan mangrove dalam skala tradisional/subsistem
(traditional uses) untuk keperluan rumah tangga seperti kayu bakar, perkakas, bahan
bangunan rumah, serta untuk keperluan tiang-tiang pagar dalam kegiatan mencari ikan
(fishing) yang dalam istilah lokal disebut “tiang belo”. Namun menurut informasi dari pengelola
kawasan bahwa pada beberapa bagian kawasan, terutama pada batas sebelah barat laut di
pinggiran Sungai Wasian, pemanfaatan vegetasi mangrove sudah berkembang untuk
keperluan kayu bakar dan bahan bangunan,
sehingga masyarakat sudah mulai
melakukan penebangan pohon mangrove
dari jenis Bruguiera sp. Hal ini
dimungkinkan karena hutan mangrove pada
batas Barat Laut kawasan posisinya sangat
dekat dengan pemukiman sehingga
aksesibilitas sangat mudah. Seiring dengan
berkembangnya Kabupaten Teluk Bintuni
dimana salah satu konsekuensi laju
pertambahan penduduk yang semakin
cepat, aktivitas ini dapat mengancam
keberadaan ekosistem pada beberapa
waktu ke depan.
Degradasi ekosistem mangrove di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, selain diakibatkan oleh
faktor manusia, juga tidak jarang diakibatkan oleh faktor alam seperti erosi tepi sungai dan
angin. Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa kejadian ini paling banyak terjadi
pada ekosistem mangrove yang tumbuh di pinggiran pada daerah dekat muara sungai-sungai
besar seperti Sungai Wasian, S. Muturi, S. Bokor, S. Tatawori, dan S. Naramasa. Dari data
iklim yang diperoleh, terutama kecepatan angin, pada bulan-bulan tertentu, yaitu periode Juni
– Agustus yang merupakan musim monson tenggara biasanya bertiup angin tenggara yang
cukup kencang dengan kecepatan lebih dari 90 km/jam. Sedangkan pada periode Desember
Gambar IV-7. Kerusakan hutan mangrove akibat erosi tepi dekat muara sungai Wasian di
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. .
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 16
BKSDA Papua II Sorong
- Pebruari yang merupakan musim monson barat-laut, kecepatan angin kadang mencapai
lebih dari 30 km/jam. Kondisi ini menyebabkan perairan di sungai-sungai besar tersebut
bergelombang yang sering menghantam pinggiran sungai yang ditumbuhi vegetasi mangrove
sehingga terjadi “abrasi”. Tiupan angin kencang tersebut juga menyebabkan robohnya
pohon-pohon mangrove di beberapa bagian kawasan. Dari studi yang dilakukan oleh Tim
TNC (2003) diketahui bahwa luasan mangrove Pulau Karaka yang menurut peta Citra Satelit
Lansat tahun 1989 adalah 15,19 hektar telah berkurang luasnya menjadi 6,81 hektar
berdasarkan peta Citra Satelit Lansat tahun 2002. Hilangnya sebagian luasan hutan
mangrove di daerah ini diduga lebih banyak disebabkan oleh “abrasi” pantai.
Hal lain yang yang menjadi ancaman terhadap degradasi yang dihadapi ekosistem ini adalah
dampak yang akan ditimbulkan oleh perubahan masukan (input) dari ekosistem air tawar.
Perubahan masukan ini dapat berupa meningkatnya aliran permukaan (run-off) dan
berkurangnya masukan unsur hara (nutrient) yang terjadi secara simultan. Secara alami
masukan air tawar dari atas ekosistem mangrove sangat diperlukan sebagai salah satu
sumber unsur hara (nutrient) selain air hujan untuk pertumbuhan. Pada saat masukan yang
diterima lebih banyak berasal dari aliran permukaan (runoff), secara kuantitatif jumlah input air
tawar meningkat namun secara kualitatif berupa kandungan bahan organik menurun. Hal ini
karena yang terangkut oleh runoff adalah berupa material kasar yang berasal dari lapisan
tanah yang lebih dalam dan bukan merupakan bahan halus berupa humus sebagai hasil
dekomposisi yang terjadi di lantai hutan di atasnya. Material ini hanya akan tertumpuk di
ekosistem ini dalam bentuk delta-delta di kelokan sungai maupun di daerah muara. Apabila
hal ini berlangsung dalam waktu lama, akan berakibat pada pertumbuhan vegetasi mangrove
menjadi terhambat (Lugo and Snedaker, 1974). Hasil penelitian Lugo dan Clintron (1975)
mengatakan bahwa hutan mangrove dengan komposisi pohon-pohon yang tinggi sangat
rentan terhadap kerusakan bila berkembang pada kondisi aliran permukaan yang tinggi.
Hasil pengamatan di lapangan mengindikasikan bahwa masukan air tawar yang masuk ke
dalam eksosistem mangrove lebih banyak merupakan aliran permukaan. Menurut informasi
penduduk setempat, pada saat musim hujan, sungai-sungai yang bermuara di kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni sering meluap (banjir) dengan warna air berubah menjadi coklat-
keruh. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi ekosistem daerah atas (upland) telah
mengalami gangguan. Adanya beberapa HPH, Kopermas, dan pemukiman di daerah atas
diduga sebagai penyebab meningkatnya aliran permukaan yang masuk ke kawasan.
Berdasarkan data iklim yang ada, kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitar setiap tahun
mendapat rata-rata curah hujan yang tinggi, yaitu lebih dari 3000 mm, dimana pada bulan-
bulan tertentu seperti bulan Pebruari, Nopember, dan Desember curah hujan bulanannya
cukup tinggi. Kondisi ini membuat daerah kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitarnya
sangat rentan terhadap erosi/aliran permukaan bila tidak dikelola berdasarkan asas
kelestarian.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 17
BKSDA Papua II Sorong
Implikasi negatif terhadap keberadaan ekosistem mangrove sebagai dampak dari beberapa
permasalahan tersebut di atas adalah terganggunya fungsi ekologis penting dari ekosistem ini
seperti peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur
dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan, penghasil sejumlah besar
detritus (daun dan dahan pohon mangrove yang rontok), daerah asuhan (nursery ground),
daerah mencari makanan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground)
bermacam biota perairan,
B.1.2 Flora dan Fauna
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang cukup
tinggi. Flora di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan suatu mosaik yang terdiri dari
dua tipe vegetasi utama, yaitu hutan mangrove dan hutan hujan dataran rendah. Pada habitat
tersebut tumbuh berbagai spesies tumbuhan, baik spesies tumbuhan yang memiliki nilai
ekonomis maupun spesies kunci (key species). Kondisi fisiografi kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni dan ketersediaan sumber daya seperti pakan, air, tempat berlindung, serta tempat
berkembang biak yang sesuai dengan
kehidupan fauna juga sangat mendukung
kehadiran satwa liar baik dari jenis avifauna,
mamalia, reptil dan amfibi serta jenis
avertebrata.
Dari sejumlah jenis satwa yang ada di
kawasan, beberapa di antaranya merupakan
spesies endemik dan jenis-jenis yang
keberadaannya di alam sudah dilindungi
undang-undang nasional maupun
international. Bahkan beberapa diantara
satwa yang ada, keberadaanya di alam
sudah masuk dalam kategori terancam punah. Permasalahan utama yang dihadapi oleh
kompoen flora dan fauna di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni adalah berkurangnya jenis-
jenis flora asli, penurunan populasi beberapa jenis satwa liar, dan minimnya data dasar
tentang flora dan fauna di kawasan.
1. Terancamnya habitat flora setempat
Hal ini merupakan dampak dari degradasi ekosistem sebagai akibat kegiatan manusia seperti
pembukaan lahan untuk pembuatan logyard dan kebun masyarakat. Ini sangat terlihat nyata
pada ekosistem hutan dataran rendah yang letaknya berbatasan langsung dengan areal hutan
produksi, pemukiman dan kebun penduduk. Dari segi ekologi, kegiatan ini sangat
berpengaruh terhadap kemampuan regenerasi permudaan dari jenis-jenis asli yang pada
Gambar IV-8. Terinvasinya hutan bekas perladangan oleh jenis pionir di K. Mamurana,
CATB.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 18
BKSDA Papua II Sorong
umumnya merupakan jenis-jenis yang tahan naungan (toleran). Regenerasi jenis-jenis ini,
terutama pada fase kecambah, semai, dan pancang sangat peka terhadap perubahan iklim
mikro dan naungan. Perubahan iklim mikro dan naungan dapat menekan pertumbuhan jenis-
jenis ini. Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa pada beberapa bekas lahan yang
dibuka untuk tujuan tersebut di atas, hutan sekunder yang terbentuk didominasi jenis-jenis
pionir seperti makaranga (Macaranga mappa dan Macaranga tanarius ) dan sirih hutan (Piper
sp.).
2. Penurunan populasi dan keanekaragaman jenis satwa.
Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa penurunan populasi dan keanekaragaman
jenis satwa diduga diakibatkan oleh degradasi ekosistem dan perburuan yang berlebihan
(overhunting) baik yang dilakukan oleh masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar
kawasan maupun pendatang dari luar kota Bintuni.
Penurunan populasi satwa, khususnya biota perairan diduga juga disebabkan adanya isu
penggunaan racun serangga (agriculture pesticide) dalam penangkapan hasil laut.
Berkurangnya keanekaragaman jenis satwa
di kawasan juga diduga disebabkan oleh
aktivitas beberapa industri kehutanan yang
memanfaatkan sungai-sungai di dalam
kawasan Cagar Alam sebagai sarana
transportasi seperti kapal penarik (tug boat).
Terganggunya beberapa bagian ekosistem
kawasan akibat kegiatan manusia
membawa implikasi pada perubahan
struktur dan komposisi vegetasi. Hal ini
mengakibatkan menurunnya kualitas habitat
yang sangat berpengaruh terhadap
kehidupan satwa liar yang menghuni
beberapa tipe ekosistem di kawasan. Burung Mambruk (Goura cristata), Kasuari kerdil
(Casuarius benetti), dan cenderawasih minor (Paradisaea minor) misalnya, menurut informasi
penduduk yang bermukim di K. Tirasai, Anak Kasih, Sumberi, Mamuranu, dan Naramasa
bahwa dalam kurun waktu lebih 10 tahun yang lalu, jenis-jenis burung ini masih bisa dijumpai
di sekitar kampung dan masih mudah bagi mereka untuk menangkap jenis-jenis satwa ini.
Akan tetapi saat ini, keberadaannya jenis-jenis satwa tersebut sangat jarang dijumpai sekitar
kampung. Hal ini diduga karena jenis satwa ini sangat rentan terhadap gangguan habitat yang
sekaligus tempat berkembang biak jenis-jenis satwa ini. Untuk berkembang, jenis-jenis
cenderawasih seperti cenderawasih minor (Paradisea minor) dan cenderawasih indah (Ptiloris
magnificus), secara khusus, membutuhkan habitat berupa hutan dengan karakter tajuk yang
Gambar IV-9. Jenis burung mambruk (Gouracristata) yang telah dilindung undang-undang
yang populasinya terancam
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 19
BKSDA Papua II Sorong
cukup Iebat, utuh (belum mengalami
kerusakan) dengan vegetasi pepohonan
besar yang tumbuh rapat dan tajuknya
terdiri atas tiga strata. Hal yang sama juga
terjadi pada beberapa satwa mamalia
seperti rusa (Cervus timorensis), babi hutan
(Sus scrofa), Kangguru pohon
(Dendrolagus ursinus), kuskus bertotol
(Spilocuscus maculatus), dan kuskus
kelabu (Phalanger orientalis), serta jenis
reptil seperti buaya muara (Crocodylus
porosus) dan biawak (Varanus sp.).
Habitat jenis-jenis satwa tersebut telah
terdesak sebagai akibat aktivitas manusia.
Selain isu degradasi ekosistem, faktor
perburuan liar juga diduga memberi andil
terhadap menurunnya populasi beberapa
jenis satwa di kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni. Berdasarkan hasil pengamatan di
lapangan, informasi dari pengelola
kawasan, serta informasi dari masyarakat
setempat bahwa perburuan satwa liar,
seperti rusa dan babi hutan, diketahui
bahwa ada tiga pemangku kepentingan
utama yang terlibat dalam perburuan satwa
liar di kawasan CA, yaitu oknum aparat
keamanan, masyarakat lokal, dan
pedagang satwa (trader/middlemen). Pada
awalnya, perburuan satwa dilakukan oleh
masyarakat setempat untuk keperluan
sendiri (subsisten), namun seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk,
permintaan akan daging buruan meningkat
pula. Bahkan hasil buruan yang telah
diproses menjadi dendeng merupakan
barang oleh-oleh (souvenir) yang biasa
dicari tamu-tamu yang datang ke Bintuni.
Hal ini mengakibatkan jumlah satwa yang
Gambar IV-11. Jenis kuskus bertotol (Spilocuscus maculatus) yang telah dilindung
undang-undang yang sudah jarang dijumpai di hutan dataran rendah Cagar Alam Teluk Bintuni.
Gambar IV-12. Jenis satwa buaya muara (Crocodylus porosus) yang telah dilindung
undang-undang populasinya menurun akibat perburuan liar di Cagar Alam Teluk Bintuni.
Gambar IV-10. Jenis burung kasuari kerdil (casuarius benetti) yang telah dilindung undang-
undang yang populasinya terancam
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 20
BKSDA Papua II Sorong
diburu semakin meningkat pula. Metode perburuan yang dilakukan adalah dengan
menggunakan lampu senter dan tombak, pemasangan jerat (perangkap), dan kadang-kadang
menggunakan senjata (melibatkan oknum petugas keamanan).
Menurunnya populasi satwa yang sering diburu oleh pihak tersebut dapat dilihat dari trend
hasil buruan yang diperoleh masyarakat di dalam dan sekitar kawasan yang semakin turun.
Hasil dari pertemuan kampung (village meeting) yang dilakukan di beberapa kampung seperti
K. Tirasai, Anak Kasih, Mamuranu, Yensei, Yakati dan Kampung Naramasa tergambar bahwa
kecenderungan (trend) hasil buruan dan tangkapan masyarakat menurun tajam dalam
sepuluh tahun terakhir. Hasil buruan rusa dan babi misalnya, pada sepuluh tahun yang lalu
masyarakat yang berburu hanya dengan menggunakan peralatan tradisional seperti lampu
senter dan tombak dengan lokasi tempat berburu yang tidak terlalu jauh dari kampung
mereka, dapat menghasilkan sampai 10 ekor rusa atau babi hutan. Namun saat ini hanya
bisa membawa pulang satu atau dua ekor dan tidak jarang pulang tanpa hasil buruan. Lokasi
buruan pun semakin jauh dari kampung mereka. Kecenderungan yang sama juga terjadi
pada hasil tangkapan satwa perairan seperti ikan, udang, dan siput.
Kondisi fisiografis serta ketersediaan pakan yang cukup membuat kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni merupakan habitat yang cocok bagi tempat berkembang biaknya buaya muara
Crocodylus porosus. Hasil survei yang dilakukan oleh WWF-IUCN-PHPA pada tahun 1985
dan FAO-PHPA pada tahun 1988 ternyata populasi buaya di kawasan Teluk Bintuni menurun
tajam. Penyebab utama menurunnya populasi buaya ini adalah karena perburuan terhadap
buaya besar dan buaya kecil serta pengambilan telur yang kurang terkendali, yang merupakan
salah satu mata pencaharian pokok penduduk setempat.
Disamping isu penurunan populasi, keanekaragaman fauna di kawasan juga diduga
mengalami pengurangan. Hal ini terlihat nyata pada jenis satwa burung yang banyak
menempati habitat mangrove dan hutan dataran rendah. Menurut hasil survei yang dilakukan
Zuwendra dkk. (1991) sedikitnya teramati 95 jenis burung di kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni dan sekitarnya. Namun selama survei lapangan yang dilakukan hanya berhasil
tercatat kurang lebih 26 jenis burung. Dari jumlah tersebut, keberadaan beberapa beberapa
jenis di antaranya diperoleh berdasarkan informasi dari penduduk yang bermukim di dalam
kawasan. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa keanekaragaman jenis, khususnya jenis
avifauna di kawasan mengalami penurunan yang signifikan selama 10 tahun terakhir.
Selain menurunnya kualitas habitat akibat degradasi ekosistem, hal lain yang memberi andil
menurunnya keanekaragaman jenis satwa di kawasan adalah aktivitas pengusahaan hutan
yang menggunakan alat-alat mekanik yang menimbulkan kebisingan, khususnya penggunaan
kapal penarik (tug boat) yang memanfaatkan beberapa sungai-sungai dalam kawasan.
Kebisingan ini diduga mengakibatkan jenis-jenis satwa tertentu, terutama burung, bermigrasi
ke tempat yang lebih “aman”.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 21
BKSDA Papua II Sorong
3. Kurangnya Data Dasar.
Permasalahan lain yang dihadapi kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, khususnya aspek flora
dan fauna yang menempati ekosistem kawasan, adalah minimnya data flora dan fauna yang
tersedia. Pengelola hampir tidak memiliki data dasar tentang flora dan fauna sehingga
pengelolaan tidak pernah didasarkan kepada informasi data. Kurangnya data dasar flora dan
fauna kawasan Cagar Alam terutama disebabkan karena studi atau kegiatan penelitian
tentang keberadaan fauna di kawasan masih sangat jarang. Padahal ketersediaan data dasar
yang memadai, terutama data kuantitatif suatu kawasan konservasi merupakan salah satu
faktor penting dalam proses pengelolaan kawasan. Beberapa aspek flora kawasan yang
dirasa belum memadai adalah daftar (check list) jenis-jenis, potensi, serta penyebaran flora di
kawasan. Berdasarkan informasi-informasi tersebut, dapat diketahui jenis-jenis flora yang
merupakan spesies kunci dan spesies yang dilindungi yang sangat menunjang dalam kegiatan
pengelolaan kawasan.
Kondisi minimnya data dasar selain terjadi pada komponen flora kawasan juga terjadi pada
komponen fauna. Penelusuran data sekunder yang dilakukan menunjukan bahwa informasi
tentang keanekaragaman, dinamika populasi, dan penyebaran fauna di kawasan masih
kurang memadai dalam mendukung kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Ketersedian informasi tersebut sangat penting guna menjawab dua pertanyaan umum yang
sering muncul dan di hadapi para pengelola kawasan konservasi seperti juga kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni, yaitu:
1. Komunitas spesies apa yang terdapat dalam kawasan konservasi, dimana dan berapa
jumlahnya?
2. Bagaimana kecenderungan (trend) atau dinamika populasi dari waktu ke waktu?
B.2 Altenatif pemecahan masalah
Permasalahan biologi kawasan yang lebih banyak di pengaruhi oleh faktor eksternal apabila
dibiarkan akan menjadi faktor pemnghambat dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Oleh karena itu sesegera mungkin dicarikan alternatif
Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan
4. Mengikutsertakan masyarakat dalam perlindungan dan pengawasan kawasan.
BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni
Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan
3. Perladangan (cultivatedland)
1. Pembinaan terhadap peladang di dalam kawasan melalui penerapan teknologi pemanfaatan lahan minimal dengan tetap memperhatikan kebutuhan.
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Teluk Bintuni
1. BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni (Koordinasi).
2. Kelompok Masyarakat pemanfaat.
2. Anjuran penggunaan spesies lokal bukan introduksi.
Dinas Pertanian Kab. Teluk Bintuni (Koordinasi).
1. Kelompok Masyarakat pemanfaat.
1. BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni
4. Pemukiman penduduk
Pembinaan dan penerangan tentang pentingnya kawasan.
BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni
Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan
Sumber: Analisis Data Survei Tim TNC, 2005.
Tabel IV-9. Permasalahan dan alternatif pemecahan terhadap flora dan fauna di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Stakeholders Permasalahan Penyebab Alternatif pemecahan
masalah Penanggungjawab Pendukung
Berkurangnya jenis-jenis flora asli
Degradasi habitat
1. Rehabilitasi ekosistem dengan jenis-jenis yang sesuai dengan kualitas tempat tumbuh.
Dinas Kehutanan Kabupaten Teluk Bintuni.
BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni (Koordinasi).
2. Penegakan hukum yang berlaku untuk menghentikan kegiatan yang mengakibatkan kemunduruan habitat.
BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni .
Polres Teluk Bintuni (Koordinasi)
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 25
BKSDA Papua II Sorong
Stakeholders Permasalahan Penyebab Alternatif pemecahan
masalah Penanggungjawab Pendukung
3. Relokasi Logyard ke luar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni bila memungkinkan.
BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni .
Dinas Kehutanan Kabupaten Teluk Bintuni (Koordinasi).
4. Penyuluhan dan penerangan tentang penting keutuhan ekosistem sebagai habitat satwa dan keberadaannya di kawasan.
BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni .
Dinas Kehutanan Kabupaten Teluk Bintuni (Koordinasi).
Penurunan Populasi satwa
Perburuan liar/ berlebihan
1. Larangan perburuan satwa liar bagi masyarakat yang bukan pemilik hak ulayat dan tidak tinggal dan menetap di dalam dan sekitar kawasan.
BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni
Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan
2. Pembatasan perburuan satwa oleh masyarakat yang pemilik hak ulayat dan menetap di dalam dan sekitar kawasan hanya untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga.
BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni
Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan
3. Larangan perburuan terhadap satwa yang dilindungi dan masuk dalam kategori terancam.
BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni
Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan
Penggunaan Racun
Larangan keras menggunakan bahan kimia dalam penangkapan hasil perikanan.
BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni
Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan
Perubahan Keanekaragaman jenis satwa
Penggunaan alat-alatmekanik oleh HPH dan Kopermas
1. Minimalisasi penggunaan peralatan mekanik dengan tingkat kebisingan yang tinggi di dalam kawasan CA..
Dinas Kehutanan Kabupaten Teluk Bintuni.
BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni (Koordinasi).
2. Pemetaan tempat-tempat penting bagi perkembangan satwa liar seperti tempat pemijahan biota perairan, tempat perkawinan burung, dan tempat bertelur buaya dan burung.
BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni
Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan
3. Pemberdayaan masyarakat misalnya penangkaran buaya dan keramba apung di sungai.
Dinas Kelautan dan Perikanan Teluk Bintuni
BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni . Mitra Pesisir Teluk Bintuni
4. Pengaturan pemanfaat-an sumberdaya di kawasan, (sistem “sasi”)
Dinas Kelautan dan Perikanan Teluk Bintuni
BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni .
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 26
BKSDA Papua II Sorong
Stakeholders Permasalahan Penyebab Alternatif pemecahan
masalah Penanggungjawab Pendukung
Kurangnya data dasar
Minimnya studi/penelitian dan monitoring flora dan fauna di kawasan
Penelitian dan monitoring yang intensif terhadap keberadaan flora dan fauna kawasan.
Universitas Negeri Papua Manokwari
BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni . Dinas Kelautan dan Perikanan Teluk Bintuni Mitra Pesisir Teluk Bintuni
Sumber: Analisis Data Survei Tim TNC, 2005.
C. Aspek Sosial dan Ekonomi dan Budaya
Rencana pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) dapat dilaksanakan secara efisien
dan efektif apabila dalam proses perencanaannya memperhatikan semua aspek termasuk
aspek sosial ekonomi dan budaya.
C.1 Permasalahan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dan merupakan permasalahan dari aspek sosial
ekonomi dan budaya dalam rangka rencana pengelolaan kawasan CATB, yaitu
pengembangan partisipasi masyarakat, Pola Pemanfaatan Sumberdaya Alam, dan
Pengembangan Pendidikan dan Penelitian.
C.1.1 Rendahnya Partisipasi Masyarakat
Partisipasi merupakan suatu istilah yang diartikan sebagai upaya untuk menunjukan
keikutsertaan individu/kelompok dalam suatu kegiatan, yang bila dikaitkan dengan
pembangunan maka akan merupakan upaya peran serta dalam pembangunan.
Koentjaraningrat (1980) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat, terutama masyarakat
pedesaan dapat dibagi kedalam dua tipe, yaitu : (1) Partisipasi dalam aktivitas-aktivitas
bersama dalam proyek pembangunan khusus; dan (2) Partisipasi sebagai individu di luar
aktivitas bersama.
Dari pendapat Kontjaraningrat tersebut terdapat dua sumber munculnya partisipasi
masyarakat, yaitu partisipasi masyarakat karena dorongan atau motivasi dari luar dan
partisipasi karena keinginan dari diri manusia itu sendiri. Berdasarkan kondisi sosial ekonomi
masyarakat sekitar kawasan CATB, partisipasi masyarakat yang perlu dilakukan, yaitu harus
adanya dorongan atau motivasi dari luar dalam hal ini bisa di inisiasi oleh BKSDA Papua II cq
Resort Bintuni atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Lembaga swadaya masyarakat
yang sudah melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan di sekitar kawasan CATB
diantaranya yaitu LSM Mitra Pesisir. Kegiatan yang sedang dilakukan sekarang adalah
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 27
BKSDA Papua II Sorong
menyusunan rencana strategis (Renstra) Pengelolaan Kawasan Pesisir Kabupaten Teluk
Bintuni. LSM tersebut dapat dijadikan sebagai mitra dalam rangka mengembangkan
partisipasi masyarakat.
Hasil pengamatan di lapangan serta infromasi dari pengelola kawasan bahwa partisipasi
masyarakat di dalam dan sekitar kawasan yang sangat diperlukan dalam rangka rencana
pengelolaan kawasan CATB masih rendah. Hal ini diduga karena tingkat pengetahuan serta
pemahaman tentang fungsi kawasan cagar alam sebagai penyanggah sistem kehidupan
masih rendah. Hal ini terbukti dengan adanya tumpang tindih kawasan dengan lahan usaha II
transmigrasi (Waraitama dan Banjar Ausoy) dengan luas total 360 hektar serta adanya
pembangunan 54 rumah di Kampung Anak Kasih, serta beberapa kegiatan ilegal seperti
perburuan dan pembukaan lahan untuk perladangan dan logyard di dalam kawasan.
Penyebabnya diduga karena kurangnya kegiatan sosialisasi tentang fungsi kawasan CATB.
Kemungkinan besar terjadi karena minimnya media dan sarana informasi mengenai
keberadaan Cagar Alam dan pelestarian alam.
C.1.2. Pola Pemanfaatan Sumberdaya Alam
Secara turun temurun, masyarakat lokal yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan Cagar
Alam Teluk Bintuni telah berinteraksi dengan kawasan dalam bentuk memanfaatkan
sumberdaya alam baik flora maupun fauna yang ada dalam kawasan. Sumberdaya alam
yang banyak dimanfaatkan antara lain, yaitu untuk fauna adalah berbagai jenis ikan, udang,
kepiting (karaka), buaya, rusa,babi serta berbagai jenis burung. Sedangkan flora, yaitu nipah
dan tanaman mangrove serta sagu (di sekitar Yensei dan Yakati). Kegiatan pemanfaatan
tersebut telah terjadi sejak jaman dahulu dan menjadi warisan bagi generasi sekarang.
Hasil pengamatan di lapangan dan wawancara dengan masyarakat menunjukan bahwa
kecenderungan (trend) produksi, khususnya sumber daya alam fauna baik berupa hasil
tangkapan maupun buruan menurun dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat yang bermata pencaharian sebagai
nelayan misalnya, hasil tangkapan dibandingkan dengan 3-5 tahun lalu sudah semakin
menurun. “Dulu kita kalo mencari bisa bawa pulang 2 sampai 3 ember, sekarang hanya
dapat setengah sampe 1 ember”, ungkap beberapa penduduk lokal yang biasa melakukan
aktivitas penangkapan hasil laut di beberapa kampung yang dikunjungi. Selain itu daerah
tangkapan sudah semakin jauh, dimana dahulu hanya 15 sampai 30 menit dari
perkampungan, sekarang sudah memerlukan waktu 1 jam lebih bahkan sampai ke sekitar
Teluk Bintuni.
Hal yang sama juga terjadi pada kegiatan perburuan satwa liar seperti rusa, babi hutan, dan
satwa burung. Informasi dari masyarakat menunjukan bahwa berburu satwa liar seperti
disebutkan di atas sudah semakin sulit. Sepuluh tahun lalu satwa rusa banyak terlihat di
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 28
BKSDA Papua II Sorong
sekitar perkampungan, seperti Kampung Mamuranu dan Tirasai. Kondisi saat ini sudah sangat
jauh berbeda, dimana kegiatan perburuan tidak lagi di sekitar kampung atau hutan mangrove,
akan tetapi kearah pegunungan di luar kawasan CATB.
Sedangkan untuk masyarakat yang memanfaatkan batang mangrove, daun nipah serta sagu,
pada umumnya hanya untuk dikonsumsi/penggunaan sendiri dengan jumlah yang cukup
sedikit. Batang mangrove yang kecil biasanya diambil untuk kayu bakar, sedangkan yang
besar untuk tiang rumah. Daun nipah diambil untuk membuat atap rumah, sedangkan sagu
untuk konsumsi sehari-hari (di Yensei dan Yakati) .
Berdasarkan kondisi diatas, dapat dilihat bahwa ketergantungan masyarakat terutama yang
bermatapencaharian sebagai nelayan, berburu dan menokok sagu terhadap sumberdaya alam
baik fauna maupun flora di dalam kawasan CATB cukup tinggi. Dengan melihat trend hasil
tangkapan yang semakin menurun maka dapat diprediksikan jumlah populasi fauna yang ada
di dalam kawasan CATB semakin menurun. Salah satu faktor penyebab kecenderungan
(trend) produksi ini adalah pola pemanfaatan yang tidak begitu memperhatikan aspek
kelestarian hasil. Hasil pengamatan di lapangan, berhasil diidentifikasi beberapa pola
pemanfaatan sumber daya alam, khususnya fauna yang diduga menjadi faktor penyebab
produksi tangkapan dan buruan sebagai berikut:
1. Penggunakan akar bore (tuba) dan indikasi penggunaan racun serangga (insektisida).
Penggunaan akar bore ini dilakukan pada saat “pele kali” yang membuat ikan-ikan tersebut
mabuk sehingga mudah diambil. Menurut informasi beberapa nelayan dari beberapa
kampung (desa) di sekitar CATB, pengaruh dari akar bore tersebut cepat hilang (2-3 hari) di
lokasi tersebut, serta yang terpengaruh hanya ikan. Dampak dari penggunaan jenis racun ini
terhadap populasi biota laut seperti ikan memang tidak langsung terlihat seketika, apalagi bila
penggunaannya hanya dalam jumlah yang sedikit. Tetapi bila digunakan terus menerus, akan
terjadi akumulasi dan dapat mengancam perkembangbiakan biota perairan, namun hal ini
perlu pengkajian yang lebih dalam.
Berdasarkan informasi dari pengelola kawasan dan beberapa nelayan lokal, terdapat indikasi
penggunaan bahan kimia pembasmi hama (insektisida) jenis Dhesis 2,5 dan Apoda dalam
kegiatan penangkapan hasil laut, terutama ikan. Padahal jenis bahan kimia tersebut dapat
mengakibatkan ikan-ikan mati serta fauna atau flora lain pun ikut mati. Hal tersebut yang saat
ini menjadi permasalahan, dimana kualitas air semakin menurun (tercemar) karena
penggunaan obat kimia tersebut yang dapat berakibat buruk terhadap kesinambungan hasil.
2. Penggunaan pukat harimau (trawl) oleh Kapal Penangkap udang.
Kondisi lain yang menyebabkan semakin menurunnya jenis dan jumlah perikanan di dalam
CATB yaitu mulai tahun 1988 sampai dengan Februari 2005, terdapat beberapa perusahaan
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 29
BKSDA Papua II Sorong
penangkapan udang salah satunya, yaitu PT. Bintuni Mina Raya yang berlokasi di Wimro.
Saat ini perusahaan tersebut menghentikan operasi penangkapan untuk sementara waktu,
dengan alasan perubahan manajemen. Seharusnya daerah penangkapan perusahaan
tersebut berada di perairan Teluk Bintuni, akan tetapi kenyataannya perusahaan tersebut
menangkap udang masuk sampai ke sungai-sungai di dalam Cagar Alam Teluk Bintuni, yaitu
Sungai Muturi, Bokor dan Naramasa. Dengan menggunakan jaring pukat harimau (trawler)
dan kapal cukup besar, perusahaan tersebut menangkap semua hasil perikanan yang ada,
akan tetapi karena perusahaan tersebut hanya mengambil udang saja, maka ikan (terutama
yang kecil) yang tertangkap di buang begitu saja.
Berdasarkan kondisi diatas, maka penangkapan hasil perikanan yang tidak ramah lingkungan
merupakan masalah yang sangat penting dan harus segera dicarikan penyelesaiannya agar
kelestarian CATB dapat dijaga, sehingga fungsinya sebagai tempat mencari makan (feeding
ground), tempat memijah (spawning ground) dan tempat berkembang biak (nursery ground)
bagi berbagai jenis ikan, udang, kerang, dan bagi biota laut lainnya dapat lestari.
C.2 Alternatif Pemecahan Masalah
Agar masyarakat sekitar kawasan CATB
serta pihak-pihak yang berkepentingan lain
ikut terlibat secara aktif berpartisipasi dalam
perencanaan, pelaksanaan, serta
pengawasan kawasan CATB, maka sebagai
langkah awal perlu dilakukan proses
pembelajaran bagi semua pihak baik melalui
sosialisasi, pengadaan media informasi
tentang pelestarian alam serta berbagai
aktivitas lainnya yang dapat meningkatkan
pengetahuan dan pemahamannya.
Sebagai alternatif pemecahan masalah
rendahnya partisipasi masyarakat dan adanya
pemanfaatan sumberdaya alam di dalam
kawasan CATB yang tidak ramah lingkungan
dapat dilakukan berupa:
1. Peningkatan partisipasi masyarakat
(melibatkan masyarakat dalam setiap
kegiatan pengelolaan) serta penyuluhan
yang intensif kepada masyarakat yang
ada didalam dan sekitar kawasan CATB
Gambar IV-13. Diskusi Bersama Masyarakat K. Korano Jaya dan K. Yensei dalam Rangka Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 30
BKSDA Papua II Sorong
2. Adanya pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan CATB yang ramah
lingkungan
Masyarakat sekitar kawasan CATB, terkelompokan dalam beberapa kampung. Hal ini dapat
dijadikan dasar sebagai awal partisipasi mereka berdasarkan kampung (desa). Setiap
kampung memiliki aparat serta pada umumnya berkelompok menurut asal/sukunya masing-
masing. Pada setiap kampung dibangun pengetahuan dan pemahaman tentang cagar alam
dan pelestarian alam lalu dibentuk semacam kelompok kerja (Pokja) yang anggotanya dipilih
oleh mereka sendiri. Setelah masing-masing kampung (desa) memiliki Pokja, maka
selanjutnya dilakukan adanya pertemuan antar Pokja dari masing-masing kampung untuk
dibangun pemahaman bersama tentang pelestarian alam serta merumuskan rencana kerja
yang akan dilakukan. Setelah itu dilakukan pertemuan dengan aparat pemerintah untuk
mensinkronkan dengan rencana pembangunan pemerintah.
Sebagai langkah awal dalam meningkatkan partisipasi masyarakat, dalam penyusunan
rencana pengelolaan Kawasan CATB telah dilakukan diskusi di 14 kampung yang berada
didalam, bersinggungan dan diluar kawasan. Diskusi tersebut dirancang sedemikian rupa
sehingga masyarakat yang ikut dalam diskusi tersebut terlibat aktif dan peneliti hanya
berfungsi sebagai fasilitator. Beberapa isu strategis dari hasil diskusi disetiap kampung
tersebut diantaranya yaitu masalah sosialisasi kawasan, pemanfaatan sumberdaya alam
(flora dan fauna) serta harapan masyarakat untuk ikut terus terlibat dalam setiap kegiatan di
Kawasan CATB.
Sebagai contoh nyata partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan CATB, yaitu dalam
hal tata batas (ulang) dan pengamanan kawasan. Pada kegiatan tata batas, pelaksana
melakukan penatabatasan melibatkan masyarakat sekitar kawasan (mengetahui, ikut dalam
proses tata batas dan menyetujui batas). Proses tata batas yang dilakukan disekitar suatu
kampung, maka Pokja disekitar kampung tersebut yang akan ikut aktif terlibat. Demikian juga
dalam pengamanan kawasan, akan lebih efisien dan efektif apabila pengamanan dilakukan
Gambar IV-14. Kegiatan Lokakarya Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni 1 dan 2 Juni 2005 untuk menyamakan persepsi semua stakeholder terhadap kawasan.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 31
BKSDA Papua II Sorong
oleh seluruh masyarakat (Pokja) yang ada di sekitar kawasan CATB, dimana sebelumnya
telah terbentuk kesepakatan mengenai keharusan menjaga wilayah kampung (desa) masing-
masing terutama yang masuk kedalam kawasan CATB dari usaha-usaha yang dapat merusak
kelestariannya.
Diskusi disetiap kampung tersebut, ditindaklanjuti dengan mengadakan Lokakarya
Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan CATB pada tanggal 1 dan 2 Juni 2005 untuk
menyamakan persepsi semua stakeholder terhadap kawasan. Pada hari pertama lokakarya
diadakan pertemuan khusus untuk masyarakat dan pada hari kedua dilakukan pertemuan
dengan semua stakeholder. Sebagai langkah awal untuk melakukan ”Pengaturan
pemanfaatan sumberadaya alan didalam kawasan CATB”, pada pertemuan hari pertama
dihasilkannya ”Kesepakatan Masyarakat” yang ditandatangani oleh perwakilan dari 14
kampung, bagaimana mengelola kawasan CATB secara bersama-sama. Butir-butir
kesepakatan tersebut antara lain :
Dalam pemanfaatan sumberdaya alam di dalam Kawasan CATB, siapapun boleh mencari
makan didalam kawasan tanpa memandang suku/marga/batas-batas wilayah adat asalkan
mematuhi aturan kesepakatan yang sudah dibuat. Kegiatan yang ”Boleh” dilakukan antara
lain adalah:
1. Kami dapat melakukan penangkapan hasil-hasil perikanan seperti ikan, udang,
karaka, siput atau bia dan hasil laut lainnya
2. Kami dapat berkebun dan mendapat bantuan bimbingan teknis dari dinas terkait
(Untuk Masyarakat di dalam kawasan)
3. Kami dapat melakukan pemanfaatan kayu mangi-mangi untuk kayu bakar sendiri
(bukan untuk dijual) dan kegiatan menangkap ikan ”pele kali”
4. Kami dapat berburu hewan atau satwa liar seperti buaya, rusa, babi hutan dan burung
5. Kami boleh menangkap ikan dengan dengan menggunakan ”akar bore” dan jaring
Kegiatan yang ”Tidak Boleh” dilakukan didalam kawasan CATB antara lain:
1. Tidak boleh menggunakan obat (bahan kimia) dalam menangkap ikan, udang dll
2. Tidak boleh menebang mangi-mangi atau bakar dari cagar alam dalam skala besar
untuk keperluan usaha kayu atau tambak atau lainnya
3. Tidak boleh menebang kayu di hutan tanah kering atau gunung didalam cagar alam
4. Tidak membolehkan kapal-kapal yang berlayar di sungai untuk membuang sampah
atau limbah minyak atau bahan kimia ke sungai
5. Tidak boleh kapal besar atau kapal udang atau kapal pukat harimau untuk beroperasi
di dalam kawasan cagar alam
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 32
BKSDA Papua II Sorong
6. Tidak boleh ada eksplorasi bahan tambang di dalam kawasan cagar alam Teluk
Bintuni
Untuk mendukung pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni, masyarakat akan
mendukung berupa :
1. Kami akan melaporkan pelanggaran kesepakatan yang terjadi kepada pengelola
Cagar Alam Teluk Bintuni
2. Kami akan menangkap langsung pelanggaran aturan yang sudah disepakati bersama
3. Pembentukan kelompok kerja disetiap kampung yang ada di dalam dan sekitar
kawasan yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan rencana kegiatan pengelolaan
Masyarakat juga berharap pemerintah daerah turut mendukung kegiatan pengelolaan cagar
alam. Untuk itu masyarakat mengharapkan pemerintah melakukan hal-hal :
1. Membuat peraturan daerah mengenai cagar alam
2. Melakukan pembinaan dan penyuluhan serta pendampingan yang terus menerus
kepada masyarakat di dalam dan sekitar cagar alam, khusus untuk peningkatan
ekonomi masyarakat
3. Kami meminta pemerintah daerah memberikan perhatian lebih besar pada pendidikan
masyarakat.
Butir-butir ”Kesepakatan Masyarakat” tersebut merupakan suatu upaya untuk ”mengatur
pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan CATB”, serta perlu ditanggapi secara bijak
oleh pihak pengelolaa (BKSDA Papua II Sorong cq. Resort Bintuni) karena hal tersebut
merupakan aspirasi/harapan dan niat dari masyarakat sekitar kawasan CATB untuk ikut aktif
dalam melestarikan kawasan tetapi tanpa melupakan kebutuhan hidup masyarakat sehari-
hari. Karena kita sadari bersama bahwa peranan masyarakat sekitar terhadap kelestarian
kawasan CATb sangat besar.
Masyarakat mengharapkan masih bisa memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di dalam
kawasan terutama hasil perikanan, dan satwa liar serta mangrove secara terbatas untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya (ekonomi). Pemanfaatan ini tetap diimbangi dengan adanya
larangan menggunakan bahan kimia dalam menangkap ikan, menebang mangrove untuk
industri atau tambak serta pelarangan kapal trawl/pukat harimau masuk kedalam kawasan
CATB. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat berkeinginan untuk tetap menjaga kelestaraian
kawasan CATB. Akan tetapi hal tersebut perlu didukung oleh sosialisasi dan penyuluhan yang
baik dengan tetap memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat. Karena bukan hal yang tidak
mungkin suatu saat nanti akan datang investor yang menawarkan sejumlah uang untuk
membuka usaha (tambak dll) didalam kawasan dengan memanfaatkan ”masyarakat adat”
yang mayoritas kurang mampu secara ekonomi. Apabila kondisi sosial ekonomi masyarakat
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 33
BKSDA Papua II Sorong
tetap menjadi perhatian, maka masyarakat sekitar kawasan CATB diharapkan tidak akan
mudah tergoda oleh para pengusaha yang hanya melihat keuntungan ekonomi saja.
Dengan alternatif pemecahan masalah yaitu berupa peningkatan peran serta masyarakat,
sosialisasi serta adanya pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam didalam kawasan CATB,
maka diharapkan kawasan CATB dapat dijaga kelestariannya dan masyarakat sekitar bisa
meningkatkan taraf kehidupannya secara sosial dan ekonomi.
Berikut adalah rangkuman permasalahan dan alternatif pemecahan masalah terhadap aspek
Sosial Ekonomi dan Budaya kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni seperti disajikan pada Tabel
IV-10.
