BagaimanaIsraelMelakukanTeror F.Irawan
Bagaimana�Israel�Melakukan�Teror
F.�Irawan
NAKBAHBagaimana Israel Melakukan Teror
F. IRAWAN
Laporan Edisi 13 / September 2017
ABOUT US
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.
Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,
kirimkan e-mail ke:
Seluruh laporan kami bisa didownload di website:
www.syamina.org
SYAMINA
SYAMINA Edisi 13 / September 2017
3
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI — 3
EXECUTIVE SUMMARY — 4
NAKBAH; Bagaimana Israel Melakukan Teror — 6Yahudisasi Palestina dan Sekitarnya Dalam Literatur Klasik — 7
Dokumen Turki Utsmani Mengenai Pelarangan Pemukiman Yahudi — 10
Mengapa Zionis Menaruh Perhatian Besar Terhadap Palestina?— 13
Deklarasi Balfour (1917) — 14
Era Mandat Inggris atas Palestina (1920-1948) — 15
Kebijakan Kependudukan Buku Putih (1939) — 16
Perpindahan Penduduk Setelah Deklarasi Kemerdekaan Negara Israel (1948) — 18
Strategi Teror yang Digunakan untuk Membentuk Negara — 19
Organisasi-Organisasi Milisi Israel yang Berperan Vital — 24
Kesimpulan — 27
SYAMINAEdisi 13 / September 2017
4
Hari Nakbah (النكبة ”yang berarti «hari kehancuran» atau “hari bencana ,( يوم atau “hari malapetaka”, adalah hari peringatan tahunan untuk pengusiran bangsa Palestina yang mendorong terbentuknya Negara Israel pada tahun
1948. Peristiwa tersebut terjadi ketika lebih dari 700 ribu warga Arab meninggalkan Palestina secara terpaksa maupun sukarela dari tanah dan rumah mereka akibat Perang Arab-Israel 1948.
Istilah «nakbah» juga dinisbatkan pada periode perang itu sendiri dan kejadian-
kejadian yang menimpa warga Palestina dari bulan Desember 1947 hingga Januari
1949. Di Palestina, peringatan Hari Nakbah diadakan pada tanggal 15 Mei, satu
hari setelah tanggal Masehi untuk Hari Kemerdekaan Negara Israel. Karena adanya
perbedaan antara kalender Ibrani dan Gregorian, Hari Kemerdekaan dan tanggal
resmi 15 Mei untuk Hari Nakbah biasanya bertabrakan setiap 19 tahun.
Secara umum, latar belakang terjadinya eksodus warga Arab Palestina adalah
pengusiran yang dilakukan oleh pihak Yahudi Israel. Lebih rincinya, faktor-faktor
yang melatarbelakangi eksodus antara lain majunya laskar-laskar militer Yahudi,
penyerangan dan agresi militer terhadap desa-desa Arab dan ketakutan akan
terjadinya pembunuhan massal lain setelah pembunuhan massal Deir Yassin yang
menyebabkan kepanikan di antara warga sipil; perintah evakuasi atas warga Arab;
perintah pengusiran dari otoritas Israel; eksodus sukarela oleh warga kelas atas yang
EXECUTIVE SUMMARY
SYAMINA Edisi 13 / September 2017
5
lebih makmur, kegoyahan pucuk kepemimpinan Palestina, dan ketidakrelaan untuk
hidup di bawah kendali Israel.
Walaupun peristiwa Nakbah sudah berlangsung 61 tahun, akan tetapi kisahnya
sangat sulit dilupakan oleh rakyat Palestina khususnya, dan orang yang memiliki hati
nurani serta akal sehat pada umumnya, karena begitu perihnya kekejaman lewat aksi
teror yang dilakukan oleh Zionis Israel kepada anak-anak dan orang-orang tua yang
sudah uzur.
SYAMINAEdisi 13 / September 2017
6
Palestina memiliki posisi yang unik dibandingkan dengan negeri-negeri lainnya di dunia. Sebab, di dalamnya terdapat Al-Masjid Al-Aqsha di bumi yang diberkati. Masjid ini merupakan kiblat pertama kaum Muslim, masjid kedua
yang dibangun di dunia, Tanah Haram ketiga, tanah tempat Isra’ dan Mi’raj, yang pada peristiwa itu Rasulullah menjadi imam shalat di depan seluruh nabi.
Peristiwa Isra’ dan Mi’raj menunjukkan bahwa Baitul Maqdis adalah “pintu
gerbang” menuju langit. Peristiwa tersebut menegaskan kembali relasi antara Al-
Masjid Al-Haram di Jazirah Arab dengan Baitul Maqdis di Syam. Dalam perspektif
umat Islam dan Arab, Baitul Maqdis adalah visi masa depan khilafah islamiyah, sesuai
dengan informasi nubuat. Menjelang akhir kehidupan dunia, Al-Quds diyakini akan
menjadi tempat berkumpul dan menyebarnya umat manusia.
Dalam sejarahnya, kawasan ini telah menghadapi beberapa kali pendudukan
dari tiga benua tua dunia: Asia, Eropa, dan Afrika. Antara lain dari pihak Romawi dan
Yunani yang mewakili Barat, Babilonia Persia yang mewakili Timur, dan Firaun Mesir
yang mewakili Afrika. Selanjutnya, dari pihak Salibis Eropa dan Inggris. Pendudukan
terakhir dan masih terjadi ialah dari Zionisme Yahudi yang terjadi sejak paruh kedua
abad ke-19.
Pendudukan Zionis mencapai puncak momentumnya dengan deklarasi
berdirinya Negara Israel pada akhir dekade keempat abad ke-20. Negara yang sekaligus
membawa misi ekspansi dalam segala aspek kehidupan dengan melibatkan imigran
Yahudi dari 102 negara di dunia dengan latar kebangsaan yang sangat heterogen.
N A K B A HBagaimana Israel Melakukan Teror
SYAMINA Edisi 13 / September 2017
7
Sehari sesudahnya terjadi peristiwa yang kemudian disebut sebagai Nakbah.1
Hari Nakbah (النكبة ( يوم —yang berarti «hari kehancuran» atau “hari bencana” atau
“hari malapetaka” — adalah hari peringatan tahunan untuk pengusiran bangsa
Palestina y6ang mendorong terbentuknya Negara Israel pada tahun 1948.2 Peristiwa
tersebut terjadi ketika lebih dari 700 ribu warga Arab meninggalkan Palestina secara
terpaksa maupun sukarela dari tanah dan rumah mereka akibat Perang Arab-
Israel 1948.3 Istilah “nakbah” juga dinisbatkan pada periode perang itu sendiri dan
kejadian-kejadian yang menimpa warga Palestina dari bulan Desember 1947 hingga
Januari 1949.
Di Palestina, peringatan Hari Nakbah diadakan pada tanggal 15 Mei, satu hari
setelah tanggal Masehi untuk Hari Kemerdekaan Negara Israel. Karena adanya
perbedaan antara kalender Ibrani dan Gregorian, Hari Kemerdekaan dan tanggal
resmi 15 Mei untuk Hari Nakbah biasanya bertabrakan setiap 19 tahun.
Dalam sejarahnya, umat Islam dan Arab telah berkali-kali berhasil membebaskan
kota Al-Quds. Pada era modern ini peran umat Islam dan Arab kembali ditunggu
untuk membebaskan Palestina pada umumnya dari belenggu penjajahan Zionis-
Yahudi.
YAHUDISASI PALESTINA DAN SEKITARNYA DALAM LITERATUR KLASIKHubungan antara proyek Yahudisasi dengan kekuatan kolonial Barat terjadi pada
era modern, yang beriringan dengan lahirnya gerakan Zionis pada era kebangkitan
Yahudi. Hal ini ditegaskan Elie Levy Abou Asal dalam bukunya The Awakening of the
Jewish World (Era Kebangkitan Yahudi). Buku ini diterbitkan di Kairo pada tahun
1 Di dalam Kamus Indonesia-Arab, Arab-Indonesia yang disusun oleh K.H. Adib Bisri dan K.H. Munawwir A. Fatah, Penerbit Pustaka Progresif, Surabaya, Cetakan I, 1999, hlm. 736, nakbah diartikan dengan musibah, bencana, atau malapetaka.
2 David W. Lesch, Benjamin Frankel (2004). History in Dispute: The Middle East since 1945 (Illustrated ed.). St. James Press. p. 102.
3 McDowall, David; Claire Palley (1987). The Palestinians. Minority Rights Group Report no 24. p. 10.
SYAMINAEdisi 13 / September 2017
8
1934. Isinya mengomunikasikan gagasannya kepada generasi abad ke-18, 19 dan
generasi paruh awal abad ke-20.
Dalam buku tersebut, penulis menampilkan biografi beberapa tokoh dan
keluarga Yahudi yang bersinar dalam gelanggang politik dan ekonomi Eropa. Di sini,
keputusan politik Eropa berselingkuh dan bersatu dengan tujuan Zionisme untuk
penguasaan Yahudi atas Sinai dan Palestina, terutama setelah pembukaan Terusan
Suez pada tahun 1968.
Pembelian saham Mesir oleh Benjamin Disraeli dari Ismail Pasha yang seharga
empat juta pound secara tunai merupakan salah satu fakta dukungan gerakan Zionis
terhadap kolonialisme Inggris. Penguasaan Yahudi atas Palestina dan Sinai adalah
untuk kepentingan kedua belah pihak: kolonialisme Inggris dan Zionisme.
Keluarga Rothschild dengan segera memberikan sejumlah dana yang diperlukan
pada tanggal 25/11/1875, dan pada hari berikutnya Disraeli memberikan saham
sebesar 176,602 pound kepada Konsulat Inggris di Kairo secara tunai, sebagai hadiah
dari gerakan Zionis untuk Pemerintah Inggris.
