Top Banner
Ayat-Ayat Tembakau . Rokok dalam Sudut 360 . Apologia untuk Seliting Rokok . Sampai Kapan Menunggu Semar, muntuk Bicara Keadilan dan Kebenaran? . Sobari dan Gugatan . NGRETEK, SIAPA TAKUT? Karya Mohamad Sobary Kamis, 4 Desember 2014 Bedah Buku Lembaga Kajian Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta
28

Bedah Buku Semar Gugat

Apr 07, 2016

Download

Documents

lkm unj

Kamis, 4 Desember 2014 Bersama Romo Mudji dan Ahmad Sobary
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Bedah Buku Semar Gugat

1

Ayat-Ayat Tembakau . Rokok dalam Sudut 360 . Apologia untuk Seliting Rokok . Sampai Kapan Menunggu Semar, muntuk Bicara Keadilan dan

Kebenaran? . Sobari dan Gugatan . NGRETEK, SIAPA TAKUT?

Karya M

ohamad Sobary

Kamis, 4 Desember 2014

Bedah BukuLembaga Kajian Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta

Page 2: Bedah Buku Semar Gugat

2 "Bedah Buku "Semar Menggugat di Temanggung

Bedah Buku Karya Mohamad Sobary

UPT Perpustakaan, Kampus A, Universitas Negeri Jakarta

Kamis, 4 Desember 2014

Page 3: Bedah Buku Semar Gugat

3

DAFTAR ISI

4

Sekretariat LKM UNJ Jl. Rawamangun Muka, Kampus

A UNJ, Gedung G, Ruang 305

@lkmunj

www.lkm-unj-blogspot.com

www.facebook.com/LembagaKajianMahasiswa

Kontak Kami

8

12

15

Pembina : Irsyad Ridho, M.HumPenanggung Jawab : Rizky PRedaksi: Rahmat Mustakim, Rianto, Hadi Setioko, M. Khambali, Rianto, Lutfy Desain layout: Annisa Dewanti PutriEditor: Rianto

Kritik dan Saran :Rizky Pujianto (081808786531)A. Dewanti (085719287551)

Ayat-Ayat Tembakau

Apologia untuk Seliting Rokok

Sampai Kapan Menunggu Semar, muntuk Bicara Keadilan dan Kebenaran?

Rokok dalam Sudut 360

24

Tim Redaksi

20Sobari dan Gugatan

NGRETEK, SIAPA TAKUT?

Page 4: Bedah Buku Semar Gugat

4 "Bedah Buku "Semar Menggugat di Temanggung

Saat pembukaan pameran sketsa Romo Mudji di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki (TIM) bulan oktober lalu itulah

pertamakali saya bertemu dengan Mohamad Sobary. Dalam pembukaan pameran itu juga saya pertamakali mengobrol dengan penulis buku ini. Dalam pidatonya Kang Sobary menarik perhatian saya saat ia mengatakan bahwa mengapa kita tidak pernah melakukan pameran esai? Di mana tulisan berupa kutipan-kutipan tulisan dipajang dan dipamerkan untuk memuliakan huruf. Menjadi manusia berkebudayaan dengan memamerkan kata dan imaji berupa kalimat-kalimat yang menggugah.

Pun waktu itu saya membawa buletin sastra stomata. Buletin remeh-temeh yang berbicara sastra dan lainnya itu sering saya bawa saat ada acara seperti acara pameran ini. Bertemu dengan orang-orang berbagi kisah dan kata. Saya pun memberikan buletin itu ke Kang Sobary. Dan menjadi pembuka obrolan saya dengan Kang Sobary. Memunculkan pertanyaan lama tentang tulisan Kang Sobary yang membuat saya penasaran apa benar menulis cerita anak itu lebih sulit dibandingkan dengan menulis esai? Persis seperti yang ia ungkap di esainya yang termuat di buku Pil Koplo dan Don Quixote.

Ayat-Ayat Tembakau

Oleh: RiantoMenulis di

pencuriperadaban.blogspot.com

Page 5: Bedah Buku Semar Gugat

5

“Menulis cerita anak membuat kita mesti mengetahui bahasa anak. Yang berbeda dengan bahasa orang dewasa,” begitu kata kang Sobary di sela-sela ia merokok sehabis pembukaan pameran sketsa Romo Mudji.

Saat mengisi penulisan di Karawang saya membawa buku Kang Sobary itu. Berbagi cerita melalui bacaan buku dan mengabarkan sebuah gagasan tentang esai. Saya selau percaya membaca adalah pertemuan. Kelak pertemuan sunyi di buku-buku berlanjut dengan obrolan menarik dengan pengarang buku yang kita baca tadi. Kini saya kembali membaca dan bakal bertemu dengan penulis buku “Semar Gugat di Temanggung” ini.

Buku ini jadi mengingatkan saya saat pertemuaan di Pameran Sketsa Romo Mudji. Sebab saat itu, Kang Sobary mengobrol sambil merokok dan duduk bersila mengatakan bahwa rokok yang ia hisap dapat mengembalikan

sel-selnya yang mati.

Obrolan itu persis dengan esai “Ideologi di Balik Rokokku”.Kang Sobary bercerita pengalaman pertamanya saat merokok. Merokok baginya bukan perkara “salah pergaulan”. Justru merokok bisa berarti perlawanan. Kang Sobary menulis,

…Saya merokok bukan sekadar untuk merokok, melainkan untuk menegaskan bahwa “what is personal is political” melawan ketidakadilan dan itu senjata, satu-satunya senjata yang saya miliki, untuk melawan ketidakadilan dalam tatanan yang mengatakan petani tembakau kita. (hal 132)

Rokok tidak hanya berbicara tentang asap. Rokok juga bukan perkara kesehatan. Rokok membunuhmu. Rokok membuat miskin. Rokok juga berbicara tentang perlawanan petani-petani tembakau. Oleh karena itu Kang Sobary terlibat advokasi dalam membela petani tembakau ini.

