BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A. Sekilas Tentang Bahtsul Masail Untuk melihat latar belakang Bathsul Masa’il perlu di ketahui terlebih dahulu tentang proses sejarah NU berdiri. NU adalah suatu jam’iyyah diniyyah Islamiyyah (organisasi keagamaan Islam) yang didirikan di Surabaya pada 16 Rajab 1344 H./31 Januari 1926 M., berakidah Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah dan menganut salah satu madzhab empat: Hanafi, Syafi’i dan Hanbali. 1 NU didirikan oleh para ulama yang pada umumnya menjadi pengasuh pondok pesantren. Kelahiran NU merupakan muara dari rangkaian kegiatan yang mempunyai mata rantai hubungan dengan berbagai keadaan, peristiwa yang dialami bangsa Indonesia sebelumnya, dengan latar belakang tradisi keagamaan masalah sosial politik, dan kultural yang terjalin dalam suatu keterkaitan. Para ulama pada umumnya telah memiliki jama’ah (komunitas warga yang menjadi anggota kelompoknya) dengan ikatan hubungan yang akrab, yang terbentuk dalam pola hubungan santri-kiai, terutama pada masyarakat di lingkungan pondok pesantrennya. Pola hubungan santri-kiai ini telah mampu mewarnai, bahkan membentuk sub kultural tradisional Islam tersendiri di Indonesia. 2 1 Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU, Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2004, hlm. 15. 2 Rozikin Daman, Membidik NU; Dilema Percaturan Politik Pasca Khittah, Yogyakarta: Gama Media, 2001, hlm. 43.
23
Embed
BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB III
PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A. Sekilas Tentang Bahtsul Masail
Untuk melihat latar belakang Bathsul Masa’il perlu di ketahui terlebih
dahulu tentang proses sejarah NU berdiri. NU adalah suatu jam’iyyah diniyyah
Islamiyyah (organisasi keagamaan Islam) yang didirikan di Surabaya pada 16
Rajab 1344 H./31 Januari 1926 M., berakidah Islam menurut faham
Ahlussunnah wal Jama’ah dan menganut salah satu madzhab empat: Hanafi,
Syafi’i dan Hanbali.1
NU didirikan oleh para ulama yang pada umumnya menjadi pengasuh
pondok pesantren. Kelahiran NU merupakan muara dari rangkaian kegiatan
yang mempunyai mata rantai hubungan dengan berbagai keadaan, peristiwa
yang dialami bangsa Indonesia sebelumnya, dengan latar belakang tradisi
keagamaan masalah sosial politik, dan kultural yang terjalin dalam suatu
keterkaitan. Para ulama pada umumnya telah memiliki jama’ah (komunitas
warga yang menjadi anggota kelompoknya) dengan ikatan hubungan yang
akrab, yang terbentuk dalam pola hubungan santri-kiai, terutama pada
masyarakat di lingkungan pondok pesantrennya. Pola hubungan santri-kiai ini
telah mampu mewarnai, bahkan membentuk sub kultural tradisional Islam
tersendiri di Indonesia.2
1 Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU, Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2004, hlm.
Berbagai gerakan ulama (terutama di Jawa Timur) yang mendahului
kehadiran NU, sebagai wujud respon kepedulian dan kepekaan ulama atas
situasi dan kondisi yang sedang dialami masyarakat Indonesia akibat
penjajahan, antara lain:
1. Nahdlatul Wathan yang berarti pergerakan tanah air (1914 dan mendapat
pengakuan sebagai badan hukum pada 1916) bergerak di bidang
pendiidkan dan sosial kemasyarakatan dengan kegiatan tidak hanya di
bidang peningkatan pendiidkan pengajaran di sekolah saja, tetapi juga
membangkitkan semangat nasionalisme dan cinta tanah air pada kalangan
pemuda melalui kursus-kursus organisasi, kepemudaan, dakwah dan
perjuangan.
