135 Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003 Pada bagian ini penulis akan memaparkan bagaimana proses partisipasi publik dalam perumusan peraturan daerah nomor 2 tahun 2003 tentang penataan PKL di kota Salatiga. Untuk memahami konsep partisipasi publik, sebaiknya pembahasan terlebih dahulu diarahkan pada siapa yang berpartisipasi dan apa yang terkandung dalam istilah partisipasi. Telaah mengenai siapa yang berpartisipasi akan mengarah pada 2 (dua) hal, yaitu apa yang dimaksud dengan publik dan bagaimana posisi masyarakat dalam pemerintahan daerah. Dimaksud dengan publik menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang banyak (umum). Dengan demikian ketika membicarakan partisipasi publik berarti kita membahas tentang bagaimana peran orang banyak ataupun masyarakat umum untuk mewujudkan sebuah kepentingan bersama dengan pemerintah. Sebagaimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya bahwa partisipasi terbangun karena adanya tekanan dari pihak pemerintah terhadap PKL dan juga terjadinya konflik yang melibatkan stakeholder, sehingga melalui proses tersebut PKL dan stakeholder lainnya saling mengenal secara baik dalam memperjuangkan kepentingan bersama. Partisipasi adalah sebuah proses pembangunan yang melibatkan masyarakat dalam suatu komunitas untuk mewujudkan tujuan bersama. Demi mewujudkan tujuan dimaksud maka perlu adanya strategi yang baik sehingga semua kepentingan dapat terakomodir. Pengertian partisipasi (dalam arti sempit) menurut Antoft dan Novack (Muluk 2006:55), adalah: “Sesuatu yang bisa dilakukan oleh komunitas untuk memperjuangkan kepentingan dan kebutuhannya. Bentuknya bisa berlangsung secara simultan untuk memberikan kesempatan kepada penduduk menikmati akses partisipasi yang lebih besar karena
38
Embed
Bab V Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13099/5/D_902013005_BAB V.pdf · akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
135
Bab V
Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2
Tahun 2003
Pada bagian ini penulis akan memaparkan bagaimana proses
partisipasi publik dalam perumusan peraturan daerah nomor 2 tahun
2003 tentang penataan PKL di kota Salatiga. Untuk memahami konsep
pada siapa yang berpartisipasi dan apa yang terkandung dalam istilah
partisipasi. Telaah mengenai siapa yang berpartisipasi akan mengarah
pada 2 (dua) hal, yaitu apa yang dimaksud dengan publik dan
bagaimana posisi masyarakat dalam pemerintahan daerah. Dimaksud
dengan publik menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah
orang banyak (umum). Dengan demikian ketika membicarakan
partisipasi publik berarti kita membahas tentang bagaimana peran
orang banyak ataupun masyarakat umum untuk mewujudkan sebuah
kepentingan bersama dengan pemerintah.
Sebagaimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya bahwa
partisipasi terbangun karena adanya tekanan dari pihak pemerintah
terhadap PKL dan juga terjadinya konflik yang melibatkan stakeholder,
sehingga melalui proses tersebut PKL dan stakeholder lainnya saling
mengenal secara baik dalam memperjuangkan kepentingan bersama.
Partisipasi adalah sebuah proses pembangunan yang melibatkan
masyarakat dalam suatu komunitas untuk mewujudkan tujuan
bersama. Demi mewujudkan tujuan dimaksud maka perlu adanya
strategi yang baik sehingga semua kepentingan dapat terakomodir.
Pengertian partisipasi (dalam arti sempit) menurut Antoft dan Novack
(Muluk 2006:55), adalah: “Sesuatu yang bisa dilakukan oleh komunitas
untuk memperjuangkan kepentingan dan kebutuhannya. Bentuknya
bisa berlangsung secara simultan untuk memberikan kesempatan
kepada penduduk menikmati akses partisipasi yang lebih besar karena
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
136
tidak semua penduduk pada waktu yang bersamaan, di tempat yang
sama, dengan kepentingan yang sama dapat berpartisipasi secara
langsung dan bersama-sama. Ada kendala waktu, tenaga dan sumber
daya lainnya yang membatasi partisipasi masyarakat ini. Dengan
demikian maka perlu adanya strategi dalam memaksimalkan partisipasi
publik sehingga capaian tujuanpun dapat terwujud.
Proses Partisipasi PKL dan Stakeholder dalam Penyusunan
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2003
Menyikapi situasi yang terjadi di Kota Salatiga saat itu dimana
PKL secara internal dan juga masyarakat secara umum merasakan
dampak dari konflik yang terjadi sejak tahun 2001 sampai 2002, terkait
pemanfaatan ruang publik sebagai lokasi dagangan PKL merupakan
sebuah fenomena baru bagi masyarakat luas yang perlu disikapi secara
serius sehingga tidak menimbulkan dampak luas bagi semua
stakeholder. Dengan demikian untuk mengatur kehidupan warga
secara umum dibutuhkan sebuah regulasi sebagai dasar hukum untuk
mengatur kehidupan semua warga yang memiliki kepentingan dan
beragam kebutuhan dalam satu daerah.
Dalam kondisi yang tidak nyaman akibat berbagai
permasalahan yang terjadi di kalangan PKL dan stakeholder maka bagi
masyarakat umum mereka sangat membutuhkan adanya sebuah
regulasi yang dapat mengatur tatanan hidup bersama. Berdasarkan
kebutuhan itulah maka PKL dan stakeholder menyikapi dengan
menawarkan konsep raperda lewat FMPS kepada legislatif sekalipun
drafnya masih sederhana. Menurut bapak Haris1, kondisi saat itu
membutuhkan penanganan serius dari pihak eksekutif maupun
legislatif tetapi sebuah kemajuan besar yang telah dilakukan PKL dan
stakeholder Kota Salatiga adalah mereka telah menyiapkan rancangan
perda melalui partisipasi semua pihak yang berkepentingan, yang
1 Bapak Haris anggota DPRD kota Salatiga tahun 1999-2004, beliau adalah ketua pansus perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003, wawancara tanggal 16 Januari 2017.
Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003
137
walaupun masih belum sempurna tetapi mereka telah
mempersiapkannya tanpa intervensi dari pihak pemerintah (eksekutif
maupun legislatif).
Dari rancangan yang telah disiapkan PKL dan stakeholder
tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah bersama
DPRD Kota Salatiga melalui pembentukan tim perumus raperda.
Dalam pembentukan tim perumus dikawal ketat oleh PKL dan
stakeholder, setiap kegiatan yang dilakukan dalam rangka merumuskan
perda tentang penataan PKL semua stakeholder terlibat aktif dalam
merumuskan kebijakan dimaksud.
Partisipasi dalam Perencanaan
Berangkat dari kondisi kota Salatiga pada tahun 2002 dimana
pemerintah kota melakukan upaya penataan ruang kota tanpa
dibarengi perencanaan yang matang maka ekses yang ditimbulkan
adalah: 1). Ruang publik seperti trotoar dan jalan-jalan menjadi lahan
bagi PKL menggelar dagangan; 2). Persaingan yang ketat di antara
pedagang sehingga terjadi konflik horizontal2 antar PKL terutama
bernuansa etnis3; 3). Konflik dengan masyarakat sekitar akibat
ketidakpuasan warga atas penggunaan ruang publik serta
menumpuknya sampah dari aktivitas PKL; 4). Penarikan retribusi yang
tidak terkait dengan kepentingan dan kewajiban PKL oleh oknum-
oknum dari dinas tertentu. Berdasarkan konteks tersebut maka FMPS
memulai perencanaan strategis untuk mengantisipasi munculnya
konflik dengan dampak yang lebih luas bagi masyarakat Kota Salatiga.
Keterlibatan masyarakat dalam tahap perencanaan adalah
sebuah proses yang berjalan tanpa adanya tekanan dari pihak manapun
tetapi terjadi atas kesadaran sendiri sebagai bentuk partisipasi dalam
pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam mengupayakan sebuah
kondisi aman dan damai melalui keterlibatan dalam berbagai diskusi
2 Persaingan yang terjadi adalah antara PKL lokal (penulis menyebutnya dengan Jawa) dengan PKL pendatang. Berdasarkan hasil wawancara bahwa saat itu PKL lokal berencana mau melakukan pengusiran terhadap PKL pendatang. 3 Etnis yang berkonflik adalah etnis Minang dan Madura.
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
138
maupun semiloka, menunjukkan bahwa masyarakat memiliki
kemampuan untuk mengatasi permasalahan yang terjadi dalam konteks
hidup masyarakat secara internal maupun dalam hubungan dengan
pemerintah kota.
