Top Banner

of 100

Basil Gram Positif Dan Gram Negatif

Oct 30, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

Basil Gram Positif dan Gram Negatif

PAGE

BASIL GRAM POSITIF DAN GRAM NEGATIF

3.1 Basil Gram Positif Pembentuk Spora 3.1.1 Spesies ClostridiumClostridium adalah bakteri batang anaerobik, besar, gram positif yang bergerak. Banyak merusak protein atau membentuk toksin, dan beberapa melakukan keduanya. Tempat hidup alamiahnya adalah tanah atau saluran usus hewan dan manusia, tempat mereka hidup sebagai saprofit. Jenis yang patogen antara lain adalah organisme yang menyebabkan botulisme, tetanus, gangren gas, dan colitis pseudomembranosa.

Morfologi dan Identifikasi

Ciri Khas Organisme

Spora klostridia biasanya lebih besar dari diameter batang tempat spora tersebut dibentuk. Pada berbagai spesies, spora terletak sentral, subterminal, atau terminal. Kebanyakan spesies klostridia dapat bergerak dan mempunyai flagel peritrik.

Biakan

Klostridia hanya tumbuh pada keadaan anaerob.

Bentuk koloni

Beberapa organisme menghasilkan koloni yang besar dan meninggi dengan pinggir utuh (C. perfringens), lainnya menghasilkan koloni yang lebih kecil yang meluas dalam jalinan filamen yang halus (C. tetani). Kebanyakan spesies menghasilkan daerah hemolisis pada agar darah. C. perfringens secara khas banyak daerah hemolisis di sekitar koloni.

Sifat-sifat PertumbuhanSifat basil anaerob yang terkenal adalah ketidak mampuannya menggunakan oksigen sebagai akseptor hidrogen akhir. Kuman ini tidak mempunyai sitokrim oksidase dan tidak dapat memecahkan hidrogen peroksidase. Karena itu, bila terdapat oksigen, H2O2 cenderung tertimbun sampai mencapai konsentrasi toksik. Klostridia dapat meragikan berbagai gula, banyak yang dapat mencernakan protein. Susu diubah menjadi asam oleh beberapa klostridia, dicernakan oleh yang lainnya.

Sifat AntigenikSemua klostridia mempunyai beberapa antigen yang sama tetapi masing-masing juga mempunyai antigen spesifik yang dapat larut, yang memungkinkan penggolongan dengan cara tes presipitin.

1. Clotridium tetani

Clostridium tetani, yang menyebabkan tetanus, tersebar luas di dunia dalam tanah dan tinja kuda dan hewan lain. Beberapa tipe C. tetani dapat dibedakan dengan antigen flagel spesifik. Semuanya mempunyai antigen O (somatic), dan menghasilkan neurotoksin dari tipe antigenik yang lama, tetanospamin.

Toksin

Sel vegetatif C. tetani menghasilkan tetanospamin yang terutama dilepaskan bila bakteri tersebut mengalami lisis. Produksi toksin tampaknya dikendalikan oleh gen dalam plasmid. Tetanospasmin bekerja terhadap susunan saraf pusat dengan berbagai cara. Toksin ini menghambat pelepasan asetilkolin, sehingga mengganggu transmisi neuromuskuler. Namun, cara kerja paling penting adalah penghambatan neuron spinal postsinaps denga menghambat pelepasan mediator penghambat. Ini mengakibatkan kejang otot yang menyeluruh, hiperfleksia dan kejang umum.

Patogenesis

C. tetani bukan organisme yang invasive. Infeksi tetap terlokalisasi pada daerah jaringan yang rusak tempat spora masuk. Luas jaringan yang terinfeksi kecil, dan penyakit ini hampir seluruhnya merupakan toksemia. Germinasi spora dan pertumbuhan organisme vegetatif menghasilkan toksin dibantu oleh (1) jaringan nekrotik, (2) Garam-garam kalsium, dan (3) adanya infeksi piogenik, yang semuanya membantu menimbulkan potensial oksidasi-reduksi yang rendah.

Toksin yang dilepaskan dari sel-sel vegetatif dapat mencapai susunan saraf pusat melalui transpor akson secara retrograd atau melalui aliran darah. Pada susunan saraf pusat, toksin mudah terikat pada gangliondi medulla spinalis dan batang otak.

Gambaran Klinik

Masa inkubasi antara 4-5 hari sampai berminggu-minggu. Penyakit ini ditandai dengan kontraksi tonik konvulsif otot-otot lurik. Kejang otot sering terjadi pada daerah luka pertama dan infeksi, kemudian otot-otot rahang, yang berkontraksi sedemikian rupa sehingga mulut tidak dapat dibuka. Lambat laun otot-otot lainnya terserang mengakibatkan kejang tonik. Setiap rangsangan dari luar dapat menimbulkan serangan tetani. Penderita sadar penuh dan mungkin merasa sangat nyeri. Kematian biasanya terjadi akibat gangguan mekanisme pernapasan. Angka kematian pada tetanus umum sangat tinggi.

Diagnosis

Diagnosis didasarkan pada gambaran klinik dan anamnesis adanya luka, meskipun hanya 50% pasien tetanus menderita luka ynag menyebabkannya meminta pertolongan medis. Biakan anaerob dari jaringan luka yang terkontaminasi dapat menghasilkan C tetani, tetapi pemberian antitoksin untuk pencegahan atau pengobatan tidak perlu menunggu hasil biakan. Bukti isolasi C. tetani harus didasarkan pada pembentukan toksin dan netralisasi toksin dengan antitoksin spesifik.

Pencegahan dan Pengobatan

Hasil pengobatan tetanus tidak memuaskan. Karena itu, pencegahan sangat penting. Pencegahan tetanus bergantung pada (1) imunisasi aktif dengan toksoid, (2) perawatan yang baik pada luka yang terkontaminasi dengan tanah dan sebagainya, (3) pemakaian antitoksin sebagai pencegahan, dan (4) pemberian penisilin.

a. Antitoksin Antitoksin tetanus, yang dibuat pada hewan atau manusia dapat menetralkan toksin, tetapi hanya sebelum toksin itu terikat pada jaringan saraf. Karena sering terjadi reaksi hipersensitivitas terhadap serum asing dan karena cepatnya serum asing disingkirkan, pemberian antitoksin manusia lebih disukai. Pemberian itamuskular 250-500 unit antitoksin manusia memberikan perlindungan sistemik yang memadai selama 2-4 minggu. Profilaksis antitoksin harus selalu disertai imunisasi aktif dengan toksoid tetanus.

b. Tindakan pembedahanDebridemen pembedahan sangat penting karena tindakan ini menghilangkan jaringan nekrotik yang penting untuk pengembangbiakan organisme. Oksigen hiperbarik tidak bermanfaat.

c. AntibiotikaPenisilin sangat kuat menghambat pertumbuhan C. tetani dan menghentikan pembentukan toksin lebih lanjut. Antibiotika juga dapat mengendalikan infeksi piogenik yang menyertainya.

d. Tetanus toksoidBila individu yang sebelumnya telah diimunisasi lalu menderita luka yang membahayakan, suatu dosis toksoid tambahan sebaiknya disuntikan untuk merangsang pembentukan antitoksin. Suntikan toksoid ini dapat diikuti oleh antitoksin jika pasien tidak mendapat imunisasi atau booster sebelumnya atau jika riwayat imunisasi tidak diketahui.

Pengendalian

Tetanus adalah penyakit Yang dapat dicegah sepenuhnya. Imunisasi aktif secara masal dengan toksoid tetanus harus diwajibkan. Imunisasi dasar sebaiknya dilakukan pada semua anak-anak selama tahun pertama kehidupan. Suntikan booster toksoid diberikan waktu sekolah. Setelah itu diberikan booster dengan jarak 10 tahun untuk mempertahankan kadar serum antitoksin lebih dari 0,01 unit per milliliter.

Tindakan pengendalian tidak mungkin dilakukan sebab organisme tersebar luas dalam tanah dan daya tahan hidup spora sangat lama.2. Clostridium botulinum

Clostridium botulinum, yang menyebabkan botulisme, tersebar di seluruh dunia, organisme ini ditemukan dalam tanah dan kadang-kadang dalam faeses hewan.

Tipe C. botulinum dibedakan melalui tipe antigenic toksin yang dihasilkan. Spora organisme ini sangat resisten terhadap panas, tahan pada suhu 1000C selama paling sedikit 3-5 jam. Resisten terhadap panas berkurang pada pH asam atau bila konsentrasi garam tinggi.

Toksin

Selama pertumbuhan C. botulinum dan selama autolisis bakteri, toksin dikeluarkan ke dalam lingkungan sekitarnya. Dikenal tujuh variasi antigenik toksin (A-G). Tipe A, B dan E adalah penyebab utama penyakit pada manusia. Tipe A dan B dihubungkan dengan berbagai makanan, dan tipe E terutama pada hasil ikan. Tipe menyebabkan leher lemas pada unggas; tipe D, botulisme pada mamalia.

Toksin C. botulinum merupakan substansi paling toksik, dosis letal bagi manusia mungkin sekitar 1-2 (g. Toksin dirusak oleh pemanasan selama 20 menit pada suhu 1000C. Pembentukan toksin di bawah kendali suatu gen virus. Beberapa strain C. botulinum pembentuk toksin menghasilkan bakteriofaga yang dapat menginfeksi strain nontoksigenik dan mengubahnya menjadi toksigenik.

Patogenesis

Botulisme adalah suatu keracunan akibat memakan makanan dimana C. botulinum tumbuh dan menghasilkan toksin. Penyebab paling sering adalah makanan kaleng yang bersifat basa, dikemas kedap udara, diasap, diberi rempah-rempah, yang dimakan tanpa dimasak lagi. Dalam makanan ini spora C. botulinum tumbuh; dalam keadaan aerob, bentuk vegetatif tumbuh dan menghasilkan toksin.

Toksin bekerja dengan menghambat pelepasan asetilkolin pada sinaps dan hubungan sarafotot, mengakibatkan paralysis flasid.

Gambaran Klinik

Gejala-gejala dimulai 18-24 jam setelah makan maknanan yang beracun, dengan gangguan penglihatan, ketidak mampuan menelan, dan kesulitan bicara; tanda-tanda paralysis bulbar berjalan progresif, dan kematian terjadi karena paralysis pernapasan atau henti jantung. Gejala gastrointestinal biasanya tidak menonjol. Tidak ada demam. Penderita tetap sadar sepenuhnya sampai menjelang mati. Angka kematian tinggi. Penderita yang sembuh tidak membentuk antitoksin dalam darah.

Tes Diagnostik Laboratorium

Toksin sering dapat ditemukan dalam serum penderita, dan toksin dapat ditemukan pada maknanan yang tersisa. Mencit yang disuntik intraperitonial akan mati dengan segera. Tipe antigenic toksin diidentifikasi dengan cara menetralisasi dengan antitoksin spesifik pada mencit.

Pengobatan

Antitoksin yang poten terhadap tiga tipe toksin botulinus telah dibuat pada hewan. Secara eksperimental telah dicoba pemberian guanidine hodroklorida yang kadang-kadang berhasil.

Epidemiologi, Pencegahan, dan Pengendalian

Karena spora C. botulinum tersebar luas dalam tanah, spora ini sering mencemari sayuran, buah-buahan dan bahan-bahan lainnya. Makanan yang toksik mungkin rusak dan tengik, dan kaleng dapat meggembung atau mungkin kelihatannya tidak berbahaya. Risiko dari makanan kaleng rumahan dapat dikurangi bila makanan didihkan selama lebih dari 20 menit sebelum dihidangkan.

3. Clostridium perfingens

Banyak jenis klostridia penghasil toksin dapat menimbulkan infeksi invasive bila masuk ke dalam jaringan yang rusak. Kira-kira 30 spesies klostridia dapat menimbulkannya, tetapi penyebab paling sering dalam penyakit invasive adalah Clostridium perfingens (90%). Suatu enterotoksin yang dihasilkan C. perfingens merupakan penyebab umum keracunan makanan.

Toksin

Klostridia menghasilkan sejumlah besar jenis toksin dan enzim yang mengakibatkan penyebaran infeksi. Banyak toksin yang bersifat mematikan, menyebabkan nekrosis dan hemolisis.

Beberapa strain C. perfingens menghasilkan enterotoksin yang kuat, terutama bila tumbuh dalam masakan daging. Kerja enterotoksin bakteri ini meliputi hipersekresi yang nyata dalam jejenum ileum, disertai kehilangan cairan dan elektrolit pada diare.