2. Tashwirul – Afkar yang berarti potret pemikiran atau representasi gagasan-
gagasan (1918) bergerak di bidang pengembangan pemikiran dengan
kegiatan menyelenggarakan diskusi masalah pengembangan pemikiran
(bermadzhab) dan masalah-masalah kemasyarakatan. Nama ini hingga
sekarang diabadikan sebagai nama Madrasah dan nama Majalah.
3. Nahdlatul – Tujjar, yang berarti kebangkitan pergerakan para pedagang
(1918) bergerak di bidang usaha perdagangan dalam bentuk kegiatan
koperasi atau syirkah dengan istilah syirkah al-inan.3
Pada dasarnya pembentukan jam’iyah NU merupakan akomodasi
atas potensi dan peran ulama-ulama pesantren yang secara kultural telah eksis
sebelum abad ke-20. Dengan mendirikan NU, diharapkan peran-peran mereka
3 Baca lebih lanjut dalam M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cet ke-2, 1998, hlm. 41-45, Martin Van Bruinessen, NU Tradisi; Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LKIS, 1994, hlm. 34-37.
akan dapat lebih efektif sekaligus merupakan ulama-ulama untuk eksis dalam
pergolakan zaman yang semakin pesat. Perlu diketahui pesantren telah lama
menjadi lembaga pendidikan yang memberikan bekal hidup bermasyarakat.
Namun secara sosial politik tidak banyak diperhitungkan, baik oleh sesama
umat Islam indonesia maupun dimata penjajah kolonial. Kelompok ulama
pesantren dianggap hanya mampu berkiprah dalam dunia pendidikan
pesantren an sich tidak seperti organisasi syarikat Islam atau muhammadiyah
atau yang lainnya.4
Sebagai suatu jam’iyyah keagamaan dan organisasi kemasyarakatan,
NU memiliki prinsip-prinsip yang berkaitan dengan upaya memahami dan
mengamalkan ajaran Islam, baik yang berhubungan dengan komunikasi
vertical dengan Allah SWT maupun komunikasi horizontal dengan sesama
manusia. NU mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber ajaran
Islam, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas.
Dalam memahami dan menafsirkan ajaran Islam dari sumber-
sumbernya NU mengikuti paham Ahlussunnah wal Jama’ah dan
menggunakan jalan pendekatan madzhaby (bermadzhab).
a. Di bidang aqidah, NU mengikuti paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang
dipelopori Abul Hasan al-Asy’ari (260-324 H./873-935 M.) dan Abu
Mansur al-Maturidi (w. 333 H./944 M.).
b. Di bidang fiqih, NU mengikuti salah satu dari madzhab empat, yaitu Abu
Hanifah an-Nu’man (80-150 H./700-767 M.), Malik bin Anas (93-179
H./713-795 M.), Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (150-204 H./767-820
M.), dan Ahmad bin Hanbal (164-241 H./780-855 M.).
c. Di bidang tasawuf, NU mengikuti antara lain al-Junaid al-Baghdadi (w.
297 H.) dan Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H./1058-1111 M.).
Paham keagamaan yang dianut NU tersimpul dalam sebuah “kaidah”
yang cukup popular, yaitu:
الاصلح ديد صالح واالخذ باجل على القديم ال ةظافحملا Memelihara nilai terdahulu yang sudah baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik. “Kaidah” ini sebenarnya bukan klaim tunggal NU, dan NU juga tidak
pernah mengklaim sebagai satu-satunya kaidah miliknya, hanya saja memang
“kaidah” tersebut amat popular di kalangan warga Nahdliyin.