Kolonel Churchill, yang tinggal di Beirut pada pertengahan abad ke-19 dan
kehadirannya menjadi penyebab konflik sektarian di tahun 1860, menulis, “Jika
Inggris ingin mempertahankan dominasinya di Timur, maka ia harus dengan
berbagai cara memasukkan Suriah dan Mesir ke dalam kendalinya.”
Dalam halnya Prancis, Napoleon melihat pendudukan atas Mesir sebagai bentuk
pembalasan dan pemulihan martabat Prancis atas kegagalan Raja Louis IX dalam
Perang Salib VII untuk menduduki Mesir. Sang Raja saat itu ditangkap dan ditahan di
rumah Abu Luqman di kota Manshurah, Mesir.
Napoleon datang dan menginvasi, baik secara militer maupun ideologi, atas
dasar kebijakan Yahudisasi terhadap Palestina dan Mesir. Sebelumnya, Napoleon
menyeru warga Yahudi Palestina untuk membantunya dalam pengepungan kota
Acre (Akko). Sebagai imbalan, ia telah menyiapkan wilayah Mosawia di Palestina
buat Yahudi. Patut dicatat bahwa pada saat itu jumlah komunitas Yahudi tidak lebih
dari 1.800 jiwa.
Dalam pidato pertamanya kepada warga Yahudi, Napoleon berujar, antara lain
“Dari Napoleon Bonaparte Panglima Angkatan Bersenjata Republik Prancis di Afrika
dan Asia, kepada ahli waris sah Palestina. Wahai bangsa Israel, wahai bangsa yang
unik, yang keturunan dan keberadaannya telah coba ditaklukkan dan dirampas oleh
kaum tiran, meskipun yang dapat mereka rampas hanya tanah leluhur mereka ….”
Napoleon mempermainkan isu Islam sembari menjadikan isu Yahudi sebagai
jaminan terhadap politiknya terhadap dunia Timur. Tujuannya, membendung arus
kekuatan Inggris terhadap Mesir dan Arab kawasan barat. Adapun pokok-pokok
kebijakan Napoleon adalah sebagai berikut:
Posisi strategis Mesir sebagai gerbang terhadap Laut Tengah dan Laut Merah
yang berhubungan dengan laut Arab hingga samudera Hindia.
Mesir merupakan negara yang letaknya dekat dengan utara Afrika sekaligus
berhubungan dengan benua Asia melalui semenanjung Sinai.
SYAMINA Edisi 13 / September 2017
9
Mesir merupakan poros penting bagi membendung perluasan pengaruh Inggris
di kawasan Timur.
Pada akhirnya, Napoleon menemukan fondasi bagi politik ketimurannya pada
Yahudi, setelah Inggris sebelumnya telah melindungi komunitas Yahudi demi
melawan Napoleon.
Perhatian Napoleon terhadap Mesir lewat pintu Yahudi tidak berhenti sampai
di situ. Sejak tahun 1807, Napoleon sesungguhnya telah memiliki gagasan bulat
mengenai tanah air Yahudi. Sehingga pada tahun yang sama ia menyerukan
diselenggarakannya konferensi Yahudi.
Puncaknya, sebuah pertemuan di Safihroan dilaksanakan yang dihadiri oleh
semua kalangan Yahudi Eropa dengan mengirim pemimpin-pemimpin komunitas
mereka beserta rabi-rabi terkenal Yahudi. Pada pertemuan ini, dibahas pelbagai
masalah yang melingkupi kaum Yahudi saat itu dan menghasilkan banyak resolusi,
termasuk resolusi no. 3 yang berbunyi: “Pentingnya membangkitkan kesadaran
orang-orang Yahudi terhadap kebutuhan mereka untuk mendapatkan pelatihan
militer, sehingga kaum Yahudi dapat melaksanakan tugas suci yang diperlukan
dalam agama Yahudi.”
Hal inilah yang mendorong penulis Dolajar untuk menyorot karakter Napoleon
dalam hal loyalitasnya terhadap Yahudi melalui bukunya Napoleon and Jewish
Militarism.
Penyair Inggris Lord Byron, yang membawa bendera salib dalam Revolusi Yunani
1827 melawan Khilafah Utsmaniyah dan mati tidak lama setelah itu, pernah menulis
dalam bait-bait berbahasa Ibrani, “Burung merpati memiliki sarangnya, rubah pun
memiliki guanya sendiri, dan setiap bangsa memiliki tanahnya kecuali Yahudi,
mereka hanya memiliki tanah kuburannya sendiri.”
Di tempat lain ia menulis, “Saksikanlah, wahai Tuhan Yang Maha Agung, biarkan
takdir-Mu menjulang, kirimlah sinarnya yang terang dan hangat pada anak cucu
Ya’qub, kembalikan mereka yang tersesat ke tanah yang telah dijanjikan di sana, dan
tunjuki mereka untuk pergi ke Palestina yang merupakan negeri mereka.”
Kecenderungan Yahudi juga terlihat pada para pengikut Saint Simonianism,
sebuah aliran sosial yang terkenal. Dalam sebuah surat bertanggal 8/8/1833, Penerus
St. Simon Pendeta Enfantin menulis kepada Barrow, “Kita harus membuka antara
tradisi kuno Mesir dan Yudea kuno dua jalan baru bagi masyarakat Eropa kepada
tradisi India dan Cina. Sebagaimana setelah itu kita juga akan membuka jalan
lainnya di antara kita. Demikianlah kita berdiri dengan satu kaki di Nil (Mesir) dan
kaki yang lain di Al-Quds (Palestina). Kita akan mengulurkan tangan kanan kita
ke Mekah dan tangan kiri kita akan terus berada di Roma, dan akan bersandar di
Paris. Suez merupakan sentra kehidupan kita: kehidupan kerja. Di sana kita akan
mengukir sejarah yang ditunggu-tunggu oleh dunia, agar mereka tahu bahwa kita
adalah ... pria sejati.”
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa semua potensi dikerahkan untuk
memuluskan proyek pendudukan Yahudi atas Palestina dan Sinai, baik secara
SYAMINAEdisi 13 / September 2017
10
ekonomi, pemikiran dan sejarah, kolonialisme dan bahkan gerakan Evangelis
(misionaris kristen). Ini semua ditambah lagi dengan rongrongan terhadap Khilafah
Utsmaniyah yang tidak dapat mengelak dari tanggung jawab mempertahankan
wilayah kedaulatan membendung politik Yahudisasi yang dipromosikan negara-
negara Barat kolonialis, terutama Prancis dan Inggris.
DOKUMEN TURKI UTSMANI MENGENAI PELARANGAN PEMUKIMAN YAHUDIKaum Yahudi tidak menemukan tanah dan negara sebagai tempat pelarian,
setelah sebelumnya terusir dari Andalusia (1492), selain wilayah kekuasaan
Utsmaniyah. Tetapi nyatanya, orang-orang yang tidak pernah dapat memenuhi
janji dan membalas perlakuan baik ini melakukan pengkhianatan pertama mereka
terhadap Khilifah Utsmaniyah. Mereka melakukan pemberontakan pada tahun 1908.
Pemberontakan itu dilakukan demi menyokong politik kolonialisme Barat
Eropa dan gerakan Zionis yang berada di balik runtuhnya Khilafah Utsmaniyah.
Kepentingan Zionis adalah ambisi mereka terhadap Sinai dan Palestina.
Pada masa pemerintahan Sultan Murad Al-Utsmani, putra Sultan Salim II (lahir
tahun 953 H, memerintah dari 7 Ramadhan 982 H - 5 Jumadal Akhirah 1003 H),
Yahudi mencoba untuk tinggal di kota dan Gunung Thur (Tabor) yang berada di
Sinai. Para Biara Santa Katarina tidak punya pilihan selain meminta tolong kepada
Sultan Murad untuk melarang Yahudi tinggal dan menetap di kota dan daerah Santa
Katarina. Sultan Murad kemudian memenuhi permintaan itu dan mengirim tiga
dokumen dekrit ke Gubernur Mesir saat itu.
Ketiga dokumen tersebut masih tersimpan di perpustakaan Biara bersama
dengan koleksi langka Utsmaniyah lainnya yang berisi perlindungan terhadap ahl
al-dzimmah, dalam hal ini penganut Kristen Ad-Dir. Jumlah seluruh dokumen
mencapai 75 buah. Ketiga dekrit tadi mengisyaratkan adanya kesadaran pada
Khilafah Utsmaniyah akan bahaya dari pemukiman Yahudi.
Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II, Khilafah Utsmaniyah mengambil
kebijakan berbeda terhadap komunitas Yahudi. Pada masa pemerintahannya,
gerakan Zionis telah aktif pasca konferensi Basel pada tahun 1897. Sebelum konfrensi
pun Sultan Abdul Hamid sudah menyadari bahaya dari gerakan tsb, hingga beliau
mengeluarkan tiga dekrit Sultan hanya dalam beberapa hari pada bulan Dzulqa’dah
1308 H/1891, yaitu pada tanggal 21,28,29. Semua dekrit tersebut mempertegas
larangan mukim bagi imigran “pengikut” Nabi Musa (Yahudi) di wilayah kaum
Muslim di Sinai dan Palestina, terutama setelah pengusiran mereka dari Eropa.
Dekrit kedua Sultan berbunyi:
“Tujuh hari setelah dekrit pertama Sultan, inilah dekrit yang kedua. Kepada
komisi militer ma’iyyah sunniyyah. Sesungguhnya tindakan untuk menerima imigran
Yahudi dan menampung mereka atau memberikan kepada mereka kewarganegaraan
adalah sangat berbahaya. Di masa yang akan datang hal ini akan menimbulkan
problem hukum migran Yahudi. Karena itu, menolak kedatangan mereka adalah
keharusan. Hal ini harus diperhitungkan dalam mengkaji masalah ini. Keputusan ini
SYAMINA Edisi 13 / September 2017
11
harus segera dilaksanakan sejak hari ini, dan dekrit ini hendaknya menjadi prioritas
terpenting sekretaris khusus.”
