BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suku bangsa atau etnisitas adalah suatu golongan manusia yang
anggota anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya,
biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas
suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas
kelompok tersebut dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku
atau ciri-ciri biologis.
Indonesia sebagai Negara yang memiliki banyak pulau tentulah
memiliki banyak suku atau etnis pula sebab pasti dari jumlah pulau
maupun suku tersebut pastilah ada perbedaan yang menimbulkan
ketidaksamaan identitas dan ciri khas .Antara suku satu dan suku
yang lainnya pastilah muncul adanya masyhurul ahwal baik dari segi
sejarah, sistem teknologi, mata pencaharian, kesenian dan agama
.Maka sehubungan dengan tugas paper mata kuliah Peradaban Islam,
maka kami susun warna warni etnisitas Madura yang merupakan suku
penulis, Waba`du penulis harap koreksi dan edit dosen pemangku
dapat menyempurnakan paper yang penuh dengan keterbatasan ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dalam makalah ini akan
dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Sejarah suku Madura ?2. Bagaimana Sistem teknologi
dan Mata Pencaharian suku Madura ?3. Seperti Apa Adat Istiadat dan
Stratifikasi social suku Madura ?4. Apa saja Kesenian dan keagamaan
suku Madura ?5. Bagaimana interaksi social suku Madura?6. Seperti
Apa Budaya hukum suku Madura ?
1.3 Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah tersebut maka tujuannya adalah
memberikan pemahaman tentang:
1. Sejarah suku Madura2. Sistem teknologi dan Mata Pencaharian
suku Madura3. Adat istiadat dan Stratifikasi social suku Madura4.
Kesenian dan keagamaan suku Madura5. Interaksi social suku Madura6.
Budaya hukum suku Madura
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah suku Madura
Dikisahkan bahwa ada suatu negara yang bernama Mendangkamulan
dengan seorang Raja yang bernama Sangyangtunggal beliau mempunyai
anak gadis bernama Bendoro Gung. Yang pada suatu hari hamil dan
diketahui Ayahnya. Raja amat marah karena kehamilan putri
kesayangannya tidak bisa masuk akal akhirnya dia menyuruh sang
Patih yang bernama Pranggulang untuk membunuh anaknya itu. Karena
tidak tega melihat putrid Bendoro ging maka ia tidak membunuh anak
Raja itu melainkan mengasingkannya ke tepi laut sambil berucap
perkgilah ke Madu Oro (waktu itu hanya sebuah dua bukit di tengah
laut yang kemudian sekarang tempat tersebut disebut gunung Geger di
Bangkalan dan bukit yang kedua adalah gunung Pajudan Sumenep) dan
patih yang baik hati itu tidak kembali ke Istana dengan tujuan
takut di bunuh oleh raja karena telah melalaikan tugasnya dia juga
merubah namanya dengan Ki Poleng serta melepas pakaian
kebangsawanannya dan di ganti dengan kain tenun (kain sederhana
yang kemudian menjadi ciri khas orang Madura). Putri raja yang
hamil yang malang merasa perutnya sakit dan segera ia memanggil Ki
Poleng dengan cara mengepakkan kakinya kebumi sebanyak tiga kali
sesuai petunjuknya dulu. Tidak lama kemudian Ki Poleng datang dan
mengatakan bahwa Bendoro Gung akan melahirkan anak Akhirnya putra
tersebut yang diberi nama Raden Segoro (artinya laut, sebab dia
lahir ditengah laut).
Maka dapat disimpulkan bahwa istilah Madura berasal dari akar
kata Madu Oro yang merupakan lontaran dari patih yang bijaksana
dalam menyimbolkan dua bukit ditengah lautan. Sedangkan asal usul
penduduk pulau Madura merupakan anak cucu dari Raden Segoro dari
ibu Bendoro Gung.
2.2 Sistem Teknologi dan Mata Pencaharian Suku Madura
Secara histori, Madura selama berabad-abad berada di bawah
pengaruh kekuasaan kerajaan Hindu seperti Kediri, Singhasari, dan
Majapahit. Lalu sempat dibawah kepemimpinan kerajaan Islam Demak
akan tetapi setelah itu Madura berada di bawah Kekuasaan kolonial
Belanda selama kurun waktu yang tidak pendek sampai akhirnya Madura
menjadi bagian dari provinsi Jawa Timur.
Nah, sejak masa itulah tiada perkembangan berarti dalam segi
sistem teknologi dan mata pencaharian namun bila berbicara masalah
Sistem teknologi suku Madura yang jelas tidak bisa lepas dari yang
namanya cangkul, clurit, jala dan sapi sebab mereka telah masyhur
melakukan tradisi mata pencaharian turun temurun dari nenek
moyangnya, yaitu bertani, berkebun, nelayan, penambak ikan walaupun
toh banyak juga yang menjadi budak ringgit maupun riyal.
