50
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Dasar Perlindungan Hukum terhadap Alat Musik Tradisional
Gamolan Pekhing
Alat musik tradisional Gamolan Pekhing merupakan benda budaya
sekaligus karya intelektual bidang seni yang perlu mendapatkan
perlindungan hukum. Sebagai benda budaya yang berupa alat musik
tradisional, Gamolan Pekhing perlu dilestarikan agar alat musik
tradisional ini tetap eksis dan semakin berkembang di kalangan
masyarakat. Selain itu, Gamolan Pekhing juga perlu untuk dilindungi
karena Gamolan Pekhing merupakan karya intelektual yang diciptakan
dari hasil pemikiran seseorang sehingga menghasilkan suatu karya
cipta yang harus dilindungi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dasar perlindungan
hukum yang akan dikaji disini adalah perlindungan hukum terhadap
alat musik tradisional Gamolan Pekhing berdasarkan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (Undang-Undang Cagar
Budaya) dan dasar perlindungan hukum yang kedua yaitu perlindungan
hukum terhadap alat musik tradisional Gamolan Pekhing berdasarkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC).
1. Perlindungan Hukum terhadap Alat Musik Tradisional Gamolan
Pekhing berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya
Ketentuan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya merumuskan bahwasanya pengertian Cagar Budaya
adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya,
Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya,
dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu
dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi
sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan
melalui proses penetapan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Cagar Budaya
tersebut maka dapat dikatakan bahwa alat musik tradisional Gamolan
Pekhing merupakan sebuah cagar budaya yang harus dilestarikan. Hal
ini dapat dibuktikan melalui ketentuan dalam Pasal 5 Undang-Undang
Cagar Budaya yang menyebutkan kriteria-kriteria yang dapat
diusulkan sebagai benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, atau
struktur cagar budaya apabila memenuhi kriteria yaitu sebagai
berikut:a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;b. mewakili
masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;c. memiliki
arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
dan/atau kebudayaan; dand. memiliki nilai budaya bagi penguatan
kepribadian bangsa.
Berdasarkan keempat kriteria tersebut di atas, Gamolan Pekhing
dapat dikatakan sebagai cagar budaya karena Gamolan Pekhing berumur
lebih dari 50 tahun karena Gamolan Pekhing dibuat sekitar pada abad
ke-17 oleh Bujang Khapok atau Bujang Tua dari daerah Sekala Brak
Lampung Barat. Gamolan Pekhing juga telah mewakili masa gaya paling
singkat berusia 50 tahun dan memiliki arti khusus bagi sejarah,
ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan serta
memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa, karena
Gamolan Pekhing merupakan sebuah instrumen musik yang tidak dapat
dipisahkan dari perjalanan panjang peradaban Sekala Brak sebagai
salah satu warisan budaya dari Peradaban Sekala Brak Kuno terutama
dalam aspek seni dan tradisi.
Dalam konsideran Undang-Undang Cagar Budaya menyebutkan bahwa
cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud
pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi
pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
sehingga perlu dilestarikan.
Ketentuan dalam Pasal 1 Angka 22 Undang-Undang Cagar Budaya
merumuskan bahwasanya pelestarian adalah upaya dinamis untuk
mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara
melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Berdasarkan hal
tersebut, maka sudah seharusnya alat musik Gamolan Pekhing dapat
dilestarikan karena memiliki nilai dan manfaat bagi perkembangan
budaya di Provinsi Lampung.
Berikut ini hal-hal yang menjadi dasar perlindungan hukum
terhadap alat musik tradisional Gamolan Pekhing berdasarkan
Undang-Undang Cagar Budaya yaitu sebagai berikut:
(1) Alat Musik Tradisional Gamolan Pekhing sebagai Benda Cagar
Budaya
Ketentuan dalam Pasal 6 Undang-Undang Cagar Budaya merumuskan
pengertian benda cagar budaya dapat berupa benda alam dan/atau
benda buatan manusia yang dimanfaatkan oleh manusia, serta
sisa-sisa biota yang dapat dihubungkan dengan kegiatan manusia
dan/atau dapat dihubungkan dengan sejarah manusia, bersifat
bergerak atau tidak bergerak dan merupakan kesatuan atau
kelompok.