Tabel IV-10. Permasalahn dan alternatif pemecahan terhadap aspek Sosial Ekonomi dan Budaya kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Stakeholders Permasalahan Alternatif pemecahan
masalah Penanggungjawab Pendukung
Rendahnya Pengetahuan dan pemahaman tentang Cagar Alam
Penyuluhan tentang Keberadaan Cagar Alam Teluk Bintuni
BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni
Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan
Rendahnya Partisipasi Masyarakat
Melibatkan masyarakat dalam setiap kegiatan
BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni
Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan
Penangkapan Hasil Perikanan yang Tidak Ramah Lingkungan (Penggunakan akar bore (tuba) dan Indikasi penggunaan racun serangga)
Penyuluhan dan penerangan yang intensif kepada masyarakat di dalam dan sekitar kawasan, khususnya nelayan tentang bahaya dari penggunaan bahan kimia terhadap kesinambungan hasil tangkapan
Dinas Kelautan dan Perikanan Teluk Bintuni
1. BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni.
2. Mitra Pesisir Teluk Bintuni
Penggunaan pukat harimau (Trawl) oleh Kapal Penangkap udang di dalam kawasan CATB
Penegakan hukum BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni .
Dinas Kehutanan Kabupaten Teluk Bintuni (Koordinasi).
Adanya Perkampungan di dalam Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB)
Pemberdayaan masyarakat (Pelatihan/bimbingan teknis pembuatan dendeng manis,abon, kerajinan dari kulit buaya, dan budidaya pertanian)
BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni .
Dinas Kehutanan Kabupaten Teluk Bintuni (Koordinasi).
Tumpang tindih antara Batas Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) dengan Penggunaan Lahan lain.
Rekonstruksi Pal Tata Batas
BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni
Kelompok Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan
Sumber: Analisis Data Survei Tim TNC, 2005.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 34
BKSDA Papua II Sorong
D. Skenario Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Perencanaan Skenario adalah sebuah alat manajemen yang strategis yang dapat
merangsang berbagai pemikiran mengenai kemungkinan–kemungkinan di masa depan.
Skenario ini dapat pula menghasilkan suatu strategi yang kokoh, merangsang pemikiran dan
perdebatan mendalam atas isu pokok penting, yang mengfokuskan pemikiran ke masa depan
bukan pada masa kini atau masa lampau.
Berikut adalah beberapa skenario yang didasarkan pada kondisi kawasan yang mungkin
dapat diterapkan dalam pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sampai tahun 2030.
D.1 Kebijakan Akomodatif dan Kelembagaan Demokratik
Skenario ini merupakan kondisi ideal yang dapat diwujudkan dan merupakan skenario yang
didambaan kita semua. Skenario ini menggambarkan situasi dimana kebijakan Pemerintah
Pusat (Departemen Kehutanan) dan Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni yang dapat
mengakomodir semua kepentingan stakeholder yang ada dengan tetap memperhatikan fungsi
dan peruntukan kawasan. Kebijakan yang ideal dan didukung oleh kelembagaan baik
pengelola kawasan maupun pemangku kepentingan lainnya yang bersifat demokratif akan
membuat terciptanya program pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni yang lestari,
berkelanjutan dan berdayaguna.
Beberapa ciri skenario ini antara lain:
¶ Status kawasan yang sudah jelas sebagai kawasan Cagar Alam melalui penetapan
Menteri Kehutanan, didukung Peraturan Daerah dan keberadaan kawasan Cagar Alam
terlihat jelas dalam Tata Ruang Wilayah Kabupaten Teluk Bintuni;
¶ Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni telah dikeluarkan atau diterbitkan oleh pemerintah
Pusat dalam hal ini BKSDA Papua II Sorong dan sudah disosialisasikan kepada semua
pemangku kepentingan. Dukungan dan partisipasi aktif dari semua pemangku
kepentingan membuat pengelolaan kawasan bersifat aspiratif;
¶ Tidak ada lagi konflik kepentingan antar pemangku kepentingan dalam kawasan;
¶ Masyarakat sadar dan secara bersama-sama memelihara keutuhan kawasan;
¶ Pembangunan fisik yang tidak sesuai fungsi dan peruntukan kawasan tidak dijumpai;
¶ Tidak ada klaim hak ulayat dari masyarakat adat terhadap keberadaan kawasan;
¶ Pemberdayaan masyarakat asli/pemilik ulayat berjalan efektif;
¶ Pemanfaatan terbatas oleh masyarakat adat di bawah bimbingan pengelola;
Sasaran akhir dari skenario ini adalah penyadaran publik telah terbentuk secara mantap
bahwa kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni pelestariannya menjadi tanggung jawab bersama,
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 35
BKSDA Papua II Sorong
manfaatnya dinikmati secara bersama oleh seluruh lapisan masyarakat serta keutuhan
kawasan menjadi kebanggaan kita bersama pula.
D.2. Kebijakan Sentralistik dan Kelembagaan Demokratik
Skenario ini menggambarkan kondisi dimana kebijakan pengelolaan kawasan yang
dikeluarkan oleh pemerintah tidak mempertimbangkan aspek kelestarian dan keutuhan
kawasan. Kebijakan yang dikeluarkan hanya didasarkan pada pertimbangan ekonomi daerah
dan untuk kepentingan kelompok tertentu semata dengan dalih kepentingan masyarakat
secara umum. Namun demikian, ada upaya bersama oleh kelompok pemerhati lingkungan
untuk membentuk aliansi memperjuangkan dan mempertahankan kelestarian dan keutuhan
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni sebagai kawasan ekosistem kebanggaan seluruh
penduduk Kabupaten Teluk Bintuni. Kelompok pemerhati lingkungan ini berasal dari
masyarakat pemilik ulayat, akademisi, legislatif dan NGO lokal dan internasional yang masih
peduli dan berjuang untuk mempertahankan keutuhan dan kelestarian kawasan. Kelompok ini
memperjuangkan terbentuknya kelembagaan pengelolaan yang demokratif dan partisipatif.
Beberapa ciri yang dapat menjelaskan situasi tersebut, antara lain :
¶ Kebijakan pembangunan sarana fisik dalam kawasan yang tidak berhubungan dengan
fungsi kawasan sebagai Cagar Alam masih diijinkan;
¶ Ijin pembangunan sarana dan prasarana untuk kepentingan kelompok tertentu;
¶ Kelompok pemerhati lingkungan secara bersama-sama berjuang untuk mempertahankan
kawasan, walaupun pemanfaatan kawasan oleh pemerintah secara sepihak tetap ada;
Dalam skenario ini, pemerhati lingkungan terkadang optimis, terkadang pesimis dalam
memperjuangkan keutuhan dan kelestarian kawasan. Sekalipun demikian, mereka tetap
berjuang diantara berbagai tekanan kepentingan tersebut dengan keyakinan bahwa berjuang
diatas jalur kebenaran demi kepentingan bersama, cepat atau lambat pasti akan terwujudkan
diatas panji demokratisasi.
D.3. Kebijakan Akomodatif dan Kelembagaan Otoritik
Skenario ini adalah kebijakan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni telah dikeluarkan atau
diterbitkan oleh pemerintah dalam bentuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) ataupun
peraturan daerah tentang pengelolaan kawasan yang aspiratif, namun para pemangku
kepentingan dalam kawasan (stakeholders) tidak memperhatikan atau melaksanakannya.
Pemangku kepentingan (stakeholder) hanya melaksanakan kegiatan pengelolaan kawasan
berdasarkan kebutuhan dan kepentingan masing-masing lembaga/institusinya saja. Pada
akhirnya, setiap instansi hanya mementingkan pencapaian tujuan masing-masing tanpa
memperdulikan tujuan bersama seperti yang tertuang dalam Rencana Pengelolaan Kawasan
(RPK).
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Analisis Permasalahan IV - 36
BKSDA Papua II Sorong
Beberapa ciri yang dapat menjelaskan situasi tersebut, antara lain:
¶ Kegiatan yang dilakukan dalam kawasan oleh beberapa instansi, dilaksanakan secara
sektoral, walaupun lokasi dan sasaran kegiatannya sama pada satu wilayah;
¶ Koordinasi instansi teknis dan instansi terkait lainnya tidak berjalan sesuai dengan yang
Dalam mengelola suatu kawasan konservasi yang lebih baik dan mantap, status hukum dari
kawasan tersebut merupakan suatu hal yang penting. Berikut adalah beberapa Rencana
kegiatan yang diusulkan dalam rangka pemantapan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
1. Kepastian Hukum Kawasan. Kepastian hukum yang dimaksud di sini adalah kegiatan
yang memberikan kepastian hukum yang jelas atas kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
yang saat ini masih berstatus Penunjukan bukan Penetapan oleh Menteri Kehutanan.
Untuk itu proses kepastian hukum dengan menetapkan status hukum kawasan menjadi
prioritas utama.
2. Pengakuan Keberadaan Cagar Alam Teluk Bintuni secara legal formal oleh Pemerintah Daerah. Proses penetapan kawasan Cagar Alam menjadi definitif juga harus
ditindak lanjuti dalam peraturan daerah yang mensahkan keberadaan kawasan di dalam
tata ruang propinsi maupun kabupaten.
3. Rekonstruksi pal batas, yaitu pemasangan kembali pal batas secara menyeluruh.
Kegiatan ini harus dilakukan secara koordinatif serta partisipatif dengan pihak-pihak lain
yang berkompeten dan terkait. Kegiatan ini akan dilaksanakan bersama Bappeda,
Pemerintah Kecamatan dengan masyarakat. Untuk memastikan posisi awal jalur batas
digunakan GPS atau mengikuti tata batas awal. Pelaksanaan pemasangan kembali pal
batas kawasan akan dilakukan secara bertahap. Rekostruksi pal batas diperlukan untuk
menetapkan kawasan dalam status hukum yang jelas. Rekonstruksi pal batas bukan
melakukan tata batas ulang tetapi berupa pemasangan kembali pal batas yang pernah
ada sesuai koordinat yang ada secara menyeluruh mulai dari titik nol. Total panjang
batas dengan daratan diperkirakan 125 km dari total batas 250 km.
4. Kerjasama. Kerjasama yang dimaksud disini adalah pelibatan stakeholder di luar
pengelola kawasan dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan pengelolaan,
khususnya dalam kegiatan rekonstruksi pal batas Kawasan.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Rencana Kegiatan V - 3
BKSDA Papua II Sorong
Adapun rangkuman rencana kegiatan yang diusulkan untuk menunjang kegiatan pemantapan
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni disajikan pada Tabel V-2.
Tabel V-2. Rencana kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dalam meningkatkan Efektivitas Pengelolaan Kawasan.
No. Kegiatan Pokok Komponen kegiatan
1. Kepastian Hukum Kawasan Pembuatan SK. Menteri tentang Penetapan Kawasan
1. Pembuatan SK. Bupati Tentang Keberadaan Cagar Alam
2. Pengakuan Keberadaan Cagar Alam Teluk Bintuni secara legal formal oleh Pemerintah Daerah
2. Pembuatan Peraturan Daerah (PERDA) tentang Cagar Alam Teluk Bintuni.
1. Pengadaan/pembuatan pal batas 3. Rekonstruksi pal batas
2. Pemasangan Pal batas kawasan
4. Kerjasama Pembuatan MOU dengan stakeholder terkait untuk kegiatan Rekonstruksi Pal Batas
B.2 Peningkatan Efektifitas Pengelolaan Kawasan
Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan kawasan Cagar alam Teluk
Bintuni sesuai fungsi kawasan. Beberapa kegiatan pengelolaan yang diusulkan dalam
menunjang aspek ini adalah sebagai berikut:
1. Pembuatan Buku Saku/Juknis/Pedoman Kegiatan Pengelolaan Kawasan. Pedoman
ini nantinya akan diperuntukan kepada pengelola kawasan khususnya Polisi Hutan
(POLHUT) yang berisi tentang petunjuk teknis kegiatan pengelolaan kawasan.
2. Pemasangan Papan Petunjuk Kawasan. Papan petunjuk yang dimaksud disini adalah
papan petunjuk batas kawasan, keberadaan kawasan, dan papan pengumuman yang
berisi aturan dan larangan.
3. Pemeliharaan batas Kawasan. Tapal batas di lapangan sedapat mungkin dapat terlihat
jelas dan mudah diidentifikasi misalnya batas alam dan tanda-tanda buatan manusia,
sehingga batas tersebut dapat dengan mudah diidentifikasi. Jalur dan pal batas
memerlukan pemeliharaan dan pengamanan secara teratur oleh petugas. Pemeliharaan
batas ini dilakukan mulai tahun 1 sampai tahun ke 5 dan selanjutnya dilakukan
pemeliharaan rutin setiap 2 tahun.
4. Kajian/Penelitian Potensi Fungsi Kawasan. Melakukan penelitian yang berkaitan
dengan kepentingan penataan Kawasan.
5. Arahan Penataan dan Penetapan Blok. Kegiatan ini bertujuan untuk menata kawasan
ke dalam blok-blok.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Rencana Kegiatan V - 4
BKSDA Papua II Sorong
6. Pengadaan Poster/Leaflet Kegiatan Pengelolaan Kawasan. Kegiatan bertujuan untuk
menyebarluaskan informasi dan meningkatkan pengetahuan/kesadaran masyarakat
tentang keberadaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni serta fungsinya sebagai sistem
penyangga kehidupan.
7. Penelitian. Dampak di luar kawasan dapat berupa dampak positif dalam bidang ekonomi
seperti perbaikan sarana dan prasarana transportasi, komunikasi, dan adanya peluang
usaha baru. Sedangkan dampak negatifnya berupa pengaruh budaya luar terhadap
pelestarian budaya kawasan, keamanan dan stabilitas wilayah, serta konsumerisme
berkembang di masyarakat setempat sehingga dapat menyebabkan eksploitasi
sumberdaya alam berlebihan.
Untuk memonitor kemungkinan yang ditimbulkan oleh adanya pengembangan wilayah
maka pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni, maka direncanakan ada kegiatan
Monitoring Dampak Lingkungan setiap tahun sekali. Hasil studi ini sangat berguna
sebagai salah satu masukan dalam pengambilan kebijakan pengembangan kawasan
Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitarnya. Monitoring dampak lingkungan ini
pelaksanaannya dapat dilakukan melalui kerjasama dengan pihak lain seperti perguruan
tinggi atau LSM.
8. Pembinaan Masyarakat. Kegiatan ini ditujukan untuk membina masyarakat yang
bermukim di dalam dan sekitar Kawasan, khusus yang bermukim di blok penyangga
(Buffer block).
9. Pelibatan Masyarakat. Keterlibatan masyarakat sangat penting dalam kegiatan
pengelolaan kawasan, sehingga dirasa perlu untuk melibatkan mereka dengan
pembentukan suatu kelompok kerja yang dapat membantu pengelola dalam memberikan
masukan ataupun pemecahan masalah yang berkaitan dengan pemanfaatan kawasan.
10. Sistem Informasi Geografis dan Database. Sistern Informasi Geografis (Geographical
Information System) adalah alat analisis yang sangat ampuh untuk perencanaan
pengembangan Kawasan Konservasi. Untuk pengembangan SIG diperlukan koordinasi
dengan instansi-instansi yang lain terkait. Hasil penelitian yang diuraikan di atas
dimanfaatkan untuk pembaharuan informasi tematis kawasan. SIG juga bermanfaat untuk
produksi bahan media informasi dan komunikasi.
Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni dapat melakukan atau memfasilitasi penelitian
mengenai klasifikasi ekosistem, klasifikasi habitat dan inventarisasi. Data tersebut
merupakan baseline data yang dibutuhkan untuk evaluasi pengembangan ekosistem
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Karena keterbatasan tenaga lapangan di Cagar
Alam Teluk Bintuni, sebanyak mungkin penelitian akan dilakukan oleh pihak lain,
terutama peneliti dari perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri. Pengelola Cagar
Alam Teluk Bintuni dapat membantu dan memfasilitasi penelitian tersebut dengan
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Rencana Kegiatan V - 5
BKSDA Papua II Sorong
bantuan sarana dan pemberian izin untuk menciptakan kondisi yang produktif untuk para
peneliti. Hasil penelitian tersebut digunakan untuk melengkapi database dan SIG yang
dikembangkan untuk Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Database dikembangkan untuk melengkapi Sistem Informasi Pengelolaan atau
Management Information System (MIS) yang sedang dikembangkan untuk kawasan
konservasi di Indonesia. Untuk kepentingan tersebut Cagar Alam Teluk Bintuni akan
mengumpulkan dan memelihara koleksi media-media informasi meliputi: 1) buku,
majalah, dan jurnal; 2) media informasi termasuk brosur, poster, gambar tempel; 3)
koleksi foto, slide, dan film; 4) peta (termasuk peta rupa bumi, pola penggunaan lahan,
peta navigasi, dsb).
Rangkuman rencana kegiatan yang diusulkan dalam meningkatkan Efektivitas Pengelolaan
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni seperti disajikan disajikan pada Tabel V-3.
Tabel V-3. Rencana kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dalam meningkatkan Efektivitas Pengelolaan Kawasan.
No. Kegiatan Pokok Komponen kegiatan
1. Buku Saku/Juknis/Pedoman Kegiatan Pengelolaan Kawasan
1. Pengadaan buku saku/panduan pemeliharaan batas kawasan
2. Pengadaan buku saku/panduan/juknis kegiatan pemeliharaan kawasan.
3. Pengadaan buku saku/panduan/juknis kegiatan pengelolaan potensi kawasan.
4. Pengadaan buku saku/panduan/juknis kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan.
5. Pengadaan buku saku/panduan/juknis kegiatan penelitian dan pengembangan kawasan.
2. Papan Petunjuk Kawasan Pengadaan dan Pemasangan papan pengumuman dan petunjuk di sepanjang jalur rintisan dan beberapa pulau yang sering dilewati masyarakat/pelayaran.
1. Pembuatan jalur rintisan dan jalan setapak pada batas kawasan dengan lebar 2 meter.
2. Memberikan tanda batas pada pohon di batas kawasan dengan nomor, plat seng dan tanda cat pada pohon di jalur batas Kawasan.
3. Pemeliharaan Batas Kawasan
3. Memperbaiki pal batas yang sudah rusak atau hilang.
1. Identifikasi dan Pemetaan tipe ekosistem yang ada di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
4. Kajian potensi fungsi kawasan
2. Identifikasi dan Pemetaan Penutupan Lahan sesuai Ekosistem.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Rencana Kegiatan V - 6
BKSDA Papua II Sorong
No. Kegiatan Pokok Komponen kegiatan
5. Arahan Penataan dan Penetapan Blok
Penataan dan pembuatan peta arahan blok di dalam kawasan
3. Pengadaan Poster tentang kondisi fekosistem di Kawasan CATB
7. Pembinaan masyarakat Pembinaan masyarakat yang bermukim di blok penyangga kawasan tentang pentingnya keberadaan kawasan sebagai penyanggah sistem kehidupan
8.Pelibatan Masyarakat
Pembuatan Kelompok Kerja dalam Kegiatan Pengelolaan Kawasan
9. Penelitian 1. Penelitian tentang dampak lingkungan
2. Kajian tentang dampak dari rencana
pembangunan wilayah
10.Sistem Informasi Geografis dan Database
Pengadaan sistem informasi geografis (SIG) dan pemutahiran data hasil-hasil peneltian
B.3 Pengembangan Konservasi Jenis dan Keanekaragaman Hayati
Kegiatan pengembangan konservasi jenis dan keanekaragaman hayati berkaitan dengan
kegiatan penelitian, pengembangan dan kegiatan lain yang menunjang budidaya, terutama
yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan
upaya pengawetan tumbuhan dan satwa liar dan memfasilitasi pengelolaan ekosistem
esensial. Beberapa kegiatan pengelolaan yang diusulkan dalam menunjang aspek ini adalah
sebagai berikut:
1. Buku Panduan. Pedoman ini merupakan buku saku/juknis/pedoman kegiatan
pemeliharaan flora dan fauna beserta habitatnya. Pedoman ini nantinya akan
diperuntukan kepada pengelola kawasan khususnya Polisi Hutan (POLHUT) yang berisi
tentang petunjuk teknis kegiatan pengelolaan kawasan.
2. Penelitian/Kajian Tentang Kondisi Flora, Fauna, dan Ekosistem Kawasan. Kegiatan
bertujuan untuk mengidentifikasi kondisi flora dan fauna kawasan beserta habitatnya
dalam mendukung upaya kegiatan konservasi jenis dan keanekaragaman hayati
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
3. Pembinaan Habitat. Kegiatan ini lebih difokuskan pada penilaian kondisi ekosistem
Kawasan yang merupakan habitat flora dan fauna kawasan.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Rencana Kegiatan V - 7
BKSDA Papua II Sorong
4. Pengendalian. Uraian mengenai upaya pengendalian, misalnya pengendalian jenis
eksotik. Upaya yang dilakukan seperti introduksi spesies yang memiliki potensi sebagai
hama, introduksi spesies yang fungsinya sama dengan spesies lokal dan lain-lain.
Pencegahan Hama dan Penyakit. Dalam ekosistem hutan alam yang strukturnya terdiri
dari berbagai jenis biota, tidak seumur dan kondisi ekosistemnya relatif stabil, hama
penyakit tanaman jarang sekali mengalami ledakan yang dapat merugikan komunitas
hutan. Gejolak populasi hama penyakit hutan biasanya bisa diatasi dengan kemampuan
alam sendiri sehingga alam dapat pulih kembali. Cagar Alam Teluk Bintuni mungkin
harus lebih memperhatikan kemungkinan adanya hama penyakit berbahaya di daerah-
daerah pertanian dalam kawasan atau sekitar batas kawasan. Kegiatan pemantauan
oleh petugas terhadap hama penyakit di daerah-daerah tersebut perlu dilakukan secara
periodik atau dengan memperhatikan laporan-laporan dari masyarakat tentang hama dan
penyakit tanaman. Satu hal yang perlu diperhatikan kemungkinan invasi biota eksotik ke
dalam kawasan, oleh karena itu bila ada kasus hama dan penyakit yang dianggap
membahayakan kawasan, maka harus segera dicarikan jalan pemecahannya baik secara
preventif maupun refresif. Secara umum kegiatan yang dapat dilakukan antara lain :
¶ Pemusnahan jenis tumbuhan eksotik yang berpotensi ekspansif yang ada di
kawasan.
