Top Banner
BAB IV IMPLIKASI DARI LAHIRNYA FATWA K.H. HASYIM ASY’ARI DALAM MAKLUMAT MENTERI AGAMA NO. 04 TAHUN 1947 A. Situasi dan Kondisi Pelaksanaan Ibadah Haji di Indonesia pada Tahun 1945-1949 Kebijakan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia sebelum kemerdekaan RI 1945 berada di bawah pengawasan pemerintah Belanda. Selanjutnya, pada saat Indonesia sudah merdeka, Belanda masih memberikan pelayanan terhadap pelaksanaan ibadah haji. Hal tersebut dilakukan Belanda untuk menarik simpati bangsa Indonesia supaya berpihak kepada Belanda yang saat itu sedang melakukan perlawanan terhadap pemerintah Republik Indonesia guna menguasai kembali wilayah Indonesia. Belanda juga menyediakan valuta asing untuk pelaksanakan ibadah haji. 1 Untuk menghalau usaha yang dilakukan oleh Belanda, K.H. Hasyim Asy’ari sebagai ketua Masyumi mengeluarkan fatwa jihad yaitu pelarangan sementara pelaksanaan ibadah haji di Indonesia. Dikeluarkannya Fatwa jihad K.H. Hasyim Asy’ari tentang Pelarangan sementara pelaksanaan ibadah haji di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu, pertama, sebagai usaha pertahanan dan perlawanan kepada pihak Belanda, sehingga melalui fatwa tersebut mengandung ajakan dan anjuran kepada rakyat Indonesia untuk melakukan perlawanan kepada pihak Belanda guna mempertahankan kemerdekaan RI 1945. Kedua, pada saat pemerintah RI berada di Yogyakarta, pemerintah tidak mengizinkan para jamaah haji meninggalkan wilayah RI karena adanya blokade Angkatan Laut Belanda terhadap pelabuhan- pelabuhan di Indonesia. Oleh karena itu, keadaan di laut sebagai jalur transportasi haji menjadi tidak aman. Ketiga, pemerintah RI tidak memiliki kapal-kapal untuk mengangkut jamaah haji Indonesia ke Mekkah. 2 Kapal-kapal haji saat itu adalah perusahaan pelayaran Kongsi Tiga milik pemerintah Belanda sehingga, 1 Pada tahun 1948, nilai valuta asing yang dikeluarkan oleh Belanda adalah sebesar £ 1.000.000 dan f 5.000.000. Lihat dalam Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 13. 2 Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 18.
13

BAB IV IMPLIKASI DARI LAHIRNYA FATWA K.H. …sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB41414312034.pdfKebijakan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia sebelum kemerdekaan RI 1945 berada

May 25, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB IV IMPLIKASI DARI LAHIRNYA FATWA K.H. …sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB41414312034.pdfKebijakan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia sebelum kemerdekaan RI 1945 berada

BAB IV

IMPLIKASI DARI LAHIRNYA FATWA K.H. HASYIM ASY’ARI DALAM

MAKLUMAT MENTERI AGAMA NO. 04 TAHUN 1947

A. Situasi dan Kondisi Pelaksanaan Ibadah Haji di Indonesia pada Tahun

1945-1949

Kebijakan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia sebelum kemerdekaan RI

1945 berada di bawah pengawasan pemerintah Belanda. Selanjutnya, pada saat

Indonesia sudah merdeka, Belanda masih memberikan pelayanan terhadap

pelaksanaan ibadah haji. Hal tersebut dilakukan Belanda untuk menarik simpati

bangsa Indonesia supaya berpihak kepada Belanda yang saat itu sedang

melakukan perlawanan terhadap pemerintah Republik Indonesia guna menguasai

kembali wilayah Indonesia. Belanda juga menyediakan valuta asing untuk

pelaksanakan ibadah haji.1 Untuk menghalau usaha yang dilakukan oleh Belanda,

K.H. Hasyim Asy’ari sebagai ketua Masyumi mengeluarkan fatwa jihad yaitu

pelarangan sementara pelaksanaan ibadah haji di Indonesia.

Dikeluarkannya Fatwa jihad K.H. Hasyim Asy’ari tentang Pelarangan

sementara pelaksanaan ibadah haji di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa hal

yaitu, pertama, sebagai usaha pertahanan dan perlawanan kepada pihak Belanda,

sehingga melalui fatwa tersebut mengandung ajakan dan anjuran kepada rakyat

Indonesia untuk melakukan perlawanan kepada pihak Belanda guna

mempertahankan kemerdekaan RI 1945. Kedua, pada saat pemerintah RI berada

di Yogyakarta, pemerintah tidak mengizinkan para jamaah haji meninggalkan

wilayah RI karena adanya blokade Angkatan Laut Belanda terhadap pelabuhan-

pelabuhan di Indonesia. Oleh karena itu, keadaan di laut sebagai jalur transportasi

haji menjadi tidak aman. Ketiga, pemerintah RI tidak memiliki kapal-kapal untuk

mengangkut jamaah haji Indonesia ke Mekkah.2 Kapal-kapal haji saat itu adalah

perusahaan pelayaran Kongsi Tiga milik pemerintah Belanda sehingga,

1 Pada tahun 1948, nilai valuta asing yang dikeluarkan oleh Belanda adalah sebesar £

1.000.000 dan f 5.000.000. Lihat dalam Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 13.