Pada hari ke-29 Sultan mengeluarkan dekrit selanjutnya, yang berbunyi:
“Tidak satu pun negara yang berhak memprotes penolakan kami terhadap
imigran Yahudi yang telah diusir dari negara beradab… Negara-negara yang
memprotes tersebut lebih pantas mengarahkan protes mereka kepada negara yang
telah mengusir dan menolak keberadaan mereka (Yahudi).”
Dalam rangka realisasi dekrit tersebut, sejumlah aturan dikeluarkan pada tahun
1900 M. Aturan khusus yang ditujukan kepada pengunjung al-Quds (Yerusalem) dari
kalangan Yahudi tersebut sebagai berikut:
z Para pengunjung Yerusalem dari kalangan Yahudi harus membawa surat jalan
(visa) yang memuat sifat, tujuan, dan jangka waktu lama perjalanan, serta
identitas pemilik visa.
z Semua Yahudi yang tiba di Beirut atau pelabuhan mana pun dalam wilayah al-
Quds harus menitipkan tiket perjalanannya pada imigrasi dengan membayar
sebesar satu qirsy. Masa keberadaan di Palestina adalah tiga bulan. Bila setelah
jangka waktu tersebut pemilik tiket belum meninggalkan Palestina maka polisi
akan mengeluarkannya secara paksa.
z Memantau visa tinggal para pengunjung setiap bulan, sehingga polisi dapat
mengeluarkan para pelanggar dari kalangan Yahudi.
z Tindakan tegas harus diambil terhadap pelaku pelanggaran beserta pegawai
administrasi yang bertanggung jawab atas pelaksanaan peraturan ini.
Ketika Kaisar Jerman Wilhelm II berkunjung kepada Sultan pada tahun 1898
M, Theodor Herzl dengan segera menemui Kaisar agar dapat menjadi perantara
terhadap Sultan Abdul Hamid. Namun, Kaisar Jerman menolak untuk mengungkit
isu tersebut karena dia paham sikap Sultan terhadap posisi Palestina dalam konteks
Islam. Selanjutnya, ketika Wilhelm II hendak menuju Syam, Herzl mendahuluinya
menuju ke Palestina melalui pintu gerbang Mesir melalui Sinai. Herzl meminta
orang-orang Yahudi Palestina untuk merayakan kedatangan Kaisar Jerman. Namun,
Herzl lagi-lagi tidak memperoleh apa yang diinginkannya dari Kaisar Wilhelm II.
Saat itulah Herzl menyadari bahwa cita-citanya tidak mungkin terwujud
melainkan dengan cara menyingkirkan Sultan Abdul Hamid, dan itu melalui dua
cara yang saling menyokong. Pertama, eksternal yang terkait dengan negara-negara
Eropa dan peranannya dalam menjatuhkan Khilafah Utsmaniyah. Kedua, internal
yaitu oleh Yahudi kelompok İttihat ve Terakki (Organisasi Persatuan dan Kemajuan).
Strategi tersebut akhirnya berhasil dengan diturunkannya Sultan yang menyusul
kudeta Konstitusi pada tahun 1909 M.
Saat lima orang delegasi dari kelompok pemberontak menemui Sultan untuk
menyampaikan pencopotan Sultan dari jabatannya, salah seorang di antara mereka
adalah seorang Yahudi bernama Kurh Soh. Saat melihat kehadirannya, Sultan berkata
SYAMINAEdisi 13 / September 2017
12
kepada para delegasi, “Apa yang dilakukan oleh si Yahudi ini di antara kalian, dalam
urusan menurunkan khalifah Kaum Muslimin?”
Sultan Abdul Hamid II menunjukkan harga diri dan martabat ketika Inggris
mengirim pasukan militer ke ke pelabuhan Aqaba, atas dasar bahwa Sinai adalah
milik Mesir. Dia segera mengirim pasukan Utsmaniyah untuk mengusir kekuatan
Mesir. Ketika konsulat Inggris di Istanbul memprotes tindakan tersebut, jawaban
Sultan adalah, “Apakah pemilik tanah harus meminta izin dahulu kepada pihak lain
untuk urusan hak miliknya?”
Sultan pernah mengucapkan sebuah ungkapan bersejarah kepada Herzl:
“Sungguh, meski kalian memberikan emas sepenuh bumi, apatah lagi sekadar £
150,000,000 emas Inggris, saya tidak akan pernah menerima tawaran anda dengan
keputusan yang kokoh. Saya sungguh telah melayani agama Islam dan umat
Muhammad selama lebih dari 30 tahun. Saya belum pernah mencoreng catatan
sejarah kaum Muslim, ayah dan kakekku, para sultan dan khalifah Utsmaniyah.
Karenanya, secara pasti saya tidak akan pernah menerima tawaran Anda.
“Demikian, sungguh aku memuja dan memuji Allah, bahwa saya tidak pernah
menerima untuk mengotori negeri Utsmaniyah dan Dunia Islam dengan aib abadi
yang timbul dari tawaran mereka untuk mendirikan sebuah negara Yahudi di tanah
yang disucikan –Palestina. Adapun apa yang terjadi setelahnya maka terjadilah.
Untuk itu, aku mengulangi lagi pujian dan pujaan kepada Allah Ta’ala. Saya yakin
bahwa apa yang saya sampaikan ini penting untuk diketahui dan dengannya saya
menutup pesan ini.”
22/9/1898
Pelayan Kaum Muslimin,
Abdul Hamid bin Abdul Majid
Setelah kelompok nasionalis Arab bersorak atas tersingkirnya Sultan, tidak butuh
waktu lama hingga bencana Yahudisasi Palestina terjadi. Apalagi kemudian sejarah
menunjukkan orang-orang Yahudi berada di balik kudeta tersebut.
Jurnalis Yusuf Ibrahim Yazbik menuturkan dalam bukunya Hari-Hari di Libanon
ungkapan duka cita Uskup Maronit di Lebanon, Ilyas Alhuwaik, yang dipersaksikan
oleh dokter Sultan, yang merupakan seorang pengikut Maronit. Saat ia diberitahu
tentang kematian Sultan, Uskup Alhuwaik berkata, “Kita telah hidup di bawah
kekuasaannya dengan seribu (berlimpah) kebaikan dari Allah, dan kita tidak tahu
apa yang akan datang kepada kita di hari-hari setelah kematiannya.”
Demikianlah gambaran seutuhnya mengenai penjagaan bumi Arab di bawah
kekuasaan Khilafah Utsmaniyah selama hampir 500 tahun. Dan ketika orang-
orang Arab memberontak terhadap Kekuasaan Utsmaniyah, mereka terdampar
sendiri dalam Revolusi Arab (Arab Revolt) yang menyengsarakan mereka yang
mengakibatkan terbengkalainya negara dan terusirnya warga. Bahkan, akhirnya
mereka harus melegitimasi Yahudisasi Palestina melalui perjanjian antara Faishal—
putra Syarif Husain—dan Weizmann pada tahun 1919.
SYAMINA Edisi 13 / September 2017
13
MENGAPA ZIONIS MENARUH PERHATIAN BESAR TERHADAP PALESTINA?Sejak gerakan Zionisme Internasional berdiri, para tokoh agama dan politik
zionis menumpahkan perhatian yang sangat besar terhadap kota Al-Quds atau
Yerusalem.4 Proyek pendudukan menjadi mainstream pergerakan Zionisme, ide ini
pula yang menjadi pemicu utama migrasi besar-besaran kaum Yahudi ke Palestina
dengan dukungan penuh dari Barat. Deklarasi Balfour (1917) dan British Mandate of
Palestine/Pemerintahan Mandat Britania atas Palestina (1918-1948) adalah bantuan
besar yang diberikan kepada Gerakan Zionisme untuk menjajah Palestina. Kota Al-
Quds menjadi incaran gerakan ini lantaran memiliki nilai spiritual dan sejarah yang
sangat berharga bagi dunia Islam dan rakyat Palestina. Dalam dunia politik terkenal
semboyan,”Siapa yang menguasai ibu kota maka ia akan menguasai seluruh negara.”
Pada PD II (1939-1945) Hitler berhasil menguasai beberapa kota besar Rusia.
Akan tetapi, penentu kemenangan adalah ibu kota. Akhirnya pasukan Nazi berhasil
dihalau dan dikalahkan di kota Stalingrad, dekat Moskow. Ide inilah yang diusung
oleh para pemimpin Gerakan Zionisme.
Mereka sangat terobsesi untuk menjajah Palestina dan menguasai Al-Quds.
Catatan para pendiri Gerakan Zionisme sangat vulgar dalam hal ini. Lima puluh tahun
sebelum negara penjajah Israel berdiri, Herzl pernah berseru,”Jika saat kita berhasil
merebut Kota al-Quds aku masih hidup dan mampu berbuat, maka saya tidak akan
membiarkan satu situs keagamaan pun berdiri tegak selain milik Yahudi. Aku akan
membakar seluruh warisan budaya yang telah eksis berabad-abad lamanya.”5
Herzl tidak berhenti pada teori, tapi langusng beraksi untuk mengaplikasikannnya.
Pada tahun 1902 ia mengusulkan kepada Khalifah Turki Utsmani saat itu agar
mendirikan Universitas Yahudi di Al-Quds, seraya berdalih, “Kami Bangsa Yahudi
memiliki peran penting dalam aktivitas universitas hampir di segenap penjuru dunia,
profesor Yahudi juga memenuhi universitas di semua negara…, karenanya, kami
juga pasti mampu mendirikan universitas Yahudi di imperium kekuasaan Anda, dan
al-Quds adalah lokasi yang paling pas untuk itu.”