Page 6: Bedah Buku Semar Gugat

6 "Bedah Buku "Semar Menggugat di Temanggung

Pengalamanya wira-wiri di tiga gunung: Sumbing, Sindoro, dan Perahu Kang Sobary sambil meneliti melakukan advokasi petani itu. Justru rokok membawa imaji perlawanan. Tak hanaya melawan pejabat berduit, juga melawan mentalitas kolonialis. Rokok menjadi kata kunci perang rasionalitas atas nama keilmuan, jabatan, sampai hal-hal klenik. Sebab itu Kang Sobary membela terus tembakau dan kemanusiaan dengan melakukan perlawanan melalui tulisan-tulisan. Saya pernah membaca esai Kang Sobary di buku “Kebudayaan Mendesain Masa Depan” (2012) di sana tertulis Kang Sobary sebagai aktivis pembela petani tembakau.

Keberpihakan

Justru di buku “Semar Menggugat di Temanggung” ini sangat terasa Kang Sobary memberikan gambaran sebagai aktivis pembela petani tembakau melaui tulisan-tulisan. Rokok dan tembakau ada jejak historis dan kebudayaan yang

mesti kita maknai dengan teduh. Rokok dan tembakau berbicara tentang hidup manusia terutama petani tembakau itu sendiri.Rokok dan tembakau sebagai ruang kebudayaan justru banyak dilukis Kang Sobary di kehidupan sehari-hari.

Dalam esainya “Sajen” Kang Sobary melukiskan rokok sebagai ruang tradisi yang kita maknai sebagai kebudayaan sehari-hari. Di sana terselip kisah tradisi tembakau berkelindan dengan kemenyan, kembang-kembang, mengungkap kehidupan yang rumit. Di sana kita melihat rokok berbicara yang tradisionil hidup dengan tembakau yang sering dipandang yang tak rasional dalam arti melawan agama. Rokok dan tembakau yang hidup dalam sajen demi menguak hidup yang rumit itu kita bisa menyelami kebudayaan meminjam istilah Kang Sobary “tiap hal ada rasionalitasnya sendiri”. Artinya rokok dan tembakau mencipta kebudayaan yang mesti kita hormat-menghormati yang tradisi itu. Kang Sobary menulis,

Page 7: Bedah Buku Semar Gugat

7

…Biarlah rokok hidup di dalam dunianya, sebagaimana dia hidup di dalam sebuah ritus yang berisi sajen-sajen, yang “sakral” dan meaningful bagi komunitas pendukungnya… (hal 16)

Dalam selinting rokok ada budaya sehari-hari yang dimaknai dengan lintingan. Istilah lingwe atau linting dewe mmuat kisah menarik yang ditulis Kang Sobary dalam esainya, “Budaya dalam Selinting Rokok”. Dengan berkisah mengenai kehidupan si Orang Tua yang mengusir makhluk halus dengan memberi rokok. Rokok hadir dengan sederhana terselip kisah yang kita maknai sebagai budaya dalam selinting rokok. Disini hadir pemahaman kebudayaan diselami dengan intreaksi dengan sesama yang terkadang tak selalu dibaca dengan uang. Dalam selinting rokok terselip budaya tolong-

menolong.

Rokok linting atau kretek ini kita bisa membaca kebudayaan sehari-hari yang menuntut keberpihakan. Kita bisa melihat rokok menjadi jalin-menjalin kehidupan sehari-hari yang dapat kita lihat rokok dalam bahasa iklan atau industry terjadi persaingan yang membuat kita mau tidak mau rokok dan tembakau terdapat siasat menarik rasionalitas kita dalam keberpihakan. Oleh karena itu saya sering menemukan “kata kunci” memihak dalam arti memihak petani tembakau dan kemanusiaan hadir dalam esai-esai yang ditulis Kang Sobary di buku “Semar Menggugat di Temanggung” ini. Ayat-ayat tembakau hadir dalam suara hening esai-esai keberpihakan Kang Sobary membela petani tembakau dan kemanusiaan.

Page 8: Bedah Buku Semar Gugat

8 "Bedah Buku "Semar Menggugat di Temanggung

Saya setuju – walau tak seluruhnya – dengan puisi Taufik Ismail, Tuhan 9cm. Dalam

puisinya, Taufik menggambarkan rokok berada dalam hampir setiap aktivitas menusia. Semua bidang pekerjaan, dari petani, pelajar, pegawai, pemuka agama, hingga wakil rakyat tak bisa lepas dari benda ringkih itu. Bisa diwajarkan bila Taufik menggunakan metafora tuhan untuk penggambaran rokok.

Bicara soal rokok memang bukan wacana baru. Kehadirannya juga sudah teramat lama. Kebiasaan merokok telah ada di Jawa yang disebar dan dipelopori oleh Sultan Agung. Cebolang, anak Syekh Akhadiyat dalam Serat Centhini, diajak merokok oleh dua penjaga makam, Modin dan Bobin, ketika mengunjungi makam Sunan Bayat.

Saya juga tak berusaha membantah

apa saja yang dikandung dalam sebatang rokok. Sudah bukan rahasia bila ia punya berbagai macam zat. Lebih dari 70 ribu penjelasan artikel ilmiah bisa ditelusuri mengenai hal ini. Namun disini, saya tak bermaksud untuk memperpanjang daftar artikel tersebut. Saya tak memiliki kompetensi untuk itu. Bahkan, tak memiliki wewenang untuk mengubah hal sebaliknya.

Menjadi menarik untuk melihat bagaimana publik menyikapi rokok. Qusthan Abqary (Balairung, 2009) menyajikan aksiologi rokok. Ada pembeda antara ‘netral terhadap nilai’ dan ‘bebas terhadap nilai’. Yang pertama, rokok diposisiskan sebagai objek yang digunakan manusia sesuai kepentingan masing-masing. Bila penggunaannya secara negatif, maka potensi yang terkandung dalam rokok berubah menjadi negatif. Begitu sebaliknya.

Rokok dalam Sudut 360

Oleh: Lutfy Mairizal Putra

Page 9: Bedah Buku Semar Gugat

9

Yang kedua, kepercayaan pada rokok bahwa hakikatnya ia tidak mengandung pretensi nilai apapun. Timbullah diskusi baru seputar relasi antara nilai dan fakta. Kemampuan sebagai penenang diri, dipihak lain mengganggu fakta bahwa ada keinginan orang lain menghirup udara yang bebas dari asap rokok.

Singkat cerita, seringkali isu yang bergulir di seputar asap rokok adalah persoalan kesehatan dan moral. Keduanya berkelindan dan jarang menyertakan agama. Dalam Islam misalnya, rokok memiliki posisi yang abu-abu. Sifat makruh membuat subjek bebas menggunakan atau meninggalkan.

