Top Banner

of 13

Bambang Sugiharto-Seni Dan Paradigma

Oct 13, 2015

Download

Documents

Taufik Darwis
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 5/22/2018 Bambang Sugiharto-Seni Dan Paradigma

    1/13

    $emE ailaus Pmrmdtsma; $e&uualu Etuaiauam Euisucuuaau[agEmWacana seni di Indonesia telah banyakmemperbincangkan perlunya konsep-konsep, paradigma,

    dan kategori-kategori khas Indonesia baik dalam penelaahansejarah, teori estetis, maupun strategi kebudayaan umumnya.Namun membaca berbagai wacana itu selalu saja terasa adasesuatu yang mengganjal. Misalnya, ada kecenderungan untukburu-buru bicara tentang paradigma macam apa yang seyogianyadigunakan. Dan biasanya lalu digali-galilah khasanah tradisi Indonesia,lantas dipas-paskan sebagai "paradigma" yang bersifat "khasIndonesia". Dalam rangka ini lantas ada yang keasyikan dan sepertimenemukan kerangka "estetik nasional" yang elemen-elemennyakonon ditemukan dalam "puncak-puncak" semua tradisi etnik diIndonesia. Terhadap kerangka estetis macam ini biasanya segerasaja orang bertanya: "Bila karya seni saya tak memenuhi kriteriaestetis macam itu, apa itu berarti tidak indonesiawi?" atau Xpakahdengan adanya kriteria itu berafti bahwa saya harus berkeseniansecara begitu, agar bisa disebut otentik?" Peftanyaan-pertanyaanspontan yang penting dan ternyata tak mudah d'rjawab juga.

    Ada kecenderungan kuat pula dalam wacana itu untukmengambil alih begitu saja konsep-konsep tentang"paradigma" dari dunia sains tanpa cukup waspada bahwa didunia seni konotasi "paradigma" bisa berbeda. Juga biasanyadengan cepat mata rantai berbagai aliran yang muncul di duniaBarat dijadikan semacam rujukan utama dalam memandangpola "sejarah seni", misalnya: alur yang kurang lebih linier,suksesi dominasi aliran/gaya, situasi sosial politik yangberinteraksi di dalamnya, dan sebagainya. Dan dibayangkanbahwa sejarah seni di Indonesia pun kira-kira mesti dilihatseperti itu, tanpa waspada bahwa ada begitu banyak haldalam situasi perjalanan kesenian di Indonesia yangmungkin sedemikian unik sehingga "pola sejarah" macam

    itu sesungguhnya tak bisa dikenakan pada konteks Indonesiatanpa jatuh menjadi aftifisial,

    Dalam kecenderungan itu semua, yang sering kalidilupakan adalah peftanyaan yang sebenarnya lebih mendasar,yaitu: apakah kita memang membutuhkan "paradigma"?"Paradigma" dalam aftian apa? Dan untuk apa? Ibaratnya kitaitu begitu repot memilih desain kacamata, sementara tak pernahdipertanyakan dahulu apakah kita memang memerlukankacamata dan kalaupun memerlukannya, kacamata jenis apa,misalnya jenis plus atau minus, antiair (kacamata renang), antiapi(kacamata tukang las), atau malahan tiga dimensi (seperti untuknonton film)."Paradigma" dalam Sains

    Abad ke-20 adalah abad yang agaknya paling menarikdalam dunia sains, bukan karena berbagai temuannya kianmenakjubkan-temuan apa pun kini makin menjadi hal yangbiasa saja-melainkan karena belum pernah sebelumnya sainsmencapai tingkat refleksivitas demikian mendasar seperti abadini. Refleksivitas yang akhirnya berani dan mampu menggugatidentitas diri "sains" itu sendlri. Masalah terbesar yang dihadapisains di akhir abad ke-20 ini adalah "sains itu sesungguhnyaapa". Sefta-merta urusannya bukan lagi rumus atau teori ilmiahyang revolusioner dan baru, dan bukan semata-mata perkaraaksioma, metodologi, ataupun epistemologi, melainkan lebihmendasar, yaitu persoalan ontologi: sains itu apa, bagaimanasesungguhnya cara ia bekerja dan ber-evolusi, di mana posisidan perannya bagi peradaban, dan seterusnya. Hal-hal itupulalah yang menjelaskan popularitas dan signifikansi nama-namapara filsuf macam Popper, Kuhn, Lakatos, Feyerabend, Gadamer;ataupun Rofi.

    26

  • 5/22/2018 Bambang Sugiharto-Seni Dan Paradigma

    2/13

    i

    i

    IIIIIi

    Iii,II

    Istirah "paradigma" muncur daram suasana refrektif didunia sains macam itu. Maka bila istilah tersebut lantas menyebardan digunakan di berbagai bidang lain, ada bagusnya kita tinjaudahulu maknanya di tempat asalnya. Dari sana barangkali kitatemukan insight yang berguna untuk mendudukkan perkaranyasecara lebih proporsional.yang bicara paling eksplisit tentang ..paradigma,, diakhir abad ke-20 ini agaknya adalah Thomas Kuhn, meskipunsebagai istilah," paradigma,, sudah digunakan sejak zaman plato,yang artinya,,model/contoh,,.1 Kendatipun pada Kuhn kerap kitatemukan banyak nuansa tentang arti .,paradigma,, itu, dapatlahdikatakan bahwa yang dimaksud dengan,.paradigma,, kuranglebih adalah: segala hasil penelitian terdahulu yang diakui dandigunakan oreh komunitas irmiah tertentu sebagai patokan dasardan sumber penelitian selanjutnya. Hasil_hasil penelitian yangdijadikan patokan umum itu biasanya tampir daram bentuk bukuteks baku, baik pada tingkat dasar maupun lanjutan. Isikonkretnya biasanya adalah: hukum_hukum, bangunan teoretisyang sudah diterima, berbagai contoh penerapannya yangberhasil, berbagai observasi dan eksperimen yang dianggapstandar, sistem instrumentasi yang diperlukan, beserta cara kerjapraktisnya di lapangan. Mengambilcontoh dari khazanah klasik,misalnya Physica karya Aristoteles, Almagesf dari ptolemeus,

    atau Principia dan Opticks dari Newton, telah berperan sebagaisemacam "paradigma,, itu. Dua karakteristik yang biasanyadimiliki oleh paradigma adarah: 1. menawarkan unsur barutertentu yang menarik pengikut keluar dari persaingan metodekerja dalam kegiatan ilmiah sebelumnya, 2, (serentak)menawarkan pula persoalan_persoalan baru yang masih terbukadan belum terselesaikan.z"Paradigma,, macam itu pulalah yang lantas akhirnyadisebut sebagai tradisi peneritian irmiah tertentu. Misarnya raruada sebutan "Astronomi ptolemaic,i ..Astronomi Copernican,,

