BAB III PEMBAHASAN A. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Korupsi Menurut J. Soewartojo ada beberapa bentuk/jenis tindak pidana korupsi, yaitu sebagai berikut: 35 a. Pungutan liar jenis tindak pidana, yaitu korupsi uang negara, menghindari pajak dan bea cukai, pemersan dan penyuapan. b. Pungutan liar jenis pidana yang sulit dibuktikan, yaitu komisi dalam kredit bank, komisi tender proyek, imbalan jasa dalam pemberian izin-izin, kenaikan pangkat, punggutan terhadap uang perjalanan, pungli pada pos-pos pencegatan dijalan,pelabuhan dan sebagainya. c. Pungutan liar jenis pungutan tidak sah yang dilakukan oleh Pemda, yaitu punggutan yang dilakukan tanpa ketetapan berdasarkan peraturan 35 Evi Hartanti , Tindak Pidana Korupsi , Sinar Grafika , Jakarta 2005, halaman 20.
51
Embed
BAB III (pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi,Bentuk-bentuk Tindak Pidana Korupsi)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB III
PEMBAHASAN
A. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Korupsi
Menurut J. Soewartojo ada beberapa bentuk/jenis tindak pidana korupsi,
yaitu sebagai berikut:35
a. Pungutan liar jenis tindak pidana, yaitu korupsi uang negara, menghindari
pajak dan bea cukai, pemersan dan penyuapan.
b. Pungutan liar jenis pidana yang sulit dibuktikan, yaitu komisi dalam kredit
bank, komisi tender proyek, imbalan jasa dalam pemberian izin-izin, kenaikan
pangkat, punggutan terhadap uang perjalanan, pungli pada pos-pos pencegatan
dijalan,pelabuhan dan sebagainya.
c. Pungutan liar jenis pungutan tidak sah yang dilakukan oleh Pemda, yaitu
punggutan yang dilakukan tanpa ketetapan berdasarkan peraturan daerah,
tetapi hanya dengan surat-surat keputusan saja.
d. Penyuapan, yaitu seorang penguasa menawarkan uang atau jasa lain kepada
seseorang atau keluarganya untuk suatu jasa bagi pemberi uang.
e. Pemerasan, yaitu orang yang mememang kekuasaan menuntut pembayaran
uang atau jasa lain sebagai ganti atau timbal balik fasilitas yang diberikan.
f. Pencurian, yaitu orang yang berkuasa menyalahgunakan kekuasaannya dan
mencuri harta rakyat, langsung atau tidak langsung.
35 Evi Hartanti , Tindak Pidana Korupsi , Sinar Grafika , Jakarta 2005, halaman 20.
g. Nepotisme, yaitu orang yang berkuasa memberikan kekuasaan dan fasilitas
pada keluarga atau kerabatnya, yang seharusnya orang lain juga dapat atau
berhak bila dilakuka secara adil.
Menurut Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Anti Korupsi 2003
(disingkat KAK 2003) ada 4 macam tipe tindak pidana korupsi sebagai berikut :36
a. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Pejabat-Pejabat Publik Nasional (Bribery
of National Public Officials)
Ketentuan tipe tindak pidana korupsi ini diatur dalam ketentuan Bab III
tentang kriminalisasi dan penegakan hukum (Criminalization and Law
Enforcement) dalam Pasal 15, 16, dan 17 KAK 2003. Pada ketentuan Pasal 15
diatur mengenai penyuapan pejabat-pejabat publik nasional (Bribery of National
Public Officials) yaitu dengan sengaja melakukan tindakan janji, menawarkan
atau memberikan kepada seorang pejabat publik secara langsung atau tidak
langsung suatu keuntungan yang tidak pantas (layak), untuk pejabat tersebut atau
orang lain atau badan hukum agar pejabat yang bersangkutan bertindak atau
menahan diri dari melakukan suatu tindakan dalam melaksanakan tugas resminya.
Kemudian, terhadap penyuapan pejabat-pejabat publik asing dan pajabat-pejabat
dari organisasi internasional publik (bribery og foreign public officials and
officials of public international organization) diatur dalam ketentuan Pasal 16 dan
pengelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan dengan cara lain oleh
seorang pejabat publik diatur dalam ketentuan Pasa 17 KAK 2003.
