Top Banner
KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN MENURUT FIQH DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh : M. Ali Ja’far Shidiq 103044128082 KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PRODI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009 M / 1430 H
88

berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

Mar 16, 2019

Download

Documents

buihanh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN MENURUT FIQH

DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

M. Ali Ja’far Shidiq

103044128082

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PRODI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2009 M / 1430 H

Page 2: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN MENURUT FIQH

DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

M. Ali Ja’far Shidiq

103044128082

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Sri Hidayati, M.Ag Kamarusdiana, S.Ag. MH

NIP : 150 282 403 NIP : 150 285 972

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PRODI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2009 M / 1430 H

Page 3: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN MENURUT

FIQH DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA telah diujikan dalam Sidang

Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta pada 6 Februari 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah

satu syarat memperoleh gelar Sarjana hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal

al-Syakhshiyah.

Jakarta, 6 Februari 2009

Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Drs. H. Ahmad Basiq Djalil, SH, MA (.........................)

NIP. 150 169 102

2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH (………………..)

NIP. 150 285 972

3. Pembimbing I : Sri Hidayati, M.Ag (………………..)

NIP. 150 282 403

4. Pembimbing II : Kamarusdiana, S.Ag, MH (………………..)

NIP. 150 285 972

5. Penguji I : Drs. H. Ahmad Basiq Djalil, SH, MA (………………..)

NIP. 150 169 102

Page 4: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

6. Penguji II : JM. Muslimin, MA, Ph.D (………………..)

NIP. 150 312 427

Page 5: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidaytullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 6 Februari 2009

M. Ali Ja’far Shidiq

Page 6: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

��� ا ا���� ا�����KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan alhamdulillah, berkat rahmat, hidayah dan inayah

Allah SWT. penelitian yang berjudul “KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM

KEWARISAN MENURUT FIQH DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA” ini

terwujud dalam bentuk skripsi. Oleh karena itu, sudah sepantasnya penulis

mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT. Yang Maha Kuasa atas segala

nikmat iman, Islam dan ilmu, serta kesehatan yang senantiasa di anugrahkan kepada

penulis.

Salawat dan salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi

Muhammad SAW. Kepada keluarga dan para sahabatnya yang memberikan

keteladanan bagi kita dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat yang diridhai

Allah SWT. Penulis yakin atas petunjuk-Nya, sehingga beragai pihak berkenan

memberikan bantuan, kemudahan, dan bimbingan kepada penulis dalam

menyelesaikan studi di Program Sarjana (S1) ini, baik dalam bentuk moril maupun

materil. Untuk itu, penulis menyatakan penghargaan yang setinggi-tingginya dan

menghaturkan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak, baik

yang secara langsung maupun tidak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian

penulisan skripsi ini, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

Page 7: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

1. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. beserta

pembantu Dekan dan jajarannya.

2. Ketua program studi Ahwal Syakhshiyah, Bapak Drs. H. Ahmad Basiq Djalil,

SH, MA. dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag, MH. selaku Sekretaris Program Studi

yang telah memberikan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag. dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag, MH. selaku dosen

pembimbing yang sangat teliti memberikan bimbingan dan motivasinya dalam

menyelesaikan skripsi ini.

4. Khususnya dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan bimbingan dan

nasihat dan para karyawan UIN, yang telah memberikan bantuan pelayanan yang

baik selama penulis menyelesaikan studi.

5. Ayahanda (alm) dan Ibunda tercinta yang telah memberikan limpahan kasih

sayangnya dan tiada henti-hentinya memanjatkan doa ke hadirat Allah SWT.

untuk memohon keberkahan serta kesuksesan bagi anak-anaknya sepajang masa.

Semoga Allah SWT. senantiasa melimpahkan kasih dan sayang-Nya kepada

keduanya.

6. Kakakku tercinta Siti Nurlaila dan suaminya Muhammad Faqih serta anaknya

Ahmad Fadhkhan Suhaimi semoga menjadi anak yang shalih. Juga Paman, serta

keluarga di Losari dan Cirebon yang selalu memberikan bimbingan, motivasi, dan

materinya kepada penulis.

Page 8: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

7. Bapak Drs. H. Muhlisin dan keluarga, Bapak Drs. Arif Muchsin Yasin dan

keluarga yang telah banyak membantu penulis selama perkuliahan.

8. Khususnya para guru saya: Kyai Zainal Muttaqien, Kyai Abdul Barri, Nyai

Rosyidah, Nyai Muznah, serta yang lainnya. Juga kawan-kawan Kajian Mingguan

Ikatan Keluarga Besar Alumni (IKBAL) Pondok Pesantren Nurul Huda

Munjul Astana Japura Cirebon di Ciputat: Ubaidillah, Nanang Syairozi, Luqman

Hakim, serta yang lainnya, Presiden IKBAL Cabang Ciputat Masa bakti 2007-

2009 sahabat Abdul Rosyid, S.Psi. dan sahabat Dedi Sya’dallah, SHI. yang telah

banyak membantu dan memberikan inspirasi serta motivasinya dalam penulisan

skripsi ini.

9. Rekan-rekan Peradilan Agama Periode 2003-2008, serta Kepala Masjid Al-

Barokah, Drs. Fakhruddin, MM, Kepala TPA Al-Barokah, K’ Sukesih dan rekan-

rekan pengajar semuanya.

Penulis hanya dapat mengucapkan terima kasih yang setulusnya-tulusnya

kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan bimbingannya,

baik yang telah disebutkan nama-namanya di atas maupun yang tidak sempat

disebutkan namanya. Kepada Allah SWT, penulis memohon semoga mereka

diberikan pahala yang berlipat ganda dan dicatat sebagai amal abadah di sisi-Nya.

Amin ya robbal’alamin.

Jakarta: J a n u a r i 2009 M

Muharrom 1430 H

Penulis

Page 9: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iv

DAFTAR ISI ........................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................. 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 8

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ....................................... 9

E. Sistematika Penulisan .................................................................... 10

BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM

A. Pengertian Waris ............................................................................ 13

B. Dasar Hukum Waris ....................................................................... 15

C. Rukun dan Syarat pembagian waris ……….………..…………… 19

1. Rukun Waris …………………………..…………….……… 19

2. Syarat Pembagian Waris …………….…………….……….. 20

D. Sebab-sebab dan Penghalang waris ……………………….……. 21

1. Sebab-sebab Waris ………………………..………..…….... 21

2. Penghalang Waris …………………………..…..……..…… 24

Page 10: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

E. Ahli Waris dan Bagian-bagian Ahli waris ……..………..…..…... 28

BAB III KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM ILMU WARIS

A. Pengertian Al-Shulhu dan Dasar Hukum Al-Shulhu ..................... 42

1. Pengertian al-Shulhu ............................................................... 42

2. Dasar Hukum al-Shulhu ......................................................... 45

B. Kedudukan Al-Shulhu dalam Fiqh ................................................ 47

1. Rukun Al-Shulhu ................................................................... 47

2. Syarat Al-Shulhu .................................................................... 48

BAB IV PEMBAGIAN WARIS DENGAN AL-SHULHU PERSPEKTIF FIQIH

DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

A. Al-Shulhu dalam Waris menurut Fiqh …….………..…...……... 53

B. Penyelesaian melalui Shulh dalam Hukum Waris di Indonesia .... 59

C. Hikmah Al-Shulhu ……………………………………………… 62

1. Menurut Hukum Islam …………...………………………… 62

2. Menurut Hukum Positif …………………………………….. 64

D. Analisa Penulis tentang Al-Shulhu ................................................ 65

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................... 72

B. Saran .............................................................................................. 74

DAFTAR PUSTAKA ……………………………..………………… 75

Page 11: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup, mati, dan

kebangkitan kembali di akhirat kelak. Semua tahap itu membawa pengaruh dan

akibat hukum kepada lingkungannya, terutama dengan orang yang dekat dengannya,

baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan.

Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan

orang lain serta timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat, dan

masyarakat lingkungannya. Selama hidupnya, sejak proses bayi, anak-anak, tamyiz,

usia baligh, dan usia selanjutnya, manusia bertindak sebagai penanggung hak dan

kewajiban, baik selaku pribadi, anggota keluarga, warga negara, dan pemeluk agama

yang harus tunduk, taat, dan patuh kepada ketentuan syari’at dalam seluruh totalitas

kehidupannya.

Demikian juga kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum

kepada diri, keluarga, masyarakat, dan lingkungan sekitarnya. Selain itu, kematian

juga menimbulkan akibat hukum secara otomatis, yaitu adanya hubungan hukum

yang menyangkut hak para keluarganya (ahli waris) terhadap seluruh harta

peninggalannya. Bahkan masyarakat dan negara (baitul maal) pun, dalam keadaan

tertentu mempunyai hak atas peninggalan tersebut.

Page 12: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

Jadi, dengan meninggalnya seseorang terjadilah proses pewarisan yaitu suatu

proses peralihan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang

masih hidup.1

Fiqh mawaris sebagai hasil kerja intelektual melalui istinbat atau ijtihad dalam

memahami ketentuan ayat al-Qur’an dan al-Sunnah telah banyak dikemukakan secara

detail oleh para ulama. Akan tetapi perkembangan sosial dan kebiasaan yang terjadi

dan tumbuh dalam kesadaran hukum masyarakat melahirkan beberapa gagasan

pembaharuan dalam pembagian warisan.2

Kenyataan demikian sah-sah saja keberadaannya, karena memang salah satu

karakteristik fiqh adalah terdapatnya khilafiyah atau perbedaaan pendapat diantara

para ulama, apakah itu sebagai hasil istinbath individual atau merupakan kesepakatan

para ulama regional yang sering disebut dengan ijtihad jama’i (ijtihad kolektif)

seperti Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Pada dasarnya hukum kewarisan Islam berlaku untuk semua umat Islam yang

ada di dunia ini, namun corak suatu negara Islam dan kehidupan masyarakat di

negara atau daerah tersebut memberi pengaruh terhadap hukum kewarisan di daerah

atau negara itu. Dan pengaruh tadi dapat terjadi pada bagian-bagian yang berasal atau

dimungkinkannya ijtihad atau pendapat para ahli hukum Islam itu sendiri.3

1 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta, Kencana: 2005), cet. ke-2. hal. 16 2Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 198

3 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), cet.

VIII, hal. 1

Page 13: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

Berbeda dengan hukum-hukum yang lain, Allah memberikan kekhususan

dalam hal kewarisan, yaitu dengan menerangkan secara rinci pembagian harta pusaka

di dalam al-Qur’an dengan tujuan agar tidak terjadi perselisihan antar sesama ahli

waris sepeninggal orang yang meninggal dunia dan hartanya diwarisi, karena

persoalan waris sering kali timbul menjadi salah satu persoalan krusial dan sensitif

dalam sebuah keluarga.

Dalam sejarahnya, sebelum turunnya ayat-ayat tentang kewarisan di Madinah,

masyarakat jahili dan kelompok muslim pemula masih menerapkan dan

mempertahankan sistem kewarisan yang bercorak patrilineal. Tradisi trabalisme

(kesukuan) masyarakat pada masa itu mengukuhkan hanya orang lelaki yang kuat dan

pandailah serta orang-orang yang memperoleh kehormatan untuk melakukan ikatan

saling waris mewarisi yang akan dapat mempusakai harta orang yang meninggal.

Anak-anak kecil dan kaum wanita tidak diberi hak sedikitpun untuk mewarisi karena

mereka dianggap orang-orang yang lemah, tidak bermanfaat dalam mempertahankan

dan mempertaruhkan kekuasaan suku diantara mereka.4

Menurut tradisi mereka, kaum wanita dianggap sebagai harta warisan. Oleh

sebab itu, mereka tak berhak menerima warisan. Bahkan menurut Syari’at Yahudi,

kedudukan kaum wanita juga tidak baik. Hal ini diungkapkan dalam Jewish

Encyclopaedia yang dikutip oleh Maulana Muhammad Ali dalam bukunya

“Islamologi” adalah sebagai berikut: “Pada saat itu tak dipersoalkan seorang janda

4 A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta:

PT.Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 284

Page 14: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

mendapat bagian waris dari harta suami yang meninggal, karena janda itu dianggap

sebagai barang warisan yang harus diserahkan kepada ahli waris......... Demikian pula

tak dipersoalkan tentang anak perempuan bahwa mereka menerima warisan dari ayah

mereka, karena anak perempuan itu dikawinkan oleh ayahnya, atau setelah ayah

meninggal, dikawinkan oleh saudara laki-laki atau kerabat terdekat, dengan demikian,

mereka menjadi harta pusaka dalam keluarga di mana mereka dinikahkan” (En. J,

halaman 583).5

M. Ali Hasan menegaskan dalam bukunya “Hukum Warisan dalam Islam”

bahwa, mereka beranggapan janda dari orang yang meninggal itu pun dianggap

sebagai warisan dan boleh berpindah tangan dari si ayah kepada anaknya

sebagaimana dalam suatu riwayat dari Ibnu ‘Abbas, beliau menjelaskan:

���� ��� ا���ر ك�� و�تا �ذ ا� ا���نآ� ����� !�" ��نآ ن)", �س%� ا�#$# *���و+ ��% �

��* ر�نآ نإو��� -.%� �/� ��� "!ت��%�6

Artinya : “Bila seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan seorang

perempuan (janda), kerabatnya melemparkan pakaiannya pada muka

perempuan tersebut. Hal ini berarti ia melarangnya untuk dikawini oleh

orang lain. Jika perempuan tersebut cantik, terus dikawininya dan jika

jelek ditahannya sampai meninggal dunia dan kemudian dipusakai harta

peninggalannya.”