    "Dinamika Aristotelian,,,,'Dinamika Newtonian,i dan sebagainya.Mahasiswa yang memasuki komunitas ilmiah tertentu lalu dididikdengan berbagai paradigrna tersebut, dan karenanya-disadariataupun tidak-masuk daram pola-pora konsensus dasar daramkomunitas itu. suasana orientasi textbook ini pada girirannyamudah menyebabkan mahasiswa dan para praktisi dalamkomunitas tersebut cenderung tidak memperkarakan prinsipatau asumsi-asumsi dasar di balik praktik-praktiknya. Inilah yangdisebut Kuhn situasi " normar science", yaitu situasi ketika sebuahparadigma menjadi sedemikian dominan sehingga ia digunakansebagai tolok ukur utama dan umum sampai seolah tak lagiperlu mempertanyakan ulang prinsip_prinsip pertamanya.Mahasiswa tinggal saja berkonsentrasi khusus pada berbagaifenomena yang paling pelik dan esoterik dengan cara kerja" p uzzle-so lvin g" saja, artinya bahan-bahan pembentuk..p uzzle,-nya sudah dibuatkan oleh buku teks dalam tradisi, tak perlumencari-cari bahan,,puzzle,, baru yang sama sekali berbeda.Efek bagus dari situasi '.normal,, ini adalah bahwa kita lebihmudah mendeteksi unsur ..kemajuan,, di situ.Tetapi dalam situasi modern, istilah ,.paradigma,,memang bernuansa agak lain, bila dibandingkan dengan situasiilmiah pramodern. Sekurang-kurangnya hingga abad ke_17belum berlaku tolok ukur tunggal atau dominasi paradigmatunggal dalam penentuan irmiah atau tidaknya suatu hasirpenelitian. Jadi misalnya perkara cahaya dalam bidang fisika,berkembang berbagai aliran yang saling berkompetisi. Ada yangberkiblat pada Epicurus, add yang Aristotelian, ada yangPlatonik, beserta segala variasinya, Bagi yang satu, cahayadiyakini sebagai partikel-partikel yang memancar dari tubuh_tubuh material; bagiyang lain, cahaya adalah modifikasi mediumantara tubuh dan mata; bagi yang lain lagi, cahaya adalah

    interaksi antara medium dengan pancaran dari mata, danseterusnya. Masing-masing mengacu pada metafisika tertentu

    27

  • 5/22/2018 Bambang Sugiharto-Seni Dan Paradigma

    3/13

    sebagai sumbernya, dan memberi tekanan pada fenomenaoptik khusus yang lebih bisa dijelaskan oleh tiap-tiap teoriitu" Yang menarik acjalah bahwa waktu itu mereka semuatoh dianggap sebagai ilmuwan. Sebab memang tak ada satustandar umum yang disepakati Lrersarna" Yang rnenarik lagiadalah bahwa dalam situasi macam itu wacana yangberkembang lebih bersifat horizontal, artinya lebih terarahpada kubu-kubu satu sama lain yang bersaingan, ketimbangvertikal yaitu terarah pada fenomena alam itu sendiri.

    Pada abad ke-17 dan 1B situasinya berbeda. Padamasa Newton mulai muncul semacam keyakinan bersamatentang paham yang dapat dianggap standar. Opticks karyaNewton misalnya mengajarkan bahwa cahaya terdiri daricorpuscles (partikel-partikel material, ed.)' Maka pandanganitu dijadikan patokan, sehingga kesibukan para fisikawankemudian adalah mencari bukti-bukti tekanan partikel-partikel cahaya yang mendesak tubuh-tubuh padat. Tetapipada abad ke-19, pandangan standar macam itu tertantangoleh tulisan Young dan Fresnel yang menyarankan gagasanbahwa sebenarnya lebih tepatlah cahaya dllihat sebagaigerakan gelombang. Sedang pada abad ke-20 orangumumnya meyakini gagasan lain lagi, yaitu bahwa cahayaadalah photon-photon, alias maujud-maujud mekanikakuantum yang dapat tampil baik sebagai gelombang maupunsebagai partikel. Ini tentu saja gagasan yang diinspirasikanoleh Planck, Einstein, dan lain-lain.

    Yang hendak dikatakan adalah bahwa "keilmiahan"pada situasi pramodern terasa jauh lebih pluralistis dan istilah"paradigma" tidak serta-merta berarti standar universal'Sedangkan dalam situasi modern, sesuai dengan tuntutanobjektivitas yang meyakini bahwa kebenaran itu tunggal,"paradigma" menjadi ungkapan kesepakatan umum dankarenanya berperan sebagai tolok ukur tunggal universal'

    Karenanya, dalam situasi modern lebih dimungkinkan melihatsejarah ilmu secara linier, yaitu sejarah sebagai suksesi dariparadigma domtnan ke paradignra iainnya, yarrg biasai"lyamemang bersifat revolusioner. Dalam kerangka ini pula Kuhnbicara tentang "revolusi ilmiah".3

    Memang akhir-akhir ini sa ns pun terpaksa agakberubah dalam memahami realitas alam semesta maupundirinya sendiri, Dalam kerangka klasik Newtonian alam dilihatsebagai benda yang pasif dengan hukumnya yang berjalanbagai otomat, sedang sains sendiri dimengerti sebagaiobservasi ketat dan netral atas data, lantas berurusan dengankerangka kausalitas yang deterministis. Alam semesta ini dilihatsebagai suatu mekanisme yang sederhana, dikelola olehhukum-hukum dasar yang abadi, tak kenal waktu, reversible,a temporal. Segala hal dalam alam ini unsur dasarnya satudan sama, analog dengan segala bentuk bangunan (rumah,masjid, pabrik, dan sebagainya) yang unsur dasarnya hanyalahbatu bata. Itu sebabnya mekanika klasik lni banyak berfokuspada wilayah mikro. Dampak dari pola berpikir macam iniantara lain adalah munculnya dualisme anlara worldvievv ilmiahdan worldview religius, antara realitas yang diyaklni sebagaimesin dengan hukum universalnya yang seragam-mekanis danrealitas yang diyakini sebagai proses kreatif, hidup,berkebebasan, dan digerakkan kasih Tuhan, Joseph Needhammenganggap dualisme macam ini sebagal akar dari skizofreniaBarat.4

