Top Banner

of 18

BAWANG MERAH-07-12-2011

Jul 18, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

POMPA PANTEK DAN BAWANG MERAH

Bulan September dan Oktober adalah saat panen raya bawang merah di Nganjuk, Situbondo, Kendal, Medan dan yang terutama di Brebes. Bawang merah memang paling ideal ditanam pada musim kemarau. Sebab tanaman ini sangat rentan terhadap penyakit akibat cendawan dan bakteri. Dua penyebab penyakit ini akan berkembang optimal apabila kelembapan udara relatif tinggi. Masyarakat di sentra-sentra bawang merah tadi selalu mengatakan, bahwa tanaman bawang merah akan mati kalau terkena "pedut" yang artinya kabut. Udara kering (tidak ada kabut) hanya akan terjadi pada musim kemarau. Namun pada musim kemarau tersebut, air tidak ada. Sawah akan tampak kering kerontang sampai tanahnya merekah dan pecah-pecah. Justru dalam kondisi demikianlah bawang merah mampu tumbuh dengan baik. Hingga pengadaan air pun diupayakan dengan berbagai cara. Ada yang menyedot air dari sungai yang debitnya masih cukup. Tetapi tidak semua lahan berdekatan dengan sungai. Dan pada saat kemarau panjang demikian, banyak sungai yang juga kering. Alternatif yang paling banyak dilakukan oleh para petani bawang merah adalah membuat sumur pantek (bor tangan). Kedalaman sumur antara 12 m. (3 pipa) sampai dengan 16 m. (4 pipa). Diameter pipa PVC ini biasanya 2 inchi. Sumur pantek tersebut dilengkapi pompa sedot portable (bisa diangkat/dipindah-pindah), berbahan bakar bensin maupun solar. Air dari sumur pantek ini, oleh para petani bawang merah tidak langsung disiramkan ke bedeng tanaman. Air tersebut cukup dialirkan ke saluran drainase yang memanjang sesuai dengan panjang bedengan. Dari saluran inilah air diambil dengan wadah untuk disiramkan ke tanaman bawang merah. Penanaman bawang merah memang menggunakan pola bedengan. Lebar bedeng 1 m, dengan saluran drainase selebar 0,5 m. Kedalaman saluran 1 m, hingga pekerja yang berdiri pada saluran drainase tersebut bisa menangani tanaman yang persis berada pada

ketinggian sekitar dada. Pembuatan bedengan biasanya dilakukan pada bulan Juni sehabis panen padi gadu. Sawah bekas padi gadu, biasanya masih relatif basah, hingga tanahnya cukup lunak untuk digali. Penggalian saluran drainase delakukan selebar 0,5 m, dengan kedalaman sekitar 70 cm. Tanah bekas galian ditumpukkan di "calon" bedengan selebar 1m. hingga mencapai ketinggian sekitar 35 cm (karena dari lebar galian 0,5 m. dilebarkan menjadi 1m). Kedalaman saluran drainase yang 70 cm, ditambah dengan ketinggian tumpukan tanah berketinggian 35 cm, kalau dijumlahkan akan menjadi sekitar 1 m. Itulah ketinggian bedengan bawang putih. Pada bulan Juli, ketika sawah telah benar-benar kering, pompa dipasang dan saluran diairi. Mulailah aktifitas penanaman bawang merah. Pertama-tama penaburan pupuk kandang yang volumenya mencapai 10 ton per hektar. Benih juga disiapkan yang jumlahnya sekitar 1 ton per hektar. Setelah benih ditanam, aktifitas harian para petani bawang merah adalah melakukan penyuraman. Kecuali pada hari tersebut kebetulan turun hujan. Modal untuk budidaya bawang merah, saat ini sudah sekitar Rp 20.000.000,- per hektar per musim tanam. Dengan rincian kebutuhan benih 1 ton @ kg. Rp 6.000,- atau Rp 6.000.000,Tenaga kerja meliputi pembuatan bedengan, penanaman, pemupukan, penyiangan, penyiraman dan pemanenan Rp 6.000.000,- Pupuk dan pestisida Rp 6.500.000,- Penyusutan pompa Rp 500.000,- Sewa lahan Rp 1.000.000,- Jadi total biaya penanaman bawang merah adalah Rp 20.000.000,- Hasil per hektar per musim tanam rata-rata sekitar 10 ton. Dengan harga bawang merah di tingkat petani Rp 2.500,- maka pendapatan kotor petani Rp 25.000.000,- Jadi marjin agribisnis bawang merah sekitar Rp 5.000.000,- dalam jangka waktu sekitar 4 bulan (persiapan 20 hari, umur panen 100 hari) atau sebesar 25 %. Marjin 25 % per 4 bulan atau 75 % per tahun tentu relatif cukup baik untuk ukuran bisnis di Indonesia. Tetapi marjin ini akan menjadi rusak apabila harga bawang merah jatuh di bawah biaya produksi yang Rp 2.000,- per kg. Ketika harga bawang putih jatuh ke tingkat harga Rp 300,- pada tahun 2000, maka petani Brebes banyak yang langsung miskin. Sebab harga pokok bawang marah waktu itu sudah di atas Rp 1.000,- per kg. Jatuhnya harga bawang merah pada tahun 2000, sebenarnya bukan disebabkan oleh kesalahan petani. Ketika itu pemerintah bermaksud untuk mengucurkan dana Kredit Usaha Tani (KUT) ke masyarakat. Di antara skim-skim yang ada, skim untuk bawang merah dan jahe termasuk yang nilainya cukup tinggi. Karenanya banyak petani yang mangajukan untuk dua komoditas tersebut. Kesalahan pihak pemerintah adalah, dana yang berasal dari IMF dan cairnya terlambat tersebut, disalurkan ke petani dalam waktu yang bersamaan pada sekitar bulan Juni. Akibatnya, para petani melakukan penanaman bawang merah secara serentak dalam