Alat musik tradisional Gamolan Pekhing merupakan benda cagar
budaya yang dibuat oleh masyarakat Desa Sekala Brak. Desa ini
bertempat di Kecamatan Batu Brak, Kabupaten Lampung Barat, yang
pada mulanya adalah hasil pemekaran dari Kabupaten Lampung Utara
pada tanggal 24 September 1994.[footnoteRef:2] Gamolan Pekhing juga
telah dimanfaatkan sebagai sebuah instrumen musik yang telah
menyertai perkembangan sejarah di desa tersebut. [2: I Wayan
Sumerta Dana Arta, Op.cit., hlm. 47.]
Desa Sekala Brak merupakan kampung tua yang penuh dengan sejarah
termasuk sejarah awal adanya budaya dan adat di Lampung, yang
satu-satunya sampai sekarang masih diakui mempunyai kerajaan yang
dikenal dengan sebutan Paksi Pak Sekala Brak. Sejarah Desa Sekala
Brak erat sekali kaitannya dengan sejarah berdirinya Paksi Pak
Sekala Brak yang merupakan cikal bakal keratuan atau kerajaan di
Lampung Barat dan Lampung secara umum.[footnoteRef:3] [3:
Ibid.]
Dari pemaparan tersebut dapat dilihat bahwa alat musik
tradisional Gamolan Pekhing adalah benda cagar budaya yang dengan
sengaja dibuat oleh manusia. Gamolan Pekhing yang dibuat
berabad-abad tahun yang lalu mengharuskan kita untuk tetap
melestarikan dan kemudian mengembangkannya agar tetap utuh dan
terjaga sebagai benda cagar budaya.
(2) Alat Musik Tradisional Gamolan Pekhing sebagai Warisan
Budaya Lampung
Di daerah asalnya, Gamolan Pekhing digunakan pada acara-acara
adat seperti upacara perkawinan, upacara menyambut tamu agung,
upacara kematian dan lain sebagainya. Acara-acara adat tersebut
hanya dapat dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat saja atau penyimbang
yang mempunyai kedudukan terhormat.[footnoteRef:4] Gamolan Pekhing
ini sudah jarang ditemui, karena jarang yang menguasai musik ini.
Menguasai Gamolan Pekhing bukan hal yang mudah, tetapi membutuhkan
ketekunan dan waktu yang lama untuk mempelajarinya, selain proses
pembuatannya yang cukup lama, bambunya juga harus bambu pilihan
yaitu bambu betung yang hanya ada di Lampung Barat.[footnoteRef:5]
[4: Hasil wawancara dengan I Wayan Sumerta Dana Arta, Kasi
Kebudayaan dan Pariwisata di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Lampung, pada 17 November 2014 pukul 08.30 WIB] [5: Hasil
wawancara dengan Syafril Yamin, seniman dan pengrajin Gamolan
Pekhing, pada 23 November 2014 pukul 10.12 WIB. ]
Kriteria-kriteria tersebut mendekati pada unsur-unsur indikasi
geografis (IG), karena produk-produk IG sebagian besar juga dibuat
atau dihasilkan oleh masyarakat yang tinggal atau berdiam dalam
suatu lokasi tertentu, kemudian bahan-bahan yang digunakan pun
berasal dari lingkungan alam di sekitar desa tempat mereka tinggal,
seperti halnya Gamolan Pekhing yang terbuat dari Bambu Betung yang
berasal dari daerah Lampung Barat. Produk-produk tradisional
seperti ini harus terus dilestarikan karena merupakan warisan
budaya dari leluhur secara turun-temurun.Hal ini sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 3 Undang-Undang Cagar Budaya yang menyebutkan
bahwa tujuan pelestarian budaya adalah untuk melestarikan warisan
budaya bangsa dan warisan umat manusia. Tidak hanya itu,
pelestarian cagar budaya juga bertujuan untuk meningkatkan harkat
dan martabat bangsa melalui cagar budaya, untuk memperkuat
kepribadian bangsa, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, serta
untuk mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat
internasional.