    Tetapi semua itu klni telah berubah. Eddingtonmenemukan bahwa penelitian pada tingkat mikro, yaitu padapartikel-partikel elementer sebenarnya tak mampu menjelaskanperilaku pada tlngkat makro, yaitu pada konfigurasi totalkumpulan molekul. Sejak munculnya Mekanika Kuantum danTeori Relativitas diyakini bahwa partikel-partikel sebenarnyaselalu berada dalam proses transformasi terus-menerus ke

    34 Ibid., pp. tZ-13.:. rueednam @t. al.), A Shorter Science and Civilization in China, vol.I, Cambridge University Press, Cambridge, 7978, p- 170.2A

  • 5/22/2018 Bambang Sugiharto-Seni Dan Paradigma

    4/13

    dalam satu sama lain. Dari sana ditemukan bahwa ternyatasemesta ini kompleks dan tidak sederhana, pluralistis dan tidakseragam, unik, tem poral- irreversible dan tidak deterministis-atemporal. Struktur-struktur bisa bermunculan lalu hilang kembali.Realitas ternyata dikendalikan oleh proses yang bersifat fluktuatif.Memang ada saatnya ia bisa dipahami secara deterministis,namun kali lain sering lebih bisa dipahami sebagai proses yangbersifat probabilistis. Persisnya, pola determinisme hanya relevanbagi situasi ekullibrium, yang sebetulnya langka. Alam semestapada dasarnya mengandung unsur-unsur yang pada dasarnyaacak, unik, dan spontan. Materi bukanlah substansi pasif,melainkan aktivitas spontan dan kreatif-soal relasi dankomu n i kasi-di dalam waktu. TEori tenta n g Diss ipative Structu redarillya Prigogine kini mengeksplisitkan semua itu. Baginya alamsemesta ternyata tak selalu berada dalam situasi ekuilibrium.Bila situasi berubah dari ekuilibrium ke far from equilibrium,maka pola repetitif-universal-mekanis berubah ke pola spesifik,spontan, dan tak terduga. Lantas dimungkinkanlah transformasidari chaos ke order, terbentuklah tatanan baru, yang olehPrigogine disebut dissipative structure itu. ladi pada situasimacam itu semesta ternyata bekerja dalam proses yang bersifatnonlinier dan kreatif. Seolah bila dalam keadaan ekuilibriummateri itu "buta", dalam keadaan far from equilibrium materijadi bisa "melihat" (melihat masalah dalam medan elektrik ataugravitasional, misalnya) dan cepat mengambil sikap kreatif baru.Perubahan-perubahan kecil pada tingkat elementer mikroskopisdalam konteks ini dapat menggelombang menjadi perubahanbesar pola perilaku pada tingkat makroskopis.5 Baik dari bidangpartikel elementer, kimia, biologi, maupun kosmologi kinidltemukan bahwa alam ternyata memiliki unsur-unsur self-organization, kompleksitas, dan temporalitas (prosesevolusioner).

    Semua perubahan itu telah membawa perubahan pulabagi pemahaman diri sains itu sendiri. Bahwa ternyatadimungkinkan perubahan pandangan yang demikian radikaldalam dunia sains, menunjukkan bahwa ada interaksisistematis antara konsep-konsep teoretis dan observasi; bahwarespons alam terhadap interogasi eksperimental sainssebetulnya sangat ditentukan oleh kerangka teoretis yangdigunakan sains itu. Dengan kata lain, kini disadari bahwakonstruksi intelektual manusia sendiri ternyata sangatmenentukan paham yang didapat tentang "apa"-nya realitas.

    Apa pun yang kita sebut "realitas" sebetulnyadibukakan pada kita hanya melalui konstruksi aktif pikiran kitasendiri. Tagore, pernah berkata bahwa "bahkan kalaupunkebenaran absolut itu ada, kebenaran itu tak akan pernahterjangkau oleh pikiran manusia". Ternyata omongan inibukanlah sekadar kegilaan mistik. Ternyata segala bentukpengukuran, eksperimen, dan observasi hanya dimungkinkankarena kita sudah punya kerangka teoretis terlebih dahulu.6Dari sana dunia ilmiah pun kini menyadari bahwa ternyatayang sebenarnya menjadi persoalan pokok adalah soal"makna", bukan sekadar perkara "fakta" seperti keyakinan naifdunia ilmiah klasik. Ketika Bohr mengunjungi Kastil Kronberg,dia berkata kepada Werner Heisenberg bahwa kastil yangsebetulnya biasa saja seperti kastil lainnya itu, tiba-tibaberubah ketika disadari bahwa Hamlet pernah tinggal di situ.Inilah persis persoalan "makna" itu.

    Meskipun demikian, masalahnya tetaplah dalam duniasains itu terdapat keyakinan bahwa ada paradigma umum. Isiparadigmanya memang bisa berubah, taruhlah dalam sainsklasik titik berat pada persoalan "relasi" dan"irreversibility'.Bahkan kalaupun tekanan itu pada pluralitas dan partikularitasitu tetaplah diyakini sebagai universal juga.

    ] rinat Itya Prigogine (et. al.), Order Qut of Chaos, Flamingo, London, 1990, pp. 7-10.D Bandingkan juga D. S. Konthari, Some Thought on Truth, lndian National Science Academy, Bahadur Shah Zafar Marg, New Delhi, 1975, p.5.29

  • 5/22/2018 Bambang Sugiharto-Seni Dan Paradigma

    5/13

    +{++trEi++ru;:-j,l: :=l';'..il l.ri','i.lri j: .. :j.r.i ,: :3

    .;.il*.;r. i:esii',.:i;

    [9] Edo Pillu, Stupidity Arrogance [fO] Edo Pop, Mengurai Perjalanan AbsurdSejarah dan Paradigma Kesenian

    Ketunggalan, keuniversalan, dan konsepsi yang liniertentang sejarah, pada hematsaya adalah hal-hal pokokyang kelakakan sangat menentukan pula manakala kita bicara tentang senirupa. Pertama-tama harus segera dikatakan bahwa dominasi sainsdalam peradaban modern memang sangat menggoda segalabidang lain untuk mengikuti pola-pola kerja sains itu. Objektivitasdan sifat universal sains beserta mitos "kemajuan" yangdikembangkannya membuat orang tak lagi cukup waspadaterhadap kekhasan dasar bidang-bidang lainnya. Bahkankarenanya konsep tentang "sejarah" yang demikian linier itu sendiripun sepertinya tak pernah diperkarakan.