¶ Penyuluhan dan sosialiasi larangan introduksi spesies eksotik.
¶ Melakukan penelitian Inventarisasi, Identifikasi dan Dampak jenis-jenis eksotik yang
ada di kawasan CATB.
Perlindungan Jenis. Secara umum penyadaran masyarakat dan instansi terkait tentang
status biota yang dilindungi perlu ditingkatkan. Beberapa biota yang dilindungi perlu
usaha perlindungan khusus. Untuk aktivitas perlindungan jenis ini, aktivitas yang dapat
dilakukan adalah :
¶ Melakukan penelitian detail tentang masa bunting satwa buruan untuk menentukan
saat berburu masyarakat.
¶ Membuat papan larangan perburuan satwa dilindungi.
¶ Membuat brosur, leaflet dan poster imbauan atau larangan berburu satwa dilindungi
dan hampir punah.
5. Pemulihan. Pemulihan merupakan kegiatan yang berkaitan dengan adanya kerusakan
dan perubahan dalam bentang lahan di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Untuk
bisa mengelola perubahan bentang lahan baik karena aktivitas manusia maupun alam,
pengelola kawasan CATB harus berkoordinasi dengan instansi terkait. Dalam hal ini,
kerusakan dan upaya pencegahan kerusakan dikelompokkan dalam rencana kegiatan
pemulihan. Kegiatan ini antara lain adalah :
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Rencana Kegiatan V - 8
BKSDA Papua II Sorong
Pencegahan bahaya erosi-abrasi dan sedimentasi. Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
belum memiliki informasi yang lengkap tentang lokasi yang rawan abrasi-erosi dan lokasi
penumpukan sedimen, namun sudah mulai ada indikasi di beberapa lokasi adanya
pengaruh abrasi-erosi dan sungai semakin kecil, di muara semakin banyak calon pulau.
Pengelolaan terutama ditujukan pada daerah-daerah yang rawan abrasi-erosi yang
biasanya terjadi di lokasi yang terkena gelombang besar. Sementara pengelolaan
sedimen sangat terkait dengan upaya Dinas Kehutanan membangun pengelolaan hutan
berkelanjutan di areal HPH dan hutan masyarakat. Dalam rangka menunjang kegiatan ini,
perlu dilakukan melalui pembentukan Forum Koordinasi yang mengikutsertakan
instansi-instansi terkait.
Rehabilitasi Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Pada saat ini dalam kawasan telah ada
kegiatan pemanfaatan oleh masyarakat secara tradisional berupa usaha perikanan
(penangkapan), usaha perladangan/kebun rakyat, disamping adanya pembukaan wilayah
Cagar Alam Teluk Bintuni sebagai areal log-yard beberapa usaha kehutanan masyarakat.
Adanya kegiatan ini sangat mempengaruhi keutuhan ekosistem kawasan yang juga akan
berpengaruh terhadap flora dan fauna penting dalam kawasan. Oleh karena itu perlu
diupayakan kegiatan sebagai berikut:
¶ Penyusunan rencana teknik rehabilitasi kawasan yang rusak.
Untuk efisiensi dan efektivitas kegiatan rehabilitasi perlu disusun perencanaan teknis
terlebih dahulu. Kegiatan ini dilaksanakan melalui kerjasama dengan mitra kerja
yang berkaitan seperti perguruan tinggi, LIPI dan LSM.
¶ Rehabilitasi kawasan dengan tanaman asli. Terutama di bekas logyard HPH dan
kopermas yaitu di Tirasai, Sumberi, Logyard SP V S. Awarapi, Logyard SP IV S.
Ausoi. Untuk itu diperlukan :
¶ Pengadaan benih atau bibit tanaman lokal yang sesuai dengan ekosistem kawasan yang akan direhabilitasi.
¶ Penanaman atau rehabillitasi dengan menggunakan kerjasama dengan masyarakat dan dukungan pihak III.
¶ Pemeliharaan tanaman.
¶ Penelitian yang dapat dilakukan berkaitan dengan upaya pemulihan antara lain
adalah :
¶ Penelitian tingkat sedimentasi di beberapa sungai utama di dalam kawasan
¶ Penelitian dan kajian kerusakan ekosistem dan penyebabnya di dalam kawasan CATB
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Rencana Kegiatan V - 9
BKSDA Papua II Sorong
6. Pengembangan Sistem Data Base. Kegiatan ini bertujuan untuk memutakhirkan
informasi kondisi flora dan fauna beserta habitatnya guna penunjang kegiatan
pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
7. Kerjasama. Melakukan kerjasama dan membuat MOU kerjasama antara BKSDA Papua
II Sorong cq Ressort Bintuni dengan lembaga penelitian, Universitas, dan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) baik lokal, nasional, maupun internasional.
Rangkuman rencana kegiatan yang diusulkan dalam mengembangkan konservasi jenis dan
Keanekaragaman Hayati Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni seperti disajikan disajikan pada
Tabel V-4.
Tabel V-4. Rencana kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni dalam mengembangkan konservasi jenis dan Keanekaragaman Hayati.
No. Kegiatan Pokok Komponen kegiatan 1. Buku Panduan 1. Pengadaan Buku Panduan Pemeliharaan
flora/fauna dan ekosistem kawasan 2. Pengadaan Buku Panduan Pengendalian
flora/fauna dan ekosistem kawasan 3. Pengadaan Buku Panduan Rehabilitasi
kawasan 2. Penelitian/Kajian tentang
keadaan flora dan fauna kawasan 1. Inventarisasi dan Pemetaan Status Flora
dan Fauna di Kawasan 2. Penelitian tentang Dinamika Populasi Flora
dan Fauna 3. Inventarisasi dan identifiksasi Jenis
Tumbuhan Berguna dan Langka di Kawasan 4. Inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis flora
dan fauna eksostik di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
5. Dampak negatif dari kehadiran jenis-jenis eksotik di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
6. Pengembangan jenis-jenis lokal dalam kegiatan pertanian secara luas
7. Inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis flora dan fauna eksotik di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
3. Pembinaan Habitat 1. Inventarisasi dan pemetaan tempat khusus bagi perkembangbiakan, bertelur, dan pemijahan (spawning ground) di kawasan
2. Penelitian tentang dinamika ekosistem di Cagar Alam Teluk Bintuni
3. Pembuatan petak ukur permanen 4. Pembuatan jalur/jalan setapak untuk
keperluan pendidikan dan penelitian 4. Pengendalian
a. Pencegahan Hama dan Penyakit
1. Pemusnahan jenis tumbuhan atau eksotik yang berpotensi ekspansif yang ada di kawasan.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Rencana Kegiatan V - 10
BKSDA Papua II Sorong
No. Kegiatan Pokok Komponen kegiatan 2. Penyuluhan dan sosialiasi larangan
introduksi spesies eksotik. 3. Melakukan penelitian Inventarisasi,
Identifikasi dan Dampak jenis-jenis eksotik yang ada di kawasan CATB.
b. Perlindungan Jenis 1. Melakukan penelitian detail tentang masa bunting satwa buruan untuk menentukan saat berburu masyarakat
2. Membuat papan larangan perburuan satwa dilindungi
3. Membuat brosur, leaflet dan poster imbauan atau larangan berburu satwa dilindungi dan hampir punah
5. Pemulihan a. Pencegahan bahaya erosi-
abrasi dan sedimentasiPembentukan Forum Koordinasi yang mengikutsertakan instansi-instansi terkait.
b. Rehabilitasi Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
1. Penyusunan rencana teknik rehabilitasi kawasan yang rusak.
2. Rehabilitasi kawasan ¶ Pengadaan benih atau bibit tanaman lokal
yang sesuai dengan ekosistem kawasan yang akan direhabilitasi ¶ Penanaman atau rehabillitasi dengan
menggunakan kerjasama dengan masyarakat dan dukungan pihak III ¶ Pemeliharaan tanaman.
1. Penelitian tingkat sedimentasi di beberapa sungai utama di dalam Kawasan.
c. Penelitian yang dapat dilakukan berkaitan dengan upaya pemulihan 2. Penelitian dan kajian kerusakan ekosistem
dan penyebabnya di dalam kawasan CATB. 6. Pengembangan system data
base1. Potensi sumberdaya hayati (flora/fauna) di
Cagar Alam Teluk Bintuni 2. Data sosial ekonomi dan budaya
masyarakat di dalam dan sekitar kawasan 3. Pengumpulan hasil-hasil penelitian dan
pengembangan yang pernah dilakukan di kawasan
7. Kerjasama Pembuatan MOU dalam menunjang kegiatan Pengembangan Konservasi Jenis dan Keanekaragaman Hayati.
B.4 Perlindungan dan Pengamanan Kawasan
Kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan bertujuan untuk meningkatkan upaya
perlindungan hutan serta penegakan hukum di dalam kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Perlindungan dan pengamanan kawasan yang akan dilakukan didalam pengelolaan Cagar
Alam Teluk Bintuni adalah pengamanan dalam rangka penggunaan sumberdaya alam,
pelanggaran batas berupa pemukiman penduduk dan perladangan berpindah, penebangan
kayu secara liar, pengumpulan hasil hutan, penggembalaan ternak dan lain-lain.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Rencana Kegiatan V - 11
BKSDA Papua II Sorong
Upaya pengamanan umum yang dimaksud adalah kegiatan-kegiatan untuk mengamankan
dan memonitor setiap gangguan terhadap keutuhan kawasan. Untuk mendukung maka
diperlukan beberapa kegiatan, antara lain :
1. Pengamanan Rutin (patroli). Sesuai dengan prinsip pengelolaan yang efisien dan
cost-effective, pencegahan kerusakan habitat akibat kegiatan pemanfaatan dilakukan
oleh pemanfaat sendirl.
Kegiatan perlindungan dan pengamanan rutin diusulkan dapat dilakukan oleh pengelola
Kawasan (POLHUT), pemantauan berbasis masyarakat atau pihak swasta yang bersifat
sukarela (voluntir) di bawah arahan dan panduan dari pengelola Cagar Alam Teluk
Bintuni, serta pengamanan/patroli gabungan yang melibatkan instansi terkait yang lain.
Patroli gabungan yang bekerjasama dengan instansi terkait perlu dilakukan minimal
setahun dua kali. Demikian pula halnya dengan kerjasama dalam pengamanan yang
bersifat sporadis, berdasarkan laporan masyarakat setempat. Operasi sebaiknya
dilaksanakan jika keadaan keamanan benar-benar membutuhkan dukungan dari unsur
pengamanan lain seperti dari Polri dan TNI serta Pemda. Jika keadaan relatif aman,
maka intensitas operasi gabungan bisa dikurangi atau bahkan ditiadakan.
Pengamanan Cagar Alam Teluk Bintuni memerlukan koordinasi yang baik tidak saja
antar instansi terkait tetapi juga dengan tokoh masyarakat di sekitar kawasan. Oleh
karena itu koordinasi ini harus terus dilakukan dari waktu ke waktu minimal setiap akan
dan setelah pelaksanaan operasi gabungan.
Kegiatan pengamanan harus direncanakan dan apabila perlu, rute patroli dapat
diprogramkan di GPS sebelum berangkat. Sistem patroli harus sporadis agar rutinitas
patroli tidak dapat dipelajari oleh pelanggar. Setiap petugas harus mengetahui batas
kawasan dan peraturannya dan faktor yang dilindungi. Setiap petugas harus juga
mempelajari pola hidup dan kegiatan masyarakat setempat agar dapat mengidentifikasi
pendatang dari luar. Petugas lapangan harus siap bertindak berdasarkan informasi yang
berasal dari masyarakat karena mereka berada di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
setiap hari, mereka merupakan mata pengawasan yang sangat efisien.
2. Penegakan Hukum. Penegakan peraturan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni harus
merupakan lintas sektoral yang melibatkan otoritas pengelola CATB, polisi, Dinas
Perikanan, TNI dan masyarakat setempat. Untuk mendukung kegiatan penegakan
hukum di Kawasan CATB, perlu diusulkan beberapa kegiatan penunjang, yaitu:
¶ Pembuatan Peraturan dan Larangan yang sederhana dan jelas
Peraturan yang ada perlu dievaluasi untuk memastikan relevansi dan
ketepatgunaannya dalam pengamanan kawasan CATB. Upaya untuk membuat
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Rencana Kegiatan V - 12
BKSDA Papua II Sorong
peraturan menjadi jelas, bisa dimengerti dan sesuai dengan tujuan konservasi serta
pemanfaatan berkelanjutan perlu dilakukan.
¶ Sosialisasi Peraturan
Aturan harus disosialisasikan dan fungsi serta peran setiap stakeholder harus jelas
sehingga tidak ada interpretasi ganda. Perlu juga dibuat peraturan khusus dan
disepakati semua pihak, terutama peraturan yang melarang semua kegiatan
ekstraktif yang merusak kawasan CATB. Pelarangan penggunaan trawl, bahan
kimia, bom, pelarangan penebangan hutan di CATB untuk usaha kehutanan,
perikanan dan perkebunan perlu dibuat dan dilaksanakan. Khusus untuk masyarakat
adat perlu juga dibuatkan aturan khusus yang menyangkut pemanfaatan eksklusif di
dalam kawasan tetapi dengan syarat tertentu dan mendukung pemanfaatan lestari.
3. Pembuatan Buku Panduan Perlindungan dan Pengamanan Kawasan.
Rangkuman rencana kegiatan yang diusulkan untuk aspek Perlindungan dan Pengamanan
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni disajikan disajikan pada Tabel V-5.
Tabel V-5. Rencana kegiatan pengelolaan untuk aspek Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
No. Kegiatan Pokok Komponen kegiatan
1. Pengamanan Rutin (patroli) 1. Patroli rutin oleh pengelola kawasan
2. Patroli gabungan
3. Patroli rutin berbasis masyarakat dan pihak swasta (voluntir)
2. Penegakan Hukum 1. Pembuatan peraturan khusus tentang larangan dan sanksi bagi perburuan dan pemanfaatan flora dan fauna yang dilindungi
2. Pembuatan aturan sederhana yang menyangkut pemanfaatan eksklusif bersyarat dan lestari di dalam kawasan untuk masyarakat adat
3. Sosisalisasi aturan tentang larangan dan sanksi terhadap kegiatan ilegal di kawasan kepada semua stakeholder
3. Buku Panduan Pengadaan buku Panduan Perlindungan dan pengamanan Kawasan CATB
B.5 Pendukung /Kelembagaan
Kegiatan pendukung/kelembagaan ditujukan untuk memantapkan institusi pengelola kawasan
serta mewujudkan Sumberdaya Manusia (SDM) yang mampu mendukung pengelolaan
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Rencana Kegiatan V - 13
BKSDA Papua II Sorong
1. Peningkatan Kapasitas Pengelola. Tekanan terhadap Cagar Alam di masa depan akan
lebih berat dan dibutuhkan kapasitas SDM khususnya Polisi Hutan (POLHUT) yang lebih
baik. Untuk itu perlu ada pelatihan dan training kepada jagawana.
2. Penambahan Jumlah Personil Pengelola. Saat ini petugas di Ressort Teluk Bintuni
hanya ada 2 petugas sementara per 10.000 Ha dibutuhkan 1 orang polisi hutan. Berarti
dibutuhkan 10-12 orang Polisi Hutan (POLHUT) untuk Cagar Alam Teluk Bintuni.
Direncanakan akan ada 10 petugas lapangan, setiap saat 5 di antaranya menjaga
koordinasi dan komunikasi dengan kelompok pemanfaat di lapangan.
Rangkuman rencana kegiatan yang diusulkan untuk aspek Pendukung /Kelembagaan dalam
pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni disajikan disajikan pada Tabel V-6.
Tabel V-6. Rencana kegiatan pengelolaan untuk aspek Pendukung /Kelembagaan dalam pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
2. Personil Pengelola Penambahan jumlah personil pengelola, khususnya Polisi Hutan (POLHUT)
B.6 Pemanfaatan
Kegiatan pemanfaatan yang dimaksud disini lebih banyak difokuskan pada kegiatan
pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan oleh masyarakat di dalam dan sekitar kawasan.
Dari survei dan pertemuan dengan masyarakat dalam pembahasan rencana pengelolaan
kawasan ternyata bahwa masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan sangat
menggantungkan kehidupan sehari-hari mereka pada keberadaan Cagar Alam.
Pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan sudah dilakukan sejak lama dan turun temurun
sebelum daerah ini ditunjuk sebagai Kawasan Konservasi. Walaupun demikian, masyarakat
adat yang merupakan pemilik hak ulayat kawasan dan bermukim di dalam dan sekitar
kawasan masih berkomitmen untuk menjaga keberadaan CATB dengan membangun suatu
kesepakatan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di dalam kawasan CATB
yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam ini seperti yang telah di bahas pada
Bab V.
1. Buku Panduan. Pedoman ini merupakan buku saku/juknis/pedoman kegiatan
pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan. Pedoman ini nantinya akan diperuntukan
kepada pengelola kawasan khususnya Polisi Hutan (POLHUT) dan kelompok masyarakat
pemanfaat.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Rencana Kegiatan V - 14
BKSDA Papua II Sorong
2. Pemanfaatan Hasil Perikanan. Penduduk yang memiliki hak ulayat dan tinggal di dalam
dan sekitar kawasan diperbolehkan memanfaatkan hasil perikanan dari dalam kawasan
secara tradisional. Pengembangan dan pengawasan pemanfaatan hasil setempat
dilakukan Balai KSDA cq Ressort pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni dengan pemilik
hak ulayat yang tinggal dan menetap di dalam dan sekitar kawasan berdasarkan
kesepakatan bersama. Kesepakatan ini juga mencakup pemanfaatan oleh masyarakat
desa sekitar kawasan yang bukan pemilik hak ulayat.
Sistem pengaturan pemanfaatan tradisional sumberdaya perikanan seharusnya dilakukan
masyarakat pemilik hak ulayat dan tinggal dan menetap di dalam dan sekitar kawasan
secara tertulis dengan bimbingan BKSDA. Untuk itu, pengelola cagar alam harus
membangun pemahaman dan pentingnya kearifan tradisional dikembangkan dan dapat
diketahui pihak lain.
Pengembangan usaha perikanan di dalam kawasan hanya diperkenankan kepada
pemilik hak ulayat dan tinggal di dalam dan sekitar kawasan. Usulan untuk
pengembangan usaha budidaya lain misalnya budidaya ikan di sungai dengan keramba
harus diajukan kepada pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni dan bimbingan teknis untuk
pemanfaatan dilakukan bekerjasama dengan instansi terkait (Dinas Perikanan dan
Kelautan) dan Mitra Pesisir.
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan adalah :
¶ Penyuluhan manfaat perlindungan kawasan mangrove bagi produksi perikanan
¶ Pembinaan masyarakat soal pemanfaatan perikanan di dalam kawasan yang ramah
lingkungan dan tidak merusak mangrove, bekerjasama dengan Dinas Perikanan dan
Kelautan serta LSM Mitra Pesisir, seperti :
o Pelatihan budidaya ikan dalam keramba apung di sungai
o Pengenalan sistem “sasi” agar ada peluang recovery dari sumberdaya yang
dimanfaatkan
o Pelatihan pembuatan dan perbaikan jaring penangkap ikan, bekerjasama
dengan Dinas Perikanan dan Kelautan
¶ Melakukan sosialisasi larangan penggunaan bahan kimia di dalam kawasan Cagar
Alam
3. Pemanfaatan Hasil Pertanian dan Perburuan. Ancaman utama dari kegiatan pertanian
dan perkebunan di dalam dan sekitar kawasan adalah penggunaan pestisida, herbisida
dan pupuk buatan, dan masalah lainnya menyangkut konservasi tanah. Pengelola Cagar
Alam Teluk Bintuni akan bekerja sama dengan Dinas Pertanian dalam memfasilitasi
masyarakat yang ada di sekitar dan dalam kawasan kepada akses terhadap pola
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Rencana Kegiatan V - 15
BKSDA Papua II Sorong
pertanian yang lebih efisien. Dengan pengembangan pola pertanian dan perkebunan
yang lebih efisien kecenderungan untuk perluasan lahan dapat dicegah, serta
pendapatan petani dapat ditingkatkan.
Usaha pertanian dan kebun masyarakat di dalam kawasan dimungkinkan jika
peruntukannya adalah untuk konsumsi sehari-hari dan harus dipetakan untuk mencegah
perluasan. Pengembangan usaha perkebunan dengan skala luas dan jenis introduksi
dilarang dilakukan di dalam kawasan. Pengembangan kawasan budidaya perkebunan di
sekitar kawasan harus berkoordinasi dengan BKSDA agar tidak terjadi tumpang tindih
kawasan. Berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan masyarakat, ada beberapa
kegiatan yang bisa dilakukan, antara lain adalah :
¶ Penyuluhan tentang pentingnya sistem Pertanian dengan memperhatikan kelestarian
lingkungan
¶ Penerapan Sistem Pertanian yang Berkelanjutan
o Pengenalan sistem agroforestry khusus bagi penduduk yang ada di dalam
kawasan
o Pelatihan budidaya pertanian menetap secara terbatas pada pemukiman
penduduk di dalam kawasan
o Penyediaan bibit tanaman setempat.