Ben Gourion menyatakan, “Palestina tak berarti tanpa al-Quds, dan tiada arti al-
Quds tanpa Haikal. “
Kendati demikian gencarnya kampanye Zionis yang mengklaim bahwa al-Quds
adalah milik mereka, namun faktanya sangat sedikit situs suci Yahudi di sana. Bahkan
jumlah mereka tak lebih dari 115 orang dalam sensus tahun 1752, komunitas yang
tenggelam dalam kemiskinan, dan senantiasa menjadi kaum minoritas. Fakta inilah
yang membuat Zionisme sangat bersemangat mengajak migrasi besar-besaran ke
Palestina, membuka pemukiman, dan mendirikan situs-situs agama baru, termasuk
di antaranya Benteng Ratapan.
Selain membuat teori-teori pemikiran tentang al-Quds, para pemimpin Gerakan
Zionisme juga memanfaatkan agama untuk mencaplok kota dan situs-situs suci yang
ada. Maka mereka mendoktrin para pengikutnya dengan Taurat dan mengangkat
tema tentang Zionisme, tanah suci, Haikal Tuhan, dan lain-lain. Dengan doktrin
4 Abu Jamus, Ridwan, 2013, Al-Istithan ash-Shahyuni, al-Fikr wa al-Mumarasat, Quds.net.5 Aric, 2009,Asralat al-Quds, Ma’had al-Abhast al-Tathbiqiyah.
SYAMINAEdisi 13 / September 2017
14
ini mereka berharap Yahudi Dunia tertarik untuk bermigrasi ke kota al-Quds dan
menguasainya.
Deklarasi Balfour (1917)Deklarasi Balfour (1917) ialah dokumen tertanggal 2 November 1917 dari
Menteri Luar Negeri Britania Raya/Inggris; Arthur James Balfour, kepada Lord
Rothschild (Walter Rothschild, 2nd Baron Rothschild), pemimpin komunitas Yahudi
Inggris, untuk dikirimkan kepada Federasi Zionis. Surat itu menyatakan posisi yang
disetujui pada rapat Kabinet Inggris pada 31 Oktober 1917, bahwa pemerintah
Inggris mendukung rencana-rencana Zionis buat ‘tanah air’ bagi Yahudi di Palestina,
dengan syarat bahwa tak ada hal-hal yang boleh dilakukan yang mungkin merugikan
hak-hak dari komunitas-komunitas yang ada di sana.
Saat itu, sebagian terbesar wilayah Palestina berada di bawah kekuasaan Khilafah
Turki Utsmani, dan batas-batas yang akan menjadi Palestina telah dibuat sebagai
bagian dari Persetujuan Sykes-Picot 16 Mei 1916 antara Inggris dan Prancis. Sebagai
balasan untuk komitmen dalam deklarasi itu, komunitas Yahudi akan berusaha
meyakinkan Amerika Serikat untuk ikut dalam Perang Dunia I. Itu bukanlah alasan
satu-satunya, karena sudah lama di Inggris telah ada dukungan bagi gagasan
mengenai ‘tanah air’ Yahudi, dan waktunya tergantung pada kemungkinannya.
Kata-kata Deklarasi ini kemudian digabungkan ke dalam Perjanjian Sèvres
dengan Turki Utsmani dan Pemerintahan Mandat untuk Palestina. Bunyi lengkapnya
sebagai berikut:
Departemen Luar Negeri, 2 November 1917
Lord Rothschild yang terhormat,
Saya sangat senang dalam menyampaikan kepada Anda, atas nama Pemerintahan
Sri Baginda, pernyataan simpati terhadap aspirasi Zionis Yahudi yang telah diajukan
kepada dan disetujui oleh Kabinet.
“Pemerintahan Sri Baginda memandang positif pendirian di Palestina tanah
air untuk orang Yahudi, dan akan menggunakan usaha keras terbaik mereka untuk
memudahkan tercapainya tujuan ini, karena jelas dipahami bahwa tidak ada
suatupun yang boleh dilakukan yang dapat merugikan hak-hak penduduk dan
keagamaan dari komunitas-komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, ataupun
hak-hak dan status politis yang dimiliki orang Yahudi di negara-negara lainnya .”
Saya sangat berterima kasih jika Anda dapat menyampaikan deklarasi ini untuk
diketahui oleh Federasi Zionis.
Salam,
Arthur James Balfour
Catatan tentang diskusi-diskusi yang menghasilkan teks akhir Deklarasi
Balfour ini menjelaskan beberapa rincian susunan kata-katanya. Frase “tanah air”
secara disengaja digunakan sebagai pengganti “negara”, dan Inggris mencurahkan
beberapa usaha pada dekade-dekad berikutnya untuk menyangkal bahwa mereka
SYAMINA Edisi 13 / September 2017
15
memaksudkan pembentukan suatu negara, termasuk Buku Putih Churchill, 1922.
Namun, secara pribadi, banyak pejabat Inggris setuju dengan interpretasi kaum
Zionis bahwa hasil akhir yang diharapkan memang adalah sebuah negara.
Sebuah naskah awal menggunakan kata that buat merujuk pada Palestina sebagai
tanah air Yahudi, yang diubah menjadi di Palestina untuk menghindari penafsiran
bahwa yang dimaksudkan adalah seluruh Palestina. Demikian pula, sebuah naskah
awal tak mencakup janji untuk tak merugikan hak-hak komunitas non-Yahudi.
Perubahan-perubahan ini terjadi sebagian karena desakan Edwin Samuel Montagu,
seorang anti-Zionis Yahudi yang berpengaruh dan Sekretaris Negara untuk India,
yang antara lain, prihatin bahwa deklarasi tanpa perubahan-perubahan itu bisa
mengakibatkan kian meningkatnya penganiayaan anti-Semit.
Seperti Perjanjian Sykes-Picot sebelumnya, deklarasi ini dipandang banyak
orang Arab dan Dunia Islam sebagai pengkhianatan besar terhadap upaya-upaya
Britania Raya dalam mendukung kemerdekaan Arab dalam Korespondensi Syarif
Husain-McMahon 1915–1916.
Salah satu tokoh utama Yahudi yang merundingkan dukungan terhadap
deklarasi ini ialah Dr. Chaim Weizmann, jurubicara terkemuka organisasi Zionisme
di Britania Raya. Selama pertemuan pertama antara Chaim Weizmann dan Balfour
(1906), pemimpin kelompok Persatuan itu terkesan oleh kepribadian Weizman.
Balfour menanyai Weizmann mengapa Palestina — dan hanya Palestina saja —
yang diinginkan menjadi basis Zionisme. “Semua tempat yang lain akan menjadi
pemberhalaan”, Weizmann memprotes, lalu menambahkan: “Tuan Balfour, andai
saya menawarkan Anda Paris sebagai ganti London, akankah Anda mengambilnya?”
“Namun Dr. Weizmann”, Balfour menjawab, “kami memiliki London”, Weizmann
menjawab, “Itu benar, namun kami memiliki Yerusalem dulu saat London merupakan
rawa.”
Weizmann ialah kimiawan yang berhasil mensintesiskan aseton melalui
fermentasi. Aseton diperlukan dalam menghasilkan cordite, bahan pembakar yang
diperlukan untuk mendorong peluru-peluru. Jerman memonopoli ramuan aseton
kunci, kalsium asetat. Tanpa kalsium asetat, Britania tak bisa menciptakan aseton
dan tanpa aseton takkan ada cordite. Jadi, tanpa cordite, Inggris saat itu mungkin
akan kalah dalam Perang Besar. Saat ditanya bayaran apa yang diinginkan, Weizmann
menjawab, “Hanya ada satu hal yang saya inginkan. Tanah air buat orang-orang
saya.” Ia menerima pembayaran untuk penemuan ini dan peran dalam sejarah awal
Israel.
Era Mandat Inggris atas Palestina (1920-1948) Mandat Britania atas Palestina adalah sebuah wilayah di Timur Tengah dari
1920 hingga 1948, yang kini terdiri atas wilayah masa kini dari Yordania, Israel,
dan wilayah-wilayah yang diperintah oleh Otoritas Palestina, yang sebelumnya
merupakan wilayah Daulah Utsmaniyah, yang diserahkan oleh Liga Bangsa-Bangsa
kepada Britania Raya untuk diadministrasikan pada masa setelah Perang Dunia I
sebagai sebuah Wilayah Mandat setelah runtuhnya Daulah Utsmaniyah. Wilayah ini
SYAMINAEdisi 13 / September 2017
16
mulanya berbatasan dengan Laut Tengah di sebelah baratnya, Mandat Prancis atas
Lebanon, Mandat Prancis atas Suriah, dan Mandat Britania atas Mesopotamia (Irak)
di sebelah utaranya, Kerajaan Arab Saudi di sebelah timur dan selatan, dan Kerajaan
Mesir di barat dayanya.
Pada 1922 Britania melakukan sensus pertama atas wilayah Mandatnya. Seluruh
penduduknya berjumlah 752.048, terdiri dari 589.177 Muslim, 83.790 Yahudi, 71.464
Kristen dan 7.617 yang beragama lain. Setelah sensus kedua pada 1931, populasinya
telah bertambah menjadi total 1.036.339, terdiri dari 761.922 Muslim, 175.138 Yahudi,
89.134 Kristen dan 10.145 orang yang beragama lain. Setelah itu tidak ada sensus lagi,
tetapi statistik tetap dipertahankan dengan menghitung jumlah kelahiran, kematian
dan migrasi. Beberapa komponen seperti imigrasi ilegal hanya dapat diperkirakan.