Akan tetapi, setelah perkembangan Islam sudah semakin maju, aqidah umat

Islam bertambah kuat, maka sebab-sebab pewarisan yang hanya berdasarkan kelaki-

5 Maulana Muhammad Ali, Islamologi : Dinul Islam, (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah,

1996), cet.V, hal. 820

6 M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalam Islam, (Jakrta: Bulan Bintang, 1996), cet.VI, h.4

Page 15: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

lakian yang dewasa dan mengenyampingkan anak-anak dan kaum perempuan

dibatalkan oleh Allah SWT, sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an:

���������� ����� ��☺�� ⌧����� ������ !"#$��� ��#%&��$�'(��") * �+,�-�")

����� ��☺�� ⌧����� ������ !"#$��� ./#%&��$�'(��") ��☺� 01�� %24�

))5 "67-⌧8 9 �-:����� �4;)�$=0� >?�

Artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari peninggalan ibu bapak dan

kerabatnya. Dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta

peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut

bagian yang telah ditentukan.” (Al-Nisa, 4:7)

@A*B�C#D E �� FG�H IJKLMN��))5 O ��⌧8P��� 1Q� �RS�2

�HT"U�Q�V(��

Artinya : “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-

anakmu yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian

dua anak perempuan”. (An-Nisa, 4:11)

Dalam surat di atas ( al-Nisa, 4:11), ketentuan pembagian ini bukan berarti

sikap pilih kasih berdasarkan jenis kelamin. Akan tetapi, ketentuan ini justru

menunjukkan keseimbangan dan keadilan, karena berbedanya beban dan tanggung

jawab antara laki-laki dan wanita dalam kehidupan keluarga dan dalam sistem sosial

Islam. Selain itu, agama Islam menghendaki dan meletakkan prinsip adil dan keadilan

sebagai salah satu sendi pembentukan dan pembinaan masyarakat dapat ditegakkan.7

7 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris. hal. 8

Page 16: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

Secara normatif, pembagian warisan hanya bisa dilakukan sesuai dengan

ketentuan yang tertera secara kongkrit dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Namun dalam

kenyataannya, masyarakat sering melakukannya dengan cara perdamaian dan tidak

menggunakan ketentuan tersebut.8

Dalam Kompilasi Hukum Islam yang terdapat pada buku II tentang hukum

kewarisan BAB III pasal 183 yaitu “para ahli waris dapat bersepakat melakukan

perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari

bagiannya.”9

Meminjam bahasa ushul fiqh, kebiasaan yang terjadi berulang-ulang dalam

masyarakat dan menimbulkan kemaslahatan disebut dengan ‘urf. Kata ‘urf ini seakar

dengan kata ma’ruf yang artinya baik, jika penggunaannya konsisten. Sesungguhnya

tidak bisa dikatakan ‘urf, jika kebiasaan tadi tidak membawa kebaikan atau

kemashlahatan bagi manusia. Secara sosiologis dalam masyarakat sering terjadi suatu

tindakan yang terjadi secara berulang-ulang yang dianggap baik, meskipun kadang-

kadang berbeda dengan ketentuan hukum yang berlaku.10

Oleh karena itu, penulis mencoba membahas bagaimana kedudukan al-shulhu

dalam ilmu waris menurut hukum Islam, dan sebagai perbandingan adalah Kompilasi

Hukum Islam (KHI) dengan pendapat para ulama, sehingga jelas akan kedudukan

8 Ibid. hal. 198 9Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam (KHI), (Yogyakarta: Pustaka Widyatama,

2004), cet.I, h.

10 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, hal 198

Page 17: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

hukum pembagian waris melalui asas perdamaian (shulh) dengan

mengenyampingkan ketentuan nash yang qoth’i.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Sebelum pada perumusan masalah, keluasan kajian skripsi ini akan dibatasi

pada suatu tema yang menjadi pusat kajian “Kedudukan al-Shulhu dalam

Kewarisan Menurut Fiqh dan Hukum Islam di Indonesia”. Adapun yang

dimaksud dengan shulh ini adalah jalan perdamaian yang dilakukan oleh ahli

waris dalam menyelesaikan perkara waris. Sedangkan fiqh disini adalah pendapat

para imam mazhab yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh klasik. Dan hukum Islam

di Indonesia adalah hukum yang sudah di sahkan oleh negara dalam hal ini adalah

Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dari tema tersebut bisa dilakukan peninjauan

dari segi hukum Islam tentang kewarisan sebagai perbandingan.

2. Perumusan Masalah

Hukum waris adalah satu-satunya hukum yang diterangkan oleh Allah di

dalam al-Qur’an dengan sangat rinci, supaya tidak terjadi pertengkaran atau

perselisihan diantara ahli waris. Hukum waris adalah hukum yang qath’i, dimana

setiap kaum muslim wajib menggunakan hukum tersebut, dan apabila tidak

menggunakkannya maka berdosalah dia. Namun belakangan ini di masyarakat

sering terjadi pembagian waris dengan sistim perdamaian (shulh). Dalam

Page 18: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

pembagian waris ini tidak menggunakan aturan-aturan yang sudah dijelaskan

dalam al-Qur’an. Dari kasus tersebut, terdapat tindakan menyimpang dari hukum

yang sudah qath’i yaitu dengan menggunakan perdamaian. Artinya tidak ada lagi

bagian 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8, 2/3 (furud al-muqaddaroh), akan tetapi mereka

menggunakan pembagian sama rata dari harta yang ditinggalkan itu. Dari

permasalahan tersebut, penulis ingin mengetahui kekuatan hukum tentang

perdamaian (shulh) yang terjadi pada pembagian waris menurut “Perspektif fiqh

dan hukum Islam di Indonesia tentang pembagian warisan dengan konsep al-

shulhu”.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Skripsi yang penulis buat ini, seperti yang telah dibatasi dan dirumuskan di

atas bertujuan “untuk mengetahui konsep fiqh dan hukum Islam di Indonesia dalam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang penyelesaian waris dengan jalan

perdamaian”.

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini, penulis membagi dua bagian yaitu:

1. Kegunaan teoritis, yaitu pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam

bidang kewarisan untuk menambah wawasan pengetahuan bidang kewarisan,

khususnya mengenai hukum pembagian warisan dengan cara perdamaian

(shulh).

Page 19: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

2. Kegunaan praktis, yaitu dengan hasil penulisan ini diharapkan dapat

bermanfaat bagi masyarakat, dan dapat dijadikan sebagai motifasi untuk

mendalami ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang kewarisan.

D. Metode Penelitian

Adapun metodologi penelitian ini terdiri dari :

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif

dengan mengkaji data-data dan literatur-literatur yang berkaitan dengan judul

yang diangkat. Adapun dari segi tujuan penelitian ini menggunakan pendekatan

deskriptif – Analitis yang bertujuan menggambarkan keadaan sementara dengan

memaparkan hasil-hasil penelitian yang bersumber dari data-data yang ada.

2. Teknik Pengumpulan Data

Di dalam tehnik pengumpulan data ini, penulis menggunakan metode

penelitian kepustakaan (library research/ literature study) murni, yaitu sebuah

kajian yang mencari data-data yang diperlukan untuk menjawab masalah

penelitian ini di dalam dokumen atau bahan pustaka.11

Adapun jenis data yang

digunakan adalah jenis data primer dan sekunder. Jenis data primer adalah data

yang diambil langsung dari sumbernya, seperti kitab-kitab klasik (al-Fiqh ala

11 Rianto Adi, Metode Penelitian Hukum dan Sosial, (Jakarta: Granit, 2004), h. 61

Page 20: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

Madzahib al-Arba’ah, Shahih Bukhori, Shahih Muslim) dan Kompilasi Hukum

Islam (KHI). Sedangkan jenis data sekunder adalah data yang diambil dari buku-

buku penunjang yang memudahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan

skripsi ini.

3. Teknik Pengolahan Data

Dalam riset kepustakaan ini, penulis membaca dan mempelajari bahan-bahan

tertulis yang berhubungan dengan pembahasan dalam skripsi ini. Melalui riset ini

akan terdapat konsep, teori dan definisi-definisi yang akan penulis pergunakan

sebagai landasan berfikir dan analisa dalam proses penulisan.

4. Tehnik analisa Data

Setelah terkumpul data-data yang diperlukan, maka penulis mencoba untuk

menganalisa data yaitu proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih

mudah dibaca dan diinterpretasikan.12

Oleh karena data yang diperoleh berupa

data kualitatif, maka analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif atau biasa

disebut dengan analisis isi (content analysis), dengan menggunakan pola pikir

deduktif yang berangkat yang berangkat dari dalil-dalil yang bersifat umum untuk

kemudian dapat ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.

5. Teknik Penulisan

12 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1995),

Cet. I, h. 263

Page 21: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

Sedangkan teknik penulisan pada skripsi ini, penulis menggunakan teknik

yang biasa digunakan dalam penulisan karya ilmiah yang dalam hal ini

berpedoman kepada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007” dengan ketentuan-ketentuan yang

telah diatur di dalamnya dengan pengecualian sebagai berikut :

1. Penulisan ayat al-Quran tidak menggunakan catatan kaki dan sebagai sumber

penulis menggunakan al-Quran yang diterbitkan oleh yayasan Penyelenggara

Penterjemah/ Pentafsir al-Quran Departemen Agama Republik Indonesia yang

bekerjasama dengan pemerintah Kerajaan Arab Saudi.

2. Kutipan yang berasal dari buku ejaan yang lama ditulis dengan ejaan yang

telah disempurnakan kecuali nama pengarang.

3. Dalam kepustakaan, al-Quran dan terjemahnya ditulis dalam urutan pertama

sebagai tanda penghormatan sebelum sumber-sumber yang lainnya.

E. Sistematika Penulisan

Penyusunan penulisan skripsi ini, penulis menyusun pembahasannya menjadi

empat bab. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:

BAB I. Yaitu berisi pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah,

pembatasan an perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian

dan teknik penulisan, serta sistematika penulisan.

Page 22: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

BAB II. Yaitu membahas seputar waris dalam Islam yang meliputi pengertian

waris dan dasar hukum waris, rukun dan syarat pembagian waris, sebab-sebab dan

penghalang waris, ahli waris dan bagian-bagian ahli waris

BAB III. Yaitu ini membahas tentang kedudukan al-shulhu dalam ilmu waris,

yang meliputi pengertian dan dasar al-shulhu, kedudukan al-shulhu dalam fiqh,

hikmah al-shulhu menurut hukum Islam dan hukum positif.

BAB IV. Yaitu membahas tentang pembagian waris dengan shulh perspektif

fiqh dan hukum Islam di Indonesia, yang terdiri dari pendapat para pakar ilmu waris,

pembagian waris dalam hukum Islam di Indonesia, analisa penulis tentang al-shulhu.

BAB V. Yaitu ini berisi penutup, yang di dalamnya meliputi kesimpulan dan

saran-saran.

Page 23: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

BAB II

PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM

A. Pengertian Hukum Waris

Hukum kewarisan dalam Islam yang mengatur tentang peralihan harta

seseorang dikenal dengan sebutan “fiqh mawaris”. Lafaz mawaris secara etimologi

adalah bentuk jamak dari kata tunggal “mirats” yang mempunyai arti harta warisan

atau peninggalan mayit.13

Dalam bahasa Arab dikenal dengan nama ilmu faraidh. Faraidh adalah jama’

dari kata fardh yang artinya takdir (ketentuan), sebagai mana firman Allah swt. Yang

artinya sebagai berikut : “separuh dari apa yang kamu tentukan”.14

Menurut Fatchurrachman dalam bukunya “ilmu waris” disebutkan bahwa

lafaz al-faraidh, merupakan jamak dari lafaz faridhah, lafaz faradhiyun diartikan oleh

ulama semakna dengan lafaz mafrudhah yaitu bagian yang telah dipastikan atau

ditentukan kadarnya. Diartikan demikian, karena saham-saham (bagian-bagian) yang

telah dipastikan kadarnya dapat mengalahkan saham-saham yang belum dipastikan

kadarnya.15

13 A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustak

Progresisif, 1997), et.Ke-14,h.i

14 Sayyid sabiq, Fiqh sunnah, (Bandung: PT. al-Ma’arif, 1987), juz 14, cet.I, h. 252

15 Fatchurrachman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), h.31

Page 24: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

Secara etimologi kata al-fardh memiliki beberapa arti, diantaranya adalah

sebagai berikut:16

1. Al-Qath’ yang berarti ketetapan atau kepastian

2. Al-Taqdir yang berarti suatu ketentuan

3. Al-Inzal yang berarti menurunkan

4. Al-Tabyin yang berarti penjelasan

5. Al-Ihlal yang berarti menghalalkan

6. Al-‘Atha’ yang berarti pemberian

Kata waris adalah bentuk isim fa’il dari kata waratsa, yaritsu, irtsan, fahuwa

waritsun yang bermakna orang yang menerima waris.17

Sedangkan Mawarits adalah

jama’ dari mirats, (irts, wirts, wiratsah dan turats, yang dinamakan dengan mauruts)

ialah: “harta peninggalan orang yang meninggal yang diwarisi oleh para

pewarisnya”.18

Menurut Amir Syarifuddin bahwa hukum kewarisan adalah “seperangkat

peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Nabi tentang hal ihwal

16 Komite Fakultas Syari’ah Univ. al-Azhar, Hukum Waris (terjemah) 17 H. Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2007),

h.1

18 TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris. (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 5

Page 25: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

peralihan harta atau berujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup,

yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam”.19

Jadi, pengertian hukum kewarisan ialah himpunan aturan-aturan yang

mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan seorang

yang mati meninggalkan harta peninggalan, bagaimana kedudukan msing-masing ahli

waris serta bagaimana atau berapa perolehan masing-masing ahli waris secara adil

dan sempurna.20

B. Dasar dan Sumber Hukum Kewarisan

Sumber-sumber hukum yang dijadikan dasar dalam pembagian warisan

adalah sebagai berikut:

1. Al-Qur’an

Sebagai nash yang qoth’i al-Qur’an menghapus ketentuan hukum kewarisan

pada masa jahiliyah dan ketentuan yang berlaku pada masa-masa awal Islam, yaitu

bahwa hanya ahli waris laki-laki dan yang sudah bisa berperang yang mendapat

warisan dari keluarga yang telah meninggal. Tetapi Islam datang menghapus

ketentuan tersebut, bahwa ahli waris laki-laki dan perempuan termasuk didalamnya

anak-anak, masing-masing berhak menerima warisan sesuai dengan bagian yang telah

ditentukan oleh nash. Sebagaimana firman Allah yang tercantum dalam al-Qur’an

surat al-Nisa ayat 7, sebagai berikut :

19 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. Ke-2 h.6

20 M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: IND – HILL, Co, 1984), h. 35

Page 26: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

���������� ����� ��☺�� ⌧����� ������ !"#$��� ��#%&��$�'(��") * �+,�-�")

����� ��☺�� ⌧����� ������ !"#$��� ./#%&��$�'(��") ��☺� 01�� %24�

))5 "67-⌧8 9 �-:����� �4;)�$=0� )7: 4 ا�#.�ء(

Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan

kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta

peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut

bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S. Al-Nisa, 4:7)

Dalam ayat selanjutnya, al-Qur’an menegaskan secara definitif tentang

ketentuan bagian ahli waris yang biasa disebut dengan al-furudh al-muqaddarah atau

bagian yang telah ditentukan oleh nash, dalam al-Qur’an Allah swt berfirman :

@A*B�C#D E �� FG�H IJKLMN��))5 O ��⌧8P��� 1Q� �RS�2

�HT"U�Q�V(�� 9 ��W�X ��*8 ☯* �+,�Z �[I#�X �HT�\�]$A�� ��_`�X ��Q77A ��� ⌧����� O ��a") bc���⌧8

4d�M2!") ��_`�X ���4��� 9 2D"#�&f(") �R1*B� :M`!") ��☺ghi�� j0Mk,��� ��☺� ⌧�����

��a ���⌧8 l%2�� m�� ") 9 ��W�X AP� �*B�D l5P m�� ") =l%2)Ao")")

%`�"#�&)5 2��p+�X i7qV��� 9 ��W�X ���⌧8 =l5� rd"#s�a

2��p+�X j0Mk,��� 9 8�� M7�& :tuUC") m�N#D �thv ))5 �H$w�� B

IJ*8*� ��&�"* IJ*8*� �d-I&)5") xy ��)jobM�� IJ_zD)5 {|��$�)5 I&*B��

�-7$=�� 9 4tx D���X .}�� ~ �� B 0��a P �� ���⌧8 ��☺��� �Q☺��B�2 ) 4ا�#.�ء :

11(

Page 27: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-

anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang

anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi

mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang

saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi

masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu

mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi

oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu

mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-

pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah

dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak

mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.

Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha

Bijaksana.” (Q.S. Al-Nisa, 4:11)

Dan pada ayat selanjutnya Allah menerangkan bagian suami. Jika dia

mempunyai anak maka bagiannya adalah seperdua (1/2), dan jika dia tidak

mempunyai anak maka baginya adalah seperempat (1/4). Dan bagian isteri jika dia

tidak mempunyai anak maka baginya adalah seperempat (1/4), dan jika dia tidak

mempunyai anak maka baginya adalah seperdelapan (1/8). Ayat ini juga mengatur

bagian untuk saudara-saudara pewaris ketika pewaris tidak mempunyai anak.

IJK���") ��� ��� ⌧����� IJK��!")$�)5 ��a AP� �*B�D ��_P�

m�� ") 9 ��W�X ���xL �}_�� m�� ") JK�`�X �%&����� ��☺� s��L���� 9 8�� M7�& :tuUC") .�TC#D

��_�& ))5 5�$w�� 9 �}_��") �%&����� ��☺� A%'$8���� ��a

IJP� �K��D IJ*BP� mM��") 9 ��W�X ���xL IJK��� m�� ") ��_`�X �☺qQ��� ��☺� f*��L���� 9 8��� M7�&

:tuUC") ./#C#7� ��_�& ))5 5H$w�� B ��a") ./�⌧8 r1�"o ]"o#D

N���N`xL ))5 rd)5��$��� =l5� ") ��)5 ))5 rcs�5 �R1*B��X :M`!")

Page 28: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

��☺_-�� j0Mk,��� 9 ��W�X O�F#%��xL "6�-�L)5 �� �:�!��

bc_�X j* �xL"6K� G�H i7qV��� 9 8�� M7�& :tuUC") 9m+N#D

�thv ))5 �H$w�� "6I�⌧� ��o �x � 9 4tuUC") s��� ~ �� B E ��")

A���� A���2

Artinya: “Dan bagimu (suami mendapat) seperdua dari harta yang ditinggalkan

isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isterimu mempunyai anak, maka

kamu mempunyai seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah ditunaikan

wasiat yang mereka buat, dan sesudah dibayarkan lunas hutangnya. Para isteri

mendapat seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.

Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri mendapat seperdelapan dari harta

yang kamu tinggalkan, sesudah ditunaikannya wasiat yang kamu buat, dan sesudah

dibayar lunas hutangmu. Jika seorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang

tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang

saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara perempuan (seibu saja), maka bagi

masing-masing dari kedua saudara itu sepereeeeenam harta. Ttapi jika saudara

seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam hal sepertiga itu, sesudah

ditunaikan wasiat yang telah dibuat olehnya atau dan sesudah dibayar lunas

hutangnya dengan tidak mudharat (kepada ahli waris). Allah menetapkan yang

demikian sebagai syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui

lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Nisa, 4:12)

2. Al-Sunnah

Hadis yang menjadi hukum ketentuan pembagian warisan, sebagaimana yang

diriwayatkan oleh Imam Bukhari adalah:

Hه�%� اF��اC� DE�!ا أ �Aل ?��9 ا��9� ���� وس�9= 8� ا�#9-:> ا��9� �#� ر;: ا 8 �-�9س 8�

21)رواL ا �Kرى("�� �: "%! H�و�� ر� ذآ�

Artinya : “Dari Ibnu ‘Abbas bahwasannya Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Berikanlah faraidh (bagian-bagian yang ditentukan) itu kepada yang

21 Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut:

al-Maktabah al-‘Shriyah, 1997), juz. IV, h.2106

Page 29: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-laki

yang terdekat.” (HR. Bukhari)

3. Ijma’ dan Ijtihad

Dalam masalah kewarisan ini peran ulama pun tidak kalah pentingnya,

mereka diminta pendapatnya melalui ijma’ dan ijtihadnya unutk menyelesaikan

masalah yang belum dijelaskan dalam nash-nash yang sharih. Seperti pembagian

Muqasamah (bagi sama) dalam masalah al-Jad wa al-Ikhwah (kakek bersama-sama

saudara), pembagian cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal dunia dalam

masalah wasiat wajibah, pengurangan dan penambahan bagian ahli waris dalam

masalah ‘Aul dan Radd, pembagian tsulutsu al-baqi (sepertiga sisa) bagi ibu jika

hanya bersama bapak dan suami atau istri dalam masalah Gharrawain, dan lain

sebagainya.

C. Rukun dan Syarat Pembagian Warisan

1. Rukun Waris

Rukun waris ada tiga, yaitu:22

a. Al-muwarrits (orang yang mewariskan), yaitu orang yang meninggal dunia

atau mayit itu sendiri, baik nyata ataupun dinyatakan mati secara hukum

seperti orang yang hilang dan dinyatakan mati.

22 Syaikh Husain Yusuf Ghazal, al-Mirats ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah Dirasatan wa

Tathbiqon,(Beirut: Daar al-Fikr, 2003), h.3

Page 30: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

b. Al-waarits (pewaris), adalah orang yang mempunyai hubungan penyebab

memperoleh kewarisan dengan yang meninggal dunia tersebut (mayit).

c. Al-mauruuts (harta yang diwariskan), yaitu harta yang dipindahkan dari yang

mewariskan kepada pewaris.

2. Syarat Pembagian Warisan

Kematian seseorang akan menimbulkan akibat hukum kepada yang lainnya.

Dan diantara akibat hukum itu adalah kewarisan, adapun syarat-syarat pewarisan

adalah sebagai berikut:

a. Kematian orang yang mewariskan, baik secara nyata ataupun kematian secara

hukum, misalnya seorang hakim memutuskan kematian seseorang yang

hilang. Keputusan itu menjadikan orang yang hilang sebagai orang yang mati

secara hakiki, atau mati menurut dugaan seperti seseorang memukul seorang

perempuan yang hamil sehingga janinnya gugur dalam keadaan mati; maka

janin yang gugur itu dianggap hidup sekalipun hidupnya itu belum nyata.23

b. Pewaris itu hidup setelah orang yang mewariskan mati, meskipun hidupnya

itu secara hukum, misalnya kandungan. Kandungan itu secara hukum

dianggap hidup, karena mungkin rohnya belum ditiupkan. Apabila tidak

diketahui bahwa pewaris itu hidup sesudah orang yang mewariskan mati,

seperti karena tenggelam atau terbakar atau tertimbun; maka diantara mereka

23 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h.259

Page 31: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

itu tidak ada waris-mewarisi. Dan harta masing-masing dari mereka itu

dibagikan kepada ahli waris yang masih hidup.24

c. Bila tidak ada penghalang yang menghalangi pewarisan. Yang dimaksud

adalah tidak adanya penghalang (misalnya: pembunuh, murtad) atau

seseorang yang menghalangi untuk mendapatkan harta warisan, misalnya:

saudara dari si mayit terhalang karena adanya anak laki-laki dari yang

meninggal.

D. Sebab-Sebab dan Penghalang Warisan

1. Sebab-sebab mendapatkan Warisan

Seseorang tidak mendapatkan warisan dari orang lain kecuali karena salah

satu sebab dari sebab-sebab di bawah ini, yaitu:

a. Nasab atau kekerabatan. Artinya, ahli waris ialah ayah dari pihak yang

diwarisi, atau anak-anaknya, dan jalur sampingnya seperti saudara-saudara

beserta anak-anak mereka, dan paman-paman dari jalur ayah beserta anak-

anak mereka. 25

Karena Allah Ta’ala berfirman:

24 Ibid, h.259

25 Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, (Jakarta: Darul Falah,

2003), cet ke-6, h.625

Page 32: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

1K��") �d-X�7�� "G�!"#�� ��☺� ⌧����� ������ !"#$���

./#%&��$�'(��") 9

Artinya : “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu

bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya.” (Al-

Nisa: 33).

b. Pernikahan yang shahih. Suatu pernikahan dianggap masih utuh apabila

perkawinan tersebut telah diputuskan dengan talak raj’i, tetapi masih dalam

masa ‘iddah. Sebab pada saat itu, suami masih mempunyai hak penuh untuk

merujuk kembali bekas istrinya yang masih menjalankan ‘iddah, baik dengan

perkataan maupun dengan perbuatan, tanpa memerlukan kerelaan istri dengan

membayar mas kawin baru dan menghadirkan saksi serta wali. Dengan

demikian, hak suami istri untuk saling mewarisi masih tetap ada. Jadi, wanita

yang di talak raj’i hukumnya seperti istri. Mereka masih mempunyai hak-hak

suami istri, seperti hak waris mewarisi antara keduanya manakala salah satu

diantara keduanya ada yang meninggal sebelum selesai masa ‘iddah.26

Karena

Allah swt berfirman:

IJK���") ��� ��� ⌧�����

IJK��!")$�)5 ��a AP� �*B�D

��_P� m�� ") 9 ��W�X ���xL �}_��

m�� ") JK�`�X �%&����� ��☺�

s��L���� 9 8�� M7�& :tuUC")

.�TC#D ��_�& ))5 5�$w�� 9 �}_��") �%&����� ��☺�

A%'$8���� ��a IJP� �K��D IJ*BP�

26 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, Terjemah Masykur AB, et.al., al-Fiqh

‘ala al-Madzahib al-Khomsah, (Jakarta: Lentera Basritama, 1996), h. 451

Page 33: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

mM��") 9 ��W�X ���xL IJK��� m�� ")

��_`�X �☺qQ��� ��☺�

f*��L���� 9 8��� M7�& :tuUC")

./#C#7� ��_�& ))5 5H$w�� B ��a") ./�⌧8 r1�"o ]"o#D

N���N`xL ))5 rd)5��$���

=l5� ") ��)5 ))5 rcs�5

�R1*B��X :M`!") ��☺_-��

j0Mk,��� 9 ��W�X O�F#%��xL

"6�-�L)5 �� �:�!�� bc_�X

j* �xL"6K� G�H i7qV��� 9 8��

M7�& :tuUC") 9m+N#D �thv

))5 �H$w�� "6I�⌧� ��o �x � 9 4tuUC") s��� ~ �� B E ��")

A���� A���2 ) 12: 4ا�#.�ء(

Artinya : “Dan bagimu (suami mendapat) seperdua dari harta yang

ditinggalkan isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isterimu

mempunyai anak, maka kamu mempunyai seperempat dari harta yang

ditinggalkannya sesudah ditunaikan wasiat yang mereka buat, dan sesudah

dibayarkan lunas hutangnya. Para isteri mendapat seperempat harta yang

kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai

anak, maka para isteri mendapat seperdelapan dari harta yang kamu

tinggalkan, sesudah ditunaikannya wasiat yang kamu buat, dan sesudah

dibayar lunas hutangmu. Jika seorang mati baik laki-laki maupun perempuan

yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi

mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara perempuan

(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua saudara itu

sepereeeeenam harta. Ttapi jika saudara seibu itu lebih dari seorang, maka

mereka bersekutu dalam hal sepertiga itu, sesudah ditunaikan wasiat yang

telah dibuat olehnya atau dan sesudah dibayar lunas hutangnya dengan tidak

mudharat (kepada ahli waris). Allah menetapkan yang demikian sebagai

syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha

Penyantun. (QS. Al-Nisa, 4:12)

c. Wala’, adalah hubungan antara dua orang yang menjadikan keduanya seakan

sudah sedarah-sedaging laksana hubungan nasab. Maka, apabila ada seseorang

yang memerdekakan hambanya, maka dia menjadi maula dari orang yang

Page 34: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

dimerdekakannya itu, dan berhak mewarisinya manakala bekas hambanya itu

tidak mempunyai seorang pewarispun.27

Hasanain Muhammad Makhluf berpendapat bahwa wala’ adalah:

A� �ا� �O��8 ع�ر� ا�Pه�نP ا�����/R� و$/ ا� .-S$ا� R/�و ن اP8 ت� �خا وUK ش

.-S� W��X�28ا�C و�ا�! ا�

Artinya: “Kekerabatan secara hukum yang ditetapkan oleh syari’ antara orang

yang memerdekakan budak dengan budaknya disebabkan adanya

pembebasan budak, atau seseorang dengan seorang hamba lainnya

disebabkan adanya akad muwalah (perjanjian) dan mukhalafah

(sumpah)”.

2. Penghalang Warisan

Dalam hal kewarisan orang atau ahli waris bisa saja tidak menerima bagian

dari harta warisan itu dikarenakan ada penghalang yang menghalanginya untuk

menerima warisan tersebut.

Hajb (terhalangnya waris) itu ada dua macam, yaitu:29

a. Hajb nuqshan, artinya terhalang yang menimbulkan kekurangan bagian,

seperti menghalangnya anak terhadap zauj (suami) dari separuh bagian

menjadi seperempat, dan zaujah (istri) dari memperoleh seperempat berubah

27

Ibid, h. 279 28 Hasanain Muhammad Makhluf, al-Mawarits fi al-Syari’at al-Islamiyah, (al-Qahirah:

Lajnah al-Bayan al-‘Araby, 1958), h. 426

29 Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Terj,

(Surabaya: Bina Iman), h. 37

Page 35: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

hanya mendapat seperdelapan, serta terhalangnya umm (ibu) dari

mendapatkan sepertiga menjadi hanya mendapat seperenam.

b. Hajb hirman, artinya terhalang yang menimbulkan tidak mendapat bagian

sama sekali. Misalnya kakek yang terhalang memperoleh waris dengan

adanya ayah mayit.