luasan yang melampaui daya tampung pasar. Karena penanaman dilakukan pada musim yang tepat, maka panen juga bisa berhasil cukup baik. Melimpahnya bawang putih ke pasar telah mengakibatkan jatuhnya harga. Mestinya, untuk mengantisipasi hal demikian, pihak pemerintah menanggulanginya dengan memberikan dana pembelian bagi koperasi setempat. Koperasi ini akan menyimpan bawang merah tersebut sampai harganya stabil. Dibanding dengan cabai, bawang merah memiliki kelebihan karena bisa disimpan dalam bentuk segar. Namun penyimpanan bawang merah memerlukan barak yang cukup besar. Dalam barak yang terbuka tersebut (tidak perlu dinding), dipasang palang-palang bambu untuk menggantung ikatan bawang merah. Dengan penyimpanan demikian, bawang merah tahan disimpan sampai satu tahun tanpa menurunkan kualitasnya. Apabila agribisnis bawang merah ini telah tertata dengan baik, maka penanaman secara rutin harus dilakukan padamusim kemarau dengan pengairan sumur pantek, selanjutnya hasilnya disimpan untuk dipasarkan secara bertahap pada musim penghujan. Sebaiknya, pada musim penghujan petani tidak menanam bawang merah. Para petani Brebes, tidak mungkin menanam bawang merah pada musim penghujan karena sawah mereka akan tergenang banjir. Genangan ini justru cocok untuk tanaman padi. Hingga mereka akan merotasi lahan tersebut untuk penanaman padi. Selain itu, pada musim penghujan bawang merah akan rentan terhadap penyakit dan produktifitasnya juga turun karena intensitas sinar matahari juga rendah pula. Kendala utama pengendalian harga bawang merah dengan cara penyimpanan adalah masalah dana. Untuk menggulangi jatuhnya harga bawang merah diperlukan dana pembelian yang cukup besar. Misalnya, kalau biaya produksi komoditas ini sudah mencapai Rp 2.000,- per kg, dengan hasil mencapai 10 ton per hektar, maka untuk tiap hektar lahan diperlukan dana pembelian minimal Rp 20.000.000,- Lahan bawang merah di Brebes sekitar 10.000 hektar. Di seluruh Jawa di luar Brebes sekitar 20.000 hektar. Hingga total lahan bewang merah di seluruh Jawa sekitar 30.000 hektar. Hingga sebenarnya modal yang diputas dalam agribisnis bawang merah di pulau Jawa ini sudah mencapai Rp 20.000.000,- X 30.000 hektar atau Rp 600.000.000.000,- (enamratus milyar rupiah). Apabila harga bawang merah jatuh hanya 50 % dari harga pokoknya, maka dana talangan yang diperlukan sudah mencapai Rp 300.000.000.000,- Dengan ditambah biaya penyimpanan, penyusutan antara 10 sd. 15 % dan suku bunga bank 20 %, kalau bawang merah ini dijual pada saat musim penghujan, maka marjinnya masih bisa menutup biaya pembelian, penyimpanan, penyusutan dan suku bunga bank. Sebab peningkatan harga dari ketika normal menjadi tidak normal (mahal) bisa lebih dari 50 %

Cara lain untuk menanggulangi gejolak harga ini adalah dengan mengolahnya. Industri pengirisan dan penggorengan bawang merah ini telah tumbuh dengan baik terutama di Kab. Cirebon. Maraknya industri pengirisan dan penggorengan bawang merah ini terutama disebabkan oleh industri mie instan yang menyerap kebutuhan bawang goreng cukup banyak. Kendala utama dari industri bawang goreng adalah keterbatasan dana untuk membelibahan baku sebagai stok serta rendahnya SDM serta manajemen untuk berhubungan dengan industri mie instan. Sebagaimana kita ketahui, industri mie instan dikuasai oleh perushaan-perusahaan besar. Selama ini mereka justru memanfaatkan lemahnya SDM serta manajemen petani untuk memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Pada saat harga bawang merah jatuh, mereka memborongnya sebanyak mungkin dengan harga yang sedikit lebih dinaikkan dibanding dengan harga pasar. Karena memiliki gudang penyimpanan, maka stok ini bisa dimanfaatkan pelan-pelan pada saat harga bawang merah kembali normal atau pas sedang tinggi-tingginya. Dewasa ini ada lebih dari 10 varietas bawang merah lokal yang dibudidayakan oleh para petani. Antara lain adalah Sumenep, Ampenan, Bima Brebes, Medan, Keling, Maja Cipanas, Lampung, Banteng, Timor, Kuning, Bali Ijo, Jakasana, Ashali, Betawi, Gurgur dll. Selain itu, saat ini para petani juga sudah mulai membudidayakan varietas introduksi dari Thailand, Filipina dan Australia. Varietas-varietas impor ini dipilih petani karena bentuk umbinya yang lebih kompak, kulitluarnya yang tebal, mengkilat dan berwarna lebih tua/mencolok. Selain itu produktifitas varietas impor juga cukup tinggi, yakni rata-rata bisa mencapai 15 ton per hektar. Namun varietas impor ini akan mengalami penurunan produktifitas apabila tidak diperlakukan dengan lebih baik dari varietas lokal. Sebab di negeri asalnya, varietas-varietas tersebut ditanam di kawasan yang panjang panas harinya mencapai 14 jam per hari. Di Thailand utara atau Australia agak ke tengah malahan bisa mencapai 15 jam per hari. Sementara di Indonesia panjang hari paling lama hanyalah 12 jam. Itu pun terjadi pada musim penghujan pada saat bawang merah rentan terhadap penyakit. Pada musim kemarau (antara Juni sampai Oktober) panjang hari di Indonesia, khususnya pulau Jawa, akan kurang dari 12 jam. Hingga banyak pula petanikita yang masih fanatik dengan varietas lokal. (R) ***

Panen Raya, Harga Bawang Merah JatuhIwan Setyawan | Robert Adhi Kusumaputra | Jumat, 19 Agustus 2011 | 14:28 WIB Dibaca: 2155 Komentar: 1

|

Share:

Iwan Setiyawan/KOMPASPanen Raya, Harga Bawang Merah Jatuh

TERKAIT: Harga Bawang Mulai Naik Petani Terjerembab Bersama Penurunan Harga Petani Bawang Minta Impor Dipangkas Harga Sayuran Jatuh BERITA FOTO: Sidak Mentan ke Kramatjati

BERITA FOTO Pedagang pengepul mengemas bawang merah hasil panen petani di Kecamatan Tanjung, Brebes, Jawa Tengah, Jumat (19/8/2011).