36 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya, Alumni ,Bandung, 2007, halaman 41.
35
b. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan di Sektor Swasta (Bribery in the private
Sector).
Tipe tindak pidana korupsi jenis ini diatur dalam ketentuan Pasal 21, 22
KAK 2003.
Ketentuan tersebut menentukan setiap negara peserta konvensi
mempertimbangkan kejahatan yang dilakukan dengan sengaja dalam
melaksanakan kegiatan-kegiatan ekonomi, keuangan dan perdagangan
menjanjikan, menawarkan atau memberikan, secara langsung atau tidak langsung,
suatu keuntungan yang tidak semestinya kepeda seseorang yang memimpin atau
berkerja pada suatu badan disektor swasta untuk diri sendiri atau orang lain
melanggar tugasnya atau secara melawan hukum. Apabila dibandingkan, ada
korelasi erat antara tipe tindak pidana korupsi penyuapan disektor publik maupun
swasta.
c. Tindak Pidana Korupsi Terhadap Perbuatan Memperkaya Secara Tidak Sah
(Ilicit Enrichment).
Pada asasnya, tindak pidana korupsi perbuatan memperkaya secara tidak sah
(Ilicit Enrichment) diatur dalam ketentuan Pasal 20 KAK 2003.
Ketentuan Pasal 20 KAK 2003 mewejibkan kepada setiap negara peserta
konvensi mempertimbangkan dalam prinsip-prinsip dasar sistem hukumnya untuk
menetapkan suatu tindak pidana bila dilakukan dengan sengaja, memperkaya
secara tidak sah yaitu suatu kenaikan yang berarti dari aset-aset seorang pejabat
publik yang tidak dapat dijelaskan secara masuk akal berkaitan dengan
pendapatannya yang sah. Apabila dijabarkan, kriminalisasi perbuatan
36
memperkaya diri sendiri sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri mempunyai
implikasi terhadap ketentuan Pasal 2 UU No 31 tahun 1999 khususnya unsur
kerugian negara yang bukan sebagai anasir esensial dalam Pasal 3 butir 2 KAK
2003.
d. Tindak Pidana Korupsi Terhadap Memperdagangkan Pengaruh (Trading in
Influence).
Tindak pidana korupsi ini diatur dalam ketentuan Pasal 18 KAK 2003. Tipe
tindak pidana korupsi baru dengan memperdagankan pengaruh (Trading in
Influence) sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja menjanjikan,
menawarkan atau memberikan kepeda seseorang pejabat publik atau orang lain,
secara langsung atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya,
agar pejabat publik itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata, atau yang
diperkirakan, suatu keuntungan yang tidak semestinya bagi si penghasut asli
tindakan tersebut atau untuk orang lain.
Mengetahui bentuk atau jenis perbuatan yang dikategorikan sebagai
korupsi adalah upaya dini untuk mencegah agar seseorang tidak melakukan
Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Pasal – Pasal UU No 31 Tahun 1999 jo UU
No 20 Tahun 2001 tersebut, korupsi dikelompokan 7 bentuk korupsi diantaranya
adalah :
1. Korupsi yang terkait dengan kerugian keuangan Negara. (Pasal 2 dan 3)
2. Korupsi yang terkait dengan suap menyuap.(Pasal 5 ayat (1) huruf a,
Pasal 5 ayat (1) huruf b,Pasal 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a, Pasal
37
12 huruf b, Pasal 11, Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b,
Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 huruf c, Pasal 12 huruf d.)
3. Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, Pasal 10 huruf c)
4. Korupsi yang terkait dengan perbuatan pemerasan.(Pasal 12 huruf e,
Pasal 12 huruf g, Pasal 12 huruf f)
5. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang.(Pasal 7 ayat (1) huruf a,
Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf d,
Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 huruf h)
6. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan.