¶ Pemanfaatan terbatas satwa liar
o Pengembangan dan Pembinaan upaya perbesaran buaya di desa Naramasa,
Yensei, Yakati, Mamuranu
o Pembinaan pengaturan waktu berburu sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan
o Pelatihan dan bimbingan teknis pembuatan kerajinan dari kulit buaya di Desa
Naramasa, Yensei dan Yakati
o Pelatihan dan bimbingan teknis untuk pembuatan dendeng manis, abon dari
daging babi dan rusa, bekerjasama dengan Dinas Perindustrian Kabupaten
¶ Penyuluhan dan sosialisasi masa berburu berdasarkan hasil kajian/penelitian.
4. Penelitian. Kegiatan penelitian disini lebih difokuskan pada studi dalam rangka
mendukung kegiatan pemanfaatan oleh masyarakat secara lestari dan berkelanjutan.
5. Kerjasama. Kerjasama ditujukan untuk membangun kesepahaman bersama dengan
stakeholder terkait seperti Dinas Perikanan, Dinas Pertanian, dan Dinas Kehutanan
Kabupaten Teluk Bintuni dalam menunjang kegiatan pengelolaan kawasan, khususnya
aspek pemanfaatan secara lestari dan berkelanjutan.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Rencana Kegiatan V - 16
BKSDA Papua II Sorong
6. Pengembangan Sistem Data Base. Kegiatan ini dimaksudkan untuk pemutakhiran
informasi kawasan khususnya hasil-hasil kajian yang berhubungan dengan pemanfaatan
sumberdaya alam oleh penduduk yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan.
Rangkuman rencana kegiatan yang diusulkan untuk aspek Pemanfaatan sumberdaya alam di
kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni disajikan disajikan pada Tabel V-7.
Tabel V-7. Rencana kegiatan pengelolaan untuk aspek Pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni.
No. Kegiatan Pokok Komponen kegiatan
1. Buku Panduan Pengadaan Buku Panduan Pemanfaatan
2. Pemanfaatan Hasil Perikanan 1. Penyuluhan bersama Dinas Kelautan dan Perikanan tentang manfaat perlindungan kawasan mangrove bagi produksi perikanan
2. Sosialisasi larangan penggunaan bahan kimia di dalam kawasan Cagar Alam
3. Pelatihan pengenalan system “Sasi”.
4. Pelatihan dan pendampingan pembuatan keramba apung di sungai
5. Pelatihan pembuatan dan perbaikan jaring
3. Pemanfaatan Hasil Pertanian dan Perburuan
1. Penyuluhan bersama Dinas Pertanian Penyuluhan tentang pentingnya sistem Pertanian dengan memperhatikan kelestarian lingkungan
2. Pengenalan sistem agroforestri.
3. Pelatihan budidaya pertanian menetap, terutama di kampung yang berada di dalam kawasan CATB
4. Pelatihan pembesaran anakan buaya
5. Pelatihan/bimbingan teknis pembuatan kerajinan dari bahan baku kulit buaya
6. Pelatihan/bimbingan teknis pembuatan dendeng manis dan abon dari daging rusa
7. Pengenalan cara perburuan satwa liar seperti rusa dan babi hutan dengan memperhatikan waktu-waktu beranak dan mengasuh anak
4. Penelitian 1. Penelitian dan kajian pola perkembangbiakan satwa dan lokasi perburuan
2. Penelitian dan kajian teknik perbanyakan tanaman, khususnya tanaman berguna di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Rencana Kegiatan V - 17
BKSDA Papua II Sorong
No. Kegiatan Pokok Komponen kegiatan
3. Penelitian dan kajian tentang pola siklus hidup biota laut tertentu seperti ikan, udang, dan kepiting (karaka) di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
Kegiatan pengelolaan Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni merupakan proses yang
berkelanjutan, sehingga pemantauan dan evaluasi kegiatan merupakan hal yang sangat
penting dilakukan agar seluruh kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan tujuan dan
sasaran yang ditetapkan. Dalam perjalanan waktu, isu-isu pengelolaan kawasan yang baru
akan muncul, sehingga dalam aktivitas perencanaan lebih lanjut akan didapatkan beberapa
strategi-strategi tertentu yang tidak relevan lagi. Oleh karena itu, prioritas kegiatan perlu
dievaluasi dan dimodifikasi.
Secara umum melakukan kegiatan monitoring berarti melakukan dua hal, yaitu pertama
pemantauan atas rencana-rencana yang telah dibuat, kedua membandingkan kinerja dengan
ukuran yang telah di buat, memutuskan apakah perlu ada perubahan rencana dan membuat
perbaikan-perbaikan. Tetapi, dalam sistem manajemen konservasi, terminologi ini
dimodifikasi untuk mengetahui perbedaan antara kejadian-kejadian alami, survei,
pemantauan, pengamatan dan penelitian. Sedangkan evaluasi berarti mengidentifikasi apa
yang sudah dicapai dan mana yang belum serta apa yang harusnya dilakukan ke depan
dengan melibatkan atau mengumpulkan umpan balik dari stakeholder-stakeholder kunci dan
pengelola.
A. PELAKSANA KEGIATAN
Kegiatan pemantauan yang dilanjutkan dengan evaluasi implementasi kegiatan pengelolaan kawasan disarankan untuk dilakukan oleh unsur internal pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni maupun oleh Forum komunikasi yang independen.
A.1. Internal Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni
Pemantaun dan evaluasi yang dilakukan disini adalah merupakan kegiatan rutin dari pengelola kawasan terhadap kinerja anggota pengelola. Pemantauan dan evaluasi oleh unsur internal ini bisa berupa pengawasan melekat oleh atasan langsung baik di kantor maupun di lapangan. Pengawasan tersebut bisa diwujudkan berupa kegiatan pembinaan ke lokasi secara reguler atau dengan kunjungan/inspeksi mendadak.
Cara lain untuk pemantauan dan evaluasi kegiatan adalah dengan mengirimkan laporan periodik dan laporan khusus dari hirarki yang lebih rendah kepada pejabat di atasnya (misalnya dari petugas wilayah kepada kepala resort, dst). Demikian juga pelaksanaan rapat rutin yang diikuti oleh semua unsur pimpinan struktural dan fungsional, serta rapat berkala yang diikuti oleh semua pegawai Ressort KSDA Teluk Bintuni. Hal ini akan sangat efektif dalam pemantauan dan evaluasi kegiatan pengelolaan baik yang menyangkut kemajuan
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Monitoring dan Evaluasi VIII - 2
BKSDA Papua II Sorong
kegiatan maupun permasalahan yang dihadapi. Pemecahan masalah biasanya dapat lebih cepat ditangani dibanding hanya komunikasi surat atau laporan.
A.2. Forum Komunikasi Independen
Selain Pemantauan dan evaluasi kegiatan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni yang dilakukan oleh pengelola kawasan, kehadiran dan peran suatu Forum Komunikasi yang independen sangat diperlukan. Forum ini diharapkan selain berperan dalam mengevaluasi kinerja rencana kerja yang telah dibuat, juga berfungsi sebagai kontrol dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan kawasan.
A.2.1 Komposisi Forum Komunikasi MONEV CATB
Untuk keperluan monitoring dan evaluasi implementasi kegiatan pengelolaan, komposisi forum komunikasi diharapkan memperhatikan tidak hanya kapasitas personil tetapi juga faktor keterwakilan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam kegiatan pengelolaan kawasan. Berikut adalah komposisi forum komunikasi yang akan dusulkan dengan memperhatikan aspek kemampuan pelaksana dan keterwakilan pemangku kepentingan utama dalam pengelolaan kawasan:
1. Universitas Negeri Papua
Institusi ini perlu mendapat pertimbangan sebagai pelaksana kegiatan monitoring dan evaluasi kegiatan pengelolaan. Dari segi kemampuan personil yang ada, tidak diragukan lagi institusi ini telah memiliki sumberdaya manusia yang handal dan pengalaman dalam melakukan pemantauan dan evaluasi implementasi kegiatan pengelolaan baik kawasan konservasi maupun kegiatan kehutanan lainnya. Disamping itu, dukungan peralatan yang ada dirasa cukup memadai untuk suatu kegiatan pemantauan dan evaluasi. Saat ini institusi ini telah memiliki laboratorium Geographical Information System (GIS) dengan beberapa perangkat keras dan lunak yang memadai dan dipimpin oleh seorang kepala laboratorium yang telah memiliki kualifikasi yang cukup dalam memonitor dinamika suatu kawasan konservasi. Berikut adalah kondisi peralatan dan personil pendukung yang ada di Laboratorium GIS yang bernaung di bawah Fakultas Kehutanan, Universitas Negeri Papua Manokwari seperti disajikan pada Tabel VIII-1. dan VIII-2.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Monitoring dan Evaluasi VIII - 3
BKSDA Papua II Sorong
Tabel VIII-1. Kondisi fasilitas pendukung pengelola Lab GIS Fakultas Kehutanan Unipa
No. Nama Barang
Spesifikasi Jumlah SumberPengadaan
Tahun Status Ket.
Pentium I, 256 MHz, 16 M, 40 G
1 Unit - - Inventaris Baik
Pentium II, 256 MHz, 32 M, 2 G
1 Unit P2T, Faperta Uncen
2000 Inventaris Baik
Pentium IV, 1,7 GHz, 600 Mb, 20 G
1 Unit Semi Que IV Jrs Kehutanan
2002 Inventaris Baik
Pentium IV, 3.0 GHz, 1.0 Gb, 20 G
1 Unit Diploma MHAPFahutan Unipa
2003 Inventaris Baik
1. KomputerHardwares
Pentium IV, 2.26 GHz, 261 Mb, 40 G
5 Unit Diploma MHAPFahutan Unipa
2004 Inventaris Baik
ILWIS 3.1, Lisenced
1 Unit 2000 Inventaris Baik
ArcView 3.3 Lisenced
1 Unit TNC 2003 Inventaris Baik
Citra Landsat 7 ETM, Teluk Bintuni
5 Scene TNC 2002 Inventaris Baik
2. KomputerSoft wares
Citra Landsat 7 ETM. Sarmi
5 Scene Proyek Atlas SD Pesisir Unipa
2002 Inventaris
3. MejaDigitasi Portable
1 Unit Semi Que IV Jrs Kehutanan
2002 Baik
4. MejaDigitasi Gulung
1 Unit Bappeda TK I Irian Jaya
1999 Pinjaman Baik
5. Ploter A1, Epson Stylus pro 7500
1 Unit P2T Faperta Uncen
2000 Inventaris Baik
6. Ploter Calcom 1 Unit Bappeda TK I Irian Jaya
2000 Pinjaman Baik
7. Scanner 1 Unit P2T Faperta Uncen
2000 Inventaris Rusak
8. D-Link 10/100 Fast Ethernet Switch DES-1008D, 8 link
1 Unit TNC 2003 Inventaris Baik
9. KameraDigital
Kodak Easy Share 1 Unit P2T Faperta Uncen
2000 Inventaris Baik
10. UPS Pro Link Pro 2100, 1000 W
1 Unit Semi Que IV Jrs Kehutanan
2003 Inventaris Baik
11. Stabilazer UNION 50/60 Hz, 500 VA
1 Unit Semi Que IV Jrs Kehutanan
2002 Inventaris Baik
12. ElektrikKid
- - Lab.Biometrika dan GIS
2002/ 2005
Inventaris Baik
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Monitoring dan Evaluasi VIII - 4
BKSDA Papua II Sorong
Tabel VIII.2. Kondisi personil pendukung pengelolaan Lab GIS Fakultas Kehutanan Unipa
No. Nama pengelola Kualifikasi Pelatihan SIG Sponsor
1. Yosias Gandhi Master 1. Pelatihan Pengenalan SIG untuk pengelolaan Kawasan CA Tahun 2001, Unipa Manokwari.
TNC & UNIPA
2. Pelatihan Identifikasi Vegetasi Mangrove di Teluk Bintuni Tahun 2001, Unipa Manokwari
TNC
3. Presentasi Hasil Pelatihan SIG pada CA Teluk Bintuni di Biologi Conference IV, Goroka, PNGTahun 2002,
TNC
4. Remote Sensing and GIS for Coastal Zone ManagementTahun 2003, BIOTROP, Bogor
TNC
2. Julius D. Nugroho Master 1. Pelatihan Pengenalan SIG untuk pengelolaan Kawasan CA Tahun 2001, Unipa Manokwari.
TNC & UNIPA
2. Pelatihan Identifikasi Vegetasi Mangrove di Teluk Bintuni Tahun 2001, Unipa Manokwari
TNC
3. Remote Sensing and GIS for Coastal Zone Management Tahun 2003, BIOTROP, Bogor
TNC
3. Yoseph Rahawarin Sarjana 1. Pelatihan Pengenalan SIG untuk pengelolaan Kawasan CA Tahun 2001, Unipa Manokwari.
TNC & UNIPA
2. Pelatihan Identifikasi Vegetasi Mangrove di Teluk Bintuni Tahun 2001, Unipa Manokwari
TNC
4. Christian Imburi Sarjana Magang SIG untuk pemula di Biotrop, Bogor, Tahun 2004, BIOTROP, Bogor
Unipa
5. Fransina Kesaulija Sarjana Pelatihan Pengenalan SIG untuk pengelolaan Kawasan CA Tahun 2001, Unipa Manokwari.
TNC & UNIPA
Selain itu, institusi ini telah beberapa kali menjalin kerjasama dengan beberapa LSM dan Pemerintah Daerah dalam penelitian dan pengkajian di kawasan Teluk Bintuni, termasuk daerah Cagar Alam Teluk Bintuni. Kontribusi yang dapat diberikan oleh institusi ini dalam kegiatan monitoring dan evaluasi adalah lebih banyak difokuskan pada pemantauan dan mengevaluasi keberhasilan kegiatan, membantu mengidentifikasi dan memfasilitasi pemecahan masalah-masalah, khususnya yang berhubungan dengan aspek keilmuan yang dihadapi pengelola.
2. BKSDA Papua II c.q Resort KSDA Bintuni
Selain melakukan monitoring dan evaluasi internal sebagai institusi pengelola, sebagai
pemegang kendali kegiatan pengelolaan kawasan, institusi ini juga diharapkan berperan
dalam kegiatan pemantauan dan evaluasi secara eksternal. Dari peran dan fungsi yang akan
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Monitoring dan Evaluasi VIII - 5
BKSDA Papua II Sorong
dimainkan oleh institusi ini dalam kegiatan pengelolaan, segala bentuk permasalahan dan
hambatan dalam implementasi rencana kegiatan di lapangan akan lebih banyak diketahui
oleh institusi ini. Sehingga diharapkan dalam kegiatan evaluasi kegiatan pengelolaan yang
akan dilakukan oleh forum komunikasi, institusi akan banyak berperan dalam
mengkomunikasikan masalah dan hambatan yang ditemui dengan stakeholder yang lain
dalam di forum ini.
3. Masyarakat adat yang diwakili oleh Lembaga Masyarakat Adat Teluk Bintuni.
Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa dalam keberhasilan kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni harus banyak melibatkan komponen masyarakat adat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan. Selain partisipasi langsung masyarakat dalam kegiatan rencana kelola, peran masyarakat adat, yang di wakili oleh Lembaga Musyawara Adat (LMA) Bintuni dan Lemasom, dalam kegiatan monitoring sekaligus evaluasi implementasi kegiatan pengelolaan dirasa penting. Peran masyarakat adat dalam kegiatan monitoring dan evaluasi lebih di fokuskan pada mengkaji atau memantau peristiwa-peristiwa yang diperkirakan memiliki dampak penting terhadap nilai dan fungsi kawasan. Kegiatan ini umumnya adalah koordinasi kegiatan dalam bentuk bentuk konsultasi, pengarahan dan kerjasama dengan kelompok target yang beragam, sesuai dengan tipe kelompok pemanfaat dan tipe dampak. Koordinasi untuk kegiatan pemantauan dan evaluasi pengelolaan meliputi Forum Koordinasi dan Wadah Partisipasi. Koordinasi juga diperlukan dengan masyarakat setempat, serta pemanfaat potensi kawasan yang lainnya. Melalui koordinasi dan peran serta masyarakat, pengelolaan yang efisien, terutama dalam pemantauan dan evaluasi, dapat tercapai.
4. Bappeda Kabupaten Teluk Bintuni
Sebagai institusi perencana di Kabupaten Teluk Bintuni, Badan ini diharapkan memainkan
peran lebih banyak dalam menunjang kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk
Bintuni. Institusi ini memang masih relatif baru seiring dengan pemekaran Kabupaten Teluk
Bintuni, namun kapasitas institusi ini yang didukung oleh sumberdaya manusia yang ada
tidak diragukan lagi dalam kegiatan monitoring dan evaluasi. Apalagi di dalam struktur
organisasi, Badan ini telah dilengkapi dengan Sub Bagian Monitoring dan Evaluasi. Peran
yang bisa dimainkan oleh institusi ini menunjang kegiatan monitoring dan evaluasi adalah
memfasilitasi pemecahan dan penyelesaian masalah-masalah yang terkait dengan
pembangunan dan pengembangan yang dilakukan oleh dengan pemerintah daerah.
5. Dinas terkait di Kabupaten seperti Dinas Kehutanan dan Dinas Perikanan dan Kelautan.
Selain Badan Perencana Daerah (Bappeda) Kabupaten Teluk Bintuni, Dinas-Dinas yang
relevan dengan kegiatan pengelolaan kawasan, perlu dipertimbangan sebagai anggota
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Monitoring dan Evaluasi VIII - 6
BKSDA Papua II Sorong
forum komunikasi yang diusulkan. Dinas-Dinas yang terkait langsung dan dianggap sebagai
mitra kerja pengelola adalah Dinas Kehutanan (DINHUT) dan Dinas Kelautan dan Perikanan
(DKP). Dari luasan kawasan yang ada (±124.850 ha), sebagian besar terdiri dari ekosistem
mangrove dan hutan dataran rendah, serta pada bagian tertentu berbatasan dengan hutan
produksi dan hutan lindung. Hal ini membuat aktivitas perikanan dan kehutanan di dalam dan
sekitar kawasan tidak dapat terelekan, sehingga peranan kedua pemangku kepentingan
(stakeholder) ini mutlak diperlukan baik dalam kegiatan pengelolaan maupun monitoring dan
evaluasi. Peran penting yang bisa diambil oleh kedua institusi ini adalah dalam hal
memfasilitasi penyelesaian masalah pengelolaan khususnya yang berkaitan dengan
masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya alam di dalam dan sekitar kawasan.
Forum komunikasi yang diusulkan perlu di perkuat dengan Surat Keputusan Bupati, sehingga keberadaanya dalam struktur hukum di Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni menjadi jelas. Berdasarkan kondisi stakeholder yang disebutkan di atas, diusulkan forum independen ini bisa di bawah koordinasi Universitas Negeri Papua (UNIPA), namun tidak tertutup kemungkinan pada saatnya nanti koordinator badan ini dipercayakan pada stakeholder yang lain seperti Bappeda Kabupaten Teluk Bintuni.
A.2.2 Tugas dan Tanggung Jawab
Tugas utama dari forum ini antara lain :
1. Memonitor pelaksanaan rencana pengelolaan yang dilakukan oleh BKSDA Papua II Sorong dan Ressort Teluk Bintuni
2. Melakukan evaluasi terhadap implementasi kegiatan sesuai dengan rencana pengelolaan yang sudah ditetapkan.
3. Membantu pengelola dalam memfasilitasi penyelesaian masalah pengelolaan, khususnya yang berkaitan dengan masyarakat.
4. Memberikan masukan kepada pengelola bila dari hasil evaluasi terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan rencana pengelolaan yang telah digariskan sebelumnya.
5. Membuat laporan evaluasi implementasi kegiatan rencana pengelolaan kawasan yang disampaikan kepada pengelola dan Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni.
Dalam pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi, forum independen yang dibentuk akan selalu berkoordinasi dengan Balai Konservasi Sumberdaya Alam Papua II Sorong dan kepala Resort KSDA Bintuni sebagai pemegang mandat utama pengelola kawasan serta masyarakat (Jagawana Voluntir, Forum Komunikasi, dan Kelompok Pemanfaat) di dalam dan sekitar kawasan (Gambar VII-1). Apabila dirasa perlu, forum ini dapat melakukan pengecekan lapangan (site visit) untuk melihat langsung kondisi lapangan yang sebenarnya.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Monitoring dan Evaluasi VIII - 7
BKSDA Papua II Sorong
A.2.3 Sumberdaya pendudung
Dalam memperlancar kinerja, forum yang diusulkan harus dilengkapi dengan fasilitas penunjang serta peningkatan kemampuan. Fasilitas penunjang yang dimiliki oleh Lab GIS di Unipa Manokwari dirasa sudah cukup memadai, namun masih perlu pengadaan beberapa perangkat lunak seperti foto citra satelit (Satelite imagenery) dan perangkat pengolahan data digital.
Selain itu dalam kegiatan pemantauan dan evaluasi, dirasa perlu untuk didukung oleh semacam pedoman pernantauan lapangan yang bersifat populer, sehingga dapat membantu pemantauan dan pengawasan potensi Cagar Alam Teluk Bintuni dan sekitarnya. Hal ini penting dalam meningkatkan pemahaman masyarakat tentang nilai dan manfaat kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni terletak pada senjang (gap) antara kegiatan teknis pelestarian dengan penginformasian kepada masyarakat luas.
Selain ditunjang oleh peralatan yang memadai, badan ini juga perlu ditunjang oleh kemampuan personil yang kualified. Salah satu strategi dalam yang bisa dilakukan dalam memfasilitasi peningkatan kemampuan (capacity building) dari personil dalam forum yang diusulkan adalah melalui pelatihan-pelatihan yang terprogram. Pelatihan atau kursus yang bisa diusulkan dalam menunjang kegiatan forum ini antara lain:
1. Pelatihan pengenalan sistem informasi geografis (SIG) yang bisa difasilitasi oleh pengelola Lab GIS di Unipa Manokwari dan kerjasama dengan LSM Internasional seperti The Nature Conservancy (TNC).
