Top Banner
BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A. Sekilas Tentang Bahtsul Masail Untuk melihat latar belakang Bathsul Masa’il perlu di ketahui terlebih dahulu tentang proses sejarah NU berdiri. NU adalah suatu jam’iyyah diniyyah Islamiyyah (organisasi keagamaan Islam) yang didirikan di Surabaya pada 16 Rajab 1344 H./31 Januari 1926 M., berakidah Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah dan menganut salah satu madzhab empat: Hanafi, Syafi’i dan Hanbali. 1 NU didirikan oleh para ulama yang pada umumnya menjadi pengasuh pondok pesantren. Kelahiran NU merupakan muara dari rangkaian kegiatan yang mempunyai mata rantai hubungan dengan berbagai keadaan, peristiwa yang dialami bangsa Indonesia sebelumnya, dengan latar belakang tradisi keagamaan masalah sosial politik, dan kultural yang terjalin dalam suatu keterkaitan. Para ulama pada umumnya telah memiliki jama’ah (komunitas warga yang menjadi anggota kelompoknya) dengan ikatan hubungan yang akrab, yang terbentuk dalam pola hubungan santri-kiai, terutama pada masyarakat di lingkungan pondok pesantrennya. Pola hubungan santri-kiai ini telah mampu mewarnai, bahkan membentuk sub kultural tradisional Islam tersendiri di Indonesia. 2 1 Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU, Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2004, hlm. 15. 2 Rozikin Daman, Membidik NU; Dilema Percaturan Politik Pasca Khittah, Yogyakarta: Gama Media, 2001, hlm. 43.
23

BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A.

Mar 09, 2019

Download

Documents

haminh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A.

BAB III

PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A. Sekilas Tentang Bahtsul Masail

Untuk melihat latar belakang Bathsul Masa’il perlu di ketahui terlebih

dahulu tentang proses sejarah NU berdiri. NU adalah suatu jam’iyyah diniyyah

Islamiyyah (organisasi keagamaan Islam) yang didirikan di Surabaya pada 16

Rajab 1344 H./31 Januari 1926 M., berakidah Islam menurut faham

Ahlussunnah wal Jama’ah dan menganut salah satu madzhab empat: Hanafi,

Syafi’i dan Hanbali.1

NU didirikan oleh para ulama yang pada umumnya menjadi pengasuh

pondok pesantren. Kelahiran NU merupakan muara dari rangkaian kegiatan

yang mempunyai mata rantai hubungan dengan berbagai keadaan, peristiwa

yang dialami bangsa Indonesia sebelumnya, dengan latar belakang tradisi

keagamaan masalah sosial politik, dan kultural yang terjalin dalam suatu

keterkaitan. Para ulama pada umumnya telah memiliki jama’ah (komunitas

warga yang menjadi anggota kelompoknya) dengan ikatan hubungan yang

akrab, yang terbentuk dalam pola hubungan santri-kiai, terutama pada

masyarakat di lingkungan pondok pesantrennya. Pola hubungan santri-kiai ini

telah mampu mewarnai, bahkan membentuk sub kultural tradisional Islam

tersendiri di Indonesia.2

1 Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU, Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2004, hlm.

15. 2 Rozikin Daman, Membidik NU; Dilema Percaturan Politik Pasca Khittah, Yogyakarta:

Gama Media, 2001, hlm. 43.

Page 2: BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A.

Berbagai gerakan ulama (terutama di Jawa Timur) yang mendahului

kehadiran NU, sebagai wujud respon kepedulian dan kepekaan ulama atas

situasi dan kondisi yang sedang dialami masyarakat Indonesia akibat

penjajahan, antara lain:

1. Nahdlatul Wathan yang berarti pergerakan tanah air (1914 dan mendapat

pengakuan sebagai badan hukum pada 1916) bergerak di bidang

pendiidkan dan sosial kemasyarakatan dengan kegiatan tidak hanya di

bidang peningkatan pendiidkan pengajaran di sekolah saja, tetapi juga

membangkitkan semangat nasionalisme dan cinta tanah air pada kalangan

pemuda melalui kursus-kursus organisasi, kepemudaan, dakwah dan

perjuangan.

2. Tashwirul – Afkar yang berarti potret pemikiran atau representasi gagasan-

gagasan (1918) bergerak di bidang pengembangan pemikiran dengan

kegiatan menyelenggarakan diskusi masalah pengembangan pemikiran

(bermadzhab) dan masalah-masalah kemasyarakatan. Nama ini hingga

sekarang diabadikan sebagai nama Madrasah dan nama Majalah.

