Page 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Lupus eritematosus sistemik (LES) atau Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) merupakan prototipe penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi
antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan
manifestasi klinis yang luas.2
B. Epidemiologi
LES lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, Cina,
dan mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Faktor ekonomi
dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat
ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa
reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria
berkisar antara (5,5-9) : 1. Pada lupus eritematosus yang disebabkan obat
(drug induced LE), rasio ini lebih rendah yaitu 3:2.2
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000
penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per
100.000 penduduk, dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1.
Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah
Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,
didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik
Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung
3
Page 2
4
terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat
kepoliklinik reumatologi selama tahun 2010.1
C. Etiologi
Hingga kini penyebab SLE belum diketahui dengan jelas. Namun
diperkirakan berkaitan erat dengan beberapa faktor, antara lain autoimun,
kelainan genetik, faktor lingkungan, obat-obatan.3
Autoimun :
Mekanisme primer SLE adalah autoimunitas, suatu proses kompleks
dimana sistem imun pasien menyerang selnya sendiri. Pada SLE, sel-T
menganggap sel tubuhnya sendiri sebagai antigen asing dan berusaha
mengeluarkannya dari tubuh. Diantara kejadian tersebut terjadi stimulasi
limfosit sel B untuk menghasilkan antibodi, suatu molekul yang dibentuk
untuk menyerang antigen spesifik. Ketika antibodi tersebut menyerang sel
tubuhnya sendiri, maka disebut autoantibodi. Sel B menghasilkan sitokin.
Sitokin tertentu disebut interleukin, seperti IL 10 dan IL 6, memegang
peranan penting dalam SLE yaitu dengan mengatur sekresi autoantibodi oleh
sel B.3
Genetik :
Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan dan ekspresi
penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang juga
menderita SLE. Saudara kembar identik sekitar 25-70% (setiap pasien
memiliki manifestasi klinik yang berbeda) sedangkan non-identik 2-9%. Jika
Page 3
5
seorang ibu menderita SLE maka kemungkinan anak perempuannya untuk
menderita penyakit yang sama adalah 1:40 sedangkan anak laki-laki 1:25.
Penelitian terakhir menunjukkan adanya peran dari gen-gen yang mengkode
unsur-unsur sistem imun. Kaitan dengan haptolip MHC tertentu, terutama
HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta komplemen (C1q , C1r , C1s , C4 dan C2) telah
terbukti. 3,4
Faktor lingkungan 3,5
Satu atau lebih faktor eksternal dapat memicu terjadinya respon autoimun
pada seseorang dengan kerentanan genetik. Pemicu SLE termasuk, flu,
kelelahan, stres, kontrasepsi oral, bahan kimia, sinar matahari dan beberapa
obat-obatan.
Virus. Pemicu yang paling sering menyebabkan gangguan pada sel T
adalah virus. Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara virus
Epstein-Barr, cytomegalovirus dan parvovirus-B19 dengan SLE. Penelitian
lain menyebutkan adanya perbedaan tipe khusus SLE bagian tiap-tiap virus,
misalnya cytomegalovirus yang mempengaruhi pembuluh darah dan
menyebabkan fenomena Raynaud (kelainan darah), tapi tidak banyak
mempengaruhi ginjal.
Sinar matahari. Sinar ultraviolet (UV) sangat penting sebagai pemicu
tejadinya SLE. Ketika mengenai kulit, UV dapat mengubah struktur DNA dari
sel di bawah kulit dan sistem imun menganggap perubahan tersebut sebagai
antigen asing dan memberikan respon autoimun.
Page 4
6
Drug-Induced Lupus. Terjadi setelah pasien menggunakan obat-obatan
tertentu dan mempunyai gejala yang sama dengan SLE. Karakteristik sindrom
ini adalah radang pleuroperikardial, demam, ruam dan artritis. Jarang terjadi
nefritis dan gangguan SSP. Jika obat-obatan tersebut dihentikan, maka dapat
terjadi perbaikan manifestasi klinik dan hasil laboratorium.
Hormon. Secara umum estrogen meningkatkan produksi antibodi dan
menimbulkan flare sementara testosteron mengurangi produksi antibodi.
Sitokin berhubungan langsung dengan hormon sex. Wanita dengan SLE
biasanya memiliki hormon androgen yang rendah, dan beberapa pria yang
menderita SLE memiliki level androgen yang abnormal. Penelitian lain
menyebutkan bahwa hormon prolaktin dapat merangsang respon imun.
