Top Banner

Click here to load reader

15

Berani di jalan dakwah

Jun 20, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Berani di jalan dakwah

1

Tafsir QS al-Mâidah/5: 54

“Berani Di Jalan Dakwah”

Teks Ayat al-Quran

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang

yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas

(pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Mâidah/5: 54)

Tafsîr al-Mufradât

: Sikap lemah-lembut, penuh kasih sayang yang ditunjukkan

dengan perhatian dan solidaritas yang bermuara pada

kokohnya ukhuwwah antar-mukmin.

: Sikap keras, lugas dan tegas dan tanpa kompromi, yang

harus dipilih karena sikap orang-orang kafir yang – dengan

sengaja – menciptakan permusuhan dan telah terbukti memberikan dampak negatif bagi keutuhan persaudaraan

orang-orang yang beriman. : Celaan setiap orang yang – dengan sengaja – mencela orang-

orang yang beriman, ketika orang-orang yang beriman tengah berjihad di jalan Allah.

Penjelasan

Kehidupan dunia ini diiringi kesulitan demi kesulitan, sebagaimana yang tersirat dalam firman Allah dalam QS al- Balad/90: 4,

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.”

Page 2: Berani di jalan dakwah

2

Sehingga, kesulitan adalah sesuatu yang tak bisa dielakkan. Itu realita perjalanan dunia ini. Kesulitan menjadi risiko hidup. Tak seorang pun

yang lepas dari kenyataan itu. Namun yang acapkali terjadi adalah takut terhadap risiko yang bakal muncul lantaran kekerdilan jiwa untuk

menghadapinya. Lalu timbullah ketakutan-ketakutan. Rasa ketakutan ini cuma menggiring seseorang menjadi pengecut. Dan akhirnya lari dari

kenyataan.

Sifat pengecut dipandang sebagai sifat tercela yang tidak boleh dimiliki orang-orang yang beriman. Karena pengecut artinya ia tidak mau

menanggung dan menghadapi risiko yang memang sudah menjadi

konsekuensinya. Perilaku ini merupakan perilaku orang-orang yang setengah hati dalam keimanan, hanya ingin serba enak tanpa harus bersusah payah

menghadapi masalah rumit. Sifat pengecut akan menjadi penghalang untuk maju dan pemberat langkah kesuksesan.

Saat ini dunia dipenuhi dengan orang-orang yang memiliki sifat

pengecut. Sebuah hadits Nabi s.a.w. memprediksikan di suatu masa umat Islam akan menjadi bulan-bulanan dan santapan empuk musuh-musuh Islam

karena sudah mengidap penyakit wahn, yakni cinta dunia dan takut mati.

Memang, penyakit wahn-lah yang menyebabkan umat Islam banyak yang

menjadi pengecut sehingga tidak lagi disegani oleh musuh-musuhnya yakni kaum kafir, musyrikin dan munafikin.

Islam memandang hina orang yang pengecut. Baik pengecut untuk

memertahankan hidup sehingga gampang putus asa. Pengecut lantaran takut dikucilkan dari komunitasnya. Pengecut karena berlainan dengan sikap banyak orang. Atau pengecut untuk membela sebuah nilai. Kemudian

menjerumuskan pelakunya pada sikap yang ‘plin-plan’ tanpa prinsip. Rasulullah s.a.w. bersabda,

“Janganlah kamu menjadi orang yang tidak memunyai sikap. Bila orang melakukan kebaikan maka aku pun melakukannya. Namun bila orang melakukan keburukan maka aku pun ikut melakukannya juga. Akan tetapi jadilah orang yang punya sikap

dan keberanian. Jika orang melakukan kebaikan maka aku melakukannya. Namun

jika orang melakukan keburukan maka aku tinggalkan sikap buruk mereka.” (HR

at-Tirmidzi dari Hudzaifah, Sunan at-Tirmidzi, IV/364, hadits no. 2007)

Page 3: Berani di jalan dakwah

3

Allah SWT selalu menggelorakan semangat kepada orang-orang yang beriman agar ‘mereka’ jangan sampai menjadi penakut atau pengecut.

Karena rasa takut akan membawa kepada kegagalan dan kekalahan. Keberanian harus selalu menjadi seruan yang terus berulang-ulang

dikumandangkan. Karena keberanian adalah tuntutan keimanan. Iman pada Allah SWT mengajarkan menjadi orang-orang yang berani menghadapi

beragam risiko dalam hidup ini terlebih lagi, risiko dalam memerjuangkan dakwah ini.