Patogenesis

Spora klostridia mencapai jaringan melalui kontaminasi pada daerah-daerah yang terluka atau dari saluran usus. Spora berkembang biak pada keadaan potensial reduksi-oksidasi rendah; sel-sel vegetatif berkembang biak, meragikan karbohidrat yang terdapat dalam jaringan dan membentuk gas.nekrosis jaringan bertambah luas, memberi kesempatan untuk peningkatan pertumbuhan bakteri, anemia hemolitik dan akhirnya toksemia berat dan kematian.

Gambaran Klinik

Dari luka yang terkontaminasi, infeksi menyebar dalam 1-3 hari dan menimbulkan krepitasi pada jaringan subkutis dan otot, secret yang berbau, nekrosis progresif yang cepat menyebar, demam, hemolisis, toksemia, shock dan kematian. Sebelum ada pengobatan spesifik, amputasi dini adalah satu-satunya pengobatan. Kadang-kadang infeksi hanya mengakibatkan selulitis atau fasciitis anaerob.

Keracunan makanan karena C. perfingens biasanya terjadi setelah memakan sejumlah besar klostridia yang tumbuh dalanm makanan daging yang dihangatkan. Toksin terbentuk bila organisme bersporulasi dalam usus; permulaan diare biasanya tanpa muntah atau demam- adalah 6-18 jam. Penyakit ini berlangsung hanya 1-2 hari.

Tes Diagnostik Laboratoriuma. Bahan

Bahan dari luka, nanah, jaringan.

b. Sediaan

Adanya batang besar Gram positif, pembentuk spora, pada sediaan dengan pewarnaan gram memberi dugaan adanya klostridia ganggren gas, tetapi spora tidak selalu terlihat.

c. Biakan

Bahan dibiak pada perbenihan daging cincang glukosa dan perbenihan tioglikolat, serta pada lempeng agar darah yang diinkubasi secara anaerob. Pertumbuhan pada salah satu perbenihan dipindahkan ke susu. Gumpalan yang dipisahkan oleh gas dalam 24 jam menunjukkan adanya C. perfingens. Bila telah diperoleh biakan murni dengan memilih koloni dari lempeng darah yang diinkubasi secara anaerobik, dibiakan dapat diidentifikasi dengan reaksi-reaksi biokimia (berbagai gula pada tioglikolat, daya kerja pada susu), hemolisis, dan bentuk koloni. Aktivitas lesitinase diukur dengan mengukur presipitasi yang terbentuk di sekitar koloni pada perbenihan kuning telur. Identifikasi akhir dilakukan dengan melihat pembentukan toksin dan netralisasi dengan antitoksin spesifik. C. perpingens jarang membentuk spora bila dibiakan pada agar di laboratorium.

Pengobatan

Aspek pengobatan yang paling penting adalah debridemen pembedahan secara cepat dan meluas pada daerah yang terkena dan eksisi semua jaringan yang telah rusak, tempat organisme mudah tumbuh. Pemberian obat-obat antibiotika khususnya penisilin, dimulai pada waktu yang sama. Oksigen hiperbarik mungkin membantu dalam perawatan infeksi jaringan oleh klostridia. Konon ini dapat mendetoksikasi penderita dengan cepat.

Antitoksin tersedia untuk melawan toksin C. perpingens, C. novyi, C. histoliticum, dan C. septicum, biasanya dalam bentuk imunoglobulin terkonsentrasi. Antitoksin polivalen (mengandung antibodi terhadap beberapa toksin) telah digunakan. Walaupun antitoksin ini kadang-kadang diberikan kepada individu dengan luka terkontaminasi yang mengandung banyak jaringan rusak, tidak ada bukti akan kemanjurannya. Keracunan makanan yang disebabkan oleh enterotoksin C. perpingens biasanya hanya perlu perawatan simptomatik.

Pencegahan dan Pengendalian

Tindakan pencegahan yang terbaik adalah pembersihan tang secukupnya dan sedini mungkin pada luka yang terkontaminasi dan debridemen pembendahan, bersamaan dengan pemberian obat antimikroba terhadap klostridia (misalnya penisilin). Antitoksin sebaiknya jangan diandalkan. Walaupun toksoid untuk imunisasi aktif telah tersedia, toksoid ini tidak dipergunakan dalam praktek.

4. Clostridium difficile dan Penyakit Diare

a. Kolitis pseudomembranosaKolitis pseudomembranosa didiagnosis melalui pengamatan endoskopik yang memperlihatkan pseudomembran atau abses mikro pada penderita diare yang telah diberi antibiotika. Plak dan abses mikro mungkin terlokalisasi pada satu daerah di usus besar. Tinja akibat diare bisa sangat cair atau disertai darah, dan pasien menderita kejang perut, leukositosis dan demam. Meskipun kolitis pseudomembranosa dapat diakibatkan oleh berbagai jenis antibiotika, penyebab yang paling sering adalah ampisilin dan klindamisin. Pengobatan penyakit ini dilakukan dengan menghentikan pemberian antibiotika penyebabnya dan memberikan metronidazol atau vankomisin oral.

Pemberian antibiotika menimbulkan perkembangbiakan C. difficile, yang menghasilkan dua toksin. Toksin A (BM 440000-500000), enterotoksin kuat yang juga memiliki aktivitas sitotoksik, terikat pada membran lapisan sikat usus pada tempat reseptor. Toksin B (BM 360000-470000) adalah suatu sitotoksin kuat. Kedua toksin ditemukan dalam tinja penderita kolitis pseudomemranosa. Tidak semua strain C. difficile menghasilkan toksin, dan meskipun gen tox tampaknya tidak dibawa oleh plasmid ataupun faga, pengaturan produksi toksinnya secara genetik tidak diketahui.

b. Diare Akibat Antibiotika

Pemberian antibiotika sering menyebabkan diare ringan atau sedang, yang disebut diare akibat antibiotika. Penyakit ini biasanya lebih ringan dari pada bentuk klasik kolitis pseudomembranosa. Sekitar 25% kasus diare akibat antibiotika mungkin berhubungan dengan C. defficile.

3.1.2 Spesies Bacillus

Genus Bacillus termasuk batang besar, Gram positif, aerob, dan membentuk rantai. Kebanyakan anggota genus ini adalah organisme saprofit yang lazim terdapat dalam tanah, air, udara dan tumbuh-tumbuhan seperti Bacillus cereus dan Bacillus subtilis. Beberapa di antaranya patogen bagi insekta. B cereus dapat tumbuh pada makanan dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan keracunan makanan. Organisme ini kadang-kadang dapat menimbulkan penyakit pada orang dengan fungsi imun yang terganggu. Bacillus anthracis, penyebab antraks adalah bakteri patogen utama genus ini.

Morfologi dan dan Identifikasi

Ciri Khas Organisme

Sel berukuran 1x 3-4 (m, mempunyai ujung yang berbentuk empat persegi dan tersusun dalam rantai panjang; spora terletak ditengah basil yang tidak bergerak.

Biakan

Koloni B. anthracis berbentuk bulat. Hemolisis jarang ditemui pada B. anthracis tetapi sering pada basil saprofit.

Sifat Pertumbuhan

Basil saprofit menggunakan sumber nitrogen dan karbon sederhana untuk energi dan pertumbuhannya. Sporanya resisten terhadap perubahan lingkungan, tahan terhadap panas kering dan disinfektan kimia tertentu selama waktu yang cukup lama dan bertahan selama bertahun-tahun dalam tanah kering. Produk hewan yang terkontaminasi dengan spora anthraks hanya dapat disterilkan dengan autoklaf.

1. Bacillus cereus

Keracunan makanan karena B. cereus mempunyai dua bentuk berbeda , jenis muntah yang berkaitan dengan nasi yang terkontaminasi, dan jenis diare yang berkaitan dengan daging dan saus. B. cereus menghasilkan beberapa endotoksin, penyebab diare yang lebih bersifat keracunan dari pada infeksi lewat makanan.

B. cereus adalah organisme tanah yang sering mengkontaminasi nasi. Bila sejumlah besar nasi dimasak dan dibiarkan dingin perlahan-lahan, spora B. cereus bertunas dan sel vegetatif menghasilkan toksin selama fase log pertumbuhan atau selama sporulasi. Enterotoksin dapat ditemukan dalam makanan atau dibentuk dalam usus. Adanya B. cereus dalam tinja penderita tidak cukup untuk menegakkan diagnosis penyakit B. cereus, karena bakteri ini dapat berada adalam tinja orang normal.

B. cereus adalah penyebab penting dari infeksi mata, keratitis berat, enoftalmitis, dan panoftalmitis. Secara khas, organisme masuk ke dalam mata melalui benda asing yang berhubungan dengan trauma. Bakteri ini juga berhubungan dengan infeksi lokal dan infeksi sistemik, termasuk endokarditis, meningitis, osteomielitis, dan pneumonia.2. Bacillus anthracis

a. Struktur antigen

Bahan simpai B. anthracis yang terdiri dari polipeptida berbobot molekul tinggi yang mengandung asam D-glutamat, adalah suatu hapten. Badan bakteri mengandung protein dan suatu polisakarida somatik, keduanya bersifat antigenik.

b. Patogenesis

Anthraks terutama merupakan penyakit pada biri-biri, sapi, kuda, dan hewan lainnya; manusia jarang terserang. Infeksi biasanya didapat dengan masuknya spora melaui luka pada kulit atau selaput lendir, jarang dengan inhalasi spora ke dalam paru-paru. Pada hewan, pintu masuknya adalah mulut dan saluran pencernaan. Spora dari tanah yang tercemar mudah masuk bila termakan bersama tumbuhan berduri. Pada manusia, goresan pada kulit atau inhalasi menyebabkan timbulnya infeksi.

Spora tumbuh pada jaringan di tempat masuk, dan pertumbuhan organisme vegetatif mengakibatkan pertumbuhan edema gelatinosa dan kongesti. Basil menyebar melalui getah bening ke dalam aliran darah, dan bakteri berkembang biak dengan bebas dalam darah dan jaringan segera sebelum dan setelah kematian hewan. Dalam plasma hewan yang mati karena anthraks, telah ditemukan suatu faktor toksik. Bila diinokulasikan, zat ini mematikan mencit atau marmot dan secara spesifik dinetralisasi oleh antiserum anthraks.

Tipe anthraks yang lain adalah anthraks pernapasan. Spora anthraks yang terhirup dari dbu wool, bulu, atau kulit mengakibatkan berkembangnya spora dalam paru-paru atau dalam kelenjar getah bening trakeobronkial dan menimbulkan mediastinitis hemoragik, pneumonia, meningitis, dan sepsis, yang biasanya cepat menimbulkan kematian jumlah organisme dalam darah dapat melebihi 107/ml.

c. Patologi

Pada hewan yang peka, organisme berkembang biak di tempat masuk. Simpai tetap utuh, dan organisme dikelilingi oleh sejumlah besar cairan seperti protein yang mengandung sedikit leukosit; organisme kemudian dengan cepat menyebar dan mencapai aliran darah.

Pada hewan yang resisten, organisme berkembang biak selama beberapa jam, setelah itu berkumpul sejumlah besar lekosit. Simpai lambat laun mengalami disintegrasi dan menghilang. Organisme tetap terlokalisasi.

d. Gambaran Klinik

Pada manusia, anthraks menimbulkan infeksi kulit Mula-mula timbul papula dalam 12-36 jam setelah masuknya organisme atau spora melaui goresan. Papula ini denga. cepat berubah menjadi veskel, kemudian pustula dan akhirnya ulkus nekrotik; lalu infeksi dapat menyebar, menimbulkan septikemia.

Pada anthraks pernapasan, gejala dini dapat berupa mediastinitis, sepsis, meningitis, atau edema paru-paru hemorhagik. Pneumonia hemorhagik dengan syok merupakan gejala yang terakhir.

e. Tes Diagostik Laboratorium

Bahan

Cairan atau nanah dari lesi lokal; darah, dahak.

Pewarnaan sediaan

Dari lesi local atau darah hewan yang mati; rantai bakteri berbentuk batang besar gram positif. Anthraks dapat diidentifikasi pada sediaaan kering dengan teknik pewarnaan imunofluoresensi.

Biakan

Bila dibiakan pada lempeng agar darah, organisme ini membentuk koloni kelabu nonhemolitik dengan morfologi mikroskopik yang khas. Peragian karbohidrat tidak bermanfaat. Pada perbenihan setengah padat, basil antraks selalu tidak bergerak, sedangkan organisme tidak patogen yang sejenis menunjukan pergerakan dengan menyebar. Biakan anthraks virulen mematikan mencit atau marmot bila disuntikan secara intraperitoneal.

Tes Serologi Antibodi penyebab presipitasi atau hemaglutinasi dapat diperlihatkan dalam serum orang atau hewan yang telah divaksinasi atau terinfeksi.

f. Resistensi dan Kekebalan

Beberapa hewan (marmot) sangat peka, sedangkan ynag lain (tikus) sangat resisten terhadap infeksi anthraks. Kenyataan ini diperkirakan akibat sejumlah mekanisme pertahanan; aktivitas lekosit, suhu badan, dan daya bakterisidal darah.