2. Pelatihan sistem monitoring dan evaluasi proyek yang bisa di fasilitasi oleh Unipa dan Bappeda Kabupaten Teluk Bintuni.
3. Khusus untuk masyarakat yang diwakili oleh Lembaga Musyawarah Adat (LMA) kampung, pelatihan atau kursus yang bisa diusulkan adalah pelatihan untuk penggunaan pedoman pernantauan lapangan, yang bisa difasilitasi oleh pengelola kawasan yang didukung koordinasi dengan pihak-pihak LSM.
B. RENCANA WAKTU PEMANTAUAN DAN EVALUASI
Dalam implementasinya, strategi-strategi pengelolaan kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
perlu dimonitor dan di evaluasi untuk setiap periode waktu implementasi kegiatan tertentu
oleh unsur internal pengelola kawasan maupun oleh suatu forum komunikasi independen.
B.1. Internal Pengelola Cagar Alam Teluk Bintuni
Khusus untuk pemantauan dan evaluasi oleh unsur internal pengelola kawasan, Kepala
Kesort sebagai agen pelaksana kegiatan di kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni diharuskan
melakukan monitoring dan evaluasi terjadwal secara internal terhadap semua implementasi
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Monitoring dan Evaluasi VIII - 8
BKSDA Papua II Sorong
rencana kegiatan pengelolaan kawasan (Bab V) yang dijabarkan lebih lanjut pada pada
Tabel VIII-3.
Tabel VIII-3. Rencana monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni oleh unsur internal pengelola kawasan.
Bentuk Kegiatan No. Waktu
Pelaksanaan Monitoring Evaluasi 1. Bulanan Melakukan pemantauan terhadap
semua kegiatan pengelolaan yang dilakukan selama sebulan penuh yang meliputi hal-hal: ¶ Target dan Realisasi kegiatan
dan pembiayaan. ¶ Masalah dan hambatan yang
ditemui di lapangan. ¶ Kinerja personil pelaksana
kegiatan.
Mengevaluasi seluruh kegiatan selama satu bulan yang dituangkan dalam bentuk laporan bulanan yang disampaikan kepada BKSDA Papua II.
2. Triwulan Melakukan pemantauan terhadap semua kegiatan pengelolaan yang dilakukan selama tiga bula terakhir yang difokuskan pada hal-hal seperti pada pemantauan bulanan.
1. Rapat evaluasi implementasi kegiatan pengelolaan yang diikuti oleh semua unsur pimpinan struktural dan fungsional pengelola kawasan.
2. Laporan rutin yang disampaikan kepada BKSDA Papua II.
3. Semesteran Melakukan pemantauan terhadap semua kegiatan pengelolaan yang dilakukan selama enam bulan terakhir yang difokuskan pada hal-hal seperti pada pemantauan bulanan.
1. Rapat evaluasi implementasi kegiatan pengelolaan yang diikuti oleh semua unsur pimpinan struktural dan fungsional pengelola kawasan.
2. Laporan rutin yang disampaikan kepada BKSDA Papua II.
4. Tahunan Pemantauan secara menyeluruh terhadap semua kegiatan pengelolaan yang dilakukan selama satu tahun.
1. Rapat berkala untuk mengevaluasi komprehensif terhadap seluruh implementasi kegiatan pengelolaan yang diikuti oleh seluruh pengelola kawasan.
2. Laporan tahunan yang disampaikan kepada BKSDA Papua II.
B.2. Forum komunikasi Independen
B.2.1 Lingkup Kegiatan Badan Forum komunikasi Independen
Kegiatan monitoring oleh forum komunikasi independen terhadap implementasi rencana
pengelolaan dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu:
1. Monitoring dan evaluasi menyeluruh terhadap semua rencana pengelolaan kawasan
dan semua tujuan yang telah digariskan dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali.
2. Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan untuk semua aspek dalam rencana kelola
akan dievaluasi setiap tahun.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Monitoring dan Evaluasi VIII - 9
BKSDA Papua II Sorong
3. Apabila diperlukan, sewaktu-waktu dapat dilakukan monitoring dan evaluasi, namun
hanya bersifat insidensial.
Sebagai pedoman dalam proses monitoring dan evaluasi terhadap strategi-strategi yang
diimplementasikan, mengacu kepada rencana kegiatan pengelolaan (Bab V) dan
pembiayaan (Bab VI).
B.2.2 Mekanisme Kerja Forum Komunikasi Independen
Berdasarkan lingkup kerja seperti diuraikan sebelumnya, forum ini akan bekerja berdasarkan
skenario seperti ditampilkan pada diagram alur berikut:
Gambar. VII-1. Mekanisme Kerja Forum komunikasi Independen
PENGELOLAKAWASAN
FORUMKOMUNIKASI
Monitoring dan Evaluasi Tahunan
Implementasi kegiatan tidak berjalan sesuai
rencana kegiatan
IMPLEMETASIKEGIATAN DI
SETUJUI
IMPLEMENTASIKEGIATAN TAHUNAN
Saran, solusi pemecahan masalah,
dan atau revisi program
IMPLEMENTASIKEGIATAN LIMA
TAHUNAN
Monitoring dan Evaluasi
Lima -Tahunan
IMPLEMETASIKEGIATAN DI
SETUJUI
Implementasi kegiatan tidak berjalan sesuai
rencana kegiatan
Saran, solusi pemecahan masalah,
dan atau revisi program serta
peninjauan kembali atau perubahan
rencana pengelolaan yang ada
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Monitoring dan Evaluasi VIII - 10
BKSDA Papua II Sorong
Dari gambar di atas dapat dijelaskan mekanisme kerja Forum komunikasi Independen adalah
sebagai berikut:
1. Forum ini akan melalukan monitoring dan evaluasi implementasi kegiatan
pengelolaan setiap tahun;
2. Apabila ditemukan permasalahan, hambatan dan atau hal-hal yang tidak berjalan
sesuai rencana kegiatan, maka forum ini wajib memberikan saran, solusi
pemecahan masalah, dan atau revisi program kepada pihak pengelola;
3. Apabila dalam monitoring dan evaluasi kegiatan tahunan tidak ditemukan
permasalahan, hambatan dan atau hal yang berjalan tidak sesuai rencana
kegiatan, maka implementasi kegiatan rencana pengelolaan diterima yang
ditindaklanjuti dalam bentuk laporan tertulis. Kemudian dilanjutkan dengan
kegiatan Monitoring dan evaluasi limatahunan.
4. Apabila dalam kegiatan MONEV lima tahunan ditemukan permasalahan,
hambatan dan atau hal-hal yang tidak berjalan sesuai rencana kegiatan, maka
forum ini wajib memberikan saran, solusi pemecahan masalah, dan atau revisi
program kepada pihak pengelola. Apabila diperlukan, dilakukan peninjauan
kembali atau perubahan rencana pengelolaan yang ada.
5. Apabila dalam monitoring dan evaluasi kegiatan lima-tahunan tidak ditemukan
permasalahan, hambatan dan atau hal yang tidak berjalan sesuai rencana
kegiatan, maka implementasi kegiatan rencana pengelolaan diterima yang
ditindak lanjuti dalam bentuk laporan tertulis.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Penutup IX - 1
BKSDA Papua II Sorong
IX. PENUTUP
Rencana pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni bukan merupakan suatu rencana
pengelolaan yang kaku yang harus digunakan untuk mengelola kawasan yang memiliki
proses ekologis yang rumit. Ekosistem Cagar Alam Teluk Bintuni memiliki ekosistem pesisir
pulau-pulau kecil, ekosistem mangrove dan perairan sehingga dalam pengelolaannya
dibutuhkan suatu piranti yang dinamis. Komitmen pihak pengelola terhadap kelompok-
kelompok terkait merupakan landasan penting bagi suatu pengelolaan yang dinamis.
Kerangka utama dalam pengelolaan dinamis adalah peran serta dan koordinasi lintas
sektoral dari semua pemangku kepentingan di Cagar Alam Teluk Bintuni.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni adalah suatu dokumen yang memiliki nilai
akomodatif, partisipasi dan transparansi yang tinggi, karena dokumen ini disusun
berdasarkan hasil dari serangkaian proses yang melibatkan seluruh stakeholder, termasuk
masyarakat pemilik hak ulayat. Dokumen ini akan menjadi acuan bagi pemerintah dan
stakeholder di dalam melakukan kegiatan pengelolaan CATB pada periode 25 tahun ke
depan. Dokumen ini juga dapat berfungsi sebagai alat kontrol dan koordinasi berbagai
instansi sehingga diperoleh sinergitas dalam pelaksanaan setiap kegiatan yang
direncanakan.
Dalam implementasinya, dokumen ini diharapkan akan dilegalisasi dengan keputusan Bupati
Teluk Bintuni sehingga mempunyai kekuatan hukum tetap. Beberapa program yang
dirumuskan, telah disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi dari instansi teknis terkait
pada lingkup pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni dan juga telah mengakomodir berbagai
kepentingan stakeholder pendukung pengelolaan kawasan CATB serta tetap
mempertimbangkan kelestarian fungsi kawasan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Pertimbangan ini menjadi strategis karena dalam penganggaran hendaknya mengikuti skema
anggaran pada instansi teknis terkait untuk program yang bersesuaian dengan tugas dan
fungsi pokoknya. Sumber anggaran lain dapat diupayakan, baik yang bersumber dari swasta
maupun dana hibah lainnya yang sah.
Departemen Kehutanan dalam, hal ini Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian
Alam (PHKA) sebagai institusi pelaksana rencana kegiatan pengelolaan yang telah disusun,
memiliki banyak keterbatasan sumberdaya. Untuk itu, keterlibatan pihak lain seperti pihak
swasta/investor, LSM lokal dan internasional, Pemerintah Daerah, serta para pemerhati
lingkungan lainnya, sangat diharapkan dalam implementasi rencana kegiatan pengelolaan
Cagar Alam Teluk Bintuni di lapangan.
Dengan terbitnya Dokumen Rencana Pengelolaan ini, Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni
dapat dikelola secara optimal dan lestari sesuai fungsi peruntukannya.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Daftar Pustaka DP - 1
BKSDA Papua II Sorong
DAFTAR PUSTAKA
Asia Pacific Study Center – University of Gajah Mada, KONPHALINDO, WWF, and YDPTB. 1999. Management of sustainable community-based natural diversity in Bintuni Bay with emphasis on Mangroves. UGM, Yogyakarta.
Asmusruf, A., Rumbino, A, dan Lense, O. 2002. Pemanfaatan Nipah (Nypa Fruticans ) Oleh Lima Suku Di Bintuni. Beccariana, 4:2, 101-112.
Beehler, B.M., Pratt, T.K., dan Zimmerman, D.A. 2001. Burung-burung di Kawasan Papua (terjemahan). Birdlife International Indonesia Programme.
Bengen, D. G. 2002. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL-IPB. Bogor
Bengen, D. 2005. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB.
Berwulo, M.M. 1995. Pengusulan Lahan Basah Teluk Bintuni Menjadi Cagar Alam. Laporan Hasil Survei Lapang. Bogor, Indonesia.
Boli, P. Dkk. 2002. Survei Potensi Sumberdaya Perikanan dan Pertanian di Kawasan Teluk Bintuni. Unipa-CRMP.
Camillan Bann, 1999. The Economic Valuation of Mangroves: A Manual Research for Researcher.
Costanza, R.; d’Arge; R. de Groot; S. Farber; M. Grasso; B. Hannon; K. Limburg; S. Naeem., 1997. The Value of the World’s Ecosystem Services and Natural Capital. Nature 387 (1997).
Christensen, B. 1978. Biomass and primary production of Rhizophora apiculata BL. in a mangrove in southern Thailand. Aquat. Bot. 4:43-52.
Cicin-Sain, B and Knecht W.R. 1988. Integrated Coastal and Ocean Management. Concept and Practices. Island Press. Washington DC.
Clough, B.F. and Attiwill, P.M. 1975. Nutrient cycling in a community of Avicenia marina in a temperature region of Australia. In: Proceeding International Symp. Biology and Management of Mangroves. Inst. Food and Agric. Sci., University Florida, Gainsville, Fla. Vol. I, pp 137-146.
Conservation International, 1999. Lokakarya Penentuan Prioritas Konservasi Keanekaragaman Hayati Irian Jaya. CI Washington DC, USA.
Conyer, D. 1991. Perencanaan Sosial di Dunia Ke Tiga : Suatu Pengantar. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Dahuri, R. 1998. Potensi Keanekaragaman Hayati Dalam Dimensi Kepariwisataan Bahari di Kawasan Indonesia Timur. Makalah di sampaikan pada Seminar “ Prospek Pengembangan Wisata Bahari di KTI. Kerjasama YPMAS-Sultra dengan LP2SN. Bogor, 28 Desember 1998.
DinHut Prov. Maluku Utara – BPPK Papua Maluku, 2003. Kajian Potensi Biofisik Hutan Mangrove di Desa Guraping-Maluku Utara. BPPK Papua Maluku, Manokwari.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Daftar Pustaka DP - 2
BKSDA Papua II Sorong
Erftemeijer, P.L.A dan A. Bualuang. 1998. Participation of Local Communities in Mangrove Forest Rehabilitation in Pattani Bay, Thailand : Learning from Successes and Failures. Second International Conference on Wetlands and Development, Dakar, Senegal, 8-14 November 1998
Febrianto, F. 2002. Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove Kayu dan Non Kayu. Materi Teori dalam Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari Angkatan I di Bali. Jurusan Teknologi Hasil Hutan IPB Bogor. Bogor.
Golley, F., Odum, H.T., and Wilson, R.F. 1962. The structure and Metabolism of Puerto Rican red Mangrove forest in May. Ecology, 43: 9-19.
Goulter, P.F.E. and Allaway, W.G. 1979). Litter fall and decomposistion in a mangrove stand (Avicenia marina Folks.) in a Middle Harbour , Sydney. Australian J. Marine Freshwater Resources.
Heald, E.J. 1971. Production of Organic Detritus in a South Florida Estuary. P hd Thesis, University of Miami, USA (Un pblished).
Hilmi, Endang, 2003. Profil Kandungan Karbon pada Pohon Kelompok Jenis Rhizhopora, spp dan Bruguiera spp Dalam Tegakan Hutan Mangrove Alami di Indonesia. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Koentjaranigrat. 1980. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. PT. Gramedia Jakarta.
Kusmana, C dan Onrizal. 1998. Evaluasi Kerusakan Kawasan Mangrove dan Arahan Teknik Rehabilitasinya di Pulau Jawa. Lokakarya Jaringan Kerja Pelestari Mangrove, Pemalang, Jawa Tengah. 12-13 Agustus 1998.
Kusmana, C. 2002. Ekologi Mangrove. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.
Leftungun, N. 2004. Pemanfaatan Palem oleh Masyarakat Suku Sougb di Kampung Sibena II Distrik Bintuni. Skripsi Sarjana Kehutanan, Fakultas Kehutan Unipa (Tidak diterbitkan).
Lense, O dan Kilmaskossu, A. 2002. Keanekaragaman Hayati Kawasan Teluk Bintuni Kabupaten Manokwari. Laporan Survei UNIPA dan CRMP.
Lugo, A.N. and Clintron, C. 1975. The Mangrove Forest of Puerto Rico and Their Management. In: Walsh, G.E., Snedaker, S.C, and Teas, H.J. (Eds.) Proceedings of Int. Symp. On Biology and Management of Mangroves. Vol. 2. Inst. Food and Agric. Sci., University Florida, Gainsville, Fla. Vol. I, pp 825-846.
Lugo, A.N. and Snedaker, S.C. 1974. The Ecology of Mangrove. Ann. Rev. Ecology and Systematic. 5:39-64.
Noor Y.R., Khazali M., Suryadiputra I.N.N. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA/Wetlands International, Bogor
Noor, Y.S. 1995. Mangrove Indonesia, Pelabuhan Bagi Keanekaragaman Hayati : Evaluasi Keberadaannya saat ini. Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove. LIPI-MAB Indonesia. Jakarta
Noor, Y.S., M. Khazali dan IN.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA dan Wetland International Programme. Bogor
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Daftar Pustaka DP - 3
BKSDA Papua II Sorong
NRM, 2004. Potret dan Rencana Umum Pengelolaan Taman Wisata Alam Gunung Meja Manokwari. NRM, Manokwari.
Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Saunders Company, Philadelphia, USA.
Pearce, D.W and R.K. Turner, 1990. Economic of Natural Resources and The Environment. Harvester Wheatsheaf. New York, London, Sidney.
P3FED, 2002. Pokok-Pokok Pikiran tentang Pemberdayaan hak-hak masyarakat adat dalam mengeksploitasi sumberdaya alam provinsi Papua. P3FED Unipa, Manokwari.
PEMDA Provinsi Papua, Pemda Kab. Manokwari, UNIPA, dan Proyek Pesisir (USAID), 2003. Atlas sumberdaya pesisir Kawasan Teluk Bintuni. Proyek Pesisir (USAID) Indonesia, CRMP Project. Jakarta, Indonesia. 89 pp.
Pertamina - BP Indonesia. 2002. Andal Kegiatan Terpadu (Eksplorasi Gas, Fasilitas LNG, Pelabuhan, Bandar Udara dan Pemukiman LNG Tangguh Kabupaten Manokwari, Sorong dan Fak-fak Propinsi Papua). BP Indonesia, Jakarta.
Petocz, R.G. 1983. Recommended reserves for Irian Jaya Province. Statement prepared for the formal gazettment of thirty one conservation areas. WWW/IUCN Report. Conservation for development programme in Indonesia. Also published in Indonesian language, prepared in cooperation with PHPA: “usulan-usulan suaka di propinsi Irian Jaya”. Bogor, Indonesia. 61 pp.
Petocz, R.G. and George P. Raspada. 1984. Conservation and development in Irian Jaya: A strategy for rational resource utilization. Bogor: PHPA.
Petocz, R.G. and Y de Fretes. 1983. Mammals of the reserves in Irian Jaya. WWF/IUCN special report. Jayapura.
Pool, D.J., Lugo, A.E., and Snedaker, S.C. 1975. Production in Mangrove forests of Southern Florida and Puerto Rico. In: Proceeding International Symp. Biology and Management of Mangroves. Inst. Food and Agric. Sci., University Florida, Gainsville, Fla. Vol. I, pp 213-237.
PT BUMWI, 1994. Studi Evaluasi Lingkungan Hak Pengusahaan Hutan PT Bintuni Untama Murni Wood Industries di Kabupaten Manokwari, Propinsi Irian Jaya (Buku II: Laporan Utama). PT BUMWI, Jakarta.
PT. Geobis Woodward-Clyde Indonesia. 1988. Environmenttan Baseline Study. Final Report to Atlantic Richfield Berau, Inc.
Raharjo, Y. 1996. Community Base Management di Wilayah Pesisir Indonesia. Prosiding Pelatihan ICZPM, PKSPL IPB dan Ditjen Bangda Depdagri.
Rustiadi, E, Sunsun Saeful Hakim, dan Dyah R. Panuju. 2003. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. IPB. Bogor.
Soerianegara, I. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.
Sasekumar, A., M.U Leh., V.C Chong and R. D’Cruz. 1992. Mangroves as a Habitat for Fish and Prawns. Hydrobiologia.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Daftar Pustaka DP - 4
BKSDA Papua II Sorong
Soesilowati, E. 1997. Pemberdayaan Masyarakat Lapis Bawah : Kasus Kegiatan Suatu LSM di Jawa Tengah. Tesis Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1988. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay, Sorong.
Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1990. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay, Sorong.
Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1991. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay, Sorong.
Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1992. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay, Sorong.
Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1993. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay, Sorong.
Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1994. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay, Sorong.
Sub Balai KSDA Irian Jaya I. 1995. Laporan Survei-Monitoring Populasi Buaya dan Penyuluhan di Daerah Kecamatn Bintuni, Babo dan sekitarnya, Kabupaten Manokwari. Proyek Pengembangan Penangkaran Satwa Buaya di Irian Jay, Sorong.
Sub Biphut Manokwari, 2000. Peta Pengunaan Hutan di Kabupaten Manokwari Skala 1:250,000. Dinhut Manokwari
Suhaeb, A.S. 1999. Analisis Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Teluk Kendari. Tesis Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Tim P3FED Unipa, 2004. Kajian Model-Model Mekanisme Pemberian Kompensasi Hak Masyarakat Adat atas Pengelolaan Hutan dan Penggunaan Tanah di Distrik Bintuni, Kabupaten Manokwari. P3FED Unipa, Manokwari.
Tim TNC, 2003. Survei Potensi Hutan Bakau Cagar Alam Teluk Bintuni . The Nature Conservancy Papua Conservation Program, Palu Sulawesi Tengah, INDONESIA.
UNIPA dan Bappeda Manokwari. 2001. Rencana Pengembangan Sektor Ekonomi Potensial secara terpadu di Kawasan Teluk Bintuni. Universitas Negeri Papua bekerjasama dengan Badan Prencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Manokwari.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Daftar Pustaka DP - 5
BKSDA Papua II Sorong
Walsh, G.E. 1974. Mangroves: A Review. In: Ecology Halophytes (R.J. Raymond and W.H. Queen, Eds.). Academic Press, New York. Pp 51-174.
Womersley, J.S. (Ed). 978. Handbook of the Flora of Papua New Guinea, Vol.1. Melbourne University Press, 278 pages.
Yayasan Lingkungan Hidup Humeibouw Manokwari. 2002. Studi Sosial Budaya di Kecamatan Bintuni Kabupaten Manokwari. Yalhimo-CRMP.