Panen raya bawang merah di Brebes membuat harga jatuh. Di tingkat petani harga saat ini Rp 4.500-Rp 5.000 per kilogram. Harga di pengepul Rp 7.000 per kilogram. Sedangkan harga di pasar eceran sekitar Rp 10.000 per kilogram. Sebagai perbandingan harga bawang merah tertinggi bisa mencapai Rp 20.000 per kilogram di tingkat petani. Harga tertinggi tersebut terjadi di bulan Maret lalu.

BREBES, KOMPAS.com - Harga bawang merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, kembali turun, setelah sekitar sebulan lalu naik dari Rp 6.000 per kilogram, menjadi Rp 8.000 per kilogram. Saat ini, harga bawang merah di tingkat petani kembali terpuruk, mencapai harga Rp 4.000 hingga Rp 5.000 per kilogram. Nurkhasanah (48), petani bawang di Desa Sisalam, Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, Selasa (8/11/2011), mengatakan, harga bawang merah terus berfluktuasi. Sejak tiga hari lalu, harga bawang kembali turun hingga Rp 4.000 per kilogram. "Bahkan kemarin ada yang hanya terjual Rp 3.700 per kilogram," katanya. Menurut dia, harga bawang turun, karena pasokan bawang meningkat. Selain berasal dari produksi lokal, hingga saat ini bawang impor juga masih masuk di wilayah Brebes, yang merupakan salah satu sentra penghasil bawang di Indonesia. Penurunan harga bawang tersebut, lanjutnya, sangat merugikan para petani. Seharusnya, agar bisa mendapatkan untung, harga minimal bawang merah Rp 6.000 per kilogram. Modal untuk menanam bawang mencapai Rp 50 juta (untuk lahan sendiri), serta Rp 60 juta (untuk lahan sewa). Dalam kondisi normal, dari satu hektar sawah bisa dihasilkan 20 ton bawang merah. Namun pada perubahan musim kali ini, produktivitas bawang turun, akibat maraknya serangan hama. Rata-rata, dari satu hektar lahan hanya dihasilkan 12 ton bawang merah, sehingga pendapatan petani hanya Rp 48 juta per hektar. "Belum lagi petani harus mengeluarkan biaya tenaga pencabut bawang," ujarnya. Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Brebes, Juwari, menambahkan, penurunan harga bawang merah tidak semata-mata karena pasokan, tetapi diperkirakan akibat permainan spekulan penimbun bawang. Pada bulan Puasa lalu atau sekitar awal Agustus, harga bawang merah sempat anjlok. Para pedagang pemilik modal beramai-ramai membeli bawang dan menyimpannya. Saat ini, mereka mulai melepas persediaan bawang, seiring dengan dimulainya aktivitas tanam petani pada musim penghujan. Padahal seharusnya, harga bawang bisa stabil, karena musim tanam tahun ini tidak serempak. Sebagian petani sudah panen, namun sebagian lainnya baru memulai tanam, atau sudah tanam, tetapi belum panen.

Seharusnya dengan kondisi tersebut, pasokan bawang terus tersedia, karena panen berlangsung terus-menerus. Namun kenyataannya, harga bawang tetap anjlok.1 Juli 2011 | 18:28 wib Berita Aktual Daerah

Harga Jatuh, Mentan Lakukan Aksi Borong Bawang MerahShare

Brebes, CyberNews. Menteri Pertanian (Mentan) Dr Ir Suswono MMA melakukan aksi borong bawang merah saat kunjungan kerja di Sub Terminal Agrobisnis (STA) Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes, Sabtu sore (30/7). Itu dilakukan sebagai bentuk keprihatinan dan upaya mendongkrak harga, menyusul jatuhnya harga bawang merah di tingkat petani. Dalam kunjungannya tersebut, Mentan membeli sebanyak 6 ton bawang merah. Kemudian, Pemkab Brebes sebanyak 6 ton dan Pasar Komoditas Nasional (Paskomnas) juga ikut membeli sebanyak 6 ton. Harga bawang merah lokal kini jatuh hingga kisaran Rp 3.000 - Rp 4.000/ Kg. Padahal, harga jual minimum agar petani bisa mendapatkan untung Rp 6.000/ kg. "Saya sangat prihatin harga bawang kini jatuh. Karena itu, harus distabilkan," kata Suswono. Menurut dia, selain untuk ikut mempengaruhi psikologi pasar, pembelian bawang itu dimaksudkan gar ke depan diciptakan pasar-pasar tani. Tujuannya, untuk memperpendek rantai tata niaga. Kini pasar tani jumlahnya sebanyak 37 tersebar di seluruh Indonesia. Khusus di Jakarta, ada 3 tempat pasar tani termasuk di Deptan. "Seperti bawang yang kami beli ini, nantinya akan dijual di pasar tani di Deptan," ujarnya. Suswono meminta, Pemkab agar lebih berperan aktif dalam menstabilkan harga bawang merah. Itu bisa dilakukan dengan menyiapkan anggaran APBD untuk pembelian hasil panen petani di saat harga jatuh. Langkah tersebut telah dilakukan di Kabupaten Bantul, dan hasilnya baik. Pemkab Brebes sebenarnya juga sudah mengalokasikan anggaran Rp 1,1 miliar, tetapi itu hanya untuk mengkafer 8 kelompok tani. Padahal, jumlah kelompok tani yang ada di Brebes sebanyak 40. "Kenapa hal yang sudah sukses ini tidak di contoh di Brebes," tandasnya. Dia menambahkan, pemerintah pusat untuk menstabilkan harga mengupayakan melalui dana interfensi. Anggaran dana interfersi nilainya Rp 1,6 miliar/ tahun untuk semua komoditas, dan telah dianggarkan sejak tahun 2008 lalu. Artinya, dana itu dialokasikan untuk jaga-jaga sewaktu ada komoditas yang harganya jatuh. "Harga bawang saat ini di bawah Rp 6.000, saya kira petani pasti rugi, karena BEP bawang merah Rp 6.000/ kg. Kalau sudah tahu seperti itu, mestinya Pemkab tinggal menentukan harga dasar agar petani bisa untung. Jika ini diterapkan, pasti akan berebut dengan pedagang, karena pedagang akan berani menaikan harga agar mereka tetap mendapatkan barang," paparnya.