Kekebalan aktif terhadap anthraks dapat diinduksi pada hewan yang peka oleh vaksinasi dengan basil hidup yang telah dilemahkan, dengan suspensi spora atau dengan antigen protektif dari filtrat biakan. Serum imun kadang-kadang disuntikan bersama dengan basil hidup pada hewan.

g. Pengobatan

Banyak antibiotika terhadap anthraks pada manusia, tetapi pengobatan harus dimulai sedini mungkin. Penisilin cukup memuaskan, kecuali pada pengobatan anthraks pernapasan, dimana mortalitas tetap tinggi. Beberapa basil gram positif lainnya mungkin resisten terhadap penisilin karena membentuk ( laktamse. Tetrasiklin, eritromisin, atau klindamisin mungkin efektif.

h. Epidemiologi, Pencegahan dan Pengendalian

Tanah tercemar oleh spora anthraks dari bangkai hewan. Spora-spora ini tetap hidup selama puluhan tahun. Mungkin spora ini dapat tumbuh dalam tanah pada pH 6,5 pada suhu yang cocok. Hewan merumput yang terinfeksi melalui luka pada selaput lendir menjadi penyambung rantai infeksi terus-menerus. Kontak dengan hewan yang terinfeksi atau dengan kulit, rambut dan bulunya merupakan sumber infeksi pada manusia.

Tindakan pengendalian meliputi (1) pembuangan bangkai dengan membakar atau mengubur pada sumur yang dalam disertai kapur, (2) dekontaminasi produk-produk hewan (biasanya dnegan autoklaf), (3) baju dan sarung tangan pelindung waktu menangani bahan-bahan yang mungkin tercemar, dan (4) imunisasi aktif hewan peliharaan dengan vaksin hidup yang dilemahkan.

3.2 Batang Gram Positif yang Tidak Membentuk Spora

a. Morfologi & Identifikasi

Ciri ciri Khas Organisme

Korinebakteria berdiameter 0,5-1 (m dan panjangnya beberapa micrometer. Ciri khas bakteri ini adalah pembengkakan tidak teratur pada salah satu ujungnya, yang menghasilkan bentuk seperti gada. Di dalam batang tersebut (sering di dekat ujung) secara tidak beraturan tersebar granula-granula yang dapat diwarnai dengan jelas dengan zat warna anilin (granula metakromatik) yang menyebabkan batang tersebut berbentuk seperti tasbih. Tiap korinebakteria pada sediaan yang diwarnai cenderung terletak paralel atau membentuk sudut lancip satu sama lain. Percabangan jarang ditemukan dalam biakan.

Biakan

Pada agar darah koloni C. diphteriae tampak kecil, bergranula, dan berwarna kelabu, dengan batas-batas yang tidak teratur, dan memiliki daerah hemolisis yang kecil. Pada agar yang mengandung kalium telurit, koloni berwarna kelabu sampai hitam sebab telurit direduksi di dalam sel (Staphylococcus dan Streptococcus dapat juga membentuk koloni hitam). Ketiga biovar C. diphtheriae secara khas mempunyai gambaran sebagai berikut: gravis, mitis, intermedius. Varian ini diklasifikasikan berdasarkan ciri khas pertumbuhan seperti morfologi koloni, reaksi biokimia, dan sebagai penyakit yang disebabkan oleh infeksi. Sangat sedikit referensi laboratorium yang memberikan ciri khas boivar; insiden difteri telah sangat menurun dan hubungan berbagai penyakit dengan biovar tidak penting untuk klinik atau pengaturan kesehatan masyarakat terhadap suatu kasus atau wabah. Jika diperlukan dalam suatu wabah, metode imunokimia dan molekuler dapat digunakan untuk menggolongkan isolat C. diphtheriae.

Sifat-sifat Pertumbuhan

C. diphtheriae dan korinebakteria lain tumbuh secara aerob pada sebagian besar [perbenihan laboratorium. Propionibacterium, bersifat anaerob. Pada perbenihan serum Loeffler, korinebakteria tumbuh jauh lebih mudah daripada kuman patogen pernapasan lainnya, dan pada sediaan mikroskopik, morfologi organisme tampak khas. Kuman ini membentuk asam, tetapi tidak membentuk gas pada beberapa karbohidrat, seperti diperlihatkan pada Tabel di bawah ini.

Tabel 3-1. Contoh Reaksi Metabolisme

Glukosa1Maltosa1Sukrosa1Ureasa1

C. diphtheriae + + - -

C. xerosis + + + -

C. pseudodiphtheriticum2 - - - +

C. pyogenes (C. haemolyticum) + + + -

Variasi dan Perubahan

Korinebakteria cenderung menjadi pleomorf pada morfologi mikroskopik dan pada morfologi koloni. Bila bakteri difteria tidak toksigenik diinfeksi oleh bakteriofaga dari bakteri difteria toksigenik tertentu, turunan dari bakteri yang terinfeksi akan bersifat lisogenik dan toksigenik, dan sfat ini kemudian dapat diturunkan. Bila bakteri Difteria toksigenik dibiak berturut-turut pada anti-serum spesifik terhadap faga tidak aktif yang ada di dalam selnya, bakteri tersebut cenderung menjadi tidak toksigenik. Jadi, penambahan faga cenderung menimbulkan toksigenisitas (perubahan lisogenik). Pembentukan toksin sebenarnya mungkin hanya terjadi bila profaga lisogenik C. diphtheriae terinduksi dan melisiskan sel. Toksinisitas dikendalikan gen faga, sedangkan daya invasi dikendalikan gen bakteri.b. Struktur Antigen

Telah ditemukan perbedaan serologik antar tipe dan tiap tipe C. diphtheriae, tetapi tidak tersedia klasifikasi serologik yang memuaskan. Tes-tes serologik umumnya tidak dipakai pada identifikasi. Toksin difteria mengandung sedikit empat penentu antigenik.

c. Patogenesis

Dalam kelompok ini, bakteri patogen utama bagi manusia adalah C. diphtheriae. Di alam, C. diphtheriae terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, atau pada kulit orang yang terinfeksi atau orang normal yang membawa bakteri. Bakteri disebarkan melalui droplet atau kontak dengan individu yang peka; bakteri kemudian tumbuh pada selaput mukosa atau kulit yang lecet, dan bakteri yang toksigenik itu mulai menghasilkan toksin.

Semua C. diphtheriae yang toksigenik mampu mengeluarkan eksotoksin yang menimbulkan penyakit yang sama. Pembentukan toksdin ini in vitro terutama bergantung pada kadar besi. Pembentukan toksin optimal pada kadar besi 0,5 (g/mL. Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotik, kadar asam amino, pH, dan tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen yang cocok. faktor-faktor yang mengatur pembentukan toksin ini in vivo sebelum dimengerti betul.

Toksin difteri adalah polipeptida tidak tahan panas (BM 62.000) yang dapat mematikan pada dosis 0,1 (g/kg. Bila ikatan disulfida dipecahkan, molekul dapat terbagi menjadi dua fragmen. Fragmen B (BM sekitar 38.000) tidak mempunyai aktivitas tersendiri tetapi diperlukan untuk pemindahan fragmen A ke dalam sel. Fragmen A menghambat pemanjangan rantai polipeptida asalkan ada nikotinamid adenin dianukleotida (NAD) dengan menghentikan aktivitas faktor pemanjangan EF-2 (dahulu dinamakan transferase II). Faktor ini diperlukan untuk translokasi polipeptidil-RNA transfer dari akseptor ke tempat donor pada ribosom eukariotik. Fragmen toksin A menghentikan aktivitas EF-2 dengan mengkatalisis reaksi yang menghasilkan nikotinamid bebas ditambah suatu kompleks adenosin difosfat-ribosa-EF-2 yang tidak aktif. Diduga bahwa efek nekrotik dan neurotoksik toksin difteria disebabkan oleh penghentian sintesis protein yang mendadak. Suatu eksotoksin dengan cara kerja yang mirip dapat dihasilkan oleh strain Pseudomonas aeruginosa.

d. Patologi

Toksin difteria diabsorbsi ke dalam selaput mukosa dan menyebabkan destruksi epitel dan respons peradangan superficial. Epitel yang mengalami nekrosis tertanam dalam eksudat fibrin dan sel-sel darah merah dan putih, sehingga terbentuk pseudomenbran yang berwarna kelabu yang sering melapisi tonsil, faring, atau laring. Setiap usaha untuk membuang pseudomembran akan merusak kapiler dan mengakibatkan perdarahan. Kelenjar getah bening regional pada leher membesar, dan dapat terjadi edema yang nyata di seluruh leher. Bakteri difteria dalam selaput terus menghasilkan toksin secara aktif. Toksin ini diabsorbsi dan mengakibatkan kerusakan di tempat yang jauh, khususnya degenerasi parenkim, infiltrasi lemak, dan nekrosis otot jantung, hati,ginjal, dan adrenal, kadang-kadang diikuti oleh perdarahan hebat. Toksin juga mengakibatkan kerusakan saraf, yang sering mengakibatkan paralysis palatum molle, otot-otot mata, atau ekstremitas.

Difteria luka atau difteria kulit terutama didapati di daerah tropik. Suatu selaput dapat tebentuk pada luka terinfeksi yang tidak dapat sembuh. Namun absorpsi toksin biasanya sedikit dan efek sintemiknya tak berarti. Virulensi bakteri difteria disebabkan karena kemampuannya untuk menimbulkan infeksi, tumbuh cepat, dan kemudian dengan cepat mengeluarkan toksin yang diabsorbsi secara efektif. C. diphtheriae tidak perlu menjadi toksigenik untuk menimbulkan infeksi lokal misalnya di nasofaring atau kulit tetapi strain yang nontoksigenik tidak menimbulkan efek toksik lokal maupun sistemik. C diphtheriae tidak secara aktif menginvasi jaringan dalam dan praktis tidak pernah masuk peredaran darah.

e. Gambaran Klinik

Bila radang difteria dimulai pada saluran pernapasan, biasanya timbul sakit tenggorokan dan demam. Kelemahan dan sesak napas segera terjadi karena obstruksi yang disebabkan oleh selaput. Obstruksi ini malah dapat menyebabkan tercekik bila tidak segera diatasi dengan intubasi atau trakeotomi. Irama jantung yang tidak teratur menunjukkan kerusakan jantung. Selanjutnya, mungkin terdapat gangguan penglihatan, berbicara, menelan, atau pergerakan lengan atau tungkai. Semua gejala ini cenderung menghilang dengan spontan.

f. Tes Diagnostik Laboratorium

Bahan Dari usap hidung, tenggorokan, atau lesi yang dicurigai lainnya harus diambil sebelum obat-obat antimikroba diberikan.

Sediaan Sediaan mikroskopik yang diwarnai dengan metilen biru alkali atau pewarnaan Gram menunjukkan batang-batang dalam susunan yang khas.

Biakan Inokulasikan ke dalam lempeng agar darah (untuk menyingkirkan Streptococcus hemolitik), agar miring Loeffler, dan lempeng telurit, dan eramkan ketiganya pada suhu 370C. Kecuali bila usapan dapat dibiakkan dengan cepat, usapan harus disimpan dengan serum kuda steril sehingga bakteri tetap hidup. Dalam 12-18 jam, agar miring Loeffler dapat menghasilkan organisme yang morfologinya seperti difteria. Dalam 36-48 jam, koloni pada perbenihan telurit cukup jelas untuk pengenalan tipe C. diphtheriae.

g. Resistensi & Imunitas

Karena pada dasarnya penyakit difteria adalah akibat daya kerja toksin yang dibentuk oleh organisme dan bukan karena invasi bakteri, resistensi terhadap penyakit sebagian besar bergantung pada tersedianya antitoksin netralisasi spesifik dalam darah dan jaringan. Umumnya difteria hanya menyerang orang yang tidak mempunyai antitoksin atau yang antitoksinnya kurang dari 0,01 Lf unit/mL.