3. Nahdlatul – Tujjar, yang berarti kebangkitan pergerakan para pedagang

(1918) bergerak di bidang usaha perdagangan dalam bentuk kegiatan

koperasi atau syirkah dengan istilah syirkah al-inan.3

Pada dasarnya pembentukan jam’iyah NU merupakan akomodasi

atas potensi dan peran ulama-ulama pesantren yang secara kultural telah eksis

sebelum abad ke-20. Dengan mendirikan NU, diharapkan peran-peran mereka

3 Baca lebih lanjut dalam M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cet ke-2, 1998, hlm. 41-45, Martin Van Bruinessen, NU Tradisi; Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LKIS, 1994, hlm. 34-37.

Page 3: BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A.

akan dapat lebih efektif sekaligus merupakan ulama-ulama untuk eksis dalam

pergolakan zaman yang semakin pesat. Perlu diketahui pesantren telah lama

menjadi lembaga pendidikan yang memberikan bekal hidup bermasyarakat.

Namun secara sosial politik tidak banyak diperhitungkan, baik oleh sesama

umat Islam indonesia maupun dimata penjajah kolonial. Kelompok ulama

pesantren dianggap hanya mampu berkiprah dalam dunia pendidikan

pesantren an sich tidak seperti organisasi syarikat Islam atau muhammadiyah

atau yang lainnya.4

Sebagai suatu jam’iyyah keagamaan dan organisasi kemasyarakatan,

NU memiliki prinsip-prinsip yang berkaitan dengan upaya memahami dan

mengamalkan ajaran Islam, baik yang berhubungan dengan komunikasi

vertical dengan Allah SWT maupun komunikasi horizontal dengan sesama

manusia. NU mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber ajaran

Islam, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas.

Dalam memahami dan menafsirkan ajaran Islam dari sumber-

sumbernya NU mengikuti paham Ahlussunnah wal Jama’ah dan

menggunakan jalan pendekatan madzhaby (bermadzhab).

a. Di bidang aqidah, NU mengikuti paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang

dipelopori Abul Hasan al-Asy’ari (260-324 H./873-935 M.) dan Abu

Mansur al-Maturidi (w. 333 H./944 M.).

b. Di bidang fiqih, NU mengikuti salah satu dari madzhab empat, yaitu Abu

Hanifah an-Nu’man (80-150 H./700-767 M.), Malik bin Anas (93-179

4 Imam Yahya’Akar Sejarah Bathsul Masa’il’: Penjelajahan Singkat, dalam Imdadun Rahmat (eds.), Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bathsul Masa’il, Jakarta: Lakpesdam, 2002, hlm. 7-8

Page 4: BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A.

H./713-795 M.), Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (150-204 H./767-820

M.), dan Ahmad bin Hanbal (164-241 H./780-855 M.).

c. Di bidang tasawuf, NU mengikuti antara lain al-Junaid al-Baghdadi (w.

297 H.) dan Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H./1058-1111 M.).

Paham keagamaan yang dianut NU tersimpul dalam sebuah “kaidah”

yang cukup popular, yaitu:

الاصلح ديد صالح واالخذ باجل على القديم ال ةظافحملا Memelihara nilai terdahulu yang sudah baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik. “Kaidah” ini sebenarnya bukan klaim tunggal NU, dan NU juga tidak

pernah mengklaim sebagai satu-satunya kaidah miliknya, hanya saja memang

“kaidah” tersebut amat popular di kalangan warga Nahdliyin.

Sedangkan dasar-dasar sikap kemasyarakatan NU tercakup dalam

nilai-nilai universal berikut:

a. Tawasut dan I’tidal

Sikap tengah dan lurus yang berintikan prinsip hidup yang

menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan

bersama, dan menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatarruf

(ekstrem).

b. Tasamuh

Sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah

keagamaan (terutama mengenai hal-hal yang bersifat furu’/cabang atau

Page 5: BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A.

masalah-masalah khilafiyah/yang diperselisihkan), kemasyarakatan,

maupun kebudayaan.

c. Tawazun

Sikap seimbang dalam berkhidmah (mengabdi) baik kepada Allah

SWT. yang dikaitkan dengan kehidupan bermasyarakat, kepada sesama

manusia, maupun kepada lingkungan. Menyelaraskan kepentingan masa

lalu, masa kini dan masa mendatang.

d. Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik

dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah

semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai

kehidupan.

Keempat dasar sikap kemasyarakatan tersebut sering mengemuka

dalam wujud interaksi sosial budaya dan sosial politik dalam interaksi sosial

budaya, NU dikenal luwes (fleksibel) dan memiliki daya terima yang tinggi

terhadap banyak bentuk budaya local yang bagi sementara kalangan dianggap

mengganggu kemurnian Islam, seperti ziarah kubur para wali, peringatan haul

dan slametan (doa bersama dengan menyajikan makanan tertentu berkaitan

dengan peringatan kematian seseorang) dan lain-lain.5

Tidak berbeda dengan proses lahirnya NU, lembaga Bathsul

Masa’il sebenarnya telah berkembang di tengah masyarakat muslim

tradisionalis pesantren, jauh sebelum tahun 1926 di waktu NU didirikan.