Sedangkan dasar-dasar sikap kemasyarakatan NU tercakup dalam
nilai-nilai universal berikut:
a. Tawasut dan I’tidal
Sikap tengah dan lurus yang berintikan prinsip hidup yang
menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan
bersama, dan menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatarruf
(ekstrem).
b. Tasamuh
Sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah
keagamaan (terutama mengenai hal-hal yang bersifat furu’/cabang atau
Sikap seimbang dalam berkhidmah (mengabdi) baik kepada Allah
SWT. yang dikaitkan dengan kehidupan bermasyarakat, kepada sesama
manusia, maupun kepada lingkungan. Menyelaraskan kepentingan masa
lalu, masa kini dan masa mendatang.
d. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik
dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah
semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai
kehidupan.
Keempat dasar sikap kemasyarakatan tersebut sering mengemuka
dalam wujud interaksi sosial budaya dan sosial politik dalam interaksi sosial
budaya, NU dikenal luwes (fleksibel) dan memiliki daya terima yang tinggi
terhadap banyak bentuk budaya local yang bagi sementara kalangan dianggap
mengganggu kemurnian Islam, seperti ziarah kubur para wali, peringatan haul
dan slametan (doa bersama dengan menyajikan makanan tertentu berkaitan
dengan peringatan kematian seseorang) dan lain-lain.5
Tidak berbeda dengan proses lahirnya NU, lembaga Bathsul
Masa’il sebenarnya telah berkembang di tengah masyarakat muslim
tradisionalis pesantren, jauh sebelum tahun 1926 di waktu NU didirikan.
5 Baca lebih lanjut dalam Ahmad Zahro, op. cit., hlm. 19-25.
Dengan tuntutan masyarakat yang semakin tinggi atas persoalan – persoalan
yang terjadi, maka secara individual mereka bertindak langsung sebagai
penafsir hukum bagi kaum muslimin di sekelilingnya.6
Bathsul Masa’il al-Diniyyah adalah salah satu forum diskusi
keagamaan dalam organisasi NU untuk merespon dan memberikan solusi atas
problematika aktual yang mucul dalam kehidupan masyarakat.
Dari segi historis maupun operasionalitas, bahtsul masail NU
merupakan forum yang sangat dinamis, demokratis dan berwawasan luas.
Dikatakan dinamis sebab persoalan (masail) yang digarap selalu mengikuti
perkembangan (trend) hukum di masyarakat. Sedangkan demokratis karena
dalam forum tersebut tidak ada perbedaan antara kyai, santri baik yang tua
maupun yang muda. Pendapat siapa pun yang paling kuat itulah yang diambil.
Dikatakan “berwawasan luas” sebab dalam bahtsul masail tidak ada dominasi
madzhab dan selalu sepakat dalam khilaf. Salah satu contoh untuk
menunjukkan fenomena “sepakat dalam khilaf” ini adalah mengenai status
hukum dalam bunga bank. Dalam memutuskan masalah ini tidak pernah ada
kesepakatan ada yang mengatakan halal, haram dan subhat. Ini terjadi sampai
muktamar NU tahun 1971 di Surabaya. Muktamar tersebut tidak mengambil
sikap. Keputusannya masih tiga pendapat: halal, haram dan subhat. Ini
sebetulnya langkah antisipatif NU sebab ternyata setelah itu berkembang
6 M. Imdadun Rahmat, op. cit., hlm. 7-8
berbagai bank dan lembaga keuangan modern yang dikelola secara
profesional. Orang pada akhirnya tidak bisa menghindar dari persoalan bank.7
Melalui forum Bathsul Masa’il al-Diniyyah, para ulama NU selalu
aktif menggadengkan pembahasan tentang problematika aktual tersebut
dengan berusaha secara optimal untuk memecahkan kebuntuhan hukum Islam
akibat dari perkembangan sosial masyarakat yang terus menerus tanpa
mengenal batas, sementara secara tekstual tidak terdapat landasannya dalam
al-Qur’an dan hadist, atau ada landasannya, namun pengungkapannya secara
tidak jelas.