Dapat diperkirakan berapa jumlah relatif antitoksin yang dimiliki oleh seseorang, tetapi dua test yang digunakan untuk tujuan ini tidak selalu tersedia: titrasi serum untuk kandungan antitoksin sifatnya terlalu rumit untuk dikerjakan secara rutin; uji Shick, yang berdasarkan daya iritasi dan reaksi local terhadap antigen Shick (toksin difteri yang telah diencerkan) dengan antitoksin yang telah diobati sebagai kontrol, juga jarang bila pernah dikerjakan sebelumnya dan ini adalah suatu bagian ketertarikan mengenai riwayat penyakit. Penilaian terbaik mengenai imunitas terhadap toksin difteri untuk para penderita secara perseorangan dapat dilakukan dengan meninjau kembali catatan mengenai imunisasi toksoid difteri dan imunisasi primer atau booster jika dperlukan.

h. Epidemiologi, Pencegahan, & Pengendalian

Sebelum dilakukan imunisasi buatan, difteria merupakan penyakit utama pada anak kecil. Infeksi terjadi baik secara klinik maupun subklinik pada usia muda dan mengakibatkan pembentukan antitoksin secara luas pada banyak penduduk. Pada masa dewasa muda dan dewasa, infeksi tanpa gejala berperanan sebagai perangsang untuk mempertahankan kadar antitoksin yang tinggi. Jadi, sebagian besar penduduk, kecuali anak-anak, telah kebal.

Pada usia 6-8 tahun, kurang lebih 75% anak-anak di negara sedang berkembang yang mengalami infeksi kulit oleh C. diphtheriae umumnya memiliki adar antitoksin serum yang bersifat melindungi. Penyerapan sejumlah kecil toksin difteri dari infeksi kulit diperkirakan dapat menimbulkan rangsangan antigenik untuk menimbulkan respons imun; jumlah toksin yang diabsorpsi tidak sampai menyebabkan penyakit.

Imunisasi aktif toksoid difteri pada masa kanak-kanak menghasilkan kadar difteri antitoksin yang secara umum cukup adekuat sampai usia dewasa. Orang dewasa muda harus diberikan booster toksoid, karena hasil difteria toksigenik tidak cukup banyak terdapat pada penduduk negara maju untuk menyebabkan rangsangan infeksi subklinik dan pembentukan resistensi. Kadar antitoksin menurun bersama waktu, dan banyak orang yang lebih tua tidak memiliki jumlah antitoksin yang mencukupi untuk melindungi mereka terhadap difteria.

Oleh karena itu, tujuan dasar pencegahan adalah membatasi penyebaran bakteri difteria toksigenik pada penduduk dan mempertahankan tingkat imunisasi aktif setinggi mungkin.

3.3 Batang Gram Negatif Enterik (Enterobacteriaceae)

Enterobacteriaceae adalah kelompok besar batang gram-negatif yang heterogen, yang habitat alaminya adalah saluran usus manusia dan hewan. Famili ini mencakup banyak genus (misalnya, Escherichia, Shigella, Salmonella, Enterobacter, Klebsiella, Serratia, dan Proteus). Beberapa organisme enterik, misalnya Escherichia coli, merupakan bagian flora normal dan kadang-kadang menyebabkan penyakit, sementara lainnya, Salmonella dan Shigella, selalu bersifat patogen untuk manusia. Enterobacteriaceae adalah anaerob fakulatif atau anaerob, meragikan sejumlah besar karbohidrat, memiliki struktur antigen yang kompleks, dan menghasilkan berbagai jenis toksin dan faktor virulensi yang lain. Dalam bab ini digunakan istilah Enterobacteriaceae, batang enterik gram-negatif, dan bakteri enterik tetapi bakteri-bakteri ini juga dapat disebut koliform.

a. Klasifikasi

Taksonomi Enterobacteriaceae rumit, dan cepat berubah seiring dengan penelitian hemologi DNA. Lebih dari 20 genus dan 100 spesies telah didefinisikan. Dalam bab ini, taksonomi tidak banyak dibahas dan akan dipakai nama-nama yang digunakan dalam literature kedokteran. Pendekatan komprehensif terhadap pengenalan Enterobacteriaceae disajikan oleh Kelly, Brenner, dan Farmer dalam Manual of Cliinical Mikrobiology, 5th ed. Lennete EH (editor). American Society for Mikrobiology, 1991.

Famili Enterobacteriaceae secara biokimia ditandai oleh kemampuannya mereduksi nitrat menjadi nitrit, meragikan glukosa, dan menghasilkan asam atau asam dan gas. Enterobacteriaceae tidak membutuhkan peningkatan jumlah natrium klorida untuk pertumbuhan dan bersifat oksidase-negatif. Banyak digunakan uji biokimia untuk membedakan spesies Enterobacteriaceae pada laboratorium di AS perangkat komersial digunakan secara luas untuk tujuan ini.

b. Morfologi & Identifikasi

Organisme yang khas

Enterobacteriaceae adalah batang pendek gram-negatif yang dapat membentuk rantai. Morfologi khasnya dapat dilihat dalam pertumbuhan pada perbenihan pada in vitro, tetapi morfologinya sangat bervariasi dalam bahan klinik. Pada Klebsiella simpainya besar dan teratur, pada Enterobacteriaceae tidak begitu besar, dan tidak lazim pada species yang lain.

Biakan

E. coli dan kebanyakan bakteri enterik lain membentuk koloni yang bundar, cembung, halus dengan tepi yang nyata. Koloni Enterobacter serupa tetapi agak lebih mukoid. Koloni Klebsiella besar, sangat mukoid dan cenderung bersatu bila lama dieramkan. Salmonella dan shigela membuat koloni yang mirip dengan E. coli tetapi tidak meragikan laktosa. Beberapa strain E. coli menyebabkan hemolisis pada agar darah.

Ciri-ciri Pertumbuhan Pola peragian karbohidrat dan aktivitas dekarboksilase asam amino serta enzim lain biasanya digunakan dalam pembedaan biokimia. Beberapa tes, misalnya pembentukan indol dari triptofan, biasanya digunakan untuk pengenalan cepat, sementara yang lain, misalnya reaksi Voges-Proskauer (pembentukan asetil, etilkarbinol dari dekstrosa), biasanya lebih jarang digunakan. Biakan pada perbenihan diferensial yang mengandung zat warna khusus dan karbohidrat (misalnya esosin-metilen biru (EMB), perbenihan Mac-Conkey, atau perbenihan deoksikolat) membedakan koloni peragi-laktosa (berwarna) dari koloni yang tidak meragikan laktosa (tak berpigmen) dan dapat digunakan untuk identifikasi presumtif bakteri enterik secara cepat.

1. Escherichia E. coli secara khas memberi hasil positif untuk tes indol, lisin dekarboksilase, dan peragian manitol serta membentuk gas dari glukosa. Isolat urin dengan cepat dapat dikenali sebagai E coli karena terjadi hemolisis pada agar darah, morfologi koloniyang khas dengan kilau iridesen pada perbenihan diferensial misalnya agar EMB, dan tes bercak positif untuk indol. Lebih dari 90% isolat E coli bersifat positif terhadap (-glukuronidase yang menggunakan substrat 4-metilumbeliferil -(-glukuronida (MUG). Isolat dari tempat-tempat pada tubuh selain urin, dengan ciri-ciri khasnya (seperti di atas ditambah tes oksidase negatif) sering dapat dipastikan sebagai E. coli dengan tes MUG positif.

2. ShigellaShigella bersifat tak bergerak dan biasanya tidak meragikan laktosa tetapi meragikan karbohidrat lain, menghasilkan asam tetapi tidak membentuk gas. Shigella tidak menghasilkan H2S. Keempat spesies Shigella berhubungan erat dengan E. coli. Berbagai Shigela mempunyai antigen yang sama satu sama lain demikian juga dengan kuman enterik lainnya.

3. Salmonella Salmonella adalah batang bergerak yang secara khas meragikan glukosa dan manosa tanpa membentuk gas tetapi tidak meragikan laktosa atau sukrosa. Sebagian besar Salmonella menghasilkan H2S. Jika termakan, bakteri ini sering bersifat patogen bagi manusia atau hewan. Arizona termasuk dalam golongan Salmonella.

4. Kelompok Klebsiella-Enterobacter-SerratiaSpesies Klebsiella menunjukkan pertumbuhan mukoid, simpai polisakarida yang besar, tidak ada pergerakan, dan biasanya memberi tes positif untuk lisin dekarbosilase dan sitrat. Kebanyakan spesies Enterobacter menghasilkan tes positif untuk pergerakan, asam sitrat, dan orinitin dekarboksilase dan membentuk gas dari glukosa. Enterobacter aerogenes mempunyai simpati yang kecil. Serratia menghasilkan Dnase, lipase, dan gelatinase. Klebsiella, Enterobacter, dan Serratia biasanya memberi reaksi Voges-Proskauer positif.

5. Kelompok Proteus-Morganella-ProvidenciaAnggota kelompok ini mendeaminasi fenilalanin, dapat bergerak, tumbuh pada perbenihan kalium sianida (KCN), dan meragikan xilosa. Spesies Proteus bergerak sangat aktif dengan memakai flagel peritrik, yang mengakibatkan swarming (pertumbuhan menyebar pada permukaan, membentuk pola menyerupai lingkaran tahun pada pohon) pada perbenihan padat kecuali kalau ini dihambat oleh zat kimia, misalnya feniletil alcohol atau perbenihan CLED (Cystine-lactose-electrolyte-deficiebnt). Spesies Proteus dan Morganella Morganii bersifat urease-positif, sementaera spesies Providencia biasanya urease-negatif. Kelompok Proteus-Providencia meragikan laktosa secara amat lambat atau tidak sama sekali. Proteus mirabilis lebih peka terhadap obat antimikroba, termasuk penisilin, disbanding anggota lain dari kelompok itu.

6. Citrobacter Bakteri ini secara khas bersifat sitrat-positif dan berbeda dari Salmonella karena tidak menyebabkan dekarboksilasi lisin. Bakteri ini sangat lambat meragikan laktosa.

Tabel 3-1. Identifikasi Cepat Dan Presumtif Kuman Enterik Gram-Negatif

Cepat Meragi LaktosaLambat Meragi LaktosaTidak Meragi Laktosa

Escherichia coli:

Mengkilat seperti logam pada perbenihan diferensial;bergerak; koloni rata, tidak liat.

Enterobacter aerogenes:

Koloni meninggi, tidak ada kilauan logam; sering bergerak; pertuimbuhan lebih liat.

Klebsiella pneunomiae:

Sangat liat pertumbuhan mukoid; tidak bergerak.Edwardsiella, Serratia, Citrobacter, Arizona, Providencia, Erwinia.

Spesies Shigella:

Tidak bergerak, tidak membentuk gas dari dekstrosa.

Spesies Salmonella:

Bergerak, biasanya membentuk asam dan gas dari dekstrosa

Spesies Proteus:

Oada agar, swarming; urea dihidrolisis dengan cepat (tercium bau ammonia).

Spesies Pseudomonas: Pigmen yang larut, hijau-biru dan berfluoresen; tercium bau manis.

c. Struktur Antigen

Enterobacteriaceae mempunyai struktur antigen yang kompleks. Bakteri ini dapat digolongkan berdasarkan lebih dari 150 antigen somatic O (lipopolisakarida) tahan panas, lebih dari 100 antigen K (simpai) yang tak tahan panas, dan lebih dari 50 antigen H (flagel). Pada Salmonella typhi antigen simpai disebut antigen Vi.

Antigen O merupakan bagian terluar dari lipopolisakarida dinding sel dan teridiri atas unit polisakarida yang berulang. Beberapa polisakarida O-spesifik mengandung gula yang unik. Antigen O tahan terhadap panas dan alkohol dan biasanya dideteksi dengan aglutinasi bakteri. Antibodi terhadap antigen O terutama adalah IgM.

Meskipun tiap genus Enterobactericeae berhubungan dengan golongan O khusus, dalam satu organisme dapat ditemukan beberapa antigen O. Karena itu, sebagian besar shigela memiliki satu atau lebih antigen O yang sama dengan E coli. E coli dapat bereaksi silang dengan beberapa spesies Providencia, Klebsiella, dan Salmonella. Kadang-kadang, antigen O dapat berhubungan dengan penyakit manusia tertentu, misalnya tipe khusus O pada E. coli ditemukan pada diare dan infeksi saluran kemih.

Antigen K berada di luar antigen O pada beberapa jenis tetapi tidak semua Enterobactericeae. Sebagian adalah polisakarida, termasuk antigen K pada E. coli; lainnya adalah protein. Antigen K dapat mengganggu aglutinasi melalui antiserum O, dan dapat berhubungan dengan virulensi (misalnya strain E. coli yang menghasilkan antigen K1 sering ditemukan pada meningitis neonatus, dan antigen K E. coli menyebabkan peletakan bakteri pada sel epitel sebelum invasi ke saluran cerna atau saluran kemih). Klebsiella membentuk simpati besar yang terdiri atas polisakarida (antigen K) yang menutupi antigen somatik (O atau H) dan dapat dikenali dengan tes pembengkakan simpai menggunakan antiserum khusus. Infeksi pada saluran napas manusia disebabkan terutama oleh jenis simpai 1 dan 2; pada saluran kemih, terutama oleh jenis 8, 9,10 dan 24.