Langkah-langkah advokasi strategis dan sistematis yang
dilakukan oleh FMPS adalah memulai dengan melakukan asesmen
serta penggalian aspirasi seluruh stakeholder. Dalam proses assessment
dan penggalian aspirasi dimulai dari PKL karena fokus isunya adalah
PKL, kemudian dilanjutkan kepada elemen masyarakat. Khusus untuk
PKL dilakukan diskusi homogen dengan mengundang PKL inti, PKL
Binaan dan PKL Non status. FMPS melakukan langkah-langkah
advokasi yang sistematis dan strategis, berikut indikator-indikator dari
masing-masing tahapan. Mereka menggunakan metode atau strategi
advokasi berbasis pada Participatory Action Research (PAR), yang
meletakkan masyarakat (PKL) sebagai subyek yang turut berpartisipasi
dalam perencanaan, pemetaan, analisis, penentuan strategi, perumusan
dan rekomendasi ke depan. Tahapan demi tahapan ini dinamakan
dengan Participatory Planning yaitu masyarakat mempunyai akses dan
kontrol yang kuat dalam menentukan hasil dan rekomendasi.
Perencanaan langkah-langkah advokasi bagi permasalahan PKL
di Salatiga melibatkan beberapa elemen masyarakat, ormas, organisasi
kemasyarakatan dan kelompok mahasiswa. Berangkat dan diskusi
intens dan hasil analisis awal di tingkat internal, maka terumuskan peta
awal permasalahan PKL. Dari peta awal ini kemudian digunakan
sebagai dasar untuk merumuskan perencanaan tahapan advokasi
kebijakan.
Pada masing-masing tahapan perencanaan, perlu dirumuskan
instrumen untuk mengukur keberhasilan advokasi. Melalui
perencanaan sistematis ini, diharapkan capaian hasil dapat maksimal
dan sebagai alat bantu untuk melakukan evaluasi pada tahap akhir dari
semua proses yang dilewati. Variabel yang digunakan terbagi dalam; 1)
hasil yang ingin dicapai; 2) bentuk kegiatan; 3) kelompok sasaran; 4)
waktu dan; 5) indikator keberhasilan (kualitatif dan kuantitatif).
Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003
139
Dalam proses penyusunan perda sangat dibutuhkan partisipasi
dan peran dari semua elemen masyarakat bersama pemerintah dalam
proses perencanaan dan perumusan sebuah kebijakan menunjukkan
bahwa kepentingan publik menjadi prioritas utama, dan pemerintah
memposisikan diri sebagai fasilitator dan mediator yang mengakomodir
permasalahan dan kebutuhan dari masyarakat.
Dengan terbentuknya Forum Masyarakat Peduli Salatiga
(FMPS) maka sangat diharapkan semua aspirasi PKL dan stakeholder
inti dapat terakomodir dan kemudian dilanjutkan pada pihak
pemerintah dan legislatif sehingga permasalahan yang terjadi di dalam
Kota Salatiga dapat teratasi dengan cepat tanpa mengakibatkan dampak
lebih besar bagi warga masyarakat. FMPS sendiri merupakan forum
yang dibentuk oleh PKL dan masyarakat Salatiga yang peduli dengan
kondisi Kota Salatiga saat itu. Menurut penjelasan seorang informan
yang proaktif dalam memperjuangkan aspirasi PKL yakni bapak Usup,
beliau menjelaskan;
“Forum masyarakat peduli Salatiga terbentuk tanpa adanya campur tangan pihak luar tetapi lahir karena upaya PKL sendiri untuk bangkit menyikapi kondisi yang terjadi di kalangan PKL dengan berbagai pihak yang peduli dengan kami para PKL. Awalnya kami tidak terorganisir karena kami jalan sendiri-sendiri tetapi setelah terbentuknya forum tersebut, kami (PKL) kemudian mengorganisir diri dalam paguyuban-paguyuban sesuai hasil kesepakatan bersama melalui diskusi-diskusi yang dilakukan oleh FMPS. Dari situlah kemudian aspirasi kami dan juga pihak lain yang selalu terlibat persoalan dengan PKL dimediasi oleh FMPS untuk duduk bersama dalam mencari solusi, alhamdulillah hasil yang dicapaipun sangat luar biasa dimana banyak pihak yang mau untuk bersama memperjuangkan nasib kami PKL” (Wawancara dengan bapak Usup salah satu PKL binaan, tanggal 12 Januari 2017).
Berdasarkan penjelasan beberapa informan di lapangan
diperoleh kejelasan bahwa PKL sendiri pada awalnya tidak terorganisir
secara baik tetapi dengan adanya forum maka mereka kemudian
terorganisir secara baik. Selain itu merekapun mampu membangun
relasi dengan pihak-pihak yang terlibat konflik sehingga konflik dapat
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
140
diredam. FMPS juga mendapat dukungan dari stakeholder lainnya
untuk menyuarakan aspirasi kepada pihak pemerintah kota dan
legislatif.
Gambar 5. 1 Tahapan Perencanaan Partisipatoris Proses Penggalian Aspirasi
Asesmen
Menemukan nilai-nilai internal positif
Pertanyaan Positif.
Mengidentifikasi sumber-sumber daya
yang tersedia.
Mempresentasikan hasil temuan dalam
sebuah peta sumber daya
Rancangan Menyusun suatu rencana kerja yang
realistis, untuk dapat dilaksanakan.
Melakukan Studi kelayakan.
Memprioritaskan perencanaan pada
tindakan yang bersifat konkrit.
Mempresentasikan dalam Matrix
Rencana Kerja.
Implementasi Komitmen bersama untuk
mengimplementasikan semua rencana
membuat daftar Persyaratan
mendasar yang dibutuhkan untuk
melakukan implementasi.
Memperoleh komitmen bersama
untuk melakukan implementasi
Pelaksanaan.
Harapan
Pandangan tentang masa depan, dalam
bentuk tujuan-tujuan yang lebih jelas
Memaparkan visi atau
harapannya.
Menentukan tujuan yang jelas
untuk memperoleh gambaran yang
lebih jelas tentang masa depan.
Mempresentasikannya dalam Peta
Masa Depan
Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003
141
Dengan berperan aktifnya FMPS semenjak dibentuk pada Juni
2002 sebagai wujud kepedulian dalam menjembatani semua
kepentingan PKL maupun stakeholder maka dibuatlah diskusi untuk
penggalian aspirasi dari semua pihak. Setelah itu dilakukan pula
berbagai semiloka yang pada akhirnya menghasilkan rekomendasi
perencanaan strategis ke depan difokuskan pada upaya pembangunan
kesadaran dan partisipasi stakeholder inti (masyarakat) dalam ikut
menentukan arah kebijakan dalam perumusan peraturan daerah
tentang PKL. Sehingga perda yang dihasilkan sesuai dengan aspirasi
dari masyarakat dan mempunyai dasar yang kuat.
Aspirasi yang sudah terinventarisir kemudian akan
diformulasikan dalam bentuk narrative academic sesuai dengan aspek-
aspek yang menjadi penekanannya. Untuk itu keterlibatan kelompok
akademisi dan praktisi yang sesuai dengan penekanan aspek-aspek
tersebut mereka sangat dibutuhkan sebagai Tim Ahli.
Hasil dari rumusan bersama ini akan berbentuk dalam sebuah
draft narrative academic, yang kemudian akan dikonsultasikan kepada
publik. Dengan harapan mendapatkan masukan-masukan dan kritik,
untuk lebih menyempurnakan dan mempertajam hasil-hasil rumusan
yang telah dicapai. Bentuk dari konsultasi publik ini dapat berupa talk show di radio dan diskusi-diskusi di tingkatan stakeholder inti
bersama dengan pemerintah daerah dan legislatif. Setelah itu maka
pada tahapan berikutnya siap untuk masuk pada Legal Drafting
melalui proses yang sama, melibatkan stakeholder dan pemerintah.
Asesmen (Pemetaan Masalah)
Pada tahapan asesmen atau pemetaan dilakukan bersama-sama
melibatkan PKL, dengan melakukan eksplorasi permasalahan dan
kebutuhan di tingkatan internal, sehingga temuan-temuan yang
didapatkan berangkat dari kondisi riil.
Strategi yang digunakan terbagi dalam 2 tahapan, yaitu: 1.