Dalam konteks global, rokok menjadi ancaman serius kemanusiaan. Laporan WHO tahun 2008 lalu memperkirakan satu miliar manusia akan mati bila pemerintah tak serius. Angka ini tentu bisa diperpanjang. Saya teringat Robert Malthus tentang deret hitung dan deret ukur. Malthus percaya kematian secara masif seperti bencana alam, juga keadaan epidemik lainnya, mengurangi kemungkinan bahaya kelaparan.

Mengutip laporan Susan George, Qusthan memberikan perbandingan yang menarik. Riset Susan

menyimpulkan bahwa jumlah penduduk dunia harus dikurangi setidaknya 2 miliar untuk mempertahankan kapitalisme. Bila ingin merujuk riset Susan, rokok membantu upaya mempertahankan status quo dan menjadi penyumbang kematian terbesar.

Masih ingat dengan perangai Menteri Kelautan dan Perikanan? Susi Pudjiastuti merokok di istana negara setelah acara perkenalan menteri. Tanpa disuruh, publik mengomentari tindakan Susi. Banyak orang merasa tak pantas Susi menjadi menteri.

Seorang ibu merasa khawatir anaknya, yang menjadi penggemar Susi, bakal menjadi perokok. Deru seputar ini di media cetak dan digital tak bisa dibilang sepi peminat. Fakta bahwa Susi telah meminta waktu rehat (merokok) setelah berdiri berjam-jam sebelum wawancra menjadi tak menarik.

Pengecilan sudut pandang rokok meniadakan beberapa aspek yang luput. Mohamad Sobary menyadari hal ini. Sudut lain menjadi tak berdaya dengan derasnya publikasi perihal pengendalian rokok. Melalui esai-esai kebudayaannya, Sobary dengan tegas memutuskan berpihak kepada petani, kaum penting bagi Indonesia.

Page 10: Bedah Buku Semar Gugat

10 "Bedah Buku "Semar Menggugat di Temanggung

Pemihakan ini tak didasari atas kajian pustaka semata. Ia langsung bertatap muka dengan para petani yang begitu sabar. Semar Gugat di Temanggung menawarkan sudut pandang lain yang melulu bicara kesehatan dan pengangguran. Kumpulan esai ini menjadi penting untuk melihat rokok tak hanya dari asapnya.

Pengendalian rokok di tanah air menjadi agenda ekonomi pihak asing. Mereka kelimpungan rokok putih produksinya tak menguasai pasar. Penguasa pasar justru datang dari negeri dunia ketiga. Maka, menyingkirkan lawan adalah pilihan sederhana dalam perdagangan. Perumusan kebijakan dalam negeri soal rokok ditengarai juga bernafas menjaga pangsa pasar.

Bicara kesehatan, ijinkan saya mengutuip pendapat lain yang juga seorang dokter. Oei Hong Djien, lelaki tionghoa dengan profesi yang paradoks: sebagai grader (evaluator) tembakau PT. Djarum dan dokter. Namanya dalam seni juga tak bisa diragukan. Ia menjadi kolektor untuk lebih dari

seribu karya seni. Museum dalam dan luar negeri pernah dikuratorinya.

Sebagai doker, Oei tak mengingkari tanggung jawab profesi. Ia tak mengizinkan pasiennya merokok bila memang membahayakan kondisi kesehatannya. Oei berpendapat rokok bukan satu-satunya penyebab timbulnya penyakit. “Memang benar merokok itu dapat merugikan kesehatan, tapi cuma salah satu faktor.” Baginya, ada beberapa faktor yang lebih berbahaya dari merokok: gen, gaya hidup, dan kondisi psikologis.

Menurut dokter patologi anatomi ini, gen adalah unsur terpenting. Banyak orang tua yang terus merokok namun tak memiliki masalah kesehatan yang berarti. “Kalau orang tidak

mempunyai bibit kanker, jantung koroner, atau hipertensi,

merokok sepuasnya, ya tak masalah,” tegas Oei.

Gaya hidup juga perlu diperhatikan. Makanan yang masuk ke dalam tubuh bukan hanya tempe, toge, nasi, dan sambal. Kini, hampir semua serba

Pengendalian rokok di tanah air menjadi agenda ekonomi pihak

asing.

Page 11: Bedah Buku Semar Gugat

11

kemasan. Tak mampu membuat nasi goreng, jangan khawatir, sudah ada yang menjual bumbu siap pakai. Makanan berpengawet punya kedudukan setara dengan rokok dalam perspektif medis.

Baginya, regulasi pembatasan merokok adalah strategi pemerintah untuk menaikkan cukai. Ketika wacana negatif rokok telah mekar dalam benak publik, pemerintah mudah melakukan pembatasan. Jika pabrik ingin menambah produksi, maka harus membayar cukai yang tinggi. Pembatasan akan efektif jika Indonesia tak punya lahan pertanian tembakau seperti Singapura.

Sobary menyajikan sudut pandang kebudayaan atas berhektar-hektar lahan yang menyertainya. Membaca Semar Gugat di Temanggung, kita menjadi tahu posisi pemihakan: siapa yang berpihak kepada petani dan siapa yang tidak. Siapa yang sibuk sendiri, siapa yang berusaha melangsungkan tradisi.

Pemerintah tak mau repot apalagi membuang uang. Pemerintah memberikan peraturan bahwa rokok kretek mesti rendah nikotin. Jalan termudah adalah dengan impor. Riset untuk menghasilkan tembakau serupa akan melelahkan dan menghabiskan uang, juga tak ada

amplop yang bisa dimasukan dalam saku batik lengan panjang.

Meminjam istilah dari Pram, akan mengenaskan bila para petani menganggap pemimpin yang tak memihak seperti pasar malam. Tiap lima tahun mereka berganti, datang dan pergi. Namun, tak ada yang perlu diingat dan disesalkan dari kepergian mereka. Tak menutup kemungkinan kepergian pemimpin seperti itu diiringi rasa syukur yang dalam.

*****

Page 12: Bedah Buku Semar Gugat

12 "Bedah Buku "Semar Menggugat di Temanggung

Apologia untuk Seliting Rokok

“Peringatan: Merokok membunuhmu”, seperti itulah kata-kata yang ada dalam setiap bungkus kretek. Pada teks bar sebuah papan reklame di sudut lampu lalu lintas persimpangan jalan, dan terselip

dalam setiap iklan “Pria punya selera” di televisi. Lalu biasanya disertai dengan foto-foto seperti paru-paru yang sudah kronis atau

bibir yang ditampilkan dengan maksud agar terlihat “mengenaskan”.