D. Patogenesis
Gambar 1. Patogenesis SLE
Page 5
7
Pada SLE ketika terdapat predisposisi maka akan mengaktifkan sel T yang
autoreaktif sehingga mengakibatkan induksi dan ekspansi dari sel B baik yang
produksi autoantibodi atau berupa sel memori.1
Autoantibodi yang terbentuk ditujukan untuk antigen di nukleoplasma
yang meliputi DNA, proteih histon dan non histon. Dimana antigen tersebut
dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA
(ribonukleoprotein RNA).1
ANA (Anti Nuklear Antibody) akan membentuk komplek imun yang
beredar dalam sirkulasi sehingga mengakibatkan :
- Gangguan klirens kompleks imun.
- Gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati.
- Penurunan uptake kompleks imun limpa.
Hal tersebut akan membentuk deposit kompleks imun diluar sistem fagosit
mononuklear. Mengakibatkan kompleks imun mengendap pada berbagai
macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ dan
menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab
timbulnya reaksi radang.1
E. Manifestasi Klinik
Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau
lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu :1
1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunan berat badan.
Page 6
8
3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis.
4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi
membran mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria,
vaskulitis.
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik.
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen.
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis.
9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali,
hepatomegali).
10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia.
11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis
transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.
Kecurigaan tersebut dilanjutkan dengan melakukan eksklusi terhadap
penyakit Kecurigaan terhadap SLE perlu dipikirkan pada penderita yang
memiliki 2 atau lebih kriteria kewaspadaan SLE.
Kriteria diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik :1
1. Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada
daerah malar dan cenderung tidak melibatkan lipat
nasolabial.
2. Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan
sumbatan folikular. Pada SLE lanjut dapat
Page 7
9
ditemukan parut atrofik.
3. Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal
terhadap sinar matahari, baik dari anmnesis pasien
atau yang dilohat oleh dokter pemeriksa.
4. Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring umunya tidak nyeri
5. Atritis Atritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih
sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak
atau efusi.
6. Serositis
Pleuritis
Perikarditis
Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub
yang didengar oleh dokter atau terdapat bukti efusi
pleura.
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial
friction rub atau terdapat bukti efusi pericardium.
7. Gangguan Renal Proteinuri menetap > 0,5 gram per hari atau > +3
bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif.
Atau
Silinder seluler: dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
8. Gangguan Neurologi Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan
atau gangguan metabolik (misalnya uremia,
ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)
Page 8
10
Atau
Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan
atau gangguan metabolik.
9. Gangguan
hematologi
Anemia hemolitik dengan retikulosis, lekopeni <
4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih,
limfopenia < 1.500/mm3 pada dua kali
pemeriksaan atau lebih, trombositopenia <
100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan.
10. Gangguan imunolgi Anti DNA : antibody terhadap native DNAdengan
titer yang abnormal.
Anti Sm: terdapatnya antibosi terhadap antigen
nuclear Sm.
Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid
yang didasarkan atas:
- kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal
baik IgG atau IgM.
- Tes lupus antikoagulan positif mengguanakan
metode standard.
- Hasi tes serologi positif palsu terhadap sifilis
sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan
dikonfirmasi dengan tes imobilisasi
Treponema pallidum atau tes fluoresensi
Page 9
11
absorpsi antibody treponema.
11. Antibody antinuklear
positif (ANA)
Titer abnormal dari antibody antinuklear
berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau
pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang
diketahui berhubungan dengan sindroma lupus
yang diinduksi obat.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki
sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan
salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis
bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka
kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi
klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang
diperlukan.1
Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE, terutama
menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan
pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya
yang dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah
dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan SLE. Penyakit SLE dapat
dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.1
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:1
1. Secara klinis tenang
Page 10
12
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal,
susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.
Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:
1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3. Serositis mayor
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria,
miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna.
b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli
paru, infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma
demielinasi.
Page 11
13
g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),
trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia,
thrombosis vena atau arteri.9
F. Pemeriksaan Penunjang6
1. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus
Sistemik ( LES ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin.
Hasil pemeriksaan darah pada penderita LES menunjukkan adanya anemia
hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia;
erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif,
Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-
globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil
pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanya proteinuria,
hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular
atau sel darah merah pada urin.
2. Pemeriksaan Autoantibodi.
Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan berbagai
proses imunologik, baik yang non spesifik atau spesifik. Kaitan tersebut
tentunya terlihat lebih nyata pada penyakit-penyakit autoimun termasuk di
dalamnya LES, Arthritis Reumatoid, sindroma Sjogren dan sebagainya.
Adanya antibodi termasuk autoantibodi sering dipakai dalam upaya
membantu penegakkan diagnosis maupun evaluasi perkembangan penyakit
dan terapi yang diberikan.
