Top Banner
135 Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003 Pada bagian ini penulis akan memaparkan bagaimana proses partisipasi publik dalam perumusan peraturan daerah nomor 2 tahun 2003 tentang penataan PKL di kota Salatiga. Untuk memahami konsep partisipasi publik, sebaiknya pembahasan terlebih dahulu diarahkan pada siapa yang berpartisipasi dan apa yang terkandung dalam istilah partisipasi. Telaah mengenai siapa yang berpartisipasi akan mengarah pada 2 (dua) hal, yaitu apa yang dimaksud dengan publik dan bagaimana posisi masyarakat dalam pemerintahan daerah. Dimaksud dengan publik menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang banyak (umum). Dengan demikian ketika membicarakan partisipasi publik berarti kita membahas tentang bagaimana peran orang banyak ataupun masyarakat umum untuk mewujudkan sebuah kepentingan bersama dengan pemerintah. Sebagaimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya bahwa partisipasi terbangun karena adanya tekanan dari pihak pemerintah terhadap PKL dan juga terjadinya konflik yang melibatkan stakeholder, sehingga melalui proses tersebut PKL dan stakeholder lainnya saling mengenal secara baik dalam memperjuangkan kepentingan bersama. Partisipasi adalah sebuah proses pembangunan yang melibatkan masyarakat dalam suatu komunitas untuk mewujudkan tujuan bersama. Demi mewujudkan tujuan dimaksud maka perlu adanya strategi yang baik sehingga semua kepentingan dapat terakomodir. Pengertian partisipasi (dalam arti sempit) menurut Antoft dan Novack (Muluk 2006:55), adalah: “Sesuatu yang bisa dilakukan oleh komunitas untuk memperjuangkan kepentingan dan kebutuhannya. Bentuknya bisa berlangsung secara simultan untuk memberikan kesempatan kepada penduduk menikmati akses partisipasi yang lebih besar karena
38

Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Mar 02, 2019

Download

Documents

trandat
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

135

Bab V

Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2

Tahun 2003

Pada bagian ini penulis akan memaparkan bagaimana proses

partisipasi publik dalam perumusan peraturan daerah nomor 2 tahun

2003 tentang penataan PKL di kota Salatiga. Untuk memahami konsep

partisipasi publik, sebaiknya pembahasan terlebih dahulu diarahkan

pada siapa yang berpartisipasi dan apa yang terkandung dalam istilah

partisipasi. Telaah mengenai siapa yang berpartisipasi akan mengarah

pada 2 (dua) hal, yaitu apa yang dimaksud dengan publik dan

bagaimana posisi masyarakat dalam pemerintahan daerah. Dimaksud

dengan publik menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah

orang banyak (umum). Dengan demikian ketika membicarakan

partisipasi publik berarti kita membahas tentang bagaimana peran

orang banyak ataupun masyarakat umum untuk mewujudkan sebuah

kepentingan bersama dengan pemerintah.

Sebagaimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya bahwa

partisipasi terbangun karena adanya tekanan dari pihak pemerintah

terhadap PKL dan juga terjadinya konflik yang melibatkan stakeholder,

sehingga melalui proses tersebut PKL dan stakeholder lainnya saling

mengenal secara baik dalam memperjuangkan kepentingan bersama.

Partisipasi adalah sebuah proses pembangunan yang melibatkan

masyarakat dalam suatu komunitas untuk mewujudkan tujuan

bersama. Demi mewujudkan tujuan dimaksud maka perlu adanya

strategi yang baik sehingga semua kepentingan dapat terakomodir.

Pengertian partisipasi (dalam arti sempit) menurut Antoft dan Novack

(Muluk 2006:55), adalah: “Sesuatu yang bisa dilakukan oleh komunitas

untuk memperjuangkan kepentingan dan kebutuhannya. Bentuknya

bisa berlangsung secara simultan untuk memberikan kesempatan

kepada penduduk menikmati akses partisipasi yang lebih besar karena

Page 2: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

136

tidak semua penduduk pada waktu yang bersamaan, di tempat yang

sama, dengan kepentingan yang sama dapat berpartisipasi secara

langsung dan bersama-sama. Ada kendala waktu, tenaga dan sumber

daya lainnya yang membatasi partisipasi masyarakat ini. Dengan

demikian maka perlu adanya strategi dalam memaksimalkan partisipasi

publik sehingga capaian tujuanpun dapat terwujud.

Proses Partisipasi PKL dan Stakeholder dalam Penyusunan

Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2003

Menyikapi situasi yang terjadi di Kota Salatiga saat itu dimana

PKL secara internal dan juga masyarakat secara umum merasakan

dampak dari konflik yang terjadi sejak tahun 2001 sampai 2002, terkait

pemanfaatan ruang publik sebagai lokasi dagangan PKL merupakan

sebuah fenomena baru bagi masyarakat luas yang perlu disikapi secara

serius sehingga tidak menimbulkan dampak luas bagi semua

stakeholder. Dengan demikian untuk mengatur kehidupan warga

secara umum dibutuhkan sebuah regulasi sebagai dasar hukum untuk

mengatur kehidupan semua warga yang memiliki kepentingan dan

beragam kebutuhan dalam satu daerah.

Dalam kondisi yang tidak nyaman akibat berbagai

permasalahan yang terjadi di kalangan PKL dan stakeholder maka bagi

masyarakat umum mereka sangat membutuhkan adanya sebuah

regulasi yang dapat mengatur tatanan hidup bersama. Berdasarkan

kebutuhan itulah maka PKL dan stakeholder menyikapi dengan

menawarkan konsep raperda lewat FMPS kepada legislatif sekalipun

drafnya masih sederhana. Menurut bapak Haris1, kondisi saat itu

membutuhkan penanganan serius dari pihak eksekutif maupun

legislatif tetapi sebuah kemajuan besar yang telah dilakukan PKL dan

stakeholder Kota Salatiga adalah mereka telah menyiapkan rancangan

perda melalui partisipasi semua pihak yang berkepentingan, yang

1 Bapak Haris anggota DPRD kota Salatiga tahun 1999-2004, beliau adalah ketua pansus perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003, wawancara tanggal 16 Januari 2017.

Page 3: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003

137

walaupun masih belum sempurna tetapi mereka telah

mempersiapkannya tanpa intervensi dari pihak pemerintah (eksekutif

maupun legislatif).

Dari rancangan yang telah disiapkan PKL dan stakeholder

tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah bersama

DPRD Kota Salatiga melalui pembentukan tim perumus raperda.

Dalam pembentukan tim perumus dikawal ketat oleh PKL dan

stakeholder, setiap kegiatan yang dilakukan dalam rangka merumuskan

perda tentang penataan PKL semua stakeholder terlibat aktif dalam

merumuskan kebijakan dimaksud.

Partisipasi dalam Perencanaan

Berangkat dari kondisi kota Salatiga pada tahun 2002 dimana

pemerintah kota melakukan upaya penataan ruang kota tanpa

dibarengi perencanaan yang matang maka ekses yang ditimbulkan

adalah: 1). Ruang publik seperti trotoar dan jalan-jalan menjadi lahan

bagi PKL menggelar dagangan; 2). Persaingan yang ketat di antara

pedagang sehingga terjadi konflik horizontal2 antar PKL terutama

bernuansa etnis3; 3). Konflik dengan masyarakat sekitar akibat

ketidakpuasan warga atas penggunaan ruang publik serta

menumpuknya sampah dari aktivitas PKL; 4). Penarikan retribusi yang

tidak terkait dengan kepentingan dan kewajiban PKL oleh oknum-

oknum dari dinas tertentu. Berdasarkan konteks tersebut maka FMPS

memulai perencanaan strategis untuk mengantisipasi munculnya

konflik dengan dampak yang lebih luas bagi masyarakat Kota Salatiga.

Keterlibatan masyarakat dalam tahap perencanaan adalah

sebuah proses yang berjalan tanpa adanya tekanan dari pihak manapun

tetapi terjadi atas kesadaran sendiri sebagai bentuk partisipasi dalam

pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam mengupayakan sebuah

kondisi aman dan damai melalui keterlibatan dalam berbagai diskusi

2 Persaingan yang terjadi adalah antara PKL lokal (penulis menyebutnya dengan Jawa) dengan PKL pendatang. Berdasarkan hasil wawancara bahwa saat itu PKL lokal berencana mau melakukan pengusiran terhadap PKL pendatang. 3 Etnis yang berkonflik adalah etnis Minang dan Madura.

Page 4: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

138

maupun semiloka, menunjukkan bahwa masyarakat memiliki

kemampuan untuk mengatasi permasalahan yang terjadi dalam konteks

hidup masyarakat secara internal maupun dalam hubungan dengan

pemerintah kota.

Langkah-langkah advokasi strategis dan sistematis yang

dilakukan oleh FMPS adalah memulai dengan melakukan asesmen

serta penggalian aspirasi seluruh stakeholder. Dalam proses assessment

dan penggalian aspirasi dimulai dari PKL karena fokus isunya adalah

PKL, kemudian dilanjutkan kepada elemen masyarakat. Khusus untuk

PKL dilakukan diskusi homogen dengan mengundang PKL inti, PKL

Binaan dan PKL Non status. FMPS melakukan langkah-langkah

advokasi yang sistematis dan strategis, berikut indikator-indikator dari

masing-masing tahapan. Mereka menggunakan metode atau strategi

advokasi berbasis pada Participatory Action Research (PAR), yang

meletakkan masyarakat (PKL) sebagai subyek yang turut berpartisipasi

dalam perencanaan, pemetaan, analisis, penentuan strategi, perumusan

dan rekomendasi ke depan. Tahapan demi tahapan ini dinamakan

dengan Participatory Planning yaitu masyarakat mempunyai akses dan

kontrol yang kuat dalam menentukan hasil dan rekomendasi.