Oleh: M. Khambali

Demi alasan mengurangi angka penghisap rokok, sloganisasi disertai visualisasi semacam itu menjadi aturan baru dalam bisnis rokok di Indonesia. Meskipun bagi barisan kelompok anti-rokok, kita sebenarnya bisa dikatakan lambat memberlakukannya. Karena hal demikian sudah lama diterapkan di negara-negara lain.

Banyak yang meragukan cara tersebut dapat berhasil membuat seseorang menginsafi untuk tidak merokok lagi, atau dapat membuat sesorang berpikir ulang untuk mencoba rasanya mengisap tembakau. Kita khawatir, orang-orang kita doyan sekali membuat meme.

Bisa jadi penampilan pada bungkus rokok sekarang justru menjadi bahan lelucon baru.

Sebenarnya upaya-upaya “pencekalan” terhadap rokok bukanlah sebuah wacana baru. Rokok dan tembakau sudah lama menjadi isu yang merepotkan publik. Ingat rokok, ingatan selintas segera tertuju pada hal-hal yang negatif seperti dapat menyebabkan pelbagai penyakit kronis; paru-paru, jantung, dan kanker, dan terakhir, “membunuhmu”. Merokok itu penuh peringatan, rokok selalu diikuti dengan tanda seru (!)

Pemberitaan mengenai rokok kerap bernada kekesalan dan

Page 13: Bedah Buku Semar Gugat

13

keresahan. Asap tembakau dianggap begitu berbahaya, jumlah perokok harus dikurangi. Para aktivis kesehatan, dokter, tokoh agama, guru, orang tua berada dalam satu barisan untuk memerangki rokok. Rokok dapat mengancam generasi kita. Aih.

Kepelikan masalah rokok ditujukan pada persoalan kesehatan, moral, dan terkadang juga agama. Betapa banyak jurnal ilmiah mempublikasikan tentang bahaya zat seperti nikotin dan mercuri yang ada dalam tembakau. Betapa banyak poster ditempel dan brosur disebar di puskesmas, balai desa, dan sekolah, demi “mengedukasi” orang-orang mengenai bahaya merokok. Beberapa waktu lalu majelis ulama pun mngeluarkan fatwa haram merokok.

Episode berlanjut, pemerintah mengeluarkan peraturan yang membatasi rokok dengan kadar nikotin tinggi, seperti kretek. Para petani tembakau menjadi pihak yang paling merasakan dampak dari aturan itu, apalagai kalau bukan mengenai penghasilan mereka. Petani tembakau merasa tidak dibela

dan diberikan keadilan.

Dalam situasi seperti ini, kata Mohamad Sobary, pemihakan tak bisa ditunda lagi.

Seperti itulah judul cacatan pengantar yang ditulis M. Sobary dalam buku Semar Gugat di Temanggung. Sebuah buku kumpulan esainya mengenai “kekesalan” dirinya terhadap para pembenci rokok. Baginya, Semar Gugat di Temanggung lahir sebagai perlawanan. Sebuah kumpulan esai-esai protes.

Rokok jarang dilihat dari sudut kebudayaan. Esai-esainya mengajak kita menyelami kembali pertautan rokok atas pengalaman dan situasi hidup yang dalam kisah sehari-hari luput dari kesadaran.

Budaya dalam selinting rokok mengulik kehadiran rokok dalam pelbagai tradisi kita seperti memohon bantuan “orang tua”, sajen, atau acara selametan. Rokok memainkan simbol persahabatan yang menghilangkan sekat-sekat etnis. Rokok menjadi penghalus apa yang namanya upah kerja lewat tradisi, ‘ini sekadar uang

Page 14: Bedah Buku Semar Gugat

14 "Bedah Buku "Semar Menggugat di Temanggung

rokok.” Rokok menjadi ”bahasa” yang mengenakkan dan mencipta harmoni sosial. (hal: 3-12)

Kumpulan esai dalam Semar Gugat di Temanggung mencoba membalik sudut pandang kita yang dipenuhi dengan tafsir medis mengenai keburukan rokok. Kisah Bu Gretha dalam esai Asap tembakau juga “ayat” yang layak dibaca dengan hati bercerita mengenai penemuan asap tembakau yang dapat digunakan untuk pengobatan tanaman. Sobary hendak menggugat, tembakau bukan racun terkutuk. (hal: 27-31)

Argumen kesehatan patah oleh temuan Prof Dr Sutirman B Sumitro yang berhasil menemukan bahwa merokok dengan divine kretek justu dapat menyehatkan dan dapat menyembuhkan beragam penyakit.

Ada wacana perang global melawan rokok. Persoalan rokok sebenarnya berpusar pada perang bisnis. Para pemodal rokok putih kalah laku dengan rokok keretek. Maka Argumen kesehatan lalu menjadi siasat dibalik kepentingan ekonomi.

Dengan cara menulis yang emosional, esai-esai Sobary berisikan pengulangan-pengulangan argumentasi dirinya mengenai pemihakan pada para petani tembakau. Apa yang diungkapkan dalam esai Sobary sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kumpulan tulisan jurnalisme sastrawi dalam buku Kisah tentang tembakau, “kami ini hanya buruh tani, tapi yang namanya tembakau itu seperti nyawa kami.” (hal:66)

Episode perdebatan mengenai rokok tak berarti selesai. Esai-esai Sobary menjadi semacam pembelaan terhadap rokok yang kerap dipandangan tidak dengan kacamata yang jernih dan berimbang. Membaca kumpulan esai Sobary menjadi penting karena mencoba memandang rokok dalam sudut lain.

*****

Page 15: Bedah Buku Semar Gugat

15

Sampai Kapan Menunggu Semar, muntuk Bicara Keadilan dan Kebenaran?

Oleh: Rizky Pudjianto

Jangan salahkan mereka berbagi keluh kesah pada para leluhur, bukan musrik, apa lagi munafik. Leluhur yang sudah tiada, yang sudah paham bagaimana sebenarnya kehidupan di alam tanpa batas

dan tanpa adanya korupsi, kolusi, nepotisme, kejahatan, kecurangan, ketidak adilan dan seterusnya, para leluhur penghuni alam yang suci penuh kebenaran, telah menjadi obat bagi para petani tembakau di desa Temanggung untuk menumpahkan segala rasa, kasih dan kisah mereka yang tak bisa mereka tumpahkan pada para pemimpin mereka yang hidup saat ini.