Yayasan PERDU. 2002. Studi Sosial Budaya di Kecamatan Bintuni Kabupaten Manokwari. PERDU-CRMP.
Zuwendra, Erftemeijer, P., dan Allen, G, 1991. Inventarisasi Sumber Daya Alam Teluk Bintuni dan Rekomendasi untuk Manajemen dan Konservasi. PHKA/ AWB-Indonesia (Forestry Institute and Asian Wetlands Bureau), Bogor. Indonesia.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Lampiran-Lampiran L- 1
BKSDA Papua II Sorong
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Lampiran-Lampiran L- 2
BKSDA Papua II Sorong
Lampiran 1. Istilah dan Terminologi yang termuat dalam dukumen
Abrasi Pengikisan batuan, dinding tanah oleh air, es, atau angin.
Agro-Ekosistem Sistem pertanian yang didasarkan pada hubungan timbal balik antara sekelompok manusia dan lingkungan fisiknya guna memungkinkan kelangsungan hidup kelompok manusia itu.
Agroforestri Sistem-sistem dan teknologi tata guna lahan di mana pepohonan berumur panjang (termasuk semak, palem, bambu, kayu, dll.) dan tanaman pangan dan atau pakan temak berumur pendek diusahakan pada petak lahan yang sama dalam suatu pengaturan ruang atau waktu.
Arboretum Tempat berbagai pohon ditanam dan dikembangbiakkan untuk tujuan penelitian atau pendidikan.
AWB Asian Wetland Bureau, Biro Tanah Basah Asia BAPEDALDA Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah BAPPEDA Badan Perencana Pembangunan Daerah BAPPENAS Badan Perencanaan Pembangunan NasionalBAPI The Biodiversity Action Plan for Indonesia, Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati di
Indonesia BKSDA
Balai Konservasi Sumberdaya Alam Biodiversity
Keaneka-ragaman hayati yaitu sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keanekaragaman bentuk kehidupan di bumi, bentuk interaksi antar sesama mahluk hidup dan antar mahluk hidup dengan lingkungannya. Keanekaragaman hayati mencakup tiga hal, yakni ekosistem, spesies dan genetis dan meliputi wilayah darat, perairan tawar, pesisir dan laut.
Biogeografi Penyebaran tumbuh-tumbuhan dan binatang secara geografis di muka bumi.
Biopirasi (biopiracy) Eksplorasi dan pemanfaatan, pengetahuan lokal dan sumber daya genetis tanpa pengetahuan ataupun persetujuan pemiliknya/masyarakat setempat.
Bioprospecting (bioprospeksi)Penilaian terhadap sumber daya genetis dan sumber daya hayati. Dalam praktiknya kegiatan ini dibarengi dengan munculnya isu-isu hak kepemilikan intelektual,
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Lampiran-Lampiran L- 3
BKSDA Papua II Sorong
pembagian keuntungan yang adil dan merata, serta dampak negative akibat pemanfaatan produk rekayasa genetis.
BioregionKawasan/lingkungan fisik yang pengelolaannya tidak ditentukan oleh batasan politik dan administrasi, tetapi oleh batasan geografi, komunitas manusia serta sistem ekologi. Dengan demikian, bioregion juga mempunyai pengertian ekoregion, yaitu pengelolaan kawasan yang didasarkan pada prioritas ekosistem dan habitat alami setempat.
Bioteknologi Penerapan teknologi berbasis ilmu biologi untuk memanfaatkan makhluk hidup bagi kebutuhan manusia.
Cagar Alamadalah kawasan Suaka Alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangusung secara alami.
Cagar Biosfer Kawasan di dalam suatu negara yang mendapat status khusus dari negara-negara yang tergabung dalam program The Man and The Biosphere (MAB) di bawah UNESCO, sebagai kawasan konservasi khusus dengan fungsi ekonomi, ekologi dan sosial.
Cagar Warisan Dunia (World Heritage Site) Menurut World Heritage Convention yang dikeluarkan oleh UNESCO, ada dua yaitu:
1. "Cultural World Heritage" mengacu pada monumen, karya arsitektur, pahatan dan lukisan, elemen atau struktur arkeologis, prasasti, gua-gua hunian, dan kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang secara universal sangat bemilai tinggi dari sisi sejarah, seni, dan ilmu pengetahuan.
2. "Natural World Heritage" mengacu pada ekosistem, habitat atau kelompok formasi geologis dan fisiografis beserta spesies flora dan fauna yang terancam.
CITESConvention on International Trade of Endangered Species, Konvensi untuk Perdagangan Internasional Spesies Langka
Daerah Burung Endemik Wilayah pengelompokan alami burung-burung yang kisaran hidupnya terbatas.
Debt for Nature Swap Dana untuk konservasi alam didefinisikan sebagai pembatalan utang luar negeri dengan menukarnya dengan mobilisasi sumber daya alam dalam negeri untuk pelestarian alam.
Deforestasi Penggundulan hutan sehingga lahan yang semula berupa hutan menjadi berubah fungsinya, misalnya menjadi lahan pertanian, perkebunan atau penggunaan lainnya.
EkoregionSuatu pendekatan pengelolaan kawasan konservasi yang menggunakan pembagian wilayah berdasarkan kondisi perbedaan ekosistem (lihat bioregion).
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Lampiran-Lampiran L- 4
BKSDA Papua II Sorong
EkosistemKomponen biotik dan abiotik dalam suatu lingkungan yang saling berinteraksi sehingga menghasilkan aliran energi dan daur hara.
EkuatorGaris imajiner yang mengelilingi bumi, diagonalnya 0 derajat (membagi bumi menjadi 2 wilayah: utara dan selatan)
Endemik, EndemismeSpesies tumbuhan atau binatang yang hanya terdapat di wilayah tertentu dan sering bersifat unik untuk daerah tersebut.
Epifit Tumbuhan yang hidup pada tumbuhan lain tetapi tidak merugikan. Eutrofikasi
Pengayaan zat-zat hara yang berlebihan di dalam suatu perairan sehingga mendorong ledakan pertumbuhan tumbuhan air dan mengakibatkan kekurangan kadar oksigen di dalam perairan.
Fenomena El Nino Peristiwa alam yang menimbulkan kemarau panjang yang hebat.
Fragmentasi Habitat Proses yang menyebabkan kawasan hutan primer yang semula saling bersambungan terpecah menjadi petak-petak yang saling terpisah dan terpencar.
Habitat Tempat hidup alami bagi binatang dan tumbuhan.
Herpetofauna Kelompok binatang yang temasuk dalam amfibi (katak/kodok) dan reptilia (buaya, penyu, ular, biawak, komodo).
Hutan Dipterocarpaceae Hutan yang didominasi spesies pohon dari famili Dipterocarpaceae. misalnya berbagai jenis meranti. kruing. kapur dll.
Hutan Hujan Dataran Rendah ’selalu-hijau’ Hutan yang berisi tanaman berkayu dan tumbuhan selalu-hijau. terdapat di dataran rendah daerah tropis dengan curah hujan 2500 mm/tahun.
Hutan Kerangas Hutan yang tumbuh di atas tanah podsolik. Tanah yang terlapuk berat dan mengandung silika terbentuk pada teras-teras kuarsa. batuan pasir, atau puncak-puncak batu cadas. Tanah ini sangat masam dan tidak subur. di mana besidan humus terkumpul di bawah lapisan atas pasir putih.
Hutan Konservasi UU no.41 menjelaskan bahwa yang termasuk hutan konservasi adalah hutan alam cadangan (nature preservation forest), hutan alam konservasi (nature conservation forest) dan taman berburu (hunting forest).
Hutan PrimerHutan perawan atau hutan alam yang belum dijamah manusia.
Hutan Sekunder Hutan alam yang sudah dimanfaatkan oleh manusia.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Lampiran-Lampiran L- 5
BKSDA Papua II Sorong
IBOYMerupakan singkatan dari International Biodiversity Observation Year (tahun observasi biodiversity internasional) yang dilaksanakan pada tahun 2001 dan 2002, sebagai jendela bagi para ilmuan dan pendidik dari seluruh dunia untuk bekerjasama meningkatkan komunikasi tentang ilmu-ilmu penting berbasis biodiversity.
IBSAPIndonesian Biodiversity Strategy and Action Plan, Strategi dan Rencana Aksi Biodiversity Indonesia
Indeks Keragaman Spesies (Species Diversity Index) Indeks yang digunakan oleh para ilmuwan lingkungan untuk membandingkan tingkat keanekaragaman spesies berdasarkan jumlah dan kelimpahan spesies binatang dan tumbuhan di suatu tempat.
IUCN International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources Karamba
Kurungan dari anyaman bambu yang ditempatkan (diapungkan) di sungai sebagai tempat perkembangbiakan ikan atau udang.
Karnivora Mahluk hidup pemakan daging.
Kawasan Intertidal/Iitoral Kawasan yang terletak di antara daerah pasang tertinggi dan surut terendah di pantai.
Kawasan Konservasi Kawasan-kawasan yang digolongkan dalam kawasan pelestarian alam yaitu taman nasional, taman wisata alam dan taman hutan raya, kawasan suaka alam yaitu cagar alam, suaka margasatwa, hutan lindung, dan taman buru. Istilah konservasi tidak dijumpai dalam UU No.5 tahun 1990. Sedangkan UU No.41 tahun 1999 muncul pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Sedangkan hutan konservasi dibagi ke dalam hutan suaka alam, hutan pelestarian alam. dan taman buru.
Kegiatan yang menunjang budidaya di dalam kawasan Suaka Alamialah kegiatan yang dapat dilaksanakan dalam bentuk pengambilan, pengangkutan dan penggunaan plasma nutfah yang terdapat dalam kawasan alam yang bersangkutan untuk keperluan pemuliaan jenis dan penangkaran.
Konservasi Upaya perlindungan ekosistem penyangga kehidupan, pengawetan plasma nutfah serta pemanfaatan keanekaragaman hayati berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian.
Konservasi Eks-SituUpaya perlindungan, pemanfaatan dan pelestarian spesies di luar habitat aslinya berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian.
Konservasi In-Situ Upaya perlindungan, pemanfaatan dan pelestarian spesies di dalam habitat aslinya berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Lampiran-Lampiran L- 6
BKSDA Papua II Sorong
Konvensi Keanekaragaman Hayati Konvensi yang ditandatangani oleh 150 negara dalam Konferensi Tingkat Tinggi PBB mengenai Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro pada tahun 1992.
KoridorJalur-jalur lahan yang dilindungi yang menghubungkan satu kawasan konservasi dengan kawasan konservasi lainnya. Dikenal sebagai koridor konservasi atau koridor perpindahan yang memungkinkan tumbuhan dan satwa untuk menyebar, sehingga memungkinkan aliran gen serta kolonisasi lokasi yang sesuai. Koridor dapat berfungsi membantu melestarikan satwa yang harus melakukan migrasi musiman di antara rangkaian habitat yang berbeda-beda untuk mendapatkan makanan.
Kriteria Ramsar Kriteria yang digunakan di bawah Konvensi Ramsar, untuk menilai kualitas atau nilai lahan basah berdasarkan kekayaan keanekaragaman hayati dan keunikan ekosistem sehingga layak mendapat status sebagai kawasan penting di dunia. Kriteria ini meliputi keunikan tipe lahan basah, komunitas binatang dan tumbuhan yang ada di dalam lahan basah, kriteria khusus sebagai habitat burung atau ikan yang unik.
Kriteria Status Flora atau Fauna menurut IUCN: 1. Kritis (Critically endangered) : jika taksa menghadapi resiko kepunahan yang
sangat ekstrim (tinggi) di alam dalam waktu yang sangat dekat. Populasinya berkurang paling sedikit 80% selama 10 tahun terakhir, luas wilayah diperkirakan kurang dari 100 km2, populasi kurang dari 250 individu dewasa. jumlah populasi diperkirakan kurang dari 50 individu dewasa dan kemungkinan punah di alam paling sedikit 50% dalam 10 tahun.
2. Genting/terancam {Endangered): jika taksa tidak termasuk kriteria genting tetapi mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dalam waktu dekat. Populasinya berkurang paling sedikit 50% selama 10 tahun terakhir.luas wilayah diperkirakan kurang dari 5000 km2 atau yang dapat ditempati kurang dari 500 km2, populasi diperkirakan kurang dari 2500 individu dewasa, jumlah populasi diperkirakan kurang dari 250 individu dewasa dan kemungkinan punah di alam paling sedikit 20% dalam 20 tahun.
3. Rentan {Vulnerable): jika taksa tidak termasuk kriteria genting atau terancam tetapi mengalami resiko kepunahan yang tinggi di alam dalam waktu dekat. Populasinya berkurang paling sedikit 20% selama 10 tahun terakhir, luas wilayah diperkirakan kurang dari 20.000 km2 atau yang dapat ditempati kurang dari 2000 km2, populasi diperkirakan kurang dari 10.000 individu dewasa, jumlah populasi diperkirakan kurang dari 1000 individu dewasa dan kemungkinan punah di alam paling sedikit 10% dalam 100 tahun. (lihat rincian kategori dalam Mogea dkk. 2001).
MAB Merupakan singkatan dari the Man And the Biosphere. Program UNESCO yang dimulai tahun 1971 untuk pemanfaatan berkelanjutan dan konservasi biodiversity dengan mengembangkan landasan natural dan social sciences. Juga ditujukan untuk meningkatkan hubungan yang harmonis antara masyarakat dan lingkungan globalnya.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Lampiran-Lampiran L- 7
BKSDA Papua II Sorong
Megadiversity Country Istilah yang digunakan untuk menggambarkan negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati dan budaya yang tinggi. Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia setelah Brazil.
MoratoriumPenghentian sementara/jeda.
Nilai OmitologisNilai-nilai mengenai keragaman spesies, jumlah, penyebaran dan kehidupan burung.
Nokturnal Sifat binatang yang aktif bergerak dan mencari makan pada malam hari.
Pembangunan Berkelanjutan Pola pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa melemahkan kemampuan pembangunan untuk memenuhi kebutuban generasi mendatang.
Pengelolaan kawasan Suaka Alamadalah upaya terpadu dalam penataan, pemeliharaan, pemanfaatan, pengawasan, pengendalian, pemulihan, perlindungan dan pengembangan kawasan Suaka Alam.
Perdagangan Karbon (carbon trade)Suatu mekanisme yang sedang dikembangkan secara intemasional melalui negara-negara yang masih memiliki hutan yang cukup luas (yang berfungsi menyerap karbon dari emisi bahan bakar) mendapatkan kompensasi dari kalangan internasional berupa dana untuk membiayai kegiatan konservasi yang dikaitkan dengan emisi karbon.
Pola Inti-PlasmaSistem pertanian yang menghubungkan pertanian dan agroindustri di mana produksi primer (tanaman tahunan atau tanaman keras, ternak, susu, unggas, telur, ikan, udang dan sebagainya) tidak terpusat pada unit produksi kapitalis (atau sosialis) yang besar tetapi tetap berada di tangan petani kecil, yang dihubungkan secara melembaga melalui kontrak dengan sebuah perusahaan inti yang lebih besar yang menangani satu atau lebih kegiatan hilir dan hulu seperti penyediaan sarana produksi, pengolahan dan pemasaran hasil.
Plasma NutfahSubstansi sebagai sumber sifat keturunan yang terdapat di dalam setiap kelompok organisme yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan sehingga tercipta suatu jenis unggul atau Kultivar baru.
Potassium Sianida Zat kimia yang digunakan untuk bahan racun untuk menangkap ikan, karena dapat membuat ikan yang terpapar zat ini menjadi pingsan sehingga mudah ditangkap.
PRAMerupakan singkatan dari Participatory Rural Appraisal. Metode PRA adalah media untuk berkomunikasi dengan cara dialog antara Perencana – Pelaksana Administratif dan partner mereka (masyarakat) untuk memecahkan masalah dan untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah-masalah yang terjadi.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Lampiran-Lampiran L- 8
BKSDA Papua II Sorong
Rawa Aluvial Rawa di tanah lempung yang terendapkan oleh air mengalir.
Rawa Herbaceous Rawa yang ditumbuhi tumbuhan kecil yang tumbuh seperti rumput dan batangnya tidak berkayu.
Rekayasa Genetis Teknologi yang digunakan untuk mengubah materi genetis sel hidup melalui campur tangan manusia sebagai upaya agar sel tersebut mampu menghasilkan senyawa yang diinginkan atau mengemban fungsi-fungsi yang berbeda dengan sel-set lain yang tidak mengalami manipulasi.
Rencana Pengelolaan kawasan Suaka Alamadalah upaya terpadu dalam penataan, pemeliharaan, pemanfaatan, pengawasan, pengendalian, pemulihan, perlindungan dan pengembangan kawasan Suaka Alam.
ResinHasil sekresi tanaman yang susunan kimianya sangat kompleks, padat, transparan, dan kompak.
Restocking Kegiatan yang ditujukan pada peningkatan populasi jenis flora dan fauna liar di habitat alam aslinya.
Revolusi Biru Proses perubahan produksi perikanan (khususnya darat, air tawar dan payau) dari cara-cara tradisional ke arah intensifikasi untuk meningkatkan produksi.
RSAMerupakan singkatan dari Rapid Social Assessment. Metode RSA adalah media untuk mengumpulkan data dan informasi, berkomunikasi dengan cara dialog antara peneliti dengan masyarakat.
Savana Padang rumput yang diselingi oleh kelompok kecil pepohonan.
Silvikultur Pemeliharaan dan pembinaan hutan atau manipulasi vegetasi hutan untuk tujuan tertentu seperti untuk mengontrol pembentukan, komposisi dan pertumbuhan pohon.
Transmigrasi Umum Perpindahan penduduk dari satu daerah yang padat penduduknya ke daerah lain yang berpenduduk jarang, dilakukan secara rutin atas prakarsa pemerintah.
Transmigrasi Swakarsa Transmigrasi atas usaha sendiri atau spontan.
Trawl Jenis perangkat penangkapan ikan, sering disebut sebagai pukat harimau.Tumbuhan Invasif
Spesies tumbuhan, umumnya bukan asli di suatu habitat, yang ditanam secara sengaja atau karena terbawa oleh faktor alam, namun kemudian mampu berkembang biak secara massal dan menguasai wilayah tumbuh komunitas spesies tumbuhan lainnya.
UNDP United Nations Development Program, suatu badan PBB untuk pembangunan
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Lampiran-Lampiran L- 9
BKSDA Papua II Sorong
USAIDUnited State Aid, Lembaga Bantuan dari Amerika Serikat untuk Pembangunan di Negara Berkembang
Valuasi EkonomiCara penilaian ekonomi sumber daya alam dengan menetapkan atau mengukur nilainya secara moneter.
WWF World Wide Fund for Nature atau lebih dikenal dengan World Wildlife Fund, Lembaga internasional untuk pelestarian sumberdaya alam
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Lampiran-Lampiran L- 10
BKSDA Papua II Sorong
Lampiran 2. Data suhu udara ambien (0C) selama tiga tahun (1997 – 2000) berhasil di catat oleh PT Calmarine pada stasiun pengamat cuaca Tanah Merah, Babo.
Suhu Udara (0C)Tahun Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sept Okt Nop Des
Lampiran 3. Data kelembaban relatif udara ambien (%) selama tiga tahun (1997 – 2000) berhasil di catat oleh PT Calmarine pada stasiun pengamat cuaca Tanah Merah, Babo.