Adapun penghalang atau sebab-sebab yang mengakibatkan seseorang tidak

menerima warisan adalah sebagai berikut :

1. Perbudakan

Para ulama telah sepakat dalam pendapatnya untuk menetapkan

perbudakan itu adalah suatu hal yang menjadi penghalang pusaka mempusakai

berdasarkan adanya petunjuk umum dari suatu nash yang sharih yang menafikan

kecakapan bertindak seorang budak dalam segala bidang.30

Yakni firman Allah

swt. Yang terdapat dalam al-Qur’an sebagai berikut:

s|"6x E �� �⌧�Q�� �-MI�� �48#7b☺0� �y joM$a�D 9G`�� 5*m⌧~

........... Artinya: Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang

dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun…………. (Al-

Nahl, 16:75)

2. Pembunuhan

30 Fatchurrahman, Ilmu Waris, h. 84

Page 36: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

Jumhur ulama telah sepakat pendapatnya untuk menetapkan bahwa

pembunuhan itu, pada prinsipnya menjadi penghalang mempusakai bagi si

pembunuh terhadap harta peninggalan orang yang telah dibunuhnya.31

Sebagaimana hadis Nabi Muhammad saw. sebagai berikut:

�� 8����� أ8 ��S$ ش 8 8WLر ;:Zا � %#A =ل� :Aلس ر�ل!Zا ? �Zا �� ���

�� ��]= ��سو��8 ���W( :ء شاث�� ا�� 32)رواL ا

Artinya: “Dari Umar Bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya RA, berkata:

Rasulullah SAW bersabda “bagi pembunuh tidak berhak menerima

warisan”. (HR. Ahmad)

3. Berlainan agama.

Para ahli fiqh telah sepakat bahwasannya, berlainan agama antara orang

yang mewarisi dengan orang yang mewariskan,merupakan salah satu penghalang

dari beberapa penghalang mewarisi. Dengan demikian orang kafir tidak bisa

mewarisi harta orang Islam dan seorang muslim tidak dapat mewarisi harta orang

kafir, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. berikut:

��" ا�O=.� ا��ث��: �ل A=�س و��� �� اZ� ?:- ا�#نأ� �#% � اZ:; ر�W ز 8���سأ8 �

L(33 ا�-�Kرىروا( =.� ا����" ا�Oث��و

Artinya: “Dari Usamah Bin Zaid, dari Nabi SAW, bersabda: Tidaklah

menerima warisan seorang muslim dari orang kafir dan orang kafir

dari orang muslim.” (HR. Bukhari)

31 Ibid, h, 85

32 Imam Ahmad Bin Hanbal, al-Musnad li al-Imam Ahmad Bin Hanbal, (Beirut: Daar al-Fikr,

1991) Juz. I, h. 111

33 al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 2112

Page 37: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

4. Berlainan Negara

Yang di maksud dengan berlainan negara adalah berlainan atau perbedaaan

jenis pemerintahan antara dua negara. Mengenai berlainan negara sebagai

penghalang pewarisan, para ulama telah sepakat bahwa berlainan negara bagi

orang-orang Islam tidak menjadi penghalang pewarisan.34

Sedangkan ulama Hanafiyah dan sebagian ulama Hanabilah menyatakan

bahwa berlainan negara antara dua orang-orang non muslim menjadi penghalang

pewarisan mereka, disebabkan karena terputusnya ishmah (ikatan kekuasaan) dan

tidak adanya hubungan perwalian. Memberikan warisan kepada ahli waris yang

berbeda negara berarti pewaris tersebut memberikan harta warisan kepada

musuhnya atau musuh keluarganya.35

Berlainan negara yang menjadi penghalang pewarisan menurut ulama

Hanafiyah di atas adalah berlainan negara menurut hukum yang berlaku bagi

kedua orang tersebut.

Dari uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa yang menjadi penghalang

pewarisan bagi orang-orang Islam hanya ada tiga, yaitu pembunuhan,

perbudakan, dan perbedaan agama.

34 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 427

35 Fatchurrahman, Ilmu Waris, h. 108

Page 38: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

E. Ahli Waris dan Bagian-bagian Ahli Waris

Jika dilihat dari segi bagian-bagian yang diterima, maka ahli waris dapat

digolongkan menjadi tiga, yaitu :

1. Ashhab al-Furudh

Hasanain Muhammad Makhluf menjelaskan bahwa kata furudh merupakan

jamak dari lafadz al-fardh, yang artinya adalah :

36��آ: ا�/ "ثار�!� ��� شرW� ا���م%�.أ

Artinya : “Saham (bagian) yang telah ditentukan oleh syara’ untuk para ahli

waris dalam menerima harta warisan”

Dari pengertian di atas, bisa dipahami bahwa yang dimaksud dengan ashhab

al-furudh adalah ahli waris yang mempunyai bagian tertentu yang telah

ditetapkan oleh syara’.

Adapun bagian-bagian yang telah ditentukan atau al-furudh al-muqaddarah

dalam al-Qur’an hanya ada enam, yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6. Sedangkan

perinciannya adalah sebagai berikut :

a. Bagian anak perempuan adalah :

1. 1/2 jika seorang diri atau tidak beresama anak laki-laki.

2. 2/3 jika dua orang atau lebih, dan tidak bersama-sama dengan anak laki-

laki.

36 Hasanain Muhammad Makhluf, al-Mawarits fi al-Syari’at al-Islamiyah, h. 37

Page 39: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

b. Cucu perempuan, berhak menerima bagian :

1. 1/2 jika seorang diri, dan atau tidak bersama dengan cucu laki-laki dan

tidak terhalang (mahjub).

2. 2/3 jika dua orang atau lebih dan tidak bersama dengan cucu laki-laki serta

tidak mahjub.

3. 1/6 jika bersama dengan anak perempuan, tidak ada cucu laki-laki dan

tidak terhalang.

c. Bagian Ibu adalah :

1. 1/3 jika tidak ada anak atau cucu atau dua orang saudara atau lebih.

2. 1/6 jika ada anak atau cucu atau bersama dengan dua orang saudara atau

lebih.

3. 1/3 sisa, dalam masalah gharrawain yaitu apabila ahli waris hanya terdiri

dari suami atau istri, ibu dan bapak.

d. Bagian bapak adalah :

1. 1/6 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki dari garis laki-laki.

2. 1/6 + sisa, jika ada atau bersama anak perempuan atau cucu perempuan

dari garis laki-laki.

Apabila bapak bersama ibu, maka :

Page 40: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

1. Masing-masing menerima 1/6 jika ada anak atau cucu dari garis laki-laki.

2. Jika tidak ada anak atau cucu, maka bagian ibu 1/3 dan bapak menerima

sisanya.

3. 1/3 sisa untuk ibu, dan bapak sisanya setelah diambil untuk ahli waris

suami atau isteri.

e. Nenek, jika tidak terhalang berhak menerima bagian :

1. 1/6 jika seorang diri.

2. 1/6 dibagi rata apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat

kedudukannya.

f. Kakek jika tidak ada penghalang berhak menerima :

1. 1/6 jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki dari garis laki-laki.

2. 1/6 + sisa, jika bersama anak atau cucu perempuan dari garis laki-laki

tanpa ada anak laki-laki.

3. 1/6 atau muqasamah (bagi rata) dengan saudara sekandung atau seayah,

setelah diambil untuk ahli waris lain.

4. 1/3 atau muqasamah bersama saudara sekandung atau seayah, jika tidak

ada ahli waris. Masalah seperti ini biasa disebut dengan masalah al-jadd

ma’a al-ikhwah (kakek bersama-sama saudara).

Page 41: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

g. Saudara perempuan sekandung, jika tidak ada yang menghalangi maka berhak

menerima bagian :

1. 1/2 jika seorang diri dan tidak bersama saudara laki-laki sekandung.

2. 2/3 jika dua orang atau lebih dan tidak bersama saudara laki-laki

sekandung.

h. Saudara perempuan seayah, jika tidak ada yang menghalangi berhak

menerima bagian :

1. 1/2 jika seorang diri dan tidak berssama dengan saudara laki-laki seayah.

2. 2/3 jika dua orang atau lebih dan tidak bersama saudara laki-laki seayah.

3. 1/6 jika bersama dengan seorang saudara perempuan sekandung.

i. Saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan yang kedudukannya sama

dan tidak ada penghalang, maka berhak menerima bagian :

1. 1/6 jika seorang diri.

2. 1/3 jika dua orang atau lebih.

3. Bergabung dengan saudara sekandung dan menerima bagian 1/3, ketika

bersama-sama dengan ahli waris suami dan ibu. Masalah seperti ini biasa

disebut dengan masalah musyarakah.

j. Suami berhak menerima bagian :

Page 42: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

1. 1/2 jika tidak ada anak atau cucu dari garis laki-laki.

2. 1/4 jika ada anak atau cucu dari garis laki-laki.

k. Isteri berhak menerima bagian :

1. 1/4 jika tidak ada anak atau cucu dari garis laki-laki.

2. 1/8 jika ada anak atau cucu dari garis laki-laki.

2. ‘Ashabah

Lafadz ‘ashabah merupakan jamak dari kata ‘ashib, yang artinya

adalah sebagai berikut :

�� 8[� ونaخHو �أ وض� ا��Fب?Cأ $W ��آ ا�/8 �:�� �ونaخO#% =�H� وةرW� ��م% س� �

�d��أ �ك#8 هO= �ا �ذإ ��آ ا�/W� 8أC?ب�F37وض� ا�

Artinya : “Orang-orang yang tidak mempunyai saham-saham (bagian-bagian)

tertentu, tetapi mengambil bagian yang tersisa setelah diambil bagian

ashhab al-furudh, atau mengambil seluruh harta peninggalan apabila

tidak ada seorang pun ahli waris ashhab al-furudh.”

Mengenai pembagian sisa harta warisan ini, ahli waris yang lebih dekat

hubungan kekerabatannya, maka dialah yang lebih dahulu menerima harta

warisan tersebut. Adapun konsekuensi dari cara pembagian ini adalah ahli waris

‘ashabah yang peringkat kekerabatannya lebih jauh atau berada di bawahnya,

37 Ibid, h. 34

Page 43: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

maka dia tidak mendapatkan bagian dari harta warisan tersebut. Dasar pembagian

ini adalah perintah Rasulullah SAW, dalam hadisnya sebagai berikut :

� � D�اE� ا�Fه�أ �8 �ل ا��=A.أ =�س و��� �� اZ� ? اZ!لس ر�لA: �ل �Aس- 8� ا 8�

W(38ودشرواL ا !( �آ ذeو�� "DاE�* ا�Fآ�� �� " ا�Zب/آ

Artinya : “Dari Ibn Abbas ra. berkta : Rasulullah SAW bersabda : berikanlah

harta warisan di antara ahli waris yang berhak berdasarkan al-Qur’an,

maka sisanya untuk ahli waris laki-laki yang utama.” (HR. Abu Daud)

Adapun ahli waris yang termasuk dalam golongan ‘ashabah dibagi menjadi

tiga, yaitu :

a. ‘Ashabah bi al-Nafsi, adalah :

Dalam pengertian ashabah bi al-nafsi, Hasanain Muhammad Makhluf

memberikan penjelasan adalah sebagai berikut :

�d�ي و ذ$W �م% ا�.��j !�� ��:� 8$ !ن��= �%نأ ومe �خhا ووج ا�+إ !رآ�a ا

Fن و إوض�ا�W��وا و =/.�l��� و�آ= ا�/��%% سق�آ!ن ��ن �إ ��آ ا�/ =! Wأ�W� 8

39��آ ا�/وض�ي ا�Fو ذ�م%* سlA�س/إن أ !نn.�� و�ضي ا�Fوذ

Artinya: “Seluruh ahli waris laki-laki, selain dari pada suami dan saudara laki-

laki seibu dan bahwasannya mereka (ahli waris ‘ashabah) mendapatkan sisa

38 Abu Daud Sulaiman al-‘Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abu Daud, (Beirut: Daar al-Fikr, 1994),

Juz.III, h. 48

39 Muhammad Mahluf, al-Mawarits fi al-Syari’at al-Islamiyah, h. 100

Page 44: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

dari ashhab al-furudh apabila harta peninggalan tersebut masih tersisa,

menerima seluruh harta apabila tidak ada seorang pun ahli waris ashhab al-

furudh dan tidak mendapatkan bagian sedikit pun apabila harta peninggalan

tersebut telah terhabiskan oleh ahli waris ashhab al-furudh.”

Adapun orang-orang yang termasuk dalam ‘ashabah bi al-nafsi, adalah

sebagai berikut :

1. Anak laki-laki

1. Cucu laki-laki dari garis laki-laki

2. Bapak

3. Kakek

4. Saudara laki-laki sekandung

5. Saudara laki-laki sebapak

6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung

7. Anak laki-laki dari saudara sebapak

8. Paman sekandung

9. Paman sebapak

10. Anak laki-laki dari paman sekandung

11. Anak laki-laki dari paman sebapak

Page 45: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

Dalam keadaan tertentu, ahli waris ‘ashabah bi al-nafsi dapat menerima

seluruh harta peninggalan, menerima sisa harta peninggalan, atau tidak

menerima sama sekali dari harta peninggalan tersebut.

b. ‘Ashabah bi al-Ghair, yaitu :

Hasanain Muhammad Makhluf memberikan pengertian bahwa ashabah bi

al-ghair adalah :

�/إ �ض "�-��� ?نoأ �آ�" *� :j !/% �إ�lا� �� � !j$ا� p�� :" �/وش�آ �

ةWا� ا�!8 ��آeoن �o��ا�o وةWا��! Xj� ا�#8%;� "�ء. ا�d� 8#ر أ: "و�#jC� و

ا وذ)ب "h خ*hا و���� ا�Pخ*hا و q8 ا#* و���- ا�j#* ا�-8هوW� dآ �و � Wا

�%#8� ?�S #.F�" ر: د���j$S/ �$ �ث�/ "� �-jت ��ر� ?%�!�A و%/

F�� و�ض�����ن $� �a��آ� �o� rا hoن�8�40

Artinya: “Setiap perempuan penerima fardh yang memerlukan orang lain

(saudara laki-lakinya) untuk menjadikan ‘ashabah dan bersama-sama

menerima bagain ‘ashabah itu. Dan mereka itu adalah empat perempuan yang

memiliki bagian setengah apabila sendiri dan dua pertiga apabila lebih dari

seorang, yaitu anak perempuan sekandung, cucu perempuan dari garis laki-

laki, saudara perempuan sekandung, dan saudara perempuan sebapak. Apabila

ada ahli waris ‘ashabah bi al-nafsi bersama-sama denga salah seorang diantara

mereka, yang sama derajat dan kekuatan kekerabatannya, maka perempuan

tersebut mewarisi secara ‘ashabah, bukan secara fardh. Dan keduanya

mewarisi bersama-sama dengan ketentuan bahagian laki-laki dua bahagian

perempuan.”

40 Ibid, h. 102

Page 46: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

Dari pengertian di atas dapat di ketehui bahwa yang termasuk dari ahli

waris ‘ashabah bi al-ghair adalah :

1. Anak perempuan bersama dengan anak laki-laki.

2. Cucu perempuan dari garis laki-laki bersama dengan cucu laki-laki dari

garis laki-laki.

3. Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung.