    Di bidang seni pun lantas sejarah perkembanganseni di Barat, misalnya, selalu saja cenderung dilihat sebagairangkaian babakan yang ditandai patahan-patahanrevolusioner (ruptures) yang biasanya dikaitkan denganperistiwa-peristiwa sosial politik yang menentukan seperti:abad Pertengahan, Renaisans, Barok, Romantik, Modern,Kontemporer, dan sebagainya; atau dikaitkan denganperubahan-perubahan mendasar di bidang "gaya" (style,schools) sepeft i : Naturalisme, Impresionisme, Ekspresionisme,Abstrak Ekspresionisme, dan seterusnya. Dan pola memahamisejarah macam itu serta-merta juga menjadi pola baku yangdigunakan dl berbagai tempat. "Gaya" (aliran atau style) dan

    30

  • 5/22/2018 Bambang Sugiharto-Seni Dan Paradigma

    6/13

    kondisi sosial politik dilihat sebagai dua kunci untuk memahami"paradigma" kesenian.Implikasi dari ini semua adalah bahwa pengertian..seni,,

    itu sendiri mau tak mau mengikuti pola pemahaman Barat juga.Seperti sains, seolah definisi "seni" pun mesti universal, dan ituberafti definisi seni ala Barat-lah yang menjadi patokan.Kecenderungan di atas itu membawa dampak yangsesungguhnya problematis. Misalnya saja, segala bentuk keseniantradisional di berbagai negara lain yang non-Barat, betapa puncanggihnya, statusnya tak akan lebih daripada .'kerajinan,,.

    Dianggap menarik, bukan pertama-tama sebagai benda seni_seolah "kerajinan" bukanlah seni sama sekali-melainkan sebagaidata antropologis yang eksotis saja sekaligus sebagai bukti-buktikeprimitifan alias keterbelakangan. Sementara di sisi lain segalabentuk "modern" kebarat-baratan yang berkembang di negara-negara non-Barat itu cenderung dilihat sebagai seni yang ..tidakotentik". Kecenderungan ambivalen ini mau tak mau senantiasaberdampak mendudukkan Barat selilu dalam posisi superior, dandi luar Barat menjadi selalu inferior. Betapa pun kuatnya-dalamskala formal-bentuk "abstrak ekspresionistik" patung-patungAsmat ataupun Nias, hanya akan dianggap sebagai ungkapanketidaktepatan persepsi fisiognomis orang primitif, ibarat lukisananak-anak yang beium mampu menangkap rincian bentuk normal-natural.T

    Kajian sejarah dalam dunia seni sesungguhnya bisamengincar objek yang amat beragam, dan sifat kajiannya punbisa beragam. Pada tingkat yang paling sederhana, sejarah hanyabisa berupa cerita yang sifatnya deskriptif saja, misalnya tentangbagaimana dari zaman ke zaman manusia menciptakan danmengolah imaji. Memang dari cerita macam itu orang juga bisamembuat sejarah yang lebih bersifat evaluatif, tak sekadardeskriptif, misalnya dari berbagai fenomena olah imaji itu, mana

    yang dianggap paling "bermutu,, dan layak disebut sebagai"Seni" (dengan S besar). Sejarah juga bisa sekadar ceritaperkembangan teknis seperti teknik melukls, alat-alat dan teknikmusik, teknik arsitektur, dan sebagainya. Bisa juga ia hanyabercerita tentang perubahan selera atau fungsi seni, dansebagainya,

    Tetapi akhirnya yang akan sangat penting adalahkonsep "sejarah" itu sendiri dimengerti sebagai apa. Bila sejarahhanya dimaksudkan sebagai salah satu kegiatan pendataan saja,maka kecenderungannya akan lebih bersifat deskriptif. Namunbila dalam pengertian "sejarah" terkandung pretensi untukmelihat sejenis "evolusi peradaban", seperti yang dipikirkanHegel misalnya/ mau tak mau muncul kecenderungan kuat kearah sifat evaluatif bahkan normatif. Dan yang terakhir inimemang merupakan godaan kuat dalam alam berpikir modern,orang tak cukup bersahaja untuk mau melihat realitas sebagaisekadar "perubahan" dan selalu ingin melihatnya dalamperspektif "vertikal" alias dalam kerangka .'kemajuan,,,Untunglah ada orang-orang macam Foucault ataupun Deleuzeyang mencoba melihat realitas historis itu secara lebih"horizontal', yakni sekadar melihat jaringan berbagai saling-keterkaitan yang mungkin antar berbagai unsur/peristiwa, lantasmenemukan insights baru (apa pun itu) daridalamnya. Kaumpascastrukturalis ini, betapa pun ganjilnya cara berpikir mereka,menjadi penting untuk mengingatkan kita bahwa ..sejarah,,adalah lahan interaksi berbagai peristiwa yang demikian luaskemungkinannya untuk dimaknai. Dan "makna,, itu bisa apapun juga. Ini memang perspektif yang tak lagi bersandarpada metafisika "substansi" atau "esensialisme,, modernyang selalu berkeyakinan bahwa segala sesuatu itu adaesensinya, dan esensi itu satu. Dalam kerangka metafisikamacam itu memang ada gelagat kuat untuk menjadikan

    Gombrich, A Lifelong Interests, Conversations on Aft and science with Didier Enbon, Thames and Hudson Ltd., London, 1993, p. 9g.

    31

  • 5/22/2018 Bambang Sugiharto-Seni Dan Paradigma

    7/13

    peradaban tertentu sebagai tolok ukur tunggal, yangsesungguhnya merupakan pemiskinan dan pengerdilan realitas.Komunitas llmuwan dan Komunitas Seniman

    Bahwa sejarah ilmu yang cenderung dilihat secaraevolusioner tidak selalu sesuai untuk ditransfer polanya kedalam sejarah seni, sebetulnya juga berkaitan erat dengankenyataan bahwa jenis komunitas dan kegiatan ilmiahsesungguhnya memiliki karakter yang berlainan dengan jeniskegiatan dan komunitas seni.