Perencanaan langkah-langkah advokasi bagi permasalahan PKL

di Salatiga melibatkan beberapa elemen masyarakat, ormas, organisasi

kemasyarakatan dan kelompok mahasiswa. Berangkat dan diskusi

intens dan hasil analisis awal di tingkat internal, maka terumuskan peta

awal permasalahan PKL. Dari peta awal ini kemudian digunakan

sebagai dasar untuk merumuskan perencanaan tahapan advokasi

kebijakan.

Pada masing-masing tahapan perencanaan, perlu dirumuskan

instrumen untuk mengukur keberhasilan advokasi. Melalui

perencanaan sistematis ini, diharapkan capaian hasil dapat maksimal

dan sebagai alat bantu untuk melakukan evaluasi pada tahap akhir dari

semua proses yang dilewati. Variabel yang digunakan terbagi dalam; 1)

hasil yang ingin dicapai; 2) bentuk kegiatan; 3) kelompok sasaran; 4)

waktu dan; 5) indikator keberhasilan (kualitatif dan kuantitatif).

Page 5: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003

139

Dalam proses penyusunan perda sangat dibutuhkan partisipasi

dan peran dari semua elemen masyarakat bersama pemerintah dalam

proses perencanaan dan perumusan sebuah kebijakan menunjukkan

bahwa kepentingan publik menjadi prioritas utama, dan pemerintah

memposisikan diri sebagai fasilitator dan mediator yang mengakomodir

permasalahan dan kebutuhan dari masyarakat.

Dengan terbentuknya Forum Masyarakat Peduli Salatiga

(FMPS) maka sangat diharapkan semua aspirasi PKL dan stakeholder

inti dapat terakomodir dan kemudian dilanjutkan pada pihak

pemerintah dan legislatif sehingga permasalahan yang terjadi di dalam

Kota Salatiga dapat teratasi dengan cepat tanpa mengakibatkan dampak

lebih besar bagi warga masyarakat. FMPS sendiri merupakan forum

yang dibentuk oleh PKL dan masyarakat Salatiga yang peduli dengan

kondisi Kota Salatiga saat itu. Menurut penjelasan seorang informan

yang proaktif dalam memperjuangkan aspirasi PKL yakni bapak Usup,

beliau menjelaskan;

“Forum masyarakat peduli Salatiga terbentuk tanpa adanya campur tangan pihak luar tetapi lahir karena upaya PKL sendiri untuk bangkit menyikapi kondisi yang terjadi di kalangan PKL dengan berbagai pihak yang peduli dengan kami para PKL. Awalnya kami tidak terorganisir karena kami jalan sendiri-sendiri tetapi setelah terbentuknya forum tersebut, kami (PKL) kemudian mengorganisir diri dalam paguyuban-paguyuban sesuai hasil kesepakatan bersama melalui diskusi-diskusi yang dilakukan oleh FMPS. Dari situlah kemudian aspirasi kami dan juga pihak lain yang selalu terlibat persoalan dengan PKL dimediasi oleh FMPS untuk duduk bersama dalam mencari solusi, alhamdulillah hasil yang dicapaipun sangat luar biasa dimana banyak pihak yang mau untuk bersama memperjuangkan nasib kami PKL” (Wawancara dengan bapak Usup salah satu PKL binaan, tanggal 12 Januari 2017).

Berdasarkan penjelasan beberapa informan di lapangan

diperoleh kejelasan bahwa PKL sendiri pada awalnya tidak terorganisir

secara baik tetapi dengan adanya forum maka mereka kemudian

terorganisir secara baik. Selain itu merekapun mampu membangun

relasi dengan pihak-pihak yang terlibat konflik sehingga konflik dapat

Page 6: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

140

diredam. FMPS juga mendapat dukungan dari stakeholder lainnya

untuk menyuarakan aspirasi kepada pihak pemerintah kota dan

legislatif.

Gambar 5. 1 Tahapan Perencanaan Partisipatoris Proses Penggalian Aspirasi

Asesmen

Menemukan nilai-nilai internal positif

Pertanyaan Positif.

Mengidentifikasi sumber-sumber daya

yang tersedia.

Mempresentasikan hasil temuan dalam

sebuah peta sumber daya

Rancangan Menyusun suatu rencana kerja yang

realistis, untuk dapat dilaksanakan.

Melakukan Studi kelayakan.

Memprioritaskan perencanaan pada

tindakan yang bersifat konkrit.

Mempresentasikan dalam Matrix

Rencana Kerja.

Implementasi Komitmen bersama untuk

mengimplementasikan semua rencana

membuat daftar Persyaratan

mendasar yang dibutuhkan untuk

melakukan implementasi.

Memperoleh komitmen bersama

untuk melakukan implementasi

Pelaksanaan.

Harapan

Pandangan tentang masa depan, dalam

bentuk tujuan-tujuan yang lebih jelas

Memaparkan visi atau

harapannya.

Menentukan tujuan yang jelas

untuk memperoleh gambaran yang

lebih jelas tentang masa depan.

Mempresentasikannya dalam Peta

Masa Depan

Page 7: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003

141

Dengan berperan aktifnya FMPS semenjak dibentuk pada Juni

2002 sebagai wujud kepedulian dalam menjembatani semua

kepentingan PKL maupun stakeholder maka dibuatlah diskusi untuk

penggalian aspirasi dari semua pihak. Setelah itu dilakukan pula

berbagai semiloka yang pada akhirnya menghasilkan rekomendasi

perencanaan strategis ke depan difokuskan pada upaya pembangunan

kesadaran dan partisipasi stakeholder inti (masyarakat) dalam ikut

menentukan arah kebijakan dalam perumusan peraturan daerah

tentang PKL. Sehingga perda yang dihasilkan sesuai dengan aspirasi

dari masyarakat dan mempunyai dasar yang kuat.

Aspirasi yang sudah terinventarisir kemudian akan

diformulasikan dalam bentuk narrative academic sesuai dengan aspek-

aspek yang menjadi penekanannya. Untuk itu keterlibatan kelompok

akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan aspek-aspek

tersebut mereka sangat dibutuhkan sebagai Tim Ahli.

Hasil dari rumusan bersama ini akan berbentuk dalam sebuah

draft narrative academic, yang kemudian akan dikonsultasikan kepada

publik. Dengan harapan mendapatkan masukan-masukan dan kritik,

untuk lebih menyempurnakan dan mempertajam hasil-hasil rumusan

yang telah dicapai. Bentuk dari konsultasi publik ini dapat berupa talk show di radio dan diskusi-diskusi di tingkatan stakeholder inti

bersama dengan pemerintah daerah dan legislatif. Setelah itu maka

pada tahapan berikutnya siap untuk masuk pada Legal Drafting

melalui proses yang sama, melibatkan stakeholder dan pemerintah.

Asesmen (Pemetaan Masalah)

Pada tahapan asesmen atau pemetaan dilakukan bersama-sama

melibatkan PKL, dengan melakukan eksplorasi permasalahan dan

kebutuhan di tingkatan internal, sehingga temuan-temuan yang

didapatkan berangkat dari kondisi riil.

Strategi yang digunakan terbagi dalam 2 tahapan, yaitu: 1.

Pengumpulan data sekunder tentang jumlah PKL dan lokasi berjualan;

2. Diskusi kelompok.

Page 8: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

142

Hasil yang ingin dicapai dalam asesmen ini adalah adanya peta

yang akurat tentang PKL menyangkut jumlah PKL berikut kelompok

atau paguyuban dan peta permasalahan dan kebutuhan dari masing-

masing kelompok menurut klasifikasinya.

Ketika melakukan advokasi awal di lapangan terhadap PKL dan

stakeholder maka peta permasalahan yang ditemui dalam tahap

asesmen adalah sebagai berikut:

1. Ketidakteraturan tata letak PKL.

2. Kurang jelasnya perda sementara.

3. Terjadi perebutan lokasi dagang yang strategis antar PKL.

4. Penjualan lokasi strategis oleh oknum dinas pasar.

5. Munculnya PKL baru/binaan menganggu PKL lama akibat

relokasi pasar pasca kebakaran Pasar Raya.

6. Masyarakat sekitar terganggu terutama masalah kebersihan

akibat pengelolaan sampah tidak baik

7. Muncul permasalahan antara PKL dengan tukang parkir akibat

perebutan lahan.

8. Pemakai jalan terganggu.

9. Komplain dari pemilik toko yang tokonya tertutupi oleh PKL.

10. Terganggunya lalu lintas dan pemandangan kota menjadi tidak

indah.

Dalam asesmen diperoleh pula sejumlah informasi terkait

kebutuhan serta kepentingan masing-masing pihak serta harapan

terhadap permasalahan yang muncul. Dari harapan tersebut maka

diharapkan ada rencana tindak lanjut untuk menyikapi setiap

permasalahan tanpa mengorbankan pihak lain.

Page 9: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003

143

Tabel 5. 1 Tabel Kebutuhan PKL dan Stakeholder

No Stakeholder Kepentingan Harapan Rekomendasi

1 PKL Lahan dan waktu kerja

Lokasi dan jam dagang tertata

1. Dialog

Eksistensi kelompok

Paguyuban yang mengakomodir PKL

2. Penataan lokasi dan dagangan

Dagangan laku terjual

Jangkauan konsumen terhadap lokasi jualan

Tabungan Masa Tua

Retribusi sesuai profesi kerja

Keamanan dan kenyamanan

Tidak ada penggusuran

2 Masyarakat Lingkungan

Lingkungan sekitar nyaman

Lingkungan tidak kumuh

1. Dialog

Kesehatan keluarga / masyarakat

Udara bersih 2. Lokasi PKL sekitar kampung bersih

3 Pengemudi Becak

Lahan / Lokasi kerja dan transportasi

1. Lahan parkir bebas PKL

2. Jalur / jalan umum lancar

1. Dialog 2. Penataan

lokasi

4 OPS Pertokoan

Lahan / lokasi kerja

Jalan ke lokasi dagangan nyaman / bebas PKL

1. Dialog 2. Penataan

lokasi

5 Pedagang Eksis

Lahan / lokasi kerja

Jalan ke lokasi dagangan nyaman / bebas PKL

1. Dialog 2. Penataan

Lokasi

Dagangan Laku / terjual

Jangkauan konsumen

6 Petugas Parkir Lahan / lokasi kerja

Lokasi parkir bebas PKL

1. Dialog 2. Penataan

lokasi

Berdasarkan hasil asesmen di atas maka dalam rencana tindak

lanjut yang dilakukan oleh FMPS selalu melibatkan seluruh komponen

sesuai kebutuhan masing-masing sehingga semua pihak merasa

memiliki tanggung jawab dalam mengawal kepentingan bersama serta

meminimalisir terjadinya konflik kepentingan. Dalam dunia bisnis

pasti sarat kepentingan, apalagi terkait letak strategis ruang atau lokasi

berjualan dengan memanfaatkan ruang publik di dalamnya

Page 10: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

144

mengandung sejumlah harapan yang harus digapai oleh masing-masing

pihak sesuai kepentingannya.