Lampiran 4. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat semai dan pancang di Plot Pulau Kaboi (Depan Muara Tirasai), Cagar Alam Teluk Bintuni
Tngkat semai Tingkat pancang Jenis Famili
N/Ha F INP N/Ha F INP
B. gymnorrhiza Rhizophoraceae 2500 - 58 - - -
B. parviflora Rhizophoraceae - - - 262 - 92
Ceriops tagal Rhizophoraceae 2500 - 58 63 - 33
R. mucronata Rhizophoraceae - - - - - -
R. apiculata Rhizophoraceae 5000 - 84 363 - 175 Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.
Lampiran 5. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat tiang dan pohon di Plot Pulau Kaboi (Depan Muara Tirasai), Cagar Alam Teluk Bintuni
Tngkat tiang Tingkat pohon Jenis Famili
N/Ha F INP N/Ha F INP
B. gymnorrhiza Rhizophoraceae - - - 87 - 62
B. parviflora Rhizophoraceae - - - 150 - 51
Ceriops tagal Rhizophoraceae - - - 26 - 19
R. mucronata Rhizophoraceae - - - 150 - 11
R. apiculata Rhizophoraceae - - - 162 - 157 Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.
Lampiran 6. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat semai dan pancang di Plot Mangrove S. Simeri, Cagar Alam Teluk Bintuni
Tngkat semai Tingkat pancang Jenis Famili
N/Ha F INP N/Ha F INP
R. mucronata Rhizophoraceae 7000 - 68 770 - 178
X. moluccensis Meliaceae 6000 - 56 30 - 55
B. gymnorrhiza Rhizophoraceae 5000 - 44 160 - 41
Ae. corniculatum Myrsinaceae 4000 - 32 10 - 9
B. sexangula Rhizophoraceae - - - 130 - 11
X. granatum Meliaceae - - - 20 - 7 Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Lampiran-Lampiran L- 12
BKSDA Papua II Sorong
Lampiran 7. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat tiang dan pohon di Plot Mangrove S. Simeri, Cagar Alam Teluk Bintuni
Tngkat tiang Tingkat pohon Jenis Famili
N/Ha F INP N/Ha F INP
R. mucronata Rhizophoraceae - - - 160 - 180
X. moluccensis Meliaceae - - - - - -
B. gymnorrhiza Rhizophoraceae - - - 80 - 102
Ae. corniculatum Myrsinaceae - - - - - -
B. sexangula Rhizophoraceae - - - 40 - 18
X. granatum Meliaceae - - - - - - Sumber: Hasil survei Tim TNC, 2005.
Lampiran 8. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat semai dan pancang di Plot Pulau Maniai (Tanjung Pitaboni), Cagar Alam Teluk Bintuni
R. mucronata Rhizophoraceae 11875 0,75 84,44 33 0,08 8,21
R. apiculata Rhizophoraceae 4792 0,50 42,53 500 0,33 58,41 Sumber: Hasil Survei Tim TNC, 2005
Lampiran 9. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat Tiang dan Pohon di Plot Pulau Maniai (Tanjung Pitaboni), Cagar Alam Teluk Bintuni
Tingkat tiang Tingkat pohon Jenis Famili N/Ha F INP N/Ha F INP
A. corniculatum Rhizophoraceae - - - 2,08 0,08 3,98
Avicennia alba Avicenniaceae 108 0,17 88,81 2,92 0,50 59,98
A. marina Rhizophoraceae - - - 4,17 0,08 5,56
B. gymnorrhiza Rhizophoraceae - - - 12,50 0,08 10,86
B. parviflora Rhizophoraceae 25 0,08 19,78 37,50 0,42 43,33
B. sexangula Rhizophoraceae - - - 14,58 0,17 15,87
C. decandra Rhizophoraceae 8 0,08 12,85 2,08 0,08 4,21
R. mucronata Rhizophoraceae 25 0,25 37,41 60,42 0,50 54,80
R. apiculata Rhizophoraceae 150 0,58 140,85 104,17 0,75 96,48
S. alba Sonneratiaceae - - - 4,17 0,08 5,04 Sumber: Hasil Survei Tim TNC, 2005
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Lampiran-Lampiran L- 13
BKSDA Papua II Sorong
Lampiran 10. Hasil perhitungan Nilai kubikasi kayu manrove (m3/ha) Vegetasi Tingkat Tiang dan Pohon di kelompok hutan mangrove Pulau Maniai (Tanjung Pitaboni), Cagar Alam Teluk Bintuni (20 m x 230 m = 0,46 ha)
Tiang Pohon Jenis Famili
Diamter Tinggi N/ha Potensi/phn (M3/phn)
Potensi/ha (M3/ha) Diamter Tinggi N/ha Potensi/phn
A. alba Avicenniaceae 16.73 12.2 108 0.3 13.32 29.61 15.8 104.17 1.1 52.11 65.42
S. alba Sonneratiaceae 23.25 15 4.17 0.6 1.22 1.22
B. parviflora Rhizophoraceae 11.89 13.3 25 0.1 1.70
Total 316 1.0 32.7 244.59 10.9 131.4 164.03
Rata-rata 63.20 0.20 24.459 1.09
Lampiran 11. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat semai dan pancang di Plot Sungai Sumberi, Cagar Alam Teluk Bintuni
Lampiran 12. Jenis, Famili, Kerapatan (N/Ha), Frekuensi, dan Indeks Nilai Penting Vegetasi Tingkat Tiang dan Pohon di kelompok hutan mangrove Sungai Sumberi, Cagar Alam Teluk Bintuni
Tingkat tiang Tingkat pohon Jenis Famili N/Ha F INP N/Ha F INP
R. apiculata Rhizophoraceae 50 0,33 86,50 100,00 0,83 113,18
D. spathacea Bignoniaceae 17 0,17 30,74 45,83 0,17 35,51
B. gymnorrhiza Rhizophoraceae - - - 29,17 0,33 37,00
B. sexangula Rhizophoraceae 33 0,33 53,38 20,83 0,33 23,97
C. decandra Rhizophoraceae 17 0,17 26,88 8,33 0,17 12,44
R. mucronata Rhizophoraceae - - - 12,50 0,33 22,77
X. moluccensis Meliaceae - - - 8,33 0,17 10,01
A. alba Aviceniaceae - - - 4,17 0,17 8,71
S. alba Soneratiaceae - - - 4,17 0,17 8,49
C. tagal Rhizophoraceae 33 0,33 54,88 - - - Sumber: Hasil Survei Tim TNC, 2005
Lampiran 13. Hasil perhitungan Nilai kubikasi kayu manrove (m3/ha) Vegetasi Tingkat Tiang dan Pohon di kelompok hutan mangrove Sungai Sumberi, Cagar Alam Teluk Bintuni (20 m x 140 m = 0,28 ha).
(1) ACTIVITIES ARE NOT ALLOWED IN BINTUNI BAY NATURE RESERVE:
¶ Catching fish and another sea products using chemicals;
¶ Cutting down mangrove (mangi-mangi) in big scale like logging or fish-pond;
¶ Cutting down logs in low land forest in BBNR;
¶ Trowing waste like used engine-oil and chemicals into the rivers;
¶ Using trawl in catching fish or prawn;
¶ Mining operation.
2. Traditional community members (masyarakat adat) who live inside and surrounding the
Bintuni Bay Nature Reserve committed to support the management of BBNR through
several activities as follow:
(1) Report all activities against the rule agreed to the management of BBNR:
(2) Catch on the spot whoever break the rule agreed;
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Lampiran-Lampiran L- 18
BKSDA Papua II Sorong
(3) Form a working group at every village inside and surrounding the BBNR during the
implementation of management plan.
3. Traditional community members (masyarakat adat) who live inside and surrounding the
Bintuni Bay also asked for the local government to support the management through:
(1) Produce a local regulation on BBNR:
(2) Intensive community-services to increase building and economic capacity of the
traditional communities who live inside and surrounding the Bintuni Bay.
During the implementation of commitment above, working group will be formed consist of
represent of traditional people (masyarakat adat) who live inside and surrounding the Bintuni
Bay. The main job of this working group is to formulate the law enforcement of the
commitment agreed which is assisted by local government and sponsor (TNC and BKSDA II
Papua).
Closing Session
The meeting was formally closed at 3.00 PM by Mr. M. Arman Mallolongan, MM. (Kepala
Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional IV, Secretary General of Forestry
Department of RI).
2nd -day meeting (2 June, 2005)
Opening Session
The meeting was opened at 9.30 on Thursday 2 June, 2005. The programme of the opening
session included:
¶ Praying was lead by Pdt. A. Konologit, STh, The head of Gospel Christian Church (GKI)
in Papua, Bintuni.
¶ Workshop-Committee Report, by the Head of Regional Planning Agency (Bappeda)
Kabupaten Bintuni.
¶ Remarks by Drs. J. Paiki, Bupati Teluk Bintuni.
¶ Opening the workshop formally by Drs. J. Paiki, Bupati Teluk Bintuni.
Presentation of the 1st draft of MP of Bintuni Bay Nature Reserve and Roundtable Discussion
In this session, the implementation team of establishing the MP of Bintuni Bay Nature
Reserve presented the 1st draft of Management Plan. Following are several inputs and issues
have been raised during the roundtable discussion:
1. Additional observing-tower at the mouth of Bintuni River;
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Lampiran-Lampiran L- 19
BKSDA Papua II Sorong
2. The status of the Bintuni Bay Nature Reserve is not yet definitive as Nature Reserve;
3. Increase the status of Resort KSDA Bintuni to become “SEKSI”;
4. There should also be a commitment of traditional communities who live in upland
areas as the degradation of the forest located in upland may cause very significant
impact to the BBNR.
5. Scenarios in management plan;
6. Policy in recruiting local staff during the implementation of Management of BBNR;
7. Pay more attention in increasing the economic sector of the traditional communities
who live inside and surrounding the BBNR;
8. Socialise the management plan to the communities inside and surrounding the BBNR
is important;
9. Approaching method in establishing the management plan;
10. Integrated management organisation (lembaga pengelola terpadu) during the first 5-
year implementation of MP is necessary;
Closing Session
The meeting was formally closed at 3.30 PM by Mr. M. Arman Mallolongan, MM. (Kepala
Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional IV, Secretary General of Forestry
Department of RI).
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Lampiran-Lampiran L- 20
BKSDA Papua II Sorong
Lampiran 15. Programme of two-days meeting on Establishing the Bintuni Bay Nature Reserve Management Plan
Wednesday 1 June, 2005
8.30 Registration 9.00 Opening Session Praying Ketua Klasis GKI Bintuni Remarks Mr. C. Thesia, on behalf of The head of
Regional Planning Agency (Bappeda) Kabupaten Bintuni
Opening the workshop Mr. C. Thesia, on behalf of The head of Regional Planning Agency (Bappeda) Kabupaten Bintuni
10.30 Coffee break 11.00 Roundtable Discussion Implementation Team 12.30 Lunch Committee 13.30 Workshop Conclusion Implementation Team 15.00 Closing Session Committee
Thursday 2 June, 2005
8.30 Registration 9.30 Opening Session Praying Ketua Klasis GKI Bintuni
Workshop-Committee Report Mr. C. Thesia, on behalf of The head of Head of Regional Planning Agency (Bappeda) Kabupaten Bintuni
Remarks Drs. J. Paiki, Bupati Kabupaten Teluk Bintuni
Opening the workshop Drs. J. Paiki, Bupati Kabupaten Teluk Bintuni
10.30 Coffee break Committee
11.00 Presentation of the 1st draft of MP of BBNR.
Implementation Team
12.00 Lunch 13.00 Roundtable Discussion Implementation Team
14.30 Workshop Conclusion Implementation Team
15.00 Coffee break Committee
15.30 Closing Session Committee
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Lampiran-Lampiran L- 21
BKSDA Papua II Sorong
Lampiran 16. A COMMITMENT related to the management of BBNR was produced by the traditional community members who live inside and surrounding the Bintuni Bay Nature Reserve during the Kabupaten Meeting in Bintuni
LOKAKARYA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN
CAGAR ALAM TELUK BINTUNI TGL 1 JUNI 2005
BAPAK BUPATI YANG KAMI HORMATI, BAPAK, IBU PEJABAT DI KABUPATEN TELUK BINTUNI BAPAK DAN IBU HADIRIN SEMUA
KAMI MASYARAKAT YANG BERMUKIM DI SEKITAR DAN DI DALAM KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI, YANG TERDIRI DARI 14 KAMPUNG; TELAH BERTEMU DAN BERBICARA BERSAMA TENTANG CAGAR ALAM.
DARI PERTEMUAN TERSEBUT, KAMI MEMBUAT KESEPAKATAN KELOMPOK MASYARAKAT YANG BERMUKIM DI DALAM DAN SEKITAR KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI.
KAMI MASYARAKAT YANG ADA DI DALAM DAN DI SEKITAR KAWASAN CAGAR ALAM MENYATAKAN SIKAP KAMI ANTARA LAIN:
SIAPAPUN BOLEH MENCARI MAKAN DI DALAM KAWASAN TANPA MEMANDANG SUKU/MARGA/BATAS-BATAS WILAYAH ADAT ASALKAN MEMATUHI ATURAN
KESEPAKATAN YANG SUDAH DIBUAT
UNTUK ITU, KEGIATAN YANG BOLEH DILAKUKAN DI DALAM KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI ANTARA LAIN ADALAH:
1. KAMI DAPAT MELAKUKAN PENANGKAPAN HASIL-HASIL PERIKANAN SEPERTI IKAN, UDANG, KARAKA, SIPUT ATAU BIA, DAN HASIL LAUT LAINNYA.
2. KAMI DAPAT BERKEBUN DAN MENDAPAT BANTUAN BIMBINGAN TEKNIS DARI DINAS TERKAIT
3. KAMI DAPAT MELAKUKAN PEMANFAATAN KAYU MANGI-MANGI UNTUK KAYU BAKAR SENDIRI (BUKAN UNTUK DIJUAL) DAN KEGIATAN MENANGKAP IKAN “PELE KALI”
4. KAMI DAPAT BERBURU HEWAN ATAU SATWA LIAR SEPERTI BUAYA, RUSA, BABI HUTAN, DAN BURUNG
5. KAMI BOLEH MENANGKAP IKAN DENGAN MENGGUNAKAN “AKAR BORE” DAN JARING
KEGIATAN YANG TIDAK BOLEH DILAKUKAN DI KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI ANTARA LAIN ADALAH:
1. TIDAK BOLEH MENGGUNAKAN “OBAT” (BAHAN KIMIA) DALAM MENANGKAP IKAN, UDANG, DLL
2. TIDAK BOLEH MENEBANG MANGI-MANGI ATAU BAKAU DARI CAGAR ALAM DALAM SKALA BESAR UNTUK KEPERLUAN USAHA KAYU ATAU TAMBAK ATAU LAINNYA
3. TIDAK BOLEH MENEBANG KAYU DI HUTAN TANAH KERING ATAU GUNUNG DI DALAM CAGAR ALAM
4. TIDAK MEMBOLEHKAN KAPAL-KAPAL YANG BERLAYAR DI SUNGAI UNTUK MEMBUANG SAMPAH ATAU LIMBAH MINYAK ATAU BAHAN KIMIA KE SUNGAI
5. TIDAK BOLEH KAPAL BESAR ATAU KAPAL UDANG ATAU PUKAT HARIMAU UNTUK BEROPERASI DI DALAM KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI.
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Lampiran-Lampiran L- 22
BKSDA Papua II Sorong
6. TIDAK BOLEH ADA EKSPLORASI BAHAN TAMBANG DI DALAM KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI.
UNTUK MENDUKUNG PENGELOLAAN KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI, KAMI MASYARAKAT AKAN MELAKUKAN DUKUNGAN BERUPA: 1. KAMI AKAN MELAPORKAN PELANGGARAN KESEPAKATAN YANG TERJADI KE
PENGELOLA CAGAR ALAM TELUK BINTUNI 2. KAMI AKAN MENANGKAP LANGSUNG PELANGGAR ATURAN YANG SUDAH
DISEPAKATI BERSAMA 3. PEMBENTUKAN KELOMPOK KERJA DI SETIAP KAMPUNG YANG ADA DI DALAM
DAN SEKITAR KAWASAN YANG AKAN DILIBATKAN DALAM PELAKSANAAN RENCANA KEGIATAN PENGELOLAAN
KAMI JUGA BERHARAP PEMERINTAH TURUT MENDUKUNG KEGIATAN PENGELOLAAN CAGAR ALAM. UNTUK ITU, KAMI MENGHARAPKAN PEMERINTAH MELAKUKAN HAL-HAL SEBAGAI BERIKUT: 1. MEMBUAT PERATURAN DAERAH MENGENAI CAGAR ALAM 2. MELAKUKAN PEMBINAAN, PENYULUHAN DAN PENDAMPINGAN YANG TERUS
MENERUS KEPADA MASYARAKAT DI DALAM DAN SEKITAR CAGAR ALAM, KHUSUS UNTUK PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT
3. KAMI MEMINTA PEMERINTAH DAERAH MEMBERIKAN PERHATIAN LEBIH BESAR PADA PENDIDIKAN MASYARAKAT
DEMIKIAN KESEPAKATAN YANG KAMI BUAT DARI 14 KAMPUNG YANG ADA DI DALAM DAN SEKITAR KAWASAN CAGAR ALAM TELUK BINTUNI
MENDAMA TAMBE JAGA TANE CAGAR ALAM TELUK BINTUNI
BINTUNI, 2 JUNI 2005
PERWAKILAN MASYARAKAT YANG BERMUKIM DI DALAM DAN SEKITAR CAGAR ALAM TELUK BINTUNI:
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Lampiran-Lampiran L- 23
BKSDA Papua II Sorong
Lampiran 17. Rangkuman Catatan Hasil Presentasi Draf Akhir Rencana Pengelolaan Kawasan CATB di PHKA Jakarta (22 Juli 2005).
No. Name Institution Position Input/Critics/Question
1. How about the contribution of another stakeholders outside the Bintuni Region?
2. How the community can support the implementation of the Management Plan?
3. Once the MP is implemented, the communities who are living inside and surrounding the site should be fully involved
4. The BBNR should be promoted not only in regional but also in national even international level
6. The analysis of problems and solutions stated in MP are applicable, but they need to be analyzed deeply
7. Regarding the activity in Reconstruct the border of BBNR, it should be based on old border
1 Banjar Laban PHKA, Jakarta
Dir. Konservasi Kawasan PHKA
8. How can the BBNR be synchronize with the local/traditional culture (see Government Regulation-PP 68)
2 Adi Susmianto PHKA, Jakarta
1. The scenario of Management of BBNR stated in MP need to be strengthen
2. At the time, keep going with the MP, do not think about the current status of the site
3. The current document of MP of BBNR is not applicable if the status of the site is indefinite
4. The current document of MP can be considered as a starting point in fixed the site status of BBNR
5. Proposed not only one organization but several in Managing the BBNR
6. Especially in Papua, need to form an alternative organization based on local condition
7 Add the contribution of all stakeholders in current document of MP of BBNR
8. Proposed a zoning in MP (Arahan Zoning)
9. Use different term for MONITORING BODY, Forum for example
10. Balai is more suitable instead of Resort in Organization
1. Move the Vision and Mission section in to the Chapter of Introduction
2. The position and size should be based on Water Catchments Area in BBNR
3 Prof. Dr. F. Wanggai
University of Papua (UNIPA),Manokwari
Rector
3. Page II.10, add data of sedimentation level?
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Lampiran-Lampiran L- 24
BKSDA Papua II Sorong
4. In Sub Chapter of Soil, if any, include the land use in every village inside and surrounding the BBNR
5. Chapter III, there should be a commitment of PEMDA in plotting the BBNR in their strategic plan or layout planning of Kabupaten
6. Page V.1, the position (GPS) of every pal should be included
1 The management needs more supporting facilities as the current one is not proportional compare to the size of the BBNR
4 Ir. J. Lekitoo Forestry Department ofKabupatenTeluk Bintuni
Head of office
2. The status of BBNR is very crucial in supporting the Management Plan
1. Fisheries and Marine Department of Kabupaten Teluk Bintuni is planned to established a local regulation on catching area in Bintuni Bay
2. A local rule of catching area (12 mil and 10 m isobar) is unclear
5 Drs. P. Karubui Fisheries and Marine Department ofKabupatenTeluk Bintuni
Head of office
3. In controlling activity, It is necessary to form a group of people from the communities inside and surroundings BBNR
7 Mr. Unu PHKA, Jakarta
Kasubdit Cagar Alam 1. All activities based on the a commitment amongst people who are living inside and surroundings BBNR should be supported by government regulation
2. There should be a buffer zone
3. With the current status of BBNR (Penunjukan, not (No Suggestions)),there may be some possibilities of changing function of the site
4. Correction, POLHUT instead of JAGAWANA
5. The reconstruction of site border should be proposed by Bupati
6. Proposed re-bordering in MP
7. Based on Government law, there should not be a Rehabilitation activity in Nature Reserve
8 Ms. Puspa PHKA, Jakarta
1. Management of BBNR should be based on Mangrove ecosystem as 90 % of the site is dominated by mangrove forest
2. Good to see that the economic value of the BBNR is mentioned in the document, however it needs to elaborate broadly
1 The planning should be divided into 25-year plan, 5-year plan, and yearly plan
9 Wahyu PHKA, Jakarta
2 State the main activities of 25-year plan, 5-year plan, yearly plan in the document
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni
Lampiran-Lampiran L- 25
BKSDA Papua II Sorong
Lampiran 18. Peta Kerja Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni 2006-2030
Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk
Bintuni
. = Kantor S = Pondok Kerja ! = Menara Pengawas / = Tanda larangan G = Pondok Peneliti % = Pemukiman
.
S
S
S
G
!
!
!
!
!!
/
/
/
/
/
%
%
%
AAppaa KKaattaa MMeerreekkaa
Drs. J. Paiki – Pjbt Bupati Teluk BintuniRencana Pengelolaan menunjukkan komitmen semua pemangku kepentingan untuk
menjaga kelestarian lingkungan hidup. Semoga implementasi akan membuat cagar alamterjaga dan masyarakat bisa merasakan manfaatnya
Prof. Dr. Frans Wanggai – Rektor Universitas PapuaPengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni adalah tanggungjawab kita semua, masyarakat dan
pemerintah. Implementasi rencana ini harus bisa menjaga kekayaan sumberdaya alamyang merupakan anugerah Tuhan
Ir. Petrus Kasihiw, MT - Kepala Bappeda Teluk BintuniRencana Pengelolaan ini akan membantu kami bekerja lebih baik bersama pengelola cagar
alam untuk kemajuan Kabupaten Teluk Bintuni
Ir. Fransisco Moga, MP – Kepala BKSDA Papua II – SorongRencana Pengelolaan ini merupakan bukti nyata kerjasama masyarakat adat, LSM dan
Pemerintah. Implementasi tetap membutuhkan dukungan dari semua pemangkukepentingan untuk mencapai lingkugnan yang lestari dan masyarakat sejahtera
Abraham Wekaburi (Koordinator 7 Suku di Bintuni)Cagar Alam milik kami, hidup kami tergantung disana. Kami ingin bisa bekerja bersamauntuk menjaga cagar alam ini. Kami berharap pengelolaan akan mensejahterakan kami
masyarakat
Adrian Tatiri – Kepala Kampung YakatiKami mau cagar alam bisa lestari, kami bisa dapat ikan, udang, karaka dan buaya dari
mangi-mangi. Cagar Alam ini kami masyarakat Bintuni pu barang. Semoga pengelola cagaralam bisa bekerja bersama masyarakat menjaga Cagar Alam Teluk Bintuni
Otto Manibuy – Tokoh Adat WamesaCagar Alam Teluk Bintuni kami orang pu barang. Semua masyarakat bisa mencari makandisana asal ikut kita pu aturan. Kita mau kita pu mangi-mangi terjaga dan kita bisa dapat