2.3 Adat Istiadat dan Stratifikasi Social Suku Madura
Anggota suatu suku bangsa pada umumnya ditentukan menurut garis
keturunan ayah seperti suku bangsa Batak, menurut garis keturunan
ibu seperti suku Minang atau menurut keduanya seperti suku Jawa,
namun Adapula yang menentukan berdasarkan percampuran ras seperti
sebutan orang Peranakan untuk campuran bangsa Melayu dengan
Tionghoa, orang Indo sebutan campuran bule dengan bangsa Melayu dan
bahkan pengelompokan etnis juga ditentukan menurut agama misalnya
sebutan Melayu di Indonesia maupun Malaysia untuk orang bumiputera
yang muslim, orang Serani bagi yang beragama Nasrani, suku Muslim
di Bosnia, orang Moro atau Bangsamoro di Filipina Selatan, dan
sebagainya begitu pula pembagian etnis di Pulau Madura
Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan
serta sifatnya yang keras dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga
dikenal hemat, disiplin dan rajin bekerja. Untuk naik haji, orang
Madura sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikit penghasilannya
Selain itu orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat
bahkan Prof. Dr. Deliar Noer menyebutkan: Madura adalah benteng
Islam di Indonesia sebab kekentalan agamis masyarakat dan akar
faham yang sangat kuat sekalipun kadang melakukan ritual Pethik
Laut atau Rokat Tasse (sama dengan Larung Sesaji)
Jadi tidak perlu heran Jika Aceh dikenal sebagai serambi Mekkah,
maka Madura adalah serambi Madinah-nya. Tak banyak daerah yang
mendapat kehormatan dilekati label istimewa ini. Dari kedua atribut
tersebut dengan mudah terlihat posisi dan kultur yang khas, yakni
kelekatannya dengan tradisi keislaman, bahkan menurut Rasul Junaidy
suku madura memiliki tiga nilai yang sangat menjadi acuan berpikir
dan bertindak, ketiga nilai tersebut di tuangkan kedalam unsur
unsur prilaku kehidupan sehari hari yaitu :
1. Kesopanan
Walau orang di luar Madura menilai mereka sangat kasar, namun
penghormatan terhadap nilai-nilai kesopanan sangat tinggi sekali.
Betapa pentingnya nilai kesopanan ini nampak dari ungkapan ta'tao
batona langgar (tidak pernah merasakan lantainya langgar).
Maksudnya, orang tersebut belum pernah masuk langgar dan mengaji
atau belum pernah mondok, sehingga tidak tahu tatakrama kesopanan.
Ungkapan ini untuk orang yang tidak tahu atau melanggar nilai-nilai
kesopanan. Ungkapan lain yang memberikan nasihat dan ajaran tentang
keharusan bersopan santun adalah : pa tao ajalan jalana jalane, pa
tao neng ngenneng, pa tao a ca ca (yang menjadi kewajiban harus
dilaksanakan sesuai dengan aturan. Harus tahu saatnya diam, harus
tahu saatnya berbicara). Hal ini bermakna bahwa orang Madura harus
selalu tahu aturan, nilai dan tatakrama dalam setiap
tindakannya
Selain itu, setiap kewajiban harus dilaksanakan dengan
mendasarkan pada aturan-aturan tata krama yang ada. Orang dan
masyarakat Madura selalu menekankan bahwa mon oreng riya benni
bagusse, tape tatakramana, sanajjan bagus tapi tatakramana jube',
ma' celep ka ate (yang penting bukan ketampanan atau kecantikan,
namun utama tatakramanya) Dasar utama dari nilai-nilai kesopanan
adalah penghormatan orang Madura kepada orang lain, terutama yang
lebih tua. Nilai-nilai kesopanan ini mengatur hubungan
antargenerasi, kelamin, pangkat dan posisi sosial
2. Kehormatan
Masyarakat Madura sangat mengutamakan penghormatan dan
penghargaan, apalagi kepada yang lebih tua atau yang mempunyai
kedudukan sosial yang lebih tinggi, sehingga menjadikan nilai-nilai
kesopanan menjadi sangat penting sekali dalam kehidupan
bermasyarakat. masyarakat Madura tidak mau diremehkan, namun
demikian penonjolan diri juga tidak dihargai. contohnya ungkapan
madu ben dere (madu dan darah), yang berarti bila orang Madura
diperlakukan secara baik, menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan
dan penghormatan, maka balasannya adalah kebaikan pula. Sebaliknya,
bila ia diperlakukan secara sewenang-wenang dan tidak adil, maka
balasannya jauh lebih berat bahkan dapat menimbulkan pertumpahan
darah
Hubungan sosial masyarakat Madura selalu saling menghormati dan
menghargai sebagai sesama manusia dan menjaga untuk tidak saling
menyakiti. Hal ini sangat nampak dari ajaran ja' nobi' oreng mon
aba'na e tobi' sake' (janganlah menyakiti orang lain, kalau
diri-sendiri merasa sakit jika disakiti orang).