( Bayu Setiawan / CN32 / JBSM )

Stabilisasi Harga Bawang Merah di BrebesHarga bawang merah di tingkat petani seringkali mengalami penurunan tajam hingga hanya Rp. 4.000 Rp. 5.000/kg. Sebulan lalu, harga bawang merah di Kabupaten Brebes mencapai di atas harga Rp. 10.000/kg. Terjadinya penurunan harga di tingkat petani ini diduga dipengaruhi oleh masuknya bawang merah impor bersamaan waktu panen di Brebes. Menteri Pertanian Suswono mengatakan fluktuasi harga dan masuknya impor bawang merah pada saat panen raya merupakan permasalahan yang berulang sepanjang tahun. Hal ini perlu kita carikan solusi terbaik, khususnya guna meningkatkan kesejahteraan petani bawang merah Kabupaten Brebes, kata Mentan saat kunjungan kerja di Brebes. Mentan menambahkan bawang merah merupakan komoditi sayuran strategis yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat dan selama ini fluktuasi harganya relatif tinggi terutama pada saat panen raya dan menjelang hari-hari besar keagamaan dan nasional. Situasi ini seringkali diperparah dengan adanya impor bawang merah yang masuk ke wilayah sentra produksi yang mengakibatkan permasalahan menjadi kompleks, tambahnya. Mentan mengaku telah banyak dilakukan program dan kegiatan untuk pengembangan bawang merah nasional. Di antaranya pengembangan di subsektor hulu (on farm) maupun hilir (off farm) guna meningkatkan produktivitas, produksi serta pemasaran. Namun harus diakui lanjutnya sampai saat ini upaya tersebut belum dapat optimal dirasakan oleh petani produsen. Kementerian Pertanian sejak tahun 2008 telah melaksanakan kegiatan stabilisasi harga bawang merah di Kabupaten Brebes khususnya pada saat panen raya agar harga bawang merah tidak jatuh. Meskipun dana yang tersedia masih sangat terbatas.

Pemerintah Diminta Tertibkan Bawang ImporBesar Kecil Normal

TEMPO.CO, Brebes - Keberadaan bawang impor yang masuk di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, dinilai menjadi ancaman hasil penen petani bawang merah. Untuk itu, pemerintah diminta menertibkan masuknya bawang merah impor di Kabupaten Brebes ini.

04 Desember 2011 | 23:25 wib Berita Aktual Ekonomi

Mentan Minta Pemkab Brebes Beli Hasil Panen PetaniShare

Atasi Harga Bawang Jatuh

BREBES, suaramerdeka.com - Menteri Pertanian (Mentan) Dr Ir Suswono MMA meminta Pemkab Brebes berperan aktif dalam mengatasi jatuhnya harga bawang merah saat ini hingga Rp 2.500/ kg. Pemkab bisa mengeluarkan kebijakan melakukan aksi pembelian hasil panen petani bawang saat harga jatuh. "Kami minta pemkab bisa berperan aktif. Saat harga bawang jatuh pemkab membeli. Ini sebagai kepedulian pemkab kepada petani," tandas Mentan Dr Ir Suswono MMA saat melakukan kunjungan kerja di Desa Cipelem dan Bulusari, Kecamatan Bulakamba Brebes. Menurut dia, untuk melaksanakan kebijakan tersebut DPRD bisa mengalokasikan anggaran melalui APBD bagi pembelian bawang hasil panen petani tersebut. Pembelian dilakukan paling tidak dengan harga sesuai Break Even Point (BEP) sehingga petani bisa untung. Disamping itu, Pemkab juga aktif mendekati para importir bawang agar tetap membantu petani. "Melalui langkah ini, secara otomatis pedagang besar berani membeli panen petani dengan harga tinggi, karena barang tidak ada," terangnya. Dia mengungkapkan, langkah pembelian hasil panen petani saat harga jatuh tersebut sudah ditempuh Kabupaten Bantul, DIY. Hasilnya, harga panen bisa tetap stabil, dan petani tetap bisa menikmati kerja kerasnya. "Kami sebenarnya sudah berkali-kali menyampaikan, tetapi Pemkab Brebes ini ternyata responya agak lamban," tegas Mentan. Lebih lanjut dia mengatakan, kementeriannya dalam persoalan bawang merah hanya dapat menahan persyaratan. Artinya, jika impor bawang sudah memenuhi persyaratan dan aman, pihaknya tidak bisa berbuat banyak. Selama ini ada syarat bawang impor yang masuk harus tanpa daun, dan bawang impor yang masuk dengan daun hanya untuk bibit. "Kalau bibit ini bisa dipenuhi sendiri, kami siap menyetop impor bibit ini," katanya. Dia menambahkan, bawang impor itu diduga hanya permainan para pedagang untuk menjatuhkan harga bawang lokal yang sedang bagus. Bawang impor sebenarnya tidak ada,

tetapi dihembuskan isu pada para petani bawang impor masuk. Sehingga, harga bawang lokal jatuh. "Ini juga harus dicermati. Tapi, yang jelas jika ada informasi bawang impor masuk segera laporkan ke kami. Namun, tentunya laporan dengan data yang akurat. Ini agar kami bisa langsung menindak," sambungnya. ( Bayu Setiawan / CN34 / JBSM )

Saya minta agar pemerintah ikut menertibkan keberadaan bawang impor ini agar tak menimbulkan maslah di kemudian hari, kata Ketua Asosiasi Petani Bawang Merah Indonesia, Juwari, Minggu, 12 Juni 2011.