    Bagaimanapun komunitas ilmuwan bersifat lebiheksklusif daripada komunitas seniman. Ilmuwan bekerja dalamsorotan para anggota kelompok sejawat, yaitu orang-orangyang memiliki keyakinan dan nilai-nilai serupa. Karena itu pulamereka lebih mudah menggunakan satu standar penilaian yangsama. Sementara para seniman lebih tergantung padapenilaian khalayak awam yang bersifat heterodoks. Itu karenapara seniman selalu membutuhkan agar karyanya ditampilkandan dinikmati orang banyak. Dan ini mengakibatkan sulitnyamenerapkan standar tunggal untuk menilai karya-karya seni.Ilmuwan-khususnya yang dari bidang-bidangeksakta-tidak perlu memilih persoalan yang hendak ditelitinyasebab sistem, metode, dan konteks yang mereka gumuli itusendirilah yang akan menurunkan berbagai persoalan yangharus ditelaah lebih lanjut. Sementara para seniman (danilmuwan sosial ataupun filsuf) biasanya harus mencari danmemilih sendiri, serta mempertanggungjawabkan sendiri pulapersoalan-persoalan yang hendak digarapnya. Dan, terutamadalam kegiatan seni kontemporer yang konseptualistis, inisering sangat berkaitan dengan masalah-masalah dalamkehidupan konkret aktual.Para ilmuwan*khususnya di bidang ilmu-ilmu alam-umumnya dididik dengan ketergantungan serius pada buku

    teks (yang memang up-to-date), meskipun pada tahun-tahunakhir mereka dimungkinkan mengadakan riset sendiri juga. Dankegiatan problem-solving mereka pun lebih berupa puzzle-solving. Semua itu lantas mengakibatkan situasi dalam ilmu-ilmu ini sesungguhnya tidak terlalu kondusif untuk munculnyatemuan-temuan atau pendekatan-pendekatan baru, Bahkanbukan tak mungkin, para mahasiswa fisika misalnya merasatak perlu membaca langsung karya-karya Newton, Faraday,Einstein, ataupun Schrodinger, oleh karena segala yang perlumereka ketahuitoh sudah diringkaskan secara lebih efisien dansistematis dalam berbagai buku tek.

    Dari sudut ini, ilmuwan terasa berkecenderungan"tradisional", dalam arti segala pola pikir sebelumnya dilihatdengan terarah secara lurus dan akumulatif pada saat ini."Kemajuan" pun cenderung dilihat dalam kerangka liniermacam itu, karena itu komunitas para ilmuwan cenderungmerasa aman dan mapan. Mereka tidak mudah mengambilparadigma yang sama sekali baru, sebab hal itu akanmengakibatkan banyak halyang telah lama dianggap sebagaifondasi akan diperkarakan dan terbongkar. Dengan kata lain,sebetulnya di bidang ilmiah, "kebaruan" bukanlah sesuatu yangsecara psikologis sungguh dikehendaki. yang namanya"kebaruan" biasanya bisa ditolerir hanya bila tetapmemungkinkan kerangka problem-solvingterdahulu digunakan,dan bila paradigma baru itu betul-betul mampu memecahkanpersoalan penting dan menonjol, yang dengan cara lain memangtak bisa dipecahkan. Tidaklah mengherankan bila Kuhn lantasmengatakan bahwa meskipun sains memang bisa makinmendalam, toh ia sulit untuk semakin melebar dan meluasdaya jangkaunya. Dalam kerangka ini semua, Kuhn bahkanmengatakan bahwa perubahan paradigma dalam dunia sainssesungguhnya tidak selalu berarti semakin dekatnya kita padakebenaran.S

    j28 Thomas Kuhn, op.cit., pp. 164-70

  • 5/22/2018 Bambang Sugiharto-Seni Dan Paradigma

    8/13

    Dalam dunia seni (juga ilmu sosial dan filsafat) bukuteks tak pernah menduduki posisi sedemikian sentral hinggamenimbulkan ketergantungan. Dalam dunia seni, yang lebihmenentukan perkembangan adalah tereksposnya seniman ataucalon seniman itu pada karya-karya seniman laln yang notabeneberagam sekali coraknya. Maka dunia seni lebih terbiasa melihatberagam persoalan dengan beragam solusi yang ditawarkan,Dalam dunia yang dipenuhi atmosfer kreatif ini sesungguhnyamenjadi tidak wajar memandang masa lalu sebagai alur lurussederhana ke arah masa kini seperti dalam dunia sains. Seniadalah realitas yang alur sejarahnya sudah selalu centang-perenang ke segala arah dan ke berbagai alternatif. Ini persisdunia filsafat yang meskipun sepertinya problem dasarny'asama- yaitu "realitas ini apa?"-toh penjabaran persoalan danbentuk jawabannya betul-betul memperlihatkan demikian banyakkemungkinan. Dalam konteks ini, "kebaruan" seolah justrumerupakan hal penting yang dicari orang. Suasana avant-gardedi masa lampau adalah contoh ekstrem betapa akhirnyakebaruan sering dicari demi "kebaruan" itu sendiri saja (asalbaru), dan tak selalu demi peningkatan teknis maupun isisubstansi. Bila dalam dunia sains, segala bentuk kebaruan akandikaji berdasarkan kerangka "tradisional", maka dalam dunia

    ,, seni bisa persis sebaliknya, segala bentuk alur tradisional akandinilai ulang berdasarkan kebaruan-kebaruan atau berdasarkansemangat kreatif baru.

    Dari sudut ini, meskipun seniman-seniman bisa sajaberkelompok dalam sebuah komunitas aliran/gaya/tradisitertentu, toh sesungguhnya seniman itu pada kodratnya adalahpetualang-petualang yang soliter. Pada titik ini sesungguhnyaselalu terasa kurang pas bila kita bicara tentang sebuah"paradigma" dalam artian tolok ukur komunal ataupun umum.Lebih tepat agaknya bila kita melihat para seniman itu sendirilahmasing-masing yang merupakan "paradigma", yaitu sebagai

    individu dengan kreativitas dan rangkaian perjalanannya yangkhas.

    Pertanyaannya adaiah, bagaimana sebuah paradigmadiadopsi dalam komunitas ilmuwan dan komunitas senimanitu nuansanya juga bisa sangat berbeda? Bagaimanapun jugadalam konteks dunia ilmu modern, yang meyakini tolok ukurtunggal sebagai cerminan objektivitas universal, mengadopsisebuah paradigma baru yang berkaitan erat dengantersingkapnya sisi lain dari realitas. Dus, "vertikal'i seolahkarena realitasnya ternyata berbeda maka kacamatanyadiganti. Itu keyakinan dasarnya. De facto, diterima atautidaknya paradigma baru itu memang lebih sering dipengaruhifaktor psikologis, praktis, maupun sosiologis, ketimbang faktorontologis sungguhan, seperti telah diuraikan di atas.Dalam dunia seni, kalaupun dominasi suatukecenderungan pola pandang, tema. ataupun gaya bisadianggap sebagai dominasi sebuah paradigma (ini masih selalubisa dipersoalkan), maka ternyata ada banyak sekalikemungkinan variabel yang bisa mempengaruhi diterima atautidaknya paradigma itu. Umumnya itu lebih pada persoalan"horizontal" saja, bahkan sering kali unsur-unsur kebetulandan irasional ikut berperan.