Asy-Syajâ’ah atau keberanian merupakan jalan untuk mewujudkan

sebuah kemenangan dan sebagai ‘izzah (kemuliaan diri) keimanan dan ‘iffah

(kesucian diri) keislaman. Tak pernah boleh ada, kata gentar bagi da’i dakwah saat mengemban tugas bila ingin meraih kegemilangan. Dari sisi

inilah kaum yang beriman berada jauh di atas kebanyakan orang. Karena ‘izzah keimanan menuntun mereka untuk tidak takut dan gentar sedikitpun.

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang

beriman”. (QS Āli ‘Imrân/3: 139)

Dahulu yang membuat gentar musuh-musuh Islam adalah keberanian pejuang-pejuang Islam yang menghambur ke medan perang

dengan suka cita karena pilihannya sama-sama baik yakni hidup mulia dengan meraih kemenangan atau mati syahid di jalan Allah. Bahkan mereka jauh mencintai kemuliaan sebagai syahid sebagaimana kecintaan kaum kafir

terhadap dunia. Dengan sikap ini kaum muslimin banyak memeroleh anugerah kemenangan dakwah di berbagai tempat.

Orang-orang kafir amat takut terhadap orang-orang yang beriman

yang memiliki prinsip ini. Sehingga mereka berupaya agar sifat berani tidak bersemayam dalam diri orang-orang mukmin. Lalu mereka takut-takuti

kaum muslimin dengan situasi dan kondisi masa depan yang suram, ancaman, teror, intimidasi atau tekanan-tekanan lainnya agar umat ini tidak lagi berani memerjuangkan nilai dan norma yang diyakininya. Akhirnya

timbullah sikap takut yang luar biasa hingga melemahkan semangat juangnya.

Oleh karena itu jangan tertipu oleh upaya orang-orang kafir untuk

menghilangkan sifat asy-syajâ’ah. Sebab asy-syajâ’ah merupakan harga diri

orang-orang beriman. Lantaran sifat itu sebulan sebelum kedatangan kaum

muslimin orang-orang di Babylonia telah lari tunggang langgang mendengar umat Islam akan tiba di negeri mereka. Sampai-sampai Khalid bin Walid r.a.

menenangkan masyarakat Romawi agar tidak perlu teramat takut pada

Page 4: Berani di jalan dakwah

4

kaum muslimin karena kedatangan umat Islam hanya untuk menyerukan Islam dan mengajak mereka menghamba pada Allah SWT semata.

Asy-Syajâ’ah (keberanian) menjadi salah satu ciri yang dimiliki orang

yang istiqamah di jalan Allah, selain ciri-ciri berupa al-ithmi’nân (ketenangan)

dan at-tafâul (optimisme). Dengan demikian orang yang istiqamahlah akan

senantiasa berani, tenang dan optimis karena yakin berada di jalan yang benar dan yakin pula akan dekatnya pertolongan Allah. Namun memang tak

mudah untuk menjadi orang yang bersikap istiqamah atau teguh pendirian memegang nilai-nilai kebenaran dan senantiasa berada di jalan Allah.

Bahkan Rasulullah s.a.w. pun menyatakan bahwa turunnya QS Hûd menjadikan beliau ‘beruban’ karena di dalamnya ada ayat (QS Hûd/11: 112)

yang memerintahkan untuk beristiqamah,

“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu

dan (juga) orang yang telah tobat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.“

Rasulullah s.a.w. memahami benar makna istiqamah yang sesungguhnya sampai ketika Sufyan bin Abdullah ats-Tsaqafi bertanya ‘hal

terpenting’ dalam Islam yang ketika sudah dijelaskan, menjadikannya tak perlu bertanya lagi, beliau menjawab,

“Berimanlah kepada Allah dan kemudian beristiqamahlah (terhadap yang kau imani

tersebut).” (HR Muslim, Shahîh Muslim, I/47, hadits no. 168).

Di kesempatan lain, Rasulullah s.a.w. juga mengatakan tantangan

buat orang yang istiqamah memegang Islam di akhir zaman, begitu berat laksana menggenggam bara api.

Keberanian untuk tetap istiqamah walau nyawa ‘merupakan’

taruhannya, tampak jelas pada diri orang-orang beriman di dalam surat QS al-Burûj/85: 4-8 yang dimasukkan ke dalam parit dan dibakar oleh ash-hâbul

ukhdûd hanya karena mereka menyatakan keimanannya kepada Allah SWT.

Begitu pula Asiyah, isteri Fir’aun dan Masyithah, pelayan Fir’aun, kedua-duanya harus menebus keimanan mereka kepada Allah dengan nyawa

mereka. Asiyah di tiang penyiksaannya dan Masyithah di kuali panas mendidih beserta seluruh keluarganya karena mereka berdua tak sudi

menuhankan Fir’aun. Demikian sulitnya untuk memertahankan

Page 5: Berani di jalan dakwah

5

keistiqamahan di jalan Allah, dan demikian sulit pula untuk mewujudkan asy-Syajâ’ah sebagai salah satu aspeknya.