Menurutnya, petani khawatir masuknya bawang impor yang didatangkan importer ini akan merusak harga jual hasil panen raya yang akan terjadi pada bulan Juli depan. Kami benarbenar terancam oleh masuknya bawang impor yang kembali membanjiri pasar bawang di Brebes, ujarnya. Kekhawatiran Juwari ini terkait masuknya sejumlah bawang impor yang tak hanya didatangkan dari Thailand dan Vietnam, tapi juga dari India. Ia mengaku sejumlah bawang impor dari India ini juga tak kalah banyak dari bawang impor lain yang sudah dipasarkan lewat Brebes. Hasil pantuan saya, terdapat tiga kontainer bawang asal India yang telah masuk ke Brebes, ujarnya. Menurut dia, bawang ini telah ada di sekitar pasar bawang merah Klampok Brebes dan sedang dibongkar oleh pedagang setempat. Ia mengaku keberadaan bawang impor ini rawan menimbulkan anjloknya harga bawang lokal yang ditanam oleh petani Brebes karena harganya lebih murah dari bawang lokal. Saat ini harga bawang merah kering hasil produksi petani Brebes mencapai Rp 12 ribu per kilogram dan masih menguntungkan petani .

Kepala Seksi Pemasaran Dinas Pertanian Kabupaten Brebes, Sodikin, membenarkan masuknya bawang asal India ini. Meski begitu ia menjamin tak akan berpengaruh pada penjualan bawang merah petani Brebes karena bawang India punya pangsa pasar tersendiri Bawang India hanya dikonsumsi pedagang martabak, harganya pun relatif sama, yakni 12 ribu per kilo, ujar Sodikin. Hasil pantuannya terdapat 12 kontainer bawang India yang telah masuk Brebes. Dengan begitu, Sodikin meminta agar petani bawang merah Brebes tak perlu khawati, karena masyarakat banyak yang tak menyukai bawang jenis ini. Kalau ada yang resah itu hanya efek psikologis. Petani jangan terbawa isu oleh hasil panen yang hendak dibeli murah, ujar Sodikin .Rabu, 03 Agustus 2011 , 03:37:00 Ekonomi

Harga Bawang Anjlok, Mentan Minta Pemda ProaktifBREBES - Pemerintah daerah (Pemda) diminta proaktif mengatasi masalah yang merugikan para petani. Salah satunya terkait dengan anjloknya harga bawang merah di tingkat petani. Di Brebes, Jawa Tengah, harga bawang merah lokal kini jatuh hingga kisaran Rp 3.000 - Rp 4.000 per kg. Padahal, harga jual minimum agar petani bisa mendapatkan untung Rp 6.000 per kg. Kondisi tersebut membuat Menteri Pertanian (Mentan) Suswono merasa prihatin. "Harga bawang saat ini di bawah Rp 6.000 per kg, saya kira petani pasti rugi, karena BEP bawang merah Rp 6.000 per kg. Kalau sudah tahu seperti itu, mestinya pemkab tinggal menentukan harga dasar agar petani bisa untung. Jika ini diterapkan, pasti akan berebut dengan pedagang, karena pedagang akan berani menaikan harga agar mereka tetap mendapatkan barang," ujar Suswono saat kunjungan ke Sub Terminal Agrobisnis (STA) Kecamatan Larangan, Brebes. Kondisi tersebut seharusnya bisa diatasi dengan menyiapkan dana APBD untuk pembelian hasil panen petani di saat harga jatuh. Langkah tersebut telah dilakukan Pemkab Bantul dengan menyiapkan dana sebesar Rp 3,1 miliar dan hasilnya baik. "Lantas kenapa tidak dicontoh di Brebes?" tandasnya didampingi Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (PPHP) Kementan, Zaenal Bachruddin. Sebenarnya Pemkab Brebes juga sudah mengalokasikan dana sebesar Rp 1,1 miliar, tapi anggaran itu hanya untuk meng-cover 8 kelompok tani. Padahal, jumlah kelompok tani di Brebes sebanyak 40. Dalam kesempatan tersebut, Kementerian Pertanian juga melakukan pembelian bawang merah sebanyak 6 ton. Kemudian, Pemkab Brebes sebesar 6 ton dan Pasar Komoditas Nasional

(Paskomnas) juga ikut membeli 6 ton. "Selain untuk ikut mempengaruhi psikologi pasar, pembelian bawang itu dimaksudkan agar ke depan diciptakan pasar-pasar tani. Tujuannya, untuk memperpendek rantai tata niaga. Kini pasar tani jumlahnya sebanyak 37 di Indonesia," ujarnya. Sementara itu, Dirjen PPHP Kementan Zaenal Bachruddin mengatakan, meski dana yang disediakan Pemkab Brebes untuk melakukan gejolak harga bawang merah belum memadai, itu sebenarnya stimulan saja dan konsep tersebut tidak hilang. "Kalau bisa bertambah (dananya, Red),"tandas dia. Sebenarnya, lanjut Zaenal, pihaknya juga melakukan intervensi pasar terkait dengan kenaikan harga bawang merah. Namun dana yang dimiliki masih terbatas. "Khusus untuk di Brebes, dananya tidak terlalu banyak, berkisar Rp 1,6 miliar. Sekitar Rp 300 juta untuk sarana dan prasarana, sedangkan sisanya untuk intervensi pasar. Yang menarik, pemda harus menentukan harga minimal, sehingga pedagang membeli berdasarkan harga patokan daerah,"katanya.(aro)