Menghadapi sebuah kenyataan seperti ini disertai dengan
perubahan masyarakat yang begitu cepat akibat perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dampaknya ikut mempengaruhi sosial
keagamaan baik dalam aspek akidah maupun muamalah yang kadang-kadang
belum diketahui dasar hukumnya, atau sudah diketahui, namun masyarakat
umum belum mengetahui, maka para ulama’ NU merasa bertanggung jawab
dan terpanggil untuk memecahkannya melalui bahtsul masa’il dalam
muktamar,musyawarah nasional dan konferensi besar sebagai forum tertinggi
NU yang memiliki otoritas untuk merumuskan berbagai masalah keagamaan
,baik masa’il diniyah waqi’iyyah maupun maudhu’iyyah.
Beberapa kajian terhadap kegiatan Bathsul Masa’il di lingkungan
NU yang selama ini ada, menyebutkan, terdapat beberapa kelemahan, di
antaranya kelemahan teknis (kaifiyat al-bahst) dalam penyelenggaraannya
7 Ibid., hlm. xii.
yang masih berpola qauli dan kelemahan penyebarannya yang belum merata
serta kurang bisa dipahami oleh warga NU dan umat Islam secara lebih luas.
Padahal ittifaq hukum di kalangan NU melalui Bathsul Masa’il ini dipercaya
menjadi tradisi dan pembimbing kehidupan mereka.8
Bagi NU, bahtsul masa’il tidak saja dimanfaatkan sebagai forum
yang sarat dengan muatan kitab-kitab klasik, tetapi juga merupakan lembaga
di bawah NU yang menjadi kawah candra dimuka yang berkaitan langsung
dengan kebutuhan hukum agama bagi kaum nahdliyyin. Karena dengan
bathsul masa’il, fatwa-fatwa hukum yang dihasilkan akan tersosialisasikan ke
daerah-daerah di pelosok tanah air. Bahkan bagi masyarakat NU yang awam,
keputusan bathsul masa’il ini dianggap sebagai rujukan dalam praktek
kehidupan beragama sehari-hari.
Bathsul Masa’il atau lembaga Bahtsul Masa’il Diniyah (lembaga
maslah-masalah keagamaan) dilingkungan NU adalah sebuah lembaga yang
memberikan fatwa-fatwa hukum keagamaan kepada umat Islam. Hal ini
menuntut bathsul masa’il untuk mampu membumikan nilai-nilai Islam
sekaligus mengakomodir berbagai pemikiran yang relevan dengan kemajuan
zaman dan lingkungan sekitarnya.
Sebuah lembaga fatwa, bathsul masa’il menyadari bahwa tidak
seluruh peraturan-peraturan syari’at Islam dapat diketahui secara langsung
dari nash Al-qur’an (Al-Nushush Al-Syar’iyyah), melainkan banyak aturan-
8 Imam Ghazali Said, “Dokumentasi dan Dinamika Pemikiran Ulama Bermadzhab” dalam
Ahkamul Fuqaha; Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes NU (1926-1999 M.), Penerj. Djamaludin Miri, Surabaya: LTN NU Jawa Timur dan Diantama, 2004, hlm. xix.
aturan syari’at yang membutuhkan daya nalar kritis melalui istimbath hukum.
Tidak sedikit ayat-ayat yang memberikan peluang untuk melakukan istimbath
hukum baik dilihat dari kajian kebahasaan maupun esensi makna yang
dikandungnya.
Keterlibatan ulama-ulama NU dalam lembaga ini sangatlah
signifikan mengingat tugas berat yang harus diselesaikan. Dengan latar
belakang ilmu-ilmu sosial keberagamaan yang diperoleh dipesantren, ulama
NU membahas persoalan-persoalan kontemporer dari persoalan ibadah
maghdhah hingga persoalan polotik, ekonomi, sosial dan budaya serta hal-hal
yang bertalian dengan kehidupan keseharian. Para ulama memberikan
alternatif jawaban yang terbaik sebagai rasa tanggung jawab sosial
keberagamaan.