Pengumpulan data sekunder tentang jumlah PKL dan lokasi berjualan;
2. Diskusi kelompok.
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
142
Hasil yang ingin dicapai dalam asesmen ini adalah adanya peta
yang akurat tentang PKL menyangkut jumlah PKL berikut kelompok
atau paguyuban dan peta permasalahan dan kebutuhan dari masing-
masing kelompok menurut klasifikasinya.
Ketika melakukan advokasi awal di lapangan terhadap PKL dan
stakeholder maka peta permasalahan yang ditemui dalam tahap
asesmen adalah sebagai berikut:
1. Ketidakteraturan tata letak PKL.
2. Kurang jelasnya perda sementara.
3. Terjadi perebutan lokasi dagang yang strategis antar PKL.
4. Penjualan lokasi strategis oleh oknum dinas pasar.
5. Munculnya PKL baru/binaan menganggu PKL lama akibat
relokasi pasar pasca kebakaran Pasar Raya.
6. Masyarakat sekitar terganggu terutama masalah kebersihan
akibat pengelolaan sampah tidak baik
7. Muncul permasalahan antara PKL dengan tukang parkir akibat
perebutan lahan.
8. Pemakai jalan terganggu.
9. Komplain dari pemilik toko yang tokonya tertutupi oleh PKL.
10. Terganggunya lalu lintas dan pemandangan kota menjadi tidak
indah.
Dalam asesmen diperoleh pula sejumlah informasi terkait
kebutuhan serta kepentingan masing-masing pihak serta harapan
terhadap permasalahan yang muncul. Dari harapan tersebut maka
diharapkan ada rencana tindak lanjut untuk menyikapi setiap
permasalahan tanpa mengorbankan pihak lain.
Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003
143
Tabel 5. 1 Tabel Kebutuhan PKL dan Stakeholder
No Stakeholder Kepentingan Harapan Rekomendasi
1 PKL Lahan dan waktu kerja
Lokasi dan jam dagang tertata
1. Dialog
Eksistensi kelompok
Paguyuban yang mengakomodir PKL
2. Penataan lokasi dan dagangan
Dagangan laku terjual
Jangkauan konsumen terhadap lokasi jualan
Tabungan Masa Tua
Retribusi sesuai profesi kerja
Keamanan dan kenyamanan
Tidak ada penggusuran
2 Masyarakat Lingkungan
Lingkungan sekitar nyaman
Lingkungan tidak kumuh
1. Dialog
Kesehatan keluarga / masyarakat
Udara bersih 2. Lokasi PKL sekitar kampung bersih
3 Pengemudi Becak
Lahan / Lokasi kerja dan transportasi
1. Lahan parkir bebas PKL
2. Jalur / jalan umum lancar
1. Dialog 2. Penataan
lokasi
4 OPS Pertokoan
Lahan / lokasi kerja
Jalan ke lokasi dagangan nyaman / bebas PKL
1. Dialog 2. Penataan
lokasi
5 Pedagang Eksis
Lahan / lokasi kerja
Jalan ke lokasi dagangan nyaman / bebas PKL
1. Dialog 2. Penataan
Lokasi
Dagangan Laku / terjual
Jangkauan konsumen
6 Petugas Parkir Lahan / lokasi kerja
Lokasi parkir bebas PKL
1. Dialog 2. Penataan
lokasi
Berdasarkan hasil asesmen di atas maka dalam rencana tindak
lanjut yang dilakukan oleh FMPS selalu melibatkan seluruh komponen
sesuai kebutuhan masing-masing sehingga semua pihak merasa
memiliki tanggung jawab dalam mengawal kepentingan bersama serta
meminimalisir terjadinya konflik kepentingan. Dalam dunia bisnis
pasti sarat kepentingan, apalagi terkait letak strategis ruang atau lokasi
berjualan dengan memanfaatkan ruang publik di dalamnya
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
144
mengandung sejumlah harapan yang harus digapai oleh masing-masing
pihak sesuai kepentingannya.
Pengumpulan Data Tentang PKL
Langkah yang diambil dalam melakukaan upaya resolusi
konflik serta meredam berbagai permasalahan sosial lainnya, maka
FMPS melakukan langkah-langkah advokasi agar mengetahui secara
mendalam berbagai permasalahan yang terjadi di lapangan. Salah satu
langkah penting yang ditempuh adalah dengan pengumpulan data.
Dalam pengumpulan data lapangan difokuskan pada jumlah PKL dan
kelompok-kelompok atau paguyuban yang eksis saat itu dengan
membandingkan data yang diperoleh dari dinas pasar dan beberapa
dinas yang terkait dengan data dari lapangan hasil Live in. Dari hasil
temuan di lapangan dapat di petakan bahwa PKL terklasifikasi menjadi
Peningkatan jumlah PKL yang signifikan dari data Dinas Pasar tahun
1999 menunjukkan angka 1.765 PKL, meningkat menjadi + 2.750 PKL
pada tahun 2002.5
Peningkatan jumlah PKL yang cukup signifikan berpengaruh
pada semakin sempitnya ruang publik yang dipergunakan untuk
berjualan. Sehingga memiliki potensi konflik laten baik di tingkat
internal (antar sesama PKL) maupun general stakeholder yang ada.
Keresahan serta ketidaknyamanan dirasakan oleh warga sekitar lokasi
berjualan dan juga masyarakat pengguna fasilitas umum akibat daya
tampung ruang yang semakin tidak terkontrol. Pemerintah daerah
4 PKL Inti adalah PKL yang sudah lama berjualan sebelum Pasar Raya 1 terbakar Mereka terdiri dari 14 kelompok atau paguyuban, masing-masing paguyuban atau kelompok mempunyai kepengurusan. Dari 14 kelompok ini membentuk kepengurusan bersama yang terdiri dari perwakilan dari masing-masing kelompok, dan menempati lokasi tertentu.; PKL Binaan adalah pedagang baru yang ada setelah Pasar Raya I terbakar. Mereka membentuk kelompok-kelompok sendiri dan tidak tergabung dengan PKL Inti. Mereka harus membayar fee kepada oknum tertentu untuk dapat berjualan, PKL Binaan terdiri dari 5 kelompok yang tersebar di beberapa tempat; PKL Liar adalah PKL yang tidak ikut organisasi apapun dan tidak mempunyai lokasi yang tetap. 5 PKL inti berjumlah 900 orang; PKL Binaan 500 orang; PKL Non Status 900 orang; PKL Pattimura 450 orang (termasuk dalam kategori PKL Non Status).
Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003
145
melalui dinas Pasar dan PKL bekerja tidak maksimal, karena dinas
melalui petugas-petugas lapangannyapun tidak menyikapi eksistensi
PKL secara baik, bahkan ada petugas dari dinas Pasar dan PKL justru
memanfaatkan kehadiran PKL baru sebagai sumber pendapatan
mereka.
Sumber: FMPS, 2002.
Gambar 5. 2 Peta Penyebaran PKL Kota Salatiga Tahun 2002
Diskusi Homogen
Untuk dapat memperoleh peta permasalahan dan kebutuhan
yang lebih komprehensif, maka pada tahapan selanjutnya dilakukan
diskusi homogen, yaitu diskusi di masing-masing kelompok
berdasarkan klasifikasi yang ada, dengan melibatkan mereka dalam
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
146
proses pemetaan, perencanaan dan perumusan strategi advokasi
kebijakan.
Dalam diskusi ini terbagi menjadi 3 tahapan, yaitu: 1. Diskusi
di lingkungan PKL Binaan dan Non Status; 2. PKL Non Status (Madura
dan Minang); 3. PKL Inti, Binaan dan Non Status. Secara umum dapat
ditarik kesimpulan awal bahwa permasalahan mendasar yang dihadapi
oleh PKL terbagi menjadi 2 bagian, yaitu; pertama, tidak adanya
aturan yang jelas dari Pemerintah Kota yang terkait dengan kebijakan
retribusi, lokasi, surat ijin berjualan dan jaminan keamanan; kedua, konflik internal (antar sesama PKL).
Beberapa rekomendasi bersama yang dihasilkan dalam diskusi
homogen semua kelompok PKL pada tahapan berikutnya mereka
sepakat bahwa perlunya dilakukan audiensi dengan pihak pemerintah
kota dan legislatif. Berdasarkan hasil diskusi komprehensif internal
PKL dengan temuan-temuan di atas dan terbentuknya kelompok
bersama paguyuban PKL, maka FMPS lebih memfokuskan kegiatan
mereka pada tujuan bersama yang telah disepakati.