Tetapi, seperti apa pun sulitnya, ‘kita’ (setiap muslim) “harus pantang menyerah”.

Muthâllibatu ad-Da’wah (Tuntutan Dakwah)

Dalam mengusung amanah dakwah, slogan ‘Jangan pernah takut,

Maju pantang mundur, Berani karena benar, rela mati demi kebenaran’ tidak boleh

luntur melainkan harus tetap terpatri dalam sanubari da’i dakwah.

Melekatnya doktrin itu, membuat da’i dakwah tidak akan lari ke belakang

demi kemenangan dakwah ini. Karena asy-syajâ’ah (keberanian) mengemban

amanah umat merupakan tuntutan dakwah.

Manakala Allah SWT berbicara tentang penyelamatan dakwah,

maka aspek asy-syajâ’ah ini yang selalu disebut-sebut oleh-Nya. Sebagaimana

dalam QS at-Taubah/9: 40,

‘Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah

menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada

(Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’

Di samping itu sikap asy-syajâ’ah para da’i menjadi sebab dakwah

berkesinambungan di muka bumi ini. Dengannya dakwah ini berjalan terus

sekalipun harus melewati bukit terjal ataupun tembok besar. Berisiko berat ataupun ringan. Dengan keberanian para pejuang dakwah, ajaran Islam ini

merambah ke berbagai pelosok dunia bahkan sampai pada diri kita saat ini. Padahal bila dilihat tantangan dan rintangan yang dihadapi sangat berat. Tantangan alam, geografis, budaya, maupun rintangan dari musuh-musuh

Page 6: Berani di jalan dakwah

6

dakwah. Tanpa keberanian mereka, perjalanan dakwah ini akan tertatih-tatih lantaran ketakutan yang melemahkan gerak dakwah ini.

Da’âimu asy-Syajâ’ah (Pilar Keberanian)

Karena sikap asy-syajâ’ah merupakan tuntutan dakwah maka para

da’i mesti selalu memompa dan menopang keberaniannya agar kata takut

dan pengecut tidak lagi melekat dalam dirinya. Takut dan pengecut tidak boleh ada dalam memerjuangkan dakwah. Adapun pilar-pilar yang

menghantarkan diri seorang da’i memiliki sifat asy-syajâ’ah adalah hal-hal

berikut ini:

1. Al-Îmân bi al-Ghaib (Iman Dengan Yang Ghaib)

Penopang yang amat kokoh untuk menguatkan sikap asy-syajâ’ah

dalam diri da’I, dakwah adalah memerkuat keyakinannya akan hal-hal yang

ghaib. Seperti yakin akan pertolongan Allah SWT Yakin akan malaikat-malaikat-Nya yang senantiasa membantu orang yang memerjuangkan agama

Allah SWT Begitu pula yakin akan kehidupan akhirat yang ditentukan oleh amaliyah kita di dunia ini, khususnya amal-amal dakwah.

Keyakinan pada hal yang ghaib memunculkan sikap berani, tak

takut terhadap apa yang terjadi. Karena semua yang bakal terjadi telah menjadi ketentuan dalam kehidupan seseorang. Ia merupakan takdir yang telah ditetapkan. Sebagaimana pengalaman nyata yang menarik dari seorang

da’i dakwah yang diancam atas perjuangannya selama ini. Tatkala di atas kepalanya ditodongkan pistol. Lalu sang algojo mengatakan, ‘Mana

Tuhanmu, Apakah ia bisa menyelamatkan kamu kalau pelatuk pistol ini kugerakkan. Dan hancurlah batok kepalamu berkeping-keping. Jawab sang

aktivis, Bila Tuhanku tidak mengizinkan pistol itu meledak maka aku tidak akan mati. Atau kalaupun pistol itu meledak namun Tuhanku tidak menetapkan aku mati maka aku pun tidak akan mati’. Jawaban ini sebagai

jawaban atas keyakinan pada Yang Ghaib, yakni Allah SWT

Keyakinan semacam ini adalah buah dari tarbiyah yag telah menanamkan rasa takut hanya pada Allah SWT dan senantiasa bergantung

pada-Nya. Sehingga da’i memiliki cantolan yang teramat kuat. Lantaran pegangan dirinya kepada yang Maha Kuat ia tidak pernah mundur

menghadapi cobaan dan rintangan dakwah. Demikianlah hasil dari proses tarbiyah yang panjang, membina aktivis untuk senantiasa yakin dengan sebenar-benarnya pada kekuatan yang Ghaib.

Rasulullah s.a.w. telah mengingatkan Abu Bakar r.a. akan keyakinan pada Rabbul ‘Izzati. Di saat orang-orang kafir sudah berada di Gua

Tsur ingin membunuhnya. Abu Bakar hingga mencemaskan, “Ya Rasulullah

s.a.w., sekiranya salah satu dari mereka melihat betisnya maka mereka pasti

Page 7: Berani di jalan dakwah

7

akan melihat kita.” Nabi s.a.w. menenangkannya dengan menyatakan, “Duhai Abu Bakar, apakah kamu mengira kita di sini cuma berdua. Tidak,

Abu Bakar. Kita di sini bertiga. Janganlah takut dan gentar, Allah bersama kita.” Sebagaimana yang hadits berikut,

"Aku berkata kepada Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam saat berada di gua:

"Seandainya salah seorang dari mereka melihat ke bawah kedua kakinya pasti dia

melihat kita". Maka beliau berkata: "Tidakkah engkau beranggapan wahai Abu

Bakr, bahwa jika ada dua orang, maka Allah yang ketiganya?” (HR al-Bukhari

dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Shahîh al-Bukhâriy, V/4, hadits no. 3653)

Karenanya jiwa para da’i tidak boleh luput untuk selalu berinteraksi pada Allah SWT agar dikuatkan diri dan jiwa dalam memerjuangkan

dakwah. Karena kemenangan para pejuang dakwah bukan ditentukan oleh kekuatan material melainkan kekuatan dari Yang Maha Perkasa.

2. Al-Mujâhadah ‘Alâ al-Khauf (Menaklukkan Rasa Takut)

Rasa takut sebagai lawan dari asy-Syajâ’ah memang amat

manusiawi. Kenyataan ini merupakan watak alamiyah yang dimiliki setiap insan. Seperti takut terbakar, tenggelam, terjatuh di mangsa binatang buas

dan lain sebagainya. Namun rasa takut semacam itu harus berada di bawah khauf syar’i yakni takut kepada Allah SWT Sehingga setiap da’i dakwah

sepatutnya menaklukkan rasa takut thabi’inya dengan mengkedepankan rasa takut kepada Allah, Rabbbul ‘Izzati. Dengan begitu mereka akan ringan

dalam memerjuangkan dakwah, tidak maju mundur lantaran ketakutan-ketakutan yang ada pada dirinya.

Hal tersebut secara indah dan heroik terlihat gamblang pada kisah

Nabi Musa a.s., Ibrahim a.s., dan Muhammad s.a.w. Rasa takut pada

kemungkinan tenggelam ke laut merah teratasi oleh ketenangan, optimisme, dan keberanian Nabi Musa a.s. yang senantiasa yakin Allah bersamanya dan

akan menunjukinya jalan. Dan benar saja Allah memberinya jalan keluar berupa mukjizat berupa terbelahnya laut merah dengan pukulan tongkatnya

sehingga bisa dilalui oleh Nabi Musa dan pengikutnya. Kemudian laut itu menyatu kembali dan menenggelamkan Fir’aun beserta tentaranya.

Kisah yang tak kalah mencengangkannya terlihat pada peristiwa

pembakaran Nabi Ibrahim a.s. Rasa takut thabi’i (instingtif) terhadap api dan

Page 8: Berani di jalan dakwah

8

terbakar olehnya teratasi oleh rasa takut syar’i, yakni takut kepada Allah saja.

Dan subhânallâh, pertolongan Allah datang dengan perintah-Nya kepada api

agar menjadi dingin dan sejuk serta menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s.

Selayaknya setiap da’i dakwah selalu menundukkan rasa takut insaniyahnya dengan mendominasikan rasa takut syar’inya. Sehingga yang

selalu tertanam dalam dirinya hanya takut pada Allah semata. Dan tidak pernah gentar akan kekuatan-kekuatan selain Allah SWT

3. Taurîts al-Khairiyyah (Mewariskan Hal Yang Terbaik)

Penopang lainnya adalah dengan memertimbangkan keadaan

generasi berikutnya harus lebih baik dari sebelumnya. Maka warisan yang ditinggalkan untuk mereka adalah warisan-warisan kemuliaan. Sehingga

mereka mengikuti jejak para pendahulunya yang mempunyai akhlaq mulia. Bila menginginkan generasi sesudahnya menjadi pemberani, maka wariskan

sifat berani pada mereka. Namun bila mewariskan sifat takut dan pengecut maka jangan harap generasi berikutnya menjadi orang-orang yang heroik dan patriotik.