Praktek bahtsul masail telah berlangsung sejak NU didirikan yakni
13 Rabi’ Al Tsani 1345 H/21 oktober 1926 M. Waktu itu dilakukan bathsul
masa’il NU yang pertama kali. Untuk itu untuk melihat setting historis bathsul
masa’il harus mengetahui proses sejarah NU didirikan.9
B. Metode Istinbath Hukum Bahtsul Masail NU
Kata istinbath berasal dari kata “istanbatha” yang berarti
“menemukan”, “menetapkan atau mengeluarkan dari sumbernya. Sedangkan
secara istilah adalah mengeluarkan hukum-hukum fiqih dari al-Qur’an dan
sunah melalui kerangka teori yang dipakai oleh ulama ushul, sehingga suatu
9 M. Imdadun Rahmat, op. cit., hlm. 3-5
istinbath identik dengan ijtihad yang oleh para ulama NU dirasa sangat sulit
karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari oleh mereka. Terutama di
bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh namanya
mujtahid. Sementara itu, istinbath dalam pengertian yang kedua, selain praktis,
dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah memahami ibarat-ibarat
kitab fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku. Oleh karena itu, kalimat
istinbath dikalangan NU terutama dalam kerja baths al-masa’ilnya Syuriah
tidak dilakukan karena keterbatasan pengetahuan. Sebagai gantinya, dipakai
kalimat bahtsul masail yang artinya membahas masalah-masalah waqi’ah yang
terjadi melalui referensi yaitu kutub al fuqaha (kitab-kitab karya para ahli
fiqh).10
Dalam lembaga bathsul masa’il NU, istilah istinbath hukum tidak
banyak dikenal. Bagi ulama NU hal ini lebih dikonotasikan pada istikhraj al-
hukm min al-nushush (mengeluarkan hukum dari nash-nash primer, al-Qur’an
dan sunah) yang dilakukan oleh mujtahid mutlak, yang menurut ulama NU
sangat berat untuk dilakukan. untuk itu sebagai gantinya adalah istilah ittifaq
hukum .
Istinbath hukum langsung dari sumber primer yang cenderung
kepada pengertian ijtihad mutlak, bagi ulama NU masih sangat sulit dilakukan
karena keterbatasan-keterbatasan yang memang disadari, terutama dalam ilmu-
ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh seseorang mujtahid.
Sementara ijtihad dalam batas madhzab di samping ulama NU yang telah
10 Sahal Mahfudh, op. cit.,hlm. xiii.
memahami ibarat kitab-kitab fiqih yang sesuai dengan terminologinya yang
baku.
Pengertian istinbath al-Ahkam di kalangan NU bukan mengambil
hukum secara langsung dari sumber aslinya, yaitu al-Qur’an dan hadis. Akan
tetapi, penggalian hukum dilakukan dengan men-tathbiqkan secara dinamis
nash-nash fuqaha.11
Istinbat langsung dari sumber primer (al-Qur’an dan Hadis) yang
cenderung pada pengertian ijtihad mutlak, bagi ulama NU masih sangat sulit
dilakukan karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari, terutama di bidang
ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap istinbat dalam batas madzhab di samping
lebih praktis, dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu
memahami ibarat (uraian) kitab-kitab fiqh, sesuai dengan terminologinya yang
baku.
Oleh karena itu, dalam lembaga Bahtsul Masa’il NU, istilah
istinbat hukum tidak banyak dikenal. Bagi ulama NU term ini lebih
dikonotasikan pada istikhraj al-hukm min al-nushush (mengeluarkan hukum
dari nash-nash primer, al-Qur’an dan al-Sunnah) yang dilakukan oleh mujtahid
mutlak, yang menurut ulama NU sangat berat untuk dilakukan. Untuk itu
sebagai gantinya adalah istilah ittifaq hukum.12 Mengenai sistem pengambilan
keputusan hukum dalam bahtsul masa’il di lingkungan Nahdlatul Ulama sesuai
dengan keputusan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama yang diselenggarakan
11 Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, Cet II, Yogyakarta: LKIS, 2003, hlm. 24. 12 M. Imdadun Rahmat, op. cit., hlm. 14.