Berdasarkan tujuan pelestarian yang telah diuraikan, maka
Gamolan pekhing sebagai warisan budaya harus dilestarikan,
mengingat pada perkembangan zaman yang semakin maju sehingga alat
musik tradisional seperti Gamolan Pekhing akan semakin tertinggal
jika tidak dikembangkan dan dilestarikan. Menurut Syafril Yamin,
Gamolan Pekhing ini merupakan alat musik tradisional Lampung yang
sangat lambat perkembangannya. Ia mempelajari Gamolan Pekhing dari
bapaknya yang juga seniman Gamolan Pekhing. Keiginannya untuk
melindungi dan melestarikan Gamolan Pekhing sebagai warisan budaya
yang kemudian membuatnya menjadi seorang pengrajin alat musik
tersebut.[footnoteRef:6] [6: Hasil wawancara dengan Syafril Yamin,
seniman dan pengrajin Gamolan Pekhing, pada 23 November 2014 pukul
10.12 WIB. ]
Dalam rangka melestarikan Gamolan Pekhing sebagai benda cagar
budaya, setiap orang dapat ikut serta membantu pelestarian
tersebut. Negara juga bertanggung jawab dalam pengaturan
pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Cagar
budaya perlu dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan
meningkatkan peran serta masyarakat untuk melindungi,
mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya.2. Perlindungan Hukum
terhadap Alat Musik Tradisional Gamolan Pekhing Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
Alat musik tradisional Gamolan Pekhing merupakan warisan budaya
lampung yang telah dilestarikan oleh masyarakat Sekala Brak.
Melalui pelestarian, Gamolan Pekhing secara tidak langsung telah
memperoleh perlindungan, khususnya melindungi Gamolan Pekhing agar
tidak punah dan terus berkembang di masyarakat. Tidak hanya melalui
pelestarian, Gamolan Pekhing juga dapat dilindungi melalui
ketentuan yang ada dalam UUHC. Dalam hal ini, Gamolan Pekhing
dilihat sebagai sebuah karya intelektual yang perlu dilindungi hak
ciptanya.
Pengaturan mengenai hak cipta diatur dalam Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Akan tetapi dikarenakan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta sudah tidak
sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga
undang-undang ini diganti dengan Undang-Undang yang baru yaitu
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Berikut ini hal-hal yang menjadi dasar perlindungan hukum
terhadap alat musik tradisional Gamolan Pekhing berdasarkan
Undang-Undang Hak Cipta yaitu sebagai berikut:
a. Gamolan Pekhing sebagai Ciptaan yang Penciptanya Tidak
Diketahui
Gamolan Pekhing adalah alat musik tradisional yang dimiliki
secara bersama-sama oleh masyarakat Desa Sekal Brak. Hal tersebut
dikarenakan alat musik tradisional Gamolan Pekhing merupakan
warisan budaya dari leluhur terdahulu, yang mana tidak diketahui
siapa yang pertama kali menciptakannya. Oleh karena itu, Gamolan
Pekhing dianggap sebagai milik bersama oleh masyarakatnya atau
disebut sebagai hak komunal.
Dalam UUHC, terdapat ketentuan yang mengatur mengenai ciptaan
yang penciptanya tidak diketahui. Hal ini diatur dalam Pasal 39
UUHC yang menyebutkan bahwa dalam hal ciptaan tidak diketahui
penciptanya dan ciptaan tersebut belum dilakukan pengumuman, hak
cipta atas ciptaan tersebut dipegang oleh negara untuk kepentingan
pencipta.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan status hak cipta
dalam hal suatu karya yang penciptanya tidak diketahui dan belum
dilakukan pengumuman. Gamolan Pekhing sebagai ciptaan yang
penciptanya tidak diketahui dan belum dilakukan pengumuman maka hak
ciptanya dipegang oleh negara. Oleh karena itu, Gamolan Pekhing
dapat dilindungi dengan berpegang pada pasal ini agar jelas status
pemegang hak ciptanya.