5 Baca lebih lanjut dalam Ahmad Zahro, op. cit., hlm. 19-25.

Page 6: BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A.

Dengan tuntutan masyarakat yang semakin tinggi atas persoalan – persoalan

yang terjadi, maka secara individual mereka bertindak langsung sebagai

penafsir hukum bagi kaum muslimin di sekelilingnya.6

Bathsul Masa’il al-Diniyyah adalah salah satu forum diskusi

keagamaan dalam organisasi NU untuk merespon dan memberikan solusi atas

problematika aktual yang mucul dalam kehidupan masyarakat.

Dari segi historis maupun operasionalitas, bahtsul masail NU

merupakan forum yang sangat dinamis, demokratis dan berwawasan luas.

Dikatakan dinamis sebab persoalan (masail) yang digarap selalu mengikuti

perkembangan (trend) hukum di masyarakat. Sedangkan demokratis karena

dalam forum tersebut tidak ada perbedaan antara kyai, santri baik yang tua

maupun yang muda. Pendapat siapa pun yang paling kuat itulah yang diambil.

Dikatakan “berwawasan luas” sebab dalam bahtsul masail tidak ada dominasi

madzhab dan selalu sepakat dalam khilaf. Salah satu contoh untuk

menunjukkan fenomena “sepakat dalam khilaf” ini adalah mengenai status

hukum dalam bunga bank. Dalam memutuskan masalah ini tidak pernah ada

kesepakatan ada yang mengatakan halal, haram dan subhat. Ini terjadi sampai

muktamar NU tahun 1971 di Surabaya. Muktamar tersebut tidak mengambil

sikap. Keputusannya masih tiga pendapat: halal, haram dan subhat. Ini

sebetulnya langkah antisipatif NU sebab ternyata setelah itu berkembang

6 M. Imdadun Rahmat, op. cit., hlm. 7-8

Page 7: BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A.

berbagai bank dan lembaga keuangan modern yang dikelola secara

profesional. Orang pada akhirnya tidak bisa menghindar dari persoalan bank.7

Melalui forum Bathsul Masa’il al-Diniyyah, para ulama NU selalu

aktif menggadengkan pembahasan tentang problematika aktual tersebut

dengan berusaha secara optimal untuk memecahkan kebuntuhan hukum Islam

akibat dari perkembangan sosial masyarakat yang terus menerus tanpa

mengenal batas, sementara secara tekstual tidak terdapat landasannya dalam

al-Qur’an dan hadist, atau ada landasannya, namun pengungkapannya secara

tidak jelas.

Menghadapi sebuah kenyataan seperti ini disertai dengan

perubahan masyarakat yang begitu cepat akibat perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang dampaknya ikut mempengaruhi sosial

keagamaan baik dalam aspek akidah maupun muamalah yang kadang-kadang

belum diketahui dasar hukumnya, atau sudah diketahui, namun masyarakat

umum belum mengetahui, maka para ulama’ NU merasa bertanggung jawab

dan terpanggil untuk memecahkannya melalui bahtsul masa’il dalam

muktamar,musyawarah nasional dan konferensi besar sebagai forum tertinggi

NU yang memiliki otoritas untuk merumuskan berbagai masalah keagamaan

,baik masa’il diniyah waqi’iyyah maupun maudhu’iyyah.

Beberapa kajian terhadap kegiatan Bathsul Masa’il di lingkungan

NU yang selama ini ada, menyebutkan, terdapat beberapa kelemahan, di

antaranya kelemahan teknis (kaifiyat al-bahst) dalam penyelenggaraannya

7 Ibid., hlm. xii.

Page 8: BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A.

yang masih berpola qauli dan kelemahan penyebarannya yang belum merata

serta kurang bisa dipahami oleh warga NU dan umat Islam secara lebih luas.

Padahal ittifaq hukum di kalangan NU melalui Bathsul Masa’il ini dipercaya

menjadi tradisi dan pembimbing kehidupan mereka.8

Bagi NU, bahtsul masa’il tidak saja dimanfaatkan sebagai forum

yang sarat dengan muatan kitab-kitab klasik, tetapi juga merupakan lembaga

di bawah NU yang menjadi kawah candra dimuka yang berkaitan langsung

dengan kebutuhan hukum agama bagi kaum nahdliyyin. Karena dengan

bathsul masa’il, fatwa-fatwa hukum yang dihasilkan akan tersosialisasikan ke

daerah-daerah di pelosok tanah air. Bahkan bagi masyarakat NU yang awam,

keputusan bathsul masa’il ini dianggap sebagai rujukan dalam praktek

kehidupan beragama sehari-hari.