Audiensi dengan Pemerintah Kota dan Legislatif
Audiensi dilakukan dengan mengundang pemerintah kota yang
terdiri dari beberapa dinas terkait Legislatif dari beberapa komisi yang
ada. Perwakilan masyarakat yang dihadiri tokoh masyarakat, pedagang
eksis (pedagang pasar), PKL dan kelompok profesional (wartawan
media cetak dan radio). Di dalam audiensi disampaikan hasil rumusan-
rumusan diskusi homogen yang telah dilakukan oleh FMPS dan PKL,
dalam audiensi tersebut melalui kehadiran beberapa stakeholder lain
dengan pertanyaan dan pemikirannya memberikan kontribusi bagi
analisis yang lebih komprehensif. Sehingga dari proses audiensi ini ada
beberapa aspek yang patut menjadi penekanan bagi proses tahapan atau
rekomendasi ke depan dalam penyusunan perda tentang penataan PKL.
Kesepakatan yang terbangun antara pemerintah kota, legislatif
dan masyarakat bahwa partisipasi masyarakat dalam menentukan arah
Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003
147
kebijakan publik6 sangat diharapkan dan akan memberikan warna bagi
sistem pemerintahan dan kebijakan yang dihasilkan. Penggalian
aspirasi dari masyarakat sebagai dasar dalam menentukan langkah-
langkah dan keputusan strategis, merupakan sebuah jalan menggapai
kebijakan publik yang menjawab keresahan masyarakat secara umum.
Partisipasi dalam Proses Pembuatan Raperda PKL
Dalam mengupayakan terbentuknya sebuah regulasi yang
mengatur tentang eksistensi PKL di Kota Salatiga maka masyarakat
melalui wadah bersama FMPS menggelar berbagai kegiatan dari bulan
Juni 2002 sampai dengan Juli 2002 yang dimulai dengan penggalian
aspirasi sampai melakukan audiensi dengan pemerintah kota dan
legislatif Kota Salatiga. Dari hasil-hasil tersebut kemudian dilakukanlah
dialog dengar pendapat mengenai rencana perumusan peraturan
daerah tentang penataan PKL di Salatiga. Pelaksanaan dialognya pada
hari Selasa tanggal 16 Juli 2002 di gedung serba guna PLN Kalitaman
Salatiga. Dalam kegiatan tersebut banyak hal yang dibahas menyangkut
kondisi Kota Salatiga yang segera disikapi oleh pemerintah dan
legislatif demi terciptanya situasi kota yang kondusif melalui peraturan
daerah. Berikut ini dipaparkan mengenai kegiatan dialog dengar
pendapat yang dilaksanakan oleh FMPS dan hasilnya.
Peserta yang hadir:
a. Perwakilan Pengurus PKL 43 orang
NO NAMA PAGUYUBAN LOKASI BERJUALAN 1 RAHAYU GEMAH RIPAH BELAKANG PASAR
2 NARYONO BAROKAH DEPAN GKL PANDOWO
3 JONI FAIZAL MINANG JL JENDERAL SUDIRMAN
4 MARYONO GEMAH RIPAH JL KALINYAMAT
5 LUKAS SM BARAS AKT1 TAMAN SARI
6 IMAM SADALI GEMAH RIPAH I JL KALINYAMAT
7 KUNY1 ALI JENSUD PKL SORE
JENSUD
6 Bentuk yang disepakati sebagai wujud partisipasi publik adalah dengan adanya Tim Independent yang terdiri dari beberapa stakeholder dalam masyarakat, yang memberikan masukan, usulan bagi penyusunan PERDA tentang Penataan PKL.
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
148
8 UCUP HARAPAN MAJU BELAKANG PR 2
9 PUJIONO PKL KARAK JL TAMAN PAHLAW AN
10 MASKUR SUMARTO
PKL JL PEMUDA JL PEMUDA
11 ELFIRA PKL JENSUD DEPAN BATIK REMBULAN
12 MULYANTO PKL BARASAKTL TAMAN SARI
13 SUGIYARTO SETIA KAWAN SHOPPING C
14 DIDIK P PKL BUAH JL TAMAN PAHLAW AN
15 KAYAT PKL SOL SEPATU JL TAMAN PAHLAW AN
16 LINI R TANJUNG BHINTUKA DEPAN TOKO YUNGTOTO
17 SOLEH PKL MADURA PASAR REJOSARI
18 TONI CANDRA PKL MINANG SUDIRMAN
19 JOSEP TANJUNG PKL GRESS JL JEND SUD
20 JULIANTO HARAPAN MAJU BELAKANG PR 2
21 ARIES BHINTUKA JEND. SUD BARAT
22 JEREMI MINANG JL JENDERAL SUDIRMAN
23 FERDY MINANG JL JENDERAL SUDIRMAN
24 IGN SUYITNO KA PPPR I PASARAYA I
25 JOKO LEGOWO P3LS SHOPPING
26 SUSIYANTO PKL JEND SUD JL JENDERAL SUDIRMAN
27 MUKHLISIN PKL JEND SUD JL JENDERAL SUDIRMAN
28 HENDRRZAL PKL JEND SUD JL JENDERAL SUDIRMAN
29 SUROSO PAT1MURA KALOKA
30 TATIK WIDATIK PATUMURA KALOKA
31 B Yatmi PPKL JL TAMAN M. PAHLAWAN
32 BU YARTI PPKL JL TAMAN M. PAHLAWAN
33 Warmr PKL JL JENDERAL SUDIRMAN
34 AFRIZOL / JON BHINTUKA DEPAN TOKO ADISTANA
35 M TOH1R MADURA PASARSAPI
36 SUROSO SWAKARYA BN1-MERAPI
37 AGUSTONO SWAKARYA Bnl-Merapi
38 SYAMSULBAHAR1 GRESS POLJON JEND SUD
39 Widi Astuti GEMAH RIPAH III JL TAMAN M PAHLAWAN
40 JONI F1ZAL BHINNEKA JL JENDERAL SUDIRMAN
41 EKO SUPRIYANTO BHINTUKA JL JENDERAL SUDIRMAN
42 YON Efendl BHINTUKA JL JENDERAL SUDIRMAN
43 M HAPID PKL MADURA PASAR REJOSARI
Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003
149
b. Dinas dan Dewan Kota Salatiga 15 orang
NO NAMA LEMBAGA/PAGUYUBAN
1 WIYARSO INKOM
2 NIKEN BAG HK ORTALA
3 YUSNARNO KOMISl A DPRD
4 HARYONO X KOMISI C DPRD
5 SUPARMAN DINAS PASAR
6 DALIMO DINAS PASAR
7 DID1K WIYADI PARSENIBUD
8 AHMADI KOMISI B DPRD
9 SRI DANUDJO BAPPEDA-TRTG Tanah
10 SUHESTIWENING BAG PEREKONOMIAN
11 SOETJIPTO KESBANGL1NMAS
12 AJI RIYANTO PARIWISATA
13 MUKBAN DPRD
14 RAHMAT DPP PAN
15 SIS RIYAD1 LPPT
c. Tokoh Masyarakat 11 orang
NO NAMA LEMBAGA/PAGUYUBAN 1 WIDIARTO KALITAMAN
2 DARMAJI S KALITAMAN
3 SABARS KALITAMAN
4 KADYO RT 2 KALITAMAN
5 TRIARSO LEMBAGA KEPEMUDAAN PANCURAN
6 Y SUGIYARTO RT 6 RW IV KALITAMAN
7 A INDARTO RW KALICAC1NG
8 GUNANTO RW IV KALITAMAN
9 R UTOMO SEK. RW IV PANCURAN
10 WIYONO KELURAHAN SALATIGA
11 LILIK GERAKAN MASYARAKAT KLASEMAN
d. Pers 2 orang
NO NAMA LEMBAGA/PAGUYUBAN
1 FAUZI RSPD SALATIGA
2 EDY S SOLO POS
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
150
Rangkuman Usulan dan Tanggapan dalam Dialog Dengar Pendapat
dari Masing-Masing Elemen:
A. Perwakilan Kelompok PKL Salatiga:
a. Lokasi berjualan yang strategis menjadi lahan yang
diperebutkan antar PKL.
b. Adanya janji-janji untuk dibuatkan los-los di depan toko
yang telah disetujui pemimpin yang dulu (dinas/pemkot),
tetapi tidak ditepati.
c. Pungutan karcis 3-5 kali sehari, karcis retribusi pasar,
hotel, tempat makan dan restoran, pariwisata, parkir,
retribusi keamanan dan kebersihan.
d. PKL tetap membayar retribusi dengan pertimbangan tetap
boleh berjualan walaupun jenis pungutan tidak sesuai atau
tidak berhubungan dengan PKL.