Harga diri atau martabat adalah nilai yang sangat mendasar dalam
masyarakat Madura. Harga diri harus selalu dipertahankan agar tidak
diremehkan orang lain. Dasar utama dari harga diri adalah rasa malu
(rasa malo atau todus). Orang Madura selalu menekankan bahwa
tambana todus mate' (obatnya malu adalah mati). lebih bagus apote
tolang etembang apote mata (lebih baik mati daripada malu tidak
dapat mempertahankan harga diri). Nilai-nilai harga diri bagi
masyarakat Madura selain berkaitan dengan ego, wanita dan agama
juga berkait erat dengan masalah tanah dan air
3. Agama
Simbol keagamaan yang seringkali digunakan adalah kyai. Itulah
yang menyebabkan lapisan atas pada stratifikasi sosial ditempati
oleh para kiai. Mereka bukan hanya sebagai pemuka agama namun juga
sebagai pemimpin masyarakat. Para kyai dipandang memiliki kendali
legitimasi dan otoritas kharismatis, sehingga buah pikirannya mudah
sekali untuk disepakati.
Kepemimpinan yang disandang para kyai adalah bersifat
berpengaruh penting dalam beberapa bidang sekaligus. Bukan hanya
dalam bidang keagamaan, melainkan juga dalam kegiatan sosial,
bahkan mungkin juga politik.
Tiga ciri dasar kehidupan sosial budaya tersebut merupakan ciri
orang dan masyarakat Madura secara keseluruhan, tak terkecuali
orang dan masyarakat Madura yang bertempat tinggal di luar pulau
Madura namun Tidak hanya itu karakter orang Madura, masih banyak
ahwal yang sering membidani perbedaan mencolok dengan etnis lain
salah satunya adalah Harga diri, sifat ini masyhur juga paling
penting dalam kehidupan orang Madura, mereka memiliki sebuah
peribahasa "Lebbi Bagus Pote Tollang, atembang Pote Mata". Artinya,
lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata), Tradisi
carok juga berasal dari sifat itu.
4. Stratifikasi Sosial / Pelapisan Sosial Masyarakat Madura
Oreng Kene / Dume = Sebagai Lapisan Terbawah, Yaitu : masyarakat
yang biasanya kebanyakan bekerja sebagai petani nelayan pengrajin
dan orang yang tidak mpunya mata pencaharian tetap.
Ponggaba, Yaitu : orang yang bekerja di Instansi normal terutama
di Kantor Pemerintah.
Parjaji, Yaitu : Lapisan masyarakat yang berada paling atas.
Parjaji ada 2 macam pengertiannya :
Orang orang yang masih keturunan raja di Madura pada saat itu.
Biasanya tingkatan Gelar Ke Bangsawanan nya seperti
RA-RP-RB-R.mas-R ( Untuk laki laki ) R.Ayu / R.Ajeng, R.Roro (
Untuk wanita )
Orang orang berpangkat menengah sampai dengan tinggi pada saat
Pemerintahan Belanda, seperti Asisten Wedana (Camat) Wedana Patih
Kanjeng / Bupati, dsb.
Stratifikasi di lingkungan masyarakat agama / pesantren
Stratifikasi di lingkungan masyarakat agama / pesantren yang
kita kenal ada 4 Tingkatan, Yaitu ( Dari yang ter-atas ) :
KEYAE
Adalah seseorang yang dikenal sebagai pemuka Agama (Ulama)
karena menguasai banyak Ilmu Agama Islam. Selain berfungsi sebagai
pembina ummat juga sebagai penerus / pengajar ajaran para Nabi pada
santri santrinya.
BINDARAH
Adalah orang orang yang telah mendapatkan / men-tamatkan
pendidikannya di Pondok Pesantren, dan mereka telah memiliki
pengetahuan keagamaan yang cukup banyak tetapi belum setara dengan
pengetahuan Keyae.
Ada Pula Bindarah yang sudah banyak didatangi orang untuk NYABIS
terutama di Desa / Dusun yang agak jauh dari seorang Keyae.
SANTRE
Adalah orang orang yang masih sedang menuntut Ilmu keagamaan di
sebuah Pondok Pesantren.