Pengumpulan Data Tentang PKL

Langkah yang diambil dalam melakukaan upaya resolusi

konflik serta meredam berbagai permasalahan sosial lainnya, maka

FMPS melakukan langkah-langkah advokasi agar mengetahui secara

mendalam berbagai permasalahan yang terjadi di lapangan. Salah satu

langkah penting yang ditempuh adalah dengan pengumpulan data.

Dalam pengumpulan data lapangan difokuskan pada jumlah PKL dan

kelompok-kelompok atau paguyuban yang eksis saat itu dengan

membandingkan data yang diperoleh dari dinas pasar dan beberapa

dinas yang terkait dengan data dari lapangan hasil Live in. Dari hasil

temuan di lapangan dapat di petakan bahwa PKL terklasifikasi menjadi

3 golongan, yaitu; 1. PKL Inti, 2. PKL Binaan dan; 3. PKL Liar.4

Peningkatan jumlah PKL yang signifikan dari data Dinas Pasar tahun

1999 menunjukkan angka 1.765 PKL, meningkat menjadi + 2.750 PKL

pada tahun 2002.5

Peningkatan jumlah PKL yang cukup signifikan berpengaruh

pada semakin sempitnya ruang publik yang dipergunakan untuk

berjualan. Sehingga memiliki potensi konflik laten baik di tingkat

internal (antar sesama PKL) maupun general stakeholder yang ada.

Keresahan serta ketidaknyamanan dirasakan oleh warga sekitar lokasi

berjualan dan juga masyarakat pengguna fasilitas umum akibat daya

tampung ruang yang semakin tidak terkontrol. Pemerintah daerah

4 PKL Inti adalah PKL yang sudah lama berjualan sebelum Pasar Raya 1 terbakar Mereka terdiri dari 14 kelompok atau paguyuban, masing-masing paguyuban atau kelompok mempunyai kepengurusan. Dari 14 kelompok ini membentuk kepengurusan bersama yang terdiri dari perwakilan dari masing-masing kelompok, dan menempati lokasi tertentu.; PKL Binaan adalah pedagang baru yang ada setelah Pasar Raya I terbakar. Mereka membentuk kelompok-kelompok sendiri dan tidak tergabung dengan PKL Inti. Mereka harus membayar fee kepada oknum tertentu untuk dapat berjualan, PKL Binaan terdiri dari 5 kelompok yang tersebar di beberapa tempat; PKL Liar adalah PKL yang tidak ikut organisasi apapun dan tidak mempunyai lokasi yang tetap. 5 PKL inti berjumlah 900 orang; PKL Binaan 500 orang; PKL Non Status 900 orang; PKL Pattimura 450 orang (termasuk dalam kategori PKL Non Status).

Page 11: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003

145

melalui dinas Pasar dan PKL bekerja tidak maksimal, karena dinas

melalui petugas-petugas lapangannyapun tidak menyikapi eksistensi

PKL secara baik, bahkan ada petugas dari dinas Pasar dan PKL justru

memanfaatkan kehadiran PKL baru sebagai sumber pendapatan

mereka.

Sumber: FMPS, 2002.

Gambar 5. 2 Peta Penyebaran PKL Kota Salatiga Tahun 2002

Diskusi Homogen

Untuk dapat memperoleh peta permasalahan dan kebutuhan

yang lebih komprehensif, maka pada tahapan selanjutnya dilakukan

diskusi homogen, yaitu diskusi di masing-masing kelompok

berdasarkan klasifikasi yang ada, dengan melibatkan mereka dalam

Page 12: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

146

proses pemetaan, perencanaan dan perumusan strategi advokasi

kebijakan.

Dalam diskusi ini terbagi menjadi 3 tahapan, yaitu: 1. Diskusi

di lingkungan PKL Binaan dan Non Status; 2. PKL Non Status (Madura

dan Minang); 3. PKL Inti, Binaan dan Non Status. Secara umum dapat

ditarik kesimpulan awal bahwa permasalahan mendasar yang dihadapi

oleh PKL terbagi menjadi 2 bagian, yaitu; pertama, tidak adanya

aturan yang jelas dari Pemerintah Kota yang terkait dengan kebijakan

retribusi, lokasi, surat ijin berjualan dan jaminan keamanan; kedua, konflik internal (antar sesama PKL).

Beberapa rekomendasi bersama yang dihasilkan dalam diskusi

homogen semua kelompok PKL pada tahapan berikutnya mereka

sepakat bahwa perlunya dilakukan audiensi dengan pihak pemerintah

kota dan legislatif. Berdasarkan hasil diskusi komprehensif internal

PKL dengan temuan-temuan di atas dan terbentuknya kelompok

bersama paguyuban PKL, maka FMPS lebih memfokuskan kegiatan

mereka pada tujuan bersama yang telah disepakati.

Audiensi dengan Pemerintah Kota dan Legislatif

Audiensi dilakukan dengan mengundang pemerintah kota yang

terdiri dari beberapa dinas terkait Legislatif dari beberapa komisi yang

ada. Perwakilan masyarakat yang dihadiri tokoh masyarakat, pedagang

eksis (pedagang pasar), PKL dan kelompok profesional (wartawan

media cetak dan radio). Di dalam audiensi disampaikan hasil rumusan-

rumusan diskusi homogen yang telah dilakukan oleh FMPS dan PKL,

dalam audiensi tersebut melalui kehadiran beberapa stakeholder lain

dengan pertanyaan dan pemikirannya memberikan kontribusi bagi

analisis yang lebih komprehensif. Sehingga dari proses audiensi ini ada

beberapa aspek yang patut menjadi penekanan bagi proses tahapan atau

rekomendasi ke depan dalam penyusunan perda tentang penataan PKL.

Kesepakatan yang terbangun antara pemerintah kota, legislatif

dan masyarakat bahwa partisipasi masyarakat dalam menentukan arah

Page 13: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003

147

kebijakan publik6 sangat diharapkan dan akan memberikan warna bagi

sistem pemerintahan dan kebijakan yang dihasilkan. Penggalian

aspirasi dari masyarakat sebagai dasar dalam menentukan langkah-

langkah dan keputusan strategis, merupakan sebuah jalan menggapai

kebijakan publik yang menjawab keresahan masyarakat secara umum.

Partisipasi dalam Proses Pembuatan Raperda PKL

Dalam mengupayakan terbentuknya sebuah regulasi yang

mengatur tentang eksistensi PKL di Kota Salatiga maka masyarakat

melalui wadah bersama FMPS menggelar berbagai kegiatan dari bulan

Juni 2002 sampai dengan Juli 2002 yang dimulai dengan penggalian

aspirasi sampai melakukan audiensi dengan pemerintah kota dan

legislatif Kota Salatiga. Dari hasil-hasil tersebut kemudian dilakukanlah

dialog dengar pendapat mengenai rencana perumusan peraturan

daerah tentang penataan PKL di Salatiga. Pelaksanaan dialognya pada

hari Selasa tanggal 16 Juli 2002 di gedung serba guna PLN Kalitaman

Salatiga. Dalam kegiatan tersebut banyak hal yang dibahas menyangkut

kondisi Kota Salatiga yang segera disikapi oleh pemerintah dan

legislatif demi terciptanya situasi kota yang kondusif melalui peraturan

daerah. Berikut ini dipaparkan mengenai kegiatan dialog dengar

pendapat yang dilaksanakan oleh FMPS dan hasilnya.

Peserta yang hadir:

a. Perwakilan Pengurus PKL 43 orang

NO NAMA PAGUYUBAN LOKASI BERJUALAN 1 RAHAYU GEMAH RIPAH BELAKANG PASAR

2 NARYONO BAROKAH DEPAN GKL PANDOWO

3 JONI FAIZAL MINANG JL JENDERAL SUDIRMAN

4 MARYONO GEMAH RIPAH JL KALINYAMAT

5 LUKAS SM BARAS AKT1 TAMAN SARI

6 IMAM SADALI GEMAH RIPAH I JL KALINYAMAT

7 KUNY1 ALI JENSUD PKL SORE

JENSUD

6 Bentuk yang disepakati sebagai wujud partisipasi publik adalah dengan adanya Tim Independent yang terdiri dari beberapa stakeholder dalam masyarakat, yang memberikan masukan, usulan bagi penyusunan PERDA tentang Penataan PKL.