2 Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 18.

Page 2: BAB IV IMPLIKASI DARI LAHIRNYA FATWA K.H. …sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB41414312034.pdfKebijakan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia sebelum kemerdekaan RI 1945 berada

penyediaan kapal haji oleh Belanda sama saja menghalangi bangsa Indonesia

untuk melakukan perlawanan terhadap serangan yang dilakukan Belanda terhadap

Republik Indonesia.3 Jadi, bangsa Indonesia yang ingin melaksanakan ibadah haji

khususnya yang berada di wilayah kekuasaan RI belum bisa dilaksanakan. Akan

tetapi, masih ada bangsa Indonesia yang melaksanakan ibadah haji ke Mekkah.

Pelaksanaan ibadah haji pada masa revolusi fisik dapat ditelusuri melalui

sebuah karya dari K.H. Abdussamad, Melawat ke Mekkah (menunaikan haji).

Beliau berangkat ke Mekkah pada tanggal 13 Agustus 1948 di Pelabuhan Tanjung

Periuk, Batavia dengan menggunakan kapal Prometheus kepunyaan Oceaan. Rute

pelayaran yang dilakukan oleh kapal yang ditumpangi Abdussamad adalah dari

Batavia, Kuala, Selat Sunda hingga Sabang, Colombo, Aden, Bab el-Mandeb dan

Jeddah kemudian ke Madinah dan Mekkah. Ketentuan-ketentuan mengenai Syekh

haji, karantina dan pelayanan selama perjalanan sama dengan yang terjadi

sebelumnya. Dalam bagian penutup, Abdussamad menyatakan bahwa isi dari

karyanya tersebut adalah kitab Manasik Haji, didalamnya dijelaskan mengenai

hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan ibadah haji. Keberadaan

Abdussamad masih misterius, dalam naskahnya nama ia ditulis Adbussamad dan

terkait asal daerahnya pun masih menjadi perkiraan yaitu antara asal Kalimantan

Selatan yang lama tinggal di Jakarta atau asal Jakarta yang pindah ke Kalimantan

Selatan. Sehingga, mengenai penjelasan mengapa Abdusamad tetap melaksanakan

ibadah haji walaupun saat itu sudah ada fatwa tentang pelarangan sementara

pelaksanaan ibadah haji dalam Maklumat Menteri Agama No. 04 Tahun 1947

tidak ditemukan dalam naskahnya. Namun, naskah Abdussamad menjadi sumber

informasi tentang bagaimana keadaan pelaksanaan ibadah haji pada masa revolusi

fisik khususnya dalam informasi tentang manasik haji.4

Di Mekkah, para jamaah haji yang mukim ikut melakukan perlawanan

terhadap Belanda. Sebelumnya, sejak bulan Mei 1942 para mukim mendapatkan

tunjangan keuangan dari pemerintah Belanda di Jeddah akibat pecahnya Perang

Dunia II. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan RI 1945, para

3 Ismail Hakki Goksoy, Op. Cit, Hal. 1.

4 K.H Abdussamad, Naik Haji di Masa Revolusi dalam Henri Chambert-Loir, 2013, Naik

Haji di Masa Silam tahun1900-1950, Jakarta: KPG. Hal. 699-743.

Page 3: BAB IV IMPLIKASI DARI LAHIRNYA FATWA K.H. …sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB41414312034.pdfKebijakan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia sebelum kemerdekaan RI 1945 berada

mukim tersebut menolak pemberian tunjangan tersebut.5 Selain itu, para mukim

melakukan pertemuan di Mekkah pada tanggal 2 September 1945 dan menyatakan

dukungan mereka terhadap pemerintah Republik Indonesia.6 Para mukim juga

membentuk organisasi Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia dan bendera merah

putih dikibarkan di depan kemah-kemah para mukim di padang Arafah.7 Ibnu

Saud menetapkan peraturan pembatasan kegiatan politik di Hijaz, karena Hijaz

merupakan tempat untuk beribadah bukan tempat untuk melakukan propaganda

politik. Pada saat para mukim melakukan pertemuan untuk mengumpulkan

dukungan untuk RI yang dilakukan di wilayah Mina, para pemimpin organisasi

tersebut ditangkap oleh pemerintah Arab Saudi dan dibebaskan kembali dua jam

kemudian.8 Selain usaha-usaha para mukim di Mekkah, bangsa Indonesia juga

melakukan berbagai upaya demi perbaikan pelaksanaan ibadah haji ke Mekkah.