4. Saudar perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah.

Adapun dasar dari ketentuan pembagian warisan ‘ashabah bi al-ghair

tersebut adalah :

�E��a") O�F#%��⌧8 4d"#s�a 4y����o ☯* �+,�Z") ��⌧8P����X

1V� �RS�2 �HT"U�☯�V(�� ......... B >;?�

Artinya : “………. jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara

laki dan perempuan, Maka bagian seorang saudara laki-laki

sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. ……….” (QS. Al-

Nisa, 4 : 176)

c. ‘Ashabah Ma’a al-Ghair, yaitu :

Ahli waris yang termasuk dalam ‘ashabah ma’a al ghair adalah seorang

atau sekelompok saudara perempuan, baik sekandung atau sebapak, yang

mewarisi bersama-sama dengan salah seorang atau sekelompok anak

Page 47: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

perempuan atau cucu perempuan dari garis laki-laki, manakala tidak ada anak

laki-laki, cucu laki-laki dari garis laki-laki, atau bapak, serta tidak ada

saudaranya yang laki-laki, yang menjadikannya sebagai ahli waris ‘ashabah bi

al-ghair.

Adapun dasar hukum pembagian ‘ashabah ma’a al-ghair ini adalah

pelaksanaan pembagian waris yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW,

sebagai berikut :

� ش �8�+8 ه��-��A س�ل s� ��ل�", خ*أ و ا 8�ا # و8� ا #� �!س!� أ t# �#ا� Xj

�. "!د.$ � ا 8أت وXj ا�#خ*e�و/ �$#" :.s�س: � أ !ل� �خ-أ و!د.$ � 8 ا! �

�%: "uAأ �W8%/ ا���8 �نأ� �ا وذأ �*W� ;� ��ل�" �� �Au#ا� �-:? �Zا �� �u��

�O �س�W. ا ا q# �8 وXj ا�#� #t� =�سو��oا� �o8�� !س� � أ� �#H� "خ*e� ":�� � و

"H-نخ�L� ��ل�", !د.$ � ا 8!ل �H.�هام�د: �!ن aC�ا ا�-" O� 41)رواL ا�-�Kري( =

Artinya : “Dari Huzail bin Syurhabil berkata : Ditanyakan kepada Abu Musa

tentang pembagian pusaka seorang anak perempuan, pembagian anak

perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan. Jawabnya: untuk

anak perempuan seperdua dan untuk saudara perempuan seperdua. Pergilah

(bertanya) kepada Ibnu Mas’ud, tentu dia akan sesuai dengan pendapat saya.

Lalu ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan diceritakan kepadanya keterangan

Abu Musa. Jawabnya: kalau begitu saya tersesat dan tidak menurut

kebenaran. Saya memutuskan tentang itu menurut apa yang diputuskan

Rasulullah SAW. Yaitu untuk anak perempuan seperdua dan untuk anak

perempuan dari anak laki-laki seperenam, sebagai mencukupkan dua pertiga.

Sisanya untuk saudara perempuan. Kemudian kami datang kepada Abu Musa

dan kami ceritakan kepadanya perkataan Ibnu Mas’ud, lalu dia berkata:

41 Ibrahim al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 2105

Page 48: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

janganlah kamu bertanya kepada saya selama orang alim (Ibnu Mas’ud) ini

masih berada diantara kamu.” (HR. Bukhari)

3. Dzawi al-Arham

Para ulama faraidh memberikan definisi tentang dzawi al-arham sebagai

berikut :

�] A �S���آ a" و�ضي �j-�42

Artinya : “Setiap kerabat yang tidak termasuk ashhab al-furudh dan tidak

termasuk golongan ‘ashabah”

Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa ahli waris yang termasuk

kedalam golongan dzawi al-arham adalah cucu perempuan dari garis perempuan

dan seterusnya ke bawah, cucu laki-laki dari garis perempuan dan seterusnya ke

bawah, anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung dan seterusnya ke

bawah, anak perempuan dari saudara laki-laki sebapak dan seterusnya ke bawah,

anak laki-laki dari saudara perempuan sekandung dan seterusnya ke bawah, anak

perempuan dari saudara perempuan sekandung dan seterusnya ke bawah, anak

laki-laki dari saudara perempuan sebapak dan seterusnya ke bawah, kakek dari

pihak ibu dan seterusnya ke atas, dan lain sebagainya.

Ada tiga prinsip mengenai cara pembagian warisan kepada dzawi al-arham,

yang kemudian dikenal dengan nama golongan yaitu :

42 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah., h. 446

Page 49: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

a. Prinsip al-Qarabah

Adapun yang dimaksud dengan prinsip al-qarabah adalah suatu prinsip

dalam pemberian bagian harta warisan kepada dzawi al-arham, menggunakan

prinsip jauh dekatnya hubungan kekerabatan. Membagikan harta warisan

kepada dzawi al-arham berdasarkan dekatnya hubungan nasab ini sejalan

dengan membagikan harta warisan kepada ahli waris ‘ashabah, yakni dilihat

dari jihat, derajat, dan kuatnya kekerabatan mereka.43

Prinsip al-qarabah ini dianut oleh fuqaha Hanafiyah, Imam al-Baghawy

dan Imam al-Mutawally (keduanya adalah fuqaha Syafi’iyah) dan Kitab

Undang-Undang Hukum Kewarisan Mesir.44

b. Prinsip al-Tanzil

Yang dimaksud dengan prinsip al-tanzil adalah menempatkan ahli waris

dzawi al-arham pada kedudukan ahli waris yang menyebabkan mereka

mempunyai hubungan kekerabatan dengan pewaris atau mudla bihi. Jika

derajat mereka jauh, caranya digeser naik atau digeser turun menurut

rumpunnya, sampai berhasil mencapai tempat ahli waris mudla bihi untuk

digantikan kedudukannya.45

43 Fatchurrahman, Ilmu Waris, h. 357 44 Ibid, h. 358-359 45 Ibid, h. 3559

Page 50: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

Adapun fuqaha yang mengikuti prinsip al-tanzil ini adalah al-Hasan Bin

Ziyad, Abu Nu’aim, dan imam mazhab yang empat, mereka merujuk kepada

riwayat Ibrahim al-Nakhaiy dari Ali Ibn Abi Abdillah :

�# �ل ا��نإ%�w� K����46�ا�o و���$� ���vإ�

Artinya : “Sesungguhnya harta peninggalannya untuk keduanya dibagi tiga,

dua pertiga untuk al-‘ammah dan sepertiganya untuk al-khalah.”

Selain dari riwayat di atas, ada juga penyelesaian yang dilakukan oleh Ali

Ibn Abi Thalib, yaitu :

خ*h ا��#+ �خ*h ا#* وخh ا��#+ �خh ا#* و#* ا�-��+# �#* ا�-#* ل+ ن�نإ47مh ا��#+ ����ا�K وبh ا��#+ ���ا�$و

Artinya : “Bahwa ia menempatkan cucu perempuan dari garis perempuan ke

tempat anak perempuan, anak perempuan saudara ke tempat

saudara, anak perempuan saudara perempuan ke tempat saudara

perempuan, saudara bapak ke tempat bapak dan saudara ibu ke

tempat ibu.”

c. Prinsip al-Rahim

Yang dimaksud prinsip al-rahim adalah membagikan harta warisan

kepada dzawi al-arham berdasarkan kepada rahim (kerabat) secara

keseluruhan. Karenanya mereka yang ada tatkala meninggalnya si pewaris

46 Muhammad Yusuf Musa, al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, (Mesir: Daar al-Kitab al-

Araby, 1995), h. 286

47 Ibid, h.287

Page 51: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

tidak boleh dibedakan dan tidak boleh diutamakan yang satu dengan yang

lainnya.48

Menurut prinsip ini, maka seluruh ahli waris dzawi al-arham berhak

mendapatkan bagian yang sama. Jadi, apabila dzawi al-arham yang akan

mewarisi itu beberapa orang, maka seluruh harta peninggalan si pewaris

dibagi sama rata diantara mereka, selama mereka mempunyai prinsip umum

yang sama sebagai dzawi al-arham. Prinsip al-rahim ini dianut oleh Hasan Bin

Muyassar dan Nuh bin Dzirah.49

48 Fatchurrahman, Ilmu Waris, h.360

49 Muhammad Yusuf Musa, al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, h. 289

Page 52: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

BAB III

KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM ILMU WARIS

A. Pengertian Al-Shulhu dan Dasar Hukum Al-Shulhu

1. Pengertian al-Shulhu

Kata al-shulhu atau perdamaian merupakan bentuk masdar dari sholaha,

yashlihu, sholhan, yang mempunyai arti “qath’ al-munadza’ah” atau “memutuskan

suatu persengketaan atau perselisihan”.50

Sedangkan arti shulh (perdamaian) menurut syara’ adalah suatu bentuk akad

yang dapat menyelesaikan adanya pertentangan atau perselisihan.51

Mohammad Anwar menjelaskan bahwa arti shulh (perdamaian) menurut

lughat adalah memutuskan pertentangan. Sedangkan menurut istilah ialah suatu

perjanjian untuk mendamaikan orang-orang yang berselisih.52

Wahbah al-Zuhaily pun berpendapat, bahwa shulh menurut bahasa adalah dnA

Sedangkan menurut syara’ adalah suatu akad yang .(memutus pertengkaran) ا��#�ز��

di buat untuk memutus suatu persengketaan atau perselisihan.53

50 Al-Munjid Fi Al Lughah Wal-I’lam, (Beirut: Daar Al-Musyriq, 1986), cet.ke-28, h. 432.

51 Imron Abu Amar, Terjemah Fath Al-Qorib, (Kudus: Menara Kudus, 1983), jilid 1, h. 254.

52 Sudarsono, Pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), cet.ke-2, h. 487.

53 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, (Daarr al-Fikr: Damakus, 2004), Juz

Vi, h. 4330.

Page 53: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

Abdul Aziz Dahlan menjelaskan arti perdamaian yaitu memperbaiki,

mendamaikan dan menghilangkan sengketa atau kerusakan.54

Selain pendapat di atas, Sulaiman Rasyid dalam bukunya Fiqh Islam

menerangkan bahwa Shulh (perdamaian) adalah akad perjanjian untuk

menghilangkan rasa dendam, permusuhan atau perbantahan.55

Sedangkan arti shulh menurut kamus hukum adalah kesepakatan

menyelesaikan suatu perselisihan dengan cara damai.56

Dari beberapa pengertian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa

shulh atau perdamaian adalah suatu akad atau perjanjian yang bertujuan untuk

mengakhiri pertikaian antara dua belah pihak yang sedang bersengketa atau berselisih

secara damai.

Jadi kata shulh atau perdamaian itu merupakan ungkapan yang sudah umum

dikenal oleh masyarakat, yang dalam literatur hukum positif dikenal dengan istilah

dading. Di dalamnya terkandung pengertian bahwa perdamaian tersebut merupakan

bentuk akad untuk mengakhiri suatu perselisihan, atau suatu akad untuk

menyelesaikan pertikaian secara damai dan saling memaafkan.

Dalam perdamaian perlu adanya timbal balik dan pengorbanan dari pihak-

pihak yang berselisih atau bersengketa, atau dengan kata lain pihak-pihak yang

berperkara harus menyerahkan kepada pihak yang telah dipercayakan untuk

54 Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiyar Baru Van

Hoeve, 1996), cet.ke-1, h. 740.

55 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005), cet.ke-38, h. 319.

56 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), cet.ke-3, h. 354.

Page 54: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

menyelesaikan perkara yang sedang diperselisihkan oleh keduanya agar

permasalahannya dapat diselesaikan secara damai dengan tanpa adanya permusuhan

diantara keduanya.

Dengan demikian perdamaian adalah merupakan putusan berdasarkan atas

kesadaran bersama dari pihak-pihak yang berperkara, sehingga tidak ada kata menang

ataupun kalah, semuanya sama-sama baik, kalah maupun menang.57

Dalam masalah perdamaian ini tidak semua hal dapat diselesaikan secara

damai. Misalnya masalah kekeluargaan, tidak boleh dilaksanakan perdamaian dalam

hal sah atau tidaknya suatu perkawinan, sah atau tidaknya suatu pengakuan sebagai

anak, mengenai hak-hak ketatanegaraan, serta hak warga untuk memilih dan dipilih

menjadi anggota badan perwakilan rakyat, kesemuanya tidak boleh dimasukkan

kedalam masalah perdamaian.

Ada beberapa jenis perdamaian yang dikenal dalam hubungan bermasyarakat

dan bernegara, yaitu:58

1. Perdamaian antara orang Islam dengan non Islam.

2. Perdamaian antara imam dengan kaum bughah (kaum yang tidak tunduk

kepada imam atau kaum pemberontak).

3. Perdamaian antara suami istri.

57 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta:

Pustaka Kartini, 1993), cet.ke.-2, h. 47.

58 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam.h. 322

Page 55: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

4. Perdamaian dalam urusan mu’amalah, yaitu dalam soal jual beli, sewa

menyewa, pertanian, perburuhan, soal piutang dan lain sebagainya.

Dengan demikian sistem perdamaian (shulh) ini sangat penting sekali untuk

mencari way out (jalan keluar) dari bermacam-macam perselisihan dan pertentangan

dikalangan masyarakat. Adapun caranya, bisa dengan kompromi antara kedua belah

pihak atau dikompromikan oleh orang luar (pihak ketiga).

2. Dasar Hukum Al-Shulhu

a. Al-Qur’an

Pada dasarnya perdamaian adalah akad perjanjian untuk menuju sesuatu yang

lebih baik dan mashlahah bagi semuanya. Oleh karena itu perdamaian sangat

dianjurkan oleh hukum Islam. Allah SWT berfirman:

��a") ����\⌧=� �� s�� �HT4��☺$��� O�#7�\�\$���

O�#��bC)��X ��☺gh�ik�& O 8��W�X bc��& ��☺_��M`�a G`��

B���sV(�� O�#7\N�a�X m�fP��� m�II:�� 9m�f�2 "*FG���� �G`��a ��$�)5 ~ �� 9 ��W�X bJ"* ��X

O�#��bC)��X ��☺gh�ik�& ��bM�7$����& O�F#*{�,$�)5") O

0��a P �� k�*� .�T{�,$a☺$��� > � )9: 49 / ا��xCات(

Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang

hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar

perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu

perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut,

damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil;

Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S. Al-Hujurat: 9)

Page 56: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

��☺���a ��#4��☺$��� rd"#s�a O�#��bC)��X �HT�& I&*BD"#�s)5

)10: 49 /ا��xCات(....... Artinya: “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu

damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu ……..”