Kebijakan Kependudukan Buku Putih (1939)Pada tahun 1939 diterbitkan Buku Putih MacDonald, sesuai dengan nama
Malcolm MacDonald, Menteri Negara Urusan Koloni Britania Raya yang memimpin
penulisannya. Buku ini adalah sebuah dokumen yang berisi kebijakan yang
diterbitkan oleh pemerintah Britania di bawah Arthur Neville Chamberlain yang
memutuskan untuk meninggalkan gagasan tentang pembagian Palestina di bawah
mandat Britania, dan sebaliknya Buku Putih 1939 diterbitkan pada 17 Mei 1939
membentuk Palestina yang merdeka yang diperintah bersama-sama oleh orang-
orang Arab dan Yahudi.6
Buku yang diterbitkan pada 17 Mei 1939 berisi pokok-pokok utamanya sebagai
berikut:
Bagian I. Konstitusi: Dinyatakan bahwa karena lebih dari 450.000 orang Yahudi
kini telah bermukim di wilayah mandat itu, Deklarasi Balfour tentang “sebuah tanah
air nasional untuk bangsa Yahudi” telah terpenuhi dan diserukanlah pembentukan
sebuah negara Palestina yang independen dalam waktu 10 tahun, yang diperintah
bersama-sama oleh orang Arab dan Yahudi:
“Pemerintah Sri Baginda percaya bahwa para penyusun Mandat yang di dalamnya
Deklarasi Balfour terkandung tidak mungkin memaksudkan bahwa Palestina harus
diubah menjadi sebuah Negara Yahudi berlawanan dengan kehendak penduduk
Arab negara itu. [...] Karena itu Pemerintah Sri Baginda kini menyatakan dengan tegas
bahwa bukanlah kebijakannya bahwa Palestina harus menjadi sebuah Negara Yahudi.
Bahkan Pemerintah akan menganggap hal itu berlawanan dengan kewajibannya
terhadap orang-orang Arab di bawah Mandat ini, dan juga dengan jaminan-jaminan
yang telah diberikan kepada bangsa Arab pada masa lampau, bahwa penduduk Arab
di Palestina harus dijadikan kawula dari sebuah Negara Yahudi, yang berlawanan
dengan kehendak mereka.”
“Tujuan dari Pemerintahan Sri Baginda adalah pembentukan dalam waktu 10
tahun sebuah Negara Palestina yang merdeka dalam hubungan-hubungan perjanjian
dengan Britania Raya sehingga akan memberikan kebutuhan-kebutuhan komersial
dan strategis dari kedua negara itu dengan memuaskan pada masa depan. [...] Negara
6 Dokumen ini bisa diakses via: http://www.yale.edu/lawweb/avalon/mideast/brwh1939.htm
SYAMINA Edisi 13 / September 2017
17
yang merdeka itu haruslah satu saja, di mana orang Arab dan Yahudi bersama-sama
memerintah dengan cara yang demikian rupa sehingga memastikan perlindungan
kepentingan-kepentingan yang hakiki dari masing-masing komunitas.”
Bagian II. Imigrasi: Imigrasi Yahudi ke Palestina di bawah Mandat Britania
akan dibatasi hingga 75.000 orang saja untuk lima tahun pertama, dan kelak akan
ditetapkan berdasarkan persetujuan Arab:
“Pemerintah Sri Baginda tidak menemukan [..] apapun di dalam Mandat
ini ataupun di dalam Pernyataan-pernyataan Kebijakan yang sesudahnya yang
mendukung pandangan bahwa pembentukan sebuah Tanah Air Nasional Yahudi di
Palestina tidak adpat dilakukan kecuali apabila imigrasi diizinkan berlanjut tanpa
batas. Bila imigrasi menimbulkan akibat-akibat yang tidak dikehendaki terhadap
posisi ekonomi negara ini, imigrasi harus dengan tegas dibatasi; demikian pula bila
hal itu menimbulkan akibat yang merugikan secara serius terhadap posisi politik di
negara ini, maka itu adalah faktor yang tidak boleh diabaikan. Meskipun tidak sulit
orang berdebat bahwa imigran Yahudi dalam jumlah besar yang akan diterima sejauh
ini telah diserap secara ekonomi, rasa takut orang-orang Arab bahwa arus masuk
ini akan berlanjut tanpa batas hingga populasi Yahudi mendominasi mereka telah
menghasilkan akibat-akibat yang sangat parah bagi orang-orang Yahudi maupun
Arab, dan bagi perdamaian dan kemakmuran Palestina.
Setelah kebijakan Buku Putih 1939 diterapkan, yang sebenarnya hendak
membatasi imigrasi orang-orang Yahudi, laporan kependudukan justru menyatakan
bahwa jumlah penduduk Yahudi “telah bertambah hingga sekitar 450.000 orang”
dan “mendekati sepertiga dari seluruh populasi wilayah ini.” Pada 1945 sebuah studi
demografi memperlihatkan bahwa jumlah seluruh penduduknya telah meningkat
menjadi 1.764.520, terdiri dari 1.061.270 Muslim, 553.600 Yahudi, 135.550 Kristen
dan 14.100 orang yang beragama lain.7
7 J.C. Hurewitz, The Struggle for Palestine, Schoken Books, 1976.
SYAMINAEdisi 13 / September 2017
18
Berdasarkan kepemilikan tanah, Orang-orang Arab, yang jumlahnya tidak
kurang dari 2/3 dari seluruh penduduk Palestina, memiliki sebagian besar properti
pribadi. Survei Palestina melaporkan bahwa orang-orang Arab memiliki 24.670.455
dunum (keseluruhan luas tanah wilayah Mandat adaah sekitar 26.184.702 dunum).
Namun, menurut MidEastWeb, orang-orang Arab hanya memiliki sekitar setengah
dari seluruh luas tanah.8
Orang Yahudi, yang merupakan 1/3 dari seluruh penduduk Palestina, secara
pribadi maupun kolektif memiliki 1.393.531 dunum pada 1945 (Khalaf, 1991, pp. 26–
27) dan 1.850.000 dunum pada 1947 (Avneri p. 224). Ini berarti sekitar 20% dari
seluruh tanah yang dapat diolah dan 7% dari seluruh tanah di Palestina.
Selain Buku Putih, tercatat sejumlah aturan perundang-undangan agraria pada
era Mandat Britania, seperti:
z Ordinansi Pengalihan Tanah 1920
z Koreksi 1926 atas Ordinansi Pendaftaran Tanah
z Ordinansi Penyelesaian Tanah 1928
z Peraturan Peralihan Tanah 1940
Setelah deklarasi kemerdekaan Negara Israel, migrasi besar-besar orang-orang
Yahudi semakin tak terlelakkan.
Perpindahan Penduduk Setelah Deklarasi Kemerdekaan Negara Israel (1948)Didorong oleh Holocaust dan Perang Dunia II di Eropa, warga Yahudi berduyun-
duyun bermigrasi ke Palestina. Sebagian besar mengungsi secara ilegal dengan
melanggar kuota tahunan yang ditetapkan pemerintah Inggris. Hingga 1947 sekitar
110.000 warga Yahudi telah menempati pemukiman-pemukiman di Palestina.
8 A Survey of Palestina: Prepared in Desember, 1945 and Januari, 1946 for the Information of the Anglo-American Committee of Inquiry. Institute for Palestina Studies. 1991.
SYAMINA Edisi 13 / September 2017
19
Pada 29 November 1947 Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakhiri pendudukan
Inggris atas Palestina dan menelurkan Resolusi 181 untuk membagi wilayah tersebut
menjadi dua. Dalam sidang umum PBB itu Israel mendapat sebagian wilayah
Palestina. Rencana itu diterima oleh kaum Yahudi, tapi ditolak oleh negara-negara
Arab. Sikap tersebut kemudian terbukti fatal.
Resolusi PBB nomor 181 juga menjadi titik awal konflik di Palestina hingga hari
ini. Ketika David Ben Gurion mendeklarasikan berdirinya negara Israel, Amerika
Serikat dan Rusia segera mengakui kedaulatan negara Yahudi tersebut.
Strategi Teror yang Digunakan untuk Membentuk Negara
Dalam proses pembentukan Negara Israel, ternyata strategi teror digunakan
oleh orang-orang Zionis Yahudi. Di dalam buku yang berjudul State of Terror:
How Terrorism Created Modern Israel,9 Thomas Suárez menunjukkan bagaimana
penggunaan teror oleh pendukung gagasan negara Yahudi di Palestina dilakukan
secara sistematis, rutin, dan diterima oleh pemimpin Yahudi. Mereka menganggap
penggunaan teror ini diperlukan untuk mencapai tujuan mereka.
Pada puncak Mandat Inggris di Palestina, tindakan teroris dilakukan pada frekuensi
dan dengan intensitas yang telah dilupakan, meskipun berita utama surat kabar
harian di AS, Inggris, dan Palestina berbicara tentang pemboman, pembunuhan, dan
pembantaian melawan warga Arab dan warga sipil Inggris, maupun tentara. Suarez
menceritakan kisah ini dengan menggunakan cerita dari teroris itu sendiri di dalam
laporan internal rahasia yang membanggakan keberhasilan mereka, dan mengutip
dari briefing intelijen kontemporer dan korespondensi diplomatik rahasia.
9 Diterbitkan oleh Skyscraper Publications, Inggris, pada Desember 2016.
SYAMINAEdisi 13 / September 2017
20
Suarez menunjukkan bahwa pada tahun 1897 seorang Zionis mengirimkan
berita ke rekan-rekan konspiratornya bahwa Palestina sudah dipadati oleh penduduk.
Yang terjadi kemudian adalah sebuah konspirasi teroris untuk mengambil-alih tanah
tersebut yang sangat mengejutkan dalam hal ruang lingkup dan kekerasannya.
Berawal pada sekitar tahun 1918, di tempat yang sekarang bernama Israel,
Irgun, Lehi (Stern Gang), Haganah, dan Jewish Agency beroperasi pada berbagai
waktu sebagai gerombolan penjahat yang saling bersaing dan bekerja sama. Mereka
mengumpulkan uang dengan perampokan dan pemerasan, menarik ‘upeti’ dari
bisnis lokal, membom orang-orang yang tidak mau membayar.
Gerombolan Zionis tersebut membunuh orang-orang Palestina, polisi, orang-
orang Inggris, dan Yahudi yang pendapatnya berbeda dengan pendapat mereka.
Perang tidak menghentikan kekerasan mereka. Ketika Inggris mengkonsolidasikan
tiga perahu pengungsi ke kapal Patria di Haifa dengan tujuan membawa mereka ke
kamp pengungsi di Mauritus, Haganah mengebom kapal pengungsi tersebut. Lebih
dari 267 orang meninggal, di antaranya adalah 200 orang Yahudi.
Zionis memutar cerita tersebut sebagai pemunculan kembali cerita Alkitab
tentang Masada, yang mengklaim bahwa penumpang Patria secara heroik melakukan
bunuh diri massal dengan mengebom kapal mereka sendiri ketika mereka gagal
mencapai Israel.Selama dan setelah Perang Dunia II, Zionis menuntut dengan keras
agar tentara Yahudi dipisahkan dari tentara lainnya dan kemudian disendirikan di
dalam kamp pengungsi.
Suarez mengutip ketidaknyamanan Churchill terhadap kaum pro-Zionis dengan
pemisahan seperti itu: Churchill menulis bahwa hampir setiap ras di Eropa telah
dikirim ke kamp konsentrasi dan “tampaknya ada sedikit perbedaan dalam jumlah
penyiksaan yang mereka alami.”10 Orang-orang Yahudi yang ingin tinggal di tanah
asal mereka, atau yang berhasil menegosiasikan kembali pemukiman bagi orang-
orang Yahudi Eropa di mana saja selain di Israel, dikecam dan digagalkan. Bagaimana
Zionis bersikeras bahwa mereka berbicara mengatas-namakan untuk semua orang
Yahudi, padahal jelas bahwa mereka tidak melakukannya?
Apa yang memberi mereka hak, sebagai pembunuh pengungsi Yahudi, dan
untuk berbicara mengatas-namakan orang-orang Yahudi yang mengungsi setelah
perang? Zionis secara konsisten mengaku berbicara untuk semua orang Yahudi.
Tidak mengherankan jika Zionis bersikeras menggunakan bahasa Ibrani (sejumlah
surat kabar berbahasa Jerman dan Yiddish telah dibom). Suarez menunjukkan
bahwa para pemukim tersebut berbicara dengan bahasa era alkitab karena mereka
mengaku sebagai umatnya.11 Ben Gurion mengklaim bahwa “Alkitab adalah mandat
kami.”
Pada tanggal 9 April 1948, sekitar 35 hari sebelum berdirinya Negara Israel, terjadi
pembantaian yang mengerikan di desa Deir Yassin. Tiga gerombolan teroris Zionis
Israel, Haganah, Irgun, dan Stern Gang menyerang desa yang terletak di sebelah barat
Baitul Maqdis atau Yerusalem. Sekitar 120 gerilayawan Irgun dan Lehi menyerang
10 Thomas Suárez, State of Terror: How Terrorism Created Modern Israel, hlm. 120.11 Thomas Suárez, State of Terror: How Terrorism Created Modern Israel, hlm. 25.
SYAMINA Edisi 13 / September 2017
21
desa Deir Yassin dan membantai 107 penduduk, baik pria, wanita, dan anak-anak
dibantai secara sadis. Sebagian korban bahkan dimutilasi (dicincang) dan diperkosa
sebelum dibunuh serta ada 25 orang lainnya dari desa itu diarak hingga ke Yerusalem
lalu dieksekusi.
Orang-orang Zionis Israel banyak berdatangan ke desa itu merampas dan
merebut rumah serta tanah yang ditinggalkan pemiliknya karena telah dibunuh
dan sebagian lainnya pergi menyelamatkan diri. Desa Arab berpenduduk 600 orang
itu sebenarnya sudah tandatangani pakta non agresi. Namun Deir Yassin dianggap
punya nilai strategis.12
Nama Deir Yassin diubah dengan nama Ibrani dan desa Palestina itu lenyap
dari peta dunia dan tidak berbekas. Bagi rakyat Palestina, Deir Yassin adalah simbol
hilangnya tanah kampung halamannya.13
Teror yang serupa juga dialami warga Palestina Tiberius pada tanggal 18 April
1948, berupa penangkapan dan pembantaian yang dilakukan oleh gerombolan
teroris Irgun pimpinan Menachem Begin, yang kemudian menjabat Perdana Menteri
Israel dari Partai Likud (21 Juni 1977 – 10 Oktober 1983). Akibat aksi keji tersebut
menyebabkan 5.500 orang rakyat Palestina, meninggalkan desanya, mengungsi
menyelamatkan diri.
Tanpa ada perasaan letih, gerombolan teroris Israel terus melakukan teror dan
tindakan sadis bahkan terhadap anak-anak yang tidak berdosa, maka sekitar 70 ribu
orang rakyat Palestina mengungsi meninggalkan tanah leluhurnya dengan perasaan
sedih dan linangan air mata, akhirnya kota Haifa jatuh ke tangan gerombolan teroris
Zionis Israel.
Irgun terus melakukan teror di antaranya pada tanggal 22 April 1948. Mereka
membombardir fasilitas-fasilitas milik rakyat sipil di kota Jaffa, kota terbesar di
Palestina pada saat itu, sehingga sekitar 750.000 orang rakyat Palestina ketakutan
12 http://www.dw.com/overlay/media/id/luka-palestina-di-hari-nakba/19151611/1925124413 Morris, Benny. "The Birth of the Palestinian Refugee Problem Revisited," Cambridge University Press, 2004,
p. 239-240.
SYAMINAEdisi 13 / September 2017
22
dan panik pergi mengungsi. Saat itu, dikota tersebut hanya tersisa sekitar 4.500 orang
yang kondisinya sangat menderita dan pada tanggal 14 Mei 1948 gerombolan teroris
Zionis Israel berhasil menguasai kota Jaffa.14
Selanjutnya, kelahiran resmi Israel pada tahun 1948 telah menjadi pintu
pembersihan hampir sejuta orang Palestina dan menghancurkan 400 desa
mereka. PBB telah membentuk perbatasan Israel lewat Resolusi 181, tetapi Israel
membentangkan wilayahnya di luar perbatasan tersebut dan mengklaim kedaulatan
atas seluruh tanah yang didudukinya.
Sehari setelah resolusi 181, kelompok mujahidin Arab melancarkan perlawanan terhadap Yahudi, diiringi aksi protes di basis-basi warga Arab. Tentara Pembebasan Arab yang dipimpin Abdul Qadir Al-Husaini datang dari Mesir untuk membantu perjuangan Muslim Palestina.
Baik Inggris maupun Amerika Serikat mengetahui bahwa Israel tidak akan
mengembalikan tanah-tanah tersebut. Reuven Shiloah, direktur pertama Mossad,
tidak hanya memberi tahu kedua negara tersebut, tetapi juga menyatakan hak Israel
untuk mengambil-alih lebih banyak lagi lahan jika diperlukan.15 Pencurian Israel atas
tanah dan aset Palestina bukan hanya merupakan hasil atas klaim tanah Israel yang
diberikan oleh PBB.
Suarez menunjukkan bahwa: “analisis ekonomi … menggambarkan bahwa
negara Israel berhutang eksistensinya terhadap pencurian barang-barang Palestina
… Meskipun suntikan besar modal asing ke Israel dan klaimnya terhadap efisiensi
modern, ini merupakan akhir dari aset Palestina yang menyelamatkan negara Israel
dari kematian.”16
Perlakuan Israel terhadap para penduduk Palestina setelah tahun 1948 sangat
14 Ferry Nur, S.Si. 5 Mei 2009. “Apakah Nakbah Itu?” dalam https://www.eramuslim.com/palestina-kita/apakah-nakbah-itu.htm
15 Thomas Suárez, State of Terror: How Terrorism Created Modern Israel, hlm. 277.16 Thomas Suárez, State of Terror: How Terrorism Created Modern Israel, hlm. 288.
SYAMINA Edisi 13 / September 2017
23
mengerikan. Cukup menyakitkan untuk membaca daftar sebagian kekejaman mereka: pemerkosaan, penyiksaan, pembunuhan dan perampokan. Desa-desa Arab, Kristen dan Muslim, bersahabat atau tidak, dihancurkan. Dalam satu peristiwa, penduduk desa Arab dibunuh dengan dipaksa tinggal di rumah mereka saat mereka dibom.17
Menurut data yang didokumentasikan bahwa milisi Zionis selama fase Nakbah
mengambil alih secara paksa 774 desa dan kota. Mereka juga menghancurkan
531 desa dan kota Palestina, serta lebih dari 70 kejadian pembantaian rakyat
Palestina, menyebabkan kematian lebih dari 15 ribu warga Palestina selama Nakba.
Menyebabkan sekitar 800 ribu warga Palestina mengungsi dari desa-desa dan kota-
kota mereka.
Jika disimpulkan, secara garis besar, faktor-faktor pendorong Nakbah didetailkan,
antara lain:
z Majunya laskar-laskar militer Yahudi, penyerangan, dan agresi terhadap desa-
desa Arab.
z Ketakutan akan terjadinya pembunuhan massal lain setelah pembunuhan
massal Deir Yassin, yang menyebabkan kepanikan di antara warga sipil.
z Perintah evakuasi atas warga Arab (dari pemimpin lokal).
z Perintah pengusiran dari otoritas Israel.
z Eksodus sukarela oleh warga kelas atas yang lebih makmur.
z Kegoyahan pucuk kepemimpinan Palestina.
z Ketidakrelaan untuk hidup di bawah kendali Israel.18
Pada saat itu, Negara Israel merupakan lokasi “proporsi yang mengkhawatirkan”
atas pembunuhan, pemerkosaan dan perampokan terhadap warga-negaranya
sendiri. Seorang Israel berspekulasi bahwa hal ini muncul akibat dari “pengabaian
hukum yang umum dan menghina”.19
Sebuah laporan Inggris menyatakan: “Intoleransi meledak menjadi kekerasan
dengan mudah terjadi di Israel.”Israel masuk ke Irak (dengan bendera operasi palsu
melawan orang Yahudi Irak untuk meminta mereka bermigrasi) dan ke Afrika Utara
untuk mendapatkan warga negara bagi pemukimannya yang baru. Orang-orang
Yahudi Irak dan Afrika Utara dijaga dalam kondisi menyedihkan sampai mereka
ditempatkan sebagai pemegang tempat tinggal di tanah yang baru diduduki.
