Ksatria secara etimologi adalah sebuah kata sifat yang memiliki tiga makna. Yang pertama artinya memerintah, artinya ksatria adalah pelaku-pelaku kekuasaan. Makna yang kedua adalah kekuasaan yang diberkati. Makna yang ketiga adalah kuda merah. Hal ini dikarenakan banyaknya representasi lambang kekuasaan, kekuatan dan kegagahan digambarkan dengan kuda. Menurut Cak Nun, ksatria adalah seseorang yang menunaikan tugas yang diamanahkan kepadanya sampai selesai. Dari keempat makna ksatria yang dijabarkan ini, bisa disimpulkan bahwa keunggulan seorang ksatria adalah bahwa dia mampu menyelesaikan pekerjaannya sampai tuntas. Ada sesuatu yang nampak berbeda dari Kenduri Cinta bulan Juni 2014 ini. Selain hari yang dipilih merupakan hari yang tidak umum sebagaimana Kenduri Cinta biasa diselenggarakan, yakni secara rutin diadakan pada hari Jum’at minggu kedua, sedangkan kali ini dipilih hari Senin tanggal 16 Juni 2014. Juga setting panggung yang sedikit berbeda, dibuat lebih luas dari biasanya. Rangkaian janur (daun muda dari beberapa jenis palma besar, terutama kelapa, enau, dan rumbia) disusun menjadi berbagai bentuk kemudian digantung dengan jumlah yang cukup banyak, tersebar di berbagai sudut menjadi pemanis dekorasi sederhana namun apik. Disudut lain tampak potongan gedebok pisang lengkap dengan wayang yang dipasang, namun kali ini bentuk dan karakter wayang berbeda dari yang biasa kita lihat pada pagelaran wayang kulit. Tak ketinggalan seperangkat gamelan sudah tersusun rapi memenuhi panggung. Pemandangan kesibukan tersebut sudah tampak dari senin siang. Persiapan berbagai keperluan dilakukan, mulai dari pemasangan tenda, kelengkapan panggung, sound system, juga termasuk dekorasi panggung tersebut. Itu semua dipersiapkan dalam rangka memperingati 14 tahun Kenduri Cinta yang secara rutin sejak tahun 2000 di setiap bulannya menemani masyarakat dan titik lingkar Maiyah yang ada di Jakarta dan sekitarnya. Hari senin menjadi pilihan bagi Kenduri Cinta untuk memperingati kelahirannya, dan malam itu diadakan pagelaran kesenian dari Komunitas Lima Gunung yang terdiri dari seniman pekerja kesenian tradisional dan sekaligus mereka adalah para petani yang ada didaerah sekitar lima gunung diseputaran Magelang, yaitu Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Andong, dan Menoreh. Jumlah rombongan yang mereka keluarkan untuk pagelaran Kenduri Cinta malam itu sekitar 53 orang, dengan komposisi orang dewasa dan anak-anak yang menampilkan sembilan nomer pagelaran. Selain itu KiaiKanjeng juga turut memeriahkan pagelaran kesenian tersebut, dimana pada Kenduri Cinta malam itu, KiaiKanjeng sudah melakukan perjalanan Maiyah yang ke-3.567, walaupun jumlah tersebut masih ragu bagi personelnya sendiri, mengingat mereka melakukan perjalanan Maiyah lebih dari jumlah yang dapat dihitung, dengan jam terbang pelayanan mereka yang dijadwalkan oleh masyarakat begitu tinggi. Dari lingkar Maiyah Papperandang Ate Mandar Sulawesi Barat, turut menampilkan Teater Flamboyant yang kebetulan BAYANG-BAYANG PARA KSATRIA Jun 23, 2014 Editorial Kenduri (http://kenduricinta.com/v4/category/editorial-kenduri/) Reportase KenduriCinta (http://kenduricinta.com/v4/category/editorial-kenduri/reportase- kenduricinta/) 0 (http://kenduricinta.com/v4/reportase-bayang-bayang-para-ksatria/#comments) 4360 Reportase Forum Maiyah Kenduri Cinta edisi Juni 2014 | Redaksi: KC/Fahmi Agustian - Foto: Agus Setiawan (http://kenduricinta.com/v4)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Ksatria secara etimologi adalah sebuah kata sifat yang memiliki tiga makna. Yang pertama artinyamemerintah, artinya ksatria adalah pelaku-pelaku kekuasaan. Makna yang kedua adalah kekuasaan yangdiberkati. Makna yang ketiga adalah kuda merah. Hal ini dikarenakan banyaknya representasi lambangkekuasaan, kekuatan dan kegagahan digambarkan dengan kuda. Menurut Cak Nun, ksatria adalah seseorangyang menunaikan tugas yang diamanahkan kepadanya sampai selesai. Dari keempat makna ksatria yangdijabarkan ini, bisa disimpulkan bahwa keunggulan seorang ksatria adalah bahwa dia mampu menyelesaikanpekerjaannya sampai tuntas.