Bathsul Masa’il atau lembaga Bahtsul Masa’il Diniyah (lembaga

maslah-masalah keagamaan) dilingkungan NU adalah sebuah lembaga yang

memberikan fatwa-fatwa hukum keagamaan kepada umat Islam. Hal ini

menuntut bathsul masa’il untuk mampu membumikan nilai-nilai Islam

sekaligus mengakomodir berbagai pemikiran yang relevan dengan kemajuan

zaman dan lingkungan sekitarnya.

Sebuah lembaga fatwa, bathsul masa’il menyadari bahwa tidak

seluruh peraturan-peraturan syari’at Islam dapat diketahui secara langsung

dari nash Al-qur’an (Al-Nushush Al-Syar’iyyah), melainkan banyak aturan-

8 Imam Ghazali Said, “Dokumentasi dan Dinamika Pemikiran Ulama Bermadzhab” dalam

Ahkamul Fuqaha; Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes NU (1926-1999 M.), Penerj. Djamaludin Miri, Surabaya: LTN NU Jawa Timur dan Diantama, 2004, hlm. xix.

Page 9: BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A.

aturan syari’at yang membutuhkan daya nalar kritis melalui istimbath hukum.

Tidak sedikit ayat-ayat yang memberikan peluang untuk melakukan istimbath

hukum baik dilihat dari kajian kebahasaan maupun esensi makna yang

dikandungnya.

Keterlibatan ulama-ulama NU dalam lembaga ini sangatlah

signifikan mengingat tugas berat yang harus diselesaikan. Dengan latar

belakang ilmu-ilmu sosial keberagamaan yang diperoleh dipesantren, ulama

NU membahas persoalan-persoalan kontemporer dari persoalan ibadah

maghdhah hingga persoalan polotik, ekonomi, sosial dan budaya serta hal-hal

yang bertalian dengan kehidupan keseharian. Para ulama memberikan

alternatif jawaban yang terbaik sebagai rasa tanggung jawab sosial

keberagamaan.

Praktek bahtsul masail telah berlangsung sejak NU didirikan yakni

13 Rabi’ Al Tsani 1345 H/21 oktober 1926 M. Waktu itu dilakukan bathsul

masa’il NU yang pertama kali. Untuk itu untuk melihat setting historis bathsul

masa’il harus mengetahui proses sejarah NU didirikan.9

B. Metode Istinbath Hukum Bahtsul Masail NU

Kata istinbath berasal dari kata “istanbatha” yang berarti

“menemukan”, “menetapkan atau mengeluarkan dari sumbernya. Sedangkan

secara istilah adalah mengeluarkan hukum-hukum fiqih dari al-Qur’an dan

sunah melalui kerangka teori yang dipakai oleh ulama ushul, sehingga suatu

9 M. Imdadun Rahmat, op. cit., hlm. 3-5

Page 10: BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A.

istinbath identik dengan ijtihad yang oleh para ulama NU dirasa sangat sulit

karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari oleh mereka. Terutama di

bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh namanya

mujtahid. Sementara itu, istinbath dalam pengertian yang kedua, selain praktis,

dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah memahami ibarat-ibarat

kitab fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku. Oleh karena itu, kalimat

istinbath dikalangan NU terutama dalam kerja baths al-masa’ilnya Syuriah

tidak dilakukan karena keterbatasan pengetahuan. Sebagai gantinya, dipakai

kalimat bahtsul masail yang artinya membahas masalah-masalah waqi’ah yang

terjadi melalui referensi yaitu kutub al fuqaha (kitab-kitab karya para ahli

fiqh).10

Dalam lembaga bathsul masa’il NU, istilah istinbath hukum tidak

banyak dikenal. Bagi ulama NU hal ini lebih dikonotasikan pada istikhraj al-

hukm min al-nushush (mengeluarkan hukum dari nash-nash primer, al-Qur’an

dan sunah) yang dilakukan oleh mujtahid mutlak, yang menurut ulama NU

sangat berat untuk dilakukan. untuk itu sebagai gantinya adalah istilah ittifaq

hukum .

Istinbath hukum langsung dari sumber primer yang cenderung

kepada pengertian ijtihad mutlak, bagi ulama NU masih sangat sulit dilakukan

karena keterbatasan-keterbatasan yang memang disadari, terutama dalam ilmu-

ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh seseorang mujtahid.

Sementara ijtihad dalam batas madhzab di samping ulama NU yang telah

10 Sahal Mahfudh, op. cit.,hlm. xiii.

Page 11: BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A.

memahami ibarat kitab-kitab fiqih yang sesuai dengan terminologinya yang

baku.