Abul ‘Ala al-Maududi menegaskan bahwa untuk mewariskan keturunan dan generasi yang lebih baik maka jangan lakukan sifat-sifat rendahan. Karena itu akan menjadi contoh bagi mereka. Ingatlah kebaikan

akan mewariskan kebaikan dan keburukan akan mewarisi keburukan pula. Oleh karena itu Allah SWT telah mengingatkan agar memerhatikan nasib

generasi berikutnya dengan mewariskan nilai-nilai kebaikan untuk menjadi dhawabith khairiyah bagi mereka,

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap

(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan

hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS an Nisâ’/4: 9)

Adalah hal yang patut dipikirkan para da’I, dakwah untuk selalu menanamkan tekad dan kemauan agar melahirkan generasi yang terbaik

dengan selalu berpegang pada sikap-sikap keteladanan yang di antaranya

sikap asy-syajâ’ah.

4. Ash-Shabru ‘Alâ ath-Thâ’ah (Bersabar Terhadap Ketaatan)

Page 9: Berani di jalan dakwah

9

Keberanian akan terus ada pada diri da’i bila mereka bersabar. Sabar terhadap peristiwa yang mereka alami. Karena kesabaran itu

merupakan senjata yang ampuh yang memberikan ketahanan menghadapi tekanan berat sekalipun. Dengan kesabaran kita pun dapat membandingkan

kejadian yang dirasakan generasi yang lalu dengan yang sedang kita rasakan. Mereka tentu telah mengalami cobaan yang lebih berat ketimbang yang kita

alami saat ini. Dengan kesabaran ini kita dapat bertahan dan terus maju melangkah di atas jalan dakwah dengan gagah berani.

Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. saat

menasihati Khabbab bin al-Arts yang berkeluh kesah atas beratnya

penderitaan yang dialaminya, beliau mengingatkan Khabbab akan perjuangan para Nabi dan orang-orang shaleh terdahulu yang jauh lebih

berat tapi mereka tetap berani dan tabah. Jadi kita bisa memupuk keberanian dan kesabaran dengan berkata, “Ah… cobaan ini belum seberapa dibanding yang

pernah dialami orang-orang shaleh terdahulu.“ Sebagaimana hadits berikut,

“Kami pernah mengeluhkan penderitaan kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa

sallam yang ketika itu beliau beralaskan kain panjangnya di naungan Ka'bah. Maka kami mengadu; 'Tidakkah engkau meminta pertolongan untuk kami? Tidakkah engkau berdoa untuk kami? ' Maka beliau bersabda; "Sungguh sebelum kalian ada

orang yang diringkus kemudian digalikan lubang baginya dan ia ditimbun di sana, lantas didatangkan gergaji dan diletakkan di kepalanya, sehingga kepalanya terbelah menjadi dua, dan ada yang disisir dengan sisir besi sehingga memisahkan tulang dan dagingnya namun semua siksaan itu tidak memalingkannya dari agamanya, demi

Allah, perkara ini akan sempurna sehingga seorang pengendara bisa berjalan dari Shan'a hingga Hadramaut, dan ia tidak khawatir selain kepada Allah dan srigala yang akan menerkam kambingnya, namun kalian ini orang yang suka tergesa-gesa."

Page 10: Berani di jalan dakwah

10

(HR al-Bukhari dari Khabbab bin al-Arts, Shahîh al-Bukhâriy, IV/244, hadits

no. 3612)

Oleh sebab itu bekal kesabaran tidak boleh dalam keadaan defisit.

Kesabaran mesti dalam kondisi yang selalu cukup dan bertambah. Karena kesabaran yang kuat menjadi tameng dalam menyelamatkan diri atas

cobaan-cobaan berat dakwah ini. Allah SWT pun mengingatkan agar senantiasa bersabar dan menguatkan kesabaran,

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah

supaya kamu beruntung”. (QS Āli ‘Imrân/3: 200)

5. Al-Ajru min Allâh (Berharap Balasan Dari Allah)

Seorang da’i juga bisa mengusung dakwah ini dengan berani karena berharap balasan yang besar dari Allah SWT Balasan yang dijanjikan ini meminimalkan perasaan takut akan ancaman dalam memerjuangkan

dakwah. Rasa takut akan segera sirna bila balasan yang dijanjikan jauh lebih besar dari apa yang diderita saat itu. Bahkan balasan yang pasti diberikan itu

dapat memompa semangat juang da’i untuk terus berada di jalan dakwah dan memerjuangkannya sampai titik darah penghabisan. Maka balasan