b. Gamolan Pekhing sebagai Ekspresi Budaya Tradisional
Gamolan Pekhing dikatakan sebagai ekspresi budaya tradisional
karena Gamolan Pekhing merupakan karya intelektual di bidang seni.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan ekspresi
budaya tradisional adalah karya intelektual dalam bidang seni,
termasuk ekspresi sastra yang mengandung unsur karakteristik
warisan tradisional yang dihasilkan, dikembangkan dan dipelihara
oleh kustodiannya.Pengaturan mengenai ekspresi budaya tradisional
dituangkan dalam ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Hak Cipta. Pasal
38 UUHC merumuskan hal-hal sebagai berikut:(1) Hak Cipta atas
ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara.(2) Negara wajib
menginventarisasi, menjaga, dan memelihara ekspresi budaya
tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1).(3) Penggunaan
ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
pengembannya.(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak cipta yang
dipegang oleh negara atas ekspresi budaya tradisional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam penjelasan Pasal 38 Ayat (1) UUHC dijelaskan bahwasanaya
yang dimaksud dengan "ekspresi budaya tradisional" mencakup salah
satu atau kombinasi bentuk ekspresi sebagai berikut:(a) Verbal
tekstual, baik lisan maupun tulisan, yang berbentuk prosa maupun
puisi, dalam berbagai tema dan kandungan isi pesan, yang dapat
berupa karya sastra ataupun narasi informatif;(b) Musik, mencakup
antara lain, vokal, instrumental, atau kombinasinya;(c) Gerak,
mencakup antara lain, tarian;(d) Teater, mencakup antara lain,
pertunjukan wayang dan sandiwara rakyat;(e) Seni rupa, baik dalam
bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi yang terbuat dari berbagai
macam bahan seperti kulit, kayu, bambu, logam, batu, keramik,
kertas, tekstil, dan lain-lain atau kombinasinya; dan(f) Upacara
adat.Ketentuan dalam Pasal 38 UUHC pada prinsipnya adalah suatu
bentuk pengakuan bahwa ciptaan-ciptaan lampau yang merupakan
peninggalan nenek moyang, berikut ciptaan-ciptaan lain yang tanpa
nama penciptanya (no name), yang selanjutnya ciptaan-ciptaan
tersebut menjadi public domain.[footnoteRef:7] Ketentuan dalam UUHC
selain mengatur perlindungan kekayaan intelektual juga menjelaskan
posisi negara dalam kepemilikian ekspresi budaya tradisional
melalui Pasal 38 Ayat (1) yang menyatakan bahwa hak cipta atas
ekspresi budaya tradisional dipegang oleh negara. Ketentuan ini
dapat menjadi dasar perlindungan hukum bagi Gamolan Pekhing sebagai
ekspresi budaya tradisional yang berasal dari Lampung. [7:
Hutagalung, Hak Cipta, Op.cit., hlm. 344.]
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa dasar
perlindungan hukum terhadap alat musik tradisional Gamolan Pekhing
didasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya (Undang-Undang Cagar Budaya) dan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC). Berdasarkan Undang-Undang
Cagar Budaya, alat musik tradisional Gamolan Pekhing dikatakan
sebagai benda cagar budaya dan warisan budaya Lampung. Hal ini
mengacu pada ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Cagar Budaya mengenai
benda cagar budaya dan Pasal 3 Undang-Undang Cagar Budaya mengenai
tujuan pelestarian cagar budaya. Sedangkan berdasarkan UUHC, alat
musik tradisional Gamolan Pekhing juga sebagai ciptaan yang
penciptanya tidak diketahui dan sebagai ekspresi budaya
tradisional. Hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 39 UUHC mengenai
ciptaan yang tidak diketahui penciptanya dan Pasal 38 UUHC mengenai
ekspresi budaya tradisional. B. Tata Cara Memperoleh Perlindungan
Hukum terhadap Alat Musik Tradisional Gamolan Pekhing ditinjau dari
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
Perlindungan hukum terhadap alat musik tradisional Gamolan
Pekhing dapat diperoleh melalui dua cara yaitu pelestarian dan
pencatatan. Pelestarian terhadap Gamolan Pekhing dilakukan oleh
masyarakat Desa Sekala Brak sebagai suatu upaya untuk melestarikan
warisan budaya Lampung. Hal ini telah sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang Cagar Budaya mengenai tujuan pelestarian cagar budaya
yaitu salah satunya untuk melestarikan warisan budaya bangsa.
Setelah Gamolan Pekhing dilestarikan, maka dilakukan upaya
pencatatan yang didasarkan pada UUHC.
Menurut ketentuan undang-undang, setiap Hak Kekayaan Intelektual
wajib didaftarkan. Pendaftaran yang memenuhi persyaratan dan tata
cara undang-undang menimbulkan pembenaran dan pengesahan atas HKI
yang dimiliki seseorang. Dengan kata lain, pendaftaran merupakan
cara memperoleh hak secara formal atas kekayaan
intelektual.[footnoteRef:8] [8: Abdulkadir, Kajian, Op.cit., hlm.
164. ]
Berbeda halnya dengan ketentuan dalam bidang hak cipta, yang
mana dijelaskan bahwasanya suatu ciptaan akan langsung memperoleh
perlindungan oleh undang-undang sejak ciptaan tersebut dilahirkan
tanpa harus dilakukan pendaftaran (dalam UUHC yang baru disebut
pencatatan). Apalagi jika ciptaan tersebut merupakan ekspresi
budaya tradisional, yang notabene tidak diketahui siapa pencipta
yang sebenarnya.