BANNE SANTRE
Seseorang yang tidak pernah Mondok / tidak pernah menuntut Ilmu
keagamaan di sebuah Pondok Pesantren.
dan Keagamaan Suku Madura
Madura memiliki kekayaan kesenian tradisional yang amat banyak,
beragam dan amat bernilai. Dalam menghadapi dunia global yang
membawa pengaruh materalisme dan pragmatisme, kehadiran kesenian
tradisional dalam hidup bermasyarakat di Madura sangat diperlukan,
agar kita tidak terjebak pada moralitas asing yang bertentangan
dengan moralitas local. Berikut contoh keseniannya :
Tembang Macapat
Tembang macapat adalah tembang yang dipakai sebagai media untuk
memuji Allah sebelum dilaksanakan shalat wajib, tembang tersebut
penuh sentuhan lembut dan membawa kesahduan jiwa. Selain berisi
puji-pujian tembang tersebut juga berisi ajaran, anjuran serta
ajakan untuk mencintai ilmu pengetahuan, ajaran untuk bersama-sama
membenahi kerusakan moral dan budi pekerti, mencari hakekat
kebenaran ser ta membentuk manusia berkepribadian dan berbu daya.
Melalui tembang ini setiap manusia diketuk hatinya untuk lebih
memahami dan mendalami makna hidup. Syair tembang macapat merupakan
manivestasi hubungan manusia dengan alam, serta ketergantungan
manusia kepada Sang Penguasa Alam Semesta.
Saronen
Saronen. adalah musik sangat serbaguna yang mampu menghadirkan
nuansa sesuai dengan kepentingannya. Walaupun musik saronen adalah
perpaduan dari beberapa alat musik, namun yang paling dominan
adalah liuk-liukan alat tiup berupa kerucut sebagai alat musik
utama, alat musik tersebut bernama saronen yang bersal dari desa
Sendang Kecamatan Pragaan Sumenep dengan akar kata senninan (hari
senin) sebab kebanyakan dilantunkan pada hari senin
Duplang
Tari duplang merupakan tari yang spesifik, unik dan langka.
Keunikan dari tarian ini disebabkan karena tarian ini merupa kan
sebuah penggambaran kehidupan seorang wanita desa. Wanita yang
bekerja keras sebagai petani yang selama ini terlupakan. Dijalin
dan dirangkai dalam gerakan-gerakan yang sangat indah,
lemah-lembut, dan lemah gemulai.
Upacara Sandhur Pantel
Upacara Sandhur Pantel merupakan sebuah upacara ritual untuk
para masyarakat Madura yang berprofesi sebagai petani atau nelayan.
Upacara rital ini merupakan upacara yanag menghubungkan manusia
dengan makhluk ghaib atau sebagai sarana komunikasi manusia dan
Tuhan Pencipta Alam Semesta. Bentuk upacara ini berupa tarian dan
nyayian yang diiringi musik. Hampir di seluruh wilayah Madura
melakukan ritual ini. Lambat laun, upacara ini tidak dilakukan lagi
karena bertentangan dengan ajaran agama islam. Upacara ini haram
hukumnya jika dilaksanakan.
Kerapan Sapi
Sebuah perlombaan dengan menggunakan sapi sebagai media, akan
tetapi sekarang jarang dilakukan karena dianggap menyakiti hewan
yang juga mahluk hidup
Masalah agama di Pulau Garam Madura tidak perlu di ragukan lagi
kentalnya bahkan akhir akhir ini beberapa kabupaten sedang merintis
daerah berbasis syari`at islam seperti di Bangkalan dengan prakarsa
R.KH. Fuad Amin Imran akan di terapkan sistem Tarbiyatul islam
kaaffah dengan dimulai dengan pembelajaran syari`at islam sejak
usia dini melalui pendidikan pada seluruh siswa sekolah dasar dan
Pamekasan dengan istilah Gerbang Salam melalui rumusan trend
seragam sekolah yang menutupi aurat .
Pembicaraan tentang agama bagi masyarakat Madura adalah identik
dengan Islam. Islam adalah sangat meresap dan mewarnai pola
kehidupan masyarakat. Betapa pentingnya nilai-nilai agama terungkap
dari ajaran abantal syahadat, asapo' angin, apajung Allah. Artinya,
masyarakat Madura sangat religius. Masyarakat Madura tergolong
pemeluk Islam yang taat. Demikian lekatnya Islam pada masyarakat
Madura, sehingga akan terdengar aneh apabila ada orang Madura yang
tidak beragaman Islam. Akan tetapi ada juga masyarakat Madura yang
memeluk agama lain namun bukan faktor bawaan dari lahir melainkan
faktor perkawinan silang ataupun transmigrasi penduduk.
5.Interaksi social suku Madura
Sebagaimana dikatakan oleh Geertz (1981), yang dimaksud dengan
unsur-unsur primordial adalah: "Unsur-unsur sosial budaya yang
lahir dari yang dianggap ada dalam kehidupan sosial. Sebagian besar
dari hubungan langsung dan hubungan keluarga, tetapi juga meliputi
keanggotaan dalam lingkungan keagamaan tertentu, bahasa tertentu
atau dialek tertentu serta kebiasaan-kebiasaan sosial tertentu.