Pengertian istinbath al-Ahkam di kalangan NU bukan mengambil

hukum secara langsung dari sumber aslinya, yaitu al-Qur’an dan hadis. Akan

tetapi, penggalian hukum dilakukan dengan men-tathbiqkan secara dinamis

nash-nash fuqaha.11

Istinbat langsung dari sumber primer (al-Qur’an dan Hadis) yang

cenderung pada pengertian ijtihad mutlak, bagi ulama NU masih sangat sulit

dilakukan karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari, terutama di bidang

ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap istinbat dalam batas madzhab di samping

lebih praktis, dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu

memahami ibarat (uraian) kitab-kitab fiqh, sesuai dengan terminologinya yang

baku.

Oleh karena itu, dalam lembaga Bahtsul Masa’il NU, istilah

istinbat hukum tidak banyak dikenal. Bagi ulama NU term ini lebih

dikonotasikan pada istikhraj al-hukm min al-nushush (mengeluarkan hukum

dari nash-nash primer, al-Qur’an dan al-Sunnah) yang dilakukan oleh mujtahid

mutlak, yang menurut ulama NU sangat berat untuk dilakukan. Untuk itu

sebagai gantinya adalah istilah ittifaq hukum.12 Mengenai sistem pengambilan

keputusan hukum dalam bahtsul masa’il di lingkungan Nahdlatul Ulama sesuai

dengan keputusan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama yang diselenggarakan

11 Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, Cet II, Yogyakarta: LKIS, 2003, hlm. 24. 12 M. Imdadun Rahmat, op. cit., hlm. 14.

Page 12: BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A.

di Bandar Lampung pada tanggal 16 – 20 Rajab 1412 H./21 – 25 Januari 1992

M. yaitu:

a. Ketentuan Umum

1) Yang dimaksud dengan kitab adalah al-Kutubul mu’tabarah,

yaitu kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai engan akidah

Ahlussunnah wal Jama’ah (rumusan Muktamar NU ke

XXVII).13

2) Yang dimaksud dengan bermadzhab secara qauli adalah

mengikuti pendapat-pendapat yang sudah “jadi” dalam lingkup

madzhab tertentu.

3) Yang dimaksud bermadzhab secara manhaji adalah

bermadzhab dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah

penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab.14

4) Yang dimaksud dengan istinbat adalah mengeluarkan hukum

syari’at dari dalilnya dengan qawa’id ushuliyyah dan qawa’id

fiqhiyyah.15

5) Yang dimaksud dengan qauli adalah pendapat imam madzhab.

6) Yang dimaksud dengan wajah adalah pendapat ulama

madzhab.

13 A. Chozin Nasuha ‘Bahtsul Masa’il Fiqhiyah NU antara Idea dan Fakta’ dalam Imdadun

Rahmat (eds.), Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bathsul Masa’il, Jakarta: Lakpesdam, 2002, hlm. 174.

14 Imam Yahya, op. cit., hlm. 17. 15 A. Chozin Nasuha, op. cit., hlm. 182.

Page 13: BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A.

7) Yang dimaksud dengan taqrir jama’i adalah upaya secara

kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu di antara

beberapa qaul/wajah.16

8) Yang dimaksud dengan ilhaq (ilhaqul masail bi nazha’iriha)

adalah menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum

dijawab oleh kitab dengan kasus/masalah serupa yang telah

dijawab oleh kitab (menyamakan dengan pendapat yang sudah

“jadi”).17

9) Yang dimaksud dengan usulan masalah adalah permintaan

untuk membahas suatu kasus/masalah, baik hanya berupa

“judul” masalah maupun telah disertai pokok-pokok pikiran

atau pula hasil pembahasan awal dengan maksud dimintakan

tanggapan.

10) Yang dimaksud dengan pengesahan adalah pengesahan hasil

suatu bahtsul masa’il oleh PB Syuriah NU, Munas Alim Ulama

NU atau Muktamar NU.

b. Sistem Pengambilan Keputusan Hukum

1) Prosedur Penjawaban Masalah

Keputusan bahtsul masa’il di likungan NU dibuat dalam

kerangkan bermadzhab kepada salah satu madzhab empat yang

disepakati dan mengutamakan bermadzhab secara qauli. Oleh

16 Ibid., hlm. 177. 17 Ibid., hlm. 179.

Page 14: BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A.

karena itu, prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan

sebagai berikut:

a) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicakupi oleh ibarat kitab

dan di sana terdapat hanya satu qaul/wajah, maka dipakailah

qaul/wajah sebagaimana diterangkan dalam ibarat tersebut.

b) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicakupi oleh ibarat kitab

dan di sana terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan

taqrir jama’i untuk memilih satu qaul/wajah.

c) Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali yang

memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaqul

masail bi nazha’iriha secara jama’i oleh para ahlinya.

d) Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali dan tidak

mungkin dilakukan ilhaq, maka bisa dilakukan istinbat jama’i

dengan prosedur bermadzhab secara manhaji olah para

ahlinya.18

2) Hirarki dan Sifat Keputusan Bahtsul Masa’il

a) Seluruh keputusan bahtsul masa’il di lingkungan NU yang

diambil dengan prosedur yang telah disepakati dalam

keputusan ini, baik diselenggarakan dalam struktur oraganisasi

maupun di luarnya mempunyai kedudukan yang sederajat dan

tidak saling membatalkan.