Page 12
14
3. Antibodi Antinuklear.
Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok
autoantibodi yang spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein,
ditemukan pada connective tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik,
Mixed Connective Tissue Disease (MCTD) dan sindrom sjogren’s primer.
ANA pertama kali ditemukan oleh Hargreaves pada tahun 1948 pada
sumsum tulang penderita LES. Dengan perkembangan pemeriksaan
imunodifusi dapat ditemukan spesifisitas ANA yang baru seperti Sm,
nuclear ribocleoprotein (nRNP), Ro/SS-A dan La/SS-B.
ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode
imunofluoresensi. ANA digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada
connective tissue disease. Dengan pemeriksaan yang baik, 99% penderita
LES menunjukkan pemeriksaan yang positif, 68% pada penderita sindrom
Sjogrens dan 40% pada penderita skleroderma.ANA juga pada 10%
populasi normal yang berusia > 70 tahun.
4. Antibodi terhadap DNA.
Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam antibodi
yang reaktif terhadap DNA natif ( double stranded-DNA). Anti ds-DNA
positif dengan kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE dan mempunyai
arti diagnostik dan prognostik. Kadar anti ds-DNA yang rendah ditemukan
pada sindrom Sjogrens, arthritis reumatoid. Peningkatan kadar anti ds-DNA
menunjukkan peningkatan aktifitas penyakit. Pada LES,anti ds-DNA
mempunyai korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan aktifitas penyakit
Page 13
15
SLE. Pemeriksaan anti ds-DNA dilakukan dengan metode
radioimmunoassay, ELISA dan C.luciliae immunofluoresens.
5. Pemeriksaan Komplemen.
Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak
spesifik. Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak aktif.
Bila terjadi aktivasi oleh antigen, kompleks imun dan lain lain, akan
menghasilkan berbagai mediator yang aktif untuk menghancurkan antigen
tersebut. Komplemen merupakan salah satu sistem enzim yang terdiri dari
20 protein plasma dan bekerja secara berantai (self amplifying) seperti
model kaskade pembekuan darah dan fibrinolisis.
Pada LES, kadar C1,C4,C2 dan C3 biasanya rendah, tetapi pada
lupus kutaneus normal. Penurunan kadar kompemen berhubungan dengan
derajat beratnya SLE terutama adanya komplikasi ginjal. Observasi serial
pada penderita dengan eksaserbasi, penurunan kadar komplemen terlihat
lebih dahulu dibanding gejala klinis.
G. Penatalaksanaan
I. Edukasi / Konseling1,10
1. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.
2. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing pe tersebut.�
3. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang
terkait dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat,�
Page 14
16
pemakaian alat bantu maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya
maupun pemakaian kontrasepsi.
4. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien
SLE, mengatasi rasa lelah, stress emosional, trauma psikis, masalah
terkait dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri,
mengatasi rasa nyeri.
5. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya.
Perlu tidaknya suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang
dipakai jangka panjang contohnya obat anti tuberkulosis dan beberapa
jenis lainnya termasuk antibiotikum.
6. Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah
kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan
SLE dan sebagainya.
II.Terapi Medikamentosa1,11
Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada
pasien dengan SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak
laporan efek samping, KS tetap merupakan obat yang banyak dipakai
sebagai antiinflamasi dan imunosupresi. Dosis KS yang digunakan juga
bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari pembagian ini
maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi dan
farmakokinetiknya.
Terminologi pembagian dosis kortikosteroid tersebut adalah :
Dosis rendah : < 7.5 mg prednison atau setara perhari
Page 15
17
Dosis sedang : >7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison atau setara perhari
Dosis tinggi : >30 mg, tetapi < 100 mg prednison atau setara perhari
Dosis sangat tinggi : >100 mg prednison atau setara perhari
Terapi pulse : >250 mg prednison atau setara perhari untuk 1 hari atau
beberapa hari
Indikasi Pemberian Kortikosteroid
Pembagian dosis KS membantu kita dalam menatalaksana kasus
rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif
tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis
sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti
pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral.