Persamaan-persamaan hubungan darah, ucapan atau bahasa, kebiasaan,
dan sebagainya memiliki kekuatan yang meyakinkan". Menurut Glaser
dan Moynihan (1981), yang termasuk unsur-unsur penting primordial
adalah genealogi (keturunan dan ikatan kekerabatan), sistem
kepercayaan (termasuk religi dan agama), dan bahasa.
Dalam realitas kehidupan sehari-hari, unsur-unsur primordial
menjadi pengikat utama dalam membentuk suatu identitas kelompok
etnik. Identitas ini menjadi penanda ciri atau karakter tersendiri
yang terwujud dalam sikap dan perilaku budaya mereka. Dengan kata
lain, unsur-unsur primordial yang dimiliki oleh suatu kelompok
etnik akan menjadi unsur pembeda identitas diri dari suatu kelompok
etnik yang lain. Dalam sistem interaksi sosial, perilaku budaya
merupakan perilaku simbolik yang pemaknaannya harus dilakukan
secara kontekstual. Artinya, setiap orang dari suatu kelompok
masyarakat harus mampu mengidentifikasi dan memahami makna simbolik
dari perilaku budaya tersebut. Pemahaman yang sama terhadap suatu
perilaku simbolik di antara obyek dan subyek sangat penting untuk
mengantisipasi terjadinya kesalahpahaman dalam interaksi sosial.
Dengan persepsi ini, pemahaman yang sama tersebut dapat
meminimalisasi timbulnya konflik yang bernuansa etnik. Setiap orang
atau kelompok masyarakat dan kebudayaan harus menghindari perilaku
etnosentrisme yang dapat menimbulkan ketegangan sosial.
Elemen penting primordial (purba) yang selalu muncul (dan
sengaja dimunculkan) dalam interaksi sosial adalah ikatan
kekerabatan. Dalam masyarakat Madura, ikatan kekerabatan terbentuk
melalui garis keturunan, baik dari keluarga berdasarkan garis ayah
maupun garis ibu (paternal and maternal relatives). Pada umumnya,
ikatan kekerabatan antarsesama anggota keluarga lebih erat dari
garis keturunan ayah sehingga cenderung "mendominasi". Ikatan
kekerabatan orang Madura mencakup sampai empat generasi ke atas
(ascending generations) dan ke bawah (descending generations) dari
ego.
Dalam sistem kekerabatan masyarakat Madura dikenal tiga kategori
sanak keluarga atau kerabat (kinsmen), yaitu taretan dalem (kerabat
inti atau core kin), taretan semma (kerabat dekat atau close kin),
dan taretan jau (kerabat jauh atau peripheral kin). Di luar ketiga
kategori ini disebut sebagai oreng lowar (orang luar) atau "bukan
saudara" (lihat Wiyata: 2002). Dalam kenyataannya, meskipun
seseorang sudah dianggap sebagai oreng lowar tetapi bisa jadi
hubungan persaudaraannya lebih akrab daripada kerabat inti,
misalnya karena adanya ikatan perkawinan atau kin group
endogamy.
Hubungan sosial yang sangat akrab dapat pula dibangun oleh orang
Madura dengan orang-orang di luar lingkungan kerabat tanpa
memperhatikan asal-usul kelompok etnik. Biasanya hubungan sosial
itu selain didasarkan pada adanya kesamaan dalam dimensi
primordial, tidak jarang terjadi juga karena faktor kesamaan
kepentingan di bidang ekonomi dan politik. Bila kualitas hubungan
sampai mencapai tingkatan yang sangat akrab, mereka akan dianggap
dan diperlakukan sebagai keluarga atau kerabat (taretan).
Sebaliknya, ada kalanya anggota keluarga (taretan termasuk taretan
ereng) justru dianggap dan diperlakukan sebagai oreng (bukan
keluarga atau kerabat) jika kualitas hubungan kekerabatannya sangat
rendah, misalnya karena adanya perselisihan tentang harta warisan.
Dalam ungkapan Madura, hal yang demikian disebut oreng daddi
taretan, taretan daddi oreng. Artinya, orang lain yang bukan
keluarga dapat dianggap sebagai saudara, sebaliknya saudara sendiri
dapat dianggap sebagai bukan keluarga. Dalam konteks ini, unsur
kekerabatan orang Madura mengandung makna inklusivitas sehingga
memberi ruang bagi terwujudnya integrasi sosial dengan kelompok
etnik lain.
Selain ikatan kekerabatan, agama menjadi unsur penting sebagai
penanda identitas etnik suatu kelompok masyarakat. Bagi orang
Madura faktor ini seakan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari
jati diri mereka. Artinya, jika orang Madura telah menjadi pemeluk
agama selain Islam, dirinya akan merasa identitas ke-Madura-annya
telah berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Bahkan, lingkungan
sosialnya akan menganggap hal yang sama. Pada gilirannya, dia akan
selalu merasa terasing dalam lingkungan pergaulan sosial budaya
Madura.