Ada sesuatu yang nampak berbeda dari Kenduri Cinta bulan Juni 2014 ini. Selain hari yang dipilih merupakan
hari yang tidak umum sebagaimana Kenduri Cinta biasa diselenggarakan, yakni secara rutin diadakan pada
hari Jum’at minggu kedua, sedangkan kali ini dipilih hari Senin tanggal 16 Juni 2014. Juga setting panggung
yang sedikit berbeda, dibuat lebih luas dari biasanya. Rangkaian janur (daun muda dari beberapa jenis palma
besar, terutama kelapa, enau, dan rumbia) disusun menjadi berbagai bentuk kemudian digantung dengan
jumlah yang cukup banyak, tersebar di berbagai sudut menjadi pemanis dekorasi sederhana namun apik.
Disudut lain tampak potongan gedebok pisang lengkap dengan
wayang yang dipasang, namun kali ini bentuk dan karakter
wayang berbeda dari yang biasa kita lihat pada pagelaran
wayang kulit. Tak ketinggalan seperangkat gamelan sudah
tersusun rapi memenuhi panggung.
Pemandangan kesibukan tersebut sudah tampak dari senin
siang. Persiapan berbagai keperluan dilakukan, mulai dari
Setelah jamaah terhibur dengan penampilan Warok Anak Hip-Hop, kini jamaah diajak masuk ke ruang
perenungan dengan pembacaan Puisi Atika dan Teater Kawan Taufik dari studio Mendut Menoreh, dengan
suara yang lantang puisi dibacakan oleh seorang gadis belia, dipadu padankan dengan gerak teatrikal juga
musikalisasi yang mendukung sebagai visualisasi dari puisi tersebut, membuat jamaah terdiam mengikuti bait
demi bait yang dibacakan. Setelah pembacaan puisi, ibu-ibu dari lereng Merbabu tampil membawakan Kipas
Mego, dengan anggun membawakan gerakan dengan rasa kebanggaan tersendiri mereka tumbuh sebagai ibu-
ibu dari pedesaan yang tangguh.
Ditengah-tengah paggelaran, Cak Nun meminta jeda dan mengajak beberapa pelaku kesenian dari Komunitas
Lima Gunung untuk mempraktekan pose-pose/patrap-patrap kekhusyukan, kegagahan, kekuatan, dsb.
Patrap-patrap inilah yang sebenarnya orisinal milik Indonesia. Sehingga seharusnya Indonesia memiliki sikap
kegagahan ketika menghadapi bangsa lain. Menurut Cak Nun, Indonesia sekarang sudah kehilangan aura
ksatria dalam kehidupan sosial, politik dan budaya. Dan sekarang, menurut Cak Nun kita berada di puncak
hari-hari yang penuh kepalsuan, namun kehadiran Komunitas Lima Gunung di Kenduri Cinta malam ini
adalah bukti bahwa kita dihadirkan sesuatu yang orisinal dari Indonesia yang sebenarnya.
Komunitas Lima Gunung kemudian melanjutkan dengan mementaskan Wayang Gunung dengan dalang Pak
Sih Agung, wayang yang ditampilkan tampak unik, tidak seperti tokoh wayang pada umumnya yang sering
kita saksikan, wayang yang dimunculkan menjadi sebagai tokoh yakni berbentuk serangga, mengangkat lakon
“konsistensi”, disuguhkan dengan jenaka dan menghibur. Dalam pementasan tersebut dapat disimpulkan
bahwa sejatinya semua makhluk di dunia ini hanya dituntut konsistensinya sebagai makhluk Tuhan. Yang
menajdi orong-orong harus konsisten menjadi orong-orong yang hidup dialam tanah, tidak boleh melanggar
aturan dengan melenceng dari apa yang digariskan, misalnya memilih hidup di air. Begitu juga dengan
manusia, kita dituntut untuk konsisten menjadi manusia.