Antigen H terletak pada flagel dan didenaturasikan atau dirusak oleh panas atau alkohol. Antigen H dipertahankan dengan memberikan formalin pada varian bakteri yang bergerak. Antigen H semacam itu beraglutinasi dengan antibodi anti-H, terutama IgG. Penentu dalam antigen H merupakan fungsi urutan asam amino dalam protein flagel (flagelin). Dalam satu serotipe, antigen flagel dapat berada dalam satu atau dua bentuk, yang disebut fase 1 (biasanya ditunjukkan dengan huruf kecil) dan fase 2 (biasanya ditunjukkan dengan angka Arab). Organisme ini cenderung berubah bentuk dari satu fase ke fase lain; ini disebut variasi fase. Antigen H pada permukaan bakteri dapat mengganggu aglutinasi dengan antibodi anti-O.

Ada banyak contoh struktur antigen yang tumpang tindih antara bakteri Enterobacteriaceae dan bakteri lainnya. Sebagian besar Enterobacteriaceae mempuyai antigen O14 E. coli. Polisakarida simpai tipe 2 pada Klebsiella sangat mirip dengan polisakarida tipe 2 pada pneumokokus. Beberapa antigen K bereaksi silang dengan polisakarida simpai dari Haemophilus influenzae atau Neisseria Meninginitidis. Karena itu, O75: K100:H5 pada E. coli dapat menginduksi antibodi yang bereaksi dengan H. influenzae tipe b.

Kolisin (Bakteriosin)

Banyak organisme gram-negatif menghasilkan bakteriosin. Zat-zat bakterisidal mirip virus ini dihasilkan oleh strain bakteri tertentu yang aktif terhadap beberapa strain lain dari spesies yang sama atau yang serumpun. Pembentukannya dikendalikan oleh plasmid. Kolisin dihasilkan oleh E. coli, marsesin oleh Serratia, dan piosin oleh Pseudomonas. Strain yang menghasilkan bakteriosin bersifat resisten terhadap bakteriosinnya sendiri; karena itu bakteriosin dapat digunakan untuk menentukan tipe organisme1.

1. ShigellaHabitat alamiah Shigella terbatas pada saluran pencernaan manusia dan primata lainnya: di sini Shigella tersebut menyebabkan disentri basiler.

a. Morfologi & Identifikasi

Ciri-ciri Khas Organisme

Shigella adalah batang gram-negatif ramping: bentuk kokobasil ditemukan pada biakan muda.

Biakan

Shigella bersifat fakultatif anaerob tetapi paling baik tumbuh secara aerobik. Koloninya konveks, bulat, transparan dengan pinggir-pinggir utuh, mencapai diameter kira-kira 2 mm dalam 24 jam.

Sifat-sifat Pertumbuhan

Semua Shigella meragikan glukosa. Bakteri ini tidak meragikan laktosa, kecuali Shigella sonnei. Ketidakmampuannya untuk meragikan laktosa membedakan bakteri-bakteri shigela pada pembenihan diferensial. Bakteri ini membentuk asam dari karbohidrat, tetapi jarang menghasilkan gas. Bakteri ini dapat juga dibagi menjadi bakteri yang meragikan manitol dan yang tidak, seperti terlihat pada Tabel 3-2.

Tabel 3 -2. Spesies Shigella yang Patogen

Nama Sekarang

Golongan

dan JenisManitolOrnitin

Dekarboksilase

S. dysenteriae

S. flexnery

S. boydii

S. SonneiA

B

C

D

+

+

+

+

b. Struktur Antigen

Shigella mempunyai susunan antigen yang kompleks. Terdapat banyak tumpang tindih dalam sifat serologik pelbagai spesies ini, dan sebagian besar kuman mempunyai antigen O yang juga dimiliki oleh kuman enterik lainnya.

Antigen somatik O Shigella adalah lipopolisakarida. Spesifitas serologiknya bergantung pada polisakarida itu. Terdapat lebih dari 40 serotipe. Klasifikasi Shigella didasarkan pada sifat-sifat biokimia dan antigennya.

c. Patogen & Patologi

Infeksi Shigella hampir selalu terbatas pada saluran pencernaan; invasi ke aliran darah sangat jarang. Shigella sangat menular; untuk menimbulkan infeksi diperlukan dosis kurang dari 103 organisme (sedangkan untuk Salmonella dan Vibrio adalah 105 108). Proses patologik yang penting adalah invasi epitel mukosa; mikroabses pada dinding usus besar dan ileum terminal yang mengakibatkan nekrosis selaput mukosa, ulserasi superficial, perdarahan, dan pembentukan pseudomembran pada daerah ulkus. Pseudomembran ini terdiri atas fibrin, leukosit, sisa sel, selaput mukosa yang nekrotik, dan bakteri. Bila proses mulai membaik, jaringan granulasi mengisi ulkus dan terbentuk jaringan parut.

d. Toksin

EndotoksinPada waku terjadi autolisis, semua Shigella mengeluarkan lipopolisakaridanya yang toksik. Endotoksin ini mungkin menambah iritasi dinding usus.

Eksotoksin Shigella dysenteriaeS. dysenteriae tipe 1 (basil Shiga) memproduksi eksotoksin tidak tahan panas yang dapat mempengaruhi saluran pencernaan dan susunan saraf pusat. Eksotoksin merupakan protein yang bersifat antigenik (merangsang produksi antitoksin) dan mematikan hewan percobaan. Sebagai enterotoksin, zat ini menimbulkan diare, sebagaimana halnya enterotoksin E. coli yang tak tahan panas, mungkin dengan mekanisme yang serupa. Pada manusia, eksotoksin ini juga menghambat absorpsi gula dan asam amino pada usus kecil. Sebagai neurotoksin zat ini ikut berperan dalam menyebabkan keparahan penyakit dan sifat fatal infeksi S dysenteriae, serta menimbulkan reaksi susunan saraf pusat (meningismus, koma). Penderita dengan infeksi Shigella flexneri atau Shigella sonnei membentuk antitoksin yang menetralkan eksotoksin S. dysenteriae in vitro. Aktivitas yang bersifat toksik ini berbeda dengan sifat invasive shigela pada disentri. Keduanya dapat bekerja berurutan, toksin menyebabkan diare awal yang encer dan tidak berdarah, dan invasi usus besar mengakibatkan disentri lebih lanjut dengan tinja yang disertai darah dan nanah.

e. Gambaran Klinik

Setelah masa inkubasi yang pendek (1-2 hari), secara mendadak timbul nyeri perut, demam, dan tinja encer. Diare tersebut disebabkan oleh kerja eksotoksin dalam usus halus. Sehari atau beberapa hari kemudian, jumlah tinja meningkat karena infeksi meliputi ileum dan kolon; tinja ini berkurang encernya tetapi sering mengandung lendir dan darah. Tiap geraan usus disertai dengan mengedan dan tenesmus (spasme rectum), yang menyebabkan nyeri perut bagian bawah. Demam dan diare ini sembuh secara spontan dalam 2-5 hari pada lebih dari setengah kasus orang dewasa. Namun, pada anak-anak dan orang tua, kehilangan cairan dan elektrolit dapat menyebabkan dehidrasi, asidosis, bahkan kematian. Penyakit yang disebabkan oleh S dysenteriae ini dapat sangat parah.

Setelah sembuh, kebanyakan orang mengeluarkan bakteri disentri dalam waktu yang singkat, tetapi beberapa diantaranya tetap menjadi pembawa yang kronis dan dapat mengalami serangan penyakit berulang-ulang. Setelah sembuh dari infeksi, kebanyakan orang akan memiliki antibodi terhadap Shigella dalam darahnya, tetapi antibodi ini tidak melindungi terhadap reinfeksi.

f. Tes Diagnostik Laboratorium

BahanTinja segar, lendir, dan usapan rectum untuk pembiakan. Sejumlah besar leukosit dan darah merah sering dapat terlihat secara mikroskopik dalam tinja. Bahan serum, bila diinginkan, harus diambil tiap 10 hari untuk menunjukkan kenaikan titer aglutinasi antibodi.

Biakan

Bahan digoreskan pada perbenihan diferensial (misalnya, agar Mac Conkey atau agar EMB) dan pada perbenihan selektif (agar enterik Hektoen atau agar Samonella-Shigella), yang menekan Eneterobacteriaceae lain dan organisme gram-positif. Koloni-koloni yang tidak berwarna (laktosa negatif) diinokulasikan ke dalam perbenihan agar triplet gula besi. Organisme yang tidak membentuk H2S, yang menghasilkan asam, tetapi membentuk gas pada pangkal dan bagian miring yang basa, dan yang tidak bergerak, harus diperiksa secara aglutinasi mikroskopik dengan antiserum spesifik Shigella.

SerologiOrang normal sering mempunyai agglutinin terhadap berbagai spesies Shigella. Tetapi, serangkaian penetapan titer antibodi dengan selang waktu 10 hari dapat menunjukkan kenaikan antibodi spesifik. Serologi tidak digunakan untuk mendiagnosis infeksi Shigella.

Imunitas

Respons antibodi spesifik-tipe akan timbul setelah infeksi. Penyuntikan dengan Shigella yang dimatikan akan merangsang pembentukan antibodi dalam serum, tetapi tidak dapat melindungi manusia terhadap infeksi. Antibodi IgA dalam usus mungkin penting untuk membatasi reinfeksi; antibodi ini dapat dirangsang oleh strain-strain hidup yang dilemahkan dan diberikan melalui mulut sebagai vaksin percobaan. Antibodiserum terhadap antigen somatik Shigella adalah IgM.

g. Pengobatan

Sprofloksasin, ampisilin, tetrasiklin, dan trimetoprim-sulfametoksazol biasanya menghambat Shigella dan dapat menekan serangan klinik disentri akut. Tetapi obat-obat ini sering gagal menghilangkan organisme dari saluran pencernaan, dan memungkinkan timbulnya pembawa bakteri. Resistensi terhadap banyak jenis obat dapat dipindahkan oleh plasmid, dan infeksi yang resisten tersebar luas. Banyak kasus seperti ini sembuh sendiri. Opiat harus dihindari pada disentri Shigella. Terdapat antitoksin spesifik yang cukup potensial untuk menghadapi eksotoksin S. dysenteriae, tetapi belum terdapat bukti yang meyakinkan secara klinik mengenai hal ini.

h. Epidemiologi, Pencegahan, dan Pengendalian

Shigella ditularkan melalui makanan, jari, tinja, dan lalat dari orang ke orang (food, fingers, feces, and files). Sebagian besar kasus infeksi Shigella terjadi pada anak-anak di bawah usia 10 tahun. S. dysenteriae tersebar luas. Kemoprofilaksis massak selama waktu yang terbatas (misalnya pada anggota tentara) telah dicoba, tetapi strain-strain Shigella yang resisten cenderung muncul dengan cepat. Karena manusia merupakan inang utama yang diketahui dari shigeLla yang patogen, usaha pengendalian harus diarahkan pada pembersihan bakteri dari sumber-sumber dengan cara (1) pengendalian sanitasi air, makanan, dan susu; pembuangan sampah; dan pengendalian lalat; (2) isolasi penderita dan disinfeksi eksreta; (3) penemuan kasus-kasus subklinik dan pembawa bakteri, khususnya pada para pengurus makanan.

2. Kelompok Salmonella-Arizona

Salmonella sering bersifat patogen untuk manusia atau hewan bila masuk melalui mulut. Berikut ini ditularkan dari hewan atau produk hewan kepada manusia, dan menyebabkan enteritis, infeksi sistemik, dan demam enterik.

Morfologi & Identifikasi

Panjang Salmonella bervariasi. Kebanyakan spesies, kecuali Salmonella pullorum-gallinaarum dapat bergerak dengan flagel peritrika. Bakteri ini mudah tumbuh pada pembenihan biasa, tetapi hampir tidak pernah meragikan laktosa atau sukrosa. Bakteri ini membentuk asam dan kadang-kadang gas dari glukosa dan manosa, dan biasanya membentuk H2S. Bakteri ini dapat hidup dalam air beku untuk jangka waktu yang cukup lama. Salmonella resisten terhadap zat-zat kimia tertentu (misalnya hijau brilian, natrium, tetrationat, dan natrium deoksikolat) yang menghambat bakteri enterik lainnya; karena itu senyawa ini bermanfaat untuk dimasukkan dalam perbenihan yang dipakai untuk mengisolasi Salmonella dari tinja.