(Q.S. Al-Hujurat: 10)

���a") �d)5s�I��� bc�X��( 8�� ��_�7�& ��#K�%� ))5 �4;�(kb�a x⌧�X ���d-�

��☺hI6`�� �)5 �����D ��☺��"4k�& �☯�XC 9 ⌧X�����")

r6I��s B J"6� b2�5") ¡☯K=�'(�� �⌧G���� 9 ��a") O�#4�,�7�

O�#Ka¢\��") �/�W�X P �� ./�⌧8 ��☺�& ./#7�☺7�� �46����s >;£�

)128: 2 /ا�-��ة (

Artinya: “Dan jika seorang isteri merasa tidak senang kepada suaminya, karena

sikapnya yang angkuh (sombong), maka tidak mengapa atas mereka berdua

membikin satu perdamaian antara mereka berdua, karena perdamaian itu lebih baik

(bagi mereka) walaupun itu bertabiat kikir. Dan jika kamu menggauli isterimu

dengan baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh) maka

sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

b. Hadis

Selain dari ayat-ayat diatas, Rasulullah SAW pun memberikan keterangan

dalam sebuah hadisnya yang menerangkan tentang kebolehan melakukan perdamaian

(shulh) adalah sebagai berikut :

Page 57: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

���� وس�= Zا �? Zن: أن رس!ل ا+��8 أ��A :jل. 8� ���و 8 �!ف ا���.��8 ا� +E� }�

أ v���م �C�? أو أ�� إ v��!ن ��� ش�و~%= إ^ ش�~� ��م �.���ا�� وا� ��و أ

��ا�� )�CC?ى وa��/ا� L59)روا

Artinya: “Dari Amr bin Auf al-Muzani, berkata; sesungguhnya Rasulullah SAW telah

bersabda: Perdamaian itu dibolehkan antara kaum muslimin, kecuali perdamaian

yang mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram dan

kaum muslimin terikat atas perjanjian-perjanjian mereka, kecuali perjanjian yang

mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram.” (HR.

Tirmidzi)

B. Kedudukan al-Shulhu dalam Fiqh

1. Rukun Al-Shulhu (perdamaian)

Shulh sebagai salah satu benuk perbuatan hukum baru dinilai ada dan

mempunyai konsekuensi hukum bila pada perbuatan itu sudah terpenuhi rukun-

rukunnya. Menurut ulama Hanafiyah, rukun shulh itu hanyalah ijab dan qabul antara

dua pihak yang melakukan akad.60

Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun shulh itu ada empat, yaitu:

1. Adanya dua orang yang melakukan akad.

2. Ijab dan qabul.

3. Persoalan yang diperselisihkan.

59 Imam Abi Isa Muhammad bin Isa bin Surah al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Daar

al-Fikr, 1974), juz. II, h. 403

60 Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), cet.ke-3, h.57

Page 58: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

4. Bentuk perdamaian yang disepakati.

Apabila shulh ini telah berlangsung, maka ia menjadi akad yang meengikat

yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, dan salah satu dari keduanya tidak

diperbolehkan atau tidak dibenarkan untuk mengundurkan diri dengan jalan

memfasakhnya, tanpa adanya persetujuan atau kerelaan dari pihak lain.61

2. Syarat al-Shulhu

Seperti hukum yang lain, didalam shulh juga terdapat syarat-syarat yang harus

dipenuhi oleh orang yang akan melakukan shulh tersebut. Adapun syarat-syarat shulh

ini ada yang berhubungan dengan mushalih bihi (benda/ barang/ objek), dalam hal ini

berupa harta yang di tinggalkan oleh orang yang meninggal, dan ada pula yang

berkaitan dengan mushalih ‘anhu (persoalan yang diperselisihkan) yaitu masalah

pembagian harta dengan perdamaian.

Hukum Islam mengatur, syarat-syarat perdamaian itu diantaranya :62

a. Adanya ijab dan qabul antara dua pihak yang melakukan akad.

b. Objek yang akan di damaikan dapat berupa harta benda, uang ataupun jasa

(kemanfaatan).

61 Sayyid Sabiq, Fiqh sunnah, h. 213

62 Helmi Karim, Fiqh Muamalah, h. 58

Page 59: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

c. Wujud perdamaian itu harus berada dalam lingkup harta benda yang

diperbolehkan oleh agama, tidak diizinkan melakukan perdamaian dalam bentuk

harta yang diharamkan, seperti khamar, babi dan sebagainya.

d. Persoalan yang diperdamaikan itu haruslah milik dan hak dari pihak yang

melakukan perdamaian atau yang berada di bawah kekuasaannya.

e. Persoalan yang mereka perdamaikan itu harus jelas, bukan suatu yang samar-

samar.

f. Persoalan yang diperdamaikan harus berbentuk materi yang punya nilai atau

dapat dinilai (bermanfaat).

Wahbah al-Zuhaily dalam bukunya al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh,

berpendapat bahwa syarat yang harus ada dalam akad perdamaian adalah:63

1. Shighat yaitu ucapan ijab dan qabul antara dua orang yang melakukan perdamaian

(shulh).

2. Orang yang melakukan akad (al-mashalih).

Kemudian bagi para pihak yang melakukan perdamaian (shulh) harus memenuhi

beberapa syarat, yaitu :64

a. Berakal sehat

63 Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, h. 4340

64

Ibid, h.4340 - 4341

Page 60: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

Tidak sah suatu perdamaian yang dilakukan oleh orang gila atau anak-anak

yang belum berakal yang belum bisa membedakan antara yang baik dan yang

tidak baik (mumayyiz). Tidaklah disyaratkan supaya pihak yang berakad itu

sudah baligh, dan oleh sebab itu perdamaian yang dilakukan oleh anak-anak

pada bidang yang boleh ia bertasharruf diperbolehkan jika hal itu

mendatangkan manfaat baginya, atau tidak mengakibatkan mudharat

kepadanya.

b. Pihak-pihak yang melakukan shulh (perdamaian) tidak boleh berusia belum

dewasa, baik keduanya atau salah satu pihak, kalau sekiranya perdamaian

yang akan mereka lakukan berkaitan dengan persoalan yang menimbulkan

bahaya atau kerugian.

c. Pelaksanaan shulh dalam lapangan yang berkaitan dengan keharta bendaan

pada anak-anak yang masih kecil mestilah dilakukan oleh walinya, seperti

ayahnya atau datuknya, atau orang yang memeliharanya.

d. Salah satu pihak yang melakukan akad itu bukanlah orang yang murtad.

Syarat yang terakhir ini dikemukakan oleh kelompok Hanafiyah, sedangkan

jumhur ulama tidak memakai persyaratan ini.

3. Al-Mushalih ‘Alaih atau disebut juga dengan Badal al-Shulh, yaitu sesuatu yang

menyempurnakan suatu akad. Adapun syarat badal-alshulh adalah:

a. Bahwa ia harus berbentuk harta.

Page 61: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

b. Harta tersebut mempunyai nilai dan dapat diserah terimakan.

c. Bahwa ia (harta) adalah milik dari orang yang melakukan akad.

d. Harta tersebut dapat diketahui secara jelas sekali oleh kedua belah pihak.

4. Al-Mashalih ‘Anhu, syaratnya adalah:

a. Bahwa ia termasuk dari hak manusia, yang boleh di’iwadhkan (diganti)

sekalipun berupa harta atau hukuman qishash.

b. Bahwa ia adalah hak dari kedua belah pihak, jika bukan maka batallah akad

tersebut.

c. Bahwa ia adalah hak yang tetap ketika akad berlangsung.

Dalam shulh pun ada hal-hal atau perkara yang dapat membatalkan

perdamaian, diantaranya adalah:65

1. perkataan yang membatakan perdamaian yang diucapkan oleh salah satu

orang yang berakad. Dalam hal ini qishash tidak termasuk kedalam perkara

yang dapat di damaikan.

2. menurut Abu Hanifah, terbatalnya suatu kontrak perdamaian ialah

berpindahnya orang murtad kenegara lain (negara orang kafir), atau orang

yang terlibat dalam kontrak mati murtad.

65 Ibid, h. 4366

Page 62: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

3. pemulangan dengan cara khiyar ‘aib (cacat) atau khiyar ru’yah. Dengan

pemulangan itu, maka batallah kontrak tersebut.

4. salah satu dari yang berakad merusak barang atau benda sebelum habis

masa kontrak atau jatuh tempo.

Syaikh Muhammad bin Qosim al-Ghazziy berpendapat dalam kitabnya Fath

al-Qarib al-Mujib bahwa shulh itu harus disertai dengan adanya suatu ikrar atau

pengakuan orang yang di dakwa atas barang yang di dakwakan dalam beberapa harta

benda.66

66 Syaikh Muhammad bin Qosim al-Ghazziy, Fath al-Qarib al-Mujib. Penerjemah A. Hanafi

Ibriy, (Surabaya: Tiga Dua, 1994), h. 39.

Page 63: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

BAB IV PEMBAGIAN WARIS DENGAN SHULH PERSPEKTIF FIQH

DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

A. Al-Shulhu dalam Waris menurut Fiqh

Wahbah al-Zuhaili berpendapat bahwa al-shulhu dalam bahasa Arab berarti

putus pertengkaran. Dalam pengertian syara’ (undang-undang) shulh adalah satu

perjanjian yang dibuat untuk menyelesaikan perselisihan.67

Pembahasan mengenai pembagian waris dengan cara shulh berhubungan erat

dengan macam-macam hak. Karena permasalahan hak ada yang bisa diselesaikan

dengan perdamaian dan ada yang tidak bisa diselesaikan dengan perdamaian.

Dalam kajian hukum Islam hak terbagi kepada beberapa kategori, yang

berasal dari dua kategori umum yaitu:68

1. Hak Allah yang disebut juga dengan hak umum adalah hak-hak yang

merupakan hak Allah dan hak umum yang bilamana dilanggar akan merusak

67 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, (Damaskus: Daar al-Fikr, 2004), Juz VI,

h. 4330 68 H. Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis

Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta: Kencana, 2004), cet ke-2. h. 341

Page 64: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

hubungan seseorang dengan Allah, atau hubungannya dengan orang lain,

dan bisa menggoncang stabilitas ketenteraman orang banyak.

2. Hak hamba atau hak perorangan adalah hak-hak yang bilamana dilanggar,

akan merugikn diri perorangan yang bersangkutan, tidak merugikan orang

lain.

Pada prinsipnya, semua hukum yang diturunkan oleh Allah adalah hak Allah

dalam arti wajib ditaati. Adanya pemisahan kategori tersebut adalah dalam rangka

pemisahan atau membedakan antara hukum yang cara penyelesaiannya terdapat jalan

alternatif selain dari hukum yang tertulis itu, dan hukum yang cara penyelesaiannya

tidak terdapat jalan alternatif, dengan kata lain harus mengikuti ketentuan hukum

yang sudah ada dalam nash.

Dalam masalah kewarisan, timbul pertanyaan, apakah hak seseorang untuk

mewarisi ahli warisnya yang meninggal termasuk kategori hak Allah atau hak

hamba?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, H. Satria Efendi yang menukil

pendapatnya Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya ushul al-fiqh beliau

menegaskan bahwa hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan ahli warisnya

yang meninggal dunia termasuk dalam kategori hak hamba atau hak perorangan

secara murni. Beliau menyejajarkan hak untuk mewarisi dengan hak untuk menagih

Page 65: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

atau menerima piutang dan masalah-masalah lain yang berhubungan dengan

pemilikan harta.69

Setelah menegaskan bahwa hak mewarisi adalah hak hamba secara murni,

Abu Zahrah menjelaskan lebih lanjut bahwa: “Melanggar hak hamba adalah sebuah

kezaliman. Allah tidak menerima taubat seseorang yang memakan hak hamba,

kecuali jika yang bersangkutan membayar hak itu kepada pemiliknya atau digugurkan

oleh pemilik atau memaafkannya. Hak semacam ini tidak lain adalah untuk

memelihara kemaslahatan perorangan. Oleh karena itu, hak seperti ini bisa

digugurkan oleh pemilik hak.70

Berdasarkan keterangan Abu Zahrah tersebut, maka pembagian harta warisan,

bilamana setiap ahli waris secara rela membaginya dengan cara kekeluargaan atau

perdamaian sesuai dengan kesepakatan setiap pihak yang terkait. Bahkan,

berdasarkan hal tersebut, adalah sah bilamana ada diantara ahli waris yang merelakan

atau menggugurkan haknya dalam pembagian harta warisan itu untuk diserahkan

kepada ahi waris yang lain.

Imam Syafi’i berpendapat dalam kitabnya al-Umm bahwa “apabila meninggal

seseorang dan ahli warisnya adalah wanita atau anak atau kalalah (tidak

meninggalkan ayah dan anak), kemudian para ahli waris mengadakan shulh setelah

69 Ibid. h. 342 70 Ibid, h, 342

Page 66: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

mengetahui bagian masing-masing. Dan mereka saling merelakan. Maka shulh itu

boleh dilakukan.71

Selanjutnya Imam Syafi’i menegaskan bahwa asal shulh itu adalah seperti

kedudukan penjualan. Apa yang boleh pada penjualan, maka boleh pada shulh. Dan

apa yang tidak boleh pada penjualan, maka tidak boleh pada shulh.

Aل�Pا� "�$: :"��ز�d: ا�- "�ز� " jو�{: ا� � �n�" �� n�" j�72{: ا�

Artinya: “apa yang boleh dalam jual beli maka boleh pada shulh, dan apa yang tidak

boleh dalam jual beli maka tidak boleh pula dalam shulh.”