e. PKL membantu pemerintah kota dalam menyumbang
Pendapatan Asli Daerah (PAD), tetapi tidak mendapat
pembinaan dan tidak tahu kemana hasil penarikan retribusi
tersebut.
f. Klarifikasi adanya isu tentang penertiban tanggal 1 Agustus
2002 yang akan dilakukan Pemkot Salatiga terhadap PKL.
g. PKL menata dirinya sendiri, tidak harus ditertibkan oleh
Satpol PP.
h. Tidak adanya informasi dan aturan yang jelas yang
mengatur PKL pagi dan sore
i. PKL boleh tetap berjualan di jalan Jenderal Sudirman.
j. Adanya rencana pembuatan aturan tentang penataan
pedagang kaki lima dari dinas yang mengatur tentang PKL,
tetapi proses penyusunannya tidak melibatkan PKL.
k. Perlu dibentuknya tim independen sebelum raperda jadi,
sehingga ada perwakilan khusus dari PKL, yang mana PKL
Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003
151
akan mendengarkan informasi yang akurat dari pemda dan
terlibat dalam pembuatan aturan tentang PKL.
l. Sebelum raperda berlaku menjadi perda ada sosialisasi ke
masyarakat (PKL).
m. Ada pakar, yang dilibatkan dalam pembicaraan/diskusi
untuk merencanakan pengaturan PKL, sehingga hasilnya
akan terarah (pada fokus permasalahan dan kepentingan
PKL).
n. PKL dari Minang (pendatang) tidak bisa bergabung dengan
kelompok PKL setempat (yang sudah ada).
B. Perwakilan Pers:
a. Forum ini tidak hanya menyalahkan dewan, tetapi
bekerjasama dengan dewan dan dinas.
b. Perlunya tim independen dari (melibatkan) PKL sebagai
jembatan PKL, dinas pasar dan dewan, sehingga jelas PKL
mau menyampaikan kemana. apakah ke FMPS atau dewan.
c. Kebijakan berubah tiap perubahan kepemimpinan
(pemerintahan).
d. PKL luar negeri itu diasuransikan sehingga ketika keluar
dari PKL dia masih punya hak asuransi, ketika Pasar Raya
terbakar PKL mendapat asuransi. Data PKL yang masuk
dan keluar bisa terpantau.
e. Forum ini tujuannya untuk membentuk tim, dan forum ini
yang dimotori FMPS.
f. Sosialisasi dan publikasinya bisa lewat radio secara cuma-
cuma.
C. Masyarakat:
a. Adanya perlindungan dan perlakuan persuasif terhadap
PKL.
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
152
b. Membutuhkan draf yang sudah ada sehingga masyarakat
dalam melaksanakan perda itu tidak akan sia-sia, sehingga
usulan-usulan ini dapat tertampung, ada perlakuan yang
kurang manusiawi terhadap PKL, sehingga masyarakat bisa
melakukan pembelaan.
c. Aturan tata tertib PKL di trotoar itu sudah jelas ada dan
secara formal itu tidak boleh permanen tetapi banyak yang
permanen.
d. PKL itu anak emasnya pemkot karena sebagai pendapatan
retribusi dari PKL ke pemkot.
e. Muncul banyak PKL baru yang berjualan lebih dari jam
dua pada siang hari tapi didiamkan.
f. Masyarakat Pancuran terganggu dengan aktifitas PKL yang
semrawut, tetapi pemda sengaja mendiamkan saja karena
PKL berkontribusi pada pendapatan asli daerah.
g. Tanah kosong di sekitar Luxor, diusulkan untuk dijadikan
tempat khusus PKL sambil menunggu Pasar Raya 1 selesai
pembangunannya.
h. Adanya tim independen tim itu terdiri dan PKL,
masyarakat, pedagang non PKL dan pihak lain terkait PKL.
i. Perda kalau sudah terbentuk bisa dinikmati oleh semua
pihak.
j. Dalam penyusunannya perda dirumuskan dari masyarakat
sehingga setelah perda itu terbentuk sudah tidak ada lagi
masalah dngan pihak manapun termasuk masalah moralitas
pejabat pemerintah.
k. Pemerintah dan dewan langsung terjun ke masyarakat
untuk mengetahui permasalahan di masyarakat.
l. Taman Pahlawan dibuat pasar, dampaknya di Pancuran
sangat terganggu.
Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003
153
m. Sampah yang dibuang di kali dapat mengganggu
lingkungan sekitar, daerah Pancuran terkesan kampung
yang kumuh.
n. Salatiga mempunyai kultur yang berbeda dengan kota-kota
lain dan jangan sampai masyarakat sekitar terkena
dampaknya akibat penataan ini.
D. Pedagang Eksis:
a. Sekitar Pasar Raya 1 tidak ditempati PKL.
b. Banyaknya PKL baru dan masyarakat pendatang sengaja
datang untuk menjadi PKL atau berprofesi sebagai PKL,
sehingga pedagang pasar (Pasar Raya) menjadi sepi,
pedagang asli dari Salatiga dapat kita hitung hanya
beberapa saja dan mereka tertinggal dengan adanya PKL
baru.
c. Pedagang yang mempunyai kios di Pasar Raya 1
dikontrakkan dan menjadi PKL, karena lebih
menguntungkan.
d. Jangan sampai keputusan sudah disahkan tapi akhirnya ada
keluhan dari masyarakat sehingga perdanya dapat
menguntungkan seluruh warga Kota Salatiga.
E. Dinas Pasar:
a. Penarikan karcis dua sampai lima kali, membutuhkan
jawaban (penjelasan) dengan pembuktian yang valid karena
jika tidak, nanti hasilnya tidak akan akurat. Kalau ada
pengaduan sampaikan kepada dinas dengan buktinya dan
lebih valid lagi jika melalui sekelompok/perwakilan dari
PKL.
b. Penertiban dengan model yang disesuaikan.
c. Penataan PKL harus menguntungkan PKL itu sendiri,
masyarakat lingkungan, dan kepentingan-kepentingan
pemerintah/umum (trotoar yang mestinya untuk pejalan
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
154
kaki bukan untuk para PKL), ini yang dimaksud
menguntungkan semua pihak. Karena pemerintah yang
bertanggung jawab atas sarana publik, semua trotoar
dibangun dengan anggaran/dana masyarakat yang di kelola
oleh pemerintah untuk masyarakat luas.
d. Jumlah PKL di Salatiga ini fluktuatif, terbanyak muncul
sekitar hari raya Idul Fitri sensus terakhir antara dinas
pasar dan UKSW.
e. Dinas/pemerintah menganggarkan ratusan juta untuk
menangani PKL, apakah itu nanti berbentuk pinjaman,
atau lainnya yang sudah terprogram dan tinggal
dilaksanakan.
f. Dinas pasar sedang memprogramkan lahan bagi PKL
dimana pembatasannya ada kriterianya, dilokalisir,
waktunya dan sebagainya. Tidak mungkin semua kesalahan
ditimpahkan ke pemda.
g. Raperda disahkan berarti telah mendapatkan persetujuan
dari PKL.
F. BAPPEDA:
a. Perda Salatiga No.5/95 menjelaskan bahwa Salatiga
diarahkan menjadi kota transit wisata, kota pendidikan,
dan olahraga.
b. Salatiga dibagi menjadi lima BWK (bagian wilayah kota),
repotnya pusat perdagangan berada di BWK 1 (Jensud dan
Rumah Sakit), pusat pelayanan pendidikan di BWK 11 di
Sidorejo, pusat fasilitas olahraga di BWK 1 di Kridanggo,
pusat pemerintahan di BWK I, fasilitas pemerintahan dan
sosial di seluruh BWK, pusat pelayanan transportasi BWK
V pusat rekreasi dan hiburan di BWK I, 11, V dan ruang
terbuka untuk pejalan kaki banyak digunakan oleh PKL
untuk berjualan. Sedangkan menurut RDTRK (rencana
Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003
155
detail tata ruang kota), RTTRK (rencana teknis tata ruang
kota), jalan tidak boleh untuk jualan.
G. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Salatiga:
a. Dewan tidak tahu persis kondisi lapangan, anggota dewan
tentu perlu ada transparansi tentang terjadinya
pemungutan harus jelas sesuai dengan komisi keuangan,
retribusi dan perpajakan sebenarya retribusi ini bertumpu
pada aset daerah karena PKL memungut keuntungan sana
sini dan menggunakan fasilitas pemkot.
b. Tentang keamanan bahwa retribusi keamanan itu jadi satu
dengan kebersihan sehingga ada timbal balik. Dinas pasar
bekerja sama dengan lingkungan melakukan kebersihan
sampah di sekitar PKL kalau ada retribusi keamanan tentu
ada timbal balik artinya ada jaminan keamanan yang
diperoleh pedagang jika ada hal yang merugikan pedagang.
c. Tentang adanya draf yang mengatur tentang PKL secara
khusus, belum ada perdanya, langkah-langkah yang
ditempuh dewan yaitu menyerap berbagai aspirasi forum-
forum seperti ini, dinas pasar, dan mengadakan studi
banding dengan tujuan dapat menyerap berbagai aspirasi
dengan keseimbangan kepentingan antara pedagang dan
pemkot.
d. Pergantian anggota dewan merubah kebijakan sebelumnya.
Penyusunan perda mengakomodasi aspirasi berbagai
kepentingan (pemakai jalan, masyarakat sekitar) yang akan
tertuang di dalam perda yang disusun kemudian. Pejabat
lama dan baru harus mengacu pada aturan atau perda yang
akan memperjuangkan aspirasi dari masyarakat dan tidak
sekedar janji.
e. Membuat peraturan daerah tidak sekedar menggusur atau
memindahkan tetapi mempertimbangkan berbagai nilai,
sosial dan mengakomodasi berbagai kepentingan. Perlu
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
156
kesadaran bahwa ketertiban adalah tanggung jawab
bersama, penggunaan tempat-tempat umum yang
merugikan pemakai jalan atau kepentingan yang lain harus
dipikirkan bersama, sehingga perda dapat diterima oleh
semua pihak.
f. Hak merubah, merenovasi gedung mestinya ada hak ijin
mendirikan bangunan tetapi kalau menyangkut hajat hidup
orang banyak. Pertemuan lanjut, mengundang dinas
Lingkungan, dinas Pekerjaan Umum, dan Transportasi,
karena ketiga dinas itu terkait dengan pengambilan sebuah
kebijakan.
g. Bulan ini sedang disusun raperda PKL dan sampai tahapan
penyerapan aspirasi, pendataaan dan masukan dari pakar.
Dengan adanya tim independen dapat melibatkan PKL
dalam pembahasan raperda.
h. Penataan PKL akan dilakukan sebaik mungkin, mengingat
lahan-lahan yang digunakan PKL sebagian besar adalah
lahan yang dipakai untuk fasilitas umum dimana
masyarakat Salatiga menginginkan kenyamanan dalam
menggunakan fasilitas umum, sebagai contoh pengguna
jalan tidak dapat menggunakan jalan secara maksimal jika
jalannya dipakai untuk PKL siang dan malam, sehingga
kalau ada pejalan kaki yang kecelakaan, PKL kena dampak
dari hal tersebut.
i. Di kota-kota lain itu ada areal tertentu yang diperuntukkan
untuk PKL tetapi dengan persyaratan yaitu tempat, waktu
(sore/malam) ketika waktu sudah berjualan telah selesai,
maka tempat berjualan harus bersih karena ini merupakan
fasilitas umum misalnya pasar pagi, jam tujuh harus bersih
lagi.
j. Pemerintah tidak hanya mengatur PKL di jalan Jenderal
Sudirman, dan Pattimura saja tanpa mencoba melakukan
pertimbangan di daerah-daerah lain, karena semakin
Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003
157
tertatanya kota, maka di jalan Jenderal Sudirman semakin
berkembang PKL, hal ini harus ada keseimbangan penataan
yang dilakukan oleh pemerintah Kota Salatiga
k. PKL mempunyai kios yang permanen, perlu berembug
bersama bagaimana caranya memberdayakan PKL untuk
kepentingan masyarakat dan Kota Salatiga
l. Masyarakat membuat draf raperda dengan didampingi
anggota FMPS sehingga ada titik temu dalam membuat
raperda PKL.
m. Hak untuk membentuk tim adalah hak semua elemen
masyarakat.
H. Setda Hukum dan Ortala:
a. Mekanisme penyusunan perda, di era otonomi daerah UU
No 22 tahun 1999 kita dihadapkan pada beberapa
paradigma baru yang berkaitan dengan proses penyusunan
produk hukum khususnya terbentuknya perda PKL di
Salatiga.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas perda:
SDM yang tahu persis bagaimana penyusunan perda
(legal drafter).
Prosedur penyusunan, teknik penyusunan materi, dan
penggunaan bahasa dalam UU yang mana bahasa itu
mudah dimengerti oleh masyarakat dan mudah
dilaksanakan.
Kewenangan membentuk perda itu sejak ada UU No 22
tahun 1999 kepala daerah menetapkan keputusan
daerah atas persetujuan DPRD, kalau ini yang
ditempuh berarti inisiatif berasal dari eksekutif, dalam
perda PKL disusun dinas Pengelolaan Pasar dan PKL
dengan menyerap aspirasi dari masyarakat PKL dan
aspek-apek lain.
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
158
Dibahas bersama DPR atau setelah matang di eksekutif
disetujui oleh DPR, tepat pada UU. No 22 tahun 19 99
DPR dan walikota membentuk perda, pasal 19 ayat 1
huruf F UU. No 22 tahun 1999 ada hak inisiatif DPRD,
tadi telah disampaikan komisi A ajang ini sebagai
sarana penyerapan informasi kemudian pada saaat
menyusun perda perlu memperhatikan faktor sosiologis
yaitu ketika perda PKL tersusun pedagang eksis tidak
diperhatikan hanya PKL saja itu harus betul-betul kita
perhatikan, dari dulu ada janji penataan Kota Salatiga
tapi tidak ada realisasinya bahwa menata PKL itu tidak
mudah sebagai ilustrasi kita sudah mempunyai Perda
No 18 tahun 1981 yang diperbarui dengan Perda No. 5
tahun 1993 tentang kebersihan, keindahan, ketertiban
kota yang mengatur PKL dimana di sepanjang jalan
Jenderal Sudirman itu dilarang ada PKL.
c. Landasan filosofis: PKL dari Minang yang ingin masuk pada
pedagang PKL baru kok tidak boleh, ya jelas tidak boleh,
kita sudah ruwet, kemudian dengan meledaknya jumlah
PKL, maka warga Pancuran keberatan apalagi kalau mereka
membuang sampah di Pancuran,
d. Landasan ekonomis: jangan sampai keberadaan PKL di
Salatiga mengalahkan pedagang eksis, jangan sampai
mengganggu situasi perdagangan yang lain karena Salatiga
itu kota pendidikan, transit perdagangan, olahraga,
sehingga transit perdagangan perlu kita olah secara baik.
e. Tim lndependen itu dilihat dari kajian hukum, silahkan
dialog langsung dengan dewan karena kami sudah
merencanakan penyusunan perda berdasarkan prakarsa
dewan dan menyerap aspirasi masyarakat namun belum
diangkat dalam produk hukum dan penyusunan raperda
antara legislatif dengan menyerap aspirasi masyarakat.
Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003
159
f. Memberi kesempatan kepada masyarakat belum jelas untuk
bertanya pada bagian hukum sekretariat pemda bagaimana
menyusun produk hukum yang berkualitas untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat Kota Salatiga
terutama pengaturan PKL.
g. Keterlibatan PKL dalam menyusun perda PKL: sejauh yang
ingin PKL sampaikan kepada dewan, karena (secara
perwakilan) PKL tidak mungkin menyusun perda tentang
PKL, tapi kalo PKL menyusun draf kemudian
dikonsultasikan kepada komisi A (yang membidangi) akan
lebih bagus karena ini merupakan prakarsa dari masyarakat
tertuang dalam pasal 19 ayat 1 huruf f UU No 22 tahun
1999.
Rekomendasi:
1. Perlunya pembentukan tim independen yang melibatkan PKL,
pedagang eksis, masyarakat dan kelompok lain yang terlibat
langsung dengan kebutuhan dan permasalahan PKL.
2. Forum Masyarakat Peduli Salatiga sebagai mediator dan
fasilitator dalam pembentukan tim independen.
Berdasarkan rekomendasi tersebut kemudian dibentuklah tim
independen yang difasilitasi oleh FMPS sehingga berbagai kegiatan
dapat dilakukan dalam upaya menyusun produk hukum dalam menata
PKL. Melalui partisipasi semua stakeholder maka raperda dapat
diselesaikan kemudian dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan semiloka
dan pada akhirnya dilakukan pula workshop tentang perumusan Perda
PKL yang dihadiri oleh semua elemen. Dari workshop itulah kemudian
ditindaklanjuti secara serius sehingga menghasilkan Perda No 2 tahun
2003 tentang penataan PKL Kota Salatiga.