Allah SWT itu seyogianya tervisualisasi dengan baik pada diri da’i dakwah. Seakan-akan semua balasan itu ada di pelupuk mata,

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada

mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memeroleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memeroleh apa yang kamu inginkan dan

memeroleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu)

Page 11: Berani di jalan dakwah

11

dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS Fushshilat/41:

30-32)

Bila balasan yang dijanjikan Allah SWT senantiasa terngiang-ngiang dalam benak da’i, maka tidak ada alasan untuk takut dan pengecut. Rasulullah s.a.w. mengingatkan Abdullah bin Harits yang mengungkapkan

keinginannya untuk masuk Islam. Namun ia perlu mengajukan dua syarat yang memang terjadi pada dirinya. Pertama, tidak dibebankan infak karena

dia orang yang termiskin di keluarga dan kabilahnya dan tidak pula diwajibkan berperang karena dia seorang yang penakut. Nabi menjawab,

“Wahai Abdullah, bila itu kamu syaratkan lalu dengan apa kamu akan

masuk surga?” Maka Abdullah menandaskan, “Kalau begitu, ya Rasulullah, aku akan berinfak dan akan berjuangan di jalan Allah SWT” Begitulah

akhirnya Abdullah bin Harits berada di barisan terdepan di jalan dakwah tanpa rasa takut dan lemah.

As-Syajâ’ah atau keberanian tentu saja berbeda dengan bersikap

‘nekat’, “ngawur” atau tanpa perhitungan dan pertimbangan. Asy-Syajâ’ah

adalah keberanian yang didasari pertimbangan matang dan penuh

perhitungan karena ingin meraih ridha Allah. Dan untuk meraih ridha Allah, tentu saja diperlukan ketekunan kecermatan dan kerapian kerja (itqân).

Bukan keberanian yang tanpa perhitungan yang melahirkan kenekatan, namun juga bukan terlalu perhitungan dan pertimbangan yang melahirkan

ketakutan.

Perwujudan sikap asy-syajâ’ah dalam kehidupan ini amatlah banyak

terlebih dalam memerjuangkan dakwah. Implementasinya bisa bermacam-

macam. Di antaranya

a. Quwwah al-Ihtimâl (Memiliki Daya Tahan Yang Besar)

Seseorang dapat dikatakan memiliki sifat berani jika ia memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan

mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.

Begitu banyak orang yang tidak memiliki daya tahan tinggi

terhadap segala tantangan dan kesulitan sehingga mudah surut, menyerah

atau berputus-asa. Padahal dalam kehidupan yang semakin berat dan sulit dewasa ini begitu banyak tantangan dan marabahaya yang harus disikapi dan dihadapi dengan berani, karena bersikap pengecut dan melarikan diri

dari persoalan hidup yang berat tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Apalagi dalam perjuangan dakwah untuk mencapai kemenangannya.

Daya tahan yang besar terhadap tekanan memberikan kemampuan

menanggung beban-beban berat sendirian tanpa menyertakan yang lainnya. Malah ia ingin saudara-saudaranya tidak boleh mengalami kesulitan lantaran

Page 12: Berani di jalan dakwah

12

dirinya. Bila perlu ia yang menanggung penderitaan saudaranya yang lain. Begitulah kekuatan daya tahan da’i dakwah yang patriotik.

Khubaib bin ‘Adiy pernah ditawari Abu Sufyan ketika akan dieksekusi mati. “Wahai Hubaib, bagaimana kalau dirimu digantikan oleh Muhammad yang akan menduduki kursi pesakitan itu.” Khubaib menjawab,

“Demi Allah yang diriku dalam genggaman-Nya. Aku tidak akan rela bila Muhammad menggantikan diriku begini. Kalau sekiranya aku tahu bahwa

Muhammad sekarang ini tertusuk duri, maka aku tidak bisa tenang dan aku beserta keluargaku akan menggantikannya menderita karena tertusuk duri.”

Inilah daya tahan yang kuat, berani menanggung beban risiko sendirian dan

tidak ingin melibatkan kesulitan dirinya pada saudaranya.

b. Ash-Sharâhah fî al-Haq (Berterus Terang pada Kebenaran)

Keterusterangan dalam kebenaran sebagai indikasi keberanian.

Sekalipun hal itu akan mengundang ekses padanya. Terkadang ada yang tidak bisa menerimanya. Ada juga yang memusuhinya. Ada pula yang mengancamnya. Bahkan ada pula yang tidak siap mendengarnya lalu

membunuhnya.