Dalam upaya perbaikan pelaksanaan ibadah haji para mukim mendirikan

sebuah komite yang disebut Komite Pertolongan Indonesia (Kopindo) di Mekkah

pada tanggal 21 Juli 1946.9 Komite ini didirikan atas izin pemerintah Arab Saudi,

padahal selama ini segala bentuk perkumpulan atau oranisasi dilarang oleh Ibnu

Saud. Tokoh-tokoh Kopindo diantaranya adalah Dja’far Zinuddin, Amir Hakim,

Hasan Ali, Salimun, Abdullatief Sidjantan, Bakur, Sidik, Syekh Abdulkadir,

Abdul Djalil Mukaddasi, Abdul Karim bin Syu’ib, Ahmad Djunaedi dan lain-lain.

Kegiatan yang dilakukan diantaranya adalah mengumpulkan uang untuk membeli

beras dan kebutuhan lainnya dan dibagikan kepada para mukim.10

Pada periode

1945-1949 para jamaah haji Indonesia yang melakukan ibadah haji dari wilayah-

wilayah yang dikuasai oleh Belanda menyelundupkan mata uang Belanda yang

disebut dengan uang kertas NICA. Uang tersebut ditukarkan dengan mata uang

lokal di Aden, Jeddah dan Mekkah.11

5 Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 17.

6 Ismail Hakki Goksoy, Op. Cit, Hal. 191.

7 Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 32.

8 Ismail Hakki Goksoy, Op. Cit, Hal. 192.

9 Ibid, Hal. 193.

10 Henri Chambert-Loir, 2013, Naik Haji di Masa Silam tahun 1900-1950, Jakarta: KPG.

Hal. 845.

11 M. Shaleh Putuhena, Op. Cit, Hal. 162-163.

Page 4: BAB IV IMPLIKASI DARI LAHIRNYA FATWA K.H. …sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB41414312034.pdfKebijakan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia sebelum kemerdekaan RI 1945 berada

Di samping gencarnya upaya para mukim dalam menggalang dukungan

untuk pemerintah Republik Indonesia, pemerintah Belanda juga melakukan

upaya-upaya untuk menggalang dukungan dari para mukim supaya mengakui

pemerintah Belanda di Indonesia. Upaya tersebut dilakukan pemerintah Belanda

melalui Konsulat Belanda di Jeddah. Pada tanggal 5 Februari 1946, Kementerian

Luar Negeri Belanda mengirimkan perwakilan surat edaran kepada Dingemans di

Jeddah dan Van Rechteren Limpung di Kairo. Surat edaran tersebut menyatakan

bahwa bantuan keuangan yang diberikan Belanda bagi para mukim akan diberikan

jika mereka menandatangani sumpah kesetiaan yang mengakui pemerintah

Belanda sebagai satu-satunya pemerintah yang sah di Indonesia. Selanjutnya,

surat edaran tersebut dihapuskan pada tanggal 9 Maret 1946 karena mendapat

respon yang tidak baik dari para mukim di Kairo dan sikap ketidaksetujuan dari

Dingemans. Sejak pertengahan bulan April 1945, melalui Konsulat Belanda di

Mekkah, pemerintah Belanda mengumumkan adanya pemulangan para mukim ke

Indonesia secara gratis. Namun, pengumuman tersebut kebanyakan ditolak oleh

para mukim dan hanya sembilan mukim yang mendaftarkan diri kepada Konsul di

Mekkah. Enam berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan dan tiga berasal dari

Pontianak, Kalimantan Barat dan berangkat pada bulan November 1946 Bagi para

mukim yang menerima tersebut diberi label Nica mukims oleh mukim yang lain.12

Sedangkan bagi jamaah haji yang melaksanakan ibadah haji dari Indonesia

menggunakan kapal Belanda disebut haji NICA.

Pemerintah Belanda juga melakukan misi kehormatan yang awalnya

bernama Emir al-Hadj dari Negara Indonesia Timur yang bermaksud mengunjungi

Ibnu Saud dan menumbuhkan semangat iktikad baik di antara kaum Muslimin.13

Pada tanggal 8 Juli 1947, pemerintah NIT memutuskan untuk menunjuk Syekh

Bachmid yang berasal dari Sulawesi Selatan sebagai pimpinan misi kehormatan.

Pada tanggal 10 September 1947, Kementerian Luar Negeri Saudi

memberitahukan kepada Konsulat Belanda di Jeddah bahwa mereka telah

menyetujui dan akan menerima misi kehormatan yang dikirimkan Belanda. Misi

ini diikuti oleh Sultan Pontianak, Sultan Hamid II al-Kadri sebagai Kepala Daerah

12

Ibid, Hal. 192-193.

13 Ibid, Hal. 18.

Page 5: BAB IV IMPLIKASI DARI LAHIRNYA FATWA K.H. …sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB41414312034.pdfKebijakan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia sebelum kemerdekaan RI 1945 berada

Khusus Kalimantan Barat. Anggota dalam misi ini di antaranya adalah anak

Daeng Mttejang, Baso Daeng Malewa, H. Abdurrahman, H. Bustami, Hasan

Zakaria, H. Ziruddin, Darwish Zakaria, H. Wibowo dan Sayyid Abdurrahman al-

Massawa. Misi ini tiba di Jeddah pada tanggal 22 Oktober 1947 dan diterima

sebagai tamu resmi oleh pemerintah Arab Saudi.14

Setelah dikeluarkannya Maklumat Menteri Agama No. 4 Tahun 1947 oleh

Menteri Agama Fathurrahman Kafrawi tentang pelarangan sementara pelaksanaan

ibadah haji di Indonesia dilakukan upaya perbaikan pelaksanaan ibadah haji oleh

pemerintah RI. H.M. Rasjidi mengunjungi Mekkah pada tanggal 13 Oktober

sebagai wakil diplomat RI di Kairo. Setelah kunjungan tersebut, pada tanggal 22

November 1947, H.M. Rasjidi mendapatkan pengakuan dari pemerintah Arab

Saudi atas kemerdekaan RI 1945.15

Pada tanggal 28 November 1948, Menteri

Agama K.H. Masjkur mengirimkan empat orang utusannya ke Mekkah yang

terdiri dari KRH. Muh. Adnan, H. Ismail Banda, H. Saleh Suaidi dan H. Samsir

Sutan Ameh.16

Awalnya, pemerintah RI hanya memfasilitasi jasa pesawat terbang

yang disewa dari Thailand dan berakhir di Bangkok dan selebihnya biaya sendiri.

Untungnya, H. Samsir membawa berlian yang nantinya bisa dijual di Bangkok

sehingga, dapat menyewa maskapai penerbangan dari rute Bangkok-Kairo.

Kebetulan, pada saat itu pesawat yang melayani rute Bangkok-Kairo adalah

perusahaan KLM (Koninklijke Luchtvaart Maastschappij) milik Belanda. Terbesit

keraguan pada rombongan tersebut karena saat itu hubungan RI dan Belanda

memang sedang tidak baik. Namun, keajaiban berpihak kepada RI, dengan

bantuan seorang dokter asal Vietnam, rombongan tersebut diberikan izin oleh

maskapai KLM meskipun sudah jelas bahwa rombongan tersebut bertuliskan misi

haji RI.17

Misi haji tersebut mendapatkan sambutan yang baik dari Raja Abdul

Aziz dari Arab Saudi.

Ali Hasjmy merupakan anggota misi haji RI yang mengunjungi Timur

Tengah untuk melaksanakan tugas diplomasi pada bulan September 1949. Tujuan

14

Ismail Hakki Goksoy, Op. Cit, Hal. 199-200.

15 Ibid, Hal. 200-201.

16 Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 19.

17 Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Op. Cit, Hal. 62.

Page 6: BAB IV IMPLIKASI DARI LAHIRNYA FATWA K.H. …sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB41414312034.pdfKebijakan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia sebelum kemerdekaan RI 1945 berada

dari misi ini adalah meningkatkan hubungan antara Republik Indonesia dan

negara-negara Arab, meningkatkan popularitas bangsa Indonesia di dunia Islam

dan menjelaskan bagaimana perjuangan bangsa Indonesia saat itu dalam

memperjuangkan kemerdekaan RI 1945 (kebetulan misi ini dilaksanakan pada

saat akan dilakukannya KMB di Belanda).18

Misi ini berangkat pada tanggal 28

September 1949 dan diterima oleh Ibnu Saud pada tanggal 3 Oktober 1949. Misi

ini kembali ke Indonesia pada tanggal 7 Desember 1949. Selain Ali Hasjmy, misi

ini terdiri dari Syekh H. Abdulhamid, H. Ameh Samsir, M. Noor al-Ibrahim, Prof.

Abdulkahar Muzakkir dan Syekh Awab Sjahbal.19

Data statistik jumlah jamaah haji Indonesia pada tahun 1946-1949.20

Keterangan 1946 1947 1948 1949

Kuota 3000 4000 8767 8600

1. Jawa Barat: (dahulu

terdiri dari Banten,

Batavia, Cirebon

dan Kabupaten

Priangan).

8 360 1727 1600

2. Jawa Tengah dan

Timur dan Madura: 2 62 682

600

3. Sumatera Selatan:

Palembang - 18 44 -

4. Sumatra Timur: - - 11 -

5. Bangka dan

Belitung - - 13 -

6. Kalirnantan Barat: - - 147 -

7. Kalimantan Selatan

dan Kalimantan - 486 3166

3000

18

Ali Hasjmy, Naik Haji sambil Melaksanakan Tugas Diplomasi dalam Henri Chambert-

Loir, 2013, Naik Haji di Masa Silam tahun 1900-1950, Jakarta: KPG. Hal. 736

19 Ismail Hakki Goksoy, Op. Cit, Hal. 206.

20 Loc. Cit.

Page 7: BAB IV IMPLIKASI DARI LAHIRNYA FATWA K.H. …sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB41414312034.pdfKebijakan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia sebelum kemerdekaan RI 1945 berada

Timur: (Kalimantan

Tenggara)

8. Sulawesi: 20 1606 - -

9. Maluku: 1 16 3028 3000

10. Kepulauan Sunda

Kecil: (sekarangnya

Nusa Tenggara

sejak tahun 1955)

39 1408 - -

11. Tidak ditentukan

(dari Sumatra): - - - 570

Jumlah jamaah haji 70 3959 8818 8770

Berdasarkan data di atas, jumlah jamaah haji yang melaksanakan ibadah

haji di Indonesia sejak tahun 1946 sampai dengan 1948 mengalami kenaikan

walaupun pada tahun 1949 jumlahnya mengalami penurunan. Seperti diketahui

bahwa pada tahun 1945 telah dikeluarkan fatwa K.H. Hasyim Asy’ari tentang

pelarangan sementara pelaksanaan ibadah haji di Indonesia yang kemudian

dimasukan dalam Maklumat Menteri Agama N0. 04 Tahun 1947 oleh Menteri

Agama Fathurrahman Kafrawi. Keberadaan data di atas menunjukkan bahwa

walaupun sudah ada pelarangan pelaksanaan ibadah haji, antusias jamaah haji

untuk melaksanakan ibadah haji masih terus ada namun demikian, ada juga

jamaah haji yang lebih memilih tidak berangkat haji dan mematuhi perintah

maklumat demi mempertahankan kemerdekaan RI 1945 dari serangan penjajahan

Belanda. Hal tersebut seperti yang terjadi di Kalimantan Selatan dimana pasukan

gerilya dibawah pimpinan Letjen Hasan Basri melarang siapa pun yang ingin

melaksanakan ibadah haji kecuali benar-benar mendesak. Akibatnya, 540 jamaah

haji memilih tidak berangkat haji.21

Perlu diketahui bahwa, jamaah haji yang tetap

melaksanakan ibadah haji ke Mekkah dengan menggunakan Kongsi Tiga akan

mendapat julukan haji NICA.

21

Budi Setiyono, Haji Republik dan Haji Nica. http://historia.id/agama/haji-republik-vs-

haji-nica. Diunduh pada tanggal 05 Juni 2018 pukul 06.25.

Page 8: BAB IV IMPLIKASI DARI LAHIRNYA FATWA K.H. …sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB41414312034.pdfKebijakan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia sebelum kemerdekaan RI 1945 berada

Wilayah-wilayah yang tidak mengirimkan jamaah haji ke Mekkah pada

tahun 1945-1949 adalah Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta), Surakarta

(Kasuhunan Surakarta), Lampung, Jambi, Bengkulu (Bangkahulu), Sumatera

Barat, Tapanuli, Aceh dan Riau. Peristiwa ini menunjukkan bahwa fatwa K.H.

Hasyim Asy’ari tentang pelarangan sementara pelaksanaan ibadah haji di

Indonesia dalam Maklumat Menteri Agama No. 04 Tahun 1947 dilaksanakan di

beberapa daerah.

Angka-angka tersebut bersumber dari laporan-laporan haji para Konsul

Belanda di Jeddah dan surat-menyurat antara para Konsul Belanda dengan

Kementerian Luar Negeri yang disebut arsip Jeddah Kementerian Luar Negeri.

Angka-angkanya juga masih perlu dipertimbangkan karena hanya sebatas

memperkirakan angka jamaah haji yang sebenarnya (para jamaah haji Indonesia

yang berangkat dari Singapura atau Penang).22

Sebelum penyerahan kedaulatan Belanda kepada bangsa Indonesia, telah

dilakukan gerakan perbaikan perjalanan ibadah haji yang dilakukan oleh Badan

Kongres Muslimin Indonesia dalam kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta

yang berlangsung pada tanggal 20-25 Desember 1949. Resolusi Kongres

Muslimin dalam masalah haji menghasilkan keputusan sebagai berikut.

1. Mendesak pemerintah membuat UU kecil (verordening) yang berkenaan

dengan pelaksanaan ibadah haji.

2. Mengajukan berdirinya badan-badan pelayaran yang berasal dari umat

Islam di Indonesia.

3. Mendesak Arab Saudi untuk melakukan perbaikan pelayanan pelaksanaan

ibadah haji di Mekkah.23

Setelah Konferensi Meja Bundar 1949, H.M Rasjidi diberi tugas oleh

Wakil Presiden Moh. Hatta untuk mengambilalih Kedutaan Belanda di Mekkah

dan Konsulat Belanda di Jeddah. Selain itu, ia juga diangkat sebagai Duta Besar

Indonesia untuk Mesir dan Arab Saudi yang berkedudukan di Kairo.24

Indonesia

pada saat itu negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) sudah mempunyai

22

Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 46-57.

23 Sumuran Harahap dan Mr. Mursidi, Op. Cit, Hal. 57-58.

24 Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed.), Op. Cit, Hal. 17.

Page 9: BAB IV IMPLIKASI DARI LAHIRNYA FATWA K.H. …sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB41414312034.pdfKebijakan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia sebelum kemerdekaan RI 1945 berada

kapa-kapal sendiri untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Kementerian

Agama merupakan kantor yang bertanggungjawab untuk mengawasi pelaksanaan

ibadah haji. Pada tahun 1949/1950 pelaksanaan ibadah haji di Indonesia untuk

pertama kalinya dilaksanakan kembali setelah diberhentikan selama masa revolusi

fisik 1945-1949.

Pada tahun 1948, pemerintah Arab Saudi, menurunkan tarif haji (pajak

khusus yang dikenakan kepada semua jamaah haji) dari £ 36.10 menjadi £ 28.

Tarif haji dan besar ongkos naik haji pada tahun 1949 yaitu tahun di mana untuk

pertama kalinya pelaksanaan ibadah haji dilaksanakan kembali setelah masa

revolusi fisik adalah sebesar Rp. 3.395,-. Pas Haji yang dikeluarkan pada saat

Indonesia merdeka merupakan Pas Haji yang berwarna hitam dan dikeluarkan

oleh bupati setempat.25

B. Implikasi dari lahirnya fatwa K.H. Hasyim Asy’ari dalam Maklumat

Menteri Agama No. 04 Tahun 1947

Fatwa yang dikeluarkan oleh K. H. Hasyim Asy’ari tentang pelarangan

sementara pelaksanaan ibadah haji di Indonesia dituangkan dalam Maklumat

Menteri Agama No. 04 Tahun 1947 oleh Menteri Agama Fathurrahman Kafrawi.

Walaupun naskah asli dari Maklumat Menteri Agama No. 04 Tahun 1947 tidak

penulis temukan baik pada arsip Kementerian Agama maupun Arsip Nasional

Republik Indonesia, informasi tentang fatwa K. H. Hasyim Asy’ari setidaknya

memberi sedikit gambaran kurang lebih isi maklumat tersebut. Fatwa tersebut

yaitu, “Haram bagi umat Islam meninggalkan tanah airnya dalam keadaan

melakukan perang melawan agama, tidak wajib pergi haji, di mana berlaku fardhu

‘ain bagi umat Islam melakukan perang melawan penjajah bangsa dan agama”.26

Jadi, Implikasi dikeluarkannya fatwa K.H. Hasyim Asy’ari dalam Maklumat

Menteri Agama No. 04 Tahun 1947 ada empat pembahasan.

Pertama, tidak adanya pelayanan pelaksanaan ibadah haji dari pemerintah

Republik Indonesia. Pada masa revolusi fisik 1945-1949, Republik Indonesia

mengalami krisis ekonomi akibat adanya blokade Angkatan Laut Belanda

25

Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Op. Cit, Hal. 215-337.

26 Zubaedi, Op. Cit, Hal. 191.

Page 10: BAB IV IMPLIKASI DARI LAHIRNYA FATWA K.H. …sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB41414312034.pdfKebijakan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia sebelum kemerdekaan RI 1945 berada

terhadap pelabuhan-pelabuhan di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah RI tidak

mampu menyediakan kapal-kapal haji untuk mengangkut jamaah haji Indonesia

ke Mekkah.27

Selain itu, pemerintah RI di Yogyakarta tidak mengizinkan bangsa

Indonesia untuk meninggalkan wilayah RI karena situasi dan kondisi wilayah RI

tidak aman akibat serangan yang dilakukan oleh Belanda, ketidakamanan

perjalanan ibadah haji tersebut menjadi faktor pendorong bangsa Indonesia untuk

melakukan perlawanan terhadap serangan-serangan yang dilakukan oleh Belanda.

Pelawanan tersebut berupa perjuangan fisik melalui pertempuran-pertempuran dan

perjuangan diplomatik melalui perundingan-perundingan. Pertempuran yang

terjadi pada masa revolusi fisik di antaranya adalah adanya insiden bendera di

Hotel Yamato, Surabaya. Pada tanggal 19 September 1945, orang-orang Belanda

yang berada di Hotel Yamato mengibarkan bendera Belanda di puncak hotel,28

pada tanggal 10 November di Tebingtinggi diadakan suatu pertemuan untuk

berjuang di Medan Area,29

pertempuran di Surabaya pada tanggal 10 November

1945 dan perlawanan yang terjadi di Bandung dikenal dengan perstiwa Bandung

Lautan Api pada tanggal 23 Maret 1946.30

Perjuangan melalui diplomatik yaitu,

perundingan Linggarjati,31

perundingan Renville, perundingan Roem Royen dan

Kenferensi Meja Bundar. Berdasarkan hal tersebut, dikeluarkannya fatwa K.H.

Hasyim Asy’ari dalam Maklumat Menteri Agama No. 04 Tahun 1947 tentang

pelarangan sementara pelaksanaan ibadah haji telah memberikan implikasi

terhadap pelayanan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia yaitu tidak adanya

pelayanan bagi pelaksanaan ibadah haji oleh pemerintah RI. Karena saat itu,

pemerintah RI malakukan perjuangan bagi mempertahankan kemerdekaan RI.

Kedua, tidak adanya partisipasi dari sebagian jamaah RI atas pelayanan

pelaksanaan ibadah haji yang dilakukan oleh pemerintah Belanda. Walaupun

dalam praktiknya masih ada yang melaksanakan ibadah haji yang berangkat ke

Mekkah, keberangkatannya pun menjadi beban moral tersendiri karena jamaah

27

Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 18.

28 Ibid, Hal. 103.

29 Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Op. Cit, Hal. 119-121.

30 Ahmad Mansur Suryanegara, Op. Cit, Hal. 210-213.

31 Sutan Sjahrir (Indonesia), Schermerhorn (Belanda) dan Lord Killearn (Inggris). Lihat

dalam J. Laroppe & R. Soetejo, Op. Cit, Hal. 240.

Page 11: BAB IV IMPLIKASI DARI LAHIRNYA FATWA K.H. …sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB41414312034.pdfKebijakan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia sebelum kemerdekaan RI 1945 berada

haji yang melaksanakan ibadah haji dengan menggunakan pelayanan Kongsi Tiga

akan diberikan julukan haji NICA. Dalam sejarah perkembangannya, pelayanan

dalam pelaksanaan ibadah haji di Indonesia dilakukan oleh pemerintah Hindia

Belanda. Pelayanan tersebut diantaranya adalah disediakannya kapal-kapal haji

yang dikenal dengan nama Kongsi Tiga. Selain kapal haji, peraturan-peraturan

terkait dengan pelaksanaan ibadah haji juga diatur oleh pemerintah Belanda dalam

bentuk kebijakan dan resolusi. Kebijakan tersebut isinya diantanya adalah terkait

pas jalan, ketentuan kapal haji yang layak pakai dan peraturan selama perjalanan.

Pelayanan tersebut terus dilakukan oleh Belanda walaupun Indonesia sudah

merdeka. Hal tersebut Belanda lakukan untuk menarik simpati dan dukungan

bangsa Indonesia terhadap keberadaan Belanda di Indonesia. Pelayanan yang

dilakukan Belanda pada masa revolusi fisik diantaranya adalah disediakannya

kapal haji, pemberian tunjangan dan program pemulangan haji gratis bagi para

mukim di Mekkah. Pada saat dikeluarkannya fatwa K.H. Hasyim Asy’ari dalam

Maklumat Menteri Agama No. 04 Tahun 1947 tentang pelarangan sementara

pelaksanaan ibadah haji di Indonesia, para jamaah RI menolak pelayanan tersebut.

Di Kalimantan Selatan, pasukan gerilya dibawah pimpinan Letjen Hasan Basri

melarang siapa pun yang ingin melaksanakan ibadah haji kecuali benar-benar

mendesak. Akibatnya, 540 jamaah haji memilih tidak berangkat haji.32

Ketiga, adanya julukan bagi jamaah haji yang melaksanakan ibadah haji

dengan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah Belanda yaitu haji NICA dan

mukim NICA. Penolakan terhadap pelayanan pelaksanaan ibadah haji yang

dilakukan oleh Belanda merupakan awal munculnya julukan haji NICA dan

mukim NICA. Julukan tersebut ditujukan kepada jamaah haji Indonesia yang

menerima pelayanan Belanda. Haji NICA adalah mereka yang berangkat

melaksanakan ibadah haji menggunakan kapal-kapal haji milik Belanda dari

Indonesia ke Mekkah. Mukim NICA adalah mereka yang menerima pelayanan

haji yang diberikan Belanda selama di Mekkah. Misalnya, sejak pertengahan

bulan April 1945, melalui Konsulat Belanda di Mekkah, pemerintah Belanda

mengumumkan adanya pemulangan para mukim ke Indonesia secara gratis

32

Budi Setiyono, Haji Republik dan Haji Nica. http://historia.id/agama/haji-republik-vs-

haji-nica. Diunduh pada tanggal 05 Juni 2018 pukul 06.25.