“Universitas Maiyah itu bukanlah satu rumah dengan banyak ruangan, melainkan satu ruangan yang samadengan pintu yang banyak. Banyak orang pintar, tapi kepintarannya adalah kepintaran sekolahan bukan
kepintaran kehidupan,” lanjut Cak Nun.
Cak Nun kemudian meminta seorang jamaah untuk merespon tema yang diangkat dalam Wayang Gunung
tersebut. Jamaah tersebut mengatakan bahwa beberapa waktu yang lalu Cak Nun saat acara Maiyahan di
Malang mengatakan bahwa setiap kita harus mengetahui siapa diri kita. Jangan kemudian kita mengira diri
kita burung, padahal sebenarnya kita adalah ayam. Ayam tidak akan bisa terbang, sehingga ia tidak bisa
berangan-angan bahwa dirinya adalah burung.
Pak Sih Agung menambahkan bahwa orong-orong adalah orong-orong yang harus konsisten sebagai orong-orong. Pak Sih Agung mengatakan bahwa saat ini semua orang di Indonesia dipaksa untuk tidak konsisten
agar menjadi satu jenis yang sama. Padahal setiap manusia memiliki kelebihan masing-masing yang berbeda
satu sama lain. Bahkan dalam segala hal semua orang dipaksakan untuk sama.
Cak Nun merespon pernyataan Pak Sih Agung dengan menjelaskan bahwa itu semua terkait tentang konsep
kurikulum pendidikan yang seharusnya mampu mengetahui bahwa setiap murid memiliki sifat dan kelebihan
yang berbeda satu sama lain. Namun yang terjadi sekarang adalah, setiap murid dipaksakan untuk menguasai
semua mata pelajaran. Pak Sih Agung mengatakan bahwa pengalaman dirinya sebagai seorang Guru, beliau
tidak setuju dengan konsep Ujian Nasional yang ada saat ini. Ujian Nasional yang ada sekarang memaksa
semua murid untuk menguasai semua mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional. Bukankah setiap
murid memiliki kemampuan masing-masing yang berbeda. Ada yang hanya menguasai matematika saja, ada
yang hanya menguasai bahasa Indonesia saja dan seterusnya. Padahal, jika Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan ditantang untuk mengerjakan semua soal tersebut pun belum tentu mampu mengerjakan soal-
soal Ujian Nasional tersebut.
Cak Nun menambahkan, bahwa filosofi pendidikan nasional kita sekarang ternyata tidak mengenal filosofi
serangga seperti yang dipentasakan oleh Pak Sih Agus dalam Wayang Gunung tadi. Dalam Islam, ada
kewajiban dari Tuhan yang manusia bisa memilih untuk melakukan atau tidak. Namun ada juga perintah dari
Tuhan yang mau tidak mau harus dilakukan oleh manusia. Hal ini berlawanan dengan fakta yang ada di
Indonesia saat ini. Tayangan di televisi mengarahkan kita untuk menjadi bukan kita yang sebenarnya. Kita
dijauhkan dari aslinya kita sendiri untuk kemudian dipaksa menjadi orang lain.
Sebagai pemuncak pagelaran dari Komunitas Lima Gunung, menampilkan tarian Gupolo Gunung dan Kuda
Lumping. Dengan mengenakan kostum layaknya seorang raksasa, dilengkapi tata rias yang sangar, menari
dengan bahu yang membusung dada, setiap gerakan penuh kepastian, tidak ada keragu-raguan. Menunjukkan
kebesaran bangsa Indonesia, menggambarkan watak-watak manusia nusantara yang gagah, yang itu semua
saat ini sudah sukar untuk didapati.