18 Ibid., hlm. 168-169.

Page 15: BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A.

b) Suatu hasil keputusan bahtsul masa’il dianggap mempunyai

kekuatan daya ikat lebih tinggi setelah disahkan oleh Pengurus

Besar Syuriah NU tanpa harus menunggu Munas Alim Ulama

maupun Muktamar.

c) Sifat keputusan dalam bahtsul masa’il tingkat Munas dan

Muktamar adalah:

(1) Mengesahkan rancangan keputusan yang telah dipersiapkan

sebelumnya dan/atau,

(2) Diperuntukkan bagi keputusan yang dinilai akan

mempunyai dampak yang luas dalam segala bidang.

3) Kerangka Analisis Masalah

Terutama dalam memecahkan masalah sosial, bahtsul

masa’il hendaknya mempergunakan kerangka pembahasan

masalah (yang sekaligus tercermin dalam hasil keputusan) antara

lain sebagai berikut:

a) Analisa masalah (sebab mengapa terjadi kasus ditinjau dari

berbagai faktor):

(1) Faktor ekonomi

(2) Faktor budaya

(3) Faktor politik

(4) Faktor sosial dan lainnya

Page 16: BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A.

b) Analisa dampak (dampak positif dan negatif yang ditimbulkan

oleh suatu kasus yang hendak dicari hukumnya ditinjau dari

berbagai aspek) antara lain:

(1) Secara sosial ekonomi

(2) Secara sosial budaya

(3) Secara sosial politik

(4) Dan lain-lain

c) Analisa hukum (fatwa tentang suatu kasus setelah

mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya di segala

bidang). Di samping putusan fiqih/yuridis formal, keputusan ini

juga memperhatikan pertimbangan Islam dan hukum positif

(1) Status hukum (al-ahkam al-khamsah/ sah-batal)

(2) Dasar dari ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah

(3) Hukum positif

d) Analisa tindakan, peran dan pengawasan (apa yang harus

dilakukan sebagai konsekuensi dari fatwa di atas). Kemudian

siapa saja yang akan melakukan, bagaimana, kapan, dan di

mana hal itu hendak dilakukan, serta serta bagaimana

mekanisme pemantauan agar semua berjalan sesuai dengan

rencana.

(1) Jalur politik (berusaha pada jalur kewenangan negara

dengan sasaran mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah).

Page 17: BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A.

(2) Jalur budaya (berusaha membangkitkan pengertian dan

kesadaran masyarakat melalui berbagai media massa dan

forum seperti pengajian dan lain-lain).

(3) Jalur ekonomi (meningkatkan kesejahteraan masyarakat).

(4) Jalur sosial lainnya (upaya meningkatkan kesehatan

masyarakat lingkungan dan seterusnya).19

c. Petunjuk Pelaksanaan

1) Prosedur Pemilihan Qaul/Wajah

a) Ketika dijumpai beberapa qaul/wajah dalam satu masalah yang

sama maka dilakukan usaha memilih salah satu pendapat.

b) Pemilihan salah satu pendapat dilakukan:

(1) Dengan mengambil pendapat yang lebih maslahat dan/atau

yang lebih kuat.

(2) Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan

Muktamar NU ke I, bahwa perbedaan pendapat

diselesaikan dengan memilih:

(a) Pendapat yang disepakati oleh asy-Syaikhani (al-

Nawawi dan Rofi’i).

(b) Pendapat yang dipegang oleh al-Nawawi saja.

(c) Pendapat yang dipegang oleh al-Rifa’i saja.

(d) Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama.

(e) Pendapat ulama yang terpandai.

19 Marzuki Wahid ‘Cara Membaca Tradisi Bahtsul Masa’il NU, Tatapan reflektif’ dalam Imdadun Rahmat (eds.), Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bathsul Masa’il, Jakarta: Lakpesdam, 2002, hlm. 82.

Page 18: BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A.

(f) Pendapat ulama yang paling wara’.

2) Prosedur Ilhaq

Dalam hal ketika suatu masalah/kasus belum dipecahkan

dalam kitab, maka masalah/kasus tersebut diselesaikan dengan

prosedur ilhaqul masa’il bi nazha’iriha secara jama’i. Ilhaq

dilakukan dengan memperhatikan mulhaq bih, mulhaq ilaih dan

wajhul ilhaq oleh para mulhiq yang ahli.