Page 14: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

148

8 UCUP HARAPAN MAJU BELAKANG PR 2

9 PUJIONO PKL KARAK JL TAMAN PAHLAW AN

10 MASKUR SUMARTO

PKL JL PEMUDA JL PEMUDA

11 ELFIRA PKL JENSUD DEPAN BATIK REMBULAN

12 MULYANTO PKL BARASAKTL TAMAN SARI

13 SUGIYARTO SETIA KAWAN SHOPPING C

14 DIDIK P PKL BUAH JL TAMAN PAHLAW AN

15 KAYAT PKL SOL SEPATU JL TAMAN PAHLAW AN

16 LINI R TANJUNG BHINTUKA DEPAN TOKO YUNGTOTO

17 SOLEH PKL MADURA PASAR REJOSARI

18 TONI CANDRA PKL MINANG SUDIRMAN

19 JOSEP TANJUNG PKL GRESS JL JEND SUD

20 JULIANTO HARAPAN MAJU BELAKANG PR 2

21 ARIES BHINTUKA JEND. SUD BARAT

22 JEREMI MINANG JL JENDERAL SUDIRMAN

23 FERDY MINANG JL JENDERAL SUDIRMAN

24 IGN SUYITNO KA PPPR I PASARAYA I

25 JOKO LEGOWO P3LS SHOPPING

26 SUSIYANTO PKL JEND SUD JL JENDERAL SUDIRMAN

27 MUKHLISIN PKL JEND SUD JL JENDERAL SUDIRMAN

28 HENDRRZAL PKL JEND SUD JL JENDERAL SUDIRMAN

29 SUROSO PAT1MURA KALOKA

30 TATIK WIDATIK PATUMURA KALOKA

31 B Yatmi PPKL JL TAMAN M. PAHLAWAN

32 BU YARTI PPKL JL TAMAN M. PAHLAWAN

33 Warmr PKL JL JENDERAL SUDIRMAN

34 AFRIZOL / JON BHINTUKA DEPAN TOKO ADISTANA

35 M TOH1R MADURA PASARSAPI

36 SUROSO SWAKARYA BN1-MERAPI

37 AGUSTONO SWAKARYA Bnl-Merapi

38 SYAMSULBAHAR1 GRESS POLJON JEND SUD

39 Widi Astuti GEMAH RIPAH III JL TAMAN M PAHLAWAN

40 JONI F1ZAL BHINNEKA JL JENDERAL SUDIRMAN

41 EKO SUPRIYANTO BHINTUKA JL JENDERAL SUDIRMAN

42 YON Efendl BHINTUKA JL JENDERAL SUDIRMAN

43 M HAPID PKL MADURA PASAR REJOSARI

Page 15: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003

149

b. Dinas dan Dewan Kota Salatiga 15 orang

NO NAMA LEMBAGA/PAGUYUBAN

1 WIYARSO INKOM

2 NIKEN BAG HK ORTALA

3 YUSNARNO KOMISl A DPRD

4 HARYONO X KOMISI C DPRD

5 SUPARMAN DINAS PASAR

6 DALIMO DINAS PASAR

7 DID1K WIYADI PARSENIBUD

8 AHMADI KOMISI B DPRD

9 SRI DANUDJO BAPPEDA-TRTG Tanah

10 SUHESTIWENING BAG PEREKONOMIAN

11 SOETJIPTO KESBANGL1NMAS

12 AJI RIYANTO PARIWISATA

13 MUKBAN DPRD

14 RAHMAT DPP PAN

15 SIS RIYAD1 LPPT

c. Tokoh Masyarakat 11 orang

NO NAMA LEMBAGA/PAGUYUBAN 1 WIDIARTO KALITAMAN

2 DARMAJI S KALITAMAN

3 SABARS KALITAMAN

4 KADYO RT 2 KALITAMAN

5 TRIARSO LEMBAGA KEPEMUDAAN PANCURAN

6 Y SUGIYARTO RT 6 RW IV KALITAMAN

7 A INDARTO RW KALICAC1NG

8 GUNANTO RW IV KALITAMAN

9 R UTOMO SEK. RW IV PANCURAN

10 WIYONO KELURAHAN SALATIGA

11 LILIK GERAKAN MASYARAKAT KLASEMAN

d. Pers 2 orang

NO NAMA LEMBAGA/PAGUYUBAN

1 FAUZI RSPD SALATIGA

2 EDY S SOLO POS

Page 16: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

150

Rangkuman Usulan dan Tanggapan dalam Dialog Dengar Pendapat

dari Masing-Masing Elemen:

A. Perwakilan Kelompok PKL Salatiga:

a. Lokasi berjualan yang strategis menjadi lahan yang

diperebutkan antar PKL.

b. Adanya janji-janji untuk dibuatkan los-los di depan toko

yang telah disetujui pemimpin yang dulu (dinas/pemkot),

tetapi tidak ditepati.

c. Pungutan karcis 3-5 kali sehari, karcis retribusi pasar,

hotel, tempat makan dan restoran, pariwisata, parkir,

retribusi keamanan dan kebersihan.

d. PKL tetap membayar retribusi dengan pertimbangan tetap

boleh berjualan walaupun jenis pungutan tidak sesuai atau

tidak berhubungan dengan PKL.

e. PKL membantu pemerintah kota dalam menyumbang

Pendapatan Asli Daerah (PAD), tetapi tidak mendapat

pembinaan dan tidak tahu kemana hasil penarikan retribusi

tersebut.

f. Klarifikasi adanya isu tentang penertiban tanggal 1 Agustus

2002 yang akan dilakukan Pemkot Salatiga terhadap PKL.

g. PKL menata dirinya sendiri, tidak harus ditertibkan oleh

Satpol PP.

h. Tidak adanya informasi dan aturan yang jelas yang

mengatur PKL pagi dan sore

i. PKL boleh tetap berjualan di jalan Jenderal Sudirman.

j. Adanya rencana pembuatan aturan tentang penataan

pedagang kaki lima dari dinas yang mengatur tentang PKL,

tetapi proses penyusunannya tidak melibatkan PKL.

k. Perlu dibentuknya tim independen sebelum raperda jadi,

sehingga ada perwakilan khusus dari PKL, yang mana PKL

Page 17: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003

151

akan mendengarkan informasi yang akurat dari pemda dan

terlibat dalam pembuatan aturan tentang PKL.

l. Sebelum raperda berlaku menjadi perda ada sosialisasi ke

masyarakat (PKL).

m. Ada pakar, yang dilibatkan dalam pembicaraan/diskusi

untuk merencanakan pengaturan PKL, sehingga hasilnya

akan terarah (pada fokus permasalahan dan kepentingan

PKL).

n. PKL dari Minang (pendatang) tidak bisa bergabung dengan

kelompok PKL setempat (yang sudah ada).

B. Perwakilan Pers:

a. Forum ini tidak hanya menyalahkan dewan, tetapi

bekerjasama dengan dewan dan dinas.

b. Perlunya tim independen dari (melibatkan) PKL sebagai

jembatan PKL, dinas pasar dan dewan, sehingga jelas PKL

mau menyampaikan kemana. apakah ke FMPS atau dewan.

c. Kebijakan berubah tiap perubahan kepemimpinan

(pemerintahan).

d. PKL luar negeri itu diasuransikan sehingga ketika keluar

dari PKL dia masih punya hak asuransi, ketika Pasar Raya

terbakar PKL mendapat asuransi. Data PKL yang masuk

dan keluar bisa terpantau.

e. Forum ini tujuannya untuk membentuk tim, dan forum ini

yang dimotori FMPS.

f. Sosialisasi dan publikasinya bisa lewat radio secara cuma-

cuma.

C. Masyarakat:

a. Adanya perlindungan dan perlakuan persuasif terhadap

PKL.

Page 18: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

152

b. Membutuhkan draf yang sudah ada sehingga masyarakat

dalam melaksanakan perda itu tidak akan sia-sia, sehingga

usulan-usulan ini dapat tertampung, ada perlakuan yang

kurang manusiawi terhadap PKL, sehingga masyarakat bisa

melakukan pembelaan.

c. Aturan tata tertib PKL di trotoar itu sudah jelas ada dan

secara formal itu tidak boleh permanen tetapi banyak yang

permanen.

d. PKL itu anak emasnya pemkot karena sebagai pendapatan

retribusi dari PKL ke pemkot.

e. Muncul banyak PKL baru yang berjualan lebih dari jam

dua pada siang hari tapi didiamkan.

f. Masyarakat Pancuran terganggu dengan aktifitas PKL yang

semrawut, tetapi pemda sengaja mendiamkan saja karena

PKL berkontribusi pada pendapatan asli daerah.

g. Tanah kosong di sekitar Luxor, diusulkan untuk dijadikan

tempat khusus PKL sambil menunggu Pasar Raya 1 selesai

pembangunannya.

h. Adanya tim independen tim itu terdiri dan PKL,

masyarakat, pedagang non PKL dan pihak lain terkait PKL.

i. Perda kalau sudah terbentuk bisa dinikmati oleh semua

pihak.

j. Dalam penyusunannya perda dirumuskan dari masyarakat

sehingga setelah perda itu terbentuk sudah tidak ada lagi

masalah dngan pihak manapun termasuk masalah moralitas

pejabat pemerintah.

k. Pemerintah dan dewan langsung terjun ke masyarakat

untuk mengetahui permasalahan di masyarakat.

l. Taman Pahlawan dibuat pasar, dampaknya di Pancuran

sangat terganggu.

Page 19: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003

153

m. Sampah yang dibuang di kali dapat mengganggu

lingkungan sekitar, daerah Pancuran terkesan kampung

yang kumuh.

n. Salatiga mempunyai kultur yang berbeda dengan kota-kota

lain dan jangan sampai masyarakat sekitar terkena

dampaknya akibat penataan ini.

D. Pedagang Eksis:

a. Sekitar Pasar Raya 1 tidak ditempati PKL.

b. Banyaknya PKL baru dan masyarakat pendatang sengaja

datang untuk menjadi PKL atau berprofesi sebagai PKL,

sehingga pedagang pasar (Pasar Raya) menjadi sepi,

pedagang asli dari Salatiga dapat kita hitung hanya

beberapa saja dan mereka tertinggal dengan adanya PKL

baru.

c. Pedagang yang mempunyai kios di Pasar Raya 1

dikontrakkan dan menjadi PKL, karena lebih

menguntungkan.

d. Jangan sampai keputusan sudah disahkan tapi akhirnya ada

keluhan dari masyarakat sehingga perdanya dapat

menguntungkan seluruh warga Kota Salatiga.