    Kesenian meledak dalam zaman Renaisans, kononsalah satu penyebabnya sederhana saja, yaitu kebiasaan paraimam Fransiskan dan Dominikan abad ke-13 dan 14 yang bilaberkhotbah menggunakan teknik meditasi pembayangan.Misalnya, "Bayangkanlah Maria sedang duduk, mendengarsuara dari malaikat ... dan seterusnya". Teknik pembayanganatau visualisasi macam inilah konon yang antara lain dikemudian hari berkembang menjadi drama-drama danlukisan.9 Unsur kebetulan berperan di sini.

    Akibat Protestanisme yang bersifat ikonoklastik aliastak menyukai berbagai bentuk simbol dan imaji dalam gereja,

    e Lihat Gombrich, op.cit., pp.73-7533

  • 5/22/2018 Bambang Sugiharto-Seni Dan Paradigma

    9/13

    [11] Aminudin Th. Siregar, My Story, Desire & Nothingness

    misalnya di Inggris kesenian sempat tak berkembang bahkannyaris mati. Saat itu seniman dianggap profesi yang tak punyamasa depan. Tetapi di negeri Belanda/ yang juga saat itu dikuasaiProtestanisme, tradisi seni tetap maju, sebab kendati tidak merekapakai sendiri, karya-karya mereka itu diekspor untuk kolektor luarnegeri, Unsur bisnis sangat berperan di sini.

    Teknik-teknik ataupun peralatan baru blsa juga ikutmenentukan, sebab membuka kemungkinan baru yang lebihluas. Ketlka muncul orgel pipa, maka penciptaan gubahan-gubahan musikal yang lebih rumit, seperti "fuga", jadi lebihdimungkinkan daripada sewaktu musik hanya dimainkan dengansebuah suling sederhana. Meskipun tetap perlu diingat bahwaorgel pipa dan komposisi-komposisi macam fuga dimungkinkankarena dirintis oleh tradisl suling juga. Memang terobosan-terobosan baru bisa muncul juga karena intensitas pergumulan

    dengan tradisi. Dalam dunia seni rupa munculnya alat fotografitentunya juga ikut merangsang orang berubah pikiran tentangapa artinya melukis, sehingga gaya naturalistik berubah ke arahimpresionistik. Memang perubahan ini juga dimungkinkankarena tradisi naturalistik telah mencapai puncak kesetiaannyapada prinsip mimesis hingga jenuh.

    Unsur kejutan baru pun bisa ikut berperan sebagaipembuka kemungkinan-kemungkinan baru. Bila biasanyapatung-patung tidak diberi warna dan tiba-tiba seorang senimanterkemuka mewarnai patung-patungnya, misalnya, bisa sajainl kemudian dlterima sebagaijalan keluar dari kejenuhan, yanglantas membuka gaya baru.

    Sebuah style bisa juga menjadi dominan karenakebetulan ia persis memenuhi kebutuhan akan selera baru.Ini soal selera pasar. Style Gotik yang diawali oleh Abbot Sugerdari St. Denis segera ditiru banyak orang antara lain kononkarena hal itu memenuhi hasrat orang zaman itu akan kaca-kaca besar dan bentuk-bentuk lentur melingkar, sebab bosanpada garis-garis kaku, berat, dan anggular. Barangkaliperkaranya mirip walkman. Awalnya orang tak berpikir ke situdan tak menginginkannya, namun ketika nekat diproduksi olehJepang, orang seperti dibantu merumuskan kebutuhannya,kebutuhan akan kenikmatan menikmati musik yang bersifatpribadi, intim, dan mobile dalam masyarakat yang semakinindividualistik. Maka muncullah wabah walkman. Berkaitandengan selera pasar ini, sulit dipungkiri bahwa sering senimanpun sangat dipengaruhl olehnya. Misalnya ketika sfyleImpresionisme dominan, maka gaya itu pulalah yang terasabergengsi, sehingga melukis dengan gaya naturalistik menjaditerasa inferior.

    Masyarakat Barat ketika menjadi modern sangatmenekankan prestasi individual, dan karenanya situasi menjadicenderung kompetitif. Sejak Giotto menandatangani karyanyaorang pun tersadar akan tuntutan prestasi individual itu dalamkesenian juga. Antara laln sejak itulah mulai berkembangkonsep tentang seniman sebagai "great mastel', bahkan kelak

    34

  • 5/22/2018 Bambang Sugiharto-Seni Dan Paradigma

    10/13

    *".,dfIt21 Hedi Hariyanto, Aku Suka Karnu (Tempe)

    nyaris bagaikan "nabi". Padahal sebelumnya seniman tak lebih bagaiperajin alias tukang biasa saja. Situasi kompetitif ini pula yangdalam skala jangka panjangnya telah ikut melahirkan sejarah sukesialiran/gaya dalam dunia seni di Barat. Itu unsur khas Barat.Sedangkan di India ataupun Cina dan Indonesia misalnya, tidaklahterasa oleh karena suasana umum sosialnya masih berpola komunaldan kesenian pun belum sungguh-sungguh merupakan bidang yangsangat otonom, karenanya tak menghasilkan sejarah mata rantaiparadigma sepefti dalam dunia seni di Barat. ladi unsur pola dandisposisi mental-kultural masyarakat pun san gatlah berperan.

    Style pun bisa tiba-tiba menjadi dominan bila ia mampumerumuskan mood ataupun atmosfer lingkungan yang konkretdialami namun sering sulit dirumuskan. Misalnya saja, gaya asembling,

    kolase, ataupun juktaposisi sewenang-wenang-yang akhir-akhir ini sepertinya selalu saja kita jumpai dalam berbagai karyaseni-sangat mungkin menjacli dominan karena ia persismenampilkan aspek komposit dari kenyataan dunia manusiakontemporer, yang memang serba campuran, serba hibrida,hampir dalarn segala sisi kehidupannya.Semua ilustrasi di atas memperlihatkan bahwa dalamdunia seni posisi paradigma sesungguhnya tidaklah sama denganparadigma dalam dunia sains. Dalam dunia seni, unsur_unsurkontekstual-lokal dan unsur irasional demikian besarpengaruhnya, sehingga rnestinya konsep tentang sejarah senipun tak bisa persis bersifat seevaluatif dan senormatif sejarahsains. Penulisan sejarah seni dengan demikian akan lebih bergunabila ditulis secara lebih modest, lebih deskriptif, melukiskan

    berbagai bentuk "perubahan" dengan segala kemungkinanpenyebab dan akibatnya, tanpa pretensi melihatnya sebagai"kemajuan" dan tanpa buru-buru menerapkan kotak-kotakkategorisasi yang sudah dirancang sebelumnya. Apalagi sambilmenganggap paradigma-paradigma teftentu sebagai tolok ukur-tolok ukur umum.Seni sebagai Istilah yanE'"Licin"