3) Prosedur Istinbat

Dalam hal ketika tidak mungkin dilakukan ilhaq karena

tidak adanya mulhaq bih dan wajhul ilhaq sama sekali di dalam

kitab, maka dilakukan istinbat secara jama’i, yaitu dengan

mempraktekkan qawa’id ushuliyyah dan qawa’id fiqhiyyah oleh

para ahlinya.20

Secara umum dapat dikemukakan bahwa sistem pengambilan

keputusan dalam bahts al-masa’il NU dirumuskan dalam tiga cara / prosedur,

yaitu meliputi:

1. Melalui apa yang disebut taqrir jama’i, melalui cara ini permasalahan

yang dicarikan jawaban dengan mengutip sumber fatwa dari kitab-

kitab yang menjadi rujukan. Cara taqrir dengan demikian hanyalah

menetapkan saja apa yang sudah ada. Hal ini dilatar belakangi oleh

suatu pandangan yang diyakini bahwa apa yang sudah diputuskan oleh

seorang ulama atau qaul al faqih dipandang selalu memiliki relevansi

20 Khotib Sholeh ‘Menyoal Efektifitas Bahtsul Masa’il’, dalam Imdadun Rahmat (eds.), Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bathsul Masa’il, Jakarta: Lakpesdam, 2002, hlm. 238.

Page 19: BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A.

dengan konteks kehidupan masa kini dan harus dipakai tanpa reserve

apalagi kritik. Qoul al-ulama yang dikemukakan dalam kitab-kitab

rujukan dianggab sebagai kata final. Boleh jadi pandangan demikian

juga berkaitan dengan hakikat ilmu itu sendiri. Pada masa lampau ilmu

dirumuskan sebagai sesuatu yang diketahui dan diyakini secara tuntas,

pada sisi lain upaya-upaya melakukan kritik terhadapnya seringkali

dipandang telah menyalahi etika. Pemilihan cara taqrir seperti diatas

lebih jauh seringkali mengabaikan atau menafikan faktor-faktor

substansi dari syari’ah. Dengan kata lain fiqih telah kehilangan frame

idealnya, fiqih terasa sangat kaku dan memaksakan kehendak. Dalam

bingkai idealistik fiqih seharusnya dibangun berdasarkan tujuan-tujuan

syari’ah, tidak satupun ulama yang menolak gagasan ini, jika idealisme

hendak dilakukan maka adalah suatu keharusan kita untuk pertama-

tama melihat ide-ide besar yang ada dalam teks-teks suci; al-Qur’an

dan hadits Nabi SAW yang berkaitan dengan persoalan-persoalan

tersebut pada tataran empiris, pada realitas sosial yang secara pasti

terus berkembang.

2. Prosedur kedua adalah ilhaq, lengkapnya ilhaq al-masail bi

Nadzairiha. Istilah ini dipakai untuk menggantikan istilah qiyas yang

dipandang tidak patut dilakukan. Ini jelas memperlihatkan

ketidakberanian pemikir fiqih nadhiyyin untuk melakukan kajian-

kajian langsung terhadap sumber-sumber syari’ah. Pada ilhaq yang

diperlakukan adalah mempersamakan persoalan fiqih yang belum

Page 20: BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A.

ditemukan jawabannya dalam kitab secara tekstual dengan persoalan

yang sudah ada jawabannya. Sementara pada qiyas, persoalan yang

belum terjawab tersebut dirujuk langsung kepada al-Qur’an dan hadits

guna mempersamakan oleh karena antara keduanya memiliki illat yang

sama.

Disini, meskipun prosedur ilhaq memperlihatkan arah maju, tetapi

secara substansial tetap menghadapi persoalan yang sama dengan cara

pertama (taqlid)

3. Cara yang ketiga adalah istinbath. Ini adalah istilah lain dari ijtihad

yang hendak dihindari oleh ulama’ NU. Secara esensial kedua istilah

ini adalah sama, yakni melakukan kajian intensif dan maksimal dari

para ahli terhadap persoalan-persoalan fiqih melalui teori-teori atau

kaedah-kaedah fiqih. Dalam tradisi NU ijtihad seakan-akan menjadi

milik para ulama’ terdahulu dan seakan-akan telah tertutup dilakukan

oleh ulama-ulama sekarang. Sikap ini memperlihatkan pesimisme NU

dalam memandang persoalan-persoalan ke depan. Pada dasarnya para

ulama NU memiliki kemampuan untuk melaklukan ijtihad parsial

(juz’iy) artinya bukan hanya dari sisi kecerdasan intelektualnya semata,

tetapi juga pada kekayaan referensi yang dimiliki, baik kitab-kitab

fiqih sendiri maupun ushul fiqih dan kaedah fiqhiyahnya. Keputusan

NU untuk memperkenalkan sistem pengambilan keputusan melalui

cara manhaji ini merupakan langkah yang sangat maju apapun istilah

Page 21: BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A.