Ibnu Rusyd menyatakan dalam kitabnya “Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah

al-Muqtashid”, bahwa kaum muslimin telah sependapat tentang kebolehan shulh

(perdamaian) dalam hal pengakuan. Kemudian mereka berselisih pendapat tentang

kebolehannya atas pengingkaran.73

Yaitu, bahwa seseorang menggugat orang lain

tentang suatu materi atau hutang atau manfaat kemudian si tergugat ingkar,

mengingkari apa yang digugatkan kepadanya, lalu mereka bershulh (damai).74

71 Imam Abi Abdillah Muhammad Bin idris Asy-Syafi’i, al-Umm, (Beiru: Daar al-Ma’rifah,

Tth), h. 224 72 Ibid, h. 224 73 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Kairo: Daar al-Hadis, 2004),

Juz IV, h. 77

74 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz XIII, h. 197

Page 67: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

Imam Syafi’i berpendapat bahwa perdamaian atas pengingkaran tidak

dibolehkan, karena hal itu termasuk memakan harta dengan cara yang bathil tanpa

penggantian.75

xy") O�F#7*8X��� J*B��!"#$�)5

J*Bd-k�& �1{N��$����&

O�#*�bM7�") ��_�& G`��a

¤�¥�%�$¦�� O�#7KLX��\� �4aD���X

b��� ��!"#$�)5 0�0-���

�A$Ac¨���& A%'�)5") ��#☺`7��

>;� ) 188 :2,ا�-��ة (

Artinya: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan

jalan bathil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada

hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta orang lain

itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-

Baqarah, 2:188)

Lebih lanjut Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa imam Malik dan imam Abu

Hanifah berpendapat tentang dibolehkannya perdamaian atas pengingkaran. Karena

didalam hal tersebut ada gantinya, yakni hapusnya perselisihan dan terhindarnya

sumpah.76

M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa tidak ada halangan bagi salah seorang

atau sebagian ahli waris menyerahkan sebagian atau seluruh hak warisnya kepada ahli

75 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, h. 77 76 Ibid, h. 78

Page 68: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

waris lain atau siapa pun. Bukaniah harta warisan yang diterimanya itu telah menjadi

haknya yang sah.77

Sampai dewasa ini, di seluruh dunia Islam, termasuk di Indonesia sistem waris

yang diberlakukan, baik dalam versi sunni, atau pun negara-negara Islam yang telah

mengupayakan kodifikasi hukum lewat perundang-undangan masih tetap

mempertahankan kalkulasi 2:1 antara laki-laki dan perempuan di mana seorang laki-

laki seumpama dua orang perempuan dalam derajat yang sama seperti antara anak-

anak pewaris maka anak laki-laki 2/3 dan anak perempuan memperoleh 1/3, apabila

anak perempuan berjumlah tiga orang dan ada seorang anak laki-laki, maka masing-

masing anak perempuan memperoleh 1/5 sedang anak laki-laki memperoleh 2/5, cara

seperti ini didukung secara langsung teks ayat (QS. Al-Nisa, 4:11), tanpa dapat

ditafsirkan lain karena taks suci dianggap jelas.78

Walaupun demikian, bagi Munawir konsep tersebut masih sangat meragukan

keadilannya, berdasarkan penelitian dan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat,

menurut Munawir, laporan para hakim di berbagai daerah seperti di Sulawesi Selatan

dan Kalimantan Selatan ditemukannya tindakan masyarakat menyimpang terhadap

ketentuan al-Qur’an tersebut tentang bagian laki-laki dan perempuan dengan

kalkulasi 2:1, dalam praktek di masyarakat, para ahli waris tetap meminta fatwa

77 M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab – 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda

Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), h. 580 78 A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta : PT

Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. I, h. 267

Page 69: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

tentang ketetapan hukum waris sesuai dengan faraidh Islam yang di dalamnya

menetapkan kalkulasi 2:1 antara laki-laki dan perempuan tetapi dalam

pelaksanaannya kerap kali para ahli waris tidak melaksanakan fatwa tersebut. Cara

seperti ini bukan hanya dilakukan orang-orang awam saja tetapi juga dilakukan oleh

tokoh-tokoh organisasi yang cukup menguasai ilmu-ilmu agama, belum lagi laporan

hasil penelitian mahasiswa di Aceh bahwa masyarakat setempat lebih suka meminta

fatwa waris di luar Pengadilan Agama.79

Dari seluruh kenyataan tersebut, secara ide, masyarakat muslim menerima

konsep waris antara laki-laki dan perempuan dengan kalkulasi 2:1, tetapi dalam

prakteknya masyarakat menjalankan sistem pembagian kalkulasi 1:1 antara laki-laki

dan perempuan. Masyarakat muslim sendiri tanpa disadari telah melakukan suatu

dekonstruksi sistem kalkulasi 2:1 menjadi 1:1, maka bagi Munawir persoalan tersebut

harus dipikirkan dan mencari kemungkinan agar dapat diterapkan secara legal dalam

yurisdiksi Pengadilan Agama, tanpa harus sembunyi-sembunyi dengan melakukan

helah hibah atau cara lain, tetapi harus berdasarkan hukum yang didukung oleh

penafsiran baru dalam al-Qur’an.

Untuk itu, menurut penulis, hukum Islam memberikan way out (jalan keluar)

dalam penyelesaian masalah kewarisan ini. Yakni dengan jalan shulh diantara ahli

waris setelah mereka menyadari bagian masing-masing.

79 Ibid., h. 268

Page 70: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

B. Penyelesaian melalui Shulh dalam Hukum Waris di Indonesia

Secara normatif, pembagian warisan hanya bisa dilakukan sesuai dengan

ketentuan yang tertera secara konkrit dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, para ulama

sepakat bahwa ketentuan yang ada dalam nash tersebut termasuk ayat-ayat dan

sunnah yang menunjukkan petunjuk pasti atau dalalah qath’i.

Pembagian warisan dengan shulh dapat dilakukan dalam keadaan tertentu.

Artinya, apabila di dalam kenyataan ahli waris yang menerima bagian yang lebih

besar, secara ekonomi telah berkecukupan, sementara ahli waris yang menerima

bagian sedikit, masih dalam keadaan ekonomi yang kekurangan, maka pembagian

warisan di antara ahli waris tersebut dapat dilakukan dengan cara shulh atau

bermufakat untuk melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan tersebut.

Dengan cara ini, memungkinkah ditempuh upaya-upaya mengurangi kesenjangan

ekonomi antara ahli waris yang satu dengan yang lainnya, sebab kesenjangan

ekonomi dapat memicu timbulnya konflik di antara ahli waris.

Dalam hal ini, Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengakomodasi sistem

pembagian warisan dengan cara damai atau shulh dalam pasal 183 yang menyatakan

bahwa “Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian

harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya”.80

80 Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta : Seri Pustaka Yustisia, 2004),

Cet I, h. 84.

Page 71: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

Namun, praktek pembagian harta warisan secara kekeluargaan itu sendiri

harus pula memenuhi syarat-syarat. Dan diantara syarat-syarat pentingnya adalah:81

1. Keharusan adanya kecakapan bertindak secara hukum yang didasarkan atas

kerelaan penuh dari pihak-pihak yang terlibat dalam pembagian warisan.

2. Adanya sifat rusyd (kemampuan untuk mengendalikan harta dan

pembelanjaannya.

3. Adanya ucapan ijab dan qobul.

Menurut ulama Ushul Fiqh ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

menentukan sikap, pendapat mana yang harus dipilih seorang hakim, yaitu:82

1. Bilamana salah satu pendapat telah menjadi undang-undang dalam sebuah

negara.

2. Jika belum menjadi undang-undang, tetapi telah menjadi kesepakatan dalam

suatu masyarakat bahwa pendapat itulah yang menjadi pegangan.

3. Jika belum ada undang-undang dan belum juga ada kesepakatan maka

pendapat yang diambil adalah pendapat yang biasa dipakai dan dikenal di

negeri itu.

81 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:

Prenada Media, 2004), h. 343

82 Ibid, h. 351.

Page 72: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

4. Hakim baru boleh keluar dari ketentuan-ketentuan tersebut, di samping jika

ternyata suatu pendapat bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, juga

pada kasus tertentu dalam pandangan hakim bilamana pertimbangan hukum

yang biasa dipakai secara umum diterapkan dalam kasus seperti itu, akan

menimbulkan efek negatif terhadap yang bersangkutan. Dalam kasus seperti

ini, hakim boleh membuat keputusan pengecualian yang dikenal dengan

istihsan.

C. Hikmah Al-Shulhu (Perdamaian)

1. Menurut Hukum Islam

Mengenai hikmah dilaksanakannya pembagian waris dengan shulh adalah

sebagai berikut :

a. Hubungan kekeluargaan diantara ahli waris tetap utuh dan tidak adanya

perselisishan diantara ahli waris. Hal ini terjadi karena shulh (perdamaian) itu

dilakukan dengan rasa ikhlas dan penuh dengan kesadaran yang di dasarkan

pada rasa persaudaraan. Sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT

dalam al-Qur’an yang berbunyi :

..........9O�#Ka0���") P �� ��P �� ��#*�"* �+,�� ©2�& �ª��`Io'(��") .......... ) 1: 4ا�#.�ء(

Artinya : “…….. dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan

(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama

Page 73: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim ……..” (Q.S Al-

Nisa, 4:1)

b. Dapat memperkokoh persatuan dan kesatuan antara sesama muslim. Hal ini

sesuai dengan sabda nabi Muhammad SAW sebagai berikut :

�%= و�!ادده= و�$�~F%= آ�o� ا�W.x اذااش/W�!u� �Oا�� �� ��8 ": ��ا#�����ى ا� ��Cوا� �%.�� LW. �Eرى(س��K-ا� Lروا(

83 Artinya : ”Kamu akan melihat kepada orang-orang mukmin itu dalam hal

kasih sayang diantara mereka, dalam kecintaan dan belas kasihan

diantara mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila satu bagian

dari tubuh itu meresa sakit, maka akan menjalarlah kesakitan itu

pada anggota tubuh yang lain dengan menyebabkan tidak dapat

tidur (insomania) dan merasakan demam.”

c. Dengan shulh dapat terhindar dari memakan atau mengambil barang (harta)

milik orang lain dengan cara yang bathil, karena shulh itu dilakukan dengan

rasa saling merelakan. Allah SWT berfirman :

xy") O�F#7*8X��� J*B��!"#$�)5 J*Bd-k�& �1{N��$����& ........... ) 188: 1ا�-��ة(

Artinya : “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang

lain diantara kamu dengan jalan yang bathil …..” (Q.S Al-Baqarah

: 188)

d. Tidak ada yang merasa dirugikan dan terhindar dari masalah kecemburuan

sosial atau ekonomi, karena perdamaian (shulh) itu dilakukan dengan cara

musyawarah (kompromi).

e. Dengan shulh (perdamaian) maka tercapailah tujuan dari pada hukum Islam

yaitu: menegakkan kebenaran dan keadilan, mengembalikan hak-hak kepada

83 Husein Bahreisj, Hadits Shahih Bukhari-Muslim, (Surabaya: CV. Karya Utama, t.th), h.

137-138.

Page 74: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

pemiliknya dan memelihara silaturahim atau hubungan kasih sayang diantara

sesama mahluq Allah SWT.

2. Menurut Hukum Positif

Adapun hikmah al-shulhu (damai) menurut hukum positif adalah sebagai

berikut :84

a. Hubungan antar para pihak kembali membaik bahkan menjadi lebih intim,

karena dalam perdamaian terdapat unsur take and give (pengorbanan).

b. Biaya yang dikeluarkan untuk perdamaian relatif lebih sedikit atau bahkan

bisa diabaikan.

c. Melaksanakan perdamaian tidak membutuhkan waktu yang lama atau

berlarut-larut, sehingga tidak mengganggu aktifitas yang lain.

d. Tidak banyak memeras pikiran, karena suasana dalam melakukan perdamaian

selalu dalam suasana yang kekeluargaan, terbuka, dan saling hormat

menghormati.

84 M. Nasir, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Djambatan, 2003), cet.ke-1, h. 115

Page 75: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

e. Sengketa atau permasalahan dapat berakhir secara tuntas dan damai, sehingga

tidak menimbulkan permusuhan antara pihak, karena perdamaian dilakukan

dengan cara kompromi (musyawarah).

f. Dapat tercapai tujuan dari pada penyelesaian perselisihan perdata.

D. Analisa Penulis tentang al-Shulhu

Islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk melakukan shulh atau

perdamaian dalam setiap penyelesaian masalah yang terjadi di lingkungan masyarakat

atau negara, dari mulai permasalahan individu dengan individu, individu dengan

masyarakat atau negara, dan seterusnya. Seperti yang tercantum dalam firman Allah

swt. dalam al-Qur’an tentang berbagai macam hal yang menyangkut atau

berhubungan dengan shulh. Dalam masalah peperangan antar sesama muslim,

sebagaimana firman Allah :

��a") ����\⌧=� �� s�� �HT4��☺$��� O�#7�\�\$���

O�#��bC)��X ��☺gh�ik�& O 8��W�X bc��& ��☺_��M`�a G`��

B���sV(�� O�#7\N�a�X m�fP��� m�II:�� 9m�f�2 "*FG���� �G`��a ��$�)5 ~ �� 9 ��W�X bJ"* ��X

O�#��bC)��X ��☺gh�ik�& ��bM�7$����& O�F#*{�,$�)5") O

0��a P �� k�*� .�T{�,$a☺$��� )9: 49ا��xCات (

Page 76: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

Artinya : “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang

hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar

perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu

perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut,

damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil;

Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujurat:

49/ 9)

Sedangkan dalil shulh dalam masalah urusan rumah tangga adalah firman

Allah sebai berikut :

���a") �d)5s�I��� bc�X��( 8�� ��_�7�& ��#K�%� ))5 �4;�(kb�a x⌧�X ���d-�

��☺hI6`�� �)5 �����D ��☺��"4k�& �☯�XC 9 ⌧X�����")

r6I��s B J"6� b2�5") ¡☯K=�'(�� �⌧G���� 9 ��a") O�#4�,�7�

O�#Ka¢\��") �/�W�X P �� ./�⌧8 ��☺�& ./#7�☺7�� �46����s ) 128: 4ا�#.�ء(

Artinya : “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari

suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang

sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia

itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan

memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah

adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Nisa: 4/ 128)

Allah juga mengkategorikan perdamaian sebagai suatu macam dari amal

kebaikan, sebagaiman yang di tegaskan dalam al-Qur’an sebagi berikut :

��a") A%'$=�s �[��aP �"«h�ik�& O�#7V�7I&���X

�Q☺�B�2 b��� ©5��¬)5 �Q☺�B�2") b��� ��_�¬)5 ��a ��MD��D

�☯�N`bC�a �­�X"#D E �� ��☺gh�i$��& B 0��a P �� ���⌧8

��☺��� �46��:�s ) 114: 4ا�#.�ء(

Page 77: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

Artinya : “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka

kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga

perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya

Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui

lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Nisa: 4/ 114)

�y "6I��s G�H �6�QxL ��� IJ_�"#b®�� �y�a b��� ����)5 |t���M+��& ))5

|�)�7�� ))5 �⌧N`bC�a .�T�& 0�0-��� 9 ���") I1�7$=�D .¯�!��

"* ��'I&�� J�+;��� ~ �� ��I#+,�X 2���%� ��b�)5 �°«UK� ) 35: 4ا�#.�ء(

Artinya : “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali

bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat

ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang

berbuat demikian Karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak kami memberi

kepadanya pahala yang besar.” (QS Al-Nisa: 4/ 35)

Dalam masalah warisan, kita tidak bisa terlepas dari tiga pokok permasalahan,

antara yang satu dengan yang lainnya tidak bisa dipisahkan atau dengan perkataan

lain yang satu merupakan rangkaian atau akibat dari yang lain.

Masalah pokok tersebut adalah, pertama adanya seseorang yang meninggal

dunia, kedua dia meninggalkan harta peninggalan, dan masalah yang ketiga adalah

dia meninggalkan orang-orang yang mengurusi dan berhak atas harta peninggalan

tersebut.

Di dalam KHI orang yang berhak mendapatkan harta warisan atau yang

disebut dengan ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai

hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan

tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.85

85 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), cet.

ke-3, h. 383

Page 78: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

Tidak selamanya hukum Islam harus mengikuti dengan ketentuan yang ada,

adakalanya hukum tersebut berubah sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan asal

tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah nabi SAW. Seperti dalam kaidah

fiqh “hukum itu bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman” atau “hukum itu

mengikuti kondisi yang dibutuhkan”.

Kaitannya dengan pembagian waris menggunakan konsep shulh (damai) ini,

bahwa konsep tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam nash,

karena tujuan dari al-Qur’an adalah untuk kedamaian, kesejahteraan, dan ketentraman

kehidupan umat manusia. Sedangkan tujuan shulh pun sama seperti tujuan al-Qur’an

tersebut, yaitu untuk menjadikan kehidupan yang damai, tentram, dan sejahtera bagi

para ahli waris yang ditinggalkan.

Dalam kajian hukum Islam, hak itu terbagi menjadi beberapa bagian atau

kategori yang berasal dari dua kategori umum, yaitu pertama, hak Allah yang sering

disebut juga dengan hak umum; kedua, hak hamba atau sering disebut juga dengan

hak perorangan.

Pada prinsipnya, semua hukum yang diturunkan oleh Allah adalah hak Allah

dalam arti wajib ditaati. Adanya pemisahan kategori tersebut adalah dalam rangka

pemisahan atau membedakan antara hukum yang cara penyelesaiannya terdapat jalan

alternatif selain dari hukum yang tertulis itu, dan hukum yang cara penyelesaiannya

tidak terdapat jalan alternatif, dengan kata lain harus mengikuti ketentuan hukum

yang sudah ada dalam nash.

Page 79: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

Dari uraian di atas (pendapat Muhammad Abu Zahrah), maka K.H. Ali

Darokah berpendapat bahwa “dalam pembagian warisan dalam keluarga muslim di

Indonesia anak laki-laki tidak harus dua bagian, tetapi dengan keputusan hakim yang

adil atau peraturan yang ada, bagian laki-laki itu diubah, dikurangi menurut bagian

yang wajar, sisa-sisa bagian diserahkan kepada yang mengerjakan tanggung jawab.86

Penulis pun berpendapat bahwa, pada dasarnya pendapat K.H.Ali Darokah

tidak salah karena, di dalam KHI pun pasal 183 menyatakan: “para ahli waris dapat

bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-

masing menyadari bagiannya.”

Dari pasal ini Ahmad Rofiq menyatakan bahwa, mengenai teknik

pelaksanannya dapat dibagi menurut ketentuan hukum kewarisan terlebih dahulu,

setelah itu diantara mereka berdamai dan membagi harta warisan tersebut

berdasarkan keperluan atau kondisi masing-masing ahli waris.87

Dalam hukum perdata diatur bahwa seorang hakim berkewajiban melakukan

mediasi (perdamaian) dan dia sebagai mediatornya sebelum pelaksanaan sidang

dimulai. Hal ini diatur dalam UU No.7 Tahun 1989 pasal 65, dan UU No.1 Tahun

1974, bahwa: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah

Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil untuk mendamaikan kedua

86 Ali Darokah, Reaktualisasi Mencari Kebenaran, Ikhtiar yang Wajar, dalam Iqbal

Abdurrauf Saimima, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1998), cet ke-1,

h. 76

87 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 116

Page 80: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

belah pihak”. Jadi, Hakim Peradilan Agama selayaknya menyadari dan mengemban

fungsi mendamaikan.

Adapun peranan hakim dalam mendamaikan para pihak yang berperkara

terbatas pada anjuran, nasihat, penjelasan, dan memberi bantuan dalam perumusan

sepanjang hal itu diminta oleh kedua belah pihak. Oleh karena itu, hasil akhir dari

perdamaian ini harus benar-benar merupakan hasil kesepakatan kehendak bebas dari

kedua belah pihak. Sebab perdamaian ditinjau dari sudut hukum Islam maupun

Hukum Perdata Barat (KUH Perdata) termasuk bidang Hukum Perjanjian.88

Dalam pasal 1320 KUH Perdata diatur tentang syarat-syarat sahnya suatu

perjanjian, yaitu: 1) adanya kesepakatan berdasarkan kehendak bebas dari kedua

belah pihak. Hal ini berarti bahwa dalam kesepakatan tersebut tidak boleh ada cacat

yang mengandung kehilafan (dwaling), paksaan (dwang) dalam segala bentuk baik

yang bersifat jasmani, rohani atau penipuan (bedrog); 2) kecakapan untuk melakukan

tindakan hukum. 3) mengenai hal tertentu; dan 4) didasarkan atas sebab yang halal.89

Dari berbagai pendapat di atas, penulis berpendapat bahwa cara pembagian

waris dengan konsep shulh (perdamaian) tidak menyalahi atau bertentangan dengan

tujuan syara’, karena pada dasarnya dalam perdamaian tidak ada pihak yang

dimenangkan atau dikalahkan, kedua pihak sama-sama menang dan sama-sama kalah

dan mereka dapat pulih kembali dalam suasana yang rukun dan penuh dengan

88 Hj. Sulaikin Lubis. dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2005), cet. II, h. 65

89 Ibid, h. 66

Page 81: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

persaudaraan. Dan perdamaian itu selagi masih dalam perdamaian yang

diperbolehkan oleh agama (bukan perdamaian yang dilarang), dan. Sebagaimana

hadis nabi Muhammad SAW, sebagai berikut :

���� وس�= Zا �? Zن: أن رس!ل ا+���A :8ل. 8� ���و 8 �!ف ا���.��8 ا� +E� }�jأ�

�� أو أ v��!ن ��� ش�و~%= إ^ ش�~� ��م �.���ا�� وا� �� أو أ v���م �C�? إ

��ا�� )�CC?ى وa��/ا� Lروا(

Artinya: “Dari Amr bin Auf al-Muzani, berkata; sesungguhnya Rasulullah SAW telah

bersabda: Perdamaian itu dibolehkan antara kaum muslimin, kecuali perdamaian

yang mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram dan

kaum muslimin terikat atas perjanjian-perjanjian mereka, kecuali perjanjian yang

mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram.” (HR.

Tirmidzi)

Selain itu, Khalifah Umar Ibn al-Khaththab pada suatu saat memberikan

nasihat kepada kaum muslimin:

��مر�hى او ذ�8 �ءuوا ا��در /� �nj�C" ن)!ا" �jKا� nث!ر ��بuا� lE�890

“Kembalikanlah penyelesaian perkara diantara keluarga, sehingga mereka dapat

mengadakan perdamaian, karena sesungguhnya penyelesaian dengan keputusan

pengadilan itu menimbulkan perasaan tidak enak.”

90 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 199

Page 82: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah mencermati dan menganalisa dari beberapa ketentuan yang terdapat

dalam Fiqh dan Hukum Islam di Indonesia, khususnya yang menyangkut masalah

waris dengan konsep shulh, maka dapat dicapai suatu kesimpulan bahwa:

1. Agama Islam mengatur ketentuan pembagian warisan secara rinci dalam al-

Qur’an agar tidak terjadi perselisihan diantara ahli waris sepeninggal orang

yang meninggal dunia dan hartanya diwarisi. Agama Islam menghendaki dan

meletakkan prinsip adil dan keadilan sebagai salah satu pembentukan

masyarakat yang damai dan sejahtera. Sebagai hasil karya intelektual, fiqh

mawaris melalui istinbat dan ijtihad dalam memahami ketentuan ayat al-

Qur’an dan al-Sunnah telah banyak dikemukakan oleh para ulama. Namun

perkembangan sosial yang terjadi dalam masyarakat melahirkan beberapa

gagasan pembaharuan dalam pembagian warisan. Secara normatif pembagian

warisan hanya bisa dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tertera secara

konkrit dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Akan tetapi dalam kenyataannya

masyarakat sering melakukan dengan sistim perdamaian. Dalam hal ini para

ulama sepakat bahwa pembagian waris dengan shulh (perdamaian)

dibolehkan, artinya tidak ada halangan bagi seseorang atau sebagian ahli waris

menyerahkan sebagian atau seluruh hak warisnya kepada ahli waris lain,

karena harta warisan yang diterimanya itu telah menjadi haknya yang sah.

Page 83: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadisnya “Perdamaian itu

diperbolehkan diantara kaum muslimin, kecuali perdamaian untuk

mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

2. mengenai pembagian waris dengan konsep shulh ini, Kompilasi Hukum Islam

(KHI) mengakomodasi konsep tersebut dalam pasal 183 yang menyatakan

bahwa “Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam

pembagian harta warisan setelah masing-masaing menyadari bagiannya.”

Dalam pasal tersebut KHI membolehkan para ahli waris melakukan

perdamaian, namun sebelum melakukan perdamaian hendaknya mereka (ahli

waris) mengetahui berapa bagian yang akan diterima oleh masing-masing ahli

waris jika tidak dengan perdamaian. hal tersebut bertujuan agar terhindar dari

perselisihan diantara ahli waris dan menumbuhkan rasa ikhlas yang teramat

dalam guna membantu sesama saudara. Dalam proses perdamaian ini para ahli

waris harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, yaitu pertama

kecakapan bertindak secara hukum yang didasarkan atas kerelaan penuh dari

pihak-pihak yang terlibat, kedua mempunyai sifat rusyd yakni mampu untuk

mengendalikan harta dan pembelanjaannya, ketiga adanya ucapan ijab dan

qobul.

B. Saran-saran

Page 84: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

Berdasarkan pembahasan yang telah di uraikan di atas, maka Penulis

memberikan saran-saran sebagai berikut :

1. Bagi seluruh masyarakat muslim yang akan melakukan pembagian warisan

dengan shulh, hendaknya mengetahui ketentuan pembagian warisan yang

sudah tercantum dalam al-Qur’an terlebih dahulu.

2. Untuk para ahli waris yang akan membagi harta warisan, hendaknya

diselesaikan di tingkat keluarga, sebelum mengupayakan ke tingkat

pengadilan.

3. Untuk para pengajar dan instansi pendidikan hendaknya pembahasan masalah

shulh ini, supaya dimasukkan kedalam kurikulum Madrasah Tsanawiyah

(MTs), SMP, SMA, sampai Perguran Tinggi.

4. Untuk para ulama, ustadz, muballigh hendaknya mensosialisasikan masalah

shulh ini melalui ceramah-ceramah, kuliah subuh, tausiah dan lain-lain.

Page 85: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim

Abu Amar, Imron, Terjemah Fath Al-Qorib, Kudus: Menara Kudus, jilid 1, 1983

Adi, Rianto, Metode Penelitian Hukum dan Sosial, Jakarta: Granit, 2004

Ali Muhammad, Maulana., Islamologi (Dinul Islam), Jakarta: Darul Kutubil

Islamiyah, Cet-ke-5, 1996

Ash-Shiddieqy, TM, Hasbi, Fiqh Mawaris Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra,

cet.III, 2001

Al-Munjid Fi Al Lughah Wal-I’lam, Beirut: Daar Al-Musyriq, Cet.ke-28, 1986

Al-Tirmidzi, Abi Isa Muhammad bin Isa bin Surah, Sunan al-Tirmidzi, Beirut: Daar

al-Fikr, juz. II, 1974,

Al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Damaskus: Daar al-Fikr, Juz VI,

2004

Asy-Syafi’I, Imam Abi Abdillah Muhammad Bin idris, al-Umm, Beirut: Daar al-

Ma’rifah, Tth

Bakar, Yasa, al, Abu, Ahli Waris sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap

Penalaran Fikih Mazhab, Jakarta: Inis, 1998

Dahlan, Abdul Aziz, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ikhtiyar Baru Van

Hoeve, 1996

Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, Cet.

ke-1, 2004

Fatchurrachman, Ilmu Waris, Bandung: Al-Ma’arif, 1981

Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta:

Pustaka Kartini, Cet.ke.-2, 1993

Hasan, M. Ali, Hukum Warisan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, cet.VI, 1996

Page 86: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

Hasbiyallah, H., M.Ag, Belajar Mudah Ilmu Waris, Bandung: PT. Remaja Rosda

Karya, cet.I, 2000

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Hadits, Jakarta:

Tintamas, 1982

Husein Bahreisj, Hadits Shahih Bukhari-Muslim, Surabaya: CV. Karya Utama, t.th

Jazairi, al, Jabir, Abu Bakar, Ensiklopedi Muslim Minhaj al-Muslim, Jakarta: Darul

Falah, Cet. ke-6, 2003

Karim, Helmi, Dr., Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet.ke-3,

2002

Komite Fakultas Syari’ah Univ. al-Azhar, Hukum Waris (terjemah), Jakarta: Senayan

Abadi Publishing, 2004

Lubis Sulaikin. Hj. dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia,

Jakarta: Kencana, 2005

Makhluf, Hasanain Muhammad, al-Mawarits fi al-Syri’at al-Islamiyah, al-Qahirah:

Lajnah al-Bayan al-Araby, 1958

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Madzhab, Terjemah Masykur AB, et.al.,

al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khomsah, Jakarta: Lentera Basritama, 1996

Munawwir, A.W, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya:

Pustaka Progressif, 1997, cet.ke-14

Musa, Muhammad Yusuf, Dr, Al-Tirkah wa al-Mirat fi al-Islam, Mesir: Daar al-Kitab

al-Araby, 1959

M. Zein, Satria Effendi, Prof. Dr. H. MA, Problematika Hukum Keluarga Islam

Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2004.

Nasir, M, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Djambatan, cet.ke-1, 2003

Ramulyo, Idris, M, S.H., Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: IND – HILL, Co, 1984

Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, Cet.ke-38, 2005

Rofiq, Ahmad, S.H., Dr., Fiqih Mawaris, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. ke-4,

2003

Page 87: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan

Rusyd, Ibnu, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Kairo: Daar al-Hadis,

Juz IV, 2004

Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Bandung: Al- Ma’arif, Cet. ke-1, 1987

Sarmadi, A. Sukris, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif,

Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997

Shihab, M. Quraish, M. Quraish Shihab Menjawab – 1001 Soal Keislaman yang

Patut Anda Ketahui, Jakarta: Lentera Hati, 2008

Singarimbun Masri dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES,

Cet. I, 1995

Sudarsono, Pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, Cet.ke-2, 2001

--------------, Kamus Hukum, Jakarta: PT. Rineka Cipta, cet.ke-3, 2002

Sulaiman, Abu Daud al-‘Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abu Daud, Beirut: Daar al-Fikr,

Juz.III, 1994

Syaikh Muhammad bin Qosim al-Ghazziy, Fath al-Qarib al-Mujib. Penerjemah A.

Hanafi Ibriy, Surabaya: Tiga Dua, 1994

Syaikh Husain Yusuf Ghazal, al-Mirats ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah Dirasatan wa

Tathbiqon, Beirut: Daar al-Fikr, 2003

Syarifuddin, Amir, Prof., Dr., H., Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, Cet.

ke-2, 2005

Taqiyuddin, Imam Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayatul Akhyar, terj.

K.H. Syarifuddin Anwar dan K.H. Mishbah Musthafa, Surabaya: Bina Iman,

1993

Zahra, Abu, Muhammad, Prof., Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. ke-9,

2005

Page 88: berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18932/1/M. ALI... · BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM ... B. Kedudukan