Setelah rangkaian pagelaran kesenian Komunitas Lima Gunung, Teater Flamboyant Mandar mementaskan
lakon “Koayang”. Tema ini diangkat oleh Teater Flamboyant sebagai gambaran menghadapi situasi politik
Indonesia saat ini, dimana Indonesia sedang menyambut pesta demokrasi pemilihan presiden. Dimana setiap
kandidat mengumbar janji-janji mereka dihadapan para rakyat untuk mendulang suara agar mereka terpilih
pada hari pemilihan presiden. Koayang adalah seni tradisi dari tanah Mandar diilhami dari seekor burung
besar yang berpatuk panjang yang terbang dengan sekuat tenaga, yang diwujudkan dalam kostum para
pemain, juga tak lepas irama musik Mandar yang kental menjadi pelengkap pementasan tersebut. Dalam
pementasan tersebut, Koayang yang kuat tadi, oleh Tuhan diruntuhkan seluruh bulunya dan
mentakdirkannya jatuh sebelum menggapai arsy. Seni tradisi ini sering dimainkan malam sebelum hajatan
besar.
Teater Flamboyan yang hadir di Kenduri Cinta malam itu adalah generasi keenam dari Teater Flamboyant.
Cak Nun kemudian mengajak para pemain berdialog, mengenang sejenak beberapa kali perjalanannya ke
Mandar. Dimana dulu orang tua dari pada pemain-pemain Teater Flamboyant merupakan saksi hidup dari
beberapa pengalaman Cak Nun selama di Mandar.
“Pemerintah adalah petani yang menanam benih kepada rakyatnya, bukan justru mengambil buah dari rakyat
sementara benihnya dijual ke Negara lain. Hidup itu sangat luas dengan dimensi yang berlapis-lapis. Lapisan
tersebut jangan dibayangkan secara materiil,” sambung Cak Nun.
“Pendidikan kita saat ini menanam buah, bukan menanam benih. Seharusnya pendidikan itu menanambenih dimana muridnya adalah tanah-tanah yang akan ditanami benih. Namun sekarang pendidikan kita
menanam buah kepada murid-muridnya. Maka seorang murid sekarang itu pintarnya karena pintarsekolahan, bukan pintar kehidupan. Kesalahan kita bersama sekarang adalah menanam buah,” lanjut Cak
Muzammil mencoba menjelaskan tentang taqwa. Selama ini taqwa selalu
dikonotasikan dengan kata takut kepada Allah. Menurut Kiai Muzammil, kata
taqwa berasal dari waqoo-yaqii kemudian berkembang menjadi ittaqoo-yattaqii.Lebih tepat artinya adalah waspada. Dari ayat ini kita harus menyadari bahwa
benar-benar dalam kehidupan ini adalah main-main. Kiai Muzammil
mencontohkan bahwa sepakbola adalah sebuah permainan, namun kita harus
bisa mengambil pelajaran spiritualisnya dari sepakbola itu sendiri. Dalam
sepakbola ada kalah dan menang. Dimana dalam permainan tidak ada
seorangpun yang bisa mengontrol hasil akhirnya. Kalah atau menang akan
ditentukan oleh siapa yang lebih waspada. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa
kehidupan hanyalah main-main dan senda gurau, namun akhirat adalah hasil
akhir yang terbaik bagi mereka yang waspada.
Cak Nun menarik garis lurus dari kalimat “main-main” dan “senda gurau” dengan kalimat taqwa dalam ayat
Al An’am 32 tadi, bahwa kehidupan ini memang sejatinya adalah main-main dan senda gurau, namun setiap
kita harus memiliki semacam kuda-kuda yang namanya taqwa, karena pada akhirnya nanti kita akan menuju
akhirat yang kekal. Menurut Cak Nun, taqwa adalah sebuah sikap dimana kuda-kuda kita berada dalam
kondisi yang tepat.
Habib Anis menambahkan bahwa sejatinya, setiap pekerjaan yang dikerjakan oleh manusia adalah permainan.
Dalam permainan tersebut, manusia harus menyadari bahwa dia sedang bermain atau berperan sebagai apa
yang ia perankan. Habib Anis mencontohkah, seorang Presiden seharusnya menyadari bahwa dia sedang
bermain dan berperan sebagai seorang Presiden. Bukan merasa menjadi Presiden. Jika dia terlalu serius
merasa menjadi Presiden, dia akan lupa bahwa dia hanya sedang berperan sebagai Presiden. Sehingga dia
berpotensi berbuat dhzolim ketika menjadi Presiden.