(Pasal 12 huruf i)
7. Korupsi yang terkait dengan gratikasi (Pemberian Hadiah).(Pasal 12 B jo.
Pasal 12 C)
Berikut ini, beberapa bentuk Korupsi yang sering terjadi di masyarakat
dan lembaga – lembaga pemerintahan, yaitu : a). Suap b). Hadiah c). Pemerasan
d). Pungli e). Mark up f). Transaksi rahasia g). Penggelapan h). Mengkhianati
amanah i). Melanggar sumpah jabatan j). Kolusi k). Nepotisme m).
Penyalahgunaan jabatan dan fasilitas Negara .
Korupsi sebagaimana dalam pembahasan tersebut di atas adalah
merupakan sebuah penyalahgunaan wewenang ataupun kekuasaan dari
kepentingan publik kepada kepentingan peribadi, kelompok dan atau golongan
yang dapat merugikan kekayaan negara ataupun perekonomian negara.
38
Penyalahgunaan wewenang ini dapat diperluas bukan hanya dalam lingkup
pemerintahan semata. Tetapi juga dalam semua lingkup kehidupan masyarakat
seperti lembaga sosial kemasyarakatan. Oleh karena itulah maka Syeh Husen
Alatas dalam bukunya Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, menyatakan bahwa inti
dari korupsi itu adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan peribadi.
Lebih lanjut Syed Husen Alatas menyatakan bahwa korupsi itu dapat
dikelompokkan ke dalam beberapa bentuk, sebagai berikuti37:
1. Korupsi Transaktif. Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang dilakukan
atas dasar kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima
dari keuntungan peribadi masing-masing pihak dan kedua pihak sama-sama
aktif melakukan usaha untuk mencapai keuntungan tersebut.
2. Korupsi Ekstortif (Memeras). Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi dimana
terdapat unsur paksaan, yaitu pihak pemberi dipaksa untuk melakukan
penyuapan guna mencegah terjadinya kerugian bagi dirinya, kepentingannya,
orang-orang, atau hal-hal yang penting baginya
3. Korupsi Nepotistik (Perkerabatan). Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi
dengan melakukan penunjukan secara tidak sah terhadap kawan atau kerabat
untuk memegang suatu jabatan publik, atau tindakan yang memberikan
perlakuan istimewa dalam bentuk uang atau bentuk lain kepada mereka secara
bertentangan dengan norma atau ketentuan yang berlaku
37 Chaerudin DKK, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi (Bandung PT Refika Aditama, 2008) hal 2
39
4. Korupsi Investif. Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang berwujud
pemberian barang atau jasa tanpa ada keterkaitan langsung dengan keuntungan
tertentu, melainkan mengharapkan suatu keuntungan yang akan diperoleh di
masa depan
5. Korupsi Suportif (Dukungan). Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang
berbetuk upaya penciptaan suasana yang dapat melanggengkan, melindungi
dan memperkuat korupsi yang sedang dijalankan
6. Korupsi Autogenik. Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang dilakukan
secara individual untuk mendapatkan keuntungan karena memahami dan
mengetahui serta mempunyai peluang terhadap obyek korupsi yang tidak
diketahui oleh orang lain
7. Korupsi Defensif. Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang dilakukan
oleh korban korupsi dalam rangka mempertahankan diri terhadap upaya
pemerasan terhadap dirinya.
Pengaturan mengenai kategorisasi perbuatan korupsi sebagaimana yang
diatur dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 ini bersifat lebih rinci
dibandingkan pengaturan yang ada dalam undang-undang sebelumnya.
Berdasarkan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-
undang No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999 maka tindak
pidana korupsi dikategorisasikan menjadi dua, yaitu tindak pidana korupsi dan
tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Kategorisasi pertama
tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 s/d 12 Undang-undang No. 20
40
tahun 2001 jo Pasal 13 s/d 16 UU No. 31 tahun 1999. Kategorisasi kedua dapat
dilihat dalam 21 s/d 24 Undang-undang No. 31 tahun 1999.38
Kategorisasi pertama ini lebih mengacu terhadap pelaku tindak pidana
korupsi, baik pelaku utama maupun pelaku yang sekedar memberikan bantuan
sehingga memungkinkan terjadinya korupsi. Perincian dari kategorisasi tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Korupsi yang terjadi antara pegawai negeri atau penyelenggara negara
dengan pihak non penyelenggara negara berupa pemberian atau janji
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud
supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat
atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan
dengan kewajiban, dilakukan berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya (lihat Pasal 5 ayat (1);
b. Korupsi yang terjadi di lingkungan peradilan yang dapat
mempengaruhi putusan perkara, dengancara memberikan atau
menjanjikan sesuatu kepada hakim (lihat Pasal 6 ayat (1);
c. Korupsi yang terjadi di lingkungan kegiatan pemborongan,
pembangunan, dan pengadaan barang (lihat Pasal 7 ayat (1).