Efek samping kortikosteroid tergantung kepada dosis dan waktu,
dengan meminimalkan jumlah KS, akan meminimalkan juga risiko efek
samping. Efek samping yang sering ditemui pada pemakaian
kortikosteroid adalah:
Skeletal :Osteoporosis, osteonekrosis, miopati �
Gastrointestinal :Penyakit ulkus peptikum (kombinasi dengan OAINS),
Pankreatitiss, Perlemakan hati. �
Immunologi :Predisposisi infeksi, menekan hipersensifitas tipe
lambat
Kardiovaskular :Retensi cairan, hipertensi, meningkatkan
aterosklerosis, aritmia
Ocular :Glaukoma, katarak
Page 16
18
Kutaneous :Atrofi kulit, striae, ekimosis, penyembuhan luka
terganggu, jerawat, buff alo hump,hirsutism
Endokrin :Penampilan cushingoid, diabetes melitus, perubahan
metabolisme lipid, perubahan nafsu makan dan
meningkatnya berat badan, gangguan elektrolit,Supresi
HPA aksis, supresi hormon gonad
Tingkah laku :Insomnia, psikosis, instabilitas emosional, efek kognitif
Cara Pemberian Kortikosteroid
Pulse Terapi Kortikosteroid
Pulse terapi KS digunakan untuk penyakit rematik yang
mengancam nyawa, induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini
biasanya diberikan intravena dengan dosis 0,5-1 gram metilprednisolon
(MP). Diberikan selama 3 hari berturut-turut.
Cara pengurangan dosis kortikosteroid
Karena berpotensial mempunyai efek samping, maka dosis KS
mulai dikurangi segera setelah penyakitnya terkontrol. Tapering harus
dilakukan secara hati-hati untuk menghindari kembalinya aktivitas
penyakit, dan defisiensi kortisol yang muncul akibat penekanan aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) kronis. Tapering secara bertahap
memberikan pemulihan terhadap fungsi adrenal. Tapering tergantung dari
penyakit dan aktivitas penyakit, dosis dan lama terapi, serta respon klinis.
Sebagai panduan, untuk tapering dosis prednison lebih dari 40 mg
sehari maka dapat dilakukan penurunan 5-10 mg setiap 1-2 minggu.
Page 17
19
Diikuti dengan penurunan 5 mg setiap 1-2 minggu pada dosis antara 40-20
mg/hari. Selanjutnya diturunkan 1-2,5 mg/hari setiap 2-3 minggu bila
dosis prednison < 20 mg/hari. Selanjutnya dipertahankan dalam dosis
rendah untuk mengontrol aktivitas penyakit.
Sparing agen kortikosteroid
Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan untuk
memudahkan menurunkan dosis KS dan berfungsi juga mengontrol
penyakit dasarnya. Obat yang sering digunakan sebagai sparing agent ini
adalah azatioprin, mikofenolat mofetil, siklofosfamid dan metotrexate.
Pemberian terapi kombinasi ini adalah untuk mengurangi efek samping
KS.
Pengobatan SLE Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.1
a. Pengobatan SLE Ringan
Pilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan dan
berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting
agar tujuan di atas tercapai, yaitu:
Obat-obatan
- Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.
- Obat anti in lamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis
dan pengelolaan nyeri dan in lamasi.
- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat
dengan potensi ringan)
Page 18
20
- Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet
klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa
mata pada saat awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan,
sementara hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400
mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan.
- Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang
setara.
Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor
sekurang-kurangnya 15 (SPF 15)
b. Pengobatan SLE Sedang
Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan
kecuali pada pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa
rejimen obat-obatan tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang
telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter: 20 mg / hari prednison
atau yang setara.
c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa
Pilar pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada
penggunaan obat-obatannya. Pada SLE berat atau yang mengancam
nyawa diperlukan obat-obatan sebagaimana tercantum di bawah ini.
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus
SLE mencakup:1
- Intra vena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/kgBB/hari selama
5 hari, terutama pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia
Page 19
21
hemilitik, nefritis, neuropsikiatrik SLE, manifestasi mukokutaneus, atau
demam yang refrakter dengan terapi konvensional.
- Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopeni, krioglobulinemia dan
lupus serberitis.
- Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid.
- Danazol pada trombositopenia refrakter.
- Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid-sparring
effect pada SLE ringan.
- Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang
refrakter dengan obat lainnya.
- Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE
yang berat.
- Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas
stimulator limfosit sel B telah dilaporkan efektif dalam terapi SLE42
(saat ini belum tersedia di Indonesia)
- Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan
CD40(CD40LmAb).
- Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.
H. Prognosis
Pada tahun 1950an, sebagian besar pasien yang didiagnosis SLE hidup kurang
dari lima tahun. Perkembangan dalam diagnosis dan pengobatan
meningkatkan angka harapan hidup, lebih dari 90% pasien bertahan hidup
lebih dari sepuluh tahun dan banyak yang relatif tanpa gejala. Penyebab
Page 20
22
kematian yang paling sering adalah infeksi akibat imunosupresan sebagai hasil
dari pengobatan penyakit ini. Prognosis normalnya lebih buruk pada pria dan
anak-anak dibandingkan pada wanita. Untungnya, bila gejala timbul setelah
umur 60 tahun, penyakitnya menjadi lebih jinak.
Algoritma penatalaksanaan SLE dapat dilihat dibawah ini