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
160
Partisipasi dalam Implementasi
Implementasi merupakan penyediaan sarana untuk
melaksanakan kegiatan yang menimbulkan dampak atau akibat
terhadap sesuatu, baik menyangkut kehidupan manusia secara individu
ataupun kelompok. Kegiatan yang dilakukan dan menimbulkan
dampak atau akibat yaitu implementasi undang-undang, peraturan
pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang dibuat oleh
lembaga-lembaga pemerintah dalam hubungan dengan kehidupan
bernegara. Implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari
keseluruhan proses kebijakan. Van Meter dan Van Horn (Wahab,
2001:65), merumuskan proses implementasi sebagai: “those actions by public or private individuals (or groups) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions”
(tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu,
pejabat-pejabat, atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta
yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan
dalam keputusan kebijakan.
Menurut Wahab (2001:61), dalam proses implementasi
kebijakan sering terdapat permasalahan yang menunjukkan
ketidakefektifan kebijakan yang telah ditempuh. Gejala tersebut
dinamakan sebagai implementation gap, yakni: “Suatu keadaan
dimana dalam proses kebijakan selalu akan terbuka kemungkinan
terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan (direncanakan)
oleh pembuat kebijakan dengan apa yang dicapai (sebagai hasil
atau prestasi dari pelaksanaan kebijakan). Besar kecilnya perbedaan
tersebut tergantung pada organisasi ataupun aktor yang dipercaya
untuk mengemban tugas dalam mengimplementasikan kebijakan
tersebut.”(Andrew Dunsire dalam Wahab, 2001:61). Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Hogwood dan Gunn (Wahab, 2001: 61), bahwa:
“Kebijakan publik sebenarnya mengandung risiko untuk gagal.
Kegagalan kebijakan dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu non-implementation (tidak terimplementasi) dan unsuccessful implementation (implementasi yang tidak berhasil). Kebijakan yang
memiliki resiko untuk gagal tersebut disebabkan oleh beberapa
Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003
161
faktor diantaranya, pelaksanaannya yang jelek (bad execution),
kebijakannya sendiri memang jelek (bad policy), dan kebijakan yang
bernasib jelek (bad luck).”
Implementasi suatu kebijakan dapat dianalisis dengan
mengunakan beberapa model implementasi kebijakan. Salah satu
model implementasi kebijakan adalah model yang dikembangkan oleh
Van Meter dan Van Horn (1975), yang disebut sebagai a model of the policy implementation process (model proses implementasi kebijakan).
Model ini mencoba menghubungkan antara isu kebijakan dengan
implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan
kebijakan dengan prestasi kerja (performance). Antara kebijakan
dengan prestasi kerja dipisahkan oleh sejumlah variabel bebas
(independent variable) yang saling berkaitan. Variabel-variabel bebas
itu di antaranya: 1) Ukuran dan tujuan kebijakan, 2) Sumber-sumber
kebijakan, 3) Ciri-ciri atau sifat badan/instansi pelaksana, 4)
Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan,
5) Sikap para pelaksana, dan, 6) Lingkungan ekonomi, politik, dan
sosial.
Menurut Cleaves (Wahab 2015: 187), menjelaskan bahwa
implementasi mencakup proses bergerak menuju tujuan kebijakan
dengan cara administratif dan politik. Keberhasilan atau kegagalan
implementasi dapat dievaluasi dari sudut kemampuannya secara nyata
dalam meneruskan atau mengoperasionalkan program-program yang
telah dirancang sebelumnya. Sedangkan Van Meter dan Van Horn
(Wahab 2015: 65), menjelaskan bahwa implementasi adalah tindakan-
tindakan yang dilakukan baik individu-individu (pejabat) atau
kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada
tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan
kebijakan. Karena itu keseluruhan proses implementasi kebijakan dapat
dievaluasi dengan cara mengukur atau membandingkan antara hasil
akhir dari program-program yang dilaksanakan dengan tujuan
kebijakan.
Perjalanan yang dilalui bersama antara masyarakat, pemeritah
kota, dan legislatif dalam mengkaji dan menganalisa dampak yang
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
162
ditimbulkan dari eksistensi PKL, maka lahirlah Peraturan Daerah
Nomor 2 Tahun 2003 tentang Penataan PKL Kota Salatiga yang
dimplementasikan demi terwujudnya Kota Salatiga yang baik dan
nyaman. Pelaksanaan secara sederhana dimaknai sebagai suatu
tindakan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki kepentingan
terhadap suatu aktivitas dalam mewujudkan tujuan yang telah
ditetapkan. Karena itu semua stakeholder berharap akan tujuan yang
dicapai adalah terwujudnya tatanan kehidupan masyarakat yang lebih
baik di kota Salatiga.
Fakta mengenai partisipasi publik dalam implementasi Perda
Nomor 2 Tahun 2003 dapat dicermati melalui jumlah masyarakat yang
berpartisipasi, bagaimana bentuk ataupun wujud partisipasinya, serta
cara pelaksanaannya, dan semangat untuk berpartisipasi. Ketika
mengkaji tentang keterlibatan masyarakat dalam implementasi Perda
Nomor 2 tahun 2003, sangatlah besar dukungan dari semua stakeholder
dan untuk PKL sendiri dapat dilihat dari kepatuhan mereka terhadap
Perda dimaksud dimana wilayah-wilayah yang tidak dikhususkan
sebagai tempat berjualan bagi mereka semuanya dikosongkan dan tidak
ada lagi aktivitas dagang di tempat tersebut. Berdasarkan kondisi nyata
yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat khususnya
PKL sangat antusias menopang proses implementasi regulasi yang lahir
dari partisipasi mereka pula, sehingga dibutuhkan juga partisipasi aktif
dalam pelaksanaan di lapangan.
Selain semua komunitas PKL dan stakeholder lainnyapun turut
menopang pelaksanaan implementasinya melalui interaksi setiap hari
dengan menjaga ketertiban serta kenyamanan PKL ketika berjualan.
PKL meresponnya dengan menjaga kebersihan pada saat berjualan di
tempat-tempat yang telah disepakati bersama dan diatur melalui Perda
Nomor 2 tahun 2003 sehingga tidak lagi terjadi kesewenang-wenangan
di antara sesama PKL dan stakeholder lainnya.
Peraturan Daerah No 2 Tahun 2003
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Penataan
Pedagang Kaki Lima Kota Salatiga, adalah produk partisipasi publik
Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003
163
dalam mengupayakan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan
di dalam pembangunan daerah dengan memberikan ruang untuk
masyarakat berusaha menggunakan ataupun memanfaatkan ruang
terbuka di luar bangunan pasar dan pertokoan. Dengan demikian maka
perda tentang PKL merupakan dasar bagi masyarakat untuk
meningkatkan taraf hidupnya di bidang ekonomi yang didukung
penuh oleh pemerintah daerah sebagai bagian dari program
pembangunan daerah.
Sebelum adanya Perda Nomor 2 tahun 2003 para PKL yang
adalah bagian dari masyarakat Kota Salatiga tidak memiliki jaminan
keamanan secara sah melalui regulasi dari pemerintah untuk
melangsungkan usaha mereka. Dari kondisi tersebut maka ada pihak-
pihak tertentu yang menggunakan kewenangannya secara sepihak
untuk mengeksploitasi PKL sehingga menimbulkan dampak negatif
bagi eksistensi PKL di Kota Salatiga. Melalui implementasi perda PKL
dengan menyertakan TDU (tanda daftar usaha) bagi PKL maka peluang
untuk meningkatkan usaha semakin baik, lagi pula melalui Perda
Nomor 2 tahun 2003 pasal 4 huruf g menjelaskan bahwa pedagang
kaki lima yang disingkat PKL adalah seorang atau lebih yang
melakukan usaha dengan memanfaatkan ruang wilayah tertentu,
menggunakan sarana prasarana tertentu serta pada waktu tertentu7.
Selanjutnya dalam Perda Nomor 2 tahun 2003 diatur pula
tentang hak, kewajiban serta larangan bagi PKL dalam melakukan
aktivitas usahanya sehingga secara menyeluruh mereka diperhatikan
oleh pemerintah tetapi dalam aktivitasnya mereka juga memiliki
kewajiban sebagai wujud tanggung jawab warga masyarakat terhadap
daerahnya. Jika kewajibannya tidak dipenuhi ataupun terjadi
pelanggaran atas larangan yang telah ditetapkan maka pastinya ada
sanksi bagi mereka yang melakukan pelanggaran, sehingga seluruh
PKL tidak lagi secara semena-mena mengatur diri tanpa terkontrol dari
pihak pemerintah daerah melalui dinas terkait.