Kepada siapa mereka harus berbicara, jikalau pemimpinya pun sudah tidak mau mendengarkan. Gunung Sumbing dan Sindoro di Temanggung telah menjadi saksi di Temanggung bahkan sejak nenek moyang mereka masih hidup bahwa ketidak adilan masih terus saja terjadi di tanah air ini, terutama di desa Temanggung, ketidak adilan dalam bentuk kebijakan politik, ekonomi, sosial dan budaya terhadap petani tembakau yang harusnya mesti dijaga dan dilindungi karena bagaimana pun juga mereka bagian dari keluarga Indonesia yang keberadaannya wajib terus lestari bukan dikebiri.

Penggambaran esai Mohamad Sobary memberikan corak tersendiri bagi para pembaca terutama saya, esai yang penuh mengandung unsur pergulatan berpikir untuk selalu peka terutama dalam nuansa

Dari atas truk bak terbuka itu kita mencatat pernyataan demi pernyataan bahwa, “karena kita tak bisa lagi berbicara dengan para

pemimpin yang masih hidup, maka disini kita berbicara dengan para leluhur, yang sudah tak ada lagi. Karena disanalah mereka

yakin kepedihan mereka niscaya bisa membangkitkan kepedulian.mendalam para leluhur

“Mohamad Sobary”

Page 16: Bedah Buku Semar Gugat

16 "Bedah Buku "Semar Menggugat di Temanggung

politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Bacaan-demi bacaannya mengajak kita untuk merefleksi sejenak betapa, seolah kehidupan tak ubahnya seperti permainan yang terus saja kita dicurangi tanpa kita sadari. Rasa pesemis terus saja menggeluti pola pikir kita setelah menelaah buku Semar Gugat di Temanggung karya Mohamad Sobary menatap keberadaan sang pemimpin kian rusak keberadaannya sebagai normalitas fungsi..

Adegan demi adegan tulisan bernuansa penyadaran moral dan etika menjadi imajinasi untuk berlaku baik bagi sesama umat manusia, berlaku adil antar sesama umat manusia, dan bijak dalam mensiasati kebenaran, tidak terkecuali seorang pemimpin wajib membacanya, bahkan menurut Dr. Mansyur Semma dalam disertasinya dan sudah dibukukan berjudul Negara dan Korupsi (2008) membedah pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, manusia Indonesia, dan perilaku politik, menyebut Sobary sebagai Penulis ulung beraliran sufisme bernuansa mistisisme dan religius dalam setiap kritik yang dilontarkan, termasuk jenis-jenis tulisan dalam buku Semar Gugat di Temanggung

Salah satu tema esai berjudul identitas lokal dalam buku Semar Gugat di Temanggung, memuat penyadaran apa yang selama ini dianggap kaku, kurang menarik, dan tidak punya nilai prestisius di mata masyarakat modern. menarik, setelah sekian lama nilai kelokalan kian terkikis oleh arus zaman yang dibawa oleh nilai ”keglobalan” akibat dampak kolonialisme baru yang menajajah bukan dengan kekerasan fisik seperti kolonialisme klasik, melainkan penjajahan baru dalam bentuk pikiran yang akhirnya merubah cara pandang kita menilai benda-benda barat sebagai nilai global yang penuh keyakinan dan bahkan mampu mengangkat harkat martabat hidup manusia jika mengkonsumsinya

Meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa nilai kelokalan pun bisa menjadi global, Sobary memahami salah satu kelemahan kita yang harus segera dibenahi yakni memajukan kualitas dalam merebut nama untuk dapat posisi diarus pasaran global, sehingga kita mampu bersaing dengan Negara-negara produsen yang katanya memiliki nilai prestisius dan menarik hati para kalangan masyarakat modern kita saat ini. Penguasa para pemimpin seharusnya wajib mengerti mengenai perosoalan ini, penguasa harusnya melindungi dan memberi

Page 17: Bedah Buku Semar Gugat

17

arti terhadap produk kelokalan itu sendiri. Kelokalan wajib kita sadari sebagai bagian dari hasil kebudayaan kita yang harus melambung dan meninggi di mata pasar dunia.

Masalah produk lokal menuju global tidak lain hanya sekedar rekayasa konstruksi sosial belaka dalam membingkai pola pikir kita, dalam memandang muatan produk lokal, labelling system terus menerus tertanam dan hanya membuat kita menjadi minder dan melahirkan konstruksi sosial atas realitas kelokalan sebagai suatu hal yang ndeso, kaku, dan inlander, kita terus menjadi lokal. Kita sudah kasih bukti kolakalan yang menjadi global, rokok kretek kita global, batik kita global, wayang kulit kita global, kopi kita global, dan rempah-rempah kita global (hlm:215), Tanpa kita sadari koloni-koloni yang datang menjajah kita berangkat dari rasa iri hati kepada bangsa yang besar ini dan ingin merebutnya dengan menjajah. Atas nama pasar jenis produksi terkonstruksi menjadi sebuah identitas “lokal atau global,” dan agaknya perlu perenungan mendalam lagi untuk memaknai mana lokal atau mana global pada dasarnya ke-globalan tidak terlepas dari ke-lokalan itu sendiri.

Lama terasa kehidupan seakan selalu terusik dengan yang namanya kekuasaan, ketenangan dan ketentraman dalam arus kebudayaan masyarakat tradisional pun tidak luput terusik oleh hal-hal yang dianggap modern yang katanya rasional, logis, dan masuk akal yang diamini oleh para pemimpin kita saat ini. Seperti produk kelokalan kita yang sedang menghadapi krisis di negeri sendiri. Jangan salahkan para petani wong cilik berlarian kegunung-gunung menumpahkan kepedihan mereka atas dasar ketidak sadaran para pemimpin, atau penyakit ketulian para pemimpin rakyat yang selalu melekat dan agaknya sudah terlihat kronis. Tiada pemimpin suka jika kita menuntut sembarangan, sama halnya dengan tiada orang suka merelakan kita kentut sembarangan. Indra penciuman pemimpin kita kurang peka tidak mau mencium kentut rakyatnya untuk mengerti kesakitan atau gejala-gejala penyakit apa yang tengah terasa dalam perut mereka. Indra perasa dan penglihatan mereka pun kurang peka hingga tidak bisa merasa dan melihat kenyataan secara langsung di lapangan.