Cak Nun bercerita tentang pertemuannya dengan Indra Sjafri pelatih Timnas Indonesia U-19. Dihadapan Cak
Nun, Indra Sjafri mengungkapkan ketersinggungannya ketika permainan U-19 dianggap menyerupai
Barcelona. Indra Sjafri membantah pernyataan banyak orang tersebut bahwa permainan U-19 mirip dengan
Barcelona. Pelatih Indra Sjafri menjawab dengan ilmiah dan ideologis. Secara ilmiah, permainan sepakbola
yang sebenarnya adalah memang seperti yang dimainkan oleh Timnas U-19 saat ini, tidak ada urusan dengan
Barcelona. Secara ideologis, Sepakbola Indonesia menurut Indra Sjafri tidak mengalami kemajuan karena
sepakbola Indonesia selama ini tidak menjadi dirinya sendiri. Selama ini PSSI berkiblat pada Eropa dan
Amerika Latin untuk dijadikan patokan sepakbola Indonesia. Sehingga sepakbola Indonesia tidak menjadi
dirinya sendiri.
Indra Sjafri menolak cara itu, sehingga ia blusukan hingga pelosok-pelosok desa untuk mencari pemain yang
mau menjadi dirinya sendiri, bukan berkiblat kepada sepakbola bangsa lain. Hebatnya Timnas U-19 saat ini
karena mereka benar-benar menjadi dirinya, bukan menjadi Eropa atau Amerika Latin. Menurut Cak Nun, hal
seperti ini yang harus dilakukan oleh Indonesia saat ini, bukan hanya dibidang sepakbola. Selama NKRI masih
berkiblat kepada bangsa lain dan tidak mau menjadi dirinya sendiri, maka Indonesia tidak akan mencapai
puncak kejayaan karena dirinya penuh dengan kepalsuan yang bukan dirinya sendiri. “Orang hidup itu harus
dengan akal dan ilmu. Pada saatnya nanti akal dan ilmu sudah tidak berguna, dan yang dibutuhkan adalah
Taqwa. ” lanjut Cak Nun.
KiaiKanjeng kemudian membawakan “Ingsun amemuji asmaning Allah” karya Cak Nun, Assalamu ‘alaikaaransemen Mandar dan sebuah lagu dari Filipina, Ang Bayan Po.
Ustad Noorsofa kemudian menjabarkan tentang taqwa, beliau memberikan kunci “sami’na wa atho’na”. Ustad
Noorsofa mencontohkan tentang Nabi Musa yang sebenarnya tidak tahu bahwa tongkatnya tidak bisa
membelah lautan, namun setelah Nabi Musa mencapai tingkatan taqwa, maka Allah memberikan tanda bahwa
tongkatnya tersebut bisa membelah lautan. Seperti halnya Nabi Nuh yang diperintahkan membangun bahtera
diatas gunung, juga Nabi Ibrahim yang sebelumnya tidak pernah tahu bahwa akhirnya Nabi Ismail ketika akan
disembelih kemudian digantikan dengan seekor domba. Dalam kehidupan yang penuh permainan ini
seringkali kita mendapatkan kejutan-kejutan yang tidak kita sangka-sangka sebelumnya. Ketika kita sudah
“sami’na wa atho’na”, maka Allah akan meberikan kejutan-kejutan yang tidak kita sangka-sangka sebelumnya.
Merespon uraian Ustad Noorsofa, Cak Nun mengatakan bahwa hal tersebut akan sedikit menyulitkan ketika
yang dihadapi adalah masalah “madaniyah”. Jika dalam urusan “makkiyah”, kita sudah sangat faham bahwa
yang akan kita taati adalah Allah. Berbeda jika sudah berhubungan dengan urusan “madaniyah” atau urusan
mu’amalah sesama manusia. Dalam Pilpres misalkan, kita tidak bisa menentukan akan taat kepada siapa untuk
memilih calon presiden yang tepat. Berbeda dengan Nabi yang memiliki previledge untuk melakukan sesuatu
seperti Nabi Musa ketika diperintahkan membelah lautan misalnya.