Mengatakan yang benar dengan terus terang memang sesuatu yang pahit bila dilihat dari sisi dampak yang bakal muncul. Namun bila dilihat

dari sisi manfaat dan izzah keimanan ia menjadi sebuah keharusan. Sebagaimana sabda Nabi s.a.w,

“Katakan yang benar meskipun itu pahit” (HR al-Baihaqi, Syu’ab al-Îmân,

VII/21, hadits no. 4592 dan HR Ibnu Hibban, Shahîh ibn Hibbân, II/76,

hadits no. 361, dari Abu Dzar)

Dan berkata benar di hadapan penguasa yang zhalim adalah juga

salah satu bentuk jihad bil lisan. Jelas saja dibutuhkan keberanian

menanggung segala risiko bila kita senantiasa berterus terang dalam kebenaran.

Tidak sedikit orang tergelincir dalam bersikap lalu ia berdusta atau diam karena khawatir akan risiko-risikonya. Sikap ini dipilih untuk mencari jalan selamat. Atau memang ia seorang pengecut dan penakut. Padahal

sangat mungkin penguasa itu mendapatkan hidayah bila seseorang menyampaikan kebenaran tanpa rasa takut kepadanya. Ada seorang

penguasa zhalim menginsafi dirinya. Sang penguasa menangis atas nasihat

Page 13: Berani di jalan dakwah

13

yang diucapkan seorang ulama yang berani memaparkan kebenaran padanya.

Sikap berani menyampaikan kebenaran yang mengandung risiko berat menjadi harga diri seorang da’i dalam memerjuangkan dakwah. Para musuh tidak akan menganggap miring pada orang-orang yang mempunyai

sikap ini. Malah mungkin sangat dipandang. Paling tidak sang penguasa akan gentar menghadapinya.

c. Kitmân as Sirr (Kemampuan Menjaga Rahasia)

Kemampuan menyimpan rahasia merupakan bentuk keberanian

yang bertanggung jawab. Orang yang berani adalah orang yang bekerja dengan baik, cermat dan penuh perhitungan terutama dalam persiapan jihad

menghadapi musuh-musuh Islam termasuk di dalamnya mampu menyimpan rahasia dengan serapat-rapatnya. Sebab kerahasiaan adalah tanggungan yang

harus disimpan dengan baik meski berisiko tinggi. Ia bukanlah sesuatu yang diumbar-umbar kepada orang yang tidak berhak. Apalagi terhadap kerahasiaan dakwah. Karena terbongkarnya sebuah kerahasiaan akan

berakibat fatal. Sangat banyak operasional dakwah berantakan karena tersiarnya rahasia dakwah.

Menyimpan rahasia bukanlah hal yang gampang. Ia merupakan

pekerjaan berat yang tidak sembarang orang mampu melakukannya. Hanya orang-orang yang berani dan terampil menyimpan rahasia sajalah yang dapat

melakukannya. Karenanya sahabat Rasulullah s.a.w. yang memiliki kemampuan ini tidaklah banyak. Mereka adalah sahabat pilihan Nabi s.a.w.

untuk bisa menjaganya. Ada pepatah yang menyatakan bahwa selamatnya manusia tergantung dalam menjaga lidahnya. Tentu juga termasuk di dalamnya adalah menjaga kerahasiaan. Ini sangat ditentukan oleh

keberanian menanggung beban akibat dari rahasia yang dipikulnya.

Huzaifah ibn al-Yaman r.a. seorang sahabat Nabi s.a.w. yang dikenal dengan sebutan Shâhib as-Sirr (Penyimpan Rahasia). Dia dapat

menyimpan rahasia dengan baik. Hingga tidak diketahui yang lain akan tugas dan tanggung jawabnya menjaga rahasia. Dia berani menghadapi

konsekuensinya sekalipun terasa amat berat. Akan tetapi yang membuat gentar dirinya adalah bila tertangkap musuh. Sebagaimana yang pernah ia

ungkapkan pada Rasulullah s.a.w. “Ya Rasulullah, saya tidak takut bila harus mati, akan tetapi yang aku takutkan adalah bila aku tertangkap.”

d. Al-‘Itirâf bi al-Khatha’ (Mengakui Kesalahan)

Salah satu orang yang memiliki sifat pengecut adalah tidak mau

mengakui kesalahan, mencari kambing hitam dan bersikap “lempar batu,

sembunyi tangan”. Sebaliknya orang yang memiliki sifat asy-syajâ’ah adalah

Page 14: Berani di jalan dakwah

14

berani mengakui kesalahan, mau meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan, dan bertanggung jawab.