E. Dinas Pasar:

a. Penarikan karcis dua sampai lima kali, membutuhkan

jawaban (penjelasan) dengan pembuktian yang valid karena

jika tidak, nanti hasilnya tidak akan akurat. Kalau ada

pengaduan sampaikan kepada dinas dengan buktinya dan

lebih valid lagi jika melalui sekelompok/perwakilan dari

PKL.

b. Penertiban dengan model yang disesuaikan.

c. Penataan PKL harus menguntungkan PKL itu sendiri,

masyarakat lingkungan, dan kepentingan-kepentingan

pemerintah/umum (trotoar yang mestinya untuk pejalan

Page 20: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

154

kaki bukan untuk para PKL), ini yang dimaksud

menguntungkan semua pihak. Karena pemerintah yang

bertanggung jawab atas sarana publik, semua trotoar

dibangun dengan anggaran/dana masyarakat yang di kelola

oleh pemerintah untuk masyarakat luas.

d. Jumlah PKL di Salatiga ini fluktuatif, terbanyak muncul

sekitar hari raya Idul Fitri sensus terakhir antara dinas

pasar dan UKSW.

e. Dinas/pemerintah menganggarkan ratusan juta untuk

menangani PKL, apakah itu nanti berbentuk pinjaman,

atau lainnya yang sudah terprogram dan tinggal

dilaksanakan.

f. Dinas pasar sedang memprogramkan lahan bagi PKL

dimana pembatasannya ada kriterianya, dilokalisir,

waktunya dan sebagainya. Tidak mungkin semua kesalahan

ditimpahkan ke pemda.

g. Raperda disahkan berarti telah mendapatkan persetujuan

dari PKL.

F. BAPPEDA:

a. Perda Salatiga No.5/95 menjelaskan bahwa Salatiga

diarahkan menjadi kota transit wisata, kota pendidikan,

dan olahraga.

b. Salatiga dibagi menjadi lima BWK (bagian wilayah kota),

repotnya pusat perdagangan berada di BWK 1 (Jensud dan

Rumah Sakit), pusat pelayanan pendidikan di BWK 11 di

Sidorejo, pusat fasilitas olahraga di BWK 1 di Kridanggo,

pusat pemerintahan di BWK I, fasilitas pemerintahan dan

sosial di seluruh BWK, pusat pelayanan transportasi BWK

V pusat rekreasi dan hiburan di BWK I, 11, V dan ruang

terbuka untuk pejalan kaki banyak digunakan oleh PKL

untuk berjualan. Sedangkan menurut RDTRK (rencana

Page 21: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003

155

detail tata ruang kota), RTTRK (rencana teknis tata ruang

kota), jalan tidak boleh untuk jualan.

G. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Salatiga:

a. Dewan tidak tahu persis kondisi lapangan, anggota dewan

tentu perlu ada transparansi tentang terjadinya

pemungutan harus jelas sesuai dengan komisi keuangan,

retribusi dan perpajakan sebenarya retribusi ini bertumpu

pada aset daerah karena PKL memungut keuntungan sana

sini dan menggunakan fasilitas pemkot.

b. Tentang keamanan bahwa retribusi keamanan itu jadi satu

dengan kebersihan sehingga ada timbal balik. Dinas pasar

bekerja sama dengan lingkungan melakukan kebersihan

sampah di sekitar PKL kalau ada retribusi keamanan tentu

ada timbal balik artinya ada jaminan keamanan yang

diperoleh pedagang jika ada hal yang merugikan pedagang.

c. Tentang adanya draf yang mengatur tentang PKL secara

khusus, belum ada perdanya, langkah-langkah yang

ditempuh dewan yaitu menyerap berbagai aspirasi forum-

forum seperti ini, dinas pasar, dan mengadakan studi

banding dengan tujuan dapat menyerap berbagai aspirasi

dengan keseimbangan kepentingan antara pedagang dan

pemkot.

d. Pergantian anggota dewan merubah kebijakan sebelumnya.

Penyusunan perda mengakomodasi aspirasi berbagai

kepentingan (pemakai jalan, masyarakat sekitar) yang akan

tertuang di dalam perda yang disusun kemudian. Pejabat

lama dan baru harus mengacu pada aturan atau perda yang

akan memperjuangkan aspirasi dari masyarakat dan tidak

sekedar janji.

e. Membuat peraturan daerah tidak sekedar menggusur atau

memindahkan tetapi mempertimbangkan berbagai nilai,

sosial dan mengakomodasi berbagai kepentingan. Perlu

Page 22: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

156

kesadaran bahwa ketertiban adalah tanggung jawab

bersama, penggunaan tempat-tempat umum yang

merugikan pemakai jalan atau kepentingan yang lain harus

dipikirkan bersama, sehingga perda dapat diterima oleh

semua pihak.

f. Hak merubah, merenovasi gedung mestinya ada hak ijin

mendirikan bangunan tetapi kalau menyangkut hajat hidup

orang banyak. Pertemuan lanjut, mengundang dinas

Lingkungan, dinas Pekerjaan Umum, dan Transportasi,

karena ketiga dinas itu terkait dengan pengambilan sebuah

kebijakan.

g. Bulan ini sedang disusun raperda PKL dan sampai tahapan

penyerapan aspirasi, pendataaan dan masukan dari pakar.

Dengan adanya tim independen dapat melibatkan PKL

dalam pembahasan raperda.

h. Penataan PKL akan dilakukan sebaik mungkin, mengingat

lahan-lahan yang digunakan PKL sebagian besar adalah

lahan yang dipakai untuk fasilitas umum dimana

masyarakat Salatiga menginginkan kenyamanan dalam

menggunakan fasilitas umum, sebagai contoh pengguna

jalan tidak dapat menggunakan jalan secara maksimal jika

jalannya dipakai untuk PKL siang dan malam, sehingga

kalau ada pejalan kaki yang kecelakaan, PKL kena dampak

dari hal tersebut.

i. Di kota-kota lain itu ada areal tertentu yang diperuntukkan

untuk PKL tetapi dengan persyaratan yaitu tempat, waktu

(sore/malam) ketika waktu sudah berjualan telah selesai,

maka tempat berjualan harus bersih karena ini merupakan

fasilitas umum misalnya pasar pagi, jam tujuh harus bersih

lagi.

j. Pemerintah tidak hanya mengatur PKL di jalan Jenderal

Sudirman, dan Pattimura saja tanpa mencoba melakukan

pertimbangan di daerah-daerah lain, karena semakin

Page 23: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003

157

tertatanya kota, maka di jalan Jenderal Sudirman semakin

berkembang PKL, hal ini harus ada keseimbangan penataan

yang dilakukan oleh pemerintah Kota Salatiga

k. PKL mempunyai kios yang permanen, perlu berembug

bersama bagaimana caranya memberdayakan PKL untuk

kepentingan masyarakat dan Kota Salatiga

l. Masyarakat membuat draf raperda dengan didampingi

anggota FMPS sehingga ada titik temu dalam membuat

raperda PKL.

m. Hak untuk membentuk tim adalah hak semua elemen

masyarakat.

H. Setda Hukum dan Ortala:

a. Mekanisme penyusunan perda, di era otonomi daerah UU

No 22 tahun 1999 kita dihadapkan pada beberapa

paradigma baru yang berkaitan dengan proses penyusunan

produk hukum khususnya terbentuknya perda PKL di

Salatiga.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas perda:

SDM yang tahu persis bagaimana penyusunan perda

(legal drafter).

Prosedur penyusunan, teknik penyusunan materi, dan

penggunaan bahasa dalam UU yang mana bahasa itu

mudah dimengerti oleh masyarakat dan mudah

dilaksanakan.

Kewenangan membentuk perda itu sejak ada UU No 22

tahun 1999 kepala daerah menetapkan keputusan

daerah atas persetujuan DPRD, kalau ini yang

ditempuh berarti inisiatif berasal dari eksekutif, dalam

perda PKL disusun dinas Pengelolaan Pasar dan PKL

dengan menyerap aspirasi dari masyarakat PKL dan

aspek-apek lain.

Page 24: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

158

Dibahas bersama DPR atau setelah matang di eksekutif

disetujui oleh DPR, tepat pada UU. No 22 tahun 19 99

DPR dan walikota membentuk perda, pasal 19 ayat 1

huruf F UU. No 22 tahun 1999 ada hak inisiatif DPRD,

tadi telah disampaikan komisi A ajang ini sebagai

sarana penyerapan informasi kemudian pada saaat

menyusun perda perlu memperhatikan faktor sosiologis

yaitu ketika perda PKL tersusun pedagang eksis tidak

diperhatikan hanya PKL saja itu harus betul-betul kita

perhatikan, dari dulu ada janji penataan Kota Salatiga

tapi tidak ada realisasinya bahwa menata PKL itu tidak

mudah sebagai ilustrasi kita sudah mempunyai Perda

No 18 tahun 1981 yang diperbarui dengan Perda No. 5

tahun 1993 tentang kebersihan, keindahan, ketertiban

kota yang mengatur PKL dimana di sepanjang jalan

Jenderal Sudirman itu dilarang ada PKL.

c. Landasan filosofis: PKL dari Minang yang ingin masuk pada

pedagang PKL baru kok tidak boleh, ya jelas tidak boleh,

kita sudah ruwet, kemudian dengan meledaknya jumlah

PKL, maka warga Pancuran keberatan apalagi kalau mereka

membuang sampah di Pancuran,

d. Landasan ekonomis: jangan sampai keberadaan PKL di

Salatiga mengalahkan pedagang eksis, jangan sampai

mengganggu situasi perdagangan yang lain karena Salatiga

itu kota pendidikan, transit perdagangan, olahraga,

sehingga transit perdagangan perlu kita olah secara baik.

e. Tim lndependen itu dilihat dari kajian hukum, silahkan

dialog langsung dengan dewan karena kami sudah

merencanakan penyusunan perda berdasarkan prakarsa

dewan dan menyerap aspirasi masyarakat namun belum

diangkat dalam produk hukum dan penyusunan raperda

antara legislatif dengan menyerap aspirasi masyarakat.