Struktur Antigen

Meski pada awalnya Salmonella dideteksi berdasarkan sifat-sifat biokimianya, golongan dan spesiesnya harus diindentifikasi dengan analisis antigen. Seperti Enterobactericeae lain, Salmonella memiliki beberapa antigen O (dari keseluruhan yang berjumlah lebih dari 60) dan antigen H yang berbeda pada salah satu atau kedua fase. Beberapa Salmonella mempunyai antigen simpai (K), yang disebut Vi, yang dapat mengganggu aglutinasi melalui antiserum O; antigen ini dihubungkan dengan sifat invasive yang dimilikinya. Tes aglutinasi dengan antiserum serapan untuk antigen O dan H yang berbeda merupakan dasar untuk klasifikasi Salmonella secara serologik.

Klasifikasi

Klasifikasi kelompo Salmonella-Arizona cukup rumit disbanding spesies tertentu. Satu sistem klasifikasi terdiri dari tiga spesies utama, Salmonella typhi (satu serotipe), Salmonella choleraesuis (satu serotipe), dan Salmonella enteritidis (lebih dari 1500 serotipe). Penentuan serotipe didasarkan atas reaktivitas antigen O dan antigen H bifasik.

Salmonella yang dapat dan sebaiknya secara rutin diidentifikasi karena penting dalam klinik: S. typhi, S. choleraesuis, S. paratyphi A, dan S. paratyphi B. Salmonella ini dapat diindentifikasi berdasarkan tes biokimia dan penentuan serogrup, diikuti dengan penentuan serotipe.

Tabel 3-3. Contoh Rumus Antigenik Salmonella

Golongan OSpesiesRumus Antigenik1

D

A

C1B

DS. typhi

S. paratyphi A

S. choleraeasuis

S. typhimurium

S. enteriditis9, 12, (Vi):d;-

1, 2, 12:a-

6, 7:c:1,5

1, 4, 5, 12,;1:1, 2

1, 9, 12:g, m:-

1 Antigen O: angka yang dicetak tebal.

(Vi): antigen Vi bila ada.

Antigen H fase 1 : huruf kecil.

Antigen H fase 2 : angka.

Variasi

Organisme dapat kehilangan antigen H dan menjadi tidak bergerak. Hilangnya antigen O menyebabkan perubahan koloni dari bentuk halus menjadi bentuk kasar. Antigen Vi dapat hilang sebagian atau seluruhnya. Antigen dapat diperoleh (atau hilang) dalam proses transduksi.

Patogenesis dan Gejala Klinik

S. typhi dan mungkin S. parathipi A serta S. schottmulleri (dahulu Salmonella paratyphi B) terutama menyebabkan infeksi pada manusia; infeksi oleh organisme ini berarti ditularkan dari sumber manusia. Tetapi, sebagian besar Salmonella terutama bersifat patogen bagi hewan yang merupakan reservoir untuk infeksi manusia. Hewan-hewan ini meliputi unggas, babi, hewan pengerat, sapi, hewan piaraan (dari kura-kura sampai burung kakatua), dan hewan lainnya.

Organisme ini hampir selalu masuk melalui mulut, biasanya bersama makanan dan minuman yang terkontaminasi. Bagi manusia, dosis infeksi rata-rata untuk menimbulkan infeksi klinik atau subklinik adalah 105 -108 bakteri (tetapi mungkin cukup dengan 103 organisme S typhi). Faktor inang yang ikut berperan dalam resistensi terhadap infeksi Salmonella adalah keasaman lambung, flora normal dan usus, dan daya tahan usus setempat.

Pada manusia, Salmonella menyebabkan tiga macam penyakit utama, tetapi sering juga ditemukan bentuk campuran.

1. Demam Enterik (Demam Tifoid)Gejala ini ditimbulkan hanya oleh beberapa Salmonella, tetapi yang terpenting adalah S. typhi (demam tifoid). Salmonella yang termakan mencapai usus halus dan masuk ke saluran getah bening lalu ke aliran darah. Kemudian bakteri dibawa oleh darah menuju berbagai organ, termasuk usus. Organisme ini berkembang biak dalam jaringan limfoid dan diekskresi dalam tinja.

Setelah masa inkubasi 10-14 hari, timbul demam, lemah, sakit kepala, konstipasi, bradikardia, dan mialgia. Demam sangat tinggi, dan limpa serta hati membesar. Meski jarang, pada beberapa kasus terlihat bintik-bintik merah (rose spots) yang timbul sebentar. Jumlah sel darah putih normal atau rendah. Sebelum masa antibiotika, komplikasi utama demam enterik adalah perdarahan usus dan perforasi; angka kematian 10-15%. Pengobatan dengan kloramfenikol, ampisilin, atau trimetoprim-sulfametoksazol mengurangi angka kematian menjadi kurang dari 1%.

2. Bakteremia dengan Lesi Fokal

Biasanya ini disebabkan oleh S. chloresuis tetapi dapat disebabkan oleh setiap serotipe Salmonella. Setelah infeksi melalui mulut, terjadi invasi dini terhadap darah (dengan kemungkinan lesi fokal di paru-paru, tulang, selaput otak, dan sebagainya), tetapi sering tidak ada manifestasi usus. Biakan darah tetap positif.

3. Enterokolitis (Dahulu Gastroenteritis)

Ini adalah gejala paling sering yang ditemukan pada infeksi Salmonella. Di AS, S. typhimurium lebih menonjol, tetapi enterokolitis dapat disebabkan oleh setiap dari 1500-2000 tipe Salmonella. Delapan sampai 48 jam setelah memakan Salmonella, timbul rasa mual, sakit kepala, muntah, dan diare hebat, dengan beberapa lekosit dalam tinja. Demam ringan sering terjadi, tetapi biasanya sembuh dalam 2-3 hari.Terdapat lesi-lesi peradangan di usus halus dan usus besar. Bakteremia sangat jarang (2-4%) kecuali pada orang yang imunnya terganggu. Biakan darah biasanya negatif, tetapi biakan tinja positif untuk Salmonella dan dapat tetap positif selama beberapa minggu setelah penyakit sembuh secara klinik.

Tabel 3-4. Penyakit Klinik yang Disebabkan oleh Salmonella

Demam EnterikSeptikemiaEnterokolitis

Masa inkubasi7-20 hariBervariasi8-48 jam

Permulaan penyakitPerlahan-lahanMendadakMendadak

DemamLambat, kemudian tetap tinggi dengan stadium tifoidCepat naik, kemudian memuncak ke satu sepsisBiasanya rendah

Masa sakitBeberapa mingguBervariasi2-5 hari

Gejala-gejala gastrointestinalPermulaan sering konstipasi; kemudian diare berdarahSering tidak adaMual, muntah, diare

pada permulaan

Biakan darahPositif dalam minggu 1-2 sakitPositif selama demam tinggiNegatif

Biakan tinjaPositif mulai minggu kedua negatif pada masa lebih diniJarang positifPositif segera setelah

timbul penyakit

Tes Diagnosis Laboratorium

a. Bahan

Darah untuk biakan harus diambil berulang kali. Pada demam enteric dan septicemia, biakan darah sering positif dalam minggu pertama masa sakit. Biakan sumsum tulang mungkin bermanfaat. Biakan air kemih dapat positif setelah minggu kedua.

Bahan tinja juga harus diambil berulang kali. Pada demam enterik, tinja positif sejak minggu kedua atau ketiga; pada enterokolitis, selama minggu pertama.

Biakan positif dari drainase duodenum menentukan ada tidaknya Salmonella dalam saluran empedu pada pembawa bakteri.

b. Metode Bakteriologik untuk Isolasi Salmonella

Biakan Pada Perbenihan Diferensial

Perbenihan EMB, Mac Conkey, atau deoksikolat memungkinkan deteksi secara cepat bakteri bukan peragi laktosa (bukan hanya Salmonella dan Shigella, tetapi juga protues, serratia, Pseudomonas dan lain-lain). Organisme gram positif sedikit dihambat. Perbenihan bismut sulfit memungkinkan deteksi S. typhi dengan cepat, karena terbentuk koloni-koloni hitam akibat dihasilkan H2S. Banyak Salmonella menghasilkan H2S.

Biakan Pada Perbenihan Selektif

Bahan ditanam pada lempeng agar SS (Salmnella-Shigella). Agar enteric Hektoen, atau agar deoksikolat sitratl; merupakan tempat salmonela dan shigela akan tumbuh subur, melebihi organisme Enterobacteriaceae lainnya.

Biakan Pada Perbenihan Diperkaya

Bahan (biasanya tinja) diletakkan ke dalam kaldu selenit F atau kaldu tetrational; keduanya menghambat bakteri usus normal dan memungkinkan perkembangbiakan Salmonella. Setelah pengeraman selama 1-2 hari, biakan ini ditanam pada perbenihan diferensial dan selektif.

c. Identifikasi akhir Koloni pada perbenihan padat yang dicurigai diidentifikasi dengan tes biokimia dan tes aglutinasi dengan serum spesifik.

Metode Serologik

Teknik serologik dipergunakan untuk mengidentifikasi biakan yang tidak diketahui dengan serum yang diketahui dan dapat juga digunakan untuk menentukan titer antibodi pada penderita yang tidak diketahui penyakitnya, meskipun yang belakangan ini tidak begitu bermanfaat dalam diagnosis infeksi Salmonella.

a. Tes Aglutinasi Mikroskopik Cepat

Dalam tes ini, serum yang diketahui dicampur dengan biakan yang tidak diketahui pada kaca objek. Pengumpulan, bila ini terjadi, dapat dilihat dalam beberapa menit. Tes ini khususnya bermanfaat untuk identifikasi pendahuluan biakan secara cepat.

b. Tes Aglutinasi Pengenceran Tabung (Tes Widal)

Aglutinin serum meningkat dengan cepat selama minggu kedua dan ketiga pada infeksi Salmonella. Sekurang-kurangnya diperlukan dua bahan serum, yang diperoleh dengan selang waktu 7-10 hari, untuk membuktikan adanya kenaikan titer antibodi. Serum yang tidak dikenal diencerkan berturut-turut (dua kali lipat) lalu dites terhadap antigen Salmonella. Hasilnya ditafsirkan sebagai berikut : (1) Titer O yang tinggi atau kenaikan titer O (( 1:160) menunjukkan adanya infeksi aktif. (2) Titer H yang tinggi (( 1:160) menunjukkan bahwa penderita itu pernah divaksinasi atau pernah terkena infeksi. (3) Titer Vi yang tinggi terdapat pada beberapa pembawa bakteri. Hasil tes serologik untuk infeksi Salmonella harus diinterpretasikan secara hati-hati. Kemungkinan adanya antibody reaksi silang membatasi penggunaan serologi dalam diagnosis infeksi Salmonella.

Imunitas

Infeksi dengan S. typhi atau S. paratyphi biasanya memberikan imunitas dalam tingkat tertentu. Reinfeksi dapat terjadi sering lebih ringan daripada infeksi pertama. Adanya antibodi terhadap O atau Vi dalam sirkulasi dihubungkan dengan resistensi terhadap infeksi dan penyakit. Tetapi, relaps dapat terjadi dalam 2-3 minggu setelah sembuh walaupun terdapat antibody. Sekresi antibodi IgA dapat mencegah pelekatabn salmonela pada epitel usus.

Pengobatan

Walaupun demam enterik dan bakterimia dengan lesi fokal membutuhkan pengobatan antibiotika, sebagian besar kasus enterokolitis tidak memerlukannya. Pada neonatus, penting dilakukan pengobatan antimikroba untuk enteris Salmonella. Pada enterokolitis, gejala klinik dan eksresi organisme bahkan dapat diperlama oleh terapi antibiotika. Bila terjadi diare hebat, perlu diberikan penggantian cairan dan elektroit.

Terapi antimikroba pada infeksi Salmonella invasive adalah dengan ampisilin, trimetoprim-sulfametoksazol, sefalosporin generasi ketiga, atau kloramfenikol. Resistensi terhadap anyak obat, yang dipindahkan secara genetik oleh plasmid di antara bakteri-bakteri enterik, mempersuluit pengobatan infeksi Salmonella. Uji kepekaan adalah hal yang penting untuk menyeleksi sifat antibiotik.

Epidemiologi

Tinja dari kasus subklinik atau pembawa bakteri yang tidak diketahui, adalah sumber kontaminasi yang lebih penting daripada klinik yang nyata yang segera diisolasi; misalnya, bila pembawa bakteri yang bekerja sebagai pembuat makanan mengeluarkan bakteri-bakteri itu. Banyak hewan, termasuk ternak, hewan pengerat, dan unggas, secara alamiah terinfeksi dengan berbagai Salmonella dan mempunyai bakteri dalam jaringannya (daging), tinja, atau telur. Telah diberitahukan secara luas mengenai insiden Salmonella yang tinggi pada ayam yang telah dipersiapkan secara komersial. Insidensi demam tifoid telah menurun, tetapi insidensi demam tifoid telah menurun, tetapi insidensi infeksi Salmonella lainnya bertambah secara mencolok di As. Masalahnya bertambah berat Karena luasnya penggunaan makanan hewan yang mengandung obat antibiotika, yang membantu perkembangbiakan Salmonella yang resisten terhadap obat dan kemungkinan penularannya kepada manusia.