Untuk melindungi hak cipta atas Gamolan Pekhing sebagai ekspresi
budaya tradisional maka hak cipta atas ekspresi budaya tradisional
dipegang oleh negara. Hal ini disebutkan dalam ketentuan Pasal 38
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang
merumuskan bahwasanyaHak Cipta atas ekspresi budaya tradisional
dipegang oleh Negara. Menurut Pujiono selaku Direktur Pusat Hak
Kekayaan Intelektual di Universitas Sebelas Maret Surakarta,
mengatakan hak cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh
negara, disebabkan ekspresi budaya tradisional tidak diketahui
siapa yang pertama kali menciptakannya. Hanya saja, hak cipta atas
ekspresi budaya tradisional itu tidak didapatkan oleh negara begitu
saja. Untuk memperoleh hak cipta atas ekspresi budaya tradisional
tersebut, terdapat mekanisme yang harus dilalui. [footnoteRef:9]
[9: Begini Cara Negara Peroleh Hak Cipta Motif Batik diakses pada
01 Februari 2015, pukul 11.41 WIB.]
Mekanisme awal yang harus dilakukan yaitu negara harus memiliki
basis data yang akurat.Negara harus melakukan inventarisasi atas
ekspresi budaya tradisional yang berkembang di suatu wilayah. Untuk
mempermudah hal ini maka negara bisa bekerja sama dengan para pakar
serta pelaku seni budaya yang terkait. Strategi untuk melindungi
hasil karya yang bersumber dari budaya tradisional dapat dilakukan
dengan pencatatan dan dokumentasi serta publikasi sebagai sumber
bukti formal orisinalitas yang menjadi dasar kepemilikan warisan
budaya.Berdasarkan keterangan tersebut, maka suatu ciptaan yang
merupakan ekspresi budaya tradisional perlu untuk dilakukan
pencatatan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UUHC. Berdasarkan
ketentuan Pasal 64 Ayat (1) UUHC yang merumuskan bahwasanya
penyelenggara atas pencatatan dan penghapusan ciptaan dan produk
hak terkait dilakukan oleh menteri. Menteri penyelenggara
pencatatan dan penghapusan adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum.Pada dasarnya, pencatatan
ciptaan dan produk hak terkait bukan merupakan syarat untuk
mendapatkan hak cipta dan hak terkait. Hal ini dijelaskan dalam
ketentuan Pasa 64 Ayat (2) UUHC. Namun, suatu ciptaan yang telah
dicatat dan tertera dalam daftar umum ciptaan akan mempermudah
dalam hal pembuktian bagi pemegang hak ciptanya jika suatu saat
terjadi klaim dari pihak lain atas ciptaan tersebut.
Berikut ini adalah tata cara pencatatan suatu ciptaan dan produk
hak terkait oleh menteri berdasarkan ketentuan dalam UUHC terdiri
dari beberapa tahapan yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Pengajuan Permohonan
Berdasarkan ketentuan Pasal 66 UUHC, pencatatan ciptaan dan
produk hak terkait diajukan dengan permohonan secara tertulis dalam
Bahasa Indonesia. Pencatatan ciptaan yang ditujukan kepada menteri
dilakukan atas permohonan yang diajukan oleh pencipta, pemegang hak
cipta, pemilik hak terkait, atau kuasanya. Permohonan tersebut
dapat dilakukan secara elektronik dan/atau non elektronik dengan
persyaratan sebagai berikut:a. menyertakan contoh ciptaan, produk
hak terkait, atau penggantinya;b. melampirkan surat pernyataan
kepemilikan ciptaan dan hak terkait; danc. membayar biaya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 67 UUHC, permohonan diajukan oleh
beberapa orang yang secara bersama-sama berhak atas suatu ciptaan
atau produk hak terkait. Permohonan tersebut diberi lampiran yaitu
keterangan tertulis yang membuktikan atas hak tersebut. Jika yang
mengajukan permohonan adalah badan hukum, maka permohonan dilampiri
salinan resmi akta pendirian badan hukum yang telah disahkan oleh
pejabat berwenang.
Permohonan pencatatan ciptaan yang diajukan atas nama lebih dari
seorang atau beberapa orang, maka nama pemohon harus dituliskan
semua dengan menetapkan satu alamat pemohon yang terpilih. Apabila
permohonan diajukan oleh pemohon yang berasal dari luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka permohonan wajib dilakukan
melalui konsultan kekayaan intelektual yang terdaftar sebagai
kuasa.
2. Pemeriksaan
Berdasarkan ketentuan Pasal 68 UUHC, menteri melakukan
pemeriksaan terhadap permohonan yang telah memenuhi persyaratan.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ciptaan atau produk hak
terkait yang dimohonkan tersebut secara esensial sama atau tidak
sama dengan ciptaan yang tercatat dalam daftar umum ciptaan atau
objek kekayaan intelektual lainnya.
Hasil pemeriksaan atas ciptaan atau produk hak terkait nantinya
digunakan sebagai bahan pertimbangan menteri untuk menerima atau
menolak permohonan. Jangka waktu untuk memberikan keputusan
menerima atau menolak permohonan dilakukan dalam waktu paling lama
9 (sembilan) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan
yang telah memenuhi persyaratan.
3. Penerbitan Surat Pencatatan Ciptaan
Berdasarkan ketentuan Pasal 69 UUHC, menteri akan menerbitkan
surat pencatatan ciptaan dan mencatat dalam daftar umum ciptaan
jika dalam jangka waktu 9 (sembilan) bulan terhitung sejak tanggal
diterimanya permohonan menteri telah menerima permohonan atas
pencatatan ciptaan yang telah dimohonkan. Daftar umum ciptaan
memuat hal-hal sebagai berikut:a. nama pencipta dan pemegang hak
cipta, atau nama pemilik produk hak terkait;b. tanggal penerimaan
surat permohonan;c. tanggal lengkapnya persyaratan; dand. nomor
pencatatan ciptaan atau produk hak terkait.
Daftar umum ciptaan tersebut dapat dilihat oleh setiap orang
tanpa dipungut biaya. Kecuali terbukti sebaliknya, surat pencatatan
ciptaan yang sudah diterbitkan merupakan bukti awal kepemilikan
suatu ciptaan atau produk hak terkait. Namun, jika menteri menolak
permohonan atas pencatatan terhadap ciptaan yang dimohonkan,
menurut ketentuan Pasal 70 UUHC maka menteri akan memberitahukan
penolakan tersebut secara tertulis kepada pemohon disertai
alasan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 71 UUHC, ciptaan atau produk hak
terkait yang tercatat dalam daftar umum ciptaan dapat diterbitkan
petikan resmi. Setiap orang dapat memperoleh petikan resmi dari
daftar umum ciptaan tersebut dengan dikenai biaya yang telah
ditentukan oleh menteri.
Berdasarkan ketentuan Pasal 72 UUHC menyebutkan bahwa pencatatan
ciptaan atau produk hak terkait dalam daftar umum ciptaan bukan
merupakan pengesahan atas isi, arti, maksud, atau bentuk dari
ciptaan atau produk hak terkait yang dicatat. Ini berarti pejabat
yang bertugas mengadakan pencatatan ciptaan tidak bertanggung jawab
atas isi, arti, maksud atau bentuk dari ciptaan atau produk hak
terkait yang sudah terdaftar.[footnoteRef:10] Kemudian Pasal 73
UUHC hanya berisi penjelasan bahwasanya ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pencatatan ciptaan dan produk hak terkait diatur
dengan peraturan pemerintah. [10: Abdulkadir, Kajian, Op.cit., hlm.
166.]
Jika suatu ciptaan yang merupakan ekspresi budaya tradisional
telah dilakukan pencatatan, maka hasil pencatatan atas eskpresi
budaya tradisional tersebut, dapat menunjukkan secara formal
keberadaan suatu ekspresi budaya tradisional sehingga tidak
disalahgunakan oleh pihak lain yang tidak berhak. Pembuatan data
base yang berisi pencatatan atau dokumentasi aneka ragam budaya
yang dimiliki masyarakat setempat juga dapat dipakai untuk
membangun perlindungan defensif yaitu database yang dibangun dapat
digunakan untuk dokumen pembanding dalam menolak HKI pihak lain
atas dasar orisinalitas atau kebaruan apabila pihak lain tersebut
menggunakan sumber inovasi dari ekspresi budaya tradisional untuk
didaftarkan sebagai salah satu bidang HKI personal. Setelah
dilakukan pencatatan, kemudian pemerintah harus mengumumkan
ekspresi budaya tradisional tersebut, sebab hak cipta pada dasarnya
mendapatkan pengakuan melalui declaratoir (pengumuman). Menurut
Pujiono, negara dalam hal ini bisa diwakili oleh pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah.[footnoteRef:11] Terkait dengan Gamolan
Pekhing sebagai ekspresi budaya tradisional yang berasal dari
Lampung, maka Pemerintah Provisi Lampung harus menginventarisasi
ekspresi budaya tradisional yang ada di Lampung, terutama alat
musik tradisional Gamolan Pekhing. Setelah diinventarisasi,
Pemerintah Provisi Lampung mengajukan permohonan pancatatan atas
ciptaan yang merupakan ekspresi budaya tradisional kepada menteri.
Kemudian hasil inventarisasi itu nantinya dibawa ke forum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). [11: Begini Cara Negara Peroleh
Hak Cipta Motif Batik diakses pada 01 Februari 2015, pukul 11.41
WIB.]
Sebagai contoh pada saat kepemilikan batik sebagai warisan
budaya tak berbenda diklaim oleh Negara Malaysia sebagai warisan
nenek moyangnya. Untuk mengakhiri polemik ini, Pemerintah Indonesia
akhirnya mendaftarkan batik ke United Nations Educational
Scientific and Cultural Organisation (UNESCO) untuk mendapatkan
pengakuan.
Tanggal 3 September 2008 merupakan titik awal proses nominasi
Batik Indonesia ke UNESCO, namun baru diterima secara resmi oleh
UNESCO pada 9 Januari 2009. UNESCO kemudian melakukan pengujian
tertutup di Paris pada tanggal 11-14 Mei 2009. Akhirnya UNESCO
mengukuhkan batik sebagai warisan budaya Indonesia pada 2 Oktober
2009. Batik adalah milik Indonesia, Malaysia tak berhak lagi
mengklaimnya.[footnoteRef:12] [12: Noviana Wahyu Prabandary, 10
Budaya Indonesia yang pernah Diklaim Malaysia, , diakses 18 Mei
2014, pukul 19.48 WIB]
Berdasarkan contoh kasus tersebut, maka Indonesia patut untuk
melakukan upaya pencegahan sebagai agar warisan budaya yang
dimiliki Indonesia tidak diklaim juga oleh negara lain. Upaya
pencegahan tersebut pertama-tama dilakukan melalui pelestarian
terlebih dahulu terhadap Gamolan Pekhing, kemudian dilanjutkan
melalui proses pencatatan suatu ciptaan yang sesuai dengan
ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Hak Cipta yang melalui
beberapa tahapan yaitu melalui tahap pengajuan permohonan,
pemeriksaan dan jika permohonan tersebut diterima maka diterbitkan
surat pencatatan ciptaan.
C. Akibat Hukum Pencatatan terhadap Alat Musik Tradisional
Gamolan Pekhing
Hukum sebagai serangkaian norma yang memiliki ukuran pasti dan
daya paksa dalam pelaksanaanya senantiasa berjalan berdampingan
dalam kehidupan manusia. Hukum berfungsi melindungi dari
kepentingan lain yang merugikan dan mengidealkan satu keseimbangan
dalam keteraturan antara hak dan kewajiban. Secara perspektif
internasional, persetujuan tentang aspek-aspek hak kekayaan
intelektual yang telah diratifikasi oleh Indonesia bersifat
mengikat. Hal tersebut berarti bahwa Indonesia harus melakukan
harmonisasi dengan ketentuan-ketentuan yang ada didalamnya.
Dalam hal penegakan hukum jika terjadi pelanggaran, maka Negara
Indonesia harus membuat peraturan yang sesuai dengan
ketentuan-ketentuan internasional mengenai HKI yang telah
diratifikasi. Dalam bidang hak cipta, Indonesia telah mempunyai
undang-undang mengenai hak cipta yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang telah digantikan dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Undang-Undang
ini secara eksplisit menyebutkan klausul mengenai bagaimana suatu
hak cipta dapat lahir dan melekat pada diri seseorang.
Undang-Undang mengatur bahwa hak cipta suatu karya cipta lahir
ketika karya cipta tersebut diciptakan.
Prinsip hukum perlindungan hak cipta bersifat otomatis
(automatic protection), bahwa perlindungan harus diberikan tanpa
perlu memenuhi formalitas tertentu dan pelaksanannya bersifat
mandiri (independence of protection) dari eksistensi perlindungan
negara asal ciptaan. Konsekuensinya, sebagai bagian dari ketentuan
ini, perluasan perlindungan harus diatur secara eksklusif oleh
hukum dari negara di mana perlindungan hak cipta
diminta.[footnoteRef:13] [13: Rahmi Jened, Hukum Hak Cipta
(copyrights law), Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2014,
hlm.103.]
Hak cipta merupakan perwujudan Hak Asasi Manusia yang lahir
secara otomatis sejak suatu ciptaan memenuhi persyaratan hak cipta
(standard of copyrights ability) diciptakan oleh pencipta. Berbeda
dengan bidang HKI lain, seperti paten dan merek, hak cipta lahir
sejak saat suatu karya dilahirkan (diekspresikan) oleh si pencipta.
Sejak saat itu pula telah timbul pengakuan akan hak cipta. Jadi,
kerangka perlindungan hak cipta bersifat otomatis dan lembaga
pendaftaran (dalam UUHC yang baru disebut pencatatan) pada hak
cipta sebagai bukti awal (primarfacie evidence) pemilikan hak dari
si pencipta. Pencatatan tidak merupakan keharusan karena tanpa
dilakukan pencatatan hak cipta telah ada, diakui dan dilindungi.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri akan sangat sulit untuk
membuktikan adanya hak cipta, terlebih lagi untuk karya cipta yang
tidak dipublikasikan oleh penciptanya, dan terjadi pengklaiman oleh
pihak lain atas karya cipta tersebut.[footnoteRef:14] [14: Ibid.
hlm. 104. ]
Terkait mengenai hal pencatatan, negara-negara yang meratifikasi
ketentuan-ketentuan internasional mengenai HKI, masing-masing
negara dapat bebas mengatur mengenai pengakuan hak cipta
berdasarkan pencatatan. Dapat menjadi suatu pilihan bahwasanya
pencatatan tersebut bersifat alternatif atau bersifat prioritas.
Menjadi pemahaman umum bahwa yang berlaku di Indonesia adalah tidak
adanya keharusan pencatatan atas suatu karya cipta. Suatu karya
yang telah dilakukan pencatatan, dalam hal ini alat musik
tradisional Gamolan Pekhing, maka hal tersebut menimbulkan akibat
hukum sebagai berikut:
1. Terdaftar dalam daftar umum ciptaanSuatu karya cipta apabila
diajukan permohonan pencatatan kepada menteri dan ciptaan tersebut
telah diterima permohonannya karena telah memenuhi syarat yang
telah ditentukan, maka ciptaan yang dimohonkan tersebut terdaftar
dalam daftar umum ciptaan. Setiap orang dapat memperoleh petikan
resmi dari daftar umum ciptaan dengan dikenai biaya yang telah
ditentukan oleh menteri. 2. Memberikan kepastian hukumPerlindungan
terhadap hak cipta berfungsi untuk melindungi hak-hak yang dimiliki
oleh pencipta atas karya ciptaannya, hak cipta juga melindungi
potensi pencipta karena eksistensi terhadap kemampuan yang dimiliki
seorang pencipta untuk menciptakan suatu karya cipta dan karya
ciptaannya tetap terjaga. Dengan adanya hak cipta seorang pencipta
tetap memiliki semangat untuk menciptakan sesuatu karena ia merasa
aman dan nyaman sehubungan dengan adanya perlindungan terhadap hak
yang ia miliki sebagai seorang pencipta.Perlindungan hukum melalui
pencatatan suatu ciptaan menimbulkan kepastian hukum bagi pemilik
hak cipta ataupun pemegang hak cipta yang namanya sudah tertera
dalam daftar umum ciptaan. Pada dasarnya, pencatatan terhadap hak
cipta bukanlah suatu cara untuk memperoleh hak cipta, akan tetapi
pencatatan atas hak cipta yang diatur dalam UUHC adalah cara untuk
mempublikasikan adanya hak cipta terhadap suatu karya cipta pada
masyarakat luas, dengan tujuan keberadaan suatu karya cipta dan hak
cipta tersebut diketahui oleh masyarakat luas.
Jika hak cipta atas suatu ciptaan telah dipublikasikan dan telah
diketahui oleh masyarakat, maka dapat mencegah adanya pengklaiman
yang dilakukan oleh pihak lain. Akan tetapi, jika tetap terjadi
pelanggaran hak cipta atas ciptaan tersebut, maka hal ini mudah
untuk dilakukan pembuktian karena telah dilakukan pencatatan atas
ciptaan yang dilanggar hak ciptanya.
Berdasarkan uraian di atas, maka Gamolan Pekhing sebagai
ekspresi budaya tradisional yang sudah dilakukan pencatatan ke
menteri yang berwenang untuk menyelenggarakan pencatatan pada suatu
ciptaan, maka Gamolan Pekhing dapat dilindungi hak ciptanya melalui
pencatatan dan hak cipta atas Gamolan Pekhing dipegang oleh negara.
Setelah dilakukan pencatatan dan kemudian dipublikasikan, maka alat
musik tradisional Gamolan Pekhing resmi menjadi milik Negara
Indonesia.