d. Penggelapan uang atau surat berharga yang dilakukan oleh pegawai
negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan
suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu (lihat
Pasal 8);
38 Tintin Sri Murtinah, Tinjauan Konseptual Yuridis Terhadap Korupsi
41
e. Pemalsuan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang lain selain
pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum
secra terus menerus atau sementara waktu (lihat Pasal 9);
f. Gratifikasi (pemberian uang, barang, rabat/diskon, komisi, pinjaman
tanpa bungan, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma, dan lain sebagainya) yang diterima oleh
pegawai negeri atau penyelenggara negara berkaitan dengan jabatan
dan kewajibannya (lihat Pasal 11 dan 12);
g. Pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri karena jabatan atau
kedudukannya (Pasal 13);
h. Pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang lain baik secara
formal maupun materiil yang mengkategorikan perbuatan tersebut
sebagai tindak pidana korupsi (Pasal 14);
i. Perbuatan percobaan pembantuan atau pemufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15);
j. Perbuatan, yang terjadi di dalam wilayah Republik Indonesia,
memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk
terjadinya tindak pidana korupsi (Pasal 16).
Kategorisasi kedua menitikberatkan pada perbuatan yang berkaitan dengan
kategorisasi pertama, sebagai berikut:
a. Perbuatan mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung
atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi (lihat Pasal 21);
42
b. Perbuatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan
yang tidak benar (Pasal 22);
c. Pelanggaran terhadap ketentauan dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal
421, Pasal 442, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana ( Pasal 23).
Sebagai bahan pembanding terhadap kategorisasi menurut Undang-undang
No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999, maka adalah sesuatu hal
yang menarik bila melihat kepada kajian yang dilakukan oleh The Norwegian
Agency for Development Cooperation. Pengkategorian tersebut ditujukan untuk
mencegah timbulnya overlapping dan tertukarnya pengertian-pengertian tersebut
satu sama lainnya. Selain itu pengkategorian korupsi ini juga memiliki tujuan
untuk memudahkan pengidentifikasian terhadap karakter-karakter dasar korupsi.
Kategorisasi tersebut adalah sebagai berikut (2004):
a. Penyuapan adalah pembayaran (baik dalam bentuk uang ataupun
dalam bentuk lainnya) yang diberikan atau diterima dalam suatu
hubungan yang korup. Untuk membayar atau menerima suap dapat
digolongkan sebagai korupsi, dan harus dipahami sebagai inti dari
korupsi. Penyuapan adalah suatu jumlah tertentu, suatu persentase dari
nilai kontrak, atau bentuk-bentuk lain dari pemberian uang, yang
biasanya dibayarkan kepada pejabat negara yang dapat membuat
kontrak atas nama negara atau mendistribusikan keuntungan kepada
negara, individu, pengusaha dan klien.
43
Suap sendiri dapat dibedakan atas pembayaran kembali, uang pelicin,
dan hadiah, yang diterima dari publik. Bentuk-bentuk pembayaran
tersebut ditujukan untuk mempercepat dan mempermudah berbagai
urusan yang berkaitan dengan birokrasi negara. Pemberian tersebut
dipergunakan untuk menghindari pajak, peraturan-peraturan yang
berkaitan dengan lingkungan hidup, atau bahkan untuk memproteksi
pasar dan monopoli, perizinan ekspor-impor, dan lain-lain.