yang digunakannya. Akan tetapi lebih dari cara yang kedua (illaq),

cara yang ketiga ini lebih populer.21

C. Hasil Keputusan Bahtsul Masail NU Wilayah Jawa Timur tentang

Hukum zakat yang ditasyarufkan pada masjid

Sebagaimana halnya yang terdapat dalam buku pokok penulis tentang

hukum zakat yang ditasharufkan pada masjid dalam bahtsul masa’il NU

Wilayah Jawa Timur, disana diterangkan secara tegas bahwa sebuah masjid

tidak termasuk dari delapan golongan penerima (mustahik) zakat, maka tidak

diperbolehkan bagi amil zakat untuk menasharufkannya atau mengalokasikan

zakat kepada masjid dengan alasan apapun.

Berikut kutipan dari buku hasil keputusan bahtsul masa’il Nahdlatul

Ulama wilayah jawa timur jilid pertama22:

- Masalah; Bagaimana hukumnya zakat yang ditasyarufkan kepada masjid

madrasah panti asuhan yayasan-yayasan sosial, keagamaan dan

lain-lain. Sebagaimana yang telah berlaku di masyarakat umum?

- Jawab ; Memberikan zakat kepada masjid, madrasah, panti asuhan,

yayasan-yayasan sosial, keagamaan dan lain-lain tidak boleh,

akan tetapi ada pendapat : Imam Qafal menukil dari sebagian

ahli fiqh, zakat boleh ditasyarufkan kepada sektor-sektor

tersebut diatas, atas nama sabilillah.

21 Husen Muhammad, Tradisi Istinbath Hukum NU: Sebuah Kritik’ dalam Imdadun Rahmat

(eds.), Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bathsul Masa’il, Jakarta: Lakpesdam, 2002, hlm. 27-34.

22 Dalam Jilid I mulai tahun 1979 – 1986 Masehi, lihat Hasil Keputusan Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama Wilayah Jawa Timur, Surabaya: Pengurus Wilayah NU Jatim, 2002, hlm. 42-43.

Page 22: BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A.

- Dasar pengambilan ;

1. Bughyatu Al mustarsyiddin. Hal. 106 :

ر لا يجو ز صر فها الا لح ذا, ز كا ة مطلقالستحق املسجد شيئا من ا يا ل باب قسم منثله ما في امليزان الكبرى في الجزء الثاني وم ,مسلمقالصته دارعبا : ات وكاة فتالز اجراخ زوجلا ي هلى انة ععبة الارالائم اء لقبن

. يت كفين م ت و مسجد ا

Masjid tidak berhak sedikit pun secara muthlak mengambil bagian zakat, karena tidak boleh mentasharufkan zakat kecuali pada orang yang merdeka yang muslim, begitu juga yang ada dalam kitab mizan kubra.

2. Tafsir Munir. Jilid I hal. 344.

وه قنوجع وميقات الى جدالص فرا صوازاج مهاء اند الفقهعب ل القفل منلى ا لان قوله تع , تكفين ميت وبناء الحصون وعمارة املساجد من ,الخير

. الكل فيماع هللا في سبيل

Imam Al Qafal menukil dari sebagaian ahli fiqh bahwa mereka memperbolehkan mentasharufkan shadaqah (zakat) kepada segala sektor kebaikan, seperti: mengkafani mayat, membangun pertahanan, membangun masjid dan seterusnya. Karena kata-kata sabilillah itu mencakup umum (semuanya). Hasil keputusan diatas merupakan keputusan nomor IV, item 20 dari

kesebelas hasil keputusan Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama Wilayah Jawa

Timur. Adapun apabila dijabarkan keputusan nomor IV ialah yang dimulai

dari item 15 sampai item 2423, dari sebelas keputusan dan meliputi seratus

sebelas (111) masalah, yaitu sebagai berikut:

Keputusan No. IV :

23 Ibid., hlm. IV-V.

Page 23: BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · BAB III PROFIL BAHTSUL MASAIL NU WILAYAH JAWA TIMUR A.

15. Bayi Tabung.

16. Cangkok mata.

17. Bank mata.

18. Cangkok ginjal dan jantung.

19. Amil zakat yang dibentuk pemerintah daerah.

20. Zakat yang diberikan masjid, madrasah dan lain-lain.

21. Zakat tebu, cengkeh dan lain-lain.

22. Zakat perniagaan muttakhir.

23. Zakat uang kertas, cek, obligasi, saham dan lain-lain.

24. Menyembelih hewan dengan mesin.