Menurut Biro Pusat Statistik Palestina, sebagaimana dikutip Quds Press, perkiraan
jumlah warga Palestina di dunia pada 2016 sekitar 12,7 juta orang. Ini berarti jumlah
mereka bertambah 9,1 kali lipat sejak peristiwa Nakba 1948. Berkenaan dengan
17 Thomas Suárez, State of Terror: How Terrorism Created Modern Israel, hlm. 309.18 George Crews McGhee (1997). On the frontline in the Cold War: an ambassador reports. Greenwood
Publishing Group. pp. 42, sebagaimana dikutip oleh Wikipedia, yang diakses pada tanggal 28 Mei 2011.19 Thomas Suárez, State of Terror: How Terrorism Created Modern Israel, hlm. 298.
SYAMINAEdisi 13 / September 2017
24
jumlah warga Palestina saat ini berada di wilayah Palestina bersejarah (antara sungai
dan laut, yang sebagian besar telah dikuasai Israel), hingga akhir tahun 2016 sekitar
6.410.000 orang. Diperkirakan mencapai sekitar 7,12 juta orang pada akhir tahun
2020, jika tingkat pertumbuhan seperti saat ini.
Data statistik menunjukkan bahwa pengungsi Palestina mencapai 42 persen
dari semua warga penduduk Palestina di Palestina, akhir tahun 2016. Jumlah total
pengungsi terdaftar UNRWA pada Januari 2015, sekitar 5.590.000 pengungsi. Sekitar
29 persen pengungsi Palestina berada di 58 kamp; 10 kamp di Yordania, 9 di Suriah,
12 di Lebanon, 19 di Tepi Barat, dan 8 kamp di Jalur Gaza.
Perkiraan ini merupakan jumlah minimum pengungsi Palestina. Banyak
pengungsi tidak terdaftar, jumlah ini tidak termasuk orang-orang yang telah
mengungsi dari Palestina setelah tahun 1949 sampai menjelang perang Juni 1967,
“menurut definisi pengungsi UNRWA,” juga tidak termasuk orang Palestina yang
meninggalkan atau dideportasi pada tahun 1967, dengan latar belakang perang, dan
yang awalnya tidak ditujukan untuk mengungsi.
Berkenaan dengan tanah, pendudukan Israel telah mengeksploitasi lebih dari 85
persen wilayah Palestina bersejarah, yaitu sekitar 27.000 km/segi. Saat ini Palestina
hanya menempati sekitar hanya 15 persen dari luas lahan yang menjadi hak mereka.20
Organisasi-Organisasi Milisi Israel yang Berperan VitalKomunitas Yahudi yang dipimpin David Ben Gurion sejak lama mempersenjatai
diri dan melatih gerilayawan tempur. Saat itu warga Yahudi sudah memiliki sayap
militer, antara lain Lehi, Irgun dan Haganah yang kemudian bergabung menjadi
Tentara Pertahanan Israel (IDF). Kekuatan tempur Israel saat itu banyak mendapatkan
suplai bekas senjata Perang Dunia II.
Berikut ini sedikit deskripsi tentang ketiga milisi Zionis tersebut:
1. Haganah
Haganah (“Pertahanan”) adalah organisasi paramiliter Yahudi di wilayah
Palestina pada masa ketika masih menjadi wilayah Mandat Britania di Palestina
20 http://www.qudspress.com/index.php?page=show&id=31843
SYAMINA Edisi 13 / September 2017
25
sejak 1920 hingga 1948. Haganah diketahui menjadi fondasi dasar dari Pasukan
Pertahanan Israel/IDF (Israeli Defense Force) modern.
Pendahulu Haganah adalah HaShomer (Serikat Penjaga) yang didirikan tahun
1909. Ia adalah sekelompok kecil dari imigran Yahudi yang bertugas menjaga
pemukiman Yahudi dengan uang keamanan tahunan. Kelompok ini beranggota
tidak lebih dari 100 orang.
Kerusuhan oleh pada 1920 dan 1921 menegaskan para pemimpin Yahudi
bahwa petani dan pemukiman Yahudi membutuhkan perlindungan dari serangan
warga Arab. Adalah jelas bahwa Britania tidak berkeinginan berkonfrontasi dengan
warga Arab atas serangannya terhadap orang Yahudi Palestina. Pemimpin Yahudi
memutuskan bahwa warga Yahudi harus mandiri dalam melindungi diri mereka
sendiri, sehingga Haganah pun dibentuk. Tugas dari Haganah adalah menjaga
kibbutz dan tanah pertanian warga Yahudi, memperingatkan warga tentang serangan
Arab, dan memukul balik para penyerang.
Pada tahun 1920-1929 Haganah masih belum memiliki koordinasi terpusat.
Unit Haganah masih belum memiliki persenjataan yang memadai, karena mereka
umumnya terdiri dari para petani yang bergiliran menjaga tanah pertanian atau
kibbutz mereka. Setelah Kerusuhan Palestina 1929, yang membunuh 133 Yahudi
dan mengawali upaya pembersihan etnis Yahudi dari kota Hebron, peranan
Haganah berubah secara dramatis. Ia menjadi organisasi yang jauh lebih besar yang
beranggotakan hampir seluruh pemuda dan orang dewasa di pemukiman Yahudi,
selain ribuan anggota dari kota-kota lain. Haganah juga mendapatkan senjata dari
pihak asing dan mulai menciptakan pabrik untuk menciptakan granat tangan dan
peralatan militer sederhana. Ia berubah dari milisi tak terlatih menjadi tentara
berpengalaman.
Pada 1936 Haganah memiliki 10 ribuan pasukan reguler beserta 40 ribuan
pasukan cadangan. Selama Pemberontakan Besar 1936-1939, Haganah ikut serta
melindungi kepentingan Britania dan memadamkan pemberontakan Arab. Meski
administrasi Britania tidak mengakui Haganah secara resmi, Pasukan Keamanan
Britania berkerja sama dengannya dengan membentuk Polisi Pemukiman Yahudi,
Pasukan Pembantu Yahudi and Skuat Malam Spesial. Pengalaman tempur yang
diperoleh di Pemberontakan Besar menjadi sangat berguna kala Perang Arab-Israel
tahun 1948.
Pada tahun 1937, elemen sayap kanan ekstrem dari Haganah memisahkan diri
untuk kedua kalinya dan membentuk Irgun Zvai-Leumi, dikenal dengan istilah
“Irgun”. Mereka tidak senang akan kebijakan pengekangan ketika dihadapkan
dengan tekanan dari Inggris dan Arab. Irgun dan sesama mereka, Lochamei Herut
Israel (juga dikenal sebagai geng Stern yang berasal dari nama pemimpinnya),
menjadi terkenal karena operasi tersembunyi mereka.
Untuk menenangkan warga Arab, Britania melarang keras imigrasi Yahudi ke
Palestina tahun 1939. Sebagai akibat, Haganah mulai mengorganisir imigrasi ilegal
dan demonstrasi terhadap pemerintahan Britania. Haganah menyusun “Organisasi
Imigrasi Ilegal”, Aliyah Bet, yang bekerja lewat markas mereka di Swiss dan Turki.
SYAMINAEdisi 13 / September 2017
26
2. Irgun
Irgun (“Organisasi”), yang kemudian lebih sering disingkat sebagai I.Z.L., adalah
sebuah organisasi militer zionisme di Palestina, yang didirikan sejak tahun 1931 dan
terpisah dari Haganah, dan sejak tahun 1943 dipimpin oleh Menahem Begin.
3. Lehi
Lehi (“Para Pejuang untuk Kebebasan Israel – Lehi”), dalam bahasa Inggris sering
disebut sebagai Stern Gang (kelompok Stern), adalah suatu kelompok militan Zionis
yang didirikan oleh Avraham (“Yair”) Stern di wilayah Mandat Britania atas Palestina.
Tujuan pendiriannya ialah untuk mengusir pemerintah Inggris dari Palestina dengan
cara kekerasan, sehingga memungkinkan terjadinya imigrasi tanpa batas bagi orang-
orang Yahudi dan pembentukan sebuah negara Yahudi, suatu ‘republik Ibrani baru
yang totaliter’.
Pada saat didirikannya pada bulan Agustus 1940, awalnya kelompok ini
dinamakan Organisasi Militer Nasional di Israel, tetapi diganti menjadi Lehi sebulan
kemudian.
Lehi memisahkan diri dari kelompok militan Irgun pada tahun 1940, agar dapat
terus melawan Inggris selama Perang Dunia II. Lehi awalnya ingin beraliansi dengan
Fasis Italia dan Nazi Jerman, dengan cara menawarkan diri untuk berjuang bersama
mereka melawan Inggris, di mana imbalannya adalah ditransfernya semua orang
Yahudi dari wilayah Eropa yang diduduki Nazi ke Palestina. Dengan keyakinan bahwa
Nazi Jerman adalah musuh orang-orang Yahudi yang lebih tak berbahaya daripada
Inggris, Lehi dua kali berusaha membentuk aliansi dengan Nazi.
Selama Perang Dunia II, Lehi mendeklarasikan bahwa mereka akan mendirikan
sebuah negara Yahudi yang berdasarkan “prinsip-prinsip nasionalis dan totaliter”.