Suap juga dapat berupa pajak tidak resmi, jika pejabat publik
membebankan “biaya tambahan” (under the table payment) kepada
konsumen (masyarakat/publik). Dapat pula dikategorikan sebagai
suap apabila seorang pejabat pemerintah atau orang-orang partai yang
melakukan kampanye dan kemudian oleh para pemilihnya diberikan
donasi ataupun bentuk-bentuk hadiah lainnya.
b. Penggelapan merupakan bentuk pencurian yang dilakukan oleh
pejabat publik terhadap publik, merupakan bentuk penyalahgunaan
dana publik. Penggelapan terjadi bila pejabat negara mencuri dari
institusi publik yang dipimpinnya. Bagaimanapun, pegawai yang tidak
loyal dapat menggelapkan uang dan bentuk-bentuk lainnya dari tempat
mereka bekerja.
Dari sudut hukum, penggelapan tidak termasuk dalam kategori
korupsi. Menurut terminasi hukum korupsi merupakan transaksi antara
dua individu, yaitu pemerintah di satu sisi dan publik di sisi lainnya,
yaitu oknum pemerintah tersebut mempergunakan hukum dan
44
peraturan untuk melindungi dirinya dari bentuk suap. Penggelapan
lebih tepat dikategorikan sebagai bentuk pencurian karena perbuatan
tersebut tidak melibatkan sisi publik secara langsung. Berdasarkan hal
tersebut harus ada political will yang bertindak sebagai suatu
kekuasaan kehakiman yang bebas dan kemampuan hukum untuk
mengawasi penggelapan. Penggelapan merupakan bentuk dari korupsi
dan penyalahgunaan wewenang. Dapat dikategorikan sebagai
penggelapan adalah manakala pejabat publik melalui kekuasaan dan
kewenangan yang dimilikinya memperluas bisnis pribadi dan
mendistribusikannya kepada anggota-anggota keluarga mereka.
Sejumlah bentuk perusahaan negara dan badan usaha negara lainnya
dipegang oleh orang-orang yang dekat dan keluarga dari pihak yang
berkuasa.
c. Penipuan merupakan kejahatan ekonomi yang melibatkan bentuk-
bentuk tipuan. Hal ini merupakan perluasan bentuk dari penggelapan
dan suap. Sebagai contoh dari bentuk penipuan adalah bila agen-agen
negara dan perwakilan-perwakilan negara terikat dalam jaringan
perdagangan ilegal.
d. Pemerasan adalah meminta uang ataupun bentuk-bentuk lainnya yang
mempergunakan kekerasan dan paksaan. Yang dapat dikategorikan
sebagai bentuk pemerasan dalam hal ini adalah penarikan uang
perlindungan atau uang keamanan yang biasa dilakukan oleh “preman-
45
preman”. Praktek korupsi pada bentuk ini dapat juga berasal dari atas,
jika negara sendiri yang bertindak sebagai mafia.
e. Kolusi merupakan mekanisme penyalahgunaan wewenang dalam hal
privatisasi dan distribusi yang bias dari sumber daya milik negara.
Kolusi merupakan perbuatan yang melibatkan orang-orang yang
memiliki kedekatan seperti misalnya keluarga, orang yang dipercayai
ataupun kolega. Kolusi berkaitan dengan korupsi yang berdampak
terhadap tidak meratanya distribusi sumber daya. Kolusi bukan hanya
merupakan permasalahan hukum dan prosedur melainkan juga
menyangkut mengenai permasalahan kualifikasi, skill dan inefisiensi.
f. Nepotisme adalah bentuk khusus dari kolusi, pemegang kekuasaan
lebih menyenangi dalam berhubungan dengan orang-orang tertentu
seperti misalnya keluarga.
B. Pertanggungjawaban Pidana dalam Tindak Pidana Korupsi
Pertanggungjawaban pidana dalam delik korupsi lebih luas dari hukum
pidana umum. Hal itu nyata dalam hal39 :
1. Kemungkinan penjatuhan pidana secara in absentia (Pasal 23 ayat (1)
sampai ayat (4) UU PTPK 1971; Pasal 38 ayat (1),(2),(3) dan (4) UU
PTPK 1999).
39 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2007) hal 93
46
2. Kemungkinan perampasan barang-barang yang telah disita bagi terdakwa
yang telah meninggal dunia sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah