BAB IV IMPLIKASI DARI LAHIRNYA FATWA K.H. HASYIM ASY’ARI DALAM MAKLUMAT MENTERI AGAMA NO. 04 TAHUN 1947 A. Situasi dan Kondisi Pelaksanaan Ibadah Haji di Indonesia pada Tahun 1945-1949 Kebijakan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia sebelum kemerdekaan RI 1945 berada di bawah pengawasan pemerintah Belanda. Selanjutnya, pada saat Indonesia sudah merdeka, Belanda masih memberikan pelayanan terhadap pelaksanaan ibadah haji. Hal tersebut dilakukan Belanda untuk menarik simpati bangsa Indonesia supaya berpihak kepada Belanda yang saat itu sedang melakukan perlawanan terhadap pemerintah Republik Indonesia guna menguasai kembali wilayah Indonesia. Belanda juga menyediakan valuta asing untuk pelaksanakan ibadah haji. 1 Untuk menghalau usaha yang dilakukan oleh Belanda, K.H. Hasyim Asy’ari sebagai ketua Masyumi mengeluarkan fatwa jihad yaitu pelarangan sementara pelaksanaan ibadah haji di Indonesia. Dikeluarkannya Fatwa jihad K.H. Hasyim Asy’ari tentang Pelarangan sementara pelaksanaan ibadah haji di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu, pertama, sebagai usaha pertahanan dan perlawanan kepada pihak Belanda, sehingga melalui fatwa tersebut mengandung ajakan dan anjuran kepada rakyat Indonesia untuk melakukan perlawanan kepada pihak Belanda guna mempertahankan kemerdekaan RI 1945. Kedua, pada saat pemerintah RI berada di Yogyakarta, pemerintah tidak mengizinkan para jamaah haji meninggalkan wilayah RI karena adanya blokade Angkatan Laut Belanda terhadap pelabuhan- pelabuhan di Indonesia. Oleh karena itu, keadaan di laut sebagai jalur transportasi haji menjadi tidak aman. Ketiga, pemerintah RI tidak memiliki kapal-kapal untuk mengangkut jamaah haji Indonesia ke Mekkah. 2 Kapal-kapal haji saat itu adalah perusahaan pelayaran Kongsi Tiga milik pemerintah Belanda sehingga, 1 Pada tahun 1948, nilai valuta asing yang dikeluarkan oleh Belanda adalah sebesar £ 1.000.000 dan f 5.000.000. Lihat dalam Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 13. 2 Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 18.
13
Embed
BAB IV IMPLIKASI DARI LAHIRNYA FATWA K.H. …sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB41414312034.pdfKebijakan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia sebelum kemerdekaan RI 1945 berada
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB IV
IMPLIKASI DARI LAHIRNYA FATWA K.H. HASYIM ASY’ARI DALAM
MAKLUMAT MENTERI AGAMA NO. 04 TAHUN 1947
A. Situasi dan Kondisi Pelaksanaan Ibadah Haji di Indonesia pada Tahun
1945-1949
Kebijakan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia sebelum kemerdekaan RI
1945 berada di bawah pengawasan pemerintah Belanda. Selanjutnya, pada saat
Indonesia sudah merdeka, Belanda masih memberikan pelayanan terhadap
pelaksanaan ibadah haji. Hal tersebut dilakukan Belanda untuk menarik simpati
bangsa Indonesia supaya berpihak kepada Belanda yang saat itu sedang
melakukan perlawanan terhadap pemerintah Republik Indonesia guna menguasai
kembali wilayah Indonesia. Belanda juga menyediakan valuta asing untuk
pelaksanakan ibadah haji.1 Untuk menghalau usaha yang dilakukan oleh Belanda,
K.H. Hasyim Asy’ari sebagai ketua Masyumi mengeluarkan fatwa jihad yaitu
pelarangan sementara pelaksanaan ibadah haji di Indonesia.
Dikeluarkannya Fatwa jihad K.H. Hasyim Asy’ari tentang Pelarangan
sementara pelaksanaan ibadah haji di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa hal
yaitu, pertama, sebagai usaha pertahanan dan perlawanan kepada pihak Belanda,
sehingga melalui fatwa tersebut mengandung ajakan dan anjuran kepada rakyat
Indonesia untuk melakukan perlawanan kepada pihak Belanda guna
mempertahankan kemerdekaan RI 1945. Kedua, pada saat pemerintah RI berada
di Yogyakarta, pemerintah tidak mengizinkan para jamaah haji meninggalkan
wilayah RI karena adanya blokade Angkatan Laut Belanda terhadap pelabuhan-
pelabuhan di Indonesia. Oleh karena itu, keadaan di laut sebagai jalur transportasi
haji menjadi tidak aman. Ketiga, pemerintah RI tidak memiliki kapal-kapal untuk
mengangkut jamaah haji Indonesia ke Mekkah.2 Kapal-kapal haji saat itu adalah
perusahaan pelayaran Kongsi Tiga milik pemerintah Belanda sehingga,
1 Pada tahun 1948, nilai valuta asing yang dikeluarkan oleh Belanda adalah sebesar £
1.000.000 dan f 5.000.000. Lihat dalam Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 13.
2 Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 18.
penyediaan kapal haji oleh Belanda sama saja menghalangi bangsa Indonesia
untuk melakukan perlawanan terhadap serangan yang dilakukan Belanda terhadap
Republik Indonesia.3 Jadi, bangsa Indonesia yang ingin melaksanakan ibadah haji
khususnya yang berada di wilayah kekuasaan RI belum bisa dilaksanakan. Akan
tetapi, masih ada bangsa Indonesia yang melaksanakan ibadah haji ke Mekkah.
Pelaksanaan ibadah haji pada masa revolusi fisik dapat ditelusuri melalui
sebuah karya dari K.H. Abdussamad, Melawat ke Mekkah (menunaikan haji).
Beliau berangkat ke Mekkah pada tanggal 13 Agustus 1948 di Pelabuhan Tanjung
Periuk, Batavia dengan menggunakan kapal Prometheus kepunyaan Oceaan. Rute
pelayaran yang dilakukan oleh kapal yang ditumpangi Abdussamad adalah dari
Batavia, Kuala, Selat Sunda hingga Sabang, Colombo, Aden, Bab el-Mandeb dan
Jeddah kemudian ke Madinah dan Mekkah. Ketentuan-ketentuan mengenai Syekh
haji, karantina dan pelayanan selama perjalanan sama dengan yang terjadi
sebelumnya. Dalam bagian penutup, Abdussamad menyatakan bahwa isi dari
karyanya tersebut adalah kitab Manasik Haji, didalamnya dijelaskan mengenai
hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan ibadah haji. Keberadaan
Abdussamad masih misterius, dalam naskahnya nama ia ditulis Adbussamad dan
terkait asal daerahnya pun masih menjadi perkiraan yaitu antara asal Kalimantan
Selatan yang lama tinggal di Jakarta atau asal Jakarta yang pindah ke Kalimantan
Selatan. Sehingga, mengenai penjelasan mengapa Abdusamad tetap melaksanakan
ibadah haji walaupun saat itu sudah ada fatwa tentang pelarangan sementara
pelaksanaan ibadah haji dalam Maklumat Menteri Agama No. 04 Tahun 1947
tidak ditemukan dalam naskahnya. Namun, naskah Abdussamad menjadi sumber
informasi tentang bagaimana keadaan pelaksanaan ibadah haji pada masa revolusi
fisik khususnya dalam informasi tentang manasik haji.4
Di Mekkah, para jamaah haji yang mukim ikut melakukan perlawanan
terhadap Belanda. Sebelumnya, sejak bulan Mei 1942 para mukim mendapatkan
tunjangan keuangan dari pemerintah Belanda di Jeddah akibat pecahnya Perang
Dunia II. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan RI 1945, para
3 Ismail Hakki Goksoy, Op. Cit, Hal. 1.
4 K.H Abdussamad, Naik Haji di Masa Revolusi dalam Henri Chambert-Loir, 2013, Naik
Haji di Masa Silam tahun1900-1950, Jakarta: KPG. Hal. 699-743.
mukim tersebut menolak pemberian tunjangan tersebut.5 Selain itu, para mukim
melakukan pertemuan di Mekkah pada tanggal 2 September 1945 dan menyatakan
dukungan mereka terhadap pemerintah Republik Indonesia.6 Para mukim juga
membentuk organisasi Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia dan bendera merah
putih dikibarkan di depan kemah-kemah para mukim di padang Arafah.7 Ibnu
Saud menetapkan peraturan pembatasan kegiatan politik di Hijaz, karena Hijaz
merupakan tempat untuk beribadah bukan tempat untuk melakukan propaganda
politik. Pada saat para mukim melakukan pertemuan untuk mengumpulkan
dukungan untuk RI yang dilakukan di wilayah Mina, para pemimpin organisasi
tersebut ditangkap oleh pemerintah Arab Saudi dan dibebaskan kembali dua jam
kemudian.8 Selain usaha-usaha para mukim di Mekkah, bangsa Indonesia juga
melakukan berbagai upaya demi perbaikan pelaksanaan ibadah haji ke Mekkah.
Dalam upaya perbaikan pelaksanaan ibadah haji para mukim mendirikan
sebuah komite yang disebut Komite Pertolongan Indonesia (Kopindo) di Mekkah
pada tanggal 21 Juli 1946.9 Komite ini didirikan atas izin pemerintah Arab Saudi,
padahal selama ini segala bentuk perkumpulan atau oranisasi dilarang oleh Ibnu
Saud. Tokoh-tokoh Kopindo diantaranya adalah Dja’far Zinuddin, Amir Hakim,
Hasan Ali, Salimun, Abdullatief Sidjantan, Bakur, Sidik, Syekh Abdulkadir,
Abdul Djalil Mukaddasi, Abdul Karim bin Syu’ib, Ahmad Djunaedi dan lain-lain.
Kegiatan yang dilakukan diantaranya adalah mengumpulkan uang untuk membeli
beras dan kebutuhan lainnya dan dibagikan kepada para mukim.10
Pada periode
1945-1949 para jamaah haji Indonesia yang melakukan ibadah haji dari wilayah-
wilayah yang dikuasai oleh Belanda menyelundupkan mata uang Belanda yang
disebut dengan uang kertas NICA. Uang tersebut ditukarkan dengan mata uang
lokal di Aden, Jeddah dan Mekkah.11
5 Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 17.
6 Ismail Hakki Goksoy, Op. Cit, Hal. 191.
7 Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 32.
8 Ismail Hakki Goksoy, Op. Cit, Hal. 192.
9 Ibid, Hal. 193.
10 Henri Chambert-Loir, 2013, Naik Haji di Masa Silam tahun 1900-1950, Jakarta: KPG.
Hal. 845.
11 M. Shaleh Putuhena, Op. Cit, Hal. 162-163.
Di samping gencarnya upaya para mukim dalam menggalang dukungan
untuk pemerintah Republik Indonesia, pemerintah Belanda juga melakukan
upaya-upaya untuk menggalang dukungan dari para mukim supaya mengakui
pemerintah Belanda di Indonesia. Upaya tersebut dilakukan pemerintah Belanda
melalui Konsulat Belanda di Jeddah. Pada tanggal 5 Februari 1946, Kementerian
Luar Negeri Belanda mengirimkan perwakilan surat edaran kepada Dingemans di
Jeddah dan Van Rechteren Limpung di Kairo. Surat edaran tersebut menyatakan
bahwa bantuan keuangan yang diberikan Belanda bagi para mukim akan diberikan
jika mereka menandatangani sumpah kesetiaan yang mengakui pemerintah
Belanda sebagai satu-satunya pemerintah yang sah di Indonesia. Selanjutnya,
surat edaran tersebut dihapuskan pada tanggal 9 Maret 1946 karena mendapat
respon yang tidak baik dari para mukim di Kairo dan sikap ketidaksetujuan dari
Dingemans. Sejak pertengahan bulan April 1945, melalui Konsulat Belanda di
Mekkah, pemerintah Belanda mengumumkan adanya pemulangan para mukim ke
Indonesia secara gratis. Namun, pengumuman tersebut kebanyakan ditolak oleh
para mukim dan hanya sembilan mukim yang mendaftarkan diri kepada Konsul di
Mekkah. Enam berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan dan tiga berasal dari
Pontianak, Kalimantan Barat dan berangkat pada bulan November 1946 Bagi para
mukim yang menerima tersebut diberi label Nica mukims oleh mukim yang lain.12
Sedangkan bagi jamaah haji yang melaksanakan ibadah haji dari Indonesia
menggunakan kapal Belanda disebut haji NICA.
Pemerintah Belanda juga melakukan misi kehormatan yang awalnya
bernama Emir al-Hadj dari Negara Indonesia Timur yang bermaksud mengunjungi
Ibnu Saud dan menumbuhkan semangat iktikad baik di antara kaum Muslimin.13
Pada tanggal 8 Juli 1947, pemerintah NIT memutuskan untuk menunjuk Syekh
Bachmid yang berasal dari Sulawesi Selatan sebagai pimpinan misi kehormatan.
Pada tanggal 10 September 1947, Kementerian Luar Negeri Saudi
memberitahukan kepada Konsulat Belanda di Jeddah bahwa mereka telah
menyetujui dan akan menerima misi kehormatan yang dikirimkan Belanda. Misi
ini diikuti oleh Sultan Pontianak, Sultan Hamid II al-Kadri sebagai Kepala Daerah
12
Ibid, Hal. 192-193.
13 Ibid, Hal. 18.
Khusus Kalimantan Barat. Anggota dalam misi ini di antaranya adalah anak
Daeng Mttejang, Baso Daeng Malewa, H. Abdurrahman, H. Bustami, Hasan
Zakaria, H. Ziruddin, Darwish Zakaria, H. Wibowo dan Sayyid Abdurrahman al-
Massawa. Misi ini tiba di Jeddah pada tanggal 22 Oktober 1947 dan diterima
sebagai tamu resmi oleh pemerintah Arab Saudi.14
Setelah dikeluarkannya Maklumat Menteri Agama No. 4 Tahun 1947 oleh
Menteri Agama Fathurrahman Kafrawi tentang pelarangan sementara pelaksanaan
ibadah haji di Indonesia dilakukan upaya perbaikan pelaksanaan ibadah haji oleh
pemerintah RI. H.M. Rasjidi mengunjungi Mekkah pada tanggal 13 Oktober
sebagai wakil diplomat RI di Kairo. Setelah kunjungan tersebut, pada tanggal 22
November 1947, H.M. Rasjidi mendapatkan pengakuan dari pemerintah Arab
Saudi atas kemerdekaan RI 1945.15
Pada tanggal 28 November 1948, Menteri
Agama K.H. Masjkur mengirimkan empat orang utusannya ke Mekkah yang
terdiri dari KRH. Muh. Adnan, H. Ismail Banda, H. Saleh Suaidi dan H. Samsir
Sutan Ameh.16
Awalnya, pemerintah RI hanya memfasilitasi jasa pesawat terbang
yang disewa dari Thailand dan berakhir di Bangkok dan selebihnya biaya sendiri.
Untungnya, H. Samsir membawa berlian yang nantinya bisa dijual di Bangkok
sehingga, dapat menyewa maskapai penerbangan dari rute Bangkok-Kairo.
Kebetulan, pada saat itu pesawat yang melayani rute Bangkok-Kairo adalah
perusahaan KLM (Koninklijke Luchtvaart Maastschappij) milik Belanda. Terbesit
keraguan pada rombongan tersebut karena saat itu hubungan RI dan Belanda
memang sedang tidak baik. Namun, keajaiban berpihak kepada RI, dengan
bantuan seorang dokter asal Vietnam, rombongan tersebut diberikan izin oleh
maskapai KLM meskipun sudah jelas bahwa rombongan tersebut bertuliskan misi
haji RI.17
Misi haji tersebut mendapatkan sambutan yang baik dari Raja Abdul
Aziz dari Arab Saudi.
Ali Hasjmy merupakan anggota misi haji RI yang mengunjungi Timur
Tengah untuk melaksanakan tugas diplomasi pada bulan September 1949. Tujuan
14
Ismail Hakki Goksoy, Op. Cit, Hal. 199-200.
15 Ibid, Hal. 200-201.
16 Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 19.
17 Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Op. Cit, Hal. 62.
dari misi ini adalah meningkatkan hubungan antara Republik Indonesia dan
negara-negara Arab, meningkatkan popularitas bangsa Indonesia di dunia Islam
dan menjelaskan bagaimana perjuangan bangsa Indonesia saat itu dalam
memperjuangkan kemerdekaan RI 1945 (kebetulan misi ini dilaksanakan pada
saat akan dilakukannya KMB di Belanda).18
Misi ini berangkat pada tanggal 28
September 1949 dan diterima oleh Ibnu Saud pada tanggal 3 Oktober 1949. Misi
ini kembali ke Indonesia pada tanggal 7 Desember 1949. Selain Ali Hasjmy, misi
ini terdiri dari Syekh H. Abdulhamid, H. Ameh Samsir, M. Noor al-Ibrahim, Prof.
Abdulkahar Muzakkir dan Syekh Awab Sjahbal.19
Data statistik jumlah jamaah haji Indonesia pada tahun 1946-1949.20
Keterangan 1946 1947 1948 1949
Kuota 3000 4000 8767 8600
1. Jawa Barat: (dahulu
terdiri dari Banten,
Batavia, Cirebon
dan Kabupaten
Priangan).
8 360 1727 1600
2. Jawa Tengah dan
Timur dan Madura: 2 62 682
600
3. Sumatera Selatan:
Palembang - 18 44 -
4. Sumatra Timur: - - 11 -
5. Bangka dan
Belitung - - 13 -
6. Kalirnantan Barat: - - 147 -
7. Kalimantan Selatan
dan Kalimantan - 486 3166
3000
18
Ali Hasjmy, Naik Haji sambil Melaksanakan Tugas Diplomasi dalam Henri Chambert-
Loir, 2013, Naik Haji di Masa Silam tahun 1900-1950, Jakarta: KPG. Hal. 736
19 Ismail Hakki Goksoy, Op. Cit, Hal. 206.
20 Loc. Cit.
Timur: (Kalimantan
Tenggara)
8. Sulawesi: 20 1606 - -
9. Maluku: 1 16 3028 3000
10. Kepulauan Sunda
Kecil: (sekarangnya
Nusa Tenggara
sejak tahun 1955)
39 1408 - -
11. Tidak ditentukan
(dari Sumatra): - - - 570
Jumlah jamaah haji 70 3959 8818 8770
Berdasarkan data di atas, jumlah jamaah haji yang melaksanakan ibadah
haji di Indonesia sejak tahun 1946 sampai dengan 1948 mengalami kenaikan
walaupun pada tahun 1949 jumlahnya mengalami penurunan. Seperti diketahui
bahwa pada tahun 1945 telah dikeluarkan fatwa K.H. Hasyim Asy’ari tentang
pelarangan sementara pelaksanaan ibadah haji di Indonesia yang kemudian
dimasukan dalam Maklumat Menteri Agama N0. 04 Tahun 1947 oleh Menteri
Agama Fathurrahman Kafrawi. Keberadaan data di atas menunjukkan bahwa
walaupun sudah ada pelarangan pelaksanaan ibadah haji, antusias jamaah haji
untuk melaksanakan ibadah haji masih terus ada namun demikian, ada juga
jamaah haji yang lebih memilih tidak berangkat haji dan mematuhi perintah
maklumat demi mempertahankan kemerdekaan RI 1945 dari serangan penjajahan
Belanda. Hal tersebut seperti yang terjadi di Kalimantan Selatan dimana pasukan
gerilya dibawah pimpinan Letjen Hasan Basri melarang siapa pun yang ingin
melaksanakan ibadah haji kecuali benar-benar mendesak. Akibatnya, 540 jamaah
haji memilih tidak berangkat haji.21
Perlu diketahui bahwa, jamaah haji yang tetap
melaksanakan ibadah haji ke Mekkah dengan menggunakan Kongsi Tiga akan
mendapat julukan haji NICA.
21
Budi Setiyono, Haji Republik dan Haji Nica. http://historia.id/agama/haji-republik-vs-
haji-nica. Diunduh pada tanggal 05 Juni 2018 pukul 06.25.