Dalam kehidupan sosial orang Madura di Kalimantan, khususnya di
Kota Sampit, hubungan persaudaraan antara orang Madura dengan
orang-orang Dayak yang beragama Islam ternyata sudah terjalin
dengan sangat baik sebelum terjadinya konflik. Pengalaman Mus (30),
salah seorang pengungsi Sampit yang ada di wilayah Kabupaten Jember
ketika ditemui di tempat kerabatnya membuktikan tentang hal itu.
Mus menceritakan bahwa sebelum terjadinya pembantaian, puluhan
orang Dayak lokal (Sampit) yang beragama Islam mendatanginya di
kompleks pondok pesantren yang dikelola oleh ayahnya. Sebagai
sesama Muslim, orang-orang Dayak lokal tersebut memohon kepada
ayahnya untuk segera meninggalkan Sampit dalam waktu tiga hari agar
terhindar dari pembantaian. Untuk menghilangkan kesangsian ayahnya
atas permohonan tersebut, orang-orang Dayak lokal itu menyerahkan
sebilah mandau sebagai cermin komitmen perdamaian dan kesungguhan
hati. Pengalaman Mus ini menjadi modal budaya orang Madura untuk
membentuk "kekerabatan semu" (pseudo kinship) dengan etnik
lain.
Sebagaimana lazimnya pada masyarakat atau kelompok etnik lain,
orang Madura juga lebih memperhatikan faktor agama dalam urusan
perkawinan atau perjodohan. Sekalipun demikian, dalam hal-hal yang
lain, orang Madura menghargai pluralisme sosial keagamaan dan
keetnikan.
Bahasa
Bahasa merupakan salah satu identitas kelompok etnik yang tampak
jelas dalam suatu interaksi sosial masyarakat majemuk (Gumperz, ed.
1982). Salah satu identitas Orang Madura adalah bahasa Madura.
Bahasa Melayu merupakan salah satu penanda identitas orang Melayu.
Bahasa Dayak juga merupakan salah satu identitas budaya orang
Dayak. Orang-orang Madura di Pontianak menguasai dengan baik bahasa
Melayu, bahasa Indonesia, dan bahasa Madura.
Penggunaan bahasa-bahasa tersebut ditentukan oleh konteks
interaksi yang mereka hadapi. Dalam pergaulan sehari-hari, seperti
di tempat-tempat publik, bahasa Melayu merupakan bahasa komunikasi
dan interaksi sosial yang digunakan oleh orang-orang Madura. Bahasa
Indonesia akan digunakan oleh orang-orang Madura jika mereka
berurusan dengan instansi atau dalam situasi resmi. Bahasa Madura
digunakan di dalam lingkungan internal mereka.
Dalam masyarakat multietnik, seperti di Kota Pontianak, bahasa
Melayu merupakan bahasa dominan yang digunakan dalam pergaulan
sosial. Secara historis, dominasi bahasa Melayu ini terkait dengan
masa awal keberadaan orang Melayu di kota tersebut. Seperti halnya
kota-kota maritim lainnya di tanah air, Pontianak yang merupakan
kota bandar maritim telah menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa
pergaulan (lingua franca) penduduk setempat. Keberadaan kota ini
juga tidak terlalu jauh dengan Riau yang merupakan daerah asal
bahasa Melayu. Karena itu, orang-orang Melayu merupakan penduduk
lokal yang lebih awal kedatangannya di kota Pontianak dibandingkan
dengan orang Madura.
Konteks historis dan geografis di atas telah menempatkan bahasa
Melayu memiliki kedudukan dan peranan yang penting dalam kehidupan
sosial budaya masyarakat Pontianak. Karena bahasa Melayu merupakan
referensi komunikasi sosial, para pendatang pun seperti orang-orang
Madura harus belajar dan menggunakan bahasa tersebut dengan baik.
Pemahaman yang baik terhadap bahasa Melayu sering mendorong
timbulnya gejala interferensi leksikal ketika orang-orang Madura
berbicara dalam bahasa Madura di lingkungan internalnya atau ketika
mereka berbahasa Indonesia dengan orang yang baru dikenalnya.
Sebagai sarana interaksi sosial, penguasaan bahasa Melayu tidak
hanya untuk mengekspresikan diri, tetapi juga menjadi media
integrasi sosial dengan orang-orang Melayu atau penduduk Pontianak.
Dalam konteks integrasi sosial, bahasa bukan sekadar untuk
meningkatkan "daya keberterimaan" masyarakat lokal terhadap
kehadiran dan eksistensi orang-orang Madura, memudahkan pemahaman
terhadap budaya masyarakat lokal, tetapi juga menjadi sarana untuk
mempermudah akses terhadap sumber daya ekonomi lokal.