Setelah kematian Stern pada tahun 1942, kepemimpinan baru Lehi mulai bergerak
untuk mencari dukungan dari Uni Soviet, yang berada di bawah pimpinan Joseph
Stalin. Pada tahun 1944, Lehi secara resmi menyatakan dukungannya terhadap
Bolshevisme Nasional. Dinyatakan bahwa Bolshevisme Nasional melibatkan
penggabungan antara elemen-elemen politik sayap kiri dan sayap kanan - dan
Stern mengatakan bahwa Lehi menggabungkan baik unsur-unsur dari kiri maupun
dari kanan - namun, perubahan ini tidaklah populer dan akibatnya Lehi pun mulai
kehilangan dukungan.
Lehi dan Irgun secara sama-sama bertanggung jawab atas pembantaian di Deir
Yassin. Lehi membunuh Lord Moyne, Residen Menteri Britania di Timur Tengah, dan
melakukan banyak serangan lainnya terhadap Inggris di Palestina. Pada tanggal 29
Mei 1948, pemerintah Israel secara resmi membubarkan Lehi setelah memasukkan
para anggota aktivisnya ke dalam Tzahal; meskipun demikian ada beberapa anggota
yang masih melakukan satu aksi terorisme lagi, yaitu pembunuhan Folke Bernadotte
beberapa bulan kemudian. Tindakan tersebut dikutuk oleh Ralph Bunche, yang
menjadi mediator pengganti Bernadotte.
Israel memberikan amnesti umum untuk anggota Lehi pada tanggal 14 Februari
1949. Pada tahun 1980, Israel menciptakan suatu penghargaan militer: “Penghargaan
SYAMINA Edisi 13 / September 2017
27
atas kegiatan dalam perjuangan untuk pembentukan Israel,” yaitu Pita Lehi. Mantan
pemimpin Lehi, Yitzhak Shamir, kemudian menjadi Perdana Menteri Israel pada
tahun 1983.
KESIMPULAN Sejak peristiwa Nakbah (14 Mei 1948), warga Palestina telah menghadapi beragam
politik diskriminatif dalam berbagai aspek kehidupan dari pihak Yahudi. Politik
tersebut berpangkal pada upaya “mengosongkan dan mengisi”. Mengosongkan
Palestina dari bangsa Arab dan mengisinya dengan imigran Yahudi yang berasal dari
berbagai penjuru dunia.
Beriringan dengan upayanya mengisolir Al-Quds dari Dunia Islam, Negara Israel
mengarahkan kota ini menjadi ibu kota politik dan administratif. Al-Quds menjadi
tempat kantor Parlemen Israel, pusat pemerintahan, pengadilan tinggi, dan lain-
lain. Intinya, Pemerintah Israel berusaha mengubah identitas Al-Quds menjadi kota
Yahudi. Akibatnya, penduduk Arab asli benar-benar semakin terpinggir ke sudut-
sudut sempit kehidupan. Ditambah lagi dengan upaya menyebarkan korupsi dan
intimidasi di tengah masyarakat sejak beberapa dekade pendudukan Yahudi.
Secara garis besar, imperialis Zionis memberlakukan empat strategi penjajahan:
yahudisasi, zionisasi, israelisasi, dan ibranisasi. Pola ini bagaikan penyakit kanker
ganas di atas tanah Palestina. Hak kembali ke rumah bagi para pengungsi Palestina
selalu mengalami penolakan dari negara pendudukan Israel. Israel juga menolak
resolusi internasional tentang hak pengungsi untuk kembali ke rumah mereka dan
kompensasi untuk kerusakan pada penderitaan besar disebabkan pendudukan
tersebut.
Jumlah pasti para pengungsi sampai hari ini masih menjadi bahan perdebatan,21
namun diperkirakan sejumlah 80 persen warga Arab di wilayah yang kelak menjadi
Negara Israel (50 persen dari seluruh warga Arab di wilayah Mandat Palestina) terusir.22
Setelah pengusiran tersebut, serangkaian hukum diterapkan oleh pemerintah Israel
untuk mencegah warga Arab pulang ke tanah dan rumah mereka, atau mengklaim
harta benda yang mereka tinggalkan. Mereka dan keturunan mereka menjadi kaum
pengungsi.23
Kejelasan status para pengungsi, dan terutama apakah Israel akan memberikan
mereka harta benda yang diklaim sebagai bagian dari hak untuk pulang, adalah salah
satu isu utama yang terus diperdebatkan dalam konflik Israel-Palestina. Yang jelas,
peristiwa ini disebut-sebut oleh para sejarawan sebagai suatu tindakan pembersihan
etnis.24
21 Pedahzur, Ami; Perliger, Arie (2010). "The Consequences of Counterterrorist Policies in Israel". Di Crenshaw, Martha. The Consequences of Counterterrorism. New York: Russell Sage Foundation. p. 356.
22 Rashid Khalidi (1998). Palestinian identity: the construction of modern national consciousness. Columbia University Press. pp. 21
23 http://www.unrwa.org/etemplate.php?id=87 24 Shavit, Ari (Winter 2004). Survival of the Fittest? An Interview with Benny Morris. Logos.
SYAMINAEdisi 13 / September 2017
28
Israel tidak berhenti, mereka terus berusaha melanjutkan pendudukan atas
semua tanah Palestina sampai hari ini. Penggusuran dan pemindahan paksa terhadap
warga Palestina melalui pembongkaran rumah di Yerusalem dan Tepi Barat, yang
diduduki, dan penghancuran ribuan rumah, perampasan tanah dan aneksasi terus
berlanjut. Demikian pula serangan, pembakaran, penutupan dan pendudukan
terhadap Al-Masjid Al-Aqsha dan tempat-tempat suci Islam dan Kristen. Di Jalur
Gaza warga Palestina mengalami blokade berkepanjangan.
Gerakan anti pendudukan, Intifadhah, sempat menjadi usaha yang bisa dilakukan
sebagai sebuah jeritan terhadap ketidak adilan dan kezaliman Israel yang dibiarkan
oleh negara-negara besar di dunia internasional. Adapun orang, lembaga dan negara
yang peduli dan berusaha membantu sering dicap sebagai pendukung teroris.
Nakbah menjadi titik tolak penting bagi umat Islam untuk mengembalikan
Palestina. Dalam perspektif akidah Islam, ada pesan Rasulullah yang perlu diingat
tentang kembalinya Al-Quds sebagai sebagai sebuah kepastian karena akan ada
segolongan umat yang akan merebut Al-Quds. Dalam Musnad Ahmad diriwayatkan
hadits Rasulullah:
“Senantiasa ada satu kelompok dari umatku yang tampak di atas kebenaran,
menang terhadap lawan mereka, dan tidak membahayakan mereka orang-orang
yang menyelisihi; kecuali himpitan ekonomi yang menimpa mereka, hingga datang
keputusan Allah (hari Kiamat) dan mereka senantiasa dalam kondisi itu.” Sahabat
bertanya, “Ya Rasulullah, dimanakah mereka?” “Di Baitul Maqdis dan di sekitar
Baitul Maqdis,” jawab Rasulullah.25
Daftar PustakaK.H. Adib Bisri & K.H. Munawwir A. Fatah. 1999. Kamus Indonesia-Arab, Arab-
Indonesia. Pustaka Progresif. Surabaya.
Lesch, David W.; Frankel, Benjamin. 2004. History in Dispute: The Middle East since
1945 (Illustrated ed.). St. James Press.
McDowall, David; Palley, Claire. 1987. The Palestinians. Minority Rights Group Report
no. XXIV.
Abu Jamus, Ridhwan. 2013. Al-Istithan Ash-Shahyuni: Al-Fikr wa Al-Mumarasat.
Quds.net.
Aric. 2009. Asralat Al-Quds. Institute of Applied Research.
Hurewitz, J.C. 1976. The Struggle for Palestine. Schoken Books.
25 H.R. Ahmad, no. 22320, Ath-Thabrani no. 7643, dan dicantumkan oleh Ibnul Jauzi dalam Fadha'il Al-Quds, h. 93. Hadits-hadits tenang Ath-Tha'ifah Al-Manshurah sangat banyak riwayatnya sehingga beberapa ulama menganggapnya derajat mutawatir, seperti Ibnu Taimiyah dalam Iqtidha' Ash-Shirath Al-Mustaqim, juz I, h. 69, As-Suyuthi dalam Qathf Al-Azhar Al-Mutanatsirah, no. 81, dan Az-Zabidi dalam Laqth Al-La'ali Al-Mutanatsirah, h. 68.
SYAMINA Edisi 13 / September 2017
29
A Survey of Palestina: Prepared in Desember, 1945 and January, 1946 for the
Information of the Anglo-American Committee of Inquiry. Institute for Palestina
Studies. 1991.
Thomas Suárez. 2016. State of Terror: How Terrorism Created Modern Israel.
Skyscraper Publications.
Morris, Benny. 2004. “The Birth of the Palestinian Refugee Problem Revisited”.
Cambridge University Press.
Ferry Nur, S.Si. 5 Mei 2009. “Apakah Nakbah Itu?” Eramuslim.com
McGhee, George Crews. 1997. On the Frontline in the Cold War: An Ambassador
Reports. Greenwood Publishing Group.
Pedahzur, Ami; Perliger, Arie. 2010. “The Consequences of Counter-Terrorist Policies
in Israel”. Di Crenshaw, Martha. The Consequences of Counterterrorism. New
York: Russell Sage Foundation.
Khalidi, Rashid Khalidi. 1998. Palestinian Identity: the Construction of Modern
National Consciousness. Columbia University Press.
Shavit, Ari. Winter 2004. Survival of the Fittest? An Interview with Benny Morris.
Rogan, Eugene (edt) & Shlaim, Avi. 2008. The War for Palestine: Rewriting the History
of 1948. Cambridge University Press.