Melirik Brebes Sebagai Lumbung Bawang MerehSeperti diketahui hampir 65 persen lahan di Brebes digunakan untuk pertanian. Selebihnya digunakan untuk perikanan, perkebunan dan perhutanan. Sebagai salah satu daerah agraris, pada umumnya petani Brebes menggarap tanahmya dengan tanaman padi satu tahun sekali. Sedang sisa waktu lainnya digunakan untuk menanam bawang merah. Jika sistem pengairan memungknkan, ada juga petani yang menenam padi setahun dua kali. Di kalangan masyarakat Brebes dikenal dengan istilah ranbatan, sadonan serta lerengan. Untuk menyiasati kondisi diatas, bagi petani yang kreatif dapat juga menanam aneka sayuran secara tumpang sari. Dalam kedaan musim kering, pera petani Brebes tidak kurang akal. Untuk mengatasi kekurangan air, mereka memanfaatkan cara pompanisasi untuk mengambil air dari dalam tanah. Meski cara ini memerlukan biaya yang tidak sedikit, namun apa oleh buat. Yang penting tanaman bawang bisa tumbuh dengan baik. Selanjutnya ada beberapa hal yang tampaknya relevan untuk kita kemukakan dengan Brebes yang dikenal dengan sebagai penghasil bawang merah terbesar di Indonesia dan menjadi salah satu sumber devisa masyarakatnya. Pertama, Tradisi menanam bawang merah bagi masyarakat Brebes memeng erat kaitanya dengan factor histories, geologis dan geografis dari wilayah Brebes itu sendiri. Dari sisi historis, sejak ratusan tahun yang lalu masyarakat Brebes sudah menanam bawang merah. Kenyataan ini telah menempatkan Brebes sebagai daerah penghasil bawang merah terbesar di Indonesia.

Barangkali dari hal itu, tidak mengherankan bila sebagaian besar masyarakat Brebes sangat menguasai seluk beluk penanaman bawang merah. Termasuk dalam cuaca yang kurang memungkinkan untuk menenam bawang merah. Tidak aneh pula, bila ketika harga bawang merah melambung tinggi banyak diantara petani Brebes yang diminta petani dari daerah lain untuk mengajari teknik pemenanaman bawang merah. Disisi lain, faktor geologis struktur tanah wilayah Brebes memeng memungkinkan untuk tanaman seperti bawang merah. Semenrata dari faktor geografis, posisi Brebes yang dilalui angina kumbang yang berasal dari wilayah pegunungan bagian selatan merupakan nilai tambah keberhasilan penanaman bawang merah. Apalagi angin tersebut berhembus hampir sepanjang tahun, kecuali pada musin lerengan. Mungkin dari faktor tersebut di atas telah menjadikan bawang merah asal Brebes memiliki ciri khas tersendiri. Singkatnya, bila digoreng terasa lebih harum baunya dan bila diiris lebih pedas di mata. Kedua, meski dikenal sebagai penghasil bawang merah terbesar sulit dipungkiri bahwa sejauh ini sebagaian besar perani bawang merah Brebes belum mampu mengendalikan harga jual yang kadang melambung tinggi dan dilain waktu justru melorot hingga harga terendah. Kalau dikaji lebih jauh, fluktuasi harga bawang merah tersebut sesungguhnya sebagai dampak ulah para tengkulak yang selama ini menguasai jalur distribusi perdagangan komoditas tersebut. Tidak jarang para tengkulak membohongi para petani dengan menyebutkan bahwa stok bawang merah di pasaran demikian banyak sehingga mereka tidak berminat membeli bawang merah dalam jumlah yang besar. Dalam kondisi seperti ini, petani bawang merah jelas sangat terpojok. Kalau bawangnya dibiarkan tidak dijual dalam jangka waktu lama, maka dikhawatirkan akan membusuk. Selain itu, karena bertani dengan modal yang terbatas, mereka berharap hasil panen bawang merah segera terjual untuk meneutupi kebutuhan. Akhirnya meskipun dengan harga jual yang murah, mereka terpaksa menjualnya kepada tengkulak. Pada sisi yang lain, fluktuasi harga bawang merah juga disebabkan semakin banyaknya petani dari daerah lain yang juga ikut menjiplak budi daya bawang merah. Tidak jarang untuk menghasilkan bawang merah yang kurang lebih memiliki kualitas yang sama dengan bawang merah Brebes, pengusaha mengontrak para petani bawang dari Brebes untuk membuka lahan pertanian bawang merah di daerah lain. Mereka percaya bahwa petani bawang merah asal Brebes memeng memiliki kemampuan untuk itu. Dan terbukti, karenea dikelola dengan baik, bawang merah yang dihasilkan dari daerah lain pun memang cukup baik kualitasnya. Dari uraian di atas, setidaknya dapat ditarik benang merah yang berkaiatan dengan seringnya

terjadi fluktuasi bawang merah sebagai komoditi unggulan masyarakat Brebes. Pertama, ketergantungan masyarakat Brebes terhadap bawang tidaklah selalu menguntungkan. Karena ketika harga bawang merah jatuh, kondisi ekonomi masyarakatnya pun secara otomatis akan terpengaruh. Kedua, selama ini sebagian masyarakat Brebes baru menguasai masalah penanamannya saja. Sedangkan masalah distribusi, pengolahan pasca panen serta inovasi-inovasi lainya termasuk menyangkut keseriusan maayarakat dan pemda untuk menjadikan bawang merah sebagai komuditas unggulan yang dioptimalkan belum banyak yang berfikir kearah tersebut. Dalam hal ini mengacu pada berbagai permasalahan di atas, setidaknya terdapat tiga hal yang harus segera dibenahi berkaitan dengan keadaan petani bawang merah. Pertama, political will dari pemda dan masyaraknya untuk tetap menjaga eksistensi Brebes yang selama ini dikenal dengan Trede Mark kota bawang dengan mengoptimalkan potensi kompetitif dengan seperangkat regulasi yang medukung kebijakan tersebut. Keua, sistem pemasaran yang selama ini cenderung masih tradisionalis dan merugikan petani hendaknya secara bertahap ke arah yang lebih menguntungkan petani dengan cara melakkan inivasi-inovasi untuk mendapatkan nilai plus dipasaran, semisal membrandingkan bawang merah khas brebes dan mengkasifikasikannya menurut jenis dan kualitasnya. Hal ini dimaksudkan untuk menembah daya tawar dipasaran. Ketiaga, hendaknya dilakukan pembinanaan SDM secara terarah dan terpadu. Pada akhirrnya, semua faktor di atas tidak akan berhasil tanpa adanya keberpihakan pemerintah daerah terhadap nasib petani. Bagaimanapun keterbatasan pola pikir petani Brebes saat ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk mencarikan jalan keluarnya. Apalagi selama ini Brebes memang unggul dalam komuditas tersebut dan dikenal sebagai daerah penghasil terbesar. Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana upaya kita umtik membantu kehidupan para petani bawang merah tersebut agar benar-benar menikmati hasil keringatnya secara optimal. Semoga.