Page 12: BAB IV IMPLIKASI DARI LAHIRNYA FATWA K.H. …sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB41414312034.pdfKebijakan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia sebelum kemerdekaan RI 1945 berada

namun, pengumuman tersebut kebanyakan ditolak oleh para mukim dan hanya

sembilan mukim yang mendaftarkan diri kepada Konsul di Mekkah. Enam berasal

dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan dan tiga berasal dari Pontianak, Kalimantan

Barat dan berangkat pada bulan November 1946. Bagi para mukim yang

menerima tersebut diberi label Nica mukims oleh mukim yang lain.33

Oleh karena

itu, dengan dikeluarkannya fatwa K.H. Hasyim Asy’ari dalam Maklumat Menteri

Agama No. 04 Tahun 1947 memunculkan adanya julukan haji NICA dan mukim

NICA sebagai sikap yang ditujukan dalam rangka penolakan bangsa Indonesia

terhadap keberadaan Belanda dan bentuk dukungan penuh terhadap kemerdekaan

RI 1945.

Keempat, menunjukkan persaingan antara pemerintah RI dengan

pemerintah Belanda dalam pelaksanaan ibadah haji di Indonesia melalui misi-misi

haji yang dilakukan. Tidak adanya pelayanan pelaksanaan ibadah haji oleh

pemerintah RI tidak menjadikan pelayanan pelaksanaan ibadah haji dilupakan

begitu saja. Pemerintah RI mengirimkan misi-misi haji sebagai upaya untuk

membangun kembali pelayanan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia. Misi haji

pertama, berangkat pada tanggal 28 November 1948, Menteri Agama K.H.

Masjkur mengirimkan empat orang utusannya ke Mekkah yang terdiri dari KRH.

Muh. Adnan, H. Ismail Banda, H. Saleh Suaidi dan H. Samsir Sutan Ameh.34

Misi haji kedua, berangkat pada tanggal 28 September 1949 dan diterima oleh

Ibnu Saud pada tanggal 3 Oktober 1949. Misi ini kembali ke Indonesia pada

tanggal 7 Desember 1949. Selain Ali Hasjmy, misi ini terdiri dari Syekh H.

Abdulhamid, H. Ameh Samsir, M. Noor al-Ibrahim, Prof. Abdulkahar Muzakkir

dan Syekh Awab Sjahbal.35

Selain pemerintah RI, Belanda juga melakukan misi

haji yaitu, misi kehormatan dari Negara Indonesia Timur yang bermaksud

mengunjungi Ibnu Saud dan menumbuhkan semangat iktikad baik di antara kaum

Muslimin. Pada tanggal 8 Juli 1947, pemerintah NIT memutuskan untuk

menunjuk Syekh Bachmid yang berasal dari Sulawesi Selatan sebagai pimpinan

misi kehormatan. Pada tanggal 10 September 1947, Kementerian Luar Negeri

33

Ibid, Hal. 192-193.

34 Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 19.

35 Ismail Hakki Goksoy, Op. Cit, Hal. 206.

Page 13: BAB IV IMPLIKASI DARI LAHIRNYA FATWA K.H. …sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB41414312034.pdfKebijakan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia sebelum kemerdekaan RI 1945 berada

Saudi memberitahukan kepada Konsulat Belanda di Jeddah bahwa mereka telah

menyetujui dan akan menerima misi kehormatan yang dikirimkan Belanda. Misi

ini diikuti oleh Sultan Pontianak, Sultan Hamid II al-Kadri sebagai Kepala Daerah

Khusus Kalimantan Barat. Anggota dalam misi ini di antaranya adalah anak

Daeng Mttejang, Baso Daeng Malewa, H. Abdurrahman, H. Bustami, Hasan

Zakaria, H. Ziruddin, Darwish Zakaria, H. Wibowo dan Sayyid Abdurrahman al-

Massawa. Misi ini tiba di Jeddah pada tanggal 22 Oktober 1947 dan diterima

sebagai tamu resmi oleh pemerintah Arab Saudi.36

Berdasarkan hal tersebut, fatwa

K.H. Hasyim Asy’ari dalam Maklumat Menteri Agama No. 04 Tahun 1947 telah

melahirkan persaingan antara pemerintah RI dan Belanda dalam memperjuangkan

pemerintahannya masing-masing di bidang pelaksanaan ibadah haji.

36

Ibid, Hal. 199-200.