7 Perda No 2 Tahun 2003; 2
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
164
Hak PKL yang diatur yaitu mendapatkan pendaftaran daftar
usaha, mendapatkan fasilitas usaha, disediakan lahan pengganti PKL
apabila lokasi usaha dibutuhkan oleh pemerintah daerah, mendapatkan
fasilitas pemberdayaan dan pengembangan usaha serta mendapatkan
informasi dan berperan serta dalam kebijakan yang berkaitan dengan
PKL. Dari hak yang diberikan bagi mereka ternyata juga PKL diberi
ruang untuk berpartisipasi aktif untuk mengawal kebijakan yang telah
ditetapkan dan diimplementasikan oleh pemerintah daerah. Dengan
konsideran yang tertuang pada pasal 4 huruf e (Perda No 2 Tahun
2003: 3) sangat jelas diatur bahwa PKL tidak hanya diberi hak untuk
melakukan aktivitas usaha semata tetapi mereka juga diberi ruang
untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan publik.
Tentang kewajiban terdapat tujuh item yang mengatur
kewajiban PKL yaitu; a) Memelihara dan mengelola kebersihan,
keindahan, ketertiban dan kesehatan lingkungan; b) Menempatkan,
menata barang dagangan dan peralatannya dengan tertib dan tidak
mengganggu lalu lintas dan kepentingan umum; c) Mencegah
kemungkinan timbulnya bahaya kebakaran; d) Menempati sendiri
tempat usaha PKL sesuai dengan lokasi yang telah ditetapkan
pemerintah daerah; e) Membayar retribusi; f) Membawa pulang
peralatan yang telah digunakan;
g) Melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya sesuai ketentuan yang
berlaku. Dari kewajiban tersebut tujuannya adalah untuk kebaikan
semua pihak baik PKL, masyarakat umum dan pemerintah daerah,
karena itu dengan kewajiban yang telah ditetapkan maka PKL
memiliki tanggung jawab penuh dalam implementasi kebijakan sebagai
wujud partisipasi dalam menopang pembangunan daerah.
Setelah diberi hak serta kewajiban dalam melakukan usahanya
PKL dilarang menggunakan peralatan usaha selain yang telah
ditetapkan pemerintah daerah, menggunakan fasiltas usaha selain yang
telah ditentukan oleh pemerintah daerah, memindahtangankan tempat
usaha kepada pihak lain, membuang limbah di luar tempat yang telah
disediakan/ditentukan oleh pemerintah daerah, merusak tanaman hias
dan pohon pelindung serta prasarana kota yang lain. Tujuan dari
Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003
165
larangan tersebut adalah untuk menjaga ketertiban dalam melakukan
usaha, terdapat kesan lain yaitu pemerintah daerah berupaya agar tidak
muncul PKL baru yang diakibatkan penjualan tempat usaha kepihak
lain.
Selain hak, kewajiban, dan larangan, diatur pula tentang
retribusi PKL terhadap pemerintah daerah. Sebagaimana telah
dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa dengan ketidakjelasan dalam
penarikan retribusi yang dilakukan oleh oknum pegawai dari dinas
tertentu, maka hal tersebut berdampak pada aktivitas usaha PKL.
Karena itu pemerintah daerahpun menetapkan tarif retribusi secara
jelas sehingga tidak ada lagi oknum pegawai yang memanipulasi
kewenangannya, untuk besarnya retribusi PKL dilihat dari besarnya
lapak mereka. Bagi PKL yang ukuran lapaknya dibawah dua meter
persegi maka dihitung satu, sedangkan ukurannya di atas dua meter
maka dihitung dua lapak dengan standar paling rendah Rp. 250,-
perlapak.
Sebagai warga negara yang taat hukum maka tidak terlepas
pula dari sanksi bagi mereka yang sengaja melakukan pelanggaran
terhadap aturan yang berlaku. Dalam Perda Nomor 2 Tahun 2003
diatur mengenai sanksi terhadap PKL yang melakukan pelanggaran,
ada dua jenis sanksi yaitu sanksi administrasi dan pidana. PKL
dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan tanda daftar usaha
serta pembongkaran tempat usaha apabila tidak membayar retribusi
dan tidak membawa pulang peralatan usaha yang digunakan. Sanksi
pidana bisa berupa kurungan selama satu bulan ataupun membayar
denda paling tinggi satu juta rupiah apabila sengaja mengotori dan
merusak keindahan kota, terjadi kebakaran karena ulah PKL, dan
barang dagangan tidak ditata dengan tidak tertib sehingga
menyebabkan kecelakaan bagi pengguna fasilitas umum.
Posisi PKL dalam Implementasi Peraturan Daerah
Dalam implementasi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2003
sejak awalnya telah melewati sebuah proses yang rasional dan
emosional sebagai wujud dari espektasi stakeholder secara
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
166
komprehensif. Dengan demikian maka dapat dibahasakan bahwa
tahapan implementasi adalah sebuah fase penting dalam proses
kebijakan publik. Terkadang orang berpikir bahwa ketika telah ada
pada tahap implementasi maka dengan sendirinya proses kebijakan
akan berjalan tanpa masalah, pemahaman tersebut justru keliru karena
dalam implementasi sebuah kebijakan banyak yang memasuki ranah
konflik.
Implementasi pada dasarnya bukan sekedar sangkut paut
dengan mekanisme penjabaran politik ke dalam prosedur-prosedur
rutin melalui saluran-saluran birokrasi tetapi lebih dari itu. Pakar
kebijakan asal Afrika Udoji (Wahab 2015: 126) dengan tegas
mengatakan “the execution of policies is as important if not more important than policy making. Policies will remain dreams or print in file jakets unless they are implemented”. Melalui penjelasannya dapat
dipahami bahwa tahap implementasi kebijakan adalah sesuatu hal yang
lebih penting daripada tahap pembuatan kebijakan. Karena baginya
kebijakan-kebijakan akan hanya berupa impian atau sekedar rencana
baik yang tersimpan rapih dalam arsip apabila tidak
diimplementasikan.
Mengapa tahap implementasi dikatakan lebih penting daripada
tahap pembuatan, apakah sebuah kebijakan akan gagal dalam
implementasi? Berdasarkan pengalaman yang terjadi ada pula
implementasi kebijakan diberbagai negara yang gagal ketika memasuki
tahap implementasinya. Hogwood dan Gunn (Wahab 2015: 128)
membagi pengertian kegagalan kebijakan (policy failure) dalam dua
kategori besar, yaitu; non-implementation (tidak terimplementasikan),
dan unsuccessfull implementation (implementasi yang tidak sukses).
Tidak terimplementasikan mengandung arti bahwa suatu
kebijakan tidak berjalan sesuai rencana. Hal yang menyebabkan
kebijakan tidak berjalan sesuai rencana mungkin karena pihak-pihak
yang terlibat dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama atau
mereka bekerja tapi tidak efisien, bekerja dengan setengah hati, tidak
sepenuhnya mereka menguasai permasalahan, atau kemungkinan
permasalahan yang digarap di luar jangkauan kekuasaan, sehingga
Partisipasi dalam Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2003
167
bagaimanapun gigihnya mereka tetapi hambatan-hambatan yang ada
sulit ditanggulangi. Akibatnya adalah implementasi yang efektif sulit
untuk dipenuhi dalam menggapai hasil berdasarkan rencana awal.
Sedangkan implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi
ketika suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai rencana,
namun akibat kondisi eksternal yang tidak diduga langsung
mempengaruhi secara signifikan kebijakan tersebut. Misalnya secara
tiba-tiba terjadi peristiwa pergantian kekuasaan, bencana alam, dan
lain sebagainya sehingga kebijakan tersebut tidak berhasil dalam
mewujudkan dampak atau hasil akhir yang direncanakan. Pada
umumnya kebijakan yang memiliki resiko untuk gagal disebabkan oleh
beberapa faktor berupa: pelaksanaannya jelek (bad execution),
kebijakannya sendiri memang jelek (bad policy), dan kebijakan yang
bernasib jelek (bad luck).
Dengan demikian maka suatu kebijakan boleh jadi tidak dapat
diimplementasikan secara efektif sehingga dinilai oleh para pembuat
kebijakan sebagai pelaksanaan yang jelek. Atau para pembuat kebijakan
(policy makers) maupun yang ditugasi untuk melaksanakannya