Pembawa BakteriSetelah infeksi nyata atau subklinik, beberapa orang terus didiami organisme dalam jaringannya selama waktu yang tidak tentu (pembawa bakteri konvaselen atau permanen sehat). Tiga persen penderita tifoid yang tetap hidup menjadi pembawa bakteri yang tetap, menyimpan bakteri dalam kandung empedu, saluran empedu, atau kadang-kadang dalam usus atau saluran kemih.

Sumber InfeksiSumber infeksi adalah makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh Salmonella. Sumber-sumber berikut ini penting:

a. Air

Kontaminasi dengan tinja sering mengakibatkan epidemi yang eksplosif.

b. Susu dan hasil-susu lainnya (es krim, keju, custard) Kontaminasi dengan tinja disebabkan oleh pasteurisasi yang tidak cukup atau pengepakan yang tidak tepat. Beberapa penjangkitan dapat dilacak sumber kumannya.

c . Kerang-kerangan

Dari air yang terkontaminasi.

d. Telur yang dibuat bubuk atau dibekukan Dari unggas yang terinfeksi atau terkontaminasi selama pemrosesan.

e. Daging dan hasil-hasil daging

Dari hewan yang terinfeksi peternakan ayam) atau terkontaminasi dengan tinja hewan pengerat atau manusia.

f. Obat-obat rekreasiMarihuana dan obat-obatan lainnya.

g. Zat warna hewanZat warna (misalnya karmin) yang dipakai dalam obat-obatan, makanan, dan kosmetika.

h. Hewan piaraanKura-kura, anjing, kucing, dan lain-lain.

Pencegahan & Pengendalian

Tindakan sanitasi harus dilakukan untuk mencegah kontaminasi makanan dan air oleh hewan pengerat atau hewan lain yang mengeluarkan Salmonella. Unggas, daging, dan telur yang terinfeksi harus dimasak dengan sempurna. Pembawa bakteri tidak boleh membuat atau menyediakan makanan, dan mereka harus melakukan tindakan higienis yang ketat.

Dua suntikan suspensi S. typhi yang dimatikan dengan aseton, diikuti oleh suntikan booster beberapa bulan kemudian, memberikan imunitas sebagian terhadap sejumlah kecil bakteri tifoid yang termakan, tetapi hal ini tidak terjadi pada bakteri dalam jumlah besar. Pemberian secara oral strain mutan S. typhi hidup yang tidak virulen memberikan perlindungan yang bermakna di daerah dengan endemisitas tinggi. Vaksin terhadap Salmonella lainnya memberikan perlindungan yang lebih sedikit dan tidak dianjurkan.

3.4 Batang Gram Negatif

3.4.1 Pseudomonas aeroginosa

P. aeroginosa tersebar kuas di alam dan biasanya terdapat di lingkungan yang lembab di rumah sakit. Bakteri ini dapat tinggal pada manusia yang normal, dan berlaku sebagai saprofit. Bakteri ini menyebabkan penyakit bila pertahanan tubuh inang abnormal.

a. Morfologi & Identifikasi

Ciri Khas Organisme

P. aeruginosa bergerak dan berbentuk batang, berukuran sekitar 0,6 x 2 (m. Bakteri ini gram-negatif dan terlihat sebagai bakteri tunggal, berpasangan, dan kadang-kadang membentuk rantai yang pendek.

Biakan

P. aeruginosa adalah aerob obligat yang tumbuh dengan mudah pada banyak jenis perbenihan biakan, kadang-kadang menghasilkan bau yang manis atau menyerupai anggur. Beberapa strain menghemolisis darah. P. aeroginosa membentuk koloni halus bulat dengan warna fluoresensi kehijauan. Bakteri ini sering menghasilkan piosianin, pigmen kebiru-biruan yang tak berfluoresensi, yang berdifusi ke dalam agar. Spesies Pseudomonas lain tidak menghasilkan piosianin. Banyak strain P. aeroginosa juga menghasilkan pigmen pioverdinpioverdin yang berfluoresensi, yang memberi warna kehijauan pada agar. Beberapa strain menghasilkan pigmen piorubin yang berwarna merah gelap atau pigmen piomelanin yang hitam.

P. aeroginosa dalam biakan dapat menghasilkan berbagai jenis koloni, sehingga memberi kesan biakan dari campuran berbagai spesies bakteri. P. aeroginosa yang jenis koloninya berbeda dapat mempunyai aktivitas biokimia dan enzimatik yang berbeda dan pola kepekaan antimikroba yang berbeda pula. Biakan dari pasien dengan fibrosis kistik sering menghasilkan P. aeroginosa yang membentuk koloni sangat mukoid sebagai hasil produksi berlebihan dari alginat, suatu eksopolisakarida.

Ciri-ciri Pertumbuhan

P. aeroginosa tumbuh dengan baik pada suhu 37-420C; pertumbuhannya pada suhu 420C membantu membedakan spesies ini dari spesies Pseudomonas lain. Bakteri ini oksidase positif dan tidak meragikan karbohidrat. Tetapi banyak strain mengoksidasi glukosa. Pengenalan biasanya berdasarkan morfologi koloni, sifat oksidase-positif, adanya pigmen yang khas, dan pertumbuhan pada suhu 420C. Untuk membedakan P. aeruginosa dari Pseudomonas yang lain berdasarkan aktivitas biokimiawi, dibutuhkan pengujian dengan berbagai substrat.

Tabel 3-5. Klasifikasi Pseudomonas yang Menyebabkan

Penyakit pada ManusiaGrup dan Subgrup Homologi rRNA Genus dan Spesies

I. Grup fluoresen

Grup nonfluoresenPseudomonas aeruginosa

Pseudomonas fluorescens

Pseudomonas putida

Pseudomonas stutzeri

Pseudomonas mendocina

Pseudomonas alcaligenes

Pseudomonas pseudo-alcaligenes

IIPseudomonas pseudomallei

Pseudomonas mallei

Pseudomonas cepacia

Pseudomonas picketti

II dan IVBerbagai spesies yang jarang diisolasi dari manusia

VXanthomonas maltophilia

b. Struktur Antigen & Toksin

Pili (fimbriae) menjulur dari permukaan sel dan membantu peletakan pada sel apitel inang. Simpai polisakarida membentuk koloni mukoid yang terlihat pada biakan Dari penderita penyakit fibrosis kistik. Lipopolisakarida, yang terdapat dalam berbagai imunotipe, bertanggung jawab untuk kebanyakan sifat endotoksik organisme itu. P. aeruginosa dapat ditentukan tipenya berdasarkan imunotipe lipopolisakarida dan kepekaannya terhadap piosin (bakteriosin). Kebanyakan isolat P. aeruginosa dari infeksi klinis menghasilkan enzim akstrarel, termasuk elastase, protease, dan dua hemolisin: suatu fosfolipase C yang tidak tahan panas dan suatu glikolipid yang tahan panas.

Banyak strain P. aeruginosa menghasilkan eksotoksin A, yang menyebabkan nekriosis jaringan dan dapat mematikan hewan bila disuntikkan dalam bentuk murni. Toksin ini sama dengan cara kerja toksin difteria. Meskipun struktur kedua tooksin itu tidak sama. Antitoksin terhadap eksotoksin A ditemukan dalam serum beberapa manusia, termasuk serum penderita yang telah sembuh dari infeksi P. aeruginosa yang berat.

c. Patogenesis

P. aeruginosa hanya bersifat patogen bila masuk ke daerah yang fungsi pertahannya abnormal, misalnya bila selaput mukosa dan kulit robek karena kerusakan jaringan langsung; pada pemakaian kateter intravena atau kateter air kemih; atu bila terdapat netropenia, misalnya pada kemoterapi kanker. Kuman melekat dan mengkoloni selaput mukosa atau kulit, menginvasi secara lokal, dan menimbulkan penyakit sistemik. Proses ini dibantu oleh pili, enzim, dan toksin yang diuraikan di atas. Lipoposakarida berperan langsung dalam menyebabkan demam, syok, oliguria, leukositosis dan leukopenia, disseminated intravascular coagulation, dan respiratory distress syndrome pada orang dewasa.

P. aeruginosa (dan spesies lain, misalnya Pseudomonas cepacia, Pseudomonas putida) resisten terhadap banyak obat antimikroba sehingga akan berkembang biak bila bakteri flora normal yang peka ditekan.

d. Gambaran Klinik

P. aeruginosa menimbulkan infeksi pada luka dan luka bakar, menimbulkan nanah hijau kebiruan; meningitis, bila masuk bersama funksi lumbai; dan infeksi saluran kemih, bila masuk bersama kateter dan instrumen lain atau dalam larutan untuk irigasi. Keterlibatan saluran napas, terutama dari respirator yang terkontaminasi, mengakibatkan pneumonia yang disertai nekrosis. Bakteri sering ditemukan pada otitis eksterna ringan pada perenang. Bakteri ini dapat menyebabkan otitis eksterna unvasif (maligna) pada penderita diabetes. Infeksi mata, yang dapat dengan cepat mengakibatkan kerusakan mata, serin terjadi setelah cedera atau pembedahan. Pada bayi atau orang yang lemah P. aeruginosa dapat menyerang aliran darah dan mengakibatkan sepsis yang fatal; ini biasanya terjadi pada penderita leukemia atau limfoma yang mendapat onat antineoplastik atau terapi radiasi, dan pada penderita dengan luka bakar berat. Pada sebagian besar infeksi P. aeruginosa, gejala dan tanda-tandanya bersifat nonspesifik dan berkaitan dengan organ yang terlibat. Kadang-kadang, verdoglobin (suatu produk pemecahan hemoglobin) atau pigmen yang berfluoresen dapat dideteksi pada luka, atau urine dengan penyinaran fluoresen ultraungu. Nekrosis hemoragik pada kulit sering terjadi pada sepsis akibat P aeruginosa; lesi yang disebut ektima gangrenosum ini dikelilingi oleh eritema dan sering tidak berisi nanah. P. aeruginosa dapat dilihat pada bahan pewarnaan Gram dari lesi ektima, dan biakannya positif. Ektima gangrenosum tidak lazim pada bakteremia akibat organisme selain P. aeruginosa.

e. Tes Laboratorium

Bahan

Bahan dari lesi kulit, nanah, urine, darah, cairan spinal, dahak, dan bahan lain harus diambil seperti yang ditunjukkan oleh jenis infeksi.

Sediaan Apus

Batang gram-negatif sering terlihat dalam sediaan apus. Tidak ada cirri-ciri morfologik khusus yang membedakan pseudomonas dari batang enterik atau batang gram-negatif yang lain.

Biakan

Bahan ditanam pada lempeng agar darah dan perbenihan diferensial yang biasa digunakan untuk menumbuhkan batang gram-negatif enterik. Pseudomonas tumbuh dengan mudah pada kebanyakan perbenihan ini, tetapi mungkin tumbuh pada kebanyakan perbenihan ini, tetapi mungkin tumbuh lebih lambat dibanding batang enterik lain. P. aeruginosa tidak meragikan laktosa dan dengan mudah dibedakan dengan bakteri peragi laktosa. Biakan merupakan tes khusus untuk diagnosis infeksi P. aeruginosa.

f. Pengobatan

Infeksi P. aeruginosa yang penting dalam klinik tidak boleh diobati dengan terapi obat tunggal, karena keberhasilan terapi semacam itu rendah dan bakteri dapat dengan cepat menjadi resisten. Penisilin yang bekerja aktif terhadap P. aeruginosa tikarsilin, mezlosilin, dan piperasilin digunakan dalam kombinasi dengan aminoglikosida. Obat lain yang aktif terhadap P. aeruginosa antara lain aztreonam; imipenem; kuinolon baru, termasuk siprofloksasin. Sefalosporin generasi baru, seftazidim dan sefoperakson aktif melawan P. aeruginosa; seftazidim digunakan secara primer pada terapi infeksi P. aeruginosa. Pola kepekaan P. aeruginosa bervariasi secara geografik, dan tes kepekaan harus dilakukan sebagai pedoman untuk pemilihan terapi antimikroba.

g. Epidemiologi & Pengendalian

P. aeruginosa terutama merupakan patogen nosokomial, dan metode untuk mengendalikan infeksi ini mirip dengan metode untuk patogen nosokmial yang lain. Karena Pseudomonas dapat tumbuh subur dalam lingkungan yang basah, perhatian khusus harus ditunjukkan pada bak cuci, bak air, pancuran, bak air panas, dan daerah basah yang lain. Untuk tujuan epidemiologi, strain dapat ditentukan tipenya berdasarkan kepekaan terhadap piosin dan imunotipe lipoposakaridanya. Vaksin dari jenis yang tepat yang diberikan pada penderita dengan risiko tinggi akan memberikan perlindungan sebagian terhadap sepsis Pseudomonas. Terapi semacam itu telah digunakan secara eksperimental pada penderita leukemia, luka bakar, fibrosis kistik, dan imunosupresi.