Kementan Borong 12 Ton Bawang Merah PetaniRabu, 3 Agustus 2011 16:14 wib 0 0 Email0

Ilustrasi. Foto: Koran SI

JAKARTA - Kementerian Pertanian (Kementan) akan membeli bawang merah milik petani sebanyak 12 ton. Untuk tiap kilogramnya (kg), bawang merah tersebut akan dibeli Rp7.000 sampai di tempat. Pembelian ini dilakukan untuk mendongkrak harga bawang merah di tingkat petani yang saat ini berkisar antara Rp3.000-Rp4.000 per kg. "BEP bawang merah itu sekira Rp6.000 per kg. Dengan harga yang Rp3.000 hingga Rp4.000 tersebut pasti petani rugi. Padahal harga bawang merah di Pasar Induk Kramat Jati tembus Rp15 ribu," kata Menteri Pertanian (Mentan) Suswono, di Jakarta, Rabu (3/8/2011). Menurut dia, selain untuk ikut mempengaruhi psikologi pasar, pembelian bawang itu dimaksudkan agar ke depan diciptakan pasar-pasar tani. Tujuannya, untuk memperpendek rantai tata niaga. Kini pasar tani jumlahnya sebanyak 37 tersebar di seluruh Indonesia. Khusus di Jakarta, ada tiga tempat pasar tani termasuk di Kantor Kementan. Bawang merah yang dibeli tersebut nantinya akan dijual di pasar tani yang ada di Kantor Kementan. Suswono meminta, Pemkab Brebes agar lebih berperan aktif dalam menstabilkan harga bawang merah. Itu bisa dilakukan dengan menyiapkan anggaran APBD untuk pembelian hasil panen petani di saat harga jatuh. Langkah tersebut telah dilakukan di Kabupaten Bantul, dan hasilnya baik. Mentan menambahkan, upaya Kementan untuk menstabilkan harga ini melalui dana intervensi. Tiap tahun Kementan mengalokasikan anggaran untuk dana interversi sekira Rp1,6 miliar. Dana itu digunakan untuk semua komoditas apabila terjadi harga jatuh di tingkat petani. (Sudarsono/Koran SI/ade)

Harga Bawang Merah di Brebes Turun

Tag : Harga, Bawang, Merah, Brebes, Turun BERITA - jawa.infogue.com - BREBES, - Bencana alam yang terjadi di Sumatera Barat ternyata ikut

mempengaruhi harga bawang merah di Brebes. Pasalnya setelah terjadi bencana, permintaan bawang dari wilayah tersebut turun, sehingga persediaan bawang merah di Brebes menumpuk dan mengakibatkan harganya turun.

Selama ini , wilayah Sumatera Barat merupakan salah satu pasar bawang merah dari Brebes, di samping provinsi-provinsi lainnya di Sumatera. Dedy Ardiyanto, salah seorang pemasok bawang merah dari Brebes ke Sumatera, Senin (5/10), mengatakan, rata-rata pasokan bawang merah dari Brebes ke Sumatera mencapai sekitar 25 truk per hari, dengan bobot muatan berkisar tujuh hingga 12 ton per truk.

Namun setelah terjadi gempa yang mengguncang Sumatera Barat, rata-rata pasokan bawang merah dari Brebes ke Sumatera hanya sekitar 10 truk per hari. Sekarang santai, banyak yang tidak kirim barang, ujarnya.

Menurut dia, berkurangnya pengiriman bawang merah ke Sumatera akibat kendala transportasi, serta berkurangnya permintaan. Selain itu, sejumlah pedagang memilih menghentikan pasokan karena khawatir bawang merah mereka tidak terbayar.