Berharap Semar hadir, turun ke bumi walau apapun alasannya

Page 18: Bedah Buku Semar Gugat

18 "Bedah Buku "Semar Menggugat di Temanggung

karena Semar menganggap bahwa keadilan sudah tidak dapat lagi dipertanggung jawabkan oleh umat manusia yang berkuasa. Dengan paras yang tebal dan kepala berkuncung, dengan badan pendek berbentuk blewah, dengan perut buncit bergelambir, dengan susu yang merosot seperti tetek sapi, namun ia bukanlah seekor badut. Begitulah Goenawan Mohamad mengisahkan sosok Semar dalam cerita Semar dan si Bodor.

Walau wajah-wajah pemimpin sekarang tak mampu menunjukan jati diri keadilan dan kebenaran, namun Semar sanggup memunculkannya, karena Semar menampilkan segala kebutuhan-kebutuhan dasar akan arti nilai kehidupan, arti nilai kebersamaan, keadilan, bahkan kebenaran sekalipun. Dalam pembahasan Cerita Semar dan si Bodor Goenawam Mohamad mengisahkan Semar sebagai penampik hegemoni yang penuh dari para pengeran, sehingga keberadaan Semar pun menjadi sebuah prestisius bagi rakyat jelata yang lemah, lebih tinggi ketimbang para pangeran.

Cerita Semar bukan tanpa sebab atau tanpa unsur tertentu semata, melainkan apa yang di kisahkan Goenawan Mohamad bahwa dalam Cerita Semar tersirat lambang perlawanan yang tak diucapkan oleh para petani jelata terhadap nilai-nilai kelas tinggi. Para petani jawa yang tak mampu memperoleh kemenangan dalam pergulatan yang tiada henti-hentinya itu, dan tak dapat menghadirkan diri secara politik telah menciptakan sebuah kiasan pemberontakan secara unik. Sang Semar sebagai pengejawantahan metafor untuk menyebut senggolan dimana berlangsungnnya tragedi tentang kekuasaan dan ketakaburan terjadi, disitu Semar turun memberi jawaban dengan rasa kepeduliannya.

Kesenian disini apapun bentuknya bisa menjadi alat perlawanan seperti halnya cerita lakon Semar, Kompas, Minggu 8 Juni 2014, memuat pertunjukan pameran dan tarian “Lesungku” dengan judul “daulat para jagoan” tidak lain ingin merepresentasikan bentuk perlawanan bagi para petani sawah kepada pemangku kekuasaan melalui seni sebagai medianya. Suatu nilai pelajaran bagi kita memahami swasembada pangan pada masa Orba memang suatu keberhasilan, namun tidak menutup kemungkinan telah menjadikan penggerusan lokal genius di Negeri sendiri. Keinginan untuk menanam yang alami berupa

Page 19: Bedah Buku Semar Gugat

19

persawahan organik dan pemusnah hama secara organik pula pada dekade 1970-an telah musnah akibat tuntutan swasembada pangan mengharuskan petani kita mengunyah mentah-mentah strategi pertanian agar swasembada pangan dengan mengubah seluruh kebudayaan pertanian tradisional kita untuk mengkonsumsi bibit unggul dari China, pupuk kimia, dan pestisida dari pabrik-pabrik besar atas nama swasembada pangan. Memerdekakan diri dari jeratan industri hulu pertanian sebuah keinginan yang tak dapat ditampikan, dan tidak terkecuali para petani tembakau. Disitu, melalui pertunjukan itu mereka mereka memperlihatkan bahwa mereka sedang melawan!.

Pada zaman kebudayaan populer saat ini telah jarang kita melihat secara keseluruhan gaya hiburan melalui seni-seni yang di produksi dan memiliki nilai keuntungan produksi memberikan nilai bagi masyarakat kita untuk bersikap kritis dengan memberikan sarana hiburan untuk meluapkan segala bentuk perlawanan melalui adegan seni secara terbuka dan menyeluruh terutama dalam media televisi Adegan-adegan yang selalu diperlihatkan budaya popular kini cenderung monoton, tidak bergerak, hanya memunculkan keindahan dan ketakjubannya saja. Kita perlu secara kritis melihat segala fenomena apakah telah memberikan suatu lingkup pengetahuan untuk sadar melihat berbagai bentuk ketidak adilan, kesengsaraan, dan kesenjangan antara kekuasaan dan kerakyatan.

Sampai kapan kita harus menunggu keadilan dan kebenaran tercipta dari semua elemen yang bersangkutan itu tanpa harus menunggu Semar? terus menerus kita hanya bisa bernostalgia untuk berharap yang dulu-dulu dianggap sebagai pahlawan? Apakah harapan kedatangan Semar masih menjadi wajah-wajah lesuh dan kusut para petani akar rumput kita berharap? suatu kenistaan bagi kita hanya untuk berharap tanpa ada kejelasan. Tidak salah setelah membaca buku Semar Gugat di temanggung Sobari berharap dengan sigap Semar turun kebumi yang demikian tak seorangpun dapat menyangkalnya bahkan tuhan yang paling luhur sekalipun tak mampu mencegahnya untuk menjelaskan kembali konsep kehidupan dengan mengutamakan sisi kemanusiaan, keadilan dan kebenarannya.

Page 20: Bedah Buku Semar Gugat

20 "Bedah Buku "Semar Menggugat di Temanggung

Begitulah kalimat pertama Sobari dalam pengantar

buku ini. Bernada kesedihan, bernada kekecewaan. Kalimat di atas pula mengandung ketegasan tentang perasaan seseorang yang masih mendapatkan ketidakadilan. Rasa kecewa milik siapa saja. Dalam buku ini petani mutlak memiliki perasaan itu.

Semar Gugat di Temanggung. Buku bertebal 274 halaman ini berisi esai-esai kebudayaan Muhammad Sobari. Sobari seorang esais di rubrik opini Sindo dan budayawan. Perjalanan kebudayaannya ke suatu tempat membuatnya menulis sesuatu. Tema yang remeh-temeh namun erat dengan keseharian. Tentang ketidakdilan, budaya, nilai luhur, dan sampai kebijakan sepihak

berat sebelah.

Menimang buku seperti kita sedang menimang ide. Ide yang membuka wawasan kita. ide yang sangat manis bermuara pada aktivitas menyenangkan yaitu menulis. Bekerja untuk keabadian. Meminjam Pram bahwa menulislah, maka kau akan tercatat dalam sejarah.

Sobari dan esainya serta petani dan tembakaunya. Tema pokok itu terangkai satu benang merah. Tulisan perwakilan. Sobari menggugat. Tulisannya bernafas teriakan petani tembakau yang ingin suara diperdengarkan.

Dalam bukunya Sobari mengelompokkan permasalahan ke dalam bab-bab. Idenya syarat akan kritik. Caranya mengkritik seperti sedang memperjuangkan sesuatu. Mengingatkan kita

Sobary dan GugatanHadi Setioko

“Semar Gugat di Temanggung merupakan simbolisasi kekecewaan yang tak mungkin lagi disembunyikan oleh para petani di wilayah

itu. Mereka tak mungkin diminta untuk berpura-pura tidak kecewa, karena kenyataannya mereka kecewa.”

Page 21: Bedah Buku Semar Gugat

21

pada perjuangan pahlawan mempertahankan rempah-rempah. Sobari pejuang tulisan.

Perbab kita disajikan tulisan tentang tembakau, pemerintah, dan petani. Sobari memposisikan dirinya sebagai orang ketiga. Ia melihat keganjilan peristiwa. Tembakau dan petani mendapatkan masalah. Mereka seperti punah pada kebijakan. Mendapat tekanan dari segala penjuru mata angin. Pemerintah dengan produk regulasinya. Mempeributkan tembakau, kesehatan, dan asap. Ancaman dan gugatan terangkum dalam satu buku.

Dalam esai Semar Gugat di Temanggung, Sobari menceritakan Semar menjadi tokoh penolong suatu kelompok bernama Pandawa. Pandawa tidak mendapatkan ketidakadilan dari tatanan pemerintah. Semar yang iba menempuh cara menolong. Diambillah jalan dialog. Semar berdialog dengan Batara Guru-pemimpin Dewa. Berbekal kebenaran yang Semarpun berhasil meruntuhkan ketidakadilan itu.

Kisah Semar mencoba untuk mengembalikan kesadaran kita. Tentang arti membela dan memihak. Arti kata membela tidak berarti menentang keras dan lepas dari aturan. Memihak juga tidak pada berat pada kepentingan tertentu. Kepentingan Semar berasas mulia. Ia mengerti siapa yang dibela. Ia sadar kepada siapa memihak.

Mungkin bisa kita masuk kesalahsatu bentuk jalan yang-meminjam istilah Romo Mudji- adalah usaha dari salah satu jalan kebudayaan. Jalan menulis dan memaknai, Dalam konteks ini kita diajak masuk pada ruang budaya yang coba disajikan oleh buku ini.

Pemerintah dan kebijakannya berseberangan dengan Sobari. Dalam pengantar Sobari mencoba memihak petani. Ungkapnya “Memihak merupakan wujud kehangatan kemanusiaan, yang membuktikan bahwa kita selalu harus “punya waktu, dan hati, untuk orang lain”. Sobari seperti memberi tanda keberpihakaan pada ideologi murni.

Perdebatan tembakau sudah

Page 22: Bedah Buku Semar Gugat

22 "Bedah Buku "Semar Menggugat di Temanggung

sering terjadi. Dalam buku ini, Sobari memihak pada nilai luhur, tradisi dari tembakau. Bagaimana Sobari memaknai merawat tradisi yang tumbuh sejak nenek moyang. Dalam aktivitas menyirih, merokok, sampai pada konsumsi rempah-rempah lainnya. Tradisi dekat dengan kata lestari. Merawat bermuara pada keabadian. Walau terkadang sulit untuk dijaga.

Petani tembakau memiliki prinsip tradisi yang tidak mungkin ditinggalkan. Kata empati coba digaungkan Sobari. Dari kisahnya Sobari menceritakan adanya pengalaman kebatinan manusia. Semacam komunikasi rohani. Pada esai berjudul Sajen ia mengisahkan adanya ritus dimana tembakau dilinting, dicampur kemenyan, dibakar lalu dihisap. Seperti sebuah proses penghayatan suci. Ahli rohani dengan membantu berdialog dari tamu yang mengeluh tentang penyakitnya. Sang ahli rohani meminta tamunya itu bercerita. Lalu sambil menghisap ada proses gaib di luar nalar kita. Begitu caranya bekerja.

Tradisi di luar nalar memang menjadi tradisi yang harus dihormati. Begitu Sobari yang menaruh rasa hormat tinggi. Dia memberi tanda supaya tidak seharusnya kita terus menganggap negatif pada tembakau atau perilaku merokok tembakau itu.

Kematian tidak berasal dari bahayanya merokok. Lebih berbahaya membiarkan pemerintah mengebulkan asap untuk pihak untuk pihak asing. Penggambaran seperti itu akan kita temukan pada sikap pemerintah kini. Mereka hilang menutup mata pada ritus yang sudah menjadi tradisi tersebut. Kepentingan-kepentingan politis yang merajai. Nilai historis dari ritus merokok tembakau itu hilang.

Itu yang disinggung Sobari bahwa sikap pemerintah hilang kesadaran. Secara perhatian, teriakan petani sama sekali tidak digubris. Gugatan untuk pemerintah pro asing salah satu yang menjadi gugatannya dalam buku ini. Dari esainya berjudul Kembalikan Kedaulatan Negaraku, Sobari menyentil pemerintah yang tega menjatuhkan Negara lewat

Page 23: Bedah Buku Semar Gugat

23

praktik-praktik kotor yang mendukung pihak asing dan regulasi yang membunuh.

Menggugat penuh dilema kepentingan. Satu sisi menjunjung tinggi kesehatan masyarakat, namun di sisi lainnya membunuh hak jutaan petani tambakau. Tahap itu masih kontinu. Namun bisa kita refleksikan bahwa sejumlah pengertian yang coba Sobari berikan pada pembaca bukan semata esai yang sekali baca. Lewat gugatannya ini Sobari seperti muncul untuk menarik pembaca tahu nilai-nilai luhur, identitas lokal, dan kekhasaan negeri ini masih dipertahankan oleh sebagian kaum, terutama wong cilik. Maka apakah kita bisa menerima hati untuk orang lain tanpa harus menggugat? Seharusnya.

******

Page 24: Bedah Buku Semar Gugat

24 "Bedah Buku "Semar Menggugat di Temanggung

Pesan bernada pengancaman di atas, kini menyaji di hampir

tiap bungkusan rokok. Sebagai pembaruan –mungkin juga penerus– dari pesan sebelumnya: “merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin.”

Tapi masyarakat kita, banyak tak menggubris perihal itu. Prosesi menghisap sebatang benda bernama rokok, masih dinikmati, dibudayakan. Bukan ngebandel, sebab bila tahu, nyatanya rokok bermakna panjang. Lewat jemari Mohamad Sobary (Semar Gugat di Temanggung: 2014), batang berisi tembakau yang dibungkus itu terkisah:

Pada mulanya kretek. Konon, kelahirannya tak sembarangan. Ialah hasil sekaligus corak dari ekspresi budaya. Orang-orang Jawa kita telah “mengkretek”

sejak dahulu. Menjadi pengikat kebersamaan, menampakkan solidaritas sosial.

Di mana, kretek yang awalnya barang milik pribadi, tiba-tiba berubah menjadi milik bersama. Lantas, dari pergaulan sosial itulah, individu kemudian lebur ke dalam kolektivitas tanpa, tentu saja, menghilangkan ciri identitas dan aspirasi pribadi. Tak langsung, dengan begitu kebersamaan ditata perlahan.

Kretek berhubungan pula dengan pemaknaan kebebasan. Menghisap kretek dalam-dalam, menuai kenikmatan yang bukan sebentar. Tindakan menyedot asap lalu menghembuskannya kembali, akan menciptakan suasana bebas. Dari segala pemacaman: rutinitas, ancaman, juga desakan ini dan itu.

Prof Laksono –dalam suatu seminarnya, sebagaimana dikutip Sobary–

NGRETEK, SIAPA TAKUT?

Peringatan: merokok membunuhmu!

Rahmat Mustakim

Page 25: Bedah Buku Semar Gugat

25

NGRETEK, SIAPA TAKUT? menginterpretasikan tindakan mengkretek sebagai ekspresi orang bertutur. Meski sang pengkretek kelihatan sunyi, dari diam itulah, ia sebenarnya mengungkapkan banyak hal. Apa yang merupakan wujud kebebasan pribadi, (tuturannya dari mengkretek) harus diberi makna politik selanjutnya: kita harus memerdekakan diri dari rutinitas, ancaman atau desakan siapa pun.

Bahkan kenyataannya, asap hasil pembakaran tembakau membuahkan faedah. Bisa untuk mempersubur tanah, dan lebih jauh daripada itu: menyembuhkan penyakit. Dibuktikan oleh Ibu Gretha secara ilmiah, ahli kimia radiasi Indonesia. Inilah yang Sobary tolak mentah-mentah anggapan masyarakat polos kita, bahwa tembakau adalah racun terkutuk!

Lantas, apa yang membuatnya sampai-sampai ditolak pemerintah?

Katanya, aturan global tidaklah adil. Kretek ditolak dengan menggunakan argumen kesehatan. Kretek ditolak dengan menggunakan alasan

moral. Juga, kretek ditolak dengan menggunakan argumen apa saja, agar kretek mati dan pengaruh kebudayaannya tak terasa.

Sejak PP nomor 19 tahun 2003 dan UU No. 36/2009 terbit, pemerintah kita seperti hendak memakamkan pengolahan dari produk tembakau. Dari mulai industri kretek yang “besar”, sampai petani tembakau yang tidak serta-merta “kecil”.

Balik lagi, pangkal dari kesemuanya adalah soal kekuasaan. Peraturan yang tercantum di sana, memaksa halus para petani tembakau untuk melakukan alih fungsi lahan. Dengan kata lain, terjadi tindak pelanggaran hak hidup yang luar biasa. Juga apa daya, faktanya, sudah banyak perusahaan kretek yang besar-besar itu dicaplok. Memberadakan diri dalam pemilikan modal global. Mereka (penguasa asing) bukan lagi kapitalis, melainkan kapitalis yang sekaligus kolonialis dan imperialis, tegas Sobary. Jadinya, di balik ungkapan “kesehatan masyarakat”, kekuatan asing tengah gigih ingin merampas tembakau dan kretek itu.

Page 26: Bedah Buku Semar Gugat

26 "Bedah Buku "Semar Menggugat di Temanggung

Padahal, di negeri asing sana, kretek kita menghantam telak perdagangan rokok putih. Nah, yang dimaksud rokok putih ialah, tembakau tanpa ada campuran cengkeh. Sedang kretek memakainya. Sebab itulah, kretek kita sehat. Rokok putihlah yang selama ini dibahayakan. Yang selama ini jadi biang keladi adanya sebuah pesan pengancaman: “dilarang merokok!” Kretek kita lebih unggul. Itulah kenapa, penguasa-penguasa asing yang rakus itu, berusaha dengan segenap cara, untuk mencaplok kretek milik bangsa kita, negara kita.

Cobalah dimaknai: bila pemerintah terus menggalakkan aksinya untuk “membunuh” kretek, keselamatan kita bakal terancam. Yang dimaksud kita

di sini ialah: kebudayaannya. Kretek salah satu warisan kebudayaan kita. Kretek asli dari Indonesia. Sedang rokok putih bukan asli Indonesia. Kalau kebudayaan sudah dibunuh dan mati di tempat, masih adakah jasadnya?

Tulisan-tulisan perlawanan dari Sobary, merefleksikan kita. Tetapi, lucukah, seorang berusia 58 tahun baru merasakan merokok? Tertawalah, kalau tak malu. Sebab, motifnya hanya satu: melawan penguasa! Sebab, tujuannya hanya satu: membela kretek kita! Semoganya ke depan, kita masih bisa berkhayal dengan pembaruan –mungkin juga penerus– pesan pengancaman di hampir tiap bungkusan rokok sesudahnya:

Peringatan: mengkretek menyehatkanmu!

Desember, 2014

Page 27: Bedah Buku Semar Gugat

27

CATATAN:

Page 28: Bedah Buku Semar Gugat

28 "Bedah Buku "Semar Menggugat di Temanggung