3.4.2 Vibrio cholerae

Epidemiologi kolera serupa dengan cara pengenalan penyebaran V. cholerae dalam air dan pengembangan sistem kesehatan air.

a. Morfologi dan Identifikasi

Ciri-ciri Khas Organisme

Pada isolasi yang pertama, V. cholerae berbentuk koma, batang bengkok kira-kira 2-4 (m panjangnya. Bakteri ini sangat aktif bergerak dengan memakai satu flagel kutub. Pada biakan yang lama, Vibrio dapat menjadi batang lurus yang menyerupai bakteri enterik gram-negatif.

Biakan

V. cholerae membentuk koloni yang konveks, halus, bulat, opak dan bergranula pada sinar cahaya. V. cholerae dan sebagian besar Vibrio lainnya tumbuh dengan baik pada suhu 370C pada berbagai perbenihan, termasuk perbenihan khusus yang mengandung garam-garam mineral dan asparagin sebagai sumber karbon dan nitrogen. V. cholerae tumbuh dengan baik pada agar tiosulfat-sitrat-empedu-sukrosa (TCBS), yang akan menghasilkan koloni berwarna kuning. Vibrio bersifat oksidase-positif, yang membedakannya dari bakteri enterik gram-negatif lain yang tumbuh pada agar darah. Ciri khasnya, organisme ini tumbuh pada pH yang sangat tinggi (8,5-9,5) dan dengan cepat dibunuh oleh asam. Oleh karena itu, biakan yang mengandung karbohidrat yang dapat diragikan akan cepat menjadi steril.Di daerah endemik kolera, biakan langsung pada perbenihan selektif, seperti TCBS dan perbenihan yang diperkaya dengan air pepton basa, cukup memadai. Tetapi, biakan tinja rutin pada perbenihan khusus seperti TCBS tidak diperlukan atau kurang efektif dalam segi biaya bila digunakan di daerah yang jarang terjadi kolera.

Sifat-sifat Khas Pertumbuhan

V. cholerae umumnya meragikan sukrosa dan manosa tetapi tidak meragikan arabinosa. Uji oksidase yang positif merupakan langkah kunci identifikasi awal V. cholerae peka terhadap senyawa O/129 (2,4-diamino-6,7-diisopropilpteridin fosfat), yang membedakannya dari spesies Aeromonas, yang resisten terhadap garam, dan pertumbuhannya sering dirangsang oleh NaCl. Beberapa Vibrio bersifat halofilik, memerlukan NaCl untuk pertumbuhannya. Perbedaan lain antara Vibrio dan Aeromonas adalah Vibrio dapat tumbuh pada kaldu yang mengandung 6% NaCl, sedangkan Aeromonas tidak.

Tabel 3-6. Vibrio yang Penting dalam Bidang KedokteranPenyakit pada Manusia

V. cholerae serogrup 01 dan 0 139Kolera epidemik dan pandemik.

V. cholerae serogrup Non-01Diare mirip kolera, diare ringan;

Infeksi ekstraintestinal (jarang).

V. parahaemolyticusGastroenteritis mungkin infeksi

ekstraintesinal.

Lain-lain (V. minicus, V. vulnificus,

V. holisae, V. fluvialis, .V damsela,

V. algionalyticus, .V metschnikovii) Infeksi telinga, luka jaringan lunak, dan

ekstraintinal lainnya, semua tidak biasa

terjadi.

b. Struktur Antigen & Klasifikasi Biologik

Banyak vibrio memiliki satu antigen flagel H yang sejenis dan tidak tahan panas. Antibody terhadap antigen H mungkin tidak berperan melindungi inang yang rentan.

V. cholerae mempunyai lipoposakarida O yang memberi cirri khas serologik. Terdapat lebih dari 100 golongan antigen O, bergantung pada cara klasifikasi, Strain V. cholerae dari grup O1 menyebabkan kolera klasik, kadang-kadang V. cholerae non-O1 menyebabkan penyakit mirip kolera. Antibody terhadap antigen O cenderung melindungi hewan laboratorium terhadap infeksi V. cholerae.

Antigen V. cholerae serogrup O1 memiliki determinan yang memungkinkannya digolongkan lebih lanjut; serotipe utamanya adalah Ogawa dan Inaba. Dua biotipe V. cholerae penyebab epidemi telah diketahui, yaitu tipe klasik dan El-Tor. Biotipe El-Tor menghasilkan hemolisin, beraksi positif pada uji Voges-Proskauer dan resisten terhadap polimiksin B. Penentuan serotipe dan biotipe V. cholerae digunakan pada studi epidemiologik dan uji ini hanya dilakukan pada laboratorium rujukan.

c. Enterotoksin Vibrio choleraeV. cholerae dan vibrio serumpun lainnya menghasilkan enterotoksin yang tidak tahan panas dengan berat molekul kira-kira 84.000, terdiri atas subunit A (BM 28.000) dan subunit B. Gangliosid GM1 berlaku sebagai reseptor mukosa bagi subunit B, yang merangsang masuknya subunit A1 menyebabkan peningkatan kadar AMP siklik di dalam sel yang mengakibatkan hipersekresi air dan elektrolit. Sekresi klorida yang bergantung pada natrium juga meningkat, dan absorpsi natrium dan klorida terhambat. Diare terjadi sebanyak 20-30 L/hari mengakibatkan dehidrasi, syok, asidosis, dan kematian. Gen untuk enterotoksin V. cholerae terpetak pada kromosom bakteri tersebut. Enterotoksin kolera secara antigenik berhubungan dengan LT pada Escherichia coli dan dapat merangsang pembuatan antibodi netralisasi. Tetapi, peranan antitoksin dan antibodi anti kuman dalam perlindungan terhadap kolera belum jelas.

d. Patogenesis dan Patologi

Dalam keadaan normal, V. cholerae hanya patogen untuk manusia. Seseorang harus memakan 108-1010 organisme untuk dapat terinfeksi dan menjadi sakit, berbeda dengan salmonelosis atau shigellosis, yang dapat timbul dengan memakan 102-105 organisme.

Kolera bukan infeksi yang invasive. Organisme ini tidak mencapai peredaran darah tetapi tetap terlokalisasi dalam saluran cerna. Bakteri V. cholerae yang virulen melekat pada mikrovili brush border sel epitel. Di tempat ini bakteri tersebut berkembang biak dan mengeluarkan toksin kolera, dan mungkin musinase dan endotoksin.

e. Gambaran Klinik

Setelah masa inkubasi 1-4 hari, tiba-tiba timbul rasa mual, muntah-muntah, diare hebat dengan kejang perut. Tinja menyerupai air beras dan mengandung lendir, sel-sel epitel, dan Vibrio dalam jumlah banyak. Terjadi kehilangan cairan dan elektrolit secara cepat, sehingga mengakibatkan dehidrasi hebat, kolaps sirkulasi, dan anuria. Angka kematian kasus tanpa pengobatan antara 25% sampai 50%. Diagnosis kasus kolera yang nyata tidak merupakan masalah bila timbul dalam suatu epidemi. Tetapi, kasus sporadic atau kasus ringan sulit dibedakan dari penyakit diare lain. Biotipe El-Tor cenderung mengakibatkan penyakit yang lebih ringan daripada biotipe klasik.

f. Tes Diagnostik Laboratorium

Bahan

Bahan untuk pembiakan terdiri atas lendir yang berasal dari tinja.

Sediaan Apus

Di bawah mikroskop, usapan yang diperoleh dari tinja tidak bersifat khusus. Mikroskopik lapangan gelap atau kontras fase akan menunjukkan Vibrio yang bergerak cepat.

Biakan

Pertumbuhannya cepat pada agar pepton, agar darah dengan pH sekitar 9,0 atau agar TCBS; koloni yang khas dapat dilihat dalam 18 jam. Untuk perkayaan, beberapa tetes tinja dapat dieramkan selama 6-8 jam dalam kaldu taurokolat pepton (pH 8,0-9,0); organisme dari biakan ini dapat diwarnai atau dibiakan lebih lanjut.

Tes Spesifik

Organisme V. cholerae lebih lanjut diidentifikasi dengan tes aglutinasi mikroskopik dengan menggunakan antiserum anti-O golongan 1 dan pola reaksi biokimia.

g. Imunitas

Asam lambung memberikan perlindungan terhadap vibrio kolera yang termakan dalam jumlah sedikit.

Serangan kolera akan diikuti oleh kekebalan terhadap reinfeksi, tetapi lama dan derajat kekebalan yang sebenarnya tidak diketahui. Pada hewan percobaan, antibodi spesifik IgA terdapat dalam rongga usus halus. Antibodi yang serupa muncul dalam serum setelah infeksi, tetapi hanya berlangsung selama beberapa bulan. Peranan antibodi vibriosidal dalam serum (titer ( 1:20) dihubungkan dengan perlindungan terhadap kolonisasi dan penyakit. Adanya antibodi antitoksin tidak dihubungkan dengan perlindungan tersebut.

h. Pengobatan

Bagian pengobatan yang paling penting ialah penggantian cairan dan elektrolit untuk memperbaiki dehidrasi berat dan kekurangan garam. Banyak obat antimikroba efektif terhadap V. cholerae. Tetrasiklin melalui mulut cenderung mengurangi pengeluaran tinja pada kolera dan memperpendek waktu eksresi Vibrio. Pada beberapa daerah endemik, muncul resistensi V. cholerae terhadap tetrasiklin, yang dibawa oleh plasmid.

i. Epidemiologi, Pencegahan, dan Pengendalian

Epidemi kolera di seluruh dunia terjadi pada tahun 1800-an dan awal 1900-an. Biotipe klasik biasa ditemukan hingga awal 1960-an, sedangkan biotipe El-Tor yang ditemukan tahun 1905, menjadi banyak ditemukan pada akhir 1960-an dan menyebabkan pandemi di Asia, Timur Tengah, dan Afrika. Dimulai tahun 1991, pandemi ketujuh menyebar ke Peru dan kemudian ke negara lain di Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Jutaan manusia menderita kolera pada pandemic ini. Penyakit ini jarang terjadi di Amerika Utara sejak pertengahan 1800-an, tetapi terdapat focus endemik di pantai teluk Louisiana dan texas.

Kolera bersifat endemik di India dan Asia Tenggara. Dari pusat-pusat ini, kolera dibawa melalui jalur pelayaran, jalan perdagangan, dan perjalanan haji. Penyakit ini disebarkan melalui kontak dengan orang yang sakit ringan atau sakit dini atau oleh air, makanan, dan lalat. Biasanya, hanya 1-5% dari orang-orang yang terkena akan menderita penyakit ini. Keadaan pembawa bakteri jarang berlangsung lebih dari 3-4 minggu, dan jarang ditemukan pembawa bakteri menahun yang sebenarnya. Vibrio dapat hidup dalam air sampai 3 minggu. Pengendalian dilakukan melalui pendidikan dan perbaikan sanitasi, khususnya makanan dan air. Penderita harus diisolasi, ekskretanya disinfeksi, dari peristiwa kontak harus diamati. Kemoprofilaksis dengan obat antimikroba dapat diberikan. Penyuntingan berulang-ulang dengan vaksin yang mengandung lipopolisakarida yang diekstrak dari Vibrio atau suspensi Vibrio yang pekat dapat memberikan perlindungan terbatas pada orang yang banyak kontak dengan bakteri ini (misalnya kontak keluarga penderita), tetapi tidak efektif sebagai tindakan pengendali epidemi. Tidak banyak negara yang menyeratkan bahwa pelancong yang datang dari daerah epidemik harus telah mendapat vaksinasi kolera. Sertifikat vaksinasi kolera dari WHO hanya berlaku selama 6 bulan.

3.4.3 Haemophilus influenzae

Haemophilus infuenzae ditemukan pada selaput mukosa saluran napas bagian atas pada manusia. Bakteri ini merupakan penyebab meningitis yang penting pada anak-anak dan kadang-kadang menyebabkan infeksi saluran napas pada anak-anak dan orang dewasa.

a. Morfologi dan Identifikasi

Ciri Khas Orgnisme

Pada bahan pemeriksaan dari infeksi akut, organisme ini terlihat sebagai kokobasil pendek (1,5 (m), kadang-kadang berbentuk rantai pendek. Pada biakan, morfologinya bergantung pada umur dan perbenihan. Setelah 6-8 jam dalamperbenihan diperkaya, bentuk kokobasil ditemukan terbanyak. Kemudian