    Semua perasaan ketidakcocokan yang mengganjaimanakala kita membandingkan antara seni dan sains di atas tadi,boleh jadi sesungguhnya berakar pada ambiguitas makna kata"seni" itu sendiri. Istilah seni memang mengandung pengertianyang sangat"licin'l Di satu sisi pengeftiannya mau dipasti-pastikansepeti yang senantiasa terjadi dalam kultur Barat yang rnemangsangat verbal dan diskursif itu. Di sisi lain upaya-upaya macam itupun ujung-ujungnya seperti mengalami frustrasi sendiri, ArthurC. Danto menyebut situasi saat ini "fhe end of art'.lo SedangkanGombrich menuliskan kalimat pertama dalam Ihe Story of Art,"There realty is no such thing as art. There are only artists."Lt

    10 Lihat wawancara Arthur c. Danto dengan suzi Gablik dalam suzi Gablik, converntion Before the End of Time, Thames and Hudson, London, 1995, p.277; jugaArthur c. Danto, Beyondthe Brillo Box: The Visual Afts in Post-historical Perspectives, Farrar, Strausse and 6iroux, New Yotk, lgg2.u E.H. Gombrich, The ,tory of Art, Phaidon Press, London, 1950 (fifteenth edition, 1989).35

  • 5/22/2018 Bambang Sugiharto-Seni Dan Paradigma

    11/13

    [13] Yuswantoro Adi, Giant PuzzlePernyataan-pernyataan macam itu hari-hari ini bertebaran dimana-mana dan menunjukkan betapa sia-sianya segala upayauntuk menetapkan hakikat "seni" itu.

    Sepanjang sejarahnya, bila ditinjau secara umum danluas, maka pengertian "seni" de facfo telah berubah terus-menerus. Dalam masyarakat pramodern ada. kecenderungan kuatbahwa seni itu merupakan bagian erat dari religi dan statusnyahanyalah sebagai keterampilan teknis saja. Dalam konteks Baratistilah ars aslinya juga berarti : skill, craftsmanship, alauketerampllan teknls. Sekurang-kurangnya hingga zamanRenaisans pengertian macam itu di Barat masih berlaku, hinggawaktu itu antara teknik, pertukangan, bahkan sains dengan senitak jelas bedanya. Pada figur macam Leonardo da Vinci tumpang-.tindih pengertian itu jelas sekali terasa: ia itu seniman, sekaligusilmuwan, dan tukang.

    Ketika seni masih erat terkait pada religi, keterampilanteknis itu pun berkaitan erat dengan ritual religius. Di sini seniadalah pola-pola ungkap pengalaman religius, Katakanlah, iaberfungsi menggarisbawahi kemisteriusan realitas sakral-transenden. Dalam kerangka ini tidak mengherankan bila bentukseni itu umumnya bercorak dekoratif, ornamental, dan stillstik.Stilisasi di sini bukanlah sekadar "penggayaan'i bukan pulaungkapan ketidakmampuan perseptual. Kecenderunganmendistorsi bentuk-bentuk normal-natural itu agaknya lebihtepat dilihat sebagai strategi untuk menampilkan interioritas,aura sakral, ataupun roh di balik tampilan-tampilan fisik material'Yang menarik pada periode ini adalah juga bahwa seni di slniberslfat sangat populis, urusan bersama dan bagian hidupsehari-hari. Seniman bukanlah sosok istimewa sekali denganstatus sosial khusus, melainkan bagian dari masyarakat danhidup sehari-hari yang biasa saja.

    Perubahan pengertian tentang "seni" mulai terasamenonjol di kemudian hari terutama dalam dunia Barat modern.Dalam atmosfer modern itu, seni seolah melepaskan diri dariinstitusi religius dan meraih otonominya sendiri. Sejak itukegiatan kesenian cenderung menjadi medan eksplorasi bentuk,materl, dan teknik. Memang ini berkaitan dengan berbagaigejala lain yang mencirikan kemodernan. Misalnya saja, yangutama adalah bahwa dalam pola pikir modern religiositasmemang cenderung tersingkil sekurang-kurangnya tidak lagimenjadi poros utama kehidupan. Ketika kehldupan lebihdikelola berdasarkan perspektif sekuler dan rasional, kesenianpun cenderung menjadi persoalan teknikalltas danreflektivitas. Musik tak lagi peduli dengan keagungan,keindahan, dan harmoni, melainkan menjadi perkara eksplorasihakikat "musik" dan fenomena "bunyi" itu sendiri. Tarian menjadipencarian hakikat "gerak'1 Seni rupa menjadi refleksi tentangmakna terdalam "imaji" dan "simbol" dalam skala seluas-luasnya. Sedang seni pertunjukan sibuk bergulat denganinteraksi dialektis hakiki antara pementasan dan kehidupannyata secara timbal-balik. Dengan itu semua kesenian lantas

    36

  • 5/22/2018 Bambang Sugiharto-Seni Dan Paradigma

    12/13

    menjadi sangat elitis borjuis dan berwatak personal sangatkental. Seniman menjadi semacam genius-genius yangmenempati status sosial elitis juga. Serentak karya_karya senimakin bersifat filosofis dan makin jauh dari persepsi dan apresiasimasyarakat kebanyakan. Sehingga ketika akhirnya kesenianmacam ini masuk kembali ke wilayah banalitas sehari-hari justrumenjadi terasa aneh. Gelagat yang dipelopori Dadaisme, laluPop art, musik konkret, instalasi, multimedia, dan seterusnya,malah diragukan justru oleh mereka yang dididik dalam kerangkaestetika modern. Dan itu pula sebabnya kelompok-kelompoktersebut di atas sekaligus saja menyebut dirinya ,,anti-ar( alau"pascaestetik", dan sebagainya. Sejak itu konsep tentang ..seni,,dan "apa itu seni" memang menjadi tema utama perbincanganhingga hari ini.