Memang mengakui kesalahan tidaklah mudah. Kadang ada rasa malu, perasaan takut dikucilkan, perasaan cemas akan pandangan sinis orang lain karena kesalahannya. Padahal mengakui kesalahan diri sendiri

sangat menguntungkan. Sebab ia lantas bisa melihat kesalahan dirinya. Ia pun tidak menyalahkan orang lain. Ia juga akan cepat memerbaiki dirinya.

Dan berani mengakui kesalahannya akan membuka pintu keinsafan selebar-lebarnya.

Allah SWT memberikan contoh pelajaran dari sikap Nabi Adam a.s. ketika

melakukan kesalahan, ia tidak limpahkan kesalahan itu pada setan yang menggodanya. Akan tetapi ia lebih memberatkan dirinya sehingga terbukalah pintu ampunan untuknya.

“Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan

jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya

pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”. (QS al-‘Arâf/7: 23)

e. Al-Inshâf min ad-Dzât (Bersikap Objektif Pada Diri Sendiri)

Ada orang yang cenderung bersikap over estimasi terhadap dirinya, menganggap dirinya baik, hebat, mumpuni dan tidak memiliki kelemahan

serta kekurangan. Sebaliknya ada yang bersikap under estimasi terhadap

dirinya yakni menganggap dirinya bodoh, tidak mampu berbuat apa-apa dan

tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap tersebut jelas tidak proporsional dan tidak objektif. Orang yang berani akan bersikap objektif,

dalam mengenali dirinya yang memiliki sisi baik dan buruk.

Objektif dalam memandang diri sendiri akan membuka kesempatan pada orang lain untuk ikut berperan serta. Malah ia akan sangat berhajat

pada keberadaan orang lain. Karena ia tahu benar bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa partisipasi yang lainnya. Di samping itu ia pun tidak akan meremehkan kemampuan dirinya. Sehingga ia bisa berbuat lebih

banyak secara optimal dari potensi miliknya.

Umar bin Abdul Aziz saat diangkat menjadi khalifah, ia berpidato di hadapan khalayak rakyatnya. “Aku bukanlah orang yang paling baik dari

kalian. Aku hanyalah manusia seperti kalian akan tetapi aku mendapatkan amanah yang amat besar melebihi kalian. Karena itu bantulah diriku dalam

menunaikan amanah ini.” Begitulah layaknya orang yang berani memandang kemampuan dirinya secara objektif.

Page 15: Berani di jalan dakwah

15

f. Milk an-Nafs ‘inda al-Ghadhab (Menahan Nafsu pada Saat Marah)

Seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu bermujahadah li

nafsi, melawan nafsu dan amarah. Kemudian ia tetap dapat mengendalikan

diri dan menahan tangannya padahal ia punya kemampuan dan peluang untuk melampiaskan amarahnya. Orang yang bisa lakukan itu dipandang

sebagai orang kuat karena kemampuannya menahan amarah.

Amarah dapat menggelincirkan manusia pada sikap serampangan. Ia akan kehilangan kontrol diri. Bisa jadi ia lupa diri akan sikapnya yang

keliru. Malah ia tak akan pernah menemukan solusi jitu akan masalahnya. Oleh karena itu Islam memerintahkan untuk bisa mengendalikan diri dari

amarah. Sampai-sampai Rasulullah s.a.w. mengajarkan untuk tidak amarah berulang-ulang. Bila masih muncul perasaan itu maka rubahlah posisi

dirinya. Bila juga masih berkobar-kobar maka pergilah dan ambillah wudhu. Karena rasa marah dari setan. Setan diciptakan dari api. Dan api bisa mati ketika disiram dengan air. Dan api bisa mati ketika disiram dengan air.

Siramlah ‘api kemarahan’ dengan ‘air kesabaran’.

Khâtimah

Keberanian adalah kelaziman dalam dakwah dan menjadi sikap yang melekat dalam diri Sang ‘Dâ’i’. Ia adalah identitas pengemban amanah

umat untuk bisa menunaikan tugas berat yang diusungnya, dalam ruang dan waktu yang tak terbatas. Ingatlah selalu senandung as-Sâbiqûn al-Awwalûn

min an-Du’ât (Para Dai Senior) yang – dengan mantapnya – telah

menggumam: “Di dalam hatiku selalu terdengar suara Nabi s.a.w. yang

memerintahkan, ‘berjihadlah, berjuanglah dan lelahkanlah dirimu.’ Dan berseru, ‘menanglah, kalahkanlah musuh dan berlatihlah jadilah kamu selamanya orang merdeka yang pantang menyerah. Hai pemberani lakukanlah karena kita punya hari

esok dan harapan’.”

Wallâhu A’lamu bish-Shawâb.

(Dikutip dan diselaraskan dari http://www.dakwatuna.com/2008/05/673/berani-di-jalan-dakwah/)