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan
orang-orang Madura dalam menguasai sektor-sektor ekonomi informal
adalah karena kemampuannya menguasai bahasa Melayu dengan baik
sesuai dengan tujuan-tujuan interaksi sosial seperti di atas. Jika
orang-orang Madura mampu keluar dari batas-batas identitas budaya
mereka untuk menguasai pemakaian bahasa Melayu secara 'baik dan
benar', apakah orang Melayu melakukan hal serupa terhadap bahasa
Madura sebagai sarana untuk menjalin kerja sama dan memahami dengan
baik identitas ke-Madura-an?
Terlokalisasinya penggunaan bahasa Madura untuk lingkungan
internal yang terbatas merupakan bukti jika bahasa ini belum
digunakan secara lintas etnik. Baik orang Melayu maupun orang Dayak
belum tentu bisa dengan baik berbahasa Madura. Pemahaman bahasa
Madura yang minimal seperti ini menyulitkan orang Melayu dan Dayak
mengembangkan integrasi sosial atau kedekatan sosial dengan orang
Madura. Segregasi sosial di antara kelompok-kelompok etnik tersebut
tetap berlangsung karena belum berkembangnya pemahaman timbal-balik
terhadap bahasa masing-masing.
Kasus integrasi sosial-budaya Madura dan Jawa di kawasan "tapal
kuda" Jawa Timur merupakan contoh yang baik. Sekalipun kedua
kelompok etnik berbeda identitas budayanya, konflik antara orang
Madura dengan orang Jawa di daerah ini tidak terjadi, apalagi yang
berskala besar. Kedua pihak dapat memahami dengan baik
masing-masing bahasa yang digunakan, baik secara aktif maupun
pasif. Pemahaman bahasa dan kemampuan komunikatif (verbal
repertoire) secara timbal-balik akan meningkatkan "daya
keberterimaan" masing-masing pihak.
Dalam konteks integrasi sosial dan rekonsiliasi permanen, upaya
memahami dengan baik bahasa Madura oleh orang Melayu atau Dayak
merupakan sesuatu hal yang harus dipertimbangkan. Penguasaan
simbol-simbol bahasa Madura yang baik merupakan pintu masuk untuk
memahami perilaku sosial dan makna kebudayaan Madura. Jalan ini
ditempuh untuk kepentingan meningkatkan saling pengertian,
memudahkan menjalin komunikasi dan kerja sama sosial ekonomi, serta
mendorong kedekatan sosial-budaya. Pencapaian ketiga hal tersebut
akan mempermudah distribusi sumber daya sosial, ekonomi, dan
politik lokal secara merata di kalangan kelompok-kelompok etnik,
sehingga menjadi modal budaya untuk menciptakan integrasi sosial
yang akan menjadi basis rekonsiliasi yang permanen dan
berkesinambungan.
TINGKAT BAHASA ( Dag ondagga basa )
Dalam Bahasa Madura kita kenal 5 tinggkatan Bahasa :
Bahasa Kraton = Abdi Dalem Junan Dalem
Biasa digunakan di lingkungan keluarga Kraton
Bahasa Tinggi = Abdina Panjennengan
Biasa digunakan oleh ponggawa / bawahan pada atasan, baik di
Lingkungan Kraton maupun di Lingkungan Pemerintahan, atau Santre
pada Keyae.
Bahasa Halus = Kaula Sampeyan
Biasa digunakan oleh yang lebih muda pada yang lebih tua / pada
yang dihormati.
Bahasa Menengah = Bula Dika
Biasa digunakan oleh yang lebih tua pada yang lebih muda tetapi
di hormati.
Misal : Mertua pada menantunya.
Bahasa Mapas / Kasar = Sengko Bana Kakeh Sedeh
Biasa digunakan oleh yang lebih tua pada yang lebih muda, orang
yang mempunyai posisi yang lebih tinggi pada bawahannya, dan orang
yang seumur / sebaya (teman).
Penanda Identitas
Unsur-unsur primordial yang mencakup kekerabatan, agama, dan
bahasa merupakan penanda identitas masyarakat dan kebudayaan
Madura. Kekerabatan dalam kehidupan orang Madura tidak selalu dapat
dimaknai sebagai cerminan dari sikap eksklusivitas orang Madura.
Sebaliknya, justru ikatan kekerabatan dapat membentuk "kekerabatn
semu" (pseudo kinship) yang disebut dengan ungkapan oreng daddi
taretan. Ini merupakan salah satu modal budaya untuk membangun dan
mengembangkan interaksi sosial dengan kelompok etnik lain.