    Sebenarnya dari dulu pengertian tentang ..apa itu seni,,sudah selalu problematik. Salah satu yang menarik misalnya,apakah arsitektur itu termasuk sebagai seni atau bukan? Dalamkultur dan bahasa Jerman arsitektur termasuk dalam istilahkunsd, sementara dalam bahasa Inggris ia tidak termasuk dalamistilah art Dalam konteks kesenian modern misalnya, kerajinan(craft) tidak pernah dianggap sungguh-sungguh "seni,,berhubung dalam paham modern ada anggapan bahwa yangbetul-betul seni itu adalah yang termasuk dalam,,high ar(,yang dalam Bahasa Indonesia dahulu sering diasosiasikandengan "seni murni". Dalam kerangka ini karya-karya seniprimitif-betapa pun mengandung intensitas-toh tak akanpernah disebut sebagai "seni" dalam arti sesungguhnya. Merekaakan tetap sekadar produk "kerajinan". Di Cina, kaligrafi adalahbetul-betul "seni" yang intensitas dan status kulturalnya tinggi,padahal di Barat tidak.

    Untuk secara persis menyebut "seni" dan bukan senisering kali sangat tergantung pada cara peradaban tertentumemahami dirinya. Apa yang kita hargai dan kagumi, sertabagaimana cara kita menangkap dan menghargai sesuatu(sebagiannya) agaknya ditentukan oleh peradaban yangmenghidupi kita. Kalau tetangga kita mengatakan bahwa picasso

    itu hebat, maka kita juga ingin beranggapan sama, sampaiakhirnya kita memang melihat mengapa dia hebat. Dalamsituasi dan kondisi teftentu orang sepefti Herenimus Bosch atauSalvador Dali boleh jadi tak lebih dari orang-orang yang kurangwaras. Tetapi bila dikondisikan sedemikian rupa bahwa merekaitu sebetulnya "genius"-yang memang masuk akal juga-makalama-kelamaan kita memang meyakini bahwa mereka itugenius. Setiap peradaban dan zaman biasanya memilikikriteriumnya sendiri dalam hal ini. Doktrin yang menguasaidunia seni abad ke-18 misalnya, adalah bahwa seni haruslahmenampilkan perasaan terdalam para tokohnya, agar parapenonton tersentuh. Itulah yang ada di balik adagium "aft mustbe noble". Pada abad ke-19 lain lagi prinsipnya, yang lebihpenting adalah kejujuran dan perasaan si senimannya, "artmust be sincere". Hal terakhir ini khususnya dipengaruhipsikoanalisis yang meyakini bahwa seni itu mirip mimpi, danitu soal "pengakuan pribadi".

    Tetapi selain pengeftian "seni" yang relatif itu, yangagaknya lebih perlu kita perhatikan adalah perbedaan polapersepsi sains dengan seni sebagai fenomena-fenomena umum.Maka di sini telaah fenomenologi-hermeneutis menjadi menarik,Secara singkat dapat dikatakan bahwa pola persepsi ilmiahberkecenderungan mengamati kenyataan dengan berjarak,jarak analitik. Sehingga persepsi ilmiah selalu mengandaikanrealitas sebagai sesuatu yang berada di luar kita, sebagai"objek". Dengan sendirinya manusia (peneliti/ilmuwan) lantasmenganggap dirinya sebagai "subjek". persepsl ilmiah jugabekerja melalui proses abstraksi, dalam arti ia selalu rnencariunsur-unsur yang sifatnya umum saja dari realitas konkret,yang sesungguhnya partikular. Dengan cara kerja macam itu,maka pola logika yang digunakan pun bersifat linier, ataumeminjam istilah Afthur Koestler, "asosiatif,, alias hanya melihatketerkaitan di antara fenomena-fenomena yang satu kategoriatau kategori-kategori yang berdekatan (tiang listrik dengankabel listrik, dengan lampu, dan seterusnya). Lebih jauhlagi, sains selalu berkecenderungan untuk mengukur dan

    37

  • 5/22/2018 Bambang Sugiharto-Seni Dan Paradigma

    13/13

    mengal kulasi. Keterukuran (com me nsu ra b i ity) adalah sa lah satukarakter fundamental persepsi sains. Maka pola wacananya punharuslah pola lugas-literer. Metafor ataupun analogi hanyadigunakan bila hal itu menunjang kelogisan penjelasan harfiahsaja.

    Persepsi seni bagaimanapun sangatlah berbeda. Senimemang juga hendak bicara tentang realitas, namun justrudengan cara melebur menyatu dengan realitas itu sendiri. Denganbahasa Gadamer, yang terjadi dalam persepsi seni adalah proses"bermain", yaitu proses di mana Subjek dan Objek tak ada lagi,yang ada dan menampilkan diri adalah "permainan" itu sendiri.12Dalam proses macam itu seniman menguasai realitas justrudengan membiarkan diri dikuasai oleh realitas itu. Ia menangkapsesuatu justru dengan menenggelamkan diri dalam sesuatuitu, bukannya dengan mengambil jarak analitis lantasmembedahnya. Maka. yang menjadi penting bagi seorangseniman bukanlah proses abstraksi. Namun kebalikannya prosesmerasuki kekonkretan dan keunikan realitas dalam segalaketerkaitannya dengan realitas lainnya yang tak terduga. Makapola logika yang digunakannya pun sama sekali tidak linier,melainkan lateral, menyamping, bahkan ke sdgala arah dankategori. Dengan istilah Arthur Koestler, logika yang berlaku di

    sini adalah logika "bisosiatif i segala hal bisa berkaitan dengansegala hal lain. Bagi seorang seniman misalnya, jenis-jenismenu makanan bisa dilihat begitu ei'at ierkait denganpercaturan politik ataupun musik' Maka jenis "kebenaran" yangditampilkannya pun bisa sangat berbeda dengan "kebenaranilmiah". Kebenaran yang tampil dalam seni adalah "kebenaraneksistensial/eksperiensial" yang sering kali tak terukur. Biladalam dunia sains 1+1=2, maka dalam dunia eksistensial 1unsur ditambah unsur lain bisa saja menghasilkan sinergi anehyang bila diangkakan menjadi 3 atau 7. Belum lagijenis wacanayang digunakan pun adalah wacana metaforis-imajistik, bukanliterer-verbal.

    Semua ini tentunya perlu diperhitungkan dan mestinyamembuat kita waspada bahwa penggunaan istilah "paradigma"dari dunia sains di dalam dunia seni bisa membawa pengeftianyang sangat berbeda, sejauh mana istilah ini sesungguhnyadiperlukan.

    Tulisan ini jauh dari pretensi untuk membicarakanmasalahnya secara komprehensif. Ini hanyalah rangsangan awalbagi diskusi dan pembahasan selanjutnya, terutamapembahasan yang lebih konkret menyangkut realitas seni diIndonesia.

    3812 Uraian lebih rinci tentang arti "bermain" lihat Hans-Georg Gadamer, Iruth and Method , Sheed & Ward, London, 1975, pp. 91-1OB