Page 25: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003

159

f. Memberi kesempatan kepada masyarakat belum jelas untuk

bertanya pada bagian hukum sekretariat pemda bagaimana

menyusun produk hukum yang berkualitas untuk

peningkatan kesejahteraan masyarakat Kota Salatiga

terutama pengaturan PKL.

g. Keterlibatan PKL dalam menyusun perda PKL: sejauh yang

ingin PKL sampaikan kepada dewan, karena (secara

perwakilan) PKL tidak mungkin menyusun perda tentang

PKL, tapi kalo PKL menyusun draf kemudian

dikonsultasikan kepada komisi A (yang membidangi) akan

lebih bagus karena ini merupakan prakarsa dari masyarakat

tertuang dalam pasal 19 ayat 1 huruf f UU No 22 tahun

1999.

Rekomendasi:

1. Perlunya pembentukan tim independen yang melibatkan PKL,

pedagang eksis, masyarakat dan kelompok lain yang terlibat

langsung dengan kebutuhan dan permasalahan PKL.

2. Forum Masyarakat Peduli Salatiga sebagai mediator dan

fasilitator dalam pembentukan tim independen.

Berdasarkan rekomendasi tersebut kemudian dibentuklah tim

independen yang difasilitasi oleh FMPS sehingga berbagai kegiatan

dapat dilakukan dalam upaya menyusun produk hukum dalam menata

PKL. Melalui partisipasi semua stakeholder maka raperda dapat

diselesaikan kemudian dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan semiloka

dan pada akhirnya dilakukan pula workshop tentang perumusan Perda

PKL yang dihadiri oleh semua elemen. Dari workshop itulah kemudian

ditindaklanjuti secara serius sehingga menghasilkan Perda No 2 tahun

2003 tentang penataan PKL Kota Salatiga.

Page 26: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

160

Partisipasi dalam Implementasi

Implementasi merupakan penyediaan sarana untuk

melaksanakan kegiatan yang menimbulkan dampak atau akibat

terhadap sesuatu, baik menyangkut kehidupan manusia secara individu

ataupun kelompok. Kegiatan yang dilakukan dan menimbulkan

dampak atau akibat yaitu implementasi undang-undang, peraturan

pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang dibuat oleh

lembaga-lembaga pemerintah dalam hubungan dengan kehidupan

bernegara. Implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari

keseluruhan proses kebijakan. Van Meter dan Van Horn (Wahab,

2001:65), merumuskan proses implementasi sebagai: “those actions by public or private individuals (or groups) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions”

(tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu,

pejabat-pejabat, atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta

yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan

dalam keputusan kebijakan.

Menurut Wahab (2001:61), dalam proses implementasi

kebijakan sering terdapat permasalahan yang menunjukkan

ketidakefektifan kebijakan yang telah ditempuh. Gejala tersebut

dinamakan sebagai implementation gap, yakni: “Suatu keadaan

dimana dalam proses kebijakan selalu akan terbuka kemungkinan

terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan (direncanakan)

oleh pembuat kebijakan dengan apa yang dicapai (sebagai hasil

atau prestasi dari pelaksanaan kebijakan). Besar kecilnya perbedaan

tersebut tergantung pada organisasi ataupun aktor yang dipercaya

untuk mengemban tugas dalam mengimplementasikan kebijakan

tersebut.”(Andrew Dunsire dalam Wahab, 2001:61). Sebagaimana yang

dijelaskan oleh Hogwood dan Gunn (Wahab, 2001: 61), bahwa:

“Kebijakan publik sebenarnya mengandung risiko untuk gagal.

Kegagalan kebijakan dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu non-implementation (tidak terimplementasi) dan unsuccessful implementation (implementasi yang tidak berhasil). Kebijakan yang

memiliki resiko untuk gagal tersebut disebabkan oleh beberapa

Page 27: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003

161

faktor diantaranya, pelaksanaannya yang jelek (bad execution),

kebijakannya sendiri memang jelek (bad policy), dan kebijakan yang

bernasib jelek (bad luck).”

Implementasi suatu kebijakan dapat dianalisis dengan

mengunakan beberapa model implementasi kebijakan. Salah satu

model implementasi kebijakan adalah model yang dikembangkan oleh

Van Meter dan Van Horn (1975), yang disebut sebagai a model of the policy implementation process (model proses implementasi kebijakan).

Model ini mencoba menghubungkan antara isu kebijakan dengan

implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan

kebijakan dengan prestasi kerja (performance). Antara kebijakan

dengan prestasi kerja dipisahkan oleh sejumlah variabel bebas

(independent variable) yang saling berkaitan. Variabel-variabel bebas

itu di antaranya: 1) Ukuran dan tujuan kebijakan, 2) Sumber-sumber

kebijakan, 3) Ciri-ciri atau sifat badan/instansi pelaksana, 4)

Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan,

5) Sikap para pelaksana, dan, 6) Lingkungan ekonomi, politik, dan

sosial.

Menurut Cleaves (Wahab 2015: 187), menjelaskan bahwa

implementasi mencakup proses bergerak menuju tujuan kebijakan

dengan cara administratif dan politik. Keberhasilan atau kegagalan

implementasi dapat dievaluasi dari sudut kemampuannya secara nyata

dalam meneruskan atau mengoperasionalkan program-program yang

telah dirancang sebelumnya. Sedangkan Van Meter dan Van Horn

(Wahab 2015: 65), menjelaskan bahwa implementasi adalah tindakan-

tindakan yang dilakukan baik individu-individu (pejabat) atau

kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada

tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan

kebijakan. Karena itu keseluruhan proses implementasi kebijakan dapat

dievaluasi dengan cara mengukur atau membandingkan antara hasil

akhir dari program-program yang dilaksanakan dengan tujuan

kebijakan.

Perjalanan yang dilalui bersama antara masyarakat, pemeritah

kota, dan legislatif dalam mengkaji dan menganalisa dampak yang

Page 28: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

162

ditimbulkan dari eksistensi PKL, maka lahirlah Peraturan Daerah

Nomor 2 Tahun 2003 tentang Penataan PKL Kota Salatiga yang

dimplementasikan demi terwujudnya Kota Salatiga yang baik dan

nyaman. Pelaksanaan secara sederhana dimaknai sebagai suatu

tindakan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki kepentingan

terhadap suatu aktivitas dalam mewujudkan tujuan yang telah

ditetapkan. Karena itu semua stakeholder berharap akan tujuan yang

dicapai adalah terwujudnya tatanan kehidupan masyarakat yang lebih

baik di kota Salatiga.

Fakta mengenai partisipasi publik dalam implementasi Perda

Nomor 2 Tahun 2003 dapat dicermati melalui jumlah masyarakat yang

berpartisipasi, bagaimana bentuk ataupun wujud partisipasinya, serta

cara pelaksanaannya, dan semangat untuk berpartisipasi. Ketika

mengkaji tentang keterlibatan masyarakat dalam implementasi Perda

Nomor 2 tahun 2003, sangatlah besar dukungan dari semua stakeholder

dan untuk PKL sendiri dapat dilihat dari kepatuhan mereka terhadap

Perda dimaksud dimana wilayah-wilayah yang tidak dikhususkan

sebagai tempat berjualan bagi mereka semuanya dikosongkan dan tidak

ada lagi aktivitas dagang di tempat tersebut. Berdasarkan kondisi nyata

yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat khususnya

PKL sangat antusias menopang proses implementasi regulasi yang lahir

dari partisipasi mereka pula, sehingga dibutuhkan juga partisipasi aktif

dalam pelaksanaan di lapangan.

Selain semua komunitas PKL dan stakeholder lainnyapun turut

menopang pelaksanaan implementasinya melalui interaksi setiap hari

dengan menjaga ketertiban serta kenyamanan PKL ketika berjualan.

PKL meresponnya dengan menjaga kebersihan pada saat berjualan di

tempat-tempat yang telah disepakati bersama dan diatur melalui Perda

Nomor 2 tahun 2003 sehingga tidak lagi terjadi kesewenang-wenangan

di antara sesama PKL dan stakeholder lainnya.

Peraturan Daerah No 2 Tahun 2003

Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Penataan

Pedagang Kaki Lima Kota Salatiga, adalah produk partisipasi publik

Page 29: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003

163

dalam mengupayakan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan

di dalam pembangunan daerah dengan memberikan ruang untuk

masyarakat berusaha menggunakan ataupun memanfaatkan ruang

terbuka di luar bangunan pasar dan pertokoan. Dengan demikian maka

perda tentang PKL merupakan dasar bagi masyarakat untuk

meningkatkan taraf hidupnya di bidang ekonomi yang didukung

penuh oleh pemerintah daerah sebagai bagian dari program

pembangunan daerah.

Sebelum adanya Perda Nomor 2 tahun 2003 para PKL yang

adalah bagian dari masyarakat Kota Salatiga tidak memiliki jaminan

keamanan secara sah melalui regulasi dari pemerintah untuk

melangsungkan usaha mereka. Dari kondisi tersebut maka ada pihak-

pihak tertentu yang menggunakan kewenangannya secara sepihak

untuk mengeksploitasi PKL sehingga menimbulkan dampak negatif

bagi eksistensi PKL di Kota Salatiga. Melalui implementasi perda PKL

dengan menyertakan TDU (tanda daftar usaha) bagi PKL maka peluang

untuk meningkatkan usaha semakin baik, lagi pula melalui Perda

Nomor 2 tahun 2003 pasal 4 huruf g menjelaskan bahwa pedagang

kaki lima yang disingkat PKL adalah seorang atau lebih yang

melakukan usaha dengan memanfaatkan ruang wilayah tertentu,

menggunakan sarana prasarana tertentu serta pada waktu tertentu7.