Ditulis oleh Dinhubkominfo Jumat, 06 Mei 2011

SUDAH JATUH tertimpa tangga. Peribahasa itu sepertinya cocok disematkan kepada petani bawang merah di Kabupaten Brebes saat ini. Sudah harga anjlok, diliputi gagal panen pula. Akibatnya kerugian yang harus ditanggung mencapai ratusan juta. Sejak sepekan terakhir harga bawang merah di tingkat petani di Kabupaten Brebes mengalami anjlok hingga Rp 5.000 perkilogram. Padahal, sebelumnya harga jual komoditas andalan tersebut mencapai di atas Rp 10.000 perkilogram. Kondisi itu menyebabkan petani rugi hingga dua kali lipat. Karsono (46), petani bawang merah asal Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba menuturkan, turunnya harga jual bawang itu sudah berlangsung sepekan lebih. Bawang kualitas standar semula harganya bisa menembus di atas Rp 10.000 perkilogram, tetapi kini turun terus hingga Rp 5.000 perkilogram. "Kondisi ini membuat kami para petani rugi dua kali lipat. Sebab, saat tanam harga bibit melambung. Sementara, hasil panen murah," keluhnya, Kamis (5/5). Menurut dia, anjoknya harga bawang di tingkat petani itu terjadi akibat terus berdatangannya bawang impor. Barang luar negeri itu membanjir pasar Brebes dan berakibat harga lokal merosot. Padahal, saat ini petani belum memasuki panen raya. "Kalau belum panen raya, mestinya harga jual bawang lokal masih tinggi. Tapi, sekarang anjlok karena stok melimpah oleh bawang impor. Ini yang membuat kami rugi besar," katanya. Dia mengungkapkan, petani saat ini rugi hingga dua kali lipat, karena saat tanam biayanya tinggi. Harga bibit saat tanam mencapai Rp 20 ribu perkilogram. Belum lagi ditambah biaya pupuk, obat-obatan dan pengolahan lahan. Idealnya, dengan harga bibit Rp 20 ribu perkilogram, harga jual panen minimal Rp 10 ribu perkilogram. "Kalau harga jualnya Rp 10 ribu perkilogram, kami masih bisa menikmati untung meski sedikit. Namun, sekaran harganya turun drastis," terangnya. Tak hanya dibuat menjerit akibat harga yang anjlok, kerugian akibat gagal panen juga membayangi sejumlah petani lainnya. Dedi (30), petani bawang Padasugih mengaku, saat ini petani bawang sedang merugi. Itu karena harga jual merosot. Sementara, hasil panen juga sedang tidak maksimal akibat kondisi cuaca dan diserang hama lulup dan preketek. Di desa ini, puluhan hektare tanaman bawang merah terancam gagal panen. Itu terjadi menyusul serangan hama lulup dan preketek yang menyebabkan tanaman rusak parah. Sahrudin (25) menuturkan, kedua hama itu mulai menyerang sejak setengah bulan lalu. Akibat serangan hama lulup, awalnya ujung daun tanaman mengering. Tak lama kemudian, seluruh daun kering dan tanaman busuk. Sedangkan hama preketek juga menyerang daun tanaman yang menyebabkan kematian. "Kami sudah berusaha mengobatinya, tetapi belum bisa tertangani. Hama ini menyerang saat tanaman berusia sekitar 20 hari. Akibatnya, kami gagal panen," tuturnya,

kemarin. Menurut dia, di desanya lahan tanaman bawang yang terserang hama tersebut mencapai puluhan hektar. Hama itu muncul diduga akibat kondisi cuaca yang ekstrim. Kadang terjadi panas yang luar biasa, tetapi mendadak hujan berkepanjangan. Kondisi itu menyebabkan tanah sulit kering dan cenderung lembab. Sementara, tanaman bawang tidak baik tumbuh di tanah yang terlalu basah. Akibatnya, tanaman sangat rentan diserang hama. "Saya tanam bawang seluas tiga perempat bau, tapi setengahnya rusak dan gagal panen akibat serangan hama ini. Meski sudah saya tanggulangi dengan obat, tapi tidak teratasi. Saat ini kami mengalami rugi besar. Diperparah lagi, dengan harga jual bawang yang turun hingga Rp 5.000 perkilogram," terangnya. Menurutnya, serangan kedua hama itu kini semakin merajalela. Meski petani sudah berusaha mencegah, tetapi tidak bisa teratasi. Kondisi itu diperparah lagi dengan munculnya hama ulat. "Musim panen ini kami benar-benar merugi. Padahal, saat tanam harga bibit melambung hingga Rp 20.000 perkilogram," keluhnya. Dia mengungkapkan, akibat serangan hama tersebut tanaman rusak parah dan tidak bisa dipanen. Jika bisa diselamatkan, hasilnya tidak maksimal. Tonase hasil panen menurun tajam. "Saya tanam di lahan seluas 1.650 m2 dengan modal Rp 10 juta. Namun, hasil panen yang didapat hanya laku di jual Rp 800 ribu," keluhnya. Dia menambahkan, akibat serangan hama tersebut kini di daerahnya sulit mendapatkan kualitas bawang yang baik. Sebab, panen dari petani kualitasnya menurun. Selain itu, pedagang juga kesulitan mendapatkan pasokan. "Kami sekarang hanya bisa pasrah. Padahal modal tanam didapat dari hutang," sambungnya. (ism) (Radar Tegal)

Petani Ramai-ramai Dirikan Dewan Bawang Merah IndonesiaBesar Kecil Normal

TEMPO.CO, Cirebon - Dewan Bawang Merah Indonesia, yang merupakan organisasi untuk petani bawang merah seluruh Indonesia, terbentuk di Cirebon, Jawa Barat. Pembentukan Dewan ini merupakan salah satu hasil Kongres Bawang Merah Indonesia di Cirebon, Kamis 10 November 2011. Dalam kongres yang dikuti asosiasi petani bawang merah dari 9 provinsi di Indonesia itu, mereka minta agar pemerintah membatasi impor bawang merah yang membuat petani terpuruk.

Ketua Asosiasi Pembenihan Bawang Merah Indonesia, Agusman Kastoyo, menjelaskan, kongres ini diselenggarakan sebagai bentuk keprihatinan petani bawang merah di Indonesia atas banyaknya impor bawang merah asal India yang masuk ke Indonesia. Dijelaskan Agusman, kebutuhan bawang merah di Indonesia capai 1,5 juta ton pertahun. "Kita memang baru bisa memenuhi 80 persennya," katanya.

Tapi, kata Agusman, bawang merah impor yang masuk jauh lebih banyak dari kebutuhan tersebut. "Akibatnya, harga bawang merah lokal pun jatuh," kata dia. Sebab, harga bawang impor itu sekitar Rp 3 ribu per kq. Padahal, modal untuk bawang merah lokal, mulai dari pembibitan hingga panen, berkisar Rp 5 ribu hingga 7 ribu per kg. Untuk itulah, lanjut Agus, mereka membentuk Dewan Bawang Merah Indonesia. "Kami ingin petani bawang merah bersatu untuk menyuarakan aspirasi ke pemerintah," katanya. Agusman juga meminta kepada menteri pertanian dan menteri perdagangan untuk bisa lebih sinkron dalam mengambil kebijakan terkait produksi bawang merah nasional. "Batasi impor bawang merah," katanya. Selain itu, mereka juga meminta perbaikan infrastruktur serta bantuan pembenihan.