Agama Islam juga merupakan identitas penting orang Madura. Dalam
hal keagamaan ini, orang Madura sangat ketat untuk hal-hal yang
berkaitan dengan masalah perkawinan. Dalam hal-hal lain, orang
Madura juga bersikap terbuka dan menghargai perbedaan identitas
keagamaan. Perbedaan keyakinan keagamaan tidak menjadi penghalang
untuk menjalin kerja sama dengan orang lain. Sikap keterbukaan ini
merupakan modal budaya yang bisa dimanfaatkan untuk membangun
rekonsiliasi dengan kelompok etnik Melayu atau Dayak.
Bahasa Madura merupakan identitas lain bagi orang Madura.
Kemampuan orang Madura memahami bahasa Melayu harus dilihat sebagai
bagian dari strategi adaptasi orang Madura untuk berintegrasi
dengan masyarakat lokal di Kalimantan. Langkah demikian seharusnya
juga diikuti oleh kelompok etnik lain untuk memahami eksistensi
bahasa Madura. Pemahaman bersama atas kebudayaan yang dimiliki oleh
masing-masing kelompok etnik sangat penting untuk modal memahami
jati diri atau identitas budaya masing-masing kelompok etnik. Hal
ini juga mencerminkan adanya saling pengertian dan penghargaan
terhadap unsur kebudayaan yang dimiliki masing-masing kelompok
etnik. Dengan jalan demikian, integrasi sosial bisa dikembangkan
dan menjadi basis terbentuknya rekonsiliasi yang berkelanjutan di
bumi Kalimantan.
6.Budaya hukum suku Madura
negara kita tidak hanya menganut hukum positif saja, namun kita
juga menganut hukum adat yang merupakan hukum turun-temurun dari
beberapa suku yang ada di Indonesia. hukum adat yang paling
kontroversial adalah carok. carok ini berasal dari suku madura.
carok merupakan kebiasaan adat mereka untuk meneyelesaikan sengketa
yang terlalu memakan emosi mereka. carok ini dapat kita samakan
dengan hutang nyawa dibayar nyawa. jika saah satu dari mereka
(orang madura) yang sudah mengucap atau menantang carok dengan yang
lain, maka harus dilakukan secepatnya. di dalam carok tersebut,
salah seorang dari pelaku carok harus ada yang mati, karena itulah
suatu kebudayaan hukum mereka.
Carok merupakan tradisi bertarung satu lawan satu dengan
menggunakan senjata (biasanya celurit). Tidak ada peraturan resmi
dalam pertarungan ini karena carok merupakan tindakan yang dianggap
negatif dan kriminal serta melanggar hukum. Ini merupakan cara suku
Madura dalam mempertahankan harga diri dan "keluar" dari masalah
yang pelik.
Banyak yang menganggap carok adalah tindakan keji dan
bertentangan dengan ajaran agama meski suku Madura sendiri kental
dengan agama Islam pada umumnya tetapi, secara individual banyak
yang masih memegang tradisi Carok.
Kata carok sendiri berasal dari bahasa Madura yang berarti
'bertarung dengan kehormatan'.
Biasanya, "carok" merupakan jalan terakhir yang di tempuh oleh
masyarakat suku Madura dalam menyelesaikan suatu masalah. Carok
biasanya terjadi jika menyangkut masalah-masalah yang menyangkut
kehormatan/harga diri bagi orang Madura (sebagian besar karena
masalah perselingkuhan dan harkat martabat/kehormatan
keluarga).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Untuk mengilustrasikan Suku Madura sebenarnya kita hanya butuh
mengkaji satu bait syair yang dilonratkan oleh Syekh Abdul Madjid
Al Manduri yang berbunyi :
Dengan makna sastra tinggi ; Sebab bagaimanapun Madura memiliki
nilai hitam dan putih dengan katagori Analisa perkembangan penduduk
yang banyak namun hidup diluar daerahnya atau melalui katagori
strata sosialnya baik namun kasar atau pula dengan katagori seni
baik namun bertentangan dengan naluri mahluk hidup seperti kerapan
sapi
DAFTAR PUSTAKA
Across Madura Strait: the dynamics of an insular society,
(Leiden: KITLV Press, 1995) 1-6, via Wikipedia date 04-06-2009Rasul
Junaidi, Madura Dalam Gelombang Reformasi, (Radar Madura) terbit
selasa 5 Oktober 1999Saifurrachman, Surat Kepada Anjing Hitam
Biografi dan Karomah Syaikhona Khalil Bangkalan, Jakarta Pustaka
Ciganjur, 1999Van Dijk, K., de Jonge, H. & Touwen-Bouwsma, E.,
Introduction, di dalam: van Dijk et al.
(penyunting)http://ddayipdokumen.blogspot.com/2013/05/tugas-antropologi-makalah-suku-madura.html
akses minggu,29 Maret 2015 jam 09.30