Selanjutnya dalam Perda Nomor 2 tahun 2003 diatur pula

tentang hak, kewajiban serta larangan bagi PKL dalam melakukan

aktivitas usahanya sehingga secara menyeluruh mereka diperhatikan

oleh pemerintah tetapi dalam aktivitasnya mereka juga memiliki

kewajiban sebagai wujud tanggung jawab warga masyarakat terhadap

daerahnya. Jika kewajibannya tidak dipenuhi ataupun terjadi

pelanggaran atas larangan yang telah ditetapkan maka pastinya ada

sanksi bagi mereka yang melakukan pelanggaran, sehingga seluruh

PKL tidak lagi secara semena-mena mengatur diri tanpa terkontrol dari

pihak pemerintah daerah melalui dinas terkait.

7 Perda No 2 Tahun 2003; 2

Page 30: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

164

Hak PKL yang diatur yaitu mendapatkan pendaftaran daftar

usaha, mendapatkan fasilitas usaha, disediakan lahan pengganti PKL

apabila lokasi usaha dibutuhkan oleh pemerintah daerah, mendapatkan

fasilitas pemberdayaan dan pengembangan usaha serta mendapatkan

informasi dan berperan serta dalam kebijakan yang berkaitan dengan

PKL. Dari hak yang diberikan bagi mereka ternyata juga PKL diberi

ruang untuk berpartisipasi aktif untuk mengawal kebijakan yang telah

ditetapkan dan diimplementasikan oleh pemerintah daerah. Dengan

konsideran yang tertuang pada pasal 4 huruf e (Perda No 2 Tahun

2003: 3) sangat jelas diatur bahwa PKL tidak hanya diberi hak untuk

melakukan aktivitas usaha semata tetapi mereka juga diberi ruang

untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan publik.

Tentang kewajiban terdapat tujuh item yang mengatur

kewajiban PKL yaitu; a) Memelihara dan mengelola kebersihan,

keindahan, ketertiban dan kesehatan lingkungan; b) Menempatkan,

menata barang dagangan dan peralatannya dengan tertib dan tidak

mengganggu lalu lintas dan kepentingan umum; c) Mencegah

kemungkinan timbulnya bahaya kebakaran; d) Menempati sendiri

tempat usaha PKL sesuai dengan lokasi yang telah ditetapkan

pemerintah daerah; e) Membayar retribusi; f) Membawa pulang

peralatan yang telah digunakan;

g) Melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya sesuai ketentuan yang

berlaku. Dari kewajiban tersebut tujuannya adalah untuk kebaikan

semua pihak baik PKL, masyarakat umum dan pemerintah daerah,

karena itu dengan kewajiban yang telah ditetapkan maka PKL

memiliki tanggung jawab penuh dalam implementasi kebijakan sebagai

wujud partisipasi dalam menopang pembangunan daerah.

Setelah diberi hak serta kewajiban dalam melakukan usahanya

PKL dilarang menggunakan peralatan usaha selain yang telah

ditetapkan pemerintah daerah, menggunakan fasiltas usaha selain yang

telah ditentukan oleh pemerintah daerah, memindahtangankan tempat

usaha kepada pihak lain, membuang limbah di luar tempat yang telah

disediakan/ditentukan oleh pemerintah daerah, merusak tanaman hias

dan pohon pelindung serta prasarana kota yang lain. Tujuan dari

Page 31: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003

165

larangan tersebut adalah untuk menjaga ketertiban dalam melakukan

usaha, terdapat kesan lain yaitu pemerintah daerah berupaya agar tidak

muncul PKL baru yang diakibatkan penjualan tempat usaha kepihak

lain.

Selain hak, kewajiban, dan larangan, diatur pula tentang

retribusi PKL terhadap pemerintah daerah. Sebagaimana telah

dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa dengan ketidakjelasan dalam

penarikan retribusi yang dilakukan oleh oknum pegawai dari dinas

tertentu, maka hal tersebut berdampak pada aktivitas usaha PKL.

Karena itu pemerintah daerahpun menetapkan tarif retribusi secara

jelas sehingga tidak ada lagi oknum pegawai yang memanipulasi

kewenangannya, untuk besarnya retribusi PKL dilihat dari besarnya

lapak mereka. Bagi PKL yang ukuran lapaknya dibawah dua meter

persegi maka dihitung satu, sedangkan ukurannya di atas dua meter

maka dihitung dua lapak dengan standar paling rendah Rp. 250,-

perlapak.

Sebagai warga negara yang taat hukum maka tidak terlepas

pula dari sanksi bagi mereka yang sengaja melakukan pelanggaran

terhadap aturan yang berlaku. Dalam Perda Nomor 2 Tahun 2003

diatur mengenai sanksi terhadap PKL yang melakukan pelanggaran,

ada dua jenis sanksi yaitu sanksi administrasi dan pidana. PKL

dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan tanda daftar usaha

serta pembongkaran tempat usaha apabila tidak membayar retribusi

dan tidak membawa pulang peralatan usaha yang digunakan. Sanksi

pidana bisa berupa kurungan selama satu bulan ataupun membayar

denda paling tinggi satu juta rupiah apabila sengaja mengotori dan

merusak keindahan kota, terjadi kebakaran karena ulah PKL, dan

barang dagangan tidak ditata dengan tidak tertib sehingga

menyebabkan kecelakaan bagi pengguna fasilitas umum.

Posisi PKL dalam Implementasi Peraturan Daerah

Dalam implementasi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2003

sejak awalnya telah melewati sebuah proses yang rasional dan

emosional sebagai wujud dari espektasi stakeholder secara

Page 32: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

166

komprehensif. Dengan demikian maka dapat dibahasakan bahwa

tahapan implementasi adalah sebuah fase penting dalam proses

kebijakan publik. Terkadang orang berpikir bahwa ketika telah ada

pada tahap implementasi maka dengan sendirinya proses kebijakan

akan berjalan tanpa masalah, pemahaman tersebut justru keliru karena

dalam implementasi sebuah kebijakan banyak yang memasuki ranah

konflik.

Implementasi pada dasarnya bukan sekedar sangkut paut

dengan mekanisme penjabaran politik ke dalam prosedur-prosedur

rutin melalui saluran-saluran birokrasi tetapi lebih dari itu. Pakar

kebijakan asal Afrika Udoji (Wahab 2015: 126) dengan tegas

mengatakan “the execution of policies is as important if not more important than policy making. Policies will remain dreams or print in file jakets unless they are implemented”. Melalui penjelasannya dapat

dipahami bahwa tahap implementasi kebijakan adalah sesuatu hal yang

lebih penting daripada tahap pembuatan kebijakan. Karena baginya

kebijakan-kebijakan akan hanya berupa impian atau sekedar rencana

baik yang tersimpan rapih dalam arsip apabila tidak

diimplementasikan.

Mengapa tahap implementasi dikatakan lebih penting daripada

tahap pembuatan, apakah sebuah kebijakan akan gagal dalam

implementasi? Berdasarkan pengalaman yang terjadi ada pula

implementasi kebijakan diberbagai negara yang gagal ketika memasuki

tahap implementasinya. Hogwood dan Gunn (Wahab 2015: 128)

membagi pengertian kegagalan kebijakan (policy failure) dalam dua

kategori besar, yaitu; non-implementation (tidak terimplementasikan),

dan unsuccessfull implementation (implementasi yang tidak sukses).

Tidak terimplementasikan mengandung arti bahwa suatu

kebijakan tidak berjalan sesuai rencana. Hal yang menyebabkan

kebijakan tidak berjalan sesuai rencana mungkin karena pihak-pihak

yang terlibat dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama atau

mereka bekerja tapi tidak efisien, bekerja dengan setengah hati, tidak

sepenuhnya mereka menguasai permasalahan, atau kemungkinan

permasalahan yang digarap di luar jangkauan kekuasaan, sehingga

Page 33: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003

167

bagaimanapun gigihnya mereka tetapi hambatan-hambatan yang ada

sulit ditanggulangi. Akibatnya adalah implementasi yang efektif sulit

untuk dipenuhi dalam menggapai hasil berdasarkan rencana awal.

Sedangkan implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi

ketika suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai rencana,

namun akibat kondisi eksternal yang tidak diduga langsung

mempengaruhi secara signifikan kebijakan tersebut. Misalnya secara

tiba-tiba terjadi peristiwa pergantian kekuasaan, bencana alam, dan

lain sebagainya sehingga kebijakan tersebut tidak berhasil dalam

mewujudkan dampak atau hasil akhir yang direncanakan. Pada

umumnya kebijakan yang memiliki resiko untuk gagal disebabkan oleh

beberapa faktor berupa: pelaksanaannya jelek (bad execution),

kebijakannya sendiri memang jelek (bad policy), dan kebijakan yang

bernasib jelek (bad luck).

Dengan demikian maka suatu kebijakan boleh jadi tidak dapat

diimplementasikan secara efektif sehingga dinilai oleh para pembuat

kebijakan sebagai pelaksanaan yang jelek. Atau para pembuat kebijakan

(policy makers) maupun yang ditugasi untuk melaksanakannya

(implementing agencies/implementing actors) sama-sama sepakat

bahwa faktor eksternal benar-benar tidak menguntungkan bagi

efektifitas implementasi kebijakan sehingga tidak ada pihak yang

disalahkan. Sebab itu kebijakan tersebut dapat dikatakan telah gagal

karena nasibnya jelek. Faktor lainnya yang oleh pembuat kebijakan

tidak disampaikan secara terbuka pada publik adalah kebijakan itu

gagal karena sejak awal kebijakannya memang jelek. Artinya dalam

perumusannya dilakukan secara sembrono karena tidak didukung oleh

informasi serta data yang memadai, alasan yang keliru, atau asumsi-

asumsi dan harapan-harapan yang sama sekali tidak realistis (Wahab

2015: 130).

Ketika menilik implementasi kebijakan yang dilakukan oleh

pemerintah Kota Salatiga terhadap PKL sebagai kelompok sasaran,

secara umum masyarakat menerima dengan senang hati tanpa ada

reaksi kontra atau bahkan muncul resistensi terhadap kebijakan

dimaksud. Bagi PKL sendiri dengan implementasi yang dilakukan

Page 34: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

168

pemerintah adalah mewujudkan kepentingan bersama sehingga secara

khusus mereka diberi ruang dalam menjalankan usaha setiap hari.

Selain diberi ruang dalam berjualan ataupun menjalankan aktivitas

usahanya, PKL juga memiliki posisi sebagai kelompok sasaran yang

dilindungi oleh pemerintah daerah melalui jaminan keamanan

sebagaimana diatur dalam perda no 2 tahun 2003 sehingga mereka

harus patuh dalam implementasinya.

Partisipasi dalam Evaluasi

Dalam kebijakan publik selalu dikenal dengan tahapan akhir

dari prosesnya adalah tahap evaluasi, karena evaluasi mengenai

kebijakan pada prinsipnya adalah mempelajari konsekuensi yang

diakibatkan oleh implementasi sebuah kebijakan. Karena itu melalui

tahapan evaluasi akan diperoleh gambaran umum terkait tujuan yang

hendak dicapai dari sebuah kebijakan.

Menurut Kusumanegara (2010; 121) evaluasi sebagai suatu

aktivitas fungsional telah dilakukan sejak lama, bahkan sejak kebijakan

publik mulai dikenal. Ia menjelaskan bahwa para pembuat kebijakan

dan administrator selalu membuat penilaian terhadap berbagai dampak

dari kebijakan, program, dan proyek tertentu. Dalam melakukan

penilaian banyak faktor yang berpengaruh seperti: ideologi,

kepentingan-kepentingan pribadi, atau kriteria nilai lainnya. Karena

itu evaluasi harus dilakukan secara sistematis dan objektif terhadap

suatu program untuk mengukur dampaknya kepada masyarakat, dan

apakah suatu program telah sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.

Anderson (Kusumanegara 2010:122), menyebut evaluasi yang

dilakukan secara sistematis dan objektif dalam kebijakan adalah

evaluasi sistematis dengan memusatkan perhatian pada kesesuaian

antara dampak dari program dan kebutuhan publik, atau apakah

dampak program telah menjawab masalah-masalah yang dihadapi

publik. Beberapa pertanyaan yang diajukan dalam evaluasi sistematis

adalah: apakah hasil kebijakan telah sesuai tujuannya?; Bagaimana

perbandingan biaya dan manfaat yang diperolehnya?; Siapakah yang

Page 35: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003

169

paling diuntungkan oleh kebijakan? Peristiwa-peristiwa baru apa saja

yang muncul sebagai konsekuensi dari kebijakan?

Dengan demikian maka evaluasi sistematis akan menjelaskan

baik kepada pembuat kebijakan dan publik tentang akibat aktual dari

kebijakan, serta membuka peluang terbukanya diskusi kebijakan sesuai

realitas. Selanjutnya evaluasi dapat digunakan untuk memodifikasi

suatu kebijakan atau program dan menyesuaikannya dengan

kebutuhan masa depan. Berdasarkan penjelasan tentang evaluasi

sistematis maka di dalamnya melibatkan semua kelompok kepentingan

karena dalam kebijakan pada hakekatnya selalu menghubungkan

semua kepentingan dalam skala besar.

Dalam proses perencanaan sampai dengan implementasi Perda

Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Penataan PKL di Kota Salatiga, ada juga

hal-hal yang tidak tercover dan perlu dibahas oleh pemerintah secara

khusus. Karena itu evaluasi sangat dibutuhkan demi terwujudnya

tujuan bersama yang diprogramkan oleh pemerintah. Keterlibatan

masyarakat dalam tahap evaluasi melalui penilaian dan pengawasan

terhadap kebijakan yang dijalankan, apakah sesuai kesepakatan dalam

perencanaan ataukah tidak sesuai adalah wujud partipasi aktif PKL dan

stakeholder yang terlibat sejak awal perencanaan.

Pada tahap evaluasi sangat penting partisipasi masyarakat

untuk mengawal tujuan kebijakan sehingga apabila implementasinya

tidak menjawab tujuan maka masyarakat berhak memberikan kritik

dan saran kepada pemerintah daerah terhadap apa yang

dilaksanakannya. Dengan kata lain tahapan evaluasi adalah media bagi

tersalurnya kontrol dari masyarakat atau pihak lainnya terhadap suatu

kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah baik di tingkat pusat

maupun daerah.

Ketika mengikuti proses perencanaan maka sangat jelas

bagaimana peran masyarakat dalam mengawal kepentingan bersama,

dengan demikian espektasi terhadap hasil adalah tujuan yang

diimpikan oleh semua elemen masyarakat yang terlibat. Sebab itu

evaluasi sangatlah diperlukan bukan hanya dalam mengukur tujuan

Page 36: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

170

yang dicapai, tetapi juga sangat dibutuhkan demi mendapatkan

tanggapan balik tentang setiap masalah ataupun kendala yang muncul

dalam implementasi sebuah kebijakan. Karena dalam tahapan ini akan

diperoleh banyak informasi dan berbagai hal yang berkembang terkait

dampak dari kebijakan serta dinamika aktivitas aktor partisipasi yaitu

semua stakeholder.

Dari seluruh rangkaian kegiatan advokasi terhadap PKL seperti

yang telah diuraikan di atas, dapat dilihat secara menyeluruh dalam

gambar di bawah ini. Langkah advokasi dimulai dengan melakukan

assessment permasalahan yang dihadapi oleh PKL. Assessment ini

menentukan strategi langkah selanjutnya dalam melakukan advokasi.

Proses assessment ini terdiri dari beberapa kegiatan utama seperti yang

telah diuraikan pada bagian awal bab ini, dan hasilnya

dikomunikasikan dengan stakeholder. Langkah selanjutnya adalah

menyusun naskah akademik draf raperda PKL dengan melibatkan

akademisi dan praktisi yang kompeten sesuai dengan fokus isu PKL.

Selain itu PKL dan stakeholder yang terdiri dari penarik becak,

pedagang, petugas parkir, kusir andong, dan masyarakat sekitar ikut

terlibat dalam tim penyusun naskah akademik raperda PKL. Proses

penyusunan naskah akademik ini melewati serangkaian diskusi dan

konsultasi publik. Hasil dari naskah akademik ini menjadi acuan dalam

penyusunan pasal dalam raperda PKL.

Gambar 5. 3 Proses Tahapan Advokasi Partisipasi PKL dalam Penyusunan

Perda PKL

Page 37: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003

171

Kesimpulan

Dari proses partisipasi dalam perumusan Perda Nomor 2 Tahun

2003 Tentang Penataan PKL Kota Salatiga, penulis melihat bahwa

proses partisipasi yang terlaksana merupakan sebuah apresiasi terhadap

kondisi ketidaknyamanan PKL dan stakeholder. Dengan adanya

konflik serta masalah ikutan lainnya menyebabkan PKL dan

stakeholder yang terlibat dalam konflik memikirkan solusi atas

persoalan yang mereka hadapi.

Setelah menelusuri berbagai tahapan yang dilalui dalam proses

perumusan sejak awal perencanaan sampai dengan tahap evaluasi

ternyata sangatlah besar partisipasi PKL dan stakeholder. Sejak tahap

perencanaanya FMPS yang telah dibentuk sebagai wadah formal untuk

mengorganisir serta melaksanakan advokasi lapangan selalu

meposisikan PKL dan stakeholder sebagai pemangku kepentingan yang

terlibat aktif di lapangan, mereka sama-sama saling melengkapi dalam

perencanaan suatu kegiatan serta pengambilan keputusan bersama saat

musyawarah.

FMPS melakukan asesmen terhadap berbagai permasalahan

yang terjadi di Kota Salatiga dalam hubungan dengan PKL berbagai

dinamikanya pada tahun 2002. PKL dan seluruh stakeholder melalui

masing-masing perwakilannya terlibat aktif dalam tahapan advokasi

sehingga apa yang menjadi akar permasalahan terkait konflik

multidimensi dengan berbagai pihak dapat dipetakan secara baik sesuai

kebutuhan masing-masing pihak. Setelah diperoleh peta permasalahan

yang kemudian dianalisis secara komprehensif, maka untuk menjawab

permasalahan di lapangan diperlukan adanya sebuah regulasi yang

mengatur keberadaan PKL sehingga konflik dapat dihindari.

Dengan partisipasi yang begitu besar tanpa memperhitungkan

waktu, materi, dan tenaga baik PKL maupun stakeholder yang terlibat

dalam proses perumusan kebijakan sejak tahap perencanaan sampai

dengan evaluasi, menunjukkan bahwa mereka benar-benar

menginginkan terciptanya sebuah kondisi daerah yang nyaman dan

kondusif. Melalui pengumpulan data PKL, diskusi homogen di

Page 38: Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

172

kalangan PKL, diskusi dengan stakeholder, dan audiensi dengan

Pemerintah Kota Salatiga, dari situlah proses partisipasi dalam

penyusunan Perda Nomor 2 tahun 2003 dimulai. Berdasarkan hasil

assessment kemudian ditindaklanjuti dengan pembuatan raperda

penataan PKL yang dikomunikasikan secara baik dengan pihak

pemerintah kota dan DPRD Kota Salatiga agar membentuk pansus

penyusunan pokok-pokok raperda.

Setelah semua proses dilakukan dengan melibatkan semua

pihak melalui konsultasi publik secara intens dengan semua pemangku

kepentingan, maka Perda Nomor 2 Tahun 2003 dapat diterbitkan

sebagai solusi bersama untuk mengendalikan kondisi Kota Salatiga dari

berbagai permasalahan yang timbul akibat kehadiran PKL. Proses

partisipasi dalam perumusan kebijakan penataan PKL yang terjadi di

Salatiga adalah sebuah proses paripurna yang melibatkan semua pihak

baik pemerintah kota, DPRD, PKL, dan seluruh stakeholder inti

sehingga sejak tahapan perencanaan sampai dengan evaluasi, semua

pihak terlibat aktif sebagai wujud partisipasi aktif.