di Bandar Lampung pada tanggal 16 – 20 Rajab 1412 H./21 – 25 Januari 1992
M. yaitu:
a. Ketentuan Umum
1) Yang dimaksud dengan kitab adalah al-Kutubul mu’tabarah,
yaitu kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai engan akidah
Ahlussunnah wal Jama’ah (rumusan Muktamar NU ke
XXVII).13
2) Yang dimaksud dengan bermadzhab secara qauli adalah
mengikuti pendapat-pendapat yang sudah “jadi” dalam lingkup
madzhab tertentu.
3) Yang dimaksud bermadzhab secara manhaji adalah
bermadzhab dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah
penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab.14
4) Yang dimaksud dengan istinbat adalah mengeluarkan hukum
syari’at dari dalilnya dengan qawa’id ushuliyyah dan qawa’id
fiqhiyyah.15
5) Yang dimaksud dengan qauli adalah pendapat imam madzhab.
6) Yang dimaksud dengan wajah adalah pendapat ulama
madzhab.
13 A. Chozin Nasuha ‘Bahtsul Masa’il Fiqhiyah NU antara Idea dan Fakta’ dalam Imdadun
22 Dalam Jilid I mulai tahun 1979 – 1986 Masehi, lihat Hasil Keputusan Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama Wilayah Jawa Timur, Surabaya: Pengurus Wilayah NU Jatim, 2002, hlm. 42-43.
- Dasar pengambilan ;
1. Bughyatu Al mustarsyiddin. Hal. 106 :
ر لا يجو ز صر فها الا لح ذا, ز كا ة مطلقالستحق املسجد شيئا من ا يا ل باب قسم منثله ما في امليزان الكبرى في الجزء الثاني وم ,مسلمقالصته دارعبا : ات وكاة فتالز اجراخ زوجلا ي هلى انة ععبة الارالائم اء لقبن
. يت كفين م ت و مسجد ا
Masjid tidak berhak sedikit pun secara muthlak mengambil bagian zakat, karena tidak boleh mentasharufkan zakat kecuali pada orang yang merdeka yang muslim, begitu juga yang ada dalam kitab mizan kubra.
2. Tafsir Munir. Jilid I hal. 344.
وه قنوجع وميقات الى جدالص فرا صوازاج مهاء اند الفقهعب ل القفل منلى ا لان قوله تع , تكفين ميت وبناء الحصون وعمارة املساجد من ,الخير
. الكل فيماع هللا في سبيل
Imam Al Qafal menukil dari sebagaian ahli fiqh bahwa mereka memperbolehkan mentasharufkan shadaqah (zakat) kepada segala sektor kebaikan, seperti: mengkafani mayat, membangun pertahanan, membangun masjid dan seterusnya. Karena kata-kata sabilillah itu mencakup umum (semuanya). Hasil keputusan diatas merupakan keputusan nomor IV, item 20 dari
kesebelas hasil keputusan Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama Wilayah Jawa
Timur. Adapun apabila dijabarkan keputusan nomor IV ialah yang dimulai
dari item 15 sampai item 2423, dari sebelas keputusan dan meliputi seratus
sebelas (111) masalah, yaitu sebagai berikut:
Keputusan No. IV :
23 Ibid., hlm. IV-V.
15. Bayi Tabung.
16. Cangkok mata.
17. Bank mata.
18. Cangkok ginjal dan jantung.
19. Amil zakat yang dibentuk pemerintah daerah.
20. Zakat yang diberikan masjid, madrasah dan lain-lain.
21. Zakat tebu, cengkeh dan lain-lain.
22. Zakat perniagaan muttakhir.
23. Zakat uang kertas, cek, obligasi, saham dan lain-lain.